PENGEMBANGAN PROGRAM PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU IPA SMP Tri Jalmo dan Nuryani Y. Rustaman Jurusan PMIPA FKIP Universitas Lampung dan Prodi IPA SPs Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] dan
[email protected]
Abstract: Professional Development Program for Junior High School Science Teachers. The research was conducted to develop effective training programs in improving the competence of junior high school science teachers with scaffolding strategies. The program involved the 53 junior high school science teachers. The control group was trained using the conventional strategy while the treatment group were trained using the scaffolding strategy (PPGS). The data were collected through observation, competency test, and training products. The results showed that (1) PPGS is effective in improving the competence of the participants, (2) there are six characteristics PPGS, (3) PPGS is not efficient in term of time, and (4) PPGS motivates students to increase their competence. Abstrak: Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan program pelatihan yang efektif dalam meningkatkan kompetensi guru IPA SMP menggunakan strategi scaffolding. Uji utama program pelatihan melibatkan 53 guru IPA SMP. Kelompok kontrol dilatih menggunakan strategi ”konvensional” sedangkan kelompok perlakuan dilatih menggunakan program pelatihan guru dengan strategi scaffolding (PPGS). Data dikumpulkan dengan observasi, uji kompetensi, dan produk pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) PPGS merupakan program yang efektif dalam meningkatkan kompetensi peserta, (2) terdapat enam karakteristik PPGS, (3) kelemahan PPGS adalah tidak efisien waktu, dan (4) keunggulan PPGS adalah student centered dan memotivasi peserta bekerja keras untuk meningkatkan kompetensinya. Kata-kata Kunci: Program pelatihan, strategi scaffolding, kompetensi mengembangkan tes
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 (2) menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional. Sebagai tenaga professional, guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran (Depdiknas, 2005). Selanjutnya kompetensi sebagai agen pembelajaran mencakup empat aspek yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Dengan empat kompetensi tersebut diharapkan pendidikan mampu menghantarkan semua peserta didik mencapai tujuan pendidikan, terutama tujuan pendidikan nasional. Peningkatan profesionalitas guru sebenaranya merupakan tanggung jawab guru secara individual sejalan dengan perubahan pada tempat kerja (Brown, 2000) dan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan peserta didik
(NRC, 1988). Guru secara individual dapat meningkatkan kompetensinya sebagai agen pembelajaran melalui pengalaman-pengalaman kesehariannya di kelas atau melalui komunikasi dengan rekan sejawat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bersama (Bradley, et al.,1988). Hasil penelitian Tri Jalmo (2008) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru IPA SMP yang berpengalaman mengajar kurang dari lima tahun dengan guru IPA yang berpengalaman mengajar lebih dari lima tahun dalam mengembangkan tes hasil belajar. Ini menggambarkan pengembangan profesional guru secara indivual tidak terlaksana. Di Indonesia, peningkatan profesionalitas guru banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai pelatihan. Namun hasilnya belum optimal, bahkan banyak pelatihan yang dapat dinilai gagal dalam meningkatkan kinerja guru 79
Tri Jalmo, Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Ipa Smp
di kelas. Kenyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Tri Jalmo (2008) bahwa kompetensi pedagogik, khususnya kompetensi melaksanakan penilaian ternyata kompetensi guru yang pernah mengikuti pelatihan tidak berbeda secara signifikan dengan guru yang belum pernah mengikuti pelatihan tentang evaluasi pendidikan. Hasil tersebut menggambarkan bahwa pelatihan evaluasi tidak berdampak meningkatnya kompetensi guru dalam melaksanakan penilaian. Pelatihan guru yang selama ini dilaksanakan melalui berbagai proyek peningkatan mutu pendidikan banyak yang tidak efektif. Pelatihan dilaksanakan hanya sekedar memenuhi tuntutan proyek. Hasil kajian pelatihan yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung tahun 2006 dan 2007 menggambarkan bahwa pelatihan masih bersifat top down, massal, dan seragam. Pelatihan didominasi oleh aktivitas pelatih dalam menyampaikan materi pelatihan dan diselingi dengan latihan peserta mengerjakan tugas-tugas. Kompetensi awal dan akhir peserta pelatihan tidak pernah diukur sehingga tidak diketahui perkembangan kompetensi peserta yang merupakan gambaran dari efektivitas pelatihan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas maka perlu dikembangkan program pelatihan yang dapat memperbaiki kualitas pelatihan sehingga pelatihan berjalan efektif dalam mencapai tujuan. Program pelatihan yang dikembangkan harus mampu memenuhi kebutuhan peserta yang memiliki karakteristik kompetensi yang beragam. Dengan demikian, program pelatihan yang dikembangkan harus berdeferensiasi. Strategi pelatihan yang diduga paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah strategi scaffolding. Strategi scaffolding dilandasi oleh teori sosiokultural Vygotsky, bahwa interaksi sosial memainkan peran yang mendasar dalam perkembangan kognisi. Istilah scaffolding dicetuskan oleh Wood, Bruner, dan Ross (1976), sebagai proses meningkatkan kemampuan siswa atau orang yang baru dalam memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau mencapai tujuan di luar kemampuannya.
80
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengembangkan program pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Materi pelatihannya adalah pengembangan tes hasil belajar IPA. Penelitian pengembangan ini mengikuti disain penelitian dan pengembangan dari Borg & Gall (1983). Langkah penelitian dan pengembangan program pelatihan dengan strategi scaffolding (PPGS) diakhiri dengan ujicoba utama yang hasilnya merupakan gambaran efektivitas PPGS. Strategi scaffolding diterapkan pada pelatihan kelompok ekperimen dengan langkah-langkah yang dikembangkan oleh Ellis & Larkin (1998) yaitu the teacher does it, the class does it, the group does it, dan the individual does it. Sedangkan strategi “konvensional” diterapkan pada pelatihan kelompok kontrol dengan langkah informasi materi secara tuntas dan diakhiri dengan tugas latihan. Program pelatihan dituangkan dalam perangkat pelatihan yang mencakup panduan pelatihan, bahan ajar pelatihan, dan instrumen untuk mengukur efektivitas pelatihan. Data kualitatif berupa: 1) karakteristik PPGS, 2) keunggulan dan kekurangan PPGS dalam implementasi, dan 3) tanggapan peserta tentang PPGS. Data-data kualitatif tersebut dianalisis secara deskriptif interpretatif. Data kuantitatif berupa skor tes, evaluasi diri, dan skor kualitas kerja. Data kauntitatif dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial. Data dianalisis nornalitas dan homogenitasnya dan dilanjutkan dengan uji t. Semua analisis data kuantitatif di atas dilakukan dengan SPSS versi 16 pada taraf signifikasi 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rancangan Program Pelatihan Guru dengan Stategi Scaffolding (PPGS) dan Ujicoba Rancangan PPGS (Gambar 1) dikembangkan sesuai dengan langkah-langkah pengembangan program pelatihan. Selanjutnya hasil pengembangan program dikemas dalam bentuk (1) panduan pelatihan, (2) bahan ajar
81
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010
pelatihan, dan (3) instrument-intrumen penilaian untuk mengukur efektivitas pelatihan. Hasil validasi ahli terhadap rancangan PPGS menunjukkan bahwa secara umum rancangan PPGS telah memenuhi syarat sebagai rancangan program pelatihan untuk melatih guru dalam meningkatkan kompetensi mengembangkan tes hasil belajar. Bahan pelatihan dinilai telah sesuai dengan tujuan pelatihan dan jenisnya telah memadai untuk membekali kompetensi guru dalam mengembangkan tes. Isi (materi) setiap bahan ajar telah memadai untuk membekali kompetensi guru dalam mengembangkan tes dan bahasa yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar dan komunikatif. Beberapa saran perbaikan pada bahan ajar antar lain (1) pada bahan ajar 3 yaitu tentang penyusunan tes perlu dipertimbangkan berkenaan dengan penggunaan istilah “penyusunan butir soal” yang membari kesan bahwa di dalamnya tidak hanya menyusun tetapi juga mengembangkan. Pada halaman 13 sebaiknya masing-masing diberi contoh agar lebih jelas; (2) bahan ajar yang dibuat cocok untuk membekali kompetensi guru dalam mengembangkan tes tertulis (kognitif) tetapi belum cocok untuk membekali guru dalam mengembangkan tes perbuatan dan afektif; (3) perlu diperhatikan teknik pengutipan, teknik penulisan daftar pustaka, penggunaan istilah supaya kosisten. Instrumen penilaian efektivitas pelatihan dinilai telah sesuai dengan tujuan pelatihan baik dari sisi efektivitas, materi, maupun bahasa yang digunakan, namun perlu titambahkan format observasi pembelajaran. Dengan demikian ketiga validator sepakat merekomendasikan bahwa instrument penilaian tidak ada perbaikan dan dapat digunakan dalam pelatihan. Uji coba terbatas dilakukan untuk melakukan evaluasi kualitatif dari rancangan PPGS, yaitu mengetahui keterterapan dari program yang sedang dikembangkan. Skenario pelatihan dapat dilaksanakan secara lancar, bahan pelatihan dapat dipahami dan tugas-tugas dapat dikerjakan oleh peserta uji coba. Masalahmasalah yang muncul ketika pelaksanaan uji
coba rancangan PPGS adalah sebagai berikut: Pertama, Pengelolaan waktu pelatihan, terutama sesi perencanaan dan penyusunan tes. Waktu yang dialokasikan untuk kedua sesi tersebut ternyata kurang. Peserta lebih banyak membutuhkan waktu pada langkah the group does it. Diskusi dan komunikasi antar anggota dalam kelompok sangat intensif, terjadi perdebatan antaranggota. Kurangnya waktu juga dirasakan oleh peserta, melalui kuesioner terbuka mereka menyarankan waktu agar waktu pelatihan ditambah, terutama waktu untuk latihan. Dengan temuan tersebut maka perlu dilakukan revisi pada alokasi waktu setiap sesi pelatihan. Kedua, Pada sesi pelatihan “perencanaan tes” ternyata masih ditemukan beberapa peserta yang belum mampu merencanakan tes secara benar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa strategi pelatihan belum tepat. Oleh karena itu pada sesi kedua yaitu penyusunan soal pada akhir langkah sesi ditambahkan langkah “evaluasi dan refleksi”. Dengan melakukan evaluasi terhadap hasil karya diharapkan peserta dapat menilai soal yang berkualitas dan soal yang tidak berkualitas. Jika hasil penilaian ternyata soal yang dikembangkan tidak berkualitas maka peserta yang bersangkutan diminta untuk melakukan refleksi terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan ketika menulis soal sehingga dapat menemukan penyebab dari kesalahan. Akhirnya peserta diminta melakukan perbaikan sehingga soal tersebut memenuhi syarat-syarat (kaidah) yang ditentukan. Penambahan langkah “evaluasi dan refleksi” ternyata mampu meningkatkan pemahaman peserta pada materi pelatihan. Ketiga, Ruang yang digunakan kurang memadai dari sisi luas. Dengan peserta sebanyak 36 orang ruang ukuran 10 x 12 meter dirasakan sempit ketika langkah the group does it dilaksanakan. Agar peserta lebih leluasa bergerak maka dibutuhkan ruang yang lebih luas. Berdasarkan temuan tersebut maka untuk pelaksanaan ujicoba utama perlu dicarikan ruangan yang lebih mamadai dari sisi luas ruangan dan kenyamanan
Tri Jalmo, Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Ipa Smp
82
Dst…..
Materi Jenjang kompetensi
Analisis tes
4. the individual does it 3. the group does it 2. the class does it 1. the teacher does it
Evaluasi dan refleksi
Materi Penyusunan tes
Materi Perencanaan tes
4. the individual does it 3. the group does it 2. the class does it 1. the teacher does it
Evaluasi dan refleksi
4. the individual does it 3. the group does it 2. the class does it 1. the teacher does it
Gambar 1. PPGS
Pelatihan menggunakan PPGS dinilai positif oleh sebagian besar peserta pelatihan. Peserta merasa bahwa pelatihan ini membantu mereka lebih mudah memahami kaidah-kaidah pengembangan tes hasil belajar. Pelatihan memacu peserta lebih aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri melalui tugas-tugas yang dirancang secara bertahap dan berkelanjutan. Peserta juga mengakui bahwa model pelatihan semacam ini merangasang anggota kelompok untuk saling berbagi dalam kemampuan. Model pelatihan ini menempatkan peserta sebagai pemain utama (student centered) dan pelatih sebagai pendamping, bukan instruktur. Meskipun strategi scaffolding banyak digunakan pada anak-anak usia sekolah, namun 97.11 % peserta setuju bahwa PPGS masih cocok untuk digunakan pada orang-orang dewasa (guru). Beberapa kebaikan PPGS yang diutarakan oleh peserta antaran lain bahwa dalam pelatihan ini (1) peserta langsung mempraktekkan materi ke contoh-contoh yang operasional; (2) peserta langsung dilibatkan dengan tugas kelompok dan tugas individu; (3) materi lebih mudah dipahami; (4) menekankan pada praktek peserta; (5) banyak latihan daripada mendengarkan; (6) menjawab kesulitan guru di lapangan; (7) merangsang guru untuk membuat soal sendiri; dan (8) waktu didominasi oleh peserta.
Karakteristik PPGS
Berdasarkan rancangan PPGS di atas maka dapat diidentifikasi karakteristiknya sebagai berikut: Langkah pertama, pelatih memodelkan langkah-langkah pemecahan masalah (the teacher does it), tidak dengan penjelasan materi. Dalam pembelajaran scaffolding pelatih kedudukannya sebagai MKO (the more knowledgeable other), yaitu orang yang memiliki kompetensi lebih dibandingkan dengan peserta. MKO ini akan mengembangkan peserta untuk mencapai kompetensi potensialnya. Pelatih memberikan contoh yang benar tentang langkah-langkah belajar/pemecahan masalah. Langkah kedua yaitu the class doest it. Pada tahap ini tanggung jawab pelatih diserahkan kepada kelas, pelatih hanya bertindak sebagai pendamping dan penampung pendapat peserta. Hasil kerja kelas dievaluasi dan direfleksi untuk mengontrol daya serap (pemahaman) peserta. Evaluasi hasil kerja dimaksudkan untuk mengetahui apakah hasil kerja tersebut telah memenuhi standar yang ditentukan atau tidak. Jika menurut hasil evaluasi ternyata hasil kerja tidak memenuhi standar maka dilakukan refleksi terhadap langkah-langkah pemecahan masalah sekaligus memperbaiki kesalahannya (Gambar 1).
83
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010
Langkah ketiga adalah the group does it, tugas diberikan kepada kelompok-kelompok kecil. Pemecahan masalah dilakukan dengan interaksi dan komunikasi yang intensif antaranggota kelompok. Kelompok yang mengalami kesulitan dapat meminta bantuan pelatih. Hasil kerja kelompok dievaluasi dan direfleksi seperti pada langkah kedua. Sampai langkah ketiga ini berarti setiap peserta telah tiga kali memperoleh pengalaman dalam memecahkan masalah. Langkah keempat adalah the individual does it. Setiap peserta diberi tugas/masalah untuk dikerjakan/dipecahkan secara individual. Pada langkah akhir ini peserta dituntut lebih mandiri untuk mendemonstrasikan penyelesaian tugasnya. Kemampuan peserta dalam menyelesaikan tugas pada tahap ini menggambarkan bahwa kompetensi peserta telah meningkat satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya.` Berarti pula bahwa peserta telah mencapai kompetensi potensialnya. Berdasarkan uraian langkah di atas tergambar bahwa sejak awal aktivitas peserta lebih mendomonasi proses pelatihan dibandingkan dengan aktivitas pelatih. Bimbingan oleh pelatih makin lama makin sedikit, sampai pada akhirnya ditarik sama sekali. Jadi PPGS menekankan pada tanggung jawab peserta dalam meningkatkan kompetensinya. Karakteristik materi yang sesuai untuk PPGS adalah materi-materi yang menuntut aplikasi konsep, bukan materi yang bersifat teoritik (hafalan). Akan lebih baik jika materi tersebut bersifat hirarkis, artinya antara materi satu dengan lainnya berhubungan erat, penguasaan materi pertama merupakan syarat untuk dapat menguasai materi berikutnya. Peran pelatih (MKO) harus berubah dari instruktur menjadi fasilitator yang memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta, lambat laun bimbingannya dikurangi atau tidak diberikan sama sekali. Untuk dapat memerankan sebagai fasilitator maka pelatih harus memahami skenario pelatihan dengan baik dan mempersiapkan tugas-tugas pelatihan yang akan diberikan pada setiap langkah pelatihan. Pelatih juga harus dapat mengontrol waktu setiap langkah karena waktu untuk setiap materi pelatihan terbatas.
Materi pelatihan tidak disajikan dalam bentuk urian (informasi) tetapi dalam bentuk tugas-tugas. Tugas-tugas yang diberikan haruslah tugas-tugas yang diperkirakan belum dikuasai, yaitu tugas yang kemungkinan tidak dapat dikerjakan oleh peserta secara individual tanpa bantuan orang yang lebih tahu (MKO). Karakter tugas yang demikian memacu motivasi peserta untuk bekerja/berpikir lebih keras utuk mengerjakannya. Sebelum pelatihan, kompetensi peserta harus telah diketahui sehingga pemberian tugas sesuai dengan kompetensinya. Dengan demikian dimungkinkan dalam satu kelas peserta mendapat materi pelatihan yang berbeda, tergantung pada kompetensi awal dan kemajuannya. Data kompetensi juga digunakan sebagai dasar pengelompokan pada langkah the group does it. Anggota dalam satu kelompok memiliki kompetensi yang sama/hampir sama. Instrumen yang digunakan untuk mengukur efektivitas pelatihan harus mengakomodasi perkembangan kompetensi peserta pelatihan dari satu sesi pelatihan ke sesi pelatihan lainnya. Jadi instumen tidak hanya berupa tes awal dan tes akhir saja.
Efektivitas PPGS juga dibuktikan dengan kualitas butir soal yang disusun oleh peserta.
Menurut Safari (2004) bahwa butir soal yang baik adalah butir soal yang menuntut berpikir
Hasil Uji Utama Rancangan PPGS Peningkatan Kompetensi Mengembangkan Tes
Peserta
Dalam
Berdasarkan Hasil analisis data kompetensi pengembangan tes diketahui bahwa peningkatan kompetensi peserta kelompok eksperimen lebih tinggi dan berbeda nyata (p sig 0,012<α 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 1). Dengan demikian PPGS lebih efektif meningkatkan kompetensi peserta dalam mengembangkan tes hasil belajar dibandingkan dengan program pelatihan “konvensional”. Tabel 1. Peningkatan kompetensi pengembangan tes Kel. kontrol Rera Distrib ta nusi gain
Kel. eksperimen Rera Distrib ta nusi gain
Varian s
p (Sig)
0.29
0.44
Homog en
0.01 2 (S)
Normal
Normal
Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan
Tri Jalmo, Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Ipa Smp
84
tingkat tinggi yaitu butir soal yang dilengkapi dengan stimulus. Skor kualitas soal yang disusun oleh peserta kelompok eksperimen ternyata lebih tinggi dan berbeda nyata (p sig 0,00 < α 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 2). Butir soal hasil karya peserta juga dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui apakah butir soal yang dibuat memenuhi kaidah penulisan soal atau tidak. Hasil analisis data kualitas butir soal yang didasarkan pada skor kualitas soal diketahui bahwa butir soal pilihan ganda dan esai yang disusun peserta kelompok ekeperimen lebih berkualitas dan berbeda nyata (p sig 0,00 < α 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 3). Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan PPGS dapat meningkatkan kompetensi peserta dalam menyusun butir soal yang lebih berkualitas.
eksperimen pada perencanaan dan penyusunan tes lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan peningkatan kompetensi peserta pada analisis tes pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (Tabel 4).
Tabel 2. Kualitas butir soal
Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan
Kel. kontrol Rerata skor 0.65
Distri busi Tidak Norm al
Kel. eksperimen Rerata skor
Distri busi Tidak Norm al
1.66
Varians
P (Sig)
Homogen
0.00 (S)
Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan
Tabel 3. Kualitas butir soal Jenis butir soal
Kel. kontrol
Kel. eksperimen Rerat Distri a busi
Rer ata
Distri busi
Esai
5.82
Norma l
8.53
Norma l
Piliha n ganda
9.99
Norma l
11,56
Norma l
Varia ns Tidak homog en Tidak homog en
P (Sig ) 0.00 (S) 0.00 (S)
Keterangan: TS = tidak signifikan; S = signifikan
Bukti lain yang menunjukkan bahwa PPGS efektif meningkatkan kompetensi peserta pelatihan adalah hasil evaluasi diri peserta. Pada awal dan akhir setiap sesi pelatihan peserta selalu diminta melakukan evaluasi diri terhadap kompetensinya pada materi pelatihan. Selanjutnya hasil evaluasi diri dihitung selisihnya (n-gain) sebagai bukti perkembangan kompetensi akibat pelatihan. Berdasarkan hasil analisis data evaluasi diri menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi peserta kelompok
Tabel 4. Evaluasi diri kompetensi peserta
Tahap penge mbang an tes
Kel. kontrol Rer ata Dis ntrib gai usi n
Perenca naan tes
0.25
Penyus unan tes Analisis tes
Kel. eksperimen Rerat a ngain
Distr ibusi
Nor mal
0.39
Nor mal
0.32
Nor mal
0.44
Nor mal
0.44
Nor mal
0.47
Nor mal
Varia ns
Homo gen Tidak homo gen Tidak homo gen
P (Sig)
0.01 (S) 0.02 (S) 0.16 (TS)
Efektivitas PPGS dalam meningkatkan kompetensi peserta pelatihan sejalan dengan tujuan pelatihan bahwa pelatihan merupakan salah satu arena pengembangan profesional bertujuan menyiapkan guru agar berhasil dalam tugasnya (Hallinan and Vladimir, 2001). Selanjutnya pelatihan guru (in-service training) dilaksanakan untuk merangsang peningkatan dan pengembangan kompetensi guru (Kennedy, 1995), meningkatkan praktik mengajar dan/atau mengimplementasikan inovasi-inovasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah (Pennington, 1990), dan diperlukan guru secara berkelanjutan sepanjang karir mengajarnya (Sprinthall, R. & Thies-Sprinthall, dalam Atay, 2006). Beberapa alasan secara teoritis yang mendukung PPGS sebagai program pelatihan yang efektif antara lain sebagai berikut. Program ini dirancang sesuai dengan langkahlangkah perancangan program pelatihan. PPGS mengadopsi model pelatihan yang dikembangkan Pont (1991) dengan lima fase yaitu (a) analisis kebutuhan pelatihan, (b) perencanaan dan perancangan pendekatan palatihan, (c) pengembangan materi palatihan, (d) pelaksanaan pelatihan, dan (e) evaluasi pelatihan. PPGS juga memenuhi unsur-unsur pengembangan model pelatihan yang dikemukakan oleh berbagai tokoh (Nadler, 1982; Blanchard, and Thacker, 2004; Hamalik, 2001). Hasil rancangam program pelatihan
85
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010
dituangkan dalam bentuk panduan pelatihan, bahan ajar pelatihan dan instrumen-instrumen penilaian yang semua itu telah divalidasi oleh tiga ahli, diujicoba, dan digunakan dalam pelatihan yang sesungguhnya (ujicoba utama). Perancangan PPGS didahului dengan analisis kebutuhan. Langkah ini sesui dengan yang disarankan oleh Nadler (1982) dan Blanchard and Thacker (2004). Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan (1) perancangan program pelatihan, (2) strategi dan tempat pelatihan, (3) kompetensi awal peserta (4) standar nasional kompetensi guru sebagai acuan penetapan tujuan pelatihan, (5) jenis bahan pelatihan, (6) program pelatihan yang biasa dilakukan, dan (7) jenis alat penilaian efektivitas pelatihan Pelaksanaan pelatihan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan yaitu strategi scaffolding. Pembelajaran scaffolding diartikan oleh Vygotsky sebagai peran guru dan lainnya dalam membantu perkembangan pebelajar dan pemberian dukungan terstruktur untuk mencapai tahap atau tingkat berikutnya (Raymond, 2000 dalam Stuyf, 2002). Pemberian bantuan tersebut bersifat sementara, ketika pebelajar telah meningkat kemampuannya maka bantuan secara berangsur-angsur ditarik, akhirnya pebelajar mampu menyelesaikan tugas secara mandiri (Chang, et al., 2002; Ellis, Larkin, Wothington, dalam Stuyf, 2002). Dengan demikian, guru secara bertahap melepaskan tanggungjawabnya kepada siswa (Pearson & Gallagher, 1983). Dengan demikian strategi yang digunakan pada PPGS` sangat sesuai dengan karakteristik pelatihan, yaitu: melatih peserta untuk dapat menguasai kemampuan dan keterampilan yang baru, artinya peserta dituntut lebih aktif dibandingkan dengan pelatihnya. Strategi scaffolding mengarahkan pelatihan pada student centered, memaksa peserta untuk selalu on task dan memberikan arah yang jelas dalam mencapai tujuan pelatihan (McKenzie, 1999). Sesuai dengan karakteristik pembelajaran scaffolding, kompetensi peserta dikembangkan secara bertahap (Gambar 1), sejalan dengan dilepaskannya secara bertahap tanggungjawab pelatih kepada peserta ketika peserta telah mampu menguasai kompetensi tersebut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap peserta kompetensinya meningkat setingkat lebih tinggi dari sebelumnya.
Evaluasi terhadap efekstivitas PPGS dalam mencapai tujuan pelatihan dilakukan pada setiap fase yaitu input, process, dan output (Blancharrd and Thacker, 2004). Pada fase input yang dievaluasi adalah kompetensi awal peserta yaitu dengan uji kompetensi, tes awal, dan evaluasi diri. Evaluasi fase process mencakup evaluasi terhadap langkah pelatihan, aktivitas peserta pelatihan, dan produk pelatihan. Sedangkan evaluasi fase output mencakup tes akhir, produk pelatihan, evaluasi diri, dan validasi pelatihan yang dilakukan oleh peserta melalui beberapa jenis kuesioner. Dengan evaluasi ketiga fase tersebut tergambar bahwa PPGS efektif meningkatkan kompetensi peserta. Masalah-masalah yang Mengimplementasikan PPGS
Dihadapi
dalam
Masalah utama yang dihadapi dalam mengimplementasikan PPGS adalah manajemen waktu. Kelemahan ini sudah dinyatakan sebelumnya oleh Pressley, et al. (1966 dalam Larkin, 2002). PPGS membutuhkan waktu yang lebih banyak karena setiap langkah pelatihan didominasi aktivitas peserta dalam berlatih (mengembangkan kompetensi). Dominansi aktivitas belajar peserta terjadi sejak langkah kedua (the class does it) dari setiap sesi hingga langkah terakhir(the group does it), serta langkah evaluasi – refleksi. Ditemukan ada satu peserta dalam satu kelompok yang mendominasi setiap langkah karena diduga telah memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya, terutama ketika the group does it. Dengan kondisi demikian strategi pelatihan pada kelompok yang demikian tidak berjalan dengan baik, diskusi kelompok didominasi oleh satu orang. Diskusi pada PPGS akan berjalan dengan baik jika kompetensi setiap anggota kelompok adalah sama atau hampir sama. Keunggulan dari PPGS
Program pelatihan ini sengaja dirancang untuk meningkatkan efektivitas pelatihan yang selama ini dirasakan masih rendah. Beberapa kebaikan progam pelatihan ini, antara lain: Pertama, pelatihan ini berpusat pada peserta (student centered), pelatih bertindak sebagai fasilitator dan nara sumber jika peserta memerlukan bantuan. Dengan demikian
Tri Jalmo, Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Ipa Smp
tanggungjawab pengembangan kompetensi secara bertahap diserahkan kepada peserta. Karakteristik ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Mc Kenzei (1999) bahwa strategi scaffolding menyebabkan siswa selalu “on task” Kedua, kompetensi awal peserta sudah diketahui sehingga pengelompokan peserta didasarkan pada kompetensinya. Dalam satu kelompok terdiri atas 4-5 orang yang memiliki kompetensi sama/hampir sama sehingga tidak ada anggota kelompok yang diperkirakan akan mendominasi kerja kelompok ketika langkah the group does it. Hasil cara pengelompokkan yang demikian, maka keterlibatan anggota kelompok sangat tinggi. Di dalam kelompok terjadi perdebatan ketika mengerjakan tugas yang mengakibatkan penyelesaian tugas memerlukan waktu yang lebih lama. Uji kompetensi juga dimaksudkan untuk mengetahui The Zone of Proximal Development (ZPD) peserta. Menurut Vygostky (dalam Lipscomb et al., 2004) dan Galloway, 2006) bahwa kecakapan-kecakapan yang baru akan muncul dan dapat dikembangkan dengan berbagai tingkat bimbingan jika diberikan tepat dalam ZPD. Ketiga, tugas-tugas yang diberikan adalah tugas-tugas yang diperkirakan tidak mampu dikerjakan (dalam ZPD) oleh peserta tanpa adanya bantuan atau interaksi dengan orang lain. Dengan tingkat kesulitan tugas yang lebih tinggi mendorong peserta berusaha lebih keras untuk
86
menyelesaikannya seperti yang dinyatakan oleh Byrnes (dalam Hartman, 2002) bahwa pembelajaran dalam ZPD karena itu merupakan tantangan bagi siswa. Materi ditampilkan di bawah tingkat ketuntasan siswa akan membosankan mereka, jika ditampilkan di luar tingkat ketuntasan siswa akan membuat frustasi. Untuk memecahkan masalah atau tugas, peserta dapat mencari dari buku sumber, berdiskusi dengan teman dalam kelompok, dan/ atau meminta bantuan fasilitator sebagai orang yang lebih tahu ( the more knowledgeable other = MKO). Pendekatan tugas dalam strategi scaffolding memang disarankan oleh Zhao and Orey (dalam Lipscomb, et al., 2004) Setiap langkah pelatihan selalu diakhiri evaluasi dan refleksi terhadap produk yang dihasilkan peserta. Langkah ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah produk yang dihasilkan oleh peserta sesuai dengan standar atau tidak, kalau tidak sesuai maka dilakukan refleksi yang diakhiri dengan perbaikan produk. Pendapat Peserta Pelatihan Terhadap PPGS
Pendapat peserta pelatihan yang dijaring melalui angket tertutup menggambarkan bahwa PPGS membantu peserta (lebih memahami kaidah-kaidah pengembangan tes hasil belajar, bahkan jika dibandingkan dengan pelatihan jenis lain yang pernah mereka ikuti (Tabel 5)
Tabel 5. Tanggapan peserta terhadap PPGS No
Pernyataan
1
STS 0,00%
Pelatihan ini membantu saya lebih memahami kaidah-kaidah pengembangan tes hasil belajar 2 Dibandingkan dengan pelatihan lain, maka pelatihan ini lebih memudahkan 0,00% saya memahami materi 3 Saya kurang terpacu untuk lebih aktif dalam memecahkan masalah 67,86% 4 Tugas-tugas yang diberikan membantu saya memahami pengembangan tes 0,00% setahap demi setahap 5 Pelatihan ini merangsang saya untuk lebih banyak terlibat dalam 0,00% membangun pemahaman saya tentang tes 6 Pelatihan ini kurang merangsang anggota kelompok untuk saling berbagi 42,86% kemampuan 7 Pelatihan ini didominasi oleh kegiatan peserta dalam meningkatkan 0,00% kemampuan mengembangkan tes 8 Pelatihan ini lebih menempatkan pelatih sebagai pendamping bukan 0,00% sebagai instruktur 9 Pelatihan ini cocok kurang untuk pelatihan guru karena guru adalah orang 82,14% dewasa Keterangan: STS = sangat tidak setuju, TS = tidak setuju, S = setuju, SS = sangat setuju
Pada umumnya guru menilai bahwa pelatihan model ini memudahkan peserta
Pilihan (%) TS S 0,00% 7,14%
SS 89,29%
0,00%
42,86%
57,14%
32,14% 0,00%
0,00% 25,00%
0,00% 75,00%
0,00%
35,71%
64,29%
57,14%
0,00%
0,00%
0,00%
75,00%
25,00%
0,00%
42,86%
57,14%
17,86%
0,00%
0,00%
memahami materi pelatihan. Kenyataan tersebut dapat disimak pada tanggapan peserta
87
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010
terhadap pertanyaan-pertanyaan pada angket terbuka. Tanggapan para guru antara lain bahwa program pelatihan ini (1) memotivasi peserta untuk lebih banyak terlibat, (2) memecahkan masalah bersama peserta lain, (3) waktu efisien, (4) peserta lebih aktif, (5) terdapat tugas kelompok dan tugas individual untuk lebih melatih memahami materi, (6) peserta dibimbing untuk kerja kelompok dan kerja individu, dan (7) pelatihan didominasi oleh aktivitas peserta. Pendapat peserta sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lipscomb, et al. (2004) bahwa keutungan penggunaan strategi scaffoling antara lain (1) memberikan jaminan lebih besar diperolehnya kecakapan, pengetahuan atau kemampuan yang diinginkan, (2) menyebabkan efisiensi, (3) menciptakan percepatan, (4) mengikutsertakan pebelajar, dan (5) memotivasi pebelajar untuk belajar.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian dan pengembangan ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, PPGS merupakan jenis program pelatihan yang efektif yang dibuktikan dengan meningkatkan kompetensi peserta dalam mengembangkan tes. Peningkatan kompetensi pengembangan tes pada PPGS lebih baik dibandingakan dengan program “konvensional” Kedua, Karakteristik PPGS adalah (a) langkah pelatihannya adalah the teacher does it evaluasi dan refleksi the class doest it evaluasi dan refleksi the group does it evaluasi dan refleksi the individual does it; (b) Karakteristik materi yang sesuai adalah aplikasi konsep, bukan materi yang bersifat teoritik (hafalan); (c) Peran pelatih (MKO) berubah dari instruktur menjadi fasilitator; (d) Materi pelatihan disajikan dalam bentuk tugastugas; (e) Sebelum pelatihan, kompetensi setiap peserta harus telah diketahui; dan (f) Instrumen efektivitas pelatihan harus mengakomodasi perkembangan kompetensi peserta pelatihan pada setiap sesi. Ketiga, Masalah yang dihadapi terutama adalah manajemen waktu, PPGS lebih membutuhkan banyak waktu. Keempat, Keunggulan PPGS adalah: (a) Pelatihan ini berpusat pada peserta (student centered); (b) Pengelompokan peserta
didasarkan pada kompetensinya; (c) tugas-tugas yang diberikan adalah tugas yang melebihi kompetensi aktual peserta; (4) Setiap langkah pelatihan selalu diakhiri evaluasi dan refleksi terhadap produk yang dihasilkan peserta. Kelima,Tanggapan peserta pelatihan terhadap PPGS sangat positif. PPGS (a) memotivasi peserta untuk lebih banyak terlibat, memecahkan masalah bersama peserta lain, dan peserta lebih aktif, (b) lebih memudahkan memahami materi pelatihan, (c) merangsang peserta berbagi kompetensi, (d) tugas-tugas yang diberikan meningkatkan kompetensi secara bertahap, (e) pelatihan didominsi olah aktivitas peserta, (f) menempatkan pelatih sebagai fasilitator, (g) cocok untuk melatih orang dewasa (guru). Didasarkan pada hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini maka bagi lembaga pendidikan atau lembaga Diklat yang akan menggunakan program ini harus memperhatikan kelemahan PPGS dan melakukan pelatihan sesuai dengan karakteristik PPGS.
DAFTAR RUJUKAN
Atay,
D. (2006) Teachers' Professional Development: Partnerships in Research. Teaching English as a Second or Foreign Language. 10 (2)
Borg, W. R. & Gall, M. D. (1983). Educational Research. 4st Edition. New York: Longman, Inc. Blanchard, P.N. & Thacker,J.W. (2004). Effective Training. Systems, strategies, and Practices. New Jersey: Pearson Prentice Hall Bradley, E., Conner, C. & Geoff, S. (1998). Developing Teachers Developing School. London: David Fulton Publisher Brown, B.L. (2000). Vocational Teacher Professional Development. Practice Aplication, 11 Chang, K., Chen, I., & Sung, Y. (2002). The effect of concept mapping to enhance text comprehension and summarization. The Journal of Experimental Education 71(1), 5-23. Depdiknas. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas
Tri Jalmo, Pengembangan Program Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Ipa Smp
Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasonal Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Ellis, E. S., & Larkin, M. J. (1998). Strategic instruction for adolescents with learning disabilities. In B. Y. L. Wong (Ed.), Learning about learning disabilities (2nd ed., pp. 585-656). San Diego, CA: Academic Press Galloway, C. (2006). Vygotsky’s Constructivism. From Emerging Perspective on Learning, Teaching and Technology. Hallinan, M.T & Vladimir T.K. (2001). Recent development in teacher education in the United States of America. Journal of Education for Teaching:International Rereach and Paedagogy.27(1) Hartman, Hope. (2002). Insructional scaffolding. Hamalik, O. (2001). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan. Pendekatan Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara Kennedy, J. (1995). Gettingg to The Heart of The Matter – The Marginal Teacher. The teacher traner, 9(1), 10-14 Larkin, M. (2002). Using scaffolded instruction to optimize learning. Arlington, VA: ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education. Lipscomb,L., Swason,J. & Anne W. (2004). Scaffolding. From Emerging Perspective on Learning, Teaching and Technology Mc Kenzie, J. (1999). Scaffolding for Succes.
88
The Educational Technology Journal. 9(4) Nadler,L. (1982). Designing Training Programs. The Critical Events Models. London: Addison-Wesley Publishing Company NRC. (1996). National Science Education Standards. Washington: National Academic Press Pearson, P.D. & Gallagher, M. (1983) “The Instruction of Reading Comprehension,” Contemporary Educational Psychology, 8. Pennington, M.C. (1990) A Professional Development Focus for The Language Teaching Practicum. In J.Richard & D. Nunan (Eds). Second Language Teacher Education. Cambridge: Cambridge University Press Safari. (2004). Penulisan Butir Soal Berdasarkan Penilaian Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas Stuyf, R.V.D. (2002). Scaffolding as a Teaching Strategy. In Adolescent Learning and Development. Section 0500A-Fall. November 17, 2002 Tri Jalmo. (2008). Pofil Kompetensi Guru IPABiologi SMP dalam Mengembangkan Tes. Prosiding Semnar dan Lokakarya Nasinal FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 13 Desember 2008 Wood, D., Bruner, J. S., & Ross, G. (1976). The role of tutoring in problem solving. Journal of Child Psychology, 17, 89–100