PENYALAHGUNAAN KEADAAN Oleh Hirman Purwanasuma, S.H.
Buku ketiga KUHPerdata, tentang Perikatan, van verbintenissen. Tidak disebutkan apa itu perikatan, tapi ada petunjuk bahwa perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, dalam mana pihak yang satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Sumber perikatan adalah persetujuan (overeenskomst) (perjanjian) dan undang-undang. Persetujuan/perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih - Pasal 1313 KUHPerdata - dalam bidang hak kekayaan (vermogensrecht). Bandingkan dengan common law. Contract:
an agreement between two or more persons which create an obligation to
:
do or not to do a particular things. a meeting of two or more minds = sepakat
Agreement :
Black mengatakan agreement dalam hukum mengarah kepada rights and duties dalam suatu kejadian atau perbuatan.
Perjanjian sah apabila memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat Subjektif
:
1. Sepakat 2. Cakap
Syarat Objektif
:
1. Suatu hal tertentu 2. Suatu sebab (causa) yang halal
KUHPerdata
menganut sistem kebebasan berkontrak (istilah
populer) asal tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (syarat objektif). Kebebasan berkontrak tidak mutlak, ada pembatasan. KUHPerdata Pasal 1320 ayat 2, Pasal 1683, Pasal 1320 ayat 3, Pasal 1320 jo Pasal 1337, Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Kebebasan berkontrak yang murni dimana kedua pihak kedudukannya seimbang praktis tidak ada (AK). Salah satu harus memiliki kelebihan. Yang mempunyai kelebihan ini cenderung menyalahgunakan kelebihan itu.
1
Kebebasan berkontrak harus dihormati, juga oleh hakim. Pembatalan perjanjian hanya boleh dilakukan bila syarat Pasal 1320 KUHPerdata dilanggar atau tidak dipenuhi. Pembatalan hanya atas dasar putusan hakim. Syarat subjektif dilanggar dapat dibatalkan. Syarat objektif dilanggar batal (demi hukum). Dapat dibatalkan batal sejak dinyatakan batal oleh hakim. Batal demi hukum sejak perjanjian dibuat. Alasan pembatalan menurut Pasal 1321 KUHPerdata adalah adanya cacat kehendak yang disebabkan: 1.
Kekhilafan (dwaling) Pasal 1322 KUHPerdata: bisa mengenai orang, dikira seorang profesional lalu dikontrak ternyata amatiran. Bisa mengenai barang, dikira buatan Wong Solo, ternyata buatan Wong Solo 3.
2.
Paksaan (dwang) Pasal 1323 KUHPerdata: fisik dan psikis
3.
Penipuan (bedrog) Pasal 1328 KUHPerdata: penipuan harus sedemikian rupa sehingga pihak lain tidak akan membuat perjanjian jika tipu-tipu itu tidak dilakukan (kunstbegrepen).
Untuk mencapai sepakat pihak-pihak harus memiliki kebebasan kehendak, tidak boleh ada tekanan yang mengakibatkan cacat kehendak (willsgebrek). Kebebasan kehendak linier dengan kedudukan yang seimbang. Bila tidak seimbang maka pihak yang kuat cenderung menyalahgunakan kekuatannya. Contoh: 1.
Dalam kasus-kasus riba prestasi dan kontra prestasi sangat tidak seimbang.
2.
Kontrak standard syarat-syarat sudah ditentukan (take it or leave it). Persetujuan kredit – polis.
Ciri-ciri kedudukan yang tidak seimbang: 1.
Penentuan syarat perjanjian oleh satu pihak;
2.
Syarat perjanjian menyampingkan tanggung jawab;
3.
Nilai prestasi dan kontra prestasi sangat tidak seimbang;
4.
Debitur tidak punya pilihan lain (relatif);
5.
Salah satu pihak dalam posisi psikologis yang lebih kuat.
Alasan untuk pembatalan yang keempat adalah penyalahgunaan keadaan (PGK), misbruik van omstandigheden (MVO), undue influence. PGK tidak/belum diatur dalam KUHPerdata, tetapi ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang bisa dijadikan rujukan yaitu: No. 2485 K/Sip/1982 No. 3431 K/Pdt/1985 No. 3641 K/Pdt/2001 2
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara PT Aquarius Musikindo lawan Band Dewa. PGK masuk dalam NBW 1992 Buku Ketiga yaitu apabila salah satu pihak dalam melakukan perjanjian berada dalam: •
Keadaan darurat
•
Keadaan terpaksa
•
Keadaan pihak lawan mempunyai posisi psikologis yang lebih kuat
•
Penyalahgunaan keadaan-keadaan itu
Sebelum MVO masuk NBW, hakim di sana juga di Indonesia memutus perkara-perkara MVO dengan berdasar pada “bertentangan dengan kesusilaan” (syarat ke-4). Kemudian berkembang menjadi “cacat kehendak” (wilsgebrek) (syarat ke-1). Prof. Z. Asikin KA tahun 1985 dan beberapa ahli lain berpendapat bahwa PGK adalah faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak bebas dalam membuat perjanjian. PGK jadinya tergolong dalam syarat ke-1 akan tetapi pembatalannya adalah pembatalan demi hukum karena mengganggu ketertiban umum. Kata Pitlo dalam “Nulliteiten” batal demi hukum atau nietig ditujukan untuk melindungi kepentingan umum atau kepentingan seseorang terhadap orang lain yang karena kedudukannya yang lebih kuat atau dalam keuangan atau karena lebih mengetahui dalam suatu bidang dan mencoba menyalahgunakannya. PGK dalam prakteknya digunakan juga sebagai dasar hakim mencampuri suatu perjanjian. Hakim tidak membatalkan perjanjian a quo tetapi mengkonstruksikan perjanjian lain yang esensinya sama dengan perjanjian yang dibuat para pihak. Menurut Nienwenhuis, PGK harus memenuhi 4 syarat: 1. Keadaan istimewa, keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras dan tidak bepengalaman; 2. Suatu hal yang nyata, salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui pihak lain dalam keadaan istimewa; 3. Penyalahgunaan, salah satu pihak menutup perjanjian walaupun ia mengetahui atau mengerti seharusnya ia tidak menutup perjanjian itu; 4. Hubungan kausal, tanpa menyalahgunakan itu maka perjanjian tidak akan ditutup.
3
ANALISIS PUTUSAN 1. Putusan MA No. 2485 K/Sip/1982 Kasus Posisi: Penggugat berhutang kepada Tergugat sebesar Rp. 31.500.000,- dengan jaminan tanah dan rumah. Untuk penguatan dibuat AJB material atas tanah dan rumah dengan harga Rp. 39.770.000,- . Bersamaan dengan itu dibuat akte notaris lagi yang menentukan Penggugat berhak membeli kembali tanah dan rumah dalam jangka waktu 4 bulan dengan harga Rp. 39.770.000,-. Karena dalam 4 bulan Penggugat belum bisa membayar Rp. 39.770.000,- maka dibuat perjanjian kedua dengan jangka waktu sama tapi harga naik menjadi Rp. 63.387.336,-. Belum lagi 4 bulan lewat ternyata Tergugat menyewakan rumah sakit a quo untuk waktu sewa 48 bulan dengan harga sewa Rp. 24.900.000,- . Karena Penggugat belum juga bisa membayar, Tergugat minta agar Penggugat membuat pernyataan tidak akan menggunakan haknya untuk membeli kembali tanah dan rumah a quo dengan imbalan Rp. 10.000.000,- Tergugat kemudian membalik nama SHGB tanah tersebut yaitu No. 151 Cilandak ke atas nama Tergugat. Penggugat mohon agar kedua akta notaris dan surat pernyataan dibatalkan dan sisa hutang ditetapkan Rp. 12.707.000, Amar putusan MA pada pokoknya: -
Membatalkan akta jual beli dengan hak untuk membeli kembali (kedua-duanya) dan surat pernyataan tidak menggunakan hak untuk membeli kembali;
-
Membatalkan tindakan Tergugat BPN membalik nama SHB No. 151;
-
Menyatakan bahwa hubungan (hukum) antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan hutang pihutang dengan jaminan tanah SHGB No. 151;
-
Menghukum Tergugat untuk menerima kembali uang pinjaman Penggugat sebesar Rp.31.500.000,- (hutang pokok) + Rp. 10.000.000,- (imbalan surat pernyataan) – Rp. 3.893.400,- (bunga yang sudah dibayar) – Rp. 24.900.000,- (uang sewa kontrak) = Rp.12.707.000,- ditambah bunga 6 % per tahun terhitung sejak gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas;
Analisis: -
Hakim melihat adanya ketidakseimbangan ekonomis;
-
Hakim melihat adanya penyalahgunaan keadaan;
-
Jual beli dengan hak membeli kembali dinilai riba;
-
Hakim membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang pada hakekatnya adalah perjanjian pinjam meminjam uang dan surat pernyataan;
-
Hakim mengkonstruksikan format perjanjian baru dengan bertumpu pada hakekat perjanjian yaitu pinjam meminjam uang. 4
Kesimpulan: PGK bukan sekedar alasan untuk membatalkan tetapi juga untuk mengkonstruksikan perjanjian baru.
2. Putusan
PN
Jakarta
Selatan
No.
442/Pdt.G/1999/PN
Jakarta
Selatan
No.
442/Pdt.G/1999/PNJkt.Sel. Pihaknya: Penggugat
: Made Oka Masagung
Tergugat
: 1. PT Bank Artha Graha 2. PT Gunung Agung 3. PT Gunung Agung Investment 4. Notaris 5. Sugianto Kusuma 6. PT Bina Jaya Pandukreasi
Pokok Gugatan: Penggugat berada dalam tahanan karena kejahatan korupsi, perbankan dan pemalsuan namun dibebaskan. Ketika Penggugat berada dalam tahanan datang Notaris Tergugat V menyodorkan dua akta perjanjian dan satu pernyataan masih mempunyai hutang. Akta perjanjian pertama menyatakan Penggugat masih punya hutang kepada Tergugat sebesar Rp.200 M lebih, tetapi yang harus dibayar hanyalah Rp. 100 M saja dengan mengangsur. Akta perjanjian kedua memuat perubahan terhadap Akta No. 31, yang semula jaminan orang menjadi jaminan berupa tanah kavling di Permata Hijau dan Apartement Fourseason di Singapura. Selain itu Penggugat juga diharuskan membuat permohonan membuka rekening di Bank Artha Graha dan 2 bilyet giro senilai Rp. 20 M dan Rp. 15 M. Penggugat mendalilkan aktaakta tersebut selain sangat merugikan juga ditandatangani dalam keadaan tekanan batin dan terpaksa. Penandatanganan dilakukan di ruang tahanan setelah sebelumnya Tergugat berjanji akan membantu penangguhan penahanan Penggugat. Eksepsi: Penggugat ditahan bukan oleh Tergugat I tetapi oleh JPU; Jawaban Tergugat: Akta-akta perjanjian di tanda tangani tanpa paksaan fisik Rekonpensi: Gugatan Penggugat telah merusak kepercayaan publik pada Tergugat Pertimbangan PN Jakarta Selatan: -
Bahwa Penggugat berada dalam tahanan, kondisi jiwa tertekan dan frustasi;
-
Bahwa Tergugat memiliki posisi ekonomis dan psikologis yang lebih baik dan lebih kuat;
-
Bahwa Tergugat menyadari keadaan ini tetapi justru memanfaatkan keadaan ini untuk menekan Penggugat; 5
-
Bahwa Tergugat telah beritikad buruk;
-
Bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan yang tidak lazim dalam dunia perbankan;
-
Bahwa Tergugat telah melakukan cara-cara di luar kepatutan, bertentangan dengan tata krama dan kesusilaan atau dengan cara-cara memaksakan persetujuan.
Pertimbangan ini sudah mengarah pada indikasi-indikasi PGK, hanya saja masih digabungkan dengan pemaksaan (dwaling) dan bertentangan dengan kesusilaan yang lebih cocok masuk kategori kausa yang halal. Masih ada keraguan pada Majelis Hakim; PT Jakarta membatalkan Putusan PN Jakarta Selatan dengan pertimbangan pada pokoknya: Penggugat tidak dapat membuktikan adanya paksaan atau penipuan dalam pembuatan akta-akta No. 41, 42 dan 31. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi atas permohonan Made Oka Masagung mempertimbangkan: -
Bahwa azas kebebasan berkontrak tidak bersifat mutlak. Hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk menilai bahwa kedudukan para pihak tidak seimbang sedemikian rupa sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan kehendaknya seolah-olah perjanjian terjadi secara sepihak;
-
Bahwa penandatanganan akta perjanjian ketika Penggugat berada dalam tahanan terjadi karena penyalahgunaan keadaan dan atau kesempatan sehingga Penggugat berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya;
-
Bahwa akibat hukum yang dibuat sebagaimana tersebut dalam perjanjian yang tercantum dalam akta perjanjian No. 41 dan No. 42 tersebut beserta perjanjianperjanjian lainnya yang terbit atau dibuat berdasarkan kedua perjanjian tersebut harus dibatalkan;
Pertimbangan-pertimbangan ini sangat kuat menonjolkan PGK; Keberadaan Penggugat dalam tahanan telah memenuhi unsur dalam keadaan tertekan (dwang positie) Amar putusan Mahkamah Agung, pada pokoknya: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menyatakan batal perjanjian dan akta pernyataan termasuk lampiran-lampirannya ............ dst terhitung saat dibuatnya akta-akta tersebut; 4. Menyatakan perjanjian .......... tidak sah dan dibatalkan; 5. Menyatakan perjanjian .......... tidak sah dan dibatalkan; 6. Menghukum ............ dst. 6
Pertanyaan: Apakah PGK sama dengan PMH? Simpulan: 1. Dalam PGK posisi masing-masing pihak dalam perjanjian merupakan unsur penting; 2. PGK ditujukan untuk melindungi pihak dengan posisi lemah dalam menutup sebuah perjanjian berhadapan dengan pihak yang memiliki banyak kelebihan; 3. PGK diterapkan dalam hal perjanjian itu tidak mengandung dwaliing, dwang dan bedrog tapi dirasakan oleh debitur sangat memberatkan dan perbuatannya bertentangan dengan rasa keadilan dan peri kemanusiaan; 4. Dalam konteks PGK unsur dwaling, dwang dan bedrog harus dikeluarkan; 5. Kekuatan atau kelebihan posisi bisa dari manapun juga. Masalahnya bukan pada kekuatan itu tetapi pada bagaimana kekuatan itu digunakan; 6. Penggunaan batal demi hukum dan dinyatakan batal perlu feeling untuk menuangkannya dalam amar.
7