Negara Gagal Mengelola Konflik
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia
Nov ri Susan
Negara Gagal Mengelola Konflik
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia
Kata Pengantar
Negara Gagal Mengelola Konflik (Tata Kelola Konflik di Indonesia)
Novri Susan © KoPi, 2012 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) x + 272 halaman; 14,3 x 21,2 cm
ISBN:
Penulis : Novri Susan Editor : Rancang Sampul : Penata Isi : Percetakan : Penerbit : 1. KoPi Pesona Sambisari Kavling D 1/1, RT. 04 - RW. 02 Purwomartani Kalasan, Sleman, Yogyakarta Telp. : 0274-4987689, mobile : +62 Web : www.koranopini.com, Email :
[email protected] 2. Pustaka Pelajar Alamat.......... .............. .DIY Telp : ........, hp Web : ................., email : ................................ Cetakan I : April 2012
iv
ALHAMDULILLAH, rasa syukur saya ucapkan pada Allah ta’ala atas karunia hidup, kesehatan, dan ilmu yang tiada terukur oleh kata-kata. Atas ijin Allah buku ini bisa dirampungkan dan disajikan pada bangsa dan negara Indonesia. Buku Negara Gagal Mengelola Konflik (Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia) ini merupakan hasil observasi dan refleksi kritis saya terhadap berbagai kasus konflik yang berhasil dituliskan sebagai artikel-artikel di media massa nasional dari kurun 2006-2012. Periode tahun tersebut merupakan fase-fase kritis dari upaya mendorong demokrasi transisional menuju demokrasi yang terkonsolodasikan. Fase kritis tersebut salah satu indikator dominanya ditandai oleh peningkatan jumlah kasus konflik dan kekerasan di dalam dunia hidup sosial, ekonomi, dan politik kebangsaan. Sedangkan sebagai sosiolog saya memilih perspektif mendasar dari setiap observasi dan refleksi terhadap konflik-konflik di Indonesia, yaitu perspektif tata kelola konflik (conflict-governance). Sehingga tipologi konflik di dalam buku ini menawarkan gagasan dan perspektif kelola konflik. Seluruh artikel tentang konflik-konflik di dalam buku ini terpetakan menjadi lima tipologi konflik, yaitu Konflik-konflik Sumberdaya, Konflik Horizontal dan Terorisme, Konflik Politik dalam Pemilu dan Pilkada, Konflik-konflik Elite Politik, serta Negara dan Tata Kelola Konflik. Kelima tipologi konflik dalam fase kritis demokratisasi Indonesia tersebut merupakan catatan harian yang merekam berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.
v
Buku ini bisa saya selesaikan atas dukungan penuh kasih sayang dari keluarga dan para kolega. Terimakasih yang dalam pada dua cinta, Ulya dan Sai, yang terus bersabar selalu dipisah jarak. Kepada ibu Sri Lestari yang terus menghanyutkan doa di sungai malam, dan Ibu Sumarni di Jogja yang memberi dukungan-dukungan sunyinya. Kepada para saudaraku yang tidak segan berbagi visi hidup. Terimakasih pula kepada Ranang Aji SP dari KoranOpini. com atas diskusi dan penajaman setiap artikel. Kepada Hojin, Army, dan Pange di Koran SINDO, Mbak Tati di Kompas, mas Kelik di Koran Tempo, yang memberi ruang terbuka bagi saya untuk mencurahkan gagasan. Kepada Prof. Eiji Oyamada di The School of Global Studies, Doshisha University Kyoto atas dukungan referensi dan diskusi-diskusinya. Terimakasih pada kolega-kolega saya Faishal Aminudin di Prodi Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Dimas Oky Nugroho di suatu tempat dengan narasi pentingnya pada politik nasional, Joko Susanto dan Safril di Fisip UNAIR, yang mendukung dalam banyak hal. Terimakasih pada Yogi Ishabib atas gerak cepat risetnya untuk buku ini. Terimakasih atas dukungan dari para sosiolog Unair yang sangat bersemangat. Terakhir ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang sulit disebut satu per satu pada kata pengantar terbatas ini. Buku Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia secara khusus saya dedikasikan untuk masa depan negara bangsa Indonesia, kepada para ilmuwan sosial, mahasiswa, dan para pengambil kebijakan. Semoga bermanfaat dan menjadi berkah bagi kebaikan negara bangsa Indonesia.
Yogyakarta, 29 Maret 2012 Penulis
vi
Daftar Isi Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .v Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
Bab I : Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 Sejarah Konflik dan Tata Konflik di Indonesia. 1. Konflik dan Negara Bangsa Indonesia . . . 1.1. Dialektika Nalar . . . . . . . . . . . . 1.2. Fase Otoriterisme Orde Baru . . . . . 1.3. Fase Demokratisasi . . . . . . . . . . 2. Teorisasi Konflik dan Tata Kelola Konflik . 2.1. Memahami Konflik . . . . . . . . . . 2.2. Akar Kekerasan Konflik . . . . . . . . 2.3. Tata Kelola Konflik . . . . . . . . . . 3. Struktur Buku. . . . . . . . . . . . . . . . 4. Bibliografi . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
.3 .4 .8 11 16 19 19 21 26 28 30
Bab II : Konflik-konflik Sumber Daya. . . . . . . . . . . 33 1. Konflik dan Kekerasan Struktural . 2. Pembangunan dan Keamanan . . . 3. Wajah Kekerasan Tata Kota . . . . 4. Jalan Kekerasan Satpol PP . . . . . 5. Konflik Relokasi PKL . . . . . . . 6. Konflik Lahan Asimetris . . . . . . 7. Konflik Lahan Perkotaan . . . . . . 8. Kompleksitas Konflik Indsutri . . . 9. Mekanisme Represif Konflik Lahan 10. Bara Konflik Tanah . . . . . . . . . 11. Bibliografi . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
35 40 45 50 57 60 64 69 73 77 81
vii
Bab III : Konflik Horizontal dan Terorisme. . . . . . . . 83 1. Konflik Kaum Advokat. . . . . . . . . . 2. Ingatan Kolektif Permusuhan . . . . . . 3. Identitas dan Jalan Perdamaian. . . . . . 4. Agresivisme dan Ketidakhadiran Negara 5. Memperjuangkan Praktik Perdamaian . . 6. Memperjuangkan Masyarakat Inklusif . . 7. Keamanan dan Ketangguhan Kepolisian. 8. Menyoal Makna Terorisme . . . . . . . . 9. Radikalisasi Liberalisme dan Terorisme . 10. Konflik Horizontal dan Kekerasan . . . . 11. Terorisme vs. Terorisme?. . . . . . . . . 12. Bibliografi . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . .
. 85 . 89 . 94 100 105 109 115 119 123 128 135 138
Bab IV : Konflik Politik dalam Pemilu & Pilkada . . . . 141 1. “Conflict Governance’ Pemilu . . . . . . 2. Pemilu Tanpa Kekerasan . . . . . . . . . 3. ‘Conflict Governance’ Sengketa Pilkada . 4. Paradigma Kekerasan dan Demokrasi . . 5. Prahara Pilkada Sumatera Selatan . . . . 6. Surplus Kekerasan Lokal . . . . . . . . . 7. Kolektivisme dan Kekerasan Pilkada . . 8. Transformasi Konflik dalam Pemilu . . . 9. Konflik Keistemewaan DIY . . . . . . . 10. Multi Partai dan Pengelolaan Konflik . . 11. Bibliografi . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . .
143 147 152 156 160 164 168 173 178 183 187
6. 7. 8. 9.
Risiko Perombakan Kabinet Kompromistis Wajah Rekonsiliasi SBY . . . . . . . . . . Konflik Reformis versus Orbaisme . . . . Bibliografi . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
. . . .
215 220 224 229
Bab VI : Negara dan Tata Kelola Konflik . . . . . . . . . 231 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Masalah Disparitas Pembangunan . Kanalisasi “ganyang Malaysia” . . Konflik Masyarakat dan Polisi . . . Separatisme dan Nalar Penanganan Masalah Konflik Separatisme . . . Negara, Konflik dan Demokrasi . . Negara Gagal Mengelola Konflik . Bibliografi . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
. . . . . . . .
233 238 243 248 252 257 261 267
Indeks . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 268 Tentang Penulis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 271
Bab V : Konflik Elit-elit Politik . . . . . . . . . . . . . . 191 1. 2. 3. 4. 5.
viii
Merapuhnya Politik Humanistis . . . . . . . . Eskalasi Politik Degil : Kasus Skandal Century Duel Para Koruptor. . . . . . . . . . . . . . . Dinamika Politik Intimidatif . . . . . . . . . . Konflik Politikus Benalu . . . . . . . . . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
193 197 202 206 210
ix
BAB I
Pendahuluan
Sejarah Konflik dan Tata Konflik di Indonesia INDONESIA sebagai negara bangsa tidak imun dari konflikkonflik yang terjadi pada setiap dimensi dunia kehidupan politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Pertanyaan dasar adalah bagaimana negara bangsa Indonesia mengelola konflikkonflik tersebut? Bagaimana negara membangun kelembagaan tata kelola konflik yang mampu mentransformasi konflik menjadi pemecahan masalah? Kapan dan bagaimana kekerasan direproduksi pada kasus konflik tertentu dalam konteks demokrasi Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan perspektif mendasar dari buku Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik ini. Buku ini merupakan hasil observasi dan refleksi kritis terhadap berbagai fenomena konflik yang mengalami peningkatan kuantitas, variasi, dan kualitas di banyak arena sosial politik. Arena-arena tersebut seperti DPR Senayan tempat para elite politik memperjuangkan dan mentransaksikan kepentingan, dan arena politik di istana presiden yang merepresentasikan pemerintahan eksekutif dan kebijakan-kebijakannya. Kasus-kasus lain seperti konflik pertanahan, konflik pilkada, konflik buruh, dan konflik etno-relijius berada dalam cakupan artikel-artikel dalam buku ini. Saya sesungguhnya melakukan pentipologian konflikkonflik di Indonesia melalui penangkapan kasus-kasus dominan dalam perspektif tata kelola konflik selam periode demokrasi Indonesia. Sebelum membaca kasus-kasus konflik dan tata kelola Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 3
konflik di Republik Indonesia selama periode demokrasi, pada bab ini akan ditelaah secara reflektif mengenai sosio-konflik historis negara bangsa Indonesia. Setelah melakukan refleksi atas sosio-konflik historis, akan dilanjutkan dengan telaah teoretis konflik, kekerasan dan tata kelola konflik. 1. Konflik dan Negara Bangsa Indonesia
Masyarakat majemuk adalah kondisi alamiah yang eksis dalam setiap konteks wilayah negara bangsa di dunia. Walaupun tidak setiap negara bangsa memiliki kemajemukan yang sama, dan atau tingkat kemajemukan yang berbeda. Masyarakat majemuk disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial seperti identitas keagamaan, identitas etnis, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang mendefinisikan diri secara unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul dalam pemikiran sosiologis tentang masyarakat majemuk adalah konsekuensi-konsekuensi terhadap beberapa hal penting kehidupan sosial seperti stabilitas, harmoni sosial dan persaingan identitas dalam arena-arena sosial. Secara umum dari semua konsekuensi tersebut, konsekuensi masyarakat majemuk adalah relasi-relasi konflik. Oleh sebab itu konflik bukan fenomena asing dalam keseharian masyarakat yang disarati oleh oleh berbagai dimensi relasi sosial antara individu dan kelompok. Konflik menjadi fenomena yang biasa, omnipresent (hadir di manapun), karena relasi sosial sering mengandung perbedaan persepsi, makna, dan kepentingan di antara individu dan kelompok di dalamnya. Tradisi sosiologi konflik meyakini bahwa masyarakat sesungguhnya disusun oleh relasi-relasi konflik. Namun konflik menjadi masalah kritis yang destruktif, menggoncang sinergitas sistem sosial dengan menciptakan kondisi ketidakamanan ketika konflik disarati oleh praktik kekerasan. Masyarakat Indonesia yang padat relasi antar etnis, golongan, Negara Gagal Mengelola Konflik 4
agama, dan kelas ekonomi tentu telah terlibat dalam pengalaman relasi konflik dan praktik kekerasan. Pada periode demokratisasi saja, masyarakat Indonesia telah terjebak dalam eskalasi konflik kekerasan komunal. Gerry van Kinklen melalui bukunya berjudul Communal Violence and Democratization in Indonesia (2007) membedah realitas konflik dan kekerasan komunal di Indonesia terutama pasca runtuhnya rejim Soeharto. Melalui penggambaran historisnya, Kinklen memperlihatkan bagaimana konflik kekerasan komunal diantara kelompok-kelompok identitas Indonesia mengalami eskalasi dramatis. Berawal dari konflik dan kekerasan komunal di Sambas, Ambon, Poso, dan daerahdaerah lain. Kinklen menemukan empat tipe konflik kekerasan komunal pada fase demokratisasi, yaitu kekerasan dalam konflik separatisme, kekerasan dalam konflik etno-relijius, kerusukan komunal lokal seperti rusuh anti-China Mei 1998, kekerasan sosial (social violence) seperti konflik kekerasan antar desa (Kinklen, 2007, hal. 3). Pada kenyataannya konflik merupakan unsur fundamental dari konstruksi sosio-historis suatu masyarakat bangsa. Konflik sebagai realitas sosial mampu menjadi mesin pembentuk sejarah masyarakat manusia dan pencipta peradaban berbagai negara bangsa. Eksistensi negara bangsa tumbuh dan bertahan dalam narasi konflik yang menjadi realitas sejarah sosial. Narasi konflik yang ditulis oleh abjad-abjad kepentingan dan geliat identitas sosial yang berkontestasi tanpa henti baik secara damai maupun kekerasan. Setiap konteks, ruang dan waktu, dari narasi konflik melahirkan buah kesedihan atau kesenangan, kebersamaan atau perceraian, serta kehancuran atau pemecahan masalah. Begitu pula ketika membicarakan Indonesia sebagai negara bangsa, ia berada dalam lintas narasi konflik yang terhubung dengan transformasi globalisasi. Lahirnya Indonesia sebagai negara bangsa pada abad ke-20 Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 5
adalah buah dari narasi konflik global yang melibatkan segitiga kepentingan yang meliputi kepentingan pasar, negara modern baru, dan identitas-keagamaan dunia Barat. Segitiga kepentingan dunia Barat tersebut berkolaborasi menciptakan penetrasi masif melalui kekuatan gerak masing-masing. Pasar dengan rasionalisme ekonominya, negara modern dengan militernya, dan identitas-keagamaan dengan klaim penyelamatan peradaban. Kekuatan segitiga kepentingan dunia Barat ini muncul bersama dalam slogan 3G; Gold (kekayaan/keuntungan), Glory (kejayaan negara), dan Gospel (penyelamatan peradaban). Ketiga entitas kekuatan ini berada dalam satu ”kapal-penjelajah” yang mengekspansi seluruh pelosok dunia, dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Kapal penjelajah Kerajaan Inggris Raya mengkolonisasi India sekitarnya, Perancis menguasai Mesir, Spanyol dan Portugis berbagi untuk menguasai sebagian wilayah Amerika Latin, dan Belanda menguasai kepulauan Hindia Belanda (Nusantara). Wilayah-wilayah peradaban non-Barat adalah tujuan dan kekayaan dari segitiga kepentingan dunia Barat yang kemudian dibagi-bagi secara politik administratif diantara negara-negara Barat. Produk sosial yang paling menonjol dari ekspansi segitiga kepentingan Barat, sebagai manifestasi kolonialisme, di Indonesia adalah perbudakan. Yaitu kondisi tersubordinasinya struktur kesadaran dan aktivitas sosial berbagai kepentingan dan identitas masyarakat di wilayah koloni. Belanda melalui segitiga kepentingan yang direpresentasikan secara ekonomi politik oleh VOC (Vereenigde Oost-Indishe Compagnie) dari awal abad ke17 sampai abad ke-19 di Nusantara mensubordinasi kepentingan dan identitas berbagai sistem politik di nusantara. Perdagangan rempah-rempah bukan merupakan transaksi egaliter melainkan hasil tekanan (represi) dan paksaan militer. Sampai pada abad ke-19 bersamaan kolapsnya VOC, pemerintah Kerajaan Belanda Negara Gagal Mengelola Konflik 6
mereposisi posisi perbudakan di Nusantara. Walaupun demikian tidak ada perubahan secara substansial komposisi segitiga kepentingan. Bahkan penetrasi dan subordinasi yang menghasilkan perbudakan lebih kuat dan sistematis. Menurut Amin Rais, VOC dan Pemerintah Belanda telah menguasai kepulauan nusantara dan menjarah hasil bumi seperti rempah-rempah dan perkebunan Indonesia, selama sekitar 3 abad karena mekanisme korporatokrasi (Rais, 2008, hal. 3). Choppel pun dalam Violent Conflicts in Indonesia (2006) memberi penjelasan historistik bahwa kolonialisme Belanda sejak jaman VOC, sesungguhnya menciptakan budaya kekerasan (culture of violence) melalui berbagai praktik pendindasan brutal dan kekerasan terhadap penduduk nusantara (Choppel, 2006). Masyarakat Indonesia masih menyimpan ingatan kolektif dari praktik-praktik kekerasan yang ”terbiasa” (habit) dari kolonialisme Belanda, dari peristiwa perang di Aceh, Jawa, dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Kekerasan negara kolonial merupakan instrumen perbudakan terhadap masyarakat Indonesia. Perbudakan oleh segitiga kepentingan kolonial Belanda merangsang kelompok-kelompok di Nusantara membentuk segitiga perlawanan pula, seperti Sarekat Islam (SI) melakukan perlawanan terhadap pasar, Boedi Oetomo untuk perlawanan terhadap negara melalui pendidikan politik, dan kelompok-kelompok keagamaan (Islam) dengan perlawanan keagamaan yang diwarnai oleh nilai-nilai jihad fisabilillah (Fealy, 2003). Segitiga perlawanan menciptakan dinamika panjang dalam narasi konflik global di nusantara. Konsep negara bangsa Indonesia pun terbangun melalui dialektika internal segitiga perlawanan terhadap segitiga kepentingan global. Hal ini memperlihatkan bahwa nasionalisme awal tumbuh melalui nalar ekonomi, politik modern, dan identitas keagamaan. Budaya kekerasan pada gilirannya menyublim kedalam budaya perlawanan seDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 7
bagai praktik yang terbiasakan oleh kekerasan kolonialisme. Perlawanan dan kekerasan merasuk kedalam struktur kesadaran kolektif sebagian masyarakat Indonesia. Pada konteks kekinian, demonstrasi-demonstrasi para mahasiswa pun tidak jarang muncul dalam bentuk protes dan anarkhisme. 1.1. Dialektika Nalar
Nalar ekonomi nusantara tumbuh sebagai perlawanan di atas konteks kepentingan identitas lokal terhadap dominasi pasar kolonial yang bekerjasama dan mengkooptasi para penguasa politik lokal. Para pelaku perdagangan di pulau-pulau Nusantara terutama di Jawa yang berasal dari kalangan saudagar Islam memutuskan menciptakan asosiasi perdagangan pada tahun 1905 di Solo bernama Sarekat Dagang Islam yang berganti menjadi Sarekat Islam (SI). Awal perlawanan SI ditujukan terhadap etnis Tionghoa yang menguasai pasar namun pada perkembangannya, SI tumbuh sebagai wadah perlawanan pasar yang dikuasai oleh Belanda. Akibatnya gerakan perlawanan terhadap dominasi pasar ini pun tidak lepas dari geliat perlawanan politik. Keterkaitan perlawanan pasar dan politik terletak pada irisan kebijakan ekonomi dan kepentingan politik negara kolonial pada waktu itu yang tidak lagi dibedakan. Menurut Fealy pada konteks perlawanan politik inilah organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyan dan NU mulai ikut bergabung dalam perlawanan terhadap segitiga kepentingan kolonial (Fealy, 2003). Pada alur historis ini, nalar ekonomi dan keagamaan muncul bersama, berdialektika secara politis, melawan dominasi kolonial di setiap dimensi segita kepentingannya. Bagaimana kesadaran nasionalisme muncul sebagai gerakan modern? Nasionalisme sebagai gerakan modern sangat terkait dengan pendidikan Belanda yang secara pragmatis awalnya ditujukan untuk menopang kepentingan sistem pasar, tenaga Negara Gagal Mengelola Konflik 8
administrasi, dan sistem pemerintahan. Belanda memperkenalkan sistem ekonomi politik yang harus ditopang oleh bentuk sosial dari rasionalisme Barat seperti mata uang untuk kepentingan transaksi pasar modern dan birokrasi untuk menjalankan administrasi kepemerintahan. Agenda pendidikan model Barat diperkenalkan pada kalangan yang selama ini menjadi suporter kolonialisme Belanda. Terutama sekali kalangan bangsawan yang menjadi patron kepentingan pemerintahan kolonial Belanda di tingkat lokal. Pendidikan modern tesebutlah yang mulai menyadarkan sebagian kalangan muda bangsawan mengenai konsep negara bangsa modern. Figur-figur seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, atau Sjahrir adalah produk dari pendidikan Belanda. Pada saat bersamaan pendidikan Barat di kalangan muda bangsawan telah memupuk nalar modern. Nalar modern (rasionalisme) yang sebenarnya menjadi pondasi gerakan segitiga kepentingan Barat pun mendorong kalangan pemuda mekonstruksi gagasan perlawanan melalui nalar modern itu sendiri. Sehingga mulai terbentuklah gagasan negara modern dengan konsep organisasi dan kesatuan bangsa. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap entitas kepentingan negara Belanda. Namun demikian nalar modernisme ini pun berkontak sosial dan berdialektika dengan nalar ekonomi dan keagamaan. Fakta yang tercipta dari dialektika ini, nasionalisme Indonesia terbentuk sebagai perlawanan terhadap segitiga kepentingan global. Sehingga nasionalisme Indonesia pada dasarnya sudah terkonstruksi kuat dan rasional pada awal terbentuknya. Bukan sebagai pepesan kosong. Walaupun nasionalisme pasca kolonialisme cenderung dilihat oleh banyak ilmuwan mengalami degradasi makna dan kehilangan nalarnya. Yudi Latif melalui Negara Paripurna (2010) melakukan genealogi makna nasionalisme melalui Pancasila, dan bagaimana nalar nasionalisme yang terkandung di dalam PanDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 9
casila tercerabut. Nalar nasionalisme, negara bangsa, Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, merupakan produk konstruktif dari dialektika nalar ekonomis, keagamaan, dan modernisme politik di nusantara (Latif, 2010). Yang melewati proses dialektika nalar dan perlawanan politik terhadap kolonial Belanda, dan Jepang yang sempat meringsek keji pada tahun 1942-1945. Dialektika nalar yang melahirkan kerjasama nalar (trans-rationality), mengutip konsep Wolfgang Dietrich dalam A Call for Tran-Rational Peaces (2006), sebenarnya merefleksikan hasrat melawan dan sekaligus mendefinisikan keselamatan subyektif kebangsaan di hadapan narasi konflik global. Pada konteks negara bangsa Indonesia kerjasama nalar, hasrat melawan dan definisi kesalamatan subyektif, dari berbagai kepentingan dan identias diperlihatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Seperti teks yang membacakan hasrat pembebasan dari penjajahan dan penyelamatan manusia Indonesia melalui realisasi kesejahteraan sosial. Sehingga nasionalisme Indonesia, pada giliarannya, adalah nalar perlawanan yang berbasis pada dan sekaligus mendefinisikan ideologi penyelamatan subyektif kebangsaan. Soekarno adalah presiden pertama di Indonesia yang menyadari bahwa nasionalisme merupakan nalar perlawanan dan penyelamatan subyektif kebangsaan. Soekarno menyadari bahwa Indonesia berada dalam narasi konflik yang diciptakan oleh segitiga kepentingan global yang rakus dan berbahaya bagi eksistensi negara bangsa Indonesia. Karenanya ia tidak menyerahkan sumber daya alam pada pasar, investor asing, tanpa persiapan kematangan teknologi bangsa. Keputusan politik ini adalah manifestasi genuine atas nasionalisme Indonesia. Nasionalime yang dikonstruksi secara dialektis berbagai nalar kepentingan dan identitas para founding fathers bangsa ini dari berbagai wilayah nusantara. Akan tetapi makna genuine nasionalisme Negara Gagal Mengelola Konflik 10
tiba-tiba lenyap tanpa bekas dan kehilangan nalarnya ketika Soeharto tampil sebagai rejim Orde Baru (Orba). 1.2. Fase Otoriterisme Orde Baru
Orde Baru (Orba) adalah babak baru nasionalisme yang berbasis pada nalar monolitik rejim, bukan kerjasama nalar dan miskin makna penyelamatan bangsa dari narasi konflik global. Rejim Orba menyerahkan tanah di Aceh, Papua, Kalimantan, sampai Papua untuk dikuasai oleh wajah baru pasar dan negara kapitalis. Nasionalisme bukan lagi merupakan nalar perlawanan dan penyelematan subyektif kebangsaan demi merealisasikan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya nasionalisme berubah menjadi slogan koersif terhadap rakyat bangsa Indonesia. Ketika rakyat tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan negara maka mereka akan diseret ke penjara tanpa pengadilan atau bahkan terbunuh setelah proses siksaan. Pada konteks politik Orba inilah nasionalisme mengalami perubahan konsep dan implementasinya yang dicirikan oleh kekerasan negara. Rejim Orba membuang makna nasionalisme sebagai nalar perlawanan dan penyelamatan bangsa dari ancaman narasi konflik global. Sebalinya negara berpihak pada arogansi pasar dan kepentingan neokolonialisme negara-negara kapitalis. Siapapun yang menolak kebijakan rejim, yang didikte oleh pasar dan neo kapitalisme, dihancurkan atas nama nasionalisme. Pada fase sejarah inilah terjadi pembelokan konsep dan makna nasionalisme: dari nalar nasionalisme berubah menjadi nasionalisme represif. Nasionalisme represif merupakan instrumen kekerasan negara yang bahkan menjadi bagian dari narasi konflik global yang menindas rakyat. Fakta ini tidak pelak mendorong lahirnya nalar-nalar perlawanan lokal seperti di Aceh, Timor Timur, dan Papua Barat. Orba menjadi kekuasaan paling lama di Indonesia di bawah Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 11
rejim Soeharto. Orba melangkah keluar dari kericuhan politik Orde Lama Soekarno yang dianggap terlalu sibuk dengan kontestasi politik antar kelompok politik dan kepentingan. Akibat kontestasi politik berkepanjangan waktu itu pembangunan ekonomi terbengkalai. Konteks politik ini mendasari gerakan Orba dalam pengagendaan bentuk baru pengorganisasian negara. Kedekatan rejim Orba dengan Amerika Serikat yang tengah berseteru dalam perang dingin dengan Uni Soviet memberi pengaruh warna ideologi penguasa terhadap tata kelola politik nasional. Amerika Serikat merepresentasi blok kapitalis dan Uni Soviet blok komunis. Merapatnya Orba ke Amerika Serikat pada akhir 60-an adalah titik mulai masuknya konsep pembangunan dan kapitalisme industri ke Indonesia. Orba menjadikan pembangunan sebagai paradigma nasional dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ilmuwan sosial menyebutnya sebagai pembangunanisme (developmentalism), yaitu suatu paradigma yang meyakini pertumbuhan ekonomi tinggi akan membawa pada kesejahteraan. Usaha mencapainya adalah dengan memacu industrialisasi berbagai sektor termasuk di dalamnya adalah eksploitasi alam. Industrialisasi ini harus ditopang oleh kesadaran rasional, keahlian modern, dan struktur politik yang mengontrol proses pembangunan. Hal ini menyebabkan Orba melakukan kebijakan modernisasi budaya, yaitu membuang budaya yang dianggap tidak layak ‘berindustri’ dan menciptakan budaya yang ‘berindustri’. Akibatnya budaya lokal yang dianggap menghalangi kesadaran rasional dan keahlian modern perlu diberangus dan disimpan serapatnya sebagai arsip usang kebudayaan (Fakih, 2003). Pada saat bersamaan Orba menciptakan struktur pemerintahan modern yang sentralistik untuk mengontrol pelaksanaan rumusan pembangunan pemerintah pusat. Lembaga kepolisian, pengadilan, dan birokrasi didirikan dari pusat sampai dusun. SeNegara Gagal Mengelola Konflik 12
bagaimana yang ditungkan dalam UU No. 4 tahun 1975 tentang pemerintahan daerah. Seluruh daerah dan rakyat Indonesia harus memanfaatkan lembaga-lembaga tersebut untuk mengurus administrasi dan berbagai persoalan, termasuk konflik sosial. Akibatnya lembaga-lembaga lokal yang telah ada sebagai bagian sistem sosial masyarakat setiap daerah musnah sama sekali dan sebagian lainnya hanya menjadi ritual kosong makna. Salah satu contoh itu adalah hancurnya institusi adat dan budaya masyarakat Ambon yang selama ini merupakan mekanisme lokal dalam masyarakat untuk menjaga diri mereka sendiri dari benturan antara kelompok-kelompok sosial yang biasa terjadi. Seperti masalah pemimpin negeri yang dijabat oleh seorang raja atau kepala desa menjadi hak khusus dari kalangan fam tertentu, dan hak khusus itu diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun semenjak pemerintahan Orba mengeluarkan UU No. 4 tahun 1975 tentang pemerintahan daerah, pemilihan seorang raja tidak lagi harus secara adat dengan persyaratan calon raja harus berasal dari Soa raja. Padahal mekanisme kepimpinan lokal tersebut menjadi satu paket dengan berbagai mekanisme sosial lainnya termasuk mekanisme resolui konflik damai. Masyarakat Ambon memiliki mekanisme pela namun mekanisme ini selama Orde Baru tidak berjalan efektif, menjadi usang, dan simbolis semata. Proses penghancuran dan pengusangan ini pun berlaku di seluruh daerah Indonesia kecuali yang tidak tersentuh oleh jangkauan pemerintah Orde Baru. Masyarakat Indonesia yang disusun oleh perbedaan etnis, agama, keyakinan, dan golongan melalui konteks sosio historisnya sesungguhnya telah membangun mekanisme resolusi konflik damai. Masyarakat Ambon memiliki mekanisme pela, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat memiliki basaru sumangat, masyarakat di NTT memiliki ndempa, dan masyarakat Aceh memiliki acara tepung tawar. Berbagai lembaga mekanisme reDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 13
solusi konflik yang berbeda-beda tersebut hadir dan terbangun melalui konteks sosio historis yang berbeda. Walaupun demikian memiliki fungsi mengintegrasikan masyarakat dalam sistem sosial yang damai. Studi-studi yang telah dilakukan terutama studi konflik dan perdamaian membuktikan sistem sosial masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki mekanisme kelola konflik damai. Sebagaimana Robert Hefner yang berpendapat bahwa masyarakat nusantara memiliki nilai pengetahuan nirkekerasan yang dilembagakan dalam sistem sosial. Ia mengambil contoh bagaimana pertukaran dan jual beli dilakukan oleh berbagai etnis berbeda melalui medium pasar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebelum kolonialisme dan modernisme mampu mendirikan suatu mekanisme resolusi konflik damai sebagai bagian dari sistem sosial (Hefner, 2001). Akan tetapi kolonialisme dan modernisme Orde Baru baik dalam dimensi kebudayaan dan pemerintahan telah memporakporandakan berbagai mekanisme kelola konflik damai yang menjadi kearifan lokal. Terhapusnya dan memudarnya mekanisme resolusi konflik damai lokal masyarakat Indonesia oleh modernisme Orde Baru merupakan lenyapnya safety-valve (katup penyelamat) dalam sistem sosial yang bisa mengelola konflik menjadi nir kekerasan. Menurut Coser katup penyelamat adalah lembaga yang menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang akan mempertahankan integrasi suatu masyarakat (Coser, 1957). Faktanya Orde Baru telah menghilangkan katub penyelamat di setiap daerah melalui kebijakan modernismenya. Pada saat bersamaan lembaga-lembaga modern, seperti polisi, birokrasi, dan pengadilan, tidak mampu menyediakan fungsi mekanisme resolusi konflik yang diterima oleh masyarakat (Trijono, 2003). Pertama karena faktor ketidaksesuaian antara kesadaran tradisional masyarakat yang memaknai lembaga sebagai sesuatu yang sakral atau suci Negara Gagal Mengelola Konflik 14
dan kesadaran lembaga modern yang penuh seabreg prosedur administrasi. Faktor ini menyebabkan masyarakat enggan datang ke lembaga-lembaga pemerintahan modern dan menyelesaikan konflik yang muncul diantara mereka. Faktor kedua adalah lembaga modern pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak peka terhadap dinamika sosial karena mereka hanya menjalankan prosedur dari pusat dan budaya korupsi yang parah. Sulit dibayangkan pada masa Orde Baru seorang pegawai dan pejabat lembaga pemerintahan turun ke bawah dan melakukan pendekatan pada masyarakat. Sebaliknya mereka menunggu dan meminta kedatangan masyarakat layaknya para aristokrat di hadapan kawula alit. Lantas mengapa pada masa Orde Baru konflik cenderung tidak muncul ke permukaan? Kondisi harmoni tanpa konflik kekerasan pada masa itu bukan berarti lembaga modern pemerintahan sukses dan mampu menyediakan mekanisme resolusi konflik damai. Sebaliknya kevakuman fungsi lembaga-lembaga modern tersebut menyediakan mekanisme resolusi konflik damai diisi oleh lembaga militer yang pada Orde Baru mempunyai doktrin Dwi Fungsi ABRI. TNI, ABRI pada masa Orde Baru, memiliki hak berperan serta dalam kehidupan sosial politik. Pengaruh dari doktrin ini adalah kuatnya pendekatan keamanan tradisional (traditional security) negara dalam tata kelola konflik untuk menciptakan harmoni sosial. Menurut Jeong, pendekatan keamanan tradisional mengingkari politik negosiasi, memperdalam hirarki sosial, dan kontrol militer terhadap sistem sosial yang ada (Jeong, 2003: 367). Negara melalui TNI menciptakan model tata kelola konflik represif yang mendepankan tindakan koersif dan ancaman. Terlebih lagi kepentingan pembangunanisme mendorong secara pragmatis rejim Orde Baru menciptakan stabilitas sosial melalui tekanan militer. Orde Baru dengan pembangunanisme dan modernisme yang Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 15
ditopang oleh militerisme telah menghancurkan mekanisme resolusi konflik damai lokal masyarakat Indonesia. Ketika rejim ini runtuh dan pengorganisasian kontrol militer goyah, berbagai masalah sosial akibat krisis ekonomi menciptakan berbagai pemicu konflik sosial. Perkelahian dua orang pemuda menyebabkan konflik antar etnis di Kalimantan Barat. Hal ini juga terjadi di masyarakat Ambon Maluku. Masalahnya mekanisme resolusi konflik damai lokal telah hancur dan sebagian tersisa sebagai ritual miskin makna. Sedangkan lembaga pemerintahan modern tidak menyediakan mekanisme resolusi konflik damai. Dua faktor umum ini menjadi pondasi mengapa konflik kekerasan menjamur tatkala rejim Orde Baru runtuh. 1.3. Fase Demokratisasi
Tom Nairn dan Paul James dalam bukunya Global MatrixNationalim, Globalism and State Terrorism (Nairn and James, 2005) mengingatkan negara-negara bangsa di dunia bahwa globalisme adalah bentuk lanjut ekspansi pasar dan kolonialisme negara-negara neo kapitalis. Jika pada narasi konflik global abad ke-19 dan ke-20 muncul dalam bentuk ekspansi militer. Neo narasi konflik globalisme menciptakan kondisi post-nasionalisme dengan mencerabut kepemilikan sumber daya dan tanah-air tanpa melakukan penguasaan administrasi teritorial. Ekspansi tersebut berlangsung melalui berbagai deregulasi pada aturan-aturan yang memberi jaminan terhadap perlindungan pada eksistensi masyarakat luas dengan memaksa terbentuknya sistem privatisasi kepemilikan. Privatisasi kepemilikan atas sumber-sumber daya alam, seperti tanah dan air, memberi kemungkinan kelompok kapitalisme besar membelinya untuk kepentingan sendiri. Akibatnya hukum yang melindungi kepemilikan atas tanah dan air yang bersifat kolektif, direpresentasikan oleh negara dan sistem adat lokal, dilemahkan melalui regulasi-regulasi baru Negara Gagal Mengelola Konflik 16
yang memungkinkan pasar tampil sebagai pemilik. Rejim hasil pemilu demokratis, seperti Megawati (20022004) dan SBY (2004-sekarang), selama masa pemerintahannya pun melakukan berbagai deregulasi dan privatisasi. Seperti privatisasi perguruan tinggi negeri, BUMN, dan bahkan tanah-air. Produk perundangan yang dianggap menjadi bagian dari privatisasi ini adalah UU PTUP (Pengadaan Tanah untuk Pembangunan), UU PTUP muncul karena RUU ini didorong kuat oleh kelompok penguaha, khususnya para pengusaha infrastruktur. Salah satu alasan yang sering dikemukakan di berbagai forum bahwa dukungan kebijakan pemerintah atas pengadaan tanah tidak memadai dan tidak efektif. Pengadaan tanah masih menjadi penghambat proyek pembangunan karena mekanismenya tidak efektif, diantaranya karena : 1) Rumitnya pelaksanaan UU No.20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah, 2) Penetapan ganti berdasarkan musyawarah, dan 3) pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu dan biaya pengadaan tanah. UU yang memprivatisasi tanah air lainnya adalah Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Akibat dari deregulasi dan privatisasi tersebut sumberdaya manusia Indonesia dikuasai oleh pasar, dan bukan oleh negara bangsa ini. Perusahan-perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dijual pada swasta. Sumber daya mineral, minyak dan gas, dikuasai oleh kapitalisme asing daripada dikuasai oleh negara demi kesejahteraan rakyat. Akibatnya kekayaan bangsa ini lebih banyak mengalir ke tangan-tangan asing daripada ke anak bangsa. Fakta-fakta politik ini hanya membuktikan bahwa nasionalisme sebagai nalar perlawanan dan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 17
pendefinisikan keselamatan subyektif bangsa dari narasi konflik global telah hilang dari kamus politik para pemimpin bangsa. Nalar rejim politik di era demokrasi ini tidak memiliki nalar perlawanan dan pendefinisian keselamatan subyektif bangsa, yang telah dikonstruksikan oleh kerjasama nalar para pendiri negara bangsa, yang sebenarnya merupakan konstitusi negara. Mereka telah keluar dari nalar nasionalisme sebagai agen-agen post-nasionalisme secara politik. Sebagaimana yang diingatkan oleh Tom Nairn di atas. Lebih lanjut menurut Tom Nairn (2005), post-nasionalisme politik mungkin saja tetap menjaga stabilitas dan keutuhan teritori. Sebagaimana Megawati, dan SBY yang mengklaim berhasil menjaga keutuhan wilayah negara. Namun negara ini sudah tidak menjadi ’pemilik’ substantif atas tanahair dan berbagai sumberdayanya. Pemerintah sebagai organisasi negara, pada gilirannya, tampil berpihak pada kepentingan-kepentingan kapitalisme global. Kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang dilegitimasi oleh produk perundangan seperti yang disebut di atas dipaksakan implementasinya. Pemerintah memaksa rakyat harus menjalankan dan menaati setiap kebijakan tersebut. Ketidaktaatan terhadap kebijakan berarti bisa dikenakan status kriminal. Para petani, komunitas adat, dan buruh yang protes terhadap kebijakan pemerintah dipandang sebagai kriminal yang tidak taat hukum. Pada posisi inilah negara memobilisasi kekerasan untuk menekan dan memaksa kelompok-kelompok protes. Mobilisasi kekerasan yang dilindungi oleh legalisme hukum, dari produk perundangan sampai peraturan daerah (perda). Sehingga pada periode demokratisasi, seperti yang dieksplor dalam artikel-artikel buku ini, pendekatan kelola konflik negara adalah kekerasan. Dialog dan negosiasi hanya tercantum di produk hukum tertentu, seperti UU tentang Mediasi Konflik, akan tetapi implementasinya di level zero. Beberapa kasus konflik terakhir Negara Gagal Mengelola Konflik 18
yang melibatkan buruh, komunitas adat, dan petani selalu diwarnai oleh kekerasan negara. Pada artikel-artikel konflik dalam buku ini, terekam jelas bagaimana kekerasan menjadi paradigma negara dalam tata kelola konflik di era demokrasi. Persekutuan negara dengan kapitalisme memberi konsekuensi terhadap mobilisasi kekerasan negara terhadap konflik-konflik kepentingan yang melibatkan masyarakat. 2. Teorisasi Konflik dan Tata Kelola Konflik
Sebelum dan setelah berdirinya negara modern Indonesia, masyarakat majemuk Indonesia tidak pernah kosong dari peristiwa-peristiwa konflik, baik konflik kekuasaan, konflik antar kelompok kepentingan, dan kelompok identitas entis keagamaan. Pada konteks kekinian, masyarakat Indonesia yang hidup dalam atmosfer demokrasi sejak tahun 1998, konflik kekerasan yang menyebabkan kematian ratusan ribu orang, hancurnya kekayaan fisik, dan masa depan anak-anak yang berlumuran darah. Hal ini dihasilkan oleh berbagai kasus konflik sosial berdimensi konflik etnis di Sambas dan Sampit Kalimantan Barat, konflik kekerasan etno-relijius di Ambon Maluku pada tahun 19992003 dan di Poso pada tahun 2000-saat ini, konflik antar etnis di Papua, sampai konflik politik pada berbagai pilkada di tanah air seperti pilkada di Kabupaten Tuban pada tahun 2005, pilkada Maluku Utara pada tahun 2007, dan rusuh pemekaran wilayah di berbagai daerah. Peristiwa-peristiwa konflik tersebut merupakan bukti empiris bahwa konflik menjadi unsur kesejarahan dalam masyarakat majemuk Indonesia. Pada konteks sosio-konflik historis negara bangsa Indonesia, penting juga melakukan teorisasi realitas konflik. 2.1. Memahami Konflik
John Burton dalam Conflict: Resolution and Provention Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 19
(1990) menyebut konflik bersumber dari basic human needs (kebutuhan dasar manusia). Setiap kepentingan memiliki tujuan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, baik yang tersedia secara sosial maupun lingkungan alam. Semakin sederhana dimensi kebutuhan dasar yang diperjuangan oleh beberapa kepentingan yang berkonflik, proses pemecahan masalah bisa lebih sederhana dan cepat tercapai. Namun demikian dimensi kebutuhan dasar manusia dalam konflik kepentingan selalu mengalami proses kompleksitas kebutuhan. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan. Menurut Paul Wehr (2003) kompleksitas sumber konflik tersebut juga mendorong kelompok-kelompok kepentingan melakukan mobilisasi sumber daya konflik. Sumber daya konflik merupakan modal-modal yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan untuk mencapai kemenangan dalam relasi konflik dengan kelompok lain. Mobilisasi sumber daya konflik muncul dalam bentuk strategi konflik (conflict strategy) untuk menciptakan proses-proses dan hasil yang menguntungkan satu kelompok kepentingan. Strategi konflik pada praktiknya muncul dalam bentukbentuk perilaku tertentu. Pruit dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok-kelompok kepentingan, yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan keputusan), compromy, dan problem solving (pemecahan masalah). Kelima strategi tersebut digunakan oleh pihak-pihak berkonflik dalam kaitannya dengan usaha pencapaian tujuan. Setiap strategi akan diterjemahkan dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu baik secara individual maupun kolektif. Pertama strategi konflik contending dicirikan oleh penolakan terhadap aspirasi pihak lain, dan semua proses penyelesaian Negara Gagal Mengelola Konflik 20
konflik harus menguntungkan tujuan dalam konflik. Akibat dari strategi konflik ini adalah munculnya komunikasi dan praktek kekerasan sehingga menyebabkan hubungan-hubungan ketegangan, ancaman, dan saling meniadakan. Hubungan yang tercipta dalam strategi konflik ini adalah zero-sum game atau hubungan menang kalah. Dampak praktek strategi konflik contending adalah menang satu pihak dan kalah pihak lain, atau keduanya kalah dan hancur. Kedua adalah strategi konflik withdrawing yang mana salah satu atau kedua belah pihak mengundurkan diri atau mencabut semua tuntutan, dan hubungan konflik berhenti tanpa resolusi apa pun. Strategi ini bisa muncul ketika satu atau dua pihak merasa eksistensi dan keselamatan diri mereka bisa terancam. Ketiga strategi konflik yielding, yaitu tindakan menyerahkan apapun keputusan dan bentuk resolusi yang diberikan oleh pihak lawan, seperti buruh menyerahkan apapun kebijakan yang diberikan kepada mereka tanpa bertanya lagi. Keempat strategi konflik compromy yang berarti masing-masing pihak hanya mentarget bisa memperoleh sebagian dari tuntutan mereka (2004, hal. 4-6). Proses mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan Galtung (2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan transendental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian pihak berkonflik untuk menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak. Setiap strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individual maupun kolektif yang bervariasi dan memiliki konsekuensinya masing-masing. 2.2. Akar Kekerasan Konflik
Ada dua perspektif teoritis yang menjelaskan kekerasan dalam konflik. Pertama adalah perilaku kekerasan menjadi bagian dari pola hubungan-hubungan konflik dari masyarakat yang Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 21
rentan konflik seperti masyarakat Indonesia. Masyarakat rentan konflik bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti social cleavages yang membagi masyarakat pada berbagai kelompok idetitas. Kondisi social cleavages akan muncul dalam bentuk reciprocal antagonism (permusuhan timbal balik) (Coser, 1957) dan coercive behavior (perilaku kekerasan) (Bartos&Weher, 2003) tatkala masing-masing kelompok harus bersaing untuk meraih sumber daya yang terbatas. Kekerasan menjadi perilaku kolektif dengan mengikuti pola dan karakter modal sosial (social capital) (Putnam, 2000) atau sumber konflik (conflict resource) (Bartos&Weher, 2003) yang menjadi mesin gerakan sosial dan mobilisasi massa. Kedua adalah lemahnya pelembagaan tata kelola konflik dalam masyarakat yang berkompetisi memperebutkan sumber-sumber daya terbatas. Pada konteks pemilihan pemimpin politik dalam sistem demokrasi, tata kelola konflik merupakan lembaga yang harus terbangun untuk mentransformasi konflik kekerasan menjadi konflik nir kekerasan (Bartos&Weher, 2003). Ketidakhadiran lembaga tata kelola konflik (conflict governance) berarti membuka lebar peluang kekerasan dalam setiap konflik kepentingan. Pelacakan perilaku kekerasan dalam konflik-konflik di Indonesia secara teoretis bisa dilacak melalui teori akar kekerasan (Rule, 1988), tindakan konflik dari John Bartos dan Paul Wehr (2003), dan modal sosial (Putnam 2000; Bourdieu; 1991). Selanjutnya bagaimana kualitas pelembagaan tata kelola konflik mampu mentransformasi konflik kekerasan menjadi konflik produktif melalui teori John Burton (1998), pendekatan transendental dari Johan Galtung (2004). Rule memilah akar perilaku kekerasan menjadi dua, yaitu kekerasan sebagai kalkukasi rasional dan kekerasan irasional. Menurutnya kekerasan sebagai kalkulasi rasional merupakan bagian dari upaya manusia mencapai tujuan. Dengan mengkutip Negara Gagal Mengelola Konflik 22
Thomas Hobbes, Rule menjelaskan bahwa manusia menyadari dunia adalah tempat yang penuh dengan persaingan dari berbagai manusia yang memperjuangkan tujuan masing-masing. Hobbes menggunakan istilah manusia adalah srigala bagi srigala yang lain (homo homini lupus) (Rule, 1988). Sedangkan kekerasan sebagai produk irasional adalah kondisi tercerabutnya perilaku dari tatanan normatif yang sering terjadi dalam situasi kerumunan. Situasi kerumunan melahirkan mentalitas kerumunan (crowd mentality) yang mendorong para individu di dalamnya berperilaku liar hewaniah, tanpa kendali, dan merebaknya isu-isu yang tidak jelas dalam kerumunan (Rule, 1988). Kategorisasi akar kekerasan Rule memberi pondasi pada berbagai kemungkinan perilaku kekerasan yang muncul dalam konflik pilkada sebagai produk kalkulasi rasional, irasional, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Namun demikian perspektik buku ini menggunakan kategori kekerasan sebagai kalkulasi rasional. Hal ini terkait dengan teori tindakan konflik Bartos dan Wehr (2003) yang memilah dua model tindakan intesional dalam hubungan konflik. Yaitu model tindakan koersif (coercive action) dan tindakan non koersif (noncoercive action). Menurut Bartos dan Wehr tindakan dalam hubungan konflik selalu muncul dari perhitungan-perhitungan tertentu. Termasuk penggunaan kekerasan sebagai satu instrumen berkonflik. Konflik sendiri didefinisikan sebagai “situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan” (Bartos dan Wehr, 2003: 13). Menurut Bartos dan Wehr tindakan koersif adalah tindakan sosial yang memaksa pihak lawan untuk melakukan sesuatu. Terdapat dua dimensi tindakn koersif, yaitu actual coercion (koersi nyata) dan threat coercion (koersi ancaman). Koersi nyata adalah tindakan melukai ataupun menghancurkan lawan. TinDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 23
dakan ini bisa muncul pula dalam bentuk kekerasan psikologis yang menghasilan luka simbolis (symbolic injury). Tujuan utama dari koersi nyata adalah menghilangkan kapasitas pihak lawan untuk melanjutkan konflik. Sedangkan koersi ancaman bertujuan menekan agar lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tingkat tertentu. Bentuk koersi ini muncul dalam bentuk intimidasi dan negosasi sekaligus. Non coercive action adalah upaya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah konflik. Bartos dan Wehr membagi tiga model tindakan non koersif, yaitu persuasion, promising reward, dan pure cooperation (Bartos& Wehr, 2003: 15-20). Tindakan koersif atau non-koersif adalah pilihan instrumen konflik bagi para aktor yang terlibat dalam perjuangan meraih tujuan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana tindakan koersif tingkat individu menjadi tindakan koersif di tingkat kolektif? Bartos dan Wehr menjelaskan bahwa tindakan koersif individual menjadi tindakan koersif kolektif melalui fase solidaritas konflik (conflict solidarity). Solidaritas konflik muncul dalam tiga tahapan, yaitu ketika interaksi individu-individu anggota terbangun secara intensif, tumbuhnya rasa saling memiliki dan suka terhadap sesama anggota, dan mulai terikatnya individu pada kesamaan keperca-yaan (keyakinan), nilai-nilai, dan norma. Ketiga proses ini akan teraktualisasikan, dipicu, oleh adanya fakta kekejian (hostility) dalam bentuk tindakan koersif kelompok lain. Solidaritas konflik diperlihatkan oleh beroperasinya ideologi dalam kelompok, wacana defensif, penyebaran doktrin dan semangat perlawanan. Selanjutnya terdapat mobilisasi anggota dan struktur. Pada puncaknya adalah terjadi mobilisasi massa dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan berkonflik (Bartos& Wehr, 2003, hal. 72-78). Berkaitan dengan tindakan konflik di tingkat kolektif, studi modal sosial memperlihatkan bagaimana fungsi jaringan, keperNegara Gagal Mengelola Konflik 24
cayaan antar anggota, dan kebutuhan timbal balik terhadap gerakan sosial. Terutama sekali berkaitan dengan mudahnya terjadi mobilisasi massa oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk menciptakan tindakan koersif. Modal sosial didefinisikan cukup beragam di kalangan ilmuwan sosial. Istilah modal sosial (social capital) dirintis oleh Bourdieu dalam teori kritisnya mengenai reproduksi dominasi sistem posisi. Modal sosial adalah jaringan para individu dalam suatu pola interaksi yang stabil. Jaringan tersebut berdiri di atas kebutuhan timbal balik (reciprocity), kepercayaan, dan kewajiban bersama. Setiap anggota dalam jaringan tersebut dapat memperoleh berbagai keuntungan material dan non material (Bordieau, 1986, hal. 24`-258; Putnam, 2000). Modal sosial selalu dimiliki oleh setiap masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana modal sosial menjadi konstruktif untuk masyarakat atau sebaliknya menjadi destruktif bagi masyarakat. Modal sosial menjadi konstruktif misalnya ketika berbagai jaringan, asosiasi, dan kepercayaan antar anggota dimobilisasi untuk kepentingan pemberdayaan dan pembangunan sosial ekonomi. Sebaliknya modal sosial menjadi destruktif ketika berbagai jaringan, asosiasi, dan ikatan kepercayaan dimanfaatkan untuk mobilisasi kekerasan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Dalam konteks studi perilaku kekerasan, modal sosial yang dimanfaatkan untuk kepentingan strategi konflik melalui bentuk-bentuk tindakan koersif tingkat kolektif. Seperti mobilisasi massa yang menciptakan anarkisme, intimidasi, dan kekerasan terhadap pihak lawan. Analisis modal sosial untuk perilaku konflik ini memperjelas bahwa kekerasan juga merupakan produk kalkulasi rasional. Ketika memahami kekerasan sebagai produk kalkulasi rasional dalam hubungan konflik, artinya menempatkan individu dan kelompoknya pada posisi kreatif. Hal ini membedakan kekerasan sebagai produk irasional yang memandang individu Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 25
mengedepankan naluri hewani sehingga pendekatan tata kelola konflik adalah containment (pengurungan). Pendekatan containment melihat konflik sebagai bentuk kemungkinan kekerasan semata yang tidak mungkin terselesaikan kecuali sampai salah satu pihak menang atau kedua belah pihak menemui kehancuran. 2.3. Tata Kelola Konflik
John Burton (1998) melihat dispute (sengketa) akan dikelola melalaui penguatan keamanan militer dan tekanan-tekanan maupun ancaman. Sebaliknya, kekerasan sebagai produk kalkulasi rasional menempatkan individu dan kelompok dalam hubungan konflik yang dinamis dan terlembagakan. Perilaku kekerasan bisa ditransformasi menjadi perilaku perdamaian karena para aktor memiliki kreatifitas. Namun demikian transformasi perilaku kekerasan menjadi perilaku damai akan ditentukan oleh kemungkingan-kemungkinan pemecahan masalah yang dapat ditafsirkan oleh para pihak berkonflik. Hal ini berarti membutuhkan suatu jaminan kelembagaan sosial yang menjadi tempat bagi pihak berkonflik untuk memperhitungkan berbagai kemungkinan pemecahan masalah tersebut melalui fungsi negosiasi atau dialog. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Mary Anderson dalam bukunya Do No Harm. Ia menjelaskan bahwa situasi konflik selalu membawa kemungkinan perdamaian karena dalam fakta empirisnya suatu wilayah konflik dan perang terdapat sistem dan kelembagaan yang bisa dijadikan sebagai proses menuju perdamaian. Proses yang mengandung unsur dialog dan negosiasi diantara para pihak berkonflik (Anderson, 1999: 25). Pertanyaan selanjutnya lembaga politik seperti apa yang bisa mentransformasi konflik kekerasan menjadi konflik damai? Istilah tata kelola konflik (conflict governance) belum cukup populer, ilmu sosial Indonesia lebih mengenal istilah pengeloNegara Gagal Mengelola Konflik 26
laan konflik (conflict management). Kedua istilah tersebut tidak terlalu menyolok perbedaannya walaupun conflict governance dianggap lebih mendasarkan diri pada konsep ideal demokrasi. Pada dasarnya menurut Carpenter, lembaga tata kelola konflik memiliki tujuan utama mengubah konflik tidak produktif yang muncul dalam bentuk kekerasan menjadi konflik produktif yang muncul dalam bentuk dialog dan negosiasi damai. Lembaga ini tidak bertugas menemukan pemecahan masalah karena hal ini akan dicapai oleh para pihak berkonflik melalui proses negosiasi (Carpenter&Kennedy: 1988: 4-5). Dalam buku Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Susan, 2009), saya menawarkan tiga dimensi ”fungsional dinamis” dari lembaga tata kelola konflik demokratis, yaitu mekanisme keamanan, resolusi konflik, dan rekonsiliasi: 1. Dimensi pertama mekanisme keamanan, merupakan upaya mengurung kekerasan terutama sekali pada saat terjadi mobilisasi massa yang membawa tanda-tanda kekerasan. Aparat keamanan dalam hal ini lembaga kepolisian menjadi penanggung jawab utama. Lembaga kepolisian harus memiliki kualitas dalam (1) memobilisasi aparat keamanan ke pusat-pusat mobilisasi massa, (2) menilai dinamika konflik dalam masyarakat sehingga penanganan dini bisa segera diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan, serta (3) melakukan persuasi terhadap massa yang telah siap menciptakan aksi kekerasan. 2. Dimensi kedua dari tata kelola konflik demokratis adalah mekanisme resolusi konflik yang memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi judicial settlement dan negosiasi untuk win-win solution. Mekanisme ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga demokrasi formal seperti KPU untuk kasus pemilu/pilkada dan lembaga peradilan. 3. Dimensi ketiga adalah mekanisme rekonsiliasi di setiap Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 27
level kepemimpinan grass root. Mekanisme ini mendorong proses sosial perdamaian berkaitan dengan pembentukan kerukunan lintas kelompok massa pendukung. Mekanisme ini dilaksanakan melalui lembaga lintas kelompok, partaipartai politik, dan lembaga formal negara seperti kepolisian dan KPU. Secara ideal demokrasi seharusnya menampilkan tata kelola konflik yang memiliki kelembagaan tiga dimensi pengelolaan yang beroperasi secara dinamis. Walaupun pada setiap konteks konflik selalu memiliki desain kelembagaan tata kelola konflik yang berbeda. Kenyataan ini kemudian difasilitasi oleh desentralisme kekuasaan dan otonomi daerah yang memberi kemungkinan besar kelembagaan tata kelola konflik bisa dibangun di tingkat daerah. Pada bab-bab selanjutnya buku ini memaparkan kasus-kasus konflik dalam isu yang berbeda-beda di Indonesia. 3. Struktur Buku
Buku kumpulan artikel hasil refleksi pada kasus-kasus konflik selama periode 2006-2012 ini dibagi menjadi satu bab pendahuluan dan lima bab isi. Pada bab pendahuluan, secara singkat ditelaah sosio-konflik historis keindonesiaan dari fase kolonialisme sampai era kemerdekaan. Telaah sosio konflik historis mengelaborasi terbentuknya negara bangsa Indonesia, dinamika konflik yang dipengaruhi pasang kapitalisme global pada abad ke-19, dan era pasca kolonialisme sebagai hasil dari respon dinamika revolusi kemerdekaan. Bab pendahuluan merupakan penelisikan karakter tata kelola konflik oleh negara-bangsa Indonesia yang berproses dalam konteks sosio politik historis. Pada bab kedua dipaparkan Konflik-konflik Sumberdaya yang secara garis besar mencakup isu pertanahan, upah buruh industri, tata ruang perkotaan, dan pertambangan. Pasca konflik kekerasan berdimensi etno-relijius antara tahun 1999-2003, konNegara Gagal Mengelola Konflik 28
flik berbasis pada masalah agraria yang meliputi isu pertanahan, pertambangan, dan tata ruang kota mengalami peningkatan. Bab ketiga memaparkan artikel-artikel tentang Konflik Horizontal dan Terorisme yang dominan disulut oleh isu persaingan identitas diantara komunitas-komunitas etno relijius. Kasus konflik kekerasan antara Islam sunni dengan kelompok Ahmadiyah sempat menjadi isu dominan selama periode tahun 2009-2011. Selain itu isu terorisme masih tetap menjadi isu konflik yang kentara selama periode kedua pemerintahan SBY. Bab keempat dielaborasi dimensi Konflik Politik dalam Pemilu dan Pilkada yang mengamati dinamika konflik-konflik politik dalam konteks pemilu dan pilkada melalui beberapa kasus daerah-daerah Indonesia. Pada bab ini perspektif tata kelola konflik terhadap konflik pemilu/pilkada menguji seberapa jauh negara dan elite-elite politik menjalankan dinamika konflik berbasis pada demokrasi. Bab kelima tentang Konflik Elite-elite Politik yang mengobservasi kontestasi antar kepentingan, kekuasaan, dan kekayaan melalui isu-isu korupsi. Pada bab keenam tentang Tata Kelola Konflik Negara buku ini memaparkan tentang karakter, budaya, dan sistem dalam tata kelola konflik di Indonesia melalui beberapa kasus artikel seperti separatisme, pembangunan, dan konflik agraria. Bab keenam merupakan perspektif dasar dari buku Demokrasi dan Konflik-konflik di Indonesia.*
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 29
Bibliografi
Hefner, Robert, W. (ed). 2001, The Politics of multiculturalism; Pluralism and citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia. Honululu: University of Hawai Press.
Anderson, Mary, B. 1999. Do no harm: How aid can support peace or war. London: Lynne Rienner Publisher.
Jeong, Ho-Won. 2003. Peace and conflict studies: An introduction. England: Ashgate Publishing Company.
Bartos, J.O, & Wehr, P., 2002. Using conflict theory. New York: Cambridge University Press.
Kinklen van, Gerry. 2007. Communal violence and democratization in Indonesia. New York: Routledge.
Bourdieu, Pierre, 1983. The forms of capital. In J. Richardhosn (Ed) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood.
Pruitt, Dean, G., and Hee Kim, Sung. 2004. Social Conflict: Escalation,Sstalemate, and Settlement. (3rd Edition). New York: McGrawHill.
Bourdieu, Pierre, 1991. Language and symbolic power. Massuchasetts: Harvard University Press.
Putnam, Robert D, 2000. Bowling Alone. The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster.
Burton, J.W. (January 1998). Conflict resolution: The human dimension. [Volume 3, Number 1]. Diakses 7 Mei 2007 dari http:// www.gmu.edu/academic/ijps/vol3_1/burton.htm.
Rais, Amin. 2008. Agenda mendesak bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK.
Carpenter, Swan, L& Kennedy, WJD. 1988. Managing public disputes: A practical gudie to handling conflict and reaching agreements. London: Jossey Bass Publisher.
Rule, James, B. 1988. Theories of civil violence. London: University of California Press. Tom, Nairn., and James, Paul. 2005. Global matrix-nationalim, globalism and state terrorism. London: Pluto Press.
Chopple, Charles. 2006. Violent conflicts in Indonesia. New York: Routledge.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Penerbit Kencana: Jakarta.
Coser, Lewis. 1956. Social Conflict and the Theory of Social Change, “ British Journal of Sociology, 8: 3 (September 1957), 197-207, dalam Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity (Donald McQuarrie, ed). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari kemelut Maluku: Refleksi pengalaman praktis bekerja untuk kedamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dietrich, Wolfgang. 2006. A call for trans-rational peaces. Diakses pada 14 Februari 2006 dari http://www.uibk.ac.at/peacestudies/ downloads/peacelibrary/transrational.pdf. Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. Fealy, Greg. 2003. Ijtihad politik ulama. Yogykarta: Lkis Negara Gagal Mengelola Konflik 30
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 31
BAB II
Konflik-konflik Sumber Daya
Negara Gagal Mengelola Konflik 32
Konflik dan Kekerasan Struktural KASUS pemblokiran jalur transportasi PT Freeport oleh masyarakat di Tembagapura Papua dan di Jakarta oleh mahasiswa-mahasiwa Papua selama bulan November-Desember 2006 sesungguhnya adalah gerakan protes terhadap ketidakadilan multidimensi. Sementara gerakan protes tersebut diklaim oleh aparat keamanan sebagai akibat dari penertiban terhadap para penambang liar, pada realitas terdalam protes tersebut mempunyai akar yang lebih fundamental. Akar fundamental tersebut meliputi ketidakadilan dalam distribusi hasil eksploitasi alam, kerusakan sosial budaya dan lingkungan alam serta terhadap tindakan aparat keamanan yang represif dalam menertibkan masyarakat. Semua itu merupakan faktor-faktor penting yang menginspirasi gerakan protes masyarakat Papua. Negara perlu memahami bahwa gerakan protes yang muncul adalah usaha perlawanan terhadap kekerasan-kekerasan yang menimpa diri kolektif masyarakat. Kekerasan yang menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti kelestarian dan keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, serta eksistensi identitas kolektif. Dimensi Kekerasan
Kekerasan mempunyai dimensi yang luas. Jika kita mengutip pendapat Galtung (2004) kekerasan bisa muncul dalam dimensi struktural dan langsung. Kekerasan struktural mengDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 35
hasilkan ketidakadilan yang diciptakan oleh struktur kekuasaan, baik secara politik maupun ekonomi. Kekerasan struktural menciptakan rasa tidak aman, melahirkan pengangguran akibat sistem tidak menerima sumberdaya manusia di lingkungannya, tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil, dan kematian akibat kelaparan pada saat lingkungan menyediakan kekayaan akan alam. Kekerasan struktural inilah yang mungkin dirasakan secara nyata oleh masyarakat yang melakukan gerakan protes di Tembagapura maupun protes-protes lain di daerah-daerah yang menjadi korban kekerasan struktural. Misal pada konteks di Papua, kekayaan alam mineral dalam bentuk tembaga dan emas yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia sejak tahun 1967 atas ijin negara tidak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan rakyat Papua secara umum. Sebaliknya kebanyakan rakyat Papua berada dalam realitas termarjinalisasi yang ditandai oleh kemiskinan, pendidikan rendah, fasilitas infrastruktur buruk, dan akses kesehatan sulit (Ngadisah, 2003). Realitas termarjinalisasi oleh kekerasan struktural ini mendorong gerakan protes terhadap negara. Sedangkan pada kenyataan politiknya, aspirasi masyarakat terhadap kekerasan struktural yang menimpa diri kolektif tidak direspon secara progresif (berkeadilan) oleh negara melalui struktur politik yang ada. Sebaliknya negara memobilisasi aparat keamanan dan menciptakan politik represif terhadap masyarakat yang protes. Tindakan represif dengan menekan secara mental dan fisik adalah bentuk dari kekerasan langsung. Dampaknya sering bersifat destruktif, baik kerusakan infrastruktur sosial, jatuhnya korban luka-luka, dan korban jiwa. Lebih jauh lagi, represifisme negara menyebabkan lingkaran dendam di kalangan para pemuda lokal. Kenyataan kekerasan struktural dan langsung mendorong masyarakat protes dan berontak terhadap negara. Cara yang paling mudah dan simbolis adalah membalas dengan tindakanNegara Gagal Mengelola Konflik 36
tindakan anarkhis, merusak fasilitas kantor. Pada kasus protes terakhir, tahun 2006 di Tembaga Pura, adalah pemblokiran jalan masuk ke perusahaan. Kekerasan struktural dan langsung yang mencekam masyarakat juga menjadi “lahan” subur dari menguatnya gerakan separatis. Karena masyarakat makin melemah tingkat kepercayaan terhadap negara dan fungsi-fungsi konstitusionalnya dalam melindungi dan mensejahterakan rakyat. Kenyataan ini sudah terbukti baik di Papua yang masih terus bergolak oleh protes gerakan sipil dan kelompok separatisme, serta di Aceh yang saat ini tengah berada dalam proses rekonsiliasi. Frustasi rakyat terhadap beban persoalan yang mereka hadapi, baik kemiskinan, kerusakan tatanan sosial budaya dan kerusakan lingkungan akan menjadi pendorong yang kuat bagi gerakan protes. Jika penyelesaian yang ditawarkan oleh pemerintah hanya bersifat sementara dan tidak pada akar persoalan yaitu menghapus kekerasan struktural, mobilisasi massa akan terus menerus digiatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Dampaknya adalah terganggunya stabilitas sosial, produktivitas ekonomi dan politik. Para pekerja pun tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasanya dan tanpa makanan yang cukup. Situasi ini bahkan bisa mengancam bentrokan antar kelompok dalam masyarakat yang masing-masing merasa terganggu kepentingannya. Perdamaian Menyeluruh
Perdamaian menyeluruh (holistic conceptions of peace) merupakan konsep integral yang mengupayakan terhapusnya kekerasan struktural dan langsung. Melalui perdamaian menyeluruh ini manusia memperoleh keadilan yang mendasar baik secara struktural maupun perlakuan. Masyarakat mendapat peluang yang luas untuk bekerja di lingkungannya, mendapat pendidikan yang layak dan hidup tenang dalam lingkungan sosial budayaDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 37
nya. Kedua model kekerasan di atas pada dasarnya akan terus ada ketika negara tidak mempunyai komitmen menghapusnya karena di negaralah yang paling mempunyai wewenang besar untuk menghapus atau memelihara kekerasan struktural maupun langsung (Jeong, 2003). Artinya negara mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam membangun perdamaian menyeluruh. Salah satu jalan membangun perdamaian menyeluruh oleh negara adalah dengan pelembagaan politik yang baik, dimana aspirasi-aspirasi warga diserap oleh struktur politik yang ada. Pelembagaan politik yang baik menawarkan tata cara penyelesaian persoalan rakyat berkaitan dengan masalah-masalah yang mereka hadapi dan menjamin hak-hak hidup mereka. Pada era demokrasi saat ini pelembagaan politik dilaksanakan dalam konteks otonomi daerah. Otonomi daerah sebagai bentuk dari desentralisasi kekuasaan sesungguhnya mempunyai tujuan salah satunya agar partisipasi warga menjadi semakin terserap oleh struktur politik (Diamond, 2003). Struktur politik yang mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi warganya pada dasarnya akan menciptakan keadilan karena kebijakan berasal dari kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Hal ini memerlukan komitmen yang besar baik pemeritahan daerah yang mempunyai wewenang maupun dari kalangan masyarakat sipil. Untuk memperoleh pelembagaan politik yang memungkinkan terserapnya aspirasi rakyat konsolidasi governance (tata kepemerintahan) yang bertujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan perlu diimplementasikan secara konsisten. Beberapa prinsip mendasar dari governance seperti akuntabel, transparan dan partisipatif akan mendorong proses pelembagaan politik yang baik. Dengan prinsip-prinsip baik governance struktur politik tidak akan sewenang-wenang dengan Negara Gagal Mengelola Konflik 38
kebijakan-kebijakan yang dapat melahirkan kekerasan struktural, seperti kebijakan yang tidak memberi kesempatan warga untuk mengakses pekerjaan maupun pendidikan dengan mudah. Karena rakyat bisa ikut terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan sekaligus mengontrolnya. Pada kasus gerakan protes rakyat dengan memblokir jalan ke Freeport di Tembaga Pura, negara di level lokal (pemerintah otonomi daerah) belum mendorong pelembagaan politik yang baik melalui prinsip-prinsip baik dari governace. Rakyat melakukan gerakan protes karena menyadari bahwa lembagalembaga politik di sana tidak akan memperjuangkan aspirasi untuk menghapus kekerasan struktural yang selama ini mereka rasakan. Sehingga alternatif perjuangan mereka adalah dengan melakukan mobilisasi massa dan aksi pemblokiran. Pada situasi ini peran organisasi-organisasi sipil, seperti LSM dan media massa sangat penting, yaitu mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan prinsip-prinsip baik dari governance. Kekerasan struktural dan langsung bisa dihapuskan dan menjadi perdamaian menyeluruh manakala struktur politik negara mampu menyerap aspirasi dan memberikan penyelesaian yang adil bagi masyarakat, terutama sekali berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebuhan dasar mereka. Penting negara ini dan elemen-elemen sipil menerapkan konsep perdamaian menyeluruh agar bangsa ini menjadi lebih makmur, adil dan sejahtera.* * Artikel Konflik dan Kekerasan Struktural ini pernah dimuat di Harian SINDO 2006 dengan judul Membangun Perdamaian di Indonesia.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 39
Pembangunan dan Keamanan KEKERASAN militer kembali menyeruak di tengah proses pembangun pada masa demokrasi melalui insiden di Pasuruan yang menewaskan empat orang warga sipil dan beberapa warga lainnya terluka parah (SINDO, 31/05/2007). PT. Rajawali dengan bantuan anggota Korps Marinir TNI AL melakukan tindakan militer dan mengesampingkan hak kewarganegaraan (citizenship). Hak yang dijamin oleh perundangan dalam sistem politik demokratis, yaitu hak memperjuangkan menyampaikan suara dan kepentingan tanpa ancaman dari manapun, apalagi oleh lembaga negara. Sesungguhnya, bukankah proses ekonomi yang akan dijalankan PT Rajawali adalah bagian dari proses pembangunan daerah? Lantas pengapa kekerasan di dalam pembangunan masih menjadi kasus dalam konteks demokrasi? Sentralisme Daerah
Era otonomi mendorong pemerintah daerah berpikir bagaimana melakukan pembangunan secara optimal dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Tuntutan ini syah dan mutlak harus dilakukan oleh pemerintah daerah, secara ideal untuk mempertahankan esksitensi daerah dan terutama demi peningkatan kesejahteraan rakyat daerah. Tekanan psikologi politik mencapai pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemerintah-pemerintah daerah bekerja keras mengundang investor swasta untuk melakukan proses ekonomi, karena modal pembangunan ekonomi sebagian memang dikuasai oleh swasta. Negara Gagal Mengelola Konflik 40
Persyaratan para investor yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah adalah penjaminan keamanan di dalam proses ekonomi. Keamanan dalam investasi dan pembangunan ekonomi mutlak dibutuhkan, karena tanpa keamanan proses stabil pembangunan tidak akan tercapai. Persoalannya adalah bagaimana keamanan dalam pembangunan ini direalisasikan? Paradigma pembangunan yang sentralistis sangat mempengaruhi konsep keamanan yang dipilih. Pada masa Orde Baru pembangunan yang beroreintasi pada pertumbuhan ekonomi dilaksanakan melalui sentralisme kekuasaan. Sentralisme kekuasaan ini digunakan untuk mengontrol jalannya pembangunan sehingga interupsi dan protes masyarakat absen. Orde Baru tidak memberi kesempatan terhadap protes dalam pembangunan. Musyawarah dalam pembangunan hanya berjalan di atas formalitas. Tetapi kita pahami ini, karena Orde Baru bukan merupakan pemerintahan demokratis. Masalahnya di era demokrasi ini, pemerintah daerah dalam kepentingan pertumbuhan ekonomi mempunyai kecenderungan mengambil pola yang sama dari rejim Orde Baru yang tidak demokratis. Pemerintah daerah menggunakan pola pembangunan sentralistis yang menjebak pemerintah daerah untuk mengabaikan aspirasi dan partisipasi warga terhadap proses pembangunan dalam suatu mekanisme deliberasi (musyawarah). Mekanisme deliberasi dianggap menghabiskan waktu karena harus menyerap berbagai aspirasi dan pengelolaan konflik yang melelahkan. Sedangkan pada saat bersamaan pemerintah daerah merasa harus memacu pertumbuhan ekonomi agar tidak mengalami kegagalan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pola sentralisme pembangunan oleh pemerintah daerah pada gilirannya, dan otomatis, memahami keamanan dalam pengertian absennya protes dan konflik masyarakat dari proses pembangunan. Karena protes dan konflik masyarakat bisa mengDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 41
hambat proses pembangunan dan target pertumbuhan ekonomi. Untuk itulah tampaknya pemerintah daerah, dan tentunya juga investor, masih terus merepoti militer untuk menjaga proses pembangunan dari protes warga, sebagaimana yang terjadi di Pasuruan beberapa waktu lalu. Pada situasi seperti ini, warga seolah masih berada di dalam rejim otoriter yang gemar “melempar” peluru panas hasil dari pajak rakyat ke tubuh warganya. Fenomena politik ini merupakan paradoks pembangunan di era demokrasi. Mekanisme Deliberatif
Kasus kekerasan oleh aparat militer terhadap warga Pasuruan di Jawa Timur menampilkan realitas pada bangsa ini bahwa pemahaman pemerintah daerah di era demokrasi dalam mengamankan proses pembangunan masih diwarnai oleh gaya politik kekerasan Orde Baru. Politik kekerasan yang mengesampingkan hak warga negara dalam beraspirasi dalam pembangunan. Pengawalan dan bantuan keamanan terhadap investor, seperti terhadap PT. Rajawali di Pasuruan, oleh institusi militer adalah bentuk nyata ketidakpedulian pemerintah daerah dalam memahami keamanan dalam pembangunan. Keamanan dalam pembangunan dalam konteks demokrasi seharusnya bisa dikreasi oleh mekanisme deliberatif yang mengutamakan dialog, negosiasi dan paritisipasi aktif seluruh kekuatan pembangunan, yaitu pemda, warga dan swasta (investor). Mekanisme deliberatif dalam pembangunan yang difasilitasi oleh struktur kelembagaan pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, akan menjadi katup penyelamat (safety valve) dari konflik yang muncul dalam proses pembangunan. Mekanisme deliberatif sebagai bagian sistem demokrasi yang difasilitasi oleh struktur kelembagaan pemerintahan daerah harus dipercayai untuk menyelesaikan konflik yang muncul Negara Gagal Mengelola Konflik 42
dalam pelaksanaan pembangunan. Konflik yang muncul antara warga dan pemerintah daerah serta investor dalam konteks pembangunan harus benar-benar mengoptimalkan mekanisme politik demokratis ini. Dialog dan negosiasi akan menghasilkan penyelesaian konflik yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, investor dan pemerintah daerah. Karena di dalam mekanisme deliberatif seluruh stakeholders berusaha menemukan pemecahan masalah yang tepat dan positif untuk seluruh pihak. Proses alami dialog kepentingan, selama proses deliberatif dilandaskan pada kesetaraan dan bebas intimidasi maupun kooptasi, akan menghasilkan kesepakatan dalam pembangunan yang merefleksikan aspirasi semua pihak. Pembangunan yang merefleksikan aspirasi kekuatan-kekuatan pembangunan akan mendapatkan lingkungan yang kondusif dan keamanan sosial. Bahkan warga akan merasa perlu berpartisipasi dalam proses pembangunan tersebut, dengan ikut menjaga proses keamanan maupun pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan. Pada level ini, keamanan dalam pembangunan tidak memerlukan militer dan senjata lengkapnya. Kekerasan tidak perlu terjadi di Pasuruan Jawa Timur seandainya pemerintah daerah sudah megoptimalkan mekanisme deliberatif dalam pembangunan ini dari segi kuantitas (intensitas) dan kualitas. Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintahpemerintah daerah lainnya dalam melaksanakan pembangunan. Keamanan dalam pembangunan bukan dipengaruhi oleh jumlah militer yang direpoti untuk mengamankan proses pembangunan, melainkan sangat dipengaruhi oleh kemampuan struktur pemerintah daerah memfasilitasi dan menyerap aspirasi warga melalui mekanisme deliberatif. Pembangunan hasil deliberasi akan melahirkan konsep keamanan yang sejati tanpa satu pihak pun terancam, terlukai dan terindas. Ini akan lebih baik daripada merepotkan militer dari tugasnya menjaga kedaulatan negara! * Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 43
* Artikel Pembangunan dan Keamanan ini pernah dimuat di Harian SINDO 2007.
Wajah Kekerasan Tata Kota KOTA-KOTA di Indonesia makin padat oleh populasi dan berbagai aktivitas sosial di dalamnya menciptakan berbagai tantangan seperti masalah ekologi, kemacetan transportasi, dan de-efisiensi penggunaan lahan. Namun kebijakan tata kota di Indonesia bukannya menjawab tantangan tersebut, akan tetapi seringkali hadir dalam bentuk wajah kekerasan, dari bentrokan fisik antara warga dan aparat pemerintahan, sampai penganiayaan terhadap masyarakat marjinal. Kasus pada pertengahan Mei 2009 yang menewaskan korban seorang anak tidak berdosa di Kota Surabaya adalah wajah kecil dari berbagai kekerasan dalam kebijakan tata kota di Indonesia. Laporan media menyebutkan, bahwa sepanjang tahun 2009, ada 9 lokasi penggusuran pada wilayah bantaran sungai, saluran air atau brandgang dan pedagang kaki lima di Surabaya. Alasan pemerintah dalam penertiban tersebut adalah okupasi lahan milik umum, tanah negara dan ilegal oleh masyarakat. Laporan dari detiksurabaya.com, pada periode tahun 2009 penggusuran dimulai awal Januari yang dilakukan terhadap 44 rumah liar di stren Kali Surabaya Kelurahan Wonorejo. Pada awal Februari terjadi penggusuran terhadap 157 PKL bedak di Jalan Pandegiling. Penggusuran yang menjadi isu publik nasional terjadi pada Maret 2009 yang menyebabkan seorang bocah tewas karena luka bakar akibat tersiram kuah bakso. Penggusuran berlanjut ke warga stren kali Jagir yang dihuni sejak 1975. Sekitar 477 KK harus meninggalkan lokasi dan hampir seluruh
Negara Gagal Mengelola Konflik 44
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 45
penghuni stren melawan. Kemudian pada bulan Oktober 2009, pemkot Surabaya merobohkan 19 ruko milik PT Surya Inti Permata (SIP) di Lapangan Kuning, Dukuh Kupang. Pada bulan November 2009 rumah petak di atas brandgang di Jalan Opak dengan 51 rumah petak digusur. Dan penertiban rumah di atas brandgang di Jalan Tumapel No 8A dan Jalan Dinoyo Buntu meneribkan 21 KK tidak mampu. Serta pertengahan Desember 2009 bangunan di atas brandgang saluran di Jalan Widodaren juga dibersihkan dan 48 rumah petak dihancurkan (detiksurabaya.com, 1/8/2009). Mengapa kebijakan tata kota seringkali muncul dengan wajah kekerasan? Jika pokok masalah ini adalah kebijakan tata kota, wajah kekerasan ini adalah produk dari kesalahan governance pemerintah kota (pemkot) dalam memahami, menciptakan, dan melaksanakan kebijakan tata kota. Legalisme Buta
Jan Kooiman dalam Governing As Governance (2003) menyebutkan jika birokrasi pemerintahan cenderung menggunakan tindakan berlebihan legal tanpa kecerdasan sosiologis maka akan muncul kontradiksi dalam implementasi kebijakan, yaitu ketidak-harmonian antara praktik pemerintah dan warga. Karena bentuk penegakan aspek legal membuta bersifat menekan dan menya-lahkan pihak publik sebagai pelanggar aturan semata. Publik dan tindakan mereka, seperti menempati area terlarang untuk rumah dan aktivitas sosial ekonomi, tidak dipandang sebagai bagian dari dimensi kompleksitas permasalahan dari kepentingan pemerintah dan warga. Penegakan asepk legal membuta cenderung mengabaikan kompleksitas ini dan mensimplifikasi komplesitas tersebut melalui klaim bahwa warga telah melanggar hukum. Hal tersebut terjadi dalam banyak kasus kebijakan tata kota Negara Gagal Mengelola Konflik 46
di Indonesia. Pemkot lebih sering mengklaim bahwa masyarakat telah melanggar aturan pemukiman atau dampak lingkungan untuk menangani isu tata kota daripada menyediakan arena negosiasi. Sehingga ’penertiban’ PKL dan masyarakat marjinal lainnya adalah penegakan legal membuta yang tidak cerdas aspek sosiologis dan terus menyalahkan serta memberi sangsi pada masyarakat daripada membuka peluang proses negosiasi. Pada kasus PKL, Pemkot Surabaya menggunakan Perda No. 17/2003 tentang penataan PKL di arena kota. Sayangnya, melalui kritik sosiologi perda ini tidak didukung oleh konsep tindakan penegakan hukum (law enforcement) yang sadar pada konteks sosialnya, namun menjadi pondasi bagi penegakan praktik legal pemerintah daerah secara membuta. Praktik legal yang membuta sesungguhnya berbeda dengan konsep penegakan hukum dalam sistem demokrasi. Penegakaan hukum demokrasi berangkat dari konsep tindakan pencegahan pelanggaran daripada penghukuman semata demi memberikan efek terciptanya kebaikan umum. Seharusnya ada sistem pencegahan PKL dan masyarakat lain yang memanfaatkan secara illegal bantaran sungai atau tempat-tempat terlarang lainnya untuk tempat tinggal dan aktivitas sosial ekonomi. Seperti menempatkan tanda-tanda larangan dan aparat-aparat khusus di area yang seharusnya bebas dari pemukiman dan aktivitas ekonomi. Sebagaimana pencegahan terhadap pelanggaran lalu lintas maka terdapat rambu-rambu dan aparat kepolisian yang selalu siap mencegah pelanggaran lalu lintas. Namun yang terjadi adalah pembiaran tumbuhnya komunitas dan modal sosial dalam satu area terlarang. Padahal modal sosial adalah jaringan aktivitas sosial ekonomi yang menopang kehidupan mereka, dari mencari nafkah dan menyekolahkan anak. Menggusur pergi begitu saja mereka tanpa pemecahan masalah, sama halnya mencerabut modal sosial dan menghanDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 47
curkan masa depan komunitas beserta anak-anak mereka. Atau jangan-jangan pengabaian penegakan hukum merupakan jebakan bagi masyarakat kecil untuk dijadikan sebagai ’proyek kekerasan’ aparatur pemkot? Mengingat banyak kesaksian dari mereka yang ditertibkan bahwa mereka telah membayar uang sebagai ’pajak’ pada aparat pemerintah agar bisa tetap beraktivitas di area tertentu. Perspektif Konflik
Selain kesalahan governance yang diakibatkan oleh praktek legal overacting, kelemahan mendasar selanjutnya adalah perspektif konflik belum terlembaga dalam governance pemerintahan kota. Perspektif konflik adalah kesadaran dan mekanisme yang melihat berbagai tindakan, termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan, adalah bagian dari fakta konflik. Sehingga bisa dipahami bahwa suatu kebijakan selalu memuat perbedaan, pertentangan, dan ekspresi kepentingan berbagai pihak. Jika perspektif ini dimanfaatkan, pemerintah akan mampu mempersiapkan bentuk keterampilan dan mekanisme yang bisa menangani fakta konflik dalam kebijakan tata kota. Namun ketidakhadiran perspektif konflik dalam governance kepemerintahan menyebabkan berbagai kebijakan terjebak pada kondisi krisis konflik yang ditandai oleh pilihan-pilihan menciptakan tindakan represi dan kekerasan pemkot yang mereproduksi tindakan kekerasan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang ditertibkan. Ada beberapa ciri utama dari ketidakhadiran perspektif konflik. Pertama ketidakmampuan pemkot memahami hubungan dan dimensi konflik yang sedang dihadapi. Akibatnya pemerintah kota tidak memiliki kapasitas merumuskan sikap dan tindakan yang relevan bagi usaha pemecahan masalah. Kedua tidak terbangunnya keterampilan merumuskan dan menciptakan strategi dan komunikasi konflik. Hal ini menyebabkan pemkot Negara Gagal Mengelola Konflik 48
sering terjebak pada komunikasi kekerasan daripada upaya menemukan sebab-sebab akar konflik. Seperti menyalahkan warga sebagai pelanggar ketertiban dan keras kepala. Ketiga adalah tidak terbangunnya keterampilan negosiasi pada aparatur pemerintahan yang berorientasi pada pemecahan masalah. Perilaku yang sering muncul adalah menekan dan menggunakan instrumen kekerasan daripada bersedia melakukan negosiasi dengan pihak terkait kebijakan. Jika ada pertemuan pun sifatnya hanya sosialisasi bahwa PKL dan pemukiman liar akan ’ditertibkan’. Keempat tidak adanya peran mediasi yang bisa mendorong berbagai stakeholders pada negosiasi timbal balik untuk perumusan berbagai alternatif pemecahan masalah. Faktanya berbagai hubungan konflik antara pemerintah dan warga di kota-kota Indonesia tidak terdapat mekanisme mediasi. Tulisan ini melihat bahwa wajah kekerasan dalam kebijakan tata kota tidak lepas dari kesalahan governance yang ditandai oleh adanya legal overacting dan tidak terlembaganya perspektif konflik dalam governance pemkot. Apakah masyarakat di berbagai kota Indonesia harus selalu berhadapan wajah kekerasan kebijakan tata kota? Hal ini tergantung pada reformasi yang memperbaiki kesalahan governance tersebut. Sedangkan reformasi birokrasi di Indonesia cenderung jalan lambat karena komitmen politik yang tidak mendorong reformasi berjalan lebih cepat. Untuk itu penting melakukan upaya politik untuk reformasi birokrasi yang lebih cepat.*
* Artikel Wajah dan Kekerasan Tata Kota dimuat di Harian Surabaya Post , 5 Agustus 2009.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 49
Jalan Kekerasan Satpol PP SATUAN Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kembali memanaskan negeri ini dengan aksi kekerasannya di Koja Jakarta beberapa waktu lalu, yang melibatkan antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan masyarakat yang menjaga makam Mbah Priok terkait dengan maslah sengketa tanah. Akibatnya diperkirakan 192 orang terluka dan 3 orang Satpol PP tewas dalam proses penertiban yang berakhir rusuh tersebut. (Tempo interaktif 23/4/2010). Rusuh di Koja menjadi rapor merah dalam demokrasi damai di Indonesia dan khususnya di tingkat daerah. Satpol PP selalu muncul dalam wajah buasnya, yang mengejar-ngejar, mengintimidasi, dan merepresi warga masyarakat yang dianggap tidak bersedia menjalankan kebijakan pemerintah daerah. Pola kekerasan aparatur pamong praja ini memperjelas tesis bahwa pemerintahan daerah masih belum memiliki sistem tata kelola konflik berbasis nir kekerasan untuk menangani berbagai kepentingan warga sipil, swasta, dan pemerintah daerah sendiri. Kekerasan Institusional
Anggota satpol PP bisa jadi adalah seorang ayah yang baik, pacar yang mengasihi, atau anak lelaki yang berbakti pada orang tuanya. Sebagai individu di lingkungan sosialnya, ia bisa saja aktif dalam kegiatan kerja bakti, menolong tetangga yang sakit, dan melakukan berbagai aktivitas sosial konstruktif lainnya. Namun ia menjadi tampak begitu buas ketika menggunakan seNegara Gagal Mengelola Konflik 50
ragam Satpol PP. Ia mereproduksi aksi kekerasan pada warga yang dianggap tidak bersedia melaksanakan kebijakan pemerintah daerah. Pada kasus penertiban PKL di Surabaya misalnya, Satpol PP menjadi sebab dari kematian anak balita dari seorang PKL yang berusaha lari. Beberapa kasus penertiban di kota-kota lain, seperti Medan dan Makasar memiliki pola yang sama, yaitu represif dan penuh aksi kekerasan. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa aksi kekerasan Satpol PP bukan merupakan pilihan personal, namun lebih sebagai kondisi institusional. John Keane menyebutnya sebagai institutional violence (Keane, 2004) ketika para anggota suatu komunitas atau organisasi tertentu menggunakan kekerasan sebagai praktik yang kolektif rasional. Artinya kekerasan akan memiliki klaim kebenaran dalam bentuk pengetahuan dan prosedur yang dilegalkan. Tindakan kekerasan, menurut Keane bukan persoalan naluri makhluk hidup semata, namun merupakan bentuk pilihan yang rasional di tingkat individual dan kolektif. Artinya kekerasan merupakan konsep pengetahuan yang matang dalam struktur kesadaran kolektif setiap anggotanya. Kekerasan institusional menjadi pengetahuan yang mengakar kuat dan terlembaga sehingga para penganutnya meyakini bahwa praktik kekerasan yang diciptakan adalah kebenaran baik moral dan legal. Begitu juga dengan tindakan kekerasan aparatur negara diyakini sebagai praktik kebenaran. Ketika kekerasan menjadi ideologi Satpol PP maka tindakan-tindakan kekerasan akan selalu direproduksi, sampai kapanpun. Sebagaimana aksi kekerasan Satpol PP yang melandaskan diri pada PP No. 6/2010. Jika kekerasan Satpol PP merupakan kekerasan institusional, maka praktik kekerasan ini harus dipertanggungjawabkan secara institusional pula. PP No. 6/2010 mengenai Satpol PP dalam pasal 2 disebutkan bahwa organisasi aparatur ini bertanggung jawab pada kepala daerah. Sehingga Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 51
kepala daerah harus bertanggung jawab terhadap segala bentuk penggunaan kekerasan oleh Satpol PP. Sebagaimana tragedi kerusuhan Koja maka kepala daerah DKI Jakarta perlu mempertanggungjawabkannya pada publik. Bentuk pertanggungjawaban itu tidak bisa hanya dengan meminta maaf, namun perlu mengeluarkan kebijakan yang konstruktif. Dalam kasus rusuh di Koja, pertanggungjawaban kepala daerah bisa dalam bentuk menindaklanjuti himbauan Presiden SBY agar proses penertiban makam dihentikan dan mekanisme dialog segera dilaksanakan. Melembagakan Perdamaian
Pada pasal 4 dari PP No. 6./2010 disebutkan bahwa tugas utama Satpol PP adalah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Tugas utama ini ditempatkan pada pasal yang paling awal, namun pada kasus kekerasan di Koja dan di kota-kota lainnya, ketentraman seperti apa yang sudah diciptakan Satpol PP? Perlindungan bagaimana yang sudah diberikan pada warga sipil? Atau jangan-jangan itu semua hanya diberikan pada segelintir orang yang mampu membayar. Jika benar maka Satpol PP tak lebih dari sekelompok centeng yang dilegalkan. Pasal tersebut di atas seharusnya bisa diterjemahkan secara lebih konkrit dalam konteks menciptakan ketenteraman dan ketertiban. Namun yang disaksikan oleh publik Indonesia saat ini, sepertinya Satpol PP lebih memahami pasal-pasal yang memberi lisensi untuk melakukan tindakan tegas. Tindakan tegas ini pada praktiknya diterjemahkan dalam bentuk bisa memaksa, mengintimidasi, dan melakukan tindakan kekerasan. Dan seringkali, ketegasan Satpol PP ini selalu berkaitan dengan pembelaan kepentingan modal swasta. Seperti pada kasus penertiban makam tokoh agama di Tanjung Priok Jakarta. Sangat jarang ada berita bahwa Satpol PP melakukan tindakan tegas terhadap kasus-kaNegara Gagal Mengelola Konflik 52
sus yang meresahkan masyarakat. Seperti melindungi warga dari maraknya para pembalab liar, kelompok perjudian, sampai kelompok-kelompok penodong di jalanan yang bebas berkeliaran. Sebaliknya keinginan sebagian warga masyarakat untuk bisa hidup tenang, beraktivitas secara damai, dan memiliki ruang publik yang nyaman sering diporakporandakan oleh Satpol PP. Faktanya dalam PP No. 6/20110 mengenai Satpol PP memang tidak ditemukan mekanisme pengelolaan konflik yang bisa mendorong proses pemecahan masalah secara damai. PP tersebut hanya mempertegas bahwa satpol PP bertugas melindungi dan melaksanakan kebijakan pemerintah daerah. Persoalannya adalah ketika kebijakan pemerintah daerah adalah bentuk dari kekerasan srtuktural (Galtung, 2007). Setiap kekerasan struktural selalu mendorong pengambil kebijakan untuk menggunakan aparatur kekerasannya untuk bisa memaksakan kebijakan tersebut. Termasuk Pemerintah Daerah DKI Jakarta menggunakan Satpol PP dalam menertibkan pemakaman tokoh agama di Tanjung Priok. Pada konteks ini, Satpol PP seolah hanyalah instrumen kekerasan semata bagi pemerintah daerah. Karena hal ini kembali pada fakta bahwa Satpol PP tidak memiliki konsep dan mekanisme pengelolaan konflik damai dalam PP No. 6/2010. Absennya kerangka pengelolaan konflik damai dalam PP No. 6/2010 inilah yang menjadi akar kekerasan Satpol PP. Karena organisasi ini tidak memiliki basis pengetahuan dan mekanisme legal untuk menciptakan proses kelola konflik damai. Tata kelola konflik damai seperti desain kelembagaan negosiasi setara dalam menangani berbagai kasus konflik kepentingan seharusnya masuk dalam PP No. 6/2010. Jika memang belum bisa dimasukkan, maka tugas kepala daerah adalah membangun sistem kelola konflik yang mereduksi tingkat kekerasan. Baik Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 53
kekerasan institusional maupun reaksi kekerasan dari warga masyarakat yang merasa kepentingan ekonomi, identitas, dan kepentingan lainnya terancam oleh satu kebijakan pemerintah daerah. Tanpa membangun sistem kelola konflik, kekerasan akan terus direproduksi dan mengotori martabat bangsa Indonesia yang katanya ramah dan cintai damai ini. Negosiasi Damai
Ideologi kekerasan yang mengakar kuat pada kesadaran Satpol PP juga dipengaruhi oleh isi PP No. 6/2010 yang di dalamnya sama sekali tidak menyebutkan perlunya pelembagaan dan kapasitas dialog damai bagi Satpol PP. Yang dipahami adalah pasal-pasal yang menyebutkan tindakan tegas yang diterjemahkan sebagai boleh melakukan pemaksaan, represif, dan tega tanpa mengindahkan pendekatan dialogis terlebih dahulu. Pada pasal 4 disebutkan tugas utama Satpol PP adalah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Lantas, misal pada kasus kekerasan di Koja, bagaimana ketentraman telah diciptakan oleh Satpol PP? Bagaimana perlindungan sudah diberikan pada masyarakat? Atau jangan-jangan perlindungan itu diberikan pada segelintir orang saja yang bisa membayar? John Keane (2004) menggunakan istilah to democratise violence untuk mereduksi kekerasan dari praktik masyarakat dan pemerintahan. Kekerasan dalam konteks demokrasi hanya bisa digunakan pada kelompok-kelompok bersenjata yang merencanakan, mengancam dan telah mengganggu keamanan sosial. Sedangkan penanganan-penanganan berkaitan dengan konflik kepentingan dengan kelompok-kelompok sosial (warga) harus menggunakan cara negosiasi damai (peace negotiation). Proses negosiasi damai ini perlu menggunakan pelembagaan resmi yang dikelola oleh kepala daerah dalam konteks pelaksanaan tuNegara Gagal Mengelola Konflik 54
gas-tugas Satpol PP. Masyarakat sipil bisa berperan aktif dalam mengawasi dan mengontrol proses negosiasi sehingga berjalan transparan. Konsep pelembagaan negosiasi damai adalah bagian dari sistem tata kelola konflik berbasis perdamaian dan anti kekerasan. Sayangnya konsep tata kelola konflik berbasis pada anti kekerasan ini tidak ada dalam PP No. 6/2010 mengenai Satpol PP, pun tidak ada sebagai peraturan perundangan. Sehingga para aparatur dalam Satpol PP sama sekali tidak mengenali dan menginternalisasi konsep perdamaian. Sebaliknya ideologi kekerasan mengakar kuat dan akan terus direproduksi dalam setiap pelaksanaan tugas-tugas Satpol PP. Pada kondisi ini, menjadi mahfum jika warga masyarakat menyebut Satpol PP mirip sekumpulan binatang buas yang suka melakukan tindakan kekerasan.*
* Artikel Jalan Kekerasan Satpol PP ini pernah dimuat di Koran Tempo, 19 April 2010.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 55
Konflik Relokasi PKL RELOKASI pedagang kali lima (PKL) Keputran kembali menemui jalan buntu. Sebab, sebagian besar PKL menolak masuk ke Pasar Induk Osowilangun Surabaya (PIOS) (JP, 8/5/10). Sosiologi konflik melihat fenomena penolakan tersebut sebagai tanda bahwa aspirasi PKL belum terakomodasi dalam kebijakan relokasi pasar. Isu menonjol dari aksi penolakan tersebut adalah tidak diijinkannya pengelola PKL keputran ikut masuk dalam pasar PIOS. Selain itu ada juga isu-isu dari para PKL Keputran seperti jarak lokasi Pasar PIOS yang terlalu jauh, takut pasar sepi, dan biaya pindah yang mahal. Relokasi pasar adalah bagian dari pembangunan pemerintah kota. Jika relokasi pasar menyebabkan konflik pembangunan maka Pemkot Surabaya perlu mencarikan pemecahan masalah yang menguntungkan seluruh pihak berkonflik. Situasi Nonproduktif
Pasar PIOS kenyataannya dikelola oleh sektor swasta yang memiliki kewenangan dalam mengelola usaha ekonominya. Pengelola Pasar PIOS bebas menentukan kebijakan berkaitan dengan penempatan para pedagang di area pasarnya. Termasuk menolak penempatan pengelola PKL Keputran. Sehingga pernyataan Walikota Surabaya yang hanya bisa menghimbau agar pengelola Pasar PIOS mempertimbangkan aspirasi PKL Keputran tidaklah salah. Sistem pasar bebas yang memberi wewenang besar terhadap swasta dalam menentukan aktivitas ekonominya membuat pemkot tidak bisa memberi intervensi politis. Namun
Negara Gagal Mengelola Konflik 56
jika Pemkot Surabaya tidak menciptakan improvisasi penanganan konflik antara Pengelola Pasar PIOS dan PKL Keputran, proses relokasi yang dipaksakan akan bersifat kontraproduktif. Relokasi pasar yang belum dipandang sebagai bentuk pemecahan masalah bagi para PKL Keputran akan terus mendapatkan perlawanan. Terlebih lagi mengingat sosiologi masyarakat Surabaya yang dikenal berani dan keras dalam mempertahankan kepentingan. Pada sisi lain pihak Pengelola Pasar PIOS pun tetap berada dalam pendiriannya. Hal ini menyebabkan situasi rencana relokasi PKL Keputran ditandai oleh kerasnya masingmasing pihak mempertahankan kepentingannya. Doug Mc Adam dalam Dynamic of Contention (2004) mengemukakan bahwa situasi yang ditandai oleh kerasnya pendirian masing-masing pihak selalu mungkin mendorong terjadinya mobilisasi sumber daya kekerasan. Para PKL akan memobilisasi massa dengan beragam alat kekerasannya seperti bambu runcing sampai golok. Sebaliknya Pengelola Pasar PIOS pun akan memobilisasi sumber kekerasannya. Pertanyaannya apa sumber kekerasan Pengelola Pasar PIOS? Sebagian kalangan mengkritisi eksistensi Satpol PP, atau bahkan kepolisian, lebih sering dijadikan sebagai sumber kekerasan pihak swasta yang memiliki modal besar. Pada kasus relokasi PKL Keputran kepolisian belum melakukan tindakan represif. Bahkan mengklaim melakukan proses persuasif dan humanis. Namun memblokir arus masuk barang seperti sayur-sayuran ke Pasar Keputran jelas memberi tekanan mental pada para PKL di Pasar Keputran. Karena menyebabkan kerugian material yang besar bagi pedagang kecil. Namun demikian inisiatif kepolisian, sebagai bagian dari aparatur pemerintahan, untuk melakukan mediasi merupakan improvisasi yang harus direspon oleh Pemkot Surabaya.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 57
Mediasi Transformatif
Namun demikian proses memediasi seharusnya bukan di tangan lembaga kepolisian karena di luar fungsi dan otoritasnya sebagai penjaga ketertiban masyarakat. Inisiatif dan pelaksanaan mediasi seharusnya dilakukan oleh Pemkot Surabaya karena konflik relokasi PKL Keputran bagian dari pembangunan sosial ekonomi Kota Surabaya. Proses mediasi konflik bukan merupakan intervensi politis terhadap Pengelola Pasar PIOS. Namun merupakan bentuk tanggung jawab terhadap warganya dalam konteks pembangunan berkeadilan dan partisipatif. Walaupun sektor swasta memiliki otoritas tertentu dalam mengelola aktivitas bisnisnya, pemkot memiliki peran konstitusional dalam mengarahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan untuk kebaikan bersama. Sebagaimana menjadi semangat dari UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah. Proses mediasi merupakan upaya meningkatkan komunikasi dari berbagai pihak berkonflik agar bisa menemukan pokok-pokok permasalahan bersama. Sehingga Pemkot perlu menciptakan proses mediasi antara Pengelola Pasar PIOS dan PKL Keputran. Johan Galtung dalam Transcend Approach (2004) menyebut proses tersebut sebagai mediasi transformatif, yang mampu mendorong para pihak berkonflik saling memahami atas masalah masing-masing. Sehingga para pihak berkonflik bisa merumuskan jalan keluar yang menguntungkan bagi seluruh pihak. Pihak PKL bisa terdorong untuk memahami pentingnya tata ruang yang tertbi, rapi, dan aman. Sebaliknya pihak Pengelola Pasar PIOS dan pemerintah kota memahami secara mendasar kendala dan kondisi riil para PKL dalam melakukan aktivitas perdagangan. Namun mediasi yang transformatif ini hanya bisa terjadi ketika Pemkot Surabaya mau melakukan improvisasi kebijakan Negara Gagal Mengelola Konflik 58
penanganan konflik pembangunan ini. Tanpa adanya improvisasi dan hanya mengikuti prosedur legal, niat baik pembangunan dapat muncul dalam bentuk yang merugikan seluruh pihak. Ketika proses mediasi transformatif telah dilaksanakan dan ternyata baik pihak PKL maupun Pengelola Pasar PIOS menutup diri dari pemecahan masalah, barulah pemkot bisa menggunakan wewenang memaksa. Wewenang tersebut dibolehkan dalam demokrasi kota, Gordon Whithe dalam Developmental Democratic State (Whithe, 1998) menyebutnya sebagai penetrative authority. Penetrative authority bisa menggunakan instrumen aparatur penegak ketertiban umum seperti kepolisian dan Polisi Pamong Praja untuk melaksanakan kebijakan pembangunan kota. Namun sekali lagi, wewenang memaksa tersebut tidak bisa dilaksanakan sebelum negosiasi dilaksanakan melalui proses mediasi pemerintah kota. Kenyataannya pada kasus relokasi PKL Keputran belum ada proses mediasi yang bisa mendorong pihak-pihak berkepentingan meningkatkan komunikasi dan negosiasi dalam rangka menemukan pemecahan masalah. Pendekatan kepolisian yang disebut humanis dalam menertibak PKL Keputran masih di tingkat sosialisasi, bukan negosiasi yang termediasi secara kelembagaan politis pemkot. Konflik relokasi PKL Keputran merupakan batu ujian Pemkot Surabaya berkaitan dengan tata kelola konflik damai dalam pelaksanaan pembangunan kota. Selama periode pembangunan lokal berbagai kasus kekerasan menjadi noda di tanah air. Kerugian selalu menjadi milik bersama, baik pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Padahal pembangunan secara umum memiliki tujuan agar terjadi peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemakmuran secara sosial ekonomi. Masyarakat Kota Surabaya tentunya berharap konflik relokasi PKL Keputran dan Pengelola Pasar PIOS bisa dicarikan pemecahan masalahnya dengan peran mediasi transformatif Pemkot Surabaya.* Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 59
Konflik Lahan Asimetris JARANG dijumpai para petani kecil di Indonesia mendapatkan pemecahan masalah dalam konflik lahan yang berhadapan dengan perusahaan besar atau pemerintah. Sebaliknya para petani sering tergusur, terabaikan, dan lebih parah adalah terpidanakan oleh sistem hukum positif. Kehadiran pemerintah seolah tidak memberi peluang pemecahan masalah namun menjadi beban bagi para petani dalam hubungan konflik dengan perusahaan besar. Karena pemerintah dengan aparatur birokrasi dan sistem hukumnya dalam banyak kasus lebih berpihak pada perusahaan besar. Pemerintah enggan melembagakan sistem pemecahan masalah agar tercipta keadilan bersama. Yang terjadi, negara menciptakan konflik lahan asimetris dengan bermain mata dengan perusahaan besar. Akibatnya, para petani selalu tergusur dan kalah. Salah satu contoh kasus mengenai nasib petani kecil di Indonesia adalah sebanyak 3400 ha lahan di Sumatera Barat berstatus konflik agraria anatar petani kecil dengan beberapa perusahaan perkebunan seperti PTPN VI dan PT. Bakrie Plantation. Sebanyak 1266 orang petani terancam hak atas lahan yang menjadi konflik dengan perusanaan perkebunan karena masyarakat petani kerap kali dirugikan karena hanya pihak perusahaan yang difasilitasi dalam penyelesaian konflik agraria tersebut. Hal ini juga ditegaskan oleh Badan Tanah Nasional yang tidak berani menjamin setiap konflilk Tanah dapat terselesaikan tanpa ada pihak yang dirugikan terutama petani kecil (Kompas.com, 19/09/2011). Negara Gagal Mengelola Konflik 60
Ketakberdayaan Sistemik
Berdasar pada data SPI (Serikat Petani Indonesia) pada tahun 2007 terjadi penggusuran pada 24. 257 KK petani kecil dan pada tahun 2008 meningkat sampai 31.267 KK. Jumlah para petani yang hanya menjadi buruh atau berlahan sempit menurut laporan tersebut setiap tahun selalu bertambah 2,2 persen. Hal ini menjadi relevan dengan data dari Komnas HAM yang menyebutkan bahwa 40 persen pengaduan selama tahun 2009 adalah tentang kekalahan para petani kecil dalam konflik lahan. Data-data tersebut memperlihatkan bahwa para petani kecil tidak mampu membela kepentingan mereka yang paling dasar. Yaitu kepemilikan atas lahan yang seringkali merupakan hak ulayat. Ketidakmampuan para petani kecil membela kepentingan atas lahan bisa disebabkan karena faktor kultural. Seperti rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan ketidaktahuan dalam menangani konflik. Namun faktor kultural hanya menjadi penyebab minor jika melihat pada fenomena gerakan perlawanan para petani kecil di berbagai daerah. Para petani kecil sudah mengorganisasi dan membekali diri mereka dengan pengetahuan mengenai hak-hak dasar sebagai warga. Sehingga mereka mampu menciptakan civic engagement (tuntutan warga) dengan melakukan demonstrasi atau dialog politik dengan lembaga pemerintahan. Namun tetap saja perjuangan atas kepentingan mereka atas lahan seringkali gagal. Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan, perhutanan, atau pertanian dengan mudah memenangkan kepentingan mereka. Lahan-lahan yang bisa jadi merupakan wilayah ulayat para petani kecil bisa dirubah sebagai area produksi perusahaan. Perusahaan berbekal surat legal HGU (hak guna usaha) dari pemerintah untuk mengklaim lahan ulayat para petani sebagai wilayah perusahaannya. Surat legal itu pula Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 61
yang dipegang oleh Satpol PP (Pamong Praja) untuk memporakporandakan hunian para petani kecil dengan dalih melindungi kebijakan daerah. Persoalannya proses pembuatan surat legal tersebut tidak pernah transparan di hadapan warga petani kecil. Negara melalui pemerintah daerahnya seringkali tidak melibatkan para petani kecil dalam menentukan arah kebijakan mengenai lahan. Bahkan lahan yang merupakan wilayah ulayat para petani. Yang terjadi adalah proses hukum elitis, dan tidak tersentuh oleh para petani kecil. Lalu tiba-tiba para petani mendapat selebaran sosialisasi yang pada intinya mengusir mereka dari lahan ulayat. Pada kenyataan inilah para petani kecil mengalami ketidakberdayaan sistemik dalam konflik lahan. Transformasi Konflik
Ketidakberdayaan sistematis para petani kecil tersebut terus mereproduksi konflik lahan asimetris di Indonesia. Perusahaan memiliki kekuasaan lebih besar daripada para petani. Artinya akan makin banyak para petani kecil tergusur dan menambah jumlah kemiskinan struktural di negeri ini. Kemiskinan struktural adalah dosa besar dari suatu pemerintahan demokratis. Jika pemerintahan ini ingin membersihkan dari dosa besar tersebut, salah satu cara penebusan adalah dengan merubah konflik lahan asimetris menjadi konflik lahan simetris. Negara tidak lagi melindungi kepentingan perusahaan bermodal besar. Namun menjadi mediator yang mendorong pemecahan masalah bagi seluruh pihak. Mediasi dalam perspektif studi konflik kritis salah satu peran vitalnya adalah menciptakan relasi kuasa yang setara diantara kelompok berkonflik (Zartman, 2009). Melalui relasi kuasa setara inilah terjadi proses transendensi gagasan pemecahan masalah dari dua belah pihak. Pemerintah adalah lembaga politik yang sangat berkompeten menciptakan mediasi konflik Negara Gagal Mengelola Konflik 62
ini. Pelembagaan fungsi mediasi konflik dari negara perlu diterjemahkan di dalam satu peraturan-peraturan khusus, seperti peraturan mengenai air, perikanan, dan lainnya. Dalam konteks konflik lahan maka seharusnya diterjemahkan dalam RUU Reforma Agraria. Namun sayangnya pelembagaan fungsi mediasi negara ini sama sekali tidak ada dalam RUU Reforma Agraria yang akan segera disyahkan tahun ini. Memang kenyataan pahitnya, kepemerintahan di Indonesia tidak pernah sensitif konflik dalam setiap kebijakannya. Walaupun demikian masih ada alternatif yang bisa dilakukan. Yaitu dengan mengeluarkan peraturan pemerintah yang secara khusus memberi kerangka legal pelembagaan mediasi konflik bagi pemerintahan daerah. Sebut saja sebagai Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Konflik Kebijakan yang di dalamnya diatur mengenai fungsi pemerintah daerah dalam memediasi konflik. Sehingga setiap kebijakan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus melaksanakan kelembagaan mediasi konflik. Sehingga berbagai konflik asimetris bisa ditransformasi menjadi konflik simetris yang lebih mungkin menemukan pemecahan masalah.* * Artikel ini pernah dimuat di Koran Opini, 2 Oktober 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 63
Konflik Lahan Perkotaan SALAH satu ciri menonjol proses implementasi kebijakan tata kota adalah konflik lahan yang melibatkan warga, sektor swasta, dan pemerintah kota sendiri. Isu konflik lahan pun bervariasi, dari isu lahan ulayat, tanah negara atau milik swasta yang diduduki warga urban. Konflik secara umum seringkali didorong oleh persepsi mengenai hadirnya ketidakadilan. Setiap pihak selalu bisa merasakan hadirnya ketidakadilan ini, termasuk dalam kasus konflik lahan perkotaan. Persepsi atas ketidakhadiran keadilan bagi eksistensi dan kepentingan diri atau kelompok sering tidak bisa ditengahi oleh tata pemerintahan, terutama pada tingkat daerah. Akibat dari kegagalan menengahi persepsi dari konflik lahan perkotaan, pilihan penggunaan cara kekerasan oleh pemerintah sangat sering dijumpai pada periode demokrasi muda Indonesia. Keseimbangan Keadilan
Pada kondisi normatif, keadilan didefinisikan secara variatif, baik melalui perspektif legal formal maupun perspektif sosial. Negara dan aparaturnya adalah pihak yang sering menggunakan perspektif legal formal. Keadilan secara substanstif adalah apa yang dituangkan dalam atura-aturan formal, tidak boleh lebih atau kurang. Sedangkan masyarakat warga adalah pihak yang sering memanfaatkan perspektif sosial dalam mendefinisikan keadilan. Keadilan adalah kondisi atau tindakan tertentu, dari negara misalnya, yang memberi mereka kemungkinan pada pememenuhan kebutuhan dasar. Pada konteks ini ada dua persNegara Gagal Mengelola Konflik 64
pektif keadilan yang tampak berseberangan pada situasi-situasi tertentu. Seperti pada kasus konflik lahan di Kelurahan Rawa Kebo, Cempaka Putih Jakarta Pusat, yang mana warga melakukan aksi mengubur diri sampai leher (JP. 3/8). Aksi mengubur diri tersebut merupakan refleksi tuntutan keadilan dalam perspektif masyarakat warga terhadap pemerintah. Keadilan bagi mereka adalah kewajiban negara memberi kemudahan mereka memenuhi kebutuhan dasar, termasuk tempat tinggal. Terlepas dari simbolisasi dan makna perlawanan warga, aksi tersebut memperjelas bahwa warga merasakan ketidakadilan atas kebijakan rencana penggusuran tanah mereka yang sudah dihuni semenjak tahun 1953. Pada saat yang sama, pemerintah tentunya ‘merasa’ bahwa kebijakannya benar dan berkeadilan karena sudah sesuai hukum formal. Serta dalil hukum yang mendakwa masyarakat telah menduduki tanah milik negara itu secara ilegal. Situasi ini merupakan jalan buntu yang buruk, baik bagi warga dan pemerintah. Samuel Freeman dalam Justice and Social Contract (Freeman, 2007) menyebut bahwa masalah absennya ketidakadilan seringkali disebabkan bukan oleh kurangnya definisi keadilan, baik secara formal maupun sosial. Terutama dalam konteks demokrasi, ketidakadilan sesungguhnya produk dari ketidakseimbangan konsep keadilan antara negara dan masyarakat. Keadilan merupakan nilai yang kompleks karena posisi menentukan definisi. Seperti negara dan birokrasi mendefinisikan keadilan melalui kerangka hukum formal semata. Pada saat bersamaan masyarakat mempersepsi keadilan dari tuntutan-tuntutan aspirasinya saja. Ketika negara dan masyarakat mensimplifikasi keadilan dalam definisinya masing-masing, pada saat itulah ketidakadilan hadir menciptakan konflik. Tentu saja kondisi ketidakadilan memiliki derajatnya maDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 65
sing-masing. Ketidakadilan yang menimpa pemerintah kota pastinya berbeda dengan ketidakadilan yang menimpa masyarakat warga. Namun demikian menurut Freeman (2007) bahwa gelombang ketidakadilan lebih sering dirasakan oleh masyarakat. Karena negara mampu melindungi apa yang dianggap sebagai kepentingan negara dengan menggunakan instrumen kekerasan. Pemerintah kota bisa memobilisasi Polisi Pamong Praja untuk melindungi satu kebijakan dengan sistem paksaan yang dilegalkan. Pada dinamika seperti itu apa yang terjadi adalah konflik destruktif yang merugikan kebaikan bersama. Warga bisa memobilisasi diri untuk merusak apapun yang dianggap representasi pemerintah, dan sebaliknya pemerintah bisa melukai dan menciptakan trauma kekerasan pada warga. Kondisi yang tercipta ketidakseimbangan konsep keadilan pemerintah dan warga tersebut, sebenarnya dalam studi konflik tata kota sebagaimana disebut oleh Misselwitz dan Rieniets dalam The City of Collision (Misselwitz and Rieniets, 2009) bisa ditanggulangi ketika ada kematangan konsep perencanaan tata kota. Kematangan konsep tersebut ditandai oleh diterima dan didukungnya kebijakan pemerintah oleh masyarakat dan tersedianya resolusi konflik dalam pelaksanaan kebijakan. Kematangan Konsep
Konflik lahan perkotaan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika dan perkembangan tata kota itu sendiri. Pemerintah kota memang memiliki kepentingan dan sekaligus kewajiban menciptakan tata kota yang nyaman dan aman. Namun kepentingan menciptakan tata kota yang baik dari pemerintahan kota di Indonesia, tampaknya belum terformulasi sebagai kematangan konsep. Hal ini dapat dilihat dari dua fenomena dari praktik tata pemerintahan (governance). Negara Gagal Mengelola Konflik 66
Pertama adalah adanya fakta bahwa pemerintah, pusat dan kota, sering menciptakan kebijakan tata kota yang tambal sulam dengan melakukan penggusuran di sana-sini. Namun berbagai permasalahan kota tidak pernah terselesaikan. Kita bisa menyaksikan bahwa kota-kota di Indonesia sebagian besar masih kurang nyaman, sungai dan udaranya berpolusi, dan ruang publik yang menyempit. Sebagian kalangan masyarakat bahkan mensinyalir kebijakan penertiban (penggusuran) hanya memanfaatkan istilah tata kota. Namun apa yang terjadi di baliknya adalah kepentingan parsial elite-elite pemerintahan yang berkongkalikong dengan pihak swasta dalam proyek pembangunan infrastruktur. Kedua, kebijakan penertiban yang berkaitan dengan tata ruang kota seringkali tidak disertasi oleh antisipasi resolusi konflik lahan yang baik. Pemerintah menciptakan konsep dan melaksanakan kebijakan tanpa dilandasi oleh konteks permasalahan. Sebagaimana pada kasus konflik lahan di Kelurahan Rawa Kebo Jakarta Pusat, kebijakan penertiban atas tanah yang diklaim milik pemprov DKI Jakarta tidak disertai resolusi yang baik untuk masyarakat di sana. Dana memobilisasi Polisi Pamong Praja dan konflik lahan bahkan sebenarnya bisa dioptimalkan untuk membiayai resolusi yang baik untuk masyarakat. Namun pemerintah kota kadang lebih memilih jalan konfrontasi yang tidak mencerminkan pemerintahan yang baik dan demokratis. Pemerintah kota dengan wewenang luasnya di era otonomi daerah perlu mematangkan konsep kebijakan tata kota. Demokrasi telah menyediakan proses politik yang menghubungkan konsep keadilan warga dan pemerintah dalam bentuk mekanisme deliberasi formal. Otonomi daerah secara prosedural telah melembagakan musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) dari tingkat kota sampai desa sebagai mekanisme deliberasi tersebut. Sayangnya kualitas dialog dan negosiasi formulasi Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 67
konsep dalam lembaga perumusan kebijakan tersebut masih jauh dari ideal.*
* Artikel ini pernah dimuat di Jawa Pos, 4 Agustus 2010.
Kompleksitas Konflik Industri HUBUNGAN kerja industri memilik kompleksitas sumber dinamika seperti isu upah, kesejahteraan pekerja, dan identitas para pekerja. Sumber-sumber dinamika hubungan kerja tersebut mampu mendorong efektifitas proses industri namun juga bisa menciptakan konflik kekerasan yang mereduksi kualitas kerja industri. Yang bisa menyebabkan efek-efek tak produktif seperti berhentinya aktivitas perusahaan, kerugian ekonomis, dan merenggangnya kohesifitas sosial antar pekerja. Sebagaimana konflik kekerasan yang terjadi di Batam pada 22 April adalah bagian dari kompleksitas sumber-sumber dinamika hubungan industri. Diberitakan bahwa kerusuhan tersebut menyebabkan sembilan pekerja perusahaan terluka parah. Enam orang di antara mereka berkewarganegaraan India dan sisanya WNI. Kerusuhan tersebut juga mengakibatkan sedikitnya 38 mobil rusak parah dan kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah (JP, 23/4/2010). Hal terpenting dalam menghadapi fenomena kompleksitas sumber dinamika hubungan industri adalah ada atau tidaknya mekanisme damai di tingkat individual, kelompok, dan kelembagaan. Tanpa mekanisme damai, kekerasan selalu menjadi pilihan tak terelakkan. Jejaring Identitas
Konflik kekerasan dalam hubungan industri seperti yang terjadi di Batam merupakan bentuk pengaruh dari salah satu Negara Gagal Mengelola Konflik 68
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 69
sumber dinamika hubungan industri, yaitu identitas. Identitas merupakan pendefinisian terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa simbolis. Seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama, dan bendera yang selalu dimaknai adiluhung. Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam bentuk ingin diakui (recognized) dan sekaligus dipertahankan (defended). Franke Wilmer dalam The Social Construction of Man, State, and War (Wilmer, 2002) menyebut sifat-sifat bahasa simbolis dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Pada kondisi yang mana berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidak ingin terjebak pada konflik kekerasan. Batam merupakan area industri internasional yang di dalamnya berbagai identitas saling berhubungan melalui bahasa-bahasa simbolisnya. Ketidakmampuan mengakomodasi sifat dasar bahasa simbolis dari identitas tertentu bisa menyebabkan mobilisasi jejaring identitas dalam bentuk aksi kekerasan. Pada kasus di Batam, aksi kekerasan para pekerja Indonesia secara akademik adalah upaya mempertahankan identitas terhadap kekerasan yang diciptakan oleh identitas lain. Kekerasan dalam bentuk tidak mengakui identitas para pekerja. Seperti menggunakan bahasa ‘semua orang Indonesia bodoh’ merupakan bentuk penolakan terhadap eksistensi identitas keindonesiaan para pekerja. Makna adiluhung keindonesiaan para pekerja secara kolektif dipertahankan (defended) melalui protes dan kerusuhan di lingkungan pabrik. Walaupun demikian kekerasan selalu memiliki konsekuensi destruktif yang merugikan kepentingan jangka panjang. Upaya mempertahankan eksistensi identitas dan makna adiluhungnya perlu dilakukan secara kreatif dan visioner. Dalam kasus di BaNegara Gagal Mengelola Konflik 70
tam misalnya, ada konsekuensi destruktif yang pasti mengikuti. Seperti persepsi negatif investasi asing terhadap industri di Indonesia. Salah satu faktor mendasar arus investasi asing selain kepastian hukum adalah keamanan sosial. Ketika suatu negara dipandang tidak memiliki keamanan sosial, selalu dipenuhi oleh konflik kekerasan dan kriminalitas tinggi, maka investasi asing sulit masuk. Akibatnya laju pertumbuhan perekonomian makro terhambat dan jumlah usia pekerja sulit diserap oleh struktur ekonomi. Mekanisme Damai
Pilihan terhadap jalan kekerasan untuk mencapai tujuantujuan tertentu , dalam sejarah hidup masyarakat selalu diikuti penderitaan. Penderitaan karena jatuhnya korban jiwa, lukaluka, kerugian material, dan trauma jiwa pada para korban. Pada saat bersamaan, cara kekerasan hampir sama sekali tidak menawarkan pemecahan masalah tetapi menciptakan lingkaran balas dendam dan kebencian. Melihat konsekuensi destruktifnya, kekerasan seharusnya mulai dipahami bukan sebagai cara untuk mempertahankan identitas atau memperjuangkan kepentingan lainnya. Jalan damai dalam mencari penyelesain konflik (peaceful conflict resolution) lebih memberi kesempatan pada pemecahan berbagai isu konflik. Termasuk konflik dalam hubungan industri di negeri ini. Sayangnya negara dan perusahaan belum memiliki kelembagaan mekanisme damai yang mampu mengelola sumbersumber dinamika hubungan kerja industri secara komprehensif. UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial lebih banyak mengatur penyelesaian konflik antara buruh dan perusahaan. Artinya peraturan tersebut hanya mengelola salah satu aspek dari sumber dinamika hubungan kerja industri yang sebenarnya bersifat kompleks. Sebagaimana pada kasus di Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 71
Batam, konflik industri terjadi karena faktor identitas, bukan isu upah pekerja. Namun demikian selain dimensi tiadanya kelembagaan mekanisme damai secara legal formal, pendekatan-pendekatan kultural dan keterampilan menyelesaikan konflik secara damai memiliki porsi penting. Kasus di Batam merupakan pelajaran penting bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan di negeri ini bahwa cara kekerasan bisa disebabkan oleh ketidaktahuan cara menyelesaikan konflik secara damai. Kekecewaan dan kemarahan para pekerja tidak ditransformasikan menjadi bentuk tuntutan tanpa kekerasan. Seperti menggunakan jalur yudisial (hukum) atau menggunakan forum dialog untuk mencari penyelesaian konflik. Kasus rusuh hubungan industri di Batam adalah bentuk tidak terkelolanya sumber-sumber dinamika hubungan kerja industri. Kasus serupa di Batam tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada tempat-tempat lain di Indonesia. Membiarkan kemungkinan ini terjadi, sama halnya membiarkan negeri ini selalu menghadapi konsekuensi destruktif dari kekerasan. Kita tentu mengharapkan kekerasan bisa dieliminasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu negara dan berbagai elemen bangsa ini perlu berkomitmen dengan cara menciptakan mekanisme damai dalam setiap konteks hubungan sosial di Indonesia.*
* Artikel ini pernah dimuat di Jawa Pos, 24 April 2010.
Negara Gagal Mengelola Konflik 72
Mekanisme Represif Konflik Lahan KEKERASAN terhadap komunitas adat dan petani di Mesuji, wilayah Lampung dan Sumatera Selatan, adalah produk mekanisme represif dari tata kelola konflik lahan di Indonesia. Tragedi Mesuji yang dikabarkan menelan tiga puluh korban jiwa tersebut sebenarnya hanya sebagian dari kasus-kasus kekerasan dalam konflik lahan. Tragedi Mesuji ini berawal dari berlarut-larutnya proses ganti rugi lahan serta realisasi pola perkebunan inti rakyat pengelolaan sawit seluas 16.628 hektar, sehingga sekitar 300 warga masyarakat perbatasan Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan, merusak dan membakar bangunan PT Barat Selatan Makmur Investindo, seperti mes karyawan, gudang minyak sawit, kantor administrasi, dan sejumlah pos satpam. Aksi tersebut melibatkan warga dari Kampung Sri Tanjung dan Kagungan Dalam, Kecamatan Tanjung Raya, Mesuji, Lampung, serta warga Sei Sodong, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sejak tahun 1994, lahan tersebut dikuasai PT BSMI dan PT Lampung Inti Pertiwi (LIP), kejadian ini berlanjut dengan dibalasnya aksi masyarakat oleh beberapa pihak yang seharusnya bertindak untuk menghentikan aksi kekerasan, justru memperarah arah kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa. (KOMPAS 27/02/2012). Fenomena kekerasan dalam konflik lahan tersebut mengindikasikan bahwa konflik lahan yang melibatkan komunitas di berbagai daerah Indonesia cenderung dikelola oleh mekanisme represif. Mekanisme yang menekankan pendekatan keamanan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 73
oleh negara. Alhasil, korban-korban dari komunitas-komunitas petani, adat, dan akar rumput lainnya terus berjatuhan. Pada saat bersamaan konflik lahan tidak pernah terpecahkan dan menjadi duri bagi produktivitas sosial ekonomi bangsa. Gerbang Kekerasan
Mekanisme represif dalam bentuk mobilisasi kekerasan yang terus direproduksi oleh negara salah satunya berakar pada praktik hitam-putih hukum positif. Penegakan hukum tentu saja sangat penting untuk menciptakan tertib sosial dan politik. Namun demikian praktik hukum positif harus sadar dan sensitif terhadap konteks sosio kultural dari suatu kasus konflik tertentu. Terutama pada konteks konflik yang melibatkan kolektivisme komunitas seperti kalangan petani dan adat. Kolektivisme komunitas memiliki nalarnya sendiri dalam bentuk struktur kelembagaan sosial dan norma yang harus dimengerti dan didekati secara manusiawi. Hukum positif sebagai produk modern belum tentu telah dipahami dan diterima oleh nalar kolektivisme komunitas. Kasus konflik lahan antara komunitas petani atau adat melawan perusahaan, swasta maupun negara (BUMN), pada kenyataannya sering didekati melalui hukum positif saja. Pemerintah dan perusahaan sering mengabaikan nalar kolektivisme komunitas petani dan adat. Sehingga setiap kasus konflik lahan sering dibawa pada prosedur yudisial, yaitu proses peradilan negara. Proses yudisial ini seringkali melandaskan pada buktibukti legal seperti surat sertifikat kepemilikan dan HGU (Hak Guna Usaha) yang dikeluarkan oleh negara. Perusahaan selalu menjadi pihak yang mampu menghadirkan bukti-bukti legal tersebut. Sedangkan komunitas yang telah mengelola suatu area lahan berdasarkan sistem adat dan budaya turun temurun hanya memiliki saksi atau cerita kolektif. Proses Negara Gagal Mengelola Konflik 74
peradilan pun selalu memenangkan perusahaan berdasar bukti-bukti legal. Kemudian mengeluarkan surat keputusan yang memberi landasan hukum pada kebijakan penggusuran paksa jika komunitas menolak mengosongkan lahan secara sukarela. Kepolisian sebagai aparat hukum dan keamanan menjadi representasi negara yang mengeksekusi kebijakan penggusuran. Para anggota komunitas yang mempertahankan diri diposisikan sebagai kriminal yang tidak taat terhadap hukum positif. Akibatnya bangsa ini sering menyaksikan bagaimana aparat keamanan negara baik polisi, militer, dan satuan pamong praja, tidak segan-segan memobilisasi kekerasan. Legitimasi legal formal dari pengadilan atas kasus konflik lahan tertentu merupakan gerbang kekerasan negara dan swasta terhadap komunitas-komunitas adat. Pendekatan Non-Peradilan
Menurut John Keane (Violence and Democracy, 2004) negara tidak demokratis dicirikan oleh penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk meneror dan membunuh rakyatnya sendiri untuk kepentingan-kepentingan sekitar kekuasaan. Seperti memberi perlindungan pada kelompok bisnis atau kelompok tertentu yang dianggap menguntungkan kekuasaan. Pada konteks konflik lahan di Indonesia, mekanisme represif sering dipersepsikan sebagai peristiwa pemihakan kekuasaan terhadap kelompok-kelompok bisnis. Karena pada banyak konflik lahan, komunitaskomunitas petani dan adat selalu menjadi obyek dari kekerasan oleh aparat keamanan negara. Para anggota komunitas seringkali terpaksa melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan dengan memobilisasi kekerasan kolektif. Mekanisme represif yang menjadi gerbang reproduksi kekerasan seperti pada Tragedi Mesuji, harus ditinggalkan dalam konteks konflik lahan yang menyertakan kolektivisme komuniDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 75
tas. Mekanisme non-peradilan yang mengedepankan dialog dan negosiasi perlu dilembagakan untuk mencari pemecahan masalah. Kelembagaan tata kelola konflik berbasis dialog dan negosiasi harus berlangsung setara dan bebas intimidasi dari salah satu pihak. Peran aparat keamanan pada mekanisme ini adalah memberikan rasa aman pada seluruh pihak berkonflik. Proses dialog dan negosiasi seringkali menghasilkan rumusan-rumusan pemecahan masalah yang disepakati untuk mengatasi kepentingan seluruh pihak berkonflik. Karena gagasangagasan alternatif untuk pemecahan masalah bisa muncul selama proses dialog dan negosiasi yang damai. Walaupun demikian prakondisi yang dibutuhkan adalah komitmen seluruh pihak dalam menyelesaikan konflik tersebut. Selanjutnya, David Calckins dalam artikelnya tentang Conflict Resolution Without Litigation (Calckins, 2009) menyebutkan bahwa aspek legal dimanfaatkan untuk memberi kekuatan pada hasil dialog dan negosiasi agar seluruh pihak bersedia melaksanakan isi kesepakatan. Tragedi Mesuji tentu bukan satu-satunya kasus konflik tanah yang melibatkan kolektivisme komunitas petani dan adat. Masih banyak kasus konflik lahan serupa di daerah-daerah Indonesia yang mungkin juga telah memakan korban jiwa. Selain mengusut tuntas masalah pelanggaran HAM pada Tragedi Mesuji, negara perlu merumuskan kelembagaan mekanisme non-peradilan. Kasus konflik lahan yang melibatkan komunitas harus bisa dipecahkan secara humanis dan sensitif pada nalar kolektivismenya. Jangan sampai negara demokrasi ini diwarnai oleh berbagai tragedi kekerasan lagi.*
* Artikel ini pernah dimuat di Jawa Pos, 17 Desember 2011.
Negara Gagal Mengelola Konflik 76
Bara Konflik Tanah PEMBANTAIAN Mesuji, wilayah Provinsi Lampung, menyeruak ruang publik yang sudah sesak oleh seabreg multidimensi persoalan bangsa. Menurut laporan dari kelompok yang mengklaim sebagai korban kekerasan negara yang mendatangi Komisi III DPR, ada sekitar tigapuluh petani yang dibantai oleh kelompok berseragam aparat keamanan. Walaupun jumlah petani yang meninggal dari korban tersebut kemudian diklarifikasi menjadi empat orang setelah diterjunkan Tim Pecari Fakta Kasus Mesuji oleh pemerintah SBY. Pembantaian tersebut berawal dari proses perluasan wilayah penggunaan lahan oleh PT. Silva Inhutani pada tahun 2003. Terkuaknya pembantaian tersebut memperjelas bahwa masyarakat Indonesia didera oleh bara konflik tanah. Persoalan fundamentalnya, masyarakat kecil yang lemah modal seperti komunitas-komunitas adat dan petani gurem, selalu menjadi pihak terkalahkan dalam bara konflik tersebut. Kasus pembantaian Mesuji hanyalah salah satu kasus dari berbagai marjinalisasi represif terhadap masyarakat kecil. Kompleksitas Soal
Pada dasarnya berbagai dimensi konflik tanah senyatanya gagal dikelola untuk dipecahkan tanpa kekerasan oleh pemerintah republik ini. Indikasinya adalah eskalasi konflik Tanah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Direktorat Konflik Tanah BPN melaporkan konflik tanah yang melibatkan komunitas pada tahun 2006 ada 322 kasus, tahun 2007 ada 858 kasus, tahun 2008 ada 520 kasus, dan tahun 2009 ada 194 kasus. Kasus-kasus Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 77
tersebut menumpuk belum terselesaikan dan cenderung diwarnai oleh kekerasan-kekerasan dalam dinamika konfliknya. Termasuk pada kasus konflik tanah di Mesuji, Lampung. Konflik Tanah memiliki dimensi-dimensi, seperti konflik tanah komunitas adat melawan perusahaan negara atau swasta, konflik tanah komunitas petani gurem melawan perusahaan, komunitas PKL (pedagang kaki lima) melawan pemerintah kota, sampai konflik antar komunitas desa terhadap area tanah tertentu. Berdasarkan penelitian penulis terdapat beberapa sebab konflik Tanah yang melibatkan komunitas. Pertama, kejahatan perusahaan (dirty business) atas kontrak penggunaan lahan yang dimiliki oleh komunitas adat tertentu. Menurut para anggota komunitas adat, dalam penelitian lapangan di Kabupaten Tulang Bawang oleh penulis, perusahaanperusahaan perkebunan melakukan peluasan area HGU (Hak Guna Usaha) tanpa persetujuan komunitas adat. Misal area HGU dalam kontrak resmi adalah 20.000 ha namun realisasinya menjadi 30.000 ha. Komunitas adat menduga perusahaan melakukan kongkalikong dengan pemerintah untuk menciptakan dokumen “legal” yang memberi lisensi luas area lebih dari kontrak awal dengan komunitas adat. Akibatnya anggota komunitas adat dilarang mengelola area lahan tersebut. Mereka terusir dari lahan-lahan wilayah adat yang diklaim sebagai area HGU. Pada dimensi kejahatan lain perusahaan sering mangkir membayar ganti rugi atas penyerahan lahan oleh komunitas. Kedua, klaim atas lahan “kosong” antara perusahaan dengan komunitas petani. Area tanah HGU yang sudah lewat batas kontrak atau tidak dikelola perusahaan sering menjadi lahan kosong bertahun-tahun. Kondisi ini menyebabkan komunitas-komunitas petani yang tidak punya lahan mengelola lahan kosong tersebut. Pola serupa juga sering terjadi di wilayah perkotaan yang mana lahan-lahan kosong kemudian dimanfaatkan untuk Negara Gagal Mengelola Konflik 78
menjadi area pasar dan pemukiman akar rumput. Konflik muncul ke permukaan ketika perusahaan atau negara ingin melakukan pemanfaatan atas lahan. Ketiga, keteledoran administrasi Tanah oleh BPN. Pada kasus di Lampung, satu bidang tanah tertentu bisa memiliki 10-20 sertifikat atas nama orang berbeda. Masing-masing pihak merasa memiliki hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat tanah tersebut. Pada dimensi ini, konflik tanah bisa terjadi diantara komunitas petani (horizontal) dan komunitas petani melawan perusahaan swasta maupun Negara (vertikal). Konflik tanah cenderung berlangsung lama (perpetuated conflict), terutama yang melibatkan komunitas-komunitas adat karena mekanisme litigasi selalu dijadikan preferensi menyelesaikan konflik tanah. Perusahaan swasta dan negara lebih memanfaatkan mekanisme litigasi, yaitu memasukkan konflik tanah ke pengadilan. Hasil pengadilan seringkali memenangkan perusahaan karena memiliki dokumen-dokumen legal yang membuktikan kepemilikan atau hak pengelolaan atas area tanah. Sedangkan komunitas adat, petani, atau PKL terkalahkan karena kelompok ini hanya memiliki bukti adat seperti cerita atau surat kesaksian yang tidak diakui oleh pengadilan. Proses litigasi menyebabkan komunitas kecil seringkali merasa mendapatkan ketidakadilan. Oleh karenanya gerakan-gerakan perlawanan, dari cara damai sampai kekerasan, untuk mendapatkan kembali tanah dan keadilan terus dimobilisasi. Mekanisme Alternatif
Jika melihat dari realitas kepemerintahan, bara konflik Tanah yang terus menyala dan tidak ditemukan pemecahan masalahnya, disebabkan oleh bad governance seperti administrasi Tanah yang buruk, patron-klien swasta dan pemerintah, aparatur keamanan yang berposisi sebagai centeng untuk pemodal, Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 79
dan pengadilan yang korup. Pengadilan seringkali menjadi mekanisme marjinalisasi represif, yaitu “mengalahkan” komunitas-komunitas adat, petani, dan akar rumput lainnya atas nama hukum positif. Aparat kepolisian berlandaskan pada keputusan pengadilan tersebut, dan bekerjasama dengan institusi pemerintah lainnya, melakukan pengamanan dan pembersihan. Pada gilirannya keputusan pengadilan yang dilindungi hukum positif mampu merubah komunitas pencari keadilan sebagai kriminal. Mekanisme litigasi atau pengadilan jelas tidak memberikan jaminan pemecahan konflik Tanah dalam konteks transisi demokrasi Indonesia saat ini. Hal ini karena mekanisme litigasi buta terhadap aspek historis sosiologis atas kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh komunitas. Usulan Komnas HAM awal tahun 2004 tentang mekanisme alternatif penyelesaian konflik tanah melalui pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (Knupka) seharusnya direalisasikan. Pembentukan komisi ini bersifat temporer selama BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam tata kelola konflik Tanah masih belum mampu. Faktanya BPN tidak bisa berbuat banyak karena kapasitas kelembagaan dan sumberdaya yang masih lemah. Tragedi Mesuji hanyalah bagian kecil dari bara konflik Tanah Indonesia. Jika Negara terus menerus bersikap keras kepala dengan mekanisme litigasi, bara konflik Tanah akan terus membesar. Produktivitas sosial ekonomi bangsa dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dipertaruhkan.*
* Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 21 Desember 2011.
Bibliografi Calckins, David. 2009. Conflict resolution without litigation . Diakses dari http://ezinearticles.com/?Conflict---Resolution-WithoutLitigation&id=2819622 pada 14 Februari 2012. Freeman, Samuel. 2007. Justice and social contract. Oxford: Oxford University Press. Galtung, Johan. 2004. Trancend and transform: An introduction to conflict work. London: Pluto Press. Keane, John. 2004. Violence and democracy. Cambridge: Cambridge University Press. McAdam, Doug., Tarrow, Sidney., and Tilly, Charles. 2001. Dynamic of contention: Cambridge studies in contentious politics. Cambridge: Cambridge University Press. Misselwitz, Philip., and Rieniets, Tim. (2009). The city of collision: Jerusalem and the principles of conflict urbanism. Whithe, Gordon. 1998. Developmental democratic state: Political and institutional design. Oxford: Oxford University Press. Wilmer, Franke. 2002. The social construction of man, state, and war: Identity, conflict, and violence in former Yugoslavia. UK: Routledge. Zartman, William, I. 2009. The sage conflict resolution handbook. London: Sage. Media Detiksurabaya.com. (1 Agustus 2010). Pemkot gusur 9 lokasi selama
Negara Gagal Mengelola Konflik 80
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 81
2009. http://us.surabaya.detik.com/read/2010/01/08/095150/12 74043/466/pemkot-gusur-9-lokasi-selama-2009. Kompas.com. (20 September 2011). Hektar Lahan Dalam Status Konflik. Diakses pada 15 Maret 2012 dari http://regional.kompas. com/read/2011/09/20/05535858/3.400.Hektar.Lahan.Dalam. Status.Konflik. Kompas.com (27 Februari 2012). Panglima TNI: Konflik Mesuji Dipicu SMS Gelap. Diakses 18 Maret 2012 dari http://regional.kompas. com/read/2012/02/27/18082797/Panglima.TNI.Konflik.Mesuji. Dipicu.SMS.Gelap. Tempo interaktif. Korban Priok. (23 April 2010). Korban. Diakses pada 18 Maret 2010 dari http://www.tempo.co/read/news/2010/ 04/23/082242834/Korban.
Negara Gagal Mengelola Konflik 82
BAB III
Konflik Horizontal dan Terorisme
Konflik Kaum Advokat KEPUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang menyebut hanya advokat anggota Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) yang bisa disumpah telah memicu protes advokat anggota KAI (Konferensi Advokat Indonesia). Advokat KAI beraksi anarkhis di kantor MA dalam protesnya sehingga menyebabkan kerusakan pada sebagian kantor (JP, 16/7). Perselisihan ini terjadi karena protes dari anggota Konferensi Advokat Indonesia mengenai keputusan MK tentang wadah tunggal bagi advokat. Pihak dari KAI berpendapat bahwa ketentuan untuk wadah tunggal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 E ayat 3, pasal 28 D ayat 1, serta pasal 27 ayat 2 mengenai kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, pihak dari KAI berpendapat bahwa ketentuan wadah tunggal menimbulkan kerugian konstitusional dimana ada perbedaan perlakuan hukum karena perbedaan organisasi profesi (Kompas, 9/3/2011). Advokat KAI menganggap keputusan MA sebagai keputusan yang sangat merugikan advokat yang tidak tergabung dalam Peradi, dan menganggap keputusan tersebut adalah keputusan yang diskriminatif, sehingga anggota KAI melakukan tindakan anarkis saat mengajukan protes terhadap MA. Anarkhisme yang jelas melanggar aturan hukum dari sebagian kaum advokat tersebut merupakan paradoks mengenaskan dari identitas kelompok profesi yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang hukum. Jika kaum advokat yang dipandang sebagai salah satu garda penegakan hukum tidak enggan melanggar aturan hukum, bagaimana nasib hukum di negeri ini? Jika nasib penegakan huDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 85
kum saja tidak tentu, negeri ini semakin kesulitan membangun masa depan perdamaian dan keadilan yang menjadi esensi dari sistem hukum. Peran Advokat
Advokat secara ideal dimasukkan sebagai kategori profesi bergengsi dalam melakukan konsolidasi demokrasi yang dicirikan oleh sistem hukum yang kuat dan bekerja secara ideal. Karena profesi ini dianggap mampu mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam proses perjuangan kepentingan untuk mengikuti semua aturan main dalam sistem hukum. Beberapa tujuan normatif hukum yang umum dipahami dalam konteks sosiologis adalah menciptakan keteraturan, ketertiban, dan keamanan. Sehingga esensi hukum adalah menciptakan perdamaian komprehensif yang ditandai oleh absennya aktivitas kekerasan dan hadirnya keadilan (Jeong, 2003). Aktivitas nir kekerasan dan keadilan sebagai esensi dari suatu bentuk hukum, terutama dalam konteks hukum demokrasi, hanya bisa direalisasikan manakala sistem hukum benar-benar ditaati oleh seluruh aktor. Baik aktor pemerintahan, masyarakat sipil, maupun pasar. Sistem hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya selalu memberi dampak pada ketidakadilan pada banyak pihak. Seperti perusahaan yang tidak taat pada hukum dengan menghindari wajib pajak. Ketidakadilan akan menggelombang karena pajak adalah sumber dana pembangunan untuk masyarakat luas. Pada tujuan mendasar sistem hukum dalam negara demokrasi inilah kemudian sangat dibutuhkan para aktor yang sadar dan taat pada hukum. Namun kondisi ideal berkerjanya sistem hukum tersebut membutuhkan ayunan transformatif, yaitu proses menciptakan aktor-aktor yang taat pada hukum. Ayunan transformatif ini bisa dalam bentuk pendidikan dalam variasi metodenya. Seperti Negara Gagal Mengelola Konflik 86
diseminasi wacana sadar hukum dan pembuatan kurikulum kewargaan. Secara normatif dimensi pendidikan ini sudah berlangsung. Namun dalam sosiologi hukum, faktor keteladanan dalam mempraktikan penegakan hukum menjadi faktor penentu bagi keberhasilan ayunan transformatif tersebut. Pada konteks inilah keteladan kaum advokat sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Kaum advokat oleh Dennis Debbaudt dalam Autism, advocates and law enforcement professionals (2002) disebut sebagai kelompok menengah esensial bagi penegakan hukum. Karena pada kaum advokatlah sebenarnya hukum bisa dihidupkan dari kode-kode positifnya menjadi praktik yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari manusia. Alasannya sederhana saja, kaum advokat mengetahui apa itu hukum dan cara menggunakannya. Sehigga harapan besar pada ayunan transformatif memang banyak dipengaruhi oleh keteladanan kaum advokat dalam praktik penegakan hukum. Kepentingan Greedy
Persoalannya lanjut Debbaudt (2002) advokat tidak pernah imun dari kepentingan serakah (greedy) yang seringkali bersumber pada godaan uang. Akibatnya advokat bisa terbelah menjadi advokat hitam dan putih. Advokat hitam adalah kelompok yang bisa saja memainkan atau bahkan keluar dari kode-kode hukum untuk kepentingan memperoleh kekayaan. Sebaliknya advokat putih adalah kelompok yang memiliki idealisme bahwa hukum harus ditaati dan ditegakkan demi keadilan. Kepentingan greedy sebenarnya tidak hanya menjadi noktah hitam kaum advokat. Namun peran strategis advokat dalam penegakan hukum menjadikan kepentingan greedy kelompok ini sangat esensial bagi hidup matinya sistem hukum. Kasus protes anarkhisme kaum advokat di kantor MA beberapa waktu lalu memang tidak bisa begitu saja disinyalir sebagai Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 87
hadirnya kepentingan greedy diantara kaum advokat. Namun demikian, anarkhisme adalah salah satu simpton dari kepentingan greedy yang sedang diperjuangkan. Tanda dari kepentingan greedy menurut studi konflik adalah tindakan keras kepala dan kekerasan. Sebagaimana aksi protes sebagian advokat beberapa waktu lalu di kantor MA. Jika memang ada kepentingan greedy diantara kaum advokat Indonesia, tampaknya penegakan hukum dan penciptaan keadilan ada di ujung tanduk. Bisa dibayangkan, ketika kaum advokat dijangkiti oleh kepentingan greedy, berapa banyak kode-kode hukum dikhianati? Berapa banyak keadilan akan layu dari tangkai sistem hukum? Pada saat bersamaan, publik mendapatkan keteladanan yang tidak baik dalam hal tidak menaati hukum. Sehingga ketidakadilan akibat dari tidak bekerjanya hukum akan tumbuh merata di negeri ini. Protes anarkhis kaum advokat di kantor MA, telah menunjukkan wajah kaum advokat yang sebenarnya. Sehingga sulit diprediksi masih berapa lama lagi sistem hukum di Indonesia benar-benar bisa ditegakkan. Menetralisir kepentingan greedy di kalangan kaum advokat bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Wacana publik mengenai pentingnya peran advokat dalam penegakan hukum bisa menjadi kontrol sosial pada advokat. Namun proses netralisir itu akan kembali invidu-individu advokat. Apakah mereka memiliki komitmen menciptakan keadilan melalui penegakan hukum di Indonesia atau tidak.*
Ingatan Kolektif Permusuhan BENTROK kekerasan pecah pada hari minggu 11 September 2011 antara dua kelompok warga di Ambon akibat dipicu oleh meninggalnya tukang ojek yang disangka korban penganiyaan. Mobilisasi dua kelompok warga pun tak terhindar dalam serang batu dan perusakan kendaraan-kendaraan yang dipersepsi milik lawan. Puluhan orang mengalami luka-luka dan sudah tiga orang dikabarkan tewas terkait bentrok kekerasan itu. Menurut Tempointeraktif (12/09/2011), situasi ketegangan sempat mengalami penurunan, namun kembali terjadi peningkatan dengan ditandai pengumpulan massa di ruas-ruas jalan Kota Ambon. Pada dasarnya, bentrok kekerasan menjadi mudah pecah dalam masyarakat Ambon karena isu yang membangkitkan ingatan kolektif komunitas. Rusuh pada tahun 1999-2003 merupakan ingatan kolektif yang masih tersimpan di struktur kesadaran komunitas-komunitas Ambon. Ingatan tentang peristiwa terbunuhnya anggota keluarga, sahabat, tetangga, dan para anggota komunitas, serta ingatan tentang hancurnya fasilitas identitas seperti rumah ibadah, sekolah dan pasar. Letupan kekerasan sosial masyarakat Ambon sangat terkait erat dengan ingatan kolektif tentang permusuhan yang terbangun mapan dalam sistem sosialnya. Ingatan Kolektif
Peristiwa konflik kekerasan secara kolektif selalu disimpan sebagai pengalaman, dan direproduksi sebagai pengetahuan yang Negara Gagal Mengelola Konflik 88
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 89
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sehingga setiap generasi yang mungkin tidak mengalami peristiwa itu pun menyimpan gambaran-gambaran ‘cinematik’ yang dibubuhi oleh proses justifikasi. Yaitu pembenaran tentang posisi, tindakan, dan alasan-alasan subyektif ketika peristiwa berlangsung. Misal, kelompok tertentu membunuh anggota kelompok lain karena dalam posisi terdesak dan teraniaya, sehingga melakukan pembelaan dengan cara membunuh ‘musuh’ yang menyerang. Selain itu, proses justifikasi selalu menempatkan kelompok sendiri sebagai pembela kebenaran dan pahlawan. Sedangkan kelompok lain adalah musuh, jahat, dan selalu berperilaku salah. Ingatan kolektif ini terus ada di setiap individu anggota komunitas, dibawa dalam dunia hidup sehari-hari. Walaupun ingatan kolektif tidak hanya berproses dari peristiwa-peristiwa kekerasan, seperti peristiwa saling menolong, menghormati, dan memelihara kebersamaan dalam perbedaan. Namun ingatan kolektif dari peristiwa kekerasan yang membangun kesadaran tentang kelompok lain sebagai musuh yang mengancam dan berbagai gambaran negatif lainnya cenderung lebih mudah termanifestasikan dalam kondisi lingkungan tertentu. Pada banyak kasus konflik di dunia, ingatan kolektif kekerasan sangat rentan termanifestasi dalam kondisi kemiskinan, kelangkaan sumberdaya kebutuhan hidup, pendidikan rendah, dan segregasi sosial. Lorenzo Magnani (Understanding Violence, 2011) mengungkapkan ingatan kolektif yang menyimpan peristiwa, stigma, dan persepsi selalu diungkapkan melalui bahasa. Peristiwa sosial yang menjadi persinggungan tidak mengenakkan diantara dua anggota komunitas berbeda, cenderung diikuti oleh mobilisasi bahasa. Bahasa adalah seperti pisau yang bisa menyakiti dan melukai individu komunitas lain melalui sayatan stigma identitas dan tindakan simbolis. Pada kasus bentrok kekerasan di Negara Gagal Mengelola Konflik 90
Ambon, meninggalnya tukang ojeg dari anggota satu komunitas menyebabkan peristiwa persinggungan. Sebelum terjadi bentrok kekerasan, masing-masing komunitas kemungkinan mengeksplorasi secara cepat ingatan kolektif tentang ‘musuh’ dengan stigma-stigma seperti jahat, kotor, serakah, atau kafir. Fase selanjutnya adalah terjadinya mobilisasi bahasa yang mana individu-individu komunitas mengirimkan bahasa tersebut pada invidu komunitas ‘musuh’. Selain itu mobilisasi bahasa muncul dalam bentuk tindakan simbolik dengan merusak kendaraan-kendaraan yang dianggap merepresentasikan komunitas musuh. Secara sosial proses eksplorasi ingatan kolektif, mobilisasi bahasa, dan tindakan simbolik berlangsung secara simultan dan dialektis diantara kedua komunitas berbeda. Sehingga mampu menciptakan eskalasi konflik dengan pemberdayaan alat-alat kekerasan. Apalagi jika struktur sosial, seperti lembaga adat, agama, dan lembaga pemerintah, gagal melakukan mediasi dari mobiliasasi bahasa dan tindakan simbolis yang berlangsung secara cepat. Menghapus Enemy Images
Bentrok kekerasan yang dipicu oleh meninggalnya satu anggota komunitas menjadi indikator dari masih kuatnya ingatan kolektif permusuhan. Masyarakat Ambon selama ini mungkin selalu membawa ingatan kolektif tersebut kedalam interaksi sosial sehari-hari walaupun berlangsung agak samar. Rekonsiliasi yang dulu pernah tercapai melalui berbagai pertemuan pemimpin tampaknya belum mampu menghapus ingatan kolektif permusuhan tersebut. Sehingga bisa disaksikan bagaimana komunitas-komunitas dalam masyarakat Ambon masih sangat rentan terlibat kedalam bentrok kekerasan kolektif. Menurut ilmuwan konflik dan perdamaian Marshall Rosenberg (Speak Peace, 2005), komunitas-komunitas dalam maDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 91
syarakat yang pernah mengalami peristiwa konflik berdarah sering terbangun tiga karakter, yaitu menyalahkan, menstigma, dan komunikasi kekerasan. Karakter tersebutlah yang membuat masyarakat Ambon mudah terpancing melakukan bentrok kekerasan kolektif melalui pemicu tertentu. Proses merubah karakter masyarakat pasca konflik kekerasan tersebut adalah dengan membersihkan gambaran komunitas lain sebagai musuh (enemy images) dari ingatan kolektif komunitas. Upaya menghapus ini bisa dilakukan melalui pendidikan perdamaian dengan memanfaatkan sekolah, pertemuan warga dengan fasilitasi pemerintah dan organisasi sipil, dan berbagai kegiatan sosial multikultural. Selain upaya menghapus enemy images dari ingatan kolektif komunitas-komunitas masyarakat Ambon melalui pendidikan perdamaian, pemerintah harus memperhatikan aspek kondisi lingkungan yang membutat ingatan kolektif permusuhan lebih dominan. Yaitu kondisi perekonomian, pendidikan, dan masalah keadilan sosial dalam setiap kebijakan pembangunan. Jika ditelisik lebih jauh, anggota-anggota komunitas yang di dalam bentrok kekerasan cenderung dari kelompok akar rumput yang miskin dan berpendidikan rendah. Bentrok kekerasan antar komunitas yang melibatkan ingatan kolektif permusuhan harus ditangani secara serius, terpadu dan sistematis. Upaya menghapus atau paling tidak mengurangi ingatan kolektif permusuhan perlu menjadi agenda penting negara, yaitu melalui pendidikan perdamaian dan membangun kualitas sosial ekonomi masyarakat. Kasus bentrok kekerasan di Ambon tahun ini merupakan peringatan keras pada pemerintah bahwa daerah-daerah lain yang memiliki ingatan kolektif permusuhan tentu rentan bentrok kekerasan berdarah juga. Daerahdaerah rentan kekerasan seperti Papua, Poso, Kalimantan, dan Aceh perlu mendapat perhatian khusus. Jika tidak ada kebijakan komprehensif untuk menanganinya, bukan hal mustahil negeri Negara Gagal Mengelola Konflik 92
ini akan terus panen bentrokan kekerasan berdarah.*
* Artikel Ingatan Kolektif Permusuhan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 14 September 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 93
Identitas dan Jalan Perdamaian Konflik kekerasan pecah kembali di Ambon manise pada 11 September 2011 yang menyebabkan rusaknya fasilitas publik, puluhan luka-luka, dan beberapa orang tewas. Selain itu ribuan warga terpaksa menjadi pengungsi untuk menghindari eskalasi kekerasan yang lebih mengerikan seperti peristiwa berdarah 12 tahun silam. Aparat keamanan gabungan kepolisian dan TNI diterjunkan untuk mencegah kekerasan makin parah. Situasi terakhir memperlihatkan deeskalasi kekerasan dari dua komunitas. Walaupun situasi stabil tersebut lebih dipengaruhi oleh operasi keamanan daripada kesadaran komunitas terhadap realisasi perdamaian. Hal ini disebabkan oleh realitas sosial bahwa relasi antar identitas komunitas-komunitas Ambon masih mengandung bara permusuhan. Selama periode paska kerusuhan berdarah 1999-2002 dinamika konflik identitas di Ambon tidak muncul sebagai konflik kekerasan, namun lebih termanifestasi dalam bentuk-bentuk konflik keseharian seperti rivalitas ekonomi di pasar, di kantor, atau bahkan di sekolah-sekolah. Pada saat ada pemicu, seperti isu terbunuhnya anggota dari komunitas tertentu maka relasi konflik identitas keseharian bisa mengalami perubahan bentuk, yaitu dari konflik tanpa kekerasan menjadi konflik kekerasan kolektif. Realitas konflik identitas yang masih tertanam kuat dalam dalam struktur sosial masyarakat Ambon jelas membutuhkan upaya penanganan komprehensif dari pemerintah. Negara Gagal Mengelola Konflik 94
Jejak Konflik
Pasca bentrok kekerasan dua komunitas, kepolisian memburu provokator. Tujuannya agar tindakan penyebaran isu-isu yang memancing mobilisasi kekerasan massa bisa dihentikan. Istilah provokator sering dimanfaatkan kepolisian ketika konflik kekerasan terjadi pada banyak kasus di berbagai daerah Indonesia. Kepolisian menunjuk provokator sebagai pihak yang memperkeruh situasi konflik merupakan keyakinan yang harus diklarifikasi lebih jauh, terutama pada konteks konflik. Provokator sering dimaknai sebagai individu atau kelompok yang menghasut kemarahan massa demi tujuan-tujuan tertentu, secara ekonomi politik, dari terciptanya konflik kekerasan. Pada kenyataannya eksistensi kelompok provokator memang ada dalam banyak dinamika relasi sosial. Namun terlampau menekankan sebab mobilisasi kekerasan adalah ulah provokator akan menyebabkan pengaburan akar masalah dari dinamika konflik kekerasan. Karena yang disangka sebagai “provokator” bisa saja merupakan anggota komunitas biasa, tidak memiliki pretensi politis untuk memprovokasi. Akan tetapi melalui posisi berpengaruhnya dalam struktur sosial, sosok tersebut melakukan mobilisasi massa untuk pembelaan atau dendam kolektif. Secara historis komunitas-komunitas di dalam masyarakat Ambon memiliki jejak-jejak konflik kekerasan yang sangat panjang bahkan sejak sebelum negara bangsa Indonesia lahir. Sebelum kemerdekaan sampai di masa kemerdekaan, masyarakat Ambon telah tersegregasi secara identitas dan terlibat dalam dinamika konflik kekerasan antar komunitas. Eksistensi ‘pela gandong’ yang lahir sebelum republik ini berdiri dan pela-pela lainnya di desa-desa Ambon adalah bukti tentang eksistensi konflik identitas cukup kuat. Pada awal kemerdekaan konflik identitas membaur dengan kepentingan elite-elite politik yang Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 95
melakukan pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) terhadap pemerintah pusat. RMS berdiri pada 25 April 1950 dibawah pimpinan dr. Chris Soumokil. Pada periode transisi demokrasi, antara 1999-2003, konflik identitas kembali pecah dengan isu etno-relijius. Organisasi FKM (Front Kedaulatan Maluku) muncul pada tahun 2000 setelah eskalasi kekerasan pada tahun 1999. Keterkaitan antara RMS dan FKM masih diragukan oleh beberapa kalangan walaupun memiliki tujuan yang sama. Namun demikian dari tahapan dinamika konflik Ambon pada tahun 1999-2003, kepentingan politik muncul setelah konflik kekerasan antar kelompok identitas pecah. Hal tersebut menandakan bahwa konflik kekerasan sebenarnya memang berakar dari kondisi riil relasi rentan antar kelompok-kelompok identitas. Pasca kekerasan identitas antara tahun 1999-2003, masyarakat Ambon hidup dalam situasi sosial yang “harmoni”. Namun, ilmuwan studi konflik Oliver Ramsbotham dalam Transforming Violent Conflict mengingatkan bahwa sifat sosial masyarakat multi identitas yang pernah mengalami konflik kekerasan, cenderung tidak terbuka, yaitu dengan cara menutupi perasaan dan persepsi yang sebenarnya (Ramsbotham, 2010). Karena bangunan persepsi yang sesungguhnya di dalam struktur kesadaran komunitas telah mengakar kuat, terbentuk sejak belajar menyebut nama dan menentukan antara siapa teman atau lawan. Untuk itulah upaya membangun rekonsiliasi damai dengan mengubah persepsi antar identitas seringkali hanya mampu menyentuh lapisan permukaan. Individu komunitas berkata baik di ruang formal, namun di ruang internal komunitas bisa saja berlangsung secara terbalik. Hal tersebut terbukti pada kasus terakhir, tewasnya salah satu anggota komunitas secara spontan dipersepsi sebagai korban dari kelompok identitas lain. Padahal komunitas-komunitas di dalam masyarakat Ambon telah memberi pernyataan bahwa setiap konflik antar individu bukanlah Negara Gagal Mengelola Konflik 96
konflik antar komunitas. Namun pernyataan tersebut dipatahkan oleh dinamika kekerasan terakhir pada 11 September 2011 yang sesungguhnya dipicu oleh salah informasi. Upaya Komprehensif
Pada saat satu komunitas mempersepsi bahwa anggotanya telah menjadi korban dari komunitas lain, hal tersebut sangat berkaitan dengan relasi antar identitas yang sudah buruk. Sampai saat ini aktivitas-aktivitas keseharian seperti di pasar atau kantor kerja adalah arena konflik antar identitas yang masih kuat walaupun tidak mewujud dalam konflik kekerasan. Pada konteks konflik kekerasan 11 September 2011 di Ambon, Salah satu anggota komunitas yang tewas di wilayah komunitas lain, kemudian dengan mudah dikaitkan dengan konflik-konflik identitas dalam aktivitas keseharian. Mobilisasi massa untuk melakukan balas dendam pun tidak terhindarkan karena sifat solidaritas kelompok identitas yang bersifat komunal. Yaitu kesetiaan pada kelompok yang diwujudkan dengan kesediaan diri anggota kelompok untuk ikut serta dalam mobilisasi kekerasan. Sehingga pada analisis ini mobilisasi kekerasan bukan merupakan produk provokator semata, melainkan produk dari masih kuatnya realitas konflik identitas di Ambon. Konflik kekerasan berbasis identitas selalu membutuhkan penanganan khusus dan intensif karena sifat komplesitasnya. Pada berbagai pengalaman konflik dan kekerasan identitas di dunia, proses rekonsiliasi permanen membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sebagian bahkan selalu gagal seperti kasus di Irlandia Utara dengan konflik antara dua identitas kelompok agama Katolik dan Kristen. Jika memahami kekerasan dalam masyarakat Ambon sebagai fakta dari adanya konflik identitas maka pemerintah seharusnya menciptakan upaya komprehenDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 97
sif melalui kebijakan dan aksi yang terencana. Beberapa upaya tersebut mencakup menciptakan rekonsiliasi permanen, pembentukan mekanisme khusus keamanan, dan kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang berkeadilan. Proses rekonsiliasi tidak bisa berlangsung dalam beberapa kali tatap formal dan deklarasi perjanjian damai. Karena rekonsiliasi lebih bersifat melakukan peningkatan kualitas komunikasi dan kesalingpahaman diantara anggota-anggota komunitas. Sehingga perlu ada upaya khusus secara terus menerus yang ditujukan untuk meningkatkan komunikasi dan kesalingpahaman diantara kelompok-kelompok identitas. Sedangkan mekanisme keamanan khusus berkaitan dengan metode pencegahan aksi kekerasan di daerah seperti masyarakat Ambon sangatlah urgen. Salah satu konsep mekanisme khusus keamanan tersebut adalah dengan menciptakan community policing yang mana komunitas-komunitas ikut aktif menjaga keamanan sosial. Melalui model community policing, polisi akan dibantu oleh masyarakat mengidentifikasi ‘provokator’ atau individu-individu yang cen-derung berpotensi memobilisasi kekerasan kolektif. Selanjutnya, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat melalui kebijakan pembangunan yang baik adalah pondasi bagi upaya mereduksi potensi kekerasan. Karena pada kecenderungannya, semakin sejahtera masyarakat maka perilaku kekerasan kolektif yang membahayakan diri dan keluarga bisa tereduksi. Upaya-upaya komprehensif tersebut sebagian sudah dimulai oleh pemerintah dan masyarakat sipil. Namun kejadian konflik identitas dan kekerasan di Ambon pada 11 September 2011 mengindikasikan bahwa upaya tersebut masih belum optimal dalam mentransformasi konflik identitas di Ambon. Kasus konflik kekerasan antar kelompok identitas di Ambon merupakan pengalaman yang harus dipelajari oleh pemerintah pusat dan Negara Gagal Mengelola Konflik 98
semua pemerintah daerah. Hal ini mengingat Indonesia memiliki masyarakat majemuk yang rentan oleh konflik dan kekerasan.*
* Artikel Identitas dan Jalan Perdamaian ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, 14 September 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 99
Agresivisme dan Ketidakhadiran Negara MASYARAKAT madani adalah cita-cita dalam sistem demokrasi yang di dalamnya ada keteduhan dan kedamaian atas kemajemukan identitas. Sehingga masyarakat bisa bernafas dan bekerjasama dalam relasi sosial yang kontruktif bagi kemajuan hidup berbangsa. Namun demikian, demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan yang tidak ringan, yaitu kekerasan kolektif yang masih kuat menjadi pilihan rasional sebagian kelompok identitas. Sebagaimana pada tragedi Cikeusik Banten beberapa waktu lalu yang dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan antara minoritas Ahmadiyah dan mayoritas Muslim itu kembali memperlihatkan jalan terjal mewujudkan masyarakat madani. Kondisi ini merupakan tanggung jawab kebangsaan untuk menemukan jalan keluar yang relevan dalam kontur budaya dan keadilan sosial masyarakat Indonesia. Kejadian yang terjadi pada hari Minggu, 6 Februari 2011 tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 4 orang, 2 orang yang mengalami luka parah akibat benda tajam, serta 6 orang yang menderita luka-luka lainnya. Bentrok antara warga Cikeusik dan penganut Ahmadiyah dipicu oleh adanya aktifitas dari penganut Ahmadiyah yang semakin meluas dan mengadakan pertemuan yang mengundang penganut Ahmadiyah dari berbagai wilayah di Jawa Barat. Aktifitas ini dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai kegiatan yang meresahkan dan dianggap sesat, sehingga masyarakat menyerang penganut Ahmadiyah.(KOMPAS 6/2/11). Negara Gagal Mengelola Konflik 100
Situasi Konflik
Istilah situasi dalam ilmu sosiologi merujuk pada keadaan sosial khusus dari berbagai relasi sosial yang di dalamnya terkandung sikap, persepsi, dan praktik tertentu secara timbal balik. Seperti relasi sosial persahabatan, pekerjaan, percintaan, sampai relasi konfliktual. Suatu relasi sosial disebut berada dalam situasi konflik ketika sikap, persepsi, dan praktik tertentu antara individu atau komunitas diorientasikan untuk melakukan persaingan dan mengalahkan demi tujuan tertentu. Situasi konflik selalu menjadi situasi khusus keseharian masyarakat dengan tingkat dan dimensi berbeda. Sosiologi konflik selalu merekomendasikan adanya penanganan aktif baik oleh pihak berkonflik dan pihak ketiga netral pada situasi konflik. Kepentingan fundamental dari penanganan aktif ada dua, yaitu mendorong terciptanya situasi konflik yang non kekerasan dan kemungkinan pemecahan masalah yang menguntungkan bagi seluruh pihak berkonflik. Setiap situasi konflik tertentu selalu menawarkan kemungkinan lahirnya kekerasan dari satu atau dua belah pihak berkonflik. Seperti pada situasi konflik antara komunitas Islam sunni dan komunitas Ahmadiyah secara empiris telah mereproduksi relasi konflik kekerasan. Korban lebih banyak terjadi pada komunitas Ahmadiyah yang merupakan anggota sosial minoritas dalam sistem sosial Indonesia. Flannery (Violent Behavior and Aggression, 2007) memastikan bahwa kekerasan yang sampai pada taraf penyiksaan (torture) dan pembunuhan pihak lawan seringkali dilandasi oleh dimensi sosiologis seperti doktrin, dendam, dan kondisi terlepasnya kesadaran dari sistem normatif masyarakat. Beberapa dimensi tersebut pada situasi konflik merupakan akar dari perilaku agresivisme dari pihak-pihak berkonflik yang mampu mereproduksi kekerasan satu arah mauDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 101
pun timbal balik. Pada kasus kekerasan di Cikeusik Banten, lebih dari seribu massa komunitas Islam sunni mendatangi rumah komunitas Ahmadiyah. Pecahnya kekerasan dan korban dari dua belah pihak adalah bagian dari beroperasinya agresivisme yang dominan dalam situasi konflik dua komunitas selama ini. Namun komunitas yang secara kuantitas jauh lebih besar selalu merupakan pihak yang paling menentukan apakah agresivisme dioperasikan atau tidak dalam situasi konflik. Sedangkan minoritas selalu menjadi pihak yang bertahan dan terkorbankan. Pada konteks kasus sosiologi konflik tersebut semestinya ada pihak yang secara politik netral dan bertanggung jawab melakukan penanganan aktif agar tidak terjadi korban, yaitu negara. Ketidakhadira Negara
Pada media massa kepolisian menyebutkan sudah adanya upaya melakukan pencegahan terjadinya konflik kekerasan dengan menahan salah satu anggota komunitas Ahamdiyah. Namun kepolisian tidak menduga bahwa ada sekitar lima belas anggota komunitas Ahmadiyah datang dan tinggal di lokasi kasus kekerasan. Alasan ini tentu saja terkesan dangkal dan mencoreng kemampuan intelejen kepolisian. Apalagi selama ini kepolisian mampu melacak jejaring terorisme yang sedemikian tersembunyi. Lantas mengapa adanya gerakan lima belas anggota komunitas Ahmadiyah kepolisian tidak mampu mendeteksi? Terlepas dari alasan ini, lembaga kepolisian hanya salah satu dari lembaga negara yang seharusnya memberikan penanganan aktif pada situasi konflik komunitas Islam sunni dan komunitas Ahmadiyah. Situasi konflik tersebut tidak hanya mencakup kasus di Cikeusik Banten namun secara nasional. Saat ini jelas bahwa komunitas Islam sunni dan komunitas Ahmadiyah berada dalam Negara Gagal Mengelola Konflik 102
situasi konflik yang di dalam terkandung agresivisme. Berbagai kasus kekerasan yang terulang antara dua komunitas seolah memperjelas ketidakhadiran negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban melakukan penanganan aktif. Sedangkan Surat Keputusan Bersama SKB menteri agama, menteri dalam negeri, dan kejaksaan tentang komunitas Ahmadiyah merupakan jalan pintas kekuasaan yang kedodoran. Karena SKB tersebut hanya memberi kewajiban pada satu komunitas berkonflik (komunitas Ahmadiyah) daripada memberi mandat dilembagakannya penanganan aktif pada situasi konflik antara Muslim dan komunitas Ahmadiyah. Negara melalui pemerintah eksekutif dan para elitenya bisa melakukan kerja bakti dengan mengeluarkan kebijakan penanganan aktif yang mereduksi dimensi agresivisme dan menciptakan mekanisme dialog untuk pemecahan masalah. Langkah mereduksi agresivisme bisa dimulai dengan mereduksi pernyataan-pernyataan pemerintah sendiri mengenai posisi komunitas Ahmadiyah. Selama ini ada kesan bahwa pemerintah pun melakukan penyalahan pada eksistensi organisasi Ahmadiyah. Menurut Marshal Rosenbergh (2003) tindakan menyalahkan ketika tidak ada kesempatan satu pihak berbicara dan menjelaskan adalah bentuk komunikasi kekerasan. Sangat disesali tentunya jika pemerintah telah menciptakan komunikasi kekerasan pada warganya. Masalah eksistensi organisasi dan paham Ahmadiyah dalam konteks sistem sosial masyarakat Indonesia yang memang mayoritas muslim perlu diselesaikan melalui dialog terbuka. Komunitas Ahmadiyah dan organisasinya dan representasi Muslim sunni seperti organisasi NU dan Muhammadiyah harus dipertemukan dalam satu dialog guna menemukan pemecahan masalah. Keputusan dari dialog tersebut mungkin belum tentu langsung diterima pada level akar rumput, namun demikian merupakan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 103
kebijakan awal yang berpotensi menciptakan perdamaian. Jika negara tidak melakukan proses ini, negara dan para elitenya bisa dituduh melakukan instrumentasi situasi konflik untuk kepentingan politik tertentu. Seperti demi pengalihan isu pemberantasan korupsi misalnya. Karena proses penanganan aktif ini sebenarnya bisa direalisasikan jika visi kekuasaan adalah benar-benar menciptakan masyarakat madani yang teduh dan harmoni. Masyarakat Indonesia yang majemuk oleh agama, etnis, identitas dan golongan adalah realitas tak terbantahkan. Realitas kemajemukan ini menjadi kekayaan dalam menciptakan masyarakat madani jika negara hadir dalam penanganan aktif pada berbagai situasi konflik. Sehingga konflik bukanlah situasi yang carut marut oleh kekerasan, namun situasi yang produktif oleh praktik perdamaian.*
* Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 12 Februari 2011.
Memperjuangkan Praktik Perdamaian AKSI kekerasan masih belum reda dengan mengambil isu sentimen keagamaan di Malaysia. Beberapa gereja dirusak oleh massa yang marah atas keputusan pengadilan tinggi Malaysia mencabut pelarangan penggunaan kata Allah untuk agama Kristiani. Andai saja Gus Dur masih hidup, mungkin dia akan bilang pada komunitas Islam sendiri, ‘Gitu saja kok repot!” Salah satu makna retorika favorit tersebut dalam konteks ini bisa saja; “mengapa harus repot-repot melakukan kekerasan jika bicara baik-baik bisa dilakukan?” Pilihan Rasional
Kekerasan adalah produk rasional, demikian filosof klasik Thomas Hobbes meyakininya. Karena kekerasan digunakan sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan oleh kelompokkelompok sosial yang berkontestasi atas sumberdaya dan identitas dalam masyarakat. Jika merujuk pada filsafat Hobbes ini, kekerasan pada gilirannya merupakan pilihan rasional yang disimpan sebagai pengetahuan dalam struktur kesadaran manusia dan kelompoknya. Sehingga pilihan rasional ini dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuan apa yang terlembaga melalui sosial historis dalam bentuk praktek-praktek intensif dalam lingkungan masyarakat. Inilah mengapa sosok Gus Dur bekerja keras menciptakan proses sosial historis yang menciptakan pengalaman-pengalaman nir kekerasan dengan mempraktekkan terus menerus dialog Negara Gagal Mengelola Konflik 104
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 105
damai lintas identitas dan kepentingan. Agar manusia Indonesia mengakumulasi pengalaman praktek-praktek dialog damai sebagai pengetahuan dalam struktur kesadarannya. Dampak jangka panjang yang ingin diperoleh adalah karakter negara bangsa yang menjadikan praktek perdamaian sebagai cara mencapai tujuan. Usaha menciptakan struktur kesadaran nir kekerasan Gus Dur, baik melalui wacana dan tindakan politiknya, merupakan warisan dalam pembangunan karakter negara bangsa. Karakter bangsa yang mampu mempraktekkan perdamaian dalam upaya mengatasi kontestasi dan kontradiksi kepentingan dan identitas. Praktek perdamaian muncul dalam bentuk tindakan dialogis dan negosiatif sehingga bisa berproses dalam upaya mengatasi kontradiksi dari dimensi-dimensi konflik kepentingan dan identitas tanpa melukai orang lain. Lebih dalam lagi, sesungguhnya substansi dari praktek perdamaian dalam hubungan konflik di ruang publik dan politik adalah kualitas pemecahan masalah. Meminjam istilah Johan Galtung (2004) praktek perdamaian tersebut adalah metode transendental (transcend approach). Yaitu kemampuan sosial individu keluar dari halangan-halangan internalnya dan menciptakan peluang-peluang baru yang tidak saja menguntungkan diri sendiri namun juga orang lain yang terlibat hubungan kontestasi atau konflik kepentingan. Halanganhalangan internal tersebut terutama sekali muncul dalam bentuk keterbatasan mendefinisikan masalah dan persepsi negatif terhadap pihak lain. Seperti pada kasus aksi kekerasan terhadap gereja di Malaysia beberapa waktu lalu, kelompok Muslim dari garis keras mempersepsikan komunitas Kristiani sebagai masalah karena dianggap mempermainkan istilah Tuhan dalam Islam. Sehingga dalam persepsi itu, merusak gereja seolah merupakan upaya memecahkan masalah. Padahal ada kemungkinan lain dari definisi permasalahannya seperti kebijakan negara yang Negara Gagal Mengelola Konflik 106
tidak tepat atau permainan elite-elite politik untuk membangun isu-isu strategis tertentu yang menguntungkan mereka. Praktik Perdamaian
Praktik perdamaian merupakan upaya jangka panjang bagi Indonesia agar mampu mengelola konflik identitas dan kepentingan. Perdamaian berarti kondisi sempurna suatu masyarakat yang ditandai oleh absennya konflik kekerasan, kesalingpahaman dan penghormatan atas perbedaan, serta keadilan sosial. Jika saja praktek perdamaian yang mengutamakan dialog nir kekerasan telah menjadi karakter negara bangsa, kehidupan sosial dan politik secara dinamis akan selalu menuju pada common bonum (kemaslahatan ummat). Karena masyarakat memilih melakukan dialog untuk menemukan permasalahan substansial, dan merumuskan pemecahan masalah secara arif. Fenomena menggembirakan negeri ini, praktek kekerasan lintas identitas semakin berkurang sejak eskalasi konflik kekerasan identitas seperti di Ambon, Poso, dan Kalimantan pada 1999-2003. Namun kekerasan lebih banyak direproduksi oleh kelompok teroris, yang secara sosiologis tidak menjadi bagian dari masyarakat. Selain kelompok teroris, praktek kekerasan kenyataannya masih direproduksi oleh elite-elite politik negeri ini. Lihat saja pada kasus praktek komunikasi kekerasan beberapa anggota Pansus Skandal Bank Century di gedung perwakilan rakyat beberapa waktu lalu. Pericles (dalam David Held, 2003) seorang negarawan dan filosof negara kota Atena menyebut syarat bagi dewan rakyat mampu mencapai pemecahan masalah adalah isegoria, yaitu komunikasi politik yang bebas namun bijak dan berkualitas untuk kebaikan. Oleh karenanya Isegoria bisa diartikan sebagai komunikasi nir kekerasan, atau bagian dari praktek perdamaian, yang menekankan pada dialog Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 107
untuk menemukan kesalingpahaman mengenai permasalahan sehingga bisa dirumuskan formulasi pemecahannya. Namun yang terjadi di sidang Pansus beberapa waktu lalu adalah praktek kekerasan yang menghambat dan mengaburkan substansi permasalahan. Lantas bagaimana bisa mencapai kemaslahatan ummat di Indonesia jika para elite politik tidak menciptakan praktek perdamaian? Para elite politik adalah representasi dari negara karena merekalah yang mengelola dan melaksanakan wewenang negara. Jika mereka tidak melakukan praktek perdamaian, berbagai kebijakan negara pun masih cenderung muncul sebagai bentuk kekerasan. Seperti kebijakan penanganan kasus konflik separatisme di Papua yang lebih mengedepankan praktek kekerasan terhadap organisasi separatis dan para anggotanya dengan menutup proses dialog dan negosiasi damai. Operasi militer dan kebijakan sepihak seperti otonomi khusus lebih dipilih oleh negara daripada melakukan pendekatan dialogis terlebih dahulu. Sehingga eskalasi perlawanan OPM (Organisasi Papua Merdeka) semakin besar dan mengancaman integrasi Republik Indonesia. Praktek perdamaian harus menjadi karakter negara bangsa Indonesia agar hidup tenteram dan makmur. Saat ini masih dibutuhkan figur-figur pemimpin, dalam masyarakat dan negara, yang konsisten menciptakan praktek perdamaian terus menerus. Masyarakat sipil yang telah menyadari pentingnya praktek perdamaian sebagai karakter negara bangsa Indonesia perlu terus giat mensosialisasikannya di segala arena sosial, baik secara tradisional tatap muka langsung seperti khotbah masjid dan gereja, maupun jejaring virtual seperti facebook. Inilah model kultural dan politik kontemporer tahun 2010 bagi bangsa Indonesia; praktek perdamaian!* * Artikel ini pernah dimuat Koran Seputar Indonesia, 20 Januari 2010. Negara Gagal Mengelola Konflik 108
Memperjuangkan Masyarakat Inklusif “Violence is fomented by the imposition of singular and belligerent identities on gullible people.” (Amartya Sen, 2006)
PASCA penolakan kehadiran FPI di Kalteng, muncul gerakan “Indonesia tanpa FPI” dan “Indonesia tanpa Kekerasan” yang digagas oleh sebagian masyarakat sipil. Gerakan yang esensinya adalah penolakan terhadap budaya kekerasan dalam sistem sosial Indonesia. Aksi Penolakan ini berawal dari kedatangan delegasi FPI di Palangakaraya untuk menghadiri tabligh akbar dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW, serta membantu masyarakat dayak dalam konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dayak dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Namun kedatangan delegasi dari FPI ini dengan segera ditolak oleh masyarakat Palangkaraya. Masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Dayak Kalteng menolak dengan keras kehadiran FPI di Kalimantan Tengah karena khawatir FPI akan membuat masalah dan konflik di Palangkaraya (Kompas.com, 3/2/12). Adegan penolakan kekerasan, melalui kasus FPI, bisa menjadi energi transformatif bagi terbentuknya masyarakat inklusif Indonesia. Masyarakat yang anti kekerasan dan cinta keberagaman kebudayaan. Namun demikian mewujudkan masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat di tengah masih kuatnya praktik kekerasan dalam masyarakat Bangsa Indonesia. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 109
Identitas Kekerasan
Potret buram di negeri Pancasila ini salah satunya disebabkan oleh kekerasan yang sering dimobilisasi secara semenamena oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya setiap konflik sosial muncul, kekerasan sering tidak bisa dihindarkan. Konflik dalam dimensi sosial yang berkaitan dengan hubungan status atau identitas, ekonomi yang menyertakan isu pekerjaan atau hak upah, sampai isu politik seperti pemilukada untuk bupati/walikota dan gubernur. Pada dimensi sosial, beberapa kasus akhir-akhir ini bisa dilihat pada konflik antara pedatang di Dusun Napal dan penduduk asli dari Dusun Kota Dalam di Lampung Selatan pada akhir bulan Januari kemarin, yang menyebabkan sekitar 60 (enam puluh) rumah penduduk pendatang hangus terbakar oleh amuk massa. Praktik kekerasan tersebut pecah karena dipicu oleh pemukulan oleh warga Dusun Napal terhadap warga dari Dusun Kota Dalam. (TribunNews, 24/1/2012). Pada rentang waktu tidak jauh berbeda, pada minggu kedua bulan Februari (8-12/2), konflik antar dua kelompok sosial di wilayah Maluku Tengah, Desa Pelauw menyala oleh bara kekerasan. Menurut laporan media massa, kekerasan tersebut menyebabkan lima orang meninggal, belasan terluka, dan sekitar tiga ratus rumah hangus terbakar (Koran SINDO, 12/2/12) . Sedangkan sekitar 3000 warga sekitar Desa Pelauw mengungsi untuk menghindari bahaya dari konflik kekerasan horizontal tersebut (Tempo.co, 13/2/2012). Belum padam oleh perdamaian positif dari konflik horizontal selama Januari-Februari 2012, konflik kekerasan pilkada antara dua pendukung calon Bupati di Kabupaten Tolikara Papua menambahi daftar praktik kekerasan dalam dimensi konflik politik. Menurut laporan Tempo.co, sampai tanggal 18 Februari, konflik kekerasan tersebut menyebabkan 11 (sebelas) Negara Gagal Mengelola Konflik 110
orang tewas, sekitar 201 (dua ratus satu) luka-luka, dan menghanguskan 22 (dua puluh dua) rumah warga. Selain itu Gedung Partai DPD Demokrat, DPD Partai Golkar, Kantor Distrik dan Kantor Statistik Tolikara dibakar massa pendukung (Tempo.co, 21/2/2012). Konflik kekerasan pilkada Tolikara tersebut dipicu oleh penolakan salah satu pasangan John Tabo dan Edi Suyanto dari Partai Golkar terhadap panitia baru yang dilantik pada 4 Januari 2012. Pasangan tersebut berisi keras mendukung panita yang telah terbentuk sebelumnya, pada 21 Mei 2010, karena dipandang lebih netral. Pada kondisi politik yang masih rentan kekerasan tersebut, perhelatan pilkada tertunda. Dinamika konflik berbagai dimensi isu di Indonesia senyatanya sangat rentan oleh praktik kekerasan.Tingginya frekuensi kekerasan dalam banyak konflik di Indonesia menjadi gejala sosial bahwa sebagian masyarakat Indonesia telah mengkonstruksi kekerasan sebagai identitas. Kekerasan tidak lagi sekedar luapan emosional tanpa nalar pengetahuan di dalamnya. Sebaliknya, kekerasan mendapatkan justifikasi dalam bentuk sosialisasi pengetahuan intensif sebagai kebenaran yang boleh dan bahkan harus dipraktikkan demi melindungi proses pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang sering berkait erat dengan harga diri, kehormatan, dan keberlangsungan posisi sosial ekonomi kelompok. Oleh karenanya kekerasan tidak dipandang sebagai kesalahan atau keburukan akan tetapi sebagai manifestasi loyalitas anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok tersebut. Pada proses konstruksi ini, kekerasan merupakan identitas yang dianggap benar dan suci. Efek selanjutnya kemudian, kekerasan seringkali diberdayakan ketika muncul situasi yang dipersepsi merugikan tujuantujuan kelompok. Misal, menjamurnya klub-klub malam bisa dipersepsi sebagai situasi yang mengancam tujuan FPI membangun masyarakat ‘anti-maksiat’. Mobilisasi kekerasan terhadap Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 111
klub-klub malam dijustifikasi sebagai bentuk kebenaran yang ditujukan untuk menyelamatkan ‘masyarakat luas’. Tentu saja, kekerasan sebagai identitas tidak terbatas pada FPI, namun juga tumbuh kuat pada kelompok-kelompok sosial lainnya baik etnis, keagamaan, maupun golongan. Realitas ini terlihat dari menjamurnya kekerasan dalam berbagai konflik sosial di tanah air. Merata dan meningkatnya frekuensi kekerasan, sebagai identitas, dalam banyak kasus konflik sosial akhir-akhir ini merupakan kondisi memprihatinkan. Amartya Sen (Identity and Violence: The Illusion of Destiny, 2006) mengingatkan bahwa menguatnya identitas kekerasan akan menciptakan situasi keterjebakan masyarakat dalam logika brutal anarkhisme. Masyarakat dengan berbagai kelompok sosial di dalamnya kehilangan kemampuan memahami bahwa kekerasan adalah simpul-simpul kehancuran sendiri. Sen, seperti kalimat yang dikutip pada pembukaan di atas, dengan ironis menyebut identitas kekerasan hanya dilakukan oleh mereka, anggota masyarakat, yang mudah dibohongi oleh doktrin-doktrin sempit. Kebohongan bahwa kekerasan merupakan kehormatan atau harga diri. Penguatan Negara
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tengah terjebak dalam konstruksi identitas kekerasan. Sehingga mobilisasi kekerasan direproduksi ketika diantara kelompok sosial mengalami benturan tujuan di dalam sistem sosial. Konsekuensinya adalah kerugian besar dalam bentuk korban jiwa, hancurnya harta benda, merapuhnya produktivitas sosial ekonomi, dan bahkan suramnya masa depan generasi muda. Pada situasi ini negara harus memiliki kekuatan yang besar untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari jebakan identitas kekerasan. Penguatan negara tidak berarti adanya peningkatan represi negara terhadap eksistensi kelompok-kelompok identitas. NaNegara Gagal Mengelola Konflik 112
mun negara harus memperkuat fungsi-fungsi kelembagaannya berdasarkan pada mandat demokrasi. Termasuk dalam penggunaan cara kekerasan, harus dipastikan bahwa praktik itu menjadi otoritas penuh lembaga negara. Penggunaan kekerasan sebagai otoritas negara dalam demokrasi, seperti dielaborasi oleh John Keane (Violence and Democracy, 2004), harus berprinsip pada perlindungan keamanan warga. Perlindungan dari agresi asing maupun ancaman dari kelompok-kelompok kekerasan seperti kelompok teroris, etnis, sampai radikalis-fundamentalis. Artinya, negara diperkenankan memobilisasi kekerasan negara untuk mencegah dan menangani kekerasan yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok sosial. Sayangnya selama ini, negara terkesan tidak memiliki kekuatan untuk mencegah dan menangani praktik kekerasan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan sebaliknya lembaga negara yang memiliki otoritas penggunaan kekerasan, seperti militer, polisi dan Satpol PP, ikut menjadi ‘liar’ dalam penggunaan kekerasan dengan keluar dari prinsip demokrasi. Negara hanya menggunakan kekerasan untuk melindungi para pemodal besar, seperti kasus konflik agraria di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu. Oknum-oknum dalam lembaga kepolisian atau militer sibuk menjadi tukang pukul yang melindungi operasi bisnis tertentu, dari prostitusi, perjudian, dan perusahaan. Alhasil negara mengalami pengeroposan fungsi dalam memberi melindungi keamanan warga dari mobilisasi kelompok-kelompok yang menjadikan kekerasan sebagai identitasnya. Pada saat bersamaan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian mengalami pembusukan yang parah. Hal ini ditunjukkan pada fenomena perlawanan kekerasan terhadap polisi. Laporan Indonesian Police Watch menyebutkan selama tahun 2010 ada 10 (empat puluh lima) kantor polisi dibakar massa, dan tahun 2011 ada 45 kantor (Kompas.com, 3/1/2012). Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 113
Melalui analisis artikel ini bisa direfleksikan bahwa perjuangan membangun masyarakat infklusif yang anti kekerasan dan menghormati keberagaman budaya masih menghadapi tantangan berat. Pertama dari realitas masih kuatnya identitas kekerasan dalam masyarakat. Kedua keroposnya fungsi negara dalam menempatkan otoritas penggunaan kekerasan untuk perlindungan keamanan warga. Oleh sebab itu bangsa Indonesia yang sebenarnya mayoritas cinta damai, harus selalu berjuang gigih mewujudkan masyarakat inklusif.*
* Artikel Memperjuangkan Masyarakat Inklusif ini pernah dimuat di Harian Kompas, 22 Februari 2012.
Keamanan dan Ketangguhan Kepolisian KERJA bagus Densus 88 Mabes Polri menelikung rencana aksi terorisme untuk yang kesekian kalinya adalah prestasi professional. Berada di tengah kabut gelap masalah internal, kepolisian masih menjaga stamina dalam menjalankan tanggung jawabnya di bidang keamanan nasional. Pada sisi lain, hasil ‘tangkapan’ Densus 88 Mabes Polri juga memaparkan bahwa jejaring terorisme masih ada di Indonesia. Jejaring teroris ini masih menjadi ancaman bagi kekhusukan pembangunan nasional. Mereka terus berupaya mengguncang stabilitas sosial politik. Menebarkan perasaan takut pada publik dan menggerogoti konsentrasi negara dalam menjalankan amanah rakyat menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Hal ini membuka mata kita bahwa eksistensi jejaring terorisme merupakan ancaman terhadap keamanan manusia Indonesia secara keselurahan. Pada situasi inilah sebenarnya kepolisian dihadapkan pada tuntutan paling dasar dari kebutuhan hidup rakyat, yaitu keamanan manusia (human security). Amanat Kemanusiaan
Kepolisian merupakan salah satu lembaga negara yang diserahi sebagai pelaksana penetrative authority (wewenang memaksa) berdasar hukum positif oleh konstitusi negara demi kepentingan umum. Secara mendasar wewenang ini muncul dalam bentuk melakukan proses hukum pidana terhadap berbagai praktik yang mengancam kepentingan umum. Selanjutnya definisi implementasi konsep penetrative authority diserahkan pada Negara Gagal Mengelola Konflik 114
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 115
konteks bentuk negara. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, pada gilirannya harus mendefinisikan implementasi penetrative authority lembaga kepolisian melalui nilai dan norma demokrasi. Nilai dan norma demokrasi merupakan substansi dari sistem prosedural demokrasi yang merujuk pada kebebasan, kesetaraan, penghormatan, dan perlindungan terhadap berbagai kepentingan identitas. Substansi tersebut menurut Duncan McDuie-Ra dalam Civil Society, Democratization and the Search for Human Security (2009) merupakan bahan dari konsep keamanan manusia. Terutama berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, konsep keamanan manusia perlu diterjemahkan sebagai bagian dari fungsi kelembagaannya. Birokrasi pada bagian pelayanan publik, misalnya, menerjemahan nilai perlindungan ini dengan memberi pelayanan yang tidak rumit pada warga tanpa membedakan identitas atau statusnya. Pelayanan yang tidak rumit akan memberi kemudahan yang berdampak pada rasa aman warga. Pada konteks ini birokrasi telah menggunakan konsep keamanan manusia. Sama halnya lembaga kepolisian harus memasukkan konsep keamanan manusia yang terkadung di dalam nilai demokrasi pada implementasi penetrative authority-nya. Penetrative authority yang memiliki sifat memaksa harus dilaksanakan dalam koridor kesetaraan, penghormatan, dan perlindungan terhadap publik. Hal ini berarti lembaga kepolisian bukan hanya sekedar menjalankan fungsi legal formalnya. Namun juga menjalankan amanat kemanusiaan dengan mengimplementasikan keamanan manusia dalam penetrative authoritynya. Seperti dalam kaitannya dalam menangani ancaman-ancaman kejahatan terorisme. Semenjak terorisme masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pendekatannya mungkin tidak bisa didekati oleh hukum positif pidana semata. Sehingga dalam Negara Gagal Mengelola Konflik 116
konteks melawan terorisme, lembaga kepolisian harus mampu menerjemahkan penetrative authority secara kreatif, konsisten, dan memperhatikan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Pada dimensi ini tantangan terberat lembaga kepolisian adalah menerjemahan dimensi keamanan manusia, baik terhadap pelaku kejahatanan maupun korban (masyarakat). Beberapa kritik masyarakat sipil agar kepolisian mempertimbangkan aspek HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan salah satu tantangan ini. Ketika anggota teroris bisa ditangkap tanpa harus ditembak mati demi alasan hukum yang memanusiakan, kepolisian perlu mempertimbangkannya sebagai bagian dari implementasi penetrative authority yang berbasis pada keamanan manusia. Namun tentunya, dalam koridor demokrasi lembaga kepolisian juga memiliki hak memberi alasan-alasan mendasar dari setiap implementasi penetrative authority. Seperti kondisi yang tidak memungkinkan Densus 88 menangkap hidup-hidup anggota teroris karena ada perlawanan senjata. Atau alasan keamanan lingkungan masyarakat sekitarnya. Ketangguhan Lembaga
Usia sepuluh tahun demokrasi masih memasukkan Indonesia pada young democracy (demokrasi muda) yang dicirikan oleh proses perbaikan kelembagaan negara. Proses ini ditandai oleh dinamika konflik politik yang cukup eskalatif karena terjadi banyak silang kepentingan diantara elite dan kelompok. Berbagai konflik politik tersebut secara mendasar menjadi masalah tersendiri dalam proses pembangunan negara demokrasi Indonesia. Adrian Leftwich dalam Forms of the Democratic Developmental State (1998) mengingatkan negara-negara demokrasi muda bahwa tingkat konflik politik yang tinggi selalu hadir mengganggu proses pembangunan sosial ekonomi. Hal ini dikarenakan masih belum mapannya koalisi permanen dari Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 117
kekuatan-kekuapan politik. Lemahnya koalisi sering disebabkan oleh ketamakan elite-elite politik yang kepentingannya tidak terakomodasi oleh pemerintahan. Akibatnya lembaga-lembaga pemerintahan mengalami stagnasi atau bahkan degradasi fungsi idealnya. Pada konteks demokrasi Indonesia, kita melihat salah satu lembaga yang terpengaruh adalah lembaga kepolisian. Carut marut konflik internal yang membawa isu korupsi jelas menguras energi kepolisian. Merujuk pada teori Adrian Leftwich di atas, lembaga kepolisian bisa jadi bagian dari dampak konflik politik yang lebih besar. Tanpa mengabaikan pentingnya reformasi internal lembaga kepolisian, eskalasi konflik Susno Duadji versus Mabes Polri telah menyebabkan situasi lack of confidence (kepercayaan diri melemah) secara kelembagaan. Situasi ini bisa mereduksi secara kualitatif kinerja lembaga ini, termasuk dalam melaksanakan amanat kemanusiaan. Sehingga menjadi penting eskalasi konflik politik, termasuk kasus Susno Duadji, segera diselesaikan oleh dalam koridor hukum demokrasi. Saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan ketangguhan lembaga kepolisian dalam menciptakan keamanan manusia. Melalui analisis tulisan ini, pada kenyataannya lembaga kepolisian dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama menerjemahkan konsep keamanan manusia sebagai salah satu wujud nilai demokrasi kedalam implementasi penetrative authority-nya. Kedua menyelesaikan kemelut kasus Susno Duadji dalam koridor hukum untuk meningkatkan ketangguhan lembaga ini menghadapi berbagai tantangan keamanan manusia. Sehingga menjadi salah satu lembaga negara yang semakin kuat posisi pentingnya dalam mendukung dan memperlancar pembangunan nasional dari sisi realisasi keamanan sosial.* * Artikel ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, 17 Mei 2010. Negara Gagal Mengelola Konflik 118
Menyoal Makna Terorisme AKHIR-AKHIR ini kita dihantui ‘bom buku’. Ternyata hantu terorisme yang keluar dari pintu gelapnya pada aksi terorisme 11 September di World Trace Center (WTC) pada tahun 2003 masih berkeliaran sampai saat ini. Terorisme menjadi hantu menakutkan banyak negara-negara di seluruh dunia. Sampai saat ini terorisme masih menjadi bagian penting bukan saja dalam kaitan keamanan negara dari aksi terorisme, namun wacana terorisme tetap hangat dan diperdebatkan. Sebagian kalangan bahkan mengkritisi bahwa terorisme sesungguhnya bisa muncul secara variatif, karena terorisme bisa muncul melalui simbolisme keagamaan, sebagian lainnya melalui aktivitas perampokan, dan bahkan sebagian lainnya melalui aktivitas aktor-aktor kekuasaan negara. Meluaskan Makna
Semenjak tragedi WTC makna terorisme disempitkan menjadi aktivitas mereka yang di luar sistem normatif, bergerak di bawah tanah dan menenteng pistol atau bom kemana-mana. Bahkan akhir-akhir ini di Indonesia, terorisme seolah semakin disempitkan maknanya sebagai ancaman pada presiden semata. Penyempitan makna tersebut jelas mengaburkan terorisme lainnya yang bisa saja beraktivitas melalui posisi-posisi strategis dalam sistem normatif negara. Dimensi aktivitas terorisme mereka menjadi tidak terendus oleh kontrol moral publik. Kondisi ini mengharuskan publik meluaskan pandangannya bahwa prakDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 119
tek terorisme tidak hanya dilakukan oleh aktor non-negara yang di luar sistem normatif, tetapi juga oleh negara. Pemaknaan ini sama dengan pendefinisian terorisme oleh PBB (1992) yang menjelaskan bahwa terorisme adalah aktivitas menciptakan kondisi ketakutan luar biasa, baik oleh aktor non-negara maupun negara melalui cara kekerasan. Gerakan kelompok radikalis yang mengorganisasi diri untuk melakukan bom bunuh diri atau berencana membunuh presiden sudah jelas merupakan aktivitas terorisme. Mereka merupakan kelompok dari terorisme non-negara. Namun terorisme non-negara tidak boleh menghapus jejak terorisme negara. Karena terorisme negara lebih destruktif dalam mendisfungsi kemerdekaan dari tangan rakyat. Sebagaimana pendapat Igor Primoratz dalam Terrorism: The Philosophical Issues (2004) bahwa terorisme negara sesugguhnya lebih buruk moralnya dan lebih berbahaya daripada terorisme non-negara. Karena terorisme negara mampu bekerja secara lebih masif melalui wewenang dan struktur kekuasaannya, serta muncul dalam variasi kekerasan yang bisa tidak kasat mata. Primoratz juga mengkritisi bahwa kekerasan terorisme sesungguhnya tidak hanya dilihat melalui bentuk tindakan, seperti membunuh atau melukai. Namun bisa dilihat dari efek sistematis dari terorisme seperti kondisi ketakutan, keresahan, dan kematian. Jika demikian, korupsi misalnya bisa dikategorikan sebagai rangkaian praktek terorisme negara. Karena efek tindakannya tidak kalah dengan tragedi WTC atau Bom Bali. Lihat saja pada tahun 2009, berdasar pada beberapa laporan statistik hampir 12 juta anak putus sekolah, 5 juta bayi menderita gizi buruk yang ratusan ribu diantaranya meninggal dunia, serta sekitar 100 juta rakyat berpenghasilan kurang dari 18.000 rupiah setiap harinya. Saat ini mereka diradang keresahan atas naiknya harga kebuNegara Gagal Mengelola Konflik 120
tuhan pokok yang tidak terbeli oleh penghasilan itu. Ini semua adalah efek destruktif dari terorisme dalam bentuk ‘kekerasan korupsi’ yang merampok dana pembangunan di Indonesia. Mewaspadai Terorisme
Jika terorisme negara lebih tidak bermoral dan berbahaya daripada teroris non-negara, tentu publik juga harus mewaspadai setiap aktivitas negara. Secara sosiologis, negara beraktivitas melalui aktor-aktor kekuasaan yang menjalankan wewenang legal formal. Dari presiden sampai kepala desa, dari pejabat pusat sampai kepala dinas di daerah. Sehingga negara menjadi teroris atau tidak sangat dipengaruhi oleh watak dan kepentingan aktoraktor kekuasaan tersebut. Fakta buruknya, watak dan kepentingan banyak aktor kekuasaan berpotensi menciptakan rangkaian terorisme sistematis. Karena watak mereka yang tidak berempati pada kebaikan umum dan dihasrati kepentingan parsial. Watak dan kepentingan parsial tersebut bisa dilihat pada bagaimana para aktor kekuasaan di senayan terus berupaya menciptakan kebijakan yang meresahkan rakyat. Dari dana aspirasi ke rumah aspirasi yang intinya mengeruk uang negara hasil pajak rakyat. Terakhir ada rencana pembangunan gedung DPR baru yang nilainya sekitar 1.6 trilyun, pada saat kondisi riil ekonomi rakyat masih buruk. Selain itu, para pejabat negara saling lempar tanggung jawab ketika tabung gas menjadi mesin pembunuh rakyat kecil. Banyak kepala daerah berkongkalikong dengan pebisnis kotor untuk mengeruk dana pembangunan dan merusak alam. Sedangkan peraturan dari pusat sampai daerah diciptakan atas dasar kepentingan-kepentingan parsial tersebut. Akibatnya berbagai peraturan di negeri ini bukannya menjadi pondasi kemerdekaan yang memanusiakan manusia Indonesia. Sebaliknya menjadi peraturan yang meneror rakyat dengan segala kerumitan prosedural, dan selalu dimanfaatkan aparatur biDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 121
rokrasi untuk menodong sogokan dari rakyat. Bebas dari terorisme sesungguhnya bisa juga dimaknai terbebas dari rasa takut, terbebas dari kemiskinan, dan terbebas dari kebodohan. Namun pada kenyataannya masyarakat kita belum terbebas dari terorisme dalam maknanya yang lebih mendalam ini. Jika bangsa ini ingin menyelamatkan dirinya dari terorisme maka harus mampu membersihkan jejaring terorisme yang berkeliaran sebagai kelompok radikal maupun sebagai aktor-aktor negara. Panglima pemberantasan dua jenis terorisme tersebut idealnya adalah lembaga-lembaga hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Sayangnya kepolisian dan kejaksaan belum memiliki keloyalan pada penyelamatan kemerdekaan dari cengkraman terorisme. Sedangkan KPK pun terus dilemahkan daya tempurnya oleh jejaring terorisme dalam negara dan pebisnis kotor. Presiden harus mampu memberi harapan terbebasnya masyarakat dari terorisme dengan mendorong optimalisasi peran lembaga-lembaga tersebut.*
Radikalisasi Liberasime dan Terorisme TERORISME sebagai kejahatan luar biasa adalah salah satu ancaman nyata terhadap kehidupan dunia global. Dinamika ekonomi politik bisa mengalami goncangan yang tidak kecil dan mampu menciptakan rasa ketidakamanan pada masyarakat luas. Upaya-upaya menangani masalah terorisme sudah melibatkan berbagai kalangan di tingkat nasional dan internasional. Upaya-upaya komprehensif negara harus ditopang oleh kerjasama seluruh komponen bangsa dengan memperhatikan konteks lingkungan global yang menyebabkan kemunculan aksi terorisme yang saat ini menodai agama (Islam). Memahami konteks lingkungan global akan membantu menciptakan strategi kebijakan komprehensif untuk penanganan masalah terorisme oleh negara dan masyarakat. Gelombang Radikalisme
Radikalisme sebagai paham yang ingin merubah sistem secara drastis melalui kekerasan, dalam diskursus umum masyarakat saat ini, sering hanya disematkan pada kelompok-kelompok identitas keagamaan tertentu. Kondisi ini tidak lepas dari wacana dominan yang dikampanyekan negara-negara Barat tentang perang melawan terorisme terutama terhadap Usamah bin Laden dan Al Qaeda. Namun radikalisme sebagai pemahaman dan tindakan politik sering berlangsung pada berbagai gerakan sosial non keagamaan, seperti kelompok-kelompok sosialis Leninis FARC di Kolumbia atau Partai Komunis di Filipina. Negara Gagal Mengelola Konflik 122
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 123
Kelompok-kelompok sosialis Leninis tersebut menggunakan perlawanan senjata dan terror untuk menciptakan efek destabilitas politik. Lebih jauh lagi, radikalisme bukan saja merupakan paham dari aliran kelompok-kelompok minoritas semata namun juga di-praktikkan oleh kelompok mayoritas. Sosiolog Anthony Giddens (2009) melihat kelompok mayoritas ini merupakan pengemudi dari transformasi global yang membawa kepentingan-kepenti-ngan industri kapitalisme. Gelombang radikalisasi liberalisme global dilakukan oleh kelompok negara-negara industrialis maju dengan melakukan tekanan masif terhadap banyak negara berkembang dunia. Tekanan masif yang muncul sebagai paket sistem ekonomi politik liberal termasuk di dalamnya adalah demokrasi, pasar bebas, dan hak asasi manusia. Pada saat bersamaan tekanan masif ini dibersamai oleh dominasi modal ekonomi dan kekuatan militer yang mengontrol negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan keras, tekanan masif dan dominasi AS di seluruh bidang telah merusak identitas dan sistem asali Islam (syariat Islam). Isu-isu kebebasan dan kesetaraan sosial menjadi salah dimensi ideologis yang panas diperdebatkan dan ditolak oleh kelompok-kelompok Islam garis keras. Seperti peran kepemimpinan perempuan dalam politik, masalah homo seksual, dan gaya hidup keseharian. Isu ketidakadilan dalam tata kelola global (global governance) juga menjadi masalah yang sangat panas dan menjadi salah satu sebab fundamental lahirnya kelompok-kelompok radikalis dan teroris global. Seperti penindasan Israel pada Bangsa Palestina yang menyebabkan ratusan ribu korban jiwa termasuk perempuan dan anak-anak. Belum lagi ketertindasan politik dan identitas yang tidak mendapatkan pembelaan dari negara-negara Barat dan AS. Sebaliknya AS terus membantu Israel secara Negara Gagal Mengelola Konflik 124
politik dan persenjataan untuk menekan dan menindas banngsa Palestina. Kenyataan ini mendorong kelompok Islam garis keras ingin melakukan perlawanan melalui jalur perang (kekerasan) yang dijustifikasi oleh intepretasi teks suci Al Quran. Namun fakta tentang lemahnya dukungan dari pemeluk agama Islam untuk melakukan perlawanan pada AS-Israel melalui jalur kekerasan dan ketidakberimbangan kekuatan militer, menyebabkan kelompok Islam garis keras memilih cara kerja terorisme. Kelompok-kelompok agama (Islam) berhaluan moderat sebenarnya pun mengambil posisi kritis terhadap gelombang radikalisme global yang dikemudikan oleh negara-negara maju Barat. Namun respon kalangan ini hadir dalam wajah yang lebih diplomatis dan anti kekerasan. Anthony Giddens melalui buku klasiknya, Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics (1994) telah mengingatkan bahwa tekanan masif transformasi global yang tak terkontrol proses bergeraknya akan mendapatkan respon identitas dalam bentuk serangan balik melawan ‘ketidakpastian’. Radikalisasi liberalisme dan kapitalisme industri oleh kelompok negara-negara kapitalis maju menciptakan efek ‘manufactured uncertainty’, yaitu keadaan masyarakat yang mengalami ketidakpastian atas identitas yang utuh dan konkrit karena dinamika rumit dan penuh daya tekanan ekspansi industrialisme. Jika negara-negara dunia tidak mampu mengontrol gelombang radikalisasi liberalisme global, respon dari kelompok-kelompok identitas yang ingin mempertahankan atau melawan tekanan masif tersebut bisa muncul dalam serang-serangan membabi buta. Terorisme merupakan salah satu varian dari respon identitas tersebut Kebijakan transformatif
Kekerasan melahirkan kekerasan dan radikalisme melahirkan radikalisme adalah adigium popular dalam studi konflik. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 125
Aktor yang mampu mengontrol gelombang radikalisasi liberalisme global, seperti yang dinyatakan Giddens, adalah negara dan kebijakan-kebijakan trasnformatif humanistisnya. Yaitu kebijakan yang mampu mengarahkan kepastian perubahan sosial, membangun kesejahteraan dan keadilan sosial. Pada konteks keindonesiaan, negara belum berhasil sempurna dalam menciptakan kebijakan transformatif humanistis tersebut. Faktor penghalang seringkali berkaitan dengan visi dan komitmen kerakyatan para elite dalam struktur kekuasaan yang cukup lemah. Terutama para elite di lingkungan lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang tidak saja rendah kualitas profesionalismenya sebagai legislator, namun juga fenomena lepasnya prinsip representasi suara rakyat dari praktek politik mereka. Kasus terakhir kunjungan Anggota KomisiVIII DPR ke Australia menjadi bukti rendah kadar profesionalisme sebagai legislator. Email untuk menyerap aspirasi rakyat saja tidak punya. Pada sisi lain, berbagai kebijakan seperti studi banding dan pembangunan gedung baru yang menyedot dana besar adalah bukti terlepasnya para elite tersebut dari aspirasi rakyatnya. Seruan presiden pun bahkan diabaikan. Para wakil rakyat sebaiknya segera berbenah diri dengan meningkatkan profesionalisme dan mengambil posisinya sebagai representasi suara rakyat. Pada saat bersamaan pemerintahan eksekutif di bawah Presiden SBY harus mampu merumuskan kebijakan transformatif humanistis. Seperti kebijakan di bidang pendidikan yang menekankan aspek transformasi kesadaran anti kekerasan dan radikalisme, kebijakan pemantapan aspek hukum (UU tentang Anti Terorisme), dan kebijakan keamanan melalui pemberantasan sel-sel teroris oleh kepolisian. Satu kebijakan umum selain itu tentunya berkaitan dengan pembangunan sosial ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang sering
Negara Gagal Mengelola Konflik 126
menjadi ladang perekrutan anggota teroris.* * Artikel Radikalisasi Liberalisme dan Terorisme ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, 9 Mei 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 127
Konflik Horizontal dan Kekerasan KONFLIK kekerasan pecah sejak Rabu (2/8) diantara sesama warga Desa Pelauw Maluku Tengah, telah menyebabkan 6 (enam) orang tewas, belasan lainnya luka-luka, dan sekitar tiga ratus rumah hangus terbakar (Koran SINDO, 13/2/2012). Isu dalam konflik kekerasan diantara warga desa tersebut adalah ketidaksepakatan dalam menentukan tanggal peresmian rumah adat antara Salampessy Muka dan Salampessy Belakang. Ketidaksepakatan antara dua kelompok Salampessy kemudian diikuti oleh saling serang dan saling balas dari kedua kubu berseberangan. Eskalasi konflik kekerasan begitu cepat berlangsung yang menyebabkan aparat kepolisian menghadapi kesulitan berat untuk memadamkannya. Konflik-konflik horizontal yang diikuti oleh aksi kekerasan diantara kelompok-kelompok sosial masih sering terjadi dalam periode demokratisasi Indonesia selama periode tahun 20092012. Kekerasan sedemikian mudah dimanfaatkan untuk menangani konflik horizontal dari isu etnis, keagamaan, sampai golongan. Akibatnya sampai detik ini, bangsa Indonesia masih sering menghadapi realitas konflik kekerasan diantara kelompok sosial. Hal ini merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mentrasformasi penggunaan kekerasan menjadi penggunaan cara-cara damai dalam setiap realitas konflik sosial. Konstruksi Kekerasan
Kekerasan sebagai cara untuk menghadapi konflik-konNegara Gagal Mengelola Konflik 128
flik tertentu, secara sosial dikonstruksikan sebagai pengetahuan oleh anggota-anggota kelompok masyarakat. Sedangkan aspek psikologis seperti emosi adalah pemicu dalam mobilisasi cara kekerasan dalam dinamika konflik sosial. Masyarakat yang dalam lintasan sejarahnya pernah berlangsung banyak peristiwa kekerasan seperti perang sipil atau penindasan militer, cenderung memasukkan kekerasan sebagai pengetahuan yang mapan (stock of knowledge). Artinya dalam struktur kesadaran anggotaanggota masyarakat, kekerasan bisa saja dimaknai sebagai kebenaran atau dibolehkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Terutama pada situasi konflik yang melibatkan perbedaan kepentingan dan tujuan berbeda. Peran elite-elite sosial dalam mengkonstruksikan pengetahuan kekerasan sangat penting. Mereka memberikan persetujuan-persetujuan terhadap kekerasan sebagai cara yang diperbolehkan atau dibenarkan. Proses persetujuan berlangsung pada proses komunikasi intensif sehari-hari. Oleh sebab itulah pada masyarakat seperti di Ambon, Poso, Sampit, Papua, sampai Aceh yang memiliki sejarah kekerasan kolektif, sangat mungkin telah menjadikan kekerasan sebagai pengetahuan yang mapan dalam struktur kesadarannya. Alhasil dalam hubungan konflik horizontal tertentu, kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut telah mempersiapkan alat-alat kekerasan. Ini terbukti pada kasus di Desa Pelauw Maluku Tengah misalnya, ditemukan penggunaan panah, tombak, bahkan bom rakitan. Sehingga konflik kekerasan berlangsung secara cepat sekali. Menurut ilmuwan studi konflik Englander dalam bukunya Understanding Violence pengetahuan kekerasan dalam kelompok-kelompok masyarakat menciptakan dua model aksi kekerasan yaitu instrumental aggression dan hostile aggression (Englander, 2008, hal. 6). Instrumental aggression merupakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 129
mempertahankan pendirian atau memenangkan perebutan sumber daya tertentu. Instrumental aggression cenderung bersifat ideologis, hasil konstruksi yang terus menerus dalam suatu kelompok sosial. Cara-cara penggunaan kekerasan berada di dalam struktur kesadaran anggota kelompok secara mapan dan definitif operasional. Sedangkan hostile aggression merupakan serangan kekerasan yang dimobilisasi untuk melukai, menyiksa atau memusnahkan lawan. Pada kecenderungannya, hostile aggresion muncul ketika kelompok-kelompok berkonflik telah masuk pada fase saling balas dendam. Selain itu hostile aggression merupakan mobilisasi kekerasan yang diarahkan menciptakan zero-sum game dalam konflik-konflik tertentu. Pada konflik zero-sum game masing-masing pihak berkonflik mengabaikan kemungkinan cara-cara dialog dan saling memberi jalan keluar. Sebaliknya, kekerasan dimobilisasi untuk menang pada kelompok sendiri dan kalah pada kelompok lawan. Pada banyak kasus zero-sum game sering terjadi situasi kerusuhan sosial dan perang sipil diantara kelompok-kelompok berkonflik seperti kelompok etnis, agama, dan golongan. Kehancuran tatanan sosial, hilangnya nyawa, dan kerugian material biasanya menjadi efek yang tidak lagi dipikirkan. Oleh sebab itu banyak kasus konflik zerosum game, kedua kelompok berlawanan menemui kehancuran: pemenang jadi arang, dan yang kalah jadi abu. Kasus-kasus konflik kekerasan horizontal dalam masyarakat yang bersifat kolektif, yaitu dengan adanya pelibatan jumlah massa yang besar, dua cara agresi tersebut cenderung mengalami pembauran secara kompleks. Seperti pada kasus di Desa Pelauw, ketika masing-masing kelompok merasa perlu menggunakan kekerasan untuk mempertahankan atau memenangkan pendirian, penggunaan kekerasan bisa berubah tujuannya untuk melukai atau memusnahkan lawan setelah ada anggota yang menjadi korban. Negara Gagal Mengelola Konflik 130
Pada kondisi inilah bara kekerasan menjadi tidak mudah dipadamkan walaupun telah menurunkan 200 personel. Apalagi jika lembaga keamanan di Indonesia masih memiliki lemah kapasitasnya dalam sistem antisipasi konflik kekerasan sosial. Hal ini kemudian dipersepsi warga sebagai bentuk pembiaran adanya konflik kekerasan oleh lembaga kepolisian. Ketua Komnas HAM Maluku, Emmy Tahapary, menyatakan, “Ada faktor pembiaran karena baru menurunkan pengamanan pagi ini (Sabtu)” (Koran Tempo, 12/2/2012). Transformasi Holistik
Secara garis besar, proses kostruksi pengetahuan kekerasan berlangsung di atas dua kondisi spesik. Pertama berlangsung pada kondisi kemiskinan masyarakat. Kemiskinan yang ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi dan ketidakmampuan mengakses kebutuhan dasar manusia adalah kondisi yang sangat subur bagi konstruksi pengetahuan kekerasan. Karena masyarakat miskin mudah menjadikan kekerasan sebagai ekspresi luapan-luapan beban hidup. Kemiskinan yang masih belum terhapus atau tereduksi secara signifikan merupakan realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut laporan Indeks Kemiskinan oleh UNDP, kemiskinan Indonesia pada tahun 2011 masih di urutan ke-53 dari 103 negara dunia. Dalam urutan di Asia Tenggara, kemiskinan Indonesia bahkan masih berada pada di urutan tertinggi nomor ketiga setelah Myanmar. Laporan statistik yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada periode tahun 2011 kemiskinan diklaim turun secara signifikan. Pada Maret 2010 kemiskinan berjumlah 31.02 juta orang, dan pada Maret 2011 kemiskinan telah turun di angka 30.02 juta orang. Hal tersebut berarti kemiskinan turun sampai 0.84 persen. Laporan BPS tentang penurunan kemiskinan ternyata dianggap tidak valid oleh banyak kalangan. Hal Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 131
tersebut dilandaskan pada definisi kemiskinan absolut dan standart kemiskinan BPS yang sangat rendah sekali. BPS mengacu pada pengeluaran perkapita rata-rata sebulan 233.740 rupiah per kapita. Pertanyaan muncul, bagaimana sebuah seseorang bisa mencukupi kebutuhan dasarnya dengan uang sebesar itu? Pada laporan berita Kompas.com, Komisi XI DPR sudah mengusulkan standar kemiskinan dalam RAPBN 2012 harus mengacu pada angka 360.000 rupiah untuk setiap penduduk (Kompas.com, 2/7/2011). Akan tetapi pemerintah menurunkannya pada angka 233.000 rupiah yang perbedaannya cukup signifikan. World Bank pun memberikan standart pada kehidupan layak sebesar 2 dollar AS per hari atau sekitar 17.000 rupiah perhari. Terlepas dari debat tentang metode pengukuran dan definisi kemiskinan, fenomena yang menonjol dalam realitas keseharian bangsa ini masih ditemukan berbagai masalah kemiskinan. Ini merupakan kondisi yang menyuburkan konstruksi kekerasan. Kedua konstruksi kekerasan berlangsung pada kondisi masyarakat yang mengalami ketidakpastian budaya. Mereka kehilangan akar budaya lokal dan sekaligus tidak memiliki kepercayaan pada lembaga negara dalam penyelesaian konflik secara adil dan bermartabat. Ketidakpastian budaya inilah yang memberi lahan subur bagi proses konstruksi kekerasan sebagai cara-cara untuk menyelesaikan konflik sosial dalam masyarakat. Ketidakpastian budaya yang saat ini menjadi kondisi masyarakat bangsa Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Orde Baru. Politik otoriter Orde Baru antara tahun 1969-1998 telah membangun sistem politik sentralistis yang represif. Proyek sentralisme politik direalisasikan oleh sistem birokrasi terpusat yang dikontrol oleh kekuasaan dan pengawasan keamanan terhadap segala aktivitas sosial masyarakat. Rejim Orde Baru membangun birokrasi modern dari pusat sampai tingkat RT (RuNegara Gagal Mengelola Konflik 132
kun Tetangga) yang salah satu fungsinya adalah kontrol politik terhadap masyarakat. UU No. 5 Tahun 1979 merupakan istrumen hukum Orde Baru yang memberangus budaya lokal. Secara mendasar ada dua konsekuensi dari implementasi UU pemerintahan desa tersebut pada budaya dan politik lokal. Iswari memaparkan dua konsekuensi. Pertama, organisasi politik masyarakat adat tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat dan sistem politik nasional. Peraturan perundangan mendefinisikan desa hanya sebagai wilayah kehidupan yang berhak menyelenggarakan rumah tangga atau kehidupannya pribadi, namun bukan sebagai masyarakat hukum yang berhak mengurus dan mengatur kehidupannya sendiri. Kedua, landasan hak ulayat dan hak atas sumber kehidupan terhapus. Misalnya hak atas hutan yang dimiliki desa menjadi milik negara, pungutan atas kekayaan alam diambil alih oleh pemerintah daerah tingkat II/I dan sebagai pengganti desa diberikan apa yang disebut dengan uang Pembangunan Desa (Bangdes). Bangdes sendiri pada praktiknya menimbulkan masalah-masalah baru dalam masyarakat desa (Iswari, 2003). Sentralisme politik Orde Baru secara bertahap telah menghancurkan budaya-budaya lokal yang mengandung sistem politik dan kebijakan kelola konflik yang telah dibangun ratusan tahun. Pada saat bersamaan, birokrasi modern dan lembaga-lembaga negara seperti pengadilan dan kepolisian tidak menyediakan kualitas pelayanan yang mampu menangani masalah-masalah dalam masyarakat. Pengaduan anggota masyarakat tentang kasus pencurian ke kantor polisi seringkali tidak mendapatkan penyelesaian memuaskan. Sebaliknya korban sering harus mengeluarkan biaya tambahan agar laporannya bisa ditindaklanjuti polisi. Pada kasus-kasus perkelahian atau sengketa antara anggota masyarakat pun juga berlaku kondisi yang sama, siapa yang paling mampu membayar pada oknum polisi maka menjadi peDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 133
menang dalam konflik. Kualitas birokrasi pun sangat buruk dengan ditandai oleh perilaku korup dan feodalisme pejabat yang lebih berperilaku minta dilayani daripada melayani masyarakat. Masyarakat tercerabut dari budaya lokalnya dan sekaligus tidak bisa terintegrasi dalam sistem politik sentralistis yang korup dan buruk kualitas pelayanannya. Kondisi inilah yang disebut sebagai ketidakpastian budaya dalam masyarakat. Dua kondisi mendasar tersebut di atas, kemiskinan dan ketidakpastian budaya, merupakan realitas kekinian masyarakat Indonesia yang harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa. Pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan negara harus mengatasi masalah konstruksi kekerasan dalam masyarakat tersebut. Pemerintah harus mampu melakukan transformasi holistik dalam struktur kesadaran masyarakat, dari pengetahuan kekerasan menjadi pengetahuan yang mengutamakan cara-cara damai. Terutama pada wilayah-wilayah yang secara empiris memiliki tingkat kerentanan konflik kekerasan seperti di Aceh, Lampung, Sampit, Poso, Ambon, dan Papu. Pemerintah harus bekerja sungguh-sungguh melakukan transformasi holistik tersebut dengan memperlihatkan rencana kerja dan implementasi yang konsisten. Untuk mengatasi kondisi kemiskinan, kebijakan pembangunan pemerintah harus dirumuskan dan diimplementasikan benar-benar untuk kepentingan rakyat. Hasil-hasil pembangunan pun harus didistribusikan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan mengatasi kondisi ketidakpastian budaya, yang terkandung ketidakpercayaan pada negara, pemerintah bisa memulainya dari upaya peningkatan kapasitas kelembagaan negara seperti kepolisian, pengadilan, dan unsur kepemerintahan lainya agar mampu menyediakan mekanisme penyelesaian konflik sosial yang bisa dipercaya masyarakat.*
Negara Gagal Mengelola Konflik 134
Terorisme vs. Terorisme? ANCAMAN aksi terorisme dalam bentuk ledakan bom yang digembongi Nurdin M. Top merupakan ancaman besar terhadap keamanan di Indonesia. Aksi terorisme Nurdin M Top dkk. ini dapat dilacak jejaknya mulai dari Hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di Kuningan-Jakarta tahun 2004, tiga restoran di Denpasar-Bali tahun 2005, dan dua hotel di kawasan Mega Kuningan Jakarta, yakni JW Marriott dan The Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 (Kompas.com, 9/08/2009). Terorisme dipahami sebagai suatu kejahatan yang mengatasnamakan agama atau identitas dengan aksi melukai dan membunuh orang lain. Melalui ancaman ledakan atau serangan kekerasan yang dilakukan secara acak dan sulit terdeteksi. Benar dan wajib bahwa negara melalui lembaga kepolisian mendapat amanat memberantas habis terorisme sampai akar-akarnya. Namun benarkah cara kerja kepolisian tentang operasi keamanan bertajuk cipta kondisi tersebut? Dimensi Keamanan
Salah satu tujuan utama kerja lembaga kepolisian dalam negara demokrasi adalah menciptakan keamanan untuk rakyat. Ancaman keamanan bisa bermacam-macam, namun dibedakan dalam dua dimensi besar. Pertama keamanan umum yang berkaitan dengan ketertiban masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas sebagai warganegara. Seperti ketertiban lalu lintas, aksi tuntutan warga, dan partisipasi politik. Kedua adalah keamanan khusus yang berkaitan dengan aktivitas kelompok-kelompok Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 135
kepentingan yang mengancam tata kehidupan masyarakat dan negara. Seperti perlawanan senjata dari kelompok separatis dan aksi terorisme. Dua dimensi keamanan ini berbeda secara metodologis. Yang pertama menjadi lebih konvensional karena mengutamakan cara kerja normatif penegakan hukum dan terbuka di depan publik. Seperti penegakan aturan untuk menggunakan lalu lintas dan aktivitas demonstrasi warga. Informasi terbuka dari kepolisian malah perlu dibuka seluasnya berkaitan dengan norma hukum yang ada. Sebaliknya dimensi kedua ancaman keamanan tidak bisa dilakukan secara normatif dan terbuka di depan publik. Sehingga pada dimensi inilah kepolisian, dan juga militer, membutuhkan kerja khusus yang dilandaskan pada berbagai pertimbangan strategis. Bahkan jika harus keluar dari hukum positif yang memberi prosedur-prosedur khusus seperti cara menangkap seseorang atau kelompok. Untuk itulah Presiden SBY memberi pernyataan ketika Densus 88 membunuh mati pelaku terorisme bahwa kepolisian tidak melanggar HAM dalam memberantas terorisme. Hal ini memperlihatkan bahwa negara meminta rakyat memaklumi cara kerja tersebut mengingat kondisi yang tidak mudah berhadapan dengan ancaman dimensi khusus ini. Ketika konflik separatisme di Aceh masih terjadi, perlakuan khusus pun juga diberlakukan, seperti menciptakan berbagai operasi keamanan. Alasan suprematifnya adalah demi keamanan negara. Yang pada wajah lainnya sering mengabaikan keamanan manusia (rakyat). Rakyat diawasi, diancam, diinterograsi, dan dipaksa berperilaku serba grogi di depan aparat kemanan dan intelejen yang berseliweran kasat mata. Rasa tidak aman menjadi lebih sering hadir daripada rasa aman dari kehadiran aparat keamanan dan intelejennya. Perasaan ini bukan tidak mungkin terjadi pada masyarakat yang sedang menjalankan ibadah di Negara Gagal Mengelola Konflik 136
masjid. Tugas Intelejen
Keamanan adalah unsur fundamental menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa kondisi aman bisa dibayangkan kehidupan sosial politik yang carut marut, penuh adegan kekerasan, tanpa pembangunan, dan penderitaan sosial. Sebagaimana yang terjadi di Irak, Afghanistan, Palestina, Nikaragua, Checnya, dan negara-negara dengan masalah keamanan lainnya di dunia. Aksi bom bunuh diri di Riltz Calton dan JW Marriot bukan saja memakan korban nyawa baik orang asing dan orang Indonesia, kini aksi keji itu telah menyebabkan korban kultural. Kapolri telah mengumumkan operasi ‘cipta kondisi’ yang akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas kaum Muslimin selama bulan ramadhan ini. Terutama pada khotbah-khotbah di masjid. Beberapa kalangan menilai respon kepolisian tersebut berlebihan dan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan grogi orang Muslim. Bagaimana bisa tenang beribadah jika diawasi dengan tatap curiga dan penuh selidik oleh aparat keamanan? Mungkin saja perasaan terteror akan mengalami inkubasi di tubuh orang Islam di Indonesia akibat operasi ’cipta kondisi’.*
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 137
Bibliografi Debbaudt, Dennis. 2002. Autism, advocates and law enforcement professionals: Recognizing and reducing risk situations for people with autism spectrum disorders. London: Jessica Kingsley Publishers.
Rosenberg, Marshall. 2005. Speak peace in a world of conflict: What You Say Next Will Change Your World. New York : Puddledancer Press. Sen, Amartya. 2006. Identity And violence : The Illusion of Destiny. Allen lane book. Held, David. 2003. Global transformation. Cambridge : Polity Press.
Englander, Kandle, E. 2009. Understanding violence (2nd edition). UK: LEA
Media
Flannery, Daniel J., Vazsonyi, Alexander T., and Waldman, Irwin D. 2007. The Cambridge handbook of violent behavior and aggression, Cambridge : Cambridge University Press.
Kompas.com (9 Agustus 2009). Jatuh Bangun Noordin M. Top. Diakses pada 17 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/ read/2009/08/09/0612018/Jatuh-Bangun.Noordin.M.Top.
Jeong, Ho-Won. 2003. Peace and conflict studies : An introduction. England: Ashgate Publising Company.
Kompas.com. (2 Juli 2011). Batas Kemiskinan Versi BPN Naik. Diakses 25 Februari 2012 dari http://nasional.kompas.com/ read/2011/07/02/02154882/Batas.Kemiskinan.Versi.BPS.Naik
Leftwich, Adrian. 1998. Forms of the democratic developmental state. Oxford : Blackwell Publisher Iswari, Paramita. 2003. Dinamika pembaruan desa dan agraria: Pengalaman belajar di Sanggau, Garut dan Toraja. Makalah untuk Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara dengan tema “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat”, yang diselenggarakan KARSA bekerjasama dengan AMAN, Desa Tanjung, Lombok Utara – NTB, 20-21 September 2003. Magnani, Lorenzo. 2011. Understanding violence, the intertwining of morality religions and violence: a philosophical stance. Verlag: Springer. Ramsbotham, Oliver. 2010. Transforming violent conflict: Radical disagreement, dialogue, and survival. New York : Routledge. Negara Gagal Mengelola Konflik 138
Kompas.com (6 Februari 2011). 4 Orang Dikabarkan Tewas di Cikeusik. http://regional.kompas.com/read/2011/02/06/1320259 2/4.Orang.Dikabarkan.Tewas.di.Cikeusik. Kompas.com. (13 Februari 2012). FPI Tetap Akan Didirikan di Kalteng. Diakses pada 17 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/read/2012/02/13/16343391/Rizieq.FPI.Tetap.Akan. Didirikan.di.Kalteng. Kompas.com. (9 Maret 2011). Wadah tunggal advokat sulit direalisasikan. Diakses 18 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/ read/2011/03/09/0350424/. Kompas.com. (3 Januari 2012). 45 Kantor Polisi dirusak Massa Sepanjang 2011. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/03/09013 957/45.Kantor.Polisi.Dirusak.Massa.Sepanjang.2011. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 139
Tempo.co (14 April 2010). Resty, Mutia. Jenazah Mbah Priok Sudah Dipindah Sejak Tahun 1997.http://www.tempo.co/read/news/20 10/04/14/082240362/Jenazah-Mbah-Priok-Sudah-Dipindah-Sejak-Tahun-1997. Tempointeraktif. (12 September 2011) Tempo.co. (21/2/2012). Bentrok Tolikara Papua 11 Meninggal 201 Luka. http://www.tempo.co/read/news/2012/02/21/063385295/ Bentrok-Tolikara-Papua-11-Meninggal-201-Luka. Tempo.co, 13/2/2012 TribunNews. (24 Januari 2012). Kerusuhan pecah 60 rumah warga nbapa dibakar massa. http://www.tribunnews.com/2012/01/24/ kerusuhan-pecah-60-rumah-warga-napal-dibakar-massa.
Negara Gagal Mengelola Konflik 140
BAB IV
Konflik Politik dalam Pemilu & Pilkada
‘Conflict Governance’ Pemilu PEMILU 2004 adalah pengalaman yang mengesankan bagi bagi bangsa Indonesia. Asas luber dan jurdil bisa ditegakkan, pujian dunia internasional bagi demokrasi muda Indonesia, dan terutama tertutup rapatnya layar kekerasan. Tidak ada korban jiwa dan kerusakan fasiltas sosial. Bangsa ini berhasil dalam berdemokrasi melalui pemilu 2004. Namun apakah pemilu 2009 lebih baik dibanding pemilu 2004, dan berlangsung tanpa konflik kekerasan yang mengancam demokrasi damai bangsa? Gejala kekerasan bagi terbukanya layar kekerasan di pemilu 2009 sebenarnya sudah bermunculan. Paling tidak ada gejala kekerasan pemilu yang menonjol, yaitu konflik kekerasan yang muncul di pilkada (pemilihan kepala daerah). Bangsa ini terhenyak ketika pilkada di Tuban pada pertengahan 2006 diwarnai perilaku kekerasan massa pendukung partai dan kandidat kepala daerah. Sebagian gedung utama pemda dihancurkan dan dibakar. Kejadian amuk massa yang terjadi pada tanggal 29 April tersebut mengakibatkan Pendopo Bupati, Gedung Korpri, Kantor KPU, dan beberapa aset pribadi calon Bupati Heany Rini Widiastuti dibakar oleh massa. (Kompas,4/3/2011). Suasana damai dalam dunia sosial ekonomi sehari-hari ikut terganggu. Konflik kekerasan pilkada pun menjadi fenomena di daerah-daerah lainnya. Tengok saja konflik kekerasan pilkada baru-baru ini di Maluku Utara, dimana terjadi perselisihan dua kubu yang menyebabkan kota Ternate tidak kondusif, karena konflik tersebut dapat dengan mudah disulut untuk melakukan aksi anarkisme Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 143
karena adanya sengketa mengenai hasil pemungutan suara dari KPU Malut dan KPU Pusat.(Kompas, 21/6/2008) Perilaku kekerasan dalam konflik pilkada ini sebenarnya mencerminkan kondisi psikologis sosial masyarakat yang berada dalam keterpurukan. Keterpurukan sosial ekonomi akibat buruknya berbagai kebijakan negara tersebut menciptakan kegelisahan luar biasa dalam masyarakat. Lapangan pekerjaan yang sempit, hantaman kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, mahalnya akses pendidikan, dan kesenjangan sosial adalah berbagai faktor pembusuk kondisi psikologi sosial masyarakat. Suatu kondisi yang menciptakan fakta kegelisahan sosial dalam masyarakat miskin. Secara alami kegelisahan masyarakat miskin menyatu dalam modal sosial yang eksis dalam kehidupan mereka. Menjadi kekuatan gerak kolektif yang dekat dengan perilaku kekerasan. Karena menyatunya kegelisahan dan modal sosial adalah sensitivitas, kecurigaan, dan kemarahan di tingkat komunal. Elite politik sadar akan hal ini. Elite politik yang tidak siap menerima kekalahan pilkada dan berideologi konflik ‘rawe-rawe rantas malang-malang putung’ (contentious), menjadikan kegelisahan modal sosial dari masyarakat miskin sebagai instrumen bagi ideologi konflik contentious mereka. Conflict Governance
Pemilu 2009 pada dasarnya menghadapi fakta mengenai eksisnya kegelisahan modal sosial dari masyarakat yang terpuruk. Pada level analisis instrumentasi elite-elite politik yang tidak siap kalah dalam pemilu terhadap kegelisahan modal sosial bukan hal yang tidak mungkin. Hanya saja berbicara fakta yang berarti data-data empiris yang menjelaskan instrumentasi tersebut tidak akan mudah ditemukan. Apalagi negara saat ini belum memiliki mekanisme hukum mengenai pencarian fakta instruNegara Gagal Mengelola Konflik 144
mentasi kegelisahan modal sosial oleh elite-elite politik untuk menciptakan aksi kekerasan kolektif. Sehingga mudah bagi para elite politik menghindar dari tanggung jawab instrumentasi kegelisahan modal sosial tersebut. Berhadapan dengan kasus ini, negara ini membutuhkan lebih dari deklarasi damai partai-partai politik untuk pemilu. Deklarasi itu hanya bisa mengharapkan kualitas moral para elite politik tanpa norma yang jelas. Hal ini seperti bermain judi. Jika tidak beruntung, salah mengharapkan tebakan, kerugian akan segera dipanen. Begitu juga deklarasi damai partai-partai politik pun seperti judi. Karena deklarasi damai tersebut belum tentu mampu mengontrol moral politik elite partai. Untuk itu yang diperlukan hadir untuk menutup rapat layar kekerasan, setelah deklarasi damai parpol, adalah conflict governance. Conflict governance idealnya adalah mekanisme politik yang mentransformasi konflik yang tidak produktif, atau konflik kekerasan, menjadi konflik yang produktif. Konflik produktif mengartikan dirinya sebagai praktik negosiasi terus menerus dalam ruang politik yang mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi deliberatif dalam hal ini adalah fondasi yang paling tepat bagi conflict governance. Negosiasi yang berdiri di atas akal sehat, imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan, nir-kekerasan, dan aturan main legal. Undang-Undang
Untuk memulai ini, pemerintah sebagai pelaksana negara harus memiliki sistem conflict governance bagi pemilu 2009. Ada dua langkah penting berkaitan dengan program ini. Pertama mencari landasan hukum bagi conflict governance. Idealnya ada undang-undang tersendiri mengenai tata kelola konflik. Usulan masyarakat sipil mengenai keberadaan undang-undang tata kelola konflik harus segera direspon oleh negara. Ketiadaan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 145
landasan hukum ini menyebabkan tidak adanya prosedur jelas mengenai konflik publik, termasuk konflik pemilu. Walaupun demikian, sementara ini kebutuhan mendesak ini bisa ditangani dengan pemerintah menciptakan peraturan pemerintah mengenai conflict governance pemilu 2009. Level Kedua adalah menciptakan lembaga yang secara khusus menjalankan conflict governance. Unsur-unsur dalam lembaga conflict governance ini bisa disusun dari KPU, kepolisian, masyarakat sipil, dan partai politik. Mungkin sebagian kalangan berfikir bahwa pemilu 2009 bisa sesukses pemilu 2004. Akan tetapi perlu diingatkan bahwa pemilu 2004 dipengaruhi oleh tingginya harapan masyarakat pada hasil pemilu waktu itu. Fakta keterpurukan masyarakat akibat berbagai kebijakan pemerintah hasil pemilu 2004 bisa jadi menurunkan kepercayaan politik masyarakat. Selain itu fakta kegelisahan modal sosial adalah peringatan dini. Modal sosial seperti ini sangat mungkin menghadirkan konflik kekerasan baik melalui instrumentasi elite-elite politik maupun pergerakannya sendiri. Untuk itu conflict governance adalah sistem yang harus disiapkan oleh negara.*
* Artikel “Conflict Governance’ ini pernah dimuat di Harian Kompas, 15 Agustus 2008.
Negara Gagal Mengelola Konflik 146
Pemilu Tanpa Kekerasan DEKLARASI damai selama masa kampanye politik masih tetap relevan dan penting dalam konteks keindonesiaan. Karakter sosial masyarakat yang rentan aksi kekerasan, kapasitas aparat kepolisian yang belum optimal mencegah anarkisme massa, dan tata kelola konflik (conflict governance) yang belum terlembaga melalui perundangan untuk menjaga konflik kepentingan dari kekerasan. Sistem multi-partai jelas meningkatkan polarisasi sosial. Mobilisasi massa besar-besaran menghadirkan suasana persaingan politis yang rentan dengan gesekan-gesekan fisik. Ketegangan pun terbangun dalam ruang publik yang hiruk pikuk oleh yel-yel massa parpol dan raungan mesin kendaran bermotor. Situasi ketegangan pun mampu menciptakan modal sosial negatif yang ditandai oleh buruknya kepercayaan dan menguatnya kontak sosial eksklusif. Akibatnya kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung parpol tertentu cenderung melihat sikap dan perilaku orang di luarnya sebagai bagian dari mobilisasi politis yang mengancam. Singkatnya, persaingan selama musim kampanye pemilu 2009 telah meningkatkan ketegangan dan menciptakan modal sosial eksklusif. Dua kondisi yang menjadi kimia sosial dari terbentuknya kekerasan horizontal. Fakta ini mulai diperlihatkan melalui kericuhan di beberapa daerah selama awal kampanye terbuka pemilu 2009. Bahkan fenomena ini terjadi pada deklarasi pemilu damai parpol memasuki musim kampanye terbuka. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 147
Ketegangan Situasi
Kampanye terbuka secara sadar dimaknai oleh para pendukung parpol bukan sekedar sebagai sosialisasi program partai, namun juga sebagai arena persaingan kekuasaan. Setiap massa parpol merasa perlu menunjukkan pada khalayak umum dan rival politik bahwa kekuasaan mereka sangat besar dan kuat. Simbolisasinya bisa muncul dalam bentuk tindakan mobilisasi massa besar-besaran di ruas-ruas jalan. Pada parpol tertentu mobilisasi massa juga diikuti oleh aksi intimidasi seperti raungan sepeda motor, dan aksi paksa terhadap pengguna jalan umum untuk menyingkir dari ruas jalan. Ekspresi ketakutan mereka yang dianggap sebagai kelompok luar (out-group) adalah ukuran kekuasaan tersebut. Pada saat yang sama, orasi dan wacana elite-elite politik seringkali membangkitkan sentimen luar biasa terhadap parpol lainnya. Proses simbolisasi kekuasaan dalam bentuk tindakan dan wacana itu yang menciptakan ketegangan situasi selama masa kampanye. Persaingan dalam dimensi apapun faktanya selalu menciptakan ketegangan situasi diantara mereka yang terlibat. Sebagaimana proposisi Robert S. Agnew melalui Strain Theory and Violent Behavior (2007) bahwa terutama keterlibatan dalam persaingan-persaingan tertentu mampu mengakumulasi ketegangan dalam struktur kesadaran manusia di dalamnya. Akibatnya struktur kesadaran yang secara alami menyimpan bentuk-bentuk baku ideologi subyektif memiliki kerentanan dalam menciptakan sikap dan perilaku kekerasan. Hal ini karena ideologi subyektif mampu mereproduksi praktek judgment (penghakiman) dan blaming (penyalahan) yang bisa bertransformasi sebagai aksi kekerasan dalam situasi persaingan kekuasaan. Melalui dalil di atas selama massa kampanye pemilu 2009, sebagaimana pada pemilu-pemilu sebelumnya, aksi kekerasan Negara Gagal Mengelola Konflik 148
diantara massa dan simpatisan parpol selalu mungkin terjadi. Ketegangan situasi akibat simbolisasi kekuasaan pada masa kampanye pemilu mengalami peningkatan tajam. Biasanya ketegangan seperti ini mengalami titik kulminasinya pada akhirakhir kampanye. Norma Perdamaian
Deklarasi damai antar parpol dalam menyelenggarakan kampanye terbuka adalah kegiatan sosial yang bisa mendorong terciptanya perilaku nir kekerasan. Akan tetapi sejauh mana deklarasi tersebut memberi jaminan bahwa kekerasan horizontal dalam situasi persaingan kekuasaan bisa dicegah? Deklarasi merupakan produk konsensus kelompok-kelompok di dalamnya untuk mempraktekkan hal-hal yang disepakati. Sebagaimana deklarasi damai parpol yang berisi poin utama untuk menghindari aksi kekerasan. Beberapa norma perdamaian pun menjadi acuan bersama seperti saling menghormati dan menjaga kerukunan. Pada tingkat ideal dimana komitmen parpol cukup tinggi, pemilu 2009 bisa saja berjalan damai. Karena setiap parpol menjalankan norma perdamaian. Namun demikian, fakta yang paling menonjol dalam deklarasi damai parpol adalah bahwa norma perdamaian bukanlah produk obyektivasi sosial. Yaitu suatu norma yang telah melalui proses instalasi pelembagaan yang cukup lama dan mempunyai kekuatan sangsi. Norma perdamaian dalam deklarasi damai pemilu bersifat instan, muncul secara tiba-tiba, tanpa proses instalasi kelembagaan yang mendenifinisikan sangsi dan reward. Hal ini memberi kemungkinan bahwa norma dalam deklarasi damai pemilu tidak akan mampu menjadi regulasi sosial bagi perilaku nir kekerasan dalam pemilu. Pada saat bersamaan komitmen menjalankan norma perdamaian bisa saja lebih kecil dibandingkan dengan komitmen Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 149
mencapai kekuasaan. Kekuasaan adalah sumberdaya yang diperebutkan melalui berbagai cara. Pada sejarah masyarakat dunia, pencapaian kekuasaan oleh kelompok-kelompok kepentingan selalu mengabaikan nilai dan norma, bahkan terhadap norma yang terinstalasi kuat pun. Segala cara bisa ditempuh, termasuk penggunaan kekerasan. Situasi ketegangan akibat persaingan kekuasaan dalam masa pemilu ini tidak mungkin hanya ditangani oleh norma perdamaian yang instan. Sedangkan norma perdamaian untuk pemilu yang terinstalasi lembaga politiknya dengan seperangkat sangsi dan reward pun belum ada di Indonesia. Norma perdamaian dalam deklarasi damai parpol mungkin masih memiliki kesempatan untuk menciptakan perilaku nir kekerasan. Yaitu dengan memperkuat peran beberapa lembaga untuk mengintervensi berlakunya norma perdamaian. Lembaga itu adalah panwaslu (panitia pengawas pemilu) dan kepolisian. Panwaslu perlu jeli menggunakan beberapa aturan pemilu yang mendorong parpol untuk tidak keluar dari norma perdamaian. Seperti kandungan orasi parpol yang mungkin mereproduksi sentimen dan kebencian. Sedangkan aparat kepolisian bisa menggunakan aturan-aturan lalu lintas standart, seperti pelarangan pemotongan knalpot yang menyaringkan suara mesin motor. Selain itu aparat kepolisian harus memiliki strategi pemetaan potensi kekerasan horizonal di setiap wilayah sehingga mobilisasi aparat keamanan bisa dilakukan dengan cepat dan tepat. Menciptakan pemilu damai tanpa kekerasan horizontal adalah kerja bakti atau gotong royong bagi seluruh komponen bangsa. Karena kekerasan tidak pernah berkontribusi terhadap kebaikan sosial dan kesejahteraan. Sebaliknya kekerasan berkontribusi terhadap hadirnya kegagalan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu mencegah kekerasan horizontal Negara Gagal Mengelola Konflik 150
pemilu juga merupakan upaya menciptakan kesejahteraan sosial.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 151
‘Conflict Governance’ Sengketa Pilkada MAHKAHMAH KONSTITUSI (MK) memberi amar putusan pada sengketa pilkada Jatim dengan memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Serta penghitungan ulang di Kabupaten Pamekasan. Kubu Karsa dan Kaji menerima keputusan tersebut secara terbuka dan optimis. Sesungguhnya dari sengketa pilkada Jatim, kita menemukan fakta menarik yang menjadi ciri utama dari konsolidasi demokrasi. Yaitu hadirnya nir kekerasan politik. Pada kasus ini lembaga demokrasi bisa menjalankan fungsinya sebagai containment of violence. Walaupun proses politik belumlah usai, sengketa pilkada di Jatim bisa dijadikan model bagi demokrasi lokal di daerah-daerah lain dengan beberapa kritik. Conflict Governance
Sistem demokrasi sesungguhnya tidak hanya mengenai pemilihan umum semata. Demokrasi juga menjadi suatu sistem resolusi konflik damai melalui pelembagaan conflict governance (tata kelola konflik). Pelembagaan inilah yang saat ini sedang berproses dalam demokrasi di Jatim walaupun istilahnya tidak secara formal disebutkan. Pelembagaan conflict governance menyediakan tiga mekanisme. Yaitu mekanisme pengamanan, resolusi konflik, dan rekonsiliasi di setiap tingkat kepemimpinan grass root. Setiap mekanisme dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kompeten yang telah ada dalam struktur pemerintahan dan lembaga yang dibentuk secara ad hoc oleh berbagai kelompok Negara Gagal Mengelola Konflik 152
kepentingan terlibat. Seperti pada mekanisme pengamanan, aparat keamanan dalam hal ini lembaga kepolisian menjadi penanggung jawab utama. Untuk menjalankan mekanisme conflict governance, lembaga kepolisian perlu memiliki kualitas dalam memobilisasi aparat keamanan ke pusat-pusat dinamika konflik massa. Kepolisian juga harus memiliki kemampuan menilai dinamika konflik dalam masyarakat. Sehingga penanganan dini bisa segera diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan. Hal yang tidak kalah penting adalah kapasitas persuasi terhadap massa yang telah terbakar emosi dan siap menciptakan aksi kekerasan. Pada kasus di sengketa pilkada Jatim 2008, kita bisa memberi acungan jempol pada aparat kepolisian yang telah menjalankan mekanisme pengamanan dengan cukup baik. Mekanisme resolusi konflik memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi judicial settlement dan negosiasi untuk win-win solution. Mekanisme ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga demokrasi formal seperti KPU dan lembaga peradilan. Walaupun demikian mekanisme ini hanya bisa berjalan tatkala elite politik memiliki komitmen terhadap demokrasi. Hal menarik dari kasus sengketa pilkada Jatim, para cagub dan cawagub merupakan figur-figur elite yang selama ini berperan dalam demokratisasi di Indonesia. Terutama sekali Khofifah Indar Parawansa dari Kaji dan Syaifullah Yusuf dari Karsa. Sehingga mekanisme resolusi konflik ini bisa bekerja karena ada kepemimpinan yang menyadari pentingnya memanfaatkan mesin demokrasi. Mekanisme rekonsiliasi di setiap level kepemimpinan grass root merupakan proses sosial yang mendorong kerukunan lintas kelompok identitas massa pendukung. Idealnya mekanisme ini dijalankan oleh lembaga lintas kelompok, partai politik dan lembaga formal pemerintah seperti kepolisian dan KPU. Sayangnya mekanisme ketiga dari conflict governance ini belum diadopsi Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 153
dalam sengketa pilkada Jatim. Padahal aksi kekerasan massa grass root seringkali terlepas dari kemampuan kontrol para elite politiknya. Kesadaran massa akar bawah lebih banyak dipengaruhi oleh fanatisme kelompok daripada seruan elite politik. Sehingga elite politik dengan kesadaran demokrasi belum tentu menjamin bahwa kekerasan massa akar rumput bisa dicegah. Harapan kemenangan di tingkat massa grass root terhadap para figure elite politik seringkali merupakan refleksi kepentingan identitas kelompok. Kemenangan figur tertentu dianggap kemenangan kelompok identitas tertentu. Sehingga pada dasarnya massa grass root memiliki suatu proses tersendiri dalam memaknai sengketa pilkada yang tidak selalu bisa dikontrol oleh elite politiknya. Sehingga fakta sosiologis ini sangat sulit hanya ditangani oleh mekanisme pengamanan dan resolusi konflik. Sebenarnya mekanisme rekonsiliasi di setiap tingkat kepemimpian massa grass root menjadi katup penyelamat dari kekerasan politik. Sengketa pilkada Jatim belum selesai prosesnya dimana pencoblosan ulang bisa menimbulkan berbagai kemungkinan respon massa grass root. Sehingga kemungkinan kekerasan tetap menjadi tantangan bagi demokrasi lokal di Jatim khususnya dan bagi demokrasi Indonesia umumnya. Sengketa pilkada Jatim sebenarnya bisa dijadikan sebagai peletakan batu pertama model conflict governance dalam pilkada di Indonesia. Sehingga resiko demokrasi dalam bentuk pembiayaan tinggi tidak semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan politik.
memiliki kesadaran demokratis. Yaitu suatu kesadaran yang dibentuk oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kepercayaan hukum. Namun kita melihat secara umum di Indonesia kesadaran berpolitik masih diwarnai oleh budaya anarkis yang anti demokrasi. Budaya yang menolak perbedaan, menolak prosedur legal, dan praktek kekerasan sosial. Anarkisme politik akan mendekonstruksi fungsi lembaga demokrasi sehingga mengalami kemacetan fungsi. Baik di tingkat elite politik dan massa grass root kesadaran non demokratis masih mewarnai di setiap dimensi tindakan politik. Termasuk tidakan politik dalam pilkada. Salah satu kasus menonjol di tahun ini dari kesadaran non demokratis muncul dalam sengketa pilkada di Maluku Utara. Sehingga kekerasan politik pun tidak bisa dihindarkan. Sengketa pilkada di Sumatera Selatan juga masih melahirkan tindakan kekerasan politik di tingkat massa grass root. Menjadikan conflict governance sengketa pilkada Jatim sebagai model kelola konflik damai harus dimulai terlebih dahulu dari kesadaran demokrasi. Tanpa kesadaran demokrasi, mekanisme conflict governance hanya akan muncul secara prosedural. Kekerasan pun bisa saja tetap pecah ke permukaan.*
Kesadaran Demokrasi
Pondasi dari conflict governance dalam konteks pilkada damai adalah kesadaran demokrasi. Artinya mekanisme-mekanisme dalam conflict governance hanya akan berjalan efektif dan menjadi mesin perdamaian tatkala seluruh masyarakat Negara Gagal Mengelola Konflik 154
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 155
Paradigma Kekerasan dan Demokrasi AMUK para pengunjuk rasa yang menuntut pemekaran wilayah Tapanuli di DPRD Sumatera Utara pada 3 Februari lalu menambah daftar panjang kekerasan di Indonesia. Sebelumnya gerakan pemekaran wilayah pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota daerah lain Indonesia juga diwarnai oleh kekerasan massa. Hal ini seolah mengisyaratkan pada bangsa Indonesia bahwa kekerasan adalah masalah lain dari demokrasi. Secara umum masyarakat memahami demokrasi menjamin kebebasan setiap individu untuk berpendapat dan berekspresi. Walaupun demikian kebebasan tersebut bersyarat, yaitu mengikuti dan mentaati hukum yang mengatur tata cara berpendapat dan berekspresi. Termasuk dari aturan tersebut adalah tidak melakukan tindakan kekerasan dan mengganggu kepentingan umum. Namun melalui kasus amuk massa yang menewaskan ketua DPRD Sumatera Utara, bisa dirasakan ada kesenjangan pemahaman masyarakat mengenai kebebasan dan aturan hukum. Masyarakat tampaknya lebih memahami demokrasi sebagai kebebasan semata. Rasional dan Irasional
Pemahaman tentang demokrasi yang timpang tersebut mendorong berbagai kelompok elite untuk bebas melakukan berbagai strategi gerakan untuk meraih tujuannya. Aksi massa dan ketegangan sosial (social strain) adalah strategi yang kini sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok elite kepentingan di Indonesia untuk meningkatkan posisi tawar politik. James B. Rule Negara Gagal Mengelola Konflik 156
(1988) dalam bukunya The Roots of Civil Violence memilah dua akar kekerasan. Pertama adalah kekerasan sebagai produk kalkulasi rasional dan sebagai doktrin dari suatu kelompok. Kekerasan kategori ini biasa diciptakan oleh kelompok-kelompok politik untuk memenangkan kompetisi atau merebut kekuasaan. Kedua kekerasan sebagai produk irasional yaitu perilaku yang tercerabut dari tatanan normatif yang sering muncul pada situasi kerumunan. Kecenderungan sifat kerumunan massa adalah mental liar sesaat yang terlepas dari ikatan-ikatan normatif. Merujuk pada akar kekerasan Rule, pada kasus aksi massa di DPRD Sumatera Utara kekerasan bisa merupakan kombinasi antara kekerasan sebagai produk kalkulasi rasional dan irasional. Elite politik dalam kelompok kepentingan menyadari kekerasan akan mudah tersulut ketika konsentrasi massa dipadati oleh isuisu panas seperti sentimen kedaerahan, etnis atau agama. Sehingga kelompok elite membolisasi massa untuk menciptakan ketegangan dan kekerasan massa. Pada analisis ini sebenarnya massa adalah instrumen kelompok-kelompok elite menciptakan kekerasan. Sehingga posisi tawar kelompok elite dalam meraih kepentingan semakin tinggi dengan mendapatkan perhatian dan pertimbangan politik pemegang kekuasaan. Masalahnya adalah mengapa kelompok-kelompok elite kepentingan memiliki kesempatan menciptakan kekerasan? Tampaknya hal ini berkaitan dengan model kelola konflik negara terhadap berbagai gerakan sosial. Artinya hal ini berkaitan dengan sistem legal pemekaran wilayah dan kapasitas pengelola kekuasaan di legislatif dan eksekutif yang tidak compatible dengan konteks dinamika masyarakat. Berkaitan dengan isu pemekawaran wilayah, salah satu rujukan legal para pengelola kekuasaan adalah adanya dukungan dan aspirasi akar bawah. Akibatnya aspirasi pemekaran wilayah yang diusung tanpa melalui pengorganisasian massa tidak mendapatkan perhatian seriDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 157
us. Sehingga yang terjadi adalah mobilisasi massa besar-besaran setiap kali ada aspirasi pemekaran wilayah. Pada banyak kasus pemekaran wilayah di Indonesia, mobilisasi dan kekerasan menjadi bagian tidak terpisahkan. Melalui analisis ini, sesungguhnya negara dan kelompok elite kepentingan telah menciptakan paradigma kekerasan. Sedangkan rakyat hanyalah instrumen dari paradigma kekerasan tersebut. Demokrasi Lokal
Larry Diamond (2003) membuktikan bahwa 70% keberhasilan pelaksanaan demokrasi dalam menciptakan kesejahteraan dan perdamaian terjadi pada negara-negara dengan wilayah kecil. Hal ini karena semakin kecil wilayah kekuasaan maka semakin mungkin keikutsertaan warga dalam mengelola prosesproses politik dan pembangunan. Masyarakat bisa andil dalam memusyawarahkan kebijakan secara langsung. Sehingga kebutuhan masyarakat sangat mungkin terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Kasus di Kota Porto Alegre Brasil bisa menjadi rujukan kasus ini. Kota di salah satu negara Amerika Latin tersebut berhasil menciptakan berbagai kebijakan yang merefleksikan kebutuhan rakyat karena keterlibatan langsung warga mungkin dilaksanakan. Hal ini akan sulit terjadi pada wilayah dan populasi yang besar. Fakta empiris dan tinjauan teoritis pelaksanaan demokrasi tersebut sebenarnya bisa dijadikan sebagai referensi pembuatan kerangka legal pemekaran wilayah di Indonesia. Pengertian pragmatisnya bahwa setiap aspirasi pemekaran wilayah adalah bagian dari upaya pelaksanaan demokrasi yang paling efektif bagi masyarakat. Sehingga sangat aspirasi pemekaran wilayah yang muncul perlu direspon dan dibahas oleh pengelola kekuasaan tanpa perlu menunggu mobiliasi massa dan kekerasan. Negara Gagal Mengelola Konflik 158
Persoalan aspirasi pemekaran wilayah mendapatkan persetujuan atau tidak harus dilandaskan pada ukuran-ukuran legal dan hasil negosiasi politik damai. Ukuran-ukuran legal seperti kapasitas ekonomi daerah pengusul dan kesiapan administrasi wilayah tingkat propinsi atau kabupaten/kota harus menjadi realitas obyektif yang diterima oleh seluruh pihak. Bersamaan dengan kerangka legal tersebut adalah ruang politik inklusif yang memungkinkan kelompok-kelompok kepentingan menegosiasikan aspirasi mereka terhadap kekuasaan. Kita masih sering menemui kasus para pengelola kekuasaan seperti di legislatif dan eksekutif tidak menyediakan ruang politik ini. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kapasitas dan keahlian negosiasi yang rendah dalam menghadapi komplain kelompok-kelompok sosial. Pada isu inilah penting bagi negara meningkatkan keahlian negosiasi dalam mengelola komplain dan aspirasi berbagai kelompok kepentingan masyarakat. Proses di atas perlu mendapat perhatian negara jika ingin menghapus paradigma kekerasan dalam berdemokrasi di Indonesia. Proses ini perlu dilakukan secara sistemik dengan mengikuti perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebenarnya banyak kalangan internasional menilai demokrasi Indonesia walaupun sangat muda namun kualitasnya telah meninggalkan jauh negara-negara lain di Asia Pasifik. Jangan sampai pujian internasional ini ditarik kembali dengan maraknya kasus kekerasan dalam demokrasi Indonesia.*
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 159
Prahara Pilkada Sumatera Selatan KEMBALI bangsa ini disuguhi kisruh pilkada. Kali ini giliran pilkada gubernur di Sumatera Selatan. Pendukung Syahrial Oesman menuding ada penggelembungan suara di Kabupaten Musi Banyuasin. Yang mengakibatkan kemenangan tipis Alex Noerdin. Aksi kekerasan massa Syahrial di kantor KPUD provinsi menggelombang tanpa bisa dicegah lagi. KPU Sumsel pun tanpa grogi tetap mensyahkan Alex Nurdin sebagai pemenang. Kisruh pilkada disertai kekerasan sedemikian sering terjadi di Indonesia. Pada konteks ini, salah satu tujuan utama demokrasi untuk menekan habis kekerasaan (containment of violence) ternyata masih belum tercapai baik. Hal ini bukan perkara usia demokrasi semata. Namun imbas dari belum berhasilnya transformasi demokrasi di tingkat nilai dan kelembagaan. Kegagalan Transformasi
Kegagalan transformasi demokrasi tersebut diakari oleh dua kutub dekonstruktif, yaitu kutub bad governance lembagalembaga demokrasi dan pelembagaan anarkisme politik warga. Kutub bad governance akan mendekonstruksi kepercayaan politik warga. Hal ini berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia, seperti KPU, masih berjalan pada dimensi formalitas. Penuh dengan seabreg prosedur dan laporan kerja. Namun miskin tata kelola demokratis (democratic governance), sehingga tidak terbentuk kualitas proses pelaksanaan misi lembaga. Para agensi lembaga Negara Gagal Mengelola Konflik 160
demokrasi ini sering merujuk pada bukti resmi untuk mengklaim sudah tercapainya democratic governance. Masalahnya, kualitas tata kelola demokratis tidak cukup hanya dibuktikan oleh setumpuk dokumen yang memperlihatkan bahwa pelaksanaan sudah partisipatif, terbuka dan efisien. Namun harus dibuktikan oleh hadirnya praktek berkelanjutan institusional dari democratic governance. Praktek institusional berkelanjutan dari democratic governance tidak berorientasi pada pelaporan formal. Melainkan pada sejauh mana praktek kelembagaan bisa menciptakan keseimbangan antara fungsi ruling (mengatur) dan fungsi accommodating (mengakomodasi). Pada fungsi mengatur, lembaga demokrasi dan warga dihubungkan oleh hukum. Warga menyerahkan pelaksanaan kebijakan kepada lembaga demokrasi berdasar pada kepercayaan penegakaan hukum. KPUD, misalnya, melalui fungsi ini mendiskualifikasi calon gurbernur. Juga mensyahkan atau mengeliminir hasil pilkada. Akan tetapi KPU tidak bisa hanya menjalankan fungsi mengaturnya ketika warga menolak beberapa pelaksanaan kebijakan. Pada dimensi inilah fungsi mengakomodasi harus diaktivasi. KPU tidak bisa menolak aspirasi warga ketika pelaksanaan kebijakan sebagai fungsi mengaturnya dianggap tidak akuntabel. Di sini fungsi akomodasi memiliki tugas sebagai pengelolaan konflik yang membantu penemuan pemecahan masalah. Tatkala terjadi pengabaian terhadap fungsi akomodasi oleh KPUD Sumsel misalnya, pada saat itulah terjadi disbalensi democratic governance. Bisa dipastikan disbalensi ini menciptakan kekecewaan dan erosi kepercayaan politik warga. Karena warga merasakan adanya arogansi lembaga demokrasi seperti KPU, yang hanya menjalankan fungsi mengaturnya. Dengan tidak hadirnya fungsi akomodatif yang juga menjadi pelembagaan pengelolaan konflik maka aksi kekerasan adalah keniscayaan. Konflik yang Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 161
tidak terlembagakan memiliki kecenderungan mengambil bentuk kekerasan. Masalah kritisnya; kondisi disbalensi democratic governance ini merata di pusat dan daerah. Anarkhisme Politik
Sedangkan kutub anarkisme politik adalah pelembagaan nir-toleransi, anti prosedur legal, dan kekerasan oleh warga. Ini adalah kelembagaan bad citizenship. Anarkisme politik akan mendekonstruksi fungsi lembaga demokrasi sehingga mengalami kemacetan fungsi. Idealnya istilah warganegara merujuk pada kesediaan warga mengikuti dan memanfaatkan kelembagaan demokrasi. Bersedia mengikuti aturan main tanpa aksi kekerasan. Suatu ideal dari democratic citizenship. Faktanya democratic citizenship masih belum terbentuk baik di Indonesia. Sebaliknya masyarakat melembagakan anarkisme politik. Sehingga ketidakpuasan dan protes terhadap pelaksanaan pilkada di daerah-daerah hampir selalu diwarnai oleh aksi kekerasan dan perusakan gedung. Pelembagaan anarkisme politik tidak lepas dari disinternalisasi nilai-nilai demokrasi seperti kesetaraan dan dialog. Disinternalisasi ini paling mungkin dilakukan oleh elite-elite politik yang memiliki struktur hubungan khusus dengan masyarakatnya. Sudah menjadi kondisi sosial bahwa selalu saja ada elite politik yang hanya ingin mempertahankan dan meningkatkan kuantitas massa pendukung. Tidak merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan politik demokrasi pendukungnya. Pada saat bersamaan, sebagian pola hubungan elite dan massa di Indonesia dibentuk oleh primordialisme dan kultusisme. Dimana primordialisme dan kultusisme adalah pondasi psiko sosial dari tindakan kekerasan. Sehingga tatkala kekecewaan elite politik yang tidak siap kalah ditransmisikan terhadap massa pendukung, anarkisme politik massa menggelombang. Menerjang prosedur Negara Gagal Mengelola Konflik 162
legal dan melakukan aksi kekerasan tanpa toleransi terhadap lembaga demokrasi. Membicarakan jalan keluarnya, dua kutub dekonstruktif terhadap transformasi demokrasi sendiri bukan merupakan hubungan sebab akibat yang linear. Seperti pilihan ‘telur dulu atau ayam dulu’. Namun pilihan antara telur dan ayam adalah masalah posisi. Artinya setiap agensi di dua kutub ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan transformasi demokrasi. Misalnya, KPU perlu menjalankan democratic governance dan kelompok politik harus membentuk democratic citizenship. Sehingga menciptakan hubungan sebab akibat yang kreatif dan konstruktif. Hanya melalui cara inilah demokrasi akan memiliki kapasitas menekan habis kekerasan tanpa menggunakan pendekatan keamanan tradisional.*
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 163
Surplus Kekerasan Lokal KEKERASAN masih menghantui kehidupan bersosial politik di era demokrasi Indonesia. Kekerasan merasuki kesadaran para elite politik, para pendukungnya, dan berbagai kelompok sosial lainnya. Sehingga kekerasan sering digunakan untuk memperjuangkan kepentingan. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus kekerasan proses pilkada di Mojokerto, Jawa Timur. Jawa Post melaporkan 33 mobil hancur, sepuluh anggota polisi terluka, dan beberapa bagian gedung pemerintah dibakar dalam aksi tersebut (JP, 22/5/2010). Hal ini membawa pada kenyataan pahit bahwa bangsa ini masih ‘surplus kekerasan’. Kekerasan hadir dari pojok timur sampai pojok barat Indonesia. Kondisi surplus kekerasan ini menjadi krusial untuk disingkap, mengapa dan bagaimana bisa terjadi dalam negara yang sudah mengadopsi demokrasi. Tingkat Lokal
Bila diamati dengan seksama berbagai kekerasan di era demokrasi ini seringkali pecah di tingkat lokal, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kekerasan tersebut mengambil beberapa isu diantaranya sengketa pilkada, pemekaran wilayah, sampai kekerasan konflik industri. Beberapa kasus kekerasan sengketa pilkada adalah kasus pilkada bupati Tuban tahun 2006, pilkada gubernur Maluku Utara tahun 2007, sampai pilkada gubernur di Jambi tahun 2009. Kekerasan yang mengambil isu pemekaran wilayah pecah di Mamasa Sulawesi Barat, Musi Rawas Sumatera Selatan, Tapanuli Utara Sumatera Utara, sampai Jaya Wijaya Papua. Kasus terakhir kekerasan konflik industri Negara Gagal Mengelola Konflik 164
terjadi di Batam pada bulan April 2010, dan pada bulan yang sama kekerasan konflik lahan terjadi di Koja Jakarta. Fenomena tersebut menandakan bahwa pada era demokrasi, eskalasi kekerasan subur di tingkat daerah. Tengok saja gelombang protes tingkat nasional seperti gerakan anti korupsi, tolak kriminalisasi KPK, sampai demonstrasi buruh tingkat pusat pada awal tahun ini. Gerakan protes tersebut tidak menyebabkan eskalasi kekerasan yang signifikan. Fenomena ‘surplus kekerasan’, meminjam istilah John Kean (2004), sebenarnya menjadi kritik sebagian kalangan terhadap demokrasi lokal. Demokrasi lokal tidak saja menyediakan kesempatan melakukan partisipasi secara langsung dalam proses politik dan pembangunan. Namun secara sosiologis, demokrasi juga mendorong kepercayaan diri berlebihan setiap kelompok tertentu untuk memobilisasi berbagai cara dalam mencapai kepentingannya. Kepercayaan diri itu diakari oleh tafsir kebebasan yang berlebihan (euphoria). Sehingga mampu membutakan kesadaran kelompok kepentingan terhadap aturan main yang terlembagakan dalam demokrasi. Kondisi tersebut menurut John Cameron (2009) bisa menciptakan perilaku pengabaian pada sistem (disobedience to system) yang mana kelompok-kelompok kepentingan lebih memilih caranya sendiri di luar aturan main demokrasi. Kecenderungan perilaku disobedience to system adalah aksi vandalisme, anarkhisme, dan kekerasans. Perilaku mengabaikan sistem tampaknya sering terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi lokal Indonesia. Pada kasus kekerasan pilkada Bupati Mojokerto, kelompok pendukung salah satu calon yang gagal masuk verifikasi KPU Mojokerto telah mengabaikan aturan main demokrasi. Salah satu poin penting dalam demokrasi dalam menyelesaikan konflik kepentingan adalah jalur lobi negosiasi dan judisial. Kelompok calon bupati bisa meminta proses negosiasi untuk memperjuangkan kepenDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 165
tingannya. Jika jalur lobi negosiasi dianggap tidak mampu memecahkan sengketa, maka jalur judisial bisa dilakukan. Sebenarnya UU N0. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum telah menyediakan aturan main dalam proses negosiasi dan yudisial. Jika kasus kekerasan di Mojokerto dipicu oleh isu bakal calon yang tidak lulus verifikasi, maka kasus tersebut masuk dalam sengketa proses pilkada. Berdasar pada UU No. 22 Tahun 2007, sengketa proses pemilu bisa diproses melalui lobi negosiasi maupun proses yudisial dengan melibatkan Pengawas Pemilu. Namun perilaku disobedience to system tampaknya sudah terlanjur akut. Sehingga tindakan kekerasan menjadi pilihan yang dianggap paling rasional. Masalah Kepercayaan
Namun pengabaian terhadap sistem dalam kehidupan berdemokrasi tidak hanya disebabkan oleh eforia tafsir kebebasan. Pada konteks pelaksanaan demokrasi lokal tertentu, pengabaian terhadap sistem juga disebabkan oleh masalah kepercayaan. Yaitu kepercayaan terhadap berjalannya aturan main oleh penyelenggara wewenang dalam pemerintahan menjadi faktor selanjutnya dari terbentuknya disobedience to system dari berbagai kelompok kepentingan. Buruknya pelaksanaan kepemerintahan dari tingkat pusat dan daerah merupakan kondisi yang sudah dipahami oleh publik. Menurut James Manor dalam The Search for Balance (1998), dalam kasus negara demokrasi muda, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana sistem wewenang pemerintahan disebabkan oleh penyakit kronis kelembagaan seperti tingkat korupsi yang tinggi, lambannya proses pelayanan publik, dan praktik klientelisme. Jika dilihat pada kasus di Indonesia secara umum, dan khususnya tingkat daerah, penyakit kronis kelembagaan tersebut masih belum tersembuhkan. Sehingga bisa diNegara Gagal Mengelola Konflik 166
makfumi kepercayaan publik terhadap penyelenggara wewenang pemerintahan sangat rendah. Termasuk pada kasus Mojokerto, pendukung calon bupati yang gagal masuk verifikasi mungkin tidak mempercayai penyelenggara KPU Mojokerto. Karena kenyataanya masih banyak pemberitaan mengenai penyakit kelembagaan KPU di berbagai daerah. Seperti kasus tentang pendataan daftar calon pemilih di Pilwali Surabaya yang bermasalah dan diduga bagian dari efek klientelisme. Ketidakpercayaan tersebut menciptakan disobedience to system yang diikuti aksi kekerasan. Fenomena disobedience to system dari berbagai kelompok kepentingan jelas tidak hanya terjadi di Mojokerto, namun merata di berbagai daerah Indonesia. Sehingga kekerasan demi kekerasan masih membayangi demokrasi lokal. Berdasar pada analisis ini, ada dua rekomendasi fundamen yang harus dilakukan dalam menangani masalah disobedience to system berkaitan dengan proses pilkada. Pertama, pemerintahan harus aktif melakukan pendidikan demokrasi sebagai upaya memupuk kesadaran mengenai kebebasan yang harus sadar pada aturan main. Pada saat bersamaan pemerintah harus mempersiapkan sistem keamanan yang kuat sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan aksi kekerasan dalam proses pilkada. Kedua harus dilakukan pembenahan kelembagaan pemerintahan, dalam kasus ini KPU, sehingga meningkatkan kepercayaan publik untuk mempercayai pelaksanaan aturan main yang sudah ada. Dua langkah tersebut paling tidak akan mereduksi surplus kekerasan tingkat lokal di Indonesia.* * Artikel Surplus Kekerasan Lokal ini pernah dimuat di Jawa Pos, 24 Mei 2010.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 167
Kolektivisme dan Kekerasan Pilkada KONFLIK kekerasan di Papua dalam arena pemilihan pemimpin politik di tingkat otonomi daerah kabupaten/kota kembali memberi warna kelam pada pilkada 2011. Diberitakan oleh media bahwa konflik kekerasan pilkada Papua yang terjadi di kabupaten Puncak Jaya, Pinai, dan Tanjakan Gunung Merah telah menyebabkan korban tewas 19 orang (Tempointeraktif, 1/8/2011). Isu yang menjadi pemicu konflik kekerasan tersebut adalah pencabutan dukungan dari ketua partai Gerindra terhadap salah satu kandidat bupati. Akibatnya kekecewaan muncul dalam bentuk mobilisasi massa pendukung kandidat bupati dengan aksi kekerasan terhadap massa lain. Pilkada yang berlangsung pada tanggal 31 Juli 2011 di Kabupaten Puncak Papua tersebut akhirnya berlangsung ricuh dan menyebabkan korban tewas 23 orang. Kejadian ini dipicu karena adanya penolakan dari KPUD setempat yang menolak adanya dualisme calon bupati dari partai yang sama. Hal ini yang membuat massa pendukung dari salah satu calon yang ditolak oleh KPUD akhirnya menyerang calon bupati dari partai yang sama dan diakui oleh KPUD. Kedua massa pendukung dari masingmasing calon saling serang dan membuat kerusuhan yang terjadi semakin parah sehingga menimbulkan korban tewas dari kedua belah pihak. Dengan segera, kejadian ini langsung merebak ke wilayah lainnya, sehingga kerusuhan semakin melebar dan tidak terkendali.(KOMPAS, 18/3) Isu, model mobilisasi masa, dan akibat konflik kekerasan Negara Gagal Mengelola Konflik 168
pilkada di Papua bukan merupakan fenomena baru dalam pelaksanaan pilkada di daerah-daerah Indonesia. Pada konteks masyarakat rentan konflik di daerah-daerah Indonesia, pilkada seringkali diwarnai konflik kekerasan. Sayangnya, konteks masyarakat rentan konflik dalam pilkada tidak diikuti oleh negara dengan penanganan sistematis faktor sosiologis konflik kekerasan. Sehingga sering terjadi eskalasi kekerasan yang menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan korban jiwa dalam proses pelaksanaan pilkada di daerah-daerah. Kolektivisme Konflik
Konflik berarti terciptanya perbedaan kepentingan diantara kelompok-kelompok sosial dalam memperebutkan sumberdaya terbatas tertentu yang ditandai oleh mobilisasi gerakan. Mobilisasi gerakan konflik memiliki tujuan meraih sumberdaya terbatas seperti posisi kekuasaan, harta, dan kekayaan alam. Pada dimensi konflik masal atau antar kelompok sosial, setiap gerakan konflik selalu membutuhkan kolektivisme berupa identitas, keyakinan definisi siapa pihak lawan dalam konflik, serta kepemimpinan dalam kelompok (in-group). Sehingga pada konteks pilkada yang berkaitan dengan kontestasi perebutan kekuasaan, konflik yang muncul di dalamnya seringkali dibersamai oleh polarisasi kepentingan untuk meraih sumberdaya dalam bentuk posisi kekuasaan yang diperjuangkan melalui gerakan kolektivisme konflik masing-masing kelompok. Konflik merupakan realitas yang alamiah dalam dunia masyarakat manusia. Namun bagaimana gerakan konflik kelompok-kelompok sosial memilih cara untuk menyelesaikan dan mengakhiri konflik sangat dipengaruhi oleh model kolektivisme. Paling tidak terdapat dua kutub berlawanan dari model kolektivisme, yaitu kolektivisme inklusif dan eksklusif. Pada kolektivisme inklusif, individu-invidu yang menjadi anggota dalam Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 169
suatu kelompok bisa berkomunikasi secara terbuka dengan praktik dialog dan negosiasi atau mekanisme yudisial. Identitas cenderung lentur, dan hubungan dengan pemimpin tidak bersifat imperatif namun diskursif. Sehingga proses mendefinisikan siapa lawan dalam konflik sering berlangsung secara hati-hati dalam proses analisa kolektif. Kolektivisme inklusif ini cenderung hadir dalam masyarakat perkotaan menengah ke atas yang mapan secara ekonomi dan berpendidikan. Sedangkan kolektivisme eksklusif, individu-individu anggota menghindari berkomunikasi secara terbuka dalam dialog dan negosiasi dengan kelompok-kelompok lain. Identitas merupakan definisi yang mutlak sebagai kebenaran, yang memandang kelompok lain dalam posisi salah atau buruk dari kerangka persepsi kelompok. Hubungan individu anggota dan pemimpin adalah imperatif yang bisa juga pada level represif. Sehingga siapa yang dipandang lawan dalam konflik seringkali ditentukan oleh proses instruksional pemimpin. Sekali pemimpin menyebut kelompok tertentu sebagai musuh, maka seluruh anggota akan melakukan mobilisasi gerakan konflik melawan kelompok tersebut. Sehingga menurut Korotelina dalam Identity Conflicts (2009), pada kecenderungannya, kolektivisme eksklusif lebih memilih konfrontasi dan cara kekerasan yang menolak komunikasi terbuka. Kolektivisme ekslusif biasanya masih kuat dalam masyarakat yang tidak mapan secara ekonomi (miskin) dan kurang terdidik oleh pendidikan modern. Seharusnya konflik kekerasan pilkada di Papua akhir bulan Juli lalu, sudah bisa diprediksi pemerintah. Masyarakat Papua sampai detik ini masih kuat dengan kolektivisme eksklusifnya. Berbagai kelompok etnis di dalamnya cenderung menutup komunikasi terbuka dan memilih cara kekerasan dalam konflik berbagai dimensi, termasuk konflik pilkada. Sayangnya, belum ada penanganan serius terhadap masalah kolektivisme ekskluNegara Gagal Mengelola Konflik 170
sif ini oleh pemerintah, sehingga menyebabkan situasi konflik pilkada, umumnya dimensi konflik lainnya, sering dirobek oleh kekerasan. Penanganan Sistematis
Lembaga kepolisian melalui Wakil Kepala Bareskrim Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto menyatakan bahwa konflik kekerasan di Papua akhir-akhir ini sudah biasa karena masyarakatnya yang bertemperamen tinggi. Nanti, lanjut kepolisian, bisa diselesaikan melalui mekanisme adat sebagaimana masyarakat Papua biasa melakukannya (Tempointeraktif, 2/8/2011). Sayang sekali, pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa lembaga kepolisian pun belum menyadari fakta kolektivisme eksklusif yang seharusnya ditangani secara transformatif. Dalam konteks konflik kekerasan yang tercipta karena negara tidak berhasil mencegah dan menanganinya, jatuh korban bukan merupakan kejadian biasa yang bisa dimakfumi begitu saja. Idealnya, lembaga-lembaga pemerintah memiliki dan mengimplementasikan konsep yang mentransformasi konflik kekerasan masyarakat menjadi konflik damai berbasis dialog dan mekanisme yudisial. Jika kolektivisme eksklusif masih merupakan realitas sosial masyarakat Papua, dan secara umum masyarakat-masyarakat lain di Indonesia, pemerintah perlu menciptakan program khusus selain penguatan keamanan oleh lembaga kepolisian. Yaitu program yang bisa merubah kolektivisme eksklusif menjadi kolektivisme inklusif. Sehingga konflik antar kelompok bisa berlangsung dinamis tanpa kekerasan. Lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat dan daerah, harus bekerjasama secara serius menciptakan program transformasi tersebut. Beberapa bagian dalam program tersebut diantaranya sosialisasi pentingnya penggunaan mekanisme yudisial, pelatihan kepemimpinan dalam negara demokrasi bagi pemimpin-pemimpin etnis (adat), Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 171
sampai pendidikan perdamaian untuk para pemuda. Namun program mentransformasi kolektivisme eksklusif tersebut harus dibersamai oleh komitmen negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sosial ekonomi. Pengangguran, kemiskinan dan pendidikan yang rendah merupakan kondisi fundamental yang menyebabkan masyarakat sulit keluar dari kerangka kolektivisme eksklusifnya. Hal tersebut karena melalui kolektivisme eksklusiflah masyarakat miskin merasa bisa mengekspresikan frustasinya. Sehingga tanpa pembangunan sosial ekonomi yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan, kolektivisme eksklusif akan tetap kuat dalam sistem hidup masyarakat. Pilkada di Papua yang sudah merenggut korban jiwa sebagian masyarakatnya merupakan bagian dari konflik yang dimobilisasi oleh kolektivisme eksklusif. Wilayah-wilayah lain yang memiliki model kolektivisme serupa, seperti Aceh dan Sulawesi, pada musim pilkada ini perlu diantisipasi serius oleh negara dengan mentransformasi kolektivisme ekslusif dalam masyarakat. Sehingga pilkada bisa melahirkan proses konflik politik yang damai, aman, dan bermartabat.*
* Artikel Kolektivisme dan Kekerasan Pilkada ini pernah dimuat di Koran Tempo, 10 Agustus 2011.
Negara Gagal Mengelola Konflik 172
Transformasi Konflik dalam Pemilu The exercise of violence can not be avoided when conflicting interests are at stake. (Sigmund Freud, 1932)
SELAMA musim pilkada publik Indonesia tidak jarang harus menyaksikan adegan saling melukai dan membunuh diantara para pendukung calon kepala daerah, perusakan gedung-gedung pemerintahan, dan berbagai bentuk anarkhisme lainnya. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Tana Toraja, Soppeng, Maros, dan Gowa Sulawesi Selatan (Tempointeraktif, 27/6/2010). Enam kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Barru, Soppeng, Luwu Timur, Luwu Utara, Bulukumba, dan Gowa dianggap sebagai daerah-daerah yang rawan konflik karena di 6 daerah tersebut massa pendukung fanatik dari caloncalon incumbent selalu berbuat rusuh (Kompas.com, 6/3/2010). Pilkada merupakan arena kontestasi politik demokratis yang ditandai oleh mobilisasi berbagai sumber daya (modal) kekuasaan. Sumber daya kekuasaan dalam bentuk jejaring sosial, kultural, sampai sumber daya ekonomi yang menjadi generator dinamika konflik pilkada. Sehingga isu teknis seperti masalah penghitungan suara walaupun bisa terselesaikan secara yuridis dan transparan, dinamika konflik pilkada tidak berarti padam secara otomatis. Karena penyelesaian isu teknis seringkali tidak dibersamai oleh pengelolaan mobilisasi sumbedaya kekuasaan para kontestan pilkada oleh negara. Akibatnya dinamika konflik
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 173
pilkada seringkali meruncing menjadi konflik kekerasan. Simpul Kekerasan
Ilmuwan konflik dan perdamaian menyadari bahwa kekerasan memiliki sifat omnipresent (hadir di manapun). Kemampuan kekerasan hadir di mana-mana sering dimediasi oleh sifat dasar manusia yang keras kepala terhadap kepentingannya. Sebagaimana kutipan dari Sigmund Freud di atas, bahwa kekerasan hadir tak terhindarkan ketika berbagai kepentingan begitu keras kepala pada posisinya. Pada saat bersamaan telaah kritis sosiologi konflik, melihat kepentingan yang keras kepala dikaitkan dengan dorongan alamiah manusia (human nature) dalam memperjuangkan eksistensi dasar dunia sosial yang meliputi kekuasaan, ideologi-identitas, dan kekayaan. Kekerasan pilkada di Indonesia pun tidak tidak lepas dari dorongan alamiah memperjuangkan eksistensi dasar dunia sosial tersebut. Jika demikian kepentingan yang keras kepala para kontestan pilkada adalah kondisi nyata yang harus dikelola, tidak bisa dimatikan namun hanya bisa dikelola. Secara sosiologis sifat keras kepala terhadap kepentingan itulah yang menyebabkan sumber daya kekuasaan dimobilisasi secara contentious (membabi buta). Kontestan yang memiliki kekuatan ekonomi mampu merekrut kelompok-kelompok pemuda pengangguran dan preman pasar untuk mendestabilisasi proses pemilu dengan aksi kekerasan. Kontestan yang memiliki sumber daya kekuasaan primordialisme etnis dan keagamaan mampu mendorong para anggota komunitas menyerang pendukung lain yang berbeda suku. Sehingga menurut Kandel Englander (2008) variasi sumber daya kekuasaan selalu menyebabkan kompleksitas perilaku kekerasan (the complexity of violent behavior) yang sulit dikontrol dan dikelola oleh sistem dalam masyarakat atau negara. Negara Gagal Mengelola Konflik 174
Englander melihat perilaku kekerasan dalam kontestasi kekuasaan seringkali merupakan campuran rumit antara hostile agression dan instrumental agression. Hostile agression merupakan aksi kekerasan yang beroreintasi pada pemuasan emosional, yang secara kolektif berkaitan dengan harga diri kelompok. Seperti anggapan bahwa etnis A seharusnya tidak boleh kalah dari etnis B dalam pilkada. Ketika etnis A ternyata kalah dalam pilkada, maka perilaku kekerasan bisa bersumber dari keinginan menjaga harga diri akibat kekalahan tersebut. Sedangkan instrumental agression adalah tindakan kekerasan yang dikalkulasi sebagai upaya untuk meraih tujuan tertentu. Seperti kekerasan para pendukung kontestan pilkada ditujukan untuk mendorong KPU melakukan penghitungan atau bahkan pencontrengan ulang. Kompleksitas perilaku kekerasan dalam pilkada ini membutuhkan penanganan yang didasarkan pada kekuatan kelembagaan negara. Transformasi Kepentingan
Setiap peradaban selalu berusaha melembagakan mekanisme untuk mengatur dan mengelola proses memperjuangkan eksistensi dasar dunia sosial oleh para anggotanya. Douglass C. North melalui Violence and Social Order (2009) menyebut mekanisme pengaturan perjuangan atas eksistensi dasar dunia sosial sebagai institutional constraints. Maknanya adalah mekanisme kelembagaan yang memiliki legitimasi dan mampu mendorong setiap pihak melalui cara tertentu agar tidak bersikukuh pada kepentingannya. Pertanyaannya adalah siapa yang memiliki legitimasi dan mampu mengorganisasi institutional constraints ini? Max Weber menyebut negara sebagai organisasi yang mempunyai legitimasi dan kemampuan itu. Negara bisa memobilisasi cara apapun, kekerasan atau dialog, untuk menindak siapapun yang keras kepala pada kepentingannya. Namun gamDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 175
baran organisasi negara Weberian berada dalam konteks sejarah negara-negara yang masih dipengaruhi model monarki. Yaitu raja (rejim) bisa memobilisasi institutional constraints untuk kepentingan raja. Pada konteks masyarakat kontemporer yang mengadopsi demokrasi, definisi dan implementasi institutional constraints tidak lagi berpusat pada rejim. Sehingga menurut Douglass C. North (2009), institutional constraints harus dilandaskan pada hak publik atas perdamaian melalui prinsip-prinsip kemanusiaan dalam sistem demokrasi. Salah satu cara memenuhi hak perdamaian publik adalah dengan menekan kelompok-kelompok kepntingan yang tidak berhak menggunakan kekerasan untuk mengagregasi kepentingan di ruang publik. Karena kelompok sipil, seperti para pendukung konstestan pilkada, hanya berhak mengagregasi kepentingan dalam prosedur demokrasi dengan tidak melanggar perdamaian publik. Pada pengertian inilah negara benar-benar merefleksikan diri sebagai organisasi penjaga perdamaian rakyat. Sehingga upaya legal negara terhadap para kontestan pilkada agar tidak bersikukuh dengan kepentingannya adalah institutional constraints yang legitimate. Sayangnya pengertian ini tidak dianut dalam UU N0. 22 Tahun 2007 mengenai Penyelenggaran Pemilihan Umum sebagai kerangka kerja institutional constraints. Undang-undang tersebut lebih dominan berisi mengenai hal-hal teknis sehingga tidak peka dan mampu mentransformasi konflik kekerasan pilkada menjadi pilkada yang damai. Seperti peran aparatur kepolisian dalam pelaksanaan pilkada yang tidak diatur secara konkrit. Padahal pada lembaga inilah pengunaan alat kekerasan yang legitimate bisa dimobilisasi secara cepat dan tepat. Selama ini kepolisian hanya menggunakan peraturan fungsional mengenai lembaga kepolisian yang menyebabkan proses pengamanan pilkada tersendat dan lamban. Negara Gagal Mengelola Konflik 176
Usaha mentransformasi konflik pilkada yang diwarnai oleh kekerasan menjadi perdamaian pilkada bisa diawali dengan mengamandemen UU. No. 22/2007. Peraturan pelaksanaan pemilu ini harus menjadi kerangka kerja institutional constraints yang komprehensif. Artinya selain mengatur hal-hal teknis pemilu, undang-undang tersebut harus memiliki mekanisne transformasi konflik pilkada dengan berdasarkan pada kondisi nyata sosiologi konflik masyarakat Indonesia.* * Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 177
Konflik Keistimewaan DIY PADA 13 Desember yang lalu, Sidang Paripurna DPRD Yogyakarta (DIY) telah menyepakati opsi penetapan sebagai bagian dari keistimewaan Yogyakarta. Bersamaan itu demonstrasi publik Yogyakarta yang menyerukan penetapan sebagai bagian dari keistimewaan juga digelar oleh puluhan ribu warga. Klaim kesejarahan dan respektasi demokrasi terhadap mekanisme politik lokal menjadi wacana masyarakat pro penetapan. Meskipun demikian respon pemerintah masih pada posisi semula, yaitu menjadikan pemilu sebagai mekanisme jabatan gubernur. Sedangkan Sultan didaulat sebagai kepala daerah dengan beberapa wewenang tertentu. Argumen pemerintah pusat berlandas pada prinsip bahwa monarkhi di dalam sistem demokrasi tidak boleh hidup karena jabatan politik harus dipilih secara transparan oleh masyarakat. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga Yogyakarta yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Gerakan Keistimewaan DIY ini berlangsung selama 2 hari. Beberapa aksi yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta adalah melalui simbolsimbol untuk mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap kehadiran Presiden SBY di Yogyakarta. Aksi demo ini dipusatkan di Istana Gedung Agung yang menjadi tempat tinggal presiden selama di Yogyakarta. Bentuk dari simbolisasi atas kehadiran presiden SBY adalah dengan membawa ketapel yang nantinya akan diarahkan ke Istana Gedung Agung yang dilanjutkan dengan membacakan surat Yasin untuk SBY agar segera meningNegara Gagal Mengelola Konflik 178
galkan Yogyakarta (Kompas.com, 11/6/11). Jelas bahwa konflik konsep kekuasaan dalam status keistimewaan Yogyakarta ini didinamisasi oleh klaim dan argumentasi yang berseberangan. Walaupun masing-masing argumen memiliki legitimasi moral dan filosofi yang kuat dan konstitusional, secara sosiologis telah menciptakan jebakan subyetifisme. Suatu kondisi kesadaran pihak berkonflik yang meyakini bahwa hanya argumentasi sendirii yang benar, valid, dan pantas eksis sebagai pemenang. Sehingga saat ini masalah krusialnya adalah bagaimana mendorong keluar para pihak berkonflik, pemerintah pusat dan DIY, dari jebakan subyektifisme tersebut. Proses ini membutuhkan komitmen konstruktif pihak berkonflik dan juga mediasi konflik. Jebakan Subyektifisme
Pemerintah pusat merujuk pada pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yang memandatkan gubernur dipilih secara demokratis. Selain itu pemerintah juga merujuk hukum yang lebih khusus, yaitu UU 32/2004 yang menegaskan bahwa gubernur dipilih melalui pemilihan langsung. Dua rujukan legal ini dijadikan sebagai pondasi RUU Keistimewaan DIY dan proposal pemerintah pusat mengenasi konsep pemilihan untuk jabatan gubernur. Bagi pemerintah pusat (presiden) opsi keistimewaan minus penetapan sepertinya sudah merupakan pilihan paling logis dan rasional. Akibatnya pemerintah pusat selalu kukuh menghadapi aspirasi masyarakat DIY yang memperjuangkan status penetapan sebagai bagian keistimewaan. Mereka yang mendukung pro penetapan menilai rujukan legal tersebut dari pemerintah tidak mungkin diterapkan dalam konteks keistimewaan suatu daerah. Sebagaiman keistimewaan Aceh dengan Syariat Islamnya yang secara tekstual bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun karena adanya SyaDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 179
riat Islam itulah Aceh mendapatkan status keistimewaan selama implementasinya tidak melanggar filsofi umum dari konstitusi Republik Indonesia. Sehingga pada konteks keistimewaan DIY, penetapan adalah unsur fundamental dari status keistimewaan itu sendiri. Pandangan masyarakat pro penetapan ini merupakan representasi kultural dan identitas sebagian masyarakat Yogyakarta. Ini terlihat dari menggelombangnya aksi-aksi protes menolak RUU Keistimwaan versi pemerintah pusat. Dough Mc. Adam (Dynamic of Contention, 2004) menyebut situasi dimana terjadi klaim subyektif, interaksi kolektif seperti mobilisasi massa, dan wacana yang mengeras untuk mempengaruhi pemerintah atau lawan politik, adalah sebagai politik keras kepala (contentious politics). Contentious politics yang terjadi secara episodik atau terus menerus bukan tidak mungkin menciptakan eskalasi kekerasan. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh memekatnya tekanan emosi identitas, namun juga kekerasan sebagai pilihan rasional seperti yang terjadi pada kasus-kasus gerakan separatisme. Konflik DIY dan pemerintah pusat pada begitu nyata ditandai oleh contentious politics, yang jika terus berlangsung bukan tidak mungkin terjadi eskalasi kekerasan. Kekerasan jelas merupakan situasi negatif yang merugikan pada banyak sisi. Mediasi Konflik
Contentious politics pemerintah pusat dan masyarakat DIY pro penetapan perlu ditanggalkan secara sukarela dengan meyakini bahwa kasus konflik ini bisa ditemukan pemecahan masalahnya. Penanggalan contentious politics bisa diinstitusikan melalui politik negosiasi dalam satu arena konsultatif yang transparan dan menjunjung tinggi prinsip perdamaian. Tawaran Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai universitas besar di DIY menjadi mediator konflik adalah inisiatif yang sangat dibuNegara Gagal Mengelola Konflik 180
tuhkan dalam situasi ini. Walaupun demikian, UGM sebagai mediator konflik perlu menyediakan alternatif pemecahan masalah yang menjadi jalan transendental untuk pemerintah pusat dan DIY. Tuntutan penyediaan alternatif pemecahan masalah inilah yang tampaknya menyebabkan para pakar di UGM mengalami pembelahan pendapat, antara pro penetapan dan pemilihan (Tempointeraktif, 17/12). Memang patut disayangkan, satu lembaga yang menawarkan mediasi konflik harus terjebak juga dalam contentious politics internal. Mediator konflik harus keluar terlebih dahulu dari jebakan subyektifisme yang telah menyebabkan pihak berkonflik terus mereproduksi contentious politics. Namun, menurut Johan Galtung (Trancends Approach, 2003) selain menyediakan alternatif pemecahan masalah, hal terpenting dari mediator konflik adalah membantu pihak berkonflik meningkatkan komunikasi ke arah politik negosiasi. Pada posisi ini mediator konflik menawarkan pelembagaan negosiasi yang mempertemukan pihak berkonflik untuk menawarkan proposal resolusi konflik masing-masing. Proses ini sebenarnya sudah sangat umum pada banyak kasus mediasi konflik. UGM dan para pakar di dalamnya mungkin perlu bersepakat untuk mendorong komunikasi dan menyediakan kelembagaan negosiasi terlebih dahulu. Pada konteks ini, mediator konflik tidak perlu membawa alternatif pemecahan masalah, namun membantu pihak berkonflik mendeliberasi berbagai kemungkinan pemecahan masalah. Sangat mungkin, dalam perkembangan negosiasi muncul gagasan-gagasan baru yang membawa pada jalan keluar baru bagi semua pihak. RUU Keistimewaan saat ini sudah masuk di DPR untuk dimusyawarahkan hasil akhirnya. Namun bisa diprediksi bawah tidak mudah bagi DPR untuk memutuskan dan mensyahkan rancangan versi pemerintah tersebut. Hal ini karena ketidaksepakatan masyarakat DIY atas rancangan tersebut adalah realitas Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 181
sosiologis yang tidak bisa dipungkiri. Memaksakan keputusan dengan konsep pemerintah dalam rancangan undang-undang tersebut pasti akan menciptakan eskalasi kekerasan dan krisis politik nasional. Sehingga memang sangat mendesak agenda memediasi konflik antara pemerintah pusat dan representasi DIY seperti Sultan, Pakualam, serta para tokoh pro penetapan. Mediasi konflik yang dilandasi oleh semangat pemecahan masalah dan imparsial diharapkan mampu mendorong pemerintah pusat dan DIY menemukan jalan keluar bersama secara arif.*
* Artikel Konflik Keistemewaan DIY ini pernah dimuat di Koran Tempo, 20 Desember 2010.
Multi Partai dan Pengelolaan Konflik KPU telah mensyahkan 34 parpol (partai politik) yang berhak mengikuti pemilu legislatif tahun 2009. Masing-masing partai politik pun mendapatkan nomor ‘cantik’ menurut versi masing-masing. Kegembiraan meluap di wajah-wajah elite partai. Sebagian mensyukurinya dengan melakukan semacam “pesta“ internal partai. Akan tetapi di balik pentas kegembiraan tersebut, bagaimana dampak disyahkannya 34 parpol oleh KPU terhadap pembangunan perdamaian? Kekhawatiran masyarakat yang paling mendalam terhadap jumlah partai politik yang banyak adalah rentannya konflik politik oleh praktik kekerasan. Kemungkinan Kekerasan
Multi partai sendiri sesungguhnya telah menggambarkan perbedaan kepentingan. Secara sederhana, perbedaan kepentingan memberi kontribusi terhadap merapuhnya perdamaian sosial. Hal ini menjadi kenyataan pada saat kelompok-keompok yang terlibat dalam konflik kepentingan menggunakan strategi contentious dalam prosesnya. Strategi contentious ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang agresif, serta tidak memperdulikan kelompok lain. Pada saat kelompok-kelompok kepentingan memiliki karakter contentious, konflik cenderung bersifat merusak (destructive). Pola konflik yang diciptakan oleh karakter contentious adalah zero-sum game, menang untuk kelompok sendiri dan Negara Gagal Mengelola Konflik 182
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 183
mati untuk lawan. Kekerasan yang dilahirkan dari pola konflik ini pun, dalam istilah Galtung (1997) menyebabkan absennya perdamaian negatif dan positif sekaligus. Artinya ancaman kekerasan dalam bentuk aksi kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial adalah ancaman nyata. Seandainya 34 parpol memiliki karakter contentious, ancaman lahirnya kekerasan fisik dan ketidakadilan sosial bukanlah hal yang absurd dalam negara demokrasi Indonesia. Kalangan realis dalam studi konflik memandang bahwa setiap kelompok kepentingan pada dasarnya memiliki karakter contentious. Paling tidak pada awal dinamika konflik, setiap kelompok cenderung mengeksploitasi power masing-masing. Power dalam pengertian fisik (hard power), seperti jumlah massa yang besar dan fanatik, ataupun power dalam pengertian hegemonik (soft power). Jika mengikuti asumsi ini, pemilu 2009 pastinya diwarnai oleh dua fenomena besar. Pertama adalah aksi unjuk kekuatan fisik di ruang sosial dimana anarkhisme menjadi bagian dari petunjukan hard power. Biasanya kampanye menjadi ruang sosialnya walaupun di luar kampanye aksi ini bisa juga muncul. Sejarah pemilu di Indonesia selalu tidak lepas dari pertunjukan hard power, dan akibatnya aksi kekerasan antar pendukung partai politik tak terhindar. Pemilu daerah (pilkada) yang telah terlaksana di berbagai daerah pun tidak lepas dari fenomena kekerasan antar massa parpol akibat pertunjukan hard power ini. Kedua adalah pertarungan hegemonik yang direfleksikan oleh pertarungan wacana. Strategi dalam pertarungan hegemonik adalah menciptakan wacana delegitimatif terhadap lawan. Tanpa menunggu kampanye pemilu 2009 pertarungan hegemonik ini telah muncul ke permukaan panggung politik nasional. Hanya saja jika difokuskan pada analisis konflik menjelang pemilu, pertarungan hegemonik akan muncul lebih kuat dan agresif teruNegara Gagal Mengelola Konflik 184
tama dari partai-partai politik di luar lingkaran kekuasaan. Pada level ini, kampanye kotor (black campaign) untuk delegitimasi atau pembunuhan karakter tokoh bisa muncul. Pertarungan hegemonik yang melibatkan berbagai tokoh-tokoh partai pun akan mempengaruhi sikap dan perilaku massa partai. Dukungan buta terhadap partai dan tokohnya bisa mendorong sikap eksklusif dan perilaku kekerasan. Pengelolaan Konflik
Menghadapi kemungkinan konflik dan kekerasan dari adanya multi partai, setiap agensi politik perlu mendesain pengelolaan konflik. Salah satu idealisme pengelolaan konflik adalah mereduksi konflik kekerasan dan mentrasformasi konflik yang bersifat destruktif menjadi konstruktif. Maksud dari sifat konstruktif adalah setiap kelompok kepentingan mampu mengubah karakter contentious dan pola konflik zero-sum game menjadi kompromi dan atau problem solving (pemecahan masalah). Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana pengelolaan konflik ini dilaksanakan? Secara ideal pengelolaan konflik dilaksanakan oleh satu institusi berwenang yang melandaskan pelaksanaannya pada prinsip-prinsip netralitas. Prinsip netralitas dalam studi konflik sesungguhnya adalah norma pengatur pihak ketiga sebagai pengelola konflik agar tidak terjatuh pada pemihakan salah satu kelompok kepentingan. Ketidakperpihakan ini pun akan dijalankan tatkala sudah ada kondisi hubungan setara (equal relation) dari berbagai kelompok konflik kepentingan. Jika kita masuk dalam konteks multi partai dan pemilu maka institusi yang memiliki wewenang dan kapasitas mengelola konflik adalah negara. Negara melalui organisasi-organisasinya harus mampu mereduksi kekerasan partai politik dan menciptakan konflik kepentingan yang konstruktif untuk pembangunan perdamaian. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 185
Satu pokok persoalan dalam negara ini adalah belum hadirnya undang-undang pengelolaan konflik sebagai payung legal. Konflik kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa ini, yang memungkinkan lahirnya konflik kekerasan masih ‘dibiarkan’ hidup tanpa pengelolaan. Penanganan konflik kepentingan masih dilandaskan pada kebijakan yang temporer. Sebenarnya melalui undang-undang pengelolaan konflik negara telah menjalankan kewajiban dalam menciptakan perdamaian hakiki sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Dalam konteks multi partai, payung legal pengelolaan konflik akan sangat membantu menciptakan demokrasi yang ideal, yaitu konflik konstruktif akan membantu terciptanya keadilan sosial dan pereduksian aksi kekerasan akan menciptakan tertib warga (good citizen). Kecemasan terhadap absennya perdamaian negatif dan positif akibat konflik kepentingan multi partai perlu menjadi perhatian seluruh elemen bangsa, termasuk parpol. Fakta belum hadirnya payung legal pengelolaan konflik menyebabkan masih rapuhnya perdamaian di Indonesia. Parpol harus mampu menjadi pengelola konflik yang mandiri. Artinya setiap partai politik harus memasang idealisme pengelolaan konflik dalam setiap praktek politik dan konflik kepentingan di antara mereka sendiri. Mereka harus mengontrol pemanfaatkan kekuatan fisik (hard power) dan hegemonik (soft power). Hal ini jika partai politik benar-benar konsisten dengan klaim bahwa eksistensi mereka untuk kesejahteraan rakyat.*
* Artikel Multi Partai dan Pengelolaan Konflik ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Juni 2008.
Negara Gagal Mengelola Konflik 186
Bibliografi Agnew, Robert S. 2007. Strain theory and violent behavior. In The Cambridge Handbook of Violent Behavior, edited by Daniel J. Flannery, Alexander T. Vazsonyi, and Irwin Waldman. New York: Cambridge University Press. Diamond, Larry. 2003. Developing democracy toward consolidation. Yogyakarta : IRE Press. Diamond, Larry. 2004. Essential readings in comparative politics: The democratic rollback: the resurgence of the predatory state. New York: Norton & Company. Diamond, Larry. 2008. The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. New York: Henry Holt and Company, LLC Englander, Kandel. 2007. Understanding violence. New jersey: Laurenc Erlbaum Associates, Inc. Freud, Sigmund.1932. The anatomy of the mental personality : New introductory lectures on psycho-analysis. from LECTURE XXXI. London : . Hogarth Press. Korotelina, Karina. 2009. Handbook of conflict analysis and resolution. New York : Routledge. Kean, John. 2004. Violence and democracy. Cambridge : Cambridge University Press Manor, James. 1998. Mark Robinson and Gordon White (eds). Democratizations and The Developmental State : The Search for Balance. The democratic and developmental state :political and institutional design. Oxford : Oxford University Press. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 187
Mc. Adam, Dough., and Tilly, Charles. 2004. Dynamic of contention. Cambridge, Cambridge University Press.
http://nasional.kompas.com/read/2008/07/21/21580592/konflik. di.maluku.utara.akibat.pengambangan.hasil.pilkada.
North, Douglass., Wallis, Joseph John., and Weingast, Barry R. 2009. Violence and Social Orders: A conceptual framework for interpreting recorded human history. Cambridge : Cambridge University Press.
Tempo.co. (7 Agustus 2011). Munaroh. Dalam Dua Bulan, 8 Kasus Kekerasan Terjadi di Papua. Diakses pada 19 Maret 2012 http:// www.tempo.co/read/news/2011/08/07/078350483/Dalam-DuaBulan-8-Kasus-Kekerasan-Terjadi-di-Papua.
Rule, James B. 1988. Theories of civil violence. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Media Kompas.com (11 Juli 2011). Unjuk Rasa Akan Sambut SBY di Yogyakarta. Diakses pada 19 Maret 2012 dari http://regional.kompas.com/read/2011/07/11/19263451/Unjuk.Rasa.Akan.Sambut. SBY.di.Yogyakarta. Kompas.com. (6 Maret 2010). 6 Pilkada Sulawesi Selatan rawan konflik. Diakses pada 18 Maret 2012 dari http://nasional.kompas. com/read/2010/03/06/11001218/. Kompas.com. (4 Maret 2011). Trauma pilkada Tuban telah berlalu. Diakses 18 Maret 2012 dari http://regional.kompas.com/ read/2011/03/04/09065468/Trauma.Pilkada.Tuban.Telah.Berlalu. Kompas.com. (18 Maret 2012). Tindak kekerasan pada konflik pilkada. Diakses pada 18 Maret 2012 dari http://sosbud.kompasiana. com/2012/03/18/tindak-kekerasan-pada-konflik-pilkada-sebuah-analisis-teori-konstruksi-sosial/. Kompas.com. (21 Juli 2008). Konflik di Maluku Utara Akibat Pengambangan Hasil Pilkada. Diakses pada 19 Maret 2012 dari Negara Gagal Mengelola Konflik 188
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 189
BAB V
Konflik Elit-elit Politik
Negara Gagal Mengelola Konflik 190
Merapuhnya Politik Humanistis HIRUK PIKUK kontestasi meraih kekuasaan tampaknya membawa khilaf humanistik para elite politik. Mereka menjadi lupa makna kekuasaan dalam demokrasi adalah amanah warga untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Bukan proses meraih posisi kekuasaan an sich. Reaksi kekecewaan para elite parpol-parpol terhadap jatuhnya pilihan cawapres SBY pada sosok Boediono yang non parpol, adalah gambaran jelas dari khilaf humanistik itu. Walaupun reaksi politis tersebut tidak haram dalam sistem demokrasi yang terbuka bagi eskpresi kepentingan. Namun pola perilaku para elite politik tersebut memperlihatkan absennya paham politik humanistik dari kesadaran para elite politik. Paham Politik
Pertemuan PAN, PPP, dan PKS yang sempat menghasilkan penundaan kontrak politik untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat memperlihatkan kegelisahan dari hasrat berkuasa yang terancam. Parpol-parpol tersebut selama ini cukup yakin akan mendapatkan jatah kekuasaan melalui cawapres yang diajukan. Sehingga keputusan SBY merupakan berita buruk terhadap hasrat berkuasa mereka. Walaupun saat ini parpol-parpol tersebut telah kembali masuk dalam barisan koalisi Demokrat, perilaku para elite tersebut di atas bersubstansi pada hasrat kekuasaan semata. Paham politik humanistik akan berbeda dalam menanggapi Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 193
keputusan politik SBY dan partainya. Tanggapan itu bisa muncul melalui pertanyaan mengenai konsep humanistik apakah yang dimiliki cawapres pilihan SBY dalam rangka mendampingi presiden menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini? Jangan-jangan cawapres tersebut memiliki konsep anti humanistik. Yang orientasi kebijakannya berpihak pada kuasa modal pasar daripada rakyat. Melalui pertanyaan-pertanyaan humanistik sebenarnya para elite parpol bisa mendapatkan legitimasi kritiknya terhadap SBY. Kritik politik yang tidak hanya sekedar memuat hasrat berkuasa, namun juga hasrat humanistik. Lebih jauh lagi, kritik politik humanistik bisa menolong rakyat menemukan calon rejim yang bisa menjadi penolong bagi kesusahan mereka. Namun faktanya sampai detik ini, pertanyaan tersebut tidak dominan sebagai wacana dalam ruang kontestasi capres 2009. Negara Humanistik
Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sosial rakyatnya selalu berakar pada paham politik humanistik rejim berkuasa (Tilly, 2007). Hal ini merupakan logika politik sederhana dalam negara demokrasi. Karena politik humanistik menciptakan kebijakan-kebijakan yang berupaya menyelematkan rakyat dari penderitaan. Bukan kebijakan yang memarjinalkan rakyat kecil, seperti kebijakan penggusuran wong cilik tanpa pemecahan masalah, penetapan biaya pendidikan yang melangit, dan perundangan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar daripada sektor rill yang bermodal kecil. Walaupun demikian secara realpolitik demokrasi, menciptakan negara humanistik sebenarnya adalah proses kontestasi dari berbagai hasrat seperti antara hasrat berkuasa dan hasrat humanistik. Hanya saja yang mengkhawatirkan, kontestasi menNegara Gagal Mengelola Konflik 194
jadi rejim di negara ini hanya terjadi antara hasrat berkuasa dan hasrat berkuasa saja. Jika dilihat secara jujur dan kritis, pasangan SBY-JK yang menang dalam kontestasi pemilu 2004 pun merupakan hasil dari kontestasi diantara hasrat-hasrat kekuasaan. Bertemunya SBY dan JK yang kader Golkar bukanlah refleksi koalisi politik humanistik, melainkan perselingkuhan JK di belakang Partai Golkar yang memiliki capres sendiri. Perselingkuhan memperlihatkan bahwa JK dan faksi-faksinya tidak bisa menahan hasrat berkuasanya. Pada konteks kontestasi kekuasaan 2009 melalui pemilu presiden dan wakilnya, perilaku para elite politik kembali mempertontonkan kontestasi diantara hasrat-hasrat kekuasaan. JK merangkul Wiranto yang menjadi rival pada pemilu 2004 sebagai sebagai cawapresnya di tahun ini. Sebelum pemilu legislatif, JK memberi sindiran politik pada Wiranto dan partainya sebagai penumpang gelap Partai Golkar. Namun uniknya, mereka berpasangan sebagai capres dan cawapres di tahun 2009. Hal ini tampaknya tidak lepas dari keterpojokan JK yang sudah tidak bisa kembali sebagai cawapres SBY, yang berarti ancaman terhadap posisi kekuasaan. Refleksi dari hasrat berkuasa ini juga diperlihatkan oleh Megawati yang menggandeng Prabowo. Megawati sudah tidak punya pilihan cawapres yang cukup popular untuk mendongkrak suara. Walaupun keputusan tersebut harus mengorbankan ingatan kolektif PDI-Perjuangan sendiri bahwa diantara Megawati dan Prabowo ada sejarah kekerasan yang menjadi tragedi. Pada dasarnya kontestasi dari hasrat-hasrat kekuasaan elite politik mengaburkan konsep negara humanistik. Pada kondisi ini bagaimana mungkin menciptakan negara yang kebijakan-kebijakannya pro rakyat? Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 195
Natur Demokrasi
Pada pemilu presiden 2009 ini rakyat tengah dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit. Karena calon-calon rejim negara ini adalah pantulan kesadaran dari hasrat kekuasaan semata. Warga yang memiliki political question kritis (kecerdasan politik) bisa jadi memilih tidak memilih alias golput. Walaupun sebagian kalangan menilai golput merupakan pilihan yang kurang bijak dan putus asa. Karena pilihan untuk tidak menjadi golput bukanlah merupakan cacat moral di tengah hasrat-hasrat kekuasaan yang berkontestasi. Namun demikian ada konsekuensi lain dari pilihan menjadi tidak golput berkaitan upaya terbentuknya negara humanistik. Yaitu kembali pada natur demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan rakyat dalam politik negara. Rakyat perlu menyadari bahwa merekalah yang berkuasa. Mekanisme penggunaan kekuasaan rakyat melalui mekanisme politik demokrasi modern harus diinternalisasi sesempurna mungkin. Rakyat perlu mengkonsolidasi kapasitas negosiasi politik dalam arena yang disediakan mekanisme demokrasi, memperkuat gerakan tuntututan warga, dan membangun kerjasama lintas kelompok rakyat berbasis pada kepentingan kemanusiaan untuk mempengaruhi kebijakan negara. Melalui natur demokrasi, upaya menciptakan negara humanistik menjadi lebih mungkin. Daripada hanya menggantungkan harapan pada para elite yang rapuh paham politik humanistiknya.*
* Artikel Merapuhnya Politik Humanisti ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 22 Mei 2009.
Negara Gagal Mengelola Konflik 196
Eskalasi Politik Degil : Kasus Skandal Century DINAMIKA politik dalam Pansus Century menuju pada tingkat eskalasi praktik kekerasan para elite politik. Praktik kekerasan tersebut muncul dengan mengabaikan etika politik, mencerabut respektasi sosial, dan menanggalkan prinsip-prinsip humanisme. Semangat dan nalar obyektif Pansus Century melakukan investigasi terhadap kasus bailout (dana talangan) Bank Century mulai terdistorsi menjadi nalar subyektif. Kondisi yang dipenuhi oleh ambisi kepentingan parsial dan sempit daripada menemukan pemecahan masalah. Distorsi ini semakin padat dan mengeras ketika para elite politik memobilisasi isu-isu yang saling menjatuhkan. Sehingga adegan di hadapan masyarakat Indonesia saat ini adalah eskalasi politik degil yang memperlihatkan gaya konflik ngotot, keras kepala, dan menghakimi (judgment). Praktik kekerasan yang mengabaikan etika politik tersebut tercermin dari banyaknya pertanyaan yang hanya berkutat pada masalah pencarían pihak yang bertanggungjawab tentang skandal century tersebut, bukan kepada substansi materi dan proses pengambilan kebijakan yang mengakibatkan skandal century. Pertanyaan dari Pansus Century lebih banyak dibenturkan kepada relasi kekuasaan dan siapa pihak yang bertanggungjawab lebih banyak menampilkan isu kepentingan kelompok politik satu untuk membuka aib kelompok politik yang lain. Hal ini tercermin dari perdebatan anggota Pansus Century dengan Marsilam Simajutak pada tanggal 18 Januari 2010 me-ngenai Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 197
prasangka politik yang berpusat pada siapa yang paling bertangggungjawab atas skandal Century, bukan mengenai substansi materi kebijakan dan realitas struktur kekuasaan dimana kebijakan tersebut diambil (Kompas.com, 28/01/2010) Jebakan Kekerasan
Fakta eskalasi politik degil tersebut memperlihatkan bahwa isu skandal Bank Century mengalami kerancuan, antara isu penegakan hukum dan isu kepentingan parsial kelompok-kelompok politik. Dalam studi konflik, dalam kasus apapun, gaya politik degil selalu didorong oleh ambisi-ambisi kepentingan sempit dari diri dan kelompok tertentu. Kepentingan parsial bersifat tertutup dan tidak melihat pada kepentingan di luar kelompoknya. Kepentingan tentu saja tidak hanya terbatas pada keinginan memiliki atau mendapatkan sesuatu, namun juga keinginan untuk dibenarkan, dibela, dan dipatuhi segala pemahaman (ideologis) mengenai obyek yang diperdebatkan. Sebagaimana halnya dalam kasus kebijakan bailout Bank Century, dan merger menjadi Bank Mutiara. Pada layar kasus ini, Pansus Century sendiri adalah manifestasi alamiah konflik kepentingan dalam struktur politik nasional Indonesia. Yang pada awalnya dipahami sebagai konflik kepentingan ideologis dalam memandang kebijakan bailout sebagai kriminal atau pahlawan. Konflik ini terbentuk dari isu mendasar dalam konteks menentukan kriminal atau pahlawan, yaitu penegakan hukum. Pada konteks konflik kepentingan model ini, upaya yang paling mendasar, menurut Marshal Rosenbergh (2003) adalah komunikasi nir kekerasan berbasis upaya pendalaman informasi dari obyek (kebijakan bailout) yang diperdebatkan. Upaya model komunikasi nir kekerasan ini, menurut Rosenbergh harus diawali oleh terkumpulnya informasi yang lengkap dan terverifikasi secara layak. Negara Gagal Mengelola Konflik 198
Segala praktik dalam hubungan konflik harus berdasar pada informasi yang lengkap dan terverifikasi sehingga para pihak berkonflik mampu menemukan pemecahan masalah. Seperti penegakaan hukum seperti apa yang bisa diproses, jika memang terjadi penyimpangan. Namun sayangnya, para elite politik di Pansus Century, masih dalam upaya mengumpulkan informasi saja sudah menciptakan praktik komunikasi kekerasan. Mereka saling menuding satu sama lain, saling menjatuhkan diantara pro dan kontra bailout Bank Century. Apa akibat dari proses awal yang cacat ini? Meminjam istilah ilmuwan konflik, Johan Galtung (2007) para pelaku dalam hubungan konflik akan masuk dalam jebakan kekerasan (violence trap). Jebakan kekerasan adalah lingkungan yang telah terisi oleh berbagai reaksi praktik komunikasi kekerasan sehingga mengikat para pihak berkonflik terus mereproduksi komunikasi kekerasan. Namun dalam studi konflik realpolitik (Marxis), jebakan kekerasan bukan hanya sekedar diakibatkan oleh kesalahan praktik komunikasi. Namun juga disebabkan oleh munculnya kepentingan parsial asali para pihak berkonflik yang bersifat kepemilikan sumberdaya, seperti tanah, minyak, atau kekuasaan politik. Jika mengamati dinamika politik dalam Pansus Bank Century, dua sebab eskalasi politik degil tersebut memang cukup kentara. Isu penegakan hukum pada kasus kebijakan bailout Bank Century yang seharusnya dimulai dengan investigasi dan pengumpulan informasi yang lengkap dan terversifikasi, ternyata dimulai dengan praktik komunikasi kekerasan seperti menuduh dan menghakimi. Dalam pandangan Rosenbergh, jelas tidak mungkin ditemukan informasi yang kredibel dari praktik komunikasi kekerasan seperti itu. Sebab kedua, yaitu kepentingan parsial asali dalam bentuk hasrat pada kepemilikan sumberdaya, terutama posisi kekuasaan politik, juga mulai menjadi Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 199
perbincangan di balik panggung politik terbuka. Isu yang mulai hangat adalah siapa pengganti Budiono atau siapa pengganti Sri Mulyani, jelas memiliki keterkaitan dari eskalasi politik degil Pansus Bank Century.
parsial kelompok-kelompok tertentu. Semoga para elite politik dalam Pansus Bank Century bisa menemukan jalan transendental ini.*
Jalan Transendental
* Artikel ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 2009.
Jebakan kekerasan dalam eskalasi politik degil Pansus Bank Century, hanya bisa dipecahkan oleh komitmen para elite politik dalam mencari pemecahan masalah. Pemecahan masalah dalam visi elite politik seharusnya berorientasi pada kebajikan dan kerakyatan, bukan kepentingan asali parsial. Inilah yang disebut sebagai jalan transedental (transcend approach), yang pertama dimulai dengan mereduksi semua bentuk praktik komunikasi kekerasan. Proses investigasi informasi tidak harus dengan menuduh dan menghakimi. Kedua adalah menanggalkan kepentingan asali parsial kelompok yang hanya mencari kemenangan sendiri dalam memperjuangkan sumberdaya kelompok semata. Namun dalam konteks politik demokrasi, upaya mendorong para elite politik keluar dari eskalasi politik degil tidak cukup berharap pada keajaiban. Partisipasi politik rakyat mendorong para elite politik menggunakan jalan transendental bisa dibangun melalui tuntutan warga negara (civic engagement). Melalui jejaring internet, gerakan ekstra parlementer, dan wacana-wacana publik. Segala bentuk praktik korupsi adalah bentuk kriminal yang menciderai hukum demokrasi dan menghianati rakyat. Namun upaya memberantas praktik korupsi dan menyelamatkan hukum demi kesejahteraan rakyat seharusnya menggunakan prinsipprinsip kemanusiaan dan etika politik demokrasi. Sehingga tidak masuk pada jebakan kekerasan yang menciptakan eskalasi politik degil. Karena negara-bangsa Indonesia tidak bisa dibangun dengan cara-cara kekerasan yang direproduksi dari kepentingan Negara Gagal Mengelola Konflik 200
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 201
Duel Para Koruptor PADA kondisi eskalasi duel para koruptor, siapa baik dan siapa buruk sepertinya menjadi agak naif diperdebatkan. Namun yang penting adalah apa dan bagaimana efek duel para koruptor ini terhadap tatanan sistem normatif lembaga-lembaga negara? Pada kenyataannya, sampai saat ini demokratisasi masih berada fase yang abu-abu arah kematangannya (consolidated democracy). Fase abu-abu tersebut tidak lepas dari duel yang terjadi antara para elite politik yang sesungguhnya terlibat praktik korupsi seperti pada kasus Susno Duadji melawan para petinggi di Mabes Polri. Eskalasi Duel
Duel antara Susno Duadji melawan Mabes Polri tengah mengalami eskalasi saling menghancurkan (zero-sum game). Situasi ini ditandai oleh komitmen pihak Susno terus melakukan perlawanan keras terhadap para markus di Mabes Polri. Ketangguhan Susno pada posisi melawan ini mungkin tidak dilandasi oleh keyakinan bahwa dirinya bersih dari korupsi. Kenyataannya ia tidak imun oleh dosa politik paling bergengsi di negeri ini. Namun tampaknya alasan yang paling mampu menciptakan perlawanan keras Susno adalah keengganannya menjadi tumbal sendirian dari proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi perasaan ini sama dengan slogan sehari-hari “satu kena, semua harus kena!” Atau “satu senang, semua harus senang!” Slogan yang biasa terjadi pada praktik sosial tertentu yang dilakukan secara kolektif dalam masyarakat kita. Negara Gagal Mengelola Konflik 202
Para punggawa Mabes Polri pun membuktikan tak kalah keras dalam duel ini. Susno ditangkap walaupun dia seorang jenderal polisi. Bayangkan jika Mabes Polri dari dulu memiliki komitmen penegakan hukum ini. Berapa banyak jenderal yang akan masuk peradilan karena kasus-kasus korupsi? Namun kondisi itu menjadi agak utopis, atau khayalan manis saja di tengah dunia nyata Indonesia yang disesaksi oleh mafia hukum dan koruptor. Mereka menguasai lembaga-lembaga negara, dari kejaksaan, dewan perwakilan rakyat, dan kepolisian. Akibatnya embel-embel wacana demi tegaknya hukum dan keadilan di lembaga-lembaga tersebut sudah sulit mendapatkan kepercayaan publik. Kini pun publik menyaksikan bagaimana para koruptor di lembaga-lembaga negara tengah berduel. Duel untuk menang dan selamat, atau semua roboh menjadi abu. Sebagaimana tengah dipertontonkan Susno Duadji versus petinggipetinggi Mabes Polri. Pola duel para koruptor tidak jauh berbeda dengan berbagai duel lainnya yang berdimensi duel antar etnis, agama, dan duel antar kelompok sosial. Duel menggambarkan eskalasi konfllik yang setiap pihak merasa hanya memiliki pilihan hitam atau putih. Menang atau kalah. Situasi eskalasi duel ini pada banyak kasus konflik selalu menciptakan efek kerusakan lingkungan berlapis. Seperti yang disebutkan oleh Benjamin Reilly dalam Democracy in Divided Society (2004) bahwa fase eskalasi contentious (duel) tidak hanya mengancam para pihak berkonflik, namun juga pada kelompok-kelompok lain melalui proses kerusakan sistemik. Dari kerusakan sistem nilai sosial sampai sistem lembaga-lembaga publik. Sebagaimana halnya pada kasus-kasus konflik yang masuk pada eskalasi duel memulai efek kerusakannya pada pelemahan fungsi-fungsi ideal sistem normatif sampai pada taraf matinya fungsi ideal sistem tersebut. Menurut Peter L. Berger (1999) pada kondisi pelemahan dan matinya fungsi ideal Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 203
dari suatu sistem normatif bisa dipastikan kondisi yang tercipta adalah socially disorder (kesemrawautan tatanan sosial). Kondisi ini ditandai oleh tidak berjalannya fungsi-fungsi lembaga sosial yang semestinya menjaga dan melayani publik. Menyelamatkan Tatanan
Efek kerusakan sistemik dari eskalasi duel para koruptor bisa mulai dirasakan pada pelemahan fungsi ideal dari sistem normatif. Mabes Polri atau kejaksaan bersama perangkat wewewenangnya merupakan lembaga negara yang netral, baik, dan bertujuan pada penegakan hukum di Indonesia. Eskalasi duel antara Susno dan Mabes Polri tentunya mampu memberi efek kerusakan sistemik dan menciptakan kesemrawutan tatanan sosial lembaga-lembaga negara tersebut. Pada kasus duel Susno versus `Mabes Polri` sistem normatif di dalam lembaga kepolisian kehilangan fungsi idealnya dalam penegakan hukum. Fungsi ideal lembaga kepolisian dilemahkan melalui pemanfaatan perangkat wewenang di dalamnya sebagai sumber daya memenangkan dan menyelamatkan diri oleh para koruptor. Pelemahan fungsi ideal sistem normatif membawa reformasi pada ketidakpastian hukum yang semakin rumit dan parah. Lembaga negara yang semestinya melayani publik melalui netralitas dan penegakan hukum, menjadi lembaga yang dimanfaatkan untuk duel antara pelaku dosa politik. Duel para koruptor bisa saja dipandang sebagai satu periode transisi penting bagi reformasi hukum dan politik di Indonesia. Namun jika duel para pelaku dosa politik tersebut tidak diintervensi secara masif oleh berbagai pihak maka kerusakan sistemik menjadi peluang besar bagi para mafia hukum dan koruptor kembali berjaya di negeri ini. Korban terbesarnya adalah masyarakat. Hak dasar masyarakat terhadap pelayanan lembaga-lembaga seperti kepolisian dan kejaksaan bisa semakin terabaikan. Negara Gagal Mengelola Konflik 204
Peran lembaga-lembaga hukum seperti Kejaksaan dan Satgas Pemberantasan anti Mafia Hukum menjadi krusial dalam proses penyelamatan tatanan fungsi ideal lembaga hukum. Namun sayangnya baik kejaksaan dan satgas hanya seperti anak ayam diantara perkelahian dua gajah. Tidak berdaya menciptakan intervensi berarti karena alasan legal prosedural. Padahal seharusnya bisa lebih mampu memainkan perannya selama presiden memberi ijin politik. Alasan tidak bisa mengintervensi karena duel itu masuk ranah hukum sudah tidak relevan. Karena situasinya sekarang, hukum telah dipolitisasi dan dimobilisasi sebagai kepentingan diri sendiri. Namun memang pemerintahan ini belum sampai pada tingkat kesadaran kritis seperti itu. Masih selalu memerlukan dorongan keras dari masyarakat sipil agar menciptakan kebijakan yang menyelamatkan bangsa ini.*
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 205
Dinamika Politik Intimidatif ABU RIZAL BAKRIE dan Partai Golkar meradang atas sikap Satgas PMH (Pemberantasan Mafia Hukum) yang dipandang telah keluar jalur dari tugasnya. Sebagai anggota partai koalisi pemerintah, Golkar menuntut diadakanya perombakan anggota Satgas PMH (SINDO, 27/2). Alasan tuntutan tersebut adalah ada personel satgas yang mempolitisasi kasus mafia pajak Gayus Tambunan, yaitu mengaitkannya pada eksistensi Abu Rizal Bakrie sebagai elite ekonomi yang juga merupakan Ketua Umum Partai Golkar. Jika Presiden SBY tidak memenuhi tuntutan perombakan personel tersebut, Golkar melalui salah satu politisinya di senayan memberi peringatan akan adanya konsekuensi politik bagi presiden. Tidak berselang lama, 100 tokoh masyarakat sipil mendeklarasikan Geram (Gerakan Rakyat Antimafia-Hukum) yang mendukung lembaga penegakan hukum termasuk Satgas MPH untuk terus bekerja menjalankan misi pemberantasan korupsi. Pada konteks dinamika sosiologi korupsi ini, menjadi penting bagi publik mengintepretasi makna dan nalar di balik wacana adanya konsekuensi politik dari Partai Golkar tersebut. Konsekuensi politik
Makna indeksikal atau makna tersirat dari wacana adanya konsekuensi politik secara awam tentu tidak tunggal. Namun menggunakan ilmu fenomenologi, wacana selalu terikat wilayah makna (province of meaning) yang diciptakan oleh intensitas Negara Gagal Mengelola Konflik 206
bahasa yang berulang oleh pelaku sosial. Wilayah makna dari wacana konsekuensi politik adalah ancaman terhadap kekuasaan eksekutif karena intensitas bahasa itu terus berulang dari politisi Golkar sebelum dan sesudah partai ini masuk menjadi bagian setgab koalisi pemerintahan SBY. Bahasa yang paling hangat saat ini terlalu jelas bagi publik karena langsung ditujukan pada SBY sebagai pengemban amanat rakyat dalam kekuasaan eksekutif. Dari analisis fenomenologis ini, makna ancaman dari konsekuensi politik tampaknya berkait dengan destabilisasi kekuasaan eksekutif. Seperti pada Skandal Century yang hanya dijadikan sebagai komoditas politik daripada tulus sebagai upaya penegakan hukum. Konsekuensi politik dalam bentuk ancaman destabilisasi politik tentu saja memiliki nalar yang bekerja untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Secara sosiologis nalar merupakan kalkulasi dan cara mencapai tujuan-tujuan jangka pendek ataupun panjang. Pada konteks wacana politisi Golkar tentang konsekuensi politik adalah cara mencapai tujuan politiknya. Pertanyaan kritisnya adalah apa tujuan politik mendestabilisasi kekuasaan eksekutif? Dalam Socioloy of Elites (2007) Michael Hartman melalui studi historisnya, menemukan fenomena yang terpola bahwa destabilisasi politik merupakan cara elite merebut kekuasaan melalui disfungsionalisasi lembaga-lembaga strategis negara. Namun, mernurut Hartman destabilisasi politik bisa juga merupakan cara memperlemah kebijakan-kebijakan baru yang mengancam kepentingan politik ekonomi elite-elite tertentu. Memanfaatkan studi sosiologi elite-nya Hartman tersebut, bisa dibaca makna dan nalar wacana tentang konsekuensi politik dari politisi Golkar. Tanpa harus menyebut kepentingan apa yang sedang dilindungi, cara mendestabilisasi fungsi lembaga strategis tampaknya sedang berlangsung. Yaitu memposisikan Satgas PMH sebagai bagian dari konspirasi mendeskriditkan ciDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 207
tra baik pimpinan di tubuh Partai Golkar. Memang tidak bisa dihindari bahwa kerja satgas pada tingkat tertentu tidak imun dari instrumentasi kepentingan politik lain. Namun demikian untuk menentukan apakah lembaga pemberantas mafia hukum ini keluar jalur atau tidak, seharusnya tidak melalui politik intimidasi. Perilaku politik ini hanya memperlihatkan bahwa elite politik, khususnya di Partai Golkar saat ini, sedang kebakaran jenggot. Mission impossible
Fenomena praktik wacana para elite politik terkait dengan korupsi seperti di atas memperlihatkan bagaimana jejaring koruptor dan mafia hukum sangat kuat dan seperti tak mungkin dihadapi. Upaya pemberantasan korupsi oleh KPK pun Satgas PMH terhadap para mafia hukum yang menguasai modal dan struktur politik tertentu mengingatkan kita pada film laga Mission Impossible. Esensi film tersebut menggambarkan begitu kuatnya jejaring kejahatan yang melalui kacamata awam mustahil dibongkar dan diadili. Sama halnya dengan jejaring kejahatan korupsi dan mafia pajak di Indonesia yang begitu luar biasa kuat. Tanpa bermaksud menciptakan efek cinematik dalam dunia sosial riil, lembaga seperti KPK dan Stagas PMH bisa diibaratkan sebagai agen khusus yang menjalankan mission impossible dalam membongkar jejaring mafia hukum. Namun karena Satgas PMH maupun KPK sebagai lembaga yang tidak rahasia dan berada dalam pusaran politik para elite dan berbagai kepentingannya maka selalu rentan untuk dikriminalisasi dan dilemahkan fungsinya. Menggunakan logika awam pun sudah cukup jelas, bahwa siapapun yang berniat mengkriminalisasi dan melemahkan lembaga pemberantasan korupsi tentunya bisa diidentifikasi masuk dalam jejaring sosial yang mana. Jika demikian adanya sangat relevan dan perlu didukung inisiatif 100 tokoh masyarakat sipil dalam Gerakan Rakyat AnNegara Gagal Mengelola Konflik 208
timafia Hukum. Selain mendukung pemberantasan korupsi, gerakan masyarakat sipil ini cukup jelas menantang wacana konsekuensi politik dari politisi Golkar. Tantangan yang merupakan bentuk refleksi kemangkalan masyarakat sipil terhadap belum optimalnya pemberantasan korupsi. Jika energi masyarakat sipil cukup, gerakan serupa perlu juga dilakukan di berbagai daerah demi pemberantasan korupsi dan mafia hukum di tingkat lokal. Dukungan masyarakat sipil yang mendeklarasikan Geram Hukum bukan saja legitimasi politik bagi agen-agen pemberantas korupsi dan mafia hukum tetapi juga bagi presiden. Namun demikian presiden perlu memberikan posisi yang lebih jelas dan tegas dalam menangani kasus mafia pajak. Selama ini ada kesan kehati-hatian politik dari presiden sehingga membuat para aktor dalam jejaring mafia pajak merasa di atas angin. Hal ini terbukti dari pemberantasan korupsi mengalami stagnasi selama periode 2010, padahal tahun sebelumnya sudah cukup bagus. Mungkin saat ini adalah momen yang tepat untuk memperlihatkan bahwa kekuasaan eksekutif yang memenangi pemilu 2009 tidak gentar melawan jejaring mafia hukum dan koruptor. Mafia hukum dan koruptor adalah ancaman bagi kehidupan satu bangsa, sehingga misi membongkar dan mengadilinya harus terus dilaksanakan walaupun proses ini adalah mission impossible.*
* Artikel ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 8 Februari 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 209
Konflik Politikus Benalu DUNIA politik Indonesia adalah medan konflik para politisi benalu, yaitu para mafia hukum dan koruptor. Medan konflik yang riuh oleh isu-isu panas seperti korupsi pajak, korupsi proyek pembangunan sampai dugaan korupsi bantuan sosial di delapan kementrian. Medan konflik, apapun isu konfliknya, selalu mengalami eskalasi pertarungan yang disertai oleh feno-mena mobilisasi sumberdaya konflik di panggung politik nasional. Sumberdaya konflik seperti penguatan barisan politik, intimidasi mental, sampai finansial akan terus dimobilisasi oleh pihak berkonflik dengan tujuan menang dan selamat. Masalah mendasarnya adalah setiap eskalasi konflik selalu menciptakan resiko terhadap lingkungan seperti kerusakan infrastruktur dan sistem. Pada konteks medan konflik para politisi benalu, resikoresiko dari konflik yang mengancam dunia politik Indonesia harus bisa didiagnosa dan ditangani secara progresif. Resiko Konflik
Gaya konflik kaum politisi benalu tidak jauh berbeda dengan berbagai konflik lainnya yang berdaimensi konflik etnis, agama, dan konflik sosial lainnya. Ketika salah satu pihak berkonflik mengalami kondisi terancam, ada kecenderungan penggunaan gaya konflik duel (contentious). Gaya konflik ini menggambarkan bahwa pihak-pihak berkonflik dihadapkan pada pilihan jalan keluar yang menyempit. Mereka merasa hanya memiliki pilihan hitam atau putih, selamat atau hancur semua yang diNegara Gagal Mengelola Konflik 210
manifestasikan dengan gaya duel. Pada pilihan gaya duel inilah medan konflik mengalami eskalasi dengan berbagai mobilisasi sumberdaya konflik. Contoh aktual di dalam medan konflik tersebut adalah M. Nazaruddin dengan Mirwan Amir dan Angelina Sondakh, ketiganya dari Partai Demokrat, yang isu spesifiknya tentang korupsi pembangunan Wisma Atlit Sea Games XXVII di Palembang. Nazaruddin yang lari ke Singapura memilih duel dengan menyerang politisi lain yang dianggap sebagai lawan. Nazaruddin menempatkan Mirwan dan Angelina sebagai lawan dalam medan konflik ini karena dipandang telah merugikan dan membahayakan posisinya dalam struktur kekuasaan. Apapun yang ada dalam persepsi Nazaruddin saat ini, gaya konflik duelnya melawan politisi-politisi lain telah menciptakan eskalasi. Pada situasi eskalasi konflik ini, resiko-resiko konflik muncul karena menggelombangnya mobilisasi sumberdaya konflik masing-masing pihak. Kasus Nazzaruddin hanyalah satu kasus kecil eskalasi di dalam medan konflik kaum politisi benalu yang tertangkap mata publik. Duel para politisi benalu saat ini sangat mungkin mendominasi panggung politik nasional yang tentu saja menciptakan resiko-resiko konflik. Resiko konflik adalah akibat buruk yang disebabkan oleh eskalasi konflik terhadap kondisi fisik atau infrastruktur dan sistem hidup. Pada konteks konflik para politisi benalu, kerusakan sistem hidup lebih sering terjadi karena dimensi konflik ini tidak memobilisasi sumberdaya kekerasan fisik. Namun lebih pada sumberdaya ekonomi politik dalam bentuk tafsir pada aturan hukum, lobi-lobi politik, dan menyuap dengan uang. Berkaitan dengan resiko konflik, Benjamin Reilly (Democracy in Divided Society, 2004) menjelaskan bahwa resiko konflik dengan mobilisasi sumberdaya politik akan terjadi dalam Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 211
bentuk kerusakan sistem. Resiko tersebut akan hadir dalam bentuk pelemahan fungsi-fungsi ideal sistem normatif dan bahkan sampai pada taraf matinya fungsi ideal dari sistem tersebut. Pada negara demokrasi kerusakan itu akan diperlihatkan oleh fenomena ketidakpastian hukum dan tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjalankan tugas konstitusional dan mandat demokrasi. Sebaliknya, kerusakan sistem itu ditandai oleh adanya kecenderungan lembaga-lembaga negara yang dimanfaatkan untuk memenangkan duel diantara para politisi benalu. Proses mobilisasi sumberdaya konflik para politisi benalu seperti politisasi tafsir hukum, lobi-lobi, dan penyuapan jelas merusak sistem demokrasi. Jika eskalasi duel para politisi benalu tidak diintervensi secara progresif maka resiko konflik dalam bentuk kerusakan sistemik pada demokrasi Indonesia akan semakin parah. Ketika kerusakan sistemik ini tak tertangani, lembaga-lembaga negara tidak akan mampu bekerja untuk melayani rakyat. Intervensi Progresif
Konflik para politisi benalu yang memobilisasi sumberdaya konflik harus diintervensi secara progresif. Yaitu proses penanganan eskalasi konflik oleh pihak-pihak yang kuat dengan melandaskan prinsip keadilan rakyat. Pada kasus konflik para politisi benalu di Indonesia, tujuan utama intervensi ini adalah menyelamatkan sistem demokrasi dari kerusakan dengan cara membawa paksa para politisi benalu pada mekanisme penyelesaian konflik yang seharusnya. Mekanisme ini adalah mekanisme yudisial yang dilaksanakan oleh lembaga pengadilan dan KPK. Pihak kuat yang bisa membawa paksa para politisi benalu tersebut pada mekanisme yudisial idealnya adalah lembagaNegara Gagal Mengelola Konflik 212
lembaga hukum negara seperti kepolisian dan kejaksaan. Namun sungguh sulit membawa para politisi benalu tersebut pada mekanisme yudisial. Para politisi benalu yang tetap tinggal di dalam negeri saja tidak bisa dibawa pada mekanisme yudisial secara mudah. Apalagi mereka yang telah lari ke luar negeri sebanyak empat puluh lima orang, termasuk Nunun dan M. Nazaruddin. Sehingga banyak para politisi benalu tidak segera bisa dibawa ke mekanisme yudisial demi keadilan. Sebagian kecil saja yang sudah dibawa ke mekanisme yudisial seperti kasus cek pelawat Miranda Goultom. Itu pun berlangsung sangat lambat di tengah gencarnya mobilisasi sumberdaya konflik diantara politisi benalu yang ingin menang dan selamat. Alasan masih kurangnya bukti dan taat pada prosedur perundangan sering disampaikan pada publik luas. Alasan yang sering keluar dari lembaga-lembaga hukum negara tersebut bisa jadi adalah manifestasi dari resiko konflik para politisi benalu. Konflik para politisi benalu yang memobilisasi seluruh sumberdaya mereka telah menyeret lembaga-lembaga yudisial keluar dari mandat demokrasinya. Masuk dalam pusaran politik yang bukan wilayah kerjanya. Seperti ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi laporan kasus M. Nazaruddin pada Presiden SBY. Ketua MK menyebutkan bahwa penyerahan uang kepada sekjen MK, bukan sebagi kasus suap namun hanya pelanggaran kode etik. Karenya tidak dilaporkan pada KPK. Praktik ini mungkin refleksi dari kerusakan sistem demokrasi, karena lembaga hukum seperti MK sudah memberi tafsir politis. MK terjebak sebagai bagian dari mobilisasi sumberdaya konflik para politisi benalu. Seharusnya lembaga-lembaga yudisial, termasuk MK, dalam medan konflik para politisi benalu melakukan fungsi intervensi progresif dengan membawa para politisi benalu pada mekanisme yudisial. Mereka harus menjadi pihak kuat untuk Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 213
menangani eskalasi konflik para politisi benalu yang menciptakan resiko konflik besar pada demokrasi Indonesia.*
* Artikel Konflik Politikus Benalu ini pernah dimuat di Koran Tempo, 5 Juli 2011.
Risiko Perombakan Kabinet Kompromistis ISTANA sedang sibuk dengan kerja politik Presiden SBY memenuhi tuntutan publik terhadap pelaksanaan reshuffle kabinet. Selain pergantian dan rotasi posisi beberapa menteri, kebijakan yang paling menyolok adalah ‘penggemukan’ kabinet melalui penambahan jumlah posisi wakil menteri (wamen). Presiden SBY telah melakukan reshufle kabinet yang kompromistis. Reshuffle kompromistis seringkali ditampilkan oleh SBY, seperti yang diperlihatkan SBY melalui pidato presiden pada awal Maret 2011, mengenai keberlanjutan koalisi. Presiden SBY tidak menunjuk langsung apalagi memberi sangsi pada partai politik anggota Setgab Parpol pendukung pemerintah yang dianggap keluar dari kesepakatan koalisi. Pidato presiden tidak menunjuk secara tegas partai koalisi mana yang melanggar kesepakatan koalisi, maupun sanksi tegas berupa reshuffle atau pengurangan jatah menteri, demikian pula dengan deadline sanksi yang juga tidak disebutkan oleh SBY. SBY hanya mengatakan akan berkomunikasi dengan pimpinan parpol yang masuk sebagai anggota Setgab Parpol pendukung pemerintah (Kompas. com, 2/3/2011). Pada periode sebelumnya hanya ada sepuluh wamen dan sekarang menjadi delapan belas wamen. Alasan kebijakan penambahan jumlah posisi wamen adalah memaksimalkan kerja menteri yang makin kompleks masalahnya. Pembenaran terhadap kebijakan politik oleh istana tentu syah-syah saja. Namun kebijakan penggemukan kabinet juga memiliki makna tersendiri
Negara Gagal Mengelola Konflik 214
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 215
pada konteks realitas konflik abadi di dalam koalisi presidensial. Penambahan jumlah wamen juga bermakna bahwa SBY telah mempraktikkan reshuffle kompromistis yang dilandasi oleh transaksi berbasis akomodasi kepentingan parpol. Padahal reshuffle kompromistis memiliki resiko cukup fatal, yaitu reproduksi disensus politik. Disensus Politik
Memang eskalasi konflik politik contentious (ngotot) diantara parpol anggota koalisi Presiden SBY tidak terlalu kentara pada proses reshuffle kali ini. Situasi yang terkesan tidak panas tersebut bisa jadi merupakan efek strategi konflik lingkaran Presiden SBY, yaitu memberi jaminan bahwa parpol koalisi tetap mendapat jatah ‘aman’ dalam kabinet. Isu dalam negosiasi SBY dan partai koalisi adalah mencari kesepakatan atas sirkulasi elite dari setiap parpol koalisi. Sehingga eskalasi politik contentious lebih terjadi di lingkungan internal parpol, yang sibuk berkotestasi siapa mengganti siapa. Sudah menjadi fakta politik bahwa kebijakan penempatan menteri dari parpol lebih besar dipengaruhi oleh unsur transaksi politik. Presiden memberi porsi kekuasaan dalam kabinet dan parpol memberi dukungan kohesi koalisi pemerintahan. Namun pada saat bersamaan, tuntutan publik atas kompetensi kabinet terhadap kinerjanya mengharuskan presiden melakukan ‘improvisasi’ politik. Improvisasi politik tersebut lahir dalam bentuk penambahan jumlah wamen dalam kabinet. Para wamen kemungkinan adalah hasil pertimbangan rasional presiden pada kompetensi profesi. Beberapa sosok nonparpol seperti Denny Indrayana pakar hukum, Musliar Kasim mantan rektor Universitas Andalas, dan Wardana mantan Dubes RI di Singapura menjadi bentuk empirisnya. Sehingga ‘penggemukan’ kabinet Presiden SBY adalah hasil kompromi antara Negara Gagal Mengelola Konflik 216
kepentingan transaksional politik dan public grievance (tuntutan publik) atas kompetensi posisi menteri. Secara simplistis, reshuffle kompromistis tersebut dipandang akan mampu menjawab public grievance dalam menciptakan pemerintahan eksekutif yang efektif, efisien, dan mampu mengorganisasi pembangunan nasional secara optimal. Namun sesungguhnya reshuffle kompromistis tersebut mengandung resiko mendasar, yaitu meningkatnya disensus politik di dalam pemerintahan SBY. Disensus politik merupakan kondisi tidak tercapainya kesepakatan, dan melemahnya kerjasama konstruktif antara beberapa pihak dalam struktur kekuasaan. Jacques Ranciere (Dissensus on Politics and Aesthetics, 2010) mengemukakan bahwa disensus politik akan terus direproduksi ketika setiap elite politik memiliki konsep, identitas, dan posisi kepentingan yang secara substansial berseberangan. Disensus mengalami eskalasi ketika aktivitas-aktivitas riil di lapangan mulai dijalankan dengan ditandai oleh kontestasi wacana dan perang legitimasi diantara para elite. Karena setiap elite politik tersebut tentu melakukan upaya proteksi terhadap konsep, identitas, dan kepentingan masing-masing. Pendapat Ranciere tentang disensus politik, sangat mungkin terjadi dalam kabinet pemerintahan SBY hasil reshuffle kompromistis tersebut. Disensus antara menteri versus wamen kemungkinan besar akan direproduksi. Konsekuensi yang mungkin terjadi ketika disensus politik direproduksi di dalam kabinet SBY adalah disefisiensi program pemerintahan, instabilitas pemerintahan eksekutif, dan kekacauan dalam pengorganisasian pembangunan. Kabinet yang sarat disensus politik menyebabkan pembangunan nasional tersendat dan penegakan hukum makin loyo. Dampak selanjutnya adalah kualitas sosial ekonomi masyarakat tidak akan mengalami perbaikan mendasar. Upaya mencegah disensus politik dalam kabinet hasil reshuffle kompromistis, tidak bertujuan mengobati Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 217
pembusukan kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBY an sich, namun lebih mendasar adalah menyelamatkan nasib masa depan bangsa Indonesia yang saat ini seperti dipertaruhkan pada jurang gelap ketidakpastian. Kepemimpinan Progresif
Jika reshuffle kompromistis menciptakan kemungkinan disensus politik dalam pemerintahan, harapan ditumpukan pada fungsi kepemimpinan eksekutif yang kuat dan mampu memobilisasi wewenangnya. Langkah pertama mencegah reproduksi disensus politik adalah menciptakan aturan main legal dalam kabinet. Aturan main legal dalam kabinet menjadi pondasi pengorganisasian yang mencakup pembagian kerja dan mekanisme sangsi. Eksistensi aturan legal jelas penting, seperti mekanisme wamen boleh atau tidak untuk ikut serta dalam sidang kabinet, wewenang antara menteri dan wamen, sampai berapa gaji dan fasilitas yang diterima. Aturan-aturan tersebut sudah tentu sudah dipersiapkan oleh presiden SBY. Namun aturan legal tidak jarang mengalami destruksi pada konteks sosiologi politik Indonesia yang masih disarati oleh kontestasi politics of greed (politik serakah). Habit para elite politik yang masih dominan adalah melanggar aturan-aturan tertentu yang merugikan, dan mempertahankan aturan-aturan yang menguntungkan kepentingan sendiri. Berdasarkan pada realitas sosiologi politik inilah langkah kedua presiden yang krusial adalah kepemimpinan progresif kekuasaan eksekutif. Dimensi praktik politik dalam kepemimpinan progresif mencakup komunikasi kebijakan frekuentif yang transparan di hadapan publik, pengawasan intensif, dan bahkan intervensi aktif pada kabinet. Sedangkan simpul kepemimpinan progresif presiden terletak pada komitmen “turun lapangan”. Negara Gagal Mengelola Konflik 218
Seperti hipotesis tersebut di atas bahwa disensus politik akan mengalami reproduksi massif di level aktivitas lapangan. Karena di sinilah para elite secara praktis mengalami persinggungan dan pertentangan. Makna turun lapangan yang sering dilontarkan para ilmuwan sosial pada presiden, adalah keaktifan presiden mengorgani-sasi kerja-kerja eksekutif sampai pada level teknis administratif. Seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan penegakan hukum. Presiden tidak sekedar datang pada acaraacara seremonial, yaitu ketika ada peresmian atau kunjungan sosial. Namun presiden perlu terlibat pada level lapangan, seperti proses perencanaan dan implementasi kebijakan bersama tim kabinetnya. Melalui praktik turun lapangan ini pun, presiden bisa mengelola pertentangan yang muncul di aktivitas lapangan tim kabinetnya. Kepemimpinan progresif presiden akan menegakkan aturan-aturan legal dalam kabinet hasil reshuffle kompromistis dan mencegah reproduksi disensus politik. Reshuffle kompromistis pada kabinet bisa saja memberi peluang pada peningkatan kinerja pemerintahan jika Presiden SBY mempraktikkan kepemimpinan progresif. Presiden harus bekerja ekstra keras yang sangat melelahkan dan meneteskan keringat ‘darah’. Namun itulah kewajiban sebagai presiden yang telah meminta mandat kekuasaan dari rakyat.*
* Artikel Risiko Perombakan Kabinet Kompromistis ini pernah dimuat di Koran Tempo, 18 Oktober 2011.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 219
Wajah Rekonsiliasi Koalisi SBY PASCA kegagalan Partai Golkar dan PKS dalam menggolkan hak angket mafia pajak, konflik politik mengalami eskalasi di dalam lingkungan koalisi pemerintahan SBY. Koalisi pemerintahan SBY pun terombang-ambing di tengah permasalahan bangsa yang semakin kompleks dan sulit tertanggulangi. Situasi terakhir, SBY telah mengirim naskah revisi kontrak koalisi sebagai proses rekonsiliasi koalisi pemerintahannya. Semua anggota koalisi, termasuk Golkar, telah setuju secara resmi. Namun hanya PKS satu-satunya anggota koalisi yang belum membubuhi paraf tanda kesepakatan pada naskah kontrak baru (Tempointeraktif, 10/4). Fenomena rekonsiliasi dalam sistem kekuasaan ini perlu dicermati, terutama berkaitan prinsip politik dalam melakukan praktik rekonsiliasi. Karena secara mendasar rekonsiliasi seringkali dilandaskan pada posisi dan kompensasi yang ditawarkan memberi keuntungan atau tidak pada pihak berkonflik. Pada konteks ini, pertanyaan publik yang perlu diperhatikan adalah apakah posisi dan kompensasi yang dinegosiasikan dalam praktik rekonsiliasi tersebut memuat prinsip kerakyatan? Menakar rekonsiliasi
Gagasan rekonsiliasi adalah proses mengembalikan situasi eskalasi konflik yang sarat ketegangan dan miskin produktivitas kerja kepada situasi normal. Yaitu situasi yang di dalamnya terbangun ulang kohesifitas sosial yang ditandai oleh penguatan kerjasama konstruktif untuk melakukan kerja-kerja yang Negara Gagal Mengelola Konflik 220
bermanfaat bagi seluruh pihak. Namun praktik rekonsiliasi selalu melewati aktivitas negosiatif yang padat lalu lintas kodekode transaksi yang dipertukarkan oleh para pihak berkonflik. Pada berbagai dimensi konflik, materi transaksi selama proses rekonsiliasi seringkali berkaitan dengan posisi dan kompensasi bagi pihak berkonflik. Karena sifat alamiah sosiologis masyarakat berkonflik adalah mencari posisi yang aman dan sekaligus meraih keuntungan secara moral, ekonomi dan politis pasca rekonsiliasi. Begitu juga, dengan praktik rekonsiliasi dalam pemerintahan SBY yang sedang berlangsung saat ini. Kesepakatan atas kontrak revisi koalisi oleh para anggota koalisi, terutama dengan Golkar dan PKS, tentunya melewati fase aktivitas negosiatif yang ditandai oleh pertukaran kode-kode transaksi posisi dan kompensasi. Argumen PKS yang menyebutkan tentang kontrak koalisi yang semakin tidak demokratis untuk menjustifikasi belum bersepakatnya partai ini terindikasi bukan merupakan alasan sebenarnya. Jika memang demikian alasan utamanya, Golkar tentu akan melakukan praktik yang sama dengan mengevaluasi kandungan kontrak revisi koalisi. Namun faktanya Golkar cenderung tidak ambil pusing dan segera bersepakat. Fenomena belum sepakatnya PKS atas kontrak revisi koalisi menunjukkan gejala adanya ketidaksetujuan atas posisi dan kompensasi yang ditawarkan. Posisi dan kompensasi PKS dalam koalisi pemerintahan SBY selama ini dipandang aman yang ditandai oleh kompensasi jatah empat menteri di kabinet. Persepsi politik PKS menilai bahwa posisi dan kompensasi tersebut adalah wajar dan semestinya karena PKS adalah partai politik yang sejak awal mendukung pencalonan presiden SBY. Namun wacana pengurangan jatah menteri asal PKS cukup banyak, seperti yang disampaikan politisi Demokrat, Ulil Absyar Abdalla (Tempointeraktif, 7/4), merupakan kode transaksi posisi dan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 221
kompensasi pada PKS dalam praktik rekonsiliasi. Kode transaksi tersebut jelas memberikan gambaran konkrit bahwa posisi PKS sudah tidak aman yang tentu akan diikuti oleh pereduksian keuntungan ekonomi politis yang sangat besar. Posisi dan kompensasi yang tidak menguntungkan inilah yang tampaknya mendorong PKS masih belum setuju kontrak revisi. Perasaan politik PKS semakin sensitif atas kode transaksi dari Demokrat tersebut ketika melihat Golkar, rekan dalam memperjuangkan hak angket mafia pajak, tidak mendapatkan cukup kerugian dalam praktik rekonsiliasi. Posisi dan kompensasi untuk Golkar tidak banyak berubah, bahkan terlihat semakin solid dan kuat. Melihat fenomena posisi dan kompensasi Golkar yang tetap aman dalam rekonsiliasi koalisi pemerintahan SBY, publik tentunya akan melihat pada aspek historis masuknya Golkar pada barisan koalisi. Yaitu hasil dari transaksi ‘pengabaian‘ skandal Bank Century yang diindikasikan melibatkan SBY dan lingkaran pendukungnya. Sebaliknya, Golkar pun harus tetap berada dalam barisan koalisi untuk ‘mengamankan‘ dosa-dosa politik berkaitan dengan praktik penyimpangan pajak dari elite partainya yang disinyalir oleh KPK dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Sehingga, fenomena politik saling sandera antara Demokrat dan Golkar merupakan basis praktik rekonsiliasi saat ini. Diskoneksi kerakyatan
Praktik rekonsiliasi koalisi pemerintahan SBY tampaknya didominasi oleh oleh kode-kode transaksi posisi dan kompensasi yang miskin prinsip kerakyatan. Yaitu rekonsiliasi yang meletakkan visi politiknya pada kepentingan publik sebagai mandat demokrasi. Hal ini terbaca secara jelas bahwa kontrak revisi untuk rekonsiliasi tetap saja diindikasikan oleh praktik kepentingan sempit parpol. SBY harus melindungi malpraktik Negara Gagal Mengelola Konflik 222
politik pada kasus Skandal Bank Century, atau Golkar yang harus melindungi dugaan kasus kejahatan pajak elite partainya. Sedangkan PKS yang tidak cukup amunisi menyandera SBY, pun cenderung ingin tetap dalam koalisi dengan renegosiasi posisi dan kompensasi. Padahal jika ingin menggunakan prinsip kerakyatan, berada dalam barisan koalisi yang sarat skandal malpraktik politik adalah bentuk pengkhianatan pada prinsip kerakyatan dan mandat demokrasi. Praktik rekonsiliasi yang sedang berlangsung saat ini jelas mengalami diskoneksi kerakyatan. Yaitu rekonsiliasi yang tidak dilandasi oleh hasrat membela dan melindungi kepentingan umum rakyat, seperti kepentingan rakyat untuk terbebas dari kejahatan korupsi, dan memperoleh kebijakan berkeadilan. Menggunakan kritik Adrian Little (Democratic Piety, 2008), bahwa kesepakatan diantara kelompok-kelompok politik untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan yang mengalami diskoneksi kerakyatan bisa menghadirkan kekerasan struktural pada praktiknya. Karena kebijakan-kebijakan negara akan lebih cenderung abai dan bahkan mencelakai hajat hidup rakyat banyak. Sehinga realitas diskoneksi kerakyatan dalam proses rekonsiliasi pemerintahan SBY, tampaknya hanya menciptakan babak baru dari berbagai dimensi praktik kekerasan negara pada rakyatnya. Alhasil, korupsi di lembaga-lembaga negara tidak akan tertanggulangi dan para mafia hukum tetap bebas berkeliaran. Kebijakan anti kepentingan rakyat tetap direproduksi seperti foya-foya DPR atas nama studi banding, pembangunan gedung baru DPR yang tidak relevan pada masa ini, sampai kebijakan buruk di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pada realitas ini, sistem kekuasaan di Indonesia mungkin masih belum bisa hadir sebagai pelayan rakyatnya.* * Artikel pernah dimuat di Koran Tempo, 13 April 2011. Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 223
Konflik Reformis versus Orbaisme MENJELANG peringatan tiga belas tahun gerakan reformasi menggulingkan rejim otoritarian Orde Baru (Orba), publik dikejutkan oleh hasil survey Indo Barometer (IB). Survey bertajuk 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono tersebut memperlihatkan, seolah, betapa masyarakat Indonesia rindu pada masa Orba di bawah kekuasaan otoriter Soeharto. Pro dan kontra meriuh di ruang publik dalam merespon hasil survey tersebut. Namun terlepas dari pro dan kontra tentang aspek metodologis dan hasilnya, survey tersebut sebenarnya memberi sinyal bahwa penyelenggaran demokrasi selama ini dipandang gagal menjawab masalah riil masyarakat. Kegagalan tersebut sebenarnya sudah diramalkan oleh sebagian akvitis pro demokrasi pasca lengsernya Soeharto. Karena oligarkhi politik Orba kembali menguasai struktur kekuasaan sejak demokrasi Indonesia dipancangkan tahun 1998. Sehingga pada dasarnya sampai detik ini, konflik Reformisme melawan Orbaisme yang menguasai struktur kekuasaan masih berlangsung sengit. Pada situasi ini, menjadi penting bagi politik reformisme melakukan rekonsolidasi kekuatan untuk membersihkan demokrasi dari oligarkhi politik Orbaisme. Oligarkhi Orbaisme
Terhapusnya secara formal Orde Baru ditandai oleh demokratisasi yang memperluas kebebasan politik, pengakuan identitas, dan kesetaraan gender. Beberapa indikator demokratiNegara Gagal Mengelola Konflik 224
sasi bisa dilihat pada menjamurnya partai politik baru, lembaga swadaya masyarakat, ormas, dan media massa. Selain itu, pemilihan umum secara langsung untuk memilih presiden, gubernur, dan walikota/bupati adalah indikator institusional yang sering dirujuk sebagai terbangunnya politik demokrasi Indonesia. Secara teoretis, demokrasi akan menciptakan kekuasaan yang mereproduksi kebijakan pro rakyat, bersih dari korupsi, dan memberi perlindungan keamanan. Untuk itulah kalangan reformis mempercayai demokrasi sebagai sistem negara bangsa untuk menjawab masalah yang disebabkan otoritarianisme Orba. Namun ketika demokrasi dipancang sebagai sistem selama tiga belas tahun ini, kualitas hidup masyarakat seolah tidak membaik, dan bahkan dirasa memburuk. Pada tahun 2010 World Bank mengistimasi 100 juta penduduk masih miskin, BKKBN melaporan 13 juta anak-anak terancam putus sekolah, dan BPS memperlihatkan angka kematian bayi lahir lebih dari 100.000 setiap tahun. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan sistem transportasi tetap buruk sehingga banjir dan kemacetan menjadi ciri khas kota-kota Indonesia. Lalu berbagai aksi kekerasan terhadap minoritas pun tidak mampu dicegah dan ditangani oleh negara yang menyebabkan rasa takut menghampar di relung hidup masyarakat. Buruknya kualitas hidup masyarakat Indonesia di era demokrasi tidak lepas dari bagaimana negara dikelola oleh aktoraktor kekuasaan yang tidak mendengarkan suara rakyatnya dan korup. Menurut penelitian Political and Economy Risk Consultancy (PERC), Indonesia sampai tahun 2010 masih menjadi jawara Negara paling korup se-Asia Pasifik. Kondisi ini secara umum bisa diamati pada mengguritanya korupsi dalam Negara dan ‘memblenya’ pemberantasan korupsi oleh pemerintah. Kalangan reformis menyadari bawah pengelolaan Negara yang sarat korupsi ini adalah konsekuensi dari bersarangnya Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 225
oligarkhi politik Orbaisme dalam struktur kekuasaan. Ciri mendasar dari paham politik Orbaisme, selain kekerasan negara dan tuli dari aspirasi rakyatnya, adalah korupsi yang dihalalkan. Walaupun struktur kekuasaan negara dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif diisi melalui prosedur demokrasi, namun pertanggungjawaban demokrasinya (democratic accountability) pastilah lemah karena bercokolnya oligarkhi politik orbaisme tersebut. Karena itulah banyak kebijakan yang tidak benar-benar diorientasikan untuk melayani rakyat. Strategi konflik
Salah satu titik kelemahan gerakan reformasi 1998, mengutip istilah Ulrich Beck (1999), adalah “unforeseen consequences” dari penerapan politik demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang menawarkan kebebasan dan kesetaraan bagi semua pihak ternyata menjadi kuda troya bagi oligarkhi politik Orbaisme untuk masuk dan menguasai struktur kekuasaan. Strategi konflik kalangan reformis menjadikan penegakan hukum sebagai benteng perlawanan melalui isu-isu korupsi dan pelanggaran HAM mengalami degradasi energi. Karena sebagian tokoh gerakannya bahkan masuk menjadi bagian oligarkhi politik Orbaisme yang korup. Alasan kelompok ini melakukan perubahan politik dari dalam (againts within system) sampai sekarang pun tidak memberi efek transformatifnya. Sebaliknya mereka ikut andil aktif dalam menciptakan kebijakan-kebijakan negara yang melukai hati rakyat. Sesungguhnya, menggunakan istilah Daniel Saphiro (2004), mereka telah diseret di dalam “labirin konflik” reformisme melawan Orbaisme. Yaitu kondisi merumitnya hubungan konflik yang menjebak gerakan kalangan reformis pada jalan-jalan buntu dan menumpulkan konsistensi perjuangan membersihkan demokrasi dari politik Orbaisme. Namun masih ada kelompok-kelompok gerakan reformasi Negara Gagal Mengelola Konflik 226
yang tidak terjebak pada labirin konflik. Mereka aktif dan terus melakukan upaya-upaya penguatan penegakan hukum dan kontrol politik yang intensif. Mereka lebih banyak berafiliasi kedalam gerakan masyarakat sipil yang berfokus pada pemberantasan korupsi, pengawasan DPR, sampai advokasi buruh tani. Melalui konsistensi kelompok inilah sebenarnya politik Orbaisme yang tuli dari suara rakyat dan korup bisa dilawan. Strategi konflik melawan oligarkhi Orbaisme yang konsisten dengan berada di luar sistem merupakan pilihan yang paling efektif. Kemungkinan bagi kekuatan Orba menyeret gerakan reformis ini kedalam labirin konflik bisa diminimalisasi dan dicegah. Namun strategi konflik ini tidak bisa berdiri sendiri untuk mampu menciptakan kekuasaan yang benar-benar demokratis. Strategi konflik yang perlu dilakukan juga adalah dengan merekonsolidasi jejaring reformisme kedalam sebuah gerakan sipil yang kuat. Struktur kekuasaan yang dikuasai oleh oligarkhi Orbaisme harus mendapatkan tekanan politik yang masif dari masyarakat sipil. Tekanan politik yang mampu mempengaruhi secara kuat berbagai kebijakan negara. Sehingga srategi mendorong penegakan hukum dengan menyeret satu persatu anggota oligarkhi Orbaisme yang korup ke meja pengadilan akan dibersamai oleh kemungkinan terbentuknya praktek kekuasaan yang tidak berani mengeluarkan kebijakan elitis anti kerakyatan. Ketika strategi konflik kalangan reformis tersebut bisa terus dilakukan secara konsisten, oligarkhi politik Orbaisme tentu bisa dibersihkan dari demokrasi Indonesia. Pada dasarnya, rakyat Indonesia harus menyadari bahwa kondisi buruknya kualitas hidup saat ini bukanlah disebabkan oleh sistem demokrasi sehingga masa Orba lebih baik. Namun karena oligarkhi politik Orbaisme yang masih berkuasa lah demokrasi gagal dalam memberikan kualitas hidup yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu harus ada asa melanjutkan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 227
gerakan reformasi dengan strategi konflik yang efektif melawan oligarkhi politik Orbaisme.*
Bibliografi Beck,Ulrich. 1999. World Risk Society. Oxford : blackwell publisher.
* Artikel Konflik Reformis versus Orbaisme ini pernah dimuat di Koran Tempo, 20 Mei 2011.
Berger, Peter L. 1999. Internalization of violence. Cambridge: Cambridge University Press Hartman, Michael. 2007. Socioloy of Elites. London : Routledge Little, Adrian. 2008. Democratic Piety : Complexity, Conflict, and Violence. Eidenburg : Eidenburg University Press. Margianto, Heru. Surat Cinta” Century. Diakses 20 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/read/2012/01/10/10252828/.Surat. Cinta.Century. Ranciere, Jacques. 2010. Dissensus on Politics and Aesthetics. New York.: Continuum. Rosenbergh, Marshall.2003. Non Violent Communication : a Languange of Life. New York Puddledancer press. Reilly, Benjamín. 2004. Democracy in Divided Society. Tilly, Charles., and Tarrow, Sydney G. 2007. Contentious politic. Paradigm publisher. Media Kompas.com., ( 12 Januari 2009). Jelang Pemilu 2009, Konflik bermotif politik bakal meningkat. Diakses pada 20 Maret 2012 dari http://properti.kompas.com/read/2009/01/12/16390182/Jelang. Pemilu.2009.Konflik.Bermotif.Politik.Bakal.Meningkat. Kompas.com., (23 Januari 2010). Etika politik di skandal Century.
Negara Gagal Mengelola Konflik 228
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 229
Diakses pada 20 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/ read/2010/01/23/04200520/Etika.Politik.di.Skandal.Century. Kompas.com., (2 Maret 2011). Soal koalisi, pidato SBY tak tegas. Diakses 17 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/ read/2011/03/02/17402948/Soal.Koalisi.Pidato.SBY.Tak.Tegas. Kompas.com., (26 Desember 2011). Elite politik bersekongkol dengan pemilik modal. Diakses pada 20 Maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/read/2011/12/26/20260051/Elite.Politik. Bersekongkol.dengan.Pemilik.Modal.
BAB VI
Negara dan Tata Kelola Konflik
Negara Gagal Mengelola Konflik 230
Masalah Disparitas Pembangunan HARI RAYA Idhul Fitri 1 Syawal 1431 H sudah terlewati yang ditandai oleh fenomena arus mudik (dan balik) mereka yang bekerja di kota-kota besar ke daerah asal. Arus mudik dari Jakarta ke berbagai daerah tercatat sekitar sekitar 2,2 juta orang, dan jika ditotal pemudik dari kota-kota besar Indonesia ke seluruh pelosok tanah air mencapai 15,5 juta orang. Isu menariknya bukan hanya kemacetan lalu lintas saja, namun tingginya jumlah pemudik juga menggambarkan masalah mendasar, yaitu urban primacy (terpusatnya populasi di kota) yang menandakan tingkat disparitas pembangunan kota dan desa. Banyaknya sumber daya manusia daerah yang mencari pekerjaan ‘layak’ dan melakukan aktivitas ekonomi di perkotaan besar memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi daerah pedesaan masih tidak optimal. Hal ini berarti pula bahwa otonomi daerah belum mampu mendinamisasi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan sosial ekonomi pedesaan. Ketimpangan Kota-Desa
Di atas kertas, sentralisme kekuasaan dan pembangunan yang berlangsung selama sekitar tiga puluh dua tahun mungkin sudah terhapus dan digantikan oleh otonomi daerah. Namun penyakit sentralisme ternyata masih bersemayam kuat di dalam proses pembangunan nasional, yaitu ketimpangan wilayah (spatial ineqiality) yang cukup akut. Menurut Kanbur dan Venables dalam Spatial Inequality and Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 233
Development (2005) gejala-gejala dari penyakit ketimpangan wilayah diantaranya adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pedesaan, jeleknya fasilitas infratruktur, aktivitas perbankan yang rendah, kebijakan pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam semata, sampai tidak tersedianya lapangan kerja berbasis pada karakter sosal ekonomi lokal yang mencukupi. Jika dilihat dalam perspektif ekonomis, gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah tersebut berdampak pada rendahnya angka pendapatan. Sebaliknya wilayah kota-kota besar , seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota besar lainnya aktivitas pembangunan tersebut mengalami percepatan luar biasa. Gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah antara kota dan daerah (desa) dalam pembangunan tersebut memiliki sebabsebab utamanya. Kalangan ilmuwan sosial menyepakati bahwa penyakit ketimpangan wilayah berpangkal pada rendahnya kualitas kepemimpinan daerah dalam mendorong pembangunan. Bahkan otonomi daerah ditandai oleh terciptanya raja-raja kecil yang giat membangun kekuasaan dinasti lokal dan mengabaikan substansi kekuasaan demokratis. Selain itu kepemimpinan daerah juga ditandai oleh praktek korupsi yang masih tinggi. Berdasarkan laporan KPK pada tahun 2009 saja ada 19 bupati/walikota dan 5 gubernur yang menjadi terdakwa praktek korupsi tersebut. ICW juga menyebutkan bahwa 60,6% praktek korupsi terjadi di tingkat daerah. Lemahnya kepemimpinan daerah secara politis menyebabkan tata pemerintahan dan kebijakan yang buruk. Kebijakan-kebijakan pembangunan daerah pada umumnya masih bersifat pragmatis seperti kebijakan eksploitasi alam besar-besaran demi memacu pendapatan daerah secara instan tanpa diimbangi oleh aktivitas produktif lainnya berbasis pada kreativitas ekonomi daerah. Seperti pembangunan sektor pertanian yang menjadi ciri aktivitas ekonomi di pedesaan masih Negara Gagal Mengelola Konflik 234
belum didorong oleh kebijakan-kebijakan daerah yang kreatif. Sebaliknya fenomena umum yang sering muncul di media massa adalah terpinggirnya dan terseoknya para petani. Pandangan sinis publik selama ini melihat bahwa aktivitas pertanian mungkin dianggap bukan sebagai ‘ladang basah’ bagi pemimpin dan birokrasi lokal untuk dikorupsi. Selain masalah kepemimpinan daerah dan kepemerintahan yang buruk, ketimpangan wilayah juga disebabkan oleh makna publik di daerah terhadap kesempatan berusaha di kota. Kota merupakan area dinamis oleh peredaran uang yang cepat, pusat industri dan jasa, serta gaya hidup modernisme yang dipandang selalu lebih baik dari tradisionalisme desa. Sebut saja peristiwa sosial ini sebagai makna ‘kota utopia’ masyarakat desa, yaitu tempat segala mimpi tentang kebahagiaan bisa diraih. Begitu kuatnya makna kota sebagai pusat mimpi terhadap perbaikan nasib ekonomi dan gaya hidup bisa jadi adalah warisan Orde Baru. Sentralisme pembangunan kota menyebabkan geliat megah perkotaan, terutama Jakarta, adalah wilayah yang dianggap mampu memberi harapan dan menyelamatkan kemiskinan di desa. Sehingga sumber daya manusia daerah mengalir ke perkotaan dan kembali ke desa ketika berhari raya saja. Upaya-upaya Penanganan
Secara normatif upaya menanggulangi sebab dari masalah disparitas pembangunan adalah dengan pemantapan good governance melalui reformasi birokrasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pembangunan. Secara kebudayaan, makna ‘kota utopia’ perlu ditanggulangi melalui konsep-konsep ‘desa utopia’, artinya menjadikan desa sebagai tempat terealisasinya mimpi atas hidup sejahtera. Pendidikan adalah kelembagaan yang paling esensial dalam merubah konstruk budaya ini, baik dari tingkat dasar sampai menengah atas. Peran media
massa pun menjadi penting berkaitan dengan konstruk makna gaya hidup melalui tayangan-tayangan yang mengonstruk budaya adiluhung desa. Selain upaya menangani sebab-sebab politik dan kultural atas disparitas pembangunan tersebut, sangat diperlukan langkah strategis tingkat daerah dengan menciptakan penyeimbangan pembangunan desa-kota. Salah satu kunci dari penyeimbangan pembangunan desa adalah penguatan pembangunan pertanian, termasuk di dalamnya peternakan, yang berbasis di pedesaan. Kebijakan pembangunan pertanian daerah sampai saat ini masih dinilai tidak serius, sebagaimana disebutkan diatas bahwa ada kecenderungan daerah-daerah memilih eksploitasi sumber daya alam daripada memperkuat sektor produktif lainnya seperti pertanian. Ciri lain lemahnya kebijakan penguatan pembangunan pertanian adalah kesulitan akses kredit usaha di kalangan kelompok-kelompok usaha pertanian di desa. Walaupun selama ini sudah ada berbagai himbauan agar perbankan memberi kemudahan akses kredit, berdasar pada pengalaman penelitian penulis di lapangan kelompok pertanian masih menemui kesulitan. Pemerintah daerah belum banyak melakukan intervensi dan improvisasi dalam masalah ini, kecuali ikut melaksanakan program-program pembangunan desa yang diinisiasi dari pusat seperti program PNPM mandiri. Kota dan desa seringkali digambarkan kedalam dua aktivitas ekonomi berbeda. Kota memiliki aktivitas industri di bidang industri dan jasa. Sedangkan desa memiliki aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan tradisionalisme sosial. Tidak ada yang perlu dirubah secara substansial dari ciri aktivitas pembangunan di kota dan pedesaan. Yang penting adalah menangani sebab-sebab dari masalah disparitas pembangunan dan upaya menciptakan penyeimbangan pembangunan desa-kota. Sehingga fenomena pada tahun-tahun selanjutnya adalah jumlah pemudik tidak terNegara Gagal Mengelola Konflik 236
lalu besar karena telah terjadi pemerataan pembangunan sosial ekonomi antara desa dan kota.*
* Artikel Masalah Disparitas Pembangunan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 29 September 2010.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 237
Kanalisasi “Ganyang Malaysia” KETEGANGAN hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang dipicu ‘peculikan’ staff DKP dari wilayah kedaulatan Indonesia, telah mendorong masyarakat beramai-ramai membuka posko ‘Ganyang Malaysia’. Kejadian ‘penculikan’ ini terjadi pada tanggal 13 Agustus 2010, dimana 3 staff kapal patroli Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia ditangkap oleh Polisi Marine Malaysia di wilayah Tanjung Berakit, Pulau Bintan, Kabupaten Riau. 3 staff kapal patroli DKP Indonesia ‘diculik’ oleh Polisi Marine Malaysia karena dianggap pihak DKP Indonesia menolak menyerahkan nelayan Malaysia yang ditangkap oleh DKP Indonesia karena sudah memasuki wilayah Indonesia kepada Polisi Marine Malaysia (Kompas.com, 15/08/2010). Berbagai kelompok masyarakat di pelosok tanah air memperlihatkan semangat nasionalisme yang luar biasa membara. Fenomena yang pada satu sisi melegakan nafas nasionalisme keindonesiaan, namun pada sisi lain juga memprihatinkan visi politik damai yang sedang dibangun demokrasi Indonesia. Kekecewaan masyarakat Indonesia selama ini selalu ditandai oleh gelombang protes dan mobilisasi massa lainnya. Berbagai kasus global seperti penindasan Israel pada Palestina, atau agresi Amerika Serikat ke Irak atau Afghanistan selalu diikuti oleh mobilisasi sukarelawan untuk ikut berperang. Pada kasus ketegangan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, mobilisasi sukarelawan untuk berperang pun menggelombang tinggi melalui posko ‘ganyang Malaysia’. Mengapa masyarakat kita cenderung Negara Gagal Mengelola Konflik 238
menciptakan tradisi ganyang dan perang daripada negosiasi damai? Serta apakah diperlukan ‘tradisi ganyang’ dalam membangun hubungan-hubungan yang konstruktif dalam menciptakan kawasan Asia Tenggara yang aman, damai, dan stabil? Warisan Revolusionisme
Sebagian kalangan menyebut fenomena mobilisasi sukarelawan untuk berperang, dan ‘ganyang Malaysia’ dalam kasus konflik Indonesia-Malaysia, adalah wujud dari kebebasan berekspresi. Karena dunia demokrasi menjamin kebebasan berbicara dan berasosiasi termasuk melakukan mobilisasi massa. Namun tentunya bukan semata kebebasan dalam demokrasi yang perlu diperhatikan, bahwa karakter dan bentuk dari ekspresi merupakan esensi penting yang menentukan baik atau buruknya efek dalam dunia hidup. Ketika ekspresi politik masyarakat Indonesia cenderung mengambil bentuk vandalisme, anarkhisme, sampai bentuk kekerasan radikalisme, bisa dibayangkan betapa ekspresi masyarakat tidak akan menciptakan kreatifitas konstruktif. Sebaliknya adalah aktivitas yang memungkinkan berbagai bentuk kerugian strategis. Termasuk aktivitas mobilisasi sukarelawan ganyang Malaysia adalah varian bentuk ekspresi kekerasan yang memungkinkan efek tidak menguntungkan bagi Indonesia, baik jangka pendek maupun panjang. Kerugian jangka pendek tersebut bisa muncul dalam bentuk citra negatif tentang masyarakat Indonesia, atau merumitnya masalah dalam hubungan konfliktual. Kerugian jangka panjang terutama berkaitan dengan mapannya budaya kekerasan dalam politik masyarakat Indonesia. Padahal budaya kekerasan merupakan salah satu penghambat mendasar dari perkembangan peradaban satu bangsa. Karenanya pembangunan sering terhalang oleh protes anarkhis dan harmoni sosial tercabik-cabik sebegitu parahnya oleh mobilisasi kekerasan anDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 239
tar kelompok sosial. Tradisi menggunakan kekerasan dalam ekspresi ketidaksetujuan dan ketidakpuasan politik dalam masyarakat Indonesia jelas dibangun oleh proses historis yang cukup panjang. Peter L. Berger melalui teori konstruksi sosialnya (1999) menyebut fenomena historis itu sebagai internalisasi kekerasan (internalization of violence) dalam tatanan sosial. Peristiwa historis ini dimulai dari pengalaman luar biasa berkaitan dengan kisah sukses penggunaan kekerasan. Historis masyarakat Indonesia faktanya memang disarati oleh kesuksesan penggunaan kekerasan dalam mengusir kolonialisme Belanda 65 tahun lalu. Masa-masa revolusi terbentuknya NKRI yang diwarnai oleh mobilisasi perlawanan fisik. Soekarno pun menyebut dirinya sebagai panglima besar revolusi sebagai upaya penegasan bahwa Indonesia berada dalam situasi peralihan cepat menjadi bangsa merdeka dari koloniliasme negara barat yang disarati oleh ekspresi perlawanan fisik. Ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan ‘ganjang Malaysia’ pada tahun 1962 pun tidak lepas dari dinamika perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme negara-negara barat waktu itu. Namun konteks dinamika revolusi politik dalam penggunaan kekerasan ini tidak ikut terinternalisasi penuh pada sebagian generasi Indonesia saat ini. Pengalaman historis yang paling menonjol sebagai warisan revolusionisme adalah radikalisme politik dan sarat kekerasan fisik. Kesadaran masyarakat mengenai berbagai hubungan konflik pada gilirannya menempatkan kekerasan sebagai mekanisme yang dianggap memberi hasil memuaskan. Kanalisasi
Tadisi ganyang mengganyang dan memobilisasi sukarelawan untuk berperang itu hanyalah bagian dari hasil internalisasi kekerasan dalam sejarah keindonesiaan. Walaupun tidak seluruh Negara Gagal Mengelola Konflik 240
dari masyarakat Indonesia atau bahkan hanya sebagian kecil saja yang memiliki tradisi tersebut, namun eksistensi mereka dalam ruang demokrasi jelas berpengaruh besar. Masyarakat yang masih mempercayai kekerasan sebagai cara menyelesaikan hubungan konflik mungkin perlu mendapatkan perhatian serius secara kultural dan politik. Perhatian kultural mungkin melalui proses pendidikan dan keteladanan para pemimpin negeri dalam menggunakan cara-cara damai dalam hubungan konflik. Sedangkan perhatian secara politik adalah respon substantif oleh negara terhadap aspirasi di balik ekspresi kekerasan. Respon substantif bisa dimaknai sebagai pengakomodasian esensi dari aspirasi tersebut melalui kerja negosiasi politik dengan Malaysia. Sebenarnya pemerintahan SBY memang berusaha mengakomdasi aspirasi-aspirasi itu melalui politik damai (the politics of peace). Politik damai dengan negara-negara tetangga tampaknya berkaitan dengan visi kosmopolitan Indonesia mengenai Asia Tenggara. Visi kosmopolitanisme regional pemerintahan SBY yang mengacu pada kepentingan stabilitas dan perdamaian kawasan Asia Tenggara memang membutuhkan konsistensi politik damai dalam membangun hubungan antar negara. Visi kosmopolitan tersebut sangat diperlukan dalam konteks percaturan ekonomi global yang mana negara-negara dalam Asean harus kuat dalam jaringan harmoni dan kerjasama. Kepemimpinan Indonesia dalam menciptakan komunitas Asean yang stabil, harmoni, dan kuat mengharuskannya tidak bisa semena-mena dalam menangani konflik bilateral dengan Malaysia. Namun demikian visi kosmopolitan kawasan Asia Tenggara tidak boleh pula membuat politik damai terlihat lemah, tidak bertenaga, dan tanpa tekanan. Politik damai tetap harus memiliki kekuatan menekan berdasarkan pada fakta-fakta kejadian karena kepentingan nasional tidak bisa dibiarkan terkoyak begitu saja Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 241
oleh kepentingan negara tetangga. Indonesia tetap dibolehkan melakukan tekanan-tekanan pada Malaysia, baik dalam bentuk protes dan kebijakan tertentu. Sebagaimana Malaysia pun telah melakukannya pada Indonesia. Yang harus diperhatikan bahwa proses penyelesaian konflik tersebut harus menjauhi kekerasan. Melalui respon politik inilah sebenarnya, negara melakukan kanalisasi terhadap ekspresi ‘ganyang Malaysia’ yang cukup menjamur belakangan ini. Kanalisasi terhadap ekspresi ‘ganyang Malaysia’ melalui politik damai yang tegas dan bermartabat, akan memberi peluang pada masyarakat untuk semakin mempercayai komitmen pemerintah pada kepentingan nasional. Pada saat bersamaan, politik damai itu masih tetap mendukung visi kosmpolitan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat negara-negara Asia Tenggara. Pertemuan 6 September nanti, pemerintah Indonesia harus harus menampilkan politik damai yang tegas ini di hadapan Malaysia. Sehingga pemerintah bisa memenuhi aspirasi subtantif masyarakatnya, dan pada saat bersamaan mensukseskan fungsi kepemimpinannya dalam menciptakan kawasan Asia Tenggara yang aman, damai, dan stabil.*
Negara Gagal Mengelola Konflik 242
Konflik Masyarakat dan Polisi KASUS konflik kekerasan antara masyarakat dan polisi di Buol Sulawesi Tengah menyebabkan pos dan rumah polisi dibakar oleh massa yang marah (Tempointeraktif, 1/10). Pada hari sebelumnya dilaporkan juga bahwa lima orang warga meninggal dan puluhan lainnya terluka, serta 19 polisi brimob terluka akibat kekerasan tersebut. Kasus konflik kekerasan masyarakat melawan polisi itu berawal dari dugaan masyarakat tentang adanya penganiayaan sampai meninggal dunia terhadap anggotanya oleh aparat kepolisian. Kasus kekerasan yang melibatkan polisi dengan masyarakat juga terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat, dimana polisi brimob melakukan penganiayaan, penembakan, penangkapan, dana penahanan terhadap masyarakat yang sedang melakukan demo pada tanggal 24 Desember 2011 terkait dengan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh polisi adalah 3 orang meninggal dunia, serta 19 orang orang terluka parah.(Kompas, 26/12/2011). Polisi adalah lembaga negara yang salah satu tugas utamanya menciptakan keamanan manusia. Yaitu mereduksi dan mengeliminasi kekerasan yang bisa mengancam keselamatan publik, seperti kekerasan dalam bentuk kejahatan perampokan ataupun kekerasan dari konflik antar kelompok sosial. Sebagai satu lembaga negara, tentunya polisi di Indonesia sudah memiliki pondasi legalnya dalam menjalankan tugas menciptakan keamanan manusia tersebut. Ekspektasi dan kepercayaan masyarakat terDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 243
hadap lembaga kepolisian dalam menciptakan keamanan manusia pun besar. Namun jika harapan dan kepercayaan yang tidak terpenuhi, ada ketimpangan antara harapan dan kenyataan, akan membentuk kegusaran dan kemarahan dari tingkat individu ke kolektif. Apalagi jika lembaga kepolisian dipersepsikan menjadi bagian dari terciptanya ketidakamanan manusia itu sendiri. Kita perlu mengungkap kemungkinan dari sebab-sebab kekecewan harapan masyarakat yang mendorong mereka melawan polisi dengan kekerasan kolektif. Sosiologi Polisi
Jika pondasi legal tugas utama kepolisian menciptakan keamanan manusia sudah ada dan setiap aparatur memahaminya di luar kepala, kasus rusuh di Buol mengindikasikan adanya persoalan sosiologi organisasi kepolisian. Artinya sejauh mana sukses polisi menjalankan tugas utama menciptakan keamanan manusia dipengaruhi oleh kondisi sosial aparatur polisi. Tor Hernes dalam Understanding Organization as Process (2008) menyebutkan bahwa kondisi sosial tersebut kuat dibentuk oleh dinamika kepentingan. Kepentingan merupakan bawaan alamiah seorang individu yang terikat oleh satu norma tertentu. Dinamika kepentingan aparatur polisi akan memberi pengaruh besar terhadap perilaku kepolisian yang terus dipantau dan dirasakan oleh masyarakat luas. Kepentingan dalam konteks mengamati perilaku suatu lembaga, menurut Hernes memiliki sifat relational view (hubungan ganda). Yaitu dimensi kepentingan ideal normatif yang merupakan kepentingan melaksanakan aturan dari satu kelembagaan dan kepentingan individual yang berorientasi pada keuntungan pribadi. Pada dimensi kepentingan ideal, aparat kepolisian menjalankan tugas pokoknya menciptakan keamanan manusia sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Negara Gagal Mengelola Konflik 244
Polri. Seperti tugas di lapangan mengatur lalu lintas, menangkap perampok, dan menjaga keamanan masyarakat. Pada saat bersamaan seoran polisi membawa kepentingan sebagai individu yang bekerja profesional yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri seperti kesejahteraan dan kekayaan. Dua dimensi kepentingan ini pada kenyataannya sering berkelindan rumit dan saling mempengaruhi. Jika aparat kepolisian mampu menyeimbangkan kepentingan ideal normatif dan individunya, perilaku yang diciptakan cenderung positif konstruktif. Tugas-tugas dasar sebagai penjaga keamanan manusia bisa dilaksanakan. Namun masyarakat saat ini cenderung menyaksikan bahwa terjadi ketidakseimbangan kepentingan dari aparatur kepolisian, yang mana kepentingan individu polisi terlampau besar. Sudah menjadi rahasia umum dalam masyarakat bahwa polisi melindungi (back-up) tempat-tempat perjudian atau pelacuran, sampai mengawal para cukong kaya. Perilaku tersebut merupakan indikasi adanya ketidakseimbangan antara kepentingan ideal normatif kepolisian dan individual. Dampak dari ketidakseimbangan kepentingan ideal dan individu aparat kepolisian adalah terbentuknya perilaku yang keluar dari pondasi legal mengenai tugas-tugas utama polisi. Perilaku yang paling umum lainnya ditemui masyarakat adalah polisi menilang pengendara di lalu lintas, namun ‘hukuman’ bisa diselesaikan di tempat dengan membayar denda pada aparat polisi. Kasus lainnya, seperti proses administrasi pembuatan SIM akan lancar jika masyarakat bersedia membayar lebih melalui oknum-oknum dalam kepolisian. Pada saat bersamaan, aparatur kepolisian selalu lambat menangani kasus-kasus yang mengancam keamanan manusia seperti masalah perampokan, serta menjamurnya prostitusi plus perjudian. Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian menjadi pupus dan berganti dengan kekecewaan yang Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 245
membatu. Dugaan penganiyaan terhadap seorang anggota masyarakat oleh aparat kepolisian adalah pemicu kemarahan (trigger) dari endapan kekecewaan yang sudah terakumulasi sekian lama. Masyarakat Buol misalnya, sama sekali tidak mempercayai penjelasan pihak kepolisian atas kasus meninggalnya anggota masyarakat di kantor kepolisian. Ketidakpercayaan ini merupakan endapan yang resisten dan melihat kepolisian bukanlah penjaga atau pencipta keamanan manusia bagi masyarakat, namun sebaliknya menciptakan ketidakamanan manusia melalui ketidakseimbangan kepentingan aparaturnya. Endapan kekecewan menemukan pemicu sensitif pada kasus dugaan penganiayaan tersebut. Yang diekspresikan dengan keberanian melawan kepolisian dan merusak simbol-simbol lembaga tersebut seperti pos dan rumah polisi. Apalagi jika karakter sosial masyarakat di Sulawesi selama ini dicirikan oleh budaya kekerasan yang menonjol.
luasi internal lembaga kepolisian. Bahwa fenomena sosiologi organisasi dalam bentuk ketidakseimbangan kepentingan aparatur kepolisian adalah masalah fundamental yang perlu dipecahkan oleh negara. Salah satu upaya tersebut adalah memperkuat mekanisme kontrol terhadap perilaku aparatur kepolisian melalui struktur pimpinan yang bersih dan komitmen pada tugastugas utama Polri. Pada konteks inilah menjadi penting gerakan reformasi kepolisian yang juga meliputi restrukturisasi jabatan. Negara perlu mendukung dan mendesak kepolisian menempatkan pimpinan-pimpinan bersih yang mampu menegakkan tugas utama organisasi polisi. Reformasi kepolisian merupakan tahapan awal untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa mereka aman di bawah perlindungan Polri.*
* Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 13 September 2010.
Reformasi Kepolisian
Upaya resolusi konflik jangka pendek dalam kasus Buol, untuk menghentikan eskalasi kekerasan, negara perlu melakukan pendekatan kepemimpinan dan budaya masyarakat. Pada konteks ini kepolisian harus mampu mengajak pemimpinan masyarakat untuk mencegah eskalasi kekerasan yang lebih parah. Memobilisasi instrumen kekerasan polisi melawan masyarakat hanya akan meningkatkan eskalasi dendam masyarakat. Lembaga-lembaga negara lainnya seperti departemen agama atau wakil rakyat perlu aktif terjun ke masyarakat untuk menurunkan eskalasi kekerasan. Tanpa proses ini, kekerasan demi kekerasan antara masyarakat dan polisi akan menghantui kehidupan di Buol. Selain itu konflik kekerasan antara masyarakat Buol dan kepolisian di Sulawesi Tengah harus dijadikan sebagai proses evaNegara Gagal Mengelola Konflik 246
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 247
Separatisme dan Nalar Penanganan DAERAH Papua mengalami eskalasi konflik kekerasan lagi. Pasca Kongres Papua III pada akhir bulan Oktober 2011 oleh sebagian elite gerakan separatis, bentrokan bersenjata antara milisi separatis dan aparat keamanan pemerintah Indonesia terjadi di Kabupaten Puncak Jaya. Sebagaimana dilaporkan JPNN bahwa mobilisasi milisi telah meluluhlantakkan kantor Ketahanan Pangan milik Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya (JPNN, 26/10/11). Konflik separatisme Papua bukan tanpa penanganan oleh pemerintah Indonesia, namun sampai saat ini ternyata kelompok-kelompok separatisme masih terus melakukan mobilisasi perlawanan dan tuntutan kemerdekaan. Kondisi ini memerlukan refleksi kritis atas cara penanganan selama ini. Refleksi Penanganan
Eskalasi kekerasan dalam dinamika konflik separatisme di Papua akan terus direproduksi karena wilayah tersebut masih menyimpan bara permasalahan yang belum terpecahkan. Selama ini, pemerintah telah berupaya menangani konflik separatisme di daerah Papua. Namun penanganan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat belum mampu menghapus keberadaan konflik separatisme di wilayah kaya tambang tembaga dan emas itu. Ada dua langkah penanganan yang menonjol selama periode demokrasi Indonesia terhadap konflik separatisme di daerah Papua. Pertama pemberian otonomi khusus (otsus) kepada dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat melalui UU No. Negara Gagal Mengelola Konflik 248
21 Tahun 2001. Namun otsus Papua ditolak mentah-mentah oleh kelompok-kelompok separatis. Terlebih lagi, otsus sampai saat ini belum mampu meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat Papua. Kedua adalah penerapan operasi keamanan wilayah (territorial security) dengan melakukan semacam mobilisasi operasi militer. Konsekuensi dari operasi keamanan bukan mengecilnya gerakan separatis, sebaliknya makin mengeraskan perlawanan kelompok-kelompok separatis. Selain itu, kalangan muda yang merasa menjadi korban kekerasan militer dan terjebak dalam kemiskinan memilih bergabung sebagai milisi kelompok separatis atau kelompok-kelompok kriminal. Dua penanganan pemerintah pusat tersebut tidak cukup berhasil menyelesaikan konflik separatisme di daerah Papua. Karena bersifat top-down yang dipostulasikan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan kelompok-kelompok separatis di dalamnya. Sehingga legitimasi dan dukungan terhadap pelaksanaan otsus dari kelompok-kelompok separatis berada di titik nol. Pada saat bersamaan operasi keamanan yang menyebabkan korban sipil terus mereproduksi dendam dan perlawanan kolektif. Selama ini ada kesan kekhawatiran pada pemerintah pusat tentang upaya penyelesaian konflik melalui negosiasi damai dengan kelompok separatis. Untuk itulah dua model penanganan top-down, dalam bentuk otsus dan operasi keamanan, terus dipertahankan. Namun kekhawatiran pemerintah pusat perlu dikritisi bahwa keterlibatan kelompok-kelompok separatisme di daerah Papua merumuskan bentuk penyelesaian konflik adalah prasyarat legitimatif. Sehingga apabila pemerintah pusat mencita-citakan penyelesaian konflik legitimatif yang diterima dan didukung seluruh pihak, maka harus melakukan upaya ekstra dengan mengajak kelompok separatis Papua kedalam arena inklusif negosiasi damai. Arena yang menyediakan proses politik terbuka, setara, dan saling menghormati untuk memformuDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 249
lasi penyelesaian konflik. Arena Inklusif
Pelibatan kelompok separatis kedalam arena inklusif negosiasi damai merupakan jalan memecahkan masalah konflik separatisme. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah pernah berpengalaman atas proses ini melalui kasus separatisme GAM di daerah Aceh (1976-2005). Pelibatan kelompok separatisme GAM kedalam arena inklusif negosiasi damai telah menghasilkan kesepakatan damai yang legitimatif dengan dukungan seluruh pihak berkonflik. Sehingga tidak ada alasan keraguan untuk mempraktikkan pendekatan penyelesaian konflik melalui kelembagaa arena inklusif ini. Menurut Paul Collier dkk. dalam artikel Beyond Greed and Grievance (2008) bahwa sesungguhnya ada dua tipe kelompok separatis yang mempengaruhi kemauan menyelesaikan konflik melalui negosiasi damai. Pertama kelompok separatism greed yang misi utama terbentuknya kelompok separatis ini adalah ketamakan elite-elite untuk mendapatkan kekayaan dan sumberdaya alam. Contoh negara yang berhadapan dengan kelompok greedy separatist adalah Sierra Leon di Afrika. Tipe separatisme ini sulit diajak dalam negosiasi damai untuk memecahkan masalah. Kedua tipe separatism grievance yang terbentuknya kelompok ini murni melakukan tuntutan hak atas keadilan sosial ekonomi dan akses sumberdaya alam. Kelompok separatism grievance cenderung bersedia melakukan negosiasi damai, contoh terdekat adalah kasus separatisme di Aceh. Kelompok separatis di Papua pun cenderung pada tipe separatism grievance. Walaupun strategi konflik antara separatism greed dan grievance cenderung berpola sama, yaitu contentious (keras). Pemerintah perlu reflektif bahwa strategi konflik contentious kelompok-kelompok separatis di Papua sesungguhnya Negara Gagal Mengelola Konflik 250
adalah imbas dari pendekatan teritorial security sejak jaman Orde Baru. Selain itu, kelompok separatis di Papua yang menggunakan strategi konflik contentious adalah fenomena ‘wajar’ dalam dinamika konflik separatis di dunia. Sebagian tujuan strategi konflik contentious itu adalah mendapatkan perhatian politis atas eksistensi kelompok, melakukan dendam kolektif, dan mencari logistik kelompok yang telah habis. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa strategi konflik contentious kelompok separatis bisa berubah menjadi strategi konflik trasenden, yaitu bersedia terlibat dalam arena inklusif negosiasi damai (Galtung, 2007). Apalagi jika separatisme di Papua berbasis pada grievance. Bangsa ini menjadi saksi bagaimana kerasnya perlawanan GAM selama periode 1976-2005. Pokok mendasarnya adalah komitmen politik pemerintah untuk terus mengajak kelompok-kelompok separatis di Papua masuk kedalam arena inklusif negosisasi damai. Proses kultural dan politik perlu dioptimalkan dengan melibatkan komponenkomponen bangsa. Tentu saja hal tersebut adalah proses sulit dan membutuhkan energi besar negara. Namun demikian hasilnya adalah pemecahan masalah konflik separatisme di Papua dan sekaligus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.*
* Artikel Separatisme dan Nalar Penanganan ini pernah dimuat di Jawa Pos (23 Oktober 2011)
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 251
Masalah Konflik Separatisme TERBENTUKNYA KIB II edisi kabinet kerja hasil perombakan di tahun ketiga Pemerintahan SBY, juga “disambut“ oleh geliat gerakan separatisme di Papua. Akhir bulan Oktober 2011 ini, sebagian elite gerakan separatisme yang tergabung di dalam Kerja Nasional Rakyat Papua Barat (TKNRPB) memobilisasi Kongres Papua III. Masalah separatisme di Papua ini juga berhasil mengadakan Kongres yang terjadi di Jayapura dan Manokwari untuk menuntut referendum agar Papua menjadi sebuah negara yang merdeka. Aksi-aksi konflik separatisme ini juga semakin berani ditampilkan, dimana sasaran kekerasan, seperti pengrusakan dan penembakan tidak hanya ditujukan kepada polisi dan TNI saja, namun ditujukan kepada masyarakat umum. Para anggota konggres untuk aksi separatisme secara terang-terangan mendapat sponsor dan dukungan dari negara-negara internasional sebagai syarat untuk mendirikan negara baru. Aksi separatisme ini menurut anggota KNRPB adalah akumulasi kekecewaan masyarakat Papua terhadap tidak meratanya sumber daya ekonomi untuk daerah Papua, padahal Papua begitu banyak menyumbang untuk ekonomi untuk Indonesia (Kompas.com, 11/08/2011). Hasil kongres diantaranya adalah pendirian Negara Papua dan memilih sebagian elitenya duduk dalam struktur pemerintahan. Berdasar pada praktik yang menegasi hukum Indonesia, aparat kepolisian membubarkan paksa dan menangkap beberapa elite kongres. Geliat separatisme PaNegara Gagal Mengelola Konflik 252
pua tersebut sesungguhnya adalah alarm pada Pemerintahan SBY bahwa Indonesia masih rentan bangunan kebangsaannya. Memilih Perspektif
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final dan segala upaya memisahkan diri adalah tindakan makar yang tidak konstitusional. Namun penanganan terhadap gerakan separatisme pun perlu memahami konteks permasalahan dan tidak semata memobilisasi keamanan tradisional melalui operasi-operasi militer. Karena penanganan konflik dengan model keamanan tradisional malah akan menjauhkan konflik dari pemecahan masalah, dan bahkan makin memperparah konflik. Amitav Acharya dkk. (Non-Traditional Security in Asia, 2006) menjelaskan bahwa pada banyak kasus penggunaan keamanan tradisional secara membabi buta pada upaya penyelesaian konflik separatisme, hanya akan menciptakan intractable conflict (konflik berkepanjangan). Karena akar masalah konflik makin tidak terpecahkan, sedangkan dampak keamanan tradisional adalah korban nyawa, ketakutan kolektif, dan lingkaran dendam kolektif. Penanganan konflik separatisme harus bersifat komprehensif dan humanis yang mampu memecahkan masalah bagi seluruh pihak. Akar masalah konflik separatisme Papua cukup kompleks walaupun secara garis besar terkait masalah keadilan sosial ekonomi dan eksistensi identitas budaya. Sampai akhir Orde Baru tahun 1998 eksplorasi kekayaan alam melalui perusahaan tambang dan emas AS, PT. Freeport-McMoRan Copper & Gold sejak tahun 1967, tidak banyak meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat Papua. Isu sosialnya, penduduk asli Papua adalah pihak mayoritas yang menyandang status miskin tersebut. Mereka kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan, serta tidak memperoleh fasilitas infrastruktur yang memaDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 253
dai. Ketika pemerintah pusat memberikan otonomi khusus pada Papua dan Papua Barat di era demokrasi, kemiskinan masih tinggi. Data resmi BPS menyebut akhir tahun 2010, kemiskinan di Papua sampai 36 persen. Namun data dari organisasi nonpemerintah menyebut kemiskinan di Pulau Papua mencapai angka sekitar 60 persen. Otonomi khusus yang diikuti oleh alokasi dana pembangunan berlimpah, sepanjang tahun 2002-2010 pemerintah pusat menggelontorkan dana Rp. 28,84 trilyun, belum mampu menjawab akar masalah keadilan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas politik lokal yang ditandai oleh kualitas kepemerintahan lokal yang buruk, korupsi elite politik lokal, dan konteks partisipasi masyarakat yang rendah. Dana besar pembangunan sosial ekonomi masyarakat Papua tidak terkelola baik dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pada saat bersamaan, masyarakat Papua menghadapi realitas eksistensi identitas dan budayanya yang makin terhapus oleh aktivitas industri pertambangan. Terutama pada masyarakat di sekitar area pertambangan PT Freeport. Lingkungan yang menjadi basis eksistensi identitas dan budaya telah rusak, lenyap dari dunia hidup sehari-hari. Langkah Strategis
Akar masalah konflik separatisme di Papua cukup serabut dari masalah keadilan sosial ekonomi sampai eksistensi identitas dan budaya. Model penanganan negara pun harus mampu menjawab masalah-masalah tersebut secara simultan. Jika melihat langkah-langkah penanganan yang sudah diambil oleh negara sejak era demokrasi, ada dua penanganan menonjol, yaitu otonomi khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 dan penguatan keamanan tradisional. Namun otonomi khusus yang ditujukan untuk menjawab masalah ekonomi ternyata masih ditolak oleh kelompok separatis. Negara Gagal Mengelola Konflik 254
Kebijakan otonomi khusus dipandang sebagai program ‘Jakarta’ semata tanpa pelibatan kelompok-kelompok yang menuntut keadilan. Pada dimensi ini, Johan Galtung berpedapat dalam Peace by Peaceful Conflict Transformation: The Transcend Approach (2007) bahwa penyelesaian apapun yang tidak dilahirkan oleh proses dialog yang melibatkan para pihak berkonflik, sering mengalami penolakan oleh salah satu atau kedua pihak. Karena tidak adanya perasaan memiliki terhadap bentuk penyelesaian itu. Sehingga proses dialog atau negosiasi damai yang mengelaborasi pemecahan masalah dan kebijakan penyelesaian konflik adalah kunci penyelesaian konflik yang transformatif. Sayangnya baik pemerintah pusat dan kelompok separatisme Papua terkesan enggan dalam membangun proses perdamaian ini melalui negosiasi meja. Pada situasi ini sebenarnya pemerintah pusat harus cepat meningkatkan komunikasi politik dengan kelompok gerakan separatis dengan tujuan menciptakan peluang negosiasi damai. Walaupun memang anatomi kelompok-kelompok separatis di Papua terkesan kompleks. Berbeda dengan konflik separatisme di Aceh yang memiliki organisasi terpusat (GAM), separatisme di Papua tidak memilikinya. Bahkan pada pelaksanaan Kongres III Rakyat Papua sendiri ditolak oleh sebagian kelompok separatis lainnya. Tantangan bagi pemerintah adalah melakukan pendekatan terhadap faksi-faksi gerakan separatis yang berbeda di Papua. Pemerintah perlu membentuk tim khusus negara yang bertugas mengajak kelompok separatis melakukan negosiasi damai. Berangkat dari analisis masalah konflik separatisme ini, paling tidak pemerintah harus melakukan empat langkah strategis. Pertama menempatkan model keamanan tradisional secara proporsional dalam konteks menciptakan keamanan dan ketertiban sosial, bukan sebagai paradigma penanganan konflik. Kedua terus mendorong pembangunan sosial ekonomi dalam Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 255
bingkai otonomi khusus. Ketiga mengimprovisasi kualitas politik dan kepemerintahan lokal Papua yang demokratis agar mampu merealisasikan tujuan otonomi khusus. Keempat meningkatkan komunikasi politik dengan kelompok separatis dengan menawarkan dialog damai. Langkah-langkah strategis tersebut harus diorganisasi secara kuat dan efektif, demi menyelamatkan bangunan kebangsaan Indonesia.*
* Artikel Masalah Konflik Separatisme ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 25 Oktober 2011.
Negara, Konflik dan Demokrasi SALAH SATU fenomena dominan dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah realitas konflik dalam dimensi vertikal. Yaitu konflik antara kelompok sosial yang berada dalam posisi subordinatif (tanpa wewenang) dengan kelompok ordinatif (memiliki wewenang). Dari konflik separatisme, konflik pertanahan, sampai konflik perburuhan yang akhir-akhir ini mengalami eskalasi. Sayangnya berbagai dimensi konflik vertikal tersebut cenderung hadir dalam bentuk kekerasan dalam level berbeda-beda. Pada kasus Mesuji dan Sape, kekerasan dalam konflik menyebabkan korban jiwa dan luka-luka terutama di kalangan kelompok subordinatif. Pada banyak kasus konflik perburuhan, bentrok antara aparat keamanan dan buruh juga seringkali terjadi. Berbagai konflik vertikal tersebut cenderung berlarut-larut tanpa pemecahan akar masalah dan memobilisasi kekerasan. Para ilmuwan studi konflik kritis melihat hal tersebut sangat berkaitan dengan lemahnya negara memfungsikan mediasi konflik transformatif. Yaitu pengelolaan konflik damai yang mampu membawa kelompok-kelompok berkonflik pada pemecahan masalah. Penyesatan Demokrasi
Sebagai bagian dari dunia sosial yang omnipresence, hadir dimanapun, konflik sebenarnya bukan fenomena luar biasa. Konflik hanya menjadi situasi luar biasa ketika masalah di dalamnya Negara Gagal Mengelola Konflik 256
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 257
tak terpecahkan, terus berkepanjangan, dan korban berjatuhan. Salah satu akar penentu dari kondisi konflik luar biasa adalah perspektif pengelolaan konflik oleh para aktor yang terlibat. Perspektif pengelolaan konflik secara diametrikal dibedakan antara perspektif damai dan kekerasan. Misi perspektif pengelolaan konflik damai adalah mendorong seluruh kelompok berkonflik menuju pada pemecahan masalah yang memberikan keadilan dan jalan keluar bersama. Sebaliknya, misi perspektif kekerasan adalah melemahkan atau menyingkirkan salah satu kelompok berkonflik melalui memobilisasi represi fisik dan mental. Pada sistem demokrasi seperti yang dianut Indonesia, misi pengelolaan konflik oleh negara seharusnya berfundamen pada cara-cara damai dengan orientasi pemecahan masalah. Metode pengelolaan konflik damai mengoptimalkan fungsi-fungsi dialog dan negosiasi dari lembaga-lembaga pemerintahan. Namun pemerintah, yang sering direpresentasikan oleh kepolisian dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP), memilih kekerasan sebagai perspektif penanganan konflik. Dari konflik pertanahan di Mesuji dan Sape Bima sampai konflik perburuhan, negara memilih kekerasan daripada mendamaikan konflik. Adegan pengusiran melalui cara koersif pada para petani atau buruh oleh aparat keamanan tidak jarang terjadi. Pemilihan metode kekerasan oleh negara mengindikasikan bahwa demokrasi telah disesatkan sehingga kandungan nilainya tentang kemanusiaan dan keadilan tidak termanifestasi secara riil oleh negara dalam tata kelola konflik. Moira Fradinger (Binding Violence, 2010) menyebut korupsi antara elite negara dan pelaku pasar adalah akar dari terjadinya perversion of democracy (penyesatan demokrasi). Penyesatan demokrasi ditandai oleh terbaliknya konsep-konsep demokrasi tentang kebaikan umum dan kemanusiaan dalam hidup berbangsa bernegara. Kesetaraan menjadi marjinalisasi, keadilan menjadi penindasan, Negara Gagal Mengelola Konflik 258
dan musyawarah menjadi kekerasan. Modus penyesatan demokrasi sederhana saja, para penyelenggara kekuasaan negara menjual hukum dan kebijakan pada kelompok-kelompok pelaku pasar yang sering disuguhi administrasi rumit berbisnis. Oleh karenanya, penyesatan demokrasi berlangsung secara ‘legal‘. Melahirkan berbagai aturan hukum dan surat keputusan negara yang melindungi kepentingan pemodal besar saja. Oleh karenanya penyesatan demokrasi ditandai oleh kebijakan-kebijakan legal negara yang tidak merefleksikan aspirasi masyarakat seperti petani dan buruh. Akan tetapi hanya segelintir penyelenggara kekuasaan negara memporoleh keuntungan, baik gratifikasi dan fasilitas mewah. Pada kondisi penyesatan demokrasi inilah, lembaga pemerintahan bekerja melindungi kebijakan-kebijakan legal yang telah ditransaksikan. Seperti kebijakan pemberian ijin perluasan tanah perkebunan, pertambangan, dan upah minimum buruh. Ketika masyarakat memprotes kebijakan tersebut karena merugikan hak-hak sebagai sebagai warga atau buruh, negara menanganinya dengan perspektif kekerasan. Penyesatan demokrasi secara dramatis telah menyebabkan negara dan struktur organisasinya tidak mampu menjalankan peran mediasi konflik transformatif. Pembiakan Kekerasan
Perspektif kekerasan negara terhadap kelompok subordinatif, seperti buruh dan petani sering dijustifikasi oleh alasan “demi kepentingan umum“. Sehingga aksi blokade jalan tol, pendudukan pelabuhan, bandar udara, dan perkantoran pemerintah lainnya dianggap kondisi membahayakan kepentingan umum. Oleh sebab itu negara yang bertameng pada mekanisme legal “fancied emergency”, yaitu hak menentukan kondisi berbahaya berdasar hukum positif, bisa menekan kelompok subordinatif dengan Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 259
cara kekerasan. Pada langkah ini sebenarnya negara melakukan pembiakan kekerasan dalam kasus konflik vertikal. Kelompok subordinatif yang merasa terpinggirkan oleh keberpihakan negara pada pemodal besar makin mengalami luka perasaan kolektif atas kekerasan negara tersebut. Alhasil, mobilisasi perlawanan masyarakat makin deras. Mereka melawan aparat kemanan dan merusak fasilitas umum sebagai simbolisasi kekecewaan mendalam. Melihat perlawanan tersebut dari kacamata hukum positif an sich akan menyebabkan kelompok subordinatif sebagai pelaku kriminal. Akan tetapi dari kacamata pengelolaan konflik damai negara telah menutup kemungkinan bagi arah pemecahan masalah. Hal tersebut karena ada penyumbatan aspirasi kelompok subordinatif seperti petani, buruh, dan nelayan oleh kekerasan negara. Negara demokrasi, mengutip John Keane (Violence and Democracy, 2004), dalam penggunaan kekerasan negara harus berprinsip pada perlindungan keamanan seluruh warga negara dari ancaman agresi asing. Sedangkan konflik-konflik pertanahan atau perburuhan merupakan konflik dalam negara (intrastate conflict) yang harus dikelola berdasar prinsip demokrasi, yaitu dialog negosiasi tanpa dominasi antara berbagai kelompok berkonflik. Sehingga pada kasus konflik antara buruh dan petani dengan perusahaan negara harus mengabaikan kekerasan dan mengoptimalkan dialog negosiasi. Realisasi pengelolaan konflik damai akan memberikan jaminan pada pemecahan masalah dari konflik-konflik vertikal daripada perspektif kekerasan. Para pemimpin negara, dari kekuasaan pusat dan daerah, seharusnya memiliki visi ini demi terciptanya negara bangsa Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.* * Artikel ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 26 Januari 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik 260
Negara Gagal Mengelola Konflik SELAMA dua bulan awal tahun 2012 saja, frekuensi kekerasan dalam konflik antara kelompok buruh, petani, dan masyarakat adat berhadapan dengan negara atau swasta makin tinggi. Tingginya frekuensi kekerasan yang menyertai kasus-kasus konflik tersebut adalah indikator bahwa negara telah gagal mengelola konflik secara demokratis. Seperti pada kasus amuk massa dalam konflik pertambangan di Bima akhir bulan Januari tahun ini. Menurut laporan media massa, puluhan ribu massa melakukan perusakan kantor bupati dan fasilitas-fasilitas perkantoran Kabupaten Bima. Masyarakat menuntut dicabutnya SK 188 tentang ijin eksplorasi tambang oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Pasca amuk massa tersebut, barulah Bupati Bima memenuhi tuntutan masyarakat dengan mencabut SK 188 melalui SK Nomor 188.45/64/004/1012. Keputusan politik itu terhitung lamban sehingga harus ditebus dengan korban jiwa masyarakat dan kerugian fasilitas pemerintahan terlebih dahulu. Kasus konflik pertambangan di Bima, Mesuji Lampung, sampai Papua merupakan contoh kongkrit tentang bagaimana negara gagal melakukan pengelolaan konflik yang berprinsip pada demokrasi. Pengelolaan konflik demokratis akan disarati oleh upaya-upaya politik pemerintahan yang mengarusutamakan prosess dialog-negosiasi yang transparan, setara, dan responsif dalam menangani tuntutan publik. Sehingga dinamika kekerasan jarang terjadi pada negara yang mengengelola konflik Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 261
secara demokratis. Tuntutan Publik
Masyarakat secara dinamis akan menolak setiap kebijakan negara yang dipandang memberi konsekuensi buruk, tidak menawarkan keuntungan, dan mengancam keberlangsungan hidup kolektif. Pada usia demokrasi Indonesia yang tidak lagi muda, daya kritis masyarakat yang ditandai oleh kemampuan menilai kebijakan dan mengorganisasi tuntutan publik ternyata gagal dibaca secara reflektif oleh penyelenggara kekuasaan negara. Bahkan pada kecenderungannya, terjadi pengabaian pada tuntutan publik oleh sebagian besar penyelenggara kekuasaan negara, baik di tingkat pusat sampai daerah. Termasuk pada kasus konflik pertambangan di Kabupaten Bima, para pemimpin dalam pemerintahan daerah tersebut, terutama bupati, telah melakukan pengabaian politik terhadap gelombang tuntutan publik (public grievance). Pengabaian tersebut diperlihatkan oleh keengganan bupati melakukan pencabutan kebijakan ijin pertambangan yang diberikan kepada perusahaan swasta. Walaupun pemerintah telah menghadapi gelombang aksi masyarakat seperti pada kerusuhan Sape yang menyebabkan 3 (tiga) orang warga meninggal serta lebih dari tiga puluh orang luka-luka. Sikap politik tersebut, dalam literatur studi konflik disebut politik keras kepala (contentious politics), telah menyebabkan kondisi terdeprivasi secara kolektif di kalangan masyarakat. Yaitu situasi kekecewaan yang makin dalam akibat ekspektasi akan adanya perubahan pada sikap dan kebijakan dari satu kelompok atau pemerintah, menemui kenyataan terbalik secara ekstrim. Kondisi terdeprivasi secara kolektif selalu menjadi kimia sosial suatu kelompok untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan seperti amuk massa. Pada kasus konflik perNegara Gagal Mengelola Konflik 262
tambangan di Bima, tampaknya amuk massa merupakan cara terakhir memperjuangkan tuntutan publik di Bima dalam pencabutan ijin eksplorasi tambang. Tindakan kekerasan masyarakat yang merasa terdeprivasi oleh politik keras kepala kekuasaan negara dirangsang oleh kondisi keterpaksaan. Kekerasan dalam amuk massa bukan merupakan preferensi cara yang humanis dan taat prosedur hukum, yang sering dikategorikan sebagai tindakan kriminal oleh negara. Masyarakat pasti menyadari pada konsep hukum tersebut. Akan tetapi kondisi terdeprivasi kolektif mendorong keberanian untuk melanggar tata hukum positif tersebut. Bisa jadi dalam konstruksi makna kolektif masyarakat, para pelaku amuk massa yang melawan politik keras kepala kekuasaan, dilihat sebagai pahlawan yang mengorbankan diri. Mereka berani mempertaruhkan masa depan individualnya dengan dijebloskan dalam penjara demi kebaikan hidup kolektif. Demokrasi Responsif
Dinamika tuntutan publik dalam berbagai kasus konflik vertikal, antara masyarakat melawan negara dan swasta, yang diwarnai eskpresi kekerasan adalah indikator bahwa kekuasaan negara menjauhi konsep demokrasi responsif. Kenyataan ini merupakan ironi besar karena pemerintahan Indonesia, baik eksekutif dan legislatif, sebagai penyelanggara negara merupakan produk dari demokrasi itu sendiri. J. Rhee Baum (Responsive Democracy, 2011) memberi penjelasan bahwa demokrasi responsif ditandai oleh kelembagaan pemerintahan yang memiliki kecepatan dan kualitas respon yang baik atas berbagai tuntutan publik. Pemerintahan dalam demokrasi responsif membangun sistem dan kebudayaan yang memiliki ketanggapan kuat terhadap isu-isu dalam masyarakat tentang kebijakan pemerintahan. Selanjutnya memasukkan isu-isu tersebut sebagai prioritas dalam upaya penyelesaian masalah. Prinsip utama penyeleDemokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 263
saian dalam demokrasi responsif adalah demi kebaikan umum (common bonum). Prinsip dasar untuk menciptakan kebaikan umum dalam rumusan penyelesaian adalah menyediakan dan meningkatkan kualitas partisipasi kelompok-kelompok kepentingan secara transparan dan setara. Artinya negara tidak sekedar menyediakan prosedur formal partisipasi akan tetapi juga mendorong kualitasnya. Dimensi dasar dari kualitas partisipasi adalah kontinuitas dialog atau negosiasi sampai terjadi kesepakatan atas konsep penyelesain kasus tertentu. Contoh baik ini ditunjukkan oleh Walikota Solo Joko Widodo ketika akan merelokasi pedagang kaki lima (PKL) dengan melakukan 54 kali dialog. Kontinuitas dialog-negosiasi tersebut telah berhasil menciptakan penyelesaian masalah relokasi PKL berbasis kebaikan umum yang ditandai oleh proses damai dan dukungan masyarakat luas. Pada konflik pertambangan di Kabupaten Bima, secara ironis pemerintahannya memilih politik keras kepala dan menjauhi prisip demokrasi responsif. Oleh karenanya pemerintahan Kabupaten Bima tidak mampu menyediakan penyelesaian konflik pertambangan itu dengan berbasis pada kebaikan umum. Selanjutnya aparat kepolisian dimandati kekuasaan untuk “mengamankan” kebijakan legal pemerintah yang prinsipnya adalah represif. Pengelolaan konflik berbagai kasus konflik oleh negara, baik dalam isu pertambangan, pertanahan, sampai perburuhan, harus berprinsip pada demokrasi responsif. Prinsip tersebut menjadi penting jika misi utama pengelolaan konflik oleh negara adalah pemecahan masalah yang mampu memberikan kebaikan umum. Namun ketika negara yang diselenggarakan oleh pemerintahan pusat dan daerah, lebih memilih politik keras kepala dan pengabaian terhadap tuntutan publik, maka fenomena kekerasan dan amuk massa akan terus direproduksi. Tentu saja kekerasan buNegara Gagal Mengelola Konflik 264
kanlah prestasi yang membanggakan bagi bangsa Indonesia.*
* Artikel Negara Gagal Mengelola Konflik ini pernah dimuat di Harian Tempo, 13 Februari 2012.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 265
Bibliogrfi Acharya, Amitav., Emmers, Ralf., and Anthony, Mely Cabalero. 2006. Non-Traditional security in Asia. London : Ashgate. Baum, J. Rhee. 2011. Responsive democracy : Increasin state accountability in East Asia,. Michigan : University of Michigan Press. Berger, Peter L.1999. Internalization of violence. Cambridge : Cambridge University Press.
Diakses pada 21 Maret 2012 dari http://regional.kompas.com/ read/2011/03/04/09065468/Trauma.Pilkada.Tuban.Telah.Berlalu. Kompas.com., (21 Juli 2008). Konflik di Maluku Utara akibat pengambangan hasil pilkada. Diakses pada 20 maret 2012 dari http://nasional.kompas.com/read/2008/07/21/21580592/konflik. di.maluku.utara.akibat.pengambangan.hasil.pilkada.
Collier, Paul., Hoeffler, Anke, and Rohner , Dominic. 2008. Beyond greed and grievance: Feasibility and civil war. Cambridge: Cambridge University Press. Fradinger, Moira. 2010. Binding violence literary visions of political origin. California: Stanford University Press Galtung, Johan. 2007. Peace by peaceful conflict transformation: The transcend approach handbook of peace and conflict studies. New York : Routledge Kanpur, S.M Ravi., and Venables, Anthony. 2005. Spatial inequality and development. Oxford : Oxford University Press Kean, John. 2004. Violence and democracy. Cambridge : Cambridge University Press Saphiro, Daniel. 2004, The Nature of humiliation. Paper for Humiliation and Violent Conflict Conference Conference at Columbia University. Harvard University Press.
Media Kompas.com., (4 Maret 2011). Trauma pilkada Tuban telah berlalu. Negara Gagal Mengelola Konflik 266
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 267
Indeks
J
R
Jeong, Ho-Won. 2003.
Rais, Amin. 2006. Ramsbotham, Oliver. 2010.
K
Ranciere, Jacques. 2010.
Diamond, Larry. 2008.
Kanpur, S.M Ravi., and Venables, Anthony. 2005.
Reilly, Benjamín. 2004.
Dietrich, Wolfgang. 2006.
Keane, John. 2004.
A
Diamond, Larry. 2004.
Agnew, Robert S. 2007. Anderson, Mary, B. 1999. Acharya, Amitav., Emmers, Ralf., and Anthony, Mely Cabalero. 2006. B Baum, J. Rhee. 2011. Bartos, J.O, & Wehr, P.2002. Beck,Ulrich. 1999.
Rosenbergh, Marshall.2003.
Kinklen van, Gerry. 2007. E
Rosenberg, Marshall. 2005. Rule, James, B. 1988.
Korotelina, Karina. 2009.
Englander, Kandle, E. 2009.
S
L F
Leftwich, Adrian. 1998.
Fakih, Mansour. 2003.
Little, Adrian. 2008.
Saphiro, Daniel. 2004. Sen, Amartya. 2006. Susan, Novri. 2009.
Fealy, Greg. 2003. M
Bourdieu, Pierre. 1983.
Flannery, Daniel J., Vazsonyi, Alexander T., and Waldman, Irwin D. 2007.
Bourdieu, Pierre. 1991.
Fradinger, Moira . 2010.
Manor, James. 1998.
Tilly, Charles., and Tarrow, Sydney G. 2007.
Burton, J.W.1998.
Freeman, Samuel. 2007.
Margianto, Heru. 2012.
Trijono, Lambang. 2001.
Freud, Sigmund. 1932.
McAdam, Doug., Tarrow, Sidnye., and Tilly, Charles. (2001)
Berger, Peter L. 1999.
C Carpenter, Swan, L& Kennedy, WJD. 1988 Calckins, David. 2009. Chopple, Charles. 2006. Collier, Paul. 2008. Coser, Lewis. 1956. D Debbaudt, Dennis. 2002. Diamond, Larry. 2003.
Negara Gagal Mengelola Konflik 268
G Galtung, Johan. 2004.
T
Magnani, Lorenzo. 2011.
W
N
Galtung, Johan. 2007.
Nairn, Tom., 2005.
H
North, Douglass., Wallis, Joseph John., and Weingast, Barry R. 2009.
Hartman, Michael. 2007. Hefner, Robert (ed). 2001. I Iswari, Paramita. 2003.
and James, Paul.
Whithe, Gordon. 1998. Wilmer, Franke. 2002. Z Zartman, William, I. 2009.
P Putnam, Robert D. 2000. Pruitt, Dean, G., and Hee Kim, Sung. 2004.
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 269
Tentang Penulis NOVRI SUSAN adalah sosiolog yang terlahir di Klaten Jawa Tengah dari rahim Sri Lestari pada 8 November 1977. Ia menyelesaikan studi S1 di Jurusan Ilmu Sosiologi Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Mendapatkan Master di bidang studi konflik dan perdamaian dari United Na�ons University for Peace (UN-UPEACE) melalui beasiswa Nippon Founda�on. Ia menyusun konsep tata kelola konflik demokra�s (democra�c conflict governance) melalui peneli�an di Aceh pasca konflik kekerasan yang difasilitasi UN-UPEACE. Pada tahun 2002-2004 sempat menjadi peneli� di Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan UGM dan pada tahun yang sama menjadi asisten Na�onal Project Director Southeast Asia for Conflict Studies Network (SEACSN). Sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi staf pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga. Pada tahun 2005 bersama teman-teman dosen muda mendirikan PsaTS (Pusat Kajian Transformasi Sosial) Universitas Airlangga. Saat ini menjadi direktur di Democracy and Conflict Governance Ins�tute (DCGI), sebuah lembaga di bidang tata Negara Gagal Mengelola Konflik 270
Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di Indonesia 271
kelola konflik demokra�s yang sedang ia kembangkan di Indonesia. Ia juga ak�f menjadi anggota forum BABA (Building A Better Asia Volunteer Community) kerjasama antara ASEAN dan Nippon Founda�on. Novri Susan menjadi kolomnis di media massa nasional seper� KOMPAS, SINDO, TEMPO, dan JAWA POS. Buku yang telah ditulisnya adalah Sosiologi Konflik dan Isuisu Konflik Kontemporer yang menjadi buku pegagangan di banyak kampus FISIP berbagai universitas di Indonesia. Saat ini Novri Susan sedang menyelesaikan disertasinya untuk merasih gelar PhD di The School of Global Studies Doshisha University, Kyoto (2010-2013 expected), dengan judul The Rise of Land Conflicts and Conflict Management in Indonesian Democracy. *
Negara Gagal Mengelola Konflik 272