PEN NGARUH LINGKUN NGAN KE ELUARGA A, SEKOL LAH DAN N MASYA ARAKAT T TERHAD DAP PERS SEPSI GE ENDER M MAHASISW WA LAKI-LA AKI DAN PEREMP PUAN (Kasus Mahasiswa M S Sekolah Tin nggi Ekonom mi Islam TA AZKIA Tahu un Masuk 20 009)
Oleh h REHA ASTI DYA A RAHAY YU I340603 396
Depaartemen Saains Komu unikasi da an Pengem mbangan M Masyaraka at Fakulltas Ekologi Manusiia Institut Pertan nian Bogorr 2010 0
ABSTRACT The goals of this research are to analyze family area, school area, and society area that influence of student gender perception and then to know the different influence factors from family area, school area and society area about student gender perception. Mother education and parenting are represent family area, choice about study major, books, teacher education are represent school area, culture and peer group are represent society area, and three of them have different factors that influence of student gender perception that have to know. This research has done in STEI TAZKIA where place the sample come from with the condition their mother have passed the high education. Generally, even though have the high education but the gender perception is still low. This reality has different with what happened in STEI TAZKIA. STEI TAZKIA students have the high gender perception. Those facts are the good reason to do research in STEI TAZKIA. The results of this research are generally student gender perceptions do not come from the family area, but student gender perception come from school area and society area. Books, teacher education (school area) and peer group (society area) more influence student gender perception than mother education, parenting and culture. But there are different results from boy and girl students’ gender perception. The results of this research proofed that the influence boy students gender perception come from school area (from their teacher) and society area (from their friends) because the boy students have much spend them time in school area with them teachers and in society area with them friends, different with the girl students that the influence gender perception come from family area (from their mother), because the girl students much spend them time in family area with them mother so the girl students accept much gender education from their mother.
Keywords: Education, parenting, family area, school area, and society area.
RINGKASAN REHASTI DYA RAHAYU. PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH
DAN
MASYARAKAT
TERHADAP
PERSEPSI
GENDER
MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. (Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009). (Di bawah bimbingan DRA. WINATI WIGNA, MDS) Pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar dimana perubahanperubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri seseorang. Pendidikan mempunyai
tugas
pokok
yaitu
untuk
menciptakan,
mentransfer
dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin luas pengetahuan dan pemahamannya tentang keadaan dan kondisi di lingkungannya. Pendidikan bisa didapatkan baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Sosok mahasiswa sangat kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara berdasarkan objektif, sistematis, dan rasional. Mahasiswa merupakan agen penggerak ilmu pengetahuan dan diharapkan ilmu tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gender adalah perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender tercipta melalui suatu proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat. Ketimpangan gender biasanya tercipta dari pendidikan masyarakat yang rendah, hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu gender, pendidikan gender yang diterima dari lingkungan keluarga rendah karena orang tua berpendidikan rendah, kurangnya pendidikan yang didapatkan di sekolah, dan kuatnya budaya patrilinial atau matrilinial yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Namun saat ini tidak sedikit orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi khususnya para orang tua sehingga ada suatu harapan bahwa pendidikan dapat
menciptakan suatu pemahaman gender yang tinggi dan pemahaman gender yang tinggi dapat menciptakan persepsi gender yang tinggi pula. Persepsi merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari. Pendidikan tinggi orang tua khususnya ibu dapat memberikan pendidikan gender yang baik di lingkungan keluarga, begitu pula pendidikan yang didapatkan mahasiswa di sekolah melalui buku-buku yang mereka baca dan pengajaran dari guru serta budaya parental yang lebih mendominasi dalam mempengaruhi mahasiswa dan hubungan yang baik antara mahasiswa dengan peer group dapat menciptakan pemahaman gender yang baik pada mahasiswa. Oleh karena itu untuk membuktikannya diperlukan suatu penelitian yang dapat melihat bahwa pendidikan gender yang baik yang didapatkan mahasiswa, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dapat memberikan pemahaman gender yang baik pula sehingga mahasiswa dapat menciptakan persepsi yang positif tentang gender. Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa, 2) Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa, 3) Menganalisis pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa dan 4) Mengetahui perbedaan faktor pengaruh dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa. Penelitian ini dilakukan
di
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA (STEI TAZKIA) di Jalan Raya Darmaga KM 7 Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Responden dalam penelitian adalah 30 orang mahasiswa STIE TAZKIA tahun masuk 2009 dengan syarat memiliki ibu yang berpendidikan tinggi ( ≥ SMA ), ibu yang bekerja dan pernah diasuh oleh orang lain. Hasil penelitian membuktikan bahwa secara umum persepsi gender mahasiswa tidak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga karena mahasiswa ketika mulai beranjak dewasa tidak bersama orang tuanya khususnya ibu yang biasanya selalu mengasuh dan mendidik mahasiswa sedari kecil. Di lingkungan keluarga juga diketahui bahwa tingginya pendidikan ibu ternyata tidak berhubungan
dengan persepsi gender mahasiswa STEI TAZKIA. Akibatnya pendidikan gender yang diterima oleh mahasiswa dari ibunya yang telah mengenyam pendidikan tinggi tidak berpengaruh banyak terhadap persepsi gender mahasiswa. Begitu juga dengan budaya yang ada di lingkungan masyarakat baik itu sistem patrilinial maupun sistem matrilinial tidak berpengaruh pada persepsi gender mahasiswa karena mahasiswa pada umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya merupakan hasil dari perkawinan campuran antara dua daerah yang berbeda sehingga sistem parental dimana garis keturunan berasal dari ayah dan ibu yang lebih dominan dalam lingkungan keluarga mahasiswa. Persepsi gender mahasiswa ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh pergaulan mereka dengan teman sebayanya (peer group) saat berada di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Selain itu buku-buku pelajaran yang mereka baca dan ajaran dari guru mereka yang lebih banyak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa dan pada umumnya buku yang mereka baca dan ajaran dari guru mereka lebih banyak ajaran yang mengajarkan keseimbangan. Hasil penelitian ini juga membuktikan terdapat faktor yang berbeda yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa antara mahasiswa laki-laki dengan mahasiswa perempuan. Persepsi gender mahasiswa laki-laki ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekolahnya yaitu guru dan lingkungan masyarakat yaitu teman-temannya. Hal ini disebabkan oleh mahasiswa laki-laki kurang berinteraksi dengan ibunya di rumah ( tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari ibunya), mahasiswa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu mereka di lingkungan sekolah dengan berbagai kegiatan dan apabila tidak ada kegiatan sekolah pun mereka juga lebih senang pergi dengan teman-temannya dibandingkan berada di rumah sehingga pendidikan gender yang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa laki-laki dari proses pengasuhan lebih banyak didapatkannya dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebih suka berada di rumah dibandingkan pergi dengan teman-teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari ibu mereka dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki.
PEN NGARUH LINGKUN NGAN KE ELUARGA A, SEKOL LAH DAN N MASYA ARAKAT T TERHAD DAP PERS SEPSI GE ENDER M MAHASISW WA LAKI-LA AKI DAN PEREMP PUAN (Kasus Mahasiswa M S Sekolah Tin nggi Ekonom mi Islam TA AZKIA Tahu un Masuk 20 009)
Oleh h REHA ASTI DYA A RAHAY YU I340603 396
SKRIP PSI Sebaggai Syaratt untuk Mendapat Gelar G Sarjaana Komu unikasi dan mbangan Masyarak kat Pengem a Pada Fakulltas Ekologi Manusiia Inatiitut Pertan nian Bogorr
Depaartemen Saains Komu unikasi da an Pengem mbangan M Masyaraka at Fakulltas Ekologi Manusiia Institut Pertan nian Bogorr 2010 0
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun : Nama
: Rehasti Dya Rahayu
NRP
: I34060396
Judul
: Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan (Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009)
dapat diterima sebagai syarat menerima gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat
pada
Departemen
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 19480327 198303 2 002 Mengetahui Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP.19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH
LINGKUNGAN
KELUARGA,
SEKOLAH
DAN
MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKILAKI DAN PEREMPUAN, (KASUS MAHASISWA SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA TAHUN MASUK 2009) ” BELUM DIAJUKAN PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK MEMPEROLAH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIANLAH PERNYATAAN INI SAYA BUAT SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Oktober 2010
Rehasti Dya Rahayu I34060396
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu 5 April 1988. Penulis adalah anak pertama dari pasangan suami istri Khairul Umuri dan Rita Sri Minarni. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 09 Kota Bengkulu, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 02 Kota Bengkulu dan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir Negeri 02 Kota Bengkulu. Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis kemudian memilih mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama masa kuliah, penulis pernah aktif di Lembaga Dakwah Kampus Dewan Keluarga Masjid Al-Hurriyyah pada tahun 2006-2008, Institut Pertanian Bogor, Pengurus Asisten Pendidikan Agama Islam sekaligus sebagai Asisten Pendidikan Agama Islam pada tahun 2008-2010 untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dra. Winati Wigna MDS selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya serta dengan sabar membimbing mulai dari penyusunan Studi Pustaka, proposal penelitian hingga penulisan skripsi. Terima kasih untuk segala saran, masukan, dan waktu yang telah diberikan. 2. Dr. Ir. Sarwititi S Agung, MS selaku dosen penguji utama dan Dr. Ir. Ekawati S Wahyuni, MS selaku dosen penguji departemen dalam ujian sidang skripsi. Terima kasih atas saran dan masukan yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu, Bapak serta adik-adikku Ivan dan Nada yang telah mendukung, berdoa, dan menghibur baik secara moral maupun materiil selama proses penyusunan skripsi ini. 4. STEI TAZKIA yang telah memberikan penulis kesempatan untuk dapat melalukan penelitian di sana. Penulis sangat berterimakasih atas pelayanan dan keramahan yang diberikan selama ini dalam membantu penelitian di STEI TAZKIA. 5. Rahayu teman sekelas sekaligus teman satu bimbingan yang selalu berjuang bersama, penulis sangat berterimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini. 6. Sani yang telah begitu banyak membantu, mendukung, dan dengan sabar menemani penulis selama melakukan penelitian di lapangan. 7. Suci, Mita, Rani, Mesil, Ulfa, Anri, Era, Oche dan Andini yang telah bersedia menjadi tempat curahan hati selama penyusunan skripsi serta Lingga dan Chaca yang begitu banyak membantu dalam pengolahan data penelitian dan teman-teman kostanku yang selalu memberikan semangat dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan (Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009)”. Tujuan dari penyusunan skripsi ini untuk mengetahui dan menganalisis persepsi gender mahasiswa yang berasal dari keluarga yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Pada umumnya rendahnya persepsi gender pada diri seseorang disebabkan oleh pendidikannya yang rendah, namun suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti apabila telah mengenyam pendidikan tinggi namun persepsi gender masih rendah. Persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tempat mereka melakukan sosialisasi. Lingkungan keluarga yang merupakan tempat pertama mahasiswa mendapatkan pendidikan, lingkungan sekolah dan masyarakat dapat mempengaruhi persepsi gender mahasiswa baik itu persepsi gender yang tinggi maupun yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata secara umum tingginya persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan sekolah (guru) dan masyarakat (teman) daripada lingkungan keluarga (ibu). Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Persepsi gender mahasiswa laki-laki ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekolah (guru) dan lingkungan masyarakat (teman) dibandingkan dengan lingkungan keluarga (ibu). Berbeda dengan persepsi gender mahasiswa perempuan yang lebih banyak di pengaruhi lingkungan keluarga (ibu) daripada lingkungan sekolah dan masyarakat. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih banyak keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk membantu proses penyempurnaan skripsi ini. Bogor, Oktober 2010 Penulis
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ........................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 6 1.3. Tujuan ........................................................................................... 6 1.4. Kegunaan Penulisan ...................................................................... 6
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS .............................................................. 8 2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 8 2.1.1. Pendidikan .................................................................................. 8 2.1.2. Gender ........................................................................................ 9 2.1.3. Mahasiswa ................................................................................ 12 2.1.4. Pengasuhan............................................................................... 12 2.1.5. Lingkungan .............................................................................. 13 2.1.5.1. Lingkungan Keluarga ............................................. 13 2.1.5.2. Lingkungan Sekolah ............................................... 15 2.1.5.3. Lingkungan Masyarakat ......................................... 18 2.2. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 20 2.3. Hipotesis Pengarah ...................................................................... 23 2.4. Definisi Operasional.................................................................... 23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN...................................................... 28 3.1. Metode Penelitian........................................................................ 28 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 28 3.3. Teknik Penentuan Responden dan Informan .............................. 29 3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 29
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENELITIAN ........................................... 30 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 30 4.1.1. Gambaran Umum STEI TAZKIA ........................................ 30 4.1.2. Sarana dan Prasarana .............................................................. 33 4.2. Karakteristik Umum Mahasiswa ...................................................... 34 4.2.1. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin ..... 34 4.2.2. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Usia..................... 35
ii
4.2.3. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah ......... 35 4.2.4. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah ........ 36 4.2.5. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir Ibu ............................................................................................ 37 4.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu ...... 37 4.2.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Asal Daerah Ibu . 38 BAB V
PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN........................ 39 5.1. Lingkungan Keluarga .................................................................. 39 5.1.1. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga................................................................................................ 39 5.1.2. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah ......................................................... 41 5.1.3. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat .................................................... 41 5.1.4. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga .......................................................................... 42 5.1.5. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah ............................................................................ 44 5.1.6. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat ...................................................................... 45 5.2. Lingkungan Sekolah.................................................................... 46 5.2.1. Hubungan Antara Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Ajaran Pilihan Bidang Studi .................................................................... 47 5.2.2. Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran gender dari Buku Ajar pada Lingkungan Sekolah ................................................................................... 48 5.2.3. Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru pada Lingkungan Sekolah .......................................... 50 5.3. Lingkungan Masyarakat .................................................................... 51
iii
5.3.1. Hubungan Antara Budaya dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Responden terhadap Budaya .................. 52 5.3.2. Hubungan Antara Peer Group dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa ................................................ 53 BAB VI
PERBEDAAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN ..... 56 6.1. Pengaruh Lingkungan Keluarga terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ........................................ 56 6.2. Pengaruh Lingkungan Sekolah terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ....................................... 57 6.3. Pengaruh Lingkungan Masyarakat terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ............................................ 58 6.4. Perbedaan Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ........................................... 60
BAB VII PENUTUP.......................................................................................... 63 7.1. Kesimpulan ................................................................................. 63 7.2. Saran ............................................................................................ 64 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 65 LAMPIRAN ......................................................................................................... 67
iv
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin, Bogor 2010 ............................................. 30 Tabel 2. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Umur, Bogor 2010 ........................................................... 31 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010 ................................................ 31 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010 ............................................... 32 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2008 Berdasarkan Pendidikan Ibu, Bogor 2010 ............................................ 32 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Jenis Kelamin, Bogor 2010 ................................................................................... 34 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Usia, Bogor 2010 ...... 34 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010 ................................................................................................................ 35 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010 ................................................................................................................ 36 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Ibu, Bogor 2010 ................................................................................................................ 36 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu, Bogor 2010 ................................................................................................................ 37 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu, Bogor 2010 ................................................................................................................ 37 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010 ........................................................................................................................ 39
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010 40 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat, Bogor 2010 ...................................................................................................... 41 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010 .............................................................................................................. 43 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010 44 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu tentang Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat, Bogor 2010 ...................................................................................................... 45 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 ........................................................................................... 47
v
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 ............................................................................ 48 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 . 50 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Budaya Kekerabatan dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa , Bogor 2010................................................ 51 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Peer Group dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 .......................................................... 53 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Lingkungan Sekolah dengan jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ............................................ 56 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Lingkungan Sekolah dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ............................................ 57 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Lingkungan Masyarkat dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa , Bogor 2010 ........................................ 59 Tabel 27. Jumlah dan Persentase Orang yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 .................................................................................................... 60 Tabel 28. Jumlah dan Persentase Pengaruh Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ................................................. 61
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 22
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Data Responden Tahun 2009 ................................................................................ 67
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang berusaha untuk meningkatkan pendidikan masyarakatnya melalui berbagai cara, salah satunya yaitu dengan program wajib belajar sembilan tahun, karena untuk menyukseskan pembangunan suatu negara, diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi. Oleh karena itulah untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, diperlukan pendidikan yang tinggi pula. Dahulu bila kembali melihat ke belakang pada sejarah Indonesia, pada umumnya yang lebih banyak bersekolah adalah laki-laki. Angka partisipasi sekolah untuk anak perempuan selalu lebih rendah daripada anak laki-laki dan jenis pendidikan yang didapatkan oleh anak laki-laki dan perempuan pun berbeda. Perempuan selalu lebih sulit untuk dapat masuk ke dalam pendidikan formal. R.A Kartini adalah seorang pejuang perempuan pertama yang berupaya menegakkan emansipasi perempuan, menginginkan pendidikan formal perempuan sama dengan laki-laki. Menurut R.A. Kartini, laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama. Pendidikan formal akan dapat menjadi penengah dalam mengatasi setiap perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga yang tinggal hanya perbedaan menurut biologis. Namun perjuangan R.A Kartini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terwujud karena hingga tahun 1990 perempuan yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang daripada laki-laki dan dari jumlah yang buta huruf ternyata dua pertiga adalah perempuan. Di Indonesia, jenjang pendidikan formal juga menunjukkan tingkat perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan anak laki-laki ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Indonesia juga mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikit proporsi anak perempuan bersekolah. Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat ketimpangan gender semakin tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan yang rendah membuat masyarakat masih tertutup pemikirannya, masih
2
banyak anggapan bahwa “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi toh nantinya ke dapur juga”. Anggapan ini dan rendahnya kesempatan bagi anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan formal yang lebih tinggi membuat ketimpangan gender bukanlah hal yang tidak mungkin untuk terus berkembang. Akhirnya perjuangan yang dilakukan oleh R.A Kartini lama-kelamaan semakin menunjukkan hasilnya dan juga adanya usaha pemerintah untuk meningkatkan pendidikan masyarakatnya melalui program wajib belajar 9 tahun pun mulai terlihat dari sistem pendidikan yang semakin berkembang dan peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan. Hal ini terbukti pada tingkat sekolah dasar terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996 sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen pada tahun 1993 menjadi 80 persen pada tahun 2002 begitu pun pada tingkat SMA dan Perguruan Tinggi. Selain itu berdasarkan Laporan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)1 Indonesia Tahun 2007, Angka Partisipasi Murni (APM) anak perempuan terhadap anak laki-laki pun cenderung meningkat. Jika pada periode sebelumnya (1992-2002), rasio APM SMA/MA perempuan rata-rata hanya 98,76 persen pertahun maka pada periode 2002-2006 rasio APM meningkat menjadi rata-rata 99,07 persen pertahun. Pada jenjang perguruan tinggi juga mengalami kecenderungan yang sama, rasio APM perguruan tinggi perempuan meningkat dari rata-rata 85,73 persen (1992-2002) menjadi 97,24 persen (2003-2006). Peningkatan pendidikan ini diharapkan dapat menghapus adanya ketimpangan gender yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat karena dengan adanya pendidikan, masyarakat lebih terbuka dan menghargai adanya perbedaan, khususnya yang menyangkut perbedaan jenis kelamin. Walaupun tingkat pendidikan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan telah meningkat namun masih menimbulkan suatu pertanyaan besar bahwa hingga saat ini ketimpangan gender tetap tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat, contohnya yaitu pada pemilihan jurusan di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi. Pemilihan jurusan pada perempuan dikaitkan dengan fungsi domestiknya, misalnya dalam pemilihan jurusan di tingkat sekolah lanjutan (Sekolah Menengah 1 Anonim 2008, Voluntary Discrimination dalam Pendidikan Lanjutan dan Tinggi, http://web.g-help.or.id, diakses tanggal 18 Desember 2009.
3
Kejuruan), perempuan lebih mendominasi bidang-bidang ilmu sosial seperti bisnis, manajemen, dan pariwisata, sedangkan laki-laki lebih banyak dibidang ilmu teknis. Pada tahun ajaran 2002/2003, siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi Teknologi Industri hanya 1 persen, studi Pertanian dan Kehutanan sekitar 12,9 persen, untuk bidang Bisnis dan Manajemen sebanyak 64,9 persen, dan bidang Pariwisata mencapai 94 persen (UNESCO/LIPI, 2005)2. Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa walaupun tidak ada data kuantitatif, secara kualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak tenaga pengajar didominasi oleh perempuan. Berbeda dengan SD sampai dengan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan daripada tenaga pengajar perempuan. Kecenderungan yang serupa juga terlihat di kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas. Hal ini menunjukkan bahwa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimana terdapat orang-orang yang telah berpendidikan tinggi ketimpangan gender masih tetap ada. Perguruan tinggi merupakan tempat dimana terjadi pendidikan dan latihan akademis yang terkait dengan profesi tertentu (Semiawan, 1999). Perguruan tinggi bertugas membentuk mahasiswanya menjadi kaum intelegensia dan motor penggerak dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Selain itu menurut Semiawan (1999) perguruan tinggi juga harus mampu menghasilkan para mahasiswa dan dosen yang dapat menghasilkan karya-karya yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan yang penuh dengan perubahan. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Melalui mahasiswa diharapkan permasalahan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat dapat berkurang, namun pendidikan yang diterima mahasiswa tidak hanya berasal dari perguruan tinggi tetapi juga berasal dari keluarga yang merupakan tempat pertama
2
Ibid.
4
pendidikan diterima oleh mahasiswa dan masyarakat yang merupakan tempat mahasiswa melakukan sosialisasi serta bergaul dengan teman-teman sebayanya. Keluarga adalah pengelompokan kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu (Horton dan Hunt, 1999). Bagi mahasiswa keluarga merupakan suatu kelompok primer yang pertama dan disanalah perkembangan kepribadian bermula. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu yang menggambarkan tentang tugas dalam pengasuhan, memberikan kasih sayang, memenuhi segala kebutuhan anak, membimbing dan mengarahkan serta melatih anak agar hidup mandiri dan memberikan sesuatu yang terbaik untuk anak agar kelak anak dapat tumbuh menjadi dewasa dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Hartaji, 2009). Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing mahasiswa sedari kecil hingga dewasa agar dapat mencapai suatu tahapan tertentu yang menghantarkan mereka untuk siap masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat dan mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya. Pendidikan yang diterima oleh mahasiswa dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan mereka untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik mereka. Oleh karena itu tingkat pendidikan orang tua pun akan mempengaruhi cara orang tua dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua terutama ibu akan berpengaruh terhadap pemberian pendidikan kepada mahasiswa selama proses pengasuhan. Ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang luas terutama pengetahuan tentang gender. Ia akan mengetahui dan memahami hal-hal yang terkait tentang gender seperti perbedaan antara seks dan gender. Sedikit banyaknya dari pengetahuan ini akan mempengaruhi persepsi gender dari ibu dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan persepsi gender ibu juga akan mempengaruhi pendidikan gender yang ibu berikan kepada mahasiswa pada saat proses pengasuhan berlangsung. Pendidikan gender ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi persepsi gender mahasiswa. Apabila ibu memiliki pengetahuan tentang gender maka dalam memberikan pendidikan
5
kepada mahasiswa sedari kecil hingga dewasa pendidikan gender pun akan diterima oleh mahasiswa. Kenyataannya saat ini masih banyak fenomena bias gender atau timpang gender masih tetap ada dalam kehidupan bermasyarakat, padahal di dalam keluarga, pendidikan orang tua terutama ibu telah memiliki pendidikan tinggi. Selain mendapatkan pendidikan dan berinteraksi dengan orang-orang di dalam lingkungan keluarga, mahasiswa juga akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah mahasiswa akan dipengaruhi oleh guru selaku orang yang memberikan pendidikan dan buku-buku pelajaran yang ia dapatkan dan pelajari. Sedangkan di lingkungan masyarakat mahasiswa akan dipengaruhi oleh budaya (sistem kekerabatan dalam keluarga dan masyarakat) dan teman-teman sebayanya (peer group). Fakta masih adanya ketimpangan gender ini berbeda dengan yang terjadi di STEI TAZKIA yang merupakan sebuah perguruan tinggi dimana mahasiswanya telah mengenyam pendidikan tinggi. Umumnya, walaupun berasal dari keluarga yang ibunya telah mengenyam pendidikan tinggi dan juga telah mengenyam pendidikan tinggi ketimpangan gender masih tetap ada. Berbeda dengan STEI TAZKIA yang ternyata mahasiswanya yang telah berpendidikan tinggi dan berasal dari ibu yang telah mengenyam pendidikan tinggi ternyata persepsi gender mahasiswanya tinggi, sehingga hal ini merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Apakah ketimpangan gender ini dipengaruhi oleh pendidikan yang didapatkan mahasiswa di dalam keluarga atau di dalam lingkungan sekolah tempat ia dididik oleh guru dan lingkungan masyarakat tempat ia berinteraksi dengan budaya dan teman-teman sebayanya (peer group) sehingga mahasiswa masih memiliki persepsi gender yang tinggi. Karena persepsi gender mahasiswa yang tinggi akan mempengaruhi mahasiswa dalam berpendapat atau memahami tentang peran laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti kemungkinan terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender antara mahasiswa laki-laki dan perempuan.
6
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa? 2. Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa? 3. Bagaimanakah pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa? 4. Apakah perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?
1.3 Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut : 1. Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa. 2. Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa. 3. Menganalisis pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa. 4. Mengetahui perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.
1.4 Kegunaan Penulisan Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca maupun peminat studi untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi penulisan ilmiah terkait dengan masalah persepsi gender yang masih tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat yang berpendidikan tinggi, kepada : 1. Peneliti yang ingin mengkaji lebih jauh tentang persepsi gender mahasiswa yang berasal dari keluarga yang telah memiliki pendidikan yang tinggi dan
7
pengaruh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa. 2. Kalangan praktisi, akademisi dan pemerintah, dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa.
8
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pendidikan Menurut Brown (1961) dalam Ahmadi (2004) pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar dimana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri seseorang melalui kelompok. Sudarta (2008) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Begitu juga dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang” (pasal 11 ayat 1). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau latihan kepada anak didik yang akan diterapkan di masa yang akan datang sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik. Menurut Jatiningsih (2008) 1 pendidikan berfungsi untuk membantu dan membekali serta mengembangkan potensi anak agar bisa hidup dan menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan atau perubahan kehidupan. Oleh karena itu pendidikan harus berorientasi tidak hanya ke masa kini tetapi juga masa depan. Pendidikan tidak hanya berperan mengembangkan aspek intelektual semata, tetapi juga membekali dan mengembangkan kecakapan pribadi dan kecakapan sosial anak. Van Gliken (2004) yang dikutip oleh Effendi (2005) dalam Taher (2009) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai tugas pokok yaitu menciptakan, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya serta pendidikan sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa. Tujuan umum pendidikan di Indonesia adalah membimbing warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila yang berpribadi, berkesadaran akan berkeTuhanan, berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitarnya. 1
Oksiana Jatiningsih, 2008, Pendidikan Gender Bagi Calon Guru Sekolah Dasar Dalam Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Gender Di Sekolah, www.puslitjaknov.org, diakses tanggal 18 Desember 2009.
9
Melalui tujuan umum pendidikan di Indonesia dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup sehingga nantinya akan terbentuk seseorang yang memiliki kepribadian dan berkesadaran terhadap lingkungan disekitarnya. Pendidikan di sini lebih dititikberatkan pada pendidikan formal. Menurut Rukmina (2008)2 ada beberapa unsur yang harus ada dalam pendidikan terutama pendidikan formal antara lain : a. Adanya usaha (kegiatan) yang dilakukan secara sadar. b. Adanya tujuan tertentu yang ditujukan untuk pengembangan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk perilaku positif dari nilai-nilai masyarakat. c. Adanya pendidik dan pembimbing dari si terdidik. d. Adanya usaha atau tindakan yang merupakan suatu proses yang berlangsung dalam waktu tertentu atau secara terus menerus. e. Adanya peserta didik. Kelima unsur tersebut merupakan ciri-ciri khas yang minimal terdapat dalam pendidikan. Kelima unsur tersebut mengandung persoalan-persoalan pendidikan, seperti siapa yang dikatakan pendidik, siapa anak didik, kapan dan dimana pendidikan
itu
dilaksanakan
dan
lain-lain.
UUD
1945
dan
GBHN
mengamanatkan, bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di bidang pendidikan (kondisi normatif). Pada saat ini pendidikan tidak hanya suatu proses pembelajaran di dalam masyarakat, tetapi sudah berkembang menjadi pusat atau sumber dari pengetahuan. Pendidikan mempunyai fungsi utama yang selalu ada dalam perkembangan sejarah manusia yaitu untuk meningkatkan taraf pengetahuan manusia 3 . Pendidikan juga merupakan sarana sosialisasi dalam kehidupan masyarakat.
2.1.2 Gender Gender menurut Handayani dan Sugiarti (2008) adalah suatu konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki 2
Rukmina Gonibalah , 2008, Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam, www.jurnaliqro.files.wordpress.com, diakses tanggal 18 Desember 2009. 3 Endang Widuri, 2008, Pendidikan Hukum Perempuan Sebagai Upaya Pemberdayaan Perempuan www.yinyangstain.files.wordpress.com, diakses tanggal 18 Desember 2009.
10
dan perempuan. Menurut Wiliam (2006) gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender sama sekali berbeda dengan jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Wiliam mengungkapkan bahwa gender tercipta melalui suatu proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang memakai tato di badan dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Gender juga dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas sedangkan saat ini dianggap hal yang baik untuk perempuan aktif. Pengetahuan masyarakat tentang gender merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas saat ini. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan gender masyarakat akan mempengaruhi cara masyarakat memperlakukan orang lain baik itu laki-laki maupun perempuan. Tinggi atau rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gender pada umumnya didapat dari hasil pendidikan yang telah dijalani. Pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak lagi membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga sebaliknya pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan rendah apabila masyarakat masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat tentang gender sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat tentang gender itu sendiri. Persepsi masyarakat tentang gender akan membuat masyarakat mengetahui, memahami, berpendapat dan berprilaku berbeda kepada seseorang, baik ia laki-laki maupun perempuan. Menurut
Baron dan Byrne (2005) persepsi merupakan proses yang
digunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami perasaan orang lain. Menurut
Young
(1956)
4
persepsi
merupakan
aktivitas
mengindera,
mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan 4 Young, 1956, Persepsi, www.infoskripsi.com, diakses tanggal 17 April 2010.
11
stimulus sosial yang ada di lingkungannya. David (1998) dalam Najah (2007) mengatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari, mengerti tentang keadaan lingkungan di sekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi juga merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari. Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui, memahami dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi)5 mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Persepsi gender di dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan orang tua dan proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anaknya terutama ibu. Di dalam bukunya “ The Twelve Who Survive” Myers (1990) dalam Hastuti (2008) menyebutkan bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang optimal melalui stimulasi psikososial yang diberikan ibu kepada anak, dan hal ini tergantung pula pada latar belakang pendidikan ibu, beban kerja ibu serta persepsi ibu terhadap peran domestiknya. Pemberian pendidikan ibu terhadap anaknya terutama pendidikan gender dalam pengasuhan dapat terlihat dari jenis proses pengasuhan yang diberikan oleh ibu. Proses pengasuhan akan melibatkan hubungan dan interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak, keduanya akan terlibat dan berkontribusi dalam membentuk kualitas hubungan dan perkembangan dari hubungan tersebut. Hal ini berarti setiap orang tua akan membawa sejarah bagaimana mereka dahulunya berinteraksi dengan orang tua mereka dahulu dalam membentuk hubungan dengan anak (Rohner (1987) dalam Hastuti (2008)) dan pendidikan yang telah mereka jalani. Selain itu apabila ibu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja maka proses pengasuhan dan pemberian pendidikan kepada anak tidak dapat dilakukan oleh ibu. 5
Ibid.
12
2.1.3 Mahasiswa Susantoro (2003) dalam Rahmawati (2006) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Hartaji (2009) mengungkapkan mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Susanto (2003) dalam Rahmawati (2006) menyatakan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara objektif, sistematis, dan rasional. Kartono (1985) dalam Rahmawati (2006) mengungkapkan bahwa mahasiswa sebagai anggota masyarakat memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain : 1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia. 2. Yang karena kesempatan di atas diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja. 3. Diharapkan dapat menjadi “daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi”. 4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan professional.
2.1.4 Pengasuhan Pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008). Tugas ini umumnya dikerjakan oleh ibu dan ayah (orang tua biologis dari anak), namun bila orang tua biologisnya tidak mampu melakukan pengasuhan, maka tugas ini diambil oleh kerabat dekat termasuk kakek, nenek, kakak, orang tua angkat, atau oleh institusi seperti panti asuhan (alternativ care), dan baby sitter. Pengasuhan dilakukan tidak hanya untuk
13
memenuhi kebutuhan fisik anak seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal. Brooks (2001) dalam Wulandari (2009) mengemukakan bahwa pengasuhan merupakan suatu proses panjang yang mencakup : 1. Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. 2. Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya. 3. Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan anak. 4. Proses mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua. 5. Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya. Kelima proses tersebut sangat menentukan seberapa besar
peran orang tua
terutama ibu dan pentingnya kebersamaan ibu dalam pengasuhan untuk memberikan pendidikan kepada anaknya agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kebersamaan ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya akan berdampak pada terbentuknya ikatan (bonding) yang kuat antara ibu dan anaknya dan pemberian pendidikan pun dapat diberikan secara optimal, sebaliknya apabila pengasuhan tidak dilakukan bersama dengan ibu akan berdampak pada lemahnya ikatan antara ibu dan anaknya serta pemberian pendidikan yang terjadi pada saat proses pengasuhan berlangsung tidak dapat diberikan oleh ibu secara optimal.
2.1.5 Lingkungan 2.1.5.1 Lingkungan Keluarga Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009). Secara prinsip keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki
14
peranannya masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga. Di dalam keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Parson dan Bales (1956) yang dikutip oleh Megawangi (1999) dalam Lestari (2008) membagi dua peran orang tua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental merupakan peran yang dihubungkan dengan pencarian nafkah keluarga untuk kelangsungan kehidupan seluruh anggota keluarga, sedangkan peran emosional merupakan peran dalam memberikan cinta, kelembutan dan kasih sayang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal bagi seseorang begitu ia dilahirkan di dunia. William Bennet dalam Hastuti (2008) mengungkapkan bahwa keluarga adalah tempat yang paling efektif dimana seorang anak menerima kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi hidupnya, serta kondisi kondisi biologis, psikologis, dan pendidikan serta kesejahteraan seorang anak amat tergantung pada keluarga :
“The biological, psychological, and educational well being of our children depend on the well being of the family, while the family is the original and most effective department of health, education and welfare. And if it fails to teach honesty, courage, desire for excellence, and a host of basic skills, it is exceedingly difficult for any other agency to make up its failures”. (Kesejahteraan biologis, psikologis, dan pendidikan seorang anak tergantung pada kesejahteraan keluarga, sementara keluarga sendiri adalah departemen paling orisinal dan efektif dalam pembentukan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Dan bila keluarga gagal dalam menciptakan kejujuran, keberanian, keinginan maju, dan serangkaian keterampilan dasar, maka akan sangat sulit bagi institusi manapun untuk memperbaiki kegagalan tersebut).
Kesimpulannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi anak maka kesejahteraan keluarga merupakan hal utama yang harus dibangun. Apabila anak
15
telah sejahtera, maka akan terbentuk anak yang berkualitas, berkompeten, dan dapat mandiri.
2.1.5.2 Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat dimana pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu secara objektif sesuai faktafakta yang ada, ternyata terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Menurut Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008) faktor-faktor ketimpangan gender dalam pendidikan adalah angka buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah (APS), pilihan bidang studi, komposisi staf perngajar dan kepala sekolah. Menurut Sudarta (2008) sendiri faktor penentu ketimpangan gender adalah masalah lama (sejarah), nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender dalam buku ajar, nilai gender yang ditanamkan guru, dan kebijakan yang timpang gender, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender adalah : 1. Pilihan Bidang Studi Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapat dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah Teknik Menengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya. Penjurusan di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotipe gender, anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajar yang lebih sedikit daripada anak laki-laki. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak dipacu belajar dan dibebaskan dari tugas yang berkaitan dengan pekerjaan urusan rumah tangga. Berkaitan dengan pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi yang dinyatakan oleh Sudarta (2008) bahwa proporsi laki-laki dan perempuan di
16
fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (pada tahun 1992/1993) menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan. Di samping itu, Agung Ariani (2002) dalam Sudarta (2008) juga menyatakan bahwa umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian pendidikannya memerlukan waktu pendek dan cepat bisa bekerja, sebagai alasannya adalah untuk menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan studi saudara laki-lakinya. 2. Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar Evaluasi terhadap bahan ajar pada tingkat sekolah dasar misalnya, contohcontoh seperti ibu pergi ke pasar dan ayah pergi ke kantor sudah harus direvisi. Demikian juga dengan Anti main masak-masakan dan Budi main layangan. Ma’ruf (2008) dalam Eliyani (2009) telah meneliti terdapat bias gender pada soalsoal Olimpiade Sains Nasional. Mengambil sampel Daerah Istimewa Yogyakarta, ditemukan bahwa ada soal Biologi yang menguntungkan perempuan karena secara substansial lekat dengan kehidupan perempuan, namun ada juga soal yang menguntungkan laki-laki karena melibatkan tingkatan kognitif yang lebih kompleks yaitu tingkatan analisis. Contoh yang lainnya yang dikemukakan oleh Sudarta (2008) yaitu mengenai sosialisasi gender di antaranya “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. “Ibu berbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”. Bentuk seksisme lain adalah gambar-gambar yang lebih sering menampilkan anak laki-laki dalam kegiatan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu ketimpangan gender juga telah termanifestasikan dalam penampilan sosok perempuan dalam bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Perempuan bisa tidak tampak dalam bahasa. Eliyani (2009) mengemukakan contoh lain ketimpangan gender dalam buku ajar yaitu bentuk nominal bermakna profesi seperti peneliti, pilot, pengusaha dan presiden dianggap mengandung makna laki-laki, karena apabila penyandang profesi tersebut adalah perempuan, kata-kata itu biasanya dimaknai dengan kata perempuan agar sosok perempuan termunculkan dalam kata-kata tersebut. Dengan demikian, seorang peneliti, pilot, pengusaha dan presiden yang berjenis kelamin perempuan akan disebut sebagai peneliti perempuan, pilot perempuan, pengusaha perempuan dan presiden perempuan. Pada wilayah domestik, dalam bahasa justru hanya perempuan yang
17
tampak. Contohnya istilah ibu rumah tangga tidak memiliki istilah pendamping bapak rumah tangga. Istilah pembantu lebih cenderung dikaitkan dengan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan (Sukamto (2008) dalam Eliyani (2009)). 3. Nilai Gender yang Ditanamkan Oleh Guru Guru merupakan “role model” yang sangat penting di luar lingkungan keluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsi tentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada murid (Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008)). Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar lebih memberikan penguatan positif pada anak perempuan dibanding dengan anak laki-laki dalam memberi instruksi dan aktivitas bermain. Memasuki sekolah menengah pertama dan menengah atas, baik oleh guru di sekolah dan orang tua di rumah, menasehati agar remaja laki-laki tidak cengeng dan remaja perempuan harus bisa memasak. Eliyani (2009) mengatakan bahwa guru ternyata lebih banyak melakukan percakapan dengan anak laki-laki sementara lebih sedikit berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan cenderung lebih banyak yang memulai duluan untuk berinteraksi dengan guru mereka daripada anak laki-laki. Selain itu hasil penelitian, dalam dunia sains yang dipaparkan oleh Eliyani (2009) umumnya juga menunjukkan bahwa tenaga pengajar memiliki persepsi yang sama dengan masyarakat luas, yaitu sains dan teknologi adalah dunia laki-laki. Sikap ini membuat mereka merasa wajar bila dalam kelas terdapat hanya sedikit anak perempuan. Lebih jauh tenaga pengajar juga cenderung lebih memberikan perhatian pada pelajar laki-laki daripada pelajar perempuan terutama pada bidangbidang yang “dominan laki-laki” (Voyless et al (2007) dalam Eliyani (2009)), seperti lebih banyak memanggil anak laki-laki, memberikan penghargaan dan kritik lebih banyak pada anak laki-laki atau di laboratorium memberikan ekspektasi lebih pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
18
2.1.5.3 Lingkungan Masyarakat Lingkungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 6 adalah daerah atau kawasan dan yg termasuk di dalamnya. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, mendiami suatu tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1999). Jadi lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Keluarga adalah, khususnya orang tua adalah tempat sosialisasi utama bagi anak. Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga berperan penting bagi anak. Lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi dengan orang-orang disekitar, baik dengan budaya, orang dewasa maupun teman sebaya (Ahmadi, 2004). Interaksi tersebut membuat anak mendapatkan suatu informasi atau pengetahuan mengenai peran gender mereka. Salah satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya. Banyak yang menganggap bahwa kondisi demikian normal saja. Seumur hidup, telah melihat suatu fakta bahwa perempuan bekerja di sektor domestik dan laki-laki mencari nafkah. Anak perempuan main boneka dan anak laki-laki main mobil-mobilan. Budaya yang demikian bukan hanya diterima baik oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu budaya kekeluargaan atau kekerabatan yang mengatur kehidupan masyarakatnya, terdiri dari tiga sistem kekerabatan yaitu : 1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lain.
6
Anonim, 2010, Lingkungan, www.pusatbahasa.diknas.go.id, diakses tanggal 17 April 2010.
19
2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis
perempuan (ibu), sistem
ini banyak dianut oleh
masyarakat Sumatra Barat. 3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya Menurut Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilinial juga menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki. Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa ada dua nilai gender yang menonjol yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan yaitu pendapat masyarakat yang mengatakan “Untuk apa anak perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga” dan “Untuk apa perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain juga”. Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol seperti masyarakat yang cenderung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Tidak berbeda dengan patrilinial, dalam sistem matrilinial perempuan merupakan ujung tombak untuk meneruskan garis keturunan keluarga dan sebagian besar hak waris diberikan kepada perempuan. Selain budaya di dalam lingkungan masyarakat, anak juga akan dipengaruhi oleh teman sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa anak-anak hingga dewasa sebagian besar orang akan membangun pertemanan dengan teman sebaya yang memiliki minat yang sama. Secara umum, Hartup dan Stevens (1999) dalam Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa memiliki teman adalah suatu hal yang positif sebab teman dapat mendorong selfesteem dan menolong dalam mengatasi stress, tetapi teman juga dapat memiliki
20
efek negatif jika mereka antisosial, menarik diri, tidak suportif, argumentatif, atau tidak stabil. Bronfenbrenner (1974) dalam Hastuti (2008), menuliskan bahwa anak adalah sebuah unsur dalam lingkungan. Pernyataannya ini didasari dari perspektif ekologi yang mengungkapkan bahwa seorang anak dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan sosial yang langsung (immediate social and physical environment), yaitu orang tua, saudara, sekolah, kemudian lingkungan luar lain yang lebih luas, seperti tetangga, teman orang tua, dan seterusnya. Bronfenbrenner juga menjelaskan bahwa interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikro, meso, exo dan makro. Lingkungan mikro adalah lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari, atau tempat dimana anak saling berinteraksi di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan berumah tangga. Menurut Berns (1997) dalam Hastuti (2008) lingkungan mikro adalah lingkungan paling luar yang sangat mempengaruhi anak. Peer group merupakan suatu wadah untuk bersosialisasi. Menurut Havighurst dalam Ahmadi (2004) peer group memiliki tiga fungsi, yaitu : a. Mengajarkan kebudayaan b. Mengajarkan mobilitas sosial atau perubahan status. c. Memberi peranan sosial yang baru. Jadi di dalam peer group anak akan belajar banyak hal diantaranya adalah budaya, status dan peranannya baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun masyarakat. 2.2 Kerangka Pemikiran Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang. Menurut Jatiningsih (2008)7 pendidikan berfungsi untuk membantu dan membekali serta mengembangkan potensi agar bisa hidup dan menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan atau perubahan kehidupan. Pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, 7
Oksiana Jatiningsih, 2008, Pendidikan Gender Bagi Calon Guru Sekolah Dasar Dalam Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Gender Di Sekolah, www.puslitjaknov.org, diakses tanggal 18 Desember 2009.
21
kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008). Menurut banyak ahli jiwa, fase anak menjadi seorang remaja akhir berkisar pada umur 17-19 tahun atau 17-21 tahun (Kartono (1990) dalam Wulandari (2009)). Mahasiswa digolongkan ke dalam fase remaja akhir dan memasuki fase dewasa awal karena mahasiswa terdiri dari sekelompok pemuda dan pemudi yang yang berkisar pada umur 18-30 tahun dengan mayoritas kelompok umur sekitar 18-25 tahun (Ahmad dan Sholeh (2006) dalam Wulandari (2009)). Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Mahasiswa mendapatkan pendidikan bukan hanya di lingkungan sekolah (perguruan tinggi) tetapi mahasiswa juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga semenjak ia masih kecil dan lingkungan masyarakat. Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui memahami perasaan orang lain dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam
memberikan
kesan,
penilaian,
pendapat,
merasakan
dan
menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi) mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Di lingkungan keluarga persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh pendidikan ibu dan pengasuhan yang mahasiswa terima dari ibu mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka pengetahuan ibu tentang gender semakin luas. Luasnya pengetahuan ibu tentang gender akan berdampak pada pendidikan yang ibu berikan pada mahasiswa ketika proses pengasuhan berlangsung yang merupakan pendidikan yang bermuatan gender. Pendidikan yang ibu berikan kepada mahasiswa pada waktu kecil sangat bergantung pada pengasuhan yang dilakukan ketika mahasiswa bersama dengan ibu atau pengasuhan tersebut dilakukan oleh ibu sendiri. Adanya kebersamaan mahasiswa dengan ibu ketika proses pengasuhan berlangsung maka pendidikan
22
gender yang diberikan oleh ibu dapat tersampaikan dan sebaliknya apabila proses pengasuhan berlangsung tanpa kebersamaan dengan ibu maka pendidikan gender yang seharusnya diberikan oleh ibu pada akhirnya tidak tersampaikan. Selain pendidikan ibu dan pengasuhan ibu di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi persepsi gender mahasiswa. Lingkungan sekolah merupakan tempat mahasiswa diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumbersumber dari keadaan sekitarnya. Lingkungan sekolah akan mempengaruhi mahasiswa dari pengajaran tentang pilihan bidang studi, nilai dan peran gender yang ada dalam buku ajar dan yang ditanamkan oleh guru sebagai role model di sekolah. Lingkungan masyarakat merupakan tempat mahasiswa bersosialisasi dengan budaya masyarakat dan teman-teman sebayanya. Di dalam lingkungan masyarakat budaya dan peer group-lah yang cukup kuat untuk mempengaruhi persepsi gender mahasiswa karena mahasiswa setiap hari akan berinteraksi dengan budaya dan teman-temannya.
Alur Kerangka Pemikiran
Lingkungan Keluarga : • Pendidikan Akhir Ibu • Pengasuhan Ibu : ¾ Bersama Ibu ¾ Tidak Bersama Ibu
Lingkungan Sekolah : • Ajaran pilihan bidang studi • Nilai dan peran gender dalam buku ajar dan • Nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru
Lingkungan Masyarakat : • Budaya • Peer Group
Persepsi Gender Mahasiswa
Gambar 1. Kerangka pemikiran
23
Keterangan : : Pengaruh langsung
2.3 Hipotesis Pengarah Hipotesis adalah jawaban sementara dari persoalan yang diteliti (Sarwono, 2006). Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran maka hipotesis yang didapat adalah : 1. Diduga bahwa terdapat hubungan antara lingkungan keluarga dengan persepsi gender mahasiswa. Semakin banyak pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari lingkungan keluarga maka semakin tinggi persepsi gender mahasiswa. 2. Diduga bahwa terdapat hubungan antara lingkungan sekolah dengan persepsi gender mahasiswa. Semakin banyak pendidikan gender yang mengajarkan keseimbangan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang diterima mahasiswa
dari lingkungan sekolah maka semakin tinggi persepsi gender
mahasiswa. 3. Diduga bahwa terdapat hubungan antara lingkungan masyarakat dengan persepsi gender mahasiswa. Semakin banyak pendidikan gender yang mengajarkan keseimbangan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang diterima mahasiswa dari lingkungan masyarakat maka semakin tinggi persepsi gender mahasiswa. 4. Diduga bahwa terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
2.4 Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang sedang diteliti menjadi bersifat operasional dalam kaitannya dengan proses pengukuran variabel-variabel tersebut (Sarwono, 2006). Beberapa definisi operasional yang dapat dibuat diantaranya :
24
1.
Pendidikan adalah suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik kepada anak didik sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik. Pengukuran pendidikan terdiri atas tiga kategori yaitu : a. Rendah
: SLTA (skor 1).
b. Sedang : Diploma (skor 2). c. Tinggi : S1 (skor 3). 2.
Pengasuhan adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua terutama ibu. Pengukuran pengasuhan mahasiswa diukur dari kebersamaan dan ketidakbersamaan mahasiswa dengan ibu ketika proses pengasuhan berlangsung, dimulai dari pengasuhan ketika mahasiswa masih kecil hingga dewasa. Terdiri dari dua kategori yaitu : a. Pengasuhan bersama ibu
: apabila skor bernilai 3 sampai 4.
b. Pengasuhan tidak bersama ibu : apabila skor bernilai 1 sampai 2. 3.
Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Lingkungan sekolah diukur dari ajaran pilihan bidang studi, nilai dan peran gender dalam buku ajar dan nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru.
4.
Ajaran pilihan bidang studi adalah ajaran dalam memilih bidang studi yang cocok untuk laki-laki dan perempuan. Pengukuran ajaran pilihan bidang studi dilihat dari pilihan mahasiswa apakah pilihan tersebut berdasarkan jenis kelamin atau tidak. Pengukurannya terdiri dari dua kategori yaitu: a. Rendah
: apabila laki-laki lebih memiliki banyak pilihan dalam memilih bidang studi dibandingkan perempuan atau sebaliknya perempuan lebih banyak pilihan dalam memilih bidang studi (skor 1-10).
b. Tinggi
: apabila laki-laki dan perempuan seimbang dalam memilih bidang studi (skor 11-20).
5.
Nilai dan peran gender dalam buku ajar adalah adanya nilai dan peran gender yang terkandung dalam buku ajar yang diajarkan oleh guru. Pengukuran nilai dan peran gender dalam buku ajar dilihat melalui buku-buku yang dipelajari
25
dan dibaca mahasiswa apakah mengajarkan tentang pembedaan antara lakilaki dan perempuan. Pengukurannya terdiri dari dua kategori yaitu: a. Rendah
: apabila laki-laki lebih diutamakan atau sebaliknya perempuan lebih diutamakan (skor 1-5).
b. Tinggi 6.
: apabila laki-laki dan perempuan seimbang (skor 6-10).
Nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru adalah adanya nilai dan peran gender yang yang diajarkan dan dicontohkan oleh guru sebagai ”role model”. Pengukuran nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru dilihat melalui pengajaran yang diberikan oleh guru kepada mahasiswa apakah pengajaran tersebut lebih mengutamakan laki-laki atau perempuan (ajaran yang timpang gender). Pengukurannya terdiri dari dua kategori yaitu: a. Rendah
: apabila guru lebih mengutamakan laki-laki atau sebaliknya lebih mengutamakan perempuan (skor 1-5).
b. Tinggi
: apabila guru memperlakukan dan memberikan pengajaran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan gender (skor 6-10).
7.
Lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Lingkungan masyarakat diukur dari budaya dan peer group.
8.
Budaya adalah nilai, norma, dan adat istiadat yang ada dalam kehidupan masyarakat dalam hal sopan santun dan cara berinteraksi dengan orang lain. Pengukuran budaya dilihat melalui budaya yang dianut oleh mahasiswa apakah budaya tersebut lebih mengutamakan laki-laki atau perempuan. Pengukurannya terdiri dari dua kategori yaitu: a. Rendah
: apabila budaya patrilinial atau matrilinial berpengaruh besar (skor 1-10).
b. Tinggi
: apabila budaya mengajarkan keseimbangan antara lakilaki dan perempuan (skor 11-20).
9.
Peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Pengukuran peer group dilihat melalui seberapa besar pengaruh
26
teman sebaya terhadap persepsi gender mahasiswa. Pengukurannya terdiri dari tiga kategori yaitu : a. Rendah : apabila orang lain atau pengasuh yang lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengajaran cara memperlakukan seorang lakilaki ataupun perempuan (skor 1-15). b. Sedang : apabila ibu yang lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengajaran cara memperlakukan seorang laki-laki ataupun perempuan (skor 16-30). c. Tinggi : apabila teman yang lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengajaran cara memperlakukan seorang laki-laki ataupun perempuan (skor 30-45). 10. Persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan keluarga adalah suatu proses yang digunakan mahasiswa untuk memcoba memahami perasaan orang lain dan memberikan penilaian tentang peran gender antara laki-laki dan perempuan yang diajarkan dalam lingkungan keluarga tentang kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pengukuran persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan keluarga dilihat melalui tanggapan atau pendapat mahasiswa tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga. Pengukurannya terdiri dari tiga kategori yaitu : a. Persepsi gender rendah : apabila mahasiswa masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga (skor 1-20). b. Persepsi gender tinggi : apabila mahasiswa menganggap bahwa baik lakilaki maupun perempuan memiliki peran dan fungsi yang seimbang dalam lingkungan keluarga (skor 21-40). 11. Persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan sekolah adalah suatu proses yang digunakan mahasiswa untuk mencoba mengetahui memahami perasaan orang lain dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sekolah. Pengukuran persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan sekolah dilihat melalui tanggapan atau
27
pendapat mahasiswa tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sekolah. Pengukurannya terdiri dari tiga kategori yaitu : a. Persepsi gender rendah : apabila mahasiswa masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sekolah (skor 1-20). b. Persepsi gender tinggi : apabila mahasiswa menganggap bahwa baik lakilaki maupun perempuan memiliki peran dan fungsi yang seimbang dalam lingkungan sekolah (skor 21-40). 12. Persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan masyarakat adalah adalah suatu proses yang digunakan mahasiswa untuk mencoba mengetahui memahami perasaan orang lain dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan masyarakat. Pengukuran persepsi gender mahasiswa dalam lingkungan masyarakat dilihat melalui tanggapan atau pendapat mahasiswa tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan masyarakat. Pengukurannya terdiri dari tiga kategori yaitu : a. Persepsi gender rendah : apabila mahasiswa masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan masyarakat (skor 1-20). b. Persepsi gender tinggi : apabila mahasiswa menganggap bahwa baik lakilaki maupun perempuan memiliki peran dan fungsi yang seimbang dalam lingkungan keluarga (skor 21-40).
28
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode survei dan pendekatan kualitatif. Metode survei adalah metode penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989). Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap responden dan informan untuk mendapatkan informasi lebih banyak serta melakukan observasi terhadap lokasi penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh melalui pengisian kuisioner dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder dapat diperoleh melalui dokumen-dokumen dari (lokasi penelitian) dan sumber pustaka lain yang bisa didapat dari buku, artikel, skripsi, tesis dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di STEI TAZKIA, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih karena pada umumnya fenomena ketimpangan gender masih tetap ada di tengah-tengah masyarakat yang telah berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga (ibu) yang telah mengenyam pendidikan tinggi terutama bagi mahasiswa, namun hal ini berbeda dengan mahasiswa yang ada di STEI TAZKIA dan berasal dari keluarga yang telah mengenyam pendidikan tinggi ternyata memiliki persepsi gender yang tinggi. Fenomena ini berbeda dari fenomena yang biasa terjadi pada umumnya sehingga merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian telah dilaksanakan pada awal April dan berakhir pada Mei 2010.
29
3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciricirinya akan diduga (Singarimbun dan Effendi, 1989). Responden adalah pihak yang memberi keterangan mengenai dirinya. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Penentuan responden dalam penelitian ini adalah dengan mengambil seluruh populasi. Hal ini disebabkan oleh jumlah populasi yang ada hanya 30 orang sehingga peneliti akan mempergunakan populasi mahasiswa sebagai responden dalam penelitian ini. Awalnya mahasiswa yang memenuhi syarat untuk menjadi responden berjumlah 33 orang namun 3 orang menolak untuk menjadi responden sehingga total mahasiswa yang bersedia menjadi responden berjumlah 30 orang. Populasi ini diambil berdasarkan angket yang telah disebarkan terlebih dahulu, dari 230 mahasiswa didapat hanya 30 orang yang bersedia dan memenuhi syarat untuk menjadi responden. Syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi responden yaitu responden harus memiliki seorang ibu yang bekerja, responden pernah diasuh oleh orang lain selain ibu (pengasuh) dan minimal pendidikan akhir ibu adalah tingkat SLTA. Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa sendiri dan beberapa orang staf STIE TAZKIA. Adanya informan ini berfungsi untuk menambah informasi yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini dan pemilihan informan dipilih dengan menggunakan teknik pusposive sampling atau secara sengaja.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang akan didapatkan dari hasil penelitian akan diolah ke dalam program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16,0. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi frekuensi, tabulasi silang dan Spearman. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh serta korelasi antara keduanya. Pengukuran analisis data kualitatif hanya terbatas pada teknik pengolahan data seperti membaca tabel atau diagram yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
30
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum STEI TAZKIA Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA (STEI TAZKIA) yang beralamat di Jalan Raya Darmaga KM 7 Bogor, merupakan perguruan tinggi yang lahir dalam krisis ekonomi tahun 1997 – 1998. Keterpurukan ekonomi dan runtuhnya industri perbankan nasional pada satu sisi dan bertahannya bank syariah pada sisi lain merupakan milestone dalam pengembangan ekonomi syariah sebagai ‘system of choice’. Setelah menyelenggarakan berbagai pelatihan tentang perbankan syariah bagi para bankir dan pejabat di lingkungan Bank Indonesia serta terlibat dalam proses konsultasi dalam konversi bank umum menjadi bank syariah, Tazkia termotivasi
untuk
mendirikan
lembaga
pendidikan
guna
menghasilkan
sumberdaya insani yang kompeten untuk mengembangkan perbankan syariah pada khususnya dan ekonomi syariah pada umumnya. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk pendirian Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA (STEI TAZKIA) melalui pendirian Yayasan Tazkia Cendekia pada pertengahan tahun 1999. STEI TAZKIA memiliki tiga jurusan yang dapat dipilih oleh mahasiswa yaitu jurusan Bisnis dan Manajemen Islam, jurusan Studi Akutansi Islam, dan jurusan Ilmu Ekonomi Islam. Setiap jurusan memiliki beberapa konsentrasi yang menjadi fokus pilihan untuk mendalami bidang tertentu pada suatu jurusan atau dengan kata lain dalam satu jurusan ada jurusan lain yang bisa diambil. Jurusan Bisnis dan Manajemen Islam memiliki tiga konsentrasi bidang studi yaitu Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Islam, Konsentrasi Pemasaran dan Kewirausahaan Islam, dan Konsentrasi Asuransi dan Reasuransi Islam. Jurusan Studi Akutansi Islam memiliki dua konsentrasi yaitu Konsentrasi Sistem Informasi dan Konsentrasi Auditing. Jurusan Ilmu Ekonomi Islam memiliki dua konsentrasi yaitu Konsentrasi Ekonomi Pembangunan dan Konsentrasi Keuangan
31
dan Moneter. Adanya konsentrasi ini dimaksudkan agar mahasiswa lebih dapat mendalami bidang yang diinginkannya. Staf pengajar STEI TAZKIA terdiri dari dosen tetap dan dosen tidak tetap. Dosen tetap berjumlah 35 orang yang terdiri dari 3 orang bergelar doktor, 21 orang bergelar master, dan11 orang bergelar sarjana. Dosen tidak tetap berjumlah 76 orang yang terdiri dari 5 orang bergelar doktor, 49 orang bergelar master, 21 orang bergelar sarjana, dan 1 orang lulusan diploma. Semua staf pengajar STEI TAZKIA bersikap ramah dan terbuka pada setiap mahasiswa, sehingga tidak ada kesan kaku atau jarak antara dosen dan mahasiswanya. Setiap tahunnya jumlah mahasiswa yang diterima di STEI TAZKIA berbeda-beda, salah satunya yaitu mahasiswa yang diterima di tahun 2009 (angkatan 2009). Jumlah mahasiswa angkatan 2009 yaitu sebanyak 230 orang. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah seluruh mahasiswa STEI TAZKIA angkatan 2009 terdiri dari perempuan yang berjumlah 129 orang (56,1%) dan laki-laki berjumlaj 101 orang (43,9%). Tabel 1. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin, Bogor 2010 Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki Total
Jumlah (n) 129 101 230
Persentase (%) 56,1 43,9 100,0
Mahasiswa yang mendaftar di STEI TAZKIA juga memiliki rentang usia yang berbeda-beda antara satu sama lain yaitu berkisar antara 18-23 tahun. Hal ini terlihat berdasarkan Tabel 2 untuk mahasiswa yang berusia 17 tahun sebanyak 16 orang (7,0%), berusia 18 tahun 129 orang (56,1%), berusia 19 tahun sebanyak 51 orang (22,2%), berusia 20 tahun sebanyak 8 orang (3,5%), berusia 21 tahun sebanyak 20 orang (8,7%), berusia 22 tahun sebanyak 4 orang (1,7%), dan berusia 23 tahun sebanyak 1 orang (0,4%).
32
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Umur, Bogor 2010 Usia 17 18 19 20 21 22 23 Total
Jumlah (n) 16 129 51 8 20 4 1 230
Persentase (%) 7,0 56,1 22,2 3,5 8,7 1,7 0,4 100,0
STEI TAZKIA tidak hanya menerima mahasiswa yang berasal dari Bogor saja tetapi STEI TAZKIA juga menerima mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tabel 3 menunjukkan mahasiswa yang berasal dari daerah Sunda sebanyak 121 orang (52,6%), daerah Sumatra sebanyak 32 orang (13,9%), daerah Nusa Tenggara sebanyak 28 orang (12,2%), daerah Jawa sebanyak 21 orang (9,1%), daerah Jakarta sebanyak 19 orang (8,3%), daerah Kalimantan sebanyak 5 orang (2,2%), dan dari daerah Sulawesi sebanyak 4 orang (1,7%).
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010 Asal Daerah Sunda Sumatra Nusa Tenggara Jawa Jakarta Kalimantan Sulawesi Total
Jumlah (n) 121 32 28 21 19 5 4 230
Persentase (%) 52,6 13,9 12,2 9,1 8,3 2,2 1,7 100,0
Banyak anggapan yang menyatakan bahwa pada umumnya mahasiswa yang diterima di STEI TAZKIA adalah mahasiswa yang dulunya sekolah bersekolah di pesantren, namun pada kenyataannya ternyata STEI TAZKIA menerima mahasiswa yang berasal dari sekolah manapun. Tabel 4 menunjukkan bahwa STEI TAZKIA menerima mahasiswa yang berasal dari SMA sebanyak 96 orang
33
(41,7%), MA sebanyak 71 orang (30,9%), Pesantren sebanyak 32 orang (13,9%), dan SMA IT (Islam Terpadu) sebanyak 31 orang (13,5%).
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010 Asal Sekolah SMA MA Boarding School Pesantren SMA IT Boarding School Total
Jumlah (n) 96 71 32 31 230
Persentase (%) 41,7 30,9 13,9 13,5 100,0
Mahasiswa STEI TAZKIA juga berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Sebagian besar orang tua mahasiswa telah mengenyam pendidikan tinggi terutama ibu mahasiswa. Hal ini terlihat dari Tabel 5 yang menunjukkan tingkat pendidikan ibu, ibu yang berpendidikan SD sebanyak 22 orang (9,6%), SMP sebanyak 29 orang (12,6%), SMA sebanyak 91 orang (39,6%), Diploma 37 orang (16,1%), S1 sebanyak 48 orang (20,9%) dan S2 sebanyak 3 orang (1,3%).
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Pendidikan Ibu, Bogor 2010 Pendidikan Ibu SD SMP SMA Diploma S1 S2 Total
Jumlah (n) 22 29 91 37 48 3 230
Persentase (%) 9,6 12,6 39,6 16,1 20,9 1,3 100,0
4.1.2 Sarana dan Prasarana Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di STEI TAZKIA terdiri dari gedung perkuliahan, asrama, perpustakaan, masjid kampus dan laboratorium komputer. Perkuliahan dilakukan di tiga gedung terpisah. Setiap gedung memiliki nama masing-masing yaitu gedung Abu Yusuf, gedung Al Maqrizi, dan gedung
34
Ibnu Khaldun. Gedung Abu Yusuf terdiri dari delapan kelas, Gedung Al Maqrizi terdiri dari tiga kelas, dan Gedung Ibnu Khaldun terdiri dari empat kelas. Gedung asrama merupakan tempat mahasiswa tinggal dan hanya diperuntukan bagi mahasiswa baru. Gedung asrama terdiri dari dua gedung yaitu gedung Abu Ubaid diperuntukan untuk laki-laki dan gedung Al-Maqrizi yang diperuntukan untuk perempuan. Total kamar pada gedung asrama sebanyak 50 kamar dan masing-masing kamar dapat menampung 4 hingga 5 mahasiswa. Gedung perpustakaan bagi seluruh akademika STEI TAZKIA berfungsi sebagai sumber media informasi dan layanan pendidikan serta pengajaran yang berisikan berbagai macam buku dan literatur bagi akademika STEI TAZKIA. Perpustakaan STEI TAZKIA memiliki berbagai macam koleksi. Koleksi tersebut antara lain koleksi teks yang berupa bermacam-macam buku tentang ekonomi, koleksi referensi seperti ensiklopedia, kamus, indeks, laporan tahunan dan kliping, koleksi terbitan berseri seperti jurnal dan majalah. Koleksi ini akan terus bertambah seiring dengan kubutuhan akademika STEI TAZKIA akan informasi ekonomi saat ini. Selain gedung perpustakaan STEI TAZKIA juga memiliki gedung laboratorium komputer yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan praktikum mahasiswa dan penunjang produktivitas para dosen dan mahasiswa.
4.2 Karakteristik Umum Mahasiswa Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah 30 orang dan merupakan mahasiswa STEI TAZKIA angkatan 2009. Karakteristik umum mahasiswa dibedakan menjadi beberapa karakteristik guna untuk memperjelas karakter dari mahasiswa yang menjadi mahasiswa dalam penelitian ini.
4.2.1 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin Sebagian besar mahasiswa yang menjadi mahasiswa dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin perempuan. Mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 16 orang (53,3%) dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 14 orang (46,7%).
35
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin, Bogor 2010 Jenis Kelamin Perempuan Laki-Laki Total
Jumlah (n) 16 14 30
Persentase (%) 53,3 46,7 100,0
4.2.2 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Usia Mahasiswa yang menjadi responden dalam penelitian memiliki usia yang berda-beda. Sebagian besar mahasiswa berusia 18 tahun. Mahasiswa yang berusia 18 tahun berjumlah 13 orang (43,3%), berusia 19 tahun berjumlah 12 orang (40,0%), berusia 20 tahun berjumlah 3 orang (10%), berusia 21 tahun berjumlah 1 orang (3,3%) dan berusia 22 tahun berjumlah 1 orang (3,3%). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Usia, Bogor 2010 Usia 18 19 20 21 22 Total
Jumlah (n) 13 12 3 1 1 30
Persentase (%) 43,3 40,0 10,0 3,3 3,3 100,0
4.2.3 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Mahasiswa yang menjadi responden berasal dari daerah yang berbeda-beda sehingga digolongkan menjadi 7 daerah besar yaitu Sumatra, Jawa, Sulawesi, Sunda, Jakarta, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah Jawa dan Sumatra. Mahasiswa yang berasal dari Sumatra berjumlah 8 orang (26,7%), Jawa 8 orang (26,7%), Sunda 7 orang (23,3%), Nusa Tenggara 3 orang (10,0%), Jakarta 2 orang (6,7%), Sulawesi 1 orang (3,3%), dan Kalimantan 1 orang (3,3%).
36
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010 Asal Daerah Sumatra Jawa Sunda Nusa Tenggara Jakarta Sulawesi Kalimantan Total
Jumlah (n) 8 8 7 3 2 1 1 30
Persentase (%) 26,7 26,7 23,3 10,0 6,7 3,3 3,3 100,0
4.2.4 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah Setiap mahasiswa berasal dari sekolah yang berbeda-beda sebelum mereka bersekolah di STIE TAZKIA. Sebagian besar mahasiswa bersekolah di SMA yaitu sebanyak 13 orang (43,3%), selain itu ada juga yang bersekolah di MA Boarding School sebanyak 8 orang (26,7%), Pesantren sebanyak 5 orang (16,7%) dan SMA IT (Islam Terpadu) Boarding School sebanyak 4 orang (13,3%). Mahasiswa yang bersekolah di SMA tidak tinggal di asrama sedangkan yang bersekolah di MA Boarding School pada umumnya tinggal di asrama tetapi ada juga yang tidak tinggal di asrama dan mahasiswa yang bersekolah di pesantren serta SMA IT Boarding School mereka diharuskan untuk tinggal di asrama. Dampaknya adalah bagi mahasiswa yang bersekolah di pesantren, SMA IT Boarding School, dan sebagian di
MA Boarding School mereka tidak bisa
bertemu dengan keluarga mereka terutama ibu mereka sehingga mereka lebih banyak menerima pengasuhan dari guru mereka di sekolah dibandingkan dengan ibu mereka sendiri. Bagi mahasiswa yang bersekolah di SMA, dan sebagian MA Boarding School dapat tinggal dengan orang tua mereka namun mereka tetap memiliki waktu yang sedikit untuk bertemu dengan ibu mereka karena banyaknya kegiatan yang mereka ikuti di sekolah sehingga waktu mereka lebih banyak di sekolah daripada di rumah.
37
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010 Asal Sekolah SMA MA Boarding School Pesantren SMA IT Boarding School Total
Jumlah (n) 13 8 5 4 30
Persentase (%) 43,3 26,7 16, 7 13,3 100,0
4.2.5 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir Ibu Tingkat pendidikan ibu mahasiswa berbeda-beda. Pendidikan orang tua mahasiswa digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu mahasiswa yang ibunya berpendidikan S1 (tinggi) sebanyak 14 orang (46,7%), Diploma (sedang) 6 orang (20%), dan SLTA (rendah) 10 orang (33,3%). Jadi pada umumnya ibu mahasiswa telah mengenyam pendidikan tinggi yaitu S1. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir Ibu, Bogor 2010
Pendidikan Ibu S1 Diploma SLTA Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 7 23,3 7 23,3 2 6,7 4 13,3 5 16,7 5 16,7 14 46,7 16 53,3
Total n 14 6 10 30
% 46,7 20,0 33,3 100,0
4.2.6 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu Orang tua mahasiswa khususnya ibu mahasiswa memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi pekerjaan yang paling dominan yang digeluti oleh ibu mahasiswa adalah guru yaitu sebanyak 9 orang (30,0%) kemudian diikuti oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 8 orang (26,7%), wiraswasta 6 orang (20,0%), wirausaha 6 orang (20,0%) dan petani 1 orang (3,3%).
38
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu, Bogor 2010
Pekerjaan Ibu Guru PNS Wiraswasta Wirausaha Petani Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 4 13,3 5 16,7 4 13,3 4 13,3 1 3,3 5 16,7 4 13,3 2 6,7 1 3,3 0 0 14 46,7 16 53,3
Total n 9 8 6 6 1 30
% 30,0 26,7 20,0 20,0 3,3 100,0
4.2.7 Karaktristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu Budaya yang dimiliki oleh ibu mahasiswa diukur melalui asal daerah ibu. Asal daerah ibu digolongkan menjadi 7 golongan daerah besar yaitu Jawa, Sumatra, Sunda, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, dan Nusa Tenggara. Sebagian besar ibu mahasiswa STEI TAZKIA berasal dari daerah Jawa sehingga dalam memberikan pengasuhan pun tidak menutup kemungkinan budaya Jawa juga akan masuk. Ibu mahasiswa yang berasal dari daerah Jawa sebanyak 12 orang (40,0%), Sumatra 9 orang (30,0%), Sunda 4 orang (13,3%), Kalimantan 2 orang (6,7%), Sulawesi 1 orang (3,3%), Jakarta 1 orang (3,3%), dan Nusa Tenggara 1 orang (3,3%). Tabel 12. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu, Bogor 2010 Suku Bangsa Ibu
Jawa Sumatra Sunda Kalimantan Jakarta Nusa Tenggara Sulawesi Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 6 20,0 6 20,0 5 16,7 4 13,3 2 6,7 2 6,7 0 0 2 6,7 1 3,3 0 0 0 0 1 3,3 0 0 1 3,3 14 46,7 16 53,3
Total n 12 9 4 2 1 1 1 30
% 40,0 30,0 13,3 6,7 3,3 3,3 3,3 100,0
39
BAB V PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKILAKI DAN PEREMPUAN
5.1 Lingkungan Keluarga Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009). Secara prinsip keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi diantara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga. Keluarga, khususnya orang tua adalah tempat sosialisasi utama bagi mahasiswa terutama sosialisasi gender. Di lingkungan keluarga mahasiswa mendapatkan pendidikan gender melalui pendidikan orang tua terutama ibu karena ibu yang paling dekat dengan anak dari semenjak ia lahir dan dari proses pengasuhan dari ibu karena dari proses pengasuhanlah pendidikan gender diberikan. Di lingkungan keluarga juga tidak hanya diajarkan pendidikan gender tentang kehidupan keluarga tetapi juga tentang gender tentang kehidupan sekolah dan masyarakat. Besar kecilnya nilai gender yang diberikan di lingkungan keluarga bergantung dari kebersamaan antara ibu dengan mahasiswa. Semakin banyak kebersamaan mahasiswa dengan ibunya maka semakin banyak pula pendidikan gender yang mahasiswa terima dari ibunya yang berpendidikan tinggi.
5.1.1 Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga. Pendidikan merupakan suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau latihan kepada anak didik (mahasiswa) yang akan diterapkan di masa yang akan datang sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik. Hipotesis dalam penelitian ini menduga bahwa pendidikan berperan penting dalam mempengaruhi persepsi
40
seseorang karena melalui ilmu yang didapat dari pendidikanlah seseorang dapat membuat suatu keputusan dengan benar. Semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik persepsi yang dikeluarkan karena hal tersebut berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan. Berdasarkan Tabel 13, menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan dengan tingginya persepsi gender mahasiswa dan jenis kelamin. Tinggi rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi baik untuk mahasiswa laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini terbukti berdasarkan dari data yang diperoleh di lapangan bahwa tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan ternyata tidak hanya berasal dari pendidikan gender ibu yang kemudian menjadi dasar ibu dalam memberikan pendidikan gender kepada mahasiswa sedari ia kecil. Tingginya persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi walaupun ibu mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan memiliki pendidikan tinggi tetapi yang paling mempengaruhi persepsi gender mahasiswa berasal dari lingkungan sekolah dan masyarakat.
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pendidikan Ibu SLTA Diploma n % n % 5 50,0 2 33,3 5 50,0 4 66,7 0 0 0 0 0 0 0 0 10 100,0 6 100,0
Total
S1 n 7 7 0 0 14
% 50,0 50,0 0 0 100,0
n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
41
5.1.2 Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah. Tidak berbeda dengan Tabel 13, Tabel 14 juga menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan dengan tingginya persepsi gender mahasiswa dan jenis kelamin. Tinggi rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi baik untuk mahasiswa laki-laki atau perempuan. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa sedari ia kecil dari ibu tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tingginya persepsi gender mahasiswa ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi walaupun ibu mahasiswa telah mengenyam pendidikan tinggi tetapi tidak menjadi jaminan persepsi gender mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan juga tinggi, dan ternyata lingkungan sekolah dan masyarakatlah yang paling berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pendidikan Ibu Diploma % n % 50,0 2 33,3 50,0 4 66,7 0 0 0 0 0 0 100,0 6 100,0
SLTA n 5 5 0 0 10
Total
S1 n 7 7 0 0 14
% 50,0 50,0 0 0 100,0
n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
5.1.3 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat. Sama dengan Tabel 13 dan Tabel 14, Tabel 15 menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan sama sekali dengan jenis kelamin dan
42
tingginya persepsi gender mahasiswa. Tinggi atau rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan tinggi. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan oleh sebagian besar pengaruh pendidikan gender yang diterima oleh mahasiswa berasal dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi pendidikan gender yang diterima mahasiswa di lingkungan keluarga sedari ia kecil dapat dikalahkan oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa ketika ia sudah terjun ke dalam lingkungan sekolah dan masyarakat.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pendidikan Ibu Diploma % n % 50,0 2 33,3 50,0 4 66,7 0 0 0 0 0 0 100,0 6 100,0
SLTA n 5 5 0 0 10
Total
S1 n 7 7 0 0 14
% 50,0 50,0 0 0 100,0
n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
5.1.4 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga. Pengasuhan merupakan suatu cara dalam mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008). Tugas ini umumnya dikerjakan oleh orang tua terutama ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak dari semenjak ia lahir. Pengasuhan dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik anak seperti
43
sandang, pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal. Berdasarkan Tabel 16, menunjukkan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Pengasuhan tidak bersama dan bersama ibu bernilai tinggi pada tingginya persepsi gender mahasiswa dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50% dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang diterima mahasiswa baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa namun dari Tabel 16 dapat juga diketahui bahwa mahasiswa perempuan lebih sering mendapatkan pengasuhan bersama ibu (58,3%) daripada mahasiswa laki-laki (41,7%). Data pada Tabel 16 didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa :
“Dulu emang gak banyak menerima pendidikan gender dari ibu, karena saya harus tinggal di asrama” (Hicta).
Tinggalnya mahasiswa di asrama merupakan peraturan yang telah ditetapkan oleh sekolah mereka dahulu seperti ketika mereka sekolah di SMA IT (Islam Terpadu) Boarding School,
MA Boarding School dan Pesantren yang mewajibkan
mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan untuk tinggal di asrama. Selain itu mahasiswa juga banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah sehingga waktu mereka lebih banyak berada di sekolah dari pada di rumah dengan ibu mereka, namun mahasiswa laki-laki apabila tidak ada kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan temannya dari pada tinggal di rumah sehingga pendidikan gender yang seharusnya diberikan ibu dalam proses pengasuhan tidak tersampaikan dan mahasiswa laki-laki juga kurang berinteraksi dengan ibunya, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak ada kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka daripada keluar
44
bermain atau pergi dengan teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu di rumah. Jadi mahasiswa perempuan cukup banyak mendapatkan pendidikan gender dari ibu mereka dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah
L P L P
Total
Pengasuhan Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu n % n % 9 50,0 5 41,7 9 50,0 7 58,3 0 0 0 0 0 0 0 0 18 100,0 12 100,0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
5.1.5 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah. Tidak berbeda dengan Tabel 16, Tabel 17 juga menunjukan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa baik itu bersama atau tidak bersama ibu persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini terlihat dari tabel bahwa persepsi gender mahasiswa tetap tinggi dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50% dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa. Data pada Tabel 17 juga didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak banyak menerima pendidikan gender tentang kehidupan sekolah dari ibu mereka, hal ini disebabkan oleh ketika telah memasuki usia sekolah mereka lebih banyak berada di sekolah karena mengikuti ekstrakulikuler dan ada juga mahasiswa yang harus tinggal di asrama, sehingga tidak menerima pengasuhan dari ibu dan akhirnya pendidikan gender ibu tidak tersampaikan kepada mahasiswa karena dari proses pengasuhanlah pendidikan gender disampaikan.
45
Bagi mahasiswa laki-laki apabila mereka tidak ada kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan teman-temannya dari pada tinggal di rumah sehingga mereka kurang berinteraksi dengan ibu mereka, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak ada kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka daripada keluar bermain atau pergi dengan teman-teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu. Jadi mahasiswa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya berada di luar rumah sehingga mereka tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari ibu dibandingkan dengan mahasiswa perempuan yang lebih banyak mendapatkan pengasuhan ibu sehingga pendidikan gender yang diterima mahasiswa perempuan cukup banyak yang mereka terima dari ibu selain yang mereka dapatkan dari sekolah dan masyarakat sedangkan mahasiswa lakilaki lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari sekolah dan teman mereka.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pengasuhan Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu n % n % 9 50,0 5 41,7 9 50,0 7 58,3 0 0 0 0 0 0 0 0 18 100,0 12 100,0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
5.1.6 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat. Sama dengan Tabel 16 dan Tabel 17, Tabel 18 juga menunjukan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi. Tabel 18 menunjukan persepsi gender mahasiswa tetap tinggi dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50% dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang
46
diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa. Data Tabel 18 juga didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa ternyata mahasiswa lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah sehingga lingkungan sekolah memiliki pengaruh lebih besar terhadap persepsi gender mahasiswa daripada ibu. Bagi mahasiswa laki-laki apabila mereka tidak memiliki kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan teman dari pada tinggal di rumah, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak memiliki kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka. Jadi mahasiswa laki-laki tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari ibu karena mereka lebih sering berada di luar rumah dari pada di rumah, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebih banyak mendapatkan pengasuhan ibu sehingga pendidikan gender yang diterima mahasiswa perempuan cukup banyak yang mereka terima dari ibu daripada mahasiswa laki-laki.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pengasuhan Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu n % n % 9 50,0 5 41,7 9 50,0 7 58,3 0 0 0 0 0 0 0 0 18 100,0 12 100,0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
5. 2 Lingkungan Sekolah. Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat mahasiswa diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu dengan objektif sesuai fakta-fakta yang ada, ternyata masih terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan
47
sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Faktorfaktor tersebut terdiri dari pilihan bidang studi, nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, dan nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru. 5.2.1 Hubungan Antara Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Ajaran Pilihan Bidang Studi pada Lingkungan Sekolah. Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa ajaran pilihan bidang studi yang diterima oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan saat berada di sekolah ternyata tinggi dan hampir seluruh mahasiswa memiliki persepsi gender terhadap ajaran pilihan bidang studi juga tinggi. Artinya ajaran tentang pilihan bidang studi yang tinggi gender (tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan) yang diterima mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan, ternyata berdampak pada tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Ajaran pilihan bidang studi yang diterima oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan lebih banyak mengajarkan untuk memilih bidang studi berdasarkan keinginan sendiri bukan paksaan dari orang lain, guru atau pilihan bidang studi yang berdasarkan jenis kelamin mereka, walaupun ada juga pendidikan gender yang diterima mahasiswa rendah namun rendahnya pendidikan gender ini tidak diambil oleh mahasiswa. Tingginya pendidikan gender yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan didukunh oleh pernyatan mahasiswa yang mengatakan :
“Saya waktu pemilihan jurusan pada saat masuk perguruan tinggi atau SMA gak ada paksaan dari siapapun, kalo mampu dan suka ya masuk aja” (Hansa).
Tabel 19 juga menunjukkan bahwa nilai ajaran pilihan bidang studi yang diterima mahasiswa di sekolah tinggi berdampak pada persepsi gender mahasiswa yang juga bernilai tinggi yaitu untuk mahasiswa laki-laki sebesar 43,3 persen dan mahasiswa perempuan 53,4 persen, namun terdapat mahasiswa laki-laki yang memiliki persepsi gender yang rendah (3,3%) padahal pendidikan tentang ajaran yang diterima bernilai tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak semua ajaran yang mahasiswa laki-laki dapatkan adalah pendidikan yang tinggi gender. Ternyata ada beberapa buku yang dipelajari oleh mahasiswa laki-laki dan ajaran dari gurunya
48
yang masih mengajarkan pendidikan yang rendah gender. Bagi mahasiswa yang lain rendahnya pendidikan gender tersebut tidak mereka ambil karena menurut mereka sekarang merupakan zaman modern dimana siapapun bisa melakukan apapun yang mereka mau asalkan mereka bisa bertanggung jawab, tetapi bagi mahasiswa laki-laki tersebut ia beranggapan bahwa seorang laki-laki masih memiliki tanggung jawab penuh dalam semua aturan kehidupan. Ia beranggapan bahwa kedudukan laki-laki memang harus lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki memiliki tanggung jawab penuh dalam kehidupan dibandingkan perempuan.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah
L P L P
Total
Ajaran Pilihan Bidang Studi Tinggi Rendah n % n % 13 43,3 0 0 16 53,4 0 0 1 3,3 0 0 0 0 0 0 30 100,0 0 0
Total n 13 16 1 0 30
% 43,3 53,4 3,3 0 100,0
5.2.2 Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran Gender pada Buku Ajar pada Lingkungan Sekolah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,539 dan P-value sebesar 0,002. Nilai tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan karena nilai P-value < 0,05 antara nilai dan peran gender dari buku ajar dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender pada buku ajar di lingkungan sekolah. Artinya hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima karena dari hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nilai dan peran gender dari buku ajar dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender pada buku ajar pada lingkungan sekolah.
49
Hasil uji korelasi Spearman didukung oleh Tabel 20 yang menunjukkan bahwa nilai dan peran gender dari buku ajar yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan tinggi maka persepsi gender mahasiswa juga tinggi yaitu dengan nilai 33,3 persen untuk mahasiswa laki-laki dan 62,5 persen untuk mahasiswa perempuan. Hasil penelitian membuktikan bahwa apapun yang diajarkan di dalam buku ternyata berpengaruh cukup kuat terhadap persepsi gender mahasiswa baik lakilaki maupun perempuan. Hal ini didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan :
“Hal yang paling berpengaruh dalam hidup saya adalah buku karena buku bisa membuat kita mampu melihat dunia dan dapat membuat hal-hal yang awalnya tidak tahu menjadi tahu” (Arazi).
Buku yang mahasiswa pelajari pada umumnya tidak mengajarkan tentang penyimpangan terhadap gender, malah sebaliknya membuat mahasiswa menganggap bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan apapun yang diinginkan sesuai dengan kemampuannya. Walaupun ada beberapa buku tetapi tidak banyak yang mengajarkan laki-laki lebih utama dibandingkan perempuan, tetapi hal itu tidak begitu mempengaruhi mereka dalam berpersepsi tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total P-value
L P L P
Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar Rendah Tinggi n % n % 2 33,3 8 33,3 1 16,7 15 62,5 3 50,0 1 4,2 0 0 0 0 6 100,0 24 100,0 0,002
Total n 10 16 4 0 30
% 33,3 53,4 13,3 0 100,0
50
5.2.3 Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru pada Lingkungan Sekolah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,484 dan P-value sebesar 0,007. Nilai tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan karena nilai P-value > 0,05 antara nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru di lingkungan sekolah. Artinya hipotesis dalam penelitian ini diterima karena dari hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender yang ditanamkan guru pada lingkungan sekolah. Berdasarkan Tabel 21, menunjukkan bahwa nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru tinggi maka persepsi gender mahasiswa juga tinggi yaitu sebesar 52,6 persen untuk mahasiswa laki-laki dan 42,1 persen untuk mahasiswa perempuan. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang diajarkan oleh guru mahasiswa baik waktu mereka masih di sekolah ataupun sekarang setelah masuk universitas ternyata berpengaruh cukup kuat terhadap persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Hal ini didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan :
“Apapun yang diajarkan oleh guru kalo baik dan berguna kedepannya, kenapa gak untuk diambil” (Fauzi).
Umumnya pendidikan yang diberikan oleh guru mahasiswa adalah pendidikan yang tidak mengutamakan kedudukan antara laki-laki ataupun perempuan tetapi malah sebaliknya pendidikan dari guru mereka adalah pendidikan yang mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang seimbang. Walaupun tidak dapat disangkal ada beberapa guru mereka pada waktu di sekolah yang mengajarkan bahwa laki-laki lebih utama
51
dibandingkan perempuan, tetapi hal itu tidak mempengaruhi mereka dalam berpersepsi tentang posisi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total P-value
L P L P
Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru Rendah Tinggi n % n % 2 18,2 10 52,6 4 36,4 8 42,1 1 9,0 1 5,3 4 36,4 0 0 11 100,0 19 100,0 0,002
Total n 12 12 2 4 30
% 40,0 40,0 6,7 13,3 100,0
5.3 Lingkungan Masyarakat. Lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Salah satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya. Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu budaya pada sistem kekerabatan masyarakat yang juga berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat itu sendiri, terdiri dari tiga sistem kekerabatan yaitu sistem kekerabatan patrilinial, sistem kekerabatan matrilinial dan sistem kekerabatan parental. Menurut Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilineal juga menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki. Selain budaya di dalam lingkungan masyarakat, mahasiswa juga akan dipengaruhi oleh teman sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki
52
status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa mahasiswa masih kecil hingga mereka dewasa. Melalui peer group mahasiswa akan belajar banyak hal diantaranya adalah budaya, status dan peranannya baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
5.3.1 Hubungan Antara Budaya dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa terhadap Budaya. Budaya yang diterima oleh mahasiswa baik dari lingkungan keluarga ataupun dari lingkungan masyarakat diduga berhubungan dengan persepsi gender mahasiswa. Semakin banyak mahasiswa melakukan interaksi dengan berbagai budaya yang ada maka semakin lebih terbuka mahasiswa dalam memilih budaya yang akan diikutinya. Sebagian besar mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan berasal dari daerah yang berbeda-beda, sehingga budaya yang dianut oleh respoden pun berbeda-beda pula. Ada mahasiswa yang berasal dari daerah Sumatra dimana terdapat sistem kekerabatan patrilinial dan sistem kekerabatan matrilinial serta ada pula yang berasal dari daerah Jawa, Sunda dan daerah lainnya yang pada umumnya menganut sistem kekerabatan parental. Baik secara langsung maupun tidak langsung sistem kekerabatan yang dianut dalam suatu keluarga dapat berdampak pada kehidupan mahasiswa.
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Budaya Kekerabatan dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Budaya Kekerabatan Parental Patrilinial n % n % 13 52,0 0 0 11 44,0 2 100,0 1 4,0 0 0 0 0 0 0 25 100,0 2 100,0
Matrilinial n % 0 0 3 100,0 0 0 0 0 3 100,0
Total n 13 16 1 0 30
% 43,3 53,4 3,3 0 100,0
Tabel 22, menunjukkan bahwa budaya yang dianut oleh mahasiswa seperti patrilinial yang lebih mengutamakan laki-laki, budaya matrilinial yang lebih mengutamakan perempuan, dan budaya parental yang seimbang antara kedudukan
53
laki-laki dan perempuan, ternyata semua budaya tersebut tidak berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa. Terlihat dari Tabel 22, budaya yang dianut oleh mahasiswa baik itu budaya patrilinial yang mengajarkan bahwa laki-laki lebih utama, budaya matrilinial yang mengajarkan perempuan lebih utama, maupun budaya parental yang mengajarkan kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Jadi budaya tidak berhubungan dengan persepsi gender mahasiswa karena baik itu budaya patrilinial, matrilineal, maupun parental persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini didukung pula oleh pernyataan mahasiswa yang ternyata memiliki orang tua dimana ibu dan ayahnya berasal dari daerah yang berbeda-beda. Perkawinan campuran dua daerah ini menyebabkan budaya yang dianut dalam sistem kekerabatan keluarga merupakan sistem kekerabatan parental yang merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan ayah dan ibu, sehingga di dalam keluarga tidak pernah mengutamakan laki-laki ataupun perempuan, semuanya memiliki kedudukan yang sama dalam keluarga. Selain itu semakin sering mahasiswa terjun ke dalam dunia masyarakat dan bergaul dengan teman-teman sebayanya, membuat mahasiswa menjadi lebih terbuka dalam memposisikan laki-laki dan perempuan pada kehidupan sehari-hari.
“Gak ada tuh beda-beda, orang tua saya bilang laki-laki dan perempuan semuanya sama. Kalo bisa lakukan pekerjaan laki-laki ya lakukan kaya ngangkat yang berat-berat perempuan juga bisa, laki-laki juga kalo bisa ngerjain pekerjaan perempuan ya lakukan aja kayak nyuci piring gitu” (Hicta).
5.3.2 Hubungan Antara Peer Group dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa. Semakin dewasa mahasiswa akan semakin banyak berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, terutama apabila ia bersekolah jauh dari orang tuanya. Bagi mahasiswa yang bersekolah jauh dari orang tuanya seperti yang terjadi oleh mahasiswa yang bersekolah di STEI TAZKIA, sebagian besar berasal dari berbagai macam daerah sehingga hubungan pertemanan bukan lagi suatu hubungan yang biasa seperti bekerjasama mengerjakan tugas atau saling berdiskusi tentang permasalahan organisasi. Tetapi hubungan pertemanan di sini
54
sudah memasuki tahap saling mempengaruhi, tergantung dan tempat berbagi suka dan duka. Hubungan saling mempengaruhi dan bergantung satu sama lain dapat saja berupa hal yang positif ataupun negatif. Namun dekatnya hubungan mahasiswa dengan teman-teman sebaya mereka bukan berarti pengaruh teman sebaya sangat kuat terhadap diri mereka.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Peer Group (Teman) dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa
Jenis Kelamin L P L P
Tinggi Rendah Total
Pengaruh Teman terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Rendah Tinggi n % n % 5 31,2 9 64,3 11 68,8 5 35,7 0 0 0 0 0 0 0 0 16 100,0 14 100,0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
Berdasarkan dari Tabel 23, dapat diketahui bahwa dalam memposisikan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar mahasiswa laki-laki lebih dipengaruhi dan bergantung kepada teman sebayanya nilai sebesar 64,3 persen dibandingkan dengan mahasiswa perempuan yang tidak begitu dipengaruhi oleh teman mereka dengan nilai sebesar 68,8 persen. Jadi pengaruh teman lebih tinggi pada mahasiswa laki-laki dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Hal ini disebabkan oleh mahasiswa laki-laki lebih sering melakukan interaksi dan menghabiskan waktu mereka dengan teman-teman dibandingkan dengan mahasiswa perempuan. Mahasiswa laki-laki lebih sering pergi hang out dengan teman mereka dan lebih suka menceritakan permasalahan dengan teman dibandingkan dengan ibu di dalam lingkungan keluarga walaupun ada juga permasalahan yang mereka ceritakan dengan ibu tetapi tidak sesering dengan teman mereka, sehingga pendidikan gender banyak mereka dapatkan dari teman mereka. Berbeda dengan mahasiswa perempuan lebih sering berada di rumah dengan ibu mereka daripada bersama dengan teman-teman. Mahasiswa perempuan juga
55
lebih suka menceritakan berbagai persoalan memutuskan suatu permasalahan dengan bertanya kepada ibu mereka dibandingkan dengan teman sehingga pendidikan gender lebih banyak diterima mahasiswa dari ibu mereka. Mahasiswa perempuan dalam membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan lebih berpusat pada pendidikan gender yang diajarkan oleh ibu mereka, seperti yang diungkapkan mahasiswa perempuan yang mengatakan :
“ajaran dari ibu lebih saya turuti dari pada teman, lebih percaya sama ibu”. (Hansa)
56
BAB VI PERBEDAAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
6. 1 Pengaruh Lingkungan Keluarga terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan. Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009). Di dalam keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan perannya masingmasing. Parson dan Bales (1956) yang dikutip oleh Megawangi (1999) dalam Lestari (2008) membagi dua peran orang tua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental merupakan peran yang dihubungkan dengan pencarian nafkah keluarga untuk kelangsungan kehidupan seluruh anggota keluarga, sedangkan peran emosional merupakan peran dalam memberikan cinta, kelembutan dan kasih sayang. Di lingkungan keluarga mahasiswa mendapatkan pendidikan gender melalui pendidikan orang tua terutama ibu karena ibu yang paling dekat dengan anak dari semenjak ia lahir dan dari proses pengasuhan dari ibu karena dari proses pengasuhanlah pendidikan gender diberikan. Besar kecilnya nilai gender yang diberikan di lingkungan keluarga bergantung dari kebersamaan antara ibu dengan mahasiswa. Semakin banyak kebersamaan mahasiswa dengan ibunya maka semakin banyak pula pendidikan gender yang mahasiswa terima dari ibunya yang berpendidikan tinggi. Tabel 24 menunjukkan bahwa tingginya pendidikan gender yang diberikan di dalam lingkungan keluarga membuat tinggi pula persepsi gender mahasiswa baik mahasiswa laki-laki (46,7%) maupun perempuan (53,3%). Tabel 24 juga menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan mendapatkan pendidikan gender dari ibu lebih banyak daripada laki-laki karena mahasiswa perempuan lebih sering mendapatkan pengasuhan dari ibu dibandingkan mahasiswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh bagi mahasiswa perempuan apabila mereka tidak memiliki
57
kegiatan apapun di sekolah mereka lebih senang berada di rumah dengan ibu mereka dibandingkan pergi ke luar rumah dengan teman sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu mereka, berbeda dengan mahasiswa laki-laki, apabila mereka tidak memiliki kegiatan sekolah mereka lebih senang pergi dengan teman daripada berada di rumah sehingga mahasiswa lakilaki memiliki waktu yang sedikit untuk berinteraksi dengan ibu mereka. Jadi mahasiswa perempuan lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari lingkungan keluarga dibandingkan laki-laki.
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Lingkungan Keluarga dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
n 14 16 0 0 30
Lingkungan Keluarga Tinggi Rendah % n % 46,7 0 0 53,3 0 0 0 0 0 0 0 0 100,0 0 0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
6.2 Pengaruh Lingkungan Sekolah terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan. Lingkungan sekolah merupakan suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat dimana pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu secara objektif sesuai faktafakta yang ada, ternyata terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender yaitu pilihan bidang studi, nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, dan nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru. Tabel 25 menunjukkan bahwa lingkungan sekolah memberikan pendidikan gender yang tinggi bagi mahasiswa laki-laki (43,3%) dan perempuan (53,4%) sehingga persepsi gender mahasiswapun juga tinggi, namun ternyata terdapat mahasiswa laki-laki (3,3%) yang memiliki persepsi gender rendah padahal pendidikan gender yang ia terima dari lingkungan sekolah tinggi. Tingginya
58
persepsi gender mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan disebabkan oleh pendidikan yang mereka terima yang berupa pendidikan tentang ajaran pilihan bidang studi, pendidikan dari buku dan pendidikan dari guru, semuanya mengajarkan pendidikan yang tinggi gender atau pendidikan yang tidak membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Dampak dari tingginya pendidikan gender yang mahasiswa terima dari sekolah membuat persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan juga tinggi. Rendahnya persepsi gender mahasiswa laki-laki (3,3%) padahal pendidikan gender yang ia terima dari lingkungan sekolah tinggi disebabkan oleh pergaulan mahasiswa laki-laki yang cukup luas. Mahasiswa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya selain di lingkungan sekolah juga di lingkungan masyarakat dan di lingkungan keluarga. Pendidikan gender yang rendah ternyata mahasiswa dapatkan dari pergaulannya di masyarakat. Mahasiswa laki-laki berpegang teguh pada pendidikan gender yang dahulu ia dapatkan dari lingkungan masyarakatnya yaitu pendidikan yang rendah gender yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan sehingga berdampak pada rendahnya persepsi gender mahasiswa.
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Lingkungan Sekolah dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah
L P L P
Total 6.3
Pengaruh
n 13 16 1 0 30
Lingkungan Sekolah Tinggi Rendah % n % 43,3 0 0 53,4 0 0 3,3 0 0 0 0 0 100,0 0 0
Lingkungan
Masyarakat
terhadap
Total n 13 16 1 0 30 Persepsi
% 43,3 53,4 3,3 0 100,0 Gender
Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan. Lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Salah
59
satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya. Menurut Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilineal juga menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki. Selain budaya di dalam lingkungan masyarakat, mahasiswa juga akan dipengaruhi oleh teman sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa mahasiswa masih kecil hingga mereka dewasa. Melalui peer group mahasiswa akan belajar banyak hal diantaranya adalah budaya, status dan peranannya baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Tabel 26 menunjukkan bahwa tingginya pendidikan gender yang diterima mahasiswa laki-laki (41,4%) dan perempuan (55,2%) di lingkungan masyarakat membuat tinggi pula persepsi gender mahasiswa, namun ada juga mahasiswa lakilaki (3,4%) yang menerima pendidikan gender yang tinggi dari lingkungan masyarakat tetapi ternyata persepsi gendernya rendah dan ada pula mahasiswa laki-laki (100,0%) yang menerima pendidikan gender yang rendah dari lingkungan masyarakat tetapi ternyata persepsi gendernya tinggi. Rendahnya persepsi gender mahasiswa laki-laki (3,4%) walaupun ia telah menerima pendidikan gender yang tinggi dari lingkungan masyarakat disebabkan oleh mahasiswa tersebut masih berpegang teguh pada pendidikan gender yang dahulu ia dapatkan dari lingkungan masyarakatnya. Lingkungan masyarakat dimana tempat ia bergaul saat ini merupakan lingkungan yang mengajarkan pendidikan gender yang tinggi, tetapi dahulu lingkungan masyarakatnya mengajarkan sebaliknya yaitu pendidikan yang rendah gender dan mahasiswa laki-laki tersebut masih berpegang teguh pada pendidikan gender yang dahulu yang ia terima yaitu pendidikan yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan.
60
Berbeda dengan mahasiswa laki-laki (100,0%) yang mendapatkan pendidikan gender yang rendah, namun ternyata memiliki persepsi gender yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh pergaulan mahasiswa dengan teman-temannya yang lebih banyak beranggapan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan merupakan suatu kedudukan yang seimbang dan hanya bergantung pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Apabila perempuan bisa melakukan pekerjaan laki-laki dan sebaliknya apabila laki-laki bisa melakukan pekerjaan perempuan bukan suatu masalah yang harus diperdebatkan apabila mahasiswa laki-laki dan perempuan mampu melakukannya. Dampak dari pergaulan mahasiswa laki-laki dengan temannya, rendahnya pendidikan gender yang mahasiswa terima tidak mempengaruhi persepsi gendernya tetapi persepsi gender mahasiswa lebih banyak dipengaruhi oleh pergaulannya teman-teman mahasiswa. Tabel 26. Jumlah dan Persentase Lingkungan Masyarakat dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
n 12 16 1 0 29
Lingkungan Masyarakat Tinggi Rendah % n % 41,4 1 100,0 55,2 0 0 3,4 0 0 0 0 0 100,0 1 100,0
Total n 13 16 1 0 30
% 43,3 53,3 3,3 0 100,0
6.4 Perbedaan Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan. Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui, memahami dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Persepsi gender di dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan orang tua dan proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dalam
61
memberikan pendidikan kepada mahasiswa terutama ibu, karena ibu merupakan orang yang paling dekat dengan mahasiswa dan orang yang paling utama dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa di dalam lingkungan keluarga. Di lingkungan sekolah orang yang paling utama memberikan pendidikan gender kepada mahasiswa adalah guru sedangkan di lingkungan masyarakat orang yang paling utama dalam memberikan pendidikan gender atau yang paling berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa adalah teman-temannya.
Tabel 27. Jumlah dan Persentase Orang yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa L P L P
Tinggi Rendah Total
Orang yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa Ibu Teman n % n % 5 31,2 9 64,3 11 68,8 5 35,7 0 0 0 0 0 0 0 0 16 100,0 14 100,0
Total n 14 16 0 0 30
% 46,7 53,3 0 0 100,0
Tabel 27 menunjukkan bahwa bagi mahasiswa laki-laki (64,3%) orang yang paling berpengaruh terhadap persepsi gendernya adalah teman-teman mahasiswa. Berbeda dengan mahasiswa perempuan (68,8%) yang ternyata paling banyak mempengaruhi persepsi gendernya adalah ibu mahasiswa. Tingginya pengaruh ibu terhadap persepsi gender mahasiswa perempuan disebabkan oleh sejak dahulu mahasiswa perempuan lebih banyak menghabiskan waktu untuk berada di rumah bersama ibu mereka apabila mereka tidak memiliki kegiatan di sekolah sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu mereka. Sebaliknya untuk mahasiswa laki-laki, mereka lebih banyak pergi bersama temantemannya daripada berada di rumah apabila mereka tidak memiliki kegiatan di sekolah sehingga mahasiswa laki-laki kurang melakukan interaksi dengan ibu mereka. Di lingkungan sekolah, bagi mahasiswa laki-laki guru merupakan orang yang paling berpengaruh daripada bagi mahasiswa perempuan. Tabel 28
62
menunjukkan bahwa 52,6 persen tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dipengaruhi oleh guru sedangkan untuk mahasiswa perempuan tingginya persepsi gender yang dipengaruhi oleh guru hanya 42,1 persen. Mahasiswa laki-laki lebih sering menghabiskan waktunya di lingkungan sekolah dan masyarakat sehingga yang lebih banyak mempengaruhi persepsi gender laki-laki adalah lingkungan sekolah yang banyak dipengaruhi oleh guru dan lingkungan masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh teman-temannya. Berbeda dengan perempuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yaitu ibu walaupun mereka telah sering bergaul dengan lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi faktor yang paling mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki adalah lingkungan sekolah (guru) dan lingkungan masyarakat (teman) sedangkan bagi mahasiswa perempuan lingkungan keluargalah (ibu) yang paling mempengaruhi persepsi gendernya. Tabel 28. Jumlah dan Persentase Pengaruh Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah Total
L P L P
Pengaruh Guru terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Tinggi Rendah n % n % 10 52,6 2 18,2 8 42,1 4 36,3 1 5,3 1 9,1 0 0 4 36,4 19 100,0 11 100,0
Total n 12 12 2 4 30
% 40,0 40,0 6,7 13,3 100,0
63
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ternyata umumnya persepsi gender mahasiswa tidak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga karena mahasiswa ketika mulai beranjak dewasa tidak bersama orang tuanya khususnya ibu yang biasanya selalu mengasuh dan mendidik mahasiswa sedari kecil. Waktu 15 tahun pengasuhan ibu dikalahkan oleh waktu 5 tahun ketika mahasiswa tidak lagi bersama ibu, karena bersekolah jauh dari rumah. Pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari ibunya tidak berpengaruh banyak terhadap persepsi gender mahasiswa. Begitu juga dengan budaya baik itu sistem patrilinial maupun sistem matrilinial tidak berpengaruh pada persepsi gender mahasiswa karena mahasiswa pada umumnya memiliki orang tua dari daerah yang berbeda sehingga sistem parental dimana garis keturunan berasal dari ayah dan ibu yang lebih dominan dalam lingkungan keluarga mahasiswa. Secara umum persepsi gender mahasiswa lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan mereka di lingkungan sekolah dan pergaulan mereka dengan teman sebayanya (peer group) di lingkungan masyarakat, tetapi terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Mahasiswa laki-laki lebih banyak dipengaruhi oleh guru yang ada di lingkungan sekolah dan pergaulannya dengan teman di lingkungan masyarakat dalam berpersepsi tentang perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh ibu mereka dalam berpersepsi tentang kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan faktor yang mempengaruhi mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perbedaan waktu yang dihabiskan mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Mahasiswa perempuan lebih banyak menghabiskan waktu mereka bersama dengan ibu mereka di lingkungan keluarga sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu mereka dibandingkan laki-laki sehingga pendidikan gender mahasiswa perempuan pun lebih banyak mereka terima dari
64
ibu. Sebaliknya dengan mahasiswa laki-laki, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan guru mereka di sekolah dengan mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan pergi dengan teman-teman mereka dibandingkan bersama dengan ibu mereka sehingga pendidikan gender lebih banyak mahasiswa laki-laki dapatkan dari teman mereka.
7.2 Saran Penelitian ini dilakukan di sebuah perguruan tinggi islam (STEI TAZKIA) dengan pemilihan responden khusus yang mempunyai ibu yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Lebih bagus lagi apabila penelitian ini bersifat membandingkan antara perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi khusus seperti STEI TAZKIA sehingga bisa melihat perbedaan persepsi gender responden antara dua buah perguruan tinggi tersebut. Selain itu baik juga jika melakukan penelitian dengan membandingkan dua perguruan tinggi umum dan khusus dengan pengambilan responden yang mempunyai ibu yang hanya mengenyam pendidikan rendah sehingga bisa dibandingkan perbedaan pendidikan gender yang diterima responden di dalam keluarga antara ibu yang mengenyam pendidikan tinggi dan ibu yang mengenyam pendidikan rendah. Penelitian tersebut kemungkinan akan menghasilkan perbedaan persepsi gender mahasiswa. Perbedaan ini bisa jadi berasal dari perbedaan pengasuhan yang diterima mahasiswa baik mahasiswa yang berasal dari ibu yang telah mengenyam pendidikan tinggi maupun mahasiswa yang berasal ibu yang hanya mengenyam pendidikan rendah.
65
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Rineka Citra : Jakarta. Baron, Robert A. dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial. Jilid ke dua. Erlangga : Jakarta. Dewi, Ika Sari. 2006. Kesiapan Menikah pada Perempuan Dewasa Awal yang Bekerja. www.library.usu.ac.id. Diakses tanggal 25 Februari 2010 . Eliyani, 2009. Meningkatkan Keterlibatan Perempuan Dalam Pendidikan Bidang Sains Dan Teknologi. www.mercubuana.ac.id. Diakses tanggal 18 Desember 2009. Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press : Malang. Hartaji, R. Damar Hadi. 2009. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa Yang Berkuliah Dengan Jurusan Pilihan Orang Tua. www.gunadarma.ac.id. Diakses tanggal 21 Oktober 2010. Hasibuan, Chrysanti dan Sedyono. 1996. Perempuan Di Sektor Formal “ Kerja Ya, Karier Tidak ”. Dipaparkan dalam Kumpulan Tulisan Indonesia Dulu Dan Kini. Jakarta Hastuti, Dwi. 2008. Pengasuhan : Teori dan Prinsip serta Aplikasinya Di Indonesia. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA, IPB : Bogor. Horton, Paul .B dan Chester .L.Hunt. 1999. Sosiologi. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta. Ihromi, Tapi Omas. 1990. Laporan Penelitian : Para Ibu Yang Berperan Tunggal Dan Yang Berperan Tinggi. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia : Jakarta. Lestari, Rizqi Suci. 2008. Persepsi Remaja Terhadap Pembagian Peran Gender Dalam Kelurga. Skripsi. Program Sarjana IPB : Bogor. Najah, Athiyyatun. 2007. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Orang Tua Dengan Motivasi Belajar. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta. Purba, Jonni. 2005. Ketimpangan Gender dan Bertahannya Konstruksi Patriarkhi dalam Masyarakat Karo. Dipaparkan dalam Etnovisi, Jurnal Sosial Budaya, Edisi 01, Tahun I, Juni 2005. Rahayu, Maria Dewi. 2009. Pola Asuh Anak Ditinjau dari Aspek Relasi Gender. Skripsi. Program Sarjana IPB : Bogor.
66
Rahmawati, Ade. 2006. Motivasi Berprestasi Mahasiswa Ditinjau dari Pola Asuh. Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatra Utara : Medan. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu : Yogyakarta. Semiawan, Conny R. 1999. Pendidikan Tinggi : Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta. Singarimbun, M dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES : Jakarta. Sudarta, Wayan. 2008. Ketimpangan Gender Di Bidang Pendidikan. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ketimpangan%20gender.pdf. [diakses tanggal 14 Desember 2009]. Taher, Alwin. 2009. Persepsi Mahasiswa terhadap Kesadaran Gender. Skripsi. Program Sarjana IPB : Bogor. Wiliam, de Vries Dede. 2006. Gender Bukan Tabu : Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan Di Jambi. CIFOR : Bogor. Wulandari, Astuti. 2009. Analisis Persepsi Gaya Pengasuhan Orang Tua, Keterampilan Sosial, Prestasi Akademik, dan Self-Esteem Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Program Sarjana IPB : Bogor.
LAMPIRAN
DATA RESPONDEN TAHUN 2009
NO
Nama
1
Baldad Muhammad Syarifati
2
Ayu Lestari
3
Deri Mirhoni
4
Hansa Hanifah
5
Siti Nurfajar Oktaviani
6 7 8
Sefry Primadani Khaerunnisa Ahlis Fatoni
9
Fawzan Azima
10
Agasi Rahman
11
Dian Yuni A
12
Rahmi Pratiwi
13
Muhammad Aliffudin Jani
14 15
Dwi Zulfikar A Zakiyah
16
Irma Juanita
17
Lukman Nurudin
Tempat Tanggal Lahir Palembang, 09/09/1991 Dumai, 22/02/1991
GEN
L P L
Bandung, 11/09/1990 Tangerang, 07/01/1991 Cirebon, 28/06/1990 Alas, 29/12/1991 Puskesmas Kopang, 29/04/1990 Tonasa, 21/03/90 Tangerang, 3/11/1991 Jakarta, 12/06/1992 Bukittinggi, 09/01/1991
P P L P L P L P P L
Serang, 20/12/1990 Tangerang, 26 januari 1992 Jakarta, 26 Januari 1991
L P P L
UMU R
Telp/HP
18
0711440943
18
081371819515
19 19 18 19 18
0222787012 02170621933
18 17 18 19 19 17 18 22
SEKOLAH SMA LTI IGM-Palembang-Sumatra Selatan Perguruan Putri Diniyah-Padang-Sumatra Barat SMA IT Serambi mekkah-PadangSumatra Barat MA Husnul Khotimah,Kuningan-Jawa Barat
STATUS
Pekerjaan
Pendidikan
Kota Asal
SEKOLAH
Ibu
Ibu
Tempat Tinggal
SMA
Wirausaha
S1
Sum Sel-Palembang
Boarding School
Pedagang
SLTA
Riau-Dumai
SMA IT Boarding
Wiraswasta
SLTA
Solok Selatan - Padang
MA Boarding
Wiraswasta
SLTA
Jawa Barat-Bandung
MA Boarding
Guru
S1
Banten-Tangerang
MA Boarding
PNS
S1
Jawa Barat-Cirebon
085724212600
MA Darunnajah,Jakarta Barat-DKI Jakarta MA Husnul Khotimah,Kuningan-Jawa Barat
081936121879
SMAN 5 Mataram-NTB
SMAN
Pedagang
SMA
NTB - Mataram
SMAN 1 Mataram
SMAN
PNS
S1
NTB - Lombok Tengah
Pesantren
Pegawai Swasta
SMA
Sulawesi Tengah-Makasar
19 19
ASAL
085324042075
PP.AL Zaytun,Indramayu-Jawa Banten
02156966070 0218765618/ 085280880952
SMAN 25 Jakarta-DKI Jakarta
SMAN
Wirausaha
Diploma
DKI Jakarta-Jakarta Barat
SMUN 3 Cibinong-Jawa Barat SMUN 1 Ampek Angkek Bukittinggi Sumatra Barat SMA Boarding Hayyatan Thoyyibah,Sukabumi-Jawa Barat SMA Boarding Hayyatan Thoyyibah,Sukabumi-Jawa Barat
SMAN
PNS
S1
Jawa Barat-Depok
SMUN
Wiraswasta
Diploma
Riau - Hulu Rengat
SMU IT Boarding
PNS
S1
Bojong Gede
SMA IT Boarding
PNS
S1
Banten-Serang
SMAN
Guru
Diploma
Banten-Tangerang
076921668 8561669569 0254208457/ 085692854853 02159331660/ 08111900927 0218442239/ 08129718805 83890798118
SMAN Mauk Tangerang-Banten MA Darul Marhamah,Bogor-Jawa Barat Pondok Pesantren AL Barokah
MA Boarding
PNS
S1
Jawa Barat-Bekasi
Pesantren
Petani
SLTA
Kertoso - Jawa Timur
18
Mahmud Fauzi
19
Rahmi Eka Putri
20 21 22 23 24 25 26 27
Hieta Octavian Aisyah Novinta Pravitama Arrazi Syahrian Ridwan Arif Luqman Hakim Asri Prihastuti Diniarti Novi Wulandari Juniar Rachmadini Noor Azzahra
28
Rizka Inayatul Fadilah
29
Reza Adhitya
30
Rayhan Syaputra
Kulon Progo, 2 Maret 1991 Bandung, 02/03/1991 Indramayu, 10/10/1991 Sampit, 10/11/1991 Meureudu, 21/01/1991 Banda Aceh, 06/11/1990 Lamongan, 04/04/1990 Tasikmalaya, 27/03/1989 Mataram, 25/11/1991 Balikpapan, 14/06/1991 Tasikmalaya, 22/11/1991 Sukabumi, 26/05/1991
L P P P L
18 18 18 18 18
085741886768 085365024566/ 081586739676 081222020776 085223734341/ 081314189649
MA Mualimin,Muhammadiyah,Yogyakarta
MA Boarding
Guru
S1
Jogyakarta-Kulonprogo
SMAN 1 Seberida MA Husnul Khotimah,Kuningan-Jawa Barat
SMAN
Wiraswasta
SLTA
Jawa Barat-Bogor
MA
Wiraswasta
Diploma
Jawa Barat-Indramayu
SMAN 2 Tasikmalaya-Jawa Barat
SMAN
PNS
S1
Jawa Barat-Karawang
085277585625
SMUN Modal Bangsa,Aceh
SMAN
PNS
Diploma
NAD-Aceh Besar
L
19
85260007650
SMA 4 Banda Aceh
SLTA
Guru
S1
Banda Aceh
L
19
0322662042
PM.Darussalam-Gontor,Ponorogo-Jawa Timur
Pesantren
Pedagang
SMA
Jawa Timur-Lamongan
0265324663
PM.Darussalam Gontor Putri
Pesantren
PNS
S1
Jawa Barat-Tasikmalaya
0370642625
SMAN 1 Mataram-NTB
SMAN
Pegawai Swasta
S1
NTB - Mataram
08561269550 0218474741 / 08161900886
SMA Muhammadiyah,Bogor-Jawa Barat
SMA
Guru
Diploma
Jawa Barat-Depok
MA Boarding
PNS
S1
Jawa Barat-Bekasi
SMA IT Boarding
Wirausaha
SLTA
Jawa Barat-Sukabumi
Pesantren
Guru
S1
Jambi
P P P P L L
21 18 18 18 18 18
0266 433501
MA Darunnajah,Jakarta Barat-DKI Jakarta SMA Boarding Hayyatan Thoyyibah,Sukabumi-Jawa Barat
85716717659
PP.Darurrohman,Jakarta-DKI Jakarta