PENELITIAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR HUTAN DI JAWA TENGAH Tim Peneliti Balitbang Prov. Jateng Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang Telp. 0243540025
RINGKASAN Pendahuluan Berdasarkan UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa luas lahan yang berfungsi hutan minimal adalah sebesar 30% dari luas daratan. Di Provinsi Jawa Tengah luas lahan yang berfungsi sebagai hutan hanya sebesar 869.934,61 ha (26,73%), sehingga kekurangan luas lahan yang harus dipenuhi sebesar 106.341,93 ha atau 3,27 % dari luas lahan hutan di Jawa Tengah sebesar 869.934,61 ha, terdiri dari 220.000 ha (6,76 %) hutan rakyat dan hutan negara seluas 649.934,61 ha adalah hutan negara (19,97 %). Luas hutan negara tersebut terdiri dari hutan lindung sebesar 73.477,88 ha, hutan produksi sejumlah 465.451,93 ha, hutan produksi terbatas 107.543,3 ha dan kawasan suaka alam sebesar 3.461,5 ha. Kawasan hutan negara tersebut sampai saat ini kondisinya tidak optimal. Hal ini disebabkan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani mendapat gangguan yang sangat serius. Sejak tahun 1997 hingga 2002, jumlah pohon yang dicuri dan dijarah oleh masyarakat sebanyak 8.041.22 batang dengan kerugian negara kurang lebih sebesar Rp. 1.444.987.772.000,- Disamping pencurian dan penjarahan hasil hutan terjadi pula penyerobotan lahan hutan rimba oleh masyarakat. Penjarahan dan pencurian hasil hutan ini terjadi diantaranya karena sistem keamanan internal hutan belum berfungsi secara optimal dan masih rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, khususnya di Jawa Tengah. Oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah mencoba meneliti tentang bagaimanakah memberdayakan kelembagaan keamanan dan memberdayakan masyarakat di sekitar hutan di Jawa Tengah tersebut. Permasalahan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah strategi peningkatan pemberdayaan kelembagaan keamanan hutan di Jawa Tengah ?, (2) Bagaimanakah strategi peningkatan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan di Jawa Tengah ? Sedangkan tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi permasalahan kelembagaan keamanan hutan di Jawa Tengah. 2. Mengidentifikasi permasalahan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di Jawa Tengah. 3. Mengetahui tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat di wilayah sekitar hutan di Jawa Tengah. 4. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya penjarahan hutan di Jawa Tengah. 5. Mencari hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan terjadinya penjarahan hutan di Jawa Tengah. 6. Menyusun strategi peningkatan pemberdayaan kelembagaan keamanan hutan di Jawa Tengah. 7. Menyusun strategi peningkatan pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar hutan di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : (1) Meningkatnya pemahaman tentang arti pentingnya fungsi hutan terhadap kelangsungan hidup manusia. (2) Meningkatnya kualitas lembaga keamanan hutan di Jawa Tengah. (3) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di wilayah sekitar hutan di Jawa Tengah. Lokasi penelitian ini berada di enam (6) lokasi KPH yaitu : Kawasan hutan kelas perusahaan jati (Propinsi Jawa Tengah sebelah timur) yaitu KPH Blora, KPH Cepu, KPH
Mantingan, KPH Randublatung, KPH Kebonharjo, kawasan hutan kelas perusahaan rimba (Provinsi Jawa Tengah sebelah barat) yaitu KPH Banyumas Barat (Kab. Banyumas dan Cilacap) dengan responden dan nara sumber terdiri dari : (1) Masyarakat yang tergabung dalam wadah LMDH pada lokasi PHBM; (2) Masyarakat di sekitar hutan yang tidak menjadi anggota LMDH; (3) Aparat Desa; (4) Organisasi berbasis masyarakat (OBM) dan LSM dan ((5) Aparat/Petugas dari KPH. Jumlah responden dan nara sumber sebanyak 240 orang tersebar di 24 desa.
Hasil dan Pembahasan 1. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Secara umum pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan sudah cukup baik. Pengaruh informasi baik dari media cetak maupun elektronik, lebih-lebih dengan sering munculnya pemberitaan di TV tentang bencana banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan, ternyata mampu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang manfaat hutan. Hal ini pula yang membuat responden menyatakan bahwa hutan sangat perlu dilindungi dari kerusakan. 2. LMDH dan Kelembagaan Keamanan Hutan Pembentukan LMDH proses atau tahapannya terlalu cepat, sehingga menyebabkan kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. Posisi LMDH yang dibentuk melalui proses jalan pintas atau instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput, atau yang dalam hal ini banyak diwakili oleh pesanggem (para petani hutan, mereka-mereka yang melakukan buruh tanam jati atau pinus dengan imbalan peluang mengerjakan lahan seluas tidak lebih dari 0,25 hektar, selama kurun waktu tertentu – biasanya 2 tahun atau paling lama 5 tahun).
Maka ketika kemudian LMDH menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara sah untuk melakukan kerjasama dengan Perhutani dalam sistem PHBM, kendala yang sering dihadapi adalah rendahnya tingkat kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Isu-isu strategis yang sebenarnya menjadi agenda kalangan akar rumput (pesanggem), seperti prosentase bagi hasil, perluasan
ruang
kelola,
dan
kepastian
tenure,
seringkali
menjadi
terkesampingkan, atau setidaknya bukan menjadi prioritas, hanya mengejar target. Dalam rangka mempercepat dan memperluas implementasi PHBM di semua wilayah kerja Perhutani di Jawa, Perhutani mencanangkan semacam targettarget: dalam kurun waktu tertentu sejumlah LMDH harus terbentuk. Targettarget inilah yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan prestasi kerja. Karena itu wajar kalau kemudian bagi seorang petugas lapangan kuantitas jauh lebih penting daripada kualitas. 3. Kesejahteraan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Hutan Rata-rata masyarakat sekitar hutan masih hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar responden mengatakan pendapatannya hanya cukup untuk membiayai hidup keluarganya selama sebulan. Beberapa responden bahkan harus mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan keluarganya karena pendapatannya tidak cukup. Sedangkan keikutsertaan masyarakat dalam program PHBM lebih karena alasan ekonomi, dengan harapan bisa mendapatkan hasil dari hutan yang mereka kelola. Namun hal itu tidak mereka dapatkan. Tanggung jawab untuk mengamankan hutan ternyata tidak diimbangi dengan imbalan (ekonomi) yang cukup, sehingga mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Melihat fakta seperti di atas, maka memposisikan LMDH sebagai lembaga kesejahteraan masyarakat agaknya memang masih memerlukan waktu. Peran LMDH yang cenderung menjadi lembaga distribusi daripada lembaga negosiasi adalah fakta yang banyak kita jumpai di lapangan. Dalam konteks seperti ini
sebenarnya bisa saja dipandang bahwa para petani penggaraplah yang sebenarnya menjadi lembaga kesejahteraan bagi pengurus LMDH, bukan sebaliknya. Karena itu untuk menghindari hal semacam ini terjadi – atau malah sudah terjadi ? Program pemberdayaan untuk kelembagaan LMDH adalah mutlak, setidaknya agar atribut lembaga kesejahteraan yang melekat pada LMDH tidak menjadi ironis. 4. Penjarahan Hutan Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden mengatakan bahwa penjarahan sudah tidak terjadi lagi. Ada hal yang menarik untuk dicermati yaitu kemampuan mereka memilah kasus penjarahan dengan pencurian kayu harian. Mereka mengatakan bahwa saat ini penjarahan sudah berhenti, akan tetapi pencurian harian masih terus terjadi, kendatipun kecil-kecilan dan dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Penjarahan adalah fenomena yang jamak terjadi ketika kondisi politik nasional sedang labil. Hal semacam itu setidaknya pernah terjadi pada tahun 1960-an ketika kondisi politik nasional tidak menentu. Juga pernah terjadi di tahun 1950-an ketika masa revolusi bergolak. Sementara itu pencurian kayu harian sama sekali tidak terkait dengan dinamika politik. Hal itu justru terkait dengan tingkat kesejahteraan dan kepuasan masyarakat terhadap pengelolaan hutan. 5. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Salah satu penyebab terhambatnya alih informasi tentang PHBM ini adalah kurang mengertinya aparat Perum Perhutani pelaksana lapangan terhadap PHBM. Berbicara tentang PHBM sesungguhnya berbicara tentang perluasan ruang kelola masyarakat dan peningkatan pendapatan. Hal-hal seperti ruang yang tersedia untuk kegiatan bercocok tanam, kepastian jangka panjang (tenuria), proporsi bagi hasil, partisipasi dalam pengambilan keputusan, semestinya menjadi
tema utama pembicaraan. Akan tetapi menyimak hasil diskusi lapangan yang tersedia, hal-hal semacam itu tidak muncul ke permukaan. Justru hal-hal yang terkait dengan strategi pengamanan hutan bersama masyarakatlah yang cenderung dikedepankan. Padahal mengacu dari kebijakan yang ada (SK Direksi Perhutani No. 01 dan 02/ 1999 tentang PHBM), persoalan keamanan tidak menjadi topik, keamanan hutan hanyalah dampak yang diharapkan. 6. Keamanan Hutan Selama ini pengamanan hutan cenderung masih dilakukan sendiri oleh Perum Perhutani. Meskipun dalam program PHBM mengharuskan masyarakat terlibat di dalamnya, tapi dalam pelaksanaannya Perum Perhutani masih menjadi ujung tombak dalam pengamanan hutan. LMDH yang diharapkan bisa menjadi mitra Perum Perhutani dalam pengamanan hutan nampaknya belum mampu untuk bergerak. Hal ini tampak saat sebagian responden menyatakan bahwa petugas keamanan yang ditunjuk dari Perum Perhutani (mandor, mantri) yang menjaga hutan selama ini. Kalaupun ada warga masyarakat yang ikut menjaga, itu karena mereka adalah pengurus LMDH. \ Kondisi ini nampaknya terjadi hampir di seluruh wilayah KPH sampel penelitian, khususnya di hutan kelas perusahaan jati. Sedangkan di hutan kelas perusahan rimba (sampel di KPH Banyumas Barat), keamanan hutan sudah banyak melibatkan masyarakat sekitar. Hal tersebut merupakan dampak positif dari kegiatan sadapan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Setiap hari mereka pergi ke hutan untuk menyadap getah pinus. Kegiatan tersebut yang menyebabkan mereka seolah-olah merasa memiliki pohon-pohon pinus yang menjadi hak pangkuannya sehingga secara tidak langsung mereka akan melindunginya, baik dari pencurian maupun kebakaran.
7. Uji Hipotesis Penelitian Berdasarkan hipothesis penelitian yang telah dirumuskan,
dilakukan uji
statistik dengan korelasi Kendall, dengan hasil sebagai berikut : a. Hubungan
Variabel
Pemberdayaan
Masyarakat
(X1)
Dengan
Kesejahteraan Masyarakat (Y1). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X1) dengan (Y1) adalah 0,153, atau (rx1y1 = 0,153). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel pemberdayaan masyarakat dengan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan
tingkat
signifikansi
menghasilkan
angka
0,007.
Karena
probabilitas jauh dibawah 0,05, maka hubungan antara pemberdayaan masyarakat dengan kesejahteraan masyarakat signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada hubungan pemberdayaan masyarakat dengan kesejahteraan masyarakat DITERIMA. b. Hubungan
Variabel
Pemberdayaan
Masyarakat
(X1)
Dengan
Penjarahan Hutan (Y2). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X1) dengan (Y2) adalah 0,364, atau (rx1y2 = 0,153). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel pemberdayaan masyarakat dengan penjarahan hutan. Sedangkan tingkat menghasilkan angka 0,000. Karena probabilitas jauh dibawah 0,05, maka hubungan antara pemberdayaan masyarakat dengan penjarahan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada
hubungan
pemberdayaan
masyarakat
dengan
penjarahan
hutan
DITERIMA. c. Hubungan Variabel Pemberdayaan Masyarakat (X1) Dengan Keamanan Hutan (Y3). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X1) dengan (Y3) adalah 0,347, atau (rx1y3 = 0,347). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan
antara
variabel
Sedangkan
pemberdayaan
tingkat
masyarakat
signifikansi
dengan
menghasilkan
keamanan
angka
0,000.
hutan. Karena
probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara pemberdayaan masyarakat dengan keamanan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada hubungan pemberdayaan masyarakat dengan keamanan hutan DITERIMA. d. Hubungan Variabel Kelembagaan Keamanan Hutan (X2) Dengan Kesejahteraan Masyarakat (Y1). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X2) dengan Y1) adalah 0,442, atau (rx2y1 = 0,347). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel Kelembagaan keamanan hutan dengan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan
tingkat
signifikansi
menghasilkan
angka
0,000.
Karena
probabilitas jauh dibawah 0,05, maka hubungan antara kelembagaan masyarakat dengan kesejahteraan masyarakat signifikan. Dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada hubungan
kelembagaan keamanan hutan
dengan kesejahteraan masyarakat DITERIMA. e. Hubungan Variabel Kelembagaan Keamanan Hutan (X2) Dengan Penjarahan Kawasan Hutan (Y2). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X2) dengan (Y2) adalah 0,401, atau (rx2y2 = 0,401). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel Kelembagaan keamanan hutan dengan penjarahan kawasan hutan. Sedangkan tingkat signifikansi menghasilkan angka 0,000. Karena probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara kelembagaan keamanan hutan dengan penjarahan kawasan hutan signifikan. Dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada hubungan antara kelembagaan keamanan hutan dengan penjarahan kawasan hutan DITERIMA.
f. Hubungan Variabel Kelembagaan Keamanan Hutan (X2) Dengan Keamanan Hutan (Y3). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X2) dengan (Y3) adalah 0,618, atau (rx2y2 = 0,618). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel Kelembagaan keamanan hutan dengan keamanan hutan. Sedangkan
tingkat
signifikansi
menghasilkan
angka
0,000.
Karena
probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara kelembagaan keamanan hutan dengan keamanan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada kelembagaan keamanan hutan dengan keamanan hutan DITERIMA. g. Hubungan Antara Variabel Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM/X3) Dengan Kesejahteraan Masyarakat (Y1). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X3) dengan (Y1adalah 0,080, atau (rx3y1 = 0,080). Hal ini menunjukkan tidak ada
hubungan yang
signifikan antara variabel PHBM dengan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tingkat koefisien menghasilkan angka 0,166. Karena probabilitas lebih besar dari 0,01 atau 0,05, maka hipotesa yang menyatakan ada hubungan PHBM dengan kesejahteraan masyarakat DITOLAK. h. Hubungan Antara Variabel Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (X3) Dengan Penjarahan Hutan (Y2). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X3) dengan (Y2) adalah 0,114, atau (rx3y2 = 0,114). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel PHBM dengan penjarahan kawasan hutan. Sedangkan tingkat menghasilkan angka 0,039. Karena probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara PHBM dengan penjarahan kawasan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada PHBM dengan penjarahan kawasan hutan DITERIMA.
i. Hubungan Antara Variabel PHBM
(X3) Dengan Keamanan Hutan
(Y3). Besarnya tingkat hubungan antara variabel (X3) dengan (Y3) adalah 0,160, atau (rx3y3 = 0,160). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel PHBM dengan keamanan hutan. Sedangkan tingkat signifikansi menghasilkan angka 0,004. Karena probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara PHBM dengan keamanan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada PHBM dengan keamanan hutan DITERIMA. j. Hubungan Antara Variabel Kesejahteraan Masyarakat (Y3) dengan Variabel Penjarahan Hutan (Y2). Hubungan antara variabel (Y1) dengan (Y2) adalah 0,181, atau (rx3y3 = 0,181). Hal ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara variabel kesejahteraan masyarakat dengan penjarahan hutan. Sedangkan tingkat signifikansi menghasilkan angka 0,001. Karena probabilitas jauh dibawah 0,01 atau 0,05, maka hubungan antara kesejahteraan masyarakat dengan penjarahan hutan signifikan. Jadi dengan demikian hipotesa yang menyatakan ada hubungan antara PHBM dengan keamanan hutan DITERIMA.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Hasil identifikasi permasalahan kelembagaan keamanan hutan di Jawa Tengah. a) Permasalahan terkait dengan pembentukan LMDH 1) Sosialisasi dalam pembentukan LMDH kurang jelas, dan intensitas waktu sosialisasi sangat rendah, pembentukan LMDH terkesan hanya mengejar target Perhutani dan Dinas Kehutanan.
2) Pembentukan pengurus LMDH kurang bisa mewakili seluruh kepentingan masyarakat. b) Permasalahan terkait dengan pengamanan hutan 1)
Masyarakat merasakan terjadi krisis kepercayaan kepada Perhutani.
2)
Keterlibatan oknum TNI-Polri dalam kerusakan hutan, sehingga sulit bagi Polisi hutan untuk mengatasi kondisi tersebut.
3)
Penegakan hukum oleh pihak berwenang masih lemah.
c) Permasalahan terkait dengan organisasi dan manajemen LMDH 1)
Kemampuan kelembagaan LMDH masih rendah, pemahaman atas strukur organisasi, fungsi dan pembagian tugas dalam organisasi belum banyak dikuasai.
2)
Koordinasi antara LMDH dengan Perhutani dan pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten masih lemah.
3)
Pengurus LMDH cenderung pasif, intervensi Kepala Desa sangat kuat dirasakan oleh pengurus,
sehingga LMDH tidak lebih dari sekedar
papan nama dan tidak berkembang. d) Permasalahan terkait dengan LMDH sebagai lembaga pengaman hutan 1)
Pengamanan hutan belum optimal karena pengamanan hutan hanya berbasis sharing dana, bukan pada kemauan untuk melindungi hutan.
2)
Belum ada kepastian batas pangkuan LMDH yang jelas akibatnya terjadi perebutan wilayah pangkuan hutan.
e) Permasalahan terkait dengan dukungan stakeholder dalam penguatan kelembagaan LMDH 1)
Dukungan Pemda terhadap LMDH belum optimal dan nyata.
2)
Pihak stakeholder belum memberdayakan LMDH.
3)
Ketergantungan pada Perhutani sangat tinggi.
2. Hasil identifikasi permasalahan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di Jawa Tengah. a. Permasalahan terkait dengan ekonomi masyarakat sekitar hutan 1)
Sebagian besar masyarakat desa hutan hidup dalam kemiskinan.
2)
Gagalnya penerimaan BLT pada sebagian masyarakat sekitar hutan mengakibatkan kehidupan mereka makin terpuruk.
b. Permasalahan terkait dengan kondisi sosial masyarakat sekitar hutan a)
Infrastruktur pedesaan di sekitar hutan masih kurang.
b)
Kualitas SDM masyarakat sekitar hutan masih rendah, sementara perhatian atau kepedulian dari pihak swasta dan pemerintah masih rendah.
c)
Masyarakat selalu diklaim sebagai pihak yang belum memiliki kesadaran akan fungsi hutan sehingga jika terjadi pencurian kayu di hutan, masyarakat lah yang menjadi tudingan ”pencuri” bahkan ”penjarah”. Padahal banyak oknum (polisi, tentara, perhutani, cukong besar) yang terlibat dalam perusakan hutan.
c. Tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat di wilayah sekitar hutan di Jawa Tengah. Imbal balik dari tugas (pengamanan hutan) yang dilakukan masyarakat sekitar hutan selama ini belum seimbang dengan hasil yang mereka dapatkan. Kalaupun ada pihak yang merasa mendapat keuntungan dari program ini, hal tersebut lebih disebabkan karena yang bersangkutan menjadi terlibat dalam LMDH. Sedangkan masyarakat biasa yang tidak menjadi pengurus atau anggota aktif LMDH relatif tidak mendapat hasil dari program ini.
d. Faktor-faktor penyebab terjadinya penjarahan hutan di Jawa Tengah. 1) Permintaan kayu secara global (internasional) mendorong orang yang tidak bertanggung jawab untuk bertindak ceroboh melakukan perusakan hutan demi tuntutan ekonomi yang salah kaprah. 2) Pola pengelolaan hutan dengan program PHBM yang tidak berbasis masyarakat secara nyata, masyarakat hanya menjadi simbol kolaborasi antara Perhutani dan masyarakat. e. Hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan terjadinya penjarahan hutan di Jawa Tengah. Meskipun penjarahan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, namun para pengusaha yang mempunyai modal besar serta berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab juga ikut terlibat didalamnya f. Strategi peningkatan pemberdayaan kelembagaan keamanan hutan di Jawa Tengah. 1)
Mengevaluasi kinerja LMDH dan lembaga pengaman hutan lainnya agar benar-benar dapat menjadi mitra Perhutani dalam pengamanan hutan.
2)
Memetakan persoalan LMDH dan lembaga keamanan hutan lainnya serta mencari solusi sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Buat penilaian atas kinerja dan mengelompokkan LMDH dalam kelas tertentu.
g. Strategi peningkatan pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar hutan di Jawa Tengah. Strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui pendampingan masyarakat, dimana fasilitator live in di lokasi, dengan memberikan kepercayaan masyarakat mengelola hutan dengan cara yang sangat adil dan transparan. Beberapa usulan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan adalah :
1)
Menguatkan masyarakat melalui pemberian ketrampilan bidang home industry (Nilam, VCO, Mancao, Tapioka, tanaman jarak)
2)
Pendidikan dan latihan diberikan kepada masyarakat sekitar hutan perlu ditingkatkan dengan berbagai model sesuai kebutuhan masyarakat misalnya pelatihan peternakan dan diberikan ternak dengan sistem sharing.
Saran Program PHBM masih dipersepsikan sebagai alat pengamanan hutan bersama masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap program PHBM ini, baik internal oleh Perum Perhutani maupun
secara eksternal
masyarakat agar ada persamaan pandangan tentang pelaksanaan PHBM sampai dengan tingkat desa dan kelompok masyarakat.
Hak Cipta © 2006 Balitbang Prov. Jateng Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132 Telp : (024) 3540025, Fax : (024) 3560505 Email :
[email protected]