PENGANTAR Latar Belakang Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi pakan yang berasal dari jagung, masih banyak yang diimpor dari luar negeri. Kontan (2013) melaporkan bahwa kebutuhan jagung tahun 2013 mencapai 17,3 juta ton. Selanjutnya dilaporkan bahwa impor jagung tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan pabrik pakan sebanyak 10,31 juta ton, untuk kebutuhan industri makanan 6,44 juta ton dan sisanya (0,55 juta ton) untuk memenuhi kebutuhan benih dan konsumsi lokal. Produksi jagung nasional pada tahun 2012 sebesar 19.387.022 ton dan tahun 2013 turun menjadi 18.506.287 ton (Anonimus, 2014).
Walaupun
sebenarnya produksi jagung sudah mencukupi namun pengusaha ternak merasa kesulitan untuk mendapatkan jagung.
Desianto Budi Utomo selaku Sekjen
Gabungan Pengusaha Pakan Ternak (GPMT) menyatakan bahwa industri pakan ternak menaksir kebutuhan impor jagung tahun 2013 antara 2,8 – 3,0 juta ton. Pasalnya, konsumen mengaku sudah kesulitan memperoleh pasokan bahan baku dari dalam negeri (Anonimus, 2013a) Salah satu upaya peningkatan kemandirian industri perunggasan dan sekaligus mengurangi kerentanannya terhadap gejolak moneter, adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber pakan lokal. Haryadi (2013) mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pakan, pemanfaatan limbah pertanian merupakan salah satu alternatifnya, namun nilai gizinya yang rendah dan serat kasar yang tinggi merupakan kendala dalam proses metabolisme ternak unggas.
1
Sehubungan hal tersebut perlu diupayakan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas limbah pertanian sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif yang murah dan bermutu. Bahan pakan lokal yang potensial dikembangkan sebagai pakan unggas antara lain onggok, bungkil inti sawit (BIS ) dan lumpur sawit (LS), tepung kepala udang, bungkil kapuk randu dan bungkil kacang tanah. Oleh karena itu Pemerintah dalam jangka pendek akan mendorong pabrik pakan ternak yang selama ini masih menggunakan bahan baku impor sebagai campuran, untuk menggunakan bahan baku lokal guna menurunkan harga pakan ternak di dalam negeri. Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an, dan saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan perkonomian rakyat dan daerah (Elisabeth dan Ginting, 2003).
Berdasarkan
laporan Biro Pusat Statistik, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 5.456,5 hektar (Anonimus, 2014). Pengolahan buah sawit menghasilkan produk utama minyak sawit serta produk samping seperti tandan kosong sawit (TKS), serat perasan, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit. Sinurat (2003) mengatakan bahwa setiap hektar tanaman sawit dapat menghasilkan 4 ton minyak per tahun, yang diperoleh dari sekitar 16 ton tandan buah segar (TBS). Selanjutnya setiap ton TBS dapat menghasilkan 250 kg minyak sawit (25,0%), 294 kg lumpur sawit (29,4%), 35 kg bungkil kelapa sawit (3,5%), 180 kg serat perasan (18%) dan tandan kosong sawit 241 kg (24,1%). Banyaknya limbah (lumpur sawit, serat perasan, dan tandan kosong) yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit seiring dengan
2
produksi kelapa sawit yang terus meningkat apabila tidak ditangani dengan baik akan sangat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Pemanfaatan bungkil inti sawit dan lumpur sawit untuk pakan ternak ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap bahan pakan impor. Bungkil inti sawit dan lumpur sawit merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit yang mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini dapat mencemari lingkungan sehingga untuk mengatasinya, kandungan air tersebut perlu dikurangi. Produk hasil pemisahan lumpur sawit dari air ini disebut solid. Sinurat (2003) melaporkan hasil penelitiannya bahwa solid mengandung protein kasar sekitar 11 – 15%, lemak kasar 8 – 12%, serat kasar 14 – 20%, serta gross energy (GE) 6 – 10 MJ/kg. Penelitian tentang pemanfaatan bungkil inti sawit dan lumpur sawit untuk pakan ternak ruminansia sudah banyak dilakukan, antara lain
Utomo dan
Widjaja (2004) yang menyatakan bahwa pemberian solid dalam bentuk segar (dicampur air) dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak sapi secara nyata dibanding yang tidak diberi solid. Berdasarkan kandungan gizi seperti protein dan energi, bungkil inti sawit dan lumpur sawit sangat potensial digunakan sebagai sumber energi, namun demikian hingga saat ini belum banyak digunakan untuk pakan ayam. Permasalahannya adalah bahwa bungkil inti sawit dan lumpur sawit tersebut memiliki kandungan nutrien yang rendah terutama serat kasar yang cukup tinggi. Di samping itu ternak unggas tidak mampu mencerna pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi karena tidak memiliki enzim pemecah serat kasar yang cukup. Oleh karena itu diperlukan teknologi yang dapat memecah/mendegradasi
3
serat kasar bungkil inti sawit dan lumpur sawit sehingga dapat diberikan pada ayam. Salah satu upaya untuk untuk memecah serat kasar yang terkandung dalam BIS dan LS adalah melalui fermentasi. Penggunaan mikrobia yang tepat diharapkan dapat mendegradasi serat kasar yang terdapat dalam bungkil inti sawit dan lumpur sawit. Beberapa jenis mikrobia (misalnya Aspergillus sp dan Trichoderma sp) yang bersifat selulolitik diketahui mampu mendegradasi serat kasar, sehingga mikrobia tersebut dapat digunakan untuk fermentasi bungkil inti sawit dan lumpur sawit. Mikrobia selulolitik dapat diperoleh melalui isolasi dari alam, seperti air, dan akar tanaman. Di daerah pedesaan khususnya di wilayah Purbalingga, masyarakat banyak yang membuat kompos dengan menggunakan akar bambu apus lapuk, karena dapat mempercepat proses dekomposisi. Hal ini diduga akar bambu yang sudah lapuk mengandung mikrobia yang mampu menghasilkan enzim selulase, terutama ligno selulase. Mikrobia asal akar bambu apus lapuk akan menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi serat kasar pada bungkil inti sawit dan lumpur sawit, sehingga dapat menyediakan energi bagi ayam yang pada akhirnya dapat mengurangi penggunaan jagung yang selama ini masih impor. Upaya untuk membuktikan latar belakang ini, maka penelitian dirancang dalam tiga tahap, yaitu: Tahap 1. Isolasi mikrobia yang berasal dari akar bambu apus yang sudah lapuk. Tahap 2. Fermentasi BIS dan LS dengan isolat yang paling unggul dari penelitian Tahap 1, dan Tahap 3. mengaplikasikan bungkil inti sawit dan lumpur sawit yang sudah difermentasi dengan isolat unggul tersebut untuk pakan ayam broiler. Selanjutnya penelitian Tahap 1, 2, dan 3 jika selesai
4
dan berhasil, maka akan didapat nilai tambah : 1) mendapat pakan yang relatif murah, 2) bungkil inti dan lumpur kelapa sawit dapat dimanfaatkan sehingga tidak mencemari lingkungan, dan 3) mengurangi ketergantungan terhadap jagung sebagai sumber energi utama bagi ayam broiler yang selama ini masih impor. Bungkil inti sawit dan lumpur sawit umumnya mempunyai banyak kelemahan apabila digunakan sebagai bahan pakan khususnya untuk pakan ayam, karena kandungan nutrien yang rendah terutama serat kasar yang tinggi, tetapi di lain pihak ketersediaannya cukup melimpah dan merupakan aset untuk dapat menggantikan bahan-bahan pakan yang selama ini masih impor. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai nutrien melalui fermentasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Mikrobia apa yang terdapat dalam akar bambu yang mampu meningkatkan kandungan nutrien khususnya energi pada BIS dan LS. b. Bagaimana tingkat kecernaan nutrien BIS dan LS yang sudah difermentasi. c. Bagaimana kandungan energi pakan berbasis BIS dan LS yang sudah difermentasi.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan mikrobia selulolitik unggul asal akar bambu. 2. Untuk meningkatkan kualitas BIS dan LS. 3. Mencari sumber energi pakan ayam alternatif yang murah tanpa menggangu performan ayam broiler.
5
Kegunaan Penelitian 1. Bungkil inti sawit (BIS) dan lumpur sawit (LS) diharapkan dapat digunakan sebagai sumber energi pakan alternatif bagi ayam broiler. 2. Menyediakan pakan yang berkualitas dan harganya lebih murah, serta terjamin ketersediaannya.
6