1
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
Foto: Lander Rana Jaya / KKI Warsi
2
Daftar Isi /
penulis
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007 SALAM RIMBA Negeri Tanah Surga Menjadi Negeri Bencana / Rakhmat Hidayat..............................................4 KONSEP Belajar Kembali Dari Masyarakat / R akhmat Hidayat................................................................5 INTRODUKSI Bersama Masyarakat Kita Bisa Selamatkan Hutan / Rakhmat Hidayat & Robert Aritonang.................6 LAPUT Kita Mesti Beralih ke Jalan Baru / Mahendra Taher..................................................................10 TNBD Untuk Orang Rimba / Ade Chandra............................................................................1 2 Mengelola TNBT Dengan Manajemen Kolaboratif / Dicky Kurniawan........................................ 1 4 Membangun Dukungan Usaha Kehutanan melalui CF Sumatera / Mahendra Taher......................1 8 Melalui RUPES Masyarakat Dapat Nikmati Listrik / Riya Dharma & Sukmareni ......................... 2 1 FOKUS Nilai Ekonomis Hutan Batang Sangir 12 M / Sukmareni & Kurniadi Suherman............................23 Studi Keruangan dan Pemanfaatan Lahan di Penyangga TNBT / Nugraha Firdaus & Izzah
Purwaningsih...................25
GIS SPOT Aplikasi Citra Landsat Pada SIG / Ade Chandra......................................................................3 0 DARI HULU KE HILIR Perda PSDHBM Sebagai Upaya Mengembalikan Fungsi Hidrologi DAS Batanghari / Sukmareni & Sana Ulaili........................ 3 2
Menilik Pengelolaan Lahan Gambut di Wilayah Hilir DAS Batang Hari / Erwin Herwindo..............3 4 MATAHATI Penyakit Belum Sembuh Sudah Disuruh Kembali ke Rimba / Sukmareni.................................... 3 6 WAWANCARA DPRD: Sudah Saatnya Menghadirkan Kebijakan Partisipatif / Sukmareni................ ....................3 8 Menjadikan Hutan Sebagai Wisata Alam / Rahmadie.......................................... . ....................4 0 SUARA RIMBA Belangun, Masa Remayao Orang Rimba / Retnaningdyah W.,Bubung A...................................... 4 2 Saatnya Orang Rimba Menjadi Guru Untuk Komunitasnya / Sukmareni....................................4 4 AKTUAL Desa Penyangga TNBD Bentuk Persatuan / Supriyanto & Sukmareni..........................................4 6 Healing and Ecosystem Dari Degradasi Menuju Restorasi / Dian Sukmajaya............................... 4 7 STOP! Wacana Pembukaan Jalan di TN Kerinci Seblat / TIM...................................................4 9 SELINGAN Menunggu Sikap Tegas Pemerintah Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan / Sauttua P. Situmorang....51 Apa Kabar Rasionalisasi TNBT? / Rahmad Rahmadie............................................................... 5 3 INFO WARSI, SANG KEMARE, YU SALMA & BANG JUL Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
3
Dari Editor Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab : Rakhmat Hidayat Editor : Sukmareni R ahmadie Web Master : Askarinta Adi Pelaksana : Tim KKI WARSI Distribusi : Aswandi
Salam Lestari
T
anpa terasa waktu terus melaju 2006 telah ditinggalkan, genap dengan segala persoalan yang ada di dalamnya. Kabut asap, banjir, longsor hingga rangkaian musibah tenggelamnya sejumlah kapal yang menelan korban ratusan orang, menjadi penutup tahun. Para pejabat pun pun telah menyatakan bahwa bencana banjir dan longsor yang melanda tanah air, tidak lepas dari aksi destructive logging yang terjadi di negeri ini. Hanya saja komentar dari pihak-pihak terkait tentang pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan azaz manfaat berkelanjutan ini hanya muncul ketika bencana sudah terjadi. Ketika belum terjadi bencana, aksi-aksi yang mengarah kepada pengrusakan hutan tetap dilakukan. Di Jambi hal ini dapat ditemui, ketika telah ada komitmen untuk menjaga kelangsungan Taman Nasional Kerinci Seblat yang memiliki fungsi ekologis untuk penyeimbang lingkungan, belakangan kembali terancam akibat adanya rencana pembukaan jalan yang membelah kawasan ini. Dengan dalih memperpendek jarak tempuh, wacana ini terus di dengung-dengungkan dan terus mencari pembenaran dan dukungan untuk melakukan aksi ini. Apakah harus ada dulu bencana yang menelan korban jiwa, baru kemudian kesadaran untuk menjaga sumber daya hutan timbul? Entahlah, yang jelas pihak-pihak yang nuraninya terpanggil untuk menyelamatkan hutan yang sudah tinggal sedikit terus berjuang untuk mempertahankan hutan tersisa. KKI Warsi sebagai NGO yang aktif di bidang konservasi lingkungan sejak awal berdirinya tetap berkomitmen untuk melakukan konservasi bersama masyarakat. Untuk mewujudkan ini, telah dilakukan berbagai kegiatan untuk mempertahankan hutan tersisa dengan tetap melibatkan masyarakat. Karena masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan hutan, sehingga dalam pengelolaannya pun mereka selalu memperhatikan dan menjaga hutan supaya dapat lestari sehingga pemanfaatannya dapat dilanjutkan hingga ke anak cucu.
Foto Cover : Lander Rana Jaya - KKI
WARSI / Tumenggung Tarib dan Tengganai Ngembar menanam pohon bulian, pohon kehidupan, pada acara peresmian kantor KKI Warsi 29 Juli 2006. Desain & Cetak:
[email protected]
Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id
Untuk itulah dalam edisi tahun baru ini, Alam Sumatera kembali hadir untuk kita semua, dengan mengangkat laporan khusus berupa kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan KKI Warsi dalam upaya mempertahankan hutan tersisa dan mempertahankan hak-hak adat masyarakat. Melalui program DAS Batanghari, KKI Warsi mendorong penataan ruang yang mempertahankan hutan tersisa, selain itu juga mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan azaz manfaat berkelanjutan. Saat ini intensif didorong lahirnya Peraturan Daerah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat dengan Pendekatan DAS di Kabupaten Sarolangun. Untuk menjaga eksitensi hutan tersisa, melalui konsorsium Bukit Tigapuluh terus memperjuangkan perluasan TNBT. Di TNBD, KKI Warsi bergiat bersama Orang Rimba untuk advokasi hak-hak Orang Rimba atas tanah ulayat mereka dan mempertahankan hutan dataran rendah satu-satunya di Sumatera, yang masih tersisa. Untuk masyarakat yang terdapat disekitar hutan yang rata-rata masih terkategori miskin, KKI Warsi mengupayakan peningkatan kesejahteraan mereka. Di Kabupaten Bungo bekerjasama dengan ICRAF, dan Yayasan Gita Buana, KKI Warsi mendorong program RUPES, program yang memberikan imbal jasa lingkungan bagi masyarakat yang mempertahankan kebun karet campur milik mereka. Dengan tetap mempertahankan kebun karet camput yang ekosistemnya menyerupai alam, ini dapat menjadi daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, sekaligus menjaga keseimbangan tata air bagi daerah hilirnya. Selain itu, melalui kegiatan community foundation Sumatera, juga dikembangkan upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pengembangan produk-produk hasil hutan bukan kayu. Harapannya program-program yang dihadirkan Warsi ini, bisa mempertahankan hutan tersisa, sekaligus menjaga titipan anak cucu kita, berupa alam lingkungan yang seimbang. Dan bukannya mewariskan bencana.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
4
SALAM RIMBA / Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI WARSI -
[email protected]
Negeri Tanah Surga Menjadi Negeri Bencana Usah tabang sumbarang tabang Jikok lai takuik datang galodo Urang kampuang sawah jo ladang Nan taniayo (jangan sembarangan menebang jika masih takut akan bencana longsor, masyarakat, sawah dan ladang yang akan teraniaya karenanya)
P
enggalan lagu Pasan Buruang yang dipopulerkan beberapa puluh tahun lalu oleh almarhum Tiar Ramon, penyanyi lagu-lagu Minang. Rasanya masih kontekstual untuk mengambarkan persoalan pengelolaan sumber daya alam sepanjang tahun 2006. Bencana datang silih berganti, yang diakibatkan makin maraknya praktekpraktek illegal logging, berkurangnya tutupan hutan akibat konversi untuk perkebunan besar swasta, HTI, areal transmigrasi, areal konsesi pertambangan serta perumahan. Diperparah pula dengan tidak konsistennya pemerintah mengimplementasikan rencana tata ruang, serta tidak berjalannya penegakan hukum terhadap parapelaku perusakan lingkungan. Sehingga dapat disaksikan kebakaran hutan, kekeringan, banjir dan longsor datang silih berganti mendera sepanjang tahun 2006. Kita sebagai bangsa yang selalu bangga dengan julukan jamrud khatulistiwa, dimana tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman, negeri yang kaya akan mineral, hasil laut dan hijaunya rimba. Sehingga para pemodal besar memperoleh ruang yang sangat luas untuk berinvestasi. Salah satu persoalan mendasar yang sepanjang tahun ini muncul dipicu oleh keberpihakan berlebihan terhadap investor yang dimanifestasikan ke dalam berbagai hak istimewa untuk mengeksploitasi sumber daya hutan. Akibatnya terjadi proses degradasi yang sangat parah dan dehumanisasi pada masyarakat adat dan lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Kondisi ini menimbulkan terjadinya kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat yang mempunyai hak terhadap sumber daya alam dengan para investor sebagai subjek pelaku pembangunan yang diberi hak pengelolaan sumber daya hutan. Akumulasi kesenjangan kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatnya KKN dan tidak terlaksananya penegakan hukum. Dan
.yang lebih dramatis merubah dari negeri tanah surga menjadi negeri bencana.
kontrol terhadap sumber daya sebagai upaya untuk memberlanjutkan fungsi hutan dan kemampuan hutan dalam memberikan kapital finansial untuk menopang kehidupan ekonomi masyarakat.
dan kontrol terhadap sumber daya sebagai upaya untuk memberlanjutkan fungsi hutan dan kemampuan hutan dalam memberikan kapital finansial untuk menopang kehidupan ekonomi masyarakat. Untuk itu masyarakat yang telah turun temurun hidup disekitar dan didalam hutan harus diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya di dalam mengelola sumber daya alam agar berdampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, khususnya untuk a) mengembangkan sistim pengelolaan hutan sesuai dengan pengetahuan lokal, praktek-praktek, tradisi, institusi dan teknologi yang dimiliknya, b) melakukan pemantauan, pengawasan dan perlindungan atas kegiatankegiatan pengelolaan sumber daya hutan serta dampak yang ditimbulkannya, c) meningkatkan kemampuan dalam penyampaian informasi yang diperlukan untuk perlindungan dan pengamanan sumber daya hutan dan d) membangun sistim nilai, norma dan kelembagaan yang mengarah pada prinsip pengelolaan hutan yang adil dan demokratis. Apabila kesemuanya diaktualisasikan dengan kebijakan yang mengedepankan posisi masyarakat dan mengadopsi kearifan-kearifan tradisional yang ada, maka partisipasi disekitar dan di dalam hutan akan muncul dengan sendirinya. Sehingga mereka akan melibatkan diri di dalam pengelolaan, pengawasan dan perlindungan sumber daya hutan, karena masyarakat merasa bahwa mereka menerima manfat secara ekonomi dan ekologi dari sistim pengelolaan tersebut. Sehingga ditahun 2007 cahaya terang akan menerangi praktek-praktek pengelolaan yang lebih baik. Kita berharap tahun depan tidak lagi menyaksikan kebakaran hutan yang dihujat oleh berbagai negara tetangga dan menimbulkan dampak terhadap kesehatan, ekologi dan ekonomi serta bencana banjir dan longsor dimusim penghujan. Tahun yang penuh harapan dengan pelibatan para pihak didalam pengelolaan hutan, penegakan hukum yang tidak pandang bulu, konsistensi penerapan kebijakan, dan mulai dikedepankannya keberlanjutan dan keadilan pada setiap praktek pengelolaan. Bukan hanya ekonomi semata.
Tinggal masalahnya sekarang adalah kemauan bersama seluruh pihak untuk benar-benar memberikan kepercayan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutannya. Tentu saja faktor utama yang harus dipertimbangkan untuk mewujudkannya berupa perubahan perangkat kebijakan yang memungkinkan Selamat Tahun2007 Baru 2007. (A.S.) Alam Sumatera, - JUNI peningkatan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaanJanuari
konsep / Rakhmat Hidayat, Direktur Eksekutif KKI WARSI -
[email protected]
Belajar Kembali Dari Masyarakat
K
onservasi bersama masyarakat merupakan pilihan yang didorong oleh KKI WARSI di dalam mengupayakan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan, demokratis, berkeadilan dan mempunyai manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pilihan ini diambil setelah tercabik-cabiknya sumber daya hutan di Indonesia khususnya Sumatera. Tidak bisa disangkal kalau keberadaan kawasan hutan Sumatera termasuk didalamnya kawasan konservasi sangat strategis, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, pelestarian, sumber Pendapat Asli Daerah, otonomi daerah dan lainnya. Sehingga tekanannya pun makin hari makin tinggi, dan menimbulkan perubahan ekosistem asli hutan hujan tropis Sumatera. . Sudah saatnya dilakukan upaya-upaya untuk memulihkan paling tidak meminimalkan dampak yang ditimbulkan. KKI Warsi sebagai NGO yang konsen terhadap persoalan lingkungan mengambil peran disini. Berbagai kegiatan telah dilakukan, mendorong lahirnya praktek-praktek pengelolaan yang memperhatikan kearifan lokal dan azas pemanfaatan berkelanjutan. Proses fasilitasi lapangan yang dilakukan sebagai upaya untuk memberikan alternatif pengamanan sumber kekayaan alam dan gagasan dalam upaya minimalisasi kehancuran lingkungan hidup. Pada tataran penyelamatan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, kegiatan ini dilaksanakan untuk mendorong terbukanya akses masyarakat terhadap sumber kekayaan alam hutan sebagai kawasan-kawasan produksi yang pada akhirnya mengurangi persoalan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat di dalam dan pinggir hutan. Kegiatan juga diarahkan untuk mendorong adanya pengakuan,
penghormatan dan perlindungan terhadap inisiatif pengelolaan dan teknologi lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat yang berkelanjutan secara demokratis, berkeadilan, otonom dan mandiri oleh lembaga perwalian lokal. Kondisi ini bila tercapai akan mampu mempertahankan tutupan hutan yang tersisa sehingga menjamin keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat sekitar hutan dalam waktu yang cukup lama. Pada tataran implementatif diinisiasi dengan jalan; (1) Menghimpun dukungan publik dalam usaha mempercepat penghentian pengrusakan hutan dan memberikan pengakuan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat; (2) Mendorong adanya perencanaan kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan sumber kekayaan alam hutan; (3) Menghimpun informasi kawasan yang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh semua pihak yang berkepentingan untuk mendukung pengakuan sistim hutan kerakyatan; (4) Membangun perencanaan ruang mikro sebagai upaya meredam konflik internal mengenai pamanfaatan lahan dan sumber daya secara partisipatif dan menguntungkan bagi semua pihak, serta membuat mekanisme kelembagaan secara berimbang; (5) Membangun model pembelajaran bersama yang menuju pada peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan melalui praktekpraktek pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan dengan jalan mengembangkan jaringan komunikasi dan kerja sama multi pihak dalam pengelolaan hutan; (6) Intermediasi keberbagai pihak untuk memperoleh pengakuan dan dukungan dari para pihak, khususnya pemerintah kabupaten untuk kepentingan hak kelola masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan tersisa; (7) Pengembangan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam menyusunan payung hukum lokal (desa ataupun nagari) yang lebih demokratis sebagai upaya untuk mengatur keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan konservasi di daerah kelola masyarakat dengan penekanan konsep dan mekanisme lokal untuk melindungi hutan berdasarkan tujuan bersama. (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
5
6
INTRODUKSI / Rakhmat Hidayat dan Robert Aritonang -
[email protected]
Rahmat Hidayat (Direktur Eksekutif KKI Warsi), Datuk Abu Bakar (tokoh masyarakat Guguk) dan Abu Samah (ketua pengelola Hutan Adat Desa Guguk) memberikan keterangan pers usai menerima penghargaan CBFM Award dari Menteri kehutanan RI MS Kaban. Foto: Lander Rana Jaya/KKI Warsi
Bersama Masyarakat Kita Bisa Selamatkan Hutan Ekosistem Sumatera dan Potret Kerusakan Sumber Daya Hutan
K
awasan ekosistem hutan hujan tropis Sumatera merupakan salah satu titik terpenting dari pusat biodiversity di Indonesia. Hidup lebih dari 10.000 jenis species tumbuhan tingkat tinggi yang kebanyakan tumbuh di hutan dataran rendah, selain itu juga terdapat 210 jenis mamalia, 580 jenis burung, 194 reptilia, 62 ampfibia dan 272 jenis ikan air tawar, diantaranya ada 9 jenis mamalia dan 30 jenis ikan dan 19 jenis burung yang endemik (BAPPENAS 1993). Keberadaan sebaran kantong keragaman hayati yang penting telah dilindungi oleh pemerintah dengan berbagai status,
seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat di dataran tinggi, kemudian Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di bagian utara, Taman Nasional Bukit Dua Belas di bagian tengah, Taman Nasional Siberut di Kepulauan Mentawai, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dibagian ujung barat daya, Taman Nasional Berbak serta hutan mangrove Sembilang yang mewakili ekosistem lahan basah, gambut, dan mangrove di pantai timur Sumatera. Harus diakui bahwa kawasan konservasi termasuk di dalamnya taman nasional, hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa di kawasan hutan hujan tropis Sumatera merupakan benteng terakhir penyeimbang siklus hidrologi dan habitat satwa liar, seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak Sumatera (Dicerorhinus
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
INTRODUKSI
Staf KKI WARSI tengah melakukan studi sosekbud dan biofisik wilayah hilir DAS Batanghari, berada di HPH Putra Duta Wood, satu dari dua HPH yang masih beroperasi di Jambi. Foto: Dok. KKI WARSI sumatraensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus) dan lainnya yang terus menurun tajam akibat perburuan dan penyempitan habitat. Sekain itu juga sebagai sebagai rumah yang nyaman untuk flora khas seperti cendawan muka harimau (Raflesia haseltii), Raflesia arnoldi, Amorphopalus titanum dan berbagai jenis kekayuan, perdu, bebungaan. Tidak bisa disangkal kalau keberadaan kawasan hutan Sumatera termasuk di dalamnya kawasan konservasi sangat strategis, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, pelestarian, sumber pendapat asli daerah, otonomi daerah dan lainnya. Sehingga tekanannya pun makin hari makin tinggi. Perubahan ekosistem asli hutan hujan tropis Sumatera pada awalnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan akan lahan pertanian secara tradisional seperti sawah, kebun karet, padi ladang, kelapa dan lainnya. Puncak perubahan terjadi pada kurun waktu pertengahan tahuan 1970-an sampai sekarang, ketika beroperasinya puluhan areal konsesi HPH, konversi hutan menjadi perkebunan besar swasta sawit, areal transmigrasi, Hutan Tanaman Industri dan areal konsesi pertambangan. Saat ini ancaman bertambah dengan maraknya aktifitas Illegal Logging. Perkiraan Bank Dunia menunjukan bahwa Sumatera kehilangan hutannya dengan tingkat kerusakan hampir 2,5 % pertahun sebagian karena kebakaran hutan (tahun 1997 saja mencapai 1,7 juta hektar). Penyebab lainnya adalah konversi hutan alam sebagai dampak berbagai kebijakan
pemerintah sebelumnya. Termasuk ke dalam hal ini adalah pelaksanaan otonomi daerah yang semakin mengkhawatirkan dan cenderung eksploitatif terhadap kawasan hutan yang tersisa. Tingkat kehilangan hutan di Sumatera telah mencapai 67.000 km2 hanya untuk periode 12 tahun saja (1985-1997). Di lain pihak, tidak ada data dari pihak manapun yang mampu menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan semakin membaik kesejahteraannya. Yang terjadi justru semakin langkanya bahan pangan murah yang sebelumnya disediakan hutan, punahnya banyak jenis tanaman obat, serta semakin rusaknya dukungan hodrologis untuk daerah pertanian mereka. Konservasi Bersama Masyarakat merupakan salah satu pilihan ke depan. Pilihan ini untuk menjawab persoalan pengelolaan sumber daya alam yang telah terjadi. Bentuk pengelolaan sumber daya alam yang diimplementasikan saat ini tengah mengalami keterpurukan, sebagai akibat dari kesalahan tata kelola yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peran serta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum. Ketidakpatuhan tersebut juga memperlihatkan pada pengurusan yang tidak menjalankan amanah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang memandatkan bahwa hutan sebagai sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
7
INTRODUKSI
8
KKI Warsi mengambil peran Tingginya degradasi hutan di Sumatera dan menimbulkan keprihatinan merupakan salah satu alasan berdirinya Warsi. Harus ada yang dilakukan untuk menahan laju kerusakan hutan. Berawal dari obrolan-obrolan tentang sumber daya alam, hingga kemudian dituangkan ke dalam bentuk program-program ditempuh Warsi untuk mempertahankan hutan tersisa, dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Karena masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai hubungan erat dengan sumber daya hutan. Konservasi Bersama Masyarakat merupakan sebuah motto yang selalu di pegang oleh KKI Warsi dalam menjalankan berbagai program-programnya untuk memperjuangkan hakhak masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Motto ini sesungguhnya mendorong pengelolaan hutan secara lestari berdasarkan prinsip-prinsip masyarakat lokal. Sumber daya hutan yang lestari merupakan bagian dari nafas kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Karena itu secara ideal tujuan ini menjadi harapan bersama semua masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Konservasi bersama masyarakat menjadi pilihan karena hanya bersama masyarakat didapatkan peluang pengelolaan hutan yang lebih adil dan juga lebih lestari. Dari programprogram konservasi bersama masyarakat yang dilakukan KKI Warsi dapat dilihat bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan memberikan peluang yang lebih besar bagi keadilan dan keberlanjutan sumber daya alam. Untuk masyarakat yang hidup di dalam hutan seperti komunitas Orang Rimba, KKI Warsi melalui program Pengelolaan Sumber Daya bagi Penghidupan Orang Rimba di TNBD, berupaya mendapatkan pengakuan Hak Orang Rimba atas kawasan hutan dan sumber daya di dalamnya. Advokasi hak dan sumber daya Orang Rimba, telah menghasilkan pengakuan terhadap kawasan adat mereka dengan luasan 60.500 ha dan status sebagai taman nasional. Namun dalam pengelolaan masih perlu banyak pembenahan terutama pentingnya menggarap keterlibatan komunitas Orang Rimba dan komunitas desa sekeliling taman untuk turut aktif dalam pengelolaaan taman. Salah satu masalah penting sekarang ini adalah bagaimana rencana pengelolaan taman nasional (RPTN) yang telah disahkan oleh pemerintah perlu di revisi. Sehingga RPTN ini benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan Orang Rimba. Untuk masyarakat yang berada di sekitar hutan, KKI Warsi melalui program community based forest management
Tumenggung Tarib dan Kalpataru yang diterimanya dari Presiden SBY atas upaya kelompoknya mempertahankan kawasan hutan dengan membuat hompongon. Foto Lander Rana Jaya/KKI Warsi (CBFM), mengupayakan pola pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat yang merupakan strategi pengelolaan yang berorientasi pada tercapainya kelestarian hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat lokal yang secara historis memiliki ketergantungan kepada sumber daya hutan. Tujuan CBFM ini adalah mendukung pengelolaan hutan berbasiskan pengetahuan dan kebudayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan jaminan kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. Dari aksiaksi yang dilakukan di lapangan terlihat bahwa kelompok masyarakat desa terbukti dapat membangun aturan-aturan berdasarkan hukum adat untuk mengelola hutan secara lestari. Di segi kebijakan KKI Warsi juga berupaya mendorong lahirnya dukungan nyata dari pihak pemerintah. Melalui Program Pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan bioregion pada DAS Batanghari, KKI Warsi telah memberikan masukan-masukan kepada pihak pemerintah untuk terciptanya penataan ruang yang lebih mengakomodir penyelamatan hutan tersisa. Upaya lain yang dilakukan juga mendorong lahirnya kebijakan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan azaz pemanfaatan berkelanjutan.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
INTRODUKSI diterima para pihak, dan ini semua tentu harus didukung fakta dan data yang lengkap, berdasarkan hasil kajian dan analisis yang dilakukan.
Staf B30 beristirahat sejenak, setelah menempuh perjalanan jauh untuk melakukan survey lokasi rasionalisasi TBNT. Foto: Dok KKI Warsi Atas upaya masyarakat yang terlibat dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan tetap mempertahankan kebun karet campur, yang ekosistemnya yang menyerupai ekosistem hutan alam, melalui program RUPES yang memberikan imbal jasa lingkungan atas upaya yang dilakukan masyarakat dalam menjaga kebun karet campur mereka. Sedangkan untuk kawasan bukit tiga puluh, KKI Warsi yang tergabung dalam konsorsium Bukit tigapuluh tengah mendorong perluasan taman nasional, untuk perlindungan ekosistemnya secara lebih luas. Perluasan ini penting dilakukan mengingat TNBT yang memiliki ekosistem unik karena menempati suatu kawasan perbukitan yang cukup curam di tengah-tengah dataran rendah di bagian timur Sumatera dan terpisah sama sekali dari pegunungan Bukit Barisan. Kini kawasan TNBT dan daerah penyangganya menghadapi ancaman serius dari aksi-aksi pembalakan liar dan peyerobotan lahan. Untuk mewujudkan program-program ini, di lapangan Warsi melalui staf kadang harus bernanah-nanah dan berdarah-darah untuk mencapai site-site dampingan. Di level kebijakan harus bisa menyediakan argumen yang tepat sehingga ide dan gagasan untuk penyelamatan hutan dapat
Dari upaya-upaya yang dilakukan itu, munculnya pengakuan dari berbagai pihak termasuk pemerintahan. Dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Nomor.1249 Tahun 2002 oleh Bupati Bungo tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, terhadap lima lokasi hutan lindung, yaitu Hutan Lindung Batu Kerbau 776 ha, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 ha, Hutan Adat Batu Kerbau 386 ha, Hutan Adat Belukar Panjang 472 ha dan Hutan Adat Lubuk Tebat 360 ha. Selain itu juga Bupati Merangin telah mengukuhkan kawasan Hutan Bukit Tapanggang seluas 690 ha sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin lewat SK Bupati Nomor.287 Tahun 2003 dan SK Bupati Merangin No.36 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Hutan Adat Imbo Pusako seluas 252,5 Hektar dan Imbo Parabokalo seluas 275,5 Hektar di Desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin. Selain hal tersebut telah dicapai beberapa Peraturan Desa yang mengatur pengelolaan sumber daya alam desa di Guguk Kabupaten Merangin dan Ladang Palembang Kecamatan Lebong Uatara Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu, rencana tataruang mikro, dan Rancangan Peraturan Nagari di Koto Gadang dan Koto Malintang kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat. Selain pengakuan dari pemerintah, atas upaya tersebut juga telah membuahkan penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan untuk Tingkat Nasional pada tahun 2004 untuk desa Batu Kerbau, Kalpataru Tingkat Provinsi Jambi untuk desa Guguk pada tahun 2004, serta pemenang CBFM Award yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan dan The Ford Foundation untuk Guguk pada tahun 2006. Selain itu, juga diterimanya penghargaan Kalpataru oleh Kelompok Masyarakat Adat Suku Anak Dalam Kecamatan Air Hitam dibawah pimpinan Tumenggung Tarib. Walau begitu, bukan pengakuan dan penghargaan saja yang diterima oleh Warsi dan daerah dampingannya. Cerita duka di lapangan juga kerap terjadi, misalnya ketika staf Warsi di keroyok oleh orang tertentu tanpa tahu persoalan yang sebenarnya. Sebagaimana yang terjadi di Desa Pematang Kabau Kecamatan Air Hitam. Untungnya masyarakat adat Kecamatan Air Hitam dan aparatur pemerintah di sana bersikap bijak, dengan menggelar sidang adat adat pengeroyokan yang terjadi. Para pelaku secara adat telah dijatuhi sanksi akibat perbuatannya. (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
9
10
Frekuensi banjir yang lebih sering telah membawa dampak bagi kehidupan masyarakat, salah satu penanda DAS Batanghari kritis. Foto Hadi Sulistio/KKI Warsi
LAPORAN UTAMA / Mahendra Taher, Deputi Direktur -
[email protected]
Cuplikan Catatan Akhir Program Bioregion DAS Batanghari
Kita Mesti Beralih ke Jalan Baru
Kalian ini nekad atau sudah gila sih.. gurau seorang teman dari salah satu NGO. Itu kan wilayah maha luas dan tidak bertuan lanjutnya. Sepenggal obrolan santai itu terjadi pada suatu sore sekitar awal tahun 2002, ketika gagasan untuk melaksanakan program Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam DAS Batanghari dengan Pendekatran Bioregion ini sedang disusun. Kini, 2,5 tahun setelah program ini dijalankan secara efektif sejak pertengahan tahun 2002 melalui 2 fase, terbukti bahwa statement tersebut tidak sepenuhnya salah tetapi tidak pula semuanya benar. Jika mau dibilang nekad, barangkali memang ada benarnya. Bayangkan, cakupan wilayah DAS ini hampir 4,9 juta hektar, terletak di dua provinsi dan 12 kabupaten dan satu kota. Sementara tenaga yang terlibat hanya 10 orang. Salah seorang fasilitator kabupaten dalam program ini pernah mengatakan ..Kerjaan kita lebih kompekls dari seorang Bupati. Tapi kalau dibilang gila, sepertinya belum. Justru dari pengalaman melaksakan program inilah diperoleh pengetahuan serta pemahaman yang lebih kompeks tentang pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan pada DAS. Jika diletakkan dalam konteks pengelolaan DAS yang lebih luas, program ini barulah merupakan langkah awal. Berkaca pada pengalaman negara lain baik di Amerika Latin maupun di Eropa,
dibutuhkan waktu yang panjang antara 30 50 tahun untuk mencapai suatu pengelolaan DAS yang baik. Seribu tuan vs tidak bertuan DAS Batanghari seperti yang dikatakan teman tersebut memang dapat dikatakan sebagai wilayah tidak bertuan. Tetapi disisi lain ternyata DAS Batanghari juga merupakan wilayah dengan seribu tuan. Dikatakan sebagai wilayah tidak bertuan karena kenyataannya sampai saat ini belum ada satu pihakpun yang betul-betul memiliki kewenangan, mandat ataupun kewajiban untuk melakukan perencanaan, koordinasi, konsultasi, pelaksanaan kegiatan yang menyeluruh, monitoring serta evaluasi. Memang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan disebutkan bahwa pengelolan DAS lintas provinsi dilaksanakan oleh Menteri, namun kenyataannya di lapangan masih jauh panggang dari api. Sehingga dapat dikatakan apa yang disebut sebagai pengelolaan DAS Batanghari sebenarnya belum ada. Disebut wilayah dengan banyak tuan juga merupakan sebuah kenyataan. Tumpang tindih kebijakan tentang kelembagaan adalah sebuah bukti. Saat ini di Provinsi Sumatera Barat telah dibentuk Dewan Air Sumatera Barat dan juga Dinas Pengelolaan
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
LAPORAN UTAMA sumber daya air di provinsi yang mencakup juga DAS Batanghari. Sementara di Jambi baru Dewan Air saja yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur no 7 tahun 2005. Selain itu berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 52 tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS juga telah berdiri forum DAS Sumatera Barat dan Kelompok Kerja (Pokja) Monitoring DAS Batanghari di Jambi. Bahkan pemerintah Provinsi Jambi pada pertengahan tahun 2006 juga membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Batang Hari Bersih Provinsi Jambi berdasarkan Keputusan Gubernur nomor 235 tahun 2006. selain itu juga terdapat Unit Pelaksana Teknis (UPT) pemerintah pusat di daerah yaitu Balai Pengelola DAS (BP DAS) yang terdapat di setiap provinsi. Di Sumatera Barat disebut BP DAS Agam Kuantan sedangkan di Jambi disebut BP DAS Batanghari.
Pendekatan bioregion lahir seiring dengan perkembangan pengetahuan tentang ekosistem global serta dinamika yang terjadi di tengah masyarakat yang selama ini selalu termajinalkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pendekaan ini didasari oleh pengetahuan bahwa tidak ada satu sistem alam ( nested ecosystem ) yang bersifat tertutup, sehingga antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya saling berinteraksi. Kalau dalam konsep pengelolaan DAS terpadu hubungan antara ekosistem lebih dipandang dari sudut pergerakan air, maka dalam konsep bioregion hubungan tersebut juga memperhatikan aspek lebih luas mulai dari migrasi satwa, pergerakan udara global, keterkaitan komunitas masyarakat dengan sistem ekologinya, dan hubunganhubungan sosial yang lebih kompleks yang mempengaruhi pengelolaan sumber daya alam.
Akan tetapi banyaknya kelembagaan yang ada ternyata tidak membuat kondisi DAS Batanghari membaik. Boleh dikatakan kelembagaan yang sangat banyak tersebut dalam operasionalnya di lapangan masih terlihat mandul karena masing-masing merasa sebagai tuan sehingga komunikasi, koordinasi, dan konsultasi diantara mereka menjadi tersumbat.
Selama 2,5 pelaksanaan program telah diperoleh beberapa hasil nyata diantaranya mulai munculnya kesepahaman diantara para pihak, terbangunnya basis data, mulai diimplementaiskannya perencanaan wilayah berbasis DAS dengan pelibatan masyarakat, munculnya forum-forum diskusi di kabupaten yang lebih mengedepankan fungsi daripada struktur, munculnya inisiatif penyusunan peraturan daerah tentang pengelolaan hutan dengan pendekatan DAS, dan meluasnya perhatian para pihak terhadap permasalahan DAS Batanghari.
Pelajaran dari pendekatan Bioregion Upaya Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam DAS Batanghari dengan Pendekatan Bioregion dilaksanan untuk mencoba mencari pendekatan alternatif di tengah tumpang tindih kepentingan, adanya kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu serta kerumitan pengelolaan sumber daya hutan lestari pada era otonomi daerah Khusus untuk konsep pengelolaan DAS terpadu yang menjadi manistream saat ini, upaya mengimplementasikannya melalui kebijakan di tengah kondisi otonomi daerah seperti sekarang ini rasanya nyaris mustahil. Ketika berhadapan dengan kewenangan pemerintah kabupaten yang demikian besar yang termaktub dalam UU No 32 Tahun 2003 Tentang Pemerintah Daerah maka gagasan besar pengelolaan DAS terpadu terlihat menjadi kerdil. Sampai hari ini belum ada peraturan apalagi undang-undang yang menjadi dasar kebijakan ini sehingga dia tidak mengikat pemerintah daerah dalam menyusun berbagai kebijakan seperti RTRW Kabupaten atau Provinsi serta peraturan lain di daerah. Selain itu, sekalipun pendekatan pengelolaan DAS terpadu bercirikan holistik dan komprehensif, pada kenyataannya para pelaksana di lapangan cenderung memaknainya dari sisi teknis semata. Akibatnya konsep ini cenderung menggiring para pengambil keputusan dan para peneliti pada pilihan-pilihan teknologi untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada pada suatu DAS. Implikasi dari pilihan ini adalah diperlakukannya faktor lain pada DAS hanya sebagai pendukung untuk pilihan teknologi tertentu.
Hambatan hambatan mendasar juga ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan ini seperti masih dominannya pemikiran dan pendekatan sektoral dan kewilayahan administratif, sulitnya koordinasi, tidak berimbangnya kapasitas diantara pemangku kepentingan utama (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Selain itu juga belum ada peraturan perundang-undangan yang bisa dijadukan landasan pengelolaan suatu DAS yang komprehensif sehingga berbagai konsep pengelolaan sumber daya hutan pada DAS (baik pendekatan DAS terpadu, pendekatan bioregion maupun pendekatan yang lain) masih berseberangan dengan desentralisasi yang sedang berjalan. Dari pemahaman kondisi awal, hasil yang dicapai, hambatan dan realitas lainnya yang ditemukan dalam pelaksanaan program ini telah dihasilkan suatu gagasan menarik. Inti dari gagasan yang lahir dari proses pembelajaran ini adalah pengelolaan sumber daya hutan yang komprehensif pada DAS Batanghari ke depan tidak dapat hanya berdasarkan keterkaitan ekosistem dan pola interaksi manusia dengan sistem alam dan lingkungannya tetapi yang utama adalah berdasarkan adanya kepentingan bersama (common interest) berbagai pihak yang terdapat di wilayah tersebut. Gagasan ini akan lebih menekankan pada perumusan kepentingan yang berisisan diantara stakeholder sehingga dengan sendirinya batasan administrasi, ego sektoral, serta hambatan politik dan kebijakan dapat diminimalisir dalam suatu wilayah DAS.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
11
12
Laporan utama / Ade Chandra, Asisten Pengelola Kawasan,
[email protected]
TNBD untuk Orang Rimba
K
onversi hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi serta kegiatan destructive logging nyaris menyebabkan Orang Rimba kehilangan hak ulayat dan kehidupan mereka. Suku asli Jambi yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan ini, semakin termarginalkan. Diperparah lagi dengan sangat terbatasnya kemampuan mereka mengakses administrasi desa, politik, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Akibatnya Orang Rimba menjadi terasing di tanah mereka sendiri. KKI Warsi sebagai NGO yang peduli dengan pelestarian lingkungan sejak awal berjuang untuk mengadvokasikan perlindungan hak Orang Rimba terhadap spot-spot lahan tersisa agar mereka tidak kehilangan lahan. Berawal ketika kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang menjadi tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba terus mendapat tekanan dari HTI. Cagar Biosfir seluas 27.000 ha ini, tahun 1997 terancam, karena bagian Utara Cagar Biosfir sedang dan akan di konversi menjadi HTI oleh Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari. Warsi kemudian mulai melakukan kajian-kajian dan kegiatan untuk membantu Orang Rimba mempertahankan hak mereka atas wilayah yang secara turun temurun telah menjadi tempat hidup mereka. Kajian yang dilakukan KKI Warsi terhadap kawasan hidup Orang Rimba merekomendasikan agar areal kawasan PT INHUTANI V dan PT Sumber Hutan Lestari yang terletak di sisi luar bagian Utara CBBD diperuntukkan sebagai kawasan hidup komunitas Orang Rimba. Dari pemetaan partisipatif semakin menguatkan kawasan Cagar Biofir Bukit Duabelas dan areal perluasan Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari, lebih signifikan menjadi kawasan Orang Rimba. Sehingga perluasan Cagar Biosfer menjadi sangat penting untuk melindungi hak Orang Rimba. Kawasan tersebut satu-satunya areal hutan alami dataran rendah yang tersisa di tengah-tengah Propinsi Jambi yang sangat penting bagi kehidupan sosial budaya Orang Rimba dan masyarakat luas. Berbagai upaya telah dilakukan Warsi bersama Orang Rimba untuk legalitas perluasan Cagar Biosfir, untuk kawasan penghidupan Orang Rimba. Respon pemerintah pun cukup baik, izin perusahaan dikawasan itu HTI
Orang Rimba tengah berkumpul selesai mengangkat manau sembari menunggu toke yang akan membeli, foto: Lander Rana Jaya/KKI WARSI dicabut, kemudian kawasan ini diakui sebagai kawasan hak Orang Rimba dengan status hukum Taman Nasional dan disebut Taman Nasional Bukit Duabelas. Respon pemerintah ini memang cukup unik, karena usulan semula hanya perluasan cagar biosfrir tetapi yang keluar justru taman. Taman Nasional Bukit Duabelas yang ditetapkan Menteri Kehutanan pada Agustus 2000 merupakan perluasan dari Cagar Biosfer dengan misi menjamin kelangsungan eksistensi kawasan sebagai kawasan budaya dan sumber kehidupan ekonomi alternatif bagi komunitas Orang Rimba. Tujuan utama perluasan Cagar Biosfer yang diperjuangkan oleh Warsi dan mitranya adalah sebagai kawasan pelestarian alam dan kawasan budaya komunitas Orang Rimba dengan melakukan pengelolaan secara bersama sehingga memberikan sumbangan optimal bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar taman nasional.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
LAPORAN UTAMA Warsi sangat menyadari bahwa status hukum kawasan hidup komunitas Orang Rimba di akui melalui penetapan Taman Nasional, akan tetapi menimbulkan persoalan yang berimplikasi luas terhadap pengelolaan kawasan tersebut. Akan tetapi menurut pandangan pemerintah dalam hal ini departemen kehutanan, status Cagar Biosfir tidak memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia, sehingga pemerintah secara sepihak memutuskannya menjadi taman nasional. Konsekuensi dari status hukum kawasan konservasi ini adalah pengelolaan yang masih terpusat dibawah Departemen Kehutanan dalam hal ini BKSDA Jambi sebagai pemangku kawasan sebelum terbentuknya balai taman nasional. Harapan banyak pihak melihat bahwa TNBD yang diperuntukkan menjadi wilayah kehidupan dan penghidupan Orang Rimba merupakan salah satu terobosan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Karena taman nasional ini merupakan satu-satunya taman nasional di Indonesia yang kelahirannya bertujuan untuk melindungi hak hidup dan penghidupan suku asli yaitu Orang Rimba serta sebagai contoh pengelolaan taman yang masyarakatnya tidak dikeluarkan. Sementara taman nasional lain cenderung membatasi akses manusia bahkan harus mengusir manusia yang berada di dalamnya. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di negara kita bahwa taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi dan adanya rencana pengelolaan (management planning) sebagai pedoman strategis pengelolaan kawasan konservasi. Untuk itulah BKSDA Jambi membuat Rencana Peneglolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) pada akhir tahun 2004 melalui pihak ketiga sebagai bentuk melaksanakan tanggung jawab dan adanya pengakuan dari pemerintah kabupaten yang melihat TNBD sebagai penghasil PAD mereka. Warsi sebagai lembaga yang telah lama melakukan kajian dan penelitian terkait Bukit Duabelas, berupaya memberikan input dalam penyusunan rencana pengelolaa taman sebagaimana lembaga lain yang juga ikut memberikan masukan untuk kesempurnaan penyusunan RPTN. Hal ini sebagai salah satu wujud komitmen Warsi terhadap Orang Rimba dan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan taman nasional sehingga kepentingan semua pihak bisa terakomodir. Namun karena pembuatan RPTN ini dalam waktu yang relatif singkat dan masih berbasis projek maka keterlibatan masyarakat masih minim. Berdasarkan kenyataan ini, Warsi telah memberikan koreksi dan kritik yang disampaikan dengan santun dan proporsional sehingga didapatkan perbaikan yang posistif, bukan resistensi. Warsi tetap memberikan masukan dan kritikan yang memperjuangkan hak Orang Rimba sedangkan keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah dalam hal ini BKSDA.
Namun rencana pengelolaan yang dikerjakan dalam waktu singkat ini memiliki berbagai kelemahan baik dari pengunaan aturan dan redaksional yang meyebabkan berbagai tafsiran dan implikasi yang berlawanan. Untuk itu Warsi mendorong pemangku kawasan untuk segera melakukan revisi RPTN dengan melibatkan semua pihak dan lebih melihat realitas di lapangan. Upaya ini telah dilakukan Warsi semenjak awal disyahkan RPTN karena selain kurang partisipatif juga perlu banyak sosialisasi. Rencana pembagian zonasi taman membuat komunitas Orang rimba merasa terbatasi ruang gerak kehidupan mereka apalagi pemangku kawasan kurang mensosialisasikan sehingga menimbulkan persepsi dan reaksi beragam di masyarakat. Pembentukan Dewan Adat komunitas Orang Rimba dan Persatuan Desa Penyangga sedang diinisiasi oleh Warsi dan mitra, agar keterlibatan stakeholder kunci lebih banyak dalam revisi rencana pengelolaan. Karena bagaimanapun dampak keberadaan taman nasional langsung dirasakan oleh pihak kunci tersebut. Pengelolaan kolaboratif merupakan suatu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang berbasis pola kemitraan dan partisipasi berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya alam kawasan tersebut dengan pembagian wewenang, peran, dan tanggung jawab yang setara. Tujuan dari pengelolaan kolaborasi TNBD ini adalah agar kegiatan pengelolaan sumber daya alam sebagai hak dan kewajiban masyarakat merupakan gerakan masyarakat dalam arti luas sehingga antara program pemerintah dengan gerakan masyarakat dalam pengembangan kawasan konservasi merupakan gerakan terpadu. Prinsip pengelolaan kolaboratif TNBD yang coba didorong Warsi adalah meliputi beberapa hal, yaitu: berbasiskan masyarakat lokal (community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders), berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdasarkan Rencana Pengelolaan (management plan) Taman Nasional yang dibuat secara partisipatif. Dengan adanya pengelolaan kolaboratif yang nantinya mungkin bisa berbentuk Forum Penentu Kebijakan TNBD atau Dewan Pengelola Taman Nasional harus terdiri dari berbagai pihak terutama Orang Rimba dan masyarakat desa sebagai pihak kunci dalam pengelolaan. Harapan kita semua TNBD bisa menjadi contoh pengelolan taman nasional yang tujuan utamanya adalah untuk mendukung kehidupan Orang Rimba dan sumber pelestarian alam. Seperti yang kita ketahui bahwa membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti gejolak politik, kepastian hukum, kesiapan para stakeholder dan dukungan semua pihak yang berpartisipasi.... (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
13
14
Laporan utama / Diki Kurniawan, Koordinator Program Bukit Tigapuluh,
[email protected]
Illegal Logging di eks HPH Hatma Hutani Tanjung Jabung Barat. Areal ex HPH ini merupakan areal Rasionalisasi TNBT. Foto: Asep Hayat/KKI WARSI
Mengelola TNBT Dengan Manajemen Kolaboratif Fungsi Kawasan Konservasi dan Ancamannya
I
ndonesia memiliki kawasan konservasi baik di daratan maupun di perairan yang cukup luas. Pada tahun 2005 tercatat sejumlah 519 kawasan konservasi dengan luas total ± 28 juta hektar. Dari kawasan konservasi seluas itu, lebih dari 50%-nya telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional. Dengan luas seperti ini, maka taman nasional memegang peranan yang cukup penting dari sisi konservasi sumber daya hutan dan menjadi benteng terakhir keberadaan hutan alam di Indonesia. Di Sumatera terdapat 11 taman nasional, salah satu di antaranya adalah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang memiliki ekosistem unik karena menempati suatu kawasan perbukitan yang cukup curam di tengah-tengah dataran rendah di bagian Timur Sumatera dan terpisah sama sekali dari pegunungan Bukit Barisan. TNBT ini secara resmi ditunjuk pada tahun 1995 dan ditetapkan pada tahun 2002 oleh Menteri Kehutanan dengan luas kawasan 144.223 ha.
Kawasan TNBT tersebut berada di wilayah Provinsi Riau (seluas 111.223 ha) dan di wilayah Provinsi Jambi (seluas 33.000). Kawasan TNBT ini mengandung nilai keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki fungsi penting terhadap perlindungan tata air (hidrologi) bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri dan DAS Reteh di wilayah Propinsi Riau, serta DAS Batanghari dan DAS Pengabuan di wilayah Propinsi Jambi. Selain memiliki fungsi ekologi tersebut yang memberikan manfaat lebih luas, TNBT juga mempunyai fungsi ekonomi dan sosial, terutama bagi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitarnya. Sehingga dengan demikian kawasan TNBT ini memegang peranan cukup penting baik secara lokal maupun regional. Namun demikian kawasan TNBT ini juga tengah menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang cukup berat dewasa ini. Ancaman terhadap keberadaan kawasan konservasi tersebut dapat berupa ancaman langsung seperti praktik illegal logging, penyerobotan dan konversi lahan hutan, penangkapan spesies dilindungi, maupun kebakaran hutan. Ada pula ancaman tidak
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
LAPORAN UTAMA langsung, yakni yang disebabkan kebijakan yang ambiguitas, ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga pengelolaan kawasan konservasi ini menjadi tidak efektif. Tantangan dan Peluang Pengelolaan Taman Nasional Dalam upaya melestarikan fungsi dan manfaat taman nasional, selain ancaman dan persoalan tantangan pengelolaan tersebut di atas, seiring dengan berjalannya waktu maka terjadinya perubahan lingkungan juga didorong oleh terjadinya perubahan ekspektasi terhadap upaya pengelolaan taman nasional dari berbagai level, mulai dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun dunia internasional. Perubahan ekspektasi tersebut timbul antara lain karena terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, perubahan tatanan pemerintah dari sentralistik menjadi desentralistik dan otonomi, perubahan paradigma manajemen kawasan hutan akibat menurunnya pembiayaan kegiatan dan semakin tingginya perhatian dunia internasional terhadap isu-isu sumber daya alam dan lingkungan. Adanya perubahan ekspektasi dari berbagai pihak tersebut menyebabkan terjadinya tekanan terhadap taman nasional untuk dimanfaatkan secara maksimal. Di sisi lain, terdapat 3 fungsi yang harus diperhatikan dalam pengelolaan taman nasional yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Ketiga fungsi tersebut selain menjadi fungsi tujuan, sekaligus merupakan kendala (constraints). Interaksi dari ketiga fungsi tersebut menyebabkan pemanfaatan taman nasional adalah tidak mungkin dilakukan secara maksimal, akan tetapi berupa pemanfaatan yang optimal (maximizing under constraints). Untuk dapat tetap mencapai dan mempertahankan pemanfaatan secara optimal TNBT dan daerah penyangganya maka diperlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu mengintegrasikan seluruh harapan yang ada terhadap (pemanfaatan) taman nasional dengan tetap menjaga tiga prinsip kelestarian yang menjadi fungsi tujuan dan sekaligus kendala bagi taman nasional tersebut. Atau dengan kata lain, sistem pengelolaan taman nasional yang diharapkan merupakan Sistem Pengelolaan Taman Nasional Terpadu (Integrated National Parks Management System), yaitu suatu sistem pengelolaan yang efektif, efisien, optimal, adaptif dan kolaboratif berdasar pada prinsip pembangunan berkelanjutan (ecologically sustainable, economically feasible, dan socially acceptable). Dikatakan sebagai sistem pengelolaan terpadu karena sistem pengelolaan tersebut harus mampu mengoptimalkan
interaksi ketiga aspek: ekologi, ekonomi, dan sosial, serta mampu mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak terhadap taman nasional. Sistem pengelolan taman nasional terpadu disini juga dimaksudkan sebagai suatu sistem pengelolaan yang site specific, mampu mengelola perubahan (dinamis) serta mampu mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholders terhadap taman nasional mulai dari peningkatan kesejahteraan, peningkatan PAD, self financing, dan kepentingan konservasi secara lestari. Membangun Manajemen Kolaboratif Diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/ Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam patut disambut gembira karena telah adanya kerangka kebijakan yang dapat menjadi pedoman dalam membangun manajemen kolaboratif suatu kawasan konservasi. Melalui manajemen kolaboratif ini dalam penyelenggaraan pengelolaan taman nasional membuka peluang distribusi peran, tanggungjawab dan manfaat melalui pelibatan para pihak secara luas untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional. Disisi lain juga dalam prosesnya mengandung konsekuensi perlu dibangunnya mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan bersama dan mekanisme penyelesaian konflik diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional. Keberadaan kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di 4 kabupaten dan 2 provinsi yaitu kabupaten Tebo dan Tanjung Jabung Barat di Provinsi Jambi serta kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir di Provinsi Riau memerlukan keterpaduan dan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan TNBT dan daerah penyangganya. Dalam hal ini untuk mencapai tujuan manajemen kawasan yang efektif maka harus diperoleh bentuk kawasan yang mantap secara legal dan aktual serta tertata dan kompak bentuknya (hal ini terkait dengan usulan rasionalisasi TNBT). Terkait dengan manajemen kelembagaan, maka peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan terpadu taman nasional ini perlu ditingkatkan. Pembentukan dan peningkatan kapasitas Stakeholders Working Group (SWG) di 4 kabupaten yang telah berjalan diharapkan dapat menjadi cikal bakal dalam pembentukan dan pendayagunaan Badan Pengelola Multipihak. Dalam hal ini manajemen kelembagaan diarahkan untuk mencapai kondisi kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan, efektif, kolaboratif, efisien, dan juga di dalamnya terdapat proses pembelajaran secara berkelanjutan. Kemudian terkait manajemen sumber daya alamnya maka dalam pengelolaannya diarahkan untuk mencapai keutuhan
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
15
16
ekosistem, kelestarian fungsi ekologi, ekonomi dan sosial melalui bentuk pengelolaan sumber daya alam yang optimal dan lestari. Oleh karena itu dalam upaya peningkatkan kesejahteraan masyarakat maka juga harus diiringi dengan adanya upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan di kawasan TNBT dan daerah penyangganya. Dalam hal ini komitmen, dukungan dan peranserta para pihak terkait di berbagai level menjadi sangat penting dalam pengelolaan terpadu ini, termasuk lembaga lokal, nasional dan internasional yang selama ini menjadi mitra kerja Balai TNBT. Dengan demikian untuk mencapai kondisi ideal yang diharapkan terdapat 3 hal penting yang perlu diperhatikan terkait pengelolaan taman nasional terpadu ini, yaitu: manajemen kawasan, manajemen sumber daya alam dan manajemen kelembagaan.(A.S.)
BOX LAPUT / Rahmadie, Asisten Komunikasi Bukit 30 KKI WARSI -
[email protected]
Andai Kita Tahu
S
etiap hari kita selalu dipasoki informasi rusaknya hutan Indonesia. Mulai Aceh hingga Papua, semuanya tinggal menunggu waktu digunduli. Illegal logging, pembakaran hutan dan konversi lahan adalah hal paling sering diberitakan. Lemahnya pengawasan dan ringannya hukuman alih-alih penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan hutan dituding sebagai biang keladi. Meski begitu, pemerintah melalui Menteri Kehutanan MS Kaban menegaskan bahwa sejak Inpres No 4 tahun 2005 tentang Penanggulangan dan Pemberantasan illegal logging dikeluarkan, 80 persen keberhasilan pemberantasan illegal logging tercapai pada penyitaan barang bukti. Sedangkan 20 persen lainnya soal pelaku dan cukong yang berada di balik aksi perambahan hutan di berbagai Provinsi Indonesia. Terutama Kalimantan, Papua, dan Jambi. Sebagai bentuk keseriusan Inpres tersebut, Presiden telah memerintahkan mulai 12 Menteri terkait, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri Kepala BIN, Gubernur, Walikota dan seluruh Bupati di Indonesia agar bersungguh-sungguh melaksanakan instruksi ini hingga ke lapisan bawah.
Pemberantasan Illegal Logging, akankah tercapai di tahun 2009. Foto Lander Rana Jaya/KKI WARSI
Pemerintah juga optimis akan menghentikan kegiatan pembalakan liar dalam empat tahun ke depan terhitung 2006. Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) yang telah dibentuk dan dilatih menembak, beladiri, dan keahlian menyerbu markas
Aksi-aksi destructive logging menjadi pemicu habisnya hutan. Terlihat kayu yang akan diangkut menuju pabrik pengolahan. Foto Lander Rana Jaya/KKI WARSI Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
17
para pembalak nantinya akan disebar ke seluruh hutan Indonesia dengan misi memberantas illegal logging. Sebenarnya seberapa besar sih deforestasi hutan Indonesia, hingga Pemerintah menargetkan dalam empat tahun segala bentuk kejahatan hutan selesai yang merupakan 36 agenda penting untuk diselesaikan tahun 2009? Indonesia butuh 120 tahun untuk merehabilitasi seluruh hutan yang telah rusak ungkap MS Kaban. Kenapa seperti itu? Karena saat ini, dari luas hutan Indonesia sekitar 120,5 juta hektar, setengahnya kira-kira 59,2 juta hektar sudah kritis. Andaikan, dalam setahun mampu digarap 600 ribu hektar sudah pasti dibutuhkan 120 tahun untuk menghijaukan kembali hutan Indonesia. Itupun, bila hutan yang masih hijau tidak dirambah. Pertanyaannya, bagaimana jika program rehabilitasi tidak berjalan, sedangkan laju deforestasi mencapai 2,8 juta hektar pertahun? Tragis memang. Diperkirakan hutan Indonesia akan punah pada tahun 2015. Belum lagi, derita kerugian yang ditaksir antara Rp30 triliun hingga Rp41 triliun. Bandingkan dengan hutan Finlandia yang luasnya hanya 23 juta hektar namun menghasilkan Rp540 triliun pertahun. Indonesia? Hanya Rp8 miliar dolar saja pertahun. Menurut Ketua Komite Nasional Hijau Nusantara Ary Sudarsono, kita tidak hanya menuai bencana akibat kerusakan hutan tetapi juga akan memunahkan 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari burung dunia), 515 spesies satwa mamalia (12 persen spesies mamalia dunia) juga 270 spesies amfibia (16 persen dari amfibi di dunia). Penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi lahan menyebabkan Indonesia dan Filipina menjadi negara dengan deforestasi tertinggi di dunia. Rentang waktu 1985-1997 sebesar 1,6 juta hektar pertahun melonjak ke angka 2,1 juta hektar pertahun pada 19972001 ungkap Prof. Dr. Arminda Alisyahbana. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini menyebutkan kerusakann hutan tidak hanya merusak keanekaragaman hayati hutan tropis Indonesia tapi juga mengundang bencana. Lebih dari itu. Memburuknya kualitas air dan udara sebagai efek dari tingginya polusi yang bersumber pada rumah tangga, industri, dan transportasi. Air bersih pun jadi barang langka sehingga muncul masalah ekologis, estetis, dan kesehatan. Kini, Jakarta adalah kota ketiga setelah Mexico City dan Bangkong dengan polusi tertinggi di dunia. Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan Ir. Noor Hidayat, MSc juga menegaskan telah terjadi peningkatan laju deforestasi yang sebelum 1997 sekitar 1,8 juta hektar menjadi 2,8 juta hektar pertahun sejak pertengahan 1997 hingga 2002. Penyebabnya berupa pembalakan hutan, perusakan hutan, kebakaran hutan, hingga konversi hutan menjadi lahan perkebunan.
Peningkatan ini terlihat setelah otonomi daerah. Yaitu ketika bupati atau kepala daerah mengeluarkan kewenangan perizinan pengelolaan hutan yang terkadang kurang tepat. Dampaknya, izin tersebut dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kegiatan negatif terhadap kelestarian hutan paparnya. Sebegitu parahkah? Itulah hutan Indonesia yang belum terkelola baik hingga kalah jauh dengan Malaysia yang luasnya 10 juta hektar tetapi memproduksi 34 juta meter kubik pertahun. Padahal dengan pemberdayaan hutan dan pengelolaan maksimal bukan hanya keuntungan lingkungan saja yang terpelihara. Sumber air bersih, udara yang asri hingga hasil hutan untuk membayar hutang luar negeri akan tercapai. Bukan panen banjir dan tanah longgor yang saban tahun kita terima. Yang harus kita ketahui, kini kerusakan hutan telah menjadi isu global. Kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya Indonesia yang merasakan dampaknya. Negara lain pun ikut menerima. Sebut saja, ekspor asap lintas batas Indonesia yang berdampak kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Belum lagi, isu pemanasan global yang sering didengungkan belakangan ini. Karena itu, kita semua memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan sebagai paru-paru dunia yang luasnya meliputi 30 persen daratan dunia. Tercatat, 700 peneliti dari 60 negara melakukan pertemuan di Ubud, Bali pertengahan 2006 lalu guna membahas kerusakan sumber daya publik di dunia yang telah kritis. Para peneliti menilai bahwa rusaknya hutan di beberapa negara terutama Asia diakibatkan kemiskinan. Yaitu, sekitar 1,6 miliar masyarakat miskin yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Sedangkan 2 miliar penduduk dunia bergantung pada kayu untuk memasak dan menghangatkan rumah. Sudah dipastikan, penduduk miskin akan menebangi pepohonan di hutan, belum lagi tambahan tebangan liar para pengusaha. Namun begitu seperti yang diungkapkan President The Rights and Resources Group Dr Andy White diakhir pertemuan bahwa semua pihak sepakat, hutan memiliki peranan penting guna meningkatkan standar kehidupan kaum miskin. Caranya dengan memberi izin masyarakat desa untuk memiliki, memanfaatkan, dan menjual hasil hutan dan jasa lingkungan hutan. Satu hal yang harus kita perhatikan adalah bagaimana dampak dari setiap perbutan yang kita lakukan. Perbuatan baik akan menghasilkan hal baik dan sebaliknya. Andai kita tahu... (Liputan & Warta Bumi Antara)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
18
LAPORAN UTAMA / Mahendra Taher, Deputy Direktur KKI WARSI -
[email protected]
Membangun Dukungan Usaha Kehutanan melalui CF Sumatera
P
engelolaan sumber daya hutan Indonesia selama ini adalah sebuah ironi. Di Sumatera, dari total luas pulau sekitar 47,6 juta hektar, sampai tahun 2003 luas tutupan hutan keseluruhan hanya tinggal kira-kira 15 juta ha. Hasil kajian Bank Dunia tahun 1999 juga memprediksikan bahwa sebagian besar hutan dataran rendah Sumatera akan hilang pada tahun 2005 dan selanjutnya kawasan hutan lahan basah pada tahun 2010. Di tengah kehancuran hutan tersebut, kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetap belum membaik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2000), total populasi di Pulau Sumatera adalah 44.486.713 jiwa dan mayoritas tinggal di pedesaan. Kendati angka kemiskinan kerap kali masih menjadi kontroversi karena perbedaan sudut pandang, namun data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat sekitar 4.386.381 keluarga miskin di Sumatera yang sebagian besar merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Kerusakan sumber daya hutan yang tinggi dan kemiskinan yang menyertainya disebabkan paradigma timber management yang selama ini dilakukan. Penguasaan dan pengusahaan hutan hanya dilakukan kelompok-kelompok tertentu atas izin-izin yang diberikan pemerintah pusat. Di tengah rezim kayu yang merajalela tersebut, peran masyarakat hanyalah sebatas menjadi tenaga kerja sehingga manfaat yang mereka terima juga sangat kecil. Padahal, sebelum eksploitasi kayu secara besar-besaran dilakukan, pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif terhadap kayu saja tetapi dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya. Melalui program kehutanan multipihak (MFP) di Sumatera, sejak tahun 2004 telah difokuskan dukungan terhadap upaya-upaya yang mampu mensinergikan pengelolaan sumber daya alam lokal dan manfaat ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya dengan berbasiskan pada keberlanjutan fungsi ekosistem. Dukungan ini diberikan kepada LSM, organisasi rakyat, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. Akan tetapi seiring berakhirnya MFP pada tahun 2006 ini, telah digagas suatu bentuk dukungan lanjutan terutama untuk organisasi rakyat dan LSM karena sebagian besar
upaya di tingkat lapangan saat ini tengah berkembang. Sebagaimana umum diketahui, sebagian besar LSM dan organisasi rakyat sangat tergantung pada sumber pembiayaan luar dalam melakukan berbagai aktivitasnya sehingga sulit untuk mengimplementasikan kegiatan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Konsentrasi mereka juga harus terbagi untuk memastikan keberlanjutan pendanaan bagi pelaksanaan program dan kegiatan yang dilakukan. Untuk itulah pengembangan suatu lembaga masyarakat (community foundationCF)) di Sumatera diperlukan. Secara umum peran suatu CF adalah untuk melakukan pengelolaan terhadap dana yang berasal dari masyarakat dan lembaga donor, membangun endowment serta memberikan grant kepada NGOs dan organisasi rakyat di suatu wilayah. Pengembangan CF untuk Sumatera ini akan menjadi suatu program sendiri di KKI warsi dan diharapkan dapat berjalan efektif mulai awal tahun 2007. Setelah dikelola sebagai sebuah program selama 2 tahun maka nantinya program ini akan dapat berkembang menjadi suatu lembaga sendiri yang menjalankan perannya sebagai community foundation. Fokus dukungan program pengembangan CF Sumatera ini akan diberikan kepada organisasi rakyat, koperasi, dan kelompok swadaya masyarakat. Program ini tidak hanya akan memberikan grant tetapi juga bentuk-bentuk kerjasama pengembangan usaha kehutanan berbasis masyarakat. Dari dukungan dan kerjasama pengembangan usaha masyarakat inilah diharapkan nantinya CF Sumatera dapat berkembang sehingga dukungannya bagi organisasi rakyat dan LSM juga dapat berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, akan terdapat empat layanan utama yang akan diberikan. Setiap layanan ini tidak akan langsung dilakukan oleh program pengembangan community foundation tetapi dilakukan melalui pihak-pihak yang memiliki kapasitas seperti LSM, sektor swasta, perguruan tinggi dan pihak lain. Keempat jenis layanan utama itu adalah : 1. 2. 3. 4.
Layanan Layanan Layanan Layanan
peningkatan kapasitas advokasi marketing dukungan keuangan
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
LAPORAN UTAMA
Masyarakat disekitar hutan memanfaatkan hasil sebagai sumber air serta memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk meningkatkan kesejahteraan. Foto: Lander Rana Jaya/KKI WARSI Karena akan melayani berbagai pihak sementara kemampuan community foundation Sumatera pada tahap awal sangat terbatas, maka akan ada suatu komite regional untuk menentukan arah kegiatan CF. Keberadaan komite penasehat regional adalah sebagai komite independen bersifat voluntarian. Komite ini akan memberi rekomendasi terhadap program dalam memutuskan apakah dukungan (keuangan, pemasaran, peningkatan kapasitas) dapat diberikan atau tidak. Komite ini akan terdiri dari orang-orang yang berpengalaman atau memiliki pengetahuan dalam sub-sektor yang akan didukung, baik yang berasal dari kalangan pengusaha, LSM, maupun perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga
donor, dan pemerintah daerah. Selain itu, mulai tahun ke 2 (dua) program, keanggotaan komite akan mengakomodir perwakilan dari kelompok tani, organisasi rakyat atau koperasi yang pernah menerima dukungan dari program ini. Anggota komite diusulkan dan diputuskan bersama oleh pengelola program ini, kelompok dan LSM atau lembaga pendamping kelompok. Komite juga akan membantu monitoring dan evaluasi berkala yang disepakati antara program dan penerima dukungan layanan. Dalam jangka panjang, berkembangnya CF di Sumatera diharapkan menjadi pembuka jalan bagi pengurangan ketergantungan pendanaan dari pihak luar dan memunculkan kemandirian pendanaan dari sumber-sumber lokal. Dengan demikian baik LSM maupun organisasi rakyat dapat menyusun dan mengimplementasikan kegiatannya secara mandiri dan berkelanjutan. Semoga saja.. (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
19
20
BOX LAPUT / Desrizal Alira, Trade and Organic Specialist Program -
[email protected]
Produk Organik, atahari sore telah menggelayut di ufuk barat. Hawa sejuk diselingi aroma cassia vera membuat suasa sore itu semakin tentram di desa yang dijejali rumah-rumah panggung. Di jalan tanah yang merupakan satu-satunya jalan desa terlihat para petani yang bergegas pulang dari ladang. Kaum ibu, terlihat membawa ambung di punggung mereka yang berisi hasil-hasil pertanian, sedangkan para kaum pria dengan penggalas (alat untuk mengangkut barang yang terbuat dari kayu) mambawa cassiavera yang kelihatannya cukup berat.
Hasilnya cassiavera yang dihasilkan petani di Rantau Keremas dan Ranah Alai mendapatkan sertfikasi dari NASAA dan dapat dipasarkan dengan harga yang lebih baik. Selisih harga yang didapatkan petani mencapai Rp 1.000 dari harga pasaran. Padahal dalam menghasilkan rempah organik ini, petani cendrung lebih ringan. Karena syarat dalam menghasilkan produk rempah organik ini adalah petani tidak menggunakan bahan-bahan kimia dalam pengelolaan produknya. Misalnya untuk pembersihan lahan petani yang sebelumnya cendrung menggunakan herbisida, tapi dengan produk yang disertifikasi rempah organik, herbisida dan pupuk kimia di tinggalkan petani, dan beralih ke pupuk alam seperti kompos, pupuk kandang yang dihasilkan dari hasil tebasan gulma di dalam kebun kayu manis.
Demikianlah aktifitas masyarakat Desa Rantau Keremas dan Ranah Alai di Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin. Desa yang terletak sekitar 120 km dengan waktu tempuh 6-7 jam perjalanan dengan oto bus yang hanya ada satu kali sehari dari Kota Bangko, menuju Jangkat dan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor ke dua desa ini, tetap bergeliat hidup. Bahkan di desa yang dihuni Marga Serampas ini mampu menghasilkan kayu manis dalam jumlah 50 ton perhari.
Keuntungan yang di peroleh petani peserta program rempah organik komoditi cassiavera, selain selain selisih harga yang diterima langsung juga ada penghargaan yang diterima petani. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi serta harga sosial yang masih terikat dengan aturan adat istiadat mereka dalam pengelolaan produk cassiavera petani diberi insentif dana perawatan ladang yang bisa digunakan oleh petani dalam merencanakan pengelolaan ladang ke depan.
Hanya saja, harga jual yang rendah, masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat itu. KKI Warsi merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dearah yang dulunya menggunakan kuda sebagai alat transportasi mereka dan sekarang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua.
Dalam melakukan kegiatan rempah organik petani membangun kesepakatan dengan PKPO (Pengurus Kerja Pertanian Organik) untuk menjadi anggota, dan PKPO akan melakukan internal control sistem terhadap semua sistem yang terbangun mulai dari tingkat ladang/kebun sampai ke pengangkutan terakhir di gudang ekspotir (gudang Forestrade Inc.), Direncanakan setiap lahan/kebun yang menjadi program rempah organik comodity cassivera akan dikembangkan komodity ikutan untuk komodity jahe organik yang akan diproduksi petani dan di proses untuk menjadi produk lanjutan seperti minyak atsiri jahe dan juga dalam bentuk rajangan sesuai dengan permintaan pasar.
Tingkatkan Pendapatan Petani
M
Dari kajian yang dilalukan, diketahui harga yang masih rendah ini disebabkan oleh panjangnya jalur tata niaga dan akses jalur ekonomi yang sangat sulit. Ditambah belum adanya standar mutu produk yang dihasilkan petani, serta belum adanya perhatian dari pemerintah. Untuk meningkatkan pendapatan petani maka diinisiasi pasar alternatif, merintis produk rempah organik dan produk ramah lingkungan. Untuk mencapai ini dibentuk pengurus kerja pertanian organik yang merupakan lembaga perwalian tingkat lokal. Kelompok ini yang kemudian dihubungkan dengan forest trade, selaku perusahaan pembeli rempah organik dan KKI Warsi sebagai fasilitator dan asisten teknis. Untuk mencapai mutu sesuai dengan standar internasional, produk yang dihasilkan juga disertifikasi oleh NASAA (National Association of Sustainable Agriculture Australia), badan sertifikasi yang berpusat di Australia.
Dalam membangun dan mengembangkan kesejahteraan petani dan memenuhi pasar sudah seharusnya di perhatikan bagaimana produksi yang di hasilkan petani memenuhi permintaan pasar. Bukan produksi dulu yang dihasilkan baru dicari pasarnya, setiap komodity sudah ada pasarnya tapi bagaimana kita dapat memenuhi standarisasi pasar yang akan kita masuki. Bagaimana produksi memenuhi standar pasar. Pasar organik merupakan pasar yang pertumbuhannya meningkat setiap tahunnya (Forstrade Inc.) sebesar 2 %. (A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
21
LAPORAN UTAMA / Riya Dharma & Sukmareni -
[email protected]
Melalui RUPES Masyarakat Dapat Nikmati Listrik
K
endati negara ini telah merdeka selama 60 tahun lebih, masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di sekitar hutan masih berada pada garis kemiskinan dan sangat jauh dengan berbagai fasilitas umum yang ada. Listrik, misalnya bagi masyarakat di sekitar hutan masih menjadi barang langka, paling tidak itulah yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Desa-desa Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Bungo, seperti Desa Lubuk Beringin, Sangi, Sungai Letung, Mengku dan Dusun Panjang. Namun kini secara swadaya, masyarakat di desa-desa ini berusaha sendiri untuk mendapatkan penerangan listrik dengan mengembangkan pembangkit listrik tenaga kincir air (PLTKA). Masyarakat secara swadaya membangung pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa mereka, yaitu sungai. Hasilnya lumayan. Paling tidak kini di Desa Lubuk Beringin telah dihasilkan listrik dengan kekuatan 8.000 watt dari 2 PLTKA yang dialirkan ke 45 rumah warga, sedangkan di Desa Sangi juga telah ada 2 PLTKA dengan daya 3.000 watt yang dialirkan ke 22 rumah warga. Sedangkan di Sungai Letung juga telah ada 2 PLTKA dengan daya 3.000 watt yang nikmati oleh 18 KK serta mesjid. Tiga unit PLTKA juga tengah dikembangkan di Dusun Mengku dan Lagan Panjang. Listrik yang dinikmati masyarakat, walaupun bentuknya masih sederhana, tidak lepas dari program RUPES. Program yang dikembangkan oleh konsorsium ICRAF, KKI Warsi dan Yayasan Gita Buana ini, merupakan program untuk memberikan imbal jasa lingkungan kepada masyarakat yang di daerah hulu atas upaya mereka mempertahankan polapola pertanian dan perkebunan yang mempertahankan keanekaragaman hayati di daerah itu. Program RUPES yang dikembangkan di Kabupaten Bungo ini, bertujuan untuk mengambangkan mekanisme imbal jasa bagi masyarakat miskin atas peran mereka sebagai penyedia jasa lingkungan bagi penikmat jasa lingkungan.
Kebun karet campur mempunyai fungsi mirip hutan alam, sebagai daerah tangkapan air. (Foto: Lander Rana Jaya/KKI WARSI Di Kabupaten Bungo, kebun karet campur milik masyarakat terlihat bahwa usaha agroforest ini, memiliki ekosistem dan keanekaragamanhayati yang mirip dengan hutan alam. Sehingga fungsinya juga sama dengan hutan alam, yaitu sebagai daerah tangkapan air dan habitat beragam satwa dan tumbuhan. Bagi masyarakat di wilayah hilir, upaya yang dilakukan masyarakat hulu ini, membantu mereka terhindar dari bahaya lingkungan lain seperti banjir, longsor ataupun kekeringan yang disebabkan oleh rusaknya sumber daya hutan. Program RUPES dikembangkan dengan pola belajar partisipatif, masyarakat diajak untuk mengkaji dan menggali potensi serta manfaat agroforets untuk memenuhi kebutuhan harian, seperti sebagai penghasil buah, sayur, bahan bangunan, obat dan lainnya. Dari belajar bersama ini, terlihat bahwa masyarakat menyelamatkan beragam jenis tanaman dan makhluk hidup, dan petani menyadari bahwa keanekaragaman hayati merupakan penjaga keseimbangan
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
LAPORAN UTAMA
22
alam dalam konteks bio-pestisida. Selain itu masyarakat juga diajak untuk mengenali potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, salah satunya dengan adanya pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi sungai yang ada di daerah mereka. Sehingga msyarakat tidak perlu lagi menunggu aliran listrik PLN yang entah kapan akan bisa masuk ke daerah yang cukup terisolir tersebut.
mempertahankan pola perkebunan agroforest yang mengelola sumber daya alam dengan bijak dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Sehingga kemiskinan yang selama ini erat hubungannya dengan masyarakat sekitar hutan secara perlahan dapat dihapuskan dan juga kelestarian biodiversity juga dapat dipertahankan. (A.S.)
Malalui program RUPES juga dilakukan penguatanpenguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Salah satu wujudnya adalah lahirnya kelompok-kelompok tani. Saat ini telah terbentuk lima kelompok tani yang terdapat di tiga desa. Dua kelompok tani terdapat di desa Lubuk Beringin, dua kelompok di Desa Sangi dan satu kelompok di Sungai Letung. Saat ini mereka mengembangkan pembibitan karet, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bibit petani dengan mutu terjamin. Saat ini di Lubuk Beringin terdapat 10 ribu bibit karet yang siap tanam. Sisanya masih ada 20 ribu batang bawah yang siap diokulasi dengan 400 entres dengan kualitas bagus. Sedangkan di Desa Sangi saat ini telah tersedia 25 ribu batang bawah yang siap untuk diokulasi dengan 400 entres. Sedangkan di Letung tersedia 15 ribu batang bawah dengan 200 entres. Selain mengembangkan pembibitan karet, di dasa-desa ini juga dikembangkan perkebunan karet campur kas desa. Penananam karet akan dilakukan di tanah-tanah kas desa atau tanah yang telah diwakafkan untuk keperluan desa. Dengan luas areal 3 hektar per desa. Untuk membuka kebun karet campur kas desa ini, masyarakat juga melakukannya dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Masyarakat tidak melakukan land clearing ataupun pembakaran lahan yang dapat merusak ekostem. Masyarakat membuat loronglorong sebagai jalur tanam di areal yang selama ini berupa sesap. Misalnya dengan jarak tanam 6 x 3 meter, maka hanya akan dilakukan pembersihan areal yang akan menjadi lubang-lubang untuk menanam karet dan tanaman lain sehingga menjadi kebun karet campur. Tujuannya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada di areal itu. Imbal jasa yang diberikan kepada masyarakat ini, juga berupa peningkatan kapasitas petani seperti pelatihan dan studi banding. Harapannya masyarakat tetap
Masyarakat memanfaatkan air singai untuk pembangkit listrik tenaga kincir air. (Foto: Lander Rana Jaya/KKI WARSI)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
FOKUS / Hutan
Aktifitas HPH PT AMT di Solok Selatan yang mengancam keberadaan hutan alam. Foto Lander/KKI Warsi .
FOKUS / Sukmareni & Kurniadi Suherman,
[email protected]
Nilai Ekonomis Hutan Batang Sangir 12 M
K
awasan hutan Batang Sangir yang terdapat di Untuk mengetahui nilai ekonomis Hutan Batang Sangir Kabupaten Solok Selatan memegang peranan ini, KKI Warsi telah melakukan studi ekonomi di wilayah penting secara ekologis dalam menjamin ini. Hasil analisis yang diketahui nilai ekonomi sumber keberlanjutan perekonomian di Kabupaten Solok Selatan daya air dari kawasan Hutan Batang Sangir adalah Rp 12,28 dan daerah hilirnya. Peranan penting ini terutama dalam milyar setiap tahun, yang terdiri dari nilai ekonomi irigasi peranan ekologis daerah aliran sungai (DAS) yang persawahan sebesar Rp 1,5 milyar kemudian air bersih mengatur tata air, dan penyedia kebutuhan sumber daya kebutuhan rumah tangga Rp 109,65 dan produksi air masyarakat yang berada di wilayah hilir. Sebagai penangkapan ikan air sungai sebesar Rp 10,61 milyar penyedia kebutuhan sumber daya air masyarakat peranan ekologis ini mendukung kegiatan persawahan, perikanan, Peranan penting lain kawasan hutan ini adalah tingginya dan kebutuhan air bersih. Sehingga peranan ekologis ini kandungan biodiversitynya. Dari hasil inventarisasi vegetasi dapat dikatakan sebagai modal alam (natural capital) yang diketahui 304 jenis tumbuhan kayu, 382 jenis tumbuhan harus dipertahankan untuk mendukung pembangunan bawah, 16 jenis rotan, 22 jenis cendawan (jamur), dan 13 jenis bambu. Sedangkan hasil inventarisasi fauna atau yang berkelanjutan di wilayah yang terpengaruh Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
23
24
FOKUS /
Hutan
satwa diketahui 165 jenis burung dan 17 jenis mamalia besar. Jenis-jenis vegetasi balam, meranti, tembalun, paning-paning, keranji, kasai, mersawa, kempas, pelajau, dan kulim, hampir semua jenis ini merupakan vegetasi berkayu yang ditemui dikawasan ini. Untuk jenis rotan yang dapat ditemui dikawasan ini adalah jenis rotan manau dan jernang yang nilai ekonominya cukup tinggi. Sayangnya jenis rotan ini sudah mulai jarang. Padahal selain rotan, buahnya juga dapat dijadikan berbagai bahan olahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ekstrak kulit buah rotan dan jernang tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan pewarna dalam pewarnaan varnish, plester, tingtur, odol, imitasi kulit penyu. Dalam dunia obat-obatan ekstrak jernang dipakai untuk mengobati sipilis, diarea, kanker, antirematik, tonikum, peluruh kencing, obat penenang. Selain itu masih banyak tumbuhan obat yang ditemui di hutan ini, seperti pasak bumi, gaharu dan lain sebagainya. Selain kaya akan tumbuhan bernilai ekonomis tinggi, kawasan Hutan Batang Sangir juga sangat kaya dengan beragam jenis satwa. Dikawasan ini terdapat 165 jenis burung, menunjukkan keanekaragaman jenis burung termasuk tinggi. Diantaranya walet sapi, layang-layang api, tepekong rangkang, sepah gunung, dan cucak kutilang. Selain itu di kawasan ini juga terdapat 17 jenis mamalia dari 12 famili. Selain itu kawasan ini merupakan habitat spesies kunci yaitu harimau sumatera, tapir, beruang madu dan orangutan sumatera yang keberadaannya diambang kepunahan.
Jika dilihat dari potensi nilai ekonomis dan keanekaragaman hayati yang terdapat dikawasan ini, sudah seharusnya dipertahankan dan dijaga kelestariannya. Hanya saja, pemerintah telah menetapkan kawasan ini sebagai kawasan hutan produksi berdasarkan peta rencana tata guna hutan kesepakatan (TGHK), dan telah dijadikan sebagai areal perluasan konsesi HPH PT Andalas Merapi Timber, yang memiliki izin sampai 2025 mendatang. Parahnya lagi kawasan ini, dilihat dari konturnya tergolong curam dan sangat curam dengan kelerengan 40 persen dan lebih. yang jika dilihat berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan yang curam kelerengan 40 persen harusnya dijadikan sebagai kawasan lindung. Jika di wilayah ini terus dilakukan eksploitasi dikhawatirkan daerah ini akan menjadi rawan bencana longsor dan banjir, apalagi jika dilihat curah hujan di wilayah ini cukup tinggi yaitu 3700-4000 mm/tahun, bencana-bencana ini sangat mungkin terjadi. Sudah seharusnya pemerintah meninjau kembali kebijakannya dalam memberikan izin pengelolaan kawasan yang harusnya dijadikan sebagai kawasan lindung. Eksploitasi yang dilakukan hanya akan memberikan keuntungan kepada pengusaha, sedangkan jika tetap dibiarkan manfaatnya sebagai penyedia kebutuhan air bagi masyarakat akan terjamin sepanjang waktu. Selain itu, juga akan mendukung kelangsungan hidup bagi anak cucu dimasa mendatang, dan bukannya mewariskan bencana yang berkepanjangan akibat salah pengelolaan. (A.S.)
Staf KKI Warsi bersama masyarakat tengah brefing pemetaan hutan Batang Sangir di Solok Selatan. Hutan ini merupakan sumber air masyarakat Solok Selatan. Foto Dok KKI Warsi Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
25
FOKUS / Nugraha Firdaus & Izzah Purwaningsih,
[email protected]
Studi Keruangan dan Pemanfaatan Lahan di Desa Penyangga TNBT
Studi Kasus di Desa Keritang, Batu Ampar dan Selesen Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Riau
T
aman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang ditetapkan secara resmi tahun 1995 melalui SK Menhut Nomor 539/Kpts-II/1995 tanggal 5 Oktober 1995 dengan luas 127.698 ha, berdasarkan rekonstruksi tata batas tahun 2002, luasannya menjadi 144.223 ha. Sebagian besar areal TNBT dan daerah penyangganya bertopografi sangat curam yang merupakan daerah tangkapan air serta hulu DAS Batanghari dan Pengabuan di Propinsi Jambi, serta DAS Reteh dan Indragiri di Propinsi Riau. Selain itu, kawasan TNBT merupakan perwakilan ekosistem tipe hutan hujan dataran rendah dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sebagai cadangan plasma nutfah. Juga tempat tinggal tiga masyarakat
tradisional yaitu Orang Rimba, Talang Mamak, dan Melayu Tradisional yang secara kultural masih terikat kuat dengan hutan, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun entitas budaya. Saat ini, kawasan TNBT serta hutan penyangganya tengah menghadapi tekanan berat disebabkan tingginya laju pembukaan hutan baik perusahaan (perkebunan, HTI, dan pertambangan) maupun masyarakat (pertanian). Pembukaan tersebut tengah mengarah ke areal hutan penyangga yang menjadi bagian dari rencana rasionalisasi TNBT yang bertopografi curam bahkan sangat curam. Mengingat kondisi topografi kawasan tersebut rentan
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
26
FOKUS /
Hutan
terhadap berbagai bahaya seperti erosi, sedimentasi di daerah hilir, banjir, kekeringan, serta berdampak pada hilangnya keragaman hayati dan habitat bagi beragam flora dan fauna. Untuk mengetahui berbagai kerusakan ekologi serta tekanan terhadap lahan, KKI Warsi - Konsorsium Bukit 30 telah melakukan studi intensif sejak 2005 lalu dengan melakukan survei keruangan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di semua desa interaksi TNBT. Sedangkan untuk desa-desa interaksi TNBT di Kabupaten Indragiri Hilir, sejak bulan Juli 2006 telah dilakukan studi kuantitatif secara intensif tentang pemanfaatan lahan oleh rumah tangga masyarakat. Terutama Desa Keritang, Desa Batu Ampar, dan Desa Selensen Kabupaten Indragiri Hilir Riau, salah satu kawasan hutan penyangga yang saat ini menghadapi tekanan berat. Studi kualitatif dan kuantitatif ini (tiga desa interaksi TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu Desa Keritang, Desa Batu Ampar, dan Desa Selensen) meliputi tentang kondisi lahan dan ruang, kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, laju pertumbuhan penduduk dan tekanan terhadap lahan, serta produktifitas pemanfaatan lahan di desa penyangga TNBT. Sumber data kualitatif meliputi data ekologis dan data spasial yang menggambarkan kondisi dan relevan dengan objek kajian. Data-data biofisik diperoleh dari berbagai hasil studi terdahulu yang dilakukan di daerah kajian. Sedangkan sumber data spasial diperoleh dari data base KKI-WARSI dan sumber-sumber terkait. Data mengenai tutupan lahan terkini diperoleh dari hasil analsis citra Landsat TM path/row 126/61 tanggal pencuplikan 10 Oktober 2005 yang dilengkapi dengan ground check. Data-data tersebut kemudian dikompilasi dan menjadi dasar kajian biofisik kawasan serta menjadi dasar bagi analisis Geographic Information System (GIS). Untuk data kuantitatif tentang pemanfaatan lahan diperoleh melalui kuisioner dan indepth interview. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive terhadap masyarakat asli yang ada di daerah kajian. Pengklasifikasian variabel sesuai dengan tujuan studi. Selain itu, wawancara mendalam (indepth interview) secara intensif dipadu dengan pedoman wawancara melalui empat tahapan: 1. Melakukan pengamatan dan wawancara untuk memperoleh gambaran mengenai pola pemanfaatan lahan dan ruang. 2. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dipilih kasus
mengenai pola pemanfaatan lahan dan ruang untuk dijadikan bahan studi, 3. Menentukan jumlah sampel dalam studi, untuk itu ditentukan jumlah sampel ±10 % dari jumlah rumah tangga penduduk asli yang terdapat di desa tempat studi dilkukan. 4. Data hasil wawancara dengan pengisian quisioner kemudian diakumulasikan dan diperiksa silang dengan informan lain, selanjutnya data dientri dan dianalisa. Tentu saja keabsahan data yang menunjukkan validitas dan realibilitas tetap dilakukan melalui ketekunan pengamatan, triangulasi, kecukupan referensi serta audit trial. Hasil studi diharapkan dapat dijadikan bahan analisa guna pemecahan masalah sosial-ekonomi pemanfaatan lahan dan ruang, sehingga tekanan terhadap TNBT dapat dikurangi HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Indragiri Hilir dijuluki Negeri Seribu Parit karena secara fisiografis tanahnya terbelah-belah oleh beberapa sungai dan terusan. sungai terbesar yang membelah kota yaitu sungai Indragiri yang berhulu di Bukit Barisan. Sedang Sungai Guntung, Kateman, Danai, Gaung, Anak Serka, Batang Tuaka, Enok, Batang, Gangsal hulunya bercabang tiga yaitu Sungai Gangsal, Keritang, Reteh, Terap, Mandah, Igal, Pelanduk, Bantaian dan Batang Umu. Luas Indragiri Hilir adalah ± 11.605,97 km 2 (terdiri dari 17 kecamatan, 131 desa dan 18 kelurahan). Sekitar 93,31% dari wilayahnya merupakan endapan sungai, rawa dan gambut, dan 6.69%-nya merupakan perbukitan dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. 1.Desa Keritang Luasnya 37.000 ha, terdiri 5 dusun dan 30 RT. Yaitu Dusun Lubuk Bernai (10 RT), Dusun Masat (6 RT), Dusun Sempang (5 RT), Dusun Tua (4 RT), dan Dusun Tenang (5 RT). Terdapat 7 sekolah, 5 sekolah dasar (SD), 1 setingkat SLTP, dan 1 setingkat SLTA. Berdasarkan data monografi desa tahun 2005, jumlah penduduk Desa Keritang adalah 2.079 KK (826 KK masyarakat asli dan 1.253 KK masyarakat pendatang). Besarnya jumlah pendatang disebakan tingginya angka migrasi sekitar 3035 orang perbulan. Akibatnya, kebutuhan dan tekanan terhadap lahan sangat tinggi. 2.Desa Batu Ampar Luasnya 20.000 ha yang terdiri 4 dusun dan 14 RT. Yaitu Dusun Sungai Kapinis (3 RT), Dusun Lubuk Beringin (3 RT), Dusun Tengah (4 RT), dan Dusun Lestari (4 RT). Jumlah penduduk 783 KK (378 KK dan 405 KK
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
27
pendatang). Terdapat tiga sekolah dasar tanpa sekolah lanjutan. Pihak desa menerapkan pembatasan pendatang beserta kepemilikan luas lahan sehingga ledakan penduduk tidak begitu besar. 3. Desa Selensen Luasnya 16.000 Ha, terbagi dalam 3 dusun dan 10 RT yaitu Dusun Pelayangan (5 RT), Dusun Takar (2 RT), dan Dusun Pematang Cempedak (3 RT). Terdapat 6 sekolah di desa ini, yaitu 1 taman kanak-kanak (TK), 1 sekolah dasar (SD), 1 SLTP, 1 SLTA, dan 2 madrasah. Berdasarkan data Monografi 2006 jumlah penduduk saat ini sekitar 643 KK terdiri dari 2.483 jiwa, dengan perbandingan 511 KK penduduk lokal (asli) dan 132 KK pendatang. Ketersediaan lahan yang murah menjadi daya tarik pendatang sejak 1998. A. Kondisi Ruang dan Lahan Peta topografi (Dittop TNI AD tahun 1992) menunjukkan, ke tiga desa interaksi TNBT mempunyai ketinggian antara 25550 m dpl. Daerah ini merupakan dataran kering tertinggi yang berada di Kabupaten Indragiri Hilir. Topografi kawasan bervariasi, mulai topografi landai sampai berbukit dengan kemiringan yang bervariasi pula, dari sangat datar (0 8 %) sampai sangat curam (> 40%). Areal sangat datar (08%) sampai ke landai (15 25%) terlihat, terutama di sebelah kiri-kanan Jalan Lintas Timur Sumatera sebagai areal pertanian dan perkebunan utama. Daerah yang sangat datar dengan kelerengan dominan terutama di sebelah utara Keritang, merupakan kawasan gambut. Kawasan yang mengarah ke TNBT dan Bukit Berbunga mempunyai topografi bergelombang berbukit dengan kemiringan curam (25 40%) sampai sangat curam (>40%). Daerah yang mengarah ke TNBT ditandai dengan topografi khas, berbukit dan sangat bergelombang, dengan punggungan bukit yang sempit dan jurang yang cukup terjal. Kemiringan kawasan umumnya sangat curam (>40%) dan dibeberapa tempat bahkan mendekati 450 (100%). Kondisi ini, secara umum sama dengan topografi TNBT, yang juga berbukit dengan banyak puncak bukit dan jurang-jurang. Sehingga apabila merujuk pada Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung kawasan tersebut sudah selayaknya dimasukkan menjadi kawasan lindung.
B. Deskripsi dan Analisis Hasil Studi Studi Keruangan 1. Hidrologi Kawasan Kawasan ini sangat penting dari segi hidro-orologi yang menjadi hulu berbagai sungai di DAS Reteh, yaitu sub DAS Gansal, Keritang, dan Akar. Terutama, daerah perbukitan yang mengarah ke kawasan TNBT. Rusaknya daerah ini akan berakibat buruk terlebih daerah di bawahnya. 2. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan didominasi untuk pertanian lahan kering dan perkebunan, terutama kiri-kanan jalan lintas. Namun saat ini pembukaan lahan telah mengarah ke areal berhutan yang bertopografi curam. 3 Tutupan Lahan Berdasarkan hasil analisis citra Landsat tanggal 10 Oktober 2005, tutupan lahan di tiga desa tersebut adalah: a. Hutan Daerah yang bertutupan lahan berupa hutan, terdapat di wilayah TNBT dan areal rencana rasionalisasi TNBT. Sebagian wilayah berhutan, terutama di Desa Batu Ampar yaitu Bukit Berbunga -sebagian bertutupan lahan belukaryang merupakan daerah bekas tebangan dan pembukaan lahan yang belum dimanfaatkan hingga kini. Di Keritang, kawasan hutan tersisa berupa hutan rawa di sebelah utara desa tersebut. Sebagaian rawa tersebut masih berupa hutan, yang keberadaanya semakin menyusut karena pembukaan lahan. b. Perkebunan Karet Rakyat Dari Citra dan survei lapangan diketahui bahwa hanya tanaman perkebunan karet rakyat yang tersisa, terutama di Selensen dan Batu Ampar. Hamparan karet yang merupakan tanaman karet tua ini berada di sepanjang Sungai Reteh dan di kiri-kanan eks jalan logging PT. Sura Asia. Hal ini lebih disebabkan karena faktor aksesabilitas pada waktu itu. Di Keritang, tanaman karet sangat sedikit sekali akibat pengalihan lahan menjadi perkebunan sawit yang kini menjadi kecenderungan pengalihan semua desa. Berdasarkan hasil observasi lapangan, saat ini pembukaan lahan karet baru tersebar acak dalam luasan yang tidak terlalu besar, antara 1-4 ha. c. Perkebunan Sawit Rakyat Perkebunan sawit merupakan tutupan lahan yang dominan di kawasan ini terutama di kiri-kanan jalan lintas, yang pertama kali diperkenalkan oleh pendatang. Saat ini, tanaman kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang paling diminati.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
28
FOKUS /
Hutan
d. Belukar Tutupan lahan berupa belukar saat ini, terutama berada di sekitar kawasan Bukit Berbunga di Desa Batu Ampar serta perbatasan antara Desa Selensen dengan Jambi. Di Keritang, daerah yang berbelukar berada di bagian utara, umumnya belukar rawa. Saat ini, belukar merupakan cadangan lahan bagi penduduk lokal untuk pembukaan lahan di masa datang karena makin sedikitnya lahan yang tersedia. e. Pemukiman Pola pemukiman terpusat di sekitar jalan lintas, tidak di sekitar sungai lagi. Disebabkan oleh bergesernya pola transportasi masyarakat dari sungai ke jalan. 4. Pembukaan Lahan Pembukaan lahan dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan lahan pertanian. Terutama di Keritang, akibat migrasi dan fasilitasi oleh beberapa tokoh atau aparat desa. 5. Jenis dan Sifat Tanah serta Kesesuaian Lahan Menurut data LREP, Puslittanak (1990), jenis tanah yang dominan di kawasan ini adalah podsolik merak kuning (PMK) dan latosol, dengan tekstur liat dan napal, serta pasir. Jenis tanah ini memerlukan kehati-hatian dalam pengolahannya terutama di areal yang bertopografi curam. Kondisi ini sangat rentan tererosi, apabila tidak ada penghambat dalam aliran airnya, seperti vegetasi penutup tanah, terlebih di kondisi kelerengan yang curam. Studi Pemanfaatan Masyarakat Asli
Lahan
dan
Keruangan
1. Responden Berdasarkan Jumlah Responden dari setiap desa sebanyak ±10% dari jumlah KK masyarakat asli (penduduk asli melayu) sesuai dengan keseluruhan jumlah penduduk di tiap desa. Jumlah terbanyak adalah Keritang (826 KK) diikuti Selensen (511 KK) dan Batu Ampar (368 KK). 2. Responden Berdasarkan Pendidikan Masyarakat di kawasan penyangga Bukit 30 rata-rata berpendidikan SD (67-77%). Beberapa penyebab adalah lemahnya kondisi ekonomi, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan, serta budaya mandah. Tahun 1960 terdapat sekolah rakyat (SR) di Keritang dan Selensen, namun sampai kelas 3. Untuk lulus hingga kelas 6 harus melanjutkan ke Kota Baru. 3. Responden Berdasarkan Pekerjaan Hasil studi menunjukkan 67.5-77.6% responden bekerja sebagai petani dengan jenis pertanian karet dan sawit. 1012% wiraswasta, 5.7-10% buruh (dodos sawit/ojek sawit dan buruh takik karet), 3-5% sebagai PNS, dan sebanyak 3.5-5.0% tidak memiliki pekerjaan.
4. Luas Kepemilikan Lahan Rata-rata responden memiliki lahan hingga 6 ha, hanya sedikit lahan di atas 10 ha. Lahan dimiliki secara pribadi atau kelompok, tanpa adanya komunal. Pada kenyataannya, masyarakat kurang memanfaatkan lahan dengan maksimal sehingga belum memberikan kontribusi ekonomi. 5. Persentase Pemanfaatan Lahan Sebanyak 6% responden di Keritang dan Selensen tidak memiliki lahan, sedangkan 15-43% responden memiliki kebun karet. Sedangkan 23-54% responden memiliki kebun sawit dan 24-34% responden memiliki lahan tidur. Hasil wawancara lebih mendalam mengindikasikan, sebagian besar responden ingin memiliki kebun karet, mengingat harganya mencapai Rp6.500/kg tingkat tokeh. Di pasaran dunia mencapai Rp8.750/kg untuk karet bersih tanpa tatal dengan harga ekspor berkisar US$1-5-US$. 6. R ata-rata pemanfaatan Lahan dalam Hektar Rata-rata luas kepemilikan lahan masyarakat asli di tiga desa penyangga mencapai ±6 ha/responden. Angka tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kebutuhan lahan masyarakat asli tidak tinggi. Jika lahan yang mereka miliki dimanfaatkan dan digarap dengan benar, akan memberikan hasil pertanian-perkebunan yang cukup besar dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga ruang dan lahan yang ada di sekitar desa penyangga bisa berfungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. 7. Persentase Kepemilikan Lahan Berdasarkan Produktifitasnya 85% responden di Keritang memiliki kebun karet produktif, 32% responden di Batu Ampar memiliki kebun karet belum produktif, dan 17% responden di Selensen memiliki kebun karet tidak produktif. Karet dikatakan produktif jika berusia antara 6-30 tahun ketika dapat disadap dan menghasilkan getah dalam jumlah cukup banyak. KESIMPULAN Desa interaksi TNBT merupakan daearah dataran kering dengan topografi landai hingga curam. Hasil studi menunjukkan, sebagian besar masyarakat memiliki lahan hingga 6 ha. Sekitar 15-54% memanfaatkan lahan untuk perkebunan sawit dan karet dengan luas 5,2-6,8 ha. Yang memiliki kebun karet prodoktif berkisar 61-85%. REKOMENDASI Untuk mengatasi permasalahan di daerah penyangga TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, diperlukan pemecahan pada pola pemanfaatan lahan dan pertanian,
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
29
melalui cara-cara berikut: 1. Pembagian area pemanfaatan lahan yang didasarkan pada topografi kawasan. Topografi kawasan yang ada di 3 desa penyangga terdiri dari 3 karakteristik, yaitu areal bertopografi sangat datar datar, areal bertopografi sedang curam, dan areal bertopografi sangat curam. a. Areal yang bertopografi sangat datar datar Pola pemanfaatan lahan bisa diarahkan pada pemanfaatan lahan secara intensif, dengan tanaman semusim maupun perkebunan. b. Areal bertopografi sedang curam Pemanfaatan lahan diarahkan pada perkebunan tanaman keras dengan perakaran dalam -karet dan buah-buahansebagai penyangga areal yang bertopografi lebih berat. Secara ekologis, kawasan ini bisa menjadi sebuah daerah peralihan dari ekosistem hutan hujan tropis ke ekosistem perkebunan-pertanian. c. Areal bertopografi berat Merupakan karakter unik lanskap TNBT. Kawasan ini menjadi daerah tangkapan air (water catchment area) bagi daerah di bawahnya. Areal ini idealnya sebagai kawasan lindung dengan menjadikannya bagian TNBT, melaui rasionalisasi. Rasionalisasi TNBT tidak hanya didasari oleh ketidakkompakan lahan, tetapi juga arti pentingnya konservasi. Areal yang diusulkan merupakan areal bertopografi sangat curam dengan bentuk kawasan berbukit-bukit. Rasionalisasi juga akan memberikan kepastian hukum dan pengelolaan bagi areal tersebut. Daerah yang terlanjur terbuka pada daerah ini dikembalikan fungsinya menjadi areal berhutan, dengan ditanamai kembali dengan tanaman keras. Daerah yang telah terlanjur terbuka bisa juga dijadikan suatu kebun campur, yaitu dengan menanami tanaman keras yang berguna dengan dicampur dengan tanaman kehutanan seperti rotan dan jerenang. Kawasan yang menjadi bagian TNBT tidak secara otomatis akan menghentikan dan membatasi akses masyarakat untuk masuk dan memanfaatkan hasil hutannya. Masyarakat tetap diberi tempat untuk memanfaatkan hasil hutannya, selama tidak mengganggu ekosistem kawasan. Yaitu dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu, melalui sistem zonasi yang menjadi bagian dari manajemen kawasan.
tanaman perkebunan, terutama di wilayah bertopografi sangat datar sampai curam. 3. Peningkatan keahlian petani dengan pelatihan budidaya karet Program ini merupakan kegiatan penunjang. Poin. Salah satu permasalahan petani saat studi dilakukan adalah kesulitan mendapatkan bibit unggul. Dengan pelatihan, petani dapat memproduksi sendiri bibit unggul serta mengetahui budi daya karet. 4. Pengembangan wisata alam berbasis masyarakat Merupakan salah satu pilihan yang bisa dikembangkan, terutama kawasan yang diusulkan menjadi bagian TNBT, serta kawasan TNBT itu sendiri. Hal ini didasari oleh banyaknya potensi wisata yang bisa dikembangkan seperti air terjun, keragaman hayati, dan potensi-potensi wisata lainnya. Dalam pengembangan potensi, masyarakat hendaknya diikutsertakan dan menjadi bagian yang tak terpisah dari manajemen wisata. Pada saatnya nanti, apabila kawasan tersebut telah resmi menjadi bagian TNBT, areal yang potensial menjadi kawasan wisata alam akan menjadi suatu zona tersendiri, seperti halnya areal yang bisa dimanfaatkan. 5. Pengedalian tingkat migrasi dan jual beli lahan. Melalui mekanisme pendaftaran dan pendataan penduduk yang datang dan pindah serta kelahiran dan kematian. Melalui pengetatan pencatatan dan syarat mendapatkan surat keterangan tanah (SKT). (A.S.)
2. Intensifikasi pertanian dengan memasyarakatkan budi daya dan peremajaan kebun karet Budidaya karet bisa menjadi alternatif peningkatan kehidupan masyarakat, apalagi harga karet sangat bagus dan diprediksikan akan terus meningkat. Selain itu tanaman karet secara fisiologis lebih menguntungkan terhadap lahan dibanding kelapa sawit. Tanaman ini bisa dijadijak alternatif Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
30
GIS SPOT / Ade Candra, Asisten Pengelolaan Kawasan KKI Warsi -
[email protected]
Aplikasi Citra Landsat Pada SIG Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Komponen dasar suatu sistem pengindearaan jauh lokal ditunjukkan dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atsmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data. penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidangbidang lainnya. keberhasilan terapan penginderaan jauh meningkat cukup berarti dengan menggunakan pendekatan multi pandang (multiple view) untuk pengumpulan data. Cara ini dapat meliputi penginderaan multi tingkat (multi stage) dimana data suatu daerah kajian dikumpulkan dari berbagai tinggi terbang. Dapat pula dengan penginderaan multispektral (multi spectral) dimana data diperoleh pada beberapa saluran spektral secara bersama-sama. Atau dapat juga dengan penginderaan multi waktu (multi temporal) dimana data suatu daerah dikumpulkan dengan lebih dari satu tanggal pemotretan.. Citra Landsat Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan adalah untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat. Citra landsat komposit warna cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannnya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper), yang memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter dengan karakteristik tertentu.
Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi ke dalam dua klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Proses pengklasifikasian klasifikasi terbimbing dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada klasifikasi tidak terbimbing, pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokkan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut. Penggunaan Citra Landsat TM Pada Sistem Informasi Geografis Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan ke dalam SIG dengan beberapa cara. Cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh dengan foto udara discan, digitasi peta rupa bumi, menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversi ke dalam format SIG, atau langsung menggunakan perangkat lunak SIG seteah citra di digeoreferensi. Hasilnya dapat berupa data ektor maupun data raster. Data vektor adalah objek yang diwakili oleh titik-titik, garis dan poligon yang mempunyai sistem koordinat kartesius, sedangkan data raster berupa satuan homogen terkecil yang disebut piksel, setiap piksel menyatakan luasan perrmukaan bumi suatu lokasi. Pemilihan citra satelit dan model data yang akan digunakan tergantung kepada kebutuhan pengguna SIG. Semakin tinggi resolusi dari citra yang ada maka akan semakin baik kenampakan data spasial yang dihasilkan. Saat ini semakin banyak sistem satelit penginderaan jarak jauh yang telah membuat kemajuan yang sangat spektakuler di bidang penginderaan jauh, sehingga menghasilkan data input untuk SIG. Data input SIG dapat beragam jenis formatnya. Salah satu contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh baik berupa hasil interpretasi foto udara maupun dari penerapan metode citra digital yang dikonversikan ke dalam teknologi SIG. Dengan berbasis
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
GIS SPOT kepada georeference dalam SIG, dimungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik data spasial maupun deskriptif. Data digital yang diterima dari penginderaan jauh melalui satelit dan yang diperoleh langsung dari terapan klasifikasi citra satelit secara digital biasanya berbentuk format raster. Sementara data input SIG melelui digitasi berbentuk vektor. Dengan teknologi SIG, perbedaan tersebut dapat dimanfaatkan dalam menganalisis penutupan dan penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Satelit yang dapat menghasilkan peta citra diantaranya adalah Lansat TM. Data Landsat TM diolah dengan menggunakan software ERDAS Imagine versi 8.5. Langkah pertama yang dilakukan dalam menganalisis citra adalah dengan mengadakan koreksi-koreksi dari citra tersebut dengan menggunakan peta rupa bumi digital yang telah
dibuat terlebih dahulu. Koreksi geometris dengan menggunakan peta acuan ini hanya dilakukan pada salah satu data citra Landsat TM. Koreksi untuk citra yang lain dilakukan dengan cara koreksi dari citra ke citra. Proses resampling nilai digital citra asli ke dalam citra terkoreksi menggunakan metode nearest neighbourhood interpolation. Penentuan lokasi penelitian (cropping) dilakukan pada kawasan yang akan kita lakukan kajian, misalnya DAS. Untuk tahapan selanjutnya adalah melakukan klasifikasi secara digital dengan menggunakan Klasifikasi Tak Terbimbing (Unsupervised Classification) dan Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) berdasarkan kunci interpretasi penutupan/penggunaan lahan yang telah dimodifikasi. Penutupan/penggunaan lahan tersebut yakni: hutan, perkebunan, sawah, semak belukar, ladang/tegalan, build up, lahan kosong, air, awan dan bayangan awan. (Dari berbagai sumber). (A.S.)
Interpretasi kawasan hutan di Provinsi Jambi, berdasarkan peta Citra Satelit Lansat tm 7 tahun 2000. Sumber Laboratorium GIS/KKI Warsi
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
31
32
DARi hulu ke hilir / Sukmareni & Sana Ulaili,
[email protected]
Perda PSDHBM Sebagai Upaya Mengembalikan Fungsi Hidrologi DAS Batanghari
Sungai Batang Hari memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitar. Kini DAS Batang Hari kritis, butuh penanganan menyeluruh dan komprehensif.
M
usim hujan telah tiba, banjir pun sudah menghadang. Beberapa tempat telah mulai terendam, dan mungkin akan semakin luas menjelang berakhirnya musin hujan kali ini. Banjir yang meluas merupakan dampak dari pengelolaan sumber daya hutan yang tidak memperhatikan azaz manfaat berkelanjutan. Demikian juga yang terjadi dengan daerah aliran sungai (DAS) Batanghari. DAS ini telah dikategorikan kritis sejak 1999 lalu. Berbagai upaya juga telah dilakukan, pihak-pihak terkait namun lima tahun berikutnya berdasarkan evaluasi departemen kehutanan, DAS Batanghari malah semakin kritis. Akibatnya Sungai Batanghari sebagai sungai utama di DAS ini terbelit berbagai persoalan. Mulai dari debit sungai yang tak lagi stabil, kekeruhan air yang luar biasa akibat erosi lahan, pencemaran air sungai karena penambangan yang terjadi di sepanjang daerah aliran sungai, sempadan sungai yang mengalami kerusakan berat akibat pembuangan limbah pabrik ke sungai, hingga rusaknya ekosistem sungai. Diperparah lagi dengan perencanaan ruang yang tidak lagi memperhatikan eksistensi Sungai Batanghari hingga kebijakan yang tidak berperspektif lingkungan.
Kondisi yang demikian pada akhirnya mengakibatkan kerusakan pada fungsi hidrologi, sehingga sering terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Faktor yang cukup dominan mempengaruhi kondisi sungai diantaranya adalah terjadinya kerusakan yang luar biasa pada DAS Batanghari, yaitu pada water catchment area (daerah tngkapan air). Kerusakan pada catchment area diakibatkan oleh adanya perusakan hutan (destructive logging), baik karena ilegal ataupun legal logging oleh para pemegang izin hak pengusahaan hutan yang pada umumnya tidak bertanggung jawab dan tak berkelanjutan. Selain itu juga disebabkan konversi lahan menjadi areal perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, dan juga praktek penambangan tanpa perencanaan yang berkelanjutan. Kabupaten Sarolangun yang berada pada posisi tengah DAS Batanghari secara otomatis memegang peranan yang sangat penting dalam mengembalikan fungsi hidrologi. Jika dilihat secara geografis Kabupaten Sarolangun mempunyai daerah yang sangat khas, yaitu membentang dari barat sampai ke timur, dari dataran tinggi hingga dataran rendah mengikuti Aliran Sungai Batang Merangin dan Batang
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
DARi hulu ke hilir Tembesi dengan puluhan anak sungainya yang menyebar di seluruh wilayah kabupaten. Kondisi alam yang demikian menjadikan Sarolangun dibagi ke dalam tiga wilayah pembangunan yaitu hulu, tengah dan hilir sebagaimana tercantum dalam Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang Rencana Strategi Daerah. Bentangan wilayah yang masih didominasi kawasan hutan dengan luas 418.989 Ha dari total wilayah 617.000 ha (Laporan Tahunan Dishutbun Sarolangun dan Sarolangun dalam angka 2000-2004) ini secara otomatis sangat kaya dengan biodiversity. Oleh karena itu Sarolangun memegang peranan penting dalam tataran ekologi DAS Batanghari. Masalahnya hutan di Kabupaten Sarolangun berdasarkan analisa peta citra satelit lansat tahun 2005 di Laboratorium GIS KKI WARSI, tinggal 134.719 ha atau 23,20 persen saja. Berada jauh di bawah ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan suatu wilayah harus menyisakan hutan minimal yaitu 30 persen untuk menjaga fungsi-fungsi lingkungan. Dalam dokumen RPJP Kabupaten Sarolangun 2006-2025, bahwa persoalan kehutanan tidak lepas dari orientasi pengelolaan hutan yang terpusat pada kayu, lemahnya penegakan hukum, hingga banyaknya persoalan sosial yang timbul berkaitan dengan sektor kehutanan. Persolaan lain yang cukup mendasar adalah lemahnya pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Kondisi ini mengakibatkan tidak sedikit kawasan hutan yang merupakan kawasan hutan yang dikelola masyarakat secara turun temurun menjadi korban kebijakan HPH. Sehingga masyarakat tak lagi mempunyai akses terhadap hutan yang telah mereka kelola ketika masuk ke dalam kawasan hutan lindung ataupun hutan-hutan produksi. Posisi masyarakat yang demikian juga tidak bisa dilepaskan dari realitas perundangan di Indonesia yang memang tidak memberi ruang kepada daerah untuk terlibat dan menentukan kebijakan, khususnya kebijakan kehutanan. Dominasi kekuasaan yang berlebihan dan tanpa kontrol ini dengan jelas terlihat pada pemberian fasilitas dan proteksi yang berlebihan kepada para pemodal melalui pemberian izin hak penguasaan hutan dibandingkan kepada masyarakat adat atau masyarakat sekitar hutan yang secara turun temurun menggantungkan hidupnya dari hutan. Padahal dalam UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa; Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan yang lahir pun tak terhindar dari benturan dan multi interpretasi, sehingga saling bertentangan. Adanya kebijakan kebijakan ini secara otomatis membentuk paradigma pengelolaan hutan yang
bertumpu pada kekuasaan (state based). Walaupun paradigma ini kemudian mulai berkurang secara perlahan dengan lahirnya kebijakan otonomi daerah UU nomor 32 tahun 2004. Kebijakan otonomi daerah secara otomatis membawa dampak pada pola hubungan antara pusat dan daerah termasuk sektor kehutanan. Kebijakan kehutanan yang lahir dari daerah dan menjadi kebutuhan daerah pun mulai bermunculan. Kebijakan ini kemudian memberi peluang bagi masyarakat dan merubah paradigma pengelolaan hutan menjadi community based ataupun berbasis masyarakat Peluang inilah yang kemudian mampu membangkitkan masyarakat sekitar kawasan di Kabupaten Sarolangun untuk mendapatkan kembali akses terhadap hutan yang telah mereka kelola melalui permohonan Peraturan Bupati ataupun SK Bupati tentang Imbo Larangan. Maraknya inisiasi dan kembalinya semangat pengelolaan hutan oleh masyarakat di sekitar hutan dan masyarakat adat, baik dalam bentuk hutan adat (rimbo larangan), hutan desa dan lainnya adalah realitas sosial dari struktur masyarakat yang paling bawah dalam menyelamatkan hutan tanpa srtuktur kekuasaan yang hirarkis. Didukung lagi dengan inisiasi penyelamatan hutan oleh Dishutbun Kabupaten Sarolangun melalui hutan kota, dan juga agro forest di wilayah hilir. Selain itu juga upaya pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu oleh masyarakat di wilayah hilir semakin memperkuat bahwa hutan dengan non kayunya memberikan harapan ekonomi yang tak dapat dikesampingkan. Berbagai inisiasi, peran lokal dan praktek pengelolaan kawasan menjadi sangat relevan untuk diakomodasi oleh semua pihak, baik eksekutif, legislatif, akademisi ataupun NGO. Perda (peraturan daerah) adalah salah satu entry point yang sangat strategis untuk mewujudkan keberpihakan hukum dalam pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat. Sehingga masyarakat mendapatkan jaminan hukum dalam pengelolaan hutan. Disamping itu juga ada jaminan terhadap upaya mempertahankan hutan yang kondisinya semakin mengalami penurunan. Dari kebijakan ini juga diharapkan adanya jaminan upaya konservasi yang bermanfaat bagi sustainablitas fungsi hutan, ekosistem dan daya dukung terhadap DAS Batanghari yang kritis. DPRD, Dinas Kehutanan dan perkebunan beserta para pihak di Kabupaten Sarolangun tengah mempersiapkan lahirnya peraturan yang akan menjadi payung hukum lokal dalam pengelolaan hutan. Kebijakan ini juga sebagai upaya implmentatif dalam perspektif konservasi terhadap tiga zona wilayah pembangunan yang tertuang dalam Perda Nomor 06 tentang Rencana Strategi Pembangunan Daerah Kabupaten Sarolangun.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
33
34
DARi hulu ke hilir / Erwin Herwindo, Fasilitator Kabupaten -
[email protected]
Menilik Pengelolaan Lahan Gambut di Wilayah Hilir DAS Batang Hari
L
ahan gambut merupakan sumber daya alam yang unik, baik secara fisik maupun kimia. Secara fisik, gambut dan air yang terkandung di dalamnya umumnya berwarna coklat sampai kehitaman, mudah terbakar karena mengandung bahan organik yang tinggi, memiliki sifat kering tak balik (irreversible), dan sebagainya. Sedangkan secara kimia, gambut adalah tanah masam dengan pH rendah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, serta mengandung asam-asam organik beracun. Tentu saja masih banyak keunikan fisik dan kimia gambut lainnya. Lahan gambut adalah sebuah ekosistem (lahan basah) yang pengelolaannya memerlukan upaya komprehensif. Pengelolaan yang parsial hanya akan menyebabkan kerusakan ekosistem lahan gambut yang mengakibatkan kerugian baik yang bersifat lokal, regional maupun internasional. Berbagai kajian pengelolaan lahan gambut memperlihatkan fenomena bencana. Bencana terbesar adalah kebakaran yang meluas pada lahan gambut dan sulit dipadamkan. Hutan-hutan rawa gambut dalam kondisinya yang alamiah tidak akan mudah terbakar. Keteledoran ulah manusia, pembuatan kanal-kanal dan selektif logging akan membuat hutan rawa gambut menjadi terbuka, tanah dan tetumbuhan mengering, sehingga akan memudahkan terjadinya kebakaran hutan (Bechteler & Siegert 2004). Kebakaran hutan akan meningkatkan konsentrasi karbon di atmosfer yang pada gilirannya menciptakan efek rumah kaca yang kemudian berimplikasi pada terjadinya pemanasan global. Konversi dan pengeringan apapun di area tersebut akan mengakibatkan degradasi ekosistem rawa yang tidak dapat dipulihkan lagi. Bila hal itu terjadi, lahan-lahan gambut akan mulai membusuk dan akan mengeluarkan karbon ke atmosfir dalam jumlah besar. Permukaan gambut akan menyurut bermeter-meter dan sangat mungkin akan mengakibatkan permukaan tanah tenggelam ke bawah permukaan laut selamanya (Wosten et al. 1997). Dan pada gilirannya area tersebut malah akan menjadi sumber karbon daripada ketertenggelamannya sendiri. Sekitar 5% dari seluruh karbon
bumi diperkirakan termasuk kawasan gambut tropis (Diemont et al. 1997, Rieley et al. 2004). Nasib selanjutnya dari cadangan-cadangan karbon itu akan mempunyai implikasi besar terhadap keseimbangan karbon di atmosfir. Dari segi keragaman hayati (biodiversity) hutanhutan rawa gambut sangat penting. Dibandingkan dengan hutan-hutan dataran rendah pada tanah bermineral, jenisjenis pohon yang bermutu dan tinggi di hutan rawa gambut lebih sedikit. Tetapi bagaimanapun hutan-hutan rawa gambut lebih mempunyai keragaman ekosistem dibanding yang lain di bumi ini. Jenis-jenis pohon endemik dalam jumlah yang banyak ditemukan di kawasan hutan-hutan rawa gambut, selain juga terdapat habitat penting bagi banyak pohon dan binatang yang terancam punah dan hanya dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah (Rieley & Page 1997). Beberapa jenis tanaman yang sudah semakin berkurang dan terancam punah seperti meranti (Shorea spp.), ramin (Gonystylus spp.) dan jelutung (Dyera spp.) biasa ditemukan di area konsesi. Dan juga beberapa binatang yang saat ini nyaris punah seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan buaya muara (Crocodylus porosus). Sebagian daerah hilir DAS Batang hari merupakan daerah gambut. Di Muaro Jambi misalnya sebagian wilayahnya merupakan lahan gambut. Mengingat ini, pada Mei 2006 lalu berlangsung workshop Membangun Strategi Pengelolaan Lahan Gambut Yang Berkelanjutan di Kabupaten Muaro Jambi. Workshop yang diiukuti oleh instansi terkait dan LSM ini, dimaksudkan sebagai upaya untuk berbagi informasi tentang urgensi pengelolaan lahan gambut, khususnya di Kabupaten Muaro Jambi. Dari workshop ini terlihat masih belum terinternalisasinya pemahaman para peserta lokakarya tentang pengelolaan lahan gambut di Kabupaten Muaro Jambi. Basis kajian ilmiah tentang lahan gambut sebagai dasar dalam penentuan tata guna lahan pada lahan gambut belum memadai. Selama ini, kebijakan pembangunan pada lahan
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
DARi hulu ke hilir
Hutan Gambut sangat rawan kebakaran. Hampir tiap tahun hutan gambut di wilayah hilir DAS Batanghari terbakar. Terlihat hutan gambut yang terbakar di areal HPH Putra Duta Wood. Foto Dasrul/KKI Warsi bergambut cenderung disamakan dengan kebijakan pada lahan non gambut. Pengelolaan pada lahan gambut diawali dari kebijakan penataan ruang wilayah administratif. Kebijakan tersebut haruslah berbasis kajian ilmiah mengingat penentuan kawasan pada lahan gambut tidak cukup hanya melihat lanscape secara horisantal saja, tetapi juga perlu melihat sisi vertikal atau kedalaman lahan gambut. Dalam Keppres RI No. 32 Tahun 1990 disebutkan bahwa kawasan bergambut yang memiliki ketebalan 3 meter atau lebih ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pembuatan drainase pada lahan gambut yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi akan meningkatkan debit air di kedua sungai tersebut yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan banjir pada wilayah hilir. Sehingga penentuan tata guna lahan (land use) pada lahan bergambut yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan berdasarkan asasasas konservasi akan berdampak positif terhadap kondisi kawasan.
masyarakat di sekitar areal gambut adalah sebuah keniscayaan. Merekalah pihak yang paling dekat dengan kawasan bergambut sehingga harus merasakan dampak positif agar mereka dalam dada mereka selalu terpatri tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lahan gambut. Duduk bersama para pihak secara rutin dan konsisten dalam pengelolaan gambut adalah hal terpenting. Pada momen inilah strategi pengelolaan lahan gambut dirumuskan dan peran didistribusikan. Harus muncul leading sektor yang akan mengoordinasikan strategi pengelolaan lahan gambut ke depan.
Tentu saja upaya mendorong pengelolaan lahan gambut yang memperhatikan azaz konservasi di Kabupaten Muaro Jambi, khususnya pada tataran teknis tidak mudah diimplementasikan. Berbagai kendala akan menghadang sehingga semakin memperpanjang proses pelestarian lahan gambut. Padahal berbagai praktek yang tidak sejalan dengan prinsipprinsip konservasi terus berlangsung. Kebijakan pengelolaan Dalam konteks daerah aliran sungai (DAS), kawasan lahan gambut kerapkali tidak menjadi skala prioritas oleh bergambut di Kabupaten Muaro Jambi terbagi ke dalam para pengambil kebijakan meskipun telah dilakukan sosialisasi dua daerah tangkapan air, yaitu Sungai Batang Hari dan berbagai dampak positif maupun negatif dalam pengelolaan Sungai Air Hitam. Sebagai sebuah ekosistem, maka lahan gambut. Akibatnya pengelolaan lahan gambut tidak pengelolaan kawasan bergambut haruslah dilakukan secara pernah keluar dari tataran wacana yang nihil implementatif. gambut menyeluruh yang meliputi wilayah hulu (dome/berkubah) Gundul,Persoalannya, perbukitan yangapakah menjadi pengelolaan daerah tangkapan air yang sungai-sungai yang menuju BHIP. konser vasi harus menunggu komprehensif berbasis hingga hilir. Hal ini menuntut adanya pengelolaan lintas sektoral dan lintas wilayah administratif. Pelibatan datangnya bencana. (Dari berbagai sumber) Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
35
36
MATA Hati / Sukmareni, Asisten Komunikasi -
[email protected]
Penyakit Belum Sembuh Sudah Disuruh Kembali ke Rimba Perempuan rimba mencoba pengobatan moderen
W
ajah Bedorong pagi itu, terlihat lebih cerah. Nampaknya ia sudah agak mulai terbiasa dengan suasana rumah sakit. Bedorong memang telah 8 hari (dari 12, red) berada di zaal penyakit dalam rumah sakit Raden Mattaher Jambi. Berbaur dengan 8 pasien lainnya, plus keluarga yang menunggui. Kondisi ini jauh berbeda dengan ketika ia baru pertama kali masuk rumah sakit pada akhir oktober lalu. Malah ia sempat mengalami ilong panano (stress). Banyak sekali perbedaan dengan kehidupannya di dalam rimba di Soko Nini Taman Nasional Bukit Dua belas. Induk Semenggam demikian ia Tumenggung Taribanaknya di istana negara menerima disapa sejak kelahiran Semenggam yang kini berusia penghargaan Kalpataru dari Presiden. sekitar 5 tahun, di rumah sakit ia harus berpakaian layaknya masyarakat lain. Beda dengan pakaian rimba yang hanya menggunakan kemben sebatas perut, akibatnya ia merasa kegerahan. Belum lagi melihat orang banyak bersileweran membuat Bedorong yang merupakan anggota rombong Tumenggung Ngukir semakin tidak tentram. Tetapi apa boleh buat, penyakit yang dideritanya sejak 4 tahun lalu mengharuskan ia mencoba ilmu kedokteran modern. Sebelumnya ia telah mencoba untuk berobat kepada dukun di dalam rimba. Namun kesembuhan belum juga menghampirinya, bahkan semakin parah ditandai dengan pembengkakan di leher dan sulit bernafas. Tak mempan berobat di rimba, keluarga Bedorong juga telah membawanya berobat ke Orang Desa di Tanah Garo dan Bernai (Desa penyanggah Taman Nasional Bukit Duabelas), tapi upaya yang dilakukannya ini belum membuahkan hasil. Malahan tubuh Bedorong semakin sakit, ia kerap gemetaran dan kelenjar tiroidnya semakin membesar. Bedorong yang kala gadisnya tergolong cantik dengan rambut sampai ke lutut tapi kini tubuhnya semakin ringkih, mata melotot, rambutnya rontok dan berubah warna menjadi merah dan beruban. Pihak waris pun bersepakat untuk membawa Bedorong berobat keluar rimba, yaitu ke Desa Sei Jernih (Trans SpA) Kecamatan Muara Tabir Kabupaten Tebo. Oleh Parian orang desa yang dimintai pendapat oleh waris Bedorongmenyarankan dibawa ke Puskesmas untuk
mendapatkan perawatan medis. Bedorong pun dibawa ke Puskesmas Sungai Bulian di Kecamatan Muara Tabir. Di Puskesmas ini, pasien ditangani dokter Ikli , namun melihat kondisinya yang sudah demikian parah, pihak puskesmas langsung merujuk korban untuk dirawat di Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi, dengan memanfaatkan kartu askes keluarga miskin. Hanya saja di rumah sakit yang menjadi tempat rujukan pasien askeskin ini, harus melalui prosedur dan birokrasi yang berbelit. Bedorong sempat beberapa kali keluar masuk rumah sakit dengan alasan yang kurang jelas, parahnya lagi diagnosa yang diberikan dokter juga berubah-ubah tergantung dokter yang menanganinya. Haropan kami dio biso sembuh,kata Pendomi suami Bedorong yang menemaninya di Rumah Sakit. Bedorong sendiri ketika ditanya apa yang diinginkannya sehingga dia berani keluar dari rimba, dia hanya ingin sembuh dan bengkak dilehernya bisa hilang. Dia sebenarnya sangat takut berada diantara orang terang dan sangat tersiksa kala kerinduan akan anaknya datang menyergap. Sebelumnya bagi perempuan rimba, keluar dari rimba merupakan hal yang tabu, apalagi sampai jauh menempuh jarak puluhan kilo meter. Namun derita yang dialaminya, telah membuat hati para waris Bedorong luluh, mereka mengizinkan Bedorong untuk berobat keluar rimba. Dengan syarat Bedorong harus ditemani oleh salah satu warisnya. Penapat adik bungsu Bedorongmerupakan utusan waris yang menemani Bedorong selama menjalani pengobatan di luar rimba. Penapat memikul tanggung jawab dari para waris yang berada di rimba. Dia sudah tidak berdaya (lemah), mako kami mau membawanya berobat keluar,kata Penapat. Penapat merupakan orang yang akan bertanggung jawab, jika terjadi sesuatu dengan kakaknya. Dalam adat rimba, jika terjadi hal yang paling buruk jika tidak ditemani oleh warisnya, maka bisa suami yang disalahkan. Dan untuk itu ia harus membayar denda bangun sebanyak 500 lembar kain. Tapi kalau akeh ado, akeh biso, kalo ado hal yang buruk terjadi mako akeh yang akan menjelaskan ke waris yang lain, dan urang sumando tidak akan disalahkan,kata Penapat yang bisa sedikit berbahasa melayu.
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
MATA HATI
Bagi Penapat sendiri, juga baru pertama kali masuk ke kota.Akibatnya anak baru gede ini, sempat tiga hari tidak bisa makan, karena tidak bisa tenang dengan suasana kota yang ramai dan banyak orang. Tapi karena tanggung jawab yang diserahkan warisnya, ia harus menjalani itu semua. Tanggung jawab ini harus dipikulnya, karena ia yang masih lajang dalam keluarganya. Saudara yang lain sudah menikah semua dan punya tanggung jawab keluarga. Agak susah kalau harus mereka yang menemani, banyak kerjo,sebutnya. Perjuangan Bedorong ternyata tidak mulus. Pihak rumah sakit dengan diagnosanya telah menyuruhnya kembali ke pedalaman TNBD, walaupun penyakitnya yang sebelumnya didignosa menderita pembengkakan jantung, endema paru dan tiroid masih belum hilang dari tubuhnya. Apakah memang birokrasi yang demikian, ataukan karena ia Orang Rimba jadi penanganan dari rumah sakit pun hanya ala kadarnya? (A.S.)
Bedorong tengah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi (foto atas). Penapat menunggu petugas puskesmas Sungai Bulian membuat rujukan untuk membawa Bedorong ke Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi (foto bawah). Foto: Lander Rana Jaya/KKI WARSI
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
37
38
WAWANCARA / Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI WARSI-
[email protected]
DPRD: Sudah Saatnya Menghadirkan Kebijakan Partisipatif
D
alam menghasilkan peraturan daerah (Perda), DPRD boleh dibilang sangat produktif. Puluhan Perda bisa dihasilkan dalam satu tahun, hanya saja Perda yang dikeluarkan kerap tanpa melalui proses legislasi yang seharusnya dilakukan, seperti harus adanya naskah akademik dan konsultasi publik. Proses-proses ini kerap terlewati dalam penyusunan kebijakan daerah. Akibatnya banyak Perda yang dibatalkan oleh menteri dalam negeri, karena peraturan yang dilahirkan menyalahi atau melangkahi peraturan yang lebih tinggi. Di Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, DPRD khususnya Komisi 2 dan para pihak bersama KKI Warsi, tengah menyusun kebijakan tentang pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat dengan pendekatan daerah aliran sungai. Lahirnya ide untuk membuat aturan ini didasari kondisi hutan Sarolangun yang sudah berada dibawah batas minimal yang ditetapkan UU Nomor 41 Tahun 1999, akibat aksi-aksi destructive logging yang dipicu oleh kebijakan di masa lampau. Di tingkat masyarakat sendiri mereka telah berupaya untuk menyelamatkan hutan di sekitar mereka dengan kearifan yang mereka miliki. Akan tetapi masyarakat belum memiliki payung hukum yang kuat atas hak kelola pada hutan yang selama ini telah mereka jaga dan pertahankan. Berangkat dari inilah kemudian dirancang peraturan daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) dengan Pendekatan Daerah Aliran Sungai. Dalam penyusunan kebijakan ini, di bangun proses-proses legislasi untuk menghadirkan peraturan yang lebih komprehensif. Bagaimana ide dan proses rancangan Perda ini, telah kami mewawancarai Majibburrahman, sekretaris komisi dua DPRD Sarolangun. Politisi partai Golkar ini sejak awal telah ikut secara aktif mendorong lahirnya kebijakan ini. Berikut petikan wawancaranya.
Mujibburrahman, sekretaris komisi 2 DPRD Sarolangun. Foto: Erwin/KKI WARSI
Apa yang mendasari DPRD Sarolangun khususnya Komisi Dua untuk ikut aktif menggagas rancangan peraturan daerah Pengelolaan Sumber daya Alam berbasis masyarakat dengan pendekatan daerah aliran sungai? Dasarnya karena kita berfikir bahwa perlu ada upaya-upaya untuk menyelamatkan hutan dengan melibatkan masyarakat dan stakholder. Selain itu, juga sudah saatnya ada payung hukum untuk pemanfaatan sumber daya hutan tanpa merusak ekositem dan adanya jaminan keberlanjutan pemanfaatan. Hal ini juga didukung potensi hutan di Sarolangun yang masih relatif baik dibandingkan kabupaten lainnya. Kalau menurut anda, seperti apa kondisi sumber daya hutan di Sarolangun saat ini? Kalau kita lihat dari konteks illegal logging, kegiatan ini sudah jauh berkurang dalam setahun belakangan ini, terutama sejak adanya instruksi presiden tentang pemberantasan illegal
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
WAWANCARA logging. Walau kita juga tidak dapat memungkiri bahwa kondisi sumber daya hutan kita khususnya di Sarolangun juga ada yang telah mengalami kerusakan akibat kebijakan di masa lampau yang sangat ekploitatif dalam mengelola hutan dengan adanya HPH dan konversi lahan menjadi areal perkebunan yang cukup membuat sumber daya hutan terus berkurang. Sejauh mana urgensi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan yang rencananya berbentuk perda ini untuk menyelamatan kondisi sumber daya hutan yang demikian? Kita berharap dengan adanya perda ini nantinya, laju kerusakan hutan paling tidak dapat dicegah dan kalau memungkinkan juga dilakukan upaya-upaya pemulihan. Apalagi dalam perda ini ditekankan unsur pelibatan masyarakat, sehingga aturan ini nantinya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan dan harapannya diikuti dengan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan. Apakah yang menjadi substansi dasar penyusunan peraturan ini? Ada banyak hal yang akan diatur dalam perda ini, yang paling penting adalah pelibatan masyarakat dan adanya insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dengan sebaik-baiknya. Bagaimana dengan proses yang dibangun dalam penyusunan ranperda ini? Perda yang akan dilahirkan ini, proses yang kita bangun merupakan proses yang partisipatif. Boleh diakui bahwa proses-proses yang partisipatif seperti penyusunan perda ini, baru kali ini kita coba. Harapannya dengan pelibatan multistakholder dan masyarakat dalam implementasinya akan lebih mudah dilaksanakan, karena kehadiran perda ini berdasarkan kebutuhan yang berkembang di tengah masyarakat dan dalam proses penyusunanya juga melibatkan masyarakat. Kita sangat terkejut ketika diselenggarakan workshop mendorong pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat berbasis daerah aliran sungai Di kabupaten Sarolangun, beberapa waktu lalu, masyarakat sangat antusias. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keterkaitan yang erat dengan sumber daya hutan.
39
Apakah partisipasi publik kali ini jauh lebih baik ketimbang penyusunan kebijakan sebelumnya. Dalam penyusunan ranperda ini keterlibatan publik lebih luas dan lebih mewakili. Ada dari kalangan birokrat, masyarakat hingga LSM Apakah proses penyusunan perda yang seperti akan diterapkan untuk penyusunan peraturan berikutnya? Penyusunan kebijakan kali ini merupakan terobosan yang sangat bagus. Peraturan dilahirkan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Selama ini ada kecenderungan penyusunan peraturan kurang aspiratif dan dalam implementasinya sulit dijalankan karena masyarakat merasa mereka tidak membutuhkan aturan tersebut. Saya fikir ke depan dalam penyusunan peraturan daerah kita akan memilih cara-cara yang aspiratif dan partisipatif. Bagaimana caranya? Mengingat selama ini masyarakat juga kerap merasa tidak ada kepentingan dengan penyusunan peraturan yang dilakukan pemerintah, Biasanya masyarakat tahu ada aturannya dan mereka akan menjalankannya? Kita akan pelan-pelan memberikan pemahaman kepada masyarakat, supaya dalam penyusunan aturan ke depan apa yang menjadi kebutuhan mereka tersampaikan dan pada gilirannya mereka akan sama-sama membuat aturan yang mereka butuhkan. Apa harapan anda peraturan ini sekaligus dijalani?
terhadap penyusunan dengan proses yang
Harapan kita ke depan ada perbaikan dalam pengelolaan hutan. Masyarakat yang punya kearifan lokal dalam mejaga hutan mereka akan punya legalitas dalam pengelolaannya. Di samping itu juga harapannya akan tumbuh kesadaran dalam masyarakat lainnya terhadap pemeliharaan hutan, untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumber daya hutan, dengan memanfaatkannya secara arif sehingga anak cucu kita di masa depan juga masih bisa menikmasi hasil hutan. Di samping itu juga dengan menjaga kelestarian hutan, bencana alam yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan hutan dapat dihindari dan dicegah. (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
40
WAWANCARA / Rahmadie, Asisten Komunikasi Bukit 30 KKI WARSI-
[email protected]
Menjadikan Hutan Sebagai Wisata Alam Drs. Wiryadi Oemardi, M.Si Kabag Humas Pemkab Indragiri Hilir Riau
L
elaki ini paling senang bila diajak berbicara hutan Indonesia. Terlebih, masalah Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan hutan penyangganya di Indragiri Hillir Riau. Maklum saja, jabatan Camat Kemuning pernah dipegangnya sejak 2004-2006.
penelitian dapat kita wujudkan di sana. Yang penting bila kita mau dan serius, tidak ada yang tidak mungkin.
Dua tahun bukanlah waktu yang panjang. Namun, berbagai hal telah dilakukan oleh pemilik gelar Master Ekonomi Pembangunan UGM untuk masyarakat Kemuning. Menurutnya, sudah selayaknya hutan memberikan manfaat yang besar untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Terutama, bagi mereka yang hidup dan tinggal di sekitar hutan.
Point penting agar konsep wisata alam berjalan adalah dengan memberdayakan masyarakat setempat. Seperti yang kita ketahui sekarang ini, masyarakat tidak diajak dan diberdayakan dalam pelestarian hutan dan alam. Masyarakat hanya dijadikan penonton saja, ketika hutan disekitarnya digunduli. Jadi, otomatis mereka akan ikut serta menebang hutan meskipun dalam skala kecil. Jika sudah begitu, ketergantungan mereka akan hasil hutan sangat tinggi karena tidak tahu usaha apalagi yang akan dilakukan.
Seberapa jauh pandangan Beliau tentang pengelolaan hutan terutama TNBT dan penyangganya, berikut petikan wawancara Alam Sumatera di Kantornya Jalan Akasia No. 1 Tembilahan. Konsep apa yang Anda lakukan tentang pengelolaan Hutan di Kecamatan Kemuning, ketika Anda menjabat Camat saat itu? Konsep yang saya lakukan adalah menjadikan hutan sebagai wisata alam. Kenapa tidak? Air Terjun Selensen Salak di desa Selensen Kecamatan Kemuning, misalnya. Hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di sekitar air terjun itu, sekitar 8 km dari kantor Camat Kemuning, masih sangat asri dan belum ada perambahan. Selain itu, aneka flora dan fauna masih alami. Nah, alangkah baiknya bila berbagai potensi tersebut kita rangkum dan menjadikannya sebagai wisata alam. Katakan saja outbound, kegiatan pecinta alam dan kepramukaan, budi daya tanaman souvenir, hingga wisata
Kalau begitu maksudnya, apakah masyarakat perlu diberdayakan?
Nah, berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, saya coba membudidayakan tanaman souvenir yang merupakan bagian dari konsep wisata alam. Tentu saja, ini bukan asalasalan, tetapi berdasarkan Ilmu Hama Penyakit Tanaman yang saya miliki. Alhamdulillah, program ini sejalan dengan K2I. Akhirnya uang Rp100 juta bantuan Gubernur Riau, saya gunaan untuk membeli bibit salak pondoh sebanyak 3.500 batang dari Sleman Yogyakarta. Tahun 2008 nanti, akan menghasilkan. Disamping harga yang kompetitif juga bisa membantu pendapatan rumah tangga. Lalu, bagaimana dengan maraknya pembukaan lahan di Kecamatan Kemuning hingga hutan penyangga TNBT? Anda punya solusi? Banyak benturan kepentingan di sana. Semua butuh waktu. Mengurangi tekanan bukaan lahan yang telah berjalan sejak
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
WAWANCARA
41
1996 hingga kini butuh kesabaran. Artinya, kita harus tetap menyadarkan masyarakat akan fungsi hutan jangka panjang. Sosialisasi tetap berjalan. Sebenarnya, masyarakat itu peduli dengan kelestarian hutan. Hanya saja mereka belum tahu harus mengerjakan apa, karena selama ini belum ada sosusi yang tepat buat mereka. Katakan saja, apakah areal perbukitan dengan kecuraman 40% cocok untuk perkebunan kelapa sawit. Ataupun, bila tidak boleh berkebun pekerjaan apa yang paling tepat untuk mereka tanpa harus mengganggu kelestarian TNBT? Belum lagi tingginya laju migrasi. Semua itu perlu pemikiran komprehensif. Anda setuju dengan Rasionalisasi? Saya setuju rasionalisasi. Karena kawasan hutan penyangga di daerah tersebut relatif sulit dikelola dengan tofografi curam dan rawan perambahan. Namun juga, rasionalisasi harus memperhatikan segala aspek kehidupan masyarakat. Terutama sosial ekonomi masyarakat tempatan dan di sekitar taman nasional. Mereka juga manusia, seperti kita. Begitu halnya dengan batu bara. Itukan potensi besar Inhil. Saya tidak mempermasalahkan bila tambang dijalankan, asalkan tidak merusak lingkungan dan mengganggu ekosistem taman nasional. Semua harus dikaji berbagai aspek. Melewati proses AMDAL. Untuk ke depannya, mari kita jaga dan kelola bersama TNBT Debit Air Sungai Gansal sangat dipengaruhi oleh kelestarian TNBT. Foto: Lander Rana Jaya/KKI tanpa mengabaikan peran masyarakat. Rasionalisasi tetap WARSI diprogramkan, namun pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Terlebih, bila empat kabupaten (Tanjung Jabung Barat dan Muaro Tebo Nama : Drs. Wiryadi Oemardi, M.Si Jambi serta Indaragiri Hulu dan Tempat/tanggal lahir : Kuala Enok, 8 Juli 1962 Indragiri Hilir- Riau) di dua provinsi ini Pendidikan : SD Negeri Teluk Pinang menjalankan komitmen bersama dalam SMP Tembilahan pengelolaan TNBT. Bukan hal mustahil, SLTA Pekanbaru TNBT akan menjadi taman nasional yang Fakultas Non Gelar Teologia (FNGT) UGM S1 FIA Unilak bisa diandalkan baik dari segi Master Ekonomi Pembangunan UGM pengetahuan maupun wisata alam. Pertanyaan terakhir. Setelah menjadi Kabag Humas Pemkab Indragiri Hilir Riau, apakah Anda tetap memperhatikan perkembangan Kecamatan Kemuning dan TNBT? Tentu saja. Saya konsen dengan konservasi dan kelestarian TNBT, kok. (A.S.)
Istri Anak Riwayat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
: Dra. Ernilawati/42tahun : Anwisa Reginasari/13tahun Pekerjaan/Jabatan : Staf Bagian Ekonomi tahun 1991 Kepala Sub Seksi Perlindungan H/P tahun 1993-1998 Staf Dinas Pertanian tahun 1998-1999 Kepala Seksi Promosi Penanaman Modal tahun 2001-2004 Camat Kemuning, Desember 2004-2006 Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, 2006-sekarang Dosen STIE Tembilahan tahun 2004 Dosen FIA Unilak Kelas Tembilahan tahun 2004-2005
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
42
SUARA RIMBA / Retnaningdyah W., Bubung A., Pengamat Orang Rimba -
[email protected]
Belangun, Masa Remayao Orang Rimba
Mikay ndok kemono guding bewo haba-haba benyok samo pembungkuy ? (Kalian hendak pergi kemana, membawa banyak barang-barang dengan pembungkusnya juga?) E... guding kamia ndok pogi belangun. (E...kami hendak pergi belangun) Siapo nang mati ? (Siapa yang meninggal ?) adolah rombong kami, nye mati keno sakit......... guding kamia piado bisa sobut kanti iyoy.... kedulat.... (Adalah dari rombong kami yang meninggal karena terkena sakit....kami tidak dapat menyebutkan namanya....kuwalat...) Ndok Belangun ke mono rombong Mikay ? (Mau belangun kemana rombong kalian?) e.... adolah kami ndok bejelon ke Tupang di Alai........(E...adolah kami hendak berjalan ke Tupang Dialai....)
S
ebuah percakapan ringan saat kami menemui serombongan Orang Rimba yang berada di sisi selatan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi. Orang Rimba ini sedang belangun atau yang sering juga terdengar di telinga kita dengan kata melangun. Bagi Orang Rimba, belangun merupakan suatu proses migrasi Orang Rimba yang berkaitan dengan ritus kematian atau masa berkabung. Pada masa ini Orang Rimba akan berpindah tempat atau meninggalkan tempat tinggal mereka semula dan mencari tempat tinggal yang baru. Dalam masa ini Orang Rimba akan membawa semua barang-barang mereka yang sangat berharga yang disebut haba-haba, berupa peralatan memasak, tikar, senjata berupa parang, kujur, dan beliung. Barang-barang ini diangkut dengan menggunakan ambung (keranjang khas yang terbuat dari rotan dan dibalur dengan jernang sebagai pewarna) yang dipanggul layaknya memanggul ransel. Barang lain yang merupakan harta Orang Rimba yang sangat penting untuk dibawa adalah kain panjang. Kain ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pembayar denda adat apabila Orang Rimba melakukan kesalahan. Kain-kain panjang ini selalu sudah terkemas rapi di rumah, sehingga ketika akan
Orang Rimba pergi Belangun, mereka akan membawa semua barang milik mereka. Foto: Lander Rana Jaya/ KKI Warsi belangun tinggal dibawa. Kain-kain panjang dibungkus dalam tikar pandan, yang sebelumnya dibungkus pula dengan kain putih (kain mori). Selama masa ini Orang Rimba akan tinggal di tempat-tempat yang jauh dari tempat si yang meninggal. Terkadang Orang Rimba mendirikan sesudung (tempat tinggal sementara yang tidak berdinding dan atapnya terbuat dari plastik terpal hitam) di areal perkebunan sawit atau kebun karet milik orang desa, sampai pada akhirnya mendapatkan areal yang dapat dijadikan tempat tinggal untuk membuka pemukiman baru. Dipilihnya lokasi perkebunan terutama sawit karena pada wilayah ini banyak ditemukan binatang buruan yang dapat dimakan, seperti babi, landak, tikus tanah dan biawak yang berkeliaran memakan buah sawit. Selama belangun, terkadang Orang Rimba sering kali tidak membawa cukup bahan makanan. Biasanya hanya membawa ubi kayu (lembau) dan ubi jalar (pilou) yang dimasukkan ke dalam
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
SUARA RIMBA ambung. Banyak diantaranya yang hanya membawa persediaan untuk dua hingga tiga kali makan saja. Pada masa belangun Orang rimba menyebutnya juga dengan masa remayao(masa paceklik atau kekurangan sumber bahan makanan). Pada masa ini banyak yang mengalami kekurangan gizi dan banyak yang terkena penyakit, yang sering berdampak pada tingginya angka kematian, sehingga pada akhirnya mereka juga harus belangun lagi ke lain tempat. Hanya makanan yang tersedia dari alam seperti : benor, gadung (gedung), ubi jalar (pilou), singkong (lembau), dan buah-buahan yang sedang musim saat itu, yang sangat mereka harapkan. Pada masa ini berburu menjadi suatu pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhannya akan daging, hewan-hewan yang akan diburu seperti : rusa, kijang, kancil, babi hutan, lelabi, dan ikan sungai dan lain sebagainya. Pada saat belangun, selain mengalami krisis pangan, mereka juga sering menghadapi masalah dengan lingkungan yang baru seperti keterbatasan persediaan air untuk minum. Tidak sedikit orang rimba yang harus kehilangan anak-anak mereka karena kematian pada masa belangun ini. Mobilitasi mereka akan cukup tinggi karena kematian yang tiada henti yang akhirnya membawa mereka ketempat yang makin lama semakin jauh dari tempat asal mereka. Penghulu atau pemimpin rombong yang terdiri dari beberapa bubung (kepala keluarga-red) juga memegang peranan sebagai orang yang menjadi penentu di mana tempat yang akan menjadi tujuan belangun. Pengulu ini bisa seorang tumenggung, tengganai, mangku, menti, ataupun depati. Dapat juga bila di rombong tersebut tidak ada seorang pengulu, maka dipilih rerayo (seseorang yang dituakan). Dalam penentuan lokasi baru ini tidak ada ritual khusus. Yang paling penting dari tempat yang akan mereka tempati nantinya tersedia sumber makanan dan binatang buruan yang cukup serta air yang akan mereka pergunakan untuk kehidupannya. Tempat-tempat yang di jadikan sebagai tujuan belangun pada saat sekarang ini sudah tidak lagi ideal seperti pada masa dulunya. Karena hutan semakin sempit akibat maraknya aksi-aksi destructive logging dan konversi lahan. Dari keterangan para rerayo, dulu tempat yang sering di jadikan tujuan belangun ini harus yang masih hutan dan sangat luas. Karena di daerah ini juga nantinya siklus dari kehidupan baru mereka akan bergulir. Lamanya waktu belangun yang dilakukan oleh Orang Rimba bergantung pada suasana hati / perasaan waris si meninggal yang sedang belangun, apakah mereka masih teringat dan merasa sedih dengan si mati atau sudah tidak teringat lagi. Pada masanya jika Orang Rimba sudah tidak teringat lagi
dengan orang yang meninggal, maka Orang Rimba akan berangsur-angsur pulang kembali ke tempat tinggalnya semula. Tetapi apabila Orang Rimba masih merasa sedih dan belum tenang karena masih teringat dengan kerabat/ anggota kelompok yang meninggal, maka bisa dipastikan belum akan pulang sampai rasa tenang (rasa tenang disini maksudnya sudah tidak merasa sedih lagi ketika mereka diingatkan dengan orang yang meninggal) itu diperolehnya.. Namun apabila mereka masih menangis ketika diingatkan dengan si mati, itu berarti rasa tenang belum diperoleh. Seperti yang diungkapkan oleh Bepak Meluring (Orang Rimba di Tanah Kepayong) waktu belangun yang paling lama berkisar tiga sampai empat tahun, sementara yang paling sebentar hanya satu tahun. Namun pada saat ini, lamanya waktu untuk belangun relatif lebih singkat. Ada beberapa rombong / kelompok, ketika belangun lamanya waktu hanya sekitar tiga bulan. Bahkan ada yang lebih singkat, sekitar tiga hari saja. Ada berbagai macam asumsi yang dikaitkan dengan lama atau singkatnya waktu belangun. Pada kasus terakhir yang hanya tiga hari saja, pada saat itu memang yang meninggal seorang bayi yang masih berusia sekitar satu minggu. Jadi karena masih sangat muda, kenangan terhadap si bayi belum terlalu mendalam. Dari hal yang tersebut di atas bisa saja faktor usia dan kedekatan menjadi dasar, lama atau singkatnya waktu belangun. Pada saat Orang Rimba kembali dari belangun, tidak semua anggota rombong/kelompok kembali lagi seperti sebelumnya. Hal ini disebabkan mereka sudah menemukan lokasi atau tempat yang dianggap baik untuk memulai dan menata kembali kehidupannya kembali. Kebanyakan orang rimba apabila telah menemukan areal seperti ini, pertama yang dilakukannya adalah membuka ladang. Hal ini dikarenakan selama masa belangun si Orang Rimba berada dalam masa kekurangan. Oleh karenanya Orang Rimba akan sesegera mungkin membuka areal perladangan yang akan ditanami dengan sejenis umbi-umbian sebagai stok bahan pangan mereka. Ketika belangun, Orang Rimba juga meninggalkan ladang dan rumah. Bagi orang rimba yang tidak merasa sedih karena ada yang meninggal, mereka biasanya tetap tinggal bertahan, dan menjaga serta merawat ladang-ladang yang ditinggalkan pergi oleh kerabatnya yang belangun. Selama dia menjaga dan merawat lahan itu dia diperbolehkan oleh si empunya ladang untuk mengambil hasil atau bahan makanan yang tersedia dalam ladang tersebut. Namun apabila tidak ada yang tinggal, maka sekali waktu ada anggota rombong yang belangun ini menengok ladangladang mereka yang kemudian balik lagi ke tempat belangun. (A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
43
44
SUARA RIMBA / Sukmareni, Asisten Komunikasi KKI WARSI-
[email protected]
Saatnya Orang Rimba Menjadi Guru Untuk Komunitasnya
D
elapan tahun bukanlah waktu yang singkat bagi KKI Warsi untuk mendampingi dan mengajar anakanak di Taman Nasional Bukit Duabelas. Dalam selang ini tercatat telah delapan orang yang telah menjadi guru bagi anak-anak Orang Rimba. Walau kadang dalam proses tranformasi ilmu ini, kerap mendapat tantangan dari Orang Rimba sendiri karena dianggap melanggar adat. Namun seiring dengan perkembangan dan interksi Orang Rimba yang semakin tinggi dengan orang luar, sokola (baca; pendidikan), yang hanya sebatas baca, tulis dan hitung sudah menjadi sangat penting bagi orang rimba. Mereka yang dulu sering kali hanya mengenal barter untuk mendapatkan sesuatu barang, kini telah mengenal mata uang, sehingga mereka bisa menjual hasil hutan yang mereka dapatkan untuk kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka bisa menghitung sendiri berapa uang yang bisa mereka terima dari menjual hasil hutan, mereka tidak lagi ditipu atau dibodoh-bodohi akibat ketidaktahuan mereka dengan angka dan huruf. Kini sokola menjadi trend dan gaya hidup anak-anak rimba. Sayang dari semua anak rimba masih belum semuanya bisa mendapatkan pendidikan. Hal ini lebih disebabkan keterbatasan tenaga dan waktu. Selain itu juga sudah saatnya Orang Rimba untuk bisa mandiri dan menjadi guru untuk komunitas mereka sendiri. Untuk itulah KKI Warsi bersama Orang Rimba tengah mempersiapkan kader-kader yang akan menjadi guru untuk Orang Rimba sendiri. Ferry Apriadi Fasilitator Pendidikan untuk Orang Rimba, menyebutkan saat ini telah ada delapan orang kader yang dipersiapkan untuk menjadi guru Orang Rimba. Diantaranya adalah Jujur, Sepintak, Brayat, Njam, Plesir, Bekinya dan Tembaku. Orang Rimba yang berusia 15-27 tahun ini dipilih dan dijadikan kader karena mereka termasuk yang telah menguasai bahan pelajaran dan memiliki kemampuan untuk mengajarkan kembali kepada Orang Rimba. Selain itu juga diantara mereka juga merupakan anak dari orang yang berpengaruh di kelompoknya. Ini untuk lebih memudahkan saja, karena biasanya anak orang penting semisal Tumenggung maka ia akan lebih dihargai oleh anak-anak lainnya,sebut Ferry.
Berayat (kiri) dan Nelikat (kanan) kader guru rimba. Foto Ferry Apriadi/KKI Warsi Kehadiran kader ini juga untuk memperluas jangkauan pendidikan dan juga untuk lebih memudahkan orang rimba itu sendiri dalam mengikuti sokola. Selama ini juga masih ada Orang Rimba yang sungkan untuk mengikuti sokola, karena adanya pantangan-pantangan adat mereka yang melarang untuk bergaul dengan orang luar seperti fasilitator yang bukan dari komunitas rimba sendiri. Kalau yang mengajar Orang Rimba sendiri mungkin peserta didiknya akan lebih banyak lagi,sebut Ferry yang kini merinci telah ada 231 anak rimba yang mengikuti sokola. Disebutkan Ferry bahwa sebelumnya pemerintah pernah menyediakan sekolah dasar untuk anak-anak Orang Rimba yang ditempatkan di Desa Air Panas Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun. Orang Rimba pernah mencoba bersekolah di lembaga pendidikan formal ini, namun dalam perjalanannya ditemui beberapa kendala yang menyebabkan
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
SUARA RIMBA
Belajar kini menjadi trend dikalangan anak-anak rimba. Belajar di pondok-pondok sederhana yang mereka sebut sebagai Genoh Pelojoran diharapkan akan semakin berkembang, seiring dengan akan dijadikannya guru dari kalangan Orang Rimba sendiri. Foto: Aulia Erlangga
orang rimba harus surut dan memilih keluar dari sekolah itu. Misalnya ketika anak-anak rimba ikut menulis dan belajar, ia akan menjadi objek perhatian anak-anak desa, sehingga si anak rimba merasa tidak tenang,sebut Ferry. Selain itu yang menjadi persoalan mendasar bagi anak-anak rimba untuk mengikuti pendidikan formal, adalah ketika harus mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan, lengkap dengan mata pelajaran yang harus mereka terima Untuk pelajaran Agama dan PPKN, Orang Rimba agak keberatan dengan pelajaran ini, karena mereka hingga saat ini belum memeluk agama yang ditetapkan pemerintah. Persoalanpersoalan ini yang kemudian menyebabkan Orang Rimba belum mau untuk mengikuti pendidikan formal,lanjut Ferry. Orang Rimba lebih cocok dengan pendidikan alternatif yang dikembangkan Warsi, sokola yang mengajarkan mereka baca tulis dan hitung. Sokola yang mereka ikuti juga tidak terikat waktu dan tempat. Waktu belajarnya di cocokan dengan
keinginan anak-anak rimba, bahkan mereka kadang mintanya belajar sampai malam,sebut Ferry. Soal tempat dan fasilitas, Orang Rimba lebih senang belajar di dalam hutan dan dekat dengan Orang tua mereka. Hanya di dalam pondok-pondok yang terbuat dari kayu ala kadarnya dengan beratapkan terpal ataupun rumbia. Adanya guru yang berasal dari komunitas Orang Rimba mendapat sambutan baik dari tetua Orang Rimba. Salah satu yang mendukung adalah keinginan tetua Orang Rimba untuk mendokumentasikan adat budaya Orang Rimba secara tertulis. Sehingga fenomena mulai lunturnya adat dan budaya terutama di kalangan muda-mudi, bisa dihindari. Jika adat dan budaya rimba di dokumentasikan dengan baik, maka adat dan budaya itu bisa langgeng sampai akhir zaman dan bisa diajarkan ke anak cucu mereka kelak. Ini juga yang menjadi penyemangat kader yang akan menjadi guru bagi anak-anak rimba.(A.S.)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
45
46
AKTUAL / Supriyanto & Sukmareni -
[email protected]
Desa Penyangga TNBD Bentuk Persatuan
K
egiatan illegal logging dan okupasi lahan di Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan taman. Padahal TNBD memiliki nilai strategis bagi masyarakat yang hidup disekitanya maupun bagi masyarakat lain secara luas. Kawasan ini merupakan satu-satunya kawasan hutan dataran rendah Sumatera, yang memiliki nilai ekologi tinggi sebagai penjaga keseimbangan lingkungan dan juga sangat penting untuk penghidupan Orang Rimba. Sadar akan penting dan kuatnya tekanan terhadap taman, masyarakat dari 21 desa yang hidup di sekitar taman, telah berikrar untuk menjaga kelestarian taman dengan membentuk wadah bersama desa penyangga TNBD. Pada 5 Desember 2005 lalu, perwakilan 21 desa penyangga taman, telah mendeklarasikan berdirinya Persatuan DesaDesa Penyangga (PDP) TNBD. Perkumpulan ini bertujuan untuk membangun kerjasama antar lintas anggota masyarakat desa penyangga TNBD, lembaga lain dan pemerintah dalam pengelolaan taman. Perkumpulan ini juga ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui kegiatan pengadaan bangsal bibit karet unggul dan usaha-usaha ekonomi produktif lainnya. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat juga akan dilaksanakan pelatihan-pelatihan di bidang budidaya pertanian dan perkebunan dan bidang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Kehadiran lembaga juga diharapkan akan menjembatani persoalan dan permasalahan antara masyarakat desa dengan instansi terkait ataupun antara masyarakat desa dan Orang Rimba yang berada di dalam taman. Lembaga ini juga akan membantu pemerintah dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berpihak kepada masyarakat. Hadirnya wadah ini diharapkan mampu berfungsi sebagai motor untuk mendorong terciptanya upaya pelestarian dan penyelamatan kawasan TNBD dari ancaman kegiatan illegal loging dan okupasi serta mendorong terciptanya kebijakan pemerintah yang berwawasan konservasi dan berbasis masyarakat.
Masyarakat 21 desa penyangga TNBD bersepakat untuk membentuk persatuan. Tujuannya untuk membangun kerjasama antar desa penyangga, juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Foto: Supriyanto/KKI Warsi
Jika dilihat kebelakang, lahirnya wadah ini sebagai respon atas persoalan pergesekan kepentingan antara masyarakat sekitar hutan dengan kepentingan konservasi. Pada satu sisi taman memegang nilai strategis sebagai benteng terakhir kawasan hutan di jantung Provinsi Jambi. Namun pada sisi lain, masyarakat disekitarnya menjadi sangat terbatas dalam penguasaan dan pemanfaatan hutan. Masyarakat sebenarnya telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi keterbatasan lahan yang dimilikinya telah melakukan okupasi pada lahan-lahan terlantar milik perusahaan, yang berada di sekitar taman. Selain itu, dengan bantuan KKI Warsi masyarakat lainnya telah melakukan upaya peningkatan ekonomi dengan kegiatan wana tani dan pengembangan agroforestry. Hanya saja kegiatan yang dilakukan ini masih bersifat lokal, belum menyeluruh di 21 desa penyangga. Dengan adanya PDP TNBD, maka upaya-upaya yang masih bersifat lokal akan dapat dilakukan secara lebih menyeluruh, sehingga kesejahteraan masyarakat disekitar taman dapat ditingkatkan. (A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
AKTUAL / Dian Sukmajaya,
47
Pengamat Forest and Nature Conservation Policy -
[email protected]
Healing and Ecosystem
Dari Degradasi Menuju Restorasi
B
aru saja seorang bayi lahir dan menangis sekencangkencangnya satu menit sesaat setelah dilahirkan di sebuah rumah sakit elit di Jakarta. Saat itu pula kita kehilangan hutan seluas lebih kurang seukuran 6 lapangan bola. Mungkin sang bayi menangis keras karena dia menyadari hutannya habis dalam beberapa kali tarikan nafasnya saja. Betapa berat beban sang bayi terlahir di Indonesia kalau begitu. Entahlah. Faktanya degradasi hutan berlangsung begitu cepat tanpa atau dengan kita sadari. Umum sudah sangat memahami tentang laju degradasi hutan di Indonesia. Tapi hanya sedikit yang memahami Pembukaan lahan perkebunan di daerahhutan? penyangga TNBD, tidak hanya oleh masyarakat dan mau mengerem akselerasi degradasi setempat, tapi juga oleh masyarakat yang hidup jauh dariJalan taman, Logging di kawasan HPH Asialog. Setelah nyaris sebuah ancaman? habis di babat HPH dan kini illegal logging, kawasan ini Secara sederhana hutan adalah sesuatu yang kompak akan dijadikan kawasan restorasi untuk memulihkan sekaligus kompleks. Kompak karena terdiri dari flora, fauna, ekosistemnya. Foto Neldi/Burung Indonesia landscape, manusia dalam satu kesatuan. Kompleks karena hubungan interaksi antar komponen sangat erat dan saling untuk mengembalikan kondisi hutan setelah luluh lantak mempengaruhi. Misalnya saja terganggunya satwa liar yang akibat pengelolaan yang salah dan over eksploitasi. Restorasi berfungsi sebagai penyebar biji vegetasi tertentu, tidak merupakan suatu alternatif untuk menekan laju degradasi hanya mempengaruhi si vegetasi tetapi sekaligus hutan. Sayangnya kebijakan restorasi ekosistem kurang mempengaruhi struktur dan komposisi hutan. mendapat perhatian publik khususnya entitas kehutanan saat ini. Salah satu upaya pemerintah untuk menahan laju degradasi adalah keluarnya kebijakan Menteri Kehutanan tentang restorasi ekosistem di hutan produksi pada tahun 2004. Keluarnya kebijakan ini didasari atas semakin meningkatnya kerusakan hutan alam setiap tahunnya. Restorasi ekosistem adalah upaya memulihkan unsur biotik (flora dan fauna) dan unsur abiotik (tanah, air, landscape) sehingga tercapai keseimbangan hayati. Pendeknya restorasi hutan merupakan upaya untuk membangun kembali hutan pada kondisi semula sehingga bisa berfungsi kembali secara optimal. Restorasi sebuah alternatif
Ketika berbicara tentang restorasi kita akan langsung teringat pada restorasi Meiji. Upaya kekaisaran Jepang untuk bangkit dari keterpurukan setelah negerinya luluh lantak akibat perang. Restorasi hutan kira-kira juga merupakan upaya
Kenapa restorasi? Mengingat penyebab deforestasi hutan adalah akibat adanya over eksplotasi dan pengelolaan yang salah, maka perlu adanya rasionalisasi tindakan pengelolaan hutan. Solusinya adalah melalui penurunan eksploitasi kayu, penataan produksi dan jeda balak. Melalui restorasi ketiga hal tersebut dapat diwujudkan. Dalam perspektif kebijakan restorasi ekosistem mensyaratkan adanya jeda balak dalam jangka waktu tertentu. Selain itu upaya restorasi sendiri diharapkan dapat membantu penataan produksi hasil hutan. Penataan produksi hasil hutan perlu dilakukan untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan yang lestari. Penataan disini dimaksudkan mengatur kembali pola pemanfaatan hutan sesuai dengan kemampuan hutan itu sendiri. Penurunan eksploitasi hutan terutama kayu dalam kegiatan restorasi perlu dibarengi dengan peningkatan pemanfaatan hasil hutan lainnya. Alternatif pemanfaatan adalah hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
AKTUAL
48
Sebagai sebuah alternatif restorasi ekosistem memberikan dampak positif (harapan baru) bagi pengelolaan hutan. Investasi besar di awal pengelolaan akan membuat keterikatan emosional pengusaha dengan hutan semakin kuat. Selama ini hutan dianggap sebagai harta karun yang sekali gesek sudah mendatangkan cash income. Restorasi menjawab rasionalisasi tindakan pengelolaan hutan dengan membuka ruang penataan produksi hasil hutan melalui jeda balak. Dengan jeda balak akan terjadi penurunan eksploitasi hasil hutan kayu dan pengembangan hasil hutan lainnya untuk mempertahankan nilai ekonomi hutan. Tantangan dan Prospek Restorasi bukan tidak memiliki ganjalan. Terutama masalah investasi untuk pemulihan hutan. Investasi pengelolaan tidak bisa mendatangkan pendapatan langsung. Restorasi bukan investasi bisnis yang seksi. Dengan kegiatan utama perlindungan hutan, pengayaan dan penanaman sudah pasti
restorasi memerlukan biaya besar. Sehingga IUPHHK pada hutan alam dengan kegiatan restorasi diduga hanya akan menarik sejumlah kecil organisasi konservasi atau pengusaha untuk mendapatkan ijin pengelolaan restorasi. Untuk menarik investor menanamkan modalnya pada restorasi ekosistem nampaknya perlu didukung suatu mekanisme lembaga keuangan. Lembaga ini diharapkan akan memberikan jaminan pendanaan selama masa restorasi. Pengelolaan dana DR dengan rambu-rambu yang jelas berpeluang untuk bisa digunakan dalam mendukung kegiatan ini. Selain itu pengembangan mekanisme insentif untuk upaya restorasi merupakan suatu keniscayaan. IUPHHK hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem juga dihadapkan pada peraturan kebijakan yang minim. Kondisi ini dikhawatirkan akan memperlakukan restorasi ekosistem sama dengan IUPHHK. Aturan main, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis masih perlu disiapkan oleh pemerintah dalam mendukung operasionalisasi. Rujukan yang sama dengan HPH akan menjebak restorasi ekosistem ke dalam birokrasi biaya tinggi. Persepsi bisnis publik terhadap IUPHHK merupakan tantangan nyata. Restorasi ekosistem akan dilihat sebagai entitas bisnis yang sama sehingga harapan pemerintah dan masyarakat secara ekonomi akan sama. Meskipun implementasi restorasi masih dihadapkan pada kendala dan tantangan, prospektif restorasi ekosistem bukannya tidak ada. Pengembangan hasil hutan non kayu (HHNK) dan jasa lingkungan diyakini dapat menjadi alternatif nilai ekonomi hutan. Pemanfaatan HHNK akan mengurangi beban dampak akibat pemanfaatan hasil hutan kayu yang berlebihan. Pembuktian nilai ekonomi hutan untuk HHNK akan membawa pengaruh positif bagi pengelolaan hutan masa depan. Prospek lain pengembangan potensi hutan alam melalui restorasi adalah jasa lingkungan diantaranya ekowisata dan perdagangan karbon. Restorasi merupakan suatu alternatif menekan laju deforestasi melalui pemulihan ekosistem. Bukan tidak mungkin restorasi akan membuktikan bahwa hasil hutan kayu yang dimanfaatkan selama ini hanyalah seperdualima (5%) dari potensi nilai ekonomi hutan yang sesungguhnya dimiliki.(A.S.) Restorasi Ekosistem diharapkan dapat memulihkan kondisi hutan melalui kegiatan penurunan ekploitasi kayu, penataan produksi dan jeda balak. Foto Neldi/ Burung Indonesia
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
AKTUAL / Emma Fatma, Hamdani Alwi, Hermanhadi, Musnardi Munir -
[email protected]
Lahan kritis di kawasan TNKS. Foto: Alain Compost/KKI WARSI
STOP!
Wacana Pembukaan Jalan di TN Kerinci Seblat
W
acana membuka jalan tembus SarolangunKerinci, Merangin Kerinci maupun BungoKerinci, kembali marak dibicarakan kalangan pemerintahan. Betapa tidak ide jalan tembus yang didengung-dengunkan itu akan memperpendek jarak tempuh menuju kabupaten paling barat di Provinsi Jambi. Hanya saja, ketika ditelusuri lebih jauh ternyata wacana itu, akan membawa dampak lingkungan yang sangat besar. Karena rencana itu akan membelah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
akan menghilangkan fungsi hidrologinya dan mengancam flora dan fauna khas yang hidup di kawasan itu. Akibatnya akan terjadi penurunan produktifitas sektor ekonomi antara lain pertanian, perkebunan dan penyediaan air untuk masyarakat serta konflik antara masyarakat dan satwa liar. Dampak dari itu semua jelas akan merugikan masyarakat tidak hanya yang berada disekitar TNKS tetapi juga yang berada di wilayah hilir sungai-sungai yang berhulu di salah satu kawasan hutan tropis terbesar yang masih ada di bumi ini.
TNKS merupakan daerah tangkapan air daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, Sungai Nilo, Sungai Sengak, Sungai Dompen dan Sungai Merangin. Pembukaan jalan tembus ini dipastikan akan merusak hutan TNKS sehingga
Diperkirakan akan ada 21 km kawasan TNKS yang akan terkena pembukaan jalan. Pembukaan jalan ini, tidak hanya menyebabkan kerusakan di areal yang dibuka untuk jalan, akan tetapi juga akan lebih mengundang para pelaku ille-
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
49
50
gal logging maupun pemburu satwa untuk masuk ke TNKS. Jika dilihat dengan akses jalan yang masih terbatas saja, kegiatan illegal logging sudah sangat marak dan sulit dihentikan. Dampak dari berkurangnya tutupan hutan di TNKS, sudah terasa ketika Kerinci mengalami banjir besar pada tahun 2000 lalu, penyebabnya ditenggarai karena kerusakan sumber daya hutan di wilayah tangkapan air yang berada di TNKS. Jika kerusakan terus berlangsung, apalagi didorong oleh adanya pembukaan jalan baru, maka dapat diproyeksikan 20 sampai 30 tahun yang akan datang beberapa kawasan yang memiliki sawah akan terancam tidak dapat digarap lagi akibat kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Sarana irigasi yang dibangun dengan dana milliaran rupiah akan tidak bermanfaat. Selanjutnya pemerintah akan mengeluarkan cost yang besar untuk menanggulangi banjir. Pembukaan jalan di dalam kawasan TNKS di wilayah Jambi telah kembali menguat sejak Desember 2005 lalu. Jika rencana ini dilanjutkan maka dipastikan terjadi fragmentasi TNKS. Padahal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah kawasan hutan terbesar dari tiga kawasan konservasi yang dibanggun sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera dan diakui sebagai satu block hutan tropis terpenting di Asia untuk tingkat keaneka ragaman hayati, bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. TNKS terdiri dari beberapa kawasan cagar alam dan hutan lindung yang terdapat di 4 provinsi dan 13 kabupaten. Total luas TNKS adalah 1.380.000 ha, Provinsi Sumatera Barat seluas 375.930 ha, Provinsi Jambi seluas 588.460 ha, Provinsi Sumatera Selatan seluas 209.680 ha dan Provinsi Bengkulu 310.580 ha. Di Provinsi Jambi, TNKS melingkupi empat kabupaten yaitu Bungo, Kerinci, Merangin dan Sarolangun. Dengan luas mencapai 32 % dari luas keseluruhan TNKS. TNKS memiliki bentang alamnya terdiri dari dataran rendah 165 m dpl hingga dataran tinggi sub-alpin Sumatera dengan puncak tertinggi Gunung Kerinci 3805 m dpl, dan belum terfragmentasi serta mempunyai keanekaragaman hayati yang lengkap. Sudah diketahui lebih dari 375 jenis burung, termasuk 17 burung endemic Sumatera dan di wilayah TNKS yang masuk ke Kabupaten Bungo baru ditemukan Sumatran Ground Cuckoo, sejenis burung yang dinyatakan punah sejak 100 tahun lalu. Di kawasan ini juga ditemukan lebih dari 100 jenis satwa mamalia. Hutan ini juga habitat hewan-hewan yang nyaris punah, seperti badak, gajah dan harimau.
Untuk mengurangi tekanan terhadap TNKS pada tahun 1997-2002 World Bank telah mendanai kegiatan ICDP (Integrated Conservation and Development Project) di empat provinsi lingkup TNKS. Suatu kegiatan yang mengkombinasikan antara aspek pembangunan dan konservasi. Selanjutnya sejak 2000, Yayasan Fauna & Flora International (FFI) dengan Balai TNKS telah bekerja sama untuk membatasi perburuan liar harimau dan mangsa harimau serta kerusakan habitatnya. Dilanjutkan dengan menyebarkan kampanye perlindungan harimau, mangsa harimau dan habitatnya, dengan bekerja sama dengan LSM lokal seperti LSM Perak dan Lembaga Tumbuh Alami . Namun sayang, segala potensi TNKS ini terus mengalami tekanan dan ancaman, karena adanya berbagai kebijakan dan juga desakan masyarakat yang belum memahami arti penting kawasan TNKS. Termasuk desakan untuk pembukaan jalan yang membelah TNKS. Pembukaan jalan yang menembus TNKS telah mulai dilakukan di berbagai tempat. Di Kerinci, Nobember 2005 Departemen Kehutanan memberikan izin untuk membuat jalan setapak lebar 1.5 m panjang 40 km yang diajukan kelompok masyarakat adat Lempur Kerinci dan Sungai Ipuh Kabupaten Muko-Muko Bengkulu. Izin ini telah diberikan Balai TNKS dengan harapan kedua kelompok masyarakat punya komitmen pada perlindungan hutan TNKS. Ternyata, Febuari 2006 kelompok masyarakat membanggun jalan dengan lebar 10-14 m dengan mengunakan alat berat. Beberapa LSM Lokal berusaha menghentikan pembanggunan jalan tersebut. Dari arah Lempur Kerinci berhasil dihentikan melalui surat Bupati Kerinci dengan surat nomor 522/209/III Pem & Otda tertanggal 11 Mai 2006. Sebelumnya juga surat Menteri Kehutanan melalui Dirjen PHKA dengan nomor S.386/IV.PPH/206 tanggal 7 April 2006. selanjutnya melalui surat Dirjen PHKA tanggal 10 Agustus 2006, dengan surat nomor S.1164/IV/PPH.2/2006 yang ditujukan kepada Bupati Kerinci menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, untuk itu agar dilakukan tindakan secara tegas bagi para pelaku tindak pidana kehutanan. Merujuk ini Bupati Kerinci tetap pada komitmennya dan menyatakan tidak mengizinkan pengerjaan jalan Lempur Ipuh. Pembangunan jalan yang membelah TNKS juga terjadi di Kabupaten Merangin. Investigasi LSM Jaringan Akar selama selama empat bulan pada pertengahan tahun ini, telah menemukan perkembangan baru, yaitu kembali dilemparkan wacana oleh Wakil Gubernur Jambi Antoni Ziedra Abidin untuk membuka jalan tembus Merangin-Kerinci. Bahkan tanggal 19 September 2006, bahkan telah diturunkan tim untuk melakukan survey rencana pembukaan jalan Dusun Tuo Masgo. Menurut tim ini ada beberapa jalur yang memungkinkan untuk dibangun. Rute Nilo Dingin Kasengak Sikancing Lubuk BeringinDusun BaruMasgo. Jalan ini direncanakan dibiayai APBD Provinsi Jambi dan dibantu oleh pemerintah pusat. Pilihan lainnya MasgoDusun Tuo tidak ada jalan setapak yang akan diikuti, jadi
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
51
murni pembukaan jalan baru. Pada daerah Kasengak yang juga biasa disebut simpang empat juga bisa tembus ke Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. Rute lain yang sudah di survey, Nilo Dingin-Kesengak-Sungai Manau, dan Bedeng Rejo-Kesengak-Sungai manau, kedua jalan ini melintasi TNKS. Namun dari pertemuan beberapa LSM dengan Bupati Merangin tanggal 7 November 2006, sang bupati tetap menyatakan komitmennya untuk melindungi TNKS dan menegaskan tidak akan membuka jalan yang melintasi TNKS serta tidak akan ada anggaran untuk itu. Ancaman jalan yang akan masuk ke TNKS juga terjadi di Kabupaten Bungo. Investigasi sejumlah LSM, memang tidak ditemukan pengerjaan jalan yang sengaja membelah TNKS. Akan tetapi ada temuan menarik yaitu adanya ruas jalan yang dibangun oleh PT Alas pemegang HPH tahun 1990. Awalnya jalan yang dibangun perusahaan yang kini tidak lagi beroperasi tersebut hanya logging, tetapi kini dijadikan jalan ekonomis bagi masyarakat Desa Renah Sungai IpuhDesa Pambunyian sampai ke kaki Bukit Kaca yang berbatasan dengan TNKS, sepanjang 30 km dan menunggu pengerasan saja. Terkait ancaman ini, Wakil Bupati Bungo Sudirman Zaini menyatakan bahwa pemkab sangat peduli dan sangat konsen terhadap perlindungan TNKS, bahkan pemkab telah menghentikan perambahan yang dilakukan oleh 56 KK. Pemkab pun telah telah menyurati Menhut untuk kejelasan status lahan yang terlanjur di rambah. Surat Edaran Mentri Kehutanan Melihat maraknya perencanaan pembuatan jalam melintasi kawasan Konsernasi termasuk TNKS maka tanggal pada Tanggal 29 September 2006 Menteri Kehutanan RI menggeluarkan Surat Edaran nomor 616 ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia, tentang larangan membangun jalan di kawasan konservai (TNKS). Ini adalah produk hukum terbaru untuk mengingatkan para Gubernur dan Bupati se-Indonesia untuk tidak melakukan kegiatan pembagunan yang dapat menyebabkan fragmentasi kawasan Konservasi termasuk TNKS. Artinya jika Bupati atau Gubernur tetap melaksanakan rencana pembangunan berarti telah secara sengaja melawan hukum, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.. Semoga para aparatur dan pemegang kebijakan di negeri ini memang menunjukkan komitmennya bukan sekedar janji manis. (A.S.) Emma Fatma, Hamdani Alwi, (Lembaga Tumbuh Alami) Hermanhadi, (LSM Perak) Musnardi Munir (LSM Lahar)
SELINGAN / Sauttua P. Situmorang, Legal
Officer Bukit 30 -
[email protected]
Menunggu Sikap Tegas Pemerintah Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan
L
ingkungan hidup Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek layaknya prinsip wawasan nusantara. Sehingga, pengelolaan lingkungan dipandang perlu guna menciptakan lingkungan yang lestari dan seimbang sebagaimana UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup yang lain. Hutan, salah satunya. Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak hanya menghasilkan devisa negara namun lebih dari itu. Mulai kayu, kehidupan flora dan fauna hingga sebagai paru-paru dunia. Tetapi, apa yang terjadi dengan hutan Indonesia, sekarang? Hutan kita habis alias gundul. Kegiatan pembalakan liar, terlebih pembakaran hutan punya andil di sini. Dampaknya, kehidupan ekosistem akan terancam punah serta gangguan kesehatan bagi manusia berupa polusi asap, disamping hutan menjadi gersang. Beberapa peristiwa alam yang terjadi sepereti banjir, tanah longsor, dan musim panas yang berkepanjangan semakin menyadarkan kita akan arti dan manfaat hutan alam tersisa. Kita masih ingat, bagaimana kabut asap periode Agustus hingga Oktober 2006 kemarin menjadi bencana nasional. Riau, Jambi, Palembang dan Palangkaraya adalah wilayah yang tingkat pencemarannya tinggi. Jambi misalnya, tingkat atau ukuran parameter antara 162-192, dengan kategori tidak sehat. Kondisi ini mengakibatkan beragam aktifitas tidak berjalan normal ditambah lagi jarak pandang sekitar 50 meter membuat kita waspada berkendaraan. Jika dikaji mendalam, dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran ataupun pembakaran hutan meliputi: a. Lingkungan fisik: terganggunya ekosistem hutan seperti DAS (daerah aliran sungai), degradasi kehidupan keanekaragaman hayati serta pencemaran udara. Kebakaran hutan dan lahan juga mengakibatkan terganggunya proses ekologi hutan yaitu suksesi alami,
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
52
Belum berhasilnya pengungkapan terhadap pelaku perusakan dan pembakaran hutan/lahan di semua wilayah Indonesia akan memunculkan dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah dan aparat terkait tidak sigap menyikapi situasi yang terjadi. Sehingga jangan heran kalau dikemudian hari, kasus serupa akan terulang lagi.
Latihan pemadam kebakaran hutan, apakah memadai untuk menghadapi kebakaran hutan yang sebenarnya? Foto: Dok. KLH
produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi dan perosat karbon. Terganggunya proses diatas, dapat mengakibatkan terputusnya siklus rantai kehidupan makanan yang akan menimbulkan masalah berikutnya yaitu terganggunya keseimbangan eksosistem akibat timbulnya gulma, hama, matinya predator, matinya biota jasad renik, terjadinya migrasi fauna seperti jenis unggas/burung, kupu-kupu dll. b. Sosial: hal ini dapat dilihat hubungannya dengan kehidupan manusia, walaupun kerugian yang diderita secara ekonomis global seperti sektor transportasi, pariwisata, dan industri. c. Kesehatan: secara teknis dan medis dampak kesehatan masyarakat akibat asap akan jelas apabila diuraikan ahlinya (dokter). Namum yang paling merasakan adalah masyarakat lanjut usia, ibu hamil, dan anak balita melalui timbulnya ISPA (infeksi saluran pernafasan akut), asma, radang selaput mata. d. Kerugian ekonomi: hal ini tentunya mempengaruhi sektor ekonomi secara nasional. Kerugian atau turunnya penerimaan tidak hanya bersifat jangka pendek, karena pencemaran polusi udara secara keseluruhan mempengaruhi produksi tanaman di tahun-tahun berikutnya. Kini, kebakaran dan pembakaran hutan/lahan tidak hanya dianggap sebagai bentuk gangguan pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Tetapi juga sebagai isu global, karena dampak yang dihasilkan mengganggu daerah lainnya. Bahkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura ikut menghirup asap lintas batas kiriman Indonesia.
Suatu keharusan, agar pemerintah dan penegak hukum segera menegakkan hukum kepada siapa saja tanpa diskriminasi. Sanksi Tindak Pidana Kehutanan sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1997 Tentang Kehutanan. Untuk kasus pembakaran hutan/lahan yang terjadi saat ini dikategorikan salah satu tindak pidana kehutanan sesuai UU No. 41 Tahun 1999 pasal 50 ayat 3 setiap orang dilarang huruf (d): membakar hutan. Sedangkan untuk ketentuan pidana terhadap perbuatan pidana tersebut diatas diatur dalam pasal 78 ayat (3) UU N0. 41/1999 berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Diharapkan, sanksi tersebut akan memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku (tersangka) kejahatan kehutanan dalam hal ini adalah pelaku pembakaran kawasan hutan/ lahan baik perorangan maupun perusahaan. Meskipun, dalam kasus-kasus perusakan lingkungan dikenal istilah pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau kegiatan/ aktivitas yang mengandung bahaya dan resiko bila mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Selain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kebijakan nasional yang dapat diterapkan kepada pelaku pembakaran hutan adalah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua UU ini merupakan payung hukum dalam menegakkan hukum lingkungan juga pemberian sanksi kepada para pelaku perusakan hutan dan pencemaran lingkungan. Sedangkan di tingkat daerah dapat disikapi dengan cepat seperti halnya Maklumat Kapolda Jambi No. Pol. Mak/ 01.VIII/2006 tentang Sanksi Pidana bagi Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan selama 20 tahun penjara, agustus 2006 lalu. Maklumat tersebut intinya, menghimbau kepada masyarakat pengelola hutan agar tidak melakukan pembakaran dengan alasan membuka lahan yang berakibat rusaknya lingkungan. Karena setiap pelaku akan ditindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. (A.S.)
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
53
SELINGAN / Rahmadie, Asisten Komunikasi Bukit 30 KKI WARSI -
[email protected]
Apa Kabar Rasionalisasi TNBT?
B
erharap mendapatkan SK Rasionalisasi di pertengahan tahun, tapi hingga kini (2007) belum ada beritanya. Padahal, Menhut telah menyatakan bahwa Surat Keterangan (SK) Perluasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) segera terealisasi. Karena, Departemen Kehutanan sudah menyetujui rasionalisasi yang tinggal menghitung hari ketika jumpa pers di Pekanbaru, Riau (10/5/06) lalu. Lho kok? Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang terbentang di Provinsi Riau-Jambi sudah sejak 2001 diusulkan untuk dirasionalisasi. Adalah Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi yang menginisiasikan wacana ini beserta empat konsorsiumnya dengan nama Konsorsium Bukit Tigapuluh. Tujuannya jelas, perlindungan hutan alam Sumatera yang tersisa. Ya, namanya saja rasionalisasi. Sudah tentu bentuk yang kurang ideal baik dari segi pengawasan terlebih pengelolaan yang harus diprioritaskan. Yaitu, penetapan kawasan lindung yang berkaitan dengan kelerengan lahan di atas 40 persen dari 45 derajat. Acuannya jelas, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Di sinilah perencanaan tata ruang dimainkan melalui identifikasi lahan yang perlu dilindungi dari berbagai pemanfaatan. Tentu saja, Pemerintah Daerah sebagai pemeran utama. Karena, kawasan hutan penyangga yang berada di luar Taman Nasional yang diusulkan untuk dirasionalisasikan bukanlah wewenang Pemerintah Pusat. Melainkan, Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah lah yang melakukan usulan rasionalisasi dengan dilengkapi berbagai peta pendukung dan memo teknis lainnya. Dengan kata lain, Pemerintah Pusat akan mempelajari dan mengevaluasi usulan rasionalisasi untuk kelayakannya berdasarkan rekomendasi Daerah. Karena itu, rasionalisasi bergantung pada Pemerintah Daerah.
Jika begitu permasalahannya, mari kita teliti di mana macetnya janji Menhut! Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 539/ Kpts-II/1995 tanggal 5 Oktober 1995 dengan luas 127.698 hektar dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 607/Kpts-II/2002 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 144.223 hektar. Secara Administratif meliputi Provinsi Riau (111.223 ha) yaitu Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu seluas 81.223 ha) dan Indragiri Hilir (Inhil seluas 30.000 ha) serta Provinsi Jambi (33.000 ha) di Kabupaten Muara Tebo (23.000 ha) dan Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar seluas 10.000 ha). Pertimbangan yang mendasari usulan rasionalisasi adalah bentuk kawasan TNBT yangi tidak kompak dan relatif sulit dikelola. Belum lagi kawasan Hutan Produksi di sekitar TNBT yang pengelolaan keamanannya relatif kurang baik (HPH PT. Dalek Hutani Esa, HPH PT. Industries et Forest Asiatiques, PT. Sari Hutan Permai, dan PT. Hatma Hutani) namun kondisi hutannya relatif baik dengan keanekaragaman hayati tinggi dan habitat satwa penting (Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, dan Orangutan Sumatera). Plus tofografi curam dan rawan terhadap perambahan dan pembalakan liar hingga terfragmentasinya habitat satwa penting di sekitar TNBT yang menyebabkan konflik satwa liar dengan manusia sering terjadi.
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
54
AKTUAL Gubernur Jambi, secara tegas mendukung rasionalisasi melalui Surat Rekomendasi Rasionalisasi/Perluasan TNBT No 522/428/Dishut/2006 tanggal 23 Januari 2006. Surat yang ditujukan langsung kepada Menteri Kehutanan (Menhut) tersebut menyetujui areal seluas 73.835 ha meliputi eks PT. Sari Hutan Permai 402 ha, eks PT. IFA 6.738 ha, PT. Dalek Hutani Esa 10.284, PT. Dalek Hutani Esa 23. 294 ha, dan eks PT. Hatma Hutani 33.117 ha. gaimana dengan Riau?
Riau tetap dilakukan. Dengan pertimbangan mengurangi konflik masyarakat, karena wilayah tersebut sudah ada pemukiman penduduk yang dilengkapi berbagai fasilitas memadai. Meskipun Dinas Kehutanan telah menyatakan bahwa areal seluas 9.353 ha (13.624 ha perluasan dan 4.271 ha pengurangan) memungkinkan untuk rasionalisasi, akan tetapi Gubernur Riau belum mengeluarkan rekomendasinya. Bahkan, hingga kini tidak ada kejelasan beritanya.
Kepala Dinas Kehutanan Drs. H. Burhanuddin Husin, MM melalui Surat No 522.1/PR/2772 yang ditujukan langsung kepada Gubernur Riau tanggal 25 Juli 2006 menyampaikan bahwa areal seluas 13.624 ha memungkinkan untuk rasionalisasi TNBT. Luasan ini diusulkan atas tidak adanya tumpang tindih kawasan dengan berbagai perizinan berdasarkan data Dinas Kehutanan Povinsi Riau.
Untuk itulah, selama menunggu rekomendasi rasionalisasi Gubernur Riau, Dirjen Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam (PHKA) M. Arman Mallolongan menindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan di Jakarta tertanggal 5 Nopember 2006. Tujuannya, mohon segera membentuk Tim Terpadu.
Menurut Burhanuddin, dari peta hasil tata batas kawasan hutan Povinsi Riau, usulan rasionalisasi ini meliputi 9.353 ha (kawasan Hutan Produksi Terbatas/HPT KeritangGansal), 3.661 ha (kawasan HPT Serangge Sengkilo), 270 ha (di luar kawasan hutan) yang keseluruhan arealnya berada di Desa Keritang dan Batu Ampar Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Riau.
Menurut Arman, Tim Terpadu ini nantinya akan melakukan kajian awal lapangan di wilayah rasionalisasi TNBT. Yang tentu saja, Tim bekerja sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 jo No. SK.48/MenhutII/2004 tanggal 23 Januari 2004 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status, dan Fungsi Kawasan Hutan.
Sedangkan berdasarkan Perda No. 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau maka usulan rasionalisasi ini meliputi Kawasan Lindung (KL) seluas 2.015 ha, kawasan Arahan Pengembangan Kawasan Kehutanan (APKK) seluas 10.717 ha, serta kawasan Arahan Pengembangan Kawasan Perkebunan (APKP) seluas 892 ha.
Tentu saja, Surat Dirjen PHKA bernomor 5/096/IV-KK/ 2006 ini merupakan kelanjutan dari surat Kepala Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh Nomor 6/475/IV-TB/2006 tanggal 25 September 2006 perihal tindak lanjut Proses Rasionalisasi TNBT.
Sedangkan pengurangan areal seluas 4.271 ha di Desa Selensen Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir
Akankah perjalanan panjang rasionalisasi tertunda lagi? Haruskah kegiatan konservasi Bukit Tiga Jurai terhenti? Halo, apa kabar Rasionalisasi! (A.S.)
Rasionalisasi yang masih dinanti. Foto: Alain Compost/KKI WARSI Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007
55
Sang Kemare Direktur Baru, Semangat Baru!
S
ejak 31 Juli 2006, KKI Warsi dipimpin oleh Direktur Baru. Calon kuat yang diprediksi sejak awal ini, secara mulus menggantikan Direktur Lama, Rudi Syaff yang telah memimpin KKI Warsi dua periode sebelumnya. Pasangan Rakhmat Hidayat Mahendra Taher secara meyakinkan terpilih dan akan menjalankan fungsi Direktur Eksekutif Deputi KKI Warsi untuk dua tahun ke depan. Direktur baru, semangat baru tentunya, harapan segenap staff KKI Warsi, mitra kerja, dan stakeholder. Konservasi Bersama Masyarakat ucap Rakhmat Hidayat semangat. Dengan begitu, upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan serta pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia masa kini dan generasi akan datang akan terwujud. Harapannya, dengan menghidupkan kembali asa-asas konservasi masyarakat asli dan mendorong model-model pengelolaan kawasan konservasi di Sumatera dan Indonesia umumnya tambah Rakhmat. KKI Warsi telah berdiri sejak 15 tahun lalu atas prakarsa 20 LSM dari 4 provinsi di Sumatera guna menjalankan programprogram konservasi. Terutama sumber daya alam dan pengembangan masyarakat. Sejak 2002 lalu, Warsi telah menjadi perkumpulan dengan nama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI Warsi) yang sebelumnya berbentuk Yayasan. (Rrd)
D
ata Walhi menunjukkan, selama tahun 2006 telah terjadi 135 kali bencana ekologis. Sekitar 6 ribu orang meninggal dunia, 25 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal, dan lebih 500 ribu jiwa menjadi pengungsi. Bencana memang tidak mengenal angka. Di Pakistan, para pemerhati lingkungan menggunakan satelit untuk menyelamatkan harimau tutul salju. Caranya, dengan memasang alat pencari jejak yang terhubung dengan satelit di lehernya. Yang selanjutnya akan ditelusuri melalui global positioning system (GPS). Menurut Organisasi Harimau Tutul Salju (Snow Leopard Trust), jumlah spesies langka ini berkisar 3.500 sampai 7.000 ekor di seluruh dunia. 200 sampai 420 ekor berada di Pakistan. Hewan ini sulit dijumpai karena hidupnya di pegunungan tinggi di Asia Tengah termasuk Pakistan, Afghanistan, Cina, India dan Nepal. Namun begitu, populasinya terus menurun akibat dibunuh. Di Cina, tulangnya digunakan sebagai obat sedang kulit bulunya yang tebal, diambil. Patut ditiru kreativitasnya (Sumber: Warta Bumi Antara)
Alam Sumatera, JANUARI - JUNI 2007
56
Alam Sumatera, Januari - JUNI 2007