PENGARUH PENGAWASAN INTERNAL DAN PENGAWASAN EKSTERNAL TERHADAP KINERJA PEMERINTAHAN KOTA BANDUNG
Oleh AGUSTINUS WIDANARTO
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2009
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai perubahan untuk mengarah ke perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan harapan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada masyarakat belum optimal. Dari penelitian pendahuluan, diperoleh informasi tentang adanya temuan-temuan terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung yang belum sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan. Temuan selama lima tahun anggaran melalui Laporan Pertanggangjawaban (LPJ) Wali Kota Bandung dan Laporan Akuntabilitas Kineja Pemerintah (LAKIP) Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung yaitu sebagai berikut: 1. Tahun Anggaran 2003. a. Temuan dari Fraksi Persatuan Pembangunan, yaitu belum adanya kejelasan tentang penggunaan pos bantuan keuangan organisasi kemasyarakatan (ormas) pada Bagian Pembangunan, pos bantuan pada Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dan pos bantuan keuangan ormas. b. Fraksi Persatuan Pembangunan melihat adanya pengucuran dana bantuan keuangan tersebut juga tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat. c. Temuan dari Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yaitu masalah penggunaan dana pada pos dana bagi hasil dan bantuan keuangan yang belum transparan. d. Temuan Pansus DPRD Kota Bandung, yaitu menyoroti adanya 169 Sekolah Dasar di Kota Bandung yang kondisinya sangat memprihatinkan dan setiap tahun anggaran yang disediakan baru terealisasi Rp. 3 milyar dari kebutuhan sebesar Rp. 30 milyar. e. Temuan dari Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung, bahwa di bidang pemerintahan kota, pelanggaran administrasi yang dilakukan aparatur Pemerintah Kota Bandung masih tinggi, yaitu 440 temuan. Selain itu, di bidang ekonomi, dari 3 Perusahaan Daerah yang dimiliki Kota Bandung, yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PD Badan Perkreditan Rakyat (PD BPR), dan PD Kebersihan, ternyata baru PDAM yang dapat memberikan kontribusi kepada pendapatan asli daerah, akan tetapi dari segi cakupan pelayanan masih belum memenuhi standar yang ada. Apalagi kondisi PD BPR walaupun beberapa kali dibantu APBD, tetapi tidak ada peningkatan kinerja, malah beban hutang perusahaan terus bertambah sehingga saat ini hampir tidak ada pelayanan perbankan di PD BPR. 2. Tahun Anggaran 2004. Pada Tahun Anggaran 2004, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan adanya ketidak sesuaian dalam kinerja sebanyak 445 buah, terdiri dari aspek pemeriksaan di bidang Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) 150 temuan, SDM 70 temuan, Keuangan 84 temuan, Sarana prasarana 105 temuan, dan Metode kerja sebanyak 36 temuan. 3. Tahun Anggaran 2005. Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan berbagai pelanggaran. Pelanggaran tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan lima sasaran.
Secara kuantitatif jumlah pelanggaran itu menurun dibanding tahun 2004 yang mencapai 445 kasus pelanggaran. Pelanggaran itu meliputi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebanyak 38 temuan, SDM aparat sebanyak 79 temuan, masalah keuangan sebanyak 153 temuan, sarana dan prasarana 127 temuan, dan metode kerja sebanyak 8 temuan. 4. Tabun Anggaran 2006 Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan sebanyak 377 kasus temuan/pelanggaran. Temuan ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan temuan pada Tahun Anggaran 2005. Pelanggaran ini meliputi aspek Tupoksi 57 temuan, SDM aparat sebanyak 48 temuan, aspek Keuangan sebanyak 126 temuan, aspek Sarana-prasarana sebanyak 132 temuan, dan Metode kerja sebanyak 14 temuan. 5. Tabun Anggaran 2007. Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung melakukan pemeriksaan kinerja Pemerintah Kota Bandung terhadap 81 (delapan puluh satu) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung pada Semester I dan Semester II, dengan mendapatkan temuan pelanggaran seluruhnya sebanyak 681, terdiri dari 368 temuan pada Semester I dan 313 temuan pada Semester II. Jumlah temuan tersebut justru jauh lebih banyak dibandingkan pada Tabun Anggaran 2006, dengan jumlah SKPD sebanyak 76. Temuan pada Tabun Anggaran 2007 ini terdiri dari aspek Tupoksi 110, aspek SDM aparat sebanyak 67, aspek Keuangan 274, aspek Sarana-prasarana 199, dan aspek Metode kerja sebanyak 31 temuan. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kota Bandung, pada Tahun Anggaran 2003 dan 2004 (berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999) dan pada Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2007 (berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004) masih diketemukan berbagai masalah. Padahal di dalam kedua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan pembinaan dan pengawasan berdasarkan ketentuan Pasal 218 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan pada Tahun Anggaran 2007 dengan dilakukan pemeriksaan sebanyak dua kali, jumlah temuan yang diperoleh menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya. Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD Kota Bandung juga belum optimal. Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Kota Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung tidak akan tercapai. Penelitian tentang pengaruh pengawasan internal dan pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Berdasarkan Tatar belakang di atas, problem statement penelitian ini sebagai berikut: Pengawasan internal oleh Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD belum efektif, sehingga kinerja Pemerintah Kota Bandung belum optimal. Dalam kajian ini, kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintahan Kota Bandung dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Pengawasan internal dibatasi pada pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD oleh Inspektorat. Sedangkan pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal yang dilakukan pada
SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya. Adapun rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung? 1.2. Rumusan Masalah Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa perubahan untuk mengarah ke perbaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah dilakukan, dengan harapan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah Kota Bandung belum optimal yang ditandai oleh akuntabilitas yang rendah, kualitas layanan yang kurang, Berta rendahnya produktivitas kerja. Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat Kota Bandung juga belum optimal. Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Kota Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung tidak akan tercapai. Penelitian tentang seberapa besar pengaruh pengawasan internal dan pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan problem statement penelitian ini sebagai berikut: Pengawasan internal oleh Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat belum efektif, sehingga, kinerja Pemerintah Kota Bandung belum optimal. Dalam kajian ini, kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintahan Kota Bandung dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Pengawasan internal dibatasi pada pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD oleh Bawasda. Sedangkan pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal yang dilakukan pada SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD dan masyarakat. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang b erhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya. Sebagai rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung? Selanjutnya secara lebih terperinci, rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung? 2. Seberapa besar pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh konsep pengawasan, yang dapat dijadikan model pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang tepat dalam mendorong peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan pada dua aspek, yaitu kegunaan akademi (pengembangan ilmu), dan kegunaan praktis (guna laksana). Adapun kegunaan pada dua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1.4.1. Kegunaan Akademis Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan Ilmu Administrasi, khususnya yang berhubungan dengan konsep pengawasan dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah Daerah. 1.4.2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perumusan kebijakan publik bagi Pemerintahan Kota Bandung, khususnya Badan Pengawasan Daerah dalam pelaksanaan pengawasan internal, dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat Kota Bandung dalam pelaksanaan pengawasan eksternal, guna meningkatkan kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam mensejahterakan masyarakat. 1.5. Kerangka Pemikiran Konsep pengawasan internal dalam penelitian ini merujuk kepada Terry (1960: 530) yang berpendapat bahwa pengawasan internal merupakan proses m enent ukan s t andar unt uk p en gawasan, m en gukur hasi l pekerj a an, membandingkan hasil pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan bila ada perbedaan, serta mengoreksi penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan. perbaikan. Sedangkan konsep pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997: 161) yang menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Adapun konsep kinerja pemerintah menggunakan pendapat dari Dwiyanto (2006: 49-51) yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah meliputi produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960: 395). Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian opini atas kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara intemal maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197). Dibandingkan pengawasan eksternal, pengawasan internal memiliki tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan manajemen yang diawasinya (G.R. Terry dan Leslie W. Rue, 2001:10). Sedangkan peran DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan,
penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan (Budiardjo dan Ambong, 1995:180). Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan dikelola pengendaliannya. Dengan demikian kesesuaian pekerjaan dengan rencana selalu dapat dievaluasi dalam rangka menjamin tercapainya, kinerja yang diharapkan. Semakin baik pelaksanaan fungsi pengawasan internal oleh Bawasda akan mendorong manajemen untuk lebih mampu melakukan tindakan pengendalian yang diperlukan dalam usaha mencapai kinerja yang direncanakan. Demikian pula semakin baik pengawasan eksternal oleh Komisi DPRD dan masyarakat, semakin rendah kemungkinan terjadinya pe nyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pencapian kinerja lebih dapat dicapai. Paradigm dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Paradigma Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal Winardi (1990:587) menyatakan bahwa: "Pengawasan dapat ditujukan ke bidang interns mmaupun ke bidang ekstem". Pengawasan internal dari sisi pemerintah, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lingkungan internal organisasi pemerintah. Bila dirinci lebih lanjut, pengawasan internal dapat dipilah menjadi pengawasan internal dalam arti dan pengawasan internal dalam arti luas. Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal organisasi atau lembaga negara yang diawasi. Sedangkan pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawas, yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah atau lembaga eksekutif. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1996:161) membagi pengawasan internal ke dalam beberapa jenis, yaitu: a. Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya. b. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan, seperti Itjen, Itwilprop. BPKP dan Bapeka. Pengawasan ekstemal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif. Dengan demikian, dalam pengawasan ekstemal antara pengawas dengan pihak yang diawasi tidak lagi terdapat hubungan kedinasan. Bentuk pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh legislatif (DPRD) mmaupun masyarakat. Pengawasan eksternal, menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1997:160-161), dapat dibedakan menjadi: a. Pengawasan Legislatif (Wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat baik di pusat (DPR) mmaupun di daerah (DPRD). Pengawasan ini merupakan pengawasan politik (Waspol). b. Pengawasan Masyarakat (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Umar (2006:90) menjelaskan adanya tiga jenis pengawasan, yakni: pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat. a.
Pengawasan melekat. Istilah pengawasan melekat secara formal diadopsi dari Instruksi Presiders No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dimana pada salah satu pasal yakni pasal 3 menjelaskan bahwa: "setiap pimpinan di semua tingkatan meningkatkan pengawasan melekat dan meningkatkan mutu di lingkungan tugas masing-masing. b.
Pengawasan fungsional Pengawasan fungsional digunakan dengan mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983. Dalam pengawasan ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh aparat yang ditunjuk khusus (exclusively assigned) yang bertugas untuk melakukan audit secara independen
terhadap obyek yang diawasinya, dalam praktiknya aparat pengawas ini melakukan pemeriksaan dan melakukan tugas lainnya seperti melakukan verifikasi, konfirmasi, survei, assessment dan melakukan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam pengawasan. c.
Pengawasan masyarakat Pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai social control, yakni pengawasan yang tercipta karena adanya pengakuan dan kepatuhan pada norma kelompok yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi. Social control adalah pengawasan yang dilakukan secara non-formal oleh publik atau masyarakat secara lebih luas misalnya kelompok penekan (pressure) organisasi asosiasi, LSM dan kelompok yang berkepentingan (stakeholders). Secara umum, menurut Sarundajang (2006:240) fungsi pengawasan adalah untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu: 1. Meningkatkan kinerja organisasi; 2. Memberikan opini atas kinerja organisasi, dan 3. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada. Ada kalanya bahwa pengawasan itu perlu dilakukan oleh Pimpinan. Tujuan dari pengawasan oleh pimpinan adalah untuk meyakinkan apakah usaha-usaha atau kegiatankegiatan dalam manajemen ini sudah baik atau belum. Lagi pula pengawasan ini bukan sesuatu yang sekali dilakukan itu sudah selesai, akan tetapi secara terus menerus dilakukan dan pengawasan ini merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Denga n kata lain bahwa pengawasan merupakan bagian yang terintegrasi dengan manajemen, sekalipun aparat dari pengawasan itu diusahakan sekecil mungkin. Selanjutnya dalam prosedur, pelaksanaan dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak sempurna, metode pengawasan tersebut harus diterapkan. Apabila teriadi ketidaksempumaan, hal ini berarti bahwa orang-orang yang bekerja di tempat itulah yang tidak efektif dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka pimpinan harus menaruh perhatian dengan menggunakan metode dan prosedur pengawasan yang bermanfaat, jika apabila pengawasan di sini tidak dilakukan secara efektif. Dengan demikian, maka pimpinan harus menentukan rencana, dan prosedur pengawasan yang dapat mencapai pada hasil tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, bahwa tujuan dari pengawasan adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan, bukan untuk mencari kesalahan dari orang-orang yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Kaho (1982:143-144) menyatakan bahwa tujuan pengawasan adalah: 1. Untuk menjaga agar standar minimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tetap dipertahankan oleh pejabat-pejabat daerah; 2. Untuk mempertahankan atau menjaga mutu standar administrasi dengan cara menjalankan koordinasi antara pelbagai macam tingkatan pemerintah yang ada; 3. Untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat daerah; 4. Untuk mengawasi pengeluaran atau penggunaan uang yang dilakukan oleh Pemeridtah Daerah, sebagai bagian dari manajemen dan perencanaan ekonomi nasional; 5. Untuk mengikat rakyat dan mempersatukan rakyat yang berbeda-beda menjadi satu bangsa.
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengawasan adalah agar dalam pelaksanaan pekerjaan diperoleh hasil yang berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Selain mempunyai tujuan sebagaimana tersebut di atas, pengawasan juga mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dirinci paling sedikit menjadi empat macam. Keempat fungsi pengawasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Untuk mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan. 2. Untuk mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan; 3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kelalaian dan kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan; 4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan. Keempat fungsi pengawasan tersebut selalu terdapat di dalam setiap bentuk pengawasan, baik yang berskala besar m maupun kecil. Agar suatu pengawasan dapat melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka peranan pimpinan pun perlu mendapat perhatian dalam setiap proses pengawasan. Luther Gulick dan L. Urwick (dalam Ndraha, 2003:197) berbicara tentang control sebagai proses sebagai berikut: Proses tersebut berlangsung di bawah empat prinsip kontrol yang juga adalah prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah (1) koordinasi sebagai hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu. situasi, (2) koordinasi dengan kontak langsung antar manusia yang berkepentingan, (3) koordinasi pada tahap awal setiap kegiatan, dan (4) koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus menerus. Jadi antara kontrol dengan koordinasi terdapat kaitan yang erat sekali. Pengawasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu organisasi atau kelompok masyarakat, baik internal mmaupun eksternal. Dilihat dari sudut ini, menurut Ndraha (2003:197) bahwa pengawasan dapat dilakukan misalnya oleh: 1. Atasan terhadap bawahan. 2. Unit kerja kontrol, baik internal mmaupun ekstemal terhadap organisasi yang
berada di dalam lingkungan kompetensinya. 3. Konsumer atau pelanggan terhadap produser atau penjual. 4. Mekanisme built-in-control terhadap organisasi yang bersangkutan.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan daerah dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standar yang telah disepakati dalam hal ini peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian, pengawasan akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah. Menurut Bellone (1980:268-270) bahwa dalam sebuah organisasi (pemerintah), pengawasan merupakan masalah yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian, karena pengawasan merupakan upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sektor organisasi pemerintahan, pengawasan akan dapat menumbuhkan
kepercayaan publik dari pihak-pihak yang terkait dalam organisasi. Dalam sektor organisasi pemerintahan, terdapat 3 pilar utama, yakni: rakyat, wakil rakyat dan pemerintah. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah diawasi oleh rakyat melalui wakil rakyat. Bahkan rakyat melalui LSM ikut mengawasi kinerja pemerintah agar supaya berjalan sesuai dengan tujuan pemerintah. Memperhatikan adanya berbagai konsep pengawasan di atas, jelaslah bahwa pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi termasuk diantaranya organisasi pemerintah, karena pengawasan dilakukan dalam upaya untuk meyakinkan bahwa implementasi suatu aturan/kebijakan telah sesuai dengan yang diharapkan. Pengawasan juga bermanfaat dalam penentuan keputusan selanjutnya dalam upaya untuk menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan, dan mencegah berulangnya kesalahan, penyimpangan. 2.2. Konsep Kinerja Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu previous performance), dibandingkan organisasi lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Kinerja atau performance dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja. Rue dan Byars (1981:375) mendefinisikan bahwa: “Kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau degree of accomplishment”. Ini berarti kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Stolovitch (dalam Rivai, 2005:14) mengatakan bahwa: kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta". Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001:50), bahwa performance yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti "prestasi kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja/tindakan, unjuk kerja, dan penampilan kerja". Ndraha (2003:196) menjelaskan bahwa kerja dalam bahasa Inggris perform berarti to act, to carry out, to execute. Kata performance mengandung arti luas. Beberapa artinya adalah entertaiment, the act of performing, the xecution or accomplishment of work act, etc.". Jadi performance bisa diartikan sebagai produk, dan dapat diartikan sebagai proses. Menurut Mangkunegara (2000:67), bahwa: “pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Berdasarkan definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi berdasarkan tugas dan kewajibannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Swanson (1999:73) membagi kinerja atas tiga tingkatan, yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu. Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu ogmisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan, modal, dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta sumberdayanya.
Kinerja proses menunjukkan apakah suatu proses yang dirancang dalam organisasi memungkinkan organisasi tersebut mencapai misinya dan tujuan para individu, didesain sebagai suatu sistem, kemampuan untuk menghasilkan, baik secara kuantitas, kualitas, dan tepat waktu, memberikan informasi dan factor-faktor manusia yang dibutuhkan untuk memelihara sistem tersebut, dan apakah proses pengembangan keahlian telah sesuai dengan tuntutan yang ada. Kinerja individu berkaitan dengan apakah tujuan atau misi individu sesuai dengan misi organisasi, apakah individu menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah para individu memiliki kemampuan mental, fisik, dan emosi dalam bekerja, dan apakah mereka memiliki motivasi tinggi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam bekerja. Selanjutnya apabila dikaitkan dengan manajemen kinerja, Surya Dharma (2005:25) mengemukakan bahwa: Manajemen Kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetansi yang telah ditentukan.. Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sarana akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang. Bacal (2005:3) menjelaskan mengenai manajemen kinerja adalah: “Proses komunikasi yang berlangsung terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya”. Lebih lanjut Bacal (2005:3-4) menyatakan bahwa manajemen kinerja meliputi upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang: a) fungsi kerja esensial yang diharapkan dari karyawan; b) seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan bagi pencapaian tujuan organisasi; c) apa arti konkretnya “melakukan pekerjaan dengan baik”; d) bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang; e) bagaimana prestasi kerja akan diukur; dan f) mengenali berbagai hambatan kinerja dan menyingkirkannya. Sistem manajemen kinerja terdiri dari beberapa komponen (Bacal, 2005:34), yaitu: 1. Perencanaan Kinerja Titik awal manajemen kinerja: karyawan dan manajer bekerja sama untuk mengidentifikasikan, memahami, dan menyepakati apa yang seharusnya dikerjakan oleh karyawan, seberapa baiknya hal itu perlu dilaksanakan, mengapa, bilamana, dan seterusnya. 2. Komunikasi Kinerja yang Berlangsung Terus-menerus Sebuah proses dua arah yang bekerja sepanjang tahun untuk memastikan bahwa pelaksanaan tugas kerja berjalan sebagaimana mestinya, bahwa masalah dapat dikenali sebelum berkembang, dan bahwa baik manajer mmaupun karyawan selalu memperoleh informasi yang segar. 3. Pengumpulan Data, Pengamatan dan Dokumentasi Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang kinerja organisasi atau perseorangan dengan tujuan meningkatkan kinerja. Pengamatan merupakan cara bagi manajer untuk mengumpulkan data. Dokumentasi adalah mencatat informasi yang dikumpulkan.
4. Pertemuan Evaluasi Kinerja Suatu proses di mana manajer dan karyawan bekerja sama dalam menilai sampai sejauh mana karyawan telah mencapai sasaran yang telah disepakati dan bekerja sama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui. Biasanya merupakan suatu pertemuan tahunan. 5. Diagnosis Kinerja dan Bimbingan Diagnosis Kinerja adalah proses pemecahan masalah dan komunikasi, yang digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab dasar yang sebenarnya dari permasalahan atau kegagalan kinerja, bagi perseorangan, suatu bagian, atau bahkan keseluruhan organisasi. Sedangkan bimbingan merupakan suatu proses di mana seseorang yang lebih berpengetahuan mengenai suatu hal, bekerja dengan seorang karyawan untuk membantunya mengembangkan pengetahuan dan keahlian dalam rangka meningkatkan kinerja. Dalam pen yel enggaraan pem eri ntahan, pada Pasal 1 a yat (2) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, disebutkan bahwa: “ Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak at au tel ah di capai sehubungan dengan p enggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur”. Selanjutnya dikemukakan pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, bahwa: “Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD. Kinerja suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya. Menurut Weston (dalam Prawirosentono, 2008:140-142), bahwa di dalam suatu organisasi dikenal 3 jenis kinerja, yakni: 1. Kinerja Administratif (administrative performance) Kinerja administratif berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi. Termasuk didalamnya tentang struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas (wewenang) dan tanggung-jawab dari orang yang menduduki jabatan atau bekerja pada unit-unit kerja yang terdapat dalam organisasi. Di samping itu, kinerja administratif berkaitan dengan kinerja dari mekanisme aliran informasi antar unit kerja dalam organisasi, agar tercapai sinkronisasi kerja antar unit kerja. 2. Kinerja Operasional (operational performance) Kinerja operational berkaitan dengan efektivitas penggunaan setiap sumber daya yang digunakan perusahaan. Kemampuan mencapai efektivitas penggunaan sumber daya (modal, bahan baku, teknologi, d1l) bergantung kepada sumberdaya manusia yang mengerjakannya. 3. Kinerja Strategik (strategic performance) Kinerja strategik suatu perusahaan dievaluasi atas ketepatan perusahaan dalam memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi (penyesuaian) perusahaan bersangkutan atas lingkungan hidupnya dimana dia beroperasi. Berdasarkan hal tersebut, maka kinerja suatu organisasi pemerintah dapat dinilai secara administratif, operasional dan strategik. Kinerja unit-unit organisasi dimana seseorang atau sekelompok orang berada didalamnya merupakan pencerminan dari kinerja sumber daya manusia bersangkutan. Kaitannya dengan organisasi pemerintah, maka kinerja yang dicapai oleh organisasi tersebut merupakan pencerminan dari kinerja aparaturnya sebagai pelaksana dan penggerak dalam mekanisme pemerintahan.
M enurut Ndraha (2003:196) bahwa berdasarkan teori t ent ang pertanggungjawaban pemerintahan, dapat dikonstruksi peng ertian kinerja pemerintahan, bahwa: Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task accoplishment), dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji (penetapan janji), dan dari segi cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa) yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi) nya. Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja merupakan tahapan yang amat penting dalam sistem manajemen organisasi. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh organisasi. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa pengukuran kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance), dibandingkan organisasi lain, dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Sementara. Simon (2000:196) berpendapat bahwa: “Setiap alat pengukuran kinerja mampu menjelaskan bentuk priontas yang berbeda, memungkinkan setiap pegawai untuk memasuki arah dan tujuan strategi dan mewujudkan strategi tersebut kemudian mengkomunikasikan arah dan tujuan bisnis mereka”. Bagi setiap organisasi, pengukuran dan evaluasi kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Melalui pengukuran dan evaluasi kerja dapat ditentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja. yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan, modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta sumberdayanya. Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan penguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para. pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Adanya akuntabilitas akan mendorong organisasi pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik. Efektivitas pengukuran kinerja pemerintahan hanya dapat menjadi kenyataan, jika dapat dirumuskan dan ditetapkan indicator yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi. Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi publik diukur keberhasilannya melalui ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik harus menetapkan indicator-indikator dantarget pengukuran kinerja yang berorientasi kepada masyarakat. Pengukuran kinerja pada organisasi publik dapat meningkatkan pertanggungjawaban dan memperbaiki proses pengambilan keputusan. Bagi pemerintah daerah, sebagai organisasi yang mengemban fungsi utama pemerintahan yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting terutama untuk mengukur pelayanan yang telah diberikan kepaa masyarakat,
dan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tahun berikutnya. Dwiyanto (2006:47) mengemukakan bahwa: Mengukur kinerja organisasi pelayanan publik sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan adanya informasi mengenai kinerja, maka penilaian dengan mudah dapat dilakukan dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan. Ada berbagai perspektif dalam menyusun kinerja publik. Secara garis besar, berbagai parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa. Gerakan Reinventing Government menuntut agar kinerja tidak lagi diukur dengan besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output, tetapi dengan mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau pelanggannya (Osborne dan Gaebler, 1993; Barzesley, 1992; Osborne dan Plastrik, 1997. Menurut Keban (2004: 1994-195), penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada kriteria atau indikator yang diilhami oleh suatu paradigm yang dianut. Apabila paradigm yang dianut lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap, dan tingkah laku pegawai akan menjadi penting. Bila paradigm yang dianut lebih berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia, maka hasil dan partisipasi, inisiatif, dan perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian. Sedangkan apabila organisasi menganut paradigm good governance, maka kedua-duanya akan menjadi sama pentingnya, karena selain harus bekerja professional dan akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan kepada publik, aspek transparansi, responsivitas, kepatuhan terhadap hokum, dan sebagainya, juga harus diperhatikan. Pengukuran kinerja dengan demikian merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dansasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi mengenai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Pengungkapan dan pengukuran kinerja organisasi publik (pemerintah) pada saat ini menjadi sangat penting, karena dipergunakan sebagai salah satu cara untuk menunjukkan akuntabilitas organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya kepada publik. Berdasarkan kepentingan untuk membangun good governance, banyak organisasi pemerintah berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan membangun dan mengembangkan sistem manajemen pemerintahan berbasis kinerja. Focus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sector publik yang berorientasi pada pengukuran hasil (outcome), tidak sekedar input dan output. Dalam istilah Osborne dan Gaebler (1992) disebut sebagai result-oriented government, yaitu pemerintahan yang membiayai outcomes bukan input. Konsep tersebut lahir sebagai reaksi dan ketidakpercayaan publik kepada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi Amerika Serikat, sehingga memunculkan konsep reinventing government. Prawirosentono (2008:27-32) dalam melakukan penilaian kinerja organisasi melakukan pendekatan dari perspektif pemberi layanan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah: 1. Efektivitas dan Efisiensi
Efektivitas adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan 2. Otoritas dan Tanggungjawab. Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk memerintah pada orang lain agar melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam suatu organisasi. Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanggung jawab adalah bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut. Bila ada wewenang berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab. 3. Disiplin. Disiplin adalah taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. 4. Inislatif. Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan menurut Mc. Donald dan Lawton (dalam Sadu Wasistiono dkk, 2002:47), adalah “output, oriented measures, throughout, efficiency and effectiveness”. Masih dalam buku yang sama, Sadu Wasistiono dkk. (2002:48) mengutip pendapat Lenvile mengenai tiga konsep yang biasa digunakan sebagai indikator kinerja untuk mengukur kinerja organisasi pemerintah, antara lain: responsiveness, responsibili ty, and accountability. Dalam kaitan ini, Sadu Wasistiono dkk. ( 2002: 48-50) menjelaskan beberapa indikator yang kiranya dapat dijadikan ukuran yang menggambarkan dan menjelaskan tingkat pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah sebagai berikut: a) Indikator Produktivitas. Produktivitas dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pemerintah. Namun produktivitas bukan satu-satunya indikator kinerja organisasi pemerintah karena produktivitas tidak akan mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kemampuan pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah. Namun ini bukan berarti bahwa produktivitas tidak lagi penting untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. Produktivitas tetap merupakan salah satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang penting (Perry, 1990). Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai konsep efisiensi atau rasio antara output dan input. Konsep ini terasa terlalu sempit jika dikaitkan dengan misi dan tujuan organisasi pemerintah. Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur efisiensi, tetapi diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan. b) Indikator Kualitas Layanan Quality of services atau kualitas layanan kini menjadi isu yang semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pemerintah. Kualitas layanan seringkali membentuk image masyarakat terhadap organisasi pemerintah. Banyak image negatif yang terbentuk mengenai organisasi pemerintah muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi pemerintah. Dengan demikian kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas layanan seringkali dapat diperoleh dari media masa atau diskusi publik. Karena akses terhadap mformasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi maka bisa
menjadi satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang murah dan mudah dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi decibel meters untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. c) Responsivitas. Lenvile (1990) menyatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas dalam konteks ini adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena, menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam menjalankan misi dan tujuannya. Responsivitas yang rendah, seperti ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, jelas menunjukkan kegagalan organisasi pemerintah dalam mewujudkan misi dan tujuannya. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. d) Responsibilitas. Lenvile (1990) menyatakan pula bahwa responsibilitas adalah apakah pelaksanaan kegiatan organisasi pemerintah itu dilakukan sesuai dengan prinsip -prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Karena itu responsibilitas bisa saja suatu ketika berbenturan dengan responsivitas. Keinginan seorang pejabat organisasi pemerintah untuk meningkatkan responsivitas bisa saja mengorbankan responsibilitas, manakala kebijakan dan prosedur administrasi yang ada dalam organisasinya ternyata tidak lagi memadai untuk menjawab dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ini terjadi disebabkan dinamika masyarakat selalu lebih cepat dari perubahan organisasi. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 49-51) bahwa ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu sebagai berikut: 1. Produktivitas. Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. 2. Kualitas Layanan Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena, ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pulik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan sering kali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik.
Akibat akses terhadap infonnasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. 3. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. 4. Responsibilitas Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implicit (Lenvine,1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas. 5. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Organisasi itu sendiri menurut Gibson (1992:8), pada dasarnya merupakan suatu bentuk kerjasama antara individu dan proses penggabungan aktivitas untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. Pada hakekataya organisasi itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dengan memuat banyak unsur lain seperti keluarga, pendidikan, pemerintahan dan organisasi lain.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat Kota Bandung, serta kinerja Pemerintah Kota Bandung. 3.2. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan teknik eksplanatori (explanatory research), yaitu suatu penelitian yang bermaksud untuk menguji hipotesis dan menjelaskan hubungan sebab-akibat (Singarimbun dan Sofian Efendi, 1995:2). 3.3. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung, yaitu seluruh Perusahaan Daerah, Dinas Daerah, Sekretariat Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Sekretariat DPRD, serta kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang berjumlah 84 SKPD. Berdasarkan keadaan populasi yang kurang dari 100, maka penelitian ini ditetapkan sebagai penelitian sensus, dimana seluruh anggota populasi diteliti. 3.4. Rancangan Analisis Data Analisis data kuantitatif dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) analisis deskriptif dengan menggunakan Label frekuensi untuk mendeskripsikan karakteristik variabel-variabel penelitian ; (2) analisis uji hipotesis dengan menggunakan statistik deskriptif (untuk kasus sensus) yang dilakukan untuk mengetahui hubungan korelasional dan hubungan kausal melalui analisis jalur (path analysis). Kelebihan dari analisis jalur adalah dapat menjelaskan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung, demikian pula besar pengaruhnya, dari variabel eksogenus (penyebab). Analisis jalur wring disebut pula sebagai causal modelling (Chun Li, 1981). Dalam penelitian sensus seperti penelitian ini, hipotesis penelitian tidak diuji melalui hipotesis statistik, taraf signifikansi alpha (α) maupun statistik uji, seperti uji F dan uji t (Sugiyono, 2003: 112). Hal ini disebabkan hal-hal ini hanya digunakan pada penelitian sampling yang dimaksudkan untuk menggeneralisasi hasil uji kepada populasinya. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diuji dengan menggunakan Koefisien Korelasi Multipel atau Ry.x1x2. Jika nilai Ry.x1x2 > 0,20 maka hipotesis penelitian diterima. Hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara individual atau parsial diuji dengan menggunakan Koefisien Jalur atau P y.xi . Jika nilai P y.xi > 0,20 maka hipotesis penelitian diterima. Nilai 0,20 adalah nilai batas kelas kategori kekuatan pengaruh lemah, sebagaimana merujuk kepada Guilford (1956: 145).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL PENELITIAN Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dianalisis melalui koefisien korelasi rx2x1 sebagaimana tampak dari hasil analisis jalur pada gambar berikut ini: X1 Rx2x1 = 0,2239 X2 Gambar 2. Hubungan Pengawasan Internal dengan Eksternal Dimana
: X2 = Pengawasan Internal X2 = Pengawasan Ekstemal
Hubungan korelasional antara Pengawasan Internal (XI) dengan Pengawasan Eksternal (X2) ditunjukkan oleh koefisien korelasi rx2x1 = 0,2239. Merujuk kepada nilai mutlak dari koefisien korelasi di atas menunjukkan bahwa keeratan hubungan diantara kedua variabel tergolong rendah, yaitu antara 0,20 — 0,40. Tampak bahwa arah hubungan antar variabel adalah positif yang menunjukkan bahwa SKPD dengan derajat Pengawasan Internal yang lebih tinggi berkecenderungan mempunyai derajat Pengawasan Eksternal yang lebih tinggi pula, demikian juga sebaliknya. Walaupun demikian, derajat kecenderungan tersebut relatif lemah. Hasil uji menunjukkan adanya hubungan antara Pengawasan Internal (X1) dengan Pengawasan Eksternal (X2) antar SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Tampak nilai korelasi = 0,2239 lebih besar daripada rbatas = 0,20. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Hasil analisis mengenai pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal dapat dilihat pada diagram jalur di bawah ini.
Gambar 3. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
Persamaan struktural Y = PYXI*Xl + PYX2*X2 + 6 Y = 0,4807% + 0,2122*X2 6 (R2 = 0,3217 atau 32,17% dan R = 0,5672) dimana : Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung X1 = Pengawasan Internal X2 = Pengawasan Eksternal Besarnya pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) secara simultan adalah sebesar R2 = 0,3217 = 32,17%. Merujuk kepada nilai koefisien korelasi multipel (VR2) yaitu sebesar R = 0,5672 menunjukkan bahwa pengaruh secara bersama-sama atau secara simultan dari kedua variabel penyebab tersebut terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong moderat atau cukup kuat, yaitu 0,40 – 0,70. Dari hasil uji diperoleh bahwa Rhitung lebih besar daripada Rbatas = 0,20 (nilai batas bawah kelas kategori kekuatan pengaruh yang lemah; Guilford; 1956:145) yang menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara simultan terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh secara bersama-sama diterima. Besarnya pengaruh, dengan kata lain juga menunjukkan besarnya variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat dijelaskan oleh kedua variabel penyebab di atas secara simultan, yaitu sebesar 32,17%. Sisa variasi, sebesar p2yε = 0,6783 atau 67,83% atau 1–R2, dijelaskan oleh faktorfaktor lain yang tidak diteliti. Pengaruh langsung dan tidak langsung yang mengurai besar pengaruh total kedua variabel di atas dapat dilihat selengkapnya pada tabel berikut: Tabel 1. Distribusi Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
dimana : Y = Kinerja Pemerintah Kota Bandung X1= Pengawasan Internal X2 = Pengawasan Eksternal Tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh terbesar terletak pada pengaruh langsung dari Pengawasan Internal, yaitu. sebesar 23,10%; sementara kontribusi pengaruh terkecil pada pengaruh tidak langsung, baik dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal maupun dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal (2,28%). Adanya korelasi yang positif, walaupun relatif rendah, antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal membuat kontribusi pengaruh tidak langsung bernilai positif dan sama besar. Secara total, pengaruh Pengawasan Internal (25,39%) relatif lebih tinggi daripada. pengaruh Pengawasan Eksternal (6,79%). Pengaruh Pengawasan Internal (X1) secara parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) ditunjukkan oleh koefisien jalur pyxl= 0,4807 dengan pengaruh langsung sebesar
P2YXI = (0,4807)2 x 100% = 23,10%. Dari hasil uji diperoleh bahwa pyx l lebih besar daripada Pbatas = 0,20 (nilai pbatas adalah batas kelas kategori kekuatan pengaruh lemah) yang menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y). Dengan demikian, hipotesis penelitian mengenai adanya pengaruh dari Pengawasan Internal (X1) secara parsial diterima. Merujuk kepada nilai koefisien jalur yaitu sebesar |pyxI| = 0,4807 menunjukkan bahwa pengaruh Pengawasan Internal (X1) secara parsial tergolong cukup kuat; yaitu. antara 0,40 — 0,70. Arah pengaruh Pengawasan Internal yang positif secara parsial menunjukkan bahwa pengawasan internal yang lebih baik pada suatu SKPD, pada derajat pengawasan eksternal yang sama, cenderung mampu menghasilkan kinerja yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Pengaruh Pengawasan Internal (X1) dan Pengawasan Eksternal (X2) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil Uji Kontribusi Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh RY.X1X2 R2Y.X1X2 Kategori Simultan Pengawasan 0,5672 32,17% Cukup Kuat Internal (X) dan Pengawasan Eksternal (X Pengaruh pyx1 P2YX1 Kategori Parsial Pengawasan 0,4807 23,10% Cukup Kuat Internal (X1) Pengawasan 0,2122 4,50% Lemah Eksternal (X2) pyx1 = koefisien jalur, p2yx1 = besar pengaruh langsung
Kep.
Kesimpulan
R>0,20
Hipotesis diterima
t
Keputusan
pyx1 > 0,20
Hipotesis diterima Hipotesis diterima
pyx1 > 0,20
Tabel di atas menunjukkan bahwa Pengawasan Internal (X1) berpengaruh cukup erat secara parsial, sedangkan Pengawasan Eksternal (X2) berpengaruh secara parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung (Y) walaupun relatif lemah. Keberpengaruhan Pengawasan Eksternal (X2) yang lemah ini menggambarkan bahwa derajat pengawasan eksternal yang lebih tinggi, pada derajat pengawasan internal yang sama, relatif belum cukup menjamin pencapaian kinerja SKPD yang lebih baik. Walaupun demikian, tampak bahwa secara deskriptif, arah pengaruh Pengawasan Eksternal sesuai secara teoritis. Hal ini menggambarkan bahwa Pengawasan Eksternal belum efektif dalam meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan hasil model secara keseluruhan dan hasil analisis sebagaimana telah diuraikan di atas, variabel dominan dalam model adalah: Pengawasan Internal. Tampak dari perbandingan koefisien jalur maupun besarnya pengaruh langsung dan pengaruh total, pengaruh Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung lebih dominan daripada Pengawasan Eksternal.
4.2. Pembahasan 4.2.1. Pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Sebagai temuan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model pengaruh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung, pada lingkungan SKPD-SKPD Pemerintah Kota Bandung mempunyai tingkat kesesuaian yang cukup tinggi dan relevan dengan fakta penelitian yang ada. Hal ini tercermin dari nilai koefisien determinasi pada model, yaitu sebesar R2 = 32,17%. Artinya, besarnya pengaruh secara bersamasama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 32,17%. Dengan kata lain, dari sekian faktor yang secara teoritis mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung; 32,17% variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat dijelaskan oleh Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Besarnya pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti di luar Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 67,83%. Relatif besarnya pengaruh faktor luar menunjukkan bahwa hasil pemodelan ini masih membuka peluang dilakukannya penelitian lanjutan untuk menyertakan faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam analisis pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heryati (2007:185) yang menyimpulkan bahwa pengawasan berpengaruh terhadap kinerja sebesar 63%, ini berarti kinerja pegawai dipengaruhi sangat signifikan oleh pengawasan, walaupun masih ada variabel lain yang juga mempengaruhi, yakni sebesar 37%. Hasil penelitian mengenai adanya pengaruh pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal, secara simultan terhadap kinerja sesuai dengan pendapat Terry (1960:395) yang menyatakan bahwa dengan adanya pengawasan dapat diamati apakah pelaksanaan suatu pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan atau sebaliknya, dan bila terjadi penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan, akan dapat dengan cepat ditanggulangi guna pencapaian tujuan yang direncanakan. Fungsi pengawasan dalam membantu manajemen meliputi tiga hal, yaitu: (1) meningkatkan kinerja organisasi, (2) memberikan opini atas kinerja organisasi dan (3) mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada. Fungsi ini dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan manajemen secara cepat dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara internal maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197). Faktor-faktor lain di luar pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang diduga ikut mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung terutama adalah kinerja aparatur. Sebagaimana merujuk kepada Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142), bahwa kineda suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational, maupun administratif. Kinerja unit-unit organisasi dimana seseorang atau sekelompok orang berada di dalamnya merupakan pencerminan dari kinerja somber daya manusianya. Selain dipengaruhi oleh kinerja aparatur, kinerja pemerintah Kota Bandung sebagaimana merujuk kepada Swanson (1999:73) diduga juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik dan budaya. Demikian pula struktur organisasi, kebijakan organisasi dan kepemimpman atasan, ketersediaan anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif Sebagai model solusi peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung, dalam hal im
SKPD, adanya pengaruh secara bersama-sama dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal menunjukkan bahwa upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat dilakukan melalui usaha-usaha perbaikan Pengawasan Internal dan penyelarasan Pengawasan Eksternal sesuai tujuan pencapaian kinerja. Upaya perbaikan dan penyelarasan seyogyanya dilakukan dengan mengacu pada hasil analisis deskriptif mengenai kesenjangan-kesenjangan yang masih ada, baik yang berkaitan dengan teknik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal, selaras dengan pencapaian kinerja yang diharapkan. Hasil analisis yang menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal menunjukkan masih adanya kesenjangan atau disparitas di antara faktor-faktor pembentuk kinerja pemerintah. Pengawasan internal yang lebih intensif tidak cenderung seiring sejalan dengan pengawasan eksternal yang lebih intensif, demikian pula sebaliknya. Hal ini menandakan perlunya perbaikan mekanisme pengawasan secara strategik yang memadukan pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara sinergis dalam upaya peningkatan kinerja di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Tidak adanya hubungan kedinasan antara Bawasda selaku pengawas internal dengan DPRD dan masyarakat selaku pengawas eksternal semestinya tidak menjadi hambatan bagi upaya pengawasan secara sinergis di antara keduanya. Sebagaimana merujuk kepada pendapat Budiardjo dan Ambong (1995:180), dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD diberikan kekuasaan untuk memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi pengawasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran DPRD dan masyarakat dalam pengawasan eksternal ini cenderung kurang sinergis dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda. Dimungkinkan bahwa hal ini dalam rangka menjaga objektivitas masing-masing pelaku pengawasan. Akan tetapi jika tujuan pengawasan menjadi tujuan bersama, sesungguhnya sangat memungkinkan bagi Bawasda dan DPRD dan masyarakat menjalankan fungsi pengawasannya secara sinergis, baik melalui interaksi komunikasi maupun koordinasi dengan tetap menjaga kemandiriannya masing-masing. Dengan demikian diharapkan kombinasi pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara terpadu dari Bawasda dan DPRD Serta masyarakat, dapat mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah secara lebih baik yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Dalam rangka meningkatkan efektivitas perbaikan pengawasan internal dan pengawasan ekstemal, maka upaya yang dilakukan seyogyanya lebih diarahkan pada optimalisasi komponenkomponen kinerja yang relatif paling senjang. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terdapat tujuh (7) indikator kinerja yang dinilai belum optimal relatif dibandingkan dengan dua belas (12) indikator lainnya. Indikator-indikator tersebut adalah: Tabel 3 Prioritas Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung Dimensi/Indikator Produktivitas Kesesuaian penghasilan dengan pelayanan Kecukupan SDM dari segi kuantitas dan kualitas Kecukupan sarana dan prasarana dari segi kuantitas
Bobot 63,4% 57,1% 55,1% 53,9%
Prioritas I 5 4 3
dan kualitas Adanya alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan Adanya pilihan dalam upaya menemukan strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja Kualitas Layanan Menggunakan keterampilan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Tidak adanya keluhan dari masyarakat atas pelayanan
51,5%
1
74,4%
7
68,3% 73,8%
II 6
51,5%
2
Dari tabel di atas, urut-urutan prioritas optimalisasi kinerja adalah: Meningkatkan kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan; Meningkatkan kepuasan pelayanan dengan meminimalisasi tingkat keluhan; Meningkatkan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan; Meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM; Memperbaiki sistem penentuan tarif retribusi pelayanan dan menekan kebocoran penerimaan retribusi atas pelayanan; 6) Meningkatkan keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan melalui pelatihan pelayanan; dan 7) Memperbaiki kemampuan jajaran manajemen dalam perencanaan strategic terutama dalam menyusun berbagai skenario cara pencapaian kinerja yang diharapkan. 1) 2) 3) 4) 5)
Alokasi anggaran untuk memberikan pelayanan kepada masing-masing SKPD belum semuanya terpenuhi. Ketersediaan anggaran penting agar SKPD dapat memberikan pelayanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Terlebih sistem anggaran yang digunakan adalah sistem anggaran berbasis kinerja dimana anggaran digunakan untuk menunjang kinerja yang mengedepankan efisiensi dan efektivitas. Kurang tersedianya alokasi anggaran yang diperlukan akan berekses kepada tidak optimalnya pelayanan kepada masyarakat, baik dalam wujud keterbatasan sarana dan prasarana serta tidak berjalannya program pelayanan sebagaimana yang diharapkan. Dari hasil pengamatan terungkap adanya keluhan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan SKPD. Keluhan masyarakat lebih banyak terarah pada kurang terpeliharanya infrastruktur yang ada, seperti misalnya jalan yang rusak dan buruknya saluran drainase. Demikian juga keluhan atas lambatnya perbaikan infrastruktur yang rusak. Berkaitan dengan kecukupan sarana dan prasarana di masing-masing SKPD, penelitian ini mengungkap bahwa sarana prasarana di lingkungan SKPD cukup memadai, khususnya ketersediaan alat komunikasi. Walaupun demikian, kecukupan sarana dan prasarana tersebut seyogyanya tidak hanya disesuaikan dengan standarisasi sarana dan prasarana sesuai dengan peraturan yang ada, namun juga menyesuaikan dengan penyediaan sarana dan prasarana sesuai penyelenggaraan pelayanan prima yang diharapkan oleh masyarakat. Perihal kuantitas dan kualitas SDM, masih banyak SKPD yang menilai bahwa SDM yang tersedia kurang memadai. Pola rekruitmen dan penempatan pegawai di masing-masing SKPD masih berdasarkan pada pemenuhan kuantitas dan belum sepenuhnya berdasarkan tingkat kualitas yang dibutuhkan. Untuk itu, semestinya Pemerintah Kota Bandung secara sertahap dan berkesinambungan dapat memperbanyak berbagai program pendidikan dan pelatihan dalam
rangka peningkatan kualitas SDM yang dapat menunjang pelayanan prima. Berkaitan dengan penghasilan, telah ada kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan yang diberikan oleh SKPD. Walaupun demikian kesesuaian ini relatif terjadi pada beberapa SKPD saja atau masih belum merata. pada SKPD-SKPD yang memang berpotensi menerima penghasilan atas pelayanannya. Adapun untuk SKPD-SKPD yang kurang berorientasi penghasilan, maka seyogyanya diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanannya. Selanjutnya, dari hasil penelitian terungkap ada kecenderungan bahwa masing-masing SKPD memang menggunakan keterampilan yang sesuai dengan profesinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini mengingat dalam kebijakan pengembangan pegawainya, Pemerintah Kota Bandung sudah mengarahkannya pada pengembangan jabatan fungsional yang sejalan dengan optimalisasi pelayanan. Peningkatan keterampilan aparatur dalam memberikan pelayanan sesuai profesinya perlu didorong terus-menerus. Hal ini karena keterampilan merupakan faktor penunjang lancarnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi SKPD dalam memberikan pelayanan. Dalam penentuan strategi peningkatan kinerja, adanya beberapa pilihan bagi SKPD untuk menemukan strategi yang tepat relatif cukup tersedia. Walaupun demikian, agar strategi yang dipilih benar-benar dapat meningkatkan kinerja, hal ini harus ditunjang dengan ketersediaan sarana, dan prasarana serta adanya sistem penilaian kinerja yang jelas dan adil. Berdasarkan Misi Kota Bandung yang dituangkan ke dalam Rencana Stratejik (RENSTRA) Kota Bandung Tahun 2004-2008, misi yang bersesuaian dengan upaya peningkatan kinerja pemerintah Kota Bandung adalah misi ke-5 dan ke-6. Misi ke-5 adalah meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat. Pemberdayaan aparatur pemerintah dikembangkan dalam rangka peningkatan kompetensi dan profesionalisme sebagai pelayan masyarakat. Misi ini didasarkan atas kondisi obyektif bahwa kualitas pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat belum optimal, sehingga menyebabkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kota belum memenuhi harapan. Dari dasar misi ke-5 ini tersirat bahwa kualitas pelayanan dari aparatur pemerintah merupakan faktor penentu bagi pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggung-jawaban Walikota Bandung Tahun 2006, pelaksanan misi ke-5 ini pada tahun anggaran 2006 mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 98.522.242.765,- yang meningkat sebesar 40,98% dari tahun 2005 Rp 69.882.871.664,-. Peningkatan alokasi anggaran ini diikuti dengan meningkatnya jumlah kegiatan yang dilakukan, yaitu dari 207 kegiatan pada tahun 2005 menjadi 255 kegiatan pada tahun 2006 atau meningkat sebesar 23,19%. Dibatasi pada program pelayanan prima, jumlah alokasi anggaran dan jumlah kegiatan yang dilakukan juga meningkat dari 81 kegiatan di tahun 2005 (alokasi anggaran sebesar Rp 13.939.299.613,-) menjadi 150 kegiatan di tahun 2006 (alokasi anggaran sebesar Rp 24.876.775.700,-) atau meningkat 85,19% untuk jumlah kegiatan dan meningkat 78,47% untuk alokasi anggaran. Dibandingkan dengan program lainna, jumlah kegiatan untuk program pelayanan prima lebih dominan, yaitu 81 kegiatan dari 207 kegiatan (39,13%) pada tahun 2005 yang meningkat menjadi 150 kegiatan dari 255 kegiatan (58,82%) pada tahun 2005 (proporsinya meningkat sebesar 50,33%). Walau demikian, pencapaian misi kinerja pemerintahan yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat terbatas pada meningkatnya jumlah pegawai yang mengikuti diklat, yaitu dari 807 orang pada tahun 2005 menjadi 922 orang pada tahun 2006 (meningkat sebsar 14,25%). Diklat tersebut terdiri dari diklat pelayanan prima, diklat
manajemen kepala sekolah, diklat manajemen pemerintahan, serta diklat manajemen pengawas TK dan SD. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan kinerjanya masih terbatas pada pemberdayaan aparatur pemerintah melalui usaha-usaha untuk meningkatkan keterampilan aparatur dalam memberikan pelayanan. Pemerintah tampaknya belum mampu membangun sistem pelayanan yang efektif dan efisien bagi masyarakat akibat terbatasnya alokasi anggaran. Keterbatasan ini juga berekses pada kurang tersedianya saranaprasarana dan SDM. Relatif masih rendahnya kesesuaian antara penghasilan dengan pelayanan yang diberikan mengkondisikan pemerintah untuk bergantung pada sumber pembiayaan di luar penghasilan atas pelayanan. Relatif masih tingginya keluhan masyarakat atas pelayanan pemerintah menjadi tanda bahwa meningkatnya keterampilan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan dinilai belumlah memadai. Sementara upaya membangun sistem pelayanan yang lebih baik terbentur kepada keterbatasan anggaran. Dapat dikemukakan bahwa dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja, pemerintah masih cenderung mempertahankan sistem pelayanan yang ada. Seyogyanya pemerintah dapat berinisiatif untuk melakukan perubahan atas sistem pelayanan jika dinilai membatasi terjaminnya kualitas pelayanan yang lebih baik. Misi ke-6 Pemerintah Kota Bandung adalah mengembangkan sistem keuangan kota, yang mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sistem pembiayaan terdiri atas: Pertama, pembiayaan yang bersumber dari pemerintah sebagai kebijakan fiskal daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APED). Kedua, pembiayaan yang bersumber dari swasta dan dunia usaha dalam bentuk investasi, dan Ketiga, pembiayaan yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk swadaya masyarakat. Hasil penelitian yang mengungkapkan adanya keterbatasan alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berhasil memberdayakan sumber-sumber pembiayaan dalam rangka peningkatan pelayanan. Pemerintah Kota Bandung masih mengandalkan sumber pembiayaan sendiri yang terbatas untuk membiayai program-program peningkatan pelayanan. Pemerintah belum memiliki kemampuan untuk melibatkan investasi swasta dan swadaya masyarakat sebagai sumber pembiayaan lainnya dalam rangka peningkatan pelayanan. Kebijakan pembangunan yang menjadi dasar strategi pembangunan belum dapat menjadi arah penentu peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Kebijakan Rencana Stratejik (RENSTRA) Kota Bandung Tahun 2004-2008, kebijakan pemerintah dalam peningkatan pelayanan terbatas pada mengupayakan terjadinya peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Demikian pula dalam bidang pembiayaan kota, kebijakan pemerintah lebih dibatasi pada mendorong petumbuhan dan pengembahgan potensi pembangunan kota. Dari temuan ini, dapat disusun model pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung atas komponen-komponen yang menyusunnya sebagai berikut: 1. Merancang sistem pelayanan yang lebih efektif, efisien, profesional, akuntabel dan transparan dengan menyertakan investasi swasta dan swadaya masyarakat. 2. Memperbesar alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan dengan mendorong peningkatan penghasilan atas pelayanan. 3. Menyesuaikan kapasitas serta kualitas SDM dan sarana-prasarana yang diperlukan sesuai kebutuhan sistem. 4. Menyertakan partisipasi masyarakat dalam sistem pelayanan.
Dalam kaitannya dengan penyertaan pengawasan baik internal maupun eksternal, model pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung di atas menjadi arah upaya peningkatan pengawasan yang dilakukan. 4.2.2 Pengaruh Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawasan Internal memiliki pengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Besarnya pengaruh langsung Pengawasan Internal adalah sebesar P2 YX1 = 23,10%. Adanya pengaruh yang positif dan cukup kuat dari Pengawasan Internal menunjukkan bahwa Pengawasan Internal cukup efektif dalam peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Pengaruh total Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 25,39% yang merupakan hasil juinlah pengaruh langsung dan ticlak langsung (sebesar 2,28%). Tampak bahwa sumbangan pengaruh Pengawasan Internal melalui Pengawasan Ekstemal relatif lebih kecil daripada pengaruh langsungnya. Hal ini disebabkan rendahnya keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Di antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan perbandingan pengaruh, Teknik Pengawasan Internal merupakan variabel dominan. Tampak bahwa pengaruh langsung Pengawasan Internal (23,10%) lebih besar daripada Pengawasan Eksternal (4,50%). Demikian pula pengaruh total Pengawasan Internal (25,39%) lebih besar daripada Pengawasan Eksternal (6,79%). Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan Pengawasan Internal mempunyai efek yang lebih kuat dalam pencapaian kinerja pemerintah yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan Pengawasan Eksternal. Dalam penelitian ini, pengawasan internal merupakan pengawasan ftirigsional yang dijalankan oleh Bawasda. Sebagaimana mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983, dalam pengawasan ini setiap upaya yang dilakukan oleh Bawasda sebagai aparatur yang ditunjuk khusus (exclusively assigned) berkaitan dengan kegiatan audit secara independen terhadap obyek yang diawasinya. Dalam praktiknya, fungsi pengawasan internal ini dijalankan melalui pemeriksaan dan tugas lainnya seperti: verifikasi, konfmnasi, survei, assessment dan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang sedang dalam pengawasan. Relatif dibandingkan pengawasan ekstemal, pengawasan internal memiliki keunggulan dalam hal tingkat integrasinya dengan manajemen yang diawasinya. Dengan demikian, pengawasan internal lebih memungkinkan manajemen melakukan tindakan pengendalian. Sebagaimana merujuk kepada G.R. Terry dan Leslie W. Rue (2001:10), pengendalian yang dimaksud adalah pengukuran pelaksanaan dengan tujuan-tujuan, penentuan sebab-sebab penyimpanganpenyimpangan dan pengambilan keputusan tentang tindakan-tindakan korektif yang diperlukan. Dari sisi ini, tampak bahwa pengawasan internal lebih memberikan kontribusi kepada pencapaian kinerja sesuai rencana relatif dibandingkan pengawasan eksternal. Hasil-hasil pengawasan internal dapat secara langsung diikuti dengan pengambilan tindakan-tindakan korektif yang diperlukan. Sebagaimana hasil analisis deskriptif, prioritas peningkatan pengawasan internal seyogyanya dilakukan untuk dimensi dan indikator-indikator sebagai berikut: Tabel 4. 4 Prioritas Peningkatan Pengawasan Internal di Kota Bandung
Dimensi/Indikator Penentuan Standar Pengawasan Penentuan Standar Pengawasan Kejelasan aturan dalam pelaksanaan pengawasan Adanya pegawai yang profesional Pengukuran Hasil Pekerjaan Bawasda menanyakan kegiatan SKPD Bawasda mengetahui hasil kegiatan SKPD Perbandingan Hasil dengan Standar Evaluasi dari Bawasda atas hasil kegiatan SKPD Penilaian hasil oleh Bawasda sesuai target yang ditentukan Koreksi Penyimpangan Adanya tindakan atas penyimpangan yang terjadi Penyerahan tanggung jawab dari Bawasda kepada SKPD untuk melakukan perbaikaniika terdapat penyimpangan
Bobot
Prioritas
Dari delapan (8) indikator teknik pengawasan internal yang dikaji, tampak bahwa komposisi prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan menjangkau seluruh dimensi pengawasan internal. Perbaikan pengawasan internal perlu dilakukan mulai dari penentuan standar pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, perbandingan hasil dengan standar dan koreksi atas penyimpangan. Berkaitan dengan penentuan standar pengawasan, perbaikan terletak pada peningkatan profesionalitas aparatur Bawasda dalam menjalankan fungsi pengawasan. Berkaitan dengan pengukuran hasil pekerjaan, perbaikan terletak pada peningkatan kemampuan Bawasda dalam melakukan pengukuran hasil kegiatan SKPD. Berkaitan dengan perbandingan hasil dengan standar, perbaikan terletak pada peningkatan kemainpuan Bawasda dalam melakukan penilaian atas kinerja SKPD sesuai dengan ketentuan. Berkaitan dengan koreksi penyimpangan, perbaikan terletak pada peningkatan peran Bawasda dalam memantau dan mendorong pelaksanaan tindak lanjut atas temuan-temuan penyimpangan. Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan, hampir semua aparat Bawasda telah melakukan secara profesional. Sebagian kecil aparat Bawasda yang kurang profesional umumnya karena belum memiliki pengalaman yang cukup dan masih belajar. Untuk menjaga profesionalitas aparat Bawasda, setiap aparat Bawasda yang bertugas semestinya menunjukkan ketaatan yang tinggi, baik terhadap profesi dan/atau spesialisasinya. Bawasda dinilai telah memberikan penilaian atas hasil pekerjaan yang dilakukan oleh SKPD. Dalam pelaksanaan penilaian tersebut, Bawasda juga telah menyesuaikannya dengan Rencana Kerja Pengawasan Tahunan. Walaupun demikian, kemungkinan adanya beberapa rencana penilaian yang tidak dapat dilaksanakan semestinya dapat diantisipasi dengan pengelolaan alokasi SDM dan waktu yang lebih baik.
Ada penilaian bahwa Bawasda memang mengetahui hasil kegiatan yang dilakukan oleh seluruh SKPD, yaitu melalui pemeriksaan reguler, evaluasi LAKIP dan laporan tiga bulanan. Hal ini mengingat sesuai dengan fungsinya maka seluruh bidang/sub bidang di Bawasda harus melaksanakan penyusunan dan penyampaian laporan hasil pemeriksaan dan saran tindak sesuai dengan bidangnya. Atas hasil yang tidak sesuai dengan rencana pada suatu SKPD, Bawasda umumnya memberikan tindakan melalui koreksi atas berbagai hal yang tidak sesuai dengan rencana hingga tujuan dapat tercapai. Dalam melakukan pemeriksaan, Bawasda semestinya harus selalu membuat Naskah Hasil Pemeriksaan (NHP) yang dipaparkan secara terbuka antara Bawasda dengan SKPD yang diawasinya agar SKPD dapat memperbaikinya sesuai tenggang waktu yang diberikan menurut aturan. Berdasarkan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang / Tahap Transformasi) melalui perbaikan Pengawasan Internal dapat diskemakan pada gambar 4.6. berikut ini.
-
-
Kurangnya kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan Masih adanya keluhan dari masyarakat atas pelayanan Belum mencukupinya sarana dan prasarana dari segi kuantitas dan kualitas Belum mencukupinya SDM dari segi kuantitas dan kualitas Belum sesuainya penghasilan dengan pelayanan Kurangnya keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Kurangnya pilihan dalam upaya menemukan strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja Peningkatan profesionalitas aparatur Bawasda dalam meningkatkan standar pengawasan internal Peningkatan kemampuan Bawasda dalam pengukuran hasil kegiatan SKPD Peningkatan kemampuan Bawasda dalam penilaian hasil sesuai target yang ditentukan Peningkatan peran Bawasda dalam memantau dan mendorong pelaksanaan tindak lanjut atas temuantemuan penyimpangan yang telah dilaporkan
-
Kapasitas alokasi anggaran dalam menunjang pelayanan makin tersedia Keluhan dari masyarakat atas pelayanan menurun Sarana dan prasarana dari segi kuantitas dan kualitas makin sesuai dengan kebutuhan SDM dari segi kuantitas dan kualitas makin sesuai dengan kebutuhan Penghasilan dengan pelayanan makin sesuai Keterampilan SDM dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat makin meningkat Pilihan dalam upaya menemukan strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja makin banyak
Gambar 4.4 Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Perbaikan Pengawasan Internal Proses perbaikan pengawasan internal seyogyanya sesuai dengan arah pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung sebagaimana telah diuraikan di atas. Bawasda sebagai pelaksana pengawasan internal diharapkan mampu mendorong terciptanya sistem pelayanan yang efektif, efisien, profesional, akuntabel dan transparan. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan Bawasda, yaitu: meningkatkan kinerja dan terwujudnya pelayanan yang prima dari instansi/unit kerja di lingkungan pemerintah, khususnya unit-unit kerja yang berhubungan dengan masyarakat. Agar dapat mencapai tujuan tersebut, Bawasda perlu melengkapi standard kinerja tiap-tiap instansi dengan standard pelayanan yang seharusnya diberikan tiap-tiap instansi tersebut kepada masyarakat, termasuk standard biaya pelayanan dan penghasilan atas pelayanan. Demikian pula secara terus-menerus meningkatkan kemampuan pegawainya dalam melakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya kebocoran anggaran dan penerimaan penghasilan Serta untuk menjamin agar kinerja yang dihasilkan sesuai standardnya. Demikian pula dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan dan mendorong tindaklanjutnya. 4.2.3. Pengaruh Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawasan Eksternal memiliki pengaruh secara individual atau parsial terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Besarnya pengaruh langsung Pengawasan Eksternal adalah sebesar p2yx2 = 4,50%. Adanya pengaruh yang positif, walaupun relatif lemah, dari Pengawasan Eksternal menunjukkan bahwa efektivitas Pengawasan Eksternal dalam peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung relatif masih rendah. Pengaruh total Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 6,79% yang merupakan hasil jumlah pengaruh langsung dan tidak langsung (sebesar 2,28%). Tampak bahwa sumbangan pengaruh Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal relatif lebih kecil
daripada pengaruh langsungnya sebagai akibat rendahnya hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal. Dibandingkan Pengawasan Internal, Pengawasan. Eksternal memiliki pengaruh yang resesif atau tidak dominan. Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan Pengawasan Eksternal mempunyai efek yang lebih lemah dalam pencapaian kinerja pemerintah yang lebih baik dibandingkan dengan peningkatan Pengawasan Internal. Hasil ini menandakan perlunya upaya penyelarasan agar pengawasan eksternal dari SKPD dapat sejalan dengan tujuan peningkatan kinerja pemerintah daerah. Relatif lemahnya pengaruh dari Teknik Pengawasan Eksternal secara individual terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung juga menunjukkan kurang berfungsinya Komisi DPRD dan masyarakat dalam menjalankan tugas pengawasannya dan relatif lebih menggantungkan pada pengawasan internal oleh Bawasda. Untuk itu amat diperlukan peran serta seluruh anggota DPRD dan keterlibatan masyarakat dalam memberdayakan DPRD sebagai lembaga yang secara formal melaksanakan pengawasan, baik dalam mendorong efektivitas pencapaian kinerja pemerintah yang diharapkan maupun merancang dan menetapkan model pengawasan yang lebih menjamin pencapaian kinerja. Menurut Budiardjo dan Ambong (1995:180), peran DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan sangat penting untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan yang dilakukan dalam memberikan penilaian terhadap kebijakan dan tingkah laku pihak eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Dalam rangka meningkatkan peran DPRD untuk menjalankan pengawasan eksternal, perbaikan fungsi pengawasan seharusnya dilakukan baik untuk pengawasan langsung maupun pengawasan tidak langsung. Siagian (2003:115) berpendapat bahwa dimensi-dimensi dari pengawasan meliputi: (1) Pengawasan langsung (direct control), dan (2) Pengawasan tidak langsung (indirect control). Sebagaimana hasil analisis deskriptif, prioritas peningkatan pengawasan eksternal seyogyanya dilakukan untuk dimensi dan indikator sebagai berikut: Tabel 4.5. Prioritas Peningkatan Pengawasan Eksternal di Kota Bandung Dimensi/Indikator Kunjungan ker a oleh Komisi DPRD Dengar Pendapat oleh Komisi DPRD Pembentukan Panitia Khusus DPRD Melakukan Rapat Paripuma Pengawasan Masyarakat Menyampaikan pendapat lewat Media Massa Menyampaikan pendapat lewat Selebaran Melakukan Unjukrasa
Bobot
Prioritas
Dari tujuh (7) indikator pengawasan eksternal yang dikaji, tampak bahwa komposisi prioritas perbaikan yang seyogyanya dilakukan meliputi kedua dimensi, baik dimensi pengawasan legislatif maupun pengawasan masyarakat. Tampak pula bahwa titik berat perbaikan pengawasan eksternal terkonsentrasi pada perbaikan pelaksanaan pengawasan langsung oleh
DPRD. Perbaikan dalam pengawasan langsung terletak pada kunjungan kerja Komisi DPRD ke setiap SKPD. Sedangkan dalam pengawasan masyarakat, perbaikan yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah mengoptimalkan hasil evaluasi dari Bawasda mengenai SKPD yang diawasinya dalam bentuk selebaran sebagai masukan penting dalam melakukan evaluasi, sehingga anggota Komisi DPRD dalam melaksanakan pengawasan tidak hanya mengandalkan pengaduan/masukan dari masyarakat saja. Hal ini sesuai dengan fungsi DPRD dalam pelaksanaan pengawasan, yaitu diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Walikota dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, seperti yang tertuang di dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bandung. Berdasarkan urutan prioritas optimalisasi kinerja sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan sesuai dengan kerangka pemikiran teori sistem tiga tahap, implementasi upaya peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam Tahap II (Die Ubergang/Tahap Transformasi) melalui perbaikan Pengawasan Eksternal diskemakan pada gambar 4.7 berikut ini. Gambar
Gambar 4.5. Implementasi Upaya Peningkatan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Perbaikan Teknik Pengawasan Eksternal Sebagaimana proses perbaikan pengawasan internal, proses perbaikan untuk pengawasan eksternal seyogyanya juga relevan dengan arah pengembangan kinerja Pemerintah Kota Bandung. DPRD sebagai pelaksana pengawasan eksternal, bersama-sama masyarakat dan Bawasda, diharapkan mampu mendorong berkembangnya sistem pelayanan yang efektif, efisien, profesional, akuntabel dan transparan. Hal ini dapat dilakukan DPRD; baik melalui pembentukan berbagai aturan, penyesuaian alokasi anggaran, dan tindakan pengawasan; yang mendukung terciptanya sistem pelayanan yang lebih baik. Agar dapat menjalankan fungsinya tersebut, DPRD perlu meningkatkan frekuensi dan kualitas kunjungan kerjake tiap-tiap SKPD dalam rangka mengevaluasi secara langsung kinerja SKPD dan kualitas pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Demikian pula mengoptimalkan hasil evaluasi dari Bawasda sebagai masukan tambahan dalam melakukan evaluasi serta memberikan pertimbangan dan arahan kepada pemerintah daerah berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat. Dalamlegislatif, DPRD dapat melakukan kunjungan kerja baik secara individu maupun komisi. Dalam pendekatan individu, anggota Komisi DPRD yang melakukan pengamatan dapat bertindak sebagai ghost shopper (mengambil istilah dari manajemen pemasaran, yang berarti melakukan observasi untuk mengevaluasi bagaimana produk barang/jasa disampaikan, dengan bertindak seolah-olah sebagai pembeli). Melalui pendekatan ini, anggota Komisi DPRD sebagai pengawas dapat melakukan evaluasi secara lebih objektif. 4.2.4. Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal dalam Rangka Pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung Hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal merupakan bentuk jalinan atau keterkaitan antara pengawasan internal oleh Bawasda dengan pengawasan eksternal
oleh DPRD dan masyarakat dalam rangka menyelaraskan pelaksanaan fungsi pengawasan masing-masingnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Derajat keterkaitan antara pengawasan internal dengan pengawasan eksternal menunjukkan sejauh mana tingkat komunikasi dan koordinasi antara Bawasda dan DPRD serta masyarakat, baik antara Komisi DPRD dengan Tim Pengawas maupun antara DPRD dengan Kepala Bawasda dalam mekanisme rapat paripurna DPRD. Keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal atau rx2x1 = 0,2239. Berdasarkan kategori tinggi-rendahnya keeratan hubungan, derajat keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dengan Pengawasan Eksternal tergolong rendah. Sebagaimana hasil uji eksistensi hubungan ini dapat diterima. Keeratan hubungan im sebanding dengan besarnya variasi Pengawasan Eksternal yang dapat dijelaskan oleh proporsi/bagian variasi Pengawasan Internal atau sebaliknya (dari total variasi 100%) yang ditunjukkan oleh nilai kuadrat dari koefisien korelasi antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal atau (rx2x1)2 x 100% = (0,2239))2 x 100% = 5,01%. Dalam bentuk gambar, hubungan antara Pengawasan Internal Bawasda dan Pengawasan Ekstemal DPRD dan masyarakat Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar Gambar 4.6. Hubungan antara Pengawasan Internal Bawasda dengan Pengawasan Ekstemal DPRD Kota Bandung Keeratan hubungan antara Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang lemah mengindikasikan masih rendahnya tingkat komunikasi dan koordinasi antara Bawasda dan DPRD serta masyarakat, khususnya dalam melaksanakan ftingsi pengawasan masing-masing. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda, baik secara keseluruhan maupun per masing-masing Tim Pengawas, memiliki tingkat keterkaitan yang masih rendah dengan DPRD dan masyarakat, baik secara keseluruhan maupun per masing-masing Komisi. Khususnya dalam rangka peningkatan kinerja SKPDSKPD yang menjadi objek tugasnya. Temuan fenomena ini dimungkinkan akibat masih rendahnya frekuensi pertemuan antara Bawasda dengan DPRD dalam mengkomunikasikan maupun mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasannya dan hasil pengawasannya masing-masing. Demikian juga masih kurangnya pemanfaatan berbagai bentuk informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan, baik dalam pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dari Bawasda maupun dalam pengawasan internal oleh Bawasda dari DPRD. Kondisi ini dipicu oleh lemahnya otoritas Bawasda dan DPRD dalam mendorong peningkatan kerjasama pengawasan. Semestinya walaupun antara Bawasda dan DPRD serta masyarakat tidak ada hubungan kedinasan, perlu ada mekanisme yang memungkinkan kedua lembaga pengawas ini dapat menyelaraskan pengawasannya masingmasing dalam rangka membentuk pengawasan yang sinergis untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan kerjasama antar kedua lembaga melalui aktivitas komunikasi dan koordinasi secara terus-menerus dalam mendorong pencapaian
kinerja SKPD. 4.2.5 Pengaruh Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh langsung dari Pengawasan Internal merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh Bawasda terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam tahapan pengawasan sebagai berikut: penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan. Dalam hal ini dilakukan oleh Bawasda secara internal dalam lingkungan organisasi Pemerintah Kota Bandung. Sebagaimana DPRD melalui Komisi-komisinya, Bawasda juga mengelompokkan aparat pengawasnya dalam tim pengawas sesuai dengan SKPD yang berada dalam cakupan tugas pengawasannya. Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 23,10%. Besarnya pengaruh langsung ini ditunjukkan oleh nilai kuadrat dari koefisien jalur Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau sebesar (pyx1)2 x 100% = (0,4807)2 x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara langsung oleh variasi Pengawasan Internal pada kondisi tingkat Pengawasan Eksternal yang sama. Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Internal ini sebanding dengan kuatnya pengaruh Pengawasan Internal secara langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau pyx1 = 0,4807. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong cukup kuat. Sebagaimana hasil uji eksistensi pengaruh langsung ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dalam bentuk gambar, pengaruh langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.7. Pengaruh Langsung Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh langsung dari Pengawasan Internal yang cukup kuat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung mengindikasikan cukup efektifnya pengawasan internal yang dilakukan Bawasda dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi dalam meningkatkan kinerja SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda memiliki hubungan kedinasan dengan SKPD yang diawasinya sehingga memungkinkan Bawasda untuk berinteraksi secara intensif dalam melakukan kegiatan pengawasan. Walaupun tingkat efektivitas dari pengawasan internal dari Bawasda ini cukup tinggi, namun dinilai masih dapat ditingkatkan atau
dioptimalkan. Dari hasil penelitian terungkap beberapa kendala yang melemahkan efektivitas pengawasan internal oleh Bawasda, diantaranya terbatasnya kapasitas SDM pengawas Bawasda relatif dibandingkan ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya serta dibandingkan dengan. jumlah SKPD yang diawasinya. Keterbatasan kapasitas ini baik berkaitan dengan kualitas dan terlebih lagi dengan kuantitasnya. Demikian juga masih tingginya toleransi pengawasan yang diberikan oleh Bawasda kepada SKPD yang diawasinya, baik dalam hal pelaporan rencana dan hasil kegiatan, penilaian hasil dan evaluasinya, maupun koreksi atas dugaan penyimpangan. Adanya toleransi ini tampaknya merupakan salah satu kelemahan pelaksanaan pengawasan internal di Bawasda Kota Bandung yang dimungkinkan karena kurang dapat ditegakkannya independensi Bawasda untuk melaksanakan fungsi pengawasan dalam bentuk hubungan kedinasan antara pengawas dengan yang diawasi. Terlebih apabila Kepala Daerah selaku pimpinan lembaga kedinasan kurang memiliki komitmen yang tinggi untuk mendorong tegaknya fungsi pengawasan di lingkungannya. Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari Bawasda dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. Model perbaikan fungsi pengawasan internal yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Pengawasan Manajerial (Penentuan standar pengawasan, pengukuran dan pembandingan hasil pekerjaan, dan koreksi) sesuai tahapan kinerja yang direncanakan Gambar 4..8. Model Perbaikan Fungsi Pengawasan Internal dalam Pencapaian Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bandung Model perbaikan fungsi pengawasan internal di atas menggambarkan bahwa Tim Pengawas Bawasda perlu melakukan kegiatan pengawasan, baik dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan, secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja yang direncanakan bersama SKPD yang diawasinya. Agar pengawasan yang dilakukan dapat meningkatkan efektivitasnya dalam pencapaian kinerja SKPD, maka antara Tim Pengawas dan SKPD selalu melakukan komunikasi kinerja terus-menerus, yang dimulai dari proses perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja dan koreksi kinerja. Pengawasan yang dilakukan oleh Tim Pengawas kepada SKPD ini diletakkan sebagai pengawasan manajerial (managerial control). Selanjutnya dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung, perlu dilakukan proses integrasi seluruh pengawasan manajerial yang akan dan yang telah dilakukan sebagai bentuk pengawasan administratif (administrative control) yang dilakukan melalui mekanisme koordinasi antara Kepala Bawasda dengan Sekretaris Daerah. Proses ini juga semestinya dilakukan sesuai tahapan pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang direncanakan.
4.2.6 Pengaruh Langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh langsung dari Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dalam hal ini adalah pengawasan DPRD melalui Komisi-komisinya terhadap SKPD-SKPD yang berada dalam cakupan tugas pengawasannya. Besarnya pengaruh langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 4,50%. Besarnya pengaruh langsung ini ditunjukkan oleh nilai , kuadrat dari koefisien jalur Teknik Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau sebesar (pyx2)2 x 100% (0,2122)2 x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara langsung oleh variasi Pengawasan Eksternal pada kondisi tingkat Pengawasan Internal yang sama. Besarnya pengaruh langsung dari Teknik Pengawasan Eksternal ini sebanding dengan kuatnya pengaruh Pengawasan Eksternal secara langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur Teknik Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau pyx2 = 0,2122. Berdasarkan kategori kuatlemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari Teknik Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong lemah. Walaupun demikian, sebagaimana hasil uji, eksistensi pengaruh langsung ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dalam bentuk gambar, pengaruh langsung dari Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.9. Pengaruh Langsung Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Lemahnya pengaruh langsung dari Pengawasan Ekstemal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung mengindikasikan belum efektifnya pengawasan ekstemal dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan langsung dan tidak langsung yang dilakukan oleh Komisi-komisi DPRD Kota Bandung memiliki tingkat efektivitas yang masih rendah dalam rangka peningkatan kinerja SKPD-SKPD yang menjadi objek tugasnya. Temuan fenomena ini dimungkinkan akibat masih rendahnya frekuensi pembentukan panitia khusus yang dilakukan DPRD pada SKPD-SKPD yang diawasinya. Demikian juga masih kurangnya pemanfaatan berbagai bentuk informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan, baik dari SKPD yang diawasinya, dari Bawasda dan perangkat pemeriksa lainnya, maupun dari media massa dan masyarakat. Hal ini juga diperlemah dengan masih lambannya proses pengungkapan temuan pengawasan oleh Komisi, proses evaluasi temuan antara Komisi dan SKPD, dan proses tindak-lanjutnya sesuai langkah koreksi yang disepakati bersama. Kondisi ini dipicu oleh lemahnya otoritas Komisi DPRD dalam mendorong perbaikan segera (instantly) setelah proses pengawasan yang disebabkan tidak adanya hubungan kedinasan secara hirarkis
antara Komisi DPRD dan SKPD yang diawasinya. Semestinya walaupun antara Komisi DPRD dan SKPD tidak ada hubungan kedinasan, perlu ada mekanisme yang memunodnkan langkah koreksi pencapaian kinerja yang diharapkan dapat segera ditindak-lanjuti. Temuan ini membawa konsekuensi perlunya perbaikan pelaksanaan fungsi pengawasan ekstemal dari Komisi-komisi DPRD dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. Model perbaikan ftingsi teknik pengawasan eksternal yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: Pengawasan Manajedal (Langsung dan Tidak Langsung sesuai tahapan pencapaian kinerja yang direncanakan) Gambar 4. 10 Model Perbaikan Fungsi Pengawasan Eksternal dalam Pencapaian Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bandung Model perbaikan fungsi pengawasan eksternal di atas menggambarkan bahwa Komisi DPRD perlu melakukan kegiatan pengawasan, baik dalam bentuk kunjungan kerja maupun dengan pendapat, secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja yang direncanakan bersama SKPD yang diawasinya. Agar pengawasan yang dilakukan dapat meningkat efektivitasnya dalam pencapaian kinerja SKPD, maka antara Komisi DPRD dan SKPD selalu melakukan komunikasi kinerja terus-menerus, yang dimulai dari proses perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja dan koreksi kinerja. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD kepada SKPD ini diletakkan sebagai pengawasan manajerial (managerial control). Selanjutnya dalam pencapaian Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bandung, perlu dilakukan proses integrasi seluruh pengawasan manajerial yang akan dan yang telah dilakukan sebagai bentuk pengawasan administratif (administrative control) yang dilakukan melalui mekanisme rapat paripurna DPRD bersama Sekretaris Daerah. Proses ini juga semestinya dilakukan sesuai tahapan pencapaian Kinerja pemerintah Kota Bandung yang direncanakan. 4.2.7 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh Bawasda terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan tindak lanjut oleh DPRD dan masyarakat. Besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal adalah sebesar 2,28%. Besarnya pengaruh tidak langsung ini ditunjukkan oleh nilai dari hasil kali antara koefisien jalur Pengawasan Internal, koefisien korelasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan koefisien jalur Pengawasan. Eksternal atau. sebesar (pyx1) (rx2x1) (pyx2) x 100% = (0,4807) (0,2239) (0,2122) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara tidak langsung oleh variasi Pengawasan Eksternal yang beratal dari variasi Pengawasan Internal. Adapun kuatnya pengaruh Pengawasan Internal secara tidak langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui
Pengawasan Eksternal ditunjukkan oleh nilai akar dari (pyx1) (rx2x1) (pyx2) sebesar 0,1511. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh tidak langsung dari Teknik Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong sangat lemah. Dalam bentuk gambar, pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.11 Pengaruh tidak Langsung Pengawasan Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal
Internal
terhadap
Kinerja
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal yang sangat lemah terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Eksternal mengindikasikan belum efektifnya pengawasan internal yang dilakukan Bawasda untuk digunakan. oleh DPRD dan masyarakat dalam melakukan pengawasan eksternal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekerjaan, pembandingan hasil pekerjaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan memiliki tingkat efektivitas yang sangat rendah dalam mendukung pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Bawasda kurang melakukan komunikasi dan koordinasi dengan DPRD dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari Bawasda dan hasil-hasilnya yang dapat digunakan DPRD sebagai masukan dalam melakukan pengawasan ekstemal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan ekstemal dalam pencapaian kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.12 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal Model peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan ekstemal di atas menggambarkan bahwa Bawasda perlu selalu menjalin komunikasi dan koordinasi secara terusmenerus dengan DPRD, baik berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan pengawasan internal dan hasil-hasil pengawasannya. Komunikasi dan koordinasi dari Bawasda ke DPRD ini, baik antara Tim Pengawas dengan Komisi DPRD maupun antara Kepala Bawasda dengan DPRD dalam mekanisme rapat paripurna DPRD, perlu dilakukan secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja SKPD. 4.2.8 Pengaruh tidak Langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal merupakan bentuk pengaruh dari pengawasan oleh DPRD dan masyarakat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui komunikasi dan koordinasi pengawasan tindak lanjut oleh Bawasda. Besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal adalah sama dengan besarnya pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Internal melalui Pengawasan Eksternal, yaitu sebesar 2,28%. Besarnya pengaruh tidak langsung ini ditunjukkan oleh nilai dari hasil kali antara koefisien jalur Pengawasan Eksternal, koefisien korelasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal, dan koefisien jalur Pengawasan Internal atau sebesar (pyx2) (rx2x1) (pyx1) x 100% = (0,2122) (0,4807)(0,2239) x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dapat dijelaskan secara tidak langsung oleh variasi Pengawasan Internal yang beratal dari variasi Pengawasan Eksternal. Demikian pula halnya mengenai kuatnya pengaruh Pengawasan Eksternal secara tidak langsung terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal yang ditunjukkan oleh nilai akar dari (pyx2) (rx2x1) (pyx1) sebesar 0,1511. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong sangat lemah. Dalam bentuk gambar, pengaruh tidak langsung dari Pengawasan Eksternal melalui Pengawasan Internal terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.13 Pengaruh tidak Langsung Pengawasan Kinerja Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal
Eksternal
terhadap
Pengaruh tidak langsung dari Pengawasan. Eksternal yang sangat lemah terhadap Kineria Pemerintah Kota Bandung melalui Pengawasan Internal mengindikasikan belum efektifnya pengawasan eksternal yang dilakukan DPRD untuk digunakan oleh Bawasda dalam melakukan pengawasan internal. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa proses pengawasan dalam bentuk pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat memiliki tingkat efektivitas yang sangat rendah dalam mendukung pengawasan internal oleh Bawasda. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena DPRD dan masyarakat kurang melakukan komunikasi dan koordinasi dengan. Bawasda dalam rangka menyelaraskan kedua bentuk pengawasan pada kinerja pemerintah daerah. Hal ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan komunikasi dan koordinasi pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari DPRD dan hasil-hasilnya yang dapat digunakan Bawasda sebagai masukan dalam melakukan pengawasan internal untuk mendorong pencapaian kinerja SKPD. Berkaitan dengan hal ini, model peningkatan efektivitas pengawasan eksternal melalui pengawasan internal dalam pencapaian kinerja Pemerintah Kota Bandung yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Gambar
Gambar 4.14 Model Peningkatan Efektivitas Pengawasan Eksternal Melalui Pengawasan Internal Model peningkatan efektivitas pengawasan internal melalui pengawasan eksternal di atas menggambarkan bahwa DPRD perlu selalu menjalin komunikasi dan koordinasi secara terusmenerus dengan Bawasda, baik berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan pengawasan eksternal dan hash-hash pengawasannya. Komunikasi dan koordinasi dari DPRD ke Bawasda ini, baik antara Komisi DPRD dengan Tim Pengawas maupun antara DPRD dengan Kepala Bawasda dalam mekanisme rapat paripurna DPRD, perlu dilakukan secara periodik sesuai tahapan pencapaian kinerja SKPD. 4.2.9 Pengaruh Faktor-faktor Lain di Luar Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh faktor-faktor lain terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung selain dari Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal merupakan bentuk pengaruh dari berbagai macam faktor yang secara situasional maupun kondisional ikut memberikan pengaruh terhadap pencapaian kinerja pemerintah daerah. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor-faktor internal seperti: kinerja aparatur, baik yang memiliki tanggung jawab strategik, operational, maupun administratif, struktur dan kebijakan organisasi; gaya kepemimpinan, ketersediaan anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif. Dapat pula berupa faktor-faktor ekstemal seperti: partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah pusat. Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar 67,83%. Besarnya pengaruh faktor-faktor luar ini ditunjukkan oleh nilai kuadrat dari koefisien jalur faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau sebesar pyε)2 x 100% = (0,8236)2 x 100%. Nilai ini menunjukkan besarnya proporsi/bagian dari variasi Kinerja Pemerintah Kota Bandung (dari total variasi 100%) yang dijelaskan oleh variasi faktorfaktor luar pada kondisi tingkat Teknik Pengawasan Internal dan Pengawasan. Eksternal yang sama. Besarnya pengaruh dari faktor-faktor luar ini sebanding dengan kuatnya pengaruh faktorfaktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung yang ditunjukkan oleh koefisien jalur faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung atau pyε = 0,8236. Berdasarkan kategori kuat-lemahnya pengaruh, derajat pengaruh langsung dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung tergolong kuat. Sebagaimana hasil uji, eksistensi pengaruh faktor-faktor luar ini dapat diterima atau ada pengaruhnya terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Dalam bentuk gambar, pengaruh dari faktor-faktor luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar Gambar 4.15 Pengaruh Faktor-faktor Luar terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Pengaruh dari faktor-faktor luar yang kuat terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung
mengindikasikan tingginya efek faktor-faktor luar terhadap pencapaian Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Temuan fenomena ini dimungkinkan karena Kinerja Pemerintah Kota Bandung sebagai output lebih dihasilkan dari ketersediaan input-input langsung (direct input) dan tingkat pemanfaatannya dibandingkan input-input tidak langsung (indirect input) seperti pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Dengan demikian, fungsi pengawasan, baik internal maupun eksternal, adalah dalam rangka mendorong penyediaan input yang lebih efisien dan pemanfaatannya yang lebih produktif bagi pencapaian kinerja. Oleh sebab itu, agar kinerja Pemerintah Kota Bandung dapat lebih terjamin, seyogyanya Pemerintah Daerah perlu memperhatikan dan meningkatkan kinerja aparaturnya, menyesuaikan struktur dan kebijakan organisasi yang dapat menunjang kinerja organisasi, menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat, kecukupan anggaran, ketersediaan infrastruktur atau sarana, dan prasarana yang memadai, serta sistem insentif yang mampu memotivasi aparatur bekerja lebih baik. Pemerintah Daerah juga perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam pencapaian kinerjanya. Demikian juga diperlukan dukungan pemerintah pusat, baik melalui alokasi bantuan keuangan maupun dukungan kebijakan yang sesuai. Temuan ini membawa konsekuensi perlunya peningkatan daya dukung faktor-faktor luar tersebut di atas yang mengmngi peningkatan pelaksanaan fungsi pengawasan internal dari Bawasda dan pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat dalam mendorong pencapaian kinerja SKPD. 4.2.10 Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori Temuan penelitian mengenai adanya pengaruh teknik pengawasan internal dan pengawasan eksternal secara simultan terhadap kinerja mendukung teori Terry (1960:395) dan (Ndraha, 2003: 197). Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960:395). Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian opini atas kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara internal maupun eksternal (Ndraha, 2003: 197). Adanya faktor luar yang secara dominan mempengaruhi kinerja mengisyaratkan pentingnya menyertakan teori Weston (dalam Prawirosentono, 1999:140-142) dan Swanson (1999:73) dalam pengembangan model teori peningkatan kinerja. Weston menyatakan bahwa, kinerja suatu organisasi bergantung kepada kinerja subyek pelaksananya, baik dalam kegiatan strategik, operational, maupun administratif. Sementara Swanson (1999:73) berpendapat bahwa kinerja organisasi dipengaruhi pula oleh faktor ekonomi, politik dan budaya, struktur organisasi, kebijakan organisasi dan kepemimpinan atasan, ketersediaan anggaran dan infrastruktur, serta sistem insentif. Keberpengaruhan teknik pengawasan internal terhadap kinerja dan lebih dominannya pengaruh pengawasan internal dibandingkan pengawasan eksternal mendukung teori G.R. Terry dan Leslie W. Rue (2001:10). Teknik Pengawasan internal memiliki keunggulan dibandingkan pengawasan eksternal dalam hal tingkat integrasinya dengan manajemen yang diawasinya yang lebih memungkinkan manajemen melakukan tindakan pengendalian. Keberpengaruban teknik pengawasan eksternal terhadap kinerja mendukung teori Budiardjo dan Ambong (1995:180). Serta Lembaga Administrasi Negara (1977:161) Peran DPRD dan masyarakat dalam melakukan fungsi pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Posisi DPRD yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan menjamin objektivitas pengawasan. Secara ringkas, posisi temuan penelitian dalam pengembangan teori dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.6 Posisi Temuan Penelitian dalam Pengembangan Teori Temuan Penelitian Pengawasan internal dan pengawasan ekstemal berpengaruh terhadap kinejra pemerintah Pengawasan internal berpengaruh terhadap kineja pemerintah
Pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kerja
Posisi Mendukting teori dengan catatan bahwa pengaruh keduanya masih lebih rendah daripada faktor-faktor luar Mendukung teori dengan vatatan bahwa pengaruh pengawasan internal bergantung pula kepada sejauh mana pengawas internal mampu menjaga fungsi pengawasannya tetap independen. Mendukung teori dengan catatan dengan catatan bahwa pengaruh pengawasan eksternal bergantung kepada tingkat pemanfaatan informasi yang dapat digunakan dalam pengawasan dan kecepatan proses tindak lanjut hasil pengawasan
Tampak pada tabel di atas, proposisi temuan penelitian mendukung teori (dengan catatan) sebagaimana telah diuraikan dalam, kerangka pemikiran dan pembahasan. Pelibatan teknik pengawasan, baik internal maupun eksternal, dalam model kinerja atau model pencapaian tujuan organisasi diharapkan untuk tetap dapat dipertahankan sebagai pengukuran atas proses kegiatan pengawasan yang penting dalam menjamin terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Terry (1960:530) serta O'Donnell dan Weinrich (1980:722) berpendapat bahwa jiwa pengawasan terletak pada proses kegiatan untuk menjamin bahwa semua pelaksanaan beralan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pengembangan model peningkatan kinerja untuk penelitian selanjutnya, model pengaruh teknik pengawasan internal dan pengawasan ekternal terhadap kinerja pada penelitian ini dapat dikembangkan dengan melibatkan kinerja SDM, struktur organisasi, kebijakan organisasi, kepemimpinan, ketersediaan anggaran, ketersediaan infrastruktur, serta sistem insentif. Pelibatan faktor-faktor luar selain teknik pengawasan internal dan pengawasan eksternal merupakan aplikasi konsepsi dari functional theories. Dalam kerangka middle range theories di bidang Manajemen Pemerintahan, penelitian lanjutan diharapkan tetap dititik-beratkan pada evaluasi kinerja dalam arti outcomes sebagaimana disarankan oleh Ndraha (2003:208). Dalam perspektif manajemen kinerja, sebagaimana merujuk kepada Bacal (2005: 30-45), sistem pengawasan, baik internal dan eksternal, semestinya merupakan subsistem dari sistem manajemen kinerja. Dalam manajemen kinerja, pengawasan internal dan eksternal dilakukan secara terus-menerus berdasarkan prinsip kemitraan antara pengawas dengan yang diawasi dalam
rangka pencapaian kinerja yang diharapkan bersama. Pengawasan juga dilakukan pada setiap tahapan menajemen kinerja, mulai dari perencanaan kinerja, komunikasi kinerja, pengumpulan data, pengamatan dan dokumentasi, pertemuan evaluasi kinerja, serta proses diagnosis kinerja dan konsultasi. Dalam perspektif manajemen kinerja, model teknik pengawasan internal dan eksternal dalam pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar Gambar
Gambar 4.16 Model Pengawasan Internal dan Eksternal dalam Sistem Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah Model di atas menggambarkan adanya keterkaitan antara pengawasan intemal dan pengawasan eksternal dalam rangka menghasilkan keselarasan dalam kegiatan pengawasan. Keterkaitan ini disimbolkan sebagai jalur input-output antara pengawasan internal dengan pengawasan eksternal. Adanya keselarasan menuntut koordinasi yang baik atau sinergitas antara proses pengawasan internal dan proses pengawasan eksternal. Selanjutnya dalam mencapai kinerja pemerintah daerah yang diharapkan, koridor pengawasan internal dan pengawasan eksternal diperluas dari hanya terlibat dalam evaluasi kinerja menjadi terlibat pada seluruh proses pengelolaan kinerja, yaitu mulai dari perencanaan kinerja, komunikasi kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, serta diagnosis kerja dan konsultasi. Dengan demikian, model pengawasan yang diajukan lebih merupakan sebagai pendekatan kinerja (performance approach) dibandingkan pendekatan akuntansi (accounting approach). Dalam model ini, pengawasan tidak sekedar diletakkan sebagai preemptive control yang dimulai pada awal kegiatan perencanaan namun menjangkau seluruh proses dalam perencanaan kinerja sampai diagnosis kinerja dan konsultasi. Dalam pelaksanaannya, fungsi pengawasan diarahkan pada indikator-indikator kinerja yang menjadi objek pengawasan, yaitu melingkupi: Produktivitas, Kualitas Layanan, Responsivitas, Responsibilitas, dan Akuntabilitas. Proses pengawasan internal melingkupi: standardisasi prosedur pengawasan dan kompetensi pengawas, pengukuran hasil pekerjaan, perbandingan hasil pekerjaan dengan rencana, serta koreksi atas penyimpangan. Teknik pengawasan eksternal melingkupi: pengawasan langsung melaui peninjauan dan pengamatan langsung, serta pengawasan tidak langsung melalui pendayagunaan laporan tertulis dan lisan, hasil pengawasan Bawasda atau lembaga lain dan media.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pengawasan Internal dan Pengawasan Ekstemal berpengaruh cukup kuat secara bersama-sama (simultan) terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung. Pengaruh pengawasan internal dan ekstemal lebih banyak berupa pengaruh langsung dari masing-masing jenis pengawasan daripada pengaruh tidak langsung melalui jenis pengawasan lainnya. 2. Pengawasan Internal dalam bentuk penentuan standar untuk pengawasan, pengukuran hasil pekedaan, pembandingan hasil perbedaan dengan standar, dan koreksi terhadap penyimpangan berpengaruh positif cukup kuat secara individual. Hal ini karena Bawasda memiliki hubungan kedinasan dengan SKPD yang diawasinya sehingga memungkinkan Bawasda untuk berinteraksi secara intensif dalam melakukan kegiatan pengawasan. 3. Pengawasan Eksternal dalam bentuk pengawasan legialatif dan masyarakat berpengaruh positif lemah secara individual. Hal ini akibat masih rendahnya frekuensi peninjauan dan pengamatan langsung yang dilakukan, kurangnya pemanfaatan berbagai bentuk informasi, dan masih lambannya proses tindak lanjut pengawasan. 4. Konsep pengawasan yang diperoleh adalah sinergitas antara pengawasan internal dan ekstemal dalam sistem manajemen kinerja. Keselarasan pelaksanaan pengawasan internal dan ekstemal, melalui peningkatan komunikasi dan koordinasi pengawasan antara Bawasda dengan DPRD, akan meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap pencapaian kinerja. Pengawasan internal dan ekstemal yang diperlakukan sebagai subsistem dari sistem manajemen kinerja, melalui proses komunikasi yang terus-menerus antara Bawasda dan DPRD dengan SKPD dan Sekretaris Daerah, akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Kota Bandung dalam pencapaian kinerja.
5.2. Saran
1. Meneliti lebih lanjut faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja pemerintah
daerah, baik faktor-faktor internal maupun eksternal. 2. Meneliti variabel-variabel pendahulu (antecedent variables) yang secara teoritis mempengaruhi pengawasan internal dan pengawasan eksternal. 3. Mengembangkan model pengukuran pengawasan berdasarkan pendekatan teori lainnya. 4. Meningkatkan efektivitas pengawasan dan sinergitas pengawasan antara Bawasda dengan DPRD dengan membangun sistem pengendalian efektivitas pengawasan dalam kerangka manajemen kinerja, baik di Bawasda maupun DPRD. 5. Meningkatkan profesionalitas aparatur Bawasda dalam pelaksanaan pengawasan serta kemampuan. Bawasda dalam pengukuran dan penilaian hasil kegiatan SKPD. Disarankan pula agar Bawasda menjadi organisasi fungsional. Pengawasan reguler paling tidak dilakukan setahun dua kali dan jumlah auditor di Bawasda sebaiknya ditambah, minimal menjadi 79 orang yang disesuaikan dengan jumlah SKPD.
Meningkatkan fungsi pengawasan langsung dari DPRD. Disarankan untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas peninjauan dan pengamatan langsung Komisi DPRD ke SKPD.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU Abdulrahman, Arifin. 1979. Teori Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan Kerja. Jakarta: Bharata. Albert, Lepawsky. 1960. Administration: The Art and Science of Organizational and Management. New York: Alfred A. Knoph. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bacal, Robert. 2005. Performance Management. Alih Bahasa: Surya Dharma dan Yanuar Irawan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bamard, Chester I. 1938. The Function of The Executive. Cambridge: Harvard University Press. Bellone, J Carl. 1980. Organizational Theory and The New Public Administration. Bryant, Coralie and Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan: Untuk Negara Berkembang. Penerjemah: Rusyanto L. Simatupang. Jakarta: LP3ES. Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong. 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Chun Li, Ching. 1975. Path Analysis A Primer. Pittsburk: The Bookwood Press. Cikmat, Sofyan. 1988. Kinerja. Jakarta: Gramedia. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. London: Sage Publication. Davis, Keith and John W. Newston. 1989. Organizational Behavior. Seventh Edition. Alih Bahasa: Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Donnelly, James H. Gibson, James L. Ivancevich, John M. 1981. Fundamentals of Management. Texas: Business Publ. Inc.Plano. Dossier, Garry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1. Alih Bahasa: Benyamin Molan. Jakarta: Prenhallindo. Dunn, William, N. 1995. Analisis Kebijaksanaan Publik; Alih Bahasa: Muhadjir Darwin. Yogyakarta: Hamindita Offset. Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Dwiyanto, Agus. dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Edstrom, Judith dan Hans Antlov. 2009. Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik. Jakarta: Local Governance Support Program. Frederickson, II. George. 1980. New Public Administration. Alabama USA: The University Alabama Press. Frederick, Carl.J. 1963. Man and His Government. New York: Mc. Graw-Hill. Gannon, Martin J. 1979. Organizational Behaviour: A Managerial and Organizational Perspective. Boston Toronto: Little Brown and Co. Gibson, James. L. John M. Ivancevich, James H. Donelly. Jr. 1985. Organizations. Fifth Edition. Piano Texas: Business Publication, Inc. __________, 1997. Organisasi. Alih Bahasa: Nunuk Adriani. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Griffin. 1977. Management. USA: Houghton Miffin Company. Guilford. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Tokyo: McGraw-Hill. Handoko, Hani. 1997. Manajemen. Yogyakarta: BPIF. Henry, Nicolas. 1998. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan. Alih Bahasa: Luciana D. Jakarta: Rajawali. Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategic Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media. Kerlinger, Fred, N. 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioural. (Penerjemah: Landung R. Simatupang). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koontz, Harold Cyril O'Donnell, and Heinz Weihrich. 1980. Management (Seven Edition). Kogakhusa: Mc. Graw-Hill International Book Company. Lembaga Administrasi Negara. 1992. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid I dan 2. Jakarta: Haji Masagung. Lenvine, Charles H.,et.al. 1990. Public Administration Challenges, Choices, Consequences. Illinois : Scott, Inc. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu.2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Marbun, B.N. 1993. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Jakarta: Erlangga. Mintzberg, Henry. 1994. Structure in Fives: Designing Effective Organizations. New Jersey: Prentive Hall-Engelwood Cliffs. Morthin, J. Gannon. 1979. Organizational Behavior A Managerial Presfektive. Boston Toronto: Little Brown & Co. Mwita, J. L. 2000. Performance Management Model: A System-Based Approach to Public Service Quality. The International Journal of Public Sector Management. Vol.13.pp 1932. Ndraha, Taliziduhu. 1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. __________, 1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. __________, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Jakarta: Rineka Cipta. __________, 2005. Kybernology, Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta. Nisjar, Karhi dan Winardi. 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju. Osborn, David and Ted Geabler. 1993. Reinventing Government. How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Toronto: Plume Book. Osborn, David and Peter Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategy For Reinventing Government. New York: Addison Wesley Publishing Company, Inc. O'Donnell, Koontz and Weinrich. 1980. Management (Seventh Edition). Kogakusha: Mc. Grave-Hill International Book Company. Pamudji, S. 1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Burni Aksara. __________, 1985. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: PT. Bina Aksara. Poelje, Van G.A. 1959. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (Penter emah: Mang Reng Say). Jakarta: N.V. Soeroengan. Prawirosentono, Suryadi. 2008. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta: BPFE. Rivai, Veithzal dan M. Basri Ahmad Fauzi. 2005. Performance Appraisal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Robbins, P. Stephen. 1995. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. Alih Bahasa: Yusup Udaya. Jakarta: Arean. __________, 1996. Perilaku Organisasi: Konsep-Kontraversi-Aplikasi Jilid 1. Alih Bahasa: Hadyana Pujaatmmaka. Jakarta: Prehallindo. Robbins, P. Stephen dan Mary Coulter. 2004. Manajemen. (Alih Bahasa: T. Hermaya dan Harry Slamet). Jakarta: PT. Indeks. Sarundajang, S.H. 2006. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Sedarmayanti. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju. __________,, 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. Siagian, Sondang, P. 2003. (a). FilsafatAdministrasi. (Edisi Revisi) Jakarta: PT. Bumi Aksara. __________, 1994. (b). Administrasi Pembangunan. Jakarta: Haji Masagung. Simon, Herbert, A. 1984. Administrative Behavior: Perilaku Organisasi. Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi Administrasi. Penerjemah: St. Dianjung. Jakarta: Bina Aksara. Simon, Robert. 2000. Performance Measurement and Control System for Implementing Strategy: Text and Cases. Upper Sadle River, Prentice Hall. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor) 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Stilman II. Richard S. 1992. Administration Concep and Cases. Boston:Houngton Miffln Company. Stoner, James. A.F. & Wankel, Charles. 1986. Management. Prentice-Hall Int. Edition London. Stoner, James. A.F. & R. Edward Freeman. 1992. Management. Prentice-Hall Internasional, Inc. Stoner, James. A.F. 1996. Manajemen. Alih Bahasa: Alfonsus Strait. Jakarta:Erlangga. Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. __________, 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Sutherland, John W. 1978. Management Handbook For Public Administators. Van Nostrand
Renhold Company. Terry, George. 1960. Principles of Management (Third Edition). Illinois: Richard D. Irwin Inc. Homewood. __________, 1986. Asas-Asas Managemen. Alih Bahasa: Winardi. Bandung: Alumni. __________, & Rue, Leslie W. 2 00 1. Dasar-Dasar Manajemen. Alih Bahasa: G.A. Ticoalu. Jakarta: Bumi Aksara. Timpe, D.A. 1993. Kinerja. Jakarta: Gramedia. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1988. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Wasistiono, Sadu. 2002a. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokusmedia. __________, 2002b. Manajemen Sumber daya Aparatur Pemeintah Daerah. Bandung. Fokusmedia. Widodo, Joko. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Control Birokrasi pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia. Winardi, J. 1981. Organisasi dan Pengorganisasian dalam Manajemen. Bandung: Alumni. __________, 1989. Perdaku Organisasi. Bandung: Tarsito. __________, 1990. Asas-asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju. __________, 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung: Mandar Maju. Yudhoyono, S. 2001. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
II. DOKUMEN Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Bandung: Fokusmedia. Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Bandung: Fokusmedia. Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara. Bandung: Fokusmedia.
Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeiksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Bandung: Fokusmedia. Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Eksemplar Lepas. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Eksemplar Lepas. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Bandung: Fokusmedia.
Pelaporan
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Revie Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Eksemplar Lepas. Pemerintah Kota Bandung. Laporan Keterangan Pertanggungiawaban Walikota Bandung Tahun 2005. __________. Laporan Keterangan Pertanggungiawaban Walikota Bandung Tahun 2006. __________. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (TV No. 22 Tahun 1999 & PP No. 84 Tahun 2000). __________. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung (UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 Tahun 2007) __________. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 08 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas. __________. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas, __________. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Eksemplar Lepas. Busri, Hisyam. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi Pemerintahan sebagai Determinan Penting bagi Peningkatan Kualitas Aparatur Pemerintah dalam Pelayanan Masyarakat. (Disertasi) Bandung: PPs-UNPAD. Heryati, Ade.2007. Pengaruh Pengawasan Terhadap Kinerja Pegawai dan Aplikasinya Pada Kualitas Pelayanan Publik Air Bersih di PDAM Kabupaten dan Kota Bogor. (Disertasi)
Bandung: PPs-UNPAD. Samid, Suripto. 1996. Pengaruh Satuan Pengawasan Intern dan Gaya Kepemimpinan Serta Persepsi Bawahan Mengenai Perilaku Atasan Terhadap Upaya Manajemen dalam Meningkatkan Profitabilitas Perusahaan (Survei Pada P. T. Perkebunan Persero di Sumatera dll). (Disertasi), Bandung:PPs-UNPAD. Sitepu, S.k. Nirvana. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Unit Pelayanan Statistika Jurusan Statistik Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran. Soejadi. 1995. Hubungan Antara Pengawasan Internal dengan Kualitas Pelayanan Medis, Efisiensi, dan Kepuasan Pasien Rawat Inap pada kasus Manajemen Rumah Sakit Umum Swasta yang Setingkat (Disertasi). Yogyakarta: PPs-UGM. Tuasikal, Askam. 2006. Pengaruh Pengawasan Internal dan Eksternal, dan Pemahaman Mengenai Sistem Akuntansi Keuangan Terhadap Pengelolaan Keuangan dan Implikasinya Terhadap Kinerja Unit Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Studi pada Provinsi dan Kabupaten/Kota di Maluku). (Disertasi). Bandung: PPs-UNPAD.