Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
PENGARUH MODEL SPORT EDUCATION TERHADAP MOTIVASI DAN INTENSITAS BELAJAR GERAK SISWA PADA PENJASORKES Rudi Hartono, Adang Suherman, Agus Rusdiana
[email protected] Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model sports education (SEM) terhadap motivasi dan intensitas gerak siswa pada penjasorkes. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan desain randomized control grup posttest only desaign. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK DTBS Bandung yang berjumlah 49 orang. 25 orang untuk SEM dan 24 orang untuk model tradisional yang diambil melalui cluster random sampling. Instrumen yang digunakan adalah angket motivasi dan angket intensitas belajar gerak serta alat ukur digital (iCardio). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan SPSS seri 19 dengan alat uji yang digunakan: uji normalitas dengan Shapiro-Wilk, uji homogenitas dengan Lavene statistik, uji kolmogorov-smirnov Z dan uji independent sampel test. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 1) Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara SEM dan model tradisional terhadap motivasi belajar penjasorkes, 2) Tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara SEM dan model tradisional terhadap intensitas gerak siswa pada penjasorkes. Kata Kuci : Sport Education, Motivasi, Intensitas.
ABSTRACT
This study aims at measuring the effects of sports education model (SEM) on the students’ motivation and movement intensity during physical education sessions. It applies a quasy method and randomized control group posttest only design. The subjects are 49 eleventh graders of DTBS Vocational School Bandung. They consist of 25 students in SEM group and 24 students in the control group of traditional model. The instruments manipulated are motivation and movement intensity learning scales and iCardio, a digital instrument. SPSS Series 19 was adopted to process data, and Shapiro-Wilk normality, Lavene homogeneity, kolmogorov-smirnov Z as well as independent sampling tests were administered. The findings show that (1) there is a significant difference in the effects of SEM and of traditional model on in physical education learning motivation, and (2) there is no significant difference in the effects of SEM and of traditional model on in physical movement intensity. Keywords: Sports education, motivation, intensity, physical education
Pendahuluan Menurut UU No. 20 tentang SISDIKNAS tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, 213
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan menurut Ali (dalam Nata, 2003 hlm. 11) pendidikan adalah segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan mengembangkan nilainilai bagi anak didik. Sehingga pendidikan itu menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan pendidikan dalam arti sempit menurut Marribah dalam Nata (2003, hlm. 10) adalah : “Bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa”. Dari pengertian tersebut maka jelaslah pendidikan itu sangat dibutuhkan untuk membentuk manusia seutuhnya. Adapun tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam pasal 4 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah : Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Salah satu tujuan di atas terdapat mengembangkan kesehatan jasmani dan rohani manusia Indonesia. Sehat dibagi-bagi menjadi beberapa macam di antaranya adalah sehat jasmani, sehat rohani, sehat sosial. Pernyataan di atas sesuai dengan pengertian kesehatan yang dikemukakan oleh WHO (dalam Matjan, 2009 hlm. 132) bahwa : “Sehat adalah sejahtera jasmani, sejahtera rohani, dan sejahtera sosial, bukan hanya bebas dari penyakit, cacat ataupun kelemahan”. Berdasarkan konsep tersebut sehat tidak terbatas pada sejahtera jasmani saja, tetapi harus sejahtera paripurna. Sejahtera paripurna berarti sejahtera jasmani, sejahtera rohani dan sejahtera sosial. Dengan demikian apabila salah satu unsur di atas tidak terpenuhi dapat 214
dikatakan bahwa manusia itu sakit. Berdasarkan konsep tersebut maka kebugaran jasmani merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan karena dengan mempunyai kebugaran jasmani yang optimal manusia akan mampu berbuat dan berkarya lebih banyak lagi sehingga akan membentuk manusia yang produktif. Atas dasar pentingnya kesehatan jasmani dan rohani itulah pemerintah merumuskan pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (PENJASORKES) sebagai mata pelajaran yang wajib diberikan disekolah pada semua jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui penyediaan pengalaman belajar kepada siswa berupa aktivitas jasmani, bermain dan berolahraga yang direncanakan secara sistematis guna merangsang pertumbuhan dan perkembangan fisik, keterampilan motorik, keterampilan berfikir, emosional, sosial dan moral (Depdiknas, 2006, hlm.1). Tujuan Pendidikan Jasmani yaitu untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral dan aspek pola hidup sehat. (Permendiknas No.22 Tahun 2006 hlm. 194). Selain itu, menurut Giriwijoyo (2012, hlm. 79) penjasorkes dalam lembaga format mempunyai tujuan menghasilkan siswa sehat dan unggul masa kini, sumber daya manusia bermutu masa depan, dan atlet elit masa depan. Untuk mewujudkan tujuan penjasorkes diperlukan suatu model atau pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteritik siswa dan lingkungan sekolah. Model pembelajaran merupakan merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Hal serupa dinyatakan oleh Saripuddin (1996, hlm.78) mengatakan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Kemudian Joyce dan Weil (1996, hlm. 4) menambahkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam seting tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya bukubuku, film, komputer, kurikulum dan lain-lain. Pada penelitian ini, penulis akan lebih fokus terhadap model pembelajaran yang mampu mengembangkan kebugaran jasmani siswa. Setidaknya ada dua indikator yang mampu mempengaruhi kebugaran jasmani siswa pada saat pembelajaran penjasorkes, yaitu motivasi belajar siswa dan intensitas gerak. Motivasi menurut Gunarsa (1989, hlm. 90) motivasi merupakan faktor penggerak maupun dorongan yang dapat memicu timbulnya rasa semangat dan juga mampu merubah tingkah laku manusia atau individu untuk menuju pada hal yang lebih baik untuk dirinya sendiri. Sedangkan intensitas menurut Lutan (2001, hlm.36) adalah seberapa berat seseorang berlatih selama periode latihan, dan intensitas ini dapat diukur dengan cara yang berbeda. Seberapa serasi takaran beratnya latihan, bergantung pada tujuan. Bila tujuannya untuk menghadapi pertandingan maka intensitasnya tinggi, dan bila untuk tujuan hanya untuk mencapai derajat sehat, maka intensitasnyaboleh lebih rendah. Jika motivasi dan intensitas gerak pada saat belajar tinggi maka besar kemungkinan kebugaran jasmani siswa dapat berkembang lebih baik. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis berharap menemukan suatu model yang mampu meningkatkan motivasi dan intensitas gerak pada saat pembelajaran penjasorkes. Salah satu model yang mampu meningkatkan motivasi dan kesenangan dalam pendidikan jasmani adalah model
sport education. Parlman (2011) menyatakan “Results showed students engaged in the SEM reported significantly higher levels of self-determination and perceptions of relatedness than students in the traditional approach”. Kemudian Parlman (2012) menyimpulkan bahwa siswa yang kurang motivasi mengalami perubahan motivasi yang lebih baik setelah diberikan model SEM daripada yang diberikan model tradisional. Untuk itu penulis ingin melakukan penelitian ini ditempat Indonesia dengan karakteristik siswa yang berbeda dengan di luar negeri. Selain itu penulis ingin memperkuat teori dan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa SEM mampu membuat siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran penjsorkes. Hal lain yang menyebabkan peneliti tertarik pada masalah ini adalah penelitian tentang kebugaran jasmani peserta didik yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan hasil yang sangat memprihatinkan. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa status kebugaran jasmani peserta didik dari SD sampai dengan SLTA pada saat sekarang ini rendah (Mutohir, 2009). Rendahnya status kebugaran jasmani peserta didik disebabkan oleh kurangnya melakukan aktivitas jasmani, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Rendahnya status kebugaran jasmani peserta didik mempunyai dampak yang sangat luas, meliputi hampir dalam segala bidang kehidupan manusia: sosial, ekonomi, politik, dan budaya terkena imbasnya. Peserta didik yang status kebugaran jasmaninya rendah rentan terhadap berjangkitnya penyakit degeneratif. Jika bibit penyakit datang menyerang maka biaya kesehatan menjadi meningkat dan akibatnya hidup menjadi tidak produktif lagi. Lutan (2001, hlm. 3) menyatakan biaya perawatan kesehatan di Belanda meningkat 2,5 %, di Kanada meningkat 6 %, di Amerika Serikat meningkat mencapai 8 %. Suherman (2007, hlm. 9) menambahkan jika status kebugaran jasmani peserta didik rendah perkembangan intelektualnya akan mengalami gangguan 215
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
yang pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya the lost generation. Berangkat dari hasil penelitian di atas penulis ingin menindaklanjuti penemuan tersebut dengan mengupayakan meningkatkan kebugaran jasmani dengan terlebih dahulu meningkatkan motivasi dan intensitas belajar peserta didik melalui sport education model (SEM). SEM adalah salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang dapat membuat siswa aktif dalam mengikuti proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sidentop (1994) menjelaskan bahwa siswa yang terlibat dalam SEM akan menjadi melek, antusias dan kompeten dalam olahraga. Hal serupa juga diungkapkan oleh Perlman dan Goc Karp (2010) yang menyatakan bahwa siswa yang terlibat dalam SEM berkembang ke arah yang lebih baik dalam motivasi yang terbentuk dengan sendirinya dalam diri siswa. Selain itu, dilaporkan motivasi siswa meningkat ke level yang lebih tinggi berdasarkan kesenangan dalam pembelajaran model SEM (Perlman, 2010). Sehingga jika siswa aktif bergerak maka kemungkinan besar kebugaran siswa dapat meningkat. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah menguji efektivitas SEM dalam meningkatkan motivasi dan intensitas belajar gerak siswa dalam pembelajar penjas. Model Sport Education (SEM) Sport education adalah sebuah kurikulum dan model pembelajaran yang dikembangkan untuk program pendidikan jasmani disekolah. Hal tersebut dikemukakan oleh Sidentop (1994, hlm. 3) yaitu “Sport education is a curriculum and instruction model developed for school physical education programs”. Selanjutnya Sidentop (1994, hlm. 3) menyatakan “Sport education provides experiences that are more complete and authentic than typical PE sport”. In this model student not only learn more completely how to play sports but also to coordinate 216
and manage their sport experiences”. Artinya sport education memberikan banyak pengalaman yang lebih lengkap dan authentic daripada metode pembelajaran pendidikan jasmani yang lain. Dalam model ini siswa tidak hanya mempelajari bagaimana cara bermain olahraga namun mereka juga diberikan pengalaman dalam berkoordinasi dan mengatur sebuah kompetisi. Tujuan dari SEM menurut Sidentop (1994, hlm. 4) yaitu “The sport education model has considerably more ambitious goals than most PE sport programs. It seeks to educate student to be players in the fullest sense and to help them develop as competent, literate, and enthusiastic sportspeople”. Menurutnya SEM memiliki tujuan yang lebih ambisius dari kebanyakan program pendidikan jasmani. SEM berusaha mendidik siswa untuk menjadi pemain dalam arti yang sesungguhnya dan membantu mereka untuk menjadi orang yang kompeten, melek dan olahragawan yang antusias. Masih menurut Sidentop (1994) olahragawan yang kompeten memiliki keterampilan yang cukup baik untuk berpartisipasi dalam permainan olahraga, mengerti dan dapat menjalankan strategi yang tepat dalam permainan yang komplek, dan mempunyai pengetahuan yang luas sebagai pemain. Olahragawan yang melek (literate) dapat memahami dan menghargai aturan, ritual dan tradisi dalam olahraga, serta dapat membedakan praktek olahraga yang baik dan buruk. Sedangkan olahragawan yang antusias adalah olahragawan yang berpartisipasi dan berperilaku dengan cara yang melestarikan, melindungi, dan meningkatkan budaya olahraga, baik budaya olahraga lokal maupun nasional. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sport education model (SEM) adalah suatu model kurikulum atau program pembelajaran yang mampu memberikan banyak pengalaman belajar untuk siswa sehingga mereka menjadi lebih semangat dalam belajar, lebih memahami
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
nilai-nilai olahraga, dan lebih kompeten dalam suatu cabang olahraga. Model Tradisional Model tradisional merupakan model yang sudah lama dikembangkan dan digunakan oleh para pendidik atau para guru di Indonesia baik guru mata pelajaran penjasorkes ataupun guru mata pelajaran yang lainya. Model ini juga dikenal sebagi model direct instruction, dalam model ini guru memegang peranan penting dalam memberikan keputusan dan arahan kepada siswa sehingga guru mendominasi dalam pembelajaran. Metzler (2000, hlm. 162) menyatakan Direct instruction is characterized by decidedly teacher-centered decisions and teacher-directed engagement patterns for learners. The teacher will have a distinct set of learning goals in mind; present students with a model of the desired movement, skill, or concept; and then organize student learning activities into segmented block of time, providing high rate of augmented feedback as learners practice each task or skill. Sedangkan menurut Sukandi dalam Kholik (2011) mengatakan: “Pendekatan tradisional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuanya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu melakukan sesuatu, dan pada saat pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan”. Adapun peran guru dalam model direct instruction/tradisional menurut Rosenshine (dalam Metzler, 2000, hlm. 162) adalah sebagai barikut : 1. They structure the learning. 2. They proceed in small steps but at a brisk pace. 3. They give detailed and redundant instructions and explanations. 4. The ask a large number of questions and provide overt, active practice.
5. They provide feedback and corrections, particularly at the initial stages of learning. 6. They have a student success rate of 80 percent or higher on initial learning task. 7. They divide large academic task into smaller tasks. 8. The provide for continued student practice with a success rate of 90 to 100 percent so that students responding become rapid, confident, and firm. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model tradisional adalah sebagai proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi oleh guru sebagai proses pentransferan ilmu dari seorang guru kepada siswa, guru berperan lebih aktif dan siswa cenderung lebih pasif yang berperan hanya sebatas penerima ilmu saja. Oleh karena itu dalam hal ini guru dituntut untuk memiliki kemampuan yang sangat baik dalam segala hal terutama pengusaan materi pembelajaran, karena memang guru yang merupakan satusatunya sumber belajar buat siswa. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model ini sangat jarang terjadi proses interaksi dua arah hanya guru yang menjelaskan, guru yang memberi contoh, salah sedikit saja informasi yang disampaikan akan berakibat fatal. Oleh karena itu sangat memungkinkan dalam pembelajaran tradisional siswa merasa kurang tertantang dan cenderung bosan dalam proses pembelajran. Perbedaan SEM dan Model Tradisional Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa letak perbedaan antara model sport education dan model pembelajaran tradisional yang terdapat pada Tabel 1. Motivasi Menurut Gunarsa (1989, hlm. 90) motivasi merupakan faktor penggerak maupun dorongan yang dapat memicu timbulnya rasa semangat dan juga mampu merubah tingkah laku manusia atau individu untuk menuju pada hal yang lebih baik untuk dirinya sendiri. Kemudian Komarudin (2013, hlm. 23) menyatakan “motif diartikan 217
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
Tabel 1 Perbedaan SEM dan Model Tradisional
SEM Pembelajaran dengan Pengembangan Skill/ tactical. Pembelajaran dilaksanakan dg praktek tim dan di akhiri dengan permainan kecil dan sisipan Pemanasan dilakukan oleh anggota team
Bentuk dan aplikasi Pembelajaran skill/taktik dilksanakan oleh tim praktik formal pelaksanaan permianan/game didalam/diluar tim mengikuti latihan pada saat latihan Siswa dan guru bersama dalam membentuk nilainilai fair play Pembgian tugas/peran, pembagian tugas/tanggung jawab Akhir pembelajaran diakhiri dengan akhir dari kompetisi/turnamen Bentuk perayaan dan penghargaan diakhir /pasca kompetisi
sebagai pendorong atau penggerak dalam diri manusia yang diarahkan pada tujuan tertentu”. Sedangkan Sardiman (1986, hlm. 750) menjelaskan motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Banyak peserta didik yang tidak berkembang dalam belajar karena kurangnya motivasi yang dapat mendorong semangat peserta didik dalam belajar. Martinis (2007, hlm. 219) juga berpendapat bahwa motivasi belajar merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah pengalaman ketrampilan. Suprijono (2009, hlm. 163) menjelaskan motivasi belajar adalah proses yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Pendapat lain dikemukakan oleh Mc.Donald dalam Sardiman (1986, hlm. 73) mengartikan motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului 218
TRADISIONAL Pendekatan pembelajaran Skill - drill - game Pembelajaran bersumber dari guru sebagai pengatur pola pembelajaran Pemanasan dikembangkan dan di implementasikan pada kelas/pemanasan kelas Pembelajaran dengan pola larihan skill dan drill (pegulangan latihan) Bentuk permainan mengarah pada olahraga sebenarnya dan dgan pola kompetisi Tidak ada penanaman nilai-nilai fair play Tidak ada pembagian peran dan peraturan siswa Akhir pembelajaran diakhiri dengan menang dan kalah Tidak ada bentuk perayaan
dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Hamzah (2008, hlm. 3) menjelaskan istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Intensitas Kata intensitas berasal dari bahasa inggris yaitu intense yang berarti semangat giat (Echols, 1993, hlm. 326). Sedangkan menurut Lutan (2001, hlm. 36) menyatakan bahwa : Intensitas adalah seberapa berat seseorang berlatih selama periode latihan, dan intensitas ini dapat diukur dengan cara yang berbeda. Seberapa serasi takaran beratnya latihan, bergantung pada tujuan. Bila tujuannya untuk menghadapi pertandingan maka intensitasnya tinggi, dan bila untuk tujuan hanya untuk mencapai derajat sehat, maka intensitasnyaboleh lebih rendah.
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
Jika dikaitkan dalam pembelajaran penjasorkes maka intensitas gerak dapat diartikan sebagai seberapa serius siswa melakukan aktivitas yang diberikan guru selama kegiatan belajar mengajar di kelas. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu keberhasilan penjasorkes dapat dilihat bagaimana intensitas gerak selama kegiatan pembelajaran. Semakin tinggi intensitas gerak siswa maka semakin tinggi prestasi belajar penjasorkesnya. Untuk memperkuat argumen itu penulis mengutip pernyataan Lutan (2002, hlm. 10) yang menyebutkan bahwa pembelajaran penjas berhasil apabila : a. Intensitas belajar gerak dalam jumlah waktu aktif belajar yang dicurahkan siswa lebih banyak, b. Waktu untuk menunggu giliran relatif, sehingga siswa aktif, c. Proses pembelajaran melibatkan partisipasi semua kelas dan, d. Guru penjas terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Intensitas gerak merupakan salah satu indikator dari efektivitas pembelajaran penjasorkes. Mutohir dan Lutan (1996/1997, hlm. 45) menyatakan bahwa efektivitas pembelajaran penjas hanya dapat dicapai apabila guru mampu menciptakan lingkungan latihan yang menyebabkan aktifitas latihan siswa selalu meningkat dan mampu mempertahankan. Dari penyataan tersebut terlihat bahwa peran guru sangatlah penting dalam menentukan intensitas gerak siswa selama pembelajaran. Guru harus cerdas dalam memilih pendekatan apa yang harus dilakukan agar siswa bisa fokus dan termotivasi dalam melakukan pembelajaran penajasorkes, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Suherman (2009, hlm. 57) menambahkan, bahwa : Mengajar pendidikan jasmani yang efektif lebih cenderung menekankan pada proses yang terjadi yaitu “active teacher-learning student” dimana gurunya secara aktif menciptakan
lingkungan pembelajaran yang menguntungkan bagi siswa untuk belajar melalui penggunaan berbagai teknik, sementara itu anak didik dengan senang dan giat belajar sesuatu yang menjadi fokus pembelajarannya dengan proporsi waktu yang relatif lama. Pernyataan tersebut mempertegas pentingnya peran guru dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang nyaman untuk siswa sehingga siswa melakukan aktivitas penjasorkes dengan semangat yang tinggi. Jika siswa melakukan aktivitas pembelajaran penjasorkes dengan senang dan semangat maka besar kemungkinan intensitas geraknya akan tinggi. Metode Populasi penelitian ini adalah SMK Daarut Tauhiid Boarding School dengan sampel ada 49 orang (25 orang eksperimen, dan 24 orang kontrol). Kelompok eksperimen diberikan treatment SEM dan kelompok kontrol diberikan model tradisional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eskperimen dengan desain randomized control group posttest only design. Sebagai gambaran, penulis sajikan bentuk desain penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
R
X ~
T2 T2
Gambar 1 Randomized Control Group Posttest Only design Maksum ( 2012, hlm. 98 ) Keterangan : X1 : Perlakuan atau treatment SEM pada peserta didik X2 : Kelompok control dengan model pembelajaran tradisional Skill-DrillGames (SDG) Untuk memperoleh data pada penelitian ini, digunakan angket motivasi, angket 219
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
intensitas dan alat digital iCardio. Data yang telah diperoleh akan dilakukan uji ststistik dengan menggunakan SPSS versi 19. Uji statistik yang digunakan yaitu uji normalitas dengan Shapiro-Wilk, uji homogenitas dengan Lavene statistik, uji kolmogorovsmirnov Z dan uji independent sampel test.
Program Pembelajaran Perlakuan/treatment yang diberikan kepada siswa sebanyak 10 pertemuan dengan frekuansi tiga kali dalam seminggu. Adapun program pembelajarannya dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2. Program Pembelajaran SEM dan Model Tradisional
Pertemuan SEM 1 a. Pengenalan materi permainan b. Pengarahan dan pembentukan/ pembagian tim c. Penjadwalan d. Pembagian tugas dan peran 2 a. Pemanasan dalam tim b. Sesi latihan (passing) masing-masing tim c. Sesi awal latihan permainan dalam tim d. Latihan dalam tim / regu (2v2),(3v3) e. Pendinginan 3 a. Pemanasan dalam tim b. Sesi latihan teknik permainan (dribbling ) c. Permainan dalam tim (3v3) d. Pengenalan peraturan dan pemberian tanggung jawab e. Pendinginan dalam tim 4 a. Pemanasan dalam tim b. Sesi latihan teknik permainan (shooting) c. Sesi awal Permainan dalam tim (3v3) d. Pemahaman sikap fair play e. Pendinginan dalam tim 5 a. Pemanasan dalam tim b. Pertandingan persahabatan (4v4) dengan tim lain c. Pendinginan dalam tim 6
7 8
220
Tradisional a. Pengenalan materi permainan b. Aturan pembelajaran, penyampaian penilaian a. Pemanasan Kolosal b. Pembelajaran dgn teknik passing pada futsal (teacher center) c. Memulai permainan dengan (5v5) d. Pendinginan a. Pemanasan kolosal b. Latihan Dribbling (teacher center c. Memulai permainan dengan (5v5) d. Pendinginan kolosal
a. Pemanasan kolosan b. Latihan Shooting (teacher center) c. Memulai permainan dengan (5v5) d. Pendinginan kolosal
a. Pemanasan Kolosal b. Mempraktekan skill-drill/ review of skill c. Memulai permainan dengan (5v5 d. Pendinginan kolosal a. Pemanasan dalam tim a. Pemanasan kolosal b. Pertandingan persahabatan (4v4) dengan b. Mempraktekan skill-drill tim lain c. Memulai permainan dengan (5v5) c. Pendinginan dalam tim d. Pendinginan kolosal a. Pemanasan tim a. Pemanasan kolosal b. Kompertisi formal (1) b. Turnamen c. Pendinginan c. Pendinginan a. Pemanasan tim a. Pemanasan kolosal b. Kompertisi formal (2) b. Turnamen c. Pendinginan c. Pendinginan
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
9 10
a. Pemanasan tim b. Kompertisi formal (3) c. Pendinginan a. Puncak pertandingan (FINAL) b. Perayaan kemenangan/pembagian piala
Hasil dan Pembahasan Pemaparan Data Berikut adalah data skor rata-rata dan standar deviasi yang diperoleh dalam penelitian ini. Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenistas maka untuk uji hipotesis motivasi menggunakan uji hipotesis nonparametrik, sedangkan untuk angket intensitas gerak dan distance covered menggunakan uji parametrik. Berdasarkan uji Kolmogorovsmirnov Z dua sampel independen maka diketahui nilai signifikansinya adalah 0,010 < 0,05. Artinya terdapat perbedaan pengaruh antara SEM dan model tradisional terhadap motivasi belajar. SEM mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada model tradisional dalam memberikan motivasi belajar penjasorkes. Kemudian berdasarkan uji-t independent sample diketahui nilai signifikansinya adalah adalah 0,393 > 0,05. Artinya tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara SEM dan model tradisional terhadap intensitas belajar gerak. Namun jika dilihat dari skor rata-rata dapat dikatakan bahwa SEM mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada model tradisional. Selanjutnya uji hipotesis distance covered
a. Pemanasan kolosal b. Turnamen c. Pendinginan a. FINAL Turnamen
melalui uji-t independent samples diketahui nilai signifikansinya adalah 0,839>0,05. Artinya tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara SEM dan model tradisional terhadap distance covered. 1. Terdapat Perbedaan Motivasi Belajar yang Signifikan antara SEM dengan Model Tradisional. Dari hasil uji hipotesis menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara motivasi belajar penjasorkes SEM dengan model pembelajaran tradisional tipe Skill-Drill-Games (SDG). Hasil tersebut mempunyai makna bahwa SEM lebih baik daripada SDG dalam hal memberikan motivasi kepada peserta didik. Meskipun begitu kedua model ini memberikan dampak positif terhadap motivasi siswa dalam pembelajaran penjasorkes di sekolah. Hasil penelitian ini lebih memperkuat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Parlman (2012) dalam jurnalnya yang menyatakan bahwa “As a result engagement within the SEM provided amotivated students with an increased opportunity to engage in higher levels of physical activity”. Selain itu penelitian ini juga memperkuat teori
Tabel 3. Rata-rata dan Standar Deviasi Data Motivasi, Intensitas Gerak Dan Distance Covered Kemampuan Motivasi Intensitas Gerak Distance Covered
Data Statistik Rata-rata St. Dev Rata-rata St. Dev Rata-rata St. Dev
Model Pembelajaran SEM Model Tradisional 27,20 24, 79 2,10 3,56 99,21 71,7 11,22 7,40 815,00 789,17 284,27 328,12 221
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
Sidentop (1994, hlm. 4) yang menyatakan bahwa “The sport education model has considerably more ambitious goals than most PE sport programs. It seeks to educate students to be players in the fullest sense and to help them develop as competent, literate, and enthusiastic sportspeople”. Penemuan di lapangan memang SEM terlihat lebih mampu dalam memotivasi siswa belajar penjasorkes. Hal itu disebabkan karena SEM menerapkan kompetisi formal dalam pembelajaran penjasorkes. Kompetisi ini membuat siswa berlomba-lomba untuk menjadi juara. Selain itu, SEM dianggap lebih baik karena pada akhir masa kompetisi diadakan puncak pertandingan. Pada puncak pertandingan itu kelompok yang menjadi juara mendapat hadiah. Berbeda dengan model tradisional yang pada pelaksanaanya lebih didominasi oleh guru dan tidak ada kompetisi formal dalam proses pembelajaran penjasorkes. Sehingga siswa merasa kurang tertantang untuk melakukan aktivitas penjasorkes. Hal itu diyakini membuat siswa yang diberikan SEM mempunyai motivasi lebih baik daripada siswa yang diberikan model SDG. Hal lain yang dapat membedakan hasil penelitian adalah jika dilihat dari karakteristik SEM dan model tradisional. Sidentop (1994) menyatakan ada enam karakteristik SEM, yaitu seasons, affiliation, formal competition, keeping record, festivity, and culminating event. Dari keenam karakteriktik tersebut dapat kita simpulkan bahwa SEM merupakan suatu model yang dapat mengembangkan berbagai aspek dalam diri siswa, mulai dari keterampilan gerak, interaksi sosial, berlomba-lomba, menjadi pengelola pertandingan dan tanggungjawab. Sehingga siswa dapat termotivasi untuk melakukan yang terbaik, karena siswa yang lebih aktif dalam proses pembelajaran, Sedangkan model tradisional mempunyai karakteristik yang lebih monoton, apalagi jika gurunya kurang kreatif. Hal itu disebabkan karena model tradisional 222
lebih cenderung guru lebih aktif dari pada siswa. Siswa hanya melakukan apa yang diintruksikan oleh guru. Menurut Sukandi (2003) dalam Kholik (2011) mengatakan: “Pendekatan Tradisional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuanya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu melakukan sesuatu, dan pada saat pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan”. Lebih lanjut Menurut Wallace dalam Kholik (2011, hlm. 3) model pembelajaran tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Otoritas guru dalam hal proses pem belajaran sangat diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi siswa-siswanya. 2) Perhatian terhadap masing-masing siswa dan minat cendrerung sangat kecil. 3) Pembelajaran disekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini. 4) Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan kompetensi siswa terabaikan. Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa model tradisional adalah suatu model yang menjadikan guru sebagai sumber utama dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Metzler (2000, hlm. 166) yaitu : Teacher as instructional leader is an accurate description of the most essential operation of the direct instruction model. Some precautions must be given along with that so that the teacher’s role in the model is not misinterpreted. The teacher is the source and impetus for nearly all of the decisions made about content, management, and student engagement.
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
Dengan demikian, perbedaan motivasi antara SEM dan model tradisional disebabkan adanya perbedaan karakteristik pada kedua model tersebut. SEM merupakan suatu model yang menerapkan suatu kompetisi yang membuat siswa lebih aktif dalam berkativitas dalam pembelajaran penjasorkes. Sedangkan model tradisional adalah suatu model yang segala instruksi berasal dari guru, sehingga aktivitas siswa menjadi terbatas dengan kemampuan guru dalam memberikan instruksinya. 2. Tidak Terdapat Perbedaan Intensitas Gerak antara SEM dengan Model Tradisional Untuk mengetahui perbedaan intensitas gerak siswa pada SEM dan model tradisional, penulis menggunakan tiga indikator dan 2 instrumen. Intrumen pertama yaitu angket Intrumen Belajar Gerak (IBG) yang berfungsi untuk mengungkap intensitas gerak siswa berdasarkan pengalaman mereka selama pembelajaran. Instrument kedua adalah alat ukur digital iCardio yang berfungsi untuk mengetahui jarak tempuh (distance covered) selama pembelajaran penjasorkes. Sehingga untuk mengetahui perbedaan intensitas gerak siswa selama pembelajaran penjasorkes, penulis menggabungkan ketiga indikator tersebut untuk kemudian mengambil kesimpulan bagaimana perbedaan intensitas gerak selama pembelajaran penjasorkes. Dari hasil uji hipotesis ketiga indikator di atas menggunakan statistika hasilnya menunjukan tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara SEM dan model tradisional SDG terhadap intensitas gerak siswa. Namun demikian jika dilihat dari skor rata-rata, perolehan skor rata-rata dari ketiga indikator tersebut, SEM lebih tinggi dibandingkan dengan skor rata-rata model tradisional SDG. Artinya pengaruh SEM terhadap intensitas gerak siswa bisa dianggap lebih baik daripada pengaruh SDG. Berdasarkan temuan di atas, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan
perbedaan pengaruh antara SEM dan SDG tidak signifikan, antara lain : a. Peran guru dalam memberikan aktivitas gerak yang baik b. Kondisi siswa c. Hubungan antara guru dan murid Pertama, peran guru sangat penting dalam menentukan intensitas berlajar gerak, jika guru itu sudah mempunyai pengalaman yang cukup dan profesional peneliti beranggapan semua model pembelajaran dapat memberikan pengaruh yang posisif terhadap intensitas belajar gerak. Misalnya, mungkin saja siswa lebih termotivasi dengan model SEM daripada model SDG, akan tetapi dalam intensitas belajar belum tentu model SEM lebih baik jika peran guru dalam model SDG mampu memberikan aktivitas yang berat kepada siswa. Mengenai pentingnya peran guru Mutohir dan Lutan (1996/1997, hlm. 45) menyatakan bahwa : “efektivitas pembelajaran penjas hanya dapat dicapai apabila guru mampu menciptakan lingkungan latihan yang menyebabkan aktifitas latihan siswa selalu meningkat dan mampu mempertahankan”. Intensitas gerak ini sangat ditentukan oleh sejauh mana efektifitas pembelajaran yang diberikan guru. Kedua, kondisi siswa yang dimaksud adalah bagaimana keadaaan fisik dan psikis siswa selama menerima pembelajaran. Misalnya, apakah siswa sedang sakit atau sehat, semangat atau malas atau ada siswa yang baru sembuh dari sakit. Kondisi-kondisi seperti itu pasti akan akan mempengaruhi intensitas belajar gerak siswa selama pembelajaran. Siswa yang sehat hampir dapat dipastikan intensitasnya akan lebih baik daripada siswa yang sakit. Ketiga, hubungan antara guru dan murid menurut peneliti dapat menyebabkan pengaruh suatu model pembelajar terhadap intensitas belajar gerak siswa. Jika hubungan antara guru dan siswa baik, maka siswa akan merasa nyaman apapun yang diberikan oleh guru dan sebaliknya jika hubungan guru dan 223
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
murid tidak baik maka dapat mempengaruhi kenyamanan siswa dalam belajar. Peneliti beranggapan faktor kenyamanan siswa terhadap guru ini dapat mempengaruhi intensitas belajar gerak siswa selama pembelajaran penjasorkes. Dari ketiga faktor di atas satu hal yang paling penting dalam keberhasilan proses pembelajaran yaitu peran guru dalam mengelola kelas. Sidentop (1991) dalam Suherman (2009, hlm. 53) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat pembelajaran, yaitu “three major functions occupy most of the attention of physical educators are the teach: managing students, directing and instructing students, and monitoring/ supervising students”. Managing student merujuk pada kemampuan guru dalam mengorganisasikan kelas, merubah aktivitas belajar, mengelola sarana dan prasana yang tersedia, memerlihara rutinitas yang baik yang bersifat akademis maupun non akademis termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students meliputi demontrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan rutinitas penutup. Sedangkan Monitoring/supervising students merupakan perilaku observasi guru terhadap siswa yang mempunyai tujuan untuk memelihara siswa tetap aktif belajar seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial maupun penampilan belajar siswa. Keberhasilan guru dalam meningkatkan intensitas gerak siswa berbanding lurus dengan keberhasilan guru dalam menerapkan model yang tepat dalam pembelajaran penjasorkes. Menerapkan model yang tepat merupakan salah satu kunci dalam mengajar yang efektif. Mengajar penjasorkes yang efektif merupakan salah satu indikator guru berhasil dalam mengajar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suherman (2009, hlm. 57) yang menyatakan : Mengajar pendidikan jasmani yang efektif lebih cenderung menekankan pada proses yang terjadi yaitu “active 224
teacher-learning student” dimana gurunya secara aktif menciptakan lingkungan pembelajaran yang menguntungkan bagi siswa untuk belajar melalui penggunaan berbagai teknik, sementara itu anak didi dengan senang dan giat belajar sesuatu yang menjadi fokus pembelajarannya dengan proporsi waktu yang relatif lama. Sedangkan keberhasilan mengajar lebih cenderung melihat “outcome” dari suatu proses belajar mengajar. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil uji hipotesis dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan antara lain : 1. Terdapat perbedaan pengaruh motivasi belajar siswa yang signifikan antara model pembelajaran sport education model (SEM) dan model tradisional. Model pembelajaran SEM lebih baik daripada model tradisional dalam memberikan motivasi terhadap siswa meskipun kedua model tersebut memberikan pengaruh yang positif. 2. Tidak terdapat perbedaan pengaruh intensitas gerak siswa yang signifikan antara model pembelajaran sport education model (SEM) dan model tradisional dalam pembelajaran penjasorkes. Namun jika dilihat dari skor rata-rata, model pembelajaran SEM pengaruhnya sedikit lebih baik daripada model tradisional terhadap intensitas belajar gerak siswa dalam pembelajaran penjasorkes. Berdasarkan penelitian ini penulis ingin memberikan beberapa rekomendasi untuk para pembaca, khususnya para civitas yang bersentuhan dengan pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. Berikut ini adalah rekomendasi dari diajukan penulis : 1. Bagi pengajar atau guru penjasorkes diharapkan memilih model yang tepat untuk meningkatkan motivasi belajar dan intensitas gerak siswa dalam
Rudi Hartono, dkk., Pengaruh Model Sport Education
pembelajaran penjasorkes. Salah satu rekomendasi yang diajukan penulis adalah agar para guru mencoba menerapkan model pembelajaran SEM, karena model ini lebih baik daripada model tradisional dalam membantu siswa meningkatkan motivasi dan intensitas gerak dalam pembelajaran penjasorkes. 2. Bagi siswa diharapkan untuk senantiasa memelihara motivasi belajar penjasorkes, diharapkan jika memiliki motivasai berolahraga yang bagus generasi muda kita memiliki derajat sehat yang baik. Derajat sehat yang baik merupakan salah satu ciri kemajuan bangsa, karena dengan memiliki kesehatan yang baik kita dapat beraktivitas dengan lancar dan produktif. 3. Penulis menyadari dalam penelitian ini terdapat beberapa kekurangan, diantaranya instrumen yang digunakan untuk mengungkap data intensitas gerak siswa pada saat belajar penjasorkes. Penulis menggunaka alat digital iCardio yang penggunaanya saat terbatas sehingga data yang diperoleh kurang masksimal. Oleh karena itu penulis merekomendasikan agar penelitian selanjutnya, peneliti bisa menggunakan alat yang lebih akurat dan lebih banyak lagi, sehingga data yang didapat bisa baik lagi untuk mengungkap intensitas gerak siswa. Daftar Rujukan Agusyana,Y dan Islanscript. Olah data skripsi dan penelitian dengan SPSS 19. Jakarta: PT. Elex Media Komputido. Depdiknas, (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Echols, J.M., & Shadily, H. (1993) Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia. Giriwijoyo, S. & Sidik D.Z. (2012). Ilmu faal olahraga. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Gunarsa, Singgih D. (1989). Psikologi olahraga, Bandung: Surya Grafindo. Hamzah B. Uno. (2008). Teori motivasi
dan pengukurannya analisis di bidang pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Joice and Weil (1996). Model of teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kholik, M (2011). Metode pembelajaran konvensional. [Online]. Tersedia:http// wordpress.com/2011/11/08/metodepembelajaran konvensional. [Diakses 27 September 2014] Komarudin. (2013). Psikologi olahraga: latihan mental dalam olahraga kompetitif. Bandung. ROSDA. Lutan, R dkk. (2001). Pendidikan kebugaran jasmani orientasidi sepanjang hayat. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga. Lutan, R (2002). Pembaharuan pendidikan jasmani di Indonesia. Jakarta: Direktur Jendral Olahraga. Maksum, A (2012). Metode penelitian dalam olahraga. Unessa University Press. Martinis, Y. (2007). Kiat membelajarkan siswa. Jakarta: Gaung Persada Press. Matjan, B. N (2009). Ilmu kesehatan olahraga. Bandung. FPOK. Metzler, (2000). Intructional models for physical education. Massachusetts. USA. Mutohir dan Maksum, (2009). Sport development index. Jakarta. PT INDEKS. Mutohir C, T dan Lutan R (1996/1997). Pendidikan jasmani dan kesehatan di sekolah dasar. Jakarta: Depdikbud. Nata, A. (2003). Kapita selekta pendidikan islam. Bandung. ANGKASA. Pemerintah Republik Indonesia, (2003), Undang-undang republik indonesia no. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta. Perlman, D.J., & Goc Karp, G. (2010). A self-determined perspective of the sport education model. Physical education and sport pedagogy. 15(4), 401-418. Perlman, D.J (2010). Journal of teaching in physical education, human kinetics. 29, 433-445. Perlman, D.J (2011). Examination of selfdetermination within the sport education model. Asia pacific journal of health, 225
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014
sport and physical education, 2(1). 2011, 79-92. Perlman, D.J (2012). The influence of the Sport Education Model on amotivated students’ in-class physical activity. Journal european physical education review 2012 18: 335. Sardiman AM. (1986). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta : Rajawali Pers. Siedentop, D (1994). Sports education : quality PE through positive sport experiences. United Graphics. USA.
226
Suherman, A. (2009). Revitaslisasi pengajaran dalam pendidikan jasmani. Bandung. CV . Warli Bintang Artika. Suherman, W.S. (2007). Pendidikan Jasmani sebagai Fondasi bagi Tumbuh Kembang Anak. Pidato pengukuhan guru besar, 8 Desember 2007. Universitas Negeri Yogyakarta. Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Suprijono, A. (2009). Cooperative learning teori dan aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.