Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2 (2017): 239-266 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
PENGISIAN JABATAN ANGGOTA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) UNTUK MEWUJUDKAN BPK YANG INDEPENDEN Dumaria Simanjuntak* * Inspektorat Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Korespondensi:
[email protected] Naskah dikirim: 10 Februari 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017
Abstract BPK as the only external audit institution that is equal to other state institutions whose responsibility to audit the state finance's management and accountability should be far apart from political parties' interests. However nowadays some of the chief-persons of BPK are involved in political parties' interests morever become suspects in some corruption cases. To establish BPK as independent and professional institution, chief-person position charging must be free from political parties' interests. This essay exposes the development of regulation of BPK chief-person position charging as main topic analysis. The conclusion of the research is there was advance development in regulation related to BPK chief-person position charging, in term of mechanism and charging duration. Keyword: BPK chief-person, the position charging, regulations Comparison Abstrak BPK sebagai satu satunya lembaga audit eksternal sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya yang memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara seharusnya jauh dari kepentingan partai politik manapunyang menyeret pada kasus kasus korupsi. Akhir-akhir ini Anggota BPK banyak terseret isu kepentingan politis bahkan menjadi tersangka kasus korupsi. Dalam rangka menjadikan BPK menjadi lembaga audit profesional dan independen maka pengisian jabatan Anggota BPK harus jauh dari kepentingan politis. Tulian ini menganalisis permasalahan utama yakni menganalisis perkembangan pengaturan pengisian jabatan Anggota BPK. Setelah melakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa Pengisian jabatan Anggota BPK dari masa kemasa mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam hal mekanisme dan masa jabatan. Kata kunci: Anggota BPK, pengisian jabatan Anggota BPK, perbandingan peraturan
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/ jhp.vol47.no2.1454
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
240
I. Pendahuluan Dalam menjalankan tata kelolanya, saat ini BPK dipimpin oleh 9 Anggota BPK yang terdiri atas seorang Ketua BPK merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 orang anggota. Anggota BPK adalah jabatan yang diisi oleh orang-orang yang ditentukan oleh DPR, hal inilah yang menjadi perdebatan yaitu perihal besarnya kekuasaan DPR terhadap pengisian anggota lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara ini. Aturan pengisian pejabat negara yang dilakukan oleh DPR sekarang ini idealnya diimbangi dengan adanya peran dari beberapa lembaga negara lain sebagai wujud adanya proses checks and balances, namun saat ini proses pengisian jabatan Anggota BPK masih murni dilakukan oleh DPR saja. Singkatnya, tidak ada proses checks and balances. Hal inilah yang rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang terkait untuk kepentingan politis. Kewenangan DPR yang dapat dikatakan “absolut” dalam pemilihan Anggota BPK ini tidak dapat dijauhkan dari isu adanya unsur politis yang sangat dominan, sehingga dikhawatirkan bahwa Anggota BPK terpilih menjadi jauh dari hakekat BPK sebagai lembaga profesi yang menjunjung tinggi unsur profesional dan independen. Banyak kasus telah terjadi dimana Anggota BPK tersandung banyak kasus korupsi, bahkan dalam proses pemilihannya tidak mempertimbangkan pula apakah calon tersebut sedang tersandung kasus korupsi. Contohnya saat Hadi Poernomo mencalonkan diri sebagai Anggota BPK, kasus penyalahgunaan kewenangan atas dugaan kerugian negara akibat pajak yang seharusnya dibayarkan ke negara saat menjabat Direktur Jenderal pada Kementerian Keuangan di tahun 2004 sudah sempat beredar di media massa dan sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tahun 2014, namun pencalonan Hadi Poernomo menjadi Anggota BPK pada waktu itu berjalan tanpa kendala di DPR. Ditetapkannya Hadi Poernomo sebagai tersangka pada saat masa jabatan sebagai ketua BPK baru saja berakhir, tentu saja tidak berdampak besar terhadap keberlangsungan kinerja dan susunan keanggotaan BPK pada saat itu. Namun bagaimana jika yang terjadi adalah saat Hadi Poernomo yang masih menjabat ketua BPK ditetapkan sebagai tersangka? Posisi Hadi Poernomo sebagai tersangka sedikit berbeda dengan kasus Tengku Muhammad Nurlif yang ditahan KPK pada tahun 2011 terkait kasus Travel Cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangkan Miranda Swaray Goeltom. Pada saat itu kinerja BPK terganggu karena satu anggotanya yang masih aktif ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK.1 Kinerja BPK pada saat itu terganggu karena berdasarkan UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK, Nurlif baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat jika statusnya sudah menjadi terpidana yang berkekuatan hukum tetap. Selain 1 Baca Vareno Tarnes., “Anggota Dibui, Kinerja BPK Pincang”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d99a8bf104a6/anggota-dibui-kinerja-bpkpincang, diunduh tanggal 10 Mei 2014.
241
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
itu, kinerja BPK terganggu dikarenakan sistem pengambilan keputusan BPK berdasarkan sistem kolektif kolegial, dimana ketidakhadiran salah satu Anggota BPK tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak ideal. Dalam hal Anggota BPK masih aktif menjabat terlibat dan telah diputuskan bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi, maka dapat mengajukan pengunduran diri atau pemberhentian tidak hormat dari BPK sehingga dapat dilakukan pergantian Anggota BPK. Pergantian Anggota BPK dalam hal belum selesainya masa jabatan Anggota BPK ini disebut sebagai pergantian antar waktu (PAW). Oleh karena itu pemilihan Anggota BPK oleh DPR tidak hanya dilakukan ketika masa jabatan Anggota BPK telah selesai selama 5 tahun, namun juga terjadi ketika terjadi PAW yaitu ketika Anggota BPK yang masih aktif menjabat mengundurkan diri atau diberhentikan baik dengan hormat maupun diberhentikan dengan tidak hormat. Dalam hal terjadi PAW, DPR selanjutnya melakukan mekanisme pemilihan Anggota BPK yang baru untuk meneruskan masa jabatan Anggota BPK yang digantikan. Mekanisme ini sama dengan mekanisme pemilihan Anggota BPK baru yang memiliki masa jabatan 5 tahun. Kaitan dengan PAW yang terjadi dalam pengisian jabatan BPK tersebut menimbulkan berbagai masalah. Oleh karena itu, tulisan ini akan fokus kepada isu apakah pengisian jabatan Anggota BPK telah dilakukan secara independen? Tulisan ini berkesimpulan bahwa pengisian jabatan Anggota BPK belum dilakukan secara independen. Kesimpulan tersebut didasarkan atas analisis terhadap perkembangan pengaturan pengisian jabatan Anggota BPK dengan cara perbandingan perkembangan peraturan peraturan perundang-undangan tentang BPK, dari periode sebelum kemerdekaan Indonesia hingga periode terkini. Perlu diketahui publik bahwa tidak banyak literatur yang membahas terkait topik ini secara khusus, padahal UU BPK banyak mengalami perubahan. Seperti yang kita ketahui bahwa tata hukum selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perkembangan masyarakat di tempat mana tata hukum itu berlaku. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengangkat isu pentingnya revisi UU BPK dalam kaitannya perbaikan pengisian jabatan anggota BPK dalam rangka mewujudkan BPK yang bebas dan mandiri terlepas dari kepentingan lembaga politis. Tulisan ini akan memaparkan perubahanperubahan pengaturan tentang BPK yang sering terjadi, bahkan kadang bersifat fundamental, baik pengaturan saat berlakunya UUD 1945 maupun setelah UUD 1945 mengalami amandemen. Perubahan tersebut antara lain terkait dengan pengisian jabatan pimpinan BPK. Tulisan ini adalah hasil dari sebuah penelitian hukum normatif dengan menyajikan suatu teori pengisian jabatan dan teori independence. Alat pengumpulan data dalam jurnal ini adalah meliputi studi dokumen yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil pemaparan akan ditutup dengan pendapat dan saran penulis perihal topik bahasan.
242
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
II. Pengaturan tentang Kemerdekaan
Pengisian
Jabatan
Anggota
BPK
Setelah
Untuk menjaga agar pengelolaan keuangan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dapat terlaksana atas prinsip transparasi serta menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas, maka UUD Negara RI Tahun 1945 menetapkan adanya suatu Badan yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. 2 UU BPK yang pertama kali lahir sejak Indonesia merdeka merupakan amanat dari UUD 1945 sebelum amandemen pada BAB VIII Hal Keuangan Pasal 23 ayat (5) yang menyatakan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan undang-undang. UU tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964, tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 41) menjadi undang-undang.3 Sejak lahirnya UU Tahun 1965 tersebut BPK untuk pertama kali memiliki landasan berbentuk Undang-Undang untuk mengatur kewenangan, susunan, dan tata kerja BPK. Lalu pada kurun waktu 8 tahun, UU BPK pertama tersebut dicabut dengan UU BPK yang baru yaitu UU Nomor 5 Tahun 1973. Menurut sejarah lahirnya UUD 1945, lahirnya istilah “Badan Pemeriksa Keuangan” dalam konstitusi kita muncul pada rancangan UUD ketiga hasil dari Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal15 Juli 1945.4 Dalam risalah rapat pembahasan lanjutan rancangan UUD kedua yang menghasilkan rancangan UUD ketiga pada tanggal 16 Juli 1945 sosok Bung Hatta lah yang mengusulkan diadakannya suatu Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara.5 Namun rumusan terkait BPK waktu itu6 belumlah mengkonsep adanya BPK yang independen. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, UUD 1945 Setelah Amandemen mengamanatkan perlunya badan pemeriksa keuangan yang independen untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.7
Rahimullah, “Hubungan Antar Lembaga Negara Versi Amandemen UUD 1945”, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), hlm. 159 3 Tim BEPEKA, “Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, 1998), hal. 47 4 A.B. Kusuma, “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945”, Edisi Revisi, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2009), hlm.371. 5 Ibid, hlm. 442. 6 Baca “Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen” dalam www.academia.edu dan Pasal 23 ayat (5) yang menyatakan untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang, Hasil pemeriksaan ini diberitahukan kepada DPR. 7 Pasal 23E ayat (1) UUD Setelah Amandemen Perubahan Ketiga “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri 2
243
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Penelitian untuk menjawab permasalahan “Apakah pengisian jabatan Anggota BPK telah dilakukan secara independen?” dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa sejarah dan proses pengisian jabatan Anggota BPK mulai dari lahirnya UU BPK yang pertama sejak Indonesia merdeka hingga yang saat ini berlaku. Selain itu perlu dilakukan penelitian terkait dasar dasar teori pengisian jabatan dan teori independen sebagai dasar untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Sejarah pengisian jabatan anggota BPK setelah kemerdekaan dimulai sejak UUD 1945 yang melahirkan UU BPK pertama kali melalui diundangkannya UU No. 17 Tahun 1965. Lalu UU tersebut dicabut dengan adanya UU No. 5 Tahun 1973 yang kemudian tidak berlaku dengan diundangkannya UU BPK No. 15 Tahun 2006. Ketentuan pengisian jabatan Anggota BPK masing-masing UU tersebut akan diuraikan penulis seperti dibawah ini. a. Pengisian jabatan Anggota BPK menurut UU Nomor 17 Tahun 1965 Di era tahun 1965 presiden memegang kekuasaan tertinggi dalam pemeriksaan, pengawasan dan penelitian keuangan negara yang dalam pelaksanaan sehari-hari dilakukan atas nama dan untuk beliau oleh Badan Pemeriksaan Keuangan.8 BPK pada waktu itu merupakan lembaga negara tertinggi yang beranggotakan paling banyak 21 orang yang terdiri dari wakilwakil partai, wakil Angkatan Bersenjata dan wakil-wakil organisasi masa atau orang yang mempunyai dukungan masyarakat yang terorganisasi yang ditunjuk oleh Presiden. Pengisian jabatan pimpinan BPK yang terdiri dari seorang ketua dan 4 (empat) wakil ketua BPK pada era tersebut dilakukan dengan cara penunjukan dan pengangkatan langsung oleh Presiden untuk masa jabatan selama 5 tahun.9 Pada masa ini untuk menjabat sebagai Anggota BPK, seseorang yang ditunjuk dan diangkat Presiden harus berusia sekurangkurangnya 35 Tahun, berwarga negara Indonesia, mempunyai kecakapan dan/atau pengalaman di bidang keuangan, kebendaharaan dan/atau administrasi negara serta mempunyai dukungan dari masyarakat yang terorganisasi berporoskan NASAKOM.10 BPK periode tahun 1965-1972 ini mempunyai tugas yang sangat luas. Tugas BPK melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara negara guna meniadakan 8 Lihat Diktum menimbang dan ketentuan Pasal 1 UUNomor 17 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undang Nomor 6 Tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan Menjadi UU. 9 Ibid, Psl. 6 10 Nasakom merupakan hasil pikiran Presiden Soekarno yang dijadikannya gagasan pemersatu bangsa Indonesia dengan tujuan melanjutkan revolusi yang belum selesai dengan berpedoma pada Pancasila. Nasakom singkatan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Gagasan ini dikeluarkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Nur Fitri Hermayati, Upaya Nasakomisasi TNI AD dan Dampaknya Pada Situasi Politik Indonesia Tahun 1960 -1967, (Thesis Universitas Pendidikan Indonesia, 2012), hlm.1, Diambil dari Perpustakaan.upi.edu/pages/repository-upi.
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
244
birokratisme dan korupsi. Tugas pemeriksaan BPK pada jaman ini telah menyinggung tentang pencegahan terjadinya korupsi yang diatur dalam Pasal 16 UU No. 17 Tahun 1965. Namun pada jaman ini baik UUD 1945 sebelum amandemen dan UU BPK itu sendiri tidak menyebutkan adanya BPK yang independen sehingga sesuatu yang mustahil tujuan meniadakan korupsi tanpa mengatur independensi dari lembaga audit negara ini. Selain mengatur tugas BPK, UU ini juga mengatur kewajiban BPK untuk membuat laporan hasil pemeriksaan yang harus disampaikan kepada Presiden. Laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut lalu oleh Presiden disampaikan kepada DPR.11 Aturan mengenai pelaporan hasil pemeriksaan BPK ini menggambarkan bahwa walaupun BPK pada masa itu merupakan salah satu lembaga tertinggi negara namun masih berada di bawah kekuasaan lembaga eksekutif. b. Pengisian jabatan Anggota BPK menurut UU Nomor 5 Tahun 1973 Pada era berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1973, Badan Pemeriksa Keuangan didefinisikan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. 12 UU ini mengatur tugas BPK untuk memeriksa tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara termasuk semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasil pemeriksaan BPK lalu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun Badan Pemeriksa Keuangan berbentuk dewan yang terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota dan 5 (lima) orang Anggota. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan 3 (tiga) orang calon. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ini diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Setelah menyelesaikan masa jabatan tersebut Anggota BPK tersebut dapat diangkat kembali sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan setiap kali untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan Anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan, maka masa jabatan Anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan diperpanjang sampai terselenggaranya pengangkatan atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Setiap pergantian keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan 3 (tiga) orang anggota lama dapat diangkat kembali 11
Pasal 21 UU Nomor 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan berkewajiban menyusun laporan hasil pemeriksaan tentang perhitungan Anggaran, menyusun laporan tahunan tentang hasil pekerjaannya, dan menyusun laporan tentang keputusan-keputusan penting daripada hasil pemeriksaan, pengawasan dan penelitian. Laporan laporan tersebut disampaikan kepada presiden. 12 Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan diunduh dari www.peraturan.go.id
245
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
dengan tujuan untuk menjamin kontinuitas kerja Badan Pemeriksa Keuangan dan tanpa mengabaikan kebutuhan akan penyegaran. Persyaratan untuk dapat dicalonkan menjadi Anggota BPK diatur di dalam Pasal 8 sebagai berikut maka seorang calonharus memenuhi syarat-syarat yang berikut 1) Warga negara Indonesia; 2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; 4) Setia terhadap Negara dan Haluan Negara Kesatuan Republik Indonesia yangberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 5) Mempunyai kecakapan dan pengalaman dalam bidang Keuangan dan Administrasi Negara;6) Tidak diragukan tentang integritas dan tentang kejujurannya. Maksud dari ketentuan-ketentuan dalam UU ini mendudukan BPK sebagai lembaga diluar kekuasaan lembaga eksekutif yang sejajar dengan pemerintahan, namun pengaturan pengisian jabatan Anggota BPK bermakna lain. Kewenangan pengisian jabatan Anggota BPK masih menjadi pembagian kewenangan antara pemerintah dan DPR. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan bahwa kelima anggota BPK diangkat oleh Presiden dengan 3 diantaranya merupakan usul DPR. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1, Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) UU ini yang mengatur tentang kedudukan BPK dan pengisian jabatan Anggota BPK dapat dinyatakan bahwa BPK belum benar-benar independen. c. Pengisian jabatan Anggota BPK menurut UU Nomor 15 Tahun 2006 Setelah berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2006, kedudukan BPK adalah sebagai satu lembaga negara13 yang bebas dan mandiri14 dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 15 Sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
13
Menurut George Jellinek, lembaga negara dibagi menjadi dua bagian, yaitu alat alat perlengkapan negara yang langsung (unmittebare organ) dan alat alat perlengkapan negara tidak langsung (mitterbare organ). Firmansyah Arifin, dkk, “Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara”, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Sekretariat Jenderal Kepaniteraan MK, 2005), hlm. 41. 14 Menurut Ade Armando, penegasan tentang bebas dan mandiri ini penting mengingat pemerintahan-pemerintahan sebelumnya senantiasa berusaha mengendalikan kiprah dan ruang gerak BPK sehingga BPK tidak dapatmenjalankan kewajibannya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara optimal. Diambil dari artikel “Ini Penjelasannya Mengapa BPK Harus Bebas dan Mandiri” 4 April 2016 dalam www.teropongsenayan.com 15 Pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK diunduh dari www.bpk.go.id
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
246
Dalam melakukan tugasnya, BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden yang diterbitkan paling lama 30 hari sejak anggota BPK dipilih DPR dimana susunan BPK tersebut terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.16 Dalam rangka menjaga kesinambungan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK, UU ini mengatur prosedur pengangkatan keanggotaan BPK. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Pertimbangan DPD tersebut disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR. Calon Anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat. DPR memulai proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK dan harus menyelesaikan pemilihan Anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama. Pengaturan kedudukan BPK dalam lembaga tinggi negara lainnya dalam UU ini telah memisahkan BPK dari kekuasaan pemerintah dan kekuasaan DPR. Proses pemilihan anggota BPK dapat dikatakan selama ini murni dilakukan oleh DPR karena DPR lah yang melakukan fit and proper test. Adanya keterlibatan DPD dalam memberikan pertimbangan belumlah membuat proses pengisian jabatan Anggota BPK jauh dari kepentingan politis. Ditinjau dari pasal pengisian jabatan Anggota BPK, dengan dipilihnya sembilan Anggota BPK oleh DPR melalui pertimbangan DPD maka pengisian jabatan Anggota BPK sebenarnya telah jauh dari pengaruh kekuasaan eksekutif namun masih belum terlepas dari pengaruh kekuasaan DPR yang notabene merupakan lembaga politik. Dalam pengisian jabatan Anggota BPK telah diatur dalam UU tentang Persyaratan untuk dapat dipilih sebagai calon Anggota BPK yang nantinya akan dipilih oleh DPR untuk menduduki jabatan penting ini. Ketentuan UU tersebut mewajibkan calon haruslah merupakan 1) warga negara Indonesia; 2) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) berdomisili di Indonesia; 4) memiliki integritas moral dan kejujuran; 5) setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 6) berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara; 7) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; 8) sehat jasmani dan rohani; 9) paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; 10) paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan 11) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun demikian persyaratan tersebut tidaklah serta 16
Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK diunduh dari www.bpk.go.id
247
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
merta dapat menjamin bahwa anggota BPK terpilih adalah orang yang jauh dari kepentingan politis yang akan mewujudkan BPK sebagai lembaga negara yang independen. UU No. 15 Tahun 2006 ini mengalami perubahan pengaturan terkait pengisian jabatan dengan adanya putusan MK nomor 13/PUU-XI/2013 untuk menguji Pasal 22 ayat (1)17 dan Pasal 22 ayat (4)18 sebagai norma yang bertentangan dengan Pasal 23F Ayat (1) UUD; Pasal 27 Ayat (1); Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3); dan Pasal 281 Ayat (2) UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) UU No 15/2006 sepanjang frasa "pengangkatan penggantian antar waktu" dan Pasal 22 Ayat (4) UU No 15/2006. Pasal 22 ayat (1) dan ayat 94) tersebut dianggap merugikan hak konstitusional Anggota BPK yang terpilih karena salah seorang Anggota BPK sebelumnya berhalangan tetap sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan sesuai dengan ketentuan UU No. 15 tahun 2006 tersebut. III. Pengisian Jabatan menurut Teori Setelah diuraikan perkembangan UU BPK dari periode tahun 1965 sampai tahun 2006 diatas selanjutnya perlu dikemukakan perihal dasar dasar teori dalam menganalisa apakah pengisian jabatan Anggota BPK dalam ketiga UU BPK di atas telah dilakukan dengan independen. Teori mendasar tentang pengisian jabatan dapat kita pelajari dalam bidang hukum tata hukum negara dikenal dengan teori Logemann yang menganggap bahwa jabatan sebagai inti hukum tata negara.19 Jabatan itu ada beberapa macam: ada jabatan yang hanya diisi atau diwakili oleh satu orang pemangku jabatan (jabatan tunggal), ada jabatan di mana terdapat pengganti (substituut) yang setiap waktu berhak mewakili jabatan secara penuh (jabatan ganda), misalnya Panitera Pengganti. Ada lagi jabatan yang berupa dewan (college), di mana terdapat sejumlah penjabat yang mewakili jabatan secara bersama-sama (jabatan majemuk).20 Pengisian Jabatan merupakan sebuah mekanisme yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan dalam suatu struktur organisasi atau pemerintahaan. Pengisian jabatan ini dapat dilakukan dalam beberapa metode. Pertama pemilihan umum langsung yang diserahkan kepada rakyat (direct election)21 , Bunyi Pasal 22 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 “apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan pergantian antarwaktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden” 18 Bunyi Pasal 22 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006“Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya” 19 Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden di Indonesia Sejak Sidang Dokuitsu Zyunbi Choosakai 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan R akyat 1993: Suatu Tinjauan Formal Yuridis,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Depok, 1993), hlm 18. 20 Ibid, hlm 20 21 Lihat kamus hukum (law Black dictionary), direct elections meansDirect election is a term describing a system of choosing political officeholders in which the voters directly cast ballots for the person, persons or political party that they desire to see elected. The method by which the winner or winners of a direct election are chosen depends upon the electoral system 17
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
248
kedua metode penunjukan atau pemilihan secara tidak langsung dan ketiga pemilihan yang dilakukan oleh badan perwakilan/parlemen (indirect election)22 . Secara harfiah Mekanisme Pengisan jabatan ini berhubungan langsung dengan metode pengisian suatu jabatan itu sendiri. Aspek yang kemudian berkenaan dengan ini misalnya seperti Mekanisme Pemilihan Umum baik secara langsung (direct election) maupun tidak langsung (indirect election). Disamping itu mekanisme pengisan jabatan ini melihat lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan suatu pemilihan apakah lembaga independen ataukah cabang lain dalam pemerintahan. Secara sederhana mekanisme pengisian jabatan ini melihat tatacara (proses) jabatan itu diisi oleh pejabat. Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul I’Es Regimes Des Politiques menyatakan bahwa cara pengisian jabatan demokratis dibagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Yang dimaksud demokrasi langsung merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat secara langsung memilih seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan, sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik untuk memilih seseorang menduduki jabatan tertentu guna menyelenggarakan tugastugas (kelembagaan) negara seperti kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.23 Dalam hukum tata negara, konsep jabatan merupakan isu yang penting dan salah satu persoalan penting itu adalah pengisian jabatan-jabatan. Secara umum dikenal dalam konsep hukum dikenal ada dua jenis jabatan, yaitu jabatan yang bersifat politis dan jabatan negeri. Dikatakan oleh JimlyAsshiddiqie, jabatan politik diisi dengan prosedur politik (political used. The most commonly used systems are the plurality system and the two round system for single winner elections, such as a presidential election, and party -list proportional representation for the election of a legislature. Pemilihan langsung adalah istilah yang mengg ambarkan suatu sistem memilih pemegang jabatan politik di mana para pemilih secara langsung memberikan suara untuk orang, orang-orang atau partai politik yang mereka inginkan untuk melihat terpilih. Metode dimana pemenang atau pemenang dari pemilihan langs ung yang dipilih tergantung pada sistem Pemilu yang digunakan. Sistem yang paling umum digunakan adalah sistem pluralitas dan sistem dua putaran untuk pemilihan pemenang tunggal, seperti pemilihan presiden, dan daftar partai perwakilan proporsional untuk pemilihan legislatif. 22 Ibid., indirect elections means Indirect election is a process in which voters in an election do not choose between candidates for an office but rather elect persons who will then make the choice. It is one of the oldest form of elections and is still used today for many upper houses and presidents. This process is also used in many union elections and sometimes in professional, civic, and fraternal organizations. istilah Pemilihan tidak langsung (indirect elections) dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana para pemilih dalam pemilihan tidak memilih langsung calon (kandidat), tetapi hanya memilih orang (wakil-wakil) yang mereka anggap pantas untuk mewakili hak-hak mereka dalam memilih kandidat (presiden atau pejabat lainnya) dan kemudian proses pemilihan dilakukan oleh orang tersebut. 23 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, “Naskah Akademik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Usulan Komisi Konstitusi”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004), hlm. 92.
249
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
appointment), sedangkan jabatan administratif diisi menurut prosedur teknis administratif.24 Prosedur politik biasanya dilakukan dengan cara pemilihan maupun pengangkatan yang dilakukan atas dasar politik. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa: “para pejabat negara merupakan “political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee”. Hal itu berarti bahwa para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik (political appointment) haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”.25 Menurut Miftah Thoha, jabatan negara yang berkaitan dengan pilihan rakyat digolongkan menjadi dua. Pertama, jabatan negara yang pengangkatannya tidak dipilih oleh rakyat tapi diangkat oleh pejabat yang dipilih rakyat. Kedua, pejabat negara yang berasal dari partai politik yang dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum atau Pemilihan Umum Kepala Daerah.Untuk pejabat negara yang murni maka pengangkatannya berada pada ranah atau domain sesuai dengan konstitusi yakni Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yaitu berada pada kekuasaan yang dipegang oleh kepala negara atau presiden. Sementara pejabat negara yang berasal dari partai politik pengangkatannya berdasarkan undang-undang melalui Pemilu atau Pemilukada seperti Presiden/wakil presiden, gubernur/wakil, bupati/walikota dan wakilnya. Pejabat negara yang diangkat sebagai 'political appointees' seperti para menteri negara seharusnya dimintakan persetujuan ke DPR seperti lazimnya dilakukan di Amerika Serikat.26 Selain jenis mekanisme pemilihan di atas, Indonesia mengenal pula pemilihan umum terputus. Pemilihan umum terputus ini sering disebut dengan Staggered Election. IV.
Pengisian Jabatan Anggota BPK ditinjau dari Ketentuan UndangUndang dan Teori Independensi
Mengulas sedikit tentang sejarah BPK 27 , bahwa sebelum berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, diberlakukan UU Nomor 17 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1964, tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 41) menjadi undang-undang. BPK menurut UU 24 Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, (Jakarta: PT. Buana Indah Populer, 2008), hlm. 750. 25 Jimly Assidiqqie, Perihal Undang-Undang, PDF, hlm 373, www.jimly.co m/pemikiran/getbuku/5 diunduh tanggal 20 Mei 2014. 26 Eri Komar Sinaga, “Jabatan Panglima TNI, Kapolri Cukup Dipilih Presiden Tanpa Libatkan DPR”, http://www.tribunnews.com/nasional/2014/05/06/jabatan-panglima-tnikapolri-cukup-dipilih-presiden-tanpa-libatkan-dpr 27 Sejarah BPK dimulai dari BPUPK dan PPKI yang merumuskan ketentuan mengenai BPK daam UUD 1945 dalam satu ayat saja. Patrialis Akbar, “Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Cet. Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 188.
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
250
Nomor 17 Tahun 1965 ini (selanjutnya ditulis UU Tahun 1965) berbentuk Dewan dan merupakan suatu Lembaga Negara Tertinggi di antara Lembagalembaga Negara Tertinggi lainnya. Berdasarkan Pasal 4 UU Tahun 1965, Anggota BPK sebanyak-banyaknya terdiri atas 21 anggota yang mewakili partai politik, wakil angkatan bersenjata, wakil organisasi massa revolusioner, atau orang-orang yang punya dukungan masyarakat yang terorganisasi. Badan Pemeriksa Keuangan dipimpin oleh seorang Ketua yang ditunjuk dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, sebanyakbanyaknya empat orang wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden dari Anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Kewenangan pemilihan ketua, wakil ketua, dan Anggota BPK tersebut ada pada presiden. Disebutkan juga dalam Pasal 1 UU Tahun 1965 yang menyatakan bahwa Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi memegang kekuasaan pemeriksaan, pengawasan dan penelitian tertinggi atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara, yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan atas nama dan untuk beliau oleh Badan Pemeriksa Keuangan. UU No. 17 tahun 1965 ini lalu dicabut dengan UU No 5 Tahun 1973 yang kemudian UU No. 5 Tahun 1973 ini tidak berlaku setelah lahirnya UU No. 15 Tahun 2006. Keanggotaan BPK pada masa UU tahun 1965 yang berjumlah sebanyak banyaknya 21 orang, lalu pada masa UU Tahun 1973 anggota BPK berjumlah 5 orang dan pada era UU Tahun 2006 berjumlah 9 orang maka menurut teori Logeman28 , Jabatan Anggota BPK merupakan jabatan college, di mana anggota-anggota BPK yang dipilih mewakili BPK secara bersama-sama. Cara pemilihan Anggota BPK dari masa ke masa dilakukan melalui penunjukan dan pengangkatan oleh presiden berkembang menjadi dipilih oleh DPR dengan pertimbangan DPD merupakan pemilihan demokrasi perwakian karena tidak langsung dipilih oleh rakyat. Pengisian jabatan Anggota BPK dengan penunjukan, pengangkatan dan pemberhentian pada saat berlakunya UU No. 17 Tahun 1965 menjadi kewenangan presiden semata. Melalui proses penunjukan, pengangkatan dan pemberhentian ketua, wakil ketua dan Anggota BPK di tangan presiden maka BPK jauh dari terwujudnya suatu lembaga yang independen yang dapat secara profesional melakukan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara guna menjadikan pemerintahan Indonesia yang bersih dari KKN. Dengan dimasukkannya anggota partai politik sebagai Anggota BPK maka BPK pada jaman itu sangat syarat dengan politis. UU Nomor 17 Tahun 1965 lalu dicabut dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1973 (selanjutnya ditulis UU Tahun 1973). Kewenangan Presiden dalam UU Tahun 1965 kembali ditegaskan dalam UU Tahun 1973 tentang BPK. Tetapi dengan sedikit perubahan karena adanya keterlibatan DPR, bahwa ketua, wakil ketua, dan Anggota BPK diangkat oleh presiden atas usul DPR.
28 Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden di Indonesia Sejak Sidang Dokuitsu Zyunbi Choosakai 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993: Suatu Tinjauan Formal Yuridis,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Depok, 1993), hlm 18.
251
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Undang-undang ini mulai mengakomodasi keterlibatan DPR, di mana DPR mengusulkan tiga orang calon untuk setiap lowongan keanggotaan BPK. Pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dalam UU Tahun 1973 adalah melalui pengangkatan. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam ketentuan pengisian jabatanAnggota BPK dinyatakan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR. Untuk setiap lowongan keanggotaan BPK, diusulkan tiga orang calon oleh DPR. Dalam hal pemberhentian Anggota BPK, pelaksanaannya dilakukan oleh presiden, namun untuk pemberhentian dengan alasan tertentu (pelanggaran sumpah dan janji Anggota BPK) presiden harus berkonsultasi dulu dengan DPR dan MA. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam UU Tahun 1973 adalah sebatas mengusulkan 3 (tiga) orang calon anggota. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan ini diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Setelah menyelesaikan masa jabatan tersebut Anggota BPK tersebut dapat diangkat kembali sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan setiap kali untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Apabila akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan karena berakhirnya masa jabatan Anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan, maka masa jabatan Anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan diperpanjang sampai terselenggaranya pengangkatan atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. setiap pergantian keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan 3 (tiga) orang anggota lama dapat diangkat kembali dengan tujuan untuk menjamin kontinuitas kerja Badan Pemeriksa Keuangan dan tanpa mengabaikan kebutuhan akan penyegaran. Jadi dalam UU Tahun 1973 tidak mengenal adanya istilah pergantian antar waktu. Berdasarkan uraian di atas, kekuasaan besar yang dimiliki oleh presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK pada era UU Tahun 1973, dapat menjadi salah satu sebab dari ketidakefektifan lembaga eksaminatif ini. Dalam hal pemilihan Anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti UU BPK Tahun 2006, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR.29 Di masa UU Tahun 2006, seiring dengan kebutuhan pengawasan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang efektif, maka dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota BPK, Presiden tidak lagi diposisikan sebagai penentu utama kewenangan ini. Tidak seperti UU BPK Tahun 1973, dalam hal pengisian jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK diatur dalam UU BPK Tahun 2006, para anggota-Anggota BPK bersidang di awal masa jabatannya untuk mengadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK
29 Oce Madril, Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan , 27 Juni 2013, Koran Tempo,, diunduh tanggal 7 April 2014 http://koran.tempo.co/konten/2013/06/27/314090/Pemilihan -Anggota-Badan-PemeriksaKeuangan
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
252
dan kemudian menyerahkan hasil keputusan sidang tersebut untuk ditetapkan oleh presiden secara administrasi dengan Keppres. Persyaratan untuk dapat dicalonkan menjadi Anggota BPK dalam UU Nomor 5 Tahun 1973 diatur di dalam Pasal 8 dimana seorang calon harus memenuhi syarat-syarat yang berikut 1) Warga negara Indonesia; 2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; 4) Setia terhadap Negara dan Haluan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 5) Mempunyai kecakapan dan pengalaman dalam bidang Keuangan dan Administrasi Negara; 6) Tidak diragukan tentang integritas dan tentang kejujurannya. Selain persyaratan tersebut, diatur juga larangan bagi Anggota Badan Pemeriksa Keuangan yaitu Anggota BPK tidak boleh, langsung maupun tidak langsung, menjadi pemilik seluruh atau sebagian ataupun menjadi penjamin badan usaha yang berdasarkan perjanjian dengan tujuan untuk mendapat laba atau keuntungan. Anggota BPK juga tidak boleh merangkap jabatan dalam lingkungan Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang lain, jabatan dalam lingkungan Pemerintahan Negara, ataupun jabatan dalam lingkungan Lembaga Tertinggi Negara. Selain itu Anggota Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh berniaga dan atau baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kepentingan dalam usaha perniagaan pihak-pihak. Namun setelah berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2006, aturan mengenai pengisian jabatan Anggota BPK pun mengalami perkembangan. Dimulai dari perubahan kedudukan BPK bukan lagi sebagai lembaga tinggi negara melainkan sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pada pengaturan UU sebelumnya, BPK tidak nyata nyata disebutkan sebagai lembaga negara yang independen, yang artinya masih dapat dipengaruhi oleh lembaga tinggi lainnya. Pengaturan tugas BPK pun mengalami perluasan di era UU BPK yang baru. Jika di era 1973, tugas BPK hanya sebatas rumusan untuk memeriksa tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara dan untuk memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka di era tahun 2006 sampai dengan sekarang tugas BPK mengalami perluasan bukan hanya sebatas memeriksa pelaksanaan APBN. Dalam UU Nomor 15 Tahun 2006, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa objek pemeriksaan BPK sangatlah luas menjangkau APBD dan lembaga lainnya yang berkaitan dengan keuangan negara. Selain itu, era UU BPK yang terbaru tersebut menyebutkan jenis-jenis pemeriksaan yang
253
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
dapat dilakukan oleh BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan melakukan perbandingan peraturan, kita dapat melihat bahwa dalam UU Nomor 15 Tahun 2006, pengaturan keanggotaan BPK dalam UU BPK yang baru mengalami perubahan baik secara jumlah maupun pengisian jabatannya. BPK yang sekarang mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden dimana susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. Hal ini berarti perluasan objek pemeriksaan dan jenis pemeriksaan BPK diimbangi dengan penambahan jumlah Anggota BPK. Setiap Anggota BPK akan membawahi beberapa entitas tertentu dalam rangka memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan mereka. Penambahan jumlah Anggota BPK diharapkan menjadikan hasil pemeriksaan BPK akan lebih berkualitas dan akuntabel sehingga akan semakin meningkatkan profesionalitas kerja BPK untuk kedepannya. Dalam rangka menjaga kesinambungan pelaksanaan tugas dan wewenang BPK, UU 5/2006 mengatur prosedur pengisian jabatan keanggotaan BPK. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut, BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan Anggota BPK. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU BPK Tahun 1973 di mana Anggota BPK diangkat oleh presiden berubah pengaturannya dengan Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan pertimbangan DPD dan diresmikan dengan Keputusan Presiden. Mencermati perubahan tersebut, sebenarnya masih ada upaya campur tangan dari yang dulunya BPK diangkat oleh presiden sebagai lembaga eksekutif berubah menjadi dipilih oleh DPR sebagai lembaga legislatif. Indepensi BPK masih dipertanyakan dalam hal pengisian jabatan Anggota BPK dengan melibatkan DPR dalam era UU BPK Tahun 2006 ini. Perbandingan persyaratan untuk dapat dipilih sebagai calon Anggota BPK antara UU tahun 1973 dengan UU tahun 2006 menunjukkan bahwa perihal persyaratan calon Anggota BPK pada era UU tahun 2006 lebih lengkap dan berbobot. UU Nomor 15 Tahun2006 mengatur bahwa seorang calon Anggota BPK haruslah merupakan 1) warga negara Indonesia; 2) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) berdomisili di Indonesia; 4) memiliki integritas moral dan kejujuran; 5) setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 6) berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara; 7) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; 8) sehat jasmani dan rohani; 9) paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun; 10) paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara; dan 11) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
254
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. UU Tahun 2006 mencoba mengangkat peran DPD ketimbang UU Tahun1973 yang sama sekali tidak menyebutkan peran DPD dalam proses pengisian jabatan Anggota BPK. Pertimbangan DPD yang disyaratkan dalam proses pengisian jabatan Anggota BPK dalam UU tahun 2006 disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap, dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Pimpinan DPR. Kemudian calon Anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat. DPR memulai proses pemilihan Anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK dan harus menyelesaikan pemilihan Anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama. Kewenangan Presiden beralih sepenuhnya ke DPR setelah amendemen konstitusi dan ditetapkannya UU No. 15/2006 tentang BPK. Walaupun hanya memberi pertimbangan, DPD ikut dilibatkan dalam proses pemilihan. Tiga model mekanisme pemilihan yang pernah diterapkan memiliki nilai tambah dan kekurangan masing-masing. Namun, satu yang harus dihindari, adanya monopoli satu lembaga dalam proses pemilihan. Monopoli ini cenderung akan melahirkan kekuasaan yang dominan yang tidak bisa dikontrol dan berujung pada penyalahgunaan. Dalam hal pemilihan Anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti dalam pemilihan pejabat negara lainnya, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR. Memang ada keterlibatan DPD. Tetapi DPD hanya sebatas memberi rekomendasi yang dengan mudahnya dapat diabaikan oleh DPR. Artinya, kewenangan ada di tangan DPR sepenuhnya. Model inilah yang rentan disalahgunakan. Apalagi, faktanya, proses seleksi pejabat publik di DPR selalu tidak transparan. Proses fit and proper test selama ini hanya sebagai ajang transaksi politik. Bahkan, tak jarang, proses itu menjadi ajang transaksi suap. Pertimbangan pemilihan calon juga sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terkadang DPR justru memilih calon yang berkualitas dan berintegritas rendah. Alasan-alasan politis lebih mendominasi daripada pertimbangan kompetensi dan integritas. Politisasi inilah yang seharusnya dihindari dalam pemilihan Anggota BPK, karena BPK bukanlah lembaga politik. BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain. Anggota BPK merupakan jabatan strategis. Betapa tidak, Anggota BPK punya kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK juga berperan besar dalam pemberantasan korupsi, karena berwenang melakukan audit investigasi ihwal penyimpangan keuangan negara yang berdampak pada kerugian negara. Hasil audit BPK sangat menentukan pengungkapan berbagai kasus korupsi kelas kakap, misalnya kasus Century, Hambalang, dan kuota impor sapi. Namun, sayangnya, mekanisme seleksi Anggota BPK di DPR sangat
255
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
mengkhawatirkan. Prosesnya berlangsung tertutup, tidak partisipatif, dan tidak serius. Kesalahan paling fatal DPR adalah meloloskan calon yang pernah tersangkut kasus korupsi. Padahal telah jelas dan tegas dinyatakan dalam UU BPK bahwa mereka yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih tidak boleh menjadi calon. Lolosnya calon yang pernah terlibat korupsi jelas menunjukkan ketidakseriusan DPR dalam melakukan seleksi. DPR juga terlihat enggan berkoordinasi dengan lembaga lain untuk menelusuri rekam jejak calon. Misalnya dengan KPK dan PPATK. Kerja sama dengan KPK dan PPATK penting dilakukan minimal untuk menelusuri kewajaran harta kekayaan dan transaksi keuangan para calon. Hal ini diwajibkan oleh UU No. 28/1999 bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Dengan proses seleksi yang buruk, bagaimana mungkin kita akan menemukan calon Anggota BPK yang mumpuni. Publik pasti akan ragu terhadap kredibilitas calon terpilih hasil seleksi DPR. Buruknya proses seleksi Anggota BPK membuka perdebatan perihal besarnya kekuasaan DPR dalam pemilihan pejabat negara. Peraturan perundang-undangan pasca-amendemen konstitusi memang memberikan kewenangan yang besar kepada DPR. Tidak hanya terkait dengan fungsi-fungsi pokok parlemen, seperti legislasi, pengawasan, dan anggaran, DPR juga diberi kewenangan yang luas dalam hal pemilihan pejabat negara, anggota sebuah komisi negara, dan berbagai jabatan strategis lainnya. Pengisian jabatan publik, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Informasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta anggota komisi negara lainnya dilakukan oleh DPR. Tidak hanya itu, DPR juga ikut menentukan pemilihan hakim agung, Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Anggota BPK, kepala kepolisian, dan Panglima TNI. Salah satu alasan utama kenapa DPR diberi kewenangan yang luas dalam pengisian jabatan publik adalah untuk melakukan fungsi checks and balances atas kewenangan presiden. Sebagaimana kita ketahui, sebelum amendemen konstitusi, presiden memiliki kewenangan yang sangat besar. Presiden bahkan memonopoli kekuasaan parlemen. Dan pada masa itu, parlemen hampir tidak punya kekuatan untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan presiden. Alasan lainnya adalah sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik. Terkait dengan hal ini, Peter Waller dan Mark Chalmers, dalam sebuah laporan penelitian berjudul An Evaluation of Pre-Appointment Scrutiny Hearings, menyatakan bahwa pelibatan parlemen dalam proses pemilihan pejabat publik bertujuan melindungi hak dan kepentingan publik. Hak dan kepentingan publik itu dapat dicapai dengan sebuah prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Proses pemilihan di parlemen biasanya dilakukan secara terbuka, dan rakyat dapat menyaksikan, bahkan ikut terlibat memberi masukan.
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
256
Tetapi berbagai alasan di atas mulai dipertanyakan. Perpindahan kewenangan ini berimplikasi pada membengkaknya kekuasaan. DPR menjadi tidak terkontrol. Akibatnya, terjadi pergeseran penyalahgunaan dari kekuasaan eksekutif ke legislatif, sebagaimana terjadi pada kasus suap dalam pemilihan mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom. Bagaimanapun, kekuasaan absolut cenderung koruptif. Kekuasaan penuh DPR dalam pemilihan Anggota BPK harus diimbangi kekuasaan lain. Upaya minimal sesuai dengan konstitusi adalah memperkuat keterlibatan DPD. Rekomendasi dan pertimbangan DPD harus benar-benar diperhatikan oleh DPR. Lebih ideal jika DPR memilih dari daftar nama calon yang direkomendasikan DPD. 30 Sesuai dengan teori lembaga negara dari George Jellinek, BPK sebagai salah satu lembaga negara yang pembentukannya dimandatkan langsung oleh UUD NRI 1945 merupakan alat perlengkapan negara yang langsung (unmittebare organ). Keberadaaan BPK dalam UUD NRI 1945 sebagai lembaga negara yang sejajar di tengah-tengah keberadaan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi ciri khas dibandingkan dengan konstitusi negara lain. Namun apabila dikaji dengan teori trias politika, BPK tidak termasuk dalam kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif sehingga di Indonesia sesungguhnya tidak menganut konsep trias politika secara murni, baik sebelum dilakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 maupun setelah dilakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945. Hal yang sama juga diungkapkan oleh A.B Kusuma bahwa para pendiri negara tidak pernah berniat menganut trias politika. Suatu pemerintahan dapat disebut demokratis dengan atau tanpa prinsip trias politika, bisa dengan pemisahan kekuasaan (separation of power) atau dengan peleburan kekuasaan (fusion of power).31 Kesamaan kedudukan dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidaklah menjadi alasan untuk melakukan mekanisme pengisian jabatan yang sama dengan ketiga cabang kekuasaaan tersebut. Pemilihan presiden sebagai kepala pemerintahan dan pemilihan anggota DPR sebagai perwakilan dari kekuasaan legislatif dilakukan dengan pemilihan umum langsung sedangkan terkait pengisian jabatan BPK memiliki metode yang berbeda. BPK sebagai lembaga negara diatur pembentukannya berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen yang diatur lebih lanjut dengan disahkannya UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Sebagai peraturan pelaksanaan dari UUD 1945, maka UU ini dapat dilakukan perubahan apabila aturan-aturan di dalamnya bertentangan dengan UUD 1945. Perubahan UU ini dapat dilakukan baik dengan merevisi dengan pembentukan UU yang baru maupun dilakukan melalui pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi. UU tentang BPK telah mengalami perubahan dengan cara merevisi beberapa kali. UU yang mengatur BPK pertama kali adalah UU Nomor 17 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang30
Oce Madril, Ibid.
31 A.B. Kusuma, “Sistem Pemerintahan Pendiri Negara Versus Sistem Presidensiel
Orde Reformasi”, cetakan pertama, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2011), hlm 216.
257
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Undang Nomor 6 Tahun 1964, tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan. PERPU No. 6 Tahun 1964 ditetapkan menjadi Undang-Undang sehingga menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1965 dengan sejumlah perubahan. Pada tahun 1973 UU No. 17 Tahun 1965 dicabut dengan UU BPK disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1973, kemudian UU ini pun dicabut dengan adanya UU BPK yang baru yaitu UU No. 15 Tahun 2006. Perubahan-perubahan dari UU tahun 1965 sampai adanya UU Tahun 2006 yang telah dianalisis di atas membawa BPK menjadi lembaga negara yang bertugas sebagai pemeriksa keuangan negara menjadi lembaga yang semakin independen seperti yang diamanatkan UUD 1945 pasca amandemen. Mekanisme perubahan UU melalui pencabutan UU yang lama dengan UU yang baru tersebut dilakukan oleh DPR bersama sama dengan Pemerintah. Adanya permintaan pengujian UU BPK terhadap UUD oleh MK pada tahun 2013 yang dilakukan oleh salah satu Anggota BPK sebagai pemohonnya merupakan bagian sejarah dalam perbaikan UU BPK terkait dengan masa jabatan. Tujuan pengujian UU BPK dengan nomor 13/PUU-XI/2013 adalah untuk menguji konstitusionalitas frasa “pengangkatan pergantian antarwaktu pada Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan: “apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau Pasal 19 diadakan pengangkatan pergantian antar waktu Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden”, dan Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan “Anggota BPK pengganti melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya” sebagai norma yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pasal 23F Ayat (1) UUD; Pasal 27 Ayat (1); Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3); dan Pasal 281 Ayat (2) UUD 1945. Pasal 22 Ayat (1) UU No 15/2006 sepanjang frasa "pengangkatan penggantian antar waktu" dan Pasal 22 Ayat (4) UU No 15/2006 karena dianggap merugikan hak konstitusional Anggota BPK yang terpilih karena salah seorang Anggota BPK sebelumnya berhalangan tetap sehingga tidak dapat menghabiskan masa jabatan sesuai dengan ketentuan UU No. 15 tahun 2006 tersebut. UU No. 15 Tahun 2006 sebagai UU organik yang menjabarkan lebih lanjut pelaksanaan tugas konstitusional BPK dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU BPK ditentukan bahwa Anggota BPK berjumlah sembilan orang dengan susunan terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Kemudian Pasal 14 ayat (1) UU BPK yang menegaskan lebih lanjut ketentuan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan semua pemangku jabatan Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Adapun masa jabatan Anggota BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK memegang masa jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Hal tersebut sudah sangat jelas sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Persoalannya adalah adanya ketentuan dalam UU BPK yang menentukan cara pengisian jabatan Anggota BPK dengan cara lain, yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dengan menggunakan dengan frasa
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
258
“pengangkatan penggantian antar waktu”. Penggunaan frasa tersebut menjadi tidak pas, karena memiliki ketidakjelasan pengertian yang berakibat pada ketidakjelasan tujuan dan adanya ketidakpastian hukum, sehingga Pasal 22 ayat (1) bila dikaitkan dengan pasal lain yang mengatur tentang mekanisme pengisian jabatan Anggota BPK dalam UU BPK itu sendiri mengalami pertentangan norma, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU BPK. Pengangkatan penggantian antar waktu Anggota BPK dalam UU BPK juga bertentangan dengan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengisi dalam hal terjadinya kekosongan atau kekurangan dari komposisi keanggotaan BPK yang berjumlah sembilan orang. Oleh karena itu, menurut pendapat saya norma tersebut memangharus ada, tetapi dengan tidak mencantumkan frasa "pengangkatan penggantian antar waktu" dan norma Pasal 22 ayat (1) UU BPK seharusnya berbunyi "Apabila Anggota BPK diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau Pasal 19 diadakan penggantian Anggota BPK sesuai dengan syarat-syarat dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dan diresmikan dengan Keputusan Presiden".32 Pada akhirnya melalui keputusan MK Nomor 13/PUU-XII/2013, Majelis MK mengabulkan permohonan uji materi UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang dimohonkan oleh salah satu Anggota BPK. Dalam putusannya, MK membatalkan Pasal 22 ayat (1) khususnya frasa “pergantian antar waktu” (Anggota BPK) dan Pasal 22 ayat (4) UU BPK karena bertentangan dengan UUD 1945. Tak hanya itu, Mahkamah juga membatalkan Pasal 22 ayat (5) UU BPK. Selain uraian fakta yuridis tersebut, dalam teori ketatanegaraan, lembaga seperti BPK adalah lembaga yang terpisah dari eksekutif dan legislative sehingga BPK dapat saja didesain dengan proses pengisian yang berbeda. Seperti halnya dengan Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang independen, sehingga dapat melakukan proses pengisian Anggota BPK secara berjenjang atau tidak serentak, demi alasan kesinambungan. Di sisi lain selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif, menurut teori independensi, pendapat Funk dan Seamon menyatakan bahwa salah satu kategori komisi negara tidak dicampuri kepentingan kekuasaan eksekutif sehingga disebut independen maka harus memiliki karakteristik yang tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms). Oleh karena itu BPK yang disebutkan dengan tegas baik dalam UUD maupun dalam UU BPK sebagai lembaga negara yang independen maka memang seharusnya masa jabatan masing-masing Anggota BPK tidak dilakukan dan tidak habis secara bersamaan, tetap bergantian (staggered 32 Keterangan tertulis Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dalam p ermohonan pengujian
Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK NomorPerkara 13/PUU-XI/2013, 21 Maret 2013, hlm. 4.
259
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
terms).33 Oleh karena itu, BPK sebagai lembaga negara, haruslah mendapatkan jaminan konstitusional dalam menjalankan tugasnya secara efektif, independen dan berkesinambungan yaitu dengan cara Anggota BPK tidak harus berhenti secara bersamaan dalam satu waktu. Oleh sebab itu jika ada Anggota BPK yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir yaitu selama 5 tahun, maka diganti dengan Anggota BPK yang baru untuk masa jabatan yang sama yaitu 5 tahun, tidak hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya. Hal inipun seperti yang telah menjadi aturan bagi Hakim Konstitusi dan Pimpinan KPK yang tidak mengenal penggantian anggota antar waktu yang sudah diuraikan sebelumnya. Norma Pasal 22 ayat (I) UU BPK selanjutnya melahirkan turunan norma ayat ( 4 ) pada pasal a quo yang menentukan bahwa masa jabatan Anggota BPK pengganti hanya melanjutkan sisa jabatan Anggota BPK yang digantikannya. Apabila kita mencermati ketentuan dalam UU BPK aturan persyaratan dan mekanisme pengisian jabatan antara Anggota BPK pengganti maupun Anggota BPK bukan pengganti adalah sama. Jika dikaitkan dengan ketentuan tersebut aturan tentang masa jabatan anggota pengganti yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya bertentangan dengan asas kemanfaatan. Sejalan dengan pendapat Yuzril Hendra Mahendra dalam Keterangan tertulis Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dalam permohonan pengujian Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK Nomor Perkara 13/PUU-XI/2013, 21 Maret 2013, berpendapat bahwa pembedaan aturan masa jabatan Anggota BPK diatas tidak sesuai dengan isi Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (4) UU BPK yang mengatur tentang sisa masa jabatan Anggota BPK pengganti yang melanjutkan sisa masa jabatan Anggota BPK yang digantikannya akan menimbulkan pertentangan internal (contradictio in terminis) dengan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang menyatakan bahwa Anggota BPK memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pertentangan itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga masa Terjemahan bebas “One category of agencies is often considered outside of the Executive Branch — the "independent regulatory agencies." 1 There are about 15 such agencies, including the FCC, the Securities and Exchange Commission. the Federal Trade Commission (FTC), the National Labor Relations Board (NLRB), the Nuclear Regulatory Commission (NRC), and the Federal Reserve Board. They are called "independent" because they generally share certain characteristics that insulate them from that control by the President to which normal, executive agencies are subject. These characteristics are: (1) they are headed by multi member groups, rather than a single agency head; (2) no more than a simple majority of these members may come from one political party; (3) the members of the group have fixed, staggered terms, so that their terms do not expire at the same time; and (4) they can only be removed from their positions for "cause." unlike most executive officials, who serve at the pleasure of the President. William F Funk dan Richard H Seamon, Administrative Law: Examples and Explanation. Third Edition , (New York: Aspen Publishers, Januari 1 2009), hlm 7, diambil dari E-book http://books.google.co.id/books?id=mn2pyrLYU_UC 33
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
260
jabatan Anggota BPK yang diangkat bersamaan atau Anggota BPK pengganti mengemban masa jabatan yang seharusnya sama selama 5 tahun penuh. Selanjutnya Pasal 22 ayat (5) merupakan ketentuan lebih lanjut dari norma Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (4). Oleh karena itu Pasal 22 ayat (5) UU BPK juga harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 ayat (5) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terkait dengan jabatan Anggota BPK pengganti, putusan ini berlaku bagi Anggota BPK pengganti yang sudah diangkat dan sekarang menduduki jabatan sebagai Anggota BPK, sehingga berhak menduduki masa jabatan penuh selama 5 tahun sejak diangkat sebagai Anggota BPK dengan keputusan presiden. Hal ini perlu agar asas keadilan dan kemanfaatan dapat dirasakan juga oleh Anggota BPK sebelumnya hasil dari proses pergantian antar waktu yang masih menjabat. Meskipun putusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun berdasarkan putusan MK No. 5/PUU-IX/201, demi asas kemanfaatan untuk kasus-kasus tertentu putusan Mahkamah dapat diberlakukan surut (retroaktif). Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan (4) UU BPK, khususnya dengan adanya frasa “pengangkatan penggantian antar waktu”, dinilai diskriminatif karena mengandung ketidakadilan antara Anggota BPK pengganti antar waktu dan anggota lainnya dengan masa jabatan lima tahun. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) mengandung kelemahan sistem kaidah/norma. Sebab, norma yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) kontradiksi dengan Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang bersifat imperatif dalam menentukan komposisi keanggotaan dan masa jabatan Anggota BPK selama 5 tahun. MK telah melakukan pembatalan pasal tersebut dan menerapkan asas “berlaku surut” bagi Anggota BPK yang masih menjabat. Dengan adanya pembaharuan aturan mengenai pengisian jabatan melalui putusan MK ini, kinerja BPK yang independen bisa dijaga melalui kepemimpinan yang berkesinambungan. Jadi dengan adanya keputusan MK ini maka pergantian Anggota BPK karena berhentinya Anggota BPK tidak berlaku lagi istilah pergantian antarwaktu namun pemilihan tetap bisa dilakukan tanpa menunggu waktu yang lama dan Anggota BPK yang baru menggantikan anggota yang lama akibat dari pemberhentian dapat menjalankan masa jabatannya sesuai dan sama dengan Anggota BPK yang lain yaitu 5 tahun. Perkembangan Pengaturan Mekanisme Pengisian Jabatan Anggota BPK sebelum dan setelah adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dari masa ke masa mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan ini tercermin dalam mekanisme pengisian jabatan Anggota BPK yang pertama tama dilakukan melalui proses penunjukan (appointed) atau ketentuan yang hanya berlaku satu kali lalu berubah menjadi mekanisme pengisian melalui proses pengangkatan oleh presiden atas usul DPR dan sekarang dilakukan melalui proses pemilihan oleh DPR dengan pertimbangan DPD dengan masa jabatan selama 5 Tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Sistem pemilihan Anggota BPK pada saat ini dapat dikategorikan ke dalam metode indirect vote dimana proses pemilihan Anggota BPK di serahkan kepada lembaga Legislatif bukan rakyat. Dengan pengisian melalui indirect vote
261
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
dengan melibatkan DPR ini secara umum menganulir calon perseorangan (independent) untuk menjadi Anggota BPK. Adanya Putusan Mahkamah Konsitusi No. 13/PUU-XII/2013 terhadap pengisian jabatan Anggota BPK ikut andil dalam merubah UU tentang BPK. Berdasarkan analisis dan Penjabaran terhadap pengisian Jabatan Anggota BPK dengan terbitnya Putusan MK No. 13/PUU-XII/2013, maka mengimplikasi pengisian jabatan Anggota BPK bahwa dengan MK membatalkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5) UU BPK maka aturan tentang pengisian jabatan khususnya pergantian antarwaktu dalam UU BPK sudah tidak berlaku. Aturan baru mengenai pemilihan Anggota BPK yang baru terjadi saat ada Anggota BPK yang diberhentikan. Selain itu masa jabatan Anggota BPK yang menggantikan Anggota BPK yang lama adalah 5 tahun, sama dengan Anggota BPK lainnya. Implikasi lainnya terkait pengisian jabaran Anggota BPK adalah pemilihan Anggota BPK pengganti tetap akan dilakukan walaupun sisa masa jabatan anggota yang akan diganti kurang dari 6 (enam) bulan dari masa jabatannya. Dengan tidak berlakunya Pasal 22 ayat (1) dan ayat (4) maka ada jaminan terjadinya kesinambungan kinerja kelembagaan BPK. Pada akhirnya setelah menguraikan dan menyimpulkan tentang teori dan perkembangan pengaturan pengisian jabatan Anggota BPK maka perlu dilakukan amandemen UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK mengenai proses pemilihan Anggota BPK oleh DPR yang dilakukan secara terbuka, dan rakyat dapat menyaksikan, bahkan rakyat ikut terlibat memberi masukan dengan melibatkan beberapa lembaga penting lainnya seperti PPATK. Hal ini penting agar pemilihan calon Anggota BPK dapat benar-benar berkualitas dan berintegritas tinggi. Saran ini penting mengingat proses seleksi pejabat publik di DPR bisa dikatakan tidak transparan. Proses fit and proper test selama ini hanya sebagai tempat untuk melakukan transaksi politik. Bahkan ada kemungkinan proses itu menjadi ajang transaksi suap. Alasan-alasan politis lebih mendominasi daripada pertimbangan kompetensi dan integritas. Selain itu pertimbangan pemilihan calon juga sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan aturan lebih lanjut mengenai pembentukan panitia khusus untuk seleksi calon Anggota BPK kemudian mengajukan calon terbaik kepada DPR untuk dipilih, seperti yang terjadi pada pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. V. Simpulan dan Saran Sejarah perkembangan pengaturan pengisian jabatan Anggota BPK sejak tahun 1965 sampai sekarang mengalami 3 kali masa perubahan. Bermula pada era tahun 1965 sampai tahun 1972 pengisian jabatan anggota BPKyang berjumlah sebanyak-banyaknya 21 orang dilakukan melalui penunjukan dan pengangkatan murni dilakukan Presiden. Lalu pada era tahun 1973 sampai dengan tahun 2005 pengisian jabatan anggota BPK yang berjumlah 7 orang dilakukandengan cara diangkat oleh Presiden dengan 3 calon merupakan usulan DPR. Kemudian sejak tahun 2006 sampai sekarang perihal pengisian jabatan anggota BPK, presiden tidak lagi sebagai satu satunya pihak yang
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
262
memegang kewenangan pengisian jabatan ini. Pemilihan 9 anggota BPK dilakukan oleh DPR dengan pertimbangan dari DPDsedangkan pemilihan ketua dan wakil BPK dilakukan oleh Anggota BPK sendiri tanpa campur tangan DPR. Anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR tersebut lalu diresmikan oleh Presiden. Pada ketiga era UU BPK, pengisian jabatan BPK masih sangat jauh dari cerminan BPK yang independent. Era pertama, pengisian jabatan Anggota BPK masih menjadi kewenangan mutlak dari kekuasaan eksekutif. Pada era kedua UU BPK, pengisian jabatan Anggota BPK belum dapat dikatakan independent karena pemilihan anggota BPK merupakan kewenangan legislatif dan eksekutif. Hal ini dapat diartikan bahwa pengisian anggota BPK bagaikan pembagian roti kepada kekuasaan legislatif dan eksekutif yang didominasi oleh lembaga eksekutif. Kemudian pada era 2006 sampai sekarang, pengisian jabatan BPK dapat dikatakan sudah terlepas dari kekuasaan eksekutif namun tetap belum terlepas dari kekuasaan lembaga legislatif. Agar dapat mewujudkan BPK yang bebas dan mandiri dalam artian jauh dari campur tangan kepentingan eksekutif maupun politis maka UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK perlu dilakukan amandemen. Perubahan UU ini dilakukan baik sebagai tindak lanjut adanya Keputusan MKNo. 13/PUUXII/2013maupun yang memutus beberapa pasal terkait dengan pengisian jabatan Anggota BPK tidak memiliki kekuatan hukum, juga sebagai perbaikan atas pasal-pasal terkait proses pemilihan anggota BPK oleh DPR. Perubahan UU tersebut sangat penting dan segera harus dilakukan demi mewujudkan cita cita UUD 1945 setelah amanden yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Pemilihan anggota BPK memang menjadi kewenangan DPR seperti yang tertuang dalam UUD 1945 setelah Amandemen namun agar terhindar dari kepentingan politis dari lembaga legislatif tersebut seharusnya proses pemilihan dilakukan secara terbuka dimana rakyat dapat menyaksikan proses pemilihannya, bahkan rakyat dapat ikut terlibat memberi masukan atau usulan. Selain itu dalam mekanisme pemilihan anggota BPK haruslah dengan melibatkan beberapa lembaga penting lainnya seperti PPATK dan KPK. Untuk memperkaya khazanah pemilihan Anggota BPK maka diperlukan adanya penelitian dan penulisan tentang teori-teori pengisian jabatan dan pengisian pimpinan lembaga audit di beberapa negara sebagai perbandingan dalam membuat aturan baru terutama dalam hal pemilihan Anggota BPK, sehingga Anggota BPK terpilih dapat sepenuhnya independen dalam arti jauh dari kepentingan politik.
263
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Daftar Pustaka
Buku Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945. Cet. Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006. Arifin, Firmansyah, dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Sekretariat Jenderal Kepaniteraan MK, 2005. Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK Sebuah Panduan Populer. Jakarta: Biro Humas Dan Luar Negreri BPK. Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008. ––– . Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006. Atmadja, Arifin P Soeria. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: PT Gramedia, 1986. Azed, Abdul Bari. Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran. Depok: Badan Penerbit FH UI, 2000. Badan Pemeriksa Keuangan. ASEANSAI Dari sebuah Gagasan Menjadi Kenyataan. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2013. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. Ke-19. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998. Busroh, Abu Daud. Pemeriksaan Keuangan Negara. Jakarta: Bina Aksara, 1988. Daliyo, J.B. et. al. Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Prenhallindo, 2001. Ence, Irianto Baso. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaahan Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Cetakan ke-1. Bandung: PT Alumni, 2008. Funk, William F dan Richard H Seamon. Administrative Law: Examples and Explanation. Third Edition. New York: Aspen Publishers, 2009. Hakim, Lukman. Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia: Eksistensi Komisi-Komisi Negara Sebagai Organ Negara yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraaan. Malang: Program PascasarjanaUniversitas Brawijaya Malang, 2010. Hendratno, Edie Toet. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Ed. Pertama. Cet. Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Kusuma, A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Ed. Revisi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009. –––. Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiel “Orde Reformasi” Cetakan Pertama. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
Pengisian Jabatan Anggota BPK, Dumaria Simanjuntak
264
Prodjodikoro, Wirjono. Azaz-Azaz Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan Keenam. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1989. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Semua Harus Terwakili Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan lembaga Kepresidenan di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2000. Ranadireksa, Hendarmin. Visi Bernegara Arsitektur Konstitusi Demokratik. Oktober 2009, Bandung: Fokusmedia, 2009. Simanjuntak, Binsar Hamonangan dan Diana Chandra. Eds. Bunga Rampai Pengawasan kumpulan tulisan Dr Gandhi 1971-2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Cet. VI. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1989. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sudarmin. Pedoman tentang Pemeriksaan Kas dan barang Negara. Jakarta: CV. Genep Jaya baru, 1982. Sulaiman, Alfin. Keuangan Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dalam Perpektif Ilmu Hukum. Edisi Pertama, Cetakan ke-1. Bandung: PT Alumni, 2011. Sutedi, Adrian. Hukum Keuangan Negara/ Edisi 1, Cet. 2/ Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Tim BPK. Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan. Cet. I. Jakarta: Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, 1999. Tim Politik Dalam Negeri. Peran Politik DPR-RI Pada Era Reformasi. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2001. Tjitrosidojo, Soemardjo. Pemeriksaan Keuangan Negara di Dunia Internasional, terjemahan dari International Journal of Government Auditing, Jakarta: Pustaka ESTE, 1983. Wahjono, Padmo. Negara Republik Indonesia. Cet. Ketiga. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 beserta Perubahan. Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4654. ––– . Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4355. –––. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Lembaran Negara Republik
265
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4400. ––– . Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4286. Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK. Peraturan BPK No. 1 Tahun 2009.
Makalah Gandhi, Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara, Makalah yang disampaikan dalam lokakarya Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei 2000. Hariansyah, Safri ”Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia Sebelum dan Setelah Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Studi Perbandingan 8 Negara”, Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, 2014. Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden di Indonesia Sejak Sidang Dokuitsu Zyunbi Choosakai 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993: Suatu Tinjauan Formal Yuridis”, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1993. Putusan Mahkamah Mahkamah Mahkamah Mahkamah Mahkamah
Konstitusi, Konstitusi, Konstitusi, Konstitusi, Konstitusi,
Putusan Nomor 13/PUU-XI/2013. Risalah Sidang tanggal 6 Februari 2013. Risalah Sidang tanggal 21 Februari 2013 Risalah Sidang tanggal 21 Maret2013 Risalah Sidang tanggal 10 September 2013
.