SKRIPSI PENGARUH PENGERINGAN SEMPROT TERHADAP KETAHANAN Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DALAM SUSU SKIM BUBUK
Oleh : IPAN PERMADI F24060277
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
EFFECT OF SPRAY DRYING ON Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) SURVIVAL IN POWDERED SKIM MILK Ipan Permadi1, Ratih Dewanti–Hariyadi1, Eko Hari Purnomo1 1 Departement of Food and Science Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Bogor 16002, Indonesia ABSTRACT Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) which was associated with meningitis and necrotizing enterocolitis (NEC) in preterm neonates, infant, and low weight birth has been isolated in PIF in Indonesia. PIF can be contaminated by Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) because it is not a sterile product. During PIF production, pasteurization is a step aimed to kill Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) and other vegetative pathogens. However, processing steps after pasteurization may introduce the pathogens to the products. Therefore the effect of drying on the survival of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) need to be evaluated. The objective of this study is to evaluate the effect of spray drying on the survival of several of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) strains. This study consist of preliminary and main study. Preliminary studies aimed to determine the best inlet temperature for drying, quality of the resulted powdered skim milk and two most heat resistant strains by rapid screening of six Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) strains (DESb7a, DES b7b, DESb10, DES c3, DES c13, and DES d3) at 54°C for 32 minutes. The main study was conducted on the two most heat resistant strains (DES b7a and DESb10), YRc3a, and ATCC51329. The bacterial culture was inoculated into ±40% reconstituted skim milk at 107 – 108 cfu/g and dried in a Buchi Mini Spray Drier at 160°C, 170°C, and 180°C inlet temperature and 82°C outlet temperature. The resulting skim milk powder was subsequently analyzed for the Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) survival. Spray drying at the studied temperatures killed substantial numbers of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) but did not yield Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)–free powder at the levels of contamination used. At an inlet temperature of 160°C, log reduction of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ranged from 2,54 to 3,07 depending upon Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) strains. Survival of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) decreased as spray drying temperature increased. The log reduction of Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) at inlet temperature of 170°C ranged from 2,77 to 3,25 while at inlet temperature of 180°C, the log reduction ranged from 3,24 to 3,55 of the four strains. YRc3a was the most heat tolerant Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) strain during spray drying. Keywords: Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.), spray drying, survival
IPAN PERMADI. F24060277. 2011. PENGARUH PENGERINGAN SEMPROT TERHADAP KETAHANAN Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DALAM SUSU SKIM BUBUK Dibawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti – Hariyadi, M.Sc. dan Dr. Eko Hari Purnomo STP, M.Sc. RINGKASAN Susu formula bisa tercemar bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang dapat menyebabkan penyakit meningitis dan necrotizing enterocolitis (NEC) pada kelompok bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah. Pada tahun 2006, Estuningsih (2006) melaporkan bahwa dari 74 sampel makanan bayi 35 sampel (47%) yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada tahun 2008 Meutia (2008) mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari 6 sampel dengan total 25 sampel dari susu formula dan makanan bayi yang beredar di Indonesia. Beberapa tahun kemudian Gitapratiwi (2011) kembali menemukan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16); 11,8% pada pati-patian (n=15); dan 6,3% pada produk pangan kering lainnya (n=17) yang beredar di Indonesia. Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dimungkinkan karena susu formula pada umumnya dikeringkan dengan menggunakan metode pengeringan semprot (spray drying) yang tidak didesain menghasilkan produk steril. Kondisi proses pengeringan semprot memungkinkan kontak yang minimal antara panas dengan bahan sehingga sejumlah kecil mikroba yang toleran terhadap panas masih dapat bertahan dan terbawa ke produk akhir (Fernandez, 2008). Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) diketahui lebih toleran terhadap panas dibandingkan dengan Enterobacteriaceae lainnya yang mengkontaminasi produk susu (Edelson– Mammel dan Buchanan, 2004, Iversen et al., 2004, dan Nazarowec–White dan Farber, 1997a) sehingga bakteri ini memiliki peluang yang cukup besar untuk dapat bertahan selama proses pengeringan dan terbawa ke produk akhir. Hasil penelitian Ardelino (2011) menunjukan bahwa isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lokal yang ditelitinya memiliki nilai D72 yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai D72 Salmonella spp., padahal Salmonella spp. dilaporkan dapat bertahan selama pengeringan semprot (Licari dan Potter, 1970a). Penelitian ini bertujuan mendapatkan data ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pengeringan semprot. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan suhu pengeringan, analisis kelarutan, kadar air, dan warna produk pada suhu pengeringan terpilih serta pemilihan cepat ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Tahapan penentuan suhu pengeringan beserta analisis kelarutan, kadar air, dan warna produk hasil pengeringan semprot bertujuan untuk memperoleh susu skim bubuk yang karakteristiknya mirip dengan susu skim bubuk komersial pada umumnya serta mengetahui tingkat penurunan kualitas susu bubuk akibat pengeringan ulang. Tahapan pemilihan cepat ketahanan panas dilakukan untuk mereduksi jumlah isolat yang akan diuji pada penelitian utama. Pada penentuan suhu pengeringan dilakukan percobaan pengeringan susu skim rekonstitusi pada 5 suhu inlet berbeda yaitu 160°C, 170°C, 180°C, 190°C, dan 200°C dengan suhu outlet yang sama yaitu 82°C. Tiga suhu inlet yang menghasilkan produk dengan penampakan terbaik selanjutnya digunakan sebagai perlakuan dalam pengeringan susu skim rekonstitusi pada penelitian utama dan produk yang dihasilkan dianalisis kelarutan, kadar air, dan warnanya. Pada tahapan pemilihan cepat ketahanan panas sebanyak enam isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan (DESb7a, DES b7b, DESb10, DES c3, DES c13, and DES d3) yang diisolasi
Gitapratiwi (2011) diuji ketahanan panasnya dengan cara dipanaskan dalam media TSB pada suhu 54°C selama 32 menit. Dua isolat dengan ketahanan panas tertinggi atau yang mengalami reduksi jumlah paling sedikit dipilih untuk diuji ketahanannya terhadap proses pengeringan semprot. Pada penelitian utama dilakukan proses pengeringan susu skim rekonstitusi yang telah dikontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan menggunakan alat pengering semprot. Proses pengeringan pada penelitian ini merupakan unit proses yang akan dievaluasi pengaruhnya terhadap tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Parameter proses yang menjadi perlakuan adalah suhu inlet pengering semprot yang diperoleh dari penelitian pendahuluan. Dua isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hasil pemilihan ketahanan panas, satu isolat asal susu formula (YRc3a) hasil isolasi Meutia (2008) dan isolat Cronobacter muytjensii ATCC51329 dengan konsentrasi 107 – 108 CFU diinokulasikan ke dalam 450 ml susu skim rekonstitusi sehingga konsentrasi kultur yang diperoleh sekitar 105 – 106 CFU/ml. Selanjutnya suspensi tersebut dikeringkan dengan alat pengering semprot pada suhu pengeringan yang telah dipilih pada penelitian pendahuluan. Berdasarkan hasil tahapan penentuan suhu pengeringan, diperoleh produk dengan penampakan terbaik pada percobaan suhu inlet pengeringan 160°C, 170°C, dan 180°C. Selanjutnya Hasil analisis kelarutan susu bubuk hasil pengeringan semprot pada pengaturan suhu inlet 160°C, 170°C, dan 180°C menunjukan nilai kelarutan susu bubuk berturut–turut sebesar 97,1%; 96,4%; dan 95,8% dengan kelarutan susu skim bubuk awal sebesar 98,8%. Kadar air produk pada percobaan suhu inlet pengeringan 160°C, 170°C, dan 180°C berturut–turut sebesar 4,8 %; 5,6 %; dan 5,6 % dengan kadar air susu skim bubuk awal sebesar 5,4%. Hasil tersebut menunjukan bahwa pengeringan ulang susu skim rekonstitusi telah menurunkan kualitas susu bubuk yang dihasilkan. Perubahan nilai kelarutan terjadi secara signifikan pada perbedaan suhu inlet sebesar 20°C, sedangkan kadar air susu bubuk yang dihasilkan tidak berbeda secara signifikan pada perbedaan suhu inlet hingga 20°C. Hasil analisis warna menunjukan bahwa nilai L yang tertinggi dimiliki oleh susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu intlet 160°C yaitu 62,02 kemudian menurun pada dua suhu pengeringan berikutnya yaitu sebesar 60,72 pada suhu intlet 170°C dan sebesar 60,59 pada suhu intlet 180°C. Nilai parameter L yang diperoleh dari ketiga percobaan tersebut masih lebih tinggi dan masing–masing berbeda nyata dibandingkan dengan nilai parameter L susu skim awal, yaitu sebesar 5,60. Susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet 160°C memiliki nilai (a) terendah yaitu +0,70 kemudian meningkat pada suhu inlet pengering 170°C dan 180°C berturut–turut sebesar +0,77 dan +0,77. Parameter (a) yang diperoleh dari ketiga percobaan tersebut lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan nilai parameter (a) susu skim bubuk awal, yaitu sebesar +0,31. Nilai (b) pada suhu inlet 160, 170, dan 180°C masing–masing sebesar 5,49; 6,40; dan 5,98. Nilai parameter (b) yang diperoleh dari ketiga percobaan tersebut lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan nilai parameter (b) susu skim bubuk awal, yaitu sebesar +5,04. Hasil tersebut menunjukan bahwa pengeringan ulang susu skim rekonstitusi telah menurunkan kualitas warna susu bubuk yang dihasilkan. Perubahan nilai parameter (L) dan (a) terjadi secara signifikan pada perbedaan suhu inlet sebesar 20°C, sedangkan parameter (b) tidak mengalami peningkatan yang signifikan pada perbedaan suhu inlet hingga 20°C. Hasil pemilihan cepat ketahanan panas menunjukan bahwa isolat asal pati (DES c7) mengalami reduksi jumlah yang paling besar, yaitu 3,47 siklus log. Reduksi jumlah semakin mengecil mulai dari isolat DES d3 (3,10), isolat DES c13 (1,87), DES b7b (1,70), DESb10 (1,53), dan DESb7a (isolat asal makanan bayi) mengalami penurunan log terkecil yaitu sebesar 1,42 log. Dua isolat terpilih (DESb10 dan DESb7a) beserta dua isolat lain yang telah disebutkan sebelumya selanjutnya diteliti ketahanannya terhadap perbedaan suhu inlet proses pengeringan semprot. Penelitian utama ketahanan terhadap proses pengeringan semprot dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan semprot yang dilakukan oleh Arku et al. (2006) dengan beberapa modifikasi.
Berdasarkan hasil analisis jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam susu bubuk hasil pengeringan semprot dari ketiga perlakuan suhu inlet pengering, isolat DESb7a mengalami reduksi jumlah sebesar 3,01 log pada suhu inlet 160°C; 3,25 log pada suhu inlet 170°C; dan 3,51 log pada suhu inlet 180°C. Isolat DESb10 mengalami penurunan jumlah sebesar 3,07 log pada suhu inlet 160°C; 3,21 log pada suhu inlet 170°C; dan 3,31 log pada suhu inlet 180°C. Isolat YRc3a mengalami penurunan jumlah sebesar 2,54 log pada suhu inlet 160°C; 2,77 log pada suhu inlet 170°C; dan 3,24 pada suhu inlet 180°C. Isolat ATCC51329 mengalami penurunan jumlah sebesar 3,00 log pada suhu inlet 160°C; 3,16 log pada suhu inlet 170°C; dan 3,55 pada suhu inlet 180°C. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa isolat YRc3a memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan 3 isolat lainnya.
PENGARUH PENGERINGAN SEMPROT TERHADAP KETAHANAN Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DALAM SUSU SKIM BUBUK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: Ipan Permadi F24060277
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
Nama NRP
: PENGARUH PENGERINGAN SEMPROT TERHADAP KETAHANAN Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DALAM SUSU SKIM BUBUK : Ipan Permadi : F24060277
Menyetujui, Bogor, 13 Juli 2011
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Ratih Dewanti–Hariyadi, M.Sc. NIP. 19620920.198603.2.002
Dr. Eko Hari Purnomo STP, M.Sc. NIP. 19760412.199903.1.004
Mengetahui: Plt Ketua Departemen ITP,
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si NIP: 19610802.198703.2.002
Tanggal Lulus : 27 Juni 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW karena atas kehendak dan karunia–Nya, penelitian yang berjudul “Pengaruh Pengeringan Semprot terhadap Ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp) dalam Susu Skim Bubuk” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat diselesaikan atas sumbangan pemikiran dan masukan dari pembimbing serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13.
Dr. Ir. Ratih Dewanti – Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan dukungan, bimbingan, dorongan dan saran selama perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi Dr. Eko Hari Purnomo STP, M.Sc selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis dalam penelitian ini Siti Nurjanah STP, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan dalam penyelesaian penelitian ini Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moril yang tiada henti sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini Bapak Dadang Suherman, Bapak Amlius Thalib, dan Bapak Dedi Muslih yang memberikan nasihat dan saran yang sangat memotivasi penulis DKM Al–Ikhlas Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi yang telah membantu pembiayaan kuliah penulis Bapak Purwanto yang telah mengijinkan dan membiayai perbaikan alat serta berbagi pengetahuan dengan penulis Hibah Penelitian Pasca Sarjana Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan, Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini SEAFAST Center yang telah memfasilitasi penelitian ini. Para laboran dan teknisi laboratorium Seafast Center dan LJA yang telah mendukung kelancaran kegiatan penelitian hingga akhir: Mbak Ari, Mas Yerris, dan Mbak Sofah, Bu Entin, Abah, Bu Eva, dan lain–lain Keluarga besar Sylvasari yang telah menemani penulis selama di IPB Seluruh teman – teman terutama penulis ucapkan kepada Juli, Ipit, Ivani dan Nurita, teman – teman seperjuangan di ITP 43 dan TEP 43 serta Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi pada perkembangan ilmu dan teknologi pangan pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Bogor, Juni 2011 Ipan Permadi
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................................................................. DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. I. PENDAHULUAN ................................................................................................................. A. LATAR BELAKANG .................................................................................................. B. TUJUAN......................................................................................................................... C. MANFAAT ................................................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... A. SUSU FORMULA ....................................................................................................... 1. Teknologi Pengolahan ............................................................................................ a.Metode Pengeringan................................................................................... b. Karakteristik Produk Hasil Pengeringan Semprot ................................... c. Pengaruh Pengeringan Semprot terhadap Inaktivasi Mikroba ................. B. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.).................................................................. 1. Penyakit Akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ................................ 2. Sumber Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ........................ 3. Ketahanan Panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) .............................. 4. Batas Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Susu Formula 5. Subtansi Pelindung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) .......................... III. METODOLOGI .................................................................................................................. A. BAHAN ......................................................................................................................... 1. Isolat ........................................................................................................................ 2. Bahan Analisis ........................................................................................................ B. ALAT ........................................................................................................................... C. TAHAPAN PENELITIAN .......................................................................................... 1. Penelitian pendahuluan .......................................................................................... a. Penentuan Suhu Pengeringan .................................................................... 1) Persiapan Susu Skim Rekonstitusi ................................................... 2) Percobaan Pengeringan..................................................................... 3) Analisis kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al.,1992) ......... 4) Analisis Kadar Air, Metode oven (AOAC, 1995) ........................... 5) Analisis Warna, Metode Hunter Lab................................................ b. Pemilihan Cepat Ketahanan Panas ............................................................ 1) Persiapan Inokulum .......................................................................... 2) Persiapan Menstruum Pemanas ........................................................ 3) Perlakuan Pemanasan pada Suhu 54 selama 32 Menit .................... 4) Analisis Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (BAM, 2001) ...................................................................................... 2. Penelitian Utama ....................................................................................................
i ii iv v vi 1 1 2 2 3 3 3 5 6 6 7 7 8 10 13 14 16 16 16 16 17 17 17 18 18 19 19 19 20 20 20 20 21 21 22
ii
a. Persiapan Inokulum ................................................................................... b. Persiapan Susu Skim Rekonstitusi ........................................................... c. Inokulasi (Kontaminasi) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ..... d. Pengeringan Semprot ................................................................................ 1) Analisis Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (BAM, 2001) ............................................................................................ IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... A. PENELITIAN PENDAHULUAN ............................................................................... 1. Penentuan Suhu Pengeringan ................................................................................ a. Kelarutan ................................................................................................... b. Kadar Air ................................................................................................... c. Warna ........................................................................................................ 2. Pemilihan Cepat Ketahanan Panas ........................................................................ B. PENELITIAN UTAMA................................................................................................ 1. Pengeringan Semprot ............................................................................................. V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. A. KESIMPULAN ............................................................................................................ B. SARAN ......................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ LAMPIRAN ..............................................................................................................................
23 23 23 23 23 25 25 25 26 27 29 32 34 34 39 39 39 40
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3.
Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
Halaman Batas Cemaran Mikroba pada Produk Susu Bubuk (SNI 01 – 2970 2006) ............ 7 Batas Cemaran Mikroba pada Susu Formula untuk Keperluan Medis Khusus dan Formula Lanjutan ............................................................................................... 7 Survey Industri Mengenai Keberadaan Enterobacteriaceae dan C. sakazakii pada Ingredien yang digunakan pada Metode Pencampuran Kering untuk Semua Jenis Susu Formula (Hingga Usia 3 Tahun). ................................................... 10 Perbandingan Ketahanan Panas C. sakazakii Terhadap Beberapa Enterobactericeae ...................................................................................................................... 12 Kriteria Mikrobiologi untuk Susu Formula, Susu Formula dengan Tujuan Medis Khusus dan Makanan Tambahan ASI .......................................................... 13 Daftar Isolat C. sakazakii yang Digunakan .............................................................. 16
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Susu Formula ........................................................... 3 Gambar 2. Nilai D Cronobacter sakazakii Asal Makanan .................................................. 11 Gambar 3. Heteropolisakarida yang diproduksi Enterobacter sakazakii (Cronobac– ter spp.) (Iversen, 2004) ....................................................................................... 15 Gambar 4. Diagram Alir Penelitian Pendahuluan................................................................ 17 Gambar 5. Diagram Alir Penelitian Utama .......................................................................... 22 Gambar 6. Profil susu bubuk pada lima suhu inlet pengering yang berbeda ........................ 25 Gamba 7. Kelarutan susu bubuk hasil pengeringan semprot pada suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C .................................................................................. 26 Gambar 8. Kadar air susu bubuk hasil pengeringan semprot pada suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C .................................................................................. 28 Gambar 9. Nilai parameter (L) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C ................................................. 29 Gambar 10. Nilai parameter (a) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C ................................................. 30 Gambar 11. Nilai parameter (b) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C ................................................. 31 Gambar 12. Reduksi jumlah C. sakazakii pada perlakuan pemilihan cepat ketahanan panas 32 Gambar 13. Reduksi jumlah 4 isolat C. sakazakii pada tiga perlakuan suhu inlet pengering ....................................................................................................................... 34
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6a. Lampiran 6b. Lampiran 6c. Lampiran 6d. Lampiran 7.
Daftar Komposisi Susu Formula (ESPGHAN, 2005) ................................... Kejadian Penyakit Meningtis yang Berasosiasi dengan Susu Formula ......... Data Perhitungan Kadar Air dan Kelarutan Susu Bubuk pada Suhu Inlet 160°C, 170°C, dan 180°C ............................................................................... Data Perhitungan Parameter L, a, dan b Susu Bubuk pada Suhu Inlet 160°C, 170°C, dan 180°C ........................................................................................... Data Jumlah Koloni C. Sakazakii Sebelum dan Setelah Perlakuan Pema – nasan pada suhu 54°C – 32 menit ................................................................. Data Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat DESb7a............................................................................................................ Data Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat ATCC51329 .................................................................................................... Data Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat DESb10 ........................................................................................................... Data Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat YRc3a .............................................................................................................. Data Perhitungan Reduksi Jumlah C. sakazakii pada suhu 160°C, 170°C dan 180°C ........................................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit meningitis dan necrotizing enterocolitis (NEC) pada kelompok bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah yang ditemukan pada susu formula (Biering, 1989, Drudy, 2006 dan Kim and Loessner, 2007). Laporan terbaru terkait ditemukannya Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya adalah pada tahun 2006 dilaporkan dari 74 sampel makanan bayi 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Cronobacter sakazakii (Estuningsih, 2006). Pada tahun 2008 Meutia (2008) juga telah berhasil mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari susu formula dan makanan bayi (6 sampel dari 25 sampel) yang beredar di Indonesia. Beberapa tahun kemudian Gitapratiwi (2011) kembali menemukan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16); 11,8% pada pati-patian (n=15); dan 6,3% pada produk pangan kering lainnya (n=17). Bakteri ini pertama kali dilaporkan menyebabkan penyakit meningitis oleh Urmenyi dan Franklin pada tahun 1961 (Gurtler et al., 2005). Sedikitnya terdapat 76 kasus infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan 19 kasus infeksi diantaranya dilaporkan menyebabkan penderitanya meninggal (Iversen dan Forsythe, 2003). Selain menyerang bayi dan anak–anak, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga dilaporkan dapat menyerang orang dewasa walaupun tidak sampai mengakibatkan kematian (Gurtler et al., 2005). Berdasarkan hasil penelusuran sumber kontaminasi infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang telah menyebabkan wabah di sejumlah negara, secara epidemologi sumber bakteri tersebut hanya berasosiasi dengan susu formula yang dikonsumsi (Farmer et al., 1980; Muytjens et al., 1983; Van Acker, 2001). Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sedikitnya telah berhasil diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara (Muytjens et al., 1988). Berdasarkan sejumlah fakta yang banyak menghubungkan susu formula sebagai sumber kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.), pengendalian kontamisasi C. sakazaki lebih banyak difokuskan pada proses produksi dan rekonstitusi susu formula (Drudy, 2006, Iversen et al., 2004, dan Lambert, 2007). Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif, motil, tidak membentuk spora dan termasuk kedalam keluarga Enterobacteriaceae (Farmer et al., 1980). Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dilaporkan memiliki keragaman genetik yang tinggi sehingga kurang baik dalam menggambarkan suatu spesies. Sebanyak 57 galur diketahui termasuk kedalam spesies Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan termasuk bagian dari spesies enteric dari tahun 1970 hingga 1977 (Farmer et al., 1980). Sebanyak 6 isolat lokal asal makanan yang berhasil diisolasi oleh Gitapratiwi (2011) dan 8 isolat lokal asal makanan yang telah diisolasi oleh Meutia (2008) dilaporkan merupakan spesies Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berdasakan sekuen 16sRNA. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) memberikan respon yang bervariasi terhadap perlakuan inaktivasi termal yang diberikan. Isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal klinis dilaporkan memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan isolat asal makanan (Nazarowec – White dan Farber, 1997). Sebanyak 8 isolat lokal asal makanan yang telah diisolasi oleh Meutia (2008) dan 8 isolat lokal hasil
penelitian Estuningsih (2006) dilaporkan mengalami reduksi jumlah yang bervariasi (2.74 – 6.72 log CFU/ml) pada suhu rekonstitusi 70°C. Karena kurang baik dalam menggambarkan suatu spesies, perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lokal yang mencemari produk susu formula dan makanan bayi di Indonesia yang bertujuan memudahkan penanganan dan pengendaliannya selama proses pembuatan susu formula. Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) atau mikroba lainnya pada susu formula dimungkinkan terjadi karena susu formula pada umumnya dikeringkan dengan menggunakan metode pengeringan semprot (spray drying) yang tidak didesain menghasilkan produk akhir yang steril (Walstra, 1983, Arku et al, 2008, dan Fernandez, 2008). Kondisi pengeringan semprot memungkinkan kontak yang minimal antara panas dengan bahan sehingga sejumlah kecil mikroba yang toleran terhadap panas masih dapat bertahan dan terbawa ke produk akhir (Walstra, 1983, dan Fernandez, 2008). Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) diketahui lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriaceae lainnya yang mengkontaminasi produk susu (Edelson – Mammel dan Buchanan, 2004, Iversen et al., 2004, dan Nazarowec – White dan Farber, 1997) sehingga bakteri ini memiliki peluang yang cukup besar untuk dapat bertahan selama pengeringan dan terbawa ke produk akhir. Selain itu Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga dilaporkan sangat tahan terhadap kondisi kering. Menurut Lin (2007), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat bertahan selama 12 bulan dalam produk kering pada rentang aw dan suhu penyimpanan yang luas. Karena metode pengeringan semprot tidak didesain menghasilkan produk steril, inaktivasi mikroba dilakukan sebelum tahapan pengeringan. Tahapan pasteurisasi pada produksi susu formula merupakan unit proses yang bertujuan untuk membunuh semua bentuk vegetatif bakteri patogen, bakteri pembusuk, kapang, dan khamir sehingga dihasilkan produk yang aman secara mikrobiologi (Fernandez, 2008, dan WHO, 2006). Akan tetapi rekontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pasteurisasi mungkin terjadi dalam beberapa operasi komersial karena bakteri tersebut ditemukan juga pada susu formula yang belum dibuka (Lin, 2007). Tahapan evaporasi dan homogenisasi yang dilakukan setelah pasteurisasi dan pada umumnya tidak menggunakan suhu proses yang tinggi sehingga tidak banyak berarti terhadap inaktivasi mikroba. Bahkan menurut Robinson (1999a), tahapan evaporasi yang menggunakan suhu rendah memberikan waktu kepada mikroba tahan panas yang tidak terbunuh pada saat pasteurisasi untuk tumbuh tanpa terkendali, sedangkan tahapan homogenisasi akan menyebarkan koloni mikoba tersebut sehingga kedua tahapan ini akan meningkatkan risiko keamanan mikrobiologi produk.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui pengaruh pengeringan ulang susu skim rekonstitusi terhadap kualitas susu skim bubuk yang dihasilkan 2. Mengetahui pengaruh perbedaan suhu inlet pengering semprot terhadap tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 3. Mengetahui pengaruh perbedaaan galur terhadap tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
2
C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal pangan yang ditemukan di Indonesia terutama dalam hal ketahanan selama pengeringan semprot sehingga dapat menjadi referensi dalam penanggulangan dan pengendalian bakteri tersebut selama pembuatan susu formula.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SUSU FORMULA Susu formula adalah produk susu bubuk yang diformulasikan khusus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi pada satu tahun pertamanya. Susu formula diberikan kepada bayi yang lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah (< 2000 gram) dan lahir dari ibu yang positif mengidap penyakit human imunodeviciency virus (HIV) atau secara medis air susu ibu (ASI)–nya tidak dapat dikonsumsi (Misgiyarta, 2008). Komposisi nutrisi susu formula diformulasikan menyerupai nilai gizi ASI (Breeuwer et al., 2003). Lampiran 1. menampilkan komposisi nutrisi lengkap susu formula. Susu formula dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah susu formula berbasis susu sapi, susu formula berbasis protein kedelai, susu formula hipoalergenik, susu formula bebas laktosa dan susu formula exempt (susu formula khusus untuk bayi yang mengalami gangguan metabolisme, memiliki kondisi medis atau diet tertentu atau dengan berat badan rendah) (Anonim, 2004).
1. Teknologi Pengolahan
Bahan utama
Bahan Tambahan
Standarisasi Pencampuran Basah Pasteurisasi Homogenisasi Evaporasi Pengeringan Pencampuran kering (pilihan)
Pengemasan Gambar 1. Diagram alir pembuatan susu formula (dari berbagai sumber)
Teknologi pengolahan susu formula hampir sama dengan teknologi pengolahan susu bubuk pada umumnya. Gambar 1. menampilkan diagram alir proses pembuatan susu formula. Tahapan pengolahan susu formula terdiri atas tahapan standarisasi, pencampuran basah, pasteurisasi,
evaporasi, homogenisasi, pengeringan, pencampuran kering (proses alternatif) dan pengemasan. Tahapan standarisasi merupakan pengolahan awal yang bertujuan memperoleh susu dengan karakteristik tertentu. Pada umumnya susu dikumpulkan dari beberapa petani yang tidak seragam karakteristiknya sehingga perlu dilakukan proses standarisasi (Judkins dan Keener, 1966). Pada tahapan ini dilakukan pengaturan kadar lemak bahan. Berdasarkan kadar lemak yang dikandung, produk susu bubuk terbagi menjadi 4 jenis yaitu susu bubuk utuh (whole milk) dengan kadar lemak > 26,2%; susu skim dengan kadar lemak < 1%; susu bubuk (partially skimmed) dengan kadar lemak < 26%; dan krim dengan kadar lemak > 42% (Spreer, 1995). Pencampuran basah merupakan proses yang dilakukan setelah tahapan standarisasi yang bertujuan mencampurkan bahan baku utama (susu sapi) dengan bahan – bahan tambahan. Susu sapi, produk turunan susu, isolat protein kedelai, karbohidrat, lemak nabati, mineral, vitamin dilarutkan dalam air dan diaduk hingga membentuk campuran yang homogen (Robinson, 1999b; FSANZ, 2006 dan Widodo, 2003). Selain itu ditambahkan juga bahan – bahan lain seperti alumunium silikat atau kalsium fosfat untuk mempertahankan dan meningkatkan sifat kemudahan mengalir atau flowability, natrium dan kalium ortofosfat untuk meningkatkan kelarutan dalam air serta lesitin yang berfungsi sebagai emulsifier (Spreer, 1995). Proses pencampuran basah dilakukan sebelum tahapan pasteurisasi sehingga dapat mereduksi jumlah kontaminan mikroba yang berasal dari bahan baku (Robinson, 1999b). Tahapan pasteurisasi bertujuan membunuh semua sel vegetatif bakteri patogen, bakteri pembusuk, kapang, dan khamir sehingga dihasilkan produk yang aman secara mikrobiologi (Fernandez, 2008, FAO – WHO, 2006, dan Arku et al., 2008). Selain itu pasteurisasi juga bertujuan menginaktivasi enzim (Spreer, 1995). Suhu dan waktu pasteurisasi yang digunakan dapat berbeda bergantung pada mikroba atau enzim yang menjadi target inaktivasi serta jenis bahan yang dipasteurisasi. Beberapa kombinasi suhu – waktu yang sering digunakan antara lain pasteurisasi long time low temperature (LTLT, 63 – 65°C) selama 30 menit, high temperature short time (HTST, 71.7 –72°C) minimal selama 15 detik dan 74,4 °C selama 25 detik untuk produk yang mengandung pati (WHO, 2004). Suhu pasteurisasi lain yang dapat dilakukan adalah pada suhu yang lebih tinggi yaitu ultra – pasteurisasi pada suhu 138°C minimal selama 2 detik yang diterapkan pada produk dengan kadar lemak dan total solid yang tinggi (Spreer, 1995) atau kombinasi waktu dan suhu lainnya yang memiliki efek letalitas yang diharapkan. Tahapan evaporasi berfungsi mengurangi kadar air bahan sehingga persentase total padatan bahan akan meningkat. Proses evaporasi dilakukan pada tekanan yang rendah dengan tujuan menurunkan titik didih air sehingga air dapat menguap pada suhu yang lebih rendah. Proses evaporasi yang dilakukan pada suhu rendah dapat meminimalkan reaksi – reaksi yang tidak menguntungkan selama proses berlangsung (Walstra, 1983). Tahapan evaporasi disebut juga tahapan prekonsentrasi bahan yang bertujuan mendapatkan bahan dengan ukuran, densitas, dan viskositas yang lebih tinggi (Anonim, 2010). Tahapan homogenisasi merupakan unit proses yang bertujuan mengecilkan sekaligus menyeragamkan ukuran globular lemak. Menurut Walstra (1983), peningkatan luas permukaan globular lemak akibat pengecilan ukuran akan menurunkan terjadinya agregasi lemak (creaming). Selama proses homogenisasi akan terjadi pengecilan ukuran globular lemak dan modifikasi protein yang menyebabkan viskositasnya meningkat (Judkins dan Keener, 1966, Walstra, 1983, Spreer, 1995). Efek homogenisasi terhadap karakteristik bahan yang dihasilkan bergantung pada tekanan kerja yang diberikan dan jenis katup yang digunakan (Judkins dan Keener, 1966).
4
a. Metode Pengeringan Proses pengeringan dilakukan setelah proses homogenisasi dengan tujuan mendapatkan susu formula dengan kadar air yang rendah. Pembuatan susu formula bubuk merupakan contoh alternatif pengolahan dan pengawetan susu dengan cara menurunkan kadar air susu. Pengurangan kadar air pada susu segar memberikan keuntungan dalam hal mengurangi volume penyimpanan, biaya transportasi, dan dapat memperpanjang umur simpan produk (Fernandez, 2008). Selain itu pengeringan juga bertujuan menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengurangi risiko degradasi kimia dan menekan pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir terhambat petumbuhannya pada kadar aw 0,65 sedangkan bakteri pertumbuhannya terhambat pada aw 0,75 (Early, 1998). Proses pengeringan susu formula dapat dilakukan dengan beberapa cara. Metode pengeringan yang bisa digunakan antara lain adalah pengeringan drum (drum drying), pengeringan oven vakum (vaccum oven drying), pengeringan semprot (spray drying) dan pengeringan beku (freeze drying). Metode yang paling sering digunakan untuk pengeringan susu formula adalah metode pengeringan semprot (Walstra, 1983; Spreer, 1995; dan Fernandez, 2008). Beberapa kelebihan metode pengeringan semprot antara lain adalah tidak banyak merusak mutu produk dibandingkan dengan metode pengeringan drum serta biaya pengeringan relatif terjangkau dibandingkan dengan metode freeze drying dalam menghasilkan kualitas produk yang relatif setara (Fernandez, 2008). Pengeringan semprot atau spray drying adalah metode pengeringan yang mengkombinasikan proses pengeringan sekaligus proses pembentukan serbuk. Alat pengeringnya disebut pengering semprot atau spray dryer. Material masukannya berupa cairan dengan total padatan tertentu. Pengeringan semprot menghasilkan bubuk yang sangat halus (5 – 100 µm) dengan diameter rata – rata 20 – 60 µm (Walstra, 1983). Pembentukan droplet pada pengeringan semprot dapat dilakukan dengan mengunakan atomizer sentrifugal (piringan berputar) atau nozzle. Pemilihan kondisi pengeringan, alat atomisasi, ukuran dan geometri chamber akan menentukan karakteristik produk yang dihasilkan termasuk perhitungan transfer panasnya (Arku et al., 2008). Menurut Coulter (1955), formulasi penghitungan waktu pengeringan pada metode pengeringan semprot sangat rumit karena kondisi pengeringan seperti humiditas dan temperatur udara, kadar air dan diameter partikel, serta gerakan relatif diantara partikel dan pergerakan udara yang terus berubah setiap saat. Prinsip pengeringan semprot didasarkan pada proses penyemprotan produk dalam bentuk droplet cairan ke dalam suatu ruangan yang dihembus dengan udara panas sehingga tejadi proses pengeringan. Pada umumnya suhu proses yang digunakan adalah 170°C – 220°C untuk suhu inlet dan 75°C – 100°C untuk suhu outlet (Spreer, 1995). Bahan masukan pada metode pengeringan semprot dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi cairan. Aliran udara panas akan menaikkan suhu permukaan droplet sehingga air dalam droplet akan terevaporasi. Air yang terevaporasi akan keluar bersama aliran udara sedangkan droplet dengan kadar air rendah akan turun ke dasar chamber dengan bantuan cyclone. Tahapan pengeringan terjadi dalam dua langkah atau lebih yaitu laju periode konstan (constant rate priod) yang terjadi selama permukaan droplet masih dapat terbasahi dan laju periode jatuh (falling rate priod), adalah laju penguapan yang terus menurun selama pengeringan seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi (Wiratakusumah et al., 1992, dan Coutler, 1955). Menurut Chandan (2006), meskipun suhu inlet pengering yang digunakan sangat tinggi, kerusakan protein akibat panas menjadi minimal karena terjadi pendinginan evaporatif yang berasal dari air yang menguap dari bahan yang dikeringkan.
5
Karakteristik produk yang dihasilkan oleh metode pengeringan semprot dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Parameter utama yang mempengaruhi karakteristik produk pada metode pengeringan semprot antara lain adalah proses preheating, prekonsentrasi, pembentukan droplet dalam atomizer, serta suhu pengeringan yang terdiri dari temperatur masukan (suhu inlet) dan temperatur keluaran (suhu outlet) yang digunakan (Walstra, 1983).
b. Karakteristik Produk Hasil Pengeringan Semprot Produk hasil pengeringan semprot memiliki densitas yang rendah (0.33g/ml). Densitas yang rendah disebabkan adanya vakuola yang terbentuk selama proses atomisasi dalam atomizer. Bentuk padat dari susu bubuk memiliki densitas yang lebih tinggi (1,6 g/ml). Densitas yang rendah akan menyebabkan produk susu bubuk mengapung, tidak terdispersi dan terbasahi dengan cepat ketika dicampurkan dengan air. Selain itu, kondisi tersebut juga berhubungan dengan bagian luar partikel yang menyerap air sangat cepat dan membentuk gumpalan, basah diluar namun kering di dalam sehingga penetrasi air menjadi lambat. Pengeringan semprot menghasilkan produk sangat sangat halus. Kondisi tersebut terjadi jika bahan baku yang digunakan tidak mengalami tahapan prekonsentrasi. Selain itu produk yang sangat halus juga dihasilkan ketika tekanan udara dalam atomizer dinaikan. Menurut Spreer (1995) partikel halus hasil pengeringan semprot memiliki beberapa kekurangan seperti kelarutan yang buruk dalam air, mudah terbawa oleh aliran udara pengering, tidak mudah mengalir dan sangat mudah teragglomerasi dengan meningkatnya kelembaban. Maka dari itu produk hasil pengeringan semprot pada umumnya diberi perlakuan instanisasi yang bertujuan memperbaiki kelarutan, kemudahan partikel untuk mengalir serta mengurangi jumlah partikel halus yang terbentuk. Produk hasil pengeringan semprot sangat mudah menggumpal. Gula susu yang terbentuk pada proses pengeringan semprot merupakan gula amorphous yang sangat higroskopis dan sangat cepat menyerap kelembaban. Penyerapan kelembaban menyebabkan rekristalisasi dan biasanya disertai dengan perubahan warna dan pembentukan off – flavor. Hal tersebut merupakan penyebab caking pada kebanyakan produk susu bubuk selama penyimpanan. Peningkatan kelembaban produk dapat meningkatkan risiko mikrobiologis karena memperbesar peluang tumbuhnya mikroba.
c. Pengaruh Pengeringan Semprot terhadap Inaktivasi Mikroba Metode pengeringan semprot (spray drying) tidak banyak merusak mutu produk. Waktu pengeringan pada proses pengeringan semprot yang berlangsung singkat memungkinkan kontak minimal antara panas dengan bahan. Air terevaporasi dengan cepat karena luas permukaan droplet yang besar (Arku et al., 2008). Waktu pengeringan yang singkat dengan suhu produk yang tidak lebih dari 70°C menyebabkan protein dan enzim tidak banyak terdenaturasi (Walstra, 1999). Kondisi pengeringan semprot yang tidak banyak merusak mutu produk menyebabkan mikroba yang toleran terhadap panas dapat bertahan dan terbawa ke dalam produk akhir (Walstra, 1999, dan Fernandez, 2008). Bakteri patogen seperti Bacillus spp., Cronobacter spp., Salmonella spp., Listeria monocytogenes, Staphylococcus spp., dan Enterobacter spp. telah diisolasi dari susu formula (Fernandez, 2008). Maka dari itu produk susu bubuk memiliki kriteria batas cemaran mikroba yang boleh berada dalam produk akhir. Indonesia mengatur batas cemaran mikroba produk
6
susu bubuk berdasarkan SNI (standar nasional Indonesia) produk susu bubuk. Tabel 1. menyajikan batas cemaran mikroba berdasarkan SNI produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006).
Tabel 1. Batas cemaran mikroba pada produk susu bubuk (SNI 01 – 2970 2006) No
Jenis
Satuan
1 2 3 4 5
ALT Coliform E. coli Salmonella S. aureus
koloni/g APM Koloni/g Koloni/100g Koloni/g
Susu Bubuk Berlemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102
Persyaratan Susu Bubuk rendah Lemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102
Susu Bubuk Tanpa Lemak Maks. 5 x 104 Maks. 10 <3 Negatif 1 x 102 (BSN, 2006)
Beberapa tahun terakhir bakteri patogen oportunistik Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ditemukan dalam susu formula, makanan bayi dan produk sejenisya yang beredar di Indonesia. Pada tahun 2009 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan batas cemaran mikroba untuk produk susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari risiko penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Tabel 2 . menampilkan batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan
Tabel 2. Batas cemaran mikroba pada susu formula untuk keperluan medis khusus dan formula lanjutan No
Jenis
Satuan
1 2 3 4 5 6 7
ALT (30°C 72 jam) Coliform Enterobacteriacae Salmonella S. aureus Enterobacter sakazakii Bacillus cereus
Koloni/g APM/g Koloni/10g Koloni/25g Koloni/g APM/10g Koloni/10g
Persyaratan Formula bayi untuk keperluan medis khusus Maks. 5 x 104 Tidak ditentukan Negatif Negatif 1 x 101 Negatif 1 x 102
Formula Lanjutan Maks. 5 x 104 <3 Tidak ditentukan Negatif 1 x 101 Tidak ditentukan 1 x 102 (BPOM, 2009)
Ketahanan mikroba terhadap pengeringan semprot dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Jenis bahan pangan akan mempengaruhi ketahanan dari mikroba. Komponen-komponen tertentu dalam bahan pangan akan memberikan efek proteksi terhadap mikroba. Keberadaan lemak akan meningkatkan resistensi termal bakteri karena berhubungan dengan kemampuan lemak untuk mempengaruhi kelembaban sel dan memberikan efek proteksi. Komponen lainnya yang dapat memberikan efek proteksi terhadap panas adalah total karbohidrat. Efek proteksi yang dihasilkan karbohidrat berasal dari keberadaan gula yang akan mengurangi aw melalui mekanisme pengikatan air.
7
Selain itu total padatan bahan masukan akan mempengaruhi ketahanan panas mikroba selama pengeringan semprot. Total solid yang lebih tinggi akan menghasilkan partikel yang lebih besar yang akan memberikan kerusakan panas yang lebih besar besar (Espina and Packard, 1979). Partikel produk yang lebih besar akan memerangkap mikroba sehingga mikroba yang terperangkap ikut terpapar panas yang dialami partikel. Hal tersebut juga berhubungan dengan waktu pengeringan yang lebih lama pada partikel yang lebih besar. Selain itu faktor lainnya yang dapat mempengaruhi ketahanan mikroba selama pengeringan semprot adalah penggunaan suhu outlet pengering. Peningkatan suhu outlet pengering akan menurunkan jumlah mikroba yang masih bertahan setelah pengeringan semprot (LiCari dan Potter, 1970; Espina dan Packard, 1979; To dan Etzel, 1997). Suhu outlet yang lebih tinggi menyebabkan suhu produk meningkat sehingga akan memperbesar tingkat inaktivasi mikroba (Walstra, 1999).
B. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan bakteri berbentuk batang, Gram negatif, motil, tidak membentuk spora, dan termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae (Farmer et al., 1980). Bakteri ini semula diklasifikasikan sebagai Enterobacter cloacae pembentuk pigmen kuning. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dibedakan dari Enterobacter cloacae berdasarkan perbedaan pada hibridisasi DNA–DNA, produksi pigmen, dan kepekaan terhadap antibiotik (Farmer et al., 1980). Pada tahun 2003 (Iversen dan Forsythe, 2003) mengusulkan klasifikasi ulang taksonomi E. sakazakii berdasarkan karakterisasi molekuler terhadap gen 16S rRNA, gen dnaG dan gluA, serta uji biokimia (API20E, ID32E) termasuk uji –glukosidase, pembentukan pigmen kuning dan pertumbuhannya pada media kromogenik.
1. Penyakit akibat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan patogen oportunistik. Pemberian susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada kelompok bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan rendah dilaporkan telah mengakibatkan bayi tersebut menderita penyakit meningitis dan necrotizing enterocolitis (NEC) (Biering, 1989, Drudy et al., 2006 dan Kim and Loessner, 2007). Berdasarkan keterkaitannya sebagai penyebab penyakit neonatal meningitis, bakteri ini pertama kali telah dilaporkan Urmenyi dan Franklin pada tahun 1961 (Gurtler et al., 2005). Sedikitnya terdapat 76 kasus infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan 19 kasus infeksi diantaranya dilaporkan menyebabkan penderitanya meninggal (Iversen dan Forsythe, 2003). Selain itu infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga menyebabkan bacteremia yang parah (Block et al., 2002). Selain menyerang anak – anak, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga dilaporkan dapat menyerang orang dewasa walaupun tidak sampai mengakibatkan kematian (Gurtler et al., 2005). Tingkat mortalitas yang tinggi (40– 80%) pada bayi yang baru lahir (0–6 bulan) akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Iversen dan Forsythe, 2003) menyebabkan bakteri ini dimasukkan dalam tren perkembangan patogen dunia sejak tahun 2005 dan banyak diulas oleh para peneliti dari seluruh dunia (Skovgaard, 2007).
8
2. Sumber Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Sumber alami Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan agen pembawanya masih belum jelas (Drudy et al., 2006, Kim dan Loessner, 2007). Bakteri ini telah diisolasi dari herbal, rempah– rempah kering, makanan kering, makanan dari tanaman yang dikeringkan, produk keju, sayuran (Iversen et al., 2004) makanan bayi, dan susu bubuk. Bakteri ini juga telah ditemukan di lingkungan (8 dari 9 pabrik makanan), termasuk pabrik sereal (Kandhai et al., 2004). Selain dari makanan dan lingkungan pabrik, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga telah diisolasi dari dari sumber klinis termasuk darah, sumsum tulang, dahak, urin, jaringan appendiks, saluran pernapasan, mata, telinga, luka, tinja, dan lingkungan rumah sakit (Gurtler, 2005). Akan tetapi meskipun Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ditemukan dibanyak tempat, hanya kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dilaporkan berasosiasi secara epidemologi dengan sejumlah wabah penyakit meningitis di sejumlah negara, (Farmer et al., 1980, Muytjens et al., 1988) sehingga banyak dilakukan penelitian mengenai mekanisme maupun pengendalian kontaminasi bakteri tersebut pada proses pembuatan susu formula hingga proses rekonstitusinya. Lampiran 2. menampilkan laporan terjadinya wabah sporadis yang berasosiasi dengan kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah banyak diisolasi dari susu formula di berbagai negara. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sedikitnya telah berhasil diisolasi dari susu formula yang berasal dari 35 negara dengan hasil survei menunjukan 20 dari 141 (14.2% susu formula komersial yang berasal dari 13 negara mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan tingkat kontaminasi 0.36 – 66 CFU/100 g (Muytjen et al., 1988). Survei susu formula di wilayah pemasaran Kanada menunjukan delapan dari 120 (6.7%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Nazarowec–White dan Farber, 1997). Laporan terbaru terkait ditemukannya Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya adalah pada tahun 2006. Estuningsih (2006) melaporkan 74 sampel makanan bayi, 35 sampel (47%) di antaranya yang beredar di Indonesia dan Malaysia positif mengandung Enterobacteriaceae dan 10 sampel (13.5%) positif mengandung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada tahun yang sama Restaino et al. (2006) telah mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 6 dari 18 (33.3%) MP – ASI, makanan kering, dan makanan formula lainnya. Setelah itu pada tahun 2008 Meutia (2008) juga telah berhasil mengisolasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari susu formula dan makanan bayi (6 sampel dari 25 sampel) yang beredar di Indonesia. Pada tahun yang sama dari 78 sampel street food di Malaysia 9% di antaranya positif Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan uji biokimiawi standar (API 20E) (Haryani et al. 2008). Beberapa tahun kemudian Gitapratiwi (2011) kembali menemukan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan persentase 20% pada makanan bayi (n=16); 11,8% pada pati-patian(n=15); dan 6,3% pada produk pangan kering lainnya (n=17). Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ke dalam susu formula dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Menurut CAC (2008), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat masuk ke dalam susu formula melalui tiga cara, yaitu 1) kontaminasi dari lingkungan proses pada tahapan tertentu selama pengeringan, 2) kontaminasi susu formula setelah kemasan dibuka, dan 3) kontaminasi selama atau setelah proses rekonstitusi. Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari lingkungan proses diketahui berasal dari alat – alat proses yang digunakan. Hal tersebut terkait dengan kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) membentuk kapsul dengan cara memproduksi heteropolisakarida yang menjadikan bakteri ini dapat menempel pada permukaan dan membentuk biofilm yang bersifat sangat resisten terhadap bahan pembersih dan
9
desinfektan (Iversen dan Forsythe, 2003) sehingga dapat meningkatkan peluang rekontaminasi bakteri tersebut. Selain itu menurut Food and Agriculture Organization – World Health Organization (FAO – WHO) (2004), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang mencemari produk susu bubuk termasuk susu formula dapat juga berasal dari ingridien yang ditambahkan selama proses pembuatan susu formula. Tabel 3. menampilkan ingridien susu formula yang terkontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.).
Tabel 3. Survey industri mengenai keberadaan Enterobacteriaceae dan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Ingredien yang digunakan pada metode pencampuran kering untuk semua jenis susu formula (hingga usia 3 tahun). Nama Bahan
Vitamin Whey bubuk Sukrosa Laktosa Pisang serbuk/flake Jeruk serbuk/flake Lesitin Pati
n (10g)
793 23 1691 2219 105 61 136 1389
Positif koliform atau Enterobacteriace
8 3 28 70 3 1 1 155
Positif Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) 0 0 0 2 1 1 1 40 (FAO – WHO, 2004)
Tabel 3. menunjukkan bahwa susu skim bubuk, laktosa, tepung pisang, tepung jeruk, lesitin, dan pati berpotensi tinggi menjadi sumber kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada poses pembuatan susu formula. Menurut Arroyo et al. (2009) dan Iversen et al. (2003), Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) telah ditemukan dimana–mana termasuk air, tanah, tanaman, hewan, manusia dan lingkungan sehingga menjadi sesuatu yang tidak mengagetkan jika bakteri ini ditemukan pada unit produksi makanan, berbagai jenis bahan pangan, bahan baku makanan yang berasal dari tanaman dan hewan. Penambahan bahan–bahan tambahan tersebut tersebut dilakukan sebelum maupun setelah proses pengeringan bahan utama. Menurut Robinson (1999b) pengurangan kontaminasi mikroba yang berasal dari bahan baku seharusnya sudah dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metode pencampuran basah serta tidak menambahkan bahan –bahan tersebut dengan metode pencampuran kering.
3. Ketahanan Panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat tumbuh pada rentang suhu yang cukup luas. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 6°C hingga 45°C. Beberapa hasil penelitian bahkan menunjukan beberapa galur dapat tumbuh pada suhu maksimum 47°C (Nazarowec – White and Farber, 1997, Arroyo et al., 2009). Menurut (Fitriyah, 2010) penggunaan suhu rekonstitusi hingga 50°C tidak banyak berarti terhadap survival dan pertumbuhan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam susu formula. Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dinilai lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriacea lainnya meskipun bakteri ini inaktiv 10
dengan cepat selama proses pasteurisasi HTST. Penggunaan suhu rekonstitusi 70°C mampu mereduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hingga 6,51 log (Meutia, 2008). Nilai inaktivasi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diperoleh sejumlah peneliti cukup beragam. Gambar 2. menunjukan nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lokal yang diperoleh dari hasil penelitian Ardelino (2010) dan akan digunakan pada penelitian ini. Isolat YRt2a, YRc3a, dan E9 merupakan isolat lokal asal makanan. Berdasarkan gambar 2. dapat diketahui bahwa kisaran nilai D54 untuk keempat isolat yang diujikan adalah 7,50 – 9,13 menit, nilai D56 berada pada kisaran 3,61–4,24 menit, nilai D58 berkisar antara 1,34 menit hingga 1,39 menit, dan nilai D60 berada pada rentang 0,71–0,90 menit.
Log Nilai D (menit)
12.00 10.00
9.13 8.66 7.75
8.00
7.50
6.00 4.10 1.39
2.00
1.39
1.38 0.89
1.34 0.90
0.82
4.24
3.83
3.61
4.00
0.71
0.00 54
56
58
60
ATCC 51329
54
56
58
YRt2a
60
54
56
58
60
54
56
YRc3a
58
60
E9
Kode Isolat E. sakazakii Gambar 2. Nilai D Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Asal Makanan (Ardelino, 2011)
Hasil tersebut mendekati dengan nilai D56 yang diperoleh Kim Soo Hwan dan Jong Hyun Park (2007) yaitu sebesar 3,91–4,67 menit namun lebih rendah dibandingkan nilai D56 yang dilaporkan Nazarowec- White dan Farber (1997) yaitu sebesar 9,75 menit. Bahkan Breeuwer et al. (2003) menemukan nilai D56 yang lebih rendah yaitu sebesar 2,4 menit. Kisaran nilai D58 yang dilaporkan Iversen et al . (2003) yaitu sebesar 1,3 menit sedangkan nilai D58 yang dilaporkan oleh Nazarrowec – White dan Farber (1997) lebih tinggi (3,44 menit) dibandingkan nilai D58 pada penelitian Breeuwer et al. (0,48 menit). Nilai D60 yang dilaporkan oleh Nazarowec–White dan Farber (1997) lebih tinggi (2,15 menit) untuk isolat asal makanan dibandingkan nilai D60 yang dilaporkan oleh Iversen et al. (2004) adalah 0,73 hingga 1,07 menit pada menstruum pemanas TSB (Tryptose Soy Broth). Selain nilai D, Nilai Z yang diperoleh juga cukup bervariasi diantara sejumlah peneliti meskipun masih termasuk kedalam nilai Z sebagian besar foodborne pathogen yang tidak membentuk spora (4°C – 6°C) (Tomlins dan Ordal 1976). Nilai Z yang diperoleh Nazarowec – White dan Farber (1997) yaitu sebesar 5,82°C untuk isolat asal makanan dan lebih tinggi dibandingkan nilai Z yang diperoleh Iversen et al (2003) yaitu sebesar 5,6°C–5,8°C. Pada penelitian Ardelino 2011 diperoleh nilai Z isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan sebesar 5,65 oC hingga 6,10 oC. Keragaman ketahanan panas dan respon Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap
11
perlakuan panas diantara sejumlah peneliti disebabkan oleh adanya perbedaan galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Arroyo et al., 2009) yang dibedakan berdasarkan sumber ditemukannya bakteri tersebut. Bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) diketahui lebih toleran terhadap panas dibandingkan Enterobacteriaceae lainnya yang mengkontaminasi produk susu (Edelson–Mammel dan Buchanan, 2004, Iversen et al., 2004, Nazarowec–White dan Farber, 1997). Data hasil ekstrapolasi pada suhu 72°C menunjukan bahwa Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berada pada kisaran 0.3203–0.5823 detik dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan enterobacter lain yang mengkontaminasi susu seperi Salmonella, Escherichia coli dan Camphylobacter jejuni tapi tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan waterborne pathogen Listeria monocytogenes (Nazarowec–White et al., 1999 dan Iversen et al. 2003) (Tabel 4.).
Tabel 4. Perbandingan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap beberapa Enterobactericeae Organisme Menstruum pemanas D72 (detik) Aeromonas hydrophila Campylobacter jejuni Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Salmonella muenster Salmonella senftenberg Salmonella typhimurium Shigella dysenteriae Yersinia enterocolitica ATCC51329 YRt2a YRc3a 29a – 8
Raw milk Skim milk Whole milk Human milk Whole milk Whole milk Whole milk Whole milk Whole milk Infant formula Infant formula Infant formula Infant formula
0.01476 0.07033 0.15669 0.00008 0.07214 0.08417 0.22000 0.13045 0.46086 0.3417 0.5823 0.4371 0.3203 (Ardelino, 2011)
Akan tetapi meskipun terjadi variasi dalam pengukuran resistensi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.), bakteri tersebut tidak mampu bertahan pada suhu HTST (High Temperature Short Time) sebesar 72°C selama 15 detik karena proses tersebut dapat mengurangi jumlah bakteri hingga 11 siklus log (Nazarowec – White dan Farber 1997). Maka dari itu keberadaan bakteri ini dalam susu formula dimungkinkan akibat dari adanya rekontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula setelah tahapan pasteurisasi. Selain perbedaan galur, beberapa faktor lainnya yang dapat menyebabkan perbedaan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) antara lain kondisi fisiologis bakteri, suhu pertumbuhan inokulum, menstruum pemanas (kadar lemak, total padatan, serta konsentrasi gula), dan metodologi recovery cold shock setelah proses pemanasan (Knabel et al 1990), kadar air, jumlah inokulum, usia kultur, temperatur pertumbuhan, senyawa penghambat, waktu dan temperatur, konsentrasi garam, kadar karbohidrat, pH, serta efek dari ultrasonics (Lewis, 2000).
12
4. Batas Kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada Produk Susu Formula Kajian mengenai batas kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004 Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan bakteri lainnya di dalam susu formula masuk dalam draf pembahasan pada pertemuan FAO–WHO. Selanjutnya pada tahun 2006 Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) kembali menjadi draf utama pada pertemuan FAO–WHO meskipun tidak sampai menghasilkan standar cemaran Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk susu formula. Menurut FAO–WHO (2006), meskipun data mengenai level kontamimasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula tersedia di industri, level kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang sebenarnya masih belum jelas. Menurut (Van Acker, 2001) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sudah dapat menyebabkan infeksi pada tingkat populasi <3 cfu/100 g. Draf terakhir mengenai standar kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada produk susu bubuk yang dibahas pada pertemuan FAO–WHO pada tahun 2006 hanya sampai pada pemodelan kontaminasi secara statistik ditingkat industri. Tingkat kontaminasi yang digunakan pada pemodelan tersebut adalah 10–3, 10–4 dan 10–5 CFU/g. Pemodelan tersebut selanjutnya akan menghasilkan suatu metodologi untuk mengevaluasi kriteria mikrobiologi dan metode penarikan contoh susu formula yang terbaik sehingga akan diperoleh penurunan risiko mikrobiologis dan persentase produk yang ditolak pada setiap lotnya akibat kontaminasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (FAO – WHO, 2006). Tabel 5. Menampilkan kriteria cemaran Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada susu formula dan produk sejenisnya yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Committee pada tahun 2008. Unit contoh adalah bentuk individu atau terkecil atau kuantitas produk yang didesain menjadi bagian dari contoh. Acceptance–number (c) adalah jumlah pada rencana penarikan contoh yang mengindikasikan jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang ditentukan. Tingkat inspeksi II digunakan untuk pengambilan contoh bila terjadi sanggahan terhadap hasil pengujian menurut tingkat inspeksi I, atau bila diperlukan hasil pengujian yang lebih meyakinkan. Parameter (n) adalah ukuran contoh yang akan diperiksa yang didasarkan pada ukuran lot, ukuran kemasan terkecil dan tingkat inspeksi. Tidak perlu membatasi ukuran contoh sebagai minimum untuk ukuran lot dan tigkat inspeksi yang tepat. Dalam semua kasus contoh yang lebih besar dapat dipilih. Tabel 5. Kriteria Mikrobiologi untuk susu formula, susu formula dengan tujuan medis khusus dan makanan tambahan ASI Mikroorganisme Enterobacter sakazakii (Cronobacteer species )*
n 30
C 0
m 0/10 g
Tingkat Inspeksi II
Salmonella
60
0
0/25 g
II
Keterangan :
n = jumlah sampel yang harus dianalisis c = jumlah maksimum sampel tidak memenuhi standar yang diizinkan pada tingkat inspeksi II m= batas konsentrsasi mikrobiologi pada tingkat inspeksi II yang membedakan antara kuali – tas baik dengan kualitas buruk (ditolak) (CAC, 2008)
13
Kriteria di atas digunakan dengan asumsi catatan produksi dari lot tersebut tidak diketahui dan kriteria yang digunakan berdasarkan basis lot. Instansi yang catatan produknya diketahui seperti produk tersebut tercatat dalam dokumentasi lengkap pada sistem HACCP, kriteria pengambilan contoh alternatif termasuk lot process control testing dapat dilakukan. Tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi kegagalan pemenuhan kriteria di atas antara lain (1) mencegah pengeluaran produk untuk konsumen dari lot yang terpengaruh (2) penarikan kembali produk jika produk tersebut telah dikeluarkan untuk konsumen, dan (3) menentukan dan mengoreksi akar penyebab kegagalan. Kriteria tersebut diaplikasikan untuk produk akhir (bentuk bubuk) setelah pengemasan primer hingga pada saat kemasan primer dibuka.
5. Subtansi Pelindung Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat memproduksi heteropolisakarida. heteropolisakarida yang diproduksi oleh galur Enterobacter sakazakii terdiri atas 13– 22% L-fucosa, 19–24 % D-galaktosa, 23–30 % D-glukosa, 0–8 % D-mannosa, 29–32% asam glukuronat berdasarkan basis beratnya (Harris & Oriel, 1989). Heteropolisakarida tersebut juga diproduksi oleh Klebsiella pneumoniae dan Bacillus polymyxa. Komposisi dan berat molekul polimer tersebut bervariasi bergantung pada galur bakteri yang digunakan maupun kondisi khusus kulturnya. Heteropolisakarida tersebut sebenarnya pertama kali ditemukan pada tumbuhan teh dan dikenal sebagai polisakarida teh. Polisakarida teh dapat diproduksi dengan memfermentasi media kultur yang terdiri atas galur Enterobacter sakazakii tertentu atau mutan dan nutrien yang cocok. Polimer tersebut diproduksi pada rentang suhu 20°C hingga 40°C. Produksi polimer tersebut membutuhkan keberadaan sumber karbohidrat konvensional seperti glukosa, sukrosa, dan sejenisnya. Selain itu dibutuhkan minimal satu jenis sumber nitrogen organik maupun anorganik seperti yeast extract, tryptone, atau NH4CI. Rentang pH yang cocok untuk kondisi pembentukan polimer tersebut berkisar antara 5 hingga 9. Heteropolisakarida yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat membentuk biofilm. Hasil penelitian Iversen, (2004) menunjukan bahwa bakteri ini dapat membentuk biofilm pada permukaan lateks, silikon, dan stainless steel ketika ditumbuhkan dalam susu formula. Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) karena material– material tersebut pada umumnya digunakan sebagai alat preparasi dan pembuatan susu formula. Eenterobacter sakazakii dilaporkan menempel pada silikon, lateks, dan polikarbonat pada luasan yang lebih besar dibandingkan dengan stainless steel. Jumlah bakteri yang masih hidup (nilai median) dari galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul pada lateks adalah sebesar 8x103 CFU cm2 dibandingakan dengan 50 CFU cm2 pada stainless steel (Iversen, 2004). Selain itu galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul dapat membentuk biofilm pada silikon, lateks, dan polikarbonat yang lebih banyak dibandingkan galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang tidak membentuk kapsul yaitu dengan nilai median sebesar 6x103 CFU/cm2 dibandingkan 20 – 400 CFU/cm2 (Iversen, 2004). Gambar 3. menampilkan biofilm yang dibentuk oleh galur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang membentuk kapsul. Temperatur dan nutrisi dalam media tumbuh memiliki pengaruh penting dalam penempelan dan pembentukan biofilm Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Populasi penempelan sel pada stainless steel dan botol susu oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih besar terjadi pada suhu 25°C dibandingkan pada suhu 12°C, yaitu jumlah sel meningkat dari 1,42 menjadi 1,67 log CFU/cm2 dan dari 1,16 menjadi 1,31 log CFU/cm2 pada pembentukan biofilm pada stainless steel dan botol susu yang dibasahi dengan susu formula rekonstitusi pada suhu 25°C (Kim, 2006). Akan tetapi
14
Kim (2006) juga menyatakan bahwa biofilm tidak terbentuk pada media TSB and jus selada meskipun suhu inkubasi yang digunakan suhu 25°C. Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dapat membentuk trehalose (Breeuwer, 2003). Trehalose adalah disakarida glukosa yang tidak tereduksi dan diasumsikan berperan dalam pengaturan yang sangat penting dalam melindungi bakteri dari kekeringan dengan cara menstabilkan membran fosfolipid dan protein (Crowe et al., 1992). Konsentrasi trehalose akan meningkat meningkat pada kondisi fase stasioner. Pada fase stasionernya, konsentrasi trehalose yang dihasilkan oleh Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) mencapai 0,040 µmol/mg protein sedangkan pada sel pada kondisi stasioner yang telah dikeringkan,
Gambar 3. Heteropolisakarida yang diproduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (Iversen, 2004)
konsentrasi trehalose meningkat menjadi 0,23 µmol/mg protein (Breeuwer, 2003). Pada fase eksponensial pengukuran konsentrasi trehalose sangat sedikit, yaitu<0,003 µmol/mg protein baik pada sel basah maupun sel yang telah dikeringkan. Penambahan trehalose ke dalam media tumbuh yang berisi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada fase eksponensial dilaporkan telah meningkatkan ketahanannya setelah pengeringan. Hal tersebut menunjukan bahwa konsentrasi trehalose yang lebih tinggi pada fase stasioner akan meningkatkan ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) terhadap stress osmotik dan kondisi kering. Hal tersebut juga menunjukan bahwa fase stasioner sel Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih resisten terhadap stress osmotik dan kondisi kering dibandingkan dengan fase eksponensialnya. Kondisi fase stasioner merupakan syarat terjadinya akumulasi trehalose selama stress akibat kondisi kering. Dengan kata lain sel benar-benar akan mensintesis lebih banyak trehalose pada fase stasionernya. Selanjutnya jika terdapat trehalose yang tidak berguna maka akan terjadi induksi dari periplasmatic trehalase pada kondisi fase stasioner. Setiap terdapat trehalose yang tidak berguna akan ditransportasikan ke periplasma untuk dikonversi menjadi glukosa dan digunakan kembali.
15
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN 1.
Isolat
Isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil isolasi Gitapratiwi (2011), Meutia (2008) dan satu isolat bakteri Cronobacter muytjensii ATCC 51329. Sebanyak enam isolat yang diisolasi Gitapratiwi (2011) serta satu isolat yang diisolasi Meutia (2008) yaitu YR c3a merupakan spesies Enterobacter sakazakii namun belum cukup untuk dikategorikan Cronobacter sakazakii karena masih diperlukan identifikasi morfologi dan uji biokimia lanjutan. Isolat YR c3a telah diketahui nilai D54–nya yaitu sebesar 9,13 menit sehingga tidak disertakan dalam tahapan pemilihan cepat ketahanan panas yang dilakukan pada penelitian ini. Satu isolat bakteri lainnya yaitu Cronobacter muytjensii ATCC 51329 merupakan bagian dari genus Cronobacter yang akan dijadikan pembanding pada perlakuan pengeringan sehingga tidak disertakan juga pada tahapan pemilihan cepat ketahanan panas. Tabel 6. menyajikan data isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang digunakan pada penelitian ini.
Tabel 6. Daftar isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang digunakan No 1 2 3 4 5 6 7 8
2.
Nama Isolat DES b7a DES b7b DES b10 DES c7 DES c13 DES d3 YR c3a Cronobacter muytjensii ATCC 51329
Asal Isolat makanan bayi makanan bayi makanan bayi Pati jagung Pati jagung Serbuk Cokelat Susu Formula Tidak diketahui
Pustaka Gitapratiwi (2011) Gitapratiwi (2011) Gitapratiwi (2011) Gitapratiwi (2011) Gitapratiwi (2011) Gitapratiwi (2011) Meutia (2008) Lenher et al. (2004)
Bahan Analisis
Bahan analisis yang digunakan antara lain adalah Brain Heart Infusion Broth (BHIB, Difco) untuk media penyegaran kultur digunakan, Buffered Peptone Water (BPW, Oxoid CM0509) sebagai media pengencer, dan Tryptose Soy Agar (TSA, Oxoid CM0131) sebagai media pertumbuhan pada tahapan pemilihan cepat ketahanan panas. Menstruum pemanas yang digunakan pada tahapan pemilihan cepat ketahanan panas adalah Tryptose Soy Broth (TSB, Difco) sedangkan menstruum yang digunakan untuk uji utama ketahanan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pengeringan semprot adalah susu skim bubuk. Susu skim bubuk yang digunakan pada penelitian ini adalah susu skim bubuk komersil yang diperoleh dari supermarket di daerah Bogor. Media kromogenik untuk konfirmasi kultur Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang
digunakan pada penelitian utama adalah Druggan Forsythe Iversen Agar (DFIA, Oxoid CM1055). Bahan–bahan lainnya yang digunakan adalah alkohol 70% dan aquades.
B. ALAT Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain adalah Pengering Semprot Buchi 190 Mini Spray Dryer, termometer, sprayer, labu erlenmeyer. Alat untuk analisis mikrobiologi antara lain adalah gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, autoklaf, labu erlenmeyer, oven, bunsen, pengaduk magnetik, aluminium foil, jarum ose, mikropipet, inkubator, refrigerator, mesin pengaduk (vorteks), neraca digital, sudip, pengaduk gelas, hot plate, dan lain–lain. Alat untuk analisis kualitas susu bubuk antara lain adalah Chromameter, gelas pengaduk, sudip, kertas saring What Man No 42, neraca analitik digital, oven pengering, cawan alumunium, desikator, pompa vakum, dan alat–alat lainnya.
C. TAHAPAN PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan
Susu skim bubuk
6 isolat Enterobacter sakazakii hasil isolasi Gitapratiwi 2011
Persiapan susu skim rekonstitusi Persiapan inokulum Pengeringan pada 5 suhu inlet pengering berbeda
Persiapan menstruum pemanas
Pemilihan 3 suhu pengeringan terbaik
Pemanasan pada suhu 54°C selama 32 menit
Analisis jumlah Enterobacter sakazakii Isolat YR c3a Isolat ATCC 51329
Analisis mutu produk
3 suhu inlet pengering yang akan menjadi parameter uji (perlakuan) pada penelitian utama
Pemilihan 2 isolat paling tahan panas
4 isolat yang akan diuji pada penelitian utama
Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan
17
Gambar 4. menampilkan diagram alir penelitian pendahuluan. Penelitian pendahuluan terdiri atas tahapan penentuan suhu pengeringan dan tahapan pemilihan cepat ketahanan panas. Tahapan penentuan suhu pengeringan dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengeringan ulang susu skim rekostitusi terhadap kualitas susu skim bubuk yang dihasilkan sehingga akan diperoleh informasi suhu pengeringan yang dapat menghasilkan susu bubuk dengan karakteristik terbaik. Beberapa sub tahapan yang dilakukan pada tahapan penentuan suhu pengeringan dilakukan antara lain adalah persiapan suhu skim rekonstitusi, percobaan pengeringan dan analisis kualitas susu bubuk hasil pengeringan terpilih. Pada tahapan penentuan suhu pengeringan ini, pertama kali dilakukan rekonstitusi susu skim pada tahapan persiapan susu skim rekonstitusi. Setelah itu susu skim hasil rekonstitusi dikeringkan pada lima suhu inlet pengering yang berbeda pada tahapan percobaan pengeringan. Selanjutnya susu bubuk hasil pengeringan dari kelima suhu pengeringan tersebut dibandingkan dan dipilih berdasarkan warna, tekstur, dan rendemennya secara kualitatif. Tiga suhu pengeringan yang menghasilkan susu bubuk dengan karakteristik terbaik dipilih dan digunakan sebagai parameter perlakuan dalam penelitian utama. Pemlihan cepat ketahanan panas dilakukan untuk mendapatkan dua isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang paling tahan panas. Beberapa sub tahapan yang dilakukan pada pemilihan cepat ketahanan panas antara lain adalah persiapan inokulum, persiapan menstruum pemanas, pemanasan inokulum dalam menstrum pemanas, dan analisis jumlah E. sakazakii. Pada tahapan ini, pertama kali enam isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diisolasi oleh Gitapratiwi (2011) disegarkan dengan mengikuti prosedur pada tahapan persiapan inokulum. Selain itu juga disiapkan menstruum pemanas dengan mengikuti prosedur pada tahapan persiapan menstruum pemanas. Selanjutnya masing–masing inokulum dipanaskan dengan mengikuti prosedur tahapan pemanasan pada suhu 54oC selama 32 menit. Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang masih bertahan dianalisis dengan mengikuti prosedur tahapan analisis Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
a. Penentuan Suhu Pengeringan 1) Persiapan Susu Skim Rekonstitusi Tahapan ini bertujuan mendapatkan susu skim rekonstitusi yang bebas dari vegetatif mikroba serta memenuhi kriteria bahan baku Pengering Semprot Buchi 190 Mini Spray Dryer. Susu formula direkonstitusi hingga total padatannya mencapai ±40%. Penggunaan total padatan sebesar ±40% didasarkan pada penyataan Robinson (1999b), yaitu pada umumnya sebelum dikeringkan dengan pengering semprot susu dievaporasi terlebih dahulu agar total padatannya mencapai 40% hingga 50%. Selain itu penggunaan total padatan sebesar ±40% juga berhubungan dengan efektivitas pengeringan. Penggunaan total padatan dibawah 40% akan mengurangi efektivitas pengeringan karena lebih banyak air yang diuapkan dibandingkan dengan produk yang dihasilkan. Akan tetapi penggunaan total padatan di atas 50% akan menyebabkan partikel yang terbentuk terlalu besar sehingga pengeringan menjadi tidak sempurna (Robinson 1999b). Sebanyak 180 gram susu skim dilarutkan dalam 270 ml air destilata steril dalam erlenmeyer 1000 ml steril kemudian suspensi tersebut diaduk hingga bercampur secara merata. Setelah itu susu skim rekonstitusi dipasteurisasi pada suhu 100°C selama 15 menit. Setelah itu susu skim rekonstitusi segera didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya susu skim rekonstitusi dapat digunakan sesuai keperluan. Susu skim
18
rekonstitusi dapat disimpan pada suhu 4°C maksimal selama 3 hari jika tidak dimungkinkan untuk segera digunakan (Arku et al., 2008).
2) Percobaan Pengeringan Tahapan ini bertujuan memperoleh susu skim rekonstitusi bubuk. Susu skim rekonstitusi hasil persiapan susu skim rekonstitusi dikeringkan dengan pengering semprot. Pada umumnya proses pengeringan semprot mengaplikasikan suhu inlet pengering pada kisaran 170°C–220°C dan 75°C–100°C untuk suhu outletnya (Spreer, 1995). Suhu pengeringan (inlet–outlet) yang dicoba antara lain adalah 160°C–82°C, 170°C–82°C, 180°C–82°C, 190°C–82°C dan 200°C– 82°C. Suhu pengeringan diatur dan dipertahankan sedemikian rupa sehingga menghasilkan susu bubuk dengan kualitas yang konstan. Selanjutnya susu bubuk yang dihasilkan oleh kelima percobaan tersebut dibandingkan kualitasnya berdasarkan penampakan warna, tekstur terhadap susu skim bubuk awal, dan rendemennya secara kualitatif. Tiga suhu pengeringan yang menghasilkan produk dengan warna dan tekstur yang mendekati warna susu skim awal serta rendemen yang cukup untuk analisis mikrobiologi selanjutnya dipilih untuk dijadikan sebagai parameter perlakuan pada penelitian utama. Setelah dilakukan penentuan suhu pengeringan terbaik, selanjutnya susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan pada suhu pengeringan terpilih tersebut beserta susu skim bubuk awal dianalisis mutunya meliputi kadar air, kelarutan, dan warna.
a) Analisis Kelarutan, Metode Gravimetri (Fardiaz et al., 1992) Pengukuran kelarutan dihitung berdasarkan persentase berat residu yang tidak dapat melalui kertas saring Whatman no.42 terhadap berat contoh bahan yang digunakan. Sebanyak 1 gram bahan ditimbang lalu dilarutkan dalam 100 ml aquades dan disaring menggunakan kertas saring Whatman no.42 dengan bantuan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu 105°C sekitar 30 menit lalu ditimbang. Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu bahan dikeringkan kembali dalam oven 105°C kurang lebih tiga jam, setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Kelarutan sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kelarutan Keterangan :
x
a = berat contoh yang digunakan b = berat kertas saring kering c = berat kertas saring + residu kering ka = kadar air contoh (%bb)
b) Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995) Sampel sejumlah 3–5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan dalam oven pengering bersuhu 105°C selama 6 jam. Setelah itu sampel dan cawan didinginkan dalam
19
desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Cawan dan sampel selanjutnyan dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar air basis basah (g/100 g bahan basah) = Kadar air basis kering (g/100 g bahan basah) =
x
x
Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
c) Analisis Warna, Metode Hunter Lab Pengukuran warna dilakukan dengan alat Chromameter. Sampel diletakkan pada cawan petri kemudan diratakan sampai seluruh permukaan tertutup sampel. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali untuk tiap sampel. Pengukuran menghasilkan nilai Y, x, y, L, a, b, Hue, dan C. Dalam pengukuran ini digunakan parameter sistem Hunter L, a, b. Parameter L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100), parameter a menunjukkan campuran merah hijau dengan a + = 0 – 100 untuk warna merah sedangkan a– = 0 – ( – 80) untuk warna hijau. Parameter b menunjukkan campuran warna biru kuning dengan b + = 0 –70 untuk warna kuning sedangkan b– = 0 – ( –70) untuk warna biru.
b. Pemilihan Cepat Ketahanan Panas 1) Persiapan Inokulum Persiapan inokulum bertujuan menghasilkan kultur yang sedang mencapai fase akhir lognya. Isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang disimpan pada media TSA miring disegarkan dengan cara dipupukan sebanyak satu ose secara aseptik ke dalam 10 ml kaldu BHI steril. Selanjutnya suspensi tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 17 jam untuk memperoleh kultur jumlah dengan kerapatan 108 – 109 koloni/ml. Setelah proses inkubasi selesai, kultur siap untuk digunakan sesuai keperluan.
2) Persiapan Menstruum Pemanas Pada tahapan ini masing–masing sebanyak 9 ml kaldu TSB yang dibuat sesuai dengan petunjuk pembuatan dimasukan kedalam tujuh labu Erlenmeyer 100 ml. Selanjutnya kaldu TSB tersebut disterilisasi selama 15 menit pada suhu 121°C. Setelah proses sterilisasi selesai kaldu TSB dibiarkan dingin dan setelah itu siap digunakan sesuai keperluan.
20
3) Pemanasan pada Suhu 54°C selama 32 Menit Kaldu TSB hasil persiapan menstruum pemanas dipanaskan dalam waterbath bergoyang yang suhunya di set 54°C. Suhu kaldu TSB dibiarkan meningkat hingga mencapai suhu 54°C dan terus dipertahankan. Pengukuran suhu kaldu TSB dilakukan dengan cara menyertakan Erlenmeyer yang telah diisi dengan 10 ml kaldu TSB dan telah dilengkapi dengan termometer. Setelah itu, sebanyak 1 ml dari masing–masing suspensi inokulum Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hasil persiapan inokulum dipupukan ke dalam kaldu TSB tersebut untuk diberi perlakuan panas. Suhu campuran (TSB+inokulum) dipertahankan selama 32 menit. Penggunaan suhu 54°C dan waktu pemanasan selama 32 menit didasarkan pada nilai D54 Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berkisar antara 18 hingga 19 menit sehingga pada pemanasan dengan kombinasi suhu dan waktu tersebut akan diperoleh penurunan koloni yang cukup signifikan yaitu sekitar 2 siklus log dan sisa kultur yang masih bertahan dapat dihitung dengan metode Standard Plate Count dengan jumlah kontaminasi awal sebesar 107– 108 CFU. Setelah proses pemanasan selesai, suspensi (TSB+inokulum) selanjutnya didinginkan hingga mencapai suhu ruang.
a) Analisis Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
(BAM,
2001) Jumlah awal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebelum perlakuan pemanasan dianalisis dengan cara mengencerkan suspensi kaldu BHI–Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hasil persiapan inokulum hingga 10–8 dengan menggunakan pengencer BPW steril. Selanjutnya tiga pengenceran terakhir dari pengenceran serial tersebut dicawankan dengan menggunakan metode tuang. Sebanyak 1 ml suspensi dari masing–masing pengenceran dimasukan kedalam cawan petri steril kemudian ditambahkan media TSA. Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pemanasan dianalisis dengan cara mencawankan suspensi (TSB+inokulum) hasil perlakuan pemanasan. Sebelumya (TSB+inokulum) diencerkan secara serial dengan menggunakan BPW hingga tingkat pengenceran 10–3 dengan cara memipet 1 ml suspensi (TSB+inokulum) hasil perlakuan pemanasan ke dalam 9 ml BPW steril. Masing–masing hasil pengenceran tersebut selanjutnya dicawankan dengan metode tuang. Suspensi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebelum dan setelah pemanasan yang telah dicawankan selanjutnya diinkubasi pada suhu 35°C selama 48 jam. Perhitungan jumlah koloni bakteri dihitung dengan rumus Standard Plate Count sebagai berikut:
N = C/ {[(1*n1) + (0.1*n2)+ ...]*(d)} [Rumus I] Keterangan :
N ∑C n1 n2 d
= jumlah per ml atau per gram produk = jumlah semua koloni yang dihitung dari 2 cawan = jumlah cawan pada pengenceran pertama = jumlah cawan pada pengenceran kedua = pengenceran pertama yang dihitung
21
Perhitungan penurunan jumlah bakteri dihitung dengan rumus sebagai berikut: N0 S = Log ___ Nt Keterangan:
[Rumus II]
S = penurunan jumlah N0= Jumlah populasi mikroba sebelum perlakuan Nt= Jumlah mikroba setelah perlakuan
Selisih log antara jumlah awal dan jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pemanasan (hasil penghitungan Rumus II) merupakan besar reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang terjadi. Sebanyak dua isolat dengan ketahanan panas tertinggi (selisih log terkecil) selanjutnya dipilih untuk diuji ketahanannya terhadap pengeringan semprot pada peneltian utama.
2. Penelitian Utama
Susu skim bubuk
Persiapan susu skim rekonstitusi
4 isolat hasil penentuan penelitian pendahuluan
Inokulasi (kontaminasi) susu skim rekonstitusi dengan isolat Enterobacter sakazakii
Persiapan inokulum
Pengeringan pada 3 suhu inlet pengering terpilih
Susu skim rekonstitusi bubuk
Analisis jumlah Enterobacter sakazakii
Data reduksi jumlah 4 isolat Enterobacter sakazakii Gambar 5. Diagram alir penelitian utama
Gambar 5. menunjukkan tahapan yang akan dilakukan pada penelitian utama untuk mendapatkan data ketahanan empat isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada proses pengeringan semprot. Penelitian utama terdiri atas beberapa tahapan proses yang bertujuan 22
mendapatkan data ketahanan empat isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pengeringan semprot. Empat isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hasil penelitian pendahuluan disegarkan dengan mengikuti prosedur tahapan persiapan inokulum. Sementara itu dilakukan juga rekonstitusi susu skim bubuk dengan mengikuti prosedur tahapan persiapan susu skim rekonstitusi. Selanjutnya susu skim hasil persiapan susu skim rekonstitusi diinokulasi (kontaminasi) dengan isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan divorteks agar tercampur secara merata. Setelah itu, suspensi tersebut dikeringkan dengan pengering semprot pada suhu pengeringan hasil pemilihan pada penelitian pendahuluan. Susu bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisis jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)–nya dengan mengikuti prosedur pada tahapan analisis Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada penelitian utama.
a. Persiapan Inokulum Persiapan inokulum yang dilakukan pada tahapan ini sama seperti yang dilakukan pada tahapan penelitian pendahuluan.
b. Persiapan Susu Skim Rekonstitusi Persiapan susu skim rekonsitusi yang dilakukan pada tahapan ini sama seperti yang dilakukan pada tahapan penelitian pendahuluan.
c. Inokulasi (kontaminasi) Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) Sebanyak empat isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dengan kontentrasi 10 – 108 CFU hasil persiapan inokulum masing–masing dipupukan ke dalam susu skim rekonstitusi hasil persiapan susu rekonstitusi secara aseptik. Setelah itu susu skim rekonstitusi yang telah diinokulasi divorteks selama 5 menit. Selanjutnya suspensi tersebut siap untuk dikeringkan dengan pengering semprot. 7
d. Pengeringan Semprot Tahapan pengeringan pada penelitian ini merupakan unit proses yang akan dievaluasi pengaruhnya terhadap tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Susu skim hasil persiapan susu rekonstitusi yang telah diinokulasi dengan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dikeringkan dengan pengering semprot. Suhu pengeringan yang digunakan adalah tiga suhu pengeringan terpilih berdasarkan hasil penelitian pendahuluan.
e. Analisis Jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (BAM, 2001) Sebanyak 10 gram susu bubuk hasil pengeringan semprot dilarutkan kedalam 90 ml air destilata steril dan diaduk hingga homogen. Setelah itu sebanyak 1 ml suspensi tersebut dipipet dan dimasukan ke dalam cawan petri steril kemudian ditambahkan media kromogenik agar 23
DFI. Setelah itu hasil pencawanan diinkubasi pada suhu 350C selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan penghitungan koloni tipikal yang tumbuh, yaitu koloni bakteri yang berwarna hijau kebiruan. Koloni bakteri dihitung dengan rumus Standard Plate Count yang telah dijelaskan sebelumnya.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Penentuan Suhu Pengeringan Gambar 6. menampilkan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, 180°C, 190°C, dan 200°C dengan suhu outlet pengering dijaga konstan sebesar 82°C yang dibandingkan dengan susu susu skimbubuk awal. Berdasarkan hasil pengeringan susu skim rekonstitusi pada kelima suhu inlet pengering tersebut, diperoleh susu skim rekonstitusi bubuk dengan penampakan yang relatif sama. Warna susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, 180°C dan warna susu skim bubuk awal satu sama lain tidak dapat dibedakan dengan jelas secara visual. Perbedaan warna susu skim rekonstitusi bubuk mulai dapat diamati dengan jelas pada susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan dengan percobaan suhu inlet pengering sebesar 190°C dan 200°C, yaitu warna susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan relatif lebih cokelat dan jumlah susu bubuk yang diperoleh pun berturut–turut semakin kecil. Menurut Wiratakusumah et al. (1992), warna produk yang lebih cokelat pada suhu pengeringan yang lebih tinggi disebabkan oleh reaksi pencokelatan non–enzimatis yang lebih cepat terjadi. Jumlah susu skim bubuk yang semakin rendah pada percobaan suhu inlet pengering 190°C dan 200°C disebabkan oleh terbentuknya partikel susu bubuk yang terlalu besar pada saat pengeringan berlangsung sehingga tidak terbawa oleh aliran udara pembawa dan terkumpul di dasar chamber pengering. Selain itu pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan suhu inlet pengering 190°C dan 200°C juga dihasilkan partikel susu bubuk yang sebagian besar masih dalam
Gambar 6. Penampakan susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan lima suhu inlet pengering dan susu skim bubuk awal.
keadaan basah sehingga menempel pada dinding chamber pengering. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka tiga suhu inlet pengeringan yang dipilih dan akan digunakan pada penelitian utama adalah 160°C, 170°C dan 180°C. Hasil analisis mutu susu skim bubuk rekonstitusi (kadar air, tingkat kelarutan dan warna) pada suhu pengeringan terpilih dan susu skim bubuk awal dijelaskan di bawah ini.
a. Kelarutan
Kelarutan (%)
100.0
95.0
90.0
85.0 160
170 180 Suhu Inlet Pengering (°C)
Awal
Gambar 7. Kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C serta kelarutan susu skim awal. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 3 ulangan perlakuan.
Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu kualitas susu bubuk. Semakin tinggi kelarutan maka semakin baik kualitasnya karena jumlah protein yang rusak akibat proses pengolahan semakin kecil. Protein akan menyumbangkan ketidaklarutan jika suhu pengeringan terlalu tinggi pada kadar air yang rendah (Walstra,1999) yaitu terjadi pada saat rentang kadar air 10% hingga 30% (Chandan, 2006). Menurut Chandan (2006) material tidak larut yang terbentuk selama pengeringan semprot berasal dari kompleks whey protein ( –lactoglobulin), kasein dan laktosa dalam berbagai perbandingan, sedangkan menurut Robinson (1999b), material tidak larut selama pengeringan semprot hanya terbentuk dari kasein yang terkogulasi akibat denaturasi dan sejumlah kecil lemak dan kompleks dari mineral akibat pemanasan berlebih, sedangkan denaturasi whey protein tidak mempengaruhi kelarutan susu bubuk. Batas maksimal fraksi susu bubuk yang tidak terlarut pada susu bubuk yang berkualitas baik adalah sebesar 0,5% atau memiliki kelarutan minimal sebesar 99,5% (Widodo, 2003 dan American Dry Milk Institute (ADMI), 1971). Gambar 7. menampilkan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk pada tiga suhu pengeringan terpilih beserta kelarutan susu skim awal. Berdasarkan hasil analisis kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, diperoleh nilai kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk sebesar 97,1%. Kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk menurun pada suhu inlet pengering 170°C menjadi 96,4%. Pada suhu inlet pengering 180°C kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan turun lagi menjadi 95,8%. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi tren penurunan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk dengan semakin tingginya suhu inlet pengering yang digunakan. Hasil tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Robinson (1999b), yaitu kelarutan susu skim bubuk akan
26
menurun dari 99,5% pada suhu inlet pengering 187°C menjadi 99,0% pada suhu inlet pengering 195°C dan turun lagi menjadi 98,5% pada suhu inlet pengering 205°C dengan suhu outlet pengering dijaga konstan sebesar 90°C. Pada penelitian ini, kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C tidak berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil perlcobaan suhu inlet pengering 170°C karena error bar dari kedua percobaan tersebut saling bersinggungan namun berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 180°C karena error bar dari kedua percobaan tersebut tidak saling bersinggungan. Selanjutnya dengan cara yang sama, dapat diketahui bahwa kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 180°C berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pecobaan suhu inlet pengering 160°C namun tidak berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 170°C. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui penggunaan suhu inlet pengering yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan. Perbedaan tingkat kelarutan susu bubuk yang signifikan terjadi ketika perbedaan suhu inlet mencapai 20°C. Pengeringan ulang susu skim bubuk hasil rekonstitusi dengan mengunakan metode pengeringan semprot dapat menurunkan tingkat kelarutannya. Pada penelitian ini, percobaan pengeringan ulang susu skim bubuk dengan rentang suhu inlet pengering 160°C–180°C dapat menurunkan kelarutannya hingga 4% dengan kelarutan susu skim bubuk awal sebesar 99,8%. Kelarutan susu skim bubuk yang diperoleh pada percobaan pengeringan dengan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C berbeda nyata dengan kelarutan susu skim bubuk awal. Hal tersebut terjadi karena susu skim tersebut menerima perlakuan panas kembali selama proses pengeringan semprot berlangsung sehingga material tidak larut yang terbentuk akibat panas menjadi lebih banyak. Selain proses pengeringan semprot ulang, perlakuan pasteurisasi yang dilakukan pada penelitian ini mungkin turut mempengaruhi penurunan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk pada masing–masing percobaan pengeringan karena kombinasi waktu dan suhu yang lebih tinggi yaitu 100°C selama 15 menit. Suhu pasteurisasi yang lebih tinggi dari 80°C dan residence time yang lebih lama (Spreer, 1995), atau pada suhu 85°C hingga 100°C (Walstra, 1999) menyebabkan terbentuknya senyawa tidak terlarut yang berasal dari fraksi protein yang sama dengan yang dihasilkan pada pengeringan semprot. Akan tetapi menurut Fox (1992), misel kasein yang membentuk kompleks dengan whey protein tersebut tidak mengalami kehilangan integritas strukturalnya sehingga tidak terjadi koagulasi kasein yang selanjutnya dapat membentuk endapan jika suhu proses tidak melebihi 110°C. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kompleks whey protein–kasein yang terjadi pada suhu pemanasan hingga 100°C termasuk pengeringan semprot ulang sebenarnya tidak banyak mempengaruhi kelarutan susu bubuk atau dengan kata lain hanya sebagian kecil senyawa tidak terlarut yang terbentuk akibat pembentukan kompleks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang masih tinggi (lebih dari 95% kelarutan) meskipun telah mengalami perlakuan pasteurisasi dan pengeringan ulang.
b. Kadar Air Gambar 8. Menampilkan kadar air susu skim rekostitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering sebesar 160°C, 170°C, dan 180°C. Berdasarkan hasil analisis kadar air susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot diperoleh nilai kadar air susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan suhu inlet pengering sebesar 160°C, 170°C, dan 180°C berturut– turut sebesar 4,8%; 5,6%; dan 5,6% sedangkan kadar air susu skim awal yang diperoleh adalah
27
sebesar 5,4%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang paling rendah dimilliki oleh susu skim rekonstitusi bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C. Kadar air
Kadar Air (%)
6.0
4.0
2.0
0.0 160
170 180 Suhu inlet Pengering (°C)
Awal
Gambar 8. Kadar air susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 3 ulangan perlakuan.
susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C berbeda nyata dengan kadar air susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 170°C, 180°C maupun dengan kadar air susu skim bubuk awal karena error bar kadar air dari tidak bersinggungan sedangkan kadar air susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengeringan 170°C, 180°C, dan kadar air susu skim awal satu sama lain tidak berbeda secara nyata. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui perubahan kadar air terjadi secara signifikan antara perlakuan suhu inlet pengering 160°C dengan perlakuan suhu inlet pengering 170°C namun perubahan kadar air tidak signifikan antara perlakuan suhu inlet pengering 170°C dengan perlakuan suhu inlet pengering 180°C. Kadar air produk yang meningkat pada suhu pengeringan yang lebih tinggi disebabkan oleh permukaan lebih cepat kering dan bersifat tidak melewatkan air (permeabel) sehingga air lebih sulit untuk keluar dari bahan (Wiratakusumah, 1992). Kadar air susu skim bubuk yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Shrestha (2008), yaitu sebesar 1,5% pada kombinasi suhu inlet–outlet pengering berturut–turut sebesar 180°C dan 80°C. Kadar air yang diperoleh pada percobaan suhu inlet pengering 170°C, 180°C, dan kadar air susu skim bubuk awal bahkan lebih besar dari kadar air yang disyaratkan SNI yaitu maksimum sebesar 5% (BSN, 2010). Kadar air yang lebih tinggi pada susu skim awal mungkin disebabkan oleh penyerapan kelembaban yang terjadi selama penyimpanan sedangkan kadar air yang lebih tinggi pada ketiga perlakuan dibandingkan dengan hasil penelitian Shrestha (2008) mungkin disebabkan oleh tingginya kelembaban udara ambien di dalam laboratorium percobaan (96%–98%). Kelembaban ambien yang tinggi akan mempengaruhi kadar air susu skim bubuk yang dihasilkan karena humiditas atau kelembaban udara ambien berhubungan langsung dengan kapasitas pengeringan. Kelembaban udara hingga 100% mencerminkan udara jenuh uap air sehingga tidak akan terjadi pengeringan, sedangkan kelembaban udara yang semakin kecil akan memperbesar potensial pengeringan (Wiratakusumah et al., 1992).
28
Kelembbaban ambien yang tinggi di dalam lab juga mempengaruhi kadar air susu skim bubuk setelah pengeringan. Susu bubuk hasil pengeringan semprot bersifat sangat higroskopis (Coulter e, 1955) sehingga kondisi tersebut menyebabkan susu bubuk menyerap kelembaban dari udara di sekitarnya terutama saat dilakukan pemindahan susu bubuk dari chamber pengering ke dalam kemasan. Penyerapan kelembaban oleh susu bubuk tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kadar air susu bubuk u meningkat. Akan tetapi kadar air susu bubuk sebenarnya dapat diturunkan kembali dengan melakukan proses pengeringan lanjut (afterdryer), yaitu proses pengeringan dengan cara menempatkan bahan pada suatu papan bergerak yang dibawahnya dihembuskan udara panas untuk mendapatkan kadar air susu bubuk sebesar 2,5–3% (Widodo, 2003).
c. Warna
Parameter L
60
50
40 160
170
180
Awal
Suhu Inlet Pengering (°C) Gambar 9. Nilai parameter (l) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 2 ulangan perlakuan.
Hasil analisis warna yang ditampilkan oleh Gambar 9. menunjukan bahwa nilai parameter (L) tertinggi dimiliki oleh susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan pada suhu inlet pengering 160°C yaitu sebesar 62,02. Selanjutnya kecerahan susu skim rekonstitusi bubuk menurun pada hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 170°C yaitu sebesar 60,72 dan kecerahannya menurun lagi pada susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 180°C yaitu sebesar 60,59. Nilai parameter (L) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C tidak berbeda nyata dengan nilai parameter (L) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 170°C namun berbeda nyata dengan nilai parameter (L) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 180°C. Akan tetapi nilai parameter (L) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 170°C tidak berbeda nyata dengan nilai parameter (L) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 180°C. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa tingkat kecerahan susu bubuk cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suhu inlet pengeringan yang digunakan. Perbedaan nilai parameter (L) mulai signifikan pada perbedaan suhu inlet pengering sebesar 20°C. Akan tetapi nilai parameter (L) dari ketiga percobaan tersebut masih lebih tinggi dan masing–masing berbeda nyata dibandingkan dengan nilai parameter (L) susu skim awal, yaitu sebesar 5,60. Nilai kecerahan yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Licari dan Potter (1970b) yaitu sebesar 75,5 pada susu skim rekonstitusi hasil pengeringan
29
semprot ulang dengan suhu outlet pengering sebesar 79,4°C dan hasil penelitian (Shrestha, 2008) yaitu diperoleh nilai (L) sebesar 98,4 pada kombinasi suhu inlet–outlet berturut–turut sebesar 180°C dan 80°C. Hal tersebut mungkin lebih disebabkan oleh perbedaan sumber bahan baku maupun standar kualitas susu skim bubuk yang digunakan.
1.00
Parameter a
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 160
170
180
Awal
Suhu inlet Pengering (°C) Gambar 10. Nilai parameter (a) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 2 ulangan perlakuan.
Berdasarkan hasil analisis warna susu skim bubuk untuk parameter (a), diketahui susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 160°C memiliki nilai parameter (a) terendah yaitu sebesar +0,70. Nilai parameter (a) meningkat pada suhu inlet pengering 170°C menjadi +0,77 sedangkan pada suhu inlet pengering 180°C tidak mengalami peningkatan lagi (+0,77). Nilai parameter (a) hasil analisis warna pada susu skim bubuk hasil pengeringan pada suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C masing–masing menunjukkan nilai parameter (a) positif (+) (Gambar 10.). Tanda (+) menunjukan bahwa warna susu skim bubuk yang dihasilkan lebih mengarah pada warna merah, yaitu semakin tinggi nilainya semakin mengarah pada warna merah. Nilai parameter (a) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C berbeda nyata dengan nilai parameter (a) yang diperoleh dari hasil percobaan suuhhu inlet pengering 170°C dan nilai parameter (a) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 180°C sedangkan nilai parameter (a) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 170°C tidak berbeda nyata dengan nilai parameter (a) yang diperoleh dari hasil percobaan suhu inlet pengering 180°C. Akan tetapi nilai parameter (a) yang diperoleh dari ketiga percobaan tersebut lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan nilai parameter (a) susu skim bubuk awal, yaitu sebesar +0,31. Maka dari itu dapat disimpulkan pengeringan ulang susu skim bubuk dengan metode pengeringan semprot dapat meningkatkan intensitas warna merah dari susu skim awal. Nilai parameter (a) yang diperoleh pada penelitian ini berbeda tanda dengan hasil penelitian LiCari dan Potter (1970b) yang memperooleh nilai parameter (a) sebesar –1.15 pada susu skim hasil pengeringan dengan suhu outlet pengering 79,4°C dan hasil penelitian (Shrestha, 2008) yaitu sebesar –2,8 pada susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 180°C dan suhu outlet pengering 80°C. Hasil kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa susu skim bubuk hasil pengeringan semprot lebih cenderung berwarna hijau. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bahan baku karena susu skim awal pada penelitian ini pun memiliki nilai parameter (a) yang betanda positif.
30
Nilai parameter (b) yang diperoleh pada susu skim bubuk hasil pengeringan semprot pada suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C berturut–turut sebesar +5,49; +6,40; dan +5,98 (Gambar 11.). Parameter (b) hasil analisis warna pada susu skim bubuk hasil pengeringan semprot dengan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C masing–masing bernilai positif (+) sehingga warna susu skim bubuk yang dihasilkan lebih mengarah pada warna kuning. Semakin tinggi nilai parameter (b) warna susu bubuk semakin mengarah pada warna kuning sehingga dapat diketahui intensitas warna kuning meningkat dari susu skim bubuk hasil pengeringan suhu inlet pengering
8 7 Parameter b
6 5 4 3 2 1 0 160
170
180
Awal
Suhu u inlet Pengering (°C) Gambar 11. Nilai parameter (b) hasil analisis warna susu skim bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°c, 170°c, dan 180°c. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 2 ulangan perlakuan.
160°C ke susu skim bubuk hasil pengeringan 170°C, akan tetapi kembali turun pada susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 180°C. Nilai parameter (b) yang diperoleh dari ketiga percobaan tersebut masing–masing tidak berbeda nyata antar perlakuan maupun dengan nilai parameter (b) susu skim bubuk awal, yaitu sebesar +5,04. Maka dari itu dapat diketahui bahwa pengeringan ulang susu skim bubuk tidak mempengaruhi intensitas warna kuning dari susu skim awal. Nilai parameter (b) yang diperoleh pada penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian (Shrestha, 2008), yaitu sebesar +7,8 pada susu skim bubuk hasil pengeringan dengan suhu inlet pengering 180°C dan suhu outlet pengering 80°C, akan tetapi berkebalikan tanda dengan dengan hasil penelitian Licari dan Potter (1970b) yaitu sebesar –4,25 pada dengan suhu outlet pengering 79,4°C. Menurut (Ohiokpehai, 2003), susu sapi pada dasarnya berwarna kuning karena mengandung karoten sehingga nilai parameter (b) seharusnya bertanda (+). Berdasarkan hasil analisis warna susu bubuk hasil pengeringan pada suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C yang diwakili oleh parameter L, a, dan b, dapat diketahui bahwa pengeringan ulang susu skim rekonstitusi telah menurunkan kualitas warna susu bubuk hasil pengerigan. Perubahan nilai parameter (L) dan (a) terjadi secara signifikan pada perbedaan suhu inlet sebesar 20°C, sedangkan perubahan nilai parameter (a) tidak mengalami perbedaan yang signifikan pada perbedaan suhu inlet hingga 20°C. Hasil tersebut menunjukan bahwa pengeringan semprot ulang susu skim bubuk hanya berpengaruh signifikan terhadap parameter (L) dan (a). Susu skim bubuk hasil pengeringan semprot ulang memiliki penampakan yang lebih gelap meskipun nilai parameter (L)–nya lebih tinggi dibandingkan denga penampakan susu skim aw wal. Parameter L adalah parameter yang menggambarkan tingkat kecerahan dari warna susu bubuk yang
31
disebut dengan warna akromatis. Warna akromatis hanya berperan pada derajat warna putih dari benda. Berbeda parameter (L), parameter (a) dan (b) merupakan warna kromatis dari benda. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh warna kromatis, yaitu parameter (a) yang lebih tinggi pada susu skim hasil pengeringan ulang. Nilai parameter (a) yang lebih tinggi menyebabkan susu bubuk hasil pengeringan ulang terlihat lebih gelap karena adanya peningkatan intensitas warna merah. Karena perbedaaan intensitas warna kuning yang tidak berbeda nyata dari susu bubuk hasil pengeringan dari ketiga suhu inlet pengering tidak banyak mempengaruhi warna produk menjadi lebih kuning atau lebih gelap. Selain tahapan pengeringan ulang, tahapan pasteurisasi pada penelitian ini turut mempengaruhi kualitas warna susu bubuk hasil pengeringan ulang. Suhu pemanasan diatas 90°C dapat menyebabkan reaksi browning non–enzimatis atau yang dikenal dengan reaksi Maillard yang dapat menurunkan kualitas produk susu (Fox, 1992; Walsta, 1999; dan Spreer 1995).
2. Pemilihan Cepat Ketahanan Panas En nterobacter sakazakii (Cronobacter spp.)
4.00
Log (N0/N)
3.00 2.00 1.00 0.00 DES b7a
DES b7b
DES b10
DES c7
DES c13
DES d3
Jenis Isolat Gambar 12. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada perlakuan suhu pemanasan 54°C selama 32 menit. N0 adalah jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebelum pemanasan dan N adalah jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pemanasan. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 2 ulangan perlakuan.
Hasil pemilihan cepat ketahanan panas terhadap enam isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) ditunjukan oleh Gambar 12. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa ketahanan panas diantara keenam isolat yang diuji cukup bervariasi. Isolat Enterobacter sakazakkii (Cronobacter spp.) asal pati (DES c7) mengalami reduksi jumlah yang paling besar, yaitu sebesar 3,47 siklus log. Reduksi jumlah semakin mengecil mulai dari isolat DES d3 sebesar 3,10 siklus log, isolat DES c13 sebesar 1,87 siklus log, DES b7b sebesar 1,70 siklus log, DES b10 sebesar 1,53 siklus log, dan isolat DES b7a mengalami reduksi jumlah terkecil yaitu sebesar 1,42 siklus log. Reduksi jumlah yang semakin kecil mencerminkan ketahanan terhadap panas yang semakin tinggi sehingga dapat diketahui isolat yang memiliki ketahanan panas paling tinggi diantara keenam isolat tersebut pada perlakuan pemanasan adalah isolat DES b7a.
32
Reduksi jumlah sel isolat b7a lebih tinggi dibandingkan reduksi jumlah sel Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang telah ditemukan sebelumnya oleh sejumlah peneliti. Nilai D54 isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan yang diperoleh Nazarowec–White dan Farber (1997) adalah 18,57 menit sehingga akan mengalami reduksi sebesar 1.72 siklus log pada pemanasan suhu 54°C selama 32 menit. Hasil penelitian Arroyo et al., (2009) menunjukan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal sumber klinis (D58=1,95) dengan nilai Z 4,09 sehingga nilai D54–nya adalah 19,07 menit atau akan mengalami reduksi jumlah sebesar 1,68 siklus log jika dipanaskan 54°C selama 32 menit. Reduksi jumlah isolat b7a pun masih lebih tinggi dibandingkan reduksi jumlah isolat asal makanan bayi dan susu formula yang diuji dengan perlakuan yang sama oleh Ardelino (2011), yaitu berturut-turut sebesar 1,62 dan 1,66 siklus log. Maka dari itu dapat disimpulkan pada suhu pemanasan sebesar 54°C, isolat DES b7a merupakan isolat yang paling tahan panas. Variasi ketahanan bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor genetik yang membedakan ketahanan panas dari masing-masing isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Meskipun menurut Gitapratiwi (2011) keenam isolat yang diujikan pada tahapan ini merupakan spesies Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) karena ditempatkan dalam subklaster yang sama berdasarkan sekuen parsial gen 16S rRNA segmen 1 dan 2, akan tetapi belum tentu semua isolat memiliki ketahanan panas yang relatif sama karena sekuen parsial gen 16S rRNA segmen 1 dan 2 bukan merupakan gen penyandi ketahanan panas bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi variasi ketahanan antar isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah perbedaan sumber ditemukannya isolat tersebut. Beberapa isolat yang diisolasi oleh Gitapratiwi (2011) berasal dari makanan bayi yang proses pembuatannya banyak menggunakan proses pemanasan dibandingkan dengan proses pengolahan pati. Menurut Yousef dan Juneja (2003), sel mikroba yang sering terpapar stres ringan seperti perlakuan pemanasan menjadikan sel tersebut terbiasa dam kondisi stres dan akan menjadi lebih resisten terhadap stres yang lebih tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah fase pertumbuhan atau umur sel. Sel mikroba yang berada pada kondisi fase eksponensial lebih sensitif terhadap panas dibandingkan sel pada kondisi fase stasioner. Menurut Arroyo (2009), transisi fase eksponensial menuju fase stasioner menyebabkan peningkatan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih dari 17 kali lipat. Selain itu, variasi ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berhubungan dengan kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) memproduksi subtansi pelindung berupa heteropolisakarida (Iversen, 2004) yang akan melindungi sel terhadap kondisi eksternal dari sel bakteri. Akan tetapi menurut Harris dan Oriel (1989), heteropolisakarida hanya dihasilkan oleh galur tertentu sehingga tidak senua isolat dapat memproduksi heteropolisakarida tersebut. Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga diketahui dapat menghasilkan trehalose, yaitu senyawa disakarida yang dapat menstabilkan membran sel dan protein. Menurut Jay (2000), pembentukan substansi pelindung tersebut akan semakin besar pada jumlah inokulum yang semakin besar sehingga akan meningkatkan ketahanan panasnya. Berdasarkan beberapa kemungkinan tersebut, variasi ketahanan padas antar isolat pada tahapan ini lebih disebabkan oleh sumber isolat dan faktor genetik dari masing-masing isolat. Hal tersebut dapat diamati dari jumlah yang lebih kecil dan tidak berbeda nyata antarisolat asal makanan bayi (DES b7b, DES b10, dan DES b7a) dibandingkan dengan isolat asal bubuk cokelat dan isolat asal pati, sedangkan tingginya reduksi jumlah isolat DES c7 dan DES c13 yang keduanya masih
33
dalam satu sumber isolasi menunjukan bahwa secara genetik masing–masing isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) memiliki ketahanan panas yang berbeda. Berdasarkan hasil pemilihan cepat ketahanan panas, dapat diketahui bahwa isolat DES b7a memiliki ketahanan panas yang paling tinggi dan isolat DES b10 memiliki ketahanan panas tertinggi kedua. Maka dari itu isolat yang dipilih untuk diujikan pada penelitian utama adalah isolat DES b7a dan isolat b10. Selain kedua isolat tersebut, diujikan juga satu isolat asal susu formula (YR c3a) hasil isolasi Meutia (2008) dan dilaporkan memiliki ketahanan panas yang tinggi oleh (Ardelino, 2011) serta isolat baakteri Cronobacter mutyjensi ATCC 51329 (keluarga Enterobactereceae) sebagai isolat pembanding.
B. PENELITIAN UTAMA
1. Pengeringan Semprot Berdasarkan hasil analisis jumlah mikroba pada susu bubuk hasil pengeringan semprot pada tahapan penelitian utama, dapat diketahui bahwa pengeringan ulang susu skim rekonstitusi dengan metode pengeringan semprot dapat mereduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang terdapat dalam susu skim rekonstittusi tersebut. Menurut Fu dan Etzel (1995), pengeringan semprot dapat mereduksi mikroba karena terjadi proses dehidrasi dan paparan temperatur tinggi yang terjadi di dalam atomizer sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel selama pengeringan. Kematian sel mikroba pada pengeringan semprot berhubungan dengan penghancuran komponen–komponen sel termasuk dinding sel dan DNA (Teixeira et al., 1995). Menurut Polo et al. (2005), priode pengeringan yang singkat dengan peningkatan temperatur yang sangat cepat selama pengeringan semprot menyebabkan mikroba tidak dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut.
4.00
Log (N0/N)
3.00
2.00
1.00
0.00 DES b7a
DES b10 Jenis Isolat
YRc3a 160
ATCC51329 170
180
Gambar 13. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) (log N0/N) pada perlakuan pengeringan dengan suhu inlet pengering 160°C, 170°C dan 180°C. N0 adalah jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebelum pengeringan dan N adalah jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) setelah pengeringan. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 3 ulangan perlakuan.
34
Gambar 13. menampilkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan C. muytjensii ATCC 51329 pada susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C berkisar antara 2,54 hingga 3,07 siklus log. Pada perlakuan ini isolat DES b10 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,07 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah semakin mengecil berturut–turut isolat isolat DES b7a sebesar 3,01 siklus log, ATCC 51329 sebesar 3,00 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,54 siklus log. Akan tetapi reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang diperoleh tersebut lebih tinggi satu siklus log dibandingkan hasil penelitian (Arku et al., 2006) pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C yaitu sebesar 1,98 siklus log. Reduksi jumlah yang semakin kecil antar isolat menunjukan bahwa isolat tersebut semakin besar ketahanannya terhadap proses pengeringan semprot. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C adalah isolat YR c3a. Berdasarkan reduksi jumlah dari masing–masing isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diperoleh pada pelakuan suhu inlet pengering 160°C (Gambar 13.), dapat diamati bahwa error bar antara isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a ketiganya satu sama lain saling bersinggungan. Hal tersebut menunjukan bahwa ketiga isolat tersebut mengalami reduksi jumlah yang tidak berbeda nyata. Berbeda dengan ketiga isolat tersebut, error bar reduksi jumlah isolat YR c3a yang tidak beringgungan dengan error bar dari ketiga isolat lainnya mencerminkan reduksi jumlah isolat YR c3a berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya. Maka dari itu dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C dan berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya, sedangkan ketahanan dua isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DES b10, DES b7a, serta isolat ATCC 51329 terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet 160°C tidak berbeda nyata. Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi pada penelitian ini ternyata meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada perlakuan suhu inlet pengeringan 170°C berkisar antara 2,77 hingga 3,25 siklus log. Berbeda dengan perlakuan suhu inlet pengering 160°C, isolat yang mengalami penurunan jumlah yang paling besar pada perlakuan suhu inlet pengering 170°C adalah isolat DES b7a. Isolat DES b7a mengalami reduksi jumlah sebesar 3,25 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah menurun yaitu isolat DES b10 sebesar 3,21 siklus log, isolat ATCC 51329 sebesar 3,16 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,77 siklus log. Peningkatkan reduksi jumlah sel mikroba pada perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi juga terjadi pada bakteri patogen lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh Licari dan Potter (1970) menunjukan bahwa suhu pengeringan semprot yang lebih tinggi (inlet = 176.7°C dan outlet = 93,3°C) mereduksi jumlah bakteri patogen (Salmonella typhimurium) sebesar 4,383 siklus log dibandingkan dengan suhu (inlet = 132,2°C dan outlet 65,6°C) yang hanya mereduksi jumlah Salmonella typhimurium sebesar 2.73 siklus log. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat YR c3a masih merupakan isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi pada perlakuan ini dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa reduksi jumlah isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a pada pelakuan suhu 170°C satu sama lain tidak berbeda nyata karena error bar jumlah reduksi dari ketiga isolat tersebut saling bersinggungan, sedangkan isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a juga memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet
35
pengering 170°C dan berbeda nyata dibandingkan dengan tiga isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lainnya. Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi (180°C) kembali meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada perlakuan ini isolat ATCC 51329 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,55 siklus log. Selanjutnya penurunan jumlah semakin mengecil secara berturut yaitu isolat DES b7a sebesar 3,51 siklus log, isolat DES b10 sebesar 3,31 siklus log, dan isolat YR c3a sebesar 3,24 siklus log. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C adalah isolat YR c3a. Ketahanan terhadap perlakuan suhu inlet 180°C kemudian menurun berturut–turut mulai dari isolat DES b7a, DES b10, dan ATCC 51329. Berdasarkan error bar antar masing–masing jumlah reduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pelakuan suhu 180°C, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 dan DES b7a namun tidak berbeda nyata dengan reduksi jumlah isolat DES b10, sedangkan isolat ATCC 51329 dan DES b7a satu sama lain tidak mengalami reduksi jumlah yang berbeda nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a dan DES b10 memiliki ketahanan yang relatif sama terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C. Kedua isolat tersebut memiliki ketahanan terhadap pengeringan semprot yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan isolat ATCC 51329 dan DES b7a. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap perlakuan pengeringan semprot pada suhu inlet 160°C, 170°C, dan 180°C dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya yang diujikan pada penelitian ini. Terkait dengan ketahanan panasnya isolat ini dilaporkan memiliki nilai inaktivasi termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal susu formula lainnya pada pemanasan pada suhu 54 selama 32 menit (Ardelino, 2011). Selain itu isolat YR c3a juga memiliki nilai D54 dan nilai Z yang lebih tinggi yaitu berturut–turut sebesar 9,13 menit dan 5.75°C dibandingkan nilai D54 dan Z bakteri Cronobacter muytjensii ATCC 51329 yang diujikan juga pada penelitian ini, yaitu berturut–turut sebesar 8,66 dan 5,56°C (Ardelino, 2011). Menurut Meutia (2008) pada suhu rekonstitusi 70°C YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 4,3 log CFU/ml dengan jumlah kontaminasi awal sebesar 7,05 log CFU/ml. Bahkan hasil penelitian Fitriyah (2010) menunjukan bahwa isolat YR c3a hanya mengalami reduksi jumlah sebesar 2,48 log dengan jumlah kontaminasi awal sekitar 3 log CFU/ml serta mengalami recovery setelah 6 jam ketika dibiarkan dalam suhu ruang. Isolat YR c3a sebenarnya tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan isolat DES b7a dan DES b10 ketika diberi perlakuan pemanasan pada menstruum pemanas yang berupa cairan. Hasil penelitian Ardelino (2011) menunjukan isolar YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 1,66 log yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat DES b7a dan DES b10 yang berturut-turut hanya sebesar 1,42 log dan 1,53 log pada perlakuan pemanasan dan menstruum pemanas yang sama (54°C selama 32 menit dalam kaldu TSB). Menurut Breeuwer et al., (2003) bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebenarnya tidak toleran terhadap panas, namun kemampuannya untuk bertahan pada kondisi pengeringan dan tekanan osmotik yang tinggi menjadikannya mampu bertahan pada proses dehidrasi. Kemampuan untuk bertahan dalam kondisi tersebut dipengaruhi oleh kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) membentuk subtansi pelindung berupa polisakarida (Iversen, 2004). Oleh karena itu kemampuan yang berbeda antar isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam menghasilkan subtansi pelindung akan
36
menghasilkan ketahanan panas yang berbeda. Berdasarkan hasil pengeringan yang diperoleh tersebut, dapat diketahui bahwa ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada media cair berbeda dengan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pengeringan semprot. Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga diketahui dapat menghasilkan trehalose. Trehalose adalah senyawa disakarida yang dapat menstabilkan membran sel dan protein sehingga akan melindungi sel dari kerusakan ketika berada dalam kondisi kering (Breuwer, 2003). Menurut Jay (2000), pembentukan substansi pelindung tersebut akan semakin besar pada jumlah inokulum yang semakin besar sehingga akan meningkatkan ketahanan panasnya. Berdasarkan Gambar 13. dapat diamati terjadinya tren peningkatan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang bervariasi antar isolat pada perlakuan suhu inlet pengering yang semakin tinggi. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur DES b7a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,24 log dan 0,26 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur DES b10 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,14 log dan 0,10 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur YR c3a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,23 log dan 0,47 log. Selisih reduksi jumlah isolat ATCC 51329 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,16 log dan 0,39 log. Maka dari itu selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berada pada rentang perlakuan suhu inlet pengering 160°C hingga 180°C dapat menyebabkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hingga 0,71 siklus log. Pada penelitian ini selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah bahan baku yang masuk kedalam chamber pengering. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 160°C, kecepatan pompa peristaltik yang digunakan untuk mengalirkan bahan masukan berkisar antara 3,5 hingga 4 RPM (rotation per minute). Akan tetapi pada pengeringan susu skim rekonstitusi pada perlakuan suhu inlet 170°C, kecepatan pompa peristaltik meningkat menjadi 5,0 hingga 5,5 RPM. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 180°C pun kembali meningkatkan kecepatan pompa peristaltik menjadi 6,0 hingga 6,5 RPM. Peningkatan jumlah bahan baku yang masuk pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi berfungsi untuk menyerap kelebihan energi kalor akibat peningkatan suhu inlet pengering. Secara teknis hal tersebut dapat diamati dari peningkatan suhu outlet ketika suhu inlet pengering dinaikkan sedangkan debit bahan baku yang masuk ke dalam pengering dipertahankan konstan. Maka dari itu dapat diketahui bahwa peningkatan suhu inlet pengering sebesar 10°C tidak meningkatkan inaktivasi mikroba lebih dari 1 siklus log dikarenakan energi kalor pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi tersebut digunakan untuk mengeringkan bahan baku yang masuk lebih banyak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu inlet pengering tidak akan meningkatkan inaktivasi mikroba secara signifikan ketika debit bahan masukan diperbesar atau suhu outlet dipertahankan konstan. Pengaruh lainnya dari peningkatan debit bahan baku yang masuk kedalam pengering adalah residence time yang lebih singkat. Konsentrasi bahan yang lebih tinggi dalam chamber pengerng
37
menyebabkan panas lebih cepat diserap persatuan volum chamber sehingga waktu kontak antara bahan dan panas menjadi lebih singkat. Ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut To dan Etzel (1997) dan Teixeira et al. (1995), ketahanan mikroba terhadap proses pengeringan semprot yang disebabkan oleh kemampuan mikroba itu sendiri untuk bertahan pada suhu yang tinggi dan pengeringan yang ekstrim merupakan faktor intrinsik mikroba tersebut. Selain faktor intrinsik, terdapat faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan panas suatu mikroba. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan mikroba pada pengeringan semprot antara lain adalah desain alat pengering yang digunakan, temperatur pengeringan, dan kondisi fisiologis mikroba itu sendiri. Desain pengering semprot diketahui mempengaruhi tingkat inaktivasi mikroba. Menurut Simpson et al. (2005), peluang mikroba untuk bertahan hidup meningkat dengan menggunakan pengering skala industri dibandingkan pengering skala laboratorium. Menurut Chandan (2006), pengering semprot komersial dapat meminimalkan kerusakan bahan akibat panas karena memiliki chamber pendingin yang akan mendinginkan produk dengan cepat setelah pengeringan. Selain desain alat, humiditas atau kelembaban dari udara ambien akan mempengaruhi kapasitas pengeringan karena menggambarkan keberadaan uap air dalam udara. Menurut Anonim (2010), kelembaban udara ideal yang biasa diaplikasikan pada pengeringan semprot adalah sebesar 66%. Kelembaban udara ambien yang tinggi di dalam lab percobaan (96% – 98%) menurunkan kapasitas pengeringan sehingga air yang bersuhu tinggi dalam bahan tidak segera terevaporasi. Keberadaan air bersuhu tinggi dalam susu skim bubuk dapat meningkatkan tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan mikroba karena berhubungan dengan kecepatan pindah panas lebih besar pada bahan yang basah atau lebih banyak mengandung air dibandingkan pindah panas dalam udara atau bahan pangan itu sendiri (Wiratakusumah et al., 1992). Kelembaban udara ambien sangat dipengaruhi oleh iklim setempat. Menurut Robinson (1999b), negara tropis memiliki kelembaban udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara subtropis sehingga kapasitas pengeringannya pun akan lebih rendah. Perlakuan preheating bahan pada suhu tertentu dapat memicu peningkatan ketahanan panas mikroba. Perlakuan heat shock memberikan efek penguatan toleransi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang meningkat pada rentang suhu heat shock 42°C–47°C (Chang, 2009), sedangkan hasil penelitian Arroyo et al., (2009) menunjukkan perlakuan heat shock yang memberikan peningkatan resistansi terhadap panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah pada suhu 47°C selama 15 menit. Terkait dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian Arku et al. (2006), tahapan preheating susu skim rekonstitusi yang telah diinokulasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada suhu 40°C sebelum dikeringkan dengan pengering semprot dimungkinkan turut meningkatkan ketahanan panas isolat ATCC 51329 yang diuji oleh (Arku et al., 2006). Penggunaan metode analisis jumlah mikroba yang berbeda akan mempengaruhi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang masih bertahan setelah pengeringan semprot. Pengeringan semprot menyebabkan sel mikroba yang secara simultan mengalami tekanan termal dan dehidrasi secara bersamaan menyebabkan bagian sel mikroba menjadi rusak seperti membran sitoplasma yang akan mati jika tidak mengalami penyembuhan (To dan Etzel, 1997). Menurut Arku et al. (2006) metode APM (angka paling mungkin) dan ISO enrichment akan meningkatkan jumlah mikroba yang tumbuh karena metode tersebut mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba, sedangkan metode ALT (angka lempeng total) tidak mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba.
38
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa proses pengeringan semprot tidak dapat menghasilkan produk yang steril terlebih jika terjadi kontaminasi dalam jumlah besar (ekstrim). Reduksi jumlah C. sakazakii kurang dari 4 siklus log meskipun suhu proses yang digunakan sangat tinggi. Pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C reduksi jumlah Cronobacter sakazakii berkisar antara 2,54 hingga 3,07 siklus log bergantung pada jenis galur yang diujikan. Ketahanan Cronobacter sakazakii menurun pada perlakuan suhu inlet pengering semakin tinggi meskipun selisih reduksi jumlah C. sakazakii tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Reduksi jumlah Cronobacter sakazakii pada suhu inlet pengering 170°C berkisar antara 2,77 hingga 3,25 siklus log dan reduksi jumlah pada suhu inlet pengering 180°C berkisar antara 3,24 hingga 3.55 siklus log. Isolat YRc3a merupakan galur C. sakazakii yang paling tahan terhadap pengeringan semprot dibandingkan tiga isolat lainnya. Isolat (YRc3a) juga memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi dibandingkan spesies Enterobacteriaceae lain (Cronobacter mutyjensi ATCC51329).
2. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh serta kendala yang dihadapi selama penelitian dilakukan, terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan dalam melanjutkan penelitian ini, yaitu disarankan menggunakan bahan masukan berupa susu formula, bukan susu skim mengingat komponen–komponen tertentu pada susu formula dapat meningkatkan perlindungan terhadap mikroba. Selain itu disarankan juga menggunakan suhu outlet sebagai parameter perlakuan karena pada penelitian ini selisih reduksi jumlah C. sakazakii tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Selanjutnya media pencawanan yang digunakan seharusnya ditambahkan substansi yang dapat membantu recovery sel mengingat tidak semua sel mati ketika mengalami perlakuan dan akan tumbuh kembali pada kondisi yang menguntungkan sehingga akan mempengaruhi perhitungan jumlah C. sakazakii yang mampu bertahan setelah proses pengeringan semprot.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Infant Nutrition and Feeding : Infant Formula Feeding – Chapter 4. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2011. SNI Susu Bubuk : SNI 01 – 2970 2006. BSN AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Ardelino, Ivani. 2011. Ketahanan panas isolat Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayi. Institut Pertanian Bogor : [skripsi] Arku, Benedict, Niall Mullane, Edward Fox, Séamus Fanning and Kieran Jordan. 2008. Enterobacter sakazakii survives spray drying. Original research. International Journal of Dairy Technology 61 (1): 102-108 Arroyo, C., S. Condón, R. Pagán. 2009. Thermobacteriological characterization of Enterobacter sakazakii, International Journal of Food Microbiology 1–9 [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. http://www.cfsan.fda.gov/. [25/09/2010]. Biering, Gunnar, L Sigfus Karlsson, Nancye C. Clark, Kristin E. Jônsdôttir, Pétur Ludvigsson,' and Olafur Steingrimsson. 1989. Three cases of neonatal meningitis caused by Enterobacter sakazakii in powdered milk. Journal Of Clinical Microbiology 27: 2054 – 2056 Block, C., Peleg, O., Minster, N., Bar – Oz, B., Simhon, A., arad, I., and Shapiro, M. 2002. Cluster of neonatal infections in Jerusalem due to unusual biochemical variant of Enterobacter sakazakii. European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 21(8): 613 – 616. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia Dalam Makanan Nomor HK.00.06.1.52.4011 Jakarta: Indonesia Breeuwer P, Lardeau A M and Peterz and Joosten H M. 2003. Desiccation and heat tolerance of Enterobacter sakazakii.Journal of Applied Microbiology 95: 967 – 973. [CAC] Codex Alimentiarus Commission. 2008. Code Of Hygienic Practice for Powdered Formulae for Infants and Young Children. Cac/Rcp 66 – 2008 [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2001. Enterobacter sakazakii infections associated with the use of powdered infant formula: Morb Mortal Weekly Report. 51: 297 – 300. Tennessee Chandan, C. Ramesh, Arun Kilara, Nagendra P. Shah. 2006. Dairy Processing & Quality Assurance. Wiley – Black Well : John Viley & Sons, Ltd. Publication Chang, Chia – Hsiang , Ming – Lun Chiang and Cheng – Chun Chou. 2009. The effect of temperature and length of heat shock treatment on the thermal tolerance and cell leakage of Cronobacter sakazakii BCRC 13988. International Journal of Food Microbiology 134: 184 – 189 Coulter, S. T. 1955. Evaporation of water from milk by spray drying. Department of Dairy Husbandry, University of Minnesota : St. Paul
Crowe, J.H., Hoekstra, F.A. and Crowe, L.M. 1992. Anhydrobiosis. Annual Review of Physiology 54, 579–599. Drudy, D., M. O’Rourke, M. Murphy, N. Mullane, R. O’Mahony, L. Kelly, M. Fischer, S. Sanjaq, P. Shannon, P. Wall, M. O’Mahony, P. Whyte, and S. Fanning. 2006. Characterization of a collection of Enterobacter sakazakii isolats from environmental and food sources. International Journal of Food Microbiology 110: 127 – 134 Early, R. 1998. Milk Concentrates and Milk Powder. In: Early, R. (eds). 1998. The Technology dairy Products. Second edition. Blackie Academic & Professional [ESPGHAN] European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition committee
(Berthold Koletzko, Susan Baker, Geoff Cleghorn, Ulysses Fagundes Neto, Sarath Gopalan, Olle Hernell, Quak Seng Hock, Pipop Jirapinyo, Bo Lonnerdal, Paul Pencharz, Hildegard Pzyrembel, kkJaime Ramirez – Mayans, Raanan Shamir, Dominique Turck, Yuichiro Yamashiro, and Ding Zong – Yi. 2005. Global standard for the composition of infant formula: Recommendations of an ESPGHAN Coordinated International Expert Group: Medical Position Paper Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 41: 584 – 599 Espina, F., Packard, V.S., 1979. Survival of Lactobacillus acidophilusin a spray-drying process. J. Food Prot. 42: 149–152. Estuningsih S, Rochman N, Wibawan IWT. 2006. Potensi kejadian meningitis pada neonates akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang diisolasi dari makanan dan susu bayi. Penelitian Hibah Bersaing XIV Perguruan Tinggi. Bogor: Lembaga Penelitian Dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Edelson – Mammel S G, Porteous M and Buchanan R. 2005. Survival of Enterobacter sakazakii in dehydrated powdered infant formula. Journal of Food Protection 68: 1900 – 1902. Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. Wijaya, dan N. L. Puspitasari. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Farmer J.J III, Asbury MA, Hickman FW, Brenner DJ, The Enterobacteriaceae Study Group (Amerika Serikat) (1980). “Enterobacter sakazakii: a new species of “Enterobacteriaceae” isolatd from clinical specimens”. Int J Syst Bacteriol 30: 569 – 584. Fernandes, Rhea. 2008. Microbiology Handbook Dairy Products. Leatherhead Food International Ltd: UK and Royal Society of Chemistry: Cambridge, UK [FAO – WHO] Food and Agriculture Organization – World Health Organization. 2004. Enterobacter sakazakii and other microorganisms in powdered infant formula: meeting report, MRA series6. WHO, Geneva, Switzerland. [FAO – WHO] Food and Agriculture Organization – World Health Organization. 2006. Enterobacter sakazakii and Salmonella in powdered infant formula. Second Risk Assessment Workshop, 16 – 20 January 2006.WHO, Rome, Italy. Fox, P.F. 1992. Advanced Dairy Chemistry–1 : Proteins. Departement of Food Chemistry, University College, Cork : Ireland [FSANZ] Foods Standards Australia New Zealand. 2006. A Risk Profile of Dairy Products in Australia Attachment 2, Appendices 1–6 Draft Assessment Report Proposal P296, Primary Production And Processing Standard For Dairy. FSANZ
41
Gitapratiwi, Desty. 2011. Isolasi dan keragaman genetika Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dari perangkat terkait persiapan susu formula, susu formula dan makanan kering lainnya. IPB Press [tesis] Gurtler, Joshua B, Jeffrey L. Kornacki, Larry R. Beuchat. 2005. Enterobacter sakazakii: A coliform of increased concern to infant health. International Journal of Food Microbiology 104: 1 – 34 Hall, Carl W. and G. Malcolm Trout. 1968. Milk Pasteurisation. The AVI Publishing Company, Inc. Harris, L.S. dan P.J. Orriel. 1989. Heteropolysaccharide Produced by Enterobacter sakazakii. US Patent: 4.806 636. Iversen C. and S. Forsythe. 2003. Risk profile of Enterobacter sakazakii, an emergent pathogen associated with infant milk formula. Trends in Food Science & Technology 14: 443 – 454 Iversen, C., M. Lane, and S. J. Forsythe. 2004. The growth profile, thermotolerance and biofilm formation of Enterobacter sakazakii grown in infant formula milk. Lett. Appl. Microbiol. 38:378–382. Iversen C, Mullane N, McCardell B, Tall BD, Lehner A, Fanning S, Stephan R dan Joosten H. 2008. Cronobacter gen. nov., a new genus to accommodate the biogroups of Enterobacter sakazakii, and proposal of Cronobacter sakazakii gen. nov., comb. nov., Cronobacter malonaticus sp. nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter muytjensii sp. nov., Cronobacter dublinensis sp. nov., Cronobacter genomospecies 1, and of three subspecies, Cronobacter dublinensis subsp. Dublinensis subsp. nov., Cronobacter dublinensis subsp. lausannensis subsp. nov. and Cronobacter dublinensis subsp. lactaridi subsp. nov. Int J Syst Evol Microbiol 58: 1442 – 1447. Jay J M. 2000. Modern Food Microbiology. Seventh Edition. Maryland: Aspen Publisher Inc. Judkins, Henry F. and Harry A. Keener. 1966. Milk Production and Processing. John Wiley & Sons, Inc : New York, London, Sydney Kim, Hoikyung, Jee-Hoon Ryu, and Larry R. Beuchat. 2006. Attachment of and biofilm formation by Enterobacter sakazakii on stainless steel and enteral feeding tubes. American Society for Microbiology 72 (9) : 5846–5856 Kim, Kwang–Pyo and Loessner, Martin J. 2007. Enterobacter sakazakii invasion in human intestinal caco–2 cells requires the host cell cytoskeleton and is enhanced by disruption of tight junction. Institute of Food Science and Nutrition, ETH Zurich, Schmelzbergstrasse, Zurich, Switzerland. 76: 562 – 570 Knabel, S.J., Walker, H.W., Hartman, P.A. dan Mendonca, A.F. 1990. Effects of growth temperature and strictly anaerobic recovery on survival of Listeria monocytogenes during pasteurization .Applied and Environtmental Microbiology 56: 370 – 376. Lambert, Ronald J.W., Eva Bidlas. 2007. A study of the Gamma hypothesis: Predictive modeling of the growth and inhibition of Enterobacter sakazakii. International Journal of Food Microbiology 115: 204 – 213 Lewis, Michael dan Neil Heppell. 2000. Continuous Thermal Processing of Foods Pasteurization and UHT Sterilization. Maryland : Aspen Publishers, inc.
42
Lehner, Angelika, Taurai Tasara and Roger Stephan. 2004. 16S rRNA gene based analysis of Enterobacter sakazakii strains from different sources and development of a PCR assay for identification : Methodology article (Open Access). BMC Microbiology 2004, 4: 43 Lian W – C, Hsiao H – C and Chou C – C (2002) Survival of bifidobacteria after spray drying. International Journal of Food Microbiology 74 79 – 86. Licari, J. J., and N. N. Potter. 1970a. Salmonella survival during spray drying and subsequent handling of skimmilk powder. II. Effects of drying conditions. J. Dairy Sci., 53: 871–876. Licari, J. J., and N. N. Potter. 1970b. Salmonella survival during spray drying and subsequent handling of skimmilk powder. III. Effects of Storage Temperature on Salmonella and Dried Milk Properties . J. Dairy Sci., 53: 877 – 882 Lin,Li – Chun, Larry R. Beuchat. 2007. Survival of Enterobacter sakazakii in infant cereal as affected by composition, water activity, and temperatur. Food Microbiology 24: 767 – 777 Meutia, Yuliasri Ramadhani. 2008. Enterobacter sakazakii isolat asal susu formula dan makanan bayi: karakterisasi gen 16s rRNA dan perilaku bakteri pasca rekonstitusi. IPB Press [tesis] Misgiyarta. 2008. Kajian Standar Mutu Susu Formula dalam Upaya Menekan Kontaminan Enterobacter Sakazakii. Prosiding PPI Standardisasi 2008 Muytjens, Harry L, Roelofs–Willemse H and Jaspar Gh J. 1988. Quality of powdered substitutes for breast milk with regard to members of the family Enterobacteriacae. Journal of Clinical Microbiology 26: 743 – 746. Nazarowec–White M and Farber J M. 1997. Thermal resistance of Enterobacter sakazakii in reconstituted dried – infant formula. Letters in Applied Microbiology 24: 9 – 13. Nazarowec–White, M., R.C. McKellar, P. Piyasena. 1999. Predictive modelling of Enterobacter sakazakii inactivation in bovine milk during high–temperatur short–time pasteurization. Food Research International 32: 375–379 Ohiokpehai, Omo. 2003. Processed Food Products and Nutrient Composition of Goat Milk. Pakistan Journal of Nutrition 2 (2): 68 – 71. Polo J, Quigley J D, Russel L E, Campbell J M, Pujols J and Lukert P D. 2005. Efficiency of spray– drying to reduce the infectivity of pseudorables and porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) viruses and seroconversion in pigs fed diets containing spray– ried animal plasma.Journal of Animal Science 83: 1933 – 1938. Robinson, R.K. 1999a. Encyclopedia of Food Microbiology.Academic Press, London. Robinson, R.K. 1999b. Modern Dairy Technology Volume 1 Advances in Milk Processing Second Edition.Aspen Publishers, Inc, Maryland. Shrestha, Ashok K., Tony Howes, Benu P. Adhikari, and Bhesh R. Bhandari. 2008. Spray drying of skim milk mixed with milk permeate: effect on drying behavior, physicochemical properties, and storage stability of powder. Taylor & Francis Group, LLC 26: 239 – 247 Simpson P J, Stanton C, Fitzgerald G F and Ross R P. 2005. Intrinsic tolerance of Bifidobacterium species to heat and oxygen and survival following spray drying and storage. Journal of Applied Microbiology 99: 493 – 501.
43
Skovgaard, Niels. 2007. New trends in emerging pathogens. International Journal of Food Microbiology 120: 217 – 224. Spreer, Edgar. 1995. Milk and Dairy Product Technology. Marcell Dekker Inc, USA. Teixeira P, Castro H, Malcata F X and Kirby. 1995. Survival of Lactobacillus delbruekii spp. Bulgaricus following spray drying. Journal of Dairy Science 78: 1025 – 1031 To B C S and Etzel M R. 1997. Spray drying, freeze drying or freezing of three different lactic acid bacteria species. Journal of Food Science 62 576 – 585. Urmenyi, A.M.C., Franklin, A.W., 1961. Neonatal death from pigmented coliform infection. Lancet 1: 313 – 315. Varnam, H. dan J.P. Sutherland. 1994. Milk and Milk Product: Technology, Chemistry, and Microbiology. Chapman and Hall, London. Walstra, P., T. J. Geurts, A. Noomen, A. Jellema, M. A. J. S. van Boekel. 1999. Dairy Technology : Principles of Milk and Processing. Marcel Dekker, Inc., New York. Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Lacticia Press, Yogyakarta Wiratakusumah, Aman, Subarna, Muhammad Arpah, Dahrul Syah, Siti Isyana Budiwati. 1992. Peralatan Proses dan Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi : IPB
44
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Komposisi Susu Formula (ESPGHAN, 2005)
Lampiran 2. Data Kejadian Penyakit Meningtis yang Berasosiasi dengan Susu Formula Lokasi (tahun)
Jumlah Jumlah kasus kematian
Denmark (1958)
1
1
Inggris (1958)
2
2
Georgia (1958) Oklahoma (1958) India (1981)
1 1 1
0 1 0
Denmark (1983)
8
6
Yunani (1977-1981)
1
1
Yunani (1984)
11
4
Missouri (1984) Massachusetts (1984) Iceland (196-1987)
1 2
0 1
3
1
Tennesse (1988)
4
0
Maryland (1990)
1
0
Ohio (1990)
1
0
Belgia (1998) Israel (1999-2000)
12 2
2 0
Tennesse (2001)
10
1
Belgia (2002) Selandia Baru (2004)
1 5
1 1
Perancis (2004)
4
2
Keterangan :
Sumber
Pustaka
Tidak Jöker, Norholm, dan Siboni (1965) diketahui Tidak diketahui Urmenyi dan White-Franklin (1961) Tidak diketahui Monroe dan Tift (1979) Tidak diketahui Adamson dan Rogers (1981) Tidak diketahui Arseni, Malamou-Ladas, Koutsia, Xanthou, dan Trikka (1987) Susu formula** Muytjens et al, (1983); Smeets et al,(1998) Tidak Spesifik Kleiman, Allen, Neal, dan Reynolds (1981) Tidak diketahui Naqvi, Maxwell dan Dunkle (1985) Tidak diketahui Willis dan Robinson (1988) Tidak diketahui Biering et al, (1989); Clark et al, (1990) Susu formula* Reina parras, Gil, Salva, dan Alomar (1989) Susu formula, Reina parras, Gil, Salva, dan blender Alomar (1989) Susu formula, Lecour, Seara, dan Cordeiro blender (1989) Tidak spesifik Simmons et al, (1989); Clark et al, (1990) Susu formula Noriega et al, (1990) Susu formula, Gallagher dan Ball (1991) blender Susu formula Cha, Saing, Yung, Yeung, dan Tsoi (1994) Susu formula Reis, Harm, dan Scharf (1994) Susu formula Tekkok, Baeesa, Higgins, dan Ventureyra (1996) Susu formula Burdette dan Santos (2000)
- (*) suhu rekonstitusi yang digunakan adalah 35 oC - 37 oC pada waktu yang lama - (**) sumber kontaminasi yang dicurigai
Lampiran 3. Data Perhitungan Kadar Air dan Kelarutan Susu Bubuk pada Suhu Inlet 160°C, 170°C, dan 180°C Suhu Inlet 160°C
170°C
180°C Susu Skim Awal
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Kadar Air (% berat basah) 4,4473 4,5447 5,4415 5,6150 6,0818 5,2148 5,8993 5,7610 5,0567 5,3697 5,4397 5,5051
Rataan
STDEV Kelarutan
4,8
0,55
5,6
0,43
5,6
0,45
5,4
0,07
96,4184 98,5277 96,2998 96,0316 97,1249 95,9665 95,6716 96,1411 95,4564 98,0266 98,8629 99,4476
Rataan
STDEV
97,1
1,25
96,4
0,65
95,8
0,35
98,8
0,71
Lampiran 4. Data Perhitungan Parameter L, a dan b Susu Bubuk pada Suhu Inlet 160°C, 170°C, Dan 180°C
Suhu Ulangan 1 160°C 2 1 170°C 2 1 180°C 2 Susu skim awal
1 2
(L)
(a)
(b)
62,41
0,68
5,42
62,41
0,68
5,41
61,63
0,74
5,56
61,63
0,71
5,57
61,61
0,72
5,73
61,61
0,79
5,71
59,78
0,64
7,03
59,87
0,92
7,13
60,51
0,70
6,35
60,83
0,82
6,74
60,50
0,73
5,42
60,50
0,82
5,41
56,16
0,34
4,79
56,18
0,32
4,80
57,02
0,28
5,30
57,02
0,30
5,28
(L) Rataan
STDE STDE (a) Rataan V V
62,41
0,68 62,02
0,55
(b) 5,42
0,70
0,03
61,63
0,73
5,57
61,61
0,76
5,72
60,72
1,26
0,77
0,02
59,83
0,78
7,08
60,67
0,76
6,55
60,59
0,12
0,77
0,01
60,50
0,78
5,42
56,17
0,33
4,80
56,60 57,02
0,60
0,31 0,29
Rataan STDEV
0,03 5,29
5,49
0,11
6,40
0,96
5,98
0,80
5,04
0,35
Lampiran 5. Data Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Perlakuan Pemanasan 6 Isolat Enteobacter Sakazakii (Cronobacter spp) pada Suhu 54°C selama 32 Menit
Nama IsolatUlangan
DES c7
1 2
DES c13
1 2
DES b10
1 2
DES d10
1 2
DES b7a
1 2
DES b7b
1 2
10^-6 TBUD TBUD TD TD TBUD TBUD TD TD TBUD TBUD TD TD TBUD TBUD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD
Pengenceran 10^-7 10^-8 TBUD 209 TBUD 192 TBUD 56 TBUD 57 170 11 210 23 TBUD 109 TBUD 116 TBUD 135 TBUD 130 TBUD 92 TBUD 112 TBUD 121 TBUD 162 TBUD 234 TBUD 204 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 232 TBUD 216 TBUD TBUD TBUD TBUD TD TBUD TD TBUD
Jumlah awal 10^-9 TD TD 6 10 TD TD 11 10 TD TD 10 11 TD TD 23 30 75 70 22 22 51 53 116 122
Inokulum Awal
Log
2,01E+09
2,01E+08
8,302114
5,65E+08
5,65E+07
7,752048
1,90E+08
1,90E+07
7,278754
1,13E+09
1,13E+08
8,051153
1,33E+09
1,33E+08
8,122216
1,02E+09
1,02E+08
8,0086
1,42E+09
1,42E+08
8,150756
2,23E+09
2,23E+08
8,348027
7,25E+09
7,25E+08
8,860338
2,24E+09
2,24E+08
8,350248
5,20E+09
5,20E+08
8,716003
1,19E+10
1,19E+09
9,075547
10^-3 31 37 38 39 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD
Pengenceran 10^-4 10^-5 14 1 8 1 4 1 5 1 50 4 44 1 TBUD 45 TBUD 32 187 21 208 21 128 11 130 12 134 23 183 7 125 23 131 24 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 103 TBUD 86 TBUD TBUD TBUD TBUD
10^-6 TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD TD 0 1 2 1 92 120 103 127 11 11 75 60
E, sakazakii bertahan
Log
Reduksi
3,40E+04
4,531479
3,77
3,85E+04
4,585461
3,17
4,70E+05
5,672098
1,61
3,85E+06
6,585461
1,47
1,98E+06
6,295567
1,83
1,29E+06
6,11059
1,90
1,59E+05
5,200029
2,95
1,28E+05
5,10721
3,24
2,12E+07
7,326336
1,53
1,15E+07
7,060698
1,29
1,89E+07
7,276462
1,44
1,35E+07
7,130334
1,95
Lampiran 6a. Data Jumlah Koloni Awal dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat DES b7a Sebelum perlakuan suhu
Pengenceran 10-6 10-7 10-8
awal
10-1
Setelah Perlakuan (Pengeringan Awal (BK)
log
160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD
192 186 192 183 231 203
28 1,96E+09 1,96E+08 25 21 1,88E+09 1,88E+08 19 24 2,18E+09 2,18E+08 22
1,15E+06
6,06
1,10E+06
6,04
1,28E+06
6,11
170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD
150 156 77 85 185 236
22 1,53E+09 1,53E+08 23 7 8,10E+08 8,10E+07 6 27 2,13E+09 2,13E+08 20
8,99E+05
5,95
4,76E+05
5,68
1,25E+06
6,10
180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD
126 140 123 113 153 174
14 1,33E+09 1,33E+08 20 12 1,18E+09 1,18E+08 14 19 1,64E+09 1,64E+08 13
7,81E+05
5,89
6,93E+05
5,84
9,60E+05
5,98
Pengenceran 10-1 10-2 10-3
Jmlh kol
Faktor
Jmlh (BK)
Log
Penurunan
9,01E+02
2,95
3,11
1,06E+03
3,02
3,02
1,61E+03
3,21
2,90
85 86 95 106 153 152
11 6 15 18 17 15
1 8,55E+02 1,053327 0 1 1,01E+03 1,053327 2 0 1,53E+03 1,053327 0
53 62 23 25 68 47
3 0 0 0 6 2
TD 5,75E+02 1,05974 TD TD 2,40E+02 1,05974 TD TD 5,75E+02 1,05974 TD
6,09E+02
2,78
3,17
2,54E+02
2,41
3,27
6,09E+02
2,78
3,31
24 20 17 16 41 33
3 1 1 2 1 2
TD 2,20E+02 1,059012 TD TD 1,65E+02 1,059012 TD TD 3,70E+02 1,059012 TD
2,33E+02
2,37
3,53
1,75E+02
2,24
3,60
3,92E+02
2,59
3,39
Lampiran 6b. Data Jumlah Koloni Awal dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat ATCC51329 Sebelum Perlakuan suhu
Pengenceran 10 10-7 10-8 -6
awal
10-1
Setelah Perlakuan (Pengeringan) Awal (BK)
log
7,22E+05
5,86
5,96E+05
5,78
5,29E+05
5,72
160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD
129 117 112 91 88 92
11 1,23E+09 1,23E+08 10 8 1,02E+09 1,02E+08 8 8 9,00E+08 9,00E+07 9
170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD
98 92 90 92 98 102
6 9,50E+08 9,50E+07 9 9 9,10E+08 9,10E+07 14 10 1,00E+09 1,00E+08 11
5,58E+05
5,75
5,34E+05
5,73
5,87E+05
5,77
180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD
111 121 121 129 133 140
11 1,16E+09 1,16E+08 13 10 1,25E+09 1,25E+08 9 10 1,37E+09 1,37E+08 9
6,81E+05
5,83
7,34E+05
5,87
8,02E+05
5,90
Pengenceran 10-1 10-2 10-3
Jmlh kol
Faktor
0 7,70E+02 1,053327 0 0 4,45E+02 1,053327 0 0 4,45E+02 1,053327 0
Jmlh (BK)
Log
Penurunan
8,11E+02
2,91
2,95
4,69E+02
2,67
3,10
4,69E+02
2,67
3,05
78 76 50 39 41 48
3 2 1 1 3 2
42 43 34 26 37 38
3 2 5 0 3 2
TD 4,25E+02 1,05974 TD TD 3,00E+02 1,05974 TD TD 3,75E+02 1,05974 TD
4,50E+02
2,65
3,09
3,18E+02
2,50
3,23
3,97E+02
2,60
3,17
17 20 20 21 20 21
2 2 3 2 3 2
TD 1,85E+02 1,059012 TD TD 2,05E+02 1,059012 TD TD 2,05E+02 1,059012 TD
1,96E+02
2,29
3,54
2,17E+02
2,34
3,53
2,17E+02
2,34
3,57
Lampiran 6c. Data Jumlah Koloni Awal dan Setelah Perlakuan Pengeringan Isolat DES b10
suhu
Sebelum Perlakuan Pengenceran awal 10-1 10-6 10-7 10-8
160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD
81 73 90 87 101 123
9 10 7 10 8 13
170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD
100 99 73 86 96 111
7 11 6 8 7 9
180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD
64 54 64 70 73 83
8 5 6 8 6 5
Setelah Perlakuan (Pengeringan) Awal (BK)
log
7,70E+08
7,70E+07
4,60E+05
5,66
8,85E+08
8,85E+07
5,29E+05
5,72
1,12E+09
1,12E+08
6,69E+05
5,83
9,95E+08
9,95E+07
5,94E+05
5,77
7,95E+08
7,95E+07
4,75E+05
5,68
1,04E+09
1,04E+08
6,18E+05
5,79
5,90E+08
5,90E+07
3,52E+05
5,55
6,70E+08
6,70E+07
4,00E+05
5,60
7,80E+08
7,80E+07
4,66E+05
5,67
Pengenceran 10-1 10-2 10-3
Jmlh kol
Faktor
37 41 31 40 66 50
4 3 3 5 5 3
0 3,90E+02 1,053327 0 0 3,55E+02 1,053327 0 0 5,80E+02 1,053327 0
29 30 29 22 41 40
5 1 2 3 5 5
TD 2,95E+02 1,05974 TD TD 2,55E+02 1,05974 TD TD 4,05E+02 1,05974 TD
25 24 14 13 19 18
3 2 1 0 2 2
TD 1,35E+02 1,059012 TD TD 1,35E+02 1,059012 TD TD 1,85E+02 1,059012 TD
Jmlh (BK)
Log
Penurunan
4,11E+02
2,61
3,05
3,74E+02
2,57
3,15
6,11E+02
2,79
3,04
3,13E+02
2,50
3,28
2,70E+02
2,43
3,24
4,29E+02
2,63
3,16
1,43E+02
2,16
3,39
2,59E+02
2,41
3,19
1,96E+02
2,29
3,38
Lampiran 6d. Data Jumlah Koloni Awal dan Setelah Perlakuan Pengringan Isolat YR c3a Sebelum Perlakuan suhu
Pengenceran 10-6 10-7 10-8
awal
10-1
Setelah Perlakuan (Pengeringan) Awal (BK)
log
5,08E+05
5,71
160°C TBUD TBUD 160°C TBUD TBUD 160°C TBUD
80 90 53 66 115
16 8,50E+08 8,50E+07 10 9 5,95E+08 5,95E+07 11 11 1,20E+09 1,20E+08
TBUD
124
13
170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD 170°C TBUD TBUD
74 75 123 108 145 110
5 7,45E+08 7,45E+07 10 11 1,16E+09 1,16E+08 16 20 1,28E+09 1,28E+08 15
4,38E+05
5,64
6,78E+05
5,83
7,49E+05
5,87
180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD 180°C TBUD TBUD
120 135 117 123 113 120
11 1,28E+09 1,28E+08 10 10 1,20E+09 1,20E+08 11 10 1,17E+09 1,17E+08 11
7,49E+05
5,87
7,05E+05
5,85
6,84E+05
5,84
3,55E+05 7,14E+05
Pengenceran 10-1 10-2 10-3
Jmlh kol
Faktor
Jmlh (BK)
Log
Penurunan
1,10E+03
3,04
2,67
1,03E+03
3,01
2,54
2,79E+03
3,45
2,41
110 98 5,55 95 101 5,85 TBUD
8 14 13 11 27
1 1,04E+03 1,053327 2 0 9,80E+02 1,053327 0 2 2,65E+03 1,053327
TBUD
26
3
60 72 124 130 108 106
11 8 10 8 17 12
TD 6,60E+02 1,05974 TD TD 1,27E+03 1,05974 TD TD 1,07E+03 1,05974 TD
6,99E+02
2,84
2,80
1,35E+03
3,13
2,70
1,13E+03
3,05
2,82
41 39 41 39 41 42
5 4 5 4 5 6
TD 4,00E+02 1,059012 TD TD 4,00E+02 1,059012 TD TD 4,15E+02 1,059012 TD
4,24E+02
2,63
3,25
4,24E+02
2,63
3,22
4,39E+02
2,64
3,19
Lampiran 7. Data Perhitungan Reduksi Jumlah C, sakazakii pada suhu 160°C, 170°C dan 180°C Nama Isolat DES b7a
ATCC
DES b10 YR c3a
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Perlakuan Suhu 160oC
170 oC
180 oC
3,11 3,02 2,90 3,10 2,95 3,05 3,04
3,17 3,27 3,31 3,23 3,09 3,17
3,53 3,60 3,39 3,57 3,54 3,53
3,27 3,15
3,38 3,18 3,37 3,19 3,25 3,22
3,14 3,03 2,54 2,67 2,41
3,24 2,80 2,70 2,82
Rata-rata
Standar Deviasi
160oC
170 oC
180 oC
160oC
170 oC
180 oC
3,01
3,25
3,51
0,11
0,07
0,11
3,00
3,16
3,55
0,07
0,07
0,02
3,07
3,21
3,31
0,06
0,08
0,11
2,54
2,77
3,24
0,13
0,06
0,02