FORMUL LASI WAF FER KRIIM YANG G DIFORT TIFIKASI ZAT GIZ ZI RAAN UM MIK KRO UNT TUK REM MAJA DAN N PERKIR MUR SIIMPANNY YA
SKRIPSII
CANY IM MANIA CAVANDIS S F240520996
FAKU ULTAS TE EKNOLOGI PERTA ANIAN IN NSTITUT P PERTANIIAN BOG GOR BOGOR R 2011
Formulation and Shelf Life Estimation of Micronutrients Fortified Cream Wafer for Adolescent
Cany Imania Cavandis and Endang Prangdimurti
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO.Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone: +62 21 2723771, email:
[email protected]
ABSTRACT Human resource quality is one of important factor to determine the success of nation development. Adolescent as one of the nation human resource component, endured a period of rapid growth that require a relatively large nutrient amounts. Adolescent need minerals Calcium, Iron, and Zinc to support physical growth, as well as vitamins A and C to prevent new cell and tissue damaged. Micronutrient fortification is necessary for growth and development of adolescent intelligence. Wafer cream as one of the adolescents favorite food is a selected product carrier in this study. This study aims to determine the types of calcium compound and flavor in fortified cream wafer with organoleptic test, then analyze the sensory properties, the content of micronutrients (calcium, iron, zinc, vitamin A, and vitamin C), and the effect of packaging on shelf life fortified cream wafer with accelerated shelf life test (ASLT). The study was divided into three stages. The first stage, wafer cream formulation with three kinds of calcium compounds (calcium lactate, dicalcium phosphate, and calcium carbonate). Second, fortified wafer cream formulation with two kinds of flavors (lemon flavor and melon flavor) then analysis the sensory properties (hedonic rating test) and chemical properties (content of calcium, iron, zinc, vitamin A, and vitamin C) compared with controls. The third stage, the shelf life estimation (Accelerated Shelf Life Test) based on level of vitamin C with two different packaging (two layers packaging and three layers packaging). The observation of cream wafer formula tested out in the first stage showed that the calcium compound with the highest Level of Acceptance is dicalcium phosphate (3.32) compared with calcium lactate (2.85) and calcium carbonate (3.08). In the second stage, lemon flavor in cream wafer have a higher Level of Acceptance (3.65) than melon flavor (3.61). Observations indicate the sensory properties of fortified cream wafer have a higher Level of Acceptance (3.65) compared to controls (3.51) with the panelist hedonic level was not significantly different for all attributes that are tested at significance level 0.05. Observations indicate the chemical properties in one serving (25 grams) fortified cream wafer contained 1.20 mg/g zinc, 3.82 mg/g iron, 146.25 mg/g calcium, 1.32 mg/g vitamin A, and 12.30 mg/g of vitamin C. In the third stage, based on the rejection point of Vitamin C which is 10% nutrition intake labels (Acuan Label Gizi), found that at temperature 300C, fortified cream wafer in two layer packaging has a 5.69 month shelf life, while fortified cream wafer in three layer packaging has a 9.83 month shelf life. Based on the shelf life observation, recommended packaging for fortified cream wafer is three layer packaging.
Keywords: fortification, adolescent, wafer cream, shelf life
ii
Cany Imania Cavandis. F24052096. Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya. Di bawah bimbingan Endang Prangdimurti. 2011
RINGKASAN Sumber daya manusia (SDM) berkualitas adalah salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Remaja sebagai salah satu komponen SDM penerus bangsa, mengalami masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Remaja membutuhkan mineral kalsium, besi, dan seng untuk pendukung pertumbuhan fisik, juga vitamin A dan C untuk menjaga agar sel serta jaringan baru tidak cepat rusak. Fortifikasi zat gizi mikro tersebut perlu dilakukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan remaja. Wafer krim sebagai salah satu produk yang digemari remaja merupakan produk pembawa fortifikan yang dipilih dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini antara lain menentukan jenis senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik, menentukan flavor untuk wafer krim fortifikasi, menganalisis sifat organoleptik wafer krim fortifikasi, menganalisis sifat kimia wafer krim fortifikasi berupa kandungan gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C), serta melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim fortifikasi dengan Accelerated Shelf Life Test. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, formulasi wafer krim dengan tiga macam senyawa kalsium (kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat). Kedua, formulasi wafer fortifikasi dengan dua macam flavor (flavor lemon dan flavor melon) kemudian wafer terpilih dianalisis sifat organoleptik (uji rating hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan kontrol. Tahap ketiga adalah pengujian umur simpan (Accelerated Shelf Life Test) berdasarkan kadar vitamin C dengan dua kemasan berbeda (kemasan dua layer dan kemasan tiga layer). Hasil pengamatan terhadap formula krim yang dicobakan di tahap pertama menunjukkan bahwa bentuk senyawa kalsium dengan Level of Acceptance paling tinggi adalah dikalsium fosfat (3.32) dibandingkan dengan kalsium laktat (2.85) dan kalsium karbonat (3.08). Pada tahap kedua, wafer krim lemon memiliki Level of Acceptance lebih tinggi (3.65) dibanding krim melon (3.61). Hasil pengamatan sifat organoleptik menunjukkan wafer krim fortifikasi memiliki Level of Acceptance lebih tinggi (3.65) dibanding wafer krim nonfortifikasi (3.51) dengan tingkat kesukaan panelis terhadap kedua wafer tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan pada taraf signifikansi 0.05. Hasil pengamatan sifat kimia menunjukkan dalam satu sajian (25 gram) wafer krim fortifikasi terdapat 1.20 mg/g seng, 3.82 mg/g zat besi, 146.5 mg/g kalsium, 1.32 mg/g vitamin A, dan 0.30 mg/g vitamin C. Pada tahap ketiga, berdasarkan kadar rejection point vitamin C yaitu sebesar 10% ALG, diperoleh bahwa pada suhu ruang 300C, wafer krim fortifikasi dalam kemasan dua layer memiliki perkiraan umur simpan 5.69 bulan, sedangkan wafer krim fortifikasi dalam kemasan tiga layer 9.83 bulan. Berdasarkan data umur simpan, kemasan yang direkomendasikan untuk wafer krim fortifikasi adalah kemasan tiga layer.
iii
FORMULASI WAFER KRIM YANG DIFORTIFIKASI ZAT GIZI MIKRO UNTUK REMAJA DAN PERKIRAAN UMUR SIMPANNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh CANY IMANIA CAVANDIS F24052096
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
iv
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya Cany Imania Cavandis F24052096
Menyetujui, Pembimbing,
(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.) NIP 19680723 199203.2.001
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP 19650814 199002.1.001
Tanggal Ujian Akhir Sarjana : 26 Oktober 2010
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan
Cany Imania Cavandis F 24052096
vi
© Hak cipta milik Cany Imania Cavandis, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vii
BIODATA PENULIS
Penulis bernama lengkap Cany Imania Cavandis. Lahir di Bogor pada tanggal 1 Desember 1987 dari ayah Marsun Huzaimi dan ibu Tuti Eryani, sebagai putri kedua dari empat bersaudara. Penulis dibesarkan dan menempuh kehidupan sekolahnya di kota kelahirannya, Bogor. Kesenangan belajar dan bermain, penulis lalui di taman kanak-kanak Negeri Mexindo Bogor dari tahun 1992 hingga 1993. Kemampuan membaca, menulis, menggambar, dan mengenal lingkungan, penulis peroleh dari bangku sekolah dasarnya di SD Negeri Polisi IV Bogor dari tahun 1993 hingga 1999. Setelah tamat SD, penulis mulai aktif bersosialisasi pada ekstrakurikuler Drum Band di SLTP Negeri 1 Bogor hingga tahun 2002. Penulis menghabiskan masa sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Bogor hingga tahun kelulusannya, 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Fakultas Teknologi Pertanian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM KM) IPB menjadi staff departemen komunikasi dan informasi pada tahun 2006 hingga 2007. Pada tahun yang sama, penulis juga menjadi anggota divisi kaderisasi Himpunan Profesi Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Pada tahun 2007-2008, penulis mengikuti kegiatan Food Processing Club pada divisi Vegetarian Food. Sejak dekade 2008 dan 2009, penulis ikut serta dan menjadi salah satu proposal yang didanai DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK), Penelitian (PKMP), dan Pengabdian Masyarakat (PKMM). Atas keberhasilan program kreativitas mahasiswa di bidang pengabdian masyarakat yang dilakukan di Desa Purwasari Bogor, penulis dan tim pernah meraih juara III terbaik tingkat nasional pada PIMNAS XXI yang dilaksanakan di Semarang pada tahun 2008. Penulis merampungkan tugas akhir yang berjudul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya di PT. Tudung Putra Putri Jaya.
viii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT dan shalawat semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penelitian dengan judul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya dilakukan di PT. Tudung Putra Putri Jaya. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga tercinta: Papa, Mama, Anes, Andre dan Vira yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, bimbingan, dan motivasi tiada henti kepada penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, dukungan, serta nasihat membangun kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir. 3. Bapak Dr. Fahim Muchamad Taqi, STP, DEA atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji. 4. Ibu Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji. 5. Ibu Rosita H. Imam, STP, M.Sc selaku pembimbing lapang yang selalu memberikan bimbingan, saran, bantuan, dan semangat selama penulis melakukan penelitian. 6. Bapak Iwan Surjawan, Phd selaku pejabat pembimbing lapang. 7. Keluarga besar dari mama dan papa untuk dukungannya. 8. Sahabat yang telah mendampingi penulis selama 9 tahun terakhir, Cicit, Fitri, Mba Eka, Gita, dan Erni. 9. Sahabat yang telah menceriakan dunia penulis, Ceuceu dan Wita. 10. Sahabat-sahabat di kosan centil, Mike, Anjun, Ceuceu, Wita, dan Tami. 11. Sahabat-sahabat sepermainan, Yuni, Yelita, Marina, Venty, Nina, Tiyu, Fera, Veny, Atus, dan Harist Gustiar yang selalu mengindahkan dunia penulis. 12. Teman-teman Asrama: Heni, Tri, Rini, Endah, Windy, Dina, Caca, dan Aan. 13. Sahabat-sahabat seperjuangan di tempat magang, Wita, Resna, Reriel, Mellisa, Juanda, dan Glenn yang selalu berbagi dalam perjuangan tugas akhir ini. 14. Teman-teman seperguruan, Rika N. dan Galih N. 15. Rekan-rekan NPD dan ITD di Lab. Tech., QC di Lab. Sentral, dan Lab. Sensori PT. Tudung Putra Putri Jaya. Terimakasih telah banyak membantu, mengajarkan pengalaman, dan mendukung penulis selama melakukan penelitian. 16. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. 17. Rekan-rekan BEM KM 2007. 18. Rekan-rekan HIMITEPA 2007. 19. Keluarga besar ITP angkatan 39, 40, 41, 42, 43, 44. 20. Tak terlupakan sahabat yang telah banyak menolong, Aji Bahtiar. 21. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahun di bidang teknologi pangan. Bogor, Maret 2011
Cany Imania Cavandis
ix
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..……..
ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….....…….
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................……................
xii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................
xiv
I.
II.
III.
PENDAHULUAN ....................................................................................................... .........
1
A. LATAR BELAKANG .......................................................................................... .........
1
B. TUJUAN PENELITIAN....................................................................................... .........
3
C. MANFAAT PENELITIAN ................................................................................... .........
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. .........
4
A. WAFER KRIM ..................................................................................................... .........
4
B. FORTIFIKASI ...................................................................................................... .........
4
C. ACUAN LABEL GIZI.......................................................................................... .........
6
D. ZAT GIZI MIKRO ............................................................................................... .........
6
1.
Kalsium ...................................................................................................................
6
2.
Zat Besi .............................................................................................................…..
9
3.
Seng ........................................................................................................................
11
4.
Vitamin C....................................................................................................... .........
12
5.
Vitamin A ...............................................................................................................
14
E. REMAJA ............................................................................................................... .........
17
F. KEMASAN ........................................................................................................... .........
18
G. UMUR SIMPAN ................................................................................................... .........
19
H. UJI ORGANOLEPTIK....................................................................................................
20
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................................
22
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................... .........
22
B. METODE PENELITIAN ................................................................................................
22
1.
Penelitian Pendahuluan............................................................................................
22
2.
Tahap Pertama ........................................................................................................
27
3.
Tahap Kedua ...........................................................................................................
27
4.
Tahap Ketiga ................................................................................................. .........
28
C. METODE ANALISIS ........................................................................................... .........
29
1.
Analisis Kadar Logam Metode AAS ............................................................ .........
29
a.
Kalibrasi Alat dan Penetapan Sampel ................................................... .........
29
b.
Perhitungan .....................................................................................................
30
x
2.
Analisis Kadar Vitamin A Metode HPLC .................................................... .........
30
a.
Prinsip Kerja ...................................................................................................
30
b.
Prosedur ................................................................................................ .........
30
1) Penyiapan Larutan Standar ......................................................................
30
a). Larutan stok standar vitamin A 250 iu/ml .........................................
30
b). Larutan deret standar vitamin A ........................................................
31
2) Penyiapan Larutan Contoh .......................................................................
31
3) Ekstraksi dan Penyabunan ........................................................................
31
4) Penetapan ..................................................................................................
31
Perhitungan .....................................................................................................
32
Analisis Kadar Vitamin C Metode Titrasi Iodometri .............................................
32
a.
Standarisasi Iodin ............................................................................................
32
b.
Standarisasi Na2S2O3.......................................................................................
32
c.
Penetapan Kadar Vitamin C ...........................................................................
32
d.
Perhitungan
...................................................................................... .........
33
Uji Organoleptik .....................................................................................................
33
D. RANCANGAN DAN PERLAKUAN PERCOBAAN....................................................
33
E. PENGOLAHAN DATA .................................................................................................
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................
35
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ..................................................................................
35
B. PENELITIAN TAHAP PERTAMA ...............................................................................
37
C. PENELITIAN TAHAP KEDUA.....................................................................................
39
c. 3.
4.
1.
Hasil Uji Organoleptik.............................................................................................
41
2.
Hasil Pengamatan Sifat Kimia ................................................................................
41
a.
Kadar Kalsium ................................................................................................
42
b.
Kadar Zat Besi ................................................................................................
43
c.
Kadar Seng ............................................................................................ .........
45
d.
Kadar Vitamin C .............................................................................................
47
e.
Kadar Vitamin A .............................................................................................
49
D. PENELITIAN TAHAP KETIGA .................................................................................
50
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... .........
55
A. KESIMPULAN ..................................................................................................... .........
55
B. SARAN ................................................................................................................. .........
55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... .........
56
LAMPIRAN ...................................................................................................................................
61
V.
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara in vivo oleh Purac ..............................
9
Gambar 2. Struktur kimia asam askorbat ......................................................................................
13
Gambar 3. Struktur kimia retinol ...................................................................................................
15
Gambar 4. Kerangka penelitian ......................................................................................................
23
Gambar 5.
Diagram alir pembuatan lembaran wafer ....................................................................
25
Gambar 6.
Diagram alir pembuatan krim wafer ............................................................................
26
Gambar 7.
Diagram alir pembuatan wafer krim ............................................................................
27
Gambar 8. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan dua layer ......................................................................................................
52
Gambar 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan tiga layer ......................................................................................................
52
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan Acuan Label Gizi (ALG).................................................................
6
Tabel 2.
Kandungan kalsium berbagai bahan makanan…………………………...........................
7
Tabel 3.
Karakteristik penting sumber kalsium untuk fortifikasi.....................................................
8
Tabel 4.
Kandungan besi berbagai bahan makanan…………………………………….…………
11
Tabel 5.
Kandungan seng berbagai bahan makanan………………..……………………………..
12
Tabel 6.
Kandungan vitamin C berbagai bahan makanan................................................................
14
Tabel 7.
Kandungan vitamin A berbagai bahan makanan................................................................
16
Tabel 8.
Kondisi yang direkomendasikan untuk analisis logam......................................................
30
Tabel 9.
Hasil uji organoleptik formulasi wafer krim dengan penghilangan satu fortifikan mineral................................................................................................................................
35
Tabel 10. Hasil organoleptik formulasi wafer yang ditambahkan fortifikan mineral pada lembaran wafer...................................................................................................................................
36
Tabel 11. Formulasi kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer....................
37
Tabel 12. Hasil pengamatan subyektif karakteristik produk wafer fortifikasi dengan tiga jenis sumber kalsium…………………………………………………………………………...
38
Tabel 13. Hasil uji kesukaan perlakuan sumber kalsium pada wafer fortifikasi................................
38
Tabel 14. Pemilihan flavor untuk wafer krim fortifikasi……………………………………………
40
Tabel 15. Hasil uji kesukaan flavor pada wafer fortifikasi................................................................
40
Tabel 16. Fortifikan terpilih dari penelitian tahap ketiga...................................................................
40
Tabel 17. Hasil uji kesukaan wafer non fortifikasi dan wafer fortifikasi…………………………...
41
Tabel 18. Data pengamatan sifat kimia wafer krim………………………………………………...
41
Tabel 19. Data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi…….
42
Tabel 20. Data perkiraan umur simpan wafer krim fortifikasi……………………………………...
53
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Cara perhitungan kadar fortifikan ............................................................................. ...
62
Lampiran 2.
Kadar mineral kalsium pada wafer kontrol dan fortifikasi....................................... ...
66
Lampiran 3.
Kadar mineral zat besi wafer kontrol dan fortifikasi ................................................ ...
68
Lampiran 4.
Kadar mineral seng wafer kontrol dan fortifikasi ..................................................... ...
70
Lampiran 5.
Data konsentrasi vitamin A pada wafer tanpa fortifikasi (kontrol).......................... ...
72
Lampiran 6.
Data konsentrasi vitamin A pada wafer fortifikasi .................................................. ...
72
Lampiran 7.
Data standarisasi Na2S2O3 dan I2 pada uji vitamin C................................................ ...
74
Lampiran 8.
Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi hari ke-0 ................ ...
74
Lampiran 9.
Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi selama 28 hari....... ...
75
Lampiran 10. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer .......................... ...
79
Lampiran 11. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 3 layer .......................... ...
81
xiv
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Gizi merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan yang dapat memberikan konstribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan (Yayuk Farida, dkk, 2004). Sebagai salah satu SDM, kualitas remaja harus diperhatikan karena remaja berperan penting dalam pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Remaja mengalami masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif yang disebut “adolescence growth spurt” sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya (Sediaoetama, 1996). Selama periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi pembentukan tulang, jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (DiMeglio, 2000). Remaja membutuhkan mineral kalsium, besi, dan seng untuk pendukung pertumbuhan fisik juga vitamin A dan C untuk menjaga agar sel serta jaringan baru tidak cepat rusak (Khomsan, 2004). Defisiensi mineral seperti zat besi, seng, dan kalsium merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel, 2001). Menurut Soekatri (2004), zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak remaja yaitu zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C. Namun, masalah gizi kurang dalam bentuk defisiensi vitamin dan mineral seperti vitamin A, kalsium, yodium, zat besi, dan seng masih menimpa dua milyar manusia termasuk remaja (Arisman, 2004). Konsumsi zat besi pada sebagian remaja Indonesia masih berada di bawah standar konsumsi seharusnya. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, ditemukan ada sebanyak 26.5% remaja Indonesia yang berusia 15-19 tahun mengalami anemia atau kekurangan zat besi (Subeno, 2007). Penelitian yang dilakukan pada 106 mahasiswa Universitas Andalas Padang berusia 17-22 tahun menunjukkan rata-rata asupan zat besi remaja tersebut adalah 6.56 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi) remaja seharusnya mendapat asupan zat besi sebanyak 26 mg/hari (BPOM, 2007). Menurut Soekirman (2000) dan Dillon (2005), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada daya tahan tubuh, kemampuan fisik, prestasi belajar, prestasi olahraga, produktivitas, proses pertumbuhan, serta kematangan organ-organ reproduksi. Kalsium merupakan salah satu zat gizi yang kurang diperhatikan remaja Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan hariannya. Asupan kalsium untuk masyarakat Indonesia masih rendah. Setiap orang diperkirakan hanya mengkonsumsi susu sekitar 0.5 gelas dalam satu minggu (Khomsan, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalsium adalah 278.59 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009). Data lainnya yang berasal dari Departemen Kesehatan RI tahun 2002 menunjukkan bahwa asupan rata-rata kalsium orang Indonesia hanya 254 mg/hari (Sulaiman, 2009 dan Syamsir, 2008), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi), asupan harian kalsium untuk kelompok konsumen umum termasuk remaja seharusnya adalah 800 mg/hari (BPOM, 2007). Massa tulang yang dibentuk secara optimal di usia anak-anak dan remaja akan menjadi senjata ampuh untuk mencegah osteoporosis (Syamsir, 2008). Menurut Sulaiman (2009), defisiensi kalsium menyebabkan prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) di Indonesia mencapai 41.7%.
Berikutnya, zat gizi lainnya yang belum diperhatikan sebagai asupan harian yang penting bagi remaja di Indonesia adalah seng. Asupan harian seng pada remaja di Indonesia masih kurang karena menu konsumsi remaja yang mengandung seng masih di bawah konsumsi seharusnya yaitu sebanyak 12 mg/hari (BPOM, 2007). Berdasarkan penelitian Aryani, dkk (2010) pada 21 anak usia sekolah dasar di Bandung dapat dilihat bahwa asupan harian seng pada anak cukup rendah. Sebesar 85.71% data berada di bawah nilai Estimated Average Recommended (EAR) dan menunjukkan bahwa setengah dari populasi ini yaitu 42.85% mengalami gejala defisiensi. Nilai asupan harian seng yang tertinggi adalah 8.74 mg/hari dan terendah adalah 2.04 mg/hari (Aryani dkk, 2010). Defisiensi seng dapat menyebabkan penundaan kedewasaan, perkembangan reproduktif, pelemahan perkembangan dan fungsi otak, kerdil pada anak-anak, serta melemahkan sistem imun terhadap berbagai penyakit patogenik (Grusak, 1999 dan Cakmak, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi di pedesaan Bogor menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi seng pada remaja sebesar 44.3% (Riyadi, 1995). Zat gizi mikro lainnya yang masih kurang dikonsumsi remaja Indonesia adalah vitamin A. Defisiensi vitamin seperti masalah kurang vitamin A (KVA) dialami lebih dari 40% anak-anak di dunia (World Bank, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa terdapat 94.3% remaja yang belum memenuhi kebutuhan asupan vitamin A hariannya (Purnakarya, dkk, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elnovriza, dkk (2008) menunjukkan bahwa asupan rata-rata vitamin A pada 107 mahasiswa asrama dengan rata-rata umur 19.1 tahun di Andalas padang adalah 513.50 IU, sedangkan kebutuhan vitamin A konsumen umum termasuk remaja tercantum pada Acuan Label Gizi sebesar 600 RE atau 2000 IU (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja (niktalopia), perubahan pada mata (xerosis konjungtiva, bercak bitot, dan keratomalasia), perubahan pada kulit (kering dan kasar), keratinisasi sel-sel rasa pada lidah, keterlambatan pertumbuhan, mempertinggi resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pencernaan dan diare, meningkatnya angka kematian karena campak (Almatsier, 2006). Vitamin C yang merupakan zat gizi penting untuk kekebalan tubuh ternyata masih kurang dikonsumsi oleh remaja Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa di Padang ini juga menunjukkan bahwa rata-rata asupan vitamin C adalah 25.58 mg per hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan asupan vitamin C yang memenuhi kebutuhan remaja berdasarkan Acuan Label Gizi adalah 90 mg/hari (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin C tampak pada kadarnya dalam serum remaja yang cukup rendah terutama remaja dengan asupan buah dan sayur yang rendah (Arisman, 2004). Selain itu, vitamin C juga dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Suplementasi zat besi dan vitamin C pada anak usia 17-19 tahun dapat meningkatkan kecepatan pertambahan berat badan. Vitamin C dengan perbandingan minimal dua bagian vitamin C dan satu bagian senyawa besi ditambahkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus (Soekatri, 2004). Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah fortifikasi. Fortifikasi dipilih untuk meningkatkan status gizi remaja Indonesia karena jumlah asupan makanan remaja tidak sesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga terjadi defisiensi zat gizi (Soekatri, 2004). Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi (Wirakartakusumah dan Hariyadi,
2
1998), tetapi juga untuk pengembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan (Elliot, 1999 dan Anonim1, 2000). Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja. Wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita selama kurun waktu tertentu yang tidak disebutkan spesifik dalam literatur (Murdono, 2003). Meski hanya makanan camilan, market size wafer secara total diperkirakan senilai Rp 3 triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010). Selain dari target konsumen, produk wafer krim juga dipilih karena dapat menjadi pembawa fortifikan yang tahan terhadap suhu tinggi (pada wafer) dan yang rusak karena suhu tinggi (pada krim). Proses pembuatan krim dan pembuatan wafer merupakan proses terpisah yang dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan tahap penambahan fortifikan sesuai karakteristik masingmasing vitamin dan mineral. Penetapan umur simpan wafer krim fortifikasi dipilih untuk mengetahui waktu penyimpanan produk hingga kadar fortifikan yang paling cepat rusak tidak dapat diterima lagi. Vitamin C dipilih sebagai rejection point dalam uji umur simpan karena vitamin ini paling tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan dibanding fortifikan lain dalam wafer krim. Rejection point yang ditetapkan untuk penelitian ini sebesar 10% Acuan Label Gizi yaitu 9 mg vitamin C per sajian kemasan 25 gram. Hal ini berkaitan dengan target pembuatan wafer krim fortifikasi untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin C remaja sebesar 10% Angka Label Gizi.
B. TUJUAN PENELITIAN
1. 2. 3. 4.
Penelitian ini bertujuan untuk: Menentukan jenis senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik Menentukan flavor yang paling disukai secara organoleptik untuk wafer krim fortifikasi Menganalisis sifat organoleptik dan beberapa kandungan gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) pada wafer krim fortifikasi dibandingkan dengan kontrol Melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim dengan Accelerated Shelf Life Test
C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan produk wafer krim fortifikasi yang memenuhi kebutuhan zat gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) untuk remaja yang diterima dengan tingkat penerimaan organoleptik yang baik dan zat gizi mikro sesuai dengan jumlah klaim selama umur simpan dengan dua jenis kemasan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. WAFER KRIM Menurut Dogan (2006), biskuit merupakan produk bakeri yang lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan produk bakeri lainnya. Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dan bahan makanan lain yang diproses dengan pemanasan dan pencetakan (BSN, 1992). Kelebihan biskuit adalah mempunyai umur simpan yang relatif lama dan disukai karena enak, manis, dan renyah. Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, kraker, kukis, dan wafer. Wafer merupakan produk makanan kering yang terbuat dari adonan cair berbasis tepung terigu, berpori-pori besar, renyah, dan penampangnya berongga bila dipatahkan (SNI 01-29731992). Wafer tergolong biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1 mm hingga 4 mm, mempunyai tekstur lembut dan renyah, serta mempunyai permukaan halus yang ukuran dan detailnya dibentuk sesuai cetakan (Macrae et al.,1993). Bahan adonan wafer terdiri atas gula, tepung, air, garam, lemak, dan bahan lainnya. Ada dua jenis wafer yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat panjang seperti stick. Bentuk tersebut dicetak setelah proses pemanggangan dengan cara melilitkan lembaran wafer pada sebuah nozzle lalu diisi dengan krim kedalamnya. Wafer flat adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari empat wafer dan tiga lapis krim di antara sheet (Oktania, 2004). Wafer flat dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar, besar, dan tipis dengan pola permukaan sesuai dengan bentuk plat yang digunakan. Sheet kemudian dioles krim pada tiap lembaran sehingga membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini masih dalam ukuran besar yang utuh dan disebut dengan book wafer. Book wafer didinginkan kemudian dipotong sesuai ukuran yang ditetapkan (Oktania, 2004).
B. FORTIFIKASI Borenstein (1979) membagi istilah penambahan zat gizi pada makanan meliputi restorasi, pengkayaan (enrichment), standarisasi, suplementasi, dan fortifikasi. Restorasi adalah penambahan zat gizi dengan tujuan untuk mengembalikan jumlah zat gizi tertentu ke jumlah atau konsentrasi semula, yaitu konsentrasi sebelum terjadi perubahan atau penurunan karena pengaruh perlakuan pengolahan tertentu. Pengertian pengkayaan yaitu penambahan zat gizi tertentu dengan tujuan untuk memenuhi standar identitas produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standarisasi adalah suatu penambahan zat gizi tertentu sebagai usaha untuk mengurangi variasi komposisi gizi bahan baku, dalam rangka memenuhi standar atau spesifikasi yang sudah ditentukan. Suplementasi memiliki pengertian penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup sampai sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai tambahan zat gizi bagi yang memerlukan. Produk pangan yang disuplementasi hanya digunakan sebagai penambah (suplemen) bagi usaha memenuhi zat gizi, bukan sebagai sumber utama zat gizi tersebut. Selain dalam bentuk produk pangan, suplementasi juga dijumpai dalam bentuk pil, kapsul, megadose, dan lain‐lain (Hariyadi, 2006). Berbeda dengan pengertian proses penambahan zat gizi lainnya, fortifikasi memiliki arti yang khusus yaitu penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup besar pada suatu produk pangan sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai
sumber utama yang baik bagi zat gizi yang ditambah terutama bagi masyarakat target yang telah ditentukan. Dalam fortifikasi, zat gizi yang ditambahkan dapat berupa zat gizi yang sudah secara alami ada pada produk pangan yang bersangkutan, ataupun zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Jadi fortifikasi memiliki tujuan yang jelas yaitu memberikan atau menyediakan produk pangan yang dapat dijadikan sumber zat gizi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat target sehingga bisa meningkatkan status atau mutu gizi (Hariyadi, 2006). Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi, misalnya fortifikasi iodium pada garam dan zat besi pada tepung terigu, tetapi juga untuk perkembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan. Dari segi bisnis, fortifikasi tentunya dapat dijadikan nilai tambah suatu produk pangan sebagai strategi penjualan dan pemasaran. Fortifikasi vitamin tertentu, misalnya vitamin C, vitamin E, dan ß-karoten, dapat digunakan untuk membangun citra produk yang positif karena diyakini manfaatnya oleh masyarakat luas dalam segi kesehatan (Hariyadi, 2006). Fortifikasi perlu dilakukan secara cermat untuk mencegah ketidakseimbangan zat-zat gizi esensial, baik yang ditambahkan maupun yang telah ada di dalam produk pembawa (carrier). Untuk itu perlu diperoleh data-data tentang angka ketersediaan (bioavailability) zat gizi yang bersangkutan. Pengertian bioavailability mencakup bagaimana interaksi antara zat gizi yang ditambahkan dengan zat-zat gizi ataupun unsur lain yang telah ada di dalam bahan pangan tersebut mempengaruhi daya cerna dan daya guna zat gizi yang ditambahkan di dalam tubuh. Pengaruh interaksi ini terutama jika dilakukan di dalam tubuh (double, triple, atau muliple fortification). Di samping itu, zat gizi yang ditambahkan harus stabil pada kondisi-kondisi pengolahan, distribusi, penjajaan, dan penanganan untuk konsumsi. Diketahui bahwa selama proses penanganan, pengolahan, dan distribusi, zat-zat gizi akan selalu berinteraksi dengan berbagai faktor baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas zat gizi antara lain pH, oksigen, cahaya, waktu, suhu, air (Aw, RH, kadar air), benturan fisik, tekanan, inhibitor, katalis, dan gesekan. Data tentang interaksi tersebut diketahui untuk perhitungan umur simpan, kebutuhan konsumsi, kebutuhan pelabelan, serta usaha untuk meminimalkan kerusakan dalam rangka meminimalkan biaya dan memaksimalkan efektivitas fortifikasi. Intensitas masing-masing interaksi tersebut akan dipengaruhi oleh jenis teknologi baik teknologi formulasi, bahan baku, ataupun teknologi proses yang digunakannya (Hariyadi, 2006). Informasi mengenai stabilitas zat gizi erat kaitannya dengan pelabelan dan diperlukan untuk jaminan bahwa jumlah konsumsi zat gizi tersebut tidak berlebihan sehingga ada kepastian tidak akan terjadi gangguan kesehatan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk pelabelan produk pangan yang difortifikasi yaitu overage dan klaim. Overage didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah yang dinyatakan dalam label (declared level) dan dalam formula (formulated level). Overage merupakan rasio antara selisih jumlah zat gizi pada formula dan label dengan jumlah zat gizi yang dinyatakan dalam label. Konsep overage ini penting terutama untuk komponen-komponen zat gizi yang labil terhadap pengolahan dan penyimpanan. Jumlah aktual pada akhir masa simpan ini dapat ditentukan atau diduga dengan menggunakan data-data tentang stabilitas. Klaim yang akan dibuat dalam label tentang zat gizi sebaiknya dibandingkan dengan nilai RDA (Recommended Dietary Allowances) zat gizi yang bersangkutan. Klaim produk pangan berupa ¨kaya akan zat gizi tertentu¨ untuk produk pangan yang difortifikasi, harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan
5
Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Pedoman Pelabelan Produk Pangan yang bisa dijadikan acuan.
C. ACUAN LABEL GIZI Setiap bahan pangan yang disertai pernyataan mengandung vitamin, mineral dan atau zat gizi lainnya yang ditambahkan pada pangan wajib mencantumkan keterangan tentang kandungan gizi (BPOM, 2003). Ketentuan ini lebih umum dinamakan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut daftar istilah pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006), Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi atau energi yang diperlukan oleh seseorang dalam suatu populasi untuk hidup sehat. AKG umumnya digunakan oleh pihak medis terutama rumah sakit sebagai acuan penentuan takaran kandungan zat gizi pada makanan yang diberikan kepada individu dengan kebutuhan gizi tertentu. Namun, melalui keputusan kepala BPOM tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase angka kecukupan gizi pada label produk pangan, AKG ditetapkan sebagai dasar untuk pencantuman keterangan kandungan gizi pada label pangan. Pada tahun 2007, istilah baru diperkenalkan untuk acuan penentuan kandungan gizi secara umum yaitu Acuan Label Gizi (ALG). Ketentuan ini berlaku per tanggal 9 Agustus 2007 melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.52.6291 tentang Acuan Label Gizi Produk Pangan. Keputusan ini juga menyatakan tidak berlakunya Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.5.1142 tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada label produk pangan (BPOM, 2007). Penelitian ini menggunakan Acuan Label Gizi (ALG) sebagai dasar perhitungan kandungan nilai gizi pada produk karena ALG merupakan acuan yang lebih umum digunakan sebagai penentuan komposisi gizi pada pangan olahan dan telah diberlakukan oleh BPOM menggantikan AKG sejak tahun 2007. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi dengan Acuan Label Gizi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan Acuan Label Gizi (ALG) No 1 2 3 4 5
Zat Gizi Kalsium Zat Besi Seng Vitamin C Vitamin A
Kebutuhan pada remaja menurut AKG (2003) 700 mg 29 mg 10.5 mg 60 mg 600 RE
Kebutuhan pada remaja menurut ALG (2007) 800 mg 26 mg 12 mg 90 mg 600 RE
Sumber: BPOM (2003 dan 2007)
D. ZAT GIZI MIKRO 1. Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu antara 1.5-2% dari berat badan orang dewasa. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut, kalsium berada di dalam jaringan keras tubuh manusia yaitu tulang dan gigi. Oleh karena itu, kalsium sangat berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi. Selain itu, di dalam cairan
6
ekstraseluler dan intraseluler kalsium memegang peranan penting dalam mengkatalis reaksireaksi biologis dan mengatur fungsi sel, seperti transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium juga mengatur pekerjaan hormonhormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2006). Sumber kalsium utama adalah susu dan produk turunannya. Susu tanpa lemak merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan biologisnya yang tinggi. Ikan merupakan sumber kalsium yang baik. Sayuran hijau, serealia, kacang-kacangan dan hasil olahannya merupakan sumber kalsium yang baik, namun mengandung zat penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2006). Kandungan kalsium beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan kalsium berbagai bahan makanan (mg/100 gram) Bahan makanan Tepung susu Keju Susu sapi segar Yoghurt Udang kering Teri kering Sardines (kaleng) Telur bebek Telur ayam Ayam Daging sapi Susu kental manis Kacang kedelai, kering Tempe kacang kedelai murni Tahu Kacang merah Kacang tanah Oncom Tepung kacang kedelai Bayam Sawi Daun melinjo Katuk Selada air Daun singkong Ketela pohon Kentang Jagung kuning, pipil
Kandungan Kalsium (mg) 904 777 143 120 1209 1200 354 56 54 14 11 275 227 129 124 80 58 96 195 265 220 219 204 182 165 33 11 10
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)
Kalsium yang telah digunakan untuk fortifikasi sangat banyak ragamnya yang terdiri dari garam kalsium organik maupun anorganik. Menurut Muchtadi (2008), pemilihan jenis garam kalsium yang digunakan tergantung pada beberapa macam faktor seperti kelarutan dalam air, kadar kalsium, rasa, tingkat absorpsi (seberapa banyak kalsium dapat diserap oleh
7
usus), dan harga. Setidaknya terdapat tiga karakteristik penting bagi garam kalsium yang digunakan untuk fortifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Beberapa garam kalsium memiliki sifat kelarutan yang baik tetapi kadar kalsiumnya rendah seperti Ca-laktat, Ca-laktat-glukonat, dan Ca-glukonat. Sebaliknya, garam kalsium yang memiliki kadar kalsium tinggi kelarutannya dalam air rendah atau tidak larut sama sekali seperti pada Ca-karbonat, dan Ca-fosfat. Oleh karena itu, pemilihan jenis garam kalsium harus disesuaikan dengan jenis dan karakteristik produk pangan yang akan difortifikasi dengan kalsium. Tabel 3. Karakteristik penting sumber kalsium untuk fortifikasi Garam kalsium Ca-karbonat Ca-fosfat Tri-Ca-sitrat (4H2O) Ca-laktat (5 H2O) Ca-laktat-glukonat Ca-glukonat
Kelarutan kalsium dalam air pada 25oC (g/L) tidak larut tidak larut 0.9 9.3 45.0-50.0 3.5
Rasa sabun, lemon berpasir, tidak terasa netral tidak terasa netral ringan, netral
Kadar kalsium (%) 40 17-38 21 13 10-13 9
Sumber: Ladenburg (2002)
Beberapa senyawa kalsium diketahui tingkat absorpsinya berdasarkan studi in vivo yang dilakukan oleh Purac (2003) seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Gambar 1, terdapat beberapa pilihan sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik. Susu dapat dipertimbangkan sebagai sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik, tetapi pemilihan susu juga harus dipertimbangkan dari segi harga dan kecocokan dengan produk yang akan difortifikasi. Kalsium asetat walaupun tinggi tingkat absorpsinya tetapi tidak bisa digunakan karena off flavour (memiliki karakter rasa yang tidak baik untuk makanan). Hal serupa juga terjadi pada kalsium klorida yang hanya bisa digunakan dalam konsentrasi sangat rendah. Kalsium laktat, kalsium glukonat, kalsium sitrat, dan kalsium malat merupakan pilihan yang baik untuk penggunaan umum karena dapat diabsorpsi lebih dari 30% di dalam tubuh. Kalsium fosfat dan karbonat bisa digunakan sebagai pilihan berikutnya dipertimbangkan dari segi harga dan dapat diabsorpsi lebih dari 20% di dalam tubuh. Tingkat kemanfaatan atau efisiensi absorpsi kalsium dipengaruhi kebutuhan dan persediaan kalsium oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan kalsium semakin efisien kalsium yang diabsorpsi. Peningkatan kebutuhan terjadi pada pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium, dan aktivitas fisik yang meningkatkan densitas kalsium. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh, kalsium yang diabsorpsi semakin efisien. Kondisi keasaman saluran cerna dan vitamin D juga ikut merangsang absorpsi kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Keadaan asam pada pencernaan bisa terjadi karena asam klorida yang dikeluarkan lambung dan beberapa asam amino tertentu yang meningkatkan keasaman saluran cerna. Vitamin D dalam bentuk aktifnya meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi proteinpengikat kalsium. Lemak dan laktase ikut membantu absorpsi kalsium pada saluran cerna. Laktosa meningkatkan absorpsi kalsium jika tersedia cukup enzim laktase di dalam
8
pencernaan. Lemak meningkatkan waktu transit sehingga memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier, 2006).
Jenis Kalsium
Absorpsi Kalsium (%)
Gambar 1. Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara in vivo oleh Purac (2003) Terdapat beberapa penyebab berkurangnya tingkat absorpsi kalsium di dalam tubuh. Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif menghambat absorpsi kalsium. Asam oksalat dan asam fitat yang memiliki ikatan fosfor, masing-masing membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang tidak larut sehingga menghambat absorpsi kalsium. Oksalat biasa terdapat dalam tumbuhan seperti bayam dan kakao, sedangkan fitat biasa terdapat dalam sekam serealia. Serat menurunkan absorpsi kalsium, diduga karena menurunkan waktu transit makanan di saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan absorpsi kalsium (Almatsier, 2006). Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Saat manusia dewasa, terutama saat usia 50 tahun, kalsium pada tulang umumnya hilang untuk memenuhi kebutuhan harian kalsium. Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah patah yang sering dinamakan osteoporosis. Selain itu, kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteomalasia. Osteomalasia adalah kondisi riketsia pada orang dewasa yang terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Mineralisasi matriks tulang terganggu, sehingga kandungan kalsium di dalam tulang menurun (Almatsier, 2006). Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Selain itu, kalsium berlebih dapat menyebabkan konstipasi. Kelebihan kalsium bisa terjadi karena berlebih menggunakan suplemen kalsium. Oleh karena itu, konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg per hari (Almatsier, 2006).
2. Zat Besi Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu sebesar 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan. Kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom, dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan hemosiderin. (Almatsier, 2006)
9
Kandungan zat besi pada orang dewasa berkisar antara 2.5-4 gram, dimana 2.0-2.5 gram berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung besi (Linder, 1992). Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2. Sedangkan sebagian kecil besi yang terdapat dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan oksigen (oksidase dan oksigenase) (Brody, 1994). Besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam tubuh. Besi banyak tersebar luas di dalam makanan. Walaupun demikian, beberapa negara termasuk Indonesia, masih memiliki kasus kekurangan gizi besi di dalam masyarakatnya. Padahal, kekurangan besi berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kemampuan kognitif, dan sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2006). Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), reaksi sintesis kolagen, penghilangan lipida dari darah, serta detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993). Sumber zat besi yang baik adalah bahan pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Bahan pangan dikatakan sebagai sumber zat besi yang baik ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan biologisnya (bioavailability). Umumnya, zat besi pada produk pangan hewani memiliki ketersediaan biologis lebih tinggi dibanding produk pangan nabati. Kandungan besi beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 4. Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat di negara maju maupun berkembang. Defisiensi besi umumnya terjadi pada golongan rentan seperti anakanak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi dapat menyebabkan anemia gizi besi, gangguan penyembuhan luka, terganggunya kekebalan tubuh, menurunnya kemampuan belajar, dan berkurangnya produktivitas kerja. Kehilangan besi dapat terjadi karena konsumsi makanan yang kurang seimbang atau gangguan absorpsi besi. Perdarahan akibat infeksi parasit cacing, luka, atau penyakit gastrointestinal juga mengakibatkan kehilangan besi pada tubuh manusia secara signifikan. Kelebihan besi juga tidak baik bagi kesehatan manusia. Umumnya, kelebihan besi diakibatkan pengonsumsian suplemen makanan yang mengandung besi secara berlebih. Gejala yang diakibatkan adalah mual, muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala, mengigau, dan pingsan (Almatsier, 2006). Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi zat besi adalah dengan fortifikasi. Salah satu aspek terpenting dalam fortifikasi zat besi adalah memilih senyawa sumber zat besi yang paing cocok. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan tidak mengubah rasa, warna, bau, dan penampakan bahan pangan. Fortifikasi zat besi dalam makanan lebih sulit dilakukan dibandingkan fortifikasi zat gizi lainnya. Hal ini disebabkan karena senyawa zat besi yang paling mudah diabsorpsi adalah yang paling reaktif sehingga sering menghasilkan efek yang tidak dikehendaki apabila dimasak dengan bahan-bahan lainnya.
10
Tabel 4. Kandungan besi berbagai bahan makanan (mg/100 gram) Bahan makanan Tempe kacang kedelai murni Kacang kedelai, kering Kacang hijau Kacang merah Udang segar Hati sapi Daging sapi Telur bebek Telur ayam Ikan segar Ayam Gula kelapa Biskuit Jagung kuning, pipil lama Roti putih Bayam Sawi Kentang Daun katuk Keju Kangkung Daun singkong
Kandungan besi (mg) 10.0 8.0 6.7 5.0 8.0 6.6 2.8 2.8 2.7 2.0 1.5 2.8 2.7 2.4 1.5 3.9 2.9 0.7 2.7 1.5 2.5 2.0
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)
3. Seng Tubuh mengandung 2-2.5 gram seng yang tersebar di hampir semua sel. Sebagian besar berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot, dan tulang. Jaringan yang banyak mengandung seng adalah bagian mata, kelenjar prostat, spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku. Di dalam cairan tubuh, seng merupakan ion intraselular (Almatsier, 2006). Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme. Metabolisme yang terkait misalnya sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Peranan penting lainnya adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga menjadi bagian dari enzim kolagenase yang berperan dalam sintesis dan degradasi kolagen. Dengan demikian, seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat, dan penyembuhan luka (Almatsier, 2006). Menurut Almatsier (2006), kandungan seng paling baik ditemukan pada pangan sumber protein hewani. Daging, hati, kerang, dan telur adalah sumber-sumber seng alami yang baik dari segi jumlah dan ketersediaan biologisnya. Selain itu, pangan nabati seperti serealia tumbuk dan kacang-kacangan merupakan sumber seng yang baik juga. Namun, ketersediaan biologik seng pada pangan nabati tersebut lebih rendah dibandingkan pangan hewani. Beberapa bahan makanan yang mengandung seng dapat dilihat pada Tabel 5.
11
Tabel 5. Kandungan seng berbagai bahan makanan (mg/100g) Bahan makanan Wild eastern oyster (kerang laut) Biji gandum Hati anak sapi Tepung wijen
mg 182 17 12 10
Daging sapi rendah lemak Biji labu air Biji semangka kering Cokelat masak Daging kambing Kacang tanah
10 10 10 9.6 8.7 6.6
Sumber: Anonim2 (2010)
Absorpsi seng dipengaruhi beberapa faktor. Ditinjau dari status seng tubuh, jika tubuh membutuhkan banyak seng, maka semakin banyak seng yang diabsorpsi. Jenis makanan juga mempengaruhi absorpsi seng. Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologis seng saat dicerna. Tembaga dalam jumlah berlebih akan menghambat absorpsi seng. Sebaliknya, protein histidin meningkatkan absorpsi seng oleh tubuh. Alat transport utama seng adalah albumin. Jika albumin darah menurun, misalnya saat keadaan gizi kurang atau kehamilan, absorpsi seng juga menurun. Umumnya, absorpsi seng pada tubuh berkisar 15-40% (Almatsier, 2006). Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta orang lanjut usia. Kekurangan seng dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan keterlambatan pematangan seksual. Selain itu, pencernaan akan terganggu karena fungsi pankreas tidak berjalan dengan baik, pembentukan kilomikron terganggu, dan kerusakan permukaan saluran cerna (Almatsier, 2006). Diare dan gangguan fungsi kekebalan tubuh juga bisa terjadi akibat kekurangan seng. Kurangnya seng juga mengganggu metabolisme vitamin A, fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan ketajaman indera perasa serta memperlambat penyembuhan luka. Kelebihan seng hingga dua sampai tiga kali AKG menurunkan absorpsi tembaga. Hal ini menyebabkan degenerasi otot jantung pada hewan. Kelebihan sampai sepuluh kali AKG mempengaruhi metabolisme kolesterol, mengubah nilai lipoprotein, dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Suplemen seng yang berlebihan dikonsumsi bisa menyebabkan keracunan, demikian pula makanan asam yang disimpan dalam kaleng yang dilapisi seng. Dosis sebanyak dua gram atau lebih menyebabkan muntah, diare, demam, kelelahan, anemia, dan gangguan reproduksi (Almatsier, 2006).
4. Vitamin C Vitamin C dengan rumus empiris C6H8O6 adalah sebuah zat kimia yang memiliki sifat umum, memiliki bentuk murni berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, mencair pada kisaran suhu 190-1920C, mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam, dan sifat pereduksi yang kuat (Almatsier, 2006). Sifat-sifat vitamin C terutama dipengaruhi oleh adanya struktur enadiol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Vitamin C terutama berada dalam bentuk L-asam askorbat, sedangkan D-asam askorbat hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan
12
sebagai antioksidan (Andarwulan dan Koswara, 1992). Struktur asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia asam askorbat
Vitamin C bersifat mudah rusak jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe), serta cahaya. Sifat vitamin C yang paling utama adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan kemudahannya teroksidasi yang dikatalisis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, katalisator, dan logam. Mekanisme penyerapan vitamin C membutuhkan suatu sistem transpor aktif (Muchtadi et al., 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan vitamin C adalah jumlah vitamin C yang dikonsumsi, kandungan pektin dalam bahan pangan (Muchtadi et al., 1993), natrium, dan aspirin (Combs, 1992). Apabila konsumsi vitamin C berlebih, maka akan mendorong terjadinya pengeluaran vitamin C secara difusi pasif. Natrium dapat memicu sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C, sedangkan aspirin dapat menghambat kerja sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C. Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat yang tidak dapat kembali ke bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehisroaskorbat menghasilkan asam 2,3-diketo-L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan mengalami menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase. Enzim ini menggunakan glutation tereduksi sebagai sumber reducing equivalent. Kerja enzim ini juga menggunakan NADPH sebagai donor hidrogen (Combs, 1992). Asam askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi pada level molekuler. Vitamin tersebut mempunyai sifat umum yang penting yaitu sebagai antioksidan yang mempengaruhi redoks potensial tubuh. Akan tetapi, hanya beberapa reaksi enzim yang sudah memperlihatkan secara khusus membutuhkan vitamin C, seperti proses hidroksilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor Fe2+ dan Cu2+ (Linder, 1992). Pangan yang menjadi sumber vitamin C kebanyakan berasal dari nabati. Faktor yang mempengaruhi besarnya kandungan vitamin C adalah jenis bahan makanan, bagian tanaman, kematangan, keadaan penyimpanan, musim, dan cara pengolahan. Sumber terbaik vitamin C antara lain jeruk, jambu biji, strawberi yang mengandung sekitar 50-59 mg dan brokoli yang
13
mengandung sekitar 100-180 mg (Lestiani, 2009). Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin C dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan vitamin C berbagai bahan makanan (mg/100g) Bahan makanan Cabai hijau Cabai merah Jambu biji Paprika kuning Thyme Peterseli Sawi Brokoli Kiwi Pepaya Jeruk Strawberi
mg 242.5 144 228 184 160 133 70 89 93 62 59 59
Sumber: Anonim3 (2010)
Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan bagi tubuh. Menurut Berdanier et al., (2008), gejala klinis akibat kekurangan vitamin C muncul perlahan dan sering tersamar. Gejala awal yang ditimbulkan biasanya berupa tubuh yang sering merasa lelah dan mudah merasa sakit. Jika gejala berkembang lebih lanjut maka akan menimbulkan penyakit yang lebih parah seperti scurvy (kudisan) dan juga scorbutism (sariawan). Gejala scurvy biasanya muncul setelah tiga bulan kekurangan asupan vitamin C. Konsumsi vitamin C yang berlebih juga berpotensi mengganggu kesehatan tubuh. Ada resiko dari kajian toksisitas bila asupan melebihi satu sampai dua gram per hari (Berdanier et al., 2008). Gangguan terhadap sistem pencernaan terutama pada lambung akan muncul sebagai reaksi konsumsi vitamin C berlebihan. Selain itu, kemungkinan terjadinya peningkatan asam oksalat yang merupakan hasil metabolit dari asam askorbat bisa mengganggu kerja ginjal.
5. Vitamin A Vitamin A merupakan zat gizi esensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang merupakan nama generik dari semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang memiliki aktivitas biologis sebagai retinol. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuknya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991). Biasanya vitamin A di dalam makanan terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat dalam asam lemak rantai panjang (Almatsier, 2006). Struktur retinol dapat dilihat pada Gambar 3. Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A. Demikian pula oksidasi yang terjadi pada minyak
14
yang tengik. Ketersediaan biologis vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Almatsier, 2006).
Gambar 3. Struktur kimia retinol
Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Sedangkan Broody (1994), membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas, yaitu mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis), dan utilisasi siklus penglihatan. Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk ß-karoten dan retinil ester dari hewan. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Di sisi lain, pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A. Hanya karotenoid bentuk alfa, beta, gama, dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Bentuk beta-karoten adalah yang paling aktif, terdiri atas dua molekul retinol yang saling. Bagi ß-karoten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan, dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992). Beberapa sumber vitamin A antara lain hati, kuning telur, susu, minyak ikan dan mentega. Sumber karoten antara lain sayuran hijau tua serta sayuran dan buah-buahan berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, buncis, wortel, tomat, pepaya, mangga dan jeruk. Minyak sawit merah juga kaya akan karoten. Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin A terdapat di Tabel 7. Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Konsumsi vitamin A (provitamin A) rendah, gangguan dalam proses penyerapan di dalam usus halus, gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan gangguan dalam proses konversi provitamin A menjadi vitamin A merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencegah defisiensi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Muchtadi, 1993). Gejala defisiensi vitamin A pada mata yaitu rabun senja, keratinisasi kornea, opacity (kornea keruh), bitot’s spot, xerosis conjunctival, dan xerophtalmia. Gejala defisiensi vitamin A pada kulit yaitu kulit kasar, kering, dan folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut yang mengeras). Gejala defisiensi vitamin A lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan, pertumbuhan tulang terlambat, gangguan kesuburan/ fertilitas pada pria, gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta, gangguan reproduksi wanita, gangguan resorpsi fetus,
15
hilangnya enamel gigi, penurunan selera makan, penurunan kemampuan indera pencium, dan perasa (Muchtadi, 1993). Kekurangan vitamin A biasanya terjadi pada anak-anak balita. Tanda-tanda kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai. Kekurangan vitamin A merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, atau gangguan konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, alfa, beta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kurang asam empedu (Almatsier, 2006). Tabel 7. Kandungan vitamin A berbagai bahan makanan (Retinol Ekivalen (RE) µg/100g) Bahan makanan Hati sapi Kuning telur bebek Daging Ayam Ginjal Ikan sardin (kaleng) Minyak ikan Minyak kelapa sawit Minyak hati ikan hiu Wortel Daun singkong Daun pepaya Daun lamtoro Daun talas Daun melinjo Daun katuk Sawi Kangkung Bayam Ubi jalar merah Mentega Margarin Susu bubuk full cream Keju Susu kental manis Susu segar Mangga masak pohon Pisang raja Tomat masak Semangka
RE 13,170 861 600 243 250 24,000 18,000 2,100 3,600 3,300 5,475 5,340 3,118 3,000 3,111 1,940 1,890 1,827 2,310 1,287 600 471 225 153 39 1,900 285 450 177
Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI (1992)
Beberapa jenis penyakit yang membahayakan manusia terjadi karena defisiensi vitamin A. Buta senja adalah salah satu tanda awal kekurangan vitamin A, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya terang ke cahaya samar-samar. Perubahan pada mata dapat terjadi jika kekurangan vitamin A lebih lanjut berupa kelenjar air mata tidak mampu
16
mengeluarkan air mata sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Jika kondisi tersebut terus berlanjut penyakit yang terjadi adalah xeroftalmia, dimana kornea menjadi lunak dan pecah. Fungsi kekebalan tubuh menurun pada orang yang kekurangan vitamin A, sehingga mudah terserang infeksi. Selain itu, kulit juga menjadi kering dan kasar, folikel rambut menjadi kasar, mengeras dan mengalami keratinisasi. Kekurangan vitamin A juga menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel tulang (Almatsier, 2006). Di sisi lain, kelebihan vitamin A juga bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kelebihan vitamin A bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi secara berlebih, misalnya takaran 16,000 RE untuk jangka waktu lama atau 40,00055,000 RE/hari. Gejala yang ditimbulkan pada orang dewasa antara lain kepala pusing, mual, rambut rontok, kulit mengering, anoreksia, dan sakit pada tulang. Gejala pada wanita adalah terganggunya siklus menstruasi sehingga berhenti. Pada bayi, terjadi pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah tersinggung (Almatsier, 2006).
E. REMAJA Masa remaja merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh. Periode adolesensia ditandai dengan pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badannya. Pada periode growth spurt, kebutuhan zat gizi tinggi karena berhubungan dengan besarnya tubuh. Growth spurt pada anak perempuan antara umur 10 dan 12 tahun, sedangkan pada anak laki-laki antara umur 12 sampai 14 tahun (Almatsier, 2006). Permulaan growth spurt pada anak tidak selalu pada umur yang sama melainkan tergantung individualnya. Pertumbuhan yang cepat biasanya diiringi oleh pertumbuhan aktivitas fisik sehingga kebutuhan zat gizi akan naik pula. Kenaikan ini diperlukan selain untuk pemeliharaan fungsi fisiologis juga untuk menunjang pertumbuhan yang optimal (Muhilal et al., 1998). Gizi kaum remaja yang dicerminkan oleh pola makannya akan sangat menentukan dalam mencapai pertumbuhan fisik optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Beberapa mineral yang penting untuk diperhatikan adalah kalsium, zat besi, dan seng (Khomsan, 2004). Zat gizi dibutuhkan oleh remaja selain untuk pertumbuhan fisiknya juga untuk perkembangannya atau kemampuan intelegensi antara lain energi, protein, vitamin B6, vitamin C, seng, zat besi, dan kalsium (Wirakusumah, 1993). Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja menyukai makanan jajanan (snack). Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, biskuit, wafer, pastry, dan permen. Sebaliknya sayur serta buah yang banyak mengandung vitamin C tidak populer untuk dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C, dan lain-lain. Disamping itu hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja menyukai minum-minuman ringan (soft drink), teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu. Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja
17
Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan pascakrisis ekonomi di Indonesia, industri makanan olahan mendapat kenyataan adanya perubahan profil konsumen (Maryoto, 2003). Mereka adalah masyarakat yang menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang ditambahkan vitamin dan mineral. Mereka memiliki pengetahuan yang baru berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen. Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti segmentasi berdasar umur dan juga targetted product (Maryoto, 2003). Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah konsumen remaja. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa mendatang. Selain itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka mengikuti trend, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006, remaja Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19.61% dari jumlah penduduk (Dhamayanti, 2009). Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer (Maryoto, 2003). Meski hanya makanan camilan, market size wafer secara total diperkirakan senilai Rp 3 triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010). Menurut Murdono (2003), wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita per tahun, namun sumber tidak menyebutkan jangka waktunya.
F. KEMASAN Kemasan disebut juga bungkus atau wadah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: 1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi; 2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; dan 3) menambah daya tarik produk. Kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal atau gelas, serta memerlukan energi yang lebih kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusiannya (Hernandez dan Giazin, 1998). Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisanlapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau aluminium foil. Kombinasi antara berbagai macam kemasan plastik berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil, dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron dan diproses dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic. Kemasan laminasi yang dibuat dari kombinasi antara berbagai plastik dengan aluminium disebut metallized plastic. Walaupun lapisan pelogaman ini sangatlah tipis sekitar 300-1000 Å (0.03-0.1µm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau, memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999). Kemasan ini memiliki ketahanan terhadap uap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya, dan menghambat masuknya oksigen.
18
Penggunaan ini sangat sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang (Brown, 1992). Jenis kemasan yang digunakan pada penentuan umur simpan produk wafer krim adalah kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Kemasan dua layer yang dimaksud adalah CPP (Cast Polypropilene) yang disemprot aluminium sehingga terlapisi lalu dilaminasi dengan OPP (Oriented polypropilene) untuk kebutuhan pelabelan. Pada kemasan pertama ini, film plastik yang dimetalisasi adalah CPP. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan terbatas karena daya tahan sobek CPP rendah. CPP tidak disarankan untuk mengemas produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih tahan sobek (Robertson, 1993). Plastik OPP (Oriented polypropilene) merupakan polypropilene yang telah mengalami proses peregangan secara silang dan digunakan untuk kebutuhan pelabelan. Menurut Syarief et al. (1989), untuk memperbaiki sifat-sifat polipropilen, dalam proses pembuatannya digunakan modifikasi penarikan satu arah menjadi OPP atau jika penarikan dua arah menjadi BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). Sifat polipropilen yaitu lebih jernih dari LDPE dan HDPE, lebih kaku, lebih kasar dari LDPE, daya kedap air sempurna, dan densitas lebih rendah. OPP bersifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, serta rapuh terhadap suhu rendah. Jenis kemasan kedua yaitu kemasan tiga layer. Kemasan ini merupakan kemasan CPP (Cast Polypropilene) yang dimetalisasi kemudian dilaminasi dengan PET (polietilen tereftalat) dan pada bagian terluar OPP untuk kebutuhan pelabelan. PET banyak digunakan dalam laminasi terutama untuk bagian luar karena dapat meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kemasan pangan yang memerlukan perlindungan (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air. PET juga bersifat thermoplastik sehingga mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik.
G. UMUR SIMPAN Menurut Institute of Food Technology seperti yang dikutip oleh Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen. Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS)/ metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS)/ metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional memerlukan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselerasi diterapkan pada produk
19
pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Penentuan umur simpan untuk wafer krim dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti uji kadar air kritis, uji ketengikan, uji arhenius, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini diukur perubahan kandungan vitamin C pada wafer krim menggunakan metode arhenius. Berubahnya kandungan vitamin C pada wafer menandakan perubahan zat gizi yang paling sensitif. Hal ini disebabkan vitamin C mudah terdegradasi oleh oksigen, adanya pengkelat seperti besi dan tembaga, pH dan suhu. Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan perubahan vitamin C sebagai rejection point karena fokus penelitian ini mencakup fortifikasi zat gizi termasuk perubahannya. Rejection point adalah batas di mana produk sudah dikategorikan ditolak karena terjadi perubahan mutu pada kriteria yang telah ditentukan. Contohnya, rejection point vitamin C 10% artinya produk sudah ditolak mutunya jika kadar vitamin C yang tersisa pada produk tinggal 10%.
H. UJI ORGANOLEPTIK Uji organoleptik adalah disiplin ilmu yang menganalisa dan mengukur respon indera manusia terhadap komposisi produk yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran daya terima terhadap produk (Susiwi, 2009). Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif. Cara-cara pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok pengujian pembedaan (different test). digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. Kelompok kedua adalah pengujian pemilihan atau penerimaan. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenenangi produk tersebut. Tujuan uji penerimaan ini untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Kelompok ketiga adalah pengujian skalar. Pada uji skalar penelis diminta menyatakan besaran kesan yang diperolehnya. Besaran ini dapat dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Kelompok keempat adalah pengujian deskriptif. Pengujian ini merupakan penilaian sensorik yang didasarkan pada sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks atau yang meliputi banyak sifat-sifat sensorik, karena mutu suatu komoditi umumnya ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan (Susiwi, 2009). Pada penelitian ini uji organoleptik lebih difokuskan kepada penerimaan suatu produk. Uji penerimaan meliputi dua jenis uji. Uji penerimaan pertama adalah uji kesukaan atau hedonik. pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi suka atau tidak suka, disamping itu juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonik. Skala hedonik ditransformasi ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik tersebut dapat dilakukan analisa statistik. Uji penerimaan kedua adalah uji
20
mutu hedonik. pada uji ini panelis menyatakan kesan pribadi tentang baik atau buruk (kesan mutu hedonik). Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari kesan suka atau tidak suka, dan dapat bersifat lebih umum (Susiwi, 2009). Uji organoleptik mencakup beberapa atribut mutu yang dinilai. Beberapa di antaranya adalah penampilan, aroma, tekstur, suara, rasa, dan penilaian keseluruhan (Anonim4, 2010). Penampilan meliputi kesan visual yang ditampilkan oleh produk, bisa berupa warna maupun bentuk. Aroma meliputi kesan olfaktori yang ditangkap oleh indera penciuman berupa bau dari sampel yang diuji. Tekstur meliputi kesan permukaan pada produk yang diperoleh dari sentuhan, bisa berupa sentuhan saat dipegang oleh tangan maupun tekstur saat produk dirasakan oleh lidah di dalam mulut. Suara meliputi kesan auditori yang ditangkap indera pendengaran baik saat sampel diberi perlakuan oleh tangan atau saat sampel dikunyah di dalam mulut. Rasa meliputi kesan yang muncul saat sampel dirasakan oleh papil-papil pengecap lidah, yang secara umum terdiri dari asam, manis, asin, pahit, dan umami. Penilaian keseluruhan (overall) meliputi penilaian menyeluruh terhadap sampel yang diuji tanpa memilah-memilah kesukaan terhadap kesan tertentu (Susiwi, 2009).
21
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan untuk fortifikasi dalam penelitian ini terdiri atas dikalsium fosfat, kalsium karbonat, kalsium laktat, ferro laktat, seng laktat, retinil asetat (vitamin A), dan asam askorbat (vitamin C). Bahan yang digunakan untuk pembuatan wafer krim susu terdiri atas bahan untuk pembuatan kulit wafer yaitu tepung terigu protein rendah, natrium bikarbonat, lesitin, garam, dan air serta bahan untuk pembuatan adonan krim yaitu minyak sawit, gula, shortening, susu bubuk full cream, whey bubuk, garam, bahan pengisi, lesitin kedelai, dan flavor. Bahan-bahan untuk analisis yaitu air destilata, larutan stok standar (1000 mg/L) kalsium, zat besi, seng, standar vitamin A retinil asetat SIGMA (2,800,000 IU/g vitamin A retinil asetat), Na2SO3, HCl, KI, Iodin, H2SO4, indikator amilum, asam asetat glasial, metanol HPLC grade, etanol absolut, tetrahidrofuran (THF), asam askorbat, KOH, aquabidest. Bahan-bahan untuk pendugaan umur simpan adalah kemasan 2 layer dan kemasan 3 layer. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan wafer krim fortifikasi, yaitu ballmill, wadah, spatula, cutter, panci, kompor gas, mixer, wafer oven, timbangan kasar, dan neraca analitik. Alatalat yang digunakan untuk analisis, yaitu tanur, oven, cawan porselen, neraca analitik, desikator, penangas air, hotplate, gelas ukur, erlenmeyer, labu takar, pipet volumetrik, gelas piala, buret, bulb, kertas saring, HPLC, sentrifuse, serta alat-alat gelas lainnya. Alat yang digunakan untuk uji umur simpan adalah climate chamber suhu 350C, 400C, dan 450C.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas satu penelitian pendahuluan dan tiga tahapan penelitian. Penelitian pendahuluan adalah formulasi wafer krim fortifikasi. Tahap pertama adalah penentuan bentuk senyawa kalsium dalam wafer krim yang paling disukai dari segi organoleptik. Tahap kedua adalah formulasi wafer krim hasil penelitian tahap pertama dengan perlakuan flavor berbeda yang paling disukai secara organoleptik. Wafer fortifikasi yang terpilih kemudian dianalisis sifat organoleptik (uji rating hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan wafer non fortifikasi. Tahap ketiga adalah uji umur simpan berdasarkan kadar vitamin C dengan perlakuan kemasan berbeda. Kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan adalah formulasi dan penentuan wafer krim. Tahapan ini sendiri terdiri dari formulasi fortifikan pada lembaran wafer (wafer sheet) dan krim wafer. Formulasi dilakukan dengan metode trial error untuk menentukan kombinasi yang tepat dari tahap penambahan fortifikan pada lembaran wafer dan krim. Hasil awal dari uji trial error adalah menentukan target lokasi fortifikan pada lembaran wafer atau pada krim. Proporsi penambahan fortifikan ditentukan melalui diskusi dengan perusahaan berdasarkan pertimbangan biovailabilitas dan harga yang mengacu kepada Acuan Label Gizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumen remaja. Berdasarkan Acuan Label Gizi pada BPOM (2007), nilai 100% ALG fortifikan pada penelitian ini untuk kelompok konsumen umum
TUJUAN
1. Menentukan senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik
TAHAPAN PENELITIAN 1. Formulasi wafer krim dengan tiga macam senyawa kalsium (F1 : Ca-Laktat, F2 : Di-Ca-Fosfat, dan F3 : Ca-Karbonat)
PENGUJIAN
A. Uji Organoleptik
Wafer fortifikasi tanpa flavor 2.
Menentukan flavor yang paling disukai secara organoleptik untuk wafer krim fortifikasi
3. Menganalisis organoleptik (atribut mutu) dan kimia (kandungan kalsium, zat besi, seng, vitamin A, serta vitamin C) pada wafer krim fortifikasi dibandingkan dengan kontrol 4. Melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim berdasarkan kandungan vitamin C dengan Accelerated Shelf Life Test
A. Uji Organoleptik 2. Penambahan dua macam flavor (F1 : flavor lemon dan F2 : flavor melon)
Wafer fortifikasi terpilih
3. Pengujian umur simpan (ASLT) dengan dua kemasan berbeda (F1 : kemasan dua layer dan F2 : kemasan tiga layer) Gambar 4. Kerangka penelitian
23
A. Uji Organoleptik B. Analisis sifat kimia: 1. Kadar Kalsium 2. Kadar Besi 3. Kadar Seng 4. Kadar Vitamin A 5. Kadar Vitamin C
A. Uji Kadar Vitamin C
yaitu kalsium 800 mg, besi 26 mg, seng 12 mg, vitamin A 600 RE/7200 µg karoten total/ 3600 µg β-karoten, dan vitamin C 90 mg. Penambahan fortifikan dalam satu sajian wafer pada penelitian ini ditetapkan dengan proporsi kalsium sebanyak 20% ALG, besi sebanyak 10% ALG, seng sebanyak 10% ALG, vitamin A sebanyak 25% ALG, dan vitamin C sebanyak 50% ALG. Proporsi ini disesuaikan dengan data defisiensi zat gizi tersebut pada remaja Indonesia dan jumlah tersebut diharapkan membantu memenuhi kebutuhan harian remaja. Perhitungan lain adalah segi harga yaitu dipilih fortifikan yang memenuhi biaya produksi untuk satu wafer. Penambahan fortifikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Lembaran wafer merupakan lapisan dari adonan yang dipanggang sehingga memiliki tekstur renyah dan berpori membentuk badan wafer. Pembuatan lembaran wafer menggunakan bahan-bahan tepung terigu berprotein rendah (kandungan gluten sekitar 89%), natrium bikarbonat, lesitin, garam, dan air. Pembuatan kulit wafer membutuhkan proses pencampuran, pemanggangan, pencetakan dan pendinginan. Langkah awal pembuatan lembaran wafer adalah air dimasukkan ke dalam bowl mixer. Selanjutnya untuk fortifikasi dipilih mineral yang memiliki kelarutan cukup baik dalam air. Air dan mineral diaduk dalam bowl mixer. Setelah mineral terlarut dalam air, ditambahkan lesitin, garam, dan natrium bikarbonat. Tepung terigu ditambahkan setelahnya sedikit demi sedikit hingga pengadukan di dalam mixer menghasilkan adonan yang homogen. Selanjutnya proses menggunakan wafer oven yang merupakan pemanggang sekaligus pencetak kulit wafer. Sebanyak 15 gram adonan dipanggang dan dicetak selama dua menit pada suhu 1800C. Setelah itu, wafer diangkat dan didinginkan. Diagram alir pembuatan lembaran wafer ini bisa dilihat pada Gambar 5. Krim wafer adalah bagian isi wafer yang berbentuk krim berisikan campuran berbagai macam yang merupakan penentu rasa dari wafer krim. Bahan untuk pembuatan adonan krim adalah minyak sawit, gula, shortening, susu bubuk full cream, whey bubuk, garam, bahan pengisi, lesitin kedelai, dan flavor. Pemilihan formula wafer fortifikasi dilakukan dengan uji organoleptik metode rating hedonik. Persiapan awal yang perlu dilakukan adalah menimbang bahan-bahan tersebut sesuai formula wafer yang ada. Proses pembuatan krim ini menggunakan alat ballmill. Langkah awal pembuatan krim adalah pemanasan minyak sawit dan shortening padat dalam wajan di atas kompor gas hingga larut dan berbentuk cair. Selanjutnya lesitin, minyak sawit dan shortening yang telah cair dimasukkan ke dalam tabung ballmill terlebih dahulu. Setelah itu, gula, susu bubuk full cream, whey bubuk, garam, dan bahan pengisi ditambahkan ke dalam ballmill. Langkah berikutnya tabung ballmill yang telah berisi bahan adonan krim dimasukkan porcelain ball untuk membantu pengadukan. Porcelain ball ditambahkan sebanyak tiga kali lipat dari jumlah keseluruhan bahan. Ballmill diatur dengan kecepatan sedang. Selanjutnya dilakukan pengaturan waktu pengadukan. Waktu total yang dibutuhkan untuk pengadukan bahan adalah 60 menit. Pada menit ke-45 pengadukan, mesin ballmill dimatikan dahulu. Pada tahap ini flavor ditambahkan ke dalam bahan yang hampir membentuk konsistensi krim. Selanjutnya, ballmill dinyalakan kembali dan proses pengadukan dilanjutkan selama 15 menit. Setelah terbentuk konsistensi, krim dipisahkan dari porcelain ball menggunakan saringan. Krim telah selesai dibuat dengan konsistensi yang diinginkan. Diagram alir proses pembuatan krim ini dapat dilihat pada Gambar 6.
24
Mineral Fortifikan
Bowl Mixer
Air
Pengadukan Garam
Lesitin Campuran
Natrium bikarbonat
Terigu Pengadukan
Adonan Homogen
Wafer oven
Pemanggangan dan pencetakan dengan suhu tinggi selama 2 menit
Pendinginan
Lembaran wafer Gambar 5. Diagram alir pembuatan lembaran wafer
25
Minyak sawit
Shortening
Wajan
Dipanaskan hingga mencair Lesitin
Gula
Susu bubuk
Campuran minyak Whey bubuk Garam
Ball mill
Porcelain ball Pengadukan dengan kecepatan sedang selama 45 menit
Adonan setengah jadi
Bahan pengisi
Flavor
Pengadukan dengan kecepatan sedang selama 15 menit
Pemisahan krim dengan porcelain ball
Saringan
Porcelain ball
Krim wafer
Gambar 6. Diagram alir pembuatan krim wafer
26
Proses selanjutnya, krim yang telah jadi dioleskan ke lembaran wafer hingga membentuk tiga lapisan krim dalam empat lembaran wafer. Diagram alir proses pembuatan wafer krim dengan menyatukan lembaran wafer dan krim dapat dilihat pada Gambar 7. Berikutnya dilakukan pemilihan formula wafer fortifikasi dengan uji organoleptik metode rating hedonik. Krim wafer
Lembaran wafer
Pengisian
Pemotongan
Pengemasan
Wafer flat krim Gambar 7. Diagram alir pembuatan wafer krim (Manley, 2001)
2. Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pemilihan formula wafer krim dengan tiga jenis varian kalsium. Kalsium dipilih sebagai perlakuan karena fortifikan ini ditambahkan dalam jumlah per sajian paling banyak dan memiliki rasa paling tidak enak dibanding fortifikan lain. Bentuk kalsium yang dipilih adalah kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Kalsium difortifikasi ke dalam adonan wafer ketika pengadukan air di dalam mixer. Fortifikan lain tidak dijadikan perlakuan dan ditambahkan dalam jumlah serta bentuk yang tetap, yaitu seng dan zat besi ditambahkan bersamaan dengan kalsium ketika pengadukan air dalam proses pembuatan adonan kulit wafer, serta vitamin A dan vitamin C ditambahkan ke dalam adonan krim saat pengadukan dalam ball mill. Pemilihan formula wafer fortifikasi dilakukan dengan uji organoleptik metode rating hedonik.
3. Tahap Kedua Penelitian tahap kedua adalah penentuan formulasi wafer krim fortifikasi terpilih dengan perlakuan flavor berbeda menggunakan metode rating hedonik. Tahap ini merupakan bentuk pemilihan flavor yang ditambahkan pada krim untuk menutupi aftertaste asam dari asam askorbat. Pada tahap ini dilakukan percobaan flavor yang sesuai dengan karakter rasa wafer krim. Flavor yang dipilih adalah lemon dan melon. Formula wafer fortifikasi dengan flavor terpilih kemudian dianalisis sifat organoleptik (uji rating
27
hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan wafer non fortifikasi tanpa flavor.
4. Tahap Ketiga Tahap ketiga adalah uji umur simpan berdasarkan kadar vitamin C dengan perlakuan kemasan berbeda. Setelah diperoleh wafer fortifikasi dari tahap ketiga, dilakukan uji umur simpan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Test) dengan perlakuan 2 kemasan berbeda yaitu kemasan 2 layer dan kemasan 3 layer. Kedua jenis kemasan ini umum digunakan di dalam pengemasan makanan khususnya wafer. Wafer krim dikemas dalam kemasan dengan bobot 25 gram dengan dimensi kemasan panjang 10 cm, lebar 7 cm, dan tebal 2 cm yang akan ditentukan umur simpannya. Produk disimpan pada climate chamber suhu 35, 40, dan 450C selama 28 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, dan seterusnya dengan selang 7 hari. Sampel yang diambil untuk pengujian kadar vitamin C adalah yang masih dikemas rapat (tidak melanjutkan sampel yang sudah dianalisis sebelumnya). Rejection point atau batas penolakan produk ditetapkan pada kadar vitamin C mencapai 10% Angka Label Gizi per sajian atau sebesar 9 mg vitamin C per 25 gram produk. Hasil pengamatan bagi setiap parameter kadar vitamin C di atas dihitung laju penurunan mutunya per hari (k) dengan memplotkan data dalam grafik hubungan antara nilai ln kadar apabila mengikuti ordo reaksi satu, dan kadar apabila mengikuti reaksi ordo nol sebagai sumbu y dan waktu penyimpanan yaitu hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28 sebagai sumbu x pada masing-masing suhu penyimpanan (35, 40, dan 450C). Kemudian dicari nilai k-nya atau nilai konstanta penurunan mutu per hari yang diperoleh dari kemiringan persamaan regresi grafik masing-masing suhu penyimpanan tersebut. Setelah nilai k diperoleh, kemudian dicari nilai ln k untuk masing-masing suhu penyimpanan. Selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K-1) dan sumbu y yang menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang digunakan (35, 40, dan 450C atau 308, 313, dan 3180K). Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan. Dari regresi linier yang diperoleh pada kurva Arrhenius ini dapat diprediksi umur simpan produk dengan menggunakan rumus : K = ko . e-Ea/RT keterangan : k = kostanta penurunan mutu ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (0K) R = konstanta gas (1.986 kal/ mol 0K) Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln K = ln ko + (-Ea/R) 1/T dapat ditentukan nilai k dan umur simpan masing-masing bahan atau produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. ko merupakan konstanta penurunan mutu produk yang tidak tergantung pada suhu, sedangkan k merupakan konstanta penurunan mutu dari salah satu kondisi suhu yang digunakan dan Ea/R merupakan gradien yang diperoleh dari plot
28
Arrhenius. Dengan perhitungan menggunakan rumus ini, akan diperoleh nilai ko. Umur simpan menurut ordo reaksi satu diperoleh dengan rumus : t = (ln Ao-ln At)/ ko keterangan : t = prediksi umur simpan (hari) Ao = nilai mutu awal At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t ko = konstanta Dari rumus di atas dapat diprediksi umur simpan dalam hari atau bulan. Namun jika mengikuti ordo reaksi nol, umur simpan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus : t = (Ao-At)/ ko keterangan : t = prediksi umur simpan (hari) Ao = nilai mutu awal At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t ko = konstanta
C. METODE ANALISIS Analisis yang dilakukan pada penelitian kali ini meliputi uji organoleptik dan analisis kimia. Uji organoleptik dilakukan dengan metode rating hedonik pada keseluruhan atribut mutu (Soekarto, 1985). Analisis kimia yang dilakukan adalah pengujian kadar zat besi, kalsium, dan seng metode Absorpsi Atom Spektrofotometri (AAS) (Apriyantono et al., 1989 dan AOAC, 1995), kadar vitamin A metode HPLC (AOAC, 2001 dan AOAC, 2005), kadar vitamin C metode titrasi iodometri (Jacobs, 1984).
1. Analisis Kadar Logam (Zat Besi, Kalsium, dan Seng) Metode Absorpsi Atom Spektrofotometri (AAS) (Apriyantono et al., 1989 dan AOAC,1995) Penetapan kadar logam total dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Absorpsi Atom Spektrofotometri (AAS). Prinsip dari metode ini adalah residu sampel yang telah dihilangkan kandungan bahan-bahan organiknya dengan menggunakan pengabuan kombinasi dapat dilarutkan dalam asam encer H2SO4 pekat. Larutan disebarkan dalam nyala api yang ada di dalam AAS sehingga absorpsi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu.
a. Kalibrasi Alat dan Penetapan Sampel Alat AAS diatur sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut. Diencerkan larutan stok standar (1000 mg/L) kalsium, seng, dan zat besi dengan menggunakan air demineralisasi sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang bersangkutan seperti dapat dilihat pada Tabel 8. Larutan standar logam dan blanko diukur nilai absorpsinya. Larutan sampel diukur nilai absorpsinya (selama penetapan
29
sampel, diperiksa secara periodik apakah nilai standar tetap konsisten). Pembuatan kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi vs konsentrasi dalam mg/L). Tabel 8. Kondisi yang direkomendasikan untuk analisis logam
Kalsium
Panjang Gelombang (A")1 422.7
Limit deteksi (µg logam ml)1 0.01
Seng
213.9
0.004
0.1 – 2
Zat Besi
248.3
0.03
0/05 – 5
Unsur
Kisaran Kerja (µg logam/ ml)1 0.05 – 5
Sistem Nyala2 Udara Asetilen N2O5
1
Apriyantono et al. (1989) AOAC (1995)
2
b. Perhitungan Konsentrasi logam total dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar Logam (mg/L) = (a x 100 x FP)/ W Keterangan : a = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar (mg/L) FP = Faktor pengenceran W = berat sampel (g)
2. Analisis Kadar Vitamin A Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) (AOAC, 2001 dan AOAC 2005) a. Prinsip Kerja Standar dan contoh disabunkan dalam larutan etanol – air basa, dinetralkan dan dilarutkan, sehingga mengubah lemak menjadi asam lemak dan ester retinol. Retinol dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (High Performance Liquid Chromatography) dengan detector UV pada panjang gelombang 328 nm.
b. Prosedur 1. Penyiapan Larutan Standar Larutan stok standar vitamin A 250 iu/ml Sebanyak 25 mg Standar vitamin A asetat SIGMA (1 gram vitamin A asetat setara dengan 2,800,000 IU vitamin A) ditimbang dengan teliti ke dalam labu takar amber 100 ml, ditambahkan 10 ml aquabides, ditambahkan 3 ml aseton untuk membantu pelarutan, kemudian dilarutkan hingga tanda tera menggunakan etanol 95%. Larutan stok standar ini harus selalu baru.
30
Larutan deret standar vitamin A Sebanyak 0.25 ml – 0.50 ml – 1.0 ml larutan stok standar vitamin A masing-masing dipipet ke dalam erlenmeyer 100 ml bertutup asah. Lalu masing-masing larutan standar ini ditambahkan 10 ml ethanol 95% dan 2.5 ml KOH 50% (dilarutkan 500 gram KOH dengan aquabides hingga 1 liter). Selanjutnya masing-masing larutan standar direfluks di atas penangas air suhu 80oC selama 40 menit, didinginkan, dan ditambahkan 2.5 ml asam asetat glasial. Kemudian, masing-masing larutan standar digoyangkan hingga larut, dibiarkan dingin, dimasukkan ke dalam labu takar amber 25 ml, ditera dengan larutan THF dan etanol dengan perbandingan 1:1, lalu dihomogenkan dengan membulak-balikkan labu takar. Larutan deret standar ini stabil selama dua minggu dan bisa diencerkan sesuai kebutuhan konsentrasi dalam contoh yang pengerjaannya dilakukan sama seperti yang sudah diuraikan.
2. Penyiapan Larutan Contoh Contoh uji padatan dihaluskan hingga mencapai ukuran 40 mesh. Lalu, sebanyak 5 gram contoh uji ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml, ditambahkan 10 ml aquabides, dan ditambahkan 4 ml etanol 95%. Erlenmeyer lalu digoyangkan untuk memastikan semua bahan tercampur dengan penambahan batu didih untuk mempercepat pemanasan.
3. Ekstraksi dan Penyabunan Penangas air dan pendingin kondensor dinyalakan, dipipet 10 ml KOH 50% ke dalam erlenmeyer contoh, diletakkan dengan cepat di atas penangas air suhu 80oC dengan pendingin kondensor diletakkan di atas bibir erlenmeyer. Larutan ini direfluks selama 40 menit dengan digoyangkan tiap 10 menit. Setelah 40 menit, erlenmeyer diangkat dari penangas, didinginkan hingga suhu ruang, ditambahkan asam asetat glasial 10 ml untuk menetralkan KOH, diaduk rata, dan dibiarkan dingin hingga suhu ruang. Larutan ini lalu dipindahkan dengan teliti kedalam labu takar amber 100 ml dan ditera dengan larutan Campuran THF : etanol (1:1), labu takar dibolak-balikkan, disimpan semalam atau labu disimpan selama satu jam di dalam lemari pendingin untuk mengendapkan asam lemak yang terbentuk selama proses penyabunan. Dalam kasus tertentu sentrifugasi dapat digunakan untuk mempercepat pengendapan.
4. Penetapan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dinyalakan, dibiarkan stabil selama 30 menit dengan pengaliran fase gerak pada kecepatan 1 ml/ menit. Larutan standar vitamin A yang telah melalui proses penyabunan diinjeksikan, lalu diatur fase gerak untuk mendapatkan resolusi bentuk cis dan trans. Semua trans retinol larut dan cis retinol akan larut sebagai sebuah peak kecil sebelum bentuk trans. Deret standar dan contoh diinjeksikan ke dalam botol-botol kecil autosampler lalu diletakkan di dalam KCKT. Standar yang diuji harus masuk kedalam range peak contoh dengan cara standar atau contoh diencerkan.
31
Kondisi KCKT atau HPLC yang dipergunakan adalah : Jenis KCKT /HPLC : Agilent Series Kolom : C 18 (5µm) Detektor : UV Panjang gelombang : 328 nm Flow rate : 1 ml/menit Mobile phase : Air aquabidest : Metanol (5:95) Volume injek : 20 µl autosampler
c. Perhitungan Konsentrasi Vitamin A (IU/g) Csp = Asp – a x VAsp x Vi st b W sp Vi sp Keterangan : Csp = konsentrasi contoh (iu/gram) a = intercept b = slope Vasp = Volume Akhir contoh ( ml ) Wsp = Bobot contoh ( gram ) Vi st = Volume injek standar ( ul ) Vi sp = Volume injek contoh ( µl )
5. Analisis Kadar Vitamin C Metode Titrasi Iodometri (Jacobs, 1984) a.
Standarisasi Iodin Standarisasi Iodin diawali dengan pemipetan 10 ml larutan iodin ke dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 150 ml aquades, ditambahkan HCL 2N sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan indikator amilum tiga tetes. Larutan ini segera dititrasi menggunakan larutan Na2S2O3 yang telah distandarisasi. Titik akhir ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi tak berwarna.
b.
Standarisasi Na2S2O3 Standarisasi Na2S2O3 diawali dengan penimbangan 0.05 gram K2Cr2O7, dilarutkan ke dalam aquades 25 ml dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 5 ml HCL 25%, lalu ditambahkan KI 20% 10 ml. Larutan segera dititrasi dengan Na2S2O3. Ketika larutan mulai berubah warna menjadi kuning muda, ditambahkan indikator amilum tiga tetes lalu dititrasi lagi hingga warna biru menghilang.
c.
Penetapan Kadar Vitamin C Penetapan kadar vitamin C diawali dengan penimbangan 10 gram sampel dilarutkan ke dalam 100 ml aquades. Larutan ini lalu ditambahkan 12.5 ml asam trikloroasetat (TCA) 8%, distirer selama 5 menit, lalu disentrifuse pada 1,400 rpm selama 5 menit. Penambahan asam trikloroasetat bertujuan meminimalisasi atau menghambat interfensi dari ion besi (Fe). Supernatan hasil sentrifuse disaring
32
dengan kertas saring kasar dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer. Sebelum dititrasi, larutan ditambahkan indikator amilum tiga tetes. Larutan segera dititrasi dengan larutan iodin 0.01 N hingga muncul warna biru pertama kali yang menandakan titik akhir titrasi.
d.
Perhitungan Konsentrasi Vitamin C (%) Csp = (Vsampel – Vblanko) x N I2 x 88.06 x FP x 100% Wsampel x 1000 Keterangan : Csp = konsentrasi contoh (%) Vsampel = Volume sampel yang tertitrasi (ml) Vblanko = Volume blanko yang tertitrasi (ml) NI2 = Konsentrasi I2 hasil standarisasi (mol/L) FP = Faktor Pengenceran W sampel = Bobot sampel (gram)
6. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999) Uji organoleptik menggunakan metode hedonic rating test dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan. Atribut-atribut yang diamati meliputi aroma, rasa, tekstur, mouthfeel, dan aftertaste. Uji ini dilakukan dengan menggunakan skoring dengan 5 skala kesukaan, yaitu 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = netral/antara suka dan tidak suka; 4 = suka; dan 5 = sangat suka. Standar skoring perusahaan adalah 3.5. Panelis yang digunakan adalah 24 orang panelis semi terlatih. Pada uji rating hedonik, panelis diminta memberikan skor untuk setiap atribut yang diujikan pada sampel sesuai tingkat kesukaannya. Pengolahan data uji hedonik pada tahap penelitian pendukung menggunakan bantuan program statistik, yaitu SPSS 13.0.
D. RANCANGAN DAN PERLAKUAN PERCOBAAN Model matematika rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Percobaan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Model matematika rancangan percobaan adalah sebagai berikut: Yij = u + Ai + ij Keterangan : Yij = variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A yang terdapat pada observasi ke-j. u = efek rata-rata yang sebenarnya Ai = efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor A (i = 1, 2, 3, ,,,, n) ij
= efek galat unit percobaan ke-j dalam kombinasi perlakuan taraf i (j = 1,2)
Perlakuan percobaan yang dilakukan pada penelitian tahap pertama dengan Ai (i = 1, 2, 3) adalah sebagai berikut : Faktor A = Jenis sumber kalsium yang digunakan untuk fortifikasi Faktor A1 = Kalsium Laktat
33
Faktor A2 Faktor A3
= Dikalsium Fosfat = Kalsium Karbonat
Perlakuan percobaan yang dilakukan pada penelitian tahap kedua uji organoleptik dengan Ai (i = 1, 2) adalah sebagai berikut : Faktor A = Jenis flavor yang digunakan untuk menutupi rasa asam Faktor A1 = Lemon Faktor A2 = Melon
E. PENGOLAHAN DATA Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) untuk mendapatkan penduga ragam galat dan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap nilainilai pengamatan. Data dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan Wilayah Berganda pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan.
34
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan target penempatan fortifikan yang tepat pada formula wafer krim. Percobaan pertama dimulai dengan kombinasi penghilangan satu fortifikan mineral pada formula krim. Fortifikan yang digunakan adalah mineral berupa kalsium laktat (Ca-laktat), besi laktat (Fe-laktat), seng laktat (Zn-laktat) dan vitamin yang terdiri dari vitamin A dan vitamin C. Fortifikan mineral tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan segi bahan baku yang tersedia dan diinginkan perusahaan untuk digunakan sebagai fortifikan. Formula pertama meniadakan kalsium laktat untuk mengetahui kombinasi rasa yang muncul dari besi-laktat, seng-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Formula kedua meniadakan besi laktat untuk mengetahui kombinasi rasa kalsium-laktat, seng-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Formula ketiga meniadakan seng laktat untuk mengetahui kombinasi rasa besi-laktat, kalsium-laktat, vitamin A, dan vitamin C. Sebagai pembanding digunakan formula keempat sebagai kontrol yang tidak menggunakan fortifikan. Hasil dari identifikasi atribut organoleptik pada percobaan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji organoleptik formulasi wafer krim dengan penghilangan satu fortifikan mineral Formula Wafer Krim Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Fortifikan Pada Krim Rasa Aroma Zn‐ Ca‐ Vit. Vit. FePahit Asam Asin Manis Logam Obat Amis Susu A laktat laktat laktat C ++ ++ ++ ++ ‐ ‐ ‐ ++ ++++ ‐ ‐ ‐ ++++ ++++ +++ +++ ‐ ‐ ‐ ++++ ++++ +++ ++++ ++
Hasil percobaan pada Tabel 9 digunakan untuk menduga identifikasi awal karakter organoleptik dari fortifikan mineral. Menurut Kilcast (1999), rasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai respon dari lidah terhadap material involatil terlarut. Respon ini dikelompokkan atas asin, manis, asam, dan pahit. Penilaian terhadap rasa dan aroma ini dilakukan secara subjektif dengan cara penilaian (scoring) disertai pemberian tanda + dari range satu sampai lima, dimana semakin banyak tanda + yang diberikan (scoring) pada kolom atribut rasa dan aroma, berarti semakin tinggi intensitas rasa dan aroma yang mucul. Berdasarkan formula 1 dan 3 saat besi-laktat ditambahkan, akan muncul rasa agak pahit disertai aroma logam yang amis. Berdasarkan formula 1 dan 2 saat seng-laktat ditambahkan, akan muncul rasa pahit berintensitas tinggi disertai aroma obat dan logam. Berdasarkan formula 2 dan 3 saat kalsium-laktat ditambahkan, akan muncul rasa pahit dan asam dengan intensitas sangat tinggi disertai aroma obat, logam, dan amis. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil identifikasi pada perubahan kombinasi fortifikan belum memberikan atribut organoleptik yang tepat sehingga perlu dilakukan percobaan lanjutan. Percobaan berikutnya adalah pembuatan wafer dengan difortifikasi satu jenis fortifikan mineral pada lempengan wafer tanpa penambahan fortifikan vitamin. Formula 1 adalah wafer krim dengan fortifikasi kalsium-laktat. Formula 2 adalah wafer krim dengan fortifikasi besilaktat. Formula 3 adalah wafer krim dengan fortifikasi seng-laktat. Formula 4 adalah wafer krim tanpa fortifikasi. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil organoleptik formulasi wafer yang ditambahkan fortifikan mineral pada lembaran wafer Formula Wafer Krim Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
Fortifikan pada Lembaran Wafer Kalsium Laktat Besi Laktat Seng Laktat -
Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Top note Rasa asam++++ asam++ asam+ manis++++
Aroma obat++++ obat+ obat + susu++++
Base note Rasa pahit++++ asin++ asin ++ manis++++
Aroma obat++++ besi++ besi++ krim++++
After taste Rasa pahit++++ pahit+ pahit+ manis++++
Aroma kapur++++ krim+ krim+ krim+++
Hasil organoleptik wafer yang difortifikasi diidentifikasi menjadi tiga bagian yaitu top note, base note, dan after taste. Top note adalah sensasi awal yang timbul cepat pada pengindera saat pangan mulai dikunyah di dalam mulut. Base note adalah sensasi yang lama tinggal saat pangan berada di dalam mulut dalam waktu agak lama setelah dikunyah dan merupakan gambaran umum rasa sebenarnya. After taste adalah sensasi yang tertinggal pada mulut dan lidah setelah pangan telah melewati mulut memasuki kerongkongan. Berdasarkan Tabel 10 diketahui hasil organoleptik masing-masing fortifikan mineral saat dimasukkan ke dalam lembaran wafer. Lembaran wafer yang menggunakan kalsium-laktat saat top note memiliki rasa asam dengan aroma obat, dan memiliki tekstur sangat renyah, saat base note memiliki rasa getir, dan memiliki after taste pahit. Lembaran wafer yang menggunakan besilaktat saat top note memiliki aroma karat dan amis, saat base note memiliki rasa besi, dan memiliki after taste netral. Lembaran wafer yang menggunakan seng-laktat saat top note memiliki rasa sedikit pahit, saat base note memiliki rasa asin, dan memiliki after taste pahit sedikit netral. Lembaran wafer kontrol saat top note memiliki rasa manis, gurih, dan renyah, saat base note memiliki rasa asin, dan memiliki after taste netral. Dari hasil ini diketahui kalsium memiliki rasa paling tidak enak dibandingkan dengan besi dan seng. Percobaan berikutnya adalah mencoba membandingkan antara penempatan fortifikan mineral pada lembaran wafer dengan di dalam krim. Hal ini untuk menentukan target akhir penempatan fortifikan pada wafer krim. Sebagai catatan vitamin tidak difortifikasi pada lembaran wafer karena pada proses pencetakan dan pemanggangan lembaran wafer di wafer oven, suhu yang diterapkan mencapai 160oC. Hal ini bisa merusak vitamin A dan vitamin C. Formula yang diuji untuk kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer ada 4. Formula pertama, semua fortifikan mineral yaitu kalsium-laktat, besi-laktat, dan senglaktat dimasukkan ke dalam lembaran wafer sedangkan vitamin A dan C dimasukkan ke krim wafer. Formula kedua, semua fortifikan yaitu kalsium-laktat, besi-laktat, seng-laktat, vitamin A dan C dimasukkan ke dalam krim. Formula ketiga, kalsium-laktat dimasukkan ke dalam lembaran wafer, sedangkan besi-laktat, seng-laktat, vitamin A dan C dimasukkan ke dalam krim wafer. Formula keempat merupakan kontrol yang ditambahkan fortifikan vitamin A dan C. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil organoleptik pada Tabel 11 diketahui formula yang mendekati dengan kontrol adalah formula pertama. Pada formula pertama, kedua, dan ketiga memang dijumpai rasa asam yang kuat pada top note. Namun, pada base note formula pertama, tidak dijumpai aroma logam seperti yang terdapat pada formula kedua dan ketiga. Selain itu after taste formula pertama memiliki rasa sedikit pahit. Formula ini lebih baik dibandingkan dengan formula kedua yang memiliki after taste asam dan pahit, serta formula ketiga yang memiliki after taste pahit. Oleh karena itu penempatan fortifikan yang akan digunakan pada penelitian tahap pertama adalah
36
fortifikan mineral ditempatkan di lembaran wafer sedangkan fortifikan vitamin ditempatkan di dalam krim. Tabel 11. Formulasi kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer Lokasi fortifikan Formula Wafer Wafer Krim Krim Fe, Ca, Vit. A, Formula 1 Zn Vit.C Fe, Ca, Zn, Formula 2 Vit. A, Vit. C Fe, Zn, Vit. A, Formula 3 Ca Vit. C Formula 4
-
Vit. A, Vit. C
Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik Top note Base note After taste Rasa Aroma Rasa Aroma Rasa Aroma asam++++ obat++++ asin++++ obat++++ pahit++ kapur++++ asam++++ obat+ pahit++ asam++++ besi++
asin++
besi++
asin++
besi++
susu++++ manis++++ krim++++ asam++ asin++ manis++++
pahit+++ asam + pahit+++ asam+ manis++++
krim+ krim+ krim+++
B. PENELITIAN TAHAP PERTAMA Penelitian tahap pertama adalah proses penentuan bentuk senyawa kalsium dalam wafer krim yang paling disukai dari segi organoleptik. Kalsium ditambahkan ke dalam adonan lembaran wafer bersamaan dengan seng dan besi, sedangkan vitamin A dan C ditambahkan ke dalam krim. Mineral yaitu kalsium (laktat, dikalsium fosfat, atau karbonat), besi laktat, dan seng laktat ditambahkan pada saat pengadukan air dalam bowl mixer untuk pembuatan adonan lembaran wafer. Vitamin A dan C ditambahkan ke dalam adonan krim pada saat pengadukan 15 menit terakhir dalam ball mill. Varian penelitian adalah bentuk kalsium, sedangkan fortifikan lainnya sudah ditambahkan dalam proporsi dan bentuk yang tetap. Bentuk kalsium dipilih sebagai perlakuan fortifikan karena zat gizi ini ditambahkan dalam jumlah per sajian paling banyak dibandingkan zat gizi lainnya. Berdasarkan penelitian pendahuluan, kalsium laktat diketahui memberikan kontribusi terhadap rasa asam dan pahit yang intens pada wafer krim serta sulit untuk ditutupi oleh flavor. Oleh karena itu, dalam penelitian tahap pertama ini dilakukan penetapan bentuk kalsium sebagai alternatif dari kalsium laktat yang efeknya terhadap rasa lebih mudah ditutupi flavor. Bentuk kalsium yang dipilih sebagai perlakuan untuk formulasi adalah kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Urutan tingkat absorpsi kalsium tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah kalsium laktat, kalsium karbonat dan dikalsium fosfat (Purac, 2003). Kalsium laktat memiliki tingkat absorpsi sebesar 35%. Kalsium karbonat memiliki tingkat absorpsi sebesar 28%. Dikalsium fosfat memiliki tingkat absorpsi 25%. Hasil pengamatan terhadap komentar subjektif pada produk yang diujikan memberi informasi bahwa bentuk kalsium berlainan menghasilkan karakteristik produk berbeda. Secara subyektif hasil karakter organoleptik produk yang menggunakan ketiga jenis kalsium dapat dilihat pada Tabel 12. Bentuk kalsium laktat menghasilkan karakteristik yaitu rasa asam, getir, dan aftertaste pahit tetapi tidak begitu kuat. Hal ini sesuai dengan Muchtadi (2008) bahwa kalsium laktat dapat memberikan sedikit rasa pahit atau rasa susu pada penambahan konsentrasi tinggi. Kalsium laktat yang digunakan untuk fortifikasi dalam penelitian ini mengandung 14% kalsium dalam senyawa kalsium laktat. Garam kalsium laktat mempunyai sifat kelarutan dalam air yang tinggi (9.3 g/l), sehingga dalam proses penambahannya ke dalam wafer, fortifikan dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air. Penambahan kalsium laktat dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan makin banyaknya ion-
37
ion kalsium bebas yang terdapat dalam larutan. Ion kalsium bebas tersebut mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa lain, misalnya protein bebas, tartrat atau fosfat, membentuk senyawa yang tidak larut (Muchtadi, 2008). Tabel 12. Hasil pengamatan subyektif karakteristik produk wafer fortifikasi dengan tiga jenis sumber kalsium Formula Wafer Krim
Hasil Identifikasi Atribut Organoleptik
Perlakuan Fortifikan Kalsium
Top note
Base note
Rasa Aroma Rasa Formula 1 Ca-Laktat asam+++ obat ++ pahit ++ Formula 2 Di-Ca-Fosfat asam + obat + Pahit+ Formula 3 Ca-Karbonat asam++++ obat +++ pahit+++
After taste
Aroma Rasa obat++ pahit++ obat+ asam++ obat+++ pahit++++
Tekstur Aroma kapur+ renyah++++ kapur++ renyah++++ kapur+++ renyah++++
Pada umumnya, dengan meningkatnya jumlah kalsium, terutama yang tidak larut air seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat, cenderung untuk memberikan rasa berkapur (chalky mouthfeel) di mulut dan menyebabkan timbulnya rasa pahit pada produk yang difortifikasi (Muchtadi, 2008). Wafer yang difortifikasi dengan dikalsium fosfat memiliki tekstur yang lebih renyah, aroma obat dan rasa pahit hanya sedikit sekali teridentifikasi, serta terasa aftertaste asam tetapi dapat diterima. Menurut Muchtadi (2008), kalsium fosfat tidak memberikan flavor (bland flavour), namun dapat memberikan rasa berpasir di mulut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa berpasir di mulut atau chalky mouthfeel tidak teridentifikasi pada wafer krim fortifikasi. Hal tersebut dikarenakan kalsium yang tidak larut air ini, dilarutkan ke dalam air dan lesitin sehingga mengalami pelarutan fisik di dalam mixer sebelum adonan wafer yang lain ditambahkan ke dalam mixer. Cara ini membuat fortifikan terdapat dalam bentuk lebih terlarut dan penyebaran dalam adonan lebih merata. Wafer krim fortifikasi kalsium karbonat merupakan produk yang memiliki karakteristik paling getir, aftertaste pahit, dan rasa asam sangat kuat. Hasil penelitian ini sesuai yang diutarakan oleh Muchtadi (2008) bahwa kalsium karbonat dapat memberikan rasa sabun atau rasa lemon. Rasa sabun yang dimaksud adalah rasa pahit sebagaimana zat yang bersifat basa diinderai oleh papil pengecap, sedangkan rasa lemon yang dimaksud adalah ada rasa asam getir yang kuat. Produk wafer krim yang difortifikasi dengan kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat selanjutnya diuji dengan metode rating hedonik. Atribut yang dinilai pada uji organoleptik ini meliputi aroma, rasa, mouthfeel, tekstur, dan aftertaste pada bobot berimbang yaitu masing-masing 20% sehingga totalnya 100%. Hasil uji kesukaan ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji kesukaan perlakuan sumber kalsium pada wafer fortifikasi Atribut
Bobot
Aroma Tekstur Mouthfeel Rasa keseluruhan Aftertaste Total
20% 20% 20% 20% 20% 100%
Level of Acceptance (LoA) keseluruhan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Kalsium Laktat Dikalsium Fosfat Kalsium Karbonat 2.60 3.30 3.10 3.10 3.50 3.30 275 3.40 3.05 2.95 3.40 3.15 2.85 3.00 2.80 Rerata = 2.85 Rerata = 3.32 Rerata = 3.08
Skor penilaian : 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = tingkat normal; 4 = suka; dan 5 = sangat suka
38
Hasil uji kesukaan dengan metode rating hedonik menunjukkan terdapat Level of Acceptance (LoA) yang tidak sama pada tiap produk walaupun tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga produk tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan pada taraf signifikasi 0.05. Karakteristik produk fortifikasi dari perlakuan bentuk senyawa kalsium yang berbeda menghasilkan formula dengan LoA paling tinggi yaitu dikalsium fosfat (3.32) dibanding kalsium laktat (2.85) dan kalsium karbonat (3.08). LoA panelis diukur dengan metode rating, yaitu level 1 untuk tingkat sangat tidak suka, level 2 untuk tingkat tidak suka, level 3 untuk tingkat normal, level 4 untuk tingkat suka, dan level 5 untuk tingkat sangat suka. Nilai LoA tertinggi ini (3.32) menunjukkan tingkat penerimaan panelis didefinisikan sebagai mulai suka karena berada pada tingkat antara normal dan suka terhadap atribut produk. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dengan metode rating hedonik pada Tabel 12 dikalsium fosfat memiliki nilai LoA paling tinggi dan karakteristik yang lebih baik. Namun, karena nilai LoA yang diperoleh wafer krim dikalsium fosfat (3.32) belum sesuai standar LoA perusahaan tempat penelitian dilakukan (3.5), perlu dilakukan formulasi lanjutan di penelitian tahap dua agar dapat memenuhi standar. Wafer krim terpilih masih memiliki atribut aftertaste rasa asam yang harus ditutupi oleh flavor yang sesuai. Oleh karena itu, pada penelitian tahap dua dipilih perlakuan flavor untuk meningkatan nilai LoA wafer fortifikasi.
C. PENELITIAN TAHAP KEDUA Berdasarkan penelitian tahap pertama, penambahan senyawa kalsium berpengaruh terhadap rasa yaitu wafer krim terpilih masih memiliki atribut aftertaste rasa asam. Pengaruh garam kalsium terhadap rasa dapat ditutupi dengan menambahkan flavor (Muchtadi, 2008). Flavor merupakan bahan tambahan untuk memberikan rasa tertentu pada produk pangan yang dihasilkan. Kegunaan flavor dalam bahan pangan antara lain untuk memberikan bau, aroma, menutupi flavor yang tidak disukai, serta menambahkan flavor yang hilang akibat pengolahan (Usman, 2005). Wafer fortifikasi dikalsium fosfat pada tahap pertama memiliki atribut aftertaste rasa asam yang harus ditutupi oleh flavor yang sesuai. Oleh karena itu, formulasi lanjutan adalah penentuan flavor yang cocok untuk menutupi aftertaste asam. Percobaan awal untuk penentuan flavor dilakukan untuk memilih karakter flavor yang sesuai dengan rasa wafer krim. Flavor yang diujikan yaitu yoghurt I, yoghurt II, lemon, jeruk, dan melon. Hasil identifikasi atribut rasa flavor dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, maka dipilihlah flavor melon dan lemon karena atribut rasa yang muncul memiliki kesesuaian dengan rasa wafer yang difortifikasi. Flavor ditambahkan pada bagian pembuatan krim karena pada proses ini tidak melibatkan suhu terlalu tinggi yang bisa mengubah atau menghilangkan fungsi flavor. Pada proses pembuatan wafer tidak diberi penambahan flavor karena melibatkan suhu tinggi yang mencapai 1600C. Suhu tinggi ini dikhawatirkan menghilangkan fungsi flavor sebagai pemberi rasa dan aroma. Pada penelitian ini dipilih flavor buah (fruity) yang memiliki intensitas rasa asam cukup tinggi dan menyatu dengan rasa krim ditunjukkan pada Tabel 15. Atribut yang diujikan pada penelitian tahap dua ini meliputi aroma, mouthfeel, rasa keseluruhan, dan aftertaste dengan bobot rating yang berlainan. Berbeda dengan penelitian pada tahap pertama, pada uji organoleptik kali ini tidak diujikan atribut tekstur. Hal ini dikarenakan penambahan flavor tidak memberi perubahan terhadap tekstur keseluruhan dan penilaian kesukaan panelis lebih ditekankan terhadap rasa keseluruhan yang diberi bobot terbesar yaitu 50%. Aroma dan mouthfeel diberi bobot yang sama yaitu 20% karena kedua atribut ini
39
merupakan atribut penting untuk megevaluasi peran flavor dalam produk setelah atribut rasa keseluruhan. Aftertaste hanya diberi bobot 10% karena pada flavor lemon dan melon, atribut ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Tabel 14. Pemilihan flavor untuk wafer krim fortifikasi No
Jenis flavor
1
Yoghurt I
2
Yoghurt II
3
Lemon
4
Jeruk (orange)
5
Melon
Identifikasi atribut rasa Base note asam, manis, dominan sensasi krim susu, rasa khas yoghurt sedikit muncul, masih ada rasa besi manis, ada rasa manis, rasa dan aroma yogurt khas yogurt muncul, tetapi lama-kelamaan hanya ada rasa asam asam, aroma dan manis, asam, rasa rasa lemon lemon menyatu dengan langsung keluar krim muncul rasa jeruk rasa asam bertahan tanpa ada aroma agak lama kemudian jeruk manis muncul aroma asam, rasa melon dan rasa melon bertahan agak lama, ada aroma melon yang segar, rasa manis, menyatu dengan krim Top note manis
After taste sangat asam
asam, ada sedikit rasa besi sedikit asam, aroma lemon masih ada asam sedikit asam
Tabel 15. Hasil uji kesukaan flavor pada wafer fortifikasi Atribut Aroma Mouthfeel Rasa keseluruhan Aftertaste Total
Bobot 20% 20% 50% 10% 100%
Level of Acceptance (LoA) keseluruhan Lemon (F1) Melon (F2) 3.75 3.65 3.5 3.65 3.75 3.6 3.5 3.5 Rerata= 3.65
Rerata= 3.61
Hasil uji kesukaan pada Tabel 15 menunjukkan produk wafer krim rasa lemon memiliki Level of Acceptance (LoA) tertinggi (3.65) untuk semua atribut yang diujikan. Sampel wafer krim melon memiliki LoA 3.61 untuk semua atribut yang diujikan. Tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan. Formula dengan fortifikan terpilih yang akan diuji pada penelitian tahap ketiga ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16. Fortifikan terpilih dari penelitian tahap ketiga Lokasi fortifikan Krim wafer Lembaran wafer
Fortifikan Vitamin C Vitamin A Asetat Dikalsium-fosfat Besi-laktat Seng-laktat
Penambahan (g/ 100 g formula) 0.2755 0.0105 4.8160 0.0910 0.0365
40
Berdasarkan hasil formulasi bertahap ini, diketahui bahwa kedua perlakuan flavor telah memenuhi standar LoA perusahaan yaitu lebih besar dari skor 3.5. Namun karena nilai LoA produk sedikit lebih tinggi, dipilihlah formula wafer krim fortifikasi rasa lemon. Formula wafer fortifikasi dengan flavor terpilih kemudian dianalisis sifat organoleptik (uji rating hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan wafer tanpa fortifikasi.
1. Hasil Uji Organoleptik Hasil uji kesukaan yang ditunjukkan Tabel 17 menunjukkan sampel wafer krim fortifikasi memiliki LoA tertinggi lebih besar dari 3.5 yaitu sebesar 3.65 untuk semua atribut yang diujikan. Sampel wafer krim nonfortifikasi juga memiliki LoA lebih dari 3.5 yaitu sebesar 3.51 untuk semua atribut yang diujikan, tetapi tidak lebih besar dari nilai LoA wafer fortifikasi. Tingkat kesukaan panelis terhadap wafer fortifikasi dan wafer nonfortifikasi tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan dalam taraf signifikansi 0.05. Tabel 17. Hasil uji kesukaan wafer non fortifikasi dan wafer fortifikasi Atribut
Bobot
Aroma Tekstur Mouthfeel Rasa keseluruhan Aftertaste Total
20% 20% 20% 20% 20% 100%
LoA (Level of Acceptance) Keseluruhan Wafer non fortifikasi Wafer fortifikasi 3.60 3.65 3.65 3.55 3.45 3.80 3.55 3.75 3.30 3.50 Rerata = 3.51 Rerata = 3.65
2. Hasil Pengamatan Sifat Kimia Hasil pengamatan sifat kimia menunjukkan kadar fortifikan di dalam wafer krim fortifikasi. Kadar fortifikan yang diukur meliputi kadar kalsium, kadar zat besi, kadar seng, kadar vitamin C, dan kadar vitamin A. Kadar tersebut dibandingkan antara wafer krim non fortifikasi dan wafer krim fortifikasi. Hasil pengamatan sifat kimia wafer krim ditunjukkan pada Tabel 18, sedangkan data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 18. Data pengamatan sifat kimia wafer krim
No. 1 2 3 4 5
Fortifikan Kalsium Zat Besi Seng Vitamin C Vitamin A
Kadar Penambahan (g/100 g adonan) 1.1200 0.0182 0.0084 0.2700 0.0092
Rerata Kadar Hasil Analisis (g/100 g adonan) Wafer Krim Wafer Krim non Fortifikasi Fortifikasi 0.2895 1.0238 0.0074 0.0268 0.0044 0.0084 0.0000 0.1800 0.0000 0.0080
Overage (%) 0.22 −32.09 00.00 50.00 15.22
41
Tabel 19. Data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi
No. 1 2 3 4 5
Fortifikan Kalsium Zat Besi Seng Vitamin C Vitamin A
Kadar pada Wafer Krim Fortifikasi per Sajian Kemasan (%) 0.5850 0.0153 0.0048 0.1200 0.0053
mg/100 g 585.00 15.30 4.80 120.00 5.30
Pemenuhan Acuan Label Gizi (%) 18.28 14.71 10.00 33.33 21.54
a. Kadar Kalsium Kalsium difortifikasi dalam bentuk senyawa dikalsium fosfat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Kalsium difortifikasi ke dalam wafer karena kalsium merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan kalsium terhadap pemanasan mencapai suhu 6000C. Kalsium ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena kalsium difosfat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di dalam oven mencapai suhu 1800C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar kalsium menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar kalsium dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar kalsium pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung kalsium. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan kalsium yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.2895% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung kalsium sebesar 0.2895 gram per 100 gram adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung kalsium diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan kalsium di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi kalsium agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan kalsium hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi kalsium pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber kalsium untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 1.1200 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar kalsium pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan kalsium selama proses pengolahan sebanyak 8.59%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan kalsium pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni ditambahkan sebanyak 1.1200 gram kalsium/ 100 gram adonan menjadi 1.0238 gram
42
kalsium/ 100 gram adonan di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi kalsium sebesar 91.41% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Jumlah kadar kalsium yang mengalami penurunan dalam jumlah sedikit ini dikarenakan pada bahan awal pembuatan wafer krim telah mengandung kalsium sebanyak 0.2895 gram kalsium/ 100 gram adonan. Perhitungan overage kalsium juga dilakukan untuk melihat seberapa besar kalsium yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah kalsium basis basah bahan yang diambil dari data kalsium pada pengolahan krim. Data kadar kalsium yang dipakai dalam perhitungan overage kalsium adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage kalsium adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan kalsium = (1.1200 − 1.0238) gram kalsium /100 gram adonan krim = 0.0962 gram kalsium /100 gram adonan krim % Penurunan kalsium = (0.0962/1.1200)*100% = 8.59% Sehingga, % kalsium yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% − 8.59% = 91.41% Jumlah kalsium yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/91.41) x 1.1200 mg = 1.1225 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 1.1225 − 1.1200 g / 100 g bahan basah = 0. 0025 g/100 g bahan basah % overage = (0.0025/1.1200) x 100% = 0.22% Jadi persen overage kalsium yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 0.22%. Artinya, overage sebesar 0.22% dapat mengembalikan jumlah kalsium yang hilang selama pengolahan wafer untuk memperoleh jumlah kalsium target. Hal ini dikarenakan pada bahan awal sudah terdapat kalsium sebesar 0.2895%. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi kalsium untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan kalsium pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat kalsium sejumlah 585.00 mg/100 gram atau 0.5850% per sajian kemasan (Lampiran 2). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh kalsium sebesar 146.25 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 18.28% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 2, kandungan kalsium pada wafer fortifikasi ini setara dengan 75.29% kandungan kalsium pada keju yang memiliki kalsium 777 mg/100 gram.
b. Kadar Zat Besi Zat besi difortifikasi dalam bentuk senyawa zat besi laktat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Zat besi difortifikasi ke dalam wafer karena zat besi merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan zat besi terhadap pemanasan mencapai suhu 6000C. Zat besi ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena zat besi laktat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di
43
dalam oven mencapai suhu 1800C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar zat besi menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar zat besi dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar zat besi pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung zat besi. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan zat besi yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.0074% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung zat besi sebesar 0.0074 gram per 100 gram adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung zat besi diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan zat besi di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi zat besi agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan zat besi hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi zat besi pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber zat besi untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0182 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar zat besi pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya peningkatan zat besi selama proses pengolahan sebanyak 47.25%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan zat besi pada pembuatan krim mengalami peningkatan yakni ditambahkan sebanyak 0.0182 gram zat besi/ 100 gram adonan menjadi 0.0268 gram zat besi/ 100 gram adonan di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi zat besi sebesar 147.25% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Selama proses pengolahan terjadi penambahan zat besi sebanyak 4.58% per sajian kemasan (Tabel 18). Hal ini dapat disebabkan karena kontaminan logam zat besi pada alat dan wadah untuk proses pengolahan wafer krim. Alat mengandung logam besi terlapis yang dipakai pada pembuatan wafer krim adalah bowl mixer dan wafer oven. Dari kondisi kedua alat tersebut, terlihat goresan akibat gesekan di bagian tempat diletakkannya bahan. Pada bowl mixer, goresan terjadi karena gesekan langsung antara bagian tengah dalam mangkuk logam dengan pengaduk. Pada wafer oven, goresan terjadi karena gesekan dan tekanan tinggi alat cetak kulit wafer bagian atas dan bawah yang mengapit bahan. Perhitungan overage zat besi juga dilakukan untuk melihat seberapa besar zat besi yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan perubahan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah zat besi basis basah bahan yang diambil dari data zat besi pada pengolahan krim. Data kadar zat besi yang dipakai dalam perhitungan overage zat besi adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage zat besi adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Peningkatan zat besi = (0.0268 – 0.0182) gram zat besi /100 gram adonan krim
44
= 0.0086 gram zat besi /100 gram adonan krim % Peningkatan zat besi = (0.0086/0.0182)*100% = 47.25% Sehingga, % zat besi yang ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% + 47.25% = 147.25% Jumlah zat besi yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/147.25) x 0.0182 mg = 0.0124 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0124− 0.0182 g / 100 g bahan basah = −0. 0058 g/100 g bahan basah % overage = (−0. 0058/0.0182) x 100% = −32.09% Jadi persen overage zat besi yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar −32.09%. Overage bernilai negatif ini menunjukkan adanya kontaminasi logam dari alat yang menambah jumlah zat besi ke dalam wafer krim. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi zat besi untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan zat besi pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat zat besi sejumlah 15.30 mg/100 gram atau 0.0153% per sajian kemasan (Lampiran 3). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh zat besi sebesar 3.825 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 14.71% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 4, kandungan zat besi pada wafer fortifikasi ini setara dengan 153% kandungan zat besi pada tempe kacang kedelai murni yang memiliki zat besi 10 mg/100 gram.
c. Kadar Seng Seng difortifikasi dalam bentuk senyawa seng laktat pada saat pengadukan air untuk pembuatan adonan wafer di dalam mixer. Seng difortifikasi ke dalam wafer karena seng merupakan fortifikan yang stabil terhadap pemanasan. Kestabilan seng terhadap pemanasan mencapai suhu 4800C. Seng ditambahkan pada proses pengadukan adonan wafer karena seng laktat memiliki kelarutan yang baik di dalam air dan cukup stabil terhadap panas. Panas yang ditimbulkan akibat pengolahan wafer di dalam oven mencapai suhu 1800C. Setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar seng menggunakan metode AAS (Atom Absorption Spectrophotometry). Pengukuran kadar seng dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar seng pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung seng. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kandungan seng yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0.0044% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer krim, telah mengandung seng sebesar 0.0044 gram per 100 gram
45
adonan. Bahan awal pembuat wafer maupun krim yang mengandung seng diantaranya adalah tepung terigu, susu bubuk full cream, dan whey bubuk. Namun jumlah ini masih belum memenuhi target pencantuman kandungan seng di dalam kemasan wafer krim fortifikasi. Oleh karena itu tetap diperlukan fortifikasi seng agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan seng hariannya lebih banyak dibanding mengkonsumsi wafer krim biasa. Fortifikasi seng pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi yang telah tersedia secara alami pada produk pangan tersebut karena bahan yang digunakan untuk pembuatan produk memang telah membawa fortifikan. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber seng untuk meningkatkan status gizi remaja yang lebih baik lagi dibanding wafer krim biasa. Pada proses fortifikasi, kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0084 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar seng pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan seng selama proses pengolahan sebanyak 00.00%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan seng pada pembuatan krim tetap yakni ditambahkan sebanyak 0.0084 gram seng/ 100 gram adonan dan tetap sebanyak jumlah tersebut di dalam wafer fortifikasi atau terjadi retensi seng sebesar 100% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Jumlah kadar seng yang tetap ini dikarenakan pada bahan awal pembuatan wafer krim telah mengandung seng sebanyak 0.0044 gram seng/ 100 gram adonan. Perhitungan overage seng juga dilakukan untuk melihat seberapa besar seng yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah seng basis basah bahan yang diambil dari data seng pada pengolahan krim. Data kadar seng yang dipakai dalam perhitungan overage seng adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage seng adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan seng = (0.0084 − 0. 0084) gram seng /100 gram adonan krim = 0.000 gram seng /100 gram adonan krim % Penurunan seng = (0.000/0.0084)*100% = 00.00% Sehingga, % seng yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% − 00.00% = 100% Jumlah seng yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/100) x 0.0084 mg = 0.0084 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0084 − 0.0084 g / 100 g bahan basah = 0. 0000 g/100 g bahan basah % overage = (0.000/0.0084) x 100% = 0.00% Jadi persen overage seng yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 0.00%. Artinya, overage sebesar 0.00% dapat mengembalikan jumlah seng yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah seng target. Hal ini dikarenakan pada bahan awal sudah terdapat seng sebesar 0.0044%. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi seng untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan seng pada wafer fortifikasi.
46
Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat seng sejumlah 4.80 mg/100 gram atau 0.0048% per sajian kemasan (Lampiran 4). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh seng sebesar 1.20 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 10% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 5, kandungan seng pada wafer fortifikasi ini setara dengan 40% kandungan seng pada hati anak sapi yang memiliki seng sebesar 12 mg/100 gram.
d. Pengukuran Kadar Vitamin C Vitamin C difortifikasi dalam bentuk butiran kristal asam askorbat dengan kemurnian 98% pada saat pengadukan krim di dalam ball mill. Vitamin C difortifikasi ke dalam krim karena vitamin C merupakan fortifikan yang cepat rusak akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan ketika proses pembuatan krim lebih rendah dibanding pada proses pembuatan lembar wafer sehingga dipilihlah krim sebagai pembawa fortifikan vitamin C. Vitamin C ini ditambahkan pada 15 menit terakhir proses pengadukan krim untuk meminimalkan degradasi vitamin C akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan akibat gesekan porcelain ball dan batang pengaduk saat pengadukan ini bisa mencapai suhu 650C. Untuk mencegah kehilangan vitamin C lebih banyak lagi, setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar vitamin C menggunakan metode titrasi iodometri yang dimodifikasi. Metode titrasi dimodifikasi karena disesuaikan dengan kondisi barrier (pembawa) fortifikan vitamin C yang mengandung ion besi. Pembawa fortifikan dalam penelitian ini adalah wafer krim dimana vitamin C dan vitamin A difortifikasi ke dalam krim, sedangkan mineral (zat besi, seng, dan kalsium) difortifikasi ke dalam wafer. Pengukuran kadar vitamin C dengan metode titrasi iodometri dapat diinterfensi dengan adanya ion besi di dalam barrier (pembawa) sehingga kadar vitamin C yang terukur bukan kadar vitamin C sebenarnya. Berdasarkan metode modifikasi pengukuran kadar vitamin C untuk produk fortifikasi yang di dalamnya terdapat ion besi, dilakukan penambahan asam trikloroasetat. Penambahan asam ini bertujuan meminimalisasi atau menghambat interfensi dari ion besi (Fe) (Jacobs, 1984). Pengukuran kadar vitamin C dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar vitamin C pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung vitamin C. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan titrasi iodometri modifikasi, besarnya kandungan vitamin C yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer maupun krim, tidak mengandung vitamin C per sajian kemasan (25 gram). Oleh karena itu, diperlukan fortifikasi vitamin C agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan vitamin C hariannya. Fortifikasi vitamin C pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Fortifikasi bertujuan menyediakan
47
wafer krim sebagai sumber vitamin C yang diperlukan oleh remaja sehingga status atau mutu gizinya bisa ditingkatkan. Pada proses fortifikasi, kandungan vitamin C awal dihitung dari kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.2700 gram/ 100 gram formula krim. Hasil pengukuran kadar vitamin C pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan vitamin C selama proses pengolahan sebanyak 33.33%. Data ini ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan vitamin C pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni dari 0.2700 gram vitamin C/ 100 gram adonan krim menjadi 0.1800 gram vitamin C /100 gram adonan krim atau terjadi retensi vitamin C sebesar 66.67% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar vitamin C ini dikarenakan proses pemanasan yang membuat vitamin C mengalami degradasi. Menurut Gutterson (1972), kerusakan zat gizi selama proses panas bergantung pada dua hal. Pertama, waktu atau perlakuan suhu yang digunakan sebagai dasar proses. Kedua, laju pemindahan panas ke dalam produk sehingga pengembangan secara komersil terutama dipusatkan pada peningkatan laju pemindahan panas ke dalam produk. Perhitungan overage vitamin C juga dilakukan untuk melihat seberapa besar vitamin C yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah vitamin C basis basah bahan yang diambil dari data vitamin C pada pengolahan krim. Data kadar vitamin C yang dipakai dalam perhitungan overage vitamin C adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage vitamin C adalah sebagai berikut (OMNI, 2005): Penurunan vitamin C = (0.2700 − 0.1800) gram vitamin C /100 gram adonan krim = 0.090 gram vitamin C /100 gram adonan krim % Penurunan vitamin C = (0.090/0.2700)*100% = 33. 33% Sehingga, % vitamin C yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% − 33. 33% = 66.67% Jumlah vitamin C yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/66.67) x 0.2700 mg = 0.4050 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.4050 − 0.2700 g / 100 g bahan basah = 0. 1350 g/100 g bahan basah % overage = (0.1350/0.2700) x 100% = 50% Jadi persen overage vitamin C yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 50%. Artinya, overage sebesar 50% dapat mengembalikan jumlah vitamin C yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah vitamin C target. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi vitamin C untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan vitamin C pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat vitamin C sejumlah 120 mg /100 g atau 0.12% per sajian kemasan (Lampiran 8). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin C sebesar 30 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 33.33%. Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 6, kandungan vitamin C pada wafer krim fortifikasi ini setara dengan
48
dua kali lipat kandungan vitamin C pada buah jeruk yang memiliki vitamin C sebesar 59 mg/100 gram.
e. Kadar Vitamin A Vitamin A difortifikasi dalam bentuk butiran kristal retinil asetat pada saat pengadukan krim di dalam ball mill. Vitamin A difortifikasi ke dalam krim karena vitamin A merupakan fortifikan yang sensitif terhadap pemanasan. Panas yang ditimbulkan ketika proses pembuatan krim lebih rendah dibanding pada proses pembuatan lembar wafer sehingga dipilihlah krim sebagai pembawa fortifikan vitamin A. Vitamin A ini ditambahkan pada 15 menit terakhir proses pengadukan krim untuk meminimalkan degradasi akibat pemanasan. Panas yang ditimbulkan akibat gesekan porcelain ball dan batang pengaduk saat pengadukan ini bisa mencapai suhu 650C. Untuk mencegah kehilangan vitamin A lebih banyak lagi, setelah krim didinginkan, krim langsung dioles ke dalam lembaran wafer lalu segera dikemas dalam kemasan dua layer. Wafer krim yang telah dikemas langsung dilakukan persiapan pengukuran kadar vitamin A menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Pengukuran kadar vitamin A dilakukan pada wafer krim non fortifikasi maupun wafer krim fortifikasi. Wafer krim non fortifikasi merupakan wafer krim yang diolah tanpa penambahan fortifikan dan dikemas langsung dengan kemasan dua layer sebelum diuji. Pengukuran kadar vitamin A pada wafer krim non fortifikasi dilakukan dengan tujuan melihat apakah pada bahan pembawa sudah terkandung vitamin A. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan HPLC, besarnya kandungan vitamin A yang terdapat di dalam produk wafer non fortifikasi adalah 0% (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan awal baik untuk pembuatan wafer maupun krim, tidak mengandung vitamin A per sajian kemasan (25 gram). Oleh karena itu, diperlukan fortifikasi vitamin A agar remaja yang mengkonsumsi wafer krim ini bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan vitamin A hariannya. Fortifikasi vitamin A pada wafer krim adalah jenis penambahan zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Fortifikasi bertujuan menyediakan wafer krim sebagai sumber vitamin A yang diperlukan oleh remaja sehingga status atau mutu gizinya bisa ditingkatkan. Pada proses fortifikasi, kandungan vitamin A awal dihitung dari kadar fortifikan yang ditambahkan di dalam adonan wafer krim yaitu sebesar 0.0092 gram/ 100 gram formula krim. Data ini dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil pengukuran kadar vitamin A pada wafer krim fortifikasi menunjukkan terjadinya kehilangan vitamin A selama proses pengolahan sebanyak 13.04%. Kandungan vitamin A pada pembuatan krim mengalami penurunan yakni dari 0.0092 gram vitamin A/ 100 gram adonan krim menjadi 0.0080 gram vitamin A /100 gram adonan krim atau terjadi retensi vitamin A sebesar 86.96% dari kadar fortifikan awal yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar vitamin A ini dikarenakan proses pemanasan yang membuat vitamin A mengalami degradasi. Perhitungan overage vitamin A juga dilakukan untuk melihat seberapa besar vitamin A yang perlu ditambahkan untuk mengkompensasikan kehilangan akibat pengolahan. Overage dihitung berdasarkan jumlah vitamin A basis basah bahan yang diambil dari data vitamin A pada pengolahan krim. Data kadar vitamin A yang dipakai dalam perhitungan overage vitamin A adalah data pada Tabel 18. Adapun perhitungan overage vitamin A adalah sebagai berikut (OMNI, 2005):
49
Penurunan vitamin A = (0.0092 – 0.0080) gram vitamin A /100 gram adonan krim = 0.0012 gram vitamin A /100 gram adonan krim % Penurunan vitamin A = (0.0012/0.0092)*100% = 13.04% Sehingga, % vitamin A yang masih ada setelah pengolahan (% amount remaining) = 100% − 13. 04% = 86.96% Jumlah vitamin A yang ditambahkan seharusnya: = (100%/ % amount remaining) x jumlah target = (100/86.96) x 0,0092mg = 0.0106 g/ 100g bahan basah Sehingga overage = 0.0106 – 0.0092g / 100 g bahan basah = 0.0014 g/100 g bahan basah % overage = (0.0014/0.0092) x 100% = 15.22% Jadi persen overage vitamin A yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah sebesar 15.22%. Artinya, overage sebesar 15.22% dapat mengembalikan jumlah vitamin A yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah vitamin A target. Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi vitamin A untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan vitamin A pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku. Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat vitamin A sejumlah 5.30 mg/100 gram atau 5300 µg/100 gram atau 0.0053% per sajian kemasan (Lampiran 6). Artinya, dalam setiap serving size wafer fortifikasi (25 gram) yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin A sebesar 1.325 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja sebesar 21.54% (Tabel 19). Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 7, kandungan vitamin A pada wafer fortifikasi ini setara dengan 40.24% kandungan vitamin A pada hati sapi yang memiliki vitamin A sebesar 13,170 µg/100 gram.
D. PENELITIAN TAHAP KETIGA Setelah diperoleh wafer fortifikasi dari tahap kedua, dilakukan uji umur simpan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Test) berdasarkan kadar vitamin C dengan perlakuan dua kemasan berbeda yaitu kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Pemilihan vitamin C sebagai indikator umur simpan wafer krim disebabkan beberapa faktor. Vitamin C atau asam askorbat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, ekspos cahaya, dan katalisator logam. Harper et al., (1980) mengatakan bahwa asam dapat mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C selama pengolahan maupun penyimpanan, sedangkan logam tembaga mempercepat degradasi vitamin C selama pemasakan. Menurut Eddy (1941), vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan dalam larutan alkali atau netral. Selain itu kehilangan vitamin C selama penyimpanan mungkin terjadi dalam jumlah besar dan sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu 100C atau kurang (Priestley, 1979). Kondisi penyimpanan produk pun harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya susut vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang bersifat sensitif terhadap panas dan oksigen, dengan mudah hilang dari produk yang disimpan pada kondisi aerob (Salunkhe, 1976).
50
Studi penyimpanan wafer fortifikasi dengan vitamin C sebagai rejected point pada penelitian ini menggunakan penurunan mutu ordo nol (zero order reaction). Hal ini dikarenakan dari data perubahan atau penurunan mutu selama penyimpanan pada berbagai suhu yang disebut di atas, model reaksi ordo nol yang paling cocok untuk menginterpretasikan penurunan mutu vitamin C terhadap waktu dimana laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi reaktan. Hal ini terlihat dari nilai R2 yang baik yaitu rerata 0.99. Nilai ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. Berdasarkan Hariyadi (2006), penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat persamaan yang diperoleh, kemudian ditentukan nilai konstanta laju reaksi atau penurunan mutu untuk masing-masing suhu percobaan serta nilai R2-nya. Dengan demikian, bila digunakan tiga suhu percobaan, maka akan diperoleh nilai k pada tiga suhu yang berbeda. Nilai R2 berguna untuk melihat kedekatan persamaan matematika dalam memprediksi nilai mutu pada waktu penyimpanan tertentu. Semakin tinggi nilai R2, berarti model matematika yang digunakan dapat memprediksi data percobaan lebih baik. Dengan membandingkan nilai R2, orde reaksi yang paling cocok dengan data yang diperoleh dapat ditentukan. Model yang dipilih secara umum yang memberikan R2 tinggi. Jika nilai R2 pada kedua ordo sama-sama tinggi, maka dapat dilakukan pertimbangan manajemen yaitu berdasarkan keyakinan perusahaan terhadap produk, misalnya dengan mempertimbangkan waktu produk terjual habis dipasaran. Umumnya, bila dipilih ordo nol maka hasil perhitungan umur simpan yang diperoleh akan lebih pendek dari model ordo satu (Hariyadi, 2006). Pada reaksi ordo pertama (1st order reaction), laju reaksi hanya melibatkan satu komponen (monomolekuler) dan berbanding lurus dengan konsentrasi. Umumnya banyak reaksi perubahan di alam yang menggunakan model reaksi ordo pertama, misalnya inaktivasi enzim, inaktivasi mikroorganisme, dan degradasi zat gizi seperti vitamin (Hariyadi, 2006). Namun karena pada penelitian ini nilai R2 pada ordo satu lebih rendah dibanding ordo nol, maka perhitungan umur simpan dilakukan dengan ordo nol. Perhitungan umur simpan didasarkan pada penurunan kandungan vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang terdapat pada wafer krim fortifikasi yang baru dibuat adalah 0.12% per sajian kemasan (Tabel 18). Jumlah ini memenuhi kebutuhan acuan label gizi untuk umum sebesar 33.33%. Setelah itu dilakukan penyimpanan wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer dan tiga layer di dalam chamber suhu 350C, 400C, dan 450C. Perlakuan suhu dilakukan untuk melihat ketahanan vitamin C terhadap perubahan panas. Vitamin C pada wafer fortifikasi yang dikemas dalam kemasan dua layer pada suhu 350C, 400C, dan 450C pada hari ke-7 mengalami penurunan berturut-turut menjadi 0.11534%, 0.11113%, dan 0.10943%. Pada hari ke-14, vitamin C kembali mengalami penurunan pada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.11075%, 0.10348%, dan 0.09800%. Pengamatan pada hari ke-21, vitamin C mengalami penurunan pada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.1047%, 0.09523%, dan 0.09065%. Pengamatan terakhir pada hari ke-28, kadar vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer ada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.09886%, 0.09072%, dan 0.08137%. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dalam hal ini rata-rata kadar vitamin C terhadap waktu penyimpanan dalam kemasan dua layer ditunjukkan dengan Gambar 8. Penurunan kadar vitamin C yang terjadi selama penyimpanan wafer fortifikasi ini disebabkan oleh suhu, oksigen, keberadaan zat besi, pH, dan kadar air. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Muchtadi (1991), vitamin C (asam askorbat) yang difortifikasi pada makanan kering, memiliki stabilitas yang kurang baik pada daerah pH 6 hingga 8 dan tidak stabil terhadap proses pemanasan. Oksidasi vitamin ini pada pH asam maupun netral, dikatalisis oleh zat besi (Fe) dan
51
tembaga (Cu). Vitamin C dapat bereaksi dengan zat wama azo maupun pigmen antosianin dan menyebabkan diskolorisasi. Kestabilan vitamin C pada makanan kering sangat dipengaruhi oleh kadar air, yaitu lebih stabil pada kadar air yang rendah (Muchtadi, 1991).
Gambar 8. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan dua layer Berdasarkan data pada Lampiran 10, vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer mengalami penurunan kadar yang bersifat linear. Penurunan kadar vitamin C yang di simpan selama 28 hari dalam kemasan dua layer pada suhu 350C, secara linier mewakili persamaan y = -0.0007x + 0.1201 dengan regresi 99.17%. Pada suhu 400C, penurunan kadar vitamin C secara linier dapat dibuat persamaan y = -0.0010x + 0.1185 dengan regresi 99.14%. Pada suhu 450C, penurunan kadar vitamin C dapat dibuat persamaan y = -0.0014x + 0.1186 dengan regresi 99.57%. Persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dalam hal ini rata-rata kadar vitamin C terhadap waktu penyimpanan dalam kemasan tiga Layer ditunjukkan dengan Gambar 9.
Gambar 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan tiga layer Vitamin C pada wafer fortifikasi yang dikemas dalam kemasan tiga layer pada suhu 350C, 40 C, dan 450C pada hari ke-7 mengalami penurunan berturut-turut menjadi 0.11591%, 0
52
0.11479%, dan 0.11366%. Pada hari ke-14, vitamin C kembali mengalami penurunan pada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.11335%, 0.10947%, dan 0.10738%. Pengamatan pada hari ke-21, vitamin C mengalami penurunan pada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.11028%, 0.10445%, dan 0.10106%. Pengamatan terakhir pada hari ke-28, kadar vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan tiga layer ada suhu 350C, 400C, dan 450C berturut-turut menjadi 0.10679%, 0.10170%, dan 0.09662%. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan data pada Lampiran 11, vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan tiga layer mengalami penurunan kadar yang bersifat linear. Penurunan kadar vitamin C yang di simpan selama 28 hari dalam kemasan tiga layer pada suhu 350C, secara linier mewakili persamaan y = -0.0004x + 0.1192 dengan regresi 99.77%. Pada suhu 400C, penurunan kadar vitamin C secara linier dapat dibuat persamaan y = -0.0006x + 0.1190 dengan regresi 99.05%. Pada suhu 450C, penurunan kadar vitamin C dapat dibuat persamaan y = -0.0008x + 0.1192 dengan regresi 99.69%. Persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 11. Retensi zat-zat gizi selama proses pengeringan bahan pangan cukup tinggi, kecuali vitamin C sangat sensitif terhadap adanya logam berat (Cu, Fe), cahaya, dan oksigen. Kehilangan vitamin C ini berkisar antara 10-50%. Jenis kemasan pun dapat mempengaruhi derajat kerusakan vitamin C. Berdasarkan kadar rejection point vitamin C yaitu 10% nilai acuan label gizi (9 mg), diperoleh bahwa pada suhu ruang 300C, wafer krim fortifikasi dalam kemasan dua layer memiliki perkiraan umur simpan 5.69 bulan, sedangkan wafer krim fortifikasi dalam kemasan tiga layer memiliki perkiraan umur simpan 9.83 bulan. Hasil pengamatan terhadap umur simpan wafer krim fortifikasi dengan perlakuan dua kemasan berbeda dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Data perkiraan umur simpan wafer krim fortifikasi Suhu (0C)
Umur Simpan (Bulan) Kemasan 2 layer
Kemasan 3 layer
20
12.22
21.13
25
8.29
14.32
27
7.12
12.30
30
5.69
9.83
40
2.78
4.80
Berdasarkan data umur simpan yang diperoleh, kemasan yang direkomendasikan untuk wafer krim fortifikasi adalah kemasan tiga layer. Kemasan tersebut dapat menunda kerusakan kadar vitamin C lebih lama dibanding kemasan dua layer. Hal ini dikarenakan kemasan tiga layer terdiri atas kemasan CPP (Cast Polypropilene) yang dimetalisasi kemudian dilaminasi dengan PET (polietilen) dan pada bagian terluar OPP untuk kebutuhan pelabelan. Sedangkan kemasan dua layer hanya terdiri atas CPP (Cast Polypropilene) yang disemprot aluminium sehingga terlapisi lalu dilaminasi dengan OPP (Oriented polypropilene) untuk kebutuhan pelabelan. Pada kemasan pertama ini, film plastik yang dimetalisasi adalah CPP. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan terbatas karena daya tahan sobek CPP rendah. CPP tidak disarankan untuk mengemas produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih tahan sobek (Robertson, 1993).
53
Poli etilen tereftalat (PET) yang terdapat pada kemasan tiga layer ternyata lebih melindungi vitamin C dari kerusakan dibanding pada kemasan yang tidak dilapis oleh PET. Hal ini karena PET meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kemasan pangan yang memerlukan perlindungan (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air.
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Hasil penelitian pada tahap pertama menunjukkan bahwa dikalsium fosfat merupakan jenis senyawa kalsium yang paling disukai secara organoleptik untuk digunakan pada fortifikasi wafer krim. Hal ini ditunjukkan oleh Level of Acceptance (LoA) dikalsium fosfat paling tinggi (3.32) jika dibandingkan dengan kalsium laktat (2.85) dan kalsium karbonat (3.08). Hal ini disebabkan dikalsium fosfat menghasilkan rasa cukup normal dibandingkan dua senyawa kalsium lainnya. Namun, masih terdapat rasa asam yang perlu ditutupi dengan flavor. Selanjutnya melalui penelitian tahap kedua terpilih flavor yang paling disukai untuk menutupi rasa asam yaitu flavor lemon. Hal ini ditunjukkan dengan LoA yang dimiliki flavor lemon lebih tinggi (3.65) dibanding melon (3.61). Selanjutnya, hasil uji organoleptik pada wafer krim fortifikasi yang telah diberi flavor lemon menunjukkan LoA lebih tinggi (3.65) dibanding wafer kontrol yaitu wafer krim nonfortifikasi tanpa flavor (3.51). Tingkat kesukaan panelis terhadap kedua wafer tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan pada taraf signifikansi 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa wafer krim hasil fortifikasi dapat diterima panelis dan disandingkan dengan wafer krim non fortifikasi secara organoleptik. Hasil uji sifat kimia menunjukkan dalam satu sajian (25 gram) wafer krim fortifikasi terdapat 0.048% Seng, 0.0153% Zat Besi, 0.5850% Kalsium, 0.0053% Vitamin A, dan 0.1200% Vitamin C. Dengan demikian, proses fortifikasi yang telah dilakukan pada wafer krim mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan harian remaja sebesar 10% Seng, 14.71% Zat Besi, 18.28% Kalsium, 21.54% Vitamin A, dan 33.33% Vitamin C per 25 gram. Pada tahap ketiga, berdasarkan kadar rejection point vitamin C yaitu sebesar 10% ALG, diperoleh bahwa pada suhu ruang 300C, wafer krim fortifikasi dalam kemasan dua layer memiliki umur simpan 5.69 bulan, sedangkan wafer krim fortifikasi dalam kemasan tiga layer memiliki umur simpan 9.83 bulan. Dengan demikian, kemasan yang direkomendasikan untuk wafer krim fortifikasi adalah kemasan tiga layer karena poli etilen yang terdapat ditengah lapisan mampu menahan masuknya oksigen dengan lebih baik.
B. SARAN Penelitian ini dilakukan terbatas pada proses fortifikasi zat gizi mikro pada wafer krim untuk remaja dan perkiraan umur simpannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lanjutan berupa pengujian bioavailabilitas untuk mengetahui kadar zat gizi mikro yang terserap dan termanfaatkan oleh tubuh remaja mengingat adanya interaksi dengan fortifikan lain atau bahan pembawa (wafer krim). Selain itu, pada penelitian terdapat ketidaknormalan pada kandungan besi pada wafer yang diakibatkan adanya kontaminasi dari serpihan besi dari alat yang digunakan. Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan alat yang tidak berpotensi mengkontaminasi produk dalam melakukan penelitian berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Andarwulan, N dan Koswara, S. 1992. Kimia Vitamin. Raja Wali Pers, Jakarta. Anonim1. 2000. Study Reports Trends and Discoveries Driving Fortified Food Market. Bahan Internet. http://www.foodonline.com/article.mvc/Study-Reports-Trends-and-DiscoveriesDriving-0001. (5 Agustus 2009). Anonim2. 2010. Top 10 Foods Highest in Zinc. Bahan Internet. http://www.healthaliciousness.com/ articles/zinc.php. (20 Januari 2011). Anonim3. 2010. Top 10 Foods Highest in Zinc. Bahan Internet. http://www.healthaliciousness.com/ articles/vitamin-c.php. (20 Januari 2011). 2010. Sensory Evaluation Teacher’s Guide. Bahan Anonim4. http://www.foodafactoflife.org.uk/attachments/276dbf05-695c-44942bb55825.pdf Januari 2011).
Internet. . (20
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. AOAC. 2001. Official Methods of Analysis. Vitamin A (retinol) in Foods. Liquid Chromatography. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Chapter 45.1.34. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. Vitamins and Other Nutrients. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Chapter 45, pp 50. Apriyantono, A, Fardiaz, D, Puspitasari, NL, Yasni, S, dan Budiyanto, S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. PT IPB Press, Bogor. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur kehidupan. Palupi Widyastuti, editor. EGC, Jakarta. Arpah, M dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Teknol. dan Industri Pangan XI. 1-11. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aryani, WD, Oginawati, K, dan Santoso, M. 2010. Penentuan Total Asupan Harian Unsur Gizi Mikro dalam Makanan Anak-anak Sekolah Dasar di Bandung dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Bahan Internet. http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknologi_pengelolaan_lingkungan/wpcontent/uploads/2010/10/PI-WIDYA-DWI-ARYANI-15305006.pdf. (10 Oktober 2010). Berdainer, Carolyn D., Johanna Dwyer, dan Elaine B. Feldman. 2008. Handbook of Nutrition and Food. CRC Press Taylor and Francis Group. Boca Raton. Borenstein, B. 1979. Technology of Fortification. Di dalam ”Nutritional and Safety Aspect of Food Processing. SR. Tannenbaum, Ed. Marcel Dekker, Inc. New York. BPOM.
2003. Acuan Label Gizi Produk Pangan. HK.00.05.5.1142. Bahan Internet. http://pom.go.id/public/hukumperundangan/pdf/LabelAKGpdPangan.pdf (10 Oktober 2010).
56
BPOM.
2007. Acuan Label Gizi Produk Pangan. HK.00.05.52.6291. Bahan Internet. http://pom.go.id/public/hukumperundangan/pdf/AcuanLabelGizi.pdf (10 Oktober 2010).
BPPN. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Bahan Internet. http://nttacademia.org/Pangantt/RAN-Pangan-Nutrisi-Bahasa-pdf (10 Oktober 2010). Brown, A. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc, Belmon. BSN. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Badan Standarisasi Nasional. BSN. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI 01-2973-1992. Badan Standarisasi Nasional. Cakmak, I, Engles, E. 1999. Role of Mineral Nutrient in Photosynthesis and Yield Formation. In Mineral Nutrition of Crops Fundamentals Mechanism and Implication. Rengel, Z (ed.). Food Production Press. New York. Pp. 205-223. Combs, GF. 1992. The Vitamins: Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press inc., San Diego. Clydesdale, F.M. 1985. Iron Fortification of Food. Academic Press, Inc. Orlando Florida, USA. Dhamayanti, M. 2009. Overview Adolescent Health Problems and Services. Bahan Internet. http://www.idai.or.id/remaja/artikel.asp?q=200994155149. (10 Oktober 2010). Dillon, DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of riboflavin and Vitamin A on iron status. Thesis. Wageningen University, Netherlands. DiMeglio, G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of Pediatrics. (3 April 2008). Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI. 1999. Prevalence of National Problems 1999. Tidak Dipublikasikan. Dogan, IS. 2006. Factors affecting wafer sheet quality. Turkey: International Journal of Food Science and Technology, 41, 569-576. Elliot, JG. 1999. Application of Antioxidant Vitamin in Food and Beverage. Food Tech. 53(2): 46-48. Ellis,MJ. 1994. Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam : Man, CMD dan Jones, AA (Ed). 1994. Shelf Life Evaluation of Foods, Blackie Academic and Professional, London. Elnovriza, D, Yenrina, R, dan Bachtiar, H. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Asupan Zat Gizi Mahasiswa Universitas Andalas Yang Berdomisili di Asrama Mahasiswa. Bahan Internet. http://ka2riena.student.umm.ac.id/2010/08/25/artikel-gizi-makanan/. (10 Oktober 2010). Floros, JD. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam: Shelf Life Studies of Foods and Beverages. Charalambous, G. (ed). Elsevier Publishing, New York. Grusak, MA, Pearson, JN, and Marentes, E. 1999. The Physiology of Micronutrient Homeostatis in Field Crops. Field Crop Research. 60: 41-56. Hafsah, J. 2006. Pertanian dan Pangan. Dalam revitalisasi pertanian dan dialog peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hlm. 71-86. Hariyadi, P. 2000. Fortifikasi Vitamin A dan ß-Karoten. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XI. No.1 : 61-69.
57
Hariyadi, P1. 2006. Teknologi Fortifikasi. Majalah Food Review. Vol. 1 No. 3: 35‐39. Hariyadi, P2. 2006. Prinsip-prinsip Penetapan dan Pendugaan Masa Kadaluarsa Produk Pangan. Di dalam : Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluwarsa Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006, Bogor. Hernandez, RJ dan Giazin, JR. 1998. Factors affecting permeation, sorption, and migration processes in package-product systems. Di dalam : Food Storage Stability. Irwin A, Taub, dan Singh, RP. CRC Press, USA. Hurlock, EB. 1997. Psikologi Perkembangan, Suatu Sistem Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Erlangga, Jakarta. Jacobs, M. 1984. The Chemical Analysis of Foods and Food Products. D. Van Nostrand Company, Inc., New York. Khomsan, A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Kilcast, D. 1999. Sensory Techniques to Study Food Texture. Di dalam : Food Texture Measurement and Perception. Rosenthal, AJ (ed). Aspen Publishers, Inc., Gaithesburg. Ladenburg, Jungbunzlauer GmbH, Germany, 2002 The challenge of calcium fortification in beverages. . Di dalam Muchtadi: Memilih Bentuk Kalsium Untuk Fortifikasi. Bahan Internet. http://www.foodreview.biz/login/ preview.php?view&id=56076. (10 Oktober 2010). Lawson, H. 1995. Food Oil and Fat Technology. Utilization and Nutrition. Chapman and Hall, New York. Lestiani, Lanny. 2009. Bahan Makanan Sumber Vitamin dan Mineral. Bahan Internet. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/6ef47897fa4c7819ea0 659824bd85aac7c41b3ed.pdf (10 Oktober 2010) Linder, MC. 1992. Nutritional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Science Publ. Co. Inc., New York. LIPI. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Macrae, R, Robinson, RK, dan Sadler, J. 1993. Encyclopedia of Food Science, Food Technology and Nutrition. Academic Press, New York. Madanijah dan Palupi. 2007. Prosiding Seminar Nasional Penanggulangan Masalah Defisiensi Seng: From Farm to Table. SEAFAST dan ILSI, Bogor. Maryoto, A. 2003. Industri Makanan dan Profil Konsumen Setelah Krisis Ekonomi. Bahan Internet. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/13/ekonomi/610048.htm. (22 Juli 2010) Matsumoto, K. 1999. Basic Guide to Laminating Technology. Converting Technical Institute, Japan. Meilgaard, M, Civille, GV, dan Carr, BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, New York. Mubarak, MH. 2010. Market Size Produk Wafer Capai Rp 3 Triliun. Bahan Internet. http://swa.co.id/2010/04/market-size-produk-wafer-capai-rp-3-triliun/. (10 Oktober 2010).
58
Muchtadi, D, Palupi, NS, dan Astawan, M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Muchtadi, Deddy. 2008. Memilih Bentuk Kalsium Untuk Fortifikasi. Bahan Internet. http://www.foodreview.biz/login/preview.php?view&id=56076. (10 Oktober 2010). Muhilal, FJ dan Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi VI, hlm. 843. LIPI, Jakarta. Murdono, DJ. 2003. Konsumsi Biskuit Masih Rendah, Mayora http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/10/uang03.html. (1 Juli 2009).
Optimistis.
Oktania, Indah. 2004. Studi Penentuan Umur Simpan Produk Wafer PT. Arnott’s Indonesia dengan Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Purac. 2003. Information sheet: Bioavailability of Calcium Sources. TNO Nutrition and Food Research Institute. Zeist, Netherlands. Purnakarya, I, Elnovriza, D, dan Zulliadi, F. 2009. Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi pada Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Bahan Internet. http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=224. (10 Oktober 2010). Riyadi, H. 1995. Studi Identifikasi Kandungan Seng Makanan, Bioavailabilitas, Prevalensi, dan Faktor Penyebab, serta Upaya Mengatasi Defisiensi Seng. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Robertson, 1993. Food Packaging Principles and Practices. Marcel Dekker Inc, New York. Ruel, MT. 2001. Can Food Based Strategies Help Reduce Vitamin A and Iron Deficiencies? A Review of Recent Evidence. International Food Policy Research Institute, Washington DC. Sediaoetama, AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat, Jakarta. Shofatullailah. 2005.Studi pengembangan produk baru dan aplikasi penambahan emulsifier pada krim coklat di Research and Development PT. Arnott’s Indonesia, Bekasi. Laporan magang. Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekatri. 2004. Pertimbangan nilai hayati gizi fortifikan pada makanan anak yang difortifikasi. Di dalam : Hardinsyah dan Puruhita, A (Ed.), Prosiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. IPB, Jakarta. Hlm. 92-105. Soekarto, ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Soekirman. 1993. Masalah Gizi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua : Agenda Repelita VI. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. LIPI, Jakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Dirjen PTDPN, Jakarta. Subeno, Bambang Tri. 2007. Anemia Defesiensi Besi Pada Anak Sekolah. Bahan Internet. http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/25/ragam01.htm. (10 Oktober 2010). Sulaiman, M. 2009. Double Vitamin D and Calcium for Dislocated. Bahan internet.http://mardalinasulaiman.blogspot.com/2009_08_01_archive.htm.(10 Oktober 2010).
59
Susiwi, S. 2009. Penilaian Organoleptik. Bahan internet. http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/ D%20-20FPMIPA/JUR.%20PEND.%20KIMIA/195109191980032%20%20SUSIWI/&file =SUSIWI32).%20Penilaian%20Organoleptik.pdf. (20 Januari 2011).
Syamsir, E. 2008. Pangan Sumber Vitamin D untuk Pertumbuhan Tulang Anak. Bahan Internet. http://kulinologi.biz/preview.php?view&id=168. (10 Oktober 2010). Syarief, R dan Irawati, A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Syarief, R, Santausa, S, dan Isyana, B.1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Syarief, R dan Halid, Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Bandung. Untoro, R. 2004. Kebijakan dan program gizi anak di Indonesia saat ini dan mendatang. Di dalam : Hardinsyah dan Puruhita, A (Ed.), Prosiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. IPB, Jakarta. Hlm. 1-9. Usman, RA. 2005. Mempelajari Pengembangan Produk Wafer Stick di PT. Arnott’s Indonesia, Bekasi. Laporan magang. Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wirakartakusumah, MA dan Hariyadi, P. 1998. Technical Aspect of Food Fortification. Food and Nutrition Bulletin. Vol. 19 Nomor 2. Wirakusumah, ES. 1993. Makanan Untuk Fungsi Otak yang Optimal. Seruling Pagi 2(1) : 26-30. Bogor. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development. A Strategy for Large-Scale Action. Washington DC : World Bank. Yayuk, F, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.
60
Lampiran 1. Cara perhitungan kadar fortifikan
No.
Fortifikan
Bentuk Senyawa
1.
Kalsium
Kalsium Laktat
800.00
20.00
160.00
1.1200
Penambahan Bentuk Senyawa Fortifikan dalam Adonan (g/100g) 8.0000
Dikalsium Fosfat
800.00
20.00
160.00
1.1200
4.8160
Kalsium Karbonat
800.00
20.00
160.00
1.1200
2.8000
26.00
10.00
2.60
0.0182
0.0910
12.00
10.00
1.20
0.0084
0.0365
90.00
50.00
45.00
0.2700
0.2755
6.15
25.00
1.54
0.0092
0.0105
2.
Zat Besi
3.
Seng
100% ALG* Fortifikan (mg/ hari)
Besi Laktat
Seng Laktat Asam Askorbat 4. Vitamin C (kemurnian 98%) 5. Vitamin A Vitamin A Asetat *ALG = Acuan Label Gizi (BPOM, 2007)
Target Penambahan Fortifikan (% ALG* per sajian**)
Target Penambahan Fortifikan (mg per sajian**)
Penambahan Fortifikan dalam Adonan (g/100g)
**per sajian = 25 gram Cara Perhitungan : 1.
Kalsium
Angka Label Gizi (ALG) = 800 mg/hari
Target Penambahan Fortifikan = 20% ALG =
Penambahan fortifikan dalam adonan :
x 800 mg = 160 mg Kalsium/ sajian
Kalsium ditambahkan ke dalam wafer pada proses mixing. 100 gram adonan wafer menghasilkan 70 gram wafer sheet atau 7 sajian wafer, sehingga : Penambahan Kalsium dalam adonan = target penambahan per sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 160 mg Kalsium/ sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 1120 mg Kalsium/100 g adonan = 1.12 g Kalsium/100 g adonan Penambahan bentuk senyawa fortifikan dalam adonan : a.
Kalsium Laktat Senyawa fortifikan = Kalsium Laktat (terdapat 14% Kalsium dalam 100% Kalsium Laktat) Penambahan Kalsium Laktat dalam adonan = penambahan fortifikan dalam adonan x = 1.12 g Kalsium/100 g adonan x = 8 g Kalsium Laktat/100 g adonan
62
b.
Dikalsium Fosfat Penambahan bentuk senyawa fortifikan dalam adonan : Senyawa fortifikan = Dikalsium Fosfat (terdapat 40 molekul unsur Kalsium dalam 172 molekul senyawa Kalsium Laktat) Penambahan Dikalsium Fosfat dalam adonan
= penambahan fortifikan dalam adonan x = 1.12 g Kalsium/100 g adonan x = 4.816 g Dikalsium Fosfat/100 g adonan
c.
Kalsium Karbonat Senyawa fortifikan = Kalsium Karbonat (terdapat 40% Kalsium dalam 100% Kalsium Karbonat) Penambahan Kalsium Karbonat dalam adonan
= penambahan fortifikan dalam adonan x = 1.12 g Kalsium/100 g adonan x = 2.8 g Kalsium Karbonat/100 g adonan
2.
Zat Besi
Angka Label Gizi (ALG) = 26 mg/hari
Target Penambahan Fortifikan = 10% ALG =
Penambahan fortifikan dalam adonan :
x 26 mg = 2.6 mg Zat Besi/ sajian
Zat Besi ditambahkan ke dalam wafer pada proses mixing. 100 gram adonan wafer menghasilkan 70 gram wafer sheet atau 7 sajian wafer, sehingga : Penambahan Zat Besi dalam adonan = target penambahan per sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 2.6 mg Zat Besi/ sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 18.2 mg Zat Besi /100 g adonan = 0.0182 g Zat Besi 100 g adonan
Penambahan bentuk senyawa fortifikan dalam adonan : Senyawa fortifikan = Besi Laktat (terdapat 20% Zat Besi dalam 100% Besi Laktat) Penambahan Besi Laktat dalam adonan
= penambahan fortifikan dalam adonan x = 0.0182 g Zat Besi /100 g adonan x = 0.091 g Besi Laktat/100 g adonan
63
3.
Seng
Angka Label Gizi (ALG) = 12 mg/hari
Target Penambahan Fortifikan = 10% ALG =
Penambahan fortifikan dalam adonan :
x 12 mg = 1.2 mg Seng/sajian
Seng ditambahkan ke dalam wafer pada proses mixing. 100 gram adonan wafer menghasilkan 70 gram wafer sheet atau 7 sajian wafer, sehingga : Penambahan Seng dalam adonan
= target penambahan per sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 1.2 mg seng / sajian x 7 sajian wafer/100 g adonan = 8.4 mg seng /100 g adonan = 0.0084 g Seng /100 g adonan
Penambahan bentuk senyawa fortifikan dalam adonan : Senyawa fortifikan = Seng Laktat (terdapat 23% Seng dalam 100% Seng Laktat) Penambahan Seng Laktat dalam adonan
= penambahan fortifikan dalam adonan x = 0.0084 g Seng /100 g adonan x = 0.0365 g Seng Laktat/100 g adonan
4.
Vitamin C
Angka Label Gizi (ALG) = 90 mg/hari
Target Penambahan Fortifikan = 50% ALG =
Penambahan fortifikan dalam adonan :
x 90 mg = 45 mg Vitamin C/ sajian
Vitamin C ditambahkan ke dalam krim pada proses creaming dalam ballmill. 100 gram adonan krim menghasilkan 90 gram krim atau 6 sajian krim, sehingga : Penambahan Vitamin C dalam adonan
= target penambahan per sajian x 6 sajian krim/100 g adonan = 45 mg Vitamin C / sajian x 6 sajian krim/100 g adonan = 270 mg Vitamin C /100 g adonan = 0.27 g Vitamin C /100 g adonan
Fortifikan = Asam askorbat (terdapat 98% Vitamin C) Penambahan Asam Askorbat dalam adonan
= penambahan fortifikan dalam adonan x = 0.27 g Vitamin C/100 g adonan x = 0.2755 g Asam Askorbat/100 g adonan
64
5.
Vitamin A
Angka Label Gizi (ALG) = 600 RE = 2000 IU = 7200 µg karoten total = 3600 µg betakaroten (/hari) Vitamin A yang digunakan = 325000 IU/ gram 100% ALG = 2000 IU x = 0.00615 g = 6.15 mg
Target Penambahan Fortifikan = 25% ALG =
Penambahan fortifikan dalam adonan :
x 6.15 mg = 1.54 mg Vitamin A/ sajian
Vitamin A ditambahkan ke dalam krim pada proses creaming dalam ballmill. 100 gram adonan krim menghasilkan 90 gram krim atau 6 sajian krim, sehingga : Penambahan Vitamin A dalam adonan
= target penambahan per sajian x 6 sajian krim/100 g adonan = 1.54 mg Vitamin A / sajian x 6 sajian krim/100 g adonan = 9.24 mg Vitamin A /100 g adonan = 0.0092 g Vitamin A /100 g adonan
Penambahan bentuk senyawa fortifikan dalam adonan : Senyawa fortifikan = Vitamin A Asetat (terdapat 0.3 µg Vitamin A dalam 0.344 µg Vitamin A Asetat)
Penambahan Vitamin A Asetat dalam adonan = penambahan fortifikan dalam adonan x = 0.0092 g Vitamin A /100 g adonan x
= 0.0105 g Vitamin A Asetat/100 g adonan
65
Lampiran 2. Kadar mineral kalsium wafer kontrol dan fortifikasi
Contoh
Berat Contoh (g)
Vol. Larutan Abu (ml)
Absorbansi (y)
Kadar Mineral (X) mg/L
Kadar Mineral (ppm)
Kadar Mineral (%)
Batch
U
Batch 1
1
2.0000
100
0.038
0.6521
1630.1546
0.1630
2
2.0001
100
0.039
0.6649
1662.2880
0.1662
Batch 2
1
2.0002
100
0.040
0.6778
1694.4182
0.1694
2
2.0000
100
0.038
0.6521
1630.1546
0.1630
Kontrol
rata-rata
0.1654
SD RSD analisis RSD horwitz
3.1E-03
y = 0.0776x - 0.0126
1.8597 5.24411
Batch 1
1
2.0000
100
0.170
2.3531
5882.7320
0.5883
2
2.0001
100
0.169
2.3402
5850.2230
0.5850
Batch 2
1
2.0002
100
0.168
2.3273
5817.7172
0.5818
2
2.0000
100
0.169
2.3402
5850.5155
0.5851
rata-rata
0.5850
SD RSD analisis RSD horwitz
2.7E-03
Fortifikan
Persamaan
0.4537 4.33614
66
Kurva standar Kalsium Data Kurva Standar Kalsium No.
Kalsium Standar
1
Absorbansi
Konsentrasi (mg/L)
U1
U2
Rata-rata
U1
U2
Rata-rata
0.00
0.000
0.000
0.000
0.0000
0.0000
0.0000
2
0.50
0.029
0.029
0.029
0.5000
0.5000
0.5000
3
1.00
0.060
0.060
0.060
1.0000
1.0000
1.0000
4
1.50
0.095
0.095
0.095
1.5000
1.5000
1.5000
5
2.00
0.133
0.133
0.133
2.0000
2.0000
2.0000
6
3.00
0.216
0.216
0.216
3.0000
3.0000
3.0000
7
4.00
0.310
0.310
0.310
4.0000
4.0000
4.0000
Kurva Standar Kalsium 0.400 y = 0.0776x - 0.0126 Absorbansi
0.300
2
R = 0.9927
0.200 0.100 0.000 0.0000 -0.100
1.0000
2.0000
3.0000
4.0000
5.0000
Konsentrasi Kalsium (mg/L)
Plot Hubungan antara Konsentrasi Kalsium dan Absorbansinya
67
Lampiran 3. Kadar mineral zat besi wafer kontrol dan fortifikasi Vol. Kadar Berat Larutan Absorbansi Mineral Contoh Batch U Contoh Abu (y) (X) (g) (ml) mg/L
Kadar Mineral (ppm)
Kadar Mineral (%)
Persamaan y = 0.0369x - 0.0078
Batch 1
1
2.0000
100
0.023
0.8347
41.7344
0.0042
2
2.0001
100
0.024
0.8618
43.0873
0.0043
Batch 2
1
2.0002
100
0.022
0.8076
40.3754
0.0040
2
2.0000
100
0.023
0.8347
41.7344
0.0042
Kontrol
Batch 1 Fortifikan Batch 2
rata-rata
0.0042
SD RSD analisis RSD horwitz
0.0001
9.1246
2.6529
1
2.0000
100
0.105
3.0569
152.8455
0.0153
2
2.0001
100
0.105
3.0569
152.8379
0.0153
1
2.0002
100
0.104
3.0298
151.4754
0.0151
2
2.0000
100
0.105
3.0569
152.8455
0.0153
rata-rata
0.0153
SD RSD analisis RSD horwitz
0.0000 0.4484 7.50766
68
Kurva standar zat besi (Fe) Data Kurva Standar Fe No.
Fe Standar
1
Absorbansi
Konsentrasi (mg/L)
U1
U2
Rata-rata
U1
U2
Rata-rata
0.00
0.000
0.000
0.000
0.0000
0.0000
0.0000
2
0.50
0.007
0.007
0.007
0.5000
0.5000
0.5000
3
1.00
0.021
0.021
0.021
1.0000
1.0000
1.0000
4
3.00
0.111
0.111
0.111
3.0000
3.0000
3.0000
5
5.00
0.171
0.171
0.171
5.0000
5.0000
5.0000
6
11.00
0.399
0.399
0.399
11.0000
11.0000
11.0000
Kurva Standar Fe 0.500
Absorbansi
0.400 0.300 y = 0.0369x - 0.0078
0.200
2
R = 0.9980
0.100 0.000 0.0000 -0.100
2.0000
4.0000
6.0000
8.0000
10.0000
12.0000
Konsentrasi Zat Besi (mg/L)
Plot Hubungan antara Konsentrasi Zat besi (Fe) dan Absorbansinya
69
Lampiran 4. Kadar mineral seng pada wafer kontrol dan fortifikasi Contoh
Batch
U
Berat Contoh (g)
Kontrol
Batch 1 Batch 2
1 2 1 2
2.0000 2.0001 2.0002 2.0000
Fortifikan
Batch 1 Batch 2
1 2 1 2
2.0000 2.0001 2.0002 2.0000
Vol. Larutan Abu (ml) 100 100 100 100
100 100 100 100
Absorbansi (y) 0.108 0.107 0.108 0.108
0.197 0.199 0.198 0.199
Kadar Mineral (X) mg/L 0.5072 0.5022 0.5072 0.5072
0.9507 0.9606 0.9557 0.9606
Kadar Mineral (ppm)
Kadar Mineral (%)
25.3612 25.1109 25.3587 25.3612 rata-rata SD RSD analisis RSD horwitz 47.5336 48.0295 47.7780 48.0319 rata-rata SD RSD analisis RSD horwitz
0.0025 0.0025 0.0025 0.0025 0.0025 0.0000
Persamaan Kurva Standar y = 0.2007x +0.0062
0.4932 9.838626 0.0048 0.0048 0.0048 0.0048 0.0048 0.0000 0.4981 8.938853
70
Data Kurva standar seng Absorbansi
Konsentrasi (mg/L)
No.
Seng Standar
U1
U2
Rata-rata
U1
U2
Rata-rata
1
0.00
-0.001
-0.001
-0.001
0.0000
0.0000
0.0000
2
0.20
0.045
0.045
0.045
0.2000
0.2000
0.2000
3
0.40
0.090
0.090
0.090
0.4000
0.4000
0.4000
4
0.80
0.176
0.176
0.176
0.8000
0.8000
0.8000
5
1.20
0.251
0.251
0.251
1.2000
1.2000
1.2000
6
1.60
0.319
0.319
0.319
1.6000
1.6000
1.6000
Absorbansi
Kurva Standar Zink Seng 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 -0.050 0.0000
y = 0.2007x + 0.0062 2
R = 0.9969
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
Seng(mg/L) (mg/L) Konsentrasi Zink
Plot Hubungan Konsentrasi Seng dan Asbsorbansinya
71
Lampiran 5. Data konsentrasi vitamin A pada wafer tanpa fortifikasi (kontrol) Konsentrasi vitamin A pada wafer tanpa fortifikasi (kontrol)
Sampel
Area (mAU*s)
Konsentrasi (mg retinil asetat/g wafer)
Faktor koreksi (mg retinil asetat/g wafer)
Konsentrasi total (mg retinil asetat/g wafer)
% Kadar Vitamin A Asetat
% Kadar Vitamin A
Batch
U
Bobot (gram)
Batch 1
1
5.0061
0.00000
0.00259
0.00259
0.00000
0.00000
0.00000
2
5.0019
0.00000
0.00259
0.00259
0.00000
0.00000
0.00000
1
5.0055
0.00000
0.00259
0.00259
0.00000
0.00000
0.00000
2
5.0015
0.00000
0.00259
0.00259
0.00000
0.00000
0.00000
Rata-rata
0.00259
0.00259
0.00000
0.00000
0.00000
SD RSD analisis RSD horwitz
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.04767
0.04767
-
-
-
4.90286
4.90286
-
-
-
Kontrol Batch 2
Lampiran 6. Data konsentrasi vitamin A pada wafer fortifikasi Konsentrasi vitamin A pada wafer fortifikasi
Sampel
Wafer Fortifikasi
Area (mAU*s)
Konsentrasi (mg retinil asetat/g wafer)
Faktor koreksi (mg retinil asetat/g wafer)
Konsentrasi total (mg retinil asetat/g wafer)
% Kadar Vitamin A Asetat
% Kadar Vitamin A
Batch
U
Bobot (gram)
Batch 1
1
5.0036
16.99711
0.06356
0.00259
0.06098
0.00610
0.00532
2
5.0018
16.93639
0.06337
0.00259
0.06078
0.00608
0.00530
Batch 2
1
4.0056
13.28564
0.06277
0.00259
0.06018
0.00602
0.00525
2
4.0031
13.41813
0.06340
0.00259
0.06081
0.00608
0.00530
Rata-rata
0.06327
0.00259
0.06069
0.00607
0.00529
SD RSD analisis RSD horwitz
0.00035
0.00000
0.00035
0.00003
0.00003
0.55108
0.04767
0.57403
0.57403
0.57403
3.03015
4.90286
3.04925
8.62458
8.80408
72
Kurva Standar Vitamin A Data Kurva Standar Vitamin A Konsentrasi (IU/ml)
Vitamin A Standar
Area (mAU*s)
U1
U2
Rata-rata
U1
U2
Rata-rata
0
0.0000
0.0000
0.0000
0.00000
0.00000
0.00000
60
0.6048
0.6048
0.6048
9.49435
9.49435
9.49435
80
0.8064
0.8064
0.8064
12.92393
12.92393
12.92393
100
1.0080
1.0080
1.0080
15.85456
15.85456
15.85456
120
1.2096
1.2096
1.2096
19.20034
19.20034
19.20034
140
1.4112
1.4112
1.4112
23.60660
23.60660
23.60660
160
1.6128
1.6128
1.6128
27.21369
27.21369
27.21369
180
1.8144
1.8144
1.8144
31.07996
31.07996
31.07996
Kurva Standar Vitamin A
A rea (mA U *s)
35.0 30.0
y = 17.142x - 0.7211 2
R = 0.9967
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 -5.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
Konsentrasi (IU/ml)
Plot Hubungan antara Konsentrasi Vitamin A dan Area dalam Kromatogram
73
Lampiran 7. Data standarisasi Na2S2O3 dan I2 pada uji vitamin C Data Standarisasi Na2S2O3 dan I2 Hari ke0 7 14 21 28
U
Bobot K2Cr2O7 (mg)
Vol. Na2S2O3 tertitrasi (ml)
Konsentrasi Na2S2O3 (N)
Vol. I2 tertitrasi (ml)
Konsentrasi I2 (N)
1
41.10
7.50
0.11184
1.25
0.0140
2
41.10
7.60
0.11037
1.25
0.0138
1
40.80
7.95
0.10474
1.25
0.0131
2
40.70
8.00
0.10383
1.20
0.0125
1
41.00
8.15
0.10267
1.15
0.0118 0.0119
2
41.00
8.10
0.10333
1.15
1
40.90
8.35
0.09996
1.10
0.0110 0.0110
2
41.00
8.35
0.10021
1.10
1
40.30
8.50
0.09676
0.95
0.0092
2
41.00
8.55
0.09786
0.95
0.0093
Ratarata I2 (N)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.01389
0.00013
0.93657
3.80708
0.01278
0.00045
3.50269
3.85521
0.01184
0.0000
0.43514
3.89944
0.01101
0.0000
0.17268
3.94252
0.00924
0.0000
0.80294
4.04757
Lampiran 8. Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi hari ke-0 Vol. I2 Bobot tertitrasi Hari Batch U Sampel pada ke(g) blanko (ml) 1 0 2
Kadar Vol. I2 KonsenVitamin tertitrasi trasi I2 C (ml) (N) (%)
Ratarata Kadar Vitamin C (%)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.11863
Ln Kadar Vitamin C (%)
1
10
0.25
5.10
2
10
0.25
5.15
3
10
0.20
5.10
0.11985
-2.12153
4
10
0.25
5.10
0.11863
-2.13178
0.01389
0.11985
Ln Ratarata Kadar Vitamin C (%)
-2.13178 0.11924 0.00071 0.59215 5.50902
-2.12153
74
-2.12664
Lampiran 9. Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi selama 28 hari Data Kadar Vitamin C pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi Hari ke-7 Vol. Vol. [ ] titrasi titrasi Suhu Bobot I2 I2 Chamber Kemasan Batch U Sampel pada pada 0 I2(N) ( C) (g) blanko sampel (ml) (ml) 1 10.0005 0.3 5.45 0.01278 1 2 10.0006 0.3 5.45 0.01278 2 layer 1 10.0014 0.3 5.40 0.01278 2 2 10.0010 0.3 5.40 0.01278 35 1 10.0001 0.3 5.45 0.01278 1 2 10.0002 0.3 5.45 0.01278 3 layer 1 10.0004 0.3 5.45 0.01278 2 2 10.0003 0.3 5.45 0.01278 1 2 layer 2 40 1 3 layer 2 1 2 layer 2 45 1 3 layer 2
Kadar Vit. C (%)
Ratarata Kadar Vit. C (%)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.11534
0.00065
0.56702
5.53661
0.11591
0.00000
0.00129
5.53250
0.11113
0.00056
0.50750
5.56772
0.11479
0.00000
0.00645
5.54065
0.10943
0.00057
0.51755
5.58067
0.11366
0.00000
0.00245
5.54886
0.11591 0.11591 0.11478 0.11478 0.11592 0.11591 0.11591 0.11591
1
10.0002
0.3
5.25
0.01278
0.11141
2
10.0002
0.3
5.25
0.01278
0.11141
1
10.0007
0.3
5.25
0.01278
0.11141
2
10.0006
0.3
5.20
0.01278
0.11028
1
10.0011
0.3
5.40
0.01278
0.11478
2
10.0009
0.3
5.40
0.01278
0.11478
1
9.9997
0.3
5.40
0.01278
0.11479
2
10.0002
0.3
5.40
0.01278
0.11479
1
10.0008
0.3
5.15
0.01278
0.10916
2
10.0012
0.3
5.20
0.01278
0.11028
1
10.0026
0.3
5.15
0.01278
0.10914
2
10.0022
0.3
5.15
0.01278
0.10914
1
10.0000
0.3
5.35
0.01278
0.11367
2
10.0002
0.3
5.35
0.01278
0.11366
1
10.0005
0.3
5.35
0.01278
0.11366
2
10.0005
0.3
5.35
0.01278
0.11366
75
Data Kadar Vitamin C pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi Hari ke-14 Vol. Vol. [ ] titrasi titrasi Suhu Bobot I2 I2 Chamber Kemasan Batch U Sampel pada pada I2(N) (0C) (g) blanko sampel (ml) (ml) 1 10.0024 0.4 5.70 0.01184 1 2 10.0076 0.4 5.65 0.01184 2 layer 1 10.0013 0.4 5.65 0.01184 2 2 10.0009 0.4 5.65 0.01184 35 1 10.0055 0.4 5.80 0.01184 1 2 10.0002 0.4 5.75 0.01184 3 layer 1 10.0031 0.4 5.80 0.01184 2 2 10.0046 0.4 5.80 0.01184 1 2 layer 2 40 1 3 layer 2 1 2 layer 2 45 1 3 layer 2
Kadar Vit. C (%)
Ratarata Kadar Vit. C (%)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.11075
0.00053
0.47592
5.57061
0.11335
0.00050
0.43898
5.55117
0.10348
0.00052
0.50178
5.62783
0.10947
0.00000
0.00337
5.58035
0.09800
0.00001
0.00744
5.67409
0.10738
0.00001
0.01116
5.59652
0.11153 0.11043 0.11050 0.11051 0.11358 0.11260 0.11361 0.11359
1
10.0002
0.4
5.30
0.01184
0.10322
2
10.0007
0.4
5.35
0.01184
0.10426
1
10.0007
0.4
5.30
0.01184
0.10321
2
10.0000
0.4
5.30
0.01184
0.10322
1
10.0009
0.4
5.60
0.01184
0.10947
2
10.0009
0.4
5.60
0.01184
0.10947
1
10.0008
0.4
5.60
0.01184
0.10947
2
10.0002
0.4
5.60
0.01184
0.10947
1
10.0006
0.4
5.05
0.01184
0.09800
2
10.0004
0.4
5.05
0.01184
0.09800
1
10.0019
0.4
5.05
0.01184
0.09799
2
10.0003
0.4
5.05
0.01184
0.09800
1
10.0011
0.4
5.50
0.01184
0.10738
2
10.0019
0.4
5.50
0.01184
0.10737
1
10.0000
0.4
5.50
0.01184
0.10739
2
9.9994
0.4
5.50
0.01184
0.10740
76
Data Kadar Vitamin C pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi Hari ke-21 Vol. Vol. [ ] titrasi titrasi Suhu Bobot Kemasan/ I2 I2 Chamber Batch U Sampel Suhu pada pada I2(N) (0C) (g) blanko sampel (ml) (ml) 1 10.0038 0.4 5.80 0.01101 1 2 10.0000 0.4 5.80 0.01101 2 layer 1 9.9990 0.4 5.80 0.01101 2 2 10.0014 0.4 5.80 0.01101 35 1 10.0001 0.4 6.05 0.01101 1 2 10.0005 0.4 6.10 0.01101 3 layer 1 10.0005 0.4 6.10 0.01101 2 2 10.0009 0.4 6.10 0.01101 1 2 layer 2 40 1 3 layer 2 1 2 layer 2 45 1 3 layer 2
Kadar Vit. C (%)
Ratarata Kadar Vit. C (%)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.10470
0.00002
0.02080
5.61789
0.11028
0.00048
0.43691
5.57415
0.09523
0.00048
0.50549
5.69858
0.10445
0.00047
0.45064
5.61994
0.09065
0.00057
0.62414
5.74103
0.10106
0.00049
0.48722
5.64788
0.10467 0.10471 0.10472 0.10470 0.10956 0.11052 0.11052 0.11052
1
10.0029
0.4
5.35
0.01101
0.09596
2
10.0004
0.4
5.30
0.01101
0.09501
1
10.0017
0.4
5.30
0.01101
0.09500
2
10.0044
0.4
5.30
0.01101
0.09497
1
10.0023
0.4
5.80
0.01101
0.10469
2
10.0000
0.4
5.75
0.01101
0.10374
1
10.0057
0.4
5.80
0.01101
0.10465
2
10.0004
0.4
5.80
0.01101
0.10471
1
9.9998
0.4
5.10
0.01101
0.09114
2
9.9989
0.4
5.10
0.01101
0.09115
1
10.0002
0.4
5.05
0.01101
0.09017
2
10.0008
0.4
5.05
0.01101
0.09016
1
10.0036
0.4
5.60
0.01101
0.10080
2
10.0018
0.4
5.60
0.01101
0.10081
1
9.9999
0.4
5.60
0.01101
0.10083
2
10.0003
0.4
5.65
0.01101
0.10180
77
Data Kadar Vitamin C pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi Hari ke-28 Vol. Vol. [ ] titrasi titrasi Suhu Bobot Kemasan/ I2 I2 Chamber Batch U Sampel Suhu pada pada I2(N) (0C) (g) blanko sampel (ml) (ml) 1 10.0001 0.5 6.50 0.00924 1 2 10.0003 0.5 6.55 0.00924 2 layer 1 10.0011 0.5 6.55 0.00924 2 2 10.0002 0.5 6.50 0.00924 35 1 10.0005 0.5 7.00 0.00924 1 2 10.0005 0.5 7.05 0.00924 3 layer 1 10.0001 0.5 7.00 0.00924 2 2 10.0002 0.5 7.00 0.00924 1 2 layer 2 40 1 3 layer 2 1 2 layer 2 45 1 3 layer 2
Kadar Vit. C (%)
Ratarata Kadar Vit. C (%)
SD
RSD analisis
RSD horwitz
0.09886
0.00047
0.47202
5.66665
0.10679
0.00041
0.37979
5.60119
0.09072
0.00047
0.51549
5.74037
0.10170
0.00001
0.00713
5.64250
0.08137
0.00000
0.00058
5.83517
0.09662
0.00041
0.42023
5.68621
0.09845 0.09927 0.09926 0.09845 0.10659 0.10740 0.10659 0.10659
1
10.0000
0.5
6.00
0.00924
0.09032
2
10.0001
0.5
6.00
0.00924
0.09032
1
10.0005
0.5
6.05
0.00924
0.09113
2
10.0004
0.5
6.05
0.00924
0.09113
1
10.0016
0.5
6.70
0.00924
0.10169
2
10.0007
0.5
6.70
0.00924
0.10170
1
10.0000
0.5
6.70
0.00924
0.10171
2
10.0002
0.5
6.70
0.00924
0.10171
1
10.0000
0.5
5.45
0.00924
0.08137
2
10.0001
0.5
5.45
0.00924
0.08137
1
10.0000
0.5
5.45
0.00924
0.08137
2
10.0001
0.5
5.45
0.00924
0.08137
1
10.0003
0.5
6.35
0.00924
0.09601
2
10.0002
0.5
6.40
0.00924
0.09683
1
10.0005
0.5
6.40
0.00924
0.09682
2
10.0007
0.5
6.40
0.00924
0.09682
78
Lampiran 10. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer
Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer
Suhu
35
40
45
t (hari)
Rata-rata Kadar Vitamin C (%)
0
0.11924
Ln Ratarata Kadar Vitamin C (%) -2.12662
7
0.11534
-2.15987
14
0.11075
-2.20048
21
0.10470
-2.25666
28
0.09886
-2.31405
0
0.11924
-2.12662
7
0.11113
-2.19705
14
0.10348
-2.26838
21
0.09523
-2.35146
28
0.09072
-2.39998
0
0.00000
-2.12662
7
0.10943
-2.21247
14
0.09800
-2.32279
21
0.09065
-2.40075
28
0.08137
-2.50875
Ordo O Ln Slope Korelasi (Ln K)
Slope (K)
Intercept
0.00070
0.12010
0.99170
0.00100
0.11850
0.00140
0.11860
T (Kelvin)
1/T
-7.26443
308
0.00325
0.99140
-6.90776
313
0.00319
0.99570
-6.57128
318
0.00314
Plot Hubungan Nilai Mutu dengan Waktu Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer
79
Data Slope, Ea, Intercept, dan Korelasi pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer Suhu
Nilai
Penyimpanan
Slope
(Celsius)
(K)
35
Ln Slope
T
1/T
Slope
Ea
(Ln K)
(Kelvin)
(1/Kelvin)
(Ea/R)
(KJ/mol)
0.0007
-7.26443
308
0.00325
40
0.0010
-6.90776
313
0.00319
5204
43.266056
45
0.0014
-6.57128
318
0.00314
Intercept
Korelasi
10
0.979
Plot Hubungan 1/T dengan slope (K) pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer
Data perkiraan umur simpan pada uji penyimpanan wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer Umur Simpan
Umur Simpan
(Hari)
(Bulan)
0.00023
366.728
12.224
-8.00188
0.00033
248.602
8.287
300
-7.85000
0.00039
213.572
7.119
30
303
-7.62594
0.00049
170.701
5.690
40
313
-6.91010
0.00100
83.435
2.781
Suhu (C)
Suhu (K)
Ln K
K
20
293
-8.39065
25
298
27
80
Lampiran 11. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 3 Layer Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer Suhu
35
40
45
Rata-rata Kadar
Ln Rata-rata Kadar
Vitamin C (%)
Vitamin C (%)
0
0.11924
-2.12662
7
0.11591
-2.15494
14
0.11335
-2.17727
21
0.11028
-2.20473
28
0.10679
-2.23689
0
0.11924
-2.12662
7
0.11479
-2.16465
14
0.10947
-2.21210
21
0.10445
-2.25905
28
0.10170
-2.28573
0
0.11924
-2.12662
7
0.11366
-2.17454
14
0.10738
-2.23138
21
0.10106
-2.29204
28
0.09662
-2.33697
t (hari)
Ordo O Slope (K)
Intercept
Korelasi
0.002
0.12
0.997
0.003
0.119
0.997
0.002
0.12
0.998
Plot Hubungan Nilai Mutu dengan Waktu Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer
81
Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer
Suhu
35
40
45
Rata-rata
Ln Rata-
t
Kadar
rata Kadar
(hari)
Vitamin
Vitamin C
C (%)
(%)
0
0.11924
-2.12662
7
0.11591
-2.15494
14
0.11335
-2.17727
21
0.11028
-2.20473
28
0.10679
-2.23689
0
0.11924
-2.12662
7
0.11479
-2.16465
14
0.10947
-2.21210
21
0.10445
-2.25905
28
0.10170
-2.28573
0
0.11924
-2.12662
7
0.11366
-2.17454
14
0.10738
-2.23138
21
0.10106
-2.29204
28
0.09662
-2.33697
Ordo O Slope (K)
Ln Intercept
Korelasi
Slope (Ln K)
T (Kelvin)
1/T
0.0004
0.1192
0.9977
-7.824
308
0.00325
0.0006
0.119
0.9905
-7.4186
313
0.00319
0.0008
0.0092
0.9969
-7.1309
318
0.00314
82
Data Slope, Ea, Intercept, dan Korelasi pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer Suhu
Nilai
Ln
Penyimpanan
Slope
Slope
(Celsius)
(K)
(Ln K)
35
0.0004
40 45
T
1/T
Slope
Ea
(Kelvin)
(1/Kelvin)
(Ea/R)
(KJ/mol)
-7.824
308
0.00325
0.0006
-7.4186
313
0.00319
5204
43.2661
0.0008
-7.1309
318
0.00314
Intercept
Korelasi
10
0.979
Plot Hubungan 1/T dengan slope (K) pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer
Data perkiraan umur simpan pada uji penyimpanan wafer fortifikasi dalam kemasan 3 layer Umur Simpan
Umur Simpan
(Hari)
(Bulan)
0.00013
633.770
21.126
-8.54866
0.00019
429.504
14.317
300
-8.39667
0.00023
368.942
12.298
30
303
-8.17244
0.00028
294.835
9.828
40
313
-7.45607
0.00058
144.033
4.801
Suhu (C)
Suhu (K)
Ln K
K
20
293
-8.93771
25
298
27
83