KEWENANGAN PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XIX No. 36, Pebruari-Mei 2013, h. 136-148) Abdul Rokhim1 Abstrak Dalam konsep negara hukum klasik (rechtsstaat) yang memegang teguh pada asas legalitas, wewenang pemerintah dalam melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) seperti untuk pelayanan umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus senantiasa berdasarkan pada dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintahan yang bertumpu pada asas legalitas di bidang pemerintahan (wetsmatigheid van bestuur) bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kemungkinan tindakan penyalahgunaan wewenang pemerintah. Tetapi dalam konsep negara kesejahteraan (welvaar staat; welfare state), wewenang pemerintah yang hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan dipandang sudah out of date, tidak memadai dan mempersempit ruang gerak pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, demi kepentingan umum, dalam keadaan tertentu pemerintah dengan menggunakan kekuasaan diskresi (discretionare power; freis ermessen) berwenang menyimpangi peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Kata kunci: Kewenangan; Pemerintahan, Welfare State A. Pendahuluan Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) pada prinsipnya merupakan kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Pada dasarnya, wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Kewenangan pemerintahan dalam kaitan ini dikonotasikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dan warga negara. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 1
Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
Persoalannya adalah bagaimana konsep dan cara-cara atau sumber-sumber kewenangan pemerintah itu diperoleh serta bagaimana pembatasannya dalam konteks negara kesejahteraan (Welfare State) menarik untuk dianalisis. B. Konsep Kewenangan Pemerintah Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “kewenangan” atau “wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat. Secara umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid yang dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia berarti “wewenang atau kekuasan” (Algra, 1983:74), atau istilah authority yang dalam Black’s Law Dictionary berarti: “right to exercise powers; to implement and enforce laws” (Black, 1970:133). Oleh karena itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja (tt:4), seseorang yang mempunyai wewenang formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang itu. Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun cara menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum yang demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut “legal power” atau “rechtsmacht”. Istilah “power” dalam hal ini berarti: “an ability on the part of a person to produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act” (Black, 1970:1169). Oleh karena itu, seperti halnya istilah “tanggung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas, dalam kepustakaan maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan “kekuasaan” juga seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang sama. Menurut Bagir Manan (2000:1-2), wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal, berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. Selanjutnya, istilah “pemerintah” seringkali juga dipertukarkan dengan istilah “pemerintahan”. Bahkan, di kalangan para ahli hukum administrasi dan ilmu administrasi kedua istilah tersebut yang sebenarnya merupakan padanan dari istilah “administration”, “government”, “administratie”, “bestuur”, dan “regering” masih menjadi perdebatan yang tidak ada habishabisnya (Fachruddin, 2004:27). Istilah “pemerintah” menurut Algra (1983:50) dalam arti sempit berarti “bestuur”, yang meliputi bagian tugas pemerintahan yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-undang (legislatif) dan tugas peradilan (yudikatif). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kuntjoro Purbopranoto (1985:40-41), yang mengatakan bahwa pemerintah dalam arti sempit hanyalah badan pelaksana (executive; bestuur) saja, tidak termasuk badan pembentuk perundangundangan (regelgeven), peradilan (rechtspraak) dan kepolisian (politie). Pendapat ini mengacu pada teori residu dari Van Vollenhoven tentang ruang lingkup kekuasaan pemerintahan dalam arti luas yang meliputi kekuasaan dalam ajaran Catur Praja, yaitu: (1) regelgeven, (2) bestuur/ executive, (3) rechtspraak, dan (4) politie.
Istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan, mengingat kriteria “pemerintah” juga bergantung kepada cakupan fungsi “pemerintahan”. Istilah “pemerintah” berarti organ yang menjalankan pemerintahan, dan “pemerintahan” merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Dari aspek lain, Philipus M. Hadjon (1997:6) memberikan pengertian “pemerintah”, dalam dua makna yang berbeda, yaitu sebagai “organisasi” dan sebagai “fungsi”. Pemaknaan “pemerintah” yang demikian ini sejalan dengan pengertian “administrasi” menurut Prajudi Atmosudirdjo (1981:11), yaitu dapat dipandang sebagai aparatur (mechinary) pemerintah, dan sebagai salah satu fungsi dan proses penyelenggaraan tugas pemerintahan. Untuk menghindari terjadinya kesulitan terkait dengan perbedaan sudut pandang pembaca dalam memahami makna pemerintah “dalam arti sempit” maupun “dalam arti luas”, sebagai “organ” maupun “fungsi” pemerintahan seperti telah diuraikan di atas, dalam tulisan ini istilah “pemerintah” digunakan dalam arti sempit yang memiliki makna (hampir) sama dengan maksud “bestuur” atau “administrasi”, yang dalam hukum administrasi Indonesia digunakan istilah “pejabat tata usaha negara”. Karena untuk pemerintah dalam arti luas dalam literatur hukum Indonesia seringkali digunakan istilah “kekuasaan negara” atau yang dalam istilah bahasa Belanda disebut “overheid”. Dengan merujuk pada pendapat Henc van Marseveen, wewenang (bevoegdheid) dalam konsep hukum publik “dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht)”. Jadi, dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan (Hadjon, 1997:6). Menurut Bagir Manan (1994:39) “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan “wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). C. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan Pemerintahan Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Pengertian atribusi berdasarkan Ketentuan-ketentuan Umum Hukum Administrasi di Belanda atau Algemene Bepalingen van Administratief Recht (ABAR) sebagaimana telah dikutip oleh Ridwan HR (2007:196) “Van attributie van bevoegdheid kan worden gesproken wanner de wet (in materiele zin) een bepaalde bevoegdheid aan een bepaald organ toekent”. (Atribusi wewenang dikemukakan bila undang-undang (dalam arti materiil) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu). Selanjutnya, Indroharto (1993:91) mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: (1) yang berkedudukan sebagai original legislator; (2) yang bertindak sebagai delegated legislator. Di negara Indonesia, original legislator di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi (UUD) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai pembentuk undangundang; dan di tingkat daerah adalah DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah sebagai pembentuk peraturan daerah. Contoh mengenai delegated legislator, adalah Presiden berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha tertentu.
Sedang, delegasi menurut ABAR berarti “pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri”. Dengan demikian, pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Selanjutnya, mengenai mandat, di dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) diartikan sebagai “pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya”. Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat, H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt (1995:129) memberikan definisi sebagai berikut: 1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan); 2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya (overdracht van een bevoegdheid van het een bestuursorgaan aan een ander); 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namen hem uitoefenen door een ander). Berdasarkan uraian di atas berarti atribusi berkenaan dengan pemberian wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain). Jadi, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Dengan demikian, delegasi bermakna pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Artinya, dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, menurut Phlipus M. Hadjon (1998:9-10):, terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; 2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundangundangan; 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Selanjutnya, dalam hal mandat, pada hakikatnya tidak ada pemberian maupun penyerahan wewenang. Secara yuridis formal tidak terjadi perubahan wewenang apapun dalam hal mandat, yang ada hanyalah “hubungan internal” seperti hubungan antara Menteri dengan pegawainya. Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil
keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang (dalam arti hak dan tanggung jawab) tetap berada pada organ kementerian. Dalam hal ini, pegawai memutuskan secara faktual, sedang Menteri secara yuridis. Dalam kajian hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah hal penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke veranwoording) dalam penggunaan wewenang, sejalan dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (geen bevoegdheid zonder veran-woordelijkheid atau there is no authority without responsibility). Artinya, di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli (originair) yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari teks pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Sedangkan, pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Sementara tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih kepada penerima delegasi (delegataris). Sebaliknya, pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Dengan demikian, maka tanggung jawab akhir keputusan yang diambil oleh penerima mandat (mandataris) tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat itu bukan pihak lain dari pemberi mandat. Terkait dengan hal tersebut di atas, Philipus M. Hadjon (1994:8) membuat perbedaan antara delegasi dan mandat sebagaimana tampak pada tabel berikut:
a Prosedur pelimpahan
b Tanggungjawab & tanggunggugat c Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi
Perbedaan Delegasi dan Mandat Mandat Delegasi Dalam hubungan rutin Dari suatu organ pemerintahan atasan-bawahan: hal kepada organ lain: dengan biasa kecuali dilarang peraturan perundang-undangan secara tegas Tetap pada pemberi Tanggung jawab dan tanggung mandate gugat beralih kepa delegataris Setiap saat dapat Tidak dapat menggunakan menggunakan sendiri wewenang itu lagi, kecuali wewenang yang setelah ada pencabutan dengan dilimpahkan itu. berpegang pada asas “contraries actus”.
Dalam literatur hukum administrasi juga dikenal pembagian wewenang pemerintahan menurut sifatnya, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas. Dalam huibungan ini, Indroharto (1993:99-100) mengatakan sebagai berikut: 1. Wewenang terikat, terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak
menentukan isi dari keputusan yang harus diambil. Apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil itu terinci, maka wewenang pemerintahan itu sifatnya terikat. 2. Wewenang fakultatif, terjadi apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya. 3. Wewenang bebas, terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada suatu badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usana negara yang bersangkutan. Spelt dan Ten Berge membagi kewenangan bebas dalam dua kategori, yaitu: kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Ada kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit), bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada apabila sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi. Berdasarkan pengertian ini, Philipus M. Hadjon (tt:4-5) menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi (discretionare power), yaitu: (1) kewenangan untuk memutus secara mandiri; dan (2) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti seluas-luasnya atau kebebasan tanpa batas. Sebab dalam suatu negara hukum, penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, termasuk pelaksanaan wewenang tunduk pada batas-batas yuridis. Di samping itu, dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus disertai dengan pertanggungjawaban hukum. Terlepas dari bagaimana wewenang itu diperoleh, apa isi dan sifat wewenang, serta bagaimana mempertanggung-jawabkan wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan. Karena berdasarkan pada wewenang inilah pemerintah dapat melakukan berbagai tindakan hukum publik atau tindakan pemerintahan. D. Wewenang Pemerintah dalam Konteks Welfare State Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi pemerintah sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga negara memiliki hak untuk memperoleh jaminan perlindungan atas apa yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak lepas dari prinsip legalitas yang di satu pihak bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan dasar kewenangan dalam bertindak dan di lain pihak bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang dari kemungkinan tindakan sewenangwenang yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur), menurut Indroharto (1993:84) kekuasaan dan wewenang bertindak pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi. Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat menyesuaikannya. Konsekuensi dari asas tersebut berarti setiap tindakan badan/pejabat tata
usaha negara harus berdasarkan undang-undang formal, sebagai manifestasi adanya pengakuan dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat. Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan secara mutlak? Mengingat berkembangnya konsepsi negara hukum modern yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (klasik) dan negara kesejahteraan (welfare state). Pemerintah di suatu negara yang menganut paham welfare state dituntut memainkan peranan yang lebih luas dan aktif, karena ruang lingkup kesejahteraan rakyat semakin meluas dan mencakup bermacam-macam segi kehidupan. Lemaire, menyebut tugas pemerintah yang demikian itu sebagai bestuurszorg yang dikenal juga dengan istilah public service atau penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh pemerintah (Utrecht, 1960:23). Pembuat undang-undang tidak mungkin mengatur segala macam hak, kewajiban dan kepentingan secara lengkap dalam undang-undang. Atas dasar tuntutan keadaan yang demikian itu, asas legalitas yang dulunya hanya dipahami sebagai wetmatigheid van bestuur (pemerintahan berdasarkan undang-undang) kemudian dipahami sebagai rechtmatigheid van bestuur (pemerintahan menurut hukum). Ruang lingkup wewenang pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya. Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Adapun tugas pemerintah, menurut Mac Iver (Lukman, 1997:205) dalam dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) cultural function, (2) general welfare function, (3) economic control function. Di Indonesia tugas pemerintah harus sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintah Indonesia menurut Pembukaan UUD 1945 adalah “ . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan . . . .” Berdasarkan uraian tersebut di atas, berarti negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State) yang tidak jauh berbeda negara-negara lain yang menganut paham yang sama. Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana. Adapun sumber wewenang pemerintah, dalam hukum administrasi dikenal tiga sumber kewenangan pemerintah, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan oleh undang-undang. H.D. van Wijk memberikan pengertian “atributie” sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Sedang, Indroharto (1993:91) mengatakan bahwa “atributie” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator. Adanya pengaruh perubahan pandangan dari wetmatigheid van bestuur menjadi rechtsmatigheid van bestuur mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber wewenang pemerintah tidak lagi semata-mata dari undang-undang sebagai produk originaire wetgevers, melainkan dari perundang-undangan sebagai produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang pemerintah. Delegasi, menurut van Wijk (1995:78) adalah: “overdracht van een bevoegdheid van het een bestuursorgaan aan een ander” (penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain). Setelah wewenang
diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi. Delegasi hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui atribusi lebih dahulu. Karena itu, delegasi oleh Indroharto diartikan sebagai pelimpahan suatu wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah yang telah memperoleh wewenang pemerintah secara atribusi kepada badan atau pejabat pemerintah lain. Menurut van Wijk, wewenang yang didapat dari delegasi dapat disubdelegasikan lagi kepada subdelegataris. Ketentuan delegasi mutatis mutandis berlaku juga untuk subdelegasi. Selanjutnya, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. Melalui mandat, suatu organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans (pemberi mandat) tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Indroharto (1993:92) menambahkan bahwa pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung jawab mandans. Atribusi, delegasi dan mandat merupakan sumber wewenang yang sangat penting bagi suatu negara hukum demokratis, sebab sesuai dengan salah satu asas negara hukum demokratis adalah setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliknya, baik wewenang yang diperoleh secara atributif maupun berdasarkan delegasi atau mandat. Persoalannya adalah apakah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perseorangan atau badan usaha swasta dapat dianalogikan sebagai delegasi wewenang atau mandat pemerintah kepada perseorangan atau badan usaha swasta yang diberi izin? Untuk itu perlu dipahami dulu tentang konsep perizinan dalam perspektif hukum administrasi. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hubungan ini, R.J.H.M. Huisman (tt:7) berpendapat bahwa: “Een bestuursorgaan kan zich geen bevoedgheid toeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur van het milieu, enz.) of zelfs speciale colleges (bijvoorbeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtpersonen”. Maksudnya, organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undangundang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan lainlain), atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat. Wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang (het beginsel van wetmatigheid van bestuur) yang bertumpu pada asas legalitas (legaliteit beginsel) sebagai pilar utama negara hukum. Berdasarkan prinsip ini, sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
E. Kesimpulan Negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State). Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah yang merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang tepat dan jelas maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk keputusan pemberian izin atau suatu rencana. Adapun sumber wewenang pemerintah dalam hukum administrasi, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
DAFTAR PUSTAKA
Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983 Bagir Manan, “Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 13 Mei 2000 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Ohio Publishing Co, Cincinnati, 1990 Huisman, R.J.H.M., Algemeen Bestuursrecht: Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, t.t. Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1993. Irfan Fachruddin. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung: PT Alumni, 2004. Kuntjoro Purbopranoto. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: PT Alumni, 1985. Marcus Lukman. Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997. Mochtar Kusumaatmadja. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, PT Binacipta, Jakarta, t.t.
Philipus M. Hadjon, “Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih”, Makalah Disampaikan pada Orasi Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994 --------, “Tentang Wewenang”, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,1998 --------, “Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid van Bestuur)”, Makalah tidak Dipublikasikan, FH Unair, Surabaya, t.t. Philipus M. Hadjon et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M. Hadjon. Utrecht, t.p., 1991. Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, CV Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1960. van Wijk, H.D. dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘sGravenhage, 1995.