EVALUASI MUTU GIZI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN COOKIES TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS TALAS BANTEN (Xanthosoma undipes K. Koch) SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN IBU HAMIL
DIAN NOVITA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT DIAN NOVITA. Evaluation of Nutrition Quality and Prediction of Shelf-life of Cookies made of Banten Taro (Xanthosoma undipes K. Koch) Composite Flour as Food Supplement for Pregnant Women . Under direction of BUDI SETIAWAN and ABUBAKAR. The objective of this study was to evaluate nutrition quality and to predict shelf-life of cookies made of Banten taro (Xanthosoma undipes K. Koch) composite flour as food supplement for pregnant women. This composite flour formulation used Respon Surface Methodology (RSM). Result showed the best cookies formulation of composite flour was 60% taro flour and 40% mung bean flour. The best cookies formulation contained 3.85% water, 32.64% fat, 2.76% ash, 2.5% crude fiber, 536 kcal energy and 9.44% protien. Shelf-life cookies was predicted base on the moisture rate and the accepted of cookies’s crispiness. The model that was selected for this study was Henderson equation. The shelflife of cookies was predicted for about 1 year in 75% relative humadity (RH). Key word: formulation, composite flour, taro flour, shelf-life, pregnant women
RINGKASAN DIAN NOVITA. Evaluasi Mutu Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Cookies Tepung Komposit Berbasis Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Makanan Tambahan Ibu Hamil. Di bawah bimbingan BUDI SETIAWAN dan ABUBAKAR. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui bahwa terdapat sepuluh provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi kekurangan energi dan protein pada wanita usia subur (WUS), yaitu diatas angka nasional (13.6%). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2005) juga menunjukan bahwa terdapat 17.6% wanita usia subur yang hamil mengalami kekurangan energi dan protein (KEP). Oleh karena itu ibu hamil sebaiknya diberikan makanan tambahan agar dapat memenuhi kebutuhan energi protein. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi mutu gizi serta menduga umur simpan dari cookies tepung komposit berbasis talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai makanan tambahan ibu hamil. Ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) mempelajari proses pembuatan serta menganalisis sifat fisik dan kimiawi tepung talas Banten, (2) mengembangkan formulasi cookies tepung komposit berbasis talas Banten, (3) mengevaluasi mutu gizi cookies serta menguji daya terima (hedonik dan mutu hedonik) terhadap cookies tepung komposit berbasis talas Banten yang dihasilkan, dan (4) menduga umur simpan cookies tepung komposit berbasis talas Banten yang dihasilkan. Talas Banten yang digunakan rata-rata berusia 10 bulan. Proses pembuatan tepung talas meliputi penimbangan umbi, pengupasan dan pencucian serta perendaman dengan larutan garam (1 jam, 10%), selanjutnya umbi talas dikeringkan dan digiling sehingga dapat diperoleh tepung talas. Hasil penelitian memperlihatkan rendemen tepung talas 15 %, kandungan energi 394 kkal, kadar air 7.07%, kadar abu 1.82%, kadar lemak 0.44%, kadar protein 6.74%, kadar karbohidrat 90.68%, dan kadar serat makanan 19.17%. Formulasi tepung komposit menggunakan tepung talas Banten dan tepung kacang hijau, dengan menggunakan Respon Surface Methodology (RSM) dalam Design Expert triaI (DX trial) software. Adapun formulasi yang dihasilkan sebanyak 8 formula. Tepung komposit tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan cookies. Seluruh formula cookies dianalisis karakteristik kimianya (kadar air, protein, lemak, abu, karbohidrat, dan serat kasar), dan dilakukan juga uji daya terima (hedonik dan mutu hedonik). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kadar air dari seluruh formula cookies berkisar antara 3.24% - 4.11% (α ≤ 0.05), kadar abu antara 2.21% 2.77% (α > 0.05), kadar protein antara 8.31% - 9.44% (α ≤ 0.05), kadar lemak antara 31.81% - 32.90% (α ≤ 0.05), kadar karbohidrat antara 51.9% - 55.47% (α ≤ 0.05), dan kadar serat kasar antara 0.61% - 3% (α ≤ 0.05). Berdasarakan hasil uji organoleptik diketahui bahwa rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap warna antara 5.08 sampai 4.4387 sedangkan penilaian mutu hedonik antara 3 sampai 4.367. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa hingga agak suka dengan mutu warna agak kuning hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap aroma antara 4.1 sampai 4.8 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.5667 sampai 4.5. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa dengan mutu aroma agak tidak beraroma hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap rasa antara 3.5853 sampai 4.72 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.4667 sampai 4.4667. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk agak tidak suka hingga biasa dengan
mutu rasa agak hambar hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap tekstur antara 4.2533 sampai 4.8 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.5 sampai 4.4. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa dengan mutu tekstur agak keras hingga biasa. Formula cookies terpilih didapatkan berdasarkan metode optimization dalam Respon Surface Methodology, dengan mempertimbangkan kandungan zat gizi dalam cookies serta tingkat kesukaan panelis terhadap cookies. Formulasi cookies terpilih adalah cookies dengan perbandingan tepung talas : tepung kacang hijau sebesar 60 : 40. Cookies dengan formulasi terpilih mengandung energi 537 kkal, kadar air 3.85%, kadar abu 2.5%, kadar protein 9.44%, kadar lemak 32.64%, kadar karbohidrat 52.22% serta kadar serat kasar 2.76%. Berdasarkan SNI 01-2973-1992 mengenai standar cookies, cookies dengan formula terpilih yang dihasilkan dari penelitian memenuhi syarat. Akantetapi terdapat beberapa zat gizi yang belum memenuhi persyaratan yaitu kadar abu dan kadar serat kasar. Kadar abu dan serat kasar cookies formula terpilih melebihi nilai yang disyaratkan, yaitu 0.5% dan 1.5%. Pendugaan umur simpan pada cookies dengan formula terpilih menggunakan metode air kritis, dimana model persamaan yang digunakan adalah model Henderson. Kadar air awal produk adalah 0.03 g H2O/g padatan, sedangkan kadar air kritis produk adalah 0.58 g H2O/g padatan. Slope yang didapatkan berdasarkan kurva sorpsi isotermis adalah sebesar 0.597. Beberapa variabel lain yang digunakan untuk menentukan umur simpan produk yaitu, luas kemasan produk 0.045 m2, premeabilitas kemasan 0.02 g/m2hr.mmHg, tekanan uap jenuh pada suhu 30oC adalah 31.82 mmHg, serta berat cookies per kemasan sebesar 50 gram. Berdasarkan data-data tersebut didapatkan pendugaan umur simpan cookies yaitu, 6 bulan pada kelembaban 93%, 8 bulan pada kelembaban 85% serta 12 bulan pada kelembaban 75%.
EVALUASI MUTU GIZI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN COOKIES TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS TALAS BANTEN (Xanthosoma undipes K. Koch) SEBAGAI MAKANAN TAMBAHAN IBU HAMIL
DIAN NOVITA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Evaluasi Mutu Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Cookies Tepung Komposit Berbasis Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Makanan Tambahan Ibu Hamil : Dian Novita : I14062394
Menyetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1001
Prof. Ir. Abubakar, MS NIP. 19550728 198202 1001
Mengetahui: Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Mutu Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Cookies Tepung Komposit Berbasis Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Makanan Ibu Hamil” dapat terselesaikan. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Bapak Prof. Ir. Abubakar, MS selaku pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi. 2. Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes selaku penguji sidang yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi. 3. Tim
penelitian
Talas
Beneng
di
Balai
Besar
Penelitian
dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor tahun 2010. 4. Mama, ayah serta adik-adikku tersayang yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan doa tiada hentinya. 5. Teman-teman penelitian Talas Beneng (Eka dan Wulan), serta temanteman GM 43 dan GM 44 yang telah banyak memberikan dukungan dan kerjasamanya selama ini. 6. Sahabat-sahabatku (Movi, Echa, Irni, Lia, Anton, Acang, Joffa, Rakhma, Warthe, Daniel, Chika, dan Rodiah) serta Kak Sammy Machbub yang selalu ada disaat suka dan duka. 7. Para teknisi, baik teknisi di Lab BB Pasca Panen maupun teknisi di Lab Departemen Gizi Masyarakat, atas bantuannya selama penelitian ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari skripsi ini tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu penulis minta maaf dan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari berbagai pihak. Penulis sangat berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, November 2010
Dian Novita
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang, Propinsi Banten pada tanggal 7 November 1987. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Edih Suryadi dan Ade Rohimah. Pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Akhir penulis diselesaikan di SMAKBO (Sekolah Menegah Analis Kimia Bogor) tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB pada tahun 2006. Setelah mengikuti masa perkuliahan tingkat persiapan bersama (TPB) penulis masuk mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan minor Komunikasi. Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Pengantar Biokimia Gizi pada Tahun Ajaran 2008/2009 serta Mata Kuliah Analsis Zat Gizi Mikro pada Tahun Ajaran 2010/2011. Selain itu, penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikutinya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia sebagai staff Divisi Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni serta Himpunan Ilmu Gizi sebagai
koordinator
Divisi
Peduli
Pangan
dan
Gizi.
Penulis
pernah
melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di daerah Petir-Bogor, dan pernah melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah Syamsudin, Sukabumi. Selain itu penulis aktif dalam penulisan karya ilmiah, pada tahun 2008 penulis berhasil mendapatkan dana dari DIKTI dalam program kreativitas mahasiswa dengan judul “Pembuatan Permen Jelly dari Klorofil Daun Katuk”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema “Evaluasi Mutu Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Cookies Tepung Komposit Berbasis Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) sebagai Makanan Tambahan Ibu Hamil” bekerjasama dan dibiayai Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Kegunaan Penelitian .............................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Gizi Ibu Hamil ..................................................................... 4 Karakteristik Talas Banten .................................................................... 6 Karakteristik Tepung Talas Banten ....................................................... 7 Karakteristik Kacang Hijau..................................................................... 8 Karakteristik Cookies ............................................................................ 9 Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan............................................ 12 Formulasi Metode Response Surface Methodology (RSM) .................. 14 METODOLOGI Tempat dan Waktu ............................................................................... Bahan dan Alat ..................................................................................... Pembuatan Tepung Talas .................................................................... Pembuatan Tepung Kacang Hijau ......................................................... Formulasi Tepung Komposit ................................................................ Pengujian Sifat Kimiawi Cookies ........................................................... Pengujian Sifat Organoleptik Cookies ................................................... Pendugaan Umur Simpan .................................................................... Rancangan Percobaan ......................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................
15 15 16 17 17 18 18 18 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Talas ......................................................... .......... Sifat Fisik Tepung Talas ................................................................. ...... Sifat Kimia Tepung Talas ...................................................................... Formulasi Cookies ........................................................... ..................... Sifat Organoleptik Cookies ................................................... ................ Sifat Kimia Cookies ............................................................................... Penentuan Umur Simpan Pendekataan Air Kritis .................................
25 25 25 26 27 36 42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.............................................................................................. 55 Saran........................................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 57 LAMPIRAN.......................................................................................................... 62
DAFTAR TABEL Halaman 1
AKG rata-rata untuk wanita . ....................................................................... . 5
2
Komposisi kimia umbi talas ......................................................................... . 7
3
Komposisi kimia kacang hijau .................................................................... . 8
4
Komposisi asam amino essensial kacang hijau dalam 100 g...................... 9
5
Syarat mutu cookies ........................................ ..........................................
6
Formulasi tepung komposit ........................................ ............................... 18
7
Jenis dan RH garam jenuh yang dipergunakan ........................................ 21
8
Hasil analsis kimia tepung talas ........................................ ........................ 26
9
Formulasi cookies dengan RSM ........................................ ........................ 27
9
10 Hasil uji hedonik cookies ........................................ ................................... 27 11 Hasil uji mutu hedonik cookies ........................................ .......................... 27 12 Hasil analisis sifat kimia cookies ........................................ ........................ 36 13 Hasil kadar air, kerenyahan, dan skor kesukaan....................................... .. 44 14 Data kadar air kesetimbangan ........................................ ........................... 48 15 Persamaan kurva sorpsi isotermis ........................................ .................... 49 16 Kadar air kesetimbangan model persamaan ........................................ ..... 49 17 Nilai MRD model persamaan ........................................ ............................. 50 18 Perhitungan umur simpan ........................................ ................................. 55
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir pembuatan tepung talas ............................................. ............ 16
2
Diagram alir pembuatan tepung kacang hijau ............................................. 17
3
Diagram alir pembuatan cookies ................................................................ 18
4
Diagram alir pendugaan umur simpan ........................................................ 20
5
Diagram alir penelitian cookies........................ ............................................ 24
6
Hasil uji hedonik terhadap warna cookies........................................... ........ 28
7
Hasil uji mutu hedonik terhadap warna cookies........................................... 29
8
Hasil uji hedonik terhadap aroma cookies........................................... ........ 30
9
Hasil uji mutu hedonik terhadap aroma cookies.......................................... 31
10 Hasil uji hedonik terhadap rasa cookies........................................... ........... 32 11 Hasil uji mutu hedonik terhadap rasa cookies........................................... .. 32 12 Hasil uji hedonik terhadap tekstur cookies........................................... ....... 33 13 Hasil uji mutu hedonik terhadap tekstur cookies.......................................... 34 14 Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan cookies........................................ . 37 15 Hasil uji mutu hedonik terhadap keseluruhan cookies.................................. 36 16 Kadar air cookies........................................... .............................................. 37 17 Kadar abu cookies........................................... ............................................ 38 18 Kadar protein cookies........................................... ....................................... 38 19 Kadar lemak cookies........................................... ........................................ 39 20 Kadar karbohidrat cookies........................................... ................................ 40 21 Kadar serat kasar cookies........................................... ................................ 41 22 Data hasil survei parameter kerusakan cookies ......................................... 43 23 Grafik hubungan kadar air dengan skor kesukaan ................................... .. 45 24 Grafik hubungan nilai kerenyahan dengan skor kesukaan ......................... 45 25 Kurva sorpsi isotermis cookies ........................................... ........................ 48 26 Kurva sorpsi isotermis model Henderson ........................................... ........ 51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis karakterisasi mutu kimia ................................................................ . 63
2
Lembar kuisoner atribut utama kerusakan cookies ..................................... . 68
3
Lembar uji hedonik ..................................................................................... . 69
4
Lembar uji mutu hedonik ………………... .................................................... . 70
5
Lembar pengujian organoleptik kerusakan cookies……………………….. .. . 71
6
Hasil uji ANOVA organoleptik (hedonik) ………………………….. ............... . 72
7
Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (hedonik) .......................................... . 73
8
Hasil uji ANOVA organoleptik (mutu hedonik) ………………... .................. . 74
9
Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (mutu hedonik) …………………….. .... . 75
10 Hasil uji ANOVA sifat kimia ....................................................................... . 76 11 Hasil uji lanjut Duncan sifat kimia ………………... ..................................... . 77 12 Modifikasi model sorpsi isotermis ………………………….. ........................ . 79 13 Contoh perhitungan konstanta model persamaan ...................................... . 81 14 Kurva sorpsi isotermis model persamaan .................................................. . 83 15 Gambar talas Banten, tepung talas dan cookies talas ............................... . 85
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset suatu negara yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya. Kehidupan manusia dimulai semenjak dalam rahim ibunya, maka upaya peningkatan kualitas SDM seharusnya dilakukan sejak dini yaitu sejak periode kehamilan. Menurut Winarno (1993), jika kesehatan dan status gizi ibu hamil baik, maka janin yang dikandungnya juga akan baik dan keselamatan ibu sewaktu kehamilan akan terjamin. Sebaliknya, ketidakcukupan asupan zat gizi selama masa kehamilan akan menurunkan kesehatan ibu hamil dan cenderung akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Persentase nasional Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah 11,5%. Dampak BBLR pada anak dapat menurunkan kecerdasan dan imunitas, mengganggu pertumbuhan, meningkatkan ancaman penyakit degenertif, dan kematian, sehingga dapat menghambat peningkatan kualitas SDM Indonesia (Depkes 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui bahwa terdapat sepuluh provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi kekurangan energi dan protein pada wanita usia subur (WUS) yaitu, diatas angka nasional (13.6%). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2005) juga menunjukan bahwa terdapat 17.6% wanita usia subur yang hamil mengalami kekurangan energi dan protein (KEP). Hal ini karena adanya perkembangan fisiologis dimana terjadi perubahan metabolisme tubuh. Seiring dengan perubahan metabolisme tersebut terjadi peningkatan kebutuhan gizi, sehingga kecukupan asupan zat-zat gizi perlu ditingkatkan. Selama masa kehamilan, kebutuhan energi meningkat menjadi sekitar 80.000 kkal, dimana 36.000 kkal untuk pembakaran tubuh dan 44.000 kkal untuk pembuatan jaringan baru (Nadesul 2005). Oleh karena itu sebaiknya diberikan pangan tambahan untuk ibu hamil agar dapat memenuhi kebutuhan energi tersebut. Bahan makanan tambahan untuk ibu hamil selain dapat memenuhi kebutuhan energi juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan protein ibu hamil. Pangan yang memiliki kandungan energi cukup tinggi salah satunya adalah pangan sumber karbohidrat yaitu, umbi-umbian. Salah satu tanaman umbi-umbian yang cukup populer adalah talas. Tanaman talas (Colocasia esculenta) berasal dari daerah Asia Tenggara, kemudian menyebar di Cina, Eropa, Afrika, dan Kepulauan Pasifik (Kocchar 1998). Tanaman talas merupakan
2
tanaman penghasil karbohidrat yang memiliki peran strategis, akantetapi hingga saat ini pemanfaatan talas masih sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan serangkaian penelitian untuk meningkatkan potensi talas sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat umbi-umbian yang diminati oleh masyarakat. Selain pemenuhan energi,makanan tambahan bagi ibu hamil juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan protein yang meningkat selama masa kehamilan. Salah satu sumber protein yang banyak dikonsumsi adalah kacangkacangan. Kacang hijau merupakan sumber protein nabati yang telah lazim dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kacang hijau diketahui mengandung protein yang tinggi, juga mengandung kalsium dan phospor, yang relatif tinggi yang bermanfaat untuk memperkuat kerangka (Astawan dan Wresdiyati 2004). Selain itu, kacang hijau juga memiliki efek flatulensi yang lebih rendah dibandingkan
dengan
kacang-kacangan
lainnya
(Pednekar
2001)
dan
mempunyai daya cerna protein yang cukup tinggi. Formulasi tepung komposit dengan menggunakan tepung talas dan tepung kacang hijau diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein bagi ibu hamil. Hasil formulasi tepung tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan makanan tambahan bagi ibu hamil. Salah satu produk yang dapat dibuat sebagai makanan tambahan ibu hamil adalah cookies. Cookies banyak disukai oleh masyarakat karena rasanya yang enak dan cenderung manis, teksturnya renyah namun lembut dimulut serta proses pembuatanannya relatif mudah. Cookies juga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga lebih praktis dan dapat dikonsumsi kapan saja. Akantetapi cookies adalah produk yang mudah rusak, terutama dengan sistem pengemasan yang tidak tepat sehingga perlu dicantumkan tanggal kadaluwarsa (Iskandar et al 1997). Oleh karena itu, perlu dilakukan studi tentang mutu gizi serta penentuan umur simpan dari cookies tepung komposit berbasis talas Banten.
3
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi mutu gizi serta menduga umur simpan dari cookies tepung komposit berbasis talas Banten. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitan ini adalah untuk: 1. Mempelajari proses pembuatan serta menganalisis sifat fisik dan kimiawi tepung talas Banten. 2. Mengembangkan formulasi cookies tepung komposit berbasis talas Banten. 3. Mengevaluasi mutu gizi cookies serta menguji daya terima (hedonik dan mutu hedonik) terhadap cookies tepung komposit berbasis talas Banten yang dihasilkan. 4. Menduga umur simpan cookies tepung komposit berbasis talas Banten yang dihasilkan.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi mengenai mutu gizi dan umur simpan dari produk cookies hasil pengembangan talas Banten serta dapat membantu mengatasi salah satu permasalahan gizi Indonesia dengan melakukan pengembangan produk berbahan dasar talas.
4
TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Gizi Ibu Hamil Pada masa kehamilan rata-rata ibu hamil mengalami kenaikan berat badan sebesar 12 hingga 14 kg (Pilliteri 1995). Hal ini menyebabkan kelompok khusus seperti ibu hamil membutuhkan nutrisi tambahan lebih dari dua kali lipat dibandingkan kebutuhan nutrisi wanita lainnya yang tidak hamil pada usia yang sama, sekitar 20-50 tahun, per orang per hari. Kehamilan menyebabkan daya metabolisme energi meningkat. Dua proses anabolik fundamental yang saling bebas terjadi selama kehamilan. Proses pertama adalah pertumbuhan serta pematangan janin dan plasenta. Proses kedua adalah penyesuaian fisiologik dan metabolik tubuh ibu selama kehamilan. Kedua proses tersebut menyebabkan kebutuhan zat gizi meningkat (Duhring 1988). Masa kehamilan dibagi dalam tiga tahapan atau trisemester. Trisemester pertama (usia kehamilan 1-3 bulan) merupakan masa penyesuaian tubuh ibu terhadap awal kehamilannya. Penambahan kebutuhan zat-zat gizi pada tahap ini masih relatif kecil karena pertumbuhan janin masih lambat. Pada trisemester kedua (usia kehamilan 4-6 bulan) pertumbuhan janin mulai pesat. Kecepatan pertumbuhannya mencapai 10 gram per hari. Peningkatan kualitas gizi sangat dibutuhkan karena tahap ini tubuh ibu mulai mengalami perubahan dan adaptasi, serta mulai menyimpan cadangan zat-zat gizi untuk membentuk air susu. Pada tahap terakhir atau trisemester ketiga (usia kehamilan 7-9 bulan), janin tumbuh dengan pesat dan terjadi pembentukan otak sehingga dibutuhkan vitamin dan mineral yang cukup (Haryanto 1999). Selama masa kehamilan, kebutuhan energi meningkat menjadi sekitar 80.000 kkal, dimana 36.000 kkal untuk pembakaran tubuh dan 44.000 kkal untuk pembuatan jaringan baru (Nadesul 2005). Protein juga merupakan zat gizi yang penting selama masa kehamilan. Menurut Nadesul (2005), hampir 70 % protein digunakan untuk kebutuhan janin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, keguguran, bayi lahir dengan berat badan kurang, serta tidak optimalnya pertumbuhan jaringan tubuh dan jaringan pembentukan otak (Haryanto 1999).
5
Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk wanita Komponen
Wanita tidak hamil (per orang per hari)
Wanita hamil Trisemester II dan III (per orang per hari) 2200 67
Energi (kkal) 1900 Protein (g) 50 Vitamin larut lemak Vitamin A (RE) 600 900 Vitamin D (µg) 5 5 Vitamin E (mg) 15 15 Vitamin K (µg) 55 55 Vitamin larut air Thiamin (mg) 1 1.3 Riboflavin (mg) 1.1 1.4 Niacin (mg) 14 18 Asam folat (µg) 400 600 Piridoksin (mg) 1.3 1.7 Vitamin B12 (µg) 2.4 2.6 Vitamin C (mg) 75 85 Mineral Kalsium (mg) 800 950 Fosfor (mg) 600 600 Magnesium (mg) 240 270 Besi (mg) 26 35 dan 39 Yodium (mg) 150 200 Seng (mg) 9.3 13.5 dan 18.3 Selenium (µg) 30 35 Mangan (mg) 1.8 2 Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 2004
Vitamin yang penting selama masa kehamilan, antara lain vitamin A, asam folat, dan vitamin C. Vitamin A dalam bentuk retinol diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin (Sizer dan Whitney 2000). Asam folat berfungsi untuk membantu sintesis DNA yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel baru. Kekurangan folat dapat mengubah morfologi inti sel terutama sel-sel yang dapat membelah cepat, seperti servik rahim. Sedangakan vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, mencegah pembentukan nitorsamin yang bersifat karsinogenik, dan meningkatkan adsorpsi besi dalam bentuk nonhaem sampai empat kali lipat. Kolagen adalah protein yang menjadi dasar pembentukan jaringan penghubung yang diperlukan oleh fetus (Sizer dan Whitney 2000). Selain vitamin, terdapat beberapa mineral yang juga penting selama masa kehamilan. Mineral yang penting selama masa kehamilan diantaranya kalsium, besi, iodium, dan seng. Kalsium digunakan untuk menunjang pembentukan tulang dan gigi, serta persendian janin. Zat besi dibutuhkan untuk mengikat oksigen, pembentukan sel-sel baru, asam-asam amino, hormonhormon, dan neurotransmitter. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia
6
atau kekurangan sel darah merah. Anemia zat besi merupakan gangguan yang sering terjadi selama masa kehamilan (Duhring 1988). Kekurangan iodium pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang permanen serta menghambat pertumbuhan bayi atau kretinisme. Seng merupakan kofaktor enzim sehingga seng berperan dalam sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid, asam nukleat, dan kolagen. Kekurangan seng dapat mengganggu fungsi tiroid, memperlambat energi metabolisme tubuh, dan menghilangkan nafsu makan. Karakteristik Talas Banten Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) atau yang dikenal juga sebagai beneng (besar dan koneng/kuning) atau giant taro atau big elephant’s ear mempunyai ukuran besar dan bagian umbinya berwarna kuning. Umbi talas yang sudah berumur 3 tahun bisa mencapai panjang 2 meter dengan diameter 15 cm, dimana sebagian umbi masuk ke dalam tanah dan sebagian lainnya berada di atas permukaan tanah (Manner 2010). Selain potensi ukurannya, talas ini memiliki kadar protein dan mineral yang relatif tinggi. Menurut Noviamayasari (2010) talas Banten memiliki kandungna protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan talas Bogor, talas Pontianak dan talas Malang. Potensi ini didukung pula oleh kemudahan budidayanya baik pada lahan basah maupun kering (Basyir 1999) sehingga pengembangan pertanamannya dapat dilakukan di lahan marjinal. Di Banten, talas ini ditemukan tumbuh liar di lereng bukit dan pekarangan. Pada umumnya di Indonesia, talas lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan pelengkap seperti kudapan (keripik, kolak, ubi goreng dan ubi rebus) atau tambahan sayur. Di negara-negara lain seperti di Jepang dan New Zealand, talas telah dimanfaatkan sebagai bahan baku produk berbasis karbohidrat seperti roti, kue-kue, makanan bayi atau produk-produk ekstrusi yang bernilai ekonomi tinggi. Tabel 2 Komposisi kimia umbi talas Banten per 100 gram bahan Kandungan gizi Energi (kkal) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Pati (%) Sumber: Berkah 2010
Jumlah 83.7 2.01 0.27 18.3 0.73 15.21
7
Salah satu kendala dalam penggunaan talas sebagai bahan baku produk olahan adalah kandungan oksalatnya yang tinggi (61.783 ppm). Konsumsi makanan berkadar oksalat tinggi dapat mengganggu kesehatan karena dapat menyebabkan pembentukan batu oksalat atau batu ginjal. Selain itu, adanya oksalat dapat menurunkan penyerapan kalsium oleh tubuh (Njintang dan Mbofung 2003). Metode fisik yang paling umum digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan pemanasan, dikarenakan kalsium oksalat labil terhadap panas. Pemanasan dapat dilakukan melalui perebusan atau pengukusan. Secara biologis kandungan kalsium oksalat dapat dikurangi dengan fermentasi anaerobic (Iwuoha dan Kalu 1995). Perendaman dengan larutan garam 1% selama 20 menit dilaporkan dapat menurunkan kadar oksalat secara maksimal. Perendaman dengan larutan garam dikombinasikan dengan blanching dapat menurunkan kadar oksalat (dalam bentuk asam oksalat) hingga 37.2% (Dahal dan Swamylinappa 2006). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) juga banyak dilakukan untuk mengurangi efek gatal pada talas. Pembuatan Tepung Talas Banten Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan atau penepungan. Kadar air yang dimiliki tepung rendah, hal ini berpengaruh terhadap keawetan suatu bahan pangan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis/asal bahan, perlakuan yang telah dialami oleh bahan pangan, kelembaban udara, tempat penyimpanan dan jenis pengemasan. Cara yang paling umum dilakukan untuk menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering biasa. Proses pembuatan tepung umbiumbian sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbiumbian itu sendiri (Lingga 1986). Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian dilakukan proses pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC yaitu, pada saat kadar air mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan tersebut dibolak-balik agar kering secara merata. Hasil dari
8
pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk menghasilkan tepung talas yang seragam dilakukan proses pengayakan. Karakteristik Kacang Hijau Phaseolus radiatus, Linn merupakan nama botani kacang hijau (Kay 1979). Kacang hijau termasuk ke dalam family Leguminoceae, sub family Papillionideae, genus Phaseolus, dan spesies radiates (Marzuki 1977). Buah kacang hijau berbentuk pedang-pedangan, kecil dan memanjang. Warna buahnya hijau sewaktu masih muda dan nantinya akan menjadi ungu tua setelah cukup tua. Setiap buah terdapat 5 sampai lebih dari 10 biji kacang hijau. Biji tersebut ada yang mengkilap dan ada pula yang kusam (Kay 1979). Biji kacang hijau terdiri dari 3 bagian, yaitu kulit biji, endosperma dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik mekanis, dan serangan kapang atau serangga. Endosperma merupakan bagian biji yang mengandung makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut. Tabel 3 Komposisi kimia kacang hijau per 100 gram bahan Komponen Jumlah Energi (kkal) 345 Air (g) 10 Lemak (g) 1.26 Protein (g) 22.2 Karbohidrat (g) 62.9 Kalsium (mg) 125 Fosfor (mg) 320 Besi (mg) 6.7 Vitamin A (IU) 157 Vitamin B1 (mg) 0.64 Sumber: Suprapto dan Sutarman 1982
Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar dibandingkan dengan
komponen-komponen
lain
yang
terdapat
dalam
kacang
hijau.
Karbohidrat tersusun atas pati, gula dan serat kasar (Sathe et al 1982). Menurut Kay (1979), pati kacang hijau terdiri atas 28.8% amilosa dan 71.2 % amilopektin. Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa. Pati pada kacang hijau mempunyai daya cerna 99.8%, sehingga dapat dikatakan bahwa daya cerna karbohidrat kacang hijau tinggi. Protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat yang terdiri dari berbagai asam amino diantaranya merupakan asam amino essensial. Tabel 4 menunjukan kandungan asam amino essensial pada kacang hijau. Seperti kacang-kacangan pada umumnya, protein kacang hijau hanya sedikit
9
mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin) namun kaya akan lisin. Kacang hijau mempunyai daya cerna protein yang cukup tinggi yaitu, sebesar 81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi adanya inhibitor tripsin. Aktivitas tripsin tersebut dapat pula dipengaruhi oleh adanya tannin dan polifenol. Tabel 4 Komposisi asam amino essensial kacang hijau Asam amino Triptofan Threonin Isoleusin Leusin Lisin Methionin dan Sistin Fenilalanin dan Tirosin Valin Sumber: USDA 2008
Jumlah (mg/g) 10.88 32.72 42.10 77.28 69.62 20.75 90.25 51.76
Karakteristik Cookies Cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila dipanaskan penampang potongannya bertekstur kurang padat (BSN 1992). Cookies yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan agar aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu cookies yang digunakan merupakan syarat mutu yang berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 012973-1992) adalah sebagai berikut. Tabel 5 Syarat mutu cookies menurut SNI 01-2973-1992 Kriteria uji Kalori (Kal/100 gram) Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Logam berbahaya Bau dan rasa Warna Sumber : BSN 1992
Klasifikasi Min 400 Max 5 Min 9 Min 9.5 Max 70 Max 0.5 Max 1.5 Negative Normal dan tidak tengik Normal
Bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan cookies dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahanbahan yang berfungsi sebagai bahan pengikat adalah sebagai berikut tepung, susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, lemak, dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).
10
Fungsi Tepung Terigu dalam Pembuatan Cookies Tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu. Tepung terigu berfungsi sebagai bahan dasar untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, mengikat bahan lainnya, membentuk struktur cookies, serta memberi cita rasa. Tepung terigu dapat dibagi berdasarkan kadar proteinnya yaitu, soft flour, medium flour, dan strong flour. Komponen penting yang membedakan tepung terigu dengan bahan lainnya adalah kandungan protein, jenis gluten dan gliadin, yang pada kondisi tertentu dengan air dapat membentuk massa yang elastis dan dapat mengembang yang disebut gluten. Kandungan gluten dalam tepung terigu sebanyak 80% dari protein total. Adanya gluten yang menghasilkan sifat viskoelastis membuat adonan terigu mampu dibuat lembaran, digiling, maupun dibuat mengembang. Dari karakter khas tersebut dihasilkan beratus-ratus produk yang sulit ditiru oleh bahan non-terigu (Utami 1998). Untuk menghasilkan cookies yang bermutu baik digunakan tepung terigu dari gandum lunak yang mempunyai kadar protein 8-9% dan kadar abu kurang dari 0.6%. Tepung jenis ini sifat glutennya kurang baik sehingga cocok untuk jenis makanan yang tidak menghendaki terbentuknya gluten. Bila tepung gandum yang digunakan semakin keras, maka semakin banyak gula dan lemak yang harus ditambahkan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam, serta penampakan permukaan (Matz dan Matz 1978). Fungsi Telur dalam Pembuatan Cookies Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan untuk menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, flavour, dan melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur. Dalam pembuatan cookies penggunan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang sempurna, tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz 1978)
11
Fungsi Lemak dalam Pembuatan Cookies Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan cookies. Di dalam adonan lemak mempunyai fungsi sebagai shortening dan pemberi flavor. Selama pengadukan adonan, lemak akan mengelilingi tepung terigu sehingga jaringan gluten didalamnya akan diputus dan karateristik makanan setelah dipanggang menjadi tidak keras dan cepat meleleh di dalam mulut (Manley 1983). Jenis lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies biasa disebut shortening. Jumlah dan jenis shortening dalam formula berpengaruh terhadap adonan dan kualitas akhir produk. Shortening bisa berasal dari lemak hewani (mentega) maupun lemak nabati (margarine). Shortening yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies adalah mentega. Rendahnya titik cair pada mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan oleh mentega biasanya ditambahkan margarine (Matz dan Matz 1978). Fungsi Susu Skim dalam Pembuatan Cookies Susu skim adalah bagian dari susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu, kecuali lemak dan vitamin larut lemak. Susu skim ditambahkan untuk memperbaiki penerimaan seperti warna, rasa, dan aroma, serta sebagai bahan pengisi,
menyerap
air,
mengontrol
pengembangan
adonan,
dan
dapat
meningkatkan nilai gizi (Matz dan Matz 1978). Fungsi Gula dalam Pembuatan Cookies Dalam formulasi cookies, gula tidak hanya berfungsi sebagai pemanis tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna, dan kontrol pengembang adonan. Penambahan gula membuat susunan dan butiran remah menjadi halus serta membuat kerak cookies berwarna coklat tua. Gula yang digunakan biasanya dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus, atau tepung gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar (Matz dan Matz 1978). Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu (Arpah dan Syarief 2000). Penentuan umur simpan suatu produk
12
dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima oleh konsumen (Ellis 1994). Secara alami produk pangan akan mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat terjadi pada saat proses produksi dan penyimpanan. Pada masa simpan, satu atau beberapa atribut dari produk dapat mengalami perubahan ke arah yang tidak diinginkan. Pada saat tersebut, produk tidak layak untuk dikonsumsi dan telah mencapai akhir dari masa simpannya (Ellis 1994). Ciri-ciri produk pangan yang telah kadaluarsa yang paling mudah untuk diamati adalah perubahan warna, perubahan aroma, timbulnya kapang, berlendir, dan lain sebagainya. Disamping ciri-ciri fisik yang mudah diamati, ternyata ada pula kerusakan yang tidak menampakkan gejala-gejala apapun, sehingga sulit diamati. Kerusakan-kerusakan yang tidak menampakan gejala fisik tersebut umumnya disebabkan oleh mikroba (Arpah 2001). Menurut Syarief dan Halid (1993), analisis penurunan mutu perlu beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut mencerminkan keadaan mutu dari produk yang dikemas. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Parameter penurunan mutu didasarkan pada parameter yang paling sensitif terhadap mutu suatu produk. Hasil analisis menggunakan metode-metode pendugaan umur simpan pangan dan diikuti dengan penentuan umur simpan pangan (Shelf Life Testing) yang dilakukan secara laboratories dan mengikuti prosedur dan standar tertentu menghasilkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa (Arpah 2001). Floros (1993) menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsa dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) atau penentuan umur simpan dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau pendugaan umur simpan. ESS yang sering juga disebut sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat, namun pelaksanaannya memerlukan waktu yang panjang, analisa karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak dan biaya yang dikeluarkan besar.
13
Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan suatu produk digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat lebih cepat dilakukan (Arpah dan Syarief 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat (Labuza 1982). Salah satu metode akselerasi yang diterapkan pada produk pangan kering adalah model air kritis. Pada metode ini, kondisi lingkungan memiliki kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai daripada kondisi normal. Produk pangan kering yang disimpan akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Pendugaan umur simpan dengan metode pendekatan model air kritis pada umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batasan yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang akan spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode air kritis antara lain biskuit, wafer, permen, makanan ringan (snack dan chips), dan produk insatan (powder) Model kadar air kritis ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satunya yaitu menggunakan kurva sorpsi isotermis. Pendekatan kurva
14
sorpsi isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai kurva isotermis yang biasanya berbentuk sigmoid (bentuk S)(Buckle et al 1987). Pada kenyataannya, grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan demikian disebut fenomena histerisis. Fenomena ini diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses adsorpsi dan desorpsi. Besarnya histerisis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung faktor-faktor seperti bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi, dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi (Fennema 1996). Formulasi Produk dengan Metode Response Surface Methodology (RSM) RSM adalah metode yang mengeksplorasi hubungan dari masing-masing unsur dalam penelitian, misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik optimasi RSM bekerja berdasakan pada proses atau siklus pengetahuangagasan-analisis desain secara berulang. Efektivitas teknik optimasi RSM tergantung pada lima asumsi sebagai berikut: 1. faktor kritis dari suatu produk atau proses diketahui; 2. daerah atau batasan dimana level faktor dapat mempengaruhi produk diketahui; 3. faktorfaktor bervariasi secara berkesinambungan sepanjang sebaran penelitian yang diuji; 4. ada fungsi matematis yang menghubungkan faktor dengan respon terukur; dan 5. respon yang ditetapkan oleh teknik optimasi ini merupakan suatu permukaan halus. Kegunaan teknik optimasi antara lain adalah dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan mendapatkan
respon
(peubah
tak
bebas)
yang
diinginkan
dan
dapat
mengambarkan bahwa respon mendekati optimum, dapat menetukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan faktor-fakor pada level tertentu, dan dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan (Rahmawati 2010).
15
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Laboratorium
ini
dilakukan
Organoleptik,
dan
di
Laboratorium
Laboratorium
Pengolahan
Analisis
Kimia
Pangan, Pangan
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor,
serta
Laboratorium
Balai
Besar
Penelitian
dan
Pengembangan
Pascapanen Pertanian Bogor, selama empat bulan yaitu dari bulan Juli hingga Oktober 2010. Bahan dan Alat Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan untuk pembuatan tepung talas, bahan untuk pembuatan cookies, bahan untuk analisis kimia dan bahan untuk pendugaan umur simpan. Bahan utama dalam penelitian ini adalah talas Banten (Xanthosoma Undipes K. Koch) berusia rata-rata 10 bulan yang diproses menjadi tepung. Proses pembuatan tepung ini memerlukan bahan, yaitu talas, garam serta air. Selain tepung talas digunakan juga tepung kacang hijau dalam pembuatan tepung komposit. Bahan-bahan lain yang diperlukan untuk pembuatan cookies adalah tepung terigu, telur ayam, susu skim, mentega, keju, gula halus, garam dan vanili. Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis kimia adalah HCl, H2SO4, NaOH, indikator metal merah biru, pelarut heksana, aquades, etanol, aseton dan selenium mix serta bahan kimia lainnya. Bahan-bahan yamg digunakan untuk menduga umur simpan antara lain garam KI, NaCl, KCl, BaCl2, KNO3, dan K2SO4. Alat Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini juga dibagi empat, yakni alat dalam pembuatan tepung talas, pembuatan cookies, alat dalam analisis kimia serta alat dalam pendugaan umur simpan cookies. Pembuatan tepung talas memerlukan alat sebagai berikut pisau, bak pencucian dan perendaman, mesin penyawut, baki serta penggilingan 100 mesh. Pembuatan cookies memerlukan alat-alat yaitu, mixer, timbangan, cetakan kue, spatula, dan oven. Alat-alat yang digunakan dalam analisis kimia antara lain adalah cawan, oven, desikator, labu kjeldahl, erlenmeyer, kertas saring, soxlet, dan lain-lain. Alat yang digunakan pada pendugaan umur simpan adalah chamber, oven inkubator, termometer, timbangan analitik serta desikator.
16
Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu, pendahuluan dan lanjutan. Penelitian pendahuluan Tahap awal meliputi pembutan tepung talas, analisis sifat fisik dan kimiawi tepung talas serta pembuatan dan formulasi cookies dari tepung talas. 1.
Pembuatan Tepung Talas Pembuatan tepung talas dimulai dengan tahap pengirisan. Umbi talas diiris hingga mendekati dengan bentuk bundar dengan ketebalan 12 mm dalam air hangat (40°C) selama 3 jam. Irisan talas yang telah didapatkan selanjutnya direndam dengan larutan garam NaCl (10%). Proses perendaman dilakukan selama 60 menit dalam larutan garam. Setelah proses perendaman selesai irisan talas ditiriskan selama 20 menit kemudian dilakukan perendaman kedua dengan menggunakan air selama 3 jam. Irisan talas yang telah direndam dalam air kemudian ditiriskan selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan selama 5-6 jam dengan suhu 60oC. Hasil pengeringan tersebut kemudian digiling hingga didapatkan tepung talas. Umbi Talas Pengirisan (1-2 mm) Perendaman dalam larutan garam (60 menit)
Penirisan I (20 menit) Perendaman dalam air (3 jam) Penirisan II (10 menit) Pengeringan (60°C, 14 jam) Penggilingan (100 mesh)
Tepung talas
Gambar 1 Bagan alir pembuatan tepung talas.
17
2. Pembuatan Tepung Kacang Hijau Pembuatan tepung kacang hijau menggunakan kacang hijau kupas kulit komersil yang didapatkan dari pasar tradisional sekitar kota Bogor.
Kacang
hijau
kupas
kulit
selanjutnya
digiling
dengan
menggunakan mesin penepung. Tepung kacang hijau yang didapatkan kemudian diayak sehingga didapatkan tepung kacang hijau dengan ukuran 100 mesh. Berikut merupakan diagram alir pembuatan tepung kacang hijau. Kacang hijau kupas kulit
Penggilingan (100 mesh)
Pengayakan (100 mesh)
Tepung kacang hijau
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung kacang hijau. 3. Formulasi Tepung Komposit Formulasi merupakan tahap awal untuk optimasi formula terpilih dari tepung komposit berbasis talas Banten. Formulasi tepung komposit berdasarkan metode RSM (Response Surface Methodology). Formula komposit menggunakan tepung talas Banten dan tepung kacang hijau. Rancangan
metode
yang
digunakan
adalah
Response
Surface
Methodology (RSM) dengan memakai software Design Expert trial (DX trial). Penggunana rancangan tersebut dilakukan agar sesuai dengan faktor
perlakuan
pada
penelitian,
yaitu
perlakuan
pencampuran
komponen yang diubah agar memperoleh respon tertentu (Rahmawati 2010). Faktor perlakuan berupa komponen yang diubah-ubah pada penelitian ini adalah jumlah tepung talas Banten dan tepung kacang hijau. Kisaran komponen dikonversi berdasarkan berat total fomula komposit (100%). Kisaran komponen yang digunakan adalah untuk tepung talas Banten adalah 60-70% sedangkan tepung kacang hijau adalah 30-40%.
18
Tabel 6 Formula tepung komposit Formula
Tepung talas (%)
Tepung hijau (%)
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
66.67 70.00 60.00 63.33 60.00 65.00 67.50 62.50
33.33 30.00 40.00 36.67 40.00 35.00 32.50 37.50
Penelitian selanjutnya adalah pembuatan cookies berdasarkan formula tepung komposit tersebut. Pembuatan cookies dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode krim (creaming method). Dalam metode ini mentega, gula serta kuning telur dicampurkan dengan mixer hingga terbentuk krim (kurang lebih 5 menit). Selanjutnya tepung komposit, susu skim serta keju dicampurkan perlahan dengan krim hingga membentuk adonan yang kalis. Adonan ditipiskan dengan roller dan selanjutnya dapat dicetak. Adonan yang telah dicetak kemudian dipanggang dalam oven yang telah diatur suhunya (170oC) selama 10 menit. Pendinginan dilakukan dengan membiarkan cookies yang telah dikeluarkan dari oven pada suhu kamar selama beberapa menit. Setelah dingin, cookies dapat dikemas (Indriasti 2004). Berikut merupakan diagram alir pembuatan cookies. Mentega, gula dan kuning telur
Dicampurkan hingga membentuk krim
Penambahan tepung komposit, susu skim dan keju
Dicampurkan hingga membentuk adonan
Ditipiskan dengan roller dan dicetak Dipanggang 170oC, 10 menit
Cookies
Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies.
19
Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan yang dilakukan terdiri atas pengujian sifat kimiawi cookies, uji organoleptik serta pendugaan umur simpan cookies terpilih. 1.
Pengujian sifat kimiawi cookies Cookies yang dihasilkan dari penelitian tahap awal kemudian diuji sifat
kimiawinya. Sifat kimia cookies yang diuji meliputi kadar air (metode pemanasan langsung), kadar abu (metode tanur), kadar protein (metode semi mikro kjeldhal), kadar lemak (metode soxlet), kadar karbohidrat (karbohidrat by difference), dan kadar serat kasar (metode gravimetri). Prosedur analisis yang dilakukan sama dengan analisis kimiawi tepung talas. Selain pengujian sifat kimiawinya dilakukan juga uji organoleptik terhadap cookies yang dihasilkan. 2.
Pengujian sifat organoleptik cookies Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (uji hedonik) dan
mutu hedonik. Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, dan tekstur produk. Panelis yang digunkan sebanyak 30 orang panelis semi terlatih. Penilaian uji hedonik menggunakan sembilan skala yaitu, sangat amat tidak suka (0); amat tidak suka (1); agak tidak suka (2); tidak suka (3); biasa (4); agak suka (5); suka (6); amat suka (7); dan sangat amat suka (8). Skala yang digunakan untuk uji mutu hedonik terdiri atas penilaian untuk rasa, aroma, warna dan tekstur. Skala penilaian rasa mulai dari sangat hambar (0) sampai sangat gurih (8). Skala penilaian aroma terdiri dari sembilan skala yaitu, dari sangat tidak beraroma (0) sampai sangat harum (8). Skala penilaian warna mulai dari sangat coklat gelap (0) sampai sangat kuning terang (8). Sementara penilaian skala tekstur memiliki skala sangat keras (0) hingga sangat renyah (8). 3.
Pendugaan umur simpan Pendugaan umur simpan cookies dilakukan berdasarkan kadar air kritis
dengan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis, perhitungan umur simpan dapat menggunakan persamaan Labuza (1982): ts = ln (me-mo)/(me-mc) k/x*(A/Ws)(Po/b) dimana: ts
= waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam)
me
= kadar air kesetimbangan produk (g H2O / g padatan)
20
mo
= kadar air awal produk (g H2O / g padatan)
b
= slope kurva sorpsi isotermis
mc
= kadar air kritis (g H2O / g padatan)
k/x
= konstanta premeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= berat kering produk dalam kemasan (g)
Po
= tekanan uap jenuh (mmHg)
Mengacu pada pendekatan diatas, maka dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut: Penentuan kadar air awal
Penentuan kadar air kritis
Penentuan pola kurva sorpsi isotermis
Penentuan model persamaan kurva sorpsi isotermis dan uji ketepatan
Penentuan variabel pendukung
Pendugaan umur simpan
Gambar 4 Diagram alir pendugaan umur simpan. a.
Penentuan kadar air awal Penentuan kadar air awal dilakukan terhadap sampel segar yang baru dibuka dari kemasannya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Sejumlah sampel (c) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya (a). Kemudian cawan dimasukan ke dalam oven bersuhu 100oC sehingga diperoleh berat konstan (b). Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus : Kadar air (%bb) = (a - b) / c x 100%
b.
Penentuan kadar air kritis Sebelum dilakukan penentuan kadar air kritis sebaiknya terlebih dahulu ditetapkan parameter kritis produk. Penentuan parameter kritis dilakukan dengan survei konsumen tentang penyebab kerusakan produk cookies. Hal ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuisoner kepada 30
21
orang panelis tentang parameter kerusakan produk cookies. Panelis diminta untuk memilih atribut yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk cookies. Penetuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan cookies didalam chamber dengan RH sebesar 75% dan suhu sebesar 30oC selama 12 jam. Setiap dua jam sekali dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis kadar air, nilai kerenyahan serta uji organoleptik terhadap atribut utama kerusakan cookies. Data kadar air dan nilai kerenyahan masing-masing sampel yang diberi perlakuan waktu penyimpanan, selanjutnya diplotkan dengan nilai kesukaannya
masing-masing,
sehingga
diperoleh
grafik
yang
menunjukan hubungan antara skor kesukaan dengan kadar air dan hunbungan antara skor kesukaan dengan nilai kerenyahan. Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi linear. Berdasarkan persamaan tersebut, kadar air kritis dapat dihitung pada saat skor kesukaan panelis menyatakan bahwa panelis agak tidak suka dengan produk cookies. c.
Penentuan pola kurva sorpsi isotermis Penentuan pola kurva sorpsi isotermis diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh yang digunakan untuk mengatur RH ruangan (chamber). Garam yang digunakan antara lain KI, NaCl, KCl, BaCl2, KNO3, dan K2SO4. Tabel 7 Jenis dan RH garam jenuh yang dipergunakan No Jenis garam Jumlah (g) 1 KI 200 2 NaCl 50 3 KCl 70 4 BaCl2 60 5 KNO3 70 6 K2SO4 60 *Sumber: Labuza 1982
Air (ml) 100 100 100 100 100 100
%RH* 69.0 75.5 84.0 90.3 93.0 97.0
Sekeping cookies diletakan pada cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan yang berisi sampel tersebut diletakan dalam chamber yang berisi larutan garam jenuh dengan RH yang berbeda-beda. Chamber kemudian disimpan dalam desikator dengan suhu 30oC. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik setiap hari hingga diperoleh bobot yang konstan. Bobot yang
22
konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH dibawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH diatas 90%. Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw). d.
Penentuan model persamaan kurva sorpsi isotermis dan uji ketepatan model Penentuan model sorpsi isotermis dilakukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus. Terdapat beberapa macam model persamaan sorpsi isotermis, pada penelitian ini model yang dipilih merupakan model persamaan yang biasa diaplikasikan pada bahan pangan.
Persamaan
yang
dipilih
adalah
persamaan-persamaan
sederhanan yang mempunyai parameter tidak lebih dari tiga serta dapat digunakan pada kisaran aw yang luas. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, Chen-Clayton dan GAB. Persamaan non linear (Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, ChenClayton) yang digunakan tersebut diubah ke dalam bentuk persamaan linear,
sehingga
dapat
ditentukan
nilai-nilai
konstanta
dalam
persamaannya dengan metode kuadrat terkecil. Lain halnya dengan model persamaan GAB, persamaan ini diubah ke dalam bentuk persamaan kuadratik sehingga nilai-nilai konstanta dalam persamaan dapat ditentukan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan sorpsi isotermis untuk menggambarkan seluruh kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Uji ketepatan dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Deviation (MRD). Rumus MRD tersebut adalah sebagai berikut:
23
Dimana : mi
= kadar air percobaan
mpi = kadar air hasil perhitungan n
= jumlah data
Jika nilai MRD < 5, maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10, maka model tersebut menggambarkan keadaan sebenarnya dengan agak tepat dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. e.
Penentuan variabel pendukung Beberapa variabel pendukung yang penting dalam menentukan umur simpan dengan pendekatan air kritis, yaitu premeabilitas kemasan produk cookies, luas kemasan, berat solid cookies per kemasan, dan tekanan uap murni pada suhu 30oC. Rancangan Percobaan Rancangan metode penelitian yang digunakan adalah rancangan
Response Surface Methodology (RSM) mixture design D-optimal. Rancangan ini menggunakan software Design Expert trial (DX trial).
Mixture design adalah
eksperimen yang memiliki respon yang diasumsikan hanya tergantung dari proporsi relatif dari ingradient dalam formula dan bukan tergantung jumlah ingradient tersebut. Faktor perlakuan berupa komponen yang diubah-ubah pada penelitian ini adalah proporsi tepung talas dan tepung kacang hijau. Output dari proses analisa respon yang diolah dengan rancangan statistik RSM mixture design adalah berupa persamaan polinomial. Persamaan polinomial yang diperoleh tiap respon ditunjukkan dengan variabel tertentu yang dapat berbentuk Mean (M), Linear (L), Quadratik (Q), dan Cubic (C). Variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan rancangan model polinomial untuk faktor perlakuan pada penelitian sehingga didapatkan respon yang mendukung terciptanya produk yang optimal (Rahmawati 2010). Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil uji organoleptik secara deskriptif dengan menggunakan persentase penerimaan panelis. Persentase penerimaan panelis ditentukan dengan cara menghitung persentase panelis yang dapat menerima produk dari uji hedonik. Data yang dihasilkan dari uji kimiawi diolah dengan menggunakan Microsoft Excel software. Kadar air, abu, protein, lemak,
24
karbohidrat, serta serat dinyatakan dalam persentase. Selanjutnya data yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan dengan menggunakan teknik optimasi RSM (Response Surface Methodology), sebuah metodologi atau alat optimasi yang memungkinkan untuk memperoleh penjelasan menyeluruh mulai dari desain penelitian, analisis data, dan optimasi. Software yang digunakan dalam aplikasi RSM adalah Desaign Expert trial. Berikut merupakan diagram alir penelitian cookies tepung komposit talas. Tepung talas
Tepung kacang hijau
Formulasi tepung komposit dengan metode RSM
Analisis karakteristik kimia dan organoleptik cookies
Penentuan formula cookies terpilih melalui RSM
Formula cookies terpilih
Dilakukan pendugaan umur simpan dengan metode akselerasi
Gambar 5 Diagram alir penelitian cookies tepung komposit talas
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Talas Menurut Moy (1977) umur panen talas adalah sekitar 8 sampai 12 bulan, pada penelitian ini sendiri bahan dasar tepung adalah talas Banten yang ratarata berusia 10 bulan. Proses pembuatan tepung talas meliputi penimbangan umbi, pengupasan dan pencucian serta perendaman dengan larutan garam, selanjutnya umbi talas dikeringkan dan digiling sehingga dapat diperoleh tepung talas. Tahapan awal dalam pembuatan tepung talas adalah pencucian dan pengupasan umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung karena mempunyai efek membersihkan. Talas selanjutnya direndam dengan menggunakan larutan NaCl 10% selama 1 jam, hal ini dilakukan untuk mengurangi kandungan oksalat yang terdapat dalam talas. NaCl akan terionisasi di dalam air menjadi ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat dan endapan kalsium diklorida yang larut dalam air (Sajevv 2004). Kemudian dilakukan proses pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC. Pengeringan dilakukan kurang lebih selama 12 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan
tersebut
dibolak-balik
agar
keringnya
merata.
Hasil
dari
penegeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling. Sifat Fisik Tepung Talas Sifat fisik yang diuji adalah rendemen tepung. Rendemen merupakan perbandingan berat akhir tepung dengan berat awal bahan baku yang digunakan. Nilai rendemen ini dapat digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin ekonomis produk tersebut, begitu juga sebaliknya (Melani 2002). Rendemen tepung talas adalah sebesar 15 %, nilai rendemen tersebut menunjukan bahwa nilai ekonomis tepung talas masih relatif rendah. Sifat Kimia Tepung Talas Sifat kimia yang diuji antara lain adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat makanan. Kandungan zat gizi tepung talas dapat dilihat pada Tabel 8.
26
Tabel 8 Hasil analisis kimia tepung talas Kandungan gizi per 100 g talas Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Air (g)
Mentah* 145 1.2 0.4 34.2 1.5 1.0 63.1
Tepung 394 6.74 0.44 90.68 19.17 1.82 7.07
*sumber: Lingga 1989
Tepung talas yang dihasilkan mengandung lebih banyak energi dibandingkan dengan talas segar, hal ini dikarenakan jumlah karbohidrat yang terkandung dalam tepung talas lebih tinggi dibandingkan dengan talas segar. Selain peningkatan kandungan karbohidrat, dalam tepung talas juga terkandung lebih banyak protein. Sedangkan untuk kandungan lemak dan abu pada tepung talas tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan yang terkandung dalam talas segar. Peningkatan kandungan zat gizi dalam tepung talas menyebabkan kandungan energi yang terdapat didalamnya menjadi lebih tinggi. Kadar
air
tepung
talas
yang
dihasilkan
mengalami
penurunan
dibandingkan dengan talas yang masih segar. Hal ini disebabkan banyak air yang menguap selama proses pengeringan dalam pembuatan tepung. Hasil kadar air tepung talas berada dalam kisaran aman untuk bahan pangan, yakni dibawah 14% sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang dan keawetan lebih lama (Winarno et al 1980). Menurut Winarno (1993) untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Pada penelitian ini cara yang digunakan adalah pengeringan bahan dengan metode penjemuran. Formulasi Cookies Formulasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah tepung talas serta tepung kacang hijau ke dalam adonan cookies. Batas minimal penambahan adalah penambahan tepung kacang hijau agar dapat memenuhi Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992 dengan syarat cookies mengandung protein lebih dari 9 gram per 100 gram bahan. Formulasi cookies berdasarkan kepada formulasi yang didapatkan dari Respon Surface Methodolgy (RSM). Berikut merupakan tabel formulasi cookies berdasarkan RSM.
27
Tabel 9 Formulasi cookies talas dengan RSM Formula
Tepung talas (%)
Tepung hijau (%)
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
66.67 70.00 60.00 63.33 60.00 65.00 67.50 62.50
33.33 30.00 40.00 36.67 40.00 35.00 32.50 37.50
Sifat Organoleptik Cookies Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (uji hedonik) dan mutu hedonik. Penilaian uji hedonik menggunakan sembilan skala dan parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, dan tekstur produk (Ghandi 2009). Tabel 10 Hasil uji hedonik cookies Formula
Hedonik Warna b
Aroma 6.0493
Rasa b
5.531
c
Tekstur 5.573
b
Keseluruhan 6.07 c
F0
6.08
F1
4.438 a
4.1813 a
3.5853 a
4.32 a
4.133 a
F2
4.564 a
4.584 a
3.8387 ab
4.445 a
4.376 ab
F3
4.54 a
4.74 a
4.364 ab
4.8 a
4.698 ab
F4
4.784 a
4.74 a
4.1173 ab
4.253 a
4.291 ab
F5
4.544 a
4.74 a
4.364 ab
4.8 a
4.698 ab
F6
4.712 a
4.8853 a
4.4587 abc
4.503 a
4.618 ab
F7
4.84 a
4.88 a
5c
4a
4.856 b
4.435 a 4.92 b F8 5.0827 a 4.7867 a 4.712 bc *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Tabel 11 Hasil uji mutu hedonik cookies Formula
Mutu hedonik Warna c
Aroma
Rasa
c
c
5.83
Keseluruhan 5.633 c
5.533
F1
3a
3.667 a
3.467 a
3.5 a
3.633 a
F2
3.067 a
3.567 a
3.8 ab
3.767 ab
3.9 ab
F3
3.4 ab
3.967 ab
3.83 ab
3.967 ab
4.067 abc
4.2
ab
5.567
c
F0
bc
5.467
Tekstur
4.067
ab
4.167
b
4 abc
F4
3.833
F5
3.4 ab
3.967 ab
3.83 ab
3.967 ab
4.067 abc
F6
3.7667 bc
3.933 ab
4.2 b
4.167 b
4.333 bc
F7
4.3667 c
4.2 ab
4.467 b
4b
4.567 c
4.5 b 4.367 b 4.233 b 4.6 c F8 4.3 c *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
28
Berdasarakan hasil uji organoleptik diketahui bahwa rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap warna 5.08 sampai 4.4387 sedangkan penilaian mutu hedonik antara 3 sampai 4.367. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa hingga agak suka dengan mutu warna agak kuning hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap aroma 4.1 sampai 4.8 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.5667 sampai 4.5. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa dengan mutu aroma agak tidak beraroma hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap rasa 3.5853 sampai 4.72 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.4667 sampai 4.4667. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk agak tidak suka hingga biasa dengan mutu rasa agak hambar hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap tekstur 4.2533 sampai 4.8 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.5 sampai 4.4. Kisaran skala tersebut berarti panelis menilai produk biasa dengan mutu tekstur agak keras hingga biasa. Rata-rata penilaian hedonik (kesukaan) terhadap keseluruhan cookies berkisar antara 4.133 sampaui 4.92 dengan penilaian mutu hedonik antara 3.633 sampai 4.6. Kisaran skala tersebut menunjukan bahwa panelis menilai produk biasa dengan mutu agak tidak enak hingga biasa. Warna Warna merupakan variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna juga merupakan salah satu indikator kematangan atau kerusakan suatu produk, serta titik akhir dari proses pemasakan ditentukan oleh warna (Parker 2003). Secara alamiah, pigmen atau warna dirusak oleh adanya pemanasan. Secara kimia, perubahan warna dapat disebabkan perubahan pH atau oksidasi selama penyimpanan. Hasilnya makanan olahan kehilangan warna dan
dapat
menurunkan
nilai
sensorik
(pada
pemangganggan
atau
penggorengan) dan dapat menyebabkan off-colours (Fellow 2000). Hasil uji hedonik terhadap warna cookies menunjukan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 6.08, hal ini menujukan bahwa panelis menyukai cookies kontrol. Cookies dengan penambahan tepung komposit mempunyai skor 5.08 sampai 4.4387. Berikut ini merupakan gambar uji lanjut Duncan.
29
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 6 Hasil uji hedonik terhadap warna cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa warna cookies dengan penambahan tepung komposit yang paling disukai adalah cookies dengan formula F8 sedangkan warna cookies yang paling tidak disukai oleh panelis adalah cookies dengan formula F1. Berdasarkan mutu warna, cookies kontrol memperoleh skor rata-rata sebesar 5.553 (agak kuning). Cookies dengan penambahan tepung komposit memperoleh mutu warna 3 sampai 4.367 (agak coklat sampai biasa). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit berpengaruh sangat nyata (α<0.05) terhadap mutu warna cookies. Hal ini berarti penambahan tepung dapat mempengaruhi mutu warna cookies. Gambar berikut menunjukan hasil uji lanjut Duncan (α=0.05).
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 7 Hasil uji mutu hedonik terhadap warna cookies talas.
30
Berdasarkan uji lanjut duncan, skor warna tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F1 cookies dengan penambahan tepung komposit yang memiliki skor tertinggi untuk mutu warna adalah cookies F7. Warna gelap pada cookies disebabkan oleh karena penambahan tepung talas pada formulasi cookies. Tepung talas yang digunakan mempunyai warna coklat yang dapat mempengaruhi warna yang terbentuk pada produk akhir. Aroma Aroma suatu produk dapat dideteksi ketika zat-zat volatil dari produk tersebut masuk kedalam saluran nasal dan diterima oleh sistem olfaktori. Jumlah zat volatil dalam produk dapat dipengaruhi oleh suhu serta sifat alami dari bahan penyusun produk (Meilgaard 1999). Menurut Winarno (1993) bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan pangan tersebut. Hasil uji hedonik terhadap aroma cookies menunjukan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 6.4, hal ini menujukan bahwa panelis menyukai aroma cookies kontrol. Cookies dengan penambahan tepung komposit mempunyai skor 4.1 sampai 4.8. Penambahan tepung komposit tidak terlalu berpengaruh pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma cookies.
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 8 Hasil uji hedonik terhadap aroma cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa aroma cookies dengan penambahan tepung komposit yang paling disukai adalah cookies dengan formula F6 sedangkan aroma cookies yang paling tidak disukai oleh panelis adalah cookies dengan formula F1. Cookies kontrol memperoleh skor mutu aroma dengan rata-rata sebesar 5.46 (agak harum). Cookies dengan penambahan tepung komposit memperoleh
31
mutu aroma 3.5667 sampai 4.5 (agak tidak beraroma sampai biasa). Hal ini kemungkinan
dikarenakan
pada
saat
proses
pembuatan
cookies
tidak
ditambahkan putih telur, menurut Nishibori (1990) penambahan putih telur atau albumin dapat menyebabkan reaksi antara gula dan protein (asam amino) sehingga menghasilkan senyawaan yang dapat menimbulkan aroma pada cookies. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit berpengaruh sangat nyata (α<0.05) terhadap mutu aroma cookies. Hal ini berarti penambahan tepung dapat mempengaruhi mutu aroma cookies.
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 9 Hasil uji mutu hedonik terhadap aroma cookies talas. Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor mutu aroma tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F2, cookies dengan penambahan tepung komposit yang memiliki skor tertinggi untuk mutu aroma adalah cookies F8. Rasa Menurut Winarno (1993) rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila. Pengindaraan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit. Hasil uji hedonik terhadap rasa cookies menunjukan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 5.5307, hal ini menujukan bahwa panelis agak menyukai rasa cookies kontrol. Cookies dengan penambahan tepung komposit mempunyai skor 3.5853 sampai 4.72. Penambahan tepung komposit dapat memberikan pengaruh terhadap rasa cookies, akantetapi berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa pada cookies formula F6, F7 dan F8 tidak berbeda nyata.
32
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 10 Hasil uji hedonik terhadap rasa cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa rasa cookies dengan penambahan tepung komposit yang paling disukai adalah cookies dengan formula F7 sedangkan rasa cookies yang paling tidak disukai oleh panelis adalah cookies dengan formula F1. Cookies kontrol memperoleh skor mutu rasa dengan rata-rata sebesar 5.56 ( agak gurih). Cookies dengan penambahan tepung komposit memperoleh mutu aroma 3.4667 sampai 4.4667 (agak hambar sampai biasa). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit berpengaruh sangat nyata (α<0.05) terhadap mutu aroma cookies. Hal ini berarti penambahan tepung dapat mempengaruhi mutu rasa cookies. Gambar berikut menunjukan hasil uji lanjut Duncan (α=0.05).
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 11 Hasil uji mutu hedonik terhadap rasa cookies talas.
33
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor mutu rasa tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F1, cookies dengan penambahan tepung komposit yang memiliki skor tertinggi untuk mutu rasa adalah cookies F7. Tekstur Menurut Meilgaard (1999) tekstur merupakan manifestasi sensorik terhadap struktur atau sifat bagian dalam penyusun suatu produk yang didasari atas reaksi stress (dihitung berdasarkan sifat mekanik antara lain kekerasan, adhesi, kohesi, kerenyahan serta kekentalan bahan yang diketahui melalui indra kinetik seperti sentuhan pada tangan, jari, lidah, atau bibir) dan rangsangan taktikel atau kelembaban bahan (dapat diketahui berdasarkan syaraf taktikel pada permukaan kulit tangan, bibir atau lidah). Hasil uji hedonik terhadap tekstur cookies menunjukan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 5.5573, hal ini menujukan bahwa panelis agak menyukai tekstur cookies kontrol. Cookies dengan penambahan tepung komposit mempunyai skor 4.2533 sampai 4.8. Penambahan tepung komposit tidak terlalu berpengaruh pada tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur cookies, hal ini diperlihatkan dari jumlah rata-rata panelis yang menyukai tekstur cookies dengan penambahan tepung komposit tidak berbeda nyata. Berikut ini merupakan gambar uji lanjut Duncan terhadap tekstur cookies.
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 12 Hasil uji hedonik terhadap tekstur cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa tekstur cookies dengan penambahan tepung komposit yang paling disukai adalah cookies dengan formula F5 sedangkan tekstur cookies yang paling tidak disukai oleh panelis adalah cookies dengan formula F4.
34
Cookies kontrol memperoleh skor mutu tekstur dengan rata-rata sebesar 5.833
(agak
renyah).
Cookies
dengan
penambahan
tepung
komposit
memperoleh mutu tekstur antara 3.5 sampai 4.4 (agak keras sampai biasa). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit berpengaruh sangat nyata (α<0.05) terhadap mutu tekstur cookies. Hal ini berarti penambahan tepung dapat mempengaruhi mutu tekstur cookies. Gambar berikut menunjukan hasil uji lanjut Duncan (α=0.05).
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 13 Hasil uji mutu hedonik terhadap tekstur cookies talas. Berdasarkan uji lanjut duncan, skor mutu tekstur tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F1, cookies dengan penambahan tepung komposit yang memiliki skor tertinggi untuk mutu tekstur adalah cookies F7. Keseluruhan Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan cookies menunjukan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 6.076, hal ini menujukan bahwa panelis menyukai cookies kontrol secara keseluruhan. Cookies dengan penambahan tepung komposit mempunyai skor 4.133 sampai 4.92. Penambahan tepung komposit tidak terlalu berpengaruh pada tingkat kesukaan panelis terhadap cookies secara keseluruhan, hal ini diperlihatkan dari jumlah rata-rata panelis yang menyukai cookies dengan penambahan tepung komposit tidak berbeda nyata pada sebagian besar formula cookies tersebut. Berikut ini merupakan gambar uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan cookies.
35
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 14 Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa cookies dengan penambahan tepung komposit yang paling disukai adalah cookies dengan formula F8 sedangkan cookies yang paling tidak disukai oleh panelis adalah cookies dengan formula F1. Cookies kontrol memperoleh skor mutu secara keseluruhan dengan ratarata sebesar 5.633 (agak enak). Cookies dengan penambahan tepung komposit memperoleh mutu secara keseluruhan berkisar antara 3.633 sampai 4.6 (tidak enak sampai biasa). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit berpengaruh sangat nyata (α<0.05) terhadap mutu cookies secara keseluruhan. Hal ini berarti penambahan tepung dapat mempengaruhi mutu cookies secara keseluruhan. Gambar berikut menunjukan hasil uji lanjut Duncan.
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 15 Hasil uji mutu hedonik terhadap keseluruhan cookies talas.
36
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor cookies secara keseluruhan tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F1, cookies dengan penambahan tepung komposit yang memiliki skor tertinggi adalah cookies F8. Sifat Kimia Cookies Talas Sifat kimia cookies yang dianalisis meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan serat kasar. Berikut ini merupakan tabel hasil analisis sifat kimia cookies. Tabel 12 Hasil analisis sifat kimia cookies Formula
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar abu (%)
Kadar serat (%)
Kadar karbohidrat (%)
F0
3.37
8.31
32.08
2.21
0.61
55.47
F1
3.85
9.40
32.61
2.75
2.54
51.90
F2
3.24
8.73
32.90
2.69
3.00
52.73
F3
3.85
9.44
32.64
2.76
2.50
52.22
F4
4.06
8.99
32.58
2.69
2.72
52.39
F5
4.11
9.29
32.51
2.72
2.89
52.18
F6
3.98
9.25
31.94
2.71
2.24
52.93
F7
3.77
8.69
32.51
2.77
2.61
52.96
F8
4.08
9.27
31.81
2.72
2.39
53.11
Kadar Air Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbedabeda, air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan dapat ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Menurut Agu (2007) kandungan air pada setiap cookies dapat berbeda dan dipengaruhi oleh proses pembuatannya. Berdasarkan data hasil analisis diketahui bahwa kadar air dari seluruh formula berkisar antara 3.24% sampai 4.11%. Kandungan air yang terdapat pada produk cookies masih berada dalam batasan kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992, yaitu maksimal sebesar 5%. Berikut ini merupakan grafik analisis kadar air pada cookies.
37
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 16 Kadar air cookies talas. Data hasil analisis kadar air tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa terdapat pengaruh dari penambahan tepung komposit dalam formulasi cookies. Hal ini diperlihatkan dari α kurang dari 0.05. Akantetapi penigkatan kadar air akibat penambahan tepung komposit tersebut tidak terlalu jauh berbeda pada masing-masing formulasi. Kadar Abu Abu merupakan residu dari proses pembakaran bahan-bahan organik, umumnya merupakan partikel halus dan berwarna putih. Kadar abu merupakan parameter kemurnian produk, yang dipengaruhi oleh unsur-unsur mineral dalam bahan pangan tersebut (Winarno 1997). Menurut Sujono (2003), kadar abu menunjukan kandungan mineral yang merupakan zat anorganik sehingga tidak terbakar selama proses pembakaran. Hasil analisis kimia kesembilan formula cookies menunjukan bahwa kadar abu cookies berkisar antara 2.21%-2.77%, seperti yang dilihat pada Gambar 17. Kadar abu cookies tersebut telah melebihi kadar abu yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992, yaitu batas maksimal kadar abu adalah 1.5%. Gambar berikut menunjukan data hasil analisis kadar abu pada cookies.
38
Gambar 17 Kadar abu cookies talas. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung komposit talas dan kacang hijau tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar abu cookies. Kadar Protein Pada umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri (Winarno et al 1980). Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida (Almatsier 2004). Berdasarkan data hasil analisis dapat diketahui bahwa kandungan protein yang terdapat dalam produk cookies berkisar antara 8.31%-9.44%. Pada SNI 012973-1992 dicantumkan bahwa standar minimal protein yang terkandung dalam suatu produk cookies adalah sebesar 9%.
*)keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 18 Kadar protein cookies talas.
39
Sebagian cookies hasil formulasi yang telah dapat memenuhi standar tersebut, antara lain adalah F1, F3, F5, F6, dan F8. Sedangkan cookies dengan formulasi F0, F2, F4, dan F7 mempunyai kadar protein dibawah standar. Perbedaan kandungan protein dalam cookies tersebut disebabkan oleh penambahan tepung kacang hijau ketika dilakukan tahap formulasi. Jumlah tepung kacang hijau yang minimal ditambahkan agar cookies dapat memenuhi standar adalah sebesar 33.33%. Hasil analisis uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kandungan protein yang signifikan dari kesembilan formulasi cookies tersebut. Kandungan protein yang terdapat dalam cookies dengan formulasi F4, F1, F3, F5, F6, dan F8 mempunyai nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan tingkat penambahan tepung kacang hijau kedalam masingmasing formulasi tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Kadar Lemak Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu, lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein (Winarno 1993). Lemak berbeda dengan karbohidrat dan protein karena tidak terdiri dari polimer satuan-satuan molekuler (Winarno et al 1980). Kandungan lemak yang terdapat dalam kesembilan formulasi cookies berkisar antara 31.81% sampai 32.90%. Nilai tersebut masih memenuhi standar, yaitu lebih dari 9.5%. Berikut adalah grafik hasil analsis lemak dalam cookies.
keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 19 Kadar lemak cookies talas.
40
Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa baik cookies kontrol maupun cookies dengan penambahan tepung komposit memiliki kandungan lemak yang tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan kandungan lemak dalam tepung terigu maupun tepung talas hampir setara. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa dari seluruh produk cookies baik cookies kontrol maupun cookies dengan penambahan tepung komposit memiliki rata-rata kandungan lemak yang seragam. Kadar Karbohirat Menurut Winarno (1997), selain merupakan sumber kalori, karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Karbohidrat yang terkandung dalam produk cookies didapatkan melalui perhitungan kadar karbohidrat by difference. Karbohidrat by difference merupakan salah satu cara analsisi termudah yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbohidrat dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat dalam suatu bahan makanan termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis melainkan melalui perhitungan. Perhitungan karbohidrat by difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar (Winarno 1993). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa kisaran kandungan karbohidrat dalam cookies formulasi adalah 51.9% hingga 55.47%.
*) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 20 Kadar karbohidrat cookies talas. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa cookies kontrol mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan cookies dengan penambahan tepung komposit. Pada uji lanjut Duncan yang dilakukan juga
41
terlihat perbedaan yang signifikan antara formulasi cookies. Hasil uji lanjut tersebut memperlihatkan bahwa cookies dengan penambahan tepung komposit memiliki rata-rata kandungan karbohidrat yang berbeda dengan cookies kontrol yang menggunakan tepung terigu. Kadar Serat Kasar Menurut Winarno (1997) serat kasar tidaklah identik dengan serat pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar, yaitu asam sulfat (H2SO4 1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%). Sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu, serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan serat pangan karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar menghidrolisis komponen-komponen pangan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan (Muchtadi 2000). Kira-kira hanya sekitar seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai serat pangan. Kandungan serat kasar cookies berkisar antara 0.61% sampai 3%. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan standar cookies yang ada yaitu maksimal 0.5% maka dapat diketahui bahwa seluruh produk cookies belum memenuhi standar tersebut. Akantetapi menurut Sizer (2000) serat merupakan zat gizi yang diperlukan oleh ibu hamil untuk mengatasi masalah konstipasi yang sering terjadi saat kehamilan. Berikut merupakan grafik hasil analsis kadar serat pada cookies.
*) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 21 Kadar serat kasar cookies talas.
42
Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa cookies dengan penambahan tepung komposit memiliki kadar serat yang lebih tinggi dibandingkan dengan cookies kontrol. Dilakukan uji lanjut Duncan guna mengetahui pengaruh penambahan tepung komposit terhadap kandungan serat pada produk cookies. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa rata-rata kadar serat yang terkandung dalam cookies kontrol berbeda nyata dengan rata-rata kadar serat cookies tepung komposit. Akantetapi pada cookies dengan penambahan tepung komposit sendiri, masing-masing formulasi mempunyai rata-rata yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Hal ini menunjukan bahwa penambahan tepung komposit pada setiap formulasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar serat yang terkandung dalam produk cookies. Takaran Saji Cookies Formulasi cookies terpilih didapatkan dengan menggunakan metode optimization dalam Respon Surface Methodology. Berdasarkan data hasil analsis kimia serta uji hedonik yang dilakukan terhadap cookies dengan penambahan tepung komposit diperoleh cookies terpilih, yaitu cookies dengan perbandingan tepung talas : tepung kacang hijau sebesar 60 : 40. Takara saji cookies dapat diperoleh dengan memperhitungkan kebutuhan energi dan protein ibu hamil per hari yaitu 2200 kkal dan 67 gram. Selain itu, takaran saji cookies juga harus memperhatikan porsi makanan selingan per hari. Proporsi makanan selingan adalah 10% dari total kebutuhan energi harian. Hal ini berarti dibutuhkan energi sebesar 220 kkal dan protein sebesar 6.7 gram yang dapat diperoleh dari 50 gram cookies. Berat satu keping cookies adalah 5 gram sehingga dibutuhkan 10 buah cookies dengan total kandungan energi 268 kkal, protein 4.72 gram, lemak 16.32 gram, karbohidrat 26.10 gram, serta serat kasar 1.25 gram. Penentuan Umur Simpan dengan Pendekataan Air Kritis Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis Sebagian besar bahan pangan mengandung air dan berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap bahan pangan tersebut diketahui bahwa terjadi kerusakan yang sangat cepat dalam perubahan biologis maupun kimia yang disebabkan oleh air yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Troller 1978). Bila perubahan air mempengaruhi mutu pangan maka dengan
43
mengetahui pola penyerapan air dan menetapkan nilai air kritis, umur simpan produk dapat ditentukan (Iskandar et al 1997). Kadar air awal serta kadar air kritis merupakan paramter pertama yang perlu diukur dalam pendugaan umur simpan. Penentuan kadar air kritis diawali dengan survei terhadap konsumen mengenai atribut utama yang berkaitan dengan penerimaan konsumen dan penyebab kerusakan pada produk. Menurut Fellow (2000) terdapat beberapa definisi yang dapat menjelaskan kualitas suatu bahan pangan. Atribut-atribut penting yang dapat menentukan kualitas bahan pangan adalah karakterisitk sensorik yaitu, tekstur, rasa, aroma, bentuk dan warna. Survei dilakukan terhadap 30 panelis, dimana panelis diminta untuk memilih salah satu atribut yang paling menentukan kerusakan produk cookies secara umum. Berikut disajikan data hasil survei parameter kritis kerusakan produk cookies.
20
5 2
3
Gambar 22 Data hasil survei parameter kritis kerusakan produk cookies. Data yang disajikan pada grafik diatas menunjukan bahwa atribut utama yang menentukan kerusakan produk cookies adalah atribut tekstur. Dari 30 orang panelis, 20 orang diantaranya memilih atribut tekstur sebagai atribut yang dapat menentukan kerusakan produk cookies, sedangkan 2 orang memilih atribut warna, 5 orang memilih atribut rasa dan 3 orang sisanya memilih atribut aroma. Hasil survei tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa salah satu penyebab kerusakan cookies adalah peningkatan kadar air yang menyebabkan cookies tidak renyah lagi (Iskandar et al 1997). Menurut Purnomo (1995), tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk pangan. Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi tekstur bahan pangan, antara lain rasio
44
kandungan protein-lemak, jenis protein, suhu pengolahan, kadar air serta aktivitas air. Selain itu, tekstur juga dapat ditentukan berdasarkan kandungan kelembaban dan lemak, protein, serta tipe dan jumlah karbohidrat yang menyusunnya (selulosa, pati, dan pektin). Perubahan tekstur dalam bahan pangan dapat terjadi karena kehilangan kelembaban atau lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi dan gel, hidrolisis polimer karbohidrat, serta koagulasi atau hidrolisis protein (Fellow 2000). Setelah diketahui parameter kritis dari hasil survei konsumen, selanjutnya dapat dilakukan analisis kadar air awal serta kadar air kritis dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Kadar air awal produk cookies adalah sebesar 0.03 g H2O/g padatan. Nilai kadar air tersebut sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992 untuk produk cookies yaitu maksimal 5% (BSN 1992). Kadar air kritis adalah nilai kadar air pada kondisi dimana suatu produk pangan mulai tidak bisa diterima oleh konsumen secara organoleptik. Kadar air kritis cookies pada penelitian ini ditentukan berdasarkan persamaan regresi linear dari kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air dengan skor kesukaan panelis. Kadar air kritis ditetapkan pada skor kesukaan “agak tidak suka” bukan pada “tidak suka”. Hal ini dikarenakan pada kondisi ini produk dianggap sudah mulai ditolak oleh konsumen. Kadar air kritis ditentukan melalui seragkaiana percobaan, dimana cookies tanpa kemasan dikondisikan pada suhu 30oC serta RH 75% selama 12 jam. Setiap dua jam sekali dilakukan pengambilan sampel dan diukur kadar air, tingkat kerenyahan, serta penerimaan panelis terhadap kerenyahannya. Berikut disajikan data kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan panelis. Tabel 13 Data hasil pengukuran kadar air, kerenyahan dan skor kesukaan Waktu penyimpanan (jam)
Kadar air (g H2O/g padatan)
Skor kesukaan
Nilai kerenyahan (gf)
0 2 4 6 8 10 12
0.032 0.044 0.049 0.056 0.058 0.065 0.065
6.0 4.6 4.2 3.9 3.0 2.4 1.7
707.5 352.0 293.0 204.5 184.0 167.0 88.5
45
Berdasarkan data Tabel 13, dapat dibuat grafik yang menunjukan hubungan antara kadar air dengan rata-rata skor kesukaan panelis. Berikut merupakan garfik hubungan tersebut.
Gambar 23 Grafik hubungan antara kadar air dengan skor kesukaan. Gambar 23 menghasilkan persamaan Y = -116.7X + 9.851 dengan nilai R2 sebesar 0.943. Gambar tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi kadar air produk cookies maka semakin rendah skor kesukaan panelis. Persamaan regresi yang didapatkan berdasarkan grafik dapat digunakan untuk menentukan kadar air kritis cookies. Skor kesukaan cookies yang sudah tidak diterima oleh panelis bernilai 3 yaitu “agak tidak suka”, sehingga dapat diketahui bahwa kadar air kritis cookies adalah sebesar 0.058 g H2O/ g padatan. Selain diukur kadar air, cookies yang telah diberi perlakuan penyimpanan tersebut diukur pula nilai kerenyahannya dengan menggunakan alat texture analyzer. Cookies ditekan dengan probe yang sesuai, yaitu probe P2/E (cylinder probe dengan diameter 2 mm) sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukan profil tekstur produk tersebut. Nilai kerenyahan dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva dan dinyatakan dalam satuan gf (gramforce). Nilai kerenyahan cookies selanjutnya diplotkan dengan rata-rata skor kesukaan panelis. Berikut merupakan garfik hubungan nilai kerenyahan dengan skor kesukaan panelis.
46
Gambar 24 Grafik hubungan antara nilai kerenyahan dengan skor kesukaan. Persamaan yang diperoleh adalah Y = 130.2 X – 194.8 dengan nilai R2 sebesar 0.845. Grafik tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi nilai kerenyahan produk cookies maka semakin tinggi pula skor kesukaan panelis. Berdasarkan
persamaan
yang
diperoleh
makan
dapat
ditentukan
nilai
kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai, yaitu pada saat rata-rata skor kesukaan panelis bernilai 3 (“agak tidak suka”). Nilai kerenyahaan pada saat kadar air kritis tercapai adalah sebesar 184 gf. Kerenyahan adalah hal penting dalam menentukan kualitas pada bahan pangan dengan kandungan kelembaban yang rendah seperti sereal dan snack. Kerenyahan bahan pangan dengan kandungan kelembaban yang rendah dipengaruhi oleh kadar air, kerenyahan tersebut dapat hilang dikarenakan proses pengemasan dengan plastik atau pada struktur fisik oleh temperatur atau air (Roos 2001). Nilai kerenyahan saat kadar air kritis tercapai selanjutnya digunakan untuk mengetahui presentase penurunan kerenyahan. Presentase penurunan kerenyahaan produk cookies sampai kadar air kritisnya tercapai adalah sebesar 73.99%. Nilai tersebut menunjukan bahwa pada saat kerenyahan produk cookies mengalami penurunan sebesar 73.99% maka cookies akan berada pada kadar air kritisnya. Kadar air kritis pada saat kerenyahan suatu produk menghilang mempunyai nilai yang berbeda-beda pada setiap bahan pangan, akantetapi perubahan tersebut biasanya terjadi pada saat aw berada diatas angka 0.35-0.50. Kehilangan kerenyahan pada produk biasanya adalah hasil dari tingginya kandungan air pada proses plastisasi yang melebihi nilai air kritis produk (Roos 2001). Menurut Labuza (1982) selain kandungan air pada proses plastisasi, penurunan tingkat kekerasan pada matriks dari protein/pati juga dapat
47
menimbulkan perubahan dalam mekanisme pemecahan kekerasan suatu produk. Kadar Air Kesetimbangan Menurut Purnomo (1995) pengukuran aktivitas air (aw) terhadap suatu bahan pagan sampai saat ini masih berdasarkan pada pengukuran kelembaban relatif berimbang dari bahan tersebut. Jumlah air yang tersedia pada saat kesetimbangan dengan lingkungan tercapai atau aktivitas air (aw) dapat didefinisikan sebagai berikut: Aw = P/Po = % ERH / 100, dimana P adalah tekanan uap air yang dihasilkan produk, Po adalah tekanan uap murni dan ERH adalah kelembaban nisbi kesetimbangan produk. Sorpsi isotermis bahan pangan secara baik dapat digambarkan sebagai hubungan antar aktivitas air (aw) atau kelembaban nisbi disekitar bahan pagan dan kadar air kesetimbangan (Labuza 1982). Pada penelitian ini penentuan kurva sorpsi isotermis menggunakan suhu ruang yaitu 30oC, hal ini disesuaikan dengan suhu penyimpanan konsumen. Selain itu, kurva sorpsi isotermis juga menggunakan nilai aw terukur untuk menyesuaikan dengan kondisi penyimpanan produk cookies selama percobaan dalam penentuan kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan yang didapatkan dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kesetimbangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH tersebut akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya hingga tercapai keadaan yang setimbang. Perpindahan uap air ini terjadi karena perbedaan RH lingkungan dengan RH produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH yang lebih rendah. Tercapainya keadaan setimbang antara sampel dengan lingkungannya ditandai oleh bobot sampel yang konstan. Kriteria setimbang menurut Lievonen dan Ross (2002) adalah jika perubahan kadar air (berat) tidak lebih dari 2 mg/g bahan kering pada 3 kali penimbangan berturut-turut dan tidak lebih dari 10 mg/g bahan kering untuk kondisi aw tinggi (diatas aw 0.9). Setelah kesetimbangan tercapai bahan dikeringkan untuk mengetahui kadar airnya dengan menggunakan oven (AOAC 1999), kadar air dihitung dalam persen berat kering (%bk).
48
Tabel 14 Data kadar air kesetimbangan cookies talas No 1 2 3 4 5 6
Jenis garam
%RH
KI NaCl KCl BaCl KNO3 K2SO4
69.0 75.5 84.0 90.3 93.0 97.0
Berat cawan 5.7851 5.6345 6.5661 5.4596 5.8766 5.3747
Berat Sampel 4.3147 4.5775 5.4294 5.1253 5.5618 1.8017
Berat Kering 9.6908 9.6876 11.1301 9.4986 10.1755 6.5684
% air 9.48 11.46 15.94 21.19 22.71 33.75
Lama (hari) 6 7 9 11 11 11
Kadar air kesetimbangan yang diperoleh selanjutnya diplotkan dengan nilai aw atau RH lingkungan pada saat percobaan, sehingga dapat membentuk sebuah kurva yang disebut dengan kurva sorpsi isotermis.
Gambar 25 Kurva sorpsi isotermis cookies talas. Model Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model Menurut Winarno (1993), pada bahan pangan isotermis sorpsi air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan kelembaban relatif ruang tempat penyimpanan. Sorpsi isotermis air adalah kurva yang menghubungkan data kadar air dengan aktivitas air suatu bahan pada suhu yang sama. Sorpsi isotermis air sangat penting untuk merencanakan proses pengeringan,
terutama
penentuan
titik
akhir
pengeringan
serta
dalam
menentukan stabilitas bahan pangan selama penyimpanan (Adawiyah 2010). Menurut Adawiyah (2010), telah banyak model yang dikembangkan untuk mendeskripsikan kurva sorpsi isotemis air diantaranya adalah model Langmuir yang dibuat pada tahun 1918 dan dimodifikasi menjadi persamaan BET (Braunauer, Emmet dan Teller) pada tahun 1938. Persamaan lain adalah persamaan Smith yang ditemukan tahun 1947, persamaan Oswin yang ditemukan tahun 1946, persamaan Hasley yang ditemukan tahun 1948, persamaan Henderson yang ditemukan tahun 1952, persamaan Chen yang
49
ditemukan tahun 1971, persamaan GAB ( Guggenheim-Anderson-de Boer) yang ditemukan tahun 1981, dan lain-lain. Menurut McLaughli dan Magee (1998) terdapat 23 persamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara kadar air dan aw (sorpsi isotermis) bahan pangan. Namun pada penelitian ini hanya digunakan enam model persamaan , yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie, Oswin dan GAB. Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa model persamaan tersebut dapat mengambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air (aw) yang luas (Chirife dan Iglesias 1978). Modifikasi model-model sorpsi isotermik dari persamaan non linear menjadi linear dapat dilihat pada Lampiran 12. Model-model persamaan kurva sorpsi isotermis yang dipilih menghasilkan persamaan kurva sorpsi isotermis produk cookies dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Persamaan kurva sorpsi isotermis Model
Persamaan
Hasley Chen-Clayton Henderson Caurie Oswin GAB
log (ln(1/aw))= -2.379-1.953log Me ln(ln(1/aw))=-0.086-10.37Me log(ln(1/(1-aw)))=0.871+1.273log Me ln Me = -5.368+4.27aw ln Me=-2.678+0.470ln(aw/(1-aw)) Me=0.229aw/(1-0.9114aw)(1+6.6595)
Persamaan-persamaan
yang
telah
diperoleh
digunakan
untuk
menghitung kadar air sampel pada masing-masing aw garam yang digunakan. Tabel 16 menunjukan kadar air kesetimbangan produk cookies dari model-model persamaan. Gambar pada Lampiran 14 menunjukan kurva sorpsi isotermis model-model persamaan tersebut. Semakin berhimpit antara kurva sorpsi isotermis
hasil
percobaan
dengan
kurva
sorpsi
isotermis
model-model
persamaan, maka model tersebut semakin tepat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis. Tabel 16 Kadar air kesetimbangan pada beberapa model persamaan Aw 0.69 0.76 0.84 0.90 0.93 0.97
Kadar air kesetimbangan Percobaan
Hasley
Chen-clayton
Henderson
Caurie
oswin
GAB
0.09 0.11 0.16 0.21 0.23 0.34
0.10 0.12 0.15 0.19 0.23 0.36
0.09 0.11 0.16 0.21 0.24 0.33
0.09 0.12 0.16 0.21 0.24 0.33
0.09 0.12 0.17 0.22 0.25 0.29
0.10 0.12 0.15 0.20 0.23 0.35
0.09 0.11 0.16 0.21 0.24 0.32
50
Perbandingan kurva sorpsi isotermis percobaan dengan model-model persamaan sorpsi isotermis memperlihatkan bahwa sebagian besar model sorpsi isotermis dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat. Kriteria MRD (Mean Relative Deviation) (Isse et al 1993) digunakan untuk menguji ketepatan model persamaan sorpsi isotemis cookies yang dihasilkan. MRD merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil percobaan dibandingkan dengan kadar air kesetimbangan model persamaan. Jika nilai MRD kurang dari 5 (MRD<5) maka kurva yang dihasilkan model tersebut dapat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis dengan tepat. Tabel berikut memperlihatkan nilai MRD dari masing-masing model persamaan sorpsi isotermis produk cookies. Tabel 17 Nilai MRD model persamaan Model
Nilai MRD
Hasley Chen-clayton Henderson Caurie Oswin GAB
5.30 3.21 2.27 2.40 3.10 2.59
Model persamaan yang dipilih merupakan model persamaan dengan nilai MRD terkecil, yaitu model Henderson dengan nilai MRD sebesar 2.27. Model Henderson dipilih untuk menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis yang terjadi pada produk cookies dengan rumus log(ln(1/(1aw)))=0.871+1.273log Me. Nilai Kemiringan (b) Kurva Sorpsi Isotermis Nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah 2001). Berdasarkan kurva persamaan Henderson dibuatlah persamaan garis lurus untuk mengetahui kemiringan kurva yang dibutuhkan untuk memenuhi persamaan penentuan umur simpan Labuza (1982). Penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis berdasarkan model Henderson dapat dilihat pada gambar berikut ini.
51
Gambar 26 Kurva sorpsi isotermis model Henderson. Kemiringan kurva sorpsi isotermik adalah sebesar 0.597 dengan R2 sebesar 0.959. Nilai kemiringan selanjutnya digunakan dalam perhitungan umur simpan. Variabel Pendukung Terdapat beberapa variabel pendukung yang penting dalam menentukan umur simpan dengan pendekatan air kritis, yaitu premeabilitas kemasan produk cookies, luas kemasan, berat solid cookies per kemasan, dan tekanan uap murni pada suhu 30oC. Kemasan suatu bahan pangan memegang peranan penting dalam penentuan kualitas serta umur simpan suatu bahan pangan. Fungsi kemasan adalah sebagai pemisah antara produk dengan lingkungan eksternalnya, akantetapi pemilihan material kemasan harus disesuaikan dengan karakteristik produk (Tung et al 2001). Aw merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan yang terjadi pada bahan pangan dalam kemasan, misalnya penampakan/bentuk, rasa, aroma serta tekstur yang merupakan hasil dari reaksi kimia maupun mikrobiologi yang terjadi pada produk. Selain aw, terdapat beberapa pertimbangan khusus dalam menentukan pemilihan material kemasan suatu bahan pangan, antara lain perlindungan terhadap cahaya dan oksigen, retensi bahan pangan tambahan, kekuatan produk, dan ukuran, penanganan serta tempat dimana kemasan akan dipasarkan (Troller 1978). Premeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi dan kelembaban tertentu. Kemasan yang mempunyai lapisan lebih
52
tebal, umumnya memiliki nilai premeabilitas yang lebih rendah serta kekuatan yang lebih besar akantetapi memiliki harga yang relatif lebih mahal (Troller 1978). Pada penelitian ini jenis kemasan yang digunakan adalah metallized plastic. Menurut Winarno (1993) terdapat beberapa macam jenis kemasan pada bahan pangan, salah satu bahan kemasan yang memiliki barrier yang baik adalah metallized plastic. Kemasan tersebut umumnya digunakan pada produk snack seperti keripik kentang. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Fitria 2007) diketahui bahwa nilai premeabilitas metallized plastic adalah sebesar 0.018 gram/m2.hari.mmHg. Menurut Fellow (2000) bahan pangan dengan nilai RH rendah
seperti
bahan
makanan
yang
dikeringkan,
biskuit,
dan
snack
membutuhkan kemasan dengan nilai premeabilitas rendah jika tidak bahan pangan tersebut akan kehilangan kerenyahannya dikarenakan masuknya sejumlah uap air dari lingkungan sekitarnya. Nilai premeabilitas kemasan yang lebih kecil menunjukan bahwa kemampuan bahan kemasan sebagai barrier terhadap uap air lebih baik. Difusi uap air ke dalam produk akan semakin sedikit dan kerenyahan (tekstur) dapat lebih terjaga sehingga dapat memperpanjang umur simpan produk. Premeabilitas pada beberapa gas seperti oksigen, nitrogen dan karbondioksida terhadap material-material polimer akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, akantetapi peningkatan tersebut memiliki nilai yang berbeda-beda pada setiap material (Tung et al 2001). Pada penelitian ini suhu lingkungan yang digunakan adalah 30oC. Pada suhu tersebut tekanan uap murni lingkungan adalah sebesar 31.82 mmHg (Bell dan Labuza 2000). Luas kemasan produk adalah sebesar 0.045 m2, dimana panjang dan lebar kemasan produk adalah masing-masing sebesar 0.015 m. Luas kemasan tersebut disesuaikan dengan jumlah cookies dalam satu takaran saji yaitu seberat 50 gram. Umur Simpan Suatu produk pangan dianggap baik bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan bahan pengemas masih mempunyai integritas serta memproteksi isi kemasan. Secara umum, pengertian umur simpan adalah rentang waktu antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi dengan saat mulai digunakan dimana mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Menurut Aprah (2001), umur simpan
53
adalah waktu hingga produk mengalami satu tingkat detorasi. Reaksi detorasi adalah suatu reaksi kimia sehingga mekanisme detorasi dapat dianalisis secara matematika. Dengan analisis tersebut, waktu produk pangan mulai rusak dapat diketahui hingga umur simpan produk pangan dapat ditentukan. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen (Haryadi 2006). Menurut Syarief dan Haryadi (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam produk bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima disebut jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Pada penelitian ini dilakukan pendugaan umur simpan produk yaitu cookies talas berdasarkan kadar air kritis dengan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis, dimana perhitungan umur simpan dapat menggunakan persamaan Labuza (1982). Data-data tentang kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, kemiringan kurva, dan variabel pendukung lainnya kemudian dimasukan kedalam persamaan Labuza (1982). Hasil perhitungan tersebut menunjukan umur simpan produk cookies berdasarkan model Henderson yang dipilih. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Perhitungan umur simpan cookies talas pada beberapa RH Parameter
90%
85%
75%
Kadar air awal (g H20/g solid) Kadar air kritis (g H20/g solid) Slope kemiringan kurva Permeabilitas kemasan (g/m2hr.mmHg) Kadar air produk pada RH penyimpanan (g H2O/golid) Berat kering produk (g) Tekanan uap air jenuh (mmHg) Luas kemasan (m2) Hari Bulan Tahun
0.030 0.058 0.597 0.018 0.21 50 31.82 0.045
0.030 0.058 0.597 0.018 0.16 50 31.82 0.045
0.030 0.058 0.597 0.018 0.12 50 31.82 0.045
168 6 0,5
241 8 0,7
372 12 1,0
54
Berdasarkan perhitungan pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa umur simpan produk cookies dengan menggunakan model persamaan Henderson akan menurun seiring dengan meningkatnya RH lingkungan penyimpanan. Menurut Iskandar et al (1997) salah satu penyebab kerusakan cookies adalah peningkatan kadar air yang dapat menyebabkan produk cookies tidak renyah lagi. Oleh karena itu, produk cookies dengan penyimpanan pada suhu 30oC dengan kelembaban relatif sebesar 75% memiliki umur simpan lebih lama dibandingkan dengan produk cookies yang disimpan pada kelembaban 85% dan 90%.
55
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proses pembuatan tepung talas menggunakan perendaman dengan larutan NaCl 10% selama 60 menit, untuk mengurangi kadar oksalat pada talas. Tepung talas yang digunakan memiliki rendemen 15% dan mengandung energi 394 kkal, protein 6.74%, lemak 0.44%, karbohidrat 90.68%, serat pangan 19.17%, abu 1.82% serta air 7.07%. 2. Formulasi tepung komposit berdasarkan metode RSM (Response Surface Methodology) dan didapatkan delapan buah formulasi tepung. Formula cookies terpilih didapatkan berdasarkan metode optimization dalam Respon Surface Methodology. Formulasi cookies terpilih adalah cookies dengan perbandingan tepung talas : tepung kacang hijau sebesar 60 : 40. 3. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kadar air dari seluruh formula cookies berkisar antara 3.24% - 4.11% (α ≤ 0.05), kadar abu antara 2.21% - 2.77% (α > 0.05), kadar protein antara 8.31% - 9.44% (α ≤ 0.05), kadar lemak antara 31.81% - 32.90% (α ≤ 0.05), kadar karbohidrat antara 51.9% - 55.47% (α ≤ 0.05), dan kadar serat kasar antara 0.61% - 3% (α ≤ 0.05). Berdasarkan hasil uji organoleptik diketahui panelis menilai warna produk biasa hingga agak suka dengan mutu warna agak kuning hingga biasa. Hasil uji organoleptik terhadap aroma menunjukan bahwa panelis menilai produk biasa dengan mutu aroma agak tidak beraroma hingga biasa. Panelis menilai rasa produk antara agak tidak suka hingga biasa dengan mutu rasa agak hambar hingga biasa. Sedangkan untuk tekstur produk panelis menilai produk biasa dengan mutu tekstur agak keras hingga biasa. 4. Pendugaan umur simpan pada cookies dengan formula terpilih menggunakan metode air kritis, dimana model persamaan yang digunakan
adalah
model
Henderson.
Berdasarkan
perhitungan
didapatkan pendugaan umur simpan cookies yaitu, 6 bulan pada kelembaban 93%, 8 bulan pada kelembaban 85% serta 12 bulan pada kelembaban 75%.
56
Saran Cookies tepung komposit berbasis talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan
salah satu alternatif makanan tambahan yang dapat
dimanfaatkan oleh ibu hamil. Namun berdasarkan hasil uji organoleptik dapat diketahui bahwa cookies yang dihasilkan secara keseluruhan masih belum disukai oleh panelis, khususnya rasa cookies tersebut. Oleh karena itu, disarankan agar menambahkan bahan pangan yang dapat meningkatkan cita rasa cookies pada saat proses pembuatan cookies. Selain itu, sebaiknya kandungan protein dalam cookies lebih ditingkatkan dengan penambahan pangan lokal lain yang tinggi kandungan proteinnya.
57
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah DR, Soekarto ST. 2010. Pemodelan Isotermis Sorpsi Air pada Model Pangan. J Teknologi dan Industri Pangan 19: 33-39. Agu HO, Ayo JA, Paul AM, Folorunsho F. 2007. Quality Characteristic of Biscuits Made form Wheat and African Breadfruit (Treculia africana). Nigerian Food Journal 25:19-38. [terhubung berkala]. http://www.ajol.info.html [30 Oktober 2010]. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 1995. Official Methode of Analysis. Washington DC:AOAC. Aprah M. 2001. Buku monograf penentuan kadaluwarsa produk pangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arpah M, Syarief. 2000. Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan Pangan Dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Astawan MT, Wresdiyati. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Jerman: Springer Verlay. Bell LN, Labuza TP. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspects of Isoterm Measurement and Use. USA: American Association of Cereal Chemist Inc. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 012973-1992). Jakarta:BSN. Buckel KA et al. 1987. Ilmu Pangan. Hari P dan Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science. Chirife J, Iglesias HA. 1976. A Model for Describing the Water Sorption Behavior of Foods. J of Food Science 41: 984. [CTAHR] College of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawai’i. 2009. CTHR and Taro. Hawai’i: CTAHR Publications. [terhubung berkala]. http://www.cthar.Hawaii.edu.html [11 Oktober 2010]. Dahal N, Swamylingappa B. 2006. Effect of Blanching and EDTA Treatment on The Oxalate Level in Colocasia Tuber. J of Food Science and TechnologyMysore 43: 194-195.
58
Dewi FE, Kristanto Y. 2006. Formulasi Cookies sebagai Makanan Pendamping Air Susu Ibu untuk Balita Gizi Buruk. Berita Kedokteran Masyarakat 22:68-74. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. Gizi dalam Angka. Jakarta: Depkes. Dhuring JL. 1988. Gizi untuk Kebutuhan Fisioligis Khusus, Gizi selama Hamil. Nasoetion AH et al, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ellis MJ. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Didalam: Man CMD, Jones AA, editor. Shelf Life Evaluation of Foods. London: Balckie Academic and Profesional. hlm 27. Fellow PJ. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practice. Ed ke-2. England: Woodhead Publishing Ltd. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York :Marcel Dekker Inc. Fitria M. 2007. Pendugaan umur simpan produk biskuit dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ghandi AP, Taimin V. 2009. Organoleptic and Nutritional Assessment of Sesame (Sesame indicium, L.) Biscuits. Asian Journal of Food and Industry 2:8792. [terhubung berkala]. http:// www.ajofai.info.html [30 Oktober 2010]. Goenaga R, Chando U. 1995. Growth, Yield and Nutrition of Uptake Taro Grown Under Upland Conditions. J of Plant Nutrition 18:1037-1048. [terhubung berkala]. http://www.marcell dekker.inc [11 Oktober 2010]. Haryadi P. 2006. Prinsip-Prinsip Penetapan dan Pendugaan Masa Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor: Southeast Asian Food and Agricultural Science and Techonolgy Center, Institut Pertanian Bogor. Indrasti D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Iskandar A, Nasution MZ, Hendri L. 1997. Sorpsi Isoterm untuk Penentuan Umur Simpan Cookies. J Teknologi dan Industri Pertanian 7: 109-116. Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1993. Devided Sorption Isotherm Concept: An Alternative Way to Describe Sorption Isotherm Data. J of Food Process Engineering 16: 147. Iwuoha CI, Kalu FA. 1995. Calcium Oxalate and Physico-Chemical Properties of Cocoyam (Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittifolium) Tuber Flours as Affected by Processing. J of Food Chemistry 54: 61-66. Kay DE. 1979. Food Legumes. London: The Tropical Product Institute.
59
Kotschevar LH. 1975. Standars, Principles and Techniques in Quality Food Production. Ed ke-3. USA: The Maple Press Company. Labuza TP. 1982. Shelf-Life Dating of Foods. Connecticut: Food & Nutrition Press. Lievonen SM, Ross MB. 2002. Water Sorption of Food Models for Studies of Glass Transtition and Reaction Kinetics. J of Food Science 65: 5. Lingga P. 1989. Bertanam ubi-ubian. Jakarta: Penebar Swadaya. Manley DJR. 1998. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Chicester: Ellis Horwood Limited. Manner HI. 2010. Farm and Forestry Production and Marketing Profile for Giant Swamp Taro (Cyrtosperma chamissionis). Hawai’i: Permanent Agriculture Resources (PAR). [terhubung berkala]. http://www.agroforestry.net/scps [11 Oktober 2010]. Marisa D. 2010. Formulasi cookies jagung dan pendugaan umur simpan produk dengan pendekatan kadar air kritis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marzuki AR. 1977. Pengenalan Varietas Kacang Hijau. Bogor: LP3. Matz SA. 1965. Water in Food. Connecticut: The AVI Publishing Company. Matz SA, TD Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc. McLaughlin CP, Magee TRA. 1998. The Determination of Sorption Isotherm and Isosteric Heats of Sorption for Potatoes. J of Food Engineering 35: 267280. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. USA: CRC Press. Melani V. 2002. Mempelajari penggunanan tepung sukun (Artocarpus altilis (Park)Fsb.) sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Moy JH, Wang NTS, Nakayama TOM. 1977. Dehydration and Processing Problems of Taro. J of Food Science 42: 917-920. Muchtadi D. 2000. Sayur-Sayuran, Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
60
Muttakin S, Ariani M. 23 Febuari 2010. Talas Beneng, Pangan Lokal dari Banten. Berkah:254.[terhubung berkala].http://
[email protected]. [26 April 2010]. Nadesul H. 2005. Makanan Sehat untuk Ibu Hamil. Jakarta: Puspa Swara. Nishibori S, Kawasaki S. 1990. Effects of Dough Materials on Flavor Formation in Baked Cookies. J of Food Science 55: 409-412. Njintang YN, Mbofung CMF. 2003. Development of Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) Flour as an Ingredient for Food Processing: Effect of Gelatinisation and Drying Temperature on The Dehydration Kinetics and Colour of Flour. J of Food Engineering 107: 259-265. Nurapriani RDR. 2010. Optimasi formulasi brownies panggang tepung komposit berbasis talas, kacang hijau dan pisang [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parker R. 2003. Introduction of Food Science. Nem York: Delmar. Pillitteri A. 1995. Maternal and Child Health Nursing, Care of The Childbraring and Childrearing Family. Ed ke-2. Philadelphia. Purnomo H. 1995. Aktivitas Air: dan Peranannya dalam Pengawetan. Jakarta: UI Press. Rahmawati S. 2010. Formulasi dan Karakteristik Mutu Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning untuk Makanan Pendamping ASI kaya β-karoten [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Richardson P. 2008. In Pack Processed Foods. England: CRC Press. Roos YH. 2001. Water Activity and Plasticization. Didalam: Eskin NAM, Robinson DS, editor. Food Shelf Life Stability. USA: CRC Press. hlm 1-36. Sajeev MS, Manikantan MR, Kingsly ARP, Moorthy SN, Sreekumar J. 2004. Texture Analysis of Taro (Calocosia esculenta L. Schoot) Cormels during Storage and Cooking. J of Food Science 69: E315-E321. Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta. Sathe SK, Desphande SS, Salunke DK. 1982. Critical Review in Food Science and Nutrition. Florida: CRC Press. Setyawan N, Dewandari KT, Prabawati S. 2010. Pengaruh Ketebalan Kemasan Alumunium Foil dan Suhu Penyimpanan terhadap Daya Simpan Kripik Wortel. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Shibukawa S, Sugiyama K, Yano T. 1989. Effects of Heat Transfer by Radiation and Convection on Browning of Cookies at Baking. J of Food Science 54: 621-624.
61
Sizer FS, Whitney EN. 2000. Nutrition: Concepts and Controversies. Ed ke-8. Stamford: Wadsworth. Stone H, Sidel JL. 2004. Sensory Evaluation Practices. California: Elsevier Academic Press. Sujono H. 2003. Mempelajari pemanfaatan germ gandum dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suprapto HS, Sutarman T. 1982. Bertanam Kacang Hijau. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: PAU. Troller JA. 1989. Water Activity and Food Quality. Didalam: Hardman TM, editor. Water and Food Quality. London: Elsevier Applied Science. hlm 1-27. Troller JA, Christian JHB. 1978. Water Activity and Food. New York: Academic Press. Tung MA, Britt IJ, Yada S. Packing Considerations. Didalam: Eskin NAM, Robinson DS, editor. Food Shelf Life Stability. USA: CRC Press. hlm 129-145. Umar S, Wimardhono E, Thobing IL. 2005. Pemanfaatan Tepung Talas (Colosia esculenta L.) dan Solid Dekanter dalam Ransum terhadap Karkas Itik Peking Umur 12 Minggu. 2005. J Agribisnis Peternakan 1:111-117. [USDA]. 2008. Nutrition fact of mung bean, mature seeds raw. [terhubung berkala]. http://www.nutritiondata.com [8 Desember 2010]. Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Ferdiaz S, Ferdiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama. [WKNPG]. Widya Karya Nasioal Pangan dan Gizi. 2004. Angka Kecukupan Gizi. Lembaga Penelitian Indonesia.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Analisis karakterisasi mutu kimia a. Kadar air Sejumlah sampel (± 5 g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukan ke dalam oven bersuhu 100oC sehingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus : Kadar air (%bb) = (a - b) / c x 100% keterangan
: a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)
b. Kadar abu Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus : Kadar abu (%bb) = Berat abu (g) x 100% Berat sampel (g) c. Kadar lemak Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dan dibungkus dengan kertas saring kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi/ soxlet yang telah berisi heksan. Reflux dilakukan sebanyak 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada didalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel (g)
64
Lampiran 1 (lanjutan) d. Kadar protein Sejumlah sampel (1-2 gram) ditimbang dan dimasukan ke dalam labu kjeldhal. Kemudian ditambahkan 1.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Sampel kemudian dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Dibawah kondensor diletakkan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indicator (campuran 2 bagian merah metal 0.2% dalam alcohol dan 1 bagian biru metal 0.2% dalam alcohol) diletakan dibawah kondensor. Ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Isi Erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan prosedur yang sama tetapi tanpa menggunakan sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus: % N = (ml HCl sampel – ml HCl balnko) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein = % N x 6.25 e. Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar karbohidrat (%) = (100% - (P + KA + A + L)) keterangan
f.
:P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= kadar abu (%)
L
= kadar lemak (%)
Uji Amilograf Sebanyak 45 gram sampel ditimbang dan dilarutkan dalam 450 ml air destilata, kemudian dimasukan ke dalam bowl dengan cara menurukan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20oC atau 25oC. Switch pengatur diletakan pada posisi bawah
65
Lampiran 1 (lanjutan) sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5oC setiap menit. Begitu suspense mencapai suhu 30oC, pena pencatat diatur pada skala amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95oC, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari suhu gelatinisasi, suhu delatinisasi puncak dan viskositas maksimum yang dinyatakan dalam Brabender Unit. g. Serat pangan Sebanyak
1
gram
sampel
dimasukan
kedalam
Erlenmeyer,
ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspense kemudian diaduk. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl, erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100oC selama 15 menit sambil diaduk. Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan mengguankan HCl 4 M. Selanjutnya
ditambahkan
100
mg
enzim
pepsin,
kemudian
erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air yang bergoyang bersuhu 40oC selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 100 mg enzim pankreatin, erlemeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air yang bergoyang bersuhu 40oC salama 60 menit. Kemudian pH diatur hingga menjadi 4.5 dengan
menggunakan
menggunakan
crucible
HCl. kering
Larutan yang
sampel telah
disaring
ditimbang
dengan beratnya
(porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata. •
Residu (serat tidak larut) Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan. Setelah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (D1) dan diabukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Setelah itu didinginkan dan ditimbang (I1).
66
Lampiran 1 (lanjutan) •
Filtrat (serat larut) Volume filtrat diatur hingga menjadi 100 ml. Kemudain ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60oC). Biarkan mengendap selama 1 jam. Disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan.
Setealh
didingikan
dalam
desikator
kemdian
ditimbang (D2). Diabukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Setelah itu didinginkan dan ditimbang (I2). •
Blanko Blanko diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Kadar serat tidak larut dan kadar serat terlarut dapat dihitung dengan rumus: kadar serat tidak larut (IDF)
= (D1-I1-B1) x 100% berat sampel
kadar serat larut (SDF)
= (D2-I2-B2) x 100% berat sampel
kadar serat total (TDF)
= %SDF - %IDF
keterangan: D = berat setelah pengeringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram) h. Amilosa •
Pembuatan kurva standar Amilosa
murni
ditimbang
sebanyak
40
mg
kemudian
dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masingmasing sebanyak 1, 2, 3, 4 dan 5 ml lalu dimasukan kedalam labu ukur 100 ml. Kemudian kedalam masing-masing labu
67
Lampiran 1 (lanjutan) ukur tersebut ditambahkan juga asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml. Selanjutnya larutan juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok lalu didiamkan selama 20 menit. larutan kemudian diukur
intensitas
warna
yang
terbentuk
dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. •
Penetapan sampel Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan hingga tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukan kedalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2 ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya larutan diukur intensitas warnanya
dengan
menggunakan
spektrofotometer
pada
panajng gelombang 620 nm. Kadar amilosa dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar amilosa = A x FP x 100% S W keterangan: S = slope kemiringan pada kurva standar FP = factor pengenceran yaitu 0.002 W = berat sampel (gram) A = absorbansi sampel pada
: 620 nm
68
Lampiran 2 Lembar Kuisioner atribut utama penyebab kerusakan cookies Kuisioner Atribut Utama Produk Cookies Nama Tanggal Hp
: : :
1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk cookies? a. Ya
b. Tidak
2. Menurut Anda perubahan atribut apa yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk tersebut? (pilih salah satu) a. warna
b. aroma
c. tekstur
d. rasa
Terima kasih banyak atas kesediaan untuk meluangkan waktu, pemikiran, dan pendapat. Bantuan Anda sangat berarti bagi saya.
69
Lampiran 3 Lembar uji hedonik Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies Talas Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Pengujian Nama Produk
: : Cookies Talas
Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Cookies Talas. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 0-10 dibawah ini yang tepat menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Hedonik Kode : 476 Warna Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Keseluruhan Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Sangat Tidak Suka
Biasa
Sangat Suka
Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan
Kode : 352 Warna Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan
Kode : 866 Warna Aroma Rasa Tekstur
70
Lampiran 4 Lembar uji mutu hedonik Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies Talas Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P
Tanggal Pengujian Nama Produk
: : Cookies Talas
Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Cookies Talas. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 0-10 dibawah ini yang tepat menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Mutu Hedonik Kode : 476 Warna Sangat Coklat
Biasa
Sangat Kuning
Sangat Tidak Harum
Biasa
Sangat Harum
Sangat Tidak Gurih
Biasa
Sangat Gurih
Sangat Keras
Biasa
Sangat Renyah
Sangat Tidak Enak
Biasa
Sangat Enak
Sangat Coklat
Biasa
Sangat Kuning
Sangat Tidak Harum
Biasa
Sangat Harum
Sangat Tidak Gurih
Biasa
Sangat Gurih
Sangat Keras
Biasa
Sangat Renyah
Sangat Tidak Enak
Biasa
Sangat Enak
Sangat Coklat
Biasa
Sangat Kuning
Sangat Tidak Harum
Biasa
Sangat Harum
Sangat Tidak Gurih
Biasa
Sangat Enak
Biasa
Sangat Renyah
Biasa
Sangat Enak
Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan
Kode : 352 Warna Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan
Kode : 866 Warna Aroma Rasa Tekstur
Keseluruhan Sangat Keras Sangat Tidak Enak
71
Lampiran 5 Lembar pengujian organoleptik atribut kerusakan cookies Nama
:
Tanggal
:
Nama produk : Cookies Talas Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Cookies Talas. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Nyatakan nilai kesukaan Anda terhadap kerenyahan sampel pada kolom skor kesukaan 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian Nilai
1 2 3 4 5 6 7
Kode Sampel Skor Kesukaan Komentar
: sangat tidak suka : tidak suka :agak tidak suka : biasa : agak suka : suka : sangat suka 186
:
222
153
117
965
379
609
72
Lampiran 6 Hasil uji sidik ragam (ANOVA) organoleptik (hedonik) cookies talas ANOVA Sum of Squares Warna
df
Mean Square
F
Sig.
6.898
.000
5.836
.000
5.296
.000
2.966
.003
7.187
.000
Between Groups 60.852
8
7.606
287.824
261
1.103
348.676
269
59.924
8
7.491
334.980
261
1.283
394.904
269
76.258
8
9.532
469.737
261
1.800
545.995
269
39.717
8
4.965
436.814
261
1.674
476.530
269
76.540
8
9.567
347.469
261
1.331
424.009
269
Within Groups Total Aroma
Between Groups Within Groups Total
Rasa
Between Groups Within Groups Total
Tekstur
Between Groups Within Groups Total
Keseluruhan
Between Groups Within Groups Total
73
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (hedonik) cookies talas Warna
Rasa
Duncan
Duncan Subset for alpha = 0.05
Subset for alpha = 0.05 Formula 2 4 6 3 7 5 8 9 1
N
1
Formula
2
30
44.387
30
45.440
30
45.440
30
45.640
30
47.120
30
47.840
30
48.400
30
50.827
2 3 5 4 6 7 9 8
30
60.800
Sig.
.302
1
N
1
30
35.853
30
38.387
38.387
30
41.173
41.173
30
43.640
43.640
30
43.640
43.640
30
44.587
44.587
44.587
30
47.120
47.120
30
47.200
47.200
30 .227
6 5 9 8 7 1 Sig.
.055
Duncan Subset for alpha = 0.05
4
.216
Tekstur
Aroma
3
3
55.307
Sig.
1.000
Duncan
Formula 2
2
N
1
30
41.813
2
Subset for alpha = 0.05 Formula 5
45.840
2
47.400
8
47.400
9
47.440
3
30
47.867
7
30
48.800
4
30
48.853
6
30 30 30 30
30
1
60.493 .285
1.000
Sig.
N
1
2
30
42.533
30
43.200
30
43.360
30
44.347
30
44.453
30
45.093
30
48.000
30
48.000
30
55.573 .170
1.000
74
Lampiran 8 Hasil uji sidik ragam (ANOVA) organoleptik (mutu hedonik) cookies ANOVA Sum of Squares Warna
Df
Mean Square
F
Sig.
14.350
.000
6.881
.000
8.169
.000
10.060
.000
8.613
.000
Between Groups 151.541
8
18.943
344.533
261
1.320
496.074
269
76.430
8
9.554
362.400
261
1.389
438.830
269
88.400
8
11.050
353.067
261
1.353
441.467
269
104.800
8
13.100
339.867
261
1.302
444.667
269
82.267
8
10.283
311.600
261
1.194
393.867
269
Within Groups Total Aroma
Between Groups Within Groups Total
Rasa
Between Groups Within Groups Total
Tekstur
Between Groups Within Groups Total
Keseluruhan
Between Groups Within Groups Total
75
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (mutu hedonik) cookies talas Aroma
Warna Duncan
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Subset for alpha = 0.05 Formula 2 3 4 6 7 5 9 8 1
N
1
2
30
30.000
30
30.667
30
34.000
34.000
30
34.000
34.000
3
7 4
37.667
37.667
30
38.333
38.333
30
43.000
30
43.667
30
6 5 8 9 55.333
.224
Formula 3 2
30
Sig.
4
.187
.065
1.000
1
N
1
30
35.667
30
36.667
30
39.333
39.333
30
39.667
39.667
30
39.667
39.667
30
42.000
42.000
30
42.000
42.000
30 .073
6 5 7 9 8 1 Sig.
.106
1.000
Duncan Subset for alpha = 0.05
4
54.667
Rasa
Duncan
3
3
45.000
30
Sig.
Tekstur
Formula 2
2
N
1
30
35.000
2
3
Subset for alpha = 0.05 Formula 2
37.667
3
39.667
4
39.667
6
41.667
5
30
41.667
7
30
42.333
9
30
44.000
8
30 30 30
37.667 39.667 39.667
30
30
1
58.333 .152
.064
1.000
Sig.
N
1
2
30
34.667
30
38.000
38.000
30
38.333
38.333
30
38.333
38.333
30
40.667
40.667
30
42.000
30
43.667
30
44.667
30
3
55.667 .076
.055
1.000
76
Lampiran 10 Hasil uji sidik ragam (ANOVA) sifat kimia cookies talas ANOVA
Air
Sum of Squares
df
Mean Square
3.000
8
.375
1.000
9
.111
4.000
17
3.778
8
.472
.500
9
.056
4.278
17
2.111
8
.264
3.000
9
.333
5.111
17
.000
8
.000
.000
9
.000
.000
17
9.000
8
1.125
1.500
9
.167
10.500
17
17.778
8
2.222
8.500
9
.944
26.278
17
123.778
8
15.472
52.000
9
5.778
175.778
17
F
Sig.
3.375
.044
8.500
.002
.792
.624
.
.
6.750
.005
2.353
.112
2.678
.082
Between Groups Within Groups Total
Protein
Between Groups Within Groups Total
Lemak
Between Groups Within Groups Total
Abu
Between Groups Within Groups Total
Serat
Between Groups Within Groups Total
Karbohidrat
Between Groups Within Groups Total
Kalori
Between Groups Within Groups Total
77
Lampiran 11 Hasil uji lanjut Duncan sifat kimia cookies talas Protein
Air Duncan
Duncan Subset for alpha = 0.05 Formula
N
1
0
2
1
2
2
2
3
2
7
2
4
2
6
2
5
30.000
Formula 0
30.000
2
30.000
7
30.000
4
35.000 35.000
2
Sig.
.201
35.000
3
35.000
5
40.000
6
40.000
8
.194
1 2
80.000
2
80.000
2
80.000
2
85.000
2
85.000
2
90.000
2
90.000
2
90.000
2
90.000
2
90.000
Sig.
.078
Lemak
.084
Karbohidrat
Duncan
Duncan Subset for alpha = 0.05
Formula 6 0 8 1 2 3 4 5 7 Sig.
N
1
30.000
2
8
2
Subset for alpha = 0.05
N
1
Subset for alpha = 0.05 Formula 1
2
310.000
5
2
315.000
2
2
315.000
3
2
320.000
4
2
320.000
6
2
320.000
2
320.000
2
320.000
2
320.000 .147
7 8 0 Sig.
N
1 2
515.000
2
515.000
2
520.000
2
520.000
2
520.000
2
525.000
2
525.000
2
525.000
2
2
550.000 .363
1.000
78
Lampiran 11 (lanjutan)
Serat Duncan Subset for alpha = 0.05 Formula 0
N
1 2
6 1 3 4 7 8 2 5
2
.0000
2
15.000
2
20.000
2
20.000
2
20.000
2
20.000
2
20.000
2
25.000
2
25.000
Sig.
1.000
.054
Kalori Duncan Subset for alpha = 0.05 Formula 8 6 5 4 1 7 3 0 2 Sig.
N
1
2
2
5.320.000
2
5.330.000
2
5.335.000
2
5.355.000
5.355.000
2
5.365.000
5.365.000
2
5.365.000
5.365.000
2
5.370.000
5.370.000
2
5.380.000
5.380.000
2
5.410.000 .050
.066
79
Lampiran 12 Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear 1. Persamaan Hasley aw = exp [-P1/(Me)P2] persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/aw)] = log P1 – P2 log Me dimana : y = log [ln(1/aw)] a = log P1
x = log Me b = -P2
2. Persamaan Chen-Clayton aw = exp [-P1/exp(P2*Me)] persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln [ln(1/aw)] = ln P1 – ln P2 Me dimana : y = ln [ln(1/aw)] a = log P1
x = log Me b = -P2
3. Persamaan Henderson 1 – aw = exp (-Kmen) persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/(1 – aw))] = log K + n log Me dimana : y = log [ln(1/(1 – aw))] a = log K
x = log Me b=n
4. Persamaan Caurie ln Me = ln P1 – (P2*aw) persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln Me = ln P1 – P2 aw dimana : y =ln Me a = ln P1
x = aw b = -P2
80
Lampiran 12 (lanjutan) 5. Persamaan Oswin Me = P1 * [aw/(1-aw)]P2 persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln Me = ln P1 + P2 ln[aw/(1 – aw)] dimana : y =ln Me a = ln P1
x = ln[aw/(1 – aw)] b = P2
81
Lampiran 13 Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis Persamaan model Henderson log [ln(1/(1 – aw))] = log K + n log Me dimana : y = log [ln(1/(1 – aw))] a = log K
x = log Me b=n
aw Me percobaan x=logMe y=log(ln(1/(1‐aw))) 0.69 0.09 ‐1.02 0.07 0.76 0.11 ‐0.94 0.15 0.84 0.16 ‐0.80 0.26 0.90 0.21 ‐0.67 0.37 0.93 0.23 ‐0.64 0.42 0.97 0.34 ‐0.47 0.54
Berdasarkan persamaaan Henderson: Y = a + bX log [ln(1/(1 – aw))] = 0.963 – 0.871 log Me perhitungan air kesetimbangan menggunakan model persamaan Henderson : log Me = log [ln(1/(1 – aw))] – 0.871/0.963 log Me = log [ln(1/(1-0.69))] – 0.871/0.963 log Me = -1.026 Me = 0.09
82
Lampiran 13 (lanjutan) Persamaan model GAB Untuk mendapatkan model persamaan GAB, persamaan terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk regresi kuadratik yang menunjukan hubungan aw/Me dengan aw Me =
Xm C K aw (1 – K aw)(1 – K aw + C K aw)
Bentuk persamaan regresi kuadratik adalah sebagai berikut: Y
= αx2 + βx +
aw/me = αaw2 + βaw + Dengan menggunakan data aw dan kadar air kesetimbangan percobaan, maka dapat ditentukan persamaan non linear dengan metode regresi kuadratik. Berikut merupakan nilai aw dan kadar kesetimbangan percobaan. aw
Me
X=aw Y=aw/Me
0.69 0.76 0.84 0.90 0.93 0.97
0.09 0.11 0.16 0.21 0.23 0.34
0.69 0.76 0.84 0.90 0.93 0.97
7.2791 6.5904 5.2700 4.2605 4.0957 2.8744
Persamaan regresi kuadratik yang diperoleh berdasarkan data diatas adalah sebagai berikut y= -20.1948x2 + 18.1786x + 4.3658. Nilai α, β, dan
yang
diperoleh dari persamaan regresi kuadratik ini digunakan untuk menentukan konstanta dalam persamaan GAB. Persamaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Berdasarkan persamaan diatas, nilai konstanta K, C dan Xm dapat diketahui. Nilai konstanta tersebut berturut-turut adalah 0.9114, 5.748, 0.0437. Dengan menggunakan data-data tersebut dapat ditentukan model sorpsi isotermis berdasarkan persamaan GAB yaitu: Me = 0.229 aw/(1 - 0.9114 aw)(1 + 6.6595)
83
Lampiran 14 Kurva sorpsi isotermis cookies talas
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model Hasley
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model Chen-Clayton
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model Henderson
84
Lampiran 14 (lanjutan)
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model Caurie
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model Oswin
Gambar Kurva sorpsi isotermis cookies talas model GAB
85
Lampiran 15 Gambar talas Banten, tepung talas dan cookies talas
Gambar Talas Banten
Gambar Cookies talas
Gambar Tepung talas
Gambar Cookies dalam kemasan