Kebijakan-kebijakan dalam bidang Pertanian: Pemantauan dan Evaluasi 2013 Negara-negara OECD dan Negara-negara Berkembang
Indonesia
2 – BRAZIL Hasil karya ini diterbitkan di bawah tanggung jawab Sekretaris Jenderal OECD. Opini yang dikemukakan dan argumentasi yang diolah di dalamnya, mungkin tidak sama dengan pandangan-pandangan resmi Organisasi atau pemerintahanpemerintahan Negara anggotanya. Dokumen ini dan map apapun yang termasuk di dalamnya, dibuat tanpa praduga terhadap kedaulatan atas wilayah apapun, tentang penetapan perbatasan-perbatasan atau garis-garis batas internasional, dan nama wilayah, kota atau daerah apapun juga.
Foto sampul: © Andrzej Kwieciński.
Ralat untuk publikasi-publikasi OECD bisa ditemui di: www.oecd.org/publishing/corrigenda. © OECD 2013
Anda dapat menyalin, menggunduh atau mencetak isi OECD untuk Anda gunakan sendiri, dan Anda dapat menyertakan kutipan dari publikasi OECD, database dan produk multimedia dalam dokumen, presentasi, blog, situs web dan bahan pelajaran Anda sendiri, asal sumber dan hak cipta pemilik disebutkan. Semua permintaan untuk penggunaan umum atau komersial dan hak untuk menerjemahkan harus diajukan kepada
[email protected]. Permintaan izin untuk membuat fotokopi dari sebagian bahan ini untuk kepentingan umum atau komersial harus diajukan langsung kepada Copyright Clearance Center (CCC) di
[email protected] atau Centre français d'eksploitasi du droit de copie (CFC) di
[email protected].
BOOK TITLE IN CAPITALS © OECD 2013
INDONESIA
Bab Negara Indonesia mencakup evaluasi singkat tentang perkembangan-perkembangan dalam kebijakan dan dukungan-dukungan terkait untuk bidang pertanian, informasi kontekstual mengenai kerangka di dalam mana kebijakan-kebijakan pertanian diterapkan dan ciri-ciri utama sektor pertanian; evaluasi mengenai dukungan yang diberikan dalam tahun 2011-12 maupun dalam perspektif jangka panjang, dan uraian singkat tentang perkembangan-perkembangan kebijakan utama untuk tahun 2011-13.
* Petikan — Bab 11 tentang Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Pertanian 2013.
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013
2 – INDONESIA Evaluasi Perkembangan-Perkembangan Kebijakan
Tingkatan tunjangan untuk para produsen dalam bidang pertanian berfluktuasi, namun trennya naik dan pada 2010-12 mencapai tingkat rata-rata OECD. Bagian yang menentukan bagi tunjangan ini diberikan melalui tunjangan harga. Tingkatan tunjangan ini berfluktuasi dan tergantung pada perubahan-perubahan dalam tingkatan relatif harga-harga domestik, dibandingkan dengan pasaran-pasaran internasional. Tunjangan (dalam bentuk) anggaran bertumbuh, tetapi secara relatif tetap kecil. Lebih dari separuh dari tunjangan (yang diberikan) berupa dukungan untuk para produsen beras. Harga-harga tinggi bagi produsen untuk sebagian diimbangi oleh subsidi untuk menyediakan beras murah bagi keluargakeluarga miskin, yang termasuk dalam distribusi dalam bentuk beras menurut sistem RASKIN. Untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan beras, Indonesia bisa mempertimbangkan untuk mengubah sistem RASKIN dengan menggantikan distribusi beras dengan tunjangan uang tunai bersyarat, yang terbukti sukses di sejumlah negara, misalnya di Brasil. Sebagian besar dukungan anggaran diberikan melalui subsidi pupuk yang disalurkan melalui perusahaanperusahaan pupuk. Hal ini mengurangi insentif untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi keuntungan para petani. Cara yang lebih efisien mungkin dengan mengeluarkan ‘voucher’ untuk para petani yang lalu bisa memilih jenis dan kuantitas input yang ingin mereka pakai. Penghematan dalam anggaran dari cara yang lebih efisien dapat dialokasikan untuk menguatkan kembali Sistem Inovasi Pertanian Indonesia dan meningkatkan produktivitas pertanian jangka panjang. Tujuan kebijakan utama Indonesia adalah memberi jaminan pangan. Cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menanggulangi kemiskinan dan merangsang produksi domestik dengan mengurangi kendala-kendala investasi di bidang pertanian. Investasi seperti itu tidak hanya akan meningkatkan ketersediaan pangan, tetapi juga akan meningkatkan pertumbuhan produktivitas pertanian, meningkatkan ketahanan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, dan dengan demikian meningkatkan akses ke pangan. Jumlah persyaratan administratif yang diterapkan Indonesia berkaitan dengan impor pangan agro, semakin banyak. Sementara banyak di antaranya bisa dibenarkan dari perspektif keamanan pangan atau sanitas tanaman, ada juga di antaranya yang agaknya diterapkan untuk secara khusus mengurangi kuantitas impor. Ini perlu diubah, setidaknya dengan meningkatkan transparansi, penegakan yang transparan dan tidak diskriminatif untuk peraturan-peraturan yang berlaku, dan pemberitahuan yang patut kepada para mitra dagang. Gambar 11.1. Indonesia: Tingkatan PSE level dan komposisinya sesuai kategori penunjang, 1995-2012 Tunjangan berdasarkan: Output komoditi
Input penggunaan
Pembayaran lain
Persentase PSE
% pendapatan kotor pertanian 30%
20%
10%
0%
-10%
-20%
1998= -88% -30%
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: OECD, PSE/CSE database, 2013. AGRICULTURAL POLICY MONITORING AND EVALUATION 2013 © OECD 2013
INDONESIA – 3
Informasi kontekstual Indonesia adalah negara terpadat ke-4 di dunia dan produsen terbesar ke-10 dalam bidang pertanian. Lahan pertanian dalam negara ini langka: sepertiga dari angka rata-rata dunia kalau diukur secara per kapita, tetapi relatif kaya dalam sumber air. Kontribusi sektor pertanian kepada PDB Indonesia hampir tidak berubah dari 15-16% sejak pertengahan tahun 1990-an, namun pangsanya dalam total serapan tenaga kerja, dalam periode yang sama turun dari 56% menjadi 36%. Di mana produksi tanaman pangan dihasilkan oleh petanipetani kecil, pertanian-pertanian komersial yang besar berfokus pada tumbuhan yang tetap hijau, khususnya kelapa sawit. Bagian kelapa sawit dan karet merupakan kira-kira 60% dari total ekspor agrobisnis pangan dan memberi kontribusi yang signifikan kepada surplus perdagangan agrobisnis pangan Indonesia. Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan, namun 13% dari jumlah penduduk masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan secara nasional dan sekitar setengah dari penduduk masih hidup dari kurang dari USD 2 PPP / orang / hari. Sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat tertekan, yang untuk sebagian disebabkan karena perluasan lahan pertanian menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah dalam skala besar. Tabel 11.1. Indonesia: Indikator2 kontekstual, 1995, 2011* 1995 Konteks ekonomis PDB (USD miliar) Juml.penduduk (juta) Luas tanah (ribuan km2 ) Kepadatan penduduk (penduduk/km2) PDB per kapita, PPP (USD) Perdagangan sbg. % dari PDB
2011*
Gambar 11.2. Indonesia: Indikator ekonomi makro, 1995-2012
223 200
846 244
% 25
1,911 105 2,517
1,911 127 4,679
20
19.3
22.5
5
Pertumbuhan GDP nyata Penganggurran
Inflasi
58.9
15 10
0
Pertanian dalam ekonomi Pertanian dalam PDB (% ) Bagian pertanian dalam lapangan kerja (% ) Ekspor pangan agro** (% dari total ekspor) Impor pangan agro** (% dari total impor)
15.5 44.0 12.5 11.7
14.7 35.8 21.0 10.7
-5 -10 -15
Sumber: OECD statistics.
Ciri-ciri sektor pertanian Saldo perdagangan pangan agro** (USD juta) Total panen produksi pertanian (% ) Total ternak dlm produksi pertanian (% ) Areal pertanian (AA ) (ribuan ha) Tanah garapan dalam AA (dalam % ) Tanah yang diairi dalam AA (dalam % ) Konsumsi air oleh pertanian (dalam % ) Neraca nitrogen, Kg/ha
912 83 17 42,187
23,764 84 16 53,600
41 14 .. ..
44 17 82 ..
Figur 11.3. Indonesia: Perdagangan pangan pertanian Ekspor pangan agro USD billion 35
30 25 20
* atau dari tahun terakhir y ang ada.
15
** Termasuk karet alam.
10
Sumber: OECD statistical databases, UN COM TRA DE, Wo rld Develo pment Indicato rs and natio nal data.
5 0
* Termasuk karet alam. Sumber: UN COMTRADE Database.
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013
Impor pangan agro
4 – INDONESIA Tingkatan tunjangan untuk pertanian Tingkat dukungan di Indonesia berfluktuasi, dan untuk sebagian besar tergantung pada rasio harga domestik dibanding dengan pasaran internasional. Dalam jangka panjang, tingkat tunjangan cenderung meningkat dan diberikan hampir secara eksklusif melalui dukungan harga pasar dan subsidi input (yang sebagian besar diutamakan untuk pembelian pupuk dan benih). Total biaya tunjangan untuk pertanian sebagai persentase dari PDB pada 3,4% signifikan lebih tinggi dari rata-rata OECD. Ini menunjukkan bahwa untuk Indonesia, dengan sektor pertanian yang besar dan tingkat tunjangan pertanian yang relatif tinggi sebagaimana diukur dengan PSE, beban atas ekonomi relatif tinggi dan cenderung untuk bertumbuh. PSE sbg. % pemasukan (%PSE)
1995-97
Indonesia meningkatkan tunjangan untuk pertanian, yang sekarang sudah sama dengan rata-rata OECD. Tingkatan tunjangan menurun pada 2011, lalu naik sebanyak 6%, untuk sebagian besar karena peningkatan harga domestik dibanding dengan harga di pasaran internasional.
3%
2010-12
Tunjangan yg. memp. potensi paling mendistorsi sbg. % PSE
Rasio harga produsen dgn. harga batas (NPC)
19%
1995-97
not calculated
2010-12
99%
1.26
2010-12
1995-97
2010-12
Secara rata-rata, harga yang diterima para petani 26% lebih tinggi daripada yang pada tahun 2010-12 tampak pada pasaran dunia. Unggas, beras dan daging sapi menunjukkan ‘NPC’ tertinggi.
1.03
1995-97
TSE sbg % dari PDB
Tunjangan hampir secara eksklusif diberikan melalui tunjangan harga pasar dan subsidi untuk input yang variabel yang tidak terbatas, keduanya dianggap paling sebagai kebijakan perdagangan yang mengakibatkan distorsi.
TSE telah meningkat, mencapai 3.4% dari PDB pada 2010-12 dibandingkan dengan rata-rata OECD pada 0.9%. Pada 201012 GSSE sebagai % dari TSE tetap rendah pada 6.2%.
0.7%
Pada 2010-12 Transfer Komoditi Tunggal sebesar 91% dari PSE. Bagian SCT dalam pemasukan dari komoditi, paling rendah untuk kelapa sawit, susu dan daging babi, dan tertinggi untuk unggas, beras dan daging sapi.
3.4%
Dekomposisi perubahan dalam PSE, 2011 hingga 2012 + 59.9% + 58.3%
Beda Harga
+ 53.3%
Kuantitas
+ 6.6%
MPS
PSE - 1.6% Pembayaran
Harga domestik ang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasaran internasional, menjadi faktor utama yang mengakibatkan kenaikan PSE di 2012.
Transfer ke komoditi-komoditi tertentu (SCT), 2010-12 MPS
Pembayaran berdasar output SCT lain2
Jagung Kedelai Gula Beras Susu Daging sapi D.ing babi Unggas Telur Kopi Singkong Biji coklat M.sawit Karett
-40% -20% 0% 20% 40% 60% 80% 100% % pemasukan kotor petani utk tiap komoditi
AGRICULTURAL POLICY MONITORING AND EVALUATION 2013 © OECD 2013
INDONESIA – 5
Table 11.2. Indonesia: Estimasi tunjangan untuk pertanian IDR million
1995-97 Nilai total produksi (pada tingkatan petani) yang mencak up: bagian k omoditi MPS, persentase Nilai total komsumsi (pada tingkatan petani) Estimasi Tunjangan Produsen (PSE) Tunjangan berdasarkan output komiditi Tunjangan harga pasaran Pembayaran berdasarkan output Pembayaran berdasarkan penggunanaan input Berdasarkan penggunaan input yang variabel dengan kendala input Berdasarkan pembentukan modal tetap dengan kendala input Berdasarkan layanan pd. tingkatan petani dengan kendala input Pembayaran berdasarkan A/An/R/I aktual, produksi dibutuhkan (1) Berdasarkan tanda terima/pemasukan Berdasarkan areal yang ditanami/jumlah ternak dengan kendala input Pembayaran berdasarkan A/An/R/I tak aktual, produksi dibutuhkan Pembayaran berdasarkan A/An/R/I tak aktual, produksi tak dibutuhkan Dengan rasio pembayaran yang variabel dengan komoditi yang dikecualikan Dengan rasio pembayaran yang tetap dengan komoditi yang dikecualikan Pembayaran didasarkan pada kriteria non-komoditi Berdasarkan penghentian penggunaan sumber daya dlm.jangka panjang. Berdasarkan output non-komoditi yang spesifik Berdasarkan kriteria non-komoditi lain Pembayaran lain-lain Persentase PSE Producer NPC Producer NAC Estimasi Layanan Tunjangan Umum ( GSSE) Penelitian dan Pengembangan Sekolah-sekolah pertanian Layanan inspeksi Infrastruktur Pemasaran dan promosi Pemasokan publik Lain-lain GSSE sebagai bagian dari TSE (%) Estimasi Tunjangan Konsumen (CSE) Transfer dari produsen ke konsumen Transfer-transfer lain dari konsumen Transfers dari konsumen ke pembayar pajak Kelebihan pembayaran makanan (ternak) Persentase CSE NPC konsumen NAC konsumen Estimasi tunjangan total (TSE) Transfer dari konsumen Transfer dari pembayar pajak Pendapatan anggaran Persentase TSE (sebagai bagian PDB) Deflator PDB 1995-1997=100 .. Tidak ada
2010-12
2010
2011
2012p
82 758 036 68 78 785 350 2 721 434 1 945 016 1 945 016 0 769 754 429 579 0 310 214 7 873 29 961 0
1 119 791 479 65 952 642 570 214 554 578 194 397 146 194 397 146 0 19 830 349 18 385 922 0 1 355 246 41 130 89 182 0
1 003 428 133 65 836 272 477 215 643 218 193 076 076 193 076 076 0 21 953 750 20 707 149 0 1 159 396 36 033 87 205 0
1 120 751 992 65 948 943 324 165 726 873 145 439 633 145 439 633 0 19 965 482 18 526 910 0 1 351 258 39 880 87 314 0
1 235 194 311 65 1 072 711 909 262 293 643 244 675 729 244 675 729 0 17 571 815 15 923 706 0 1 555 083 47 477 93 026 0
6 664
327 084
613 393
321 758
46 100
6 664 0 0
327 084 0 0
613 393 0 0
321 758 0 0
46 100 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0 0 0 3 1.03 1.04 1 140 356 96 530 151 674 59 838 829 971 1 884 0 459
0 0 0 19 1.26 1.23 15 008 162 564 414 600 639 470 738 11 877 161 29 390 1 357 514 108 306 6.2 -222 369 180 -233 721 660 -11 031 595 16 789 477
0 0 0 21 1.28 1.27 14 167 438 338 111 565 113 448 006 11 563 796 32 670 1 072 541 147 200 5.8 -206 578 140 -217 471 908 -11 397 505 14 175 100 8 116 174 -25 1.38 1.34 243 985 756 228 869 413 26 513 848 -11 397 505 3.80 677
0 0 0 15 1.22 1.17 14 697 044 635 796 530 518 406 383 11 997 100 23 722 1 000 000 103 525 7.5 -191 087 349 -201 060 398 -10 126 546 15 267 030 4 832 565 -20 1.29 1.26 195 690 947 211 186 944 -5 369 451 -10 126 546 2.64 733
0 0 0 21 1.30 1.26 16 160 005 719 334 706 286 557 825 12 070 588 31 779 2 000 000 74 193 5.4 -269 442 050 -282 632 672 -11 570 733 20 926 300 3 835 055 -26 1.38 1.34 299 379 948 294 203 405 16 747 276 -11 570 733 3.63 769
-2 303 208 -2 295 658 -20 907 50 433 -37 076 -3 1.03 1.03 3 912 223 2 316 565 1 616 565 -20 907 0.74 100
-24 1.35 1.31 246 352 217 244 753 254 12 630 558 -11 031 595 3.36 726
Note : p: sementara. NPC: Koefisien Proteksi Nominal. NAC: Koefisien Tunjangan Nominal. Tunjangan Harga Pasar (MPS) adalah netto retribusi produsen dan kelebihan biaya makanan (ternak). Komoditi MPS untuk Indonesia adalah: gandum, jagung, beras, kol, biji kedelai, gula, susu, daging sapi, daging kambing, daging babi, unggas, telur, katun, apel dan kacang. 1. A (areal yang ditanami) / An (jumlah ternak) / R (tanda terima) / I (pendapatan). Sumber : OECD, PSE/CSE database, 2013.
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013
6 – INDONESIA Perkembangan-perkembangan kebijakan Instrumen-instrumen utama kebijakan Mencapai swasembada dalam produksi makanan pokok pilihan adalah pendekatan utama pemerintah untuk menjamin pasokan pangan. Target swasembada yang harus dicapai pada tahun 2014 ditetapkan untuk beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi. Pemerintah ingin memastikan bahwa harga pangan terjangkau oleh konsumen dan agar pasokan didistribusikan di seluruh kawasan nusantara. Terkait erat dengan hal ini adalah tujuan untuk diversifikasi produksi dan konsumsi, meninggalkan karbohidrat (beras dan gandum) menuju produk hewani, buah-buahan dan sayuran, terutama umbi-umbian. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan tingkat daya saing untuk produksi pertanian dan pengolahan yang bernilai plus, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendapatan yang lebih tinggi sebagai cara untuk mengurangi tingkat kemiskinan di daerah pedesaan (OECD, 2012). Langkah-langkah kebijakan domestik meliputi penerapan harga pembelian minimum untuk beras dan gula, alokasi anggaran yang substansial untuk input, dan kompensasi untuk penyediaan jasa bidang pertanian umumnya, dan secara khusus untuk irigasi, penelitian dan pengembangan, pemasaran dan promosi. Berbagai subsidi input untuk pupuk, benih dan kredit dipakai untuk mendukung para produsen pertanian. Pada gilirannya, RASKIN, suatu program dengan target "beras untuk kaum miskin" didasarkan pada distribusi beras dengan harga murah untuk menunjang konsumen miskin, termasuk penduduk daerah pedesaanYang memberi pemerintah fleksibilitas untuk memperbolehkan kenaikan yang konsisten untuk para produsen beras, yang lalu dibebankan pada pengeluaran anggaran untuk pembiayaannya. BULOG (Badan Logistik Nasional Indonesia), suatu badan publik, wajib membeli beras dengan harga minimum yang dijamin oleh pemerintah, untuk menstabilkan harga beras domestik melalui operasi pasar, untuk mengelola cadangan beras pemerintah, dan untuk mendistribusikan beras kepada konsumen melalui RASKIN (OECD 2012) Langkah-langkah kebijakan perdagangan mencakup baik langkah-langkah tarif maupun non-tarif. Rata-rata tarif impor MFN untuk produk pertanian pangan, tidak termasuk minuman beralkohol, rendah: berkisar pada tingkatan 5% pada tahun 2010. Beras dan gula termasuk tarif tertentu. Monopoli impor, persyaratan perizinan dan pembatasan untuk ekspor produk pertanian, telah dihapus pada tahun 1997-98. Namun, pada tahun 2000-an, pembatasan kuantitatif untuk impor diberlakukan kembali, secara khusus untuk beras, gula dan daging sapi. Persyaratan impor yang diberlakukan untuk keamanan pangan, SPS dan alasan-alasan budaya, semakin ketat. Sebuah rezim pajak ekspor variabel mulai dijalankan untuk minyak sawit mentah dan produk-produk turunan, dan baru-baru ini juga untuk kakao (OECD, 2012) Pada tanggal 18 Oktober 2012, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui UU Pangan yang baru, yang setelah ditandatangani oleh Presiden diundangkan pada tanggal 17 November 2012. Undang-undang ini menggantikan undang-undang sebelumnya, yang disetujui pada tahun 1996. Ia memperkuat prinsip-prinsip kedaulatan pangan dan kemandirian pangan sebagai pendekatan-pendekatan yang dominan untuk pasokan/keamanan pangan. Sejalan dengan itu, undang-undang ini mengandung ketentuan yang membatasi impor dan ekspor makanan pokok , dan mendirikan otoritas makanan baru untuk menjamin persediaan pangan yang cukup. Secara khusus, Pasal 34 yang menyatakan bahwa "ekspor pangan negara hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan-kebutuhan Cadangan Pangan Nasional dan kebutuhan konsumsi pangan dipenuhi". Pasal 36 menetapkan bahwa "impor pangan hanya dapat diterapkan jika produksi pangan domestik tidak cukup dan / atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri". Pada gilirannya, Pasal 126-128 memberi peluang untuk menciptakan ‘institusi pemerintah’ baru yang menjamin pasokan pangan, dengan tugas untuk menerapkan perintah pemerintah berkaitan dengan "produksi, pengadaan, penyimpanan dan / atau distribusi makanan pokok dan makanan lainnya yang telah ditentukan oleh pemerintah". Lembaga ini akan melapor langsung kepada Presiden. AGRICULTURAL POLICY MONITORING AND EVALUATION 2013 © OECD 2013
INDONESIA – 7
Lembaga utama ini harus dibentuk dan semua peraturan untuk penerapan UU Pangan harus ditetapkan paling lambat tiga tahun setelah diberlakukannya undang-undang ini (Deptan, 2013). Perkembangan-perkembangan dalam kebijakan dalam negeri, 2011-13 Para produsen beras dan gula menarik keuntungan dari harga pembelian minimum yang ditetapkan oleh BULOG untuk pembelian beras dan tebu oleh penggilingan beras dan tebu. BULOG hanya dapat membeli beras dari petani pada saat harga pasar lebih rendah atau sama dengan harga pembelian resmi pemerintah (Harga Pembelian Pemerintah, HPP). Tahun 2012, harga pembelian minimum untuk berbagai jenis beras ditetapkan pada tingkat 25-26% lebih tinggi dari tahun 2011, dibandingkan dengan estimasi rata-rata inflasi harga konsumen setinggi 4,3% setiap tahun. Kenaikan dalam harga pembelian yang setajam itu, mendorong harga beras lebih tinggi lagi di atas harga beras yang diimpor dari Vietnam dan Thailand. Alhasil, tunjangan bagi harga beras di pasar menjadi kontributor paling penting dalam peningkatan tunjangan yang signifikan di Indonesia, sebagaimana diukur dengan PSE, dan mencakup lebih dari separuh dari total nilai tunjangan untuk bidang pertanian pada tahun 2012 di negara ini. Untuk melindungi konsumen miskin, pada tahun 2012 BULOG mendistribusikan dalam sistem RASKIN secara total 3,4 juta ton beras untuk 17,5 juta keluarga miskin, di mana sekitar 65% di antaranya tinggal di daerah pedesaan (GAIN, ID1308 dan OECD, 2012). Setiap keluarga menerima 15 kg beras per bulan dengan harga Rp 1.600/kg; berarti kurang dari sepertiga dari harga pembelian minimum, diukur pada tingkat pengolahan yang sama. Untuk mendukung sistem ini dibutuhkan alokasi anggaran yang besar. Biaya total anggaran meningkat lebih dari sepertiga menjadi Rp 20,9 triliun (USD 2,2 miliar) pada tahun 2012 dan lebih besar dari jumlah total alokasi untuk tunjangan petani dan pertanian pada umumnya (Deptan, 2013). Untuk memastikan bahwa pasokan beras cukup, termasuk untuk distribusi melalui RASKIN, di bulan September 2012 BULOG menandatangani nota kesepahaman (MOU) untuk mengimpor 1,5 juta ton beras per tahun dari Vietnam; jika perlu hingga tahun 2017. MOU lebih lanjut akan diupayakan dengan Thailand, Laos, Kamboja dan Myanmar. Produksi dan perdagangan gula tetap diatur secara ketat oleh pemerintah. Importir gula terdaftar harus membayar para petani tebu harga yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan izin istimewa mereka sebagai pengimpor gula. Tahun 2011 mereka diwajibkan untuk menunjang harga gula andaikata harganya jatuh di bawah Rp 7.000/kg (USD 799/ton) pada tingkat petani. Untuk tahun 2012, harga minimum dinaikkan menjadi Rp 8.100/kg (USD 866/ton). Untuk melindungi tingginya harga minimum, satu bulan sebelum musim giling, selama musim giling, dan dua bulan setelah musim giling impor gula dilarang. Sejalan dengan target swasembada untuk kedelai, dalam bulan Mei 2013 Keputusan Presiden Nomor 32 memberi mandat kepada BULOG untuk membeli dan mendistribusikan kedelai untuk menstabilkan harga kedelai. Berdasarkan SK tersebut, Kementrian Perdagangan (Deperdag) ditugaskan untuk menyiapkan keputusan menteri yang akan menetapkan harga pembelian kedelai dan mekanisme intervensi yang sesuai. BULOG akan diberi mandat untuk mengelola saham domestik kedelai, untuk membeli kedelai dengan harga minimum dan untuk menjual dan mendistribusikan kedelai kepada koperasi tempe kedelai dan produsen tahu (Deptan, 2013). Subsidi pupuk tetap merupakan program utama yang dipakai pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran kepada sektor pertanian. Subsidi dibayarkan kepada produsen pupuk yang wajib menjual pupuk dengan harga yang disubsidi kepada petani yang memenuhi syarat - mereka yang bertani atas lahan kurang dari 2 ha. Pada tahun 2000-an, nilai subsidi ini meningkat secara dramatis berkat keputusan untuk mempertahankan subsidi pupuk pada tingkatan yang sama meskipun biaya produksi pupuk meningkat, tetapi lalu menurun di PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013
8 – INDONESIA tahun 2010-12. Pada tahun 2012 nilai subsidi ini sebesar Rp 14,0 triliun (USD 1,5 miliar), 15% di bawah tahun 2011 dan seperempat lebih sedikit dari rekor pada tahun 2009, tapi masih tetap merupakan 40% dari total pengeluaran anggaran yang disediakan untuk mendukung bidang pertanian (baik pada tingkat petani maupun sektor. Subsidi benih merupakan arus transfer anggaran ke sektor pertanian kedua terpenting. Petani-petani beras, jagung, kedelai dan gula adalah penerima bantuan utama, tetapi beberapa subsidi semacam ini juga disediakan untuk para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan pisang. Mereka dapat membeli bibit dengan harga yang disubsidi, mengajukan permohonan alokasi benih gratis setiap tahun dan menerima benih dalam hal terjadinya bencana alam. Total nilai subsidi ini tertinggi pada tahun 2010, tetapi sejak itu menurun dengan hampir seperlima dan mencapai nilai sebesar Rp 1,3 triliun (USD 135 juta) pada tahun 2012 Petani dapat mengakses kredit istimewa dengan suku bunga 5-7 persen di bawah suku bunga pasaran. Namun, fasilitas subsidi suku bunga belum sepenuhnya digunakan oleh para petani karena adanya kendala dalam mendapat persetujuan dari lembaga kreditor. Kesulitan utama masih tetap kurangnya jaminan karena tidak ada hak milik atas tanah. Untuk memecahkan masalah ini, dalam tahun 2005 telah diperkenalkan suatu pola jaminan kredit. Sejak 2008, suatu pola finansial pedesaan langsung mengalirkan dana kepada kelompok perhimpunan petani sebagai uang bibit yang bisa mereka pinjamkan kepada anggota-anggota mereka berdasarkan pola kredit mikro. Dalam tahun 2012, total alokasi anggaran untuk berbagai program untuk mempermudah akses para petani ke kredit berjumlah Rp 584 miliar (USD 62 juta), hampir sepertiga lebih dari tahun 2011. Di antara bentuk-bentuk lain dari subsidi input, yang paling penting adalah bantuan yang diberikan kepada para produsen tanaman panen untuk mengurangi kerugian pasca panen dan meningkatkan hasil panen. Pada 2012, total alokasi untuk program ini berjumlah Rp 260 miliar (USD 28 juta), dan kira-kira tiga perempat jumlah ini mengalir ke produsen beras. Irigasi menghabiskan sebagian besar dari tunjangan pemerintah untuk infrastruktur pertanian. Sebagai anggota Asosiasi Pengguna Air (APA), petani seharusnya membayar untuk biaya operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem lokal (tersier) yang menyuplai mereka dengan air. Petani tidak dikenakan biaya untuk penyaluran air dari sumber ke sistem tersier melalui saluran primer dan sekunder, yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pengeluaran pemerintah telah meningkat selama tahun 2000-an, termasuk pembiayaan untuk membantu WUA dalam merehabilitasi saluran irigasi pada tingkatan petani, namun Kementrian Pekerjaan Umum menilai bahwa karena tidak adanya pendanaan yang memadai, hanya 54% dari sistem irigasi di Indonesia kondisinya baik, sisanya rusak dan membutuhkan rehabilitasi (OECD, 2012). Perkembangan-perkembangan dalam kebijakan perdagangan, 2011-13 Akibat dari program penurunan tarif unilateral dan komitmen kepada Dana Moneter Internasional selama krisis Asia, adalah bahwa tarif rata-rata yang diterapkan Indonesia untuk produk agrobisnis pangan, tidak termasuk minuman beralkohol, menurun dari 20% menjadi 5% antara tahun 1990 dan 2000, dan bertahan pada tingkatan ini sepanjang tahun 2000-an. Ini sebanding dengan tingkat wajib rata-rata setinggi 47% pada tahun 2010. Hanya 7% dari tarif pertanian mempunyai tarif terapan MFN di atas 10%, dan terutama berlaku untuk minuman beralkohol. Beras dan gula menjadi dua pengecualian yang signifikan: dua tarif khusus diberlakukan untuk kedua sektor ini pada tahun 2000 untuk melindungi produsen dalam negeri. Tingkatan tarif ini sering kali disesuaikan, menanggapi perubahan dalam harga internasional untuk komoditas ini (OECD, 2012). Tarif untuk beberapa komoditi lainnya juga disesuaikan secara berkala, untuk menstabilkan harga dalam negeri. Sebagai contoh, pada bulan Agustus 2012, untuk menekan harga kedelai yang meningkat, Departemen Keuangan mengurangi pajak impor kedelai dari 5% menjadi 0% untuk sisa tahun itu. Mulai bulan Januari 2013, tingkat tarif kembali menjadi AGRICULTURAL POLICY MONITORING AND EVALUATION 2013 © OECD 2013
INDONESIA – 9
5%. Sebaliknya, pada bulan Desember 2012, pajak sebesar 20% dikenakan pada impor tepung terigu untuk jangka waktu 200 hari untuk melindungi pabrik-pabrik tepung terigu domestik pabrik terhadap impor yang untuk sebagian besar berasal dari Turki. Pada tahun 2002 pembatasan kuantitatif untuk impor cengkeh dan gula diberlakukan kembali, dan untuk beras pada tahun 2004. Hal ini membatasi impor untuk jangka waktu tertentu, menempatkan restriksi atas siapa yang boleh mengimpor produk, dan mengaitkan izin impor dengan harga produksi. Sejak 2008, perusahaan-perusahaan harus mendapat persetujuan dari Departemen Perdagangan sebagai importir terdaftar sebelum boleh mengimpor berbagai produk olahan yang dibuat dari daging, sereal, gula dan kakao. Pembatasan serupa pada tahun 2011diberlakukan untuk hewan dan produk-produk hewani. Sejalan dengan peraturan Kemenhub untuk Impor dan Ekspor Hewan dan Produk-Produk Hewani yang diterbitkan pada bulan September 2011, impor produk-produk ini hanya boleh dilakukan oleh importir terdaftar dan hanya dapat dilakukan apabila produksi domestik dan pasokan tidak cukup untuk memenuhi permintaan konsumen pada tingkat harga yang terjangkau. Pembatasan kuantitatif untuk impor daging sapi diberlakukan sebagai bagian dari serangkaian langkah untuk mencapai swasembada daging sapi pada 2014. Kuota untuk ternak hidup ini ditetapkan setiap tahun dan, secara terpisah, untuk daging sapi dalam kotak dan didasarkan pada estimasi bandingan pasokan domestik dengan kebutuhan. Kuota tersebut dialokasikan oleh Kementrian Perdagangan kepada importir dalam dua tahapan enam bulan: 1 Januari - 30 Juni dan 1 Juli - 31 Desember, berdasarkan volume historis. Kuota untuk ternak hidup secara sistematis telah dikurangi dari 401.000 kepala di tahun 2011menjadi 283.000 pada tahun 2012, dan 267.000 pada tahun 2013. Untuk daging sapi kotak, kuota juga telah berkurang dari 100.000 ton pada 2011 menjadi 34.000 tahun 2012 dan 32.000 pada tahun 2013. Di hitung dalam berat, total kuota berkurang dengan lebih dari 172.000 ton pada tahun 2011 menjadi - sesuai rencana - 80.000 dalam tahun 2013 (Deptan, 2013). Karena dalam tahun 2012tingkat produksi jagung relatif tinggi, kuota impor tidak resmi diterapkan untuk jagung, yang juga merupakan komoditi yang termasuk dalam target swasembada. Hanya pengolah makanan ternak yang mendapat rekomendasi impor dari Deptan, pedagang tidak. Volume yang dapat diimpor didasarkan pada produksi makanan riil oleh pabrik makanan ternak. Selain itu, sejak akhir September 2012, Gubernur Jawa Timur mewajibkan semua importir beras, jagung, kedelai, gandum dan makanan dari kedelai, jagung, bulu dan ikan, yang ingin membongkar komoditi mereka di Jawa Timur, untuk meminta izin dari kantornya. Proses permintaan izin tersebut dapat dimulai setelah produk impor tadi tiba di Jawa Timur dan memakan waktu satu minggu untuk diselesaikan (GAIN, ID, 1308). Persyaratan impor untuk keamanan pangan, karantina, pembakuan dan pembubuhan etiket, termasuk sertifikasi halal, menjadi lebih ketat. Impor pangan olahan mengharuskan baik registrasi produk maupun izin impor dari Departemen Kesehatan. Demikian pula impor produk hewani harus dengan persetujuan impor Deptan, disertai sertifikat halal dan berasal dari fasilitas pengolahan yang telah diperiksa oleh Deptan. Pada tahun 2012, sejumlah langkah baru diberlakukan untuk membatasi impor produk hortikultura. Pada bulan Maret 2012, pemerintah membatasi jumlah pelabuhan masuk untuk impor hortikultura menjadi tiga pelabuhan laut dan satu bandara. Di antaranya, hanya Bandara Internasional Soekarno-Hatta terletak dekat Jakarta, pasar terbesar untuk produk hortikultura impor. Tanjung Priok, pelabuhan Jakarta, yang tidak termasuk dalam daftar, tetapi Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat, negara yang oleh Indonesia dianggap telah memiliki "sistem keamanan pangan untuk makanan segar yang berasal dari tumbuhan", mempertahankan akses melalui pelabuhan melalui peraturan tambahan yang dikeluarkan pada pertengahan 2012 (GAIN, ID1225). Pada bulan September 2012, peraturan baru yang dikeluarkan oleh Deptan dan Kementrian Perhubungan mengharuskan semua importir buah PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013
10 – INDONESIA dan sayuran untuk mendapatkan, pertama: rekomendasi impor dari Deptan dan kemudian, izin impor dari Kementrian Perhubungan, sebelum mengimpor produk ke Indonesia. Di samping persyaratan-persyaratan lain, Deptan wajib mempertimbangkan kepentingan produsen domestik dan rekomendasi hanya diberikan jika produksi dan pasokan domestik dianggap tidak mencukupi. Untuk memperoleh izin impor dari Kementrian Perhubungan, produk hortikultura harus diperiksa oleh seorang peneliti di negara asal sebelum dikapalkan (GAIN, ID1249 dan GAIN, ID 1233). Selanjutnya, pada bulan Januari 2013, Deptan berhenti mengeluarkan rekomendasi untuk impor 15 jenis produk hortikultura untuk semester pertama tahun 2013, yang berarti larangan sementara untuk impor ini. Ada 11 produk hortikultura tambahan yang juga termasuk dalam kuota impor. Menurunnya pasokan mengakibatkan peningkatan tajam dalam harga, khususnya untuk bawang putih dan bawang merah dalam triwulan pertama tahun 2013. Sebagai tanggapan, pada bulan April pemerintah mengurangi daftar produk yang dibatasi dan menerapkan sistem impor izin-rekomendasi yang lebih terpadu agar lebih transparan dan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk meloloskan izin. Pada tahun 2007, tarif tunggal untuk pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk-produk turunannya, diganti dengan sistem yang variabel. Di bawah sistem yang variabel, tarif pajak ekspor yang berlaku disesuaikan setiap bulan dan ditentukan dengan skala yang berubah-ubah, yang didasarkan pada harga internasional CPO di Rotterdam, pasar utama untuk minyak nabati. Harga naik kalau harga internasional CPO naik, dan ikut turun kalau harga internasional turun. Hal ini diberlakukan untuk mengurangi insentif untuk meningkatkan ekspor waktu harga internasional naik. CPO dikenakan pajak yang lebih tinggi dari pada produk turunan, untuk mendorong proses pengolahan lanjutan di dalam negeri. Secara persentase, pajak ekspor bervariasi dari rata-rata 11% pada tahun 2008, lalu jatuh menjadi 0,3% selama krisis keuangan global pada tahun 2009, meningkat menjadi 5,7% pada tahun 2010, lalu tumbuh lagi menjadi 18,8% pada tahun 2011 sebelum akhirnya jatuh menjadi sekitar 15% pada tahun 2012. Pendapatan dari pajak membengkak menjadi Rp 28,9 triliun (USD 3,3 miliar) pada tahun 2011 dan tetap pada ketinggian Rp 8,9 triliun (USD 1 miliar) pada triwulan pertama tahun 2012 (Deptan, 2013). Menghadapi penurunan tajam dalam harga internasional CPO pada 2012, saham yang bertumbuh dan meningkatnya persaingan dari Malaysia yang sejak Januari 2013 menurunkan pajak ekspor CPO, pemerintah Indonesia mempertimbangkan penurunan pajak ekspor untuk bisa tetap bersaing dalam bidang ekspor. Namun, karena pada bulan Januari 2013 harga CPO meningkat, tinggi pajak meningkat sejalan dengan sistem variabel yang diterapkan. Sebuah sistem variabel yang serupa tapi lebih sederhana telah diterapkan untuk kakao sejak April 2010 dengan skala yang bergeser dan didasarkan pada harga internasional biji kakao di New York. Sejak mulai diterapkan, tinggi pajak bervariasi antara 5-15%. Izin ekspor dibutuhkan untuk setiap angkutan hewan dari jenis sapi tertentu, beras, kacang-kacangan sawit dan biji-bijian, dan pupuk urea. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar pasokan produk ini cukup untuk pasar domestik. Sebaliknya ekspor dari beberapa produk pertanian tertentu diatur untuk memaksimalkan keuntungan di pasar: ekspor kopi dan karet dikendalikan dan menjadi bagian dari kesepakatan antar pemerintah, sedangkan pisang dan nanas (ke Jepang), dan ubi kayu (untuk Uni Eropa) diatur untuk memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh di bawah aturan akses pasaran spesifik untuk negara-negara tertentu. Indonesia menjadi anggota dari Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berpartisipasi dalam liberalisasi perdagangan antar anggota ASEAN dan mitra dagang utama mereka di wilayah tersebut, termasuk China , Jepang, India, Korea, Australia dan Selandia Baru. Perjanjian dengan Australia dan Selandia Baru bagi Indonesia mulai berlaku pada bulan Januari 2012. Dan pada tahun 2012 Indonesia juga menandatangani Preferential Trade Agreement bilateral dengan Pakistan. Sebuah perjanjian liberalisasi perdagangan antara ASEAN dan Uni Eropa masih dalam tahap negosiasi. Perjanjian ini memuat ketentuan yang AGRICULTURAL POLICY MONITORING AND EVALUATION 2013 © OECD 2013
INDONESIA – 11
memungkinkan produk-produk sensitif untuk dikeluarkan dari komitmen penurunan tarif atau diberi jangka waktu yang lebih lama untuk penerapannya, sehingga dampaknya terhadap perdagangan agrobisnis pangan terbatas (OECD, 2012).
References GAIN-ID 1221 (2012), “Indonesia: Grain and Feed Update”, USDA FAS, 27 July. GAIN-ID 1225 (2012), “U.S. Fresh Foods and Vegetables Retain Access to the Port of Jakarta”, USDA FAS, 28 August. GAIN-ID 1233 (2012), “Regulation on Importation of Horticulture Product to Indonesia”, USDA FAS, 30 October. GAIN-ID 1249 (2013), “Exporter Guide Update”, USDA FAS, 2 January. GAIN-ID 1308 (2013), “Indonesia: Grain and Feed Update January 2013”, USDA FAS, 5 February. MoA (2013), unpublished report submitted to OECD by the Indonesian Ministry of Agriculture, followed by additional communications with the authors. OECD (2012), OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia 2012, OECD Publishing. doi: 10.1787/9789264179011-en.
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN PERTANIAN 2013 © OECD 2013