PENGARUH INTRODUKSI LEGUMINOSA PADA PASTURA Brachiaria humidicola TERHADAP PERFORMA INDUK BUNTING DAN ANAK DOMBA DI UP3 JONGGOL
SKRIPSI HERU DWI NUGROHO
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN HERU DWI NUGROHO. D24061843. 2010. Pengaruh Introduksi Leguminosa pada Pastura Brachiaria humidicola terhadap Performa Induk Bunting dan Anak Domba di UP3 Jonggol. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pembimbing Utama : Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Domba merupakan ternak ruminansia yang cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan daging masyarakat Indonesia disamping sapi yang merupakan ternak ruminansia besar. Untuk meningkatkan populasi domba, maka diperlukan manajemen pemeliharaan termasuk manajemen pakan yang baik. Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) di bawah kepengurusan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor memiliki lahan yang cukup luas untuk peningkatan populasi ternak domba. Kendala terdapat pada pakan yaitu hijauan yang tersedia di padang penggembalaan sebagian besar terdiri atas rumput Brachiaria humidicola, rumput lapang dan alang-alang. Melihat kondisi pada lahan penggembalaan UP3J maka diperlukan adanya peningkatan kualitas hijauan makanan ternak baik dari segi ketersediaan di lapangan maupun dari segi kandungan nutrien pakan dengan melakukan introduksi leguminosa pada pastura B. humidicola, sehingga dapat meningkatkan performa domba yang dipelihara. Populasi domba tergantung dari kondisi induk bunting yang akan mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan, sehingga diperlukan manajemen pemeliharaan yang cukup serius pada status fisiologis tersebut. Induk bunting yang dipelihara secara ekstensif di padang penggembalaan seringkali mengalami kekurangan asupan nutrien karena kandungan nutrien pakan yang rendah sehingga dapat berdampak fatal pada anak domba yang dilahirkan. Penelitian yang dilaksanakan selama tiga bulan di UP3J ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh introduksi leguminosa pada pastura Brachiaria humidicola terhadap performa induk bunting dan anak domba meliputi konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan induk domba, pertambahan bobot badan induk dan anak domba, bobot induk setelah melahirkan, bobot lahir anak serta keseimbangan dan kecukupan mineral (N, P, K, Ca, Mg) yang dilihat dari kandungan mineral pakan dan serum induk domba. Penelitian ini menggunakan 24 ekor domba bunting dan 8 perlakuan (P1: kontrol (-), hijauan yang terdapat pada perlakuan ini hanya B. humidicola yang tidak diberi pupuk dan mikroba potensial tanah, P2: kontrol (+) yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides, pada saat penanaman hanya diberikan pupuk NPK; P3: B.humidicola yang diintroduksi P. javanica; P4: B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens; P5: B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides; P6: B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. pubescens; P7: B. humidicola yang dintroduksi P. javanica dan C. mucunoides; P8: B.humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides). Perlakuan 3 sampai perlakuan 8 pada saat penanaman dilakukan penambahan pupuk kandang, pupuk NPK dan mikroba potensial tanah. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ekor domba bunting. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan jika bebeda nyata dilakukan uji lanjut kontras ortogonal. Dari hasil
yang didapatkan, perlakuan berbeda sangat nyata pada konsumsi hijauan induk domba bunting (p<0,01), sementara PBB induk sebelum melahirkan tertinggi terdapat pada P8 dan setelah melahirkan pada P1. Efisisensi pakan tertinggi terdapat pada P2 dan bobot badan induk setelah melahirkan yang cukup stabil terdapat pada P8. bobot lahir anak tertinggi terdapat pada P5 dan PBB anak terdapat pada P2. Keseimbangan mineral pada pastura menghasilkan nilai yang beragam, sementara untuk asupan mineral induk domba, secara umum asupan Ca dan P belum mampu mencukupi kebutuhan induk domba, mineral N hanya mampu dicukupi oleh P3 dan P4. Asupan mineral Mg telah mencukupi kebutuhan induk domba, sedangkan asupan mineral K telah mencukupi kebutuhan induk domba kecuali pada P1. Kata-kata kunci: Pastura Brachiaria humidicola, leguminosa, domba bunting, anak domba
ABSTRACT The Influence of Leguminosae Introduction to Brachiaria humidicola’s pasture on Pregnant Ewe’s and Lamb’s Performance at Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit Nugroho, H. D., P. D. M. H. Karti., and K. G. Wiryawan An experiment has been conducted to study the effect of legume introduction on Brachiaria humidicola’s pasture on ewe reproduction. The experiment used a completely randomized block design. Eight treatments were prepared on each paddock, i.e. P1: Control (-) with no both organic and inorganic fertilizers neither soil potential microorganisms, P2: Control (+) with no inorganic fertilizers and soil potential microorganisms; P3: B.humidicola with P. javanica; P4: B. humidicola with C. pubescens; P5: B. humidicola with C. mucunoides; P6: B. humidicola with P. javanica and C. pubescens; P7: B. humidicola with P. javanica and C. mucunoides; P8: B.humidicola with P. javanica, C. pubescens and C. mucunoides. There are three ewes for each paddock. The treatment of P3, P4, P5, P6, P7, P8 were use of organic and inorganic fertilizers and soil potential microorganisms upon in the process of plantation. Variable observed were daily consumption and feed efficiency for ewes, ewes and lambs daily gain, birth weight, ewes weight post partus and mineral status. The data obtained were treated by Analysis of Variance followed by an orthogonal contrast if there was a significant different. The result of this experiments was very significant difference (p<0.01) on ewes daily consumption. The highest daily consumption was found in P4 (B. humidicola with C. pubescens). The highest daily gain of ewes during pregnant was found in P8 because grass and three combinations of legumes contained sufficient nutrient required. The highest birth weight and daily gain of lamb was found in P5 and P2. It is concluded that the introduction of leguminosae can increase pregnant ewe’s and lamb’s performance. Keywords: B. humidicola’s pasture, legume, pregnant ewe, lamb
PENGARUH INTRODUKSI LEGUMINOSA PADA PASTURA Brachiaria humidicola TERHADAP PERFORMA INDUK BUNTING DAN ANAK DOMBA DI UP3 JONGGOL
HERU DWI NUGROHO D24061843
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul
: Pengaruh Introduksi Leguminosa pada Pastura Brachiaria humidicola terhadap Performa Induk Bunting dan Anak Domba di UP3 Jonggol
Nama
: Heru Dwi Nugroho
NIM
: D24061843
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Panca Dewi M.H.K., M.Si) NIP. 19611025 198703 2 002
(Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan) NIP. 19610914 198703 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 25 Mei 2010
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juli 1988 di Mataram Nusa Tenggara Barat. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sukidi S.Pd dan Ibu Yuni Kamsiyati S.Pd. Pendidikan formal penulis dimulai sejak Taman Kanak-kanak (TK), diselesaikan di TK Negeri Pembina Mataram pada tahun 1994, dilanjutkan dengan pendidikan dasar pada SDN 6 Mataram yang diselesaikan pada tahun 2000, setelah lulus penulis melanjutkan ke SMPN 1 Mataram lalu pada tahun 2000 penulis pindah ke SMPN 1 Magetan Jawa Timur dan lulus pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Magetan yang diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun 2006. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor tahun 2007 atau angkatan 43. Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif dalam kepengurusan OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IMPATA (Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Alumni Magetan) sebagai ketua dengan masa jabatan 2007-2008. Penulis juga aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak sebagai staf biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007-2008 dan staf Divisi Riset dan Pengembangan Mahasiswa (RPM) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FAPET) periode 2008-2009, tergabung dalam Paduan Suara Fakultas Peternakan Graziono Symphonia serta mengikuti beberapa kepanitiaan di Fakultas Peternakan IPB. Penulis pernah mengikuti program magang di Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Branggahan Kediri Jawa Timur pada bagian pemeliharaan ternak sapi perah, itik dan tiktok (itik Mandalung) pada tahun 2008. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM).
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sampai saat ini serta junjungan kepada Nabi Muhammad SAW skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Introduksi Leguminosa pada Pastura Brachiaria humidicola Terhadap Performa Induk Bunting dan Anak Domba di UP3 Jonggol” di bawah bimbingan Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si., dan Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan. Data yang diperoleh untuk skripsi ini berasal dari pengamatan langsung di lapangan yaitu di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol Jawa Barat. Data-data pendukung didapatkan melalui studi pustaka dari berbagai sumber. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan semoga skripsi ini bermanfat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan terutama kemajuan pembangunan peternakan di Indonesia.
Bogor, Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
ii i
ABSTRACT ...................................................................................................
iii 1
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iv1
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
v2
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
vi3
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii 3
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii 3
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x5
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi5
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii 5
PENDAHULUAN .........................................................................................
15
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ................................................................................................
16 25
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
34
Domba ................................................................................................ Konsumsi dan Efisiensi Penggunaan Pakan ...................................... Pertumbuhan dan Perkembangan ....................................................... Bobot Lahir Domba ........................................................................... Mineral ............................................................................................... Padang Penggembalaan ...................................................................... Leguminosa ........................................................................................
33 44 55 77 88 88 10
MATERI DAN METODE ...............................................................................
13 11
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Prosedur ............................................................................................. Persiapan Lahan ................................................................................. Persiapan Ternak ................................................................................ Penggembalaan Ternak ...................................................................... Peubah yang Diamati ......................................................................... Rancangan dan Analisis Data .............................................................
11 11 11 11 12 12 12 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
15 16
Keadaan Umum Lokasi ...................................................................... Konsumsi dan Efisiensi Penggunaan Pakan ...................................... Pertambahan Bobot Badan Induk Domba .......................................... Bobot Induk Setelah Melahirkan ....................................................... Bobot Lahir Anak ............................................................................... Pertambahan Bobot Badan Anak Domba ..........................................
15 16 16 17 24 28 29 30 32 34 36
ix
Mineral ...............................................................................................
37 39
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 46 52 Kesimpulan ........................................................................................ 46 52 Saran ................................................................................................... 46 52 UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... 47 53 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 48 54 LAMPIRAN ................................................................................................... 52 57
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan Bulan Juli, Agustus, September dan Oktober 2009 ………………..
16
2.
Konsumsi BK Hijauan Induk Domba ………………………............
17
3.
Pertambahan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Melahirkan …...
25
4.
Rataan Bobot Induk Domba Bunting, Sesaat Setelah Melahirkan dan Dua Minggu Setelah Melahirkan .......................................................
29
Bobot Lahir Anak Domba dan Rata-ratanya dari Setiap Induk dengan Umur yang Berbeda ………………………………………...
33
6.
Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Anak Domba Dari Lahir Sampai Umur 14 Hari …………………………………………….....
36
7.
Kandungan Mineral Pada Hijauan Pakan, Serum dan Feses Domba pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda ………………………………………………………..
41
Jumlah Konsumsi Bahan Kering, Asupan Mineral, Mineral yang Diserap (Dalam Serum) serta yang Terbuang (Dalam Feses) pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda ...............................................................................................
42
Neraca Mineral (tanpa urin) pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda …………………...
43
5.
8.
9.
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Domba Ekor Tipis UP3J …………………………………………..
3
2.
Kurva Pertumbuhan pada beberapa Jenis Ternak …………………..
6
3.
Padang Penggembalaan Penelitian UP3J ...........................................
9
4.
Domba yang Sedang Mengkonsumsi Rumput dalam Kandang Portabel ..............................................................................................
20
Efisiensi Pakan Induk Domba yang Digembalakan pada Pastura B. humidicola dengan Introduksi Leguminosa yang Berbeda …………
22
6.
Induk Domba yang Melahirkan Satu anak (twin) ..............................
31
7.
Induk Domba yang Melahirkan Dua Anak (single) ..........................
31
5.
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Anova Konsumsi Induk Domba Musim Hujan ………………….....
58
2.
Anova Uji Lanjut Konsumsi Induk Domba Musim Hujan ………...
58
3.
Anova Konsumsi Induk Domba Musim Kemarau ............................
58
4.
Anova Uji Lanjut Konsumsi Induk Domba Musim Kemarau ……..
59
5.
Anova Rataan Konsumsi Induk Domba (Hujan dan Kemarau) ........
59
6.
Anova Uji Lanjut Rataan Konsumsi Induk Domba (Hujan dan Kemarau) ...........................................................................................
59
Anova PBB Induk Domba Sebelum Melahirkan …………………..
60
7.
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10.471.991 ekor, sekitar 86,54% berada di pulau Jawa dan dari jumlah tersebut sebanyak 60,96% (5,524 juta ekor) berada di Jawa Barat (DitJenNak, 2009). Sementara dengan jumlah penduduk sekitar 42 juta jiwa (BPS, 2009) konsumsi daging domba atau kambing masyarakat Jawa Barat baru mencapai 3.932.595 kg/tahun (Harian Pikiran Rakyat, 2009). Angka ini masih dapat ditingkatkan dengan manajemen peternakan yang baik, sehingga diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan daging nasional maupun untuk kebutuhan ekspor, mengingat domba adalah ternak yang melambangkan usaha peternakan di Jawa Barat. Masyarakat menganggap bahwa ternak domba lebih mudah dikelola karena ukuran yang kecil, bersifat prolifik (beranak lebih dari satu) dan tidak memerlukan persyaratan agroekologi yang rumit (adaptasi mudah), mudah untuk dipasarkan, memiliki fungsi selain penghasil daging juga estetika, dan penghasil bahan baku kerajinan dan industri rumah tangga. Domba lokal merupakan salah satu ternak potong yang selama ini banyak memberikan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Untuk meningkatkan produksi domba, maka diperlukan bibit induk dan anak domba yang cukup unggul. Sejauh ini domba dipelihara secara tradisonal dengan mengandalkan rumput sebagai kebutuhan pakan utama. Rumput Brachiaria humidicola adalah rumput yang biasa dipakai sebagai pakan ternak domba, baik ternak domba intensif maupun ekstensif pada semua status fisiologis domba tersebut. UP3J (Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol) IPB memiliki lahan pastura yang cukup luas dengan rumput Brachiaria humidicola dan rumput lapang yang mendominasi pada pastura tersebut. Berdasarkan penelitian Resdiani (2009) (data belum dipubliksikan) rumput ini memiliki kandungan rata-rata protein 6,6% dan TDN 55% (Vendramini et al., 2008), sementara kebutuhan TDN ternak domba yang sedang bunting adalah 86% dan protein sebesar 14,16% (NRC, 1985) pada usia kebuntingan 4 bulan dengan bobot badan 20-30 kg. Berdasarkan kebutuhan tersebut diperlukan tambahan pakan di pastura untuk mencukupi kebutuhan nutrien, salah satunya dengan melakukan introduksi leguminosa.
1
Konsumsi nutrien yang meliputi makromineral (N, P, K, Mg dan Ca) juga diperlukan untuk memenuhi asupan nutrien induk domba bunting yang berperan dalam perkembangan fetus dan proses kelahiran serta laktasi domba. Adanya introduksi leguminosa pada pastura tersebut dapat melengkapi kebutuhan nutrien domba selain rumput yang merupakan sumber kalsium (Ca) dan Phospor (P) yang cukup tinggi. Harapan dengan adanya introduksi tersebut adalah tersedianya kebutuhan nutrien domba bunting di lahan penggembalaan sehingga performa induk bunting dan anak domba dapat ditingkatkan yang akan berdampak pada ketersediaan anak domba lepas sapih serta induk domba sehat sehingga dapat dikawinkan kembali. Tujuan Tujuan dilakukannnya penelitian ini adalah untuk mempelajari pengauh introduksi leguminosa pada pastura Brachiaria humidicola terhadap performa induk bunting dan anak domba di UP3J IPB.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba diklasifikasikan dalam Kingdom: Animalia; Phylum: Chordata (Hewan bertulang belakang); Class: Mammalia (Hewan menyusui); Ordo: Artiodactyla (Hewan berkuku genap); Family: Bovidae (Memamah biak) dan Spesies; Ovis aries (Ensminger, 1991). Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial dan budaya, serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor (Sumantri et al., 2007). Bangsa-bangsa ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai keunggulan antara lain mampu bertahan hidup pada tekanan iklim dan pakan yang berkualitas rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah, mendukung keragaman pangan, pertanian dan budaya (FAO, 2002).
Gambar 1. Domba Ekor Tipis UP3J
Domba lokal di Indonesia dikelompokkan ke dalam dua bangsa yaitu Domba ekor Tipis dan Domba Ekor Gemuk. Domba ekor tipis sebagian besar berada di Jawa Barat, dengan bobot badan rata-rata betina dewasa sekitar 20 kg (bervariasi, domba di dataran tinggi memiliki bobot badan rata-rata 27 kg, sedangkan di dataran rendah, rata-rata bobot badan yang dimiliki adalah 16 kg) tinggi badan 55 cm serta memiliki bulu yang agak tebal dan sebagian besar bulunya berwarna putih dengan belang hitam di sekitar mata. Domba jantan bertanduk namun tidak pada betina (Gatenby, 1991). Domba Ekor Tipis diduga berasal dari India atau Bangladesh (Devendra dan
3
McLeroy, 1982). Salah satu strain dari Domba Ekor Tipis adalah Domba Garut atau Priangan, dimana domba dengan jenis kelamin jantan biasa digunakan untuk kesenian adu domba, ukuran tubuh domba ini cukup besar, memiliki ukuran telinga yang kecil dan berwarna hitam (Gatenby, 1991). Domba Ekor Gemuk tersebar di Jawa Timur dan Nusa Tenggara (Sutana 1993; Doho 1994). Menurut Gatenby (1991) Domba Ekor Gemuk berasal dari Pakistan dan Timur Tengah, domba ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, ekor gemuk dan bulu yang lebih tipis dibandingkan dengan Domba Ekor Tipis, baik jantan maupun betina dari domba ini tidak bertanduk. Domba betina yang telah bunting akan mengandung anaknya selama 150 hari atau selama hampir 5 bulan, dimana lama kebuntingan ini bervariasi antara 147 sampai 153 hari. Pada awal kebuntingan, stress pada induk domba dapat menyebabkan kematian embrio dan bobot lahir anak yang rendah, sehingga diperlukan manajeman yang baik pada domba bunting, terutama dalam hal asupan nutrien, selain itu dua minggu sebelum melahirkan adalah waktu yang tepat untuk pemberian vaksin, karena pada waktu ini induk domba memproduksi antibodi dalam jumlah besar yang akan ditransfer ke anaknya saat anak domba menyusu pertama kali pada induknya (first suckled) (Gatenby, 1991). Konsumsi dan Efisiensi Penggunaan Pakan Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum, tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang terdiri dari hewan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999). Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah dan efisiensi produktifitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi
konsumsi
pakan.
Efisiensi
penggunaan
pakan
merupakan
perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Card and Nesheim (1972) menyatakan bahwa nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram ransum.
4
Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah pakan yang dimakan oleh ternak; zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok maupun keperluan produksi ternak (Tillman et al. 1998). Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor-faktor a) hewan itu sendiri b) makanan yang diberikan c) lingkungan tempat hewan dipelihara (Parakkasi, 1999). Menurut Hamudikuwanda et al (2007) pemberian suplemen pakan berupa leguminosa pada domba dapat meningkatkan feed intake yang berdampak pada meningkatnya asupan bahan kering dan nitrogen, selain itu dapat mencegah penurunan bobot badan yang cukup signifikan, walaupun demikian, konsumsi leguminosa tidak dapat menjaga kestabilan bobot badan domba pada kondisi kualitas hijauan yang rendah. Asupan nutrien tergantung dari ketersediaan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi, nutrien yang diperlukan domba antara lain adalah energi, protein, mineral, vitamin dan air (Gatenby, 1991). Pertumbuhan dan Perkembangan Pertumbuhan adalah pertambahan bobot badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur dan perkembangan. Perubahan ukuran serta fungsi dari berbagai bagian tubuh mulai embrio sampai dewasa periode pertumbuhan seekor hewan terjadi peningkatan bobot badan sampai hewan dewasa serta perubahan dalam bentuk dimana kejadian ini masing-masing disebut pertumbuhan dan perkembangan (Tillman et al., 1998) Pertambahan bobot badan berdasarkan NRC (1985) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana. Perbedaan bangsa memberikan keragaman dalam kecepatan pertumbuhan dan komposisi tubuh. Ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas dan menghasilkan karkas dengan sifat tersendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya (Judge et al., 1989). Pertambahan bobot badan harian ternak jantan lebih tinggi dibanding dengan betina, selain itu ternak jantan lebih efisien dalam mengubah makanan menjadi bobot tubuh dibanding ternak betina. Untuk mencapai bobot potong yang sama ternak betina membutuhkan waktu dan makanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak jantan (Khasanah, 2007).
5
Kebutuhan energi domba betina dapat dipenuhi dari konsumsi rumput di pastura, namun ketidakcukupan nutrien terutama bagi domba bunting dapat mengakibatkan penurunan bobot badan, infertilitas meningkat dan produksi menurun, karena itu asupan legum yang berkualitas dengan mengandung 16 sampai 20% protein kasar dapat mencukupi kebutuhan domba tersebut (Swartz, 1981). Ilham (2008) menyatakan konsumsi yang cukup akan mempercepat pertumbuhan dan kekurangan pakan dapat menyebabkan berkurangnya bobot hidup. Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa kurva pertumbuhan terdiri dari tiga bagian yaitu fase percepatan (self-accelerating phase), diikuti fase linier (linier phase) atau pertumbuhan yang sangat cepat dengan waktu yang sangat pendek (dewasa kelamin) dan berakhir pada fase perlambatan (self-decelerating phase) yang berangsur-angsur menurun sampai hewan mencapai dewasa tubuh diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan pada beberapa Jenis Ternak Sumber: Lawrence dan Fowler, 2002
Suharyanto (2008) menambahkan bahwa ternak-ternak yang digembalakan di pastura dengan dominan spesies legum akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak tubuhnya lebih besar daripada yang digembalakan pada pastura dengan
6
spesies rerumputan. Menurut Manggung (1979) pertumbuhan ternak umumnya mengarah ke samping sehingga pertumbuhan ukuran tubuh (besar) ke arah samping kelihatan nyata, sedangkan pertambahan panjang dan tingginya biasanya tidak seberapa. Bobot Lahir Domba Bobot lahir adalah bobot pada saat dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Faktor-faktor yang menentukan bobot lahir antara lain adalah jenis kelamin, bangsa, tipe kelahiran, umur domba, kondisi induk dan ransum tambahan untuk induk saat bunting (Sumoprastowo, 1993). Anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung memiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan (vigor of birth) dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon, 2000). Menurut Taylor dan Field (2004) bobot lahir menggambarkan 5 sampai 7% dari bobot dewasa seekor ternak. Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan dengan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih, 1986). Selain itu, bobot lahir anak domba juga dipengaruhi oleh umur induk (Inounu, 1991). Menurut Gruenwald (1967) pertumbuhan fetus selama proses kebuntingan dipengaruhi oleh faktor genetis dari fetus sendiri dan pasokan zat gizi makanan dari induk. Faktor genetik, jumlah anak sekelahiran, jenis kelamin, status gizi dan kondisi kesehatan induk dapat menimbulkan keragaman bobot fetus pada sepertiga akhir kebuntingan (Ilham, 2008). Ditambahkan oleh Gatenby (1991) bahwa nutrisi selama akhir kebuntingan dapat mempengaruhi bobot lahir anak domba, walaupun induk domba dapat menggunakan persediaan lemaknya untuk perkembangan fetus ketika nutrien tidak tercukupi, sehingga penambahan leguminosa dapat memenuhi kebutuhan nutrien induk domba bunting untuk perkembangan fetus.
7
Mineral Menurut Underwood (1966), hewan ternak memperoleh asupan mineral mereka melalui dua sumber, yaitu yang pertama dari pakan yang mereka konsumsi dan yang kedua adalah dari senyawa inorganik pada feed supplement. Ternak memerlukan bebrapa mineral di dalam pakannya, mineral tersebut terdiri atas makromineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan mikromineral yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit. (Gatenby, 1991). Ternak yang digembalakan lebih banyak memperoleh asupan mineral dari tanaman yang mereka konsumsi, konsentrasi elemen mineral pada tanaman tergantung dari lima faktor, yaitu genus, spesies atau strain tanaman, kondisi tanah dimana tanaman tersebut tumbuh, iklim atau musim selama pertumbuhan dan tingkat kematangan dari tanaman tersebut (Underwood, 1966). Pada sistem pemeliharaan ekstensif, kekurangan mineral pada domba jarang terjadi dan lebih banyak terjadi pada domba yang dipelihara secara intensif (Gatenby, 1991). Kandungan mineral pada rumput dan legum berbeda, pada kondisi tanah dan lingkungan yang sama, kandungan kalsium (Ca) pada legum lebih tinggi sekitar tiga sampai lima kali lipat dibandingkan yang terdapat pada rumput, sementara itu kandungan fosfor (P) dan natrium (Na) pada lahan pastura menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman, sebaliknya kandungan Ca tidak menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman, sehingga kandungan Ca lebih tinggi dibandingkan dengan fosfor pada tanaman yang sudah tua (Underwood, 1966). Menurut Gatenby (1991), kekurangan mineral pada domba tidak dapat ditentukan dengan hanya memperhatikan performa domba seperti rendahnya angka pertumbuhan atau fertilitas yang rendah, namun dengan cara menganalisa mineral yang terdapat di dalam ternak domba tersebut, jika domba dipelihara secara intensif, maka kekurangan mineral dapat diatasi dengan pemberian campuran mineral dalam pakan, sedangkan jika dipelihara secara ekstensif, mineral dapat diberikan dalam bentuk mineral blok (salt lick). Padang Penggembalaan Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Beberapa macam
8
padang
penggembalaan
diantaranya
padang
penggembalaan
alam,
padang
penggembalaan permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer dan padang penggembalaan irigasi. Beberapa cara menggembalakan ternak di padang penggembalaan antara lain yaitu cara ekstensif dengan menggembalakan ternak di padangan yang luas tanpa rotasi, semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun pemilihan hijauan masih bebas, cara intensif dengan melakukan rotasi tiap petak dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekeliling ternak yang bisa dipindah dan solling dengan hijauan padangan yang dipotong dan diberikan pada ternak di kandang.
Gambar 3. Padang Penggembalaan Penelitian UP3J
Produksi rumput di padang penggembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
iklim,
pengelolaan,
kesuburan
tanah,
pemeliharaan
dan
tekanan
penggembalaan (Reksohadiprodjo, 1994). Rumput yang biasa digunakan untuk pastura (padang penggembalaan) adalah Brachiaria humidicola yang merupakan rumput tahunan yang memiliki perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang akan segera membentuk hamparan, memiliki warna bunga ungu atau ungu kecoklatan, helai daun berwarna hijau terang dan berbentuk gepeng dengan lebar 5-6 cm dan panjang 12-25 cm (Jayadi, 1991). Rumput ini memiliki kandungan TDN 55% (Vendramini et al., 2008) dan kandungan PK menurut hasil penelitian Resdiani (2008) (data belum dipublikasikan) sebesar 6,6%. Kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digrazing, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen
9
grazing (Coleman dan Henry, 2002). Komposisi kimia dan produksi hijauan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan pada musim panas umumnya memiliki bobot badan yang rendah, produksi dan kualitas susu rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al. 2004). Leguminosa Leguminosa termasuk keluarga Fabaceae (Leguminosae). Leguminosa mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, karena simbiosis yang terjadi antara mikroorganisme tanah yaitu Rhizobium sp pada bintil akar membuat leguminosa mampu memfiksasi nitrogen dari udara. Leguminosa terdiri dari dua tipe, yaitu leguminosa pohon seperti gamal dan lamtoro yang digunakan untuk pakan ternak di kandang, serta leguminosa yng tumbuh merambat seperti alfalfa, Pueraria, Centrosema dan Calopogonium yang digunakan pada padang penggembalaan ternak. Pueraria javanica Benth disebut juga kacang ruji (Jawa). P. javanica Benth merupakan tanaman tahunan yang tumbuh rebah dan menjalar serta berstolon, jika menjalar, sulur akan membentuk akar pada tiap bukunya. Perakarannya dalam dan bercabang-cabang (Reksohadiprodjo, 1985). Kandungan nutrisi P. javanica Benth terdiri dari PK berkisar 20,5%; SK 37,9%; abu 6,7%; LK 2,0% dan BETN (Bahan Ekstrak tanpa N) 32,9% (Gohl, 1981). Centro merupakan salah satu hijauan yang disukai oleh ternak d (Mannetje dan Jones, 1992), kandungan nutrisi Centro (Centrosema pubescens Benth) terdiri dari Protein Kasar 23,6%; Serat Kasar 31,6%; abu 8,2%; Lemak Kasar 3,6% dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 32,8% (Gohl, 1981). Calopogonium mucunoides Benth (Calopo) dapat tumbuh baik dengan hampir semua rumput tropis, semisal Panicum sp, Setaria sp, Brachiaria sp, serta legum seperti centrosema atau puero, dapat tumbuh cepat untuk menekan gulma. Calopo merupakan terna (tanaman merambat) yang tumbuh cepat, dengan menjalar, membelit atau melata. (Fanindi dan Bambang, 2005).
10
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Penelitian dan Pendidikan Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, selama 98 hari yaitu bulan Juli sampai dengan Oktober 2009. Analisa mineral dalam darah dan feses domba dilakukan di laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Bogor. Materi Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pastura Brachiaria humidicola yang telah diintroduksi leguminosa dengan luas ± 2,4 ha dan dibagi menjadi delapan pedok (perlakuan) dengan luas masing-masing pedok ± 3000 m2, leguminosa yang digunakan yaitu Pueraria javanica, Centrocema pubescens dan Calopogonium mucunoides, serta 24 ekor domba bunting dengan umur 1 sampai 3 tahun. Alat yang digunakan adalah pagar (kandang portable) dengan ukuran 25 m2 (5x5 m), plastik terpal (6x2 m) sebagai shading (peneduh), 8 buah ember sebagai tempat minum, timbangan ternak, kawat persegi (kuadran) dengan ukuran 50x50 cm untuk mengukur konsumsi, timbangan digital, gunting, tabung dan spoit untuk mengambil darah serta kantong plastik untuk menampung (collecting) feses. Prosedur Pelaksanaan Persiapan Lahan Lahan yang digunakan untuk penelitian memiliki luas 24000 m2 dengan luas setiap satuan percobaan yaitu 3000 m2. Lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan pastura Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol yang telah ditanami rumput Brachiaria humidicola dan diintroduksi dengan leguminosa. Persiapan lahan dimulai dengan pembagian pedok menjadi 8 pedok menggunakan kayu dan papan nama sebagai pembatas masing-masing pedok. Kandang portabel yang digunakan untuk penggembalaan domba dimasukkan sesuai pedok masingmasing lalu diberi plastik terpal dan satu buah ember tempat minum.
11
Persiapan Ternak Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah domba bunting dengan umur induk domba satu sampai tiga tahun (I1-I3). Domba bunting yang akan digunakan berjumlah 24 ekor yang sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, kemudian domba diberi kalung tanda sesuai umur domba dan pedok dimana domba tersebut akan ditempatkan, misalnya domba berada di pedok satu dengan umur domba 1 tahun, maka kalung bertuliskan P1I1. Masing-masing pedok terdiri atas 3 ekor domba bunting dengan umur yang berbeda, masing-masing 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Penggembalaan Ternak Ternak domba setiap perlakuan digembalakan di dalam pedok (kandang portabel) dengan sistem rotasi, yaitu kandang tersebut dipindahkan setiap hari sesuai dengan kondisi hijauan di dalam perlakuan (pedok) tersebut. Domba digembalakan pada pukul 09.00 sampai pukul 16.00 untuk menghindari terjadinya timpani atau bloat. Peubah yang diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu konsumsi hijauan domba di lahan pastura, pertambahan bobot badan induk dan anak domba, bobot badan induk setelah melahirkan, bobot lahir anak domba serta dinamika nutrien di dalam darah dan feses. 1.
Konsumsi dan Efisiensi Penggunaan Pakan Konsumsi pada lahan pastura didapatkan dengan pelemparan kuadran
sebanyak 3 kali ulangan pada pagi dan sore hari (sebelum dan sesudah domba digembalakan) setiap harinya. Hijauan yang berada di dalam kuadran digunting dan dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian ditimbang, selisih berat hijauan pada pagi dan sore hari adalah prediksi konsumsi domba yang kemudian dikonversi dengan luasan kuadran, luasan kandang dan bahan kering hijauan, sehingga didapatkan konsumsi bahan kering domba. Konsumsi BK hijauan dibagi menjadi dua musim yaitu musim hujan dan kemarau, karena waktu penelitian memasuki musim hujan dan kemarau.
12
Efisiensi penggunaan pakan dihitung menggunakan rumus (Parakkasi, 1999) Efisiensi pakan =
PBB induk domba (g/ekor/hari) konsumsi pakan induk domba (g/ekor/hari)
Rata-rata pertambahan bobot badan yang digunakan dalam perhitungan efisiensi adalah nilai pertambahan bobot badan induk domba sebelum melahirkan karena setelah melahirkan pertambahan bobot badan induk domba jauh berkurang. 2.
Pertambahan Bobot Badan Induk Pertambahan bobot badan induk dihitung setiap dua minggu dengan
menggunakan rumus: Pertambahan Bobot Badan = BB induk domba minggu X (n) BB induk domba minggu X (n 1) jumlah hari
3.
Pertambahan Bobot Badan Anak Pertambahan bobot badan anak dilakukan setiap dua minggu menggunakan
rumus: Pertambahan Bobot Badan = BB anak domba minggu X (n) BB anak domba minggu X (n 1) jumlah hari
4.
Bobot Badan Induk Setelah Melahirkan Bobot induk setelah melahirkan adalah bobot induk domba setelah
melahirkan dalam kurun waktu 24 jam (Harjosubroto, 1994). 5.
Bobot Lahir Anak Bobot lahir anak domba dihitung dengan menimbang anak domba setelah
lahir dalam kurun waktu 24 jam (Harjosubroto, 1994). 6.
Kandungan Mineral Hijauan, Serum dan Feses Kandungan mineral hijauan, serum dan feses digunakan untuk mengetahui
kecukupan asupan mineral induk domba dan keseimbangan mineral pada pastura. Pengambilan sampel hijauan dilakukan secara komposit (campuran rumput dan leguminosa) pada setiap perlakuan, kemudian analisa mineral dilakukan di Pusat Penelitian Tanaman Bogor. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum domba
13
digembalakan pada pagi hari dengan menggunakan alat yang dinamakan venoject secukupnya melalui vena jugularis. Darah yang telah diambil kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacutainer dan ditambahkan alkohol dengan perbandingan 1:2. Pengambilan feses dilakukan pada akhir penelitian dengan mengambil feses sekitar 100 gram segar pada setiap pedok lalu dimasukkan ke dalam plastik yang telah disiapkan dan diberi label. Kandungan nutrien yang dianalisis adalah makromineral meliputi N, P, K, Ca dan Mg. Mineral P, K, Ca, Mg dalam darah dan feses serta N feses dianalisis dengan menggunakan metode Wet Ashing, sedangkan N serum dianalisis dengan alat yang dinamakan NH4-analyzer. Data yang didapatkan (ppm) kemudian dikonversi ke dalam persen (%). Rancangan dan Analisis Data Perlakuan Penelitian ini terdiri atas 8 perlakuan, yaitu : 1.
Pedok 1: Kontrol negatif (B. humidicola yang tidak diintroduksi leguminosa tanpa penambahan pupuk kandang, NPK dan mikroba potensial tanah).
2.
Pedok 2: Kontrol positif (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides, tanpa penambahan pupuk kandang dan mikroba potensial tanah).
3.
Pedok 3: B. humidicola yang diintroduksi dengan P. javanica.
4.
Pedok 4: B. humidicola yang diintroduksi dengan C. pubescens.
5.
Pedok 5: B. humidicola yang diintroduski dengan C. mucunoides.
6.
Pedok 6: B. humidicola yang diintroduksi dengan P. javanica dan C. pubescens.
7.
Pedok 7: B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides.
8.
Pedok 8: B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides. Perlakuan 3 sampai dengan perlakuan 8 dilakukan penambahan pupuk
kandang, NPK dan mikroba potensial tanah pada saat penanaman. Model Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :
14
Yij = µ + i + βj + ij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai rataan umum
i
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj
= Pengaruh ulangan ke-j
ij
= Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji kontras ortogonal (Steel dan Torrie, 1997).
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor terletak 60 km sebelah Timur Laut Bogor, di Desa Singasari Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Daerah ini terletak pada 106,53 ˚BT dan 06,530 ˚LS dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Sebanyak 20% areal UP3J umumnya tanah datar, 60% bergelombang dan 20% bukit-bukit curam dan lembah. Luas lahan UP3J adalah 169 ha terdiri atas 67 ha padang rumput seperti Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens dan rumput alam, bangunan kandang, gudang dan perumahan (guest house). Tabel 1. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan Bulan Juli, Agustus, September dan Oktober 2009 Kondisi umum
Bulan Juli
Agustus
September
Oktober
Curah Hujan (mm)
34,5
59,5
66,5
167,5
Kelembaban (%)
93,96
93,15
95,78
97,04
Suhu Minimum (˚C)
21
21,30
22
23,58
Suhu Maksimum (˚C)
32,8
28,55
34,92
34,91
Sumber: Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (2009)
Kondisi alam selama penelitian memasuki musim hujan dan kemarau sehingga rumput di padang penggembalaan memiliki produksi yang berbeda tiap musimnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 167,5 mm dengan kelembaban mencapai 97,04% dengan suhu maksimum 23,58 ˚C. Pada bulan Juli sampai September curah hujan yang tercatat di bawah 100 mm dengan kelembaban hampir mencapai 96%, sedangkan suhu maksimum tertinggi yang dicapai adalah 34,92 ˚C pada bulan September. Lahan pada pastura ini tidak diairi, namun pada musim hujan dapat menghasilkan produksi hijauan yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau dikarenakan oleh curah hujan yang lebih tinggi. Tingginya produksi hijauan dapat berdampak pada meningkatnya konsumsi hijauan oleh ternak sehingga dapat mengakibatkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Kondisi tanah di UP3J mempunyai pH rata-rata 6 dan termasuk jenis tanah liat coklat pekat,
16
memiliki respon yang baik terhadap pemupukan NPK dan tingkat kesuburan umumnya rendah. Konsumsi dan Efisiensi Penggunaan Pakan Tingkat konsumsi menurut Parakkasi (1999) adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum, tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang terdiri dari hewan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Tingkat konsumsi pada ternak yang digembalakan juga dipengaruhi oleh kondisi hijauan pada pastura tersebut (Gambar 4). Tabel 2. Konsumsi BK Hijauan Induk Domba selama 98 Hari (g/ekor/hari) Perlakuan
Hujan
Kemarau
Rata-rata
P1
758,01 ± 15,44b
426,15 ± 40,72r
592,08 ± 18,29z
P2
971,13 ± 134,91b
536,38 ± 28,75r
753,75 ± 81,81z
P3
1003,41 ± 66,70a
1000,02 ± 81,86p
1001,71 ± 72,50w
P4
1062,30 ± 105,85a
1179,99 ± 221,02p
1121,14 ± 60,73w
P5
958,84 ± 52,06b
810,30 ± 161,37q
884,57 ± 106,27z
P6
1092,35 ± 55,57a
878,26 ± 82,82p
985,30 ± 44,36x
P7
1073,34 ± 33,11a
934,81 ± 33,54p
1004,07 ± 30,94w
P8
947,70 ± 63,45b
968,49 ± 75,87p
958,09 ± 69,22y
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01); P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa hasil analisis ragam menunjukkan konsumsi hijauan pada pastura Brachiaria humidicola dengan introduksi leguminosa berbeda sangat nyata (p<0,01), sedangkan dari hasil uji lanjut pada total konsumsi kedua musim bahwa P4 mempunyai tingkat konsumsi tertinggi atau tidak berbeda dengan P3 dan P7 namun berbeda dengan P1, P2, P5, P6 dan P8. Tiga perlakuan dengan tingkat konsumsi cukup tinggi secara berurutan yaitu P4 sebesar 1121,14 ± 60,73 g/ekor/hari, P7 sebesar 1004,07 ± 30,94 g/ekor/hari dan P3 sebesar 1001,71 ± 72,50 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi terendah adalah pada P1 (kontrol negatif)
17
yaitu sebesar 592,08 ± 18,29 g/ekor/hari. Hal ini menandakan bahwa penambahan leguminosa akan meningkatkan konsumsi induk domba tersebut, sesuai dengan pernyataan Hamudikuwanda et al (2007) bahwa pemberian suplemen pakan berupa leguminosa pada domba dapat meningkatkan konsumsi yang berdampak pada meningkatnya asupan bahan kering dan nitrogen, selain itu dapat mencegah penurunan bobot badan yang cukup signifikan. Secara umum, terjadi penurunan konsumsi hijauan dari musim hujan ke musim kemarau, hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan hijauan pakan yang menurun dan faktor dari domba tersebut, dimana domba akan mengurangi konsumsi untuk menjaga kestabilan suhu tubuh, karena pakan setelah dicerna dan dimetabolis akan menghasilkan panas tubuh (heat increament). Perbedaan tingkat konsumsi bahan kering hijauan setiap perlakuan dipengaruhi oleh palatabilitas dari masing-masing hijauan terutama leguminosa yang terdapat pada setiap perlakuan, karena campuran leguminosa yang diintroduksi berbeda setiap perlakuan. Leguminosa jenis C. pubescens memiliki palatabilitas yang cukup tinggi terhadap ternak domba, hal ini ditandai dengan tingkat konsumsi tertinggi pada P4. Perlakuan lain yang memiliki campuran C. pubescens adalah P2, P6 dan P8, yang menunjukkan tingkat konsumsi cukup tinggi juga. P2 (kontrol positif) memiliki campuran leguminosa C. pubescens, namun hasil uji lanjut menunjukkan nilai yang berbeda dengan P4, ini disebabkan karena pupuk yang diberikan hanya pupuk NPK saja tanpa penambahan pupuk kandang dan mikroba potensial tanah, sehingga pertumbuhan hijauan tidak maksimal, sehingga tingkat konsumsinya rendah Kandungan PK dari C. pubescens adalah 23,6%, sehingga dengan konsumsi yang tinggi akan mencukupi kebutuhan PK dari domba sekitar 1316%. Berdasarkan Tabel 2, leguminosa yang memiliki tingkat palatabilitas cukup rendah adalah C. mucunoides. Leguminosa C. mucunoides terdapat pada P2, P5, P7 dan P8. Pada P5 (B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides) konsumsi yang didapatkan lebih rendah 236,57 gram dari perlakuan 4 yaitu B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens, namun pada P7 yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides, konsumsi yang didapatkan lebih tinggi 18,77 gram dari P6 yang diintroduksi P. javanica dan C. pubescens, hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi
18
dengan legum P. javanica, atau dapat dikatakan kombinasi leguminosa tertentu pada setiap perlakuan dapat mempengaruhi tingkat kosumsi hijauan dari induk domba. C. mucunoides memiliki kandungan PK yang terendah dibandingkan dengan kedua jenis leguminosa lainnya yaitu sebesar 16% (Tropical Forages, 2010) sementara kandungan PK dari P. javanica adalah 20,5% (Gohl, 1981). Perbedaan kandungan PK tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi hijauan dari setiap perlakuan, dimana perlakuan yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides memiliki tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diintroduksi C. pubescens. Tingkat konsumsi hijauan pakan yang berbeda selain dipengaruhi oleh palatabilitas, juga dipengaruhi bentuk atau kondisi fisik dan kandungan nutrien atau komposisi kimia dari masing-masing hijauan. Leguminosa C. pubescens memiliki bentuk daun yang lebih kecil dibandingkan dengan dua jenis leguminosa yang lain, sehingga induk domba lebih banyak mengkonsumsi leguminosa jenis ini untuk memenuhi ruang di dalam rumen, hal ini terlihat pada P4 dimana menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi. Leguminosa P. javanica dan C. mucunoides memiliki bentuk yang hampir sama, perbedaannya terdapat pada helai daun sebelah dalam, dimana bulu halus yang terdapat pada P. javanica tidak sebanyak yang terdapat pada C. mucunoides, namun kedua jenis leguminosa ini memiliki daun yang lebih lebar dibandingkan
dengan
C. pubescens, sehingga
induk
domba
tidak perlu
mengkonsumsi leguminosa ini dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi ruang dalam rumen. Leguminosa jenis ini terdapat pada P3 dan P5 dan menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan P4, dimana pada perlakuan tersebut leguminosa hanya ditanam bersama rumput B. humidicola tanpa adanya kombinasi dengan leguminosa lain. Kandungan nutrien atau kimia pada hijauan setiap perlakuan seperti kandungan N, P, K, Ca dan Mg juga dapat mempengaruhi asupan pakan bagi induk domba bunting yang digembalakan. Kandungan N setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, karena memiliki nilai yang berdekatan antara perlakuan, ini disebabkan karena pada analisa tidak dilakukan pada setiap jenis hijauan melainkan dicampur sesuai dengan setiap perlakuan. Kandungan N dan Ca tertinggi terdapat pada P4 masing-masing sebesar 1,97% dan 0,64% (Tabel 6)
19
yang berbanding lurus dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sedangkan kandungan N terendah terdapat pada P2 sebesar 1,05%, sementara tingkat konsumsi pada perlakuan ini juga menunjukkan hasil yang rendah. Kandungan mineral P dan K tertinggi terdapat pada P2, dimana pada perlakuan ini memiliki tingkat konsumsi yang rendah, sedangkan kandungan Mg tertinggi terdapat pada P1 yang memiliki tingkat konsumsi yang rendah. Tingginya kandungan nutrien pada hijauan pakan seharusnya diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah, karena kebutuhan nutrien ternak akan cepat terpenuhi. Menurut Freer dan Dove (2002), domba yang berada di padang penggembalaan akan memakan hijauan sebanyak-banyaknya jika tidak ada batasan, namun domba tidak dapat memilih hijauan mana yang memiliki kualitas yang baik. Berbeda dengan sapi yang dapat memilih hijauan yang mengandung kandungan nutrien berimbang untuk mencukupi kebutuhannya. Hal ini yang menyebabkan konsumsi menjadi tinggi pada hijauan yang tinggi kandungan nutriennya.
Gambar 4. Domba yang Sedang Mengkonsumsi Rumput dalam Kandang Portabel
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah ketersediaan hijauan di dalam pedok, yang disebabkan oleh kecepatan tumbuh dari masing-masing hijauan terutama kecepatan tumbuh dari leguminosa dan juga oleh pupuk yang diberikan. Semakin baik pupuk yang diberikan maka akan berakibat pada tersedianya unsur hara dalam tanah sehingga mampu memacu pertumbuhan dari hijauan tersebut. Semakin cepat pertumbuhan hijauan maka akan hijauan pakan akan terjamin ketersediaannya dan dapat meningkatkan tingkat konsumsi induk domba bunting tersebut. Konsumsi hijauan pakan akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot
20
badan dari ternak, karena konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah dan efisiensi produktifitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan. Perbedaan tingkat konsumsi hijauan induk domba juga dipengaruhi oleh status fisiologis dari ternak tersebut, karena konsumsi hijauan pada domba dengan status fisiologis yang berbeda antara lain dara, bunting dan laktasi akan berbeda jumlahnya terkait dengan kegunaan dari masing-masing nutrien untuk ternak tersebut. Induk domba yang tidak bunting memerlukan asupan nutrien pakan untuk hidup pokoknya saja, sementara pada masa bunting dan laktasi, asupan nutrien tidak hanya digunakan untuk hidup pokok saja namun juga untuk perkembangan fetus dan pertumbuhan anak domba yang dipengaruhi oleh produksi air susu induk. Tingkat konsumsi pada minggu pertama laktasi 10% lebih tinggi dibandingkan dengan dua minggu sebelum melahirkan, sedangkan konsumsi akan meningkat secara cepat pada dua sampai tiga minggu pertama laktasi dan mencapai maksimum pada minggu kedelapan, atau rata-rata pada empat minggu setelah puncak laktasi (Freer dan Dove, 2002). Menurut Gatenby (1991) pada 1,5 bulan pertama masa kebuntingan, kebutuhan energi induk domba cenderung stabil, namun pada 2 bulan akhir kebuntingan, fetus akan berkembang lebih cepat dan berdampak pada tingginya kebutuhan energi dari induk domba. Pada masa ini domba memerlukan perhatian khusus dalam hal pemberian pakan, karena seiring dengan berkembangnya fetus yang cepat, maka volume perut atau rumen akan semakin berkurang dan berakibat pada tingkat konsumsi yang menurun. Induk domba yang memiliki 2 ekor anak akan membutuhkan asupan bahan kering yang lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang mengandung hanya 1 ekor anak saja (Ramsey et al., 1994) pada akhir kebuntingan. Induk domba yang mengandung 2 ekor anak akan membutuhkan energi dua kali lebih banyak dari induk domba yang tidak bunting, selain itu pada masa akhir kebuntingan tingkat konsumsi akan menurun cukup drastis karena fetus berkembang lebih cepat dan menekan volume ruang dari lambung domba (Gatenby, 1991). Berdasarkan kebutuhan BK (Bahan Kering) domba sekitar 3% bobot badan (NRC 1985), maka kebutuhan BK pada setiap perlakuan tersebut telah tercukupi
21
kecuali pada P1. Pada P1 (kontrol negatif), tidak tercukupinya kebutuhan BK dikarenakan tidak adanya introduksi leguminosa pada perlakuan tersebut sehingga konsumsi yang dihasilkan sangat kecil. Tercukupinya kebutuhan BK berbanding lurus dengan kecukupan kebutuhan TDN dan protein domba tersebut yang digunakan selain untuk hidup pokok induk domba bunting juga untuk pemeliharaan fetus. Ditambahkan oleh Gatenby (1991), asupan nutrien tergantung dari ketersediaan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi, nutrien yang diperlukan domba antara
0, 07 32
0, 06 42
0, 05 99
0,0800
0, 06 36
0, 07 07
Efisiensi Pakan
0,1000
0, 08 13
0,1200
0, 09 76
0, 10 92
lain adalah energi, protein, mineral, vitamin dan air.
0,0600 0,0400 0,0200
8 Pe d
ok
7 Pe d
ok
6 Pe d
ok
5 Pe d
ok
4 Pe d
ok
3 Pe d
ok
2 ok Pe d
Pe d
ok
1
0,0000
Perlakuan
Gambar 5. Efisiensi Pakan Induk Domba Sebelum Melahirkan yang Digembalakan pada Pastura B. humidicola dengan Introduksi Leguminosa yang Berbeda
Efisiensi pakan dapat dilihat pada Gambar 4. Efisiensi penggunaan pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram pakan. Efisiensi penggunaan pakan merupakan kebalikan dari konversi pakan, dimana semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot badan semakin sedikit. Berdasarkan Gambar 4, tiga nilai efisiensi pakan yang cukup tinggi adalah P2 sebesar 0,1092 yaitu kontrol positif, P8 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica,
22
C. pubescens, dan C. mucunoides) sebesar 0,0976 atau lebih rendah 0,0116 dari P2 dan P7 yang terdiri atas B. humidicola yang diintroduksi leguminosa P. javanica dan C. mucunoides sebesar 0,0813 atau lebih rendah 0,0279 dari P2 dan atau lebih rendah 0,163 dari P8. Efisiensi pakan tertinggi terdapat pada P2 yaitu kontrol positif yang berarti dari asupan pakan domba tersebut lebih banyak yang dikonversi untuk menghasilkan satu satuan pertambahan bobot badan (Tabel 2). Efisensi pakan yang cukup tinggi dicapai pada perlakuan yang diintroduksi tiga jenis leguminosa, yang menandakan adanya leguminosa dapat memenuhi kebutuhan induk domba tersebut. Menurut Minson (1990) tingkat konsumsi dan nilai Kecernaan Bahan Organik (KCBO) pada leguminosa lebih tinggi dibandingkan dengan rumput dan protein yang terkandung dalam leguminosa lebih cepat didegradasi di rumen dibandingkan dengan rumput. Pada P2 rumput B. humidicola diintroduksi oleh kombinasi leguminosa yang lengkap sama dengan P8 yaitu leguminosa P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides, perbedaan terdapat pada penambahan unsur hara saat penanaman. Perlakuan 2 hanya ditambahkan pupuk NPK, sementara pada P8 selain dilakukan penambahan pupuk NPK, juga dilakukan penambahan pupuk kandang dan mikroba potensial tanah. Tingginya efisiensi pakan induk domba pada P2 dapat diakibatkan oleh umur kebuntingan yang berbeda, karena semakin tua umur kebuntingan atau semakin mendekati waktu kelahiran maka bobot fetus akan semakin besar, sehingga akan menekan ruang dalam rumen yang mengakibatkan konsumsi menururn. Rataan konsumsi pada P2 lebih rendah dibandingkan dengan P8 (Tabel 2), sehingga faktor pembagi konsumsi untuk menghasilkan efisiensi pakan lebih tinggi dibandingkan dengan P8. Efisiensi pakan tertinggi ketiga terdapat pada P7 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, dan C. mucunoides sebesar 0,0813. Hasil ini lebih tinggi 0,0081 dari P6 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. pubescens yang dilihat dari kandungan nutrien kombinasi kedua jenis leguminosa pada P6, seharusnya memiliki efisiensi pakan yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi dan pertambahan bobot badan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan P7, selain itu umur kebuntingan yang berbeda dapat mempengaruhi tingkat efisiensi pakan setiap perlakuan. Semakin tua umur kebuntingan maka akan mengakibatkan
23
bobot fetus yang semakin meningkat sehingga pertambahan bobot badan induk bunting juga akan semakin meningkat, sementara tingkat konsumsi semakin menurun karena semakin sempitnya ruang dalam rumen untuk menampung pakan, sehingga dalam kondisi ini efisiensi pakan akan semakin tinggi. Efisiensi pakan pada ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan gizi dalam proses metabolisme di dalam jaringan tubuh ternak. Menurut Parakkasi (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan ransum di dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan dan komposisi nutrien pakan. Menurut Gohl (1981) kandungan PK dari P. javanica dan C. pubescens masing-masing adalah 20,5% dan 23,6%, sedangkan C. mucunoides memiliki kadungan PK terendah yaitu sekitar 16% (Tropical Forages, 2010), sehingga seharusnya dengan semakin tingginya kandungan protein akan meningkatkan efisiensi pakan tersebut, atau mengkonsumsi pakan yang sedikit namun dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Jumlah anak yang dikandung dapat mempengaruhi efisiensi pakan, karena akan berdampak pada pertambahan bobot badan induk setiap minggunya, hal ini terjadi karena fetus dalam kandungan induk domba akan bertambah bobotnya setiap minggu. Tidak diketahuinya umur kebuntingan dapat menyebabkan perbedaan dalam bobot fetus, sehingga akan berbanding lurus dengan bobot badan induk yang sedang bunting. Induk domba yang hanya mengkonsumsi sedikit hijauan di dalam pedok namun mengandung dua ekor anak dapat memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan induk domba yang mengkonsumsi hijauan yang cukup banyak namun hanya mengandung satu ekor anak saja, dan tentunya hal ini akan mempengaruhi dalam nilai efisiensi pakan yang dihasilkan. Pertambahan Bobot Badan Induk Domba Data pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan induk domba dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam pada pertambahan bobot badan induk domba menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Pertambahan bobot badan induk domba bunting (sebelum melahirkan) dapat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan, menurut Tillman et al., (1998) bahwa konsumsi yang cukup akan mempercepat pertumbuhan dan kekurangan pakan dapat menyebabkan berkurangnya
24
bobot hidup. Faktor lain yang dpaat mempengaruhi adalah kondisi induk domba tersebut, dalam hal ini umur kebuntingan yang beragam, karena adanya kesulitan dalam palpasi untuk memprediksi umur kebuntingan. Tabel 3. Pertambahan Bobot Badan Induk Domba Sebelum dan Sesudah Melahirkan Perlakuan
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari)
P1
41,84 ± 69,90
P2
82,31 ± 41,89
P3
63,73 ± 21,17
P4
67,14 ± 14,07
P5
56,80 ± 20,16
P6
72,11 ± 11,96
P7
81,63 ± 30,82
P8
93,54 ± 36,88
Keterangan: P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. Humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. Humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Pertambahan bobot badan induk domba bunting perlu diperhatikan, baik pada sebelum melahirkan maupun setelah melahirkan. Sebelum melahirkan, kandungan nutrien dari pakan yang masuk ke tubuh induk domba akan dialirkan ke anak yang dikandung, sehingga jika pertambahan bobot badan induk domba sebelum melahirkan menghasilkan nilai yang cukup tinggi akan dapat menghasilkan bobot lahir anak yang cukup tinggi, hal ini dapat berdampak pada pertambahan bobot badan anak dan bobot sapih yang cukup tinggi, sementara bobot badan ataupun pertambahan bobot badan induk domba yang cukup rendah dikhawatirkan akan berdampak pada bobot lahir anak yang kecil. Pertambahan bobot badan induk setelah melahirkan juga perlu diperhatikan, karena setelah melahirkan induk domba perlu mengembalikan kondisi tubuhnya untuk melakukan proses kawin kembali, sehingga jika pertambahan bobot badan induk domba setelah melahirkan terlalu kecil, maka akan berdampak buruk pada anak yang dilahirkan, karena induk domba akan lebih
25
memilih mengembalikan kondisi tubuhnya dengan mengkonsumsi lebih banyak pakan dibandingkan dengan menyusui anaknya (mothering ability rendah). Berdasarkan Tabel 3, secara deskriptif tiga pertambahan bobot badan induk sebelum melahirkan yang cukup tinggi terdapat terdapat pada P8 sebesar 93,54 ± 36,88 kg, P2 sebesar 82,31 ± 41,89 kg atau 11,23 kg lebih rendah dari P8, sedangkan pertambahan bobot badan tertinggi ketiga terdapat pada P7 sebesar 81,63 ± 30,82 kg atau 11,91 kg lebih rendah dari P8 dan 0,68 kg lebih rendah dari P2. Pada P8 dan P2, memiliki kesamaan dalam jenis leguminosa yang diintroduksi, yaitu P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides. Perbedaan terdapat pada unsur hara yang ditambahkan, pada P2 (kontrol positif) saat penanaman hanya dilakukan penambahan pupuk NPK, sementara pada P8 selain dilakukan penambahan pupuk NPK juga ditambahkan pupuk kandang dan mikroba potensila tanah. Tingginya pertambahan bobot badan pada P8 disebabkan oleh adanya kombinasi leguminosa yang lengkap, sehingga asupan protein kasar pada perlakuan ini lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, selain itu konsumsi yang lebih tinggi dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Pada P8, konsumsi BK hijauan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan P2 (Tabel 2), hal ini disebabkan oleh adanya penambahan unsur hara yang lengkap pada perlakuan tersebut, sehingga dapat menjamin ketersediaan hijauan pada pastura dan dapat mencukupi kebutuhan induk domba. Menurut Parakkasi (1999), bahwa tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor-faktor a) hewan itu sendiri b) makanan yang diberikan c) lingkungan tempat hewan dipelihara, Penambahan unsur hara yang cukup lengkap juga dapat meningkatkan kandungan nutrien dari hijauan pada perlakuan tersebut sehingga dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Pada P2, ketidaklengkapan unsur hara seperti pupuk kandang dan terutama mikroba potensial tanah mengakibatkan daya mengikat memfiksasi nitrogen dari udara tidak dimiliki seperti pada P3 sampai P8. Hal ini mengakibatkan kualitas hijauan berkurang, sehingga asupan nutrien pada induk domba lebih rendah dibandingkan dengan P8. Menurut Hoaglund et al., (1992) kualitas hijauan yang rendah tidak akan mencukupi kebutuhan mikroba rumen maupun kebutuhan dari ternak itu sendiri, karena itu diperlukan peningkatan asupan protein yang akan
26
diserap usus halus dan menguntungkan ternak pada pertengahan kebuntingan. Kandungan nutrien hijuan juga dipengaruhi oleh musim atau curah hujan. Pada musim hujan, asupan air pada pastura tersebut dapat terpenuhi, tercukupinya kebutuhan air akan mengakibatkan proses penyerapan unsur hara dari dalam tanah ataupun dari pupuk yang diberikan lebih cepat terjadi, sehingga dapat meningkatkan kandungan nutrien tanaman tersebut. Cepatnya proses penyerapan unsur hara juga akan meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga ketersediaan hijauan pakan pada padang penggembalaan dapat terjamin, hal ini dapat mengakibatkan domba akan mengkonsumsi hijauan pakan lebih banyak dibandingkan dengan musim kemarau. Sebaliknya pada musim kemarau keterbatasan air mengakibatkan minimnya unsur hara yang terserap, sehingga laju pertumbuhan hijauan terhambat dan mengakibatkan ketersediaan hijauan yang rendah dan daun hijauan menguning, hal ini dapat berakibat pada rendahnya
asupan
nutrien
yang
masuk
ke
tubuh
induk
domba
yang
mengkonsumsinya. Tingginya tingkat konsumsi dan kandungan nutrien dari hijauan pakan yang tersedia dapat meningkatkan pertambahan bobot badan induk domba bunting pada pastura tersebut. Pertambahan bobot badan tertinggi ketiga terdapat pada P7 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides, hal ini dikarenakan tingkat konsumsi yang cukup tinggi atau dengan kata lain hijauan dengan konsorsium ini memiliki palatabilitas yang baik (Tabel 2), selain itu gabungan kandungan nutrien terutama protein kasar antara kedua leguminosa yaitu 20,5% pada P. javanica (Gohl, 1981) dan 16% pada C. mucunoides (Tropical Forages, 2010) memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi dua leguminosa lainnya. Hasil pada P7 ini seharusnya lebih rendah dari P6, karena pada P6, B. humidicola diintroduksi oleh P. javanica dan C. pubescens. Kandungan protein kasar pada C. pubescens adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan P. javanica dan C. mucunoides yaitu 23,6% (Gohl, 1981), sehingga kombinasi P. javanica dan C. pubescens memiliki nilai total protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan P7 yang seharusnya akan berdampak pada pertambahan bobot badan induk domba yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh umur kebuntingan pada masing-masing induk domba. Perbedaan umur kebuntingan yang tidak
27
diketahui mengakibatkan pertambahan bobot badan yang dihasilkanpun berbedabeda, karena semakin tua umur kebuntingan maka akan memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi sebagai akibat pertumbuhan fetus atau anak yang dikandung, terlebih menjelang kelahiran, karena fetus akan mencapai puncak pertumbuhan pada fase tersebut. Dengan demikian domba pada P7 dimungkinkan memiliki umur kebuntingan yang lebih tua dibandingkan dengan P6. Pada perlakuan introduksi satu jenis leguminosa, P4 (B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens) memiliki nilai pertambahan bobot badan yang tertinggi yaitu sebesar 67,14 ± 14,07 kg, dibandingkan dengan perlakuan introduksi leguminosa tunggal lainnya pada P3 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica) dan P5 (B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides) masing-masing sebesar 63,73 ± 21,17 kg dan 56,80 ± 20,16 kg. Hal ini dikarenakan kandungan protein kasar pada C. pubescens yang lebih tinggi yaitu 23,6% (Gohl, 1981) dibandingkan P. javanica sebesar 20,5% (Gohl, 1981) dan 16% pada C. mucunoides (Tropical Forages, 2010). Pertambahan bobot badan induk sebelum melahirkan terendah terdapat pada P1 yaitu kontrol negatif (B. humidicola tanpa introduksi leguminosa dan penambahan pupuk kandang, NPK dan mikroba potensial tanah), menurut Swartz (1981), kebutuhan energi domba betina dapat dipenuhi dari konsumsi rumput di pastura, namun ketidakcukupan nutrien terutama bagi domba bunting dapat mengakibatkan penurunan bobot badan, infertilitas meningkat dan produksi menurun, karena itu asupan legum yang berkualitas mengandung 16 sampai 20% protein kasar dapat mencukupi kebutuhan domba tersebut. Berdasarkan NRC (1985) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya. Dengan demikian introduksi leguminosa pada pastura Brachiaria humidicola memberikan hasil yang baik pada pertambahan bobot badan induk domba pada perlakuan dengan konsorsium tertentu, karena protein dari leguminosa pada pastura dapat memberikan asupan protein setiap harinya, seperti pernyataan Suharyanto (2008) yaitu ternakternak yang digembalakan di pastura dengan dominan spesies legum akan memiliki kecenderungan
penimbunan
lemak
tubuhnya
lebih
besar
daripada
yang
digembalakan pada pastura dengan spesies rerumputan.
28
Bobot Induk Setelah Melahirkan Bobot induk setelah melahirkan adalah bobot induk domba setelah melahirkan dalam kurun waktu 24 jam (Harjosubroto, 1994). Rata-rata bobot induk domba setelah melahirkan pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4, sedangkan analisis ragam tidak dilakukan pada parameter ini karena tidak semua induk pada setiap perlakuan sudah melahirkan, sehingga data yang dihasilkan kurang lengkap. Tabel 4. Rataan Bobot Induk Domba Bunting, Sesaat Setelah Melahirkan dan Dua Minggu Setelah Melahirkan Bobot Badan (kg/ekor) Awal
Sesaat Setelah melahirkan
Selisih (∆)a
P1
24,70 ± 3,25
23,65 ± 0,92
-1,05
Dua Minggu Setelah Melahirkan 24,10 ± 6,93
P2
26,70 ± 1,84
25,90 ± 3,54
-0,80
26,00 ± 5,94
0,10
P3
28,50 ± 4,06
28,00 ± 4,70
-0,50
28,10 ± 2,69
0,10
P4
24,73 ± 2,97
23,67 ± 3,38
-1,06
24,50 ± 3,54
0,83
P5
29,20 ± 3,76
28,40 ± 0,00
-0,80
29,70 ± 0,00
1,30
P6
29,20 ± 0,00
25,00 ± 0,00
-4,20
25,00 ± 0,00
0,00
P7
23,80 ± 0,00
23,00 ± 0,00
-0,80
24,80 ± 0,00
1,80
P8
25,00 ± 0,00
27,00 ± 0,00
2,00
29,40 ± 0,00
2,40
Perlakuan
a
Selisih (∆)b 0,45
b
Keterangan : Selisih (∆) = Bobot induk setelah melahirkan-Bobot awal; Selisih (∆) = Bobot induk Dua Minggu Setelah Melahirkan -Bobot Induk Setelah Melahirkan; P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Berdasarkan Tabel 4, rata-rata bobot induk tertinggi dan terendah sesaat setelah melahirkan secara berurutan adalah pada P5 yaitu B. humidicola yang diintroduksi leguminosa dan C. mucunoides sebesar 28,40 ± 0,00 kg/ekor dan P7 yaitu B. humidicola yang diintroduksi leguminosa P. javanica dan C. mucunoides sebesar 23,00 ± 0,00 kg/ekor. Perlakuan 5 sampai dengan P8, induk yang melahirkan sampai akhir waktu penelitian hanya berjumlah 1 ekor. Perbedaan rata-rata bobot induk sesaat setelah melahirkan dikarenakan belum semua induk melahirkan sampai akhir waktu penelitian. Angka selisih yang terdapat pada Tabel 4 menunjukkan pengaruh introduksi leguminosa. Selisih (∆)a merupakan pengurangan bobot badan sesaat setelah melahirkan dengan bobot badan awal (bobot induk bunting) yang memiliki hasil
29
terbaik pada P8 yaitu rumput B. humidicola yang diintroduksi tiga jenis leguminosa P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides, karena bobot induk sesaat setelah melahirkan yang lebih besar dibandingkan dengan bobot awal yaitu sebesar 2 kg, hal ini dikarenakan tercukupinya kebutuhan nutrien, dengan kata lain pada perlakuan ini induk domba mampu menstabilkan bobot badannya dengan hijauan pakan yang ada. Adanya kombinasi ketiga jenis leguminosa dan tercukupinya unsur hara dari pupuk yang diberikan mengakibatkan kandungan nutrien yang terkandung dalam hijauan terutama leguminosa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga domba yang mengkonsumsi hijauan ini dapat memenuhi kebutuhan zat makanan tanpa harus mengalami defisiensi zat makanan tertentu karena adanya fetus yang dikandung oleh induk domba tersebut. Menurut Caton et al., (2009) asupan nutrien dari pakan akan berpengaruh terhadap status fisiologis ternak yang berhubungan dengan masa bunting dan laktasi. Faktor lain yang mempengaruhi bobot induk sesaat setelah melahirkan adalah jumlah anak yang dikandung, bobot lahir anak dan plasenta, alantoin serta amnion yang keluar pada saat melahirkan. Semakin besar bobot anak dan semakin besar plasenta, alantoin dan amnion yang dikeluarkan, maka pengurangan bobot badan akan semakin besar dari bobot badan induk bunting. Demikian juga dengan jumlah anak, bobot badan induk akan berkurang lebih banyak pada induk yang melahirkan anak kembar dibandingkan dengan kelahiran tunggal (Gambar 6 dan 7). Pada Tabel 4 juga ditunjukkan nilai bobot induk domba dua minggu setelah melahirkan, berdasarkan pada tabel tersebut diketahui nilai tertinggi terdapat pada P5 yaitu B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides sebesar 29,70 kg, namun angka selisih (∆)b terbesar ditunjukkan pada P8 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides sebesar 2,40 kg. Hal ini dikarenakan pada P8 terdapat tiga jenis leguminosa yang memiliki kandungan protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput saja ataupun dengan perlakuan lain yang hanya diintroduksi satu atau dua jenis leguminosa, selain itu adanya penambahan unsur hara yang lengkap, sehingga memiliki kandungan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Angka selisih (∆)b adalah nilai pengurangan dari bobot badan induk domba dua minggu setelah melahirkan dengan bobot badan induk domba sesaat setelah melahirkan. Nilai tersebut menunjukkan
30
kemampuan domba untuk mengembalikan bobot badannya yang hilang setelah melahirkan (recovery). Kecepatan recovery induk domba dapat berdampak baik pada peternakan domba, karena induk domba dapat lebih cepat dikawinkan kembali.
Gambar 6. Induk Domba yang Melahirkan Satu anak (twin)
Gambar 7. Induk Domba yang Melahirkan Dua Anak (single)
Tingginya kandungan nutrien dalam tanaman juga dapat berdampak pada bobot badan induk domba bunting yang digembalakan, karena asupan nutrien makanan yang cukup tinggi dapat digunakan untuk mempercepat pengembalian bobot badan induk domba setelah melahirkan (recovery). Faktor yang dapat mengakibatkan rendahnya bobot badan setelah melahirkan atau penurunan bobot badan induk selain pakan adalah tingkat stress induk domba saat melahirkan dan musim saat domba melahirkan. Induk domba yang memiliki tingkat stress yang cukup tinggi mengakibatkan induk domba mengalami penurunan bobot badan yang jauh lebih besar, sedangkan jika induk domba melahirkan pada saat musim kemarau, maka akan mengakibatkan tingkat konsumsi dan kandungan nutrien hijauan yang rendah, sehingga berakibat asupan nutrien yang rendah dan rendahnya pertambahan bobot badan induk domba. Bobot induk setelah melahirkan perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak domba setelah lahir, terkait dengan sintesa air susu yang dikeluarkan untuk anaknya. Selain itu bobot induk yang cukup kecil setelah melahirkan akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup induk itu sendiri, karena setelah melahirkan induk akan menyusui anaknya, dimana nutrien susu selain berasal dari asupan pakan juga dipengaruhi oleh kondisi induk domba. Pada keadaan ini dikhawatirkan induk akan memiliki mothering ability yang rendah, karena induk akan lebih memilih mengembalikan kondisi tubuhnya dengan mengkonsumsi lebih
31
banyak hijauan pada padang penggembalaan dibandingkan harus menyusui anaknya. Menurut Freer and Dove (2002), induk domba setelah melahirkan akan memerlukan asupan pakan yang lebih banyak untuk memproduksi air susu, karena jika tidak, maka cadangan tubuh induk domba akan digunakan untuk mensintesis air susu tersebut. Jika bobot induk setelah melahirkan terlalu kecil dibandingkan pada saat bunting maka akan sulit bagi induk tersebut untuk memulihkan kondisi tubuhnya untuk melakukan kawin kembali. Menurut Toelihere (1981) setelah melahirkan, hewan betina harus menghasilkan air susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ-organ kelamin lainnya serta sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal untuk kebuntingan baru. Bobot Lahir Anak Bobot lahir ternak menjadi faktor yang sangat penting, karena bobot lahir akan mempengaruhi pertumbuhan dan bobot sapih dari ternak tersebut. Semakin besar bobot lahir yang dihasilkan maka akan berpengaruh terhadap bobot sapih yang semakin besar, hal ini merupakan salah satu sumber keuntungan bagi peternak. Data yang disajikan pada Tabel 5 berikut adalah rata-rata bobot lahir anak domba pada setiap perlakuan. Analisis ragam tidak dilakukan pada parameter ini, karena belum semua anak lahir pada setiap perlakuan, sehingga data yang dihasilkan kurang lengkap. Rata-rata bobot lahir domba terbesar adalah pada P5 sebesar 2,40 kg, dimana pada perlakuan ini pastura B. humidicola diintroduksi dengan leguminosa jenis C. mucunoides, sementara yang terkecil adalah P7 sebesar 1,40 kg, dimana pastura B. humidicola tersebut diintroduksi dengan leguminosa P. javanica dan C. mucunoides. Bobot lahir anak domba dipengaruhi oleh bangsa domba (Freetly dan Leymaster, 2004). Domba ekor tipis memiliki sifat prolifikasi yang tinggi (Sutama, 1992), yang berarti memiliki kemampuan untuk melahirkan anak lebih dari satu ekor. Berdasarkan NRC (1985) domba dikatakan prolifik jika memiliki lambing rate 150%-225%. Lambing rate sendiri adalah jumlah anak domba yang lahir dari 100 ekor induk domba bunting. Dapat dikatakan satu ekor induk melahirkan 1,5 sampai 2,25 ekor anak, sehingga jika jumlah induk adalah 3 ekor, maka jumlah anak yang dilahirkan adalah 4,5 sampai 6,75 ekor atau 4 sampai 7 ekor.
32
Tabel 5. Bobot Lahir Anak Domba dan Rata-ratanya dari Setiap Induk dengan Umur yang Berbeda Perlakuan
Bobot Lahir Anak Domba (kg/ekor) I1
I2
I3
Rata-rata
Keterangan
P1
2,1s
BL
2,2s
2,15 ± 0,07
n=2
P2
2,3s
BL
2,2s
2,25 ± 0,07
n=2
P3
2,1s
3s
1,9t
2,33 ± 0,59
n=4
P4
2,6s
2,4s
2s
2,33 ± 0,31
n=3
P5
BL
2,4s
BL
2,40 ± 0,00
n=1
P6
BL
BL
2t
2,00 ± 0,00
n=2
P7
1,4s
BL
BL
1,40 ± 0,00
n=1
P8
BL
2s
BL
2,00 ± 0,00
n=1
Keterangan: s: kelahiran tunggal (single); t: kelahiran kembar (twin); BL: Belum Lahir I1: induk umur 1 tahun; I2: induk umur 2 tahun; I3: induk umur 3 tahun; n: jumlah anak; P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah anak domba adalah kebutuhan nutrisi, terlebih pada padang pastura yang memiliki kandungan nutrien yang rendah, sehingga dibutuhkan tambahan asupan nutrien, yaitu dengan melakukan introduksi leguminosa sebagai sumber protein. Nutrien tersebut sangat berguna pada saat flushing, awal kebuntingan dan awal laktasi. Flushing digunakan untuk meningkatkan ovulasi sehingga jumlah anak yang dilahirkan semakin banyak. Lambing rate dalam penelitian ini tidak dapat dihitung, karena induk domba yang digunakan sudah dalam keadaan bunting, sehingga pengaruh nutrien pada saat flushing tidak terdeteksi. Pakan yaitu hijauan yang diintroduksi leguminosa akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan perkembangan fetus yang dikandung induk domba tersebut. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa anak domba yang telah dilahirkan dari setiap induk terdapat pada P1. Umur kebuntingan yang berbeda pada setiap induk domba mengakibatkan tidak didapatkannya keseragaman kelahiran untuk melihat pengaruh introduksi leguminosa yang dilakukan pada bobot lahir, serta pengaruh umur induk pada bobot lahir anak domba setiap perlakuan secara lebih detail. Jumlah
33
anak sekelahiran dapat mempengaruhi bobot lahir, Induk yang melahirkan anak kembar (twin) memiliki bobot lahir anak yang lebih rendah dibandingkan dengan bobot lahir anak tunggal (single), hal ini dapat dilihat pada P3 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, induk domba yang melahirkan dua ekor anak memiliki rata-rata bobot lahir anak yang lebih rendah sebesar 1,9 kg dibandingkan dengan dua ekor induk lainnya yang melahirkan satu ekor anak masing-masing 2,1 kg dan 3 kg. Menurut Subandriyo dan Inounu (1995) rendahnya bobot lahir Domba Ekor Tipis diakibatkan meningkatnya jumlah anak yang dikandung sehingga terjadi persaingan ruangan dan zat-zat makanan selama fase fetus di dalam kandungan. Ditambahkan oleh Triwulaningsih (1986), tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan dengan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal. Introduksi leguminosa pada pastura B. humidicola secara deskriptif diketahui menghasilkan bobot lahir anak yang fluktuatif. Berdasarkan jenis dan kombinasi leguminosa setiap perlakuan, leguminosa dengan kandungan nutrien tinggi dan semakin banyak kombinasi seharusnya memiliki bobot lahir anak yang semakin tinggi, namun dari Tabel 4, hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh proses metabolisme dari masing-masing induk, sehingga kemampuan untuk mengalirkan nutrien dari pakan tidak maksimal pada anak yang dikandung. Pada Tabel 4, domba pada umur yang sama memiliki bobot lahir anak yang berbeda, pada umur satu tahun (I1), bobot lahir anak tertinggi terdapat pada P4 (B. humidicola yang diintroduksi dan C. pubescens) sebesar 2,6 kg dan yang terendah adalah P7 sebesar 1,4 kg. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan nutrien dari masing-masing hijauan pakan pada setiap perlakuan. Menurut Sumaryadi dan Manalu (1998), perbaikan kualitas pakan induk selama paruh kedua kebuntingan diketahui dapat mempengaruhi bobot lahir anak. Ditambahkan oleh Gatenby (1991) bahwa nutrisi selama akhir kebuntingan dapat mempengaruhi bobot lahir anak domba, walaupun induk domba dapat menggunakan persediaan lemaknya untuk perkembangan fetus ketika nutrien tidak tercukupi,
34
sehingga penambahan leguminosa dapat memenuhi kebutuhan nutrien induk domba bunting untuk perkembangan fetus. Kandungan Protein Kasar (PK) dari C. pubescens lebih tinggi yaitu sebesar 23,6% dibandingkan dengan P. javanica sebesar 20,5% (Gohl, 1981), selain itu dikarenakan tingkat konsumsi yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (Tabel 2) sehingga berpengaruh terhadap asupan nutrien induk bunting dan bobot lahir anak. Menurut Bourdon (2000) anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung memiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan (vigor of birth) dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Ditambahkan oleh Taylor dan Field (2004) bobot lahir menggambarkan 5 sampai 7% dari bobot dewasa seekor ternak. Bobot lahir anak domba juga dipengaruhi oleh umur induk (Inounu, 1991). Induk domba yang berumur 1 tahun (I1) atau baru pertama kali beranak memiliki bobot lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan induk domba yang berumur 2 tahun (I2) atau telah dua kali beranak, dapat dilihat pada P3 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica) induk I1 memiliki bobot lahir anak sebesar 2,1 kg yang lebih rendah dari induk I2 sebesar 3 kg. Hal ini sesuai dengan pernyataan Inounu (1996), induk-induk primipara (beranak pertama kali) menghasilkan bobot lahir lebih rendah dibandingkan induk-induk yang telah beranak dua kali. Berdasarkan Tabel 4, P4 (B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens) pada induk yang berumur 3 tahun (I3) atau telah beranak untuk ketiga kalinya memiliki bobot lahir anak yang lebih rendah dibandingkan dengan induk berumur 1 tahun dan 2 tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh genetik induk domba tersebut, atau mungkin tingkat konsumsi hijauan dari induk domba I3 yang rendah, karena tingkat konsumsi dari masingmasing individu induk domba tidak diketahui. Bobot lahir anak domba juga dipengaruhi oleh musim pada saat anak domba tersebut lahir. Pada musim kemarau yang memiliki suhu lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan akan mengakibatkan kualitas hijauan lebih rendah. Domba yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menerima sedikit asupan nutrien yang mengakibatkan rendahnya transfer nutrien ke anak yang dikandung dan berdampak pada perkembangan fetus yang tidak maksimal sehingga mengakibatkan bobot lahir yang rendah. Menurut Gruenwald (1967) pertumbuhan fetus selama proses kebuntingan dipengaruhi oleh faktor genetis dari fetus sendiri dan pasokan zat
35
gizi makanan dari induk. Kondisi kesehatan induk juga dapat menimbulkan keragaman bobot fetus pada sepertiga akhir kebuntingan (Ilham, 2008). Pertambahan Bobot Badan Anak Domba Pertambahan Bobot Badan anak domba sebelum masa sapih perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap bobot badan pasca sapih. Rata-rata pertambahan bobot badan anak domba yang lahir pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 5. Analisis ragam tidak dilakukan pada parameter ini karena belum semua anak lahir sehingga data bobot lahir maupun pertambahan bobot badan anak domba yang dihasilkan kurang lengkap. Tabel 6. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Anak Domba Dari Lahir Sampai Umur 14 Hari Perlakuan
Pertambahan Bobot Badan Anak Domba (g/ekor/hari)
Tipe kelahiran
P1
82,14 ± 25,25
Single
P2
146,43 ± 35,36
Single
P3
60,71 ± 55,56
Single
78,57 ± 0,00
Twin
P4
33,33 ± 8,25
Single
P5
28,57 ± 0,00
Single
P6
71,43 ± 0,00
Twin
P7
28,57 ± 0,00
Single
P8
142,86 ± 0,00
Single
Keterangan: P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Perlakuan yang memiliki rata-rata pertambahan bobot badan anak domba cukup tinggi terdapat pada P2 yaitu kontrol positif sebesar 146,43 ± 35,36 kg, P8 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica) sebesar 142,86 kg atau 3,57 kg lebih rendah dari P2 dan P1 (kontrol negatif) sebesar 82,14 ± 25,25 kg atau 64,29 kg lebih rendah dari P2 dan 60,72 kg lebih rendah dari P8. Pertambahan bobot badan anak tertinggi adalah pada P2, sementara pertambahan bobot badan terkecil terdapat pada
36
P5 (B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides) dan P7 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides), yaitu sebesar 28,57 ± 0,00 kg. Berdasarkan P2 atau kontrol positif yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides, namun saat penanaman hanya diberikan pupuk NPK saja, memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi sebesar 3,75 kg dibandingkan P8 dengan komposisi hijauan yang sama dan pada saat penanaman tidak hanya diberikan pupuk NPK saja, namun juga diberikan pupuk kandang dan mikroba potensial tanah, sehingga kandungan nutrien hijauan pakan pada P8 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan P2. Tingginya kandungan nutrien tersebut seharusnya menghasilkan pertambahan bobot badan anak yang tinggi, karena induk yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan mendapat asupan nutrien yang lebih banyak sehingga nutrien yang dialirkan kepada anaknya melalui sekresi air susu juga lebih banyak. Hal ini dapat terjadi karena intensitas anak domba tersebut menyusu kepada induknya dan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah produksi air susu dari masing-masing induk domba. Kandungan nutrien dari setiap pakan terutama protein akan meningkatkan asupan nutrien induk yang nantinya akan mengalir ke anaknya sehingga semakin banyak air susu yang diterima oleh anak domba maka semakin cepat pertumbuhannya. Produksi susu induk erat kaitannya dengan asupan nutrien. Pakan hijauan yang hanya terdiri dari rumput diperkirakan kurang mencukupi kebutuhan nutrien induk domba, karena itu asupan legum yang berkualitas dengan kandungan 16 sampai 20% protein kasar dapat mencukupi kebutuhan domba tersebut (Swartz, 1981). Produksi air susu tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan nutrien hijauan pakan, tetapi juga oleh gen dan juga frekuensi (berapa kali) induk domba bunting dan beranak. Hal ini yang dapat mengakibatkan pertambahan bobot badan anak domba pada P2 lebih tinggi dibandingkan dengan P8, karena diduga induk-induk domba pada P2 memiliki produksi susu yang lebih tinggi. Pertumbuhan anak domba dan ternak lainnya yang belum disapih akan jauh lebih cepat dari ternak yang telah dewasa, hal ini dikarenakan anak domba telah memasuki fase percepatan pertumbuhan sesuai kurva pertumbuhan secara umum berbentuk huruf S (sigmoidal). Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa
37
kurva pertumbuhan terdiri dari tiga bagian yaitu fase percepatan (self-accelerating phase), diikuti fase linier (linier phase) atau pertumbuhan yang sangat cepat dengan waktu yang sangat pendek (dewasa kelamin) dan berakhir pada fase perlambatan (self-decelerating phase). Ditambahkan oleh Herman (2003) bahwa 75% proses pertumbuhan terjadi pada ternak sampai umur 1 tahun dan 25% pada ternak dewasa. Pertumbuhan paling cepat terjadi pada 3 bulan pertama, bobot badan bisa mencapai 50% dari bobot pada umur 1 tahun, 25% pada 3 bulan kedua dan 25% berikutnya dicapai pada 6 bulan terakhir. Pertambahan bobot badan anak juga dipengaruhi oleh jenis kelamin dan kondisi induk yang sehat, karena anak domba yang belum disapih sampai umur 3 bulan, masih akan menyusu (suckling) pada induknya. Menurut Ramsey et al. (1994) konsumsi air susu merupakan faktor yang sangat penting dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak domba pada awal kelahiran sampai umur 3-4 minggu. Konsumsi kolostrum juga sangat mempengaruhi pertambahan bobot badan anak domba pada minggu awal kelahiran, karena kandungan kolostrum yang berguna sebagai sistem imunitas anak domba akan berdampak pada kesehatan dan kelangsungan hidup anak domba tersebut. Kondisi ambing induk domba juga mempengaruhi produksi susu induk, ambing induk domba yang berukuran kecil pada saat anak dilahirkan diperkirakan memiliki produksi air susu yang sedikit, dibandingkan dengan ambing yang berukuran besar. Perkembangan kelenjar ambing (mammary gland) terjadi pada akhir masa kebuntingan dan pada awal bulan masa laktasi rata-rata sebesar 5% (Freer and Dove, 2002). Hal ini dapat diartikan bahwa asupan nutrien domba bunting di padang penggembalaan memerlukan adanya penambahan leguminosa sebagai peningkatan asupan nutrien dibandingkan dengan hanya mengkonsumsi rumput. Pada P3, yaitu perlakuan yang terdapat anak domba dengan tipe kelahiran kembar maupun tunggal. Anak domba dengan kelahiran kembar (twin) memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi yaitu sebesar 78,57 kg dibandingkan dengan anak domba dengan kelahiran tunggal (single) sebesar 60,71 ± 55,56 kg, seharusnya domba yang lahir tunggal akan memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi karena mempunyai bobot lahir yang lebih tinggi dan tidak berkompetisi dalam mendapatkan air susu induk. Hal ini dapat diakibatkan oleh produksi air susu
38
dan intensitas menyusu anak domba pada induk (suckling) dengan tipe kelahiran kembar lebih banayak dengan tipe kelahiran tunggal, selain itu gen dari masingmasing anak domba dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan anak domba tersebut. Menurut Edey (1983) sebelum lepas sapih, bobot badan anak domba dipengaruhi oleh faktor genetika, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak sekelahiran, umur induk, jenis kelamin, penyakit dan manajemen pemeliharaan. Pada P5 dan P7 dengan tipe kelahiran tunggal memiliki pertambahan bobot badan terendah sebesar 28,57 ± 0,00 kg dibandingkan dengan perlakuan lainnya dikarenakan asupan nutrien yang rendah. Kedua perlakuan ini sama-sama diintroduksi leguminosa C. mucunoides yang memiliki tingkat palatabilitas yang cukup rendah karena terdapatnya bulu pada daun dan batang yang lebih besar sehingga kurang disukai ternak. Rendahnya kandungan nutrien terutama protein sebesar 16 % (Tropical Forages, 2010) diikuti dengan konsumsi yang rendah mengakibatkan rendahnya asupan nutrien pada induk domba sehingga dapat mengakibatkan produksi susu yang kurang dan rendahnya transfer nutrien dari induk ke anak domba yang terjadi sehingga mengakibatkan pertambahan bobot badan yang cukup rendah. Perubahan ukuran serta fungsi dari berbagai bagian tubuh mulai embrio sampai dewasa periode pertumbuhan seekor hewan, terjadi peningkatan bobot badan sampai hewan dewasa serta perubahan dalam bentuk dimana kejadian ini masingmasing disebut pertumbuhan dan perkembangan (Tillman et al., 1998). Pada Tabel 5, diketahui bahwa pertambahan bobot badan anak domba cukup tinggi yaitu hampir mendekati 100 g/ekor/hari bahkan lebih pada pastura yang diintroduksi leguminosa. Tingginya pertambahan bobot badan anak domba tersebut dikarenakan setelah lahir, ternak akan tumbuh mengikuti kurva pertumbuhan yang berbentuk huruf S (pola kurva pertumbuhan sigmoidal),
mengalami akselerasi pada masa pubertas dan
pertumbuhan maksimum terjadi pada umur 12 bulan (Sodiq dan Abidin, 2008). Mineral Asupan mineral pada ternak dapat berasal dari pakan atau mineral supplemen yang ditambahkan dalam pakan. Pada ternak yang digembalakan di pastura (pemeliharaan ekstensif) kandungan mineral dalam pakan penting diketahui untuk mencukupi kebutuhan mineral ternak, sehingga tidak perlu diberikan mineral
39
supplemen terkait dengan biaya yang dikeluarkan. Kandungan mineral pakan (hijauan pada pastura) perlu dianalisa untuk mengetahui apakah hijauan tersebut telah mencukupi kebutuhan mineral ternak yang digembalakan, terlebih ternak yang digembalakan adalah ternak (domba) dalam kondisi bunting sehingga mineral yang masuk ke tubuh induk domba tidak hanya digunakan oleh tubuh induk saja melainkan juga anak domba yang dikandung. Ketersediaan mineral perlu diperhatikan, karena pada ternak yang digembalakan, sumber mineral hanya berasal dari hijauan pakan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Untuk mengatasi kondisi kekurangan pada padang penggembalaan (pastura) terhadap ternak yang digembalakan, maka perlu dilakukan penambahan unsur hara atau pupuk tertentu sehingga dapat meningkatkan kandungan mineral tanaman pada pastura yang nantinya dapat menjamin ketersediaan mineral pada pastura tersebut. Pada sistem pemeliharaan ekstensif, kekurangan mineral pada domba jarang terjadi dan lebih banyak terjadi pada domba yang dipelihara secara intensif (Gatenby, 1991). Kandungan mineral pada rumput dan legum berbeda, pada kondisi tanah dan lingkungan yang sama, kandungan kalsium (Ca) pada legum lebih tinggi sekitar tiga sampai lima kali lipat dibandingkan yang terdapat pada rumput, sementara itu kandungan fosfor (P) dan natrium (Na) pada lahan pastura menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman (Underwood, 1966). Hasil analisa mineral hijauan pada pastura yang diintroduksi leguminosa dapat dilihat pada Tabel 7. Kecukupan atau kekurangan mineral pada domba dapat dianalisa melalui mineral yang terkandung dalam serum sebagai konsentrasi mineral yang diserap atau dialirkan dalam darah. Menurut Gatenby (1991), kekurangan mineral pada domba tidak dapat ditentukan dengan hanya memperhatikan performa domba seperti rendahnya angka pertumbuhan atau fertilitas yang rendah, namun dengan cara menganalisa mineral yang terdapat di dalam ternak domba tersebut. Terdapatnya kandungan mineral dalam feses yang lebih besar dibandingkan dengan asupan mineral yang masuk ke dalam tubuh induk domba menandakan ketidakseimbangan mineral dalam tubuh dan nilai retensi mineral di dalam tubuh ternak tersebut cukup kecil, sehingga defisiensi mineral dapat terjadi. Defisiensi mineral pada induk domba bunting dapat menghambat pertumbuhan induk domba tersebut dan anak yang dikandung.
40
Tabel 7. Kandungan Mineral Pada Hijauan Pakan, Serum dan Feses Domba pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda Perlakuan
Pakan (%)a N
P
Serum (%)b
K
Ca
Mg
Nc
P
K
Feses (%)b Ca
Mg
N
P
K
Ca
Mg
P1
1,06 0,10
0,97
0,25
0,42 0,003 0,004 0,049 0,024 0,002 1,14
0,19
0,37
1,33
0,23
P2
1,05 0,17
1,90
0,29
0,26 0,003 0,002 0,054 0,021 0,002 0,96
0,14
0,28
1,32
0,18
P3
1,68 0,12
1,83
0,43
0,30 0,004 0,002 0,059 0,022 0,003 1,25
0,15
0,25
1,73
0,22
P4
1,97 0,13
1,39
0,64
0,23 0,003 0,002 0,037 0,021 0,002 0,99
0,16
0,24
1,72
0,21
P5
1,37 0,12
1,79
0,41
0,22 0,003 0,003 0,042 0,024 0,003 1,26
0,17
0,58
1,69
0,23
P6
1,30 0,10
1,06
0,39
0,30 0,004 0,003 0,036 0,023 0,003 1,31
0,17
0,19
2,34
0,23
P7
1,53 0,11
1,55
0,54
0,30 0,003 0,002 0,044 0,021 0,003 1,14
0,18
0,17
1,74
0,23
P8
1,43 0,08
1,47
0,55
0,21 0,003 0,003 0,032 0,021 0,003 1,14
0,13
0,2
1,69
0,22
Sumber : a. Hasil Analisa Laboratorium Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor 2009 b. Hasil Analisa Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Departemen INTP FAPET IPB 2009. c. Hasil Analisa Pusat Penelitian Tanaman Bogor 2009. Keterangan: P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
41
Tabel 8. Jumlah Konsumsi Bahan Kering, Asupan Mineral, Mineral yang Diserap (Dalam Serum) serta yang Terbuang (Dalam Feses) pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda Asupan Mineral (g)
Serum (g)
Feses (g)
N
P
K
Ca
Mg
N
P
K
Ca
Mg
N
1
Konsumsi BK Hijauan (g/ekor/hari) 592,08
6,28
0,59
5,74
1,48
2,49
0,02
0,02
0,29
0,14
0,01
6,75
2
753,75
7,91
1,28 14,32 2,19
1,96
0,02
0,02
0,41
0,16
0,02
7,24
3
1001,71
16,83 1,20 18,33 4,31
3,01
0,04
0,03
0,59
0,22
0,03
12,52 1,50 2,50 17,33 2,20
4
1121,14
22,09 1,46 15,58 7,18
2,58
0,03
0,02
0,41
0,24
0,03
11,10 1,79 2,69 19,28 2,35
5
884,57
12,12 1,06 15,83 3,63
1,95
0,03
0,03
0,38
0,21
0,02
11,15 1,50 5,13 14,95 2,03
6
985,30
12,81 0,99 10,44 3,84
2,96
0,04
0,03
0,35
0,22
0,03
12,91 1,68 1,87 23,06 2,27
7
1004,07
15,36 1,10 15,56 5,42
3,01
0,03
0,02
0,44
0,21
0,03
11,45 1,81 1,71 17,47 2,31
8
958,09
13,70 0,77 14,08 5,27
2,01
0,03
0,03
0,30
0,21
0,02
10,92 1,25 1,92 16,19 2,11
Perlakuan
P
K
Ca
Mg
1,12 2,19
7,87
1,36
1,06 2,11
9,95
1,36
Keterangan : Asupan mineral = Kandungan Mineral Hijauan (%) x Konsumsi BK Hijauan (g) Mineral Serum = Kandungan Mineral Serum (%) x Konsumsi BK Hijauan (g) Mineral Feses = Kandungan Mineral Feses (%) x Konsumsi BK Hijauan (g) P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
42
Tabel 9. Neraca Mineral (tanpa urin) pada Pastura B. humidicola yang Diintroduksi dengan Leguminosa yang Berbeda Perlakuan
Neraca (g) N
P
K
Ca
Mg
P1
-0,49
-0,55
3,26
-6,54
1,11
P2
0,65
0,21
11,81
-7,92
0,59
P3
4,27
-0,33
15,23
-13,25
0,78
P4
10,95
-0,36
12,48
-12,34
0,20
P5
0,95
-0,47
10,33
-11,53
-0,11
P6
-0,14
-0,72
8,22
-19,44
0,66
P7
3,88
-0,73
13,41
-12,26
0,68
P8
2,75
-0,51
11,86
-11,13
-0,12
Keterangan: Neraca = Asupan Mineral - Mineral yang Diserap (Serum) - Mineral yang Dibuang (Feses); P1: Kontrol negatif; P2: Kontrol positif; P3: B. humidicola + P. javanica; P4: B. humidicola + C. pubescens; P5: B. humidicola + C. mucunoides; P6: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens; P7: B. humidicola + P. javanica + C. mucunoides; P8: B. humidicola + P. javanica + C. pubescens + C. mucunoides.
Tabel 7 menunjukkan kandungan mineral hijauan pakan pada pastura yang diintroduksi leguminosa. Kandungan mineral pada setiap perlakuan menghasilkan nilai persentase yang berdekatan, hal ini dapat disebabkan oleh sampel hijauan yang dianalisa secara komposit yaitu gabungan dengan perbandingan yang sama antara rumput dan leguminosa yang diintroduksi sehingga dimungkinkan adanya efek antagonisme mineral antar hijauan yang satu dengan lainnya. Kondisi tersebut dapat dilihat pada kandungan N yang merupakan faktor penentu asupan protein kasar bagi induk domba. Perlakuan yang hanya diintroduksi satu jenis leguminosa mengandung persentase mineral N tertinggi pada P4 yaitu B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens sebesar 1,97%, sedangkan P3 yang diintroduksi P. javanica mengandung persentase N sebesar 1,68% dan N terendah pada pastura yang diintroduksi satu jenis leguminosa terdapat pada P5 yang diintroduksi C. mucunoides sebesar 1,37%. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa nilai protein kasar dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah pada C. pubescens, P. javanica dan C. mucunoides masingmasing sebesar 23,6%; 20,5% (Gohl, 1981) dan 16% (Tropical Forages, 2010).
43
Hasil yang berbeda terdapat pada perlakuan yang diintroduksi dua jenis leguminosa ataupun tiga jenis leguminosa. Pada P7 yang diintroduksi leguminosa jenis P. javanica dan C. mucunoides memiliki kandungan N yang lebih tinggi yaitu 1,53% dibandingkan P6 sebesar 1,30% yang diintroduksi P. javanica dan C. pubescens. Kandungan N pada P6 seharusnya memiliki persentase N yang lebih tinggi dibandingkan P7, karena protein kasar P. javanica dan C. pubescens lebih tinggi dibandingkan dengan C. mucunoides, demikian juga yang terjadi pada P8 yang diintroduksi oleh ketiga jenis leguminosa namun menghasilkan persentase N yang lebih rendah dari P6 dan P7. Hal ini membuktikan adanya efek antagonisme antara leguminosa satu dengan lainnya, atau terdapatnya kandungan anti nutrisi, demikian juga yang terjadi pada mineral lainnya (P, K, Ca dan Mg). Tercukupinya kebutuhan mineral induk domba dipengaruhi oleh kandungan mineral masing-masing hijauan setiap perlakuan dan tingkat konsumsi induk domba pada perlakuan tersebut. Tabel 8 menyajikan tingkat asupan mineral pada setiap perlakuan dan kebutuhan mineral induk domba. Mineral nitrogen (N) dibutuhkan oleh induk domba sebanyak 15,04 g/ekor/hari (NRC, 1985), sedangkan dari tingkat konsumsi N pada setiap perlakuan, semua perlakuan belum mencukupi kebutuhan N dari induk domba setiap harinya kecuali P3, P4 dan P7. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi BK hijauan pada perlakuan tersebut. Kekurangan konsumsi N yang terjadi dapat mengakibatkan sedikitnya asupan protein kasar yang masuk ke dalam tubuh induk domba, sehingga akan berdampak pada minimnya penyerapan protein oleh tubuh dan berakibat pada pertambahan bobot badan yang tidak maksimal, terlebih pada induk domba bunting akan berpengaruh pada anak yang dikandung yaitu akan menghasilkan bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak yang rendah serta bobot badan induk setelah melahirkan yang rendah pula. Konsumsi N tertinggi terdapat pada P4 yaitu B. humidicola yang diintroduksi oleh C. pubescens, sebesar 22,09 gram/ekor/hari, hal ini dapat disebabkan oleh tinngginya kandungan N pada hijauan yaitu 1,97%. Menurut Gohl (1981) C. pubescens memiliki kandungan protein kasar tertinggi dibandingkan dengan P. javanica dan C. mucunoides. Tingginya kandungan protein kasar berbanding lurus dengan nilai N yang terkandung, karena 16% dari protein kasar adalah N murni (Parakkasi, 1999). Penyerapan N pada perlakuan ini juga cukup tinggi jika
44
dibandingkan dengan P1 dan P2 namun lebih rendah dari P3 yaitu sebesar 0,03 g atau dari jumlah mineral N yang masuk ke induk sebesar 0,14% diserap dan dialirkan melalui darah ke seluruh tubuh, sedangkan sebesar 50,25% dibuang melalui feses. Pada P3 yaitu B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, tingkat penyerapan mineral di dalam tubuh induk domba lebih tinggi dari P3 yaitu sebesar 0,04 g atau sebesar 0,23% dari jumlah konsumsi mineral, sedangkan jumlah mineral yang dibuang melalui feses lebih besar yaitu sebesar 74,39%. Penyerapan jumlah mineral N dapat mengakibatkan kebutuhan protein kasar induk domba terpenuhi, sehingga akan berdampak pada pertambahan bobot badan induk. Pada P8, walaupun jumlah asupan mineral tidak memenuhi kebutuhan induk domba, namun P8 menghasilkan pertambahan bobot badan induk domba sebelum melahirkan yang tertinggi (Tabel 3), hal ini dikarenakan jumlah mineral yang diserap sebesar 0,03 g atau 0,21% dari jumlah yang konsumsi diserap dan dialirkan ke seluruh tubuh. Asupan mineral N terendah terdapat pada P1 yaitu sebesar 6,28 g/ekor/hari, hal ini disebabkan tidak adanya introduksi leguminosa pada perlakuan tersebut. Berdasarkan Tabel 8, semua perlakuan baik kontrol negatif yang hanya terdiri atas rumput B. humidicola saja, maupun perlakuan yang diintroduksi oleh leguminosa tidak ada yang mampu mencukupi kebutuhan mineral fosfor (P) dari induk domba tersebut. Hal ini disebabkan oleh kandungan mineral P pada hijaun setiap perlakuan yang cukup rendah. Kebutuhan mineral P induk domba adalah 3,5 g/ekor/hari (NRC, 1985), sementara konsumsi P tertinggi terdapat pada P4 sebesar 1,46 g/ekor/hari. Rendahnya asupan mineral pada setiap perlakuan mengakibatkan rendahnya penyerapan P pada tubuh induk domba, yang dapat dilihat pada kandungan mineral dalam serum yang bernilai antara 0,02 sampai 0,03 gram. Ketidakcukupan atau kekurangan mineral P pada lahan penggembalaan dapat berdampak pada ternak yang digembalakan di pastura tersebut, karena fosfor dan kalsium merupakan salah satu mineral yang diperlukan untuk induk domba pada fase kebuntingan (NRC, 1985). Mineral P bersama Ca sangat penting untuk induk domba bunting, karena jika mineral ini tidak tercukupi di dalam pakan, maka untuk mencukupinya tubuh ternak akan mengambil Ca dan P dari tulang. Hal ini dapat menyebabkan tulang rapuh dan dalam kondisi fatal dapat terjadi kelumpuhan pada induk setelah melahirkan, jika
45
induk lumpuh, maka akan berakibat buruk pada anak, karena asupan air susu yang terhalang, sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang yang terhambat dan pertambahan bobot badan yang tidak maksimal. Menurut NRC (1985) rata-rata 80% phospor terdapat di dalam tulang dan gigi, sedangkan kekurangan Ca dan P dapat mengakibatkan perkembangan tulang yang tidak normal tau disebut rickets pada ternak muda dan osteomalacia pada ternak dewasa. Rendahnya asupan mineral P juga akan berakibat pada pertumbuhan yang kurang baik sehingga pertambahan bobot badan tidak akan maksimal, selain itu dapat menghambat pertumbuhan anak dalam kandungan karena jumlah nutrien yang ditransfer induk sedikit dan mengakibatkan bobot lahir yang rendah. Mineral Kalium adalah mineral ketiga terbanyak yang terdapat pada tubuh ternak domba, sekitar 0,3% dari bahan kering tubuh. Kalium lebih banyak ditemukan pada bagian kulit dan otot. Mineral ini dapat mempengaruhi tekanan osmosis dan keseimbangan asam basa dengan sel dalam tubuh. (NRC, 1985). Berdasarkan Tabel 8, konsumsi mineral Kalium (K) pada semua perlakuan telah memenuhi kebutuhan induk domba sebesar 7,2 g/ekor/hari (NRC, 1985), kecuali pada P1 (kontrol negatif) hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kandungan K pada hijauan yang diintroduksi leguminosa dibandingkan dengan P1 yang hanya terdapat rumput B. humidicola saja. Konsumsi K terendah terdapat pada P1 sebesar 5,74 g/ekor/hari dikarenakan kandungan K dan konsumsi bahan kering hijauan yang rendah dan yang tertinggi sebesar 18,33 g/ekor/hari pada P3. Kandungan K tertinggi terdapat pada P2 (Tabel 6) namun konsumsi K tertinggi terdapat pada P3 karena konsumsi BK hijauan pada P3 lebih tinggi dari P2. Tingginya konsumsi K pada semua perlakuan berbanding lurus dengan keseimbangan K pada pastura tersebut, yang dapat dilihat dari nilai positif yang dihasilkan (Tabel 9), sehingga tidak perlu penambahan pupuk atau unsur hara untuk meningkatkan keseimbangan K pada pastura tersebut. Mineral
K dapat
mempengaruhi performa anak domba, dalam hal ini performa anak domba dipengaruhi oleh mineral K yang dikonsumsi induk, karena anak domba yang belum disapih masih memperoleh asupan nutrien dari induk melalui konsumsi air susu. Kekurangan asupan mineral K dapat mengakibatkan penurunan bobot badan secara mendadak (NRC, 1985).
46
Kalsium (Ca) pada semua ternak sangat berperan penting, termasuk pada induk domba bunting. Mineral ini bersama mineral fosfor berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan tulang dan gigi. Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa konsumsi Ca yang memenuhi kebutuhan Ca induk domba sebesar 5,7 g/ekor/hari (NRC, 1985) terdapat pada P4 (B. humidicola yang diintroduksi C. pubescens), P7 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica dan C. mucunoides) dan P8 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides). Hal ini disebabkan oleh kandungan Ca hijauan dan konsumsi BK hijauan yang tinggi pada ketiga perlakuan tersebut, sehingga berakibat pada tercukupinya kebutuhan induk domba tersebut. Dari ketiga perlakuan tersebut, penyerapan Ca tertinggi terdapat pada P4 yaitu sebesar 0,24 g atau sebesar 3,3% dari asupan mineral yang berasal dari hiajaun pakan pada perlakuan tersebut. Asupan mineral Ca terendah terdapat pada P1 (kontrol negatif) sebesar 1,48 g/ekor/hari. Kurangnya asupan mineral mengakibatkan mineral ini diserap dalam jumlah yang sedikit oleh tubuh atau bahkan tidak ada yang diserap, jika ini terjadi dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang dan gigi yang tidak normal. Menurut Martin dan Aitken (2000) sekitar 99,5% kandungan kalsium dalam tubuh terdapat pada tulang dan gigi sehingga asupan mineral Ca pada ternak perlu diperhatikan karena jika kandungan mineral ini sangat rendah dalam hijauan pakan pastura, maka untuk mencukupi kebutuhannya, tubuh akan mengambil Ca dari tulang yang dapat mengakibatkan kondisi tulang yang rapuh dan dapat membahayakan ternak tersebut, terlebih jika dalam fase kebuntingan. Kekurangan
Ca
pada
fase
kebuntingan
mengakibatkan pertumbuhan fetus tidak maksimal sehingga dapat menghasilkan bobot lahir yang rendah, dimana bobot lahir sangat menentukan pertambahan bobot badan dan bobot sapih anak domba tersebut. Kekurangan Ca pada induk domba akan berdampak sangat fatal pada tulang yang nantinya tidak akan kuat menopang tubuh ternak tersebut, sehingga dapat terjadi kelumpuhan, jika ini terjadi maka perkembangan induk setelah melahirkan akan terhambat yang berdampak pada kondisi anak setelah lahir. Hal ini disebabkan karena anak domba masih harus menyusu pada induknya untuk memenuhi kebutuhan nutriennya yang diambil dari induk melalui air susu yang dikonsumsi, jika air susu mengandung Ca dalam jumlah yang sedikit maka pertumbuhan anak domba juga
47
terhambat. Kekurangan Ca juga dapat mengakibatkan hypocalcemia yaitu rusaknya sistem homeostasis tubuh (Martin dan Aitken, 2000). Berdasarkan Tabel 8 konsumsi mineral magnesium (Mg) setiap ekor induk domba per gram per harinya telah mencukupi kebutuhan domba tersebut yaitu 1,35 g/ekor/hari (NRC, 1985). Konsumsi Mg terendah terdapat pada P2 dan yang tertinggi P7 masing-masing sebesar 3,92 g/ekor/hari dan 6,02 g/ekor/hari, hal ini disebabkan oleh kandungan mineral Mg (Tabel 7) dan konsumsi bahan kering (Tabel 8) hijauan P2 lebih rendah dibandingkan dengan P7. Kandungan Mg hijauan tertinggi terdapat pada kontrol negatif (P1), namun karena konsumsi bahan kering yang rendah maka nilai konsumsi Mg tidak mencapai nilai yang tertinggi. Tingginya kandungan Mg pada P1 dapat diartikan bahwa kandungan Mg pada rumput lebih tinggi dibandingkan dengan leguminosa, hasil ini bertentangan dengan NRC (1985) bahwa kandungan Mg secara normal lebih tinggi pada leguminosa dibandingkan dengan rumput, hal ini dapat disebabkan oleh adanya kombinasi antara leguminosa satu dengan lainnya sehingga dimungkinkan adanya efek antagonisme antara mineral satu dengan lainnya sehingga menurunkan kadar Mg pada perlakuan yang diintroduksi leguminosa. Berdasarkan Tabel 9, yaitu neraca mineral pada setiap perlakuan, data yang dihasilkan menunjukkan keseimbangan mineral pada pastura tempat induk domba digembalakan sehingga dapat diketahui perlakuan yang mampu ataupun tidak mampu menyediakan mineral bagi induk domba. Nilai nitrogen (N) tertinggi terdapat pada P4 sebesar 10,95 g, karena asupan N menunjukkan nilai tertinggi sebesar 22,09 g sementara kandungan N yang dibuang dalam feses adalah 50,25% dari jumlah yang dikonsumsi (Tabel 8). Hal ini dapat diartikan bahwa nilai retensi nitrogen pada induk domba tersebut cukup tinggi. Tingginya kandungan N pada perlakuan ini disebabkan oleh kadar protein kasar dari C. pubescens yang diintroduksi lebih tinggi dibandingkan dengan leguminosa lainnya. Persentase N yang tinggi mengakibatkan kadar PK dari hijauan tersebut semakin tinggi dan akan berdampak pada pertambahan bobot badan induk yang tinggi jika diikuti dengan konsumsi yang tinggi. Selain itu akan berdampak pada bobot lahir dan pertambahan bobot badan anak domba yang tinggi serta bobot induk setelah melahirkan yang stabil karena
48
induk domba tidak perlu menggunakan cadangan tubuhnya untuk mengalirkan nurien pada fetus yang dikandung. Nilai N terendah terdapat pada P1, karena menghasilkan nilai yang negatif, sehingga dapat diartikan mineral N sangat kurang ketersediaannya pada perlakuan ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya leguminosa yang diintroduksi dan juga tidak adanya penambahyan pupuk sehingga kandungan nutrien pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan induk domba, meskipun konsumsi bahan kering hijauan yang dihasilkan cukup tinggi. Tingginya kandungan mineral dalam feses menandakan banyaknya mineral N yang terbuang dalam feses, sehingga retensi mineral N di dalam tubuh induk domba juga semakin sedikit. Rendahnya retensi N pada induk domba mengakibatkan retensi protein kasar yang rendah sehingga pertambahan bobot badan induk domba tersebut tidak maksimal, selain itu transfer nutrien ke anak domba yang dikandung akan rendah, yang nantinya akan mengakibatkan pertumbuhan fetus terganggu dan menghasilkan bobot lahir anak yang rendah. Nilai neraca keseimbangan mineral fosfor (P) dan Kalium (K) tertinggi terdapat pada P2 dan P3 yaitu kontrol positif sebesar 0,21 g dan 15,23 g pada pastura B. humidicola yang diintroduksi P. javanica. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan dan jumlah yang dikonsumsi dari kedua mineral, namun jumlah yang dikeluarkan dalam feses cukup rendah. Pada P2 sebesar 13,04% dari jumlah asupan mineral P dibuang dalam feses, sementara pada perlakuan lainnya jumlah yang dibuang dalam feses jauh lebih besar, sehingga nilai neraca keseimbangan P selain pada P2 menghasilkan nilai yang negatif. Pada mineral K, neraca keseimbangan pada setiap perlakuan menghasilkan nilai positif, hal ini dapat diartikan bahwa keseimbangan mineral K pada pastura tersebut mampu mencukupi kebutuhan induk domba yang digembalakan. Tingginya nilai neraca mineral K juga dapat disebabkan tidak dianalisanya mineral K pada urin karena kesulitan menampung urin pada ternak yang digembalakan. Menurut NRC (1985), mineral K lebih banyak diekskresikan di melalui urin sekitar 90%. Kondisi ini mengakibatkan jumlah mineral K yang dibuang dalam feses menunjukkan nilai yang cukup rendah (Tabel 8). Data pada Tabel 9 menunjukkan keseimbangan mineral Ca yang negatif pada setiap perlakuan, sehingga dapat dikatakan mineral Ca tidak memiliki keseimbangan yang baik pada pastura tersebut, namun jika dianalisis secara deskriptif, persentase
49
keseimbangan Ca tertinggi terdapat pada P1, dikarenakan mineral Ca yang dibuang melalui feses menunjukkan hasil yang terndah yang diakibatkan asupan mineral Ca yang rendah pula. Nilai keseimbangan yang cukup tinggi pada P1 dibandingkan perlakuan lainnya bukan merupakan suatu indikator yang baik, karena jika dilihat dari kandungan Ca hijauan setiap perlakuan, P4 memiliki kandungan Ca tertinggi akibat adanya introduksi leguminosa (Tabel 6). Menurut Underwood (1966) kandungan Ca pada leguminosa adalah tiga sampai lima kali lipat dibandingkan yang terdapat pada rumput. Hal ini berarti semakin banyak leguminosa pada perlakuan, maka kandungan Ca akan semakin tinggi, namun tidak demikian pada hasil yang didapatkan karena dimungkinkan adanya efek antagonis antara leguminosa satu dengan lainnya ataudengan kata lain terdapat zat antinutrisi pada leguminosa tertentu. Ketidakseimbangan mineral Ca dapat berakibat buruk pada domba yang digembalakan, karena mineral Ca berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Induk domba yang mengalami kekurangan asupan Ca terutama dalam keadaan bunting, dimana nutrien yang dikonsumsi induk akan dialirkan sebagian untuk anaknya, akan mengambil cadangan Ca dari tulang sehingga tulang induk domba dapat menjadi rapuh. Rapuhnya kondisi tulang akan berdampak fatal jika induk domba telah melahirkan karena akan terjadi hypocalcemia yang dapat mengakibatkan kelumpuhan pada induk domba. Nilai keseimbangan mineral Mg tertinggi terdapat pada P1 (kontrol negatif) sebesar 1,11 g, akibat jumlah mineral Mg yang diretensi dan jumlah yang dibuang melalui feses cukup rendah sebesar 1,36 g dibandingkan perlakuan lainnya. Menurut Ørskov (2001), kekurangan mineral Mg jarang terjadi pada ternak yang digembalakan kecuali pada sapi yang memiliki produksi susu yang tinggi dan pada kondisi rumput yang tidak subur. Mineral Mg diperlukan tubuh untuk mencegah terjadinya hymagnesaemia yaitu kesulitan berjalan, yang biasanya terjadi pada 4 sampai 6 minggu setelah melahirkan (Martin dan Aitken, 2000). Keseimbangan mineral pada masing-masing perlakuan diperlukan untuk mengetahui ketersediaan dan kekontinyuitas mineral tersebut. Persentase yang menunjukkan nilai cukup tinggi dapat diartikan sebagai indikator ketersediaan mineral tersebut untuk memenuhi kebutuhan ternak domba, sebaliknya jika persentase
bernilai
negatif
yang
artinya
mineral
tersebut
sangat
minim
50
ketersediannya pada padang penggembalaan sehingga akan berdampak buruk pada induk dan anak domba yang digembalakan. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan unsur hara tertentu atau pemupukan pada tanaman pada pastura tersebut. Ketersediaan mineral pada hijauan sangat penting bagi ternak terutama ternak yang dipelihara secara ekstensif pada lahan pastura, karena hijauan tersebut adalah sumber utama asupan nutrien bagi ternak tersebut. Minimnya kandungan mineral pada hijauan di pastura dapat mengakibatkan penyakit defisiensi mineral jika hijauan tersebut dikonsumsi oleh ternak yang digembalakan terutama oleh ternak pada fase bunting seperti induk domba bunting, karena kebutuhan mineral juga digunakan untuk perkembangan fetus yang dikandung. Kandungan mineral dalam hijauan pakan dan rumput ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jenis tanah, kondisi tanah, jenis tanaman, dan adanya mineral lain yang memiliki efek antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan oleh ternak (Darmono, 2007).
51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Introduksi leguminosa pada pastura di UP3J, sangat nyata meningkatkan konsumsi domba bunting, dengan konsumsi tertinggi terdapat pada P4 yaitu B. humidicola yang diintroduksi C. Pubescens. Pertambahan bobot badan induk sebelum melahirkan dan efisiensi pakan tertinggi terdapat pada P8 (B. humidicola yang diintroduksi P. javanica, C. pubescens dan C. mucunoides) dan P2 (kontrol positif). Bobot induk setelah melahirkan menghasilkan bobot badan yang stabil terdapat pada P8, sedangkan bobot lahir anak tertinggi terdapat pada P5 yaitu B. humidicola yang diintroduksi C. mucunoides dan pertambahan bobot badan anak tertinggi pada P2 (kontrol positif). Keseimbangan mineral pada pastura setiap perlakuan menghasilkan nilai yang beragam, namun secara umum konsumsi mineral pada pastura tersebut telah mencukupi kebutuhan induk domba kecuali mineral fosfor (P). SARAN 1. Untuk lebih dapat melihat pengaruh pertambahan bobot badan induk bunting, bobot lahir anak dan pertambahan bobot badan anak sebelum sapih harus dilakukan penyeragaman kebuntingan. 2. Untuk dapat mengetahui pengaruh jumlah anak sekelahiran, induk domba yang digembalakan mulai dari status dara. 3. Untuk lebih meningkatkan pertambahan bobot badan induk bunting di UP3 Jonggol, dapat dilakukan pemberian konsentrat, mengingat lahan yang diintroduksi leguminosa terbatas.
52
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya hingga saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. sebagai dosen pembimbing utama dan Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan sebagai dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan moral maupun materiil, pengarahan dan saran kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Ir. Widya Hermana M.Si., selaku panitia seminar, Dr.Ir. Didid Diapari, MS., sebagai dosen penguji seminar, Dr. Ir. Dewi apri Astuti, M.S dan Ir. Maman Duldjaman, M.S sebagai dosen penguji tugas akhir atas kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini. Dosen, staf, Ibu Dian sebagai laboran Lab. Nutrisi Ternak Perah dan Bapak Edy sebagai laboran Lab. Agrostologi, serta kepada seluruh pegawai dan staff Unit Penelitian dan Pendidikan Peternakan Jonggol (UP3J) yang telah membantu selama penelitian berlangsung, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ayahanda Sukidi S.Pd., dan Ibunda Yuni Kamsiyati S.Pd., serta kakak penulis Adi Budi Yulianto S.TP., yang telah memberikan do’a, kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materiil yang tiada henti kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Amin. Terima kasih kepada teman penelitian Jonggol (Indra, Tyas, Fanny, Rani, Bara) teman satu penelitian (Kak Nia dan Nissa) terima kasih atas kerjasamanya, Mawaddah, Ana, Sukma, Rifa, Ainissya, Dicky, Miko, Pitriyatin, Joko serta seluruh teman-teman INTP 43 dan Dewi yang terus membangkitkan semangat penulis, teman satu kos atas bantuan, persahabatan dan dukungannya dalam penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Mei 2010
Penulis
53
DAFTAR PUSTAKA Badan
Pusat Statistik. 2009. Statistik http://www.datastatistikindonesia.com [9 Oktober 2009]
Indonesia.
Bourdon, R. M. 2000. Understanding Animal Breeding. 2nd Edition. Prentice-Hall. Inc. Upper saddle River, New Jjersey. Brandano, P., Rassa, S. P. G., Lanza. 2004. Feeding dairy lamb. In: Pullina, G., (Editor). Prolific Sheep. CABI Publising, Canberra. Card, I. E. & M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Edition. Lea and Febnger Philadelphia, New York. Caton, J. S., J. J. Reed, R. P. Aitken, J. S. Milne, P. P. Borowicz, L. P. Reynolds, D. A. Redmer & J. M. Wallace. 2009. Effects of maternal nutrition and stage of gestation on body weight, visceral organ mass, and indices of jejunal cellularity, proliferation, and vascularity in pregnant ewe lambs. J. Anim. Sci. 87:222-235. Coleman, S. W., D. A. Henry. 2002. Nutritive Value of Herbage. In: Freer M, Dove H (Editor). Sheep Nutrition. CABI Publishing. Canberra. Darmono, 2007. Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan upaya pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian. 26 (3): 104-108. Devendra, C. & McLeroy G.B. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. Longman. London. Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Data populasi domba 2005-2009. Departemen Pertanian, Jakarta. Doho, S. R. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada domba ekor gemuk. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Australian Unversities. International development Program (AUIDP). Canberra. Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printer and Publisher. Inc, Danville. Illionis. Fanindi, A. & Bambang R.P. 2005. Karakteristik dan pemanfaatan kalopo. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Food and Agriculture Organization (FAO). 2002. Conserving and Developing Farm Animal Diversity. Secretariat of The Report on The State of The World’s Animal Genetic Resource. Rome. Freetly, H. C. & K. A. Leymaster. 2004. Relationship between litter birth weight and litter size in six breeds of sheep. J. Anim. Sci. 82:612-618. Freer, M. & H. Dove. 2002. Sheep Nutrition. CAB International. Canberra. Gatenby, R. M. 1991. Sheep. Macmillan Education Ltd. London. Gohl, B.O. 1981. Tropical Feed. Feed Information. Summaries and Nutritive Value. FAO. Rome.
54
Gruenwald, P. 1967. Growth of The Human Foetus. In: A. McLaren (ed.). Advances in Reproductive Physiology. New York: Academic Press. Hamudikuwanda, H., Baloyi, J. J & Ngongoni, N. T. 2008. The effect feeding forage legumes as nitrogen supplement on growth performance of sheep. Trop. Anim. Health Prod. 40:457–462. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemulihbiakan Ternak di Lapangan PT. Gramedia Widiasrana Indonesia. Jakarta. Harian Pikiran Rakyat. 2009. Konsumsi domba dan kambing Jawa Barat. Harian Umum, 19 Mei 2009. Herman, R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil. Bogor. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hoaglund, C. M., V. M. Thomas, M. K. Petersen & R. W. Kott. 1992. Effects of Supplemental Protein Source and Metabolizable Energy Intake on Nutritional Status in Pregnant Ewes. J. Anim. Science. 72: 273-280. Inounu, I. 1991. Production performance of profilic Javanese Sheep. Tesis. Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Inounu, I. 1996. Keragaman produksi ternak profilik. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Judge, M. D., E. D. Arberle, J. C. Forrest., H. B. Hedrick & R. A. Merkei. 1989. Principles of Meat Science. Kendall/Hunt Publishing Co. Iowa. Manggung, R.I.R. 1979. Pendugaan bobot hidup dan bobot karkas Sapi Bali berdasarkan pengukuran morfologi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian. Bogor. Mannetje, Lt. & R. M. Jones. 1992. plant Resources of South East Asia Forages. Porsea. Bogor. Indonesia. Martin, W. B. & I. D. Aitken. 2000. Disease of Sheep. 3rd Ed. Blackwell Publishing. United States. Minson, D. J. 1990. Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, San Diego, CA, pp. 9-149. NRC, 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 6th Revised Ed. National Research Council. National Academy Press. Washington, D. C. Ørskov, E. R. 2001. The Feeding of Ruminants Principle and Practice. 2nd Ed. Chalombe Publishing. United Kingdom. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Ruminan. UI Press, Jakarta. Ramsey, W. S., P. G. Hatfield, J. D. Wallace & G. M. Southward. 1994. Relationships among ewe milk production and ewe and lamb forage intake in Targhee ewes nursing single or twin lambs J. Anim. Sci. 72:811-816. Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta.
55
Sodiq, A. & Z. Abidin. 2008. Sukses Menggemukkan Domba. Agromedia Pustaka. Jakarta. Subandriyo & I. Inounu. 1995. Persaingan antar anak domba prolifik lahir kembar dua pada pemeliharaan pra dan pascalahir. Prosiding Seminar Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. pp: 50-55. Suharyanto, 2008. Daging, aspek produksi, penyembelihan ternak dan penyiapan karkas. http://suharyanto.wordpress.com. [20 Oktober 2009]. Sumaryadi, M. Y. & W. Manalu. 1998. Pemanfaatan beberapa profil hormon dan metabolit darah induk domba selama kebuntingan sebagai prediktor untuk menunjang keberhasilan reproduksi: Prediksi jumlah anak, bobot Lahir, pertumbuhan kelenjar susu dan produksi susu. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. 2: 425-435. Sutana, I. K. 1993. Domba ekor gemuk di Indonesia, potensi dan permasalahannya. Dalam: Usaha ternak domba dan kambing menyongsong era PJPT II. Prosiding sarasehan 13-14 Desember 1992. Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Cabang Bogor dan Himpunan Pengusaha Domba dan Kambing Indonesia (HKDI) Cabang Bogor. Bogor. Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1997. Principles and Procedures of Statistics a Biometrical Approach, 3rd ed. McGraw-Hill, Inc. Singapore. Swartz, Helen A, Ph. D. 1981. Nutritional Effects on Sheep Health. Lincoln University Cooperative Extension. Jefferson City, Misouri. Taylor, R. E. 1984. Beef Production and The Beef Industry. Macmillan Publishing Co. New York. Tillman, E., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo & S. Labdosoeharjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Triwulaningsih, E.J. 1986. Beberapa parameter genetik sifat kuantitatif kambing Peranakan Etawah. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Tropical Forages. 2010. http://www.tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html/Calopogonium_mu cunoides.htm [18 Maret 2010]. Underwood, E. J. 1966. The Mineral Mineral Nutrition of Livestock. The Central Press (Aberdeen) Ltd. Great Brtain. Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol. 2009. Data Cuaca dan Iklim 2009. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Vendramini, J., U. Inyang, B. Sellers, L.E. Sollenberger & M. Silveira. 2008. Mulato (Brachiaria sp). Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu. [18 Oktober 2009].
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Anova Konsumsi Induk Domba Musim Hujan Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
238239,41
34034,20
6,86
2,76
4,28
Blok
2
20589,57
10294,79
Galat
14
69433,37
4959,53
Total
23
328262,36
Lampiran 2. Anova Uji Lanjut Konsumsi Induk Domba Musim Hujan Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
509115,62
72730,80
22,10
2,76
4,28
Blok
2
20589,57
10294,79
3467 vs 1258
1
14786,48
39285,18
7,92
4,60
8,86
467 vs 3
1
1317,17
10813,86
2,18
4,60
8,86
6 vs 47
1
299503091288,71
2030,33
0,41
4,60
8,86
4 vs 7
1
20,34
3805,16
0,77
4,60
8,86
258 vs 1
1
10121,80
597,75
0,12
4,60
8,86
2 vs 58
1
70,86
35,81
0,01
4,60
8,86
5 vs 8
1
20,69
0,31
0,00
4,60
8,86
Galat
14
69433,37
4959,53
Total
23
328262,36
Lampiran 3. Anova Konsumsi Induk Domba Musim Kemarau Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
1297430,89
185347,27
14,97
2,76
4,28
Blok
2
22267,41
11133,71
Galat
14
173367,30
12383,38
Total
23
1493065,60
58
Lampiran 4. Anova Uji Lanjut Konsumsi Induk Domba Musim Kemarau Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
1657276,31
236753,76
19,81
2,76
4,28
Blok
2
20104,85
11133,71
34678 vs 125
1
100686,95
100686,95
8,13
4,60
8,86
5 vs 12
1
166430,87
166430,87
13,44
4,60
8,86
1 vs 2
1
2025,19
2025,19
0,16
4,60
8,86
348 vs 67
1
322524,61
322524,61
26,04
4,60
8,86
3 vs 48
1
1224,21
1224,21
0,10
4,60
8,86
6 vs 7
1
532,91
532,91
0,04
4,60
8,86
4 vs 8
1
7455,71
7455,71
0,60
4,60
8,86
Galat
14
173367,30
Total
23
1493065,60
Lampiran 5. Anova Rataan Konsumsi Induk Domba (Hujan dan Kemarau) Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
587719,36
83959,91
22,88
2,76
4,28
Blok
2
18583,32
9291,66
Galat
14
51379,74
3669,98
Total
23
657682,42
Lampiran 6. Anova Uji Lanjut Rataan Konsumsi Induk Domba (Hujan dan Kemarau) Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
587719,36
83959,91
22,10
2,76
4,28
Blok
2
18583,32
9291,66
34678 vs 125
1
45764,71
45764,71
12,47
4,60
8,86
4 vs 3678
1
4777,38
4777,38
1,30
4,60
8,86
37 vs 68
1
324703306813
324703306813
88475497
4,60
8,86
3 vs 7
1
0,93
0,93
0,00
4,60
8,86
6 sv 8
1
305981,65
305981,65
83,37
4,60
8,86
25 vs 1
1
11459,27
11459,27
3,12
4,60
8,86
2 vs 5
1
2852,09
2852,09
0,78
4,60
8,86
Galat
14
51379,74
3669,98
Total
23
657682,42
59
Lampiran 7. Anova Pertambahan Bobot Badan Induk Domba Sebelum Melahirkan. Sumber Keragaman
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
7
5580,29
797,18
0,62
2,76
0,60
Blok
2
2237,46
1118,73
Galat
14
18055,98
1289,71
Total
23
25873,73
60