BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Semakin meningkatnya kebutuhan akan sumber energi dan bersamaan dengan keterbatasan akan sumber energi tersebut, terutama sumber energi minyak bumi, memaksa untuk mencari dan mengembangkan sumber energi baru. Salah satu sumber energi alternatif yang baru dan berpotensial untuk memenuhi kebutuhan energi umat manusia adalah energi nuklir. Walaupun sangat berpotensi untuk menjadi sumber energi baru, tapi nuklir juga berpotensi menimbulkan bahaya yang besar. Bahkan menimbulkan suatu permasalahan karena keberadaan energi nuklir masih dipertanyakan keamanannya. Di satu sisi, banyak yang beranggapan energi nuklir menimbulkan efek positif dan bermanfaat, di sisi lain banyak juga yang beranggapan bahwa energi nuklir berbahaya dan merugikan. Dewasa ini, mindset sebagian besar manusia mengenai isu nuklir tidak jauh dari bayangan buruk dan menakutkan, apalagi bila mengingat kejadian mengerikan yang diakibatkan oleh kerusakan energi tersebut. Misalnya musibah meledaknya reaktor nuklir di Chernobyl, krisis nuklir di Fukushima dan juga bayangan mengerikan mengenai bom atom di Hiroshima Nagasaki pada masa Perang Dunia II, dan tentunya kejadian-kejadian tersebut menelan banyak korban baik kehilangan nyawa maupun cacat karena radiasi. Oleh karena kejadiankejadian buruk tersebut, isu nuklir justru menjadi bayangan negatif, terutama bagi sejumlah orang yang meyakini bahwa pengembangan nuklir adalah hal yang tidak
1
tepat karena pada akhirnya akan merugikan banyak pihak. Padahal apabila energi nuklir dimanfaatkan secara bijaksana, bertanggung jawab dan terkendali, energi nuklir tersebut bisa menjadi alternatif energi atas masalah kelangkaan energi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup. Energi yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir
terkendali
di
dalam
reaktor
nuklir
dapat
dimanfaatkan
untuk
membangkitkan listrik, instalasi pembangkitan energi listrik semacam ini dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).1 Pada jaman modern saat ini, sudah banyak negara maju yang mengembangkan energi nuklir baik untuk memenuhi kebutuhan listrik di negaranya maupun untuk memperkuat pertahanan militer negara mereka. Dari berbagai negara maju tersebut, Rusia merupakan salah satu negara yang memiliki teknologi nuklir yang besar dan canggih. Pada tahun 2010 lalu pemerintah Rusia telah mencanangkan skema pengembangan nuklir. Dalam program jangka panjang hingga tahun 2050 mendatang, Rusia akan ada pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Apabila melihat kemampuan dan kapasitas kekuatan teknologi Rusia sejak masih berada pada kejayaan Uni Soviet, tidak diragukan lagi kalau Rusia mampu mengembangan nuklir secara besar-besaran, canggih, dan modern. Menurut penelusuran pustaka tim riset Global Future Institute, sejak tahun 1954 Rusia sudah mampu membangun Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir dan mampu menghasilkan 5 mega watt energi dari reaktor Obninsk, bahkan sejak 1
Energi Nuklir, Pengertian dan Pemanfaatannya
http://netsains.com/2009/04/energi-nuklir-pengertian-dan-pemanfaatannya/ diakses 5 Oktober 2011
2
tahun 1963-1964, ada dua pembangkit tenaga nuklir yang berskala komersial lumayan tinggi, yang lebih menakjubkan lagi, pada tahun 1980 Rusia tercatat sudah memiliki 25 reaktor bertenaga nuklir yang layak operasi. 2 Namun pengembangan industri nuklir Rusia sempat mengalami masa buruk yang disebabkan oleh tragedi Chernobyl. Sehingga dari tahun 1986 hingga tahun 1990an, Rusia hanya memiliki satu reaktor pembangkit listrik yang memiliki 7 unit. Kontruksi nuklir Rusia kembali bangkit pada tahun 2000 dengan diluncurkannya satu unit jenis Rostov-1 atau yang lebih dikenal dengan Volgodonk-1. Kebangkitan teknologi nuklir tersebut disusul dengan munculnya produk lanjutan pada 2004 yakni jenis Kalinin-3 dan pada 2010 yakni Rostov-2. Kekuatan teknologi yang besar itulah membuat Rusia semakin percaya diri dengan pengembangan nuklirnya. Ditambah lagi Rusia merupakan pemasok teknologi nuklir untuk memenuhi kebutuhan akan pembangkit listrik tenaga nuklir ke berberapa negara. Berbicara mengenai Rusia sebagai pemasok teknologi nuklir, berarti bicara pula tentang RAO United Energy System (UES) yang mengontrol pasokan pembangkit listrik tenaga nuklir Rusia.3 Sebagai negara nuklir yang memiliki proyek nuklir yang besar, Rusia juga memiliki pandangan tersendiri terhadap negara lain yang juga mengembangkan nuklir. Seperti negara adidaya Amerika Serikat, yang memiliki prinsip dalam 2
Skema Energi Nuklir Rusia, Iran dan ASEAN
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=32583:skema-energinuklir-rusia-iran-dan-asean&catid=16:cakrawala-indonesia&Itemid=59 diakses pada 5 Oktober 2011 3
Ibid
3
mengembangkan energi nuklirnya, yakni lebih baik menyerang daripada diserang. Hal itu menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak mau sedikitpun diserang oleh negara lain, sehingga mereka mengembangkan nuklir tidak hanya sebagai pembangkit listrik namun juga sebagai senjata untuk memperkuat militernya. Sehingga secara otomatis negara lain akan takut terhadap Amerika Serikat karena negara adidaya tersebut jauh lebih menonjol dalam hal pertahanan militernya yang canggih, modern dan dilengkapi dengan senjata nuklir yang kuat. Oleh karena itu, negara lain akan sulit untuk melawan Amerika Serikat dengan pertahanan militer \DQJ ELDVD VDMD NDUHQD $PHULND 6HULNDW WHODK PHPSHUVLDSNDQ ³WDPHQJ´ XQWXN menghadapi musuh. Sebagai musuh ideologi semasa Perang Dingin, Rusia sebenarnya tidak menyukai tindakan Amerika Serikat yang cenderung egois dengan mengembangkan program nuklir dan melarang negara lain untuk mengembangkannya seperti kasus Korea Utara dan Iran. Rusia geram karena secara tidak langsung dirinya tersaingi oleh negara adidaya tersebut yang juga membuat Rusia merasa tidak percaya diri terhadap kekuatannya. Namun Rusia tidak meluapkan kekesalahnya terhadap musuh lamanya itu dengan cara keras, sebaliknya Rusia menunjukkan sikap tenang namun menyulut kemarahan Amerika Serikan. Dengan cara, Rusia terus mengembangkan dan memperkuat persenjataannya dan juga memberikan dukungan terhadap negara yang mendapat kecaman Amerika Serikat. Memberi perhatian dan berhubungan baik dengan negara yang dibenci oleh Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa Rusia menentang program nuklir yang masive oleh Amerika Serikat dan juga tidak mentoleransi negara lain untuk memiliki kemampuan tersebut.
4
Lain halnya dengan Korea Utara, mitra Rusia yang sama-sama memiliki ideologi komunis satu itu, pada awalnya mendapat dukungan penuh dari Rusia terhadap pengembangan nuklirnya. Walaupun telah jelas terbukti bahwa pengembangan nuklir Korea Utara bukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik negaranya, melainkan untuk memperkuat pertahanan militernya. Namun pada akhirnya Rusia mengumumkan bahwa akan bersikap netral terhadap kasus tersebut. Hal ini dikarenakan Rusia tidak ingin kehilangan aliansi bersama Korea Utara yang sudah terjalin sejak Perang Dunia. Di samping itu, Rusia juga dipastikan akan kalah suara dengan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya dan International Atomic Energy Agency (IAEA) yang
menyatakan
bahwa
proyek
nuklir
Korea
Utara
adalah
untuk
mengembangkan senjata bukan untuk pengembangan yang bertujuan damai. Bisa dibilang bahwa Rusia cenderung mencari sisi aman dengan pernyataan netralnya tersebut. Padahal kenyataannya, Rusia mendukung Korea Utara secara diamdiam, agar tidak terlihat jelas oleh mata internasional dan hubungan kemitraan mereka tetap terjalin dengan baik. Israel, yang merupakan salah satu negara sekutu kuat Amerika Serikat yang pengembangan nuklirnya dibantu oleh Inggris dan Perancis. Israel memiliki banyak senjata nuklir sebagai pertahanan militernya. Ditambah dengan bantuan dan pasokan dari sekutu-sekutunya dan bantuan dari Amerika Serikat. Sehingga Israel merasa percaya diri dengan kemampuan militernya dan mampu menyerang negara manapun yang dianggap musuh olehnya dan sekutunya. Rusia tentu saja tidak mendukung proyek nuklir Israel tersebut karena, Israel merupakan sekutu
5
kuat Amerika Serikat. Di samping itu, Israel juga tidak segan untuk menyerang negara yang bertentangan dengannya dan sekutunya seperti Iran. Sedangkan Iran merupakan sekutu kuat Rusia. Namun suara Rusia sebagai negara kuat dan salah satu anggota Dewan Keamanan tidak akan sekuat apabila dibanding dengan Amerika, Inggris dan Perancis yang membantu Israel. Rusia memiliki langkah yang berbeda dalam mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap program nuklir Israel tersebut, Rusia mengungkapkan bahwa akan mengirim rudal S-300 ke Iran. S-300 merupakan salah satu senjata nuklir yang sangat canggih dan modern. Isu tersebut membuat Israel ketakutan apabila transaksi tersebut direalisasikan oleh Rusia dan Iran, keberadaan Israel terancam karena Iran memiliki pertahanan yang sangat kuat. Salah satu negara yang memiliki isu nuklir paling kontroversial adalah Iran. Perdebatan yang pelik mengenai proyek nuklir Iran belum selesai hingga saat ini. Iran menyatakan bahwa negaranya mengembangkan program nuklir untuk kebutuhan damai dan sesuai dengan aturan internasional. Namun Amerika Serikat berpikiran berbeda, Amerika Serikat berasumsi bahwa program nuklir Iran adalah untuk meningkatkan kekuatan militer Iran bukan untuk kebutuhan pembangkit listrik di negara tersebut. Bersamaan dengan hal tersebut, Rusia dan Cina secara mengejutkan menyatakan bahwa akan mendukung proyek nuklir Iran karena menganggap proyek tersebut aman. Bahkan Rusia dan Iran sepakat terhadap perjanjian 10 taun pembangunan reaktor di Bushehr dengan bantuan perusahaan Rosatom dari Rusia.
6
Kerjasama mengenai pembangunan reactor nuklir tersebut juga dibuktikan melalui pernyataan Galia Golan (a leading Middle East specialist for Israel) berikut: In August 1992 Russia agreed to build a nuclear power plant. A contract was signed in June 1993 but not implemented. The Iranians wanted the completion of the first of 2 reactors at Bushehr. The contruction of which had been begun by the Germans in the 1970s but halted with the revolution and damaged in the Iran-Iraq war.4 Rusia memiliki kemitraan yang kuat dengan Iran, kerjasama antara kedua negara tersebut telah terjalin di berbagai bidang. Iran merupakan negara ketiga terbesar setelah Korea Utara dan Suriyah sebagai negara tujuan Rusia dalam memasok senjata. Adanya kemitraan yang telah terjalin lama tersebut membuat Rusia mendukung program nuklir Iran dan menolak bujukan Amerika Serikat untuk memberi suara pada sanksi yang dijatukkan kepada Iran. Menurut Rusia, program pengembangan nuklir tersebut merupakan hak Iran untuk memenuhi kebutuhan energi negaranya. Karena pada dasarnya suatu negara harus mampu memenuhi kebutuhan warga negaranya agar mencapai kesejahteraan. Sehingga untuk
memenuhi
kebutuhan
warga
negaranya
tersebut,
maka
Iran
mengembangkan program nuklir sebagai pembangkit listrik. Selama ini belum ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa Iran mengembangkan nuklir untuk membuat senjata pemusnah masal dan memperkuat militernya. Iran juga telah menandatangani non-poliferation treaty (NPT) sehingga Iran dengan berani menyatakan bahwa negaranya mengembangkan 4
Galia Golan, Russia and Iran; A Strategic Partnership?,London, United Kingdom: Royal
Institute of International Affairs, 1998, hal. 3
7
nuklir dengan cara aman dan tidak melanggar aturan karena proyek nuklir tersebut merupakan hak Iran. Oleh karena itu Iran bersikeras bahwa proyek nuklir miliknya bertujuan damai. Hal tersebut membuat Amerika Serikat geram dan membujuk semua anggota Dewan Keamanan PBB termasuk Rusia untuk menyetujui sanksi, namun Rusia dan Cina memiliki keputusan yang sama yakni mendukung program nuklir Iran. Pada pertengahan tahun 2010, Rusia membuat pernyataan yang mengejutkan, terutama saat hal tersebut terdengar oleh Iran. Presiden Rusia Dmitry Medvedev pada bulan Juni 2010 menyatakan bahwa Rusia mendukung sanksi yang dijatuhkan terhadap Iran atas proyek nuklirnya tersebut dan membatalkan pengiriman rudal S-300 serta menunda pembangunan reaktor Bushehr. Kejadian tersebut menyulut kemarahan Presiden Ahmadinejad karena merasa dihianati oleh sekutunya tersebut. Kekecewaan Presiden Ahmadinejad tersebut ditunjukkan melalui pidatonya sebagai berikut: ³%HEHUDSD RUDQJ GDODP SHQJDUXK 6HWDQ $PHULND 6HULNDW EHUSLNLU bahwa bila mereka dapat membatalkan beberapa perjanjian pertahanan secara sepihak dan gelap, yang telah mereka sepakati dengan kita, maka mereka akan membuat Iran terluka. Mereka pergi begitu saja dan µPHQMXDO¶NLWDNHSDGDPXVXKGHQJDQPHPEDWDONDQNHVHSDNDWDQ\DQJWHODK mereka lakukan. Saya ingin mengatakan kepada mereka sebagai perwakilan dari Anda bahwa kita menganggap perjanjian tersebut masih berlaku dan mereka harus memenuhinya. Jika tidak, Iran akan menuntut hak terhadap kehilangan sebagai akibatnya dan denda dari perjanjian LWX´5
5
Ahmadinejad Kecam Rusia
http://metrotvnews.com/metromain/newscat/internasional/2010/11/03/33172/AhmadinejadKecam-Rusia diakses 25 September 2011
8
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kebijakan Rusia pada masa pemerintahan Presiden Dmitry Medvedev terhadap program nuklir Iran, serta faktor-faktor yang mendasari pembuatan kebijakan Presiden Medvedev tersebut.
B. Rumusan Masalah Dilihat dari penjelasan di latar belakang maka dapat ditarik suatu pokok permasalahan sebagai berikut : Mengapa Presiden Dmitry Medvedev mengevaluasi arah kebijakan luar negeri Rusia terhadap pengembangan program nuklir Iran?
C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis arah politik luar negeri Rusia serta faktor-faktor apa saja dibalik pembuatan keputusan terhadap isu program nuklir Iran pada masa Dmitry Medvedev menjabat sebagai presiden Rusia, dengan pengaruh dari kecaman negara Barat yakni Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, serta laporan IAEA mengenai program nuklir Iran. Dan hubungan kemitraan antara Iran dengan Rusia. Selain itu tulisan ini juga dibuat sebagai syarat kelulusan program Strata I di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
9
D. Kerangka Dasar Teori Teori merupakan suatu pandangan atau persepsi mengenai suatu hal. Teori digunakan untuk menjelaskan dan juga sebagai dasar prediksi dan analisis dari objek penelitian yang akan diteliti. Teori merupakan penggabungan serangkaian konsep menjadi suatu penjelasan yang menunjukkan bagaimana konsep-konsep itu secara logis saling berhubungan.6 Pengkajian terhadap kebijakan luar negeri dapat diajukan berdasarkan pemahaman tindakan dan perilaku individu negarawan. Kajian ini merupakan pendekatan yang berdasarkan pada ungkapan kata peULODNX ³1HJDUD´ GLSDQGDQJ dalam arti bahwa para pembuat kebijakan sedang menetapkan tujuan, memilih berbagai sebab tindakan dan mendaya gunakan kapabilitas nasional untuk PHQFDSDLWXMXDQSROLWLNOXDUQHJHULDWDVQDPD³QHJDUD´ Upaya untuk memahami dan mempermudah dalam menganalisis pokok permasalahan, maka penulis menggunakan Teori Kebijakan Luar Negeri yang dikemukakan oleh William D. Coplin, teori ini akan menjelaskan mengenai proses pembuatan keputusan luar negeri yang akan diambil oleh suatu negara yang dilatar belakangi oleh beberapa faktor penting. Dan Tipologi Strategi Politik Luar Negeri oleh John Tovell dalam buku Foreign Policy in Perspective, konsep strategi ini akan menjelaskan strategi yang diambil oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan.
6
0RKWDU 0DV¶RHG Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES,
1990 , Hal 185.
10
1. Teori Kebijakan Luar Negeri - William D. Coplin Definisi Politik Luar Negeri menurut William D. Coplin adalah: ³7REHLQWHUHVWHGLQZK\VWDWHVEHKDYHVDVWKH\GRLQWHUHVWDUHDZHKDYH to be interested in why their leader make the decision. However, it would be mistake to think that foreign policy makers act in vacuum. On the contrary, any given foreign policy act may be viewed as the result at three board categories, of considerations affecting the foreign policy decision makers state. The first is domestic policy of the state. The second is ecomony and military capability of the state. The third is the international context the particular position in which his state finds it self specially in UHODWLRQWRRWKHUVWDWHLQV\VWHP´7
Bagan: Proses Pengambilan Keputusan Luar Negeri Oleh: William D. Coplin
Domestic Politics
Decision Maker
Foreign Policy
International context
Economic military conditions
7
William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Bandung: CV. Sinar
Baru, 1992, Hal. 30.
11
Berdasarkan gambar di atas, Coplin menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang saling berhubungan yang dapat mempengaruhi setiap pengambilan keputusan luar negeri suatu negara, yakni: Pertama, kondisi politik dalam negeri, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun budaya yang mendasari tingkah laku aktor dalam mengambil kebijakan luar negeri. Kedua, kondisi ekonomi dan militer yang merupakan kekuatan negara sebagai balance terhadap kekuatan negara lain. Perekonomian mengindikasikan tingkat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, serta kemampuan militer yang secara tidak langsung dapat menjadi pertahanan terhadap serangan dari negara lain. Ketiga, konteks Internasional yaitu posisi khusus suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain dalam sistem hubungan internasional, juga sebagai produk dari kebijakan luar negeri oleh negara-negara lain baik pada masa lalu, sekarang maupun masa yang akan datang, baik yang mungkin atau telah diketahui terlebih dahulu. Bila teori Kebijakan Luar Negeri milik William D. Coplin diaplikasikan pada kebijakan luar negeri Rusia terhadap program nuklir Iran, berarti kebijakan tersebut memiliki 3 faktor yang melatar belakangi sang decision maker yakni Presiden Dmitry Medvedev dalam mengevaluasi kebijakannya, yang awalnya mendukung program nuklir Iran. Namun, kemudian berubah menjadi mendukung sanksi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB terhadap Program nuklir Iran dalam yang termuat di dalam Resolusi 1929. Pada awal pemeritahan Presiden Medvedev, Rusia memberi dukungan penuh terhadap proyek nuklir di Iran. Demi kemitraan yang telah terjalin lama dengan Iran. Rusia juga tidak semata-mata hanya memberi dukungan, namun juga
12
memperhatikan aspek keuntungan yang dapat diterima oleh Rusia. Kebijakan ini merupakan kebijakan lanjutan dari pemerintahan sebelumnya yakni pada era pemerintahan Vladimir Putin. Kemitraan Rusia dengan Iran sedikit banyak membantu Rusia dalam mengatasi masalah keuangan. Pada saat Uni Soviet mengalami collapse paska perang dingin, menyebabkan Rusia secara perekonomian juga mengalami keterpurukan. Sehingga untuk memulihkan sistem perekonomiannya, Rusia menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai Negara, yang salah satunya adalah Iran. Kedua negara memiliki hubungan erat dalam bidang ekonomi, politik maupun militer. Dalam bidang kerjasama militer, Rusia memenuhi kebutuhan senjata ke Iran. Iran merupakan pembeli senjata terbanyak ketiga setelah Suriaah dan Korea Utara. Kerja sama ini meningkat pada saat Vladimir Putin menjabat sebagai Presiden Rusia. Kebutuhan Iran akan teknologi dan persenjataan yang modern, membuat Rusia menjadi pemasok persenjataan tetap ke Iran. Hal tersebut secara tidak langsung membantu mengangkat perekonomian Rusia. Dukungan Rusia terhadap Iran menimbulkan kontroversi, terlebih lagi bagi Amerika Serikat yang mengecam keras terhadap program nuklir Iran tersebut. Hingga melaporkan kepada Dewan Keamanan PBB dan menjatuhkan berbagai sanksi terhadap Iran. Secara tidak langsung dukungan Rusia tersebut menunjukkan indikasi bahwa Rusia berani menghadapi Amerika Serikat dengan cara menentangnya dalam kasus nuklir Iran. Rusia ingin mengimbangi kekuatan hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah. Ditambah Rusia ingin mengembalikan kekuatannya sebagai super power.
13
Namun, seiring bergantinya seorang pemimpin negara, kebijakan Rusia mulai berubah. Dari penundaan yang terus menerus terhadap pembangunan reaktor nuklir di Bushehr, pembatalan pengiriman rudal S-300 ke Iran, hingga yang paling mengejutkan Rusia memberi dukungan terhadap resolusi yang berisi sanksi terhadap Iran atas program nuklirnya. Presiden Medvedev memiliki basis dukungan yang kuat dari para pejabat maupun warga negara Rusia terhadap kebijakan akan dukungan terhadap Resolusi 1929. Begitu pula kondisi ekonomi dan militer Rusia yang justru mencapai kestabilan karena penolakan terhadap program nuklir Iran. Utamanya adalah sikap internasional saat ini yang ditunjukkan oleh negara-negara di dunia yang semakin lama semakin mengecam tindakan pengembangan program nuklir di Iran.
2. Konsep Strategi (Tipologi Strategi Politik Luar Negeri) - John Tovell Membuat rancangan strategi politik luar negeri biasanya tidak berdasarkan pada pertimbangan moral, keyakinan, dan hal-hal emosional. Perancangan strategi juga merupakan tindakan yang penuh dengan perhitungan bukan merupakan tindakan yang mencari untung-untungan. Seperti yang didefinisikan oleh John Tovell, strategi adalah serangkaian langkah-langkah (moves) atau keputusankeputusan yang direncanakan sebelumnya dalam suatu situasi kompetitif dimana hasil akhirnya tidak semata-mata bersifat untung-untungan³any predesigned set
14
of moves, or series of decisions, in a competitive situation where the outcome is not governed purely by chance´).8 Tipologi strategi politik luar negeri yang dibuat oleh John Lovell berusaha untuk menggambarkan tipe strategi yang diambil oleh suatu Negara bisa dijelaskan dengan menelaah penilaian para pembuat keputusan tentang strategi lawan dan perkiraan mereka tentang kemampuan sendiri. Tipologi ini menyediakan empat dimensi, yang setelah dipertemukan menghasilkan 4 tipe strategi : konfrontatif, memimpin (leadership), akomodatif, dan konkordan (persetujuan). Gambar: Tipologi Strategi Politik Luar Negeri Oleh: Jonh Lovell
Bila diaplikasikan dengan kebijakan Rusia terhadap isu nuklir Iran adalah diasumsikan bahwa kebijakan Rusia pada pemerintahan Presiden Medvedev
8
John Lovell, Foreign Policy in Perspective 0RFKWDU0DV¶RHGIlmu Hubungan InternasionalDisiplin dan Metodologi, LPP3ES, 1990 hal 90)
15
memiliki kemampuan yang lebih lemah daripada kekuatan lawan, dimana lawan adalah sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap program nuklir Iran. Karena kekuatan Rusia lebih lemah dan kekuatan sanksi PBB yang didukung oleh Amerika Serikat, sekutunya dan beberapa negara lainnya bersifat mengancam. Sehingga strategi yang diambil oleh Rusia adalah akomodasi. Yakni lebih mengalah memberi dukungan terhadap sanksi daripada melawan yang kemungkinan besar akan membahayakan pemerintahan Rusia.
E. Hipotesa Berdasarkan latar belakang masalah serta kerangka dasar teori yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat diperoleh suatu hipotesa atau jawaban sementara untuk menjawab permasalahan yang ada, yaitu:
Presiden Dmitry Medvedev mengevaluasi arah kebijakan luar negeri rusia terhadap pengembanagn program nuklir Iran karena adanya tiga faktor utama berikut: 1. Besarnya dukungan terhadap rezim Presiden Dmitry Medvedev dalam mendukung Resolusi 1929. 2. Ekonomi dan militer Rusia yang stabil karena penolakan terhadap program nuklir Iran. 3. Kuatnya tekanan terhadap Rusia oleh dunia Internasional, baik dari aktor Negara maupun aktor non-Negara.
16
F. Metode Penelitian Dalam melakukan pencarian data, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
yang
bersifat
deskriptif
dan
analitis.
Model
ini
berusaha
menggambarkan kenyataan dan situasi berdasarkan kenyataan yang ada dan didukung oleh teori-teori serta konsep-konsep yang digunakan dengan tujuan dapat menggambarkan penelitian secara tepat sifat, keadaan dan gejala tertentu. Selain itu penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan dalam pengumpulan data melalui literatur yang tersedia baik berupa buku, artikel, surat kabar maupun internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
G. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian ini dilakukan ketika Rusia dalam masa pemerintahan Presiden Dmitry Medvedev, yakni dimulai sejak tahun 2008 hingga 2012 dalam membuat suatu kebijakan terhadap pengembangan program nuklir di Iran, serta berpedoman terhadap Resolusi 1929 Dewan Keamanan PBB dan laporan-laporan IAEA terhadap program nuklir Iran. Serta berdasarkan pada perbandingan kebijakan antara pada era pemerintahan Dmitry Medvedev dengan era pemerintahan sebelumnya yakni Vladimir Putin.
H. Sistematika Penulisan BAB I: Berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kerangka Dasar Teori,
17
Hipotesa, Metode Penelitian, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan yang akan memberikan gambaran mengenai topik bahasan. BAB II: Bab ini akan menjelaskan mengenai sejarah perkembangan program nuklir Iran. Menjelaskan pula tentang dukungan Rusia di era Vladimir Putin terhadap program nuklir Iran. Serta gambaran umum hubungan Rusia dengan Iran di berbagai aspek kerjasama. BAB III: Bab ini menjelaskan mengenai perubahan kebijakan luar negeri Rusia di era Presiden Rusia Dmitry Medvedev terhadap pengembangan program nuklir Iran. Serta perbandingan strategi politik internasional antara Vladimir Putin dan Dmitry Medvedev terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB nomer 1929 yang memuat sanksi terhadap Iran atas program nuklirnya. BAB IV: Bab ini menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mendasari Rusia dalam membuat suatu kebijakan terhadap program nuklir Iran, baik faktor politik dalam negeri, faktor ekonomi dan militer serta faktor internasional. BAB V: Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari pokok permasalahan yang telah di bahas dari BAB I hingga BAB IV
18