PENGAWASAN INTERNAL DALAM KONTEKS E-PROCUREMENT PADA PEMERINTAHAN KOTA DEPOK ARFIANDRI PRIHARTANTO DAN MOHAMMAD RIDUANSYAH Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
[email protected] Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat Kota Depok selaku APIP (Aparatur Pengawas Internal Pemerintah) dalam konteks eprocurement pada Pemerintahan Kota Depok. Dalam penelitian ini peneliti menganalisis dimensi-dimensi pengawasan internal dari COSO pada Inspektorat Kota Depok. Permasalahan yang diangkat peneliti yaitu: pengawasan internal yang dilakukan Inspektorat Kota Depok selama ini belum dapat mencegah korupsi dan penyimpangan dalam sektor e-procurement di Pemkot Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan positivis dengan metode pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengawasan internal Inspektorat Kota Depok dalam konteks e-procurement pada Pemerintahan Kota Depok belum berjalan dengan baik karena beberapa masalah antara lain: metodologi pengawasan e-procurement yang dilakukan masih post audit, belum diangkatnya auditor ke dalam Jabatan Fungsional Auditor (JFA), belum adanya program penilaian risiko di dalam merencanakan kegiatan pengawasan eprocurement dan belum adanya penilaian dan grand design terkait sumber daya manusia dalam hal ini khususnya auditor di Inspektorat Kota Depok. Kata Kunci: Pengawawasan internal, e-procurement, Inspektorat Kota Depok Internal Control In The Context Of E-procurement In Depok Governance This thesis discusses about internal control performed by Inspektorat Kota Depok as internal government auditor in the context of e-procurement in City Government of Depok. In this thesis, researcher analyzed the dimensions of the COSO’s internal control in Inspektorat Kota Depok as main actor of internal control. This study raised issue about internal control that do by Inspektorat Kota Depok can’t prevent corruption in the context of e-procurement in city Government of Depok. This thesis used a positivist approach with qualitative method for the collecting data. The results of this thesis showed that internal control by Inspektorat Kota Depok in the context of e-procurement has not run properly.due to some problem such as: eprocurement controling method still use post audit, the auditors in Inspektorat Kota Depok has not approached into the functional auditor, the absence of a risk assesment program in planning of e-procurement controling activities, and there is still no assesment and grand design that related to human resources especially for auditors in Inspektorat Kota Depok Keyword: Internal Control, e-procurement, Inspektorat Kota Depok
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
1.
Pendahuluan Pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu aktivitas di lingkungan organisasi
pemerintahan daerah yang sangat penting di dalam mencukupi seluruh kebutuhan organisasi pemerintahan daerah serta kebutuhan masyakat lokal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Banyak hasil kajian serta penelitian memaparkan bahwa di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintahan setiap Negara termasuk Indonesia adalah salah satu lahan korupsi yang paling subur dan sistemik. Bank Dunia mengatakan “korupsi yang paling merajalela adalah di bidang pengadaan barang dan jasa publik”. Dalam kasusnya di Indonesia sebuah kajian yang dilakukan Bank Dunia (Country Procurement Assesment Review) CPAR juga menyebutkan bahwa 10–50 persen pengadaan barang dan jasa Pemerintah di Indonesia mengalami kebocoran (korupsi) (Indonesia Procurement Watch, 2011). Untuk mengatasi masalah berbagai tindak korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa tersebut, maka dibentuklah e-procurement di lingkungan Kementerian, Lembaga Negara, Daerah ataupun Institusi Pemerintahan lainnya (K/L/D/I). Croom & Jones (2004) dalam Vaidya, Sajeev & Callender (2006:72) menyatakan bahwa e-procurement adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet untuk melaksanakan proses pengadaan secara setahap ataupun keseluruhan di dalam proses pengadaan termasuk pencarian vendor, negosiasi, pemesanan, penerimaan dan evaluasi setelah dilaksanakannya pengadaan. Lahirnya eprocurement di Indonesia dimulai dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 80 Tahun 2003 yang mengatur tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang selanjutnya disempurnakan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Secara eksplisit Keppres dan Perpres tersebut mengijinkan proses pengadaan melalui e-procurement. Selain itu, hadirnya Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memberikan pengakuan kepada informasi elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah merupakan pijakan yang kuat bagi penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pengadaan. Berdasarkan Perpres 54 tahun 2010, e-procurement dimulai dengan diterapkannya proses e-tendering dan e-purchasing. E-tendering sendiri adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) di setiap Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) setempat dengan cara menyampaikan 1 (satu) kali
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
penawaran dalam waktu yang telah ditentukan. Sedangkan e-purchasing adalah tata cara pembelian barang dan jasa melalui sistem katalog elektronik. Proses e-tendering dan epurchasing disinyalir mampu menghemat anggaran negara hingga mencapai 10-20 persen dari total biaya tender, serta sekitar 70 - 80 persen untuk biaya operasional (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2010). Perubahan sistem pengadaan barang dan jasa dari sebelumnya yang berbasis manual menjadi berbasis elektronik bukannya tanpa celah. Dengan diberlakukannya e-procurement ini, mekanisme rapat tatap muka antara vendor dengan panitia pengadaan hanya dikurangi intensitasnya, bukannya dihapuskan sama sekali. Tahapan tatap muka itu masih ada pada saat pembuktian sebelum pengumuman pemenang lelang. Calon pemenang akan diundang oleh panitia pengadaan untuk dilakukan pembuktian, dimana dokumen calon pemenang tersebut akan dicocokkan dengan apa yang telah ditawarkan sebelumnya di dalam sistem SPSE (Wahid Suryono, 2012) Prosedur pelaksanaan e-procurement yang masih belum sempurna ini tentunya harus diiringi dengan pengawasan internal yang ketat di setiap tahapan pengadaan, baik itu dalam tahapan pra-tender, tender dan pasca-tender. Pada Perpres 54 tahun 2010 pasal 116 menyebutkan bahwa “Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Instansi/Institusi (K/L/D/I) wajib melakukan pengawasan terhadap PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan di lingkungan K/L/D/I masing masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan”. Di dalam Pasal 111 ayat 6 juga disebutkan bahwa Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik namun tidak dijelaskan secara komprehensif mengenai bentuk dari pengawasan itu sendiri. Selain itu tidak dijelaskan mengenai mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor pengawas internal daerah seperti Inspektorat Daerah ataupun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan PP 60 tahun 2008 mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), aktor-aktor pengawasan di daerah antara lain adalah BPKP selaku aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Inpektorat Kabupaten/Kota selaku aparat pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah. Menurut Perpres 50 tahun 2010 pihak-pihak yang diawasi terkait pengadaan barang dan jasa antara lain Pejabat Pembuat Komitmen(PPK), pejabat pengadaan, seluruh
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
anggota Unit Layanan Pengadaan (ULP), panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan dan penyedia barang/jasa (secara tidak langsung). Pengawasan internal menjadi salah satu kunci sukses keberhasilan dari penerapan sistem e-procurement. Perubahan sistem berbasis elektronik yang semakin meminimalisir terjadinya tindak penyimpangan atas pengadaan barang/jasa tentu saja bukan berarti menghapus permasalahan yang ada dengan begitu saja di dalam sektor pengadaan barang/jasa. Transformasi sistem pengadaan akan mengubah mekanisme pengawasan internal itu sendiri. Mekanisme pengawasan yang selama ini dilakukan secara konvensional harus diubah mengikuti sistem yang juga telah berubah, yaitu mekanisme pengawasan berbasis elektronik. Kondisi yang demikian memerlukan dukungan dari regulasi yang ada agar setiap tindakan yang dilakukan auditor memiliki kekuatan hukum yang sah. Ketertarikan penulis memilih Pemerintahan Kota Depok sebagai lokasi penelitian ini adalah Kota Depok merupakan kota pertama di Jawa Barat yang memiliki unit LPSE-nya sendiri sejak tahun 2009. Kota-kota lain di Jabar lainnya pada saat itu masih menggunakan LPSE milik Pemerintah Provinsi Jabar, sehingga Pada tahun 2011 Kota Depok mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, sebagai Kota Pelopor Pembentukan LPSE (Depoknews, 2011). Namun, menciptakan sebuah sistem pengadaan barang dan jasa yang bersih masih menjadi keniscayaan tersendiri bagi setiap Pejabat Pemangku Kepentingan (PPK)/Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada proses pengadaan barang dan jasa di beberapa daerah. Dalam kasus Kota Depok, hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus penyimpangan terkait pengadaan barang dan jasa di Kota Depok, antara lain : pengadaan mesin UPS (Unit Pengelola Sampah) pada tahun 2009 dan temuan BPK (Badan Pengawas Keuangan) tahun 2007-2009 terkait pengadaan tanah dan pembangunan 3 kecamatan (SIDAK, 2010). Hal ini menunjukkan pengadaan barang dan jasa di Kota Depok masih bermasalah. Pada tahun 2011 Indonesia Procurement Watch (IPW) melakukan survei yang berjudul “Survei Jejak Suap dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”. Dalam survey ini IPW mengambil responden selaku penyedia barang dan jasa yang tersebar dalam lima Kota, dan salah satunya adalah Kota Depok. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 92,7% responden menjawab pernah memberikan suap kepada penyelenggara pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah. Selain itu, 72,3% perusahaan menyatakan inisiatif awal dalam pengaturan tender
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
dilakukan oleh pejabat (PPK/panitia/orang dalam) (Indonesia Procurement Watch, 2011). Besarnya persentase perusahaan yang menyatakan bahwa inisiatif awal dalam pengaturan tender dilakukan oleh pejabat (PPK/panitia/orang dalam) menggambarkan mekanisme pengawasan internal dalam e-procurement Kota Depok masih bermasalah. Kasus-kasus korupsi dan penyimpangan sektor pengadaan barang dan jasa yang terungkap oleh KPK maupun Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian ternyata tidak membuat efek jera pelaku korupsi, khususnya di Kota Depok. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang telah terungkap dalam sektor pengadaan barang dan jasa di Kota Depok meskipun Pemkot Depok telah melakukan proses e-procurement sejak tahun 2009. Semakin banyaknya kasus TPK dan penyimpangan dalam sektor e-procurement yang terungkap menunjukkan “mandul”nya pengawasan internal sebagai langkah preventif TPK dan penyimpangan di Pemkot Depok. Hasil survei IPW yang berjudul “Survei Jejak Suap dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah” juga menggambarkan masih adanya permasalahan di dalam sistem pengawasan internal di Pemkot Depok. Dalam konteks penyelenggaraan e-procurement di Pemkot Depok, Inspektorat Kota Depok merupakan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP) yang mempunyai tugas dan fungsi dalam melakukan pengawasan internal dan bertanggung jawab kepada Walikota Depok. Pengawasan internal yang dilakukan Inspektorat Kota Depok adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar proses e-procurement berjalan dengan efektif dan efisien. Namun dalam prakteknya, pengawasan yang dilakukan Inspektorat Kota Depok selama ini belum mampu mencegah praktek-praktek korupsi dan penyimpangan dalam sektor e-procurement. 2.
Tinjauan Teoritis
2.1
Pengawasan Internal Menurut pandangan Arens dan Loebecke (2000: 315) Internal control is a process
designed to provide reasonable assurance the achievement of management’s objectives in the following categories : a) Reliability of financial reporting. b) Efectiveness and efficiency of operations. c) Compliance with applicable laws and regulation
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
2.1.1
Komponen Pengawasan Internal Menurut COSO (2009: 1) dalam melaksanakan volume dan beban tugas diperlukan
pengawasan internal baik terhadap komponen yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan maupun sumber-sumber kerja yang dipergunakan. Pengawasan internal terdiri dari lima komponen yang saling berhubungan. Komponen ini bersumber dari cara pimpinan suatu organisasi menyelenggarakan tugasnya dan oleh karena itu komponen harus menyatu dan terjalin dalam proses manajemen Pelaksanaan pengawasan internal merupakan salah satu unsur dari sistem pengendalian intern. Secara keseluruhan, sistem pengendalian internal terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut : a)
Lingkungan Pengendalian (Control Environtment) Pengendalian internal pada poin ini adalah perwujudan suatu iklim manajemen dimana
sejumlah orang melaksanakan kegiatan dan tanggungjawab pengendalian. Faktor-faktor lingkungan pengendalian ini antara lain integritas, etika, kompetensi, pandangan manajemen dan cara manajemen membagi tugas dan tanggung jawab serta arahan dan perhatian yang diberikan pimpinan puncak. b)
Penaksiran Risiko (Risk Assesment) Pengendalian internal pada poin ini dimaksudkan dalam menjalankan aktivitasnya harus
memperhitungkan risiko baik internal maupun external, sehingga nanti unsur ini dapat membentuk database bagaimana suatu risiko harus dikelola. Di dalam penaksiran risiko ini tentunya harus terlebih dahulu menetapkan tujuan organisasi. c)
Aktifitas pengawasan (Control Activities) Pengendalian internal pada poin ini meliputi kebijakan dan prosedur yang menunjang
arahan dari manajemen untuk diikuti. Kebijakan dan prosedur tersebut memungkinkan diambilnya tindakan dengan mempertimbangkan risiko yang terdapat pada seluruh jenjang dan fungsi dalam organisasi. Didalamnya termasuk berbagai jenis otorisasi, verivikasi, rekonsiliasi, evaluasi kinerja dan pengamanan harta serta pemisahan tugas. d)
Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Pada poin ini sistem pengendalian internal harus mengidentifikasikan, mencatat dan
melakukan komunikasi terkait informasi-informasi mengenai pengendalian internal yang relevan. Informasi yang relevan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk dan waktu yang tepat, sehingga memungkinkan pelaksanaan tanggungjawab yang baik oleh anggota organisasi. Dalam
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
hal ini, sistem informasi menghasilkan laporan tentang kegiatan operasional dan keuangan, serta ketaatan terhadap peraturan yang berlaku dalam rangka melaksanakan dan mengendalikan tugas. e)
Pemantauan (Monitoring) Pengendalian internal pada poin adalah suatu proses yang mengevaluasi kualitas kinerja
sistem pengendalian manajemen pada saat kegiatan berlangsung. Proses ini diselenggarakan melalui aktivitas pemantuan yang berkesinambungan dan melalui pengawasan (audit) intern atau melalui kedua-duanya 3.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan positivis.
Menurut Neuman (2003: 42), pendekatan positivis mengasumsikan bahwa realita sosial terbentuk dan dibangun dari fakta-fakta objektf yang terukur. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui metode pengumpulan data dan dikombinasikan dengan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data-data terukur, yang diperoleh dari pengumpulan data secara kualitatif seperti wawancara mendalam dan studi kepustaan. Sedangkan fokus penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat Kota Depok dalam konteks e-procurement pada Pemerintahan Kota Depok. Peneliti akan menjelaskan bagaimana sebenarnya pengawasan internal yang dilakukan Inspektorat Kota Depok berdasarkan analisis sistematis melalui wawancara dan studi kepustakaan. 4.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
4.1
Lingkungan Pengendalian (control environment)
4.1.1
Penegakan Nilai Etika, Standar Audit dan Kendali Mutu Di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seorang auditor di Inspektorat Kota Depok
wajib mentaati kode etik APIP yang berikaitan dengan statusnya sebagai pegawai negeri dan standar audit APIP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara No. PER/04/M.PAN/03/2008 dan No. PER/05/M.PAN/03/2008.
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
Dalam kaitan pengawasan dalam sektor e-procurement, Permenpan tentang kode etik APIP tersebut memiliki peran strategis di dalam memberikan koridor bagi auditor/P2UPD menetapkan sikapnya sebagai pengawas yang memiliki integritas, objektif dan memiliki kompetensi di bidang audit pengadaan barang dan jasa. Hal ini penting, karena banyaknya pihakpihak yang terlibat di dalam proses e-procurement, seperti panitia pengadaan, penyedia barang dan jasa (vendor) dan LPSE Kota Depok. Banyaknya pihak-pihak yang terlibat, tentunya memiliki kepentingannya masing-masing. Disinilah peran dari auditor/P2UPD di dalam menilai keseluruhan proses dan prosedur dalam e-procurement secara objektif dan independen. Pada akhirnya kode etik APIP yang telah ditetapkan Permenpan selama ini cukup membantu sebagai koridor auditor/P2UPD Inspektorat Kota Depok di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan khususnya dalam sektor e-procurement di Pemkot Depok. Namun dalam penerapannya di lapangan, prinsip-prinsip perilaku yang tercantum dalam Kode Etik APIP seperti integritas dan objektivitas belum diterapkan oleh setiap auditor dan P2UPD Inspektorat Kota Depok dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan dalam sektor eprocurement. Masih adanya oknum-oknum Inspektorat Kota Depok yang meminta “jatah” kepada penyedia barang dan jasa pemenang tender e-procurement seperti yang disampaikan Budi Santosa. Masih adanya oknum-oknum auditor dan P2UPD Inspektorat Kota Depok yang melakukan penyimpangan di dalam melakukan tugas pengawasan menunjukkan masih lemahnya penerapan nilai-nilai yang tercantim di dalam kode etik auditor seperti integritas dan objektivitas di lingkungan Inspektorat Kota Depok. Sebagai APIP, Inspektorat Kota Depok juga harus memiliki standar audit yang jelas. Standar audit merupakan kriteria atau mutu kinerja yang harus dicapai seorang auditor. Selain mengacu pada PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP, Inspektorat Kota Depok sudah memiliki standar pengawasannya sendiri yang diatur dalam Peraturan Walikota Depok Nomor 52 Tahun 2011 tentang Standar Pengawasan. Dalam kaitan pengawasan dalam sektor e-procurement, Inspektorat Kota Depok mengaplikasikannya dalam bentuk standar pelaksanaan pemeriksaan operasional. Standar pelaksanaan pemeriksaan operasional ini mendeskripsikan sifat kegiatan pemeriksaan operasional dan menyediakan kerangka kerja untuk melaksanakan dan mengelola pekerjaan pemeriksaan operasional yang dilakukan oleh auditor/P2UPD. Standar pelaksanaan pemeriksaan operasional mengatur tentang
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
Dengan adanya standar pengawasan yang jelas, memudahkan auditor dan P2UPD Inspektorat Kota Depok
di dalam melakukan tugas-tugas pengawasan selama ini. Namun
sampai saat ini Inspektorat Kota Depok belum memiliki sebuah program pengendalian mutu audit. Pengendalian kualitas atau mutu audit merupakan hal yang penting bagi Inspektorat Kota Depok sebagai APIP untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan yang terjadi selama proses pemeriksaan berlangsung. Selain itu, pengendalian mutu dapat mencegah timbulnya masalah yang mungkin terjadi pada proses pelaksanaan pemeriksaan, sehingga pengendalian kualitas merupakan hal yang penting terutama bagi Inspektorat Kota Depok yang memiliki objek pemeriksaan yang kompleks, khususnya dalam sektor pengawasan e-procurement. 4.1.2 Struktur Organisasi Inspektorat Kota Depok merupakan salah satu lembaga teknis daerah Kota Depok yang mendukung tugas kepala daerah dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah dalam hal pengawasan internal. Inspektorat Kota Depok dipimpin oleh seorang Inspektur yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota Depok. Inspektur di dalam struktur organisasi Inspektorat Kota Depok membawahi Inspektur Pembantu Wilayah I s/d IV, Kesekretariatan dan Kelompok Jabatan Fungsional. Kesekretariatan membawahin Sub Bagian Keuangan dan Sub Bagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan. Dalam hal pelaksanaan pengawasan khususya dalam konteks e-pocurement setiap auditor di Inspektorat Kota Depok tidaklah melaksanakan pengawasan secara perorangan walaupun dalam struktur organisasi Inspektorat Kota Depok telah dibentuk Inspektur Pembantu (Irban) per wilayah, karena hal tersebut hanya merupakan wilayah tugas bukan merupakan lokasi/lingkup pengawasan. Oleh karena itu, tugas pengawasan dilakukan secara kerja tim (team work) yang dibentuk dengan komposisi wilayah tugas dan kompetensi auditor. Penetapan struktur organisasi di Inspektorat Kota Depok ternyata belum sesuai dengan kebutuhan organisasi. Banyaknya tugas dan fungsi suatu bagian mempengaruhi efektivitas kegiatan yang dilakukan di suatu bagian, contohnya Sub Bagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan. Saat ini Sub Bagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan yang dipimpin Rudy Saptono hanya memiliki 1 staff yang membantu seluruh kegiatan Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan di Innspektorat Kota Depok. Berdasarkan hal tersebut, penetapan struktur organisasi di Inspektorat Kota Depok belum sesuai apa yang diamanatkan dalam PP 60 tantang SPIP khususnya Pasal 4 (d) yang
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
menyebutkan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya melalui pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan. Penilaian terhadap penambahan struktur organisasi di Inspektorat kota Depok juga belum pernah dilaksanakan. Inspektorat Kota Depok pada saat ini paling tidak harus membentuk Sub Bagiaun Umum yang terpisah dengan Sub Bagian Perencanaan. Hal ini dikarenakan beban kerja yang dirasakan Sub Bagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan sangat tinggi dan bisa menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan tugas dan fungsi Sub Bagian tersebut. Dalam kaitan pengawasan sektor e-procurement di Kota Depok, Pemisahan bagian umum dan perencanaan diharapkan dapat membantu Inspektorat Kota Depok di dalam merancang rencana-rencana strategis organisasi seperti merumuskan perencanaan-perencanaan terkait masalah kepegawaian di Inspektorat Kota Depok antara lain perencanaan perekrutan auditor dan perencanaan terkait pengangkatan auditor ke dalam jabatan fungsional. Rencana penambahan bagian seperti Inspektorat Insvetigatif juga dapat membantu Inspektorat Kota di dalam menindaklanjuti pengaduan masyaraka terkait proses e-procurement dan pengumpulan bukti-bukti terhadap kasus-kasus khusus dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan Pemkot Depok. Sebagai APIP, struktur organisasi di Inspektorat Kota Depok juga harus dapat memfasilitasi hubungan Inspektorat Kota Depok dengan stakeholders e-procurement seperti penyedia barang dan jasa (vendor), panitia pengadaan dan LPSE. Dalam konteks e-procurement, pengaduan dari pihak pihak eksternal tersebut dapat dijadikan dasar penyelidikan atau investigasi Inspektorat Kota Depok terhadap suatu proses e-procurement tertentu. Bagian yang bertanggung jawab di dalam menerima dan menindaklanjuti kasus-kasus pengaduan dalam sektor eprocurement yang terjadi adalah Inspektur Pembantu Wilayah III yang mempunyai tugas pokok dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dan kasus pengaduan bidang aset. Pada tahun 2012 tercatat ada 15 pengaduan yang masuk terkait eprocurement di Pemkot Depok. Sudah adanya bagian di dalam struktur organisasi Inspektorat Kota Depok yang bertugas menerima dan menindaklanjuti pengaduan-pengaduan yang ada sangat menunjang tugas-tugas pengawasan yang dilakukan, apalagi mengingat banyaknya kasus-kasus penyimpangan yang
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
banyak berasal dari sektor e-procurement yang menuntut peran aktif dari masyarakat. Penyelesaian pengadan yang berjumlah 13 dari 15 pengaduan yang masuk menunjukkan Inspektorat Kota Depok terhadap pengaduan-pengaduan yang masuk selama ini menunjukkan concern dari Inspektorat Kota Depok di dalam mengawasi proses e-procurement di Pemkot Depok agar sesuai dengan prinsip-prinsip ideal pengadaan barang dan jasa. Namun mekanisme pengaduan secara elektronik sampai saat ini belum diterapkan di Inspektorat Kota Depok.. Mekanisme pengaduan yang ada selama ini masih bersifat konvensional, yaitu pengadu menyampaikan keluhannya melalui surat langsung ke Inspektorat Kota Depok. Hal ini tentu saja mempengaruhi kecepatan arus informasi dalam bentuk pengaduan yang masuk ke Inspektorat Kota Depok. Selain itu, pada saat ini Kelompok Jabatan Fungsional (JFA) di Inspektorat Kota Depok hanya terdiri dari anggota P2UPD, sementara auditor belum diangkat sebagai jabatan fungsional. Saat ini para auditor Inspektorat Kota Depok belum merupakan tenaga fungsional seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah melainkan terdiri dari para pejabat struktural baik eselon III, IV dan Staf Pelaksana yang melaksanakan tugas Fungsional Pengawasan Internal, namun demikian tetap diakui sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) walaupun belum menduduki Jabatan Fungsional Auditor (JFA). Alasan belum diangkatnya auditor ke dalam Jabatan Fungsional Auditor (JFA) sampai saat ini antara lain beberapa auditor yang sudah memiliki jabatan struktural memiliki “keengganan” tersendiri apabila akan diangkat ke dalam JFA, karena tunjangan yang di dapat selaku pejabat struktural lebih besar daripada pejabat fungsional auditor. Kedua, proses kepegawaian seperti kenaikan pangkat dan kenaikan jenjang auditor ke jenjang yang lebih tinggi dirasakan cukup sulit. Belum diangkatnya auditor sebagai pejabat fungsional membuat kerancuan dari tugas, fungsi dan tata kerja auditor karena tdak adanya rincian pasti yang mengatur tugas, fungsi dan tata kerja auditor dalam Peraturan Walikota Depok Nomor 40 Tahun 2008 selain tupoksi untuk Kelompok Jabatan Fungsional. Selain itu, belum diangkatnya auditor sebagai pejabat fungsional juga membuat kerancuan garis wewenang dan pertanggungjawaban tugas auditor di Inspektorat kota Depok. Hal ini membuat kinerja auditor dalam melakukan pengawasan di lapangan kurang optimal.
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
4.1.3 Sumber Daya Manusia dan Komitmen Terhadap Kompetensi SDM Di Inspektorat Kota Depok saat ini total keseluruhan pegawai berjumlah 36 orang, yang terdiri dari 14 orang auditor, 7 orang P2UPD (Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah) dan 15 orang lainnya adalah pegawai yang terdiri dari pejabat struktural dan staff pelaksana. Berikut ini adalah SDM di Inspektorat Kota Depok dan jumlah pegawai di Inspektorat Kota Depok berdasarkan latar belakang pendidikannya. Di Inspektorat Kota Depok, kelompok jabatan fungsional hanya diisi oleh pegawai P2UPD, sementara auditor belum diangkat statusnya sebagai pejabat fungsional seperti diatur dalam Permenpan 220 Tahun 2008 tentang Jabatan Fungsional Auditor dan Angka Kreditnya. Menurut keterangan Inspektorat Kota Depok pengangkatan/pelantikan auditor sebagai pejabat fungsional baru akan dilakukan pada tahun ini. Rudy menerangkan bahwa 14 orang auditor yang dimiliki Inspektorat Kota Depok saat ini dari segi administratif memang sudah layak diangkat sebagai pejabat fungsional, namun pelaksanaan pengangkatan pegawainya baru akan di lakukan tahun ini. Selain itu, persyaratan lainnya untuk seorang pegawai negeri yang akan diangkat sebagai pejabat fungsional auditor adalah harus mengikuti diklat JFA dan lulus ujian sertifikasi JFA sesuai dengan jenjang jabatan yang akan di dudukinya. Belum diangkatnya auditor di Inspektorat Kota Depok ke dalam JFA tentu mempepengaruhi kualitas pengawasan yang dilakukan khususnya dalam sektor e-procurement. Auditor di Inspektorat Kota Depok selama ini belum memiliki jaminan adanya peningkatan kompetensi melalui pembinaan, penidikan dan pelatihan yang terencana, berjenjang dan berkelanjutan. Hal ini dapat terlihat dari belum adanya assesment dan pemetaan atau grand design terkait pengembangan pegawai dan auditor di Inspektorat Kota Depok. Selain itu auditor di Inspektorat Kota Depok tidak mendapatkan tunjangan seperti yang di dapatkan JFA di institusi APIP lainnya. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi motivasi dan kualitas pengawasan yang dilakukan oleh auditor di Inspektorat Kota Depok khususnya dalam sektor eprocurement. Dilihat dari jumlah keseluruhan jumlah pegawai yang ada di Inspektorat Kota Depok jelas terlihat bahwa pengawas dalam hal ini auditor dan P2UPD cenderung lebih banyak dibandingkan pejabat struktural ataupun staff pelaksana. Hal ini sesuai dengan tugas utama Inspektorat Depok dalam melakukan pengawasan internal di lingkungan Pemerintahan Kota Depok. Meskipun begitu, menurut Rudy, Inspektorat Kota Depok masih kekurangan jumlah
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
auditor maupun staff pelaksana. Lebih lanjut Rudy menambahkan perkiraan kebutuhan pegawai dan auditor di Inspektorat Kota Depok, berdasarkan kebutuhan Inspektorat Kota Depok dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sebagai berikut. Kurangnya jumlah pegawai dan pengawas di Inspektorat Kota Depok dikarenakan tidak memiliki perencanaan dan evaluasi sumber daya manusia yang baik. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya analisis beban kerja di Inspektorat Kota Depok. Analisis beban kerja bagi organisasi memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam upaya melakukan perbaikan - perbaikan pada masa yang akan datang guna menilai kualitas dan kebutuhan pegawai saat ini. Jumlah pegawai dan pengawas yang masih diperlukan selama ini hanya sebatas perkiraan manajemen saja dan tidak ada kajian ilmiah dalam mengevaluasi terhadap beban kerja dan kebutuhan terhadap pegawai di lingkungan Inspektorat Kota Depok. 4.2
Risk Assesment (Penilaian Risiko)
4.2.1
Identifikasi dan Analisis Risiko PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP),
khususnya bagian ketiga pasal 13 ayat (1) juga menyebutkan bahwa pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan penilaian risiko. Pimpinan Inspektorat Kota Depok sendiri sampai saat ini belum menerapkan mekanisme penilaian risiko seperti yang dimaksud dalam PP tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang belum pernah dilaksanakan di Inspektorat kota Depok, seperti diklat tentang penilaian risiko yang seharusnya diadakan di Inspektorat Kota Depok bekerja sama dengan BPKP selaku pembina APIP. Selain itu, Inspektorat Kota Depok belum pernah melakukan sosialiasi ataupun pemahaman konsep penilaian risiko, teknik yang harus digunakan dan penanganan yang akan dipilih di dalam menghadapi risiko di lapangan secara mendalam ke seluruh auditor di Inspektorat Kota Depok. Kedua hal ini membuat auditor, P2UPD, dan pegawai sekretariat di Inspektorat Kota Depok dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aktor utama pengawasan internal di Kota Depok dirasa belum optimal. Pada poin ini, peneliti melihat pimpinan Inspektorat Kota Depok dalam hal ini Inspektur, belum melihat komponen penilaian risiko sebagai komponen penting di dalam melakukan kegiatan pengawasan. Dalam konteks pengawasan khususnya pada e-procurement, Inspektorat Kota Depok seharusnya dapat mengidentifikasi, menganalisis dan mengelola risiko sebaik mungkin untuk mencegah terjadinya penyimpangan ataupun Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
rentan terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Dengan belum dilakukannya rangkaian penilaian risiko, Inspektorat Kota Depok tidak dapat menyusun program pengawasan tahunan berdasarkan prioritas pengawasan yang memiliki risiko terbesar sampai terkecil. Inspektorat Kota Depok selama ini hanya mmenilai risiko-risiko pengawasan dalam sektor pengadaan barang dan jasa secara umum. Inspektorat Kota Depok dalam hal ini telah melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman secara umum dalam konteks pengawasan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Depok. Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut bisa berasal dari internal dan eksternal Inspektorat Kota Depok. Dengan melihat kekuatan, kelemahan peluang dan ancaman tersebut Inspektorat Kota Depok melihat risiko-risiko yang akan muncul berkenaan dengan fungsinya sebagai aktor pengawasan internal sektor pengadaan barang dan jasa di Kota Depok. Sementara itu dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan khususnya dalam sektor e-procurement, Inspektorat Kota Depok mempertimbangkan beberapa hal dari internal dan eksternal organisasi. Hal-hal yang muncul dari internal organisasi antara lain (1) Kurangnya jumlah auditor jika dibandingkan dengan OPD yang harus diawasi setiap tahunnya dalam sektor e-procurement yang berjumlah 39 OPD. (2) Kompetensi auditor yang masih harus ditingkatkan. (3) Belum ditetapkannya JFA (4) Masih rendahnya proporsi penganggaran Inspektorat Kota Depok untuk memenuhi standar minimal yang diberikan sesuai ketentuan. Sedangkan hal-hal dari eksternal organisasi yang menjadi pertimbangan Inspektorat Kota Depok adalah (1) Kesadaran auditan dalam menindaklanjuti temuan hasil pemeriksaan (2) Koordinasi dengan instansi pemeriksa lainnya seperti BPK ataupun BPKP. (3) Opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Depok yang diberikan BPK. 4. 3
Analisis Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
4. 3. 1 Aktivitas Pengawasan APIP Metode pemeriksanaan dalam konteks pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Inspektorat Kota Depok sebagian besar adalah post audit. Metode post audit adalah metode pengawasan yang dilakukan sesudah pengadaan barang dan jasa sudah dilakukan. Barang dan jasa yang sudah di beli dan berada di gudang atau tempat penyimpanan lainnya ini kemudian dicocokkan apakah kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan rincian anggaran atau tidak.
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
Dengan metode post audit, Inspektorat Kota Depok pada dasarnya tidak bisa melakukan intervensi terhadap proses pengadaan. Inspektorat Kota Depok melakukan pengawasan setelah pengadaan barang selesai dilaksanakan, biasanya setahun setelah pelaksanaan pengadaan barang dan jasa baru dilakukan pengawasan tersebut.Sedangkan metode pengawasan current audit hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu saja. Pada tahun 2009 misalnya, OPD Kota Depok yang diawasi dengan current audit adalah kecamatan-kecamatan yang baru dimekarkan seperti Kecamatan Sukmajaya, Pancoran Mas, Cimanggis, Sawangan dan Limo dimana dibutuhkan pengawasan yang lebih rutin dari biasanya. Penerapan metode audit pengadaan barang dan jasa di Pemkot Depok yang sebagian besar masih dengan post audit dilakukan karena berbagai kondisi seperti kebutuhan pengawasan OPD di Kota Depok yang sangat banyak tidak seimbang dengan personil Inspektorat Kota Depok yang sangat terbatas. Selain itu batas waktu pengawasan yang sangat singkat juga menjadi kendala auditor di dalam mengawasi sektor pengadaan barang dan jasa di Kota Depok. Penerapan metode post audit yang diterapkan Inspektorat Kota Depok dalam mayoritas penugasan audit sektor pengadaan barang dan jasa memiliki beberapa kelemahan. Pertama, hasil dan bukti audit yang ditemukan masih sangat minim sehingga tidak memberikan informasi berarti kepada pimpinan dalam upaya pencegahan dan pendeteksian tindak pidana korupsi atau penyimpangan dalam sektor pengadaan barang dan jasa. Hasil audit yang minim disebabkan pengawasan yang dilakukan auditor/P2UPD Inspektorat Kota Depok hanya melakukan audit berdasarkan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dan belum menjangkau pada tahap perencanaan kebutuhan barang dan jasa. Auditor/P2UPD Inspektorat Kota Depok dalam hal ini belum melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPK pada saat merumuskan perencanaan kebutuhan barang dan jasa seperti penetapan spesifikasi barang dan jasa, menghitung Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan penyusunan rancangan kontrak. Keberadaan Inspektorat Kota Depok sebagai APIP di lingkungan Pemkot Depok, belum mampu mencegah tindak pidana korupsi dan penyimpangan yang terjadi khususnya dalam sektor pengadaan barang dan jasa. Hal ini dapat dilihat dari pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa di Kota Depok, seperti korupsi pengadaan lahan senilai Rp. 7 Miliar di Tapos, Depok yang sudah menetapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) sebagai tersangka.
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
Kedua, dengan post audit peran Inspektorat Kota Depok sebagai quality assurance proses pengadaan barag dan jasa kurang optimal dimana penghematan dan best value of money tidak tercapai optimal. Pada poin ini, Inspektorat Kota Depok tidak bisa memberikan pendapatnya (quality assurance) terhadap proses pengadaan barang dan jasa dan kemampuan penyedia barang dan jasa dalam menyelesaikan pekerjaan. Ketiga, penerapan metode post audit tidak bisa melihat kegiatan e-procurement secara keseluruhan sepanjang tahun anggaran. Dalam konteks e-procurement sebenarnya LKPP bekerjasama dengan BPKP telah memfasilitasi sistem e-audit yang dapat digunakan auditor/P2UPD Inspektorat Kota Depok dalam menjalankan fungsi pengawasan tetapi sampai saat ini Inspektorat Kota Depok belum merubah dan menyesuaikan metodologi audit khususnya dalam konteks pengadaan barang dan jasa 4.3.2 Tinjauan Kinerja Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Inspektorat Kota Depok merupakan salah satu upaya formal di dalam melakukan evaluasi kinerja pengawasan Inspektorat Kota Depok. Penyusunan LAKIP berdasarkan siklus anggaran yang berjalan, yaitu 1 tahun. LAKIP secara lengkap memuat laporan yang membandingkan perencanaan dan hasil. Manfat yang didapat dari penyusunan suatu LAKIP yaitu evaluasi yang dilakukan oleh Inspektorat Kota Depok terhadap instansinya sendiri sehingga Inspektur Kota Depok dapat mengevaluasi kinerja dari instansi yang dipimpinnya dalam 1 tahun anggaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rudy sebagai berikut Dari 7 sasaran strategis Inspektorat Kota Depok, 5 sasaran strategis tercapai, sedangkan 2 sasaran strategis lainnya tidak tercapai antara lain meningkatnya kualitas hasil pemeriksaan dan meningkatnya akuntabilitas pertanggungjawaban. Dalam kaitan pengawasan yang dilakukan Inspektorat Kota Depok dalam sektor e-procurement peningkatan kualitas hasil pemeriksaan dan peningkatan akuntabilitas pertanggungjawaban menjadi poin penting setelah dilakukannya tinjuan kinerja. Dengan belum tercapainya kedua sasaran tersebut, kinerja Inspektorat Kota Depok belum memenuhi harapan dan tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. 4.3.3
Pengendalian Terhadap Sistem Informasi Sebagai bentuk tindak nyata pengembangan sistem informasi, Inspektorat Kota Depok
telah mengaplikasikan Sistem Informasi Pengawasan Daerah (Simwasda). Simwasda telah
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
diaplikasikan di Inspektorat kota Depok sejak tahun 2010. Simwasda merupakan suatu sistem pengawasan bagi pemerintah daerah guna memudahkan pelaksanaan kegiatan pengawasan, mulai dari sinkronisasi pelaksanaan pengawasan dengan satuan kerja dan unit organisasi terkait, penyusunan usulan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) dan pelaksanaannya, monitoring pelaksanaan pengawasan dan monitoring tindak lanjut pengawasan, serta memudahkan pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkan hasil pengawasan Simwasda ini sudah diaplikasikan oleh seluruh auditor dan pegawai sekretariat Inspektorat Kota Depok, khususnya untuk pengawasan reguler. Fungsi utama Simwasda di Inspektorat Kota Depok adalah untuk monitoring pelaksanaan pengawasan dan monitoring tindak lanjut pengawasan dalam bentuk aplikasi yang sudah ter install di setiap komputer dan laptop yang ada di Inspektorat Kota Depok. Dalam penerapannya di lapangan Simwasda berfungsi sebagai alat bantu pendukung pencatatan data - data dan informasi hasil pengawasan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang disusun oleh tim auditor. Dalam penerapannya di lapangan, setiap tim auditor yang telah melakukan kegiatan pengawasan diwajibkan menyusun LHP dengan batas waktu yang telah ditentukan yaitu 2 minggu. LHP yang telah selesai dibuat tersebut selanjutnya akan dimasukkan datanya oleh tim auditor ke dalam aplikasi Simwasda yang sudah tersebar di semua komputer dan laptop yang ada di Inspektorat Kota Depok. Setelah data - data pengawasan tersebut dimasukkan ke dalam aplikasi Simwasda, ketua tim dan Pimpinan dapat melakukan monitoring terkait hasil-hasil pengawasan, temuan dan tindak lanjut dalam pengawasan di instansi tertentu. Mekanisme pengendalian Simwasda di Inspektorat Kota Depok sudah berjalan cukup baik. Inspektorat Kota Depok setiap tahunnya melakukan evaluasi terhadap penerapan Simwasda tersebut baik dari sisi content, fitur dan aplikasi-aplikasi pengawasan yang dapat dimanfaatkan oleh Inspektorat Kota Depok. Rapat evaluasi tahunan Simwasda tersebut melibatkan Pimpinan, Sub Bagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaksanaan Inspektorat Kota Depok, user (auditor/P2UPD/Pegawai sekretariat) dan konsultan Simwasda. Di dalam rapat tersebut membahas hambatan-hambatan yang selama ini dihadapi user di dalam pengaplikasian Simwasda. Selain itu rapat evaluasi Simwasda ini juga membahas kemungkinan - kemungkinan penerapan fungsi lain yang ada di Simwasda yang selama ini belum diterapkan di Inspektorat Kota Depok seperti fungsi sinkronisasi pelaksanaan pengawasan dengan satuan kerja dan unit organisasi terkait dan penyusunan usulan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) dan
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
pelaksanaannya. Hal ini menjadi masukan kepada konsultan di dalam mengembangkan aplikasi Simwasda agar lebih optimal di aplikasikan di Inspektorat Kota Depok. 4.4
Monitoring (Pemantauan)
4.4.1
Evaluasi Berjalan Inspektorat Kota Depok juga telah melakukan kegiatan monitoring (pemantauan)
terhadap pengawasan internal yang selama ini dilakukan. Bentuk kegiatan monitoring tersebut dalam bentuk evaluasi berjalan. Pemantauan berjalan ini sifatnya melekat pada pelaksanaan kegiatan dan program pengawasan setiap harinya. Pemantauan berjalan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas seperti yang diamanatkan PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Di Inspektorat Kota Depok sendiri secara umum pelaksanaan evaluasi berjalan menjadi tanggung jawab Subbagian Umum, Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan. Penerapan pemantauan berjalan di Inspektorat Kota Depok misalnya dilakukan di dalam melakukan evaluasi pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan auditor/P2UPD. Pengawasan yang dilakukan auditor/P2UPD harus sesuai dengan Peraturan Walikota Depok Nomor 52 Tahun 2011 tentang Standar Pengawasan yang telah ditetapkan. Contoh dari pelaksanaan evaluasi berjalan di Inspektorat Kota Depok adalah evaluasi yang dilakukan di dalam penyusunan LHP oleh auditor/P2UPD. Dalam standar pengawasan di Inspektorat Kota Depok, batas waktu penerbitan LHP setelah dilakukannya kegiatan pengawasan adalah 2 minggu. Selain itu terkait masalah dokumentasi LHP yang dilakukan oleh auditor/P2UPD Evaluasi berjalan ini dilakukan setelah LHP selesai disusun oleh tim auditor. LHP yang telah disusun tersebut kemudian dipaparkan oleh tim auditor kepada Pimpinan, pejabat struktural serta auditor dan P2UPD lainnya dalam rapat ekspose. Hal-hal yang akan dievaluasi di dalam rapat ekspose ini antara lain: 1. Teknis dan waktu penyusunan LHP 2. Standar pengawasan yang dilakukan oleh tim auditor 3. Hasil pengawasan 4. Rekomendasi pengawasan Dalam konteks pengawasan dalam sektor pengadaan barang dan jasa, di dalam rapat ekspose ini akan dibahas terkait proses pengadaan barang dan jasa mulai dari perencanaan,
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
proses pengadaaan, batas waktu pengadaan, hasil fisik pengadaan dan pemanfaatan aset. Setelah rapat ekspose dilakukan, hasil pengawasan kemudian disampaikan kepada auditan untuk ditindaklanjuti kemungkinan permasalahan dan rekomendasi yang diberikan oleh tim auditor 5.
Simpulan Pengawasan yang dilakukan Inspektorat Kota Depok dalam melakukan pengawasan
internal sektor e-procurement pada Pemkot Depok belum dilakukan dengan baik karena beberapa faktor antara lain: metodologi pengawasan post audit sudah tidak relevan lagi dengan penerapan e-procurement. Selain itu, belum diangkatnya auditor ke dalam Jabatan Fungsional Auditor (JFA) membuat auditor belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan maksimal. Struktur organisasi di Inspektorat Kota Depok juga belum mencerminkan kebutuhan organisasi. Inspektorat Kota Depok juga belum menyeelenggarakan program penilaian risiko di dalam setiap kegiatan pengawasan yang dilakukan. Di sisi lain Inspektorat Kota Depok sudah menjalankan komponen pengawasan internal dengan cukup baik seperti pengendalian terhadap Simwasda, evaluasi berjalan setelah dilaksanakannya kegiatan pengawasan dan melakukan tindak lanjut dari pengaduan masyarakat terkait e-procurement di Pemkot Depok. 6.
Rekomendasi Inspektorat Kota Depok selaku aktor utama pengawasan internal dalam konteks e-
procurement di Kota Depok harus lebih mengoptimalkan komponen-komponen pengawasan yang diperlukan. Terkait dengan hal tersebut, berikut sejumlah rekomendasi yang mungkin dapat menjadi masukan bagi Inspektorat Kota Depok 1. Inspektorat Kota Depok hendaknya mengubah metode pengawasan e-procurement dari post audit menjadi e-audit atau probity audit agar pengawasan yang dilakukan dapat lebih optimal. 2. Inspektorat Kota Depok agar mengangkat auditor ke dalam Jabatan Fungsional Auditor (JFA) untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas auditor. 3. Inspektorat Kota Depok harus membuat grand design perencanaan sumber daya manusia khususnya auditor di Inspektorat Kota Depok.
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013
4. Inspektorat Kota Depok hendaknya melakukan indentifikasi dan analisis risiko-risiko yang ada dalam sektor e-procurement agar pengawasan yang dilakukan berjalan dengan baik. 5. Di dalam melakukan pengawasan sektor e-procurement, Inspektorat Kota Depok hendaknya meningkatkan sinergi dengan aktor pengawas lainnya seperti BPKP dan BKP dan stakeholders e-procurement seperti LPSE Kota Depok, auditan serta penyedia barang dan jasa (vendor). Kepustakaan Arens, Alvin A, dan James K. Loebbecke. (2000). Auditing : An Integrated Approach. New York: Prentice-Hall International COSO (Committee Of Sponsoring Organizations). (2009). Guidance on Monitoring Internal Control Systems Neuman, W. Lawrence. (2003). Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Pearson Education, Inc. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Peraturan Nomor: PER/04/M.PAN/03/2008 Tentang Kode Etik Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Peraturan Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi, Peraturan Nomor: PER/220/M.PAN/7/2008 Tentang Jabatan Fungsional Auditor Dan Angka Kreditnya Peraturan Nomor: 19 Tahun 2009 Tentang Pedoman Kendali Mutu Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kota Depok, Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, Lembaran Daerah Kota Depok Nomor 06 Tahun 2010
Pengawasan internal..., Arfiandri P, FISIP UI, 2013