PENGEM MBANGAN N SENSOR R WARNA A DAUN U UNTUK MENDUGA M A KEBUTU UHAN PUP PUK PADA A TANAM MAN PAD DI
SKRIPSII
ILHAM M EKO NU UGROHO F14060555
FAKU ULTAS TE EKNOLOG GI PERTA ANIAN IN NSTITUT PERTANIIAN BOGO OR BOGOR R 2011
PENGEMBANGAN SENSOR WARNA DAUN UNTUK MENDUGA KEBUTUHAN PUPUK PADA TANAMAN PADI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ILHAM EKO NUGROHO F14060555
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi
Nama
: Ilham Eko Nugroho
NIM
: F14060555
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr.Ir. I Wayan Astika, M.Si) NIP.19631031 198903 1 002
(Ir. Mohamad Solahudin, M.Si) NIP.19650915 199103 1 002
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr.Ir. Desrial, M.Eng) NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal lulus : 7 Pebruari 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Pebruari 2011 Yang membuat pernyataan
Ilham Eko Nugroho F14060555
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta, 28 September 2010 dari ayah Gunarso Sunaryo dan ibu Khusnul Khotimah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 50 Jakarta Timur. Pada tahun 2006 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis menjalankan Praktik Lapangan pada tahun 2009 di Koperasi Peternakan Bandung Selatan, Pangalengan, Jawa Barat.
DEVELOPMENT OF LEAF COLOUR SENSOR TO PREDICT THE PADDY NEED FOR FERTILIZER
Ilham Eko Nugroho, I Wayan Astika, and Mohamad Solahudin Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga IPB Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT
Leaf colour is an indicator of plant fertility level which can be used for predicting fertilizer need of the paddy plants. The use of leaf colour chart (LCC) is one of instruments to measure greenness level. This research used image processing technology for analysing leaf colour level according to the IRRI-LCC standard. Taking the image of paddy leaves used a cart which is equiped with a proximity sensor and a CCD camera. Proximity sensor functions sending a signal to the camera to capture an image at every certain travelling distance. The captured images were then saved in the hard disk memory. Furthermore, those images were processed with Visual Basic program for analysing leaves area and greenness level. Then, the results were transformed into an area colour map, where each patch of land contains information about fertilizer need. Beside analysing with image processing, the measurement of leaf colour level was also done manually. The result of the manual measurement was also translated into an area colour map. The results of the manual and image processing measurement were then compared for determining the accuracy level. Accuracy at the colour level 2 was 38%, the colour level 3 was 69%, and the colour level 4 was 75%. The correlation between leaf colour level and nutrient content of soil was observed by comparing the result of soil nutrient content test and leaf colour level. It was found that both averages show a strong correlation. Keyword : leaf colour chart, precision farming, image processing, dosage of fertilizer.
ILHAM EKO NUGROHO. F14060555. Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan I Wayan Astika dan Mohamad Solahudin. 2010
RINGKASAN
Efisiensi pemupukan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas padi dengan cara memberikan dosis pupuk sesuai kebutuhan tanaman. Penggunaan bagan warna daun (BWD) adalah salah satu cara untuk menganalisis kebutuhan pupuk. Alat ini cocok untuk mengoptimalkan pemberian unsur N pada tanaman padi. Penggunaan teknologi visual berupa pengolahan citra (image processing) dapat mempermudah dalam menganalisa suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Citra tanaman padi melalui pengolahan citra dapat dianalisa dengan tingkat kehijauan daun sehingga dapat menduga kesuburan tanaman padi. Tujuan penelitian ini adalah membangun perangkat sensor citra untuk menduga kesuburan tanah melalui perbandingan tingkat warna daun dengan memetakan kesuburan tanah yang menunjukan informasi kebutuhan pupuk. Penelitian ini menggunakan alat penangkap citra berupa gerobak, alat tersebut terdiri atas roda, rangka penjepit roda, rangka alas, rangka dudukan magnet, tuas pendorong, sensor, dan kamera. Saat alat dioperasikan, sensor yang terdapat di rangka penjepit roda mengirimkan tanda (signal) kepada program untuk menghitung jarak dan memberi perintah kamera untuk mengambil gambar. Proses pengambilan gambar dilakukan secara kontinyu. Hasil gambar disimpan pada memori hardisk. Citra kemudian diolah dengan program Visual Basic 6.0 untuk mengklasifikasi warna daun berdasarkan standar warna bagan warna daun (BWD) yang dikeluarkan IRRI. Hasil pengolahan citra kemudian diterjemahkan ke dalam peta. Informasi peta tersebut berupa petak-petak warna lahan, dimana nilai warna tersebut terdiri atas tingkatan warna hijau kekuningan hingga hijau tua yang menunjukan tingkat kesuburan lahan. Sebagai pembanding, pemetaan tidak hanya dilakukan dari hasil pengolahan citra tetapi juga dengan cara manual (membandingkan langsung dengan BWD). Pengujian alat dilakukan di tiga lahan padi yang berbeda. Lahan pertama dengan perlakuan pemberian pupuk urea, lahan kedua dengan perlakuan pemberian pupuk organik dan urea, dan lahan ketiga dengan perlakuan pemberian pupuk organik. Berdasarkan hasil pemetaan dengan pengolahan citra menunjukan lahan pertama rendah kesuburannya dibandingkan lahan kedua dan ketiga. Hal tersebut disebabkan oleh warna hijau kekuningan (tingkat warna BWD-2) lebih banyak di bandingkan lahan kedua dan ketiga. Akurasi pemetaan pengukuran kandungan tingkat warna daun jika dibandingkan dengan pengolahan citra adalah 38%, untuk tingkat warna 2, 69% untuk tingkat warna 3, dan 75% untuk tingkat warna 4. Hasil pengujian kandungan hara daun padi yang telah diplotkan ke dalam diagram regresi linear menunjukan nilai koefisien korelasi (r) untuk nilai rata-rata kandungan unsur N, P, dan K terhadap tingkat warna BWD secara berurutan adalah 0.98, -0.96, dan 0.92. Hasil pengujian tanah yang telah diplotkan ke dalam diagram regresi linear menunjukan nilai koefisien korelasi (r) untuk nilai rata-rata kandungan hara N, P, K, C-organik, dan kapasitas tukar kation terhadap tingkat warna BWD secara berurutan adalah 0.95, -0.51, -0.46, 0.87, dan -0.85.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala curahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi dengan judul Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi dilaksananakan di Bogor sejak bulan Mei sampai Desember 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besanya kepada : 1. Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si sebagai dosen pembimbing utama. 2. Ir. Mohamad Solahudin, M.Si atas saran dan bantuan moril yang diberikan selaku pembimbing pendamping. 3. Ibu tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis. 4. Dr. Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr yang telah memberikan saran pada skripsi ini. 5. Romy dan Iqbal sebagai teman seperjuangan yang membantu hingga skripsi ini selesai. 6. Ali dan Zani yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis mengerjakan skripsi ini. 7. Temen-teman TEP 43. 8. Proyek IMHERE yang telah membantu pembiayaan penelitian. 9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa depan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang sistem manajemen mekanasasi pertanian.
Bogor, Pebruari 2011
Ilham Eko Nugroho
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................................ DAFTAR TABEL ................................................................................................................ DAFTAR GAMBAR............................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ I. PENDAHULUAN ................................................................................................................ A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... B. TUJUAN ........................................................................................................................ II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... A. PADI .............................................................................................................................. B. UNSUR HARA............................................................................................................... C. SIFAT KIMIA TANAH ................................................................................................. D. PENGOLAHAN CITRA ............................................................................................... E. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS .......................................................................... F. BAGAN WARNA DAUN ............................................................................................. G. PERTANIAN PRESISI .................................................................................................. H. PENELITIAN TERDAHULU ....................................................................................... III. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... A. WAKTU DAN TEMPAT .............................................................................................. B. ALAT DAN BAHAN .................................................................................................... C. TAHAPAN PENELITIAN ............................................................................................ IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ A. PERANCANGAN ALAT .............................................................................................. B. KALIBRASI ALAT ...................................................................................................... C. UJI KINERJA ALAT .................................................................................................... D. PENGOLAHAN CITRA ............................................................................................... E. KARAKTERISTIK CITRA DAUN PADI .................................................................... F. KELEMAHAN ALAT ................................................................................................... G. ANALISIS KESUBURAN TANAMAN DAN TANAH ............................................. H. PETA KESUBURAN TANAH...................................................................................... V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ A. KESIMPULAN ............................................................................................................... B. SARAN .......................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... LAMPIRAN .........................................................................................................................
iii iv v vi viii 1 2 2 3 3 4 5 7 9 9 11 12 15 15 15 15 20 20 25 28 29 31 37 37 48 51 51 52 53 55
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jenis koloid tanah dengan nilai kapasitas tukar kation (Hardjowigeno, 2007) ............. 6 Tabel 2. Takaran urea yang diperlukan bila warna daun di bawah nilai kritis, Skala< 4 BWD (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006)... ............................................... 10 Tabel 3. Takaran urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang ditetapkan (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) ..................................................................................................................... 11 Tabel 4. Hubungan antara nomor skala dengan kadar nitrogen daun padi var. Cisadane Kampung Muara (Ismunadji et al., 1985) ...................................................................... 12 Tabel 5. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera CCD dengan ketinggian kamera ........................................................................................................... 26 Tabel 6. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera webcam dengan ketinggian kamera ........................................................................................................... 27 Tabel 7. Nilai ketelitian berdasarkan panjang citra dengan pembacaan pencacah magnet ............................................................................................................. 27 Tabel 8. Jumlah citra tiap 26 m lintasan pada tiap-tiap lahan ...................................................... 29 Tabel 9. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan pertama .................................................. 32 Tabel 10. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan kedua ...................................................... 33 Tabel 11. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan ketiga...................................................... 34 Tabel 12. Akurasi perbandingan tingkat warna dengan perangkat sensor..................................... 35
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Sistem terdepan dari pengolahan citra (Arymurthy dan Suryana, 1992) ............. 8 Gambar 2. Perubahan warna daun fase tumbuh pada tanaman padi var. Cisadane. Kampung Muara..................................................................................................... 13 Gambar 3. Hubungan antara skala warna dan kadar klorofil daun kedelai varietas Wilis. Kampung Muara .......................................................................................... 13 Gambar 4. Pengukuran Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengukur warna daun dalam penetapan pemupukan pada tanaman padi ................................................ 18 Gambar 5. Rancangan alat penangkap citra otomatis ............................................................. 20 Gambar 6. Pembuatan prototipe alat untuk pengambilan citra ............................................... 21 Gambar 7. Kamera yang digunakan untuk menangkap citra .................................................. 22 Gambar 8. Rangka dudukan kamera ........................................................................................ 23 Gambar 9. Rangka penjepit roda ............................................................................................. 23 Gambar 10. Roda yang dirancang untuk lahan basah ............................................................... 24 Gambar 11. Dudukan magnet dan sensor .................................................................................. 24 Gambar 12. Tampilan program pengambilan citra.................................................................... 26 Gambar 13. Uji kinerja alat di lahan sawah ............................................................................... 28 Gambar 14. Hasil citra yang diambil di sawah menggunakan kamera CCD............................ 28 Gambar 15. Tampilan program pengolahan citra ...................................................................... 30 Gambar 16. Citra padi sebelum dan sesudah tresholding ......................................................... 31 Gambar 17. Pemetaan lahan pertama dengan pengolahan citra ................................................ 36 Gambar 18. Grafik sebaran nilai kandungan N pada daun terhadap tingkat warna ................. 38 Gambar 19. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N pada daun terhadap tingkat warna BWD ............................................................................................................ 38 Gambar 20. Grafik sebaran kandungan P pada daun terhadap tingkat warna .......................... 39 Gambar 21. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan P pada daun terhadap tingkat warna BWD ............................................................................................................ 39 Gambar 22. Grafik sebaran kandungan K terhadap tingkat warna ........................................... 40 Gambar 23. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K pada daun terhadap tingkat warna BWD ............................................................................................................ 40 Gambar 24. Grafik sebaran kandungan pH H2O terhadap tingkat warna ................................. 41 Gambar 25. Grafik hubungan nilai rata-rata pH H2O terhadap tingkat warna BWD ............... 42 Gambar 26. Grafik sebaran kandungan pH KCl terhadap tingkat warna ................................ 42 Gambar 27. Grafik hubungan nilai rata-rata pH KCl terhadap tingkat warna BWD .............. 43 Gambar 28. Grafik sebaran nilai kandungan N terhadap tingkat warna ................................... 43 Gambar 29. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N terhadap tingkat warna BWD ...... 44 Gambar 30. Grafik sebaran kandungan C-Organik terhadap tingkat warna ............................. 44 Gambar 31. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan C-Organik terhadap tingkat warna BWD ....................................................................................................................... 45 Gambar 32. Grafik sebaran kandungan K terhadap tingkat warna .......................................... 45 Gambar 33. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K terhadap tingkat warna BWD ...... 46 Gambar 34. Grafik sebaran kandungan P terhadap tingkat warna ........................................... 46 Gambar 35. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan P terhadap tingkat warna BWD ....... 47
vi
Gambar 36. Grafik sebaran kandungan KTK terhadap tingkat warna ..................................... 47 Gambar 37. Grafik hubungan nilai rata-rata KTK terhadap tingkat warna BWD.................... 48 Gambar 38. Peta kandungan unsur N (%) pada lahan satu ....................................................... 49 Gambar 39. Peta takaran kebutuhan pupuk untuk target hasil panen 6 ton/ha GKG pada lahan satu ................................................................................................................ 50
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Spesifikasi kamera ................................................................................................ 56 Lampiran 2. Intensitas cahaya pada beberapa kondisi penyinaran .......................................... 57 Lampiran 3. Jumlah foto yang dihasilkan berdasarkan panjang image dan nilai ketelitian .............................................................................................. 58 Lampiran 4. Hasil citra tangkapan kamera pada berbagai macam kondisi.............................. 59 Lampiran 5. Pemetaan secara manual dengan BWD pada lahan satu .................................... 60 Lampiran 6. Pemetaan lahan kedua dengan pengolahan citra ................................................. 61 Lampiran 7. Pemetaan lahan ketiga dengan pengolahan citra ................................................. 62 Lampiran 8. Pemetaan baris 1, 2, dan 3 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama .................................................................. 63 Lampiran 9. Pemetaan baris 4, 5, dan 6 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama .................................................................. 64 Lampiran 10. Cara-cara pengambilan contoh tanaman (daun) (Donahue et al.,1971)............. 65 Lampiran 11. Nilai unsur N, P, dan K pada tanaman padi terhadap level BWD ..................... 66 Lampiran 12. Nilai kandungan beberapa unsur pada tanah ...................................................... 66 Lampiran 13. Batas antara kecukupan dan defiensi unsur hara berdasarkan analisa tanaman (Sanchez, 1976) .................................................................................... 67 Lampiran 14. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983).................. 68 Lampiran 15. Nilai dan sifat pH tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ................................... 68 Lampiran 16. Gambar piktorial alat .......................................................................................... 69 Lampiran 17. Gambar teknik alat tampak atas .......................................................................... 70 Lampiran 18. Gambar teknik alat tampak depan ....................................................................... 71 Lampiran 19. Gambar teknik alat tampak samping................................................................... 72 Lampiran 20. Gambar teknik rangka dudukan kamera ............................................................. 73 Lampiran 21. Gambar teknik rangka penjepit roda ................................................................... 74
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Padi merupakan tanaman yang penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga mutu beras yang diproduksi harus baik dan hasilnya pun tinggi. Untuk meningkatkan hasil dan mutu beras, tanaman padi memerlukan unsur hara dalam jumlah banyak (makro) diantaranya nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan belerang (S). Selain itu, diperlukan unsur mikro yang jumlahnya sangat sedikit seperti seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), molibdenum (Mo), boron (B), dan mangan (Mn). Tanaman yang kekurangan N tumbuhnya kerdil, anakan sedikit dan daunnya berwarna kuning pucat, terutama daun tua. Sebaliknya, tanaman yang dipupuk urea (unsur N) berlebihan tumbuhnya subur, daun hijau tua anakan banyak, jumlah malai banyak tetapi tanaman mudah rebah dan pemasakan gabah lambat. Tanaman yang kekurangan unsur hara fosfor (P) tumbuhnya kerdil, daun sempit berwarna hijau tua, anakan sedikit, pemasakan lambat dan kehampaan gabah tinggi. Sedangkan tanaman yang kekurangan kalium (K), batangnya lemah, daun terkulai dan cepat menua, mudah terserang hama dan penyakit, mudah rebah, persentase gabah hamanya tinggi, butir hijau banyak dan mutu beras rendah. Bagi tanaman, hara sama seperti gizi manusia. Oleh tanaman, hara digunakan untuk hidup, penyusunan tubuh atau organnya, tumbuh, dan berkembang. Jika dalam makanan manusia dikenal istilah gizi maka dalam pupuk dikenal sebagai unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Agar tanaman tumbuh sehat dengan hasil dan mutu beras tinggi, maka unsur-unsur hara tersebut jumlahnya dalam tanah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Apabila salah satu unsur hara tersebut jumlahnya dalam tanah tidak cukup, maka hasil dan mutu beras akan menurun. Oleh karena itu, pemupukan harus berimbang, dimana jenis dan dosis pupuk (sebagai sumber hara) harus sesuai dengan kebutuhan tanaman dan jumlah unsur hara yang tersedia dalam tanah (tingkat kesuburan tanah). Budidaya padi sawah merupakan pemakai pupuk terbesar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga terkait dengan berkelanjutan sistem produksi (sustianable production system), kelestarian lingkungan, dan penghematan sumberdaya energi. Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan tiga faktor yang saling berkaitan yaitu : (a) ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber lainnya, (b) kebutuhan tanaman, dan (c) target hasil yang dicapai. Oleh sebab itu, rekomendasi pemupukan harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik varietas (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2007). Penggunaan pupuk yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian pada pupuk, pada tanaman, maupun pada tanah dan lingkungan di sekitar pemupukan. Kerugian pada tanaman misalnya pertumbuhan tanaman tidak sehat dan mudah terserang hama penyakit, tidak diperolehnya hasil tanaman seperti yang diharapkan atau rendah. Kerugian pada tanah berupa berubahnya struktur tanah menjadi padat, menimbulkan efek racun bagi tanaman, dan mematikan kehidupan mikro organisme tanah. Di sekitar lingkungan tempat pemupukan juga terjadi pencemaran atau polusi nitrat dan nitrit, terutama di sungai atau air tanah. Penggunaan bagan warna daun (BWD) adalah salah satu cara untuk menganalisis kebutuhan pupuk. Alat ini cocok untuk mengoptimalkan pemberian unsur N pada tanaman padi.
1
Alat ini terdiri atas empat warna hijau, mulai dari hijau kekuningan hingga hijau tua. Selain itu, penggunaan teknologi visual berupa pengolahan citra (image processing) dapat mempermudah dalam menganalisa suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses pengolahan dan analisanya melibatkan persepsi visual dengan data masukan maupun keluaran yang diperoleh berupa citra atau image dari objek yang diamati. Informasi berupa keluaran kemudian dibuat peta spasial yang menunjukan kekurangan dan kelebihan pupuk serta dosis aplikasi pupuk yang dibutuhkan.
B. TUJUAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan : 1) Membangun perangkat sensor citra tampak untuk menduga kesuburan tanah melalui pengukuran tingkat warna daun. 2) Memetakan kesuburan tanah berdasarkan pengolahan citra yang menunjukan informasi kebutuhan pupuk. 3) Menentukan korelasi antara tingkat warna daun dengan kondisi unsur hara tanaman
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PADI Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Tanaman pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat Tropis dan Subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang, China sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar, Pradesh, India sekitar 100-800 SM. (BPPT, 2010). Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidarat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza Spesies : Oryza spp. Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (BPPT, 2010). Varietas unggul nasional berasal dari Bogor : Pelita I/1, Pelita II/2, Adil dan Makmur (dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34, dan GH 120 (dataran rendah). Varietas unggul introduksi dari Internasional Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalah jenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46, dan IR 54 (dataran rendah); PB 32, PB 34, PB 36,dan PB 48 (datarn rendah) (BPPT, 2010). Pusat penanaman padi di Indonesia adalah pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata 4.35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22.5% produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Padi tumbuh di daerah tropis dan subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27°C di dataran rendah sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur 19-23°C. Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah, menghendaki tanah lumpur yang subur dengan kedalaman 1822 cm. Keasaman tanah antara pH 4.0-7.0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7.0).
3
B. UNSUR HARA Manfaat pupuk yang paling banyak dirasakan adalah menyediakan unsur hara yang diperlukan bagi tanaman. Selain menyediakan unsur hara, pemupukan juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti N, P, dan K yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh air perkolasi. Pemberian pupuk juga membantu penyerapan unsur hara. Hal ini sangat penting, karena unsur hara berperan dalam pertumbuhan tanaman. Tiga unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar adalah Nitrogen (N), Fosfor, dan Kalium (K).
1. Nitrogen (N) Pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil yang tinggi membutuhkan suplai nitrogen yang cukup, bila suplai N tidak cukup, tanaman akan menunjukan pertumbuhan organ dan keseluruhan tanaman yang tidak normal. Gejala kekurangan N yang paling jelas dan biasa terlihat adalah berkurangnya warna hijau dari dedaunan karena hilangnya chlorofil, pigmen hijau yang berperan dalam proses fotosintesis. Kekurangan nitrogen dicirikan oleh kecepatan pertumbuhan yang rendah dan tanaman kerdil (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991) tanaman akan tumbuh lambat bilamana terjadi kekurangan N, juga akan tampak kurus, kerdil, dan berwarna pucat dibandingkan tanaman sehat. Pada tanaman serealia, kekurangan N ditandai oleh berkurangnya anakan, jumlah malai per satuan luas, dan juga jumlah gabah per malai berkurang. Karena itu pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya padi berhubungan erat dengan warna hijau dari daun. Kelebihan N pun akan berakibat negatif pada tanaman. Kelebihan N biasanya memberikan warna gelap, sukulen, pertumbuhan vegetatif yang hebat, dan membuat tanaman mudah rusak karena dingin (frost) dan membeku (Direkterot Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).
2. Fosfor (P) Fosfor (P) berperan untuk pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, memperkuat batang tidak mudah roboh, perkembangan akar, memperbaiki kualitas tanaman terutama sayur-mayur dan pakan ternak, tahan terhadap penyakit, membentuk nucleoprotein (sebagai penyusunan RNA dan DNA), menyimpan dan memindahkan energy (transfer energy), misalnya ATP (Adenosin triposhphate), ADP (Adenosin diposphate) (Hardjowigeno, 2007). Menurut Hardjowigeno (2007), sebab-sebab kekurangan P di dalam tanah adalah jumlah P di tanah sedikit, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman, dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau Ca pada tanah alkalis. Faktor yang mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman yang terpenting adalah pH tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar netral (pH 6-7). Dalam tanah masam banyak unsur P baik yang telah berada di dalam tanah, maupun yang diberikan ke tanah sebagai pupuk terikat oleh unsur-unsur Al dan Fe sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman Gejala-gejala tanaman kekurangan P menurut Hardjowigeno (2007), yakni pertumbuhan terhambat (kerdil); daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun; pada jagung, tongkol jagung tidak sempurna dan kecil-kecil.
4
3. Kalium (K) Kalium (K) berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembentukan stomata, proses fisiologi dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, perkembangan akar, dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991), kalium di dalam tananam dapat berfungsi untuk menguatkan batang sehingga tanaman tidak mudah rebah. Hasil tanaman dan kualitas gabah meningkat bila tanaman cukup K, serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap serangan penyakit, terutama terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Gejala yang nampak pertama kali dari kekurangan K dapat dilihat pada bagian daun. Selanjutnya, dalam jumlah yang terbatas biasanya diikuti oleh melemahnya bagian batang tanaman yang mengakibatkan terjadinya kerebahan pada tanaman biji-bijian. Kekurangan K betul-betul dapat mengurangi hasil dan menurunkan resistensi tanaman terhadap penyakitpenyakit tertentu, seperti Powldry-midew (kerusakan pada bagian batang) pada tanaman gandum, busuk akar dan Winter killed pada tanaman Alfalfa. Kekurangan K juga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas tanaman buah-buahan dan sayuran (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).
C. SIFAT KIMIA TANAH 1. Koloid Tanah Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan berat (massa) (Hardjowigeno, 2007). Koloid bersal dari kata Yunani yang berarti seperti lem (glue), termasuk koloid tanah adalah liat (koloid anorganik) dan humus (koloid organik). Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2007) koloid berukuran kurang dari 1μm (mikrometer), sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 μm) termasuk koloid. Koloid tanah merupakan bagian tanah yang sangat aktif dalam reaksi-reaksi fisikiomia di dalam tanah. a. Mineral liat Mineral liat adalah mineral yang berukuran kurang dari 2 μm. mineral liat dalam tanah terbentuk karena (a) rekristalisasi (sintesis) dari senyawa-senyawa hasil pelapukan mineral primer atau (b) alterisasi (perubahan) langsung dari mineral primer yang telah ada (misalnya mika menjadi ilit). Mineral liat dalam tanah dibedakan menjadi : a. Mineral liat Al-silikat b. Oksida-oksida Fe dan Al c. Mineral-mineral primer Mineral liat Al-silikat dapat dibedakan menjadi (a) Mineral liat Al-silikat yang mempunyai bentuk kristal yang baik (kristalin) misalnya kaolinit, haloisit, montmorilit, dan (b) mineral liat Al-silikat amorf, misalnya alofan. Di Indonesia, kaolinit dan haloisit banyak ditemukan pada tanah-tanah merah (coklat) yaitu tanah-tanah yang umumnya berdrainase baik, sedangkan montmorilonit ditemukan pada tanah-tanah yang mudah mengembang dan mengerut dan pecah-pecah pada musim kering. Illit ditemukan pada tanah-tanah berasal dari bahan induk yang banyak
5
mengandung mika dan belum mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak ditemukan pada tanah berasal dari abu gunung api seperti tanah Andisol (Andosol). Pada tanah-tanah tua seperti Oxisol banyak mineral liat silikat yang telah hancur dan membentuk mineral liat baru yaitu oksida-oksida Fe atau Al (seskuioksida). Pada mineral liat kaolinit (1:1) masing-masing unit melekat dengan unit lain dengan kuat (oleh ikatan H) sehingga mineral ini tidak mudah mengembang dan mengerut bila basah dan kering dan bergantian. Substitusi isomorfik sedikit atau tidak ada sehingga kandungan muatan negatif atau kapasitas tukar kation rendah (Hardjowigeno, 2007). Muatan negatif hanya pada patahan-patahan kristal atau akibat disosiasi H bila pH naik. Oleh karena itu, muatan negatif mineral ini meningkat bila pH naik (muatan tergantung pH).
2. Kapasitas Tukar Kation Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+, dan sebagainya. Menurut Hardjowigeno (2007) di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat pada larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation. Kapasitas tukar kation dinyatakan dalam satuan kimia yaitu miliekivalen per 100 g (me/100 g). Satu ekivalen adalah suatu jumlah yang secara kimia setara dengan 1 g hidrogen. Jumlah atom dalam setiap satu ekivalen adalah 6.02 102 (=bilangan Avogardo). Dengan demikian, 1 miliekivalen setara dengan 1 mg hidrogen dan terdiri dari 6.02 1020 atom hidrogen. Bila tanah mempunyai kapasitas tukar kation 1 me/100 g berarti setiap 100 g tanah mengandung 6.02 1020 muatan negatif. Dalam taksonomi tanah, semenjak 1987, satuan me/100 g diganti menjadi cmol(+)/kg, dimana 1 me/100 g tanah = 1 cmol(+)/kg. Kapasitas tukar kation tiap kolid berbeda. Humus mempunyai KTK yang jauh lebih tinggi dibanding mineral, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis kolid tanah dengan nilai kapasitas tukar kation (Hardjowigeno, 2007) Jenis koloid tanah Nilai kapasitas tukar kation (cmol(+)/kg) Humus 100-300 Chlorit 10-40 Montmorilonit 90-150 Illit 10-40 Kolinit 3-15 Haloisit 2H2O 5-10 Haloisit 4H2O 40-5
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi kation basa, C, Mg, K, dan Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah,
6
tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air.
3. pH Tanah Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut (Hardjowigeno, 2007). Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difikasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap karena difikasi oleh Ca. Pada tanah-tanah rawa pH yang terlalu rendah (sangat masam) menunjukan kandungan sulfat tinggi, yang juga merupakan racun bagi tanaman. Selain itu, pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro juga menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur-unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga menjadi racun jika terdapat dalam jumlah yang terlalu besar. Termasuk unsur mikro dalam jenis ini adalah Fe, Mn, Zn, Cu, dan Co. Unsur mikro yang lain yaitu Mo dapat menjadi racun kalau pH terlalu alkalis. Di samping itu, tanah yang terlalu alkalis juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang dapat menjadi racun bagi tanaman.
D. PENGOLAHAN CITRA Analis citra (image analysis) dapat dilakukan melalui dua metode, image processing dan pattern recognition. Image processing adalah sekelompok teknik komputasi untuk menganalisa, peningkatan mutu citra (enhacing), kompresi dan rekonstruksi citra. Sistem visual adalah sebuah proses untuk memperoleh pengukuran atau abstraksi dari sifatsifat geometri dari citra. Komponen yang membentuk sistem visual adalah komponen geometri, pengukuran, dan interpretasi. Pembentukan citra terdiri atas geometri citra yang menentukan suatu titik dalam suatu image, diproyeksikan pada bidang citra sebagai fungsi pencahayaan image dan sifat-sifat permukaan (Arymurthy dan Suryana, 1992). Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem perangkat citra digital yang melakukan penjelajahan citra membentuk suatu matrik dimana elemen-elemennya menyatakan tingkat intensitas cahaya pada suatu lingkungan diskrit dari titik. Sistem tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolahan citra seperti terlihat pada Gambar 1. Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra. Angka numerik (1 byte) dari pixel disebut digital number (DN). DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Unit terkecil dari data digital adalah bit, yaitu angka biner, 0 atau 1. Kumpulan dari data sejumlah 8 bit adalah sebuah unit data yang disebut byte, dengan nilai 0-255. Dalam hal citra digital nilai level
7
energi dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8-bit. Citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak bergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel sama pada seluruh bagian citra. Titik-titik tersebut menggambarkan posisi koordinat dan menunjukan warna citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green, Blue (RGB).
Citra masukan
Sensor
Pengubah analog ke Citra digital digital
Monitor Peraga
Penyimpanan Bingkai Citra
Komputer digital
Gambar 1. Sistem terdepan dari pengolahan citra (Arymurthy dan Suryana, 1992)
Citra (x,y) disimpan dalam memori komputer atau penyimpanan bingkai citra dalam bentuk array N x M dari contoh diskrit dengan jarak sama, sebagai berikut :
f(x,y) =
0,0 1,0 ….. N, 0
0,1 … 1,1 … …. … N, 1 …
0, M 1 1, M 1 ………. N, M 1
Citra dengan format 8 bit memiliki 256 tingkat keabuan atau intensitas warna. Nilai tersebut berkisar antara 0-255, dimana nilai 0 menunjukan tingkat paling gelap (hitam), sedangkan nilai 255 menunjukan tingkat paling terang dan tingkat abu-abu berada diantaranya. Citra dengan 24 bit mempunyai 16.777.216 kombinasi warna. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Sebuah warna didefinisikan sebagai jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau, biru) yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas dapat berkisar dari 0% sampai 100%. Jumlah bit yang digunakan untuk mempresentasikan resolusi dari intensitas menunjukan jumlah warna yang dapat ditampilkan. Intensitas nol untuk ketiga warna pokok berarti warna putih. Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model RGB (Red, Green, Blue), model CMYK (Cyan, Magenta, Yellow,Chromatic),YcbCr (luminese serta dua komponen krominasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai perbandingan.
8
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut : Indeks warna merah (Ired) =
(1)
Indeks warna hijau (Igreen) =
(2)
Indeks warna biru (Iblue)
(3)
=
E. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografis. Sistem informasi geografis adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009). Sistem informasi geografis adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009). Alasan yang menyebabkan mengapa konsep SIG beserta aplikasinya dipergunakan di berbagai disiplin ilmu adalah karena SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya. Modifiksi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untuk mempresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah. Perangkat lunak SIG hampir semua memiliki galeri atau pustaka yang menyediakan simbol-simbol standar yang diperlukan untuk kepentingan kartografis atau produksi peta. Selain itu, transformasi koordinat, refelktifitas, dan registrasi data spasial sangat didukung. Dengan demikian, manipulasi bentuk dan tampilan visual data spasial dalam berbagai skala yang berbeda dapat digunakan dengan fleksibel (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009). SIG berdasarkan operasinya, dapat terbagi dalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas atau transparasi), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut secara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009).
F. BAGAN WARNA DAUN Warna daun adalah suatu indikator yang berguna bagi kebutuhan pupuk N tanaman padi. Skala warna, yang tersusun dari suatu seri warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua, sesuai dengan warna-warna daun di lapang. Beberapa metode pengukuran warna daun sebelumnya mempunyai kelemahan termasuk kerusakan pada tanaman, memerlukan peralatan yang mahal, dan kesulitan dalam pengukuran (Gani, 2006). Sebagai contoh, fluoresensi khlorofil sering digunakan
9
untuk menganalisis fotosintesa tanpa merusak tanaman. Karena itu, perubahan fluoresen adalah salah satu indeks yang berguna untuk menunjukan efisiensi fotosintesis, juga kondisi khlorofil dan dan kehijauan daun. Salah satu fluorometer ini disebut MINIPAM, namun penggunaannya terbatas (Kim et al., 2006 dalam Gani, 2006). Suatu alat sederhana, walaupun mahal, dapat menentukan jumlah khlorofil dalam daun tanaman, disebut SPAD-502 (KONICA MINOLTA 1989) secara digital mencatat jumlah relatif dari molekul khlorofil. Pencatatannya disebut nilai SPAD, diperhitungkan berdasarkan jumlah cahaya yang ditransmisikan oleh daun dalam dua berkas panjang gelombang dimana absorbansi khlorofil berbeda. Nilai SPAD yang ditentukan menggunakan SPAD-502 memberikan indikasi tentang jumlah relatif khlorofil yang ada di dalam daun. Dobermann and Fairhurst (2000) dalam Gani (2006) melaporkan nilai SPAD sebesar 35 bagi daun paling atas yang telah mengembang sempurna digunakan sebagai suatu nilai batas kekurangan N (perlu diberi N) pada padi indica unggul yang pindah tanam. Batas bagi tanam langsung adalah nilai SPAD 32-33. Bagan warna daun (BWD) pertama kali dikembangkan di Jepang, dan kemudian penelitipeneliti dari Universitas Pertanian Zhejiang, Cina mengembangkan suatu BWD yang lebih baik dan mengkalibrasi dengan padi indica, japonica, dan hibrida. Alat ini kemudian menjadi model bagi BWD yang didistribusikan oleh Crop Resources and Management Network (CREMNET)IRRI untuk tanaman padi; suatu alat yang sederhana, mudah digunakan, dan tidak mahal untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. BWD ini merupakan alat yang cocok untuk mengoptimalkan penggunaan N, dengan berbagai sumber pupuk N; pupuk organik, pupuk bio, ataupun pupuk kimia. BWD terdiri atas empat warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua. BWD tidak dapat dapat menunjukan perbedaan warna hijau daun yang terlalu kecil sebagaimana pada khlorofil meter (SPAD). Namun, BWD bisa dibandingkan dengan SPAD untuk menentukan ketepatan relatifnya dalam menentukan status N tanaman padi (Gani, 2006). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Sukamandi, didapatkan korelasi dan regresi yang sangat nyata secara statistik antara nilai-nilai BWD dan SPAD, karena itu nilai BWD dapat digunakan untuk meregresikan nilai SPAD, pada berbagai musim, tipe tanah dan varietas padi. Nampak bahwa pembacaan BWD dapat digunakan dengan ketepatan dan validitas yang tinggi untuk mengukur warna daun (Gani, 2006). Penggunaan BWD dapat digunakan melalui dua cara. Cara pertama berdasarkan kebutuhan riil tanaman (real time), dengan membandingkan warna daun padi dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21-28 hari setelah tanam (HST) sampai fase primordia (pada padi hibrida dan padi tipe baru atau PTB dilanjutkan sampai fase 10% berbunga). Tanaman segera diberi pupuk N ketika warna daun berada dibawah skala 4 BWD. Metode ini, petani perlu sering ke sawah untuk membandingkan warna daun padi dengan BWD. Berikut ini akan disajikan kriteria pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil yang diharapkan bila warna daun dibawah nilai kritis (skala <4 BWD) pada Tabel 2.
Tabel 2. Takaran urea yang diperlukan bila warna daun dibawah nilai kritis , skala < 4 BWD (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) Respon terhadap pupuk N Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Pembacaan BWD Target hasil (ton/ha GKG) ≈ 5.0 ≈ 6.0 ≈ 7.0 ≈ 8.0 Takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD < 4 50 75 100 125
10
Metode kedua berdasarkan waktu yang telah ditetapkan (fixed time), biasanya berdasarkan pertumbuhan tanaman, yaitu pertumbuhan awal (0-14 HST), pembentukan anakan aktif (21-28 HST), dan primordia. Dengan cara ini hanya melakukan 2-3 kali pengukuran warna daun padi dengan BWD. Sebelum berumur 14 hari setelah tanam pindah (HST), tanaman padi diberi pupuk dasar N dengan takaran 50-70 kg per hektar. Pada saat itu BWD belum diperlukan. BWD digunakan pada pemupukan kedua atau stadia anakan aktif (21-28 HST) dan pemupukan ketiga atau primordia (35-40 HST) dengan membandingkan warna daun dengan skala BWD. Prosedur pemberian pupuk yang diberikan sesuai skala warna pada BWD dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Takaran urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang ditetapkan (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) Respon terhadap pupuk N Pembacaan BWD
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Target hasil (ton/ha GKG) ≈ 5.0
≈ 6.0
≈ 7.0
≈ 8.0
Takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD ≤ 3
75
100
125
150
BWD = 3.5
50
75
100
125
BWD ≥ 4
0
0-50
50
50
G. PERTANIAN PRESISI Pertanian presisi merupakan informasi dan teknologi pada sistem pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan dan menjaga lingkungan (Prabawa et al., 2009). Tujuan dari pertanian presisi adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Pertanian presisi merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi. Manajemen Informasi Geografis (Management Information System) dalam presisi pertanian meliputi Sistem Informasi Geografis (Geographical Information System), Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System), dan data (crop models and field history). Pertanian presisi sebagai teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar Indonesia perlu segera dimulai penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan pertanian presisi melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta pertumbuhan tanaman (growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi (variable rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan lainlain. Penggabungan peta hasil, peta tanah, dan peta pertumbuhan tanaman menghasilkan peta informasi lahan sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application.
11
H. PENELITIAN TERDAHULU Aplikasi pengolahan citra berbasis sensor untuk menganalisa kebutuhan pupuk terhadap tanaman padi masih belum ditemukan sebelumnya. Penelitian mengenai pengolahan citra lebih banyak ditemukan penggunaan foto udara untuk menganalisa topografi suatu lahan. Dalam penelitian Tangwongkit et al. (2006) menerapkan alat penyemprot otomatis dengan pengolahan citra berbasis sensor. Penelitian tersebut menggunakan traktor yang terdapat webcam pada bagian depan. Webcam berfungsi untuk mengambil gambar yang kemudian digunakan sebagai data masukan untuk menentukan kebutuhan insekstisida. Penelitian mengenai prediksi kandungan nitrogen pada daun adalah dengan menganalisis posisi tepi kanal merah atau REP (Red Edge Position) sebagai predictor (Lamb et al., 2002). Menurut Baranoski dan Rokne. (2002), REP adalah titik kemiringan (slope) maksimum spectrum reflektans tanaman di antara panjang gelombang-panjang gelombang merah (red) dan dekat infra merah (near-infra red atau NIR). Peningkatan kandungan khlorofil menyebabkan pergeseran REP di sekitar 680 ηm (Cho MA, 2007). Pergeseran REP berkaitan erat dengan perubahan khlorofil, nitrogen, status fenologi, dan tingkat stress tanaman (Baranoski dan Rokne, 2002). Pergeseran REP yang berkisar antara panjang gelombang 670-780 nanometer (ηm) disebabkan oleh efek gabungan dari absorbsi khlorofil yang kuat di panjang gelombang merah dan reflektans yang tinggi di panjang gelombang NIR karena adanya penyebaran di internal daun (Gates et al., 1965; Horler et al., 1983). Penelitian Ismunadji et al. (1985) menggunakan skala warna dengan sistem Munsell yang telah diperbaiki untuk menduga status hara tanaman. Skala warna daun tersebut berupa 9 kepingan warna dari hue GY (Green Yellow). Skala warna kepingan warna dimulai dari 0 sampai dengan 8. Kisaran 4-5.5 menunjukkan kadar nitrogen yang cukup. Angka kurang dari 4 dan lebih dari 5.5 berturut-turut menunjukkan kekurangan dan kelebihan nitrogen. Keping warna ini digunakan saat sebelum pembentukan primordia bunga pada tanaman yang tumbuh di lapangan. Pada Gambar 2 dapat dilihat warna daun tanaman padi berubah dengan fase tumbuh. Hue sampai pertengahan fase masak berfluktasi antara 5 sampai 7 GY dan pada fase selanjutnya warna menjadi hijau kekuningan muda dan akhirnya tanaman mengering. Perubahan warna yang khas dari warna daun pada saat pembentukan primordia bunga, yaitu turunnya hue dan meningkatnya nilai kroma. Hubungan antara skala warna dengan kadar nirogen daun padi disajikan pada Tabel 4. Kadar nitrogen meningkat dengan nomor skala warna yang semakin besar. Tabel 4. Hubungan antara nomor skala dengan kadar nirogen daun padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985) No. skala warna Kadar nitrogen daun (%) 0.8
0.55
2.9
1.09
3.8
1.59
4.0
1.92
4.2
2.07
5.3
2.68
5.6
2.70
12
Gambar 2. Perubahan warna daun dengan fase tumbuh pada tanaman padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985)
Penelitian yang dilakukan Ismunadji et al. (1985) tidak hanya dilakukan pada tanaman padi tetapi juga tanaman kedelai. Pada Gambar 3 menunjukan grafik hubungan kadar klorofil dengan skala warna.
Gambar 3. Hubungan antara skala warna dan kadar klorofil daun kedelai varietas Wilis. Kampung muara. (Ismunadji et al., 1985)
Penelitian bagan warna daun (BWD) di Maligaya, Filipina menunjukan bahwa dengan menerapkan bagan warna daun skala 4, petani kooperator dapat menghemat penggunaan pupuk N
13
10-53 kg N/ha atau sekitar 10-58% dari takaran umum yang diterapkan oleh petani untuk mencapai produktivitas yang sama. Serangan penyakit bakteri bercak daun dan penyakit bergaris merah juga tidak banyak ditemukan pada petak yang menerapkan BWD (Morales, 2000 dalam Wahid, 2003). Abdulrahman et al. (2001) diacu dalam Wahid (2003) melaporkan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan status klorofil daun dengan menggunakan chlorophyll meter (SPAD) atau BWD dapat menghemat urea 30-40%. Wahid et al. (2001) melaporkan bahwa keuntungan usaha tani usaha padi dengan menerapkan BWD-4 dan BWD-5 lebih tinggi daripada cara petani atau pemupukan sesuai rekomendasi. Penghematan pupuk N dibandingkan dengan takaran rekomendasi sebesar 75 kg N (60%) untuk BWD-4 dan sekitar 15 kg N (12%) untuk BWD-5.
14
III. METODE PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai dengan Oktober 2010. Perancangan alat dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai Agustus 2010 di Bengkel Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, pengujian lapangan dilaksanakan pada 13, 14 dan 15 Oktober 2010 di Lab Lapangan Leuwikopo, IPB, pengujian tanah dan jaringan tanaman dilaksanakan pada 22 dan 28 Oktober 2010 di Lab Tanah, Balai Penelitian Tanah sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Manajemen dan Mekanisasi Petanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
B. ALAT DAN BAHAN Alat dan bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah : 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Laptop Toshiba Satellite A75. Spesifikasi yang digunakan yaitu Intel Pentium® 4 dengan kecepatan 3.2 Ghz (dual processor), Graphic Card 64 MB, Hard Disc 80 GB, dan RAM sebesar 512 MB. Sistem operasi Microsoft Windows XP Home Edition Software Microsoft Visual Basic 6.0 Kamera webcam dan CCD untuk mengambil citra di lapangan Corel Draw yang digunakan untuk pemetaan Bagan warna daun IRRI 4 level Bahan pembuat rangka alat sensor citra warna daun : (ban, triplek, besi pipa, plat siku, besi hollow, aki, sensor magnet)
C. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :
1.
Pembuatan Alat Alat yang digunakan berupa gerobak yang terdapat kamera pada bagian depannya. Terdiri atas beberapa komponen seperti roda, rangka penjepit roda, meja alas, gagang, dan rangka dudukan kamera. Prinsip kerja alat ini adalah mengambil dan menyimpan citra padi di lahan basah. Oleh karena itu, roda dirancang khusus untuk dapat beroperasi pada lahan basah. Jumlah roda yang digunakan satu buah untuk memudahkan pengoperasian alat dan tidak merusak tanaman saat uji kinerja di lapangan. Pada bagian meja alas dirancang untuk menahan beban laptop dan aki. Pada bagian kamera terhubung laptop melalui kabel output video dan kabel usb sedangkan sensor terhubung dengan laptop melalui kabel pararel port. Ketinggian alat ini dapat diatur oleh bagian rangka penjepit roda dan rangka dudukan kamera. Dengan pengaturan tinggi alat pada kedua bagian rangka tersebut ukuran image dapat diatur.
15
2.
Pembuatan Program Visual Basic 6.0 Pembuatan program Visual Basic yang dibuat oleh tim peneliti terdiri atas dua tahapan, tahapan pertama, pembuatan program untuk mengambil gambar. Prinsip kerja program ini adalah mengambil suatu gambar yang telah diatur sesuai jarak yang diinginkan melalui penghitungan jumlah magnet oleh sensor. Citra yang telah diambil kemudian disimpan pada hardisk laptop. Tahapan kedua, pembuatan program untuk mengolah citra untuk mengukur parameter kehijauan daun dan luas daun.
3.
Persiapan Lahan Lahan yang digunakan pada penelitian adalah lahan laboratorium lapangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Leuwikopo yang sudah ditanami padi. Lahan yang digunakan adalah lahan basah yang tidak terlalu dalam lumpurnya. Ketinggian genangan air berkisar 1-3 cm. Ukuran lahan memiliki panjang 26 meter dan lebar 7 meter. Jarak antar baris tanaman 25 cm sedangkan jarak tanaman dalam satu baris 20 cm. Umur tanaman padi pada lahan tersebut berkisar 2-4 minggu.
4.
Uji Kinerja Pengambilan data berupa gambar tanaman padi menggunakan kamera CCD yang terhubung dengan laptop (notebook). Kamera CCD dan laptop dipasangkan pada gerobak yang dapat dioperasikan pada lahan basah. Pengambilan gambar dilakukan dengan cara posisi kamera harus tegak lurus terhadap bidang, lensa kamera harus sejajar dengan permukaan tanah untuk mendapatkan gambar yang benar. Pengambilan gambar tanaman padi disertai dengan bagan warna daun sebagai pembanding keadaan intensitas cahaya. Tanaman padi yang diambil citranya terdiri atas berbagai kelas berdasarkan tingkat warna daun 2, 3, 4 dan 5. Selain untuk mengukur parameter kehijauan daun, pengambilan citra digunakan untuk mengukur parameter luas daun. Hasil pengambilan gambar kemudian direkam dan disimpan dalam bentuk file image berekstensi JPEG. Data yang telah diambil kemudian diolah menggunakan program image processing menggunakan bahasa Visual Basic 6.0. Program tersebut dirancang untuk mendapatkan data-data dari gambar tanaman padi yang diambil selama pertumbuhan.
5.
Pengolahan Gambar Pada tahap pengolahan citra dilakukan dengan menganalisis seluruh data yang disimpan dalam bentuk JPEG. Dalam menganalisis data data, digunakan program pengolahan citra Microsoft Visual Basic 6.0. Ruang lingkup program tersebut terdiri atas modul membuka file, modul filterisasi dan modul peragaan secara grafis pada citra yang diolah. Program dirancang untuk memisahkan gambar objek dengan latar belakang (tresholding) yang bertujuan untuk menganalisis klasifikasi kelas berdasarkan warna daun dan luas daun. Proses tresholding dilakukan dengan perhitungan nilai parameter warna meliputi color value, Indeks R, Indeks G, dan Indeks B (Ired, Igreen, Iblue).
16
a. Perhitungan luas daun Perhitungan luas daun padi dilakukan dengan perbandingan luas pixels dengan pengukuran luas sebenarnya. Jumlah luas pixel citra dari hasil pengambilan gambar tergantung pada ketinggian kamera. Maka dari itu perlu dilakukan kalibrasi percobaan dengan mencatat panjang dan lebar tangkapan kamera pada suatu ketinggian tertentu. Rumus perhitungan jumlah luas daun adalah :
(4)
Luas daun (cm2 /rumpun ) =
(5)
b. Pengukuran hijau daun Pengukuran kehijauan daun dilakukan untuk mengetahui kelas (level) warna daun berdasarkan bagan warna daun yang terdiri atas tingkat warna 2, 3, 4 dan 5. Hasil dari pengelompokan kelas tersebut akan dianalisis untuk menentukan jumlah kebutuhan unsur hara (N, P, K) yang cukup. Untuk menentukan nilai kehijauan digunakan metode jarak euclidian. Jarak terpendek dari nilai jarak keempat level bagan warna daun tersebut merupakan nilai kelas kehijauan daun. Rumus untuk menentukan jarak untuk satu level BWD adalah :
Jarak BWD =
(6)
Keterangan : Rr2 : jumlah intensitas citra warna merah (R) Rg2 : jumlah intensitas citra warna hijau (G) Rb2 : jumlah intensitas citra warna biru (B) Rr : jumlah intensitas level BWD warna merah (R) Rg : jumlah intensitas level BWD warna hijau (G) Rb : jumlah intensitas level BWD warna biru (B)
6.
Pengujian Tanah dan Jaringan Tanaman Selain penggunaan bagan warna daun (BWD), dilakukan pengujian tanah dan jaringan tanaman bertujuan untuk mengetahui status unsur hara makro dan mikro tanaman. Uji tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah. Sebelum pengambilan contoh tanah dan jaringan tanaman perlu diperhatikan keseragaman areal atau hamparan. Beberapa titik pengambilan contoh tanah ditentukan secara acak. Pada saat pengambilan kondisi tanah dalam keadaan lembab, tidak terlalu basah atau kering. Pengambilan tanah diambil dengan cangkul pada kedalaman 0-20 cm. Contoh tanah kemudian diaduk merata didalam ember plastik, untuk satu contoh tanah yang diuji diperlukan bobot minimal 500 gram. Uji tanah dilakukan untuk menganalisa pH-H20 dan KCl 1 M, C-Organik, N-Kjeldhal, P2O5, K2O dan kapasitas tukar kation (KTK). Apabila kadar unsur hara yang ada dalam tanah
17
dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara bagi tanaman, maka akan diketahui apakah kadar unsur-unsur hara dalam tanah tersebut sangat rendah (kurang), rendah, sedang atau tinggi. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada Lampiran 13. Kekurangan unsur hara di dalam tanah dapat juga diketahui dari analisa jaringan tanaman. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa konsentrasi suatu unsur hara di dalam tanaman merupakan hasil interaksi dari semua faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur tersebut dari dalam tanah. Pada pengujian jaringan tanaman diambil 16 contoh tanaman yang berbeda dan merata pada masing-masing level bagan warna daun. Pengambilan satu contoh jaringan tanaman diperlukkan bobot minimal 25 gram kering. Jaringan tanaman yang akan dianalisis adalah N-Kjeldahl, P, dan K.
7.
Penggunaan Bagan Warna Daun Hasil dari pengamatan dengan pengambilan gambar kemudian dibandingkan dengan penggunaan bagan warna daun. Pengukuran tingkat kehijauan daun padi dengan BWD dimulai pada saat tanaman berumur 25-28 HST atau selang 7-10 hari setelah pemupukan pertama. Pengukuran daun dilakukan dengan mengambil satu sample daun untuk satu tanaman. Warna dari tiap daun yang terpilih diukur dengan menempatkan bagian tengah daun di atas standar warna untuk dibandingkan (Gambar 4).
Gambar 4. Pengukuran bagan warna daun (BWD) untuk mengukur warna daun dalam penetapan pemupukan N pada tanaman padi
Selama pengukuran, daun yang sedang diukur terlindungi oleh badan karena pembacaan warna daun dipengaruhi oleh sudut matahari dan intensitas matahari. Pengukuran dilakukan oleh orang yang sama pada waktu yang sama, supaya nilai pengukuran lebih akurat.
8.
Pemetaan Hasil dari pengolahan citra dan pengukuran dengan bagan warna daun kemudian dibandingkan, sehingga hasil informasi lebih tepat. Hasil informasi kemudian diterjemahkan ke dalam peta spasial. Peta spasial tersebut berupa wilayah yang dibagi menjadi beberapa
18
petak sawah. Tiap petak menunjukkan informasi kekurangan dan kelebihan pupuk serta dosis aplikasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk nilai warna. Nilai warna warna hijau tua menunjukan dugaan lahan tersebut subur sampai nilai warna hijau kekuningan yang menunjukan dugaan lahan tersebut tidak subur.
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERANCANGAN ALAT Perancangan alat terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama membuat rancangan alat pengambilan citra, yakni, rangka penjepit roda, rangka alas, rangka dudukan magnet, tuas pendorong, dan dudukan sensor. Dalam perancangan ini rangka alas dibuat kuat dan kecil untuk mengurangi beban. Tahap selanjutnya, dalam perancangan alat penangkap citra untuk di lahan basah (sawah) pada roda perlu dirancang khusus agar saat pengoperasian tidak slip. Oleh karena itu, permukaan roda dibuat lebih agak lebar 4 cm dari roda karet untuk menambah luas permukaan roda. Pada tahap perancangan ini hanya mengganti karet ban dengan pelat datar. Rancangan alat dapat dilihat pada Gambar 5 sedangkan gambar pembuatan prototipe alat penangkap citra ini dapat dilihat pada Gambar 6.
3 2
4
1
5
12
6
7
11
8
10 9 Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Rangka dudukan kamera Laptop Aki Tuas penarik Rangka alas Rangka penjepit roda Kabel pararel port Sensor jarak Roda pelat datar Bagan warna daun Kamera CCD Kabel kamera Gambar 5. Rancangan alat penangkap citra otomatis
20
Gambar 6. Pembuatan prototipe alat untuk pengambilan citra
1. Rancangan Fungsional Rancangan ini terdiri atas beberapa komponen seperti : a. Rangka Meja Alas Rangka alas berfungsi sebagai dudukan laptop dan aki. Bagian ini terhubung dengan dudukan kamera dan penjepit roda. Pada bagian rangka ini terdapat triplek kayu yang mampu menahan beban laptop dan aki. b. Dudukan Kamera Bagian ini berfungsi sebagai pengikat kamera CCD yang akan dihubungkan kabel dengan laptop. Dudukan kamera ini dapat diatur ketinggiannya dengan mengatur putaran sekrup. Oleh karena itu, ukuran citra (lebar dan panjang) hasil tangkapan kamera dapat disesuaikan ketinggiannya oleh rangka dudukan kamera. c. Penjepit Roda Penjepit roda berfungsi sebagai penyangga dan penghubung meja alas. Selain penghubung meja alas, rangka penjepit roda juga penghubung roda yang dapat diatur ketinggiannya. d. Roda Roda dirancang agar dapat berjalan pada lahan basah sehingga pada saat pengujian roda tidak banyak slip dan perhitungan sensor tepat sesuai dengan jarak yang diinginkan. e. Tuas (Gagang) Fungsi utama tuas adalah untuk mengatur dan mengendalikan alat. Pada saat pengoperasian, pengoperasian alat ini digerakan dengan cara ditarik. f. Sensor Sensor ini berfungsi perhitungan jarak untuk proses pengambilan gambar. Sensor yang digunakan pada alat ini adalah sensor magnet yang dipasangkan pada penjepit roda. Prinsip kerja sensor ini adalah saklar didalam sensor ini akan terputus bila terkena magnet dan tersambung kembali bila tidak terkena magnet. Magnet yang berjumlah 8 ditempelkan oleh dudukan yang terbuat dari triplek kayu berbentuk lingkaran. Sensor ini dihubungkan laptop dengan kabel pararel port yang kemudian diterjemahkan dengan program Microsoft Visual
21
Basic 6.0. Sensor tersebut mengirimkan tanda (signal) kepada program untuk menghitung jarak tempuh yang telah dilalui alat. Perhitungan jarak ditentukan dengan keliling dudukan magnet yang sudah ditempelkan magnet sehingga perhitungan jarak disesuaikan oleh jumlah magnet. Selain itu, sensor yang terbaca oleh program juga digunakan untuk perintah mengambil gambar. g. Kamera Kamera pada alat ini berfungsi untuk mengambil gambar yang terdapat pada lahan. Pada awalnya, kamera yang digunakan adalah kamera webcam. Namun, saat digunakan di luar lapangan, gambar yang dihasilkan kurang baik. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang tinggi yakni 800 lux. Sehingga penggunaan webcam diganti dengan kamera CCD. Rincian spesifikasi kamera CCD dapat dilihat pada Lampiran 1. Kualitas gambar dipengaruhi oleh resolusi dan frame per second (fps) pada kamera. Kamera CCD memiliki resolusi gambar lebih rendah dibandingkan kamera webcam. Namun, kamera ini memiliki frame per second yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Jenis kamera CCD dan webcam dapat dilihat pada Gambar 7.
(a) CCD kamera
(b) webcam
Gambar 7. Kamera yang digunakan untuk menangkap citra
2. Rancangan Struktural Rancangan sturuktural terdiri atas beberapa komponen : a. Rangka Dudukan Kamera Bagian ini terbuat dari besi berbentuk batang kubus berlubang dengan ukuran panjang 70 cm, lebar 4 cm dan tinggi 4 cm. Besi plat datar menghubungkan besi batang kubus dengan kamera, panjang besi plat datar 6 cm. Bagian lain pada rangka ini adalah bagian pengatur ketinggian yang terhubung dengan meja alas. Penghubung kedua bagian ini adalah besi berbentuk batang kubus berlubang dengan panjang 50 cm, lebar 4 cm, dan tinggi 4 cm membentuk sudut 45° terhadap bidang horizontal meja alas. Bagian pengatur ketinggian terdapat sekrup untuk menahan dan mengatur ketinggian. Terbuat dari besi kubus berlubang dengan panjang 20 cm, lebar 6 cm dan tinggi 6 cm. Tampilan rangka dapat dilihat pada Gambar 8.
22
Gambar 8. Rangka dudukan kamera
b. Rangka Penjepit Roda Bagian ini terbuat dari stainless steel berbentuk balok berlubang dengan ukuran panjang 70 cm, lebar 6 cm dan tinggi 3 cm. Terdapat lima buah lubang pemasukan as roda sebagai pengatur ketinggian. Jarak antara satu lubang dengan lubang lainnya sebesar 5 cm. Diameter lubang bagian kanan berukuran 5 cm dan bagian kiri 3 cm. Tampilan rangka dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rangka penjepit roda
c. Roda Jumlah roda yang digunakan pada alat ini satu dengan diameter roda berukuran 57 cm. Rangka roda yang digunakan adalah rangka roda ban becak. Ban karet pada roda becak dilepas kemudian rangka roda dilapisi dengan besi pelat datar dengan lebar 9 cm dan tebal 1 mm. Pada bagian jari-jari roda dipasangkan dudukan magnet yang terbuat dari triplek kayu. Tampilan roda dapat dilihat pada Gambar 10.
23
Gambar 10. Roda yang dirancang untuk lahan basah
d. Tuas (Gagang) Tuas terbuat dari besi pipa dengan diameter 4 cm dan panjang 70 cm. Pada tuas dan meja terhubung dengan besi siku. Jarak antara meja dan tuas sebesar 20 cm. e. Dudukan Magnet Dudukan magnet (Gambar 11) berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm. Dudukan magnet terbuat dari bahan triplek kayu. Dudukan dipasangkan 8 buah magnet dengan pembagian jarak yang sama antara magnet satu dengan magnet lainnya.
Gambar 11. Dudukan magnet dan sensor
f. Rangka Meja Alas Meja alas terbuat dari besi siku dengan ukuran meja 50 x 50 cm dengan tebal 2 mm. Meja alas terhubung oleh dudukan kamera dan rangka penjepit roda dengan baut dan mur sehingga alat ini mudah dipasang dan dilepas.
24
B. KALIBRASI ALAT Sebelum pengujian di lapangan, dilakukan kalibrasi untuk menentukan jumlah pencacahan magnet dengan ketinggian kamera sehingga saat pengujian tinggi kamera sudah bisa ditentukan. Proses penghitungan jumlah magnet dan pengambilan gambar menggunakan bahasa pemograman Visual Basic 6.0 yang telah dibuat oleh tim peneliti. Tampilan program dapat dilihat pada Gambar 12. Pada menu file terdapat 1 textbox untuk mengetahui jumlah magnet yang telah terhitung dan 5 commandbox yaitu Capture, Quit, Start Count, Stop dan Reset.
1. Cara Kerja Program Sebelum program Visual Basic dijalankan perlu diperiksa keberadaan inpout32.dll terdapat pada sistem komputer. Tanpa keberadaan inpout 32.dll pada sistem komputer, kabel pararel port yang tersambung pada sensor tidak akan terbaca. Oleh karena itu, file inpout 32.dll perlu dimasukan ke dalam folder c:windows\system. Proses otomatisasi pencacahan menggunakan pemrograman microkontroler yang terdapat pada file inpout32.dll dengan penggalan program API (Application Program Interface) sebagai berikut: Private Declare Function SendMessage Lib "USER32" Alias "SendMessageA" (ByVal hwnd As Long, ByVal wMsg As Long, ByVal wParam As Long, lParam As Any) As Long Private Declare Function capCreateCaptureWindow Lib "avicap32.dll" Alias "capCreateCaptureWindowA" (ByVal lpszWindowName As String, ByVal dwStyle As Long, ByVal X As Long, ByVal Y As Long, ByVal nWidth As Long, ByVal nHeight As Long, ByVal hwndParent As Long, ByVal nID As Long) As Long Private mCapHwnd As Long Private Const CONNECT As Long = 1034 Private Const DISCONNECT As Long = 1035 Private Const GET_FRAME As Long = 1084 Private Const COPY As Long = 1054 Dim counter As Integer Dim t0 As Integer Dim t1 As Integer Dim nonmagnet As Integer Dim jumlah As Integer Dim continue As Boolean Program pengambilan gambar ini dapat dilakukan dengan cara manual dan otomatis. Prinsip kerja pengambilan gambar dengan cara manual saat alat ini bergerak tekan mouse pada commandbox Capture untuk mendapatkan foto objek yang diinginkan. Sedangkan prinsip kerja pengambilan gambar secara otomatis, tentukan jumlah pencacahan magnet yang diinginkan dan disesuikan jumlah ukuran tangkapan foto. Sebelum alat ini digerakan tekan program Start count. Setelah alat ini digerakan pada tampilan Textbox counter akan terlihat hasil pembacaan dan penghitungan jumlah magnet. Selanjutnya saat jumlah pencacahan yang telah terbaca kamera akan secara otomatis memotret objek. Hasil foto kemudian akan tersimpan pada folder yang telah ditentukan. Ketika pengambilan gambar selesai sebelum
25
mengambil gambar pada lahan lainnya tekan tombol Stop dan mengganti nama penyimpanan folder supaya hasil foto tidak tertimpa. Tombol Quit digunakan untuk keluar dari program.
Gambar 12. Tampilan program pengambilan citra
2. Hasil Kalibrasi Pengujian kalibrasi pertama dilakukan di lorong ruangan menggunakan kamera webcam. Objek yang diambil gambarnya adalah lantai yang sudah ditandai dengan nomor. Dari hasil pengujian tersebut akan dapat diketahui jumlah luas ukuran objek yang ditangkap pada ketinggian kamera tertentu. Pada awal percobaan kamera webcam memiliki kendala ketika pengujian di lapangan (outdoor). Pada percobaan selanjutnya kamera webcam diganti dengan kamera CCD yang tidak dipengaruhi dengan intensitas cahaya yang tinggi. Hasil penghitungan ukuran luas objek pada ketinggian tertentu dengan kamera CCD dan webcam dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Kamera webcam dipengaruhi intensitas cahaya sehingga ketika intensitas cahaya terlalu besar hasil kualitas gambar tidak bagus. Selain kalibrasi ketinggian kamera dilakukan pengujian intensitas cahaya dengan lux meter pada kondisi waktu yang berbeda yakni pagi, siang dan sore. Hal ini dilakukan untuk mengatur brightness dan saturation pada program sehingga kualitas gambar yang dihasilkan lebih baik. Hasil uji coba intensitas cahaya dengan lux meter dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 5. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera CCD dengan ketinggian kamera Tinggi kamera dari tanah Lebar image (cm) Panjang image (cm) (cm) 98 96 66 108 100 70 131.5 123 88 140 126 98
26
Tabel 6. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera webcam dengan ketinggian kamera Tinggi kamera dari tanah Lebar image (cm) Panjang image (cm) (cm) 30 30 23 40 37.5 29 50 50 38 60 56 43 70 65 52 80 76 58 90 86 64 100 93 75 120 120 85 130 123 96 140 133 103 150 140 110 Untuk memotret objek dapat diatur oleh pencacahan magnet berdasarkan lebar tangkapan gambar. Jika penggunaan diameter roda 60 cm maka jarak untuk satu putaran sebesar keliling lingkaran. Jumlah keliling lingkaran 2 x π x 30 = 188.4 cm. Dengan jumlah magnet yang digunakan 8 buah maka jarak untuk pembacaan satu magnet sebesar 23.55 cm. Pada lahan sawah menggunakan roda dengan diameter 57 cm maka keliling roda 178.98 cm. Jarak tiap penghitungan satu magnet 22.37 cm dengan jumlah magnet yang digunakan 8 buah magnet. Nilai ketelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai ketelitian berdasarkan panjang citra dengan pembacaan pencacah magnet Selisih jarak Panjang image Jumlah kali trigger tempuh dengan Ketelitian (cm) per image panjang image (cm/image) 50 2 5.25 0.89 52 2 7.25 0.86 54 2 9.25 0.82 56 2 11.25 0.79 58 2 13.25 0.77 60 2 15.25 0.74 62 2 17.25 0.72 64 2 19.25 0.69 66 2 21.25 0.67 68 2 23.25 0.65 70 2 25.25 0.63 72 3 4.88 0.93 74 3 6.88 0.90 76 3 8.88 0.88 78 3 10.88 0.86 80 3 12.88 0.83 82 3 14.88 0.81 84 3 16.88 0.79 86 3 18.88 0.78 88 3 20.88 0.76 90 3 22.88 0.74 92 3 24.88 0.73 96 4 6.51 0.93 98 4 8.51 0.91
27
C. UJI KINERJA ALAT Pengambilan gambar dilakukan tiga petak yang berbeda yaitu lahan pertama padi dengan pemberian pupuk murni urea, lahan kedua padi dengan pemberian pupuk organik dan urea, lahan ketiga dengan pemberian pupuk organik. Ukuran ketiga lahan tersebut sama yakni 26 x 7 m. Waktu pengujian dilakukan pada pagi dan siang hari. Pengoperasian alat ini dilakukan dengan cara ditarik. Gambar pengoperasian alat dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Uji kinerja alat di lahan sawah Pada saat pengambilan gambar, alat dioperasikan di antara dua baris tanaman yang berjarak 30 cm untuk mengindari kerusakan tanaman. Bagan Warna Daun (BWD) dipasangkan pada alat dengan besi penyangga, dimana posisi BWD berada di antara tanaman sehingga tanaman tidak tertutup oleh BWD. Posisi kamera berada pada ketinggian 140 cm dari permukaan tanah dan pemasangan roda diatur pada posisi paling tinggi. Hal ini dilakukan supaya tanaman yang berada kedua baris tersebut dapat terambil gambar. Pada pengambilan gambar, sensor diatur setiap pembacaan yang keempat akan diproses pengambilan gambar. Perhitungan ini berdasarkan jumlah keliling roda yakni 178.98 cm sehingga jarak untuk pembacaan satu magnet 22.37 cm dan pada saat pembacaan magnet yang keempat akan menempuh jarak 89.4 cm. Pengaturan jarak ini disesuaikan dengan hasil pengambilan gambar. Hasil pengambilan gambar untuk satu foto/frame berukuran 629 x 477 pixel. Tampilan hasil pengambilan citra dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Hasil citra yang diambil di sawah menggunakan kamera CCD
28
Rata-rata waktu tempuh pengambilan gambar untuk satu baris diperlukan waktu 3 menit. Sedangkan rata-rata waktu untuk belok yang diperlukan 2 menit. Dalam pengukuran di lapangan satu tangkapan foto berukuran lahan 115 x 98 cm. Saat pengoperasian terkadang BWD menghalangi tanaman padi. Hasil citra yang didapatkan beragam dengan berbagai macam konidisi. Hasil pengambilan citra pada berbagai macam kondisi dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada saat pengambilan satu gambar terdapat selisih antara lebar lahan dengan jarak penghitungan magnet sebesar 8.51 cm gambarnya. Jumlah gambar yang terambil bila tanpa hambatan berhentinya program saat pengoperasian 23 gambar/baris. Hasil dari keseluruhan jumlah citra tiap satu lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Jumlah foto yang lebih disebabkan oleh pengulangan program pengambilan foto sehingga dalam satu baris terdapat dua gambar yang sama. Pengulangan ini diakibatkan program tidak berjalan saat pengoperasian alat berlangsung. Sedangkan bila terdapat jumlah foto yang kurang disebabkan oleh roda yang tidak berputar melainkan bergeser mundur yang menyebabkan sensor tidak menghitung.
Tabel 8. Jumlah citra tiap 26 m lintasan pada tiap-tiap lahan Lahan ke-
Jumlah image per 26 m lintasan Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
Baris 5
Baris 6
1
24
23
23
23
21
22
2
21
19
22
24
21
26
3
24
22
24
21
26
24
D. PENGOLAHAN CITRA Hasil citra padi yang telah diambil dengan kamera CCD kemudian disimpan dalam memori hardisk dalam bentuk JPEG berukuran 629 x 477 pixel. Selanjutnya citra tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0. Tampilan program dapat dilihat pada Gambar 15. Program ini dirancang untuk menghitung dua parameter utama yaitu jumlah luas daun dan penentuan tingkat warna kehijauan berdasarkan bagan warna daun. Program pengolahan citra yang dibuat terdiri atas empat bagian utama, yakni proses membuka file gambar daun padi yang telah disimpan (open file), proses tresholding, proses pengukuran parameter, proses penghapusan gambar (delete), dan keluar (quit). Tahapan-tahapan untuk menjalankan program adalah sebagai berikut.
1. Pengambilan Citra Daun Padi Proses pengambilan citra menggunakan tombol perintah open file yang terdapat modul program Visual Basic 6.0. Proses ini bertujuan untuk mencari alamat file citra daun padi yang telah disimpan pada folder. Jika tombol open file diklik maka akan muncul dialog box selanjutnya letak citra yang telah disimpan pada memori hardisk dicari. Citra daun padi yang telah dipilih kemudian dibuka. Citra yang telah dibuka akan diproses tresholding untuk mengukur parameter. Setelah perhitungan parameter, citra gambar gambar dihapus sebelum membuka citra gambar lainnya.
29
Gambar 15. Tampilan program pengolahan citra
2. Proses Pemasukan Nilai Koordinat Citra yang telah ditampilkan kemudian dimasukan nilai batasan tresholding berupa batas koordinat citra x1 dan x2. Hal ini dilakukan supaya bagan warna pada citra tidak diproses tresholding. Proses pemasukan nilai selanjutnya adalah nilai koordinat x dan y setiap level bagan warna daun yang terdapat pada gambar. Koordinat x dan y dapat diketahui pada textbox koordinat. Prinsip kerjanya adalah dengan menggerakan mouse di ujung kiri atas pada salah satu level bagan warna daun. Nilai koordinat tersebut kemudian dimasukan pada textbox level tersebut (x1 dan y1). Selanjutnya, masih pada level bagan warna daun yang sama mouse digerakan pada ujung kanan bawah maka akan diketahui nilai koordinat x2 dan y2. Pemasukan nilai koordinat sama dilakukan pada level lainnya.
3. Proses Pemisahan Citra dengan Latar Belakang (Tresholding) Proses tresholding dilakukan dengan mengklik tombol perintah tresholding. Perintah ini bertujuan memisahkan objek daun dengan latar belakang. Perintah tresholding dilakukan tiga kali, tresholding pertama memisahkan objek daun berwarna hijau dengan warna selain daun menjadi berwarna hitam. Setiap piksel dengan intensitas warna hijau (G) > 190 akan diubah menjadi warna sesuai objeknya yaitu hijau sedangkan piksel lainnya yang tidak masuk dalam batasan tersebut akan diubah menjadi warna hitam (nilai RGB = 0). Tresholding kedua bertujuan memisahkan objek berwarna hijau dengan tanah berwarna cokelat. Setiap piksel dengan intensitas warna merah (R) > 200, warna hijau (G) > 200 dan warna biru (B) > 140 akan diubah warna menjadi hitam. Tresholding ketiga bertujuan memisahkan objek dari gangguan gangguan objek berwarna kuning dimana setiap nilai piksel dengan nilai intensitas
30
warna merah (R) > 90 dan warna hijau (G) > 200 diubah menjadi sesuai objeknya sedangkan sisa piksel lainnya diubah menjdai warna hitam. Nilai-nilai batasan tresholding ini didapatkan dengan cara coba-coba (trial and error). Tampilan citra sebelum dan sesudah tresholding dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Citra padi sebelum dan sesudah tresholding
4. Perhitungan Paramater-Parameter Warna dan Ukuran Setelah mengklik tombol perintah tresholding, maka program akan memproses datadata yang telah dimasukkan. Program akan menelusuri piksel demi piksel kemudian menghitung parameter nilai RGB keseluruhan citra dan nilai RGB setiap level. Selanjutnya nilai-nilai RGB tersebut akan menghitung jumlah luas daun melalui rumus persamaan (5) dan menentukan tingkat kehijauan daun dengan persamaan eucliand (6).
E. KARAKTERISTIK CITRA DAUN PADI 1. Karakteristik Luas Daun Peningkatan hasil tanaman mempunyai hubungan yang positif dengan peningkatan luas daun. Tanaman dapat menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun. Unsur C dan O diambil tanaman dari udara sebagai CO2 melalui stomata daun dalam proses fotosintesis. Unsur H diambil dari air tanah (H2O) oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 2007). Jumlah luas daun suatu tanaman dipengaruhi oleh unsur hara yang diperoleh. Oleh karena itu, parameter jumlah luas daun merupakan salah satu pendugaan kesuburan tanaman. Kesuburan tanaman tergantung dari pemberian pupuk dan ketersediaan unsur hara pada tanaman. Pengambilan citra dilakukan untuk menganalisis luas daun pada lahan padi dengan pemberian pupuk dengan jenis yang berbeda. Hasil pengolahan citra untuk menentukan luas daun dapat dilihat pada Tabel 9, 10 dan 11.
31
Tabel 9. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan pertama Rata-rata Luas Daun (cm2/rumpun) Image keBaris 1 Baris 2 Baris 3 Baris 4 Baris 5
Baris 6
1
74
83
72
84
64
75
2
82
65
66
50
78
79
3
90
68
71
51
68
77
4
85
67
77
51
76
72
5
95
75
76
59
67
62
6
79
82
72
61
65
62
7
88
79
77
68
71
53
8
85
83
70
51
62
78
9
80
86
65
52
68
64
10
81
64
69
49
68
74
11
83
63
61
53
69
57
12
87
80
67
59
65
63
13
78
75
63
44
49
59
14
88
84
68
55
74
52
15
67
73
59
63
80
75
16
85
71
55
60
60
41
17
70
80
58
55
65
43
18
71
77
58
62
70
41
19
90
72
65
53
65
40
20
83
74
48
57
70
54
21
76
69
69
45
65
46
22
80
86
56
56
23
90
86
52
58
24
70
Rata-rata
81.54
75.73
64.95
56.34
67.57
60
Simpangan baku
7.37
7.45
7.99
8.35
6.63
13.11
53
32
Tabel 10. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan kedua Image ke-
Rata-rata Luas Daun (cm2/rumpun) Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
Baris 5
Baris 6
1
72
94
97
58
115
104
2
67
88
93
106
92
96
3
77
71
87
146
88
95
4
79
118
93
82
95
62
5
57
113
87
103
92
92
6
83
135
97
62
58
93
7
69
90
98
102
78
84
8
51
67
90
104
138
88
9
46
91
95
99
105
74
10
68
84
101
99
76
114
11
109
131
87
88
59
104
12
104
136
102
50
55
97
13
49
111
84
61
50
61
14
91
62
96
70
51
83
15
71
67
114
43
60
88
16
96
98
112
55
66
64
17
108
84
76
63
81
95
18
96
54
78
55
83
93
19
73
63
81
58
72
77
20
53
71
110
67
77
21
53
61
112
67
85
22
65
83
105
96
23
102
101
24
117
98
25
104
26
94
Rata-rata
74.40
92.47
90.13
85.41
78.47
89.19
Simpangan baku
19.47
25.65
12.53
26.92
22.44
13.49
33
Tabel 11. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan ketiga Image ke-
Rata-rata Luas Daun (cm2/rumpun) Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
Baris 5
Baris 6
1
100
92
81
78
87
87
2
102
92
94
93
84
100
3
81
83
92
97
91
84
4
106
109
123
87
88
88
5
117
101
116
102
94
81
6
118
107
101
111
115
83
7
110
115
101
108
108
80
8
111
97
104
85
105
85
9
127
89
103
90
115
85
10
122
94
120
76
103
88
11
116
91
82
97
100
76
12
108
104
99
86
101
92
13
119
80
109
85
86
92
14
108
94
89
103
93
89
15
102
86
95
88
96
78.
16
118
79
113
95
89
79
17
108
95
83
81
89
76
18
106
89
88
86
108
73
19
114
77
91
96
118
76
20
89
84
87
106
104
70
21
118
88
96
98
100
77
22
90
91
91
101
74
23
94
125
122
80
24
83
110
101
87
25
107
26
100
Rata-rata
106.95
92.59
99.70
92.76
100.19
82.50
Simpangan baku
12.37
9.89
13.01
9.80
10.34
7.12
34
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata luas daun di lahan pertama, pada baris keempat dan keenam jumlah luas daun lebih sedikit dibandingkan baris lainnya. Hasil perhitungan juga menunjukan lahan pertama (dengan pemberian pupuk urea) rata-rata luas daun lebih sedikit dibandingkan dengan lahan kedua (dengan pemberian pupuk campuran, organik dan urea) dan lahan ketiga (dengan pemberian pupuk organik). Hal ini disebabkan waktu tanam yang berbeda pada tiap petak. Perbedaan waktu tanam pada tiap petak lima hari.
2. Karakteristik Tingkat Kehijauan Daun Selain untuk menduga luas daun pada satu tanaman, pengolahan citra juga dapat menduga kebutuhan unsur hara. Hasil dari pengolahan citra kemudian dipetakan untuk dianalis kebutuhan unsur hara. Dalam satu baris lahan akan dibagi menjadi beberapa petakan. Untuk satu petakan berukuran 115 x 98 cm di lahan. Dimana dalam satu petakan menangkap 20 tanaman. Hasil pemetaan pengolahan citra pada lahan pertama dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan hasil pemetaan dengan pengolahan citra menunjukan bahwa nilai tingkat warna-4 lahan ketiga (Lampiran 7) lebih banyak dibandingkan dengan pertama dan kedua. Hal tersebut menunjukan lahan ketiga lebih subur dibandingkan lahan lainnya. Lahan kedua (Lampiran 6) lebih banyak ditemukan tingkat warna-3 dan tingkat warna-4. Berbeda dengan lahan ketiga dan kedua, lahan pertama lebih rendah kesuburannya. Hal tersebut dapat dilihat bahwa nilai tingkat warna-2 lebih banyak di lahan tersebut dibandingkan dengan lahan lainnya. Pemetaan secara manual (Lampiran 5) juga dilakukan dengan menggunakan BWD. Dalam satu petak pada satu baris tanaman berukuran 115 x 100 cm. Jumlah image pada pemetaan untuk satu baris tanaman 26 image. Hasil pemetaan pengolahan citra dan pemetaan pengukuran BWD kemudian dibandingkan untuk mendapatkan nilai persentase akurasi. Hasil perbandingan jumlah citra pengukuran BWD dengan pengolahan citra berdasarkan tingkat kehijauan BWD dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Akurasi perbandingan tingkat warna dengan perangkat sensor Jumlah sample yang dikenali oleh alat sensor Jumlah Tingkat Sample Tingkat Tingkat Tingkat warna daun secara warna daun warna daun warna daun manual 4 3 2 2 52 20 32 0 3 100 23 69 8 4 4 0 1 3
Persentase (%) 38 69 75
Hasil persentase yang kecil perbandingan antara citra secara pengolahan dengan manual, disebabkan pengukuran BWD dilakukan 6 hari setelah pengujian dilakukan. Selama selang waktu tersebut sawah tidak dilakukan pengairan.
35
Gambar 17. Pemetaan lahan pertama dengan pengolahan citra
36
F. KELEMAHAN ALAT Kendala pengoperasian alat adalah saat menjalankan pada lahan yang terlalu dalam lumpurnya. Alat menjadi susah dijalankan sehingga pengoperasian menjadi lambat. Selain itu, sulitnya menjaga alat agar tetap pada ketinggian 140 cm akibat kondisi lahan yang berlumpur. Saat pengoperasian alat terkadang program tidak berjalan. Hal ini disebabkan oleh lubang kabel usb kamera pada laptop sudah kendur sehingga bila terjadi guncangan kabel usb tidak terbaca oleh program. Saat alat ini dibelokan, hasil tangkapan citra dipindahkan pada folder lain supaya hasil citra tersebut tidak tertimpa dengan citra lainnya. Sulitnya untuk mencegah tanaman rusak juga menjadi kendala saat alat tersebut dibelokkan. Hasil citra yang diperoleh terdapat bagian lahan yang tidak tertangkap kamera sehingga proses pengolahan citra tidak optimal dan menyebabkan hasil yang berbeda dengan pengukuran BWD sehingga nilai persentase akurasi yang didapatkan rendah. Persentase akurasi pemetaan pengolahan citra dengan pemetaan manual (pengukuran BWD) yang rendah juga disebabkan oleh saat pengukuran BWD ditemukan warna daun di antara dua tingkatan warna.
G. ANALISIS KESUBURAN TANAMAN DAN TANAH 1. Analisa Kesuburan Tanaman Pengujian tanaman dilakukan untuk menduga nilai suatu unsur yang terkandung pada tanaman berdasarkan penggunaan Bagan Warna Daun. Jaringan tanaman yang diuji adalah jaringan daun yang diambil pada lahan yang berbeda. Pengambilan contoh daun padi yang diambil sebanyak 16 buah daun. Jumlah berat contoh daun yang diambil 25 gr. Pada Lampiran 10 disajikan cara pengambilan contoh tanaman. Contoh tanaman yang diambil memiliki tingkat kehijauan yang berbeda berdasarkan warna hijau BWD. Jumlah contoh daun pada level 2 BWD berjumlah 5 buah, 3 buah pada lahan pertama, 1 buah pada lahan kedua, dan 1 buah di luar lahan percobaan. Jumlah contoh daun pada level 3 BWD berjumlah 6 buah, 2 buah di lahan pertama, 2 buah pada lahan kedua, dan 2 buah pada lahan ketiga. Terakhir, jumlah daun pada level 4 BWD sebanyak 5 buah, 3 buah pada lahan ketiga dan 2 buah pada lahan kedua. Contoh tanaman yang akan diuji untuk menganalisa unsur N, P, dan K. Nilai kandungan unsur tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil pengujian menunjukkan BWD tingkat warna 4 mendekati nilai batas kecukupan unsur N yang ditunjukan pada Lampiran 13. Nilai kandungan nitrogen untuk setiap tingkat warna 2 berbeda dengan tingkat warna 3 dan tingkat warna 4. Sebaran nilai kandungan N (%) dengan tingkat warna dapat dilihat pada Gambar 18.
37
Kadar N‐Daun (%)
2,6 2,4 2,2 2 1,8 Nitrogen
1,6 1,4 1,2 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 18. Grafik sebaran nilai kandungan N pada daun terhadap tingkat warna
Nilai Rata‐Rata N‐Daun (%)
Nilai rata-rata kadar N (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 1.61, 1.83, dan 2.22. Berdasarkan nilai rata-rata kandungan nitrogen kemudian dibuat grafik hubungan antara nilai rata-rata kandungan N dengan tingkat warna (Gambar 19). Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.305x + 0.971 dan R2 = 0.974. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0.97. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi 0.98 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan antara nilai rata-rata N (%) dan tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
2,4 2,2 2 1,8
Rata‐rata Nitrogen
1,6 Linear (Rata‐rata Nitrogen)
1,4 1,2 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 19. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N pada daun terhadap tingkat warna BWD
Hasil pengujian kandungan fosfor terhadap tingkat warna ditunjukkan pada grafik sebaran nilai kandungan P terhadap tingkat warna (Gambar 20). Nilai rata-rata kadar P (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 0.11, 0.09, dan 0.08. Nilai rata-rata kadar unsur P pada tingkat warna BWD 2 berada batas nilai kecukupan yang diperlukan pada tanaman padi (Lampiran 13).
38
Kadar P‐Daun (%)
0,16 0,14 0,12 0,1 0,08
Fosfor
0,06 0,04 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 20. Grafik sebaran kandungan P pada daun terhadap tingkat warna
Berdasarkan pada nilai rata-rata kandungan fosfor dianalisa korelasi terhadap tingkat warna. Pada Gambar 21 menunjukkan grafik hubungan antara nilai rata-rata kandungan P (%) terhadap tingkat warna. Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = -0.02x + 0.154 dan R2 = 0.927. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar -0.96. Nilai korelasi tersebut berkebalikan dengan nilai rata-rata kandungan N (%) terhadap tingkat warna yakni negatif. Hal tersebut mempunyai makna nilai rata-rata P (%) menurun setiap kenaikan tingkat warna. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi -0.96 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata P (%) dengan tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
Nilai Rata‐Rata P (%)
0,13 0,12 0,11 0,1
Rata‐rata Fosfor
0,09 0,08
Linear (Rata‐rata Fosfor)
0,07 0,06 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 21. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan P pada daun terhadap tingkat warna BWD
Hasil pengujian kandungan kalium terhadap tingkat warna ditunjukkan pada grafik sebaran nilai kandungan K terhadap tingkat warna (Gambar 22). Nilai rata-rata kadar K (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 1.74, 2.41, dan 2,54. Nilai rata-rata kadar unsur kalium pada semua tingkat warna BWD lebih dari batas nilai kecukupan yang diperlukan pada tanaman padi (Lampiran 13).
39
Kadar K‐Duan (%)
3 2,5 2 1,5 Kalium 1 0,5 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 22. Grafik sebaran kandungan K pada daun terhadap tingkat warna
Berdasarkan pada nilai rata-rata kandungan kalium dianalisa korelasi terhadap tingkat warna. Pada Gambar 21 menunjukkan grafik hubungan antara nilai rata-rata kandungan K (%) terhadap tingkat warna. Grafik tersebut menunjukkan nilai rata-rata K (%) meningkat pada setiap kenaikan tingkat warna BWD. Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.4x + 1.033 dan R2 = 0.864. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0.92. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi 0.92 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata K (%) terhadap tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
Nilai Rata‐Rata K (%)
2,7 2,5 2,3 2,1
rata‐rata kalium
1,9 Linear (rata‐rata kalium)
1,7 1,5 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 23. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K pada daun terhadap tingkat warna BWD
2. Analisa Kesuburan Tanah Kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, sangat dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Tanah dinyatakan subur bila dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang serta mempunyai sifat fisik yang optimum seperti aerasi, kapasitas menahan air dan permeabilitas, disamping
40
mempunyai sifat biologis yang baik. Tingkat kesuburan kimiawi tanah seperti kandungan unsur hara utama (nitrogen, fosfat, dan kalium), kemasaman tanah (pH), kapasitas tukar kation, kandungan bahan organik C/N ratio, merupakan suatu petunjuk untuk menduga respon tanaman terhadap pemberian pupuk (Jumin, 2005). Selain pengujian terhadap jaringan tanaman juga dilakukan pengujian tanah untuk menganalisa kesuburan tanaman. Contoh tanah diambil pada kedalaman 20 cm dari permukaan dengan berat contoh 500 gr. Pengambilan contoh tanaman dilakukan di titik yang sama pada pengambilan jaringan tanaman. Kandungan unsur yang diuji adalah H20, KCl, kandungan bahan organik (C, N, C/N ratio) , P-Bray1, K-Morgan dan kapistas tukar kation (KTK). Hasil data dapat dilihat pada Lampiran 12. Sebaran nilai pH H2O terhadap tingkat warna dapat dilihat pada Gambar 24. Pendugaan nilai rata-rata pH berdasarkan tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD secara berurutan adalah 5.48, 5.33, dan 5.58. Secara keseluruhan tanah yang diuji bersifat masam dengan pH 5.4-5.5. Sifat kemasaman pada tanah dapat dilihat pada Lampiran 15.
6,2 6 pH H2O
5,8 5,6 5,4 pH (H2O)
5,2 5 4,8 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 24. Grafik sebaran kandungan pH H2O terhadap tingkat warna
Nilai rata-rata pH terhadap tingkat warna dibuat grafik model linear yang ditunjukkan pada Gambar 25. Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.05x + 5.314 dan R2 = 0.16. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0.4. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi 0.4 termasuk korelasi yang cukup sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata pH H2O (%) dengan tingkat warna memiliki korelasi yang cukup.
41
Nilai Rata‐Rata pH H2O
5,6 5,55 5,5 5,45 pH (H2O)
5,4
Linear (pH (H2O))
5,35 5,3 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 25. Grafik hubungan nilai rata-rata pH H2O terhadap tingkat warna BWD
Sebaran nilai pH KCl terhadap tingkat warna ditunjukkan pada Gambar 26. Nilai ratarata pH KCl berdasarkan tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD secara berurutan diperoleh 4.60, 4.63, dan 4.88. Hal yang sama juga ditunjukan pada grafik pH KCl (Gambar 27) yakni terjadi peningkatan nilai pH setiap kenaikan tingkat warna BWD.
5,5
pH KCl
5 4,5 4 pH (KCl) 3,5 3 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 26. Grafik sebaran kandungan pH KCl terhadap tingkat warna
Berdasarkan nilai rata-rata pH KCl dibuat grafik hubungan antara nilai rata-rata pH KCl dengan tingkat warna (Gambar 27). Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.14x + 4.284 dan R2 = 0.83. Nilai korelasi (r) yang dihasilkan sebesar 0.91. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi 0.91 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata pH KCl dengan tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
42
Nilai Rata‐Rata pH KCl
4,9 4,85 4,8 4,75 4,7 4,65 4,6 4,55 4,5
pH (KCl) Linear (pH (KCl))
1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 27. Grafik hubungan nilai rata-rata pH KCl terhadap tingkat warna BWD
Pada Gambar 28 menunjukan grafik sebaran kandungan nitrogen terhadap tingkat warna BWD. Nilai rata-rata N (%) untuk setiap tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD secara berurutan 0.10, 0.11, 0.13. Berdasarkan Lampiran 14 nilai N yang diperoleh dari pengujian bersifat rendah kadar N.
0,19 Kadar N (%)
0,17 0,15 0,13 0,11 Nitrogen
0,09 0,07 0,05 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 28. Grafik sebaran kandungan N terhadap tingkat warna
Berdasarkan pada nilai rata-rata kandungan nitrogen dianalisa korelasi terhadap tingkat warna. Hubungan antara nilai rata-rata N (%) dengan tingkat warna ditunjukkan pada Gambar 29. Grafik tersebut memperlihatkan nilai rata-rata N (%) menaik setiap kenaikan tingkat warna. Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.012x + 0.079 dan R2 = 0.915. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0.95. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi 0.95 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan hubungan nilai rata-rata N (%) dengan tingkat warna memiliki hubungan yang sangat kuat.
43
Nilai Rata‐Rata N
0,135 0,13 0,125 0,12 0,115
Nitrogen (%)
0,11
Linear (Nitrogen (%))
0,105 0,1 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 29. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N terhadap tingkat warna BWD
Sebaran nilai kandungan C-Organik terhadap tingkat warna ditunjukkan pada Gambar 30. Nilai rata-rata kandungan C (%) untuk setiap tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD secara berurutan 1.36, 1.37, 1.68. Hasil pengujian untuk nilai C (%) yang diperoleh secara keseluruhan tergolong rendah, hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan pada nilai rata-rata kandungan C-Organik dianalisa korelasi terhadap tingkat warna. Pada grafik hubungan kandungan C-organik dengan tingkat warna BWD yang diperlihatkan pada Gambar 31, menunjukan hal yang sama seperti grafik N, yaitu terjadi peningkatan nilai C setiap kenaikan tingkat warna BWD. Nilai persamaan garis regresi dan kofisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = 0.126x + 1.075 dan R2 = 0.77. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0.87. Menurut Sarwono 2006, nilai korelasi 0.87 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan antara nilai rata-rata C-Organik terhadap tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
Kadar C‐Organik (%)
2,5 2 1,5 1 C‐Organik 0,5 0 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 30. Grafik sebaran kandungan C-Organik terhadap tingkat warna
44
Nilai Rata‐Rata C‐Organik
1,7 1,6 1,5 C‐Organik (%) 1,4 Linear (C‐Organik (%))
1,3 1,2 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 31. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan C-organik terhadap tingkat warna BWD
Pada Gambar 32 menunjukan grafik sebaran kandungan Kalium terhadap tingkat warna BWD. Nilai rata-rata unsur K (mg/100 g) untuk setiap tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD secara berurutan adalah 9.2, 3.6, dan 6.6. Nilai rata-rata kandungan kemudian dibuat grafik model linear terhadap tingkat warna. Berdasarkan pada Lampiran 14 menunjukan bahwa hasil pengujian terhadap nilai unsur K tergolong sangat rendah. Grafik hubungan kandungan rata-rata K (mg/100 g) terhadap tingkat warna BWD ditunjukan pada Gambar 33. Nilai persamaan garis regresi dan kofisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = -1.3x + 10.38 dan R2 = 0.22. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar -0.46 menunjukkan pada grafik bahwa nilai kandungan unsur K menurun setiap kenaikan tingkat warna. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi -0.46 termasuk korelasi yang cukup sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata K terhadap tingkat warna memiliki korelasi yang cukup.
Kadar K (mg/100g)
20 15 10 Kalium (mg/100 g)
5 0 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 32. Grafik sebaran kandungan K terhadap tingkat warna
45
Nilai Rata‐Rata K (mg/100 g)
10 8 6 Kalium (mg/100 g) 4 Linear (Kalium (mg/100 g))
2 0 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 33. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K terhadap tingkat warna BWD
Kadar P (mg/100g)
Sebaran nilai fosfor terhadap tingkat warna dapat dilihat pada Gambar 34. Berdasarkan Lampiran 14 menunjukan bahwa secara keseluruhan kandungan fosfor tergolong sangat tinggi, yakni lebih dari 60 mg/100g. Nilai rata-rata kandungan unsur P (mg/100 g) yang diperoleh secara berurutan untuk tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD adalah 123, 60, dan 90. Berdasarkan nilai rata-rata kandungan fosfor kemudian dibuat grafik hubungan antara nilai rata-rata dengan tingkat warna (Gambar 35). Nilai persamaan garis regresi dan kofisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = -16.5x + 140.4 dan R2 = 0.26. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar -0.51 menunjukkan pada grafik bahwa nilai kandungan P menurun setiap kenaikan tingkat warna BWD. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi-0.51 termasuk korelasi hubungan yang cukup sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata P terhadap tingkat warna memiliki korelasi yang cukup. 200 180 160 140 120 100 80 60 40
Fosfor ( mg/100g)
1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 34. Grafik sebaran kandungan P terhadap tingkat warna BWD
46
Nilai Rata‐Rata P (mg/100 g)
140 120 100 Fosfor (mg/100g) 80 Linear (Fosfor (mg/100g))
60 40 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 35. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan P terhadap tingkat warna BWD
Grafik sebaran nilai kandungan kapasitas tukar kation (KTK) terhadap tingkat warna ditunjukkan pada Gambar 36. Hasil nilai rata-rata kandungan KTK untuk tingkat warna 2, 3, dan 4 BWD yang diperoleh pada persaman y tersebut secara berurutan adalah 10.40, 6.58, dan 6.68. Secara keseluruhan nilai KTK yang diperoleh berada pada kelompok tanah yang rendah kandungan KTK. Penilaian sifat kimia tanah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dilakukan analisa korelasi terhadap tingkat warna dengan grafik yang diperlihatkan pada Gambar 37. Pada grafik hubungan nilai rata-rata kandungan KTK (cmol(+)/kg) dengan tingkat warna BWD juga menunjukan yang sama pada grafik regresi linear K dan P yakni menurun setiap kenaikan tingkat warna. Nilai persamaan garis regresi dan koefisien determinasi yang diperoleh grafik adalah y = -1.86x + 13.47 dan R2 = 0.73. Nilai korelasi (r) yang diperoleh sebesar -0.85. Menurut Sarwono (2006), nilai korelasi -0.46 termasuk korelasi yang sangat kuat sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan nilai rata-rata KTK terhadap tingkat warna memiliki korelasi yang sangat kuat.
KTK (cmol(+)/kg)
14 12 10 8 6 KTK (cmol(+)/kg)
4 2 0 1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 36. Grafik sebaran kandungan KTK terhadap tingkat warna
47
KTK (cmol(+)/kg)
11 10 9 8 7
KTK (cmol(+)/kg)
6
Linear (KTK (cmol(+)/kg))
5 4 0
1
2
3
4
5
Tingkat Warna Gambar 37. Grafik hubungan nilai rata-rata KTK terhadap tingkat warna BWD
H. PETA KESUBURAN TANAH Hasil nilai rata-rata kandungan hara yang diperoleh dari diagram linear kemudian dibuat nilai interval kandungan hara. Sama seperti halnya peta tingkat warna kehijauan, informasi nilai kandungan hara tersebut diterjemahkan ke dalam peta warna. Kandungan hara yang diterjemahkan ke dalam peta warna adalah kandungan hara nitrogen pada daun. Peta warna kandungan hara nitrogen dapat dilihat pada Gambar 38. Hasil peta tingkat warna kehijauan daun BWD selanjutnya dibuatkan nilai takaran pemberian pupuk. Pemberian takaran pupuk tersebut bervariasi tergantung dari tingkat warna kehijauan BWD dan target hasil panen yang diinginkan (lihat Tabel 3). Nilai takaran pemberian pupuk tersebut juga ditejemahkan ke dalam peta warna lahan. Peta warna yang dibuat untuk target hasil panen yang sedang, yaitu 6 ton/ha GKG. Hasil peta warna takaran pemberian pupuk pada lahan pertama dapat dilihat pada Gambar 39.
48
Gambar 38. Peta kandungan unsur N (%) pada lahan satu
49
Gambar 39. Peta takaran kebutuhan pupuk untuk target hasil panen 6 ton/ha GKG pada lahan satu
50
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut : 1. Alat sensor citra padi berfungsi menangkap dan menyimpan citra daun, dimana proses pengambilan citra dilakukan secara kontinyu. Hasil citra dianalisa kesuburan berdasarkan dua parameter yaitu, luas daun dan tingkat kehijauan daun. Hasil analisa tingkat kehijauan daun diterjemahkan ke dalam bentuk peta petak-petak lahan. Informasi peta tersebut terdiri atas tingkatan warna hijau kekuningan hingga hijau tua yang menunjukan kesuburan lahan. 2. Jumlah image yang terambil diharapkan 26 image untuk satu baris tanaman. Namun, dalam pengujian kinerja di lapangan, image yang didapatkan pada beberapa baris kurang dari 26 image sehingga dalam pemetaan lahan terdapat petak lahan yang tidak terpetakan (data hilang). Petak lahan yang terpetakan menyebabkan akurasi perbandingan dengan pemetaaan manual rendah. 3. Persentase akurasi pemetaan pengolahan citra jika dibandingkan dengan pemetaan manual di lahan pertama pada tingkat warna-2 sebesar 38%, 69 % pada tingkat warna-3, dan 75% pada tingkat warna-4. 4. Kendala-kendala selama pengoperasian alat adalah sulitnya menjalankan alat pada lahan yang terlalu dalam lumpurnya, sulitnya menjaga alat agar ketinggiannya tetap, dan data image yang hilang yang disebabkan berhentinya program saat pengoperasian. 5. Hasil pengujian tanaman menunjukan nilai kandungan N naik setiap peningkatan nilai BWD. Nilai rata-rata kadar N (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 1.61, 1.83, dan 2.22. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata unsur N terhadap tingkat warna adalah 0.97. Pada tingkat warna 4, nilai rata-rata N mendekati batas kecukupan unsur N. Nilai kandungan P menurun setiap peningkatan nilai BWD. Nilai rata-rata kadar P (%) terhadap tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 0.12, 0.09, dan 0.08 sedangkan nilai koefisien determinasi sebesar (R2) 0.92. Nilai rata-rata kandungan K menaik setiap peningkatan nilai BWD. Nilai rata-rata kadar K (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 1.74, 2.41, dan 2.54. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata unsur K terhadap tingkat warna adalah 0.86. 6. Hasil pengujian tanah menunjukan sifat tanah tersebut masam dengan pH 5.4-5.5. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata unsur N terhadap tingkat warna adalah 0.91 dan nilai ratarata kadar N (%) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 0.10, 0.11, dan 0.13. Grafik hubungan unsur P, K, dan KTK menurun setiap kenikan tingkat warna BWD. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata unsur P terhadap tingkat warna adalah 0.26 dan nilai ratarata kadar P (mg/100g) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 123, 59, dan 90. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata unsur K terhadap tingkat warna adalah 0.22 dan nilai rata-rata kadar K (cmol(+)/kg) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 9.2, 3.6, dan 6.6. Nilai koefisien determinasi (R2) rata-rata KTK terhadap tingkat warna adalah 0.73 dan nilai rata-rata kadar KTK (mg/100g) pada tingkat warna 2, 3, dan 4 secara berurutan adalah 10.4, 6.58, dan 6.68. 7. Pada pengujian tanaman, nilai korelasi untuk nilai rata-rata unsur N, P, dan K masing-masing terhadap tingkat warna adalah 0.98, -0.96, dan 0.92. Hal ini dapat diartikan tanaman dengan jumlah unsur (N, P, dan K) memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap tingkat warna. Hasil pengujian tanah, nilai korelasi unsur N, P, K, C-organik, pH KCl, dan KTK terhadap tingkat
51
warna masing-masing adalah 0.95, -0.51, -0.46, 0.87, 0.91, dan -0.85. Hal ini menunjukkan tanah dengan jumlah unsur (N dan C-Organik), pH, dan KTK memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap tingkat warna sedangkan pada unsur P dan K memiliki hubungan yang cukup terhadap tingkat warna.
B. SARAN Alat sensor penangkap citra mengalami kendala bila kondisi lahan yang terlalu dalam lumpurnya. Selain itu pada saat pengoperasian terkadang roda mengalami bergeser mundur (roda tidak berputar) sehingga menyebabkan sensor tidak membaca magnet. Hal tersebut menyebabkan jumlah foto hasil tangkapan berkurang. Oleh karena itu, alat perlu dirancang pada kondisi lumpur yang dalam. Dalam perancangan juga perlu diperhatikan agar roda tersebut dapat dapat berputar sehingga sensor dapat membaca magnet. Jumlah foto hasil tangkapan yang lebih disebabkan oleh program tidak berjalan. Hal tersebut disebabkan lubang untuk kabel usb kamera yang sudah kendur. Penggantian laptop untuk mengatasi lubang kabel usb yang kendur belum bisa dilakukan. Hal ini disebabkan, jika mengganti laptop untuk menyesuaikan perangkat untuk membaca kamera (kabel usb) maka harus mengganti perangkat pembaca sensor, yakni kabel pararel port. Kabel pararel port hanya bisa digunakan pada laptop tertentu. Penggunaan laptop atau kabel perantara selain pararel port untuk membaca sensor perlu diperhatikan untuk mengurangi hal tersebut. Pemilihan seperti perantara kabel usb untuk membaca sensor supaya dapat digunakan pada semua jenis laptop. Saat pengoperasian alat sulit mengatur agar dapat bergerak lurus dan menjaga ketinggian. Hal ini disebabkan jumlah roda yang digunakan satu dimana diperlukan keseimbangan dalam pengeoperasian alat tersebut. Penggunaan penahan seperti tali yang diikatkan pada operator diperlukan agar memudahkan pengoperasian alat.
52
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahman S, Suparyono, Widiarta IN, Nugraha US, dan Hasanuddin A. 2001. Teknologi untuk peningkatan produksi padi nasional. Dalam Wahid AS (ed). 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4) : 156-161. Arymurthy AM, Suryani S. 1997. Pengantar Pengolahan Citra. PT. Elex Media Komputido. Jakarta. Baranoski GVG, Rokne JG. 2005. A practical approach for estimating the red edge position of plant leaf reflectance. Internasional Journal of Remote Sensing 26 (3) : 503-521. Barus B, Wiradisastra US. 1996. Sistem Informasi Geografis. Dalam Maharjanti RY (ed). 2009. Pemetaan Sawah Baku Kabupaten Subang Bagian Timur dengan Citra Satelit Alos [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. BB Padi. 2006. Bagan warna daun menghemat penggunaan pupuk N. Dalam Gani A (ed). 2006. Bagan warna daun. Balai Besar Penelitian Padi. BPPT. 2000. Padi (Oryza Sativa). http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/padi.pdf. [7 April 2011] Brady NC. 1974. The Nature and Properties of Soils. 8th edition. Dalam Hardjowigeno S (ed). 2007. Ilmu Tanah. CV Akademia Presindo. Jakarta. Cho MA. 2007. Hyperspectral remote sensing of biochemical and biophysical parameters : the derivative red-edge double-peak feature, a nuisance or an oppurtunity? [Thesis]. International Institute of Geoinformation Science and Earth Observation. Enschede and Wageningen University. The Netherland. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kesuburan Tanah. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Rice : Nutrient Disorders & Nutrient Management. Dalam Gani A (ed). 2006. Bagan warna daun. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Donahue RL, Miller RW, and Shickluna JC. 1977. Soils An Introduction to Soils and Plant Growth. Dalam Hardjowigeno S (ed). 2007. Ilmu Tanah. CV Akademia Presindo. Jakarta. Gani A. 2006. Bagan warna daun. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Gates DM, Keegan HJ, Schleter JC, and Weidner VR. 1965. Spectral properties of plants. Applied Optics 4 (1) : 11-20. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. CV Akademia Presindo. Jakarta. Horlel DNH, Dockray M. and Barber J. 1983. The red-edge of plant leaf reflectance. International Journal Remote Sensing 4 (2) : 273-288. Ismunadji M, Zulkarnaini I, Partohardjono S, dan Yazawa F. 1985. Diagnosis Status Hara Nitrogen Kedelai dan Padi Berdasarkan Warna Daun. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jumin HB. 2005. Dasar-Dasar Agronomi. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Kim KS, Giacomelii GA, Sase S , Son JE, Nam SW, and Nakazama F. 2006. Optimization of growth environment in a plant production facility using a chlorophyll fluorescence method. JARQ 40 (2) : 149-156. Dalam Gani A (ed) . 2006. Bagan warna daun. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
53
Lamb DW, Steyn-Ross M, Schaare P, Hanna MM, Silvester W, and Steyn-Ross A. 2002. Estimating leaf nitrogen concentration in ryegrass (Lolium spp.) pasture using the chlorophyll red-edge : theoretical modelling and experimental observation. Internasional Journal of Remote Sensing 23 (18) : 3619-3648. Maharjanti RY. 2009. Pemetaan sawah baku kabupaten subang bagian timur dengan citra satelit alos [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Morales T. 2000. Bagan warna daun alat yang mudah dan murah. Dalam Wahid AS (ed). 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4) : 156-161. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40. 2007. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifikasi lokasi. http://www.deptan.go.id/bdd/admin/file/Permentan-40-07.pdf. [26 Febuari 2010]. Prabawa S, Pramudya B, Astika IW, Setiawan RPA, dan Rustiadi E. 2009. Sistem informasi geografis dalam pertanian presisi aplikasi pada kegiatan pemupukan di perkebunan tebu. Makalah Presentasi di Seminar Nasional Himpunan Informatika Pertanian Indonesia (HIPI) di Bogor, 67 Agustus 2009. Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV Informatika. Bandung Dalam Maharjanti RY (ed). 2009. Pemetaan Sawah Baku Kabupaten Subang Bagian Timur dengan Citra Satelit Alos [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Dalam Hardjowigeno S (ed). 2007. Ilmu Tanah. CV Akademia Presindo. Jakarta. Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soils in the Tropic. Dalam Hardjowigeno S (ed). 2007. Ilmu Tanah. CV Akademia Presindo. Jakarta. Sarwono J. 2006. Teori analisa korelasi. http://www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm. [15 Febuari 2011]. Tangkowit R, Salokhe V, Jayasuria H. 2006. Development of tractor mounted real-time variable rate herbicide applicator for sugarcane planting. Agricultural Engineering Internasional : the CIGR Ejournal Vol. VIII, June, 2006. Wahid AS, Nasruddin, Saenong S. 2001. Efisiensi dan diseminasi pemupukan nitrogen dengan metode LCC pada tanaman padi sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 4(2) : 108-117. Wahid AS. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4) : 156-161.
54
LAMPIRAN
55
Lampiran 1. Spesifikasi kamera
Nama
: LYD CCD model 802C.
White balance
: Auto, manual.
Penerangan
: Auto.
Auto
: Kecerahan, white balance, saturasi warna, kontras, gamma dan kontrol maju fungsi video digital
Ukuran layar
: 176×144, 320×240, 352×288, 720×576, 1440×1152
Kelancaran tampilan video
: 720×576 gambar sampai 30 frame/detik
Pemindahan gambar layar
: Sampai 1440×1152
Format warna
: RGB 24, I420
Interface
: USB 2.0
Frame rate
: 30 frame/detik dalam 720×576
Kontrol kamera
: Saturasi, kontras, tingkat ketajaman, dsb.
56
Lampiran 2. Intensitas cahaya pada beberapa kondisi penyinaran Ulangan
Pagi (pk.8.00)
1 2 3
76 59 83
Intensitas cahaya (lux) Siang Sore Di dalam (pk.12.00) (pk.15.00) tudung 855 133 2 913 142 1 976
121
4
Di dalam ruangan 8 11 5
57
Lampiran 3. Jumlah foto yang dihasilkan berdasarkan panjang image dan nilai ketelitian Selisih jarak tempuh dengan panjang image (cm/image) 5.25 7.25 9.25 11.25 13.25 15.25 17.25 19.25 21.25 23.25 25.25 4.88 6.88 8.88 10.88 12.88 14.88 16.88 18.88 20.88 22.88 24.88 26.88 6.51 8.51
Ketelitian
Jumlah image seharusnya (image/26 m lintasan)
0.89 0.86 0.82 0.79 0.77 0.74 0.72 0.69 0.67 0.65 0.63 0.93 0.90 0.88 0.86 0.83 0.81 0.79 0.78 0.76 0.74 0.73 0.71 0.93
52 50 48 46 44 43 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 30 29 28 28 27 27
Jumlah maksimum tertangkap (image/26 m lintasan) 46 43 39 36 33 32 29 27 26 25 23 33 31 30 28 26 25 23 23 22 20 20 19 25
0.91 0.89 0.87 0.86 0.84 0.82 0.81 0.79
26 26 25 25 24 24 23 23
23 23 21 21 20 19 18 18
0.78 0.77 0.94 0.93 0.91 0.90 0.88 0.87 0.86 0.84
22 22 22 21 21 20 20 20 20 19
17 16 20 19 19 18 17 17 17 16
22.13 0.83 *lebar tangkap kamera yang dipakai dalam uji kinerja alat.
19
15
Panjang image (cm)
Jumlah kali trigger per image
50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4
*98 100 102 104 106 108 110 112 114 116 118 120 122 124 126 128 130 132
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5
134
5
10.51 12.51 14.51 16.51 18.51 20.51 22.51 24.51 26.51 6.13 8.13 10.13 12.13 14.13 16.13 18.13 20.13
58
Lampiran 4. Hasil citra tangkapan kamera pada berbagai macam kondisi
(a) Tampilan citra blur
(b) BWD menghalangi gambar padi
59
Lampiran 5. Pemetaan secara manual dengan BWD pada lahan pertama
60
Lampiran 6. Pemetaan lahan kedua dengan pengolahan citra
61
Lampiran 7. Pemetaan lahan ketiga dengan pengolahan citra
62
Lampiran 8. Pemetaan baris 1, 2, dan 3 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama. a b a b a b
a : petak lahan yang terambil oleh kamera b : petak lahan dengan informasi kesububuran lahan
63
Lampiran 9. Pemetaan baris 4, 5, dan 6 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama. a b a b a b
a : petak lahan yang terambil oleh kamera b : petak lahan dengan informasi kesububuran lahan
64
Lampiran 10. Cara-cara pengambilan contoh tanaman (daun) (Donahue et al, 1977) Keadaan (umur) Daun (bagian tanaman) yang Tanaman tanaman diambil Jagung Umur 25-35 hari Seluruh bagian tanaman di atas tanah Daun pertama dari atas (bunga) Umur ≥ 35 hari yang berbunga telah berkembang penuh Padi Benih (tinggi Seluruh bagian tanaman kurang dari 30 cm) Menjelang atau saat Empat daun teratas berbunga Kedelai Sebelum atau awal Daun-daun muda yang telah berbunga berkembang penuh Tebu Sampai umur 4 Daun ketiga atau keempat dari bulan atas yang telah berkembang penuh Pisang Umur 6-8 bulan Daun ketiga yang telah berkembang Kacang tanah Umur 25-30 hari Seluruh bagian tanaman di atas tanah Saat berbunga Daun-daun teratas yang telah berkembang penuh Daun ketiga atau keempat dari Kopi Enam minggu ujung setelah berbunga, sebelum biji mengeras
65
Lampiran 11. Nilai unsur N, P, dan K pada daun padi pada beberapa level warna daun Terhadap contoh kering 105°C Level N (%) P(%) K(%) 2 1.47 0.15 1.07 2 1.49 0.15 1.30 2 1.60 0.11 1.52 2 1.69 0.09 2.31 2 1.80 0.09 2.51 3 1.74 0.10 2.16 3 1.74 0.10 2.24 3 1.80 0.09 2.37 3 1.84 0.08 2.47 3 1.92 0.08 2.59 3 1.99 0.08 2.67 4 2.02 0.07 2.15 4 2.13 0.08 2.40 4 2.15 0.08 2.67 4 2.38 0.08 2.73 4 2.46 0.08 2.76
Lampiran 12. Nilai kandungan beberapa unsur pada tanah Ekstrak 1: 5 Level
2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4
H20
KCl
5.0 5.1 5.4
4.2 4.3 4.5
5.9 6.0 5.0 5.1 5.3 5.3 5.6 5.7 5.0 5.4 5.7 5.8 6.0
4.9 5.1 4.3 4.4 4.5 4.7 4.8 5.1 4.4 4.6 5.1 5.1 5.2
Bahan organik
HCl 25%
C (%)
N (%)
C/N
1.09 1.15 1.33 1.51 1.75 1.24 1.30 1.37 1.39 1.42 1.53 1.39 1.42 1.64 1.66 1.98
0.09 0.09 0.09 0.13 0.13 0.11 0.10 0.11 0.11 0.11 0.13 0.11 0.11 0.13 0.13 0.17
12 13 14 11 13 11 13 12 13 13 12 13 13 13 13 16
K2O P2O5 mg/100g 77 5 85 6 86 6 184 13 185 16 50 2 50 3 52 3 55 3 60 4 88 7 52 3 69 3 71 5 76 6 184 16
NH4-Acetat 1 N, pH 7 KTK cmol (+)/kg 8.62 8.77 9.68 9.68 12.08 12.87 4.76 5.56 5.74 8.26 9.31 4.79 4.91 5.24 5.34 13.14
66
Lampiran 13. Batas antara kecukupan dan defisiensi unsur hara berdasarkan analisa tanaman (Sanchez,1976) Unsur hara N (%) P (%) K (%) Ca (%) Mg (%) S (%) B (ppm) Cu (ppm) Fe (ppm) Mn (ppm) Mo (ppm) Zn (%) Si (%)
Tebu 1.5 0.05 2.25 0.15 0.10 0.01 1 5 +10 10-20 10 -
Padi 2.5 0.10 1.0 0.15 0.10 0.01 3.4 6 70 20 10 5
Jagung 3.0 0.25 1.90 0.40 0.25 10 6 15 15 0.1 15 -
Kedelai 4.2 0.26 1.71 0.36 0.26 21 10 51 21 1.0 21 -
67
Lampiran 14. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Sifat Tanah Sangat Rendah Sedang Tinggi Rendah C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 N (%) < 0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 C/N <5 5-10 11-15 16-25 P2O5 < 10 10-20 21-40 41-60 (mg/100 g) P2O5 Bray 1 < 10 10-15 16-25 26-35 (ppm) P2O5 Olsen < 10 10-25 26-45 46-60 (ppm) K2O HCl 25 % < 10 10-20 21-40 41-60 (mg/100g) KTK <5 5-16 17-24 25-40 (cmol (+)/kg) Susunan kation K (cmol (+)/kg) < 0.1 0.1-0.2 0.3-0.5 0.6-1.0 Na (cmol (+)/kg) < 0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 Mg (cmol (+)/kg) < 0.4 0.4-1.0 1.1-2.0 2.1-8.0 Ca (cmol (+)/kg) <2 2-5 6-10 11-20 Kejenuhan < 20 20-35 36-50 51-70 Basa (%) Kejenuhan < 10 10-20 21-30 31-60 Al (%)
Sangat Tinggi > 5.00 > 0.75 > 25 > 60 > 35 > 60 > 60 > 40 > 1.0 > 1.0 > 8.0 > 20 > 70 > 60
Lampiran 15. Nilai dan sifat pH tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Nilai pH H2O Sifat Tanah < 4.5 Sangat masam 4.5-5.5 Masam 5.6-6.5 Agak masam 6.6-7.5 Netral 7.6-8.5 Agak alkalis > 8.5 Alkalis
68