PENGAWASAN DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG FENOMENA PEKERJA ANAK DI KOTA SERANG SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh MAGDA LENA NIM 6661111123
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, AGUSTUS 2015
ABSTRAK
Magda Lena, 6661111123. 2015. Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tentang Fenomena Pekerja Anak di Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I: Yeni Widiastuti, S.Sos, M.Si, Dosen Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos, M.Si. Pengawasan fenomena pekerja anak di Kota Serang perlu dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang karena pendataan pekerja anak belum menyeluruh, respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menangani permasalahan pekerja anak, koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah lain masih lemah, dan belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak. Penelitian ini menggunakan teori karakteristik pengawasan yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004). Metode yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Lofland dan Loflang dalam Moleong (2010). Hasil penelitian disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang dinilai masih belum optimal. Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu memperbaharui data pekerja anak dan memetakan dengan spesifik permasalahan terkait pekerja anak, penegakan sanksi dan peraturan bagi mereka yang mempekerjakan pekerja anak, melakukan penarikan pekerja anak dan memperbaiki koordinasi antar bidang maupun antar Satuan Kerja Perangkat Daerah, melakukan kampanye dan sosialisasi terkait pekerja anak dan juga melakukan analisis jabatan untuk mengoptimalkan kinerja pegawai. Kata Kunci : Pengawasan, Fenomena Pekerja Anak
ABSTRACT
Magda Lena, 6661111123. 2015. Monitoring Department of Labor and Transmigration of child labor phenomenons in Serang city. Program studies Public Administration, Faculty of Social Sciences Political Science, University of Sultan Agung Tirtayasa. Supervisor I: Yeni Widiastuti, S. Sos, M.Si, Supervisor II: Rahmawati, S.Sos, M.Si. Monitoring of the child labor phenomenons in Serang city needs to be done by the Department of Labor and Transmigration Serang because there are many child labors who have not been recorded by Department of Labor and Transmigration, slow response and corrective action about the issues of child labor, coordination with other regional work units still weak, and yet widespread dissemination campaign and the elimination of child labor. This study uses the theory of effective characteristics monitoring by Amirullah and Budiyono (2004). The method used is qualitative descriptive. Data collection techniques used were interviews, observation and documentation study. Informants interviewed are monitor, society, and local governments. Analysis data in this study using a model Lofland and Loflang in Moleong (2010). The final conclusion is monitoring of Department of Labor and Transmigration Serang still not optimal. Recommendations can be given that the data of child labor must be update, mapping about specific issues related to child labor, enforcement and regulatory sanctions for those who employ child labor. Then, take child labor from their workplace and improve coordination between field and also between governments, campaigning and dissemination related to child labor and also conduct job analysis to optimize the performance of employees. Keywords: Monitoring, Child Labor Phenomenons
“Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orangorang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” – Rasul Paulus
Teruntuk, Keluarga terkasih, sahabat , dan juga kakak serta adik-adik kelompok kecilku Terimakasih atas motivasi dan doanya
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara yang berjudul “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap Fenomena Pekerja Anak di Kota Serang”. Skripsi ini tentunya dapat selesai tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung dan membimbing penulis. Maka dari itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si, sebagai Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Mia Dwianna M., S.Sos, M.I.Kom sebagai Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 5. Gandung Ismanto, S.Sos, MM Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 6. Rahmawati, S.Sos, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dosen pembimbing kedua, serta dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas segala arahan, bimbingan serta masukannya dari awal perkuliahan hingga akhir.
i
7. Ipah Ema Jumiati, S.Sos, M.Si, Sekretaris Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 8. Yeni Widyastuti, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing pertama. Terima kasih untuk setiap semangat, masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir. 9. Riny Handayani, S.Sos, M.Si dan Bapak DR. Dirlanudin, M.Si selaku dosen penguji, terimakasih untuk setiap masukannya sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik 10. Semua dosen dan staff Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan. 11. Papa, mama, dan cici yang senantiasa memberikan kesempatan dan semangat bagi penulis. Terimakasih untuk segala kepercayaan dan doa kalian. 12. PKK dan AKK ku terkasih, Ka Agnes, Mega, Puri, Btari, Maria, Citra, terimakasih
untuk
kesempatan
mempelajari
firman
dan
mengaplikasikannya bersama 13. Teman-teman kepengurusan PMK di Untirta yang sudah bersama menjalani suka dan duka di dalam Dia, secara khusus Ria, Maria, Rina, Dessy, trimakasih tak henti berdoa, mendukung, dan menyemangati. 14. Kevin, yang setia menemani dan menyemangati sepanjang menyelesaikan skripsi, terimakasih untuk doa dan semangat serta setiap bantuannya. 15. Sahabat-sahabat terkasih selama dalam perkuliahan Alfi, Anis, Putri, Aliya, Vergie, Kiki, Iwan, Mursi, terimakasih untuk persahabatan dan ilmu yang kita pelajari bersama.
ii
16. Sahabat sepanjang masa, Alfian, Edo, Renatha, Metta, Barisda, Shinta, Heni, Besty, Novi, Diana, Selvia. Terimakasih untuk doa dan dukungan dari jarak jauhnya. 17. Teman-teman kelas B reguler Administrasi Negara angkatan 2011. Terimakasih untuk kehangatan bersama selama berkuliah. 18. Kepada setiap pihak yang telah membantu meski tak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Serang, Agustus 2015
Magda Lena
iii
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Kata Pengantar ................................................................................................... i Daftar Isi
...................................................................................................... iv
Daftar Tabel ..................................................................................................... vii Daftar Grafik
................................................................................................ viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2.
Identifikasi Masalah ..................................................................... 22
1.3.
Batasan Masalah ........................................................................... 22
1.4.
Rumusan Masalah ........................................................................ 22
1.5.
Manfaat Penelitian ....................................................................... 23
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1.
Landasan Teori ............................................................................ 24
2.1.1. Pengawasan ............................................................................... 24 2.1.2. Fungsi Pengawasan...................................................................... 27 2.1.3. Karakteristik Pengawasan yang Efektif....................................... 30 2.1.4. Fenomena Pekerja Anak............................................................... 36 2.2.
Penelitian Terdahulu..................................................................... 40
2.3.
Kerangka Berpikir........................................................................ 46
iv
2.4.
Asumsi Dasar................................................................................ 47
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian............................................................................. 48 3.2. Instrumen Penelitian......................................................................... 48 3.3. Lokasi Penelitian............................................................................... 49 3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 50 3.4.1.Data Primer ..................................................................................... 50 3.4.1.1. Wawancara .................................................................................. 50 3.4.1.2. Observasi ..................................................................................... 53 3.4.2. Data Sekunder .............................................................................. 54 3.5. Informan Penelitian............................................................................ 55 3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data............................................... 58 3.7. Jadwal Penelitian................................................................................ 59 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1.
Deskripsi Obyek Penelitian……………………………….......… 60
4.1.1. Deskripsi Wilayah Kota Serang……………………………........ 60 4.1.2. Gambaran Umum Disnakertrans ……………………………..… 65 4.1.3. Sumber Daya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi .................. 72 4.1.4. Gambaran
Umum
Bidang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Ketenagakerjaan ………………………………………………... 73 4.2.
Deskripsi Data ………………………………………………….. 76
v
4.2.1. Deskripsi Data Penelitian ……………..…………………………76 4.2.2. Daftar Informan Penelitian ……………………………………... 79 4.3.
Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian ....………………….... 81
4.3.1. Akurat ........................................................................................... 81 4.3.2. Secara ekonomi realistik .............................................................. 89 4.3.3. Tepat waktu .................................................................................. 98 4.3.4. Realistik secara organisasi ......................................................... 111 4.3.5. Dipusatkan pada pengendalian strategik .................................... 122 4.3.6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi ............................... 127 4.3.7. Objektif dan kompherensif ......................................................... 135 4.3.8. Fleksibel ..................................................................................... 139 4.3.9. Diterima para anggota organisasi ............................................... 143 4.4.
Pembahasan …………………………………………………… 145
BAB 5 PENUTUP 5.1.
Kesimpulan …………………………………………………… 156
5.2.
Saran …………………………………………………………... 157
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jenis Pekerjaan Terburuk Anak.............................................................. 5 Tabel 1.2 Jenis Pekerjaan dan Jam Kerja/ Hari Pekerja Anak di Kota Serang Tahun 2014 .......................................................................................... 11 Tabel 1.3 Angka Partisipasi Murni Kota Serang ................................................. 12 Tabel 3.1 Pedoman Wawancara ........................................................................... 52 Tabel 3.2 Daftar Informan Penelitian ................................................................... 56 Tabel 3.3 Waktu Penelitian .................................................................................. 59 Tabel 4.1 Angka Partisipasi Sekolah di Kota Serang ………………………..… 63 Tabel 4.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka …………………………………………………………...… 64 Tabel 4.3 Data Pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang … 73 Tabel 4.4 Daftar Informan Penelitian ………………………………………….. 80 Tabel 4.5 Rekapitulasi Temuan Lapangan …………………………………… 153
vii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Persentase Tingkat Pendidikan Pekerja Anak Kota Serang Tahun 2014 ................................................................................................... 13 Grafik 4.1 Komposisi Tenaga Kerja menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2012 ……………………………………………………………..… 65
viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kehadiran pekerja anak sebenarnya sudah tidak lagi asing di telinga kita.
Pemandangan anak-anak yang bekerja sebagai buruh, pengamen, tenaga kerja konstruksi dan berbagai pekerjaan lainnya sudah kerap kali kita lihat di lingkungan sekitar kita. Pada dasarnya anak adalah generasi masa depan bangsa yang harus dipersiapkan sejak dini untuk dapat senantiasa berkembang menjadi pribadi yang baik, santun, dan menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat. Perkembangan bangsa dan dunia yang semakin maju, serta adanya tuntutan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas juga menjadi salah satu faktor mengapa anak merupakan modal untuk bisa tetap mempertahankan kemajuan bangsa. Anak harus dilindungi karena masa anak adalah masa tumbuh kembang baik fisik, mental, sosial, maupun intelektualnya. Proses tumbuh kembang anak sangat menentukan kepribadian anak setelah dewasa, dimana perlakuan buruk atau kasar terhadap anak dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak baik jangka pendek maupun panjang. Meski demikian, sampai saat ini kita masih kerap menemui maraknya anak-anak yang menjadi pekerja anak. Anak sendiri pada umumnya diartikan sebagai laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. Definisi ini diambil sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mulai dari Konvensi Hak 1
2
Anak yang telah diratifikasi pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No.36 dan juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan tenaga kerja anak sebagai mereka yang bekerja dan berusia kurang dari 18 tahun. Sehingga dapat kita pastikan bahwa pekerja anak ialah mereka yang terlibat dalam pekerjaan meski berusia kurang dari 18 tahun. Meski demikian, tidak semua jenis pekerjaan dilarang oleh pemerintah untuk dikerjakan oleh anak yang berusia di bawah 18 tahun. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (2014) menetapkan bahwa ada beberapa jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk dikerjakan seorang anak. Anak usia 13-15 tahun diperbolehkan mengerjakan pekerjaan ringan yang apabila dikerjakan anak dalam rentang usia 13-15 tahun tidak mengganggu tumbuh kembang, keselamatan, kesehatan, moral, dan juga pendidikan anak. Adapun pengusaha yang akan mempekerjakan anak pada jenis pekerjaan ringan ini harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yakni memiliki ijin tertulis dari orangtua, dan anak hanya boleh bekerja dalam waktu kerja maksimal 3 jam yang dilakukan pada siang hari. Perusahaan harus dengan teliti memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja sang anak, serta memiliki hubungan kerja yang jelas dengan pekerja anak, dan diwajibkan memberikan upah sesuai ketentuan yang sudah disepakati. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan dan pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang, seperti halnya magang yang diadakan oleh pihak sekolah juga menjadi bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk dilakukan
3
anak dalam batasan usia minimal 14 tahun. Syaratnya adalah sang anak diberi petunjuk jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan, bimbingan serta pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan, serta diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pekerjaan yang diperbolehkan untuk dilakukan anak kemudian ialah pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Dalam hal ini, anak diperbolehkan
melakukan
pekerjaan
yang
disukainya
dalam
rangka
mengembangkan bakat dan minat sejak usia dini. Tentunya ada syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang mempekerjakan anak yang bekerja untuk mengembangkan minat dan bakatnya, yaitu membuat perjanjian tertulis dengan orang tua/wali sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, orang tua/wali juga harus terlibat dalam pengawasan langsung di lokasi kerja, serta waktu kerja yang diberikan untuk sang anak paling lama 3 jam dalam sehari dan 12 jam dalam seminggu yang dilakukan di luar waktu sekolah. Pengusaha diwajibkan untuk menyediakan waktu istirahat selama anak menunggu istirahat yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-hal yang dapat berpengaruh buruk terhadap anak, dan tentunya perusahaan harus tetap melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja. Kemudian, untuk anak dengan usia diatas 15 tahun tetapi dibawah 18 tahun pada dasarnya diperbolehkan bekerja, kecuali bekerja pada Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA), ataupun bekerja pada malam hari (antara pukul 18.00 - 06.00) dan bekerja lembur.
4
Di dalam UU No.13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan oleh anak yang kemudian dikategorikan sebagai Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) seperti yang dijelaskan dalam Tabel 1.1. Hal ini dikarenakan BPTA dapat berdampak buruk bagi pekerja anak, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak tersebut berpengaruh terhadap perkembangan fisik anak yang menyebabkan anak tidak dapat tumbuh secara optimal (bongkok, pendek), rentan terhadap penyakit (pusing, kerusakan sistem saraf, lemah daya ingat, paru-paru, tuli, sesak napas, dan lain-lain). Selain itu, ada juga pengaruh terhadap perkembangan emosi yang mengakibatkan emosi anak cenderung tidak stabil, pemarah,
pendendam,
kasar,
dan
terhadap
perkembangan
sosial
yang
menyebabkan anak menjadi egois, tidak percaya diri, merasa direndahkan dan tidak memiliki rasa empati. (Disnakertrans Kota Serang, 2014)
5
Tabel 1.1 Jenis Pekerjaan Terburuk Anak No. 1
2
3
4
Jenis Pekerjaan Anak Pekerjaan yang dilakukan berhubungan dengan: a. Mesin Bor, Gerindra, Bubut b. Pesawat ketel uap, pemanas air/oli, pembangkit gas karbit, gondola, forklift, escalator, turbin, pembangkit listrik c. Instalasi Instalasi listrik, instalasi pemadam kebenaran, saluran listrik d. peralatan lainnya Tanur, Dapur peleburan, e. Bejana tekan, bejana penimbun, bejana pengangkut Lingkungan kerja yang berbahaya : a. Bahaya fisik Pekerjaan dibawah air/tanah, ruang tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas, bekerja pada ketinggian lebih dari 2, menggunakan peralatan las/listrik, gas bahan radio aktif, lingkungan kerja dengan tingkat getaran tinggi melebihi nilai ambang batas (NAB), kebisingan, bahan radio aktif, bahan yang dapat menimbulkan bahaya radiasi mangion, kebakaran atau peledakan b. Bahaya kimia Ada pejanan bahan kimia, bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, iritatif, asbes, pestisida c. Bahaya Biologis Bakteri, virus, parasite, pekerjaan di penyamakan kulit, pencucian getah, penegakan binatang buas Sifat dan keadaan Pekerjaan dan konstruksi bangunan, jembatan, berbahaya pengolahan kayu, bongkar muat, tempat kerja yang terkunci, terisolisir dan terpencil, dikapal, penangkapan ikan, pembuangan sampah, daur ulang, mengangkat secara manual melebihi 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan, bekerja pada malam hari (antara pukul 18.00-06.00) Membahayakan moral Bar, diskotik, bola sodok, panti pijat, lokalisasi anak prostitusi, model iklan promosi minuman keras, rokok Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2014)
6
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (2005) mengungkapkan ada tiga faktor yang menjadi penyebab timbulnya pekerja anak, yakni faktor ekonomi, faktor budaya/tradisi /kebiasaan, dan faktor pendidikan. Faktor pertama ialah faktor ekonomi, dimana kemiskinan menjadi salah satu penyebab utama timbulnya pekerja anak disamping faktor ekonomi lainnya. Hal ini biasa timbul karena ketidakmampuan ekonomi keluarga yang kemudian berpengaruh pada produktifitas kerja menjadi rendah, gizi kurang, perawatan kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan penyakit bagi sang anak. Penghasilan orang tua yang rendah juga menjadi faktor yang menyebabkan anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal keterampilan. Faktor kedua penyebab pekerja anak semakin marak ialah masih adanya budaya keluarga dimana anak sejak usia muda sudah melakukan pekerjaan dan terlibat dalam dunia kerja. Tanpa disadari para orang tua terbiasa beranggapan bahwa anak yang bekerja sudah merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat. Dalam kondisi lainnya, ada anak yang diperbolehkan bekerja dengan alasan untuk mendapatkan pendidikan dan persiapan terbaik untuk menghadapi kehidupan di masyarakat nantinya apabila anak tersebut sudah dewasa. Beberapa pekerja anak juga merasa bangga dapat bekerja dan memperoleh penghasilan untuk kepentingan sendiri, maupun membantu ekonomi keluarga dan dapat membiayai adik-adiknya sekolah. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat ialah pekerja-pekerja rumah tangga dilakukan oleh anak perempuan. Secara tidak
7
disadari adanya budaya, tradisi, kebiasaan tersebut menghantarkan anak-anak sebagai pekerja anak meski belum waktunya untuk bekerja. Faktor ketiga merupakan faktor pendidikan, dimana kerap kali berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, serta adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orang tua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah dan kemudian bekerja dengan berbagai alasan, mulai dari alasan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, biaya pendidikan mahal, maupun juga pandangan bahwa meski sang anak sekolah tinggi pada akhirnya jadi penganggur. Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi kemudian membuat orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah lebih tinggi yang dapat meningkatkan kesejahteraan anak di masa mendatang. Situasi tersebut tanpa sadar kemudian mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja anak. Indonesia sampai saat ini telah mencapai kemajuan yang nyata dalam upaya-upaya nasional untuk menghapuskan BPTA. Berbagai peraturan-peraturan yang relevan telah disahkan dan berbagai konvensi internasional juga telah diratifikasi atau ditandatangani sejak tahun 1999. Selain itu juga Rencana Aksi Nasional telah disahkan dan badan pelaksana atau gugus tugas juga telah dibentuk. Berbagai kementerian juga telah memiliki badan pemantau dan mekanisme khusus untuk mendukung kebijakan perlindungan anak. Program – program penguatan kapasitas juga telah dilaksanakan di berbagai sektor pemerintahan termasuk pula dalam sistem peradilan.
8
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak telah memberikan payung perlindungan bagi anak-anak, khususnya anak-anak yang berada dalam situasi sulit, termasuk anak-anak yang bekerja. Undang-undang ini memberikan dasar bagi pengakuan, penghargaan, dan perlindungan bagi hak-hak anak. Namun, untuk menjamin keefektifan pelaksanaan undang-undang ini memerlukan upaya terpadu untuk memberikan pemahaman kepada para aparat penegak hukum dan mengharmonisasi peraturan-peraturan yang terkait termasuk didalamnya peraturan-peraturan daerah. Kemajuan dalam kebijakan-kebijakan nasional telah berlangsung, dimana adanya pendirian Komnas HAM yang didalamnya termasuk juga badan khusus yang menangani permasalahan hak-hak anak-anak dan perempuan. Dalam berbagai kesempatan, komisi ini seringkali bekerjasama dengan kelompok pengawas konvensi dan aliansi LSM. Terkait dengan hak-hak anak, Indonesia kini memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di tingkat nasional dan juga KPAID di tingkat lokal (di tingkat kotamadya/kabupaten) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) (didirikan oleh Kementrian Sosial di tingkat kotamadya/kabupaten) di tingkat provinsi, kotamadya, dan kabupaten. Disamping itu, adapula koalisi LSM yang aktif terlibat seperti Koalisi Nasional Anti Perdagangan Manusia, Koalisi Nasional anti Eksploitasi Seksual terhadap Anak-anak, dan sejenisnya. Koalisi-koalisi ini telah secara aktif terlibat dalam pencegahan, penyelamatan, dan pemberian perawatan dan rehabilitasi bagi para korban serta dalam memberikan masukan bagi kebijakan-kebijakan nasional dan sektoral. Dalam periode pertama dan kedua pelaporan pelaksanaan Konvensi
9
Hak Anak, mereka telah secara aktif terlibat dalam penulisan laporan bayangan kepada komite PBB untuk Konvensi Hak Anak. Indonesia juga telah memiliki berbagai keputusan dan Instruksi Presiden maupun menteri serta peraturan-peraturan lainnya yang ditujukan untuk mencegah ataupun melarang anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang memposisikan mereka dalam BPTA. Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan oleh berbagai sektor seperti seperti sektor tenaga kerja dan transmigrasi, kebudayaan dan turisme, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Melalui Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak, berbagai kebijakan disahkan untuk secara bertahap mencegah dan menghapuskan BPTA dengan cara menentukan prioritas-prioritas untuk secara bertahap menghapuskan BPTA, melibatkan para pemangku kepentingan di tiap tingkat, dengan penuh pemikiran mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi lokal, serta melakukan kerjasama teknis dengan berbagai negara dan lembagalembaga internasional melalui berbagai program aksi. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif, Keppres ini mengemukakan berbagai peranan para pemangku kepentingan di sektor-sektor yang berbeda seperti: pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, penegakan hukum, harmonisasi hukum dan perundang-undangan, sosial-kebudayaan, ekonomi, dan media. Peranan para pemangku kepentingan ini diakomodasi dalam Komite Aksi Nasional atau gugus tugas di tingkat nasional maupun lokal. Bahkan, berbagai
10
Komite Aksi untuk Penghapusan BPTA telah dibentuk di berbagai provinsi dan hingga kini masih menjalankan fungsinya. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan, tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun. Indonesia memiliki 1,7 juta pekerja anak yang mayoritas bekerja di sektor informal. Rinciannya, 674 ribu berusia di bawah 13 tahun. Sebanyak 321 ribu berusia 13-14 tahun, dan sisanya 760 ribu berusia 15-17 tahun. Dari jumlah tersebut, baru 63.055 anak yang ditarik dari pekerjaannya untuk dikembalikan ke sekolah sepanjang tahun 2008-2014. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), kantong pekerja anak yang cukup besar ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Pekerja Anak Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker, Budi Hartawan mengatakan, pekerja anak ini umumnya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan serta konstruksi. Sebagai ibu kota dari Provinsi Banten, Kota Serang juga menghadapi fenomena pekerja anak di wilayahnya. Meski belum marak terlihat secara kasat mata, namun kehadiran pekerja anak di Kota Serang sudah menjadi bagian permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah Kota Serang. Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten, sejauh ini jumlah pekerja anak tersebar di Banten pada tahun 2013 tersebar di
11
Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten, dimana Kabupaten Serang 90 anak, Kabupaten Pandeglang 180 anak, Kabupaten Lebak 180 anak, dan Kabupaten Tangerang sebanyak 120 anak. (http://www.beritasatu.com/nusantara/118585570-pekerja-anak-di-banten-akan-disekolahkan.html). Sesuai data yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang pada tahun 2013, pekerja anak formal di Kota Serang sendiri berjumlah 65 anak. Tentunya dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain, pekerja anak di wilayah Kota Serang sudah cukup tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai ibukota provinsi yang juga baru berdiri sejak tahun 2007. Adapun pekerja yang ada kemudian juga meningkat pada tahun 2014, yakni sebanyak 73 anak, dimana rata-rata pekerja anak yang ada berumur sekitar 13-17 tahun. Tabel 1.2 Jenis Pekerjaan dan Jam Kerja/ Hari Pekerja Anak di Kota Serang Tahun 2014 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Pekerjaan Nyusun Kue Pembuat Emping Pengepakan Kue Kering Cetak Kue Pembuatan Kue Kering Plester Steples Kue Pelayanan Mencet Kue Produksi Bungkus Kue Menyusun Adonan Kue Narik Royak
Jam Kerja/Hari 8-10 6 11 10 10 8 9 8 8-10 9 7 7
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2014
Jumlah Anak 7 2 10 2 1 1 1 1 43 3 1 1
12
Dari tabel di atas, dapat kita perhatikan bahwa pekerja anak yang ada di Kota Serang ragam pekerjaannya cukup banyak, dimana mereka juga rata-rata bekerja di sektor industri kue. Meski pekerjaan yang dilakukan di industri kue bersifat ringan secara kasat mata, namun dapat kita perhatikan bahwa jumlah jam kerja dari kegiatan pekerjaan yang dilakukan jelas sudah melebihi standar jam kerja yang diperbolehkan oleh pemerintah mengingat jam kerja mereka mencapai 7-11 jam per hari. Begitu juga dengan pekerja anak yang bekerja di sektor formal dan bekerja di bagian produksi yang memiliki rata-rata kerja 8 -10 jam per hari. Jika ditelaah lebih lanjut, maka sesuai dengan Tabel 1.3, kita juga dapat menemukan bahwa Kota Serang sampai saat ini memang masih memiliki tingkat pendidikan yang cukup memprihatinkan. Pada tahun 2013, angka partisipasi murni pendidikan di Kota Serang masih cukup baik pada tingkat SD/MI dan juga SMP, kemudian di tingkat SMA sederajatlah tingkat pendidikan masih rendah, dimana baru mencapai 59,04% untuk laki-laki dan 54,40% untuk perempuan. Tabel 1.3 Angka Partisipasi Murni Kota Serang Jenjang Pendidikan
SD/MI sederajat
APM Kota Serang (Persen) Laki-laki Perempuan 2013 2013 96.30 96.14
SMP sederajat
80.10
73.16
SMA sederajat
59.04
54.40
Sumber: BPS Kota Serang, 2015
13
Fakta tersebut selaras dengan kondisi fenomena pekerja anak di Kota Serang, dimana seperti yang dapat kita lihat dalam Grafik 1.1, pekerja anak di Kota Serang sebesar 75% hanya bersekolah sampai tingkat sekolah dasar, kemudian 19% pekerja anak yang ada mencapai tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan hanya 6% diantaranya yang menempuh pendidikan hingga di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Hal ini menjelaskan keterkaitan antara tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan anak bekerja. Grafik 1.1 Persentase Tingkat Pendidikan Pekerja Anak Kota Serang Tahun 2014 SLTA 6% SLTP 19%
SD 75%
Sumber : Disnakertans Kota Serang (2014) Dalam mengatasi pekerja anak ini sendiri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja yang membawahi Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak memiliki fungsi khusus dalam menangani persoalan pekerja anak. Disnakertrans memiliki salah satu misi meningkatkan perlindungan tenaga kerja melalui penegakan, dan aturan ketenagakerjaan. Misi ini yang mendukung Disnakertans melakukan tindakan-
14
tindakan pencegahan dan juga penghapusan pekerja anak yang ada di Kota Serang, demi menjaga anak-anak yang ada tidak terlibat dalam eksploitasi maupun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Fenomena pekerja anak ini bukanlah persoalan kecil, dimana melibatkan cukup banyak pihak dan juga lokasi yang tidak dalam lingkup sempit, maka Disnakertrans bekerjasama dengan pihak pihak yang terlibat dalam Komite Aksi Daerah untuk sama-sama mengurangi pekerja anak yang ada di Kota Serang. Pada tahap pertama pemerintah berusaha melakukan penelitian dan dokumentasi. Program pelarangan dan tindakan segera akan penghapusan BPTA mulai disusun atas dasar besaran, kualitas dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat dalam dunia kerja. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sampai saat ini berusaha mengkoordinasikan pengumpulan data ini dengan melakukan penelitian di lapangan untuk mendata para pekerja anak yang ada di Kota Serang, baik yang bekerja secara formal maupun non formal. Selain itu, koordinasi pengumpulan data yang dilakukan Disnakertrans adalah mengumpulkan data anak putus sekolah dari Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Serang, dimana anak putus sekolah sejauh ini memiliki potensi yang cukup tinggi untuk menjadi pekerja anak. Dinas Sosial (Dinsos) juga berperan memberikan data tempat-tempat rawan yang merupakan tempat para anak jalanan yang juga memiliki potensi menjadi pekerja anak. Dan dalam informasi pekerja formal, Dinsos diwajibkan untuk memberi data para penerima Program Keluarga
15
Harapan (PKH) yang memiliki pekerja anak untuk bisa dibantu keuangan keluarganya, sehingga anak-anak dalam kondisi kurang mampu diharapkan bisa meneruskan pendidikannya dan tidak perlu terlibat dalam dunia kerja sejak usia dini. Pemerintah Kota Serang telah menyadari juga bahwa guna menunjang keberhasilan program penghapusan pekerja anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, agar penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan oleh Disnakertrans sendiri sejauh ini meliputi pengkoordinasian lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak, karena bagaimanapun juga permasalahan ini tidak dapat ditangani sendiri hanya oleh Disnakertrans, meski kewenangan dan tugas penyelesaian permasalahan pekerja anak terkait langsung dengan Disnakertrans. Disnakertrans juga dalam bagian ini menjadi pandu dalam menetapkan karakteristik bagi para pekerja anak yang dimaksudkan sebagai pekerja yang melakukan bentuk pekerjaan terburuk sehingga tidak terjadinya salah tafsir yang membuat semakin sulitnya penanganan pekerja anak. Pencegahan terus diupayakan sebagai upaya penanggulangan awal untuk memastikan anak tidak terjerumus dalam dunia pekerjaan, apalagi sampai menjadi korban BPTA. Pencegahan semacam ini pada dasarnya dilakukan pemerintah dalam bentuk kajian terencana, terpadu, dan juga terkoordinasi dengan lintas sektor. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai salah satu dinas terkait yang berkaitan langsung dengan pekerja anak menempuh cara penghapusan pekerja anak dengan memindahkan pekerja anak dari BPTA ke tempat pekerjaan ringan.
16
Berdasarkan hasil observasi awal, peneliti menemukan beberapa permasalahan. Permasalahan pertama ialah pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal, dimana belum adanya data serta informasi yang akurat dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. Perkiraan peneliti adalah belum adanya data pekerja informal, dan baru adanya data pekerja anak formal di dua pabrik, sedangkan masih ada sekitar 10 pabrik yang diketahui juga mempekerjakan pekerja anak. Tidak dipungkiri masih cukup banyak pekerja anak yang belum terdata, dimana kadang mereka memalsukan umur atau juga data mereka masih ditutuptutupi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Apalagi untuk pengawasan kepada pekerja informal sampai saat ini memang belum terlaksana. (Wawancara dengan Ibu Uswatun, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans). Beberapa masyarakat mengaku bahwa di lokasi tempat tinggal mereka masih ada pekerja-pekerja anak yang bekerja dan belum terdata oleh Disnakertrans. Pekerja anak ini rata-rata bekerja di pabrik kue, roti, dan juga yang mengolah batu bara. (Wawancara dengan Bapak Nasrudin dan Bapak Karim, Ketua RT di wilayah Cipare, 24 Februari 2015, pukul 10.30 WIB dalam Seminar Pekerja Anak di RM Surabayan). Lokasi tempat para pekerja anak bekerja belum semuanya dikunjungi oleh pihak Disnakertrans, sehingga masih belum ada data yang benar-benar valid mengenai apa yang dihadapi pekerja anak, dampak dari pekerjaan maupun jenis pekerjaan yang dihadapi oleh pekerja anak di Kota Serang. Cukup banyak para
17
pekerja anak yang memberikan data alamat palsu karena tidak ingin didatangi oleh pihak Disnakertrans. Berdasarkan hasil pendataan, hampir keseluruhan rata-rata pekerja anak di Kota Serang yang terdata oleh Disnakertrans memberi alasan keterlibatan mereka di dalam dunia kerja dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan. Ketika orang tua mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan, maka pilihan yang diambil adalah bekerja. Hal ini dipilih karena keluarga merasa jauh lebih efektif sang anak bekerja daripada hanya harus diam saja di rumah. Permasalahan kedua yakni meliputi respon dari Disnakertrans yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak. Secara nasional pembentukan kajian mengenai pekerja anak dan perrmasalahannya sudah begitu marak sejak lama. Indonesia telah mengesahkan Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan BPTA dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2000, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut, diamanatkanlah untuk menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus BPTA. Sehubungan dengan hal tersebut, keluarlah tuntutan untuk daerah mulai membentuk juga Rencana Aksi Daerah dalam upaya penghapusan BPTA untuk dapat mencegah maupun mengatasi permasalahan pekerja anak di daerah masing-masing. Pada tahun 2013, sebanyak 570 pekerja anak di Banten ditarik dari tempat kerjanya untuk dikembalikan ke sekolah. sebanyak 570 pekerja anak yang ditarik
18
tersebut berasal dari Kabupaten Serang sejumlah 90 anak, Kabupaten Pandeglang 180 anak, Kabupaten Lebak 180 anak, Kabupaten Tangerang 120 pekerja anak. Kota Serang meski telah mulai melakukan pengawasan terhadap pekerja anak, namun baru pada tahun 2015 mulai memberikan reaksi terhadap permasalahan pekerja anak di Kota Serang, yakni ketika bergabung dengan Komite Aksi Daerah yang akhirnya merumuskan Rencana Aksi Daerah untuk mengurangi pekerja anak yang ada di Kota Serang. Pada dasarnya reaksi yang diberikan oleh Disnakertrans dalam menangani pekerja anak ini dapat dikatakan cukup lamban mengingat beberapa tahun selama pengawasan dilakukan, pekerja anak masih dapat secara bebas bekerja dan dapat kita temui di wilayah-wilayah sekitar Serang, seperti di daerah Karuhun, Taktakan, Rau, dan beberapa titik lainnya. Ada yang terlibat menjadi pegawai toko, pengamen, produksi kue, produksi coklat, maupun juga produksi emping dan beberapa pekerjaan lainnya. Disnakertrans telah mengawasi 180 perusahaan di 6 kecamatan yang ada di Serang namun belum ada sanksi tegas yang diberikan kepada perusahaan yang didapati mempekerjakan anak di bawah umur, ataupun juga orang tua yang mengijinkan anaknya bekerja. Hal ini yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Disnakertrans, dimana pengawasan kepada pekerja anak ini selalu dilakukan bertahap. Selama ini, Disnakertrans baru mendata dan belum secara tegas memberikan sanksi ataupun menarik anak-anak dari tempat pekerjaan mereka. Karena masih banyak juga kendala dana dan belum adanya tempat singgah atau pesantren untuk anak yang ditarik dari pekerjaannya.
19
(Wawancara dengan Ruli Riatno, 24 Februari 2015 pukul 09.10 WIB, RM Surabayan). Permasalahan ketiga meliputi koordinasi Disnakertrans dengan SKPD lain, dimana sampai saat ini data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial yang rencananya disinergikan untuk memberi bantuan juga terhadap anak-anak yang kurang mampu masih belum ada. Penerima PKH di Kota Serang sampai saat ini masih terfokus kepada ibu hamil maupun juga balita, dan bantuan yang ada belum sampai pada bantuan yang diberikan untuk pendidikan anak kurang mampu. PKH sendiri tadinya memang merupakan program yang ditujukan bagi ibu hamil dan yang baru melahirkan, sehingga ketika adanya perubahan yang ditetapkan untuk mendata kembali adanya pekerja anak di rumah tangga tersebut, para
pendamping PKH masih harus mendata ulang kembali Rumah Tangga
Sasaran yang ada. (Wawancara dengan Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial Dinsos Kota Serang, 17 Februari 2015, pukul 10.00 WIB, Dinas Sosial Kota Serang). Para pendamping PKH yang terjun langsung pada masyarakat jelas mengindikasikan adanya pekerja anak dari para keluarga penerima PKH di wilayah Kota Serang. Masih cukup banyak anak yang terlibat dalam dunia kerja karena kondisi keluarga yang kurang mampu, dan rata-rata mengeluhkan biaya pendidikan yang masih menjadi persoalan. Meski biaya masuk sekolah sudah ada yang gratis, namun biaya seragam dan buku juga masih tetap menjadi persoalan
20
tersendiri bagi warga kurang mampu. (Wawancara dengan Bapak Badrudin, selaku pendamping PKH, 24 Februari 2015, pukul 10.40 WIB, di Taktakan) Dinas Pendidikan juga masih belum mengetahui dengan jelas teknis dari pembagian fokus mengenai pekerja anak yang ada di Kota Serang yang membutuhkan pembinaan ataupun beasiswa. Ketika peneliti mengkonfirmasi pembinaan maupun beasiswa yang diberikan pihak Dinas Pendidikan, dapat diketahui bahwa sejauh ini Dinas Pendidikan belum memberikan dana beasiswa dan bantuan khusus kepada pekerja anak. Beasiswa yang diberikan masih secara umum, yakni kepada anak-anak kurang mampu. Pemberian beasiswa ditujukan kepada anak-anak yang dalam kondisi keluarga kurang mampu, tapi secara umum dan tidak spesifik kepada mereka yang terlibat sebagai pekerja anak. Untuk kejar paketpun di Kota Serang itu hampir keseluruhannya diperuntukkan kepada orangorang tua bukan anak-anak. (Wawancara dengan Bapak Iswadi, 12 Februari 2015 , pukul 09.30, Dinas Pendidikan Kota Serang). Sampai saat ini, kapasitas pengalaman pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan berbagai pihak masih terbatas. Meski fenomena pekerja anak ini sudah cukup banyak, namun penanganannya masih belum bersifat lintas SKPD. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahwa salah satu kriteria pengawasan yang baik mencakup juga koordinasi yang baik dan juga kesesuaian antar program. Dalam arti semakin kurang baiknya koordinasi yang dilakukan dalam menangani pekerja anak ini berjalan, semakin bertambah juga jumlah pekerja anak di Kota Serang.
21
Permasalahan keempat yang ditemui adalah kampanye penghapusan BPTA sampai saat ini diakui pihak Disnakertrans masih belum optimal, dimana persebaran luas tentang informasi BPTA untuk anak kepada masyarakat luas masih berupa sosialisasi kepada para RT RW yang merupakan ujung tombak pemerintah terhadap masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan pun masih belum menyeluruh ke setiap daerah. Sosialisasi yang belum menyeluruh ini kemudian membuat masih banyak masyarakat yang belum benar-benar memahami bahwa pekerja anak ini merupakan persoalan serius dan menimbulkan sanksi hukum. Sampai saat ini belum ada masyarakat yang secara sadar dan atas inisiatif sendiri melaporkan pekerja anak di lingkungan sekitarnya. Sedangkan untuk menjemput bola pun Disnakertrans masih cukup terkendala masalah waktu dan sumber daya pekerja (Wawancara dengan Ibu Hasahnatun, 13 Februari 2015, pukul 09.00 WIB, di Kantor Disnakertrans Serang). Belum adanya masyarakat yang pernah melaporkan tentang kasus pekerja anak di sekitarnya menunjukkan masih sangat sedikit masyarakat yang menyadari bahaya bagi anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan oleh anak. Ditambah lagi pihak keluarga maupun perusahaan yang juga masih cukup banyak menutup-nutupi keberadaan pekerja anak di sekitarnya. Hal ini membuat semakin sulit bagi Disnakertrans dalam mengawasi keselamatan kerja para pekerja anak yang ada di Kota Serang. Berdasarkan latar belakang masalah yang ada inilah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Terhadap Pekerja Anak di Kota Serang”.
22
1.2.
Identifikasi Masalah 1.
Pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal
2.
Respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak
3.
Koordinasi dengan SKPD lain dalam penanganan pekerja anak masih lemah
4.
Belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak
1.3.
Batasan Masalah Untuk membuat penelitian ini tidak lari daripada fokus masalah yang ada,
dan karena keterbatasan peneliti untuk meneliti masalah ini secara luas, peneliti membatasi masalah pada “Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena Pekerja Anak di Kota Serang” 1.4.
Rumusan Masalah Rumusan masalah akan memberikan suatu arahan yang jelas untuk
mengadakan penelaahan, serta hasil analisis akan jauh lebih nyata, sehingga peneliti harus membatasi masalah yang akan dianalisis karena akan membantu memperjelas pengkajiannya. Sehubungan dengan itu peneliti merumuskan masalah sebagai berikut, yakni “Bagaimanakah pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang?”
23
1.5.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuan keilmuan dalam bidang disiplin Ilmu Administrasi Negara, dan juga dapat dijadikan bahan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pengawasan Disnakertrans dan juga fenomena pekerja anak di Kota Serang. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini berfungsi untuk dapat memberikan tambahan pengetahuan dan referensi bagi peneliti dalam bidang jaminan dan pengawasan publik khususnya terkait pengawasan sosial mengenai pekerja anak. Penelitian ini dapat pula menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak khususnya pelaksana pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang dalam menangani fenomena pekerja anak di wilayah-wilayah Kota Serang.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1.
Landasan Teori Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti menggunakan cukup
banyak istilah yang berkaitan dengan masalah penelitian. Maka dari itu pada bab ini peneliti menggunakan beberapa teori yang mendukung masalah dalam penelitian yang peneliti lakukan. Adapun teori penelitian ini berfungsi sebagai pisau analisis yaitu untuk menjelaskan dan juga menjadi panduan dalam penelitian. Dengan penggunaan teori tentunya akan ditemukan cara yang tepat untuk mengelola sumber daya, waktu yang singkat untuk menyelesaikan pekerjaan dan alat yang tepat untuk meringankan pekerjaan. 2.1.1. Pengawasan Sebuah rencana tidak akan dapat berhasil mencapai tujuannya dengan baik jika tidak disertai implementasi yang optimal. Karena itu sangat perlu adanya pengawasan yang dilakukan selama berjalannya pelaksanaan kegiatan yang telah terlebih dahulu direncanakan sebelumnya. Mengingat pelaksanaan kegiatan tidak selalu sesuai dengan apa yang telah dirancangkan, sangat dibutuhkan pengamatan yang teliti dalam pelaksanaan pekerjaan, seperti halnya pengertian dari pengawasan
yang
diungkapkan
Handoko
(2012:25)
yang
mengartikan
pengawasan sebagai penemuan dan penerapan cara dan peralatan untuk menjamin 24
25
bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat positif maupun negatif. Pengawasan positif terjadi kala sifatnya adalah pengujian untuk mengetahui apakah rencana dan tujuan yang ditetapkan berhasil atau tidak dan apakah tujuan organisasi dicapai dengan efisien dan efektif. Sebaliknya, pengawasan negatif terjadi kala kita mencoba untuk melakukan pengawasan demi menjamin kegiatan yang tidak kita inginkan ataupun juga tidak kita butuhkan tidak terjadi atau terjadi kembali. Kerap kali yang terjadi dalam kita melaksanakan suatu kegiatan ataupun menargetkan suatu tujuan, apa yang terjadi tidaklah sesuai dengan apa yang kita harapkan di awal, seperti yang disampaikan oleh Harahap (2001 : 14) : “Pengawasan adalah keseluruhan sistem , teknik, cara yang mungkin dapat digunakan oleh seorang atasan untuk menjamin agar segala aktivitas yang dilakukan oleh dan dalam organisasi benar-benar menerapkan prinsip efisiensi dan mengarah pada upaya mencapai keseluruhan tujuan organisasi”. Berdasarkan pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa pengawasan bukan saja merupakan usaha yang dipakai untuk mencapai tujuan organisasi, tapi juga tindakan mencapai tujuan organisasi dengan penerapan sistem efisiensi sehingga mengurangi hal-hal yang tidak perlu selama pelaksanaan kegiatan yang berlangsung. Pengawasan juga dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan. Harapannya dengan adanya pengawasan, kita dapat menghindari kejadian yang tidak diharapkan di kemudian hari.
26
Henry Fayol dalam Harahap (2001:10) “Control consist in veryfing whether everything occurs in conformity with the plan adopted, the instruction issued and principles established. It has objective to point out of weaknesses and errors in order to rectify then prevent recurrance”. Hal ini selaras dengan pengertian pengawasan yang disampaikan oleh G.R. Terry dalam Hasibuan (2008:242): “Controlling can be defined as the process of determiig what is to be accomplished, that is the performance, evaluating the performance and if neccessary applying corrective measure so that performance takes place according to plans, that is, in conformity with the standard”. Pengawasan yang baik harus dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali apa standar yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan suatu kegiatan, sehingga dapat mengetahui apa yang harus dikerjakan dalam kegiatan, serta menilai bagaimana pelaksanaannya. Ketika ternyata dalam pelaksanaan yang ada beberapa hal ternyata menyimpang, maka pengawasan berfungsi untuk memperbaiki penyimpangan tersebut sehingga pelaksanaan bisa berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan keseluruhan cara, sistem, maupun teknik yang digunakan untuk membuat implementasi kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Karena itu, pengawasan dimulai dari adanya rencana dan standar yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ada dan sampai kepada pengawasan saat pelaksanaan serta tindakan korektif yang dilakukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan.
27
2.1.2.
Fungsi Pengawasan Fungsi manajemen yang diarahkan untuk melakukan pengawasan atas
apa yang telah direncanakan dan bagaimana langkah-langkah koreksinya inilah yang dinamakan fungsi pengawasan atau pengendalian. Schermerhorn dalam Manullang (2012:317) mendifinisikan pengawasan sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan. Dalam pengertian yang didefinisikan oleh Schermerhorn dapat kita pelajari bahwa kunci utama dalam pengawasan ialah ukuran dari kinerja yang ada sebagai usaha dalam melaksanakan suatu kegiatan sesuai rencana yang ditujukan untuk bisa mencapai tujuan yang ada. Tidak hanya itu, pengambilan tindakan juga menjadi bagian yang harus diperhatikan karena menyangkut perubahan yang positif maupun negatif terhadap pencapaian hasil yang akan didapat nantinya. Disinilah peran pengawasan menjadi begitu penting untuk dilakukan, agar kinerja yang ada bisa berjalan dengan baik dan juga tindakan yang diambil bisa bermanfaat untuk meningkatkan kinerja yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. “Mockler dalam Manullang (2012:318) menyampaikan fungsi pengawasan sebagai upaya sistematis dalam menerapkan standar kinerja dan berbagai tujuan yang direncanakan, mendesain sistem informasi umpan balik, membandingkan antara kinerja yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan apakah terdapat penyimpangan dan tingkat signifikasi dari setiap penyimpangan tersebut, dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh sumber daya perusahaan digunakan secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan perusahaan.”
28
Dalam hal ini dapat dipelajari bahwa pengawasan harusnya bersifat sistematis, dimana setiap proses yang dilakukan dalam pengawasan diperhatikan secara teliti dan seksama, sehingga bisa menghasilkan tindakan-tindakan pelaksanaan yang efektif dan efisien. Pengawasan tentunya menjadikan kinerja kita secara keseluruhan sesuai dengan rencana. Semakin terperinci rencana dan kinerja diperhatikan, maka semakin efektif dan efisien tindakan yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. “Secara umum proses pengawasan (pengendalian) menurut Amirullah dan Budiyono (2004:304) terdiri dari tiga langkah, yaitu mengukur kinerja sebenarnya, membandingkan kinerja yang sebenarnya dengan standar, mengambil tindakan manajerial untuk memperbaiki penyimpangan atau standar yang tidak memadai.” Dapat kita pastikan bahwa tindakan pengawasan dilakukan bukan hanya secara sistematis, namun juga harus ditindaki dengan baik. Artinya, ketika dilakukan pengawasan, kita tidak hanya sekedar mengukur kinerja, tapi juga membandingkannya untuk melihat apa saja kekurangannya, sehingga pada akhirnya kita dapat mengambil tindakan untuk hal tersebut. Terdapat tiga jenis fungsi pengawasan yang disampaikan oleh Sule dan Saefullah (2010:327), dimana pada umumnya dilakukan manajemen dalam organisasi, terutama yang terkait dengan faktor waktu dalam menjalankan fungsi pengawasan, yaitu pengawasan awal, pengawasan proses, dan pengawasan akhir. Pengawasan awal biasanya dilakukan untuk memastikan apakah seluruh faktor input produksi telah sesuai dengan standar atau tidak. Sedangkan pengawasan proses merupakan pengawasan yang dilakukan pada saat proses tengah berlangsung. Dan yang terakhir, pengawasan akhir merupakan pengawasan yang
29
dilakukan saat akhir proses mengerjakan sesuatu, yakni untuk memastikan bahwa hasil yang diperoleh pada saat pengerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan di awal dan proses yang telah dikerjakan. Sesuai dengan bentuk pengawasan diatas, dapat kita pahami bahwa pengawasan bersifat terus-menerus berlangsung selama sebuah proses berjalan, tidak hanya sekedar bersifat di waktu-waktu tertentu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau kesalahan yang mungkin saja terjadi, karena faktor input produksi yang salah, atau proses yang gagal dan tidak sesuai, sampai hasil akhir yang bisa saja menyimpang dari rencana awal yang ada. Empat langkah dalam melakukan pengawasan (pengendalian) menurut Mockler dalam buku Amirullah dan Budiyono (2004:299) yaitu menetapkan standar
dan
metode
untuk
pengukuran
prestasi,
mengukur
prestasi,
membandingkan prestasi sesuai dengan standar, mengambil tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pengawasan selalu berupa tindakan yang dari awal harus memiliki standar yang jelas, karena tidak akan dapat pengawasan dilakukan jika kita tidak mengetahui standar ukuran yang jelas utuk mengukur prestasi kerja yang ada. G.R. Terry dalam Hasibuan (2009) menjabarkan tujuan pengawasan sebagai berikut: 1. Supaya proses pelaksanaan dilakukan sesuai dengan ketentuanketentuan dari rencana 2. Melakukan tindakan perbaikan (corrective), jika terdapat penyimpangan – penyimpangan (deviasi) 3. Supaya tujuan yang dihasilkan sesuai dengan rencananya
30
2.1.3. Karakteristik Pengawasan yang Efektif Dalam melakukan pengendalian (pengawasan) tentunya tidak bisa sembarangan saja dilakukan, mengingat pengawasan ini bertujuan untuk bisa mencapai target dan tujuan dalam rencana yang telah ditetapkan. Karena itu pengendalian harus dilakukan secara efektif dimana pengendalian yang ada harus tepat sesuai dengan proses yang dilaluinya dan tanpa menyimpang dari sistem yang dianut sehingga tahapan yang dilalui juga benar. Siagian (2005:130) menyampaikan bahwa pengawasan akan berlangsung efektif apabila memiliki berbagai ciri seperti: 1. Pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan 2. Pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana` 3. Pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-titik strategis tertentu 4. Objektivitas dalam melakukan pengawasan 5. Keluwesan pengawasan 6. Pengawasan harus memperhitungkan pola dasar organisasi 7. Efisiensi pelaksanaan pengawasan 8. Pemahaman sistem pengawasan oleh semua pihak yang terlibat 9. Pengawasan mencari apa yang tidak beres 10. Pengawasan harus bersifat membimbing Karakteristik pengendalian yang efektif kemudian disampaikan oleh Vincent dan Rosalia (2013:176) dimana karakteristik tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Terintegrasi dengan perencanaan organisasi Hal ini merupakan syarat mutlak dari satu proses pengendalian. Integrasi ini tampak dari awal, saat kita menyusun perencanaan, kita sudah menetapkan cara mengendalikan pelaksanaannya dengan menetapkan standar-standar kinerja sebagai ukuran keberhasilan, menentukan orang
31
2.
3.
4.
5.
yang akan terlibat dalam pengendalian, cara pengendalian itu dilakukan, bahkan merencanakan alternatif-alternatif tindakan bila terjadi penyimpangan. Akurat Informasi atau hasil pengendalian haruslah akurat sebagai dasar keputusan, kita kaan membiarkan proses berlanjut, mengambil tindakan korektif dalam bentuk perbaikan, atau menghentikan sama sekali. Akurat berarti informasi dikumpulkan secara cermat, teliti, dan mempunyai tingkat ketetapan tinggi, terlepas dari unsur-unsur manipulasi subjektif. Akurasi hasil pengendalian merupakan faktor penentu yang sangat kuat bagi kualitas keputusan manajerial. Kurangnya akurasi hasil berdampak pada keputusan dan tindakan korektif yang tidak tepat sasaran, pemborosan, penyimpangan kebijakan manajemen, dan masalah-masalah baru. Tepat Waktu Pengendalian harus tepat waktu, artinya, sesuai dengan kebutuhan kapan pengendalian diperlukan. Setiap kegiatan membutuhkan waktu pengendalian yang berbeda. Ketepatan waktu diperlukan untuk mencegah penyimpangan menjadi lebih fatal dan munculnya anggapan penyimpangan sebagai sesuatu yang wajar dan sulit memperbaikinya. Fleksibilitas Fleksibilitas merupakan kemampuan sistem pengendalian beradaptasi dengan berbagai perubahan. Sebaik apa pun kita merencanakan, menyusun standar pengendalian dan segala proses pelaksanaannya, semua itu baru pada tahap prediksi dengan asumsi faktor-faktor yang berhubungan dengan rencana dan pengendalian tidak mengalami perubahan atau sama dengan saat kita menyusunnya. Namun, sulit sekali menemukan situasi yang selalu sama karena yang ada adalah perubahan. Jadi, sistem pengendalian dikatakan efektif bila mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, tetapi tetap berfungsi sebagai alat kendali untuk menjamin tercapainya tujuan. Realistis Standar kinerja yang digunakan sebagai alat ukur dalam pengendalian harus realistis. Standar itu harus menantang, namun sebagian besar karyawan harus yakin bahwa hal itu bisa dicapai. Standar seperti ini akan memotivasi mereka berkinerja lebih baik. standar terlalu tinggi bisa membuat karyawan frustasi dan upaya mereka melemah, sebaliknya, standar terlalu rendah bisa membuat mereka merasa tidak tertantang dan juga berdampak pada lemahnya kinerja. Realistis juga berkaitan dengan
32
pelaksanaan pengendalian yang wajar-wajar, tidak berlebihan, sehingga menimbulkan penolakan. 6. Relevan Aspek-aspek yang diukur ketika kita menilai kinerja karyawan harus menggunakan standar-standar yang relevan dengan bidang kerja mereka. Setiap pekerjaan membutuhkan standar berbeda, ada yang lebih mengarah pada standar kuantitatif, maupun juga kualitatif. 7. Mudah dipahami Pengendalian mudah dipahami dengan membuat proses dan langkahlangkah yang jelas bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. 8. Berfokus pada aspek-aspek strategis Tidak semua proses serta merta dikendalikan setiap saat. Proses yang vital dan berpotensi memunculkan penyimpangan fatal bagi kinerja organisasi harus dipantau secara seksama, tetapi proses-proses standar dan diyakini akan berjalan lancar hanya membutuhkan pemantauan secara periodik. Kalau hal ini terjadi berarti pengendalian itu sudah berfokus pada aspekaspek strategis. 9. Objektif Pengendalian juga harus bersifat objektif, dalam arti didukung oleh data dan fakta yang benar-benar bersumber dari temuan lapangan, bukan persepsi atau interpretasi pribadi penilai. Kesimpulan-kesimpulan dan tindakan korektif dari satu proses pengendalian harus didasarkan pada analisis dan menghindari masuknya kepentingan pribadi. 10. Berkesinambungan Hasil pengendalian harus memberikan solusi, bisa dijadikan dasar tindakan korektif dan masukan bagi perencanaan periode selanjutnya. Hal inilah yang dimaksud dengan pengendalian yang berkesinambungan. Pengendalian tidak berhenti hanya pada hasil temuan, tetapi temuan kemudian dievaluasi dan dijadikan dasar bertindak untuk memperbaiki kinerja organisasi ke depan. Pengendalian akan terus berlanjut selama organisasi beroperasi. Selain itu, Siswanto (2011:149) mengemukakan bahwa karakteristik yang efektif adalah: 1. Akurat Informasi atas kinerja harus akurat. Ketidakakuratan data dari suatu sistem pengendalian dapat mengakibatkan organisasi mengambil tindakan yang
33
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
akan menemui kegagalan untuk memperbaiki suatu permasalahan atau menciptakan permasalahan baru. Tepat waktu Informasi harus dihimpun, diarahkan, dan segera dievaluasi jika akan diambil tindakan tepat pada waktunya guna menghasilkan perbaikan. Objektif dan komprejensif Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin objektif sistem pengendalian, makin besar kemungkinannya bahwa individu dengan sadar dan efektif akan merespons informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya. Sistem informasi yang sulit dipahami akan mengakibatkan bias yang tidak perlu dan kebingungan atau frustasi di antara para karyawan. Dipusatkan pada tempat pengendalian strategis Sistem pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada bidang yang paling banyak kemungkinan akan terjadi penyimpangan dari standar, atau yang akan menimbulkan kerugian yang paling besar. Selain itu, sistem pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan seefektif mungkin. Secara ekonomi realistik Pengeluaran biaya untuk implementasi harus ditekan sedemikian mungkin sehingga terhindar dari pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya paling minimum yang diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan. Secara organisasi realistik Sistem pengendalian harus dapat digabungkan dengan realitas organisasi. Selain itu, semua standar untuk kinerja harus realistik. Perbedaan status di antara individu harus dihargai juga. Dikoordinasikan dengan arus kerja organisasi Informasi pengendalian perlu untuk dikoordinasikan dengan arus pekerjaan di seluru organisasi karena dua alasan. Pertama, setiap langkah dalam proses pekerjaan dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seluruh operasi. Kedua, informasi pengendalian harus sampai pada semua orang yang perlu untuk menerimanya. Fleksibel Pada setiap organisasi pengendalian harus mengandung sifat fleksibel yang sedemikian rupa sehingga organisasi tersebut dapat segera bertindak untuk mengatasi perubahan yang merugikan dan memanfaatkan peluang baru.
34
9. Preskriptif dan Operasional Pengendalian yang efektif dapat mengidentifikasi tindakan perbaikan apa yang perlu diambil setelah terjadi penyimpangan dari standar. Informasi harus sampai dalam bentuk yang dapat digunakan ketika informasi itu tiba pada pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan perbaikan. 10. Diterima para anggota organisasi Agar sistem pengendalian dapat diterima oleh para anggota organisasi, pengendalian tersebut arus bertalian dengan tujuan yang berarti dan diterima. Tujuan tersebut harus mencerminkan bahasa dan aktivitas individu kepada situasi tujuan tersebut dipertautkan. Sistem pengendalian yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004:307) mempunyai karakteristik pengendalian yang efektif dan dijabarkan sebagai berikut: 1. Akurat Informasi dari prestasi yang akan diukur haruslah akurat. Ketidakakuratan data akan menyebabkan kesalahan dalam menarik kesimpulan, bahkan dapat menimbulkan kesalahan yang tidak perlu. Pengujian keakuratan data atau informasi merupakan salah satu tugas penting bagi seorang manajer atau pimpinan. 2. Secara ekonomi realistik Pengeluaran biaya untuk implementasi pengendalian (pengawasan) harus ditekan seminimum mungkin sehingga terhindar dari pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya yang paling minimum yang diperlukan, untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan yang ditetapkan. 3. Tepat waktu Sistem pengendalian (pengawasan) akan efektif jika dilakukan dengan cepat disaat penyimpangan diketahui. Jika terjadi kelambatan dalam reaksi penyimpangan, kerugian yang dihadapi akan semakin besar. Untuk menghindari hal ini, maka sebaiknya pengawasan dilakukan secara rutin, tetapi untuk hal-hal yang sangat penting juga dilakukan pengawasan di luar kontrol rutin. 4. Realistik secara organisasi Sistem pengawasan harus dapat digabungkan dengan realitas organisasi. Misalkan, individu harus dapat melihat hubungan antara tingkat prestasi yang harus dicapainya dan imbalan akan menyusul kemudian. Selain itu, semua standar untuk prestasi harus realistik. Perbedaan status di antara individu harus dihargai juga.
35
5. Dipusatkan pada pengendalian strategik Pengendalian hendaknya diarahkan pada titik-titik kunci yang memiliki nilai strategis sehingga penyimpangan di bidang ini cepat diketahui dan dapat dihindarkan timbulnya kegagalan pencapaian tujuan. Selain itu sistem pengawasan strategik sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan. 6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi Memperhatikan bahwa satu kegiatan akan selalu terkait dengan kegiatan lain, maka sistem pengawasannya juga harus harus dikoordinasikan dengan kegiatan lain yang erat hubungannya dengan kegiatan yang dikendalikan tersebut. 7. Objektif dan Komprehensif Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin objektif sistem pengawasan, makin besar kemungkinanannya bahwa individu dengan sadar dan efektif akan merespon informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya. Sistem informasi yang sukar dipahami akan mengakibatkan bias yang tidak perlu dan kebingungan atau frustasi di antara para karyawan. 8. Fleksibel Mengingat situasi dan kondisi terus berubah dengan cepat, maka sistem pengendalian harus memiliki keluwesan yang tinggi sehingga standar-standar pengendalian tetap dapat dipergunakan meskipun situasi dan kondisi berubah. 9. Diterima para anggota organisasi Idealnya, setiap sistem pengendalian dapat diterima dan dimengerti oleh semua anggota organisasi, sehingga mereka masing-masing akan merasa ikut bertanggung jawab terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, sistem pengawasan hendaknya dijelaskan terlebih dahulu kepada semua anggota organisasi. Selain sembilan karakteristik pengendalian efektif di atas, perlu diperhatikan bahwa standar yang ditetapkan harus diterima oleh para anggota organisasi sebagai bagian integral dan adil dari pekerjaan mereka. Demikian pula bahwa sistem pengendalian harus konsisten dengan kultur organisasi yang bersangkutan.
36
2.1.4. Fenomena Pekerja Anak Berbagai definisi mengenai pekerja anak dapat ditangkap berbeda oleh setiap pihak yang ada, baik pemerintah, masyarakat luas, orang tua sang pekerja anak, maupun juga sang pekerja anak sendiri. Secara sederhana, pekerja anak dapat didefinisikan sebagai anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Pekerja anak bekerja demi meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah tangganya secara langsung maupun tidak langsung. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Pasal 1, menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. “Istilah ‘pekerja anak’ didefinisikan mencakup semua pekerja anak yang berusia 5 – 12 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka, pekerja anak berusia 13 – 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan pekerja anak usia 15 – 17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu.” (Sakernas, 2008) Pada dasarnya pekerja anak senantiasa dilarang oleh pemerintah dengan alasan yang jelas, yakni adanya konsekuensi yang ditanggung sang anak yang dapat membahayakan kesehatannya, begitupun juga adanya indikasi terganggunya proses belajar, dimana sang anak jadi lebih memprioritaskan untuk bekerja demi mendapatkan nafkah meski sebenarnya memiliki hak dan kewajiban untuk belajar demi masa depannya. Begitupun juga dengan kecenderuan gangguan yang akan terjadi dalam tumbuh kembangnya, dimana anak masih begitu rentan terganggu tumbuh kembangnya jika terpaksa bekerja dalam usia dini. Pekerja anak
37
didefinisikan sebagai anak-anak yang bekerja dalam setiap pekerjaan yang dapat dianggap berbahaya yang diindikasikan oleh jumlah jam kerja yang ditentukan oleh Undang-undang No. 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan. “Menurut Biro Pusat Statistik (2009) pekerja anak didefinisikan sebagai anak usia kerja (10-14 tahun) yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara kontinu.” Meski jam kerja didefinisikan secara berbeda oleh banyak lembaga, namun pada dasarnya satu paham yang dapat dijelaskan mengenai pekerja anak adalah anak yang terlibat dalam pekerjaan dan dengan didasari maksud dan niat untuk memperoleh keuntungan. Hal ini jelas menerangkan bahwa orientasi pendapatan ini bisa dikatakan menjadi indikator utama menentukan status anak sebagai pekerja anak. “Pekerja anak menurut International Labour Organization (2009) ialah anak yang kehilangan masa anak dan masa depan (yang menjadi haknya), melakukan pekerjaan orang dewasa, jam kerja panjang, gaji rendah, kondisi kerja yang membahayakan kesehatan, dan perkembangan fisik serta mental.” Definisi yang disampaikan ILO (International Labour Organization) mencakup arah yang lebih spesifik lagi mengenai pekerja anak, dimana penjelasan mengenai masa depan sang anak yang hilang diterangkan sebagai proses yang terjadi dalam diri para pekerja anak, terlepas dari sang anak maupun orang tua menyadari atau tidaknya proses yang terjadi ini. Begitupun juga dengan pekerjaan yang dilakukan, definisi ini lebih mengkhususkan pekerjaan yang dikerjakan adalah pekerjaan yang memang sebenarnya merupakan pekerjaan orang dewasa, dalam arti bahwa pekerjaan-pekerjaan ringan tidaklah tercakup, dan dengan
38
demikian tidak dapat mendefinisikan sang anak sebagai pekerja anak secara sembarangan. Jumlah jam kerja dan gaji serta kondisi kerja merupakan indikator yang dapat dinilai untuk menjelaskan apakah sang anak dapat disebut sebagai pekerja anak. Jenis pekerjaan yang dilarang dipekerjakan oleh anak salah satunya adalah yang masuk dalam Bentuk Pekerja Terburuk untuk Anak (BPTA) yang semuanya adalah jenis pekerjaan yang memiliki sifat dan intensitas berbahaya bagi keselamatan, kesehatan dan mengganggu tumbuh kembang, moral serta pendidikan anak. Penjabarannya berdasarkan pasal 74 UU No.13 tahun 2003 meliputi: “Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian, segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, serta semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak.” Selain dari penjabaran di atas, Keppres No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan BPTA mengidentifikasikan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak adalah anak yang dieksploitasi secara fisik dan ekonomi, yang meliputi anak-anak yang dilacurkan, anak yang bekerja di pertambangan, anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara, anak yang bekerja diskonkruksi dijermal, pemulung sampah, dilibatkan pada kegiatan yang menggunakan bahan peledak, bekerja dijalanan, PRT anak, industri rumah tangga, perkebunan, penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu, industri kimia.
39
Sejak berpisah dari Kabupaten Serang, Kota Serang mulai menghadapi perubahan perkembangan sosial di daerah otonom yang penuh menjadi miliknya. Meski pemerintah nasional pada tahun tersebut telah gencar melakukan gerakan dan program untuk mengurangi pekerja anak, namun pekerja anak belum menjadi persoalan yang diprioritaskan pemerntah untuk dikerjakan. Namun seiring dengan adanya pembangunan di Kota Serang, Kota Serang mulai menarik di kalangan masyarakat sebagai daerah yang memiliki potensi untuk mencari nafkah. Mulai cukup banyaknya perusahaan, pabrik dan juga mulai makin bertambahnya jumlah penduduk kemudian membawa beberapa anak tertarik untuk mencari dana dan mulai bekerja. Dimulai dari awalnya sekedar mengisi waktu luang sepulang sekolah, kini anak-anak di Kota Serang bukan hanya sekedar terlibat dalam pekerjaanpekerjaan informal yang dilakukan di luar jam sekolah maupun juga pekerjaan tambahan untuk mengisi waktu luang, tapi juga dapat ditemukan anak-anak yang bekerja aktif dalam dunia formal dan terlibat dalam kontrak kerja mengikat di perusahaan formal. Beberapa pekerjaan informal yang berbahaya juga banyak ditemui di wilayah Kota Serang, mulai dari mereka yang terlibat di bidang konstruksi, pembuatan batu bata, dan beberapa pekerjaan lainnya. Mereka yang bekerja dalam usaha formal juga mulai terlibat dalam usaha-usaha yang jam kerjanya bisa mencapai 7-10 jam per hari, sehingga mereka juga tidak lagi punya waktu untuk bersekolah. Berbagai faktor, mulai dari faktor ekonomi keluarga yang kurang, pendidikan yang rendah, bahkan hingga faktor budaya yang mengganggap hal
40
biasa untuk anak-anak bekerja telah membuat makin bertambahnya pekerja anak yang ada di Kota Serang. Apalagi ditambah sampai saat ini belum ada sanksi tegas yang diberikan pihak pemerintah terhadap perusahaan atau keluarga dari pekerja anak yang membiarkan anak bekerja. Data yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang pada tahun 2013, pekerja anak formal di Kota Serang berjumlah 65 anak, dan meningkat pada tahun 2014, yakni sebanyak 73 anak. Pekerja anak di Kota Serang sendiri rata-rata berumur sekitar 13-17 tahun. 2.2.
Penelitian Terdahulu Sebagai bentuk pembelajaran dan juga bahan masukan selama
mengerjakan penelitian, peneliti memiliki skripsi sebagai pedoman bagi peneliti, salah satunya adalah skripsi yang berjudul Tinjauan Tentang Pekerja Anak di Terminal Amplas (Studi Kasus Anak yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di Terminal Terpadu Amplas). Adapun penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008. Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah mengetahui bagaimana pekerja anak yang ada di Terminal Terpadu Amplas, khususnya anak yang bekerja sebagai penyapu angkutan umum di Terminal Amplas. Dalam melakukan penelitian tersebut, peneliti menggunakan teori yang terkait dengan adanya faktor-faktor anak bekerja, yakni di dalamnya terkait dengan kemiskinan keluarga, yang merupakan akibat dari pendapatan rendah, pendidikan rendah, dan juga produktivitas yang rendah, kemudian di dalamnya juga pengaruh lingkungan, serta sosial budaya yang terkait dengan tradisi bangsa
41
dan pengaruh modernisasi. Faktor inilah yang dianggap memicu para anak bekerja, dan pada akhirnya memberi dampak, yakni hilangnya waktu untuk bersekolah dan bermain, terjadinya penyimpangan perilaku, kesehatan yang buruk, hingga terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Adapun tipe penelitian ini adalah studi kasus deskriptif yang penelaahannya kepada suatu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan kompherensif. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan mendiskripsikan perkasus dari data-data yang telah dikumpulkan. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pada dasarnya anak bekerja tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi keluarga yang rendah (miskin/ serba kekurangan). Tampaknya anak bekerja merupakan suatu pilihan dalam keadaaan sosial ekonomi keluarga yang demikian, keadaan tersebut melahirkan motivasi atau alasan anak-anak ini bekerja antara lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh orangtua, untuk membantu kebutuhan keluarga, arena tidak sekolah lagi, dan ingin mempunyai penghasilan sendiri. Selain itu, motivasi anak untuk bekerja dengan kondisi keluarga juga sangat berkaitan erat. Adapun alasan anak memilih bekerja sebagai penyapu angkutan umum adalah karena pekerjaan ini tidak memerlukan syarat keahlian tertentu, dan tidak memakai modal. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa walaupun anak-anak dari satu sisi terlihat lebih mandiri dan tidak tergantung kepada orang tua ketika anak bekerja, namun disisi lain akan melahirkan persoalan yang bisa jadi lebih kompleks lagi yaitu dapat menimbulkan perilaku menyimpang karena secara
42
psikologis anak-anak terlalu cepat dan terpaksa untuk menerima keadaan ini yang belum sesuai dengan perkembangan dan akibat ini akan tercermin dari tingkah laku anak. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama melakukan penelitian terkait dengan pekerja anak, begitupun dengan metode penelitian yang digunakan adalah metode dengan teknik kualitatif. Perbedaannya terletak pada studi kasus yang dilakukan, dimana penelitian yang dilakukan peneliti tidak dibatasi hanya kepada pekerjaan sang pekerja anak dan faktor yang mempengaruhinya, tetapi juga kepada apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan pekerja anak yang ada. Hal ini menjadi ketertarikan peneliti karena memang pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memperhatikan permasalahan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia, apalagi terkait dengan pelarangan pekerja anak yang sudah jelas memiliki aturan dan sanksi bagi para pelanggar yang mempekerjakan anak di bawah umur. Selain itu, penelitian yang diambil sebagai rujukan merupakan penelitian yang secara khusus meneliti anak yang bekerja sebagai penyapu jalan. Lain halnya dengan penelitian yang peneliti lakukan, yakni mengenai pekerja anak secara umum, baik informal maupun non formal di wilayah Kota Serang. Adapun skripsi pertama yang menjadi acuan dalam penulisan ini merupakan penelitian yang bersumber dari Febrina Adriyani, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2008.
43
Selain menggunakan skripsi diatas sebagai pedoman dalam mengerjakan penelitian ini, peneliti juga menggunakan sebuah kajian literatur yang berjudul Kajian Terhadap Peraturan, Kebijakan, dan Program-Program Penghapusan Pekerja Anak di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan kemajuankemajuan yang telah dicapai dalam peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, serta program-program untuk mengatasi persoalan pekerja anak di Indonesia dari tahun 1999/2000, untuk mengidentifikasi dan menganalisa kelemahan-kelemahan dalam respon nasional untuk menghapuskan pekerja anak yang masih harus ditangani, untuk mengidentifikasi pilhan-pilihan kebijakan dan praktik-praktik kebijakan yang baik, serta untuk memberikan rekomendasi guna memberikan arah bagi peraturan-peraturan, kebijakan dan program-program yang efektif untuk penghapusan pekerja anak di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian literatur dari dokumen dokumen kunci yang disediakan oleh ILO-OPEC Jakarta, dimana dokumendokumen ini sebelumnya telah dikaji secara intenal dan sebuah draf laporan telah ditulis untuk kemudian diperkaya oleh kajian literatur ini. Adapun kesimpulan yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada, baik masyarakat, aparat penegak hukum, dan para pengambil keputusan masih belum secara menyeluruh memahami permasalahan pekerja anak serta upaya-upaya yang sedang dilaksanakan. Mengingat Indonesia merupakan negara yang luas dengan kebudayaan yang majemuk, praktik-praktik kebudayaan yang masih mendukung anak-anak
44
untuk bekerja merupakan suatu tantangan tersendiri yang perlu segera diatasi. Permasalahan lainnya seperti masalah kemiskinan, tingkat pendidikan dan literasi yang rendah, dan kesulitan-kesulitan yang terkait dengan tanggung jawab negara serta penggugahan kesadaran akan peraturan-peraturan yang berlaku masih menjadi permasalahan klasik yang perlu diatasi. Mengingat situasi ini dan masih sulitnya infrastruktur untuk teknologi komunikasi, harus diakui bahwa hingga kini kampanye penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) masih belum dapat membawa perubahan baik disisi permintaan maupun disisi persediaan. Indonesia masih belum mampu mengatasi hambatan-hambatan struktural dalam penegakan hukum dan kebijakan. Sulitnya untuk mempertahankan para siswa agar tetap bersekolah juga mempengaruhi makin bertambahnya jumlah pekerja anak. Pendidikan sendiri merupakan link yang paling lemah dalam koordinasi meski sebenarnya pelaksanaan Program Keluarga Harapan, dan Program Kesejahteraan Sosial Anak cukup menjanjikan untuk dapat menarik dan mencegah anak-anak yang rentan untuk terlibat dalam BPTA. Ada ketidak seriusan dalam program-program yang seharusnya dapat jauh menjangkau kedalam kondisi BPTA seperti anak-anak yang bekerja di prostitusi dan bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya lainnya. Ada ketidakseriusan dalam pendokumentasian praktik-praktik terbaik dalam hal perawatan, rehabilitasi, dan pengintegrasian para anak-anak yang diselamatkan dari BPTA. Hukum yang berlaku tidak menyebutkan tanggung jawab negara terhadap anak-anak yang diselamatkan dari BPTA.
45
Bahkan, secara nasional, Indonesia tidak memiliki kebijakan yang menyeluruh mengenai rehabilitasi dan pengintegrasian kembali. Adapun persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah melakukan penelitian seputar pekerja anak. Selain itu, fokus penelitian ini juga sama-sama mengarah kepada kebijakan maupun tindakan-tindakan pemerintah dalam mengurangi pekerja anak meski penelitian yang dilakukan peneliti lebih sempit karena lingkupnya hanya di Kota Serang belum mencakup keseluruhan Indonesia dan bagian pemerintah yang diteliti lebih spesifik, yakni Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian ini mengkaji kebijakan pekerja anak secara umum dalam setiap dinas dan juga lingkup pemerintahan yang aktif menangani permasalahan pekerja anak, sedangkan peneliti bukan mengkaji soal kebijakan, tapi lebih kepada pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai bagian dari Komite Aksi Daerah yang memiliki kewenangan langsung dalam menangani permasalahan pekerja anak di Kota Serang. Bagaimanapun juga dari sudut pandang administrasi negara, suatu kebijakan tidak akan berjalan dengan baik kala pengawasan dalam kegiatan tersebut berjalan tidak semestinya. Setiap pihak harus tetap diawasi untuk bisa mencapai tujuan awal. Ketika Kota Serang berharap bahwa permasalahan pekerja anak dapat dihapuskan, maka sangat perlu diadakannya pengawasan yang baik kepada setiap pihak yang ditunjuk untuk bisa mencapai pengurangan pekerja anak yang ada. Adapun penelitian ini bersumber dari Irwanto (Pusat Kajian Perlindungan Anak Fakultas
46
Ilmu – ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia) yang dibantu oleh Siska Natalia pada Mei 2011. 2.3.
Kerangka Berpikir
Rumusan Masalah: 1. Pendataan pekerja anak belum menyeluruh, secara khusus kepada pekerja anak informal 2. Respon dan tindakan korektif yang lambat dalam menanggapi persoalan pekerja anak 3. Koordinasi dengan SKPD lain dalam penanganan pekerja anak masih lemah 4. Belum meluasnya kampanye dan sosialisasi penghapusan pekerja anak (Peneliti, 2014)
Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Akurat Secara ekonomi realistik Tepat waktu Realistik secara organisasi Dipusatkan pada pengendalian strategik Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi Objektif dan Komprehensif Fleksibel Diterima para anggota organisasi
(Amirullah dan Budiyono (2004:307))
Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang berjalan efektif
47
2.4.
Asumsi Dasar Berdasarkan kerangka berpikir di atas dapat disimpulkan bahwa
pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena pekerja anak belum berjalan efektif.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Metode Penelitian Dalam arti luas, metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang
sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki masalah yang ada dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Penelitian mengenai pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang ini sendiri menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sendiri menurut Sugiyono (2012:1) merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti disini sebagai instrumen kunci, teknik pengumupulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Hal inilah yang diharapkan peneliti dapat ditemukan sepanjang proses melakukan penelitian yang ada, yakni bagaimana fenomena yang dialami subyek penelitian dengan juga mendiskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan bahasa yang terdapat dalam suatu konteks yang khusus dan juga alamiah. Harapannya dengan
48
49
penelitian kualitatf ini, peneliti dapat lebih dalam memahami situasi sosial, peran, peristiwa, interaksi, dan kelompok serta kepentingan. 3.2.
Instrumen Penelitian Penelitian tentang Pengawasan Disnakertrans terhadap fenomena pekerja
anak di Kota Serang menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif ini yang menjadi instrumen atau alat penelitiannya adalah peneliti sendiri. Menurut Moleong (2010:168) kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
cukup
rumit.
Ia
sekaligus
merupakan
perencana,
pelaksana
pengumpulan data, dan pada hasilnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Namun, instrumen penelitian di sini dimaksudkan sebagai alat pengumpul data seperti tes pada penelitian kuantitatif. 3.3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Serang. Alasan peneliti
memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian adalah supaya peneliti dapat mengikuti sendiri bagiamana pengawasan Disnakertrans, pekerja anak, setiap pihak yang berkoordinasi dengan Disnakertrans serta bagaimana proses maupun juga kendala pengawasan yang dilakukan oleh pengawas di Disnakertrans Kota Serang.
50
3.4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan beberapa metode
pengumpulan data. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif adalah data primer dan data sekunder. Menurut Lofland dan Loflang dalam Moleong (2010:157) sumber data utama atau primer dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan atau data sekunder seperti dokumen, gambar dan lain-lain, sedangkan alat bantu tambahan yang dapat digunakan
dalam
hal
pengumpulan
data
peneliti
menggunakan
alat
perekam/handphone, panduan wawancara, buku catatan dan kamera handphone. 3.4.1. Data Primer Menurut Irawan (2005:5.5) menjelaskan bahwa data primer adalah data yang diambil langsung, tanpa perantara, dari sumbernya. Seorang peneliti sosial bisa mendapatkan data primernya dengan cara melakukan wawancara atau melakukan pengamatan langsung terhadap suatu aktivitas masyarakat. Data primer sendiri bisa didapat peneliti dengan melakukan berbagai metode, seperti melakukan wawancara maupun juga observasi. 3.4.1.1. Wawancara Moleong (2010:168) menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan yang ada dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interview) yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Dalam wawancara yang dilakukan, yang menjadi pewawancara ialah peneliti sendiri, dan
51
yang berlaku sebagai terwawancara ialah setiap pihak yang menjadi objek dalam penelitian ini. Proses wawancara ini dilakukan dengan peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan tema penelitian terhadap objek penelitian yang memberikan jawaban dan informasi terkait dengan penelitian tersebut. Hal ini diperjelas oleh Moleong (2010:168) yang menjelaskan juga bahwa kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, dan pada hasilnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Esterberg dalam Sugiyono (2005:73) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi terstruktur, dan wawancara tidak terstruktur. a. Wawancara Terstruktur Teknik wawancara ini dilakukan untuk dapat mengumpulkan data, dimana ketika melakukan wawancara ini peneliti telah mengetahui dengan pasti terlebih dahulu mengenai informasi yang akan diperoleh. Karena data dan informasi yang dibutuhkan telah terlebih dahulu diketahui, maka dalam melakukan wawancara pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif. Pada teknik ini, peneliti pada awalnya mencatat pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan nantinya berupa pedoman wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan, namun tidak perlu ditanyakan
52
secara berurutan. Penggunaan dan pemilihan kata-kata dalam wawancara nantinya juga tidak perlu dilakukan sebelumnya. Pedoman wawancara yang ada hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Tabel 3.1 Pedoman Wawancara No. Dimensi 1 Akurat
2 3
Secara ekonomi realistik Tepat waktu
4
Realistik secara organisasi
5
Dipusatkan pada pengendalian strategik Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi Objektif dan kompherensif
6
7
8 9
Fleksibel Diterima para anggota organisasi Sumber : Peneliti, 2015
Sub Dimensi 1. Keakuratan informasi 2. Pengujian keakuratan data dan informasi 1. Anggaran yang dikeluarkan 2. Program dan kegiatan 1. Kecepatan reaksi terhadap penyimpangan yang ada 2. Bentuk tindakan yang dilakukan 3. Rentang waktu pengawasan 1. Kesesuaian sistem pengawasan dengan kondisi organisasi 2. Standar pengawasan 3. Tugas dan fungsi 1. Titik-titik kunci strategis 2. Terpusat pada bagian yang bisa diperbaiki 1. Kesinambungan antar program 2. Koordinasi yang dilakukan
Informan I1, I2
1. Pemahaman akan sistem pengawasan 2. Objektivitas sistem pengawasan 1. Keluwesan sistem pengawasan 1. Diterima dan dimengerti 2. Penjelasan sistem pengawasan
I1, I2,I3
I1, I2, I3 I1, I2, I3
I1, I3
I1
I1,I2 I3
I1, I2, I3 I1, I3
53
b. Wawancara semi terstruktur Jenis wawancara ini termasuk dalam kategori indept interview, dimana pelaksanannya jauh lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur.
Wawancara
ini
sendiri
bertujuan
untuk
menemukan
permasalahan yang ada dengan lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancarai dimintakan pendapat dan ide-idenya ketika melakukan wawancara. Dalam wawancara ini, peneliti perlu untuk mendengarkan secara teliti dan juga mencatat apa yang disampaikan oleh informan. c. Wawancara tidak terstruktur Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara yang bebas dimana peneliti tidaklah menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun. Pada teknik wawancara ini, pertanyaan yang diajukan tergantung kepada pewawancara itu sendiri, dalam arti spontanitas pewawancara dalam mengajukan pertanyaan selama wawancara berlangsung. Hubungan yang terjadi antara pewawancara dengan terwawancara berlangsung dalam suasana biasa, dan kerapkali terwawancara tidak menyadari bahwa dirinya sedang diwawancarai. 3.4.1.2. Observasi Observasi merupakan bentuk pengamatan yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis terkait fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sendiri sendiri sebagai alat pengumpulan data dapat dilakukan dengan daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya, maupun juga secara spontan. Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau
54
mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan kemudian berkembang yang kemudian dapat dilakukan penelitian atas perubahan tersebut. (Subagyo: 2011: 63). Peneliti menggunakan observasi Non-Participant. Dimana peneliti datang langsung ke lapangan atau objek penelitian, namun tidak ikut terlibat dengan kegiatan subyek penelitian, artinya peneliti hanya melakukan pengamatan yaitu bagaimana pengawasan Disnakertrans terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang berlangsung. Tujuan menggunakan metode ini untuk mencatat hal-hal, proses pengawasan ataupun juga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi seputar pengawasan yang dilakukan Disnakertrans terhadap pekerja anak di Kota Serang. 3.4.2. Data Sekunder Irawan (2005:5.5) menjelaskan bahwa data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya. Data sekunder biasanya diambil dari dokumen-dokumen (laporan, karya tulis, koran, majalah). Ketika seseorang mendapatkan informasi dari orang lain dimana orang lain ini mendapatkan informasi primer dari pihak sebelumnya, ketika itulah kita mendapatkan informasi sekunder. Silalahi (2010:291) memaparkan bahwa data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Data yang dikumpulkan melalui sumbersumber lain yang tersedia dinamakan data sekunder. Bahan-bahannya dapat
55
berupa artikel-artikel dalam surat kabar, atau majalah popular atau buku atau telaah gambar hidup, atau artikel-artikel yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang mengevaluasi atau mengkritisi suatu penelitian original yang lain. Buletin statistik, laporan-laporan, arsip organisasi, publikasi pemerintah, informasi yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan dan tersedia dari dalam atau dari luar organisasi, analisis-analisis yang dibuat para ahli, analisis survei terdahulu, catatan-catatan publik mengenai peristiwa-peristiwa resmi dan catatancatatan perpustakaan juga merupakan data sekunder. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa data sekunder mencakup seluruh data yang didapat dari informan yang telah mendapatkan data primer sebelumnya, ataupun juga dari berbagai data yang didapat sebelum penelitian yang dilakukan peneliti berlangsung yang dapat mendukung informasi mengenai penelitian yang dilakukan. Adapun dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan data sekunder berupa dokumen, gambar dan alat bantu tambahan berupa alat perekam/handphone, panduan wawancara, buku catatan dan kamera handphone. 3.5.
Informan Penelitian Pemilihan informan dalam penelitian mengenai Pengawasan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Terhadap Fenomena Pekerja Anak di Kota Serang menggunakan
teknik
purposive,
dimana
penentuannya
dipilih
dengan
pertimbangan dan tujuan pengkajian seputar pekerja anak. Pertimbangan pemilihan informan dipilih berdasarkan pengalaman ataupun dokumen yang
56
dimiliki informan mengenai pekerja anak. Begitupun dengan tujuan pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dalam hal ini ingin dikaji lebih dalam. Informan yang dipilih, ditentukan dan ditetapkan berdasarkan fungsi dan peran informan sesuai fokus masalah penelitian ini. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: Tabel 3.2 Daftar Informan Penelitian No. 1 Pengawas
2
3
Informan
a. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi b. Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Disnakertrans c. Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak Disnakertrans d. Pengawas Ketenagakerjaan Masyarakat a. Ketua RT di wilayah Serang b. Advokat c. Pemilik Pabrik d. Pekerja anak e. Pendamping PKH SKPD terkait a. Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak b. Bidang Pendidikan Masyarakat Dinas Pendidikan Kota Serang c. Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial d. Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang
Kode Informan I1-1 I1-2 I1-3 I1-4 I2-1 – I2-4 I2-5 I2-6 I2-7 – I2-8 I2-9 I3-1 I3-2 I3-3 I3-4
(Sumber: Peneliti, 2015) Sesuai tabel di atas, pengawas yang menjadi informan dalam penelitian ini ialah Bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Disnakertrans, dimana bidang ini merupakan bidang yang secara langsung terkait mengawasi dan mengatasi persoalan pekerja anak. Begitupun juga dengan Seksi Norma Pekerja
57
Perempuan dan Anak Disnakertrans merupakan seksi yang ditunjuk dalam mengatasi permasalahan pekerja anak yang ada di Kota Serang. Kemudian informan yang dipilih ialah pengawas ketenagakerjaan yang merupakan pihak yang mengawasi tenaga kerja di lapangan. Masyarakat yang dipilih kemudian untuk menjadi informan oleh peneliti ialah ketua RT, selaku ujung tombak pemerintah yang secara langsung mengetahui ada atau tidaknya keberadaan pekerja anak dan menjadi pihak penghubung antara Disnakertrans dengan pekerja anak. Pihak perusahaan yang mempekerjakan pekerja anak juga dipilih menjadi informan. Kemudian, masyarakat yang ada di lingkungan pekerja anak sebagai pihak yang mengetahui kondisi dan permasalahan spesifik seputar pekerja anak. Pendamping PKH yang memberi bantuan dan advokat sebagai perwakilan masyarakat dari segi hukum dipilih untuk mengkaji lebih dalam persoalan yang ada. Pekerja anak menjadi informan untuk mengetahui secara jelas faktor penyebab mereka bekerja dan juga bagaimana pengawasan yang dilakukan Disnakertrans terhadap mereka selaku pekerja anak selama ini. SKPD yang terkait dengan pekerja anak ini yang dipilih menjadi informan ialah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Banten, agar peneliti dapat mengetahui bagaimana pemberdayaan dan koordinasi yang dilakukan pemerintah dalam menangani pekerja anak. Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial juga dipilih selaku dinas yang termasuk dalam Komite Aksi Daerah Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, sehingga bisa mendapatkan informasi terkait koordinasi Disnakertrans dalam upaya pengawasan pekerja anak.
58
3.6.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahap analisis data.
Sebelum memasuki lapangan, peneliti menganalisis hasil studi pendahuluan atau data
sekunder
untuk
menentukan
fokus
penelitian.
Kemudian
peneliti
menggunakan teknik analisis data di lapangan Model Miles and Huberman, dimana analisis data dilakukan secara interaktif melalui proses Data Reduction, Data Display, dan Verification. Yang pertama, mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan penting. Data yang telah di reduksi memberikan gambaran dan mempermudah peneliti untuk pengumpulan data selanjutnya. Tahap selanjutnya, yaitu Data Display (penyajian data). Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi. Langkah selanjutnya yaitu conclusion drawing (verification), verification adalah penarikan kesimpulan awal yang masih bersifat sementara. Tetapi, apabila kesimpulan awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka dikatakan bahwa kesimpulan tersebut adalah kesimpulan yang kredibel. Selanjutnya untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Untuk penelitian ini, peneliti akan menggunakan triangulasi data, dimana peneliti menggunakan berbagai jenis sumber data dan bukti dari situasi yang berbeda. Dalam triangulasi ini ada tiga sub jenis, yaitu
59
orang, waktu dan ruang. Kemudian peneliti menggunakan triangulasi sumber, yakni untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Setelahnya juga peneliti akan melakukan member check, yakni proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh pemberi data berarti data tersebut valid, sehingga data tersebut bersifat kredibel. 3.7.
Jadwal Penelitian Tabel 3.3 Waktu Penelitian
No.
Kegiatan
1
Pengajuan Judul
2
Observasi Awal
3
Mengurus Perijinan
4
Penyusunan Proposal
5
Seminar Proposal
6
Proses pencarian data
Waktu Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Agst
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
di lapangan 7
Pengelolaan data dari lapangan
8
Penyusunan Laporan hasil penelitian
9
Sidang Laporan Hasil Penelitian
10
Revisi Laporan Hasil Penelitian
(Sumber: Peneliti, 2015)
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1.
Deskripsi Obyek Penelitian Deskripsi objek penelitian ini akan menjelaskan tentang objek penelitian
yang meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, gambaran umum Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, serta struktur organisasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang dan Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Hal tersebut dipaparkan di bawah ini. 4.1.1. Deskripsi Wilayah Kota Serang Sejak abad ke-16, Serang merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan. Letak Kota Serang yang strategis menjadikannya
sebagai
jalur
utama
penghubung
lintas
Jawa-Sumatera.
Pembentukan Kota Serang sendiri tak lepas dari amanat Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Hal ini dipertegas oleh Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2007 (yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2007) tentang dimekarkannya (pembentukan) Kota Serang dari Kabupaten Serang. Kota Serang lahir pada tanggal 10 Agustus 2007. Secara resmi kelahiran Kota Serang ditandai dengan pelantikan pejabat Walikota Serang Asmudji H.W yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto di Gedung Departemen 60
61
Dalam Negeri Jakarta pada tanggal 2 November 2007, serta disetujuinya pembentukan Struktur Organisasi Tata kerja (STOK) Kota Serang (SK Mendagri Nomor 060/2840/SJ tertanggal 22 November 2007) meliputi 19 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk juga formasi pejabat dari eselon II hingga eselon III. Kota Serang secara geografis terletak antara 5°99’ - 6°22’ lintang selatan dan 106°07’ - 106°25’ bujur timur. Apabila memakai koordinat sistem UMT (Universal Transfer Mercator) Zone 48 E wilayah Kota Serang terletak pada koordinat 618.000 m sampai dengan 638.600 m dari barat ke timur dan 9.337.725 m sampai dengan 9.312.475 m dari utara ke selatan. Jarak terpanjang menurut garis lurus dari utara ke selatan sekitar 21,7 Km dan dari barat ke timur 20 Km. Adapun batas wilayah administratif Kota Serang yaitu berbatasan sebelah utara dengan Teluk Banten, dan sebelah timur, barat dan selatan dengan Kabupaten Serang.
Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Kota Serang
62
Kota Serang memiliki luas wilayah sebesar 266,74 Km2 . Sampai tahun 2012, jumlah total penduduk di Kota Serang mencapai jumlah 713.380 jiwa yang tersebar dalam 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Curug, Kecamatan Walantaka, Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Serang, Kecamatan Taktakan, dan Kecamatan Kasemen. Kota Serang memiliki visi “Terwujudnya Landasan Kota Serang yang Global dan Berwawasan Lingkungan yang Madani”. Untuk mencapai visi tersebut, Kota Serang memiliki lima misi kongkret, yakni: 1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang prima 2. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan keberadaan masyarakat yang produktif, berbudaya, dan agamis 3. Meningkatkan
dan
mendorong
pertumbuhan
dan
kualitas
perekonomian daerah dan masyarakat 4. Mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana wilayah yang memadai dan berkualitas 5. Meningkatkan kelestarian lingkungan hidup dan penataan ruang yang menunjang pembangunan berkelanjutan Adapun potensi daerah Kota Serang yang harus dikelola dan dikembangkan sebagai aset daerah yaitu sebagai berikut: 1. Tinjauan Kependudukan Jumlah penduduk Kota Serang tahun 2013 adalah jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 2.320 jiwa/Km2 (Badan Pusat Statistik, 2015).
63
Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Serang sebagai pusat kota yang mencapai 8.404 jiwa/Km2, dan yang terendah berada di Kecamatan Curug, yakni 992 jiwa/Km2. Laju pertumbuhan penduduk Kota Serang dalam 3 tahun terakhir selalu menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan rata-rata pertahun terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 7,96 %. 2. Latar Belakang Pendidikan Populasi Kota Serang yang cukup padat juga menciptakan tingkat pendidikan yang beragam. Tingkat pendidikan di Kota Serang sampai saat ini masih mencapai angka partisipasi yang baik untuk tingkat pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (usia 13-15 tahun). Sedangkan untuk tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (usia 16-18 tahun) meski sudah meningkat tiap tahunnya, angka partisipasi sekolah masih cukup rendah, yakni 62,95 persen dari total keseluruhan 312.000 anak. Artinya, ada sekitar 115.596 anak tidak melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Tabel 4.1 Angka Partisipasi Sekolah di Kota Serang Kelompok Umur
2010
2011
2012
2013
Usia 7-12 tahun Usia 13-15 tahun
96,09 77,23
96,85 81,44
97,05 86,87
97,54 85,47
Usia 16-18 tahun
45,13
56,2
58,54
62,95
Sumber : BPS Kota Serang, 2014 3. Populasi Tenaga Kerja Indikator keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan yang paling umum digunakan adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat
64
Pengangguran Terbuka (TPT). TPAK dan TPT yang ada menggambarkan persentase penduduk berumur 15 tahun keatas dengan jumlah 8.099.987 jiwa. Pada tahun 2013 dapat dilihat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Kota Serang mencapai 62,61 persen yakni sejumlah 5.146.305 jiwa dan Tingkat Pengangguran Terbuka berada di tingkat 11,29 persen yaitu sejumlah 509.286 jiwa. Tabel 4.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka Tahun 2010 2011 2012 2013
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 67,64 68,6 63,69 62,61
Tingkat Pengangguran Terbuka 17,11 13,84 10,8 11,29
Sumber : BPS Kota Serang, 2015 Bila memperhatikan komposisi tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan yang mencapai jumlah 8.099.987 jiwa, sektor perdagangan, hotel, dan restoran masih mendominasi penyerapan tenaga kerja di Kota Serang. Adapun persentase sektor perdagangan mencapai 32,97 persen dengan total jumlah 2.670.565 jiwa, disusul kemudian oleh sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 24,46 persen dengan total 1.81.256 jiwa, sektor industri 21,10 persen dengan jumlah 1.709.097 jiwa, dan sektor lainnya dengan persentase 16,26 persen yaitu sejumlah 1.317.057 jiwa, dan sisanya sebesar 5,21 persen dengan jumlah 422.009 jiwa diserap oleh sektor pertanian.
65
Grafik 4.1 Komposisi Tenaga Kerja menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2012 Pertanian; 5,21% Jasa Kemasyakaratan; 24,46%
Lainnya; 16,26% Industri; 21,10%
Perdagangan, hotel, dan restoran; 32,97%
Sumber : BPS Kota Serang, 2013 4.1.2. Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang Dalam rangka menunjang keberhasilan pembangunan daerah, maka perlu dilaksanakan pembangunan di sektor tenaga kerja dan transmigrasi dengan berbagai macam kegiatan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga dapat didayagunakan secara optimal, efisien, dan efektif. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang Provinsi Banten dibentuk pada tanggal 4 Februari 2011 sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 14 tahun 2010 tentang Perubaan Atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Serang. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang memiliki visi terwujudnya tenaga kerja dan transmigrasi yang berkualitas, produktif, dan
66
sejahtera menuju kota Serang Madani. Dalam mewujudkan visi tersebut, misi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang adalah: 1. Mewujudkan tenaga kerja dan transmigrasi yang terampil, berkualitas dan produktif 2. Mendorong perluasan kesempatan kerja dan meningkatkan kualitas tenaga kerja 3. Meningkatkan dan mengembangkan system informasi ketenagakerjaan 4. Mewujudkan hubungan industrial yang selaras, serasi, dan seimbang 5. Meningkatkan perlindungan tenaga kerja melalui penegakan, dan aturan ketenagakerjaan 6. Meningkatkan pelayanan dan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung terlaksananya ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh Kepala Dinas yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Sedangkan fungsi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang adalah sebagai berikut: 1. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di bidang Ketenagakerjaan dan transmigrasi. 2. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan perencanaan kebijakan teknis operasional dan administrasi di bidang Ketenagakerjaan dan transmigrasi; b. Penyelenggaraan, pengkoordinasian dan pengendalian kegiatan operasional dan administratif di bidang Ketenagakerjaan dan transmigrasi; c. Pembinaan dan pengendalian tugas unit pelaksana teknis dinas lingkungan dinas;
67
d. Pengkoordinasian di bidang tenaga kerja dan transmigrasi dengan instansi terkait; e. Penyelenggaraan pelaporan pertanggungjawaban (akuntabilitas) dan kinerja dinas. Susunan Organisasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, sebagai berikut: 1. Unsur pimpinan adalah Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2. Unsur pembantu pimpinan adalah Sekretariat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, membawahi: a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; b. Sub Bagian Keuangan; c. Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan 3. Unsur pelaksana adalah Bidang, terdiri dari: a. Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, membawahi: 1) Seksi Pendaftaran dan Pengolahan Data Pencari Kerja; 2) Seksi Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kerja; 3) Seksi Pelatihan dan Produktivitas Kerja; b. Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, membawahi: 1) Seksi Jaminan Sosial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja; 2) Seksi Pembinaan Hubungan Industrial dan Syarat Kerja; 3) Seksi Organisasi dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; c. Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan, membawahi: 1) Seksi Norma Kerja; 2) Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 3) Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; d. Bidang Transmigrasi, membawahi: 1) Seksi Informasi dan Pengerahan; 2) Seksi Pemindahan dan Penempatan; 3) Seksi Pembinaan Masyarakat Transmigran. 4. Kelompok Jabatan Fungsional Sesuai dengan Peraturan Walikota Serang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Teknis Daerah Kota Serang, sebagai berikut:
68
1. Kepala Dinas Kepala Dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah, yang mempunyai tugas pokok memimpin, merumuskan, dan mengkoordinasikan sasaran kegiatan Dinas, melakukan
pembinaan
dan
pengarahan
kegiatan
Dinas
serta
menyelenggarakan, mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan Dinas agar terlaksana dengan baik, efektif dan efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepala Dinas melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, menyelenggarakan fungsi: a. Perumusan perencanaan kebijakan teknis operasional dan administrasi di bidang tenaga kerja dan transmigrasi. b. Penyelenggaraan, pengkoordinasian dan pengenadalian kegiatan operasional dan administratif di bidang tenaga kerja dan transmigrasi c. Penyelenggaraan dan pembinaan aparatur pada dinas d. Pembinaan dan pengendalian tugas unit pelaksana teknis dinas lingkungan dinas e. Pengkoordinasian di bidang tenaga kerja dan transmigrasi dengan instansi terkait f. Penyelenggaraan pelaporan pertanggungjawaban (akuntabilitas) dan kinerja dinas
2. Sekretariat Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berada di bawah dan bertangggung jawab kepada Kepala Dinas. Sekretariat mempunyai tugas pokok menyelenggarakan penyusunan perencanaan dan program, evaluasi, pelaporan, pengelolaan keuangan serta urusan umum dan kepegawaian.
69
Sekretariat melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, menyelenggarakan fungsi: a. Penyelenggaraan penyusunan perencanaan dan program; b. Penyelenggaraan pengelolaan administrasi perkantoran, administrasi keuangan dan administrasi kepegawaian; c. Penyelenggaraan urusan umum dan perlengkapan, keprotokolan dan hubungan masyarakat; d. Penyelenggaraan penatausahaan, ketatalaksanaan, kearsipan dan perpustakaan; e. Pelaksanaan koordinasi, pembinaan, pengendalian, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan unit kerja; f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi membawahi dan dibantu oleh: a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian b. Sub Bagian Keuangan c. Sub Bagian Program, Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan 3.
Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis bidang pendaftaran dan pengolahan data pencari kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kerja dan pelatihan serta produktivitas tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja menyelenggarakan fungsi:
70
a. Penyelenggaraan merumuskan kebijakan teknis Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja; b. Penyelenggaraan program, kegiatan dan pengendalian kegiatan pada bidang pembinaan dan penempatan tenaga kerja; c. Pengkoordinasian dan pembinaan kegiatan tiap-tiap seksi pada Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja; d. Penyelenggaraan Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja; e. Penyelenggaraan pengendalian dan pengawasan di Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja; f. Penyelenggaraan koordinasi dengan instansi/pihak terkait di Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja; g. Penyelenggaraan monitoring, evaluasi, dan pelaporan Bidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja. 4. Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis ubungan industrial dan kesejahteraan tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja menyelenggarakan fungsi: a. Penyelenggaraan program, kegiatan dan pengendalian kegiatan pada Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja; b. Penyelenggaraan perumusan kebijakan teknis Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja; c. Pengkoordinasian dan pembinaan kegiatan tiap-tiap seksi pada Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja d. Penyelenggaraan Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja; e. Penyelenggaraan pengendalian dan pengawasan Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja; f. Penyelenggaraan koordinasi dengan instansi/ pihak terkait di Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja;
71
g. Penyelenggaraan monitoring, evaluasi dan pelaporan Bidang Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Tenaga Kerja. 5. Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala
Dinas.
Bidang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Ketenagakerjaan mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan menyelenggarakan fungsi: a. Penyelenggaraan progaram, kegiatan dan pengendalian kegiatan pada Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; b. Penyelenggaraan perumusan kebijakan teknis Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; c. Pengkoordinasian dan pembinaan kegiatan tiap-tiap seksi pada Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; d. Penyelenggaraan Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; e. Penyelenggaraan pengendalian dan pengawasan Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; f. Penyelenggaraan koordinasi dengan instansi/pihak terkait di Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan; g. Penyelenggaraan monitoring, evaluasi dan pelaporan Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan. 6. Bidang Transmigrasi Bidang Transmigrasi dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Bidang Transmigrasi mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis bidang transmigrasi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Transmigrasi menyelenggarakan fungsi:
72
a. Penyelenggaraan program, kegiatan dan pengendalian kegiatan pada Bidang Transmigrasi; b. Penyelenggaraan perumusan kebijakan teknis Bidang Transmigrasi; c. Pengkoordinasian dan pembinaan kegiatan tiap-tiap seksi pada Bidang Transmigrasi; d. Pelayanan dan penyusunan program dan kegiatan pada tiap-tiap seksi pada Bidang Transmigrasi; e. Penyelenggaraan pengendalian dan pengawasan Bidang Transmigrasi; f. Penyelenggaraan koordinasi dengan instansi/pihak terkait di Bidang Transmigrasi; g. Penyelenggaraan monitoring, evaluasi dan pelaporan Bidang Transmigrasi. 7. Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas membantu pimpinan dan melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas sesuai dengan keahlian yang dimiliki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok Jabatan Fungsional dapat dibagi dalam sub kelompok sesuai dengan kebutuhan dan keahlian masing-masing, dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior. Kebutuhan jabatan fungsional tersebut, ditentukan berdasarkan sifat, jenis dan beban kerja. 4.1.3. Sumber Daya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya menggunakan sumber daya manusia dengan jumlah pegawai pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang berjumlah 54 orang yang terdiri dari 31 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 23 orang tenaga PTT.
73
Tabel 4.3 Data Pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang Jabatan
Jumlah
Pejabat Eselon II
1 orang
Pejabat Eselon III
5 orang
Pejabat Eselon IV
15 orang
Non Eselon
10 orang
Tenaga PTT
23 orang
Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2014 4.1.4. Gambaran
Umum
Bidang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam
rangka
meningkatkan
perlindungan
tenaga
kerja
melalui
penegakan, dan aturan ketenagakerjaan serta juga dalam meningkatkan pelayanan dan
kualitas
sumber
daya
manusia
untuk
mendukung
terlaksananya
ketenagakerjaan, maka Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang secara tidak langsung terlibat dalam tugas mengawasi pekerja anak yang ada di Kota Serang. Hal ini terjadi karena tidak dapat dipungkiri bahwa aturan ketenagakerjaan merupakan tugas dan tanggung jawab Disnakertrans, termasuk di dalamnya terkait peraturan yang berisi larangan perusahaan mempekerjakan pekerja anak dan juga sanksi-sanksi yang diberikan ketika adanya keterlibatan dalam pekerja anak.
74
Selain itu, kualitas sumber daya tenaga kerja juga melibatkan bagaimana anak dari kecil memperoleh pendidikan dan akses untuk meningkatkan potensi diri sang anak, sehingga ketika telah cukup umur dapat juga terlibat dalam dunia pekerjaan dengan kualitas yang baik. Untuk dapat mencapai itu semua, tentu saja Disnakertrans harus terus berjuang mengawasi setiap kemungkinan dan potensi negatif yang dapat terjadi akibat semakin maraknya pekerja anak. Dalam mengatasi hal-hal ini, Disnakertrans memiliki Bidang Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja yang secara khusus terlibat untuk menangani dan mengawasi tenaga kerja, dan untuk mempersempit lagi ruang lingkup demi pencapaian pengawasan yang jauh lebih efektif, Disnakertrans memiliki Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, sebagai seksi yang terlibat langsung dalam pengawasan baik terhadap pekerja anak maupun perempuan di Kota Serang. Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan membawahi dan dibantu oleh : a. Seksi Norma Kerja Seksi Norma Kerja dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Seksi Norma Kerja mempunyai tugas pokok melaksanakan kebijakan teknis bidang norma kerja. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Seksi Norma Kerja menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 1) Pelaksanaan penyusunan rencana kegiatan Seksi Norma Kerja; 2) Pelaksanaan kegiatan teknis Seksi Norma Kerja;
75
3) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan data pada Seksi Norma Kerja; 4) Penyiapan bahan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan pada Seksi Norma Kerja; 5) Pelaksanaan kegiatan pada Seksi Norma Kerja; 6) Pelaksanaan pembinaan di Seksi Norma Kerja; 7) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan pada Seksi Norma Kerja. b. Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak mempunyai tugas pokok melaksanakan kebijakan teknis bidang Norma Pekerja Perempuan dan Anak. Dalam melaksanakan tugas
tersebut,
Seksi
Norma
Pekerja
Perempuan
dan
Anak
menyelenggarakan fungsi : 1) Pelaksanaan penyusunan rencana kegiatan Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 2) Pelaksanaan kegiatan teknis Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 3) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan data pada Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 4) Penyiapan bahan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan pada Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 5) Pelaksanaan kegiatan pada Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 6) Pelaksanaan pembinaan di Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak; 7) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan pada Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak. c. Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Seksi Norma
76
Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai tugas pokok melaksanakan kebijakan teknis bidang norma keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam melaksanakan tugas ini, Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja menyelenggarakan fungsi: 1) Pelaksanaan penyusunan rencana kegiatan Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 2) Pelaksanaan kegiatan teknis Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 3) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan data pada Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 4) Penyiapan bahan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan pada Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 5) Pelaksanaan kegiatan pada Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 6) Pelaksanaan pembinaan di Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 7) Pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pada Seksi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 4.2.
Deskripsi Data
4.2.1. Deskrpsi Data Penelitian Deskripsi data merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan dari hasil penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori karakteristik pengawasan yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004:307). Teori tersebut menjabarkan karakteristik pengawasan yang efektif dalam sembilan karakteristik, diantaranya ialah akurat, secara ekonomi realistik, tepat waktu, realistik secara organisasi, dipusatkan pada pengendalian strategik, terkoordinasi dengan arus kerja organisasi, objektif dan kompherensif, fleksibel, dan diterima para anggota organisasi.
77
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif sehingga data yang diperoleh bersifat deskriptif, yang terbentuk dari kata dan kalimat hasil wawancara, hasil observasi lapangan, dan dokumentasi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, analisis data dalam penelitian ini menggunakan model interaktif yang telah dikembangkan oleh Miles and Huberman, dimana dikemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan verifikasi (conclusion drawing/ verifying). Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mereduksi data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan reduksi data, peneliti memberikan kode pada aspek tertentu, yaitu: a. Kode Q1,2,3, dan seterusnya menandakan daftar urut pertanyaan. b. Kode I1,2,3, dan seterusnya menandakan daftar urut informan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penyajian data (data display). Dalam penelitian kualitatif penyajian data biasanya dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Namun yang paling sering digunakan dan juga dilakukan peneliti untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif ialah dengan teks yang bersifat naratif.
78
Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan (verification). Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kategori dengan beberapa indikator yang dianggap sesuai dengan masalah penelitian dan kerangka teori yang telah diuraikan sebelumnya. Kategorikategori tersebut ialah: 1. Akurat Ketidakakuratan data akan menyebabkan kesalahan dalam menarik kesimpulan, bahkan dapat menimbulkan kesalahan yang tidak perlu. Karena itu, pengujian keakuratan data atau informasi merupakan salah satu tugas penting. 2. Secara ekonomi realistik Harus ada usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif, yakni dengan cara mengeluarkan biaya yang paling minimum yang diperlukan, untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan yang ditetapkan. 3. Tepat waktu Pengawasan dilakukan secara rutin, tetapi untuk hal-hal yang sangat penting juga dilakukan pengawasan di luar kontrol rutin. 4. Realistik secara organisasi Sistem pengawasan harus dapat digabungkan dengan realitas organisasi. Selain itu, semua standar untuk prestasi harus realistik. Perbedaan status di antara individu harus dihargai juga. 5. Dipusatkan pada pengendalian strategik
79
6.
7.
8.
9.
Pengendalian hendaknya diarahkan pada titik-titik kunci yang memiliki nilai strategis sehingga penyimpangan di bidang ini cepat diketahui dan dapat dihindarkan timbulnya kegagalan pencapaian tujuan. Selain itu sistem pengawasan strategik sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi Memperhatikan bahwa satu kegiatan akan selalu terkait dengan kegiatan lain, maka sistem pengawasannya juga harus harus dikoordinasikan dengan kegiatan lain yang erat hubungannya dengan kegiatan yang dikendalikan tersebut. Objektif dan Komprehensif Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Fleksibel Mengingat situasi dan kondisi terus berubah dengan cepat, maka sistem pengendalian harus memiliki keluwesan yang tinggi sehingga standar-standar pengendalian tetap dapat dipergunakan meskipun situasi dan kondisi berubah. Diterima para anggota organisasi Idealnya, setiap sistem pengendalian dapat diterima dan dimengerti oleh semua anggota organisasi, sehingga mereka masing-masing akan merasa ikut bertanggung jawab terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi.
4.2.2. Daftar Informan Penelitian Penelitian mengenai Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang, penentuan informannya berdasarkan peran dan fungsi informan yang ikut berpartisipasi dalam pengawasan terhadap pekerja anak di Kota Serang guna mengurangi pekerja anak yang ada. Dalam penentuan informan, peneliti menggunakan teknik purposive. Adapun informan-informan yang peneliti tentukan merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Para informan tersebut adalah pihak-pihak yang terkait, terlibat langsung dan turut berpartisipasi dalam pengawasan terhadap pekerja anak di Kota Serang. Adapun
80
informan dalam penelitian ini berjumlah 17 (tujuh belas) orang, di antaranya adalah: Tabel 4.4 Daftar Informan Penelitian No.
Kode Informan
1
I1-1
2
I1-2
3
I1-3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
I1-4 I2-1 I2-2 I2-3 I2-4 I2-5 I2-6 I2-7 I2-8 I2-9 I3-1
15
I3-2
16
I3-3
17
I3-4
Nama Informan DR. H. Toha, M.Pd.
Keterangan
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang Ruli Riatno, ST, M.Si Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang Uswatun Khasanah, Kepala Seksi Norma Pekerja S.KM Perempuan dan Anak Joyo Pengawas Ketenagakerjaan Ibu SR Ketua RT 08, Unyur Ibu JJ Ketua RT 03, Karundang Bapak Nasarudin Ketua RT 01, Cipare Bapak Agus Ketua RT 15, Karundang Mochtar Karim Advokat Bapak JN Pemilik Pabrik AN Pekerja Anak NR Pekerja Anak Badrudin Pendamping PKH wilayah Taktakan Lilis Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Iswadi Bidang Pendidikan Masyarakat Dinas Pendidikan Kota Serang Irma Mulyasari Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial Windy Jadmiko, S.S Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang
Sumber : Peneliti (2015)
81
4.3.
Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian
4.3.1. Akurat Keakuratan informasi sangatlah penting untuk diperhatikan dalam melakukan pengawasan. Ketidakakuratan data dapat menyebabkan kesalahan baik dalam menarik kesimpulan maupun juga tindakan yang akan dilakukan dalam mengawasi. Pengujian keakuratan data atau informasi merupakan suatu tugas penting yang harus dikerjakan untuk mendapatkan pengawasan yang efektif. Disnakertrans sendiri dalam melakukan pengawasan terhadap pekerja anak di Kota Serang sampai saat ini berusaha untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat mengenai jenis pekerjaan dan ancaman maupun pekerjaan terburuk yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada dunia kerja. Tanpa adanya data pasti dan akurat terkait pekerja anak yang ada di Kota Serang, tentu sulit untuk melakukan pengawasan secara efektif kepada para pekerja anak. Hal ini dikarenakan keberadaan pekerja anak dan permasalahan yang terjadi masih belum diketahui secara pasti. Di wilayah Kota Serang, Disnakertrans menyampaikan bahwa pekerja anak di Kota Serang ini secara kasat mata tidak terlihat keberadaannya, meski tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pekerja anak di lapangan nyatanya memang ada. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak : “Di Kota Serang sendiri secara kasat mata tidak dilihat adanya pekerja anak yang terlibat dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, meski mungkin di lapangan bisa saja ada.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans)
82
Salah satu kesulitan yang disampaikan oleh Disnakertrans untuk menemukan pekerja anak di Kota Serang dan informasi-informasi terkait pekerja anak selain tidak terlihat secara kasat mata adalah karena beberapa pekerja anak yang ada memang bukanlah anak-anak yang berasal dari Kota Serang. Hal ini membuat pihak Disnakertrans mempertimbangkan lebih jauh dalam melakukan tindakan terhadap para pekerja anak yang ada karena memang keluarga dari pekerja anak juga tidak tinggal di wilayah Kota Serang, seperti yang diungkapkan oleh I1-2: “Kalau berdasarkan informasi dari data memang di Kota Serang malah dianggap tidak ada, meski sebenarnya di lapangan secara realita ada pekerja anak di Kota Serang, namun ya memang bukan juga dibilang masyarakat Kota Serang, karena banyak rata-rata dari mereka memang pendatang dan bukan asli Kota Serang, ada yang dari Baros, ada yang dari Ciruas. Karena memang disini ada home industry yang memang bisa menyerap lapangan pekerjaan.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si, 23 April 2015, pukul 08.15 WIB, di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang) Setelah dikonfirmasi dengan pihak pabrik yang mempekerjakan pekerja anak, diketahui bahwa para pekerja anak yang ada di tempat kerjanya memang hampir jauh lebih banyak berasal dari wilayah lain di luar Kota Serang. Pemilik pabrik juga menyatakan bahwa hanya sekitar 30 persen pekerja di tempatnya yang memang berasal dari kampung tempat pabrik tersebut beroperasi. Hal ini dikemukakan sebagai berikut: “Kalo untuk pekerja yang bekerja dan berasal dari wilayah kampung sini itu paling sekitar 30 persen, sisanya ada yang dari kampung-kampung lain.” (Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, di Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB)
83
Pekerjaan yang dikerjakan oleh rata-rata pekerja anak dalam data dan pengawasan Disnakertrans sebenarnya memang bekerja dalam kadar jenis pekerjaan ringan, dimana rata-rata dari mereka bekerja menyusun kue. Namun tak dapat dipungkiri bahwa meski pekerjaan ini ringan, anak-anak telah menghadapi pekerjaan yang menyita waktu mereka dan mengakibatkan mereka tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal mereka bagi masa depan, seperti apa yang diungkapkan oleh I2-7 yang merupakan pekerja anak di Kota Serang: “Kerjanya nyusun kue-kue kering, biasanya datang sekitar jam 8 pagi trus pulang jam 4 sore.” (Wawancara dengan Pekerja Anak, AN, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.30 WIB) Hal tersebut juga disampaikan oleh I2-8: “Ya bikin kue. Biasanya kerja dari rumah jam 6, ada jemputan. Jadi kalau sudah sampe ya langsung masuk kerja, tidak ada jam yang tetap.” (Wawancara dengan Pekerja Anak, NR, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.45 WIB) Data yang dimiliki oleh Disnakertrans menyatakan bahwa ada sekitar 73 pekerja anak di Kota Serang, dimana mereka adalah yang bekerja di pabrik roti dan masuk dalam pekerjaan ringan. Beberapa dari mereka merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga harus putus sekolah dan bekerja demi membantu ekonomi keluarga, seperti juga yang disampaikan oleh I21:
“Kalo di pabrik B banyak yang masih usia anak sudah bekerja. Biasanya mulai mereka SD kelas 5 juga sudah mulai pada bekerja, atau juga kisaran usia SMP.”(Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, pukul 13.15 WIB, di Kelurahan Unyur)
84
Selain dari anak-anak yang didata oleh Disnakertrans, masyarakat menyampaikan bahwa pekerja anak di Kota Serang bukan hanya mereka yang terlibat dalam pekerjaan ringan dan bekerja di pabrik roti, tapi beberapa pekerja anak juga terlibat dalam dunia kerja konstruksi ataupun pekerjaan informan lainnya, dimana pekerjaan mereka bersifat serabutan. Hal ini disampaikan I2-2: “Biasanya kalau anak sini berhenti sekolahnya paling di jenjang SMP, ada juga yang kadang abis SMP ya udah langsung nikah. Kalau misalnya yang cowo baru biasanya langsung pada kerja, entah serabutan atau kerjaan lainnya.” (Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB di Karundang) Mereka yang terlibat dalam dunia kerja sejak usia sekolah memang ratarata memutuskan bekerja karena faktor ekonomi dimana mereka rata-rata putus sekolah di tingkat pendidikan SMP. Jumlah anak-anak yang putus sekolah di beberapa wilayah Kota Serang juga cukup mencengangkan, salah satunya adalah di wilayah Taktakan dimana sekitar 20 persen dari anak di wilayah tersebut tidak bersekolah, entah mereka yang bersekolah hanya sampai SD maupun mereka yang bahkan tidak lulus SD, seperti apa yang disampaikan oleh I2-9: “Berdasarkan survei kita di lapangan dari masyarakat binaan kami, di daerah Taktakan sendiri banyak yang anak usia sekolah dan bekerja, dimana dalam masa keemasan mereka yang seharusnya dikembangkan fisik, mental, sosial dan intelektualnya tetapi mereka tidak bersekolah. Ada mereka yang bersekolahnya hanya sampai SD saja, ada juga yang bahkan SD saja juga tidak lulus, misalnya hanya sampai kelas 4 SD. Kemudian juga ada yang tidak sekolah sampai ke SMA, artinya hanya sampai lulus SMP dan tidak melanjutkan, ada juga yang kelas 2 SMP dan kemudian berhenti dan ini jumlahnya cukup banyak, bisa mencapai 50 orang dalam wadah binaan kita, dimana yang kita bina sekitar 100-200 anak. Artinya, sekitar dari 20% masyarakat Taktakan itu memiliki anak
85
yang tidak bersekolah.”(Wawancara dengan Badrudin, Pendamping PKH, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.40 WIB) Melihat kondisi ini, tentunya dapat kita pastikan bahwa pekerja anak yang ada di Kota Serang tidak hanya mereka yang terdata oleh Disnakertrans bekerja di pabrik, tapi juga mereka yang terpaksa terlibat dalam dunia kerja karena berbagai faktor dan juga bekerja di berbagai sektor pekerjaan termasuk sektor informal yang bisa saja membahayakan fisik, mental, maupun intelektualnya. Sampai saat ini upaya yang dilakukan oleh Disnakertrans dalam memperlengkapi data pekerja anak yang ada adalah dengan melakukan pendataan langsung ke perusahaan maupun pabrik yang ada di Kota Serang. Hal ini disampaikan oleh I1-4: “Kalau kemarin kebetulan ada program dari pembinaan untuk pendataan pekerja anak. Jadi disitu kita sekaligus cek ke lapangan dan perusahaannya.”(Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Pendataan ke pihak perusahaan saja tidak cukup, mengingat juga bahwa beberapa perusahaan tidak secara terbuka memberitahu keberadaan pekerja anak di tempat kerjanya, sehingga upaya yang dilakukan Disnakertrans mengatasi hal ini adalah dengan bekerja sama bersama masyarakat sekitar dengan memberikan sosialisasi kepada pihak masyarakat mengenai pekerja anak dan bahayanya. Harapannya ialah bahwa melalui sosialisasi ini, masyarakat bisa memahami dampak berbahaya yang ditimbulkan bagi pekerja anak, dan masyarakat ke depan bisa aktif dan turut serta membantu program pengurangan pekerja anak yang dicanangkan pemerintah. Hal ini disampaikan oleh I1-1: “Sosialisasi penghapusan BPTA merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah Kota Serang terhadap pekerja anak yang ada di wilayah Kota
86
Serang. Sosialisasi yang ada diharapkan jadi momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di Kota Serang. Tentunya keterlibatan pihak lain sangat membantu tujuan dan harapan pemerintah, mulai dari keluarga, pengusaha dan pemerintah untuk sama-sama memastikan anakanak tidak terlibat dalam dunia pekerjaan.”(Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan) Masyarakat bersama para tokoh masyarakat memegang kunci utama dalam membantu pemerintah mengatasi persoalan pekerja anak ini karena pekerja anak beraktivitas di lingkungan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Setiap faktor yang menyebabkan mereka bekerja dan pihak yang berkapasitas untuk mengawasi pekerjaan mereka dengan lebih terperinci adalah masyarakat lingkungan di sekitar tempat mereka bekerja ataupun tinggal. Selain kondisi pekerja anak, masyarakat juga memiliki informasi yang lebih jelas mengenai kondisi pabrik atau tempat usaha yang mempekerjakan pekerja anak. Meski demikian, tidak mudah untuk bisa mendapatkan informasi terkait tempat usaha yang mempekerjakan pekerja anak. Beberapa pabrik tempat pekerja anak memang sifatnya tertutup terhadap masyarakat sekitar dan tidak terbuka, sehingga masyarakat sekitarpun sulit untuk mengetahui kondisi pekerja anak di tempat kerja tersebut, seperti apa yang disampaikan oleh I2-1: “Pabriknya juga masih bingung antara masuk wilayah RT ini atau RT lain karena sampai saat ini tidak ada data yang jelas dari pihak pabrik roti. Soalnya memang sedang bermasalah sampai saat ini antara masuk RT sini atau RT lain karena memang juga tidak pernah melaporkan ke RT. Sampai saat ini dari pihak RT juga ga kunjungan kesana dan pihak pabrik juga tidak datang untuk lapor dan ijin. Mungkin juga karena RT ini pemekaran jadi masih beberapa warga belum daftar.”(Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB)
87
Disnakertrans sebagai perwakilan pemerintah yang bertugas menangani persoalan pekerja anak tentunya harus secara terbuka bekerjasama dalam memastikan keberadaan dan kondisi pekerja anak. Tidak bisa Disnakertrans hanya terpaku pada perusahaan, tapi juga penting memvalidasi data dengan mencari informasi yang akurat dan sesuai kenyataan di lapangan. Ketika dikonfirmasi dengan pihak ketua RT di lingkungan pabrik pekerja anak, diketahui bahwa masyarakat belum dilibatkan secara aktif dan diberi tanggung jawab oleh Disnakertrans untuk sama-sama mengawasi persoalan pekerja anak ini. Hal ini yang disampaikan oleh I2-2: “Dari orang dinas juga kemarin ada yang datang dan cariin pabriknya tapi ya memang pas tidak ada pemiliknya. Biasanya yang punya suka maunya ditipin pesan lewat ibu saja, tapi ya kan orang dinasnya mau ketemu langsung tetap sama yang punya pabriknya. Jadi ibu kurang tau juga pihak dari dinasnya mau ngapain, jadi ya saya tunjukin aja tempat baru pabriknya dan mereka kesana.” (Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB, wilayah Karundang) Pengetahuan masyarakat menjadi penting untuk bisa menanamkan kesadaran dan pemahaman baru untuk bisa memperhatikan dan turut serta mengawasi para pekerja anak yang ada sehingga kemudian memberikan informasi kepada Disnakertrans untuk bisa ditangani lebih lanjut. Sebab tanpa informasi serta data akurat dan terkini, maka akan sulit sekali bagi Disnakertrans memetakan persoalan pekerja anak ini dan menemukan solusi tepat bagi permasalahan pekerja anak. Hal ini yang juga dikemukakan oleh I1-2: “Masyarakat sekitar lingkungan pekerja anak, mempunyai kapasitas lebih dalam mendekatkan diri kepada pekerja anak, membina dan memberi nasehat untuk mereka yang bekerja agar kembali ke sekolah kepada
88
mereka yang bekerja dengan alasan apapun.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Data pekerja anak ini memang merupakan data yang sangat sulit didapat dengan tepat, mengingat bahwa hampir rata-rata pekerja anak yang bekerja di pabrik tidak bekerja dengan hari kerja yang tetap setiap minggunya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pekerja anak rata-rata memilih bekerja meski umur mereka masih belum mencukupi standar usia orang bekerja karena mereka putus sekolah. Selain itu, beberapa pekerja anak dalam pekerjaannya juga tidak memiliki kewajiban tetap untuk masuk setiap hari kerja di pabrik tempat mereka bekerja. Hal ini membuat para pekerja anak juga merasa bekerja tidak menjadi kewajiban
yang
mengikat,
berbeda
dengan
sekolah
yang
mewajibkan
kehadirannya setiap hari. Hal ini yang diungkapkan oleh pemilik pabrik (I2-6): “Sampai saat ini pekerja juga beda-beda orangnya, seperti di absen ada 100 orang pekerja, tapi yang datang suka hanya 50an orang, jadi ya memang kalau dia mau masuk ya masuk, kalau tidak ya tidak apa-apa. Memang beda aturan disini tidak seperti perusahaan.”(Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB) Dari pemaparan-pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang sampai saat ini belum memiliki data yang akurat terkait pekerja anak di wilayah Kota Serang. Pekerja anak yang ada masih banyak bekerja secara serabutan sehingga sulit untuk terdata. Selain itu, beberapa pekerja anak yang berasal dari luar Kota Serang juga menimbulkan kesulitan bagi Disnakertrans dalam menentukan tindak lanjut yang tepat bagi
89
mereka. Masyarakat yang menjadi kunci dan mengenali kondisi nyata pekerja anak maupun pabrik juga masih banyak yang belum memahami persoalan dan program pengawasan pekerja anak. Kenyamanan anak dalam bekerja dan ketidaksadaran dampak negatif yang ditimbulkan kemudian masih menjadi persoalan yang membuat fenomena pekerja anak cukup sulit diatasi. Apalagi dengan belum adanya data yang akurat terkait jumlah pasti pekerja anak yang ada, menyebabkan pengawasan menjadi bias dan sulit bisa mengenai sasaran dengan tepat dan menyelesaikan permasalahan yang ada. 4.3.2. Secara ekonomi realistik Pengeluaran biaya untuk implementasi harus ditekan sedemikian mungkin sehingga terhindar dari pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya paling minimum yang diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan mencapai tujuan. Dalam melakukan pengawasan terhadap pekerja anak yang ada di Kota Serang, ada berbagai program yang dilaksanakan oleh Disnakertrans sebagai upaya mengurangi pekerja anak yang ada. Adapun sampai saat ini, biaya yang dikeluarkan oleh Disnakertrans masih berasal dari APBN, dimana program pengurangan pekerja anak ini merupakan turunan dari Rencana Aksi Nasional yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Anggaran yang dikeluarkan pada tahun ini sendiri naik mencapai 64.735.000 dalam satu periode, dimana akan ada dua periode pendanaan. Dana ini
90
naik dari tahun sebelumnya yakni Rp 25.000.000,-. Kenaikan ini sendiri dikarenakan pada tahun lalu Disnakertrans hanya melakukan pendataan terhadap para pekerja anak, sehingga tidak dibutuhkan biaya sebanyak tahun ini yang memang merancangkan program lebih banyak. Hal ini dijelaskan oleh I1-3 sebagai berikut: ”Untuk menjalankan program dan kegiatan tersebut, anggaran yang digunakan dalam pengurangan pekerja anak didapat dari APBN. Untuk pengurangan pekerja anak, dana yang dikeluarkan tahun ini sebanyak Rp 64.735.000, dana ini naik dari tahun lalu yang hanya sejumlah Rp 25.000.000 dimana masih belum ada sosialisasi dan tindakan, yakni masih berupa pendataan pekerja anak yang ada di wilayah Kota Serang.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 15 April 2015 pukul 09.00 WIB, Disnakertrans Kota Serang) Adapun biaya tersebut digunakan untuk melakukan berbagai program dan kegiatan demi mencapai pengurangan pekerja anak di Kota Serang. Berbagai program dirancangkan secara sistematis agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik, salah satunya juga dengan membentuk Komite Aksi Daerah. Sesuai dengan Keputusan Walikota Serang Nomor 562/Kep.125-Huk/2014, dibentuklah Komite Aksi Daerah Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (KAD-PBPTA) Kota Serang Tahun 2011-2018. Pelibatan berbagai komponen diharapkan dapat membantu Disnakertrans untuk mengupayakan kesejahteraan anak agar tidak lagi terjebak dalam dunia kerja, seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Disnakertrans Kota Serang: “Ini merupakan urusan bersama, tidak bisa Disnakertrans mengurusi masalah pekerja anak ini sendirian. Untuk itulah dibentuk Komite Aksi Daerah yakni sebuah lembaga yang bertujuan untuk mengapuskan pekerja anak dan bentuk pekerjaan terburuk anak yang terdiri dari lintas sektoral,
91
mulai dari Disnakertrans, Dinas Sosial, Pemberdayaan masyarakat, dan kemudian juga Dinas Kesehatan. Ini terlibat dalam satu aktivitas, berbagai bidang masyarakat, dari pihak agama, perwakilan masyarakat, kepolisian, semuanya sama-sama bekerja yang kemudian tujuan akhirnya adalah terhapuskannya pekerja anak di Kota Serang.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB) Disnakertrans menjadi instansi utama yang bertugas mengakomodir SKPD lainnya dalam menciptakan suatu program berkesinambungan untuk menghapus pekerja anak dan mengembalikan mereka ke dunia pendidikan yang menjadi hak mereka untuk tumbuh dan berkembang. Karena itu proses pengawasan utama mulai dari mendata hingga mengawasi pekerja anak menjadi tugas dari Disnakertrans. Adapun pengawasan yang selama ini dilakukan Disnakertrans ditetapkan dalam sebuah rencana kerja, namun pada pelaksanaannya juga tidak mengabaikan jika ada masukan atau pengaduan dari masyarakat. Dalam menangani berbagai perusahaan, dua pengawas yang dipakai dijabarkan oleh I1-4 sebagai berikut: “Kalau kita mengawasi ke perusahaan itu ada namanya rencana kerja, masukan dari pimpinan atau yang diprioritaskan oleh pimpinan kemana, atau misalnya ada pengaduan dari masyarakat itu yang kita dahulukan. Kebetulan kalau kami di bidang pembinaan dan pengawasan itu ada 2 pengawas, saya dan bapak kepala bidang untuk mengawasi 512 perusahaan di Kota Serang. Dalam satu bulan itu 6 kunjungan perusahaan idealnya. Tapi ya kadang ada juga yang tertunda, jadi dimasukkan bulan berikutnya dalam pengawasannya.”( Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Bukan hanya mengerjakan pendataan dan pengawasan, anggaran yang ada juga dipakai untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan program yang dapat menunjang pemerintah menghapus serta mencegah bertambahnya jumlah pekerja
92
anak di Kota Serang. Adapun program dan kegiatan ini merupakan program bersama Disnakertrans dengan beberapa SKPD lain dalam kesatuan sebagai Komite Aksi Daerah, sehingga program ini merupakan langkah yang ditempuh dan dipertimbangkan oleh pemerintah daerah Kota Serang. Berbagai program dirancangkan mulai dari sosialisasi sampai penyediaan shelter (tempat penampungan) hingga kepada penarikan pekerja anak dari tempat kerja. Penarikan ini dimaksudkan untuk memberikan pendampingan khusus bagi mereka, dan kemudian mereka disiapkan untuk dimasukkan ke dalam dunia pendidikan, entah ke pesantren, sekolah umum, atau juga kejar paket. Ada juga mereka yang dilatih keterampilannya sesuai dengan minat dan bakatnya sehingga kemudian dia bisa mengembangkan bakatnya dan tidak perlu bekerja yang sampai menghabiskan waktu sekolah mereka. Hal ini diungkapkan oleh I1-3: “Komite Aksi Daerah sudah terbentuk sesuai dengan SK Walikota, kemudian sudah diadakan rapat Rencana Aksi Daerah. Pertama, sosialisasi akan dilakukan ke tokoh masyarakat mengenai penghapusan pekerja anak dengan sasaran ke tokoh masyarakat, perusahaanperusahaan yang mempekerjakan anak serta LSM dan pemerhati anak, serta juga pendamping PKH. Di bulan April dan Mei rencananya ada sekitar kurang lebih 60 anak yang akan dimasukkan ke dalam shelter (rumah singgah) yang dikontrak dengan dana dari pusat. Program dan kegiatan pengurangan pekerja anak yang sudah dilakukan sejauh ini adalah pendataan pekerja anak di 6 kecamatan di wilayah Kota Serang, membentuk Komite Aksi Daerah dalam rangka Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, kemudian sosialisasi kepada perusahaan dan masyarakat tentang Penghapusan Pekerja Anak, membuat atau menyusun Rencana Aksi Daerah tentang Penghapusan Pekerja Anak, dan mulai bulan Mei 2015 akan dilaksanakan Program Penghapusan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan yang menarik 60 pekerja anak di Kota Serang.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan)
93
Tentunya program-program ini dianggarkan dan dilaksanakan dengan harapan dapat memenuhi tujuannya untuk mengurangi keberadaan pekerja anak di Kota Serang. Ada banyak potensi anak yang bisa dikelola ketika mereka menempuh dunia pendidikan, apalagi mengingat bahwa persaingan dunia kerja di masa depan akan jauh lebih ketat dibandingkan masa ini saat mereka masih menjadi anak-anak. Jika orientasi masyarakat masih berpusat pada gaji yang bisa diperoleh saat ini, maka akan sulit untuk mempertimbangkan masa depan anak. Karena itulah Disnakertrans berupaya untuk mencari tahu dan mengelola potensi anak dengan berbagai program entah pendidikan formal maupun non formal, seperti yang disampaikan oleh I1-3: “Pada akhirnya yang berumur cukup akan mulai dicaritahu potensi nya untuk bisa dibina sehingga bisa bekerja dengan baik sesuai keterampilan yang dimiliki, yang diasah selama berada di shelter tersebut. Atau juga bagi mereka yang memang belum siap untuk bekerja sama sekali, ditawarkan untuk bersekolah kembali dengan dibiayai pemerintah, ataupun juga diarahkan ke dalam program kesetaraan maupun pondok pesantren.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans) Atas kejelasan Undang-Undang mengenai larangan mempekerjakan anak dan juga beberapa program yang dikerjakan oleh pemerintah, pihak-pihak perusahaan maupun pabrik yang ada di Kota Serang mulai menutup akses dan tidak menerima anak-anak untuk menjadi pegawai mereka. Hal ini menjadi penting supaya anak-anak bisa disadarkan bahwa memang usianya menganjurkan mereka untuk berada di sekolah dan lingkungan kerja berpotensi mengganggu tumbuh dan kembangnya. I1-4 menjelaskannya sebagai berikut:
94
“Pabrik yang mempekerjakan pekerja anak rata-rata tidak setahun penuh beroperasi, tapi ada juga memang yang setahun penuh beroperasi. Kalau untuk di perusahaan-perusahaan besar sudah tidak ada yang mempekerjakan anak di bawah umur dan memang belum pernah kita temukan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Seperti yang diungkapkan di atas, perusahaan besar sudah tidak lagi mempekerjakan pekerja anak, namun masih ada pabrik-pabrik kecil dan sedang yang mempekerjakan anak-anak sebagai pekerjanya bahkan meski pengawasan Disnakertrans telah dilakukan terhadap pabrik tersebut. Adapun sampai saat ini, masih ada pabrik-pabrik musiman atau UKM yang bebas mempekerjakan pekerja anak di wilayah Kota Serang. Masyarakat Kota Serang sendiri mengakui fenomena pekerja anak ini, seperti apa yang diungkapkan oleh I2-1: “Di wilayah sini kan memang cukup banyak pabrik yang beroperasi, apalagi kalo udah menjelang lebaran. Jadi lebih banyak lagi yang beroperasi, nah kadang itu yang banyak anak-anak ikut kerja. Biasanya yang kerja memang karena udah putus sekolah, jadi daripada mengganggur lebih baik mengisi waktu dengan bekerja. Pihak pabrik juga biasanya memang susah ditemui, mungkin karena sibuk dan memang sifatnya tertutup. Dari pihak pabrik juga ada yang menjaga dan biasanya dibantu dalam soal-soal tertentu, jadi tidak sendiri, mungkin makanya bisa tetap aman sampai sekarang.” (Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB) Berbagai program yang dikerjakan oleh Disnakertrans dengan anggaran yang digunakan tentu dilakukan dengan harapan bisa mengurangi keberadaan pekerja anak. Namun, larangan yang diberikan Disnakertrans kepada perusahaan jika tidak disertai kesadaran dari pihak pekerja anak dan juga masyarakat sekitar maka akan menjadi usaha yang sia-sia. Pemerintah sangat penting untuk
95
menemukan faktor utama dari apa yang menjadi permasalahan dan faktor penyebab anak-anak bekerja agar pengawasan yang dilakukan tidak salah dan bisa mencapai sasaran. Hal ini demi mencegah setiap program yang ada menjadi siasia dan hanya sekedar menghabiskan anggaran, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan: “Sampai saat ini masih tetap anak-anak disana bekerja, jadi rasanya sih belum ada perubahan apa-apa. Ya namanya juga kebutuhan, terus mereka putus sekolah, jadi daripada nganggur mungkin orang tuanya lebih setuju anaknya bekerja.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Beberapa pihak masyarakat mengaku masih belum memahami kejelasan larangan pekerja anak. Budaya masyarakat yang terbiasa dengan keberadaan pekerja anak, membuat beberapa masyarakat merasa sangat biasa dan tidak menganggap bahwa keberadaan pekerja anak ini merupakan suatu hal yang krang baik, apalagi bisa berpotensi merusak masa depan anak. Beberapa dari mereka juga mengaku belum mendapat sosialisasi mengenai larangan pekerja anak ini meski tinggal di lingkungan sekitar pekerja anak. Hal ini dikemukakan oleh I2-1: “Belum ada sosialisasi” (Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB) Dan ditegaskan kembali oleh I2-2: “Belum ada, mungkin langsung ke pabriknya” (Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB, wilayah Karundang) Hal ini menjadi permasalahan tersendiri ketika program yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat justru belum diketahui dan dipahami oleh
96
masyarakat. Masyarakat menjadi pasif dan tidak terlibat dalam mengawasi pekerja anak yang ada. Berbeda dengan mereka yang belum pernah mendapatkan sosialisasi dan jadi tidak mengetahui pasti permasalahan pekerja anak, ada juga beberapa masyarakat yang memang sudah mendapatkan sosialisasi dari pihak Disnakertrans terkait persoalan pekerja anak ini, seperti yang dikemukakan oleh I2-4: “Undangan sosialisasi penghapusan pekerja anak ada, sosialisasi dilakukan supaya kami tahu apa itu pekerja anak dan bahaya serta aturan terkait pekerja anak.”(Wawancara dengan Bapak Agus, RT 15, Karundang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.10 WIB) Bagaimanapun juga tentu pabrik menjadi objek pengawasan utama Disnakertrans agar tidak lagi mempekerjakan pekerja anak di dalam usahanya. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa pengawasan Disnakertrans secara langsung dilakukan ke pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan di Kota Serang. Namun memang masih ada pabrik yang mempekerjakan pekerja anak, dengan alasan bahwa pihak pabrik mempekerjakan pekerja anak dengan niat membantu sang anak yang memang latar belakang pendidikannya tidak akan cukup sebagai syarat jika ia bekerja di perusahaan atau memang ingin membantu mereka yang putus sekolah. Hal ini yang disampaikan oleh pemilik pabrik yang mempekerjakan pekerja anak (I2-6): “Ada memang, kalau perusahaan kan biasanya mau terima ketika ada ijazah, tapi ya kalo kita asal dia ada kemauan kerja ya sudah kerja. Apalagi kita kan di lingkungan industri rumah tangga tidak bisa seperti itu dalam masalah pasang standar. Orang-orang pinggiran bahasanya, yang secara standar pendidikan bisa tidak sampai SMA yang biasanya kerja disini. Sistemnya kalau disini memang dia masuk kalau dia mau
97
bekerja, jadi tidak ada paksaaan atau tuntutan harus bekerja setiap harinya. Kalau memang lagi ada kerjaan ya kita buka dan kasih kerjaan. Mereka biasanya datang sendirinya tiap hari, kita ga batasin siapa saja yang mau kerja. Jadi siapa aja yang mau kerja kita terima dan kasih kerjaan. Sampai saat ini biasanya pola yang datang itu sistem bawa temen.”(Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB) Pekerja anak di Kota Serang juga mengaku sulit untuk meninggalkan pekerjaannya meski memang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan tuntutan ekonomi keluarga yang kurang membuat mereka cukup segan meninggalkan pekerjaan yang bisa digunakan uangnya untuk membiayai atau minimal membantu keuangan keluarga. Pemerintah sendiri sudah mengusahakan pengawasan dan merancang program dan kegiatan untuk bisa melepaskan pekerja anak dari kewajiban bekerja dan mengembalikan hak mereka sekolah. Hal ini dilakukan mulai dari mencari tahu mengapa anak bekerja hingga memberikan program untuk menangani, seperti yang disampaikan I2-8: “Waktu itu ditanya kenapa tidak sekolah, trus katanya mau diajak kejar paket” (Wawancara dengan Pekerja Anak, NR, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.45 WIB) Dijelaskan juga oleh I2-7 sebagai berikut: “Pendataan waktu itu” (Wawancara dengan AN, Pekerja anak, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.30 WIB) Berbagai faktor menyebabkan pekerja anak di Kota Serang memilih untuk bekerja, mulai dari untuk pemenuhan biaya keluarga maupun juga untuk uang jajan atau sekedar mengisi waktu karena sudah berhenti dari sekolah. Program pemerintah masih dirasakan belum bisa mengisi dan menjawab kebutuhan
98
sebenarnya dari para pekerja anak yang ada, sehingga para pekerja anak memilih untuk tetap bekerja. Hal ini disampaikan oleh I2-7: “Ya belum sih. Kita disuruh berhenti kerja dan sekolah lagi, katanya gratis biaya bulanannya. Tapi kan pas masuknya bayar, trus ongkos juga kan perlu. Jadi ya namanya butuh uang, saya masih pilih kerja.” (Wawancara dengan Wawancara dengan AN, Pekerja anak, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.30 WIB) Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang tidak mengalami kesulitan dalam pembiayaan anggaran karena ditunjang dana dari APBN. Hanya saja program dan kegiatan dari pembiayaan APBN ini masih banyak memiliki kendala dalam pelaksanaannya, mulai dari sosialisasi yang belum menyeluruh, tindak lanjut dalam melakukan pengawasan yang belum dilaksanakan secara langsung meski sudah mulai meneliti faktor-faktor penyebab anak bekerja, sehingga kemudian mempengaruhi kepada dampak yang masih belum terasa bagi pekerja anak. 4.3.3. Tepat Waktu Pengendalian harus tepat waktu, artinya sesuai dengan kebutuhan kapan pengendalian diperlukan. Setiap kegiatan membutuhkan waktu pengendalian yang berbeda. Ketepatan waktu diperlukan untuk mencegah penyimpangan menjadi lebih fatal dan munculnya anggapan penyimpangan sebagai sesuatu yang wajar dan sulit memperbaikinya. Fenomena pekerja anak ini merupakan salah satu pekerjaan yang sulit diselesaikan, karena melibatkan berbagai faktor dan kondisi yang tidak dapat
99
ditangani dengan satu tindakan saja. Undang-Undang no. 13 tahun 2003 di pasal 68 secara jelas mengatur larangan untuk mempekerjakan anak, meski di pasal berikutnya kembali diterangkan bahwa dengan syarat-syarat tertentu, anak diperbolehkan bekerja. I1-4 menjelaskannya sebagai berikut: “Dasar hukum pekerja anak sendiri ada di UU No. 13 tahun 2003 di pasal 68 yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak, namun di pasal berikutnya memang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi pengusaha dengan konteks pekerjaan yang dikerjakan ialah pekerjaan ringan. Perjanjian kerja yang dilaksanakan juga seharusnya adalah perjanjian kerja antara pengusaha dan orang tua, bukan kepada pekerja anak karena memang anak dianggap belum dapat memahami perjanjian kerja. Waktu kerja tiga jam yang dilakukan siang hari dan tidak menganggu sekolah. Upah yang diberikan juga harus sesuai ketentuan yang berlaku.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Pada kenyataan di lapangan, pengusaha tidak menggaji dan memberikan upah kepada para pekerja anak dengan upah sesuai ketentuan yang berlaku. Beberapa pekerjaan yang dikerjakan oleh anak-anak yang bekerja di wilayah Kota Serang juga meski adalah pekerjaan ringan namun melibatkan waktu kerja yang panjang dan lebih dari tiga jam. Bagaimanapun juga berdasarkan Undang-Undang seperti yang telah dibahas di atas, hal ini merupakan bentuk penyimpangan yang harus ditangani pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh I1-1: “Usia anak yang muda ini memiliki kerentanan untuk dieksploitasi baik secara fisik maupun psikis untuk kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan ekonomi keluarga. Eksploitasi tersebut salah satunya adalah dengan melibatkan anak dalam dunia kerja yang seharusnya belum waktunya anak-anak tersebut masuk dunia kerja.”(Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan)
100
Pelanggaran yang terjadi di Kota Serang terkait pekerja anak memang sampai saat ini belum menemukan kasus dimana anak-anak terlibat dalam Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA), dimana secara sifat pekerjaan sangat membahayakan bagi anak, dan disertai intensitas pekerjaan yang berlebihan sehingga membuat pekerja anak berada dalam ancaman yang membahayakan baik fisik maupun mentalnya. Meski demikian, pihak Disnakertrans menemukan kasus dimana ada orang tua pekerja anak yang memanfaatkan sang anak bagi kepentingan ekonomi dirinya dan keluarga, seperti apa yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan: “Bentuk bentuk pekerjaan terburuk menjadi salah satu yang juga terus dilarang dan tidak diperbolehkan untuk sama sekali dipekerjakan, mulai dari perbudakan, perlibatan dalam pornografi, perlibatan dalam pekerjaan-pekerjaan ilegal, dan pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan baik fisik maupun mental pekerja anak, baik dari sifat pekerjaannya maupun intensitas pekerjaannya. Dari data orang tua yang rata-rata kita peroleh, pekerja anak rata-rata tumbuh dari keluarga miskin atau tidak mampu, meski ada juga yang berasal dari keluarga yang mampu. Hal ini menjadi fenomena yang pelik, dimana di perempatan jalan, orang tuanya ada dan dia sekolah tapi pulang sekolah, atau ada yang memang tidak sekolah kemudian suka ngamen. Pekerjaan seperti ini tentunya termasuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak, karena itu akan mengganggu tumbuh kembang mereka.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Pekerja anak merupakan hal yang dilarang karena memang masa anak merupakan masa tumbuh dan kembang yang seharusnya diisi dengan hal-hal positif agar tidak menjadikan anak-anak tersebut terbiasa dalam kegiatan yang tidak seharusnya mereka kerjakan. Terutama bagi mereka kerawanan lebih karena bekerja dalam lingkungan berbahaya, akan memicu mereka berpotensi terjebak
101
dalam hal-hal yang salah dan menyebabkan pola pikir mereka terbentuk bahwa bekerja dalam usia anak dan bekerja di lingkungan berbahaya tidak salah dan sangat wajar untuk dilakukan. Hal ini diungkapkan oleh I1-3: “Pola pikir anak akan terbentuk dan terbudaya sesuai lingkungan, itu sebabnya sangat dilarang bagi mereka untuk bekerja di lingkunganlingkungan berbahaya, seperti mereka yang bekerja di lingkungan bola sodok, bar, dan sebagainya.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan) Untuk mencegah hal ini terjadi, ada berbagai upaya yang dilakukan dalam meresponi permasalahan seputar keberadaan pekerja anak. Saat ini, Disnakertrans mulai melakukan sosialisasi terhadap pekerja anak, pemilik pabrik, dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sosialisasi ini dilakukan sebagai momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di wilayah Kota Serang. Dengan mensosialisasikan hal ini, Disnakertrans berharap bahwa berbagai pihak dapat meresponi persoalan ini secara aktif, dan kemudian dapat turut serta baik dalam melakukan pengawasan maupun juga pelaporan ketika menemukan persoalan seputar pekerja anak. Hal ini dijelaskan oleh I1-1: “Sosialisasi penghapusan BPTA merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah Kota Serang terhadap pekerja anak yang ada di wilayah Kota Serang. Sosialisasi yang ada diharapkan jadi momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di Kota Serang. Tentunya keterlibatan pihak lain sangat membantu tujuan dan harapan pemerintah, mulai dari keluarga, pengusaha dan pemerintah untuk sama-sama memastikan anakanak tidak terlibat dalam dunia pekerjaan.”(Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan)
102
Berbagai program dan kegiatan dirancang untuk bisa mengurangi dan bahkan menghapus pekerja anak dalam upaya mengembalikan hak anak. Selain sosialisasi, ada beberapa program telah dilakukan oleh Disnakertrans, yakni program-program berkesinambungan yang juga dikerjakan bersama SKPD lainnya dalam mengatasi permasalahan pekerja anak. Berbagai program dilaksanakan, tapi terkendala masih ada masyarakat dalam budaya yang memang tidak menginginkan anaknya bersekolah, dimana kurangnya upaya dari pihak orang tua untuk bekerja sama agar anak mereka bisa bersekolah meski telah diberikan jalan oleh pemerintah, seperti apa yang disampaikan oleh I1-2: “Pemerintahkan sebenarnya hanya sebagai motivator bukan eksekutor. Bagaimanapun pemerintah punya program dan niat baik, kalau dari masyarakat sendiri tidak mau ya tidak akan bisa kita cegah pekerja anak ini muncul. Pemerintah sebagai fasilitator tapi tidak bisa semua hal dijangkau. Masalah pekerja anak ini sendiri kita sudah kasih sekolah gratis, sudah kasih bantuan. Tapi masih saja ada orang tuanya yang tidak menyekolahkan anaknya. Alasannya kan sekolah butuh ongkos, padahal sebenarnya untuk ongkos kan bisa diberdayakan orang tua, mungkin belikan sepeda atau bagaimana caranya. Apalagi banyak yang orang tuanya sebenarnya bisa habisin uang untuk beli rokok, tapi justru untuk sekolah sang anak malah tidak ada uang katanya.” (Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Berbagai upaya terus dilakukan oleh Disnakertrans, seperti rencana penarikan sejumlah anak dari pabrik untuk dikembalikan ke dunia pendidikan, maupun masuk dalam pelatihan non formal di bulan Mei 2015. Hal ini merupakan respon yang diberikan pemerintah menangani pekerja anak yang ada kepada setiap pekerja anak yang sudah masuk dalam data Disnakertrans. Keterlibatan berbagai pihak juga menjadi hal yang penting mengingat pembinaan yang
103
dilakukan akan dikerjakan dalam berbagai sisi sehingga tidak mungkin untuk dikerjakan hanya oleh Disnakertrans. Hal ini disampaikan oleh I1-3: “Di bulan April dan Mei rencananya ada sekitar kurang lebih 60 anak yang akan dimasukkan ke dalam shelter (rumah singgah) yang dikontrak dengan dana dari pusat. Semua komite akan dilibatkan untuk bisa membimbing dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang berumur cukup akan mulai dicaritahu potensi nya untuk bisa dibina sehingga bisa bekerja dengan baik sesuai keterampilan yang dimiliki, yang diasah selama berada di shelter tersebut. Atau juga bagi mereka yang memang belum siap untuk bekerja sama sekali, ditawarkan untuk bersekolah kembali dengan dibiayai pemerintah, ataupun juga diarahkan ke dalam program kesetaraan maupun pondok pesantren. Adapun para pekerja anak yang dimasukkan dalam shelter ini ialah mereka yang memang memiliki kemauan untuk dibina dan dididik, mengingat bahwa tidak semua pekerja anak mau untuk dikembalikan ke dalam dunia sekolah atau juga diberikan pelatihan.” (Wawancara dengan Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans) Pengawasan yang selama ini dilaksanakan oleh Disnakertrans adalah pengawasan yang memiliki rentang waktu khusus, dimana dibuat rencana kerja dalam setahun untuk bisa mengawasi berbagai perusahaan dan pabrik di wilayah Kota Serang dengan teratur dan sistematis. Meski demikian, tidak selamanya waktu dan rencana yang ditetapkan dijalani sesuai rencana kerja. Jika memang ada kondisi khusus dari perusahaan/pabrik tertentu, maka akan dilakukan pengawasan mendalam. Laporan dari masyarakat juga menjadi referensi bagi pihak Disnakertrans untuk mengawasi pabrik/perusahaan tertentu, seperti apa yang disampaikan oleh I1-4: “Kalau kita mengawasi ke perusahaan itu ada namanya rencana kerja, masukan dari pimpinan atau yang diprioritaskan oleh pimpinan kemana, atau misalnya ada pengaduan dari masyarakat itu yang kita dahulukan... Dalam satu bulan itu 6 kunjungan perusahaan idealnya. Tapi ya kadang
104
ada juga yang tertunda, jadi dimasukkan bulan berikutnya dalam pengawasannya.”(Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Adapun penentuan jangka waktu dan rentang pengawasan memang dibahas bersama dalam rapat rencana kerja. Analisis kondisi dari permasalahan yang terjadi menjadi bagian utama pembahasan, dan berlanjut pada penentuan pengawasan sampai kepada tindakan yang akan dilakukan bila ditemukan penyimpangan. Pimpinan dinas juga memiliki hak khusus untuk menentukan dan memutuskan prioritas perusahaan yang akan diawasi dengan mempertimbangkan jadwal para pegawai dan juga beban kerja yang dilakukan. Hal ini dikemukakan oleh I1-4: “Kalo untuk rencana kerja ya biasanya analisis kondisi kemudian ada rapat bersama pimpinan untuk tentukan rencana kerja yang akan dilakukan. Yang jelas semua rutin dilakukan, kecuali kalau ada kegiatan pemkot yang memang bentrok.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Bagaimanapun juga penyimpangan yang terjadi cukup sulit ditemukan mengingat bahwa secara kuantitas, sumber daya manusia yang ada di Disnakertrans tidaklah banyak. Pengawas untuk bidang pengawasan dan pembinaan hanya terdiri dari dua orang dalam satu bidang dan harus mengawasi lebih dari 500 perusahaan. Karena itu Disnakertrans menggunakan cara-cara yang bisa mengefektifkan pengawasan seperti melakukan pembinaan dimana pembinaan ini dapat menjangkau sejumlah perusahaan dalam satu kali pertemuan. Penyimpangan tidak dapat dibenahi dalam waktu yang cepat karena memang biasanya penyimpangan yang terjadi menyangkut beberapa persoalan sampai
105
munculnya penyimpangan tersebut. Karena hal inilah, meski jelas-jelas diatur dalam Undang-Undang, pemerintah masih menimbang banyak hal dalam memberikan sanksi ketika menemukan pekerja anak. Hal ini disampaikan oleh pengawas ketenagakerjaan: “Kalau untuk sumber daya kan memang tidak cukup untuk melakukan pengawasan ke perusahaan-perusahaan, cuma ya ada trik-triknya, misalnya kita bikin pembinaan atau melakukan door to door perda dan aturan-aturan, atau mengundang HRDnya untuk hadir ke tempat kita. Kecuali kalau memang ada tindakan dari penyimpangan baru kita turun langsung ke perusahaan. Pekerja anak sendiri kan menurut Undangundang ya harusnya memang dicabut dan ditarik. Namun penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Beberapa masyarakat memberikan penilaian bahwa bentuk reaksi dan tindakan yang dilakukan Disnakertrans dalam menghadapi pekerja anak terkesan lamban dan belum efektif. Indikator yang digunakan dalam penilaian ini salah satunya ialah karena Disnakertrans masih terpacu pada data dan pengawasan dari pihak perusahaan, meskipun sebenarnya perusahaan bisa saja menyembunyikan pekerja anak yang ada di perusahaannya. Jika menginginkan pengawasan yang tepat sasaran dan sesuai keadaan, pemerintah diharapkan melibatkan masyarakat yang mengenali situasi dan kondisi sebenarnnya di lapangan, seperti apa yang disampaikan oleh I2-3: “Sejauh ini survei yang dilakukan Disnakertrans belum sepenuhnya dilakukan ke lapangan, dalam arti pemerintah belum menjemput bola ke masyarakat. Butuh data yang memang objektif dan tidak terpaku pada data yang ada dari perusahaan.”(Wawancara dengan Bapak Nasarudin,
106
Ketua RT 01/11 Cipare, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.00 WIB) Selain itu, indikator berikutnya ialah belum tanggapnya pengawasan yang dilakukan Disnakertrans dimana belum pernah ada sanksi yang diberikan baik kepada pabrik yang mempekerjakan pekerja anak, ataupun juga pihak-pihak yang terlibat dalam mempekerjakan pekerja anak. Hal ini menjadi peluang bagi pabrik dan juga masyarakat untuk tetap mempekerjakan anak di bawah umur, karena memang meski tahu bahwa hal tersebut dilarang, tapi sampai saat ini mereka masih tetap dengan bebas mempekerjakan pekerja anak tanpa sanksi, seperti apa yang disampaikan oleh I2-5: “Belum, apalagi sanksi yang jelas bagi pabrik yang mempekerjakan anak sampai saat ini belum ada.”(Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB) Efek jera yang diberikan dari sebuah tindakan, seperti memberi sanski dalam meresponi permasalahan merupakan bentuk tindakan yang diharapkan masyarakat dapat dilakukan Disnakertrans untuk bisa menolong anak-anak yang terpaksa bekerja karena berbagai faktor. Sanksi yang diberikan diharapkan bukan saja akan memberikan jera bagi pihak pabrik tersebut tapi juga kepada pihakpihak lainnya, yang tentu saja akan berpikir ulang ketika mau mempekerjakan pekerja anak di tempat usahanya. Hal ini dikemukakan oleh I2-1: “Pokoknya kalo udah mendekat lebaran gini biasanya muncul banyak pabrik-pabrik kue yang kaya deket puskesmas, musiman gitu dan nanti ada pekerja anak yang kisaran SMP biasanya jadi pekerja. Tapi sejauh ini belum ada peringatan atau sanksi yang dikenakan ke pihak pabrik.”(Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB)
107
Selain penanganan yang diberikan terhadap pihak pabrik, tentunya pekerja anak juga menjadi objek utama yang diawasi oleh Disnakertrans. Permasalahan yang dihadapi pekerja anak merupakan faktor utama yang harus dikaji untuk mencegah semakin luas dan maraknya pekerja anak di Kota Serang. Pihak pekerja anak sendiri menyatakan permasalahan ekonomi yang dihadapi telah melibatkan mereka dalam dunia pekerjaan, dan untuk kembali masuk dalam dunia pendidikan yang seharusnya sempat tidak terpikirkan. Ketakutan bahwa program yang diberikan pemerintah hanya bersifat sementara dan setengah-setengah merupakan salah satu faktor mereka memilih bertahan dalam dunia kerja, seperti yang disampaikan oleh I2-7: “Ya pokoknya kita disini niatnya mencari uang, jadi kalau memang sekolah lagi sebenarnya mau asal benar-benar gratis dan ga cuma yang sebentar saja. Nanti pas sudah masuk sekolah tiba-tiba ada bayaran tambahan kan kita bingung.” (Wawancara dengan AN, Pekerja Anak,Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.30 WIB) Apatisme dari masyarakat merupakan persoalan tersendiri yang dihadapi pemerintah. Pandangan bahwa pemerintah kerap menciptakan program yang sekedar dikerjakan dan tidak sesuai kebutuhan masyarakat menjadi salah satu alasan pekerja anak menjadi apatis dan tidak berharap banyak pada pemerintah. Pekerja anak sendiri menginginkan bahwa setiap pernyataan bahwa mereka akan dikembalikan dan dibiayai untuk bersekolah tidak hanya sekedar pernyataan dan bisa benar-benar dilakukan. Hal ini disampaikan oleh I2-8: “Semoga ya program-programnya ga cuma ngomong doang tapi memang benar-benar dipedulikan pendidikan dan kebutuhan kita.”(Wawancara dengan NR, Pekerja Anak, Pabrik kue, 23 April 2015, pukul 15.45 WIB)
108
Anak-anak sendiri sebenarnya masih sangat sulit untuk membedakan apa yang buruk dan baik bagi masa depannya. Mereka yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga berbagai faktor sehingga harus bekerja kerap kali hanya berpikir singkat tentang kebutuhan masa kininya yang mendesak. Asalkan mendapat upah dan bisa mendapat uang jajan atau bisa membantu orang tua, mereka berpikir akan baik-baik saja. Meski sebenarnya di dalam dunia kerja mereka tanpa sadar dibatasi tumbuh kembangnya dan juga kesempatan mengembangkan potensinya. Apalagi dalam menghadapi masa depan yang jauh lebih kompetitif dan menuntut lebih standar pendidikan serta kemampuan dan bakat, seperti yang dikemukakan oleh I3-1: “Kesulitan yang terjadi dalam menangani para pekerja anak di bawah umur salah satunya adalah karena anak tersebut juga tidak sadar bahwa hal itu membahayakan dirinya, kemudian juga dapat mengganggu perkembangan masa depannya. Ketika alasan pekerja anak bekerja datang karena situasi ekonomi dan kondisi keuangan yang sulit, maka susah untuk mencegahnya. Meskipun sebenarnya secara Undang-Undang, hal ini tentu tetap tidak dapat dibiarkan.”(Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB) Itu sebabnya bagi pihak P2TP2A sebagai salah satu SKPD yang berkoordinasi dengan Disnakertrans dalam upaya mengurangi pekerja anak, perlu adanya sosialisasi secara besar-besaran kepada setiap pihak masyarakat agar terbuka dan mengetahui dampak negatif persoalan pekerja ini. Mengingat bahwa ada kalangan masyarakat yang secara budaya terbiasa membiarkan anak bekerja, perlu ada pengubahan mindset agar tidak terus menganggap persoalan ini menjadi persoalan yang ringan. Masyarakat perlu untuk mengetahui bahwa pemerintah
109
menjamin perlindungan anak, sehingga ketika mereka merasa terancam mereka tidak segan untuk mencari perlindungan dan memperoleh hak mereka. Hal ini disampaikan oleh I3-1: “Banyak kasus yang terjadi di Kota Serang ini seperti fenomena gunung es. Sebenarnya banyak sekali korban-korban, namun kalau sudah berbicara keluarga merupakan ladang intern, anggapan aib dan budaya tidak nyaman untuk menceritakan kekurangan keluarga. Pada akhirnya hanya sedikit korban-korban yang berani untuk mengadukan kasus mereka. Ketidakpahaman hukum tentang Perlindungan Anak juga jadi soal, karena meski menjadi hak masyarakat untuk dilindungi, masyarakat belum tahu bahwa akan ada pembelaan bagi dirinya. Kesini, dengan semakin banyaknya sosialisasi yang diberikan, masyarakat sudah mulai ada yang melaporkan kasusnya, sehingga bisa ditangani oleh pemerintah.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB) Kesinambungan pengawasan yang dikerjakan oleh Disnakertrans dengan SKPD lainnya bisa membawa perubahan bagi permasalahan pekerja anak. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan secara terstruktur diharapkan akan menghasilkan evaluasi yang matang bagi perkembangan tindakan dan rencanarencana berikutnya. Tentunya rentang ini menjaga agar tindakan yang dilakukan tidak sekedar bersifat rutinitas, tapi memang sesuai dengan kebutuhan yang ada, seperti apa yang disampaikan oleh I3-3: “Biasanya kita juga ada pengawasan terhadap anak-anak yang bekerja atau juga hidup di jalanan, pengawasan tersebut tentunya kita evaluasi dalam rentang waktu tertentu untuk bisa kita jadikan evaluasi tiap program berikutnya.” (Wawancara dengan Ibu Irma Mulyasari, Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia, pukul 13.10 WIB, Dinas Sosial Provinsi Banten)
110
Penanganan pekerja anak ini permasalahan utamanya salah satunya adalah anak-anak mulai kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan, padahal sebenarnya pemerintah Kota Serang juga telah menyediakan program sekolah gratis. Itu sebabnya tindakan dan respon Disnakertans tidak cukup hanya menarik mereka dari dunia kerja, tapi juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk mengembalikan mereka kembali dalam dunia pendidikan formal maupun informal. Adapun tindakan Dinas Pendidikan dalam menangani pekerja anak di Kota Serang sejauh ini adalah seperti apa yang dikemukakan oleh I3-4: “Di Dinas Pendidikan juga sudah ada aturan bahwa anak-anak wajib untuk bersekolah sesuai dengan umurnya. Misalnya anak 12 tahun diwajibkan untuk bersekolah. Jika ada anak yang tidak bersekolah maka sekolah wajib menegur pihak orang tua siswa, atau Dinas Pendidikan yang pada akhirnya memberi teguran ke sekolah tersebut karena memang sekolah berada di bawah naungan Dinas Pendidikan. Ketika tetap tidak bisa, maka akan dialihkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi untuk ditangani lebih lanjut, dan jika masih bermasalah maka anak diberi pilihan untuk tetap melanjutkan sekolah di sekolah lama nya atau pindah sekolah.”(Wawancara dengan Bapak Windy Jadmiko, S.S, Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang, 22 April 2015, pukul 11.00 WIB) Berdasarkan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi memang kerap dialami bukan hanya sekedar karena pekerja anak terlibat dalam BPTA, tapi juga mereka yang mengalami kondisi waktunya harus habis di tempat kerja, dan mereka yang kehilangan haknya mengenyam pendidikan. Ditambah dengan orang tua pekerja anak yang belum sadar bahaya dampak yang ditimbulkan kepada anak yang bekerja membuat Disnakertrans mempunyai tugas besar untuk bisa mengatasi permasalahan ini.
111
Dalam mengatasi persoalan ini, Disnakertrans di awal meresponi dengan memperlengkapi data pekerja anak, agar bisa memiliki data dan informasi akurat terkait pekerja anak. Namun sampai saat ini, respon berikutnya dapat dikatakan lamban, mengingat masih banyak keluhan masyarakat terhadap keberadaan pekerja anak yang terasa diabaikan, mengingat rencana penarikan yang baru direncanakan untuk dilaksanakan, kebebasan pabrik untuk tetap beroperasi meski mempekerjakan anak karena memang belum ada sanksi yang diberikan, maupun juga pendataan yang masih kerap berfokus kepada tempat kerja dan kurang melibatkan masyarakat. Rentang waktu pengawasan sendiri sudah dikatakan cukup baik, dengan memiliki rencana kerja yang membuat pengawasan berjalan dengan sistematis. Apalagi dengan adanya pembinaan yang difungsikan untuk bisa menjangkau perusahaan dalam keterbatasan sumber daya mengawasi perusahaan secara langsung. Evaluasi yang dilakukan bersama dengan SKPD lain juga membantu pengawasan yang dilakukan Disnakertrans tidak salah arah dan bisa tetap efektif menjalankan pengawasan sesuai kondisi terbaru. 4.3.4. Realistik secara organisasi Standar kinerja yang digunakan sebagai alat ukur dalam pengendalian harus realistis. Standar itu harus menantang, namun sebagian besar pegawai harus tetap yakin bahwa hal itu bisa dicapai. Standar seperti ini akan memotivasi mereka berkinerja lebih baik. Standar terlalu tinggi bisa membuat karyawan frustasi dan upaya mereka melemah, sebaliknya, standar terlalu rendah bisa
112
membuat mereka merasa tidak tertantang dan juga berdampak pada lemahnya kinerja. Realistis juga berkaitan dengan pelaksanaan pengendalian yang wajarwajar, tidak berlebihan, sehingga bisa menimbulkan penolakan. Disnakertrans dalam menghadapi pekerja anak secara realita melawan budaya masyarakat yang masih menganggap bahwa pekerja anak merupakan hal yang biasa. Dalam beberapa kasus yang terjadi, penanganan menjadi sulit karena tidaklah mudah mengubah pandangan masyarakat dalam waktu singkat. Pihak pabrik/perusahaan yang mempekerjakan pekerja anak juga demikian, meski secara jelas diatur dalam Undang-Undang larangan mempekerjakan anak, namun kondisi di lapangan ialah masih banyak pabrik yang diuntungkan ketika mempekerjakan anak di tempat usahanya. Salah satunya adalah efisiensi biaya secara gaji yang jauh lebih murah, dan juga kondisi dimana anak-anak lebih mudah dikontrol sehingga tidak menuntut banyak tapi tekun dalam bekerja. Hal ini yang diungkapkan oleh I2-6: “Sistemnya disini bisa dibilang seperti borongan, ya kalo mereka mau kerjain dapet gaji. Karena memang kita juga tidak pake mandor yang mengawasi mereka bekerja. Kerjanya juga kan terasa ga enak kalo dimandorin.”(Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB) Sampai saat ini juga pengawasan yang dilakukan oleh Disnakertrans masih terpusat kepada para pekerja anak formal, meski dalam kenyataan di lapangan justru lebih banyak ditemukan pekerja anak informal. Berdasarkan UndangUndang yang adapun, hampir rata-rata pekerjaan terburuk anak yang mengancam
113
kesehatan maupun mental anak berada dalam lingkup wilayah informal, seperti yang disampaikan oleh I1-2: “Berkaitan dengan anak, tentunya sudah ada peraturan yang melarang untuk mempekerjakan anak. Seringkali seolah-olah pekerja anak adalah mereka yang bekerja di sektor formal. Tetapi realitanya ketika di sektor formal justru tidak ditemukan adanya pekerja anak seperti di pusat-pusat perbelanjaan terkenal karena memang perusahaan sudah mengetahui aturannya. Ketika di sektor informal, seperti UMKM misalnya pabrik roti dan kue kering disitu justru biasanya ada pekerja anak.”(Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB) Memang menjadi hal yang penting untuk memahami dengan jelas syarat dan standar yang ditetapkan agar tidak membiarkan penyimpangan dan kesalahan terus terjadi. Pengenalan akan situasi kondisi di lapangan dengan peraturan juga harus seimbang, dengan demikianlah pengawasan dapat dilakukan secara jelas dan tepat. Peraturan yang ada menjadi landasan pergerakan dan pengawasan untuk mencapai suatu standar, mengenali batasan apa yang tidak boleh dilewati dan apa yang harus diperjuangkan dan ditidaklanjuti, seperti yang disampaikan oleh I1-3: “Anak sebenarnya boleh bekerja asal anak tersebut usianya 3-15 tahun untuk pekerjaan yang ringan dan karena anak juga harus dilatih agar tidak malas, begitupun juga dalam rangka kurikulum pendidikan dan minat serta bakat. Kriteria pekerjaan ringan ialah pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan fisik dan mental sosial serta pekerjaan di luar Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak. Ada kewajiban pengusaha yang mempekerjakan anak dalam pekerjaan ringan, yakni seharusnya memiliki surat ijin dari orang tua, waktu maksimal bekerja juga adalah tiga jam, dilakukan siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatannya tetap dijaga dan menjadi tanggung jawab perusahaan, dan tidak bekerja di tempat-tempat yang membahayakan, ada hubungan kerja yang jelas antara pekerja dan pengusaha, upah yang diberikan sesuai ketentuan. Pada dasarnya semua orang dilarang mempekerjakan anak, apalagi
114
dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans) Dalam menjalankan standar yang ada, penting juga untuk mengukur kapasitas dan sumber daya yang diperlukan agar bisa mencapai standar yang ditetapkan. Disnakertrans sendiri dalam melakukan pengawasan masih terkendala dengan sumber daya manusia yang minim, dimana hanya ada dua pengawas dalam satu bidang Pengawasan dan Pembinaan. PNS yang bergabung dalam bidang ini berjumlah 6 orang, dan dibagi-bagi lagi dalam beberapa seksi. Pengawas selain melakukan pengawasan masih harus ikut melaksanakan tugas yang dibebankan oleh pejabat meski sebenarnya tugas dari pengawas sendiri adalah mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan. Hal ini disampaikan oleh I1-4: “Kita disini kan satu bidang ada 6 orang yang PNS, nah pengawas juga bertanggung jawab melaksanakan kegiatan yang disuruh oleh para pejabat, jadi akan bagi waktu juga dalam melakukan pengawasan dan program kegiatan lain. Kalau untuk pengawas, saya lebih bertugas mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Bidang Pembinaan dan Pengawasan yang dibagi lagi dalam tiga seksi memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Dengan jumlah pegawai yang dapat dikatakan minim, pemerintah membutuhkan bantuan dari masyarakat untuk bisa membantu pencapaian pengawasan yang efektif bagi Disnakertrans karena adalah
115
hal yang tidak mungkin jika Disnakertrans sendiri yang harus mengelola permasalahan ini, seperti yang disampaikan oleh I1-2: “Bidang pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan memiliki tugas memastikan bahwa setiap aturan ketenagakerjaan dilaksanakan dan diikuti oleh perusahaan. Di dalamnya ada tiga seksi, yaitu seksi norma pekerja perempuan dan anak, yang menagani masalah pekerja perempuan dan anak. Masyarakat sekitar lingkungan pekerja anak, mempunyai kapasitas lebih dalam mendekatkan diri kepada pekerja anak, membina dan memberi nasehat untuk mereka yang bekerja agar kembali ke sekolah kepada mereka yang bekerja dengan alasan apapun.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Selain masyarakat yang memang mengerti dengan utuh dan mengenali kondisi lapangan sekitar pekerja anak, yang tidak kalah penting adalah sinergitas dengan tokoh masyarakat dan juga LSM yang bisa membantu tindak lanjut Disnakertrans dalam mengangani persoalan pekerja anak. Tergabungnya berbagai elemen masyarakat termasuk juga penegak hukum dan instansi-instansi terkait, seperti instansi keagaamaan, kesehatan, dan sosial menjadi jalan agar koordinasi bisa tercipta dan membantu penyelesaian efektif dan berkesinambungan, sehingga tidak ada lagi alasan untuk anak-anak bekerja. Hal ini dikemukakan oleh I1-3: “Kepala RT, RW, pendamping PKH dan LSM merupakan ujung tombak pemerintah dalam mengetahui adanya pekerja anak di wilayah Kota Serang. Masalah pekerja anak ini adalah masalah yang kompleks, melibatkan lintas sektoral baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun LSM harus bersinergi dalam upaya mengapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Kesadaran akan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya pihak Disnakertrans. Masyarakat tentunya bertanggungjawab untuk mencegah eksploitasi anak dalam dunia kerja. Sinergi antara penegak hukum, instansi terkait, misalnya intansi
116
keagamaan, kesehatan, sosial.”( Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan) Sumber daya yang minim dari pihak Disnakertrans diperlengkapi dengan adanya kesinambungan program dan kegiatan serta solisi dari pihak dinas lainnya. Pembagian tugas dan fungsi yang tepat membantu tercapainya penghapusan pekerja anak. Seperti halnya validasi data yang dilakukan Disnakertrans bersama dengan para pendamping PKH yang dalam hal ini berkaitan langsung dengan masyarakat kurang mampu. Pendataan yang dilakukan pendamping PKH dapat membantu pihak Disnakertrans agar bisa memperoleh data dan informasi lebih luas seputar pekerja anak yang mungkin tidak didapat dari pengawasan di perusahaan maupun pabrik. Berbagai program dibuat oleh Disnakertrans dalam upaya mengurangi pekerja anak, mulai dari pendataan, pembentukan Komite Aksi Daerah, sosialisasi, sampai kepada rencana penarikan pekerja anak. Hal ini dijelaskan oleh I1-3 sebagai berikut: “Disnakertrans bekerjasama dengan pendamping PKH yang bertugas memvalidasi data pekerja anak yang memang bersungguh-sungguh untuk mau dibina dan dididik serta ditindaklanjuti oleh pihak Disnakertrans. Pendataan pekerja anak di 6 kecamatan di wilayah Kota Serang, pembentuk Komite Aksi Daerah dalam rangka Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, kemudian sosialisasi kepada perusahaan dan masyarakat tentang Penghapusan Pekerja Anak, membuat atau menyusun Rencana Aksi Daerah tentang Penghapusan Pekerja Anak, dan mulai bulan Mei 2015 akan dilaksanakan Program Penghapusan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan yang menarik 60 pekerja anak di Kota Serang.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 15 April 2015 pukul 09.00 WIB, Disnakertrans Kota Serang) Tindakan untuk mencapai target dan sasaran dari peraturan merupakan hal yang tidak mudah. Standar yang ditetapkan dalam UU terkait persoalan pekerja
117
anak ini diakui oleh pihak Disnakertrans tidak mudah dikerjakan, karena memang persoalan pekerja anak ini merupakan kumpulan permasalahan yang tidak bisa begitu saja secara singkat ditindaklanjuti. Kesiapan yang matang diperlukan agar tindakan yang diberikan tidak justru menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan menimbulkan kesan pemerintah tidak mempedulikan kebutuhan masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh I1-4 dalam pengalamannya mengawasi pekerja anak di Kota Serang: “Kalau pekerja anak sendiri kan menurut Undang-undang ya harusnya memang dicabut dan ditarik. Namun ya penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja. Karena itu butuh yang namanya koordinasi dengan berbagai instansi yang terkait. Karena memang waktu ditarik dalam pekerjaan, masih ada permasalahan ekonomi keluarga yang masih harus dibenahi agar anak tidak kembali bekerja. Biasanya ada pembinaan dulu yang dilakukan jadinya tidak langsung ditarik dari perusahaan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Mengingat bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya pekerja anak adalah masyarakat tidak mengenali dampak besar negatif yang ditimbulkan bagi masa depan pekerja anak, maka perlu Disnakertrans secara aktif terjun dalam lingkungan masyarakat sekitar pabrik yang mempekerjakan pekerja anak. Karena berdasar hasil wawancara yang ada menunjukkan masyarakat sebenarnya mau untuk ikut serta mendukung pemerintah mencegah pekerja anak, hanya saja masyarakat masih banyak yang tidak dibekali pengetahuan yang cukup mengenai larangan dan sanksi tegas dalam UU terkait hal ini. Penting bahwa Disnakertrans
118
bukan hanya mengawasi dan membina pabrik atau perusahaan, tapi juga masyarakat sekitar, seperti apa yang disampaikan oleh I2-2: “Keterbukaan kepada masyarakat dan sosialisasi tentang pekerja anak. Jadi tidak hanya perusahaan yang diberitahu, tapi tokoh masyarakat juga dilibatkan untuk mengawasi, karena kita yang berinteraksi aktif dengan mereka. Selain itu juga bantuan yang cukup dan pemberdayaan masyarakat supaya anak-anak bisa keluar dari budaya bekerja di usia sekolah.”(Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB, wilayah Karundang) Pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi kunci penting agar tidak semakin banyak anak yang terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi yang berat dari keluarganya, dan agar seiring kecukupan ekonomi keluarga, anak-anak memiliki
kecukupan materi dan bekal
untuk
bisa bersekolah.
Selain
pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan pemikiran juga merupakan hal yang penting, agar masyarakat tidak terus menerus membiarkan pekerja anak bekerja. Dengan adanya kesadaran mayarakat, akan lebih mudah pemerintah menetapkan larangan dan menegakkan sanksi ketika menemukan pekerja anak. Perbedaan persepsi masyarakat dan pemerintah pun bisa dikikis, sehingga masingmasing saling membantu dan mendukung untuk menghapus pekerja anak dan mengembalikan mereka pada hak-hak mereka. Hal ini yang dijelaskan oleh I2-4: “Perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan pentingnya mengubah mindset masyarakat untuk bisa melihat masa depan, bukan hanya sekedar hidup untuk hari ini. Jadi Disnakertrans perlu memikirkan program yang tidak hanya fokus mengurangi pekerja anak, tapi lebih kepada bagaimana orang tua mereka bisa mencukupi juga kebutuhan
119
anak-anaknya.”(Wawancara dengan Bapak Agus, RT 15, Karundang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.10 WIB) Dalam memberdayakan masyarakat ini, Disnakertrans berkoordinasi dengan pihak P2TP2A, dimana pihak P2TP2A juga sigap membantu ketika adanya kasus kekerasan yang mengorbankan anak. Kasus-kasus yang ditangani oleh P2TP2A ditangani secara komprehensif, melibatkan setiap pihak yang berkaitan sehingga tidak hanya terpaku pada satu pihak. Hal ini disampaikan oleh I3-1: “Untuk di P2TP2A sendiri didirikan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk membentuk P2TP2A dalam membantu korban dan eks korban kekerasan yang sedang marak terjadi di Indonesia ini, baik eksploitasi, KDRT, anak-anak korban perceraian. Kasus yang ditangani bersifat kompherensif, jadi tidak sekedar kasus orang tua yang ditangani, tapi juga anak yang berada dalam keluarga yang berkasus.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB) Pemahaman kondisi anak dan juga kondisi orang tua akan memudahkan kegiatan mediasi dilakukan secara tepat dan tidak sembarangan. Kondisi jiwa si anak yang terlibat dalam masalah, dikhawatirkan dapat menganggu masa depan mereka jika tidak diatasi. Hal ini secara jelas menjadi tanggung jawab pemerintah karena memang secara jelas diatur dalam aturan terkait perlindungan anak. Dengan landasan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya dapat diultimatum pemerintah ketika terus diabaikan, dan orang tua bisa saja kehilangan haknya untuk mengurus anak sehingga sang anak kemudian dipelihara oleh negara. Hal ini dikemukakan oleh I3-1:
120
“Yang dilakukan oleh P2TP2A biasanya lebih ke sifat mediasi untuk menangani permasalahan yang ada. Kemudian dilakukan juga pelayanan bersifat pemulihan terhadap traumatik dari si korban itu sendiri secara khusus pada mentalnya. Karena anak yang tidak dimediasi biasanya akan terbawa ke dalam kehidupannya kemudian dan meniru perilaku orang tua. Anak yang ditelantarkan juga biasanya karena faktor broken home. Maka P2TP2A memberikan ultimatum bagi orang tua dari sang anak untuk bisa mengembalikan kondisi sang anak, mengingat bahwa jelas dalam UU pemerintah wajib untuk menangani anak-anak terlantar, karena itu wajib bagi orang tua mengembalikan dan memperhatikan kondisi anak. Jika tidak, pemerintah wajib mengamankan sang anak dalam panti atau tempat yang aman bagi sang anak. Perjanjian juga diberikan kepada orang tua untuk bisa menjaga sang anak. Jika tidak, maka negara punya kewajiban untuk mengamankan sang anak. Penanganan, pelayanan, sampai pemulihan dan pemberdayaan.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB) Selain P2TP2A, tindak lanjut terhadap pekerja anak juga melibatkan Dinas Pendidikan untuk penanganannya. Anak-anak diberikan fasilitas sekolah gratis agar bisa mengenyam pendidikan dan mempersiapkan masa depan dengan baik melalui Dinas Pendidikan. Meski tidak terkait langsung dengan pekerja anak secara spesifik, pemberian program pendidikan gratis membuka jalan bagi pekerja anak untuk bisa bersekolah walaupun tidak mendapatkan biaya dari orang tua mereka. Hal ini dikemukakan oleh I3-4 : “Dinas Pendidikan tidak mengurusi langsung secara spesifik mengenai pekerja anak, hanya mengurusi anak-anak untuk bisa bersekolah dari jenjang sekolah dasar hingga ke sekolah menengah atas.”(Wawancara dengan Bapak Windy Jadmiko, S.S, Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang, 22 April 2015, pukul 11.00 WIB) Sanksi yang jelas menjadi cara tersendiri bagi Disnakertrans untuk dapat menangani permasalahan ini, supaya tidak sekedar menghabiskan anggaran untuk mengawasi, tapi benar-benar menyiapkan tindakan tepat yang membuat
121
perusahaan tidak lagi mempekerjakan pekerja anak, dan anak-anak bisa kembali bersekolah, serta orang tua mendukung pendidikan sang anak. Efek jera yang ditimbulkan dari sanksi yang tepat juga menjadi pelajaran dan pemahaman yang jelas bahwa pemerintah tidak main-main atas larangan yang dibuat, tapi benarbenar bersungguh dalam cita-citanya untuk menghapuskan pekerja anak di Kota Serang. Hal ini yang disampaikan oleh I2-5: “Ketegasan dari pihak Disnakertrans dalam memberi sanksi bagi mereka yang terlibat mempekerjakan anak sangat perlu. Tidak boleh tumpul dan sekedarnya dalam memberi peringatan, supaya perusahaan bisa jera.”(Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB) Bagaimanapun juga pemerintah memegang wewenang dan tugas dalam mengelola kekayaan negara. Maka jika pemerintah sendiri lunak dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya, akan sulit untuk permasalahan yang ada bisa teratasi. Sebaliknya jika secara efektif pemerintah menggunakan sumber daya yang ada untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan memaksimalkan sumber daya yang ada dan menggunakan wewenang dengan tepat, maka persoalan pekerja anak ini tentu dapat teratasi. Hal ini disampaikan oleh I2-9: “Tentu pemerintah yang memiliki modal dan punya kewenangan untuk mengelola kekayaan negara ini harus memiliki kepedulian yang besar terhadap situasi ini, baik dengan jalan memasukkan mereka kembali ke sekolah ataupun juga pelatihan-pelatihan yang ada.”(Wawancara dengan Badrudin, Pendamping PKH, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.40 WIB) Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan sudah realistis, karena memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang terjadi serta kebutuhan yang ada. Semuanya
122
dapat dilaksanakan dengan tepat ketika pengawasan dilakukan dengan bekerjasama bersama beberapa pihak. Seperti halnya saling membantu pekerjaan dalam satu seksi, maupun juga antar seksi di Disnakertrans dan juga koordinasi lintas sektor dengan beberapa tokoh maupun SKPD. 4.3.5. Dipusatkan pada pengendalian strategik Sistem pengendalian strategik sebaiknya dipusatkan pada bidang yang paling banyak kemungkinan akan terjadi penyimpangan dari standar, atau yang akan menimbulkan kerugian yang paling besar. Selain itu, sistem pengendalian strategik sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan perbaikan dapat dilaksanakan seefektif mungkin. Adapun Disnakertrans dalam upaya menghapus pekerja anak ini berpatokan pada Undang-Undang yang dalam kejelasannya telah mengatur pelarangan untuk anak di bawah umur bekerja. Pada dasarnya UU ini mengatur juga tindakan yang seharusnya dilakukan, yakni mencabut dan menarik pekerja anak dari tempat kerja mereka. Meski demikian jelas diatur, ada kesulitan tersendiri dalam pelaksanaan tindakan ini. Hal ini yang disampaikan oleh I1-4: “Kalau pekerja anak sendiri kan menurut Undang-undang ya harusnya memang dicabut dan ditarik. Namun ya penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Menghadapi hal itu, Disnakertrans berusaha menetapkan target-target yang diperkecil ruangnya dalam mencapai usaha penarikan pekerja anak seperti yang telah ditetapkan Undang-Undang. Salah satunya ialah melalui sosialisasi yang
123
dilakukan kepada masyarakat luas, untuk mengembangkan pandangan dan kesadaran masyarakat akan dampak negatif pekerja anak sebelum akhirnya melakukan tindakan penarikan pekerja anak. Harapannya adalah bisa mencegah dan menanggulangi keberadaan pekerja anak di Kota Serang, seperti yang dikemukakan oleh I1-1: “Sosialisasi yang ada diharapkan jadi momentum untuk mencegah dan menanggulangi pekerja anak di Kota Serang.” (Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan) Dalam melaksanakan setiap tindakan dan program-program, Disnakertrans memiliki target sendiri yang ingin dicapai. Adapun tujuan akhir dari setiap program dan kegiatan yang dilakukan selama ini dan dirancang ke depan ialah terhapusnya pekerja anak di Kota Serang. Artinya, bukan sekedar mengurangi ataupun mencegah, tapi kepada aksi terus menerus sampai tercapai tujuan terhapusnya pekerja anak di wilayah Kota Serang. Hal ini disampaikan oleh I1-2: “Tujuan akhirnya adalah terhapuskannya pekerja anak di Kota Serang.” (Wawancara dengan Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB) Dalam mencapai tujuan besar ini ada tindakan yang harus dengan optimal dikerjakan oleh Disnakertrans demi pencapaian tujuan dan harapan pemerintah. Mengingat hal ini tidak mudah dicapai, sangat dibutuhkan pelibatan pihak-pihak lain yang secara kapasitas dapat membantu Disnakertrans menangani persoalan pekerja anak yang ada, seperti yang disampaikan oleh I1-1:
124
“Tentunya keterlibatan pihak lain sangat membantu tujuan dan harapan pemerintah, mulai dari keluarga, pengusaha dan pemerintah untuk samasama memastikan anak-anak tidak terlibat dalam dunia pekerjaan, demi tercapainya visi Indonesia bebas pekerja anak di tahun 2022.” (Wawancara dengan Bapak DR. H. Toha, M.Pd., Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, pukul 09.30 WIB, RM Surabayan) Mengingat bahwa tindakan yang dilakukan melibatkan cukup banyak pihak, maka Disnakertrans memiliki tugas menjaga koordinasi dengan baik kepada SKPD lainnya. Hal ini sebagai bentuk upaya strategis untuk bisa menangani persoalan pekerja anak, karena tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan ini terkait berbagai faktor yang tidak dapat diselesaikan hanya oleh Disnakertrans. Jika tidak semua pihak bekerja secara optimal, maka akan sulit untuk bisa mencapai terhapuskannya pekerja anak di wilayah Kota Serang. Dengan demikian harapannya adalah pembenahan yang dilakukan dapat dikerjakan dengan utuh bersama-sama, seperti yang disampaikan oleh I1-4: “Karena itu butuh yang namanya koordinasi dengan berbagai instansi yang terkait. Karena memang waktu ditarik dalam pekerjaan, masih ada permasalahan ekonomi keluarga yang masih harus dibenahi agar anak tidak kembali bekerja.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Meski berbagai tindakan dan juga berbagai lintas SKPD dilibatkan, program
pengurangan
pekerja
anak
ini
merupakan
aktivitas
yang
berkesinambungan dan adalah upaya bersama yang menjadi satu. Berbagai bidang masyarakat yang ada semuanya bekerja untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Hal ini dikemukakan oleh I1-2:
125
“Ini terlibat dalam satu aktivitas, berbagai bidang masyarakat, dari pihak agama, perwakilan masyarakat, kepolisian, semuanya sama-sama bekerja.”(Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Pekerja anak ini merupakan bentuk permasalahan yang cukup luas. Karena itu penting menetapkan target utama yang harus diperhatikan secara seksama. Disnakertrans sendiri sampai saat ini menargetkan pengawasan terhadap sektor formal yakni mereka yang bekerja di tempat kerja. Meski demikian, kenyataan target di home industry tidak bisa diabaikan begitu saja karena memang salah satu usaha yang banyak mempekerjakan pekerja anak adalah usaha home industry. Hal ini dikemukakan oleh I1-2: “Seringkali seolah-olah pekerja anak adalah mereka yang bekerja di sektor formal, karena urusannya dengan pengawasan pekerja anak, kita memiliki ruang lingkup, dimana ruang lingkupnya adalah tempat kerja. Tempat kerja itu ya dimana ada usaha, dimana ada pekerja anak, ada tenaga yang dipekerjakan. Karena memang disini ada home industry yang memang bisa menyerap lapangan pekerjaan.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB) Keterbatasan Disnakertrans dalam memberikan pengawasan kepada setiap tempat kerja membuat Disnakertrans juga memprioritaskan beberapa perusahaan ketika akan melakukan pengawasan. Salah satu indikator pemilihan target perusahaan diawasi sejauh ini adalah ketika ditemukan adanya indikasi maupun laporan penyimpangan, sebagai langkah yang diambil untuk bisa memperbaiki pada bagian yang memang mengalami penyimpangan. Hal ini dikemukakan oleh I1-4:
126
“Kecuali kalau memang ada tindakan dari penyimpangan baru kita turun langsung ke perusahaan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Kesulitan yang dialami oleh Disnakertrans adalah bahwa masyarakat sekitar masih banyak yang belum memahami dampak negatif pekerja anak di waktu mendatang. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat sekitar pekerja anak tidak bermasalah akan kehadiran pekerja anak. Kondisi ini kerap terjadi karena adanya kehadiran pabrik memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan lingkungan masyarakat sekitar. Kemudian ketika dikaitkan dengan persoalan ekonomi, masyarakat berpihak kepada pihak pabrik karena pihak pabrik dirasa telah memberikan sumbangsih bagi masyarakat yang tidak didapat dari pihak lain, seperti apa yang disampaikan oleh pemilik pabrik yang mempekerjakan pekerja anak: “Sudah, tapi masyarakat sendiri disini tidak bermasalah, karena juga dengan keberadaan usaha ini ada menolong warung-warung makan jadi dapat pemasukan. Sampai saat ini tujuan saya untuk mencari nafkah dan mereka yang bekerja juga begitu. Jadi ya sistemnya semua saling bantu. Misalnya juga masyarakat punya kegiatan bisa saya juga bantu beberapa persennya. Masyarakat terbukalah intinya sama keberadaan perusahaan, karena juga memang ketika ada warga yang susah, sebisa kita membantu mereka, jadi kita juga tidak tutup mata sama kondisi lingkungan sekitar. Selain itu mereka juga kita jaga kesehatannya, ya walaupun belum bisa penuhi utuh aturan negara, tapi apa yang bisa kita kerjakan ya kita kerjakan. Satu tahap demi tahap kita kerjakan yang bisa untuk tetap kerjakan sesuai prosedur. Meski dimaklumin sebagai home industry tapi kita lakukan bertahap kerjakan dengan baik.” (Wawancara dengan Bapak JN, Pemilik Pabrik, Pabrik Kue, 23 April 2015 pukul 14.20 WIB) Berdasarkan hasil wawancara dari berbagai informan dapat diketahui bahwa meski keberadaan pekerja anak di Kota Serang masih lebih banyak
127
didominasi oleh pekerja anak informal, namun pengawasan yang dilakukan sampai saat ini masih mengarah kepada pekerja anak formal. Untuk mengawasi pekerja anak yang sudah terdata oleh Disnakertrans sendiri berpacu pada UndangUndang yang secara jelas mengatur persoalan pekerja anak ini. Secara jelas, tujuan yang diharapkan ialah terhapusnya pekerja anak di Kota Serang melalui berbagai program dan kegiatan yang dilakukan. Koordinasi bersama berbagai pihak juga dilakukan dalam rangka menyelesaikan permasalahan sampai ke akar permasalahan. Namun masih banyaknya pekerja anak yang belum terdata dan terawasi membuat penyimpangan terkait pekerja anak di lapangan belum terdeteksi secara utuh dan sulit untuk diselesaikan. 4.3.6. Terkoordinasi dengan arus kerja organisasi Informasi pengendalian perlu untuk dikoordinasikan dengan arus pekerjaan di seluruh organisasi karena dua alasan. Pertama, setiap langkah dalam proses pekerjaan dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seluruh operasi. Kedua, informasi pengendalian harus sampai pada semua orang yang perlu untuk menerimanya. Dalam menangani persoalan pekerja anak, Disnakertrans secara khusus memiliki bidang Pembinaan dan Pengawasan yang secara tugas dan fungsi memegang peranan untuk mengawasi keberadaan pekerja anak di Kota Serang. Adapun jumlah SDM di dalamnya berjumlah 8 orang dengan dibagi lagi per seksi. Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak adalah satu dari beberapa seksi yang kemudian khusus menangani dan mengawasi pekerja anak, dengan jumlah 2
128
orang dalam satu seksi. Keterbatasan jumlah pegawai ini yang kemudian diminimalisir
oleh
Disnakertrans
dengan
melakukan
sosialisasi
kepada
masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, agar kekurangan pengawas yang ada bisa tertutupi dengan pengawasan yang diberikan masyarakat terhadap pekerja anak. Hal ini disampaikan oleh I1-2: “Di tempat kami bidang khusus pengawasan hanya punya 8 orang dengan bidang berbeda dan khusus seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak hanya ada dua orang, ini menjadi masalah jika kemudian kita semua mengandalkan pemerintah yang kemudian semua harus bisa menjangkau. Maka dari itu melalui sosialisasi yang diadakan, diharapkan masyarakat bisa mengerti akan program penghapusan pekerja anak dan minimal bisa menginfokan ketika menemukan adanya pekerja anak di sekitar wilayahnya. Nantinya Disnakertrans bisa berkoordinasi dengan dinas terkait untuk mencarikan solusi dan juga tetap menyelamatkan anak-anak yang terlibat dalam dunia kerja. Selanjutnya upaya yang dilakukan adalah menarik anak dari tempat kerja, kemudian kita transformasikan dan kita dampingi untuk masuk kembali dalam dunia sekolah. Orang tua juga akan diberi bantuan sehingga tidak lagi ada alasan bagi anak untuk berhenti dari sekolah.”(Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.20 WIB) Kesinambungan antara berbagai seksi juga menjadi perkara penting ketika menginginkan adanya koordinasi yang kuat dan keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Kebijakan yang ada dan ditetapkan tentunya berasal dari kondisi lapangan dan dipelajari serta dicarikan solusinya. Disnakertrans sendiri mengalami kelemahan dalam hal ini, dimana pihak pengawas Disnakertrans cukup banyak kurang mengerti kebijakan spesifik yang dikerjakan seputar pekerja anak, dengan berpandangan bahwa soal kebijakan adalah soal dari PNS dan juga bidang kepala, dan bukan pengawas, seperti yang dijelaskan oleh I1-4:
129
“Untuk masalah kebijakan sendiri itu biasanya yang tahu adalah bidang kepala dan bukan pengawas. Kalau untuk pengawas, saya lebih bertugas mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan. Kebetulan kalau kami di bidang pembinaan dan pengawasan itu ada 2 pengawas, saya dan bapak kepala bidang untuk mengawasi 512 perusahaan di Kota Serang.”( Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Koordinasi merupakan kunci penting karena seluruh bidang di Disnakertrans memiliki tugas dan fungsi yang terkait dengan tempat kerja. Dari berbagai program dan kegiatan, akan menuju kembali pada perputaran tempat kerja maupun tenaga kerja di wilayah Kota Serang. Maka dari itu, diperlukan koordinasi yang baik agar jangan sampai pengawasan atau pembinaan dilakukan dari berbagai seksi kepada suatu perusahaan secara berulang dan menyebabkan pemborosan. Hal ini disampaikan oleh I1-4: “Kalau untuk sumber daya kan memang tidak cukup untuk melakukan pengawasan ke perusahaan-perusahaan, cuma ya ada trik-triknya, misalnya kita bikin pembinaan atau melakukan door to door perda dan aturan-aturan, atau mengundang HRDnya untuk hadir ke tempat kita. Kecuali kalau memang ada tindakan dari penyimpangan baru kita turun langsung ke perusahaan. Apalagi kan ada bidang lain juga di Disnakertrans, jadi jangan sampai bentrok juga antar programnya satu sama lain.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Kontradiksi antara idealisme peraturan dengan kenyataan lapangan juga membuat sulit pengawasan yang dilakukan Disnakertrans terhadap pekerja anak di Kota Serang. Pekerja anak menghadapi perkara dan tekanan yang berat bukan hanya sekedar karena pembiayaan sekolah, tapi juga beberapa faktor lainnya. Untuk itu, masalah dan persoalan tidak dapat hanya sekedar membuat mereka
130
keluar dari tempat mereka bekerja, tapi juga memperbaiki kehidupan dan pola pikir mereka serta keluarga mereka. Untuk melakukan semua hal tersebut, diadakanlah koordinasi lintas sektoral guna mengefektifkan berbagai program kebutuhan pekerja anak, mulai dari program sekolah gratis, program keluarga harapan, hingga kepada bantuan-bantuan lain dan pendampingan khusus, seperti yang disampaikan oleh I1-2: “Hal ini tentunya kontradiksi dengan aturan pemerintah yang ada, bahwa di Kota Serang sebenarnya sudah diadakan pendidikan gratis sampai dengan jenjang SMA (wajib belajar 12 tahun) namun masih banyak didapati anak yang tidak bersekolah. Banyak yang bilang karena walaupun sekolahnya gratis tapi buku pelajaran bayar, uang masuk juga harus bayar. Jadi ini merupakan urusan bersama, tidak bisa Disnakertrans mengurusi masalah pekerja anak ini sendirian. Untuk itulah dibentuk Komite Aksi Daerah yakni sebuah lembaga yang bertujuan untuk mengapuskan pekerja anak dan bentuk pekerjaan terburuk anak yang terdiri dari lintas sektoral, mulai dari Disnakertrans, Dinas Sosial, Pemberdayaan masyarakat, dan kemudian juga Dinas Kesehatan. Sekolah gratis, program keluarga harapan, dikasih bantuan bahkan juga pendampingan, untuk kesehatan, pendidikan semua diberikan. Pemerintahkan sebenarnya hanya sebagai motivator bukan eksekutor. Bagaimanapun pemerintah punya program dan niat baik, kalau dari masyarakat sendiri tidak mau ya tidak akan bisa kita cegah pekerja anak ini muncul. Pemerintah sebagai fasilitator tapi tidak bisa semua hal dijangkau.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Dalam pelaksanaan program dan kegiatan tersebut, Disnakertrans menyadari pentingnya memiliki data dan informasi lengkap dari pihak yang diawasi. Keterbatasan Disnakertrans dalam memperoleh hal tersebut kemudian digantikan dengan upaya koordinasi bersama pendamping Program Keluarga Harapan, dimana pihak ini memiliki kedekatan dengan para keluarga kurang
131
mampu. Keberlangsungan koordinasi juga tidak hanya terkait dengan tindakan yang dilakukan setelah menemukan masalah, tapi mulai dari awal mengkaji masalah, menghadapi masalah sampai kepada menagani permasalahan yang ada. Hal ini dijelaskan oleh I1-3: “Di Disnakertrans ada yang namanya juga kerjasama dengan pendamping PKH untuk penghapusan pekerja anak. Para pendamping PKH ini yang memiliki data orang tua yang anaknya tidak sekolah dan bekerja sehingga juga menjadi tidak sekolah. Kepada anak-anak inilah akan dilakukan pendampingan dan kemudian anak-anak tersebut ditarik dari tempat kerja dan kemudian disiapkan untuk dimasukkan ke dalam dunia pendidikan, entah ke pesantren, sekolah umum, atau juga kejar paket. Ada juga mereka yang dilatih keterampilannya sesuai dengan minat dan bakatnya sehingga kemudian dia bisa mengembangkan bakatnya dan tidak perlu bekerja yang sampai menghabiskan waktu sekolah mereka.”(Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 20 November 2014, pukul 09.40 WIB di Kantor Disnakertrans) Seperti yang diungkapkan sebelumnya, Disnakertrans terus berupaya mensosialisasikan kepada masyarakat perkara mengenai pekerja anak untuk bisa bekerjasama
bersama
masyarakat
melancarkan
program
dan
kegiatan
Disnakertrans. Meski demikian, masih banyak pihak masyarakat yang terkendala melakukan pengawasan akibat kurang memahami persoalan pekerja anak, maupun juga karena tidak pernah dilibatkan soal pendataan ataupun pengawasan terkait pekerja anak oleh Disnakertrans. Hal ini yang menjadi sebab mengapa masyarakat pun belum terlibat aktif dalam pengawasan terkait pekerja anak, seperti apa yang disampaikan oleh I2-1: “Masih kurang, belum tau apa-apa juga tentang hal-hal seperti ini.” (Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB)
132
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh I2-2: “Kurang sekali. Tidak pernah ditanya juga soal pabrik dan tidak pernah diberitahu bahwa hal tersebut termasuk hal yang dilarang.”(Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB, wilayah Karundang) Bagaimanapun juga keterlibatan dari banyak pihak yang disertai koordinasi yang baik akan membantu terlaksananya program dan kegiatan dengan jauh lebih efektif dan tepat sasaran. Banyak pihak yang terlibat membuat tidak mudah bagi program dapat berjalan dengan baik, karena itu Disnakertrans tetap berfungsi sebagai yang utama dalam mengkoordinir masyarakat terkait pengawasan pekerja anak guna menjaga kegiatan bisa tetap berjalan sesuai rencana. Tidak hanya kepada SKPD-SKPD lain, tapi juga kepada masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat yang dapat membantu Disnakertrans dalam melakukan pengawasan terhadap pekerja anak. Ketidaktahuan masyarakat mengenai hal ini sangat disayangkan karena sebagai pihak yang seharusnya bisa memberikan manfaat lebih dan membantu pengawasan justru menjadi pasif. Hal ini diungkapkan oleh I2-5: “Masih kurang, karena belum melibatkan setiap pihak dengan maksimal. Masyarakat yang seharusnya bisa untuk mengawasi belum dimanfaatkan dengan tepat keberadaannya. Ya karena memang belum pernah juga ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan sampai saat ini.”(Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB) Sosialisasi merupakan cara efektif yang dilakukan sebagai usaha mencegah semakin bertambahnya pekerja anak dengan melibatkan masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat di sekitar
133
lingkungan pekerja anak mengenali dengan rinci kondisi pekerja anak, dan hal ini sangat penting untuk ditindaklanjuti oleh Disnakertrans agar informasi yang ada tidak sekedar lewat begitu saja. Hal ini yang diungkapkan oleh I2-3: “Sudah cukup baik dengan adakan sosialisasi ke tokoh masyarakat, yang paling penting data dari masyarakat betul-betul di follow up, jangan cuma mengandalkan data pabrik, karena pabrik kan bisa saja tutup-tutupi.” (Wawancara dengan Bapak Nasarudin, Ketua RT 01/11 Cipare, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.00 WIB) Kekhawatiran masyarakat akan kemungkinan program pemerintah yang bisa saja berhenti di waktu tertentu sementara anak-anak telah berhenti bekerja menjadi suatu hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah. Apatisme seperti ini memang tidak mudah diperbaiki, karena itu para pendamping PKH yang telah banyak mengenali kondisi masyarakat bekerja sama dengan Disnakertrans agar bisa mengenali lebih dalam dan memberdayakan masyarakat yang ada, baik secara ekonomi maupun juga pandangan. Tidak mudah bisa menyelesaikan dan mengubah apatisme masyarakat, untuk itu selain kedekatan yang diciptakan, keberlangsungan program yang dikerjakan sangat memegang peranan penting demi menjaga masyarakat tidak menjadi kembali apatis kepada pemerintah. Hal ini dikemukakan oleh I2-9: “Para pendamping PKH sangat siap untuk bersama-sama membantu Disnaker dalam menolong anak-anak yang kehilangan hak belajarnya. Tugas kita ya untuk tetap memberdayakan mereka sesuai dengan usia mereka, namun memang kadang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pembinaan ini akan terus menerus berjalan atau hanya sekedar lip service yang memang dilaksanakan sekali hanya untuk memasukkan mereka ke sekolah saja. Karena yang dikhawatirkan masyarakat itu salah satunya ketika mereka sudah masuk sekolah, pada awalnya gratis dan diberikan seragam, buku, tapi kelanjutannya hilang. Jadi yang paling diharapkan
134
sebenarnya adalah keberlangsungan program sampai akhir sehingga masyarakat memang benar-benar difasilitasi pendidikan gratis sampai dengan 9 ataupun 12 tahun.” (Wawancara dengan Badrudin, Pendamping PKH, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.40 WIB) Disnakertrans juga berbagi peran dan fungsi dalam penanganan persoalan pekerja anak. Beberapa SKPD dilibatkan dalam upaya pengurangan pekerja anak, seperti Dinas Sosial, P2TP2A, BMPKB, maupun juga Dinas Pendidikan. Dinas sosial turut serta dalam memperhatikan kebutuhan sosial para pekerja anak maupun keluarga, P2TP2A juga berperan aktif memperbaiki mental maupun psikis sang anak, serta berperan memberikan data dan informasi ketika menemukan
adanya
pekerja
anak.
Dinas
pendidikan
juga
bertugas
menindaklanjuti anak yang telah dikeluarkan dari tempat kerja untuk kembali dalam dunia pendidikan baik formal maupun non formal, seperti yang disampaikan oleh I3-1: “Koordinasi dengan Dinas Sosial dalam menangani anak-anak terlantar, maupun juga anak-anak berperkara, serta anak-anak korban eksploitasi, baik yang berada di jalanan maupun juga anak penyandang disabilitas, seperti tuna rungu, autis dan berbagai anak berkebutuhan khusus. Untuk anak-anak seperti ini Dinas Sosial difungsikan. Urusan pekerjaan ada di Disnakertrans, urusan pemberdayaan anak eks korban ada di P2TP2A, urusan penanganan dan pemberdayaan misalnya dikerjakan oleh Dinas Sosial untuk anak yang dibantu bisa koordinasi P2TP2A memberikan data dan akomodir untuk anak bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Koordinasi dengan Disnakertrans dalam Rencana Aksi Daerah dengan mulai mengumpulkan data-data pekerja anak di bawah umur, terkait juga dengan Dinas Pendidikan untuk bisa diberikan program paket kepada mereka yang terlibat dalam dunia kerja karena tidak adanya kemampuan ekonomi untuk bersekolah. BMPKB memfasilitasi sang anak untuk bisa tetap memperoleh hak anak, sehingga jika tidak dapat orang tua memenuhi hak anak, pemerintah wajib mengambil alih anak tersebut.” (Wawancara dengan Ibu Lilis, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak, Kantor P2TP2A, 14 April 2015 pukul 10.10 WIB)
135
Hal ini disampaikan juga oleh I3-4: “Fungsi dari dinas pendidikan adalah menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan di wilayah Serang, jadi tidak mengkaitkan dengan bagian lain. Nah kalo terkait pekerja anak memang tetap mereka yang bekerja dan jadi mengganggu waktu sekolah kita wajib menegur dan bekerja sama dengan Disnakertrans untuk memberikan semacam penyuluhan bagi pekerja anak.” (Wawancara dengan Bapak Windy Jadmiko, S.S, Bagian Program dan Evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Serang, 22 April 2015, pukul 11.00 WIB) Terkait hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa arus kerja organisasi yang ditetapkan Disnakertrans sebagai upaya mengurangi pekerja anak sudah baik, mulai dari antar bidang Disnakertrans yang mengupayakan untuk berbagai program tidak bertabrakan terhadap perusahaan tertentu. Kemudian juga program-program yang dibuat sebagai usaha untuk menyatukan berbagai tindakan dalam satu upaya bagi pengurangan pekerja anak dengan melibatkan berbagai dinas. Sosialisasi juga dikerjakan untuk bisa mengajak masyarakat bergabung ikut serta dalam melakukan pengawasan terhadap pekerja anak. 4.3.7. Objektif dan Kompherensif Informasi dalam suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin objektif sistem pengendalian, makin besar kemungkinannya bahwa individu dengan sadar dan efektif dalam merespons informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya. Sistem informasi yang sulit dipahami akan mengakibatkan bias yang tidak perlu dan kebingungan atau frustasi di antara para pegawai.
136
Pengawasan kepada perusahaan yang dilakukan oleh Disnakertrans dilaksanakan dengan perencanaan yang dibuat dalam rencana kerja setahun. Penetapan pengawasannya dilakukan berdasarkan apa yang diperintahkan oleh kepala dinas sebagai analisa atas perusahaan yang diprioritaskan untuk diadakan pengawasan. Pengawasan kepada perusahaan tertentu juga dilakukan ketika mendapatkan laporan dari masyarakat ketika ditemukan adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan perusahaan, seperti yang dijelaskan oleh I1-4: “Kalau kita mengawasi ke perusahaan itu ada namanya rencana kerja, masukan dari pimpinan atau yang diprioritaskan oleh pimpinan kemana, atau misalnya ada pengaduan dari masyarakat itu yang kita dahulukan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Pemahaman akan sistem pengawasan sebagai landasan ketika melakukan pengawasan sangat penting agar tidak salah dan menyimpang ketika melakukan tindakan. Pengawas dari Disnakertrans sendiri masih kurang mengenali program dari bidangnya terkait tindak lanjut maupun pencegahan yang dilakukan seputar pekerja anak. Anggapan bahwa masalah kebijakan merupakan tugas dari bidang kepala, dan pengawas hanya bertugas mengawasi ke lapangan, mempelajari persoalan sesuai dasar hukum, dan menindaklanjuti ketika ada penyimpangan mempersempit pemahaman dari pengawas akan dunia pekerja anak dan cara efektif mengatasi pekerja anak itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh I1-4: “Untuk masalah kebijakan sendiri itu biasanya yang tahu adalah bidang kepala dan bukan pengawas. Kalau untuk pengawas, saya lebih bertugas mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan. Kebetulan kalau kami di bidang pembinaan dan pengawasan itu ada 2
137
pengawas, saya dan bapak kepala bidang untuk mengawasi 512 perusahaan di Kota Serang. Dalam satu bulan itu 6 kunjungan perusahaan idealnya. Tapi ya kadang ada juga yang tertunda, jadi dimasukkan bulan berikutnya dalam pengawasannya. Kalau kesulitan untuk mengawasi ke perusahaan sejauh ini tidak ada, karena memang kan kita resmi punya surat untuk mengawasi, jadi jelas saya sudah kirim surat sebelum melakukan pengawasan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Anggapan masyarakat yang muncul ialah bahwa belum objektifnya pengawasan yang dilakukan Disnakertrans terhadap permasalahan pekerja anak ini. Ada beberapa indikasi yang disampaikan sehingga munculnya pandangan belum objektifnya pengawasan yang dilakukan. Salah satunya ialah dilihat dari masih terpakunya data pekerja anak di Disnakertrans yang berasal dari pabrik yang mempekerjakan anak. Belum adanya data lain dari masyarakat maupun temuan lapangan langsung selain dari pabrik membuat pengawasan kurang objektif karena kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan data dari pabrik, seperti yang disampaikan oleh I2-3: “Selama Disnakertrans terpaku pada data yang didapat dari pabrik, akan sulit untuk objektif menangani karena memang permasalahan utama dan faktor penyebab pekerja anak muncul tidak akan sesuai kondisi kenyataan di lapangan.” (Wawancara dengan Bapak Nasarudin, Ketua RT 01/11 Cipare, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.00 WIB) Bermunculannya pabrik-pabrik yang dengan mudah beroperasi dan mempekerjakan pekerja anak juga menjadi salah satu indikator penilaian masyarakat akan kurang objektifnya pengawasan yang dilakukan Disnakertrans. Meski pabrik baru yang beroperasi tidak ada lagi yang mempekerjakan pekerja anak, namun di masa-masa menuju hari raya masih banyak pabrik yang beroperasi
138
dan dengan mudah mempekerjakan pekerja anak yang berasal dari berbagai kampung, seperti yang disampaikan oleh I2-1: “Belum, karena masih ada pabrik-pabrik yang tetap bebas beroperasi, apalagi saat seperti menjelang lebaran. Masih banyak pekerja anak yang dipekerjakan dalam pabrik tersebut dan rata-rata mereka meninggalkan sekolah karena bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore.” (Wawancara dengan Ibu SR, Ketua RT 08, Kelurahan Unyur, pukul 13.15 WIB) Selain data yang kemungkinan tidak sesuai dengan kondisi nyata, pengawasan yang dilakukan hanya dalam lingkup tempat kerja membuat Disnakertrans tidak dapat mengawasi dan menangani permasalahan pekerjapekerja di lingkup informal. Tindak lanjut terhadap mereka yang telah diawasi dalam pekerjaan formal juga penting, karena tanpa tindak lanjut setelah pengawasan maka hanya akan memperpanjang daftar pekerja anak dan pabrikpabrik baru. Hal ini timbul karena tak adanya keseganan dari pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, seperti yang diungkapkan oleh I2-2: “Kalau dilihat sih belum, karena mereka yang kerja serabutan sampai saat ini masih belum terawasi, yang di perusahaan juga belum ada yang ditarik dari pekerjaannya. Baru paling sekedar peringatan saja.” (Wawancara dengan Ibu JJ, Ketua RT 03, 23 April 2015 pukul 16.15 WIB, wilayah Karundang) Ketegasan sangat dibutuhkan untuk bisa melakukan pengawasan secara objektif dan tanpa memandang bulu. Pelarangan pekerja anak merupakan sebuah hal yang jelas dan harus terus ditegakkan meski sulit dalam penegakkannya. Dengan demikian barulah dapat dikatakan bahwa pengawasan berlangsung dengan objektif, seperti yang disampaikan oleh I2-5:
139
“Baru dapat dikatakan objektif jika memang tegas sanksi yang diberikan kepada mereka yang mempekerjakan anak. Jadi tidak hanya sekedar mengawasi tanpa tindakan lanjut. Pemerintah harus tegas, pelarangan jelas diatur Undang-Undang, jadi tidak ada alasan untuk mentoleransi sesuatu yang jelas dilarang. Karena memang secara hukum pun perlindungan anak jelas diatur dan memiliki sanksi yang jelas.” (Wawancara dengan Mochtar Karim, RW 02, Advokat, di RM Surabayan, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.35 WIB) Pemahaman
informasi
oleh
pengawas
di
Bidang
Pengawasan
Disnakertrans masih dianggap kurang, mengingat bahwa masih belum dipahaminya apa saja program dan kegiatan dari seksinya, yaitu Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak akan kegiatan untuk pengurangan pekerja anak. Hal ini menggambarkan bahwa kurangnya pemahaman akan tugas dan fungsi pegawai lain dalam menjalankan program bersama. Padahal, seharusnya sistem pengawasan
dipahami
dan
dianggap
objektif
oleh
individu
yang
menggunakannya. Seperti yang dikemukakan oleh para masyarakat, pengawasan Disnakertrans dinilai masih belum objektif. Hal ini dilihat dari belum adanya tindakan dan sanksi yang diberikan kepada pabrik yang mempekerjakan pekerja anak, data yang masih banyak terpaku pada perusahaan, dan kurang dilibatkannya masyarakat dalam mengawasi pekerja anak yang ada di Kota Serang. 4.3.8. Fleksibel Fleksibilitas merupakan kemampuan sistem pengendalian beradaptasi dengan berbagai perubahan. Sebaik apa pun kita merencanakan, menyusun standar pengendalian dan segala proses pelaksanaannya, semua itu baru pada tahap prediksi dengan asumsi faktor-faktor yang berhubungan dengan rencana dan pengendalian tidak mengalami perubahan atau sama dengan saat kita
140
menyusunnya. Namun, sulit sekali menemukan situasi yang selalu sama karena yang ada adalah perubahan. Jadi, sistem pengendalian dikatakan efektif bila mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, tetapi tetap berfungsi sebagai alat kendali untuk menjamin tercapainya tujuan. Pengawasan dilakukan menyesuaikan dengan standar yang telah bersamasama dianalisis dan disepakati dalam rencana kerja. Dalam pelaksanaannya, ditemukan beberapa kendala dalam mengawasi jumlah tempat kerja yang cukup banyak dengan SDM Disnakertrans yang terbatas. Karena itu untuk menjaga pengawasan tetap berlangsung dengan baik, Disnakertrans mengadakan pembinaan yang memungkinkan beberapa tempat kerja bisa bersama-sama diawasi dalam satu waktu, dan juga pengawas bisa fleksibel dalam melaksanakan tugas dan kegiatan selain pengawasan. Hal ini disampaikan oleh I1-4: “Dalam satu bulan itu 6 kunjungan perusahaan idealnya. Tapi ya kadang ada juga yang tertunda, jadi dimasukkan bulan berikutnya dalam pengawasannya. Kalo untuk rencana kerja ya biasanya analisis kondisi kemudian ada rapat bersama pimpinan untuk tentukan rencana kerja yang akan dilakukan. Yang jelas semua rutin dilakukan, kecuali kalau ada kegiatan pemkot yang memang bentrok. Kita disini kan satu bidang ada 6 orang yang PNS, nah pengawas juga bertanggung jawab melaksanakan kegiatan yang disuruh oleh para pejabat, jadi akan bagi waktu juga dalam melakukan pengawasan dan program kegiatan lain. Kalau untuk sumber daya kan memang tidak cukup untuk melakukan pengawasan ke perusahaan-perusahaan, cuma ya ada trik-triknya, misalnya kita bikin pembinaan atau melakukan door to door perda dan aturan-aturan, atau mengundang HRDnya untuk hadir ke tempat kita. Kecuali kalau memang ada tindakan dari penyimpangan baru kita turun langsung ke perusahaan.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Pemetaan permasalahan oleh Disnakertrans dilakukan tidak dapat hanya sekedar berdasar pada formalitas peraturan tapi juga pada kondisi nyata di
141
lapangan, seperti halnya keberadaan pekerja informal yang tidak bekerja di tempat kerja. Hal ini tentunya memerlukan perhatian khusus dan tindak lanjut pemerintah, sehingga tidak bisa Disnakertrans menutup mata untuk tidak memperhatikan pekerja anak ini hanya karena mereka tidak bekerja di pabrik. Hal ini disampaikan oleh I1-2: “Seringkali seolah-olah pekerja anak adalah mereka yang bekerja di sektor formal, namun karena urusannya dengan pengawasan pekerja anak, kita memiliki ruang lingkup dimana ruang lingkupnya adalah tempat kerja. Tempat kerja itu ya dimana ada usaha, dimana ada pekerja anak, ada tenaga yang dipekerjakan. Tetapi realitanya ketika di sektor formal justru tidak ditemukan adanya pekerja anak seperti di pusat-pusat perbelanjaan terkenal karena memang perusahaan sudah mengetahui aturannya. Ketika di sektor informal, seperti UMKM misalnya pabrik roti dan kue kering disitu justru biasanya ada pekerja anak. Tentunya ini menjadi hal yang harus kita petakan, urusan pekerja anak adalah urusan kita semua, karena kalau bicara batasan, di Disnakertrans hanya berurusan dengan pekerja anak yang ada di perusahaan, namun realitanya para pekerja anak juga ada dalam sektor informal, seperti pembantu rumah tangga, atau yang membantu orang tuanya.” (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Pendataan seputar data dan kondisi pekerja anak tentu tidak bisa sekedar mengandalkan
pendataan
dari
Disnakertrans.
Karena
itu,
Disnakertrans
memanfaatkan keberadaan pendamping PKH agar bisa memberikan data ketika menemukan informasi mengenai pekerja anak sehingga bisa mendapatkan kondisi dari masyarakat. Untuk pengawasan pekerja anak sendiri Disnakertrans sampai saat ini melakukan juga pengawasan langsung dengan mendatangi tempat-tempat kerja di wilayah Kota Serang, seperti yang disampaikan oleh I1-3:
142
“Tahun 2014 kami melakukan pendataan ke perusahaan sebanyak 180 perusahaan dan juga setiap home industry yang ada di wilayah Kota Serang, didapat pekerja anak itu sebanyak 69 orang. Selanjutnya disamping mendata dan mengupdate data terbaru, kami juga bekerjasama dengan pendamping PKH untuk menyampaikan pekerjaan-pekerjaan anak yang ada di lingkungan pendampingannya. Jadi kalau untuk data-data pekerja anak di home industry atau di tempat lain itu kami yang mendatangi tempat-tempat kerja.” (Wawancara dengan Ibu Uswatun, Kepala Seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, 24 Februari 2015, pukul 10.10 WIB, RM Surabayan) Pengawasan Disnakertrans belum dikatakan fleksibel dimana pelibatan tokoh masyarakat masih minim, padahal tokoh masyarakat juga merupakan bagian penting yang mengenali kondisi masyarakat. Selain itu, pengawasan yang masih dibatasi dalam lingkup tempat kerja mempersempit pengawasan yang bisa dilakukan oleh Disnakertrans, dan kurangnya acuan untuk mengawasi pekerja yang bekerja tidak dalam naungan tempat kerja, seperti yang dikemukakan oleh I23:
“Pengawasannya belum fleksibel karena pusat pengawasan masih ke wilayah-wilayah pabrik saja, padahal banyak pekerja informal juga yang berada dalam pekerjaan lebih berbahaya. Jika tujuannya memang menyelamatkan pekerja anak, pembatasan pengawasan hanya kepada tempat kerja formal harus diperluas, sehingga mereka yang benar-benar berada dalam pekerjaan terburuk bisa dijangkau.” (Wawancara dengan Bapak Nasarudin, Ketua RT 01/11 Cipare, 24 Februari 2015, RM Surabayan, pukul 11.00 WIB) Untuk bisa mendekati dan mengenali persoalan pekerja anak, perlu diadakan pendekatan secara persuasif dimana kehadiran Disnakertrans secara langsung dalam lingkungan pekerja anak akan membantu validasi data dan informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian data yang tidak dapat diperoleh
143
ketika melakukan pengawasan ke tempat kerja bisa diperlengkapi dengan data pasti dari pekerja anak. Hal ini disampaikan oleh I2-4: “Pengawasan juga bisa dilakukan dengan pembinaan dan mendatangi pekerja anak di rumah mereka jika memang pengawasan ke perusahaan belum menemukan titik terang. Dengan pendekatan persuasif, akan jauh lebih mudah untuk membuat masyarakat sadar bahwa pekerja anak bukanlah hal yang baik.”(Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, dapat diketahui bahwa sistem pengawasan yang dilakukan Disnakertrans sampai saat ini dalam hal pembagian tugas
dan tanggung jawab dikerjakan bersama dan tidak
dikerjakan secara individu saja, tapi bisa fleksibel membantu yang lain. Kerjasama dengan pendamping PKH dalam upaya memperbaharui data dan kondisi pekerja anak juga dilakukan dengan harapan bisa mempertajam pengawasan kepada pekerja anak. Pembinaan juga dilakukan untuk bisa menjangkau perusahaan yang terbatas untuk diawasi satu per satu agar bisa tetap terjangkau oleh pihak Disnakertrans. 4.3.9. Diterima para anggota organisasi Agar sistem pengendalian dapat diterima oleh para anggota organisasi, pengendalian tersebut harus bertalian dengan tujuan yang berarti dan diterima. Tujuan tersebut harus mencerminkan bahasa dan aktivitas individu kepada situasi tujuan tersebut dipertautkan.
144
Bidang pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan memliki tugas memastikan bahwa setiap aturan ketenagakerjaan dilaksanakan dan diikuti oleh perusahaan. Melalui seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak, dikhususkan juga pengawasan terhadap pekerja anak. Dalam menjalani pengawasan ini diakui menjadi kesulitan tersendiri untuk tetap mengawasi pekerja anak yang ada dalam wilayah informal sementara lingkup kerja Disnakertrans yang berpusat pada tempat kerja. Hal ini disampaikan oleh I2-2: “Bidang pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan memliki tugas memastikan bahwa setiap aturan ketenagakerjaan dilaksanakan dan diikuti oleh perusahaan. Di dalamnya ada tiga seksi, yaitu seksi norma pekerja perempuan dan anak, yang menagani masalah pekerja perempuan dan anak. Berkaitan dengan anak, tentunya sudah ada peraturan yang melarang untuk mempekerjakan anak. Seringkali seolah-olah pekerja anak adalah mereka yang bekerja di sektor formal, karena urusannya dengan pengawasan pekerja anak, kita memiliki ruang lingkup, dimana ruang lingkupnya adalah tempat kerja. Tempat kerja itu ya dimana ada usaha, dimana ada pekerja anak, ada tenaga yang dipekerjakan. Di tempat kami bidang khusus pengawasan hanya punya 8 orang dengan bidang berbeda dan khusus seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak hanya ada dua orang, ini menjadi masalah jika kemudian kita semua mengandalkan pemerintah yang kemudian semua harus bisa menjangkau”. (Wawancara dengan Bapak Ruli Riatno, ST, M.Si., Kepala Bidang Pembinaan dan Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, 23 April 2015, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.15 WIB) Ketepatan penjelasan tugas dan permasalahan yang ada sangat penting untuk dijelaskan kepada setiap pelaku program dan kegiatan, seperti halnya pengawas yang turun ke lapangan. Ketidaktahuan pengawas akan program terkait akan dapat memicu tindakan yang salah ketika melakukan pengawasan, dan juga rasa kurang memiliki akan pekerjaan tersebut, apalagi ketika kenyataan di
145
lapangan berbenturan dengan peraturan yang ditetapkan. Hal ini diungkapkan oleh I2-4: “Kalau kemarin kebetulan ada program dari pembinaan untuk pendataan pekerja anak. Jadi disitu kita sekaligus cek ke lapangan dan perusahaannya. Untuk masalah kebijakan sendiri itu biasanya yang tahu adalah bidang kepala dan bukan pengawas. Kalau untuk pengawas, saya lebih bertugas mengawasi ke lapangan langsung, mempelajari sesuai dengan dasar hukum yang ada dan menindaklanjuti jika terjadi penyimpangan. Kalau pekerja anak sendiri kan menurut Undang-undang ya harusnya memang dicabut dan ditarik. Namun ya penarikannya tidak mudah, karena kan menyangkut orang tua si pekerja anak juga yang bisa saja komplain ketika anaknya tidak diperbolehkan bekerja.” (Wawancara dengan Bapak Joyo, Pengawas Ketenagakerjaan, 23 April 2015 , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Serang, pukul 08.40 WIB) Melihat dari apa yang disampaikan oleh para informan, masih cukup sulit bagi para anggota organisasi untuk mengerjakan pengawasan pekerja anak ini secara khusus dalam melakukan tindakan penanganan terhadap penyimpangan yang terjadi. Sistem pengawasan masih belum semuanya dimengerti oleh seluruh anggota organisasi, sehingga sulit untuk menentukan tindak lanjutnya. 4.4.
Pembahasan Dalam pembahasan ini peneliti akan membahas tentang fokus penelitian
berdasarkan karakteristik pengawasan yang efektif menurut Amirullah dan Budiyono (2004:307), yaitu: akurat, secara ekonomi realistik, tepat waktu, realistik secara organisasi, dipusatkan pada pengendalian strategik, terkoordinasi dengan arus kerja organisasi, objektif dan kompherensif, fleksibel, dan diterima para anggota organisasi. Sesuai dengan pengertian pengawasan yang dapat disimpulkan peneliti dari berbagai pengertian tentang pengawasan, pengawasan merupakan keseluruhan sistem, cara, maupun teknik yang digunakan untuk
146
membuat implementasi kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Karena itu, pengawasan dimulai dari adanya rencana dan standar yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ada dan sampai kepada pengawasan saat pelaksanaan serta tindakan korektif yang dilakukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, pengawasan yang dilakukan oleh Disnakertrans Kota Serang belum berjalan dengan efektif. Pembahasan pertama, sebagai sebuah sistem, pengawasan yang dilakukan Disnakertrans secara ekonomi sudah realistik, dimana dana dalam melakukan pengawasan dibiayai oleh anggaran APBN sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah pusat dalam menanggulangi permasalahan pekerja anak dan kebijakan penghapusan pekerja anak. Bukan hanya APBN, pada tahun 2015 ini anggaran untuk pembiayaan kegiatan seputar penghapusan pekerja anak juga disokong dengan anggaran dari daerah seiring dibentuknya Komite Aksi Daerah untuk menghapus pekerja anak dan mengembalikan mereka ke dunia sekolah. Pembiayaan yang cukup ini tentunya baik untuk mendukung terlaksananya berbagai program yang ingin dilakukan dalam upaya mengurangi pekerja anak. Sistem yang dibuat juga sudah diupayakan untuk bisa sesuai dengan permasalahan yang ada, dimana peraturan dan sanksi yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama pihak-pihak yang sudah merupakan pakar dalam menangani masalah pekerja anak, begitu juga dengan instansi terkait yang memahami dengan baik masalah pekerja anak. Sistem pengawasan yang ada telah membuat beberapa perusahaan tidak dapat mempekerjakan pekerja anak, tetapi belum dapat diterima
147
oleh beberapa pabrik, meski perusahaan-perusahaan besar cenderung menyetujui peraturan pemerintah dengan tidak melibatkan anak dalam dunia kerja. Begitupun juga dengan penetapan sanksi yang diberikan merupakan bagian sistem untuk memberi efek jera dan juga rasa takut bagi pihak lain ketika memiliki keinginan mempekerjakan anak. Sistem pengawasan yang ada memastikan bahwa pekerja anak harus ditarik dari dunia pekerjaan dan kembali dalam dunia pendidikan, sementara anak-anak yang bekerja cukup banyak juga mengalami kendala ekonomi dan menjadi tulang punggung keluarga yang tidak bisa begitu saja ditarik dari dunia kerja karena terlibat dalam permasalahan yang cukup kompleks. Sistem yang dibuat dalam pengawasan ini kemudian diterapkan dengan menerapkan koordinasi arus kerja organisasi mengingat tidak mungkin untuk Disnakertrans menarik para pekerja anak tanpa memberi bantuan pendidikan ataupun juga bantuan terhadap keluarga para pekerja anak. Maka dari itu, sistem pengawasan ini dilakukan dengan juga melibatkan SKPD-SKPD lain yang dapat menjangkau pekerja anak dengan bantuan. Mulai dari Dinas Sosial melalui program Keluarga Harapan untuk memberikan dana bantuan bagi keluarga pekerja anak, Dinas Pendidikan yang memberikan beasiswa pendidikan dan juga kejar paket serta bimbingan, ataupun juga P2TP2A yang memberikan penanganan khusus bagi anak-anak yang mengalami kekerasan dan perlakuan tidak baik maupun juga ancaman. Meski sistem yang ada telah ditetapkan dengan baik, namun perlu caracara efektif dalam pengawasan agar bisa tercapai target dan rencana yang telah ditetapkan di awal bisa terlaksana. Karena itu dibutuhkan cara yang sesuai dalam
148
pelaksanaannya, dimana dalam pengawasan Disnaketrans keakuratan data pengawasan merupakan hal penting. Tidak mungkin pengawasan dapat dilaksanakan dengan baik jika ternyata data pekerja anak dan pabrik yang mempekerjakan anak tidaklah lengkap. Sampai saat ini keakuratan data dinilai masih lemah, karena belum ada data pasti yang sesuai kondisi lapangan terkait pekerja anak maupun tempat kerja yang mempekerjakan anak. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, mulai dari pihak tempat kerja, pekerja anak, dan keluarga yang menutupi anak-anak yang bekerja, maupun juga para pekerja anak yang juga cukup banyak berdomisili di luar wilayah Kota Serang. Selain cara pendataan yang masih belum akurat, dalam menjalankan pengawasan dibutuhkan juga pemusatan pada pengendalian strategik. Hal ini dilakukan agar setiap penyimpangan dapat lebih mudah diketahui dan diperbaiki. Panduan pengawasan terkait Undang-Undang Ketenagakerjaan yang digunakan oleh Disnakertrans dalam melakukan pengawasan ataupun sanksi merupakan bentuk pemusatan Disnakertrans terhadap pengawasan yang teratur dan terstruktur secara jelas dan memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat dikatakan baik. Dalam implementasinya kemudian, target-target ditetapkan berdasarkan daerah-daerah yang rawan mempekerjakan pekerja anak dimana tingkat kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan juga rendah. Strategi yang dibuat selain penetapan daerah-daerah rawan dalam pengawasan juga adalah dengan koordinasi bersama beberapa SKPD yang terlibat dalam Komite Aksi Daerah untuk bersama-sama mengatasi permasalahan yang dihadapi pekerja anak dan membantu mereka kembali ke dunia pendidikan.
149
Sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat diharapkan menjadi upaya strategis untuk bisa memberikan informasi yang belum tentu bisa didapat oleh Disnakertrans sendiri. Permasalahannya memang karena masih cukup banyak juga masyarakat yang mengerti peraturan terkait pekerja anak dan mau terlibat untuk mengawasi serta melaporkan ketika melihat adanya pekerja anak di sekitar mereka. Maka dari itulah dibentuk sosialiasi kepada masyarakat maupun para tokoh untuk bisa bersama Disnakertrans mengurusi permalasahan pekerja anak. Para anggota organisasi penting untuk memahami dan menerima peraturan yang ada sebagai salah satu cara untuk bisa melaksanakan pengawasan secara efektif. Dalam hal ini, pengawas Disnakertrans mengalami permasalahan kejanggalan tersendiri dimana pengawasan yang dilakukan Disnakertrans penetapannya lebih kepada pekerja anak formal, meski sebenarnya pekerja anak informal lebih banyak ditemukan dan dalam kondisi pekerjaan yang lebih mengkhawatirkan, sedangkan Disnakertrans sendiri sampai saat ini ranah pengawasannya dilakukan ke tempat-tempat kerja. Toleransi yang diberikan dalam melakukan pengawasan juga tidak bisa selalu dilakukan jika memang mengorbankan pekerja anak dalam masa keemasannya untuk mengecap pendidikan. Namun pengawas Disnakertrans masih ada yang belum memahami tindakan lanjut yang harus dilakukan ketika menemukan pekerja anak meski telah diatur dalam peraturan yang ada. Hal ini dikarenakan keterlibatan pekerja anak hampir rata-rata berpengaruh besar kepada ekonomi keluarga, ataupun juga disetujui oleh pihak masyarakat maupun keluarga yang memiliki budaya membiarkan anak-anak mencari nafkah sejak kecil. Hal ini
150
yang menjadi kesulitan tersendiri dalam pemberian sanksi maupun juga penarikan pekerja anak yang ada. Teknik yang diberlakukan dalam pelaksanaan pengawasan salah satunya adalah dengan ketepatan waktu pengawasan dan pelaksanaan respon. Hal ini mengingat bahwa semakin lamanya tindakan yang diberikan, maka akan membuat permasalahan bertambah kompleks. Sejauh ini Disnakertrans Kota Serang menghadapi pabrik-pabrik yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur dengan jam kerja lebih dari tiga jam, meski secara jelas UU No. 13 tahun 2003 memberikan pelarangan kerja bagi anak dengan jam kerja lebih dari tiga jam. Sosialisasi kemudian dilakukan kepada setiap masyarakat dalam upaya memberikan pengetahuan akan dampak yang ditimbulkan ketika anak bekerja. Penarikan pekerja anak juga dilakukan untuk membawa mereka kembali ke dunia pendidikan. Namun, respon dan tindakan ini masih dinilai masyarakat kurang tepat waktu, dimana sosialisasi yang dilakukan masih kurang. Hal ini dilihat dari sosialisasi Disnakertrans yang dilakukan belum menyeluruh, dimana masih cukup banyak masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan pekerja anak belum mengetahui peraturan maupun sanksi terkait pekerja anak. Terkait tindak lanjut yang dilakukan atas pengawasan juga belum terasa dampaknya, dimana pekerja anak yang ada, dan juga pabrik yang mempekerjakan pekerja anak masih secara bebas bekerja maupun mempekerjakan pekerja anak. Kota Serang meski telah memiliki data pekerja anak mulai dari tahun 2013, namun baru pada tahun 2015 melakukan rencana penarikan pekerja anak.
151
Jumlah data pekerja anak yang ada dari tahun 2013 adalah sejumlah 65 orang dan menjadi 73 orang di tahun 2014. Belum adanya tindakan langsung kepada pekerja anak maupun pabrik yang mempekerjakan anak secara tidak langsung mempengaruhi pekerja anak bertambah jumlahnya, baik yang dalam dunia formal maupun non formal. Pengawasan yang dilakukan kepada pekerja anak sampai saat ini dilakukan dengan berdasarkan pada rencana kerja yang dibuat dalam setahun, meski ketika menemukan adanya indikasi penyimpangan maka pengawasan akan dilakukan kepada perusahaan tersebut. Tidak selamanya pengawasan yang dilakukan sesuai dengan jangka waktu dalam rencana kerja yang dibuat, mengingat bahwa sumber daya yang ada tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang diawasi. Maka dari itu, Disnakertrans mengatasinya dengan melakukan pembinaan terhadap perusahaan agar bisa menjangkau perusahaanperusahaan dengan jumlah yang lebih banyak secara langsung. Pengawasan yang dilaksanakan juga dinilai masih belum objektif, hal ini mengingat masih belum diterapkannya sanksi-sanksi kepada pihak yang terlibat dalam mempekerjakan anak. Data-data yang dimiliki juga masih terpaku kepada pabrik, sehingga sulit mendapatkan data yang akurat dan objektif sesuai dengan kondisi pekerja anak secara nyata. Dapat diketahui juga bahwa pengawasan yang ada masih kurang dalam melibatkan masyarakat sekitar, meski sebenarnya masyarakat lebih mengetahui secara jelas kondisi dan keterlibatan anak-anak yang bekerja.
152
Selanjutnya, mengingat sebaik apapun merencanakan, menyusun standar pengendalian dan segala proses pelaksanaan cukup sulit menemukan situasi yang selalu sama karena seringkali terjadi perubahan. Karena itu salah satu teknik yang dibuat sebagai bentuk penyesuaian adalah dengan membuat pengawasan bersifat fleksibel. Pengawasan Disnakertrans diupayakan terus bersifat fleksibel, dimana meski telah ditetapkan rencana kerja, namun pengawasan juga dilakukan ketika menemukan kondisi khusus maupun laporan yang mengharuskan pengawasan berubah waktu dan tempat. Selain itu, keterlibatan berbagai pihak lain dalam mengatasi permasalahan ini juga menunjukkan bahwa pengawasan yang ada bersifat fleksibel dan tidak kaku, demi mencapai tujuan penghapusan pekerja anak.
153
Tabel 4.5 Rekapitulasi Temuan Lapangan No. Dimensi 1 Akurat
2
3
4
5
Secara ekonomi realistik
Tepat Waktu
Realistik secara organisasi
Dipusatkan pada pengendalian strategik
Temuan Lapangan 1. Belum adanya data lengkap terkait informasi dan data pekerja anak, secara khusus pekerja anak informal 2. Data yang ada masih terpaku pada data dari pabrik yang mempekerjakan pekerja anak 1. Kecukupan pembiayaan kebutuhan terkait pekerja anak dari APBN 2. Program dan kegiatan yang ada belum maksimal dikerjakan 3. Belum adanya sanksi tegas maupun penarikan pekerja anak 1. Penanganan terhadap fenomena pekerja anak terlalu lama 2. Respon terkait permasalahan belum efektif 3. Bentuk reaksi dan tindakan masih seputar peringatan 4. Rentang waktu pengawasan sudah ada dan tambahan pengawasan disesuaikan dengan kondisi 1. SDM di seksi norma pekerja perempuan dan anak hanya berjumlah dua orang 2. Pengawas Bidang Pengawasan dan Pembinaan juga dua orang dengan jumlah total 512 perusahaan yang diawasi 3. Adanya sistem pembinaan untuk menjangkau beberapa perusahaan sekaligus 4. Standar pengawasan belum sepenuhnya mengikuti dan menyesuaikan peraturan perundangundangan yang berlaku 5. Pemahaman akan tugas fungsi baik 1. Sudah memiliki target yaitu mencapai tidak adanya pekerja anak di tahun 2020 2. Sampai saat ini belum ada sanksi kepada pihak pabrik yang
Kategori Belum baik
Belum baik
Baik Belum baik Belum baik Belum baik Belum baik Belum baik Baik
Belum baik
Belum baik
Baik
Belum baik
Baik Baik
Belum baik
154
mempekerjakan pekerja anak 3. Target pengawasan masih di seputar pekerja formal yang ada di pabrik dan belum ada data terbaru 4. Pengawasan dilakukan terhadap pekerja anak formal 6 Terkoordinasi 1. Belum mengenali kesinambungan dengan arus kerja program dengan pegawai ataupun organisasi seksi lain 2. Adanya penyesuaian program antar bidang dalam mengawasi perusahaan 3. Koordinasi dengan bidang lain masih minim 4. Belum semua SKPD menjalani tugas dan fungsi terkait permasalahan pekerja anak 7 Objektif dan 1. Belum semua bidang pengawasan kompherensif memahami sistem pengawasan terhadap pekerja anak 2. Pemahaman seputar peraturan terkait pekerja anak sudah dimengerti 3. Penentuan pengawasan dilakukan sesuai rencana kerja dan bisa ditambah seiring kondisi dan laporan masyarakat 8 Fleksibel 1. Pengawasan fleksibel seiring masuknya laporan masyarakat dan juga kondisi dan kapasitas sumber daya 2. Pelaksanaan pengawasan masih terpaku pada pekerja anak formal meski banyak pekerja anak juga ada di sektor informal 9 Diterima para 1. Anggota bidang belum semuanya anggota organisasi paham akan model pengawasan dan tindak lanjut dari sistem pengawasan yang ada 2. Masih ada anggapan bahwa peraturan dan sanksi yang ditetapkan tidak sesuai kondisi lapangan 3. Beberapa pekerja anak dan masyarakat tidak menganggap pekerja anak sebagai suatu permasalahan Sumber: Peneliti, 2015
Belum baik
Belum baik Belum baik
Baik Belum baik Belum baik
Belum baik
Baik Baik
Baik
Belum baik
Belum baik
Belum baik
Belum baik
BAB 5 PENUTUP 5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka
kesimpulan akhir yang didapat peneliti mengenai pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap fenomena pekerja anak di Kota Serang belum efektif. Pengawasan yang belum efektif ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut: Pertama, pendataan pekerja anak belum menyeluruh dimana belum ada pendataan kepada pekerja anak informal, dan belum semua pekerja anak maupun pabrik yang mempekerjakan anak terdata. Kedua, kebutuhan dana dalam menjalankan setiap program sudah baik dimana dana dicukupi oleh APBN dan juga APBD. Ketiga, respon dalam penanganan dan juga reaksi serta tindakan setelah pengawasan belum dilakukan secara cepat dan tanggap, terkhusus penarikan pekerja anak dan sanksi kepada perusahaan yang belum dilakukan. Keempat, jumlah pegawai pengawas dan seksi Norma Pekerja Perempuan dan Anak hanya berjumlah dua orang untuk mengawasi sekitar 512 perusahaan. Selain itu, belum semua pegawai sepakat dengan sanksi yang dibuat dalam peraturan. Kelima, mulai dibuatnya target pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang rawan mempekerjakan anak. Keenam, masih ada pihak pegawai yang belum memahami sistem tindak lanjut pengawasan dan juga masih ada SKPD yang belum memahami kesinambungan program terkait pekerja anak. Ketujuh, belum melibatkan dengan optimal data dari pekerja anak atau masyarakat, tapi lebih kepada pabrik yang mempekerjakan pekerja anak. Kedelapan, pengawasan sudah cukup fleksibel dimana penyesuaian pengawasan dilakukan dengan menyesuaikan laporan masyarakat dan kapasitas SDM. Kesembilan, belum semua anggota bidang paham akan peraturan dan sanksi, serta anggapan hal tersebut tidak menyesuaikan kondisi lapangan 156
157
5.2.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang peneliti ajukan berupa
rekomendasi, yaitu: 1. Memperbaharui data pekerja anak yang ada di Kota Serang dan melibatkan berbagai komponen serta tokoh masyarakat, sehingga data dan informasi yang ada tidak hanya sekedar berasal dari pabrik. Kemudian, melakukan pengawasan tidak hanya kepada pekerja formal, tetapi juga kepada pekerja informal dengan mendatangi wilayah-wilayah yang terdapat pekerja anak informal. Pemetaan permasalahan harus dilakukan seksama dengan melibatkan secara langsung pekerja anak, keluarga dan tokoh masyarakat sekitar, dan tidak hanya sekedar berasal dari pabrik. 2. Penarikan pekerja anak dari tempat kerjanya dan dikembalikan ke dunia sekolah, ataupun pendidikan dan pelatihan informal, serta pemberian sanksi terhadap pihak yang mempekerjakan anak harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Disnakertrans harus mulai menegakkan sanksi sesuai ketetapan peraturan yang berlaku kepada setiap pabrik maupun orang-orang yang terlibat dalam kegiatan mempekerjakan pekerja anak. Hal ini demi memberikan efek jera baik kepada mereka yang terlibat, maupun juga peringatan bagi mereka yang berniat mempekerjakan pekerja anak. 3. Koordinasi dengan SKPD lain dalam upaya mengembalikan anak ke dunia sekolah, maupun juga membantu pihak keluarga pekerja anak yang kurang mampu dalam membiayai sekolah harus diperbaiki. Penting untuk diadakannya rapat koordinasi dalam waktu rutin untuk membahas perkembangan dari program setiap SKPD sehingga dapat dilihat dengan jelas hasil dari tindakan dan program yang ada. Begitupun dengan koordinasi internal Disnakertrans, perlu pemahaman dengan rinci mengenai setiap kegiatan antar seksi dan bidang. Rapat koordinasi harus dilakukan dalam jangka waktu yang rutin dan pembahasannya memastikan
158
setiap anggota bidang mengerti tugas dan fungsi yang harus dilakukan setiap pegawai dalam bidang yang ada. 4. Kegiatan kampanye dan sosialiasi harus dilakukan lebih giat lagi dan dilakukan ke berbagai wilayah, secara khusus wilayah-wilayah yang memang cukup banyak pekerja anak tinggal. Hal ini penting untuk masyarakat dan tokoh masyarakat mengetahui larangan mempekerjakan anak dan kemudian bisa terlibat aktif dalam program pemerintah untuk mengurangi pekerja anak. 5. Pengawasan yang ada harus disepakati oleh setiap pegawai yang ada, dan meski sulit dilakukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat harus tetap dikerjakan. Untuk berbagai kesulitan yang ada, maka dari itu dilakukanlah koordinasi bersama SKPD lain sebagai upaya menyelesaikan permasalahan pekerja anak secara keseluruhan. Kemudian Disnakertrans juga perlu mengadakan analisis jabatan sebagai pedoman untuk melakukan penyusunan kebutuhan nyata kondisi maupun jumlah pegawai berdasarkan beban kerja, kompetensi jabatan serta evaluasi jabatan, sehingga setiap pegawai dapat bekerja lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Agus, Dede. 2011. Hukum Ketenagakerjaan. Banten : Dinas Pendidikan Provinsi Banten Amirullah dan Haris Budiyono, 2004. Pengantar Manajemen. Yogyakarta : Graha Ilmu Aryanto, Vincent Didiek Wiet dan Rosalia Emmy. 2013. Manajemen dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Athoillah, Anton. 2010. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung : Pustaka Setia Badrudin. 2013. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung : Alfabeta Handoko, Hani. T. 2012. Manajemen. Yogyakarta :BPFE Harahap, Sofyan Sari. 2001. Sistem Pengawasan Manajemen (Management Control System). Jakarta: PT Pustaka Quantum Hasibuan, Malayu. 2008. Manajemen : Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta : Bumi Aksara Husnaini. 2008. Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara Husni, Lalu. 2008. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Irawan, Prasetya. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Jakarta : Universitas Terbuka Manullang. M. 2012. Dasar-Dasar Manajemen. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Maringan, Masry S. 2004. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta : Ghalia Indonesia Miles, Matthew. B. dan A. Michael Hubberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI Press Moleong, Lexy. J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama
Siswanto, B. 2011. Pengantar Manajemen. Jakarta : PT Bumi Aksara Sondang, P. Siagian. 2005. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta : PT Bumi Aksara Subagyo, Joko. 2011. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Bandung: Rineka Cipta Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta Sule, Ernie Tisnawati, dan Kurniawan Saefullah. 2010. Pengantar Manajemen. Jakarta : Kencana Peraturan: Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang penanggulangan pekerja anak Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Internet: Adriyani, Febrina. 2008. “Tinjauan Tentang Pekerja Anak di Terminal Amplas (Studi Kasus Anak yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di Terminal Terpadu Amplas)”.
. Diakses pada tanggal 15 Desember 2014, pukul 11.58. Irwanto. Siska Natalia. 2011. “Kajian Terhadap Peraturan, Kebijakan, dan Program-Program Penghapusan Pekerja Anak di Indonesia”. Diakses pada tanggal 11 November 2014, pukul 13.43 WIB. http://www.beritasatu.com/nusantara/118585-570-pekerja-anak-di-banten-akandisekolahkan.html