KARAKTERISASI GIZI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN SAVORY CHIPS IKAN NIKE (Awaous melanocephalus)
NIKMAWATISUSANTI YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi dan Pendugaan Umur Simpan Savory Chips Ikan Nike (Awaous melanocephalus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Nikmawatisusanti Yusuf NRP C351080021
ABSTRACT NIKMAWATISUSANTI YUSUF. Nutrition Characterization and Shelf Life Prediction of Savory Chips of Nike (Awaous melanocephalus). Under direction of SRI PURWANINGSIH and WINI TRILAKSANI. Nike fish (Awaous melanocephalus) were schooling of juvenile fish species found in Gorontalo waters. Nike processing as a savory snack chips was an effort to diversify the fishery products and one of some alternatives to meet the needs of healthy and nutritious snacks. The purpose of this study was to characterize the nutrition of nike, determine the formula of savory chips, learn best frying time and temperature for nike savory chips products, and predicted the shelf life. Formulation study was conducted with 3 flour (rice, tapioca, and wheat) which were added with sodium bicarbonate (baking soda) as anticaking agent. The frying method used deep-fat frying at a temperature 160°C, 170°C, and 180°C, for 3, 4, and 5 minutes. Selected product was determined for texture and sensory analysis. Estimation of shelf life savory chips conducted with acceleration method on 3 conditions of storage temperature, and 2 packaging materials types (aluminium foil and polypropilen). Thiobarbituric acid value (TBA) used as a parameter of the reduction in quality chips. Nike fish’s nutritional composition consisting of proximate including 79.76% water, protein 16.89%, fat 0.76%, 0.3% carbohydrate, and ash 1.93%. The highest concentration of essential amino acid was conceived by 1.153% leucine and 0.843% lysine, and the highest concentration of non-essential amino acids dominated by amino acids glutamate and proline approximately 1.478% and 0.821%. Unsaturated fatty acid content of nike is relatively high that composed dokosaheksanoate acid (DHA) 14.81%, 8.50% oleic acid, and eikosapentanoat acid (EPA) 2.22%. Mineral composition of nike consisted of calcium 677.34 ppm, 211.58 ppm magnesium, iron 15.77%, 17.88 ppm zinc, iodine 0.079 ppm. The best selected formula of savory chips was a formulation from rice flour and tapioca with 1.5% anticaking agent concentration, and the temperature of 170°C for 5 minutes is the best frying temperature and frying time. Characterization of selected products indicating nutritional composition of the water content of 4.62%, 37.03% fat content, and 22.62% protein content. Products were packed by aluminium foil packaging slower rate of decline in quality than the polypropilen packing, and had a longer shelf life as long as 360 days at room temperature, so the alufo packaging can be recommended as a packing method for nike savory chips. Key words: Awaous melanocephalus, characterization, formulation, shelf life.
RINGKASAN NIKMAWATISUSANTI YUSUF. Karakterisasi dan Pendugaan Umur Simpan Savory Chips Ikan Nike (Awaous melanocephalus). Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan WINI TRILAKSANI. Ikan nike adalah schooling dari juvenil Awaous melanocephalus dan banyak terdapat di perairan Gorontalo. Pemanfaatannya sebagai bahan baku produk snack savory chips merupakan salah satu upaya diversifikasi produk hasil perikanan, serta menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan snack yang sehat dengan kandungan gizi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi gizi ikan nike, membuat formula bahan pelapis savory chips, mempelajari waktu dan suhu penggorengan terbaik savory chips ikan nike, serta mempelajari pendugaan umur simpan savory chips ikan nike. Penelitian ini dibagi dalam 4 tahapan, yaitu penentuan profil gizi ikan nike, pembuatan formula tepung pelapis, penentuan suhu dan waktu penggorengan terbaik, serta penentuan umur simpan savory chips ikan nike. Tahap penelitian pendahuluan diawali dengan karakterisasi gizi. Ikan nike beku dithawing selanjutnya dilakukan analisis gizi meliputi: proksimat, asam lemak, asam amino, dan mineral (Ca, Mg, Fe, Zn, I), kemudian dilanjutkan pada tahap formulasi tepung pelapis. Formulasi menggunakan 3 formula tepung dengan perbandingan 2:1 (formula A (tepung beras dan tapioka), formula B ( tepung tapioka dan terigu), formula C (tepung terigu dan beras)). Pada masing-masing formula tersebut ditambahkan perenyah natrium bikarbonat (soda kue) dengan konsentrasi berbeda (1%, 1,5%, dan 2%), dan bumbu-bumbu yang ditambahkan terdiri dari garam, lada, bawang putih, serta ketumbar. Analisis yang dilakukan meliputi kerenyahan dan organoleptik. Formula terpilih ditentukan berdasarkan uji Bayes. Tahap penentuan suhu dan waktu penggorengan dilakukan menggunakan teknik penggorengan dengan minyak banyak (deep fat frying). Suhu penggorengan yang digunakan yaitu 160 ºC, 170 ºC, dan 180 ºC, dengan waktu penggorengan 3, 4, dan 5 menit. Analisis yang dilakukan meliputi kerenyahan dan organoleptik, selanjutnya dilakukan karakterisasi mutu savory chips terpilih berdasarkan SNI makanan ringan ekstrudat 01-2886/BSN/2000, dan SNI keripik tempe 01-2602/BSN/1992. Tahap pendugaan umur simpan menggunakan metode akselerasi melalui pendekatan persamaan Arhenius. Produk dikemas dengan kantung aluminium foil (alufo) dan plastik polipropilen (PP), selanjutnya disimpan pada 3 kondisi suhu yang berbeda (suhu ruang, 40 ºC, dan 50 ºC). Analisis yang dilakukan adalah analisis TBA dan organoleptik. Hasil karakterisasi gizi menunjukkan komposisi kimia ikan nike terdiri dari kadar air 79,76%, protein 16,89 %, lemak 0,76%, karbohidrat 0,3%, dan abu 1,93%. Komposisi asam amino ikan nike cukup lengkap. Konsentrasi asam amino esensial tertinggi adalah leusin 1,153%, dan lisin 0,843%, sedangkan untuk asam amino non esensial tertinggi adalah asam amino glutamat dan prolin yaitu 1,478% dan 0,821%. Kandungan asam lemak jenuh ikan nike didominasi oleh asam palmitat 20,56%, asam stearat 7,31%, asam palmitooleat 3,68%, dan asam miristat 2,64%, sedangkan untuk asam lemak tak jenuh didominasi oleh asam dokosaheksanoat (DHA) 14,81%, asam oleat 8,50%, dan asam eikosapentanoat (EPA) 2,22%. Komposisi mineral ikan nike terdiri dari: kalsium 677,34 ppm, magnesium 211,58 ppm, besi 15,77 ppm, seng 17,88 ppm, dan iodium 0,079 ppm. Hasil analisis kerenyahan pada tahap formulasi menunjukkan bahwa formula A (tepung beras & tepung tapioka (2:1)) memiliki nilai kerenyahan terbaik, dibandingkan dengan formula B (tepung tapioka & terigu (2:1)), dan formula C (tepung terigu & beras
(2:1)). Formula yang menggunakan perenyah 1,5% memiliki nilai kerenyahan yang lebih baik dibandingkan dengan perenyah 1% dan 2%. Hasil uji Bayes menunjukkan bahwa formula A (tepung beras & tapioka (2:1)) dengan konsentrasi perenyah 1,5% memiliki nilai bobot tertinggi, dan merupakan formula terpilih. Hasil analisis kerenyahan berdasarkan suhu dan waktu penggorengan menunjukkan bahwa suhu penggorengan 170 ºC memiliki nilai kerenyahan terbaik, selanjutnya waktu penggorengan 5 menit menghasilkan produk dengan nilai kerenyahan terbaik. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa suhu penggorengan 170 ºC dengan waktu penggorengan 5 menit memiliki nilai penerimaan tertinggi. Hasil uji Bayes menunjukkan bahwa suhu penggorengan 170 ºC selama 5 menit menghasilkan produk savory chips dengan nilai bobot tertinggi, sehingga menjadi suhu dan waktu penggorengan terpilih. Karakteristik mutu savory chips ikan nike produk terpilih sesuai SNI makanan ringan ekstrudat 01-2886/BSN/2000, dan SNI keripik tempe 01-2602/BSN/1992 yaitu memiliki tekstur yang renyah, dengan komposisi gizi terdiri dari kadar air 4,62%, lemak 37,03%, dan protein 22,62%. Pada analisis umur simpan, laju penurunan mutu produk yang dikemas dengan kantung alufo lebih lambat dibandingkan dengan produk yang dikemas menggunakan plastik PP. Produk yang dikemas dengan pengemas alufo memiliki umur simpan yang lebih lama yaitu 360 hari pada suhu ruang, dengan demikian kantung alufo dapat direkomendasikan sebagai pengemas untuk savory chips nike karena dapat memperpanjang umur simpan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiyah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KARAKTERISASI GIZI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN SAVORY CHIPS IKAN NIKE (Awaous melanocephalus )
NIKMAWATISUSANTI YUSUF
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi: Ir. Winarti, MS.
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Karakterisasi Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Savory Chips Ikan Nike (Awaous melanocephallus) Nama : Nikmawatisusanti Yusuf NRP : C351080021 Program studi : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si. Ketua
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 26 Mei 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 hingga November 2010 ialah savory chips, dengan judul Karakterisasi Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Savory Chips Ikan Nike (Awaous melanocephalus)”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Sri Purwaningsih MS dan Ir. Wini Trilaksani M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan motivasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan Angkatan 43 program studi THP FPIK yang telah membantu selama kegiatan penelitian, serta rekan-rekan angkatan 2008 Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB, atas kerjasama yang terjalin selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, suami, anak-anak, dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, ketulusan, dan keikhlasan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan tambahan informasi di bidang pengolahan hasil perikanan.
Bogor,
Juli 2011
Nikmawatisusanti Yusuf
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 8 Pebruari 1977 dari ayah Hi. Mustapa Yusuf dan ibu Hj. Dra Suharni Suleman sebagai putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan menengah pada Sekolah Menengah Farmasi Manado tahun 1995. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado dan Lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan IPB diperoleh tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DITJEN DIKTI). Penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak tahun 2005 di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Jurusan Teknologi Perikanan Universitas Negeri Gorontalo.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................
x
1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 1.3 Tujuan ........................................................................................................ 1.4 Hipotesis ....................................................................................................
1 1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 2.1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus) .......................................................... 2.2 Snack Savory Chips Ikan ............................................................................ 2.2.1 Bahan pelapis (battered).................................................................... 2.2.2 Bahan pengembang/perenyah ............................................................ 2.2.3 Bumbu .............................................................................................. 2.3 Deep Fat Frying ......................................................................................... 2.4 Perubahan Kimiawi selama Proses Pengolahan .......................................... 2.5 Pengemasan dan Pendugaan Umur Simpan ................................................
5 5 7 8 9 10 10 12 14
3. METODE PENELITIAN .................................................................................... 3.1 Alat dan Bahan ........................................................................................... 3.2 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 3.2.1 Penentuan kandungan gizi ikan nike .................................................. 3.2.2 Formulasi bahan pelapis dan pembuatan savory chips ikan nike ........ 3.2.3 Penentuan suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike ...... 3.2.4 Tahap pendugaan umur simpan ......................................................... 3.3 Prosedur Pengujian ..................................................................................... 3.3.1 Analisis proksimat ............................................................................. 3.3.2 Analisis asam amino (AOAC 2005)................................................... 3.3.3 Analisis mineral (AOAC 2005) ......................................................... 3.3.4 Analisis asam lemak (AOAC 2005) ................................................... 3.3.5 Penetapan nilai Thiobarbituric Acid (TBA) (Tarladgis et al. diacu dalam Sudarmadji 1997) .................................................................... 3.3.6 Analisis sensori (SNI 2006) ............................................................... 3.3.7 Analisis kerenyahan (Texture analyzer TA-XT21)............................. 3.4 Rancangan Percobaan .................................................................................
17 17 17 17 18 19 20 21 21 22 23 27 27 28 28 29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 33 4.1 Karakteristik Gizi Bahan Baku ................................................................... 33 4.1.1 Nilai proksimat ikan nike (A. melanocephalus).................................. 33
4.2
4.3
4.4 4.5
4.1.2 Profil asam amino ikan nike .............................................................. 4.1.3 Profil asam lemak ikan nike .............................................................. 4.1.4 Profil komposisi mineral pada ikan nike ............................................ Penentuan Formulasi Tepung Pelapis Savory Chips Terbaik ....................... 4.2.1 Nilai kerenyahan berdasarkan teksture analyzer ................................ 4.2.2 Hasil uji organoleptik ........................................................................ Penentuan Suhu dan Waktu Penggorengan Terbaik Savory Chips Ikan Nike ........................................................................................................... 4.3.1 Nilai kerenyahan berdasarkan teksture analyzer ................................ 4.3.2 Hasil uji organoleptik ........................................................................ Karakterisasi Mutu Savory Chips Ikan Nike ............................................... Pendugaan Umur Simpan ...........................................................................
35 36 39 41 41 43 51 52 55 61 63
5. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 73 5.1 Simpulan .................................................................................................... 73 5.2 Saran .......................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 75 LAMPIRAN ............................................................................................................ 83
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi formula tepung pelapis savory chips untuk 100 gr tepung ................ 18 2 Nilai proksimat ikan nike (A. melanocephalus) beku ........................................ 34 3 Kandungan asam amino ikan nike dan juvenil bawal perak ............................... 35 4 Komposisi asam lemak ikan nike (A. melanocephalus)...................................... 37 5 Komposisi asam lemak pada juvenil ikan .......................................................... 38 6 Kandungan mineral ikan nike (A. melanochepalus) ........................................... 39 7 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter savory chips ikan nike dengan pertimbangan parameter fisik dan sensori .......................................................... 50 8 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter savory chips ikan nike dengan pertimbangan parameter fisik dan sensori .......................................................... 60 9 Karakteristik mutu savory chips ikan nike (A. melanocephalus) berdasarkan SNI ................................................................................................................... 62 10 Parameter persamaan Arrhenius savory chips nike pengemas alufo & plastik polipropilen pada 3 suhu penyimpan. ................................................................ 65 11 Laju peningkatan nilai TBA savory chips nike selama penyimpanan ................. 66 12 Umur simpan savory chips ikan nike pada 3 kondisi suhu penyimpanan ............ 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus). ................................................................
5
2 Kegiatan penangkapan nike dengan menggunakan pukat pantai. .......................
7
3 Skema diagram perpindahan panas dan massa selama proses deep-fat frying. .... 12 4 Alur pembuatan formula tepung pelapis savory chips ikan nike. ........................ 19 5 Alur pembuatan savory chips ikan nike. ............................................................ 19 6 Alur kegiatan penelitian. ................................................................................... 20 7 Bentuk dan ukuran ikan nike (A. Melanocephalus). .......................................... 33 8 Nilai kerenyahan berdasarkan formula tepung dan konsentrasi perenyah. .......... 42 9 Hasil uji hedonik penampakan savory chips nike. .............................................. 44 10 Penampakan produk savory chips nike dari 3 formula tepung. ........................... 45 11 Hasil uji hedonik aroma savory chips ikan nike. ................................................ 47 12 Hasil uji hedonik rasa savory chips ikan nike. ................................................... 48 13 Nilai hedonik tekstur savory chips ikan nike...................................................... 49 14 Nilai bobot formula savory chips ikan nike berdasarkan uji Bayes. .................... 51 15 Nilai tekstur savory chips berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. .............. 53 16Skema representasi dari persenyawaan amilosa dengan 2 molekul monopalmitat. ................................................................................................... 55 17 Nilai hedonik penampakan savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan ......................................................................................... 56 18 Nilai hedonik rasa savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan..................................................................................................... 57 19 Nilai hedonik tekstur savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan .................................................................................................... 58 20Nilai hedonik aroma savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. ................................................................................................... 59 21 Nilai bobot suhu dan penggorengan savory chips ikan nike berdasarkan uji Bayes. ............................................................................................................... 61 22 Perubahan nilai TBA savory chips ikan nike pengemas alufo dan Polopropilen selama penyimpanan pada 3 suhu berbeda. ................................... 64 23. Nilai organoleptik aroma savory chips ikan nike selama penyimpanan .............. 70 24. Nilai hedonik tekstur savory chips ikan nike selama penyimpanan .................... 72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Lembar penilaian uji hedonik (SNI 2006) .......................................................... 85 2 Hasil analisis ragam formulasi tepung dan konsentrasi perenyah ....................... 86 3 Hasil uji lanjut Duncan formulasi tepung terhadap tingkat kerenyahan savory chips ikan nike ....................................................................................... 86 4 Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi perenyah terhadap kerenyahan savory chips ikan nike .................................................................................................. 86 5 Hasil uji Kruskal-Wallis formula tepung dan konsentrasi perenyah savory chips ikan nike .................................................................................................. 87 6 Hasil uji lanjut Multiple comparation formula tepung dan konsentrasi perenyah savory chips ikan nike. ....................................................................... 87 7 Hasil pembobotan formula tepung dan konsentrasi savory chips ikan nike berdasarkan uji Bayes........................................................................................ 88 8 Hasil analisis ragam suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike ....... 89 9 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penggorengan terhadap kerenyahan savory chips ikan nike ....................................................................................... 89 10 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu penggorengan terhadap kerenyahan savory chips ikan nike ....................................................................................... 89 11 Hasil uji Kruskal-Wallis suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike ................................................................................................................... 90 12 Hasil uji lanjut Multiple comparation suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike .................................................................................................. 90 13 Hasil pembobotan berdasarkan uji Bayes untuk penentuan suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike terbaik ..................................................... 91 14 Data hasil pengamatan nilai TBA savory chips pada 2 kemasan berbeda selama penyimpanan pada 3 suhu yang berbeda................................................. 91 15 Aplikasi data hasil regresi pada persamaan Arrhenius untuk pengemas alufo..... 93 16 Aplikasi data hasil regresi pada persamaan Arrhenius untuk pengemas polipropilen ....................................................................................................... 94 17 Perhitungan umur simpan menggunakan reaksi ordo 0 ...................................... 95 18 Hasil uji Kruskal Wallis aroma savory chips ikan nike selama penyimpanan ....... 96 19 Hasil uji lanjut Multiple comparation untuk aroma savory chips selama penyimpanan ..................................................................................................... 96 20 Hasil uji Kruskal Wallis tekstur savoy chips ikan nike selama penyimpanan ........ 98
21 Hasil uji lanjut Multiple comparation tekstur savory chips ikan nike selama penyimpanan ..................................................................................................... 98 22 Kromatogram hasil analisis asam amino ............................................................ 100 23 Perhitungan konsentrasi asam amino ikan nike. ................................................. 101 24 Kromatogram hasil analisis asam lemak ............................................................ 102 25 Perhitungan konsentrasi asam lemak ikan nike. ................................................. 103
1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan banyak
terdapat di Perairan Gorontalo. Ikan ini merupakan jenis ikan yang berukuran kecil antara 2-4 cm, dan memiliki keunikan tersendiri karena siklus pemunculannya dalam jumlah besar pada satu lokasi tertentu. Hasil tangkapan nike selama periode 2010 kurang lebih 128 ton (DPK Gorontalo 2011). Kajian ilmiah tentang ikan nike belum banyak dilakukan, baru sebatas kelimpahan spatial-temporal dari ikan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa ikan nike
pemunculannya setiap periode bulan perbani akhir menjelang malam hari dan kehadirannya dalam bentuk schooling, dengan daerah ruaya dari pantai masuk ke muara sungai dan selanjutnya menuju ke hulu (Tantu 2001).
Informasi lain mengenai
pemanfaatan dan kandungan gizi dari ikan tersebut masih sangat terbatas, oleh karena itu kajian mengenai karakteristik ikan ini perlu dilakukan guna memberikan informasi tentang kandungan gizi ikan tersebut. Ikan merupakan sumber protein, dan diakui sebagai bahan pangan yang mempunyai arti penting bagi kesehatan karena mengandung asam lemak tidak jenuh berantai panjang (terutama yang tergolong asam lemak omega-3), serta mineral makro dan mikro. Pemanfaatan ikan nike oleh masyarakat Gorontalo masih sebatas diolah dari keadaan segar, yaitu perkedel, tumis, dan pepes, yang semuanya tidak dapat disimpan lama. Pemanfaatan ikan nike dalam bentuk olahan dengan daya simpan yang lebih lama belum dilakukan. Pada saat ketersediaan hasil tangkapan ikan nike melimpah dan tidak terjual habis, maka ikan tersebut hanya dikeringkan guna memperpanjang masa simpannya. Ikan nike berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan untuk makanan ringan (snack), karena tidak perlu penanganan khusus, yaitu penyiangan maupun pemisahan daging, dan semua bagian dari ikan tersebut dapat langsung dimanfaatkan. Faktor lain yang dapat dijadikan alasan untuk mengembangkan ikan ini menjadi produk olahan adalah ketersediaan ikan tersebut saat pemunculannya dalam jumlah besar selama 5 sampai 6 hari berturut-turut, tetapi tingkat konsumsi dan pemanfaatannya tidak sebesar produksi hasil tangkapan yang ada.
2 Pemanfaatan ikan nike sebagai bahan baku produk snack merupakan salah satu upaya diversifikasi produk hasil perikanan, serta menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan snack yang sehat dengan kandungan gizi tinggi, karena umumnya produk makanan ringan yang banyak beredar di pasaran berasal dari sereal atau produk yang berbahan dasar padi-padian. Sebagian besar produk-produk makanan ringan tersebut memiliki kandungan kalori dan lemak yang tinggi tetapi rendah kandungan protein, vitamin, dan gizi lainnya. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh United State Depertment of Ugricultural (USDA), 15% dari total kalori yang dikonsumsi oleh anakanak dan remaja di Amerika adalah berasal dari snack (Rhee et al. 2004). Fish savory chips merupakan jenis olahan makanan ringan yang dapat diaplikasikan pada ikan nike. Produk chips ikan dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dari anak-anak sampai orang dewasa. Produk ini memiliki tekstur yang renyah dan garing.
Kerenyahan merupakan karakteristik khas dari produk chips.
Menurut Varela et al. (2007) kerenyahan produk chips tergantung pada formulasi, bahan tambahan, serta proses pengolahan yang digunakan. Permasalahan yang sering terjadi pada produk-produk chips adalah penyerapan minyak secara berlebihan selama proses penggorengan sehingga berpotensi terjadi perubahan tekstur dan ketengikan setelah penyimpanan. Cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut adalah melapisi bahan (coating) dengan tepung sebelum digoreng, serta teknik penggorengan yang digunakan. 1.2
Perumusan Masalah Pemanfaatan kelimpahan produksi dan kajian ilmiah tentang ikan nike belum
banyak dilakukan. Kajian yang telah dilakukan tentang ikan nike adalah mengenai kelimpahan spatial-temporal dari ikan tersebut. Informasi karakteristik kandungan gizi ikan nike belum diketahui sehingga perlu dilakukan karakterisasi tentang profil gizi yang dimiliki ikan tersebut. Tingginya konsumsi makanan ringan atau snack sebagai akibat dari perubahan pola konsumsi pangan masyarakat telah menyebabkan makin banyaknya produk-produk snack yang beredar di masyarakat. Umumnya snack yang beredar menggunakan sereal dan padi-padian sebagai bahan baku utamanya sehingga produk yang dihasilkan memiliki kandungan gizi yang rendah.
Penelitian-penelitian yang dilakukan untuk
3 meningkatkan kandungan gizi sebagai upaya mencukupi kebutuhan snack yang sehat sudah banyak dilakukan, salah satunya dengan menggunakan sumber protein hewani misalnya ikan sebagai bahan baku utama dari produk snack. Fish savory chips merupakan salah satu produk snack yang dapat dibuat menggunakan ikan nike sebagai bahan bakunya. Permasalahan yang sering dihadapi dari produk-produk savory chips adalah perubahan tekstur dan ketengikan setelah penyimpanan produk. Pelapisan bahan dalam pembuatan savory chips ikan, teknik penggorengan dan pengemasan yang baik dapat mengurangi permasalahan tersebut. Oleh sebab itu untuk memperoleh produk savory chips ikan nike dengan karakteristik dan mutu, serta daya simpan yang baik, maka perlu dilakukan penelitian tentang formulasi bahan pelapis, metode pengolahan, pengemasan dan penyimpanan savory chips ikan nike tersebut. 1.3
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah:
- Melakukan karakterisasi gizi ikan nike - Membuat formula bahan pelapis pada produk savory chips ikan nike - Mempelajari waktu dan suhu penggorengan terbaik untuk produk savory chips ikan nike. - Menentukan pendugaan umur simpan produk savory chips ikan nike 1.4
Hipotesis Berdasarkan tujuan dari penelitian ini maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:
- Formulasi tepung dan konsentrasi bahan perenyah diduga
mempengaruhi
karakteristik produk savory chips ikan nike. - Suhu dan lama waktu penggorengan diduga mempengaruhi karakteristik produk savory chips ikan nike. - Jenis kemasan dan suhu penyimpanan diduga mempengaruhi umur simpan produk savory chips ikan nike.
4
2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Ikan nike di perairan pantai Gorontalo merupakan schooling dari juvenil
Awaous melanocephalus. Klasifikasi ikan nike menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Kelas
: Pisces
Sub kelas : Teleostei Ordo
: Gobioidea
Famili
: Gobiidae
Genus
: Awaous
Spesies
: Awaous melanocephalus (Bleeker).
Ikan nike merupakan kelompok anak ikan dari famili Gobiidae. Ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan kecil dengan panjang maksimum ± 8 cm. Ciri-ciri lain dari ikan nike adalah tidak berwarna atau keputih-putihan serta tidak bersisik (Tantu 2001). Bentuk dari ikan nike disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus) (Tantu 2001). Ikan nike (A. melanocephalus) merupakan ikan anadromous dimana ikan ini memijah di perairan tawar, telur diletakkan pada substrat di dasar perairan, setelah telur menetas larvanya hanyut ke laut, selanjutnya juvenil beruaya kembali ke sungai asal induknya setelah beberapa saat berada di perairan laut (Yamasaki & Tachihara 2006).
6 Ikan dari kelompok gobii di perairan Hawaii sama seperti ikan nike bersifat anadromous hidup dan berkembang di perairan laut, awalnya ikan tersebut menetaskan larvanya di perairan sungai Gobie oleh arus sungai, larva tersebut dibawa ke laut, hidup dan berkembang sampai beberapa waktu hingga menjadi juvenil, selanjutnya akan kembali ke habitatnya di perairan tawar (Maie et al. 2009). Umumnya ikan gobii mempunyai telur yang demersal, yaitu melekat pada suatu obyek di dasar perairan seperti pada batu, di antara celah-celah batu, dan kadang-kadang berada di dalam ataupun di antara vegetasi (Keith 2003). Ikan-ikan Gobie melakukan migrasi dalam bentuk schooling bertujuan untuk menghindari pemangsaan. Schooling ikan gobii biasanya tidak hanya dengan satu jenis juvenil atau ikan dewasa. Juvenil awaous guaminensis beruaya secara berpasangan dalam satu scooling atau gabungan spesies dalam satu schooling dengan jumlah 30-100 individu (Tate 1997).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantu (2001) bahwa
schooling ikan nike terdiri dari juvenil ikan Awaous melanocephalus dan juvenil ikan Eleotris frusca, dari schooling tersebut ikan Awaous melanocephalus merupakan spesies penyusun utama yaitu sebesar 99%, sedangkan ikan Eleotris frusca hanya merupakan spesies ikutan. Ikan-ikan kecil yang serupa dengan ikan nike ditemukan pula di beberapa tempat misalnya perikanan himpun atau impun yang terdapat di teluk Baron dan muara sungai Progo di sebelah selatan Yogyakarta (Soeroto 1988); impon di Filipina; tri-tri di Karibia; ticky-ticky di India Barat dan perikanan tismische di pantai teluk Meksiko. Schooling ikan-ikan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan satu dengan lainnya dari sisi spesies penyusunnya, ada yang dibentuk oleh satu spesies saja, ada pula yang dibentuk dari beberapa jenis spesies (McDowall 2004). Penangkapan ikan nike oleh nelayan terjadi pada bulan gelap dan ukuran ikan yang tertangkap pada stadia juvenil (post larva) menggunakan alat tangkap sejenis beach seines dengan mesh size yang sangat kecil (kurang dari ½ inchi).
Teknik
penangkapan dengan mengurung (melingkari) schooling nike menggunakan pukat (Gambar 2), kemudian secara perlahan-lahan pukat ditarik sambil memperkecil ruang gerak schooling nike sehingga terjebak masuk dalam kantung pukat (Tantu 2001).
7
Gambar 2 Kegiatan penangkapan nike dengan menggunakan pukat pantai (Tantu 2001). 2.2
Snack Savory Chips Ikan Kemajuan ilmu dan teknologi telah berkembang pesat di berbagai bidang,
termasuk di bidang pangan. Hal ini telah membawa perubahan terhadap pola konsumsi pangan di masyarakat. Dewasa ini konsumsi produk-produk siap saji oleh masyarakat di wilayah perkotaan cenderung meningkat. Perilaku masyarakat yang ingin serba instan, praktis dan cepat, dimanfaatkan oleh pengelola makanan siap saji serta pangan jajanan yang diolah oleh Industri Pangan Rumah Tangga (IPRT). Salah satu jenis makanan yang mudah dan cepat dikonsumsi serta sangat populer di masyarakat adalah makanan ringan (snack). Makanan ringan atau snack didefinisikan sebagai jenis makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa maupun pada saat makan, serta dapat diberikan dengan berbagai bentuk.
Definisi tersebut juga menjadi batasan bagi produk termasuk
sandwich, yogurt, dan es krim (Sajilata dan Singhal 2005). Snack telah diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1) generasi pertama yaitu produk konvensional tanpa melalui ekstrusi misalnya keripik kentang, biskuit panggang; 2) generasi kedua yaitu produk langsung mengembang; 3) generasi ketiga yaitu produk yang telah diekstrusi masih memerlukan pengolahan lebih lanjut seperti penggorengan dan pengeringan (Suknark et al.1999). Makanan ringan yang berbahan dasar ikan dan pati dengan penambahan bahanbahan lain dan mempunyai tekstur yang renyah dikenal dengan istilah fish snack. Snack savory chips ikan atau keripik ikan merupakan salah satu jenis fish snack. Produk ini berbahan dasar ikan, dan memiliki tekstur yang renyah dan garing.
8 Produk savory chips ikan dapat dikategorikan ke dalam makanan ringan generasi pertama. Proses pengolahannya adalah dengan cara digoreng menggunakan minyak yang banyak (deep fat fried) pada suhu tinggi dalam waktu singkat, sehingga memberikan pengembangan dan kerenyahan pada produk akhir.
Waktu yang
dibutuhkan bahan pangan sampai tergoreng matang tergantung pada: 1) tipe dari bahan pangan; 2) temperatur minyak; 3) metode penggorengan (dangkal atau dengan minyak tergenang); 4) ketebalan dari bahan pangan dan; 5) perubahan yang diinginkan dalam mutu makanan (Fellows 2000). Kerenyahan merupakan karakteristik dari produk chips, produk dengan nilai kerenyahan yang tinggi cenderung lebih disukai oleh konsumen. Kerenyahan dapat didefinisikan sebagai kesan tekstur pada produk makanan yang meninggalkan kesan rapuh secara teratur (misalnya sangat tiba-tiba dan dengan deformasi atau perubahan bentuk yang relative kecil) pada saat diberi sedikit tekanan akan mengeluarkan bunyi (Martin et al. 2008). Kerenyahan dari tekstur produk snack ini tergantung dari bahan tambahan, formulasi dan proses pengolahan yang digunakan. Menurut Varela et al. (2008) pelapisan bahan (coating) pada snack mengurangi dehidrasi, membantu pencoklatan, serta memperbaiki tekstur produk menjadi lebih renyah. 2.2.1 Bahan pelapis (battered) Pada pembuatan produk chips, salah satu cara yang sering digunakan untuk memperoleh produk akhir bahan yang garing dan renyah adalah dengan menggunakan tepung sebagai bahan pelapis.
Batter atau coating pada produk gorengan akan
memperkaya flavor, tekstur dan penampakan serta berperan sebagai pelindung dari penyerapan minyak yang berlebihan pada saat penggorengan (Chien et al. 2008). Pelapisan atau coating pada produk snack berdampak pada biaya dan hasil akhir produk, dimana selain memberikan hasil akhir yang lebih baik proses pelapisan juga dapat mengurangi biaya operasional karena waktu penggorengan yang digunakan lebih singkat, dapat mengurangi penggunaan minyak goreng yang berlebih, dan menambah volume produk akhir jika dibandingkan dengan produk yang digoreng tanpa pelapisan (Sasiela 2004). Bahan yang banyak digunakan sebagai pelapis pada produk makanan adalah tepung.
9 Tepung dalam makanan ringan merupakan bahan tambahan fungsional untuk memberikan hasil akhir sesuai yang diinginkan seperti peningkatan pengembangan, meningkatkan kerenyahan, mengurangi penyerapan minyak yang keseluruhannnya akan meningkatkan kualitas produk tersebut (Sajilata dan Singhal 2005). Pati merupakan komponen utama yang terdapat dalam tepung. Pati merupakan homopolimer D-glukosa dengan ikatan α-glikosidik, dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan pada tanaman. Pati terdapat sebagai granula dengan ukuran dan karakteristik yang berbeda untuk masing-masing tanaman (Copeland et al. 2009). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C dan bentuk rantainya apakah lurus atau bercabang. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang tidak larut disebut amilopektin sedangkan fraksi yang larut adalah amilosa. Berdasarkan bentuk rantai karbonnya amilosa adalah granula pati yang memiliki rantai linier, sedangkan amilopektin memiliki rantai karbon yang bercabang.
Kandungan amilosa dan amilopektin pada tepung dapat
mempengaruhi karakteristik tekstur dari produk chips, karena pada saat pemasakan terjadi pengembangan pati sebagai akibat dari proses gelatinisasi.
Apabila produk
makin mengembang maka teksturnya akan semakin renyah (Sajilata dan Singhal 2005). Umumnya tepung yang digunakan sebagai pelapis adalah tepung tapioka, beras, maizena, terigu, dan tepung sisa hasil ekstrudat. 2.2.2 Bahan pengembang/perenyah Bahan pengembang/perenyah dalam produk pangan dikategorikan sebagai bahan tambahan makanan. Bahan tambahan makanan dapat diartikan sebagai senyawa kimia yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk membantu dalam proses pengolahan, bertindak sebagai pengganti, atau untuk memperbaiki kualitas makanan (deMan 1999). Bahan perenyah merupakan bahan yang mereduksi kecenderungan masing-masing partikel pada bahan pangan untuk menempel satu sama lain, dan digunakan untuk memberikan kerenyahan pada produk makanan. Bahan yang tidak larut dalam air, suhu glass transitionnya tinggi dan memiliki kestabilan yang baik dapat bersifat sebagai crisping angent misalnya dekstrin dan serat selulosa. Kalsium karbonat dapat juga digunakan sebagai bahan perenyah pada produk gorengan (Chen et al. 2008).
10 Natrium bikarbonat (soda kue) pada produk makanan biasanya ditambahkan sebagai pengembang dan perenyah, sedangkan pada produk minuman natrium bikarbonat bersifat sebagai bahan pengatur keasaman. Pengembangan pada produk terjadi karena adanya reaksi dari natrium bikarbonat membentuk gas dalam adonan. Selama proses pemanasan, volume gas bersama dengan uap air ikut terperangkap dalam adonan sehingga mengembang (Winarno 2008). Persyaratan standar batas maksimum penggunaan natrium bikarbonat pada makanan adalah 50 g/kg atau 5% (SNI 1995). 2.2.3 Bumbu Bumbu adalah bahan makanan yang ditambahkan dengan tujuan untuk memberikan rasa pada makanan sehingga menambah cita rasa. Aplikasi bumbu bisa melalui adonan maupun melalui pelapisan di bagian luar produk (Arintorini 2002). Penambahan bumbu pada produk coating memberikan nilai tambah terhadap produk tersebut, karena mampu meningkatkan cita rasa dan aroma, namun penambahan bumbu pada produk chips harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya ketidaklarutan bahan bumbu menyebabkan bahan pelapis dapat menggumpal, kandungan senyawa volatilnya mudah menguap saat proses pemanasan. Cara terbaik yang dapat dilakukan untuk menghindari hal-hal tersebut adalah dengan menambahkan bumbubumbu dalam bentuk serbuk misalnya lada, bawang merah, bawang putih, karena bahan-bahan tersebut tingkat volatilitasnya rendah dan warnanya netral sehingga tidak mempengaruhi penampakan produk akhir (Fizsman 2009) 2.3
Deep Fat Frying Menggoreng merupakan suatu unit kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki
kualitas makanan.
Pertimbangan lain menggunakan cara menggoreng dalam
pengolahan pangan adalah memberikan pengaruh terhadap daya awet produk karena dapat merusak suhu aktifitas dari mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktifitas air pada permukaan produk (Fellows 2000). Produk makanan gorengan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1) produk tipis seperti kripik kentang, tortilla, dan kripik pisang; 2) produk tebal seperti kentang goreng; dan 3) produk battered/breaded seperti stik ikan. Produk tipis atau keripik merupakan produk yang benar-benar mengalami dehidrasi secara total (kadar air
11 di bawah 5%), dan memiliki umur simpan yang stabil kurang lebih 2 bulan, kandungan lemaknya cukup tinggi mencapai 40% (Dobraszczyk et al. 2006). Ada dua jenis teknik penggorengan yaitu penggorengan dengan minyak banyak sehingga bahan dapat terendam dalam minyak (deep-fat frying), dan penggorengan dengan sedikit minyak (pan frying).
Teknik deep-fat frying merupakan salah satu
metode yang sudah lama digunakan dalam pengolahan makanan, karena teknik ini menghasilkan produk dengan kombinasi flavor dan tekstur yang unik (Mariscal dan Bouchon 2008). Deep-fat frying dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan makanan dengan memasukkan bahan ke dalam minyak pada suhu di atas titik didih air, dan dapat diklasifikasikan sebagai proses dehidrasi.
Suhu penggorengan berkisar antara
130 °C - 190 °C, tetapi biasanya suhu penggorengan yang digunakan antara 170 °C – 190 °C (Bouchon 2009). Teknik deep-fat frying melibatkan perubahan fisik dan kimia pada makanan, seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, penguapan air dan pembentukan kulit. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur dan mutu bahan yang digoreng adalah laju pemanasan, penetrasi minyak pada bahan, interaksi minyak-bahan, dan degradasi minyak (Sharma et al. 2000). Bouchon et al. (2003) mengemukakan bahwa teknik deep-fat frying merupakan suatu unit kegiatan yang kompleks melibatkan suhu tinggi, perubahan signifikan mikrostruktural dari permukaan dan seluruh bagian bahan pangan, dan terjadinya transfer panas dan massa secara bersamaan menghasilkan reaksi berlawanan antara uap air dan minyak pada permukaan bahan. Tujuan utama deep-fat frying adalah untuk melindungi produk.
Pada proses
penggorengan saat bahan pangan dimasukan ke dalam minyak rasa dan aroma berhasil disimpan di dalam bahan. Proses penggorengan juga dilakukan untuk memperoleh karakteristik khas dari produk gorengan sesuai yang diinginkan misalnya: kering, berongga (porous), renyah, dan berminyak pada lapisan luar atau berkerak namun lembut dan basah di bagian dalam produk (Bouchon dan Aguilera 2001).
12 2.4
Perubahan Kimiawi selama Proses Pengolahan Saat bahan dimasukkan ke dalam minyak panas pada proses penggorengan, terjadi
kenaikan suhu permukaan yang sangat cepat, disertai dengan terjadinya penguapan air pada bahan pangan tersebut. Proses penggorengan menyebabkan terjadi perpindahan penguapan di dalam bahan dan membentuk lapisan kulit pada permukaan produk, lapisan kulit tersebut memiliki struktur yang porous (berongga), dengan bentuk ukuran kapiler yang berbeda (Fellows 2000).
Proses perpindahan tersebut disajikan pada
Gambar 3. Penggunaan suhu minyak yang tinggi saat menggoreng akan menyebabkan terjadinya penguapan air pada permukaan bahan. Saat penguapan, air yang berada di dalam lapisan bahan produk berpindah pada sekeliling minyak menyebabkan permukaan bahan menjadi lebih kering, hingga mempengaruhi formasi kulit. Pada saat yang sama minyak terserap oleh produk, menggantikan bagian air pada bahan (Mellema 2003).
Gambar 3 Skema diagram perpindahan panas dan massa selama proses deep-fat frying (Mellema 2003). Penghantaran panas oleh minyak pada proses penggorengan dengan suhu yang tinggi dalam waktu yang lama, akan menyebabkan terjadi pelepasan uap air dan oksigen dari bahan makanan, sehingga terjadi oksidasi pada minyak yang berasal dari berbagai senyawa karbonil volatil, asam hidroksi, asam keto, dan asam epoxy (Fellows 2000). Hal tersebut menyebabkan bau yang tidak enak dan minyak menjadi berwarna gelap. Ketengikan merupakan masalah utama pada produk yang digoreng karena adanya
13 detereorasi bahan yang disebabkan oleh oksidasi lemak atau minyak dalam bentuk peroksida, aldehid dan keton (Jonnalagadda et al. 2001). Teknik penggorengan dapat meningkatkan karakteristik warna, rasa, aroma, dan kerenyahan pada bahan makanan. Hal tersebut terjadi karena adanya kombinasi dari reaksi Maillard dan senyawa-senyawa yang terserap dari minyak. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan warna dan flavor dari produk yang digoreng yaitu: 1) jenis minyak yang digunakan untuk menggoreng; 2) lama dan suhu minyak; 3) interaksi permukaan antara minyak dan bahan; 4) suhu dan lama waktu menggoreng; 5) ukuran, kandungan air dan karakteristik dari permukaan bahan pangan; 6) penanganan setelah proses menggoreng (Fellows 2000). Kualitas minyak yang digunakan akan menentukan umur simpan produk, dan kualitas minyak untuk menggoreng juga ditentukan oleh jenis bahan pangan yang digoreng.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan minyak antara lain suhu
penggorengan, waktu penggorengan, ketebalan irisan dan spesifikasi produk (Reilly dan Man 1994). Moreira (2001) mengemukakan pula bahwa waktu penggorengan menjadi faktor penting pada produk akhir hasil penggorengan, dimana kandungan minyak bertambah, kadar uap menurun, ketebalan kulit bertambah dan produk menjadi lebih renyah berdasarkan lamanya waktu penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi denaturasi protein, lemak, dan senyawa karbohidrat polimer pada bahan. Maillard.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya reaksi
Reaksi tersebut terjadi antara kelompok amino bebas dari asam amino,
peptida, atau protein dan gugus karbonil dari gula pereduksi. Reaksi Maillard pada proses penggorengan merupakan hal yang diinginkan untuk meningkatkan cita rasa, aroma dan pembentukan warna coklat pada produk akhir (Villamiel et al. 2006). Perubahan lain yang terjadi selama proses penggorengan adalah pembentukan kulit pada produk sehingga menghasilkan tekstur yang renyah atau garing. Varela et al. (2008) mengemukakan bahwa kerenyahan dari produk gorengan yang dibalut (battered) terjadi karena selain terjadi perpindahan panas dari media ke bahan, juga disebabkan adanya reaksi pengembangan pati pada proses gelatinisasi selama pemasakan. Pada proses penggorengan lemak dan minyak digunakan sebagai media penghantar panas.
Pada pengujian penggorengan kripik dari bahan umbi-umbian
misalnya kentang, dengan menggunakan deep fat frying, energi dipindahkan dari
14 elemen panas lemak atau minyak pada permukaan bahan yang dalam keadaan dingin. Interaksi antara minyak panas dan bahan tersebut menyebabkan pembentukan warna coklat karena adanya karamelisasi karbohidrat dari bahan tersebut (Mehta dan Swinburn 2001). 2.5
Pengemasan dan Pendugaan Umur Simpan Kondisi bahan pangan selama penyimpanan dan distribusi dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Faktor lingkungan diantaranya suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa mekanisme reaksi yang menyebabkan kerusakan bahan pangan. Perubahan yang terjadi selama penyimpanan dan distribusi meliputi perubahan fisika, kimia dan mikrobiologi (Hermanianto et al. 2000). Pengemasan pangan sangat penting dan umum, penting karena tanpa kemasan mutu dan keamanan produk dapat terganggu, umum karena hampir semua produk makanan dikemas dengan berbagai macam cara (Robertson 2010). Pengemasan dan penyimpanan tidak dapat dipisahkan dari proses dalam industri makanan dan merupakan satu kesatuan. Kedua hal ini yang menentukan umur simpan suatu produk. Salah satu fungsi penting dari kemasan adalah melindungi produk dari faktorfaktor lingkungan seperti: cahaya, uap air, gas, dan bau (Reilly dan Man 1994). Tujuan lainnya adalah untuk menjaga kualitas produk dalam kaitannya dengan masa simpan, selain itu kemasan juga merupakan media komunikasi dengan konsumen, legal, dan komersial (Petersen et al. 1999). Pengemasan dapat melindungi produk dari kontaminasi dan pembusukan, mempermudah proses distribusi dan penyimpanan, serta memberikan kemudahan dalam menyeragamkan jumlah isi produk (Robertson 2010). Kerusakan atau penurunan mutu produk yang dikemas sangat berhubungan dengan perpindahan masa dan panas melalui kemasan. Pada transfer masa, pertukaran uap air dan gas dengan lingkungan sekitar mendapat perhatian utama, di samping migrasi volatil dari atau menuju produk pangan (Roberts 1999). Proses penggorengan pada produk chips, menyebabkan produk tesebut rentan terhadap oksidasi minyak, sehingga kemasan yang digunakan sebaiknya memiliki kemampuan yang baik dalam mencegah terjadinya oksidasi pada produk tersebut. Jenis pengemas yang dapat digunakan untuk makanan ringan yang digoreng adalah kemasan yang multilayer, misalnya kertas yang dilapisi dengan aluminium foil (Min et al 2010).
15 Umur simpan produk secara umum mengandung pengertian rentang waktu antara saat produk mulai dikemas, atau diproduksi dengan saat mulai digunakan dimana mutu produk masih memenuhi syarat untuk konsumsi. Umur simpan produk pangan adalah selang waktu produksi dan waktu konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (Arpah dan Syarief 2000). Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Umur simpan produk berkaitan erat dengan nilai kadar air kritis, suhu dan kelembaban (Hermanianto et al. 2000). Petersen et al. (1999) mengemukakan bahwa umur simpan suatu produk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: karakteristik produk, sifat produk, kondisi penyimpanan dan distribusi produk yang dikemas. Umur simpan produk pangan tergantung pada kondisi penyimpanan seperti kelembaban, suhu, cahaya dan lain-lain. Pada produk snack yang digoreng, terjadinya perubahan aroma produk menjadi tengik pada saat penyimpanan menyebabkan produk tersebut tidak disukai, hal ini disebabkan adanya reaksi oksidasi lemak yang terjadi selama penyimpanan (Tiwari et al. 2009).
Meningkatnya kadar air produk hasil
gorengan yang disimpan pada kelembaban tinggi dapat menyebabkan perubahan tekstur produk (Salamah 2007). Menurut Hine (1999), proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data tentang: 1) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; 2) unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk; 3) mutu produk dalam kemasan; 4) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan; 5) mutu produk pada saat dikemas; 6) variasi iklim selama distribusi dan penyeimbangan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan; 7) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan; 8) daya hambat bahan pengemas untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Metode Accelerated Storage Studies (ASS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan pada penentuan umur simpan produk. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi-reaksi penurunan mutu
16 produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat namun tetap memiliki ketepatan yang tinggi. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat, oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus dipertimbangkan (Hermanianto et al. 2000). Dalam penyimpanan makanan, keadaan suhu ruang penyimpanan selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Apabila suhu penyimpanan tetap dari waktu ke waktu (atau dianggap tetap) maka untuk menduga laju penurunan mutu cukup dengan menggunakan persamaan Arrhenius: K = K0 e-E/RT Dimana :
K k0 E T R
= konstanta penurunan mutu = konstanta (tidak tergantung pada suhu) = energi aktivasi = suhu mutlak (C + 273) = konstanta gas, 1.986 kal/mol
Persamaan di atas dapat diubah menjadi : ln k = ln k0 – (Ea/RT). Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu.
Faktor-faktor mutu yang dipengaruhi oleh suhu
misalnya adalah tekstur, reaksi pencoklatan enzimatik, kadar vitamin C dan lain-lain (Salamah 2007).
3.
3.1
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pembuatan produk savory chips ikan terdiri dari:
neraca digital, piring, spatula, loyang plastik, deep fryer, ayakan tepung, sendok, plastik polipropilen, kantung aluminium foil (alufo), dan sealer. Peralatan untuk analisis kimia terdiri dari: neraca analitik, oven, tanur, desikator, labu kjeldhal, soxhlet, buret, thermometer, cawan porselen, spektrofotometer tipe Spektronic 200, perangkat kromatografi gas Shimadzu seri C118047 00336, kertas saring, inkubator, shaker, serta peralatan gelas lainnya. Analisis fisik menggunakan texture analyzer TA-XT21, dan lembar kuisioner untuk organoleptik. Bahan yang digunakan untuk pembuatan produk savory chips ikan terdiri dari: ikan nike yang diperoleh dari TPI Tenda Kota Gorontalo, tepung beras, tepung terigu, tepung tapioka, telur, natrium bikarbonat (soda kue), garam, bubuk bawang putih, bubuk lada, bubuk ketumbar, dan minyak goreng. Bahan yang digunakan untuk analisis kandungan gizi ikan nike dan pengujian mutu dari savory chips nike antara lain: aquades, H2SO4, HCl, NaOH, CuSO4, asam borat, indikator Brom cresol green-methyl red, selenium, NaCl, Na2SO4, metil ester, heksan, asam asetat, malonaldehid, dan asam thiobarbiturat. 3.2
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan dalam 4 tahapan yaitu: penentuan profil gizi ikan
nike, pembuatan formulasi tepung pelapis untuk produk savory chips ikan, penentuan suhu dan lama waktu menggoreng, dan terakhir penentuan umur simpan produk savory chips ikan nike. 3.2.1 Penentuan kandungan gizi ikan nike Tahap ini dilakukan analisis kandungan gizi ikan nike sebagai bahan baku utama dari produk savory chips. Prosedur yang dilakukan adalah ikan nike beku dithawing kemudian dicuci kembali, setelah itu dilakukan analisis gizi yang terdiri dari analisis proksimat, asam amino, asam lemak, dan analisis mineral yang terdiri dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), iodium (I).
18 3.2.2 Formulasi bahan pelapis dan pembuatan savory chips ikan nike Tahap ini merupakan penelitian pendahuluan untuk memperoleh formula tepung savory chips ikan terbaik sebelum dilanjutkan pada penelitian utama.
Pada tahap
formulasi ini dibuat 3 jenis formula tepung sebagai bahan pelapis (battered). Formula tersebut terdiri dari kombinasi 2 jenis tepung dengan perbandingan yang berbeda (Tabel 1). Tepung yang digunakan adalah tepung beras, tapioka, dan terigu. Pada masing-masing formula tersebut ditambahkan perenyah natrium bikarbonat (soda kue) dengan konsentrasi 1%, 1,5%, dan 2%. Bumbu yang digunakan adalah bawang putih (Allium sativum), garam, lada (Piper nigrum) dan ketumbar (Coriandum sativum). Formula tersebut berdasarkan trial and error.
Komposisi formula tepung pelapis
savory chips ikan nike disajikan pada Tabel 1. Komposisi tepung dan konsentrasi natrium bikarbonat merupakan faktor perlakuan pada tahap ini. Tabel 1 Komposisi formula tepung pelapis savory chips untuk 100 gr tepung Jumlah Bahan (gr) Tepung
Formula A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Terigu
Bawang putih bubuk
Lada bubuk
Garam
Tapioka
Perenyah (Soda kue)
Ketumbar
Beras 66,7 66,7 66,7 33,3 33,3 33,3
33,3 33,3 33,3 66,7 66,7 66,7 -
33,3 33,3 33,3 66,7 66,7 66,7
1,0 1,5 2,0 1,0 1,5 2,0 1,0 1,5 2,0
3 3 3 3 3 3 3 3 3
6 6 6 6 6 6 6 6 6
4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5 4,5
5 5 5 5 5 5 5 5 5
Ket: Formulasi yang dibuat berdasarkan try and error
Berdasarkan komposisi formula pada Tabel 1, selanjutnya dilakukan tahapan pembuatan tepung pelapis (battered) seperti disajikan pada Gambar 4. Formula tersebut digunakan untuk melapisi ikan nike pada pembuatan savory chips, setelah dilapisi dengan tepung, ikan kemudian digoreng menggunakan deep fryer sampai berwarna kuning keemasan. Prosedur pembuatan savory chips ikan nike disajikan pada Gambar 5. Analisis yang dilakukan pada tahap ini adalah analisis kerenyahan, serta uji penerimaan (hedonik).
Penentuan formula terpilih dari kedua analisis tersebut dengan
menggunakan uji Bayes. Hasil terbaik pada tahapan ini kemudian dilanjutkan pada penelitian utama.
19 Tepung-tepungan (beras, terigu, tapioka)
Soda kue
Formulasi
Bumbu-bumbu (garam, bawang putih, lada, ketumbar)
Pencampuran
Tepung pelapis (battered) Gambar 4 Alur pembuatan formula tepung pelapis savory chips ikan nike.
Ikan nike
Dibersihkan & ditiriskan Pelapisan dengan telur
Pelapisan (battered) dengan tepung
Penggorengan
Savory chips ikan nike Gambar 5 Alur pembuatan savory chips ikan nike.
3.2.3 Penentuan suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan Pada tahap ini formula terbaik dari tahapan sebelumnya digunakan sebagai sampel. Prosedur pembuatan savory chips ikan sama dengan prosedur pembuatan pada tahap formulasi, tetapi proses penggorengan dilakukan pada tiga kondisi suhu dan waktu yang berbeda. Suhu yang digunakan pada pengujian ini adalah 160 ºC, 170 ºC, dan 180 °C, dengan lama waktu penggorengan 3, 4, dan 5 menit. Suhu dan waktu penggorengan merupakan faktor perlakuan pada tahap ini. Analisis yang dilakukan adalah uji sensori dan uji kerenyahan. Penentuan produk terpilih dari kedua analisis
20 tersebut dengan menggunakan uji Bayes. Produk terpilih pada tahap ini selanjutnya di karakterisasi mutu savory chipsnya berdasarkan SNI. 3.2.4 Tahap pendugaan umur simpan Pada tahap ini hasil terbaik pada pengujian sebelumnya digunakan sebagai sampel. Produk terbaik tersebut kemudian dikemas. Bahan pengemas yang digunakan adalah plastik polipropilen (PP) dan kantung pengemas aluminium foil (alufo). Metode yang digunakan untuk mengetahui umur simpan produk adalah metode akselerasi dengan menggunakan 3 suhu penyimpanan yaitu suhu ruang (30 ºC), suhu 40 ºC, dan suhu 50 ºC. Analisis yang digunakan adalah pengukuran nilai Thiobarbituric Acid (TBA) dan analisis organoleptik. Pengukuran dilakukan setiap 7 hari selama 6 minggu. Alur penelitian disajikan pada Gambar 6.
Ikan nike
Dibersihkan & ditiriskan -
Proksimat As. amino As. lemak Mineral
- Uji sensori - kerenyahan
Analisis gizi Tahap Formulasi ( Tahap penentuan suhu dan waktu penggorengan terbaik
Karakterisasi mutu savory chips terbaik sesuai SNI
- Uji sensori - Analisis TBA
- Uji sensori - kerenyahan
Tahap pendugaan umur simpan savory chips
Savory chips ikan nike dengan masa simpan terbaik
Gambar 6 Alur kegiatan penelitian.
- Proksimat - Uji sensori - TPC & Kapang
21 3.3
Prosedur Pengujian Prosedur pengujian yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis
proksimat, asam amino, asam lemak, analisis mineral, analisis nilai asam tiobarbiturat (TBA), analisis sensori dan analisis kerenyahan. 3.3.1 Analisis proksimat Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. a)
Analisis kadar air (AOAC 1995) Sebanyak satu gram sampel uji ditimbang dalam cawan porselin, Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven suhu 150 ºC selama 8 jam, kemudian ditimbang bobot sampel akhir setelah pengeringan. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:
b) Kadar Abu (AOAC 1995) Sebanyak satu gram sampel ditempatkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap, selanjutnya diabukan dalam tanur suhu 600 ºC selama 2 jam sampai terabukan sempurna, kemudian ditimbang bobot abu yang terbentuk. Penentuan kadar abu menggunakan rumus:
c)
Kadar Protein kasar metode Kjeldahl (AOAC 1995) Sebanyak 0,25 g sampel, dimasukkan dalam labu kjeldahl 100 ml, selanjutnya ditambahkan selenium 0,25 g dan 3 ml H2SO4 pekat, kemudian dilakukan dekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Hasil dekstruksi selanjutnya didinginkan, kemudian ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator brom-cresol greenmethyl red berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan, destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda.
Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap
22 blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Keterangan: S = volume titran sampel (ml) B = volume titran blanko (ml) w = bobot sampel kering (mg). Kadar protein dihitung dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor perkalian untuk yaitu berkisar 5,18 – 6,25.
d) Kadar Lemak kasar (AOAC 1995) Sebanyak 2 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimbel, selanjutnya dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sampel kemudian diekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 ºC selama 1 jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
e)
Kadar Karbohidrat (BeMiller 2003) Kandungan karbohidrat dilakukan dengan menggunakan metode analisis karbohidratby difference, yaitu dengan formula: Kadar karbohidrat (%) = 100% - % (abu + lemak + protein + air)
3.3.2 Analisis asam amino (AOAC 2005) Prinsip analisis asam amino ini adalah asam amino dari protein dibebaskan melalui hidrolisis dengan HCl 6N. Hidrolisat dilarutkan dengan buffer sodium sitrat dan masing-masing asam amino tersebut akan dipisahkan dengan menggunakan HPLC. Sebelum dilakukan proses hidrolisis, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi protein dengan menggunakan metode Kjeldahl. a)
Hidrolisis asam amino Sebanyak 3 mg protein dimasukkan ke dalam ampul dan ditutup kemudian ditambahkan 1 mL HCl 6 N dan dikocok hingga homogen, selanjutnya dibekukan campuran tersebut dalam es kering-aseton.
Freeze dryer dihubungkan dengan
23 pompa vakum untuk mengeringbekukan sampel. Udara yang ada dalam sampel yang telah dibekukan dikeluarkan dengan cara mengeluarkan penutup ampul dari dalam es kering-aseton. Pada saat campuran mencair, udara yang terlarut dalam sampel akan keluar. Jika gelembung udara terlalu banyak, atau keluar terlalu cepat, ampul dimasukkan kembali ke dalam es kering-aseton dan divakum kembali. Cara ini diulangi sampai udara yang ada dalam sampel keluar seluruhnya. Sebanyak 1 atau 2 tetes n-oktil alkohol ditambahkan sebagai anti bubbling jika masih ada gelembung udara di dalam ampul. Ampul divakum kembali selama 20 menit, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 ºC selama 24 jam. Setelah itu sampel yang terdapat pada ampul didinginkan. Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan ke labu evaporator 50 mL dan ampul dibilas dengan 2 mL HCl 0.01 N. Cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. b) Pengeringan Dilakukan dengan mengeringkan sampel menggunakan freeze dryer dalam keadaan vakum, untuk mengubah sistein menjadi sistin. Sampel yang terdapat dalam labu evaporator, ditambahkan aquades sebanyak 10–20 mL dan dikeringkan.
Proses pengeringan ini diulangi sebanyak 2 sampai 3 kali.
Selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 0.01 N ke dalam sampel yang telah dikeringkan. c)
Derivatisasi Larutan yang telah dihidrolisis dalam 5 mL HCl 0.01 N kemudian disaring dengan kertas milipore. perbandingan 1:1.
Ditambahkan buffer kalium borat pH 10.4 dengan
Sebanyak 10 µL sampel dimasukkan ke dalam labu dan
ditambahkan pereaksi OPA sebanyak 25 µL, selanjutnya dibiarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna. Sampel diinjeksi ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µL kemudian ditunggu selama waktu ± 25 menit sampai pemisahan semua asam amino selesai. 3.3.3 Analisis mineral (AOAC 2005) Analisis mineral yang akan dilakukan pada bahan baku ikan nike ini terdiri dari kalsium, magnesium, besi, seng, selenium, dan iodium dengan prosedur sebagai berikut: a) Analisis kalsium (Ca) dan magnesium (Mg)
24 Persiapan larutan standar: larutan stok kalsium (Ca); sebanyak 25 µg Ca/mL. sebanyak 1,249 g CaCO3 dilarutkan dalam 1 liter HCl 3N. 50 mL larutan stok kalsium tersebut diencerkan sampai 1 liter. Pembuatan larutan standar; 0, 5, 10, 15 dan 20 µg/mL yang mengandung 1% larutan standar.
Pada labu takar 25 mL
dimasukkan masing-masing 0, 5, 10, 15, dan 20 mL larutan stok Ca, kemudian ditambahkan 5 mL larutan standar, dan diencerkan sampai 25 mL. Larutan stok Mg; 1000 µg Mg/mL. Sebanyak 1 g logam Mg murni dimasukkan ke dalam 50 ml H2O dan perlahan-lahan ditambahkan 10 mL HCl, selanjutnya diencerkan sampai 1L. Preparasi sampel; sebanyak 2,5 g sampel timbang, dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal 500 atau 800 mL.
Kemudian ditambahkan 20-30 mL HNO3
selanjutnya dididihkan perlahan-lahan selama 30-45 menit untuk mengoksidasi bahan yang mudah teroksidasi. Kemudian larutan didinginkan, selanjutnya larutan tersebut ditambahkan 10 ml 70-72% HCLO4, kemudian di didihkan kembali dengan hati-hati sampai larutan tidak berwarna atau sampai membentuk asap putih, setelah dingin, kemudian ditambahkan 50 ml H2O, kemudian dipanaskan sampai sisa asap NO2 hilang, kemudian didinginkan dan diencerkan. Larutan yang telah dingin selanjutnya disaring ke dalam labu takar 250 ml, dan diencerkan sampai tanda, dan dikocok hingga homogen. Pengukuran; Ca dan Mg diukur dengan menggunakan pembakar C2H2-udara. Penghilangan campuran dengan menambahkan larutan stok dan sampel sampai menjadi 1%. Kondisi alat diatur untuk Ca menggunakan panjang gelombang 4227Å, dan Mg 2852 Å, lampu untuk C2H2-kaya udara, kisaran untuk Ca 2-20 µg/ml, dan Mg 0,2-2 µg/ml. b) Analisis seng (Zn) dan besi (Fe) Prinsip pengujian ini adalah bahan yang akan diuji dikeringkan dan diabukan pada suhu 450°C dengan peningkatan temparaturnya secara berangsur-angsur (≤ 500C/jam). Tambahkan HCl 6M, larutan dievaporasi sampai agak mengering. Residu yang dihasilkan dilarutkan dengan HNO3 0,1 M, dan dianalisa pengukurannya menggunakan prosedur nyala dan grafit tungku. Larutan standar Zn 1mg/ml, sebanyak 1 g seng (Zn) dilarutkan dengan 14 ml air dan ditambahkan 7 ml HNO3 di dalam labu takar 1L, selanjutnya larutan
25 diencerkan dengan air sampai tanda. Larutan standar besi (Fe) 1mg/ml. Sebanyak 1 g Fe dilarutkan dengan 14 ml H2O dan ditambahkan 7 ml HNO3 di dalam labu takar. Kemudian larutan diencerkan dengan air sampai tanda. Larutan standar pengujian, untuk analisis tungku grafit, dilarutkan larutan standar dengan 0,1M HNO3, untuk kisaran standar dari awal kisarannya linier pada bagian yang akan diukur. Untuk analisis nyala, encerkan standar dengan 0,1M HNO3, pada kisaran awal dari konsentrasi standar untuk pengukuran. Prosedur analisis; 1) penanganan awal, bahan dihomogenkan jika perlu, gunakan alat yang tidak menyebabkan kontaminasi; 2) pengeringan, dalam wadah pelebur logam (cawan) ditimbang 10-20 g sampel uji untuk memperoleh 0,01g. kemudian dikeringkan dalam oven pengering, di atas water bath, atau hot plate pada suhu 100 ºC.
Prosedur ini dilakukan sesuai tipe tanur; 3) di dalam tungku
pengabuan, cawan ditempatkan di dalam tanur pada kisaran suhu tidak lebih dari 100 ºC. Secara perlahan-lahan suhu tanur ditingkatkan dengan kisaran maksimum kenaikan suhu 50 ºC/jam sampai suhu menjadi 450 ºC. Cawan dibiarkan selama 8 jam atau semalam; 4) pelarutan, abu dibasahkan dengan 1-3 ml air dan diuapkan dalam water bath atau hot plate. Cawan diletakkan di dalam tanur pada suhu tidak lebih dari 200 ºC dengan kisaran kenaikan temperatur 50 ºC-100 °C/jam sampai suhu mencapai 450 ºC. Proses pengabuan pada suhu tersebut sekitar 1-2 jam atau lebih. Dilakukan pengulangan prosedur pengabuan tersebut sampai bahan terabukan sempurna. Pengukuran untuk Fe dan Zn menggunakan AAS dengan metode AAS nyala. Ketika hasil AAS keluar pada kisaran yang linier, sampel diencerkan larutan dengan 0,1M HNO3. Pada teknik nyala, disiapkan minimum 3 kurva kalibrasi. Pengukuran konsentrasi logam dari sampel dihitung dengan formula:
Keterangan: a = konsentrasi larutan sampel (mg/L) b = konsentrasi larutan blanko (mg/L) c = konsentrasi dalam sampel (mg/kg) V = volume larutan sampel (ml) m = berat sampel uji c) Analisis iodium (I) Preparasi sampel; 1 g sampel ditambahkan dengan 1% KNO3 dan 2% NaOH (1:1) hingga terendam, dan didiamkan. Sampel kemudian keringkan dalam oven
26 suhu 105 ºC selama 1 jam, selanjutnya diarangkan sampai tidak berasap, lalu diabukan pada suhu 550 ºC sampai menjadi abu putih. Abu dimasukkan dalam labu takar, kemudian ditambahkan NaOH 0,1N, ditera dengan air bebas ion sampai tanda. Dikocok sampai homogen, kemudian disaring.
Hasil preparasi sampel berupa
larutan abu digunakan sebagai sampel. Pengukuran dilakukan dengan cara 0,25 ml filtrat ditambahkan dengan 0,75 ml asam klorit, dipanaskan dalam ruang asam selama 5 menit, kemudian didinginkan, selanjutnya tambahkan 3,5 ml asam arsenit 0,2 N aduk dan diamkan 15 menit. Kemudian ditambahkan 5,5 cerium aduk dan didiamkan 30 menit. pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 405 nm. d) Analisis Selenium (Se) Prinsip pengujian mineral selenium (Se) menggunakan metode fluorometri. Prosedur reaksi oksidasi ini untuk mengubah Se menjadi bentuk inorganik, diantaranya Se4+ atau Se6+. Pemberian HClO4 dalam larutan oksidasi mencegah hilangnya Se. Semua bentuk Se dalam larutan diubah menjadi Se4+ melalui reduksi dengan menggunakan HCl.
Analisis ini menggunakan atomic absorption
spectrophotometer (AAS) Prosedur pengukuran diawali dengan menambahkan sampel yang telah didinginkan pada suhu ruang dengan 0,5 ml konsentrat HCl dalam tabung. Tabung tersebut ditempatkan pada pemanas dan dipanaskan selama 30 menit. Temperatur dijaga agar tetap pada suhu 110°-150°C untuk setiap periode, selanjutnya tabung dipindahkan dari pemanas dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel selanjunya diencerkan dengan 20 ml larutan HCl (v/v),
dihomogenkan dengan
menggunakan vortex. Pengukuran HGAA, kalibrasi alat menggunakan HCl sebagai pereaksi blanko, dan selenit kalibrasi untuk larutan standar.
Kalibrasi diulang sampai nilai
absorbansinya konstan. Pengukuran konsentrasi diketahui melalui kurva standar. Pengukuran dilakukan sampai diperoleh konsentrasi 8,0±0,4 mg Se/ml, selanjutnya dilakukan kalibrasi ulang, kemudian diukur kandungan Se dalam larutan uji. Kandungan Se dalam standar diperiksa setiap 10-12 pengujian. Untuk pembacaan sampel pada kurva kalibrasi, sampel diencerkan dengan larutan HCl (v/v), dan dilakukan pengukuran seperti pada larutan standar.
Perhitungan dilakukan
27 berdasarkan asumsi bahwa seluruh larutan uji diencerkan pada 20 ml (sebagai pengenceran akhir) dan bahwa AAS kalibrasi adalah dalam mg Se/ml. kalkulasi kandungan Se µg/ml, dengan rumus : × 20 × × Keterangan: C = kandungan Se dalam tabung yang diukur dengan HGAA, mg/ml Vt = total perkiraan larutan pengenceran (ml); Va = nilai analisis larutan uji (ml) Ws = berat larutan uji (g) 3.3.4 Analisis asam lemak (AOAC 2005) Asam lemak dianalisis menggunakan kromatografi gas.
Sebelum dilakukan
proses hidolisis dan esterifikasi, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi lemak sampel dengan menggunakan metode soxhlet. a)
Hidrolisis dan esterifikasi Sebanyak 20 – 30 mg sampel lemak ditimbang dalam tabung tertutup teflon, selanjutnya ditambahkan 1 ml NaOH 0,5 N dalam methanol, dan dipanaskan dalam tangas air selama 20 menit. Kemudian ditambahkan 2 ml BF3 16%, dan dipanaskan lagi selama 20 menit, setelah dingin ditambahkan 2 ml NaCl jenuh dalam 1 ml heksan, dikocok dengan baik sampai tersabunkan. Lapisan heksan pindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi 0,1 g Na2SO4anhidrat dibiarkan 15 menit. Kemudian fase cair dipisahkan, selanjutnya diinjek ke kromatografi gas.
b) Analisis komponen asam lemak sebagai fatty acid methyl ester (FAME) Sampel yang sudah dipreparasi dan standar fame diinjeksi masing-masing sebanyak 1µL secara terpisah. Akan diperoleh 2 kromatogram dari sampel dan standar.
Waktu retensi standard dan sampel dibandingkan untuk mendapatkan
informasi mengenai jenis dan komponen asam lemak sampel uji. Nilai asam lemak dihitung dengan rumus:
3.3.5 Penetapan nilai Thiobarbituric Acid (TBA) (Tarladgis et al. diacu dalam Sudarmadji 1997) Pada prinsipnya 2-thiobarbituric acid akan bereaksi dengan melanoldehid membentuk warna merah, intensitas warna merah yang terbentuk dapat diukur pada
28 spektrofotometer.
Melanoldehid merupakan hasil oksidasi lipid.
Cara kerja yang
dilakukan pertama-tama sebanyak 10 g bahan ditimbang, selanjutnya dimasukkan ke warring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit, langkah berikutnya larutan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml aquades. Kemudian ditambahkan kurang lebih 2,5 ml HCL 4M sampai pH menjadi 1,5. Batu didih dan pencegah buih secukupnya ditambahkan, selanjutnya labu destilasi dipasang pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanasan
tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh hingga homogeny. Kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi tertutup, ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dihomegenkan selanjutnya dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Kemudian dibuat larutan blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, prosedur yang dilakukan seperti penetapan sampel. Setelah destilat mendidih kemudian didinginkan tabung reaksi dengan air pendingin selama kurang lebih 10 menit. Kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Bilangan TBA, dinyatakan dalam 1 mg melanoldehid per kg sampel. Bilangan TBA adalah 7,8 D. Formula yang digunakan untuk menghitung nilai TBA yaitu: Angka TBA = Ket : A528 = absorbansi pada λ 528 nm 3.3.6 Analisis sensori (SNI 2006) Uji sensori pada penelitian ini dilakukan menggunakan uji hedonik, dan parameter uji yang diukur adalah penampakan, rasa, tekstur dan aroma.
Pada uji
hedonik atau uji kesukaan, panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap penampakan, rasa, aroma, dan tekstur savory chips ikan nike yang disajikan. Skala hedonik yang digunakan bernilai 1-7 (Lampiran 1), dengan jumlah panelis 30-36 orang panelis semi terlatih dan bahan disajikan secara acak. 3.3.7 Analisis kerenyahan (Texture analyzer TA-XT21) Pengujian kerenyahan dilakukan menggunakan texture analyzer TA-XT21. Aksesoris yang digunakan untuk mengukur kerenyahan dan kekerasan tekstur berupa
29 probe berbentuk pisau pemotong yang sesuai untuk produk snack. Sampel ditekan dengan probe hingga terpotong dan menghasilkan kurva yang menunjukkan profil tekstur savory chips. Nilai kerenyahan (gf) dilihat dari puncak pertama yang signifikan pada kurva, sedangkan nilai kekerasan (gf) dilihat dari puncak maksimum pada kurva . 3.4
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor perlakuan yang diberikan terdiri dari: 1) Tahap formulasi; faktor perlakuan adalah konsentrasi tepung (A) dan konsentrasi bahan perenyah yang digunakan (B) 2) Tahap pengujian proses penggorengan; faktor perlakuan adalah suhu (A) dan lama waktu menggoreng (B) Model rancangan : Keterangan:
ijk
= µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk.
: Respon pengaruh faktor perlakuan µ : Nilai tengah αi : Pengaruh faktor A pada faktor ke-i βj : Pengaruh faktor B pada faktor ke-j (αβ)ij : Pengaruh interaksi A dan B εijk : Galat percobaan ijk
Apabila hasil percobaan yang dilakukan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan (Steel dan Torie 1993). Bentuk persamaannya adalah: Rp = rα;p;dbg S
Y
SY = Rh =
atau 1/rh =
Dimana rα;p;dbg= nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dbg. Data hasil uji sensori dianalisis dengan statistik non parametrik, metode Kruskal Wallis dengan formulasi sebagai berikut:
30
Dimana: T = (t - 1) (t + 1) Keterangan : ni : Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri : Jumlah rangking dalam contoh ke-i n : Jumlah total data t : Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ : H terkoreksi Jika hasil yang diperoleh berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Multiple Comparison dengan formulasi sebagai berikut :
Keterangan : Ri Rj N K ni nj
: Rata-rata rangking dalam perlakuan ke-i : Rata-rata rangking dalam perlakuan ke-j : Banyaknya data : Banyaknya perlakuan : Jumlah data perlakuan ke-i : Jumlah data perlakuan ke-j
Semua data pengamatan tekstur analisis dan nilai organoleptik ditabulasikan dan diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak SPSS 16. Penentuan formula terbaik, suhu serta waktu penggorengan terbaik menggunakan metode Bayes (Marimin dan Maghfiroh 2010) dengan persamaan sebagai berikut:
Keterangan :Total Nilaii Nilaiij Kritj i j
= = = = =
total nilai akhir dari alternative ke-i nilai dari aternatif ke-I pada criteria ke-j tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j 1,2,3…n; n = jumlah alternatif 1,2,3…m; m = jumlah kriteria.
Data pengamatan nilai TBA untuk mengetahui pengaruh perlakuan kemasan dan suhu penyimpanan terhadap umur simpan produk savory chips ikan nike dianalisis
31 menggunakan regresi linier, dan persamaan Arrhenius untuk menduga umur simpan produk (Arpah 2001). Model Arrhenius adalah sebagai berikut:
Keterangan: K = konstanta penurunan mutu; K0 = konstanta (tidak tergantung pada suhu); E = energi aktivasi; T = suhu mutlak (C + 273); R = konstanta gas, 1.986 kal/mol Persamaan di atas dapat diubah menjadi : ln k = ln k0 – (Ea/RT)
32
4.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Gizi Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada pembuatan savory chips adalah ikan nike beku
dengan panjang tubuh rata-rata ±3,5 cm. Bentuk dan ukuran ikan nike yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Bentuk dan ukuran ikan nike (A. melanocephalus). Ikan nike yang digunakan diperoleh dari TPI Tenda Kota Gorontalo. Preparasi ikan dilakukan sebelum dibawa ke laboratorium. Ikan dicuci bersih dan dipisahkan dari kotoran berupa pasir dan rumput laut, kemudian dikemas dengan plastik polietilen, selanjutnya dibekukan. Sampel dibawa menggunakan cool box melalui transportasi udara dengan waktu tempuh ± 6 jam. Analisis awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah karakterisasi kandungan gizi ikan nike meliputi: analisis proksimat, asam amino, asam lemak, dan mineral yang terdiri dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe), seng (Zn), Iodium (I), dan selenium (Se). 4.1.1 Nilai proksimat ikan nike (A. melanocephalus) Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah relatif protein, lemak, air, abu dan karbohidrat di dalam suatu bahan. Berdasarkan hasil analisis, ikan nike memiliki kandungan air, protein, lemak dan abu seperti yang disajikan pada Tabel 2.
34 Tabel 2 Nilai proksimat ikan nike (A. melanocephalus) beku Komponen kimia Air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Nilai(%) 79,76 16,89 0,76 1,93 0,30
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ikan nike memiliki kadar air 79,76%, protein 16,89%, dan lemak 0,76%. Berdasarkan komposisi tersebut dapat dikatakan bahwa ikan nike memiliki kadar air yang cukup tinggi, dengan kandungan protein sedang, dan lemak kurang. Islam dan Joadder (2005) mengemukakan bahwa komposisi kimia setiap spesies dan individu ikan berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin, habitat dan musim.
Stanceva et al. (2010) mengemukakan pula bahwa
berdasarkan kandungan lemaknya, ikan biasanya diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yaitu: ikan kurus atau tak berlemak (< 2%); rendah lemak (2-4%); lemak sedang (4-8%); dan lemak tinggi (> 8%). Variasi kandungan lemak pada ikan berkaitan erat dengan musim, suhu perairan, dan komposisi makanannya. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Nargis
(2006)
terhadap
ikan
Koi
(Anabas testudineus) (Anabantidae: Perciformes), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara komposisi proksimat ikan dengan ukuran dan jenis kelamin, dimana ikan yang berukuran kecil kadar airnya lebih tinggi daripada ikan berukuran besar, kadar protein ikan betina lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jantan, selanjutnya ikan yang berukuran kecil kadar protein lebih rendah daripada ikan besar. Ditambahkan pula bahwa kandungan protein meningkat pada ikan yang berukuran sedang, tetapi menurun seiring dengan pertambahan umur ikan. Kadar lemak pada ikan jantan yang berukuran besar lebih tinggi dari pada ikan betina. Jenis makanan yang dikonsumsi juga dapat mempengaruhi komposisi kimia ikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adewolu dan Benfey (2009) pada juvenil ikan Bagrid cathfish (Chrysichthys nigrodigitatus) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kandungan protein ikan setelah diberi pakan dengan kandungan protein yang tinggi. Habitat dan komposisi makanan dapat mempengaruhi komposisi proksimat ikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2010) menemukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kandungan lemak dan protein dari juvenil ikan bawal perak
35 (Pampus argenteus) budidaya dengan yang hidup liar. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lemak juvenil ikan budidaya lebih tinggi, akan tetapi kandungan proteinnya lebih rendah daripada ikan liar.
Hal ini karena ikan yang hidup liar
komposisi makanannya lebih variatif dibandingkan dengan ikan budidaya yang hanya mengandalkan pakan komersil. 4.1.2 Profil asam amino ikan nike Protein merupakan salah satu komponen kimia utama pada ikan selain air, lemak, dan mineral (Handayani dan Widodo 2010).
Asam amino merupakan senyawa
penyusun protein yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida.
Hasil analisis
kandungan asam amino ikan nike disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan asam amino ikan nike dan juvenil bawal perak Nilai (%) Jenis Asam Amino Asam amino esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Methionin Phenilalanin Treonin Valin Triptofan Asam amino nonesensial Alanin Aspartat Glisin Glutamat Prolin Serin Sistein Tirosin Ket: * **
Nike* (A. melanocephalus)
Bawal perak** (P. argenteus)
0,356 0,242 0,234 1,153 0,843 0,175 0,315 0,389 0,573 -
5,34 1,81 2,61 4,70 7,02 2,23 2,28 3,40 4,78 -
0,309 0,614 0,279 1,478 0,821 0,423 0,113 0,330
5,07 8,16 5,45 10,39 3,66 2,83 2,81
Konsentrasi berdasarkan % berat basah Konsentrasi berdasarkan % berat kering (Zhao et al. 2010)
36 Hasil analisis asam amino menunjukkan bahwa ikan nike memiliki kandungan asam amino yang cukup lengkap baik esensial maupun nonesensial. Kandungan asam amino leusin dan lisin konsentrasinya lebih tinggi pada kelompok asam amino esensial yaitu 1,153% dan 0,843%, sedangkan untuk asam amino nonesensial konsentrasi tertinggi dikandung oleh asam amino glutamat dan prolin yaitu 1,478% dan 0,821%. Dari keseluruhan konsentrasi asam amino ikan nike, asam glutamat memiliki konsentrasi tertinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2010) terhadap juvenil ikan bawal perak (P. argenteus) (Tabel 3) menunjukkan hasil yang hampir sama dengan komposisi asam amino pada ikan nike yaitu lisin, leusin, glutamat dan asam aspartat, dan asam glutamat memiliki konsentrasi tertinggi. Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplit atau protein bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah dan proporsi yang sesuai untuk keperluan tubuh (Almatsier 2006). Ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang baik selain telur, karena mengandung asam-asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Brody 1999). Tingginya kandungan asam glutamat pada ikan nike diduga memberikan cita rasa lezat pada ikan nike saat ikan tersebut diolah menjadi makanan. Menurut Reineccius (2006) bahwa asam glutamat yang terdapat dalam makanan memberikan cita rasa yang khas atau yang biasa dikenal dengan istilah umami. 4.1.3 Profil asam lemak ikan nike Asam lemak adalah bagian dari molekul lemak, dapat berfungsi sebagai zat penyusun lemak tubuh atau dapat juga digunakan sebagai penghasil energi. Asam-asam lemak yang biasa ditemukan di alam umumnya dalam bentuk asam-asam monokarboksilat dengan rantai tidak bercabang dan mempunyai nomor atom genap. Asam-asam lemak dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh.
Hasil pengukuran profil asam lemak pada ikan nike dengan
menggunakan kromatografi gas disajikan pada Tabel 4.
37 Tabel 4 Komposisi asam lemak ikan nike (A. melanocephalus) Jenis asam lemak
Nilai (% b/b)
Asam lemak jenuh Asam laurat, C12:0 Asam tridekanoat, C13:0 Asam miristat, C14:0 Asam miristoleat, C14:1 Asam pentadekanoat, C15:0 Asam palmitat, C16:0 Asam palmitooleat, C16:1 Asam heptadekanoat, C17:0 Asam Cis-10-Heptadekanoat, C17:1 Asam stearat, C18:0 Asam elaidik, C18:1n9t
0,02 0,02 2,64 0,02 0,55 20,56 3,68 1,10 0,29 7,31 0,09
Asam lemak tak jenuh Asam oleat, C18:1n9c Asam linolelaidik, C18:2n9t Asam linoleat, C18:2n6c Asam arakidik, C20:0 Asam g-linolenat, C18:3n6 Asam cis-11-eikosenoat, C20:1 Asam linoleat, C18:3n3 Asam heneicosanoat, C21:0 Asam cis-11,14-eicoseidenoat, C20:2 Asam behenic, C22:0 Asam Cis-8,11,14-eikosetrienoat, C20:3n6 Asam erusik, C22:1n9 Asam Cis-11,14,17-eikoisentrinat, C20:3n3 Asam arakidonat (ARA), C20:4n6 Asam trikosanoat, C23:0 Asam cis-13,16-dokosadenat, C22:2 Asam lignoserik, C24:0 Asam cis-5,8,11,14,17-eikosapentanoat (EPA), C20:5n3 Asam nervoik, C24:1 Asam Cis-4,7,10,13,16,19-dokosaheksanoat (DHA), C22:6n3
8,50 0,02 0,92 0,42 0,10 0,34 0,60 0,12 0,13 0,26 0,10 0,04 0,08 0,94 0,12 0,01 0,33 2,22 0,44 14,81
Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan nike memiliki 11 jenis asam lemak jenuh dan 20 jenis asam lemak tak jenuh. Pada asam lemak jenuh asam palmitat memiliki konsentrasi tertinggi yaitu 20,56%, selanjutnya asam stearat 7,31%, asam palmitooleat
38 3,68%, dan asam miristat 2,64%. Asam lemak tak jenuh konsentrasi tertinggi dikandung oleh asam dokosaheksanoat (DHA) yaitu 14,81%, selanjutnya asam oleat 8,50%, asam eikosapentanoat (EPA) 2,22%, asam arakidonat 0,94%, dan asam linoleat 0,92%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Daly et al. (2010) pada juvenil ikan salmon di perairan hulu sungai Columbia dan teluk Wilappa menunjukkan bahwa komposisi asam lemak yang hampir sama dengan ikan nike (Tabel 5), yaitu asam palmitat, stearat, dan miristat memiliki kandungan yang cukup tinggi untuk asam lemak jenuh pada masing-masing spesies, sedangkan untuk asam lemak tak jenuh antara lain asam oleat, linoleat, EPA dan DHA. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2010) terhadap juvenil ikan bawal perak yang dibudidaya dan yang hidup liar seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi asam lemak pada juvenil ikan Nilai (total % pada beberapa spesies ikan) Jenis asam lemak
Nike (A. melanocephalus)
Salmon Bawal perak Bawal perak Salmon coho* Chinook* (P. argenteus) (P. argenteus) (O. kisutchi) (O. tshawytscha) budidaya** liar**
Asam Miristat
2,64
3,9
4,0
4,81
3,52
Asam Palmitat
20,56
21,0
19,1
27,30
24,38
Asam Stearat
7,31
5,7
13,6
7,60
10,85
Asam Oleat
8,50
18,4
19,9
18,40
18,39
ARA
0,94
0,8
0,5
4,03
4,89
EPA
2,22
9,0
7,5
4,88
4,98
DHA
14,81
19,0
14,0
16,26
17,78
Ket: * Daly et al. (2010) ** Zhao et al. (2010)
Berdasarkan perbandingan komposisi asam lemak pada beberapa spesis ikan seperti disajikan pada Tabel 5, menunjukkan bahwa komposisi asam lemak pada tiap spesies ikan bervariasi, serta kandungan asam lemak tak jenuh pada spesies-spesies ikan tersebut cukup tinggi. Asam-asam lemak tersebut merupakan asam lemak esensial yang diperlukan oleh tubuh, oleh sebab itu ikan merupakan salah satu sumber asam lemak esensial yang baik untuk dikonsumsi. Haliloglu dan Aras (2002) dan Zhao et al. (2010) mengemukakan bahwa metabolisme lemak dan komposisi asam lemak yang terdapat pada ikan bervariasi untuk
39 tiap spesies. Komposisi tersebut berkaitan dengan jenis ikan, lingkungan, suhu, musim, sifat fisik dan kimia air, letak geografis, umur, jenis kelamin, dan kandungan nutrisi yang terdapat di habitatnya. Daly et al. (2010) menambahkan pula bahwa tingginya kandungan asam lemak esensial
(EPA dan DHA) pada ikan, menyebabkan ikan
dikatakan sebagai sumber asam lemak esensial yang baik bagi tubuh. Suseno et al. (2010) menyatakan bahwa asam lemak tak jenuh ganda (EPA dan DHA) telah direkomendasikan bagi kesehatan manusia dan fekunditas ikan; khusus untuk DHA sangat baik memberikan efek terapeutik bagi kesehatan manusia. 4.1.4 Profil komposisi mineral pada ikan nike Mineral adalah zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses kehidupan. Sumber mineral yang paling baik adalah pada makanan hewani termasuk ikan. Mineral yang berasal dari makanan hewani mempunyai ketersediaan biologik lebih tinggi daripada yang berasal dari makanan nabati. Makanan hewani mengandung lebih sedikit bahan pengikat mineral daripada makanan nabati (Almatsier 2006).
Agustono (2008)
menyatakan bahwa kandungan mineral dalam tubuh ikan memiliki jumlah relatif kecil, tetapi mempunyai peran yang amat penting dalam mengatur proses-proses dalam tubuh, serta sebagian lainnya digunakan untuk pertumbuhan dan pergantian jaringan. Analisis mineral yang dilakukan pada ikan nike terdiri dari kalsium (Ca), magnesium (Mg). besi (Fe), seng ( Zn), Iodium (I), Selenium (Se). Hasil analisis kandungan mineral pada ikan nike disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kandungan mineral ikan nike (A. melanochepalus) Jenis mineral
Nilai (ppm)
Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Besi (Fe) Seng (Zn) Iodium (I) Selenium (Se)
677,34 211,58 15,77 17,88 0,079 Tidak terdeteksi
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan mineral yang banyak terdapat pada ikan nike adalah kalsium dan magnesium yaitu 677,34 ppm dan 211,58 ppm.
Kandungan kalsium yang tinggi pada ikan nike diduga karena ikan
40 tersebut adalah ikan juvenil dan berukuran kecil, sehingga semua bagian dari ikan termanfaatkan termasuk tulangnya. Menurut Larsen et al. (2000) ikan yang berukuran kecil dengan tulang merupakan sumber kalsium yang baik, karena umumnya ikan berukuran kecil dikonsumsi bersama-sama dengan tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Petenuci et al. (2008) terhadap kandungan mineral pada ikan nila menunjukkan bahwa kandungan mineral kalsium pada tepung ikan nila yang diekstrak beserta tulangnya lebih tinggi daripada ekstrak tepung daging ikannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Larsen et al. (2000) terhadap mola (Amblypharyngodon mola) salah satu spesies ikan berukuran kecil yang terdapat di Banglades menunjukkan bahwa hasil pengukuran kandungan mineral termasuk kalsium berdasarkan berat keringnya terdiri atas: 49,6 g/kg kalsium, 27,7 g/kg posfor, 2,1 g/kg magnesium, 606 mg/kg besi, 672 mg/kg, seng73 mg/kg mangan, dan 10 mg/kg tembaga. Roos et al. (2003) mengemukakan bahwa mineral yang terkandung dalam ikan umumnya mudah diserap oleh tubuh. Hasil penelitian yang dilakukannya terhadap daya serap kalsium dan vitamin yang bersumber dari ikan-ikan kecil di perairan Banglades menunjukkan bahwa daya serap kalsium ikan kecil (Mola) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kalsium dari susu. Daya serap kalsium ikan tersebut 24-30% sedangkan kalsium dari susu daya serapnya 22-28%. Hasil pengukuran mineral selenium pada ikan nike tidak terdeteksi hal ini diduga karena konsentrasi selenium di dalam ikan nike terlalu kecil sehingga tidak terdeteksi saat pengukuran.
Penelitian yang dilakukan oleh Suseno et al. (2010) terhadap
beberapa spesies ikan laut dalam di perairan Sumatera menunjukkan bahwa kandungan mikromineral
selenium
pada
beberapa
spesies
ikan
sangat
rendah
(< 0,02 mg/100 g). Selenium merupakan salah satu mineral mikro yang terdapat dalam jumlah kecil di dalam tubuh. Ketersediaan selenium dalam suatu organisme tergantung pada kondisi lingkungan dan sumber makanan yang terdapat di habitat organisme tersebut (Almatsier 2006).
41 4.2
Penentuan Formulasi Tepung Pelapis Savory Chips Terbaik Penentuan formula tepung pelapis savory chips terbaik dilakukan berdasarkan
analisis kerenyahan dan uji penerimaan secara organoleptik. Kerenyahan merupakan sifat karakteristik khas dari produk gorengan yang dicoating. Kerenyahan produk dapat dipengaruhi oleh bahan tambahan, formulasi, dan proses yang digunakan (Varela et al. 2008). Penentuan formulasi untuk memperoleh produk yang paling renyah menjadi penelitian pendahuluan sebelum dilanjutkan ke penelitian utama. 4.2.1 Nilai kerenyahan berdasarkan teksture analyzer Nilai kerenyahan diukur menggunakan tekstur analisis dengan melihat puncak pertama yang signifikan pada kurva, dan nilai kekerasan dilihat dari puncak maksimum pada kurva (Rosenthal 1999; Varela et al. 2008). Semakin renyah suatu produk maka nilai puncaknya semakin tinggi.
Hasil pengukuran dengan tekstur analyzer
menunjukkan bahwa nilai kerenyahan berbanding terbalik dengan nilai kekerasan. Hasil pengukuran kerenyahan 3 formula tepung dan konsentrasi perenyah dari savory chips nike menunjukkan bahwa formula A (tepung beras dan tapioka) rata-rata nilai kerenyahannya 406,99 gf, formula B (tepung tapioka dan terigu) 619,42 gf, dan formula C (tepung terigu dan beras) 558,36 gf. Formula A dengan nilai kerenyahan terendah memiliki tekstur yang lebih renyah dibandingkan dengan formula B dan C. Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa jenis dan komposisi tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kerenyahan savory chips nike, selanjutnya konsentrasi perenyah yang ditambahkan pada formulasi tepung tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, akan tetapi interaksi antara formula tepung dan konsentrasi perenyah memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kerenyahan produk.
Hasil Uji lanjut Duncan (p<0,05) (Lampiran 3) menunjukkan bahwa
kerenyahan formula A berbeda nyata dengan formula B dan C, tetapi formula B kerenyahannya tidak berbeda nyata dengan formula C.
Hasil analisis tekstur
menunjukkan bahwa formula A (tepung beras dan tapioka) dengan perenyah 1,5% teksturnya paling renyah dibandingkan dengan formula B dan C. Hal ini diduga karena adanya reaksi yang terjadi selama proses penggorengan yaitu proses gelatinisasi dan pengembangan, proses tersebut berkaitan erat dengan komposisi pati yang dimiliki oleh tepung. Pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi cenderung memiliki tekstur
42 yang lebih renyah. Hasil pengukuran tekstur chips berdasarkan formula dan konsentrasi
Kerenyahan (gf)
perenyah disajikan pada Gambar 8. 700 600 500 400 300 200 100 0
b a
b b
a
A
b
b b
a
B Formula
C
Gambar 8 Nilai kerenyahan berdasarkan formula tepung dan konsentrasi perenyah. Perenyah 1% Perenyah 1,5% Perenyah 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Kerenyahan berhubungan dengan pengembangan.
Apabila produk makin
mengembang, maka akan semakin renyah. Pada tahap pelapisan ikan dengan tepung, air dalam tubuh ikan ikut terserap, selanjutnya pada proses penggorengan terjadi penguapan air karena adanya perpindahan panas, selain itu secara bersamaan terjadi proses gelatinisasi dan pengembangan, dimana tepung pelapis akan mengembang saat pemanasan, butir-butir pati yang ada akan mengembang dan berongga, air yang terserap ikut terperangkap pada bahan. Menurut Sharma et al. (2000) bahwa teknik deep-fat frying melibatkan perubahan fisik dan kimia pada makanan, seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, penguapan air dan pembentukan kulit. Hal ini berhubungan pula dengan rasio amilosa dan amilopektin dari bahan. Copeland et al. (2009) menyatakan bahwa amilopektin merangsang terjadinya pengembangan sehingga produk lebih renyah.
Hermanianto et al. (2000)
mengemukakan bahwa kandungan amilosa yang tinggi pada bahan baku akan menghasilkan produk snack yang keras dan pejal. Menurut Sajilata dan Singhal (2005) bahwa makanan ringan yang mudah meleleh di dalam mulut, tekstur dan kerenyahannya dapat diperbaiki dengan menambahkan tepung yang kandungan amilopektinnya tinggi, serta mengontrol indeks penyerapan air pada bahan tepung.
43 Tepung beras memiliki kandungan amilopektin yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan tepung terigu dan tepung tapioka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mujkprasirt et al. (2001) terhadap chicken drumstick yang di-coating dengan campuran tepung beras dan tepung jagung menghasilkan produk yang lebih renyah. Tingkat kerenyahan yang tinggi juga diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arintorini (2002) pada produk fish snack ikan kurisi, dimana produk yang menggunakan bahan pengikat tepung beras memiliki nilai kerenyahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan tepung maizena, garut, dan tapioka pada produk yang sama. Penambahan bahan perenyah dalam formulasi tepung pelapis juga dapat memperbaiki kerenyahan produk makanan ringan. Menurut Chen et al. (2008) bahan yang tidak larut dalam air, suhu glass transisinya tinggi dan stabilitasnya baik dapat digunakan sebagai bahan perenyah. Dextrin, serat selulosa, dan bahan pengembang dapat digunakan sebagai perenyah pada tepung pelapis.
Bahan perenyah yang
digunakan dalam penelitian ini adalah natrium bikarbonat (Na2CO3) atau yang dikenal dengan soda kue, dan konsentrasi yang digunakan 1%, 1,5%, dan 2%. Penggunaan natrium bikarbonat sebagai perenyah dibatasi penggunaannya tidak lebih dari 5% (SNI 1995). Batas penggunaan natrium bikarbonat sebagai perenyah berdasarkan Acceptable daily intake (ADI) tidak lebih dari 5% (CODEX 1995). Penambahan natrium bikarbonat pada formula tepung mampu meningkatkan keadhesifan tepung sehingga pada saat pelapisan ikan dengan tepung pelapis tidak mengalami penggumpalan. Menurut Chen et al. (2008), bahan perenyah merupakan bahan yang mereduksi kecenderungan masing-masing partikel pada bahan pangan untuk menempel satu sama lain, dan penggunaannya mampu memperbaiki kerenyahan pada produk makanan. Pengembangan terjadi karena adanya reaksi dari natrium bikarbonat membentuk gas dalam adonan. Selama proses pemanasan, volume gas bersama dengan uap air ikut terperangkap dalam adonan sehingga mengembang (Winarno 2008). 4.2.2 Hasil uji organoleptik Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu penampakan, bau, rasa, dan tekstur serta beberapa faktor lain yang dibutuhkan untuk menilai suatu produk (SNI 2006).
44 Analisis organoleptik yang digunakan pada penentuan formulasi savory chips nike adalah uji hedonik dengan menggunakan skala penerimaan 1 sampai 7 (Lampiran 1) (SNI 2006). Pengujian dilakukan oleh 36 orang panelis semi terlatih, dan parameter yang dinilai meliputi: 1) penampakan; 2) aroma; 3) rasa; dan 4) tekstur. 1) Penampakan Penampakan merupakan salah satu faktor fisik yang mempengaruhi kesukaan panelis secara umum.
Pada umumnya konsumen memilih produk makanan yang
memiliki penampakan menarik. Bila kesan penampakan produk baik atau disukai, akan menjadikan daya tarik yang kuat bagi konsumen untuk menilai parameter lain seperti aroma, rasa dan tekstur.
Ditambahkan pula bahwa tingkat penerimaan konsumen
terhadap penampakan suatu produk bukan hanya dilihat dari warna, akan tetapi bentuk dan keseragaman ukuran secara visual juga berpengaruh (Kilcast 2004) Nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan formula savory chips nike berada pada skala 4,06 – 5,89, yaitu netral sampai suka. Tingkat kesukaan panelis disajikan
Nilai organoleptik
pada Gambar 9. 7 6 5 4 3 2 1 0
d b
cd
cd bc
a
(A)
(B) Formula
cd cd b
(C)
Gambar 9 Hasil uji hedonik penampakan savory chips nike. Perenyah 1% Perenyah 1,5% Perenyah 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Hasil uji Kruskal-wallis (Lampiran 5), menunjukkan bahwa formulasi tepung dan konsentrasi perenyah yang digunakan pada savory chips nike memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan produk akhir.
Hasil uji lanjut Duncan
(p<0,05) (Lampiran 6), menunjukkan bahwa formula A2 (tepung beras & tapioka, perenyah 1,5%) memiliki nilai kesukaan tertinggi tidak berbeda nyata dengan formula B1, B2,C2, dan C3, akan tetapi berbeda nyata dengan formula A1, A3, B3 dan C1. Rata-
45 rata nilai penerimaan panelis terhadap penampakan pada formula B (tepung tapioka dan terigu), dan formula C (tepung terigu dan tepung beras) lebih tinggi daripada formula A (tepung beras dan tapioka). Hal ini diduga karena formula B dan C penampakannya lebih cerah, daripada formula A yang agak gelap. Faktor lain yang mempengaruhi penampakan produk akhir dari savory chips ikan nike adalah homogenitas pelapisan bahan, tetapi secara keseluruhan penampakan savory chips dari 3 formulasi tersebut berada pada batas standar penerimaan secara organoleptik yaitu dari netral sampai suka. Penampakan savory chips nike dari 3 formula tepung disajikan pada Gambar 10.
A
B
C
Gambar 10 Penampakan produk savory chips nike dari 3 formula tepung. A: Formula A2 (tepung beras & tapioka, perenyah 1,5%); B: Formula B2 (tepung tapioka & terigu, Perenyah 1,5%); C: Formula C2 (tepung terigu & tepung beras, peneyah 1,5%).
Penampakan dalam suatu produk pangan memegang peranan penting, karena berhubungan dengan mutu bahan pangan. Umumnya konsumen tertarik lebih dulu sebelum selanjutnya mempertimbangkan hal lain misalnya kandungan gizinya. Hasil penelitian Amany et al. (2009) tentang penerimaan konsumen pada penampakan kripik kentang yang digoreng dengan menggunakan minyak bunga matahari menunjukkan bahwa produk kripik berwarna kuning keemasan nilai penerimaannya lebih tinggi dari pada yang berwarna agak gelap. Pencoklatan pada produk chips merupakan hal yang diinginkan kaitannya dengan penampakan dan flavor sesuai dengan tradisi dan penerimaan konsumen, akan tetapi prosesnya harus dikendalikan untuk mencegah reaksi pencoklatan yang berlebihan.
46 Warna pada produk savory chips ikan nike disebabkan oleh reaksi pencoklatan yang dikenal dengan reaksi Mailard. Reaksi tersebut merupakan karakteristik perubahan warna yang terjadi pada sebagian besar bahan pangan selama pemanasan dan penyimpanan. Reaksi Mailard terjadi antara karbohidrat khususnya gula reduksi dengan gugus amino primer yang biasanya terdapat pada bahan sebagai asam amino atau protein. Gugus α-amino dari residu lisin yang terikat pada peptida dan protein akan mengalami reaksi karena gugus ini sangat reaktif. Reaksi lain terjadi antara gugus α-amino residu asam amino terminal dan reaksi yang melibatkan gugus amino dari asam amino bebas (Nursten 2005).
Pembentukan warna terjadi pada tahap reaksi amadori membentuk
amino ketosa, selanjutnya senyawa amino ketosa yang terbentuk mengalami dehidrasi membentuk furfuraldehid misalnya hidroksil metilfural yang berasal dari heksosa, proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan produk antara yaitu metil α-dikarboksil, misalnya metilglioksal, asetol dan diasetil.
Gugus-gugus aldehid aktif tersebut terpolimerisasi
dengan mengikutsertakan gugus amino (disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin (Villamiel et al. 2006). 2) Aroma Aroma makanan umumnya menentukan kelezatan bahan makanan dan banyak berhubungan dengan indra penciuman. Senyawa beraroma sampai ke jaringan pembau dalam lubang hidung, bersama-sama dengan udara. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 2008). Nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma savory chips nike antara 5,06-5,67, yaitu agak suka sampai suka. Hasil uji Kruskal-wallis (Lampiran 5), menunjukkan bahwa formula tepung dan konsentrasi perenyah savory chips tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma produk. Nilai kesukaan panelis terhadap aroma savory chips nike disajikan pada Gambar 11.
Nilai organoleptik
47
6 5 4 3 2 1 0 A
B Formula Gambar 11 Hasil uji hedonik aroma savory chips ikan nike.
C
1% 1,5% 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras).
Berdasarkan hasil analisis dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan aroma dari produk savory chips ini disukai. Hal ini diduga karena adanya reaksi yang terjadi antara ikan sebagai bahan baku utama dengan bumbu yang digunakan. Bumbu-bumbu yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari bawang putih, lada, dan ketumbar. Ditambahkan pula bahwa kandungan glutamat yang tinggi pada ikan nike memberikan cita rasa dan aroma yang khas terhadap produk tersebut. Aroma biasanya akibat dari adanya campuran beberapa, kadang-kadang banyak dari senyawa yang berbau. Bahan atau senyawa yang ditambahkan pada makanan untuk meningkatkan cita rasa biasanya zat-zat yang mengandung senyawa atsiri (Brown 2009).
Senyawa-senyawa atsiri yang digunakan umumnya diperoleh dari bahan
tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah (Winarno 2008). Kilcast (2004) mengemukakan bahwa aroma pada bahan pangan terdeteksi sebagai senyawa volatil yang memasuki rongga hidung, baik secara langsung melalui hidung atau tidak langsung melalui rute retronasal yaitu mulut. Menurut Fizsman (2009) bumbu pada produk coating memberikan nilai tambah karena mampu meningkatkan cita rasa dan aroma. Reaksi Maillard yang terjadi saat proses penggorengan selain menyebabkan perubahan warna produk juga menghasilkan perubahan aroma dari produk (Nursten 2005). Hal ini terjadi karena adanya kondensasi gula dengan gugus amino sehingga menghasilkan glikosilaminN-tersubstitusi, amina disusun kembali menjadi amadori tidak stabil (prekursor aldosa) atau produk heyns (prekursor ketosa), selanjutnya kehilangan asam amino membentuk 1 dan 3 deoxyosone, kemudian akan mengalami berbagai rangkaian perubahan reaksi hingga membentuk senyawa aroma heterosiklik (Reiniccius 2006). 3) Rasa
48 Rasa adalah penilaian indrawi yang menggunakan indra pengecap atau lidah. Rasa juga merupakan salah satu faktor mutu yang dapat mempengaruhi suatu produk pangan. Penginderaan cicipan atau rasa dapat dibagi menjadi empat cicipan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit (Winarno 2008). Nilai rata-rata hasil uji kesukaan terhadap rasa savory chips ikan nike berada pada kisaran 4,81- 5,22, yaitu agak suka sampai suka. Hasil uji kesukaan produk savory
Nilai Organoleptik
chips ikan nike disajikan pada Gambar 12. 6 5 4 3 2 1 0 A
B Formulasi
C
Gambar 12 Hasil uji hedonik rasa savory chips ikan nike. 1% 1,5% 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras).
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5), menunjukkan bahwa formulasi tepung dan konsentrasi penrenyah yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa savory chips ikan nike. Hal ini diduga karena jenis dan komposisi bumbu yang digunakan pada 3 formula tersebut sama, sehingga rasa yang dihasilkan tidak terlalu berbeda. Rasa merupakan salah satu bagian dari komponen cita rasa selain aroma dan rangsangan mulut. Kombinasi 4 rasa utama dapat memberikan cita rasa yang berbeda pada suatu produk pangan (Winarno 2008). Pada penelitian ini penambahan garam, bumbu-bumbu dan rasa khas yang dimiliki oleh ikan nike sebagai bahan utama diduga menciptakan suatu cita rasa khas yang disukai oleh panelis. Bumbu merupakan campuran dua atau lebih bahan yang ditambahkan dan memberikan keseimbangan fungsional pada proses pengolahan bahan makanan (Brown 2009).
Sejumlah senyawa mampu memperkuat aroma dan rasa makanan, misalnya
senyawa asam amino terutama glutamat. Adanya interaksi komponen rasa lain dengan komponen utama rasa primer mungkin dapat meningkatkan intensitas rasa atau menurunkan intensitas rasa (taste compensation) (Winarno 2008). 4) Tekstur
49 Tekstur merupakan bagian penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih penting daripada bau, rasa, dan warna. Tekstur merupakan sifat penting pada produk yang digoreng dan menjadi perhatian (Shieh et al 2004).
Kerenyahan merupakan
karakteristik tekstur produk chips, produk dengan nilai kerenyahan yang tinggi cenderung lebih disukai oleh konsumen (Varela et al 2008). Tingkat kesukaan terhadap tekstur savory chips disajikan pada Gambar 13. Nilai Organoleptik
6 5
c
abc a
a
bc
ab
ab
abc
bc
4 3 2 1 0 (A)
(B) Formula
(C)
Gambar 13 Nilai hedonik tekstur savory chips ikan nike. Perenyah 1% Perenyah 1,5% Perenyah 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a,b, dan c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur savory chips nike berada pada kisaran 4,36-5,42, yaitu netral sampai agak suka.
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 5),
menunjukkan bahwa formula tepung dan konsentrasi perenyah memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur savory chips ikan nike. Hasil uji lanjut Duncan (p< 0,05) (Lampiran 6), menunjukan bahwa, formula C2 (tepung terigu dan tepung beras dengan perenyah 1,5%) memiliki nilai penerimaan tertinggi. Formula tersebut tidak berbeda nyata dengan formula A2, B1, B2, B3, C1 dan C3, akan tetapi berbeda nyata dengan formula A1 dan A3. Formula A2 berdasarkan uji fisik memiliki nilai kerenyahan terbaik, dan secara organoleptik juga disukai, karena kerenyahan merupakan karakteristik khas dari produk chips sehingga produk dengan tekstur yang renyah cenderung lebih disukai oleh konsumen. Maskat & Kerr (2002) mengemukakan bahwa penampakan, tekstur, rasa dan aroma adalah faktor penting dalam menilai penerimaan konsumen pada makanan yang dicoating, dan kerenyahan adalah sifat yang paling kritis dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Tekstur makanan dapat dievaluasi
50 dengan uji mekanik (metode instrument) atau dengan analisis secara penginderaan, dengan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis (Shieh et al 2004). 5) Formula terbaik Penentuan formula terpilih dari hasil uji kerenyahan dan uji organoleptik ditentukan berdasarkan Uji Bayes (Lampiran 7). Metode ini merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan nilai yang optimal (Marimin dan Maghfiroh 2010). Kriteria yang menjadi penilaian penting dalam penentuan formula terpilih adalah parameter fisik (kerenyahan) dan parameter sensori, karena kerenyahan merupakan karakteristik utama pada produk chips, dan pelapisan ikan dengan tepung memberikan pengaruh terhadap tekstur savory chips yang dihasilkan.
Karakteristik dan nilai
kepentingan dari savory chips nike disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter savory chips ikan nike dengan pertimbangan parameter fisik dan sensori No
Parameter
1
Kerenyahan
2
Rasa
3
Tekstur
4
Penampakan
5
Aroma
Dasar pertimbangan kepentingan Kerenyahan merupakan faktor paling penting pada produk chips, dan merupakan karakteristik utama pada produk. Pelapisan ikan dengan tepung dapat meningkatkan kerenyahan chips, dan dapat mereduksi penyerapan minyak yang berlebih. Rasa menjadi parameter penting sebelum parameter yang lain dalam organoleptik. Jika rasa produk disukai umumnya panelis akan tertarik untuk menilai parameter lainnya. Penambahan bumbu-bumbu pada tepung pelapis meningkatkan cita rasa produk. Pelapisan bahan dengan tepung, serta proses penggorengan yang dilakukan menghasilkan produk yang renyah. Dengan demikian dapat meningkatkan penerimaan panelis terhadap tekstur chips. Penampakan akan mempengaruhi penerimaan, hal ini berkaitan dengan warna, tekstur, serta homogenitas pelapisan chips. Penambahan bumbu, dan reaksi yang terjadi selama penggorengan menghasilkan aroma yang khas dari chips
Nilai
5
5
4
3 2
Pemberian nilai kepentingan pada parameter ditentukan oleh ahli, nilai kepentingan dari masing-masing parameter juga ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil pembobotan berdasarkan kriteria kepentingan savory chips ikan nike disajikan pada Gambar 14.
Nilai Bobot
51 8 7 6 5 4 3 2 1 0 A
B
C
Formula
Gambar 14 Nilai bobot formula savory chips nike berdasarkan uji Bayes. Perenyah 1% Perenyah 1,5% Perenyah 2%. A (formula tepung beras & tapioka), B (formula tepung tapioka & terigu), C (formula tepung terigu & beras).
Hasil analisis Bayes menunjukkan bahwa formula A2 (tepung beras & tapioka) dengan konsentrasi perenyah 1,5% memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 7,74, selanjutnya formula B2 (tepung terigu & tapioka, perenyah 1,5%) dengan nilai 6,16 dan C2 (tepung terigu & beras, perenyah 1,5%) yaitu 5,37. Berdasarkan hasil tersebut maka formula terbaik pada tahap formulasi adalah formula A2 yaitu tepung beras dan tapioka dengan konsentrasi perenyah 1,5%, oleh sebab itu maka formula tersebut yang digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. 4.3
Penentuan Suhu dan Waktu Penggorengan Terbaik Savory Chips Ikan Nike Tahap selanjutnya setelah formulasi savory chips adalah penentuan suhu dan
waktu penggorengan terbaik untuk savory chips ikan nike. Pada penelitian ini metode penggorengan yang digunakan adalah penggorengan dengan menggunakan minyak banyak atau yang disebut dengan deep fat frying. Parameter yang digunakan untuk menentukan nilai terbaik adalah parameter fisik yaitu nilai kerenyahan yang diukur dengan menggunakan texture analyzer, dan penilaian secara organoleptik dengan menggunakan uji kesukaan atau hedonik.
Suhu dan waktu penggorengan yang
digunakan pada penelitian ini adalah suhu 1600C, 1700C, 1800C, dengan lama waktu 3, 4, dan 5 menit.
52 4.3.1 Nilai kerenyahan berdasarkan teksture analyzer Tekstur merupakan karakteristik utama dari produk savory chips. Suhu dan waktu penggorengan merupakan salah satu faktor penting pada pembuatan produk chips setelah formulasi dan bahan tambahan yang digunakan. Hasil pengukuran dengan analisis tekstur menunjukkan bahwa savory chips nike yang digoreng pada suhu 160 ºC memiliki nilai kerenyahan 623,889 gf, suhu 170 ºC 328,589 gf, dan suhu 180 ºC 344,433 gf. Berdasarkan nilai tersebut menunjukkan bahwa savory chips ikan nike yang digoreng pada suhu 170 ºC memiliki tekstur yang paling renyah. Hasil analisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa suhu penggorengan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kerenyahan savory chips nike. Hasil uji lanjut Duncan (p<0,05) (Lampiran 9), menunjukkan bahwa nilai rata-rata kerenyahan savory chips yang digoreng pada suhu 160 ºC berbeda nyata dengan kerenyahan produk yang digoreng pada suhu 170 ºC, dan suhu 180 ºC, akan tetapi penggorengan pada suhu 170 ºC kerenyahan produk yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan produk yang digoreng pada suhu 180 ºC. Hal ini karena pada suhu penggorengan tersebut (170 ºC dan 180 ºC) savory chips yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih renyah, dengan nilai kerenyahan yang tidak jauh berbeda. Warner (2004) mengemukakan bahwa proses penggorengan pada bahan makanan memberikan pengaruh terhadap warna, tekstur dan flavor, yang dihasilkan dari reaksi kimia dan fisika yang terjadi selama proses penggorengan.
Varela et al. (2008)
menambahkan bahwa produk gorengan yang dibalut (battered) menjadi renyah sebab saat penggorengan terjadi pengurangan kadar air karena penguapan yang disebabkan oleh perpindahan panas dari minyak ke bahan sehingga bahan menjadi lebih kering dan renyah. Menurut Quasem et al. (2009) bahwa teknik penggorengan deep fat frying meningkatkan palatabilitas produk, karena penampakannya menarik, dan memiliki tekstur yang renyah dan garing. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut maka dapat dikatakan bahwa suhu penggorengan 170 ºC dan 180 ºC adalah suhu yang dapat digunakan untuk penggorengan savory chips nike karena nilai kerenyahan produk yang dihasilkan lebih baik daripada suhu 160 ºC. Mehta dan Swinburn (2001) mengemukakan bahwa suhu penggorengan yang direkomendasikan untuk bahan makanan pada studi yang berbeda bervariasi antara
160 ºC -200 ºC, dengan suhu optimalnya tergantung pada jenis
53 bahan, ukuran bahan, ukuran alat penggorengan, jumlah minyak yang digunakan, dan penanganan
hasil akhir yang diinginkan.
Menurut Bouchon (2009) bahwa suhu
penggorengan yang direkomendasikan untuk memperoleh hasil yang optimal berkisar antara 1700C-1900C. Pada proses penggorengan selain suhu, waktu penggorengan juga mempengaruhi karakteristik produk akhir, karena berhubungan dengan pembentukan kulit pada produk akhir, ditambahkan pula waktu penggorengan dijadikan parameter dalam mengukur tingkat penyerapan minyak pada produk (Nasiri 2010). Hasil pengukuran tekstur savory
Kerenyahan (gf)
chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan disajikan pada Gambar 15. 700 600 500 400 300 200 100 0
b
b b
b b
b
a a
3 menit
4 menit Waktu
a
5 menit
Gambar 15 Nilai tekstur savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. 160 °C 170 °C 180 °C. Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Hasil analisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa waktu penggorengan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur savory chips ikan nike. Interaksi antara suhu dan waktu penggorengan juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur savory chips nike, sebab suhu dan waktu penggorengan dapat mempengaruhi kecepatan penguapan dan pembentukan kulit produk chips, serta mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi selama proses penggorengan. Hasil uji lanjut Duncan (p<0,05) (Lampiran 10), menunjukkan bahwa tekstur savory chips yang digoreng selama3 menit berbeda nyata dengan hasil penggorengan selama 5 menit, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan hasil yang digoreng selama 4 menit. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa savory chips yang digoreng selama 5 menit lebih renyah, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu penggorengan selama 5 menit merupakan waktu optimal untuk menggoreng savory chips nike.
54 Waktu penggorengan tidak hanya tergantung pada suhu minyak dan bahan, tetapi juga tergantung pada jumlah bahan, ukuran, bentuk dan kadar air awal dari bahan. Jika chips dengan kadar air yang tinggi digoreng pada suhu tinggi, dengan waktu yang ditetapkan, maka kerak atau kulit akan terbentuk dengan cepat (Swinburn 2001). Varela et al. (2008) mengemukakan bahwa pembentukan kulit pada produk gorengan tergantung pada reaksi kimia dan fisik yang terjadi selama pemasakan selain reaksi penguapan air. Proses fisik seperti perpindahan minyak dari minyak goreng ke produk atau lemak yang keluar dari bahan ke media juga mempengaruhi plastisasi dan saling berhubungan dengan pengurangan kadar air. Perubahan kimia termasuk denaturasi protein, pencoklatan nonenzimatik (Maillard), karamelisasi gula, pirolisis dan oksidasi pada senyawa lain dalam bahan juga memberikan pengaruh terhadap kerenyahan, terakhir reaksi kimia utama yang mempengaruhi kerenyahan adalah proses gelatinisasi pati pada tepung pelapis. Nasiri et al (2010) mengemukakan bahwa suhu dan waktu penggorengan merupakan parameter utama terhadap penyerapan minyak. Kadar air merupakan faktor penting dalam menentukan penyerapan minyak selama penggorengan.
Penguapan
menciptakan rongga selama penggorengan. Rongga kapiler tersebut bekerja sebagai jalur dalam makanan dan kemudian diisi oleh minyak. Ada hubungan yang berlawanan antara kehilangan kelembaban dan serapan minyak, kandungan minyak jadi lebih tinggi berhubungan dengan kadar air rendah. Chen et al. (2008) mengemukakan bahwa batter atau coating pada produk gorengan akan memperkaya flavor, tekstur dan penampakan serta berperan sebagai pelindung dari penyerapan minyak yang berlebihan pada saat penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi proses gelatinisasi dan pengembangan sehingga produk menjadi renyah dan garing. Copeland et al. (2009) mengemukakan bahwa komposisi amilosa dan amilopektin pada pati mempengaruhi pengikatan lemak, karena amilopektin memiliki percabangan yang banyak menyebabkan kemampuan pengikatan lemaknya lebih rendah daripada amilosa yang tidak memiliki rantai cabang. Gelders et al (2005) mengemukakan bahwa tingkat kristalinitas dan stabilitas suhu senyawa antara amilosa dan kompleks pembentuk lemak meningkat dengan meningkatnya panjang rantai amilosa. Stabilitas panas pada kompleks antara anion asam lemak dan amilosa meningkat pada asam
55 lemak jenuh, tetapi menurun pada rantai asam lemak tak jenuh. Berdasarkan hasil analisis MNR dan pemodelan molekul kompleks antara lemak dan amilosa (Gambar 16), menunjukkan bahwa rantai asam lemak hidrofobik disertakan dalam rantai heliks amilosa, sedangkan kelompok kutub asam lemak dan monoasilgliserol terlalu besar untuk masuk ke dalam tabung helik. Hal ini menunjukkan bahwa pengikatan lemak dengan amilosa terjadi pada lemak alifatik (asam lemak atau monoasilgliserol) yang dapat masuk pada setiap rantai akhir amilosa (Coepeland 2009).
Gambar 16 Skema representasi dari persenyawaan amilosa dengan 2 molekul monopalmitat. (Coepeland 2009). Menurut Garcia et al. (2002) dan Chien et al. (2008), bahwa bahan yang dapat membentuk gel atau memiliki sifat yang dapat mengentalkan misalnya metilselulosa (MC), hidroksi propilmetilselulosa (HPMC), dan alginat dapat digunakan sebagai bahan untuk mengurangi penyerapan minyak. Albert and Mittal (2002) menambahkan bahwa campuran senyawa hidrokoloid dapat digunakan untuk mencegah penyerapan minyak dengan cara: (1) ditambahkan di dalam formula, misalnya pada donat dan produk kentang yang diformulasi kembali, (2) dibalut atau battered dan coating pada bahan, (3) menyemprotkan ke dalam produk. 4.3.2 Hasil uji organoleptik Penilaian organoleptik terhadap produk savory chips ikan nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan menggunakan uji kesukaan dengan 30 orang panelis. Parameter yang dinilai adalah penampakan, rasa, tekstur, dan aroma produk dengan skala penilaian dari 1 sampai 7 (SNI 2006). 1)
Penampakan Teknik penggorengan dapat meningkatkan karakteristik warna dan penampakan
savory chips. Fiszman (2009) mengemukakan bahwa coating pada produk gorengan mampu meningkatkan cita rasa, tekstur dan penampakan. Metode penggorengan yang baik dapat meningkatkan penampakan produk, karena menghasilkan warna dan tekstur
56 yang menarik sesuai dengan keinginan konsumen.
Nilai penerimaan konsumen
terhadap penampakan savory chips disajikan pada Gambar 17. Nilai organoleptik
6 5 4 3 2 1 0 160⁰C
170⁰C Suhu pengorengan
180⁰C
Gambar 17 Nilai hedonik penampakan savory chips nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. 3 menit 4 menit 5 menit Nilai rata-rata kesukaan terhadap penampakan savory chips nike berdasarkan suhu dan waktu penggorengan berada pada kisaran 4,7-5,53, yaitu agak suka sampai suka. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11), menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan produk, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa savory chips yang dihasilkan dari 3 perlakuan suhu dan waktu penggorengan secara organoleptik penampakannya dapat diterima.
Mehta dan Swinburn (2001) mengemukakan bahwa produk chips yang
memiliki tekstur garing, penampakan berwarna coklat keemasan dan kering (penyerapan minyaknya rendah) umumnya lebih disukai. Penampakan savory chips ikan nike yang dihasilkan berwarna coklat keemasan dengan tekstur kering dan garing.
Warna yang terbentuk pada savory chips nike
disebabkan oleh reaksi kimia yang terjadi pada bahan selama proses pemasakan. Chien et al. (2008) mengemukakan bahwa pencoklatan yang terjadi pada produk battered disebabkan adanya reaksi gula pereduksi pada tepung pelapis. Gula reduksi dalam tepung pelapis mengalami karamelisasi pada saat penggorengan sehingga menyebabkan produk menjadi berwarna coklat. Proses karamelisasi terjadi dengan melibatkan gula-gula tanpa asam amino atau protein. Reaksi ini terjadi dengan cepat ketika gula dipanaskan di atas titik cairnya, kemudian terjadi perubahan warna menjadi gelap sampai coklat. Proses ini dapat terjadi pada kondisi asam atau basa (Manullang 1997). Ditambahkan pula bahwa protein dan karbohidrat yang terdapat pada bahan berkontribusi mempercepat pembentukan warna coklat pada produk sebagai akibat dari reaksi Maillard.
57 2)
Rasa. Keberadaan rasa produk makanan gorengan dapat meningkatkan selera konsumen
terhadap produk. Hal tersebut tergantung pada proses penggorengan yang dilakukan. Suhu dan waktu penggorengan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi cita rasa
Nilai Organoleptik
produk akhir. Hasil uji kesukaan terhadap rasa savory chips disajikan pada Gambar 18. 6
bc
c
bc
c
bc
bc
bc
b
a 4 2 0 160⁰C (A)
170⁰C (B) Suhu penggorengan
180⁰C (C )
Gambar 18 Nilai hedonik rasa savory chips berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. 3 menit (1) 4 menit (2) 5 menit (3). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a, b dan c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Rata-rata nilai kesukaan terhadap rasa savory chips yang digoreng pada suhu dan waktu berbeda berada pada kisaran 4,03-5,7, yaitu netral sampai suka. Hasil uji KruskalWallis (Lampiran 11), menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa savory chips ikan nike. Hasil uji lanjut Duncan (p<0,05) (Lampiran 12), menunjukkan bahwa sampel B2 (yang digoreng pada suhu 1700C selama 4 menit) tidak berbeda beda nyata dengan sampel A2, A3, B1, B3, C1, dan C2, akan tetapi berbeda nyata dengan sampel C5 dan A1. Dari nilai organoleptik menunjukkan bahwa sampel B2 dan A3 lebih disukai dibandingkan dengan sampel lainnya, akan tetapi secara keseluruhan rasa savory chips dari 3 perlakuan suhu dan waktu penggorengan tersebut secara organoleptik dapat diterima, karena reaksi yang terjadi selama proses penggorengan menghasilkan cita rasa yang enak dan disukai oleh panelis. Rasa dan aroma dari savory chips nike dihasilkan dari reaksi kimia yang terjadi selama proses pemasakan. Denaturasi protein, interaksi bumbu dengan senyawa pada bahan, serta reaksi maillard yang terjadi saat penggorengan dapat meningkatkan cita rasa produk akhir. Brown (2009) mengemukakan bahwa rempah-rempah mengandung senyawa karbohidrat, protein dan berbagai senyawa kompleks lainnya termasuk minyak atsiri dan senyawa volatil lainnya.
Minyak dan senyawa tersebut selanjutnya pada proses
58 pemasakan dapat dipecah menjadi aldehid, ester, alkohol, gula alkaloid, dan fenol. Minyak atsiri dan senyawa volatil pada rempah-rempah tersebut berkontribusi terhadap aroma yang dihasilkan, selanjutnya senyawa nonvolatil berkonstribusi terhadap rasa produk seperti pedas, panas, asam, manis dan pahit. 3)
Tekstur Proses penggorengan mempengaruhi kerenyahan tekstur dari produk coating atau
battered. Pada proses tersebut terjadi reaksi fisik dan kimia pada bahan, sehingga meningkatkan cita rasa, warna, aroma dan tekstur produk. Tekstur merupakan faktor penting pada produk chips. Produk dengan tekstur yang renyah cenderung lebih disukai oleh konsumen. Nilai organoleptik tekstur savory chips yang digoreng pada suhu dan
Nilai organoleptik
waktu berbeda disajikan pada Gambar 18. c
6
c
bc
c
c
a
ab
c
bc
4 2 0 160⁰C (A)
170⁰C (B) Suhu penggorengan
180⁰C (C )
Gambar 19 Nilai hedonik tekstur savory chips berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. 3 menit (1), 4 menit (2), 5 menit (3). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda (a, b dan c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Nilai rata-rata kesukaan terhadap tekstur savory chips nike yang digoreng pada suhu dan waktu berbeda berada pada kisaran 4,4-5,7, yaitu berada pada tingkat netral sampai suka. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11), menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan tekstur savory chips ikan nike.
Hasil uji lanjut Duncan (p<0,05) (Lampiran 12),
menunjukkan bahwa sampel B2 (penggorengan pada suhu 1700C selama 4 menit) memiliki tekstur yang tidak berbeda nyata dengan sampel A2, A3, B1, B3, C2, dan sampel C3, akan tetapi berbeda nyata dengan sampel A1 dan C1. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel B2 memiliki nilai rata-rata penerimaan tertinggi yaitu berada pada tingkat suka (Gambar 19), selanjutnya savory chips yang digoreng selama 4-5 menit pada 3 suhu percobaan memiliki nilai penerimaan tertinggi, jika dibandingkan dengan chips yang
59 digoreng selama 3 menit. Hal ini diduga karena produk yang dihasilkan memiliki tekstur yang renyah dan garing. Bouchon (2009) mengemukakan bahwa proses penggorengan menyebabkan air yang ada pada bahan menguap sehingga produk pangan menjadi lebih padat dan kadar airnya berkurang. Pada proses tersebut suhu di sekitar media penggorengan menjadi lebih tinggi di atas titik didih. Peningkatan suhu tersebut disebabkan oleh produksi uap air berkurang, sehingga suhu permukaan menjadi tinggi. Kondisi ini menyebabkan permukaan bahan menjadi kering dan produk yang dihasilkan memiliki tekstur yang renyah. Martin et al. (2008) menambahkan pula bahwa secara organoleptik kerenyahan tekstur pada produk makanan ditandai dengan kesan rapuh secara teratur saat digigit atau diberi sedikit tekanan, dan mengeluarkan bunyi. 4)
Aroma Selama proses penggorengan terjadi perubahan karakteristik produk.
pangan akan mengalami perubahan aroma, warna, rasa dan tekstur.
produk
Aroma yang
dihasilkan dari produk gorengan disebabkan karena adanya reaksi kimia dari komponen-komponen senyawa yang terdapat pada bahan (Reineccius 2006). Aroma khas yang dihasilkan dari produk gorengan dapat meningkatkan nilai penerimaan terhadap produk. Nilai penerimaan terhadap aroma savory chips nike berdasarkan suhu
Nilai organoleptik
dan waktu penggorengan disajikan pada Gambar 20.
6 5 4 3 2 1 0 160 C
170 C Suhu penggorengan
180 C
Gambar 20 Nilai hedonik aroma savory chips berdasarkan suhu dan waktu penggorengan. 3 menit
4 menit
5 menit.
Nilai rata-rata hasil uji kesukaan terhadap aroma savory chips nike antara 5,23-5,5, yaitu agak suka sampai suka.
Hasil uji Kruskal-wallis (Lampiran 11),
menunjukkan bahwa suhu dan waktu penggorengan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai penerimaan aroma savory chips ikan nike. Nilai tersebut
60 menunjukkan bahwa aroma yang dihasilkan pada suhu dan waktu perlakuan secara organoleptik dapat diterima oleh panelis. Selama proses penggorengan terjadi denaturasi protein, lemak, dan senyawa karbohidrat polimer pada bahan. Maillard.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya reaksi
Reaksi tersebut terjadi antara kelompok amino bebas dari asam amino,
peptida, atau protein dan gugus karbonil dari gula pereduksi. Reaksi Maillard pada proses penggorengan merupakan hal yang diinginkan untuk meningkatkan cita rasa, aroma dan pembentukan warna coklat pada produk akhir (Villamiel et al. 2006). 5)
Produk terpilih Penentuan suhu dan waktu penggorengan terbaik pada penelitian ini menggunakan
metode Bayes (Lampiran 13). Pada tahap ini parameter fisik dan organoleptik dari sampel uji dilakukan pembobotan.
Kriteria yang menjadi penilaian penting dalam
penentuan produk terpilih adalah parameter fisik (kerenyahan) dan parameter sensori, karena kerenyahan merupakan karakteristik utama pada produk chips. Suhu dan waktu penggorengan dapat mempengaruhi karakteristik tekstur savory chips yang dihasilkan. Karakteristik dan nilai kepentingan dari savory chips nike disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter savory chips ikan nike dengan pertimbangan parameter fisik dan sensori No
1
2
Parameter
Kerenyahan
Rasa
Dasar pertimbangan kepentingan
Nilai
Kerenyahan merupakan faktor paling penting pada produk chips, dan merupakan karakteristik utama pada produk chips suhu dan waktu penggorengan dapat mempengaruhi kerenyahan produk
5
Rasa menjadi parameter penting sebelum parameter yang lain dalam organoleptik. Jika rasa produk disukai umumnya panelis akan tertarik untuk menilai parameter lainnya. Penambahan bumbu-bumbu pada tepung pelapis meningkatkan cita rasa produk.
3
Tekstur
Pelapisan bahan dengan tepung, serta proses penggorengan yang dilakukan menghasilkan produk yang renyah. Dengan demikian dapat meningkatkan penerimaan panelis terhadap tekstur chips.
4
Penampakan
Penampakan akan mempengaruhi penerimaan, hal ini berkaitan dengan warna, tekstur, serta homogenitas pelapisan chips.
5
Aroma
Penambahan bumbu, dan reaksi yang terjadi selama penggorengan menghasilkan aroma yang khas dari chips
5
4
3 2
61 Pemberian nilai kepentingan pada parameter ditentukan oleh ahli, nilai kepentingan dari masing-masing parameter juga ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil pembobotan berdasarkan kriteria kepentingan savory chips ikan nike untuk suhu dan waktu penggorengan terbaik disajikan pada Gambar 21.
Nilai Bobot
8 6 4 2 0 160 C
170 C
180 C
Suhu Penggorengan
Gambar 21 Nilai bobot suhu dan waktu penggorengan savory chips nike berdasarkan uji Bayes. 3 menit 4 menit 5 menit. Hasil uji Bayes menunjukkan bahwa suhu penggorengan 170 ºC selama 5 menit memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 7,7, sehingga suhu dan waktu penggorengan tersebut merupakan suhu dan waktu terbaik pada penelitian savory chips ikan nike, oleh sebab itu maka pada tahap penelitian selanjutnya, suhu dan waktu penggorengan tersebut yang akan digunakan untuk membuat savory chips nike. 4.4
Karakterisasi Mutu Savory Chips Ikan Nike Pada tahap ini dilakukan karakterisasi mutu savory chips nike produk terpilih
berdasarkan formula, suhu dan waktu penggorengan.
Mutu produk dikarakterisasi
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) keripik tempe, dan makanan ringan ekstrudat yang digoreng. Penggunaan kedua standar tersebut sebagai pembanding mutu savory chips nike karena belum ada standar mutu produk sejenis yang dapat dijadikan acuan. Mutu savory chips nike disajikan pada Tabel 9.
62 Tabel 9 Karakteristik mutu savory chips ikan nike (A. berdasarkan SNI Parameter Keadaan : Rasa dan aroma Penampakan Tekstur Warna Kimia: Lemak Protein Air Abu Serat kasar Cemaran mikroba:
Savory chips nike
Kapang
Keripik tempe**
Khas ikan nike Kering Renyah
Normal Normal Normal
Kuning kecoklatan
Normal
37,03% ( b/b) 22,62% ( b/b) 4,62% ( b/b) 2,54% (b/b) 1,19% ( b/b)
Maks. 38% (b/b) Maks. 4% (b/b) -
Maks. 1% (b/b)*** Maks. 3% (b/b) Maks. 3% (b/b) Maks. 3% (b/b)
Maks. 1,0 X 104 koloni/gr Maks. 50 koloni/gr
Maks. 1,0 X 106 koloni/gr Maks. 104
3,4 × 102 koloni/gr
TPC
Spesifikasi Makanan ringan ekstrudat*
melanocephalus)
Negatif
Tempe Kering Renyah Kuning sampai kuning kecoklatan
Ket: * SNI 01-2886-2000 ** SNI 01-2602-1992 *** As. lemak bebas dihitung sebagai asam laurat
Hasil karakterisasi mutu menunjukkan bahwa kandungan air savory chips ikan nike sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan makanan ringan ekstrudat dan kripik tempe. Hal ini diduga karena perbedaan kadar air bahan baku, serta perlakuan sebelum pemasakan. Pada savory chips nike bahan baku yang digunakan adalah ikan nike beku dengan kandungan air yang cukup tinggi yaitu 79%, serta tanpa proses pengeringan terlebih dahulu sebelum dibalut dengan tepung, sedangkan pada makanan ringan ekstrudat bahan baku yang digunakan dalam bentuk grit kering, selanjutnya untuk keripik tempe menggunakan potongan tempe yang mengalami pengeringan terlebih dahulu, sehingga kadar air kedua bahan baku produk tersebut lebih rendah.
Quasem et al. (2009)
mengemukakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produk gorengan antara lain suhu penggorengan, waktu penggorengan, volume minyak, jenis minyak, komposisi produk, kadar air, dan penanganan awal sebelum pengolahan. Hasil analisis lemak pada savory chips ikan nike menunjukkan kadar yang sedikit lebih rendah yaitu 37,03%, jika dibandingkan dengan kadar lemak pada makanan ringan ekstrudat yang digoreng yaitu 38%, sehingga dapat dikatakan bahwa pelapisan ikan
63 dengan tepung mampu mengurangi kadar minyak pada savory chips ikan nike. Chien et al (2008) mengemukakan bahwa batter atau coating pada produk gorengan akan memperkaya flavor, tekstur dan penampakan serta berperan sebagai pelindung dari penyerapan minyak yang berlebihan pada saat penggorengan. Sajilata dan Singhal (2005) mengemukakan bahwa penggunaan pati termodifikasi pada produk gorengan mampu mereduksi penyerapan minyak pada produk akhir. Penggunaan amilopektin tergelatinisasi dari jagung sebagai stabilisator ataupun pengental pada keripik mampu menghasilkan tekstur yang baik, serta kandungan lemak yang jauh berkurang pada produk akhir.
Shih et al (2001) menambahkan, bahwa penambahan pati beras
tergelatinisasi atau tepung beras teresterifikasi dan cross linked sebelum pemasakan pada adonan donat mampu mengurangi kadar minyak pada produk akhir. Hasil karakterisasi mutu menunjukkan bahwa savory chips ikan nike secara keseluruhan memenuhi standar mutu makanan ringan, serta memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 22%, oleh karena itu savory chips ikan nike dapat dikatakan sebagai salah satu makanan ringan dengan kandungan protein tinggi. 4.5
Pendugaan Umur Simpan Rachtanapun et al. (2010) mengemukakan bahwa umur simpan merupakan selang
waktu antara bahan pangan mulai diproduksi hingga tidak dapat diterima oleh konsumen akibat telah terjadi penyimpangan mutu. Umur simpan dapat diartikan pula sebagai lama waktu penyimpan yang masih laku atau kondisi yang masih dapat diterima di bawah kondisi penyimpanan yang khusus. Faktor yang memberikan pengaruh terhadap umur simpan adalah karakteristik produk, sistim pengemasan dan kondisi lingkungan. Pada produk snack yang digoreng umur simpan berhubungan dengan ketengikan akibat dari reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan ketika disimpan. Ketengikan yang terjadi tergantung pada oksidasi lemak dan minyak misalnya formasi peroksida, aldehid, dan keton. Jansen dan Risbo (2007) menambahkan bahwa bilangan peroksida, bilangan asam, uji Kreis, dan bilangan asam tiobarbiturat (TBA) adalah beberapa uji yang digunakan untuk mengukur tingkat ketengikan produk selama penyimpanan Penentuan umur simpan produk savory chips ikan nike, dilakukan dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) yaitu menyimpan produk pada suhu yang lebih tinggi dengan tujuan untuk mempercepat reaksi yang terjadi pada
64 bahan.
Penentuan laju penurunan mutu produk dianalisis dengan menggunakan
persamaan Arrhenius.
Pada penelitian ini sampel dikemas dengan menggunakan
kemasan kantung aluminium foil (alufo) dan plastik polipropilen (PP).
Alasan
pemilihan kedua jenis bahan pengemas tersebut karena, lebih umum dikenal dan digunakan masyarakat secara luas dengan harga yang dapat dijangkau, selanjutnya sampel disimpan pada 3 suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang (30 ºC), suhu 40 ºC, dan suhu 50 ºC. Penelitian ini menggunakan parameter kimia yaitu nilai TBA untuk mengukur ketengikan yang terjadi pada produk selama penyimpanan. Produk yang mengandung lemak tinggi akan sangat cepat mengalami kerusakan. Kerusakan lemak di dalam bahan pangan dapat terjadi selama proses pengolahan, misalnya proses pemanggangan, penggorengan dengan cara deep frying, dan selama penyimpanan. Pengemasan memberikan peranan penting dalam menjaga mutu dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan.
Robertson (2010) mengemukakan bahwa
pengemas dapat melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan produk selama penyimpanan. Pada penelitian savory chips nike nilai asam tiobarbiturat (TBA) diukur untuk mengetahui adanya ketengikan yang terjadi pada suatu produk pangan. Lemak yang tengik karena mengalami oksidasi misalnya asam lemak tak jenuh yang teroksidasi membentuk senyawa peroksida, akan bereaksi dengan tiobarbiturik menghasilkan warna merah. Perubahan nilai TBA savory chips nike pada pengemas alufo dan PP selama
Nilai TBA (mg/kg malonaldehid/hari)
penyimpanan disajikan pada Gambar 22.
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5
0,4 0,3 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu penyimpanan (hari)
Gambar 22 Perubahan nilai TBA savory chips ikan nike pengemas alufo dan plastik polopropilen selama penyimpanan pada 3 suhu berbeda. Alufo suhu ruang PP suhu ruang Alufo suhu 40 PP suhu 40 Alufo suhu 50 PP Suhu 50
65 Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama waktu penyimpanan pada 3 kondisi suhu percobaan terjadi perubahan nilai TBA pada savory chips ikan nike yang dikemas dengan pengemas alufo maupun PP.
Dengan menggunakan teknik
regresi linier
(Lampiran 14) terhadap perubahan nilai TBA selama penyimpanan pada kedua jenis pengemas tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,5.
Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan waktu penyimpanan dengan laju perubahan nilai TBA hanya sebesar 50%. Slope kemiringan (B) pada masing-masing persamaan eksponensial merupakan nilai k pada persamaan Arrhenius. Nilai k tersebut selanjutnya diaplikasikan ke dalam persamaan Arrhenius, seperti disajikan pada Tabel 10. Tabel 10
Parameter persamaan Arrhenius savory chips nike pengemas alufo & polipropilen pada 3 suhu penyimpan
Suhu penyimpanan (ºC) Pengemas Alufo Suhu Ruang (30 ºC) 40 ºC 50 ºC Pengemas PP Suhu ruang (30 ºC) 40 ºC 50 ºC
k
ln k
T dalam ºK (ºC + 273)
1/T (1/K)
0,002 0,004 0,009
-6,2146 -5,5215 -4,7105
303 313 323
0,0033 0,0032 0,0031
0,005 0,008 0,012
-5,2983 -4,8283 -4,4228
303 313 323
0,0033 0,0032 0,0031
Apabila setiap nilai k untuk pengemas alufo pada Tabel 10 diplotkan pada sebuah grafik 1/T dan ln k, maka akan diperoleh laju perubahan nilai TBA savory chips nike pada kedua jenis pengemas tersebut. Berdasarkan hasil regresi nilai k pada Tabel 10, maka dapat diketahui hubungan antara suhu penyimpanan dengan perubahan nilai TBA. Berdasarkan teknik regresi linier terhadap suhu penyimpanan dan laju perubahan nilai TBA (Lampiran 15), diperoleh nilai koefisien determinasi untuk pengemas alufo sebesar 0,996. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan suhu penyimpanan dengan laju perubahan nilai TBA sebesar 99,6%. Hasil persamaan tersebut jika ditransformasikan ke dalam persamaan arhennius: ln k = A + B 1/T, maka diperoleh persamaan ln k = 18,06 – 7365(1/T). Dimana slope atau b akan sama dengan (Ea/RT) dan intersept atau a akan sama dengan = ln ko. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan persamaan arhennius untuk pengemas
66 alufo (Lampiran 15), maka diperoleh persamaan perubahan nilai TBA untuk pengemas Alufo adalah :
Dimana k adalah laju peningkatan nilai TBA, dan T adalah suhu dalam °K. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat dihitung laju peningkatan nilai TBA pada berbagai suhu selama penyimpanan. Metode yang sama juga dilakukan pada sampel yang dikemas dengan plastik PP. Apabila setiap nilai k untuk pengemas PP pada Tabel 10 diplotkan pada sebuah grafik 1/T dan ln k, maka akan diperoleh laju perubahan nilai TBA savory chips nike pada pengemas PP. Berdasarkan hasil regresi nilai k pada Tabel 10, maka dapat diketahui hubungan antara suhu penyimpanan dengan perubahan nilai TBA. Berdasarkan teknik regresi linier antara suhu penyimpanan dan laju perubahan nilai TBA untuk pengemas PP (Lampiran 16) diperoleh nilai koefisien determinasinya sebesar 0,999. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan suhu penyimpanan dengan laju perubahan nilai TBA sebesar 99,9%, atau dapat dikatakan bahwa suhu penyimpanan memiliki korelasi yang kuat terhadap laju perubahan nilai TBA.
Hasil persamaan
tersebut (Lampiran 16) jika ditransformasikan ke dalam persamaan arhennius: ln k = A + B 1/T, maka diperoleh persamaan ln k = 8,876 – 4293(1/T). Dimana slope atau b akan sama dengan (Ea/RT) dan intersept atau a akan sama dengan = ln ko. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan persamaan arhennius untuk pengemas PP (Lampiran 16), maka persamaan perubahan nilai TBA untuk pengemas PP adalah :
Dimana k adalah laju peningkatan nilai TBA, dan T adalah suhu dalam 0 K. Berdasarkan persamaan tersebut maka dapat dihitung laju peningkatan nilai TBA savory chips nike pengemas PP pada berbagai suhu selama penyimpanan.
Berdasarkan
persamaan laju peningkatan nilai TBA pada kedua jenis pengemas tersebut, maka diperoleh laju peningkatan nilai TBA seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Laju peningkatan nilai TBA savory chips ikan nike selama penyimpanan Suhu Suhu ruang (30 ºC) 40 ºC 50 ºC
Laju peningkatan TBA (mg malonaldehid/kg/hari) Alufo PP 0,0019 0,0050 0,0042 0,0079 0,0087 0,0121
67 Hasil tersebut menunjukkan bahwa reaksi ketengikan yang terjadi pada savory chips nike yang dikemas dengan alufo dan PP pada 3 suhu penyimpanan cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu penyimpanan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan, maka reaksi ketengikan makin cepat terjadi. Setelah diketahui laju perubahan nilai TBA (k) pada kedua jenis pengemas savory chips tersebut, maka dapat dilakukan perhitungan umur simpan produk savory chips ikan nike. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan ordo nol, dimana nilai untuk total bilangan TBA sampai kadaluarsa menggunakan nilai batas standar kandungan TBA sesuai SNI 01-2353-1991 yaitu sebesar 1 mg malonaldehid/Kg. Persamaan untuk menghitung umur simpan menggunakan reaksi ordo 0, yaitu:
Dimana :
t A A0 k
= Umur simpan produk = Konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (untuk standar TBA 1 mg malonaldehid/kg) = Konsentrasi mula-mula (nilai awal) dari kriteria kadaluarsa = Kecepatan laju peningkatan nilai TBA pada masing-masing suhu selama penyimpanan
Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh umur simpan savory chips nike yang disimpan menggunakan pengemas alufo dan PP pada 3 suhu berbeda, seperti yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Umur simpan savory chips ikan nike pada 3 kondisi suhu penyimpanan Umur simpan (hari) Suhu Suhu ruang (30 ºC) Suhu 40 ºC Suhu 50 ºC
Pengemas Alufo
Pengemas PP
360 165 80
139 88 58
Hasil analisis menunjukkan bahwa savory chips nike yang dikemas dengan pengemas alufo memiliki umur simpan yang lebih lama daripada pengemas PP, oleh karena itu pengemas alufo dapat dikatakan sebagai pengemas yang baik untuk savory chips nike pada penelitian ini. Tiwari et al (2009) mengemukakan bahwa ketengikan pada produk gorengan terjadi karena adanya proses oksidasi oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak
68 jenuh dalam lemak.
Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar, pada proses
pengolahan menggunakan suhu tinggi, serta penyimpanan pada suhu tinggi. Oksidasi terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak, pada suhu kamar sampai dengan suhu 1000C, setiap satu ikatan tidak jenuh dapat menyerap 2 atom oksigen sehingga terbentuk persenyawaan peroksida (Ketaren 2005). Menurut Arpah (2000), bahwa tingkat suhu tertentu dan fluktuasi suhu sangat mempengaruhi mutu produk. Sesuai dengan kaidah Arhaenius yaitu setiap kenaikan suhu sebesar 10 ºC terjadi kenaikan kecepatan reaksi sebanyak 2 kali Peningkatan nilai TBA selama penyimpanan tidak hanya disebabkan oleh suhu penyimpanan, akan tetapi dapat pula dipengaruhi oleh jenis bahan pengemas. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan nilai TBA savory chips nike yang dikemas dengan alufo cenderung lebih lambat, jika dibandingkan dengan pengemas PP. Hal ini diduga karena permeabilitas kemasan alufo lebih kecil daripada plastik PP, sehingga kemampuan menghambat masuknya udara ke dalam produk oleh pengemas alufo sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan pengemas PP, akan tetapi secara umum nilai TBA savory chips ikan nike pada 2 jenis bahan pengemas tersebut sampai akhir masa penyimpanan kandungannya masih berada di bawah standar nilai TBA dalam bahan makanan. Nilai TBA tertinggi savory chips sebesar 0,7925 mg malonaldehid/kg, sedangkan untuk standar berdasarkan SNI 01-2352-1991 tentang penentuan angka asam thiobarbiturat untuk produk yang kualitasnya masih baik adalah sebesar 1-3 mg malonaldehid/kg. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siripatrawan dan Jantawat (2008) terhadap umur simpan makanan ringan yang berbahan dasar tepung beras dengan menggunakan pengemas LDPE dan PP, menunjukkan bahwa makanan ringan yang dikemas menggunakan PP memiliki umur simpan yang lebih lama daripada yang menggunakan PE, karena LDPE koefisien permeabilitasnya terhadap uap air lebih tinggi daripada PP. Permeabilitas LDPE sebesar 0,136 g/m2.mmHg.hr. Robertson (2010) mengemukakan bahwa Permeabilitas dapat dikatakan sebagai proses perpindahan melalui suatu bahan. Secara umum permeabilitas berkaitan dengan gas. Perpindahan gas dapat berlangsung melalui beberapa cara. Bila perpindahan melalui pori-pori, maka kecepatan alirannya dipengaruhi oleh besarnya pori-pori dan kondisi lingkungan. Permeabilitas pengemas tergantung pada banyak faktor antara lain;
69 jenis bahan pengemas, ketebalan lapisan, ukuran dan bentuk pengemas, tekanan dan suhu.
Pemilihan jenis kemasan harus mempertimbangkan jenis produk yang akan
dikemas, suhu penyimpanan, dan reaksi penurunan mutu yang dapat terjadi selama penyimpanan. Lopulalan (2008) mengemukakan bahwa permeabilitas kemasan alufo adalah 0,02g/m2.mmHg.hr dan plastik PP sebesar 0,089 g/m2.mmHg.hr. Tung et al. (2001) mengemukakan bahwa permeabilitas pengemas berbahan dasar logam (kaleng, timah, atau sepuhan krom) dan aluminium sangat baik untuk menghambat uap air, gas, cahaya, serta memiliki toleransi yang luas terhadap suhu. Kemasan yang berbahan dasar plastik juga memiliki kemampuan yang baik dalam melindungi produk.
Kemasan berbahan dasar polipropilen sering digunakan untuk
mengemas produk keripik karena memiliki daya hambat yang baik terhadap oksigen dan cahaya. Min et al (2010) menambahkan pula bahwa proses penggorengan pada produk chips, menyebabkan produk tesebut rentan terhadap oksidasi minyak, sehingga kemasan yang digunakan sebaiknya memiliki kemampuan yang baik dalam mencegah terjadinya oksidasi pada produk tersebut. Jenis pengemas yang dapat digunakan untuk makanan ringan yang digoreng dapat berupa kemasan yang multilayer, misalnya kertas yang dilapisi dengan aluminium foil. Kecepatan reaksi TBA yang terjadi tidak saja dipengaruhi oleh jenis pengemas dan suhu penyimpanan, tetapi juga dipengaruhi oleh komposisi lemak yang terdapat pada ikan, kesegaran ikan, dan kualitas minyak yang digunakan.
Perubahan mutu
savory chips ikan nike yang relatif lambat diduga karena bahan pengemas yang digunakan cukup baik menghambat masuknya udara ke dalam produk sehingga mampu memperlambat laju reaksi oksidasi. Faktor lain yang diduga dipengaruhi laju perubahan mutu savory chips nike adalah komposisi asam lemak ikan nike sebagai bahan baku produk. Produk savory chips ikan nike kandungan lemaknya tidak terlalu tinggi dengan kandungan asam lemak tak jenuh ±25%, selanjutnya bahan baku ikan yang digunakan adalah ikan nike dengan tingkat mutu yang masih baik, dan minyak goreng yang digunakan adalah minyak goreng kemasan yang mengandung senyawa antioksidan, serta minyak tersebut hanya digunakan untuk sekali penggorengan. Oduor dan Obiero (2009) mengemukakan bahwa oksidasi lemak tergantung pada komposisi lemak dari ikan, dan rata-rata tingkat detereorasi tergantung pada suhu dan waktu penyimpanan, tingkat kejenuhan dari asam lemak, keberadaan antioksidan atau
70 prooksidan, dan ketersediaan oksigen. Tingginya asam lemak tak jenuh adalah bagian yang sensitif terhadap reaksi oksidasi selama penyimpanan.
Asam lemak pada
umumnya bersifat semakin reaktif terhadap oksigen dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada rantai molekul asam lemak. Sebagai contoh, asam linoleat akan teroksidasi lebih mudah daripada asam oleat pada kondisi yang sama (Ketaren 2005). Selama masa penyimpanan reaksi kimia yang terjadi pada lemak yaitu: hidrolisis, oksidasi dan polimerisasi akan mempengaruhi detereorasi dan kualitas sensori serta kandungan gizi dari produk (Namsai et al. 2008).
Tingkat penerimaan konsumen
terhadap produk savory chips ikan nike selama penyimpanan diukur melalui organoleptik dengan menggunakan uji kesukaan (hedonik). Uji kesukaan yang diukur adalah aroma dan tekstur dari savory chips ikan nike. Reaksi oksidasi yang terjadi akan memberikan pengaruh terhadap aroma produk, hal ini dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk. Nilai organoleptik
Nilai Organoleptik
aroma savory chips ikan nike disajikan pada Gambar 23.
6 4 2 0 7
14 21 28 35 42 Suhu ruang
5
10 15 20 25 30 suhu 40⁰C
3
6
9
12 15 18
Suhu 50⁰C
waktu penyimpanan (hari)
Gambar 23 Nilai organoleptik aroma savory chips ikan nike selama penyimpanan. Pengemas Alufo PP. Hasil uji menunjukkan bahwa rata- rata nilai kesukaan panelis terhadap aroma savory chips ikan nike selama penyimpanan berada pada kisaran nilai 4,5-5,6, yaitu netral sampai agak suka. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 17), menunjukkan bahwa jenis pengemas dan waktu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat penerimaan aroma savory chips ikan nike. Hasil uji lanjut Duncan (p>0,05) (Lampiran 18), menunjukkan bahwa nilai organoleptik aroma pada penyimpanan suhu ruang hari ke-7 dan ke-42 pada kedua jenis pengemas menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata,
71 demikian pula pada suhu 40 ºC, dan 50 ºC menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada awal dan akhir penyimpanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kesukaan panelis pada produk yang masa simpannya lebih lama berada pada tingkat suka, sehingga dapat dikatakan aroma yang dihasilkan selama penyimpanan masih dapat diterima oleh panelis. Hal ini diduga karena reaksi oksidasi yang terjadi pada produk menghasilkan senyawa-senyawa yang mudah menguap yang menghasilkan aroma khas. Ditambahkan pula bahwa karena rendahnya laju reaksi ketengikan yang terjadi sehingga aroma yang dihasilkan belum sampai pada tingkat yang sangat tengik, oleh sebab itu secara organoleptik aroma savory chips ikan nike masih dapat diterima. Oksidasi spontan yang terjadi karena adanya kontaminasi udara selama penyimpanan tidak hanya terjadi pada lemak, tetapi pada senyawa lain yang terkandung dalam bahan misalnya oksidasi yang terjadi pada hidrokarbon, aldehid, eter, senyawa sulfuhidril, amin, dan senyawa sulfit (Ketaren 2008). Dalam bahan pangan berlemak senyawa yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam lemak tak jenuh dan persenyawaan yang membuat bahan pangan menjadi menarik seperti persenyawaan yang menimbulkan aroma, flavor, warna dan sejumlah vitamin. Odur dan obiera (2009) mengemukakan bahwa malonaldehid merupakan senyawa reaktif TBA mampu membentuk ikatan silang asam amino dari ikatan amida dan dapat pula berinteraksi dengan komponen lain yang terdapat pada ikan misalnya nukleotisida, asam nukleat, asam amino fosfolipit, dan senyawa aldehid lainnya, yang mana hasil akhir oksidasi lemak dan interaksinya berbeda-beda sesuai dengan spesies ikan. Hasil uji kesukaan untuk tekstur savory chips selama penyimpanan menunjukkan bahwa nilai kesukaan terhadap tekstur berada pada kisaran antara 4,0 – 5,9, yaitu netral sampai suka.
Nilai kesukaan tekstur savory chips ikan nike selama penyimpanan
disajikan pada Gambar 24.
Nilai organoleptik
72 7 6 5 4 3 2 1 0 7
14 21 28 35 42 Suhu ruang
5
10 15 20 25 30 suhu 40⁰C
3
6
9
12 15 18
Suhu 50⁰C
waktu penyimpanan (hari)
Gambar 24 Nilai hedonik tekstur savory chips ikan nike selama penyimpanan. Pengemas Alufo PP.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 19), menunjukkan bahwa jenis kemasan dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada tekstur savory chips ikan nike. Hasil uji lanjut Duncan (p>0,05) (Lampiran 20), menunjukkan bahwa nilai kesukaan terhadap tekstur pada penyimpanan suhu ruang hari ke-7 dan ke-42 menunjukkan nilai yang berbeda nyata untuk kedua jenis pengemas, dimana nilai kesukaan hari ke-7 lebih tinggi daripada penyimpanan hari ke-42. Nilai kesukaan panelis terhadap tekstur chips yang disimpan pada suhu 40 ºC untuk hari ke-5 dan 30 pada kedua jenis pengemas menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, selanjutnya nilai kesukaan untuk chips pada pengemas alufo yang disimpan pada suhu 50 ºC menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-18, akan tetapi untuk pengemas PP pada suhu dan hari penyimpanan yang sama menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai sensori tekstur savory chips masih berada pada batas standar penerimaan secara organoleptik, dengan demikian dapat dikatakan bahwa savory chips ikan nike yang dikemas dengan pengemas alufo dan PP pada 3 kondisi penyimpanan secara organoleptik aroma dan teksturnya masih dapat diterima oleh konsumen.
5.
5.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Ikan nike memiliki komposisi proksimat yaitu 79,76% air, protein 16,89 %, lemak
0,76%, karbohidrat 0,3%, dan abu 1,93%. Konsentrasi tertinggi asam amino esensial ikan nike dikandung oleh leusin 1,153%, dan lisin 0,843%, sedangkan untuk asam amino non esensial dikandung oleh asam amino glutamat dan prolin yaitu 1,478% dan 0,821%. Kandungan asam lemak jenuh ikan nike didominasi oleh asam palmitat 20,56%, asam stearat 7,31%, dan asam miristas 2,64%, sedangkan untuk asam lemak tak jenuh terdiri dari: asam dokosaheksanoat (DHA) 14,81%, asam oleat 8,50%, dan asam eikosapentanoat (EPA) 2,22%.
Ikan nike mengandung mineral terdiri dari kalsium
677,34 ppm, magnesium 211,58 ppm, besi 15,77%, seng 17,88 ppm, iodium 0,079 ppm. Formula coating dari tepung beras dan tepung tapioka (2:1) dengan konsentrasi perenyah 1,5% merupakan formula terpilih. Proses penggorengan savory chips nike terbaik adalah pada suhu 170 ºC dengan waktu penggorengan 5 menit. Savory chips nike terpilih memiliki komposisi gizi; kadar air 4,62%, kadar lemak 37,03%, dan kadar protein 22,62%. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin cepat reaksi perubahan mutu TBA.
Pengemas alufo adalah pengemas yang dapat direkomendasikan sebagai
pengemas untuk savory chips nike karena dapat memperpanjang masa simpan produk, dengan lama waktu penyimpanan pada suhu ruang selama 360 hari. 5.2
Saran Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang formulasi dengan menambahkan senyawa
hidrokoloid yang mampu mengurangi penyerapan minyak saat penggorengan misalnya metil selulosa, atau pati termodifikasi pada formula tepung pelapis savory chips ikan nike, serta kajian tentang penggunaan metode penggorengan vakum terhadap karakteristik savory chips nike yang dihasilkan.
74
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist18th Edition. Gaithersburg, USA: AOAC International. Adewolu MA, Benfey TJ. 2009. Growth, nutrient utilization and body composition of juvenile Bagrid cathfish, Chrysichthys nigrodigitatis (Actinopterygii: Siluriformes:Claroteindae), fed different dietary crude protein level. Acta Ichtyol et Pisca 39(2):95-101. Agustono. 2008. Pengaruh pencucian hydrogen peroksida terhadap kandungan gizi mineral yodium, besi, dan timah ikan tongkol (Euthynnus affinis). Berkala Ilmiah Perik 3(2):63-68 Albert S, Mittal GS. 2002. Comparative evaluation of addible coating to reduce uptake in deep-fat fried cereal product. J Food Res Int 35:445-458. Amany M, Basuny M, Dalia M, Mustafa M, Shaker A.M. 2009. Relationship between chemical composition and sensory evaluation of potato chips made from six potato airiest with emphasis on the quality of fried sunflower oil. J Dairy & Food Scie 4(2):193-200. Arintorini M. 2002. Kajian Analisis Formulasi, Mikrostruktural, dan Umur Simpan Produk Makanan Ringan Berbahan Dasar Ikan Kurisi (Nemepterus tamboluoides) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arpah. 2001. Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, IPB. Arpah M, Syarief R. 2000. Evaluasi model-model umur simpan pangan dari difusi hukum fick unidireksional. Bul Teknol Ind Pangan 11 (1):11-16. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori (SNI 01-2346-2006). Blumenthal MM, Stier RF. 1991. Optimization of deep fat frying operations. A review. Trends in Food Scie.45:144-148. Bouchon P, Aguilera JM. 2001. Microstruktural analysis of frying potato chips. J Food Scie & Technol 36:669-676. Bouchon P, Aguilera JM, Pyle DL. 2003. Struktur oil absorption relationships during deep-fat frying. J Food Scie & Technol 68(9): 2711-2716. Bouchon P. 2009. Understanding Oil Absorption During Deep-Fat Frying. Di dalam: Taylor SL, editor. Advances in Food and Nutrition Research. Volume ke-57. Jordan Hill, Oxford. Academic Press inc. Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry second edition. San Diego, Academic Press.
76 Brown P. 2009. Spices, seasoning, and flavors. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Products: Properties, Functionality and Applications. Research, Development & Quality Kraft Foods Inc. Chen Huang-Hui, Kang H, Chen Su-Der. 2008. The effect ingredients and water content on the rheological properties of batters and physical properties of crusts in fried foods. J Food Engin 88:45-54. Chien Li, Li Pin-Yi, Hu Hung, Lan Ming, Chen Ming, Chen Huang. 2008. Using HPMC to improve crust crispness in microwave-reheated battered mackerel nuggets: water barrier effect HPMC. J Food Hydro 22:1337-1344. Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang M. 2009. Form and functionality of starch. J Food Hydro 23:1527-1534. Daly E, Cassandra E, Benkwitt, Richard D, Marisa N, Litz C, Copeman L. 2010. Fatty acid profiles of juvenile salmon indicate prey selection strategies in coastal marine waters. J Marin Biol 157:1975-1987. Da Silva P, Moreira RG. 2008. Vacuum frying of high-quality fruit and vegetablebased snacks. J Food Sci &Technol 41:1758-1767. deMan J. 1999. Principles of Food Chemistry 3th ed. Gaithersburg Maryland. Aspen Publishers Inc. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Gorontalo. 2011. Data Statistik Hasil Perikanan Tahun 2010. Gorontalo. Dobraszczyk BJ, Ainsworth P, Ibanoglu S, Bouchon P. 2006. Baking Extrusion dan Frying. Di dalam Brennan JG editor. Food Processing Handbook. Weinhem. Wiley-VCH. Fellows P. 2000. Food Processing Technology. Cambridge England.CRC Press. Fizsman SM. 2009. Coating Ingredients. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Products: Properties, Functionality and Applications. Research, Development & Quality Kraft Foods Inc. Garcia MA, Ferrero C, Bertola N, Martino M, Zaritzky N. 2002. Edible coatings from cellulose derivatives to reduce oil uptake in fried products. Innov Food Sci Emerg. Technol 3:391-397. Gelders G, Duyck J, Goesart H, Delcour J. 2005. Enzyme and acid resistance of amilose-lipids complex differing in amylase chain length, lipid and complexation temperature. J Carbohydrate Polymers 60:379-389. Haliloglu HI, Aras NM. 2002. Comparison of muscle fatty acids of three Trout species (salvelinus alpines, Salmo trutta fario, Oncorhyncus mykiss). J Vet. Animal Sci 26: 1097-1102 Handajani H, Widodo W. 2010. Nutrisi Ikan. Malang. UMM Press.
77 Hermanianto J, Arpah M, Jati WK. 2000. Penentuan umur simpan produk ekstrusi hasil samping penggilingan padi (menir dan bekatul) dengan menggunakan metode konvensional, kinetika Arrhenius dan sorpsi isothermis. Bul Teknol & Ind Pang 11(2):33-41. Hermanianton J, Syarief R, Wulandari Z. 2000. Analisis sifat fisiokimia produk ekstrusi hasil samping penggilingan padi (menir dan bekatul). Bul Teknol & Ind Pang 11(1): 5-9. Hine DJ. 1999. Shelflife Prediction. Di dalam: Roberts GL, editor. Food Packaging Principles and Practice. Marcel Dekker Inc. Hubber GR. 1991. Carbohydrates in Extrusion Processing. Di dalam Mermelstein NH, editor. The Source and Type or Carbohydrate Ingredients Influence the Final Product of Extrusion Processing. CRC press. Imre S, Saglik S. 1998. Fatty acid composition and cholesterol content of some Turkish fish species. Turk. Journal Chemist 22:321-324. Islam MN, Joadder AR. 2005. Seasonal variation of the proximate composition of freshwater Gobi, Glossogobius giuris (Hamilton) from the River Padma. J Biol Scie 8(4):532-536. Jensen PN, Risbo J. 2007. Oxidative stability of snack and cereal product ini relation to moisture sorption. J Food Chemist 103(3): 717-724. Jonnalagadda PR, Bhat R, Sudershan RV, Nadamuni. 2001. Suitability of chemical parameters in setting quality standards for deep-fried snacks. J Food Quality & Prefer 12:223-228. Keith P. 2003. Biology and ecology of amphidromous Gobiidae of the Indo-Pacific and the Caribbean regions. J Fish Biol 63:831-847. Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI-Press. Kilcast D. 2004. Measuring consumer perceptions of texture: an overview. Di dalam Kilcast editor. Texture in Food Vol.2.Solid Foods. Woodhead Publishing dan CRC Press. Larsen T, Thilsted SH, Kongsbak K, Hansen M. 2000. Whole small fish as a rich calcium source. British Journal Nutri 83: 191-196. Loewe R. 1993. Role of ingredients ini batter systems. 38(9):673-677.
Cereals Foods World
Lopulalan C. 2008. Kajian Formulasi dan Isotherms Sorpsi Air Biskuit jagung. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Maie T, Wilson M, Schoenfuss H, Blob R. 2009. Feeding kinematics and performance of Hawaiian stream Gobies, Awaous guamensis and Lentipes concolor: linkage of functional morphology. J of Morpho 270:344-356. Manullang M. 1997. Karbohidrat Pangan. Jakarta: Univ. Pelita Harapan.
78 Marimin, Maghfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor. IPB Press. MariscalM, Bouchon P. 2008. Comparison between atmospheric and vacuum frying of apples slice. J Food Chemist 107:1561-1569. Martin P, deBeukelaer H, Hamer RJ, Vliet V. 2008. Fracture behavior of bread crust: effect of ingredient modification. J Cereal Scie 486:04-612. Maskat MY, Kerr WL. 2002. Coating characteristics of fried chicken breasts prepared with different particle size breading. J Food Process Preserv 26:27-38. McDowall R.M. 2004. Ancestry and amphidromy in islands freshwater fish fauna. J Fish & Fisher 5:75-85. Mehta U, Swinburn B. 2001. A review of factors affecting fat absorption in hot chips. J Food Sci and Nutri 41(2):133-154. Mellema M. 2003. Mechanism and reduction of fat uptake in deep-fat frying. Trend. Food Sci & Technol 14:364-373. Min SC, Kim YT, Han JH. 2010. Packaging and the shelf life of cereals and snack foods. Di dalam: Robertson GL Editor. Food Packaging and Shelf Life. CRC. Press. Moreira RG. 2001. Deep-Fat Frying on Foods. Di dalam: Irudayajay J, editor. Food Processing operations Modeling. Design and Analysis. Marcel Dekker. Basel. Mukjprasirt A, Herald TJ, Boyle DL, Boyyel EA. 2001. Physiochemical and microbiological properties of selected rice flour based batters for fried chicken drumsticks. J Poultry scie 80 (7): 988-996. Oduor-odote PM, Obiero M. 2009. Lipid oxidation and organileptic response during shelf storage of some smoked marine fish in Kenya. Afric Journal of Food Agri Nutri and Develop 9(3):886-900. Namsai S, Koekamnerd T, Arkanit K, Warasawas P. 2008. Effect of packaging system on shell life stability of Thai-style fried rice crackers. Asian J Food and Agro 1(02):78-86 Nargis A. 2006. Seasonal variation in the chemical composition of body flesh of Koi fish Anabas testudineus (Bloch) (Anabantidae: Perciformes). Bangladesh Journal Scie Ind Research 41(3-4): 219-226. Nasiri FD, Mohebbi M, Yazdi FT, Khodaparast. 2010. Effect of soy and corn flour addition on a batter rheology and quality of deep fat-fried shrimp nuggets. J Food Bioprocess Technol. In press. Nelson J. 1984. Fishes of The World. 2th edition. New York: Jhon Weley & Sons. Inc. Nursten H. 2005. The Mailard Reaction Chemistry, Biochemistry and Implications. Chambridge: The Royal Society of Chemistry.
79 Petenuci M, Stevanato F, Visentainer J, Matsushita M, Garcia E, Souza N, Visentainer JV. 2008. Fatty acid concentration, proximate composition, and mineral composition in fishboune flour of nile tilapia. J Archives Latino Americ De Nutric 58(1):87-90. Petersen K, Nielsen P, Bertelsen G, Lawther M, Olesen M, Nilsson N, Mortensen G. 1999. Potential of biobased material for food packaging. J of Food Scie & Technol 10:52-68. Pinthus EJ, Weinberg P, Saguy IS. 1995. Oil uptake in deep fat frying as affected by porosity. J of Food Sci 60:767-769. Quasem J, Mazahreh AS, Alruz K, Afaneh I, Muhtaseb A. 2009. Effect of methyl cellulose coating and pre-treatment on oil uptake, moisture retention and physical properties of deep-fat fried starchy dough system. J of Agric and Biol Sci 4(2): 156-166 Rachtanapun P, Kumsuk N, Thipo K, Lorwatcharasupaporn. 2010. Prediction models for shelf life of pumpkin crackers in different packages based on its moisture content. Chiang Mai Journal Sci 37(3):410-420. Reineccius G. 2006. Flavor chemistry and Technology. Second Edition. Boca Raton: CRC Press, LLC. Rhee KS, Kim ES, Kim BK, Jung BM, Rhee KC. 2004. Extrusion of minced catfish with corn and defatted soy flours for snack foods. J of Food Process Preserv 28:288-301. Robert G.L. 1999. Food Packaging. Principles and Practice. Marcel Dekker. Inc. Robetson GL. 2010. Food Packaging and Shelf Life. CRC. Press. Roos N, Islam M, Thilsted SH. 2003. Small indigenous fish species in Bangladesh: contribution to vitamin A, calcium and iron intakes. J of Nutri 133(11):4021540265. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Jakarta. Binacipta. Sajilata MG, Singhal R. 2005. Specialty Starches for Snack Foods. J Carbohydrate Polymers 59: 131-151. Salamah U. 2007. Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan Secara Berulang Terhadap Umur Simpan Kripik Sosis Ayam. [tesis]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sasiela RJ. 2004. Technology of Coating and Frying Food Products. Di dalam: Gupta MK, Warner K, White PJ, Editor. Frying Technology and Practice, Champaign, Illinois: AOCS press Shieh CJ, Chang CY, Chen CS, Yang C. 2004. Improving the texture of fried food. Di dalam Kilcast editor. Texture in Food Vol.2.Solid Foods. Woodhead Publishing dan CRC Press.
80 Shih F, Daigle K, Clawson E. 2001. Developments of low oil-uptake donuts. J of Food Scie & Technol 66(1):141-144. Shyu S, Hau L, Hwang S. 1998. Effect of vacuum frying on the oxidative stability of oils. J of the American Oil Chemists’ Society, 75:1393-1398. Singh RP. 1995. Heat and mass transfer in foods during deep-fat frying. J Food Technol 49:134-137. Siripatrawan U, Jantawat P. (2008). Novel method for shelf life prediction of a packaged moisture sensitive snack using multilayer perception neural network. Expert System with Application 34:1562-1567. Soeroto B. 1988. Makanan dan Reproduksi Ikan Payangka Ophieleotris oporus (Bleeker) di Danau Tondano. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekarto ST. 1990. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Angkasa Bhatara Karya. Stancheva M, Merdzhanova A, Dobreva DA, Makedonski. 2010. Fatty acids composition and fat-soluble vitamins content of sprat (Sprattus sprattus) and goby (Neogobius rattan) from Bulgarian Black sea. Ovidus Univ Annals of Chemist 21:23-28. Steel RGD,Torie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerjemah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soemantri B,
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty. 1997 Suknark K, McWatters KH, Phillips RD. 1998. Acceptance by American and Asian consumers of extruded fish and peanut snack products. J of Food Sci 63:721-725. Suknark K, Phillips RD, Huang W. 1999. Tapioca-fish and tapioca-peanut snacks by twin-screw extrusion and deep fat frying. J of Food Sci 64(2):303-308. Suseno S.H, Tajul A.Y, Nadiah W.A, Hamidah, Asti, Ali s. 2010. Proximate, fatty acid and mineral composition of selected deep sea fish spesies from South Java Ocean and Western Sumatera Ocean, Indonesia. J Intern Food Research 17:905-914. Syarief R, Isyana BS. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta. Tantu F. 2001. Kelimpahan Spasial-temporal Nike (Ordo Gobioidea) di Muara Sungai Bone Gorontalo [tesis]. Manado. Program Pasca Sarjana, Universitas Sam Ratulangi Manado. Tate DC. 1997. The role of behavioral interactions of immature Hawaiian steam fishes (Pisces: Gobiodei) in population dispersal and distribution. J Micronecs 48:49-52. Tiwari U, Gunasekaran M, Jaganmohan R, Algusundaram K, Tiwari B.K. 2009. Quality characteristic and shelf life studies of deep-fried snack prepared from rice brokens and legumes by-product. J Food Bioprocess Technol.
81 Tung M, Britt J, Yada S. 2001. Packing considerations. Di dalam: Eskin N dan Robinson, editor. Food Shelf life Stability Chemical, Biochemical, and Microbial Changes. CRC press. Varela P, Salvador A, Fiszman. 2008. Methodological developments in crispness assessment: effects of cooking on the crispness of crusted foods. J Food Sci and Technol 41: 1252-1259. Villamiel M, del Castillo MD, Corzo N. 2006. Browning reactions. Di dalam: Hui Y.H, Editor. Food Biochemistry and Food Processing. Blackwell Publishing. Hal 71-100. Vliet T, Visser JE, Luyten H. 2007. On the mechanism by which oil uptake decreases crispy/crunchy behavior of fried products. J Food Res Intern40: 1122-1128. Warner K. 2004. Chemical and physical reactions in oil during frying. Di dalam: Gupta MK, Warner K, White PJ, Editor. Frying Technology and Practice, Champaign, Illinois: AOCS press Widyaningrum, Setyawan N. 2009. Standarisasi keripik sayuran (wortel) sebagai upaya peningkatan daya saing produk olahan hortikultura. Di dalam Kuntanti D, Ira M, Dondy AS. SOP untuk Penanganan Pascapanen. Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian. Departemen Pertanian. 2009. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi edisi terbaru. Bogor. M-brio press. Yamasaki N. dan Tachihara K. 2006. Enggs and larvae of Awaous melanocephalus (Teleostei: Gobiidae). J Ichtyol Res 54: 89-91 Zhao F, Zhuang P, Zhang L, Shi Z. 2010. Biochemical composition of juvenile cultured vs. wild silver pomfret, pampus argenteus: determining the diet for cultured fish. J Fish Physiol. Biochem 36: 1105-1111
82
LAMPIRAN
84
85 Lampiran 1 Lembar penilaian uji hedonik (SNI 2006) Nama Panelis: ……………
Tanggal: ……………………..
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh savory chips nike yang disajikan Spesifikasi Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Spesifikasi Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Spesifikasi Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Spesifikasi Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Nilai
11
12
13
14
Penampakan 15 16 17 18
19
20
21
22
14
15
Aroma 16 17
18
19
20
21
22
14
Rasa 15 16 17
18
19 20
21
22
14
Tekstur 15 16 17
18
19 20
21
22
7 6 5 4 3 2 1 Nilai
11
12
13
7 6 5 4 3 2 1 Nilai
11
12
13
7 6 5 4 3 2 1 Nilai 7 6 5 4 3 2 1
11
12
13
86 Lampiran 2 Hasil analisis ragam formulasi tepung dan konsentrasi perenyah Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F
Prob/Sig.
Tepung
215306.780
2
107653.390
9.605
.001
Perenyah
57180.056
2
28590.028
2.551
.106
Tepung*Perenyah
259369.784
4
64842.446
5.785
.004
Galat
201754.187
18
11208.566
Total
8268066.970
27
Total koreksi
733610.807
26
Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan formulasi tepung terhadap tingkat kerenyahan savory chips ikan nike Subset pada α 0,05
Formulasi Tepung
N
Beras dan tapioka
9
Terigu dan beras
9
558.356
Tapioka dan terigu
9
619.422
1
2
406.989
Sig.
1.000
.455
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi perenyah terhadap kerenyahan savory chips ikan nike Konsentrasi Perenyah konsentrasi 1,5% konsentrasi 2% konsentrasi 1% Sig.
N 9 9 9
Subset pada α 0,05 1 473.756 524.700 586.311 .089
87 Lampiran 5 Hasil uji Kruskal-Wallis formula tepung dan konsentrasi perenyah savory chips ikan nike Tes Statistika,b Penampakan Chi-Square 54.917 df 6 Asymp. sig .000 a. Kruskal Wallis test b. Grouping variable
Aroma 5.313 6 .504
Rasa 3.421 6 .754
Tekstur
16.822 6 .010
Lampiran 6 Hasil uji lanjut Multiple comparation formula tepung dan konsentrasi perenyah savory chips ikan nike. a)
Penampakan Perlakuan
N
A3 A1 C1 B3 B2 C3 C2 B1 A2
36 36 36 36 36 36 36 36 36
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
4.06 4.72 4.72 5.28
5.28 5.31 5.53 5.64 5.86
5.31 5.53 5.64 5.86 5.89
88 b)
Tekstur Perlakuan
N
A3 B1 A1 B2 B3 C1 A2 C3 C2
36 36 36 36 36 36 36 36 36
Lampiran 7
1 4.36 4.53 4.56 4.61 4.67 4.83 4.92
Subset for alpha = 0.05 2
3
4.53 4.56 4.61 4.67 4.83 4.92 5.14
4.83 4.92 5.14 5.42
Hasil pembobotan formula tepung dan konsentrasi savory chips ikan nike berdasarkan uji Bayes Perlakuan
Parameter A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
Nilai bobot
Kerenyahan
5
9
8
2
6
3
7
2
1
0,263
Rasa
4
7
1
3
8
9
2
5
6
0,263
Tekstur
3
7
1
2
4
5
6
9
8
0,210
Penampakan
2
9
1
8
5
4
3
7
6
0,159
Aroma
3
6
1
9
8
2
4
5
7
0,105
7,74 2,84
3,95
6,16
5,05
4,52
5,37
5,21
7
2
5
6
3
4
Total nilai
3,63
Rangking
8
1
9
89 Lampiran 8 Hasil analisis ragam suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike Sumber keragaman Suhu Waktu Suhu * Waktu Galat Total Total koreksi
Jumlah Kuadrat 496645.632 247692.499 196874.313 186400.527 6173548.260 1127612.970
Derajat bebas 2 2 4 18 27 26
Kuadrat tengah 248322.816 123846.249 49218.578 10355.585
F
Prob/Sig
23.980 11.959 4.753
.000 .000 .009
Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penggorengan terhadap kerenyahan savory chips ikan nike Subset α 0,05 SUHU
N 1
Suhu 170° C
9
328.589
Suhu 180° C
9
344.433
Suhu 160° C
9
2
623.889
Sig.
.745
1.000
Lampiran 10 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh waktu penggorengan terhadap kerenyahan savory chips ikan nike Subset α 0,05 WAKTU
N 1
2
5 menit
9
4 menit
9
447.556
3 menit
9
484.767
Sig.
297.922
1.000
.547
90 Lampiran 11 Hasil uji Kruska-Wallis suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike Tes Statistika,b Penampakan Chi-Square df Asymp. sig
Aroma
9.917 6 .128
Rasa
11.617 6 .106
Tekstur
29.454 6 .000
23.768 6 .001
a. Kruskal Wallis test b. Grouping variable Lampiran 12 Hasil uji lanjut Multiple comparation suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike a)
Rasa Sampel
N
1
Subset for alpha = 0.05 2
3
suhu 160, waktu 3 menit (A3)
30
suhu 180 waktu 5 menit (C3)
30
4.93
suhu 170, waktu 3 menit (B1)
30
5.10
5.10
suhu 180, waktu 3 menit (C1)
30
5.17
5.17
suhu 180, waktu 4 menit (C2)
30
5.20
5.20
suhu 160, waktu 4 menit (A2)
30
5.37
5.37
suhu 170, waktu 5 menit (B3)
30
5.50
5.50
suhu 160, waktu 5 menit (A3)
30
5.70
suhu 170,waktu 4 menit (B2)
30
5.70
4.03
Sig.
b)
1.000
.111
.096
Tekstur Sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
suhu 160, waktu 3 menit
30
4.40
suhu 180, waktu 3 menit
30
4.80
suhu 170, waktu 3 menit
30
5.37
5.37
suhu 180 waktu 5 menit
30
5.40
5.40
suhu 160, waktu 5 menit
30
5.50
suhu 170, waktu 5 menit
30
5.50
suhu 180, waktu 4 menit
30
5.53
suhu 160, waktu 4 menit
30
5.57
suhu 170,waktu 4 menit
30
5.70
Sig.
.173
4.80
.053
.338
91 Lampiran 13 Hasil pembobotan berdasarkan uji bayes untuk penentuan suhu dan waktu penggorengan savory chips ikan nike terbaik Perlakuan Parameter Kerenyahan Rasa Tekstur penampakan Aroma Total Nilai Rangking
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
2 1 1 1 1 1,31 9
1 6 6 4 4 4,16 7
5 9 5 7 7 6,55 3
3 3 3 2 3 2,85 8
7 8 9 5 5 7,47 2
9 7 8 6 6 7,70 1
4 4 2 9 2 4,31 6
6 5 8 8 8 6,47 4
8 2 4 3 9 4,47 5
Nilai bobot 0,308 0,308 0,231 0,154 0,105
Lampiran 14 Data hasil pengamatan nilai TBA savory chips pada 2 kemasan berbeda selama penyimpanan pada 3 suhu yang berbeda Suhu (⁰C)
Ruang (300C)
400C
500C
Hari ke1 7 14 21 28 35 42 1 5 10 15 20 25 30 1 3 6 9 12 18
Nilai TBA (mg malonldehid/kg) Kemasan Alufo Kemasan PP 0.3033 0.3033 0.3977 0.5474 0.4577 0.5626 0.4497 0.5542 0.4571 0.6410 0.4511 0.6411 0.449 0.5955 0.3033 0.3033 0.4641 0.5903 0.4714 0.6589 0.4962 0.6642 0.4932 0.6564 0.4973 0.6627 0.4950 0.6417 0.3033 0.3033 0.6354 0.7718 0.6361 0.7438 0.5724 0.6052 0.6779 0.7925 0.5639 0.6034
Berdasarkan data-data di atas, maka diperoleh persamaan linier sebagai berikut: Y = a + bX. Dalam hal ini Y = nilai mutu TBA (mg/kg malonaldehid/hari), X = waktu penyimpanan, a = nilai awal TBA saat mulai disimpan, b = laju perubahan nilai TBA (k).
92 a) Persamaan regresi pengemas alufo Y= 0.002 x + 0.3654 R2 = 0,5403
Suhu Ruang (300C) Suhu 400C
Y= 0.004x + 0.389 R2 = 0,5285
Suhu 500C
Y=0,009x + 0,4846 R2 = 0,2475
b) Persamaan regresi pengemas plastik PP Y=0.005x +0.4269 (k= 0,05) 0
Suhu ruang(30 C) Suhu400C Suhu 500C
R2 = 0,5849 Y = 0.008x + 0.4728 (k= 0,08) R2 = 0,4579 Y=0,012x + 0,5392 (k= 0,012) R2 = 0,027
Sehingga laju peningkatan nilai TBA (k) untuk masing-masing suhu di atas adalah: a)
Pengemas Aluminum foil Suhu ruang (300C)
: 0,002
Suhu 400C
: 0,004
Suhu 500C
: 0,009
b) Pengemas plastik PP Suhu ruang (300C) 0
: 0,005
Suhu 40 C
: 0,008
Suhu 500C
: 0,012
93 Lampiran 15 Aplikasi data hasil regresi pada persamaan Arrhenius untuk pengemas alufo Persamaan Arhenius K = K0е-E/RT atau ln k = ln k0 – (Ea/RT). Dimana :
K k0 E T R
= konstanta penurunan mutu = konstanta (tidak tergantung pada suhu) = energi aktivasi = suhu mutlak (C + 273) = konstanta gas, 1.986 kal/mol
ln k dan –E/R adalah bilangan konstanta, sehingga persamaan di atas menjadi: lnk = A + B 1/T untuk mendapatkan grafik hubungan antara konstanta penurunan mutu dan suhu maka nilai k hasil persamaan regresi pada masing-masing suhu dari 2 jenis kemasan dan 1/T
Perubahan Nilai TBA (ln K)
diplotkan dalam grafik regresi linier. -4 0,00305
0,00315
0,00325
-5
0,00335
y = -7365,x + 18,06 R² = 0,996
-6
-7
Suhu (1/T) ⁰K
maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Persamaan regresi untuk pengemas alufo : Y = 18,06 - 7365X, R2 = 0,996. Dengan menggunakan cara regresi linier, maka diperoleh persamaan: ln k = 18,06 – 7365(1/T) dimana : -E/R = B -E/R = -7365 R= 1,986 kal/mol0K Jadi
E=14626,89 kal/mol
Sehingga ln k0 = A lnk0 = 18,06 k0=
6,972 × 107
94 berdasarkan nilai A dan B yang diperoleh, maka model persamaan laju peningkatan nilai TBA pada pengemas aluminium foil adalah
dari persamaan tersebut dapat diketahui laju peningkatan nilai TBA produk savory chips yang dikemas dengan aluminium foil pada berbagai suhu penyimpanan Contoh perhitungan laju peningkatan nilai TBA pada penyimpanan suhu ruang (30°C).
k= 0,0019 mg malonaldehid/kg/hari
nilai penurunan mutu (lnK)
Lampiran 16 Aplikasi data hasil regresi pada persamaan Arrhenius untuk pengemas polipropilen -4,2 0,003 -4,4
0,0031
0,0032
0,0033 y = -4293,x + 8,876 R² = 0,999
-4,6 -4,8 -5,0 -5,2 -5,4
Suhu (1/t)⁰K
Persamaan regresi untuk pengemas PP : Y = 8,876 – 4293X, Hingga diperoleh persamaan sebagai berikut: ln k = 8,876 – 4293(1/T) dimana : -E/R = B -E/R = -4293 R= 1,986 kal/mol0K Jadi
0,0034
E = 8525,90 kal/mol
Sehingga ln k0 = A ln k0 = 8,876 k0= 7,1581 × 105
R2 = 0,999
95 berdasarkan nilai A dan B yang diperoleh, maka model persamaan laju peningkatan nilai TBA pada pengemas aluminium foil adalah
dari persamaan tersebut dapat diketahui laju peningkatan nilai TBA produk savory chips yang dikemas dengan PP pada berbagai suhu penyimpanan Contoh perhitungan laju peningkatan nilai TBA pada penyimpanan suhu ruang.
k= 0,0050 mg malonaldehid/kg/hari.
Lampiran 17 Perhitungan umur simpan menggunakan reaksi ordo 0
Persamaan untuk menghitung umur simpan menggunakan reaksi ordo 0, yaitu:
Dimana :
t
= Umur simpan produk
A
= Konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (untuk standar TBA= 1 mg malonaldehid/kg)
A0 = Konsentrasi mula-mula (nilai awal) dari kriteria kadaluarsa k
= Kecepatan laju peningkatan nilai TBA pada masing-masing suhu selama penyimpanan.
Berdasarkan persamaan di atas dan nilai k yang diperoleh, maka dapat dihitung umur simpan produk sesuai suhu penyimpanan. Contoh perhitungan umur simpan produk savory chips yang dikemas dengan alufo pada penyimpanan suhu ruang, dimana nilai awal TBA 0,3033 mg malonaldehid/kg.
Dengan demikian maka umur simpan savory chips yang dikemas dengan alufo memiliki umur simpan selama 360 hari pada suhu ruang.
96 Lampiran 18 Hasil uji Kruskal Wallis aroma savory chips ikan nike selama penyimpanan Tes Statistika,b Suhu ruang (300C ) Chi-Square 20.077 df 6 Asymp. sig .003 c. Kruskal Wallis test d. Grouping variable
Suhu 400C 15.630 6 .016
Suhu 500C 13.955 6 .030
Lampiran 19 Hasil uji lanjut multiple comparation untuk aroma savory chips selama penyimpanan a)
Aroma suhu ruang (300C)
Sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
Alufo hari ke 14
30
4.700
PP hari ke 14
30
4.833
Alufo hari ke-7
30
4.933
Alufo hari 42
30
4.933
PP hari ke 7 Alufo hari ke 21 PP hari ke 21 PP hari ke 42 PP hari 35 Alufo hari ke 35
30 30 30 30 30 30
4.967 5.200 5.233 5.300 5.333
Alufo hari 28
30
5.633
PP hari ke 28
30
5.633
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
.051
5.200 5.233 5.300 5.333 5.600
.180
97
b) Aroma suhu 400C
Sampel
Subset for alpha = 0.05 1 2 3
N
Alufo hari ke 10
30
PP hari ke 10
30
4.90
Alufo hari 20
30
5.13
5.13
Alufo hari ke-5
30
5.17
5.17
PP hari ke 30
30
5.17
5.17
PP hari ke 20
30
5.23
5.23
PP hari ke 25
30
5.30
5.30
Alufo hari 30
30
5.33
5.33
Alufo hari ke 15
30
5.40
5.40
Alufo hari ke 25
30
5.40
5.40
PP hari ke 5
30
5.43
5.43
PP hari ke 15
30
Sig.
4.33
5.63 1.000
.096
.120
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
c)
Aroma suhu 500C
Sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1 4.50 4.60 4.93
PP hari ke 6 30 Alufo hari ke 6 30 PP hari ke 9 30 Alufo hari ke 9 30 PP hari ke 18 30 Alufo hari 12 30 PP hari ke 3 30 Alufo hari 18 30 Alufo hari ke 15 30 PP hari ke 12 30 PP hari 15 30 Alufo hari ke-3 30 Sig. .132 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2 4.60 4.93 5.17 5.17
.055
3
4.93 5.17 5.17 5.23 5.27 5.30 5.37 5.37 5.37 .184
4
5.17 5.17 5.23 5.27 5.30 5.37 5.37 5.37 5.60 .184
98 Lampiran 20 Hasil uji Kruskal Wallis tekstur savoy chips ikan nike selama penyimpanan Tes Statistika,b Suhu ruang (300C )
Suhu 400C
Suhu 500C
33.611
13.191
13.191
6
6
6
.000
.040
.040
Chi-Square df Asymp. sig
a. Kruskal Wallis test b. Grouping variable: sample Lampiran 21 Hasil uji lanjut Multiple comparation tekstur savory chips ikan nike selama penyimpanan a)
Tekstur suhu ruang (30 °C) Sampel
N
Alufo hari ke 42 PP hari ke 42 PP hari ke 35 PP hari ke 14 Alufo hari ke 14 PP hari ke7 Alufo hari ke 7 PP hari ke 21 Alufo hari ke 35 PP hari ke 28 Alufo hari ke 21 Alufo hari ke 28 Sig.
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
4
4.033 4.167 4.833 4.933 5.033 5.233 5.267 5.300 5.333 5.567
.684
.056
4.933 5.033 5.233 5.267 5.300 5.333 5.567 5.633 .069
5.233 5.267 5.300 5.333 5.567 5.633 5.900 .080
99 b) Tekstur suhu 40 °C
c)
sampel
N
alufo hari ke10 alufo hari ke 30 PP hari ke 5 PP hari ke 15 alufo hari ke20 PP hari ke10 Alufo hari ke 5 PP hari ke 30 alufo hari ke 25 PP hari ke 20 PP hari ke 25 alufo hari ke 15 Sig.
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Subset for alpha = 0.05 1
2
4.967 5.000 5.000 5.367 5.400 5.433 5.500 5.500 5.567 5.600 5.600 .082
5.367 5.400 5.433 5.500 5.500 5.567 5.600 5.600 5.800 .234
Tekstur suhu 50 °C Sampel
N
alufo hari ke6 alufo hari ke 18 PP hari ke 3 PP hari ke 9 alufo hari ke12 PP hari ke6 Alufo hari ke 3 alufo hari ke 15 PP hari ke 12 PP hari ke 15 PP hari ke 18 alufo hari ke 9 Sig.
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Subset for alpha = 0.05 1 2 4.967 5.000 5.000 5.367 5.400 5.433 5.500 5.567 5.600 5.600 5.600 .079
5.367 5.400 5.433 5.500 5.567 5.600 5.600 5.600 5.800 .229
100 Lampiran 22 Kromatogram hasil analisis asam amino
Kromatogram standar asam amino.
Kromatogram asam amino ikan nike
101 Lampiran 23 Perhitungan konsentrasi asam amino ikan nike.
No puncak spektrun
Waktu retensi
Luas area standar
Luas area sampel
1
3,08
Asam Apartat
1241379
228967
2
4,47
Asam glutamate
1376498
514074
3
5,56
Serin
1205648
180704
4
7,06
Glisin
1405011
1250444
5
8,51
Histidin
1325561
77044
6
9,86
Arginin
1342877
102264
7
11,09
Treonin
1533122
186449
8
11,87
Alanin
1231308
39397
9
12,34
Prolin
1404606
155683
10
13,38
Tirosin
1405861
372852
11
14,76
Valin
1557139
95357
12
15,74
Methionin
1223154
283512
13
17,17
Sistein
1493818
53386
14
18,47
Isoleusin
1402847
52207
15
20,00
Leusin
1598206
93134
16
21,61
Phenilalanin
1588880
523082
17
23,133
Lisin
1637795
112604
Asam amino
Contoh perhitungan; Rumus menghitung konsentrasi asam amino:
Contoh perhitungan Kadar aspartat (%) =
= 0,6137%
102 Lampiran 24 Kromatogram hasil analisis asam lemak
Kromatogram standar asam lemak
Kromatogram asam amino ikan nike
103 Lampiran 25 Perhitungan konsentrasi asam lemak ikan nike. No puncak spektrum 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
5,813 6,875 8,041 9,914 12,299 13,599 14,937 16,081 16,336 17,763 18,776 19,203 20,258 20,709 21,404 21,720 22,593 23,367 24,709
21
25,391
22
26,205
23
27,503
24
28,594
25
29,245
26 27 28 29
30,319 30,693 31,292 32,773
30
33,779
31
35,598
32
40,837
Waktu retensi
Asam lemak Asam laurat, C12:0 Asam tridekanoat, C13:0 Asam miristat, C14:0 Asam miristoleat, C14:1 Asam pentadekanoat, C15:0 Asam palmitat, C16:0 Asam palmitooleat, C16:1 Asam heptadekanoat, C17:0 Asam Cis-10-Heptadekanoat, C17:1 Asam stearat, C18:0 Asam elaidik, C18:1n9t Asam oleat, C18:1n9c Asam linolelaidik, C18:2n9t Asam linoleat, C18:2n6c Asam arakidik, C20:0 Asam g-linolenat, C18:3n6 Asam cis-11-eikosenoat, C20:1 Asam linoleat, C18:3n3 Asam heneicosanoat, C21:0 Asam cis-11,14-eicoseidenoat, C20:2 Asam behenic, C22:0 Asam Cis-8,11,14-eikosetrienoat, C20:3n6 Asam erusik, C22:1n9 Asam Cis-11,14,17-eikoisentrinat, C20:3n3 Asam arakidonat (ARA), C20:4n6 Asam trikosanoat, C23:0 Asam cis-13,16-dokosadenat, C22:2 Asam lignoserik, C24:0 Asam cis-5,8,11,14,17eikosapentanoat (EPA), C20:5n3 Asam nervoik, C24:1 Asam Cis-4,7,10,13,16,19dokosaheksanoat (DHA), C22:6n3
Luas area standar
Luas area sampel
201613377 18273 44615 68708 90647 48,668 100996 49145 53469 159445 47892 47663 54088 111410 55074 109489 50365 50586 43211
197859455 1440 3137 2483 1706 2161 237554 1954 52657 1944962 313863 93011 27801 724986 8907 828248 1854 82833 7697
54386
33155
56175
12165
51272
11901
112527
25748
45010
7814
47703 45496 56670 51017
6685 76384 11757 1036
45443
179308
56182
44199
33172
874600
104 Contoh perhitungan konsentrasi asam lemak sampel: Rumus % konsentrasi asam lemak:
= 14,81%