Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
KESIAPAN BAHAN PAKAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN UNGGAS LOKAL (Feed Materials Readiness to Support Local Poultry Development) EDJENG SUPRIJATNA, D. SUNARTI, U. ATMOMARSONO dan W. SARENGAT Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang
[email protected]
ABSTRACT The demand of local chicken products (meat and egg) has increased so that the business is enhancing recently, especially around the big cities. This has indicated by increasing development on local chicken breeding farm, mini feed mill and intensively production systems through technological adoption. This has shown that local chicken farming has moving towards industrial business based on farmers’ operation. The business is a positive program in order to meet animal protein food sources. Based on estimation results, it can be shown that availability of feed materials for local chicken development is considered enough. Nevertheless, it can be difficult to find at the field. This could be caused by inappropriate distribution system due to different weather situation on corn harvest season as well as the center production of local chicken. The use of non conventional feed material is sometimes suggested to seek as other alternatives feed replacement, unfortunately constrained by limited supply and need further technology processing. Need to have feed barn in production center of corn and building mini feed mill in local chicken production center. Processing technology of agroindustry by products need to be introduced to farmers in a very simple way to minimize cost of production. Key Words: Feed Materials, Development, Local Chicken ABSTRAK Permintaan produk unggas lokal (daging dan telur) terus meningkat sehingga usaha ini berkembang dengan baik, utamanya di sekitar kota besar. Hal ini diindikasikan dengan berkembangnya pembibitan peternakan rakyat unggas lokal, pabrik pakan mini dan budidaya yang semakin intensif dengan mengadopsi teknologi peternakan ayam ras. Hal ini menunjukkan bahwa unggas lokal berkembang ke arah industri berbasis peternakan rakyat. Usaha ini merupakan perkembangan yang positif dalam rangka menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan dalam rangka meningkatkan program ketahanan pangan. Berdasarkan estimasi perhitungan, maka pengadaan bahan pakan untuk pengembangan usaha unggas lokal dinyatakan cukup tersedia, meskipun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa hal tersebut sulit diperoleh. Hal ini diduga akibat sistem distribusi yang kurang tepat akibat pengaruh musim dan wilayah sentra produksi jagung yang tidak sesuai dengan sentra usaha ayam lokal. Bahan pakan non-konvensional sering menjadi alternatif pengganti, namun terkendala oleh keterbatasan pasokan dan memerlukan teknologi pengolahan lebih lanjut. Diperlukan adanya pengadaan lumbung bahan pakan di wilayah sentra produksi jagung dan pembentukan pabrik pakan mini di sentra produksi unggas lokal. Teknologi pengolahan limbah dan hasil samping agroindustri yang sederhana dan terjangkau dapat diintroduksikan kepada para peternak. Kata Kunci: Bahan Pakan, Pengembangan, Unggas Lokal
PENDAHULUAN Peternakan unggas di Indonesia memiliki peranan yang penting dalam pembangunan peternakan, karena merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan pangan hewani berupa daging dan telur. Berdasarkan data
24
DITJEN PKH (2011), sampai tahun 2010 produksi daging nasional mencapai 2,336 juta ton. Ternak unggas memberikan kontribusi terbesar dalam produksi daging nasional yakni sebesar 59,78%. Dari jumlah tersebut, sekitar 49% disediakan oleh ayam ras, dan sekitar 10,79% disediakan ayam lokal, sisanya oleh
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
jenis unggas lainnya. Produksi telur sampai tahun 2010 mencapai 1,36 juta ton, terbesar disumbang oleh ayam ras petelur 69,21%, ayam lokal 12,84%, dan ternak itik 17,93%. Produksi daging dan telur unggas mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya masing-masing adalah 10; 8 dan 0,84% untuk ayam ras pedaging, ayam dan itik lokal. Untuk produksi telur mengalami kenaikan sebesar 4,54%, ayam lokal berkontribusi sebesar 9,07%. Ternak unggas ke depan tetap akan menjadi tumpuan sebagai sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Untuk memacu industri perunggasan agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersaing di pasar global, maka pengembangan peternakan unggas ke depan hendaknya tidak bertumpu hanya pada ayam ras. Hal ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) Tinggi ketergantungan sarana produksi (bibit, ransum, obat) ayam ras akan komponen impor; dan (2) Penyebaran produk ayam ras belum mampu menjangkau pelosokpelosok wilayah terpencil, hanya terbatas di sekitar kota-kota besar. Mempertimbangkan geografi Indonesia yang terdiri dari lebih 18 ribu pulau, dan tersebar di seluruh wilayah, maka usaha unggas lokal memiliki peran strategis dalam menyediakan bahan pangan hewani. Selain itu, menjadi sumber pangan hewani bagi keluarga, usaha ini mampu memasok sebagian kebutuhan masyarakat sebagai pelengkap produk ayam ras. Dewasa ini permintaan unggas lokal terus meningkat baik telur maupun daging, sehingga peternakan unggas lokal mengalami perkembangan, terutama di sekitar kota besar. Perkembangan ini nampak dari berkembangnya peternakan pembibitan rakyat unggas lokal, pabrik pakan mini dan budidaya yang menuju ke arah pemeliharaan yang semakin intensif dan mengadopsi teknologi peternakan ayam ras. Dengan demikian peternakan unggas lokal menunjukkan perkembangan ke arah industri peternakan berbasis peternakan rakyat. Hal ini merupakan perkembangan yang positif dalam rangka menyediakan bahan pangan sumber protein hewani bagi masyarakat dan dalam rangka meningkatkan program ketahanan pangan. Di tengah kondisi ketahanan pangan yang semakin terancam karena berbagai
ketidakpastian di tingkat global, pemanfaatan sumber daya genetik ternak lokal dan pemanfaatan bahan ransum lokal serta hasil samping pertanian dan industri pertanian seakan menjadi suatu keharusan untuk menjaga sistem penyediaan pangan (protein hewani). Gambaran tersebut di atas menunjukan bahwa Indonesia perlu berpacu membangun peternakan yang berdaya saing dengan mendayagunakan sumber daya genetik ternak lokal yang mempunyai keunggulan adaptasi terhadap keterbatasan lingkungan dibandingkan dengan rumpun ternak eksotik yang memerlukan lingkungan khusus. Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan produk unggas lokal, maka sistem pemeliharaan menjadi semakin intensif, terutama di sekitar perkotaan. Pada sistem pemeliharaan yang semakin intensif maka peranan pakan sangat penting, selain memegang porsi pembiayaan komponen pakan berkontribusi terhadap 60 – 70% biaya produksi, sehingga ketersediaannya harus berkesinambungan. Pada pemeliharaan intensif pakan konvensional lebih banyak digunakan seperti jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, atau menggunakan pakan buatan pabrik untuk ayam ras. Pada peternakan itik yang intensif, ternyata masih mampu memanfaatkan pakan lokal non-konvensional, seperti nasi kering, gaplek, limbah pengolahan ikan, limbah pengolahan udang, ikan rucah, sagu dan ampas tahu. Penggunaan pakan konvensional walaupun lokal sering menghadapi kendala terutama karena keterbatasan pasokan. Hal ini mengakibatkan harga menjadi lebih mahal. Penggunaan pakan komersial ayam ras selain harganya mahal juga kurang tepat digunakan untuk unggas lokal karena tidak sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan bahan pakan lokal sering menghadapi kendala musim dan kurangnya informasi mengenai produksi dan kebutuhan. Pada saat musim tertentu melimpah, tetapi pada musim lain langka. Di wilayah tertentu surplus sementara di daerah lain kekurangan. Kelangkaan bahan pakan lokal nonkonvensional sering terkendala musim, dan terutama sering di alami oleh para peternak itik. Pada saat musim hujan nasi kering sulit diperoleh dan ikan rucah sebagai limbah pabrik pengolahan ikan menjadi langka.
25
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Indonesia sebagai negara agraris, selain mampu menghasilkan produk pertanian memiliki limbah agroindustri yang melimpah sepanjang tahun. Hal ini sangat potensial digunakan sebagai bahan pakan ternak, dimana belum digunakan secara optimal. Jika pengembangan unggas lokal mengandalkan bahan pakan yang konvensional seperti pada ayam ras, maka ke depan akan timbul permasalahan persaingan penggunaan bahan pakan untuk industri ayam ras dan ayam lokal. Komponen pengadaan pakan ayam ras sebagian besar masih tergantung impor. Jika pengembangan unggas lokalpun harus tergantung kepada impor, maka sangat riskan dalam menjaga ketahanan pangan. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis kebutuhan pakan pada unggas local. Hal ini meliputi kebutuhan nutrien, jenis bahan pakan, ketersediaan bahan pakan non-konvensional, serta strategi pengadaannya. KEBUTUHAN PAKAN UNGGAS LOKAL Pemeliharaan ternak unggas lokal pada umumnya masih secara tradisional. Pada kondisi ini kebutuhannya relatif sederhana, sehingga produktivitasnya rendah. Pada pemeliharaan intensif dimana tujuannya adalah untuk optimalisasi produktivitas ternak sesuai potensi genetisnya, maka pakan harus disediakan sesuai kebutuhannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada pemeliharaan secara tradisional kebutuhan nutrien ayam lokal sangat rendah, yaitu protein kasar sekitar 10 – 12%. Demikian pula pada pemeliharaan secara intensif dengan pakan bebas memilih protein kasar hanya sekitar 12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unggas lokal memiliki toleransi yang tinggi terhadap kualitas bahan pakan. Unggas lokal mampu memanfaatkan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras, karena mampu memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang relatif tinggi 10 – 15%, sementara itu, ayam ras hanya sekitar 5 – 7,5%. Penggunaan level protein yang tinggi dan serat kasar yang rendah tidak efisien pada unggas lokal. Kelebihan protein akan terbuang lewat ekskreta, karena unggas lokal memiliki
26
protein turn over yang tinggi. Oleh karena itu, pada pemeliharaan unggas lokal karena lebih toleran terhadap protein rendah dan serat kasar tinggi penggunaan pakan dengan kualitas seperti ayam ras tidak efisien. Pakan untuk unggas lokal supaya tidak boros maka perlu digunakan penyusunan ransum secara tepat dengan memperhatikan keseimbangan gizi. Kebutuhan pakan untuk unggas lokal dapat disusun dari bahan dengan kualitas sederhana, sehingga limbah agroindustri dapat digunakan sebagai basis penyusunan ransum. Hal ini menjadikan penggunaan bahan pakan tidak bersaing dengan peternakan ayam ras yang berbasis pakan konvensional dan harus impor. Perkembangan populasi ayam lokal dan itik Perkembangan unggas lokal selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang lambat, rata-rata hanya 0,47% pertahun (Tabel 1). Perkembangan ternak unggas lokal menunjukkan bahwa kurun 2007 – 2009 terjadi penurunan populasi (-1,63%/tahun), tetapi dari tahun 2009 – 2011 terjadi peningkatan populasi (3,89%/tahun). Hal ini disebabkan pada periode 2007 – 2009 terjadi peningkatan permintaan ayam lokal, sementara pembibitan belum berkembang sehingga terjadi pengurasan bibit. Pada saat tersebut peternak mengalami kesulitan memperoleh bibit, terutama peternak yang sudah melakukan pemeliharaan secara intensif. Pada kurun 2009 – 2011 perkembangan peternakan ayam lokal mulai mampu mengatasi masalah pembibitan. Pada kurun waktu ini mulai bermunculan berbagai jenis ayam yang merupakan persilangan ayam lokal dengan berbagai jenis ayam ras, sehingga dikenal berbagai jenis istilah baru pada bibit ayam. Perkembangan peternakan itik pada periode 2007 – 2011 mengalami kenaikan populasi yang cukup tinggi mencapai 8,39%/tahun. Walaupun terjadi permintaan yang meningkat terutama terhadap itik potong, tetapi tidak sampai terjadi pengurasan bibit. Sebelumnya, hanya itik jantan dan itik betina afkir yang dijadikan itik potong, tetapi karena permintaan yang terus meningkat mengakibatkan itik
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Tabel 1. Populasi ternak unggas tahun 2007 – 2011 (ribu ekor) Perkembangan (%)/tahun Jenis ternak
2007
2008
2009
2010
2011
Ayam lokal
272.251
243.423
249.963
257.544
274.893
-1,63
3,89
0,47
35.867
39.840
40.676
44.302
49.392
6,59
10,20
8,39
Ayam ras petelur
111.489
109.955
111.418
105.210
110.300
-0,03
0,37
-0,13
Ayam ras pedaging
891.659
902.052
1.026,37
986.872
1.041.968
7,48
0,87
4,17
Itik
2007 – 2009 – 2009 – 2009 2011 2011
Sumber: Diolah dari DITJEN PKH (2011)
potong tidak hanya berasal dari itik jantan muda tapi itik betina muda juga turut dipotong. Banyak peternak itik petelur mengalami kesulitan untuk memperoleh itik dara. Sampai saat ini walau berkembang peternakan pembibitan yang dilaksanakan oleh kelompokkelompok tani ternak dan mampu memenuhi sebagian kebutuhan, tetapi permintaan bibit yang terus meningkat belum dapat dipenuhi seluruhnya. Ke depan diperkirakan permintaan ayam lokal potong dan itik potong akan terus meningkat, dan tidak akan menutup kemungkinan terjadi pengurasan bibit. Oleh karena itu, perlu segera dikembangkan pembibitan untuk ayam lokal maupun itik yang terarah guna menunjang perkembangan unggas lokal menuju industri berbasis peternakan rakyat. Sejalan dengan perkembangan populasi pada kurun waktu 2009 – 2011 maka peternak mulai merasakan kesulitan memperoleh bahan pakan konvensional. Oleh karena itu, banyak yang beralih menggunakan pakan pabrik. Pada peternakan itik masih mampu memanfaatkan pakan alternatif lokal berupa limbah maupun hasil samping agroindustri serta bahan pakan alternatif lainnya. Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah ketidakpastian pengadaan dan kendala musim. Sebagai contoh, peternakan itik di pantura Jawa, pengadaan ikan segar berupa ikan tangkapan nelayan sering langka bahkan tidak ada pada saat musim barat. Demikian pula limbah restoran atau rumah tangga berupa nasi kering sangat sulit diperoleh pada saat musim hujan. Hal ini mengakibatkan pakan menjadi sangat mahal, sementara harga produk relatif tetap. Peternak
sering berhenti beternak menunggu musim yang baik atau kembali beternak secara semi intensif atau membiarkan ternaknya berkeliaran di halaman. Peternakan ayam lokal yang semi intensif lebih mampu bertahan pada kondisi pakan yang sulit karena ternak dibiarkan berkeliaran dan diberi pakan tambahan seadanya. Sistem semi intensif ini berkembang terutama pada pemeliharaan ayam lokal yang kurang dari 50 ekor. Berdasarkan perkembangan populasi periode 2009 – 2011, maka dapat diproyeksikan perkembangan populasi ternak unggas lokal sampai tahun 2020. Hal ini dilakukan dalam rangka membuat perencanaan pengembangan yang berkaitan dengan pengadaan pakan (Tabel 2). Ke depan apabila tidak segera dicari bahan pakan alternatif yang tersedia di wilayah tersebut, maka akan menghambat perkembangan peternakan unggas lokal. Tabel 2. Proyeksi perkembangan ternak unggas lokal tahun 2011 – 2020 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Trend %/tahun
Populasi (ribu ekor) Ayam lokal Itik 274,893 49,392 285,586 53,081 296,696 57,046 308,237 61,308 320,228 65,887 332,684 70,809 345,626 76,099 359,071 81,783 373,039 87,893 387,550 94,458 3,890 7,470
27
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Proyeksi kebutuhan pakan ayam lokal Bahan pakan yang digunakan untuk unggas lokal tidak berbeda dengan ayam ras yakni jagung, bekatul, tepung kedelai, tepung ikan dan sumber mineral serta vitamin lainnya. Oleh karena itu, pada pemeliharaan intensif maupun semi intensif terutama di sekitar perkotaan sering digunakan pakan pabrik untuk ayam ras sebagai pakan unggas lokal. Jagung merupakan bahan pakan utama dengan campuran bahan pakan lain yang banyak terdapat di sekitar lokasi peternakan. Dengan asumsi bahwa jagung merupakan bahan pakan terbesar dengan komposisi sekitar 40%, maka dapat ditentukan kebutuhan pakan bagi unggas lokal. Kebutuhan pakan ayam lokal dihitung berdasarkan kebutuhan untuk menghasilkan 1 kg bobot badan, dan untuk menghasilkan 1 kg telur. Asumsi konversi pakan untuk membentuk bobot badan adalah 3,5 kg dan telur 4,25 kg, sedangkan untuk itik ditetapkan konversi untuk membentuk bobot badan 4,0 kg dan telur 3,0 kg. Diasumsikan 10% dari peternakan unggas lokal merupakan peternakan intensif dan semi intensif. Maka berdasarkan perhitungan konversi pembentukan pakan untuk produksi daging dan telur kebutuhan pakan untuk
unggas lokal pada tahun 2011 akan mencapai 266.480 ton (Tabel 3). Jika penggunaan jagung dalam ransum sebesar 40%, maka kebutuhan jagung untuk pakan unggas lokal mencapai 106.592 ton. Dengan demikian dibandingkan dengan produksi jagung nasional sebesar 17.643.250 ton dan kebutuhan jagung untuk ayam ras berdasarkan perhitungan 2.257.200 ton atau berdasarkan kebutuhan produksi pabrik pakan sebesar 5 juta ton, maka ketersediaan jagung nasional masih cukup untuk memenuhi kebutuhan, baik untuk ayam ras maupun unggas lokal. Akan tetapi kenyataan di lapangan sering menunjukkan bahwa tidak terdapat hal tersebut (MEDAN DAILY BISNIS, 2012). Peternak mengalami kesulitan pengadaan bahan pakan jagung pada musim-musim tertentu. Pabrik pakan mengimpor jagung 3,3 juta ton. Kendala ini diduga disebabkan karena sistem distribusi yang tidak merata. Kebutuhan yang berlangsung kontinyu sepanjang musim, sementara produksi melimpah pada musim tertentu. Kelangkaan jagung biasanya terjadi pada bulan Juni, Juli, Oktober dan Desember (ZUHRI, 2012). Pada tahun 2011, impor jagung mencapai angka tertinggi sekitar mencapai 3,5 juta ton, padahal berdasarkan data statistik produksi jagung mencapai 17,2 juta ton
Tabel 3. Kebutuhan pakan berdasarkan produksi daging dan telur untuk unggas lokal Trend (%) Jenis unggas
2007
2008
2009
2010
2011
2007 – 2009
2009 – 2011
2007 – 2011
Kebutuhan pakan untuk produksi daging (ribu ton) Ayam lokal Itik lokal Total
1.032,15
957,25
866,95
936,60
990,85
-8,35
6,91
-0,72
176,40
124,10
103,20
104,00
116,80
-23,25
6,55
-8,33
1.208,55
1.081,35
970,15
1.040,60
1.107,65
-10,41
6,85
-7,11
763,300
-23,46
3,80
Kebutuhan pakan untuk produksi telur (ribu ton) Ayam lokal
1.253,325
708,050
683,825
745,875
622,500
603,000
709,200
735,000
797,400
-1,89
6,32
2,69
1.875,825 1.311,050 1393,025 1481,750
1560,700
-11,93
5,85
-3,04
839,000
914,200
3,75
1,37
6,11
Total ayam
2.285,475 1.665,300 1550,775 1682,475
1754,150
-5,32
-17,01
6,37
Total unggas
3.084,375 2.392,400 2363,175 1582,350
2668,350
2,98
-5,91
17,79
266,840
2,98
-5,91
17,79
Itik lokal Total Total itik
10% total
798,900
308,437
727,100
239,240
812,400
236,320
158,240
-8,88
*) Perhitungan berdasarkan konversi untuk produksi telur dan daging. Konversi telur ayam: 4,25; Konversi telur itik 3,0; Konversi daging ayam 3,5; Konversi daging itik 4,0
28
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik untuk pakan ternak maupun industri pangan (RUSLAN, 2012). Diproyeksikan kebutuhan pakan unggas lokal pada tahun 2020 mencapai 461.702 ton, sehingga ke depan kebutuhan jagung juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, kemungkinan impor bahan pakan konvensional seperti jagung, tepung ikan dan bungkil kedelai akan terus meningkat karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan. Bahan pakan untuk unggas lokal Kesulitan pengadaan bahan pakan utama pada pemeliharaan unggas lokal terutama dihadapi pada pemeliharaan intensif dan semi intensif, yaitu jagung. Permasalahan ini sering diatasi peternak dengan membeli pakan konsentrat untuk ayam ras. Kelangkaan pakan jagung dapat diatasi dengan pemanfaatan bahan pakan lokal yang terdapat melimpah di setiap wilayah. Peternakan semi intensif (pemilikan di bawah 50 ekor), permasalahan kelangkaan bahan pakan utama berupa jagung dapat diatasi dengan memanfaatkan bahan pakan lokal non-konvensional yang banyak terdapat di wilayah setempat. Pada kondisi ketersediaan pakan yang cukup skala pemeliharaan yang menguntungkan adalah lebih dari 50 ekor per kepala keluarga (GUNAWAN, 2002; ROHAENI et al., 2004). Pada pemeliharaan intensif kesulitan bahan pakan jagung diatasi dengan menggunakan pakan komersial (completed feed atau konsentrat). Pakan lokal non konvensinal yang banyak digunakan antara lain berupa hasil ikutan pertanian, perkebunan dan agroindustri serta limbah pangan rumah tangga. Hasil ikutan tanaman pertanian, perkebunan dan agroindustri merupakan sumber bahan pakan lokal yang murah dan memiliki kualitas cukup baik serta berpeluang ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hasil ikutan tersebut pada batas-batas tertentu memberikan respon positif terhadap produktivitas ternak. Bahan pakan kelompok sumber serat pada umumnya bersifat bulky sehingga dalam pengadaannya perlu dipertimbangkan dilakukan pengolahan lebih dahulu guna memperbaiki kualitasnya (MARYONO dan KRISHNA, 2007).
Indonesia sebagai negara agraris mampu menghasilkan produk pertanian dengan limbah atau hasil samping yang melimpah yang potensial digunakan untuk pakan unggas lokal. Namun sampai saat ini pemanfaatannya belum optimal, karena masih banyak kendala dalam pemanfaatannya. Dalam hal ini antara lain adalah kurangnya informasi mengenai manfaat, sebagai sumber bahan pakan. Perlu adanya inventarisasi mengenai jenis bahan, produksi dan pengolahannya sebelum digunakan serta wilayah produksinya. Bahan pakan untuk ternak unggas berdasarkan kandungan gizinya dapat dikelompokkan menjadi bahan pakan sumber protein, energi, vitamin, mineral suplemen dan aditif. Sumber bahan pakan tersebut dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan limbah, baik limbah pertanian, limbah perkebunan yang masih belum lazim digunakan (SINURAT, 1999), limbah perikanan, limbah restoran, limbah rumah potong hewan dan sumber lain dari alam yang kurang dimanfaatkan (PURNAMA, 2002; SINURAT, 2003; ADENIJI, 2007). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa beberapa bahan pakan non konvensional berbasis pakan lokal berupa limbah atau hasil sampingan agroindustri seperti tertera pada Tabel 4. Strategi pengadaan Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya lokal sangat besar yang dapat digunakan sebagai bahan pakan. Potensi bahan pakan pada setiap daerah baik yang berasal dari hasil pertanian maupun agroindustri dapat diinventarisasi dan dimanfaatkan untuk menyusun formula pakan unggas lokal dengan harga yang lebih murah dan memenuhi kecukupan gizi. Dengan demikian pakan digunakan dan mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan dapat dipasarkan keluar daerah jika memang terjadi surplus pakan pada daerah yang bersangkutan. Daerah tersebut dikatakan sebagai lumbung pakan tenak yang merupakan kondisi ideal dan mempunyai ketahanan pakan yang baik. Produksi jagung nasional tahun pada tahun 2012 mencapai 17 – 18 juta ton, sedangkan kebutuhan hanya sekitar 5 juta ton per tahun (MEDAN DAILY BISNIS, 2012). Untuk mendorong pemanfaatan pakan lokal, limbah
29
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Tabel 4. Beberapa bahan pakan non konvensional berbasis pakan lokal limbah dan hasil samping agroindustri Kandungan gizi Energi metabolisme
Protein kasar
Serat kasar
Rekomendasi penggunaan (%)
-
12,94
24,88
10 – 20
WIDODO (2002); SUKARYANA (2012)
Tepung daun ubi kayu
1991,0
27,00
16
10 – 15
PURNAMA et al. (2005)
Bungkil kacang tanah
-
42,7
8,9
Tepung bekicot (rebus)
-
62,43
0,09
Tepung keong mas
-
7
KARSADI dan BUDIANSYAH (2002)
Bungkil biji kapuk
-
27,3
20,6
Bungkil biji karet
2550
26,70
12,30
Jenis bahan
Sumber pustaka
Sumber protein Bungkil inti sawit
Ampas tahu fermentasi
16
WISNA et al. (2000)
15 30
SURYANTI et al. (2005); SETYOWATI et al. (2005) WIDODO (2002)
Sumber energi Tepung ubi jalar
3.000
4.30
2.30
30
Shorgum
3.288
8.80
2.33
12,5 – 50,0
Isi rumen
2821,80
8,60
32,28
12
Tepung daun lamtoro
199,50
14,10
19,60
10
Tepung daun pisang
2.573,100
14,758
17,975
10 – 20
Tepung ubi kayu
2,58
0,43
Tepung kulit Ubi Kayu
5,29
2,97
10
28,0
14,96
25
Onggok
2,2
10,8
10
Onggok fermentasi
36,2
10,4
20
Tepung kulit ubi kayu fermentasi
-
PURNAMA et al. (2005)
Nasi kering
dan hasil samping agroindustri maka perlu mengoptimalkan peran masyarakat peternakan, baik perorangan maupun kelompok serta badan usaha dalam pengembangan industri pakan lokal. Pemerintah harus berperan aktif memfasilitasi tumbuh kembangnya industri pabrik pakan lokal melalui fasilitas penyediaan peralatan, teknologi dan informasi serta pelatihan. Hal ini juga diperlukan untuk mendorong tumbuhnya sentra-sentra lumbung pakan lokal yang dikelola kelompok-kelompok tani ternak atau swasta. Mendorong pemanfaatan pakan lokal oleh kelompok peternak yang berbasis formula pakan
30
SUPRIYATI et al. (2002)
berbahan lokal berupa limbah atau hasil samping agroindustri. Sejak tahun 2007 Pemerintah (Departemen Pertanian) telah melaksanakan langkah ini dengan mengembangkan mini feed mill yang tersebar di 38 lokasi dan telah beroperasi. Pengelolaannya dilakukan oleh GAPOKTAN setempat dengan memanfaatkan bahan baku jagung yang belum terserap industri pakan guna memenuhi kebutuhan pakan unggas lokal. Teknologi pengolahan limbah pertanian dan limbah agroindustri menjadi pakan lengkap merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai limbah tersebut dengan metode processing yang terdiri dari: (1) Perlakuan pencacahan (chopping) untuk
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
merubah ukuran partikel dan melunakan tekstur bahan agar konsumsi ternak lebih efisien; (2) Perlakuan pengeringan (drying) dengan panas matahari atau dengan alat pengering untuk menurunkan kadar air bahan; (3) Proses pencampuran (mixing) dengan menggunakan alat pencampuran (mixer) dan perlakuan penggilingan dengan alat giling Hammer Mill; dan (4) Proses pengemasan. Dalam konteks unggas lokal, maka kegiatan pengembangan pakan lokal merupakan salah satu solusi dalam rangka memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia di setiap daerah. Dengan demikian peternak mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pakan untuk ternaknya. Salah satu pola yang dikembangkan dalam pengembangan pakan lokal adalah melalui pengembangan lumbung pakan pada daerah-daerah yang di sekitarnya terdapat sumber bahan pakan yang berlimpah, seperti jagung, dedak, ikan, atau jenis bahan
pakan lainnya. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan tersebut perlu adanya fasilitasi untuk membangun gudang pakan dan alat mesin pengolah pakan serta diberikan pengetahuan yang cukup tentang teknologi pengolahan dan pembuatan pakan. Peluang ke depan Peluang penggunaan bahan pakan lokal berbasis limbah atau hasil samping agroindustri menjadi penting karena ke depan peternakan unggas akan terus berkembang. Hal ini memerlukan bahan pakan yang selalu kontinyu tersedia sepanjang musim. Kondisi pengadaan bahan pakan konvensional yang produksinya belum menunjang dan selalu menghadapi kendala musim, maka ketersediannya tidak akan mampu menunjang pengembangan unggas
Tabel 5. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan asal limbah agroindustri Jenis barang
BK (%)
PK (%)
Ampas tahu
10,788
Ampas kecap
85,430
Ampas bir
LK (%)
SK (%)
TDN (%)
25,651
5,371
14,527
76,000
36,381
17,865
17,861
89,553
,174
26,448
10,254
7,059
78,708
Ampas brem
81,634
3,150
2,120
2,100
55,826
Ampas gula cair
34,314
5,106
6,237
8,014
54,956
Bungkil kopra
90,557
27,597
11,903
6,853
75,333
Bungkil klenteng
89,693
30,827
3,813
8,697
78,005
Bungkil kelapa sawit
92,524
14,112
11,903
10,772
67,435
Bungkil kacang tanah
91,447
36,397
17,242
0,895
71,721
Bungkil kedelai
89,413
52,075
1,011
25,528
40,265
Bungkil kelapa
84,767
26,632
10,399
14,711
73,403
Bungkil tengkuang
88,980
12,730
8,630
4,607
76,770
Dedak padi
91,267
9,960
2,320
18,513
55,521
Dedak gandum/pollar
89,567
16,412
4,007
5,862
74,828
Dedak jagung/empok
84,980
9,379
5,591
0,577
81,835
Kedelai bs
85,430
38,380
4,840
17,810
69,950
Molases (tetes)
50,232
8,500
--
-
63,000
Onggok kering
90,170
2,839
0,676
8,264
77,249
Tumpi kedelai
91,410
21,134
3,029
23,179
69,425
Tumpi jagung
87,385
8,657
0,532
21,297
48,475
Tepung gaplek bs
87,024
2,412
0,792
8,950
73,489
Sumber: Analisa proksimat laboratorium pakan Lolit Sapi Potong, Grati, Pasuruan
31
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
lokal. Sementara itu, limbah tersebut akan tersedia setiap saat karena melimpah dan banyak ragamnya, sehingga dapat bersifat suplementari antar bahan. Pada tahun anggaran 2012, Ditjen PKH melanjutkan program pengembangan pakan lokal melalui kegiatan pengembangan lumbung pakan untuk kelompok unggas lokal pada beberapa lokasi. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006 dengan hasil yang cukup baik, sehingga perlu terus dilanjutkan ke beberapa lokasi lainnya dengan pola yang diperbaiki secara terus menerus. Berbagai teknologi pengolahan bahan pakan asal limbah atau bahan samping agroindustri telah banyak diteliti dan hasilnya memberikan harapan untuk mampu menyediakan bahan pakan untuk suplementasi bahan pakan konvensional. Penggunaannya untuk skala pabrik pakan masih diperlukan pengadaan peralatan khusus yang masih perlu dikembangkan. KESIMPULAN 1. Unggas lokal ke depan akan terus berkembang, dan hal ini perlu ditunjang dengan kesiapan pengadaan bahan pakan. Melihat kondisi genetis pada saat ini maka kelemahan ayam lokal yang sekaligus merupakan kelebihannya, perlu dimanfaatkan secara optimal, yaitu kemampuan memanfaatkan bahan pakan yang kualitasnya sederhana berupa hasil samping atau limbah industri. 2. Guna memanfaatkan bahan pakan lokal dan limbah serta hasil samping agroindustri maka perlu selalu tersedia informasi mengenai jenis bahan, ketersediaan dan teknologi pengolahannya yang tepat guna bagi peternakan rakyat. 3. Perlu dibangun pabrik pakan mini (rakyat) yang mampu mengolah bahan pakan lokal, limbah dan hasil samping agroindustri di sentra-sentra peternakan unggas lokal. 4. Pemerintah dianjurkan untuk memfasilitasi pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang tumbuh kembangnya pabrik pakan mini dan pemanfaatan pakan lokal berbasis limbah agroindustri.
32
5. Pabrik pakan komersial dapat dilibatkan dalam rangka menghasilkan konsentrat khusus untuk unggas lokal. Hal ini dilakukan untuk membantu peternak dalam memanfaatkan bahan pakan lokal nonkonvensional berupa limbah atau hasil samping agroindustri yang potensial banyak terdapat di berbagai wilayah. DAFTAR PUSTAKA ADENIJI, A.A. and A. JIMOH. 2007. Effects of replacing maize with enzyme-supplemented bovine rumen content in the diets of pullet chicks. Int. J. Poult. Sci. 6(11): 814 – 817. DITJEN PKH. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. GUNAWAN. 2002. Evaluasi model pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. ISKANDAR, S. 2006. Strategi pengembangan ayam lokal. Wartazoa 16(4): 190 – 197. KARSADI dan M. BUDIANSYAH. 2002. Keong Mas sebagai bahan pakan ayam buras. Pros. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor, 30 Juli 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 180 – 190. MARYONO dan N.H. KRISHNA. 2007. Pemanfaatan dan keterbatasan hasil ikutan pertanian serta strategi pemberian pakan berbasis limbah pertanian untuk sapi potong. Wartazoa 19(1): 31 – 42. MEDAN BISNIS DAILY BUSINESS. 2012. http://www. medanbisnisdaily.com/news/read/2012/06/13/ 101009/impor_jagung_membludak_di_saat_p roduksi_surplus/#.UBbHRWFo1-k. PRABOWO, A., TIKUPANDANG, M. SABRANI dan U. KUSNADI. 1992. Tingkat adopsi teknologi oleh peternak dan potensi produksi ayam buras di daerah transmigrasi Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Bogor, 20 − 22 Februari 1992. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 116 − 120.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PRAWIRODIGDO, S. 2005. Urgensi evaluasi bahan pakan asli Indonesia sebagai pilar utama untuk menopang usaha ayam lokal. Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 26 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor dan Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 149 – 162. PURNAMA, R.D., A. UDJIANTO dan S. TYASNO. 2005. Pemanfaatan limbah ubi kayu (Manihot esculenta crant) sebagai campuran pakan ternak, melalui bioproses fermentasi dengan kapang (Aspergillus niger). Pros. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Bogor, 13 – 14 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 49 – 53. RESNAWATI, H. dan I.A.K. BINTANG. 2005. Kebutuhan pakan ayam kampung pada periode pertumbuhan. Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 26 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan bekerja sama dengan Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. hlm. 138 – 141. ROHAENI, E.S., D. ISMADI, A. DARMAWAN, SURYANA dan A. SUBHAN. 2004. Profil usaha peternakan ayam lokal di Kalimantan Selatan (Studi Kasus di desa Murung Panti Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan desa Rumintin Kecamatan Tambarangan, Kabupaten Tapin). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 555 – 562. RUSLAN, K. 2012. Data BPS: Kemana perginya 10 juta ton jagung itu? Kompasiana. http://binjai kota.bps.go.id/index.php/berita/294-data-bpskemana-perginya-10-juta-ton-jagung-itu. SETIANA, L. 2012. Efektivitas Adopsi Inovasi Teknologi Intensif dalam Upaya pengembangan Ternak Ayam Kampung di Kabupaten Banyumas. Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang. SIMATUPANG, P. dan M. MAULANA. 2006. Prospek Penawaran dan Permintaan Pangan Utama: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
SINURAT, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam buras. Wartazoa 9(1): 12 – 20. SINURAT, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas.Wartazoa 13(2): 39 – 47. SIRAPPA, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorghum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. J. Libang Pertanian 22(4): 133 – 140. SUKARYANA, Y., U. ATMOMARSONO, V.D. YUNIANTO and E. SUPRIJATNA. 2009. Bioconversions of mixtures of palm kernel cake and rice bran by Trichoderma viridae. Proc. The International Conference on Agriculture for Food and Sustainable Energy. University of Sumatrera Utara, Medan. pp. 108 – 118. TANGENDJAJA, B. 2007. Inovasi teknologi pakan menuju kemandirian usaha ternak unggas. Wartazoa 17(1): 12 – 20. TOGATOROP, M.H. dan E. JUARINI. 1993. Respons petani-peternak ayam buras terhadap inovasi teknologi di daerah pasang surut Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui Wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Bandung, 13 − 15 Juli 1993. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung. hlm. 166 − 178. WIDODO, W. 2012. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstektual. http://www.wahyuwidodo.staff. umm.ac.id/files/2010/01/Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. pdf. (30 Juni 2012). WIZNA, Y. RIZAL, H. ABBAS, A. DHARMA and I.P. KOMPIANG. 2009. Influence of dietary fermented tapioca by-products on the performance of broilers and ducklings. Int. J. Poult. Sci. 8(9): 902 – 904. ZUHRI, S. 2012. Produksi pangan: Tataniaga jagung selesaikan pasokan pakan ternak. http://www. Sucopindo.co.id./berita-terkini/2067/produksi -pangan:tata-niaga-jagung-selesaikanpasokan-pakan-ternak.html.
33