KETAHANAN PAKAN UNGGAS DI TENGAH KRISIS PANGAN
WAHYU WIDODO
DISAMPAIKAN DALAM ACARA PENGUKUHAN GURU BESAR DALAM BIDANG ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK UNGGAS
FAKULTAS PETERNAKAN-PERIKANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2008
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................i 1. Kondisi Aktual Bahan Pakan Unggas ...................................................................... 1 2. Problem Bahan Pakan Unggas ................................................................................. 6 2.1. Problem Bahan Pakan Bekatul .......................................................................... 8 2.2. Problem Bahan Pakan Minyak Goreng ............................................................. 9 2.3. Problem Bahan Pakan Jagung.......................................................................... 10 2.4. Problem Bahan Pakan Bungkil Kedelai........................................................... 12 2.5. Problem Bahan Pakan Tepung Ikan................................................................. 16 3. Peran Berbagai Pihak dalam Pemecahan Masalah Bahan Pakan Unggas ............. 20 3.1. Peran Pemerintah ............................................................................................. 21 3.2. Peran Pelaku Usaha ......................................................................................... 26 3.3. Peran Masyarakat............................................................................................. 29 2.4. Peran Akademisi .............................................................................................. 31
i
1. Kondisi Aktual Bahan Pakan Unggas Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam industri perunggasan. Melonjaknya harga pakan setelah krisis moneter di Indonesia sejak tahun 1997 membuat industri perunggasan mengalami degradasi. Bahan pakan unggas yang harus diimpor merupakan penyebab terpuruknya usaha perunggasan, karena biaya pakan ini mencapai 70 persen untuk ayam pedaging dan 90 persen untuk ayam petelur. Kondisi krisis pakan yang belum pulih sepenuhnya ditambah dengan adanya dua krisis dunia yang lain yaitu krisis energi minyak dari fosil dan krisis pangan yang saling berkelindan menyebabkan pakan unggas semakin terpuruk. Krisis energi dunia diawali pada permulaan 2008 yang ditandai dengan lonjakan harga sampai menembus harga 135 dollar per barrel pada bulan Mei 2008 dan diprediksi akan menembus 200 dollar per barrel pada akhir tahun 2008. Krisis energi minyak ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh banyak negara terutama negara maju. Sejak beberapa tahun yang lalu sudah dikaji dan diimplementasikan perubahan rezim minyak fosil menuju energi alternatif biofuel berbahan baku sumber nabati terutama menggunakan biji-bijian. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengantisipasi program ini dengan membuat undang-undang (UU). Pada Desember 2006, kebijakan pengembangan bahan bakar nabati di AS baru sebatas draft, tetapi empat bulan kemudian sudah menjadi UU. Disamping itu, Uni Eropa membelokkan arah kebijakan energi akibat desakan adanya perubahan iklim global (global warming) dengan lebih mengutamakan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. Departemen pertanian Amerika (USDA, United States Department of Agriculture) memperkirakan bahwa kebutuhan bioetanol Amerika akan terus meningkat sampai tahun 2010. Target produksi biofuel pada tahun 2010 menurut rencana sebesar 35 miliar galon. Untuk mendukung ini lebih dari 30 persen produksi jagung Amerika akan disedot ke industri biofuel.
AS pada awalnya merupakan
eksportir jagung nomor dua dunia, tetapi sekarang net ekspor hampir nol. Dari hasil riset, 10 persen kebutuhan jagung untuk industri etanol di AS adalah sebanding 1
dengan 100 persen kebutuhan di Indonesia. Berdasarkan data yang ada, produksi jagung AS mencapai 250 juta ton per tahun. Serapan ke industri etanol sebanyak 82 juta - 90 juta ton per tahun. Hal tersebut menyebabkan komoditas jagung semakin menjadi primadona di pasar global. Saat ini dunia membutuhkan persediaan jagung yang melimpah sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol. Kondisi sekarang terjadi peningkatan produksi jagung di seluruh dunia hanya 3 - 10 persen setiap tahunnya. Sementara tingkat konsumsi melebihi dua kali lipat. Kondisi ini sudah berlangsung dalam lima tahun terakhir seiring dengan peningkatan produksi bioetanol di beberapa negara. Perubahan kebijakan energi dunia ini menyebabkan adanya perubahan struktur perdagangan biji-bijian dan mengakibatkan peningkatan permintaan bijibijian di dunia. Krisis pangan mulai terjadi karena terjadi perebutan biji-bijian antara untuk konsumsi manusia dan biofuel. Persaingan kebutuhan bahan bakar nabati dan kebutuhan pangan akan terus terjadi, sampai suatu saat terjadi intervensi, atau tercapai keseimbangan yang wajar. Krisis mulai terlihat pada tahun 1999/2000 yaitu saat persediaan biji-bijian mulai menurun. Dalam kurun waktu sembilan tahun dunia mengalami defisit persediaan pangan enam kali yaitu tahun 2000, 2002, 2003, 2004, 2006 dan 2007. Tahun 2008 juga diprediksi defisit persediaan pangan semakin parah. Krisis pangan ini diperparah dengan perubahan musim hujan dan kemarau yang ekstrem di sejumlah negara pengekspor pangan
terutama beras, seperti
Thailand, Vietnam, Pakistan, India, Cina dan Myanmar yang mulai membatasi dan bahkan menghentikan ekspornya karena produksi padi menurun dan memprioritaskan memenuhi kebutuhan pangan untuk rakyatnya. Beberapa akar masalah krisis tersebut menyebabkan krisis lanjutan yang semakin parah dan beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi dan politik di berbagai negara. Muara krisis tersebut adalah maraknya kekacauan dan pemogokan di berbagai negara, seperti kekerasan di Pantai Gading, huru-hara di Kamerun dengan korban 24 orang meninggal dunia dan yang paling fatal adalah kejatuhan pemerintahan di Haiti. Food and Agricultural Organization (FAO)
2
menyebut Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara di dunia yang mengalami krisis pangan. Indonesia juga mengalami situasi yang kurang menguntungkan akibat krisis energi minyak dan krisis pangan global.
Krisis energi minyak menyebabkan
pemerintah menaikkan harga tiga jenis energi minyak yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat, yaitu premium, solar dan minyak tanah. Pemerintah mengatasi krisis pangan dengan beberapa cara seperti meningkatkan ketahanan pangan oleh BULOG, stabilisasi harga pangan dan subsidi pangan untuk rakyat miskin. Rakyat sendiri berjuang untuk bertahan hidup dari krisis pangan dengan memperketat pengeluaran non pangan karena berkurangnya daya beli, diversifikasi pangan pada pangan non beras (jagung, gaplek, sagu, umbi-umbian) atau sisa beras (nasi aking), menurunkan kuantitas (dari 3 kali makan sehari menjadi 1 - 2 kali makan sehari termasuk “terpaksa” berpuasa) dan kualitas pangan (dari nasi menjadi bubur, dari beras menjadi be-ras atau bekasnya beras) yang dikonsumsi. Upaya tersebut menimbulkan efek langsung pada bidang yang lain dan salah satunya adalah bidang peternakan yang berujung pada krisis pakan. Krisis pakan terjadi karena pangan yang seharusnya teralokasikan untuk pakan menjadi tidak tersedia, sehingga selama terjadi krisis pangan maka akan selalu terjadi krisis pakan. Kebutuhan pakan ternak terutama pakan unggas mencapai tingkat tertinggi pada tahun 1996, yakni 6,5 juta ton, selanjutnya menurun menjadi 4,8 juta ton pada tahun 1997 dan terus menurun menjadi 2 juta ton pada tahun 1998, akibat krisis moneter dan daya beli masyarakat yang melemah. Keadaan ekonomi yang sedikit membaik pada tahun 1999 menyebabkan kebutuhan pakan meningkat kembali menjadi 3,5 juta ton. Peningkatan kebutuhan pakan tersebut diikuti dengan peningkatan impor bahan pakan utama, seperti bungkil kedelai, jagung, dan tepung ikan. Perkembangan industri perunggasan yang makin membaik menuntut ketersediaan bahan baku pakan yang meningkat. Perkiraan kebutuhan pakan unggas yang mencapai 4 - 6 juta ton dapat dilihat pada Tabel 1. Apabila diasumsikan pakan 3
ayam petelur dan pedaging tersusun dari 52 persen jagung, maka diperlukan 2 - 3 juta ton jagung per tahun. Sementara itu untuk bungkil kedelai dibutuhkan 1 - 1,5 juta ton/tahun apabila tercampur 25 persen dalam pakan. Apabila pakan tersusun dari tepung ikan 4 persen maka jumlah tepung ikan yang harus disediakan mencapai 160.000 - 240.000 ton per tahun. Untuk dapat memenuhi permintaan tersebut, maka potensi dan sumber pakan lokal perlu mendapat perhatian dengan memperhatikan azas efisiensi usaha serta aspek teknis dan ekonomis. Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan Bahan Pakan Unggas pada Berbagai Tingkat Produksi Bahan pakan
Komposisi (%) Jagung 52 Bekatul 12 Bungkil kedelai 25 Tepung ikan 4 Minyak 2 Fosfat 1 Lain-lain 4 Total 100 Keterangan: hasil pengolahan
Perkiraan kebutuhan pada tingkat produksi (juta ton) 2.080 2.340 2.600 2.860 3.120 480 540 600 660 720 1.000 1.125 1.250 1.375 1.500 160 180 200 220 240 80 90 100 110 120 40 45 50 55 60 160 180 200 220 240 4.000 4.500 5.000 5.500 6.000
Upaya pemenuhan kebutuhan bahan pakan sumber protein baik nabati maupun hewani masih merupakan masalah utama. Bungkil kedelai sebagai salah satu komponen utama pakan unggas belum dapat diproduksi secara optimal di Indonesia karena kedelai sebagai sumber bungkil kedelai merupakan tanaman subtropis. Selain itu, produksi kedelai masih diutamakan untuk konsumsi manusia dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah masih mengimpor kedelai. Demikian juga dengan kebutuhan tepung ikan sebagai campuran pakan, masih dipenuhi dengan cara mengimpor. Substitusi bungkil kedelai dengan bahan lain seperti kacang gude, kecipir, koro, dan protein sel tunggal telah banyak dilakukan. Namun hasilnya dihadapkan pada ketersediaan yang tidak berkelanjutan, kualitas tidak konsisten, serta teknologi budi daya dan pengolahan cukup mahal. Penggunaan bahan pakan non konvensional,
4
seperti tepung darah, bungkil kacang tanah, ampas tahu, dan bungkil biji kapuk masih menghadapi kendala yang sama. Berbeda dengan bahan pakan sumber protein, bahan pakan sumber energi seperti jagung, dedak, ubikayu, dan minyak dalam jangka pendek dapat dipenuhi dari bahan pakan lokal. Permasalahannya adalah kontinuitas ketersediaan masih diragukan, terutama pada musim kemarau, disamping kualitas produk yang bervariasi. Penanganan pasca panen seperti pengeringan dan penyimpanan yang belum ditangani secara serius merupakan kunci utama kelangkaan jagung pada musim kemarau, sekaligus penyebab bervariasinya kualitas. Berbagai permasalahan di atas baik permasalahan global maupun dalam negeri menyebabkan harga pakan unggas tidak menentu, tergantung dari ketersediaan pakan. Kondisi tersebut tidak menguntungkan sekitar 2,5 juta peternak pada saat ini. Mereka terbebani kenaikan harga pakan ayam pedaging dari 2.700 rupiah menjadi 3.300 rupiah per kg dan dari 1.700 rupiah menjadi 2.200 rupiah per kg untuk pakan ayam petelur. Kenaikan pakan unggas ini ditanggung oleh para peternak sehingga mau tak mau harus meningkatkan harga jual ayam. Harga ayam yang biasanya naik saat mendekati hari-hari raya nasional dan keagamaan, sekarang terus naik tanpa melihat ada tidaknya hari raya. Harga daging ayam dan telur yang relatif lebih murah dibandingkan dengan daging ikan atau sapi menyebabkan ruang untuk menaikkan harga daging ayam masih ada, kendalanya adalah ketika dorongan harga ke atas tidak diimbangi oleh kenaikan daya beli konsumen sehingga dapat menyebabkan penurunan volume penjualan. Selain itu masyarakat dapat beralih ke sumber protein lain yang relatif lebih murah seperti sumber protein nabati. Dengan demikian akan semakin menyulitkan peternak untuk menaikkan harga guna mempertahankan margin keuntungan, padahal tekanan untuk menaikkan harga terjadi karena lonjakan harga pakan ternak sangat tinggi. Posisi peternak pun menjadi terjepit.
Kesulitan
perekonomian yang menimpa dunia usaha di Indonesia termasuk peternak unggas seperti di atas dapat tergambarkan secara makro dengan pertumbuhan produk
5
domestik bruto (PDB) sebesar 6,3 persen, akan tetapi dalam kurun waktu yang sama inflasi tumbuh 6,59 persen pada tahun 2007.
2. Problem Bahan Pakan Unggas Terdapat tiga faktor utama yang harus diperhitungkan dalam menyusun pakan yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas.
Ke tiga hal tersebut adalah
ketersediaan bahan pakan unggas di daerah peternakan tersebut, harga bahan pakan unggas, dan kandungan zat-zat makanan bahan pakan unggas. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi lima komponen bahan pakan unggas yang menjadi penyusun pakan terbesar, yaitu bekatul, minyak goreng dan jagung sebagai sumber energi pakan, bungkil kedelai dan tepung ikan sebagai sumber protein pakan. Ketersediaan
suatu
bahan
pakan
merupakan
permasalahan
yang
mempengaruhi pemilihan dan harga bahan pakan tertentu. Ketersediaan menyangkut ada tidaknya potensi bahan pakan tersebut di suatu daerah, kondisi musim yang mempengaruhi penanaman suatu bahan makanan, tersedia dalam jumlah banyak tetapi kurang atau tidak dapat digunakan dan atau kalau digunakan harus diolah dahulu sehingga harga menjadi mahal serta tingkat persaingan penggunaan dengan manusia. Setiap daerah mempunyai potensi suatu bahan pakan tertentu pula. Pada daerah yang relatif subur, kebutuhan bahan pakan lokal untuk unggas umumnya tercukupi.
Di daerah Jawa, potensi bahan pakan jagung dan bekatul umumnya
melimpah. Sehingga variasi harga tidak terlalu besar dari waktu ke waktu. Berbeda dengan daerah kering di luar Jawa seperti di Nusa Tenggara yang potensi bahan pakan lokalnya kurang. Pasokan yang didapat umumnya dari daerah lain, sehingga variasi harga umumnya tajam. Pada daerah kering kebutuhan bahan makanan unggas yang dominan dapat diganti dengan potensi lokal.
Seperti jagung dapat diganti
dengan sorghum yang mempunyai karakteristik zat makanan hampir sama. Di daerah utara Jawa yang relatif lebih kering tanaman sorghum mudah didapatkan tetapi belum dikembangkan secara besar-besaran. 6
Kondisi musim mempengaruhi ketersediaan suatu bahan pakan.
Bekatul
umumnya mudah didapatkan pada saat musim panen padi pada musim penghujan. Sehingga harga bekatul pada saat tersebut umumnya relatif lebih murah dibandingkan pada saat musim kemarau. Hal seperti ini juga dialami juga oleh jagung. Harga bahan pakan merupakan pertimbangan utama bagi peternak untuk menyusun pakan. Semakin murah harga suatu bahan pakan, maka akan semakin menarik bagi peternak.
Harga bahan pakan unggas bervariasi bergantung pada
beberapa hal, antara lain jenis bahan pakan, kebijakan pemerintah dalam bidang pakan ternak, impor bahan pakan, kondisi panen dan tingkat ketersediaan bahan pakan tersebut pada suatu daerah. Kebijakan pemerintah selama ini kurang memprioritaskan dunia peternakan termasuk kebijakan tentang pakan ternak, sehingga harga pakan tidak pernah stabil pada suatu imbangan harga tertentu. Berbeda dengan harga pangan yang diusahakan oleh pemerintah untuk selalu stabil pada harga tertentu, seperti beras dan gula yang diatur dalam bentuk harga dasar sehingga memungkinkan petani untuk dapat menikmati keuntungan dari hasil usahanya.
Jagung sebagai bahan pakan utama
unggas sampai saat ini belum tersentuh regulasi pemerintah untuk penstabilan harga. Hal ini berakibat pada fluktuasi harga jagung dari tahun ke tahun. Pada saat panen dan penawaran melimpah, harga jagung akan turun sampai dibawah harga bekatul sebagai sesama sumber energi pakan dengan catatan komposisi energi jagung lebih tinggi pada berat yang sama. Tetapi pada saat kekurangan produksi jagung, harga jagung akan mendekati harga bungkil kacang kedelai dan tepung ikan. Padahal secara umum harga bahan pakan sumber energi jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pakan sumber protein. Kandungan zat-zat makanan pada masing-masing bahan pakan berbeda-beda. Setiap bahan pakan mempunyai kelebihan pada suatu zat makanan tertentu tetapi mempunyai kekurangan pada zat makanan yang lain. Hal tersebut menyebabkan adanya pengelompokan suatu bahan pakan berdasarkan kandungan zat-zat makanan. Bahan pakan sumber energi antara lain adalah jagung, sorghum, minyak dan bekatul. 7
Bahan pakan sumber protein antara lain tepung ikan, tepung daging, tepung darah, tepung udang, bungkil kacang tanah, bungkil kacang kedelai, bungkil biji karet, bungkil kelapa dan lain-lain. Umumnya setiap bahan pakan mempunyai kandungan vitamin yang cukup. Untuk menambah kebutuhan vitamin dapat dilakukan dengan memberi vitamin sintetis buatan pabrik, misalnya premiks. Bahan pakan sumber mineral umumnya mudah didapatkan, seperti tepung batu, kapur, tepung tulang dan lain-lain. Masalah kandungan zat makanan ini menyebabkan secara umum unggas tidak dapat mengandalkan hanya satu bahan pakan saja, karena tidak ada satupun bahan pakan yang dapat memenuhi kebutuhan zat makanan unggas secara mandiri. Oleh sebab itu selalu terjadi pencampuran berbagai macam bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan zat makanan unggas. Jagung sebagai bahan pakan utama mempunyai energi yang tinggi (3200 kkal/kg) tapi tingkat protein yang rendah (9%). Bungkil kedelai dan tepung ikan mempunyai protein yang tinggi (45% dan 60%). Kelebihan jagung terletak pada konsistensi zat-zat makanannya yang jarang mengalami perubahan, sehingga tidak menyulitkan apabila digunakan untuk menyusun pakan. Bungkil kedelai dan tepung ikan mempunyai problem kandungan zat-zat makanan yang bervariasi. Hal tersebut juga tergantung pada asal bahan pakan, proses produksi dan lama penyimpanan.
2.1. Problem Bahan Pakan Bekatul Selama bertahun-tahun bekatul merupakan satu-satunya bahan pakan yang relatif kurang menghadapi masalah dari sisi ketersediaan karena produksi dalam negeri yang melimpah. Produksi beras nasional yang tinggi, mencapai angka 37 juta ton per tahun pada tahun 2007 membuat produk ikutannya, antara lain bekatul juga tinggi.
Bekatul umumnya menyumbang sekitar 10% dari total produksi beras
sehingga dapat diperkirakan produksi bekatul mencapai 3,7 juta ton per tahun. Potensi produksi bekatul tersebut sudah sangat berlebihan sebagai bahan pakan ternak. 8
Harga bekatul relatif lebih murah dibanding dengan sumber energi lain. Pada saat ini harga bekatul di pasaran sekitar 1.200 – 1.500 rupiah per kg. Kelebihan bekatul adalah kandungan protein yang dimiliki relatif agak tinggi (sekitar 12 – 13%). Tetapi kelemahan bekatul adalah kandungan energi relatif agak rendah, yaitu sekitar 2.800 kkal/kg dan mempunyai sifat bulky (amba atau mudah mengenyangkan).
2.2. Problem Bahan Pakan Minyak Goreng Ketersediaan minyak goreng sebagai bahan pakan sumber energi dapat tercukupi oleh pasokan dalam negeri. Selama beberapa tahun terakhir ini secara berturut-turut terjadi kenaikan produksi minyak goreng nasional. Pada tahun 2004 produksi crude palm oil (CPO) masih 12.38 juta ton, sementara pada tahun 2005 sebesar 13.97 juta ton, namun masih dibawah produksi CPO Malaysia. Pada tahun 2006 mulai terjadi peningkatan produksi CPO sedikit di atas produksi Malaysia sebesar 16,05 juta ton. Semakin tahun Indonesia semakin meninggalkan produksi CPO Malaysia dengan menghasilkan produksi sebesar 16,70 juta ton pada tahun 2007 dan diperkirakan sebesar 18,60 juta ton pada tahun 2008. Peningkatan produksi CPO tersebut sebagian besar ditujukan untuk ekspor. Sebanyak lebih dari 12 juta ton CPO dialokasikan untuk ekspor pada tahun 2007. Sisanya sebesar 4,5 juta ton digunakan untuk kebutuhan dalam negeri yang terbagi 1,5 juta ton untuk produk hilir seperti kosmetik, produk konsumsi dan biodisel. Sedangkan 3 juta ton diolah menjadi minyak goreng untuk keperluan pangan dan pakan. Harga bahan pakan unggas secara ekonomis sangat mempengaruhi harga pakan tersebut. Umumnya bahan pakan sumber energi seperti jagung, sorghum dan padi-padian lainnya berharga relatif murah kecuali minyak goreng. Harga minyak goreng relatif mahal karena murni sebagai sumber energi tanpa ada sumber zat makanan lainnya dan buatan pabrik. Kandungan energi minyak berkisar antara 8400 – 8600 kkal/kg bergantung dari bahan dan kualitas minyak tersebut.
Minyak
dianjurkan untuk diberikan pada unggas dalam jumlah yang relatif sedikit. Campuran 9
minyak goreng pada pakan maksimal di bawah 5%. Harga minyak menjadi semakin mahal akibat beberapa kondisi global. Krisis energi membuat harga minyak bumi mahal, hal ini menyebabkan biaya ekonomi untuk produk lainnya menjadi tinggi pula termasuk minyak goreng. Akibat krisis energi, negara-negara maju dipelopori oleh Brazil, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalihkan sumber energi dari minyak bumi ke biofuel yang berasal dari minyak nabati. Adanya kesadaran untuk menjaga bumi dari global warming menyebabkan keseriusan banyak negara mengalihkan sumber energi pada energi terbarukan. Energi terbarukan umumnya diambil dari produk pangan manusia sehingga terjadi persaingan antara konsusmi pangan dan biofuel. Disamping itu terjadi pula pengalihan lahan dari penanaman untuk pangan menjadi penanaman untuk biofuel. Selanjutnya terjadi pula alih fungsi pada sebagian produk dari minyak untuk konsumsi menjadi minyak untuk biofuel.
Beberapa
kondisi tersebut menyebabkan terjadinya lonjakan harga minyak goreng.
Harga
minyak goreng pada tahun 2006 masih berkisar pada 500 dollar AS per ton, namun melonjak tajam satu tahun kemudian pada Desember 2007 menjadi 1.000 dollar AS per ton. Adapun harga lokal minyak goreng naik dari 5.124 rupiah per kg pada Desember 2006 menjadi 8.000 rupiah pada Desember 2007. Minyak goreng naik lagi pada bulan April 2008 menjadi 13.000 – 14.000 rupiah per kg.
2.3. Problem Bahan Pakan Jagung Tingkat persaingan penggunaan bahan pakan unggas dengan manusia terjadi pada bahan pakan utama, yaitu jagung. Selama ini jagung merupakan salah satu makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia.
Akibatnya tingkat ketersediaan
untuk unggas yang seharusnya tinggi, menjadi rendah karena digunakan oleh manusia. Hal ini akan lebih diperparah lagi pada musim kemarau pada saat tingkat ketersediaan riil jagung rendah karena penanaman jagung sudah berkurang. Jagung pada dasarnya merupakan bahan pangan sumber karbohidrat kedua sesudah beras bagi penduduk Indonesia. Disamping itu, jagung juga digunakan untuk pakan ternak unggas dan menjadi bahan baku industri makanan lainnya. Sejalan 10
dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan tingkat pengetahuannya, konsumsi protein hewani khususnya daging dan telur terlihat juga terus meningkat. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan pakan ternak yang kemudian meningkatkan kebutuhan jagung, karena jagung merupakan 52% dari komponen pakan ternak unggas. Produksi jagung tahun 2002 adalah 9,65 juta ton pipilan kering. Produksi jagung tahun 2003 sebesar 10,91 juta ton pipilan kering. Produksi tersebut mengalami kenaikan sekitar 13,01% (1,26 juta ton pipilan kering) dibanding tahun 2002. Produksi jagung tahun 2004 diperkirakan sebesar 11,36 juta ton pipilan kering. Produksi jagung seluruh Indonesia mencapai sekitar 12,4 juta ton pada tahun 2005, dan Jawa Timur menyumbang 4,4, juta ton. Namun demikian produksi jagung tersebut belum memenuhi kebutuhan jagung nasional sehingga harus impor. Data tahun 2005 menunjukkan impor jagung untuk pangan dan pakan mencapai sekitar 43 ribu ton senilai 13,2 juta dollar. Setelah bertahun-tahun mengimpor jagung, pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan dapat mengekspor jagung sebesar 800.000 ton, volume yang sama dengan impor tahun 2007. Ekspor memungkinkan dilakukan mengingat produksi jagung nasional meningkat pada tahun 2007 sebanyak 13,28 juta ton atau naik sebesar 14,4 persen atau 11,37 juta ton pada tahun 2006.
Pada tahun 2008
diperkirakan produksi jagung meningkat menjadi 13,88 juta ton. Namun pemerintah menargetkan produksi jagung tahun 2008 antara 15,90 – 16,50 juta ton dengan luas tanam 4,25 juta hektar dan produktivitas per hektar 4,00 – 4,23 ton. Departemen Pertanian RI, menyatakan saat ini dari 27 juta hektar lahan yang cocok untuk ditanami jagung, baru 3,7 juta hektar yang ditanami sehingga potensi bagi peningkatan produksi jagung di masa mendatang cukup besar. Tahun 2007 konsumsi jagung untuk pangan hanya sekitar 3,5 juta ton, sedangkan tahun 2008 diperkirakan dapat mencapai 4,1 juta ton, sedangkan kebutuhan untuk konsumsi industri mencapai 2,9 juta ton dan pabrik pakan sekitar 5,6 juta ton.
11
Ketersediaan jagung yang melimpah ini bukan berarti menjadi berkah bagi para peternak. Peternak terpaksa harus membeli jagung dengan harga lebih mahal karena pedagang lebih suka mengekspor jagung akibat harga jagung di dunia internasional lebih menarik. Pada akhir 2005, harga spot jagung di bursa komoditas Brasil masih senilai 7,44 dollar AS per bag seberat 60 kilogram. Harga ini lalu meningkat tajam ke 11,38 dollar AS per bag atau naik 52,96% pada akhir tahun 2006 dan masih terus menanjak ke 18,06 dollar AS per bag (naik 58,70%) di akhir tahun 2007. Tahun 2006 harga jagung dalam negeri 950 rupiah per kg di tingkat petani. Dalam waktu relatif singkat, harga jagung dunia naik dari 135 dollar AS per ton menjadi 270 dollar AS per ton pada posisi Oktober 2007. Akibatnya, harga jagung lokal terdongkrak menjadi 2.450 rupiah per kg. Harga jagung internasional pada bulan Januari 2008 naik 26 persen dari periode yang sama pada tahun 2007. Di dalam negeri, harga jagung naik dari 1.000 rupiah per kg pada awal tahun 2007 menjadi 2.500 –2.800 rupiah per kg pada saat ini.
2.4. Problem Bahan Pakan Bungkil Kedelai Bahan pakan sumber protein umumnya mahal. Bahan makanan ini sampai sekarang sebagian besar (90%) masih di impor dari luar negeri. Bahan pakan sumber protein sebagai penyusun utama pakan unggas adalah bungkil-bungkilan dan produk hewani.
Bungkil-bungkilan yang utama adalah bungkil kedelai, bungkil kacang
tanah, bungkil kelapa, dan bungkil wijen. Bungkil kedelai merupakan sumber utama bahan pakan unggas dari keluarga bungkil-bungkilan. Bungkil kedelai mempunyai kandungan protein berkisar 40 – 45%. Problem utama bungkil kedelai adalah tingkat ketersediaan yang masih bergantung pada impor. Problem tersebut menyebabkan harga bungkil kedelai mengikuti kurs mata uang asing terutama dollar karena sebagian besar harus diimpor. Pada masa krisis ekonomi di Indonesia ketersediaan bungkil kedelai menjadi sangat langka sehingga menyebabkan banyak industri pakan ternak dan peternak gulung tikar.
12
Bungkil kedelai sebagai salah satu bahan pakan unggas sumber protein utama tidak dihasilkan di Indonesia karena tidak terdapat industri pembuatan minyak kedelai.
Padahal produksi kedelai relatif besar di Indonesia meskipun terjadi
penurunan produksi dari tahun ke tahun. Produksi kedelai nasional selama kurun waktu 6 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar 5,2%. Laju penurunan produksi tersebut antara lain disebabkan oleh produktifitas lahan yang masih rendah, berkurangnya luas areal panen, kegagalan panen karena iklim yang tidak cocok untuk pertumbuhan, juga karena belum dikuasainya teknologi budidaya maju oleh petani. Produksi kedelai umumnya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lain seperti pembuatan tempe, tahu dan kecap, sementara tidak ada yang digunakan untuk pembuatan minyak kedelai dan hasil sampingannya yaitu bungkil kacang kedelai. Tingkat konsumsi kedelai per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 1994-1996 telah menunjukkan angka rata-rata 13,41 kg, mengalami peningkatan sebesar 9,98 kg bila dibandingkan pada rata-rata Pelita 1. Secara keseluruhan peningkatan konsumsi per kapita kedelai dari Pelita I hingga Pelita VI sebesar 25,51%. Peningkatan kebutuhan akan kedelai ini dapat dikaitkan dengan peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe serta untuk pasokan industri kecap. Untuk memenuhi kekurangan kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih harus terus melakukan impor rata-rata sebesar 40% dari kebutuhan kedelai nasional meningkat dari tahun ke tahun. Puncak impor tertinggi sebelum krisis ekonomi tercatat untuk tahun 1996 sebesar 743 ribu ton, suatu peningkatan impor sebesar 50% dari tahun sebelumnya (496 ribu ton). Secara keseluruhan selama kurun waktu tersebut kecenderungan impor kedelai nasional menunjukkan peningkatan sebesar 8,59%. Pada tahun 2002, Indonesia mengimpor kedelai sebesar 1,36 juta ton, tahun 2003 sekitar 1,2 juta ton, dan tahun 2004 naik menjadi 1,35 juta ton, sama dengan jumlah impor tahun 2005. Luas lahan penanaman kedelai tahun 1992 yang mencapai 1,665 juta hektar, berkurang drastis menjadi 464 ribu hektare di tahun 2007. Produktifitas panen juga meningkat sangat lamban sekitar 1% setiap tahun, tidak sebanding dengan penurunan luas area panen yang mencapai 5% per tahun. 13
Pertengahan 2006 memang sudah ada sinyal terhadap kelangkaan kedelai. Produksi kedelai di tahun 2007 menurun drastis, yaitu sebesar 139 ribu ton atau turun 18,6%. Hal itu disebabkan turunnya luas panen kedelai sebesar 116 ribu hektar, atau sekitar 20% dari total luas areal tanam. Bencana banjir menyebabkan potensi kehilangan produksi di areal puso seluas 526 hektar dengan potensi nilai kerugiannya sebesar Rp 3 milliar. Diperkirakan produksi kedelai dalam negeri baru mencapai 1 juta ton pada tahun 2009. Padahal rata-rata kebutuhan kedelai mencapai 2 juta ton per tahun. Kelangkaan tersebut dipicu juga oleh kebijakan negara AS sebagai produsen kedelai terbesar di dunia memutuskan mengalihkan lahannya untuk produksi jagung. Jumlah panen kedelai di AS tahun 2007 hanya 70,36 juta ton, lebih rendah 16,4 juta ton dari tahun sebelumnya. Kondisi produksi kedelai tersebut diatas menyebabkan kebutuhan bungkil kacang kedelai menjadi semakin sulit. Produksi kedelai baik dari produksi lokal maupun import terpaksa harus lebih mengutamakan mencukupi kebutuhan manusia dibandingkan dengan kebutuhan unggas. Hal tersebut diatas yang menyebabkan sampai saat ini Indonesia masih sangat menggantungkan diri dari import untuk mencukupi ketersediaan bungkil kacang kedelai.
Sebagian besar import bungkil
kacang kedelai berasal dari Amerika Serikat, Cina, India dan Brasil. Terjadi perubahan konsumsi minyak goreng di dunia, yaitu apabila dahulu lebih banyak berasal dari jagung, kedelai dan kelapa, maka sekarang serbuan minyak kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia menjadi dilema tersendiri bagi negaranegara produsen minyak goreng lainnya terutama negara produsen minyak kedelai. Industri minyak kedelai menurun dan menimbulkan efek samping produksi bungkil kedelai menurun pula. Hal ini menimbulkan kekurangan stok bungkil kedelai dunia, sehingga harga bungkil kedelai menjadi naik tajam. Kedelai sebagai bahan baku bungkil kedelai merupakan komponen yang masih perlu dicermati potensinya. Pada dekade lalu, kedelai oleh petani disebut sebagai emas hijau, padanan untuk minyak bumi yang disebut sebagai emas hitam dikarenakan tingkat harga yang sangat menarik. Namun akibat kebijakan yang tidak 14
konsisten menyebabkan harga kedelai jatuh sehingga petani menjadi tidak berminat untuk menanam. Sampai saat ini Indonesia masih setia mengimpor kedelai untuk mencukupi kebutuhan pangan.
Krisis pangan menyebabkan harga kedelai juga
melonjak sangat tajam. Harga kedelai dunia saat ini mengalami kenaikan cukup tinggi hingga mencapai 100% dari 300 dollar AS per ton jadi 600 dollar AS per ton. Harga kedelai impor yang masuk ke pelabuhan di Indonesia naik dari 322,5 dollar AS per ton di awal tahun 2007 menjadi 515 dollar AS per ton di akhir tahun. Di Indonesia pada awal Januari 2007, harga eceran kedelai telah mencapai 3.450 rupiah per kg. Awal November 2007, harga kedelai mencapai 5.450 rupiah per kg. Akhir Desember 2007, harga komoditi ini menjadi 6.950 rupiah per kg. Bahkan, awal Januari 2008, harga kedelai menjadi 7.250 rupiah per kg. Apabila pada kuartal keempat tahun 2007 harga kedelai masih berkisar 3.500 rupiah per kg maka pada kuartal satu tahun 2008 melonjak menjadi 7.500 rupiah per kg. Hanya kurang dari empat bulan harga kedelai naik lebih dari 100%. Devisa Indonesia yang hilang dari impor kedelai sekitar Rp 3 triliun per tahun. Sedangkan impor bungkil kedelai telah mencapai kurang lebih 1,3 juta ton per tahun, menciutkan devisa negara sekitar Rp 2 triliun per tahun. Sementara itu, harga spot bungkil kedelai pada akhir 2005 di bursa komoditas Brasil berada di kisaran 226,65 dollar AS per ton sebelum naik tipis 3,57 persen menjadi 234,75 dollar AS per ton pada akhir tahun 2006. Kemudian melonjak 65,08 persen menjadi 387,53 dollar AS per ton pada akhir tahun 2007. Di Indonesia harga bungkil kedelai per Oktober 2007 naik 50,6 persen atau Rp 4.293/kg dari harga November 2006 sebesar Rp 2.850/kg. Pada saat ini harga bungkil kedelai di tingkat lokal sudah meningkat lagi menjadi 5.000 – 5.500 rupiah per kg. Gejolak harga yang terjadi pada kedelai di pasar dunia baru permulaan saja karena sesungguhnya persoalan yang sama akan menimpa komoditas lain. Setelah harga kedelai melonjak akan disusul tepung terigu, selanjutnya kenaikan harga bungkil kedelai sebagai bahan pakan ternak. Padahal, industri pakan ternak memproyeksikan kebutuhan bungkil kedelai 2008 sebanyak 1,6 juta ton. Naiknya 15
harga bungkil kedelai akan mendorong kenaikan harga pakan ternak, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga daging ayam dan telur, menyusul komoditas jagung yang juga akan terus naik. Naiknya harga jagung memperparah industri peternakan dan pada akhirnya peternakan rakyat menghadapi tantangan berat.
2.5. Problem Bahan Pakan Tepung Ikan Sumber protein lain bagi unggas adalah produk asal hewan. Beberapa contoh adalah tepung ikan, tepung daging, tepung udang dan tepung darah. Tepung ikan merupakan sumber protein yang memiliki kandungan protein paling tinggi berkisar 60%. Masalah tepung ikan mirip dengan bungkil kacang kedelai, yaitu ketersediaan bergantung pada impor dan harganya relatif lebih mahal dibanding sumber protein lainnya. Tepung ikan dianjurkan untuk diberikan sebagai campuran pakan tidak melebihi 10% pada masa awal pemeliharaan unggas.
Apabila unggas akan
dipasarkan maka dianjurkan penggunaan tepung ikan dikurangi sampai maksimal 3%. Permasalahan lain yang dihadapi oleh industri tepung ikan adalah kelangkaan (keterbatasan) bahan baku untuk berproduksi secara optimal sesuai dengan kapasitas produksi yang dimiliki. Permasalahan bahan baku bukan saja pada kuantitas tapi juga pada kualitas yang cenderung kurang mendapat perhatian. Penggunaan ikan sisa (rucah) dan ikan rusak menyebabkan tepung ikan yang dihasilkan memiliki kualitas relatif rendah sehingga sulit memenuhi persyaratan bahan baku industri pakan. Bahan baku tepung ikan lokal kebanyakan berasal dari ikan sisa dan sisa ikan. Produksi tepung ikan nasional memang diarahkan untuk memanfaatkan bahan sisa dari industri ikan karena bahan ikan lebih diperuntukkan untuk konsumsi manusia. Hal
ini
diperkuat
dengan
dikeluarkannya
SK
Menteri
Pertanian
No
428/Mentan/KI/1973 tertanggal 4 Oktober 1973 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia yang isinya adalah "tidak membenarkan penggunaan secara langsung ikan untuk bahan tepung ikan dan lokasi pabrik tepung ikan harus berdekatan dengan industri bahan sampingan". Hal ini menyebabkan industri tepung ikan kurang berkembang. Sebagian besar industri tepung ikan berada di Jawa Timur 16
yaitu Muncar, Banyuwangi, dan Jembrana, Bali. Di Jawa Timur terdapat sekitar 20 usaha industri tepung ikan dan sedikitnya 10 usaha sejenis di Bali. Industri tepung ikan juga dapat ditemukan di luar sentra produksi seperti di Batang, Cilacap, Cirebon, Subang; sedangkan di luar pulau Jawa dapat ditemukan di daerah Bitung, Sulawesi Utara. Di Sumatera Utara terdapat 7 usaha tepung ikan skala kecil menengah lndustri tepung ikan juga memanfaatkan sisa-sisa bagian ikan dari industri pengalengan ikan selama kondisi dan tingkat kesegarannya masih baik. Hal ini berarti sebenarnya masih ada peluang untuk mendapatkan bahan baku dari jenis ikan yang tidak/kurang diminati untuk dikonsumsi (maksimal) maupun dari sisa industri pengolahan ikan (pengalengan) yang kondisinya masih cukup baik dan masih dapat digunakan untuk diolah menjadi tepung ikan. Ikan hasil tangkap samping (trash fish) yang dihasilkan dari penggunaan pukat udang atau penangkapan tuna merupakan contoh jenis ikan yang kurang digunakan untuk keperluan konsumsi dan dapat dimanfaatkan untuk bahan baku tepung ikan. Akan tetapi, tampaknya sejauh ini belum ditemukan mekanisme yang efektif dan efisien untuk melakukan pengumpulan bahan-bahan baku tersebut. Dengan mengandalkan pada pola produksi dan pemanfaatan bahan baku yang berlangsung selarna ini, industri tepung ikan akan tetap sulit untuk berkembang. Masalah teknik produksi pada processing tepung ikan terutama oleh industri tepung ikan kecil dan menengah (UKM) masih cenderung bersifat tradisional. Penggunaan peralatan yang sederhana terutama untuk pengeringan dan pemasakan ikan yang kurang memperhatikan aspek higienis menyebabkan produksi tepung ikan yang dihasilkan berkadar protein rendah (terjadi penurunan kadar protein dalam pengeringan dan pemasakan). Industri tepung ikan didukung oleh perusahaanperusahaan pengolah berskala industri menggunakan mesin kapasitas besar dan pengolah berskala tradisional, yang menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas kecil. Industri tepung ikan akan dapat bersaing apabila dapat menerapkan persyaratan kualitas bahan baku secara ketat.
17
Paradigma pengembangan usaha tepung ikan yang tidak sesuai dengan prinsip industri terjadi dalam dua aspek. Pertama, kurang melihat industri tepung ikan sebagaimana industri lainnya yang membutuhkan bahan baku secara kontinyu. Kedua, cenderung tidak memperhatikan bagaimana jenis dan kualitas ikan yang baik untuk tepung ikan. Ada industri tepung ikan yang berjalan dengan hanya 60% dari kapasitas terpasangnya, bahkan ada yang kurang dari 25% dari kapasitas terpasangnya. Industri tepung ikan kurang diminati oleh sebagian pengusaha karena sifatnya yang non human consumption; akibatnya, hasil tangkapan lebih banyak dialihkan untuk penggunaan langsung (direct consumption) dan untuk pengolahan yang bersifat human consumption. Pada sisi produksi, terlihat dari data 15 tahun terakhir porsi bahan baku yang didapatkan oleh industri ini tidak lebih dari 1,5%. Sementara itu, dari sisi pasar, pangsa produk tepung ikan juga tidak lebih dari 2%, terendah dibanding
bentuk-bentuk
pengolahan
ikan
lainnya.
Salah
satu
penyebab
termarjinalisasikannya industri tepung ikan adalah tidak bersifat fleksibel dari sisi skala usaha, penggunaan bahan baku dan teknis produksi. Belum ada upaya untuk mempertahankan kecukupan dan kontinuitas bahan baku sebagai akibat kecilnya alokasi hasil penangkapan ikan yang akan digunakan untuk industri tepung ikan. Hal ini antara lain disebabkan oleh belum terealisasinya upaya pemberdayaan secara menyeluruh terhadap struktur armada penangkapan ikan secara nasional. Belum ada kebijakan yang bersifat deregulatif di bidang penangkapan
ikan
yang
memungkinkan
peningkatan
akses
permodalan
(pengembangan lembaga keuangan mikro di tingkat nelayan) dan teknologi penangkapan (peningkatan efektivitas alat tangkap), serta penciptaan kondisi kondusif lain di sub sektor penangkapan. Dalam hal ini, termasuk pula belum terbentuknya pusat-pusat, sarana pengumpulan, pengangkutan dan distribusi bahan baku. Sebagai sumber protein, ikan merupakan komponen penting dalam pakan unggas. Tepung ikan digunakan dalam formulasi pakan dengan tingkat pemakaian 18
berkisar 15% pada pakan ikan/udang dan 5% pada pakan unggas. Apabila produksi pakan unggas mencapai 5 juta ton per tahun dan pakan ikan/udang sebesar 2 juta ton, maka sedikitnya dibutuhkan 0,25 - 0,75 juta ton tepung ikan setiap tahunnya. Dari kebutuhan tersebut, 70% masih harus diimpor dari berbagai negara seperti Peru dan Chili. Impor tepung ikan Indonesia tahun 2000 menurut data BPS adalah 87.275 ton dengan nilai 39,483 juta dollar AS. Apabila kondisi ekonomi membaik, diramalkan produksi pakan akan meningkat mencapai 5,75 juta ton dan kebutuhan tepung ikan otomatis akan meningkat. Produksi perikanan Indonesia secara formal sebesar empat juta ton tetapi hal ini belum memperhitungkan tangkap untuk subsisten, tangkap yang tidak dilaporkan (unreported), by catch (yang terbuang), dan tangkap akibat illegal fishing. Jika keempat faktor tersebut diperhitungkan, produksi perikanan Indonesia sudah melewati titik yang diklaim sebagai titik potensi maksimum lestari (6,4 juta ton). Artinya, dalam situasi seperti itu, potensi economic rent yang mungkin dipicu akan sangat minimal kalau tidak disebut negatif. Kondisi tersebut menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan potensi perikanan laut Indonesia yang memiliki wilayah perikanan yang cukup luas (termasuk ZEEI) mencapai 5,8 juta km2. Thailand, dengan luas wilayah perairan yang jauh lebih kecil dari Indonesia temyata mampu menjadi produsen tepung ikan nomor 6 di dunia dengan tingkat produksi pada tahun 1998 mencapai 1,3 juta ton. Sebagian besar dari produksi perikanan digunakan untuk konsumsi, bahkan ini pun masih belum mencukupi jika dilihat dari jumlah penduduk yang Indonesia yang harus diberi makan ikan. Selain itu, fluktuasi produksi menyebabkan kontinuitas suplai bahan baku juga sulit dipenuhi. Jadi terlalu sederhana dan naif jika 60% hasil tangkapan ikan digunakan untuk tepung ikan. Kebutuhan minimum pabrik tepung ikan sebesar 250.000 ton per tahun saja sulit dipenuhi. Investasi di pengolahan ikan memang sangat memungkinkan, namun investasi atau kredit di bidang ini seharusnya lebih diarahkan pada perbaikan teknologi sehingga memberikan nilai tambah bagi industri pengolahan semacam tepung ikan. 19
Dari segi kondisi produksi pakan unggas, idealnya dibutuhkan tepung ikan dengan kandungan protein di atas 55% karena dipastikan berasal dari bahan ikan yang masih segar. Sebaliknya tepung ikan lokal protein lebih banyak kandungan protein di bawah 55% dan dikhawatirkan berasal dari bahan ikan yang rusak atau mulai membusuk. Bahan rusak tersebut bisa mengandung bakteri E. coli atau salmonella yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Indonesia sampai saat ini baru mampu memproduksi tepung ikan lokal sebanyak 33.000 ton per tahun atau 9% dari kebutuhan industri pakan ternak. Impor tepung ikan yang marak dilakukan selama ini sebaiknya perlu dibatasi. Langkah ini dilakukan untuk memberi peluang bagi industri nasional agar bisa tumbuh dan berkembang optimal. Namun, kualitas tepung ikan lokal juga harus ditingkatkan dengan volume produksi yang berkesinambungan sepanjang tahun. Industri pakan yang cenderung menyukai tepung ikan impor menyebabkan harga tepung ikan impor lebih mahal dibanding lokal dengan kandungan protein dan kualitas yang sama dan harus dipesan tiga bulan di muka. Harga tepung ikan lokal protein 60% pada tahun 2000 sebesar 4.200 rupiah per kg sedangkan produk impor berkisar 4.700-5.000 rupiah per kg. Saat ini harga tepung ikan impor sudah meningkat menjadi 6.000 – 6.500 rupiah per kg sedangkan tepung ikan lokal dengan protein dibawah 50% sekitar 5.000 – 5.500 rupiah per kg.
3. Peran Berbagai Pihak dalam Pemecahan Masalah Bahan Pakan Unggas Pemecahan masalah pakan unggas harus komprehensif dan melibatkan banyak pihak sehingga dapat dijadikan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pakan unggas secara berkelanjutan. Pemecahan masalah tersebut meluas mulai dari peran pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan kalangan akademisi.
Pemerintah
memainkan peran penting selaku regulator dan stabilisator usaha bahan pakan unggas.
Pelaku usaha berperan sebagai investor dan operator skala besar.
Masyarakat terutama petani, peternak dan nelayan kecil berperan dalam tataran teknis sebagai penyedia bahan pakan skala kecil tetapi dengan potensi produksi sangat 20
besar.
Sedangkan kalangan akademisi dapat menyumbangkan bidang keilmuan
melalui penyelesaian permasalahan pakan unggas dengan pendidikan, pelatihan, penelitian dan implementasi di lapangan. Keempat komponen dapat bermain secara harmonis pada perannya masing-masing dengan bekerja sama dalam meningkatkan produksi dan meminimalkan permasalahan usaha bahan pakan.
3.1. Peran Pemerintah Problem krisis pakan yang terjadi dimulai dari kondisi global yang kemudian mempengaruhi kondisi lokal.
Apabila terjadi peningkatan harga di dunia
internasional maka akan terjadi pula peningkatan harga di dalam negeri, sehingga perlu langkah-langkah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dari kondisi tersebut sehingga ketahanan pakan juga terjamin. Disamping itu, kenaikan harga di tingkat lokal mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan daya beli konsumen terhadap pangan sehingga secara tidak langsung daya beli pakan akan terangkat. Arah politik kebijakan pemerintah selama ini lebih mementingkan kelompok mayoritas dalam pengambilan keputusan.
Pada kasus politik pangan dan pakan
pemerintah lebih memihak konsumen daripada produsen terutama petani. Pemerintah menetapkan harga pangan pada level yang relatif terjangkau oleh konsumen. Akibatnya penerimaan petani menjadi rendah. Semangat untuk menghasilkan pangan dan pakan merosot, ditambah dengan kenaikan bahan bakar minyak menyebabkan daya beli petani menurun. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pangan dan pakan dengan menyeimbangkan harga pada level yang lebih menguntungkan petani tetapi dapat dijangkau oleh konsumen. Upaya peningkatan produksi pangan dan pakan dapat dilakukan melalui sinkronisasi kebijakan antar instansi terkait untuk menjaga permintaan konsumsi masyarakat dan ternak dapat dipenuhi.
Selama ini kebijakan pemerintah tidak
terprogram secara baik dalam jangka panjang dan hanya berfungsi untuk mengatasi masalah saat itu juga, parsial dan kadang terjadi tumpang tindih dengan instansi lainnya.
Sering terjadi benturan antara masing-masing departemen karena 21
mempunyai agenda kepentingannya sendiri. Contoh yang paling jelas adalah sering terjadinya gesekan antara Departemen Perindustrian dengan Departemen Pertanian. Kepentingan Departemen Pertanian adalah menjaga dan meningkatkan panen bahan pangan dari hasil pertanian di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Departemen Pertanian cenderung protektif dan agak alergi dengan impor.
Sementara itu
Departemen Perindustrian memandang dari sisi kebutuhan industri yang memerlukan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan produknya yang sebagian harus diimpor karena keterbatasan bahan baku.
Dua kepentingan yang bertolak belakang ini
seharusnya dipadukan antar instansi terkait. Pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi pangan. Adagiumnya adalah semakin meningkat produksi pangan maka semakin meningkat pula produksi pakan karena umumnya pakan merupakan hasil ikutan pangan.
Peningkatan
produksi pangan dan pakan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas (lahan maupun tenaga kerja), perbaikan teknologi budidaya dan pasca panen, menjamin sarana produksi pertanian (pupuk, bibit dan obat-obatan), memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan pertanian, memperbaiki rantai pemasaran dan distribusi, revitalisasi kegiatan riset dan rezim perdagangan Pembukaan lahan pertanian dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan terlantar yang ada.
Menurut Departemen Pertanian, dari luas daratan Indonesia
sekitar 190 juta hektar, sekitar 101 juta hektar dapat dikembangkan untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis. Sekitar 64 - 69,15 juta dari keseluruhan luasan yang sudah dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Meskipun demikian dari jumlah inipun, lahan sawah hanya sebesar 7,7 juta hektar, sisanya tegalan sebesar 10,6 juta hektar, perkebunan (rakyat dan swasta) sebesar 19, 6 juta hektar, kayukayuan sebesar 9,4 juta hektar dan 12,4 juta hektar masih berupa rawa, semak belukar atau alang-alang. Masalah yang muncul adalah status lahan yang tidak jelas dan pengalihan lahan pertanian menjadi non pertanian. Salah satu strategi untuk memperjelas status lahan adalah dengan menjalankan reformasi agraria. Komitmen pemerintah dalam 22
menjalankan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) perlu dipertegas. Land reform yang sudah menjadi kebijakan pemerintah harus terus dijalankan terutama pada lahan terlantar, lahan pinggir hutan dan pembatasan serta penciutan lahan milik perseorangan dan
perusahaan yang terlalu luas.
Apabila land reform dapat
dilaksanakan dengan baik maka akan dapat mendorong peningkatan kepemilikan lahan oleh petani yang sekarang hanya kurang dari 0,3 hektar. Alih fungsi lahan pertanian perlu diperketat mengingat setiap tahun sekitar 120.000 hektar lahan hilang untuk keperluan non pertanian. Padahal sebagian besar lahan pertanian tersebut merupakan lahan irigasi subur dan sangat produktif. Beberapa daerah pada saat ini mulai mengambil kebijakan untuk mengalihkan sebagian lahan pertanian maupun membuka lahan baru untuk menanam tanaman yang lebih menguntungkan di pasar gobal maupun lokal.
Jagung merupakan
primadona baru yang mengalami peningkatan produksi sangat pesat.
Propinsi
Gorontalo merupakan salah satu daerah yang mengembangkan jagung secara besarbesaran sehingga dapat mengekspor produksi jagung dengan harga tinggi. Disamping itu terdapat kecenderungan dari industri pengguna jagung termasuk pabrik pakan ternak untuk mengalihkan pengadaan jagung dari impor ke lokal. Alasan yang dikemukakan adalah harga jagung lokal lebih murah dibanding harga global yang fluktuatif dan dapat dibayar dengan rupiah, jagung impor umumnya merupakan hasil panenan tahun lalu sehingga kualitas zat makanannya berkurang, kualitas jagung lokal lebih bagus dibanding impor karena masa penggunaan pasca panen yang pendek dan dapat membeli dengan jumlah relatif sedikit sementara apabila impor harus dalam jumlah besar. Alasan yang lebih penting adalah adanya benefit yang tidak sekedar untung rugi, tetapi juga peluang terciptanya lapangan kerja, cadangan pangan yang kuat dan peningkatan daya beli petani. Strategi optimalisasi lahan dengan agroekosistem yang memanfaatkan kesemua musim baik hujan maupun kemarau dapat dijadikan dasar kebijakan pertanian masing-masing daerah. Umumnya lahan pertanian menjadi produktif pada saat musim hujan dan menurun pada saat musim kemarau. 23
Produksi pangan dan
pakan pada musim kemarau dapat dimaksimalkan melalui optimalisasi lahan pasang surut dan rawa lebak yang justru ideal pada musim kemarau. Adanya agroekosistem lahan sawah (sawah irigasi, tadah hujan, dan rawa) merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia untuk meredam kemungkinan terjadinya gejolak pasokan dan harga pangan serta pakan nasional. Stagnasi teknologi budidaya jagung membuat hampir tidak ada peningkatan produktivitas secara signifikan yang dicapai dalam satu dekade terakhir ini. Produktivitas jagung tahun 2003 dari 3,24 ton per hektar dan tahun 2006 menjadi 3,47 ton per hektar atau naik sedikit 0,46 persen. Apabila dibandingkan dengan produkivitas jagung di AS masih sangat jauh yang dapat mencapai 7 ton per hektar. Pemecahan lain adalah meningkatkan penerapan teknologi pasca panen. di daerah-daerah sentra produksi. Pola teknologi pasca panen tradisional menyumbang kehilangan hampir 30 persen hasil panen. Teknologi pasca panen modern dapat dilengkapi dengan sarana/prasarananya seperti silo, alat pengering, dan gudang penyimpanan, sehingga kelebihan produksi dapat disimpan untuk jangka waktu yang panjang. Umumnya silo dan alat pengering berada di daerah pelabuhan karena menampung impor bahan pakan. Namun dengan peningkatan produksi pertanian di dalam negeri, maka kebutuhan silo dan alat pengering di berbagai sentra produksi semakin meningkat. Dengan cara demikian, terjadi kontinuitas pengadaan bahan pakan sehingga harga produk dapat dipertahankan/stabil. Penggunaan benih varietas unggul tanaman penghasil bahan pakan unggas dengan menanam bibit unggul (hibrida) seperti jagung dan kedelai merupakan upaya peningkatan produksi dalam waktu singkat dan besar-besaran. Hal tersebut diiringi dengan penggunaan pupuk untuk kesuburan tanaman dan obat-obatan untuk menggulangi serangan hama penyakit tanaman. Kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi pupuk pada tahun 2008 sebesar 14,7 trilyun rupiah untuk volume pupuk sebesar 7,2 juta ton diharapkan dapat menekan harga eceran tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani.
Pada tahun-tahun mendatang kebijakan subsidi dengan
24
memperhitungkan kemampuan petani untuk membeli pupuk merupakan salah satu agenda yang harus diprioritaskan. Perlindungan
terhadap
petani,
peternak
dan
nelayan
masih
perlu
dipertahankan. Perlindungan tersebut termasuk antara lain adanya subsidi, kredit tanpa agunan, pelarangan ataupun pembebanan bea masuk yang tinggi pada impor bahan pakan yang sudah dapat dihasilkan di dalam negeri. Subsidi maupun pemberian kredit tanpa agunan perlu digalakkan kepada petani dan nelayan guna penanaman jagung, kedelai dan penangkapan ikan. Kegiatan ini dapat diharapkan memberikan hasil apabila disertai dengan adanya bantuan pembinaan serta kontrol yang baik terhadap pengggunaannya termasuk dalam upaya untuk mencegah serangan hama dan penyakit maupun meningkatkan area penangkapan ikan. Subsidi dan kredit masih diperlukan karena kemampuan petani dan nelayan untuk permodalan masih lemah. Pelarangan ataupun pembebanan bea masuk yang tinggi pada impor ditujukan pada bahan pakan yang masih mendapat subsidi dan perlindungan dari negara-negara penghasil terutama dari negara maju. Sayangnya International Monetary Fund (IMF) selalu menekan negara-negara pengutang termasuk Indonesia untuk meliberalisasi pasar pangan mereka dan menghilangkan peran pengendalian pangan (seperti BULOG) karena dianggap terlalu mahal. Dampak bagi petani adalah meningkatnya biaya produksi untuk menghasilkan pangan dan pakan, sementara impor pangan dan pakan menjadi meningkat karena tarif impor yang murah dan adanya subsidi bagi para petani di negara maju. Kontradiksi kondisi ini menyebabkan stagnasi dan kehancuran produksi pangan dan pakan di negaranegara berkembang. Kondisi global ini masih menjadi bahan perdebatan serius di World Trade Organization (WTO) antara negara berkembang yang menginginkan adanya liberalisasi pertanian di negara maju sehingga mendapatkan kesempatan untuk ekspor pangan melawan negara maju yang masih bertahan memberikan subsidi kepada para petaninya. Selanjutnya, usaha bahan pakan juga hanya akan bisa berkelanjutan apabila disertai dengan meningkatnya daya beli dan diperolehnya pendapatan yang memadai 25
untuk kesejahteraan keluarga petani. Oleh karena itu pencapaian produksi bahan baku pakan yang tinggi perlu diikuti dengan adanya harga jual yang tinggi, pemasaran yang pasti dan mampu menciptakan keuntungan bagi petani. Insentif harga yang menarik bagi para peternak, petani dan nelayan dengan mekanisme pasar ataupun adanya stabilisasi harga dari pemerintah akan menggairahkan produsen bahan pakan. Mekanisme pasar sepertinya mulai menguntungkan produsen bahan pakan karena tingkat harga yang tinggi akhir-akhir ini. Namun demikian perlu tetap diwaspadai adanya fluktuasi harga bahan pakan. Produsen bahan pakan juga selalu berada pada posisi yang sulit saat memasarkan hasil pertaniannya menghadapi dilema harga yang tidak menguntungkan, terutama pada saat-saat panen. Peran pemerintah diperlukan untuk menjaga rantai pemasaran dan sistem distribusi yang menguntungkan produsen dan meringankan konsumen dengan menstabilkan harga bahan pakan pada tingkat yang layak. Selama ini stabilisasi harga hanya terjadi pada harga beras dan gula dengan adanya harga pembelian minimum bagi para petani. BULOG dibentuk untuk menangani kestabilan harga beras tersebut.
Mungkin perlu dipikirkan untuk
memperluas peran BULOG untuk menangani bidang lainnya termasuk bahan pakan yang potensial merusak kestabilan pasar seperti jagung dan bungkil kedelai, menampung produk yang dihasilkan untuk menjamin ketersediaan pasar dan terhindar dari permainan spekulan.
Apabila terlalu berat bagi pemerintah untuk
memperluas peran BULOG, maka alternatif pembentukan lembaga semacam BULOG perlu dipertimbangkan.
3.2. Peran Pelaku Usaha Perkembangan dunia bahan pakan akhir-akhir ini menyebabkan investor tertarik untuk terjun di bidang ini. Pasar ekspor yang cukup tinggi memungkinkan invesor menanamkan modal dalam jangka waktu yang panjang terutama akibat adanya upaya penggunaan biofuel di negara-negara maju. Pada satu sisi ini sangat menguntungkan bagi dunia usaha bahan pakan, namun demikian perlu diwaspadai keberlanjutan investasi ini terutama pada pertanian jagung dan kedelai yang 26
merupakan tanaman semusim sehingga potensial menjadi investasi jangka pendek bukan sebagai investasi jangka panjang seperti perkebunan kelapa sawit. Peran pengusaha untuk terjun di bidang bahan pakan dapat juga dilakukan dengan mengadopsi pola kemitraan antara petani dengan pabrik makanan ternak. Pola kemitraan terpadu merupakan salah satu model pengembangan potensi agribisnis. Selain jaminan harga dan pasar, pola kemitraan diharapkan dapat menjembatani masalah-masalah yang dihadapi kalangan petani menyangkut aspek produksi dan penanganan pasca panen. Tentu saja, pola pengembangan tersebut dapat melibatkan banyak pihak seperti penyedia sarana pertanian, pemerintah sebagai pengawas, dan tentunya perbankan sebagai penyedia dana. Masing-masing pihak memiliki peran dalam pola kemitraan terpadu yang sesuai dengan bidang usahanya. Bisa saja, hubungan kerja sama antara kelompok petani dengan industri pengolahan atau eksportir dirancang seperti hubungan antara plasma dengan inti pada pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani merupakan plasma bertanggung jawab untuk menyediakan hasil panenan sesuai dengan mutu yang disepakati, sementara industri pengolahan sebagai inti bertanggung jawab menyerap hasil panen serta memberikan pendampingan. Kerja sama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikutsertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini harus disiapkan dengan dasar saling berkepentingan di antara semua pihak yang bermitra.
Dengan demikian, tidak
tertutup kemungkinan kemampuan produksi bahan pakan dapat meningkat. Kemitraan tersebut dapat merencanakan kerjasama pengelolaan yang mampu mengatasi permasalahan yang mungkin timbul dalam usaha bahan pakan. Keuntungan yang dapat diraih adalah membantu menciptakan penghematan devisa negara, mantapnya produksi bahan pakan dalam negeri pada tingkat yang mencukupi, dan pasokan bahan pakan akan lancar. Manfaat selanjutnya adalah terselenggaranya kelancaran dalam usaha peternakan ayam untuk produksi telur dan daging yang sangat penting guna meningkatkan kualitas gizi makanan masyarakat Indonesia.
27
Peran pengusaha dapat pula diupayakan dengan menggali potensi corporate social responsibility (CSR). Kalangan pengusaha mulai memandang bahwa CSR bukan hanya sekedar masalah kedermawanan saja, tetapi telah berubah dan dapat dimanfaatkan juga sebagai cara atau peluang menjalankan dan meningkatkan kinerja bisnis. Selama ini kalangan bisnis memasuki dunia pertanian termasuk bahan pakan hanya sebagai bagian dari CSR, terkecuali bagi pelaku usaha yang menekuni bidang pertanian. Namun dalam perkembangannya ternyata usaha CSR ini cukup prospektif bagi pengembangan usaha korporat. Serbuan investor dengan memanfaatkan CSR ke dunia pertanian menjadi usaha jenis baru yang cukup menarik. Donasi korporasi tersebut diguyurkan ke masyarkat dengan mengajak petani menjadi bagian dari upaya pengembangan pertanian besar-besaran.
Investor menyediakan dana, sarana,
prasarana dan pemasaran, sedangkan petani menjalankan usaha dengan metode baru yang ditetapkan investor. Salah satu contoh kesuksesan sistem ini adalah Medco Foundation yang berhasil memanfaatkan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah menjadi lahan yang sangat produktif. Disamping juga penanaman tanaman penghasil etanol yang meliputi jagung, singkong dan tebu di Papua. Pelaku usaha dapat juga mengatur strategi dalam mengembangkan industri perunggasan dan pabrik pakan di daerah sentra produksi untuk mengurangi biaya produksi unggas. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan pengaturan wilayah/tata ruang yang komprehensif. Selama ini sebagian besar konsentrasi industri pakan berada di Jawa. Hal tersebut dapat dimaklumi karena sebagain besar konsumen, sumberdaya bahan baku dan sarana industri mudah tersedia di Jawa. Namun akhirakhir ini investor semakin tertarik untuk berusaha di bidang agribisnis di luar Jawa. Daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menjadi daerah favorit untuk pengembangan pertanian. Lahan di daerah tersebut masih cukup luas dan memiliki produktivitas tinggi. Kondisi ini didukung oleh kebijakan pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten untuk meraih investasi sebanyak-banyaknya. Indonesia sudah berhasil melakukan revolusi hijau pada penanaman kelapa sawit, disusul kemudian
28
dengan penanaman jagung, diharapkan ke depan penanaman kedelai dapat menyusul sebagai bahan pakan.
3.3. Peran Masyarakat Masyarakat dapat memanfaatkan potensi bahan pakan lokal yang mempunyai prospek ketersediaan tinggi, harga relatif murah dan komposisi zat makanan yang dapat bersaing dengan bahan pakan unggas utama. Banyak daerah di Indonesia yang mempunyai bahan-bahan pakan sumber energi dan sumber protein dari hewani maupun nabati yang berasal dari hasil dan limbah pertanian, peternakan maupun perikanan. Potensi bahan pakan sumber energi antara lain: tepung umbi ubi jalar, tepung ubi kayu, onggok, sorghum, isi rumen sapi, tepung daun pisang dan susu bubuk kadaluwarsa. Ubi jalar, ubi kayu dan pisang adalah tanaman yang banyak terdapat di Indonesia dan mudah tumbuh di berbagai kondisi lahan.
Sorghum
terutama terdapat di pantai utara Jawa, Yogyakarta dan Madura. Potensi bahan pakan sumber protein antara lain bungkil biji karet, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, isi rumen dan lain-lain. Bungkil biji karet didapatkan dari industri minyak karet. Sementara itu perkebunan karet tersebar di seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Demikian juga bungkil kelapa dan bungkil inti sawit terdapat dalam jumlah besar di seluruh kepulauan Indonesia. Isi rumen umumnya menjadi limbah dan mengganggu lingkungan. Sementara apabila dioptimalkan dapat menghasilkan sumber bahan makanan yang luar biasa banyak karena setiap hari selalu tersedia di rumah pemotongan hewan. Potensi lain yang sangat besar adalah dari sumber daya pakan dari air. Produksi penangkapan ikan Indonesia masih dapat ditingkatkan.
Kebijakan
pemerintah untuk melindungi nelayan dengan melarang kapal penangkap ikan besar seperti trawl beroperasi dapat disempurnakan dengan membagi peran masing-masing. Nelayan dapat beroperasi di daerah pantai sampai kilometer tertentu, sementara pengusaha penangkapan ikan dapat beroperasi di luar wilayah tangkapan nelayan. Akibat adanya kebijakan yang kurang komprehensif menyebabkan maraknya illegal 29
fishing oleh industri perikanan luar negeri terutama pada wilayah tangkapan Laut Cina Selatan dan Laut Arafuru. Masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumber daya pakan dari air seperti tumbuh-tumbuhan air seperti rumput laut, azolla, ganggang ataupun hewan air dan limbahnya, seperti limbah udang, limbah ikan, kerang, ketam dan lain-lain. Tumbuhtumbuhan air adalah sumber protein tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mengganti bungkil kedelai. Panen tumbuh-tumbuhan air dapat dilakukan sepanjang waktu dan penanganan pasca panen relatif mudah. Potensi hewan air belum tergarap secara optimal. Limbah udang sampai saat ini masih dibuang tanpa diolah lebih lanjut untuk bahan pakan. Padahal sentra-sentra tambak udang terhampar luas di pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Ikan dan limbah ikan merupakan potensi yang luar biasa jumlahnya. Sentra industri tepung ikan perlu diperbanyak di daerah perikanan di Indonesia sehingga ikan tidak hanya diolah menjadi ikan asin dan pindang, sementara limbah ikan terbuang percuma. Potensi bahan pakan lokal tersebut umumnya tidak dapat langsung diberikan pada unggas karena secara fisik, biologis dan kimiawi belum siap untuk dikonsumsi. Secara fisik kondisi bahan pakan tersebut masih terkendala pada ukuran yang relatif besar. Sebagian bahan pakan secara biologis mempunyai tingkat daya cerna yang rendah. Sedangkan secara kimiawi bahan pakan lokal mengandung anti nutrisi yang relatif tinggi. berkualitas.
Diperlukan pengolahan yang baik untuk menghasilkan pakan
Teknologi biokonversi dan bioteknologi merupakan alternatif untuk
meningkatkan kegunaan pakan unggas. Kearifan lokal masyarakat untuk berkreasi di bidang ketahanan pangan dan pakan terbukti mampu memberdayakan dan mempertahankan konsumsi rakyat. Pada saat krisis pangan ataupun kejadian bencana, peran masyarakat menjadi bagian penting untuk survive. Sejak jaman dulu di pedesaan Jawa dikenal adanya lumbung desa tempat pengumpulan padi dari rakyat desa untuk keperluan mendadak. Masyarakat pulau Mentawai disadarkan untuk mempunyai cadangan pangan oleh 30
adanya bencana gempa bumi dan tsunami beberapa waktu yang lalu dengan menanam umbi-umbian di daerah bukit sebagai bagian penyelamatan kehidupan karena daerahnya di tengah lautan Hindia jauh dari pulau utama Sumatera. Semua ini merupakan potensi luar biasa untuk ketahanan pangan dan pakan. Masyarakat juga dapat berperan untuk mengatasi persoalan pangan dan pakan dengan tetap mempertahankan kekayaaan hayati lokal.
Kemandirian
masyarakat dapat berkembang dengan mengembangkan tanaman pangan dan pakan lokal yang berguna untuk keluarga petani dan komunitas. Sistem ketahanan pangan dan pakan ini akan mengurangi ketergantungan pada sistem monokultur yang menyebabkan derasnya asupan kimiawi (pupuk dan obat-obatan) dan paket teknologi dari korporasi global. Pada saat ini korporasi global memonopoli dua pertiga pasar global pestisida dan seperempat penjualan bibit global berikut patennya. Model pertanian korporasi mempunyai tujuan untuk ekspor dengan tingkat keuntungan tinggi dan kurang memperhitungkan kebutuhan pangan penduduk lokal. Devisa yang dihasilkan hanya akan dinikmati sedikit eksportir (korporasi) pangan namun dengan mengorbankan kebutuhan pangan mayoritas warga miskin negara berkembang. Kekayaan hayati lokal akan memberi prioritas pada usaha membangun modal alami dan sosial lokal melebihi kepentingan memupuk aset. Kepemilikan dan kontrol atas lahan dan tanaman menjadi hak rakyat.
Hal ini akan mengurangi
berbagai bentuk kepemilikan guntai (absentee ownership) yang dikuasai oleh tuantuan pemilik tanah guntai (absentee lanlord).
2.4. Peran Akademisi Kemajuan dunia pakan unggas tidak terlepas dari sumbangsih para akademisi dalam menularkan bidang keilmuannya melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian. Sebagian besar propinsi di Indonesia mempunyai perguruan tinggi yang berkonsentrasi pada ilmu peternakan khususnya pakan unggas dan sudah menghasilkan ribuan alumni. Pendidikan yang diperoleh merupakan dasar untuk menekuni dunia pakan unggas di luar kampus. 31
Sumberdaya alumni peternakan
umumnya sudah terjun di dunia usaha pakan unggas baik sebagai pelaku usaha maupun menjadi bagian dari industri pakan. Pergumulan intensif di dunia pakan unggas menyebabkan mereka tahu setiap permasalahan dan arah pergerakan pakan unggas. Pengalaman mereka dapat digunakan untuk memajukan dunia peternakan unggas.
Komitmen mereka untuk kemajuan bangsa, kesejahteraan rakyat dan
kebangkitan industri pakan unggas merupakan langkah untuk menjadikan pakan unggas sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Ketergantungan pada impor dan investasi dari luar negeri sedapat mungkin diminimalisasi.
Sayangnya sumberdaya
manusia calon mahasiswa yang tertarik menekuni dunia keilmuan peternakan khususnya pakan unggas mengalami degradasi pada tahun-tahun ini. Padahal di lain pihak, kebutuhan pakan melonjak tinggi akhir-akhir ini sehingga permintaan tenaga kerja terdidik bidang pakan melebihi jumlah lulusan perguruan tinggi peternakan. Kesempatan emas ini merupakan peluang bagi perguruan tinggi menawarkan calon mahasiswa untuk memasuki dunia ilmu peternakan khususnya pakan unggas dan mencetak alumni yang menguasai keilmuan pakan unggas. Akademisi yang berperan aktif dalam penelitian permasalahan pakan unggas sudah banyak melahirkan karya-karya ilmiah yang diadopsi dunia industri pakan. Penelitian untuk meningkatkan produktivitas bahan pakan unggas secara intensif sudah berlangsung bertahun-tahun dan diadopsi oleh petani, peternak maupun nelayan untuk kesejahteraan kehidupan mereka. Penelitian pencarian alternatif bahan pakan unggas non konvensional yang banyak terdapat di Indonesia sudah dimanfaatkan oleh industri pakan untuk menggeser komposisi bahan pakan unggas utama dalam penyusunan pakan. Strategi dan teknologi penyusunan serta pemberian pakan yang efisien dan efektif dari hasil penelitian bertahun-tahun menghasilkan komposisi pakan unggas yang murah dan mencukupi kebutuhan gizi unggas. Kebutuhan rakyat akan protein hewani yang semakin tinggi menyebabkan diperlukannya produksi unggas dan pakannya yang semakin tinggi. Tujuan para peneliti bidang pakan adalah membuat konversi pakan seminimal mungkin dengan memberi pakan seefisien mungkin untuk menghasilkan bobot badan unggas 32
semaksimal mungkin.
Tujuan tersebut memberi peluang luas untuk melaksanakan
penelitian di bidang pakan unggas sehingga menghasilkan produksi unggas yang tinggi. Akademisi yang peduli pada rakyat akan menyebarluaskan hasil pendidikan dan penelitian untuk kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berjuta-juta rakyat Indonesia yang menjadi petani, peternak dan nelayan mengharapkan adopsi keilmuan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Bidang ilmu pakan unggas
merupakan salah satu bidang ilmu prioritas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Penyebaran keilmuan pakan unggas dapat dilakukan dengan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, demo, seminar, lokakarya dan terjun langsung ke masyarakat memberi contoh. Akademisi bidang pakan unggas perlu berinteraksi dengan masyarakat untuk memberi inovasi baru, menangkap permasalahan pakan unggas dan mencoba untuk memecahkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Astono, B. dan Hamzirwan Kompas. Konglomerat di Pertanian: Semua Berawal dari CSR. 25 April 2008, hal. 47, kol. 1-7. Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Hamzirwan. Harga Komoditas: Menyiapkan Benteng Penangkis Tsunami Krisis Pangan. Kompas. 25 April 2008, hal 21, kol. 1-7. Heriyanto dan R. Anandita. 1997. Pola kemitraan agroindustri yang berkelanjutan dalam era perdagangan bebas: peningkatan peran dan kesejahteraan usaha kecil. Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Usaha Kecil dalam Meng- hadapi Perdagangan Bebas yang diseleng- garakan oleh ISEI dan PERHEPI di Universitas Brawijaya, Malang. 18-19 Desember 1997. 25 hlm Khudori. . Ketahanan Pangan: Jantung Perkara Krisis Pangan. Kompas 13 Juni 2008, hal. 50, kol. 1-5. Kompas. Krisis Pangan Indonesia: Momentum Kebangkitan Pertanian Indonesia?. 25 April 2008, hal. 45, kol. 1-7. 33
Kompas. Nasib Petani: Kesejahteraan Hanya Ada di Ujung Mimpi. 25 April 2008, hal. 46, kol. 2-7. Kompas. Peran Swasta Dinaikkan: Indonesia Menjadi Eksportir Jagung. 29 Mei 2008, hal 17, kol. 3-6. Kompas. Subsidi Pupuk Rp.14,7 Triliun. 16 Juni 2008, hal. 17, kol. 3-5. Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. hlm. 309-330. Leeson,S., J.D. Summers, 1997. Commercial Poultry Nutrition. Department of Animal and Poultry Science University of Guelph, Ontario, Canada. Linton, I. Alih bahasa oleh Ciptowardojo Sularso. 1997. Kemitraan, Meraih Keuntungan Bersama. Penerbit Halirang. Jakarta. 222 hlm. Lyons, T.P. 1996. Goal 2000: a truly global science –based company that responds rapidly to emerging issues. In Lyons, T.P. and K.A. Jacques. Biotechnology in the feed Industry. Proc. Alltech’s Twelfth Annual Symposium. Hal. 1-22. Maskur, M.F. dan M. Sihombing, 2003. Permintaan Industri Pakan Masih Besar, Pengembangan Jagung Hibrida Terbuka Lebar. www.bisnis.com. Di akses tanggal 30 Mei 2008 Mc Donald, P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, and C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. Jhon Wiley and Sons, New York. Poultry Indonesia, 2008. Perlunya Mengantisipasi Harga. www.poultryindonesia. com. Di akses tanggal 30 Mei 2008 Prabowo, H.E., 2007. Ketahanan Pangan: Pertarungan antara Energi dengan Pangan. http://www.kompas.com. Di akses tanggal 30 Mei 2008 Prabowo, H.E., Krisis Pangan di Ujung Pemerintahan SBY-JK?. Kompas 22 April 2008, hal. 21, kol. 1-7. Prabowo, H.E., Ketahanan Pangan: Tinggalkan Pendekatan Komoditas. Kompas 24 April 2008, hal. 21 kol. 1-7 Santoso, U., 1987. Limbah Bahan Pakan Unggas yang Rasional. Bhratara Karya aksara. Jakarta. 34
Sibuea, P. Reforma Agraria: Kebangkitan Pertanian. Kompas.14 Juni 2008, hal. 37, kol. 4-7. Simatupang, P. 1997. Kemitraan agribisnis berdasarkan paradigma ekonomi biaya transaksi. Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Usaha Kecil dalam Menghadapi Perdagangan Bebas di-selenggarakan oleh ISEI dan PERHEPI di Universitas Brawijaya. Malang. 18-19 Desember 1997. 25 hlm. Sultan, M.M., 2002. Tepung Ikan Masih Harus Impor. M. Masjud Sultan. TROBOS No 33 / Thn III / Juni 2002 Sunarya, 1996. Masalah Perikanan Pelagis Kecil di Pantai Utara Jawa dan Upaya Pemecahannya, sumbangan pemikiran untuk Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta. Sunarya dan Nazory D, 1998. Pengembangan Tepung Ikan di Indonesia, Kajian ilmiah sebagai bahan pertimbangan Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta. Tanaga, N., 2008. Berkejaran dengan harga komoditas. www.kompas.com. Di akses tanggal 30 Mei 2008 TEMPO. 2008. Harga pakan ternak naik. www.tempointeraktif.com. tanggal 30 Mei 2008
Di akses
Waspada. 2008. Program Biofuel Jagung Ancam Industri Pakan. www.waspada. com. Di akses tanggal 30 Mei 2008
35
RINGKASAN KETAHANAN PAKAN UNGGAS DI TENGAH KRISIS PANGAN OLEH: WAHYU WIDODO Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatu A’udzubillah himminas syaitonnirojim Bismillahirohmanirrohim Alamdulillahirobbil ‘alamin Wasalatu wa salamu ala asrofil ambiya iwal mursalin Wa ala alihi wa shobihi aj’main Yang soya hormati Bapak Rektor, Pembantu Rektor dan anggota Senat Universitas Muhammadiyah Malang Bapak Koordinator KOPERTIS Wilayah VII atau yang mewakili Bapak Ketua Majelis DIKTI LITBANG PP Muhammadiyah Bapak Ketua Badan Pelaksana Harian Universitas Muhammadiyah Malang Sahabat, Rekan-rekan, kolega, adik-adik mahasiswa dan hadirin sekalian Keluarga besar saya yang saya cintai Ijinkan saya untuk menyampaikan permasalahan di bidang ilmu saya yang saya beri judul “KETAHANAN PAKAN UNGGAS DI TENGAH KRISIS PANGAN” Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam industri perunggasan. Melonjaknya harga pakan setelah krisis moneter di Indonesia sejak tahun 1997 membuat industri perunggasan mengalami degradasi. Kondisi krisis pakan yang belum pulih sepenuhnya ditambah dengan adanya dua krisis dunia yang lain yaitu krisis energi minyak dari fosil dan krisis pangan yang saling berkelindan menyebabkan pakan unggas semakin terpuruk. Krisis tersebut menyebabkan krisis lanjutan yang semakin parah dan beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi dan politik di berbagai negara.
Muara krisis
tersebut adalah maraknya kekacauan dan pemogokan di berbagai negara, seperti kekerasan di Pantai Gading, huru-hara di Kamerun dengan korban 24 orang meninggal dunia dan yang paling fatal adalah kejatuhan pemerintahan di Haiti. Food
36
and Agricultural Organization (FAO) menyebut Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara di dunia yang mengalami krisis pangan. Indonesia juga mengalami situasi yang kurang menguntungkan akibat krisis energi minyak dan krisis pangan global.
Krisis energi minyak menyebabkan
pemerintah menaikkan harga tiga jenis energi minyak yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat, yaitu premium, solar dan minyak tanah. Pemerintah mengatasi krisis pangan dengan beberapa cara seperti meningkatkan ketahanan pangan oleh BULOG, stabilisasi harga pangan dan subsidi pangan untuk rakyat miskin. Upaya tersebut menimbulkan efek langsung pada bidang yang lain dan salah satunya adalah bidang peternakan yang berujung pada krisis pakan. Krisis pakan terjadi karena pangan yang seharusnya teralokasikan untuk pakan menjadi tidak tersedia, sehingga selama terjadi krisis pangan maka akan selalu terjadi krisis pakan. Berbagai permasalahan di atas baik permasalahan global maupun dalam negeri menyebabkan harga pakan unggas tidak menentu, tergantung dari ketersediaan pakan. Kondisi tersebut tidak menguntungkan sekitar 2,5 juta peternak pada saat ini. Posisi peternak pun menjadi terjepit. Kesulitan perekonomian yang menimpa dunia usaha di Indonesia termasuk peternak unggas seperti di atas dapat tergambarkan secara makro dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 6,3 persen, akan tetapi dalam kurun waktu yang sama inflasi tumbuh 6,59 persen pada tahun 2007.
Hadirin sekalian yang saya hormati Terdapat tiga faktor utama yang harus diperhitungkan dalam menyusun pakan yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas.
Ke tiga hal tersebut adalah
ketersediaan bahan pakan unggas di daerah peternakan tersebut, harga bahan pakan unggas, dan kandungan zat-zat makanan bahan pakan unggas. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi lima komponen bahan pakan unggas yang menjadi penyusun pakan terbesar, yaitu bekatul, minyak goreng dan jagung sebagai sumber energi pakan, bungkil kedelai dan tepung ikan sebagai sumber protein pakan. 37
Selama bertahun-tahun bekatul merupakan satu-satunya bahan pakan yang relatif kurang menghadapi masalah dari sisi ketersediaan karena produksi dalam negeri yang melimpah. Produksi beras nasional yang tinggi, mencapai angka 37 juta ton per tahun pada tahun 2007 membuat produk ikutannya, antara lain bekatul juga tinggi mencapai 3,7 juta ton per tahun.. Harga bekatul relatif lebih murah dibanding dengan sumber energi lain. Ketersediaan minyak goreng sebagai bahan pakan sumber energi dapat tercukupi oleh pasokan dalam negeri. Krisis energi membuat harga minyak bumi mahal, hal ini menyebabkan biaya ekonomi untuk produk lainnya menjadi tinggi pula termasuk minyak goreng. Akibat krisis energi, negara-negara maju mengalihkan sumber energi dari minyak bumi ke biofuel yang berasal dari minyak nabati. Adanya kesadaran untuk menjaga bumi dari global warming menyebabkan keseriusan banyak negara mengalihkan sumber energi pada energi terbarukan.
Energi terbarukan
umumnya diambil dari produk pangan manusia sehingga terjadi persaingan antara konsusmi pangan dan biofuel. Disamping itu terjadi pula pengalihan lahan dari penanaman untuk pangan menjadi penanaman untuk biofuel. Selanjutnya terjadi pula alih fungsi pada sebagian produk dari minyak untuk konsumsi menjadi minyak untuk biofuel. Beberapa kondisi tersebut menyebabkan terjadinya lonjakan harga minyak goreng. Tingkat persaingan penggunaan bahan pakan unggas dengan manusia terjadi pada bahan pakan utama, yaitu jagung. Selama ini jagung merupakan salah satu makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia.
Akibatnya tingkat ketersediaan
untuk unggas yang seharusnya tinggi, menjadi rendah karena digunakan oleh manusia. Setelah bertahun-tahun mengimpor jagung, pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan dapat mengekspor jagung sebesar 800.000 ton, volume yang sama dengan impor tahun 2007. Ketersediaan jagung yang melimpah ini bukan berarti menjadi berkah bagi para peternak. Peternak terpaksa harus membeli jagung dengan harga lebih mahal karena pedagang lebih suka mengekspor jagung akibat harga jagung di dunia internasional lebih menarik. 38
Bahan pakan sumber protein sebagai penyusun utama pakan unggas adalah bungkil-bungkilan dan produk hewani. Bungkil kedelai merupakan sumber utama bahan pakan unggas dari keluarga bungkil-bungkilan.
Problem utama bungkil
kedelai adalah tingkat ketersediaan yang masih bergantung pada impor. Bungkil kedelai sebagai salah satu bahan pakan unggas sumber protein utama tidak dihasilkan di Indonesia karena tidak terdapat industri pembuatan minyak kedelai. Produksi kedelai umumnya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lain seperti pembuatan tempe, tahu dan kecap, sementara tidak ada yang digunakan untuk pembuatan minyak kedelai dan hasil sampingannya yaitu bungkil kacang kedelai. Industri minyak kedelai dunia menurun karena kalah bersaing dengan minyak sawit dan menimbulkan efek samping produksi bungkil kedelai menurun pula. Hal ini menimbulkan kekurangan stok bungkil kedelai dunia, sehingga harga bungkil kedelai menjadi naik tajam. Impor bungkil kedelai telah mencapai kurang lebih 1,3 juta ton per tahun, menciutkan devisa negara sekitar Rp 2 triliun per tahun.
Industri pakan ternak
memproyeksikan kebutuhan bungkil kedelai 2008 sebanyak 1,6 juta ton. Naiknya harga bungkil kedelai akan mendorong kenaikan harga pakan ternak, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga daging ayam dan telur, dan pada akhirnya peternakan rakyat menghadapi tantangan berat. Masalah tepung ikan mirip dengan bungkil kacang kedelai, yaitu ketersediaan bergantung pada impor dan harganya relatif lebih mahal dibanding sumber protein lainnya.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh industri tepung ikan adalah
kelangkaan (keterbatasan) bahan baku untuk berproduksi secara optimal sesuai dengan kapasitas produksi yang dimiliki. Apabila produksi pakan unggas mencapai 5 juta ton per tahun dan pakan ikan/udang sebesar 2 juta ton, maka sedikitnya dibutuhkan 0,25 - 0,75 juta ton tepung ikan setiap tahunnya. Produksi perikanan Indonesia secara formal sebesar empat juta ton tetapi hal ini belum memperhitungkan tangkap untuk subsisten, tangkap yang tidak dilaporkan (unreported), by catch (yang terbuang), dan tangkap akibat illegal 39
fishing. Indonesia sampai saat ini baru mampu memproduksi tepung ikan lokal sebanyak 33.000 ton per tahun atau 9% dari kebutuhan industri pakan ternak. Kondisi tersebut menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan potensi perikanan laut Indonesia yang memiliki wilayah perikanan yang cukup luas (termasuk ZEEI) mencapai 5,8 juta km2.
Hadirin sekalian yang saya hormati Pemecahan masalah pakan unggas harus komprehensif dan melibatkan banyak pihak sehingga dapat dijadikan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pakan unggas secara berkelanjutan. Pemecahan masalah tersebut meluas mulai dari peran pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan kalangan akademisi.
Pemerintah
memainkan peran penting selaku regulator dan stabilisator usaha bahan pakan unggas.
Pelaku usaha berperan sebagai investor dan operator skala besar.
Masyarakat terutama petani, peternak dan nelayan kecil berperan dalam tataran teknis sebagai penyedia bahan pakan skala kecil tetapi dengan potensi produksi sangat besar.
Sedangkan kalangan akademisi dapat menyumbangkan bidang keilmuan
melalui penyelesaian permasalahan pakan unggas dengan pendidikan, pelatihan, penelitian dan implementasi di lapangan. Keempat komponen dapat bermain secara harmonis pada perannya masing-masing dengan bekerja sama dalam meningkatkan produksi dan meminimalkan permasalahan usaha bahan pakan. Problem krisis pakan yang terjadi dimulai dari kondisi global yang kemudian mempengaruhi kondisi lokal.
Apabila terjadi peningkatan harga di dunia
internasional maka akan terjadi pula peningkatan harga di dalam negeri, sehingga perlu langkah-langkah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dari kondisi tersebut sehingga ketahanan pakan juga terjamin. Disamping itu, kenaikan harga di tingkat lokal mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan daya beli konsumen terhadap pangan sehingga secara tidak langsung daya beli pakan akan terangkat. Arah politik kebijakan pemerintah selama ini belum begitu optimal membantu dunia pakan unggas. Fokus kebijakan pemerintah masih pada urusan pangan dan 40
lebih mementingkan kelompok mayoritas konsumen dalam pengambilan keputusan terutama persoalan harga. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan pangan dan pakan dengan menyeimbangkan harga pada level yang lebih menguntungkan petani tetapi dapat dijangkau oleh konsumen. Upaya peningkatan produksi pangan dan pakan dapat dilakukan melalui sinkronisasi kebijakan antar instansi terkait untuk menjaga permintaan konsumsi masyarakat dan ternak dapat dipenuhi.
Selama ini kebijakan pemerintah tidak
terprogram secara baik dalam jangka panjang dan hanya berfungsi untuk mengatasi masalah saat itu juga, parsial dan kadang terjadi tumpang tindih dengan instansi lainnya.
Sering terjadi benturan antara masing-masing departemen karena
mempunyai agenda kepentingannya sendiri. Pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi pangan.
Adagiumnya
adalah semakin meningkat produksi pangan maka semakin meningkat pula produksi pakan karena umumnya pakan merupakan hasil ikutan pangan.
Peningkatan
produksi pangan dan pakan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas (lahan maupun tenaga kerja), perbaikan teknologi budidaya dan pasca panen, menjamin sarana produksi pertanian (pupuk, bibit dan obat-obatan), memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan pertanian, memperbaiki rantai pemasaran dan distribusi, revitalisasi kegiatan riset dan rezim perdagangan
Hadirin yang saya muliakan Perkembangan dunia bahan pakan akhir-akhir ini menyebabkan investor tertarik untuk terjun di bidang ini. Pada satu sisi ini sangat menguntungkan bagi dunia usaha bahan pakan, namun demikian perlu diwaspadai keberlanjutan investasi ini terutama pada pertanian jagung dan kedelai yang merupakan tanaman semusim sehingga potensial menjadi investasi jangka pendek bukan sebagai investasi jangka panjang seperti perkebunan kelapa sawit. Peran pengusaha untuk terjun di bidang bahan pakan dapat juga dilakukan dengan mengadopsi pola kemitraan antara petani dengan pabrik makanan ternak. Pola 41
kemitraan terpadu merupakan salah satu model pengembangan potensi agribisnis. Selain jaminan harga dan pasar, pola kemitraan diharapkan dapat menjembatani masalah-masalah yang dihadapi kalangan petani menyangkut aspek produksi dan penanganan pasca panen. Tentu saja, pola pengembangan tersebut dapat melibatkan banyak pihak seperti penyedia sarana pertanian, pemerintah sebagai pengawas, dan tentunya perbankan sebagai penyedia dana. Peran pengusaha dapat pula diupayakan dengan menggali potensi corporate social responsibility (CSR). Kalangan pengusaha mulai memandang bahwa CSR bukan hanya sekedar masalah kedermawanan saja, tetapi telah berubah dan dapat dimanfaatkan juga sebagai cara atau peluang menjalankan dan meningkatkan kinerja bisnis. Salah satu contoh kesuksesan sistem ini adalah Medco Foundation yang berhasil memanfaatkan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah menjadi lahan yang sangat produktif. Disamping juga penanaman tanaman penghasil etanol yang meliputi jagung, singkong dan tebu di Papua. Pelaku usaha dapat juga mengatur strategi dalam mengembangkan industri perunggasan dan pabrik pakan di daerah sentra produksi untuk mengurangi biaya produksi unggas. Selama ini sebagian besar konsentrasi industri pakan berada di Jawa. Hal tersebut dapat dimaklumi karena sebagain besar konsumen, sumberdaya bahan baku dan sarana industri mudah tersedia di Jawa. Namun akhir-akhir ini investor semakin tertarik untuk berusaha di bidang agribisnis di luar Jawa.
Lahan di
daerah tersebut masih cukup luas dan memiliki produktivitas tinggi.
Hadirin yang terhormat Masyarakat dapat memanfaatkan potensi bahan pakan lokal yang mempunyai prospek ketersediaan tinggi, harga relatif murah dan komposisi zat makanan yang dapat bersaing dengan bahan pakan unggas utama. Banyak daerah di Indonesia yang mempunyai bahan-bahan pakan sumber energi dan sumber protein dari hewani maupun nabati yang berasal dari hasil dan limbah pertanian, peternakan maupun perikanan. 42
Potensi lain yang sangat besar adalah dari sumber daya pakan dari air. Produksi penangkapan ikan Indonesia masih dapat ditingkatkan. Masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumber daya pakan dari air seperti tumbuh-tumbuhan air dengan contoh rumput laut, azolla, ganggang ataupun hewan air dan limbahnya, seperti limbah udang, limbah ikan, kerang, ketam dan lain-lain. Kearifan lokal masyarakat untuk berkreasi di bidang ketahanan pangan dan pakan terbukti mampu memberdayakan dan mempertahankan konsumsi rakyat. Sejak jaman dulu di pedesaan Jawa dikenal adanya lumbung desa. Masyarakat pulau Mentawai menanam umbi-umbian di daerah bukit sebagai bagian penyelamatan kehidupan karena daerahnya di tengah lautan Hindia jauh dari pulau utama Sumatera. Semua ini merupakan potensi luar biasa untuk ketahanan pangan dan pakan. Masyarakat juga dapat berperan untuk mengatasi persoalan pangan dan pakan dengan tetap mempertahankan kekayaaan hayati lokal.
Kemandirian
masyarakat dapat berkembang dengan mengembangkan tanaman pangan dan pakan lokal yang berguna untuk keluarga petani dan komunitas. Sistem ketahanan pangan dan pakan ini akan mengurangi ketergantungan pada sistem monokultur yang menyebabkan derasnya asupan kimiawi (pupuk dan obat-obatan) dan paket teknologi dari korporasi global. Kekayaan hayati lokal akan memberi prioritas pada usaha membangun modal alami dan sosial lokal melebihi kepentingan memupuk aset. Kepemilikan dan kontrol atas lahan dan tanaman menjadi hak rakyat.
Hadirin sekalian Kemajuan dunia pakan unggas tidak terlepas dari sumbangsih para akademisi dalam menularkan bidang keilmuannya melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian. Sumberdaya alumni peternakan umumnya sudah terjun di dunia usaha pakan unggas baik sebagai pelaku usaha maupun menjadi bagian dari industri pakan. Komitmen mereka untuk kemajuan bangsa, kesejahteraan rakyat dan kebangkitan industri pakan unggas merupakan langkah untuk menjadikan pakan unggas sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Sayangnya sumberdaya manusia calon mahasiswa yang 43
tertarik menekuni dunia keilmuan peternakan khususnya pakan unggas mengalami degradasi pada tahun-tahun ini. Padahal di lain pihak, kebutuhan pakan melonjak tinggi akhir-akhir ini sehingga permintaan tenaga kerja terdidik bidang pakan melebihi jumlah lulusan perguruan tinggi peternakan.
Kesempatan emas ini
merupakan peluang bagi perguruan tinggi menawarkan calon mahasiswa untuk memasuki dunia ilmu peternakan khususnya pakan unggas dan mencetak alumni yang menguasai keilmuan pakan unggas. Akademisi yang berperan aktif dalam penelitian permasalahan pakan unggas sudah banyak melahirkan karya-karya ilmiah yang diadopsi dunia industri pakan. Tujuan para peneliti bidang pakan adalah membuat konversi pakan seminimal mungkin dengan memberi pakan seefisien mungkin untuk menghasilkan bobot badan unggas semaksimal mungkin. Tujuan tersebut memberi peluang luas untuk melaksanakan penelitian di bidang pakan unggas. Akademisi yang peduli pada rakyat akan menyebarluaskan hasil pendidikan dan penelitian untuk kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berjuta-juta rakyat Indonesia yang menjadi petani, peternak dan nelayan mengharapkan adopsi keilmuan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Bidang ilmu pakan unggas
merupakan salah satu bidang ilmu prioritas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Akademisi bidang pakan unggas perlu berinteraksi dengan masyarakat untuk memberi inovasi baru, menangkap permasalahan pakan unggas dan mencoba untuk memecahkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Demikianlah permasalahan di bidang pakan unggas yang merupakan sebagian dari permasalahan bangsa ini. Persoalan bangsa ini demikian kompleks. Bangsa ini dan kita sendiri perlu melihat diri sendiri. Untuk itu hadirin sekalian, marilah kita merenung sejenak, menata hati, menilai diri ....................................
44
Diakhir acara ini, saya perlu ungkapkan perasaan hati untuk mengenang keluarga tercinta, beliau-beliau yang telah berjasa, sahabat-sahabat yang berjuang bersama, betapa bersyukurnya saya, betapa berterima kasihnya saya UCAPAN TERIMA KASIH Hanya kepada Allah SWT kita bergantung, kepada-Nya kita kembali, Allah pemberi ilmu, hanya rasa syukur untuk-MU ya Allah, maka berkat ilmu_MU yang telah terengkuh, hambamu berdiri disini. Tanpa utusan-Mu ya Allah, maka gelaplah tujuan hidupku, shalawat dan salam untukmu ya Rasul, Nabi Besar Muhammad saw. Peretas jalan lurus, peluruh hati rusuh, merengkuh jiwa rapuh. Proses panjang kehidupan tercetak dari kasih sayang almarhum ayah ibu. Ibu yang lirih berdoa saat-saat sujud, memohon yang terbaik bagi ananda, lelehan airmata pilu dikala ananda terluka, senyum dikulum saat ananda merona. Ibu, di bingkai hati putramu, terpatri rinai wajahmu. Ayah, di tetes keringatmu, putramu maju, di hela nafasmu, putramu rindu. Ayah, di relung jiwa, ada seikat untai kasihmu. Sembah sujud ananda untuk ayah ibu. Ketika kebersamaan kita tiba istriku, dianugrahkan padaku ayah ibu bijaksana. Namun saat cahaya ibunda mertua redup menutup, pukulan mendera jiwa layu. Sesaat kemudian, pralaya ibunda menghentak hati pilu. Belum terhapus air mata duka, ayahanda pamit menemui Sang Pencipta. Oh betapa kejamnya waktu, memisahkan diri dengan orang-orang tercinta. Hanya ada ayahanda mertua dihehidupan fana. Menjalin hidup dalam kesendirian. Hanya satu doa ya ayah ibu tercinta. Robbi firli wali walidaya warhamhuma kamaa robbayani shoghirah. Hari-hari panjang kebersamaan, kakak dan adikku, betapa aku rindu masamasa berkumpul, tertawa menikmati suka, menangis menerpa duka. Kalianlah bintang gemerlap kehidupan sepanjang hayat, mengisi ruang angkasa dengan alunan lembut kecintaan. Jiwa ini adalah seperenam belahan dari rasa cinta ayah ibu kita. Kedewasaan mengaliri alur usia. Dampingan sang istri tersayang dan anakanak tercinta. Dua dasawarsa hidup berdamping, menata diri, menatap hari, menuju surga suci, sang istri setia meniti, mereguk duka, merasuk suka, melukis hari-hari keberduaan. Istriku hati ini berdenyut rindu, menetak baris kata, betapa sayangku padamu Oh tiga bintang di langit timur, ayahmu tidak akan sanggup melawan umur, menunggu kalian melangkah jujur, namun percayalah, ayahmu selalu berbuat untuk masa depan kalian, berkata demi lurus jalan kalian, dan berdoa yang terbaik bagi kalian. Tetaplah jadi bintang di ufuk hati ayahandamu. Sumbangsih karya sejak di UMM tidak lepas dari peran Bapak Prof. H.A. Malik Fajar, MSc. sebagai panutan berbakti, Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo sebagai kakak dan penjejak masa depan, almarhum Bapak Drs. H. Sukiyanto sebagai penuntun maju dan Bapak Dr. H. Muhajir Effendy, MAp., sebagai pemacu diri. Terima kasih tulus dari jendela hati yang memandang indahnya karya di UMM.
45
Ucapan terima kasih dinaungi panjatan doa kebaikan bagi Bapak Rektor UMM, Pembantu Rektor I, Pembantu Rektor II, Pembantu Rektor III, Dekan Fakultas Peternakan-Perikanan, Pembantu Dekan, Ketua dan Sekretaris Jurusan Peternakan, serta Ketua Jurusan Perikanan Sahabat di Fakultas Peternakan-Perikanan, teman-teman staf pengajar di UMM, rekan-rekan karyawan di kampus terutama Fapetrik, BAU, Keuangan dan BAA, kanca-kanca karawitan, teruslah mendekap rasa terima kasihku, abadikan dalam hati sanubari kecintaan. Terima kasih tulus terenda bagi olah pikir naskah ini, Pak Aris Winaya, Pak Aris Sulistyo, Pak Sutawi, Pak Ahmad Fauzan, Pak Arif Budi Wurianto, Pak Suyatno, Ibu Lily Zalisar, Ibu Listiari Hendraningsih, Ibu Indah Prihartini dan Ibu Hany Handayani. Balutan rasa terima kasih bagi sahabat di karya, Bu Maftuchah, Pak Aris Sulistyo, Pak Ahmad Fauzan, Bu Indah Prihartini, Mbak Erna Maknunah, Mas Yudi Purwanto, Mas Ahmad Maulidi dan Mas Apdani. Di akhir rasa bahagia yang mendera, panitia pengukuhan yang bekerja dengan hati suci, menemani hari-hari menuju mimpi, merangkai acara dengan teliti, terima kasih dan rasa kasih atas segalanya.
46