PENDUGAAN UMUR SIMPAN, STABILITAS SERTA PENGUJIAN BIOLOGIS KECAP DAN SAUS CABE YANG DIFORTIFIKASI DENGAN IODIUM, ZAT BESI DAN VITAMIN A
RENNY CANDRA PRASETYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul : Pendugaan Umur Simpan , Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A Nama : Renny Candra Prasetyawati NIM : F251030131
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. Ketua
Dr. Drh. Tutik Wresdiyati Anggota
Ir. Didah Nur Faridah, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus : 20 Januari 2006
ABSTRAK
RENNY CANDRA PRASETYAWATI. Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A. Dibimbimg oleh MADE ASTAWAN, TUTIK WRESDIYATI dan DIDAH NUR FARIDAH. Kecap dan Saus Cabe dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif untuk difortifikasi dengan ketiga jenis zat gizi: iodium (I), zat besi (Fe) dan vitamin A. Untuk mengetahui kelayakan produk tersebut sebagai bahan pembawa, maka penting untuk diketahui kestabilan serta manfaat secara biologis dari zat gizi yang difortifikasikan. Penelitian ini dilakukan dalam empat bagian. Bagian pertama yaitu pengamatan perubahan sifat fisikokimia kecap dan saus cabe (viskositas, Total Padatan Terlarut (TPT), pH, warna) dan mikrobiologi (Total Plate Count (TPC)) serta pendugaan umur simpan produk (Metode Arrhenius). Bagian kedua yaitu pengujian stabilitas I (Metode Spektrofotometri), Fe (Metode AAS) dan vitamin A (Metode HPLC). Bagian ketiga yaitu pengujian nilai biologis I dengan parameter jumlah sel neuron otak (Metode Histoteknik), Fe dengan parameter kadar hemoglobin (Metode Sianmet) dan vitamin A dengan parameter kadar retinol serum (Metode HPLC). Pengujian dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan berjenis kelamin betina umur 30 hari. Bagian keempat sama seperti pada bagian ketiga hanya pengujian dilakukan terhadap anak tikus umur empat dan 30 hari yang diperoleh dari hasil perkawinan induk tikus yang dipergunakan pada penelitian bagian ketiga. Nilai TPT kedua produk mengalami penurunan selama dua bulan penyimpanan. Viskositas dan warna mengalami kenaikan, sedangkan nilai pH cenderung konstan. Pertumbuhan mikroba terlihat mulai terjadi pada hari pengamatan ke-28 namun nilainya masih jauh di bawah SNI yang diperbolehkan. Umur simpan kecap diduga berdasarkan nilai pH, hasilnya selama 2.3 tahun. Sedangkan umur simpan saus cabe jika diduga berdasarkan nilai a (intensitas warna merah) didapatkan selama 1 tahun. Adapun bila diduga berdasarkan viskositas didapatkan selama 1.3 tahun. Selama penyimpanan baik I, Fe maupun vitamin A cenderung stabil. Hanya saja I pada kecap menurun 10% dan vitamin A pada saus cabe menurun 11% di akhir penyimpanan (hari ke-56). Pada induk tikus, pemberian Fe dari kecap dan saus cabe mampu mempertahankan nilai normal Hb, yaitu sebesar 11.72 mg/dl dan 11.32 mg/dl. Pemberian vitamin A tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan retinol serum. Pemberian I mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak yaitu sebesar 83 sel/lp dan 86 sel/lp, hal ini berkorelasi positif dengan kemampuan belajarnya. Begitu pula yang terjadi pada anak tikus umur empat dan 30 hari. Anak tikus dari induk yang mendapat asupan kecap dan saus cabe cenderung memiliki jumlah sel neuron yang lebih banyak dan hal ini juga berkorelasi positif dengan kemampuan belajarnya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 14 April 1980 dari ayah Bambang S. Muhibayanto, S.T. dan ibu Supartiwi, A.M.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Riwayat pendidikan penulis tempuh di SDN Cangkrep Lor 2 Purworejo lulus tahun 1992, SLTPN 2 Purworejo lulus tahun 1995 dan SMUN 1 Purworejo lulus tahun 1998. Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Gelar sarjana (S1) diperoleh pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 ini ialah Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi, dan Vitamin A. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S., Dr. drh. Tutik Wresdiyati dan Ir. Didah N. Faridah, M.Si. selaku pembimbing, atas segala bimbingan dan pelajaran kehidupan yang telah diberikan (semuanya sangat berarti untuk penulis dalam mengarungi kehidupan ini). Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ibnu Wachid, Bapak Adi, Ibu Rubiyah, Mbak Ari selaku laboran di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih tak terhingga kepada PD. Sari Sedap atas bantuan dananya sehingga penelitian ini bisa terlaksana. Ungkapan terima kasih yang terdalam penulis haturkan kepada papah, mamah (Pah, Mah.. makasih atas semua yang telah diberikan), kakek, nenek, adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga untuk seluruh rekan-rekan di PS. Ilmu Pangan, atas segala bantuannya: Abang dan Kak Cut (kapan trio kwek -kwek bisa bersama lagi?), Damay (makasih untuk pertemanannya), Bu Epi Ros (makasih untuk doa dan pelajaran hidupnya) dan semua rekan IPN 2003 (tetap kompak kapanpun). Tak terkecuali terima kasih untuk rekan-rekan seperjuangan, atas segala doa dan semangatnya: T’Sahla (makasih atas bimbingannya), Mba Agus dan Afifah (makasih atas kekompakannya dan semoga kita bisa memberi yang lebih baik lagi), Risdian dan Aiman (semoga hanya ajal yang mampu memutuskan persahabatan kita), Nisa dan Nasywa (jadilah mutiara umat sejati), semua adekadek di Al Jamilah (makasih atas segala keceriaannya). Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, 24 Januari 2006 Renny Candra Prasetyawati
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Umur Simpan, Stabilitas serta Pengujian Biologis Kecap dan Saus Cabe yang Difortifikasi dengan Iodium, Zat Besi dan Vitamin A adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006 Renny Candra Prasetyawati NRP F251030131
PENDUGAAN UMUR SIMPAN, STABILITAS SERTA PENGUJIAN BIOLOGIS KECAP DAN SAUS CABE YANG DIFORTIFIKASI DENGAN IODIUM, ZAT BESI DAN VITAMIN A
RENNY CANDRA PRASETYAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................................................................ vii DAFTAR TABEL........................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii I.
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG.................................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN ................................................................ 3 C. MANFAAT PENELITIAN ............................................................ 3 D. HIPOTESIS .................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5 A. KECAP ........................................................................................... 5 B. SAUS CABE ................................................................................. 8 C. IODIUM......................................................................................... 10 D. ZAT BESI ..................................................................................... 13 E. VITAMIN A................................................................................... 16 F. FORTIFIKASI ............................................................................... 18 III. BAHAN DAN METODE ...................................................................... 20 A. BAHAN .......................................................................................... 20 B. TEMPAT DAN WAKTU .............................................................. 20 C. METODE PENELITIAN ............................................................... 20 1. PENELITIAN BAGIAN I........................................................ 22 a. Pengamatan Fisikokimia ..................................................... 23 1) Pengujian Viskositas ..................................................... 23 2) Pengujian Total Padatan Terlarut .................................. 23 3) Pengukuran pH.............................................................. 23 4) Pengukuran Warna ........................................................ 23 b. Pengamatan Mikrobiologis ................................................. 23 c. Pendugaan Umur Simpan.................................................... 24
vii
2. PENELITIAN BAGIAN II : Uji Stabilitas Iodium, Zat Besi Dan Vitamin A......................................................................... 24 3. PENELITIAN BAGIAN III..................................................... 25 a. Pengujian Biokimia Darah .................................................. 27 b. Pengamatan Kemampuan Belajar Tikus Percobaan............ 27 c. Analisis Jumlah Sel Neuron Otak........................................ 28 4. PENELITIAN BAGIAN IV : Uji Biologis Terhadap Anak Tikus ......................................................................................... 30 D. RANCANGAN PERCOBAAN ..................................................... 31 IV. PEMBAHASAN ................................................................................. 32 A. PENELITIAN BAGIAN PERTAMA ........................................... 32 1. Pengamatan Fisikokimia ......................................................... 32 a) Total Padatan Terlarut (TPT) ............................................ 32 b) pH
............................................................................... 33
c) Viskositas .......................................................................... 35 d) Warna ............................................................................... 37 2. Pengamatan Mikrobiologis ..................................................... 38 3. Pendugaan Umur Simpan........................................................ 39 a) Kecap ............................................................................... 39 b) Saus Cabe .......................................................................... 41 B. PENELITIAN BAGIAN KEDUA................................................ 44 1. Stabilitas Iodium ..................................................................... 44 2. Stabilitas Vitamin A................................................................ 46 3. Stabilitas Zat Besi (Fe) ............................................................ 48 C. PENELITIAN BAGIAN KETIGA ............................................... 49 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Profil Biokimia Darah............. 49 a) Hemoglobin (Hb) .............................................................. 49 b) Vitamin A Serum .............................................................. 52 2. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak.......... 54 3. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Tikus Percobaan.......................................................... 57 D. PENELITIAN BAGIAN KEEMPAT ........................................... 59 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Lahir............................... 59
viii
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Otak Anak Tikus............ 60 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak Pada Anak Tikus Umur Empat dan 30 Hari .................................... 61 4. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemamp uan Belajar Anak Tikus Umur 30 Hari.......................................... 65 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 69 LAMPIRAN ................................................................................................. 73
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Syarat mutu kecap manis........................................................................ 7
2
Komposisi kimia kecap manis................................................................ 7
3
Syarat mutu saus cabe ............................................................................ 10
4
Kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa............................... 11
5
Dampak akibat kekurangan iodium pada berbagai segmen umur ......................................................................................... 12
6
Kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur dan kondisi fisiologis ............................................................................ 15
7
Kondisi-kondisi akibat defisiensi zat besi.............................................. 15
8
Daftar kecukupan konsumsi vitamin A.................................................. 17
9
Gejala atau akibat defisiensi vitamin A.................................................. 18
10 Hasil analisis mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan............................................................................. 38 11 Nilai k dan persamaan regresi pH kecap pada beberapa suhu penyimpanan .................................................................. 40 12 Nilai k dan persamaan regresi intensitas warna merah (a) saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan......................................... 42 13 Nilai k dan persamaan regresi viskositas saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan......................................... 43 14 Berat lahir anak tikus ............................................................................. 59 15 Rata-rata berat otak anak tikus umur 30 hari ........................................ 60 16 Jumlah sel neuron otak anak tikus umur empat dan 30 hari .................. 61
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Bagan alir pembuatan kecap .................................................................. 6
2
Bagan alir pembuatan saus cabe............................................................. 9
3
Bagan dari penelitian yang akan dilakukan............................................ 21
4
Bagan alir penelitian bagian I................................................................. 22
5
Bagan alir penelitian bagian II ............................................................... 25
6
Bagan alir penelitian bagian III .............................................................. 26
7
Alat pengujian kemampuan belajar tikus ............................................... 27
8
Bagan alir penelitian bagian IV.............................................................. 30
9
Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) kecap selama penyimpanan .......................................................................................... 33
10 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) saus cabe selama penyimpana n .......................................................................................... 33 11 Kurva pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan............................ 34 12 Kurva viskositas kecap selama penyimpanan........................................ 36 13 Kurva viskositas saus cabe selama penyimpanan.................................. 36 14 Kurva L, a, b saus cabe selama penyimpanan........................................ 37 15 Grafik kadar iodium selama penyimpanan............................................. 45 16 Grafik kadar vitamin A selama penyimpanan........................................ 47 17 Grafik kadar zat besi selama penyimpanan............................................ 49 18 Kadar Hemoglobin (Hb) Tikus pada berbagai kelompok perlakuan............................................................................... 50 19 Kadar retinol serum pada berbagai kelompok perlakuan....................... 53 20 Jumlah sel neuron otak induk tikus ........................................................ 55 21 Gambaran histologi otak induk tikus ..................................................... 57 22 Kemampuan belajar induk tikus percobaan........................................... 58 23 Gambaran histologi otak kiri anak tikus umur empat hari..................... 62 24 Gambaran histologi otak kiri anak tikus umur 30 hari........................... 64 25 Kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari......................................... 65
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Analisis kadar iodium.......................................................................... 74
2
Analisis kladar zat besi........................................................................ 76
3
Analisis kadar vitamin A..................................................................... 76
4
Analisis hemoglobin (Hb) serum ........................................................ 77
5
Regresi kurva waktu simpan vs pH kecap .......................................... 78
6
Plot kurva nilai (1/T) vs (ln k) untuk pH kecap .................................. 78
7
Regresi kurva waktu simpan vs nilai a saus cabe................................ 79
8
Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk nilai a saus cabe................................ 79
9
Regresi kurva waktu simpan vs nilai viskositas saus cabe.................. 80
10
Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk viskositas saus cabe.......................... 80
11
Analisis sidik ragam kandungan vitamin A saus cabe selama penyimpanan ....................................................................................... 81
12
Analisis sidik ragam kandungan vitamin A kecap selama penyimpanan ....................................................................................... 81
13
Analisis sidik ragam kandungan total zat besi kecap .......................... 81
14
Analisis sidik ragam kandungan total zat besi saus cabe .................... 81
15
Analisis sidik ragam kadar hemoglobin tikus percobaan.................... 81
16
Uji beda Duncan kadar hemoglobin tikus percobaan.......................... 82
17
Analisis sidik ragam kadar vitamin A serum tikus percobaan............ 82
18
Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri induk tikus percobaan ........ 82
19
Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan...... 82
20
Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan ........... 82
21
Analisis sidik ragam kemampuan belajar induk tikus percobaan....... 83
22
Uji beda Duncan kemampuan belajar induk tikus percobaan............. 83
23
Analisis sidik ragam berat otak anak tikus percobaan ........................ 83
24
Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari............................................................................................ 83
25
Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari............................................................................................ 83
xii
26
Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari............................................................................................ 84
27
Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari.................................................................................................. 84
28
Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari.................................................................................................. 84
29
Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari.................................................................................................. 84
30
Analisis sidik ragam kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari.................................................................................................. 85
31
Uji beda Duncan kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari.................................................................................................. 85
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sampai saat ini, masalah kurang gizi masih menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan yang terdapat di negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia. Prevalensi kurang gizi terutama diderita oleh bayi, anak-anak usia sekolah dan wanita. Tiga macam kekurangan gizi yang dipandang sebagai masalah kesehatan umum di Indonesia adalah defisiensi iodium, zat besi dan vitamin A (Wirakartakusumah dan Hariyadi, 1998). Dua jenis mineral tersebut di atas (iodium dan zat besi) dianggap berpengaruh amat besar terhadap tingkat kecerdasan. Iodium penting dalam proses pembentukan neurofil otak terutama pada akhir kehamilan sampai awal postnatal. Defisiensi iodium sangat erat pengaruhnya terhadap perkembangan mental yang diwujudkan dengan terjadinya defisit intelegence-quotient (IQ point), kretinisme, bisu tuli atau lumpuh. Penderita GAKI rata-rata memiliki IQ sepuluh poin di bawah normal (Anonim, 2005). Kurangnya asupan zat besi mengakibatkan timbulnya penyakit anemia gizi. Resiko anemia gizi besi ini dapat menyebabkan produktivitas kerja rendah, daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun, kemampuan belajar anak sekolah rendah, peningkatan bobot badan ibu hamil rendah, dan kelahiran bayi prematur. Vitamin A sangat diperlukan untuk proses penglihatan, differensiasi sel, pertumbuhan serta reproduksi (Linder, 1992). Rendahnya asupan vitamin A di Indonesia ditunjukkan oleh survey WHO tahun 1992, dimana dari 20 juta balita berumur 6 bulan hingga 5 tahun, setengahnya menderita kekurangan vitamin A (Anonim, 2003). Pemberian vitamin A bersamaan dengan zat besi terbukti lebih baik dalam menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil (Suharno dan Muhilal, 1996), selain itu juga bermanfaat untuk mendorong pertambahan berat badan selama kehamilan (Mercy et al., 1994). Mengingat pentingnya peranan dari iodium, zat besi dan vitamin A, maka kecukupan konsumsi masing- masing zat gizi tersebut mutlak harus
dipenuhi. Rendahnya kualitas menu keseharian masyarakat Indonesia menjadikannya tidak mampu untuk menutupi kebutuhan akan zat gizi tersebut. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan mineral iodium, besi dan vitamin A adalah dengan melakukan suplementasi atau fortifikasi zat gizi tersebut dalam makanan. Selama ini pemerintah telah berusaha untuk menggalakkan fortifikasi iodium ke dalam garam, fortifikasi zat besi ke dalam tepung dan fortifikasi vitamin A ke dalam minyak. Namun, dengan hanya mengandalkan pada satu jenis bahan pangan pembawa (vehicle), hasilnya menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, suatu studi pengembangan fortifikasi pangan di Indonesia merekomendasikan untuk mencari bahan pangan alternatif yang dapat digunakan sebagai pembawa (Anonim, 2005). Bahan pangan pembawa yang dipilih seharusnya dikonsums i secara luas oleh masyarakat. Kecap dan saus mulai dilirik untuk dijadikan sebagai bahan pangan alternatif yang akan difortifikasi. Peningkatan konsumsi produk ini terjadi seiring dengan maraknya produk-produk industri. Masyarakat sekarang menjadi sangat gemar menambahkan kecap dan saus pada masakan mereka. Keuntungan lainnya dari kecap dan saus adalah karakteristik bahan yang berwarna dan kental sehingga diharapkan zat gizi yang difortifikasi akan terdispersi secara merata dalam bahan yang berwarna tanpa mengubah kualitas organoleptik bahan asal (Imanningsih, 2001). Apabila akan dilakukan fortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam suatu produk, maka hendaknya harus diketahui terlebih dahulu kelayakan produk tersebut sebagai bahan pembawa ketiga jenis zat gizi tersebut. Kestabilan zat gizi dalam produk selama penyimpanan, merupakan salah satu parameter utama penentu kelayakannya. Tidak ada gunanya melakukan fortifikasi jika pada akhirnya zat gizi yang ditambahkan cepat rusak atau hilang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui stabilitas zat gizi yang ditambahkan dalam bahan pangan, dan akan lebih baik lagi jika dapat dilakukan prediksi daya tahan dari zat gizi tersebut. Fortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam bahan pangan harus dapat dimanfaatkan secara biologis. Fortifikasi yang dilakukan akan
2
menjadi sia-sia jika zat gizi tersebut terbuang percuma, tidak dapat diretensi dan dimanfaatkan oleh tubuh. Evaluasi biologis penting dilakukan terhadap produk yang difortifikasi, untuk mengetahui retensi dan manfaat dari zat- zat gizi yang ditambahkan. Evaluasi biologis dapat memperkuat klaim terhadap produk fortifikasi tentang manfaat dari zat gizi yang ditambahkan.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui perubaha n sifat fisikokimia produk kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A selama penyimpanan. 2. Menduga umur simpan produk kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium,
zat
besi
dan
vitamin
A
berdasarkan
parameter
sifat
fisikokimianya. 3. Mengetahui stabilitas iodium, zat besi dan vitamin A yang ditambahkan pada produk kecap dan saus cabe. 4. Menguji secara biologis ketersediaan zat gizi iodium, besi dan vitamin A pada kecap dan saus cabe yang dikonsumsi, dengan menggunakan hewan coba tikus induk dan turunan pertamanya. 5. Mengetahui manfaat iodium yang ditambahkan pada produk kecap dan saus cabe dalam hubungannya dengan kemampuan belajar tikus percobaan pada induk tikus dan turunan pertamanya.
C. MANFAAT PENELITIAN Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada produsen kecap dan saus cabe yang menambahkan iodium, zat besi dan vitamin A ke dalam produknya, mengenai : 1. Daya tahan produk kecap dan saus cabe berdasarkan parameter sifat fisikokimianya. 2. Stabilitas iodium, zat besi dan vitamin A pada produk kecap dan saus cabe. 3. Manfaat dari zat gizi yang difortifikasikan (iodium, zat besi, vitamin A) ke dalam produk kecap dan saus cabe.
3
D. HIPOTESIS 1. Kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium, zat besi dan vitamin A tahan secara fisikokimia selama penyimpanan dalam jangka waktu yang relatif lama. 2. Iodium, zat besi dan vitamin A yang difortifikasikan ke dalam kecap dan saus cabe belum menunjukkan perubahan yang signifikan selama jangka waktu penyimpanan dua bulan. 3. Zat besi dan vitamin A yang difortifikasikan ke dalam kecap dan saus cabe memiliki ketersediaan biologis yang tinggi berdasarkan percobaan menggunakan tikus sebagai model. 4. Pemberian kecap dan saus cabe yang difortifikasi dengan iodium mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar tikus percobaan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KECAP Kecap dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia sebagai produk semacam saus dari kedelai dengan konsistensi cair, berwarna coklat gelap dan beraroma seperti daging (Winarno, 1986). Sedangkan definisi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3543-1994), kecap kedelai adalah produk cair yang diperoleh dari hasil fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max L) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan. Kecap kedelai diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kecap kedelai manis dan kecap kedelai asin (SNI 01-3543-1994). Kecap manis mempunyai konsistensi sangat kental, rasa manis dengan kandungan gula 26-61%, serta kandungan garam 3-6%. Kecap asin yang juga disebut saus kedelai ringan, mempunyai konsistensi encer, warna lebih muda dan rasa lebih asin, dengan kandungan garam 18-21% serta kandungan gula 4-19% (Judoamidjojo, 1986). Sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa, cenderung lebih menyukai kecap manis (Judoamidjojo, 1986). Kecap manis yang dibuat secara tradisional menggunakan bahan baku kedelai hitam atau kedelai kuning, kadang-kadang dalam proses pembuatannya ditambahkan tepung tapioka, tepung gandum atau tepung beras (Judoamidjojo, 1986). Secara umum proses pembuatan kecap manis di Indonesia dapat dilakukan seperti pada Gambar 1. Sedangkan beberapa persyaratan mutu dari kecap manis yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kecap memiliki keunggulan dari segi nilai gizinya. Kedelai yang digunakan sebagai bahan baku sangat kaya akan protein dan karbohidrat. Mutu protein kedelai termasuk paling unggul dibandingkan dengan jenis tanaman lain, bahkan hampir mendekati protein hewani. Apalagi ditunjang dengan adanya proses fermentasi dalam pembuatannya.
Kedelai hitam
Perendaman dalam air (1 malam)
Pemasakan (1-5 jam)
Pengeringan
Inokulasi (Aspergillus oryzae) Air garam 20 %
Fermentasi I (3-5 hari)
Fermentasi II (bakteri + khamir, 3-4 minggu)
Saring
Filtrat
Ampas
Pasteurisasi (+ karamel)
Saring
Filtrat
Limbah
Gambar 1 Bagan alir pembuatan kecap (Winarno, 1986)
Proses
fermentasi
pada
kecap
mampu
mengubah
senyawa
makromolekul kompleks yang ada dalam kedelai (seperti protein, karbohidrat dan lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Senyawa ini menjadi lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh (Astawan, 2004). Adapun komposisi kimia dari kecap manis seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
6
Tabel 1 Syarat mutu kecap manis Kriteria uji Keadaan Bau Rasa Protein (N x 6,25) Jumlah padatan NaCl (garam) Total gula (dihitung sebagai sukrosa) Bahan tambahan makanan Pengawet 1) Benzoat, atau 2) Metil para hidroksi benzoat, 3) Propil para hidroksi benzoat Pewarna Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
Satuan
Persyaratan
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 30,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05
Arsen Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Kapang/khamir Sumber : SNI 01-3543-1994
mg/kg
Maks. 0,5
% b/b % b/b % b/b % b/b
Normal,khas Normal, khas Min. 2,5 Min. 10 Min. 3 Min. 40
mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 600 Maks. 250 Maks. 250
Sesuai SNI 01-0222-1995
Koloni/g APM/g APM/g APM/g Koloni/g
Maks. 1x105 Maks. 1x102 <3 Maks. 10 Maks. 50
Tabel 2 Komposisi kimia kecap manis Karakteristik Air Protein kasar Lemak Abu Karbohidrat Garam (NaCl) Sumber : Judoamidjojo (1986)
Kadar (%) 29,61 1,46 0,14 7,64 61,15 6,27
7
Komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama terdiri dari sukrosa, glukosa dan fruktosa (Judoamidjojo, 1986). Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Beberapa jenis gula yang ditambahkan adalah gula palma, gula tebu dan molases (Winarno et al., 1984). Penggunaan kecap sebagai bumbu penyedap atau pembangkit flavor makanan, sampai saat ini telah dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia dari semua golongan umur. Semakin banyak jenis makanan yang senantiasa membutuhkan kehadiran produk ini, tanpanya niscaya makanan akan terasa hambar. Oleh karena itu, wajar jika pemanfaatan produk ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat (AS) saja produksi kecap mencapai 17.85 juta liter per tahun. Diperkirakan total konsumsi tahunan kecap di AS sekitar 43.35 juta liter per tahun (Astawan, 2004). Mengingat tingginya tingkat konsumsi kecap di masyarakat, maka produk ini dapat dijadikan sebaga i media pembawa (vehicle) beberapa zat gizi yang akan difortifikasi. Selain itu, kecap dengan konsistensinya yang cair cukup memberikan kemudahan dalam fortifikasi.
B. SAUS CABE Saus secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu produk yang merupakan hancuran dari beberapa bahan pangan yang tergolong sayuran, seperti tomat dan cabe (Fardiaz, 1992). Standar Nasional Indonesia (SNI 012976-1992) mendefinisikan saus cabe sebagai saus yang diperoleh dari pengolahan bahan utama cabe (Capsicum sp.) yang telah matang dan bermutu baik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. Bahan-bahan yang dapat digunakan antara lain garam, gula, bawang putih dan pengental. Proses pembuatan saus meliputi pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji cabe, pengukusan pada suhu 100°C selama 1 menit, penggilingan, penambahan garam, bahan pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap, maizena dan air, dilanjutkan dengan proses pengadukan, pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental, pemasukan
8
dalam botol steril, exhausting dan penutupan botol serta pendinginan (Setiadi, 1987). Bagan alir proses pembuatan saus cabe dapat dilihat pada Gambar 2. Cabe merah dan bawang putih
Pencucian, pemotongan tangkai dan pembuangan biji
Pengukusan pada suhu 100°C (± 1 menit)
Penggilingan sampai halus
Garam, pengawet, gula, asam cuka 25%, penyedap, maizena, air
Bubur
Pengadukan
Pemasakan dengan api kecil sampai mendidih dan mengental
Pemasukkan dalam botol steril dan exhausting
Penutupan botol dan pendinginan kemasan
Produk saus cabe
Gambar 2 Bagan alir pembuatan saus cabe (Setiadi, 1987)
Adapun syarat mutu saus cabe yang telah ditetapkan oleh SNI dapat dilihat pada Tabel 3.
9
Tabel 3 Syarat mutu saus cabe Kriteria uji Keadaan Bau Rasa Jumlah padatan Bahan tambahan makanan Pewarna Pengawet Pengental Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg)
Satuan
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 2,0 Maks. 5,0 Maks. 40,0 Maks. 40,0 Maks. 0,03
Arsen Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri koliform Escherichia coli S. aureus Salmonella Sumber : SNI 01-2976-1992
mg/kg
Maks. 1,0
% b/b
Persyaratan Normal Normal cabe 20-40 Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Men. Kes. No. 772/MenKes/Per/IX/88
Koloni/g APM/g APM/g APM/g
Maks. 1x105 Maks. 1x102 Negatif Maks. 10 Negatif/25 g
Seperti halnya pada kecap manis, penggunaan produk saus sambal (saus cabe) semakin meningkat. Hal ini didukung dengan berkembangnya industri
makanan,
terutama
industri
mi
instan.
Industri
mi
instan
menggunakan saus cabe sebagai salah satu komponen bumbu. Beberapa jenis makanan non oriental seperti burger, steak dan sebagainya, juga sering menggunakan produk ini. Dengan karakteristiknya yang kental dan berwarna, produk ini juga cukup menguntungkan untuk difortifikasi dengan beberapa zat gizi.
C. IODIUM Iodium merupakan jenis mineral mikro kedua sesudah zat besi yang dianggap penting bagi kesehatan manusia, walaupun kebutuhan sebenarnya akan mineral ini relatif kecil. Manusia tidak dapat membuat sendiri elemen iodium dalam tubuh, tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh melalui
10
serapan
iodium
yang
terkandung
dalam
makanan
serta
minuman
(Djokomoeldjanto, 1993). Kebutuhan iodium pada manusia cukup bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin dan kondisi biologis. Pada Tabel 4. disajikan tingkat kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa. Tabel 4 Kebutuhan iodium pada bayi hingga orang dewasa Kondisi Kebutuhan (µg) Bayi (0-3 tahun) 90 Anak-anak (4-12 tahun) 120 Pria dewasa (13->65 tahun) 150 Wanita dewasa (13->65 tahun) 150 Wanita hamil +50 Masa Laktasi +50 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Dari Tabel 4 terlihat bahwa, baik pada wanita hamil maupun menyusui terjadi peningkatan kebutuhan iodium sebesar 50 µg. Peningkatan kebutuhan tersebut dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid si ibu dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya perkembangan otak. Peranan iodium yang sudah dikenal cukup luas adalah dalam hubungannya dengan kelenjar gondok dan hormon-hormon tiroid. Iodium diperlukan tubuh untuk pembentukan hormon tetraiodotironin (T4) dan triiodotironin (T3) (Hetzel dan Wellby, 1997). Tiroksin merupakan nama lain untuk T4. Hormon- hormon ini dibutuhkan untuk proses pertumbuhan normal, perkembangan fisik dan mental hewan dan manusia. Selain itu, hormon tiroid juga diketahui berperan dalam pengontrolan konsumsi oksigen oleh sel dan tingkat metabolisme sel (Linder, 1992). Pengaruh iodium terhadap otak terkait dengan peranan hormon tiroksin dalam proses pembentukan neurofil di berbagai tempat pada otak pada akhir kehamilan sampai awal postnatal. Sedangkan pengaruh iodium terhadap perkembangan mental dan psikomotorik sudah dapat dijelaskan melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan. Pengaruh iodium dalam hal ini diwujudkan dalam tingkat Intelegence quotient (IQ point). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa anak yang tinggal di daerah kekurangan
11
iodium rata-rata memiliki IQ 13.5 point lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal di daerah yang cukup konsumsi iodium. Kekurangan asupan iodium dapat mengakibatkan kekurangan produksi hormon tiroid yang muncul dalam bentuk GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) ringan sampai berat, dari gondok endemik sampai kretin. Penderita GAKI dapat mengalami gangguan fisik, mental dan intelektual (Cahyadi, 2004). Sampai saat ini, GAKI masih merupakan masalah utama gizi masyarakat Indonesia, sampai dengan tahun 1994 prevalensinya mencapai 27.4% (Soekirman 1994). Secara rinci Tim Pembina Penanggulangan (TPP) GAKI Depkes RI (1992) memperkirakan bahwa 33.30 juta penduduk Indonesia beresiko menderita GAKI, 11.30 juta jiwa menderita gondok, 2.09 juta jiwa menderita keterbelakangan mental dan motorik ringan, 0.90 juta jiwa anak menderita kretin, 194 juta jiwa menderita cacat ringan dan 20 710 janin dan bayi baru lahir meninggal dunia. Permasalahan GAKI dan dampaknya dapat dijumpai pada semua segmen umur dalam masyarakat, mulai dari fetus sampai dewasa. Tabulasi dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Dampak kekurangan iodium pada berbagai segmen umur Tahap perkembangan Fetus
Kelainan Aborsi, lahir mati, peningkatan angka kematian bayi, kretin neorologis (defisiensi mental, bisu tuli, kelumpuhan spastik, juling), kretin hipotiroid (cebol, defisiensi mental), gangguan psikomotorik. Bayi baru lahir (neonatus) Gondok, hipotiroid, rendahnya kadar tiroid pada fase neonatus. Anak-anak dan remaja Gondok, hipotiroid juvenil, gangguan mental, terhambatnya perkembangan fisik. Dewasa Goiter dan komplikasinya, hipotiroid, gangguan mental. Sumber : Hetzel dan Wellby (1997) Kekurangan iodium pada janin diakibatkan oleh ibu yang kekurangan iodium. Iodium sangat dibutuhkan bagi janin. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Apabila ibu kekurangan iodium sejak awal
12
kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi. Dengan demikian, perkembangan otak janin sangat tergantung pada kecukupan hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, apabila ibu kekurangan iodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid ibu dan janin. Pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun karena kekurangan iodium pada masa ini maka tetap akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga timbul kelainan hipotiroidisme pada janin (Sethi dan Kapil, 2004). Pada bayi baru lahir, perkembangan otaknya sangat tergantung pada fungsi tiroid. Saat lahir, ukuran otak bayi baru mencapai sepertiga dari otak orang dewasa, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Apabila terjadi defisiensi iodium dan kelainan fungsi tiroid secara terus menerus pada masa ini, akan dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen (Sethi dan Kapil, 2004). Pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, kekurangan iodium dapat mengakibatkan gondok, gangguan mental, rendahnya IQ dan prestasi anak sekolah serta rendahnya daya produktifitas kerja. Pemberian koreksi iodium pada fase ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kadar T4 serum, sehingga dapat memperbaiki kelainan akibat kekurangan iodium (Anonim, 2005). Dengan melihat pentingnya fungsi iodium dan berbagai dampak yang ditimbulkan akibat defisiensinya, maka kecukupan asupan iodium sangat perlu untuk diperhatikan.
D. ZAT BESI Besi (Fe) adalah mikromineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, dikarenakan mineral ini dijumpai dalam semua sel tubuh. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Yang termasuk dalam kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan
13
protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan he mosiderin. Kandungan Fe pada orang dewasa berkisar antara 2.5 – 4 gram, dimana 2.0 – 2.5 gram- nya berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung Fe (Linder, 1992). Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2 . Sedangkan sebagian kecil Fe yang terdapat dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan O2 (oksidase dan oksigenase) (Brody, 1994). Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), dan dalam reaksi sintesis kolagen. Selain itu, Fe diperlukan dalam proses penghilangan lipida dari darah, serta untuk detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993). Keseimbangan zat besi di dalam tubuh harus selalu dipertahankan. Keseimbangan di sini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh jumlahnya sama dengan zat besi yang diperoleh tubuh dari bahan makanan. Kebutuhan manusia akan zat besi ditentukan oleh kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Kisaran kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur ditunjukkan pada Tabel 6. Peningkatan kebutuhan akan Fe terjadi pada beberapa kondisi klinis dan fisiologis dikarenakan terjadinya peningkatan kehilangan darah. Kehilangan
darah
selama
menstruasi
pada
wanita
usia
reproduktif
meningkatkan kebutuhan akan Fe, rata-rata 5 mg/hari diatas kebutuhan pria dewasa. Kebutuhan pada pria dewasa dan wanita menopouse sebesar 10 mg/hari.
14
Tabel 6 Kebutuhan zat besi pada berbagai tingkatan umur dan kondisi fisiologis Kategori Umur AKG Fe (mg) Bayi 0-6 bulan 0.5 7-11 bulan 7 Anak-anak 1-3 tahun 8 4-6 tahun 9 7-9 tahun 10 Pria dewasa 10-12 tahun 13 13-15 tahun 19 16-18 tahun 15 19->65 tahun 13 Wanita dewasa 10-12 tahun 20 13-49 tahun 26 50->65 tahun 12 Wanita hamil Trimester 1 +0 Trimester 2 +9 Trimester 3 +13 Wanita menyusui +6 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Apabila kebutuhan Fe bagi tubuh tidak tercukupi akan dapat menghantarkan pada berbagai kondisi (Tabel 7) . Tabel 7 Kondisi-kondisi akibat defisiensi zat besi A. Anemia B. Gangguan thermoregulasi C. Gangguan fungsi immun D. Gangguan fungsi mental dan kecerdasan E. Gangguan penampilan fisik F. Komplikasi saat kehamilan Sumber : O’dell dan Sunde (1997) Defisiensi besi adalah penyebab anemia yang paling sering/umum, mencapai 50% sebagai penyebab dari keseluruhan anemia yang ada (Black, 2003). Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan kadar Hb di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (WHO, 1976). Sedangkan anemia gizi besi (AGB) adalah anemia yang timbul karena kekurangan zat besi, sehingga pembentukan sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu. Penurunan kekebalan (imunitas) tubuh individu yang kekurangan Fe, menyebabkannya sangat peka terhadap serangan berbagai penyakit. Hal ini
15
berhubungan erat dengan menurunnya fungsi enzim pembentuk antibodi, sebagai akibat kekurangan nutrisi tersebut. Dampak defisiensi zat besi terhadap gangguan mental dan kecerdasan telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh NHANES III di Amerika Serikat terhadap 5398 anak usia 6-16 tahun, menunjukkan ternyata status Fe berhubungan dengan prestasi akademik objek yang diteliti. Berdasarkan skor tes matematika terstandaridisasi, pada anak-anak dengan defisiensi besi (dengan atau tanpa anemia), memiliki skor tes lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan status besi normal (Black, 2003). Zat besi dalam hal ini memiliki peranan dalam sistem neurotransmitter dan mungkin berpengaruh terhadap metabolisme dopamin. Dopamin secara nyata memiliki pengaruh yang sangat penting dalam fungsi kontrol perhatian, persepsi, memori, motivasi dan motorik (Black, 2003). Anemia gizi besi pada ibu hamil dapat berakibat pada kematian si ibu, pendarahan, berat bayi lahir rendah, infeksi setelah lahir (Shah dan Sachdev, 2004). Bayi yang lahir dari ibu yang menderita anemia gizi besi akan mengalami defisiensi zat besi dan dapat menyebabkan disfungsi otak serta gangguan perbanyakan sel otak.
E. VITAMIN A Vitamin A merupakan zat gizi essensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuk nya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid) dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991). Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk ß-karoten dan retinil ester dari hewan. Bagi ßkaroten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan
16
levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992). Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu (1) penglihatan, (2) differensiasi sel, (3) pertumbuhan dan (4) reproduksi. (Linder, 1992). Sedangkan Brody (1994) membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas yaitu (1) mendorong differensiasi sel epitel, (2) mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis) dan (3) utilisasi siklus penglihatan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) dengan mempertimbangkan faktor- faktor khas dari keadaan tubuh orang Indonesia (Tabel 8). Tabel 8 Daftar kecukupan konsumsi vitamin A Golongan Umur
Kebutuhan vitamin A (RE)
Anak-anak : 0-6 bulan 375 7-3 tahun 400 4-6 tahun 450 7-9 tahun 500 Pria : 10->65 tahun 600 Wanita : 10-18 tahun 600 19->65 tahun 500 Hamil +300 Menyusui +350 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya : (1) konsumsi vitamin A (pro- vitamin A) rendah, (2) gangguan dalam proses penyerapan didalam usus halus, (3) gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan (4) gangguan dalam proses konversi pro- vitamin A menjadi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Tabel 9) (Muchtadi, 1993).
17
Tabel 9 Gejala atau akibat defisiensi vitamin A A. Mata Rabun senja, keratinisasi kornea, opacity (kornea keruh), Bitot’s spot, xerosis conjunctivaI, xerophtalmia B. Infeksi saluran pernafasan C. Perubahan Kulit Kulit kasar dan kering, folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut yang mengeras) D. Pertumbuhan tulang terhambat E. Gangguan kesuburan/fertilitas pada pria F. Gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta serta aspek lain reproduksi wanita dan resorpsi fetus. G. Pengaruh lainnya Saluran pencernaan (diare), hilangnya enamel gigi, menurunnya indera pencium dan perasa, selera makan menurun. Sumber: Muchtadi (1993)
F. FORTIFIKASI Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan. Tujuan fortifikasi terhadap suatu bahan pangan selain untuk meningkatkan nilai gizi bahan makanan, juga dapat ditujukan untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi, 1993). Saat ini, upaya fortifikasi marak dilakukan sebagai usaha untuk menanggulangi defisiensi zat gizi tertentu di tengah masyarakat. Tiga permasalahan utama defisiensi zat gizi yang terjadi di beberapa negara adalah defisiensi iodium, zat besi dan vitamin A. Kejadian ini banyak disebabkan oleh ketidakcukupan konsumsi dan atau rendahnya bioavailabilitas zat- zat gizi tersebut (Gibson, 2004). Oleh karena itu, dengan adanya upaya fortifikasi diharapkan dapat mencegah ataupun mengurangi permasalahan ini. Fortifikasi dapat dilakukan secara single, double maupun multi fortifikasi. Namun, secara umum penambahan zat gizi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut : 1) zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan citarasa makanan; 2) dapat dimanfaatkan tubuh; 3) stabil selama penyimpanan; 4) tidak menyebabkan
18
timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang ditambahkan atau yang ada
dalam
bahan
makanan;
5)
jumlah
yang
ditambahkan
harus
memperhitungkan kebutuhan individu (Muchtadi, 1993). Pada saat melakukan fortifikasi mineral juga harus mempertimbangkan dalam memilih jenis garam mineral dari suatu mineral yang akan difortifikasikan, berdasarkan pertimbangan : 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas (kemampuannya dalam mengubah warna, flavor, penampakan dan katalisator bagi reaksi lain yang tidak diinginkan); 3) harga; dan 4) toksisitas. Pertimbangan serupa juga perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin (Clydesdale, 1991). Persyaratan bahan makanan yang dapat dijadikan pembawa (carrier) suatu zat gizi tertentu yang difortifikasikan antara lain : 1) dikonsumsi secara merata/umum oleh masyarakat sasaran; 2) dikonsumsi dalam jumlah yang relatif konstan sepanjang tahun; 3) diproduksi secara terpusat agar memudahkan
proses
fortifikasi
dan
pengawasannya
(Lachance
and
Bauernfeind, 1991). Pada awalnya, bahan makanan yang dipilih adalah dari golongan makanan pokok seperti produk-produk sereal, sebuah pilihan yang cukup masuk akal dan dapat diterima. Selanjutnya, terjadi diversifikasi bahan makanan pembawa yang terdiri dari bahan makanan tambahan diantaranya garam, gula, minuman (teh) dan bumbu masakan seperti kecap dan saus. Kecap dan saus dipilih dengan pertimbangan lebih yaitu karena karakteristik bahan yang berwarna dan kental sehingga diharapkan zat gizi yang difortifikasi akan terdispersi secara merata dalam bahan yang berwarna tanpa mengubah kualitas organoleptik bahan asal (Imanningsih, 2001).
19
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : kecap dan saus cabe, hewan percobaan, ransum serta bahan-bahan kimia. Kecap dan saus cabe yang digunakan adalah dari jenis yang difortifikasi dengan iodium, zat besi dan vitamin A. Kedua produk ini memiliki merek dagang “Nasional”, diperoleh dari PD. Sari Sedap. Kecap dan saus cabe diambil dari perusahaan satu minggu setelah diproduksi. Dengan demikian umur kecap saat mulai analisis adalah tujuh hari (satu minggu). Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jenis Sprague dawley. Tikus berjenis kelamin betina dengan umur sapih (3 minggu) dalam kondisi sehat. Ransum yang diberikan pada hewan percobaan sesuai dengan yang direkomendasikan AOAC (1984). Ransum terdiri dari sumber protein, selulosa (CMC), minyak (minyak jagung), multivitamin, multimineral, tepung maizena dan air. Ransum untuk perlakuan dibedakan menjadi ransum dengan dan tanpa mineral I dan Fe. Bahan-bahan kimia diperlukan untuk penguj ian mikrobiologi, ana lisis kandungan I, Fe, vitamin A kecap dan saus cabe, analisis hemoglobin (Hb) dan retinol serum serta analisis histologi otak. B. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian berlangsung dari bulan Februari – Oktober 2005. Penelitian dilakukan di Bagian Biokimia Pangan, Laboratorium Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) IPB, Bagian Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, serta Laboratorium Kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi empat bagian, dengan bagan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
BAGIAN I : PENDUGAAN UMUR SIMPAN A. Pengamatan perubahan sifat fisikokimia, mikrobiologis dari produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan B. Pendugaan umur simpan produk kecap dan saus cabe berdasarkan karakteristik fisikokimianya
BAGIAN II : UJI STABILITAS I, Fe, VIT.A A. Pengamatan perubahan nilai gizi iodium (I), zat besi (Fe) dan vit. A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan B. Pendugaan stabilitas I, Fe dan vit. A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe
BAGIAN III : UJI BIOLOGIS TERHADAP INDUK TIKUS A. Pengujian nilai biologis I, Fe dan vit. A dari produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan coba tikus, berdasarkan penilaian biokimia darah B. Pengujian manfaat iodium pada produk kecap dan saus cabe dalam mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan
BAGIAN IV : UJI BIOLOGIS TERHADAP ANAK TIKUS A. Pengamatan terhadap jumlah anak, tingkat kelangsungan hidup serta berat lahir B. Pengujian manfaat iodium pada produk kecap dan saus cabe dalam mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan Gambar 3 Bagan dari penelitian yang dilakukan
21
1. PENELITIAN BAGIAN I : PENDUGAAN UMUR SIMPAN Pada penelitian bagian pertama dilakukan pengamatan perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologis. Selanjutnya dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan karakteristik fisikokmianya, yang meliputi : viskositas, total padatan terlarut, pH dan warna. Bagan alir penelitian bagian pertama dapat dilihat pada Gambar 4. PRODUK
Kecap Saus cabe
PENYIMPANAN
Suhu : 27°C 43°C 55°C
PENGAMATAN FISIKOKIMIA Periode : hari ke-0,14,28,42,56 Parameter : 1. Viskositas 2. Total padatan terlarut 3. pH 4. Warna
PENYIMPANAN
Suhu : 27°C
PENGAMATAN MIKROBIOLOGIS Periode : hari ke-0,14,28,52 Parameter : S total mikroba
PENDUGAAN UMUR SIMPAN (Metode Arrhenius)
Gambar 4 Bagan alir penelitian bagian I Produk kecap dan saus cabe disimpan dalam inkubator pada suhu 27°C, 43°C dan 55°C. Selanjutnya dilakukan pengamatan fisikokimia pada masing- masing suhu penyimpanan, pada periode pengamatan tertentu. Untuk pengamatan mikrobiologis, produk hanya disimpan pada suhu 27°C saja. Data hasil pengamatan fisikokimia digunakan untuk
22
menduga umur simpan kecap dan saus cabe berdasarkan karakteristik fisikokimia. Prosedur pengamatan dapat dilihat seperti di bawah ini : a. Pengamatan Fisikokimia 1) Pengukuran Viskositas Pengukuran viskositas menggunakan alat viskometer. Nilai pada skala yang terbaca pada alat menunjukkan besarnya viskositas, yang dinyatakan dalam centipois (cp) 2) Pengukuran Total Padatan Terlarut Pengukuran total padatan terlarut menggunakan alat refraktometer. Larutan yang akan diukur diteteskan pada prisma refraktometer. Nilai pada skala yang terbaca pada batas gelap dan terang menunjukkan besarnya total padatan terlarut dalam satuan derajat Brix. 3) Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan dengan pH- meter yang dikalibrasi oleh buffer pH 4 dan 7. Kalibrasi dilakukan setiap awal pengukuran. 4) Pengukuran Warna Analisis warna dilakukan dengan “Color Measurement and Difference Calculation/Digital Display System” model MINOLTA CAMERA seri Cr-200 (Minolta co. Ltd.-Japan). Secara otomatis alat mengukur tingkat kecerahan (L), intensitas warna merah (a) dan intensitas warna kuning (b).
b. Pengamatan Mikrobiologis Untuk penentuan total mikroba, media yang digunakan adalah Plate Count Agar (PCA). Sampel dari produk dimasukkan ke dalam cawan petri steril pada tiga tingkat pengenceran. Kemudian pada cawan tersebut dituang PCA steril sebanyak 15-20 ml. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar dan dilakukan pengamatan serta penghitungan jumlah mikroba pada hari ke-0,14,28 dan 52.
23
c. Pendugaan Umur Simpan Umur simpan produk kecap dan saus cabe yang didasarkan pada perubahan karakteristik fisikokimianya ditentukan dengan model pendekatan Arrhenius. Penurunan mutu bahan pangan diasumsikan mengikuti reaksi ordo nol, dimana perubahan parameter yang diukur konstan terhadap waktu, mengikuti persamaan sebagai berikut : -dA = k …………………………… persamaan 1 dt A – Ao = k.t dimana : A = konsentrasi pada saat t =t Ao= konsentrasi pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan Dengan menggunakan persamaan Arrhenius, nilai k (konstanta laju reaksi) pada beberapa suhu penyimpanan dapat ditentukan. Persamaannya : k = ko.e-Ea/RT ……………………… persamaan 2 Dimana :
ko = konstanta pre-eksponensial atau konstanta laju absolut k
= konstanta laju reaksi pada suhu T
Ea = Energi aktivasi (J/mol) R
= konstanta gas ideal (8.314 J/K.mol)
T
= suhu absolut (°K)
2. PENELITIAN BAGIAN II : UJI STABILITAS IODIUM, ZAT BESI, VITAMIN A Pada penelitian bagian kedua dilakukan pengamatan perubahan nilai gizi iodium (I), zat besi (Fe) dan vitamin A yang difortifikasikan pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan. Selanjutnya dilihat pola kestabilan zat-zat gizi tersebut. Bagan alir penelitian bagian kedua dapat dilihat pada Gambar 5.
24
PRODUK
Kecap Saus cabe
PENYIMPANAN
Suhu : 27°C
PENGUJIAN KANDUNGAN ZAT GIZI IODIUM, BESI, VIT. A Periode pengujian : hari ke-0, 14, 28, 42, 56
PENDUGAAN POLA STABILITAS ZAT GIZI IODIUM, BESI, VIT. A
Gambar 5 Bagan alir penelitian bagian II Produk kecap dan saus cabe disimpan dalam inkubator pada suhu 27°C. Selanjutnya dilakukan pengukuran kandungan iodium, zat besi dan vitamin A pada masing- masing suhu penyimpanan, pada hari ke-0, 14, 28, 42, 56. Data hasil pengamatan digunakan untuk menduga pola stabilitas masing- masing zat gizi tersebut dalam produk kecap dan saus cabe. Kandungan iodium diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri, zat besi dengan AAS, sedangkan vitamin A dengan HPLC. Prosedur pengukuran kandungan iodium, zat besi dan vitamin A masing- masing dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3 3. PENELITIAN BAGIAN III : UJI BIOLOGIS TERHADAP INDUK TIKUS Pada penelitian bagian ketiga dilakukan pengujian nilai biologi I, Fe dan vitamin A dari produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan coba tikus induk berdasarkan penilaian biokimia darah. Serta dilakukan
25
pengujian
manfaat
iodium
pada
kedua
produk
tersebut
dalam
mempengaruhi kemampuan belajar tikus percobaan. Bagan alir selengkapnya dari penelitian tahap ketiga ini dapat dilihat pada Gambar 6. PENGELOMPOKAN TIKUS PERCOBAAN Tikus Betina umur sapih (21 hari), dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu : 1. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, tidak diberi kecap dan saus cabe (kontrol -) 2. Diberi sumber I dan Fe dari ransum, tidak diberi kecap dan saus cabe (normal) 3. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi kecap 4. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi saus cabe 5. Tidak diberi sumber I dan Fe dari ransum, diberi KIO 3 Keterangan : - Periode perlakuan 30 hari - Masing- masing perlakuan terdiri dari 8 tikus - Kecap dan saus cabe diberikan secara oral dengan dosis 1,8 g/kg BB/hari
PENGAMATAN TIKUS PERCOBAAN A. PENIMBANGAN BERAT BADAN TIKUS Penimbangan berat badan terhadap masing- masing kelompok perlakuan setiap 2 hari sekali selama 30 hari B. PENGAMATAN KEMAMPUAN BELAJAR Setelah 30 hari perlakuan, dilakukan pengukuran kemampuan belajar tikus percobaan dengan menggunakan tes mendapatkan makanan (food retrieval test) (Suprijana, 1992)
PEMBEDAHAN TIKUS § 2 tikus untuk masing- masing perlakuan § Pengamatan : 1. ? sel neuron otak 2. Hb serum 3. Retinol serum
TIKUS DIKAWINKAN § 5 tikus untuk masingmasing perlakuan
TIKUS HAMIL Pengamatan : § Penimbangan BB tikus selama kehamilan
Gambar 6 Bagan alir penelitian bagian III
26
a. Pengujian Biokimia Darah 1). Pengambilan Darah §
Darah diambil dari vena tikus, dimasukkan ke dalam 2 tabung, yaitu : (1) Tabung tanpa EDTA, (2) Tabung berisi EDTA 10%. Dimasukkan ice box untuk dianalisis di laboratorium.
§
Darah dalam tabung 1 disentrifuse (3000 rpm, 10 menit). Bagian serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ampul serum. Serum digunakan untuk analisis kandungan retinol.
§
Darah dalam tabung 2 siap dianalisis kandungan Hb-nya.
2). Pemeriksaan Hb Serum (Lampiran 4) 3). Pemeriksaan Retinol (vitamin A) Serum (Lampiran 3) b. Pengamatan Kemampuan Belajar Pengukuran kemampuan belajar tikus percobaan dilakukan dengan menggunakan tes mendapatkan makanan (food retrieval test) dengan menggunakan alat labirin pengujian kemampuan belajar tikus. Alat pengujian kemampuan belajar tikus dibuat dari kayu dengan ukuran 120 cm x 60 cm x 15 cm (Gambar 7). Bagian dalam kotak diberi banyak penyekat. Penyekat ruangan dimaksudkan untuk membingungkan tikus, sehingga untuk memperoleh makanan ia harus mencari jalan yang paling mudah.
Gambar 7 Alat pengujian kemampuan belajar tikus Prinsip tes ini adalah mengukur waktu yang diperlukan tikus yang diletakkan pada posisi Start (S) untuk mendapatkan makanan yang diletakkan pada posisi Finish (F). Pengukuran kemampuan
27
belajar dilakukan pada tikus dewasa berumur 60 hari dan anak tikus berumur 30 hari. Beberapa hari sebelum pengujian, tikus dilatih dari posisi S dan dibimbing melalui lintasan untuk mencapai posisi F. Latihan dilakukan beberapa kali dengan frekuensi yang sama untuk masing- masing perlakuan. Pada saat pengujian, tikus diletakkan pada posisi S dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai posisi F dicatat dalam detik.
c. Analisis Jumlah Sel Neuron Satu hari setelah pengukuran terakhir kemampuan belajar, tikus dibedah untuk dianalisis histologi otak dan dilakukan penghitungan jumlah sel neuronnya. Bagian otak yang diamati yaitu serebri otak kiri bagian tengah. Untuk anak tikus pengambilan organ otak dilakukan pada saat tikus berumur 4 hari dan 30 hari (setelah uji kemampuan belajar). Sebelum dilakukan pembedahan terlebih dahulu tikus dimatikan dengan cara menarik bagian kepala dan ekor hingga ruasruas tulang belakangnya putus. Setelah itu dilakukan pembedahan kepala untuk mengambil otaknya. Otak difiksasi dengan larutan bouin (asam pikrat jenuh : formalin : asam asetat = 15 : 5 : 1) selama 24 jam. Setelah itu otak direndam dalam alkohol 70%, kemudian dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam keranjang serta diberi label sebelum proses dehidrasi. Proses dehidrasi sampel jaringan dengan mencelupkan ke dalam alkohol 70%. Penyimpanan dalam alkohol 70% dapat dilakukan dalam waktu yang lama dan dapat berfungsi sebagai stopping point. Proses dehidrasi selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam alkohol 80%, 90% dan 95% masing- masing selama 24 jam serta perendaman dalam alkohol absolut I, II, III masing- masing selama 1 jam. Tahap selanjutnya yaitu proses penjernihan atau clearing dengan memasukkan jaringan ke dalam xylol I, xylol II dan xylol III masing- masing selama 1 jam. Perlakuan pada xylol III dibagi dalam
28
dua tempat yaitu 30 menit di suhu ruang dan 30 menit di inkubator suhu 62°C untuk preadaptasi. Setelah proses penjernihan, dilakukan infiltrasi pada jaringan dengan mencelupkannya dalam parafin I, parafin II dan parafin III pada suhu 62°C masing- masing selama 1 jam. Otak yang telah didehidrasi diblok dengan parafin sampai memadat (embedding). Proses embedding dilakukan dengan alat tisue embedding console. Setelah padat dilakukan pemotongan otak dengan ukuran 5 mikron berbentuk pita dengan alat mikrotom. Pita yang dihasilkan diapungkan dalam air dingin dan diseleksi untuk mendapat sayatan yang baik. Sayatan yang baik diapungkan di permukaan air hangat (40°C) kemudian dipindahkan pada gelas objek lalu diperiksa di bawah mikroskop. Objek gelas tersebut diletakkan diatas hot plate selama 1015 menit. Kemudian jaringan dimasukkan dalam inkubator 40°C selama satu malam sebelum pewarnaan. Pewarnaan preparat dilakukan dengan menggunakan dua pewarna yaitu Hematoksilin- Eosin (HE). Sebelumnya dilakukan deparafinisasi dengan mencelupkan jaringan dalam xylol III, xylol II, xylol I maing- masing 3-5 menit. Kemudian rehidrasi dengan merendam jaringan dalam alkohol absolut III, II, I, alkohol 95%, 90%, 80%, 70% masing- masing selama 3-5 menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades selama 15-30 menit, perendaman dalam akuades 5 menit. Pencucian dengan air kran dilakukan kembali selama 15-30 menit, perendaman dalam akuades 5 menit lalu pewarnaan dengan Eosin alkohol selama 1-2 menit dan dicuci lagi dengan akuades. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan merendam jaringan dalam alkohol 70%, 80%, 90%, absolut I, II dan III serta xylol I, II, III. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diobservasi dengan mikroskop dan selanjutnya dilakukan pemotretan. Analisis
terhadap
histologi
otak
dilakukan
dengan
menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera. Jumlah sel neuron dihitung per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali pada
29
tikus umur 60 hari dan anak tikus umur 30 hari, sedangkan pada anak tikus umur 4 hari dengan pembesaran 400 kali.
4. PENELITIAN BAGIAN IV : UJI BIOLOGIS TERHADAP ANAK TIKUS Pada penelitian bagian keempat ini (Gambar 8), dilakukan pengamatan terhadap jumlah anak tikus yang dilahirkan serta berat lahir anak tikus. Anak tikus diperoleh dari hasil perkawinan induk masingmasing perlakuan. Anak tikus selanjutnya mendapat perlakuan yang sama seperti induknya. Jadi dalam hal ini, ada 5 kelompok perlakuan anak tikus. Pengamatan kemampuan belajar dan analisis jumlah sel neuron otak menggunakan metode yang sama dengan metode pada penelitian bagian ketiga. Pengamatan tambahan terhadap anak tikus yaitu: penimbangan berat otak. PEMBEDAHAN ANAK TIKUS (umur 1 hari) Pengamatan : § ? sel neuron otak
TIKUS MELAHIRKAN Pengamatan : § penghitungan ? anak
ANAK TIKUS Pengamatan : 1. penimbangan BB lahir (tikus umur 4 hari) 2. penimbangan BB anak tikus 2 hari sekali selama 30 hari 3. pengamatan kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari
PEMBEDAHAN ANAK TIKUS (umur 30 hari) Pengamatan : 1. Berat otak tikus 2. ? sel neuron otak Gambar 8 Bagan alir penelitian bagian IV
30
Prosedur Pengukuran Berat Pengukuran berat otak dilakukan pada anak tikus umur 30 hari. Berat otak diukur dengan menggunakan neraca analitik.
D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), mengikuti model linier : Yij = µ + di + eij Keterangan : Yij = nilai parameter pengamatan dari perlakuan ke- i, ulangan ke-j µ = nilai rataan umum d
= pengaruh perlakuan ke- i
e
= pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke- i, ulangan ke-j Apabila pengaruh perlakuan nyata maka dilakukan uji lanjut
berdasarkan uji beda Duncan pada selang kepercayaan 95%.
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN BAGIAN PERTAMA Bagian pertama dari penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap perubahan sifat fisikokimia dan mikrobiologi kecap dan saus cabe. Pada bagian ini pula dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan karakteristik sifat fisikokimianya. 1. Pengaruh Penyimpanan terhadap Sifat Fisikokimia Kecap dan Saus Cabe a. Total Padatan Terlarut (TPT) Total padatan terlarut (TPT) erat hubungannya dengan kadar gula produk, karena TP T diukur berdasarkan persentase gula produk. Kecap manis yang diteliti memiliki TPT yang tinggi, yaitu sebesar 75.9 Brix. Hal ini berarti di dalam produk tersebut mengandung gula yang sangat tinggi. Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan pada proses pembuatannya ditambahkan gula. Dengan demikian produk kecap manis ini telah memenuhi standar SNI untuk kecap manis (SNI 01-3543-1994), yang menetapkan minimum jumlah padatan 40 % (b/b). TPT yang terukur untuk produk saus cabe tidak begitu tinggi, hanya sekitar 22.3 brix. Penambahan gula pada pembuatannya hanya sedikit, tidak sebanyak yang ditambahkan pada kecap manis. Namun demikian produk ini juga telah memenuhi standar SNI untuk saus cabe (SNI-2976-1992), yang menetapkan jumlah padatan sebesar 20-40% (b/b). Produk kecap dan saus cabe yang disimpan pada suhu kamar menunjukkan nilai TPT yang semakin meningkat (Gambar 9 dan 10). Peningkatan TPT selama penyimpanan terjadi karena semakin banyak terbentuk senyawa gula yang larut. Pantastico (1986) menyatakan bahwa peningkatan TPT disebabkan terjadinya pemutusan rantai panjang karbohidrat menjadi senyawa gula yang larut.
TPT (Brix%)
76.02 76 75.98 75.96 75.94 75.92 75.9 75.88 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
TPT (Brix%)
Gambar 9 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) kecap selama penyimpanan 22.65 22.6 22.55 22.5 22.45 22.4 22.35 22.3 22.25 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 10 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) saus cabe selama penyimpanan b. pH Pengukuran pH awal produk kecap yang diteliti menunjukkan nilai sebesar 4.41, sedangkan untuk produk saus cabe menunjukkan nilai sebesar 3.73. Dengan demikian kedua produk tersebut dapat digolongkan ke dalam bahan pangan asam. Berdasarkan penggolongan bahan pangan menurut nilai pH, bahan-bahan pangan yang mempunyai nilai pH diantara (3.7 atau) 4.0 dan 4.5 tergolong ke dalam bahan pangan asam (Buckle et al., 1985). Rendahnya pH pada kecap disebabkan oleh terbentuknya asamasam organik (asam laktat) oleh bakteri asam laktat selama proses fermentasi moromi (Buckle et al., 1985). Sedangkan rendahnya pH pada saus cabe disebabkan karena adanya penambahan cuka dalam proses
33
pembuatannya, selain itu juga karena penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet yang biasa digunakan adalah dari jenis asam lemah seperti asam benzoat. Gambar 11 menunjukkan bahwa pH produk kecap yang disimpan pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan cenderung konstan. Sedangkan pH produk saus cabe tidak konstan, bahkan menunjukkan pola yang naik turun selama penyimpanan. Namun demikian kenaikan dan penurunan pH yang terjadi tidaklah terlalu signifikan hanya berkisar antara
pH
0.1 - 0.2 poin. 4.5 4.4 4.3 4.2 4.1 4 3.9 3.8 3.7 3.6 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Kecap
Saus cabe
Gambar 11 Kurva pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pH antara lain karena aktivitas mikroba dalam memecah protein, karbohidrat, lemak dan zat- zat organik
lainnya
menjadi asam-asam
organik
sehingga
hal
ini
menyebabkan penurunan nilai pH. Rendahnya pH yang dimiliki produk kecap serta tingginya padatan terlarut berupa gula dapat secara efektif menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menurunkan pH. Oleh karena itu terlihat bahwa pada penyimpanan selama kurang lebih 2 minggu belum menunjukkan penurunan pH. Dengan demikian kemungkinan besar produk kecap mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Saus cabe juga memiliki nilai pH yang rendah dan total padatan terlarut ya ng tidak tinggi. Akan tetapi kondisi tersebut sudah cukup mampu untuk menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga penurunan pH pada saus cabe selama penyimpanan tidak signifikan. Produk-produk
34
olahan cabe merah dapat mengalami kenaikan pH selama penyimpanan, seperti juga yang telah diteliti oleh Wati (1997). Kenaikan pH ini kemungkinan disebabkan oleh penguapan asam-asam organik yang mempunyai rantai karbon pendek, selain itu dapat juga disebabkan oleh oksidasi asam seperti asam askorbat. Dengan adanya proses tersebut maka kandungan asam pada produk akan berkurang. c. Viskositas Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu produk yang biasa dinyatakan dengan satuan centipoise (cp). Produk kecap yang diamati memiliki nilai viskositas sebesar 1425 cp, sedangkan untuk produk saus cabe memiliki nilai viskositas sebesar 18500 cp. Tingginya viskositas pada saus cabe disebabkan oleh adanya penambahan bahan pengental dalam proses pembuatannya. Bahan pengental yang biasa digunakan adalah tepung atau pati jagung (maizena), tapi dapat juga digunakan pati lainnya. Sedangkan pada proses pembuatan kecap tidak ditambahkan pengental sehingga konsistensinya cenderung encer. Penyimpanan kedua produk pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan menunjukkan pola penurunan viskositas pada produk (Gambar 12 dan 13). Kartika et al. (1992) menyatakan bahwa kekentalan suatu larutan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, konsentrasi larutan, berat molekul (BM) dan
zat terlarut. Dalam hubungannya dengan zat
terlarut, dengan semakin meningkatnya zat terlarut pada produk selama penyimpanan maka akan menurunkan kekentalannya. Hal ini sejalan dengan pengukuran total padatan terlarut (TPT) pada kedua produk (kecap dan saus cabe) selama penyimpanan. TPT pada kedua produk meningkat selama penyimpanan (Gambar 9 dan 10), dengan demikian TPT kemungkinan besar menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya viskositas produk.
35
Viskositas (cp)
1500 1400 1300 1200 1100 1000 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 12 Kurva viskositas kecap selama penyimpanan
Viskositas (cp)
18600 18400 18200 18000 17800 17600 17400 17200 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 13 Kurva viskositas saus cabe selama penyimpanan Viskositas produk juga dipengaruhi oleh penurunan pH karena terbentuknya asam-asam organik hasil metabolisme mikroba. Asam-asam tersebut dapat mengencerkan produk sehingga menurunkan nilai viskositas. Sejalan pula dengan pengukuran pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan yang menunjukkan penurunan (Gambar 11). Dengan demikian pH kemungkinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan viskositas produk. Keberadaan pati sebagai bahan pengental pada saus cabe juga berperan dalam penurunan viskositas produk selama penyimpanan. Pati akan mengalami pemanasan selama proses pembuatan saus cabe. Akibat paparan panas, pati yang ditambahkan akan membengkak dan menyerap air (pati tergelatinisasi). Pada pati yang telah dipanaskan dan menjadi
36
dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Air yang berada di luar granula tersebut mengadakan ikatan yang erat dengan molekul- molekul pati pada bagian permukaan butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak akan berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel yang terbentuk tadi disimpan untuk beberapa hari, air yang terdapat dalam rongga dapat keluar dari bahan dan akan mengencerkan produk (proses sineresis) (Winarno, 1991). d. Warna Pengamatan perubahan warna hanya dilakukan pada produk saus cabe, dikarenakan pengaruh penyimpanan terhadap perubahan warna pada saus cabe lebih terlihat dibandingkan pada kecap. Parameter perubahan warna dinyatakan dalam notasi L, a, b. Notasi L untuk menyatakan tingkat kecerahan, a untuk intensitas warna merah dan b untuk intensitas warna kuning. Selama penyimpanan kurang lebih 2 bulan pada suhu kamar, terlihat terjadi penurunan baik pada tingkat kecerahan (L), intensitas warna merah (a), maupun intensitas warna kuning produk saus cabe (b) (Gambar 14). Pengamatan secara fisik menunjukkan produk saus cabe mengalami perubahan warna dari merah menjadi merah kecoklatan. 50 Skala nilai
45 40 35 30 25 20 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
L
a
b
Gambar 14 Kurva L, a, b saus cabe selama penyimpanan
37
Perubahan warna ini terjadi karena adanya reaksi pencoklatan yaitu reaksi yang menghasilkan warna kecoklatan pada bahan makanan. Reaksi pencoklatan yang terjadi pada produk kemungkinan besar tergo long reaksi pencoklatan non enzimatis. Secara umum ada tiga macam reaksi pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi Maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat vitamin C. Vitamin C selain bertindak sebagai senyawa reduktor juga sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non enzimatik (Syarief dan Halid, 1993). Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat (Winarno, 1991). Namun demikian, perubahan warna pada saus cabe yang paling utama adalah karena adanya reaksi oksidasi capsanthin dan reaksi polimerisasi lainnya yang masih belum jelas (Belitz dan Grosch, 1987). Kemungkinan juga zat besi (Fe) yang terdapat pada saus berperan terhadap pencoklatan produk. Hal ini dikarenakan oleh adanya sifat kimiawi senyawa besi (II) yang mudah dioksidasi menjadi besi (III) yang berwarna kuning, hijau atau hitam.
2. Pengamatan Mikrobiologis Hasil pengamatan mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil analisis mikrobiologi (angka lempeng total) kecap dan saus cabe selama penyimpanan
Produk Kecap Saus cabe
0 0 0 0 0
Jumlah mikroba (koloni) Lama penyimpanan (hari) 14 28 0 2.3 x 103 0 2.3 x 103 1 3.0 x 10 6.0 x 101 2.0 x 101 2.0 x 101
52 9.0 x 101 2.0 x 101 6.0 x 101 4.0 x 101
Berdasarkan hasil pengamatan di atas terlihat bahwa di awal minggu tidak terdeteksi adanya mikroba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemanasan selama proses pengolahan. Sel-sel vegetatif yang mungkin
38
berada dalam produk mudah dimatikan dengan adanya pemanasan pada suhu mendekati titik didih air. Selain itu adanya bahan tambahan lain seperti gula, garam, asam dan bahan pengawet lain misalnya natrium benzoat. Adanya garam, gula dan rempah-rempah lainnya dalam bahan pangan dapat menurunkan a w sehingga mengganggu stabilitas mikroba dalam bahan pangan (Buckle et al., 1985). Selama penyimpanan terjadi pertumbuhan mikroba. Pada saus cabe pertumb uhan mikroba mulai terjadi pada hari ke-14 penyimpanan dan mengalami peningkatan sampai dengan hari terakhir penyimpanan (hari ke52). Sedangkan pada produk kecap, pertumbuhan mikroba meningkat pada hari ke-28 setelah dua minggu sebelumnya belum terjadi pertumbuhan mikroba. Namun demikian pada hari terakhir penyimpanan menunjukkan gejala penurunan jumlah mikroba. Meskipun pertumbuhan mikroba sudah terjadi selama penyimpanan pada kedua produk namun jumlahnya masih jauh di bawah SNI yang ditetapkan yaitu sebesar 1.0x105 . Pertumbuhan mikroba kemungkinan disebabkan oleh adanya sporaspora mikroba yang resisten terhadap pemberian panas selama pengolahan. Akibatnya selama penyimpanan spora mikroba dapat tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak, sehingga terjadi peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan.
3. Pendugaan Umur Simpan a. Kecap Penentuan umur simpan produk kecap ditentukan berdasarkan parameter nilai pH. Produk kecap yang diproduksi diharapkan memilki nilai pH berkisar antara 4.0 – 4.8, sehingga dapat dinyatakan bahwa produk tersebut masih baik dan layak dikonsumsi.
Berdasarkan
pengamatan selama penyimpanan, pH produk kecap akan mengalami penurunan. Penurunan pH akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap rasa kecap. Oleh karena itu kebanyakan produsen menetapkan nilai minimum pH yang masih dapat ditoleransi adalah sebesar 4.0. Dasar
39
inilah yang kemudian digunakan untuk mene ntukan umur simpan produk kecap. Plot kurva antara waktu penyimpanan dan pH dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila ingin diketahui umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar (27°C) dapat dilihat dari nilai regresi kurva waktu penyimpanan vs pH pada suhu kamar, yaitu : Y = -0.0005x + 4.42 Dimana : Y = nilai pH x = lama penyimpanan (waktu) Jika nilai akhir pH yang diinginkan sebesar 4.0, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 840 hari (2.3 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 840 hari (2.3 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk kecap dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 11 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs pH dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 11 Nilai k, persamaan regresi pH kecap dan pendugaan umur simpan kecap pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan (K) (K) simpan vs pH (hari) 27 Y = -0.0005x + 4.42 0.0005 -7.6009 300 0.0033 840 43 Y = -0.0041x + 4.422 0.0041 -5.4968 316 0.0032 205 55 Y = -0.0080x + 4.404 0.0080 -4.8283 328 0.0030 26 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs pH Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 6. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -9941.9 (1/T) + 25.662
40
Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk kecap melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = pH pada saat t =t Ao = pH pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan b. Saus Cabe Salah satu parameter kritis dalam menentukan umur simpan adalah warna. Warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk makanan. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan untuk dikonsumsi. Selain itu warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti adanya reaksi pencoklatan atau karamelisasi. Dalam penyimpanan saus cabe, warna juga merupakan faktor yang paling utama untuk diperhatikan, karena seringkali warna saus cabe tersebut dapat menjadi penentu harga bagi saus cabe yang bersangkutan (Syarief dan Halid, 1993). Hasil pengamatan terhadap saus cabe selama penyimpanan menunjukkan bahwa warna produk cenderung mengalami pencoklatan. Dengan demikian, untuk memperkirakan umur simpan produk saus cabe secara kuantitatif dapat menggunakan parameter warna melalui bentuk persamaan regresi sehingga dapat dinyatakan produk tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Wati (1997) batas penerimaan konsumsi (nilai kritis) saus dari cabe atau paprika tercapai pada nilai L (kecerahan) sebesar 24.95 dan nilai a (intensitas warna merah) 7.59. Berdasarkan nilai a, persamaan regeresi yang didapatkan dari kurva waktu penyimpanan vs nilai a pada penyimpanan suhu kamar (27°C) (Gambar 14 ), adalah sebagai berikut :
41
Y = -0.0513x + 20.574 Dimana : Y = nilai a x = lama penyimpanan (waktu) Jika batas kritis nilai a yang diinginkan sebesar 7.59, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 370 hari (1 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 370 hari (1 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk saus cabe berdasarkan nilai b dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 12 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs nilai a dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12 Nilai k, persamaan regresi intensitas warna merah (a) dan pendugaan umur simpan saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan vs (K) (K) simpan nilai a (hari) 27 Y = -0.0513x + 20.574 0.0513 -2.9701 300 0.0033 370 43 Y = -0.1537x + 29.329 0.1537 -1.8728 316 0.0032 164 55 Y = -0.1944x + 27.455 0.1944 -1.6378 328 0.0030 94 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs nilai a Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 8. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -4814.3 (1/T) + 13.160 Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk saus cabe melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = nilai a pada saat t =t Ao = nilai a pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan
42
Parameter kritis lain dalam menentukan umur simpan saus cabe adalah viskositas. Viskositas sangat berperan dalam menentukan tekstur produk, serta berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Hasil pengamatan
viskositas
selama
penyimpanan
menunjukkan
bahwa
viskositas produk semakin encer. Pada umumnya nilai viskositas sebesar 9000 cp mulai tidak disukai oleh konsumen, hal ini berdasarkan uji organoleptik yang pernah dilakukan oleh suatu perusahaan (Syarifudin, 2003). Berdasarkan nilai viskositas, persamaan regresi yang didapatkan dari kurva waktu penyimpanan vs nilai viskositas pada penyimpanan suhu kamar (27°C) (Gambar 12 ), adalah sebagai berikut : Y = -19.694x + 18483 Dimana : Y = nilai viskositas x = lama penyimpanan (waktu) Jika batas kritis nilai viskositas yang diinginkan sebesar 9000 cp, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa la ma penyimpanan yang dibutuhkan adalah 482 hari (1.3 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 482 hari (1.3 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk saus cabe berdasarkan nilai viskositas dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 13 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs nilai a dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 13 Nilai k, persamaan regresi viskositas dan pendugaan umur simpan saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan vs (K) (K) simpan viskositas (hari) 27 Y = -19.654x + 18483 19.654 2.9803 300 0.0033 482 43 Y = -15.561x + 18296 15.561 2.7448 316 0.0032 296 55 Y = -153.75x + 18490 153.75 5.0353 328 0.0030 79 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs nilai viskositas
43
Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 10. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -6594.5 (1/T) + 24.572 Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk saus cabe melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = nilai a pada saat t =t Ao = nilai a pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan B. PENELITIAN BAGIAN KEDUA Bagian kedua dari penelitian ini dilakukan untuk melihat pola kestabilan dari beberapa zat gizi yang difortifikasi yaitu iodium, zat besi dan vitamin A selama penyimpanan. 1. Stabilitas Iodium Kandungan iodium pada kecap fortifikasi lebih besar dibandingkan pada saus cabe, masing- masing menunjukkan rata-rata sebesar 69.8 ppm dan 50.5 ppm. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat fortifikasi iodium pada kedua produk berbeda dan atau kandungan awal iodium pada kedua bahan pangan yang berbeda. Tingkat iodisasi yang seringkali dilakukan di berbagai negara bervariasi yaitu diantara 20 – 100 ppm iodium (Diosady et al., 2002). Iodium yang ditambahkan umumnya dalam bentuk KI atau KIO 3 . Senyawa KIO 3 lebih stabil dibandingkan KI. KIO 3 lebih resisten terhadap oksidasi sehingga tidak membutuhkan penstabil seperti layaknya KI. Stabilitas iodium dalam media kecap dan saus cabe dilakukan dengan mengamati kadar iodium pada produk selama penyimpanan kurang lebih dua bulan. Selama jangka waktu tersebut terlihat bahwa kandungan iodium pada kecap cenderung menurun (Gambar 15). Penurunan yang cukup
44
tajam mulai terjadi pada penyimpanan hari ke-42. Sedangkan sampai dengan akhir penyimpanan iodium yang tersisa kurang lebih 90% dari iodium awal. Problem penyusutan iodium dalam media yang difortifikasi selama penyimpanan terkait dengan potensi iodium untuk tereduksi atau teroksidasi menjadi elemental iod (I2 ). Iod elemental dapat dengan cepat mengalami sublimasi dan kemudian berdifusi ke atmosfer. Hal ini terjadi pada kondisi yang lembab, aerasi yang berlebihan, paparan cahaya, panas, asam atau keberadaan senyawa pengotor seperti dalam garam (Diosady et al., 2002). Oleh karena itu untuk menghindari kehilangan iodium yang berlebihan produk harus diminimalisasikan dari hal-hal tersebut. Dalam hal ini proses pengemasan dan penyimpanan sebelum produk digunakan memegang peranan yang cukup penting.
Kadar iodium (ppm)
75 70 65 60 55 50 45 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 15 Grafik kadar iodium selama penyimpanan Iodium yang terkandung dalam saus cabe dapat dikatakan lebih stabil bila dibandingkan dengan kecap. Sampai dengan akhir periode penyimpanan selama kurang lebih dua bulan belum terjadi penurunan (Gambar 15). Kenaikan
kadar
iodium
yang
terukur
kemungkinan
disebabkan
kekuranghomogenan iodium dalam produk. Homogenisasi zat gizi yang ditambahkan pada saus cabe cenderung lebih sulit dibandingkan kecap. Hal ini dikarenakan konsistensi saus yang lebih kental.
45
2. Stabilitas Vitamin A Hasil pengukuran kandungan vitamin A pada produk kecap dan saus cabe menunjukkan bahwa saus cabe memilki kandungan vitamin A yang lebih besar dibandingkan kecap. Secara kuantitatif kandungan vitamin A saus cabe kurang lebih dua kali lipat dari kandungan vitamin A kecap. Pada saat awal pengukuran kandungan vitamin A saus cabe sebesar 131 IU/g, sedangkan pada kecap sebesar 51 IU/g. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tingkat fortifikasi kedua produk yang berbeda. Jumlah vitamin A yang difortifikasikan pada saus cabe kemungkinan memang lebih banyak dibandingkan kecap. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Imanningsih et al. (2001) mengenai studi kelayakan penggunaan kecap dan saus tomat sebagai media fortifikasi yang tepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fortifikasi vitamin A pada kecap memberikan nilai homogenitas terbaik pada tingkat 50 IU/g, sedangkan pada saus tomat nilai homogenitas terbaik pada tingkat fortifikasi 100 IU/g. Stabilitas vitamin A dalam media kecap dan saus cabe dilakukan dengan mengamati kadar vitamin A pada produk selama penyimpanan kurang lebih dua bulan. Selama jangka waktu tersebut terlihat bahwa kandungan vitamin A pada saus cabe cenderung stabil (Gambar 16). Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terkadap vitamin A pada saus cabe (Lampiran 11). Begitu pula yang terjadi pada kecap (Lampiran 12). Secara sepintas terlihat bahwa kadar vitamin A pada kecap mulai mengalami penurunan pada hari ke-42 penyimpanan (Gambar 16) dengan penurunan sebesar 3%. Pada akhir penyimpanan (hari ke-56) secara kuantitatif terjadi penurunan kadar vitamin A sebesar 11% atau berarti bahwa jumlah vitamin A dalam produk tinggal 89% dari jumlah awal. Penurunan kadar vitamin A yang difortifikasikan pada kecap dan saus berkaitan dengan sifat vitamin A itu sendiri. Vitamin A dalam bentuk murni biasanya sangat labil terhadap oksigen, udara serta cahaya. Dengan demikian harus ada langkah-langkah untuk mencegah atau menghambat
46
kehilangan vitamin A di dalam produk fortifikasi. Diantara langkah yang sering dilakukan adalah : 1) Vitamin A yang difortifikasikan dibuat senyawa kompleks dengan bahan lainnya, biasanya dibuat dalam ikatan dengan asetat atau palmitat sehingga lebih stabil; 2) Vitamin A dilapisi denga n protektif material untuk melapisi bagian luar partikel-partikel vitamin A, dapat digunakan gelatin, gula, pati dan lain- lain; 3) Pengemasan yang memadai. Pengemasan yang sempurna sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas vitamin A dan pencegahan terhadap oksigen dan uap air yang dapat meninggikan kelembaban dan merusak vitamin A; 4) Penambahan zat antioksidan ke dalam produk untuk mencegah oksidasi.
Kadar Vit.A (IU)
140 120 100 80 60 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama Penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 16 Grafik kadar vitamin A selama penyimpanan Melihat kestabilan vitamin A dalam kedua produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan dua bulan, sangat dimungkinkan beberapa langkah pencegahan terhadap kehilangan vitamin A seperti tersebut diatas sudah teraplikasikan dengan baik. Bentuk vitamin A yang difortifikasikan kemungkinan besar sudah dalam bentuk kompleksnya. Bentuk yang biasa digunakan secara luas adalah retinil palmitat/vitamin A palmitat, bentuk ini cenderung larut dalam air dan stabil sehingga sangat sesuai untuk produk kecap dan saus. Kestabilan vitamin A sangat didukung oleh kemasan yang sempurna. Kemasan untuk kedua produk dalam penelitian ini telah memadai dalam mencegah masuknya oksigen atau uap air ke dalam produk.
47
3. Stabilitas Zat Besi (Fe) Hasil pengukuran kandungan Fe pada produk kecap dan saus cabe menunjukkan bahwa kecap memilki kandungan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan saus cabe. Rata-rata kandungan Fe kecap pada awal pengukuran sebesar 61.78 ppm, sedangkan pada saus cabe sebesar 47.36 ppm. Perbedaan kandungan Fe pada kedua produk bisa dipengaruhi oleh perbedaan kandungan Fe dari bahan pembawa (kecap dan saus cabe) dan atau bisa juga dipengaruhi oleh perbedaan tingkat fortifikasi. Kecilnya perbedaan kandungan Fe antara kedua produk menunjukkan bahwa perbedaan tersebut kemungkinan lebih dikarenakan oleh adanya kandungan awal Fe pada bahan pembawa yang berbeda. Mengacu pada penelitian Anwar (1992), kandungan zat besi total pada kecap manis sebelum difortifikasi adalah sekitar 56.40 ppm. Pola perubahan kandungan zat besi total dalam produk dapat dilihat pada Gambar 17. Penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar zat besi total (Lampiran 13 dan Lampiran 14), sehingga dapat dikatakan bahwa zat besi yang terdapat dalam produk stabil selama periode penyimpanan kurang lebih dua bulan. Pada umumnya, selama penyimpanan senyawa besi peka terhadap proses oksidasi. Oksidasi zat besi semakin meningkat pada kondisi tingginya tingkat kelembaban. Selama oksidasi zat besi dalam bentuk fero (Fe2+) diubah menjadi bentuk feri (Fe3+). Kompleks senyawa feri bersifat tidak larut dan sulit diserap oleh usus halus. Oleh karena itu, karena ketidaklarutannya tersebut maka semakin lama penyimpanan produk dalam kondisi kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan zat besi mengendap. Dengan demikian sangat penting untuk memperhatikan kondisi penyimpanan produk yang difortifikasi dengan zat besi. Produk tersebut harus terjaga dari kelembaban yang tinggi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperhatikan kemasan. Pemilihan jenis kemasan dan proses pengemasan harus dilakukan dengan tepat, sehingga mampu mencegah migrasi uap air ke dalam produk yang dapat meningkatkan kelembaban.
48
Stabilnya zat besi pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan dua bulan kemungkinan besar didukung oleh faktor pengemasan yang baik. Pengemas yang ada cukup mampu melindungi produk dari kelembaban. Selain itu, pengemasan secara hermetis mampu pula untuk mencegah adanya uap air dalam produk selama penyimpanan.
Kadar Fe (ppm)
70 65 60 55 50 45 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 17 Grafik kadar zat besi selama penyimpanan
C. PENELITIAN BAGIAN KETIGA Bagian ketiga dari penelitian ini dilakukan untuk menguji nilai biologi zat besi dan vitamin A dari produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan coba tikus induk (umur 30 hari) berdasarkan penilaian biokimia darah. Serta dilakukan pengujian manfaat iodium pada kedua produk dalam mempengaruhi perkembangan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar tikus percobaan. 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Profil Biokimia Darah a. Hemoglobin Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektifan pemberian zat besi (Fe) yang difortifikasilan pada kecap dan saus cabe. Efektifitas pemberian Fe dari kecap dan saus cabe akan dibandingkan dengan pemberian Fe yang berasal dari mineral mix dalam ransum standar. Parameter yang yang digunakan dalam hal ini adalah kadar hemoglobin (Hb) serum darah tikus percobaan, didasarkan pada pendugaan fungsional
49
secara langsung dari zat besi yang terabsorbsi. Hemoglobin merupakan bentuk komponen Fe terbesar dalam tubuh. Zat besi dalam bahan pangan agar berfungsi bagi tubuh harus dapat diabsorbsi dengan baik dalam saluran pencernaan. Fortifikasi zat besi ke dalam bahan pangan harus memperhatikan hal tersebut. Zat besi dari makanan yang dapat diserap akan dibawa oleh plasma darah bersamasama dengan zat besi dari simpanan dan dari pemecahan Hb ke bagianbagian tubuh yang membutuhkan. Sebagian besar dari keseluruhan zat besi tersebut dimanfaatkan untuk pembentukan Hb, umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Hasil pengukuran kadar hemoglobin (Gambar 18) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix dalam ransum (normal) memiliki kadar hemoglobin rata-rata sebesar 12.1 mg/dl. Sedangkan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari kecap dan saus cabe, masing- masing memiliki kadar Hb rata-rata sebesar 11.72 mg/dl dan 11.32 mg/dl.
Kadar Hb (mg/dl)
14
12.1a
12
11.72a
11.32a 9.68b
9.45b
10 8 6 4 2 0 Normal
Kontrol (-)
Kecap
Saus cabe
KIO3
Perlakuan
Gambar 18 Kadar Hemoglobin (Hb) Tikus pada berbagai kelompok perlakuan Dapat disimpulkan bahwa tikus dari ketiga kelompok perlakuan yang mendapatkan asupan Fe ternyata tidak menderita anemia. Berdasarkan nilai fisiologis tikus, tikus dinyatakan normal jika memilki kadar hemoglobin diantara 11-18 mg/dl (Malole dan Pramono, 1989). Sedangkan, tikus kelompok perlakuan yang tidak mendapat asupan Fe yaitu tikus kontrol (-) dan KIO 3 dapat dikatakan menderita anemia, karena
50
hanya memiliki kadar Hb rata-rata sebesar 9.13 mg/dl dan 9.68 mg/dl. Anemia terjadi akibat kekurangan suplai zat besi. Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pemberian Fe dan pemberian Fe, baik dari ransum yang mengandung mineral mix maupun dari kecap dan saus cabe berpengaruh nyata terhadap kadar Hb (Lampiran 15). Kelompok perlakuan yang tidak mendapat asupan Fe (kontrol (-) dan KIO 3 ) antar keduanya tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix, serta berbeda nyata pula dengan kelompok perlakuan yang diberi Fe dari kecap maupun saus cabe. Sedangkan kelompok perlakuan yang diberi Fe dari kecap dan saus cabe ternyata juga tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix (Lampiran 16). Sumber zat besi yang digunakan dalam mineral mix berbentuk ferro sulfat. Zat besi dalam bentuk ini telah diketahui memiliki ketersediaan yang sangat tinggi baik pada manusia maupun pada tikus. Hal ini disebabkan karena kelarutan ferro sulfat yang tinggi sehingga memudahkannya untuk diserap oleh tubuh. Dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang mengandung besi lainnya, ferro sulfat mempunyai sifat mudah larut dalam air (Clydesdale, 1985). Berdasarkan
hasil
penelitian
ketersediaan
zat
besi
yang
difortifikasi, bentuk fortifikan zat besi pada kecap dan saus cabe yang diteliti ternyata memiliki ketersediaan biologis yang serupa dengan ferro sulfat. Fortifikan yang digunakan kemungkinan bisa berbentuk ferro sulfat itu sendiri ataupun bentuk senyawa besi yang lain, karena mengingat bahwa ferro sulfat memiliki beberapa kelemahan apabila akan digunakan sebagai fortifikan. Ferro sulfat mudah bereaksi dengan bahan pangan menghasilkan perubahan yang tidak diinginkan, diantaranya perubahan warna, bau dan rasa. Dengan alasan tersebut, terkadang beberapa industri pangan memilih alternatif untuk menggunakan senyawa besi lain yang lebih tidak reaktif walaupun ketersediaan biologisnya relatif lebih kecil dibandingkan ferro sulfat.
51
Penelitian yang dilakukan oleh Fidler et al. (2003) memberikan contoh bahwa fortifikasi produk condiment diantaranya kecap dengan menggunakan senyawa NaFeEDTA sangat menguntungkan. Selain karena senyawa ini cenderung tidak mengendap selama penyimpanan, ternyata juga senyawa ini memilki ketersediaaan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan ferro sulfat.
b. Vitamin A Serum Retinol merupakan salah satu bentuk vitamin A dalam serum atau plasma. Dalam keadaan normal, proporsi retinol dapat mencapai 90 %. Oleh karena itu, kadar vitamin A serum seringkali digambarkan sebagai kadar retinol serum yang sekaligus menggambarkan status vitamin A dalam tubuh seseorang. Status vitamin A dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : 1) <10 µg/dl menunjukkan defisiensi; 2) 10 - 20 µg/dl menunjukkan kadar pada tingkat marginal; 3) 20 - <30 µg/dl menunjukkan kadar cukup; dan 4) >30 µg/dl menunjukkan kadar yang baik (Underwood, 1990). Pengukuran retinol serum seringkali juga digunakan di dalam menilai keberhasilan penelitian proyek fortifikasi. Fortifikasi yang berarti menambahkan zat gizi tertentu, dalam hal ini vitamin A ke dalam saus cabe dan kecap sehingga konsentrasi vitamin A-nya meningkat. Dengan meningkatnya konsentrasi vitamin A menyebabkan serum vitamin A meningkat dan vitamin A tersedia dalam jumlah yang cukup banyak untuk jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkannya. Derajat keberhasilan fortifikasi dapat dilihat dari seberapa banyak serum vitamin A yang dapat dinaikkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kecap dan saus cabe yang difortifikasi vitamin A terhadap status vitamin A tikus percobaan. Vitamin A yang dikonsumsi dari kecap dan saus cabe dalam hal ini dapat berfungsi sebagai tambahan asupan vitamin A dari yang sudah ada, yaitu yang berasal dari vitamin mix dalam ransum standar. Jadi, dalam hal ini semua tikus perlakuan mendapatkan asupan vitamin A yang
52
sama dari ransum standar. Hanya saja untuk perlakuan kecap dan saus cabe masing- masing mendapatkan tambahan intik vitamin A dari kecap dan saus cabe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian tambahan asupan vitamin A dari kecap dan saus cabe tidak berpengaruh nyata terhadap kadar retinol serum (Lampiran 17). Gambar 19 menunjukkan hasil pengukuran kadar vitamin A serum. Meskipun secara kuantitatif kadar retinol serum kelompok perlakuan yang diberi saus cabe paling tinggi dibandingkan yang lain yaitu sebesar 36.10 µg/dl, namun sesungguhnya nilai tersebut tidak berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Sedangkan kelompok perlakuan yang diberi kecap tidak menunjukkan peningkatan retinol serum, kadarnya hanya sebesar 29.54 µg/dl. Sedangkan kadar retinol serum untuk masing- masing kelompok yang hanya mendapatkan asupan vitamin A dari ransum yaitu kelompok perlakuan normal sebesar 33.16 µg/dl, kelompok perlakuan kontrol (-) sebesar 28.91 µg/dl dan kelompok perlakuan KIO 3 sebesar 25.27 µg/dl. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok perlakuan kontrol (-), kecap dan KIO 3 memiliki kadar retinol serum pada tingkat yang cukup,
Kadar Retinol Serum (ug/dl)
sedangkan kelompok perlakuan normal dan saus cabe dikategorikan baik.
40
36.1a
33.16a
30
28.91a
29.54a
Kontrol (-)
Kecap
25.27a
20 10 0 Normal
Saus cabe
KIO3
Perlakuan
Gambar 19 Kadar retinol serum pada berbagai kelompok perlakuan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian kecap dan saus cabe tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin A serum, dalam artian pemberian kedua produk tidak meningkatkan vitamin A serum
53
secara signifikan. Sebenarnya pemberian vitamin A saja dari ransum sudah mampu memberikan status vitamin A yang cukup (≥ 20 mg/dl). Dengan tercukupinya kadar retinol dalam serum berarti simpanan vitamin A di dalam hati cukup mampu untuk mengatur vitamin A yang disirkulasikan di dalam darah. Vitamin A dalam darah akan kurang dari normal, hanya apabila cadangan vitamin A di dalam hati sudah sangat menipis atau habis. Oleh karena itu, penambahan vitamin A yang diperoleh dari fortifikasi kemungkinan akan disimpan di dalam hati, sedangkan vitamin A di dalam darah akan tetap konstan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husaini (1982) bahwa vitamin A yang difortifikasikan pada garam tidak menunjukkan kenaikan yang nyata pada anak dengan status vitamin A ≥ 20 mg/dl. Tidak terjadinya peningkatan yang nyata pada serum vitamin A akibat fortifikasi diduga karena kadar vitamin A dalam produk belum cukup jumlahnya. Kadar vitamin A dalam saus cabe rata-rata sekitar 132.87 IU/g dan pada kecap rata-rata sekitar 51.58 IU/g. Adapun rata-rata konsumsi vitamin A dari saus cabe hanyalah sekitar 47.8 IU (14.3 RE) per hari, sedangkan untuk kecap hanyalah sekitar 18.6 IU (5.58 RE) per hari. Jumlah vitamin A yang dikonsumsi tersebut berdasarkan diet takaran saji sebesar 0.36 g/hari.
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak Pada Induk Tikus Umur 30 Hari Penghitungan jumlah sel neuron otak dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian iodium. Iodium bertanggung jawab terhadap produksi hormon tiroksin, sedangkan hormon ini sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan (Ganong, 1989), salah satunya adalah sel otak. Pengamatan dilakukan terhadap otak kiri tikus pada bagian korteks serebri. Dikarenakan bagian ini mempunyai keunggulan dalam hal kemampuan untuk berpikir, komunikasi, mengingat dan menganalisis input oleh sistem syaraf pusat.
54
Pengamatan terhadap sel-sel neuron dipermudah dengan melakukan pewarnaan Hematoksilin- Eosin. Hematoksilin akan mewarnai inti sel sedangkan Eosin akan mewarnai sitoplasma. Jumlah sel neuron otak dihitung per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali. Hasil pengamatan
Jumlah sel neuron (sel/lapang pandang)
dapat dilihat pada Gambar 20 dan Lampiran 18. 100 80
83c
86c
Kecap
Saus
78c
62a
60
47b
40 20 0 Normal
Kontrol (-)
KIO3
Perlakuan
Gambar 20 Jumlah sel neuron otak induk tikus Gambar 20 menunjukkan bahwa perlakuan selama 30 hari terhadap induk tikus umur 30 hari mengakibatkan perbedaan jumlah sel neuron otak. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa perlakuan variasi pemberian iodium berpengaruh nyata terhadap jumlah sel neuron (p<0.05). Tikus yang tidak mendapatkan asupan iodium (kelompok kontrol-) memiliki jumlah sel neuron yang paling sedikit (47 sel/lapang pandang). Penyebab
sedikitnya
jumlah
sel
neuron
disebabkan
oleh
kondisi
hipotiroidisme ringan, akibat sangat rendahnya suplai iodium ke dalam tubuh. Bila kadar iodium yang disuplai ke dalam tubuh lebih kecil dari kebutuhan normal maka pertumbuhan sel dan jaringan akan terhambat. Hasil uji beda Duncan (Lampiran 20) menunjukkan bahwa kelompok kontrol (-) berbeda nyata dengan kelompok normal yang mendapat asupan iodium dari ransum. Secara biologis kelompok normal memiliki jumlah sel yang lebih banyak yaitu sebesar 62 sel/lapang pandang.
Kemungkinan
suplai iodium yang didapatkan dari ransum mampu untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk melakukan proses metabolisme secara optimal.
55
Kelompok kecap, saus cabe dan KIO 3 memiliki jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya. Jumlah sel yang terhitung untuk masing- masing kelompok perlakuan tersebut berturutturut adalah 83, 86, 78 sel/lapang pandang. Hasil uji beda Duncan (Lampiran 20) menunjukkan ketiga kelompok ini berbeda nyata dengan kelompok normal dan kontrol (-). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kecap dan saus cabe secara teratur mampu mencukupi kebutuhan tubuh akan iodium. Selain itu, hal tersebut membuktikan bahwa fortifikasi iodium ke dalam kecap dan saus cabe secara efektif mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak. Bakal calon induk tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berusia tiga minggu (umur sapih). Pada usia tersebut kemungkinan besar organ otaknya belum berhenti tumbuh, karena 30% dari bagian otak terbentuk pada kurun waktu tersebut. Oleh karena itu kecukupan berbagai mikronutrien yang terkait dengan perkembangan otak menjadi sangat penting, diantaranya adalah iodium. Iodium dibutuhkan dalam pembentukan hormon tiroid, untuk sintesis tri- iodotironin dan tiroksin. Hormon tiroksin sangat penting dalam proses pembentukan neurofil di berbagai tempat pada otak. Dalam hal ini, iodium khususnya berfungsi untuk pembentukan dendrit dan pemanjangan akson dalam sel neuron. Jumlah sel neuron otak yang terhitung untuk masing- masing perlakuan ternyata berkorelasi positif terhadap kerapatan dan penyebaran sel. Semakin banyak jumlahnya cenderung tingkat kerapatannya semakin tinggi. Seperti yang terlihat pada Gambar 21, tingkat kerapatan sel yang rendah serta penyebaran yang tidak merata ditunjukkan oleh tikus kelompok perlakuan yang kekurangan iodium (perlakuan kontrol (-)).
56
Normal
Kecap
Kontrol (-)
Saus cabe
KIO 3
Gambar 21 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks induk tikus (perbesaran 200 kali) 3. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Tikus Percobaan Umur 30 Hari Kemampuan belajar tikus percobaan diuji dengan menggunakan kotak labirin berukuran 120 cm x 60 cm x 15 cm. Bagian dalam kotak diberi banyak penyekat yang dimaksudkan untuk membingungkan tikus dan menguji sejauh mana tikus mampu menghafal jalan yang sebenarnya. Tiga fase diperlukan dalam pengujian ini, yaitu : a) fase pengenalan terhadap sasaran, b) fase pelatihan dan c) fase pengujian untuk mencapai sasaran. Fase pelatihan dan pengujian diulang sebanyak tiga kali. Hasil pengukuran pada fase pengujian menunjukkan derajat kemampuan belajar tikus percobaan. Pada prinsipnya, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mancapai sasaran berarti kemampuan belajar semakin baik. Hasil uji kemampuan belajar dari lima kelompok tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 22 :
57
Waktu tempuh (detik)
60 50.1d 50 40 29.63c 30 18.35ab
20
21.26b 14.89a
10 0 Normal
Kontrol (-)
Kecap
Saus
KIO3
Perlakuan
Gambar 22 Kemampuan belajar induk tikus percobaan
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap kemampuan belajar tikus percobaan. Tikus kelompok perlakuan KIO 3 memiliki waktu tempuh tercepat (14.89 detik), diikuti kelompok perlakuan kecap (18.35 detik), saus cabe (21.26 detik), normal (29.63 detik) dan kontrol (-) (50.10 detik). Uji lanjut dengan menggunakan Duncan (Lampiran 22) memperlihatkan bahwa kelompok yang
mendapatkan asupan iodium
dari
KIO 3
secara
oral
tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kelompok perlakuan tikus yang mendapat konsumsi kecap. Sedangkan antara kelompok perlakuan yang diberi kecap dan kelompok perlakuan yang diberi saus tidak berbeda nyata, namun berbeda dengan kelompok perlakuan nomal yang mendapat asupan iodium dari mineral mix dalam ransum. Kelompok perlakuan kontrol negatif yang tidak mendapatkan asupan iodium juga berbeda nyata dengan empat kelompok lainnya dan menunjukkan waktu tempuh terlama. Dengan demikian derajat kemampuan belajar tikus ditentukan salah satunya oleh pemberian iodium, karena iodium berperan secara langsung terhadap jaringan otak yang terlihat pada jumlah sel neuron korteks serebri. Jumlah sel neuron ini berkorelasi positif terhadap kemampuan belajar tikus. Semakin banyak jumlah sel neuron otak maka semakin banyak memori yang dapat disimpan sehingga kemampuan belajarnya semakin baik. Dan juga, dengan semakin banyak jumlah sel neuron maka impuls- impuls syaraf dapat disampaikan dalam waktu yang relatif lebih singkat. Memori yang cukup
58
serta kecepatan impuls syaraf merupakan prasyarat proses belajar yang baik, karena dalam suatu proses belajar melibatkan pembiasaan, kondisional alat, belajar pengertian dan mengesankan suatu proses. Selain itu, kecukupan asupan iodium berpengaruh positif terhadap tercukupinya hormon tiroid bagi tubuh. Hormon tiroid akan mempengaruhi kecepatan fungsi mental dan kepekaan terhadap rangsang.
D. PENELITIAN BAGIAN KEEMPAT Bagian keempat dari penelitian ini dilakukan untuk melihat manfaat pemberian kecap dan saus cabe yang telah difortifikasi terhadap berat lahir anak tikus umur empat hari. Serta dilakukan pengujian manfaat iodium pada kedua produk dalam mempengaruhi perkembangan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar anak tikus umur empat dan 30 hari. 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Lahir Hasil penimbangan rata-rata berat anak tikus umur empat hari disajikan pada Tabel 14. Dalam tabel tersebut juga disertakan perhitungan rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh induk dari masing- masing perlakuan. Penimbangan berat lahir dilakukan terhadap anak tikus umur empat hari. Hal ini dilakukan dengan alasan pada saat baru lahir, anak tikus terlalu beresiko untuk ditimbang karena kondisinya yang masih sangat lemah dan ukurannya yang masih sangat kecil sehingga ditakutkan akan mengalami kematian. Tabel 14 Berat lahir anak tikus Perlakuan Normal Kontrol(-) Jumlah anak tikus (ekor) 6 8 Berat lahir (gram) 8.1 6.4
Kecap 9 6.6
Saus cabe 7 7.9
KIO 3 8 6.7
Dari Tabel 14 diketahui bahwa berat lahir terkecil dimiliki oleh kelompok kontrol (-), diikuti berturut-turut oleh kelompok perlakuan kecap, KIO 3 , saus cabe dan normal. Besar kecilnya bobot lahir anak tikus sangat ditentukan oleh kecukupan zat gizi induk yang dibutuhkan untuk
59
pertumbuhan janin dalam kandungan. Zat gizi yang dibutuhkan sangatlah banyak diantaranya adalah komponen trace element seperti iodium. Hormon tiroid umumnya bekerja dalam biokimia seluler untuk pertumbuhan fetus di dalam kandungan. Sepertinya berat lahir ini dipengaruhi juga oleh jumlah anak yang dilahirkan yang dapat dilihat dari rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada masing- masing perlakuan. Kecenderungan menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya jumlah anak yang dilahirkan maka berat lahir anak akan semakin kecil.
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Otak Anak Tikus Pengamatan terhadap berat otak anak tikus dilakukan untuk melihat pengaruh kecukupan konsumsi zat gizi khususnya iodium terhadap pertumbuhan normal otak. Hasil pengamatan terhadap rata-rata berat otak anak tikus dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata berat otak anak tikus umur 30 hari Perlakuan Normal Kontrol (-) Kecap Saus cabe Berat otak 3.30 3.18 3.62 3.43 (g/100 g BB)
KIO 3 3.38
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap berat otak anak tikus (p>0.05) (Lampiran 23). Secara kuantitatif kelompok perlakuan kecap mempunyai berat otak tertinggi. Namun demikian, tidak berbeda secara signifikan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya yang juga mendapatkan asupan iodium (kelompok normal, saus cabe, KIO 3 ). Berat otak anak tikus kelompok perlakuan kontrol (-) paling kecil diantara yang lainnya, meskipun secara statistik juga tidak berbeda nyata dengan kelompok normal, kecap, saus cabe dan KIO 3 . Berdasarkan data di atas kondisi hipotiroidisme yang diberikan pada induk tikus kelompok kontrol (-) mengakibatkan berat otaknya lebih kecil dibandingkan kelompok lainnya. Sethi dan
Kapil (2004) melakukan review terhadap penelitian-
penelitian sebelumnya dan menyatakan bahwa dampak kekurangan iodium
60
terhadap anak tikus salah satunya adalah perubahan bentuk dan pengurangan berat otak. 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak pada Anak Tikus Umur Empat dan 30 hari Penghitungan jumlah sel neuron otak anak tikus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kecukupan zat gizi iodium yang diberikan pada induk berpengaruh terhadap pertumbuhan otak anak. Anak tikus umur empat hari
mewakili gambaran pertumbuhan otak bayi baru lahir,
sedangkan anak tikus umur 30 hari diharapkan mewakili usia kanakkanak. Hasil penghitungan jumlah sel neuron otak kiri pada bagian korteks serebri anak tikus umur empat hari per lapang pandang dengan perbesaran 400 kali dapat dilihat pada Tabel 16 serta Lampiran 24. Tabel 16 Jumlah sel neuron otak anak tikus umur 4 dan 30 hari Rata-rata jumlah sel neuron per lapang pandang Perlakuan Anak 4 hari Anak 30 hari (perbesaran 400x) (perbesaran 200x) Normal 47±10.41ab 77±4.04b Kontrol (-) 44±12.01a 58±5.51a Kecap 75±8.19c 80±5.77b Saus cabe 64±5.86bc 80±6.35b KIO 3 53±0.71ab 63±10.69a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 25) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari. Anak tikus yang terlahir dari induk perlakuan kecap memilki jumlah sel terbanyak (75 se/lapang pandang), uji beda Duncan (Lampiran 26) menyatakan kelompok ini tidak berbeda nyata dengan kelompok saus cabe (64 sel/lapang pandang) akan tetapi berbeda nyata dengan kelompok KIO 3 (53 sel/lapang pandang). Sedangkan anak tikus yang terlahir dari induk perlakuan kontrol (-), normal dan KIO 3 tidaklah berbeda secara signifikan. Perlakuan kontrol (-) dan normal
61
masing- masing hanya menunjukkan jumlahnya sebesar 44 dan 47 sel/lapang pandang. Dari segi kerapatan, jumlah sel berbanding lurus dengan kerapatan. Perlakuan kecap memperlihatkan susunan sel yang lebih rapat, diikuti perlakuan saus cabe dan KIO 3 yang tidak terlalu berbeda kerapatannya. Sedangkan perlakuan normal dan kontrol (-) memiliki kerapatan yang rendah dengan sedikitnya jumlah sel yang dimilki. Struktur sel neuron korteks serebri otak kiri anak tikus umur empat hari dapat dilihat pada Gambar 23 . Berdasarkan data diatas, kemungkinan besar kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium mampu memenuhi kebutuhan iodium induk, bahkan pada saat hamil dan menyusui sekalipun. Pada fase janin dan bayi setelah dilahirkan kebutuhan nutrisinya akan sangat tergantung pada kecukupan nutrisi dari induknya.
Normal
Kontrol (-)
Saus cabe
Kecap
KIO 3
Gambar 23 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks anak tikus umur empat hari (perbesaran 400 kali) Jumlah sel neuron anak yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh status iodium induk pada masa kehamilan dan menyusui. Semakin baik
62
status iodium induk maka jumlah sel neuron anak akan semakin banyak dan sebaliknya. Hal ini dikarenakan perkembangan otak terjadi sangat pesat pada saat janin (trimester pertama) dan periode awal setelah kelahiran (umur 3 tahun) (Singh, 2004). Penelitian terakhir menunjukkan, transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Bilamana ibu kekurangan iodium sejak awal kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi. Dengan demikian, perkembangan otak janin sangat tergantung pada hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, apabila ibu kekurangan iodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid ibu dan janin. Dalam trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun apabila terjadi kekurangan iodium pada masa ini maka juga akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga berakibat hipotiroidisme pada janin. Adapun hasil penghitungan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali dapat dilihat pada Tabel 16 serta Lampiran 27. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah sel neuron anak tikus umur 30 hari (Lampiran 28). Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 29) kelompok perlakuan kontrol (-) tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan KIO 3 , namun berbeda nyata dengan kelompok perlakuan normal, kecap dan saus cabe. Dalam hal ini, kelompok kontrol (-) mempunyai jumlah sel terkecil (58 sel/lapang pandang) sedangkan perlakuan KIO 3 mempunyai jumlah sel (63 sel/lapang pandang). Antara kelompok perlakuan normal, kecap dan saus cabe tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, masing- masing memilki jumlah sel sebesar 77, 80 dan 80 sel /lapang pandang. Berdasarkan data tersebut, pemberian saus cabe dan kecap masih memiliki kecenderungan dalam meningkatkan jumlah sel neuron otak anak tikus umur 30 hari.
63
Normal
Kontrol (-)
Saus cabe
Kecap
KIO 3
Gambar 24 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks anak tikus umur 30 hari (perbesaran 200 kali) Pada fase anak setelah dilahirkan, fungsi tiroid berhubungan erat dengan keadaan otak pada saat bayi itu lahir. Pada bayi baru lahir, pertumbuhan otak baru mencapai sepertiga, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Hormon tiroid pembentukannya sangat tergantung pada kecukupan iodium, dan hormon ini sangat penting untuk perkambangan otak normal. Sedangkan kecukupan iodium pada fase ini sangat tergantung pada kecukupan asupan iodium ibu menyusui dan makanan tambahan yang diberikan. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan utama bagi bayi beberapa lama setelah dilahirkan. Kualitas nutrisi ASI dapat ditingkatkan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi ibu menyusui dari makanan yang dikonsumsi atau dengan memberikannya suplemen. Apabila langkah tersebut terabaikan maka tidak akan terjadi pengoreksian terhadap kekurangan iodium yang mungkin terjadi sejak bayi dilahirkan. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hipotiroidisme yang akan menetap sejak bayi sampai masa anak. Kondisi demikian akan
64
berakibat pada retardasi perkembangan fisik dan mental, serta resiko kelainan mental yang sangat tinggi. Struktur sel neuron korteks serebri otak kiri anak tikus umur 30 hari dapat dilihat pada Gambar 24 . 4. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Anak Tikus Umur 30 hari Hasil uji kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari dapat dilihat pada Gambar 25. Analisis sidik ragam (Lampiran 30) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kemampuan belajar anak tikus 30 hari. Kemampuan belajar tercepat dimiliki oleh kelompok perlakuan kecap (12.62 detik), diikuti kelompok perlakuan saus cabe (14.85 detik), KIO 3 (20.77 detik), normal (19.44 detik) dan kemampuan belajar terla mbat tetap dimilki kelompok kontrol (-) seperti halnya pada
Waktu tempuh (detik)
induk dengan waktu tempuh 36.52 detik. 40 35 30 25
36.52c
20.77b
19.44b
20 15 10 5 0
12.62a
Normal
Kontrol (-)
Kecap
14.85a
Saus
KIO3
Perlakuan
Gambar 25 Kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari Uji beda menggunakan Duncan (Lampiran 31) memperlihatkan bahwa perlakuan yang diberi kecap tidak berbeda nyata dengan kelompok yang diberi saus cabe, namun berbeda nyata dengan tiga kelompok lainnya. Sedangkan kelompok perlakuan saus cabe tidak berbeda nyata dengan kelompok KIO 3 . Kelompok normal dan kontrol (-) berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lainnya.
65
Kemampuan belajar ini tetap saja terkait erat dengan jumlah sel neuron otak yang dimiliki oleh masing- masing perlakuan. Pembentukan sel neuron pada anak tikus sangat ditentukan oleh kecukupan asupan iodium dari induknya. Tikus dengan umur 30 hari merupakan tikus yang baru saja disapih, sehingga praktis selama hidupnya hanya mengandalkan makan dari air susu induknya. Terjaminnya asupan zat gizi induk akan sangat berperan bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak. Seperti yang sudah dipaparkan bahwa pertumbuhan otak dimulai sejak janin hingga bayi setelah dilahirkan. Sejalan dengan penelitian yang seringkali dilakukan pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan iodium menunjukkan prestasi belajar dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok umur yang sama dari daerah yang berkecukupan iodium. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kekurangan iodium mengakibatkan keterampilan kognitif rendah. Keadaan ini dapat dikatakan sebagai hipotiroidisme otak, yang akan menyebabkan bodoh dan lesu, hal ini merupakan tanda hipotiroidisme pada anak dan dewasa. Keadaan lesu dapat kembali normal bila diberikan koreksi iodium, namun lain halnya jika keadaan yang terjadi di otak. Kelainan yang terjadi pada otak akibat adanya gangguan dalam pembentukan neurofil saat fase pembentukannya, dalam hal ini kekurangan iodium, cenderung bersifat permanen. Adapun keadaan lesu lebih terkait pada fungsi iodium sebagai pengontrolan konsumsi oksigen oleh sel dan tingkat metabolisme sel.
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Selama penyimpanan kurang lebih dua bulan terjadi pola peningkatan total padatan terlarut (TPT) pada kecap dan saus cabe. Sedangkan nilai pH produk kecap dan saus cabe cenderung konstan. Adapun nilai viskositasnya menga lami
penurunan.
Warna
saus
cabe
menunjukkan
penurunan
berdasarkan nilai L, a dan b. Hasil pengamatan mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan memperlihatkan mulai adanya pertumbuhan mikroba pada hari ke-14. Namun jumlahnya masih jauh di bawah SNI yang ditetapkan. Prediksi umur simpan kecap berdasarkan nilai pH adalah 840 hari (2.3 tahun). Untuk saus cabe, prediksi umur simpan didasarkan pada nilai a adalah 370 hari (1 tahun). Namun jika didasarkan nilai viskositas maka umur simpannya menjadi 482 hari (1.3 tahun). Iodium yang difortifikasikan pada produk kecap sampai dengan akhir penyimpanan tersisa kurang lebih 90% dari iodium awal. Iodium yang terkandung dalam saus cabe dapat dikatakan lebih stabil bila dibandingkan dengan kecap. Perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin A saus cabe dan kecap. Pada akhir penyimpanan (hari ke-56) secara kuantitatif terjadi penurunan kadar vitamin A sebesar 11%. Zat besi yang terdapat dalam produk juga stabil selama dua bulan periode penyimpanan. Zat besi yang diberikan, baik dalam bentuk mineral mix dalam ransum maupun dari kecap dan saus cabe yang difortifikasi, mampu mencukupi kebutuhan tubuh akan zat besi, terlihat dari normalnya kadar hemoglobin, yaitu sebesar 12.1 mg/dl (Fe dari ransum), 11.72 mg/dl (Fe dari kecap), 11.32 mg/dl (Fe dari saus cabe). Sedangkan pemberian tambahan asupan vitamin A dari kecap dan saus cabe tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar vitamin A serum, nilai yang ditunjukkan sebesar
29.54 µg/dl untuk perlakuan kecap dan 36.10 µg/dl untuk perlakuan saus cabe. Pengamatan berat lahir anak tikus menujukkan bahwa berat lahir terkecil dimiliki oleh kelompok kontrol (-), diikuti berturut-turut oleh kelompok perlakuan kecap, KIO 3 dan saus cabe. Berat lahir selain dipengaruhi oleh kecukupan zat gizi induk, kemungkinan juga dipengaruhi oleh jumlah anak yang dilahirkan. Berat otak tertinggi dimiliki oleh perlakuan kecap (3.62 g/100 g BB) dan terendah dimiliki perlakuan kontrol negatif (3.18 g/100 g BB). Fortifikasi iodium ke dalam kecap dan saus cabe secara efektif mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak, baik pada induk tikus maupun anak tikus umur 4 dan 30 hari. Jumlah sel neuron induk dengan perlakuan kecap (83 sel/lapang pandang (lp)) dan saus cabe (86 sel /lp) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol negatif dan perlakuan yang mendapat iodium dari ransum. Kerapatan dan penyebaran sel otak berkorelasi positif dengan jumlah sel, semakin banyak jumlah selnya maka akan semakin rapat. Pemberian kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium secara tidak langsung mampu meningkatkan kemampuan belajar tikus percobaan, baik pada induk tikus maupun anak tikus umur 30 hari. Waktu tempuh yang ditunjukkan induk tikus perlakuan kecap (18.55 detik) dan saus cabe (21.26 detik) serta pada anak tikus perlakuan kecap (12.62 detik) dan perlakuan saus cabe (14.85 detik) lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.
B. SARAN Prediksi umur simpan kecap dan saus cabe akan lebih akurat jika didukung dengan uji organoleptik terhadap kedua produk tersebut. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk melakukan pengujian organoleptik pada penelitian yang akan datang. Disamping itu, prediksi daya tahan zat gizi iodium, zat besi dan vitamin A belum dapat dilakukan pada penelitian kali ini. Akan lebih baik juga jika penelitian selanjutnya mampu melakukan prediksi daya tahan zat gizi tersebut.
68
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2003. Kecukupan Vitamin A Tekan Angka Kematian. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0801/kes1.html. [4 April 2005}
Anonim. 2005. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium, Penyakit Penyebab Retardasi Mental. http://gaky.promosikesehatan.com. [4 April 2005] Anonim.2005. Fortifikasi Vitamin A. http://www.gizi.net/komposisi/fortifikasipangan.shtml. [4 April 2005] Anwar A. 1992. Mempelajari Fortifikasi Zat Besi pada Kecap. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. AOAC. 1984. Methods for Analysis Association of Official Analytical Chemistry. Washington D.C. Astawan
M. 2004. Tiada Hari Tanpa http://www.kompas.com/kesehatan
Kecap.
Di
dala m
:
Black MM. 2003. Micronutrient deficiencies and cognitive function. J. Nutr. 133:3927S-3913S. Brody T. 1994. Nutritional Biochemistry. San diego, New York, Boston, Sydney, Tokyo, Toronto : Academic Press. Buckle KA, Edwards RA, Flect GH dan Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo H dan Adiono (Penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Cahyadi W. 2004. Peranan Iodium dalam Tubuh. Di dalam : www.pikiranrakyat.com. [4 April 2005] Clydesdale FM. 1991. Mineral Additives. Di dalam : Lachance PA and Bauernfeind JC. Nutrient Additions to Food. USA : Food and Nutrition Press Inc. Diosady LL, Alberti JO, Mannar MGV. 2002. Microencapsulation for Iodine Stability in Salt Fortified with Ferrous Fumarate and Potassium Iodine. Food Research International 35:635-642. Djokomoeldjanto R. 1993. Hipotirooidi di Daerah Defisiensi Iodium. Kumpulan Naskah Simposium GAKI. Hal. 35-46. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Fardiaz S. 1992. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Bogrr : LSI IPB.
Fidler MC, Davidsson L, Walczyk T, Hurrel RF. 2003. Iron absorption from fish and soy sauce fortified with sodium iron EDTA [Abstrak]. AM. J Clin Nutr Aug; 78(2):274-8. Ganong WF. 1989. Review of Medical Physiology. (19th ed.). A Lange Medical Book. Mc. Graw-Hill. Medical Publishing Division. Gibson RS. 2004. Strategies for preventing micronutrient in developing countries. Asia Pac J Clin Nutr 13 (Suppl):S23. Harper. 1982. Biokimia. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Hal. 618. Hetzel BS dan Wellby ML. 1997. Iodine. Di dalam O’dell BL dan Sunde RA (ed). Handbook of Nutritionally Esential Minerl Elements. New York : Marcell Dekker Inc. Husaini. 1982. Penggunaan Garam Fortifikasi dalam Menanggulangi Masalah Kurang Vitamin A [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Imanningsih N et al.. 2001. Studi kelayakan kecap dan sambal sebagai media fortifikasi vitamin A. Di dalam : http://www.litbang.depkes.go.id. (Abstrak) Judoamidjojo M. 1986. The Studies on Kecap Indigenous Seasoning of Indonesia: Memoirs of The Tokyo University Agriculture, Japan. Kartika B, Guritno AD, Purwadi D, Ismoyowati D. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Pertanian. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada. Labuza TP. 1982. Shelf life dating of foods. Food Tech 22(3):263. Lachance PA and Bauernfeind JC. 1991. Concepts and Practices of Nutrifying Foods. Di dalam : Lachance PA and Bauernfeind JC. Nutrient Additions to Food. Food and Nutrition. USA : Press Inc. Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Mikromineral. Di dalam : Linder MC (ed.). Jakarta : UI Press. Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Vitamin. Di dalam : Linder MC (ed.). Jakarta : UI Press. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
70
Mercy P, Vijayalaksmi P, Bharathi S, Paul M. 1994. Impact of iron and vitaminA suplementation anaemic pregnant woman [abstrak CD Rom]. Indian Journal of Nutrition and Dietetics 31(8): 224-230. Muchtadi D. 1993. Nutrifikasi Pangan : Peningkatan Nilai Gizi Pangan. Bogor : Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Olson IA. 1991. Vitamin A. Di dalam : Machlin LJ (ed.). Handbook of Vitamin A. Edisi ke-2. Dekker. Pantastico EB. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Raghuramulu NKN, Madhawan N dan Sundaran SK. 1982. A Manual of Laboratory Technique. India : National Institute of Nutrition. Sethi V, Kapil U. 2004. Iodine deficiency and development of brain. Indian J Pediatr; 71:325-329. Setiadi. 1987. Bertanam Cabe. Jakarta: Penebar Swadaya. Shah D dan Sachdev HP. 2004. Maternal micronutrients and fetal outcome. Indian J Pediatr 71 : 985-990. Singh M. 2004. Role of micronutrients for physical growth and mental development. Indian J Pediatr;71:59-62. Soeida NL. 2002. Kurang Gizi : Salah Satu Penyebab Menurunnya Tingkat Kecerdasan dan Upaya Penanggulangannya. [Makalah Pengantar Falsafah Sains]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekirman. 1994. Program Penyuluhan Penanggulangan Masalah Gizi Repelita VI. Makalah disajikan dalam Workshop Integrasi Strategi Sektoral Untuk Perencanaan Pembangunan Pangan dan Gizi Nasional, Jakarta. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1992. Saus Cabe. Jakarta :Pusat Standardisasi Industri. Departemen Perindustrian. (SNI 01-2976-1992). Standar Nasional Indonesia (SNI). 1994. Kecap Kedelai. Jakarta :Pusat Standardisasi Industri. Departemen Perindustrian. (SNI 01-3543-1994). Suharno D, Muhillal. 1996. Vitamin A and nutritional anaemia. Food Nutrition Bulletin 17 (1) : 7-10. Suprijana O. 1992. Effect of The Type of Fat in The Diet in Learning Ability and Brain Fatty Acid Composition in Rats (Dissertation). Jakarta : University of Indonesia.
71
Syarief R dan Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan. Syarifudin A. 2003. Aplikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada Saus Cabe di PT Heinz ABC Indonesia, Karawang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Underwood. 1990. Trace Elements in Human and Animals Nutrition. New York: Academic Press. Wati EL. 1997. Kajian Aspek Teknologi Produk-produk Olahan Cabe Merah (Capsicum annuum var. Longum) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. WHO. 1976. Nutritional Anemias. Geneva : WHO Tech. Rep. Ser. No. 503. Winarno FG (editor). 1986. International Soyfoods Symposium. Yogyakarta, September. Organized by Food Technology Development Centre, Bogor Agricultural University. Winarno FG, Haryadi Y, Satiawihardja B. 1984. Specific Traditional Foods of Indonesia. Paper presented in International Symposium on Agricultural Product, Processing and Technology. Bogor : July 31-August 2. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Wirakartakusumah MA, Hariyadi P. 1998. Technical Aspects of Food Fortification. Food and Nutrition Bulletin Vol. 19. No. 2 : 101-102.
72
Lampiran 1 Analisis kadar iodium, metode spektrofotometri (Raghuramulu et al., 1983) Penetapan kadar iodium dilakukan dengan metode spektrofotometri. Prinsipnya adalah asam arsenit (AsO 3 3-) mereduki Ce4+ (kuning) menjadi Ce3+ (tidak berwarna). Sisa Ce4+ yang tidak tereduksi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm.
a. Larutan Pereaksi 1. Larutan NaOH 2%-KNO3 1% Larutkan 2 g NaOh dan 1 g KNO3 dengan akuades. Tepatkan hingga volume 100 ml dengan labu takar. 2. Larutan Induk Standar KIO 3 (1000ppm) Sebanyak 0.0168 g KIO 3 dilarutkan dengan akuades dan ditepatkan hingga 100 ml dengan labu takar 3. Larutan Perklorat Sebanyak 25 g KclO 4 ; 45,5 ml H2 O dan 18,75 ml HClO 4 dipanaskan dan diaduk sampai larut. 4. Larutan Asam Arsenit Sebanyak As2 O3 , 25 g NaCl dan 400 ml H2 SO4 5 N (70 ml H2 SO4 ditepatkan menjadi 500 ml akuades). Larutan dipanaskan dan diaduk ampai larut lalu didinginkan pada suhu kamar. Setalah dingin, larutan ditepatkan menjadi 100 ml dengan akuades dan disimpan dalam botol gelap. 5. Larutan Cerium Ammonium Sulfat Larutkan 2,4 g Ce(IV)NH4 SO4 3,5 N (9,8 ml H2 SO4 ditepatkan dengan akuades sampai 100 ml), hingga volumenya mencapai 100 ml. Simpan selama 24 jam dalam lemari pendingin. b. Kurva Standar 1. Diambil 2 ml larutan standar induk KIO 3 (100 ppm = larutan A), ditepatkan menjadi 100 ml dengan akuades (2 ppm = larutan B) 2. Dipipet 10 ml larutan B dan ditepatkan dengan akuades hingga volume 100 ml (0,2 ppm I2 = larutan C) 3. Dipipet 5 ml larutan C, ditambah 5 ml akuades (100 µg/ml = larutan D)
74
4. Dipipet 5 ml larutan D, ditambah 5 ml akuades (50 µg/ml = larutan E) 5. Dipipet 5 ml larutan E, ditambah 5 ml akuades (25 µg/ml = larutan F) 6. Dipipet 5 ml larutan F, ditambah 5 ml akuades (12,5 µg/ml) c. Prosedur Analisis Contoh sebanyak 2-5 g ditambah dengan 2 ml larutan campuran NaOH 2% dan KNO3 1% dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama kurang lebih 24 jam. Setelah itu sampel diabukan dalam tanur pada suhu 550°C selama 6 jam. Ekstrak abu dilarutkan dengan akuades hingga volume menjadi 50 ml. Jika contoh berupa cairan maka langsung ditepatkan volumenya menjadi 50 ml dengan akuades. Penetapan iodium dilakukan dengan larutan contoh dipipet sebanyak 0,25 ml, kemudian ditambahkan 0,75 ml larutan perklorat dan dipanakan pada alat drybath selama kira-kira 1 jam sampai volumenya menjadi setengah dari volume semula lalu didinginkan. Setelah dingin, volume contoh ditepatkan menjadi 1 ml dengan akuades, ditambah 3,5 ml larutan asam arsenit dan didiamkan selama 15 menit. Setelah itu ditambah 0,5 ml Ce(IV)NH4 SO4 , dikocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Kurva standar dibuat dengan cara yanag sama dengan diatas dengan kadar iodium 100, 50, 25 dan 12,5 µg/ml. Kadar iodium (ppm) = C (µg/ml) x FP Berat contoh (g) Keterangan : C = konsentarasi iodium yang terbaca pada kurva standar FP = faktor pengenceran
75
Lampiran 2 Analisis kadar zat besi (Fe) (AOAC, 1970)
a. Persiapan sampel dengan metode pengabuan kering Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 30 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel ditimbang dan dimasukkan dalam cawan, kemud ian dipanaskan diatas kompor listrik sampai sampel terbakar dan hangus. Setelah itu diabukan dalam tanur pada suhu 600°C sampai diperoleh abu berwarna putih (± 3 jam), selanjutnya didinginkan dalam desikator, setelah dingin ditambah 10 ml HCl panas. Kemudian disaring dan diencerkan 50 atau 100 ml. b. Pengukuran sampel Sampel diukur dengan SAA menggunakan lampu elektroda yang sesuai dengan mineral yang diukur. Hal terebut dilakukan pula pada blanko. Perhitungan : [ ] unsur (ppm) = (pengenceran/1000) x (ppm terukur-ppm blanko) x 1000 mg sampel
Lampiran 3 Analisis kadar vitamin A, metode HPLC Water 501
a. Pembuatan larutan standar •
Stok standar A
•
Stok standar B=0,1 ml larutan stok standar A diambil lalu dilarutkan dalam etanol
•
Stok standar C=2,5 ml larutan stok standar B diambil lalu dilarutkan dalam etanol sampai 10 ml. Kemudian dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 290 nm. Optical Density (OD) : 0,091. Lalu suntikkan pada alat HPLC ebanyak 50 µl, dua kali suntik
•
Diperoleh peak area I (misalnya 291135), peak area II (misalnya 286230). Rata-ratakan peak I dan II (diperoleh 288683)
•
Konsentrasi standar dihitung ebagai berikut : C standar = 0,91 x 103 = 1,2 mg/dl 78,5
76
b. Cara Kerja •
Pipet 100 µl sampel + 100 µl standar. Kocok dengan alat vortex selama 45 menit, ditambahkan 200 µl heksan, dan dikocok kembali dengan vortex selama 45 menit.
•
Disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm
•
Supernatan diambil lalu diuapkan dengan gas N2 sampai kering, lalu ditambahkan 100 µl metanol:diklorometan (75:25). Dikocok dengan vortex selama 10 menit.
•
Disuntikkan pada HPLC sebanyak 50 µl
c. Perhitungan Area sampel x C standar = … mg/dl Area standar
Lampiran 4 Analisis hemoglobin (Hb) serum, Metode Sianmet
- Dimasukkan 5 ml larutan Drabkin key dalam tabung reaksi - Dimasukkan 20 µl darah key dalam tabuh yang berisi larutan Drabkin - Isi tabung dicampur dengan cara membalik-balikkan tabung beberapa kali - Dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm. Sebagai blanko digunakan larutan Drabkin. - Kadar Hb. Ditentukan dengan perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi standar. C sampel = A sampel x C standar A standar
77
Lampiran 5 Regresi kurva waktu simpan vs pH kecap
y = -0.0005x + 4.42 R2 = 0.3301
4.5 4.4
y = -0.0041x + 4.422 R2 = 0.989
pH
4.3 4.2
y = -0.008x + 4.404 R2 = 0.8959
4.1 4 3.9 0
10
20
30
40
50
60
Hari ke27oC
43oC
55oC
Linear (27oC)
Linear (43oC)
Linear (55oC)
Lampiran 6 Plot kurva nilai (1/T) vs (ln k) untuk pH kecap
0
ln k
0.003 -2 -4
0.0031
0.0032
0.0033
0.0034
y = -9941.9x + 25.662 R2 = 0.9667
-6 -8
(1/T)
78
Lampiran 7 Regresi kurva waktu simpan vs nilai a saus cabe
31 29
y = -0.0513x + 28.574 R2 = 0.5004
Nilai a
27 25
y = -0.1537x + 29.529 R2 = 0.7406
23 21
y = -0.1944x + 27.455 R2 = 0.8907
19 17 15 0
10
20
30
40
50
60
Lama Penyimpanan (hari) 27oC
43oC
55oC
Linear (27oC)
Linear (43oC)
Linear (55oC)
Lampiran 8 Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk nilai a saus cabe
0 -0.50.003
0.0031
0.0032
0.0033
0.0034
ln k
-1 -1.5 -2 -2.5 -3
y = -4814.3x + 13.16 R2 = 0.9385
-3.5
(1/T)
79
Lampiran 9 Regre si kurva waktu simpan vs nilai viskositas saus cabe y = -19.694x + 18483 R2 = 0.9755
viskositas (cp)
19000 17000
y = -15.561x + 18296 R2 = 0.6241
15000 13000 y = -153.75x + 18490 R2 = 0.9997
11000 9000 0
20
40
60
Lama Penyimpanan (hari)
27oC
43oC
55oC
Linear (55oC)
Linear (43oC)
Linear (27oC)
ln k
Lampiran10 Plot kurva (1/T) vs (ln k) untuk nilai viskositas saus cabe
5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 0.003
y = -6594.5x + 24.572 R2 = 0.5609
0.0031
0.0032
0.0033
0.0034
(1/T)
80
Lampiran 11 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A saus cabe selama penyimpanan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 5 9
JK 58.552 1637.678 1696.229
KT 14.638 327.536
F hitung 0.045
P 0.995
Lampiran 12 Analisis sidik ragam kandungan vitamin A kecap selama penyimpanan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 5 9
JK 124.826 155.608 280.433
KT 31.206 31.122
F hitung 1.003
P 0.485
Lampiran 13 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi kecap selama penyimpanan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 5 9
JK 40.553 132.311 172.864
KT 10.138 26.462
F hitung 0.383
P 0.813
Lampiran 14 Analisis sidik ragam kandungan total zat besi saus cabe selama penyimpanan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 5 9
JK 67.283 40.316 107.6000
KT 16.821 8.063
F hitung 2.086
P 0.220
Lampiran 15 Analisis sidik ragam kadar hemoglobin tikus percobaan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 3 4 7
JK 11.721 1.576 13.297
KT 2.930 0.315
F hitung 9.294
P 0.016
81
Lampiran 16 Uji beda Duncan kadar hemoglobin tikus percobaan Perlakuan
Subset untuk alfa 0.05 A B 9.4500 9.6800 11.3200 11.7150 12.1000
Kontrol (-) KIO 3 Saus cabe Kecap Normal
Lampiran 17 Analisis sidik ragam kadar vitamin A serum tikus percobaan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 5 9
JK 138.381 100.532 238.912
KT 34.595 20.106
F hitung 1.721
P 0.281
Lampiran 18 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri induk tikus Ulangan
1 2 3 Rata-rata
Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 200 x Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO 3 65 50 93 82 82 53 44 83 84 77 68 72 91 74 62 47 83 86 78
Lampiran 19 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 9 13
JK 2540.857 442.000 2982.857
KT 635.214 49.111
F hitung 12.934
P 0.001
Lampiran 20 Uji beda duncan jumlah sel neuron otak kiri tikus percobaan Perlakuan Kontrol (-) Normal KIO 3 Kecap Saus cabe
A 47.000
Subset untuk alfa 0.05 B
C
62.000 77.667 82.667 85.667
82
Lampiran 21 Analisis sidik ragam kemampuan belajar induk tikus percobaan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 15 19
JK 3534.864 178.074 3712.938
KT 883.716 11.872
F hitung 74.439
P 0.000
Lampiran 22 Uji beda Duncan kemampuan belajar induk tikus percobaan Perlakuan A 11.5450
KIO 3 Kecap Saus cabe Normal Kontrol (-)
Subset untuk alfa 0.05 B C
D
18.3450 21.2575 29.6250 50.0975
Lampiran 23 Analisis sidik ragam berat otak anak tikus percobaan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 11 15
JK 0.374 0.524 0.897
KT 9.341x10-2 4.761x10-2
F hitung 1.962
P 0.170
Lampiran 24 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur e mpat hari Ulangan
1 2 3 Rata-rata
Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 400 x Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO 3 50 56 82 62 53 55 32 77 71 52 35 43 66 60 47 44 75 64 53
Lampiran 25 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur e mpat hari Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 9 13
JK 2026.357 708.500 2734.857
KT 506.589 78.722
F hitung 6.435
P 0.010
83
Lampiran 26 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur e mpat hari Perlakuan A 43.6667 46.6667 52.5000
Kontrol (-) Normal KIO 3 Saus cabe Kecap
Subset untuk alfa 0.05 B 46.6667 52.5000 64.3333
C
64.3333 75.0000
Lampiran 27 Rekapitulasi jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari Ulangan
1 2 3 Rata-rata
Jumlah sel neuron otak kiri per lapang pandang dengan pembesaran 200 x Normal Kotrol (-) Kecap Saus cabe KIO 3 73 64 83 76 54 81 59 73 87 75 78 53 83 76 61 77 58 80 80 63
Lampiran 28 Analisis sidik ragam jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur 30 hari Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 10 14
JK 1195.600 469.333 1664.933
KT 298.000 46.933
F hitung 6.369
P 0.008
Lampiran 29 Uji beda Duncan jumlah sel neuron otak kiri pada anak tikus umur 30 hari Perlakuan Kontrol (-) KIO 3 Normal Kecap Saus cabe
Subset untuk alfa 0.05 A B 58.6667 63.3333 77.3333 79.6667 79.6667
84
Lampiran 30 Analisis sidik ragam kemapuan belajar anak tikus umur 30 hari Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 23 27
JK 1712.926 112.102 1825.028
KT 428.231 4.874
F hitung 87.86
P 0.000
Lampiran 31 Uji beda Duncan kemapuan belajar anak tikus umur 30 hari Perlakuan Kecap Saus cabe Normal KIO 3 Kontrol (-)
A 12.6233 14.8533
Subset untuk alfa 0.05 B
C
19.4400 20.7700 36.5175
85