ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU
IRMA FEBRIANIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kebutuhan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Pebruari 2014 Irma Febrianis NIM I351110101
RINGKASAN IRMA FEBRIANIS. Analisis Kebutuhan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri diKota Pekanbaru. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO danDJOKO SUSANTO. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Berbagai program pelatihan yang diselenggarakan belum berdampak nyata terhadap peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Kegagalan program pelatihan disebabkan pelatihan bersifat top downdan tidakdidasarkan pada kebutuhan nyata guru IPA SMP Negeri. Analisis kebutuhan pelatihan harus dilakukan sebelum penyelenggaraan pelatihan untuk menentukan kompetensi yang butuhdiperbaiki melaluipelatihan.Training Needs Analysis(TNA)merupakan metode efektif untuk menganalisis kebutuhan pelatihan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Tujuannya adalah: (1)memetakan tingkat kompetensi aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, (2) menganalisis bagian-bagian kompetensi guru yangbutuh ditingkatkan melalui pelatihan,(3) menganalisis prioritas kebutuhan pelatihan,dan (4) memberikan rekomendasi metode pelatihanyang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif melalui survei, wawancara, dan FGD. Sebanyak 165 dari 213 guru IPA SMP Negeri menyatakan kesediaan sebagai responden. TNA dimulai dengan penilaian kompetensi ideal guru (KIG) dan kompetensi aktual guru (KAG) menggunakan kuesioner yang diadopsi dan dimodifikasi dari Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Analisis kesenjangan kompetensi Guru (KKG) dilakukan dengan membandingkan nilai KIG dan KAG. Apabila nilai KKGlebih besar dari 1, maka terdapat kesenjangan kompetensi yang menunjukkan adanya kebutuhan pelatihan. Penetapan kebutuhan pelatihan dilakukan melalui wawancara tentang faktor penyebab kesenjangan kompetensi. Prioritas pelatihan ditetapkan berdasarkan nilai KKG, jumlah guru (JG) dan persentase guru (PG) yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu. Metode pelatihan efektif diperoleh dari kelompok ahli melalui FGD. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional aktual guru IPA SMP Negeri berada di bawah standar kompetensi ideal. Guru IPA SMP Negeri membutuhkan pelatihan untuk seluruh kompetensi guru.Terdapat 8 prioritas pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri, yaitu: (1) pelatihan teknologi informasi dan komunikasi(TIK/ICT)untuk pembelajaran dan pengembangan diri guru, (2) pelatihan kode etik profesi guru Indonesia, (3) pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK), (4) pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu, (5) pelatihan kurikulum IPA terpadu, (5) pelatihan psikologi anak, (7) pelatihan komunikasi pendidikan, dan (8) pelatihan kepribadian guru. Metode pelatihan yang efektif untuk pelatihan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalahIn House Training (IHT), pelatihan khusus, kursus singkat, dan pembinaan internal. Kata kunci:kompetensi guru IPA, analisis kebutuhan pelatihan
SUMMARY IRMA FEBRIANIS. Analysis of Training Needs for Competency Enhancement of The Natural Science Teacher of The State Secondary School at Pekanbaru. Supervised by PUDJI MULJONO and DJOKO SUSANTO. This research was initiatedby lack ofcompetencies ofthe natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru. Varioustraining programs conducted have not given significant impacts in the improvement oftheir competencies. The failure was due to the nature of the training program i.e. top downandnot basedonthe actualneeds of the natural science teachers. Trainingneeds analysisshould beconductedprior to thetrainingtodeterminepart of competenciesthat need tobe overcome bytraining. Training Needs Analysis(TNA) is aneffectivemethodfor the analysis oftraining needs of the natural science teacher. The objectives were to:(1) map theactual competencelevel of the natural science teacher, (2) analyzeparts of the competency required to be enhanced through the training, (3) analyzethe priority of training needs, and(4) proposing recommendations on the effectiveness of training method. The research was conducted using quantitativeandqualitativeapproachesthroughsurveys, interviews, andfocusgroup discussions. A total of165of213 the natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru expressed their willingness to becomerespondents. TNAbeganwiththe assessments on the ideal competencies for teachers (ICT) and theactualcompetenciesof teachers(ACT) using aquestionnairewhichwas adoptedandmodifiedfrom theMinisterial RegulationNumber16Year2007 onthe AcademicQualificationStandardsand Teacher Competencies. The gap analysis of teacher competence(TCG) was done bycomparingthe scores ofthe ICTandACT. If the scoreof TCG(ICT-ACT) more than one, then there is acompetencygapthatindicatesthe needs fortraining. Determination of training needs was done by recording up information’s about the cause of competency gaps through interviews. The training priority order (TPO) was based onthe score ofthe TCG, number andpercentageof teachers requiringtraininginspecificcompetencies. Effectivetrainingmethods were obtained from the expert groupsthrough theFGD. The results showed that the level ofactualcompetence of the the natural science teacherwas below the idealcompetence. The natural science teachersrequiretrainingsfor allteachercompetencies. There were eight priorities of training program,namely:(1) trainingon informationandcommunicationtechnology(ICT) forlearningandpersonal developmentof the teachers, (2) training on professional code of ethics Indonesianteachers, (3) training on classroom action research(CAR), (4) training on theory and principles of learning on integrated natural science, (5) training on developmentcurriculumon integrated natural science, (6) training onchild psychology, (7) training on education communication, and(8) training on the teachers’ personality. It is suggested that In House Training, specific training, short courses, and internal coaching are worth applied as effective training methods to improve competence ofthe natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru.
Keywords: Competencies of natural science teachers, trainingneeds analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU
IRMA FEBRIANIS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Anna Fatchiya, MSi
Judul Tesis :Analisis Kebutuhan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru Nama : Irma Febrianis NIM : I351110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Pudji Muljono, MSi Ketua
Prof Dr Ign Djoko Susanto, SKM Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Sumardjo,MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 26 Pebruari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga naskah tesis ini berhasil diselesaikan. Penulis memilih tema pengembangan sumber daya manusia dengan judul Analisis Kebutuhan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Penulis menyampaikan penghargaanyang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan Bapak Prof Dr Ign Djoko Susanto,SKM selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga penyusunan tesis. Kepada Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku Penguji Luar Komisidan Dr Ir Dwi Sadono, MSi mewakili Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada ujian tesis, dihaturkan terima kasih atas saran dan kritik yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak H. Abdul Jamal, MPd selaku Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah dan Ibu Hj. Lionarmi selaku Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru yang memberikan dukungan penuh untuk penulis selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada Ibu Zubaidah, M.Pd sebagai Instruktur IPA SMP/MTs Kota Pekanbarudan seluruh guru IPA SMP Negeri Pekanbaru. Ungkapan terima kasih terdalam disampaikan kepada seluruh keluarga, terutama suami terkasih Nurul Qomar, SHut, MP,ananda Madu Zahratussa’adah Radhiyallah dan Harum Azharussa’adah Radhiyallah atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2014 Irma Febrianis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 6 6 6 6
2 PEDAGOGICAL COMPETENCE-BASED TRAINING NEEDS ANALYSIS FOR THE NATURAL SCIENCE TEACHER Abstract Introduction Methods Results and Discussion Conclution
7 7 7 9 10 14
3 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU IPA SMP NEGERIDI KOTA PEKANBARU Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
15 15 16 18 18 24
4 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI SOSIAL GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
25 25 26 27 28 32
5 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI PROFESIONAL GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
33 33 34 36 37 44
6 PEMBAHASAN UMUM
45
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
50 50 50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
58
RIWAYAT HIDUP
60
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 4.1 5.1 5.2 5.3 5.4 6.1 6.2 6.3
Gap Analysis of Pedagogical Competence Analysis of Priority Training Needs Recommendation of Training Methodsand Organizers Kesenjangan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri Prioritas Pelatihan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri Metode Pelatihan Efektif dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri Kesenjangan Kompetensi Sosial Guru IPA SMP Negeri Kesenjangan Kompetensi Profesional Guru IPA SMP Negeri Pemetaan Penguasaan Materi dan Konsep Pembelajaran IPA Terpadu Prioritas Pelatihan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Guru IPA Metode Pelatihan dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Profesional Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru Kesenjangan Kompetensi Aktual Guru IPA SMP Negeri Prioritas Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri Metode Pelatihan dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru
10 12 13 18 20 23 28 37 38 40 43 45 46
DAFTAR GAMBAR 1.1 Alur proses penelitian analisis kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru
5
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Keterangan diterima (accepted) dari Jurnal Penyuluhan Keterangan proses review di Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Terakreditasi DIKTI
58 59
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pendidikan Indonesia masih menghasilkan lulusan yang berkualitas rendah dalam pengetahuan dan keterampilan (Bank Dunia 2011). Hasil survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment) tahun2012 menempatkan peserta didik Indonesia usia 15 tahun pada posisi ke-64 untuk matematika, 62 untuk membaca, dan 64 untuk sains dari 65 negara. Pada studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) tahun 2011, keterampilan membaca peserta didik Indonesia usia sekolah dasar berada pada posisi 42 dari 45 negara. Keterampilan membaca peserta didik Indonesia memprihatinkan karena sebanyak54% lulusan kelas 9 SMP tidak mampu membaca secara fungsional(Hanushek dan Wößmann 2007). Peserta didik tidak mampu mengusai 70% materi bacaan (Natsir 2007) dan sulit untuk menjawab soal uraian yang memerlukan analisis dan logika (KSG 2008). Rendahnya prestasi peserta didik disebabkan oleh buruknya manajemen guru dalam sistem pendidikan Indonesia (Bank Dunia 2011). Buruknya manajemen guru di Indonesia dapat dideteksi dari tingginya proporsi guru yangtidak layak mengajar, berkualifikasi pendidikan rendah, dan mengajar mata pelajaran yang kurang sesuai dengan latar belakang pendidikannnya (missmatch). Persentaseguru tidak layak mengajar mencapai 84.70% di sekolah dasar dan 39.66% di sekolah menengah (PSP 2006). Guru berkualifikasi di bawah standar minimal S1/D4 berjumlah 63.1% (Suparwoto et al. 2011) bahkan 26%diantaranya adalah lulusan SMA atau dibawahnya (Bank Dunia 2011). Sebanyak 15% guru missmatch bahkan 17.2% guru mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) Nomor 14 tahun 2005, bertujuan mereformasi sistem pendidikan di Indonesia khususnya dari manajemen guru. Secara spesifik, UUGD bertujuan untuk mewujudkan guru profesional dengan cara meningkatkan kompetensi guru melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dan sertifikasi. UUGD Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 28 menyatakan guru wajib memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1/D4 dan menguasai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Implementasi UUGD adalah program peningkatan kualifikasi pendidikan dan sertifikasi. Program peningkatan kualifikasi pendidikan guru di Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) berbasis ICT di Universitas Terbuka tidak efektif meningkatkan kompetensi guru. Program PJJ tidak banyak memberikan pengaruh terhadap peningkatan kompetensi guru (Hardianto 2009). Pada umumnya guru melanjutkan pendidikan ke program yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan sebelumnya atautidak sesuaidengan mata pelajaran yang diampu (Dekawati 2011). Akibatnya, pada ujian mata pelajaranpersentase jawaban benar pada guru tanpa gelar sarjana 31% sedangkan guru sarjana 35%. Tidak ada perbedaan kompetensi antara guru bergelar sarjana dan tanpa gelar sarjana (Ree et al. 2012).
2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Setifikasi bagi Guru dalamJabatan menjadi landasan yuridis pelaksanaan sertifikasi guru.Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia melakukan evaluasi awal dampak program sertifikasi terhadap peningkatan kompetensi guru. Hasilnya, sertifikasi melalui portofoliotidak mampu memilah guru berkompetensi tinggi dan rendah (Bank Dunia 2011). Sertifikasi melalui pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) mempunyai kemampuan lebih tinggi dibandingkan portofolio (Kemendiknas 2011, Brotosedjati 2012). Namun, PLPGbelum dapat memperbaiki pengetahuan dan keterampilan guru tentang materi pelajaran (Ree et al. 2012). Kinerja guru bersertifikatpendidik belum optimal (Setiawan dan Ningsih, 2010) bahkan belum terlihat perbedaan kompetensi (Sembiring 2010) atau tidak ada bedanya kompetensi guru bersertifikat dan yang belum bersertifikat (Afidah et al. 2012). Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (UUGD).Berdasarkan UUGD, SNP, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, kompetensi guru terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional guru adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran yang diampunya secara luas dan mendalam. Peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan melalui pelatihan (Mondy 2008; Dessler 2010; Noe et al. 2010). Pelatihan merupakan aktivitas yang sengaja dirancang untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan saat ini (Mondy 2008). Pelatihan mengacu kepada metode yang digunakan untuk memberikan keterampilan yang dibutuhkan karyawan baru atau yang ada saat ini dalam melakukan pekerjaannya (Dessler 2010). Noe et al. (2010) menyatakan pelatihan merupakan upaya mempermudah pembelajaran tentang kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan, atau perilaku yang sangat penting untuk keberhasilan kinerja. Berdasarkan UU Sisdiknas pelatihan merupakan bentuk pendidikan nonformal berkelanjutan dengan penekanan pada penguasaan keterampilan fungsional, standar kompetensi, sikap kewirausahaan, dan kepribadian profesional. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor16 Tahun 2009 menetapkan pelatihan sebagai salah satu bentuk peningkatan kompetensi guru. Pemerintah telah mengucurkan 1.2 trilliun rupiah untuk meningkatkan kapasitas P4TK (PusatPengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) sebagai pusat pendidikan dan pelatihan guru. Hasilnya, kompetensi guru yang pernah mengikuti pelatihan tidak berbeda nyata dengan guru yang belum pernah mengikuti pelatihan (Jalmo dan Rustaman 2010). Kodir (2009) menemukanpendidikan dan pelatihandi P4TK IPA belum berdampak secaranyata bagi peningkatan kompetensi guru IPA. Belum tampak perubahan perilaku guru dalam mengajar sebelum dan setelah mengikuti pelatihan di LPMP (Sofiraeny 2011).
3 Bukti empiris menunjukkan program pendidikan dan pelatihan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah belum berhasil untuk meningkatkan kompetensi guru. Kegagalan berbagai program tersebut disebabkan oleh penyelenggaraan program yang berorientasi proyek, berbasis anggaran, dan bersifat massal (Jalmo dan Rustaman 2010). Program tidak memperhatikan kekurangan individu guru (KSG 2008) dan bersifat generalisasipadahal permasalahan yang dihadapi guru bersifat lokal dan kontekstual (Sofiraeny 2011). Darwangsa (2013) menyatakan program pelatihan bersifat top down yang dirancang dari pusat sedangkan guru mengikuti saja program tersebut. Artinya, penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan tidakdidasarkan pada kebutuhan nyata guru. Pelatihan yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata guru tidak akan berdampak pada peningkatan kompetensi guru bahkan dapat menurunkan motivasi belajar, pemborosan waktu, tenaga, dan dana (Darling-Hammond 2006). Guru adalah pembelajar dewasa yang orientasi belajarnya berpusat pada pemecahan masalah yang dihadapi dalam melakukan tugas atau masalah dalam kehidupan keseharian (Monica et al. 2012). Oleh karena itu pelatihan guru harus mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan guru pada saat ini dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik profesional. Hariandja (2007) menyatakan pelatihan penting dilaksanakan apabila terjadi perubahan lingkungan kerja dan penyesuaian perubahan peraturan sehingga karyawan mendapatkan tugas baru yang sebagian atau sama sekali baru atau asing baginya. Pada tahun 2006, terjadi perubahan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Salah satu bentuk inovasi KTSPadalah menggabungkan bidang kajian fisika, biologi, kimia, bumi, dan antariksa ke dalam pembelajaran IPA terpadu (Puskur 2006; Wilujeng et al. 2010; Arlitasari et al. 2013). Secara yuridis, Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (SI-PDM), menjadi dasar pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu di Indonesia. Perubahan Kurikulum 2013, menguatkan pelaksanaan IPA terpadu melalui Permendiknas Nomor 64tahun 2013 tentang SI-PDM dengan mengganti nama IPA terpadu dengan mata pelajaran IPA. Hal ini berimplikasi kepada guru yang mengajar di sekolah karena pada umumnya guru berlatar belakangpendidikan fisika dan biologi (Puskur 2006; Saputro 2012). Guru fisika tidak memiliki kemampuan yang optimal pada kajian bidang ilmu biologi dan kimia, begitu pula sebaliknya (Wilujeng et al. 2010; Ayu et al. 2011). Guru belum mengusai materi IPA terpadu bahkan mengalami kesalahan secara konsep (Wilujeng et al. 2010). Bukti empiris menunjukkan hampir semua guru IPA SMPdi Indonesia belum menerapkan pembelajaran IPA terpadu (Wilujeng et al. 2010; Ayu et al. 2011; Saputro 2012). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru belum melaksanakan pembelajaran IPA terpadu. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menganjurkan pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam permendiknas. Mencermati alasan teoritis, empiris, yuridis, dan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diduga kuat guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru memerlukan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sebelum penyelenggaraan pelatihan maka harus dimulai dengan memahami kebutuhan nyata guru IPA SMP Negeri pada saat ini melalui analisis kebutuhan pelatihan.
4 Analisis kebutuhan pelatihan dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis kebutuhan pelatihan (AKP) atau Training Needs Analysis Tool (TNA-T) yang dikembangkan oleh McCann dan Tashima (1994). TNA didefinisikan sebagai suatu proses mengidentifikasi kesenjangan kompetensi dengan cara membandingkan kompetensi saat ini dengan kompetensi yang diinginkan (Gupta 2007). Rosset (Chang et al. 2012) menyatakan TNA merupakan suatu proses pengumpulan informasi tentang kompetensi ideal, kompetensi aktual, penilaian kesenjangan kompetensi oleh pemangku kepentingan, mengidentifikasi penyebab kesenjangan, dan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Berdasarkan alasan teoritis, analisis kebutuhan pelatihan guru merupakan suatu proses mengidentifikasi kebutuhan pelatihan guru dengan cara membandingkan kompetensi yang dimiliki guru saat ini (kompetensi aktual) dengan kompetensi yang seharusnya dimiliki guru (kompetensi ideal), mengidentifikasi penyebab kesenjangan, dan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan tersebut. TNA mampu menghasilkan kebutuhan pelatihan yang obyektif, sistematis, dan berkelanjutan apabila dilakukan lengkap melalui tiga tahapan analisis, yaitu: analisis organisasi/institusi, analisis tugas/jabatan/operasi, dan analisis individu (MDF 2005; Sherazi et al. 2011; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Analisis organisasi/institusi pada hakikatnya memfokuskan pada siapa yang memerlukan pelatihan dan siapa kelompok sasaran di dalam organisasi/institusi yang memerlukan pelatihan. Analisis tugas/jabatan/operasi memfokuskan pada deskripsi tugas atau profil kompetensi yang dipersyaratkan. Analisis individu memfokuskan pada kesenjangan kompetensi, kebutuhan pelatihan, dan menggali masalah atau memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah. Analisis organisasi dilakukan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru untuk menetapkan kelompok guru yang menjadi sasaran pelatihan.Analisis tugas/jabatan diadopsi dan dimodifikasi dari Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (SKA-KG). Berdasarkan analisis organisasi/institusi maka analisis individu dilakukan terhadap guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru. Analisis individu dimulai dengan analisis kesenjangan kompetensi guru (KKG). KKG diperoleh dengan cara membandingkan kompetensi aktual guru (KAG) dan kompetensi ideal guru (KIG). Kebutuhan pelatihan dapat diidentifikasi dari nilai KKG. Apabila nilai KKG > 1, maka terdapat kebutuhan pelatihan. Setelah kebutuhan pelatihan teridentifikasi maka tahap selanjutnya adalah penetapan kebutuhan pelatihan. Penetapan kebutuhan pelatihan merupakan suatu proses pengambilan keputusan apakah kesenjangan kompetensi akan dihilangkan dengan pelatihan atau melalui usaha selain pelatihan. McCann dan Tashima (1994) menegaskan kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh faktor perilaku yaitu rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan sikap dapat diatasi dengan pelatihan. Akan tetapi, jika kesenjangan kompetensi disebabkan oleh faktor lain maka tidak dapat diatasi dengan pelatihan tetapi melalui usaha selain pelatihan. MDF (2005) menyatakan kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh selain faktor perilakudapat diatasi dengan cara melakukan desain ulang kebijakan (re-designing policies), tugas (redesigning tasks), dan proses (re-designing processes).
5 Prioritas pelatihan ditetapkanberdasarkan KKG (McChan dan Tashima 1994) jumlah dan persentase responden yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu (Malik 1985; Halim et al. 2008; Monica et al. 2012; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Agar pelaksanaan pelatihan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, perlu ditentukan metode pelatihan dengan mempertimbangkan materi, tujuan, peserta pelatihan, dan fasilitas (Sedarmayanti 2009). Kemendiknastelah menentukan metode pelatihan khusus untuk guru yaituInhouse training (IHT), magang, kemitraan sekolah, belajar jarak jauh, pelatihan berjenjang, pelatihan khusus, kursus singkat, dan pembinaan internal oleh sekolah (BPSDMPK dan PMP 2012). Mencermati latar belakang dan alasan teoritis,alur proses penelitian disajikan pada Gambar 1.1.
Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru
Analisis Kebutuhan Pelatihan (TNA)
1. 2. 3. 4.
Kompetensi Ideal Guru (KIG) Kompetensi Pedagogik Ideal Kompetensi Kepribadian Ideal Kompetensi Sosial Ideal Kompetensi Profesional Ideal
Kompetensi Aktual Guru (KAG) 1. 2. 3. 4.
Kompetensi Pedagogik Aktual Kompetensi Kepribadian Aktual Kompetensi Sosial Aktual Kompetensi Profesional Aktual
Kesenjangan Kompetensi Guru (KKG) Desain Ulang : Kebijakan, Tugas, Proses
Penetapan Kebutuhan Pelatihan
Prioritas Pelatihan
Rekomendasi Metode Pelatihan Efektif Gambar 1.1Alur proses penelitian analisis kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru
6 PerumusanMasalah Berdasarkan latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebutuhanpelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan perumusan masalah maka tujuan umum penelitian adalah melakukakan analisis kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.Tujuan umum penelitian dijabarkan dalam beberapa tujuan khusus penelitian berikut: 1. Memetakan tingkat kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional aktualguru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru 2. Menganalisis bagian-bagian kompetensi guru yangbutuh ditingkatkan melalui pelatihan 3. Menganalisis prioritas kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru 4. Memberikan rekomendasimetode pelatihan efektif untuk meningkatkan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru
Manfaat Penelitian Memberikan informasi kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.Secara teoritis, informasi tersebut bermanfaat sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, dan bahan referensi bagi peneliti lain untuk mengkaji kebutuhan pelatihan guru. Secara praktis, informasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, LPMP Propinsi Riau, kepala sekolah, dan pihak terkait dalam penyelenggaraan pelatihan bagi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi pada analisis kebutuhan pelatihan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru menggunakan metode Training Needs Analysis (TNA). TNA dilakukan secara lengkap terhadap 4 kompetensi guru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional. Prioritas pelatihan ditetapkan berdasarkan kesenjangan kompetensi guru (KKG), jumlah guru (JG) dan persentase guru(PG) yang membutuhkan pelatihan. Rekomendasi metode pelatihan ditetapkan berdasarkan pendapat pakar dalam FGD dan metode pelatihan guru yang telah ditetapkan oleh Kemendiknas (BPSDMPK dan PMP 2012). Rekomendasi metode selain pelatihan (kebijakan, tugas, dan proses) ditetapkan berdasarkan pendapat pakar, pemegang kebijakan (Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, dan buku panduan pengembangan pembelajaran IPA terpadu oleh Balitbang Depdiknas (Puskur 2006).
7
2 PEDAGOGICAL COMPETENCE-BASED TRAINING NEEDS ANALYSIS FOR THE NATURAL SCIENCE TEACHER* Abstract Pedagogy competence is a basic soft skill for a teacher in teaching that determine the successful process and learning outcomes of the pupils. Analysis ofneeds for training to improve pedagogy competence of natural science teachers ofSMP Negeri Pekanbaru never been carried out in the past.This study offers an effective approach in determining the needs of training of the teachers using the Training Needs Analysis (TNA). The objectives of the study are to obtain evidence an actual pedagogic competence of the natural sciences teachers, to obtain needs and training priorities, and proposing recommendations on the effective training method. Surveys, interviews, and focus group discussion among the teachers were conducted to set primary data which analyzed descriptively. Survey was carried on 165 teachers of SMP Negeri Pekanbaru using selfevaluation questionnaire. Results show that actual pedagogic competence of theteachers are belowthe ideal competence. There are five prioritiesof training program for the teachers, namely : the training of ICT,classroomaction research, the theory and principles of learning on integrated natural science, curriculum development, and understanding onpupils’ characteristics. It is suggested that In House Training, spesific training, and short courses can beapplied as effective training methods to improve pedagogic competence of the teachers. Keywords: pedagogy competence, training needs analysis
Introduction People believethatteachershavein-depthknowledgeandskillsina particularfield ofscience. However, the knowledgeandskillsarenotenoughtomake them able toteach well(Turnuklu andYesildere2007). They also need to have teaching skillorpedagogical competence(Hotaman 2010). Indonesian Government RegulationNo. 74, 2008on Teachers defines thatteachers'pedagogical competenceisthe ability of teachersinlearningmanagement of the learners. Pedagogical competenceis a specificcompetencethatdistinguishesteachersfrom other professions(Jahiriansyah etal. 2013; Retnowati2013)whichdemonstrates the abilityof teacherstoorganizelearning material so it can beeasily understoodby the learners(Rosnita2011). Recent researchesshowedthatpedagogical competencedirectlyandsignificantly affectedthe success ofteachersin teaching(Hotaman2010)andteachers'commitment andjob satisfaction(Sumantri2012). Analysis of correlation andregressionshowedthatpedagogical competencedirectlycontributedto teachers’creativity by68.9% (Retnowati2013)andperformanceby57.4% (Amin etal.2013). Therefore, an increase inpedagogical competencewill be followedby an increase incommitment, job satisfaction, creativity, andperformance ofteachersthat influencethe success ofteachersin teaching. *Telah terbit di Journal of Education and Learning. Vol.8 (2) pp. 144-151. ∗
8 From results of their study, Awangetal. (2013) concludedthatteachersmusthave pedagogical knowledgeandskillstodevelope acorrect behaviorfor students. Recent researchprovedthatpedagogical competencedirectlyandsignificantly affected 68.3% oflearners behavior interms ofmotivation to learn(Widoyoko andRinawati2012). Pedagogical competencealsoaffected students’ learning outcomes by 39.1% (Pujiastuti etal.2012), or42.8% (Yulianti 2012), or66.7% (Widiarsa etal.2013). Thus, an increase inteachers'pedagogical competencewillincreasestudents’s learning motivationandlearning outcomes. Empirical evidencesuggestedthat pedagogical competence of Indonesianteachershad notreachedthe required minimumstandard. BSNP(2009) reported that out of33provincesinIndonesia, there were 42% of teacherswhohad mastered10pedagogical competences. The initialcompetency test(UKA) in 2012showed that the average score ofthe national level ofteachers’s competencewas low, e.g. 42.25(BPSDMPK andPMP2012). There were 8provinces had reached the score of 42.25while the rest 25provinces hadeven smaller scores. On theother hand,theoretical, juridical, andempirical foundations demonstratethatof teachersare the teachers’ basic skillthat determinesthe success rateof students. Therefore, improvement ofpedagogical competenceof teachers is urgently neededtobe implementedinall parts of Indonesia, including in Pekanbaru,RiauProvince, where teachers’competence levelsare belowthenational average. Improvement ofteachers'pedagogical competencecan be donethrough training. Indonesian Regulation of theMinister for Administrative andBureaucratic ReformsNo. 16, 2009 definestrainingasa form ofimproving the competenceof teachers. Trainingof teachersaccording toO'Sullivan(Musfah2011)should betailored to the needsof teacherstoimprove their competenceasprofessionaleducators. Education Office of Pekanbaru City has done alotofteacher trainings, but they are not preceeded by phase of teachers’needsanalysis. A training which isnot basedon the needsof teachershas no significant impacton improvingteacher competence, it mayevendecreasemotivation to learn, a waste of time, energy, andfunds(DarlingHammond2006). Analysis of teacher training needs must be conducted before the training. This study offered an effective approach in determining the training needs of teachers by using Training Needs Analysis (TNA). The goalswere to map actual level of pedagogical competence of teachers, define training needs and priorities, and provided recommendations for effective training method. TNA method is able to produce objective, systematic, and sustainable training needs if it is done thoroughly through analysis of organization/institution, task analysis, and analysis of individual (MDF2005; Sherazi et al.2011; Jan and Muthuvelayutham2012). Institutional analysis focuses on target group who requires training in an institution. Task analysis focuses on competency profiles that supposed to be mastered. Whereas individual analysis focuses on competency gaps and contributing factors, training needs, and provides recommendations to resolve the problem of competency gap. Result ofinstitutionsanalysis in preliminary studyconducted inEducation Office of Pekanbaru City has set natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru(the state junior high school)astrainingtargets. Task analysiswere performedthrough
9 studying regulations, literature, and consulting experts’ opinions. TheDecreeof the Minister of National EducationNo.16, 2007 on theStandardsof AcademicQualificationsandCompetenciesof Teachers (SAQ-CT) was adoptedandmodifiedas adescription of pedagogical competence thatmust be ownedby thenatural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru. Referring toSAQ-CT, thepedagogical competencethatmust be ownedby natural science teachers consistsof10competencies, namely: (1) masteringthe characteristics oflearners, (2) masteringlearningtheoryand learning principlesof integratednatural science, (3) developingcurriculum of integrated of natural science learning, (4) conductingeducationallearning, (5) utilizinginformationandcommunicationtechnology(ICT) learning of integratednatural science, (6) facilitatingthe development ofstudents' potentials, (7) communicating in an effective, empathetic, andpolite manner with students, (8) conducting assessmentandevaluation of learning processesandoutcomes, (9) utilizing the assessmentandevaluation results for the sakeof the learning, and(10) taking reflective actionstoimprove the quality oflearning (CAR).
Methods This study was adescriptive researchwithquantitativeandqualitativeapproaches. Survey, interviewandfocus group discussion(FGD) methods were usedforprimary data collection. A total of165natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru expressed their willingness to become respondents.The firstphase ofthe study was startedwith assessments of idealpedagogic competence(IPC) and actual pedagogic competence(APC) by using questionnaireswhichhad been testedpreviously for their validity and reliability. Assessment of IPCwas conducted usingIPCquestionnaireby the director of junior highschoolwith natural science background, instructor, and natural science core teachers of SMP/MTs of Pekanbaru. Assessment of APCwas conducted by using APCquestionnaireby natural science teachers withself-evaluationtechnique.The IPCandAPCassessments used a scalewith arange of1-9 which was adoptedandmodifiedfromMcCannandTashima(1994). The gap analysis of pedagogical competence(PCG) was done bycomparingthe scores ofIPCandAPC. If the score ofthe PCG(IPC -APC) more than1, thenthere is acompetencygap. Determination oftraining needswas done byrecording up informationsaboutthe cause ofcompetencygapsthroughinterviews. The training priority order (TPO) was based onthe score ofthe PCGandthe perception ofpotential traineesabouttheir training needs in certain competencies(Halim etal.,2008). A Focus Group Discussion (FGD) with 20 participants was conducted to collect deeper information to support quantitative data. The participants (groups of experts and natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru) were selected purposively. The expert group was consisted of representatives from Education Quality Assurance Agency (LPMP) of Riau Province, Head of Section of Training and Development of SMP/MTs of Education Office of Pekanbaru City, and Supervisor of natural science of SMP/MTs. Furthermore, a credibility test of the
10 FGD result was conducted through triangulation technique and reference materials (Sugiyono2010). Results and Discussion Various research reports indicate that Indonesian teachers' pedagogical competence is still low. There are 42% of Indonesian teachers who mastered the pedagogical competence (BSNP 2009). Especially for natural science teachers of junior high school, Sudirman and Purnamasari (2009) stated that only 26% of natural science teachers of SMP Negeri Jakarta got good scores for pedagogical competence. From South Kalimantan, Pujiastuti et al. (2012) reported that pedagogical competence of natural science teachers of SMP/MTs in Banjarbaru City was categorized as low. Similar result was obtained in this study (Table 2.1), which indicated that pedagogical competence mastered by natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru (APC) was below the required pedagogic competence (IPC) standard. Even so, the APC score was below the national standard of competency set by the National Education Standard Agency (BSNP) of the Ministry of National Education with minimum competency score of 7.0. That is, the level of actual pedagogic competence of natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru is below the ideal standard of pedagogic competence. Tabel 2.1Gap Analysis of Pedagogical Competence No Pedagogical Competence 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mastering thecharacteristics of learners Masteringlearningtheoryand learning principlesof integratednatural science Developingcurriculum of integrated of natural science learning Conductingeducationallearning Utilizinginformationandcommunicationtechnology(ICT) Facilitatingthe development ofstudents' potentials Communicating in an effective, empathetic, andpolite manner with students Conducting assessmentandevaluation of learning processesandoutcomes Utilizing the assessmentandevaluation results for the sakeof the learning Taking reflective actionstoimprove the quality oflearning
PC
PC
PCG
8.3 8.0
4.8 4.4
3.5 3.6
8.1
4.5
3.6
8.5 7.7 8.3 8.3
5.4 3.7 5.0 5.2
3.1 4.0 3.3 3.1
8.2
5.3
2.9
8.3
5.5
2.8
7.6
4.0
3.6
Results of competencygapanalysisin Table 2.1indicatesthat thePCG scores of all competencies were higher than1which meant there is gapbetween actual competence ofnatural science teachers and the required pedagogical competence. The largest gap(4.0) was on thecompetency ofutilizingof information and communicationtechnology(ICT) inintegratednatural science learning. Meanwhile, the smallestgap(2.8) was on the competency of utilizing assessmentandevaluation of learning processesandoutcomes. Thegapsareparts of the competencethatneed to be overcomeby training. It can be concludedthat thenatural science teachers of
11 SMP Negeri Pekanbaruneed competencyimprovement training in all of 10pedagogical competence. However, notallgapscan be overcomebypedagogytraining. Training can only overcomegaps which arecaused bybehavioralfactors, namely lack of knowledge, skill, andattitude.If thegapis causedby other factors, it can notbe overcome bytrainingbutthroughother effortsin accordancewiththe causes(McCann andTashima1994). Factors causingthe competencygapwas obtainedthroughinterviewswithsupervisors and instructors of natural science, and school directors. Analysis ofthe interviewsshowedthat thecompetencegapwas caused bybehavioral factors. The study findings suggestedthat the gap of 4pedagogical competenciesof teachersdue tolack of knowledgeaboutthese competencies. The fourcompetencieswere mastering theoryand principlesof integratednatural science learning, abilitytodevelopan integratednatural sciencecurriculum, ability to useinformation and communications technology(ICT), and theability toperform reflective throughclassroomaction research(CAR). Sixotherpedagogical competenceswerecaused by teachers’ skill to apply it. In general, the teachers already haveenough knowledgethesecompetencebut they are lacking of skill inapplying them. So, it isestablished thatthe gapof 10pedagogicalcompetenciescan be overcomebytraining. Training cannot all of a sudden beheld for the10pedagogical competencies. It is necessary toseta priority order oftraining(TPO) based onthe scores ofthe competencegap. Results ofanalysis of the PCG showedthatthere were 3pedagogical competenceswiththe samePCG score, e.g.3.6(Table 2.1), so that it requireda moresensitivemethodin thedetermination ofthe TPO. The order ofprioritycan beset based onperception ofprospectivetrainees which is measured by numberandpercentageof respondentswho needtrainingincertaincompetencies. Specifically, Halimetal. (2008) setthe TPOforsecondarynatural science teachersinMalaysiawhen the percentageof teacherswho needtrainingreaches 40% ormore. In this study,the TPOwas determined based onthe score ofthe PCG, the number of teachers(NT) andthe percentageof teachers(PT) needcertainpedagogical competence training. The combinationofthese three methodswas proved to be moresensitivetodetermine theTPOin accordance with therealneeds ofnatural science teachers and it coulddeterminethe number of individualswho become the training targetforeachpedagogical competence gap. Referring toHalimetal. (2008), this study showed5pedagogical competenceswith percentage of teacherswho needtrainingmorethan40% (Table 2.2). The priority of training needswas translated intotraining programsin the following order: (1) training ofICTinintegratednatural science learning,(2) training of CAR, (3) training of theoryand principlesof integratednatural science learning, (4) training of developmentof curriculum of integratednatural science, and(5) training of mastering the characteristics of pupils. Information obtainedfrom interviewsexplainedthatthe high demand fortrainingICT(78%) was due to theteachers'lack of knowledgeabouthow tousecomputers, laptops, LCDs, andElectronic versionin the learning process. Teachersalso did not knowhow todesigninstructional media by using the latest ICT-based applications.The high demand forCARtraining(75%) due tothe facts
12 that the teachersdid not knowhow todo research, notfamiliarwith research procedures, andlack of financial supporttomotivateteachersto do research.The third priority of training needs(66%) due to theteachers'lack of knowledgeabout thetheories, principles, approaches, strategies, methods, andtechniquesof learning. This findingwas uniquebecause86% of respondents were graduates from Faculty of Teachers Training and Education (LPTK),that assumed they competent in applying the theories and principles of learning. Table 2.2Analysis of Priority Training Needs No Pedagocical Competence 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
Mastering thecharacteristics of pupils Masteringlearningtheoryand learning principlesof integratednatural science Developingcurriculum of integrated of natural science learning Conductingeducationallearning Utilizinginformationandcommunicationtechnolo gy(ICT)in the learning of integratednatural science Facilitatingthe development ofstudents' potentials Communicating in an effective, empathetic, andpolite manner with students Conducting assessmentandevaluation of learning processesandoutcomes Utilizing the assessmentandevaluation results for the sakeof the learning Taking reflective actionstoimprove the quality oflearning
CG
NT
T (%)
PO
3.5 3.6
83 109
50 66
5 3
3.6
101
61
4
3.1 4.0
63 128
38 78
8 1
3.3
64
39
6
3.1
64
39
7
2.9
61
37
9
2.8
53
32
10
3.6
124
75
2
The need for training of development of integrated natural science curriculum (61%) due to changes of curriculum from competence-based curriculum (KBK 2004) to school-based curriculum (KTSP) and then to curriculum 2013. KTSP 2006 contains learning innovation that combines fields of studies of physics, biology, chemistry (Puskur 2006), earth and space into integrated natural science (Wilujeng et al. 2010; Arlitasari et al. 2013). Curriculum 2013 through Regulation of Ministry of National Education No. 64, 2013 on SI-PDM reaffirms implementation of learning of integrated natural science in junior high school with the change of name to natural science. It is strongly believed that the natural science teachers of junior high schoolwasnot equipped with training of development of integrated natural science curriculum. The assumption was analogical with results of a study (Wilujeng et al. 2010) which stated that almost all natural science teachers of junior high school in Indonesia hadnot yet to implement an integrated natural science learning because they are afraid not deliver the content of the curriculum materials. This happened because the teachers did not have ability to develop the KTSP curriculum in
13 relation to the subject they administered because they still oriented to the curriculum of KBK 2004 (Munandar et al. 2013). Unlike the four previousorder ofpriorities, the 5th training prioritywasmasteringcharacteristics of learners(50%) which due to teacherslacking ofskill. Suchas skills of explainingthe development of learnerswith regard tothe physical,intellectual, social-emotional, moral, spiritual, culturalandsocial background, identifying initial ability andcategorizingpotentials of learners, andidentifying learners’ learning difficulties. The result of FGD showed that teacher’s group agreed that the study was highly in accordance with the real needs of natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru. It revealed that the difficulties faced by teachers in applying the competence of mastering pupils’ characteristics was caused by a new government policy that determinesa minimum of 24 hours per week teaching for teachers. Natural science subjects were taught for 4 hours per class, so teachers should teach a minimum of 6 classes consisted 35-40 pupils per class. This meant that a natural science teacher should teach 210-240 pupils, so it was difficult for a teacher to learn the characters of each pupils. Natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru need training to obtain new skills on mastering pupils’ characteristics where the number of pupils is large. In general, the expert group recommended In House Training (IHT), specific training, apprenticeship, and short courses as training methods. It is recommended that the trainings are organized by subject teacher council of natural science teachers (MGMP IPA)of SMP/MTs, Education Office of Pekanbaru City, Education Quality AssuranceAgency (LPMP) of Riau Province, Science Empowerment and Development Education Centre (SEDEC/P4TK IPA)Bandung, LPTKUniversity of Riau, and private institutions/companies The recommendation expert group were qualitative data which validity was tested using triangulation technique through interview, questionnaire, and policy documentation study. Interview was conducted with Head of Division of High School Development, Education Office of Pekanbaru City, while questionnaires were distributed to natural science core teachers of SMP/MTs Pekanbaru, and documentation study of policy of teacher professional development by Ministry of National Education (BPSDMPK and PMP 2012).Result of credibility test through triangulation technique was presented in Table 2.3. Table 2.3Recommendationof Training Methodsand Organizers No Training Program Training Training Organizer Method 1
Training of ICT in learning
2
Training of classroom action research (CAR)
3
Training of theory and principles of integrated natural science learning Training of development of integrated natural science curriculum
4
In House Training Short course In House Training Specific training
MGMPsIPA Private institutions/companies Education Office of PekanbaruCity LPMP of Riau Province In House Training Education Office of Specific training PekanbaruCity Universities Specific training LPMP of Riau Province Universties
14 5
Training of mastering the characteristics of learners
Short course
Private institutions/companies Universities
ApprenticeshipsandSEDECBandungcould not berecommendedas a methodandtrainingorganizer (Table 2.3). Apprenticeship is sending of employeeofanorganizationto other agencies/organizations thatare consideredmore developed, both in groups andindividual(Notoatmodjo 2009). This become aconstraintbecause teachersfelt reluctant when they have to leave theirduties even though only temporarily. In addition, the education office had to prepare a large fund to be able to send teachergroupstoSEDECBandung. Furthermore, the results oftraining evaluationshowedthatteacherswhohad attendedtrainingin SEDEC Bandungwere notbe able to applytheir skills since facilities they use inSEDECwere not availableintheir schools of origin. Meanwhile, documentation study of policy of teacher professional developmentexplainsthat the apprenticeship programwas forvocationalschoolteacherswho want to improvetheir professionalcompetence. This study recommendedIn HouseTraining(IHT), specific training, andshort courses. IHTisa trainingimplemented internallyinMGMP, schoolorother specified places.IHTis basedon the premisethat improvement ofteacher’scompetencycan be doneby teacherswhohave a certain competenceto teacherswho do nothave that particular competence. This strategycanimprovecooperation amongnatural science teachers, as well ascostsandtime saving. Specific training is designedbased onspecificneedsordue tonew developmentsinnatural sciencesuch asCARtraining, training of theoryandprinciplesof integratednatural science learning, and training of development ofintegratednatural sciencecurriculum. There was an informationthat theCARtraining was conductedinMGMPsIPA, but the result was not satisfying. Education Office of Pekanbaru City and LPMP of Riau Provinceare expected tobe able to designspecific trainingtoenhance the CAR ability ofnatural science teachers. There was an interesting finding at the beginning of the study that there was a suspected lack ofteacher’s knowledgeaboutthe theory and principles of learning due tothe quality of education of candidates of teachersinLPTK. Therefore, LPTK of the University of Riauas the nearest universityis recommended asthe provider of training of theoryandprinciplesof integratednatural science learning. A short courseof ICT training is conducted in cooperation with a computer course institution. While the short coursetraining of mastering characteristics of learnerscan be donethrough cooperationwith theconsultancybureau/institutionof child psychology. Conclusion The actual pedagogic competence of natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru was below the idealcompetence.Natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru needed trainingsfor 10pedagogical competence.Five most needed training program for the teachers were: the training of ICT, classroomaction research (CAR), the theory and principles of learning on integrated natural science, curriculum development, and understanding on pupils’ characteristics. In House Training(IHT), specific training, andshort courseswere
15 recommendedaseffectivetrainingmethodstoimprove thepedagogical competence of natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru.
3 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU* Abstrak Perilaku menyimpang, pelanggaran etika, norma, dan moral oleh guru menjadi salah satu indikator rendahnya kompetensi kepribadian guru di Indonesia. Peningkatan kompetensi kepribadian guru dapat dilakukan melalui pelatihan yang didahului dengan analisis kebutuhan pelatihan atau Training Needs Analysis (TNA). Tujuan penelitian untuk memetakan kompetensi kepribadian aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta memberikan rekomendasi metode pelatihan yang efektif. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan metode survei, wawancara, dan FGD.Sampel penelitian berjumlah 165 guru IPA SMP Negeri yang mewakili 213 guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Hasil penelitian menunjukkan kompetensi kepribadian aktual guru IPA SMP berada di bawah kompetensi ideal. Dua prioritas program pelatihan adalah pelatihan kode etik guru dan pelatihan kepribadian guru. Pelatihan khusus dan pembinaan internal direkomendasikan sebagai metode pelatihan efektif untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Kata Kunci: kompetensi kepribadian guru, analisis kebutuhan pelatihan
Abstract Deviant behavior and ethic, norm, and moral violations done by the teachers become indicators on how poor isthe personal competence of the teachers in Indonesia. Training to improve the personal competence of the natural science teacher of junior high school has got less concern from the government. This study offers an alternative in determining the training needs using the Training Needs Assessment (TNA). The study aimed at mapping the actualpersonality competence the natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru, establishingtrainingneeds andpriorities, as well asproviding recommendations for effective trainingmethods. The survey method, interviewsandFGDs were conductedtoobtain the primary data. Survey was carried on 165 of 213 the natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru using self-evaluation questionnaire. Results showed that actual personality competence of the natural science teachers are below the ideal competence. There are twoprioritytraining programsincludethe training i.e on ethiccode of teachers and training on personalitystrengthening.The training methods of internal coachingand specific
16 training areeffectiveto improve the personality competencethe natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru. Keywords:personality competence of teacher, training needs analysis Pendahuluan *Telah diterima untuk terbit (accepted) di Jurnal Penyuluhan Edisi Maret 2014 Vol.10 No.1 Konsorsium sertifikasi guru melaporkan guru telah melakukan pemalsuan ∗
surat tugas mengajar, membeli sertifikat pelatihan dan seminar, bahkan menyelipkan sejumlah uang kertas di dalam berkas portofolio untuk mendapatkan sertifikat pendidik (KSG 2008). Proses sertifikasi guru tahun 2013 dinodai dengan penggunaan ijazah palsu oleh beberapa guru di Jawa Timur.Banyak guru melakukan pemalsuan karya tulis ilmiah (KTI) untuk kenaikan pangkat (Mulyasa 2010). Bukti empiris menunjukkan pada tahun 2010 jumlah guru di Provinsi Riau yang melakukan pemalsuan KTI adalah 1820 orang. Kemendiknas melaporkan guru yang bolos kerja mencapai 500 ribu orang setiap harinya (Rahman 2011). Hal ini didukung oleh hasil survei Bank Dunia (2011) yang menemukan 1 dari 5 guru di Indonesia mangkir dari tugas mengajar yang membuktikan tingkat disiplin guru masih sangat rendah. Kekerasan seksual, fisik, dan non fisik yang dilakukan guru terhadap peserta didik terus meningkat. Wardah (2012) melaporkan 87.6% peserta didik mengalami kekerasan di sekolah. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 192 kasus kekerasan dilakukan oleh guru terhadap peserta didik pada tahun 2006.Jumlah tersebut meningkat 11.6% atau menjadi 226 kasus pada tahun 2007dan meningkat tajam tahun 2008menjadi 39.6%. Tiga tahun terakhir, 38-43% kasus kekerasan seksual terjadi di sekolah yang mayoritas korbannya peserta didik SD dan SMP. Perilaku menyimpang, pelanggaran kode etik, nilai, dan moral yang dilakukan guru menjadi salah satu indikator rendahnya kompetensi kepribadian guru di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Kedua landasan yuridis tersebut menegaskan guru harus memiliki kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik. Diduga guru Indonesia telah dipersiapkan dengan penguasaan kompetensi kepribadian yang rendah semasa pendidikan mereka di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Hasil analisis isi struktur kurikulum kependidikan di LPTK menunjukkan muatan kurikulum yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian, sosial, dan kultur guru sebanyak 14%. Pendidikan profesi guru (PPG) di LPTK untuk mempersiapkan S1 kependidikan dan nonkependidikan menjadi guru professional, tidak memuat substansi kompetensi kepribadian (Farisi 2010).Proses pendidikan di LPTK belum mengarah kepada proses pendidikan watak sehingga belum maksimal menghasilkan lulusan berkarakter pendidik (Balitbang Kemendiknas 2011). Pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) sebagai syarat memperoleh sertifikat pendidik lebih fokus pada peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional.Uji kompetensi guru (UKG) dan penilaian kinerja guru (PKG) menekankan pada penguasaankompetensi pedagogik dan profesional (Ardiansyah 2013). Pemerintah telah mengabaikan peningkatan kompetensi kepribadian guru,
17 padahal kompetensi kepribadian merupakan landasan bagi kompetensi lainnya (Mulyasa 2009) yang menentukan tingkat keberhasilan guru dalam mengajar (Hakim 2012). Sampai tahun 2012 belum ditemukan diklat yang dirancang khusus untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru (Sultoni 2012). Pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian guru mendesak untuk segera dilaksanakan dengan tujuan memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan spesifik yang dibutuhkan guru pada saat ini. Musfah (2011) menyatakan pelatihan akan memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan baru yang mengubah perilaku guru dalam mengajar. Tentu saja, agar pelatihan yang diselenggarakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai maka harus dimulai dengan memahami kebutuhan nyata guru. Pelatihan yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata guru tidak akan berdampak pada peningkatan kompetensi guru bahkan dapat menurunkan motivasi belajar, pemborosan waktu, tenaga, dan dana (Darling-Hammond 2006). Guru adalah pembelajar dewasa yang orientasi belajarnya berpusat pada pemecahan masalah yang dihadapi dalam melakukan tugas atau masalah dalam kehidupan keseharian (Monica et al. 2012). Oleh karena itu analisis kebutuhan pelatihan harus dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihan. Kebutuhan pelatihan guru dapat dianalisis dengan menggunakan metode Training Needs Assessment (TNA) yang dikembangkan oleh McCann dan Tashima (1994). TNA merupakan proses mengidentifikasi kesenjangan kompetensi dengan cara membandingkan kompetensi yang dimiliki dengan kompetensi yang seharusnya dimiliki (Mangkuprawira dan Hubeis 2007). Tujuannya adalah untuk memetakan tingkat kompetensi kepribadianaktual guru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta memberikan rekomendasi metode pelatihan efektif. TNA mampu menghasilkan kebutuhan pelatihan yang objektif dan sistematis apabila dilakukan secara lengkap melalui tiga tahapan, yaitu analisis organisasi/institusi, analisis tugas/jabatan, dan analisis individu (MDF 2005; Sherazi et al. 2011; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Hasil analisis institusi pada penelitian pendahuluan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, menetapkan guru IPA SMP Negeri sebagai sasaran pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian. Hal ini disebabkan guru IPA SMP Negeri belum sepenuhnya menaati peraturan pemerintah yang mewajibkan pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu. Secara yuridis, Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (SI-PDM) menjadi dasar pelaksanaan IPA terpadu di Indonesia.Perubahan Kurikulum 2013, menguatkan pelaksanaan IPA terpadu melalui Permendiknas Nomor 64tahun 2013 tentang SI-PDM.Guru harus mematuhi segala peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah karena guru merupakan pegawai yang harus tunduk dan patuh terhadap norma dan nilai-nilai yang berlaku (Amin et al. 2013). Analisis tugas dilakukan melalui studi kebijakan yang berlaku dan meminta pendapat ahli. Hasilnya, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (SKA-KG) diadopsi dan dimodifikasi sebagai deskripsi kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru IPA SMP. Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki guru IPA SMP terdiri dari 5 kompetensi, yaitu: (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3)
18 menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,(4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan (5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Survei, wawancara, dan FGDdilakukan pada bulan Mei – Juli 2013. Sambel berjumlah 165 guru IPA SMP Negeri yang mewakili 213 guru. Penilaian kompetensi kepribadian ideal (KKI) menggunakan kuesioner KKI oleh Kepala SMP berlatar belakang pendidikan IPA, Instruktur, dan guru Inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penilaian kompetensi kepribadian aktual (KKA) menggunakan kuesioner KKA oleh guru IPA SMP Negeri dengan teknik evaluasi diri. Penilaian KKI dan KKA menggunakan skala kisaran dengan nilai 1–9 yang diadopsi dan dimodifikasi dari McCann dan Tashima (1994). Analisis kesenjangan kompetensi kepribadian (KKK) dilakukan dengan cara membandingkan nilai KKI dan KKA. Apabila nilai KKK (KKI – KKA) > 1, menunjukkan adanya kesenjangan kompetensi. Penetapan kebutuhan pelatihan dilakukan melalui wawancara tentang faktor penyebab kesenjangan kompetensi. Wawancara dilakukan terhadap pengawas IPA SMP, Kepala SMP berlatar belakang pendidikan IPA, dan Instruktur IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penetapan urutan prioritas pelatihan (UPP) berdasarkan nilai KKK, jumlah guru (JP), dan persentase guru (PG) yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu (Malik 1985; Halim et al. 2008; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Metode pelatihan efektif diperoleh melalui FGD. Uji kredibilitas data yang diperoleh dari FGD dilakukan dengan triangulasi teknik dan bahan referensi (Sugiyono 2010).
Hasil dan Pembahasan BSNP (2009) melaporkan penguasaan kompetensi kepribadian guru Indonesia mencapai 76%. Penelitian Suparwoto et al. (2011) menunjukkan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berkategori sangat baik sebanyak 86.20%. Berbeda dengan hasil penelitian ini, nilai kompetensi kepribadian aktual(KKA) guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah 5.0 – 6.8 (Tabel 3.1).Kompetensi kepribadian yang seharusnya dimiliki guru (KKI)adalah 8.3 – 8.8. Artinya, tingkat kompetensi kepribadian aktual guru IPA SMP Negeri berada di bawah kompetensi kepribadian ideal. Tabel 3.1 Kesenjangan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri No 1 2 3 4
Kompetensi Kepribadian Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa Menunjukkan etos kerja, disiliplin, tanggung jawab yang
KKI 8.3
KKA 6.6
KKK 1.7
8.7
6.8
1.9
8.8
6.7
2.1
8.3
6.4
1.9
19 5
tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Menjunjung tinggi kode etik profesi guru Indonesia
8.8
5.0
3.8
KKI: kompetensi Kepribadian Ideal; KKA: Kompetensi Kepribadian Aktual; KKK: Kesenjangan Kompetensi Kepribadian
Perbedaan hasil penelitian terletak pada perbedaan metode dan responden penelitian. BSNP menyatakan tidak dapat mengukur secara langsung kompetensi kepribadian guru tetapi dilakukan melalui wawancara dengan kepala sekolah tentang penguasaan kompetensi kepribadian guru (BSNP 2009). Suparwoto et al (2011) melakukan pengukuran langsung kepada guru IPA SMP se-Yogyakarta yang telah bersertifikat pendidik. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yang sama dengan Suparwoto et al (2011) kepada guru IPA SMP Negeri bersertifikat maupun yang tidak bersertifikatse-Kota Pekanbaru. Nilai kesenjangan kompetensi kepribadian (KKK) lebih besar dari 1 untuk seluruh kompetensi kepribadian (Tabel 3.1). Kesenjangan terbesar (3.8) pada kompetensi menjunjung tinggi kode etik profesi guru Indonesia. Kesenjangan terkecil (1.7) pada kompetensi bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Merujuk pada Mangkuprawira dan Hubeis (2007) kesenjangan kompetensi menunjukkan adanya kebutuhan pelatihan. Artinya, guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk 5kompetensi kepribadian. Menurut McCann dan Tashima (1994), tidak semua kesenjangan kompetensi dapat diatasi dengan pelatihan. Kesenjangan kompetensi yang dapat diatasi dengan pelatihan adalah kesenjangan yang disebabkan oleh faktor perilaku yaitu rendahnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Apabila kesenjangan tersebut disebabkan oleh selain faktor perilaku tidak dapat diatasi dengan pelatihan tetapi melalui usaha lain sesuai dengan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, dilakukan wawancara untuk menggali informasi mengenai faktor penyebab kesenjangan kompetensi kepribadian guru. Hasil wawancara menunjukkan kesenjangan untuk empat kompetensi kepribadian disebabkan oleh faktor sikap yaitu kesiapan guru untuk melaksanakan kompetensi kepribadian tersebut. Pada prinsipnya, guru IPA SMP telah memiliki pengetahuan yang baik tentang empat kompetensi kepribadian. Pengetahuan tersebut diperoleh secara otodidak sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing, etika, norma, dan hukum yang berlaku di masyarakat. Pelaksanaannya dianggap sebagai urusan pribadi berdasarkan kesiapan individu guru. Keempat kompetensi kepribadian tersebut adalah: (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, dan (4) menunjukkan etos kerja, disiliplin, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. Kesenjangan kompetensi kepribadian ke-5 yaitu menjunjung kode etik profesi guru Indonesia disebabkan oleh faktor pengetahuan guru. Guru IPA SMP Negeri tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kode etik profesi guru Indonesia. Hal ini disebabkan belum optimalnya fungsi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Pekanbaru. PGRI sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia seharusnya melakukan sosialisasi dan penegakan kode etik profesi guru. Realitasnya,PGRI tidak pernah melakukan sosialisasi kode etik profesi guru
20 dan melakukan penegakan kode etik terhadap kasus penyimpangan perilaku yang dilakukan guru. Analisis hasil wawancara menunjukkan kesenjangan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri disebabkan oleh faktor perilaku. Oleh karena itu dapat ditetapkan kesenjangan kompetensi untuk seluruh kompetensi kepribadian dapat diatasi dengan pelatihan. Pelatihan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada guru memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah perilakunya dalam mengajar sehingga meningkatkan kualitas lulusan (Musfah2011). Perlu ditetapkan prioritas pelatihan agar pelaksanaan pelatihan guru sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Prioritas pelatihan ditetapkanberdasarkan nilai kesenjangan kompetensi kepribadian (KKK). Mencermati kembali Tabel 3.1, teridentifikasi 2 kompetensi dengan nilai KKK yang sama (1.9). Kedua kompetensi tersebut adalah kemampuan guru untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, dan kemampuan guru untuk menunjukkan etos kerja, disiliplin, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penetapan urutan prioritas pelatihan (UPP), sehingga diperlukan metode yang lebih sensitif untuk menetapkan UPP. Malik 1985, Halim et al. 2008, Jan dan Muthuvelayutham 2012 menetapkanUPP berdasarkan jumlah dan persentase responden yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu. Secara spesifik,penetapan urutan prioritas pelatihan bagi guru IPA SMP di Alama, Amerika Serikat (Baird dan Rowsey 1989) dan Malaysia (Halim et al. 2008) apabila persentase guru yang membutuhkan pelatihan mencapai 40% atau lebih. Pada penelitian ini urutan prioritas pelatihan (UPP) ditetapkan berdasarkan nilai KKP, jumlah guru (JG) dan persentase guru (PG) IPA SMP Negeri yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi kepribadian tertentu. Kombinasi dari ketiga metode tersebut dinilai lebih sensitif untuk menentukan urutan prioritas pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan nyata guru IPA SMP. Kelebihan lainnya adalah dapat ditentukan jumlah individu guru yang menjadi sasaran pelatihan untuk setiap kompetensi kepribadian. Urutan prioritas pelatihan disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Prioritas Pelatihan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri No 1 2
3 4
5
Kompetensi Kepribadian Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa Menunjukkan etos kerja, disiliplin, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri Menjunjung tinggi kode etik profesi guru Indonesia
KKK
JG
UPP
11
PG (%) 7
1.7 1.9
12
7
3
2.1
15
9
2
1.9
12
7
3
3.8
87
53
1
4
21 KKK: Kesenjangan Kompetensi Kepribadian; JG: Jumlah Guru; PG: Persentase Guru; UPP: Urutan Prioritas Pelatihan
Hasil penelitian menunjukkanterdapat 1 kompetensi kepribadian yang memiliki nilai PG lebih dari 40% yaitu kompetensi ke-5 menjunjung tinggi kode etik profesi guru Indonesia dengan jumlah guru yang membutuhkan pelatihan sebanyak 53%. Kompetensi ke-5juga memiliki nilai kesenjangan tertinggi yaitu 3.8. Kompetensi kepribadaian 1 – 4 memiliki nilai PG yang kecil yaitu 7% dan 9%. Merujuk pada Baird dan Rowsey (1989) dan Halim et al. (2008), prioritas pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah pelatihan kode etik profesi guru Indonesia. Hasil penelitian dipaparkan dalam kegiatan FGD yang dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Peserta FGD berjumlah 20 orang yang terdiri dari kelompok guru IPA dan kelompok ahli. Kelompok ahli terdiri dari perwakilan LPMP Propinsi Riau, perwakilan Universitas Riau, Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, dan Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Kegiatan FGD bertujuan untuk meminta konfirmasi dan tanggapan kelompok guru IPA SMP Negeri tentang data yang berhasil dikumpulkan dengan kuesioner dan wawancara. FGD bagi kelompok ahli difokuskan untuk memperoleh rekomendasi metode pelatihan efektif untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Peserta FGD tidak sepakat dengan penetapan prioritas pelatihan yang menetapkan angka 40% untuk priotitas pelatihan.Peserta FGD merekomendasikan peningkatan kompetensi kepribadian guru IPA SMP dilaksanakan untuk seluruh kompetensi kepribadian. Diperoleh informasi dari peserta FGD bahwa guru belum melaksanakan secara utuh keempat kompetensi kepribadian. Masih banyak guru yang berkata dan bersikap kasar terhadap peserta didik, kurang disiplin, melakukan plagiat KTI,tidak disiplin, dan memiliki etos kerja yang rendah. Guru sekedar menjalankan kewajibannya untuk mengajar kemudian pulang. Mengamati kembali Tabel 3.1 nilai kompetensi kepribadian aktual (KKA) guru IPA untuk kompetensi kepribadian 1 – 4 adalah 6.4 – 6.8, sedangkan nilai kompetensi kepribadian ideal (KKI) adalah 8.3 – 8.8. Terdapat kesenjangan kompetensi kepribadian (KKK) dengan nilai 1.7 – 2.1. Nilai kesenjangan yang lebih dari satu (KKK > 1) menunjukkan guru membutuhkan pelatihan kepribadian. Kepribadian yang baik dari guru akan menyebabkan peserta didik senang belajar. Hal senada dinyatakan oleh Mulyasa (2009), kepribadian guru membuat peserta didik senang belajardanbetah di kelas. Sebaliknya, kepribadian guru yang buruk menyebabkan peserta didik malas belajar dan malas ke sekolah. Bahkan, kepribadian guru yang baik akan berimplikasi besar padahasilpembelajaranpeserta didik (Lovat et al. 2011). Rekomendasi hasil FGD terdiri atas 2 program pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Prioritas pertama adalah pelatihan kode etik profesi guru Indonesia dengan jumlah guru yang membutuhkan pelatihan 87 orang. Pelatihan ini bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada guru dalam melaksanakan kode etik profesi guru Indonesia. Kode etik guru Indonesia merupakan pedoman bersikap dan berperilaku yang diamalkan dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika.
22 Prioritas kedua adalah pelatihan kepribadian dengan jumlah guru yang membutuhkan pelatihan sebanyak 50 orang. Materi pelatihan kepribadian guru dikemas sedemikian rupa sehingga pelatihan yang akan dilaksanakan memuat kompetensi kepribadian 1-4. Pelatihan kepribadian tersebut bertujuan memberikan penyadaran kepada guru akan pentingnya pelaksanaan kompetensi kepribadian guru dalam tugasnya sebagai pendidik profesional. Pelatihan kepribadian diharapkan dapat memperbaiki perilaku guru dalam hubungannya dengan peserta didik dan masyarakat. Pelatihan kepribadian gurupenting dilaksanakan karena kepribadian guru merupakan syarat utama profesi guru (Hakim 2012) yang menjadi landasan penguasaan kompetensi lainnya (Mulyasa 2009). Hakim (2012) menyatakan kepribadian guru berimplikasi besar dalam pembentukan perilaku peserta didik. Menurut Gufran et al.(2011), guru berperan membentuk watak dan jiwa bangsa sehingga baik dan buruknya bangsa bergantung kepada guru.Purwanti (2013) menyatakan kepribadian guru menentukan identitas guru sebagai pendidik yang baik bagi peserta didik atau sebaliknya menjadi perusak masa depan peserta didik. Hasil penelitian Supriadi (2007) menunjukkan kepribadian guru lebih berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar peserta didik dibandingkan dengan peubah motivasi. Penelitian Ulug et al. (2011) memberi bukti sikap dan perilaku guru yang baik mempengaruhi motivasi, kepercayaan diri, dan perkembangan kepribadian yang baik dari peserta didik. Hal senada dinyatakan Tope (2011) bahwa kepribadian guru mempengaruhi disiplin sekolah terutama suasana di kelas, di tempat pratikum, dan di luar lingkungan sekolah. Berdasarkan penelitiannya, Tope (2011) menyarankan program pelatihan yang sesuai untuk guru meningkatkan kompetensi kepribadian guru adalah pemodelan perilaku dan pengembangan kepribadian positif. Peserta FGD merekomendasikan pelatihan khusus dan pembinaan internal sebagai metode pelatihan untuk kode etik profesi guru Indonesia dan pelatihan kepribadian. PGRI Kota Pekanbaru dan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru direkomendasikan sebagai pihak penyelenggara pelatihan kode etik guru. PGRI dinyatakan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pembinaan dan penegakan kode etik profesi guru. Secara spesifik peserta FGD merekomendasikan Training ESQ dengan penyelenggara Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru bekerjasama dengan institusi/perusahaan swasta sebagai penyelenggara pelatihan kepribadian guru. Hasil FGD diuji melalui triangulasi teknik dan bahan referensi. Triangulasi teknik dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan studi dokumentasi kebijakan. Wawancara dilakukan dengan Kabid Pengembangan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, kuesioner dilakukan pada guru inti IPA SMP, dan studi dokumentasi kebijakan pengembangan profesi guru dari Kemendiknas (BPSDMPK dan PMP 2012). Hasil uji kredibilitas pada Tabel 3.3, memperkuat hasil FGD yang merekomendasikan pelatihan khusus yang diikuti dengan pembinaan internal sebagai metode pelatihan peningkatan kompetensi kepribadaian guru.Hasil wawancara dengan Kabid Pendidikan Sekolah Menengah dan Kasi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menyatakan Training ESQ sudah pernah dilaksanakan. Akan tetapi, dampaknya belum optimal dalam membentuk kepribadian guru padahal biaya yang dikeluarkan sangat besar.
23 Oleh karena itu perlu diselengarakan pelatihan khusus melalui kerjasama Dinas Pendidikan dan LPTK Universitas Riau. Pelatihan khusus merupakan pelatihan yang dirancang berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan (BPSDMPK-PMP 2012).Pihak perguruan tinggi dipandang memiliki kompetensi untuk merancang pelatihan kepribadian guru. Agar tujuan pelatihan tercapai maka pelatihan khusus diikuti dengan pembinaan internal terus menerus. Menurut (BPSDMPK-PMP 2012) pembinaan internal dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, dan diskusi dengan rekan sejawat yang kompeten. Menurut Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru, pembinaan internal sebaiknya dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan membina guru seperti Kepala Bagian Kepegawaian Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Tabel 3.3 Metode Pelatihan Efektif dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Kepribadian Guru IPA SMP Negeri No 1 2
Program Pelatihan Pelatihan kode etik profesi guru Indonesia Pelatihan kepribadian guru
Metode Pelatihan Pelatihan khusus Pembinaan internal Pelatihan khusus Pembinaan internal
Penyelenggara Pelatihan PGRI Kota Pekanbaru Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Dinas Pendidikan Kota Perguruan Tinggi
Hasil wawancara dengan Kabid Pendidikan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTsmenunjukkan kepribadian guru dahulu lebih baik dari kepribadian guru sekarang. Penyebabnya adalah perubahan zaman, perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi, serta kurang maksimalnya pembekalan kepribadian calon guru di LPTK. Hasil studi dokumentasi menunjukkan guru era 1960 hingga 1970-anmemiliki idealisme, kepribadian, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas keprofesiannya (Hakim 2012). Pada tahun 1950 - 1960-an pendidikan calon guru dilakukan dengan model pendidikan berasrama yang dirancang untuk mengembangkan sikap disiplin, bertanggungjawab, tenggang rasa, budi pekerti, santun, dan kepribadian yang sehat. Akan tetapi beberapa dekade belakangan ini model berasrama tidak digunakan lagi di LPTK sehingga pengawasan pembentukan kepribadian calon guru tidak dapat dilakukan. Struktur kurikulum S1 kependidikan di LPTK negeri dan swasta seluruh Indonesia yang terkait dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian, sosial, dan kultur guru hanya 14% dari muatan kependidikan kurikulum (Farisi, 2010). Materi pengembangan kepribadian guru di Amerika Serikat diberikan selama 2 tahun pertama pendidikan calon guru. Lembaga koalisi guru juga memiliki program khusus pengembangan kepribadian guru. Di Korea Selatan dan Singapura, dilakukan serangkaian kegiatan kendali mutu pengembangan kompetensi kepribadian guru (Iswanti 2007). Di Indonesia, Pemerintah dan LPTK lebih fokus pada penguasan kompetensi pedagogik dan profesional dengan mengabaikan pengembangan kompetensi kepribadian guru.
24 Simpulan Penelitian tentang analisis kebutuhan pelatihan berdasarkan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru menghasilkan 4 simpulan penelitian, yaitu: (1) tingkat kompetensi kepribadian aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah kompetensi ideal, (2)guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan untuk seluruh kompetensi kepribadian, (3) kebutuhan pelatihan peningkatan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru diterjemahkan ke dalam 2 program pelatihan yaitu pelatihan kode etik profesi guru Indonesia dan pelatihan kepribadian guru, (4) pelatihan khusus dan pembinaan internal direkomendasikan sebagai metode pelatihanefektif untuk untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. PGRI Kota Pekanbaru dan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru direkomendasikan sebagai pelaksana pelatihan kode etik profesi guru Indonesia. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan LPTK Universitas Riau direkomendasikan sebagai penyelenggara pelatihan kepribadian guru.
25
4 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI SOSIAL GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU* Abstrak Kompetensi sosial guru merupakan kemampuan guru berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat sekolah dan sekitarnya.Peningkatan kompetensi sosial guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru belum pernah di lakukan sebelumnya. Peningkatan kompetensi sosial guru dapat dilakukan melalui pelatihan yang didahului dengan analisis kebutuhan pelatihan atau Training Needs Analysis (TNA).Tujuan penelitian ini memetakan kompetensi sosial aktual guru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta rekomendasi metode pelatihan efektif. Data primer dikumpulkan melalui survei, observasi, wawancara, dan FGD. Sebanyak 165 guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru bersedia menjadi responden yang mewakili 213 guru dengan teknik evaluasi diri menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah kompetensi sosial ideal.Guru IPA SMP Negeri membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk seluruh kompetensi sosial. Pelatihan peningkatan kompetensi sosial guru diprioritaskan pada pelatihan komunikasi pendidikan. Pelatihan khusus direkomendasikan sebagai metode efektif untuk pelatihan komunikasi pendidikan bagi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Kata Kunci:kompetensi sosial guru, analisis kebutuhan pelatihan Abstract Social competenceof teachersis theteachers’ abilityto communicate effectivelywith theschool community and communities surrounding the school.Analysis of needs for training to improve social competence of natural science teachers of SMP Negeri Pekanbaru never been carried out in the past.Improvement on thesocial competence of the teachers can be conductedthrougha training preceded bya Training NeedsAnalysis (TNA). The purposes ofstudy were to map theactualsocialcompetenceof the teachers, establish the trainingneeds andpriorities, and make recommendations for effectivetrainingmethods. The primary datawere collectedthroughsurveys, observations, interviews, andfocus group discussions. As many as 165the natural science teacherwere willing tocarry out aself-evaluationtechniqueusing aquestionnaire. The result has shownthat the social competence of the natural science teacherwas below the idealsocial competence. The natural science teachersrequiretrainingsfor allteachersocial competencies.Thepriorities of training programisthe training on education communication. It is suggested that specific training are worth applied as effective training methods to improve social competence of the teachers. Keywords: socialcompetence of teacher, trainingneeds analysis *Telah diterima untuk direview oleh Mitra Bestari Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran (terakreditasi DIKTI)
26 . Pendahuluan Dalam pandangan pendidikan klasik mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa (Sanjaya 2007). Guru menyajikan materi ajar dengan metode ceramah sebagai andalan utama sedangkan siswa menerima materi ajar dengan duduk, dengar, dan catat sebagai ciri utama (Hermawan et al. 2007). Pendidikan klasik telah bergeser ke arah pendidikan interaksional yang memandang mengajar sebagai prosesinteraksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran (Jennings and Greenberg 2009). Saragih (2008) menyatakan bahwa proses pembelajaran tertumpu pada optimalisasi interaksi dan keikutsertaan seluruh peserta didik. Dalam situasi demikian guru dituntut untuk memiliki kompetensi sosial yang erat hubungannya dengan kemampuan guru dalam berkomunikasi, baik disekolah maupun di lingkungan masyarakat (Ardiansyah 2013). Keterampilan berkomunikasi harus dimiliki guru (Idris et al. 2008) karena pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya komunikasi (Gafari 2012). Komunikasi yang dibutuhkan merupakan komunikasi efektif, santun, dan empati (Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang SKA-KG), komunikasi dua arah yangmampu membangun interaksi dengan peserta didik (Saragih 2008) dan masyarakat sekitarnya (Bihim et al. 2012). Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Landasan yuridis tersebut menyatakan kompetensi sosial guru merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Saragih (2008) menyatakan kemampuanberkomunikasi pada guru yang baru lulussarjana di LPTK masih lemah. Kelemahan tersebut terlihat dalaminteraksi antaraguru baru dengan guru senior, dengan kepala sekolah, dan peserta didik. Guru baru kurang terampil dalam menjelaskan materi pelajaran, mengajukan pertanyaan, memberi penguatan, dan membimbing diskusi.Hal yang sama ditemukan pada guru sertifikat dan yang belum memiliki sertifikat pendidik. Setiawan dan Ningsih (2010) menemukan kompetensi sosial guru sebelum dan setelah memperoleh setifikat pendidik tidak menunjukkan perubahan yang bermakna. Nilai kompetensi sosial guru rendah dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar sekolah, berkomunikasi dengan teman sejawat, dan komunitas ilmiah lainnya secara santun, empatik, dan efektif (Ngabiyanto 2011). Intani et al. (2012) menyatakan kompetensi sosial guru yang masih perlu ditingkatkan adalah kemampuan melibatkan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Peningkatan kompetensi sosial guru perlu dilakukan melalui pelatihan. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor16 Tahun 2009 menetapkan pelatihan sebagai salah satu bentuk peningkatan kompetensi guru. Penyelenggaraan pelatihan efektif harus di mulai dengan memahami kebutuhan nyata guru. Dalam penelitian ini, Training Needs Assessment (TNA) dipilih sebagai metode yang efektif untuk memahami kebutuhan pelatihan guru. Tujuan penelitian adalah untuk memetakan tingkat
27 kompetensi sosial aktual guru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta memberikan rekomendasi metode pelatihan yang efektif. TNA mampu menghasilkan kebutuhan pelatihan yang obyektif, sistematis, dan berkelanjutan apabila dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu analisis organisasi/institusi, analisis tugas/jabatan/operasi, dan analisis individu (MDF 2005; Sherazi et al. 2011; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Hakikat analisis institusi adalah memfokuskan pada siapa yang memerlukan pelatihan dan siapa kelompok sasaran di institusi tersebut. Analisis tugas memfokuskan pada profil kompetensi yang dipersyaratkan, sedangkan analisis individu memfokuskan pada kesenjangan kompetensi dan faktor penyebabnya, penetapan kebutuhan pelatihan, dan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah kesenjangan kompetensi. Hasil analisis institusi pada penelitian pendahuluan yang dilakukan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, menetapkan guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru sebagai sasaran pelatihan. Analisis tugas dilakukan melalui studi peraturan perundang-undangan dan meminta pendapat ahli. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (SKA-KG) diadopsi dan dimodifikasi sebagai deskripsi kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh guru. Merujuk pada SKA-KG kompetensi sosial guru IPA adalah:1) bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi; 2) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; 3) beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; 4) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui metode survei menggunakan kuesioner, wawancara, dan FGD(Focus Group Discussion). Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berjumlah 213 orang, namun tetapi yang bersedia mengisi kuesioner dengan teknik evaluasi diri sebanyak 165 orang (77%). Penilaian kompetensi sosial ideal (KSI) dan kompetensi sosial aktual (KSA) menggunakan kuesioner yang telah teruji melalui uji validitas dan reliabilitas. Penilaian KSI menggunakan kuesioner KSI oleh Kepala SMP berlatar belakang pendidikan IPA, Instruktur dan guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penilaian KSA menggunakan kuesioner KSA oleh guru IPA SMP Negeri dengan teknik evaluasi diri. Penilaian KSI dan KSA menggunakan skala kisaran dengan nilai 1–9 yang diadopsi dan dimodifikasi dari McCann dan Tashima (1994). Analisis kesenjangan kompetensi sosial (KKS) dilakukan dengan cara membandingkan nilai KSI dan KSA. Apabila nilai KKS (KSI – KSA) > 1, maka terdapat kesenjangan kompetensi. Penetapan kebutuhan pelatihan dilakukan melalui wawancara tentang faktor penyebab kesenjangan kompetensi sosial. Wawancara dilakukan kepada pengawas IPA SMP dan guru IPA SMP yang menjabat sebagai Kepala Sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, dan Instruktur IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penetapan prioritas pelatihan (UPP)
28 dilakukan berdasarkan nilai KKS. Rekomendasi metode pelatihan efektif dan rekomendasi kebijakan diperoleh melalui FGD yang dihadiri oleh 20 orang. Peserta FGD ditetapkan secara sengaja (purposive sampling) yang terdiri dari kelompok ahli dan kelompok guru IPA SMP. Kelompok ahli terdiri dari perwakilan LPMP Propinsi Riau, perwakilan Universitas Riau, Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan, dan Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Uji kredibilitas hasil FGD melalui triangulasi teknik dan bahan referensi (Sugiyono 2010).
Hasil dan Pembahasan Pada tahun 2009, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) melakukan survei terhadap guru di 33 provinsi Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwapenguasaan kompetensi sosial guru Indonesia telah mencapai 75%. Laporan BSNP berbeda dengan temuan dalam penelitian ini (Tabel 4.1). Secara umum, nilai penguasaan kompetensi sosial guru pada saat ini (KSA) berkisar 5.7 - 6.5. Nilai kompetensi sosial yang seharusnya dimiliki guru (KSI) berkisar 7.7 – 8.7. Artinya, tingkat kompetensi sosial aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah standar kompetensi sosial ideal. Tabel 4.1 Kesenjangan Kompetensi Sosial Guru IPA SMP Negeri No 1
2
3 4
Kompetensi Sosial Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif kepada peserta didik, teman sejawat, orang tua speserta didik, dan masyarakat sekitar Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat sekitar Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain
KSI 8.7
KSA 6.5
KKS 2.2
8.5
6.3
2.2
8.0
6.2
1.8
7.7
5.7
2.0
KSI: kompetensi Sosial Ideal; KSA: Kompetensi Sosial Aktual; KKS: Kesenjangan Kompetensi Sosial
Perbedaan temuan disebabkan perbedaan metode penelitian dan pemilihan responden. BSNP mengukur kompetensi kepribadian gurumelalui wawancara dengan kepala sekolah tentang penguasaan kompetensi sosial guru (BSNP 2009). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara langsung kepada guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru melalui kuesioner dengan teknik evaluasi diri. Nilai kompetensi sosial aktual (KSA) terendah (5.7) terdapat pada kompetensi sosial ke-4 (Tabel 4.1), yaitu kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan komunitas profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Komunitas profesi sendiri adalah musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Komunitas profesi lain adalah MGMP Agama Islam, MGMP Matematika, MGMP Kesenian, MGMP Bahasa Indonesia, dan MGMP Bahasa Inggris. Ngabiyanto (2011) menemukan guru tidak mampu mengkomunikasikan gagasan atau idenya kepada komunitas
29 profesinya. Intaniet al. (2012) menemukan ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh minimnya penguasaan guru terhadap media pembelajaran. Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwa nilai kesenjangan kompetensi sosial (KKS) lebih besar dari 1 untuk seluruh kompetensi sosial (Tabel 4.1). Nilai KKS tertinggi (2.2) ditunjukkan oleh kompetensi sosial ke-1 dan ke-2. Kesenjangan sosial terendah (1.8) ditunjukkan oleh kompetensi sosial ke-3. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan pelatihan untuk seluruh kompetensi sosial. McCann dan Tashima (1994) menyatakan kesenjangan yang disebabkan oleh faktor perilaku yaitu rendahnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan dapat diatasi dengan pelatihan. Apabila kesenjangan tersebut disebabkan oleh faktor lain harus diatasi dengan usaha lain sesuai dengan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, dilakukan wawancarauntuk menggali informasi mengenai faktor penyebab kesenjangan kompetensi sosial. Kompetensi sosial ke-1 adalah bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif kepada peserta didik, teman sejawat, orang tua speserta didik, dan masyarakat sekitar. Hasil wawancara menunjukkan guru belum bersikap terbuka kepada peserta didik karena menurut guru bersikap terbuka akan menurunkan wibawa guru dihadapan peserta didik. Diperoleh informasi bahwa guru masih melakukan tindakan diskriminatif terhadap peserta didik yang memiliki tingkat keserdasan di bawah rata-rata dan peserta didik yang nakal. Guru cenderung meperhatikan peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata dan mengabaikan peserta didik dengan kemampuan di bawah rata-rata atau yang nakal. Hasil penelitian Eriyanti (2011) menunjukkan tindakan pengabaian merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam komunikasi lisan. Kesenjangan kompetensi sosial ke-1 disebabkan oleh sikap guru yang tertutup terhadap orang tua dan masyarakat. Hal ini dipicu oleh prasangka guru yang beranggapan bahwa keterbukaan akan memperlihatkan kelemahan guru dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Guru merasa dirinya lebih mahir dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik dibanding orantua dan masyarakat. Kurang percaya pada kemampuan diri sendiri, takut salah, dan tidak mau berkembang menjadi penyebab guru tidak terbuka terhadap teman sejawat. Guru muda tidak mau terbuka karena guru senior cenderung memojokkan, tidak mengayomi dan sulit menerima inovasi yang dibawa oleh guru muda. Prasangka dan perasaan tidak cakap merupakan faktor pribadi yang menimbulkan gangguan (noise) sehingga menghambat proses komunikasi (Nurrohim dan Anatan 2009). Kompetensi sosial ke-2 adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat sekitar. Hasil wawancara menunjukkan bahwa guru senior tidak menaruh empati terhadap guru muda yang dipicu oleh perasaan takut tersaingi. Guru belum mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Orang tua diundang ke sekolah pada saat penerimaan raport atau bila peserta didik melakukan kesalahan. Hal yang sama ditemukan dalam penelitian Intani et al. (2012) bahwa orang tua tidak diikutsertakan dalam program pembelajaran terutama program baik kurikuler maupun ekstra kurikuler. Kompetensi sosial ke-3 merupakan kemampuan guru dalam beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja yang ditunjukkan melalui kemampuan guru untuk melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja (sekolah).
30 Kesenjangan kompetensi sosial ke-3 disebabkan oleh masih rendahnya keikutsertaan guru dalam melaksanakan berbagai program di lingkungan sekolah. Guru menjalankan kewajibannnya dalam mengajar setelah itu pulang. Diperoleh informasi bahwa perilaku guru yang demikian disebabkan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah melibatkan guru-guru yang mempunyai hubungan kedekatan dengan kepala sekolah saja. Kepala sekolah tidak transparan dalam pengelolaan keuangan dan tidak memberikan apresiasi dalam bentuk kompensasi bagi guru yang telah meluangkan waktu untuk ikut serta dalam program-program di lingkungan sekolah. Semua kondisi tersebut membuat iklim sekolah tidak nyaman sehingga guru tidak betah di sekolah. Kepala sekolah belum mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan belum mampu memotivasi guru untuk berpartisipasi dalam program sekolah. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi manajerial kepala sekolah relatif rendah. Kesenjangan kompetensi sosial ke-4 disebabkan guru tidak mendapat izin dari kepala sekolah untuk mengikuti MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Kepala sekolah melakukan hal tersebut karena padatnya jadwal mengajar guru, yaitu 24 jam tatap muka dalam satu minggu. Lokasi MGMP yang terletak di pinggir Kota Pekanbaru menyebabkan guru IPA harus meninggalkan kegiatan pembelajaran di sekolah untuk satu hari penuh yang dapat mengganggu stabilitas proses pembelajaran di sekolah. Hasil evaluasi dari kepala sekolah menunjukkan bahwa kompetensi guru yang mengikuti MGMP IPA tidak berbeda dengan guru yang tidak mengikuti MGMP IPA. Peningkatan kompetensi guru perlu dilakukan dengan mengundang pakar di bidangnya dan melakukan pratikum IPA. Namun, MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan tersebut. Selama10 tahun keberadaannya, MGMP IPA belum pernah mendapatkan bantuan dana dari Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Sumbangan anggota tidak dapat diandalkan karena guru yang mengikuti MGMP IPA terus berkurang jumlahnya sejalan dengan kesulitan guru untuk mendapatkan izin dari kepala sekolah. Kesenjangan kompetensi sosial ke-1 dan ke-2 disebabkan oleh perilaku komunikasi guru. Komunikasi efektif adalah kunci interaksi sosial yang dapat membantu guru menyelesaikan masalah dan memperbaiki hubungan (Idris et al. 2008). Komunikasi dalam bidang pendidikan merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan (Gafari 2012). Kurang optimalnya proses komunikasi berakibat tujuan intruksional dalam pembelajaran tidak tercapai atau gagal (Handayani 2012). Suprihatiningrum (2013) menyatakan salah satu kegagalan guru dalam mengajar disebabkan tidak terjadinya interaksi yang baik dan berbagai kekurangan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu pelatihan peningkatan kompetensi sosial guru IPA SMP diprioritaskan pada pelatihan komunikasi pendidikan. Analisis hasil wawancara menunjukkan kesenjangan kompetensi sosial ke-3 dan ke-4 disebabkan faktor kepemimpinan kepala sekolah. Kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh sarana manajemen (man, money, material, machine, dan methods) tidak dapat diperbaiki dengan pelatihan. MDF (2005) menyatakan bahwa kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh selain faktor perilaku bukan merupakan masalah pelatihan. Kesenjangan tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan desain ulang kebijakan (re-designing policies), desain
31 ulang tugas (re-designing tasks), dan desain ulang proses (re-designing processes). Hasil FGD menunjukkan pelatihan komunikasipendidikan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam berkomunikasi secara efektif, santun dan empati terhadap peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kelompok ahli merekomendasikan pelatihan khusus sebagai metode pelatihan komunikasipendidikan dengan penyelenggara Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru danperguruan tinggi bekerjasama dengan institusi swasta yang pakar dibidang komunikasi pendidikan. Kelompok guru menyatakan kesenjangan kompetensi sosial yang ke-3 dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Mulyasa (2012) menyatakan bahwa sukses atau tidaknya pendidikan dan pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh kompetensi kepala sekolah dalam mengelola setiap komponen sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah secara langsung dan nyata mempengaruhi kompetensi guru (Jiwa 2010) dan kinerja guru (Kiswanti et al. 2013). Guru akan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan penuh rasa tanggungjawab apabila merasa puas terhadap kepemimpinan kepala sekolah (Iskandar 2013). Sudah sepantasnya sekolah dipimpin oleh kepala sekolah yang kompeten dan mampu menciptakan iklim organisasi sekolah yang kondusif, hangat, dan terbuka sehingga menumbuhkan motivasi, semangat, dan gairah kerja guru. Diperoleh informasi dari kelompok ahli -perwakilan dari LPMP Propinsi Riau- bahwa pengangkatan kepala sekolah di Kota Pekanbaru belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dalam Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Ketentuan yang belum dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru adalah pengangkatan kepala sekolah dari calon yang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan calon kepala (Cakep) sekolah dan belum memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah. Menurut Faisal (2013) pelaksanaan Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 belum sepenuhnya dilaksanakan oleh dinas pendidikan dalam pengangkatan kepala sekolah khususnya tingkat SMP. Pengangkatan kepala sekolah yang tidak sesuai dengan landasan yuridis menyebabkan merosotnya mutu pendidikan karena sekolah dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak kompeten. Hasil uji kompetensi kepala sekolah oleh Departemen Pendidikan Nasional memberi bukti bahwa 70% kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten (Suhardiman 2011). Hal ini disebabkan pengangkatan kepala sekolah di Indonesia tidak transparan (Mania 2011), dan didasarkan pada kedekatan calon kepala sekolah dengan pejabat tertentu (Ridwan 2012). Kelompok guru menyatakan kesenjangan kompetensi sosial ke-4 disebabkan oleh tidak ada izin dari kepala sekolah untuk mengikuti MGMP IPA SMP/MTs kota Pekanbaru. Guru memahami kebijakan kepala sekolah tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu kelompok guru IPA SMP menyarankan pembentukan MGMP IPA SMP/MTs di setiap rayon sekolah. Letak MGMP IPA SMP/MTs yang berada di setiap rayon akan mempersempit jarak sehingga guru dapat mengajar terlebih dahulu sebelum mengikuti kegiatan MGMP. Dukungan finansial dari Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru sangat diharapkan dalam program peningkatan kompetensi guru IPA SMP/MTs di Kota Pekanbaru. MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru juga
32 membutuhkan dukungan dan pendampingan dari kepala sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan dan pakar. Berdasarkan hasil FGD rekomendasi yang dapat diberikan untuk memperbaiki kompetensi sosial ke-3 adalah Dinas Pendidikan diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah, lebih selektif dalam merekrut calon kepala sekolah, dan mengangkat kepala sekolah sesuai dengan ketentuan dalam Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Kebijakan yang direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru untuk meningkatkan kompetensi sosial ke-4 adalah membentuk 5 Rayon MGMP IPA SMP/MTs, memberikan bantuan dana rutin untuk kegiatan MGMP, dan menugaskan Pengawas IPA SMP serta kepala sekolah untuk melakukan pendampingan MGMP IPA SMP/MTs Rayon. Hasil uji kredibilitas memperkuat hasil FGD yang merekomendasikan pelatihan khusus sebagai metode pelatihan komunikasi pendidikan. Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menyetujui pembentukan 5 Rayon MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Tidak ada alokasi APBD untuk kegiatan MGMP IPA SMP, tetapi dana kegiatan MGMP diperoleh dari dana BOS yang dikelola oleh kepala sekolah. Berdasarkan studi dokumentasi Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menyatakan pemilihan kepala sekolah untuk periode selanjutnya harus berdasarkan Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.
Simpulan Penelitian tentang analisis kebutuhan pelatihan berdasarkan kompetensi sosial guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru menghasilkan 4 simpulan penelitian, yaitu: (1) tingkat kompetensi sosial aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah kompetensi sosial ideal, (2) guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk seluruh kompetensi sosial, (3) pelatihan peningkatan kompetensi sosial guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru diprioritaskan pada pelatihan komunikasi pendidikan, (4) pelatihan khusus direkomendasikan sebagai metode efektif untuk pelatihan komunikasi pendidikan bagi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan LPMP Propinsi Riau bekerjasama dengan institusi swasta yang pakar di bidang komunikasi pendidikan di rekomendasikan sebagai penyelenggara pelatihan.
33
5 ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI PROFESIONAL GURU IPA SMP NEGERI DI KOTA PEKANBARU Abstrak Kompetensi profesionalguru merupakanpenguasaan guru terhadap materi pembelajaran yang diampunya.Guru mata pelajaran IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru belum melaksanakan pembelajaran IPA terpadu yang menjadi indikator rendahnya kompetensi profesional guru. Peningkatan kompetensi profesional guru IPA SMP dapat dilakukan melalui pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru menggunakan metode Training Needs Assessment (TNA).Tujuannya untuk memetakan tingkat kompetensi profesional aktual guru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta memberikan rekomendasi metode pelatihan efektif.Penelitian dilakukan dengan metode survei,wawancara, dan FGD. Sebanyak165 dari 213 guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru menyatakan kesediaan sebagai responden menggunakan kuesioner dengan teknik evaluasi diri.Hasil penelitian menunjukkan tingkat kompetensi profesional aktual guru IPA SMP berada di bawah kompetensi ideal.Prioritas program pelatihan adalah pelatihan TIK/ICT dan penelitian tindakan kelas (PTK).In House Training (IHT), pelatihan khusus, dan kursus singkat direkomendasikan sebagai metode pelatihan untuk meningkatkan kompetensi profesional guru IPA SMP Negeri. Kata kunci: kompetensi profesional guru IPA, analisis kebutuhan pelatihan Abstract Professional competence is the ability of teachers in knowledge of subject matter. The natural science teacher at of the state secondary school at Pekanbaruhas not been taught in an integrated way that become indicators on how poor is the professional competence of the teachers. Improvement of teachers’ professional competence can be done through training. This study offers an effective approach in determining the needs of training of the teachers using the Training Needs Analysis (TNA). The objectives of the study were to obtain evidence an actual professional competence of the teachers, to obtain needs and training priorities, and proposing recommendations on the effectiveness of training method.Surveys, interviews, and FGD were conducted to get primary data.Survey was carried on 165 of 213 the natural science teacher of the state secondary school at Pekanbaru using self-evaluation questionnaire.Results showed that actual professional competence of the teachers were below the ideal competence.There were two priorities of training program, namely : training of ICT and classroom action research (CAR).It is suggested that In House Training, specific training, and short courses are worth applied as effective training methods to improve professional competence of the natural science teachers. Keywords: professional competence of teacher, training needs analysis
34 Pendahuluan Kompetensi profesional guru didefinisikan sebagai penguasaan guru secara mendalam terhadapmateri pelajaran (Turnuklu dan Yesildere 2007; Hotaman 2010; Lin 2013; Ghazi et al.2013) atau karakteristik bahan ajar (Mardapi 2012). Secara yuridis, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru menyatakan guru harus memiliki kompetensi profesional. Pada prinsipnya ketiga landasan yuridis tersebut menyatakan kompetensi profesional guru merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Penguasaan guru terhadap materi pembelajaran berpengaruh langsung dan nyata terhadap keterampilan mengajar (Özden 2008), efektifitas mengajar (Hourigan 2010) dan kinerja guru (Hidayat 2009; Saputra 2011; Asiatina 2011; Udiyono 2011). Kompetensi profesional guru memiliki pengaruh lebih besar terhadap kinerja guru dibandingkan motivasi guru (Hidayat 2009).Analisis korelasi dan regresi menunjukkan kompetensi profesional mempengaruhi kinerja guru dengan nilai kontribusi sebesar 44.2% (Suryani 2011). Artinya, peningkatan kompetensi profesional guru akan mempengaruhi keterampilan dan efektifitas mengajar yang dapat meningkatkan kinerja guru. Penelitian terkini memberi bukti kompetensi profesional guru berpengaruh nyata terhadap hasil belajar peserta didik (Auliah 2011; Ghazi et al.2013) dengan nilai kontribusi sebesar 54.5% (Pujiastuti et al. 2012). Kompetensi profesional memiliki pengaruh lebih besar (75.8%) terhadap motivasi belajar peserta didik dibandingkan kompetensi pedagogik/keterampilan mengajar (68.3%) (Widoyoko dan Rinawati 2012). Bahkan, kompetensi profesional guru memiliki pengaruh lebih besar (30.5%) terhadap hasil belajar peserta didikdibandingkan kompetensi pedagogik (25.6%) (Widiarsa et al. 2013). Artinya, Guru yang menguasai materi pembelajaran menemukan cara untuk mengajarkan materi tersebut dengan menarik sehingga meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar peserta didik. Faktanya, kompetensi profesional guru Indonesia masih rendah. Hasil ujian mata pelajaran tahun 2004 menunjukkan persentase jawaban benar guru sekolah dasar 38% dan guru sekolah menengah 45% (Bank Dunia 2011). Jawaban benar ujian mata pelajaranguru tanpa gelar sarjana 31%, sedangkan guru sarjana 35%(Ree et al. 2012). Pada tahun 2009, hasil survei Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menunjukkan 61% guru Indonesia tidak menguasai kompetensi profesional. Uji kompetensi awal (UKA)tahun 2012 terhadap guru yang belum bersertifikat pendidik menunjukkan nilai rata-rata nasional tingkat kompetensi guru42.25. Uji kompetensi guru (UKG) tahun 2013 terhadap guru yang telah bersertifikat pendidik menunjukkan nilai rata-rata nasional tingkat kompetensi guru45.82. Sebanyak 7 dari 33 provinsi yang mencapai nilai rata-rata tersebut(BPSDMPK dan PMP 2012). Artinya, 26 provinsi memperoleh nilai di bawah rata-rata nasional tingkat kompetensi guru. Hasil uji, survei, dan penelitian membuktikan kompetensi profesional guru Indonesia yang belum sarjana, bergelar sarjana, belum bersertifikat pendidik, dan telah bersertifikat pendidik berada di bawah standar minimal yang diprasyaratkan.
35 Peningkatan kompetensi profesional guru perlu dilakukan di seluruh Indonesia terutama Kota Pekanbaru Provinsi Riau yang nilai kompetensi gurunya berada di bawah rata-rata nasional (UKA 39.1, UKG 43.81). Merujuk pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor16 Tahun 2009 peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan melalui pelatihan.Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru sudah sering melaksanakan pelatihan guru tetapi tidak melalui analisis kebutuhan guru. Pelatihan yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata guru tidak berdampak pada peningkatan kompetensi guru bahkan dapat menurunkan motivasi belajar, pemborosan waktu, tenaga, dan dana (Darling-Hammond 2006). Oleh karena itu, analisis kebutuhan pelatihan guru harus dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihan. Metode Training Needs Analysis(TNA) dipilih sebagai pendekatan yang efektif untuk menetapkan kebutuhan pelatihan guru.Tujuannya untuk memetakan tingkat kompetensi profesional aktual guru, menetapkan kebutuhan dan prioritas pelatihan, serta memberikan rekomendasi metode pelatihan efektif.Metode TNA mampu menghasilkan kebutuhan pelatihan yang objektif, sistematis, dan berkelanjutan bila dilakukan secara lengkap melalui analisis institusi, analisis tugas, dan analisis individu (MDF 2005; Sherazi et al. 2011; Jan dan Muthuvelayutham 2012). Analisis institusi fokus pada kelompok sasaran yang memerlukan pelatihan di institusi tersebut. Analisis tugas fokus pada profil kompetensi yang seharusnya dimiliki. Analisis individu fokus pada kesenjangan kompetensi dan faktor penyebabnya, kebutuhan pelatihan, serta memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah kesenjangan kompetensi. Hasil analisis institusi pada penelitian pendahuluan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menetapkan guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru sebagai sasaran pelatihan. Hal ini disebabkan guru IPA SMP Negeri belum melaksanakan pembelajaran IPA terpadu. IPA terpadu merupakan salah satu bentuk inovasi kurikulum(KTSP 2006) yang menggabungkan bidang kajian fisika, kimia, biologi, (Puskur 2006; Wilujeng et al. 2010), bumi dan antariksa (Arlitasari et al. 2013) ke dalam mata pelajaran IPA. Hal ini berimplikasi kepada guru yang mengajar karena di sekolah pada umumnya guru berlatar belakangpendidikan fisika dan biologi (Puskur 2006; Saputro 2012). Guru fisika tidak memiliki kemampuan yang optimal pada kajian bidang ilmu biologi dan kimia, begitu pula sebaliknya (Wilujeng et al. 2010; Ayu et al. 2011). Diduga guru IPA SMP Negeri Pekanbaru memerlukan pelatihan peningkatan kompetensi profesional agar dapat melaksanakan pembelajaran IPA terpadu. Analisis tugas dilakukan melalui studi perundang-undangan dan meminta pendapat ahli. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (SKA-KG) diadopsi dan dimodifikasi sebagai deskripsi kompetensi profesional yang harus dimiliki guru IPA SMP. Berdasarkan SKA-KG kompetensi profesional guru IPA SMPyaitu: 1) menguasai materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu 2) menguasai teori dan pola pikir keilmuan yang mendukung pembelajaranIPAterpadu, 3) menerapkan, mengembangkan, dan melakukan pratikum IPA terpadu, 4) menguasai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran IPA terpadu, 5) mengembangkan materi pembelajaran IPA terpadu secara kreatif, 6) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan PTK, dan 7) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.
36 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode survei, wawancara, dan FGD (Focus Group Discussion)digunakan untuk pengumpulan data primer. Sebanyak 165 dari 213 guru IPA SMP Negeri menyatakan kesediaan sebagai responden. Analisis individu dimulai dengan penilaian kompetensi profesional ideal (KPI) dan kompetensi profesional aktual (KPA). Penilaian KPI menggunakan kuesioner KPI oleh Kepala Sekolah SMP berlatar belakang pendidikan IPA, instruktur dan guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penilaian KPA menggunakan kuesioner KPA oleh 165 guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru dengan teknik evaluasi diri. Penilaian KPI dan KPA menggunakan skala kisaran nilai 1–9 yang diadopsi dan dimodifikasi dari McCann dan Tashima (1994). Analisis kesenjangan kompetensi profesional (KKP) dilakukan dengan cara membandingkan nilai KPI dan KPA. Apabila nilai KKP (KPI – KPA > 1), maka terdapat kesenjangan kompetensi yang menunjukkkan adanya kebutuhan pelatihan. Penetapan kebutuhan pelatihan dilakukan melalui wawancara untuk menggali faktor penyebab kesenjangan kompetensi profesional. Penetapan urutan prioritas pelatihan (UPP) dilakukan berdasarkan nilai KKP dan persepsi calon peserta pelatihan tentang kebutuhan pelatihannya pada kompetensi tertentu. Persepsi calon peserta pelatihan diukur dari jumlah dan persentase responden yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi (Malik 1985; Halim et al. 2008; Jan dan Muthuvelayutham 2012). FGD dilakukan untuk meminta konfirmasi hasil yang diperoleh dari data kuantitatif dan untuk memperoleh informasi yang lebih dalam sehingga meningkatkan kepuasan dan nilai akurasi data. FGD dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dengan peserta 20 orang yang terdiri dari kelompok ahli dan kelompok guru IPA SMP. Kelompok ahli terdiri dari perwakilan perwakilan LPMP Propinsi Riau, perwakilan Universitas Riau, Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, dan Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Kelompok guru terdiri dari perwakilan Kepala Sekolah SMP berlatar belakang pendidikan IPA, Instruktur IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru, Kepala Laboratorium IPA SMP, guru inti IPA SMP Kota Pekanbaru dan perwakilan guru IPA SMP Kota Pekanbaru. FGD difokuskan pada faktor penyebab kesenjangan kompetensi, metode pelatihan efektif, dan rekomendasi kebijakan. Data yang diperoleh dari FGD merupakan data kualitatif yang keabsahan datanya perlu diuji melalui uji kredibilitas. Triangulasi teknik dan bahan referensi dipilih sebagai metode uji kredibilitas. Triangulasi teknik dilakukan melalui teknik wawancara, kuesioner, dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan Dekan FKIP Universitas Riau. Kuesioner dilakukan terhadap guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Studi dokumentasi dilakukan terhadap panduan pengembangan pembelajaran IPA terpadu oleh Balitbang Depdiknas (Puskur 2006) dan dokumen kebijakan pengembangan profesi guru yang telah ditetapkan oleh Kemendiknas (BPSDMPK dan PMP 2012). Bahan referensi merupakan data pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan melalui rekaman video dan rekaman suara (Sugiyono 2010).
37 Hasil dan Pembahasan Badan Standar Nasional Pendidikan melaporkan 69% guru Indonesia tidak menguasai kompetensi profesional (BSNP 2009). Khusus untuk guru IPA, Hasil penelitian Sudirman dan Purnamasari (2009) menunjukkan guru IPA SMP Negeri di DKI Jakarta yang menguasai kompetensi profesionaldengan baik sebanyak 26%. Pujiastuti et al. (2012) menyatakan kompetensi profesional guru IPA SMP/MTs se-Kota Banjarbaru berada dalam kategori rendah. Hasil penelitian (Tabel 5.1) menunjukkan nilai kompetensi profesional aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru (KPA) adalah 3.7 - 5.4, sedangkan kompetensi profesional ideal (KPI) adalah 7.7 - 8.4. Artinya, kompetensi profesional aktual guru IPA SMP Negeri berada di bawah kompetensi profesional ideal, bahkan berada di bawah nilai standar minimal kompetensi guru nasional 7.0 Tabel 5.1 Kesenjangan Kompetensi Profesional Guru IPA SMP Negeri No 1 2 3 4 5 6 7
Kompetensi Profesional Menguasai materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu Menguasai teori dan pola pikir keilmuan yang mendukung pembelajaranIPAterpadu Menerapkan, mengembangkan, dan melakukan pratikum IPA terpadu Menguasai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran IPA terpadu Mengembangkan materi pembelajaran IPA terpadu secara kreatif Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan PTK Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pengembangan diri
KPI 8.2
KPA 5.3
KKP 2.9
8.0
5.0
3.0
8.1
5.0
3.1
8.4
4.8
3.6
8.2
5.0
3.2
7.7
4.1
3.6
7.8
3.7
4.0
KPI: kompetensi Profesional Ideal; KPA: Kompetensi Profesional Aktual; KKP: Kesenjangan Kompetensi Profesional
Tabel 5.1 menunjukkan kesenjangan kompetensi profesional (KKP) terbesar (4.0) diperoleh pada kompetensi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT) untuk pengembangan diri. Kesenjangan terkecil (2.9) diperoleh oleh kompetensi menguasai materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu. Hasil analisis kesenjangan kompetensi profesional menunjukkan nilai KKP lebih besar dari satu untuk 7 kompetensi profesional. Kesenjangan kompetensi merupakan bagian-bagian kompetensi yang perlu diperbaiki dengan pelatihan. Artinya, guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk seluruh kompetensi profesional. Penetapan kebutuhan pelatihan dilakukan untuk memutuskan apakah kesenjangan kompetensi dapat dihilangkan dengan pelatihan atau usaha lain. McCann dan Tashima (1994) menyatakan kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh faktor perilaku yaitu rendahnya pengetahuan, sikap, dan keterampilan dapat diperbaiki dengan pelatihan. Kesenjangan kompetensi yang disebabkan oleh sarana manajemen (man, money, material, machine, dan methods) dan kebijakan tidak dapat diperbaiki dengan pelatihan tetapi melalui usaha lain sesuai dengan faktor penyebabnya.
38 Faktor penyebab kesenjangan kompetensi profesional guru IPA SMP Negeri diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak yang memahami dengan baik masalah yang dihadapi oleh guru IPA. Wawancara dilakukan terhadap pengawas IPA SMP Kota Pekanbaru, Kepala Sekolah SMP Negeri dengan latar belakang pendidikan IPA, guru IPA yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kepala laboratorium IPA SMP Negeri, Instruktur IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru, dan guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Analisis hasil wawancara menunjukkan kesenjangan kompetensi profesional 1-5secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Pada tahun 2006, pemerintah melakukan perubahan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Salah satu bentuk Inovasi KTSPadalah pembelajaran IPA terpadu yang ditetapkan melalui Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (SIPDM). Pembelajaran IPA terpadu merupakan model pembelajaran yang menggabungkan bidang kajian fisika, kimia, biologi, (Puskur 2006; Wilujeng et al. 2010), bumi dan antariksa (Arlitasari et al. 2013) ke dalam mata pelajaran IPA. Seorang guru IPA dituntut untuk dapat mengajarkan fisika, biologi, kimia, bumi dan antariksa. Implementasi IPA terpadu di SMP menimbulkan berbagai kendala di sekolah(Nurlita et al.2010) karena guru memiliki latar belakangpendidikan bidang fisika atau bidang biologi (Puskur 2006; Saputro 2012). Temuan penelitian menunjukkan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru terdiri atas guru berlatar belakang pendidikan biologi (52%), fisika (27%), IPA (13%), bahkan bukan IPA atau non IPA (8%). Guru non IPA berasal dari sarjana teknik sipil, teknik industri, teknik elektro, perikanan, peternakan, agribisnis, budidaya pertanian, administrasi, pendidikan umum, dan IPS. Hasil pemetaan penguasaan materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu (Tabel 5.2) memberi bukti guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru belum menguasai kompetensi profesional ke-1 yaitu materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu. Nilai KPA terendah (4.9) diperoleh oleh guru biologi dan guru non IPA, sedangkan nilai KPA tertinggi (6.1) diperoleh oleh guru IPA. Penelitian terkini menunjukkan guru dengan latar belakang pendidikan beragam sulit beradaptasi kedalam pengintegrasian IPA (Wilujeng et al. 2010; Nurlita et al. 2010; Ayu et al. 2011 Saputro 2012; Ningsih et al. 2013; dan Ni’mah et al. 2013). Temuan penelitian menunjukkan guru dengan latar belakang pendidikan yang sesuai (bidang IPA) memiliki kemampuan penguasaan materi ajar dan konsep IPA terpadu lebih baik dari guru berlatar belakang bidang biologi, fisika, dan non IPA. Tabel 5.2 Pemetaan Penguasaan Materi dan Konsep Pembelajaran IPA Terpadu No 1 2 3 4
Materi dan Konsep IPA Terpadu Materi dan konsep fisika Materi dan konsep bumi dan antariksa Materi dan konsep kimia Materi dan konsep biologi Penguasaan materi dan konsep IPA terpadu
Bio 4.1 4.1 4.7 6.5 4.9
Fis 6.0 5.5 5.8 4.4 5.4
KPA IPA 6.0 6.0 6.3 6.1 6.1
NIPA 4.9 4.4 4.9 5.6 4.9
KPA: Kompetensi Profesional Aktual; Bio: Guru Biologi; Fis: Guru Fisika; IPA: Guru berlatar belakang pendidikan IPA; NIPA: Guru Non IPA
39 Hasil evaluasi diri guru menunjukkan 84% guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru tidak menguasai kompetensi profesional ke-2, yaitu teori dan pola pikir keilmuan yang mendukung pembelajaran IPA terpadu. Penelitian Wilujeng et al.,(2010) menunjukkan masih banyak guru IPA SMP di Indonesia yang salah dalam memahami konsep IPA terpadubahkan tidak memahami hakikat pembelajaran IPA terpadu(Ali et al. 2013). Rendahnya penguasaan guru terhadap materi, konsep, teori, dan pola pikir keilmuan IPA terpadu menyebabkan guru tidak mampu menerapkan, mengembangkan, dan melakukan pratikum IPA terpadu (kompetensi profesional ke-3), tidak menguasai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran IPA terpadu (kompetensi profesional ke-4), dan tidak mampu mengembangkan materi pembelajaran IPA terpadu (kompetensi profesional ke-5). Kesenjangan kompetensi profesional ke-6 dan ke-7 disebabkan oleh faktor pengetahuan guru. Pada prinsipnya, kompetensi profesional ke-6 adalah kemampuan guru untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Kesenjangan kompetensi ke-6 disebabkan guru tidak tahu bagaimana cara melakukan penelitian, tidak terbiasa melakukan penelitian, dan tidak ada dukungan dana untuk melakukan penelitian. Kompetensi profesional ke-7 merupakankemampuan guru memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT) untuk mengembangkan diri.Kesenjangan kompetensi ke-7 disebabkan minimnya pengetahuan guru tentang cara penggunaan komputer, laptop, LCD, dan internet dalam pembelajaran dan pengembangan diri. Guru belum tahu bagaimana cara mengoperasikan program aplikasi pengolah angka, kata, dan data. Analisis hasil wawancara menunjukkan kesenjangan kompetensi profesional 1-5 disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah, sedangkan kesenjangan kompetensi profesional 6-7 disebabkan oleh faktor perilaku. Merujuk pada McCann dan Tashima (1994) dan MDF (2005) kesenjangan kompetensi profesional 1-5 tidak dapat diatasi dengan pelatihan tetapi dengandesain ulang kebijakan (re-designing policies), tugas (redesigning tasks), dan proses (re-designing processes). Kesenjangan profesional ke-6 dan ke-7 dapat diperbaiki melalui pelatihan. Program pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK) dipilih untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru tentang PTK. Sementara itu, peningkatan kompetensi profesional ke-7 dilakukan melalui pelatihan TIK/ICT. Menurut McCann dan Tashima (1994) penetapan urutan prioritas pelatihan (UPP) dapat dilakukan berdasarkan nilai kesenjangan kompetensi. Menurut Malik (1986), Halim et al. (2008), Jan dan Muthuvelayutham (2012), UPP dapat ditentukan berdasarkanpersepsi calon peserta pelatihan yang diukur dari jumlah dan persentase calon peserta yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu. Secara spesifik, Halim et al. (2008) menetapkan urutan prioritas pelatihan bagi guru IPA SMP di Malaysia apabila persentase guru yang membutuhkan pelatihan mencapai 40% atau lebih. Pada penelitian ini urutan prioritas pelatihan ditetapkan berdasarkan nilai KKP, jumlah guru (JG) dan persentase guru (PG) biologi, fisika, IPA dan non-IPA yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi profesional tertentu. Kelebihan kombinasi metode penetapan UPP adalah dapat ditetapkan jumlah guru yang menjadi sasaran pelatihan untuk setiap latar belakang pendidikan. Analisis prioritas pelatihan (Tabel 5.3) menunjukkan semua kelompok guru membutuhkan pelatihan TIK/ICT dan PTK dengan PG > 40%. Kelompok guru fisika menempati urutan pertama untuk program pelatihan TIK/ICT (77%). Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Djajadi et al. (2012) yang menunjukkan sebanyak 78% guru fisika SMPN di Makasar membutuhkan pelatihan TIK/ICT. Kelompok guru biologi menempati urutan pertama program pelatihan PTK (78%), sedangkanguru IPA menempati urutan terakhir (ke-4) pada program pelatihan PTK dan TIK/ICT. Guru berlatar belakang pendidikan IPA berumur 47-58 tahun. Diduga faktor umur mempengaruhi motivasi guru berlatar belakang pendidikan IPA untuk mengikuti
40 pelatihan. Tabel 5.3 Prioritas Pelatihan Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Guru IPA Pelatihan TIK/ICT Pelatihan PTK No Kelompok Guru KKP PG (%) UPP KKP PG(%) UP 1 Guru Biologi 3.6 71 2 3.6 78 1 2 3 4
Guru Fisika Guru IPA Guru Non IPA
3.9 2.9 3.5
77 59 64
1 4 3
3.6 3.1 3.4
64 59 71
3 4 2
KKP: Kesenjangan Kompetensi Profesional; PG : Persentase Guru yang membutuhkan pelatihan; UPP: Urutan Prioritas Pelatihan
FGD dilakukan untuk meminta konfirmasi terhadap hasil penelitian yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara. FGD dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dengan peserta 20 orang yang terdiri dari kelompok ahli dan kelompok guru IPA SMP. FGD kelompok guru difokuskan pada kesulitan yang dialami guru dalam pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu. FGD kelompok ahli difokuskan memperoleh rekomendasi metode pelatihan yang efektif untuk meningkatkan kompetensi profesional guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Kelompok guru menyatakan kesenjangan kompetensi profesional 1-5 disebabkan oleh kebijakan pemerintah yaitu implementasi pembelajaran IPA terpadu di SMP. Diperoleh informasi, mata pelajaran kimia tentang materi dan sifatnya yang pada kurikulum 1994 diajarkan di kelas 1 SMA ditambahkan pada mata pelajaran IPA terpadu di SMP. Guru IPA yang terdiri atas guru biologi,guru fisika, guru IPA, dan guru non IPA tidak dibekali dengan pelatihan yang cukuptentang pembelajaran IPA terpadu. Guru IPA tidak dibekali dengan pedoman yang jelas tentang penyusunan materi pembelajaran IPA terpadu. Buku-buku yang diterbitkan oleh Kemendiknas tidak mencerminkan IPA terpadu karena masih terpisah atas buku IPA-Fisika dan IPABiologi. Hal ini menyebabkan guru tidak percaya diri mengajar IPA terpadu, terlebih lagi dalam menjawab pertanyaan peserta didik tentang materi-materi yang belum dipahami guru. Guru mengaku sering salah dalam mengajarkan materi dan konsep pembelajaran IPA terpadu.Guru yang salah memahami konsep dasar dapat memberikan informasi salah kepada peserta didik(Arnetta dan Dotger 2006). Guru dengan sedikit pengetahuan materi pelajaran gagal dalam mengajar bahkan mengajarkan informasi yang tidak benar kepada peserta didik (Canbazoglu, 2008).Prytula (2012) menyatakanseseorang tidak dapat mengajarapa yang tidak diketahuinya. Informasi dari kelompok ahli menunjukkan kurikulum sebelum KTSP 2006 memuat mata pelajaran biologi dan mata pelajaran fisika. Oleh karena itu guru-guru direkrut dari sarjana pendidikan biologi dan sarjana pendidikan fisika. Sebagian kecil guru berasal dari non kependidikan dengan syarat telah mengambil program AKTA IV sesuai dengan mata pelajaran yang akan diampu. Pada KTSP 2006 mata pelajaran biologi dan fisika digabungkan menjadi mata pelajaran IPA terpadu. Meskipun kurikulum telah berubah, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru tetap melakukan perekrutan guru IPA SMP yang berasal dari S1 fisika dan S1 biologi karena LPTK tidak menghasilkan sarjana IPA. Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau menyatakan FKIP UR belum memiliki program studi S1 IPA. Penelusuran literatur menemukan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki program S1 IPA yang dibuka pada tahun 2007. Akan tetapi, pelaksanaan perkuliahan dan pratikum merupakan penggabungan mata kuliahfisika, biologi, dan kimia saja, sehingga belum membekali mahasiswa dengan materi IPA terpadu (Wilujeng 2012).
41 Pendidikan calon guru di LPTK lebih menekankan pada kompetensi pedagogik (keterampilan mengajar) daripada penguasaan materi pembelajaran.Fokusnya pada bagaimana mengajar dan bukan pada apa yang harus diajarkan(Annetta dan Dotger 2006).LPTK beranggapan pengetahuan tentang penguasaan materi pembelajaran berkembang setelah seseorang mulaimengajar (Lucus 2006).Akibatnya, calon guru IPA mengalami kesulitan pada ujian penguasaan materi pelajaran (Lin 2013). Pada ujian mata pelajaran persentase jawaban benar guru fisika 33%, guru biologi 48%, dan guru kimia 56% (Bank Dunia 2011). Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian ini yang menunjukkan penguasaan guru fisika terhadap materi fisika adalah 6.0, penguasaan guru biologi terhadapmateri biologi 6.5, bahkan penguasaan guru IPA terhadap materi IPA 6.1. Menurut (Lin 2013) LPTK perlu meninjau kembali kurikulum pendidikan guru. Penelitian terkini memberi bukti penguasaan materi pelajaran memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan keterampilan mengajar (Widoyoko dan Rinawati 2012; Widiarsa et al. 2013; Ghazi et al. 2013). Oleh karena itu, guru harus menguasai materi pelajaran (Özden 2008) sehingga guru dapat mengajarkanmateri tersebut dengan baik (Çekbaş dan Kara 2009) dan meningkatkan kepercayaan diri guru terhadap pertanyaan peserta didik yang tidak terduga (Hourigan 2010). Özden (2008) menyatakan penguasanguru terhadap materi pelajaran berpengaruh nyata terhadap keterampilan mengajar dan efektifitas mengajar yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Hasil survey menunjukkan rendahnya prestasi peserta didik Indonesia di bidang IPA. Survey internasional Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS) 2011 yang diikuti peserta didik kelas 8 SMP menempatkan peserta didik Indonesia pada posisi 40 dari 42 negara dengan skor 406. Skor tersebut mengalami penurunan sebesar 21 angka dibandingkan dengan TIMSS 2007.Hasil survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment) tahun2012 menempatkan peserta didik Indonesia pada posisi 64 dari 65 negara. Hasil survey memberi bukti kualitas hasil belajar peserta didik berbanding lurus dengan kualitas penguasaan materi pelajaran gurunya. Guru yang tidak menguasai materi pelajaran tidak dapat mengajar dengan baik. Rendahnya penguasaan guru terhadap materi pelajaran IPA akan diikuti oleh rendahnya prestasi peserta didik di bidang IPA. UNESCO dan TCSU (International Council of Scientific Unions) menyatakan apabila pembelajaran IPA terpadu akan diimplementasikan maka guru-guru harus diberikan pelatihan (Poedjiadi 2007).Pada tahun 2010, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru mengadakan pelatihan alih fungsi, yaitu guru fisika mengikuti pelatihan materi biologi sebaliknya guru biologi mengikuti pelatihan materi fisika. Hasilnya, belum tampak peningkatan penguasaan guru tentang pembelajaran IPA terpadu. Pada tahun 2011, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru mengirim guru IPA untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pendalaman IPA terpadu di P4TK IPA Bandung. Akan tetapi, pelatihan yang dilakukan di P4TK IPA Bandung masih terpisah ke dalam materi fisika, biologi dan kimia serta tidak menunjukkan adanya integrasi IPA. Hasilnya, pelatihandi P4TK IPA belum berdampak secara nyata bagi peningkatan kompetensi profesional guru IPA SMP. Perwakilan kelompok guru yang menjabat sebagai kepala laboratorium IPA menyatakan guru IPA jarang melakukan pratikum IPA. Hal ini disebabkanguru IPA tidak memahami materi IPA terpadu sehingga sulit melakukan pratikum IPA terpadu. Guru biologi tidak memahami penggunaan peralatan pratikum fisika, demikian pula sebaliknya. Diduga kuat pendidikan calon guru di LPTK tidak cukup membekali guru dalam pelaksanaan pratikum di laboratorium IPA. Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru mengeluhkan keterampilan guru dalam melakukan pratikum di laboratorium IPA. Penelitian Yennita et al (2012) yang menemukan keterampilan guru fisika dan biologi diSMP Negeri Kota Pekanbaru dalam menggunakan peralatan laboratorium masih rendah.
Berdasarkan bukti-bukti empiris, peningkatan kompetensi profesional 1-5
42 tidak dapat diperbaiki melalui pelatihan karena kesenjangan kompetensi 1-5 disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Kelompok ahli merekomendasikan peningkatan jenjang pendidikan ke S2 IPA, sedangkankelompok guruberharap Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menugaskan guru mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru menyatakan pembelajaran IPA terpadu adalah kebijakan dari Kemendiknas. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru wajib menjalankan kebijakan tersebut. Memperhatikan hasil penelitian, kesulitan yang dihadapi oleh guru IPA, dampaknya pada hasil belajar peserta didik, dan merujuk panduan pengembangan pembelajaran IPA terpadu Balitbang Kemendiknas, maka Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru merekomendasikan 3 cara pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu dan 1 cara peningkatankompetensi profesional guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
Pertama, re-desain silabus. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru tidak memaksa sekolah untuk melaksanakan pembelajaran IPA terpadu. Sekolah dapat melakukan desain ulang silabus mata pelajaran IPA terpadu dengan melakukan pengelompokkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada setiap tingkatan kelas. Silabus tersebut menjadi acuan bagi seluruh guru IPA dalam menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan cara guru fisika mengajarkan SK-KD fisika, sedangkan SK-KD biologi diajarkan oleh guru biologi. SK-KD bumi dan antariksa serta kimia diajarkan oleh guru fisika atau guru biologi berdasarkan kemampuan masing-masing guru. Kedua, team teaching. Pembelajaran IPA terpadu diajarkan oleh team yang terdiri dari guru fisika dan guru biologi. Setiap kegiatan pembelajaran di kelas dihadiri oleh anggota team. Guru fisika mengajarkan materi fisika sedangkan guru biologi belajar cara mengajar dari guru fisika, demikian pula sebaliknya. Team teaching dapat dilaksanakan 2-3 tahun, selanjutnya masing-masing guru dapat mengajar secara mandiri (tunggal). Team teaching sudah pernah dilaksanakan akan tetapi komitmen guru sangat rendah. Proses pembelajaran dilakukan oleh seorang guru sedangkan anggota team tidak hadir. Akibatnya, proses belajar mengajar di antara guru tidak terjadi. Apabila team teaching akan dilaksanakan maka masing-masing guru harus memiliki komitmen untuk hadir di kelas yang sama pada jam yang sama. Dengan demikian akan terjadi proses saling belajar dan diharapkan dalam 2-3 tahun berikutnya masing-masing guru sudah dapat menjadi guru tunggal. Ketiga, guru tunggal. Pembelajaran IPA terpadu dapat dilakukan oleh seorang guru berlatar belakang pendidikan IPA. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan guru berlatar belakang pendidikan IPA lebih baik dari guru biologi, fisika, dan non IPA. Meskipun demikian, IPA terpadu juga dapat diajarkan oleh seorang guru tunggal yang berasal dari guru biologi, guru fisika, dan guru non IPA yang telah memiliki kemampuan untuk mengajar IPA terpadu. Peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri dilakukan melaluipemberdayaan MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Kegiatan MGMP IPA diarahkan pada pendalaman materi, praktik mengajar, dan pelaksanaan pratikum IPA terpadu. Guru Inti IPA fisika melakukan simulasi pembelajaran materi fisika, sedangkan guru Inti IPA biologi melakukan simulasi pembelajaran materi biologi. Guru anggota MGMP IPA mencermati simulasi tersebut untuk menjadi bekal pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu di kelas. Setelah pelaksanaan simulasi, masing-masing guru anggota MGMP IPA mempraktikkan pembelajaran IPA terpadu di MGMP IPA. Simulasi dan praktik mengajar dilakukan 1 minggu sebelum pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu pada
43 sekolah asal guru anggota MGMP IPA. Perlu diundang pakar dari perguruan tinggi untuk pendalaman materi IPA dan pelaksanakan praktikum IPA terpadu. Program tersebut dapat pula dilaksanakan melalui program kemitraan dengan perguruan tinggi. Secara umum, kelompok ahli merekomendasikan In House Training (IHT), pelatihan khusus, dan kursus singkat sebagai metode pelatihan efektif untuk pelatihan PTK dan TIK/ICT. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP/MTs, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Propinsi Riau dan institusi swasta direkomendasikan sebagai penyelenggara pelatihan. Apabila pelatihan akan diselenggarakan, peningkatan penguasaan materi IPA terpadu dapat dilakukan melalui pelatihan berjenjang melalui kemitraan perguruan tinggi dan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
Hasil FGD diuji dengan triangulasi teknik melalui wawancara, kuesioner, dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan Sekolah Menengah dan Kepala Seksi Pelatihan dan Pengembangan Guru SMP/MTs Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Kuesioner dilakukan pada guru inti IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Studi dokumentasi dilakukan dengan menganalisis kebijakan pengembangan profesi guru oleh Kemendiknas (BPSDMPK dan PMP 2012) dan berbagai hasil penelitian terkait. Hasil uji kredibilitas (Tabel 5.4)menunjukkan metode pelatihan yang direkomendasikan untuk pelatihan TIK/ICT adalah In House Traininng (IHT) dan kursus singkat. IHT merupakan pelatihan yang dilaksanakan secara internal di MGMP, sekolah, atau tempat lain yang ditetapkan. IHT didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan oleh guru yang telah memiliki kompetensi kepada guru lain yang belum memiliki kompetensi. Strategi ini dapat meningkatkan kerjasama antar guru IPA, menghemat biaya, dan waktu. Kursus singkat dimaksudkan untuk melatih guru agar lebih terampil dalam penggunaan TIK/ICT dalam pembelajaran dan pengembangan diri. Kursus singkat dapat dilakukan dengan menjalin kemitraan dengan institusi/perusahaan swasta seperti lembaga kursus komputer dan internet. Tabel 5.4 Metode Pelatihan dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Profesional Guru IPA SMP No 1
Program Pelatihan Pelatihan TIK/ICT
2
Pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK)
Metode Pelatihan In House Training Kursus singkat In House Training Pelatihan khusus
Penyelenggara Pelatihan MGMP IPA SMP Institusi/perusahaan swasta Dinas Pendidikan Kota LPMP Propinsi Riau
Metode pelatihan yang direkomendasikan untuk pelatihan PTK adalah In House Traininng (IHT) dan pelatihan khusus. Pelatihan khusus dirancang berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pelatihan PTK pernah dilaksanakan di MGMP IPA, namun hasilnya belum maksimal. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan LPMP Propinsi Riau diharapkan dapat mendisain pelatihan khusus untuk meningkatkan kemampuan PTK guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
Simpulan
44 Penelitian tentang analisis kebutuhan pelatihan berdasarkan kompetensi profesional guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru menghasilkan 4 simpulan penelitian, yaitu: (1) tingkat kompetensi profesional aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah kompetensi ideal, (2) guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk seluruh kompetensi profesional, (3)prioritaskanpelatihan peningkatan kompetensi profesional guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah pelatihan TIK/ICTuntuk pengembangan diri guru dan pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK), (4)In House Training (IHT) dan kursus singkat direkomendasikan sebagai metode efektif untuk pelatihan TIK/ICT, sedangkan IHT dan pelatihan khusus direkomendasikan sebagai metode efektif untuk pelatihan PTK. MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru dan lembaga kursus komputer direkomendasikan sebagai penyelenggara pelatihan TIK/ICT. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dan LPMP Propinsi Riau direkomendasikan sebagai penyelenggarapelatihan PTK bagi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
6 PEMBAHASAN UMUM Prestasi peserta didik Indonesia di bidang IPA pada survey internasional TIMSS 2011 berada di posisi 40 dari 42 negara, sedangkan pada PISA 2012 menempati posisi 64 dari 65 negara. Rendahnya prestasi peserta didik Indonesia di bidang IPA diduga disebabkan oleh rendahnya kompetensi guru IPASMP di Indonesia. Hasil uji kompetensi guru (UKG 2012), survei BSNP (2009), dan berbagai penelitian terkini menguatkan dugaan tersebut dan memberi bukti kompetensi guru IPA SMP belum mencapai standar minimal yang diprasyaratkan. Berdasarkan landasan yuridis dan teoritis, peningkatan kompetensi guru IPA SMP dapat dilakukan melalui pelatihan. Berbagai program pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri telah dilakukan olehDinas Pendidikan Kota Pekanbaru. Hasilnya, program pelatihan belum berdampak nyata terhadappeningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Kegagalan program pelatihan disebabkanprogrampelatihan bersifat top down,berorientasi proyek, berbasis anggaran, bersifat massal,bersifat generalisasi, dan tidak memperhatikan kekurangan individu guru IPA SMP Negeri. Artinya, penyelenggaraan program pelatihan tidakdidasarkan pada kebutuhan nyata guru IPA SMP Negeri. Pelatihan yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata tidak akan berdampak pada peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri bahkan dapat menurunkan motivasi belajar, pemborosan waktu, tenaga, dan dana. Analisis kebutuhan pelatihan perlu dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihanuntuk menentukan bagian-bagian kompetensi yang perlu diperbaikimelalui pelatihan dan menyediakan dasar bagi pengukuran keberhasilan pelatihan.Metode Training Needs Analysis(TNA)(McCann dan Tashima 1994) dipilih sebagai pendekatan yang efektif untuk menetapkan kebutuhan pelatihan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. TNA mampu menghasilkan kebutuhan pelatihan yang objektif, sistematis, dan berkelanjutan(MDF 2005; Sherazi et al. 2011; Jan dan Muthuvelayutham 2012).TNA juga mampu memetakan tingkat kompetensi aktual guru IPA SMP Negeri,mampu menetapkan kebutuhan dan
45 prioritas pelatihan, sertamemberikan rekomendasi metode pelatihan yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Temuan penelitian(Tabel 6.1) menunjukkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi ideal guru (KIG) IPA SMPadalah 8.2, sedangkan nilai rata-rata penguasaan kompetensi aktual guru (KAG) IPA SMP adalah 5.5. Artinya, tingkat kompetensi aktual guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru berada di bawah kompetensi idealbahkan berada di bawah standar kompetensi nasional (7.0). Tabel 6.1 Kesenjangan Kompetensi Aktual Guru IPA SMP Negeri No 1 2 3 4
Kompetensi Guru Menguasai kompetensi pedagogik Menguasai kompetensi kepribadian Menguasai kompetensi sosial Menguasai kompetensi profesional Nilai rata-rata
KIG 8.1 8.6 8.2 8.0 8.2
KAG 4.8 6.3 6.2 4.7 5.5
KKG 3.3 2.3 2.1 3.4 2.8
KIG: kompetensi Ideal guru; KAG: Kompetensi Aktual guru; KKG: Kesenjangan Kompetensi Guru
Analisis kesenjangan kompetensimenunjukkan nilai kesenjangan kompetensi pedagogik(Tabel 2.1), kepribadian (Tabel 3.1), sosial (Tabel 4.1), dan profesional (Tabel 5.1)lebih besar dari satu.Hasil analisis (Tabel 6.1) menunjukkan nilai rata-rata kesenjangan kompetensi guru (KKG) berada pada kisaran 2.1 – 3.4. Nilai rata-rata KKG terbesar (3.4) diperoleh kompetensi profesional, sedangkan nilai rata-rata KKG terkecil (2.1) diperoleh kompetensi sosial. Nilai KKG yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara kompetensi aktual guru IPA SMP Negeri dengan kompetensi ideal. Kesenjangan kompetensi merupakan bagian-bagian kompetensi yang perlu diperbaiki dengan pelatihan. Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan peningkatan kompetensi untuk seluruh kompetensi guru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Pelatihan tidak serta merta dapat diselenggarakan untuk seluruh kompetensi guru, sehingga perlu ditetapkan urutan prioritas pelatihan (UPP). McCann dan Tashima (1994) menyatakanUPP dapat ditetapkan berdasarkan nilai kesenjangan kompetensi. Semakin besar nilai kesenjangan kompetensi,semakin tinggi kebutuhan pelatihan untuk kompetensi tersebut.Malik (1986), Halim et al. (2008), Jan dan Muthuvelayutham (2012) menyatakan UPP dapat ditentukan berdasarkanjumlah dan persentase calon peserta yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tertentu. Secara spesifik, Halim et al. (2008) menetapkan urutan prioritas pelatihan bagi guru IPA SMP di Malaysia apabila persentase guru yang membutuhkan pelatihan mencapai 40% atau lebih. Pada penelitian ini urutan prioritas pelatihan (UPP) untuk setiap kompetensi guru ditetapkan berdasarkan nilai kesenjangan kompetensi guru (KKG). Apabila nilai KKG sama besar, penetapan UPP ditentukan berdasarkan jumlah guru (JG) dan persentase guru (PG) IPA SMP Negeri yang membutuhkan pelatihan pada kompetensi tersebut. Kombinasi dari ketiga metode tersebut terbukti lebih sensitif untuk menentukan UPPdan dapat ditentukan jumlah individu guru yang menjadi sasaran pelatihan untuk setiap program pelatihan. Hasil analisis prioritas pelatihan (Tabel 6.2) diterjemahkan ke dalam8 program pelatihan dengan urutan sebagai berikut: (1) pelatihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT) untuk pembelajaran dan pengembangan diri
46 guru, (2) pelatihan kode etik profesi guru Indonesia, (3) pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK), (4) pelatihan teori dan prinsippembelajaran IPA terpadu, (5) pelatihan kurikulum IPA terpadu, (6) pelatihan psikologianak, (7) pelatihan komunikasi pendidikan, dan (8) pelatihan kepribadian guru. Tabel 6.2 Prioritas Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP No 1 2 3 4 5 6 7 8
Program Pelatihan Pelatihan TIK/ICT untuk pembelajaran dan pengembangan diri guru Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu Pelatihan kurikulum IPA terpadu Pelatihan psikologi anak Pelatihan kode etik profesi guru Indonesia Pelatihan kepribadian guru Pelatihan komunikasi pendidikan
KKG 4.0
JG 128
PG 78%
UPP 1
3.6 3.6
124 109
75% 66%
3 4
3.6 3.5 3.8 1.9 2.2
101 83 87 50 45
61% 50% 53% 30% 27%
5 6 2 8 7
Tingginya kebutuhan guru IPA SMP Negeri akan pelatihan TIK/ICT (prioritas ke-1) disebabkan rendahnya pengetahuan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru tentang penggunaan komputer, laptop, LCD, dan internet. Guru belum tahu cara mendisain media pembelajaran berbasis TIK/ICT dan penggunaan TIK/ICT serta internet untuk pengembangan diri guru. Pelatihan TIK/ICT diharapkan dapat memperbaiki pengetahuan dan keterampilan guru dalam menggunakan TIK/ICT untuk pembelajaran dan pengembangan diri guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Pelatihan kode etik profesi guru Indonesia (prioritas ke-2) dibutuhkan oleh guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru karena rendahnya pengetahuan guru tentang kode etik profesinya. Hal ini disebabkan belum optimalnya fungsi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Pekanbaru. PGRI sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia seharusnya melakukan sosialisasi dan penegakan kode etik profesi guru. Realitasnya,PGRI tidak pernah melakukan sosialisasi kode etik profesi guru dan melakukan penegakan kode etik terhadap kasus penyimpangan perilaku yang dilakukan guru. Kebutuhan guru terhadap pelatihan PTK (prioritas ke-3) disebabkan rendahnya pengetahuan guru tentang cara melakukan penelitian, tidak terbiasa melakukan penelitian, dan tidak ada dukungan dana untuk melakukan penelitian.Kebutuhan pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu (prioritas ke-4) disebabkan rendahnya pengetahuan guru tentang teori, prinsip, pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang merupakan inti dari kompetensi pedagogik. Temuan penelitian menunjukkan 86% guru IPA yang menjadi responden merupakan sarjana pendidikan dari Lembaga Pendidik Tenaga Pendidikan (LPTK). Sarjana pendidikan diharapkanterampil dalam menerapkan teori, prinsip, pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran. Di duga pendidikan calon guru di LPTK belum membekali guru dengan keterampilan yang memadai.Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil survey BSNP (2009) yang menunjukkan 58% guru Indonesia tidak menguasai kompetensi pedagogik. Kebutuhanpelatihan kurikulum IPA terpadu (prioritas ke-5) disebabkan terjadinya perubahan kurikulum. Tercatat telah terjadi 3 kali perubahan kurikulum dalam kurun waktu 9 tahun. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004) yang
47 mengalami perubahan pada tahun 2006 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tujuh tahun kemudian KTSP 2006terjadi perubahan kurikulum menjadi kurikulum 2013. KTSP 2006 memuat inovasi pembelajaran yang menggabungkan bidang kajian fisika, kimia, biologi, (Puskur 2006; Wilujeng et al. 2010), bumi dan antariksa (Arlitasari et al. 2013) ke dalam mata pelajaran IPA. Kurikulum 2013 melalui Permendiknas Nomor 64 tahun 2013 tentang SI-PDM menegaskan kembali pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu di SMP dengan perubahan nama menjadi mata pelajaran IPA. Temuan penelitian menunjukkan guru IPA SMP di Kota Pekanbaru tidak dibekali dengan pelatihan tentang pengembangan kurikulum IPA terpadu. Hal ini senada dengan hasil penelitian (Wilujeng et al. 2010) yang menyatakan hampir seluruh guru IPA SMP di Indonesia belum melaksanakan pembelajaran IPA terpadu karena ketakutan para guru tentang muatan materi kurikulum tidak tersampaikan. Hal ini terjadi karena guru tidak memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum IPA terpadukarena guru masih berorientasi pada kurikulum KBK 2004(Munandar et al. 2013). Prioritas ke-6 adalah pelatihan psikologi. Kebutuhan akan pelatihan ini disebabkan guru mengalami kesulitan dalam menerapkan kompetensi penguasaan karakteristik peserta didik. Kesulitan guru disebabkan adanya kebijakan baru dari pemerintah yang menetapkan kewajiban mengajar bagi guru minimal 24 jam per minggu. Seorang guru IPA SMP wajib mengajar minimal 6 kelas perminggu untuk memenuhi kewajiban mengajar tersebut. Jumlah peserta didik pada setiap kelas adalah 35-40 peserta didik. Artinya, setiap guru IPA SMP harus mengajar 210-240 peserta didik sehingga sulit bagi guru untuk dapat menguasai karakteristik masing-masing peserta didik. Pelatihan dibutuhkan guru IPA SMP untuk memperoleh keterampilan baru dalam memahami karakteristik peserta didik dengan jumlah peserta didik yang besar. Prioritas pelatihan ke-7 adalah pelatihan komunikasi pendidikan. Kebutuhan akan pelatihan ini disebabkan guru belum terampil melakukan komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat sekitar.Guru masih bersikap tertutup dengan orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar. Idris et al. (2008) menyatakan komunikasi efektif adalah kunci interaksi sosial yang dapat membantu guru menyelesaikan masalah dan memperbaiki hubungan. Komunikasi pendidikan merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan (Gafari 2012). Kurang optimalnya proses komunikasi berakibat tujuan intruksional dalam pembelajaran tidak tercapai atau gagal (Handayani 2012). Suprihatiningrum (2013) menyatakan salah satu kegagalan guru dalam mengajar disebabkan tidak terjadinya interaksi yang baik dan berbagai kekurangan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, guru memerlukan pelatihan komunikasi pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Pelatihan kepribadian guru (prioritas ke-8) dibutuhkan karena penguasaan guru IPA SMP Negeri terhadap kompetensi kepribadian belum mencapai nilai standar kompetensi yang diprasyaratkan.Pelatihan kepribadian bertujuan memberikan penyadaran kepada guru akan pentingnya pelaksanaan kompetensi kepribadian guru dalam tugasnya sebagai pendidik profesional. Pelatihan kepribadian guru penting dilaksanakan karena kepribadian guru merupakan syarat
48 utama profesi guru (Hakim 2012) yang menjadi landasan penguasaan kompetensi pedagogik, sosial, dan profesional (Mulyasa 2009). Kepribadian guru berimplikasi besar dalam pembentukan perilaku peserta didik(Hakim 2012).Gufran et al. (2011) menyatakan guru berperan membentuk watak dan jiwa bangsa sehingga baik dan buruknya bangsa bergantung kepada guru. Purwanti (2013) menyatakan kepribadian guru menentukan identitas guru sebagai pendidik yang baik bagi peserta didik atau sebaliknya menjadi perusak masa depan peserta didik. Pelatihan kepribadian guru diharapkan dapat memperbaiki perilaku guru dalam hubungannya dengan peserta didik dan masyarakat. Metode efektif untuk pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri diperoleh dari pendapat kelompok ahli melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion). Kelompok ahli terdiri dari perwakilan LPMP Propinsi Riau, Universitas Riau, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, dan Pengawas IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Hasil FGD yang telah diujimelalui triangulasi teknik memberikan rekomendasi beberapa metode pelatihan yang efektif untuk pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru (Tabel 6.3). Secara umum, terdapat 4 metode pelatihan yang direkomendasikan yaitu In House Training (IHT), pelatihan khusus, kursus singkat, dan pembinaan internal. Metode pelatihan khusus direkomendasikan untuk pelaksanaan 6dari 8 program pelatihan. Pelatihan khusus merupakan pelatihan yang dirancang berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan (BPSDMPK dan PMP 2012). Hasil penelitian (Tabel 6.3) menunjukkan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru dapat bekerjasama dengan PGRI Kota Pekanbaru untuk merancang pelatihan khusus bagi pelatihan kode etik profesi guru Indonesia. Dinas Pendidikan dapat bekerjasama dengan LPMP Propinsi Riau untuk merancang pelatihan khusus bagi pelatihan PTK. Selanjutnya, bekerjasama dengan perguruan tinggi (LPTK universitas Riau) untuk merancang pelatihan khusus bagi pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu, pelatihan komunikasi, dan pelatihan kepribadian guru. LPMP Propinsi Riau dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk merancang pelatihan khusus bagi pelatihan kurikulum IPA terpadu. Tabel 6.3Metode dan Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri No 1
2
3 4 5 6
Program Pelatihan Pelatihan TIK/ICT untuk pembelajaran dan pengembangan diri guru Pelatihan kode etik profesi guru Indonesia
Metode Pelatihan In House Training Kursus singkat
Penyelenggara Pelatihan MGMP IPA SMP Institusi/perusahaan swasta
Pelatihan khusus Pembinaan internal
Pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK) Pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu Pelatihan kurikulum IPA terpadu Pelatihan psikologi anak
In House Training Pelatihan khusus In House Training Pelatihan khusus Pelatihan khusus
PGRI Kota Pekanbaru Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru Dinas Pendidikan Kota LPMP Propinsi Riau Dinas Pendidikan Kota Perguruan tinggi LPMP Propinsi Riau Perguruan tinggi Institusi/perusahaan swasta
Kursus singkat
49 7
Pelatihan komunikasi pendidikan
Pelatihan khusus
8
Pelatihan kepribadian guru
Pelatihan khusus Pembinaan internal
Perguruan tinggi Dinas Pendidikan Kota Perguruan tinggi Institusi/perusahaan swasta Dinas Pendidikan Kota Perguruan Tinggi
Kursus singkat dimaksudkan untuk melatih guru dalam beberapa keterampilan seperti penggunaan TIK/ICT dan penguasaan karakteristik peserta didik melalui pelatihan psikologi anak. Kerjasama dapat dilakukan dengan lembaga kursus komputer untuk pelatihan TIK/ICT dan lembaga/biro konsultasi psikologi anak untuk pelatihan psikologi anak. Pelatihan TIK/ICT dan PTK dapat juga dilakukan dengan IHT yang dilaksanakan secara internal di MGMP atau, sekolah, atau tempat lain yang ditetapkan. IHT didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan oleh guru yang telah memiliki kompetensi kepada guru lain yang belum memiliki kompetensi. Stategi ini dapat meningkatkan kerjasama antar guru IPA, menghemat biaya, dan waktu.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
Tingkat kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional aktual guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru berada di bawah standar kompetensi ideal bahkan berada di bawah standar kompetensi nasional. Guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru membutuhkan pelatihan untuk seluruh kompetensi guru yang terdiri atas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Prioritas pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah: (1) pelatihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT)untuk pembelajaran dan pengembangan diri guru, (2) pelatihan kode etik profesi guru Indonesia, (3) pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK), (4) pelatihan teori dan prinsip pembelajaran IPA terpadu, (5) pelatihan kurikulum IPA terpadu, (5) pelatihan psikologi anak, (7) pelatihan komunikasi pendidikan, dan (8) pelatihan kepribadian guru. Metode pelatihan yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru adalah In House Training (IHT), pelatihan khusus, kursus singkat, dan pembinaan internal. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, LPMP Propinsi Riau, LPTK Universitas Riau,MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru, lembaga kursus komputer dan lembaga/biro konsultasi psikologi anak direkomendasikan sebagai penyelenggara pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
Saran 1.
Guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
50 2.
3.
4.
Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, LPMP Propinsi Riau, LPTK Universitas Riau, dan MGMP IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru, diharapkan dapat memfasilitasi penyelengaraan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Dinas pendidikan dan pihak terkait diharapkan dapat menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan prioritas pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Dinas pendidikan dan pihak terkait sebagai penyelenggara pelatihan diharapkan dapat melaksanakan pelatihan dengan metode pelatihan yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru IPA SMP Negeri di Kota Pekanbaru.
51
DAFTAR PUSTAKA Afidah A, Iswari RS, Santosa K. 2012. Kompetensi profesional guru biologi SMA Negeri di Kabupaten Pemalang pasca lulus sertifikasi. Unnes Journal of Biology Education. 1(1):7-12. Ali LU, Suastra IW, Sudiatmika AAIAR. 2013. Pengelolaan pembelajaran IPA ditinjau dari hakikat sains pada SMP di Kabupaten Lombok Timur. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. 3(1): 1-11. Amin M, Aunurrahman, Thamrin M. 2013. Hubungan kompetensi pedagogik dan kompetensi kepribadian dengan kinerja guru. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 2(7):1-18. Arnetta LA, Dotger S. 2006. Aligning preservice teacher basic science knowledge with INTASC I and NSTA core content standards. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. 2(2):40-58. Ardiansyah J. 2013. Peningkatan kompetensi guru bidang pendidikan di Kabupaten Tana Tidung. eJournal Pemerintahan Integratif. 1(1):38-50. Arlitasari O, Pujayanto, Budiharti R.2013. Pengembangan bahan ajar ipa terpadu bebasis salingtemas dengan tema biomassa sumber energi alternatif terbarukan. Jurnal Pendidikan Fisika. 1(1):81-89. Asiatina IP. 2011. Determinasi kompetensi, motivasi berprestasi dan kesejahteraan guru terhadap kinerja guru pada SMP Negeri di Kecamatan Busungbiu. Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksha. 7(2):1-18. Auliah N. 2011. Hubungan kerjasama pengawasan dan kompetensi guru dengan tingkat prestasi hasil belajar siswa di sekolah (studi di SMPN Favorit Kota Banjarmasin).Al ‘Ulum. 50(4):39-46. Awang, M.M., Jindal-Snape, D., and Barber, T. 2013.A documentary analysis of the government’s circulars on positive behavior enhancement strategies”.Asian Social Science. 9(5):203-208. Ayu N, Susilawati, Patonah S. 2011. Kajian kompetensi profesional guru IPA di SMP Kota Semarang. JP2F. 2(2):124-132 Bank Dunia. 2011. Ringkasan eksekutif. Vol. 1 ofTransforming Indonesia's teaching force. Washington D.C.The Worldbank. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan. 2011. Penataan Guru di Masa Depan. Jakarta (ID): Kemendiknas. Bihim, Bahari Y, Rustiyarso. 2012. Pelaksanaan kompetensi sosial guru dalam pembelajaran sosiologi kelas XI IPS SMAN 3 Teluk Keramat. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 2(10):1-12 [BPSDMPK-PMP] Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2012. Kebijakan Pengembangan Profesi Guru. Jakarta (ID): Kemendiknas. Brotosedjati S. 2012. Kinerja guru yang telah lulus sertifikasi guru dalam jabatan. Jurnal Manajemen Pendidikan [Internet].[diunduh 2012 Sep 29]; 1(2):189-199. Tersedia pada: http://e-jurnal.ikippgrismg.ac.id/index.php/jmp/article/view/297 [BSNP-Depdiknas] Badan Standar Nasional Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional.2009. Laporan BSNP Tahun 2009. Jakarta (ID): Depdiknas.
52 Canbazoğlu, S. (2008). Evaluation of science teacher candidates’ pedagogical subject matter knowledge on the unit of granular structure of matter. [tesis]. Ankara (T): Gazi Üniversity. Çekbaş Y, Kara I. 2009. Evaluation of Basic Physics SubjectMatter Knowledge of Prospective Elementary Science Teachers.Eurasian J. Phys. Chem. Educ. 1(1):1-7. Chang JC, Chiang TC, Yi CK. 2012. The systematic construction and influential factors of training needs assessment. International Journal of Business and Social Science. 3(24):31-41. Darling-Hammond L. 2006. Powerful Teacher Education: Lesson from Exemplary Program. US: Jossey-Bass. Darwangsa. 2013. Pengembangan model diklat partisipatif - kolaboratif (parkol) untuk meningkatkan kompetensi guru Biologi SMA [disertasi]. Bandung (ID):Universitas Pendidikan Indonesia. Dekawati I. 2011. Manajemen pengembangan guru. Cakrawala Pendidikan. 30(2):203-21 Dessler G. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Edisi ke-10. Jakarta (ID):Indeks Djajadi M, Sumintono B, Mislan N. 2012. Usaha guru fisika dalam mengembangkan profesionalnya: studi kasus di Kota Makassar. Jurnal Pengajaran MIPA. 17 (2):226-237. Eriyanti. 2011. Kekerasan verbal dalam pembelajaran di SMP Kota Malang [disertasi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang. Faisal. 2013. Implementasi Permendiknas nomor 28 tahun 2010 di Kabupaten Sambas. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan. 10(1):1061-1073. Farisi MI. 2010. Struktur kurikulum pendidikan guru untuk mengembangkan kompetensi guru yang berkarakter dan berbasis budaya. Temu Ilmiah Nasional Guru II [Internet].[2010 Nov 24-25]. Jakarta (ID). hlm 248-261; [diunduh 2013 Sept 7]. Tersedia pada:http://www.pustaka.ut.ac.id/pdfartike... Gafari MOF. 2012. Komunikasi dalam manajemen pendidikan.[Internet]. Medan (ID) [diunduh 2013 Agust 18]. Tersedia pada:http://digilib.unimed.ac.id/... Ghazi SR, Shahzada G, Shah MT, Shauib M. 2013. Teacher’s professional competencies in knowledge of subject matter at secondary level in southern districts of Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Journal of Educational and Social Research. 3 (2): 453-460. ISSN 2239-978X. Gufran, Mukhadis A, Putro SC. 2011. Pelaksanaan PLPG sebagai wahana pengembangan dan audit kompetensi dalam sertifikasi guru bidang kejuruan. Teknologi dan Kejuruan. 34(2):115-128. Gupta, Kavita. 2007. A Practical Guide To Needs Assessment . Edisi ke-2. San Hakim LM. 2012. The great teacher: mendedah aspek-aspek kepribadian guru ideal dan pembentukan perilaku siswa dalam novel “pertemuan dua hati” karya NH.Dini. Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa. 2(1):1-12. Halim L, Osman K, Meerah TS. 2008. Trends and issues of research on in-servive needs assessment of science teachers: globar vs the Malaysian context. Trends In Science Education Research. [Internet]. [diunduh 2013 Apr 27]. Tersedia pada: http://www.hbcse.tifr.res.in/episteme1/allabs/lilia_abd.pdf. Handayani S. 2012. Komunikasi informal dalam meningkatkan kualitas lulusan. [disertasi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang.
53 Hanushek EA, Wößmann L. 2007. Education quality and economic growth. Policy Research Working Paper 4122. World Bank, Washington, DC. Hardianto D. 2009.Pelaksanaan program PJJ S-1 PGSD berbasis ICT FIP UNY [tesis].Surakarta (ID):Universitas Sebelas Maret. Hariandja ETM. 2007. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. Hermawan AH, Darmawan D, Supriadie D, Wahyudin D. 2007. Teori Mengajar. Ali M, Ibrahim R, Sukmadinata NS, Sudjana D, Rasyidin W, editor. Bandung (ID). Pedagogiana Press. Hidayat. 2009. Pengaruh profesionalisme dan motivasi kerja terhadap prestasi kerja guru SMP Negeri. Jurnal Neo-Bis. 3(1):1-10. Hotaman D. 2010. The teaching profession: knowledge of subject matter, teaching skills and personality traits. Procedia Social and Behavioral Sciences. 2: 14161420. doi:10.1016/j.sbspro.2010.03.211. Hourigan M. 2010. Mathematics subject matter knowledge (smk) for teaching at primary level: how much is enough?.Resource & Research Guides. 2(1):1-4. Hutapea P, Thoha N. 2008. Kompetensi Plus: Teori, Desain, Kasus, dan Penerapan untuk HR dan Organisasi yang Dinamis. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama. Idris MS, Sikor A, Zahara S, Mustafa MZ, Madar AR, Ariffin LM. 2008. Komunikasi interpersonal dalam pengajaran di kalangan guru-guru teknikal sekolah menengah teknik di negeri Melaka. Persidangan Pembangunan Pelajar Peringkat Kebangsaan 2008 [Internet].[2008 Okt 22-23]. Malaysia (Mly). hlm 1-12; [diunduh 2013 Sept 17]. Tersedia pada:http://eprints.uthm.edu.my/183/1/mohd_safiee.pdf Intani RD, Ngabiyanto, Herna M. 2012. Pembinaan kompetensi sosial guru PKN Pasca sertifikasi di Kota Semarang. Unnes Civic Education Journal. 1(1):71-79. Iskandar U. 2013. Kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan kinerja guru. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan. 10(1):1018-1027. Iswanti I. 2007. Pembentukan sikap dan kepribadian guru melalui model pendidikan berasrama. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 14]. Hlm 1-14. Tersedia pada:http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Artikel%20pnelitian%20asramapdf. Jahiriansyah., Wahyudi., and Syukri, M. 2013. Peran kepala sekolah sebagai pendidik dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru.Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran”.2(10):1-16. Jalmo T, Rustaman NY. 2010. Pengembangan program pelatihan peningkatan kompetensi guru IPA SMP.Forum Kependidikan.30(1):79-89 Jan NA, Muthuvelayutham C. 2012. Competency based training need assessment for it companies in Chennai. Life Science Journal. 9(4):5152-5155 Jennings PC, Greenberg MT. 2009. The prosocial classroom: Teacher social and Emotional competence in relation to student and classroom outcomes. Review of Educational Research. 79(1):491-525. Jiwa IM. 2010. Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah, kecerdasan emosional guru, dan kompetensi guru dengan keefektifan sekolah pada sekolah menengah pertama negeri di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali. [disertasi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang.
54 [Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Kajian Analisis Sistem Sertifikasi Guru Dalam Rangka Reformasi Birokrasi Internal. Jakarta (ID):Kemendiknas. Kiswanti, Wahyudi, Syukri. 2013. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala sekolah dan iklim organisasi sekolah terhadap kinerja guru SMP Negeri. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 2(10):1-12 Kodir A. 2009. Implementasi kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kompetensi guru IPA :studi kasus di PPPPTKIPABandung [tesis]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia. [KSG] Konsorsium Sertifikasi Guru Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Laporan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Portofolio Tahun 2006-2007. Jakarta (ID): Depdiknas. Lin HH. 2013. Becoming a science teacher in texas. Journal of Studies in Education. 3(2):55-64. ISSN 2162-6952. Lovat T, Dally K, Clement N, Toomey R. 2011. Values pedagogy and teacher education: re-conceiving the foundations. Australian Journal of Teacher Education. 36(7): 30-44. doi: 10.14221/ajte.2011v36n7.3. Lucus CA. 2006. Is subject matter knowledge affected by experience? The case of composition of functions. In Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. & Stehlíková, N. (Eds.). Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. 4: 97-104. Prague: PME. Malik MA. 1985. Pedoman penentuan kebutuhan pelatihan. Buletin. 8:11-24 Mangkuprawira S, Hubeis AV. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Mania S. 2011. Profesionalitas kepala sekolah. Lentera Pendidikan.14(1):52-67. Mardapi D. 2012.Strategi meningkatkan profesionalisme guru.Seminar Regional Pendidikan [Internet].[2012 Jan 19]. Yogyakarta (ID). hlm 1-7; [diunduh 2013 Sept 7]. Tersedia pada: http://ebooku.webs.com/documents/... McCann TA, Tashima JT. 1994. Training Needs Assesment Tool. Australia (AU):Inc.KingofPrussia. [MDF] Management for Development Foundation. 2005. Training needs assessment.[Electronic vertion]. [Received September 6, 2013]. From: www.toolkitsportdevelopment.org/.../12%20Training%20Needs%20Asse... Mondy WR. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke-10. Jakarta (ID):Erlangga. Monica PMM, Mugurel DG, Daniel DC. 2012. Equal opportunities and treatment and the real training needs of adult learners-a case study. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 46:3977-3981. Mulyasa E. 2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Mulyasa. 2012. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta (ID). Bumi Aksara. Munandar, A.,Sulistyarini., and Zakso, A.2013. Analisis kompetensi pedagogik guru dalam pembelajaran sosiologi di SMANegeri 1 Jawai.Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran.2(9):1-9. Musfah J. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik. Jakarta (ID): Kencana
55 Natsir NF. 2007. Peningkatan kualitas guru dalam perspektif pendidikan islam. Educationist.1(1):20-27.ISSN:1907-8838 Ngabianto. 2011. Model pembinaan guru pendidikan kewarganegaraan pasca sertifikasi di Kota Semarang. Integralistik. 1(22):1-17. Ni’mah LH, Saptorini, Pamelasari SD. 2013. Pengembangan lks IPA terpadu berbasis permainan edukatif tema gerak tumbuhan dan faktor yang mempengaruhi untuk siswa SMP.USEJ. 2(1):149-156. Ningsih NP, Kustijono R, Ismono. 2013. Pengembangan perangkat pembelajaran IPA terpadu tipe webbed tema tercemarkah airku di kelas VII SMP. Jurnal Pendidikan Sains e-Pensa. 1(1):54-59. Noe RA, Hollenbeck JR, Gerhart B, Wright PM. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia Mencapai Keunggulan Bersaing. Jakarta(ID): Salemba Empat. Notoatmodjo, S. 2009. Pengembangan sumber daya manusia. Jakarta (ID): Rineka Cipta Nurlita F, Suja IW, Retug N. 2010. Analisis kebutuhan pengembangan perangkat pembelajaranberbasis masalah pada pembelajaran sains kimia di SMP.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. 4(2):222-235. Nurrohim H, Anatan L. 2009. Efektivitas komunikasi dalam organisasi. Jurnal Manajemen. 7(4): 1-9. Özden M. 2008. The effect of content knowledge on pedagogical content knowledge: the case of teaching phases of matters. Educational Sciences: Theory & Practice. 8(2): 633-645. Poedjiadi A. 2007. Pendidikan Sains. Di dalam: Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung (ID): IMTIMA. Hal 187-196. ISBN:978-979-161-73-0-7. Prytula MP. 2012. Teacher metacognition within the professional learning community. International Education Studies. 5 (4): 112-121. ISSN 1913-9020. [PSP] Pusat Statistik Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2005/2006. Jakarta (ID). Depdiknas. Pujiastuti E, Raharjo TJ,WidodoAT. 2012. Kompetensi profesional, pedagogik guru IPA, persepsi siswa tentang proses pembelajaran, dan kontribusinya terhadap hasil belajar IPA di SMP/MTs Kota Banjarbaru. Innovative Journal of Curriculum and Educational Technology. 1(1): 22-29. Purwanti. 2013. Guru dan kompetensi kepribadian. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan. 10(1):1074-1088. [Puskur] Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu SMP/MTs. Jakarta (ID). Depdiknas. Rahman MA. 2011. Kesalahan-kesalahan Fatal Paling Sering Dilakukan Guru dalam Kegiatan Belajar-Mengajar. Yogyakarta (ID):DIVA Press. Ree JD, Al-Samarrai S, Iskandar S. 2012. Teacher Certification in Indonesia : a Doubling of Pay, or a Way to Improve Learning?. Policy Brief. Washington D.C. The Worldbank. Retnowati, K.S. 2013.Meningkatkan kreativitas guru tk melalui pengembangan motivasi berprestasi dan kompetensi pedagogik.Jurnal Pendidikan Penabur. 20(12): 1-12. Ridwan. 2012. Rekrutmen, seleksi, dan penempatan kepala sekolah menengah atas negeri di Kabupaten Sambas.[tesis]. Pontianak (ID). UNTAN.
56 Rosnita. 2011. Standar pendidikan untuk calon guru sains: pedagogi materi subjek sebagai sarana pengembangan pengetahuan konten pedagogi calon guru. Jurnal Cakrawala Pendidikan. [Electronic vertion].[ReceivedNovember 11, 2013]; 9(2). From: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jckrw/article/view/... Sanjaya W. 2007. Pengajaran. Ali M, Ibrahim R, Sukmadinata NS, Sudjana D, Rasyidin W, editor. Bandung (ID). Pedagogiana Press. Saputra D.S. 2011. Hubungan antara kompetensi profesionalisme guru dan kinerja guru di SMA xxx Tangerang.Jurnal Psikologi. 9(2):71- 80. Saputro B. 2012. Efektifitas model manajemen pelatihan IPA terpadu bagi guru mata pelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah menengah pertama seKabupaten Kudus. Educational Management. 1(2):135-138 Saragih AH. 2008. Kompetensi minimal seorang guru dalam mengajar. Jurnal Tabularasa. 5(1):23-34. Sedarmayanti. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung (ID):Refika Aditama Sembiring MS. 2010. Kajian implementasi kebijakan program sertifikasi guru. Jurnal Penelitian Kebijakan Pendidikan. 8(2):1-20. Setiawan N, Ningsih T. 2010. Penilaian kinerja guru bersertifikat di Madarasah Aliyah Negeri (MAN) Purwokerto. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. 2(1):1-31. Sherazi SK, Ahmed I, Iqbal MZ, Umar M, Rehman K. 2011. Training needs assessment practices in corporate sector of Pakistan. African Journal of Business Management. 5(28):11435-11441. doi: 10.5897/AJBM11.542. Sofiraeny R. 2011. Model pengembangan profesional berkelanjutan guru IPA melalui lesson study berbasis MGMP [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia. Sudirman,and Purnamasari U. 2009. Potret pedagogik dan kompetensi profesional guru mata pelajaran IPA SMP Negeri di DKI Jakarta.Jurnal Lingkar Mutu Pendidikan. 2(1):78-85. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung (ID): Alfabeta Suhardiman B. 2011. Studi kinerja kepala sekolah. Edisi Khusus. 2:246-255 Sultoni. 2012. Pengembangan model pengelolaan pelatihan motivasional untuk mendorong aktualisasi kompetensi kepribadian guru SDN se Kabupaten Jombang. [disertasi]. Malang (ID): Universitas Negeri Malang. Sumantri. 2012. Kompetensi pengelolaan pembelajaran, kecerdasan interpersonal, komitmen, dan kepuasan kerja Guru SMK. Jurnal Ilmu Pendidikan. 18(1). [abstract]. Suparwoto, Prasetya ZH, Mundilarto, Sukardjo, Projosantoso AK. 2011. Evaluasi Kinerja guru IPA SD, SMP, dan SMA pasca sertifikasi. Jurnal Kependidikan. 41(1):87-110. Supriadi D. 2007. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta (ID): Adicita Karya Nusantara. Suprihatiningrum J. 2013. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan Kompetensi Guru. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Suryani NN. 2011. Kontribusi sikap profesional guru, iklim kerja sekolah dan pengalaman kerja guru terhadap kinerja guru pada sma negeri di Kabupaten Badung. Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksha. 7(2):1- 13.
57 Tope O. 2011. Effects of teachers’ personality on secondary school discipline: case study of some selected schools in Nigeria. [Internet]. [diunduh 2013 Des 12]. Tersedia pada: http://egoboosterbooks.files.wordpress.com/2011/07/... Turnuklu EB,and Yesildere S. 2007. The pedagogical content knowledge in mathematics: preservice primary mathematics teachers’ perspectives in Turkey. IUMPST. 1:1-13. Udiyono. 2011. Pengaruh kompetensi profesional dan keikutsertaan dalam forum ilmiah serta karya pengembangan profesi terhadap kinerja guru. Magistra. 76(23):1-9. ISSN 0215-9511. Ulug M, Ozden MS, Eryilmaz A. 2011. The effects of teachers’ attitudes on students’ personality and performance. Procedia Social and Behavioral Sciences. 30: 738-742. doi:10.1016/j.sbspro.2011.10.144. Uno HB. 2008. Profesi Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta (ID). Bumi Aksara. Wardah F. 2012. 87,6persen anak alami kekerasan di sekolah. VOA Indonesia. [Internet]. [diunduh 2013 Nov 27]. Tersedia pada: http://www.voaindonesia.com/content/87-6-persen-anak-alami-kekerasan-disekolah/1474872.html Widiarsa IGP, Marhaeni AAIN, Sutama IM. 2013. Kontribusi kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional terhadap hasil belajar IPS. e-Journal PPs UNDIKHSA [Internet]. [diunduh2013 Okt11]: 3(1). Tersedia pada: http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal. Widoyoko SEP, Rinawati A. 2012.Pengaruh kinerja guru terhadap motivasi belajar siswa.Cakrawala Pendidikan. 31(2):278-289. Wilujeng I, Setiawan A, Liliasari. 2010. Kompetensi IPA terintegrasi melalui pendekatan keterampilan proses mahasiswa S-1 Pendidikan IPA. Cakrawala Pendidikan.3: 353-364 Wilujeng I. 2012.Redesain kurikulum S1 Pendidikan IPA menuju Standards for secondary science teacher preparation.Prosiding Seminar Nasional ISPI; 2011Jan21-22;Yogyakarta (ID):1-16. Yennita, MugiSukmawati, Zulirfan. 2012. Hambatan pelaksanaan praktikum ipa fisika yang dihadapi guru smp negeri di kota pekanbaru. Jurnal Pendidikan. 3(1): 1-11. Yulianti, F. 2012. Hubungan kompetensi pedagogik guru pai dengan prestasi belajar pada mata pelajaran PAI.Jurnal Tarbawi. 1(2):109-123.
58 Lampiran 1 Keterangan diterima (accepted) dari Jurnal Penyuluhan
59 Lampiran 2 Keterangan proses review di Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Terakreditasi DIKTI
60 RIWAYAT HIDUP IRMA FEBRIANIS, lahir di Pekanbaru pada hari Jum’at 9 Pebruari 1979. dari Ayah H. Ishak Mustajab dan Ibu Hj. Asmurni Djamin. Tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Pekanbaru dan melanjutkan ke Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Riau. Sebelum meraih gelar sarjana, pada tahun 2011 penulis menikah dengan Nurul Qomar, Shut, MP. Pada tahun 2012, penulis memperoleh seorang putri yang diberi nama Madu Zahratussa’adah Radhiyallah dan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dengan predikat cumlaude. Penulis bekerja sebagai dosen tetap yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hang Tuah Pekanbaru pada tahun 2004-2006. Pada tahun 2006 lulus seleksi CPNS untuk menjadi guru di SMP Negeri 11 Pekanbaru. Setahun kemudian dikarunia putri ke-2 bernama Harum Azharussa’adah Radhiyallah. Pada tahun 2010 diangkat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di SMP Negeri 11 Pekanbaru dan Kepala Bidang Pelatihan dan Pengembangan Guru IPA SMP/MTs di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA SMP/MTs Kota Pekanbaru. Penulis memperoleh beasiswa tugas belajar S2 ke IPB dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau pada tahun 2011. Program studi yang dipilih adalah Biologi Sains Hewan (BSH) FMIPA. Penulis melanjutkan studi S2 ke Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) pada tahun 2012. Untuk menyelesaikan studi S2 dilakukan penelitian tesis berjudul Analisis Kebutuhan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru IPA SMP Negeri Kota Pekanbaru di bawah bimbingan Dr Ir Pudji Muljono,MSi dan Prof Dr Ign Djoko Susanto, SKM.