SKRIPSI
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL
Oleh: Indira Saputra F24103088
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Indira Saputra F24103088
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK COOKIES DAN DONAT TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI PARSIAL DENGAN TEPUNG BEKATUL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Indira Saputra F24103088 Dilahirkan pada tanggal 23 Juli 1985 Di Jambi Tanggal lulus: 23 Januari 2008 Menyetujui, Bogor,
2008
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Indira Saputra. Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 23 Juli 1985. Pendidikan dasar ditempuh penulis dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997 di SD Trinitas Cengkareng. Tahun 1997 sampai 2000 penulis melanjutkan sekolah di SMP Strada St. Maria I Tangerang. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMU St. Ursula BSD dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan akademis maupun nonakademis. Penulis pernah mengikuti Seminar dan Pelatihan HACCP 2005, seminar keamanan pangan dan IDF, International Conference of FGW Student for Milk and Milk Products 2005. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian, penulis melaksanakan tugas akhir penelitian. Hasil penelitian tersebut telah disusun dalam bentuk skripsi yang berjudul ’Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang disubstitusi Parsial Dengan Tepung Bekatul’ di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Pengasih, karena atas kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ‘Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul’. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis dan berisi tentang pembuatan cookies dan donat dengan tepung bekatul sebagai salah satu bahan bakunya serta hasil uji organoleptik, fisik, kimia, dan indeks glikemik. Penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak selama kuliah, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan skripsi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Keluarga tersayang; Papa, Mama, Irwan, Suamiku Febrianto Susanto, Putriku Stephanie Phoebe Susanto, sepupuku Inggrid, Diana, Lina, Yenti, dan keluarga besar atas segenap doa, cinta kasih, nasihat dan motivasi yang tiada terbalas.
2.
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan selama kuliah sampai dengan penyusunan tugas akhir.
3.
Ir. Sri Widowati, MAppSc. dan Dr. Ir. Sukarno, MSc. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk perbaikan skripsi ini.
4.
Guru-guruku selama sekolah, dosen-dosen IPB, asisten praktikum, dan guru lainnya yang telah mengajarkan ilmu-Nya yang tiada ternilai.
5.
Seluruh teknisi lab ITP, Pilot Plants, Fits dan AP4 atas bantuannya selama penelitian.
6.
Para pustakawan di Perpustakaan Fateta, PAU dan LSI yang telah membantu dalam pencarian literature untuk penyusunan skripsi ini.
7.
Teman-teman ITP’40 khususnya Ratna, Pauline, Paula, Beatrice, Andrea, Natalia, Stephanus, Aji, Janathan, Adie, Acha, Widi, Ade, Agus, Eko, Anas, Andal, Anggita, Agnes, Lala, Lasti, dll, terima kasih atas kebersamaannya di ITP.
8.
Teman-teman sebimbingan (Evrin, Julia, Endi, Prima, Anis, Andreas, Fafa) atas nasihat dan bantuannya.
9.
Sahabat-sahabatku di SLTP Strada St. Maria I & SMU St. Ursula BSD atas dukungan dan pengorbanannya selama ini
10.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, hanya Tuhan yang akan membalas kebaikan Anda sekalian. Penulis berharap ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dapat diaplikasikan. Semoga apa yang tertulis di dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terima kasih.
Bogor,
Januari 2008
Penulis
Indira Saputra. F24103088. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir Made Astawan, MS. 2008.
RINGKASAN Dewasa ini, penyakit-penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes melitus (DM) dan kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang. Salah satu upaya pencegahannya adalah pemilihan makanan yang tepat, diantaranya melalui pendekatan indeks glikemik (IG) pangan. Konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah. Salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional adalah bekatul (rice polish). Bekatul memiliki kandungan gizi yang baik, kandungan serat yang tinggi, dan merupakan sumber karbohidrat dengan IG rendah. Bekatul memiliki kadar lemak yang cukup tinggi sehingga harus dilakukan proses stabilisasi agar bekatul tidak cepat tengik. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan produk cookies dan donat terigu yang disubstitusi parsial dengan tepung bekatul. Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi formulasi produk cookies dan donat bekatul, uji organoleptik cookies dan donat bekatul serta analisis sifat fisik dan kimia tepung bekatul. Penelitian lanjutan meliputi analisis sifat fisiko-kimia (daya cerna pati dan rasio amilosa-amilopektin) dari cookies dan donat bekatul berdasarkan formula yang didapat dari penelitian pendahuluan serta analisis IG produk yang terpilih. Dari penelitian pendahuluan diketahui densitas kamba tepung bekatul sebesar 0.33g/ml, densitas padat sebesar 0.43g/ml, parameter warna L 51.72, a(+) 4.03, b(+) 6.98, h°(hue) 6.98, dan aw 0.49. Komposisi kimia tepung bekatul meliputi kadar air 7.43% (bb), abu 9.17% (bb), protein 12.66% (bb), lemak 10.83% (bb), dan karbohidrat 59.92% (bb). Formula cookies bekatul yang terpilih dalam uji organoleptik adalah formula dengan 40% tepung bekatul dari total tepung, sedangkan untuk donat bekatul yang terpilih adalah formula dengan 35% tepung bekatul dari total tepung. Produk bekatul memiliki kadar serat pangan yang tinggi sehingga dapat diklaim sebagai pangan fungsional sumber serat pangan. Nilai IG cookies bekatul sebesar 31±5, dan donat bekatul sebesar 39±7, sedangkan untuk cookies dan donat standar masing-masing memiliki IG sebesar 67±7 dan 72±6. Dengan nilai IG tersebut, cookies dan donat bekatul digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah (<55). Beban glikemik (BG) dari cookies standar sebesar 23, cookies bekatul sebesar 8, donat standar sebesar 15, donat bekatul sebesar 8. Dengan nilai BG tersebut maka cookies dan donat bekatul digolongkan sebagai pangan dengan beban glikemik rendah (<10). Dengan mengetahui IG dan BG pangan diharapkan penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….i DAFTAR ISI…………………………………………………………………iii DAFTAR TABEL……………………………………………………………v DAFTAR GAMBAR.......................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................vii
I.
PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang.................................................................................. 1 B. Tujuan................................................................................................ 3 C. Manfaat.............................................................................................. 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4 A. Bekatul................................................................................................ 4 B. Cookies................................................................................................ 12 C. Donat.................................................................................................. 16 D. Pangan Fungsional............................................................................ 18 E. Indeks Glikemik................................................................................ 19 F. Pati...................................................................................................... 23
III.
METODOLOGI PENELITIAN........................................................... 26 A. Bahan dan Alat................................................................................. 26 B. Metode Penelitian............................................................................. 26 1. Penelitian Pendahuluan....................................................... 26 2. Penelitian Lanjutan............................................................. 30 C. Metode Analisis................................................................................ 30 1. Analisis Sifat Fisik..................................................................... 30 2. Uji Organoleptik........................................................................ 33 3. Analisis Sifat Kimia................................................................... 34 4. Analisis Indeks Glikemik.......................................................... 39 D. Rancangan Percobaan.................................................................... 40
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 41 A. Penelitian Pendahuluan................................................................... 41 1. Analisis Fisik Tepung Bekatul............................................ 41 2. Analisis Kimia Tepung Bekatul.......................................... 46 3. Pembuatan Cookies dan Donat........................................... 48 4. Karakteristik Organoleptik Cookies dan Donat Bekatul. 50 B. Penelitian Lanjutan......................................................................... 53 1. Karakteristik Fisik Formula Terbaik................................ 53 2. Karakteristik Kimia Formula Terbaik.............................. 56 3. Indeks Glikemik................................................................... 69
V.
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 77 A. Kesimpulan....................................................................................... 77 B. Saran................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 78 LAMPIRAN........................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Produksi Padi di Indonesia 2003-2007....................................................... 6 Tabel 2. Komposisi Asam Amino pada Dedak dan Bekatul................................... 8 Tabel 3. Komponen Kimia Dedak Menurut Beberapa Penelitian............................ 9 Tabel 4. Komposisi Vitamin dan Fraksi-fraksi Giling Padi Pada Kadar Air 14%.. 11 Tabel 5. Kandungan Dietary Fiber Pada Bekatul.................................................... 12 Tabel 6. Syarat Mutu Cookies Menurut SNI............................................................ 13 Tabel 7. Formulasi Cookies Bekatul........................................................................ 27 Tabel 8. Formulasi Donat Bekatul........................................................................... 28 Tabel 9. Parameter Warna Berdasarkan Nilai h° (hue)............................................ 32 Tabel 10. Hasil Analisis Fisik Tepung Bekatul....................................................... 41 Tabel 11. Hasil Pengukuran Warna Tepung Bekatul............................................... 43 Tabel 12. Komposisi Zat Gizi Tepung Bekatul....................................................... 46 Tabel 13. Formula Cookies dan Donat Pada Uji Organoleptik............................... 51 Tabel 14. Hasil Uji Organoleptik Cookies dan Donat Bekatul............................... 52 Tabel 15. Setting Texture Analyzer.......................................................................... 55 Tabel 16. Komposisi Kimia Cookies per 100 g....................................................... 57 Tabel 17. Komposisi Kimia Donat per 100 g.......................................................... 57 Tabel 18. Informasi Jumlah Serat Pangan per Takaran Saji.................................... 63 Tabel 19. IG............................................................................................................. 73 Tabel 20. Faktor-faktor Pendukung Turunnya IG................................................... 75 Tabel 21. Beban Glikemik Produk.......................................................................... 76
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Gabah.................................................................................. 6 Gambar 2. Diagram Alir Penggilingan Gabah....................................................7 Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Cookies Bekatul...................................... 29 Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Donat Bekatul......................................... 29 Gambar 5. (a) Tepung Bekatul dr. Liem, (b) Tepung Bekatul.......................... 42 Gambar 6. (a) Cookies Standar, (b) Cookies Bekatul.........................................53 Gambar 7. (a) Donat Standar, (b) Donat Bekatul...............................................53 Gambar 8. Histogram Rendemen Produk...........................................................54 Gambar 9. Histogram Kekerasan Produk...........................................................56 Gambar 10. Histogram Kadar Serat Pangan Produk..........................................64 Gambar 11. Histogram Daya Cerna Pati Produk................................................65 Gambar 12. Struktur Amilosa.............................................................................67 Gambar 13. Struktur Amilopektin......................................................................67 Gambar 14. Histogram Kadar Amilosa Produk.................................................69 Gambar 15. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Donat Rata-rata.........................................................................................71 Gambar 16. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Cookies Rata-rata.........................................................................................71 Gambar 17. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-rata Setelah Konsumsi Cookies................................................................................ 72 Gambar 18. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-rata Setelah Konsumsi Donat................................................................................... 72
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Bekatul................................84 Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf......................................................85 Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik....................................................86 Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Cookies Bekatul...................................87 Lampiran 5. Hasil Penilaian Organoleptik Donat Bekatul..................................... 88 Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cookies Bekatul....................... 89 Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Donat Bekatul.......................... 90 Lampiran 8. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Produk Cookies.................................91 Lampiran 9. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Produk Donat................................... 92 Lampiran 10. Rekapitulasi Indeks Glikemik Produk Cookies................................ 93 Lampiran 11. Rekapitulasi Indeks Glikemik Produk Donat................................... 94 Lampiran 12. Hasil Uji T Kekerasan Cookies Standar dan Cookies Bekatul……. 95 Lampiran 13. Hasil Uji T Kekerasan Donat Standar dan Donat Bekatul………. 96 Lampiran 14. Hasil Uji T Daya Cerna Pati Cookies Standar dan Cookies Bekatul.............................................................................................. 97 Lampiran 15. Hasil Uji T Daya Cerna Pati Donat Standar dan Donat Bekatul………………………………………………...................... 98 Lampiran 16. Hasil Uji T Kadar Amilosa Cookies Standar dan Cookies Bekatul…………………………………………………………….. 99 Lampiran 17. Hasil Uji T Kadar Amilosa Donat Standar dan Donat Bekatul……100 Lampiran 18. Hasil Uji T Indeks Glikemik Cookies Standar dan Cookies Bekatul……………………………………………………………. 101 Lampiran 19. Hasil Uji T Indeks Glikemik Donat Standar dan Donat Bekatul……………………………………………………………. 102 Lampiran 20. Foto Beberapa Panelis Uji IG……………………………………. 103
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dewasa ini, penyakit degeneratif telah menjadi perhatian masyarakat di dunia,
termasuk
di
Indonesia.
Penyakit-penyakit
degeneratif
seperti
kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes melitus (DM) menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang. Penyakit-penyakit tersebut sangat terkait dengan pola perilaku, termasuk pola makan yang tidak seimbang dan aktivitas fisik yang rendah. Kegemukan atau obesitas dapat meningkatkan resiko menderita penyakit tersebut dibandingkan orang yang bobot tubuhnya normal. Seiring dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan, dan mahalnya harga obat-obatan, maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi sangat penting. Salah satu upaya pencegahannya adalah melalui pemilihan makanan yang tepat. Makanan yang tepat tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar tubuh saja, tetapi lebih jauh lagi mempunyai sifat fungsional yang akan memberikan dampak positif bagi kesehatan, yang dikenal dengan sebutan pangan fungsional. Cara memilih pangan yang tepat diantaranya melalui pendekatan indeks glikemik pangan. Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih pangan yang baik, khususnya pangan berkarbohidrat. Konsep ini berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan untuk berolahraga, dan untuk mengurangi resiko penyakit degeneratif. Konsep IG menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dan obesitas secara mandiri akan dengan mudah dapat memilih makanan yang dapat mengenyangkan, tetapi tidak cepat menaikkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara tidak langsung, berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep
IG juga mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai pangan fungsional adalah bekatul. Sejalan dengan kenaikan produksi beras, maka meningkat pula hasil sampingannya, diantaranya adalah bekatul (± 10% berat gabah kering giling). Bekatul biasanya digunakan sebagai makanan ternak. Padahal untuk konsumsi manusia sebenarnya masih dimungkinkan, karena adanya kandungan zat gizi yang tinggi. Bekatul merupakan sumber serat pangan dan juga mengandung protein, lemak, mineral, dan vitamin (Luh, 1980). Serat pangan dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif antara lain kelebihan kolesterol, penyakit jantung, dan diabetes. Dengan pengolahan yang tepat, bekatul dimungkinkan untuk menjadi bahan pangan yang berguna bagi kesehatan. Pablo et al. (1981), menyatakan bahwa protein konsentrat bekatul cocok untuk jenis makanan padatan. Substitusi 30% berbagai jenis bekatul pada tepung dalam pembuatan makanan panggang hanya berpengaruh sedikit terhadap mutunya. Sebagai bahan pangan bekatul cepat mengalami kerusakan. Kerusakan yang timbul antara lain akibat serangan serangga dan timbulnya bau tengik yang dihasilkan karena aktivitas enzim lipase dan oksidasi asam lemak bebas. Kerusakan ini dapat dicegah dengan usaha stabilisasi bekatul, yaitu usaha untuk mencegah pemecahan lemak dan mengontrol pertumbuhan serangga dan mikroba (Sayre et al., 1982). Pangan kesehatan (health foods) dapat diartikan sebagai suatu jenis pangan yang karena kandungan zat gizinya dapat berfungsi untuk menjaga atau membantu memulihkan kesehatan tubuh manusia. Dalam penelitian ini bekatul digunakan sebagai pensubstitusi tepung terigu pada pembuatan cookies dan donat, dalam rangka memberikan nilai tambah pada bekatul sebagai produk sampingan (limbah) menjadi bahan baku pembuatan pangan kesehatan. Melalui pembuatan cookies dan donat dari campuran tepung terigu dengan tepung bekatul ini, diharapkan dapat mengurangi penggunaan tepung terigu yang sekaligus akan mengurangi impor gandum. Penggunaan bekatul sebagai
bahan pensubstitusi terhadap tepung terigu juga berarti sebagai salah satu upaya pemanfaatan limbah hasil pertanian. Dalam penelitian ini bekatul dimanfaatkan untuk menghasilkan pangan kesehatan (health foods) tersebut. Dengan melihat zat yang terkandung di dalam bekatul terutama dietary fiber, bekatul dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pada pembuatan cookies dan donat sehat yaitu memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Penelitian ini difokuskan pada evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik cookies dan donat dengan substitusi parsial tepung bekatul. Cookies dan donat yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi pangan fungsional dan alternatif diet bagi penderita diabetes dan obesitas, dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat dan perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Adapun pemilihan cookies sebagai bentuk makanan kesehatan adalah karena mempunyai masa simpan yang lama, mudah dibawa (praktis), dan juga umumnya disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Seperti halnya cookies, donat juga merupakan salah satu penganan yang disukai oleh masyarakat luas.
B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan cookies dan donat terigu yang disubstitusi parsial dengan tepung bekatul yang memiliki mutu gizi dan organoleptik yang baik, serta mengevaluasi sifat fisiko-kimia, daya cerna pati serta rasio amilosa-amilopektin cookies dan donat bekatul. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merancang kedua jenis produk tersebut agar sesuai bagi penderita obesitas dan diabetes melitus.
C. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah didapatkannya informasi tentang sifat organoleptik, fisik, kimia dan indeks glikemik cookies dan donat tepung terigu yang disubstitusi parsial dengan tepung bekatul.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. BEKATUL Padi (Oryza sativa) adalah sumber bekatul yang merupakan salah satu anggota famili Graminae yang sudah dibudidayakan sejak lama, yaitu di India antara 1500-2000 SM dan di Indonesia pada tahun 1648 SM. Jenis serealia yang kaya karbohidrat ini paling banyak dikonsumsi manusia dibandingkan serealia lainnya. Serealia berperan penting karena merupakan makanan pokok yang sekaligus sebagai sumber tenaga bagi 2,5 milyar penduduk di dunia. Beras menyediakan sekitar 21% dari total kebutuhan energi penduduk dunia, terutama penduduk Asia (termasuk Indonesia). Di Indonesia, nasi merupakan makanan pokok utama yang menyumbang 60-80% energi dan 40-50% dari kebutuhan protein. Beras merupakan hasil olahan dari tanaman padi, yaitu setelah tangkai dan kulit bijinya dilepaskan dengan cara digiling. Beras adalah gabah yang bagian kulitnya telah dibuang dengan cara digiling dan disosoh. Sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan luar (perikarp, selimut biji, dan badan bakal biji), dan endosperm. Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan bagian endosperm yang sesungguhnya, yaitu terdiri dari lapisan subaleuron dan endosperm pati. Struktur gabah dapat dilihat pada Gambar 1. Bekatul merupakan hasil samping dari proses penggilingan padi dengan kandungan serat yang tinggi yang biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sebagai bahan pangan, bekatul memiliki potensi yang cukup besar yang ditunjang oleh produksi padi yang meningkat dari tahun ke tahun, sehingga akan meningkatkan produksi hasil samping bekatul. Produksi bekatul di Indonesia mencapai 4-6 juta ton per tahun. Produksi padi di Indonesia dari tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Ciptadi dan Nasution (1979), dari hasil pengolahan padi, dedak padi masih terdiri dari beberapa jenis yang mempunyai mutu berbeda-beda. Jenis
yang pertama adalah dedak kasar, dedak ini diperoleh dari hasil penumbukan gabah atau hasil dari penggilingan dengan mesin pemecah kulit yang kemudian dipisahkan dari sekam. Sebagian dedak kasar ini terdiri dari pecahan-pecahan sekam yang agak kasar dan sebagian lagi adalah kulit ari beras yang terluar. Dedak kasar ini mempunyai nilai gizi yang terendah. Jenis yang kedua adalah Dedak halus atau lunteh (Rice bran). Dedak halus atau lunteh terutama terdiri dari kulit ari beras, pecahan lembaga dan masih tercampur sedikit bubuk yang berasal dari sekam. Jenis yang ketiga adalah bekatul (Rice polish). Bekatul merupakan dedak yang paling halus. Komponen utama dari bekatul adalah endosperm. Dedak terdapat dalam butiran padi berupa lapisan yang disebut perikarp yaitu selaput terluar di bawah sekam yang menyelubungi endosperm. Endosperm yaitu bagian butiran beras yang banyak mengandung pati. Sedangkan selaput bagian dalam yang menyelubungi endosperm adalah lapisan aleuron yang dalam penggilingan dihasilkan sebagai bekatul. Diagram alir proses terbentuknya bekatul dapat dilihat pada Gambar 2. Istilah dedak dan bekatul dibedakan oleh FAO. Yang dimaksud dengan dedak adalah hasil sampingan dari proses penggilingan padi yang terdiri dari lapisan sebelah luar dari butiran padi dengan sejumlah lembaga biji. Sementara bekatul adalah lapisan sebelah dalam dari butiran padi, termasuk sebagian kecil endosperm berpati. Pada proses penyosohan, bagian perikarp, tegmen, lapisan aleuron dan lembaga dipisahkan dari beras sosoh (giling). Pada penggilingan padi di Indonesia yang menggunakan satu tahap, dedak merupakan hasil penyosohan pertama dan bekatul sebagai hasil penyosohan kedua. Dedak lebih sesuai sebagai bahan baku pakan, sedangkan bekatul baik sebagai bahan pangan. Dalam penggilingan dan penyosohan beras, persentase produk yang dihasilkan adalah beras utuh sekitar 50%, beras pecah 17%, bekatul 10%, tepung 3% dan sekam 20% (Grist, 1965). Rendemen bekatul dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat penyosohan, derajat masak padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh dan lubang alat pemisah (Soemardi, 1975). Menurut Somaatmaja (1981) dari gabah kering giling setelah mengalami pengupasan kulit dan penyosohan dihasilkan bekatul 8%. Dari hasil penelitian di Sukamandi dan
Bogor, rata-rata lapisan kulit ari dan lembaga yang dapat tersosoh menjadi bekatul adalah 13,51% (Damarjati, 1988).
Gambar 1. Struktur gabah berdasarkan diagram potongan longitudinal biji (Grist, 1975)
Tabel 1. Produksi Padi di Indonesia 2003-2007 Tahun
Produksi (ton)
2003 2004 2005 2006 2007
52.137.604 54.088.468 54.151.097 54.454.937 57.048.558
Pertumbuhan Produksi (%) 1,26 3,74 0,12 0,56 4,47
Sumber: www.deptan.go.id
Soemardi (1975) mengatakan bahwa mutu bekatul yang dihasilkan bermacam-macam, umumnya tidak tahan disimpan, cepat berbau dan basah
berminyak. Bekatul yang baik kualitasnya rata-rata mengandung 12,4% protein, 13,6% lemak dan 11,6% serat kasar. Gabah Pengupasan kulit/sekam sekam Beras Pecah Kulit
Penyosohan dedak Penyosohan bekatul Beras sosoh
Gambar 2. Diagram Alir Penggilingan Gabah Menjadi Beras Giling Komposisi kimia bekatul sangat beragam, tergantung pada varietas, proses penggilingan, keadaan lingkungan tempat padi tumbuh, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi, ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butir, ketahanan butir terhadap kerusakan dan teknik analisa yang digunakan (Houston, 1972). Bekatul padi merupakan bahan pangan yang mengandung nilai gizi yang tinggi, protein, vitamin, lemak, dan karbohidrat yang tinggi. Protein dedak mempunyai nilai gizi yang tinggi yaitu banyak mengandung asam amino esensial. Menurut Ciptadi dan Nasution (1979), nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda jauh dengan nilai gizi protein kacang kedelai. Seperti diketahui bahwa protein kacang kedelai tidak seperti protein nabati lainnya, protein ini mempunyai nilai gizi mendekati protein daging atau susu. Protein dedak padi mengandung asam amino esensial yang lengkap. Komposisi asam amino esensial bekatul sedikit lebih baik dibandingkan dengan beras giling. Komposisi asam amino bekatul dapat dilihat pada Tabel 2. Bekatul lebih tinggi dalam kandungan lisin. Hal ini terutama karena kandungan albumin dan globulin
yang lebih kaya lisin banyak terdapat dalam bagian bekatul. Komposisi kimia bekatul menurut berbagai penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Komposisi Asam Amino pada Dedak dan Bekatul Amino Acid
Rice Bran (g/16 g of N)
Rice Polish (g/16 g of N)
Alanine
6.5-7.0
6.5-6.6
Arginine
8.6-9.1
8.9-9.0
10.0-11.0
9.7-10.7
2.5-2.8
2.6-2.8
14.6-15.0
16.1-17.6
Glycine
5.8-6.2
5.6-5.7
Histidine
2.9-3.7
2.8-2.9
Isoleucine
2.9-4.5
2.9-4.2
Leucine
7.6-8.4
7.2-8.4
Lysine
5.3-6.0
4.6-5.1
Methionine
1.9-2.5
2.4-3.0
Phenylalanine
4.9-5.3
4.6-5.0
Proline
4.6-6.1
4.2-5.7
Serine
5.1-6.0
4.9-5.9
Threonine
4.2-4.6
3.9-4.4
Tryptophan
0.6-1.4
1.4
Tyrosine
3.5-3.8
3.8-4.3
Valine
5.4-6.6
4.8-6.2
Ammonia
1.9-7.6
2.2-6.5
Aspartic acid Cystine Glutamic acid
Sumber: Juliano (1985)
Tabel 3. Komposisi kimia dedak menurut beberapa penelitian Komponen
Matz (1970)
Houston dan
Luh (1980)
Kohler (1970)
Juliano dan Bechtel (1985)
Air
-
9.70%
-
14%
Protein
14.6%
13.30%
11.5-17.2%
11.3-14.9%
Lemak
13.4%
15.80%
12.8-22.6%
15.0-19.7%
Karbohidrat
46.6%
50.80%
-
34.1-52.3%
Serat Kasar
-
11.80%
6.2-14.4%
7.0-11.4%
40.86
29.20
2.79
2.28
Niacin (mg/100g) Thiamin (mg/100g)
Di dalam bekatul, lemak merupakan komponen utama yang kadarnya sedikit lebih tinggi daripada protein. Mutu minyak atau lemak dedak atau bekatul telah dikenal merupakan salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada. Hal ini disebabkan minyak dedak kaya akan asam-asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi, yaitu sekitar 80% (Ciptadi dan Nasution, 1979). Senyawa lainnya yang penting di dalam lemak adalah tokoferol yang dapat berperan sebagai anti-oksidan untuk menghambat ketengikan minyak di samping juga sebagai sumber vitamin D. Tingginya kandungan lemak memudahkan terjadinya ketengikan dalam beberapa jam setelah penggilingan, akibat hidrolisis enzimatis oleh lipase, dan ketengikan oksidatif. Pada bekatul ketengikan terjadi karena lipase menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk peroksida, keton, dan aldehid sehingga bekatul menjadi tengik (Juliano, 1985). Enzim lipase terdapat pada lapisan biji dan lapisan
melintang pada beras. Selama terlindung oleh sekam aktifitas enzim lipase rendah, tetapi jika enzim lipase tidak diinaktifkan oleh panas segera setelah penggilingan, maka asam lemak bebas akan meningkat sebanyak satu persen setiap jam dalam suhu kamar (Luh, 1980). Ketengikan yang tinggi akan mempengaruhi penerimaan organoleptik bekatul sebagai bahan makanan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan usaha pencegahan, yaitu stabilisasi bekatul. Stabilisasi bertujuan untuk mencegah pemecahan lemak dan membantu mengontrol pertumbuhan mikroba dan serangga. Cara praktis yang telah diketahui dan dipergunakan adalah dengan perlakuan panas pada bekatul segar. Suatu cara pengeringan udara panas dapat mencegah aktifitas lipase ketika tingkat kadar air dalam bekatul dikurangi menjadi 3-4%, tetapi jika bekatul tidak disimpan pada wadah kedap udara maka akan mengalami rehidrasi dan lipase aktif kembali (Sayre et al., 1982). Beberapa perlakuan stabilisasi bekatul yang disarankan adalah pemanasan bekatul dengan uap pada suhu 105°C selama 3 jam, yaitu pengurangan kadar air sampai 3 atau 5%, kemudian disimpan di tempat kering (Houston, 1972), dan pemanasan menggunakan otoklaf dengan menyebarkan bekatul setebal 3 cm pada suhu 120°C selama 7.5 menit (Sayre et al., 1982). Komposisi fitokimia bekatul sangat bervariasi, tergantung kepada faktor agronomis, varietas padi dan proses penggilinganya. Fraksi tak tersabunkan dari minyak bekatul terdapat sampai 5% dari berat minyak dengan kandungan utamanya sterol. Komponen penting lainnya yang terdapat pada bekatul adalah tokotrienol dan oryzanol. Oryzanol bersifat secara aktif menurunkan kolesterol (Sharma dan Rukmini, 1986). Tokotrienol sendiri sedang diteliti untuk sifat antikanker
yang
dimilikinya.
Komponen-komponen
tersebut
merupakan
antioksidan potensial yang dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Bekatul juga mengandung vitamin B kompleks dalam konsentrasi tinggi. Vitamin B kompleks sangat penting untuk kesehatan tubuh terutama kesehatan sistem syaraf dan otak. Selain itu bekatul juga mengandung β-karoten yang merupakan prekursor vitamin A. Tabel 4 menunjukkan jumlah dan macam vitamin yang ada pada beras pecah kulit, beras giling maupun bekatul. Demikian juga bekatul banyak mengandung mineral dan yang paling dominan adalah Kalium (K), fosfor (P) dan magnesium (Mg).
Tabel 4. Komposisi Vitamin dari Fraksi-Fraksi Giling Padi pada Kadar Air 14% Jenis Vitamin
Beras Pecah Kulit
Beras Giling (ug/g)
Bekatul (ug/g)
(ug/g) Retinol
0-0.11
0-0.4
0-3.6
Thiamin (B1)
2.9-6.1
0.2-1.1
12-24
Riboflavin (B2)
0.4-1.4
0.2-0.6
1.8-4.3
Niasin (Asam Nikotinat)
35-53
13-24
282-499
Piridoksin (B6)
5-9
0.4-1.2
8-28
Asam Pantotenat
9-15
3-7
20-61
0.04-0.10
0.01-0.06
0.2-0.5
Inositol, total
1000
9-110
4000-8000
Kholin, total
950
390-880
920-1460
Asam p-Amino Benzoat
0.3
0.12-0.14
0.65
Asam Folat
0.1-0.5
0.03-0.14
0.4-1.4
Sianokobalamin (B12)
0-0.004
0-0.0014
0-0.004
9-25
0-3
28-130
Biotin
a-Tokoferol (E)
(Sumber: Champagne et al., 1994) Selain mengandung zat-zat yang menguntungkan seperti tersebut di atas, bekatul juga mengandung zat antigizi dan bahan toksik yang dapat menghambat pertumbuhan dan atau menurunkan efisiensi makanan. Faktor-faktor antigizi tersebut adalah fitin, serat pangan (dietary fiber), antitripsin, hemaglutinin atau lektin dan lain-lainnya. Bekatul beras mengandung fitin lebih tinggi daripada bekatul terigu, bekatul jagung dan bekatul kedelai. Fitin yang terdapat pada lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2.2-2.6%, sedangkan fitinnya 1.8% (Juliano, 1985). Selain kandungan fitin-fosfor, bekatul juga mengandung ratio kalsium-fosfor yang terlalu rendah dan Zn-fitat yang terlalu tinggi. Zat penghambat tripsin juga terdapat dalam bekatul. Karakteristik dari antitripsin bekatul adalah berbentuk protein albumin (larut air) dan tidak menghambat khimotripsin, pepsin atau papain. Ratio pengikatan adalah satu molekul antitripsin dapat menghambat dua molekul tripsin.
Serat pangan (dietary fiber) adalah serat yang sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Serat ini tidak bisa dihancurkan atau dihidrolisa oleh enzim pencernaan di dalam perut manusia. Bahan makanan yang relatif banyak mengandung serat bekatul akan mempercepat transit time yaitu kecepatan residu meninggalkan saluran pencernaan sehingga makanan yang mengandung banyak serat mempunyai transit time yang pendek yaitu 14-24 jam. Di samping itu serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Tetapi sebaliknya serat juga dikriteriakan sebagai faktor antigizi karena kemampuannya mengikat mineral-mineral kation (Juliano, 1985). Kandungan serat pangan (dietary fiber) pada bekatul mencapai empat kali kandungan serat kasar (Champagne et al., 1994). Tabel 5 menunjukkan kandungan serat pangan bekatul dari beberapa jenis beras. Tabel 5. Kandungan Dietary Fiber Pada Bekatul Dietary Fiber (%) In Vivo
In Vitro
Crude Fiber
Bran 1
41.8
...
12.5
Bran 2
36.2
...
9.5
Bran 3
32.5
31.3
7.6
Defatted bran
38.1
...
8.4
Rice Material
(Sumber: Champagne et al., 1994)
B. COOKIES Biskuit merupakan produk makanan kering yang mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil, dan umur simpannya relatif lama (Whiteley, 1971). Menurut Departemen Perindustrian (1990) biskuit didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Menurut BSN (1992), cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak,
berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat. Syarat mutu cookies diatur dalam SNI No. 012973-1992 (Tabel 6). Tabel 6. Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 No.
Kriteria uji
Persyaratan
1.
Bau dan rasa
Normal, tidak tengik
2.
Warna
Normal
3.
Air (%)
Maksimum 5
4.
Protein (%)
Minimum 9
5.
Lemak (%)
Minimum 9.5
6.
Karbohidrat(%)
Maksimum 70
7.
Abu (%)
Maksimum 1.5
8.
Serat kasar (%)
Maksimum 0.5
9.
Energi (kkal/100g)
Minimum 400
10.
Logam berbahaya
negatif
1. Bahan Baku Cookies Bahan-bahan pembuat cookies dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kompak adalah tepung, susu, putih telur dan air. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang (Matz, 1978). a. Tepung Dalam adonan tepung berfungsi membentuk tekstur, mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan membentuk cita rasa (Matz, 1978). Bermacam-macam tepung dapat digunakan dalam pembuatan cookies ini. Menurut Sunaryo (1985), tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu.
Tepung terigu lunak (8-10% protein) sangat tepat untuk menghasilkan kue kering yang bermutu tinggi. Tepung ini relatif lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi, sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (Shafer dan Zabik, 1978). Dalam penggunaannya, tepung terigu dapat dicampur dengan tepung lain.
b. Lemak Lemak biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberi flavor (Matz, 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Lemak nabati dapat memberikan penampakan yang baik, sedangkan dengan lemak hewani (mentega) volume biskuit rendah dan membentuk butiran yang lebih kasar.
c. Telur Telur berperan dalam pemberian bentuk dan tekstur, serta flavor biskuit yang baik (Sultan, 1983). Bila telur yang digunakan lebih banyak maka biskuit yang dihasilkan akan lebih mengembang dan menyebar. Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz, 1978).
d. Gula Gula digunakan terutama untuk memberi efek rasa manis. Pembubuhan gula juga membuat susunan dan butiran menjadi halus dan lembut, serta membuat kerak biskuit berwarna coklat tua. Fungsi gula yang lain adalah sebagai pengontrol penyebaran (Matz, 1978). Gula yang baik untuk pembuatan biskuit adalah gula halus, karena tidak menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar.
Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat. Menurut Matz (1978), bila terlalu banyak gula adonan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras dan akan terlalu manis. Penambahan gula yang terlalu banyak mengakibatkan biskuit kurang lezat karena penyebaran gluten tepung.
e. Garam Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat biskuit. Sebagian besar formula biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristalkristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz, 1978). Sebenarnya jumlah garam yang ditambahkan tergantung kepada beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang lebih rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak.
f. Bahan pengembang Baking powder umum dipakai sebagai bahan pengembang dalam pembuatan biskuit. Menurut Matz (1978) baking powder dibuat dari campuran asam (asam tartarat atau garam-garam fosfat) dengan natrium bikarbonat.
g. Air Dalam pembuatan biskuit, air berfungsi memungkinkan terjadinya gluten, mengontrol kepadatan adonan, mengontrol suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung, membasahi dan mengembangkan pati, dan dapat mempertahankan rasa lezat kue lebih lama (Matz, 1978).
h. Susu Penggunaan susu bubuk lebih menguntungkan dibandingkan dengan susu cair. Susu ini digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan air, sebagai bahan pengisi dan untuk meningkatkan nilai gizi biskuit (Matz, 1978).
2. Proses pembuatan cookies Menurut Whiteley (1971), ada dua metode dasar pencampuran adonan cookies, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all-in. Pada metode krim semua bahan tidak dicampur secara langsung, melainkan dicampur terlebih dahulu, berturut-turut lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens, kemudian ditambahkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Sedangkan metode pembuatan cookies dengan metode all-in yaitu semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 220°C selama 12-15 menit (Sultan, 1983) atau pada suhu 193°C selama 10-12 menit (US Wheat Associates, 1983).
C. DONAT Bahan baku donat terdiri dari tepung, gula, ragi, margarin, telur, baking powder, dan bahan pelembut. Gula berfungsi untuk memberikan rasa manis, membentuk warna kecoklatan akibat reaksi pencoklatan, membentuk flavor karamel, dan sebagai nutrisi bagi khamir agar dapat bekerja menghasilkan gas selama proses fermentasi. Margarin berfungsi sebagai pelumas bagi partikel-partikel adonan sehingga terdispersi merata, sebagai stabilizer, mencegah pati dan protein tepung lainnya menggumpal, membuat tekstur lebih halus dan lunak, meningkatkan cita rasa, meningkatkan volume donat agar tidak cepat kering (Hartono, 1993). Faktor utama yang mempengaruhi pengembangan adonan donat adalah ragi. Ragi yang digunakan yaitu khamir Saccharomyces cerevisae.
Ragi akan bekerja jika kontak dengan tepung dan air. Menurut Khutschevar (1975), suhu fermentasi yang baik adalah 32-38°C, dengan kelembapan relatif 80-85%. Waktu fermentasi yang baik adalah 15-45 menit. Waktu fermentasi yang berlebihan menyebabkan adonan menjadi asam. Jika ragi, air, tepung dikombinasikan, enzim diastase di dalam tepung saat proses fermentasi akan memecah pati menjadi maltosa yang diperlukan sebagai sumber makanan ragi (Beranbaum, 2003). Oleh karena itu, semakin rendah kadar pati, maka volume donat juga akan menurun, terutama jika tidak dikombinasikan dengan tepung yang mengandung gluten. Ragi bekerja mengkonsumsi gula dari pati sehingga dihasilkan gas CO2, dan etil alkohol. Gas CO2 akan ditahan dalam adonan oleh jaringan yang dibentuk oleh gluten sehingga adonan mengembang. Alkohol yang dihasilkan memberi flavor pada donat. Telur dalam donat berfungsi sebagai koagulator, emulsifier, dan pengembang, pemberi warna, dan cita rasa produk. Telur meningkatkan nilai gizi dan penerimaan konsumen. Telur mempunyai suatu reaksi mengikat bila digunakan dalam jumlah besar sehingga produk yang dihasilkan akan lebih mengembang. Telur akan menangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara menyebar merata pada adonan (Winarno, 1992). Permasalahan utama yang timbul dalam pembuatan donat dari bahan selain terigu adalah lemahnya adonan, dan kurangnya daya penahan gas. Hal ini mempengaruhi mutu fisik produk yang dihasilkan. Selain itu, donat yang terbuat dari bahan selain terigu akan cepat mengalami pengerasan dan penurunan kualitas simpan. Pengerasan dapat terjadi karena tepung non-terigu tidak memiliki ikatan disulfida pada proteinnya. Ikatan disulfida terdapat pada gluten dan memiliki pengaruh dalam menstabilkan protein (Nosoh dan Sekiguchi, 1991). Bahan tambahan yang dapat mengurangi pengerasan pada donat adalah potasium bromat. Garam bromat digunakan dalam pembuatan donat sebagai bahan pelembut (dough improver). Bentuk yang paling banyak digunakan adalah potasium bromat. Penambahan garam bromat pada tepung dapat mencegah
pelunakan gluten yang berlebihan selama pembuatan adonan. Bromat dapat meningkatkan konsumsi oksigen tepung pada saat pembuatan adonan. Selain itu, bromat juga membantu mempercepat pematangan adonan dan meningkatkan volume roti dengan tidak menyebabkan penurunan mutu remah, serta dapat memperbaiki teksturnya.
D. PANGAN FUNGSIONAL Sampai sekarang belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal. The International Food Information Council (IFIC)
mendefinisikan
pangan
fungsional
sebagai
pangan
yang
memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat gizi dasar (IFIC Foundation,1998). Menurut konsensus pada The First International Conference on East-west Perspective on Functional Foods yang diorganisir dan disponsori oleh International Life Sciences Institute (ILSI) tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Clydesdale, 1999). Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine (1994) menyatakan bahwa yang tergolong pangan fungsional adalah pangan yang konsentrasi satu atau lebih ingridiennya telah dimodifikasi atau dimanipulasi untuk meningkatkan kontribusinya sebagai pangan yang menyehatkan. Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit (Badan POM,2001). Pengembangan pangan fungsional ditujukan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes
mellitus.
Penyakit
degeneratif
prevalensinya
cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, salah satunya ialah diabetes mellitus (DM) atau biasa disebut diabetes. Analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia memperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 sebesar 2,5 juta jiwa dan pada tahun 2000 menjadi 4 juta jiwa (Tjokroprawiro,2003). Diabetes adalah penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa yang terkandung dalam darah. Hal ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah atau keduanya. DM juga merupakan sekelompok gangguan metabolik dengan suatu manifestasi umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) (Tjokroprawiro,2003). Hasil studi menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dengan IG tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan asupan dengan IG rendah (Willett et al., 2002). Oleh karena itu, penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonfirmasi makanan dengan indeks glikemik rendah sehingga membantu mengontrol kadar gula darah dalam tubuhnya.
E. INDEKS GLIKEMIK Para ilmuwan awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang mengandung karbohidrat kompleks lebih lambat untuk dicerna dan diserap tubuh sehingga memiliki efek glikemik yang rendah. Namun beberapa makanan yang tergolong mengandung karbohidrat kompleks seperti kentang rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir sama dengan maltosa. Oleh karena itulah konsep indeks glikemik mulai diperkenalkan untuk melihat gambaran tentang hubungan karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah (Brand-Miller, 2000). Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya (immediate effect) terhadap kadar gula darah. Pangan yang menaikkan gula darah dengan cepat, memiliki indeks glikemik tinggi, sebaiknya yang menaikkan gula darah dengan lambat, memiliki indeks glikemik rendah. Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik
glukosa murni sebagai pembandingnya (IG glukosa murni adalah 100) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Indeks glikemik juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara luas kurva respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total setara 50 gram gula terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram glukosa, pada hari yang berbeda dan orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama 2 jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut (Truswell, 1992). Menurut Foster Powell et al. (2002), bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai IG-nya sebagai berikut: bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55), bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-69) dan bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70). Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda dengan pangan yang lainnya. Bahkan pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang berbeda dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman yang berbeda juga menyebabkan perbedaan pada IG. Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan, yaitu proses pengolahan, perbandingan amilosa dengan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat, lemak, protein serta antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki IG lebih tinggi daripada karbohidrat kompleks. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memilki IG sangat kecil (IG=23), sedangkan sukrosa memilki IG sedang (IG=65). Selain itu, kehadiran gula di dalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan IG pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004). Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan dan serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata. Adanya serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah juga rendah. Serat juga dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit saluran pencernaan selain juga dapat menurunkan IG. Menurut Luh (1991), kandungan serat kasar yang terdapat pada bekatul sebesar 7-11.4%. Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda dapat menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur yang tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya mempunyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Meyer, 1973). Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar
dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Menurut Ludwig (2000), laju penyerapan karbohidrat dan indeks glikemik akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan rendah lemak. Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15-45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langherns pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pengubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw, 1999). Kadar glukosa darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55-140 mg/dl. Kadar glukosa darah minimum sebesar 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjar adrenal (Wardlaw, 1999). Menurut Jones (2002), pangan yang memiliki IG tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Konsumsi makanan yang
memiliki IG rendah akan meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004).
F. PATI 1. Komposisi Pati Pati terbentuk pada jaringan tanaman dalam bentuk granula. Ukuran diameter granula pati bermacam-macam berkisar antara 1-100 µm. Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap jenis pati. Butir pati bersifat semi kristalin yang mempunyai unit kristal dan unit amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorphous bersifat dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur secara keseluruhan. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan αglikosidik. Granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati (Lineback dan Inglett, 1982). Amilosa dan amilopektin terdapat dalam bentuk kristalin pada pati. Hal ini menyebabkan amilosa-amilopektin bersifat tidak larut air dan sukar untuk dicerna dalam keadaan mentah. Struktur kristalin tersebut akan hancur bersamaan dengan proses gelatinisasi yang melibatkan air dan suhu tinggi. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Pati yang lebih banyak mengandung amilosa bersifat lebih resisten terhadap pencernaan pati dibandingkan dengan pati yang lebih banyak mengandung amilopektin karena struktur linier amilosa yang bersifat kompak (Rashmi dan Urooj, 2003). Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 250-2000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40000-340000. Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan
gugusnya bersifat polar. Amilosa dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya. Penyerapan air tersebut menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa mampu membentuk ikatan kristal karena adanya interaksi molekular yang kuat. Rantai lurusnya cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berikatan dengan ikatan hidrogen, Amilopektin adalah glukan bercabang yang terdiri dari ± 4000 unit glukosa. Pada rantai lurus amilopektin terdapat ikatan α(1,4) dan pada titik percabangan terdapat ikatan α-(1,6). Ikatan percabangan ini terjadi setiap interval 20-30 unit glukosa (Lineback dan Inglett, 1982). Percabangan ini menyusun sekitar 4-5% dari seluruh ikatan pada amilopektin. Berat molekul amilopektin lebih dari satu juta. Molekul ini membentuk sifat kohesif dan pengental pada pati.
2. Pencernaan dan Penyerapan Pati Karbohidrat dari pati yang akan diserap oleh tubuh harus diubah menjadi penyusun-penyusunnya, yaitu glukosa. Enzim yang dapat memecah karbohidrat yaitu enzim α-amilase yang terdapat dalam air liur yang dihasilkan oleh kelenjar saliva, dan enzim yang dihasilkan oleh pankreas. Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam mulut oleh enzim α-amilase dalam air liur. Enzim α-amilase ini stabil pada kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva menjadi inaktif oleh pH rendah dalam lambung. Enzim α-amilase yang berasal dari pankreas berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi unit-unit dimerik terutama maltosa. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glucoamylase dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga terjadi pemecahan disakarida menjadi
monosakarida
(unit-unit
heksosa)
oleh
enzim-enzim
disakaridase (Sardesai, 2003). Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah.
Glukosa merupakan monosakarida yang paling cepat diserap oleh usus halus. Proses penyerapan fruktosa terjadi melalui proses difusi dan berlangsung lambat. Karbohidrat yang dikonsumsi makhluk hidup akan dicerna dan diserap pada laju yang berbeda-beda dan juga akan diubah menjadi fraksi pati yang berbeda-beda dalam usus kecil. Daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati sehingga menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula-gula sederhana seperti maltosa atau glukosa dan alfa limit dekstrin) yang dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan pangan dan serat pangan. Pencernaan pati dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Tharanthan dan Mahadevam, 2003). Faktor intrinsik yang memperlambat pencernaan pati adalah bentuk makanan yang mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, dinding sel granula pati yang tidak lentur yang dapat menghalangi pembengkakan dan dispersi pati, dan kemampuan untuk membentuk kristal. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi hidrolisis pati adalah waktu transit, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Pati dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi pati berdasarkan kecepatan pencernaannya, yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS (Slowly Digistible Starch), RS (Resistant Starch). RDS adalah pati yang dapat dicerna dengan cepat. Pati yang dapat dicerna dengan cepat akan meningkatkan persediaan glukosa dalam tubuh dengan cepat. SDS adalah pati yang lambat dicerna sehingga menyebabkan kenaikan glukosa dalam darah menjadi lambat. RS adalah fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Haralampu, 2000).
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung bekatul, tepung terigu, margarin, mentega, telur, gula halus, susu skim, leavening agent, vanili, coklat bubuk, bubuk kayu manis, ragi dan air. Bahanbahan yang digunakan untuk analisis meliputi air destilata, NaCl jenuh, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, batu didih, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator methylen blue, HCl, pelarut heksana, amilosa murni, etanol 95%, etanol 78%, NaOH 1N, asam asetat 1N, larutan iod, buffer Na-Fosfat 0,1 M, enzim termamyl, buffer Na-Fosfat 0,05 M, enzim pepsin, enzim pankreatin, celite, aseton, enzim ά-amilase, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, maltosa, alkohol, glukosa. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixer, sendok, loyang, oven pemanggang, kuali, kompor dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah gelas ukur, gelas piala, corong Buchner, kertas saring, pompa vakum, oven, desikator, neraca analitik, kromameter, mesin amilograf, aw meter, pH meter, texture analyzer, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat destilasi, gelas Erlenmeyer, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas lemak, sudip, pipet tetes, pipet Mohr, pipet volumetrik, hot plate, inkubator, spektrofotometer, kuvet, botol semprot, aluminium foil, crucible, tabung reaksi, mikro pipet dan glucometer.
B. Metode Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan formulasi cookies (Tabel 7) dan donat bekatul (Tabel 8), kemudian dilakukan uji organoleptik yang meliputi uji rating dan uji ranking untuk mendapatkan formulasi cookies dan donat bekatul yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan, serta analisis fisik dan kimia tepung bekatul. Formulasi produk dilakukan secara trial and error. Tepung bekatul yang digunakan dalam formulasi cookies adalah 25,
30, 35, 40, dan 45% dari total tepung. Penggunaan tepung bekatul yang lebih tinggi dari 45% menyebabkan bekatul sangat terasa pada cookies dan menimbulkan rasa pahit yang berlebih. Tepung bekatul yang digunakan dalam formulasi donat adalah 20, 25, 30, dan 35%. Penggunaan tepung bekatul yang lebih tinggi dari 35% menyebabkan adonan menjadi kaku sehingga saat digoreng donat akan pecah. Diagram alir pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Tabel 7. Formulasi Cookies Bekatul Bahan (gram)
F1
F2
F3
F4*
F5
Tepung bekatul
25
30
35
40
45
Tepung terigu
75
70
65
60
55
Gula halus
60
60
60
60
60
Margarin
50
50
50
50
50
Mentega
25
25
25
25
25
Kuning telur
20
20
20
20
20
Susu skim
13
13
13
13
13
Vanili
1
1
1
1
1
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
Bubuk coklat
5
5
5
5
5
Bubuk
2
2
2
2
2
276.5
276.5
276.5
276.5
Soda kue
kayu
manis
Jumlah
276.5
Tabel 8. Formulasi Donat Bekatul F1
F2
F3
F4*
20
25
30
35
Tepung terigu
80
75
70
65
Gula halus
25
25
25
25
Margarin
10
10
10
10
Telur
10
10
10
10
Baking
0.5
0.5
0.5
0.5
Ragi
3
3
3
3
Garam
2
2
2
2
Dough
2
2
2
2
50
50
50
50
202.5
202.5
202.5
202.5
Bahan (gram) Tepung bekatul
powder
improver Air
Jumlah
Margarin, mentega, gula halus, telur Margarin, mentega, gula halus, telur Dicampur (mixer) Dicampur (mixer)
Tepung bekatul, tepung terigu
Leavening agent, susu skim, bubuk coklat, bubuk kayu manis
Dicampur (mixer) Dicampur (mixer)
Dicetak Dicetak
Dipanggang ± 160°C, 15 menit Dipanggang ± 160°C, 15 menit Didinginkan Didinginkan
Cookies bekatul Cookies bekatul
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Cookies Bekatul
2. Penelitian Lanjutan Pada tahap ini dilakukan analisis fisiko-kimia, daya cerna pati, kadar amilosa, dan analisis indeks glikemik donat dan cookies bekatul dari formula yang sudah terpilih, serta donat dan cookies kontrol, sehingga dapat dibandingkan indeks glikemik antara cookies dan donat yang tidak mengandung bekatul (kontrol) dengan cookies dan donat yang mengandung bekatul.
C. Metode Analisis 1. Analisis Sifat Fisik a. Densitas Kamba (Khalil, 1999) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
b. Densitas Padat (Khalil, 1999) Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
c. Kelarutan dalam Air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi dan Sumartha, 1992) Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100°C selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100°C
selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. a-(b-c) Kelarutan (%) = ---------- x 100% a Keterangan: a = berat kering sampel (gram) b = berat endapan dan kertas saring (gram) c = berat kertas saring (gram) d. Uji Amilograf (Bhattcharya, 1979) Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi tepung bekatul. Sebanyak 45 gram sampel ditimbang dan dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit. Begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari suhu gelatinisasi, suhu gelatinisasi puncak dan viskositas maksimum yang dinyatakan dalam Brabender Unit.
e. Aktivitas Air (aw) Pengukuran
aktivitas
air
(aw)
dilakukan
dengan
menggunakan alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547; 0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20, 25 dan 29°C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Pembacaan nilai aw dilakukan setelah indikator proses pada layar penunjuk menunjukkan proses pengukuran telah selesai. Bila aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel ± 1 gram dimasukkan
dalam wadah aw meter. Pembacaan nilai aw
dilakukan setelah
indikator proses pada layar penunjuk menunjukkan proses pengukuran telah selesai.
f. Warna, metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003) Pengukuran untuk warna tepung dilakukan dengan menggunakan alat kromameter. Warna tepung dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Pada alat ini yang terukur adalah nilai-nilai L, a, b, dan h° (hue). Parameter warna berdasarkan nilai h° dapat dilihat pada Tabel 9. Keterangan: L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100 a = merupakan warna campuran merah-hijau a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau b = merupakan warna campuran biru-kuning b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru h° (hue) = parameter untuk kisaran warna (Tabel 9) Tabel 9. Parameter Warna Berdasarkan Nilai h° (Hue) Warna
Nilai h° (Hue)
Red purple
342-18
Red
18-54
Yellow red
54-90
Yellow
90-126
Yellow green
126-162
Green
162-198
Blue Green
198-234
Blue
234-270
Blue purple
270-306
Purple
306-342
g. Kekerasan Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer. Alat dihidupkan lalu sampel disimpan pada wadah yang telah disediakan. Bagian tersebut akan mendapat tekanan dari alat yang bergerak. Besar kecilnya tekanan akan masuk ke dalam amplifier yang ada di dalam recorder dan keluarannya berupa grafik. Kekerasan dinyatakan sebagai kg gaya dari puncak tertinggi pada saat kurva mulai menaik yang dinyatakan sebagai titik nol.
2. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah berupa pengujian kesukaan inderawi terhadap cookies bekatul dan donat bekatul. Pengujian yang dilakukan adalah dengan uji hedonik untuk mengetahui formulasi cookies bekatul dan donat bekatul yang paling disukai. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik ada 5 tingkat, yaitu 5= sangat suka, 4= suka, 3= netral, 2= tidak suka, 1= sangat tidak suka. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih.
3. Analisis Sifat Kimia a. Analisis Proksimat • Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan kosong yang bersih dikeringkan pada 100-102°C sekitar 15 menit didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh sebanyak 5 gram dimasukkan dalam cawan (a), kemudian dioven suhu 100-102°C selama 6 jam atau sampai berat konstan. Cawan berisi contoh diangkat kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (b). (a-b) Kadar air (%b/b) = ------- x 100% a (a-b) Kadar air (%b/k) = ------- x 100% b
• Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a). Contoh sebanyak 5 gram dimasukkan dalam cawan dan ditimbang (b). Cawan berisi contoh dibakar sampai asapnya habis sampai diperoleh abu yang berwarna abu-abu. Cawan dikeluarkan dari tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (c). Kadar abu (%) = c-a x 100% b-a • Analisis Kadar Protein dengan Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Kurang lebih 10 gram contoh didestruksi dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) untuk konversi nitrogen menjadi ammonia. Ammonia diuapkan dan diserap dengan larutan asam borat (H3BO3). Nitrogen yang terkandung dalam larutan asam borat ditentukan jumlahnya dengan dititrasi menggunakan larutan HCl 0.02 N %N = (ml HCl contoh-ml HCl blanko) x N HClx14.07x100 mg contoh % Protein = % N x 6.25
• Analisis Kadar Lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a). Sebanyak 5 gram contoh yang berbentuk tepung dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan labu ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak diletakkan dibawahnya. Pelarut heksan dimasukkan dalam labu lemak
secukupnya, selanjutnya dilakukan ekstraksi selama min 6 jam s.d. pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 150°C hingga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu bersama lemak didalamnya ditimbang (b) dan berat lemak didalamnya diketahui (b-a). % lemak = Berat lemak (g) x 100% Berat contoh (g)
• Kadar karbohidrat, by difference (AOAC, 1995) Kadar KH (%bb) = 100%-(% air+ % protein+ % lemak +%abu)
b. Analisis Nilai Energi (Almatsier, 2001) Penentuan nilai energi makanan dapat dilakukan melalui perhitungan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi makanan tersebut. Energi = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 kkal/g x kadar protein ) + (9 kkal/g x kadar lemak)
c. Analisis Kadar Amilosa (Juliano, 1971 yang dimodifikasi) • Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing
sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Selanjutnya larutan tersebut juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. • Penetapan Sampel Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2 ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambahkan akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar Amilosa (%) =
A FP × × 100% S W
Keterangan : S FP W A
= slope kemiringan pada kurva standar = faktor pengenceran, yaitu 0,002 = berat sampel (gram) = absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm
d. Analisis Kadar Serat Pangan, Metode Multienzim (Asp et al., 1983) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian aduk. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl, erlenmeyer kemudian ditutup dengan aluminium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk.
Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg enzim pepsin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur
menjadi
6.8
dengan
menggunakan
NaOH
kemudian
ditambahkan 100 mg enzim pankreatin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. pH diatur menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan sampel disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.
1. Residu (Serat Tidak Larut) Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian dikeringkan pada suhu 105°C sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (D1). Diabukan pada suhu 550°C selama 5 jam. Setelah didinginkan ditimbang dalam desikator (I1).
2. Filtrat (Serat Larut) Volume
filtrat
diatur
menjadi
100
ml.
Kemudian
ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60°C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105°C sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (D2). Diabukan pada suhu 550°C selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang (I2).
3. Blanko Blanko diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Perhitungan: %Serat Tidak Larut (IDF) = (D1-I1-B1)x100% Berat sampel %Serat Larut (SDF) = (D2-I2-B2)x100% Berat sampel %Total Serat (TDF) = %SDF+%IDF Keterangan: D= Berat setelah pengeringan (g) I= Berat setelah pengabuan (g) B=Berat blanko bebas abu (g)
e. Analisis Daya Cerna Pati In Vitro (Muchtadi et al., 1992 yang dimodifikasi) Enzim ά-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3.5dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1.6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml aquades. Sampel tanpa lemak dibuat suspensi dalam aquades (1%) kemudian dipanaskan dalam inkubator selama 30 menit pada suhu 90 °C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M. Lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim ά-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko
diganti buffer Na-Fosfat 0.1 M pH 7. Daya cerna pati dihitung sebagai berikut: % Daya Cerna Pati = a x 100% b Keterangan: a = kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel b = kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni
4. Analisis Indeks Glikemik (El, 1999) Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50 g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya). Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita diabetes dan memiliki IMT (indeks massa tubuh) normal (1825). Panelis yang digunakan berjumlah 10 orang untuk menguji sampel yang digunakan. Foto panelis pada saat uji Indeks Glikemik dapat dilihat pada Lampiran 20. Selama 2 jam pasca-pemberian, sampel darah sebanyak 20µL (finger-prick capillary blood samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120). Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu,yaitu sumbu waktu (X) dan kadar gula darah (Y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa murni).
D. RANCANGAN PERCOBAAN Penentuan formula produk terbaik dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan model matematis sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Keterangan: Yij = Nilai pengamatan taraf ke-i pada ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum τi = Pengaruh jumlah tepung bekatul ke-i i = Jumlah tepung bekatul (25%, 30%, 35%, 40%, 45% dari persentase tepung terigu untuk cookies; 20%, 25%, 30%, 35% dari persentase tepung terigu untuk donat) j = Ulangan εij = Galat perlakuan jumlah tepung bekatul ke-i pada ulangan ke-j
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Fisik Tepung Bekatul Analisis fisik tepung bekatul meliputi densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, uji amilograf, warna dan aw. Hasil analisis fisik tepung bekatul dapat dilihat pada Tabel 10 (Lampiran 1). Gambar tepung bekatul yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5.
Tabel 10. Hasil Analisis Fisik Tepung Bekatul No.
Jenis Analisis
1.
Densitas Kamba (g/ml)
0.3
2.
Densitas Padat (g/ml)
0.4
3.
Kelarutan dalam air (%)
11.3
4*
Suhu gelatinisasi (°C)
-
Waktu gelatinisasi (menit)
-
Suhu gelatinisasi puncak (°C)
-
Waktu gelatinisasi puncak (menit)
-
Viskositas (BU)
-
5.
6.
Hasil
Warna: L
51.7
a
+4.0
b
+6.9
h°(hue)
60.1
aw
0.5
Suhu (°C)
30.4
Keterangan: * = tidak teridentifikasi
(a)
(b)
Gambar 5. (a) Tepung Bekatul dr. Liem; (b) Tepung bekatul
a. Densitas Kamba dan Densitas Padat Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat fisik bahan pangan khusus biji-bijian dan tepung-tepungan. Densitas kamba dan densitas padat dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air (Ainah, 2004). Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan, sedangkan densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan. Densitas kamba dan densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml. Pengetahuan tentang densitas kamba dan densitas padat diperlukan dalam hal kebutuhan ruang, baik pada saat penyimpanan maupun pengangkutan. Densitas kamba tepung bekatul adalah 0.3 g/ml, dan densitas padatnya adalah 0.4 g/ml. Nilai densitas kamba tepung bekatul berbeda cukup jauh dengan nilai densitas kamba tepung terigu (0.48 g/ml). Jadi dapat diartikan tepung bekatul memerlukan ruang yang lebih besar dibanding tepung terigu
b. Kelarutan dalam Air Kelarutan dalam air menunjukkan jumlah partikel tepung yang dapat larut dalam air. Kelarutan dalam air tepung bekatul yaitu
sebesar 11.3%. Rendahnya kelarutan tepung dapat disebabkan oleh tingginya komponen dalam tepung yang tidak larut air seperti pati mentah, serat pangan tak larut, pati resisten dan lemak.
c. Warna Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan terkadang sangat menentukan. Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 1992). Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk memaparkan warna makanan adalah sistem Hunter. Dalam sistem ini, terdapat dua dimensi warna yaitu dimensi warna merah-ke-hijau dan dimensi warna kuning-ke-biru, yang dinyatakan dengan lambing a dan b. Dimensi warna ketiga yaitu kecerahan, yang dinyatakan dengan lambang L (deMan, 1997). Hasil pengukuran warna tepung bekatul dapat dilihat pada Tabel 11. Dari hasil pengukuran, tepung bekatul memiliki nilai L pada kisaran rata-rata; nilai a dan b yang positif, yang menunjukkan tepung bekatul berwarna merah ke kuning; serta kisaran nilai h° 60.1.
Tabel 11. Hasil Pengukuran Warna Tepung Bekatul Parameter
Nilai
Keterangan
L
51.72
Menunjukkan kecerahan berkisar 0-100
a
+4.03
a positif (+) antara 0-100 untuk warna
Warna
merah b
+6.98
b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning
h°
60.1
Nilai h° (hue) 18-54 untuk warna merah; 54-90 untuk warna merah kekuningan
d. Uji Amilograf Pengenalan sifat amilograf merupakan salah satu cara mengenal sifat pati. Sifat amilograf pati mempertimbangkan karakteristik pati berdasarkan perubahan viskositas selama pemanasan dan pendinginan (Mulyandari, 1992). Sifat amilograf pati dipengaruhi oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu awal terjadinya gelatinisasi, dan pH suspensi (Pomeranz dan Meloan, 1994). Sifat amilograf pati dapat diukur menggunakan alat “Brabender viskoamilograf”, yaitu viskometer yang dapat melakukan pencatatan terhadap perubahan viskositas pati secara kontinyu (Pomeranz dan Meloan, 1994). Pomeranz dan Meloan (1994) menyatakan bahwa laju pemanasan selama pengukuran viskositas dijaga konstan yaitu sebesar 1,5°C/menit. Pada suatu titik, suhu pemanasan dijaga konstan selama selang waktu tertentu, kemudian suhu diturunkan kembali. Perubahan viskositas selama pemanasan dan pendinginan diplot pada program. Data-data yang diperoleh dari pengukuran sifat amilograf diantaranya adalah suhu gelatinisasi, suhu gelatinisasi puncak, waktu gelatinisasi, waktu gelatinisasi puncak dan viskositas puncak. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran sifat amilograf dengan alat “Brabender viskoamilograf” sebanyak dua kali ulangan. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana penetrasi air di dalam granula pati menyebabkan granula membengkak secara luar biasa sehingga pecah dan membentuk massa yang viscous. Pada pengukuran sifat amilograf, suhu gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai naik. Suhu gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1.5°C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran adalah 30°C
Suhu gelatinisasi puncak yaitu suhu pada saat nilai maksimum viskositas dapat dicapai. Pada pengukuran sifat amilograf, suhu gelatinisasi puncak adalah suhu pada saat kurva mencapai puncak. Suhu gelatinisasi puncak ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kenaikan kurva mencapai puncak dikalikan dengan kenaikan suhu (1,5°C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Viskositas berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi. Semakin tinggi suhu gelatinisasi maka semakin lambat granula pati mengembang dan semakin lambat pula waktu viskositas tercapai (Winarno, 1992). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terjadi gelatinisasi pada tepung bekatul olahan. Hal ini disebabkan tepung bekatul olahan telah mengalami perlakuan pengeringan dengan drum drier pada suhu 90 °C, sehingga sudah tergelatinisasi terlebih dahulu. Akibatnya saat dilakukan uji amilografi pada tepung bekatul olahan tidak teridentifikasi adanya gelatinisasi. Tepung beras sendiri mengalami gelatinisasi pada sekitar suhu 85°C. Hasil pengukuran sifat amilograf tepung bekatul dapat dilihat pada Tabel 10 (Lampiran 2).
e. Aktivitas Air (aw) Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroba mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw 0.90; khamir aw 0.80-0.90; dan kapang aw 0.60-0.70 (Winarno, 1992). Tepung bekatul memiliki nilai aw sebesar 0.5. Dengan demikian tepung bekatul mempunyai umur simpan yang relatif lama karena nilai aw yang lebih rendah dari kisaran aw dimana mikroba dapat tumbuh, akan tetapi rentan akan terjadinya penyerapan air dari
lingkungan dan terjadinya reaksi pencoklatan akibat penguraian sukrosa menjadi gula pereduksi.
2. Analisis Kimia Tepung Bekatul Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat, yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat (by difference). Komposisi kimia tepung bekatul dapat dilihat pada Tabel 12 dan Lampiran 1.
Tabel 12. Komposisi Zat Gizi Tepung Bekatul dan Tepung Terigu Zat Gizi
Tepung Bekatul
Tepung terigu
Air (% bb)
7.4
Maks 14.5%a)
Abu (% bb)
9.2
Maks 0.6% a)
Protein (% bb)
12.7
Min 7.0% a)
Lemak (% bb)
10.8
Maks 2%b)
Karbohidrat (% bb)
59.9
Min 70% b)
Sumber: a) SNI 01-3751-1995 b) Ainah, 2004
a. Kadar Air Menurut Winarno (1992), air merupakan komponen penting
dalam
bahan
pangan
karena
dapat
mempengaruhi
penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar air yaitu jenis bahan dan komponen yang ada di dalamnya, serta cara dan kondisi pengeringan seperti alat, suhu, ketebalan bahan dan lama pengeringan. Dari hasil analisis diperoleh kadar air tepung bekatul sebesar 7.4% (bb). Cukup rendahnya kadar air tepung bekatul memberi keuntungan pada saat penyimpanan. Menurut Ainah (2004), kadar air yang tinggi akan menyulitkan pada saat penyimpanan, karena tepung
pada kondisi tersebut mudah diserang mikroba dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Selain itu, dengan semakin rendahnya kadar air maka konsentrasi komponen-komponen kering seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral akan lebih tinggi.
b. Kadar Abu Sebagian besar makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar namun zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Mineral terdiri dari kalsium, natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium, dan komponen lain dalam jumlah kecil (Ainah, 2004). Kadar abu tepung bekatul sebesar 9.2% Nilai kadar abu tepung bekatul lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung terigu untuk bahan makanan yang diisyaratkan oleh SNI 01-3751-1995 yaitu maksimal 0.6% (bb) (Indrasti, 2004). Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kandungan mineral dalam tepung bekatul. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan, kemurnian serta kebersihan bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka tepung tersebut kurang bersih dalam pengolahannya.
c. Kadar Protein Kadar protein berperan dalam pembentukan adonan yang baik dan pembentukan crust pada proses pembakaran adonan (Ainah, 2004). Dari hasil analisis pada Tabel 8, diperoleh kadar protein tepung bekatul sebesar 12.7% (bb). Nilai ini masuk dalam kisaran kadar protein tepung terigu yang dikemukakan oleh Ainah (2004) yaitu 713% (bb).
d. Kadar Lemak Kadar
lemak
tepung
bekatul
berhubungan
dengan
ketahanan produk yang dihasilkan terhadap ketengikan karena oksidasi lemak. Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak tepung bekatul yaitu 10.8% (bb) jauh lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung gandum yang dikemukakan oleh Ainah (2004) yaitu 1-2% (bb). Karena kadar lemaknya yang cukup tinggi menyebabkan bekatul mudah berbau tengik. Oleh karena itu bekatul harus disimpan di lemari es dan diusahakan tidak terlalu banyak kontak dengan udara untuk mencegah oksidasi asam-asam lemak tak jenuh.
e. Kadar Karbohidrat Analisis yang paling mudah untuk menentukan kandungan karbohidrat dalam bahan makanan yaitu dengan cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau juga disebut carbohydrate by difference. Yang dimaksud dengan by difference adalah suatu analisis dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan sebagai berikut: % karbohidrat= 100%-
%
(protein+lemak+abu+air).
Hasil
dari
perhitungan
carbohydrate by difference ini biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan ( Winarno, 1992). Kadar karbohidrat tepung bekatul dihitung berdasarkan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kadar karbohidrat tepung bekatul sebesar 59.9%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan kadar karbohidrat tepung terigu yang dikemukakan Anwar et al. (1993) yaitu 77.3% (bb).
3. Pembuatan Cookies dan Donat Formulasi produk dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Cookies dibuat lima formula berdasarkan satu variabel, yaitu persentase tepung bekatul yang digunakan (basis 100g total tepung). Bahan baku
dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu, tepung bekatul, gula, lemak, telur, susu skim, leavening agent, emulsifier, flavor dan pewarna. Sedangkan bahan baku donat adalah tepung terigu, tepung bekatul, gula, lemak, telur, garam, leavening agent, emulsifier dan air. Tepung bekatul yang ditambahkan pada cookies berkisar 2545% dari total tepung. Tepung terigu yang digunakan untuk cookies adalah tepung terigu cap Kunci Biru yang kadar proteinnya rendah (terigu lunak). Tepung terigu lunak biasa digunakan untuk membuat bolu, kue kering,
crackers dan biskuit (Subarna, 1996). Digunakan tepung terigu lunak karena terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 1982). Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U.S. Wheat
Associates, 1983). Tepung bekatul yang ditambahkan pada donat berkisar 20-35% dari total tepung. Tepung terigu yang digunakan untuk donat adalah tepung terigu cap Cakra Kembar yang kadar proteinnya tinggi (terigu keras). Tepung terigu keras biasa digunakan untuk membuat roti dan mi. Penggunaan bahan pengembang atau leavening agent pada produk olahan yang terbuat dari tepung bekatul berbeda dengan produk olahan yang terbuat dari tepung terigu. Jumlah bahan pengembang pada produk tepung bekatul lebih banyak dibanding produk tepung terigu, hal ini dikarenakan pada tepung bekatul tidak terdapat protein gliadin dan glutenin yang dapat membentuk gluten. Gluten inilah yang menyebabkan produk yang terbuat dari tepung terigu lebih mengembang. Begitu pula dengan jumlah emulsifier yang ditambahkan pada produk tepung bekatul lebih banyak dari produk tepung terigu untuk mendapatkan emulsi yang lebih stabil sehingga produk yang dihasilkan lembut. Pada pengolahan cookies, fungsi gluten dalam pembentukan tekstur tidak mendominasi seperti halnya pada pengolahan produk bakeri. Oleh karena itu, penggunaan tepung non terigu pada formulasi cookies dapat dilakukan dengan mengatur bahan formulasi lain yaitu lemak yang
memiliki
peran
terhadap
pembentukan
tekstur.
Cookies
dengan
penggunaan tepung non terigu yang mendominasi masuk ke dalam klasifikasi biskuit jenis short dough (Manley, 1983). Menurut Matz (1982), pembuatan cookies meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Metode yang digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim atau creaming
method (Whiteley, 1971). Pada metode ini bahan baku dicampur secara bertahap. Tahap pertama adalah pembentukan krim yang terdiri atas pencampuran dan pengadukan lemak, gula dan flavor (± 3 menit, kecepatan tinggi), kemudian ditambah telur (± 2 menit, kecepatan tinggi). Penambahan tepung dan bahan kering lainnya ( susu dan leavening agent) dilakukan pada bagian paling akhir (± 2 menit, kecepatan rendah). Metode pencampuran dan pengadukan tersebut baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan (Matz, 1982). Pada tahap pencetakan, adonan cookies dicetak dengan menggunakan alat pencetak cookies. Prinsip dari pencetakan ini adonan mendapat tekanan dari alat pencetak (Manley, 1983). Adonan yang telah dicetak dan ditata dalam loyang kemudian dipanggang dalam oven bersuhu ±160°C selama ± 15 menit. Pemanggangan
menyebabkan
pengembangan
adonan
untuk
membentuk tekstur yang diinginkan. Ukuran cookies yang dihasilkan dipengaruhi oleh pengembangan yang terjadi selama pemanggangan.
Cookies yang selesai dipanggang harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak (Matz, 1978).
4. Karakteristik Organoleptik Cookies dan Donat Bekatul Uji organoleptik yang dilakukan pada cookies dan donat bekatul bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik yaitu formula yang paling disukai oleh panelis dari kelima formula yang diuji untuk cookies dan empat formula yang diuji untuk donat (Tabel 13). Pada penelitian ini
digunakan uji hedonik secara keseluruhan (overall). Uji hedonik dilakukan dengan dua cara, yaitu uji rating dan uji ranking. Skor penilaian yang digunakan dalam uji rating ada 5 tingkat yaitu 5= sangat suka, 4= suka, 3= netral, 2= tidak suka, 1= sangat tidak suka. Pada uji ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang paling disukai. Jumlah panelis untuk uji hedonik ditentukan berdasarkan kemampuan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis yang biasa digunakan untuk uji ini adalah panelis tidak terlatih. Pada penelitian ini jumlah panelis untuk uji hedonik adalah 30 orang panelis tidak terlatih. Jumlah contoh yang diajukan adalah sebanyak 5 contoh untuk cookies dan 4 contoh untuk donat. Cara penyajian contoh adalah dengan mengurutkan sampel secara mendatar yang telah diberi kode tertentu. Lembar penilaian yang digunakan pada uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penilaian rata-rata karakteristik organoleptik cookies dan donat bekatul selanjutnya dianalisis secara statistik. Pengujian statistik yang diajukan adalah analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Hasil penilaian uji organoleptik cookies dan donat dapat dilihat pada Tabel 14 (Lampiran 4 sampai dengan Lampiran 5). Hasil pengujian statistik dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai dengan Lampiran 7.
Tabel 13. Formula Cookies dan Donat Bekatul pada Uji Organoleptik Produk Variabel
Jumlah Bahan (per 100g tepung) F1
F2
F3
F4
F5
cookies
T
25
30
35
40
45
Donat
T
20
25
30
35
-
Keterangan: F1 = formula 1; F2 = formula 2; F3 = formula 3; F4 = formula 4; F5 = formula 5; T= tepung bekatul
Tabel 14. Hasil Uji Organoleptik Cookies bekatul dan Donat Bekatul Formula
Cookies Bekatul
Donat Bekatul
Rating
Ranking
Rating
Ranking
1
2.93a
2.00
2.77 a
2.07
2
2.80 a
2.23
2.50 a
2.47
3
2.73 a
2.70
2.47 a
2.67
4
2.67 a
3.50
2.47 a
2.80
5
2.03b
4.57
-
-
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (Uji Duncan α= 5%)
Berdasarkan hasil uji rating cookies bekatul (Tabel 14), dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada cookies bekatul formula 1 (25% tepung bekatul) yaitu sebesar 2.88 atau tidak suka sampai netral. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang kepercayaan 95%. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) yang menunjukkan bahwa formula 1 tidak berbeda nyata dengan formula 2, 3, 4 namun berbeda nyata dengan formula 5. Hasil uji ranking (Tabel 14 dan Lampiran 6) menunjukkan bahwa
cookies bekatul formula 1 memiliki rataan ranking terendah yaitu 2.00. Dari hasil tersebut terpilih cookies bekatul formula 4 karena tidak berbeda nyata dengan formula 1 yang memiliki rating tertinggi tetapi mengandung tepung bekatul dengan jumlah yang lebih besar (40%) Berdasarkan hasil uji rating produk donat bekatul (Tabel 14), dapat diketahui bahwa formula 1 memiliki skor kesukaan tertinggi yaitu 2.77 atau tidak suka sampai netral. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa formulasi tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji ranking (Tabel 14 dan Lampiran 7) menunjukkan bahwa donat bekatul Formula 1 memiliki rataan ranking terendah yaitu 2.07. Dari hasil tersebut terpilih produk donat bekatul formula 4 karena tidak berbeda nyata dengan
formula 1 tetapi mengandung tepung bekatul dengan jumlah terbesar (35%). Gambar cookies dan donat terpilih dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.
(a)
(b)
Gambar 6. (a) cookies standar; (b) cookies bekatul (40%)
(a)
(b)
Gambar 7. (a) Donat standar; (b) Donat bekatul (35%)
B. Penelitian Lanjutan 1. Karakteristik Fisik Formula Terbaik a. Rendemen Rendemen produk olahan terbaik dihitung berdasarkan perbandingan berat produk olahan yang diperoleh terhadap berat adonan yang dinyatakan dalam persen (%). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rendemen cookies standar sebesar 86.0%,
rendemen cookies bekatul sebesar 89.3%, rendemen donat standar sebesar 98.6%, dan rendemen donat bekatul sebesar 99.3%. Perbandingan rendemen keempat produk dapat dilihat pada Gambar 8. Data hasil analisis rendemen produk dapat dilihat pada lampiran 8 sampai dengan 9. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan adonan akan mempengaruhi nilai rendemen. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa semakin rendah kadar air produk maka semakin rendah rendemennya. Kadar air yang rendah akan menyebabkan jumlah air yang menguap pada proses pemanggangan dan penggorengan lebih tinggi, sehingga mengurangi berat produk akhir.
Gambar 8. Histogram Rendemen Produk
b. Kekerasan Kekerasan merupakan sifat fisik dari produk pangan yang menyatakan karakteristik tekstur produk pangan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan bentuk (deformasi). Kekerasan produk diukur dengan menggunakan alat Texture
Analyzer. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Setting yang digunakan dalam pengukuran tekstur produk dapat
dilihat pada Tabel 15. Jenis probe yang digunakan pada pengukuran
tekstur
cookies
adalah
P/2,
sedangkan
pada
pengukuran tekstur donat adalah P/75. Kekerasan produk cookies standar adalah 904.8 gf, sedangkan kekerasan cookies bekatul adalah 1005.9 gf. Kekerasan produk donat standar adalah 2476 gf, sedangkan kekerasan donat bekatul adalah 2884 gf. Dari hasil uji lanjut dengan T Test diketahui bahwa kekerasan cookies bekatul dibandingkan dengan
cookies standar dan donat bekatul dibandingkan dengan donat standar berbeda nyata (Lampiran 12 dan 13).
Perbandingan
kekerasan produk terbaik dapat dilihat pada Gambar 9. Data hasil analisis kekerasan produk terbaik dapat dilihat pada Lampiran 8 sampai dengan 9.
Tabel 15. Setting Texture Analyzer Parameter
Setting Cookies
Donat
Pre test speed (mm/s)
2.0
1.0
Test speed (mm/s)
0.5
1.7
Post test speed (mm/s)
10.0
10.0
Rupture test distance (mm)
1.0
1.0
Distance (mm)
20.0
40.0
Force (g)
100
100
Time (sec)
5
5
Count
2
2
P/2
P/75
Jenis probe
Gambar 9. Histogram Kekerasan Produk Cookies dan Donat Terbaik
2. Karakteristik Kimia Formula Terbaik a. Proksimat Nilai gizi suatu produk makanan merupakan faktor yang sangat rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum, selama, dan sesudah proses pengolahan. Umumnya selama proses pengolahan terjadi kerusakan zat gizi secara bertahap pada bahan pangan, misalnya protein mengalami kerusakan atau denaturasi. Tetapi dengan adanya proses pengolahan dapat meningkatkan aroma dan cita rasa suatu produk makanan. Menurut Winarno (1992), dalam proses pemasakan terjadi penurunan nilai gizi tergantung pada suhu dan lamanya proses pemasakan. Ada tiga jenis reaksi yang dapat menurunkan nilai gizi selama proses pemanasan atau pemasakan, yaitu (1) oksidasi asam lemak; (2) denaturasi protein berupa perubahan ikatan asam amino sehingga absorpsi terganggu dan terbentuknya ikatan-ikatan baru sehingga enzim pencernaan tidak mampu lagi mencernanya; dan (3) reaksi Maillard yaitu reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amino primer.
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi suatu bahan pangan atau produk makanan, seperti kadar protein, lemak dan karbohidrat. Informasi kandungan gizi suatu produk sangat penting untuk mengetahui jumlah energi yang terdapat pada produk. Kandungan gizi dari cookies dan donat dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Data hasil analisis proksimat produk terbaik dapat dilihat pada Lampiran 8 sampai dengan lampiran 9.
Tabel 16. Komposisi Kimia Cookies per 100g Komposisi Air (g) Abu (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Energi (kkal)
Komposisi (per 100 g bahan) SNI biskuit Cookies Cookies bekatul 01-2973-1992 standar 1.5 3.3 Maks 5 1.2 3.0 Maks 1.5 5.8 7.7 Min 9 23.6 28.5 Min 9.5 68.1 57.4 Maks 70 507 517 Min 400
Tabel 17. Komposisi Kimia Donat per 100g Komposisi (per 100 g bahan) Komposisi Donat standar Donat Nutrition fact bekatul donat komersil (plain donut) Air (g) 28.1 20.8 Abu (g) 1.1 3.0 Protein (g) 8.8 11.3 6 Lemak (g) 20.5 22.8 24 Karbohidrat (g) 41.6 42.1 48 Energi (kkal) 386 419 420
1. Kadar Air Kadar air yang terdapat pada suatu produk pangan akan mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa, dan keawetannya. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 16 dan 17), diperoleh kadar air
cookies standar 1.5% (bb), cookies bekatul sebesar 3.3% (bb), donat standar sebesar 28.1% (bb), donat bekatul sebesar 20.8% (bb). Kadar air pada produk cookies merupakan karakteristik kritis yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap
cookies karena kadar air ini menentukan tekstur (kerenyahan) cookies. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan teksturnya kurang disukai. Kadar air cookies bekatul sesuai dengan syarat mutu SNI yaitu maksimal mempunyai kadar air 5% (BSN, 1992). Kadar air cookies yang rendah ini disebabkan penguapan air pada adonan yang terjadi pada tahap pemanggangan (Whiteley, 1971). Menurut Winarno (1992), kadar air pada bahan yang berkisar 3-7% akan mencapai kestabilan optimum, sehingga pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang merusak bahan seperti browning, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Ada tiga macam reaksi pencoklatan nonenzimatik yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C. Donat memiliki kadar air yang tinggi sehingga mudah rusak.
2. Kadar Abu Abu merupakan mineral-mineral anorganik yang memiliki ketahanan
cukup
tinggi
terhadap
suhu
pemasakan
sehingga
keberadaannya dalam bahan pangan bisa mengalami perubahan, namun cenderung tetap. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 16 dan 17), kadar abu cookies standar sebesar 1.2% (bb), cookies bekatul sebesar 3.0% (bb), donat standar sebesar 1.1% (bb), donat bekatul sebesar 3.0% (bb). Nilai kadar abu cookies bekatul cukup tinggi jika dibandingkan dengan SNI cookies yang mensyaratkan kandungan maksimum abu hanya 1.5% (BSN, 1992). Kadar abu yang lebih tinggi pada cookies bekatul dan donat bekatul disebabkan tingginya kandungan mineral pada bekatul.
3. Kadar Protein Protein merupakan senyawa-senyawa yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Penetapan kadar protein dilakukan dengan
metode mikro-Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan nitrogen yang terkandung dalam bahan. Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan juga sebagai bahan pembangun dan pengatur (Winarno, 1992). Berdasarkan hasil analisis, kadar protein cookies standar yaitu sebesar 5.7% (bb), cookies bekatul sebesar 7.7% (bb), donat standar sebesar 8.8% (bb) dan donat bekatul sebesar 11.3% (bb). Kadar protein tertinggi dimiliki oleh donat bekatul. Sumber protein pada donat adalah terigu, tepung bekatul dan telur (kuning telur dan putih telur). Terigu yang digunakan pada pembuatan donat memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan terigu yang digunakan pada pembuatan cookies. Terigu yang digunakan pada pembuatan donat adalah terigu keras yang memiliki kandungan protein 13%, sedangkan terigu yang digunakan pada pembuatan cookies adalah terigu lunak yang memiliki kandungan protein 9%. Nilai protein
cookies kontrol dan cookies bekatul berada di bawah nilai yang dipersyaratkan oleh SNI, yaitu minimum 9% (BSN, 1992). Hal ini disebabkan jumlah telur dan susu yang ditambahkan sedikit.
4.Kadar Lemak Lemak berfungsi sebagai sumber cita rasa dan memberikan tekstur yang lembut pada produk. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein. Lemak pada produk olahan diukur dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 16 dan 17), diperoleh kadar lemak cookies standar sebesar 23.6% (bb), cookies bekatul sebesar 28.5% (bb), donat standar sebesar 20.5% (bb), donat bekatul sebesar 22.8% (bb). Kadar lemak cookies bekatul sesuai dengan syarat mutu
cookies SNI yaitu minimal mempunyai kadar lemak 9.5% (BSN, 1992). Kadar lemak keempat produk cukup tinggi sehingga
memberikan nilai energi yang tinggi. Kadar lemak cookies lebih tinggi dibandingkan donat karena persentase mentega dan margarin pada
cookies lebih tinggi dibandingkan pada donat. Persentase mentega dan margarin pada cookies yaitu sebesar 26.9% sedangkan pada donat sebesar 5.2% dari total adonan. Lemak memiliki peranan penting dalam menurunkan indeks glikemik (IG). Kadar lemak cookies bekatul dan donat bekatul lebih tinggi dibandingkan cookies standar dan donat standar sehingga kemungkinan IG yang dihasilkan akan lebih kecil. Kadar lemak cookies bekatul paling tinggi diantara produk yang lain sehingga kemungkinan cookies bekatul akan memiliki IG paling kecil. Namun
pangan
berlemak
harus
dikonsumsi
secara
bijaksana. Total konsumsi lemak tidak boleh melebihi 30% dari total energi dan total konsumsi lemak jenuh tidak melebihi 10% dari total energi. Konsumsi lemak jenuh dengan jumlah yang sangat tinggi dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol darah dan dapat berkorelasi dengan penyakit pada sistem kardiovaskular (Goldberg, 1994). Menurut WHO seperti yang diungkapkan oleh Almatsier (2001), konsumsi lemak sebanyak 15-30% kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan.
5. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh. Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat berperan dalam pembentukan karakteristik produk pangan. Di dalam tubuh, karbohidrat membantu metabolisme protein dan lemak (Winarno, 1992). Kadar karbohidrat produk dihitung dengan metode by
difference. Analisis kimia menunjukkan bahwa kadar karbohidrat cookies standar sebesar 68.1% (bb), cookies bekatul sebesar 57.4% (bb), donat standar sebesar 41.6% (bb), dan donat bekatul sebesar 42.1% (bb).
Menurut Astawan dan Widowati (2006), energi yang dapat dimanfaatkan di dalam tubuh dan kemampuan meningkatkan kadar glukosa darah tidak selalu sejalan dengan kadar pati atau karbohidrat bahan pangan, karena sangat dipengaruhi oleh daya cerna pati dan pati resisten. Karbohidrat tetap dibutuhkan sebagai sumber energi walaupun terdapat lemak yang juga dapat digunakan sebagai sumber energi. Hal ini disebabkan zat yang dapat digunakan oleh tubuh sebagai sumber energi bagi otak dan syaraf adalah glukosa (Almatsier, 2001).
b.Nilai Energi Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 kkal energi per gram, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 kkal per gram. Berdasarkan hasil analisis kimia, nilai energi pada cookies standar adalah 507 kkal per 100 gram, pada cookies bekatul sebesar 517 kkal per 100 gram, pada donat standar adalah 386 kkal per 100 gram, dan pada donat bekatul adalah 419 kkal per 100 gram. Berdasarkan SNI, standar nilai minimum energi pada cookies adalah 400 kkal per 100 gram (bb).
c. Kadar Serat Pangan Serat pangan sangat penting bagi tubuh, karena dapat memberikan pertahanan tubuh terhadap timbulnya berbagai macam penyakit seperti kanker usus besar, penyakit divertikular, penyakit kardiovaskular, penyakit diabetes mellitus, dan obesitas (Muchtadi, 2001). Serat dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu serat larut (Soluble Dietary Fiber) dan serat tidak larut (Insoluble Dietary Fiber). SDF merupakan komponen nonstruktural, sedangkan IDF merupakan bagian dari struktural tanaman. Kadar serat pangan produk dapat dilihat pada Gambar 10.
Serat pangan tidak larut (IDF) adalah serat pangan yang tidak dapat larut dalam air panas atau air dingin (Winarno, 1992). Serat pangan tidak larut berperan penting dalam pencegahan disfungsi alat pencernaan seperti konstipasi, hemoroid, kanker usus besar, dan infeksi usus buntu (Prosky dan Vries, 1992). Komponen yang tergolong ke dalam IDF adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, lilin tanaman, dan senyawa pektat. Berdasarkan hasil analisis, cookies standar memiliki kadar IDF 2.9%, sedangkan cookies bekatul memilki kadar IDF 7.3%, donat standar memiliki kadar IDF 2.9% dan donat bekatul memiliki kadar IDF 7.7%. Serat pangan larut (SDF) adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau air panas dan dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Komponen yang tergolong ke dalam SDF adalah gum, pektin, dan hemiselulosa larut air. Kadar serat terutama serat pangan larut sangat mempengaruhi indeks glikemik. Menurut Chandalia et al. (2000), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik. Serat pangan dapat meningkatkan kontrol glikemik dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat. Berdasarkan hasil analisis, produk pangan yang memiliki total serat tertinggi adalah donat bekatul, yaitu sebesar 14.3%. SDF yang terkandung dalam donat bekatul juga tertinggi yaitu sebesar 6.5%. Total serat cookies bekatul adalah 13.0% dengan kadar SDF 5.7%. Total serat donat standar adalah 4.7% dengan kadar SDF 1.7%. Total serat yang terkandung pada cookies standar adalah 6.0% dengan kadar SDF 3.1%. Serat donat bekatul paling tinggi disebabkan persentase tepung bekatul terhadap adonan pada donat bekatul (18.2%) lebih tinggi dibandingkan persentase tepung bekatul terhadap adonan pada cookies bekatul (14.4%) Salah satu petunjuk Department of Nutrition, Ministry of Health and Institute of Health (1999) menyatakan bahwa makanan
dapat diklaim sebagai makanan sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100 gram. Dengan demikian keempat produk ini dapat diklaim sebagai sumber serat pangan karena mengandung serat pangan 3-6 gram/100 gram, bahkan pada donat bekatul, cookies bekatul dan cookies standar mengandung serat pangan lebih dari 6 gram/100 gram. Menurut Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI (2000), kecukupan serat untuk orang dewasa 20-35 gram per hari atau 10-13 gram serat per 1000 kkal. US FDA juga menganjurkan total serat pangan yang dikonsumsi orang dewasa tiap hari sebesar 25 g per 2000 kalori atau 30 g per 2500 kalori. Informasi kadar serat pangan per takaran saji dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan satu takaran saji (Tabel 18), kebutuhan serat yang dapat dipenuhi dalam satu kali konsumsi cookies standar sebesar 12%,
cookies bekatul sebesar 26%, donat standar sebesar 9.6%, donat bekatul sebesar 28.8%. Dengan mengkonsumsi cookies bekatul dan donat bekatul 100 g per hari berarti kebutuhan serat pangan per hari telah terpenuhi lebih dari 50%.
Tabel 18. Informasi Jumlah Serat Pangan per Takaran Saji Produk
Berat per takaran saji
Jumlah serat pangan
(g)
per takaran saji (g)
Cookies standar
50
3.0 (12)
Cookies bekatul
50
6.5 (26)
Donat standar
50
2.4 (9.6)
Donat bekatul
50
7.2 (28.8)
Keterangan: angka-angka di dalam ( ) adalah % terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) berdasarkan diet 2000 kkal (serat pangan: 25 g)
Gambar 10. Kadar Serat Pangan pada Produk Cookies dan Donat
d.Daya Cerna Pati in vitro Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai indeks glikemik adalah daya cerna pati. Produk yang memiliki daya cerna pati rendah cenderung memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Daya cerna pati rendah berarti kemampuan pati untuk dihidrolisis menjadi gulagula sederhana bersifat rendah sehingga peningkatan kadar glukosa darah akan lebih lambat. Peningkatan kadar glukosa darah yang rendah dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004). Metode pengukuran daya cerna pati dilakukan secara in
vitro (Muchtadi, 1989). Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit maltosa. Jumlah maltosa yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS), dan dihitung melalui kurva standar maltosa. Daya cerna pati produk dihitung sebagai persentase terhadap pati murni (soluble starch). Daya cerna pati produk dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Daya Cerna Pati Produk Berdasarkan hasil analisis, daya cerna pati donat standar paling tinggi, yaitu 64.6%, daya cerna pati donat bekatul yaitu 51.4%. Daya cerna pati cookies standar yaitu sebesar 49.6% dan daya cerna pati cookies bekatul adalah yang paling rendah yaitu sebesar 42.3%. Dari hasil uji T diketahui bahwa daya cerna pati cookies standar dibandingkan dengan cookies bekatul dan donat standar dibandingkan dengan donat bekatul berbeda nyata (Lampiran 14 dan 15). Tingginya daya cerna pati donat dibandingkan cookies dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pati, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistan starch yang terdapat dalam pati. Resistan starch adalah fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Haralampu, 2000). Pati yang mengalami retrogradasi menjadi sulit dicerna karena ikatan antar amilosa menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelum terjadi gelatinisasi. Daya cerna pati pada cookies lebih rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya proses pemanasan. Proses pemanasan akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga
amilosa dan amilopektin keluar dari granula pati. Kerusakan granula menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi pati terpisah dan masuk ke dalam media yang ada. Amilosa akan larut dan sudah tidak dapat dikenali lagi oleh enzim pencernaan sementara amilopektin dapat terurai pula, sehingga penguraian pati tidak sempurna dan daya cernanya pun berkurang. Selain itu zat non pati lainnya yang dapat menyebabkan penurunan daya cerna pati adalah serat. Keberadaan serat pangan dapat menyebabkan penurunan waktu transit pada usus halus sehingga waktu pencernaan lebih cepat.
e. Amilosa Pati merupakan homopolimer glukosa dalam ikatan αglikosidik. Molekul granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati (Lineback dan Inglett, 1982). Pengukuran amilosa dilakukan berdasarkan prinsip iodine-binding. Amilosa akan berikatan dengan iodine pada pH rendah (4.5-4.8) sehingga terbentuk kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Kadar amilosa produk dapat dilihat pada Gambar 14. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α(1,4)D-glukosa,
sedangkan
amilopektin
mempunyai
cabang
yang
mengandung 94-96% ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan 4-6% ikatan α(1,6)-D-glukosa (Winarno, 1992). Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.
Gambar 12. Struktur Amilosa
Gambar 13. Struktur Amilopektin Analisis kadar amilosa dilakukan berdasarkan prinsip
iodine binding, dimana molekul amilosa akan berikatan dengan molekul
iodine
membentuk
warna
biru
yang
dapat
diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm. Pengukuran kadar amilosa terdiri dari dua tahap yaitu pembuatan kurva standar dan penetapan sampel. Persamaan kurva standar yaitu y=ax+b, dimana x menunjukkan konsentrasi amilosa dan y menunjukkan absorbansi. Persamaan kurva standar ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kadar amilosa sampel.
Pati bereaksi dengan iod pada daerah amorfnya. Fraksi amilosa bereaksi dengan iod menghasilkan warna biru, sedangkan amilopektin bereaksi dengan iod memberi warna kemerahan hingga coklat. Reaksi amilosa dengan iod terjadi melalui mekanisme perangkapan iod di dalam heliks amilosa, sedangkan amilopektin tidak memiliki heliks yang cukup untuk melakukan hal yang sama (Pomeranz dan Meloan, 1994). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kadar amilosa produk cookies standar sebesar 9.5%, cookies bekatul sebesar 16.4%, donat standar sebesar 5.5%, donat bekatul 12.9%. Dari hasil uji T diketahui bahwa kadar amilosa cookies standar dibandingkan dengan
cookies bekatul dan donat standar dibandingkan dengan donat bekatul berbeda nyata (Lampiran 16 dan 17). Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International Rice Research Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan menjadi tiga, yaitu amilosa rendah (<20%), amilosa sedang (20-25%) dan amilosa tinggi (>25%). Berdasarkan penggolongan tersebut, maka keempat produk tergolong pangan beramilosa rendah. Kadar amilosa yang rendah dapat disebabkan adanya lipid pada produk yang dapat membentuk kompleks dengan amilosa dan membentuk heliks pada saat gelatinisasi. Kompleks lipid dan amilosa akan mengakibatkan terhambatnya reaksi amilosa dengan iod. Hal ini akan menurunkan intensitas warna biru yang terbentuk dan pada akhirnya akan menurunkan kadar amilosa produk. Selain itu, sebagian pati dari keempat produk sudah mengalami retrogradasi pati. Selama retrogradasi pati terbentuk daerah kristalin. Bila pada granula pati daerah kristalin terutama terdiri dari molekul amilopektin, pada pati yang mengalami retrogradasi daerah kristalin pati dibentuk terutama oleh molekul amilosa. Apabila terjadi retrogradasi pati maka terbentuk daerah kristalin yang tidak dapat bereaksi dengan iod, sehingga akan menurunkan kadar amilosa produk.
Gambar 14. Histogram Amilosa Produk
3. Indeks Glikemik Metode yang digunakan untuk mengukur IG sebenarnya sangat beragam. Metode analisis IG yang dilakukan pada penelitian ini adalah menurut El (1999). Pengujian IG dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai subjek penelitian (in vivo). Manusia merupakan subjek yang umum digunakan dalam penelitian IG, karena metabolisme manusia sangat rumit sehingga sulit untuk ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004). Produk yang diberikan kepada panelis dalam pengujian IG setara dengan 50 gram karbohidrat total (El, 1999). Kadar karbohidrat
cookies standar sebesar 68.1% (bb) sehingga untuk mendapatkan 50 gram karbohidrat panelis harus mengonsumsi produk sebanyak 73 gram. Kadar karbohidrat cookies bekatul sebesar 57.5% (bb), berarti 50 gram karbohidrat setara dengan 87 gram produk. Kadar karbohidrat donat standar sebesar 41.6% (bb), berarti 50 gram karbohidrat setara dengan 120 gram produk. Kadar karbohidrat donat bekatul sebesar 42.0% (bb), berarti 50 gram karbohidrat setara dengan 119 gram produk. Menurut Marsono (2002), perhitungan IG dilakukan
berdasarkan perbandingan luas kurva kenaikan gula darah setelah makan formula dan standar (glukosa). Pengujian IG standar dan formula dilakukan pada hari yang berbeda. Pangan diujikan pada sepuluh relawan yang memiliki indeks massa tubuh yang normal. Indeks massa tubuh (IMT) adalah suatu besaran yang menggambarkan suatu kondisi umum tubuh berdasarkan perbandingan berat dan tinggi badan (Ogden, 2003). Kisaran IMT normal adalah 18.5-24.9. Seleksi panelis dilakukan pada saat uji IG awal, yaitu pada saat pengujian standar glukosa. Seleksi bertujuan untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar panelis. Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar glukosa darah antar panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena (Ragnhild et al., 2004). Glukosa yang terdapat dalam darah akan bereaksi dengan enzim glucose
oxydase (GOD) dan potassium ferricyanide yang terdapat dalam test strip menghasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah potassium
ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam sampel (Arkray, 2001). Hasil respon gula darah standar dan sampel kemudian ditebar pada sumbu X dan sumbu Y dalam bentuk kurva scatter dengan menggunakan software Microsoft Excel. Contoh kurva hasil pengukuran respon kadar gula darah rata-rata dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Kurva perubahan kadar glukosa darah rata-rata setelah mengkonsumsi cookies dan donat dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
Gambar 15. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel (Donat) Rata-rata
Gambar 16. Kurva Respon Kadar Gula Darah Glukosa dan Sampel (Cookies) Rata-rata
Gambar 17. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-rata Setelah Konsumsi Cookies
Gambar 18. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-rata Setelah Konsumsi Donat Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 10 dan 11), IG
cookies standar sebesar 67±7, IG cookies bekatul sebesar 31±5, IG donat standar sebesar 72±6, dan IG donat bekatul sebesar 39±7. Berdasarkan hasil uji perbandingan dua sampel dengan T-test diketahui bahwa IG cookies bekatul dibandingkan dengan cookies
standar dan IG donat standar dibandingkan dengan donat bekatul berbeda nyata (Lampiran 18 dan 19). Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG adalah sebagai berikut: (1) bahan pangan dengan IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan IG sedang (55-69), dan (3) bahan pangan dengan IG tinggi (>70) (Foster-Powell et al., 2002). Berdasarkan klasifikasi tersebut, cookies standar digolongkan ke dalam pangan yang memiliki IG sedang, donat standar digolongkan ke dalam pangan yang memiliki IG tinggi, sedangkan cookies dan donat bekatul digolongkan ke dalam pangan IG rendah. Konsumsi pangan yang memiliki IG rendah dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004). Dengan demikian, cookies dan donat bekatul dapat diaplikasikan sebagai pangan alternatif untuk tujuan diet. Hasil IG sepuluh panelis dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Indeks Glikemik Panelis
IG Cookies
Cookies
Donat
Donat
Standar
Bekatul
Standar
Bekatul
1
67
31
73
32
2
78
37
80
42
3
71
23
74
43
4
79
30
83
43
5
63
23
66
25
6
56
35
62
39
7
58
28
69
38
8
67
33
70
40
9
67
38
74
50
10
68
35
69
39
Rata-rata
67±7 b
31±5 a
72±6 b
39±7 a
Faktor-faktor yang mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dengan protein, jumlah dan
jenis asam lemak, kadar serat pangan, cara pengolahan, anti-gizi pangan, dan bentuk fisik dari bahan pangan (Ragnhild et al., 2004). IG
cookies dan donat bekatul lebih rendah daripada cookies dan donat standar. Hal ini disebabkan oleh kadar amilosa, serat pangan larut, dan total serat pangan cookies dan donat bekatul yang lebih tinggi daripada
cookies dan donat standar. Faktor-faktor yang mempengaruhi turunnya nilai Indeks Glikemik Cookies bekatul dan donat bekatul diberikan pada Tabel 20. Hasil penelitian menunjukkan daya cerna pati cookies standar sebesar 49.6%, daya cerna pati cookies bekatul sebesar 42.3%, daya cerna pati donat standar sebesar 64.6%, dan daya cerna pati donat bekatul sebesar 51.4%. Daya cerna pati cookies bekatul dan donat bekatul yang lebih rendah daripada standar berarti hanya sedikit jumlah pati yang dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa dan maltosa dalam waktu tertentu. Dengan demikian kadar gula di dalam darah tidak mengalami kenaikan secara
drastis
sesaat
setelah
makanan
tersebut
dicerna
dan
dimetabolisme oleh tubuh. Peningkatan kadar gula darah yang cepat dapat mendorong pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak, sehingga meningkatkan respon insulin (Ostman et al., 2001). Oleh karena itu, pangan yang memiliki daya cerna pati rendah, indeks glikemiknya cenderung rendah. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh total serat pangan
cookies standar sebesar 6.0% (bb), cookies bekatul sebesar 13.0% (bb), donat standar sebesar 4.7% (bb), donat bekatul sebesar 14.3% (bb). Serat pangan larut cookies standar sebesar 3.1% (bb), cookies bekatul sebesar 5.7% (bb), donat standar sebesar 1.8% (bb), donat bekatul sebesar 6.5% (bb) (Gambar 10). Keberadaan serat pangan memberikan pengaruh pada kadar gula darah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju makanan pada saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004)
Tabel 20. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai IG Faktor-faktor
Produk Cookies
Cookies
Donat
Donat
standar
bekatul
standar
bekatul
Lemak (%bb)
23.5
28.5
20.5
22.8
Protein (%bb)
5.8
7.7
8.8
11.3
Serat Pangan (%)
6.0
13.0
4.7
14.3
Daya Cerna Pati
49.6
42.3
64.6
51.4
(%) Kadar lemak cookies standar sebesar 23.5% (bb), cookies bekatul sebesar 28.5% (bb), donat standar sebesar 20.5% (bb), donat bekatul sebesar 22.8% (bb) (Tabel 16 dan 17). Pangan yang mengandung lemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Namun pangan berlemak tinggi, apapun jenisnya dan walaupun memiliki nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara bijaksana. Kadar amilosa cookies standar dan donat standar lebih rendah dibandingkan cookies bekatul dan donat bekatul. Kadar amilosa
cookies standar sebesar 9.5%, cookies bekatul sebesar 15.9%, donat standar sebesar 5.6%, dan donat bekatul sebesar 12.9%. Kandungan amilosa yang lebih tinggi akan menyebabkan pencernaan terjadi lebih lambat karena amilosa merupakan polimer gula sederhana yang memiliki struktur tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan
akibatnya sulit dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004). Walaupun kadar amilosa cookies bekatul dan donat bekatul lebih tinggi dibandingkan cookies standar dan donat standar, kedua produk tersebut digolongkan ke dalam produk yang berkadar amilosa rendah (<20%), sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai indeks glikemiknya. Aplikasi
produk
pangan
untuk
tujuan
diet
harus
mempertimbangkan beban glikemik produk. Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah. Berdasarkan Tabel 21, beban glikemik cookies standar (23) dan donat standar (15) lebih tinggi dibandingkan cookies bekatul (8) dan donat bekatul (8). Hal ini menunjukkan bahwa cookies standar dan donat standar memiliki pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan kadar glukosa darah berdasarkan konsumsi pangan aktual. Cookies bekatul dan donat bekatul dapat digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah.
Tabel 21. Beban Glikemik Produk Produk
IG
Jumlah
KH per
Beban
Takaran Saji
takaran saji (g)
Glikemik
(g) Cookies
67
50
34.03
23
31
50
28.72
8
Donat standar
72
50
20.76
15
Donat bekatul
39
50
21.03
8
standar Cookies bekatul
Keterangan: BG = IG X karbohidrat per takaran saji 100 Klasifikasi BG: rendah (<10); sedang (11-19); tinggi (>20)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari penelitian diketahui tepung bekatul memiliki sifat fisikokimia yang baik. Dari hasil uji organoleptik, terpilih cookies bekatul dengan formula tepung bekatul 40% dari total tepung dan donat bekatul dengan formula tepung bekatul 35% dari total tepung.
Cookies dan donat bekatul memiliki kadar serat pangan yang tinggi sehingga dapat diklaim sebagai pangan fungsional sumber serat. Nilai IG
cookies standar sebesar 67±7, cookies bekatul sebesar 31±5, donat standar sebesar 72±6, dan donat bekatul sebesar 39±7. Dengan nilai IG tersebut
cookies dan donat bekatul digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah (<55), sehingga dapat diklaim sebagai pangan fungsional antidiabetes.
B. Saran Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah: 1.
Perlu dilakukan perbaikan formula sehingga semua syarat mutu SNI dapat dipenuhi.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menduga umur simpan produk
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang membandingkan produk dari bekatul segar dengan produk dari bekatul olahan
DAFTAR PUSTAKA
Ainah, N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anwar, F., B. Setiawan dan A. Sulaeman. 1993. Studi Karakteristik Fisiko Kimia Dan Fungsional Pati dan Tepung Ubi Jalar serta Pemanfaatannya dalam Rangka Diversifikasi Pangan. PAU, Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Arkray, Inc. 2001. Instruction Manual for Glucometer. Arkray Corp. Kyoto. Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476-482. Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Di dalam: http://www.kompas.co.id Astawan dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan Penelitian RUSNAS, Bogor. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI No. 012973-1992). Badan standardisasi Nasional, Jakarta. Berenbaum, R. L. 2003. The Bread Bible. W. W. Norton and Company, New York. Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Starch and Its Determination. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. Pp 232-247. Brand-Miller, J. 2000. Carbohydrates. Di dalam: Mann, J. dan A.S. Truswell (Eds). Essentials of Human Nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press, Oxford, pp. 231-255.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh: H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Champagne, E. T., D. F. Wood, B. O. Juliano, dan D. B. Bechtel. 2004. The Rice Grain and Its Gross Composition. In: Champagne, E. T. (Ed). Rice: Chemistry and Technology 3rd Edition. American Association of Cereal Chemists Inc., Minnesota. Chandalia, M., A. Garg, D. Lutjohann, K. Bergmann, S.M. Grundy, dan L.J. Brinkley. 2000. Beneficial Effects of High Dietary Fiber Intake in patients eith Type 2 Diabetes Mellitus. http://content.nejm.org/cgi/content/full/342/19/1392. [20 November 2007] Ciptadi, W dan Z. Nasution. 1979. Dedak Padi dan Manfaatnya. Dep. THP. Fatemeta IPB, Bogor. Clydesdale, F. M. 1999. ILSI North America Food Component Reports. Crit. Rev. food Sci. nutr. 39 (3): 203-316.
Committee on Opportunities and Food Sciences, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1994. Opportunities in the Nutrition and Food Sciences: Research Challenges and the Next Generation of Investigators. National Academy Press, Washington, DC. Damardjati, D. S. 1988. Evaluation of rice quality characteristics preferred by Indonesian urban consumers. Prac of The Twelfth ASEAN seminar on Grain Postharvest Technology In Grain Postharvest Research and Development Priority for The Nineties. Surabaya 29-31 Agustus 1988. Damardjati. 2003. Penelitian dan Potensi Bahan serta Produk untuk Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Seminar. Seminar Keseimbangan Flora Usus bagi Kesehatan dan Kebugaran, Bogor. deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Departemen Pertanian. 2007. Pertumbuhan http://deptan.go.id. [28 Desember 2007]
Produksi
Beras
Nasional.
Direktorat Gizi Masyarakat. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi, 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 1992. Standardisasi Nasional Indonesia. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
El, S.N. 1999. Determination of Glycemic Index for Some Breads. Journal of Food Chemistry. 67:67-69 Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice. 2nd Ed. CRC Press, England. Foster-Powell, K., S. H. A. Holt dan J. C. Brand-Miller. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values. Am. J. Clin. Nutr. 76: 556. Frei, M. P. Siddhuraju, dan K. Becker. 2003. Studies on the In Vitro Starch Digestibility and The Glycemic Index of Six Different Indigenous Rice Cultivars from The Philippines. Journal of Food Chemistry. 83: 395-402. Goldberg, I. 1994. Functional Food. Designer Foods, Pharmafoods Nutraceuticals Disease. Chapman Hall, New York. Grist, D. H. 1975. Rice. 4th Edition. Lowe and Brydine. Ltd. London. Haralampu, S. G. 2000. Resistant Starch: a review of the physical properties and biological import of RS3. Journal of Carbohydrate Polymers. 41: 285-292. Hartono. 1993. Bagaimana Kita Membuat Roti, Bolu, Cake Taart, dan Kue. Depot Informasi Obat, Jakarta. Houston, D. F. 1975. Rice Bran and Polish. Di dalam Houston, D. F. (ed). Rice: Chemistry and Technology. The American Association of Cereal Chemistry Inc, St. Paul, Minessota. IFIC Foundation. 1998. Backgrounder. Functional Foods. International Food Information Council Foundation, Washington DC. Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagitifolium) dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Jones, J.M. 2002. Contradiction and Challenges: A Look at Glycemic Index Wheat Food Council, Colorado. Juliano, B. O., 1971. The Rice Caryosis and Its Composition, Di dalam Houston, D. F. (ed.). Rice: Chemistry and Technology. The American Association of Cereal Chemists, St. Paul. Minnesota. Juliano, B. O. dan D. B. Betchel. 1985. Tha Rice Bran and Its Gross Composition. Di dalam Juliano, B. O. (ed). Rice: Chemistry and Technology. 2nd Ed. The American Association of Cereal Chemistry Inc, St. Paul, Minessota.
Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan perilaku fisik bahan pangan lokal: Kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan dan bobot jenis. Media Peternakan Vol. 22 No. 1: 1-11. Khutschevar, L. H. 1975. Standard Principles and Techniques in Quantity Food Production A Devition of Corner Publ. Co. Inc., Boston, Massachusets. Lineback, D. R. dan G. E. Inglett. 1982. Food Carbohydrate. AVI Publishing. Co., Westport, Connecticut. Ludwig, D. S. 2000. Dietary Glycemic Index and Obesity. J. of Nutrition. 130 (2): 280s-282s. Luh, B. S. 1980. Rice, Production and Utilization. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Luh, B. S. 1991. Rice Production and Utilization 4th ed. The AVI Publishing, Co., Westport, Connecticut. Manley, D. J. R. 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Ellis Horwood Limited, Chicester. Marsono, Y. P. Wiyono dan Z. Noor. 2002. Indeks Glikemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13 (3):2002. Matz, S. A. 1978. Bakery Technology and Engineering. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Matz, S. A. 1982. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas. Meyer, L. H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West PVT. Ltd., New Delhi. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Muchtadi, D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 12:61-71. Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Muchtadi, D.. Dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Mulyandari, SH. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-sifat Pati Umbi-umbian dan Pati Biji-bijian. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Nosoh, Y dan T. Sekiguchi. 1991. Protein Stability and Stabilization Through Protein Engineering. Ellis Horwood Limited, England. Ogden, J. 2003. The Psychology of Eating, Healthy to Disordered Behaviour. Blackwell Publication, Cornwall. Ostman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME. 2001. Inconsystency between glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk products. Am. J. Nutr. 74 (1): 96-100. Pablo, I. S. J. R. Camday, E. S. Rivera dan M. C. Linguangco. 1981. Pilot Production of Protein Concentrate from Rice Bran. NSDB Technology J. p. 55. Pomeranz, Y., dan Meloan. 1994. Food Analysis, Theory and Practice. Chapman and Hall, New York. Prosky, L., J. W. de Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Products. Van Nostrand Reinhold, New York. Ragnhild, A. L., N. L. Asp, M. Axelsen, dan A. Raben. 2004. Glycemic Index Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional Labelling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2): 84-94. Rashmi, S. dan A. Urooj. 2003. Effects of Processing on Nutrionally important starch fractions in rice varieties. International Journal of Food Sciences and Nutrition. 54, 27-36. Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta. Sardesai, V. M. 2003. Introduction to Clinical Nutrition, 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York. Sayre R. N. , Saunders R. M., Enochian R. V., Schultz, W. G. 1982. Cereal Foods World. 27:317. Shafer, M. A. Dan M. E. Zabik. 1978. Dietary Sources for Baked Products. J. of Food Science 43: 68. Sharma, R. D., dan Rukmini, C. 1986. Rice bran oil and hypocholesterolemic in rats. Lipids 21: 715-717. Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Soemardi. 1975. Pendayagunaan Dedak Seminar Teknologi Pangan II. BPK. Bogor. Somaatmadja, D. A. T. 1981. Pemanfaatan limbah industri pertanian. Di dalam Laporan Seminar Akademik Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian di Bogor. Imalosita, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subarna. 1996. Formulasi Produk-produk Serealia dan Umbi-umbian Untuk Produk Ekstruksi, Bakery dan Penggorengan. Makalah. Pelatihan produkproduk ekstrusi, bakery dan frying. Jakarta. Sultan, W. J. 1983. Modern Pastry Chef. Vol 1 The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Tharanthan, R. N. dan S. Mahadevam. 2003. Grain Legumes A Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol 14 (12):507-518. Tjokroprawiro, A. 2003. Diabetes Melitus: Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Truswell, AS. 1992. Glycemix Index of Food. Eur. J. clin. Nutr. 46(2):91-101. U. S. Wheat Association. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan. Jakarta. Wardlaw, G. M. 1999. Perspective in Nutrition. Mc-graw Hill, Boston. Whiteley, P. R. 1971. Biscuit Manufacture: Fundamentals of In-Line Production. Applied Science Publishers, Ltd, London. Willett, W., Manson, J. and Liu. S. 2002. Glycemic Index, Glycemic Load and Risk of Type 2 Diabetes. Am. J. Clin. Nutr. 76(1): 2748-2808. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Bekatul No. Jenis Analisis Ulangan 1 Ulangan 2 1. Densitas kamba (g/ml) 0.32 0.34 2. Densitas padat (g/ml) 0.43 0.426 3. Kelarutan dalam air (%) 11.49 11.14 4*. Suhu gelatinisasi (°C) Waktu gelatinisasi (menit) Suhu gelatinisasi puncak (°C) Waktu gelatinisasi puncak (menit) Viskositas (BU) 5. Warna: L 51.71 51.73 a +4.05 +4.00 b +6.99 +6.97 h° (hue) 60.0 60.2 6. aw 0.493 0.493 Suhu (°C) 30.4 30.3 7. Kadar air (%bb) 7.40 7.46 8. Kadar abu (%bb) 9.18 9.16 9. Kadar protein (%bb) 12.72 12.59 10. Kadar lemak (%bb) 10.89 10.77 11. Kadar karbohidrat (%bb) 59.81 60.02 Keterangan: *=tidak teridentifikasi
Rataan 0.33 0.428 11.32 51.72 +4.03 +6.98 60.1 0.493 30.35 7.43 9.17 12.66 10.83 59.92
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf Tepung Bekatul
Ulangan 1
Ulangan 2
Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik FORM UJI HEDONIK PRODUK NAMA PANELIS
: :
TELP : KUESIONER 1. Apakah anda pernah mengkonsumsi produk ini? Pernah (lanjutkan ke nomor 2) / tidak pernah (jangan lanjutkan). 2. Kapan anda terakhir mengkonsumsi produk ini? 1/ 2-3/ >3 bulan yang lalu 3. Apakah anda menyukai produk ini? Ya/tidak UJI RATING Instruksi: 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Pada kolom respon berikan penilaian anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (v) 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. JANGAN MEMBANDINGKAN TINGKAT KESUKAAN ANTAR SAMPEL. Kode sampel Respon
372
374
799
486
Sangat suka Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka UJI RANKING Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel 3. BANDINGKANLAH tingkat kesukaan anda terhadap setiap sampel. 4. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan anda, jangan ada ranking yang sama. Kode sampel Urutan ranking Note
372
374
: Urutan ranking (1-4) Ranking 1 (untuk sampel yang paling anda sukai) Ranking 4 (untuk sampel yang paling tidak anda sukai)
799
486
Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Cookies Bekatul Panelis Hedonik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah Rata2
F1
F2
F3
F4
F5
4 3 3 3 4 3 4 2 4 3 3 4 2 3 3 2 3 4 3 3 3 3 4 2 3 2 2 2 2 2 88 2.93
3 3 3 3 3 3 3 3 4 2 2 2 3 2 3 2 3 3 4 4 3 3 2 3 4 2 2 2 2 3 84 2.8
3 2 3 4 2 3 4 3 4 3 2 3 2 4 3 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2 3 2 82 2.73
3 2 3 3 3 2 3 2 4 3 2 3 3 3 3 2 2 3 3 4 3 3 2 1 3 2 1 2 4 3 80 2.67
1 2 1 2 2 1 2 1 2 3 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 1 3 2 1 2 3 3 61 2.03
F1
Ranking F2
F3
F4
F5
1 2 1 3 1 3 1 4 1 4 1 1 3 2 1 1 1 1 2 3 2 1 1 2 2 1 2 3 5 4
3 1 2 2 3 2 4 1 2 5 2 4 1 4 2 3 2 2 1 1 1 2 3 1 1 2 1 2 4 3
2 3 3 1 4 1 2 2 3 2 3 2 4 1 3 2 3 3 4 4 3 3 2 3 3 3 3 1 3 5
4 5 4 4 2 4 3 3 4 1 4 3 2 3 4 4 5 4 3 2 4 4 4 5 4 4 5 4 1 2
5 4 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 2 1
60 2
67 2.23
81 2.7
105 3.5
137 4.57
Keterangan: Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 4; F5 = Formula 5 Uji hedonik: 5 = sangat suka; 4 = suka; 3 = netral; 2 = tidak suka; 1 = sangat tidak suka Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 5 = produk yang paling tidak disukai
Lampiran 5. Hasil Penilaian Organoleptik Donat Bekatul Panelis Hedonik F1 F2 F3 F4 F1 4 3 2 2 1 1 3 3 2 2 1 2 3 3 3 3 1 3 3 3 4 3 4 4 4 3 2 3 1 5 3 3 3 2 1 6 1 1 1 1 4 7 2 3 3 2 1 8 4 4 4 4 1 9 3 2 3 3 2 10 3 2 2 2 1 11 4 2 3 4 2 12 2 3 2 3 3 13 3 2 4 3 2 14 2 1 1 1 1 15 2 2 2 2 1 16 3 3 2 2 1 17 4 3 3 3 1 18 3 4 3 3 4 19 3 4 3 4 4 20 3 3 3 3 1 21 3 3 3 3 4 22 4 2 2 2 1 23 3 2 3 2 2 24 1 1 1 1 4 25 2 1 1 1 1 26 2 2 2 1 1 27 2 2 2 2 4 28 2 2 3 4 4 29 2 3 2 3 3 30 83 75 74 74 62 Jumlah 2.77 2.50 2.47 2.47 2.07 Rata-rata
Ranking F2 F3 2 3 2 3 2 3 3 1 3 4 2 3 3 2 4 3 2 3 4 1 2 4 4 3 1 4 4 1 2 3 2 3 2 3 2 3 1 3 2 3 2 3 3 2 2 3 4 1 3 2 2 3 2 3 3 1 3 2 1 4 74 80 2.47 2.67
F4 4 4 4 2 2 4 1 2 4 3 3 1 2 3 4 4 4 4 2 1 4 1 4 3 1 4 4 2 1 2 84 2.80
Keterangan: Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4 Uji hedonik: 5 = sangat suka; 4 = suka; 3 = netral; 2 = tidak suka; 1 = sangat tidak suka Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 4 = produk yang paling tidak disukai
Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Cookies Bekatul 1. Rating Test of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source
Type III Sum of Squares
Model
Mean Square
F
Sig.
1088.867(a)
34
32.025
97.420
.000
34.033
29
1.174
3.570
.000
14.667
4
3.667
11.154
.000
38.133
116
.329
1127.000
150
PANELIS SAMPEL Error Total
a.
df
R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .956)
Hasil Uji Duncan ` Duncan SAMPEL
SKOR N
Subset 1
5
30
4
30
3
30
2
30
1
30
2 2.03 2.67 2.73 2.80 2.93
Sig.
1.000
.103
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .329. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
2. Ranking Ranks RANK_A RANK_B RANK_C RANK_D RANK_E
Mean Rank 2.00 2.23 2.70 3.50 4.57
Test Statistics (a)
N Chi-Square df
30 52.587 4
Asymp. Sig.
.000
Lampiran 7. Hasil Analisis Statistik Uji Hedonik Donat Bekatul 2. Rating Test of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source
Type III Sum of Squares
Model
Mean Square
F
Sig.
834.075(a)
33
25.275
76.022
.000
77.242
29
2.664
8.011
.000
1.825
3
.608
1.830
.148
28.925
87
.332
863.000
120
PANELIS SAMPEL Error Total
b.
df
R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .956
Hasil Uji Duncan ` Duncan SAMPEL
SKOR N
Subset 1
4
30
3
30
2
30
1
30
2.40 2.40 2.53 2.70
Sig.
.068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .332 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
2. Ranking Ranks RANK_A RANK_B RANK_C RANK_D
Mean Rank 2.07 2.47 2.67 2.80
Test Statistics (a)
N Chi-Square
30 5.520
df Asymp. Sig.
3 .137
Lampiran 8. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Cookies Cookies standar
Jenis Analisis
Cookies bekatul
1
2
Rataan
1
2
Rataan
Rendemen (%) Kekerasan (gf)
86.22 979.0
85.78 830.6
86.00 904.8
88.67 1023.4
89.92 988.3
89.30 1005.85
Air (%bb) Abu (%bb) Protein (%bb)
1.55 1.16 6.29
1.36 1.17 6.59
1.46 1.17 5.77
3.34 2.61 6.11
3.34 3.46 6.10
3.34 3.04 7.70
Lemak (%bb) Karbohidrat (%bb) Daya cerna pati (%) Amilosa (%) Total serat pangan (%bb) Serat pangan larut (%bb) Serat pangan tak larut (%bb)
23.52 67.90
23.57 68.23
23.55 68.06
28.31 58.09
28.65 56.80
28.48 57.44
48.64
50.45
49.55
41.36
43.18
42.27
9.42 6.03
9.52 5.99
9.47 6.01
16.54 13.02
15.32 12.99
15.93 13.00
3.06
3.14
3.10
5.58
5.90
5.74
2.98
2.85
2.91
7.44
7.09
7.26
Lampiran 9. Hasil Analisis Sifat Fisik dan Kimia Donat Jenis Analisis 1
Donat standar 2 Rataan
1
Donat bekatul 2 Rataan
Rendemen (%) Kekerasan (gf)
98.24 2432
98.89 2520
98.57 2476
99.23 2912
99.41 2856
99.32 2884
Air (%bb) Abu (%bb) Protein (%bb)
27.11 1.08 8.79
29.06 1.10 8.81
28.09 1.09 8.80
21.01 3.05 11.26
20.61 3.02 11.34
20.81 3.04 11.3
Lemak (%bb) Karbohidrat (%bb) Daya cerna pati (%) Amilosa (%) Total serat pangan (%bb) Serat pangan larut (%bb) Serat pangan tak larut (%bb)
20.72 42.30
20.17 40.86
20.45 41.58
22.89 41.79
22.72 42.31
22.81 42.05
63.18
65.91
64.55
53.18
49.55
51.37
5.54 4.77
5.36 4.68
5.45 4.73
12.98 14.35
12.75 14.19
12.87 14.27
1.67
1.90
1.79
6.57
6.52
6.54
3.09
2.77
2.94
7.78
7.67
7.73
Lampiran 10. Rekapitulasi Indeks Glikemik Cookies Standar dan Cookies Bekatul Glukosa Waktu 0 88 90 75 83 86 87 88 81 87
30 128 137 123 137 127 127 129 135 131
60 112 132 108 104 132 114 112 131 119
90 112 74 84 86 112 123 115 110 90
120 94 99 94 73 102 94 90 97 85
Luas
0
Cookies Standar Waktu 30 60 90 120
2730 2523 2985 2329 3615 3195 2790 4230 2352
85 84 84 84 87 82 85 82 87
109 113 102 98 110 101 104 115 111
101 102 108 101 112 107 97 117 109
98 92 105 101 107 90 99 103 92
100 105 99 110 103 97 102 94 90
1815 1965 2115 1830 2280 1785 1605 2850 1575
67 78 71 79 63 56 58 67 67
85
138
125
115
115
4140
83
117
119
101
95
2820
68 6 7±7
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Luas
Indeks Glikemik
Indeks Glikemik Total
Glukosa Waktu 0 88
30 128
60 112
90 112
120 94
Luas
0
Cookies Bekatul Waktu 30 60 90 120
2730
88
108
81
85
90 75 83
137 123 137
132 108 104
74 84 86
99 94 73
2523 2985 2329
89 89 84
95 95 96
97 95 94
100 95 82
86 87 88 81
127 127 129 135
132 114 112 131
112 123 115 110
102 94 90 97
3615 3195 2790 4230
82 86 81 84
93 99 93 98
95 97 92 94
87 85
131 138
119 125
90 115
85 115
2352 4140
87 85
101 100
97 98
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Indeks Glikemik Total
Luas
Indeks Glikemik
112
842
31
101 99 90
930 690 702.5
37 23 30
84 100 82 100
85 84 85 97
825 1114 780 1395
23 35 28 33
90 99
92 96
885 1455
38 35 3 1±5
93
Lampiran 11. Rekapitulasi Indeks Glikemik Donat Standar dan Donat Bekatul
Glukosa Panelis
Donat Standar
Waktu
Waktu Luas
Luas
Indeks Glikemik
1
0 88
30 128
60 112
90 112
120 94
2730
0 86
30 120
60 103
90 93
120 103
1995
73
2 3 4 5 6 7 8 9 10
90 75 83 86 87 88 81 87 85
137 123 137 127 127 129 135 131 138
132 108 104 132 114 112 131 119 125
74 84 86 112 123 115 110 90 115
99 94 73 102 94 90 97 85 115
2523 2985 2329 3615 3195 2790 4230 2352 4140
88 88 82 85 83 80 78 81 84
127 122 103 113 105 99 113 101 121
113 110 89 110 108 97 108 96 114
90 101 116 102 95 101 103 99 105
91 98 88 104 97 95 97 91 99
2025 2220 1950 2385 1980 1935 2985 1740 2865
80 74 83 66 62 69 70.5 74 69 72±6
Indeks Glikemik Total Glukosa Panelis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Donat Bekatul
Waktu 0 88 90 75 83 86 87 88 81 87 85
30 128 137 123 137 127 127 129 135 131 138
60 112 132 108 104 132 114 112 131 119 125
Waktu 90 112 74 84 86 112 123 115 110 90 115
120 94 99 94 73 102 94 90 97 85 115
Luas 2730 2523 2985 2329 3615 3195 2790 4230 2352 4140
0 83 84 75 75 81 85 83 80 84 82
30 97 100 92 84 95 103 99 100 104 101
Indeks Glikemik Total
60 94 95 85 76 91 99 91 95 95 100
90 85 91 87 91 85 90 93 97 91 92
120 87 87 82 89 86 93 85 89 87 95
Luas 870 1065 1275 990 915 1230 1050 1695 1185 1605
Indeks Glikemik 32 42 43 42.5 25 38.5 38 40 50 39 39±7
94
Lampiran 12. Hasil Uji T-test Kekerasan Cookies Standar dan Cookies Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
CS
Mean 904.8000
CB
1052.5400
3
Std. Deviation 74.20000
Std. Error Mean 42.83939
3
27.04000
15.61155
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
CS & CB
Correlation 3
Sig.
1.000
.000 Paired Samples Test
Paired Differences
Mean
Pair 1
C S C B
-147.7400
Std. Deviation
47.16000
Std. Error Mean
27.22784
t
Sig. (2tailed)
df
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
264.891 9
30.58 81
-5.426
2
.032
95
Lampiran 13. Hasil Uji T-test Kekerasan Donat Standar dan Donat Bekatul Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
DS
2476.0000
3
44.00000
25.40341
DB
2884.0000
3
28.00000
16.16581
Paired Samples Correlations N Pair 1
DS & DB
Correlation 3
-1.000
Sig. .000 Paired Samples Test
Paired Differences
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
t 95% Confidence Interval of the Difference Lower
P air 1
DS DB
408.0000
72.00000
41.56922
Sig. (2tailed)
df
-586.8579
Upper 229.1421
-9.815
2
.010
96
Lampiran 14. Hasil Uji T-test Daya Cerna Pati Cookies Standar dan Cookies Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
CS
Mean 49.5467
CB
42.2700
3
Std. Deviation .90500
Std. Error Mean .52250
3
.91000
.52539
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
CS & CB
Correlation 3
Sig.
1.000
.002 Paired Samples Test
Paired Differences
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
t
2
.000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Pair 1
df
Sig. (2taile d)
Upper
C S C B
7.2767
.00577
.00333
7.2623
7.2910
2183.000
97
Lampiran 15. Hasil Uji T-test Daya Cerna Pati Donat Standar dan Donat Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
DS
Mean 64.5467
DB
51.3667
3
Std. Deviation 1.36500
Std. Error Mean .78808
3
1.81500
1.04789
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
DS & DB
Correlation 3
-1.000
Sig. .002 Paired Samples Test
Mean
Paired Differences Std. Error 95% Confidence Interval Std. Deviation Mean of the Difference Lower
Pair 1
DS - DB
13.1800
3.18000
1.83597
5.2804
t
Sig. (2tailed)
df
Upper 21.0796
7.1 79
2
.019
98
Lampiran 16. Hasil Uji T-test Kadar Amilosa Cookies Standar dan Cookies Bekatul Samples Statistics
Pair 1
CS
Mean 9.4700
CB
15.9300
3
Std. Deviation .05000
Std. Error Mean .02887
3
.61000
.35218
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
CS & CB
Correlation 3
Sig.
-1.000
.000 Paired Samples Test
Mean
Paired Differences Std. Error 95% Confidence Interval Std. Deviation Mean of the Difference Lower
Pair 1
CS CB
-6.4600
.66000
.38105
-8.0995
t
Sig. (2tailed)
df
Upper -4.8205
-16.953
2
.003
99
Lampiran 17. Hasil Uji T-test Kadar Amilosa Donat Standar dan Donat Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
DS
Mean 5.4500
DB
12.8667
3
Std. Deviation .09000
Std. Error Mean .05196
3
.11504
.06642
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
DS & DB
Correlation 3
1.000
Sig. .016 Paired Samples Test
Mean
Paired Differences Std. Error 95% Confidence Interval Std. Deviation Mean of the Difference Lower
Pair 1
DS - DB
-7.4167
.02517
.01453
-7.4792
t
Sig. (2tailed)
df
Upper -7.3542
-510.450
2
100
.000
Lampiran 18. Hasil Uji T-test Indeks Glikemik Cookies Standar dan Cookies Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
CS
Mean 67.4000
CB
31.3000
10
Std. Deviation 7.44162
Std. Error Mean 2.35325
10
5.35516
1.69345
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
CS & CB
Correlation 10
.111
Sig. .760 Paired Samples Test
Paired Differences
Mean
Pair 1
CS CB
36.1000
Std. Deviation
8.67243
Std. Error Mean
2.74246
t 95% Confidence Interval of the Difference Up Lower per 42. 29.8961 30 39
13.163
Sig. (2tailed)
df
9
.000
101
Lampiran 19. Hasil Uji T-test Indeks Glikemik Donat Standar dan Donat Bekatul Paired Samples Statistics
Pair 1
DS
Mean 72.0000
DB
39.1000
10
Std. Deviation 6.25389
Std. Error Mean 1.97765
10
6.74043
2.13151
N
Paired Samples Correlations N Pair 1
DS & DB
Correlation 10
Sig.
.464
.177
Paired Samples Test
Mean
Pair 1
DS DB
32.9000
Paired Differences Std. Error 95% Confidence Interval Std. Deviation Mean of the Difference
6.74043
2.13151
Lower
Upper
28.0782
37.7218
t
15.435
Sig. (2tailed)
df
9
.000
102
Lampiran 20. Foto Beberapa Panelis Uji IG
103