Penggunaan dan Penyalahgunaan Cerita Berpigura∗ Andrea Hifran†
Sedikit terlambat. Pinggiran kolam belum penuh orang. Tapi Mas Trisno terlihat bersungut-sungut menjinjing kotak perlengkapannya, menghampiri meja panitia. Bukan salahku kalau lomba memancing itu, sampai kiamat, akan tetap membosankan. Bukan salahku kalau aku pura-pura lupa hari Minggu ini ada acara. Sesampai di kolam, toh aku ditelantarkan. Laki-laki tak berperasaan! Peserta berjejalan di tepian, sibuk mengurai umpan, lalu ribut berebut tempat kail didaratkan. Sama konyolnya dengan adu layangan. Ini masih mendingan. Mas Trisno pernah dua minggu mancing sampai—ngakunya—Danau Towuti, tanpa pamit, tanpa teman. Kegemaran masa kecil yang keterlaluan. Kalau saja aku ibu rumah tangga biasa, pasti Mas Trisno sudah kutuduh selingkuh. Aku lihat sekitar. Jelas sekali, hanya beberapa peserta yang membawa-serta istrinya. Tidak ada hobi yang lebih egois dibanding mancing. Aku berbalik ke Barat kolam, mendekati pujasera bernama ‘Timur Jauh’, melewati spanduk: ‘Mancing Yuk! // Danres Cup 2007’ yang terbentang di atas pintu masuk. Kupilih tempat duduk di sisi dalam. Belum cukup siang. Matahari ∗ http://hifran.wordpress.com/2009/08/24/framed/ † andrea·hifran gmail·com a
Framed
a andrea·hifran gmail·com
masih menerobos beranda. Terik. Ternyata ini bukan pujasera. Tidak ada deretan stan makanan. Hanya ada satu meja kasir. Ini restoran, sendirian, berdiri di bawah bangunan semi permanen dengan hampir semua dinding terbuka. Kalau kolam tidak dikepung pepohonan, kalau sekarang kemarau dan rumput menggundul, debu bisa berarakan masuk. Kutuju meja larik tengah. Tidak terlalu menempel ke meja kasir. Tidak juga terlalu jauh dari televisi yang menggantung di atas kepala kasir. Tas kuletakkan. Aku duduk. Berusaha santai. Ke kasir kulambaikan tangan. Si kasir mengangguk. Beberapa detik kemudian satu pelayan perempuan sudah berdiri di sampingku, mengulurkan menu. “Biasanya selesai jam berapa, lombanya?” kutanya pelayan. “Kurang tahu, ya, Bu. Saya masih baru di sini,” jawabnya. “Jus sirsak aja, satu,” pesanku. “Teruuus ...,” kutunjuk kalamari yang dimakan satu-satunya pengunjung lain di dekat pintu masuk, “kayak itu, tapi enggak usah pake saos macem-macem. Sambal abe-ce aja,” lanjutku, sama sekali tanpa melihat menu. Dia menuliskan sesuatu pada kertas di telapaknya. “Ditunggu sebentar, ya, Bu,” sambungnya sambil setengah merenggut menu di genggamanku. Aku mengangguk, membiarkan pelayan berlalu. Aku tidak lapar, tapi malas saja kalau kelamaan menunggu pesanan. Kutatap televisi. Ada drama Asia Timur Raya. Dari tadi tidak ada iklan. Suaranya keras tapi layar televisi terlalu kecil untuk memampangkan terjemahan. Entah apa yang diomongkan. Lamalama, ucapan pemeran jadi aneh: ‘mereneyo’, ‘cangkem mangan yo’, ‘nunggu ae yo’. Pelayan yang tadi sudah datang, menurunkan jus dari nampan. “Silakaaan,” ucapnya ketika sepiring kalamari dia geser ke meja, disusul sebotol sambal. Kuucap, “Terima ka...,” waaah! Ini salah pesan, namanya. Bukan kalamari yang dia sajikan, tapi gorengan bawang. “Mbak! Tadi saya pesen cumi goreng, kan? Kok ....” “Ibu tadi pesan onion ring.” — 2 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
“Kalamari, Mbaaak! Ya ampooon!” Aku geregetan. Dia merengut, berusaha melarikan matanya dari tatapanku. Lalu, “Baik. Maaf ya, Bu, ya. Ditunggu sebentar, Ibu,” sambungnya seraya menarik piring di depanku. Kudekatkan gelas jus. Kuemut sedotan. Kutarik seteguk. Manisnya minta ampooon. Seseorang di pengeras suara membuat pengumuman. Ikan berhadiah pertama sudah tertangkap: kipas angin. Tepuk tangan dan suitan sambung-menyambung dari kolam. Aku tambah geregetan. Kulihat kasir dan pelayan perempuan tadi saling bersitegang. Suaranya masih ditenggelamkan keriuhan. Lalu, mengejutkan!, si pelayan membanting nampan. Pelayan tergopoh-gopoh memutari meja kasir. Dengan alis tertekuk dia menghambur ke arahku. Di tempat asalku, ini artinya hanya satu: seseorang sedang cari gara-gara. Aku bersiaga. Apapun masalah dia, bukan aku pangkalnya. Bukannya dia menyemprotku. Kursi di kananku justru dia tarik lalu dia duduki. Dia menunduk, menenggelamkan wajahnya ke atas lipatan tangan di meja dan menggeser-gesernya. Nafasnya tersendatsendat. Menangis. Si pelayan tersedu. Lama. Sampai tepuk tangan dari kolam reda. Beberapa saat lalu aku layak bersiaga. Sekarang, tanganku tahutahu sudah mengelus-elus punggungnya. “Bisa bicara sebentar, Mi?” terdengar suara laki dari depan. Si kasir. Senyumnya ke arahku tapi tidak kata-katanya. “Tami!” suaranya jadi hardikan. Tangannya mulai menyentuh tangan Tami si pelayan. Tami menegakkan punggung, lalu bicara keras, “Sudah saya bilang, berhenti ya berhenti! Saya mengundurkan diri. Oke? Sekarang ... saya ini tamu. Saya pesan spesial-hari-ini, tapi terasinya yang banyak.” Tinggal aku yang duduk dalam restoran. Tidak ada yang menjadikan bekas pelayan ini tontonan. Dia makin keras teriak, setengah menantang. “Lalapnya jangan pakai leunca. Sudah pada layu, leuncanya. Sama es jeruk. Ayo! Saya bayar. Dipikir enggak kuat bayar, apa? Saya juga tamu di sini. Katanya tamu itu raja? Yang sigap, dong! Enggak malu sama kakak saya ini?” Dia — 3 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
melirikku. Aku bukan kakak Tami, pastinya, tapi ... entah kenapa, aku ikutikutan melotot ke si kasir, orang yang baru saja resmi jadi mantan bosnya. Aku rangkul Tami. Si bos akhirnya mengalah, mengangguk, sedikit senyum, melangkah mundur. “Maaf soal yang tadi, ya, Kak,” Tami bilang. Matanya masih berair. “Sebenarnya, aku tadi sengaja. Aku udah enggak tahan, Kak.” Dia menyedot ingus. Aku ulurkan tisu. Dia menghembus ingus. “Kemarin lembur dua sif. Tadi, pagi banget, udah disuruh bantubantu nandain ikan yang ada bonusnya. Jadi, wajar dong kalau ada uang tambahan? Ini¿ Enggak ada sama sekali.” Dia tertegun, lalu menatapku. “Kok jadi curhat, gini, ya? Maaf, Kak, ya. Sebentar lagi pesanan Kakak datang, kok.” Tadi sudah aku kutuki dia dalam hati, gara-gara keteledorannya, disengaja atau tidak. Sekarang, aku mendadak iba. “Enggak papaaa,” lanjutku sambil tersenyum. “Enggak lapar-lapar amat, juga.” Dia balas senyum. Dahinya yang sempit dan kepalanya yang bulat membuat mukanya seperti boneka porselen. Matanya yang berkantung dan kulitnya yang kuning membuat mukanya seperti artis pantomim. Dia masih muda. Harusnya belum genap dua lima. “Bukannya mau usil, tapi kalau ingin cerita, cerita aja,” aku perpanjang percakapan. Daripada tidak ada kerjaan. Daripada nonton drama Asia yang bahasanya mirip Jawa Suroboyoan. Dia diam. Menekuk alis. Menyelipkan bibir bawah di balik bibir atas. Memeriksa dengan seksama setiap senti kulit mukaku. Raguragu. “Cerita aja. Siapa tahu aku bisa bantu,” sambungku. Dia keluarkan ponsel dari saku kemeja seragamnya—walau bukan lagi karyawan, dia belum sempat ganti baju. Dia tunjukkan layar ponsel. Satu foto, dia dan dua orang perempuan berpose di sebuah fotoboks. “Semua gara-gara dua bencong ini. Dasar bencong! Padahal, dulu itu, kami akrab-akrab banget juga enggak. Kenal pas lagi sama-sama kursus Inggris. Aku tamat level intermediate. Cabut. Hilang kontak. Eh, mereka yang nyamperin. Dan mulai bermunculanlah masalah.”
— 4 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
“Mereka bencong?” sahutku sambil mengawasi kedua foto di ponsel. “Ya enggaklah, Kak. Mereka pere juga.” “Ooo ... kirain ....” Ternyata panggilan sayang ke teman. Untuk selanjutnya, lebih baik aku diam dulu sampai dia selesai curhat. “Bencong-bencong ini memperalatku, menjadikanku pekerja paksa. Jadi, di saat-saat tergelap, mereka datang, kucluk-kucluk-kucluk, mengajak patungan mengontrak rumah. Padahal, mereka sudah tahu, tuh; kalau aku susah hidup enggak teratur, enggak tahan lihat barang-barang berantakan. Sudah, kan? Tinggal tunggu kesempatan, lalu hap!, aku dijerat. Nasibku. “Ceritanya begini, Kak. Aku dulu pernah diusir, kan? Secara halus, sih. Dari rumah istri mendiang abangnya mendiang ibuku. Rumahnya itu kecil. Tempatku numpang tidur—dan kadang makan— gratis. Katanya, kamarku yang nempel ke gang mau dijadikan kios kelontong. Roda kehidupan makin berat kalau hanya mengandalkan pensiunan pos dan giro Tulang. Sudah kutawarkan tabunganku. Bude menolak. Dia butuh penghasilan tambahan, bukan tambal sulam, katanya. Aku kehabisan alasan, kan? “Besoknya, pucuk dicinta bencong tiba. Pagi buta, Bencong Satu, Regina si gadis bar meng-SMS-ku. Beberapa jam selanjutnya, Bencong Dua, Neti si penjaga gerai ponsel menyodoriku setumpuk fotokopian brosur rumah kontrakan. Selanjutnya, semua mengalir begitu saja. Bersenjatakan ‘rumah ini begini tapi sayangnya begono makanya beganu’, aku digiring untuk memilih satu bangunan, setara tipe tiga enam, tanpa pekarangan. Kamarnya dua. Yang satu kutempati. Satunya lagi digilir, ditiduri kedua bencong itu yang jam kerjanya beda dua belas jam. Meski enggak bising kendaraan secarah jalan hanya muat semobil, rumahnya nempel sama lapangan klub bulutangkis. Lapangannya kedap angin, memang, tapi enggak kedap suara. Anggota klub kebanyakan pegawai negeri yang jam kerjanya suka-suka. Sore sampai lepas tengah malam berisiknya suka-suka. “Aku tidak berhak protes soal polusi suara karena dua bencong itu juga baru tahu setelah pindah. Tapi aku berhak protes ketika handuk tidak pernah sampai ke jemuran, cucian selalu meleset, bertumpuktumpuk dekat keranjang yang sudah kusiapkan. Belum lagi odol atau lulur yang kadang tercebur sampai dasar bak mandi. Yang rutin, — 5 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
piring plastik bergeletakan di depan teve, lengkap dengan kilatan lemak atau basian kuahnya. Setiap sore. “Andai rumah kontrakan itu punya tempat cuci piring khusus seperti di sini, atau paling tidak, dapurnya muat wastafel, satuuu aja. Andai rumah itu lebih lapang, jadinya barang-barang yang bergeletakan tidak membuatnya terlihat seperti gudang. Andai tidak telanjur kusetor tiga juta untuk patungan setahun. Andai Bang Helmi— pemilik toko besi ujung jalan—akhirnya tidak hanya melirik Neti, tapi mau menembaknya dan menyirinya atau menyimpannya, lalu rumah jadi sedikit sepi, lalu .... “Maaf, Kak. Kalau lagi tertekan, bawaanku memang begini; ngayal enggak jelas ke mana-mana. Enggak terkecuali sore itu. Aku baru selesai beres-beres, kan? Tinggal mengosongkan tempat sampah ke tong. Senyampang masih jam tujuh malam. Senyampang tukang sampah belum datang. “Kalau soal sampah, di awal pindahan Neti masih bisa menunggu kalau tempat sampah belum kulapisi kresek. Ina yang tidak. Akhirnya Neti ikutan masa bodoh sama tempat sampah yang corengmoreng dan bau busuk kalau dibiarkan dua tiga hari. Aku yang dapat berkah mencucinya—selain piring dan baju mereka. Setarakah semua itu dengan imbalan satu kamar pribadi?, yang selalu mereka ungkit tiap kali gerutuanku bertubi-tubi? Enggak, kan? Enggak adil, kan? Harus ada perubahan, kan? “Saking jengkelnya, aku sampai berkhayal aku terperosok di adonan semen dari tumit sampai leher. Selama sejaaam aja, aku ingin jadi tak berdaya, meski pura-pura. Tapi sampah tetap harus dibuang. Masalah tidak bisa dipecahkan dengan khayalan. “Tempat sampah kujinjing dengan jijik, kutuang di tong dengan terburu. Tiba-tiba ada orang datang. Orang itu nanya, apa dekat rumah ada kontrakan. Setahuku sih, enggak. Ya, sudah. Enggak ada yang bisa kulakukan. “Dia ngedumel, ‘Ah, sayang banget. Padahal saya hanya nyari yang bulanan.’ Kontrakan bulanan? Begitu mendengarnya, tempat sampah—aku enggak bohong—tiba-tiba tak tercium semerbak busuknya. Satu gagasan menempel di benakku. “Kuteriakilah dia, kan? ‘Mau bulanan aja, Bang?’ Dia hanya mengangguk. ‘Satu kamar aja, kan?’ kutanya lagi. Sudah dasarnya — 6 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
pendiam, dia mengangguk lagi. ‘Kalau hanya kamar, di sini ada. Di sini. Rumah ini,’ sambungku nekad. Apa yang terjadi, terjadilah: kata Titik Puspa. “Kutawarkanlah kamarku. Kamar itu, kubilang ke dia, sebenarnya bisa dikosongkan kapan saja selama sudah dibayar di muka. Enggak tahunya, dia mau. Itulah anehnya. Dia mengaku bekerja—atau bercita-cita—menjadi musisi. Perkiraanku, musisi suka ketenangan atau perlu ketenangan untuk bikin lagu. Makanya, daripada ribut belakangan, kukasih-tahu kalau malam-malam tetangga sebelah berisiknya keterlaluan. Kusuruh dia menunggu. Ketika ribut-ribut mulai terdengar dari klub bulutangkis, ternyata dia tidak berubah pikiran. “Begitu uang sewa dia bayar, barang-barangku langsung kupindahkan ke kamar sebelah. Seperti diburu waktu, si musisi bernama Dian ini langsung pindahan malam itu juga. Tak kusangka secepat itu. Ina memang sudah berangkat kerja, tapi Neti sebentar lagi balik dari rumah cowok-entah-ke-berapanya. Harus sesegera mungkin kupikirkan alasan kenapa berani-beraninya kutampung penumpang gelap. “Sembari berpikir, aku pinjam KTP Dian—nama lengkapnya Yudianto Darmowiwoho—yang kemudian kufotokopi dan kubawa lapor ke Pak RT. Kubilang ke Pak RT kalau di rumahku ada sepupu yang mau numpang sementara. Eh, Pak RT bilang enggak perlu mengarang bebas. Komplek sudah kelewat sepi. Komplek itu mulai dipasarkan akhir ‘60an. Pemilik pertama sudah pada meninggal tapi anak-anak mereka lebih memilih pindah. Penghuni komplek makin menyusut, harganya makin anjlok, dan kata Pak RT, kalau dibiarkan, rumah-rumah kosong makin rawan jadi sarang preman. Jadi, selama penghuni baru tidak pakai celana ngatung atau cadar, dan iuran bulanan dibayar, tidak masalah siapapun yang tinggal. Semakin ramai, semakin bagus. “Sekembalinya dari rumah Pak RT, kutemukan Neti sudah berakrab-akrab dengan Dian di dalam kamarku, bekas kamarku, yang sudah terisi barang-barang pribadi Dian: satu sarung gitar yang masih terisi, satu laptop masih dalam tas, satu set ampli belum tercolok, satu ransel besar yang belum dibongkar. Kalau Neti sudah setuju tanpa dibujuk-bujuk, berarti Ina juga bukan masalah, pikirku. Meski kami terpaksa sekamar bertiga, aku merasa tenang. Aku bersiap — 7 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
menantikan perubahan. “Terbukti, Ina yang baru pulang pagi sebelum aku berangkat kerja sama sekali tidak kaget mendapati laki-laki di rumah. Kukira Ina sedang dalam pengaruh alkohol—dia suka meracau begitu sampai rumah kalau lupa minum teh hijau pas kerja. Tapi setelah sorenya bangun, Ina enggak hanya tenang, tapi ikut kecentilan seperti Neti, sok akrab sama Dian. Bukannya aku cemburu atau apa, Kak. Aku bukan tipe yang bisa menyukai orang begitu cepat. Aku hanya iri sama bencong-bencong itu. “Enggak munafik, bukan sekali dua kali aku berduaan sama lelaki sambil telanjang—di ruang tertutup, tentunya. Tapi aku bukan Ina yang selama kuliah pariwisata tinggal di kosan cewek-cowok. Aku juga bukan Neti yang suka ‘ketiduran’ di rumah pacar-pacarnya. Aku sama sekali tidak pernah seatap sama laki-laki—kecuali adikku. Untuk keluar masuk kamar mandi aja, aku jadi sangat tidak nyaman. Seperti terus-terusan diintip dari lubang kunci. Terlebih, Dian lebih banyak di-rumahnya dibanding keluarnya. “Dian hanya kerja akhir pekan; berangkat Jumat sore, pulang Senin subuh. Di hari biasa, dia anak rumahan. Kalau Dian sedang di rumah, Ina sama Neti seperti mengatur jadwal berduaan. Kadang kuintip mereka—pintu kamar Dian enggak pernah ditutup rapat supaya asap rokok tidak bikin pengap. Bencong-bencong itu bisa santai bergeletakan di kasur, ketawa-tawa, atau pura-pura kagum melihat Dian berlatih. Padahal kalau lagi latihan, jarang sekali terdengar suara gitar listrik keras-keras. Dian lebih suka menyalurkan suara ampli ke hedpon. “Tapi senajis-najisnya kelakuan bencong-bencong itu, perubahan memang terasa. Dalam waktu kurang dari seminggu, tidak ada lagi piring bergeletakan, atau handuk dekil di gantungan, atau daleman bertumpuk-tumpuk dekat keranjang. Uang bulanan dari Dian kupakai untuk jasa cuci kiloan. Rumah jadi bersih, rapi, tertata; semuanya bahagia. Akhirnya datanglah saat-saat tenang yang kudambakan. Kalaupun lembur, aku bukan lagi kerja bakti mengurusi pekerjaan rumah yang harusnya bukan tanggunganku—waktu itu aku juga pelayan restoran; hanya itulah lowongan yang enggak menuntut ijazah macam-macam. “Ketenangan hanya tahan sebulan. Ina dan Neti awalnya hanya — 8 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
main-main. Lama-lama, goda-godaan mereka ke Dian jadi serius, apalagi setelah Dian memarken klip bandnya di teve lokal. Awalnya, mereka diam-diaman, tapi saling menjelekkan dan bahkan menghasut. Kalau ketemu, mereka saling sindir enggak penting. Akibatnya, mereka jadi jarang di rumah. Dalam hati sih, jujur, aku malah senang. Tapi entah kenapa, Dian enggak. “Dia sepertinya merasa bersalah. Setelah Ina menghilang tiga hari, Dian tahu-tahu pergi. Kamarnya kosong. Hanya ada pesan tertulis, tidak berisi apa-apa selain pamitan. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi—satu-satunya nomor yang kutahu dari tiga ponsel Dian selalu melboks. “Setelah Dian pergi, kukira keadaan bakal balik lagi. Kamarnya sudah kukembalikan ke posisi semula; kecuali sederet bungkus rokok yang dideretkan Dian di atas daun jendela. Aku juga sudah siap andai rumah jadi berantakan lagi. Enggak apa-apalah. Paling tidak, tiap kali keluar kamar, aku bisa cuek pakai rol, atau enggak lagi kepikiran sudah berapa hari enggak keramas.” “Ehrm!” aku menyela. “Enggak dimakan, tuh?” Dari tadi dia begitu bersemangat curhat, sampai lupa kalau ada gurame berukuran besar terhidang di depannya. “Enggak nafsu, Kak. Tadi pesen juga gara-gara jengkel aja.” Tami hanya menyedot air jeruk yang sudah meleleh esnya. “Eh, aku tadi membosankan, ya?” “Enggak, kok. Lanjutin aja.” Aku bersungguh-sungguh. Kalau curhatnya terputus sampai di sini, aku bisa mati penasaran. “Bener mau denger aku ngoceh, nih?” selidiknya. “Iya, dong. Sampai mana, tadi? Sampai Dian cabut, ya?” Kok aku ikutan lomba mancing? “Ya. Dian cabut. Dan bencong-bencong itu bukannya baikan, tapi malah saling menyalahkan. Ina menuduh Neti sengaja mengusir Dian daripada kalah saingan. Neti balik menuduh Ina cewek matre. Perselisihan mereka sudah parah banget, merembet ke hal-hal enggak penting. Ada pemicu sedikit saja, langsung mereka teriakteriak; tidak bisa kutengahi. Puncaknya, Ina sengaja mengundang Bang Helmi—tukang semen yang tadi kuceritakan. Sengaja. Buat memanas-manasi Neti. Bang Helmi jadi biasa banget main ke rumah, enggak pandang jam, enggak peduli Ina ada atau enggak. Neti — 9 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
tidak bisa berkutik soal Bang Helmi. Dia balas Ina dengan membawa pria-pria enggak jelas ke rumah; entah berapa belas. “Aku yang jadi pelanduk di tengah gajah jadi serba salah; tidak bisa menghentikan, tidak bisa ikutan, tidak bisa apa-apa selain mengadu ke Pak RT. Celakanya, Pak RT juga tidak berkutik karena aturan setengah-resmi—setelah 24 jam tamu harap lapor—tidak pernah dilanggar. “Dan yang paling kutakutkan terjadi. Istri Bang Helmi sore-sore datang, melabrak-labrak sampai jadi tontonan satu stadion bulutangkis. Sialnya, Ina sudah berangkat, Neti belum pulang. Yang di rumah hanya aku dan Bang Helmi. Ina yang bikin ulah, aku yang kena cap pelacur. “Memang salahku apa? Panas, aku, kan? Kulawanlah dia, sampai fisik, sampai kami jambak-jambakan enggak jelas. Kami baru berhenti bergumul setelah dipisah polisi. “Aku kena pasal susila sama—entah macam mana ceritanya— penganiayaan. Lucu, kan? Bang Helmi enggak pernah sedetik pun dibuatkan BAP. Aku, yang bersentuhan kulit sama dia saja enggak, justru kena getahnya. Kalau dua bencong itu; mereka malah sembunyi dan, belakangan, membesuk aku saja enggak. Ya. Di penjara. Ada pasal yang lebih berat menungguku. “Nasibku belum mentok sialnya. Polisi mengubek-ubek rumah, cari—atau cari-cari—bukti mesum, termasuk mengobrak-abrik bungkus rokok peninggalan Dian. Di mana lagi kalau bukan di kamarku, kan? Celakanya, enggak ada yang tahu kalau ada gelek di situ. Sudah! Selesai! “Sudah kujelaskan ke polisi kalau gelek itu punya pengontrak sebelumnya. Aku yang diketawain habis-habisan begitu mereka tahu siapa yang kumaksud: pemain band yang wara-wiri di teve, gitu loh—dia pakai nama beken JayDee. ‘Sekalian aja anak presiden,’ ledek mereka. Ceritaku memang jayus banget, tapi bagaimana lagi?, memang begitu kenyataannya. Kusuruh mereka tanya ke Pak RT karena dia pasti punya catatan kependudukan. Bajingannya si RT, dia menyangkal ada pengontrak bulanan. Dia takut urusan merembet ke dia, padahal dia juga yang mengomporiku memasukkan sebanyak mungkin pendatang. Sial, kan?” Tami berhenti bercerita. Dia menenggak air jeruk tanpa jeda, sam— 10 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
pai habis. Matanya penuh sorot kemarahan. Aku pernah rasakan apa yang dia rasakan: kepanikan itu, ketakutan sehabis ditangkap itu, siksaan batin dalam kurungan itu. Sudah kulalui semua. Aku elus-elus pundaknya. “Berapa belas?” tanyaku. Dia terkejut mendengar pertanyaanku. Memang, hanya sesama alumni atau kerabat alumni yang biasa tukar pikiran dengan cara sedemikian. “Patbelas. Kok?” Dia menekuk dahi, penasaran. “Hampir sama, kita. Pasalnya. Vonisnya juga. Sebelas dua belas,” sambutku sejujurnya, kecuali bagian masa kurungan. Jelas sekali kalau dia tidak mampu menyewa makelar. Aku tidak mau menjadi ‘bencong’ selanjutnya di matanya. “S---------. Blok Anyelir.” Mulutnya menganga. Jarinya menunjuk. Matanya mengerjapngerjap tak percaya. Dia benar-benar tidak menyangka. “Aku ..., ah ..., aku juga ... ah, kapan, Kak?, ... kapan lulus?” “Sudah lama banget,” jawabku sambil senyum. Tidak tiap hari ketemu orang yang baru saja kukenal tapi tak tahunya, sama-sama pernah melalui cobaan yang sama. Dia menghambur ke arahku, memelukku. Aku sempat terkejut, lalu sedikit tergelak di atas pundaknya. Terasa kedekatan yang halus, elusif, emosional; kehangatan yang tidak akan pernah dipahami kebanyakan orang. “Kaaak! Aku enggak salah, Kak,” bisiknya, mulai tersedu. Kubiarkan dia lebih lama memelukku. “Aku enggak pernah menyentuh barang gituan. Sama sekali.” Akhirnya dia lepas pelukannya sendiri sambil mengusap-usap matanya. “Udaaah ... lupakan. Enggak usah disesali. Urusan tambah repot kalau kamu ungkit-ungkit, lo,” kuperingatkan dia. Dia mengangguk-angguk. Manyun. Seperti anak kecil. Belum genap dua lima tapi sudah banyak yang dia lewati. Sendiri. Mungkin aku jadi tempat mengadu yang telah lama dia cari. Dengan cara yang aneh, aku temukan seorang adik yang sangat kusayangi. Aku usap kantong matanya yang basah dengan tisu. “Beneran, Kak! Aku itu baru kenal yang namanya gelek justru setelah di dalam. Sebelumnya, aku ini bersih. Jadi ...,” dia masih tersedu, “... jadi, relawan LSM aja sampai bingung mau naruh aku di mana. Pemakai, enggak. Kecanduan, apa lagi. Adiksi itu ada gejala jasmaniahnya, kan, Kak? Aku enggak punya, tapi dikumpulin sama pecandu. Enggak masuk akal, kan? Di situ aku paham apa — 11 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
itu kriminalisasi-salah-alamat. Adiksi enggak bisa diperbaiki pakai kurungan. Masuknya rusak, keluarnya tambah parah. Lama-lama, aku dendam aja. Telanjur basah, aku ikut-ikutan make. Justru pas di dalam. Gila, kan? “Lantas ..., lantas ..., begitu keluar, enggak ada satu orang pun yang bisa kudatangi. Keluargaku di Batam sudah habis—adikku satu-satunya katanya ke Johor dan enggak pernah kembali. Budeku, janda pelit itu lihat mukaku saja kayak mau muntah. Bencongbencong itu juga ..., ah, parahlah!—mereka sampai tega pura-pura enggak kenal. Gila, kan? “Setelah lontang-lantung enggak jelas, aku didatangi manajer tempat ini—kasir yang tadi. Atas perintah bos, katanya. Aku disuruh kerja di sini. Eh ... tahu yang punya kolam pemancingan ini, kan?” Aku menggeleng-geleng. “Kolam dan seisinya punya induk koperasi anggota.” Aku mengangguk-angguk. Aku baru tahu. “Waktu disuruh kerja di sini, senanglah aku, kan? Sempat aku bisa hormat ke aparat. Sebentar aja, memang. Soalnya, lagi-lagi aku dikibuli, dijadikan pekerja paksa lagi. Dan lebih parah. Aku diperas. Kalau aku sampai mengeluh-ngeluh enggak jelas, apalagi sampai ceramah di luaran, manajer mengancam, tidak ada satu warung pun yang mau mempekerjakan pecandu sepertiku. Aku pecandu itu jelas enggak, tapi sejak di dalam, relawan sudah mewanti-wanti yang namanya stigma. Lebih parahnya, manajer brengsek itu”—Tami sengaja mengeraskan suara—“paham betul kalau bisaku hanya jadi pelayan. Yah! Bisaku hanya sabar. Sekuatnya. “Sampai tadi pagi itu, pas disuruh bantu-bantu kasih pita ke mujair-mujair itu. Perubahan. Hanya aku yang bisa mengubah nasibku. Aku enggak tahan lagi. Mau jadi pemulung, penyapu jalan, tukang parkir; yang penting cukup buat hidup, enggak bikin jantungan, enggak diinjak-injak orang. Itu saja. Sudah bosan aku nyari yang namanya keadil...,” suara Tami tenggelam dalam tepuk tangan dan sorak sorai dari kolam. Dari pengeras suara, kembali terdengar satu ikan berhadiah terpancing: lemari es. Semakin siang, lomba mancing semakin ramai. Untuk setiap ikan berhadiah yang tertangkap, dilepas ikan baru dengan hadiah lebih besar. Lomba setengah judi ini sangat diminati. — 12 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
Beda sama lomba yang sesuai judul turnamen, yang gede-gedean tangkapan, yang berhadiah piala, yang diikuti fanatik sejenis Mas Trisno. Tami sudah diam walau mukanya masih memajang kemarahan. Tangan kirinya mengepal, geram. Tak sedikit pun dia sentuh makanan di depannya. Aku tidak tega. Aku masukkan dua tangan ke tas. Kuraih ponsel komunikator tua yang mati segalanya kecuali layarnya—tulisannya selalu ‘NO SIGNAL’. Tanpa dikeluarkan dari tas, kulepas cangkangnya, kukeluarkan satu lintingan dari dalamnya, kupasang lagi cangkangnya, dan lintingan tadi kukeluarkan setelah aman terselip di telapak kiri. “Mi!” kupanggil dia. “Namamu Tami, kan?” Dia mengangguk. “Kalau Kakak?” “Joy,” jawabku singkat. Aku raih telapak kirinya, kuarahkan ke pangkuanku di bawah daun meja, kutelentangkan lintingan tadi, dan kututup lagi telapaknya. “B´e-`es. Biar kamu doyan makan. Kesian, tuh, guramenya.” Dia terkejut, seperti tidak percaya. Dia tarik tangannya, mengamati benda di genggamannya, lalu menggeleng-geleng. “Apaan ini?” “Udaaah!” sergahku. “Ambil aja.” “Kakak ...,” dia memandangi genggamannya lagi, “... naksi?” “Kamu pikir pete, apa? Ya, enggaklah,” tepisku. “Aku tuh ternak lele, Tamiii.” “Iya! Lelenya jadi mesin cuci. Aku ngerti. Sesama alumni dilarang saling mendahului,” dia berusaha melucu. Aku tidak menyanggah atau mengiyakan. Aku hanya ingin membantu. Tami menggeleng-geleng lagi. “Gila juga Kak Joy ini, ya. Di sini? Tahu ini tempat apa, kan?” “Tempat paling berbahaya tuh yang paling aman, kan?” lelucon garingnya kubalas dengan pepatah yang sama klisenya. “Mau, enggak? Kalau enggak, sini, balikin,” tantangku. “Eh, iya-iya-iya.” Tami ternyata kelimpungan sendiri menanggapi gertakanku. “Makasih, ya.” “Sama-sama.”
— 13 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
Akhirnya Tami tersenyum. “Aku ... ganti baju dulu, Kak, ya? Kalau ada yang order ke aku, kan, repot¿” pamitnya sambil berdiri. Lintingan terjepit rapi di tangannya. “Hati-hati, lo,” desisku sambil mengangkat alisku. “Kamu lebih tahu ini tempat apa.” Tami buru-buru pergi, seperti sudah tidak tahan lagi. Anak kecil! Setengah jam menyimak curhatan bikin perut lumayan lapar. Kalamari sudah habis dari tadi, tapi ada gurame besar siap terhidang. Aku masukkan tangan ke kobokan dan kucicipi secuil ikan. Sekalian nanti aku yang bayar tagihan. Mmm! Rasanya lumayan. “Selamat siang,” terdengar suara laki-laki. Aku mendongak. Ada laki-laki cepak, bergeraham tebal, pakai anting di kuping kanan. Seenaknya saja dia duduk di depanku. “Siang,” balasku setelah menelan kunyahan. Aku tidak kenal. “Ya, Mas? Ada apa?” “Pasti lu udah kangen banget sama gua, ya, Joy, ya?” sambutnya. Tunggu. Apa tadi dia bilang? Aku picingkan mata, lalu kubayangkan antingnya dilepas, dan kepalanya ditumbuhi rambut gondrong dangdut. Matilah kita! Kulihat ke depan, ke kejauhan, ke pintu masuk dapur dekat meja kasir. Tami sedang mengobrol santai dengan kasir yang tadi. Begitu matanya menumbuk mataku, dia dongakkan kepala sedikit, memberi salam dari kejauhan, salam ‘sampai jumpa di neraka’. Aku balas dengan senyum. Pahit. Dilarang terlihat terintimidasi. Aku salah besar telah menyepelekan anak kecil itu. Tapi tidak bisa kusangkal, dia layak diacungi jempol. Selama setengah jam dia berhasil membuatku berpikir seperti ibu-ibu rumah tangga. Empat atau lima bulan lagi, begitu aku keluar, bakatnya akan tersia-sia kalau dia belum masuk kantongku. Aku tengok ke belakang. Tiga pria sudah istirahat di tempat. Aku tarik nafas panjang, bersiap menutup mulut rapat-rapat. Aku hanya berharap, Mas Trisno sudah tahu. Aku hanya berharap, dia tidak dihalang-halangi sebelum tiba di rumah, lalu memanjat langit-langit, lalu membenamkan beberapa buntalan penting ke kolam lele. — 14 —
Framed
a andrea·hifran gmail·com
Aku masukkan tangan kanan ke kobokan. Lalu kugeletakkan kedua tangan di sebelah piring ikan. Si cepak sudah siaga dengan borgolnya. A.H.|20090824 Vivo ergo cogito ex causis efficientibus.
— 15 —