Penggunaan dan Penyalahgunaan Kebudayaan di Indonesia: Kebijakan Negara dalam Pemecahan Konflik Etnis1 Irwan Abdullah (Universitas Gadjah Mada) Abstract The ethnic conflict in Indonesia is a sign of huge problems facing Jakarta and local areas Indonesia, therefore the explanation for its occurance cannot be produced without examining the central-periphery relations, which involve structural problems in constructing and maintaining power. Ethnicity, for instance,has become political commodity, which is constructed by central powers and made manifest through the concept of SARA (ethnicity, religion, race and inter-group relations). Thus, government tends to find and explain the root of ethnic conflict in ethnic cultural differences itself, whereby differences of ideology and life practices are viewed as the source of conflict. This article attempts to examine ethnic conflict by analyzing three main factors, which are first, the change in the balance of ethnic relations. Second, the imposition of a uniform politics in pluralistic society. Third, a weakening of traditional relationship and the credibility of local elites as a result of government intervention. Based on these three factors, this article concludes that ethnic conflicts are not only matters of ethnic cultural differences, but also are rooted much deeper in systematic mistakes in managing these differences and the conflicts itself ,where culture has been used for government’s political interests. We seem to be in need a new variety of politics, a politics which does not regard ethnic, religious, racial, linguistic, or regional assertiveness as so much irrationality, archaic and ingenerate, to suppressed or transcended, a madness decried or a darkness ignored, but, like any other social problem—inequality say, or the abuse of power—sees it as reality to be faced, somehow dealt with, modulated, brought to terms (Geertz 2000:245).
Banyak spekulasi yang dilakukan para ahli tentang masa depan Indonesia yang sebagian 1
Tulisan ini berasal dari makalah yang disajikan dalam panel: ‘Globalisasi, Konflik Sosial, dan Otonomi Kebudayaan Lokal’, dalam Simposium Internasional
34
melihatnya sebagai negara yang terus akan menghadapi masalah sosial yang rawan. Tidak Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18-21 Juli 2001.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
kurang dari George Soros, menyempatkan diri untuk menyebut Indonesia, dalam bukunya Open Society: Reforming Global Capitalism (2000), sebagai negara yang menyerupai negara-negara Balkan yang memiliki persoalan dalam stabilitas ekonomi dan politik. Bahkan Soros melihat Indonesia merupakan versi lain dari Yugoslavia yang menghadapi persoalan etnis. Kalau pertikaian etnis tidak mampu diatasi dengan komprehensif dan substansial, bayangan Soros tentu saja beralasan. Dalam beberapa tahun ini kita selalu ber-hadapan dengan persoalan yang sama, yang terjadi secara berulang dan meluas. Pertikaian orang Madura dengan penduduk lokal, misal-nya, telah terjadi berulangkali di Kalbar sejak tahun 1962 (lihat Kompas 20/12/2000). Sejak 1962 itu, pertikaian yang melibatkan etnis Madura, Melayu, Dayak, dan Tionghoa terus berlangsung pada tahun 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, 1999, dan 2000. Peristiwa yang terjadi di Kalimantan Tengah pada bulan Pebruari 2001 yang lalu merupakan contoh tentang betapa rumitnya persoalan etnis di Indonesia. Konflik etnis semacam ini tidak hanya terjadi di Kalimantan, tetapi juga di daerahdaerah lain di Indonesia. Konflik antara orang Aceh dengan Batak atau antara Melayu dengan non-Melayu di Sumatera Utara; pertikaian di Ambon atau di Papua. Pertikaian di Sulawesi Utara yang melibatkan Gorontalo atau Talaut dan di Jawa sendiri yang sarat dengan isu SARA. Serangkaian pertikaian itu merupakan gambaran yang jelas tentang pertikaian etnis yang sedang kita hadapi sekarang ini. Konflik penduduk lokal dengan pendatang sudah menjadi pertikaian yang umum di berbagai tempat, yang dalam kasus semacam ini hampir selalu melibatkan persoalan etnis. Contoh yang populer adalah konflik orang Jawa sebagai pendatang dalam program transmigrasi dengan
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
penduduk setempat. Program pemindahan orang Jawa dan Madura ke berbagai daerah di Indonesia telah memunculkan berbagai pertikaian secara langsung maupun tidak langsung. Berbagai implikasi muncul dari pertikaian dua etnis yang tidak hanya menjadi persoalan antaretnis yang bertikai tetapi meluas menjadi persoalan nasional karena itu menyangkut pemilikan dan pengelolaan sumber daya yang berimplikasi luas. Dari pertikaian semacam itu tampak bahwa kita bukan sekedar sedang menghadapi persoalan perbedaan dua etnis, tetapi persoalan struktural yang jauh lebih rumit. Pertikaian antara Madura dengan Dayak tentu terkait dengan persoalan pembagian sumberdaya, demikian juga dalam kasus transmigran dengan penduduk lokal, atau konflik antara Cina dan pribumi. Namun demikian, yang lebih penting bahwa konflik ini telah terjadi dalam suatu ruang sosial politik dan ekonomi tertentu yang bagaimanapun kondisi ruang itu telah membentuk karakter konflik itu sendiri. Saya mengasumsikan bahwa corak sistem sosial politik dan ekonomi pada tingkat nasional telah membentuk karakter konflik antaretnis pada tingkat lokal. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa perubahan corak sistem sosial politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh tekanan-tekanan global juga akan mengubah karakter persoalan etnis yang ada pada tingkat daerah. Persoalan etnis yang lahir ke permukaan dalam diskursus publik merupakan suatu constructed reality yang telah menjauhkan kesadaran publik tentang persoalan yang sesungguhnya terjadi. Pengetahuan publik tentang konflik merupakan pengetahuan yang bias oleh kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang mengendalikan kekuasaan. Studi antropologi dalam kaitannya dengan studi etnopolitik bertugas untuk meng-
35
ungkapkan makna-makna dari tindakan pelaku yang bertikai dengan melihat pada simbolsimbol komunikasi yang digunakan oleh suatu etnis yang bertikai. Cara ini akan memungkinkan kita untuk mengetahui apa persoalan yang sesungguhnya yang dihadapi oleh suatu etnis hingga melahirkan pertikaian di antara mereka. Apakah persoalan yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk resistensi penduduk dapat dilihat sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal atau internal? Untuk itu, tulisan ini mencoba mengkaji tiga persoalan pokok. Pertama, memaparkan potret konflik antaretnis seperti yang dikonstruksikan secara sosial dan bagaimana potret itu di decode oleh publik dalam berbagai bentuknya. Untuk ini saya akan menggunakan bahan-bahan tertulis, khususnya yang tampak dari presentasi media tentang konflik etnis yang berlangsung secara meluas. Satu isu penting di sini adalah menyangkut bagaimana perbedaan kebudayaan ditempatkan dalam isu etnis ini dan dalam cara-cara pertikaian dipecahkan. Kedua, menganalisis pertikaian sebagai constructed reality dengan melihat apa yang mendasari pertikaian itu, baik dalam konteks etnis itu sendiri (mikro) maupun dalam konteks makro di luar etnis. Untuk itu, konsep habitus dan structure Bourdieu menjadi sangat penting dalam mengarahkan diskusi sehingga dapat dianalisis apa yang dikatakan Bourdieu ‘the logic of practice’ Dengan cara ini diharapkan akan terjawab satu persoalan tentang mengapa dua kelompok etnis bertikai? Apakah pertikaian itu memiliki akar dalam hubungan antaretnis atau bersumber dari perubahan-perubahan dari kondisi sosial politik yang datang belakangan. Ketiga, menganalisis pengetahuan, sikap dan tindakan pemerintah terhadap konflik etnis itu. Adalah sangat naïf jika kita menerima argumen bahwa etnis itu tidak pernah berubah dalam perjalanan waktu yang telah memaksakan
36
interaksi suatu etnis dengan berbagai kelompok etnis lain dan dengan berbagai proses sosial yang berlangsung di luar dirinya sendiri. Selain itu, sangat aneh jika kita percaya bahwa interaksi antaretnis (seperti juga antarumat dan antarnegara sekalipun) tidak melahirkan perubahan dalam cara mereka memandang dan menerima satu sama lain. Dalam hal ini akan diuji bagaimana kebudayaan telah digunakan dan disalahgunakan dalam memahami dan memecahkan konflik etnis di Indonesia. Oleh karena itu, tugas ahli antropologi lah untuk meluruskan kesalahan dalam diskursus publik yang berlaku selama ini. Ketiga masalah itu secara berturut-turut akan dibahas dengan rinci dalam makalah ini yang kemudian ditutup dengan kesimpulan, khususnya untuk melihat peluang-peluang baru disiplin antropologi dalam memberi sumbangan bagi perkembangan Indonesia di abad mendatang.
Potret pertikaian etnis di Indonesia Pertikaian etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, masih cukup jelas dalam ingatan publik yang menewaskan hampir 400 orang (Kompas 8 Maret 2001).1 Kasus Sampit hanya salah satu contoh penting tentang keseluruhan proses sosial, ekonomi dan politik yang sedang terjadi dalam masyarakat kita secara umum. Untuk itu, dalam bagian ini saya ingin secara khusus membicarakan Sampit sebagai contoh dari kasus-kasus serupa di wilayah lain Indonesia dan juga sebagai sign untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang sedang terjadi di belakang kasus itu sendiri. Untuk itu saya akan mencoba mendeskripsikan sisi-sisi yang menarik di 2
Sejumlah foto yang memperlihatkan korban tergeletak tanpa kepala dan bagian tertentu dari tubuh beredar melalui internet yang secara tidak langsung dan dalam batas-batas tertentu telah memperkuat citra kekejaman suatu kelompok etnis yang dianggap sebagai pelaku.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
seputar peristiwa itu. Dalam menanggapi apa yang terjadi di Sampit, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa proses perdamaian konflik Madura dan Dayak terus diupayakan dan tokoh Madura dan Dayak sudah sampai pada kesepakatan bagi penyelesaian konflik (Kompas 24/2/2001). Pernyataan ini cenderung mereduksi persoalan besar di Sampit sebagai persoalan dua etnis yang bertikai sehingga dianggap dapat diselesaikan hanya dengan bertemunya wakil dari kedua etnis. Kesepakatan itu memang tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, paling tidak jika dilihat apa yang terjadi selanjutnya. Beberapa hari setelah pertikaian itu terjadi bahkan kondisi di Kalteng semakin tidak menentu akibat korban yang masih berjatuhan dan disusul aksi bentrokan aparat keamanan (Kompas Cyber Media 28/2/2001). Kesepakatan bisa saja dicapai untuk menghentikan korban dan kerugian yang lebih banyak, seperti selama ini terjadi dalam berbagai konflik etnis di Maluku, Kalimantan Barat, atau di tempat-tempat lain, tetapi jalan ke arah penyelesaian masih sangat jauh. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi hampir dua tahun sebelumnya, pada bulan Maret 1999, saat warga Madura juga mengungsi dalam jumlah yang hampir sama akibat pertikaian di Kalbar ( Kompas 29/3/1999), w a laupun kesepakatan pada saat itu juga telah dicapai. K o m e n tar lain diberikan oleh W apres M egawati saat wawancara berlangsung menyangkut tanggapannya terhadap apa yang sedang terjadi. Dalam kesempatan itu W apres m e m inta masyarakat ‘menetapkan pilihan hidup, apakah terus menerus dalam pertikaian atau hidup damai berdampingan’ (Kompas Cyber M edia 26/2/2001). Pernyataan ini memperlihatkan suatu asumsi bahwa pokok persoalan konflik itu berpulang pada dua etnis yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
bertikai. Dengan cara seperti ini maka pemecahannya bisa dilakukan dengan perdamaian atau dengan dialog dua kelompok yang bertikai. Kecenderungan ini menafikan suatu kemungkinan bahwa pertikaian yang sedang terjadi di Kalimantan Tengah ini, seperti pertikaian etnis di Ambon, Sambas, dan daerah lain di negeri kita, merupakan tanda dari adanya persoalan besar yang sedang kita hadapi di Jakarta dan di daerah. Oleh karena itu, penjelasannya tidak bisa dihasilkan tanpa melihat hakekat hubungan pusat-daerah yang menyangkut persoalan struktural dalam pembentukan dan pemeliharaan kekuasan. Sementara itu, tampak adanya sikap pesimis dan keprihatinan berbagai pihak tentang lambannya penanganan kasus Sampit ini. Keprihatinan itu didasarkan pada lambatnya tindakan aparat keamanan dalam menghambat jatuhnya korban dan kerugian yang lebih besar hingga pertikaian itu meluas ke Palangkaraya. Selain itu, pemerintah lambat dalam merespon tuntutan-tuntutan dan dalam mengatasi terjadinya perpecahan sehingga pemerintah dinilai incapable dalam menangani pertikaian etnis. Sikap sinis berbagai pihak atas lambannya penanganan pemerintah tentu saja harus dihargai sebagai kontrol bagi kinerja pemerintah. Apalagi kalau benar yang dikatakan Munir dari Kontras bahwa pada tanggal 21 Januari 2001 sejumlah tokoh Madura Sampit telah mengadu ke Presiden, Mabes Polri, Mabes TNI, dan DPR tentang bakal terjadinya pertikaian (Kompas 28/2/2001), maka kita sangat perlu prihatin. Lambannya penanganan ini sekali lagi menunjukkan visi politik yang tidak jelas dan kegagalan birokrasi pemerintah pusat dalam melayani kepentingan publik. Di berbagai tempat terdapat potensi konflik dengan tingkat aktualisasi yang berbeda-beda berdasarkan waktu. Perbedaan etnis yang merupakan fenomena masa lalu tidak hanya
37
mempengaruhi masa kini, tetapi masa lalu juga secara berkesinambungan dikonstruksikan kembali pada masa kini. Perbedaan etnis Dayak dan Madura itu bisa jadi bukan hal yang penting pada masa lalu, tetapi kemudian dihadirkan kembali pada masa kini dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dalam situasi tertentu. Demikian pula konflik-konflik etnis yang lain di tempat lain, situasi dan kondisi tertentu dapat mengakibatkan teraktualisasinya perbedaan dan konflik sejalan dengan kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai masing-masing kelompok atau pihak-pihak lain di luar dua kelompok. Konflik etnis yang terjadi di berbagai tempat itu menegaskan bahwa etnis tidaklah hadir dalam suatu ruang kosong, tetapi hadir dalam suatu parameter sosial. Etnis melekat pada kelas, gender, usia, wilayah, dan agama (Stanfield II 1994:175), atau pada sumberdaya (ekonomi) yang tersedia. Konflik suku Dayak dengan Banjar di Kalimantan Tengah tidak hanya dijiwai oleh perbedaan agama yang mengalami pengemasan oleh situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, tetapi juga oleh faktor-faktor ekonomi politik yang lain. Konflik Dayak dan Madura di Pontianak, seperti juga orang Raas (Madura) dengan orang Bali, tidak terlepas dari faktor kepentingan ekonomi. Dalam hal ini faktor etnis tidak hanya bersinggungan dengan faktor-faktor lain, tetapi cenderung berhimpitan satu dengan yang lain sehingga masalah etnis cenderung melibatkan serangkaian hubungan dengan parameter sosial yang beragam (Bradley 1996). Pola hubungan antaretnis itu ditentukan oleh tiga corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antaretnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis di Indonesia tersebar dalam wilayah-wilayahnya sendiri dengan batasbatas fisik (physical boundary) yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat
38
pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris tradisi dan wilayah. Demikianlah orang Aceh merasa memiliki Tanah Rencong, seperti orang Batak merasa memiliki Tanah Batak, orang Minang memiliki klaim terhadap daerah Minangkabau, atau orang Bali memiliki klaim terhadap pulau Bali, seperti orang Sentani, Serui, atau Amunge terhadap daerahnya di Irian. Setiap suku merasa menjadi tuan rumah dalam batas-batas fisik wilayah dimana mereka merasa sebagai pewarisnya, dan kesadaran ini mempengaruhi persepsi dan harapannya terhadap ‘orang lain’, yaitu suku atau kelompok lain di luar dirinya. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Orang Jawa dan Makasar atau Buton yang ada di Irian Jaya, atau orang Minang, Flores, atau Batak yang ada di Jakarta, orang Aceh, Banjar atau Dayak yang ada di Yogyakarta, tentu hidup dalam suatu lingkungan sosial yang didefinisikan bersama dengan etnis-etnis lain. Mereka pun sebagai pendatang memiliki kesadaran tentang batas-batas kebudayaan (cultural boundaries) yang sulit dipertahankan secara fisik (Appadurai 1991). Kadang-kadang dalam hal ini mereka terbingkai oleh suatu ‘kebudayaan dominan’ yang memayungi perbedaan-perbedaan dan memformat mereka sesuai dengan sifat-sifat kebudayaan dominan tersebut. Sementara di tempat lain masyarakat lebih bersifat heterogen dengan batas-batas etnis yang masih dapat dinegosiasikan secara terbuka. Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti suburb) yang dibuka di berbagai tempat yang menyebabkan terjadinya pertemuan antaretnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egaliter. Setiap etnis dalam wilayah baru semacam itu adalah pendatang, tidak ada yang bertindak sebagai tuan rumah. Masing-masing memiliki masa lalu yang berbeda-beda yang telah ditinggalkan dan dihadirkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang bervariasi satu dengan yang lain. Masa lalu, seperti cikal bakal yang sama, tidaklah dapat menjadi tali pengikat satu dengan yang lain dalam permukiman baru. Ikatan-ikatan tradisional cenderung tidak berlaku karena pengalaman tradisionalitas antaretnis berbedabeda, sehingga tidak dapat dikomunikasikan. Model komunikasi yang baru, dengan menggunakan simbol-simbol baru, terbentuk kemudian dalam proses interaksi sosial yang melahirkan subkulturnya sendiri.
Etnopolitik dan resistensi etnis terhadap kekuasaan Pertikaian antaretnis yang berlangsung secara berkala di Indonesia harus di lihat dalam perspektif yang lebih luas yang melibatkan agen sosial di luar etnis itu sendiri. Dengan kata lain, kita membutuhkan kacamata lain yang mampu melihat sesuatu di luar perbedaan kebudayaan sebagai sumber penjelasan pertikaian etnis. Apa yang dikatakan Geertz (2000:245) bahwa kita membutuhkan suatu varitas politik baru mengisyaratkan adanya cara pandang baru dalam memperlakukan etnis. Sebagai negeri yang sarat dengan beban kultural, Indonesia sesungguhnya sangat berhasil menata dirinya sendiri untuk masing-masing etnis menjadi bagian dari kesatuan yang lebih luas. Persoalan yang melahirkan pertikaian, lebih disebabkan oleh persoalan yang ada di luar etnis itu sendiri. Sejalan dengan itu, dapat dilihat tiga kondisi dasar yang menentukan hubungan antaretnis di Indonesia. Pertama, faktor keseimbangan
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
hubungan antaretnis yang berubah. Keseimbangan hubungan antaretnis memang tidak mungkin dicapai karena posisi ekonomi dan politik satu etnis dengan etnis lain sejak awal sudah berbeda, Masalah muncul ketika perbedaan itu semakin mencolok dan melahirkan ketimpangan secara meluas dalam penguasaan sumber daya. Etnis pendatang seringkali menjadi etnis yang lebih dominan dalam penguasaan sumber daya walaupun dari sudut jumlah mereka tergolong minoritas. Ketimpangan penguasaan sumber daya ini kemudian meluas ke dalam ketimpangan akses politik yang menyebabkan lahirnya dominasi suatu etnis. Dua hal yang berbahaya di sini adalah ketika kelompok etnis dominan mendapatkan privilese dari berbagi agen sosial, khususnya pemerintah, dan ketika kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) mulai muncul. Etnis setempat mulai sadar bahwa wilayah itu merupakan tanah air mereka yang mulai dijajah oleh orang luar. Dalam proses ini kelompok etnis yang mengalami subordinasi memiliki kesadaran kelompok dan identitas yang lebih besar dan mulai memperhitungkan batas-batas etnisitasnya. Penolakan masyarakat Dayak terhadap Madura dan menuntut mereka untuk meninggalkan wilayah Dayak (Kompas 26/2/2001) dapat dilihat sebagai usaha mengembalikan cultural boundary itu pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Pengusiran orang Jawa dari Aceh, dari Timor Timur atau dari Papua merupakan bukti konkrit gerakan kultural ini. Pertikaian di sini bukan disebabkan oleh perbedaan budaya dua etnis itu, tetapi oleh suatu sistem sosial politik yang tidak mampu menjamin keseimbangan kekusaan ekonomi dan politik antaretnis. Pemerintah dalam hal ini gagal memainkan dua peran. Pertama, gagal mengendalikan dominasi etnis tertentu dalam penguasaan sumber daya yang seharusnya
39
sangat perlu dilakukan melalui serangkaian kebijakan. Kedua, gagal meningkatkan human capital dan menjamin akses kelompok subordinat terhadap public goods. Memecahkan pertikaian dengan pendekatan semacam ini, membutuhkan redefinisi sistem politik secara mendasar, khususnya menyangkut kacamata politik baru dalam melihat perbedaan etnis. Kedua, pemaksaan politik uniformitas dalam masyarakat plural. Proses standarisasi yang dilakukan dalam kehidupan sosial politik telah melampaui batas-batas toleransi kultural karena bukan lagi merupakan proses penyadaran etnis sebagai bagian dari satu kesatuan sistem sosial yang lebih besar dengan identitas bersama, tetapi sudah sampai pada pengingkaran eksistensi dan identitas kultural etnis. Nasionalisasi yang berlebihan telah menafikan eksistensi nilai-nilai dan pranata sosial lokal. Tokoh adat kehilangan peran dan legitimasi, institusi lokal telah digantikan dengan sistem organisasi yang standar yang dibentuk pemerintah, sehingga melahirkan tekanan kultural yang dahsyat (Abdullah 2001). Chairil Effendi, seorang aktivis di Singkawang, pernah mengatakan bahwa pemerintah cenderung menutup ruang bagi kebebasan budaya lokal untuk berkembang sehingga nyaris punah. Krisis identitas dan keterasingan budaya ini katanya menimbulkan frustasi yang mendalam bagi penduduk lokal (Kompas,11/4/1999). Sikap sinis muncul di daerah terhadap sesuatu yang berasal dari pusat karena pusat dianggap selalu memaksakan definisi-definisi tentang kehidupan sosial, nilai-nilai dan peraturan, institusiinstitusi baru dan praktik sosial, yang mau tidak mau harus mereka terima. Tekanan-tekanan struktural semacam ini telah melahirkan gerakan tandingan atau resistensi budaya yang akhir-akhir ini mengejawantah dalam bentuk pertikaian. Dalam
40
hal ini, pertikaian etnis lebih merupakan protes sosial etnis terhadap dominasi pusat. Pertikaian kemudian menjadi alat politik etnis dalam menuntut terbukanya ruang kultural yang lebih luas sehingga eksistensi kultural etnis mendapatkan pengakuan (lihat J. Eller 1999). Orang Dayak dalam konteks ini bukan memiliki persoalan kultural dengan orang Madura, tetapi memiliki persoalan dengan pendekatan pemerintah yang terlalu represif dan mengingkari kedayakan dengan segala identitas kulturalnya. Proses semacam ini yang terjadi secara meluas menegaskan tingkah laku politik etnis kita selama ini. Ketiga, melemahnya ikatan-ikatan tradisional dan kredibilitas tokoh akibat campur tangan pemerintah yang terlalu besar. Kohesi sosial kelompok dalam masyarakat Indonesia telah terganggu akibat berbagai kebijakan yang sentralistis. Kebijakan pemerintah Orde Baru secara sistematis telah melucuti posisi dan peran tokoh-tokoh lokal. Ulama, ketua adat, dan tokoh informal sesungguhnya menempati posisi yang sangat penting sebagai ‘juru bicara’ bagi keduabelah pihak (bagi rakyat dan pemerintah). Ketiadaan mereka telah mengganggu proses komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Rakyat tidak lagi memiliki perantara dalam menyampaikan aspirasi, demikian juga pemerintah. Padahal kedua pihak ini memiliki bahasa yang tidak saling dimengerti. Terjadinya gap komunikasi di satu sisi dan hilangnya tokoh kharismatis yang menjadi panutan di lain sisi, telah menyebabkan tekanan dan keresahan secara meluas. Sementara itu tokoh formal tidak memiliki pengaruh yang luas karena ia tidak mengakar dalam sistem sosial setempat. Setiap pertikaian yang muncul akibat berbagai proses sosial politik, tidak dapat lagi dikendalikan karena pemimpin kharismatis dan mekanisme pengendalian sosial tidak lagi tersedia. Adalah sebuah romantisme saja jika
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
sekarang kita mengharapkan pertikaian dapat diselesaikan oleh tokoh dari dua etnis yang bertikai karena posisi mereka tidak lagi terlegitimisasi secara kultural dan struktural. Selama lebih dari 32 tahun hak-haknya telah dilucuti dan dialihkan kepada pemimpin formal melalui rangkaian undang-undang dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Kalau dilihat dari tiga dasar pertikaian di atas, maka pertikaian itu bukan semata-mata persoalan perbedaan budaya etnis, tetapi sudah lebih mengakar pada kesalahan kita dalam mengelola perbedaan dan konflik itu sendiri di satu sisi dan dalam mengelola kepentingan publik di lain sisi. Edward Azar menegaskan faktor pengingkaran kepentingan identitas kelompok sebagai faktor sentral dalam pertikaian etnis (lihat H. Starr 1999) yang kemudian membentuk kesadaran kelompok yang berlebihan dan eksklusi sosial. Apabila proses ini terjadi berkepanjangan sehingga menyebabkan konflik yang berlarut-larut, bayangan Soros tentang Indonesia yang menyerupai Yugoslavia perlu diwaspadai. Persoalan di daerah Balkan ini dimulai pada awal 1980-an, saat protes-protes mulai terjadi di daerah ini, pada saat Yugoslavia masih terdiri dari Slovenia, Croatia, Bosnia, Vojvodina, Serbia, Montenegro, dan Macedonia, yang merupakan daerah bekas jajahan Turki. Pertikaian etnis di wilayah ini telah menghancurkan kesatuan dan menimbulkan pada tahun 1991. Pengalaman Yugoslavia merupakan pengalaman paling pahit jika dibandingkan dua kasus lain di Eropa Timur, yaitu Uni Soviet dan Chekoslovakia. Kasus Yugoslavia yang penuh dengan kekerasan itu dapat dijadikan acuan analisis dalam usaha menemukan jalan yang lebih tepat dalam penyelesaian pertikaian etnis yang sedang dan terus dihadapi dalam waktuwaktu mendatang.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Politik negara dan manipulasi simbol etnis Berbagai etnis yang terdapat di berbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas karena keberadaan mereka yang telah bercampur baur. Mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan berhimpitan. Dalam masyarakat yang multietnis semacam itu, kesukubangsaan menjadi sesuatu yang ditegaskan dan dipertukarkan dalam serangkaian interaksi. Di satu sisi, kesukubangsaan merupakan potensi yang membentuk identitas dan ciri-ciri pembeda satu dengan yang lain, dari warna kulit, postur tubuh, bahasa, cara berbicara, persepsi, hingga ke gaya hidup. Di sisi lain, kesukubangsaan merupakan faktor penyebab konflik sosial karena identitas dan ciri pembeda tersebut di atas telah digunakan secara sosial tidak hanya sebagai ‘ciri pembeda’, tetapi sebagai faktor ‘pemisah’ (eksekusi sosial) antara satu etnis dengan etnis lain dalam suatu sistem sosial dan historis. Faktor eksternal lebih banyak berperan dalam munculnya konflik etnis. Dalam suatu lingkungan sosial, konflik dan integrasi dikelola secara bersama-sama dalam suatu interaksi sosial. Untuk melihat proses interaksi antaretnis dalam suatu seting sosial tertentu, ada dua hal penting yang dapat diperhatikan. Pertama, artikulasi keberadaan suatu etnis dimana kehadiran setiap etnis mengalami proses penegasan baik oleh etnis yang bersangkutan maupun oleh etnis-etnis lain yang ada di suatu lingkungan sosial. Ekspresi etnisitas bagi suatu etnis merupakan keberlanjutan masa lalu yang merupakan bentuk politik emansipatoris dan penegasan autentisitas etnis (Appadurai 1995). Politik emansipatoris merupakan suatu strategi etnis untuk menghadirkan kesukubangsaannya dalam suatu seting sosial yang cenderung
41
menghilangkan batas-batas etnis. Proses penegasan suatu etnis tersebut dapat pula dilakukan oleh lingkungannya atau oleh etnis lain untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam serangkaian proses sosial semacam ini, etnisitas bukan lagi merupakan sesuatu yang dibawa secara biologis, tetapi merupakan suatu konstruksi sosial yang keberadaannya berlangsung karena pemaknaan dalam serangkaian interaksi yang terjadi antara etnis satu dengan etnis lain atau antara satu etnis dengan pusatpusat kekuasaan yang ada. Kedua, keberadaan ruang publik yang menyebabkan perbedaan antaretnis mendapatkan pengikisan. Dalam suatu ruang publik tertentu, berbagai etnis belajar berkomunikasi dengan cara lebih dapat diterima secara umum di satu sisi dan setiap etnis pun di lain sisi belajar untuk menerima perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lain (Green 1995). Ruang-ruang publik yang terbentuk pada dasarnya memiliki potensi pengikat yang sangat kuat di dalam pembentukan solidaritas baru yang lintas etnis dan lintas budaya. Interaksi semacam ini selain akan menghilangkan perbedaan-perbedaan atau terjadinya penerimaan terhadap ciri-ciri yang berbeda, juga akan menghasilkan pengayaan-pengayaan dalam berbagai bentuknya. Ciri-ciri yang berbeda dapat saja kemudian tidak dinilai sebagai faktor pembeda yang memisahkan satu etnis dengan etnis lain tetapi dianggap sebagai variasi yang memperkaya lingkungan sosial mereka. Pengayaan-pengayaan akan terjadi pada saat penyerapan bentuk-bentuk ekspresi satu etnis diadopsi oleh etnis lain yang seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari ekspresi seseorang atau sekelompok orang. Proses semacam ini memiliki potensi dalam pembauran antaretnis dalam lingkungan sosial tertentu. Ruang-ruang publik yang tersedia dalam berbagai bentuk me-
42
mungkinkan komunikasi budaya berlangsung dengan baik melalui pembentukan simbolsimbol. Simbol komunikasi antaretnis merupakan kunci dalam proses pembauran. Manusia sebagai mahluk simbolis cenderung hidup dalam proses menciptakan simbol dan membaca atau memaknai simbol-simbol dalam proses interaksi. Simbol tentu saja mengalami suatu proses konstruksi yang berlangsung secara dinamis. Walaupun berbagai simbol telah tersedia dalam kehidupannya, proses pemaknaan dari simbol tersebut dapat berkembang sedemikian rupa, sehingga suatu simbol dapat dikonsepsikan secara berbeda berdasarkan pada generasi berbeda. Makna-makna simbolis ini akan diberikan berdasarkan interpretasi, sehingga sangat memungkinkan jika interpretasi tersebut berbeda antara satu generasi dengan generasi lain. Di satu sisi, simbol-simbol yang dimiliki oleh satu etnis belum tentu dapat dimaknai oleh etnis yang lain atau pemaknaan yang dilakukan menyimpang dari makna yang dikonstruksikan oleh pemiliknya. Di sisi lain, satu simbol memang secara prinsipil memiliki makna acuan yang berbeda antara satu etnis dengan etnis lain, sehingga konflik sosial mungkin saja terjadi pada saat satu simbol dipakai dan kemudian disalahtafsirkan oleh kelompok yang lain. Penafsiran suatu simbol dilakukan oleh setiap orang atau etnis berdasarkan kebudayaan yang dimiliki sehingga pemahaman tentang kebudayaan masing-masing etnis sangat perlu dilakukan (Ahimsa-Putra 1999:10). Dalam konteks semacam ini sangat perlu diperhatikan bagaimana suatu simbol dapat dimiliki bersama sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama pada saat suatu simbol digunakan dalam proses komunikasi. Simbol-simbol ini pun mengalami pelestarian pada saat ia dianggap fungsional dalam memenuhi kepentingan-
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
kepentingan bersama. Sejalan dengan proses pembentukan simbol komunikasi ini, ciri-ciri lingkungan tempat sejumlah etnis berada merupakan konteks yang sangat menentukan. Konteks sosial dalam hal ini memberi kerangka dan membentuk karakter etnis dan hubungan antaretnis. Dalam kasus kebudayaan dominan, lingkungan sosial memberi pengaruh yang besar dalam membangun suatu komunikasi budaya dalam proses interaksi antaretnis. Sejalan dengan ini, setiap lingkungan sosial memiliki latar belakang historis yang penting untuk dikaji dan memiliki realitas obyektif (Berger dan Luckmann 1979) yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki daya paksa terhadap setiap anggotanya dalam proses integrasi sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa satu fakta penting yang sering diingkari adalah keberhasilan setiap etnis untuk hidup berdampingan dengan etnis lain. Dalam lingkungan yang multietnik yang memiliki ekspresi etnisitas yang berbeda-beda dengan asal usul yang berbeda, mungkin saja terdapat simbol universal yang dapat dikode atau dibaca oleh hampir semua anggota, sehingga dengan simbol ini mereka dapat memelihara sistem sosial yang tertata. Simbolsimbol komunikasi yang dibangun bersamasama, tentu saja ditanamkan dan dipelihara keberadaannya dalam suatu ruang publik (public space) melalui proses negosiasi dalam serangkaian interaksi sosial. Dalam interaksi sosial antaretnik tersebut, simbol-simbol dapat dipertukarkan yang menyebabkan terjadinya penyerapan dan pengayaan ekspresi kebudayaan suatu etnis dalam lingkungan yang pluralistik. Dengan demikian, perbedaan tidak selalu menimbulkan konflik antaretnis karena persinggungan atau perhimpitan antaretnis ini telah memperkaya masing-masing etnis dengan
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
penguasaan bahasa, pengembangan kepribadian, pengayaan wawasan, pendewasaan, keterbukaan, dan berbagai praktik sosial yang lebih akomodatif.
Penutup Dari uraian di atas tampak bahwa bukan hanya basis konflik yang menjadi isu penting dalam hubungan antaretnis, tetapi juga basisbasis akomodasi sosial yang memungkinkan terjadinya pembauran yang secara langsung berguna sebagai model pengelolaan konflik secara lebih luas. Berbagai basis akomodasi kultural yang merupakan sumber dalam mengatasi berbagai konflik perlu dianalisis keberadaannya. Usaha ini dapat dimulai dengan melihat kembali bagaimana konstruksi sosial dari etnisitas itu. Ciri-ciri lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam artikulasi sifat dasar etnis dan dalam mengkonstruksi kembali apa yang disebut sebagai etnis itu sendiri. Ruang sosial yang merupakan ruang publik merupakan tempat di mana berbagai perbedaan dipertemukan yang kemudian mengalami pembauran atau penegasan. Dalam proses interaksi antaretnis, selain terjadi proses kontekstualisasi dengan cara mengurangi ciri-ciri yang membedakan satu dengan yang lain untuk tujuan integrasi atau pembauran, juga terjadi proses pelestarian dan penegasan perbedaan itu. Keduanya dapat menjadi proses sosial yang berjalan seiring tanpa dapat dipisahkan. Sebagaimana ditunjukkan Kappus (1997) bahwa etnisitas memiliki keberlanjutan yang dihadirkan kembali dalam kehidupan masa kini. Dalam berbagai kasus, ciri-ciri pembeda lebih merupakan alat dalam eksklusi sosial sehingga bukan etnis itu sendiri yang menjadi acuan, melainkan atribut-atribut yang terkait yang merupakan stereotipe masa lalu. Atribut tertentu seringkali digunakan untuk menegaskan perbedaan atau pengingkaran sosial
43
(social exclusion) atas suatu kesempatan. Terlepas dari adanya proses yang menghadirkan etnisitas dalam suatu lingkungan sosial dan kemudian perbedaan itu ditegaskan untuk serangkaian kepentingan, satu etnis dengan etnis lain memiliki titik pertemuan yang memungkinkan mereka mempertukarkan nilai dan berbagai kesepakatan. Dalam ruang sosial yang penuh dengan simbol yang mendukung proses komunikasi dan pertukaran sosial yang seimbang terdapat serangkaian definisi dan makna dari persamaan dan perbedaan antaretnis. Wacana publik selama ini justru telah menekankan perbedaan budaya sebagai faktor pemisah dan menafikan bahwa budaya memungkinkan kelompok-kelompok orang berkomunikasi karena memiliki aspek-aspek kehidupan yang dipertukarkan. Perbedaanlah yang menyebabkan sekelompok orang dapat menghargai yang lain karena ada sesuatu yang diberi dan diterima dalam pertukaran sosial
antaretnis. Sebaliknya, proses stereotipe secara umum telah menjadi penegas perbedaan yang memisahkan antar kelompok yang berujung pada disintegrasi. Dalam hal ini pendidikan dan pengalaman hidup sehari-hari telah menyumbang pada kesalahpahaman dalam melihat perbedaan kebudayaan sebagai sumber dari pertukaran dan kerjasama antar kelompok. Pusat kekuasaan seperti yang ditunjukkan oleh Donald Horowitz (2001:50), telah bertindak deterministik dalam membentuk citra tentang sifat dasar perbedaan sebagai potensi konflik. Dibutuhkan suatu kesadaran dan gerakan kultural yang sistematis untuk menggantikan paradigma sosial yang cenderung melihat perbedaan sebagai dosa. Kita agaknya harus belajar pada sikap bijak orang-orang Dayak, yang dalam keadaan terjepit pun masih dapat melihat secara jernih bahwa konflik mereka dengan Madura bukan karena perbedaan di antara mereka, tetapi karena kekuatan yang tak pernah mampu mereka lawan bersama.
Kepustakaan Abdullah, I. 2001 ‘Teori dan Praktik Komunalisme: Krisis Ekonomi, Sumber Daya Lokal dan Respon Sosial di Sriharjo, Yogyakarta’, dalam F.von Benda-Beckmann dkk. (peny.) Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 297–312. Ahimsa-Putra, H.S. 1999 Pola Komunikasi Budaya Antaretnis. Makalah disampaikan dalam Pembinaan Teknis Sosial Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, Bogor, 16 Juni. Appadurai, A. 1991 ‘Global Ethnoscape: Notes and Queries for Transnational Anthropology’, dalam R.G. Fox (peny.) Recapturing Anthropology . Santa Fee, NM: School of American Research Press. 1995 ‘The Production of Locality’, dalam R. Fardon (peny.) Counterworks: Managing the Diversity of Knowledge.London: Routledge. Berger, P. dan T. Luckmann. 1979 The Social Construction of Reality. New York: Penguin Books. Bradley, H. 1996 Fractured Identity:Changing Patterns of Inequality. Cambridge: Polity Press.
44
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
Eller, J. 1999
From Culture to Ethnicity to Conflict. Ann Arbor:The University of Michigan Press.
Geertz, C. 2000 Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics. New Jersey: Princeton University Press. Green, J.W. 1995 Cultural Awareness in the Human Services. Boston: Allyn and Bacon. Horowitz, D.L. 2001 The Deadly Ethnic Riot . Berkeley: University of California Press.. Kappus, Elke-Nicole. 1997 ‘Changing History: Ethnic Identity Management in Treste’, dalam C. Govers dan H. Vermeulen (peny.) The Politics of Ethnic Consciousness. London: MacMillan. Soros, G. 2000 Open Society: Reforming Global Capitalism. Starr, H. 1999 The Understanding and Management Global Violence.London: MacMillan. Stanfield II, J.H. 1994 ‘Ethnic Modelling in Qualitative Research’, dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln (peny.) Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications.
ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001
45