1
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
2
Daftar Isi /
penulis
Alam Sumatera,Januari - JUNI 2006 SALAM RIMBA Jangan Jadi Pembunuh Angsa / Mahendra Taher..................................................................... 4 KONSEP Hukum Adat dan Hukum Formal , Bisakah Dikawinkan? / Diki Kurniawan................................. 5 INTRODUKSI Membuat Payung Hukum Lokal, Siapa Takut? / R ahmat Hidayat............................................... 6 LAPUT Ganti Pemimpin Ganti Kebijakan / Sana Ullaili........................................................................9 Otonomi Nagari dan Kebijakan Lokal / Rhainal Daus...............................................................1 3 Pelatihan Legal Drafting Sebuah Langkah Penting / Rhainal Daus..............................................1 6 SELINGAN Belajar Cinta Pada Owa / Nugraha Firdaus........................................................................... 1 8 Selamatkan Hidup Kami / Asep Ayat.....................................................................................1 9 FOKUS Kebun Karet Campur, Mengapa Tidak / Tim Rupes Bungo.........................................................2 0 Konser vasi di Lahan Pertanian Sebuah Peluang / Tim ICRAF.....................................................2 4 Wanatani Berbasis Karet, Layakkah? / Tim ICRAF....................................................................2 7 GIS SPOT Metoda USLE, Penduga Laju Erosi Pada Kawasan Bertopografi Kompleks / Yudhi Dwi Cahyono.....3 0 DARI HULU KE HILIR Forum DAS: Tawaran Solutif Penyelamatan DAS Batang Hari / Erwin Herwindo.........................3 2 Penting Mengakomodir Hutan Tersisa dalam RTRW Dharmasraya / Sukmareni........................... 3 4 MATAHATI Hompongon Antar Tumenggung Tarib ke Istana / Sukmareni....................................................3 7 Anak Pedalaman Riau Tidak Kenal SBY / Chaidir Anwar Tanjung.................................................39 WAWANCARA Forum DAS Kabupaten Harus Sinergi dengan DAS Batang Hari / Erwin Herwindo..................... 4 1 SUARA RIMBA Bantuan Langsung Tunai (BLT), Dan Orang Rimba Terlupakan / Septi D.P., Retnaningdyah W., Bubung A................................ 4 3
AKTUAL Perambahan Hutan: Potret Privatisasi Sumberdaya Alam / Septi Dhanik Kripik Rinuak Maninjau, Kebersamaan Diantara Kemunduran Kepercayaan
Prastiwi...........................4 7
/ Dewi Yunita Widiarti dan Yenni A... 5 0 / Sauttua P. Situmorang.......................................................... 5 2
Kelompok Tani, Untuk Apakah? Rasionalisasi TNBT : SK Menhut Tinggal Menghitung Hari / Ramadie...................................... 5 3 INFO WARSI, SANG KEMARE, YU SALMA & BANG JUL Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
3
Dari Editor Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab : Rudi Syaf Editor : Sukmareni R ahmadie Web Master : Askarinta Adi Pelaksana : Tim KKI WARSI Distribusi : Aswandi
Salam Lestari, Memasuki pertengahan tahun ini, bangsa kita terus berduka, bersimbah darah dan air mata. Bencana Merapi, gempa Yogyakarta, banjir lumpur hingga banjir bandang dan longsor yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Terkait ini menteri kehutanan MS Kaban telah menyatakan musibah yang menelan banyak korban jiwa tersebut disebabkan karena penggundulan hutan. Menteri juga menyebutkan bahwa 238 DAS di Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis. Akibatnya, kita harus terus waspada bahaya banjir dan tanah longsor. Parahnya lagi, ketika musim banjir belum usai di beberapa tempat bencana kekeringan sudah mulai melanda tempat lain di Pulau Jawa. Akibatnya ribuan sawah terancam gagal panen, dan masyarakat kesulitan air bersih. Ini suatu pertanda, kerusakan dan fungsi hidrologi berbagai DAS di tanah air sudah sangat kritis. Pemerintah pusat sudah mengingatkan daerah-daerah yang DAS-nya kritis untuk lebih waspada guna mengantisipasi banjir. Juga diperintahkan segera melakukan program reboisasi dan meminta supaya tidak ada korupsi dalam upaya ini. Sebuah intruksi yang harusnya menjadi perhatian penuh para aparatur dan masyarakat walau reboisasi belum menjawab semua persoalan hidrologi DAS kritis. Di tengah keprihatinan ini, setelah sempat vakum selama enam bulan, Alam Sumatera kembali hadir untuk kita semua. Kali ini kami mengangkat tema tentang pentingnya penguatan payung hukum lokal di tingkat masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat punya cara tersendiri untuk melindungi sumberdaya alam mereka dari aksi-aksi pengrusakan lingkungan.
Foto Cover : Dok. KKI Warsi /
Tengganai Masyarakat Guguk tengah membacakan Piagam Lantak Sepadan yang diserahkan oleh Sultan Anom Seri Negoro dari Kesultanan Jambi kepada Depati Pembarap pada tahun 1170 H Desain & Cetak:
[email protected]
Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id
Tidak sedikit kearifan masyarakat lokal yang berbenturan dengan kepemimpinan pemerintahan. Lain pemimpin, berbeda kebijakan, yang disebabkan oleh kurangnya pelibatan masyarakat secara aktif dan interaktif dalam pembahasan rencana pembangunan. Beberapa contoh benturan itu, kami sajikan dalam laporan utama Alam Sumatera edisi kali ini. Terkait pengelolaan sumberdaya alam di DAS Batang Hari kami juga telah mewawancarai Kukuh Murtilaksono, dosen IPB Bogor yang juga boleh dibilang pakar pengelolaan DAS. Selain itu juga kami menghadirkan sosok Tumenggung Tarib, salah satu pimpinan kelompok Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas yang baru saja menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden RI untuk kategori penyelamat lingkungan. Namun di sisi lain juga diketahui bahwa Orang Rimba yang hidup secara sederhana hingga pecairan tahap ketiga dana bantuan langsung tunai (BLT), sama sekali tidak menerima bantuan. Simak laporan lengkapnya yang disajikan di edisi kali ini. Hadir juga cerita-cerita menarik seputar daerah dampingan KKI Warsi. Besar harapan kami penerbitan Alam Sumatera kali ini dapat menjadi bahan bacaan yang menyenangkan dan jadi bahan renungan bagi kita semua. Editor
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
4
SALAM RIMBA / Mahendra Taher, Koordinator Program Bioregion DAS Batang Hari KKI Warsi
[email protected]
Jangan Jadi Pembunuh Angsa
K
etika menguraikan gagasan Stephen Covey tentang Effective Leadership, Dr. Anselmo B. Mercado, Ph.D Direktur SEARSOLIN (South East Asia Rural Social Leadership Institute) Philipina mengatakan bahwa gagasan ini sebenarnya terinspirasi oleh cerita angsa bertelur emas. Sesungguhnya ini hanyalah cerita sederhana tentang seorang petani dan seekor angsa yang merupakan satu-satunya hewan peliharaan miliknya. Pada suatu pagi, si petani sangat kaget ketika menemukan sebuah telur emas di kandang angsa peliharaannya. Si petani bingung, mungkinkah angsanya bertelur emas . Untuk memastikannya, si petani akhirnya membawa telur angsa itu kepada pandai emas. Pandai emas pertama yang dia temui memastikan bahwa telur itu memang emas. Si petani belum percaya, didatanginya lagi pandai emas yang lain dan ternyata jawabannya sama. Telur angsa itu adalah emas. Pada pagi berikutnya, dia kembali menemukan telur emas di kandang angsanya, begitu juga pada pagi-pagi selanjutnya. Akhirnya si petani memiliki banyak telur emas dan menjadi orang kaya baru. Sampai disini, mestinya cerita ini bisa happy ending dengan kalimat penutup ...dan si petani kemudian menikah dengan gadis tercantik di desanya, lalu mereka hidup bahagia selamanya. Tapi ternyata tidak demikian adanya. Si petani rupanya tidak puas dan tidak cukup sabar untuk menunggu satu butir telur emas setiap pagi. Lalu pada suatu hari, dia putuskan untuk menyembelih angsa ajaib ini untuk mengambil telur-telur emas lainnya yang terdapat dalam perut angsa. Namun apa yang terjadi...? setelah angsa disembelih dan perutnya dibuka, ternyata tidak ada satu telur emaspun disana. Apa lacur, angsa telah mati dan itu artinya tidak akan pernah ada telur emas lagi. Angsa ajaib yang merupakan sumber penghidupannya, telah dia bunuh dengan tangannya sendiri.
problem utama dalam kasus pengelolaan sumberdaya alam kita adalah tidak adanya kepemimpinan yang bisa membuat pemanfaatan sumberdaya alam berjalan efektif. air bersih. Konsesi lahan dalam jumlah besar diberikan kepada sekelompok kecil orang tetapi yang kita panen adalah lahanlahan kritis yang dampak negatifnya harus ditanggung bersama. Secara umum, problem utama dalam kasus pengelolaan sumberdaya alam kita adalah tidak adanya kepemimpinan yang bisa membuat pemanfaatan sumberdaya alam berjalan efektif. Dari sudut pandang ini, seorang pemimpin yang efektif akan selalu berusaha mempertahankan keseimbangan antara produksi (production) dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan produksi (production capability), salah satunya adalah sumberdaya alam. Kepemimpinan yang efektif seperti itu membutuhkan visi yang kuat, integritas, kejujuran, kecintaan yang mendalam/kesungguhan, serta mampu membangun nilainilai positif bagi masyarakat. Masalahnya, kepemimpinan yang ada selama ini minus syaratsyarat itu. Penyakit ini hampir terjadi disemua sektor dan setiap level. Rontoknya indusri perkayuan secara besar-besaran terutama pada tahun 2005, dituding sebagai akibat dari perang anti illegal logging yang saat itu mulai dilancarkan pemerintah pusat. Celakanya beberapa pihak yang berpengaruh di pemerintahan daerah juga percaya hal itu. Padahal sudah jelas bahwa selama ini sebagian besar pengusaha hanya serius menebang tetapi tidak pernah serius menanam. Usaha yang bersandar pada reneweble resources mestinya bisa bertahan. Tapi yang mereka lakukan selama ini hanya menyembelih angsa petelur emas setiap hari. Demikian juga pelaksanaan desentralisasi sejak tahun 2000, telah mendorong pemimpin di daerah untuk semaksimal mungkin memanfaatkan sumbedaya alam ketimbang secara sungguh-sungguh merencanakan keberlanjutan pemanfaatan. Keinginan untuk menyembelih sebanyak mungkin angsa jauh lebih kuat ketimbang memeliharanya agar bisa hidup lebih lama dan menghasilkan telur emas lebih banyak.
Cerita sederhana ini sungguh berkesan bagi saya karena langsung menggiring ingatan saya pada kondisi sumberdaya alam kita saat ini. Sudah jelas bahwa kita masih sangat tergantung pada sumberdaya alam, tetapi sama halnya dengan si petani yang tidak tahu diri itu, kita setiap hari justru membunuh satu persatu angsa-angsa bertelur emas itu. Selama 10 tahun antara 1990 2000, di Jambi kita kehilangan hampir 1 juta hektar hutan. Hari ini, kita mungkin masih memiliki beberapa ekor angsa Itu artinya setiap hari kita menghancurkan hutan seluas 277 terakhir yang tersisa. Mari kita memimpin diri kita sendiri agar hektar lebih. Setiap hari kita juga membuang ribuan ton limbah jangan jadi pembunuh angsa lagi.(A.S.) ke dalam sungai di seluruh negeri ini yang airnya sangat diperlukan petani dan juga sebenarnya menjadi sumber utama Cagayan de Oro, Juni 2006 Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
konsep / Diki Kurniawan, Koordinator Program Bukit 30 KKI Warsi
[email protected]
Hukum Adat & Hukum Formal, Bisakah Dikawinkan?
S
ejarah mencatat sesungguhnya hukum adat atau kebiasaan yang bentuknya tidak tertulis (unwritten law, jus non scriptum) lahir lebih dulu daripada hukum formal atau perundang-undangan yang selalu tampil dalam bentuk tertulis (written law, jus scriptum). Seiring lahirnya sebuah negara bangsa (nation state) perlahanlahan hukum adat atau kebiasaan yang mengatur kehidupan bermasyarakat semakin terpinggirkan dan terdesak oleh perundang-undangan yang tumbuh dan semakin kuat, seiring dengan menguatnya politik serta kekuasaan tertinggi dan tunggal dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Di seluruh Indonesia terdapat hubunganhubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, karena fungsinya sebagai faktor produksi, tetapi juga karena implikasi sosial-budaya dan politiknya. Dengan perkataan lain, masyarakat hukum adat itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang dinamakan Beschikkingrechts, Hak Pertuan, Hak Ulayat, atau Hak Wilayah. Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya, yang dikenal dengan Hak Ulayat, pada dasarnya adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan sekaligus pemanfaatan sumberdaya, yang mengikat kedalam maupun keluar masyarakat hukum adat. Pada hak pengelolaan terdapat kemiripan dengan makna menguasai negara, yakni berupa kewenangan-kewenangan masyarakat hukum yang bersangkutan untuk mengatur dan merencanakan penggunaan sumberdaya, menetapkan hubungan-hubungan hukum anggotanya dengan sumberdaya, serta mengurus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya oleh orang luar. Dalam perkembangannya, hak ulayat dengan sifat kepemilikan komunal/kolektif saling mempengaruhi dan tarik menarik dengan hak-hak perseorangan terhadap sebidang tanah. Proses saling mempengaruhi ini disebabkan oleh pandangan hidup anggota-anggota persekutuan hukum itu maupun pengaruh-pengaruh ketatanegaraan. Contoh kasus adalah tanah nagari di Sumatera Barat yang menunjukan masih kuatnya hak ulayat, dan tanah marga di Jambi, huta dan huria di Sumatera Utara yang telah
terfragmentasi dan menunjukan makin kuatnya hak-hak perseorangan, dimana hal ini juga merupakan imbas penyeragaman desa sebagai unit pemerintahan terkecil sejak diberlakukannya undang-undang pemerintahan desa (UU No. 5/1979). Perundang-undangan merupakan faktor penting dalam menyusun negara bangsa. Perundang-undangan itu justru menjadi sarana yang turut membantu konsolidasi dan konsentrasi kekuasaan dari tangan rakyat menuju cengkraman negara yang secara bersamaan menjadi alat pemberi justifikasi atau otoritas politik yang dimiliki negara. Negara telah menetapkan tidak satupun kelompok sosial atau politik di dalam masyarakat yang berhak menerbitkan perundangundangan. Aspirasi politik rakyat dianggap dan diasumsikan bisa disuarakan atau diwakili secara baik oleh lembaga legislatif. Benarkah? Walaupun telah dikembangkan interpretasi dan kodifikasi hukum, perundang-undangan ternyata belum mampu menjawab realitas sosial dan memberikan cita rasa keadilan. Implikasi dari produk perundangundangan yang lahir karena ketidaksesuaian dinamika dan kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat Indonesia metimbulnya berbagai konflik kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah (negara) atau dengan swasta/perusahaan yang diberikan hak pemanfaatan/pengelolaan oleh pemerintah, dan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, terutama dalam hal pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya alam. Khususnya persoalan yang terkait dengan obyek hak ulayat, yaitu : tanah, air/perairan, tetumbuhan dan binatang liar yang hidup bebas dalam hutan. Lalu apa yang diharapkan untuk menjembatani konflik kepentingan ini dalam sistem hukum di Indonesia ? Seharusnya, otonomi daerah menjadi momentum untuk membangun sistem hukum di Indonesia yang berbasiskan sistem hukum lokal (hukum adat) daripada sekedar berlombalomba mengeluarkan produk perundang-undangan yang seringkali tidak berpihak kepada masyarakat, bahkan meminggirkan hak-haknya. Pemerintah, khususnya di daerah perlu mengakomodasi dan mengadaptasi proses ini dalam produk hukum dan kebijakannya. Memang cukup sulit memformulasikan aturan-aturan tidak tertulis atau hukum adat menjadi sebuah perundangundangan, sama sulitnya untuk menghidupkan kembali hukum adat itu sendiri yang sudah terkooptasi, lama terpinggirkan dan mulai tergilas zaman. Ibarat kata pepatah, menegakkan hukum adat sama dengan membangkitkan batang terendam (dari berbagai sumber)(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
5
INTRODUKSI / Rahmat Hidayat, Deputi Direktur KKI WARSI -
[email protected]
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
6
Masyarakat memegang peranan penting untuk menjaga kelestarian lingkungan
Membuat Payung Hukum Lokal, Siapa Takut?
P
roduktivitas di dalam menghasilkan berbagai produk hukum dan perundang-undangan di Indonesia tidak perlu diragukan. Ratusan, bahkan bisa ribuan, produk hukum dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, perda provinsi, perda kabupaten bahkan peraturan desa ditandatangani tiap tahunnya. Idealnya, berbagai persoalan berbangsa dan bernegara bisa diselesaikan. Namun faktanya tidak demikian. Berbagai persoalan terus mencuat dengan segala variasinya, sementara kebijakan di sisi lainnya terus muncul bagai mata air. Bahkan Departemen Dalam Negeri sejak 1999 hingga 2 Maret 2006 menyatakan sebanyak 930 perda yang berdasarkan kajian layak dibatalkan dari total 5.054 yang mereka terima. Dari jumlah tersebut, Depdagri telah membatalkan 506 perda, 156 perda direvisi, 24 perda dibatalkan oleh pemerintah daerah terkait dan 7 (tujuh) perda belum disikapi oleh pemerintah daerah terkait.
Pembatalan dan revisi perda-perda ini dilakukan karena bertentangan dengan peraturan di atasnya, mengganggu stabilitas, memunculkan ekonomi berbiaya tinggi, eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan lainnya. Sungguh ironis. Lalu pertanyaannya adalah, apa yang salah dari hal ini? Apakah semua produk hukum yang dihasilkan buruk? Tentu saja tidak. Ada juga produk hukum yang lahir karena kebutuhan,namun pada tataran prakteknya ternyata terjadi pemandulan. Sebagai contoh nyata adalah Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang memandatkan dilakukannya reformasi total terhadap kebijakan negara di bidang agraria dan sumberdaya alam. Faktanya, selama hampir enam tahun setelah ketetapan tersebut disahkan, pemerintah dan DPR sebagai penerima mandat tidak melakukan apa pun untuk menguraikannya ke peraturan perundang-undangan
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
INTRODUKSI
FOTO: ERWIN HERWINDO / DOK. KKI WARSI
Desa Batu Kerbau, Guguk, Batang Kibul, Panca Karya, Lubuk Bedorong, Ladang Palembang dan lainnya, diperoleh beberapa pelajaran terkait tipologi konflik akibat benturan antara hukum positif dengan hukum lokal yang diwujudkan dalam hukum adat.
Masyarakat Desa Parit tengah mengikuti pertemuan yang membahas pengelolaan sumberdaya alam di desa mereka. maupun kebijakan-kebijakan pemerintahan. Di kalangan pemerintahan sendiri, banyak departemen sektoral yang tidak mengetahui keberadaan ketetapan tersebut atau pun tahu tapi sengaja tidak mau tahu karena materi ketetapan tersebut berbenturan dengan kepentingan sektoral departemen yang bersangkutan. Untuk pengelolaan sumberdaya alam, Sumatera bagian selatan sebagai jantung pulau Sumatera, hingga saat ini masih menyimpan denyut kehidupan berjalannya praktekpraktek payung hukum lokal. Beberapa contoh bisa dilihat dari berjalannya praktek-praktek peradilan komunitas seperti sidang adat majelis kutai di Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, berjalannya peran duo jinih dan ampek jinih di dalam penyelesaian berbagai persoalan di Nagari Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, atau tuo tengganai di Guguk, Batang Kibul, Batu Kerbau dan lainnya di Provinsi Jambi untuk menyelesaikan persoalan dan sengketa pengelolaan sumberdaya alam. Menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek-praktek pengelolaan berbasiskan kearifan adalah kesepakatan adat, baik yang dituangkan bentuk hukum tertulis (piagam) maupun dalam bentuk tidak tertulis (petatah-petitih, pantun, kebiasaan dan lainnya). Hal ini menjadi sangat relevan dilakukan mengingat carut marutnya produk hukum dan kebijakan, selain sebagai upaya untuk mengembalikan otonomi komunitas secara utuh (self governance, self legislation dan selft conflict resolution). Secara khusus, dari pengalaman lapangan selama memfasilitasi proses pengakuan kawasan kelola rakyat di
Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut: a) konflik antara masyarakat dengan pemerintah (baik pusat maupun daerah) yang menyangkut masalah kebijakan, seperti pemberian izin untuk konsesi HPH, HTI, perkebunan besar sawit, pertambangan serta transmigrasi, penetapan kawasan, dan banyaknya peraturan yang mengenyampingkan hukum adat dan kearifan lokal; b) konflik antara masyarakat dengan pengusaha atau investor akibat kebijakan yang menyebabkan tumpang tindihnya hak masyarakat dengan hak perusahaan atas suatu kawasan hutan dengan penetapan areal kerja pengusaha termasuk dalam kerangka OTDA; c) konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan/atau antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat yang menyangkut masalah sosial budaya, politik, ekonomi dan lingkungan; d) konflik antara masyarakat dengan pengusaha, atau investor yang berkaitan dengan pola pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, khususnya karena pelanggaran hukum adat; e) konflik antara masyarakat dengan pemerintah (daerah dan pusat) dan investor yang menyangkut perilaku lembaga dan para pelaku yang terkait dalam konflik dan proses penyelesaiannya (good governance di dalam pengurusan hutan); f) konflik antara masyarakat dengan masyarakat lainnya terkait pengelolaan sumberdaya hutan. Setiap saat konflik pengelolaan sumberdaya hutan bertambah, sementara konflik sebelumnya belum terselesaikan. Kalaupun terselesaikan, masyarakat seringkali menjadi pihak yang dirugikan. Kondisi ini makin meningkatkan ketidak percayaan terhadap peran lembagalembaga formal yang terlibat di dalam melahirkan produk hukum dan kebijakan. Sehingga terjadilah berbagai tindakan anarkis, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dan investor yang didukung oleh perangkat peraturan dan aparat keamanan, hingga adu domba antara masyarakat. Penguatan Payung Hukum Lokal, Alternatif Penyelesaian Konflik Mau tidak mau, kondisi seperti digambarkan di atas harus dicarikan jalan keluarnya. Belajar dari pengalaman lapangan, keberadaan lembaga perwalian lokal, baik lembaga formal desa, lembaga adat, kelompok pengelola hutan adat, kelompok perempuan pengelola sumberdaya air dan lainnya, yang tumbuh dan berkembang di kampung, perlu dijajaki sebagai lembaga yang akan mendorong lahirnya berbagai
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
7
INTRODUKSI
8
payung hukum lokal di dalam pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak di tingkat mikro. Banyaknya konflik masyarakat dengan aktor lain pengguna hutan (pemerintah, pengusaha, aparat keamanan, masyarakat luar) yang berlarut-larut merupakan alasan kuat perlunya lembaga alternatif. Krisis kepercayaan terhadap lembaga formal dapat dipahami sebagai sebuah fenomena yang wajar karena aparat yang seharusnya menegakan aturan main, tidak berpihak, justru ikut bermain.
FOTO: RHAINAL DAUS/DOK. KKI WARSI
Penguatan payung hukum lokal dengan media penguatan kelembagaan lokal sebagai wadah keterlibatan masyarakat di dalam menghasilkan produk-produk hukum dan kebijakan yang bersandar pada kebutuhan lokal mutlak dilakukan. Upaya ini merupakan media untuk meyakinkan kembali kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya alam berbasiskan aturan-aturan yang telah tumbuh dan berkembang di tengah mereka. Lebih dari 30 tahun kemampuan itu dihancurkan secara sistematis oleh berbagai kebijakan pemerintah.
Masyarakat Koto Malintang dan koto Gadang tengah mengkuti pelatihan legal drafting Untuk mewujudkan hukum yang tumbuh dan berlaku di masyarakat, maka fasilitasi pembentukkan payung hukum lokal harus fokus pada proses pembentukan dan substansi (isi) yang akan diatur. Dari segi proses pembentukan, akan dipertanyakan apakah payung hukum itu (peraturan desa, peraturan nagari, piagam kesepakatan adat dan lainnya) dibuat dengan keterlibatan masyarakat atau disembunyikan dari masyarakat. Belajar dari proses pembuatan hukum dan kebijakan yang lebih besar, seperti perda dan UU, seolah hanya lembaga tertentu saja secara yuridis yang memiliki otoritas sehingga keterlibatan masyarakat menjadi terpinggirkan. Dari segi substansi, perlu mempertanyakan
apakah payung hukum lokal itu merupakan jawaban atas persoalan masyarakat atau beranjak dari sebuah kebutuhan hukum masyarakat dan apakah memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak masyarakat Capaian dan pelajaran berharga dalam mendorong penguatan payung hukum lokal adalah diakuinya aturan adat untuk pengelolaan sumberdaya hutan. Di antara pengakuan itu adalah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Bupati Bungo Nomor 1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, SK Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2003 yang menetapkan Kawasan Bukit Tapanggang seluas 690 hektare sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau. Dampak dari inisiasi itu adalah mulai tampaknya perubahan pola pikir berbagai stakeholder yang terkait. Di antaranya, 1) penguatan komitmen di tingkat basis; 2) meningkatnya apresiasi, dukungan dan keterlibatan multistkeholder (pemerintah provinsi dan kabupaten, DPRD, dinas teknis, perguruan tinggi, masyarakat adat, media masa dan organisasi non pemerintah) di berbagai level untuk mendorong pengakuan yang lebih luas; 3) munculnya inisiatif yang khas berdasarkan tipologi daerah fasilitasi, seperti peradilan adat, pengayaan sistem kelola dengan tanaman yang bernilai ekonomi-ekologi, bentuk-bentuk pengelolaan yang arif dan piagam kesepakatan; 4) finalisasi kriteria dan indikator lokal atas pengetahuan serta teknologi lokal masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya hutan sebagai alat untuk memberikan pemahaman dan argumen terhadap kemampuan pengelolaan secara otonom yang berkelanjutan dan; 5) terdorongnya proses legal drafting di semua daerah yang difasilitasi berdasarkan kebutuhan. Keterlibatan pemerintah daerah dan legislatif diwujudkan dengan komitmen, seperti dibentuknya tim verifikasi (diketuai oleh sekertaris daerah kabupaten dengan anggota asisten I dan II, kepala dinas kehutanan, ketua bappeda, kabag hukum, kepala BPN, ketua lembaga adat kabupaten) di Kabupaten Bungo, yang akan menilai usulan masyarakat untuk pelegalan Hutan Adat Batu Kerbau. Nota kesepahaman (MOU/memorandum of understanding) antara Kepala Dinas Kehutanan atas nama Pemda Kabupaten Merangin dan KKI Warsi dibuat untuk berbagi peran di dalam mendorong legalisasi di Desa Guguk. Kesediaan legislatif (DPRD Merangin, Bungo, Agam dan Rejang Lebong) melakukan dengar pendapat dengan tim dan masyarakat selain peninjauan lapangan merupakan hasil dari proses belajar bersama yang dibangun.(A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
LAPORAN UTAMA / Sana Ullaili, Fasilitator Kabupaten -
[email protected]
Rawan longsor, pertanian di lereng bukit yang curam. Kekurang tegasan pemerintah dalam penegakan aturan?
Ganti Pemimpin, Ganti Kebijakan
G
anti presiden, ganti menteri, ganti pula kebijakan. Sebuah realitas yang lazim terjadi di negeri ini. Itu karena masing-masing masa kepemimpinan mengusung penafsiran atas produk kebijakan ataupun hukum yang akan dilahirkan dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda pula. Para pengambil kebijakan menelurkan produk hukum tidak lepas dari konfigurasi perpolitikan, perekonomian, kehidupan sosial dan lain-lain. Tetapi yang paling dasar adanya alasan relasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, bahkan relasi kekuasaan antar negara, atau yang lazin dikenal dengan istilah relasi kekuasaan dalam perspektif hukum. Sejauh ini segala macam bentuk tingkah atau perilaku negara terpersonifikasikan dalam produk-produk hukum dan kebijakan yang selalu mengusung bendera kesejahteraan rakyat. Ada yang mengatasnamakan kesejahteraan berlabel globalisasi, investasi, lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya alam, bahkan pengentasan kemiskinan. Tidak sedikit produk kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa sebagai alat untuk melindungi kepentingan sekelompok elite negara dan para pemodal dengan mengatas namakan kesejahteraan dan pembangunan. Dan tidak jarang pula kebijakan baru yang lahir malah memperparah kebijakan sebelumnya yang sudah sarat dengan masalah.
Masih ingat dengan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No 21 Tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang lahir di masa Orde Baru? Kebijakan ini telah menjadi senjata ampuh para pemegang izin HPH untuk melakukan penebangan tanpa pengawasan ketat dan tanpa ada jaminan penanaman kembali yang berkelanjutan. Kebijakan ini tidak hanya berakibat pada deforestasi tapi juga kemiskinan sistemik pada masyarakat yang menggantungkan kehidupan pada sumber daya hutan. Kemudian juga muncul kebijakan tentang pembukaan sejuta hektar lahan gambut, menyebabkan kerusakan parah hutan gambut. Padahal, lahan gambut adalah area carbon trade yang tiada duanya, yang ke depannya tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga dunia (teori pemanasan global). Lahan gambut akan membawa keuntungan ekonomis bagi masyarakat dengan adanya perjanjian global tentang jual beli karbon. Pengurangan dan penebangan hutan secara liar (destructive logging) dan legitimated pun ditambah oleh Presiden Megawati dengan kebijakan tentang izin penambangan di kawasan yang dilidungi bagi para pengusaha asing. Bisa dibayangkan betapa lemahnya
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
9
LAPORAN UTAMA posisi tawar penguasa negara kita terhadap negara lain, apalagi masyarakat. Namun demikian juga tak bisa dipungkiri bahwa kebijakan kehutanan yang lahir menambah tingginya laju kerusakan hutan. Kebijakan presiden SBY untuk menghentikan illegal logging mendapat respon yang cukup baik dari berbagai pihak. Ini dilihat dari sudah agak surutnya aksi-aksi pembalakan liar. Namun apa daya, hutan sudah terlanjur habis, sehingga kini kita menuai bencana longsor dan banjir yang merenggut korban jiwa. Itu baru masalah kebijakan yang dibuat penyelenggara negara di tingkat pusat. Masalah lain muncul ketika kebijakan daerah dianggap bertentangan dengan kebijakan pusat. Lihat saja Perda Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM ), yang mempunyai keberpihakan terhadap masyarakat dalam mengelola kawasan. Proses lahirnya dinilai banyak pihak dengan mengusung semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Ironisnya, kebijakan ini justru menuai protes dari para penguasa, bukannya dari masyarakat. Pertanyaannya adalah, kenapa kebijakan-kebijakan yang lahir selama ini relatif sarat dengan permasalahan? Apakah kebijakan-kebijakan itu benar-benar lahir melalui proses yang partisipatif dengan mekanisme proses legislasi yang tepat? Fenomena baru yang sering muncul ketika suatu kebijakan negara lahir adalah resistensi masyarakat. Pola-pola penolakan muncul secara beragam. Ada kebijakan yang belum disahkan, tetapi sudah menuai kritik dan protes di mana-mana. Ada juga yang baru beberapa minggu diimplementasikan langsung mengundang reaksi protes yang luar biasa kerasnya. Ada juga kebijakan yang dilahirkan tidak pernah ditaati masyarakat. Lantas, dimana sebenarnya titik kritis dan krusial kebijakan yang sarat dengan permasalahan di tengah masyarakat? Bisa jadi proses penyusunan produk kebijakan selama ini didominasi oleh elite penguasa, baik di tingkat kabupaten, provinsi, ataupun pusat, baik eksekutif maupun legislatif. Hal itu membuat proses penyusunan kebijakan menyisakan ruang antara kalangan elite dengan masyarakat yang akan menjadi pelaksananya. Yang paling tidak mengenakkan bila bukan paling kejam adalah
FOTO: DASRUL / DOK. KKI WARSI
10
Jalan logging di salah satu areal HPH, terlihat kondisi hutan yang terlihat rusak.
ketika para penyusun kebijakan tersebut menempatkan masyarakat sebagai obyek hukum, bukan subyek sekaligus obyek hukum. Masyarakat dibiarkan tanpa keterlibatan apapun, bahkan untuk menjadi pendengar pun tidak, apalagi mengkritisi. Masyarakat menjadi tidak kritis terhadap produk hukum karena tidak pernah mendapatkan pendidikan ataupun pembelajaran hukum kritis. Uniknya lagi tidak jarang kebijakan dimunculkan untuk mencari prestise politis. Sehingga kebijakan yang mengcopy-paste kebijakan di daerah lain tidak sulit ditemukan di bumi ini. Padahal, kalau saja para pengambil kebijakan mau berbuka mata, hati dan telinga, sungguh tidaklah sulit menemukan kelompok akademisi yang kritis-konstruktif, termasuk kelompok masyarakat yang mau dan mampu mengkritisi.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
LAPORAN UTAMA Kondisi ini menggambarkan adanya miss communication antara kalangan elite dengan masyarakat, yang berakibat pada peminggiran masyarakat dari ruang-ruang publik. Ini juga mencerminkan minimnya partisipasi para pihak dalam proses penyusunan, pengambilan dan penentuan kebijakan. Fenomena ini harus segera diakhiri agar kebijakankebijakan pemerintah tidak lagi merugikan bangsa, baik secara materiil, moril maupun intelektual. Sudah saatnya ruang-ruang publik untuk membahas kebijakan dibuka selebar-lebarnya, sehingga masyarakat benar-benar merasa dihargai. Pelibatan masyarakat dalam ranah publik ini merupakan sebuah keharusan bagi bangsa yang ingin masuk dalam tatanan masyarakat yang demokratis.
FOTO: ROBERT ARITONANG / DOK. KKI WARSI
Masyarakat berhak ikut dalam proses melahirkan kebijakan, yaitu kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan dan mengawasi produk hukum. Bila belum bisa mendapat kewenangan lebih dibanding elite penguasa, minimal suara dan kekuatan masyarakat benarbenar dipertimbangkan sebagai penyeimbang. Masyarakat semestinya dijadikan partner dalam perencanaan, pengambilan dan pengawasan keputusan,
Konversi lahan menjadi HTI telah menyebabkan hilangnya beragam biodiversity.
misalnya melalui forum bersama, atau dewan komite penyelenggara kebijakan. Tidak mudah untuk membangun negara yang bisa melahirkan produk hukum secara partisipatif. Tetapi, setidaknya harus ada upaya menuju terbentuknya tatanan demokratis-partisipatif. Ruang publik hendaknya diperkenalkan dan menjadi agenda yang tidak mungkin ditinggalkan di forum yang independen sebagai ruang civil society yang notabene adalah ruang multipihak. Demikian juga dengan penyelenggaraan media-media konsultasi publik sebagai salah satu ruang atau wahana pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, sekalipun mungkin partisipasi masyarakat di forum itu masih pasif. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah transformasi wacana, informasi dan pengetahuan tentang posisi masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Bila semua ini dapat terbangun dan menjadi kesadaran bersama, maka tidak mungkin tidak masyarakat dapat menegosiasikan dan mempunyai posisi tawar yang tidak bisa remehkan begitu saja. Pertanyaan berikutnya adalah proses membangun masyarakat yang seperti itu menjadi tanggung jawab siapa ketika para elite politik yang menjadi penanggung jawab pendewasaan politik dan hukum kritis tidak berfungsi? Para penguasa, pengusaha, penggerak sosial, ataukah masyarakat sendiri? Tidak gampang memang menjawab pertanyaan ini. Tetapi, setidaknya lembaga non pemerintah (non government organization/NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai representasi masyarakat sipil dengan posisi yang independen tidak membiarkan masyarakat terus menerus menjadi penikmat produk kebijakan yang tidak bersahabat. NGO atau LSM tidak bisa menutup mata untuk kembali menyuarakan kepada elite bangsa, eksekutif dan legislatif di level mana pun, tentang pentingnya pelibatan masyarakat dalam segala aspek pengambilan dan penentuan kebijakan. Betapa pentingnya penyusunan kebijakan itu melalui meknisme, strategi dan perencanaan kerja yang relistis, kritis, konstruktif dan partisipatif. Dengan begitu, masyarakat tidak terus menerus menjadi alat legitimasi kekuasaan dan semakin tidak memahami posisi mereka dalam ruang-ruang proses lahirnya kebijakan..(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
11
12
BOX / Sukmareni, Asisten Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari,
[email protected]
Dan Perda Itupun Dicabut...
G
erakan Batang Hari Bersih mendadak saja dimunculkan Gubernur H Zulkifli Nurdin. Program ini tidak terlepas dari obsesinya menjadikan Jambi sebagai salah satu penghasil utama ikan patin jambal ikan khas Sungai Batang Hari. Ide itu juga terkait dengan kunjungannya ke Vietnam beberapa waktu lalu, ketika ia tercengang melihat produktivitas Sungai Mekong. Kabar yang didapat Gubernur, sungai yang hanya beberapa kilometer saja melintasi Vietnam itu setiap tahunnya mampu menyuplai 200.000 ton daging patin jambal ke pasar Amerika Serikat. Merasa tertarik, Gubernur pun membentuk Badan Koordinasi Batang Hari Bersih yang langsung diketuainya, sekaligus mencanangkan Gerakan Batang Hari Bersih.
Simak di Kabupaten Batang Hari. Pemerintah setempat mengeluarkan Perda No 12 Tahun 2002 tentang Pertambangan Rakyat Bahan Galian Emas. Dalam perda tersebut diatur retribusi yang harus dibayarkan oleh para penambang, yang mengesankan adanya upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Hanya saja, baik legal maupun ilegal, pertambangan itu dianggap mencemari Sungai Batang Hari.
dimaksud perda itu sendiri, yang tidak berjalan semestinya. Lalu, dari analisis yuridis diketahui cukup banyak pertentangan isi perda itu dengan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Pemkab Batang Hari akan mengusulkan peninjauan kembali perda tersebut, tetapi lebih karena obsesi menjadikan Sungai Batang Hari sebagai penghasil patin jambal.
Belakangan, terkait Gerakan Batang Hari Bersih, perda itu diminta untuk dicabut atau, paling tidak, direvisi. Tidak hanya di Kabupaten Batang Hari. Perda yang terkait dengan pengaturan tentang pertambangan emas oleh rakyat, yakni Perda tentang Galian B di Kabupaten Merangin juga akan direvisi.
Satu hal yang perlu dicatat, pencabutan perdaperda tersebut merupakan salah satu implikasi dari belum adanya program legislasi daerah (prolegda). Prolegda perlu untuk perencanaan penyusunan perda. Dengan adanya prolegda, akan ada jaminan perda yang akan dilahirkan telah dipersiapkan dengan matang dan melewati prosedural yang seharusnya. Seperti adanya naskah akademik, public hearing dan lain sebagainya. Tujuannya tentu perda yang dihadirkan memayungi potensi kebijakan daerah
Berdasarkan kajian Adi Sumarno, Staf Legal Officer KKI Warsi Jambi, Perda Kabupaten Batang Hari No 12 Tahun 2002 memang layak dicabut. Ketidaklayakannya terlihat dari segi prosedural, implementasi dan pengawasan, sebagaimana yang
Maka, jangan heran juga bila ada DPRD mampu mengesahkan 12 ranperda sekaligus. Ironi tentang prolegda harus diakhiri. Kebijakan pemerintah daerah harus mulai mengakomodir kebutuhan dan kepentingan publik. Dengan demikian, peraturan yang dilahirkan menjadi aturan yang ditaati semua pihak.
Mendadak pula ia memerintahkan agar limbah pabrik yang selama ini disalurkan langsung ke Sungai Batang Hari dipantau intensif. Warga yang menjadi penambang emas, berizin atau tidak, yang diduga ikut mencemari sungai dengan merkuri, diminta beralih usaha menjadi petani keramba. Cukupkah? Di Sungai Batang Hari terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan usaha pertambangan emas rakyat, mulai dari hulu Sungai Batang Hari di Provinsi Sumatera Barat sampai ke bagian hilir di Jambi. Sebagian besar usaha pertambangan emas rakyat itu ilegal. Namun, tidak sedikit yang justru mengantongi izin, dilegitimasi oleh peraturan daerah (perda) setempat. Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
LAPORAN UTAMA / Rhainal Daus, Legal Officer KKI Warsi
[email protected]
Pentingnya prolegda diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dimaktubkan, prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Hanya saja, merujuk ke berbagai sumber, banyak daerah yang belum menyusunnya. Jadi penyusunan perda masih bersifat insidentil aja.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Prolegda sangat penting dalam penyelanggaraan otonomi daerah. Tata cara penyusunan dan pengelolaan prolegda ini pun telah ditetapkan lewat keputusan Menteri Dalam Negeri No 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah. Karena prolegda merupakan bagian dari proses persiapan dan perencanaan pembentukan perda, tidak berlebihan bila prolegda juga diatur dengan perda. Hanya saja, salah satu syarat yang cukup penting dalam penyusunan prolegda adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM) DPRD. Atau apakah tidak munculnya prolegda itu justru karena kualitas SDM para anggota lembaga legislatif yang masih perlu dipertanyakan?(dari berbagai sumber)(A.S.) Penambang emas sederhana terus bersaing dengan penambang emas dengan menggunakan mesin domfeng yang banyak terdapat di Sungai Batang Hari, diduga mencemari sungai dengan mercuri.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Jangan sampai perda-perda itu bermunculan hanya untuk kepentingan peningkatan PAD. Bila ini yang terjadi, maka bisa dipastikan bakal lebih banyak perda bermasalah setelah melalui proses kajian.
Nagari Koto Malintang di pinggiran Danau Maninjau, memiliki kearifan untuk menjaga sumberdaya alamnya.
Otonomi Nagari & Kebijakan Lokal
Jika hukum alam ditolak dan tidak diperbolehkan masuk ke dalam badan hukum positif, maka hukum akan menggelepar di sekitar kamar, seperti semacam hantu dan mengancam untuk menjelma menjadi semacam lintah darat yang mengisap darah badan hukum itu sendiri (Huijber, pakar hukum Belanda)
U
ngkapan itu dikutip dari buku Kastil Teri Hukum karangan Herman Bakir. Kebenarannya dapat dibuktikan di Indonesia. Selama kekuasaan rezim Orde Baru, ketika sebuah aturan dibuat lebih pada pertimbangan kelangsungan kekuasaan, maka peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara ikhlas. Aturan itu lahir tidak berdasarkan kebutuhan tetapi semata-mata berdasarkan keinginan. Rezim developmentalist yang berkuasa selama Orde Baru mengarahkan hukum agar secara efektif mampu menjadi penjaga pembangunan. Fungsi
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
13
LAPORAN UTAMA
14
hukum sebagai kontrol sosial sangatlah strukturalis karena memberikan posisi kepada pemerintah untuk mendefinisikan hukum sebagi government social control. Ini fungsi rekayasa sosial, yang menempatkan manusia seolah-olah mesin atau hanya bahan yang dapat dimanipulasi dengan menghilangkan sifat-sifat kodrati yang melekat dengan cipta, rasa dan karsa.
Undang-undang ini telah meletakan dasar menuju self governing community, yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penegasan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional.
Era Reformasi hadir dengan harapan adanya perubahan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, baik secara makro maupun mikro. Perencanaan hukum sudah selayaknya memberikan tempat kepada hukum lokal dan partisipasi masyarakat. Fungsi hukum harus didasarkan pada martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan melalui pemberian prakarsa dan kesempatan kepada masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Di Sumatera Barat, semangat otonomi daerah disikapi dengan pilihan kembali kepada sistem pemerintahan nagari sebagai strata pemerintahan terendah. Sistem pemerintahan nagari bukanlah hal baru dalam praktek pemerintahan di Sumatera Barat. Sebelum kemerdekaan, masyarakat Sumatera Barat sudah melaksanakan sistem pemerintahan yang disebut nagari, kemudian setelah kemerdekaan juga memakai pemerintahan nagari sampai adanya penyeragaman sistem pemerintahan desa pada 1979.
Desa, Otonomi Asli dan Utuh Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan jauh sebelum negarabangsa ini terbentuk. Struktur sosial desa, nagari, masyarakat adat dan lainnya telah menjelma menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukum sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain didukung oleh tingkat keragaman yang sangat tinggi membuat desa sebagai wujud bangsa yang paling kongkrit dan alami. Sejalan dengan munculnya negara modern kemandirian desa dan kemampuan masyarakat desa mulai berkurang. Hal ini dapat dilihat ketika zaman Orde Baru melahirkab kebijakan yang memaksa penyeragaman desa melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini melakukan sentralisasi dan penyeragaman pemerintahan desa tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat dan pemerintahan asli yang ada di Indonesia. Secara nasional spirit ini hampir tercermin dalam setiap kebijakan pemerintahan pusat yang terkait dengan pemerintahan desa Proses reformasi membawa semangat perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mencabut UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya UU Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada prinsipnya kedua produk Era Reformasi ini menekankan pada pelaksanaan pemerintahan di daerah berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kendati secara historis masyarakat Sumatera Barat sudah tidak asing lagi dengan pemerintahan nagari, bukan berarti mudah melaksanakannya kembali. Itu karena dalam prakteknya pemerintahan nagari tidaklah sama setelah rentang waktu yang demikian lama. Perbedaan-perbedaan praktek pemerintahan nagari sangat dipengaruhi oleh politik kekuasaan yang dianut Indonesia pada waktu tertentu. Pemerintahan nagari pada zaman penjajahan Belanda sangat berbeda dengan pemerintahan nagari pasca kemerdekaan. Kemudian pemerintahan nagari pada masa Orde Lama juga tidak sama dengan masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan nagari saat ini masih sedang dicari bentuk dan polanya yang serasi dengan kondisi masyarakat nagari, dengan mengakomodir semua kepentingan dan tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan pemerintahan nagari sangat bergantung pada beberapa aspek, salah satunya berkaitan dengan kebijakan. Undang-undang Pemerintahan Daerah memberikan ruang kepada pihak-pihak di daerah untuk melahirkan aturan berdasarkan asal-usul yang dimiliki. Ketentuan ini merupakan peluang sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh pihak-pihak di nagari dalam menentukan arah yang diinginkan masyarakat nagari itu sendiri. Selama ini, sebagai satu kesatuan masyarakat adat, masyarakat nagari memiliki nilai-nilai atau kearifan-kearifan tradisional dalam interaksi hidup sehari-hari. Kearifan tersebut diwariskan secara turun temurun dan masih dilaksanakan sampai saat ini, namun nilai-nilainya tidak pernah dalam bentuk tertulis.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
LAPORAN UTAMA itu diambil berdasarkan batas alam yang disepakati, seperti sungai, batu dan lainnya. Kemudian, tata ruang nagari juga sudah tertata dengan baik seperti dalam pepatah adat berikut ini: Ka lauik babungo ikan, ka rimbo babungo kayu Nan lunak tampek ka sawah, nan kareh tampet ka tingga Nan lapang tampek ka pasa, nan tinggi tampek ka ladang (Ke laut berbunga ikan, ke hutan berbunga kayu; yang lunak tempat bersawah, yang keras tempat untuk rumah; yang lapang untuk pasar dan yang tinggi untuk ladang) Sekarang, kearifan-kearifan yang dimilki masyarakat nagari tidak terwariskan secara menyeluruh ke generasi berikutnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya, ketentuan tersebut tidak pernah dibuat dalam bentuk tertulis sehingga timbul perbedaan penafsiran oleh generasi berikutnya. Ada juga perbedaan pendapat antar pihak dalam nagari sendiri sehingga sulit mencari sumber yang pasti.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Tak Mudah Menuangkan Aturan Adat ke Hukum Tertulis Pengakuan yang diberikan oleh undang-undang terhadap masyarakat nagari untuk merumuskan aturan berdasarkan nilai-nilai yang mereka miliki merupakan sebuah peluang emas dalam mencari solusi dari persoalan yang muncul. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kesiapan pemegang kebijakan di level nagari untuk melakukanya? Dalam pelaksanaanya ada beberapa permasalahan yang ditemukan di tingkat masyarakat nagari. Misalnya, masyarakat kurang memahami sistem peraturan perundangundangan dan hukum negara (hukum positif ), terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah
Masyarakat menjaga hutan untuk kelangsungan sumber air yang akan mengairi sawah mereka. Di Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, misalnya. Dalam pemanfaatan parak di nagari itu ada aturan yang disepakati masyarakat secara turun temurun. Seperti, tradisi balangge (mengambil durian secara bersama-sama dari pukul 5.00 hingga 6.00 pagi pada musim durian, red). Tradisi ini merupakan wujud solidaritas masyarakat yang memiliki durian terhadap masyarakat yang tidak memilki durian untuk menikmati hasil durian dari parak. Contoh lain dari kearifan masyarakat nagari adalah kesepakatan yang sudah terbentuk sejak sekian lama tentang batas-batas yang diakui secara turun temurun. Batas-batas
Selain itu, masyarakat kesulitan merumuskan subatansi aturan yang dinginkan ke dalam bentuk bahasa aturan tertulis seperti yang diinginkan dalam hukum positif. Pihakpihak atau lembaga yang berwenang di nagari kurang memahami teknis perumusan peraturan yang diakui dalam hukum nasional. Ditambah lagi perbedaan pemahaman pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan nagari tentang tugas dan kewenangan masing-masing lembaga yang ada. Persoalan lainnya, minimnya komunikasi antara pihak di nagari dengan pemerintahan di atasnya (kabupaten dan provinsi). Persoalan-persoalan tersebut sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pemerintahan nagari, terutama yang terkait dengan berbagai kebijakan di tingkat nagari. Untuk itu diperlu berbagai usaha dalam membantu masyarakat nagari meningkatkan kapasitas dalam proses-proses pembuatan kebijakan di nagari.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
15
LAPORAN UTAMA / Rhainal Daus, Legal Officer KKI WARSI -
[email protected]
FOTO: DOK. KKI WARSI
16
Masyarakat tengah mempelajari peta desa untuk mengetahui potensi desa mereka.
Pelatihan Legal Drafting, Sebuah Langkah Penting
P
erumusan kebijakan di tingkat nagari bukanlah masalah sederhana, bukan agenda mudah. Butuh waktu, proses yang panjang dan sistematis. Yang paling penting adalah kapasitas masyarakat nagari untuk merespons perkembangan dan menerjemahkan aspirasi otonomi agar mampu membuat kebijakan kongkret untuk meningkatan pelayanan kepada masyarakat itu sendiri. Dari beberapa kali diskusi dengan masyarakat Nagari Koto Malintang dan Koto Gadang, Kabupaten Agam, terungkap kesulitan masyarakat merumuskan peraturan di tingkat nagari. Wali Nagari Koto Gadang Idrus menganggap proses merumuskan peraturan nagari sebagai pekerjaan yang sangat berat. Selain menuntut konsentrasi, pekerjaan itu juga harus didukung dengan pengetahuan teknis yang memadai. DPRD saja dalam merumuskan sebuah
peraturan daerah butuh sekian bulan dan dukungan dana yang cukup. Padahal, kalau kita lihat tahap dan proses merumuskan sebuah peraturan di tingkat nagari hampir sama dengan membuat peraturan di tingkat kabupaten, ujarnya. Ucapan wali nagari tersebut sudah menggambarkan hambatan masyarakat dalam merumuskan peraturan adat ke dalam bentuk peraturan nagari yang tertulis. Karena hambatan pengetahuan teknis, pemahaman masyarakat terhadap hukum negara juga masih kurang. Sementara komunikasi antara masyarakat nagari dengan pemerintah daerah juga tidak begitu lancar. Masalah lain, pemangku kebijakan di nagari tidak bisa memfokuskan diri karena harus melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk kelangsungan kehidupan keluarga.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
17
Terlepas dari beberapa persoalan di atas pihak-pihak terkait di Nagari Koto Malintang dan Nagari Koto Gadang sudah mencoba merumuskan sebuah rancangan peraturan nagari. Secara substansi, hasil rumusan tersebut sudah mengakomodir berbagai kebutuhan nagari. Tetapi, dilihat secara teknis, hasilnya belum bisa disesuaikan dengan ketentuan dan sistem perundang-undangan nasional. Penyempurnaan masih diperlukan. Terkait kendala di atas, di Nagari Koto Malintang dan Koto Gadang telah dilakukan pelatihan legal drafting (perumusan peraturan) pada Mei lalu. Acara dilakukan di kantor Wali Nagari Koto Gadang. Pelatihan legal drafting merupakan pilihan dan kebutuhan masyarakat. Dalam pelatihan itu disampaikan materi mengenai cara menyusun rancangan peraturan sesuai tuntunan teori, azas dan kaidah perancangan peraturan perundang-undangan. Dengan pelatihan ini diharapkan masyarakat nagari terbantu
dalam memahami berbagai bentuk peraturan perundangundangan nasional dan memahami teknis pembuatan peraturan desa atau nagari. Tujuan lain, membantu masyarakat merumuskan aturan yang tidak tertulis ke dalam bentuk aturan tertulis. Lewat pelatihan itu, perbedaan pemahaman tentang kewenangan antara lembaga-lembaga yang ada di desa atau nagari juga terdiskusikan. Terakhir, pelatihan juga bertujuan memperkuat prinsip-prinsip tanggung jawab dan pengawasan pemerintah dalam penyusunan kebijakan. Pelatihan melibatkan semua pihak di nagari, kecamatan dan kabupaten. Lembaga-lembaga nagari, pemerintahan nagari dan tokoh-tokoh masyarakat menjadi utusan nagari. Sedangkan pemerintahan kecamatan mengikutkan beberapa staf. Lalu, pemerintah kabupaten hadir sebagai pembicara untuk beberapa materi yang proporsional, yaitu kepala bagian pemerintahan nagari dan kepala bagian hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Agam.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
18
SELINGAN / Nugraha Firdaus, Koordinator Pengelolaan Hutan Bukit 30 -
[email protected]
Belajar Cinta pada Owa
dewasa diperkirakan beratnya sekitar 5-7 kg.
B
ila memasuki rimba Sumatera yang masih utuh pada pagi hari, akan terdengar teriakan nyaring. Awalnya, teriakan itu pendek-pendek, kemudian meninggi dengan lengkingan keras, lalu menurun lagi, dan berhenti dengan lengkingan pendek. Itulah suara owa (Hylobates agilis) atau ungko dalam bahasa Jambi, salah satu penguasa lapisan kanopi atas pada rimba belantara. Sangat anggun apabila melihat lincahnya owa bergelayutan (brachiasy) dari dahan ke dahan lain tanpa menggunakan kakinya. Bahkan, hal unik akan terlihat ketika sang owa makan yang dengan enaknya; ia menggantung satu lengannya sementara lengan yang satu lagi memegang ranting. Owa merupakan salah satu species dari famili hylobatidae, yaitu sejenis kera atau ape dalam bahasa Inggris. Jenis lain famili ini yang ada di rimba Sumatera adalah siamang (Symphalangus syndactylus) dan ungko lengan putih (Hylobates lar) yang persebarannya hanya di daerah Sumatera Bagian Utara, terutama di Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam kesehariannya, owa merupakan fauna arboreal yang menggantungkan keseluruhan hidupnya di atas pepohonan tinggi. Karena itu, lengannya panjang dan kuat. Sangat jarang owa menggunakan kakinya untuk berjalan. Biasanya, jenis ini hidup pada hutan-hutan primer atau sekunder dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi. Ciri lainnya terlihat dari wajahnya yang membulat, bulu berwarna kecoklatan, abu-abu, bahkan kehitaman dengan gurat putih di keningnya untuk yang betina dan pada keseluruhan wajahnya pada jantan. Dari guratan putih di kening inilah perbedaannya dengan siamang bila kita berada di rimba begitu mudah dilakukan di samping perbedaan suara. Namun, dapat dipastikan bahwa suara owa hanya terdengar di pagi hari, itu pun bila dalam ancaman. Di samping karakter fisik, owa juga mempunyai karakteristik perilaku yang unik, seperti pola pencarian makanan, daerah penjelajahan, pertahanan teritori serta perilaku sosial lainnya, seperti berkeluarga. Untuk owa
Owa lebih banyak memakan buah-buahan hutan di samping daundaun muda, bunga, dan sedikit serangga. Pada saat mencari makan, biasanya owa akan menjelajahi jalur-jalur tertentu untuk menuju tempat-tempat tertentu atau disebut inspeksi terhadap daerah kekuasaannya. Sehingga, bila ada kelompok lain yang mendekati wilayah teritorinya, ataupun sudah memasuki daerah teritorinya, maka owa akan mengeluarkan suara lengkingan yang disambut sahut-sahutan oleh kelompok tetangganya. Teriakan yang cukup lama ini, akan berakhir ketika kedua kelompok ini berpisah tanpa sempat melakukan konfrontasi apalagi bentrok fisik. Perilaku sosialnya juga tergolong cukup unik. Owa termasuk jenis yang sangat setia pada pasangannya, istilahnya setia sampai akhir. Owa kawin sekali seumur hidup. Sehingga, bila salah satu pasangannya mati atau terbunuh oleh pemangsa, maka owa akan menjanda atau menduda sampai akhir, dengan atau tanpa anak. Dari perilaku yang unik inilah owa dijuluki hewan paling setia kepada pasangannya dan penganut monogami sejati Secara struktur, setiap keluarga jenis ini terdiri induk (ibu dan bapak) serta anak-anaknya sebanyak 1-2 ekor. Tidak ada sistem hierarki yang jelas pada jenis ini, seperti pada jenis monyet (Macaca fascicularis ) atau simpanse yang mempunyai struktur sosial serta hierarki yang rumit dalam kelompoknya. Anak-anak akan dibimbing dan diasuh oleh induknya dan setelah itu diharuskan keluar dari keluarga untuk mencari penghidupan sendiri bila dianggap telah mandiri. Dan bila sang anak kembali ke keluarganya, maka nasib tragis, seperti pengusiran, yang akan diterima. Saat ini, kehidupan mereka sudah sangat terancam, terutama disebabkan oleh penggusuran habitat yang semakin mempersempit ruang hidup mereka. Apabila hal ini dibiarkan terus, maka nyanyian penyambut pagi dari makluk paling setia ini tak akan terdengar lagi.(A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
THE WILDER LIFE OF INDONESIA / KATHY MAC KINNON
SELINGAN / Asep Ayat, Asisten Kehutanan Bukit 30 -
[email protected]
Selamatkan Hidup Kami!
R
angkong merupakan burung berukuran besar dari suku Bucerotidae. Bulunya didominasi warna hitam, coklat, ataupun putih. Karakter utama pada beberapa jenis burung ini adalah tonjolan di atas kepala yang disebut tanduk (casque) dengan warna mencolok. Perbedaan ukuran dan bentuk casque merupakan dasar pengenalan jenis dan kelamin pada anggota Bucerotidaae. Selain itu casque juga berfungsi sebagai resonator/ pendeteksi dan senjata.
14 jenis rangkong yang tersebar di dua kawasan (Tabel 1.). Pertama berada di Sunda Besar yaitu Indonesia Barat dengan jumlah 10 jenis. Kedua berada di kawasan Timur dengan jumlah 4 jenis. Dari seluruh jenis di Indonesia, 10 jenis berada di Sumatera dan hanya 3 jenis di Jawa (MacKinnon & Phillips, 1993). Survey membuktikan, 9 jenis ditemukan di Taman Nasional Kerinci Sebelat (Novarino et al, 2001) dan 7 jenis ditemukan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Ayat, 2005).
Rangkong tersebar di seluruh Afrika dan Asia tropis serta penjuru Indonesia dan Papua Nugini. Indonesia memiliki
Jenis makanan rangkong tergolong unik dan sangat spesifik. Biarpun morfologi tubuhnya cukup besar tetapi jenis
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
19
SELINGAN
20
makanannya kecil. Menurut Kemp (1995) lebih dari 50 persen makanan kelompok Bucerotidae adalah buah Ficus sp. (Moraceae). Secara garis besarnya, jenis makanan suku Bucerotidae dibedakan menjadi dua yaitu buah Ficus dan non-Ficus. Kelompok non-Ficus terdiri kelomok Cinnamomun, Eugenia, Polyatha, Aglaia, Horsfieldia, Knema, Spondias dulcis, Mangivera feotida dan Strombosia. Selain buah, Rangkong memakan binatang kecil seperti Coleoptera dan Millipedes. Penyebaran suku Bucerotidae dipengaruhi keterkaitan antara jenis rangkong dengan jenis tumbuhan. Umunnya, jenis tumbuhan yang mempengaruhi Bucerotidae dari kelompok Meliaceae, Myristicaceae, Fagaceae, Dipterocarpaceae dan Moraceae. Kelompok tumbuhan tersebut, berfungsi sebagai sumber makanan, karena mempunyai diameter batang cukup besar serta cocok bersarangnya burung Rangkong. Perilaku bersarang burung Rangkong ternyata sangat unik dibanding jenis burung lain. Di sebagian tempat di Indonesia keberadaan rangkong melambangkan simbol kekuatan dan kesetiaan terhadap pasangan. Ketika mengerami dan membesarkan anaknya, sang betina mengurung dirinya dalam lubang pohon yang ditutup lumpur. Sehingga, hidupnya sangat bergantung pada sang jantan yang setia memberinya buah-buahan lewat celah sempit di lubang pohon itu hingga telurnya menetas. Selanjutnya, sang betina memecahkan penutup sarang, dan menutupnya sampai rangkong junior bisa terbang. Selain dijadikan simbol, di Indonesia, rangkong termasuk satwa liar yang dilindungi. Berbagai peraturannya antara lain Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 226 Tahun 1931, Undang-undang No. 5 tentang Konservasi entang
Penetapan Tambahan Beberapa Jenis Satwa Liar yang Dilindungi Undang Undang. Kini, populasi rangkong sungguh mengkhawatirkan. Menurunnya luasan habitat yang biasa digunakan sebagai areal mencari makan atau tempat bersarang akibat kegiatan manusia dapat diidentifikasikan sebagai salah satu penyebabnya. Pembukaan areal hutan, illegal logging, perburuan, konversi lahan menjadi perkebunan, dan HTI merupakan ancaman serius. Tercatat, laju deforestasi hutan sebesar 1.6 juta ha per tahun telah mengancam Rangkong dan ratusan jenis burung lainnya. Berdasarkan Konvensi Internasional untuk Perdagangan Satwa yang Terancam Punah (CITES) burung rangkong termasuk Appendiks I (dua jenis) dan Appendiks II (dua belas jenis). Sedangkan berdasarkan Bird to Watch 2 yang dikeluarkan IUCN (Badan Internasional untuk Konservasi Sumber Daya Alam) digolongkan tiga jenis, termasuk rentan (vulnerable) dan empat jenis mendekati terancam punah (near threatened). Perdagangan jenis ini diatur oleh kuota otoritas manajemen (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) atas usulan otoritas ilmiah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) guna membatasi kecenderungan turunnya populasi. Upaya perlindungan dan pelestarian jenis ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Berbagai studi dan penelitian yang mendukung kegiatan perlindungan dan pelestarian telah dilakukan. Beberapa program dapat dilakukan jika ketersediaan data dasar populasi, penyebaran, ekologi, dan perilakunya diketahui secara lengkap dan rinci. Sehingga, kerja sama semua pihak dan stakeholder sangat dibutuhkan, guna perlindungan plus pelestarian lebih lanjut. (A.S.)
Daftar 14 jenis kelompok Bucerotidae yang ada di Indonesia (Suhartono & Mardiastuti, 2003) Keterangan : NT (Near Threatened) : Hampir punah VU (Vulnerable) : Rentan CITES: Convention on International Trade in Dangered Species of Wild Fauna and Flora IUCN: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (the World Conservation Union)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
FOKUS / Hutan Karet
21
HUTAN KARET / Jasnari, Damsir Caniago, Hendrie S., Eri Malalo, Dt. Rky Endah, Endri Martini
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
(Tim RUPES Bungo) -
[email protected]
Pembibitan karet oleh masyarakat, untuk menjamin kelangsungan produktifitas kebun karet.
Kebun Karet Campur, Mengapa Tidak?
..Pohon karet adalah nyawa kami
ungkapan yang sering diucapkan masyarakat Kabupaten Bungo kepada setiap pengunjung. Begitu pentingnya arti kebun karet bagi mereka hingga semua kebutuhan harian sampai barang mewah seperti sepeda motor, televisi, handphone, selalu bergantung dari hasil sadapan karet.
budidaya tanaman karet di Kabupaten Bungo, Jambi ini sangat cocok dengan sistem pertanian humo. Sistem yang membuka hutan sebagai ladang -tanaman utama padi lahan kering- yang di sisipi dengan tanaman karet. Selanjutnya, humo dibiarkan hingga pohon karet layak di sadap (umur 10 sampai 15 tahun).
Masyarakat Kabupaten Bungo sendiri, sejak awal abad 20, sudah mengenal tanaman karet melalui pemerintah kolonial Belanda yaitu dengan bibit biji. Sifat dan teknik
Sistem ini, ternyata tidak hanya sumber ekonomi semata tetapi juga multi fungsi seperti sosial, ekonomi, budaya dan agama bahkan keragaman hayati yang cukup tinggi.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
22
FOKUS /
Hutan Karet
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Hal pertama yang dilakukan adalah menggali nilai-nilai kearifan lokal dan sosial budaya. Hasilnya, petani mengenal akan konservasi namun masalah keanekaragaman hayati adalah kata asing yang tidak dimengerti oleh mereka. Bahkan, beberapa komponen keanekaragaman hayati dianggap musuh. Berangkat dari sinilah, pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya keragaman hayati dan fungsi kebun karet campur sebagai salah satu komponen pelengkap selain hutan diberikan. Pola yang dikembangkan tim RUPES-Bungo melalui belajar partisipatif. Secara sederhana, masyarakat diajak mengkaji potensi kebun karet campur dan manfaatnya dalam pemenuhan kebutuhan harian. Misalnya, sumber penghasilan utama, makanan/buah/sayur, bahan bangunan, sarana dan alat pertanian, tumbuhan obat, dan lainnya.
Tetesan getah karet, sumber kehidupan sebagian masyarakat Jambi Pelaksanaannya pun secara komunal dengan berbagai prosesi dan sarat nilai sosial-budaya. Alasannya, sistem ini dibangun dengan menggunakan pengetahuan tradisional, ekologis, juga ramah lingkungan.
Hasil pembelajaran partisipatif ini menunjukkan bahwa pola pertanian kebun karet yang dikembangkan masyarakat telah menyelamatkan berbagai jenis tanaman dan makhluk hidup. Proses ini juga merefleksikan bahwa umumnya petani tidak memadang keanekaragaman hayati sebagai sesuatu yang esensial tetapi, sebagai penjaga keseimbangan alam dalam konteks bio-pestisida. Petani lebih mudah menangkap ide keanekaragaman hayati dari penggambaran bahwa meningkatnya jumlah gangguan babi pada karet disebabkan habitatnya di hutan sudah berkurang sehingga keberadaan harimau serta hewan predator babi menghilang. Etnoekologi Keanekaragaman Hayati (kehati)
Kebun Karet Campur: Fungsi lindung terlupakan Meskipun ungkapan pentingnya pohon karet bagi masyarakat sangat sering didengar, namun pertanyaan mendasar adalah seberapa pentingkah komponenkomponen lainnya dalam kebun karet bagi petani, terutama dalam konteks konservasi? Untuk menggugah dan memberikan pemahaman tentang nilai-nilai konservasi itulah beberapa upaya telah dilakukan RUPES bersama masyarakat. Program RUPES (Rewarding Upland Poor for Environmental Service) yang sedang dikembangkan di kabupaten Bungo oleh konsorsium ICRAF, KKI WARSI dan Yayasan Gita Buana bertujuan untuk mengembangkan mekanisme imbal jasa bagi masyarakat miskin yang umumnya tinggal di hulu dan berperan sebagai penyedia jasa lingkungan dengan kelompok pembeli yang menikmati jasa lingkungan. Fokus program Rupes Bungo menitik beratkan pada keanekaragaman hayati kebun karet campur.
Etnoekologi didefinisikan sebagai pendekatan interdisiplin yang mengeksplorasi cara manusia memandang dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan melalui proses pembelajaran yang cukup panjang sehingga membudaya. Etnoekologi memperkenalkan metodologi hubungan menguntungkan dan adil yang dapat dibentuk antara kelompok lokal (indigenous) dan komunitas ilmuwan, sistem wanatani (agroforest). Pada program konservasi kehati, masyarakat yang hidup di sekitarnya (orang lokal) merupakan penentu keseimbangan sistem alam. Contohnya, petani kebun karet campur cenderung membiarkan tetumbuhan yang hidup sendiri pada awal pembentukan kebun dengan alasan sebagai tumbuhan penutup pelindung tumbuhan pesaing karet yang ganas seperti alang-alang. Karena, selain sebagai alternatif, alangalang juga merupakan makanan hewan hama karet (tapir, babi, rusa).
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
23
Rantai makanan merupakan kata kunci yang menghubungkan ketiganya. Bukti-bukti penelitian juga menyebutkan, umumnya yang menjadi jenis bendera (flagship species) dalam konservasi kehati adalah mamalia besar -merupakan predator besar- sebagai rantai makanan. Misalnya, ketika harimau hilang maka jenis hewan mangsanya (babi dan large ungulates) akan meningkat populasinya sehingga menjadi hama bagi sistem pertanian di sekitarnya. Sedangkan gajah, sebagai agen penyebar biji beberapa jenis tumbuhan, salah satunya adalah Rafflessia anorldii. Sedangkan orang luar yang tertarik pada konservasi lingkungan, etnoekologi akan berfungsi sebagai protocolseting awal. Protokol tersebut, menjadi metode dialog ideal antara komunitas lokal dan konservasionis yang keduanya memiliki latar belakang berbeda. Meskipun, sosial-ekologikal ini cukup rentan terhadap degradasi hasil perubahan. Degradasi sistem yang mengandung etnoekologikal ini dikelompokkan dalam skala kecil dan besar. Degradasi skala kecil biasanya berawal dari terjadinya perubahan teknologi praktek dalam bertahan hidup atau perubahan kepercayaan sistem. Contoh kasus di kebun karet campur, dengan harga karet yang meningkat membuat petani melakukan perubahan teknik pengelolaan kebun ke sistem yang lebih intensif dan menguntungkan. Degradasi skala kecil ini, umumnya diindikasikan dengan pengurangan populasi tertentu serta sumber daya alam..
Menyatukan Persepsi Hingga kini, banyak pihak menilai bahwa nilai ekonomi kebun karet campur lebih rendah dibanding kebun karet monokultur. Penilaian ini benar adanya kalau hanya dilihat dari sisi ekonomi karet saja. Tetapi bila nilai ekonomi, nilai sosial, dan nilai budaya berbagai keragaman jenis dan kekayaan kebun karet campur dihitung secara ekonomi, maka paling tidak angka yang akan dihasilkan akan sebanding dengan nilai ekonomi kebun karet monokultur. Apalagi bila kebun karet campur tradisional dikaitkan dengan peranan dan fungsinya sebagai penyedia air (fungsi hidrologi) bagi kehidupan manusia di sekitar kawasan tersebut. Tentu saja, nilai ekonominya akan lebih tinggi lagi. Kondisi ini, sepenuhnya belum disadari masyarakat maupun pihak lainnya. Karena, anggapan kebun karet campur hanyalah sumber ekonomi dengan produktifitas sangat rendah masih terus berkembang. FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Contoh di atas, memberikan ide pada kita bahwa dalam menjelaskan pentingnya konservasi kehati perlu dilihat hubungan antara komponen-komponen kehidupan alam yaitu manusia, tumbuhan, dan hewan.
Degradasi skala besar terjadi akibat adanya perubahan besar-besaran dengan waktu cukup singkat. Ancaman penggunaan lahan yang berdampak terhadap kepemilikan lahan lokal dan konteks ekologi yang beroperasi di dalamnya, jelas sangat mempengaruhi degradasi sistem sosial-ekologikal di suatu komunitas masyarakat. Campur tangan pemerintah sebagai pengendali masuknya para investor perkebunan dan kehutanan akan sangat berperan dalam mengatasi degradasi sosial-ekologikal tersebut. Kebun Karet campur vegetasinya menyerupai hutan alam Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
24
FOKUS /
Hutan Karet FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Kenapa yang miskin yang menjaga lingkungan? Selama ini, sistem pembangunan yang dikembangkan belum berpihak kepada masyarakat miskin (petani karet). Salah satu penyebabnya, masih tingginya kesenjangan (pemerataan pembangunan, pindidikan, kesehatan dan lain-lain) antara kota dan desa. Selain itu, masyarakat desa (terutama daerah kawasan konservasi) selalu dituntut untuk menjaga lingkungan dari hal seperti perambahan hutan atau peladangan berpindah. Memang, masalah kemiskinan dan keaneragaman hayati (konservasi) sering diangap dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi, peningkatan produktifitas lahan sering mengorbankan keaneragaman hayati (perkebunan mono kultur, HPH, HTI dan lain-lain). Dan sebaliknya, melindungi keaneragaman hayati sering mengorbankan ekonomi (TN, HL, Hutan adat atau konsep konservasi lainnya). Mekanisme imbal jasa yang akan di kembangkan RUPES diharapkan menjadi solusi kemiskinan dan keaneragamanhayati. Pemahaman Imbal Jasa Lingkungan di sini, tidak selalu uang atau bentuk fisik semata. Secara luas, imbal jasa berbentuk pelatihan, studi banding, atau juga kebun percontohan. Atau juga pengkayaan kebun karet campur dengan tanaman benilai ekonomi seperti tanaman kehutanan (meranti, manau), buah-buahan (durian, petai, duku) tanpa merubah pola pertanian. Tetapi, disesuaikan dengan pola pertanian yang selama ini telah dikembangkan dan dipahami masyarakat. Dengan fokus utamanya, meningkatkan produktifitas lahan dengan menjaga keberadaan keanekaragaman hayati kebun karet campur. RUPES sudah menjawabnya? Secara konseptual mekanisme imbal jasa lingkungan yang akan dikembangkan program RUPES merupakan cikal bakal pengembangan PES Payment for Enviromental Service lebih luas. Untuk mewujudkan mekanisme PES, diperlukan berbagai kajian mendalam beserta sistem perundang-undangannya. Hingga kini, semuanya masih tanda tanya besar, sebesar misi RUPES meningkatan produktifitas kebun karet campur dengan keanekaragaman hayatinya tetap terjaga untuk generasi selanjutnya. Apakah kita menyadarinya? (A.S.)
Hamparan kebun karet, tak hanya memberikan kehidupan bagi masyarakat tapi juga mampu menjaga kelestarian alam
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
FOTO: DOK. RUPES BUNGO
25
Petani tengah menyiapkan bibit karet.
HUTAN KARET / Meine van Noordwijk dan Susilo Adi Kuncoro - ICRAF,
[email protected]
Konservasi di Lahan Pertanian, Sebuah Peluang Dari Diskusi Kontekstual Konservasi Segregasi dan Integrasi
B
erawal dari paham tentang manajemen hutan di Eropa dan Amerika awal abad 19, hingga kini paham tersebut masih menancap kuat pada semua orang. Yaitu pandangan preservationist dan conservationist yang dimotori oleh Alexander von Humboldt dan Giffort Pinchot tentang areal konservasi adalah hutan. Bahkan, kedua paham tersebut merupakan arus utama yang mendasari pemikiran menjaga lingkungan.
Akan tetapi, umumnya, kawasan hutan tropis di seluruh dunia mengalami tingkat deforestasi sangat cepat. Tingginya laju pertambahan penduduk dan tingkat kemiskinan, serta ketergantungan terhadap sumberdaya alam terutama hutan adalah beberapa faktor penyebab deforestasi. Meskipun begitu, penyebab signifikan lainnya adalah konversi lahan dan eksploitasi hasil hutan melalui pengusahaan hutan.
Memang, tidak dapat dipungkiri, hutan merupakan sumber kehidupan. Hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang ekologi, terutama keanekaragaman hayati mengindikasikan secara kuat bahwa hutan dan seluruh isinya adalah sumber kehidupan makhluk hidup. Dan banyak studi menunjukkan juga, hutan hujan tropis merupakan kawasan terkaya dengan keanekaragaman hayatinya (megabiodiversity).
Pentingnya menjaga keberlangsungan fungsi ekologis yang mendukung kehidupan membuat fungsi konservasi menjadi wewenang pemerintah. Strategi umum yang biasa dilakukan adalah dengan mengalokasikan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan konservasi dan daerah lainnya untuk produksi dan intensifikasi. Strategi inilah yang dikenal sebagai konsep pemisahan atau segregasi.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
26
FOKUS /
Hutan Karet
Konservasi Tersegregasi dan konservasi terintegrasi (van Noordwijk, 2005)
bentang lahan yang mendukung konservasi, di Belanda misalnya, pemilik lahan pertanian yang mempertahankan sebagian lahannya demi konservasi akan mendapatkan insentif yang cukup besar. Di Inggris, petani yang menanam pohon untuk habitat burung migrasi dengan mekanisme menarik akan diberikan insentif oleh pemerintahnya. Dan tidak hanya itu, bila petani tersebut berhasil membujuk tetangganya untuk melakukan hal serupa maka insentif finansial tambahan telah menanti. Sedangkan konservasi di daerah tropis (dalam skala kecil) terdapat beberapa contoh seperti Malaysia, Ekuador, dan Costa Rica. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya memiliki potensi pengembangan konservasi terintegrasi yang jauh lebih besar dibandingkan negara tropis lain, bahkan yang yang telah menerapkannya. Tingkat keragaman hayati yang luar biasa serta adanya praktik-praktik pengelolaan lahan untuk keperluan produktif oleh masyarakat melalui kearifan lokal dapat membentuk matriks kawasan konservasi ideal berdasarkan faham konservasi terintegrasi.
Akan tetapi, yang mesti disadari adalah dengan semakin tingginya tingkat gangguan terhadap kawasan konservasi sebut saja illegal logging, kebakaran hutan dan penyerobotan lahan untuk pertanian intensifmenyebabkan berkurangnya daya dukung lingkungan untuk melaksanakan fungsi konservasi suatu kawasan akan berkurang. Konsep lainnya adalah konservasi yang terintegrasi. Konsep ini, secara esensi tidak melihat pemisahan antara kawasan konservasi dan produksi namun bukan berarti meniadakan suatu kawasan konservasi. Artinya, konsep ini lebih menekankan pada fungsi sistem penggunaan lahan, bukan status kawasannya. Kawasan produksi yang dikelola secara tidak intensif akan dipandang sebagai pendukung kawasan konservasi karena dapat meningkatkan daya dukung lingkungan. Sehingga, kawasan konservasi dalam paradigma ini berupa suatu matriks penggunaan lahan, yang bentuknya dapat berupa bentang lahan yang terdiri elemen hutan konservasi beserta tipe penggunaan lainnya yang tentu saja ditujukan untuk produksi. Praktik-praktik konservasi terintegrasi ini banyak dilakukan, terutama di kawasan Eropa. Untuk menciptakan matriks
Sebut saja Kebun Damar di Krui, Parak di Sumatra Barat serta Kebun Tembawang di Kalimantan dan Kebun Karet Campur di Jambi. Letak Kebun Damar di Krui yang berdekatan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan kondisi vegetasi yang menyerupai hutan primer dan keanekaragaman burung membuatnya tidak jauh berbeda dengan hutan di kawasan taman nasional. Selain itu, sistem Kebun Karet Campur di Kabupaten Bungo, Jambi pun dapat dijadikan habitat bagi 70% keragaman hayati tumbuhan, dan diindikasikan memiliki keragaman primata dan kelelawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan terganggu disekitarnya. Para pelaku sistem ini tanpa disadari dan tanpa mendapatkan insentif dari pemerintah, sebenarnya telah membentuk suatu matriks bentang lahan sesuai faham konservasi terintegrasi. Akan tetapi -di masa mendatangtanpa dukungan pemerintah, peluang untuk melaksanakan konservasi di lahan pertanian ini terancam hilang dan tinggal cerita saja. Karena itu, pendekatan konservasi yang berpihak pada masyarakat meskipun relatif kompleks haruslah diperhatikan. Tanpa itu semua, hilangnya fungsi ekologis hutan sebagai pendukung sistem kehidupan tinggal menunggu giliran saja.(A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
27
HUTAN KARET / Ratna Akiefnawati1, Gede Wibawa2, Laxman Joshi 1 dan Meine van Noordwijk1 -
[email protected]
Wanatani Berbasis Karet, Layakkah?
U
mumnya, para petani karet Jambi menanam karetnya dengan membuka hutan primer maupun sekunder. Yaitu, dari lahan semak ataupun kebun karet tua yang rendah hasil getahnya atau juga karena jumlah pohon karet yang menghasilkan getah sangat sedikit. Caranya, tebang, tebas, dan bakar yang setelah itu tanam biji karet atau cabutan anakan karet siap ditanam. Tahun pertama, petani menanam padi, jagung atau sayursayuran di antara barisan karet. Sistem tumpang sari ini dikenal dengan wanatani sederhana. Umumnya, para petani karet di kabupaten Muara Bungo, Jambi, hanya melakukan penyiangan rerumputan/belukar/semak pada barisan jalan penyadapan getah karet saja sehingga pada barisaan karet tumbuh semak belukar.
FOTO: DOK. RUPES BUNGO
Tahun ke tujuh disebut wanatani kompleks yaitu ketika kebun karet dipenuhi kayu-kayuan, buah-buahan. Alasan petani tidak melakukan penyiangan/pembersihan belukar untuk melindungi anakan karet dari serangan babi hutan, serta kurangnya modal untuk membayar tenaga kerja penyiangan.
Bagi yang kurang modal biasanya mereka meremajakan karetnya dengan penyisipan. Pola kerja ini tidak memerlukan tenaga ektra dan dapat dilakukan setelah menyadap karet. Bibit karet muda ditanam di celah pepohon karet dan kayu-kayuan dengan cahaya yang cukup. Namun begitu, petani tidak langsung menebang pohon yang tidak mempunyai nilai ekonomis tetapi, dengan cara menggelang/mencincin batang kayu untuk mematikan pohon secara perlahan. Wanatani karet sendiri dicirikan dengan beragamnya struktur umur dan kelimpahan spesies tanaman yang tumbuh bersamaan pohon karet. Struktur umur yang beragam tersebut disebabkan bukan karena regenerasi alami, namun juga penanaman anakan karet secara aktif dengan sistem sisipan. Pada tingkat plot, biasanya kekayaan spesies tanaman mencapai sekitar setengah dari hutan alam. Kebun karet dalam budaya masyarakat Melayu Jambi Masyarakat melayu Jambi biasanya menetap dan membangun rumahnya tentunya dalam kelompoknyadi sepanjang aliran sungai. Alasannya, air merupakan sarana transportasi untuk menghubungkan mereka dengan desa tetangga, terutama untuk membawa hasil bumi mereka. Masyarakat Jambi lebih senang menyebut Wanatani dengan para rimbo. Artinya, kebun karet rakyat menyerupai hutan yang didominasi pohon karet karena penanamannya tidak memperhatikan jarak tanam, sehingga tumbuh kayu-kayuan, buah-buahan, belukar, yang pengelolaannya tradisional dan turun-temurun. Sungai sebagai alat transportasi untuk mengilirkan karet
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
FOKUS /
28
Hutan Karet
Setiap keluarga, memiliki kebun karet sekitar 1 hektar. Sistem penyadapan yang mereka lakukan tidaklah beraturan (bentuk V) dengan ketebalan sanyatan ratarata 5 mm. Kemudian, getah karet yang mengalir pada bidang sadapan dikumpulkan dalam tempurung kelapa yang kemudian dikenal dengan kudun. Selanjutnya, kudun-kudun itu mereka kumpulkan dalam satu kotak penampungan (para petani menyebutnya bangkit: dalam satu kotak kira-kira 50-100 kg getah karet basah) yang ditambahi asam/cuka untuk menggumpalkan karet. Kini, sejak bergulirnya peraturan asosiasi pengusaha karet 1999 tentang getah bersih yang tanpa campuran tatal (bekas kulit sayatan batang karet), mulailah mereka membuat getah bersih dan kering (tanpa perendaman dalam air) serta langsung menjualnya ke pasar lelang karet.
Wanatani terhadap pelestarian lingkungan a. Sumber air Dari sisi pelestarian lingkungan hidup, kebun karet yang pola penanamannya berbentuk hutan sekunder dinilai sangat positif. Karena, habitatnya berupa hutan dapat melestarikan lingkungan. Selain itu, hutan karet mempunyai sifat hidro-orologi yang baik dan mampu mencegah erosi serta mempertahankan keragaman hayati sehingga sangat positif mendukung gerakan hijau yang akhir-akhir ini mendapat perhatian besar dari negaranegara industri sebagai konsumen terbesar karet alam (G. Wibawa et al.,1999). Kebun karet rakyat juga menjadi pelindung daerah hulu, karena berfungsi sebagai penyangga lapisan seresah permukaan tanah melalui daun-daun karet dan pohon lain yang gugur sehingga mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
b. Keragaman hayati Saat ini, telah diakui bahwa kebun karet rakyat adalah salah satu potensi utama sumber plasma nutfah keragaman hayati di Indonesia, sebagai pengganti keragaman hayati di Sumatera. Hasil penelitian ICRAF di kebun karet rakyat Muara Kuamang, menunjukkan 116 jenis pohon dalam suatu plot seluas satu hektar berumur 35 tahun yang masih produktif, seperti pulai, medang, meranti, balam merah, kempas, kulim, dan anakan jelutung. Luas bidang dasar pohonnhya 16 m2. Nah, apabila dibandingkan dengan hutan alam, luas bidang dasar kebun karet tentunya lebih rendah karena tidak adanya pohon besar. Selain itu kebun karet rakyat menyediakan habitat yang nyaman bagi satwa seperti Burung Enggang Raja (L. Joshi et al.,2002).
Slab getah dari kebun karet campuran yang dihilirkan (atas), hutan karet masyarakat (bawah)
Hasil penelitian jenis pohon dan analisa struktur vegetasi pada sistem karet dataran rendah Sumatera (de Forestra and Michon 1994; de Forestra 1997) dan beberapa studi menunjukkan, keragaman hayati kebun karet rakyat relatif tinggi dibandingkan kondisi pertanaman intensif dan perkebunan monokultur. Untuk vegetasinya seperti dilaporkan Michon dan de Forestra (1995), keragaman kebun karet rakyat dapat melindungi sekitar 50%. Sedangkan tingkat keragaman fauna tidak terdapat perbedaan antara hutan dan kebun karet. Sementara keragaman burung di kebun karet rakyat dapat melindungi sekitar 60% dibanding hutan alam. Karena, ada beberapa jenis burung yang menghendaki penutupan tajuk terbuka serta beragamnya bunga sebagai sumber makanan. Semua binatang menyusui pun dijumpai di dalam kebun karet, kecuali gajah (Van Noordwijk et al., 2002).
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
29
Perbandingan plot keragaman jenis tumbuhan antara hutan alami dan hutan berdasarkan tumbuhan tertinggi (de Foresta dan Michon, 1995)
Rata rata penyerapan karbon pada masing masing kondisi penggunaan lahan
Wanatani terhadap produksi kayu dan pembangunan desa
a. Cadangan Karbon Laporan Tomich et al. (2002) pada kondisi beberapa penggunaan lahan yang berbeda menunjukkan bahwa di hutan alam cadangan C-nya 250 Mg C ha-1, sedangkan pada hutan yang aktif ditebang kayunya rata-rata berkisar 150 Mg C ha-1. Penggunaan lahan untuk penanaman Ubi kemudian diberokan sehingga tumbuh alang-alang cadangan C-nya menurun menjadi 100 -120 Mg C ha-1, sedangkan pada kebun karet dengan teknik sisipan dapat meningkatkan cadangan C menjadi 120 -140 Mg C ha-1, sedangkan di kebun Sawit hanya 90 Mg C ha-1. Penyerapan karbon potensial pada masing-masing penutupan lahan bergantung pada tipe dan kondisi ekosistem (komposisi jenis tumbuhan, struktur dan umur distribusi tanah, gangguan alam, dan pengelolaan). Hasil yang diperoleh, rata-rata penyerapan karbon pada hutan alam sejumlah 306 ton C ha-1 di Indonesia. Pada hutan karet (sistem tetap) diperoleh 89 ton C ha -1 tidak berbeda jauh dengan hutan bekas tebangan kayu (93 ton C ha-1 ), tetapi jauh di atas perkebunan monokultur, padang rumput, dan tanaman semusim.
Pemanfaatan kayu berlebihan pasca reformasi menyebabkan berkurangnya ketersediaan kayu hutan alam. Seperti di Kabupaten Bungo, permintaan tiga tahun terakhir ini meningkat untuk jenis kayu keras seperti Kulim, Keranji, dan Kempas (dikenal dengan sebutan K3) untuk diekspor ke Taiwan. Sementara ke-3 jenis kayu tersebut banyak dijumpai di kebun karet rakyat. Tentunya, kondisi ini memberi peluang petani karet untuk mengembangkan jenis kayu tersebut sebagai sumber penyedia kayu guna kebutuhan ekspor. Manfaat lain, petai, durian yang ada di kebun karet dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga dan biaya sekolah. Karena, adat-istiadat masyarakat setempat memperbolehkan mengambil buah-buahan seperti petai, durian dikebun karet asalkan sang pemilik kebun sedang tidak menunggui kebunnya. Khusus buah durian, tidak boleh dipanjat tetapi ditunggu hingga jatuh sendiri. Jadi, wanatani karet mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat pedesan. Sehingga, menjadi pemasukan pembangunan desa melalui produksi langsung maupun tidak, seperti pengumpulan, pemrosesan, dan pemasaran produksi karetnya.(A.S.) 1
2
The World Agroforestry Centre, ICRAF. PO. Box 161. Bogor Lembaga Research Perkebunan Indonesia. Jl. Pajajaran. Bogor
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
30
GIS SPOT / Yudhi Dwi Cahyono, Staf GIS KKI Warsi -
[email protected]
Metode USLE, Pendugaan Laju Erosi Pada Kawasan Bertopografi Kompleks
U
SLE (Universal Soil Loss Equation) adalah suatu model empiris yang banyak dipakai untuk pendugaan laju erosi. Laju erosi ini merupakan fungsi dari erosivitas hujan, erodibilitas tanah, sudut lereng, panjang lereng, pengelolaan tanaman dan konservasi lahan. Model ini hanya ideal untuk menduga erosi pada permukaan datar berlereng tunggal saja. Namun demikian metoda ini masih mungkin dilakukan untuk pendugaan laju erosi pada pada kawasan yang bertopografi kompleks. Seperti pada daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai (DAS) yang umumnya bertopografi kompleks.
Caranya dengan membagi kawasan tersebut menjadi blokblok berlereng tunggal. Sehingga, bila kawasan DAS dibagi menjadi blok-blok berlereng tunggal sebagaimana metode USLE- adalah pekerjaan yang sangat sulit. Apalagi, jika dilakukan manual di atas peta topografi yang secara teknis sangat sulit. Tentunya, resiko kesalahan penentuan sudut kelerengan akan cukup tinggi. Padahal, kesalahan penentuan sudut kelerengan akan melipatgandakan kesalahan dalam pedugaan erosi. Karena, faktor topografi terutama sudut kelerengan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir pendugaan erosi
GRAFIS: YUDHI/ LABORATORIUM GIS KKI WARSI Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
GIS SPOT
Untuk mengatasi hal ini, biasanya kawasan DAS yang bertopografi kompleks dibagi menjadi blok-blok yang relatif seragam menurut interval sudut kelerengan tertentu. Tujuannya jelas, mempermudah perhitungan. Namun begitu, hasilnya akan kurang akurat. Ini disebabkan, topografi di setiap blok ditentukan berdasarkan nilai tengah sudut dan panjang kelerengan dari setiap interval. Salah satu metode untuk mengatasi kesulitan ini, melalui analisis/permodelan Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG, tentunya, dapat melakukan permodelan spasial terhadap faktor-faktor topografi USLE dengan mentransfer semua faktor USLE ke dalam format spasial. Untuk pengolahan faktor topografi USLE, sebuah metode telah dikembangkan oleh teknologi SIG yaitu dengan menggunakan Digital Terrain Model (DTM) model bentuk lahan berbasis TIN (Triangulater Irregular Network). Dengan bantuan model bentuk lahan berbasis TIN ini, dimungkinkan untuk melakukan pembagian blok-blok sampai pada tingkatan interval yang terkecil.
Selanjutnya, setiap unit terkecil ini dapat diperlakukan sebagai sebuah blok berlereng tunggal. Dengan demikian, memungkinkan untuk dibagi habisnya suatu kawasan sampai pada tingkatan terkecil, dan faktor topografi USLE (sudut lereng dan panjang lereng) dapat ditentukan secara akurat. Setelah faktor topografi USLE ditentukan, faktor-faktor USLE lainnya (erosivitas hujan, erodibilitas tanah, pengelolaan tanaman dan konservasi lahan) yang telah ditransfer dalam format spasial berbasis TIN ditumpangsusunkan antara satu lainnya (overlay). Hasilnya, suatu database spasial. Selanjutnya, dari database spasial ini, dilakukan perhitungan duga laju erosi dengan menerapkan formula matematis USLE. Yang ujungnya, dihasilkan pendugaan erosi kawasan. Dengan bantuan SIG, pendugaan erosi menggunakan metode USLE pada suatu kawasan yang bertopografi kompleks akan dapat ditentukan secara lebih akurat..(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
31
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
32
DARi hulu ke hilir / Erwin Herwindo, Fasilitator Kabupaten -
[email protected]
Sungai Batang Hari memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitar. Kini DAS Batang Hari kritis, butuh penanganan menyeluruh dan komprehensif.
Tawaran Solutif Penyelamatan DAS Batang Hari Pembentukan Forum:
K
ondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari yang mencakup Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dan Jambi, memasuki fase kritis.
tahun, rehabilitasi lahan kritis, dan pemberantasan PETI. Hasilnya? DAS Batang Hari tetap kritis.
Destruktive logging di kawasan hutan produksi maupun lindung yang berdampak pada terkikisnya tanah (erosi); maraknya penambangan emas di hulu sungai; tingginya frekuensi banjir serta meningkatnya kadar lumpur (sedimentasi) di hilir, menyempitnya luas hutan mangrove (bakau) karena konversi -untuk tambak, perusahaan, dan rumah tangga; merupakan potret DAS Batang Hari.
Pendekatan sipil teknis yang kini dilakukan, masih kurang efektif dan tidak efisien. Alasannya, pemanfaatan sumber daya alam cenderung sektoral parsial. Bahkan, ego kedaerahan terus dilegitimasi melalui otonomi daerah. Program yang kegiatan sektoralnya lebih menekankan produksi komoditas (kayu, bahan tambang, ikan, dan lain-lain) cenderung abai terhadap perhitungan kerusakan bentang alam (lingkungan) sebagai ongkos pembangunan (Kartodihardjo, et.al, 2004).
Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan. Pembangunan tanggul/turap, operasi illegal logging, pengerukan lumpur dengan dana miliaran rupiah per
Pendekatan institusi DAS Batang Hari sebuah tawaran solutif. Cikal bakal pembentukan institusi ini telah dirintis
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
DARi hulu ke hilir
Hasilnya, Nota Kesepahaman bersama tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dengan Pendekatan Bioregion pada Maret 2003. Gubernur Jambi, H. Zulkifli Nurdin dan Wakil Gubernur Sumbar, H. Fachri Achmad adalah pihak yang turut membubuhkan tanda tangan. Tindak lanjut dari Nota Kesepahaman tersebut, dibentuklah Kelompok Kerja (Pokja) Monitoring dan Evaluasi DAS Batang Hari untuk Jambi. Sedangkan Sumatera Barat, dibentuk Forum Multipihak DAS Sumbar. Menyadari pentingnya koordinasi antar lembaga di hulutengah-hilir, maka Balai Pengelolaan DAS Batang Hari Jambi bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jambi (Bappeda, Bapedalda, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas PU), KKI Warsi, PPM DAS Unja, juga Badan Meteorologi dan Geofisika Sultan Thaha menggagas Lokakarya Pengembangan Kelembagaan Multipihak untuk Penyelamatan DAS Batang Hari akhir 2005 lalu. Tujuannya, disamping meningkatkan spirit Nota Kesepahaman 2003, juga menegaskan akan pentingnya pembentukan forum multipihak DAS Batang Hari sebagai wadah koordinasi. Inti pembentukan forum multipihak DAS, guna meminimalisir berbagai kendala dan keterbatasan kewenangan instansi/lembaga yang ada. Disamping itu, pembentukan forum mendapat legitimasi melalui SK Menhut No 52/Kpts-II/Tahun 2001 sebagai pedoman penyelenggaraan forum DAS. Idealnya, sebuah DAS memiliki satu forum multipihak sesuai prinsip one river, one plan, one integrated management (satu sungai, satu perencanaan, dan satu manajemen yang terintegrasi) agar penanganannya efektif dan efisien. Anggota forum bisa perorangan, lembaga formal, maupun informal yang memiliki kebutuhan dan kepedulian terhadap kelestarian. Keanggotaan forum pun sangat mungkin beragam latar belakang yang memiliki otoritas dan kekuasaan. Disinilah, pentingnya koordinator dalam memandu perjalanan forum content neutral guna meningkatkan peran aktif anggotanya. Koordinator ini pun kelak akan menyampaikan berbagai temuan penting di wilayahnya pada level provinsi maupun
FOTO: L. RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi melalui program Bioregion DAS Batang Hari.
33
Penambangan pasir di Sungai Batang Hari
antar provinsi. Sedangkan, koordinator Forum DAS kabupaten/kota dapat pula menjadi anggota Forum DAS provinsi atau antar provinsi, tergantung kesepakatan berbagai pihak. Forum yang akan dibentuk sebaiknya independen dan tidak kaku, sehingga orientasi program yang dikembangkan sebagai wadah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Forum memiliki kewenangan yang disepakati bersama, seperti monitoring, evaluasi program daerah, upaya pendanaan alternatif, rekomendasi produk kebijakan dan perencanaan, menelaah perda-perda atau ranperda, serta menjembatani koordinasi hulu-tengahhilir. Yang terpenting tentu saja spirit anggota forum tetap eksis dan kritis. Oleh sebab itu, anggota forum harus meningkatkan dan mengembangkan kapasitasnya melalui proses pembelajaran formal maupun informal. Aspek finansial kerap muncul sebagai masalah klasik namun selalu aktual. Karena itu, forum harus mendorong kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat untuk memasukkan biaya lingkungan dalam setiap programnya. Juga, perlu diupayakan dan dikembangkan sumber dana alternatif. Forum DAS bukanlah tujuan utama. Butir-butir dalam Nota Kesepahaman dan rumusan lokakarya pun masih berkutat pada tataran konseptual. Kesadaran berbagai pihak akan pentingnya pengelolaan DAS dan terintegrasi hulu-tengah-hilir merupakan prioritas. Persoalannya, adakah kesadaran para pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah dicapai?(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
DARi hulu ke hilir / Sukmareni, Ast. Komunikasi Bioregion DAS Batang Hari -
[email protected] FOTO: L. RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
34
Pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran telah menyebabkan hilangnya hutan alam dalam jumlah besar.
Penting Mengakomodir Hutan Tersisa dalam RTRW Dharmasraya
K
abupaten Dharmasraya dengan 6 sub DAS yang menjadi hulu DAS Batang Hari dan juga pembangunan bendungan Batang Hari untuk irigasi (Batang Hari Irrigation Project), merupakan pembeda kabupaten Dharmasraya dengan kabupaten lainnya. DAS Batanghari merupakan DAS terbesar kedua di Sumatera setelah DAS Musi, dengan water catchment area (daerah tangkapan air) sekitar 4,9 juta hektar. Di kabupaten Dharmasraya terdapat beberapa sub DAS antara lain sub sub DAS Jujuhan, sub DAS Batang Hari Hulu, sub sub DAS Batang Momong (sub DAS Batang Gumanti), sub sub DAS Batang Piruko Palangko, sub sub DAS Batang Siat dan sub DAS Batang Pangian. Dengan kondisi seperti diatas maka jelas terlihat bahwa Kabupaten Dharmasraya merupakan daerah yang memegang peranan sangat penting dalam megasistem DAS Batanghari. Perencanaan dan implementasi pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini akan memberi pengaruh yang besar terhadap daerah lain dalam DAS Batanghari yang terbentang dari punggung Bukit Barisan di Sumatera Barat dan bermuara di Selat Berhala Provinsi Jambi. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah kondisi tutupan hutan. Untuk Kabupaten Dharmasraya dari kajian tutupan lahan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui pemotretan citra satelit landsat 7 etm+, diketahui data dan informasi yang bisa digolongkan aktual untuk kondisi
tutupan lahan saat ini. Tutupan hutan di Dharmasraya dalam kurun 11 tahun telah hilang sebanyak 13.721 ha. Pada tahun 1994 tutupan hutan masih terdapat 94.645,9 ha atau sekitar 31,5 persen dan tahun 2005 menjadi 80.924,9 ha atau sekitar 27,8 persen. Perubahan yang cukup tajam ini disebabkan karena konversi lahan menjadi perkebunan, pemukiman dan areal transmigrasi dan juga aksi illegal logging. Namun yang paling banyak perubahan fungsi kawasan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005 luas perkebunan sawit di Kabupaten Dharmasraya mencapai 93.030,69 atau sekitar 32.05 persen dari luasan kabupaten Dharmasraya. Sebelumnya tahun 1994 perkebunan sawit hanya 24.719,9 hektar atau 8.24 persen. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan dan juga tata air di Dharmasraya. Hal ini juga menyebabkan Dharmasraya rentan terhadap bahaya-bahaya lingkungan, seperti banjir dan longsor. Perubahan tutupan hutan yang cukup tajam ini, juga akan menyebabkan penurunan debit air sungai yang masuk bendungan Batang Hari Irrigation Project (BHIP), akibatnya rencana awal BHIP yang diprediksi mampu mengairi seluas 18.936 ha pada 35 Nagari di Dharmasraya dan 5 Desa di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, tidak dapat tercapai. Bisa dibayangkan berapa biaya yang terbuang percuma dari pembangunan proyek yang mencapai nilai milyaran rupiah yang berbentuk loan (pinjaman luar negeri ini) namun hasilnya tidak bisa dimanfaatkan, dan juga bisa dibayangkan harapan Dharmasraya sebagai lumbung padi untuk
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
DARi hulu ke hilir Sumatera Barat hanya akan tinggal mimpi. Itu artinya kita akan terus bergantung kepada import beras. Mengatasi persoalan diatas, atau paling tidak meminimalkan dampak yang ditimbulkan, sangat dibutuhkan keberpihakan kebijakan yang akan dilahirkan pemerintah pada pelestarian lingkungan. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang tengah dilakukan pemerintah saat ini akan menentukan seperti apa Dharmasraya di masa yang akan datang. Harapannya tentu dalam penyusunan RTRW ini, tim teknis dan pihak yang dilibatkan benar-benar menyadari kondisi riil kabupaten, sehingga rencana untuk pengembangan sektor ekonomi yang biasanya paling populer dilakukan, tidak mengorbankan aspek-aspek keberlanjutan sumberdaya alam. Tutupan hutan yang sudah semakin sempit dan berada dibawah ambang batas yang ditentukan oleh UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka dalam penyusunan RTRW ini hendaknya Pemkab Dharmasraya harus mempertahankan hutan tersisa dan menegaskan kawasan itu, sebagai kawasan lindung. Untuk mempertahankan ini maka dalam penyusunan tata ruang pemerintah kabupaten diharapkan dapat melakukannya dengan menjadikan pendekatan DAS sebagai salah satu dasar penyusunan RTRW K terutama dalam penentuan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Hal ini didasarkan pada Dharmasraya mempunyai iklim tropis dengan intensitas hujan yang tinggi dan potensial
menimbulkan banjir, aliran permukaan, erosi, sedimentasi dan kekeringan. Selain itu juga karena kondisi geomorfologi yang rentan terjadi kerusakan sumber daya tanah. Ditambah lagi manusia yang sangat tergantung pada sumberdaya alam sehingga memiliki potensi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap sumber daya alam terutama hutan, tanah dan air. Dengan menggunakan pendekatan DAS, rencana pemanfaatan ruang serta indikasi program ke depan akan lebih mempertimbangkan kemampuan daya dukung wilayah dan daya tampung lingkungan, pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) berbasis masyarakat, terakomodir dalam perencanaan daerah. Selain itu, pengelolaan terpadu perkebunan-transmigrasi, praktek penambangan yang baik (good mining pactice), serta agenda pengendalian pencemaran lingkungan oleh pelaku usaha yang semuanya bermuara pada optimalisasi kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara Terpadu (integrated watershed management), harusnya juga dilakukan oleh pemerintah. . Dengan memasukkan pendekatan DAS, RTRW Kabupaten juga akan bersandar pada kondisi biofisik dan sosial budaya yang spesifik di Kabupaten Dharmasraya. Dalam jangka panjang konsep ini tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan pemanfaatan sumbedaya alam tapi juga akan mengarah pada implementasi pembagian keuntungan (cost and benefit sharing) antara wilayah hulu dan hilir sehingga pemerataan kesejahteraan dapat dicapai.(A.S.)
Gundul, perbukitan yang menjadi daerah tangkapan air sungai-sungai yang menuju BHIP. Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
35
FOTO: DOK . KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP
36
MATA Hati / Sukmareni, Asisten Komunikasi -
[email protected]
Tumenggung Tarib di istana negara menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden.
Hompongon Antar Tumenggung Tarib ke Istana Dari pedalaman hutan menuju Istana Negara. Siapa pula yang tidak canggung sekaligus senang? Itulah yang terjadi pada Tumenggung Tarib, salah satu pemimpin kelompok Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) setelah komunitasnya dinyatakan sebagai penerima Penghargaan Kalpataru 2006. Penghargaan itu diserahkan di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin, 12 Juni 2006.
A
sing, begitulah kesan yang tertangkap dari mata teduhnya ketika ditanya bagaimana rasanya sepekan delapan malam dalam hitungannya sendiri berkelana di tengah hiruk pikuk kota. Dari cara berpakaian saja dia sudah merasa asing, apalagi berbicara soal makanan, tempat tidur sampai ke penggunaan tempat buang air. Tetapi dia harus melakukannya. Sebagai salah satu petinggi Orang Rimba yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, dia didaulat mewakili komunitasnya untuk penerima penghargaan Kalpataru 2006, sebuah penghargaan bergensi yang tidak diberikan kepada
sembarang orang. Komunitas Orang Rimba dianggap sebagai kelompok yang sangat berjasa dalam menyelamatkan lingkungan sehingga layak menerima penghargaan dari Presiden RI itu. Untuk menerima Penghargaan Kalpataru itulah maka ia harus berada di Istana Negara pada Senin, 12 Juli 2006. Datang bersama para penerima Kalpataru untuk kategori lainnya Orang Rimba menerimanya untuk kategori penyelamat lingkungan - Tumenggung Tarib pun bertemu dan bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Senang, itulah katanya ketika ditanya kesannya bertemu Presiden setelah membawa penghargaan itu kembali ke Jambi. Tapi nang lobih beik lagi karno ado jaminan dari Rajo mempertahanko halam rimba kami (Tapi lebih senangnya lagi karena ada jaminan dari pemimpin (Rajo sebutan Orang Rimba untuk pemimpin seperti presiden, red) mempertahankan hutan kami (Taman Nasional Bukit Duabelas/TNBD, red), lanjutnya lagi.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
MATA HATI Di kawasan TNBD bermukim sekitar 1.500 jiwa Orang Rimba. Mereka hidup secara berkelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh satu tumenggung. Meski telah dinyatakan sebagai kawasan konservasi berupa taman nasional oleh Menteri Kehutanan dengan SK No. 258/KptsII/2000 Agustus Tahun 2000, aksi pembalakan liar belum bisa berhenti di kawasan itu.
Hanya saja, sejak semakin seringnya masyarakat di luar taman nasional masuk untuk menebang hutan sulit bagi Orang Rimba mendapatkan bunga. Butuh perjalanan berhari-hari untuk mendapatkan bunga bila ada anak mereka yang menikah.
Hutan adalah hidup Orang Rimba. Dari zaman dulu kala, suku yang dikenal hidup nomaden ini masih tetap mendiami hutan hingga ke zaman perang teknologi informasi ini. Bagi mereka, belantara justru kota, bukan hutan yang sudah mereka akrabi. Hutan merupakan penghasil beragam jenis bunga. Dan, bunga sangat penting bagi Orang Rimba yang masih menganut kepercayaan animisme. Bunga berguna untuk memanggil dewa-dewa pelindung mereka.
Belum lagi ancaman banjir dan kedinginan di rumah yang mereka diami karena kayu di hutan yang kian jarang. Dehulu, ketiko rimba masih lobot, kamia hopi ado kedinginan hidup di rimba, kinia ketiko rimba lah sodah jerong, ado sedikit angin be kamia lah sodah kedinginan. Kalu hujan, kamia kebanjiron (Dahulu ketika hutan masih lebat, kami tidak kedinginan, kini ketika hutan sudah jarang, ado sedikit angin saja kami sudah kedinginan. Kalau hujan kami kebanjiran), kata Tumenggung Tarib yang memiliki delapan anak dari dua istri ini.
Orang Rimba memanfaatkan sumber daya hasil hutan secara sederhana untuk kebutuhan subsistensi. Misalnya, berburu dan meramu hasil hutan untuk obat-obatan yang diselingi perladangan sederhana. Cukup banyak pemanfaatan hutan bagi Orang Rimba yang berkaitan erat dengan aspek kebudayaan, ritual dan pengobatan tradisional. Pohon-pohon tertentu ditandai sebagai perlambang kehidupan setiap individu Orang Rimba. Sedangkan persembahan terhadap Bahelo (sebutan Orang Rimba untuk Tuhan yang Maha Kuasa) dilakukan dengan mempersembahkan ratusan jenis bunga. Maka, Tumenggung Tarib pun berucap: Ado rimba ado bunga, ado bunga ado dewo. Hopi ado rimba hopi ado bunga, hopi ado bunga hopi ado dewo (Ada rimba ada bunga, ada bunga ada dewa, tidak ada hutan tidak ada bunga dan tidak ada bunga tidak ada dewa).
Hutan bagi Orang Rimba adalah sumber tumbuhan obat. Tumenggung Tarib adalah salah satu dukun di kelompoknya yang juga sering menjadi tempat meminta obat bagi warga desa sekitar TNBD. Beraneka jenis tanaman dan sumber obat dari taman nasional itu ia jaga siklus pertumbuhannya, seperti tanaman rotan, damar, jerenang, getah dan jelutung. Tumenggung Tarib meramu dan meracik berbagai tumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Tim Biota Medika pada akhir 1998, terdapat 137 biota obat di TNBD, baik berupa tumbuhan maupun hewan. Tumenggung Tarib bahkan termasuk ke dalam dalam tim penelitian yang beranggotakan ahli-ahli dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Kesehatan (Depkes), Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menjadi penunjuk jenis biota obat yang sebagian sudah langka.
Tanpa bunga Orang Rimba juga tidak bisa menikahkan anakanak mereka. Itu karena pihak perempuan Orang Rimba akan meminta kepada orang tuanya untuk dicarikan bunga. Berapo pun macam bungo yang diminta oleh anak harus dipenuhi oleh orang tua, kata Tumenggung Tarib sedikit bisa berbahasa Jambi dan Indonesia dan bercampur Bahasa Rimba.
Atas alasan-alasan itu, sejak 1997 Tumenggung Tarib bersama 23 kepala keluarga Orang Rimba di kelompoknya berusaha membuat penghalang bagi orang luar merusak TNBD. Cara yang mereka lakukan adalah membuat hompongon yang dalam bahasa Indonesia berarti pagar. Orang Rimba membuka ladang di sekitar taman yang ditanami padi atau umbi-umbian. Satu kali masa panen, mereka menanaminya dengan karet.
Biasanya, bunga yang diminta bisa mencapai ratusan jenis. Tetapi, ada juga yang hanya meminta tujuh macam. Orang tua pihak perempuan akan memenuhinya karena bunga itu akan dipersembahan kepada dewa agar hidup mereka mendapat kemudahan rezeki dan keselamatan. Banyaknya bunga yang dibutuhkan untuk upacara-upacara ritual Orang Rimba itu disebabkan oleh banyaknya dewa yang mereka sembah. Ada Dewa Gajah, Dewa Trenggiling, dan lain sebagainya. Hopi ado bungo (Kalau tidak ada bunga), bagaimana kami akan menikahkan anak kami, ujar Tumenggung Tarib dengan dialek Orang Rimba yang khas.
Sesuai perjanjian komunitas Orang Rimba dengan masyarakat desa di sekitar TNBD, maka wilayah yang sudah menjadi kebun Orang Rimba tidak lagi boleh dimasuki warga luar. Kebun itulah pagarnya. Umpamo ado orang terang nang masuk ke delom rimbo nang sodah ado hompongon, orang terang itu kami dendo (jika ada orang terang sebutan Orang Rimba untuk masyarakat di luar komunitas merekayang masuk ke dalam hutan yang sudah ada kebun orang rimba, orang terang itu akan kami denda ), jelas Tumenggung Tarib.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
37
MATA HATI
38
Hukuman bagi pelanggar hak ulayat Orang Rimba disebut hukuman jatuh bangun, dengan nilai denda setara 500 lembar kain biasanya kain panjang. Cara pemagaran taman nasional dengan sistem hompongon ini dilakukan pula oleh kelompok Orang Rimba lainnya. Tidak kurang dari 120 KK Orang Rimba TNBD membuka hompongon dengan luas mencapai sekitar 100 hektare. Selain untuk membatasi tekanan masyarakat luar terhadap taman nasional, hompongon juga untuk bermanfaat untuk mempersiapkan sumber daya di masa depan Orang Rimba. Hompongon juga salah satu alat untuk memperkuat posisi Orang Rimba dalam mempertahankan hak-hak mereka di TNBD.
Tiga Kali Bertemu Presiden
Presiden pertama yang ia temui dan lihat langsung adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia bertemu Gus Dur di Jambi, pada acara peresmian taman nasional. Lalu, ia juga pernah bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, yakni untuk menerima Kehati Award. Dan pertengahan tahun ini, pria berkumis ini bertemu dan bersalaman langsung dengan Presiden SBY. Tentu saja Tumenggung Tarib senang bertemu rajo. Katanya, ketika ke Istana Negara untuk menerima Kalpataru, perasaannya tidak secemas dan segugup waktu bertemu Megawati untuk menerima Kehati Award. Waktu dengan Ibu Mega, akeh gugup sekali, takut saloh dan hopi biso nyesuaikan diri, kata pria yang juga membantu warga di komunitasnya memasarkan berbagai produk non hutan ke Kota Bangko, yang jaraknya cukup jauh dari TNBD, itu.
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Jadi, dalam pendapat Tumenggung Tarib dan sukunya, selain untuk kelangsungan hidup mereka di masa sekarang, manfaat yang paling penting dari hompongon akan diwarisi anak cucu mereka di masa mendatang. Kegigihan Tumenggung Tarib mempertahankan hutan mendapatkan banyak perhatian pihak luar. Sebelum kelompoknya menerima Kalpataru 2006 sebagai penyelamat lingkungan, Tumenggung Tarib sudah diangkat menjadi kader konservasi oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Ia juga menerima Kehati Award pada tahun 2000.
penutup aurat dan mengkonsumsi makanan alami dari hutan itu sudah bertemu dengan tiga pemimpin negeri ini.
Tumenggung Tarib dengan Kalpataru di tengah hompongon milik kelompoknya.
Bertemu dengan presiden bagi orang kebanyakan adalah hal yang paling sulit sekaligus membanggakan. Demikian juga bagi Tumenggung Tarib. Tetapi, walaupun masih asing, bertemu presiden bukan pengalaman baru baginya. Pria yang dalam kesehariannya mengenakan cawat untuk
Selain penghargaan, komunitas Orang Rimba juga menerima hadiah uang tunai Rp 8 juta dari Presiden. Untuk apa uang sebanyak itu? Kata Tumenggung Tarib, penggunakan uang itu akan dirundingkan bersama dengan semua Orang Rimba di kelompoknya.
Dan, sepulang dari Istana Negara yang megah di ibukota negara, Jakarta, Tumenggung Tarib pun kembali ke hutan untuk hidup di tengah alam komunitasnya, Orang Rimba. Delapan malam berada di belantara kota membuatnya lelah dan rindu akan kebebasan di alam terbuka hijau.(A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
MATA HATI / Chairil Anwar Tanjung, Wartawan Detikcom, Riau -
[email protected]
Anak Pedalaman di Riau Tidak Kenal SBY - JK
S
geleng kepala. Kami tidak tahu gambar siapa itu, tutur Sitor.
ebuah sanggar belajar suku pedalaman di Riau (Talang Mamak) yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) terpampang gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Namun, tak satu pun muridnya mengenali foto itu.
Sitor dan teman-temannya sama sekali tidak mengenal kedua gambar tersebut. Pun ketika diberitahu bahwa gambar itu adalah presiden, anak-anak ini bertambah bingung. Presiden siapo, kami tak konal do presiden tu. Siapa itu bang, kata Sitor polos dengan kental dialek Melayunya.
Duh! Walau negara ini sudah merdeka lebih dari 50 tahun, tapi akses informasi masih tersendat bagi penduduk pedalaman nan jauh di kawasan hutan belantara TNBT. Di tengah TNBT itu, ada Dusun Tuo Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu).
Tercatat ada 45 anak-anak yang butuh pendidikan formal. Sayangnya, sebuah kawasan Taman Nasional, memang tidak dibenarkan adanya bangunan permanen fasilitas sosial dan pendidikan. Jalan satu-satunya, NGO, Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) enam bulan silam membangun sanggar pendidikan buat anakanak suku pedalaman ini. Sanggar itu terbuat dinding bambu beratapkan rumbia dan terpal plastik. Sudah tiga bulan ini ditinggalkan gurunya. Kabarnya, sang guru tidak sanggup hidup di dalam kawasan hutan dengan gaji yang ala kadarnya. Pak guru kami sudah balik ke rumahnya. Kata pak guru, kita libur 5 bulan, tutur Sitor (9) salah seorang muridnya. Di rongsokan sekolah yang kini halamannya dipenuhi rerumputan itu, masih terpampang gambar Presiden SBY dan Wapres JK. Foto SBY yang tersenyum manis itu tersangkut di dinding bambu pada bagian depan kelas. Namun di ruangan itu tidak terlihat lagi papan tulisnya.
FOTO: RAHMADIE / DOK. KKI WARSI
Di sana ada 60 KK komunitas suku Talang Mamak yang masih primitif dan tidak memiliki agama. Para wanita di sana tidak menggunakan bra, terkecuali hanya selembar kain penutup dari bagian pusar sampai ke betisnya. Dipastikan, tidak satu orang pun yang mengenyam pendidikan. Mereka hidup bergantung pada pertanian dan hasil hutan.
Wajar saja, bila murid-murid sekolah nonformal ini tidak mengenal siapa presidennya. Sebab, sekolah itu sendiri baru hadir enam bulan silam. Artinya, sejak bangsa ini merdeka, tidak satu sekolah pun berada di Dusun Datai tersebut.
Butuh perhatian serius! Walau tidak mengenal presidennya, namun muridmurid ini tetap mengenal wajah bupati mereka. Sebuah gambar di kaos oblong warna putih eks pembagian pilkada tahun lalu terjemur di rumah penduduk. Ketika gambar itu ditunjukan pada anak-anak yang masih lugu itu, mereka mengenalnya. Itu gambar Pak Thamsir, bupati kami bang. Dia tuh raja muda kami, kata Sitor.
Kepala adat di kelompok Talang Mamak di dusun Datai, Sidam Katak (70) berharap, pemerintah bersedia memberikan fasilitas pendidikan sebagaimana lazimnya masyarakat yang tinggal di luar taman Beberapa murid sekolah itu menyempatkan diri melihat nasional. Tolonglah pemerintah memberikan pendidikan buat anak-anak kami. Sampai saya sudah ruang kelasnya ketika detikcom bersama Kru punya cucu, baru inilah ada sanggar sekolah. Itu pun Konsorsium Taman Nasional mengabadikan lewat kini gurunya sudah balek kampung, kata Katak dengan kamera, Senin (17/4/2006) lalu. Ketika murid-murid polosnya. (Detik.com, 19 April 2006) itu ditanya siapa gerangan sang foto tersebut, semuanya Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
39
40
WAWANCARA / Erwin Herwindo, Fasilitator Kabupaten DAS Batang Hari -
[email protected]
Forum DAS Kabupaten Harus Sinergi dengan DAS Batang Hari
L
okakarya Pengembangan Kelembagaan Multipihak untuk Penyelamatan DAS Batang Hari Desember 2005 lalu di Jambi, merupakan upaya penyamaan persepsi multipihak tentang pentingnya koordinasi antar wilayah hulu-hilir DAS Batang Hari. Hasilnya, tercapailah kesepakatan dalam 15 butir rumusan yang salah satunya adalah pembentukan Forum DAS Kabupaten. Untuk mengetahui apa dan bagaimana orientasi forum tersebut di masa mendatang, Alam Sumatera mengupasnya secara mendalam bersama Kukuh Murtilaksono, Dosen Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Jadi, pengertian institusi pengelolaan DAS secara singkat merupakan bagaimana mengatur atau mengelola stock/ barang dan jasa yang dihasilkan sistem DAS untuk kepentingan bersama -stakeholders- sehingga keseimbangannya (sustainability) tetap terjamin. Adakah perbedaan antara institusi dengan kelembagaan? Institusi dapat diterjemahkan sebagai kelembagaan yang menurut Schmidt (1987) adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat. Berbagai kesempatan yang tersedia, bentuk aktivitas yang dapat mereka lakukan, hakhak istimewa yang telah diberikan serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan telah terdefinisikan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antarindividu dan kelompok yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya, kita sering mendefinisikan kelembagaan adalah organisasi yang berbeda dengan institusi karena organisasi bertujuan memaksimumkan pencapaian target individu, kelompok, atau organisasi itu sendiri. Sehingga, aturan organisasi untuk memenangkan, sedangkan aturan dalam institusi untuk menata ketergantungan antarstakeholders. Pihak yang terlibat dalam pembentukan institusi pengelolaan DAS? Adalah pihak-pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak terhadap stock atau barang dan jasa yang dihasilkan DAS. Jadi, bisa organisasi resmi atau pemerintahan (misal: Dinas Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Pertambangan) dan swasta (misal: HPH, HTI, Tambang) maupun kelompok masyarakat. Malah individu sekalipun misalnya petani di hilir atau masyarakat tradisional di hulu DAS.
Kukuh Murtilaksono
Sejauh ini, yang dimaksud institusi pengelolaan DAS seperti apa? Pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang ada di DAS secara rasional. Berdasarkan tujuan yang telah disusun dan disepakati bersama untuk mencapai keuntungan maksimum dalam waktu tidak terbatas (saat ini dan masa datang) dengan risiko kerusakan lingkungan seminimal mungkin. Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS ini. Sehingga, fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya berbagai sumber daya (resources) DAS terjamin berimbang (balance). Sedangkan definisi DAS untuk kajian institusi, DAS dipandang sumber-daya alam berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property). Fungsinya sebagai penghasil barang dan jasa, baik individu, kelompok masyarakat ataupun publik secara luas sehingga interdependensi antar pihak, individu, kelompok masyarakat tercipta.
Mengapa institusi penting untuk direalisasikan? Institusi penting direalisasikan demi terjaminnya keberlanjutan fungsi DAS sebagai penghasil barang dan jasa. Tentu saja, untuk kepentingan manusia melalui pengaturan saling ketergantungan stakeholders terhadap barang dan jasa tersebut. Lalu, bagaimana membangun kesadaran akan pentingnya DAS? Kesadaran akan pentingnya DAS sangat urgen dibangun, karena DAS sebagai satuan ekosistem alam yang begitu
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
WAWANCARA
DAS Batang Hari yang melewati banyak daerah administratif butuh satu forum sebagai lembaga koordinasi lintas batas administrasi kompleks dan saling berkaitan antar unsurnya. Sehingga, setiap pemanfaatan sumberdaya alam, haruslah dalam konteks berkelanjutan. Bagaimana Anda melihat DAS Batang Hari dari sudut institusi? Mengingat DAS Batang Hari sangat besar atau luas (4.9 juta ha) maka, tentunya banyak pihak yang berkepentingan dengan barang dan jasa yang dihasilkan. Karena itu, perlu diatur dan ditata demi kepentingan bersama. Dengan demikian, institusi pengelolaan menjadi penting, begitu juga institusi pengelolaan sub-sub DAS Batang Hari yang luasnya mungkin hanya ratusan hingga ribuan hektar. DAS Batang Hari memiliki catchment area yang sangat luas yaitu sekitar 4,9 juta ha, meliputi 12 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi. Dengan fakta tersebut, bagaimana bentuk institusi yang ideal, menurut Anda? Bentuk institusi itu bisa formal, misalnya Forum DAS Batang Hari yang exist dengan koordinator POKJA DAS Batang Hari atau BPDAS Batang Hari. Atau juga yang tidak formal, misalnya kelompok masyarakat adat yang melindungi sumber daya hutan atau alam dengan memanfaatkannya sesuai kebutuhan rasional. Dengan demikian, kelembagaan formal maupun nonformal mempunyai tujuan bersama untuk membangun DAS yang berkelanjutan. Dalam hal ini, harus ada koordinator baik
formal maupun sukarela (voluntary). Salah satu rekomendasi lokakar ya adalah pembentukan forum DAS Kabupaten. Sementara DAS terlepas dari batasan administratif politik. Bagaimana pandangan Anda? Tidak masalah dibentuk Forum DAS tingkat kabupaten, asalkan dalam kerangka DAS Batang Hari. Sehingga, DAS Kabupaten dengan batas yurisdiksi wilayah administrasinya lebih memfokuskan pada sub atau sub-sub DAS Batang Hari yang luasnya lebih kecil. Tapi, Forum DAS Kabupaten harus tetap berkoordinasi dengan Forum DAS Batang Hari. Kalau begitu, manakah yang lebih penting pembentukan forum atau pemahaman tentang institusi DAS? Keduanya penting. Institusi tanpa implementasi suatu forum tidaklah operasional. Ada forum yang mantap tapi tidak memahami institusi berarti tidak fokus dan sistematis. Jadi, ya dua-duanya harus dibangun. Memang, bukanlah pekerjaan mudah karena butuh tenaga dan biaya tidak sedikit. Kesadaran pentingnya DAS harus dibangun dan menjadi contoh kongkret penyelenggara pemerintah good governance. Format institusi seperti apa yang efektif? Formatnya bisa formal maupun non. Tergantung kesepakatan stakeholders, karena merekalah yang akan menerima manfaat dan risikonya. Semua unsur stakeholders DAS harus
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
41
42
WAWANCARA komitmen dan konsisten secara berkesinambungan terhadap program-program pengelolaan. Mekanismenya? Melalui forum DAS seperti DAS Batang Hari. Jadi stakeholders harus duduk bersama. Konsentrasinya lebih teknis, wacana, atau seperti apa? Kalau platform institusi kelembagaan DAS belum sama maka perlu wacana terlebih dahulu. Namun, bila sudah memadai maka konsentrasinya lebih mengarah ke teknis operasionalisasi. Posisinya di mata pemerintah atau pengambil kebijakan? Sebagai partner sejawat pemerintah sekaligus fasilitator pemanfaatan sumber daya alam. Kewenangannya seperti apa? Lintas instansi dan lintas sektor. Artinya, sebagai fasilitator atau koordinator dapat berkomunikasi efektif dengan semua stakeholders DAS Batang Hari. Sehingga, kegiatan pemerintah dan swasta serta antarprogram sinkron. Siapa yang dijadikan leading sector. Pemerintah atau non-Pemerintah? Bisa pemerintah atau non, dengan komitmen tinggi untuk mengatur kepentingan orang banyak (stakeholders). Sebaiknya, leading sector mempunyai tugas dan pekerjaan yang erat dengan kelestarian DAS. Bagaimana pembentukan forum DAS. Perlukah kekuatan yuridis formal ataukah sebatas konsensus bersama? Mungkin, akan lebih baik bila didukung kekuatan yuridis formal. Tapi bisa juga konsensus bersama. Terpenting, stakeholders sepakat, berkomitmen tinggi serta konsisten terhadap kelestarian DAS Batang Hari. Mekanisme Pendanaannya? Tentunya, dari anggaran resmi pemerintah Indonesia melalui berbagai skema DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran) misalnya. Atau, dana swasta kerja sama dengan HPH, HTI dan Perusahaan Tambang, juga luar negeri melalui LSM misalnya Warsi, serta dana masyarakat pribadi melalui kelompoknya. Artinya, semua sumber dana bisa dimanfatkan. Permasalahan potensial apa yang mencuat? Tata hubungan kerja masing-masing instansi dan lembaga/ kelembagaan. Sering, fungsi (tugas pokok dan fungsi/
tupoksi) satu instansi dengan instansi lainnya tumpang tindih. Atau, saling meniadakan sehingga tujuan institusi pengelolaan DAS tidak mungkin tercapai. Konflik kepentingan antar instansi juga sering muncul sebagai ego-sektoral. Hal ini, sangatlah bertentangan dengan maksud institusi kelembagaan DAS. Tindakan preventif atau kuratifnya? Pembentukan Forum DAS. Tentunya, dengan segala persyaratan seperti yang telah diuraikan di atas. Hal lain, dengan mengimplementasikan secara efektif tupoksi setiap instansi yang berkaitan dengan institusi DAS. Dengan catatan, tidak saling bertentangan dan tumpang tindih. Model institusi DAS yang efektif, adakah contohnya? Sejauh yang saya ketahui, institusi pengelolaan DAS Brantas melalui Perum Jasa Tirta I Surabaya merupakan contoh yang relatif berhasil, sementara Perum Jasa Tirta II yang wilayah kerjanya di DAS Citarum kinerjanya belum memuaskan. DAS Citarum yang hulunya di Bandung Selatan -merupakan cekungan atau basin- memang masalahnya lebih rumit. Terutama, kepadatan penduduk dan perindustrian seperti industri tekstil. Institusi pengelolaan DAS Ciliwung lebih efektif, karena banyaknya energi atau dana yang dimasukkan untuk menanggulangi banjir yang Jakarta. Walaupun, masih banyak genangan di berbagai lokasi misalnya Tebet atau Kampung Melayu. Lalu, bentuk peningkatan kapasitas stakeholders yang efektif? Dengan dibentuknya Forum DAS, sebenarnya secara tidak langsung merupakan peningkatan kapasitas stakeholders dalam pengelolaan DAS. Namun demikian, agar peningkatannya lebih nyata, maka pelatihan atau pertemuan rutin formal maupun non-formal dapat dilakukan sesering mungkin. Lebih jauh, pengelola DAS dapat diikutkan dalam studi formal bergelar akademik di bidang pengelolaan DAS. Harapan Anda dengan pembentukan forum DAS Batang Hari? Tentunya, sumber daya alam sebagai stock yang ada terjaga kelestariannya dan rasional pemanfaatannya. Sehingga, winwin solution dengan stakeholders relatif terpuaskan dalam pemanfaatan DAS Batang Hari. (A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
SUARA RIMBA / Septi Dhanik Prastiwi, Retnaningdyah W., Bubung Angkawijaya, Staf Pendamping
FOTO: ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
Orang Rimba Bukit Duabelas -
[email protected]
Orang Rimba yang mengkonsumsi buah dan hasil hutan lainnya, masih belum tersentuh bantuan pemerintah.
Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Dan Orang Rimba Terlupakan
D
i tengah keramaian pasar, terjadi sekelumit percakapan antara staf Pendamping Orang Rimba dengan Gentar (Orang Rimba), salah seorang masyarakat dampingan. G : Pamono kabaron Ibu? (Bagaimana kabar Ibu?) K : Beik (baik) Setelah basa-basi, ia pun bertanya kembali: G : Ibu lah sodah tentu ato bolum, kalu ado sen dari pemerintah buat urang desa? (Ibu sudah tahu atau belum, kalau ada uang dari pemerintah buat orang desa) Beberapa saat kami terdiam dan Gentar kembali menjelaskan: G : Ujinye urang desa depot sen dari pemerintah. Kanti iyoy ambik 3 bulan sekali sebenyok tiga ratuy ribu. Engka urang rimba hopi depot? (Katanya orang desa dapat uang dari pemerintah. Orang tersebut mengambilnya 3 bulan sekali sebanyak tiga ratus ribu. Kenapa Orang Rimba tidak dapat?) K : Tanti dahulu, darimono diria tentu tontongon kabaron
G
yoi? (Tunggu dulu, darimana kamu tahu informasi ini?) : Segelo urang desa lah sodah cakopko. Tapi engka urang rimba hopi depot? Kami nio ikut pemilihan desa, bupati. Kalu hopi depot bantuan yoya, kami pindok ikut pemilihan lagi. (Semua orang desa sudah membicarakannya, tapi kenapa Orang Rimba tidak dapat? Kami juga kan ikut pemilihan kepala desa dan bupati. Kalau tidak dapat bantuan itu, kami tidak mau ikut lagi pemilihan)
Gentar orang rimba yang melek huruf dan pernah menjadi kader guru rimba untuk anak-anak di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), tinggal di wilayah barat TNBD. Tepatnya, daerah Sungai Jernih, perkampungan transmigrasi SP-A Tanah Garo Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Jadi, bukanlah hal ajaib bila pengetahuan dan wawasan lelaki ini cukup luas, memahami informasi dari luar lingkungannya. Karena itu, Gentar mencoba untuk mempertanyakan nasib dirinya dan keseluruhan orang rimba tatkala pemerintah katanya memberikan bantuan kepada rakyat miskin berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
43
SUARA RIMBA
44
Realisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah amanat Inpres No. 12 Tahun 2005. Dalam pelaksanaanya, Presiden mengintruksikan kepada menteri-menterinya, terutama Mensos yang tentunya berkoordinasi dengan BPS (Biro Pusat Statistik) untuk mendata keluarga miskin di Indonesia.
Pendistribusian Dana di tahap terakhir ini, bisa di perkirakan lebih banyak dari tahap I dan II. Asumsi ini dikarenakan pemerintah memberikan keringanan bagi keluarga miskin yang tidak tercatat dalam administrasi pemerintahan.
Dana BLT merupakan hasil subsidi BBM yang akan diberikan kepada keluarga miskin. Besarnya bantuan ini Rp100.000 per bulan yang diambil setiap 3 bulan sekali. Jadi total sekali ambil Rp 300.000. Program ini dimaksudkan untuk mengurangi kesulitan masyarakat setelah pemerintah menaikkan harga BBM.
Bagaimana halnya dengan Orang Rimba? Seperti kita ketahui, komunitas Orang Rimba sebagian besar berada di wilayah Jambi yang hingga kini kurang mendapat perhatian pemerintah. Jika kita lihat kaitannya dengan pemberian BLT, maka ternyata tidak ada pernyataan jelas dari pemerintah apakah Orang Rimba mendapatkan dana atau tidak.
Sampai saat ini, pemerintah telah mendata keluarga miskin (versi BPS) sebanyak 19.853.716 KK. Jumlah KK yang sudah menerima bantuan ini sampai tahap III adalah 11,474,791 KK ini tergolong kecil dibandingkan target pemerintah. Sementara jumlah dana yang sudah disalurkan ke BRI dan PT. Pos Indonesia sebesar Rp 11,474,791 atau 57,80 persen dari total dana BLT Rp 5,9 triliun. Data ini terus di update oleh PT.Pos Indonesia setiap harinya. Sejauh ini, penyaluran dana tahap pertama sudah terlaksana. Sedangkan tahap kedua mulai 1 Januari 2006 sampai 31 Maret 2006. Di beberapa wilayah untuk tahap ketiga sudah selesai namun demikian masih ada juga beberapa propinsi yang masih belum menyelesaikan penyaluran dana ini. Sedangkan pemerintah sudah menyerukan dengan iklannya yang di bintangi oleh aktor Deddy Mizwar untuk bisa memanfaatkan dana itu dengan baik sekaligus menyatakan bahwa dana bantuan ini sudah selesai disalurkan. Untuk penyaluran dana, pemerintah bekerjasama dengan PT Pos dan Bank BRI dengan syarat menunjukkan Kartu Kompensasi BBM (KKB) sebagaimana pernyataan Menko Kesra: Mereka harus menunjukkan KTP (kartu tanda penduduk) atau paling tidak surat keterangan waktu menarik dana itu sehingga orang lain tidak berhak menggunakan (www.kompas.com) Di Provinsi Jambi Keseluruhan keluarga miskin di Jambi berdasarkan data BPS berkisar 217,805 KK. Dari jumlah di atas sekitar 99,454 KK sudah mendapatkan BLT. Ini berarti, sekitar Rp 29,836,200,000 dari sejumlah Rp 65,341,500,000 dana yang dianggarkan untuk disalurkan kepada keluarga miskin. Jadi, dapat dikatakan 45,66 persen sudah diserap keluarga miskin di Jambi.
Orang Rimba terlupakan
Data BLT tahap pertama menunjukkan dari 172.870 KK yang berhak mendapatkan BLT di Provinsi Jambi masih ada 7.572 KK yang belum mengambilnya. Belum dapat diketahui apakah sekitar 7.572 KK yang belum mengambil itu berasal dari komunitas Orang Rimba di empat kabupaten, yakni Batang Hari, Tebo, Merangin, Sarolangun. Jika kita lihat dari pola kehidupan, sudah selayaknya Orang Rimba mendapatkan dana BLT. Lihat saja tempat tinggal Orang Rimba yang di tengah hutan atau di areal perkebunan karet dan sawit dengan kondisi rumah apa adanya. Berlantai kulit kayu, beratap terpal, dan berdinding angin. Terkadang, ada juga rumahnya yang berdinding kulit kayu dengan selembar kain sebagai sekat pembatas ruangan. Contoh lain, meskipun frekuensi makan terkadang bisa berkali-kali, namun jika dilihat nilai gizinya, tentu saja jauh sangat buruk. Nasi yang dimakan tanpa sayur, terkadang hanya dengan garam. Bila beruntung, terkadang makan daging buruan sebagai lauknya. Bahkan, tidak jarang hanya mengkonsumsi ubi saja. Saat ini yang menjadi masalah utama orang rimba adalah jalur birokrasi. Telah disebutkan di awal, bahwa setiap yang akan mengambil dana BLT harus menunjukkan KTP. Pada kenyataannya, Orang Rimba tidak mengenal KTP dalam sistem kehidupannya. Sehingga, ketika masyarakat lain mendapatkan bantuan pemerintah, maka orang rimba menjadi pihak yang terlupakan (atau dilupakan?). Apakah kesempatan memperoleh BLT masih terbuka? Dengan catatan pemerintah setempat (desa/kelurahan) mau memperjuangkan nasibnya dengan mendata jumlah Orang Rimba yang ada di wilayahnya. Namun, masalahnya pemerintah setempat seringkali menutup mata akan keberadaan Orang Rimba.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
SUARA RIMBA
Dana Bantuan Langsung Tunai Propinsi Jambi Sumber: www.kompensasiBBM.com
Bila rencana tersebut benar-benar diberlakukan, akankah Orang Rimba memperoleh bantuan ini? Memang, Orang Rimba tinggal di dalam hutan, namun bukan berarti tidak dapat didata. Yang perlu dipertanyakan adalah adakah upaya pemerintah untuk mendatanya? Sayang, jika kesempatan ini hanya diberikan kepada kaum miskin perkotaan saja, sementara masyarakat pedalaman luput dari perhatian. Jika hal ini dibiarkan, maka Orang Rimba tetap akan termarjinalkan. Komunitas ini akan selalu terlupakan dan dilupakan, setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan untuk masyarakat. Sebenarnya, hanya satu yang diinginkan Gentar. Ia dan seluruh Orang Rimba mendapatkan bantuan BLT. Andai saja, semua Orang Rimba adalah Gentar, yang tidak gentar memperjuangkan haknya sebagai WNI yang tidak tercatat.
45
Akeh ndok ke camat, ndok tanyako ke camat, engka kami hopi depot sen. Akeh ndok segelo urang rimba depot, jengon sampoi hanya rombong kami bae. (Saya hendak ke Kantor Camat dan menanyakan, mengapa kami tidak mendapatkan uang bantuan. Saya ingin semua Orang Rimba memperolehnya, jangan hanya rombong/kelompok kami saja). Belajar dari seorang Gentar, bagaimana dengan kita yang melek birokrasi dan mempunyai kemampuan melobi? Apakah kita akan memperjuangkan nasib komunitas ini? Ataukah kita akan menjadi bagian dari pihak yang melupakan mereka? Jika Orang Rimba boleh mengakses penggunaan Kartu Sehat di Puskesmas dan terdaftar dalam program HWS (Health Work Force an Services Project), lalu mengapa BLT yang notabene juga merupakan bantuan pemerintah belum bisa mereka nikmati? (A.S.) (hasil lapangan dan berbagai sumber)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
SUARA RIMBA / Ade Joe Candra, Supporting Staf Bukit Duabelas -
[email protected]
46
masyarakat dalam penyusunan RPTN dan persoalan batas taman yang belum kunjung usai. FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
Kembali ke permasalahan Orang Rimba tadi, ternyata pembukaan dan pemanfaatan lahan Orang Rimba yang tadinya bebas kini terbatasi demi kelestarian Taman Nasional Bukit Duabelas. Kasus ini, menjadi pertentangan dan pembicaraan penting di komunitas Orang Rimba. Mereka mulai bersorak bahwa taman akan membuat kehidupan mereka menjadi susah bahkan ada indikasi, mereka akan diusir dari tanah kelahirannya.
Bukit Duabelas, Nasibmu Kini...
T
aman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang terletak pada 102º3137-102º4827 BT dan 1º4435 2º0315 LS merupakan satu dari empat taman nasional yang terdapat di Provinsi Jambi. Secara administrasi, kawasan ini terletak di tiga kabupaten yaitu Batang Hari, Sarolangun dan Tebo dengan 24 desa penyangga di sekitarnya. Tentunya, keberadaan Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai kawasan konservasi telah ditetapkan melalui SK Menhutbun No: 258/Kpts-II/2000 dengan luas 60.500 hektar yang berfungsi sebagai perlindungan ekosistem dan cagar budaya Komunitas Orang Rimba. Pengelolaan taman nasional yang baru ditunjuk ini akan lebih baik dan sistematis bila diupayakan adanya pembentukan Balai TNBD atau Unit Pelaksana Teknis sesegera mungkin. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) yang dijadikan acuan pelaksanaan dan pedoman kegiatannya ke depan. Walaupun RPTN sebagai dokumen resmi negara telah disahkan pejabat berwenang, namun belum mampu mengakomodir kepentingan berbagai pihak terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan taman. Bahkan, secara redaksional, dokumen ini tampak kaku dan mengikat semua pihak sehingga menimbulkan keresahan di tingkat masyarakat. Terlebih komunitas Orang Rimba yang hidup disemua zonasi. Disamping diabaikannya keterlibatan
Persepsi inilah yang harus secepat mungkin dirubah. Peran aktif pemangku kawasan yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi guna mensosialisasikan RPTN di tengah komunitas Orang Rimba termasuk bantuan dari lembaga dan instansi yang beraktifitas di TNBD sangat diharapkan. Sehingga semua keraguan menjadi sirna dan tercipta pengelolaan multi pihak yang saling menguntungkan. Karena itulah, sebaiknya dalam penyusunan RPTN tetap memperhatikan pola pemanfaatan zonasi yang telah ditetapkan. Berdasarkan zonasi yang ada di RPTN maka fungsinya adalah sebagai berikut; (1) Zona Inti sebagai ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya juga merupakan areal yang dilindungi ketat. Kegiatan yang diperbolehkan pada zona inti hanya yang bersifat penelitian terbatas atau yang berkaitan dengan kehidupan budaya komunitas Orang Rimba. (2) Zona Rimba sebagai ruang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu ruang kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba serta ruang kegiatan penelitian dan pendidikan dan ruang kegiatan pariwisata terbatas untuk penyelenggaraan program pemanduan wisata. (3) Zona Pemanfaatan sebagai peningkatan ekonomi dan pemberdayan menuju kemandirian Orang Rimba dan masyarakat desa penyangga. (4) Sedangkan Zona Rehabilitasi tertutup untuk semua kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan program pemulihan lingkungan. Zonasi yang telah didelianiasi ini bukanlah hal mutlak, karena itu pelibatan semua pihak menjadi tuntutan penting guna penetapan batasnya di lapangan. Review atau kaji ulang RPTN merupakan salah satu solusi nyata yang tepat terhadap permasalahan selama ini. Yaitu melalui pembentukan kelompok kerja pengelolaan kolaboratif taman terpadu. Sehingga, Taman Nasional Bukit Duabelas yang lestari dan terpadu akan tercipta beserta pemberdayaan masyarakat di desa-desa penyangganya. Semoga saja ... (A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
Pembukaan lahan perkebunan di daerah penyangga TNBD, tidak hanya oleh masyarakat setempat, tapi juga oleh masyarakat yang hidup jauh dari taman, sebuah ancaman?
Perambahan Hutan: Potret Privatisasi Sumberdaya Alam
M
atahari belum lagi bersinar dengan terik tatkala langkah kecil kami terayun melangkah menuju kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, tepatnya ke Bernai, Makekal Tengah.. Untuk menuju lokasi yang berada di bagian barat TNBD ini, dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam berjalan kaki dari daerah transmigrasi SPA Tanah Garo Kecamatan Tabir Ilir Kabupaten Tebo. Perjalanan menuju Bernai ini agak menyiksa karena selama perjalanan, yang dilalui adalah deretan kebun sawit dan karet milik masyarakat desa. Tak ada tanaman peneduh di sepanjang jalan. Sesekali terlihat juga pondok kayu di tengah ladang berdiri kokoh diantara tunas-tunas karet berumur 2-3 bulan. Pembukaan ladang untuk perkebunan, memang sudah mendekati kawasan taman. Padahal kawasan TNBD yang merupakan kawasan hutan dataran rendah tersisa di jantung Provinsi Jambi harusnya dipertahankan kelestariannya untuk menunjang kehidupan masyarakat Provinsi Jambi dimasa yang akan datang. Bisa dibayangkan jika nanti tak ada lagi hutan, bencana alam akan mengancam Provinsi Jambi.
Tak hanya itu, Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, juga merupakan tempat penghidupan bagi 1.500-an Orang Rimba. Inilah perbedaan TN lainnya di Indonesia dengan TNBD, Kehadiran Taman secara khusus memberikan ruang gerak bagi orang rimba yang tinggal di dalamnya. Orang rimba yang telah puluhan tahun mendiami wilayah ini berhak untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan. Hutan bagi orang rimba adalah jati diri mereka. Segala aspek kehidupan bersentuhan langsung dengan rimba. Status taman dengan peraturan di dalamnya tetap bisa mengakomodir kebutuhan dan hak orang rimba untuk hidup di dalam taman. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan? Apakah keberadaan taman juga mengakomodir kebutuhan masyarakat desa? Selama ini masyarakat merasa berhak untuk memanfaatkan hutan. Mereka membuka ladang justru ketika status taman nasional sudah diberikan kepada kawasan Bukit Dua Belas. Fenomena perambahan sebenarnya telah terjadi lama di hutan-hutan di Indonesia. Namun untuk TNBD, perambahan hutan marak terjadi dua
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
47
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
AKTUAL / Septi Dhanik Prastiwi -
[email protected]
AKTUAL
48
tahun terakhir ini dengan luasan bukaan sampai puluhan hektar. Jika dibandingkan dengan luas TNBD 60.500 hektar, pembukaan ladang tersebut memang tidak seberapa. Namun ketika hal ini dibiarkan saja, yang terjadi adalah orang akan melihat adanya peluang untuk melakukan pembukaan ladang di hutan. Belum atau bahkan tidak adanya sanksi hukum yang tegas menyebabkan pembukaan ladang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat. Sebuah ironi ketika orang desa dengan jarak puluhan kilometer dari TNBD membuka ladang di hutan. Biasanya pemanfaatan sumber daya alam dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dekat sumber daya tersebut. Namun untuk TNBD, perambahan justru dilakukan oleh masyarakat desa yang datang dari desa dengan jarak puluhan kilometer dari taman. Kecemburuan terhadap akses pemanfaatan taman menjadi isu sentral dalam perambahan hutan ini. Keberadaan orang rimba yang diperbolehkan berladang dan hidup di dalam taman menimbulkan rasa tidak adil dalam benak beberapa oknum orang desa. Mereka tidak diperbolehkan mengambil hasil dan mengelola hutan. Dengan kata lain penetapan Kawasan Bukit Dua Belas menjadi taman nasional dianggap tidak menguntungkan bagi perekonomian orang desa. Di balik perambahan ini motif ekonomi memang menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi. Motif ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya alam bisa dilihat dari studi PM Laksono dkk (2001). Dalam studinya disebutkan bahwa ketika sebuah kawasan dinilai memiliki potensi ekonomi, yang sering terjadi adalah adanya usaha dari beberapa pihak, baik swasta maupun pemerintah untuk mengembangkan area tersebut menjadi lahan yang bisa menciptakan keuntungan ekonomis bagi kepentingan pihak-pihak terlibat. Untuk membuka ladang di hutan, orang desa tidak memerlukan biaya yang banyak, cukup menyediakan biaya panca dan tebang karena hutan merupakan wilayah kosong, sebuah wilayah yang tidak bertuan. Hutan: Sebuah Wilayah Tak Bertuan Menurut PM Laksono dalam Kepulauan Padaido: Haruskah Habis Terkuras, Yogyakarta: KEHATI dan PSAP UGM (2001:152), sumber daya alam menjanjikan nilai ekonomi dan nilai kelangsungan hidup manusia. Sebagai sumber daya alam, hutan juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis tersebut diantaranya adalah kayu dan tanah (nilai yang terbesar dan paling sering dimanfaatkan). Sebagai wilayah yang memiliki nilai ekonomis, wilayah ini kemudian menjadi wilayah yang diperebutkan oleh banyak orang apalagi ketika dalam benak banyak orang ternyata hutan merupakan wilayah tak bertuan.
Secara de yure, hutan merupakan milik negara. Ini bisa dilihat dari adanya Undang-undang yang mengatur mengenai pengelolan hutan. Namun karena negara tidak mampu menjaga klaim terhadap kepemilikan tersebut, hutan menjadi sebuah wilayah yang kosong dan bebas. Kekosongan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan hutan juga tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa hutan sebagai sebuah sumber daya alam bisa dimanfaatkan oleh siapa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, secara de facto, sumber daya alam selama ini diperlakukan sebagai milik bersama oleh masyarakat. Menurut Ciriacy-Wantrup, S. V dan RC. Bishop Milik Bersama Sebagai Suatu Konsep kebijaksanaan Sumber Daya Alam dalam Firial Marahudin dan Ian R. Smith (ed) Seri Pembangunan Pedesaan: Ekonomi Perikanan. Jakarta: PT Gramedia. (1986: 44) milik bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat dijelaskan melalui teori sumber daya milik bersama yaitu bahwa milik semua orang berarti tidak milik siapapun. Penjelasan dari ungkapan ini yaitu bahwa kalau sumber daya alam secara fisik dan hukum dapat digunakan oleh lebih dari seorang pemakai, dapat dikatakan bahwa sumber daya itu boleh digunakan oleh siapa pun. Di sini berlaku para pemakai sumber daya alam ini akan bersaing satu sama lain untuk mendapat bagian yang lebih besar. Pemanfaatan sumber daya alam secara bersama akan memunculkan Tragedi Kebersamaan. Hardin dalam Tragedi Kebersamaan, Persoalan Kependudukan Tak Dapat Dipecahkan Secara Teknis dalam Firial Marahudin dan Ian R. Smith (ed) Seri Pembangunan Pedesaan: Ekonomi Perikanan. Jakarta: PT Gramedia (1986: 8-9), menggunakan contoh suatu padang penggembalaan untuk menggambarkan terjadinya tragedi kebersamaan. Setiap penggembala bebas menggembalakan sebanyak mungkin sapi di padang rumput yang tersedia untuk semua orang. Siapa yang datang terlebih dahulu dapat mengambil rumput sebanyak yang ia kehendaki. Akibat dari adanya hal ini adalah terjadinya kehancuran karena setiap orang akan mengejar kepentingannya sendiri. Menurut Hardin, kebebasan dalam suatu kebersamaan akan membawa kehancuran bagi semua. Kebebasan akan memacu seseorang untuk memanfaatkan lingkungan semaksimum mungkin agar dapat memberikan hasil sebanyak-banyaknya. Kecenderungan inilah yang seringkali terjadi dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dianggap bernilai ekonomis. Ketika sebuah sumber daya memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat maka pengoptimuman akan dilakukan untuk mendapatkan hasil
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
AKTUAL
Mendekati masuk ke TNBD masih ditemukan perladangan dan akses jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat. yang sebanyak-banyaknya. Akibatnya adalah kerusakan sumber daya alam yang diduduki atau diprivatisasi oleh masyarakat.. Inilah yang terjadi di TNBD. Sebagai kawasan hutan tidak bertuan, masyarakat yang tidak memiliki akses lahan di desa (atau memiliki lahan yang terbatas di desa) akhirnya berbondong-bondong untuk melakukan pendudukan. Mereka membuka ladang tidak cukup hanya dengan 1 atau 2 hektar saja namun sampai puluhan hektar sekali buka tanpa memikirkan dampak pembukaan hutan di kemudian hari. Ketika kebutuhan perut lebih mendesak untuk dipenuhi hari ini, untuk apa memikirkan esok hari?Untuk apa memikirkan bencana apa yang akan terjadi kelak?Karena hidup adalah saat ini, mungkin. Bisa jadi inilah yang ada di benak mereka. Bagaimana dengan kita yang tidak berhubungan langsung dengan taman-tidak bersentuhan dengan taman sebagai sumber penghidupan?Mungkin kita akan menghakimi mereka sebagai perusak hutan, atau dalam skala yang lebih besar lagi adalah perusak alam. Namun di sisi lain, tidak pada tempatnya jika kita menghakimi tanpa memberikan solusi. Yang menjadi pekerjaan rumah sekarang ini tidak
hanya memikirkan masyarakat adat (orang rimba) yang tinggal di dalam hutan dan pelestarian hutan itu sendiri. Tetapi bagaimana caranya agar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat juga mendapatkan keuntungan dari adanya taman nasional tersebut. Tekanan akan kebutuhan lahan menjadikan kondisi hutan sangat rentan terhadap kerusakan. Keadaan di wilayah Makekal Tengah hanyalah sekelumit contoh bagaimana kondisi hutan secara riil dewasa ini. Wilayah yang lain di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau bahkan kondisi hutan-hutan lain di Indonesia bisa jadi tidak jauh beda. Kepedulian masyarakat terhadap hutan menjadi penting demi masa depan anak cucu nantinya. Jangan sampai romantisme tentang hutan hilang dan hanya sekedar menjadi dongeng pengantar tidur atau hanya sekedar sebuah lagu kenangan bagi anak cucu nanti. ................hutan, gunung, sawah, lautan simpanan kekayaan................. ................kini ibu sedang duka, merintih dan berdoa............... (Kulihat Ibu Pertiwi) (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
49
AKTUAL / Dewi Yunita Widiarti & Yenni Azmaiyanti, Supporting Unit Kelembagaan & Fasilitator -
[email protected]
FOTO-FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
50
Kripik Rinuak Maninjau, Kebersamaan di Antara Kemunduran kepercayaan
K
eindahan alam panorama Danau Maninjau terkenal hingga mancanegara. Banyak turis asing dan domestik sengaja menyinggahi danau yang terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini. Penganan ringan yang mengambil bahan baku dari hasil danau seperti kripik rinuak, palai bada dan pensi, mudah ditemui di lokasi wisata Danau Maninjau. Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, yang berada parsis di tepian Danau Maninjau kini mulai dikenal sebagai penghasil rakik rinuak yang dipasarkan dengan nama kripik rinuak khas Maninjau. Rakik atau kripik adalah bahasa setempat untuk makanan ringan sejenis rempeyek. Sedangkan rinuak merupakan ikan kecil endemik Danau Maninjau. Populasi ikan ini sangat melimpah sehingga sangat mudah ditangkap, cukup dengan tangguak (jala dengan ukuran mes yang sangat halus). Tangkapan akan lebih banyak jika air danau sedikit keruh atau setelah hujan. Rinuak banyak berenang di permukaan danau, berlindung di bawah tanaman cangkiang (seperti pohon dadap, tapi duri tanamannya lebih kecil) dan eceng gondok yang hidup di tepi danau.
Biasanya, pekerjaan menangkap rinuak dilakukan oleh kaum perempuan, pada pagi hari sebelum ke sawah atau sore hari setelah pulang dari sawah. Selain untuk rakik, rinuak juga bisa dikonsumsi sendiri, dijual atau dijadikan makanan olahan dalam bentuk lainnya. Sadar akan potensi yang melimpah dan bisa meningkatkan ekonomi keluarga, beberapa ibu-ibu kelompok Majelis Taklim di Jorong (dusun, red) Rambai Nagari Koto Malintang pada Juni 2005 lalu sepakat membentuk Koperasi Usaha Rakik Rinuak At-Taqwa. Tidak mudah bagi pengurusnya menjalankan program koperasi itu pada awal berdirinya. Apalagi, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga bernama koperasi mengalami kemerosotan sehubungan dengan seringnya koperasi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, dengan keberanian dan tangan dingin, Indra Novita selaku ketua koperasi secara perlahan tapi pasti mampu membangkitkan gairah kaum perempuan terlibat di koperasi itu.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
AKTUAL konsumen, rakik dikemas dengan berat beragam, mulai dari 25 gram, 100 gram dan 200 gram. Kini, Koperasi Atsava mampu memproduksi rata-rata 50 kilogram rakik rinuak per bulan. Pemasarannya pun diperluas dari rumah makan lalu sekolah di sekitar nagari merambah ke Lubuk Basung, Bukittinggi, Padang dan mulai dipasarkan ke Jambi bahkan Duri (Riau). Untuk melebarkan pemasaran, pengurus koperasi juga menjalin hubungan dengan Dinas Pariwisata, Disperindag dan pihak swasta. Tujuannya agar makanan khas Maninjau itu terus dipromosikan dan dikenal masyarakat luas.
Walau sempat tersendat-sendat, Uni Ita, demikian ketua koperasi itu biasa disapa, terus mengajak anggotanya melakukan pertemuan kelompok sampai pembenahan bisa dilakukan dan koperasi pun berjalan. Pembenahan manajemen dan struktur organisasi, tim produksi, serta mencari strategi pemasaran dan pengembangan modal terus dilakukan sampai koperasi bisa berjalan dan memulai usahanya. Upaya itu tidak sia-sia. Pada 10 September 2005, Koperasi At-Taqwa yang sudah memiliki 20 anggota dan tengah mengurus badan hukum ini dideklarasikan sebagai organisasi masyarakat nagari. Pada Januari 2006 dilakukan penggantian ketua pengurus. Jabatan ketua diserahkan ke Merly Yenti, dan Indra Novita ditempatkan sebagai dewan penasehat. Nama Koperasi At-Taqwa Jorong Rambai pun diubah menjadi Koperasi Atsava (At-Taqwa Sentra Motivasi) Nagari Koto Malintang.
Perjalanan Koperasi Atsava tidak selalu mulus. Banyak juga program yang belum terealisasikan selain munculnya konflik internal. Namun, komitmen untuk terus berproduksi sedikit demi sedikit mulai memberikan keuntungan bagi anggotanya. Dari kendala yang dihadapi pengurus dan anggota koperasi menemukan proses pembelajaran yang cukup penting. Kerjasama dan rasa saling percaya merupakan fondasi yang harus terus dipupuk dalam menjalankan kegiatan koperasi dari waktu ke waktu. Melalui pengelolaan kegiatan yang transparan dan akuntabilitas keuangan yang dilakukan secara berkala melalui rapat anggota, pengurus Koperasi Atsava berharap secara perlahan dapat mengikis image buruk masyarakat tentang koperasi. Sehingga, koperasi dapat menjadi media peningkatan kapasitas perempuan untuk berperan lebih luas dalam lingkup keluarga, nagari bahkan untuk pengelolaan sumber daya alam Muncul harapan agar potensi alam, mulai dari hutan lindung, parak (kebun campur), sawah sampai dengan potensi Danau Maninjau di Nagari Koto Malintang tetap menjadi sumber penghidupan masyarakat yang terus terjaga dan dimanfaatkan dengan memperhatikan kelestariannya.(A.S.)
Untuk meningkatkan kualitas rakik yang dihasilkan, pengurus koperasi mengadakan pelatihan untuk anggotanya. Di antaranya, pelatihan resep dan pengemasan rakik rinuak yang diikuti tim produksi. Hasilnya, pengolahan dan kemasan rakik rinuak semakin bagus. Rakik dikemas dalam plastik tebal. Di kemasan dicantumkan pemberitahuan bahwa rakik produksi mereka mendapat sertifikasi dari Departemen Kesehatan. Dicantumkan pula komposisi rakik. Untuk memenuhi permintaan Rinuak yang diolah menjadi kripik khas Danau Maninjau Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
51
AKTUAL / Sauttua P. Situmorang SH., Legal Officer Bukit Tigapuluh -
[email protected]
FOTO: LANDER RANA JAYA / DOK. KKI WARSI
52
Kelompok Tani, Untuk Apakah?
S
etahun lebih, perjalanan rasionalisasi TNBT berlangsung. Selama itu pula, berbagai permasalahan selalu menghampiri. Mulai dari situasi keruangan desa dan tingkat perekonomiannya, hingga kondisi sosial budaya beserta konflik perdagangan lahan. Setidaknya, ada 24 Desa interaksi utama yang harus dipantau, 16 desa wilayah Riau (Kecamatan Batang Cinaku, Batang Gansal, dan Kemuning) juga 6 desa wilayah Jambi (Kecamatan Tungkal Ulu, Merlung, Tengah Ilir, dan Sumay). Sejauh ini, banyaknya konversi lahan untuk perkebunan besar swasta maupun perorangan atas nama HPH atau HTI yang sangat kontras di desa-desa tersebut. Hal ini ditambah pula dengan pola perladangan dan permukiman penduduk yang terus bertambah. Semakin kompleks saja, permasalahannya. Namun, hal paling menggelitik adalah pembentukan kelompok tani. Pembentukan ini tentu saja masih menyisakan berbagai pertanyaan yang bukanlah meragukan niat baik beserta tujuan mulianya. Tetapi, pertanyaan mendasarnya
adalah apakah keberadaan kelompok tani yang dibentuk ini sesuai aturan yang ada? Juga bagaimana pemanfaatan lahannya bila dikaitkan aturan. Terlebih, mengubah areal hutan untuk perkebunan kelapa sawit, seperti yang marak belakangan ini? Untuk mendirikan kelompok tani, minimal satu dari tiga persyaratan ini haruslah dipenuhi. Sebut saja domisili yang mengharuskan penduduknya telah menetap minimal enam bulan dengan KTP sebagai identitasnya. Berikutnya, hamparan ataupun lokasi yang akan dikelola sudah ditentukan terlebih dahulu baru menentukan jenis komoditi ataupun produk yang akan dihasilkan. Kelapa sawit, katakanlah. Bila persyaratan terpenuhi, tata cara pembentukan siap dijalankan yang minimal sepuluh orang anggotanya. Seperti pembentukan organisasi lainnya maka rapat anggota dijalankan guna penyusunan struktur organisasi seperti nama kelompok tani hingga badan kepengurusan yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi. Bila semuanya beres, pengajuan kelompok tani bisa dilakukan melalui Koordinator PPL Kecamatan yang diketahui PPL Desa, Kades dan Kadis Pertanian Kabupaten. Selesaikah? Ya, jawabannya bila persetujuan tercapai. Maka, nama dan piagam yang ditandatangani oleh Kades (Kelompok Tani Pemula), Camat (Kelompok Tani Lanjutan), Bupati (Kelompok Tani Madya), dan Gubernur (Kelompok Tani Utama) akan diberikan.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
53
Nah, seperti yang dikemukakan di awal salah satu persyaratan pembentukan kelompok tani adalah penentuan jenis komoditi atau produk yang dihasilkan. Bila kepala sawit target utamanya, maka selain persiapan lahan dan bibit, sudah tentu berbagai ketentuan telah menanti sebagai aturan main, SK Menhut acuannya.
§ §
untuk tanah mineral >100 cm untuk ketebalan tanah gambut < 200 cm e. temperatur rata-rata per tahun 24-29 derajat celcius
Sesuai SK. Menhut No. 376/Kpts-II/1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit, yang merupakan pelaksanaan pasal 2 SKB Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN Nomor 364/Kpts-II/1990, Nomor: 519/Kpts/ Hk. 050/7/1990 dan Nomor 23-VIII-1990, yaitu: Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang cocok untuk usaha pertanian dan menurut tata guna hutan.
Sedangkan Pasal 3, untuk kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi perkebunan budidaya kepala sawit adalah: a. berdasarkan rencana tata ruang propinsi berada pada kawasan budidaya non-kehutanan b. tidak dibebani hak c. pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 Km2 tidak termasuk yang dapat dilepas d. diprioritaskan pada lahan kosong atau terbuka berdasarkan citra landsat yang terbaru e. minimal luas areal 10.000 ha.
Menurut pasal 2 SK ini, lahan yang cocok untuk budidaya kepala sawit dengan kriteria sebagai berikut : a. kelerangan max. 25% b. ketinggian 0-300 m dpl c. curah hujan 1750-4000 mm per tahun dengan rata-rata bukan kering per tahun 0-3 bulan d. kedalaman efektif tanah
Ternyata, setelah membuka dan memperhatikan SK Menhut di atas, mendirikan kelompok tani di suatu daerah ada aturannya. Cukup mengumpulkan beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama, mencari nama Kelompok Tani yang sesuai, lalu minta izin pimpinan desa atau Badan Pemerintahan Desa (BPD) setempat. Selesailah perizinan. Kelompok Tani, siap dideklarasikan layaknya partai politik ketika musim kampanye, perkiraan awalku. (A.S.)
AKTUAL / Rahmadie, Ast. Komunikasi Bukit Tigapuluh -
[email protected]
Rasionalisasi TNBT: SK Menhut Tinggal Menghitung Hari
P
FOTO: RAHMADIE / DOK. KKI WARSI
erjalanan Rasionalisasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang diperjuangkan Konsorsium Bukit Tigapuluh sejak awal 2005, menampakkan titik cerah. Berbagai pihak mendukung penuh kawasan yang merupakan hutan hujan tropis dataran rendah dengan nilai konservasi luar biasa ini. Rasionalisasi akan memberikan kemudahan pengelolaan TNBT. Penyelamatan ekosistem sebagai penyangga kehidupan akan berguna bagi masyarakat. Terutama jangka panjang tegas Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh wilayah Riau, Ir. Moh. Haryono, M.Si. Hal senada diungkapkan Bupati Indragiri Hulu, Drs. HR. Thamsir Rahman, MM dan Ketua DPRD Indra Giri Hulu H. Marpoli seperti yang dikutip dari Riau Pos (15/06/06). Menurut Rahman, dukungan rasionalisasi
Batas TNBT: sampai kapan harus menunggu?
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
AKTUAL
54
merupakan bentuk penyelamatan TNBT yang memiliki berbagai jenis flora dan fauna. TNBT aset berharga Inhu. Daerah resapan air yang akan mencegah banjir tegasnya. Meski dukungan rasionalisasi deras mengalir, namun hingga kini- potensi TNBT telah tereksploitasi yang menyebabkan daya dukung habitat dan fungsi hidrologi kurang optimal. Belum lagi hilangnya tutupan hutan alam yang mengancam kerusakan ekosistem lebih luas. Tentu saja, keberadaan TNBT (Riau-Jambi) beserta potensi di berbagai kawasan penyangga harus kita pertahankan. Rasionalisasi ungkap Diki Kurniawan Koordinator Konsorsium Bukit Tigapuluh. Karena itu, kawasan yang merupakan perbukitan curam di tengah hamparan dataran rendah sebelah Timur Sumatera yang terpisah dari rangkaian Bukit Barisan ini harus tetap lestari. Perlindungan hutan alam Sumatera tersisa sebagai tujuan utama tambahnya.
Seperti yang telah diberitakan, Gubernur Jambi mendukung rasionalisasi melalui Surat Rekomendasi Rasionalisasi/Perluasan TNBT No 522/428/Dishut/2006 tanggal 23 Januari 2006 yang merupakan tindak lanjut Surat Dirjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) tanggal 24 November 2005 dan Surat Direktur Eksekutif KKI-Warsi tanggal 25 Desember 2005 tentang Pertimbangan Teknis dan Permohonan Rekomendasi Usulan Rasionalisasi TNBT. Surat yang ditujukan langsung kepada Menteri Kehutanan (Menhut) menyetujui areal seluas 73.835 ha meliputi eks PT. Sari Hutan Permai 402 ha (Blok Ia), eks PT. IFA 6.738 ha (Blok Ib), PT. Dalek Hutani Esa 10.284 (Blok Ic), PT. Dalek Hutani Esa 23. 294 ha (Blok II), dan eks PT. Hatma Hutani 33.117 ha (Blok III). Rasionalisasi ini, makin dipertegas Menhut MS Kaban yang menyatakan Surat Keterangan (SK) Perluasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) segera terealisasi. Departemen Kehutanan sudah menyetujui rasionalisasi yang tinggal menghitung hari ungkapnya dalam jumpa pers di Pekanbaru Riau (10/5/06) lalu. (A.S.)
PETA: YUDHI / GIS KKI WARSI
Taman Nasional Bukit Tigapuluh berdasarkan SK Menhut Nomor Nomor 607/Kpts-II/2002 meliputi 144.223 ha. Berada di Provinsi Riau (111.223 ha) yaitu Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu seluas 81.223 ha) dan Indragiri Hilir (Inhil seluas 30.000 ha ) serta Provinsi Jambi (33.000
ha) di Kabupaten Tebo 23.000 ha dan Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar seluas 10.000 ha).
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006
55
Sang Kemare Launching dan peresmian kantor KKI WARSI
B
erawal dari rasa keprihatinan, lima belas tahun lalu 12 LSM di Sumatera Bagian Tengah bersepakat membentuk wadah yang bisa menjadi tempat mencurahkan kegelisahan dan kegalauan tentang pengelolaan sumber daya hutan yang sentralistik, minim partisifatif masyarakat, tertutup, kolutif dan mengedepankan pendekatan keamanan sehingga terjadi degradasi dan dehumanisasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Dalam pengembangan model-model konservasi bersama masyarakat, Warsi yang semula berbentuk Yayasan berubah menjadi perkumpulan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi pada tahun 2002 lalu. Dalam selang waktu itu Warsi juga beberapa kali berpindah kantor. Pertama berdiri Warsi berkantor di Jambi, kemudian berpindah ke Bangko. Sejak tahun 2002 lalu KKI Warsi sudah menetap di Jambi. Untuk menunjang upaya-upaya yang dilakukannya Warsi secara swadaya juga telah berupaya melengkapi peralatan dan fasilitas pendukung. Kini kantor Warsi telah berdiri permanent di komplek DPRD, tepatnya di Jalan Inu Kertapati Nomor 12 Kelurahan Telanaipura Kota Jambi. Pada 29 Juli 2006, kantor KKI Warsi diresmikan sekaligus launching KKI Warsi. Acara ini dihadiri oleh berbagai stake holder yang selama ini menjadi mitra kerja Warsi. (ren)
Kata Menteri Kehutanan, MS Kaban hutan Indonesia sudah kena kanker stadium empat. Diperkirakan akan habis dalam 15 tahun ke depan. Dari total hutan 120 juta hektar, sekitar 59,3 juta hektar telah rusak dengan laju deforestasi 2,8 juta hektar setiap tahunnya. Jadi, hanya 8 miliar dolar pertahun yang didapat. Ayo, bandingkan dengan hutan Finlandia yang hanya 23 juta hektar namun menghasilkan Rp540 triliun pertahun. Di Gorontalo, 3.723 rumah terendam air. Di Sinjai, Sulawesi Selatan banjir bandang menewaskan 186 orang dan 3.392 lainnya mengungsi. Di Bantul, korban tewas gempa bumi sebanyak 2,386 jiwa, sedangkan luka berat 1.337 orang dan luka ringan 1.251 orang. Bangunan rumah yang ambruk dan rusak berat diperkirakan 7.054 unit. Terakhir, Lumpur Panas Lapindo Brantas di Desa Siring Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur masih mengalir. Musibah
musibah lagi.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2006
56
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2006