Teori dan Praktek dalam Studi Konflik di Indonesia1 Thung Ju Lan (LIPI ) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Abstrak Conflict studies are a social science field that identifies and analyses violent and nonviolent behaviors as well as the structural mechanisms attending social conflicts. This article seeks to analyze the methodology and conceptual problems in studying conflicts in Indonesia which is greatly influenced by Western social sciences tradition. The development of social sciences in Indonesia in describing conflict is supposed to be part of the root of Indonesian realities. However, Indonesian scholars lack of their own theoretical discourses which should have been developed by Indonesians to analyze conflict problems in the same level of understanding as if they were analyzed by Western perspective. As scientific discourses are socio-historical related, they go beyond than just ethic and emic principle in representing local perspective. The author also discusses conceptual misapprehension within Indonesian scholar regarding Modernist and Post-Modernist approach and research management Key words: Conflict studies, Scientific discourse, Methodology and Conceptual problems Pendahuluan Sejak peristiwa tragis Mei 1998, banyak sekali studi tentang konflik yang dipublikasikan. Sebagian besar menyoroti masalah konflik kekerasan yang umum disebut ‘kerusuhan’. Kerusuhan dari berbagai daerah di Indonesia dipelajari sehingga muncul istilah-istilah konflik vertikal dan konflik horizontal, konflik komunal dan konflik antar etnis/agama. Dikatakan bahwa konflik vertikal adalah antara masyarakat dengan negara, atau antara berbagai kelompok di masyarakat dengan pemerin1
Artikel ini merupakan penyempurnaan dari makalah yang dipresentasikan penulis pada Lokakarya Peringatan 50 Tahun Antropologi Universitas Indonesia, diselenggarakan Departemen Antropologi FISIP UI, September 2007.
28
tah, seperti konflik di Aceh, Papua dan Riau. Sementara itu konflik horizontal didefinisikan sebagai konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat, dan ini meliputi konflik komunal dan/atau konflik antar etnis/agama, seperti konflik Sambas, Poso dan Sampit. Persoalan yang ingin saya diskusikan dalam paper ini tidak terfokus pada konflik itu sendiri atau pada tempat dimana konflik itu terjadi, melainkan pada cara konflik itu dipelajari. Saya pikir hal ini penting untuk kita diskusikan, karena dari pengalaman saya melakukan penelitian konflik selama beberapa tahun ini, ada banyak persoalan yang terkait dengan metodologi penelitian yang tidak pernah dibicarakan, sehingga kelemahan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
dan kekuatan suatu pendekatan tidak pernah menjadi masukan bagi perbaikan penelitian konflik berikutnya. Misalnya saja, banyak penelitian yang memfokuskan pada resolusi konflik dan rekonsiliasi, tapi apakah jawaban untuk konflik-konflik yang terjadi di Indonesia memang resolusi konflik dan rekonsiliasi? Apa yang dimaksud dengan resolusi konflik dan rekonsiliasi? Seberapa jauh konsep-konsep tersebut bisa diterapkan di Indonesia? Selanjutnya, terkait dengan penelitian tentang konflik komunal, konflik antar etnis/agama, dan konflik ‘separatisme’ (yang sering dianggap refleksi dari gerakan ethno-nationalism), masalah identitas menjadi mencuat sebagai topik penelitian. Tapi apakah yang dimaksud dengan identitas itu sendiri? Bagaimana kaitan identitas dengan konflik-konflik yang terjadi? Mengapa identitas menjadi masalah utama yang perlu dikaji padahal konflik yang terjadi mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain? Bagaimana studi tentang identitas harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul sebagai suatu reaksi pribadi ketika membaca berbagai tulisan tentang konflik yang seringkali tidak memperjelas masalah resolusi, rekonsiliasi dan konflik identitas yang dimaksud. Malah, seringkali hasil studi konflik menghasilkan suatu kesimpulan yang kian menajamkan perseteruan yang ada karena keberpihakan penulis pada satu kelompok tertentu. Ahmad Suaedy yang memberi kata pengantar terhadap buku Konflik Etnik di Sambas, misalnya, cenderung menempatkan ”etnik Madura” sebagai kelompok yang ”bersalah”, antara lain dengan mengemukakan bahwa ”...dari konteks demikian bisa dipahami penjelasan yang mengatakan bahwa kasus tersebut dipicu oleh tingkah laku etnik Madura yang sebagian meresahkan orang Dayak dan Melayu. Dengan demikian Madura tampaknya sebagai sasaran dari buntunya
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
penyelesaian jalan buntu modernisasi” (2000: ix). Sementara para penulis buku tersebut, Edi Patebang dan Eri Sutrisno yang bukan berasal dari etnis Madura, mencoba menguraikan karakteristik orang Madura melalui wawancara dengan Prof. Parsudi Suparlan, Antropolog UI, dalam satu bab yang diberi judul ”Orang Madura Menghargai Nyawa Cuma Sebenggol” (2000: 139−156), sebuah judul yang jelas-jelas sangat provokatif. Apa yang keliru? Saya mencoba merenungkannya dengan memfokuskan pada pendekatan atau metodologi yang dipakai dalam penelitian tentang konflik. Saya belum melakukan studi yang lebih mendalam tentang hal ini, artinya saya belum mempelajari semua laporan tentang konflik yang ada di Indonesia sejak tahun 1998 sampai sekarang. Akan tetapi, ada beberapa di antaranya yang cukup saya ketahui, khususnya dalam studi konflik yang dilakukan tim LIPI, di mana saya sendiri terlibat di dalamnya. Barangkali penulisan paper ini bisa juga dikatakan sebagai proses otokritik, paling tidak untuk saya pribadi. Pada intinya saya melihat bahwa studi tentang konflik - baik pada tataran empirik maupun pada tataran konseptual - cenderung bersifat simplistik, dan ini menurut saya terkait erat dengan problematika dalam logika berpikir serta dalam pendekatan metodologis yang dipakai. Apa yang keliru? ‘Problem Metodologi’ atau? Saya melihat, terkait dengan masalah pendekatan atau metodologi ini, konsekuensi utama yang paling nyata terlihat adalah tidak adanya kesinambungan antara kerangka berpikir dengan data yang dikumpulkan serta dengan analisa yang dilakukan. Kesimpulan yang diambil juga tidak jelas bertolak dari perspektif yang mana. Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak faktor yang melatarbelakanginya.
29
Akan tetapi, untuk diskusi kita di sini, secara sederhana bisa diidentifikasi 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Asumsi dasar yang tidak tepat; 2. Kerangka pikir atau pemikiran yang tidak berangkat dari asumsi dasar; dan 3. Penjabaran kerangka pikir yang tidak sesuai dengan asumsi dasar. Apa yang dimaksud dengan asumsi dasar yang tidak tepat. Mari kita telaah pandangan di bawah ini yang tertuang pada suatu kerangka pemikiran: ”Isu konflik di Indonesia adalah paduan dari beberapa isu lama yang masih berlanjut dan isu baru yang muncul sebagai sisi lain dari gerakan reformasi. Isu lama yang dimaksud yakni ketidakpuasan terhadap kekuasaan dalam pemerintahan yang dianggap oleh beberapa daerah sangat sentralistik, mendikte dan diskriminatif, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Sementara itu, isu yang baru muncul ialah berkembangnya euphoria demokrasi di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru. Konflik yang muncul pada masa transisi ini ialah lahirnya ke’aku’an kelompok yang membedakan dengan ’mereka’, situasi ini dipertajam manakala diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari 2001. Pembedaan antara aku dan mereka inilah yang memunculkan kondisi konflik yang menurut Koentowijoyo salah satunya bersumber dari ketidakselarasan kultural (cultural incompability). Namun, faktor kultur sebagai sumber konflik juga dapat muncul dari tiadanya penghargaan suatu kelompok (seringkali kaum pendatang di suatu daerah) terhadap budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, atau, warga pendatang menganggap rendah kebiasaan dan adat istiadat masyarakat lokal. Pada keadaan demikian, menurut Eriksen, suatu kelompok etnis atau kelompok identitas dapat bangkit kembali karena warga kelompok tersebut menganggap diri mereka berada di bawah ancaman”2
2
Sri Yanuarti, Josephine Rosa Marieta, Mardyanto Wahyu Tryatmoko (2005, Konflik di Maluku dan Maluku Utara: Strategi Penyelesaian Konflik Jangka Panjang, Jakarta: LIPI-Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing, hal. 11-12.
30
Apakah uraian di atas merupakan asumsi dasar ataukah sekedar potret dari suatu fenomena? Kalau potret dari suatu fenomena tentunya tempatnya tidak di kerangka pemikiran, tapi kalau itu mau dikatakan sebagai asumsi dasar, apakah memang itu asumsi dasar yang tepat? Mengapa kita bisa mengatakannya sebagai suatu asumsi dasar yang tidak tepat, karena, dengan asumsi dasar yang tepat kita bisa mencari kerangka pemikiran yang tepat pula. Bahkan kita kemudian akan bisa menjabarkan kerangka pikir tersebut secara tepat pula, sesuai dengan asumsi dasar yang dibuat di awal. Itukah yang terjadi dalam kasus ini? Kerangka pikir yang dibuat tim peneliti adalah: ”Menurut Louis Kriesberg, kajian tentang konflik dapat dibedakan menjadi empat hal, yaitu: (1) isu yang dikonflikkan; (2) karakteristik dari kelompok-kelompok yang berkonflik; (3) hubungan antara kelompok-kelompok yang berkonflik; dan (4) cara yang digunakan oleh masing-masing kelompok dalam berkonflik”3
Bagaimana hubungan kerangka pikir ini dengan asumsi dasar yang dibuat peneliti di atas (kalau kita asumsikan apa yang dikatakan peneliti itu asumsi dasar dan bukan sekedar fenomena)? Apakah fokus penelitian akan pada ’isu lama’ atau ’isu baru’? Ataukah masalah ke’aku’an dan cultural incompatibility yang menjadi fokus penelitian? Apakah benar kerangka pikir itu akan bisa menjawab asumsi dasar yang dibuat peneliti? Bisakah kita melihat hubungannya? Apakah isu lama dan isu baru itu yang dimaksud oleh Kriesberg sebagai isu yang dikonflikkan? Ataukah soal ke’aku’an dan cultural incompatibility? Kemudian, siapakah yang dimaksud dengan kelompokkelompok yang berkonflik? Siapakah ’aku’ dan siapakah ’mereka’ yang dimaksud di sini? Bisakah dengan kategori yang seperti itu kita melihat karakteristik setiap kelompok dan 3
Ibid., hal. 12.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
melihat hubungan yang ada di antara mereka, kalau pada konteks tertentu yang disebut ’aku’ bisa jadi ’mereka’, dan sebaliknya? Di sisi lain, penjabaran kerangka pikir yang tidak sesuai dengan asumsi dasar tergambar dari pernyataan berikut ini: ”Melalui perspektif yang ditawarkan Kriesberg (1998), Zartmean (1985), serta Mitchell (1981:17−34), proses resolusi konflik dapat dibagi dalam empat tahapan yang meliputi: 1). Tahap De-eskalasi Konflik; 2). Tahap Negosiasi; 3). Tahap Problem-Solving Approach, serta 4) Tahap Peace Building.... penelitian ini akan melihat sejauh mana tahapan-tahapan resolusi konflik telah dilakukan, siapa saja institusi/ lembaga yang dilibatkan dalam proses tersebut serta bagaimana metode-metode yang digunakan dalam proses resolusi konflik, baik yang dilakukan oleh masyarakat, maupun pemerintah (pusat dan daerah)”.
Apa hubungan pendekatan Kriesberg di atas dengan tahapan resolusi konflik? Bagaimana pendekatan Kriesberg harus dijabarkan dengan memakai keempat tahapan resolusi konflik tadi? Tidakkah pendekatan Kriesberg telah disempitkan menjadi empat tahapan resolusi konflik ketika dikatakan penelitian ini akan melihat sejauhmana tahapan-tahapan resolusi konflik telah dilakukan? Penelaahan kita terhadap kaitan antara asumsi dasar, kerangka pikir dan penjabaran operasionalnya memperlihatkan bahwa ada permasalahan dalam penguasaan metodologi penelitian di sebagian hasil penelitian tentang konflik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut pendapat saya, pertama, ini disebabkan adanya perbedaan konteks, baik itu konteks kehidupan sehari-hari yang kita hadapi, maupun konteks keilmuan yang dipakai untuk melihat kehidupan sehari-hari itu. Perbedaan ini terjadi karena konteks kehidupan sehari-hari yang kita hadapi adalah konteks Indonesia, sementara konteks keilmuan yang dipakai adalah konteks keilmuan yang berasal dari Barat. Kedua, ada kerancuan dalam memahami fenomena
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
sehari-hari dan dalam memahami konsepkonsep dasar keilmuan. Maksudnya, dua hal tersebut berada dalam tataran yang berbeda, akan tetapi kita cenderung melakukannya pada waktu bersamaan, sehingga menempatkannya pada satu tataran berpikir yang sama. Dalam hal ini kita perlu membedakan antara tataran empirik dengan tataran sociological imagination atau pembentukan konsep. Pada tataran empirik, pengetahuan kita tentang masyarakat disusun berdasarkan fenomena lapangan yang kita teliti, sementara pada tataran konsep, kita mengimajinasikan kondisi masyarakat –khususnya kondisi ideal- berdasarkan konsep-konsep yang kita pelajari. Penting untuk diingat bahwa, seperti dikatakan oleh C. Wright Mills, ”the sociological imagination is not merely a fashion. It is a quality of mind that seems most dramatically to promise an understanding of the intimate realities of ourselves in connexion with larger social realities” (Mills, 1973:22) . Artinya, pada tataran konseptual, ada kualitas pikiran tertentu (a quality of mind) yang diperlukan untuk bisa menjanjikan pemahaman yang baik tentang realitas kehidupan kita sendiri dalam hubungannya dengan realitas sosial yang lebih besar. Lalu, bagaimana dengan studi-studi konflik di Indonesia, sudahkah mereka mengimaginasikan kondisi masyarakat yang diteliti berdasarkan konsep-konsep yang ada? Kalau kita membaca studi Giring tentang Madura di Mata Dayak: dari Konflik ke Rekonsiliasi (Yogyakarta: Galang Press, 2004), misalnya, kita bisa melihat bahwa studi itu berangkat dari asumsi dasar bahwa “orang Dayak Kanayatn memilih sikap dan tindakan tertentu terhadap kenyataan yang diaktualisasikan oleh orang Madura. Artinya, citra tentang fakta maupun tentang nilai Madura di ‘mata’ orang Dayak Kanayatn (memandang pelaku-pelaku kekerasan orang Madura sebagai identitas bagi
31
semua orang Madura) turut mendasari orang Dayak Kanayatn memilih sikap dan tindakan tertentu dalam relasinya dengan orang Madura (tindakan kekerasan orang Dayak Kanayatn atas orang Madura secara kolektif)” (hal. 10−11). Kerangka teoritis yang dipakainya adalah teori Kenneth E. Boulding dan Susan Sontag tentang pembentukan citra kolektif yang merupakan sebuah ilusi atau bayangan, salinan bukan asli, representation bukan reality untuk melihat bagaimana orang Dayak Kanayatn membentuk citra tentang orang Madura sebagai hasil representasi dari kenyataan (Ibid., hal. 9−11); konsep Charlotte SeymourSmith tentang pengidentifikasian etnis yang dikenakan pada diri ‘kita’ (Dayak Kanayatn) dan ‘mereka’ (Madura) (Ibid., hal. 12); konsep konflik Max Weber tentang pertentangan sebagai salah satu prinsip kehidupan sosial yang tidak dapat dihilangkan, sehingga dalam relasi orang Dayak Kanayatn-Madura, keduanya dianggap ingin meraih dominasi dalam hal pandangan dunia mereka, baik berupa falsafah hidup, perilaku kultural, maupun kebiasaankebiasaan tertentu (Ibid., hal. 13−15); serta gagasan tentang penyebaran teror dan praktik pencitraan dari James T. Siegel untuk memahami kaitan antara pengalaman konflik orang Dayak Kanayatn dengan pencitraan orang Madura yang dilakukannya yaitu, bagaimana orang Dayak Kanayatn menyebarkan rasa takut atau teror di kalangannya sendiri dengan memproduksi citra Madura suka kekerasan (Ibid., hal. 15−16). Penjabarannya yang disebut sebagai arah metodologis adalah deskripsi mendalam tentang praktik-praktik sosio-kultural dari perspektif orang Dayak Kanayatn dalam kaitannya dengan pengalaman relasi mereka dengan orang Madura (dalam berinteraksi dan berkonflik) (Ibid., hal. 16−22). Menurut kaidah penulisan ilmiah yang kita kenal, tidak ada yang salah dengan dengan alur
32
pemikiran Giring karena ia sudah mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang umum dipakai oleh para akademisi, khususnya antropolog Indonesia. Permasalahannya adalah: Bagaimanakah ia (Giring) mengimajinasikan kondisi masyarakat Kalimantan Barat ,di mana Dayak dan Madura berada, dalam kaitannya dengan konsepkonsep Barat yang dipakainya? Mengapa ia memfokuskan pada melihat ”bagaimana orang Dayak Kanayatn membentuk citra tentang orang Madura sebagai hasil representasi dari kenyataan”? Kalau ia –mengikuti Weber- beranggapan bahwa dalam relasi orang Dayak Kanayatn-Madura, ”keduanya ingin meraih dominasi dalam hal pandangan dunia mereka, baik berupa falsafah hidup, perilaku kultural, maupun kebiasaan-kebiasaan tertentu”, mengapa ia kemudian hanya berupaya ”memahami kaitan antara pengalaman konflik orang Dayak Kanayatn dengan pencitraan orang Madura yang dilakukannya”? Dengan kata lain, walaupun pada awalnya Giring berangkat dari proposisi tentang adanya interaksi dan relasi sosial antara kedua kelompok etnis tersebut – Dayak dan Madura, namun pada tahap berikutnya ia hanya membahas tentang pencitraan orang Madura oleh dan di antara komunitas Dayak, sehingga sulit diterima logika jika ia kemudian berhasil mengkaitkan konflik dengan rekonsilisasi yang diusungnya sebagai salah tujuan pembahasan. Jelas ada gap antara posisi Giring sebagai peneliti dan sebagai bagian dari komunitas Dayak pada tataran empirik dengan apa yang coba dibangunnya pada tataran konseptual, sehingga gambaran yang dibuatnya menjadi tidak utuh dan tujuan yang ingin dicapainya pun tidak terjadi. Konteks Keseharian Lokal/Nasional vs Konsep-konsep Barat Dalam tataran empirik, konflik di Indonesia melibatkan kelompok-kelompok etnis dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
agama yang berbeda. Dalam tataran konsep dan teori, ada teori identitas atau etnisitas yang bisa menjelaskan mengapa hubungan antar kelompok yang berbeda ras, etnis atau agama tidak harmonis. Sepertinya tidak ada pertentangan antara kondisi empirik dan konsep-konsep Barat yang dipakai untuk menjelaskannya. Mari kita perhatikan pernyataan di bawah ini: ”Berdasarkan analisis struktur konflik yang dibuat Kapila, konflik terjadi karena perbedaan pemahaman, kepentingan dan ideologi. Perbedaan pemahaman tentang istilah separatisme antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua merupakan salah satu sumber konflik. Pemerintah Indonesia hampir selalu memandang gerakan anti-pemerintah sebagai ancaman bagi keutuhan wilayah NKRI. Sebaliknya, masyarakat Papua mengartikan istilah separatisme sebagai sikap menentang kebijakan dan tindakan diskriminatif, ketidakadilan dan eksploitasi SDM dan SDA Papua oleh Pusat.”4
Tidak ada yang salah dengan pendapat di atas, kecuali konsep yang dibuat Kapila terkait dengan perbedaan pemahaman, kepentingan dan ideologi, sebab peneliti hanya memfokuskan pada perbedaan pemahaman. Sehingga tidak jelas di mana perbedaan kepentingan dan ideologinya. Pada bagian selanjutnya peneliti tidak lagi berbicara tentang Kapila, tetapi tentang pendekatan dalam menyelesaikan konflik. Peneliti sepertinya mencoba menghadapkan pendekatan keamanan yang pernah ditempuh oleh pemerintah yang diikuti oleh kebijakan politik dalam bentuk peraturan perundangundangan, seperti UU Otsus di Papua, dengan dua tuntutan masyarakat Papua yaitu pelurusan sejarah politik Papua dan pemenuhan hak-hak dasar orang Papua, yang menurut peneliti merujuk pada konsep self-determination dari 4
Adriana Elisabeth, Cahyo Pamungkas, Muridan S. Widjojo, Rucianawati dan Sinnal Blegur (2005). Agenda dan Potensi Damai di Papua, Jakarta: LIPI- Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing, hal. 23. 5 Ibid., hal. 25.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
Irian Marion Young yang mencakup pengertian sovereign independence (kemerdekaan berdaulat) dan non-intervention atau noninterference.5 Akan tetapi, pembahasan ke arah ini juga tidak selesai karena peneliti kemudian berbicara tentang ”pembahasan tentang masalah pengelolaan SDA Papua akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori politik ekonomi global yang terdiri dari tiga pandangan (pandangan liberal, pandangan Marxist, dan pandangan economic nationalism) yang dalam konteks Papua, menurut peneliti bisa dikhususkan pada isu MNCs dan global production.6 Selanjutnya peneliti berbicara tentang ”pemberian Otsus [sebagai] pendekatan yang paling akomodatif” yang sesuai dengan pendapat Ted Robert Gurr tentang pemberian otonomi khusus (regional autonomy) dan pembukaan akses terhadap semua kelompok dalam masyarakat majemuk. Hal itu kemudian dikaitkan pula dengan pendapat Ted Gurr tentang kepentingan kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri yang pada dasarnya menyangkut: 1) hak minoritas untuk menggunakan dan mengajarkan bahasa lokal dan pelaksanaan agama yang dianutnya (perlindungan dari kebijakan asimilasi kebudayaan); 2) jaminan bagi minoritas untuk mengontrol sumber daya alam seperti tanah, air, kayu dan sumber daya mineral; 3) kewenangan untuk mengatur sumber daya dan pembangunan sesuai dengan aspirasi kelompok minoritas; 4) dana yang lebih besar dari pemerintah pusat untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat minoritas; 5) kewenangan untuk menjaga keamanan secara internal, dan 6); hak-hak untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan negara terkait dengan nasib mereka.7 Terakhir, peneliti berbicara tentang pendekatan 6
Ibid., hal. 26.
7
Ibid., hal. 27-28.
33
akomodatif lain, yatu: ”melalui mekanisme dialog” yang menurut peneliti terkait dengan mekanisme penyelesaian konflik yang dipunyai orang Papua secara adat. Pendekatan ini kemudian dikaitkan dengan pendekatan non-dialogis yang oleh peneliti diartikan sebagai ”pembangunan sosial dan ekonomi (kesejahteraan)” untuk Papua sebagai ”salah satu daerah yang ’tertinggal’ di Indonesia” dan juga sebagai ”bukti nyata komitmen Pemerintah Indonesia terhadap daerah Papua” dan untuk ”memperkuat posisi tawar Indonesia di tingkat internasional, terutama terhadap upaya pihak internasional untuk mengintervensi Indonesia melalui persoalan konflik di Papua”.8 Loncatan-loncatan penyataan peneliti yang didukung oleh pemakaian konsep-konsep Barat yang tepat mungkin bisa diinterpretasikan sebagai masalah penulisan semata, akan tetapi kita juga bisa melihat loncatan alur pemikiran dalam memfokuskan permasalahan yang diangkat dari fenomena lapangan dan mengkaitkannya dengan konsep yang diperoleh dari bacaan terhadap teori-teori atau konsep-konsep Barat. Apakah peneliti ingin berbicara tentang kebijakan penyelesaian konflik yang tepat, ataukah peneliti ingin memperjuangkan hak kelompok minoritas, dalam hal ini masyarakat Papua? Apakah peneliti ingin berbicara tentang mekanisme penyelesaian konflik, atau peneliti ingin berbicara tentang konflik Papua dalam konteks hubungan international? Sepertinya semua keinginan tersebut menjadi satu dan tertuang dalam kerangka pemikiran yang dibuat peneliti dalam melakukan penelitian konflik di Papua. Inilah persoalan yang sering kita hadapi ketika mencoba menggabungkan fenomena keseharian dalam konteks lokal dan nasional yang kita pahami dengan konsep-konsep Barat yang kita pelajari. Kita cenderung mengkait8
Ibid., hal. 28-30.
34
kan fenomena lapangan dengan konsepkonsep yang ada secara langsung. Padahal, yang perlu dikaitkan di sini adalah abstraksi peneliti terhadap fenomena lapangan dengan abstraksi peneliti terhadap konsep-konsep Barat tersebut. Sehingga, pada hakekatnya dalam melakukan penelitian kita perlu memperhatikan keberadaan beberapa tahapan yang harus dikerjakan: (1). Mendeskripsikan fenomena lapangan secara sistematis dan kemudian menarik suatu abstraksi sementara dari fenomena-fenomena tersebut; (2). Mempelajari konsep-konsep yang terkait dan menarik abstraksi daripadanya tentang alur pemikiran yang sesuai bagi penelitian lapangan kita; dan (3) mengkaitkan abstraksi lapangan dengan abstraksi konsep tadi, dan dalam hal ini kita mungkin bisa menghasilkan suatu konsep baru yang berbeda dengan konsep Barat yang kita pelajari dari buku-buku teks. Tahapan-tahapan ini , menurut saya, perlu kita perhatikan apabila dalam melakukan studi konflik kita berkeinginan untuk menghasilkan suatu teori penyelesaian konflik yang sesuai dengan konteks keseharian kita, yaitu konteks Indonesia (baik pada tingkat lokal, maupun nasional). Perbedaan Sejarah Perkembangan Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan Satu hal yang jarang sekali kita diskusikan adalah sejarah perkembangan masyarakat dan juga sejarah ilmu pengetahuan kita, khususnya ilmu pengetahuan sosial. Tidak dapat disangkal, sebagian besar pendekatan yang kita pakai untuk mengkaji masalah-masalah sosial adalah pendekatan yang berasal dari konsep-konsep Barat. Akan tetapi, apakah kita pernah berhenti sejenak dan bertanya apakah konsep-konsep itu memang sesuai dengan konteks masyarakat kita yang dari penyebutannya saja sebagai ’negara berkembang’ sudah dapat dibedakan dengan negara-negara Barat yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
diistilahkan sebagai ’negara maju’? Dilihat dari sejarah ilmu pengetahuan kita, pada hakekatnya, perkembangan ilmu pengetahuan kita , khususnya ilmu pengetahuan sosial, masih baru. LIPI misalnya, baru berdiri tahun 1967 dengan nama MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan cikal bakal ilmu pengetahuan sosialnya berada pada dua lembaga yang berada di bawahnya, yaitu LRKN (Lembaga Riset Kebudayaan Nasional) dan LEKNAS (Lembaga Ekonomi dan Kependudukan Nasional). Kedua lembaga ini sekarang terpecah menjadi 5 pusat, yaitu: Pusat Penelitian Politik, Pusat Penelitian Ekonomi, Pusat Penelitian Kependudukan, Pusat Penelitian Kebudayaan, dan Kemasyarakatan dan Pusat Sumber Daya Regional yang baru ditambahkan sekitar tahun 2000. Di sini saya tidak ingin membahas tentang LIPI dan pengembangan ilmu sosial yang berada di bawah wewenangnya. yang terpenting ingin saya katakan di sini adalah bahwa pengembangan ilmu pengetahuan sosial melalui tugas-tugas penelitian yang diberikan kepada LIPI perlu dikaji secara khusus. Apakah yang sebenarnya telah dicapai LIPI selama kurang-lebih 40 tahun berkiprah di bidang penelitian? Bagaimana sumbangannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sosial yang sesuai dengan konteks Indonesia? Saya belum melihat ada upaya ke arah itu, baik dari kalangan LIPI sendiri maupun dari kalangan di luar LIPI, khususnya di perguruan tinggi. Tentu saja kita tidak boleh mengecilkan peran universitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi dalam hal ini juga harus diakui bahwa memang ada keterbatasan ke arah itu, karena universitas di Indonesia umumnya disibukkan oleh tugas-tugas mengajar, sehingga sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penelitian yang seharusnya merupakan bagian dari tugas akademis para dosen hanya mendapatkan porsi yang kecil sekali.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
Kembali kepada persoalan perbedaan sejarah perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan antara Indonesia dengan negaranegara Barat, barangkali kita bisa memahami sejarah lebih jelas kalau kita mengkritisi konsep pembangunan yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai konsep ’Development’. Kalau kita membaca seluruh hasil penelitian yang ada di Indonesia secara cepat, barangkali kita bisa melihat bahwa pada hakekatnya, sebagian besar dari penelitian yang ada tidak terlepas dari pengaruh konsep developmentalis yang cenderung mengacu pada konsep-konsep modernis tentang ”membawa dan mengembangkan masyarakat yang dianggap ’primitif’ –seperti sebagian bangsa kita di daerah-daerah tertentuuntuk menjadi sebuah ’masyarakat modern’. Tidak ada yang salah dengan keinginan tersebut, tetapi persoalannya siapakah yang menentukan suatu masyarakat itu ’primitif’, dan siapakah yang menentukan masyarakat lain sebagai ’sudah modern’? Persoalan ini yang pada akhirnya melatarbelakangi konflik laten antara desa dan kota, antara masyarakat di pedalaman dengan masyarakat pesisir, antara masyarakat di Jawa dan Sumatera dengan masyarakat di Indonesia bagian Timur yang terekspresikan melalui pengkategorian ’maju vs terbelakang/ tertinggal’, ’terbuka vs terisolasi/terpencil’, dan sebagainya, yang pada dasarnya bertolak dari ’ke-modern-an vs primitif’ tadi. Hal ini pula yang perlu kita garis-bawahi ketika kita mengkaitkan konsep-konsep Barat dengan konteks keseharian kita –konteks Indonesia pada tingkat lokal dan/atau nasional- agar kita secara tidak sadar berangkat dari asumsi developmentalis yang menempatkan Indonesia –baik secara keseluruhan maupun sebagian daripadanya- sebagai ’bangsa primitif’ yang perlu dibawa ke arah ’ke-modern-an’ melalui penerapan konsep-konsep Barat, walaupun konsep-konsep tersebut tidak sesuai dengan
35
kondisi sosial masyarakat kita. Sepertinya kecenderungan ini yang sering kita jumpai pada sebagian besar kajian peneliti-peneliti kita. Studi Achmad Habib (2004) tentang ”pasang surut hubungan Cina-Jawa” dalam ”konflik antaretnik di pedesaan”, misalnya, bertolak dari apa yang dikatakannya sebagai ”bias modernisme [yang] cenderung melihat etnisitas sebagai gejala pra-modern dan kekuatan mundur (declining forces)” (hal. xv). Akan tetapi, walaupun ia kemudian mempertanyakan ”Benarkah kenyataan dan persoalan etnisitas merupakan karakteristik masyarakat pramodern?” (hal. 16), ia cenderung menerima pendapat tersebut. Oleh karena itu, walaupun Habib menyadari bahwa konflik antaretnik di pedesaan antara etnik Cina dan etnik Jawa berasal dari masuknya ’modernisme’ ke pedesaan yang dibawa oleh pengusaha Cina bersamaan dengan modal dan teknologi, ”secara hipotetik, dampak positifnya berupa pengalihan teknologi pertanian, tersedianya lapangan pekerjaan serta penularan sikap kewirausahaan. Sedangkan, dampak negatifnya berupa kesenjangan sosial yang memicu kecemburuan sosial bernuansa etnik dan keagamaan” (hal. 21), ia tetap menekankan bahwa, ”pada dasarnya setiap kebudayaan hampir selalu memiliki sifat ethnosentris, tidak terkecuali budaya Jawa dan Cina” (hal. 19). Penjelasan yang diberikannya adalah sebagai berikut: ”Ungkapan ’ora Jowo’ (Tidak Jawa) yang sering disamakan dengan tidak berpengertian dalam masyarakat Jawa misalnya, mencerminkan ethnosentrisme Budaya Jawa. Demikian pula dengan kebudayaan Cina. Kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan pandangan mereka yang menganggap orang-orang non-Cina sebagai orang biadab merupakan ciri-ciri terkenal dari dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri” (Ibid.). Artinya, di satu sisi ia menempatkan pola
36
hubungan komunitas Cina-Jawa dalam konteks perekonomian ’modern’, khususnya ketika ia menyatakan bahwa ”pola hubungan antaretnik dalam konteks pertanian kapitalistik ini mengakibatkan keterasingan di kalangan kelompok etnik Jawa” (Habib, 2004:137, garis bawah ditambahkan), di sisi yang lain, ia cenderung menyimpulkan bahwa ”konflik antaretnik terjadi dalam konteks kebijakan etnik yang mendua (ambiguous)” (Ibid., hal. 145). Dalam pandangannya, ”kebijakan itu sendiri, secara legal, menentang dikriminasi formal, sedangkan di lain pihak membiarkan diskriminasi informal dalam hubungan antar-pribadi dengan individu minoritas” (Ibid.). Pendapatnya ini jelas tidak terkait dengan kasus yang ditelitinya, yang pada dasarnya hanya terfokus pada Dusun Sumberwedi. Ini artinya tidak jelas bagaimana hubungan kebijakan etnik yang ’mendua’ itu dengan pengembangan perekonomian ’modern’, termasuk apa yang disebutnya sebagai ”pertanian kapitalistik”, yang dikatakannya telah ”mengakibatkan keterasingan di kalangan kelompok etnik Jawa”. Jelas bahwa dalam hal ini ada kerancuan dalam menempatkan hubungan dan konflik antaretnik pada konteks sejarah modernisme dan modernisasi di Indonesia, ini terbaca dari kesimpulannya yang mengatakan bahwa ”temuan dalam buku ini juga meragukan kebenaran tesis modernisasi, khususnya pendekatan asistensialisme9 yang cenderung menciptakan ketergantungan terhadap pemerintah” (Ibid., hal. 156). Habib ”menolak penyempitan konsep peran produktif negara (productive role of state) sebagai sekadar tindakan asistensialisme-altruistik negara terhadap kaum miskin pedesaan”, 9
Menurut Habib, istilah asistensialisme – yang dilawankan dengan promosionalisme- dipakai untuk menunjukkan “kebijaksanaan ‘bantuan’ finansial atau sosial yang hanya memberantas gejala, bukan sebab-musabab, dari penyakitpenyakit masyarakat” (2004:148).
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
karena menurut pendapatnya, ”dalam konteks kebijakan netral-protektif pun, pemberdayaan kaum miskin bisa berjalan secara sangat wajar, dan bahkan dengan laju lebih cepat bila dibandingkan dengan kaum tani lain yang memperoleh perlakuan asistensialis negara sebagai akibat kebijakan negara produktif” (Ibid., hal. 156-157). Padahal, jika kita cermati, penelitiannya itu tidak berangkat dari tesis modernisasi ataupun asistensialisme. Selanjutnya, Habib mengatakan bahwa ”kenyataan ini diperparah oleh – terlepas dari benar atau tidaknya – kecenderungan ’eksklusif’ etnik Cina” dan untuk mendukung pernyataannya tersebut ia mengutip pendapat Adam Schwarz (2004:145). Habib melihat bahwa, ”walaupun benih-benih permusuhan tumbuh di kalangan masyarakat bawah, ternyata justru hubungan yang sangat erat dengan etnik Cina berlangsung di tingkat elit politik Indonesia... [sehingga]... muncul kecurigaan besar bahwa kemajuan usaha kelompok etnik Cina, tidak semata-mata disebabkan oleh etos kerja mereka, melainkan juga karena telah berlangsung semacam kolusi antara para pejabat sebagai penguasa dan pengusaha etnik Cina”. Dengan demikian, menurut Habib, ”realitas objektif etnik Cina tidak sebagaimana dikonstruksi oleh sebagian masyarakat etnik Jawa... Apa yang menentukan tindakan mereka pada dasarnya bukan lagi realitas obyektif, melainkan konstruksi sosial mereka”, dan ini ditekankan dengan sebuah statemen ’teoritis’ tanpa sumber bahwa ”justru konstruksi sosial yang menentukan kategori dan posisi sosial, pola interaksi sosial, serta akibat-akibat sosialnya” (Ibid., hal. 146). Konstruksi sosial yang dimaksud Habib di sini pun tidak berangkat dari suatu kajian yang mendalam, karena didasarkan pada ”kecurigaan” yang muncul di dalam masyarakat Indonesia secara umum. Tidak ada penjelasan bagaimana etnik Jawa
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
di Dusun Sumberwedi mengkaitkan realitas obyektif etnik Cina yang diperoleh mereka melalui pengalaman interaksi keseharian dengan ”kecurigaan” tersebut? Interpretasi ”subyektif” semacam ini pula yang membawa kita pada kerancuan antara pendekatan modernis dan postmodernis yang kian tampak, ketika sebagian peneliti kita mulai tertarik untuk memakai pendekatan postmodernis yang akhir-akhir ini sangat populer di Indonesia, khususnya melalui penelitian tentang identitas, baik identitas etnis maupun agama. Pendekatan Modernis vs Postmodernis Isu identitas yang semakin mengemuka dengan terjadinya konflik bernuansa etnis dan agama di berbagai daerah di Indonesia, bahkan dalam kaitannya dengan konflik ’separatisme’ di Aceh dan Papua, maka ia kemudian menjadi topik bahasan yang menarik bagi mereka yang berupaya mencari cara penyelesaian yang tepat bagi konflik-konflik tersebut. Persoalannya adalah bahwa studi tentang identitas dan politik identitas merupakan studi baru yang lebih terkait dengan pendekatan postmodernis yang berkembang di kalangan feminis Barat. Pendekatan ini mulai digemari di dalam kalangan intelektual Indonesia, akan tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa sejarah kemunculan dan perkembangan pendekatan postmodernis ini terkait erat dengan pendekatan modernis, sehingga ada kerancuan dalam memahami teori identitas yang dikembangkan oleh pendekatan postmodernis dengan yang dipahami oleh pendekatan modernis. Mari kita telaah lagi pendapat yang tertuang pada kerangka pemikirannya berikut ini: ”Konflik Aceh adalah sebuah konflik yang dapat disebut sebagai konflik identitas yang salah satu karakteristiknya adalah tingkat ketahanannya, dan bahwa ia timbul, di atas semuanya,
37
karena isu identitas, yaitu kultur ke-Aceh-an versus ke-Indonesia-an, di samping adanya gagasan untuk membangun sebuah negara baru. Karena itu, Konflik Aceh adalah konflik yang mengakar pada, atau terwujud dari kombinasi dua elemen, yaitu faktor identitas berdasarkan kultur yang kuat dengan pandangan (orientasi) ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi, politik dan sosial, akibat tidak adanya penegakan hukum (justice) di daerah tersebut” 10 (underline ditambahkan). ”Inilah yang sering disebut sebagai inti dari kultur perlawanan masyarakat Aceh. Dari segi kulturnya, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat dinamis. Pemikiran dan orientasi mereka sangat dipengaruhi oleh kultur atau budaya yang membentuk identitas mereka sendiri, yaitu kultur Aceh yang direkatkan oleh nilai-nilai dan norma-norma adat dalam tangkup kaidah Islam….unsur adat dan agama merupakan dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidup masyarakat Aceh. Oleh karena itu, dalam menghadapi berbagai persoalan seringkali alam bawah sadar kolektif masyarakat Aceh menggiring mereka untuk cenderung mengulang pola sejarah perjuangan mereka di masa lalu. Dalam teori identitas memang disebutkan bahwa struktur-struktur historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas tertentu pula yang bisa dikenali dalam kasuskasus individual”. Karena itu, orang Aceh memiliki identitas yang berbeda dengan orang Indonesia lainnya (orang Jawa, Sunda dan lainlain) termasuk dalam persoalan hubungannya dengan negara”11 (underline ditambahkan).
Apa yang bisa kita katakan tentang metodologi penelitian dari kerangka pemikiran di atas? Apakah akan memakai pendekatan postmodernis atau pendekatan modernis? Ini adalah suatu pertanyaan yang akan sangat sulit dijawab karena dari pembacaan dan pendefinisian tentang identitas orang Aceh di 10
Abdul Rachman Patji, Moch Nurhasim, Fadjri Alihar, dan Lamijo (2004) Negara & Masyarakat Dalam Konflik Aceh: Studi Tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, Jakarta: LIPI-Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing, hal. 10. 11
Ibid., hal. 11-12.
38
atas tampak bahwa di satu sisi peneliti ingin berbicara tentang ’politik identitas’, tetapi ia juga ingin menekankan ’batas-batas identitas’ sebagaimana yang dikatakan oleh para antropolog kita di masa lalu tentang ’masyarakat suku bangsa’, sebagaimana tercermin dari buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karangan Koentjaraningrat (penyunting) yang diterbitkan tahun 197112, maupun bukunya yang berjudul Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional yang diterbitkan tahun 1993. Padahal, sesungguhnya ada konteks sejarah yang berbeda dalam perkembangan studi tentang etnisitas yang harus diperhatikan ketika kita berbicara tentang etnisitas atau identitas etnis. Studi tentang identitas etnis di masa lalu mengacu pada suatu masyarakat yang cenderung tertutup sehingga batas-batasnya bisa didefinisikan secara jelas. Politik identitas yang terkait dengan kelompok-kelompok etnis hari ini tidak lagi bisa diteliti dalam suatu masyarakat yang tertutup karena sebagian besar masyarakat kita sudah terbuka dan berinteraksi secara intensif dengan kelompok-kelompok lain dalam konteks negara-bangsa Indonesia, sehingga batas-batas etnis sudah agak kabur. Jadi ketika kita berbicara tentang ke-Aceh-an, kita tidak lagi bisa berbicara tentang ke-Acehan sebagaimana didefinisikan di masa lalu (sebelum kemerdekaan Indonesia), sebagai Aceh yang jaya di bawah Sultan Iskandar Muda, atau Aceh yang menjadi simbol Serambi Mekah. Ada ke-Aceh-an lain yang baru muncul di masa Indonesia merdeka yang perlu kita perhitungkan, yaitu Aceh yang pada tahun 1953 memprotes kebijakan Indonesia melalui gerakan DI/ TII di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureuh, Aceh yang pada tahun 1976 memprotes kebijakan Indonesia melalui perlawanan Hasan M. Tiro dan GAMnya, Aceh 12
Buku ini sudah diterbitkan kembali beberapa kali, antara lain tahun 1980, 1984, 1988, 1990 dan 1995.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
yang ’marah’ terhadap pemerintah pusat karena kebijakan DOM yang diterapkan dengan berbagai nama sejak tahun 1977−1989 dan Aceh yang ’berperang’ melawan pemerintah pusat dalam Operasi Darurat Militer (2003−2004). Apakah ini semua Aceh yang sama? Tentu saja tidak. Kalau begitu masih bisakah kita menerapkan konsep Clyde Kluckhohn tentang orientasi nilai budaya–yaitu nilai-nilai sosial budaya yang dijadikan pedoman atau penuntun untuk berpikir dan berbuat kepada masyarakat Aceh?13 Kalau bisa, bagaimana kita menjelaskan tentang hal-hal tersebut di atas? Mengapa ada tingkah laku yang berbeda di antara orang Aceh sendiri? Peneliti sepertinya menyadari hal ini, walaupun penjelasannya cenderung bersifat umum sebagaimana tergambar dalam pernyataan di bawah ini: “Konflik Aceh dapat pula dilihat sebagai akibat dari pengembangan sistem nilai yang baru yang berbeda dengan sistem nilai yang lama, yang dilakukan oleh orang-orang Aceh yang hidup di luar kebudayaannya (budaya lokal Aceh), seperti misalnya para pemimpin GAM yang hidup di luar negeri. Mereka ini hidup di lingkungan orientasi nilai budaya yang lebih terbuka (open minded), mudah beradaptasi dan mengadopsi sistem nilai baru yang memiliki gaya hidup yang berbeda dengan gaya hidup yang mereka miliki 13
Peneliti memakai konsep ini sebagai kerangka pikirnya dalam melakukan studi tentang Aceh, sebagaimana dikatakan dalam buku Negara & Masyarakat Dalam Konflik Aceh: Studi Tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, yang ditulis oleh Abdul Rachman Patji, Moch Nurhasim, Fadjri Alihar, dan Lamijo, dan diterbitkan di Jakarta (oleh LIPI-Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing) tahun 2004: “Pada intinya teori ini dapat dikembangkan sebagai konsep dasar untuk menjelaskan kehidupan berbagai komunitas atau kelompok sosial, seperti halnya masyarakat Aceh…Konsep tersebut mencakup lima masalah pokok dalam kehidupan manusia dan selamanya dihadapi manusia di mana pun. Dalam kasus Aceh, mungkin hal ini bisa diinterpretasikan sebagai berikut: Dalam kaitannya dengan konflik yang sedang berlangsung, apakah cita-cita ‘kemerdekaan’ GAM, misalnya, merupakan sesuatu yang murni untuk masa depan masyarakat Aceh, atau hanya merupakan nostalgia
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010
sebelumnya, dan juga berbeda dengan gaya hidup mayoritas masyarakat Aceh. Oleh karena itu, pemikiran kebangsaan Aceh yang ingin mereka wujudkan pada dasarnya lebih merupakan ‘demokrasi ala Barat’ yang tidak lagi bersandar pada ajaran-ajaran agama Islam yang melandasi orientasi nilai budaya mayoritas rakyat Aceh, yang barangkali lebih mencita-citakan bentuk kerajaan”14 (underline ditambahkan).
Untuk memperkuat argumennya peneliti kemudian memakai teori ’deprivasi relatif’ yang dikemukakan Ted Gurr, yaitu suatu keadaan psikologis seseorang atau suatu kelompok dalam memahami realitas kehidupan yang mereka alami. Konflik Aceh yang oleh peneliti disimpulkan sebagai suatu pergulatan orientasi nilai secara sosial, budaya dan politik yang belum pasti, masih berproses dan berubah-ubah itu dijelaskan sebagai akibat deprivasi relatif, yaitu ketika harapan dan kenyataan amat jauh perbandingannya.15 Kerancuan ini yang pada akhirnya membawa peneliti pada suatu pendekatan yang lebih sederhana yaitu tentang peran positif dan peran negatif yang mengacu pada upaya-upaya dan langkah-langkah untuk terciptanya suatu perdamaian dan pengurangan tindakan kekerasan, atau sebaliknya untuk tetap ’terpeliharanya’ konflik.16 Bolehkah penyederhanaan itu dilakukan? Sahkah itu secara keilmuan? Saya rasa tidak, karena penyederhanaan itu juga harus mempunyai logika (alur pikir) yang jelas, sementara di sini logika penyederhanaannya tidak jelas, tetapi, pada kenyataannya itulah yang terjadi.
masa lalu (masa kerajaan) dari segelintir orang Aceh yang menjadikan hal tersebut sebagai alat atau sarana untuk mendiskreditkan apa yang terjadi di masa kini (sebagai bagian dari RI). Pemahaman yang benar tentang hal ini hanya bisa diperoleh dari penelitian yang mendalam tentang orientasi nilai budaya masyarakat Aceh” (hal. 13-15; underline ditambahkan). 14 Ibid., hal. 15-16. 15 Ibid., hal. 16. 16 Ibid., hal. 16-17.
39
Apa Selanjutnya? Pertanyaan ini tidak akan saya jawab sendiri, melainkan akan saya lontarkan kepada para pembaca. Saya hanya mengawali lontaran suatu ide yang mengajak kita semua untuk merenungkan kembali metodologi penelitian kita yang ’problematik’. Dapatkah kita melakukan penelitian tanpa memikirkan konsekwensi logis dari pendekatan yang kita pakai? Kerancuan kerangka pikir kita pasti berdampak pada hasil penelitian yang kita hasilkan. Bisakah kita mengabaikannya dengan mengatakan bahwa itu bukan tugas saya? Apakah sebenarnya tugas
peneliti itu? Bukankah tugas kita bukan hanya meneliti tetapi juga mengembangkan suatu dari hasil penelitian kita? Saya serahkan pada kita semua untuk menjawab hal tersebut menurut pandangan masing-masing. Terima kasih.
Referensi Elisabeth, A., Cahyo Pamungkas, Muridan S. Widjojo, Rucianawati dan Sinnal Blegur 2005 Agenda dan Potensi Damai di Papua. Jakarta: LIPI- Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing. Giring 2004 Madura di Mata Dayak: dari Konflik ke Rekonsiliasi. Yogyakarta: Galang Press. Habib, A. 2004 Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LkiS. Mills, C. W. 1973 The Sociological Imagination, a Pelican Book, Cetakan ke IV. Middlesex, England & Victoria, Australia: Penguin Books Ltd. Patebang, E. dan Eri Sutrisno 2000 Konflik Etnis di Sambas. Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Patji, A. R., Moch. Nurhasim, Fadjri Alihar dan Lamijo 2004 Negara & Masyarakat dalam Konflik Aceh: Studi Tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh. Jakarta: LIPI-Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing. Yanuarti, S., Josephine Rosa Marieta dan Mardyanto Wahyu Tryatmoko 2005 Konflik di Maluku dan Maluku Utara: Strategi Penyelesaian Konflik Jangka Panjang. Jakarta: LIPI-Riset Kompetitif Pengembangan Iptek Sub Program Otonomi Daerah, Konflik dan Daya Saing.
40
ANTROPOLOGI INDONESIA 1, 2010