BAB II TINJAUAN TENTANG KONTRAK, KEBATALAN DAN PEMBATALAN KONTRAK SERTA KONSEP PENYALAHGUNAAN KEADAAN
2.1 Kontrak 2.1.1
Pengertian Kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa inggris, yaitu contracts. Sedangkan
dalam bahasa Belanda dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari Buku III titel Kedua tentang “Perikatan perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian” yang dalam bahasa aslinya, yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”.Pengertian ini didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, 94 Soetojo Pramirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 95 Mariam Darus Badrulzaman, 96 Purwahid Patrik, 97 dan Tirtodiningrat 98 yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama. Subekti 99 mempunyai pendapat yang berbeda mengenai 94
Agus Yudha Hernoko, 2008 Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial), Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 11. 95 Soetojo Prawirohamdjojo dan Mathalena Pohan, 2008, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 84. 96 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I, Alumni, Bandung, hal. 89. 97 Purwahid Patrik, 2011, Dasar-dasar Hukum PeriKatan, Mandar Maju, Bandung, hal. 45. 98 R.M. Suryodiningrat, 2005, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hal. 72. 99 Subekti, Op.cit, hal. 1.
48
49 istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Sedangkan sarjana lain, potheir tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan. 100 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, saya sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus kajian saya berlandaskan pada perspektif BW, dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan secara bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaaan istilah, namun semata-mata untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. Pasal 1313 KUHPerdata 101 memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti102 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
100
Soetojo Prawirohamidjojo dan Pohan, Op.cit, hal. 89. Terjemahan BW dalam Bahasa Indonesia merujuk pada hasil terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio, 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Yogyakarta. 102 Subekti I, Op.cit, hal. 45. 101
50 pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KMRT Tirtodiningrat 103 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Menurut Setiawan rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu: 104 a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum. Yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313 KUHPerdata; c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Demikian halnya menurut Suryodiningrat, 105 bahwa definisi pasal 1313 KUHPerdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut: a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; 103
A. Qirom Meliala, 2008, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 8. 104 Setiawan, Op.cit, hal. 49. 105 R.M. Suryodiningrat, Op.cit, hal. 72-74.
51 b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum); c. Definisi pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi; d. Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai
persetujuan obligatoir
(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir/membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian). Terhadap definisi Pasal 1313 KUHPerdata ini Purwahid Patrik 106 menyatakan beberapa kelemahan, yaitu: a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangan
yang seharusnya ditambah dengan
rumusan“saling mengikatkan diri”;
106
Purwahid Patrik, Op.cit, hal. 45-46.
52 b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepantingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan
melanggar
hukum
(onrechtmatige
daad).
Hal
ini
menunjukkanmakna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum; c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht). Menurut
Neiwenhuis, 107
perjanjian
obligatoir
(yang
menciptakan
perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi
kekurangan
definisi
Pasal
1313
BW,
sehingga
secara
lengkappengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
2.1.2
Syarat Sahnya Kontrak dan Dasar Hukumnya Dalam hukum syarat syahnya kontrak mengacu pada Pasal 1320 KUH
Perdata. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu kontrak itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu: a. Adanya kata sepakat; b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 107
J.H. Niewenhuis, 2005, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya, hal. 1.
53 c. Adanya suatu hal tertentu; d. Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat kontrak, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek kontrak oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: a. Kata sepakat Kata
sepakat
berarti
persesuaian
kehendak,
maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat dikatakan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 108
108
Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat Subekti III, hal. 4.
54 J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain. 109 Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti, 110 yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang halhal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu 109
J. Satrio, 1993, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 129 (selanjutnya disebut J. Satrio III). 110 Subekti III, Op.cit, hal. 23-24.
55 muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. 111 b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak) Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: 1) Orang yang belum dewasa 2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan 3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undangundang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 112 Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 113 Namun dalam Undang-Undang Nomor 2 111
J. Satrio II, Op.cit, hal.58. Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Adiyta Bakti, Bandung, hal. 78. 113 Ibid. 112
56 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertentu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345 KUHPerdata, bunyinya sebagai berikut: Pasal 433 KUHPerdata: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Pasal 345 KUHPerdata: Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya. Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/istri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
57 memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Subekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benarbenar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. 114 c. Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai
114
Subekti II, Op.cit.
58 jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata. d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, 115 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian
yang dapat dimintakan
pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah 115
Salim H.S, 2008 Perkembangan Huum Kontrak Innomiat di indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 25.
59 pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum. 116
2.1.3
Asas-Asas dalam Kontrak Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundangundangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam 116
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal. 29.
60 perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 117 a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. 118 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya: 1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; 2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; 4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan 5) kebebasan-kebebasan
lainnya
yang tidak bertentangan
dengan
peraturan perundang-undangan. 119
117
Ridwan Khairaandy I, Op.cit, hal. 21. J. Satrio II, Op.cit, hal.36. 119 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 118
61 Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 120 b. Asas konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 121 Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. 122
120
Ibid, hal. 4. Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 113. 122 Riduan Syahrani, Op.cit, hal.53. 121
62 Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil. 123 c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal: 1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. d. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad 123
Gunawan Widjaja, Op.cit, hal.86.
63 baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. 124 Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif). 125 Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 126 Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. e. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya 124 125
Johannes Gunawan, Op.cit, hal. 49. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
42. 126
Arvie Johan, Op.cit, hal.147.
64 suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 127
2.2 Kebatalan dan Pembatalan Kontrak 2.2.1
Pengertian Kebatalan, Pembatalan Kontrak dan Dasar Hukumnya Dalam Buku III KUH Perdata ditemukan banyak pasal yang menyebut
kata “batal, batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Sehubungan dengan hal itu maka isi keseluruhan restatement ini akan menegaskan kembali: a. Pengertian beberapa istilah, yaitu ‘batal’, ‘batal demi hukum’, ‘dapat dibatalkan’, ‘membatalkan’, ‘pembatalan’ dan ‘kebatalan’. b. Dalam hal apa atau kondisi bagaimana suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan bagi pihak yang membuatnya akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. c. Siapa yang dapat meminta atau menuntut pembatalan suatu perjanjian, syarat agar tuntutan tersebut berhasil, dan siapa yang berwenang membatalkan perjanjian. d. Batas waktu penuntutan pembatalan suatu perjanjian. 127
Subekti I, Op.cit, hal.42.
65 e. Akibat hukum dari perjanjian yang batal demi hukum atau yang dapat dibatalkan. 128 Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna ‘tidak berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah berarti tidak berlaku, tidak sah. 129 Jadi, walaupun kata ‘batal’ sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, “batal demi hukum” menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi. Frasa ‘dapat dibatalkan’ sangat berbeda maknanya dengan frasa ‘batal demi hukum’ sebab ‘dapat dibatalkan’ menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu
128
Gerry R. Weydekamp, Op.cit, hal.136. Arti lain dari lema atau kata ‘batal’ dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda, urung, tidak berhasil, gagal. Lihat Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta. 129
66 dibatalkan. Kecuali itu, frasa ‘dapat dibatalkan’ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, bila sesuatu hal ‘dapat dibatalkan’ maka bisa terjadi dua kemungkinan: 1. sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat adanya permintaan untuk membatalkan, atau 2. sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada kata ‘batal’ tercantum bentuk derivasinya, yaitu membatalkan dan pembatalan, tidak tercantum bentuk derivasi ‘kebatalan’. 130 Hal ini berbeda dengan kata absah, yang bentuk derivasinya mengabsahkan, pengabsahan, dan keabsahan. Tampaknya, bentuk derivasi ‘kebatalan’ dianggap tidak lazim dalam Bahasa Indonesia, berbeda dengan ‘keabsahan’ yang mungkin lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan maupun tulis. Namun demikian, karena dalam Hukum Perjanjian selalu ditemukan persoalan tentang perjanjian yang dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum, agar isi restatement ini mencakup kedua hal itu, istilah yang dipakai adalah ‘kebatalan’ sebagai kata benda yang berarti ‘sifat yang batal’. 131 Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, 130
Ibid. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keabsahan adalah kata benda yang berarti sifat yang sah, atau kesahan. Ibid. 131
67 yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void. Sementara menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. 132 Yang dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatalan relatif menurut Wirjono Prodjodikuro adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. 133 Perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid), yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
132
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan II, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II). 133 Wiryono Prodjodikoro, 2005, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, hal. 17.
68 Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undang-undang merumuskan secara konkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut
adalah
batal
demi
hukum
(tidak
memiliki
kekuatan
dalam
pelaksanaannya). Menurut R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW. Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasanalasan yang ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beraneka ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. 134 Masalah yang muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain pengertian, batasan, dan unsur-unsur untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat objektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Yang dimaksud hal tertentu adalah suatu perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sehingga barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian. Dalam hal batal demi hukum karena peraturan perundang-undangan menentukan demikian, berdasarkan penelusuran, didapatkan sejumlah peraturan 134
Mr. A. Pitlo, 1990, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Perdata Belanda, Jilid 1, PT Intermasa, Jakarta.
69 perundangundangan yang menentukan batal demi hukum, yaitu berupa UndangUndang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) dari tahun 1945 sampai dengan 2009. Berdasarkan hasil penelusuran awal, terdapat 22 Undang-Undang, 13 Peraturan Pemerintah, dan 4 Keputusan Presiden yang memuat secara tegas ketentuan tentang batal demi hukum. Isu menarik dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang batal demi hukum adalah peraturan perundang-undangan tingkat mana yang seharusnya dapat mengatur tentang ketentuan batal demi hukum, apakah setiap tata urutan perundangundangan berwenang mengatur tentang batal demi hukum.
2.2.2
Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Kontrak dan Dasar Hukumnya Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata,
terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut: a. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum; b. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat: 1) perjanjian batal demi hukum, atau 2) perjanjian dapat dibatalkan; c. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat; d. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana; e. pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undangundang. 135
135
Subekti I, Op.cit, hal. 19.
70 Kondisi yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian selanjutnya diuraikan sebagai berikut: a. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig) Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. 136 Berikut ini restatement tentang alasan mengapa perjanjian batal demi hukum. 1) Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundangundangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum. 137 Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta 136
Subekti III, Op.cit, hal. 19. Herlien Budiono I, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 47-48; Subekti, Op.cit, hal. 15. 137
71 di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang. Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut. 138 Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata. a) Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. b) Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. c) Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi: Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. d) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut. Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang
138
Subekti III, Op.cit, hal. 15.
72 merupakan pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum. 139 Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme. Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum. 140 2) Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman 141 dan Herlien Boediono 142 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor 139
Subekti III, Op.cit, hal. 15. Subekti III, Op.cit, hal. 16 141 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 7980. 142 Herlien Budiono I, Op.cit, hal. 106–110. 140
73 dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti. 143 Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1). 144 Pasal 1332 KHUPerdata: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan”. Pasal 1333 KUHPerdata “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan”. Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata, jelaslah bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah: 145 a) dapat diperdagangkan; b) dapat ditentukan jenisnya; c) dapat dinilai dengan uang, dan d) memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan. Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada, sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat barang yang 143
Subekti III, Op.cit, hal. 18. Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup pengertian objek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat mencakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, objek perjanjian tidak hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa. 145 Herlien Budiono I, Op.cit, hal. 107. 144
74 diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa barang tersebut tidak ada. Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso jure batal demi hukum. Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna ‘sebab yang halal’ itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar perjanjian, 146 bukan sebagai penyebab ataupun motif dibuatnya perjanjian. 147 Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. 148
146 147
Subekti III, Op.cit, hal. 18 dan Herlien Budiono, Op.cit, hal. 113. Subekti III, Op.cit, hal. 18; Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal.
81. 148
Herlien Budiono I, Op.cit, hal. 112.
75 Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupakan kausa yang “dilarang oleh undangundang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum. 149 Untuk mengetahui ketentuan manakah dalam peraturan perundangundangan yang bersifat memaksa sehingga tidak boleh disimpangi para pihak, perlu diperhatikan apakah rumusan ketentuan itu menyebut secara eksplisit akibat hukum bila apa yang diatur dalam perundang-undangan itu dilanggar. 3) Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbekwaamheid)
harus
dibedakan
dengan
ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-undang
149
Subekti III, Op.cit, hal. 19.
76 dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Jadi, seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang. 150 Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya, ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu, dikategorikan
tidak
berwenang
melakukan
perbuatan
hukum
tertentu. 151 Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu. Contoh: UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 yang berbunyi: “(4) Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali 150
J. Satrio, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.57-58 (selanjutnya disebut J. Satrio III). 151 Ibid.
77 di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum”. Pasal 56: “(1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum”. 4) Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan. 152 Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu”. 152
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung, hal.439.
78 Perjanjian
bersyarat
yang
pelaksanaannya
semata-mata
digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya. Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi hukum. 153 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUHPerdata yang berbunyi “Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.” Aturan ini mirip 153
R.M. Pangabean, 2010, Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku, Jurnal Hukum, Vol.17, No.4, hal.654.
79 dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu syarat kausa yang halal. Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal 1265 KUHPerdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya
mewajibkan
kreditur
mengembalikan
apa
yang
telah
diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”. 154 b. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar) Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. 155
154 155
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal.439. Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan II, Op.cit, hal.106.
80 c. Pembatalan Perjanjian oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana) Dalam uraian tersebut di atas disebutkan tentang siapa atau pihak mana yang berhak meminta pembatalan perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya perjanjian dan tentang batas waktu untuk meminta pembatalan. Namun, masih ada satu hal lain yang relevan dengan persoalan siapa saja yang berhak meminta pembatalan atas suatu perjanjian atau perbuatan hukum tertentu, yaitu ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata yang dalam hukum perjanjian disebut mengatur tentang actio pauliana. 156 Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317 KUHPerdata”. Kemudian, Pasal 1341 KUHPerdata menyebutkan bahwa “(1) Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2) Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan 156
hal.37.
Sutan Remy Syahdeini, 2002, Pembatalan Perjanjian, Grafisi, Jakarta,
81 batalnya tindakan yang dengan Cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak”. Terhadap kedua pasal di atas, Herlien Budiono menegaskan bahwa pengertian kreditor dalam Pasal 1341 KUHPerdata mencakup tidak hanya orang yang berhak atas pembayaran utang saja, tetapi juga orang yang berhak untuk memperoleh prestasi yang dijanjikan orang lain (yakni debitor) terhadapnya, seperti prestasi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. 157 Pasal 1341 KUHPerdata ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditor dari tindakan debitor yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh undang-undang dan merugikan kreditor. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa seorang pihak ketiga (kreditor) yang sebenarnya bukan merupakan pihak yang membuat perjanjian dengan debitor, ternyata meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debitor tersebut dengan orang lain (yang merupakan pihak kedua dalam perjanjian dengan sang debitor itu), alasan perjanjian tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh undangundang kepada debitor untuk melakukannya, dan juga perjanjian itu merugikan kepentingan kreditor. Hak menggugat yang dimiliki pihak ketiga untuk meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang lain inilah yang dinamakan action pauliana.
157
Herlien Budiono I, Op.cit, hal. 161-165.
82 d. Pembatalan Perjanjian oleh pihak yang berwenang karena Undang-Undang Selain
beberapa
hal
atau
kondisi
tertentu
yang
dapat
mengakibatkan batalnya perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi ‘khusus’ lagi, yaitu pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum dalam sebuah UU yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat publik tertentu berdasarkan UU tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian tertentu.
2.2.3
Batal dan Pembatalan Kontrak
a. Ketentuan dalam Kontrak tentang Terminasi Suatu kontrak yang baik selalu terdapat klausul mengenai cara dan akibat-akibat pemutusan kontrak. Ada berbagai kemungkinan pengaturan pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut : 158 1) Penyebutan alasan pemutusan kontrak Seringkali dalam kontrak diperinci dalam alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi seperti yang disebut dalam kontrak saja. 159
158
Munir Fuady, Op.cit, hal. 93. Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Cet.1, Kencana, Jakarta, hal.36. 159
83 2) Kontrak dapat dihapus dengan sepakat kedua belah pihak Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak. 160 3) Mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, Pasal 1266 KUH Perdata harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya. Sebab, menurut Pasal 1266 KUHPerdata tersebut, setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan. 161 4) Tata cara pemutusan kontrak Disamping
penentuan
pemutusan
kontrak
tidak
lewat
pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan
kontrak
tersebut.
Penulisan
kewajiban
memberi
peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH 160 161
Munir Fuady, Op.cit, hal. 93-94. Suharnoko, Op.cit, hal.36.
84 Perdata yaitu ingebrehstelling, yakni dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur (lihat Pasal 1238 KUH Perdata), dimana somasi (dengan berbagai pengecualian) pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak. 162 b. Ketentuan dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata tidak memperkenankan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan sebagaimana dimaksudkan antara lain dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata adalah sebagai berikut: 1) Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat sahnya kontrak tidak dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat dilakukan tetapi bukan lewat Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. 2) Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undangundang, atau 3) Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam kontrak yang bersangkutan. 163 c. Prinsip Perlindungan Pihak Yang Dirugikan Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam ilmu hukum kontrak adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan. Berlandaskan kepada prinsip perlindungan pihak yang dirugikan ini, maka apabila terjadinya wanprestasi terhadap suatu kontrak, kepada pihak lainnya diberikan berbagai hak sebagai berikut : 162
Djaja S. Meiliana, 2007, Perkembangan Hukum Perdata tentang Hukum Perikatan, Cet.1, Nuansa Aulia, Bandung, hal.100. 163 Hardijan Rusli, 2003, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.86.
85 1) Exceptio non adimpleti contractus Berdasarkan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus ini, maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya manakala pihak lainnya telah melakukan wanprestasi. 2) Penolakan prestasi selanjutnya dari pihak lawan Apabila pihak lawan telah melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang rusak dalam suatu kontrak jual beli, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menolak pelaksanaan prestasi selanjutnya dari pihak lawan tersebut, misalnya menolak menerima barang selanjutnya yang akan dikirim oleh pihak lawan dalam contoh kontrak jual beli tersebut. 3) Menuntut restitusi Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai atau telah mulai melakukan prestasinya seperti yang diperjanjikannya dalam kontrak yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, maka pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitusi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya. 164
Hak untuk menuntut restitusi ini dalam Hukum Jerman disebut dengan Rucktritt atau Ablehnung der leistung, sementara istilah resolution dalam Hukum Prancis mengacu kepada baik hak pihak yang dirugikan untuk menuntut restitusi maupun haknya untuk menolak pemenuhan prestasi selanjutnya dari pihak yang telah melakukan wanprestasi. 165 d. Prinsip Keseimbangan Berupa Perlindungan Pihak Yang Melakukan Wanprestasi Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi 164
Munir Fuady, Op.cit, hal. 96. Indrareni Gandadinata, 2007, “Wanprestasi dan Penyelesaiannya dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada PT. Bank Internasional Indonesia Kantor Cabang Purwokerto,” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.26. 165
86 ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak yang melakukan wanprestasi pun dilindungi. Karena itu dalam hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi. Seperti telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan hak untuk melakukan terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya) kepada pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu. 166 Perlindungan hukum kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut : 1) Mekanisme tertentu untuk memutuskan kontrak Agar pemutusan kontrak tidak dilaksanakan secara sembarangan sungguhpun pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka hukum menentukan mekanisme tertentu dalam hal pemutusan kontrak tersebut. mekanisme tersebut adalah sebagai berikut: a) Kewajiban melaksanakan somasi (Pasal 1238 KUH Perdata). b) Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata) 2) Pembatasan untuk pamutusan kontrak Seperti telah dijelaskan bahwa jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dalam kontrak tersebut berhak untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak untuk memutuskan kontrak oleh pihak yang telah dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa restriksi yuridis berupa : a) Wanprestasi harus serius, b) Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan, c) Pemutusan kontrak tidak terlambat dilakukan, d) Wanprestasi disertai unsur kesalahan. 167
166 167
Ibid. Munir Fuady, Op.cit, hal. 98.
87 Untuk itu akan ditinjau satu per satu dari restriksi yuridis tersebut. a) Wanprestasi harus serius Sebagaimana diketahui bahwa tidak terhadap semua wanprestasi pihak yang dirugikan dapat memutuskan kontrak tersebut melainkan yang dirugikan harus dapat pula menunjukkan bahwa wanprestasi tersebut merupakan wanprestasi yang serius. Jika hanya terhadap wanprestasi yang tidak serius, yakni jika salah satu pihak tidak melakukan suatu kewajiban kecil, maka pihak lainnya tidak berhak untuk memutuskan kontrak tersebut, walaupun
tidak
tertutup
kemungkinan
bagiannya
untuk
memintakan ganti rugi jika cukup alasan untuk itu. 168 Mekanisme penentuan sejauh mana serius atau tidaknya suatu wanprestasi terhadap suatu kontrak adalah sebagai berikut : (1) Melihat apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan pelaksanaan kewajiban yang mana saja yang dianggap wanprestaisi terhadap kontrak tersebut, atau (2) Jika ada ketentuan dalam kontrak, maka hakim dapat menentukan apakah tidak melaksanakan kewajiban tersebut cukup serius untuk dianggap sebagai suatu wanprestasi terhadap kontrak yang bersangkutan. b) Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan
168
Indrareni Gandadinata, Op.cit, hal. 26.
88 Umumnya diterima dalam hukum teori kontrak bahwa hak untuk melakukan pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi tidak berlaku lagi manakala pihak yang dirugikan
tersebut
telah
mengensampingkan
hak
untuk
memutuskan kontrak tersebut. 169 Pengesarnpingan
hak
untuk
memutuskan
kontrak
mempunyai konsekuensi hukum sebagai berikut: (1) Hilangnya hak untuk memutuskan kontrak Sekali pihak yang dirugikan karena tindakan wanprestasi dari pihak lain telah mengesampingkan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka dia tidak dapat lagi nantinya mengubah memutuskan
pendiriannya
itu.
kontrak
tersebut
Artinya, sudah
haknya
untuk
hilang
karena
dilepaskannya itu. (2) Tidak berpengaruh terhadap penerimaan ganti rugi Seperti telah diketahui bahwa dengan di kesampingkannya hak untuk memutuskan kontrak, maka yang bersangkutan hilang haknya untuk memutus kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi yang hilang hanyalah hak untuk memutuskan kontrak. Karena, dalam ilmu hukum kontrak diterima prinsip bahwa sungguhpun pihak yang dirugikan karena wanprestasi telah melepaskan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, tetapi
169
Indrareni Gandadinata, Op.cit, hal. 26.
89 dia tetap berhak untuk menerima ganti rugi jika dia memang menderita kerugian akibat wanprestasi dari pihak lainnya itu. 170 Pada prinsipnya, pengesampingan hak untuk memutuskan suatu kontrak oleh pihak yang dirugikan oleh adanya tindakan wanprestasi dapat dilakukan dengan dua jalan sebagai berikut: (1) Dilakukan secara tegas. Dalam hal ini pihak yang berhak memutuskan kontrak tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia telah mengesampingkan haknya untuk memutuskan kontrak. (2) Dilakukan dengan tindakan Akan tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa pihak yang berhak
memutuskan
suatu
kontrak
tidak
menyatakan
pengesampingan secara tegas, melainkan dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Misalnya dia masih bersedia bahkan menggunakan barang yang dikirimkan oleh pihak pembeli, sungguhpun barang tersebut tidak seperti yang diperjanjikan, atau terlambat mengirimnya. 171 c) Pemutusan kontrak tidak terlambat dilakukan Pemutusan kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi haruslah dilakukan dalam waktu yang pantas (reasonable time). Hal ini untuk memberikan kepastian bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk meneruskan 170 171
atau
tidak
A. Qirom Meliala, Op.cit, hal.62. A. Qirom Meliala, Op.cit, hal.62.
wanprestasi
yang
belum
sempat
90 dilaksanakannya. Apabila selama jangka waktu yang wajar terhadap pemutusan kontrak tidak digunakan untuk memutuskan kontrak
yang
bersangkutan,
mana
dia
telah
“terlambat”
memutuskan kontraknya atas dasar bahwa dia telah “menerima” atau “mentoleransi” atas tindakan yang mengandung unsur wanprestasi tersebut, sehingga dia tidak dapat lagi memutuskan kontrak yang bersangkutan. 172 d) Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan Apakah unsur kesalahan disyaratkan agar pihak lainnya dalam kontrak dapat memutuskan kontrak, atau memperoleh hak untuk menerima ganti rugi. Untuk itu, ada berbagai variasi sistem hukum di satu negara dengan negara lain. Dalam sistem hukum Prancis misalnya, di sana berlaku ketentuan bahwa pada prinsipnya unsur kesalahan diperlukan untuk dapat diputuskannya suatu kontrak atau dibayar suatu ganti rugi. Prinsip persyaratan unsur kesalahan ini dalam Hukum Prancis terdapat beberapa perkecualian. Dalam Hukum Prancisi, relevansi dari elemen “kesalahan” dalam hal terminasi kontrak atau pemberian ganti rugi terwujud dalam dua bentuk sebagai berikut: (1) Jika unsur “kesalahan” diperlukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur “kesalahan” tersebut juga diperlukan untuk
172
Munir Fuady, Op.cit, hal. 100.
91 menggunakan hak dari pihak yang dirugikah untuk dapat memutuskan kontrak. (2) Pada prinsipnya pemutusan kontrak merupakan “discresi” dari pengadilan. Karena itu dalam kewenangan discresi tersebut, pihak pengadilan akan mempertimbangkan bisa atau tidaknya suatu
kontrak
diputuskan,
salah
satu
faktor
yang
dipertimbangkan adalah sejauh mana seriusnya kesalahan dari pihak yang melakukan wanprestasi. 173 Pada
prinsipnya
KUH
Perdata
tidak
mensyaratkan
eksistensi unsur “kesalahan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara lain akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak. Dengan demikian, menurut sistem KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat dimintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban tersebut bukan karena halhal yang bersifat Force Majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh 173
Munir Fuady, Op.cit, hal. 102.
92 hukum
yang
mengatur
tentang
wanprestasi,
tetapi
sudah
merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang Force Majeure dan tentang “resiko”. 174 e. Syarat Restorasi Dalam Terminasi Kontrak Pihak yang dirugikan karena wanprestasi atas kontrak pada prinsipnya dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi (restoration), yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. 175 Bentuk-bentuk dari tindakan restorasi oleh pihak yang dirugikan wanprestasi kepada pihak yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut : 1) Pengembalian benda secara fisik Apabila pihak yang melakukan wanprestasi telah menyerahkan suatu benda tertentu kepada pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak, tetapi kemudian pihak yang dirugikan ingin memutuskan kontraknya, maka sebagai tindakan restorasi, pihak yang dirugikan harus menyerahkan kembali benda 174
Hartono Hadisoeprapto, 2004, Seri Hukum Perdata Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 53. 175 Suryodiningrat, 2010, Perikatan-Perikatan Bersumber Undang-Undang, Penerbit Tarsito, Bandung, hal.61.
93 tersebut "secara fisik" kepada pihak yang melakukan wanprestasi yang bersangkutan. 2) Pembayaran kompensasi Akan tetapi jika benda tersebut tidak dapat dikembalikan secara fisik, maka apabila ingin memutuskan kontrak, pihak yang telah dirugikan oleh wanprestasi tersebut harus memberikan kompensasi sejumlah manfaat yang diterimanya. Hal ini dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: a) Karena benda tersebut menyatu dengan bendanya pihak yang dirugikan oleh wanprestasi, ataupun b) Karena prestasi yang telah diberikan oleh pihak melakukan wanprestasi tersebut berupa benda yang tidak dapat dikembalikan, misalnya dalam bentuk jasa. 176 f. Akibat Dari Terminasi Kontrak Jika suatu kontrak diputuskan karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka akan berlaku beberapa akibat hukum sebagai berikut : 1) Timbulnya kewajiban untuk melakukan restorasi Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagi pihak yang ingin memutuskan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi berlaku kewajiban untuk melakukan restorasi terhadap pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut. 177
176 177
Munir Fuady, Op.cit, hal. 102. Munir Fuady, Op.cit, hal. 103.
94 Dalam hal ini, jika pemutusah kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi (restoration), yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. 178 2) Berlaku secara ex tunc ataupun ex nunc Dengan diputuskannya kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, apakah dengan demikian keadaan dikembalikan seperti sebelum kontrak dilakukan (ex tunc) yakni yang mempunyai efek retrospektif (kontrak tersebut dianggap sama sekali tidak ada), ataupun kontrak hanya membebaskan para pihak untuk melaksanakan kewajibannya untuk masa setelah wanprestasi, sementara apa yang telah dilakukan sebelum wanprestasi tetap dianggap sah, yang disebut sebagai mempunyai efek yang ex nunc, yakni mempunyai efek yang prospektif. 179 Tidak kelihatan ketentuan yang tegas dalam KUHPerdata Indonesia tentang efek dari berlakunya pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi ini. Akan tetapi dalam ilmu hukum kontrak terdapat berbagai pandangan tentang efek yang retrospektif atau prospektif ini, bergantung kepada hukum dari negara 178
Munir Fuady, Op.cit, hal. 103. Dokumengolum.blogspot.com/2011/06/prestasiwanprestasidalamhuku, diakses pada tanggal 29 April 2015. 179
95 mana yang diberlakukan. Pemutusan kontrak dalam hukum Prancis, atau yang disebut dengan resolution mempunyai efek yang retrospektif (ex tunc), sementara pemutusan kontrak dalam hukum Jerman atau yang disebut dengan rucktritt dahulunya juga mempunyai akibat yang retrospektif. Tetapi dalam hukum Jerman yang modern, pemutusan kontrak sudah dianggap sebagai tindakan yang mempunyai efek ex nunc. 180 Di samping itu, di negara-negara yang berlaku hukum Common Law, tidak ada ketentuan yang umum, tetapi pendekatannya dilakukan secara kasus per kasus, dalam arti ada kasus yang diterapkan efek yang ex tunc, tetapi ada pula kasus yang menerapkan efek yang ex nunc. 3) Akibat terhadap hak untuk mendapatkan ganti rugi Seperti telah disebutkan bahwa jika ada pihak yang dirugikan karena wanprestasi dari pihak lainnya, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan tersebut. Pada prinsipnya dalam ilmu hukum diterima prinsip bahwa bahwa upaya pemutusan kontrak karena wanprestasi tersebut tidak diberlakukan secara bersamaan dengan upaya paksaan untuk melaksanakan kontrak, karena jelas itu merupakan dua hal yang bertentangan.
Akan
tetapi
dengan
pemutusan
kontrak
masih
dimungkinkan diberlakukan juga upaya ganti rugi dalam kasus yang sama, jika ada alasan untuk itu. 181
180
Ibid. Stefanus Tatawi, 2015, “Tuntutan Ganti Rugi terhadap Debitur Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ditinjau dari Pasal 1243 KUHPerdata (BW),” Lex Privatum, Vol.III, No.2, hal.135. 181
96 Hanya saja, prinsip pelarangan penerimaan ganti rugi secara double selalu dielakkan dalam kontrak, karena hal tersebut dapat merupakan penerimaan tanpa hak (unjust enrichment). Karena itu jika dalam satu kasus yang sama, disamping berlaku hak dari pihak yang dirugikan untuk memutuskan kontrak, berlaku juga ganti rugi, maka ganti rugi tersebut haruslah dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menjadi upaya ganti rugi kedua disamping upaya pemutusan kontrak yang bersangkutan. 182
2.3 Penyalahgunaan Keadaan 2.3.1
Pengertian Penyalahgunaan Keadaan dan Dasar Hukumnya Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan
padanan dari istilah misbruik van omstandigheden, dan undue influence. Dalam sistem common law, selain undue influence dikenal pula unconscionability, yang keduanya berbeda, meskipun memiliki kesamaan yakni keduanya didasarkan pada adanya ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Bila kontrak terbentuk atas dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang, maka hal itu dinamakan undue influence (hubungan yang berat sebelah), namun bila ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan, maka hal ini dinamakan unconscionability (keadaan yang berat sebelah). Dalam putusan kasus Commercial Bank of Australia v Amadio (1983) 151 CLR 447, Deane J. menyatakan
bahwa
doktrin
undue
influence
dipandang
dari
akibat
ketidakseimbangan itu terhadap pemberian kesepakatan dari pihak yang 182
Djaja S. Meiliana, Op.cit, hal.62.
97 dipengaruhi, sedang unconscionability dipandang dari kelakuan pihak yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya terhadap orang yang lemah, apakah sesuai dengan kepatutan. 183 Dalam kasus undue influence harus ada suatu bentuk eksploitasi oleh salah satu pihak atas pihak yang lebih lemah. Pihak yang berupaya membatalkan transaksi dengan dasar undue influence, harus membuktikan bahwa transaksi itu tidak jujur, bahwa dia pihak yang tidak bersalah telah dirugikan. Pihak lainnya harus melindungi diri dengan membuktikan bahwa sudah ada nasihat profesional dan independen yang telah diberikan sebelum transaksi diakadkan. 184 Penyalahgunaan keadaan sebagai faktor yang membatasi kebebasan berkontrak, berhubungan dengan terjadinya kontrak, bukan karena causa yang tidak dibolehkan. Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian karena tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak. Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak, yakni menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi atau maksud kontrak menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Penyakit sesungguhnya tidak terletak pada causa yang tidak dibolehkan, tetapi terletak pada cacat kehendak. 185
183
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 226-227. Arthur Lewis, 2009, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, penerjemah Derta Sri Widowatie, Nusa Media, Bandung, hal. 132. 185 J.M. van Dunne dan Gr. Van der Burght, Penyalahgunaan Keadaan, Kursus Hukum Perikatan- Bagian III, terjemahan Sudikno Mertokusumo, 1987, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, hal. 11. 184
98 Seseorang
yang
memiliki
keunggulan
posisi
tawar
akan
dapat
mendominasi dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu kontrak, sehingga pihak lain terpaksa mengadakan kontrak tersebut. Sedikit banyaknya harus ada kedudukan terpaksa dari pihak yang membutuhkan, dimana dalam keadaan itu tidak ada alternatif riil untuk membuat kontrak dengan orang lain, dan dengan demikian juga tidak ada kemungkinan untuk mengadalan kontrak yang riil. 186 Keunggulan yang tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu, yang dibuat karena keterpaksaan.pihak yang lebih lemah untuk memenuhi keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas kebebasan berkontrak, dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat, namun karena kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas kehendak bebas, melainkan karena keadaan terpaksa, maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan keadaan. Kiranya dapat dikatakan, bahwa kebebasan berkontrak yang tidak bertanggung jawab akan cenderung dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan. Dengan diakuinya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan kontrak, maka ia sekaligus berfungsi sebagai faktor pembatas terhadap praktik kebebasan dalam pembuatan kontrak. Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya adalah mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap pihak lainnya. Keunggulan itu tidak saja bersifat ekonomis, tetapi juga keunggulan kejiwaan atau keduanya, baik keunggulan ekonomis maupun keunggulan kejiwaan. Apabila dilakukan penyalahgunaan
186
Ibid, hal. 19.
99 keunggulan, terjadilah penyalahgunaan keadaan. 187 Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari oleh pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya dengan memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak seimbang. Penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dapat terjadi dengan persyaratan dasar: 188 (1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain; (2) pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian atau kontrak. Sementara itu, terhadap penyalahgunaan karena keunggulan kejiwaan dapat terjadi apabila: (1) salah satu pihak menyalahgunakan keuntungan relatif, yaitu terdapat hubungan kepercayaan istimewa, seperti antara orang tua-anak, suami-isteri, dokterpasien; (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh gangguan jiwa, usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, dan kondisi badan yang tidak baik. Dengan kondisi kejiwaan yang demikian, pihak yang dirugikan ada dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi. Saat ini, selain ketiga alasan klasik yang terdapat dalam Pasal 1321 KUH. Perdata, penyalahgunaan keadaan telah menjadi alasan lain untuk membatalkan kontrak
karena
cacat
kehendak
yang
belum
diatur
dalam
peraturan
perundangundangan, melainkan berasal dari konstruksi hukum yang diakui yurisprudensi Mahkamah Agung di Indonesia. Penerapan penyalahgunaan keadaan sebagai factor yang membatasi adanya kehendak yang bebas dalam pembuatan kontrak telah diterima Mahkamah Agung. 189
187
Ibid, hal. 16. Ibid, hal. 18-20. 189 Ricardo Simanjuntak, 2003, “Akibat Dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang Bertentangan 188
100 Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut tidaklah berdasarkan pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat kehendak klasik Pasal 1321 KUH Perdata, yaitu : kekhilafan, paksaaan, dan penipuan. Sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata, cacat kehendak tersebut mempengaruhi syarat sahnya perjanjian, yaitu mengenai kesepakatan para pihak. Bertolak dari hal tersebut, penyalahgunaan keadaan selanjutnya dimasukkan menjadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi kesepekatan sebagai syarat subyektif untuk sahnya perjanjian. J.M. van Dunné dan Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Sudikno Mertokusumo, menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa 190 : “Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat” Selanjutnya penyalahgunaan
Van
keadaan
Dunne juga
mengemukakan
berhubungan
dengan
pendapatnya terjadinya
bahwa kontrak.
Penyalahgunaan keadaan tersebut menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak diperbolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Dengan demikian, tidaklah Dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 2, hal. 58. 190 Bambang Poerdyatmono, 2005, Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) pada Kontrak Jasa Konstruksi, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.72.
101 tepat menyatakan perjanjian yang terjadi di bawah pengaruh penyalahgunaan keadaan akan selalu bertentangan dengan kebiasaan yang baik yang menyangkut dengan isi perjanjian itu sendiri (sebab yang halal). Sehubungan dengan masalah itu, Setiawan mengungkapkan bahwa Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja dalam ceramah di Jakarta pada tanggal 21 November 1985 menyatakan bahwa penyalahgunaan (keadaan) sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak. 191 Penggolongan penyalahgunaan keadaan tersebut sebagai bentuk cacat kehendak dalam kesepakatan adalah lebih tepat.
2.3.2
Unsur-Unsur
Penyalahgunaan
Keadaan
Menurut
Doktrin,
Netherlands New Civil Code Penyalahgunaan keadaan mengandung dua unsur, yaitu: a. unsur penyalahgunaan keadaan (kesempatan) oleh pihak lain; dan b. unsur kerugian bagi satu pihak Van Dunne membedakan unsur petama tersebut menjadi dua, yaitu penyalahgunaan keunggulan ekonomis dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan, yang diuraikan sebagai berikut 192: a. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis, yaitu: 1) satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain 2) pihak lain terpaksa dalam mengadakan perjanjian 191 192
Henry P. Panggabean, Op.cit, hal. 43. Ibid, hal 44.
102 b. persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan: 1) salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami dan istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaat 2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya. Keunggulan ekonomis atau kekuasaan ekonomi (economish overwicht)193 pada salah satu pihak merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan sehingga dapat mengakibatkan tidak sahnya suatu kesepakatan dalam perjanjian (kehendak yang cacat). Menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan.194 Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang. Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Sebagai contoh, jika ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan, 193
Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, Jakarta, hal. 54. 194 Ibid.
103 maka hakim wajib memeriksa dan meneliti faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut 195. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis. 196 Selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. 197 Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis. 198 Penyalahgunaan keadaan dalam Artikel 3.44.1 Nieuw Burgerlijke Wetboek (NBW) yang menentukan bahwa een rechtshandeling is vernietigbaar, wanneer zij door bedreiging, door bedrog of door misbruik van omstandigheiden (terjemahan bebas : perbuatan hukum dapat dibatalkan apabila karena adanya ancaman, karena penipuan, atau karena penyalahgunaan keadaan. Dengan demikian pasal ini mengenal 3 (tiga) macam cacat kehendak yaitu : 1. Ancaman (bedreiging); 2. Penipuan (bedrog); dan 3. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). Ancaman itu ada menurut Artikel 3.44.2 NBW Belanda, jika seseorang yang menyebabkan orang lain melakukan perbuatan hukum tertentu secara 195
Ibid. Ibid. 197 Ibid. 198 Ibid. 196
104 melawan hukum mengancam dia atau pihak ketiga dengan melakukan kejahatan kepada dirinya atau harta bendanya, melakukan ancaman. Kemudian menurut Artikel 3.44.3 NBW Belanda, penipuan itu terjadi manakala seseorang yang menyebabkan orang lain untuk melakukan perbuatan hukum yang dimaksudkan dengan sengaja memberikan informasi yang tidan benar, dengan sengaja menyembunyikan suatu fakta padahal yang bersangkutan harus menyampaikan fakta itu, atau dengan cara tipu muslihat lainnya. 199 Berkenaan dengan penyalahgunaan keadaan, Artikel 3.44.4 NBW Belanda menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang mengetahui atau seharusnya mengetahui orang lain yang melakukan suatu perbuatan hukum sebagai akibat dari keadaan khusus, seperti keadaan darurat, ketergantungan, kecerobohan, keadaan jiwa yang tidak normal, atau tidak berpengalaman dan yang mendorong lahirnya perbuatan hukum, padahal ia mengetahui atau seharusnya mengetahui seharusnya tidak melakukan itu, melakukan suatu penyalahgunaan keadaan. Cacat kehendak yang lain yakni kesesatan (dwaling) diatur dalam Buku 6 NBW Belanda. Artikel 6.228.1 NBW Belanda menentukan, een overeenkomst die is tot stand gekomen onder invloed van dwaling en bij een juiste voorstelling van zaken niet zou zijn gesloten, is vernietigbaar (terjemahan bebas : suatu perjanjian yang lahir (terjadi) karena pengaruh kesesatan dan apabila dia mendapat gambaran sebenarnya, maka perjanjian itu tidak akan dibuat, maka perjanjian itu dapat dibatalkan): 200
199 200
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90. Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.
105 1. Indien de dwaling is wijten is aan een inlichting van wederpartij, tenzij deze mocht aannemen dat de overeenkomst ook zonder deze inlichting zou worden gesloten (terjemahan bebas : apabila kesesatan itu disebabkan oleh penjelasan yang keliru dari kedua belah pihak, kecuali apabila perjanjian itu dapat diterima dan ditutup walaupun tanpa adanya penjelasan tersebut); 2. Inden de wederpartij in verband met hetgeen zij omtrent de dwaling wist of behoorde te weten, de dwalende had behoren in te lichten (terjemahan bebas : apabila kedua pihak mengetahui atau patut mengetahui adanya kesesatan itu, seharusnya mereka berupaya mendapatkan penjelasan terlebih dahulu); 201 3. Indien de wederpartij bij het sluiten van de overeenkomst van dezelve onjuiste veronderstelling als de dwalende is uitgegaan, tenzij ook bij een juiste voorstelling van zaken niet had behaeven te begrijpen dat de dwalende daardoor van het sluiten van de overeenkomst zou worden afgehouden (terjemahan bebas : apabila kedua belah pihak yang menutup perjanjian mempunyai pandangan keliru yang menimbulkan kesesatan kecuali apabila dia tidak perlu mengetahui tentang pandangan yang sebenarnya itu bahwa kesesatan itu timbul dari perjanjian yang telah ditutup itu). 202 Selanjutnya menurut Artikel 6.228.2 NBW Belanda, de vernietigbaar kan niet worden gegrond op een dwaling die een uitsluitend toekimstige omstandigheid betreft of die verband met de aard van de overeenkomst, de I het
201 202
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90. Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.
106 verkeer geldende opvatingen of de omstandigheiden van het geval rekening van de dwalende behoort te blijven (terjemahan bebas : pembatalan itu tidak dapat didasarkan pada suatu kesesatan yang akan ditutup pada masa yang akan datang atau yang berhubungan dengan dasar perjanjian itu, yang mana keadaan yang keliru itu adalah merupakan tanggungjawab dari yang keliru itu). 203 Dari kedua ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa hukum kontrak Belanda mengenal ada 4 (empat) macam cacat kehendak, yaitu: 1. Ancaman; 2. Penipuan; 3. Penyalahgunaan keadaan; dan 4. Kesesatan Berkaitan dengan ancaman dan penipuan dalam konteks hukum Perdata Belanda, tidak hanya berhubungan dengan persoalan pembatalan kontrak (atau perbuatan hukum yang lain), tetapi juga berkaitan dengan orang yang bertanggungjawab dalam perbuatan melawan hukum. Undue influence (penyalahgunaan keadaan juga diatur dalam The Netherlands New Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru). Pengaturan penyalahgunaan keadaan tersebut diatur dalam Artikel 4.2 Netherlands New Civil Code tentang mistake and undue influence (kesalahan dan penyalahgunaan keadaan). Article 4.2 Netherlands New Civil Code menyatakan when a party buys goods under the influence of a mistake (Art. 6:228 DCC), traditionally two options exist: either the party annuls the contract, or he does not use this remedy 203
Ridwan Khairandy II, Op.cit, hal. 90.
107 and leaves the contract as it is (terjemahan bebas : ketika sebuah pihak membeli barangbarang di bawah pengaruh dari sebuah kesalahan (Pasal 6:228 KUHPdt Belanda), secara tradisional maka akan ada dua pilihan: apakah pihak tersebut membatalkan kontrak, atau ia tidak menggunakan langkah ini dan membiarkan kontrak seperti apa adanya). 204 Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa perjanjian dapat dibatalkan atau tidak dibatalkan oleh pihak yang dirugikan melalui keputusan hakim. Sebagaimana ketentuan selanjutnya dalam Article 4.2 tersebut yang berbunyi Moreover, there is an important new option: upon the demand of one of the parties, the judge may instead of pronouncing the annulment modify the effects of the contract to remove the prejudice of the party entitled to the annulment (Art. 6:230 (2) DCC) (terjemahan bebas : lebih lagi, ada pilihan baru yang penting: atas permintaan dari salah satu pihak, hakim dapat ketimbang menyakatan pembatalan merubah efek dari kontrak untuk menghilangkan praduga dari pihak yang berhak atas pembatalan (Pasal 6:230 (2) KUHPdt Belanda)). 205 Lebih lanjut Article 4.2 Netherlands New Civil Code mengatur regarding one other vice of consent, the undue influence (abuse of circumstances), a similar provision is given (Art. 3:54 (2) DCC). The legislator is reluctant to expand this approach further to all vices of consent, or to all annullabilities though a number of scholars pleaded in favour of such an expansion. No one should against his will stay bound to someone else who threatened or deceived him, the legislator argues 204
Jaap Hijma dan Henk Snijders, 2010, The Netherlands New Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru), National Legal Reform Program, Jakarta, hal.16. 205 Ibid.
108 (terjemahan bebas : terkait dengan syarat kesepakatan lainnya, pengaruh buruk (penyalahgunaan keadaan), ketentuan serupa telah tersedia (Pasal 3:54 (2) KUHPdt Belanda). Legislator enggan untuk memperluas pendekatan ini lebih jauh untuk seluruh kesepakatan (vices of consent) atau seluruh pembatalan meskipun sejumlah ahli hukum meminta perluasan tersebut. Tidak seorangpun di luar keinginannya terikat pada orang lain yang mengancam atau menipunya, demikian argumentasi dari legislator). 206 Ketentuan
tersebut
menyatakan
bahwa
pengaturan
mengenai
penyalahgunaan keadaan telah diatur dalam Pasal 3.54 ayat (2) Netherlands New Civil Code (KUHPdt Belanda), namun legislator atau pembuat undang-undang kurang bersedia memperluas pengaturan penyalahgunaan keadaan dengan alasan bahwa tidak ada satu orangpun yang membuat perjanjian di luar kehendaknya apalagi jika orang tersebut merasa diancam/dipaksa atau melalui penipuan. 207 Selanjutnya kekuasaan yuridis untuk mengadaptasi kontrak memiliki ketentuan ekstra yudisial yang paralel dalam Pasal 6:230 ayat (1) KUHPdt Belanda, yang menyatakan bahwa kekuasaan untuk membatalkan sebuah kontrak berdasarkan adanya kesalahan, ketika pihak lainnya mengajukan perubahan atas efek dari kontrak yang menghapuskan kerugian pihak yang berhak atas pembatalan kontrak tanpa interpensi hakim. Hal ini juga diatur dalam Article 4.2 Netherlands New Civil Code yang menyatakan the adaptation of the contract thus can be enforced without the interference of a judge. If the proposition of the other party adequately removes the prejudice, the mistaken party should accept this 206 207
Ibid. Ibid.
109 proposition; if not, his power to annul the contract ends anyway (terjemahan bebas : adaptasi dari kontrak dengan demikian dapat ditegakkan tanpa intervensi dari hakim. Jika penawaran dari pihak lainnya menghapuskan praduga, pihak yang merasa disalahi harus menerima tawaran ini; jika tidak, kekuasaannya untuk membatalkan kontrak pun tetap akan berakhir). Ketentuan serupa juga berlaku untuk kasus penyalahgunaan keadaan (Pasal 3:54 ayat (1) KUHPdt Belanda). 208 Ketentuan dalam Article 4.2 Netherlands New Civil Code tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang lemah. Hal ini dipertegas lagi dalam Article 6.2 yang menyatakan : in various ways, the Code aims to protect so-called weak(er) parties against so-called strong(er) parties. Apart from a number of traditional provisions like those on incapacity (art. 3:32 DCC), threat, deceit and undue influence (Art. 3:44 DCC), this trend especially shows in Books 7-7A regarding the various special contracts. Among the protected parties are the consumer (Title 7.1), the tenant (Title 7.4), the commercial agent (Title 7.7.3), the patient (Title 7.7.5), the traveller (Title 7.7A), the employee (Title 7.10) and the private surety (Title 7.14). The relevant provisions repeatedly derive from European Directives; consumer protection is one of the areas of civil law on which the European Union concentrates (terjemahan bebas : dalam berbagai cara, kitab ini mengarah pada perlindungan apa yang kita sebut sebagai pihak yang (lebih) lemah dari pihak yang (lebih) kuat. Selain dari ketentuan tradisional seperti ketidakcakapan (Pasal 3:32 KUHPdt Belanda), ancaman, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan (Pasal 3:44 KUHPdt Belanda). Tren ini terutama terlihat pada Buku 7-7A mengenai berbagai kontrak
208
Ibid.
110 khusus. Di antara pihak yang dilindungi adalah termasuk konsumen (Judul 7.1), penyewa (Judul 7.4), agen komersial (7.7.3), pasien (Judul 7.7.5), orang yang bepergian (Judul 7.7A), karyawan (Judul 7.10) dan hutang perusahaan (Judul 7.14). Ketentuan terkait kembali diambil dari European Directives; perlindungan konsumen adalah salah satu area dari hukum perdata yang merupakan perhatian dari Uni Eropa). 209 Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengaturan penyalahgunaan keadaan yang diatur dalam Article 4.2 Netherlands New Civil Code dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada pihak yang kedudukannya lebih lemah di dalam suatu kontrak. Dalam perkembangannya, penggunaan ajaran penyalahgunaan keadaan telah diterapkan dalam berbagai perkara yang masuk proses pengadilan. Hal ini menandakan bahwa ajaran penyalahgunaan keadaan telah dikenal dan bukan merupakan ajaran baru dalam bidang hukum perdata. Pada dasarnya, dalam pembuatan perjanjian yang terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu, hal tersebut tidaklah mempunyai pengaruh terhadap sebab/causa perjanjian. Penyalahgunaan keadaan tidak hanya menyangkut prestasi yang tidak seimbang, namun menyangkut juga keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya perjanjian. Dalam terjadinya perjanjian, hal yang ingin dicapai oleh salah satu pihak ternyata merupakan hasil penyalahgunaan keadaan terhadap pihak lawan sehingga merugikan pihak lawan tersebut. Eggens berpendapat bahwa penyalahgunaan keadaan harus dianggap sebagai cacat kehendak dan bahwa tidak ada halangan bagi hakim untuk 209
Ibid.
111 memutuskan demikian. Penyalahgunaan tersebut dianggap ada apabila orang yang mengetahui atau harus mengerti bahwa orang lain yang didorong karena keadaan istimewa, seperti keadaan darurat, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman melakukan perbuatan hukum. 210 Dalam Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Sudikno Mertokusumo, penyalahgunaan keadaan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 211 a. Penyalahgunaan keunggulan ekonomis; b. penyalahgunaan keunggulan kejiwaan; dan c. penyalahgunaan keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud di atas memiliki arti yang luas. Keadaan tersebut tidak hanya meliputi adanya bahwa yang mengancam kesehatan, jiwa, kehormatan, atau kebebasan, melainkan juga kerugian yang mengancam milik maupun reputasi pribadi dan/atau kebendaan. Penyalahgunaan pada keadaan ini berupa
sikap
tindak
untuk
memperoleh
keuntungan
tertentu
dengan
memanfaatkan keadaan bahaya dari pihak lain. Namun pada dasarnya, penyalahgunaan
keadaan
darurat
ini
digolongkan
ke
dalam
kategori
penyalahgunaan keunggulan ekonomis. Secara historis, penyalahgunaan keunggulan ekonomis lebih sering digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Dalam penyalahgunaan keunggulan ekonomis, terdapat kerugian yang jelas dan konkret
210
Henry P. Panggabean, Op.cit, hal. 27. Sudikno Metrokusumo, 1987, “Dewan Kerjasama Ilmu Hokum Belanda Dengan Indonesia’, Proyek Hukum Pedata, Medan, Hal.27 211
112 yang dialami salah satu pihak. Hingga sekarang, dalam beberapa perjanjian dapat dilihat adanya keunggulan ekonomis dari salah satu pihak. Sehingga, untuk mendapatkan prestasi tertentu yang sangat dibutuhkan, suatu pihak terkadang harus menerima klausul dalam perjanjian yang merugikan dirinya. 212 Inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak pada adanya inequality of bargaining power yang harus dihadapi oleh pihak yang lemah dan tidak dapat dihindari. Pihak yang kedudukan ekonominya kuat dapat memaksakan suatu klausul mengingat ketidak seimbangan kondisi yang terjadi. Adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengadakan perjanjian dengan pihak yang memiliki keunggulan ekonomi membuat pihak yang lemah terpaksa membuat perjanjian dan menerima syarat yang diperlukan, tanpa adanya alternatif lain. Dalam Module 3 Interconnection oleh ITU, dikatakan bahwa: “... most of the bargaining power in negotiations lies with incumbent”. 213 Penyalahgunaan keunggulan ekonomis tidaklah semata-mata hanya karena adanya keunggulan salah satu pihak. Perlu diperhatikan kondisi-kondisi lain yang ada pada pembuatan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keunggulan ekonomis. Kondisi-kondisi tersebut yaitu klausul dalam perjanjian, beban dan resiko para pihak, adanya ketergantungan, dan kemungkinan kerugian yang dapat diderita pihak yang lemah. 214 Faktor kerugian merupakan faktor yang berkaitan dengan adanya penyalahgunaan keadaan. Dalam pandangan modern, terdapat dua ajaran
212
Gunawan, Johannes, Op.cit, hal.48. Hank Intven McCarthy Tetrault, 2010, Telecommunications Regulation Handbook, InfoDev, Washington, hal.3-1. 214 Muhammad Arifin, 2011, “Penyalahgunaan Keadaan sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.14, No.2, hal.288. 213
113 mengenai kerugian, yaitu kerugian obyektif dan kerugian subyektif. Kerugian obyektif yang dimaksud adalah kerugian ekonomis/finansial, materil, atau kerugian yang nyata/terwujud. Kerugian obyektif terjadi jika dalam suatu perbuatan hukum menimbulkan beban finansial pada salah satu pihak yang diakibatkan misalnya karena ketidak seimbangan prestasi. 215 Kerugian subyektif sendiri merupakan segala sesuatu yang menyebabkan orang lain berada dalam posisi yang tidak menguntungkan tanpa dapat dinyatakan secara materi. Kerugian ini cenderung berkaitan dengan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan, sedangkan kerugian obyektif lebih berkaitan dengan penyalahgunaan keunggulan ekonomis. 216 Berkembangnya ajaran penyalahgunaan tidak terlepas dari asas iustum pretium. Asas ini memiliki makna bahwa suatu perjanjian yang mengakibatkan adanya kerugian ekonomi atau finansial dari salah satu pihak adalah harus dibatalkan, dan kerugian tersebut disebabkan adanya penyalahgunaan keadaan. Hal ini menandakan adanya hubungan erat antara asas iustum pretium dengan penyalahgunaan keadaan. 217 Meskipun demikian, ada dua hal yang menyebabkan asas iustum pretium berbeda dengan penyalahgunaan keadaan, yaitu: a. Pembatalan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan tidak disyaratkan adanya bentuk atau tindakan yang menyebabkan kerugian. Asas iustum pretium sendiri justru menekankan pada adanya kerugian ekonomi yang bertolak dari ketidak seimbangan prestasi para pihak. Penyalahgunaan keadaan dapat dijadikan dasar pembatalan 215
Kim Min Soo, 2005, “Penyalahgunaan Keadaan (undue influence) dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha Ditinjau dari Hukum Perjanjian Indonesia”, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 97-98. 216 Ibid. 217 Ibid.
114 perjanjian timbal balik dan juga perbuatan hukum lainnya. Sedangkan asas iustum pretium digunakan terbatas pada perjanjian saja, mengingat adanya ketidakseimbangan prestasi dan juga unsur kerugian materi. b. Demikian halnya dengan dalam suatu tuntutan atau gugatan. Dalam suatu tuntutan atas penyalahgunaan keadaan, pihak yang dirugikan harus dapat menunjukan bahwa pihak lawan menyalahgunakan keadaannya. Sehingga, dasar tuntutan dalam hal ini ditekankan pada adanya penyalahgunaan, bukan adanya kerugian yang ditimbulkan. 218 Berdasarkan uraian di atas, saya berpendapat asas iustum pretium secara tidak langsung telah diterapkan dalam hukum Indonesia. Dikaitkan dengan kerugian, iustum pretium tersebut bersifat obyektif. Namun penggunaan iustum pretium pada dasarnya mengacu pada sebab yang tidak halal dari suatu perjanjian, karena menekankan pada adanya kerugian yang diderita. Ajaran penyalahgunaan keadaan juga telah diterapkan dalam hukum Indonesia, terbukti dengan adanya putusan-putusan yang didasarkan adanya ajaran ini. Ajaran ini melindungi pihakpihak tertentu dari penyalahgunaan keadaan pihak lain yang menyebabkan mereka tidak memberi persetujuan dengan bebas. Sehingga, penekanan ajaran ini terletak pada kehendak yang cacat, bukan causa atau sebab dari suatu perjanjian. Meskipun demikian, ajaran penyalahgunaan keadaan dan asas iustum pretium dapat digunakan secara beriringan.
2.3.3
Akibat Penyalahgunaan Keadaan Penyalahgunaan keadaan (undue influence) terjadi pada awal perjanjian
terkait dengan syarat subyektif kesepakatan : kesepakatan yang terjadi karena adanya penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan sebagai kesepakatan semua dikarenakan adanya cacat kehendak. Oleh adanya penyalahgunaan keadaan ini maka perjanjian dapat dibatalkan (vaidable atau vernietiabaar). 218
Ibid.
115 Di pengadilan, banyak diketemukan kasus pembatalan perjanjian yang alasan gugatannya bukan berdasarkan dwaling, dwang ataupun bedrog. Dibutukan bantuan hakim yang adil dan dapat dipercaya untuk memeriksa dan memperbaiki kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan karena undang undang yang tidak sempurna. Pokok pertimbangan hukum bagi hakim, bisa bersumber dari undangundang, yurisprudensi, doktrin, kebiasaan, dan lain-lain. Diharapkan putusan hakim ini dapat menjadi pedoman bagi hakim lain dalam mengambil keputusan. Sehubungan
dengan alasan pembatal perjanjian, selain ancaman
(bedreiging), penipuan (bedrog), dan kesesatan (dwaling), Nederland sebagai Negara yang dasar hukumnya diadopsi oleh Indonesia, telah mencantumkan suatu ajaran baru yaitu “misbruik vanomstandigheden” atau penyalahgunaan keadaan kedalam ketentuan undang-undang di dalam Nieuw Burgerlijke Wetboek (untuk selanjutnya disingkat NBW), diatur dalam artikel 3:44 lid 1 NBW. Karena alasan pembatalan perjanjian dalam NBW yaitu ancaman, penipuan, dan kesesatan (khilaf) hampir sama dengan alasan pembatalan perjanjian dalam KUHPer, maka saya hanya membahas mengenai penyalahgunaan keadaan sebagai sumber hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan perkara hukum perjanjian di Indonesia. Terbentuknya dilatarbelakangi
alasan
pertimbangan
penyalahgunaan hukum
dalam
keadaan
kedalam
NBW
berbagai
putusan
hakim.
Terbentuknya ajaran ini disebabkan belum adanya (pada waktu itu) ketentuan dalam Burgerlijke Wetboek (Belanda) yang mengatur hal ini. Ternyata pertimbangan-pertimbangan hakim tidaklah didasarkan pada salah satu alasan
116 pembatalan perjanjian, yaitu cacat kehendak klasik (pasal1321 KUHPer) berupa kesesatan, paksaan, dan penipuan. 219 Ajaran penyalahgunaan keadaan sebenarnya bukan hal yang baru ditemukan dalam penyelesaian perkara di bidang hukum perjanjian Indonesia. Sejak 1 Januari 1992, mulai diberlakukannya aliran Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW. KUH Perdatanya Belanda) yang dalam praktek peradilan di Indonesia pun sudah menerapkan aliran ini, tetapi belum dirumuskan dalam perundang-undangan Indonesia, hanya termasuk dalam doktrin atau pendapat para sarjana hukum, tempat hakim menemukan hukumnya. Umumnya pembatalan perjanjian dengan kategori penyalahgunaan keadaan yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pertimbangan bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan kepatutan, keadilan, itikad baik, dan lain-lain. Dalam hal ini, kekuasaan hakim untuk mencampuri isi perjanjian dalam perkara pembatalan perjanjian sangat berperan. Karena masih merupakan doktrin, penyalahgunaan keadaan belum mendapat perhatian khusus dalam praktek hukum di Indonesia. Masih banyak yang berpendapat bahwa doktrin kurang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hukum dibandingkan dengan undang-undang. Hal ini disebabkan karena Indonesia menganut system kodifikasi, yang adalah hukum tertulis. Sifat tertulisnya perundang-undangan kodifikasi itu menghalang-halangi prosedur penyesuaiannya oleh hakim terhadap tuntutan masyarakat. 220 219
Henry.P. Panggabean, 1991, “Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan baru untuk pembatalan perjanjian,” Varia Peradilan No.70 tahun VI, (selanjutnya disingkat Henry.P. PanggabeanII), hal. 133. 220 H.R. Sardjono, 1991, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Ind Hill-Co, Jakarta, hal. 49.
117 Akibat adanya penyalahgunaan keadaan dalam suatu perjanjian, selain perjanjian dapat dibatalkan karena adanya cacat kehendak, akibat lainnya justru sebaliknya yaitu penetapan terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan tersebut. Kedua hukum ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya. 221 Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328 sebagai berikut. Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”. Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila 221
Dian Fitriana, “Pembatalan Perjanjian Suatu Perbandingan antara Sistem Indonesia dengan Sistem Common Law, Media Soerjo, Vol.4, No.1, hal.3.
118 perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan”. Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”. Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”. Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira melainkan harus dibuktikan”. Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang disebut error in substantia. Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula bersifat semu. Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau
119 kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan
terbentuk
perjanjian. 222
Subekti
juga
menyebutkan
bahwa
“kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf
mengenai
hal-hal
tersebut,
ia
tidak
akan
memberikan
persetujuannya.” Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian. Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut, hal ini terlihat dari Pasal 1323 KUH Perdata. 223 Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan 222 223
Ibid. Subekti III, Op.cit. hal. 20
120 milik pihak ketiga. 224 Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 1325. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung unsur cacat kehendak dari pihak yang membuatnya sehingga terancam pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari bunyi Pasal 1326, yaitu bahwa “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”. Alat atau sarana yang dipakai untuk mengancam dapat berupa sarana yang tergolong legal ataupun illegal, misalnya senjata tajam atau pistol, sedangkan sarana yang legal, misalnya ancaman penyitaan harta benda ataupun ancaman kepailitan. 225 Penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.226 Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya. 227 Dalam hal penipuan ini, jarang terjadi bahwa si pelaku hanya melakukan kebohongan suatu hal, 224
Herlien Budiono I, Op.cit. hal. 97. Herlien Budiono I, Op.cit. hal. 98 226 Subekti III, Op.cit, hal. 22. 227 Herlien Budiono III, Op.cit hal. 99. 225
121 melainkan ia melakukan suatu rangkaian kebohongan. Hal ini tampak dari pilihan frasa dalam pasal di atas, yaitu ‘tipu muslihat’. Untuk menetapkan dan membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penipuan dan dilakukannya perbuatan hukum berupa membuat persetujuan, harus dapat ditunjukkan bahwa tanpa adanya penipuan itu, persetujuan untuk membuat perjanjian tidak akan pernah dilakukan. Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir pasal itu, yaitu ‘menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya’ menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya. Subekti mengatakan bahwa ketidakbebasan seseorang dalam memberikan persetujuan pada sebuah perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak bebas dalam menyatakan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjian. 228 Lebih lanjut, disebutkan bahwa “dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu; hak meminta pembatalan hanya
228
Subekti III, Op.cit, hal. 23.
122 ada pada satu pihak, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan tersebut”. 229 Pihak-pihak yang tidak memiliki kehendak bebas ketika membuat perjanjian karena ada paksaan, atau kekeliruan/kekhilafan, atau penipuan, dapat menuntut pembatalan terhadap perjanjian tersebut dalam kurun waktu tidak lebih dari 5 tahun terhitung sejak hari ketika paksaan itu berhenti, atau dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Batas waktu penuntutan pembatalan perjanjian ini dapat lebih pendek apabila hal ini diatur demikian oleh undang-undang. 230 Norma hukum ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku ... dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal penyesatan atau penipuan sejak hari diketahuinya penyesatan atau penipuan itu”. Pihak-pihak yang ketika membuat perjanjian tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut pembatalan perjanjian yang dibuatnya itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1331 KUH Perdata sebagai berikut “... orang yang tidak cakap membuat persetujuan boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat...”. Pihak ini, dalam hal seorang anak yang belum dewasa, adalah 229 230
hal.23.
Subekti III, Op.cit, hal. 23-24. Fauzan Ali Warman, 2010, Hukum Perikatan, Pustaka Abadi, Jakarta,
123 sang anak itu sendiri apabila ia sudah mencapai usia dewasa atau orang tua atau walinya. Apabila pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum tersebut adalah orang yang berada di bawah pengampuan, pihak yang berhak meminta pembatalan perikatan adalah sang pengampunya. 231 Kemudian, Pasal 1450 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa “Dengan alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang belum dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus yang ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan kata lain, menurut Subekti, perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berupa kecakapan melakukan tindakan hukum dari si pembuat perjanjian, tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. 232 Pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat menuntut pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya dalam jangka waktu maksimum 5 tahun, terhitung sejak tanggal kedewasaan dalam hal pihak tersebut belum dewasa ketika membuat perjanjian, atau sejak tanggal pencabutan pengampuan dalam hal pihak tersebut berada dalam pengampuan ketika membuat perjanjian. Norma ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan 231
Ibid. Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, hal. 61-65. 232
124 UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan, dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan ... dstnya”. 233 Walaupun pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya, hal ini tidak berlaku apabila perikatan itu ternyata diterbitkan dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau yang telah menerbitkan kerugian bagi orang lain. Hal ini ditemukan dalam ketentuan Pasal 1447 KUH Perdata yang berbunyi “Ketentuan pasal yang lalu tidak berlaku untuk perikatan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau dari suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan dengan mengindahkan ketentuan Pasal 151, atau dalam persetujuan perburuhan dengan mengingat ketentuan Pasal 1601 g, atau persetujuan perburuhan yang tunduk pada ketentuan Pasal 1601 h”. 234 Harus diperhatikan pula bahwa batas waktu 5 tahun yang ditetapkan dalam Pasal 1454 KUH Perdata hanya berlaku untuk penuntutan pembatalan, dan tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan di depan hakim sebagai pembelaan atau tangkisan. Untuk hal
233
Abdul Khakim, 2003, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.151. 234
Ibid.
125 terakhir ini, dapat dilakukan kapan saja. Artinya, terbuka 2 cara untuk meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian. 235 Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif bertindak sebagai penggugat agar perjanjian tersebut dibatalkan. Kedua, pihak yang berkepentingan menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Pada saat itulah, dia di depan hakim dapat mengemukakan bahwa ketika membuat perjanjian itu, ia belum cakap hukum, atau dia memberi persetujuan karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan sehingga kemudian dia meminta agar perjanjian tersebut dibatalkan oleh hakim. 236 Dalam situasi terakhir inilah tidak berlaku batas waktu 5 tahun tersebut. Norma hukum ini tampak dalam Pasal 1454 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan: “Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan yang selalu dapat dikemukakan”. b. Penguatan/Penetapan Perjanjian ‘Yang Dapat Dibatalkan’ Apabila jangka waktu lima tahun dalam Pasal 1454 terlewati, namun mereka yang berada dalam keadaan paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, tidak mengajukan pembatalan perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak walau tidak memenuhi unsur subjektif sahnya perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1327 KUH Perdata yang 235 236
Subekti III, Op.cit. hal. 24. Ridwan Khairandy II, Op.cit. hal. 223
126 menyatakan bahwa “Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh UU untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”. 237 Demikian pula bila setelah paksaan atau kekhilafan atau penipuan itu berakhir pihak yang berada di bawah paksaan, kekhilafan atau penipuan tersebut kemudian membenarkan persetujuan yang telah diberikannya, baik secara tegas ataupun diam-diam maka penuntutan pembatalan perjanjian menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diatur dalam Pasal 1456 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan, gugur jika perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam, sebagai berikut ... oleh orang yang mengajukan alasan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, setelah paksaan itu berhenti atau setelah penyesatan atau penipuan itu diketahuinya.” 238 Hal yang sama juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian seperti ini dikuatkan sendiri secara tegas ataupun diam-diam oleh mereka yang tidak cakap hukum itu, perjanjian tersebut menjadi tetap berlaku dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak cakap hukum yang melakukan penegasan/penguatan/penetapan perjanjian tersebut adalah (a) bila ketika 237
Agoeng Karsajiwa, 2006, “Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Pelaksanaan Perjanjian Standar di Bandar Lampung,” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.26. 238 Ketut Artadi, Op.cit, hal. 63
127 membuat perjanjian dia adalah anak-anak maka penegasan tersebut dilakukan ketika dia dewasa; (b) bila ketika membuat perjanjian dia berada di bawah pengampuan maka penegasan dilakukan setelah pengampuannya dihapuskan. 239 Penegasan atas perjanjian yang dapat dibatalkan ini dapat dilakukan secara tegas melalui pembuatan akta pengesahan ataupun akta penguatan sebagaimana diharuskan oleh KUH Perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1892 KUH Perdata yang berbunyi “(1) Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut; (2) Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah; (3) Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk dan pada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga”. 240 239
Agoeng Karsajiwa, Op.cit, hal.26. Herlien Budiono, 2012, “Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa”, Makalah, disampaikan pada Kongres XXI Ikatan Notaris Indonesia, Yogyakarta, hal.180 (selanjutnya disebut Herlien Budiono II). 240
128 Jadi, menurut Pasal 1892, perbuatan hukum yang dapat dibatalkan karena adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum, masih dapat disahkan melalui penetapan ataupun penguatan dengan akta yang bentuknya diharuskan oleh undang-undang. Akta penetapan atau akta penguatan harus mencantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat dituntutnya pembatalan
serta maksud untuk
memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan pembatalan. 241 Akta semacam itu mengakibatkan dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya dapat diajukan. Dengan demikian, perbuatan hukum yang sebenarnya dapat dibatalkan tersebut menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan. Melalui akta penguatan atau akta penetapan itulah maka perjanjian yang sebenarnya terancam pembatalan itu menjadi sah terhitung sejak perjanjian tersebut dibuat. Hal ini tidak berlaku untuk perjanjian yang terancam batal demi hukum. Artinya, untuk perjanjian semacam ini tidak mungkin dapat dilakukan pengesahan, penguatan ataupun penetapan melalui akta tertentu. Jadi, simpulannya sebagai berikut. 1) Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap dan/atau perjanjian yang dibuat tanpa adanya kesepakatan atau kehendak bebas dari para pihaknya, masih dapat dikuatkan melalui akta penguatan atau akta penetapan. 2) Perjanjian formil yang tidak memenuhi syarat sah, perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak berwenang, perjanjian yang tidak
241
Herlien Budiono I, Op.cit, hal. 211.
129 mempunyai objek tertentu, perjanjian yang tidak memiliki kausa yang halal, tidak mungkin dapat disahkan atau dikuatkan dalam bentuk akta apapun. 242 3) Demikian pula perjanjian yang batal akibat terpenuhinya syarat batal, atau batal akibat terjadinya wanprestasi, 243 ataupun batal akibat terjadinya keadaan memaksa, 244 tidak mungkin dapat disahkan atau dikuatkan kembali.
242
Herlien Budiono II, Op.cit, hal. 180. Ketut Artadi Op.cit, hal. 67. 244 Ketut Artadi Op.cit, hal. 70. 243