MENGELOLA KONFLIK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS ORGANISASI Oleh : Febta Rina Handayani, Widyaiswara Madya Balai Diklat Kepemimpinan Magelang
Konflik merupakan suatu keadaan yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Respon mengelola konflik cenderung digunakan oleh organisasi dengan tingkat efektivitas tinggi
Abstrak Dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara manusia tidak terlepas konflik. Cara orang merespon terhadap adanya konflik tersebut dapat dengan mengelola konflik (collaborating), respon melawan konflik (cotending), dan respon menghindari konflik (avoiding). Respon mengelola konflikcenderung digunakan oleh organisasi dengan tingkat efektivitas tinggi. Kata kunci: konflik, mengelola, efektivitas organisasi
Konflik merupakan istilah yang tidak asing bagi kita. Hampir disetiap media sering kita lihat, dengar, dan baca istilah ini. Konflik antar pelajar, konflik antar warga, konflik antar anggota DPR, dan masih banyak konflik-konflik yang akrab ditelinga kita. Lalu pertanyaannya apakah setiap konflik itu negatif? Tulisan ini mencoba melihat konflik dari perspektif yang lain. Apakah konflik itu? Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan
yang
lain,
sehingga
salah
satu
atau
keduanya
saling
terganggu.Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi
yang
telah
dikemukakan
tersebut
dapat
mengganggu
bahkan
1
menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4). Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17). Dari pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik dapat terjadi dengan dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam berbagai hal diantaranya nilai, tujuan, status, dan budaya. Pada dasarnya,sebuah konflik dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas tim dalam suatu organisasi.Ada tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional, human relation, dan interaksionis (Robbins, 2001). Konflik menurut pandangan tradisional adalah buruk. Konflik dipandang sebagai hal yang negatif dan harus dihindari atau dihilangkan. Konflik menurut pandangan ini merupakan hal yang tidak normal dalam kehidupan. Hidup biasa seharusnya adalah hidup tanpa konflik, rukun, dan damai. Pandangan human relations berpendapat bahwa konflik adalah hal yang wajar dan biasa terjadi di dalam suatu kelompok atau organisasi. Konflik harus diterima apa adanya karena ada sisi positif dari konflik. Karena mempunyai sisi positif dan negatif, menurut pandangan ini konflik tidak perlu disangkal tapi dikelola. Pandangan Interaksionis justru mendorong adanya konflik atas dasar asumsi bahwa kelompok yang kooperatif, tenang dan damai cenderung menjadi statis, apatis, tidak kritis. Oleh karena itu menurut pandangan interaksionis, konflik perlu untuk dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga dapat menghidupkan kelompok, membuat seseorang lebih kritis dan kreatif. Dalam penelitian ini kita menggunakan pandangan interaksionis.
2
Dari pandangan interaksionis di atas dapat dilihat keberadaan suatu konflik itu diperlukan dalam proses pencapaian tujuan organisasi. Menurut Jehn KA terdapat tiga tipe konflik, yaitu konflik hubungan, konflik tugas, dan konflik proses. Konflik hubungan adalah konflik yang terjadi karena ketidaksetujuan atas perbedaan yang berasal dari persoalan personal anggota lainnya dan tidak terkait dengan pekerjaan. Konflik tugas terjadi karena ketidaksesuaian mengenai tugas yang dimiliki oleh tim. Konflik proses fokus pada strategi dan delegasi tugas. Lalu bagaimana konflik riil di organisasi pemerintah? Penulis telah melakukan penelitian terhadap konflik yang terjadi pada sebuah unit instansi pemerintah yang merupakan salah satu unit eselon I yang berada dalam lingkup Kementerian Keuangan dengan menyebarkan kuisioner.Dari 300 kuisioner yang dibagikan telah kembali sebanyak 275 atau tingkat partisipasi responden sebesar 91,67%. Dari kuisioner yang kami bagikan untuk mengidentifikasi adanya konflik ada sebelas pertanyaan berkaitan dengan konflik ini, dua pertanyaan berkaitan dengan konflik intrapersonal, lima pertanyaan berkaitan dengan konflik hubungan dan empat pertanyaan berkaitan dengan konflik tugas. Dari kuesioner yang kembali terlihat konflik intrapersonal ternyata yang sering muncul. Sedangkan konflik tugas menduduki peringkat dua yang sering muncul, konflik tugas yang sering terjadi adalah Konflik yang disebabkan pendelegasian tugas yang tidak berimbang. Dan di peringkat terakhir adalah konflik hubungan, konflik hubungan yang sering muncul adalah Konflik yang disebabkan gaya interaksi seseorang dan Konflik yang disebabkan gaya sikap dan perbedaan kepentingan.
3
Menurut Robbins ada lima tahapan terjadinya konflik yaitu tahap I adalah oposisi atau hasil ketidakcocokan potensial, tahap II adalah kognisi dan personalisasi, tahap III adalah maksud, Tahap IV adalah perilaku dan tahap V adalah hasil. Hasil dari keberadaan suatu konflik itu adalah kinerja tim meningkat atau kinerjanya malah menurun. Munculnya konflik dalam organisasi ternyata memiliki dampak pada organisasi tersebut baik dampak tersebut bersifat positif maupun negatif. Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang ditampakkan oleh karyawan sebagai sumber
daya
manusia
potensial
dengan
berbagai
akibat
seperti:
(1)
Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja; (2) Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif; (3) Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas; (4) Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress sehingga produktivitas kerja semakin meningkat; (5) Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Tentunya dampak positif ini dapat menjadikan tujuan organisasi tercapai. Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Sehingga dapat dikatakan Keberadaan konflik penting akan tetapi yang lebih penting lagi kemudian adalah respon atau maksud penanganan konflik yang
4
merupakan tahap ketiga dari tahapan terjadinya konflik. Respon atau maksud pengelolaan konflik adalah keputusan-keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dalam suatu bagian konflik. Sebuah konflik akan meningkatkan produktivitas dan efektivitas organisasi apabila dikelola dengan benar.Namun apabila konflik tersebut tidak dikelola dengan benar maka keberadaannya justru membahayakan efektivitas organisasi. Menurut John Willey (2001), terdapat tiga macam pengelolaan konflik yang dapat dipelajari diantaranya respon mengelola konflik (collaborating), respon melawan konflik (cotending), dan respon menghindari konflik (avoidingMenurut De Dreu dan Weingart (2003) terdapat tiga cara dalam merespon konflik yaitu: mengelola konflik (collaborating),melawan konflik (contending), dan menghindari konflik (avoiding). Sebelum kita membahas bagaimana mengelola konflik agar meningkatkan efektivitas organisasi, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu apa itu efektivitas organisasi.
Robbins (1994) pada Masana
Sembiring
(2012)
mengemukakan bahwa “organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diindentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau sekelompok tujuan”. Dengan demikian terlihat bahwa organisasi itu adalah struktur atau kesatuan sosial dimana orang-orang didalamnya diatur, digerakkan dan dikoordinasikan secara formal untuk mencapai tujuan bersama. Supaya organisasi dapat mencapai tujuannya, maka organisasi harus digerakkan oleh pemimpin (leader) beserta para manajer. Organisasi bukan tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan. Organisasi itu sendiri terdiri dari individu-individu dan kelompok karena itu efektivitas organisasi juga
5
terdiri dari individu dan kelompok, tetapi efektivitas organisasi lebih dari sekedar penjumlahan efektivitas individu dan kelompok melalui efek sinergi, organisasi mendapatkan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan penjumlahan bagian-bagiannya. Berdasarkan Ensiklopedi Umum Administrasi, Efektivitas berasal dari kata kerja Efektif, berarti terjadinya suatu akibat atau efek yang dikehendaki dalam perbuatan. Efektivitas setiap organisasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia, karena merupakan sumber daya yang umum bagi semua organisasi. Kinerja organisasi tergantung dari kinerja individu, dan manajer/pimpinan harus mempunyai kemampuan lebih dari sekedar pengetahuan dalam hal penentuan kinerja individu. Pengukuran efektivitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Hackman (1983). Adapun item yang diukur adalah kemampuan dalam menyelesaikan tugas, kemampuan ketika menghadapi situasi yang tidak menentu, dan bagaimana hasil pelaksanaan tugas. Daft dalam bukunya Organization Theory and Design (1992) menerangkan bahwaEfektivitas organisasi adalah suatu tingkatan sejauh mana suatu organisasi mewujudkan tujuan-tujuannya. Efektivitas merupakan suatu konsep yang luas yang secara implisit mempertimbangkan banyak variabel baik pada level departemen maupun level organisasinya itu sendiri. Pengukuran efektivitas dapat dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda dalam organisasi. Menurut Daft di dalam mengukur efektivitas ada 2 (dua) pendekatan yaitu :
Pendekatan Efektivitas Modern Pendekatan baru ini mengenal konsep bahwa organisasi melakukan
banyak
hal
dan
memproduksi
banyak
hasil
akhir.
Pendekatan
ini
6
menggabungkan beberapa indikator efektivitas dalam suatu kerangka berfikir (framework) termasuk dalam indikator ini adalah stakeholder dan nilai-nilai yang bersaing.Stakeholder adalah kelompok di dalam atau di luar organisasi yang memiliki kepentingan di dalam performa organisasi tersebut. Stakeholder yaitu kreditor, suplier, pegawai dan pemilik. Pendekatan ini juga disebut pendekatan konstituensi. Kepuasan dari stakeholder dapat disebut sebagai indikator performa organisasi. Tabel Indikator Kegunaan No Stakeholder 1. Pemilik 2. Pegawai 3. 4. 5. 6. 7.
Kriteria Efektivitas Keuntungan Finansial Kepuasan kerja, upah, pengawasan
Pembeli/Pelanggan Kualitas produk dan pelayanan Kreditor Kelayakan produk Komunitas/Masyarakat Kontribusi untuk kepentingan masyarakat Suplier Kepuasan transaksi Pemerintah Kepatuhan terhadap hukum dan perundangan Sumber : Daft, Organization Theory and Design, 1992
Keungulan pendekatan ini adalah mempertimbangkan aspek yang luas pada efektivitas dan menelaah faktor-faktor di lingkungan dan di dalam organisasi. Sedangkan Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert Quinn dan John Rohrbaugh.Indikator Pertama, fokus pada masalah yang dihadapi baik internal atau eksternal. Fokus Internal mencerminkan perhatian manajemen untuk kesejahteraan
dan
efisiensi
pegawai,
dan
eksternalnya
mencerminkan
penekanan terhadap keberhasilan organisasi di lingkungannya. Kedua, struktur organisasi baik dari sudut pendang stabilitas dan fleksibilitas. Stabilitas merujuk pada kontrol manajemen yang Top-down, sama dengan pendekatan mekanistis. Fleksibilitas mencerminkan suatu nilai untuk adaptasi dan perubahan yang mana pendektan ini sama dengan pendekatan organik.
7
Pendekatan Efektivitas Tradisional
Dalam penelitian pendekatan tradisional,
Penulisan Daft sama dengan
penulisan Lubis dan Huseini dalam bukunya Teori organisasi (suatu pendekatan makro), tahun 1987 yang fokus pada penilaian bagian-bagian organisasi yang berbeda, yaitu input, proses, dan output.
ORGANISASI Kegiatan dan Proses Internal
INPUT Sumber
Pendekatan Proses
Pendekatan Sumber
OUTPUT Produk/Jasa
Pendekatan Sasaran
gambar 2.1. Penilaian bagian Organisasi a. Pendekatan sasaran (goal approach) dimana dalam pengukuran efektivitas memusatkan perhatian terhadap aspek input, yaitu dalam mengukur keberhasilan organisasi dalam mencapai tingkatan output yang direncanakan. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang sebenarnya (operative goal). b.
Pendekatan sumber (system resource approach), yaitu pendekatan yang mengevaluasi awal proses kegiatan organisasi dan apakah organisasi memperoleh sumber dayanya secara efektif untuk mencapai performa tinggi.
Dalam
kemampuan
pandangan
organisasi
sistem,
baik
secara
efektivitas relatif
organisasi atau
mutlak
adalah dalam
8
mengeksploitasi lingkungannya dalam memperoleh sumber daya yang bernilai tinggi dan langka atau Menurut Lubis dan Huseini,
dalam
bukunya Teori Organisasi (1987), efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai
tingkat
keberhasilan
organisasi
dalam
memanfaatkan
lingkungannya untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka maupun yang nilainya tinggi. c.
Pendekatan Proses (Internal process approach), Lubis dan Huseini (1987) menyatakan, pendekatan ini menganggap efektitifitas sebagai efisiensi dan kondisi dari organisasi internal. Pada organisasi yang efektif proses internal berjalan dengan lancar, karyawan bekerja dengan kegembiraan serta kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian terkoordinasi secara baik dengan produktivitas yang tinggi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan organisasi, dan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi, yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan organisasi. Pendekatan proses umumnya digunakan oleh penganut pendekatan neo-klasik (human relation) dalam teori organisasi yang terutama meneliti hubungan antara efektivitas dengan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Lalu bagaimana di Kementerian Keuangan? Tingkat efektivitas organisasi
dalam satuan unit kerja Kementerian Keuangan diukur dalam Indikator Kinerja Utama (IKU). Menurut KMK. No. 454 / KMK.01/2011 mengenai pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan, IKU adalah tolok ukur keberhasilan dalam pencapaian sasaran strategis.
Sedang sasaran strategis merupakan
sasaran jangka panjang yang langsung berasal dari pernyataan misi organisasi.
9
Salah satu respon terhadap terjadinya konflik, menurut John Willey adalah mengelola konflik. Lalu bagaimana hubungan antara mengelola konflik ini dengan efektivitas organisasi? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan membagi organisasi kedalam tiga cluster yaitu cluster satu untuk organisasi dengan efektivitas organisasi tinggi, cluster dua untuk organisasi dengan efektivitas organisasi standar, dan cluster tiga untuk organisasi dengan efektivitas organisasi rendah. Dari hasil penelitian ternyata pada cluster pertama, konflik interpersonal lebih banyak terjadi dibanding kedua tipe konflik yang lain.Pada tipe konflik tersebut mayoritas responden menyatakan respon konflik yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan respon mengelola konflik. Konflik interpersonal adalah konflik yang diakibatkan dari pengaruh interaksi antar tiap personal dalam suatu organisasi. Pengambilan langkah respon mengelola konflik dirasa sangat ideal untuk mengatasi konflik tersebut terbukti untuk cluster I memiliki NKO yang tinggi. Pada cluster dua menyatakan paling banyak mengalami tipe konflik intrapersonal, yaitu konflik dalam diri sendiri. Konflik ini terjadi apabila seseorang dihadapkan pada pilihan, dan tidak yakin mana yang harus dipilih atau harus dikerjakan diantara alternatif yang dihadapi atau karena tuntutan pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya. Dan pada tipe konflik ini mayoritas responden terbanyak menyatakan respon penangananya dengan melawan konflik Sedangkan pada cluster III menyatakan paling banyak mengalami tipe konflik tugas, konflik ini muncul dikarenakan adanya reward and punishment yang tidak jelas, perbedaan tujuan dengan seksi lain, perbedaan rencana baik dalam satu seksi maupun dengan seksi lain, dan pendelegasian tugas yang tidak
10
berimbang. Untuk tipe konflik ini responden pada cluster III mayoritas menyatakan respon menghindari sebagai pilihan terbanyak. Berdasar data di lapangan didapatkan suatu gambaran bahwa organisasi dengan efektivitas tinggi dibuktikan dengan hasil NKO (Nilai Kinerja Organisasi) tinggi cenderung memberi respon mengelola terhadap konflik yang ada di organisasinya. Lalu bagaimana cara mengelola konflik tersebut ternyata responden pada cluster I mayoritas dalam kerangka mengelola konflik, sikap anggota dalam tim mayoritas adalah saling membantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam organisasi. Hal ini tentunya sejalan dengan Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan: (1) Pengenalan; (2) Diagnosis; (3) Menyepakati suatu solusi (4) Pelaksanaan; (5) Evaluasi. Pada akhirnya dengan pengelolaan konflik yang baik diharapkan setiap organisasi bisa mewujudkan dan juga meningkatkan efektivitas organisasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Amason AC. De Dreu CKW, Van de Vliert E (1997). The Effect of Conflict
on
Strategic
Decision
Making
effectiveness
and
organizational performance. In using conflict in organization. Sage: Thousand OakS.
11
2. Carstenn, K.W. De Dreu and Annelies E.M Van Viannen (2001). Managing relationship conflict and the effectiveness of organizational teams. Journal of Organozational Behavior. University of Amsterdam. 3. Cohen SG, Bailey DE. (1997). What makes teams work: group effectiveness research from te shop floor to the executive suite. Journal of Management, 4. Daft, Richard L (1992).Organization Theory and Design. South Western Cengage Learning: Ohio. 5. De Dreu CKW (1997). Productive Conflict: The Importance of conflict Management and Conflict Issue. In Using conflict in Organizations De Dreu CKW, Van de Vliert E. Sage: London. 6. De Dreu CKW, Van de Vliert E (1997). Using Conflict in Organization. Sage:London. 7. Hackman R (1983). The Design of Effective Work Groups. In Handbook of organizational Behavior, Lorsch JW (ed). Prentice Hall: Englewood Cliffs,NJ. 8. Hackman J.R. (1990). Introduction: work teams in organizations: An oriented framework. In J. Hackman (Ed). Groups that work and those that don’t. San Fransisco: Jossey-Bass. 9. Malhotra, Naresh K. (2004). Marketing Research An Applied Orientation 2ndEdition. New Jersey: Pearson Education. 10. Katzenbach, Jon R., And Smith, Douglas K. (1993). The Wisdom of Teams:Creating
the
High-Performance
Organization.
Harvard
Business School Press.
12
11. Motowidlow SJ, Van Scotter JR (1994). Evidence that task Performance shouldbe distinguished from contextual Performance. Journal of Applied Psychology 12. Putnam LL,
Wilson CE
(1982).Communicative
Strategies in
Organizational InConflicts: realibility and validity of A Measurement Scale.629-652.communication Yearbook, Burgoon . (ed). Vol. 6, Sage: Beverly Hills, CA,
13. Robbins, P. Stephen. (2003). Organizational Behavior 10th Edition. New Jersey: Pearson Education. 14. Rahim A (1983). Measurement of Organizational Conflict. Journal of General Psychology. 15. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta
13