PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA MELALUI JALUR ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ( NON LITIGASI )
ABU NAWAS ABSTRAK Sengketa hak atas tanah banyak terjadi di berbagai tempat hampir di seluruh Indonesia, baik di pelosok–pelosok desa maupun di perkotaan, sebab tanah tidak akan bertambah luasannya sementara itu jumlah komunitas manusia setiap waktu selalu bertambah seperti deret hitung. Dengan demikian persoalan sengketa hak atas tanah tidak akan pernah berakhir, bahkan akan terus mengalami peningkatan seiring pertambahan jumlah manusia itu sendiri. Berbagai ragam sengketa hak atas tanah, akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik yang menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk-bentuk sengketa yang lainnya. Sengketa tersebut akan melibatkan banyak kesatuan masyarakat, antara lain sengketa antar kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan institusi lain non pemerintah, antar masyarakat itu sendiri, yang akan terus mengalami peningkatan, sehingga terhadap berbagai sengketa tersebut harus ditemukan format penyelesaiannya. Metode penelitian yang penulis gunakan bersifat deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif, yaitu memberikan gambaran tentang penyelesaian sengketa Pertanahan Melalui Jalur Non Litigasi adalah terhadap UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berbagai sengketa pertanahan di Indonesia banyak diakibatkan oleh sejumlah perbedaan atau ketidakselarasan yaitu, perbedaan soal struktur kepemilikan tanah, perbedaan dalam penggunaan tanah dan perbedaan dalam persepsi mengenai kepemilikan tanah yang disebabkan oleh banyak factor yang dikemukakan nantinya dalam Penelitian ini. Kata Kunci
: Penyelesaian Sengketa Tanah, Non Litigasi, Agraria
PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat memang tidak mungkin bisa dilepaskan dengan perkembangan hukum, begitu juga sebaliknya. Bahkan Cicero mengatakan bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi societas ibi ius). Van Apeldoorn menyatakan bahwa hukum terdapat diseluruh dunia dimana terdapat suatu masyarakat manusia. Atau dengan kata lain bahwa tidak akan ada hukum jika tidak ada masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat tersebut, hukum mengatur kehidupan antara orang yang satu
dengan orang yang lainnya maupun kehidupan orang itu dengan masyarakatnya. 1 Dalam perkembangannya, masyarakat mengalami fase-fase atau tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh Durkheim dalam tulisannya Evolution of Society and Social Solidarity. Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat berkembang dari Mechanical Solidarity ke Organic Solidarity yakni dari masyarakat yang sederhana dan bersifat serba kolektif berkembang menjadi masyarakat yang modern dan komplek dengan segala pembagian kerja yang luas serta berkembang menjadi masyarakat yang individualistik.2 Berkaitan dengan perubahan sosial tersebut, bidang hukum juga mengalami perubahan dalam aplikasinya. Hal ini terlihat dalam persoalan tanah di berbagai daerah menunjukkan peningkatan sengketa yang semakin tidak bisa dihindarkan karena mengiringi perubahan sosial yang muncul secara bersamaan di berbagai daerah. Antara perubahan sosial dan hukum khususnya hukum tentang kepemilikan hak atas tanah menjadi masalah mendasar yang harus segera mendapatkan solusi. Dalam masalah yang mendasar tersebut paling tidak ada beberapa persoalan yaitu; Pertama, tentang keadilan sosial. Kedua, tentang hubungan antara tanah, negara dan Individu.Ketiga, kedudukan petani dan buruh tani karena pengaruh dari luar.Keempat yakni unifikasi hukum pertanahan dalam kaitannya dengan persatuan dan kesatuan nasional.3 Dalam sejarah perkembangan kepemilikan hak atas tanah paling tidak Indonesia telah mengalami lima kali goncangan antara lain : 1. Pada masa Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang menjadi penjajah baru, dalam masa ini penataan kepemilikan hak atas tanah mengalami fase awal penataan karena aturan-aturan dan pengusaan tanah masih atas nama penjajah Belanda sementara Indonesia dikuasai penjajah Jepang. Dalam masa ini sebagaian besar tanah bekas perkebunan Belanda dikuasai Jepang dan belum dilakukan penataan secara teratur, karena hanya kurun waktu 3,5 tahun Jepang sudah meninggalkan Indonesia. 2. Pada masa kemerdekaan, pada masa ini penataan tanah eks perkebunan Belanda banyak dikuasai oleh darurat militer yang bekerja sama dengan penduduk setempat untuk menggarap lahan bekas perkebunan tersebut, sehingga belum ada penataan secara pasti tentang kepemilikan hak atas. 3. Pada masa diundangkan UUPA 1960: Pada masa ini penataan kepemilikan hak atas tanah mulai dilakukan dengan dasar-dasar hukum yang sudah ditentukan oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk di dalamnya adalah tanah-tanah yang menjadi obyek land reform tahun ‘64 SK/49/KA/64 tentang redistribusi tanah perkebunan untuk kepentingan penduduk dan desa yang ada di sekitar perkebunan. Belum tuntas mengenai penataan tanah sudah muncul gejolak tahun 1965 tentang G/30.S/PKI yang menyisakan persoalan tentang penataan tanah tersebut. 4. Pada masa perubahan dari rezim Orla ke rezim Orba, dalam masa ini persoalan tanah bermunculan karena kepemilikan tanah secara legal dilakukan dengan cara-cara paksa oleh mereka yang berkuasa secara politik pada waktu itu terhadap mereka yang dianggap terlibat G/30 S/PKI. Sehingga penataan tanah pada masa Orde Baru tersebut tidak bisa memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada masa itu. Meskipun 1
Teguh Prasetyo dkk, Hukum dan Undang-Undang Perkebunan, Nusa Media, Bandung, 2013,
hlm. 1. 2 Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Second Edition, Harrow and Heston Publisher, New York, 1994, hlm. 24 3 Achmad Sodiki, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Brawijaya Malang, 17 Juni 2000.
2
demikian masyarakat tidak mengalami gejolak karena ditekan oleh pihak aparat keamanan dengan dasar stabilitas nasional. 5. Masa reformasi; pergantian dari rezim Orde Baru ke reformasi menyisakan problem pertanahan yang mengakibatkan tuntutan warga yang merasa dirampas haknya pada masa Orde Baru muncul di permukaan, sehingga hampir mencapai 50% lebih tanah perkebunan di wilayah Indonesia mengalami sengketa dengan landasan menuntut dikembalikan hak mereka yang pernah dirampas oleh rezim Orde Baru ketika itu.4 Di masa pemerintahan Orde Baru gejolak masyarakat menuntut kepemilikan hak atas tanah tidak nampak ke permukaan, karena rakyat mendapatkan tekanan dari sebuah pemerintahan rezim otoriter, sehingga masyarakat tidak berani menuntut hak-hak yang dimiliki, karena pemerintahan waktu itu berdalih “tanah untuk kepentingan umum dankepentingan negara” sesuai dengan pasal 33 (3) UUD 1945 “(Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasaai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat)”. Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana disebutkan diatas, oleh Hatta dijadikan dasar pembangunan agraria. Bung Hatta mengemukakan 5 (lima) prinsip dasar pengaturan hukum di bidang pertanahan, yaitu: 1. Tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan orang perorangan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir kelompok masyarakat; 2. Tanah adalah milik rakyat Indonesia; 3. Negara yang merupakan penjelmaan rakyat hanya mempunyai hak mengatur penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran bersama; 4. Tanah tidak boleh menjadi komoditi yang dapat diperjual belikan untuk mencari keuntungan semata; 5. Untuk mengatur, diperlukan kekuasaan negara dalam menentukan alokasi pengunaan tanah, dalam hal ini tidak boleh ada pertentangan antara masyarakat dan negara karena negara merupakan alat dari masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan bersama.5 Era reformasi yang sedang berkembang di masyarakat, serta konsep desentralisasi (otonomi daerah) yang dicanangkan semenjak tumbangnya Orde Baru, menjadi dimungkinkan penyelesaian sengketa hukum dilakukan dengan cara non litigasi, sebab penyelesaian ini sebetulnya adalah alternatif penyelesaian yang lebih cepat, singkat dan dengan biaya yang murah, serta menjamin jalan kompromi terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Berbagai ragam sengketa hak atas tanah, akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik yang menyangkut sengketa perebutan hak, sengketa status tanah maupun bentuk-bentuk sengketa yang lainnya. Sengketa tersebut akan melibatkan banyak kesatuan masyarakat, antara lain sengketa antar kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan institusi lain non pemerintah, antar masyarakat itu sendiri, yang akan terus mengalami peningkatan, sehingga terhadap berbagai sengketa tersebut harus ditemukan format penyelesaiannya. Sebagian besar 4
Ibid. Endang Suhendar & Ifdhal Kasim.,ed.”Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Kebijakan Pertanahan OrdeBaru”, ELSAM,Jakarta,1996, hlm. 18 5
3
persoalan yang muncul berkaitan dengan kasus-kasus pertanahan di seluruh Indonesia disebabkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa perkebunan dengan masyarakat yang bermukim di sekitarnya dan disertai adanya intervensi negara yang masih dominan didukung pula dengan perlakuan yang represif dari militer dengan dalih “demi dan atas nama” stabilitas nasional. Bersamaan dengan jatuhnya rezim represif Orde Baru, masyarakat mulai sadar akan hak-haknya yang telah lama hilang, sehingga hal tersebut terakumulasi menjadi sebuah tuntutan yang timbul pada saat sekarang dan berakibat pada muncul gejolak dan sengketa di berbagai wilayah Indonesia. Gejolak masyarakat menuntut tanah mulai nampak dengan longgarnya tekanan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Keberanian masyarakat menuntut hak atas tanah perkebunan muncul bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan meluasnya jaringan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang penguatan masyarakat basis, khususnya kaum petani dan buruh tani yang bermukim di wilayah sekitar perkebunan. Perubahan perilaku masyarakat nampak mengedepan pada beberapa tahun terakhir, sehingga gerakan kaum tani dan buruh tani seolah terjadi secara spontan hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan format dan bentuk yang hampir sama, oleh karena itu bisa diasumsikan menculnya sebuah jaringan yang mulai menguat terhadap kaum tani dan buruh tani yang selama pemerintahan Orde Baru banyak dipinggirkan dan mendapatkan tekanan. Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusya problem pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya menyisakan problem yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang, yakni pertama, masih cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini belum ada penjabaran yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah. Kedua, ada juga UU pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999 (LN. 167 tahun 1999), yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan besar loging kayu hutan alami dimana jelas ada intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh penduduk pribumi (woeste gronden). Problem pertanahan muncul tidak hanya pada daerah tertentu di Indonesia, akan tetapi hampir bisa dikatakan meluas diberbagai daerah termasuk Jawa dan luar Jawa. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tercatat ketegangan-ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah (Propinsi dan Kabupaten/ Kota), antara DPR pusatdengan DPRD, antara KADIN dengan masyarakat sektor informal (masyarakat kecil: petani, buruh tani), antara DPRD dengan ABRI, antara beragam dinas / sektor dan juga antara penduduk pribumi dan pendatang. Dari hasil penelitian awal menunjukkan bahwa aturan yang ada belum bisa diterapkan secara penuh karena berbagai kasus yang melatarberlakangi ada perbedaan, sehingga harus diselesaikan dengan cara yang berbeda pula. Latar belakang non hukum yang mendominasi munculnya sebuah kasus, penyelesaiannya tidak murni berdasarkan pada aturan hukum yang ada, akan tetapi melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi kasus tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tidak semua penyelesaian kasus dengan latar belakang yang berbeda bisa diselesaikan dengan aturan hukum yang sama, sebab faktor utama penyelesaian sebuah kasus dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, historis, politis dan sebagainya. Penyelesaian dengan mendasarkan pada aturan yang ada memang harus merupakan pedoman setiap penyelesaian kasus, akan tetapi dalam perkembangannya kemungkinan masyarakat akan selalu dikalahkan oleh pihak perkebunan, karena pihak perkebunan
4
memiliki bukti-bukti formal dan masyarakat tidak memiliki. Sedangkan secara riil masyarakat terus menuntut kembalinya hak garapan yang pernah dilakukan pada masa sebelum keluarnya HGU tersebut. Setiap sengketa tanah memerlukan cara penyelesaiannya, baik dengan cara litigasi maupun non litigasi. Ada beberapa tulisan yang membahas persoalan pertanahan, khususnya masalah penyelesaian sengketa tanah, akan tetapi pembahasan tentang penyelesaian non litigasi tidak ada yang diungkap secara mendalam, sebab penyelesaian sengketa tanah identik dengan penyelesaian jalur formal, yakni melalui lembaga peradilan. Penelitian ini berusaha mengungkapkan tentang penyelesaian sengketa yang jarang dilakukan, yakni melaluli non litigasi. Penyelesaian dengan cara non litigasi adalah penyelesaian yang mempunyai spesifikasi, yakni penyelesaian untuk mendapat kepastian hukum dengan cara murah, efisien, lebih cepat dan menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa non litigasi disebut juga sebagai alternatif penyelesaian sengketa atau disebut juga dengan istilah alternative dispute resoution (ADR). Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah forum penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.6 Menurut Sholih Mu’adi sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi munculnya minat dan perhatian masyarakat terhadap penyelesaian sengketa alternatif atau non litigasi, yaitu: Pertama, perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua, untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; dan ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa perkebunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme yang terbaik.7 Dari latar belakang masalah sebagaimana telah peneliti uraikan diatas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian mengenai penyelesaian sengketa pertahanan melalui jalur penyelesaian sengketa alternatif atau non litigasi yaitu: 1. Bagaimana konsep sengketa pertanahan yang muncul dalam kasus pertanahan di Indonesia? 2. Bagaimana konsep penyelesaian sengketa tanah melalui jalur non litigasi (mediasi) dalam sistem hukum di Indonesia? TINJAUAN LITERATUR Pengaturan tentang kepemilikan hak atas tanah secara luas dikenal dengan nama agrarian reform (reformasi agraria)8 yang dijalankan sejak ber abad-abad lamanya, umurnya sudah lebih dari 2500 tahun dan hampir semua negara pernah melakukan 6
Teguh Prasetyo, dkk, Op Cit, hlm. 156. Ibid. 8 agrarian reform juga terkandung makna pengaturan kembali atau penguasaan tanah, dalam Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, INSIST, Yogyakarta, hlm. 35 7
5
reforma agraria. Dalam sejarah yang panjang tersebut masalah agraria mengalami perkembangan dan perubahan, masalah aktualisasinya mengalamipasang surut, sehingga pembahasan-pun mengalami gairah yang turun naik pula. Pada kajian pustaka tentang perkembangan agrarian reform (reformasi agraria) diberbagai negara secara umum telah banyak diungkap, masing-masing negara mempunyai cara-cara yang beragam dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut, sehingga tidak ada format yang pasti untuk menyelesaikan sengketa tanah. Ada yang melalui proses penguasaan negara, reclaiming dan juga ada yang didistribusikan begitu saja kepada para petani dan buruh tani. Dalam sejarah agraria Indonesia, pemilikan tanah baik oleh raja maupun individual telah dikenal lama sebelum penjajahan Inggris sampai Belanda berlangsung di Indonesia. Pada zaman kerajaan Jawa tradisional, raja merupakan pusat ketatanegaraan yang kedudukannya sama dengan Tuhan. Upacara-upacara kenegaraan dibebankan kepada suatu korps hamba kerajaan yang lazim disebut abdi dalem. Abdi dalem merupakan penghubung antara rakyat dengan raja, yang sering juga dimasukkan ke dalam golongan priyayi.9 Tanah menurut tradisi raja merupakan satu satunya pemilik tanah dari seluruh kawasan kerajaan dan yang memonopoli sebuah kekuasaan. Para priyayi adalah abdi dalem diberikan gaji berupa sebidang tanah lungguh. Gaji ini (apanage) akan ditarik kembali manakala yang menerimanya meninggal dunia. Penarikan kembali ini dapat mencegah penguasaan tanah dari para abdi dalem yang dikhawatirkan akan memperkokoh kekuasaan mereka dan hal itu dapat membahayakan kekuasaan raja.10 Luas tanah lungguh yang dikuasai oleh para abdi dalem ini sebenarnya tidak begitu penting karena luas tanah masih cukup tersedia. Sebaliknya yang penting adalah jumlah cacah atau penduduk yang dikuasai oleh para abdi dalem. Tegasnya,kekayaan dan kemakmuran para anggota kaum elit Jawa dilihat dari jumlah penduduk yang dikuasainya, bukan dari jumlah tanah yang dikuasainya. Hal ini disebabkan penduduk yang dikuasai itu menjadi kekuatan nyata baik dalam politik maupun pemberontakan.11 Berbeda dengan raja dan kaum elit yang secara tidak Iangsung menguasai tanah, sehingga jauh dari faktor produksi, maka para petani yang langsung menguasai dan mengolah tanah disebut sikep. Para sikep ini dapat memiliki tanah lewat pemberian raja secara langsung atau lewat para priyayi. Raja sewaktu-waktu dapat memerintahkan seseorang lurah untuk menyiapkan tenaga serta sumbangan beras dari para sikep ini.12 Ada hubungan antara raja, priyayi dan sikep. Hubungan sikep dengan raja dan priyayi ini adalah hubungan kawula-gusti atau patron-client. Di luar sistem penguasaan tanah yang berlaku dikalangan kerajaan tradisional tersebut, terdapat sistem penguasaan tanah menurut hukum adat. Konsep penguasaan tanah dalam sistem ini berdasarkan hak ulayat, yaitu suatu hak masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar serta ke dalam. Dalam cakupan hak ulayat ini terdapat hak individual 9
Achmad Sodiki, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang, Disertasi Program Pasca Sarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 1994, hlm. 19 10 Op Cit. 11 Lihat Ong Hok Ham,"Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah Dua Abad Penguasaan Tanah”, (ed.) Sediono M.P Tjondronegoro (Jakarta, 1984), hal.6; Juga dikemukakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, "Perbedaan Konsep tentang Dasar Hak Penguasaan atas Tanah antara apa yang dianut dalam Tradisi Pandangan Pribumi dan apa yang dianut dalam Hukum Positif Eropa," Majalah, Arena Hukum, 1 (Nopember,1990),hal.42 12 Achmad Sodiki, Op Cit.
6
atas tanah yaitu hak yang lahir karena pengusahaan yang terus menerus secara intensif atas sebidang tanah (kosong). Hubungan antara hak ulayat (yang dimiliki oleh masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan) dengan hak individual merupakan hubungan yang lentur/fleksibel. Semakin kuat hak individual atas tanah maka semakin lemah daya berlakunya hak ulayat atas tanah tersebut. Sebaliknya semakin lemahhak individual, maka semakinkuat daya berlakunya hak ulayat. Hak perseorangan ini akan lenyap dan tanah akan kembali dalam kekuasaan hak ulayat jika tanah “diterlantarkan” menjadi belukar atau hutan kembali.13Penguasaan dan pemilikan tanah secara individual diperoleh dengan cara membuka tanah. Van Setten Van Der Meer mengatakan bahwa: hak untuk menguasai tanah berawal dan bersumber dari kerja seseorang membuka tanah yang sebelumnya tak tergarap. Tanah yang baru dibuka dikenal sebagai bakalan. Hak pemilikan individual diberlakukan terhadap seorang petani perintis apabila ia sudah membuka tanah baru, ia diberi waktu tiga tahun untuk membangun dan mencetak sawah sebelum dianggap pantas untuk dikenakan pajak. Pembukaan tanah dan pencetakan sawah yang dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama menjadikan tanah tersebut milik gabungan Jika seluruh penduduk desa bekerja sama membuka tanah bagi kepentingan semua warga masyarakat desa, maka tanah bukaan tersebut menjadi milik kolektif sebagai sawah desa.14 Guna memahami hubungan penguasaan tanah dalam desa tradisional, maka konsep beschikkings recht (hak pertuanan atau hak ulayat) yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven sangat membantu. Dua unsur utama yang memberikan ciri khas jenis hak ini ialah pertama, tiadanya kekuasaan untuk memindah tangankan tanah dan kedua, terdapat interaksi antara hak komunal dan hak individual.15 Hak ulayat ini berlaku ke luar dan ke dalam. Kedalam, pertama persekutuan dan anggota-anggotanya mempunyai hak untuk menarik tanah dan segala yang ada di atasnya tanah itu, mendirikan tempat kediaman, menggembala ternak, mengumpulkan bahan makanan, berburu dan memancing, Kedua masih terkekangnya hak individual (perseorangan) di dalam hak masyarakat (ulayat). Ketiga, persekutuan dapat menetapkan tanah untuk kepentingan umum misalnya untuk kuburan, padang ternak bersama, pekarangan masjid dan sekolah, untuk tanah jabatan (bengkok) sebagai hadiah kepada para pembesar masyarakat. Keluar, berlaku larangan orang luar menarik keuntungan dari tanah itu kecuali dengan ijin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie). Demikian juga orang luar dilarang memiliki tanah perseorangan atas tanah pertanian.16 Setiap orang yang diperbolehkan membuka tanah liar (kosong), membuka hutan, ia ijinkan mempunyai hak milik atas tanah (ertelijk individueel bezits recht). Hal itu terutama untuk daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.17 Sistem perolehan hak secara tradisional tersebut di atas sejalan dengan teori lama mengenai perolehan hak milik karena occupatio, yakni pendudukan tanah-tanah yang tergolong res nullius, yaitu tanah yang belum dimiliki oleh seseorang. Apa yang telah diketemukan oleh seseorang, menjadi milik orang yang bersangkutan. Orang Romawi telah menetapkan cara okupatio 13
Op Cit. Lihat Van Setten van der Meer, "Sawah Cultivation in Ancient Java", (Oriental Monograph, Series No.22,ANU, Canberra,1979), hal.66 15 R.Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (terj. Soehardi), Alumni, Bandung,1964, hal.43 16 Ibid, hlm. 12. 17 Op Cit. 14
7
sebagai cara perolehan hak milik secara alamiah (natural aquisition).18 Cara okupatio ini mengandung kelemahan karena orang hanya membayangkan tanah yang kosong, yang tidak berpenghuni dan belum diketemukan oleh seseorang. Semua tanah sekarang telah menjadi obyek kekuasaan negara atau individu, yang tidak mungkin dibayangkan tanah yang tidak ada penguasa atau pemiliknya. Hal ini juga disebabkan pesatnya kemajuan teknologi yang dapat menjangkau semua bagian bumi ini, dan bertambahnya penduduk yang semakin memerlukan tanah.19 Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka cara ini dianggap kurang memberikan alasan yang kuat mengenai asal mula hak milik dan tidak memuaskan sebagai landasan pembenaran adanya hak milik. Paton mengatakan: The theory ofoccupatio hardly provides a reasonable account of the origin of property, and it is even less, satistactory as justification of property.20 Pada saat ini juga sudah mulai sulit menemukan tanah ulayat, khususnya di wilayah Jawa. Di luar Jawa tanah adat (ulayat) juga sudah mulai hilang. Kepemilikan tanah dengan okupasi sudah mulai dihilangkan berdasarkan UU Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960) tidak dikenal perolehan hak dengan cara okupasi. Penebangan hutan secara liar untuk memperoleh lahan pertanian juga sudah mulai dibatasi, sehingga kepemilikan tanah banyak berdasarkan pada kepemilikan formal sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku.Berbeda dengan uraian di atas, dikenal juga kepemilikan tanah dengan konsep hukum Barat (civil law). Indonesia mengalami pasang surut penjajahan, mulai Inggris, Portugal, Belanda. Salah satu penjajah yang mendominasi masalah yang berkaitan dengan hukum adalah Belanda. Awalnya Belanda datang ke Indonesia dengan misi perdagangan, namun dalam perkembangannya merambah pada konsep penguasaan tanah di Indonesia. Inggris mengenalkan konsep penguasaan tanah melalui pembenaran secara ilmiah mengenai hubungan kekuasaan mereka dengan tanah di Indonesia dengan menggunakan teori domein.21 Penggunaan teori ini akhirnya dapat dipakai sebagai dasar pembenar sistem penarikan pajak, sebagaimana Inggris telah menerapkannnya di India. Menghadapi situasi yang berbeda dengan India, maka dibentuklah panitia penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria. Berdasarkan hasil penyelidikan itu Raffles menarik kesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Hal ini sejalandengan hukum Inggris karena :"In English law, owing to feudal doctrine that all land is held of the king, land can not become a res nullius and even in the case of personal property the list of such things is very limited."22 Penerapan teori domein ini kemudian hari diteruskan oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan usaha mereka di Indonesia. Teori domein dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit tahun 1870 (S.1870 No.119), menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan ke-2 danke-3 dari Undang undang tersebut 18
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, terj. Mohammad Radjab,(Jakarta,1982), hlM.119 Achmad Sodiki, Loc Cit. 20 G.W.Paton, A Textbook of Jurisprudence. Oxford University press (London, 1972), hlM.539. 21 Teori Domein yang diterapkan oleh Raffles berasal dari teori yang berlaku di Kerajaan Inggris saat itu, yang ada kesamaannya dengan yang diterapkan di Kerajaan Jawa tradisional. Dalam abad pertengahan yang feodalistis semula tanah adalah milik raja . Hak milik perseorangan hanya diberikan dengan seizin raja. Secara berkala mereka yang mendapatkan tanah dari raja mempunyai kewajiban membayar upeti kepada raja atau menyiapkan jasa-jasa lain yang diperlukan raja. 22 G.W. Paton, Ibid.,hal . 543 19
8
(maksudnya ayat 5 dan 6 pasal 51 I.S), maka tetap dipegang teguh azas yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak kepunyaan (eigendom), adalah kepunyaan negara.23 Pernyataan domein (domein verklaring) ini diberlakukan bagi daerah Jawa dan Madura, yang selanjutnya berdasarkan S.1875 No.119 a diperluas untuk luar Jawa dan Madura. Pernyataan domein ini secara umum disebut algemene domein verklaring. Dengan berlakunya pernyataan domein ini, maka negara sebagai pemilik tanah dapat menyewakan kepada para pemilik modal swasta bagi usaha perkebunan berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan memunculkan hak erfpacht. Pada hakekatnya pernyataan domein ini, adalah fiksi belaka, maka pemerintah dapat memberantas apa yang disebut "onwettige occupatie" (pendudukan tanah secara tidak sah). Di samping itu dikenal pernyataan “domein yang khusus”, yang intinya menyatakan bahwa semua tanah liar (kosong) adalah termasuk tanah negara, kecuali tanah-tanah yang menjadi hak rakyat berdasarkan hak untuk membuka tanah. Domein verklaring khusus ini berlaku untuk daerah Sumatra, Manado, Kalimantan Selatan dan Kalimantan timur (S.1974 No 94 f, S 1877 no.55 dan S.1898 No.58).24 Jadi walaupun ada domein verklaring atas tanah baik yang berlaku di JawaMadura maupun yang berlaku di luar Jawa-Madura, namun pernyataan itu mengecualikan tanah-tanah yang menjadi hak rakyat menurut hukum mereka dengan hak milik (onvrij landsdomein), dengan selalu mengingat ayat (5) dan (6) pasal 51 I.S. Tegasnya, domein verklaring hanya meliputi vrij landsdomein.25 Domein verklaring ini memungkinkan negara sebagai pemilik (eigenaar) atas tanah, sehingga dapat memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht, hak opstal dan sebagainya. Dalam hal pembuktian kepemilikan atas tanah, berdasarkan pasal 1 Agrarisch Besluit (AB) 1870, negara tidakharus membuktikannya, sebaliknya rakyat yang harus membuktikan tanah yang mereka miliki. Mengenai hak milik individual yaitu eigendom (baik terhadap benda bergerak maupun tidak bergerak), mengandung sifat absolut (mutlak). Perolehan hak atas tanah dapat secara derivatif, artinya berasal dari ketentuan undang-undang/peraturan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, juga bisa secara original seperti mengaku sesuatu hak atas tanah dan mengklaim sudah dikuasai untuk waktu tertentu dan melalui uitwijzingsprocedure akhirnya seseorang dapat mempunyai suatu hak atas tanah.26 Buku ke III KUH Perdata yang mengatur Hukum Benda oleh UU No.5/1960 dinyatakan tidak berlaku lagi, selama itu berkitan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotik. Tidak berlakunya Buku ke III tersebut di atas, dalam praktek menimbulkan ketidakpastian, karena UU No.5/1960 belum sepenuhnya mengatur kembali hal-hal yang telah dihapus tersebut.27 Di samping itu hukum adat yang menjadi landasan hukum agraria nasional juga belum banyak digali azas azasnya guna menggantikan kekosongan tersebut, sehingga banyak praktisi masih menggunakan konsep-konsep hukum yang diambil dari hukum 23
Achmad Sodiki, Loc Cit. Op Cit. 25 Op Cit. 26 Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia (Rajawali, Jakarta,1984), 24
hal.158 27
Op Cit.
9
perdata. Perbedaan konsep yang terjadi pada hukum tradisional Indonesia yang dikenal dengan hukum adat dan hukum barat disisi lain menimbulkan dampak persoalan pertanahan di Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan. Khusus masalah tanah pekebunan menyisakan sebuah konflik tentang anggapan konsep kepemilikan yang diakui oleh negara berdasarkan ketentuan formal, sementara ada anggapan kepemilikan yang harus diakui berdasarkan sejarah terjadinya penguasaan perkebunan di Indonesia. Konsep adat yang mengacu pada kepemilikan turun temurun yang didasarkan pada sejarah terjadi hak garapan atas tanah tersebut dan kemudian harus beralih menjadi hak milik. Hal itu bertentangan dengan konsep Barat (civil law) yang dianut pemerintah selama ini yakni kepemilikan secara formal yang mendasarkan pada konsep domein verklaring dan tidak mengenal adanya okupasi dalam hukum formal. Fakta inilah yang menimbulkan sengketa tanah yang dimaksudkan untuk menunjukkan siapa yang paling berhak atas tanah tersebut. Kedudukan sebagian para pemakai tanah bisa saja kuat, sebab secara yuridis mereka mendasarkan diri pada ketentuan hukum adat, ada yang memperoleh ijin dari penguasa walaupun tidak tertulis. Fakta lain kenyataannya para pembuat peraturan, mempertimbangkan untuk memberikan legitimasi pemakaian bahkan memungkinkan memberikan kedudukan sebagai pemilik yang sah. Dengan demikian pemakai tanah tidak dapat diusir dari tanah yang diduduki. Dalam perkembangannya ketentuan yang mengatur masalah ini ada yang menganggap pendudukan itu semula illegal berubah menjadi quasi legal dan akhirnya menjadi legal.28 METODE PENELITIAN Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Titik tolak penelitian mengenai penyelesaian sengketa Pertanahan Melalui Jalur Non Litigasi adalah terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu peneliti juga melakukan studi kepustakaan bukan saja terhadap kedua undang-undang tersebut tetapi juga terhadap buku-buku yang membahas mengenai pertanahan dan penyelesaian sengketa alternatif, serta buku-buku yang mempunyai kaitan dengan obyek penelitian. Peneliti menggunakan 4 (empat) pendekatan (approach), yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Bahanbahan hukum dalam penelitian ini berupa bahan hokum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku teks yang membahas mengenai hukum Agraria, terutama bukubuku yang berkaitan hak atas tanah dan sengketa atas tanah dan juga buku-buku yang membahas mengenai penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi). Serta pendapatpendapat para ahli hukum mengenaisengketa tanah dan penyelesaian sengketa alternatif. Bahan Hukum Tertier yaitu kamus, ensiklopedia, website dan lain-lain.29 28 29
Achmad Sodiki,Ibid, hlm.10 Ibid.
10
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
PENGERTIAN SENGKETA PERTANAHAN. Sengketa pertanahan merupakan salah satu bagian dari masalah pertahanan di Indonesia. Berdasarkan tipologi masalah Pertanahan adalah jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani, terdiri dari masalah yang berkaitan dengan : 1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu; 2. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan. 3. Batas atau letak bidang tanah yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas. 4. Pengadaan Tanah yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi. 5. Tanah obyek Landreform yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform. 6. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir yaitu perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang dilikwidasi. 7. Tanah Ulayat yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain; 8. Pelaksanaan Putusan Pengadilan yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
Faktor Penyebab Sengketa Pertanahan Munculnya sengketa sebenarnya tidak terlepas dari pemahaman masyarakat tentang kepemilikan hak atas tanah yang dipersepsikan berbeda dengan kepemilikan hak atas tanah oleh hukum secara formal. Sejarah panjang kepemilikan tanah di Indonesia mengalami pasang surut. Diawali dengan zaman kerajaan, kemudian masuk zaman penjajahan Belanda, Jepang dan kemudian masa kemerdekaan hingga masa Reformasi bergulir. Dari masa ke masa tersebut masyarakat juga mengalami perubahan dalam prilaku dan pola berpikir, termasuk dalam kaitannya dengan masalah kepemilikan, baik secara faktual maupun secara formal.
11
Ada beberapa permasalahan tanah yang menyebabkan sengketa pertanahan. Adapun penyebab sengketa pertanahan tersebut adalah: 1. Kurang Tertibnya Administrasi Pertanahan dimasa Lalu. Kebijakan pertanahan dijabarkan lebih rinci dalam kerangka tertib pertanahan meliputi: (a) tertib hukum pertanahan; (b) tertib administrasi pertanahan; (c) tertib penggunaan tanah; (d) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Administrasi pertanahan di masa lalu tidak dilaksanakan secara tertib.30 Pencatatan data pertanahan terutama tanah-tanah milik adat di Jawa dan Madura telah dilakukan untuk keperluan pajak bumi. Sampai dengan tahun 1961 ada tiga macam pungutan pajak tanah yaitu: a. untuk tanah-tanah hak milik adat yang ada di wilayah Gemeente: Verponding Indonesia dan; b. untuk tanah-tanah hak milik adat luar wilayah Gemeente: Landrente atau Pajak Bumi.31 Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pengenaan pajak atas nama pemilik tanah yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan: petuk pajak, pipil, girik dan lain-lainnya. Pajak dikenakan pada yang memiliki tanahnya, petuk pajak yang fungsinya sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat dianggap dan diperlakukan sebagai tanda-bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. Pengenaan dan penerimaan pembayaran pajaknya oleh pemerintah pun oleh rakyat diartikan sebagai pengakuan hak pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan oleh pemerintah. Pencatatan data pertanahan ini sebenarnya dapat dipergunakan sebagai bukti petunjuk dari pemilikan sebidang tanah. Seiring dengan perjalanan waktu telah terjadi perubahan data baik mengenai subjek maupun fisik tanahnya tetapi tidak diikuti dengan perubahan data administrasinya. Kondisi administrasi pertanahan terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga dengan bergantinya generasi dan perubahan sosial budaya dalam masyarakat, dapat menciptakan sengketa pertanahan.32 Berlakunya Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU Nomor 12 Tahun 1985 Jo UU Nomor 12 Tahun 1994) terhitung bulan April 1993 Dirjen Pajak tidak mengeluarkan lagi girik sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak tanggal 27 Maret 1993 Nomor SE-15/PJ.6/1993. Di dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 1985, yang menjadi wajib pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bangunan dengan demikian wajib pajak PBB yang diadministrasikan di Kantor Pajak tidak selalu pemilik tanah atau bangunan.33 Menurut data BPN Tahun 2007 jumlah bidang yang sudah terdaftar mencapai 35 juta bidang tanah dari 83 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu agenda BPN sejak tahun 2007 yakni meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah di seluruh wilayah Indonesia baik melalui
30
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Djambatan, Jakarta, 1973, hlm. 84. Surat Edaran Dirjen Pajak Tanggal 27 Maret 1993 No. SE-15/PJ.6/1993 tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak. 32 Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 2. 31
33
Boedi Harsono, Op.cit., hlm. 85.
12
program pensertipikatan tanah secara massal melalui anggaran APBN/APBD maupun swadaya masyarakat. 2. Ketimpangan Struktur Penguasaan/Pemilikan Tanah. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas ini dihuni oleh penduduk yang saat ini mencapai sekitar 225 juta jiwa; meskipun telah diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat, namun jumlah rakyat miskin Indonesia masih cukup besar (39 juta jiwa). Sebagian besar di antaranya adalah pekerja atau petani rajin dan produktif tetapi tetap miskin karena mengolah tanah dengan luasan yang tidak mencapai skala ekonomis atau hanya menggarap tanah milik orang lain (buruh tani). Hal ini terjadi karena masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T). Ketimpangan P4T dan ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan semakin sulitnya upaya penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Ketimpangan P4T juga dapat mendorong terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan lingkungan hidup, peningkatan jumlah sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Lebih lanjut, permasalahan pertanahan ini akan berdampak terhadap rapuhnya ketahanan pangan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional. Landreform34 sebagai upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghidupannya tergantung pada produksi pertanian. Berbagai program landreform, antara lain berupa redistribusi tanah (yang berasal dari tanah-tanah jabatan di desa, tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil pengusahaan bidang industri, perumahan, jasa/pariwisata, pengusahaan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, dan lainlain), penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian, bantuan kredit untuk mendukung investasi di bidang pertanian, teknologi, dan tersedianya peluang pasar untuk produkproduk pertanian.35 Tanah merupakan sumber kemakmuran bagi bangsa Indonesia yang sebagian besar struktur kehidupannya bertumpu pada sektor agraris. Ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dapat menjadi sumber sengketa pertanahan disebabkan kecemburuan memperoleh akses tanah untuk memenuhi keperluan hidupnya; oleh karena itu secara proporsional harus ada keadilan dalam distribusi sumber daya tanah. Dalam hal ini yang dikehendaki adanya keseimbangan penguasaan/pemilikan tanah oleh masyarakat sesuai dengan profesinya.36 3. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah yang Negatif. 34
Yudhi Setiawan menguraikan: Tanah redistribusi dan atau tanah absentee adalah bagian dari landreform sehingga seksi pengaturan dan penataan pertanahan di awal berdirinya Badan Pertanahan Nasional dinamakan seksi landreform. Istilah landreform berasal dari kata land dan reform, land artinya tanah reform artinya perombakan atau perubahan dasar; dengan demikian landreform berarti perombakan atau perubahan dasar struktur pertanahan. Landreform timbul karena adanya ketimpangan dan tidak adanya keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat petani. Aturan hukum landreform atau redistribusi tanah di Indonesia adalah: Undang-Undang Nomor 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir; UndangUndang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, lihat Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Teori dan Praktik, Bayu media, Malang, 2010, hal.80 35 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 74 36 Rusmadi Murad, Op.cit., hlm. 62.
13
Pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum. Pendaftaran Tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah.37 Dalam memenuhi kebutuhan ini pemerintah melakukan inventarisasi pemilikan dan penguasaan tanah terutama yang melibatkan para pemilik tanah.38 Pendaftaran tanah semula dilaksanakan untuk tujuan fiskal (fiscal kadaster) dan dalam hal menjamin kepastian hukum maka pendaftaran tanah menjadi recht kadaster. Untuk pertama kali Indonesia mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dengan adanya PP Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 dan baru berlaku 8 Oktober 1997.39 Kelemahan sistem publikasi negatif adalah pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu dan menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan. Umumnya kelemahan tersebut, diatasi dengan menggunakan acquisitieve verjaring atau adverse possession. Kelemahan tersebut di negara-negara yang menggunakan sistem publikasi negatif seperti Belanda diatasi dengan lembaga "verjaring" (BW Pasal 584 jo 1963). Di negara-negara bagian Amerika Serikat yang hampir semuanya masih menggunakan sistem publikasi negatif dengan lembaga "adverse possesion". Kalau sebidang tanah diperoleh dengan itikad baik dan sudah dikuasai sekian lama secara terbuka tanpa ada pihak yang menggugat, maka oleh hukum siapa yang menguasainya ditetapkan sebagai pemiliknya.40 Di dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat dipergunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Lembaga rechtsverwerking dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 digunakan sebagai salah satu sarana pelengkap untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif di Indonesia. Di dalam Pasal 32 ayat(2) ditetapkan: "Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut, apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut". Menurut hukum adat, jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Sementara itu, ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA), adalah sesuai dengan lembaga ini.41 37
Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1989, hlm. 3. Ibid., hlm. 4. 39 Ibid, hlm. 5. 40 16 Boedi Harsono, Menuju Penyempumaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisa M, Maria. 2002, hlm.86-87. 41 Siswanto, Penyelidikan dan Penyidikan Sengketa Pertanahan yang Berindikasi Pidana, disampaikan dalam rangka Workshop Nasional Strategi Penanganan Penyelesaian Sengketa Pertanahan Tahun 2007, Bali, 14 November 2007, hlm. 5 38
14
Dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, asas nemo plus juris terefleksi dalam stelsel negatif yang ditetapkan dalam Pasal 32 ayat (2). Asas nemo plus juris merupakan asas dimana seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut adalah batal demi hukum (van rechswegenietig). Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Di dalam perbuatan hukum hak atas tanah, asas nemo plus juris dikenal di samping asas itikad baik, yaitu asas melindungi pemegang hak yang sebenarnya. Asas ini dalam hukum pertanahan mempunyai daya kerja untuk memberikan kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar umum yang ada di Kantor Pertanahan. Penerapan asas ini berarti memberikan perlindungan kepada pemegang hak untuk mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa memiliki dan dapat membuktikan kepemilikannya kepada pihak lain yang meskipun namanya telah terdaftar dalam daftar umum di Kantor Pertanahan, 42 namun demikian walau ada lembaga rechtsverwerking, sampai saat ini gugatan ahli waris dari generasi ketiga dan seterusnya juga masih diterima oleh pihak pengadilan. Sebagai contoh adalah kasusnya ahli waris Moara, Cs (H. Mani binti Tapa dan H. Djabun dari H. Moh. Tohir) dengan alat bukti bekas tanah Eigendom Verponding No. 7267 seluas 1.325.870 M2 yang terletak di Setiabudi Kuningan Kotamadya Jakarta Selatan dan tanah tersebut sekarang telah menjadi Gedung-Gedung Perkantoran dan perumahan-perumahan. Para Ahli Waris Moara, Cs (H. Mani binti Tapa dan H. Djabun dari H. Moh.-Tohir) menggugat BPN dan Pemda DKI dan lain-lain dengan bukti Eigendom tersebut dengan akta tanggal 28 Agustus 1895 Nomor 82. Para ahli waris generasi yang ke-5 yang gugatannya masih diterima lembaga peradilan dalam perkara perdata Nomor 523/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel jo. Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 245/Pdt/ 2003/PT.DKI jo Mahkamah Agung RI Nomor 611 K/Pdt/2004 yang amar putusannya antara lain menghukum tergugat I (BPN), Tergugat IV (Pemda DKI) untuk membayar ganti rugi atas tanah milik penggugat bekas tanah Eigendom Verponding No. 7267 dengan ganti rugi Rp. 960.030.816.744,-; selanjutnya berdasarkan surat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 April 2006 Nomor 523/Pdt.G/2001/PN.Jak.Sel, perihal Panggilan Teguran (aanmaning) untuk melaksanakan putusan tersebut. BPN saat ini sedang melakukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan tidak adanya acquisitieve verjaring atau adverse possession sengketa-sengketa akan terus muncul kepermukaan yang sebenarnya tanah tersebut menjadi objek UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir Jo PP Nomor 18 Tahun 1958 menjadi tanah yang dikuasai negara dan ditegaskan berdasarkan surat Menteri Negara Agraria tanggal 24 Februari 1960 Nomor SK 353/Ka s/d Sk. 366/Ka, dan kepada para pemiliknya diberi ganti rugi oleh pemerintah. Kasuskasus bekas tanah partikelir muncul karena para ahli warisnya merasa belum pernah diberikan ganti rugi oleh pemerintah. Para ahli waris menuntut harga sesuai dengan NJOP yang berlaku sekarang. Pemerintah pada saat itu membentuk yayasan dana landreform untuk keperluan menyelesaikan ganti rugi tanah-tanah bekas tanah hak barat yang terkena 42
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit Arkola Surabaya, Jakarta, 2003. hlm. 189.
15
a. b. c. 5.
UU Nomor 1 Tahun 1958; akan tetapi pemerintah sekarang tidak punya dana khusus untuk menyelesaikan permasalahan di atas. 4. Meningkatnya Permintaan Atas Tanah Masalah ini menimbulkan ketimpangan karena para pemilik modal berusaha memperoleh tanah untuk keperluan usahanya dalam jumlah yang cukup luas untuk kepentingan investasinya yang akan dikembangkan. Apabila harga tanah sudah naik, dalam praktik ternyata dijual kembali (spekulasi), di lain pihak golongan ekonomi lemah mengalami kesulitan dalam memperoleh tanah dengan harga pasaran yang terjangkau.43 Sebenarnya pemerintah telah memberikan aturan hukum untuk mengantisipasi masalah ini yang diatur di dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 bahwa: "untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan". Kondisi keterbatasan akan sumber daya tanah berhadapan dengan permintaan akan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa pertanahan; hal ini disebabkan sulitnya mencari tanah pengganti bagi masyarakat yang tanahnya akan dipergunakan untuk pembangunan. Di sisi lain, pengambil-alihan tanah akan menyebabkan meningkatnya nilai tanah setempat baik yang disebabkan kurangnya persediaan tanah maupun disebabkan dampak yang timbul sebagai akibat aktivitas pembangunan. Dalam kaitan peningkatan permintaan akan tanah, tidak jarang terdapat sekelompok orang yang sengaja mempergunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan cara spekulasi tanah. Aktivitas para spekulan tanah ini di kemudian hari dapat mengundang sengketa pertanahan disebabkan antara lain:44 mengambil alih tanah masyarakat kurang memperhatikan rasa keadilan dan transparasi dan penentuan harga tanahnya; adanya perbedaan yang sangat besar antara harga tanah yang diterima oleh para spekulan dengan yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik semula; kurang adanya transparansi dalam penggunaan tanah selanjutnya. Peraturan Perundang-undangan yang Tidak Sinkron. Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep "hak menguasai negara" dan "sebesar-besamya kemakmuran rakyat", yang dalam operasionalisasinya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik (UUPA, UU Kehutanan, UU Pertambangan dan lain-lain).45 Ketidaksinkronan antara berbagai undang-undang yang mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam, walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas, namun karena egoisme sektoral yang begitu tinggi, masing-masing sektor merasa paling berkompeten mengatur tentang sumber daya alam. Meskipun disadari bahwa segenap unsur sumber daya agraria/sumber daya alam merupakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masing-masing sektor hanya mengatur fungsi tertentu dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten antara satu dan lainnya makin diperparah oleh inkonsistensi antara peraturan dan implementasinya. Unifikasi hukum yang diupayakan 43
Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Penerbit Media Abadi, Yogyakarta, 2005, hlm. 46. 44 Rusmadi Murad, Op.cit., hlm. 63. 45 Maria S.W. Sumardjono, Tanah…, Op.cit., hlm. 90.
16
melalui berbagai peraturan perundang-undangan itu ternyata tidak mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum yang masih berlaku di masyarakat.46 Pertanahan merupakan subsistem dari sumber daya agraria dan sumber daya alam. Diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungan subsistemnya maupun dalam kaitan hubungannya dengan manusia/masyarakat dan negara; namun demikian, disisi lain peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan belum terpadu bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.47 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a, menetapkan pengkajian ulang terhadap semua peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas. 6. Penerapan Hukum Pertanahan yang Disinkronisasi dan Inkonsisten. Pemenuhan pemberian perlindungan hukum dalam suatu peraturan perundangundangan merupakan sasaran yang akan dicapai dengan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaannya; dan peraturan yang ada dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam.48 Disamping itu kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur secara substansial tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. (dissinkronisasi secara vertikal), ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (dis-sinkronisasi secara horisontal).49 Menurut Fuller, ada 8 (delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakannya "delapan prinsip legalitas" yaitu:50 a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer; b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak; c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; f. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah, h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat. Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten; 46
Ibid. Rusmadi Murad, Op.cit., hlm. 83. 48 Irawan Soerodjo, Op.cit., hlm. 40. 49 Ibid. 50 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 78. 47
17
a. b. c. d. e.
keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu: supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini, tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih menekankan pada power based baik melalui people-power, pengerahan masa dan sebagainya dari pada menggunakan rightsbased yang menekankan pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk untuk kepentingan masyarakat. Eksistensi hukum dimaksudkan untuk menciptakan keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memberi jaminan kepastian hukum. 7. Penegakan Hukum yang Belum Dapat Dilaksanakan Secara Konsekuen. Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:51 hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja; penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dari faktor penegak hukum terlihat kurang adanya ketegasan dalam menerapkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran di bidang pertanahan. Hal ini terlihat dari semakin merajalelanya pendudukan tanah, pemalsuan surat-surat bukti penguasaan tanah (misalnya girik), penyerobotan tanah perkebunan dan sebagainya. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan suatu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.52 Dari faktor masyarakat, terlihat kesadaran dan kepatuhan hukum dalam masyarakat semakin menurun. Keadaan ini mendorong untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. 8. Tanah Terlantar Semua hak atas tanah berfungsi sosial (Pasal 6 UUPA) sehingga setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.53 Di dalam praktik, masih banyak bidang-bidang tanah yang dikuasai perorangan, badan hukum atau instansi, tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya; dengan kata lain, tanah terlantarkan pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak lain yang telah memperoleh dasar
51 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta 1993, hlm. 5. 52 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm. 248. 53 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005, hlm. 53.
18
penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku (pemegang izin lokasi). Di tengah-tengah kondisi penguasaan/pemilikan tanah oleh masyarakat yang demikian, disisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mempunyai tanah, maka penelantaraan tanah merupakan suatu hal yang mengundang ketidakadilan dan kecemburuan sosial. dalam rangka memenuhi kebutuhannya, seringkali tanah yang demikian diserobot/diduduki secara tidak sah oleh masyarakat. Untuk mengatasi kondisi di atas dikeluarkan PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar jo PP Nomor 10 Tahun 2010 Penertiban Tanah terlantar jo PP Nomor 5 Tahun 2011 Pendayagunaan Tanah Bekas Tanah Terlantar jo Peraturan KBPN Nomor 4 Tahun 2010 Tata Cara Penertiban tanah Terlantar. 9. Tuntutan Reformasi Beberapa kesalahan Orde Lama diantaranya: pertama, terlalu berorientasi politik. Politik menjadi panglima. Hukum tidak bisa ditegakkan karena waktu itu demi tujuan politik, hukum harus menyesuaikan; kedua, tidak ada stabilitas politik, karena waktu itu banyak sekali partai politik dan masing-masing memiliki asas sendiri-sendiri, cita-citanya sesuai dengan asasnya dan kalau perlu untuk mencapai cita-citanya menghancurkan partai lain; ketiga, pemerintah sangat otoritas apalagi perekonomian pada saat itu terpuruk.54 Di awal Orde Baru pemerintah ingin menegakkan hukum, tetapi ternyata belum bisa dilakukan karena pemerintah masih menomorsatukan pembangunan ekonomi, sedangkan hukum dalam urutan kesekian. Karena menomorsatukan pembangunan ekonomi, kita lebih mengutamakan pertumbuhan dan merangsang investasi. Agar semuanya itu terwujud, sering diambil kebijaksanaan yang kadang-kadang bertentangan dengan hukum yang berlaku.55 Reformasi yang semula bertumpu pada tiga tuntutan yaitu: supremasi hukum, transparansi dan keberpihakan pada kepentingan rakyat (populisme). Dalam perjalanannya, ketiga tuntutan tersebut berkembang dengan tidak seimbang, yaitu dengan dominannya tuntutan akan keberpihakan pada kepentingan rakyat. 56 Sengketa yang diwarnai aksi-aksi penduduk berhadapan dengan para pihak yang mengubah relasinya dengan tanah dan sumber-sumber alam, semakin menjadi-jadi. Selain itu, pengaturan tentang tanah dan kekayaan alam serta kelembagaannya masih belum beranjak dan dualisme antara hukum negara dan hukum adat.57 10. Peranan Notaris dan PPAT Peranan Notaris dan PPAT (UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT) sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam kenyataan peralihan tersebut sering menimbulkan permasalahan di bidang pertanahan. Ketetapan PP Nomor 24 Tahun 1997 pada Pasal 39 ayat (I) huruf f menetapkan PPAT menolak untuk membuat akta jika objek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau
54
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Penerbit Alumni, Bandung 2004, hlm. 109. 55 Ibid, hlm. 10. 56 Rusmadi Murad, Op.cit, hlm 64 57 A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm 61
19
data yuridis. Kartini Soedjendro, menyatakan:58 tindakan PPAT/Notaris dalam menangani perjanjian yang berpotensi konflik secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni: (1) menggunakan hukum; dan (2) menyimpang hukum. Pertimbangan di balik tindakan yang ditempuh, menyiratkan adanya dasar pertimbangan reward and punishment. Makin tinggi imbalan (reward) yang akan diperoleh, makin besar suatu tindakan ditempuh. Makin tinggi ancaman hukuman (kerugian) yang bakal diderita, makin kecil kemungkinan suatu tindakan dipilih. Pertimbangan untung rugi tersebut tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga ganjaran intrinsik menjaga persahabatan, memperoleh pujian dan penghormatan, serta mempertinggi harga diri/mempertahankan citra diri. Menghadapi perjanjian yang berpotensi konflik dalam arti tidak terpenuhinya syarat-syarat formal (tertulis), tidak terpenuhinya syarat-syarat materiil (tidak tertulis), dan tidak berhaknya para pihak melakukan perjanjian, PPAT/Notaris dapat melakukan bentuk-bentuk tindakan, seperti: (1) syarat-syarat formal suatu akta dijadikan sebagai syarat mutlak untuk dipenuhi para pihak sebelum akta jual beli dibuat; (2) menghadapi permohonan pembuatan akta PPAT terhadap suatu perjanjian yang syarat-syarat materiil tidak terpenuhi; (3) menghadapi permohonan pembuatan akta PPAT yang para pihak tidak berhak melakukan perjanjian. 11. Peranan Camat dan Lurah. Peranan Camat dan Lurah juga sering menimbulkan permasalahan di bidang pertanahan. Wewenang yang diberikan kepada Camat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 untuk membuka tanah seluas kurang dari 2 hektar sebetulnya sudah dicabut berdasarkan Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 593/5707/SJ Tanggal 12 Mei Tahun 1984, tetapi dalam kenyataannya pada masyarakat banyak ditemukan surat segel atau surat jual beli di bawah tangan disaksikan Kepala Adat/Kepala Desa/Lurah juga membuat surat keterangan tanah yang dikeluarkan Camat dan Kades/Lurah. BPN dalam pengurusan pertanahan masih memerlukan surat keterangan-keterangan yang dibuat oleh pihak Kelurahan dan Kecamatan untuk tanahtanah yang berasal dari bekas milik adat juga surat rekomendasi alas tanah Negara. Risnarto menjelaskan bahwa yang menjadi sumber-sumber sengketa pemilikan tanah:59 a. Masyarakat berupa: pemalsuan keterangan, salah lokasi, kepemilikan tidak jelas dan tanda batas tidak jelas; b. Kepala Desa berupa: pemalsuan keterangan, keterangan waris keliru dan keterangan pemilikan salah; c. PPAT/Notaris berupa: pemalsuan Akta Jual Beli, luas bidang salah, status tanah tidak jelas dan batas pemilikan keliru; d. Kantor Pelayanan Pajak berupa: penyimpangan wajib pajak, penetapan wajib pajak keliru dan penetapan NJOP salah; e. Kantor Pertanahan berupa: tidak tertibnya administrasi pertanahan, dan kurang cermat dalam mengindentifikasi letak, batas dan tanda bukti alas hak. Mengacu kepada sistem hukum (legal system), Lawrence M. Friedman, menyebutkan sistem hukum dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural
58 Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Sengketa, Penerbit Kanisius, 2001,hlm. 121 59 Risnarto, makalah, Kemungkinan Pembentukan Pengadilan Pertanahan/Agraria pada acara BPN di Wisma Bogor Permai Tanggal 26-27 Oktober 2004.
20
(structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).60 Permasalahan yang menyebabkan sengketa pertanahan dari sistem hukum yakni kurang tertibnya admmistrasi pertanahan di masa lalu, penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten, penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara konsekuen, serta peranan Camat dan Lurah. Lembaga-lembaga/instansi seperti lembaga peradilan, BPN, Kejaksaan, Kepolisian, Dirjen Pajak, Camat dan Lurah merupakan aspek struktural dalam ruang lingkup sistem hukum yang menyebabkan sengketa pertanahan Penyelesaian Sengketa Non Litigasi atau Penyelesaian Sengketa Alternative (Alternative Disputes Resolution) Penyelesaian sengketa non litigasi sering juga disebut dengan penyelesaian sengketa alternative (alternative disputes resolution). Alternatif penyelesaian sengketa merupakan ekspresi responsif atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (njelimet - bertele-tele). Thornas J. Harron mengatakan bahwa: “…masyarakat sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan), mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissatisfied with the judicial system), disebabkan cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a system) dengan cara-cara yang sangat merugikan, antara lain: buang-buang waktu (a waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu, bukan menyelesaikan masalah masa depan, membuat orang bermusuhan (enemy), melumpuhkan para pihak (paralyze people).”61 Hasil penyelesaian yang diambil dalam proses ADR bukan res judicata (putusan pengadilan), namun sebagaimana diungkapkan oleh Robert N. Codey dan O. Lee Reed pada karyanya Fundamentals of the Environment of Business, ternyata masyarakat cenderung memilihnya atas alasan "much quicker, no delay, and less expensive” dibandingkan jalur litigasi.62 Eksistensi dan fungsi ADR pun nampak pada pengertian konseptual yang menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa dengan mengutamakan upaya-upaya yang “creative compromise” dan ditempatkan sebagai “the first resort”, sedangkan pengadilan dijadikan sebagai “the last resort”. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya minat dan perhatian terhadap ADR: Pertama, perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua, untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; dan ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa perkebunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme yang terbaik.63 James E. Crowloot dan Julia M. Wondolleck telah memaparkan keberagaman istilah yang digunakan untuk ADR: "conflict management, conflict settlement, and conflict intervention, etc.64 60
Friedman, Lawrence M. Law and Society: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall, 1977 M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 186-187. 62 ibid, hlm. 178 63 Takdir Rahmadi, Op.Cit., h. 8. 64 M Luthfi Yazid, Op.Cit., h. 96. 61
21
a.
Arbitrase (arbitration). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan penyelesaian arbitrasi, berarti para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan (arbitrator) atau dengan kata lain bahwa para pihak yang bersengketa memberikan kewenangan (penuh) kepada arbitrator guna menyelesaikan sengketa. Untuk itulah, dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka arbitrator berwewenang mengambil keputusan yang populer disebut award yang bersifat final dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang bersengketa (the decision rendered by the arbitrator is legally binding) serta memiliki kekuatan eksekutorial.65 Dalam penyelesaian sengketa, arbitrase mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan arbitrase sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam penjelasan umum tersebut dinyatakan bahwa Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain: 1) dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2) dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; 3) para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 4) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan 5) putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Selain kelebihan seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Kelemahan yang terdapat dari praktek yang terjadi adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya dengan putusan pengadilan meskipun pengaturan mengenai eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional telah diatur cukup jelas. b. Negosiasi Bagi L. Suskind dan Denies Madigen, negosiasi adalah penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang 66 bersangkutan. Mengenai arti penting dan manfaat negosiasi terlihat dari paparan berikut: The importance of negotiator in law practice is further highlighted by the benefits of negotiated settlement of legal disputes from a client perspective: a) a negotiated settlement avoids the uncertainties and vagaries of trial and appealsettling for what is certain over what is far from certain;
65 Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Environmental Law, Prentice Hall, Upper saddle River, New Jersey, 1997, hlm. 36-37. 66 Takdir Rahmadi, Op Cit, hlm. 2-3.
22
b) a negotiated settlement avoids the economic costs of trial-including delays associated with trial, court costs, expert witness fees, additional discovery time lost by the parties in preparing for and attending trial, and further attorneys fees, c) a negotiated settlement avoids social and psychological costs of trial-including anxiety and stress of trial, possible embarrassment or adverse publicity, and further damage to the relationship between the parties; d) a negotiated settlement avoids the Wnner-take-alr nature of most legal remedies; e) a negotiated settlement avoids the limited scope of the remedies available in courtproviding an opportunity to fashion a broader package in the best interest of both parties; f) a negotiated settlement avoids the risk of unfavorable interpretations of the law; and g) a negotiated settlement avoids the possibility of harmful admissions or findings of fact that could be used against clients in related litigation (issue predusion).67 Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung (kadangkadang didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa perantaraan pihak ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian sepenuhnya dikontrol oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip "win-win". Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk baku) serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak. c. Mediasi. Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada para pihak yang bersengketa. Namun, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Kewenangan mediator sebagaimana dikatakan G.A. Cormick dan L.K. Patton: "terbatas pada pemberian saran”. Pihak yang bersengketa yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara pihak-pihak yang bersengketa".68 Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawarmenawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negosiasi sebagai mekanisme ADR dengan bantuan seorang mediator. Christopher W. Moore dalam tulisannya Introduction to Disputes Systems design telah mengklasifikasikan tipe-tipe mediatator.69 Menurut Christopher W. Moore, terdapat dua belas faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif: “Pertama, para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerjasama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal. Kedua, para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi. Ketiga, jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-pihak yang berada di luar masalah. Keempat, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas. Kelima, para 67
Lerry L. Temply, Op Cit., h. 2-3 Takdir Rahmadi, Op Cit, hlm. 3. 69 Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1997, h. 85. 68
23
pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah mereka. Keenam, para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang. Ketujuh, tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal. Kedelapan, para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga. Kesembilan, terdapat alasan-alasan kuat untuk menyelesaikan sengketa. Kesepuluh, para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar mengganggu hubungan mereka. Kesebelas, terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi. Keduabelas, para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.”70 Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga kepuasan: substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif (substantive satisfaction) berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang bersengketa, misalnya: terpenuhinya ganti kerugian berupa uang, ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat. Kepuasan prosedural (procedural satisfaction) terjadi apabila para pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Kepuasan psikologis (psychological satisfaction) menyangkut tingkat emosi para pihak: yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang.71
Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Mekanisme Penyelesaian Sengketa Mediasi Dalam rangka menetapkan langkah dan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara Pertanahan secara efektif telah ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan RI No.11 Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN RI Menangani dan Menyelesaikan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009, dimana sistem penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya) dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian yaitu melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Meskipun, UUPA sama sekali tidak menyebut bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah, kecuali ketentuan pidana Bab III Pasal 57 ayat (1) yang menyebutkan ancaman pidana untuk yang melanggar Pasal 15 UUPA selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Ayat (2) menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49, ayat 3, dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturan perundang-undangannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah). 70 71
T.M. Luthfi Yazid, Op.Cit., h. 96-97. Ibid, hlm. 97.
24
Melihat ketentuan Pasal 15 UUPA, adanya ancaman pidana menunjukkan jika sengketa tanah terjadi akan diselesaikan melalui pengadilan. Tidak adanya ketentuan tentang penyelesaian sengketa tanah ini dalam UUPA dan karakteristik penyelesaian sengketa di pengadilan biasa yang sering mengecewakan pencari keadilan, mendorong berbagai kalangan mengusulkan pentingnya pengadilan mendorong berbagai kalangan mengusulkan pentingnya pengadilan khususnya agraria. Tentu saja, ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa tanah secara non-litigasi. Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu dikedepankan, yaitu: 1. ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan; 2. perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih fleksibel dan responsif bagi para pihak yang sedang bersengketa; 3. mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara partisipatif; dan 4. memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah merupakan istilah asing yang masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah: penyelesaian sengketa alternatif72, alternatif penyelesaian sengketa (APS)73, mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS)74 dan pilihan penyelesaian sengketa (PPS).75 Ada dua pemahaman yang berbeda terhadap arti ADR tersebut. Pertama, ADR diartikan sebagai alternative to litigation dan yang kedua ADR diartikan dengan alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari kedua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan (alternative to litigation), maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Tetapi apabila ADR diartikan sebagai alternative to adjudication, maka hanya mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif saja yang merupakan ADR. Sedangkan arbitrase yang bersifat ajudikasi tidak termasuk di dalamnya, karena sama halnya dengan pengadilan cenderung menghasilkan putusan dengan solusi menang-kalah (win-lose). Sebelum mencari padanan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu diperlukan penyamaan persepsi tentang konsep dan pemahaman terhadap ADR tersebut. Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka Indonesia 72 Perhatikan Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan (Jakarta: Chandra Pratama, 2000); Perhatikan juga Ali Budiharjo dkk, Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Cyber Consult, 1999); Baca juga Suyud Margono, ADR & Arbitrase. Proses Pelembagaan dan Aspek-Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000). 73 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengeadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsultasi dan Arbitrase) (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001), hlm. 25-26. 74 lihat Takdir Rahmadi, Mekanisme alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini, makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-Kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, Diselenggarakan Oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994. 75 Lihat Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002, hal 84
25
juga merupakan salah satu penganut dari pandangan yang kedua, karena undang-undang tersebut memisahkan secara tegas istilah arbitrase dengan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam konteks studi ini akan digunakan penyelesaian sengketa alternatif dalam arti alternative to adjudication, dengan tidak mengurangi arti dan kebenaran istilah-istilah lainnya. Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif adalah untuk memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja kearah kesepakatan sukarela dalam mengambil keputusan mengenai sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian penyelesaian sengketa alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk memperbaiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Bermacam-macam alasan mengapa seorang menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Disamping berperan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang potensial untuk menghindari biaya tinggi, keterlambatan dan ketidakpastian yang melekat pada sistem litigasi, juga dimaksudkan sebagai sarana untuk memperbaiki komunikasi di antara pihak-pihak. Oleh karena putusan diambil berdasarkan kesepakatan, maka hasilnya adalah win-win, sehingga penyelesaian sengketa bersifat tuntas (tidak semu). Keputusan untuk menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif tergantung pada pertimbangan para pihak. Hanya saja sekurang-kurangnya ada 2 (dua) hal yang perlu dipertimbangkan untuk menggunakan penyelesaian sengketa alternatif. Pertama, prosedur penyelesaian sengketa alternatif lebih tepat guna dari pada prosedur litigasi dan kedua, perlu ditentukan pilihan bentuk mana dari penyelesaian sengketa alternatif yang paling tepat digunakan untuk jenis sengketa yang dihadapi. Perlu diketahui bahwa menurut W. Moore dan James Creighton ada beberapa pertanyaan lanjutan yang harus dijawab sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak untuk menggunakan pola penyelesaian sengketa alternatif, yaitu:76 1. Berapa besar kekuatan relatif yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat, dan bagaimana pentingnya persengketaan ini bagi setiap pihak. 2. Memperhitungkan kekuatan relatif dan komitmen dari tiap pihak apabila persengketaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Prosedur manakah yang kelihatannya paling baik untuk penyelesaiannya? 3. Dengan mempertimbangkan kekuatan relatif dan komitmen yang diberikan oleh satu pihak, jika persengketaan tersebut harus berlangsung sampai sekarang, hasil-hasil atau akibat substantive apa yang paling mungkin terjadi dan berapa besar peluang relatif (relative probabilities)? 4. Dengan mempertimbangkan perkiraan atau ramalan anda dalam pertanyaan nomor dua dan tiga, berapa besar keuntungan/ biaya potensial dari prosedur yang diterapkan saat ini dan bagaimana suatu persengketaan akan diselesaikan. 5. Apakah penggunaan prosedur yang ditetapkan sudah dicarikan pembenarannya (dijustifikasi)? 6. Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa mana yang paling sesuai untuk menangani persengketaan ini? Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan melalui jalur penyelesaian sengketa alternatif (ADR) ditetapkan melalui Mediasi.Penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi mendapatkan landasan hukum dalam Pasal 23 C Peraturan Presiden 76
Joni Emirzon, Op Cit, hlm. 41-43.
26
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Presiden tersebut salah satunya menyebutkan bahwa Deputi bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pada Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya. Adapun mengenai mediasi sendiri mendapatkan landasan hukum dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sementara itu mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN RI No.34 Tahun 2007) tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007. Putusan mediasi juga bisa bersifat mengikat dan dapat langsung dilaksanakan (landasan hukumnya Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Menurut Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Lebih lanjut Takdir Rahmadi mengemukakan bahwa dari pengertian tersebut maka mediasi memiliki unsur-unsur esensial, yaitu: 1. mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak; 2. para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memimak yang disebut mediator; 3. mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.77 Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa khususnya dalam penyelesaian sengketa perkebunan mempunyai kelebihan dan kelemahan. kelebihan yang terdapat dalam mediasi adalah: 1. penyelenggaraan proses mediasi tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundangundangan sehingga para pihak memiliki keluwesan atau keleluasaan dan tidak terperangkap dalam bentuk-bentuk formalisme, seperti halnya dalam proses litigasi; 2. pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri sidang-sidang mediasi; 3. dalam proses mediasi, pihak materiil dan prinsipal dapat secara langsung berperan serta dalam melakukan perundingan tawar menawar untuk mencari penyelesaian masalah tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing-masing; 4. para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspek atau sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya; 5. sesuai dengan sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang bagi para pihak (win-win solution).78 Selain kelebihan-kelebihan, ada juga berbagai keuntungan yang terdapat dalam mediasi. Oleh Bagir Manan keuntungan dalam proses mediasi jika dibandingkan proses litigasi atau pengadilan adalah:
77 78
Takdir Rahmadi, Loc Cit, hlm. 12-13. Op Cit, hlm. 21-24.
27
1. Ada dua azas penting dalam mediasi. Pertama, menghindari menang kalah (win lose), melainkan sama-sama menang (win-win solution). Sama-sama menang tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan. 2. Telah pula dikemukakan, penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu penyelesaian dibandingkan berperkara. Perpanjang-panjang waktu dalam berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan. Tidak kalah pentingnya adalah beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara. 3. Bagi masyarakat Indonesia, berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya tali silaturrahim. (hubungan persaudaraan atau hubungan sosial). Bukan saja antar pihak yang berperkara. Efek sosial dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan yang lebih luas. Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan dan harga diri yang berperkara, melainkan dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Dengan cara mediasi, hal-hal tersebut dapat dihindari. Hubungan silaturrahim yang retak dapat direkat kembali. 4. Mediasi sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi, mudah memaafkan, dan mengkedepankan sikap mendahulukan kepentingan bersama (komunal). Mediasi merupakan instrumen yang baik menyelesaikan sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban, atau kekeluargaan. 5. Mediasi merupakan gejala gelobal. Menyadari peliknya berperkara (ongkos, waktu, hukum yang makin kompleks, reputasi, dan lain-lain), maka mediasi sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang mengglobal. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa, maupun sebagai bagian dari tata cara hubungan hukum secara internasional, mediasi merupakan cara yang tepat menyelesaikan sengketa-sengketa perniagan lintas nasional. 6. Dipandang dari sudut penyelenggaraan peradilan, ada beberapa keuntungan mediasi. Pertama, makin banyak sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi, akan mengurangi tekanan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan. Hal ini akan berpengaruh pada kemungkinan penunggakan atau "pending" dalam penyelesaian perkara. Hakim mempunyai kesempatan mendalami sedalam-dalamnya setiap perkara, yang akan meningkatkan mutu putusan, baik untuk kepentingan perkembangan hukum maupun kepentingan pihak yang berperkara. Kedua, pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap reputasi hakim, mediasi merupakan salah satu alat.79 Dengan mengacu pada uraian diatas, mediasi mempunyai banyak kelebihan dan keuntungan. Namun demikian, mediasi juga mempunyai beberapa kelemahan yang perlu
79
Bagir Manan, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Peradilan, No. 248, Juli 2006, hlm. 5-16.
28
diketahui oleh orang yang ingin menggunakan penyelesaian melalui mediasi. Kelemahan tersebut adalah: 1. bahwa mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja yang memiliki keinginan untuk menempuh mediasi, sedangkan pihak lawan tidak mempunyai keinginan untuk menempuh mediasi, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jika pun terlaksana tidak akan berjalan dengan efektif. Keadaan ini terutama jika menggunakan mediasi bersifat sukarela; 2. pihak yang tidak beritikad baik dapat memanfaatkan proses mediasi dengan taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi atau berunding sekedaru untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan; 3. beberapa jenis kasus mungkin tidak dapt dimediasi, terutama kasus-kasus yang berkaitan degnan masalah ideologis dan nilai dasar yang tidak menyediakan rungan bagi para pihak untuk melakukan kompromi-kompromi. 4. mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah soal penentuan hak (right) karena sengketa soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim, sedangkan mediasi lebih tepat untuk digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan (interest); 5. secara normatif, mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakaan dalam lapangan hukum privat dan tidak dalam lapangan hukum pidana.80 Selain kelemahan diatas, mediasi yang berpangkal tolak pada cooperative paradigm jugamengandung kelemahan, seperti: Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi diantara salah satu phak yang bersengketa karena sifat mediasi yang voluntary dan bukannya mandatory. Kedua, terhadap kesepakatan yang dicapai dalam mediasi mungkin tidak dapat dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan (enforceability). Ketiga, kesepakatan mediasi bisa disalahgunakan, sehingga sebagai bagian ADR, mediasi menurut Douglas Amy sebagaimana dikutip Jonathan O'dea dari buku The Politics of Environmental Mediation, bisa mengalami mal-distribution of power.81 Mengacu pada uraian diatas, maka dalam menyelesaikan sengketa pertanahan sebaiknya dilakukan melalui jalur non litigasi yaitu melalui mediasi. Akan tetapi Jika dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur alternatif tersebut buntu atau tidak menemui penyelesaian maka sebaiknya para pihak yang bersengketa melakukan penyelesaian melalui jalur litigasi atau melalui pengadilan.82 Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Arie S. Hutagalung yakni: Pertama, apabila dimungkinkan adalah diselesaikan dengan cara musyawarah dengan dasar pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Kedua, melalui arbitrasi atau alternative penyelesaian sengketa non litigasi dasarnya adalah UU No.30 Tahun 1999 tentang arbitrasi dan penyelesaian sengketa. Ketiga, baru melalui peradilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.83Meskipun demikian, jalur yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa pertanahan apakah dilakukan melalui jalur 80
Takdir Rahmadi, Loc Cit, 27-28. T.M. Luthfi Yazid, Penyelesaian Sengketa Melalui ADR, Jurnal Hukum lingkungan, Tahun III No. 1 Tahun 1996, hlm. 97-98. 82 Teguh Prasetyo, dkk, hlm. 163 83 Arie S. Hutagalung, Loc Cit, hlm. 2. 81
29
litigasi atau melalui jalur non litigasi sangat tergantung kepada para pihak yang bersengketa manakah jalur penyelesaian yang akan di pilih. Mediasi akan bekerjasama secara meyakinkan bila dilaksanakan secara pribadi dan rahasia. Kerahasian akan membantu mediator untuk membangun kepercayaan dan mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak. Kerahasian juga akan membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan informasi, juga akan menciptakan kondisi aman di mana pihak-pihak dapat mengemukakan kebutuhan dan kepentingannya tanpa kekhawatiran akan dirugikan. Oleh karenanya kerahasian harus tetap dijaga dalam mediasi. Sebelum memulai sebuah proses maka hal terpenting harus dilakukan oleh mediator adalah untuk menanamkan kepercayaan para pihak terhadap dirinya. Agar para pihak benar-benar percaya sepenuh hati bahwa mediator yang netral (tidak memihak), dapat menjaga kerahasian dan mempunyai kemampuan menyelesaikan sengketa mereka dengan tuntas. Bermacam-macam cara dilakukan mediator untuk menanamkan kepercayaan tersebut. Salah satu diantaranya adalah dengan memperkenalkan diri dan melakukan penelusuran interkoneksi dengan para pihak. Mungkin dari segi hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, profesi, hobi dan apa saja yang dirasa dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan. Seorang mediator hendaklah tetap bersikap netral, berbicara dengan bahasa para pihak, membina hubungan, mendengar secara aktif, menekankan padakeuntungan potensial bukan pada kerugian yang diperoleh, meminimalkan perbedaan-perbedaan dan menitikberatkan kepada persamaan.84 Inti aktifitas dalam proses mediasi adalah pertukaran informasi dan tawar menawar. Proses mediasi biasanya dimulai dengan semua pihak yang bertikai memberitahukan kisah mereka. Agar peran yang dimainkan oleh seorang mediator itu dapat membantu para pihak yang bersengketa dapat mencapai penyelesaian, maka mediator itu harus menggunakan serangkaian taktik (kiat) dalam sebuah forum mediasi. Mediasi dilaksanakan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas/surat perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasionai, Kepala Badan Pertanahan Nasionai Republik Indonesia. Mediator yang melakukan mediasi tersebut adalah termasuk tipe Authoritative Mediator. Menurut Moore tipologi mediator digolongkan menjadi menjadi tiga golongan, yaitu:85 1. mediator jaringan sosial (social network mediator) yaitu mediator yang dipilih karena adanya jaringan atau hubungan sosial. Jika terjadi sengketa tanah antar tetangga, para pihak akan memilih seseorang yang dikenal baik oleh keduanya untuk menengahi sengketa dan memberikan saran pemecahannya. Para pihak percaya bahwa jika yang memediasi adalah orang yang dikenal keduanya akan menjamin proses perundingan berjalan lancar. Dengan kata lain, mediator hubungan sosial berasal dari orang yang dikenal dan dipercaya oleh para pihak; 2. mediator otoritatif (authoritative mediator) adalah mediator yang dipilih karena yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. Kewenangan ini dapat dibaca sebagai pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memerintah, seperti mediator dari pejabat, anggota legislatif dan sejenisnya. Pemilihan mediator yang ‘berwenang’ ini biasanya dijadikan sebagai strategi untuk mengikat pihak-pihak yang 84 85
Joni Emirzon, Op. Cit., hlm. 87. Sudharto P. Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, (Semarang: BP Undip, 2006), hlm. 103.
30
bersengketa agar tidak main-main dan melaksanakan hasil-hasil perundingan. Selain itu, para pihak juga berharap adanya tindak lanjut dari pemerintah bila memang obyek yang dipersengketakan berupa kebijakan dari pihak yang berwenang. 3. Mediator independen (independent mediator) yaitu mediator yang dipilih karena professional. Para pihak memilihnya bukan karena hubungan sosial, atau karena memiliki otoritas tetapi semata-mata karena yang bersangkutan memiliki keahlian, integritas, berpengalaman dan profesional. Mediator independen ini di negara-negara maju biasanya berkumpul pada asosiasi-asosiasi, lembaga perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga non-geverment yang memang berprofesi sebagai mediator mandiri. Sementara itu, berdasarkan Juknis BPN RI No. 05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi, disebutkan ada beberapa macam tipe Mediator dalam penyelesaian sengketa pertahanan, yaitu: 1. Mediator Jaring Sosial ( Social Network Mediator) a. Tokoh-tokoh masyarakat / informal misalnya : ulama atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dll; b. biasanya mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat.; c. penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai sosial yang berlaku : nilai keagamaan / religi, adat kebiasaan, sopan santun, moral, dsb. 2. Mediator sebagai Pejabat yang berwenang ( Authoritative Mediator) a. Tokoh formal, Pejabat-Pejabat yang mempunyai kompetensi dibidang sengketa yang ditangani; b. Disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang ditangani. 3. Mediator Independen (Independent Mediator) a. Mediator professional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam proses mediasi; b. Konsultan hukum, pengacara, arbiter. Dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan, para pihak yang bersengketa harus mempunyai kepentingan langsung terhadap masalah yang dimediasikan. Hal tersebut karena dalam proses mediasi untuk mempertemukan kedua belah pihak bertujuan untuk: a. Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah. b. Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi atau tidak. c. Agar mediator sudah menguasai substansi masalah, meluruskan persoalan, saran bahkan peringatan jika kesepakatan yang diupayakan akan cenderung melanggar peraturan dibidang pertanahan, missal melanggar kepentingan pemegang hak tanggungan, kepentingan ahli waris lain, melanggar hakekat pemberian haknya (berkaitan dengan tanah Redistribusi).
KESIMPULAN Sengketa pertanahan merupakan sebuah sengketa yang melibatkan dua kelompok masyarakat yaitu antara masyarakat dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan institusi lain (baik pemerintah maupun non pemerintah). Berbagai sengketa pertanahan di Indonesia banyak diakibatkan oleh sejumlah perbedaan atau ketidakselarasan yaitu, perbedaan soal struktur kepemilikan tanah, perbedaan dalam penggunaan tanah dan
31
perbedaan dalam persepsi mengenai kepemilikan tanah yang disebabkan oleh: (a) kurang tertibnya administrasi pertanahan dimasa lalu; (b) ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan tanah; (c) sistem publikasi pendaftaran tanah yang negative; (d) meningkatnya permintaan akan tanah; (e) peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron; (f) penerapan hukum pertanahan yang disinkronisasi dan inkonsisten; (g) penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara konsekuen; (h) adanya tanah terlantar; (i) tuntutan reformasi; (j) peranan Notaris dan PPAT; (k) peranan camat dan lurah. Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa, penyelesaian sengketa lebih banyak dilakukan dengan cara-cara non litigasi, ini menunjukkan gejala lemahnya kepercayaan masyarakat dan rasa skeptis terhadap lembaga-lembaga resmi di pengadilan, sebab pengadilan bukan merupakan alternatif utama dalam penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga, salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah sengketa pertanahan adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah, yaitu melalui penyelesaian sengketa alternatif. Salah satu penyelesaian sengketa tanah melalui jalur non litigasi adalah dengan mekanisme mediasi.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Sodiki, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang, Disertasi Program Pasca Sarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 1994 Achmad Sodiki, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Brawijaya Malang, 17 Juni 2000. Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Second Edition, Harrow and Heston Publisher, New York, 1994. Endang Suhendar & Ifdhal Kasim.,ed.”Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis Kebijakan Pertanahan OrdeBaru”, ELSAM,Jakarta,1996. G.W.Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University press, London, 1972. Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, INSIST, Yogyakarta, 1996 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2010. Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1984 Ong Hok Ham, "Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah Dua Abad Penguasaan Tanah”, (ed.) Sediono M.P Tjondronegoro (Jakarta, 1984)
32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Malang, 2010. R. Van Dijk, Bandung,1964.
Pengantar Hukum Adat Indonesia, (terj. Soehardi), Alumni,
Richard Lee, The Kung Sun: Men, women and Work in a Foraging society, Cambridge University Press. New York, 1979. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, terj. Mohammad Radjab, Jakarta, 1982 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Keduabelas, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Soetandyo Wignyosoebroto, "Perbedaan Konsep tentang Dasar Hak Penguasaan atas Tanah antara apa yang dianut dalam Tradisi Pandangan Pribumi dan apa yang dianut dalam Hukum Positif Eropa," Majalah, Arena Hukum, 1 (Nopember,1990) Teguh Prasetyo dkk, Hukum dan Undang-Undang Perkebunan, Nusa Media, Bandung, 2013. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Van Setten van der Meer, "Sawah Cultivation in Ancient Java", Oriental Monograph, Series No.22, ANU, Canberra,1979. A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. VI-VII Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan (Jakarta: Chandra Pratama, 2000); Ali Budiharjo dkk, Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Cyber Consult, 1999); Suyud Margono, ADR & Arbitrase. Proses Pelembagaan dan Aspek-Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000). Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsultasi dan Arbitrase) (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001) Bagir Manan, Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa, Varia Peradilan, No. 248, Juli 2006 T.M. Luthfi Yazid, Penyelesaian Sengketa Melalui ADR, Jurnal Hukum lingkungan, Tahun III No. 1 Tahun 1996
33
Maria S.W. Somardjono, “Berebut Tanah : Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung”, Jurnal Antropologi Indonesia, KARSA (Lingkar Untuk Pembaharuan Desa dan Agraria), Insist Press Yogyakarta, 10 Maret 2003. Arie S. Hutagalung, Perspektif Hukum Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Makalah disampaiakan pada Komisi Konstitusi, Jakarta, 2000 Sunyoto Usman, "Rekognisi Sebagai Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan Tinjauan Sosiologi Lingkungan,” makalah disampaikan pada Seminar dan Loka Karya Rekognisi sebagai Penyelesaian Konflik Pertanahan: Tinjauan Hukum, Sosial, Politik dan Pelestarian Sumber Daya Alam, Yogyakarta 27-28 September 1999 Paul Conn, Conflict and Decision Making an Introduction to Political Science, New York : Harper and Row Publisher, 1971 Muchsin, Aspek Hukum Sengketa Hak Atas Tanah, Workshop Strategi Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Batam, 19-21 November 2007 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Djambatan, Jakarta, 1973 Surat Edaran Dirjen Pajak Tanggal 27 Maret 1993 No. SE-15/PJ.6/1993 tentang Larangan Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007 Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Teori dan Praktik, Bayu media, Malang, 2010. Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1989. Boedi Harsono, Menuju Penyempumaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas TrisaM, Maria. 2002 Siswanto, Penyelidikan dan Penyidikan Sengketa Pertanahan yang Berindikasi Pidana, disampaikan dalam rangka Workshop Nasional Strategi Penanganan Penyelesaian Sengketa Pertanahan Tahun 2007, Bali, 14 November 2007 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit Arkola Surabaya, Jakarta, 2003. Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Penerbit Media Abadi, Yogyakarta, 2005
34
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1980 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta 1993 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, 2008 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Penerbit Alumni, Bandung 2004 A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm 61 Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Sengketa, Penerbit Kanisius, 2001 Risnarto, makalah, Kemungkinan Pembentukan Pengadilan Pertanahan/Agraria pada acara BPN di Wisma Bogor Permai Tanggal 26-27 Oktober 2004. Friedman, Lawrence M. Law and Society: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall, 1977. Takdir Rahmadi, Mekanisme alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa Kini, makalah disajikan dalam Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kasus-Kasus Tanah, Perburuhan dan Lingkungan, Diselenggarakan Oleh Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, di Jakarta, 11 Agustus 1994. Runtung Sitepu, Desertasi : Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Program Pascasarjana USU Medan 2002
35