BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Ikan nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus, dan
banyak terdapat di Perairan Gorontalo. Klasifikasi ikan nike menurut Saanin (1984) dalam Yusuf (2011) adalah sebagai berikut: Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : :
Pisces Teleostei Gobioidea Gobiidae Awaous Awaous melanocephalus (Bleeker)
Gambar 1. Ikan Nike (Awaous melanocephalus) Sumber: (Yusuf, 2011)
Ikan nike merupakan kelompok anak ikan dari famili Gobiidae. Ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan kecil dengan panjang maksimum ± 8 cm. Ciri-ciri lain dari ikan nike adalah tidak berwarna atau keputih-putihan serta tidak bersisik (Tantu, 2001 dalam Yusuf, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantu (2001) dalam Yusuf (2011), bahwa schooling ikan nike terdiri dari juvenil ikan Awaous melanocephalus dan juvenil ikan Eleotris frusca, dari schooling tersebut ikan Awaous melanocephalus
6
merupakan spesies penyusun utama yaitu sebesar 99%, sedangkan ikan Eleotris frusca hanya merupakan spesies ikutan. Penangkapan ikan nike oleh nelayan terjadi pada setiap akhir bulan dalam kalender Qomariah (bulan dilangit) dan ukuran ikan yang tertangkap pada stadia juvenil (post larva) menggunakan alat tangkap sejenis beach seines dengan mesh size yang sangat kecil (kurang dari ½ inchi). Teknik penangkapan dengan mengurung (melingkari) schooling ikan nike menggunakan pukat, kemudian secara perlahan-lahan pukat ditarik sambil memperkecil ruang gerak schooling ikan nike sehingga terjebak masuk dalam kantung pukat (Tantu, 2001 dalam Yusuf, 2011). Ikan nike memiliki kandungan protein yang berbeda. Hasil penelitian Kadir (2008), menunjukkan perbedaan kadar protein pada ikan nike dari hari pertama dan hari terakhir kemunculannya. Kadar protein pada ikan nike hari pertama yaitu 2,7315 % sedangkan pada hari terakhir yaitu 4,083 %. Hasil identifikasi diduga di dalam ikan nike terdapat asam-asam amino esensial yaitu Leusin, Isoleusin, Metionin dan Threonin.
2.2
Pendinginan Ikan Pengawetan
ikan
dengan
suhu
rendah
merupakan
suatu
proses
pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan, pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu di luar ruangan (Adawyah, 2007). 7
Menurut Junianto (2003), pada suhu rendah (pendinginan atau pembekuan), proses-proses biokimiawi yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat dihambat, dengan demikian kesegaran ikan akan semakin lama dipertahankan. Media pendingin yang baik untuk penanganan ikan salah satunya adalah es. Penurunan suhu tubuh ikan dengan menggunakan es sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ibrahim dkk (2008), bahwa proses pendinginan dalam kotak styrofoam selama 3 hari tidak memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik dari ikan bandeng (Chanos chanos Forsk). Penelitian yang lainnya oleh Nurilmala dkk (2009), menunjukkan bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) selama penyimpanan pada suhu chilling, nilai organoleptik dari ikan mengalami
penurunan
seiring
dengan
semakin
lamanya
penyimpanan.
Penggunaan es dilakukan untuk dapat mempertahankan mutu ikan. Penggunaan suhu rendah yang paling sering dan mudah dilakukan adalah pengesan. Es merupakan media pendingin yang memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kapasitas pendingin yang besar, tidak membahayakan konsumen, bersifat thermostatik (menjaga suhu sekitar 0ºC), harganya relatif murah, dan mudah dalam penggunaannya (Junianto, 2003). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) dalam Mile (2006), ada dua cara teknik pendinginan ikan dengan es, yaitu:
8
1. Tumpukan Es yang telah disiapkan segera ditaburkan ke dasar wadah penyimpanan ikan sehingga membentuk lapisan setebal 5 cm. Kemudian ikan yang telah dicampur dengan es dimasukkan ke dalam wadah tersebut. Pada lapisan ikan paling atas ditutupi dengan es setebal 7 cm, lalu wadah ditutup agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Es dan ikan ditumpuk sedemikian rupa sehingga semua ikan tertutup dengan es. 2. Berlapis Es ditaburkan di dasar wadah penyimpanan ikan hingga membentuk lapisan es setebal 5 cm. Selanjutnya di atas lapisan es tersebut disusun ikan secara teratur dengan bagian perut menghadap ke bawah agar cairan es yang mencair tidak tergenang di bagian perut ikan. Di atas lapisan ikan tersebut ditaburkan kembali es setebal 3-5 cm. Usahakan seluruh tubuh ikan tertutup oleh lapisan es. Kemudian di atas lapisan es ikan disusun secara teratur. Penyusunan lapisan ikan dan es dilanjutkan terus hingga mencapai permukaan wadah penyimpanan. Pada bagian paling atas ditaburkan kembali es hingga membentuk lapisan setebal 7 cm dan selanjutnya wadah ditutup agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Agar ikan yang terletak dilapisan paling bawah tidak rusak, sebaiknya tinggi wadah penyimpanan ikan tidak melebihi 50 cm.
9
Teknik pendinginan ikan dengan es yang baik dapat dilakukan dengan cara memberi lapisan es pada dasar wadah untuk pendinginan, memasukkan ikan ke dalam wadah di atas lapisan es dan disusun ikan dengan posisi sebelah mata ikan berada di atas yang lain, memberi lapisan es di atas lapisan ikan dan lapisan paling atas dari susunan es dan ikan adalah lapisan es (Junianto, 2003). Es kebanyakan dibuat dari air tawar dan selebihnya dari air laut. Menurut Adawyah (2007), dilihat berdasarkan bentuknya ada lima kelompok es sebagai berikut. a. Es balok (block ice), yaitu balok es dengan ukuran 12-60 kg/balok. Sebelum dipakai es balok dipecahkan terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran. b. Es tabung (tube ice), yaitu es berbentuk tabung kecil yang siap untuk dipakai. c. Es keping tebal (plate ice), yaitu es dalam bentuk lempengan yang besar dan tebal 8-15 mm, kemudian dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil dengan diameter kurang dari 5 cm, agar lebih cepat kontak dengan permukaan ikan. d. Es keping tipis/es curah (flake ice), yaitu lempengan-lempengan tipis dengan tebal 5 mm, diameter 3 cm, merupakan hasil pengerukan dari lapisan es yang terbentuk di atas permukaan pembeku berbentuk silinder. Akibat pengerukan itu, ukuran es sudah cukup kecil sehingga tidak perlu dipecahkan lagi.
10
e. Es halus (slush ice), yaitu butiran-butiran yang sangat halus dengan diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Mesin yang digunakan berukuran kecil dan produksinya sedikit, hanya untuk ikan disekitar pabrik.
2.3
Ikan Segar Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), bahwa ikan dikatakan segar apabila
ikan tersebut memiliki kondisi tubuh sama seperti ikan masih hidup dan belum mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologis yang sampai menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Tingkat kesegaran ikan sulit dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan penglihatan keduanya tampak memiliki tingkat kesegaran sama, namun ternyata baru diketahui setelah disimpan. Ikan segar memiliki masa simpan lebih lama dibandingkan ikan yang kurang segar. Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati agar dapat dilakukan tindakan penanganan dalam upaya mempertahankan kesegaran ikan. Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya. Apabila penanganan ikan kurang baik maka mutu atau kualitasnya akan turun (Junianto, 2003). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2729.1-2006), bahwa ikan segar adalah produk hasil perikanan dengan bahan baku ikan yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, pencucian, penyiangan atau tanpa panyiangan, penimbangan, pendinginan dan pengepakan. Ikan segar harus ditangani, disimpan, 11
didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene dalam unit pengolahan hasil perikanan (BSN, 2006). Perbedaan antara ikan segar dan ikan busuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk SNI 01–2729.1–2006 Ikan Segar Mata - Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih Insang - Warna merah cemerlang tanpa lendir Lendir permukaan badan - Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilap cerah Daging - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh Bau - Bau sangat segar, spesifik jenis Tekstur - Padat elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang
Ikan Busuk -
Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning
-
Warna merah cokelat ada sedikit putih, lendir tebal
-
Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecokelatan
-
Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut agak lunak
-
Bau busuk jelas
-
Sangat lunak, bekas dari jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
Sumber: BSN (2006)
Menurut Adawyah (2007), bahwa ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap dan belum mengalami proses pengawetan maupun pengolahan lebih lanjut. Ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik, semakin lama ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik akan menurunkan kesegarannya. Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas mutu, yaitu tingkat kesegarannya sangat baik sekali (prima),
12
ikan yang kesegarannya baik (advanced), ikan yang kesegarannya mundur (sedang) dan ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk). Syarat mutu dan keamanan pangan ikan segar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia ditujukan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Mutu dan Kemanan Pangan (SNI 01-2729.1-2006) Jenis Uji a. Organoleptik b. Cemaran Mikroba*: - ALT - Escherechia Coli - Salmonela - V. cholerae c. Cemaran kimia*:
Satuan Angka (1-9)
Persyaratan 7
Koloni/gram APM/gram APM/25 gram APM/25 gram
Maksimal 5 x 105 Maksimal < 2 Negatif Negatif
- Raksa (Hg)
mg/kg
Maksimal 0,5
- Timbal (Pb)
mg/kg
Maksimal 0,4
- Histamin
mg/kg
Maksimal 100
- Kadmium (Cd)
mg/kg
Maksimal 0.1
ekor
Maksimal 0
d. Parasit* *) Bila diperlukan Sumber Keterangan
2.4
: BSN (2006) : ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka paling memungkinkan
Kontaminasi Bakteri Pada Ikan Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), bahwa bakteri pada ikan terdapat
di seluruh permukaan tubuh bagian luar, terutama di bagian kulit (lendir), insang dan saluran pencernaan. Kepadatan bakteri di ketiga tempat tersebut berbeda, dimana jumlah bakteri di kulit berkisar 102-104/gram; insang 103-105/gram; dan di saluran pencernaan 103-107/gram. Selama ikan hidup, keberadaan bakteri tersebut
13
relatif tidak merugikan karena ikan mempunyai pertahanan alami, baik berupa pertahanan fisik atau biokimia. Ikan yang ditangkap pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan (Alfred 1998 dalam Wicaksono 2009). Aktivitas
mikroorgansime
dapat
menyebabkan
berbagai
perubahan
biokimiawi dan fisikawi. Kerusakan secara kimiawi dan fisikawi dapat diketahui secara mudah dengan menggunakan alat indera, sedangkan mikrobiologis memerlukan waktu untuk analisis karena disebabkan oleh bakteri. Kerusakan secara kimiawi misalnya adanya perubahan pH daging ikan, timbulnya asam, sedangkan secara fisikawi dapat diketahui dengan timbulnya lendir, warna permukaan badan yang suram, dan mata keruh (Hadiwiyoto 1993). Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan hidup adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus (Junianto 2003). Indrajaya (2006) mengemukakan bahwa serangan dan penyebaran bakteri patogen pada ikan berlangsung begitu cepat dan sewaktu-waktu dapat menyerang dalam waktu relatif singkat bila kondisi lingkungan relatif buruk. Faktor yang dapat memengaruhi penyebaran dan penularan bakteri patogen antara lain melalui media air atau ikan, wadah pengangkut serta melalui manusia. Jenis bakteri yang
14
sering menimbulkan masalah pada ikan dalah Aeromonas, Vibrio sp, Pseudomonas sp, dan Mycobarterium sp. Hasil perikanan yang hidupnya selalu di perairan yang secara alamiah merupakan tempat hidup mikroorganisme memungkinkan terjadinya kontaminasi. Beberapa jenis mikroorganisme patogen misalnya Vibrio cholerae, Salmonella, Staphylococcus aureus serta Listeria monositogenes yang keberadaannya karena berasal dari manusia. Vibrio parahaemolyticus secara alamiah ada di perairan pantai dan perlu dibatasi jumlahnya dalam bahan baku perikanan. Demikian juga adanya Escherichia coli juga perlu dibatasi karena mikroorganisme ini mencerminkan adanya kontaminasi dengan faeces manusia/binatang mamalia dan bahkan jumlah total mikroorganisme pun perlu dibatasi karena akan mempercepat pembusukan dan merupakan indikator higiene (Sulistijowati dkk, 2011).
2.5
Proses Kemunduran Mutu Ikan Proses penurunan mutu ikan dengan urutan mulai dari perubahan pra-
rigormortis, rigormortis, aktifitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke pembusukan (Junianto 2003). 2.5.1 Perubahan Pre Rigor Mortis Perubahan pre-rigor atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di 15
sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Afrianto dan Liviawaty, 2010). 2.5.2 Perubahan Rigor Mortis Rigor mortis yaitu keadaan ikan menjadi kaku beberapa saat setelah ikan mati. Rigor pada ikan biasanya berawal dari ekor, berangsur-angsur menjalar ke sepanjang tubuh ikan hingga kepala sampai seluruh tubuh menjadi kaku (Sulistijowati dkk, 2011). Tekstur daging ikan yang semula kenyal dan elastis berubah secara bertahap menjadi kaku, keras, dan kehilangan kelenturannya setelah memasuki tahap rigor mortis. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas aktin dan miosin (Afrianto dan Liviawaty, 2010). Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi udara berhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya (Junianto, 2003). 2.5.3 Perubahan Post Rigor Mortis Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya
16
penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (Afrianto dan Liviawaty, 2010). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003). Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat. Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang menyebabkan ikan menjadi busuk (Junianto, 2003).
2.6
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Bakteri Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010), faktor-faktor yang dapat
memengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain: a) Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) lingkungan atau media tempat hidup akan memengaruhi pertumbuhan bakteri pembusuk. Sebagian besar bakteri tumbuh dengan baik pada kisaran pH antara 6.6 – 7.5. Bakteri pembusuk 17
tumbuh baik pada saat ikan mati karena pH daging ikan berkisar antara 6.4 – 6.8. b) Kandungan Air Bakteri pembusuk memerlukan air untuk tumbuh dan berkembang. Sebagian besar bakteri tumbuh baik pada media yang mempunyai konsentrasi air tinggi. Apabila air dikeluarkan maka pertumbuhan bakteri akan melambat dan bila di bawah 15% umumnya bakteri tidak akan tumbuh. c) Kandungan Nutrisi Bakteri dapat tumbuh dan berfungsi normal membutuhkan nutrisi. Nutrisi yang dibutuhkan dapat berupa sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan seperti vitamin, mineral. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun komponen sel. d) Temperatur/Suhu Temperatur/suhu wadah penyimpanan merupakan faktor ekstrinsik berikutnya yang secara nyata berpengaruh terhadap proses pembusukan mikrobiologis. Berdasarkan respon terhadap suhu lingkungan, bakteri dapat dibagi menjadi: (1) Bakteri psikrofilik yang dapat hidup pada kisaran suhu 15 - 20ºC. Pada suhu di bawah 0ºC tetap tumbuh meskipun lambat, sedangkan pada suhu 30 – 40ºC tidak dapat tumbuh. (2) Bakteri mesofilik hidup pada kisaran suhu 30 – 40ºC, bakteri ini tidak dapat tumbuh pada suhu yang lebih rendah dari 10ºC atau antara 40 – 50ºC.
18
(3) Bakteri termofilik yang dapat hidup pada suhu 50 – 55ºC. Umumnya bakteri yang menyebabkan pembusukan pada ikan segar adalah bakteri psikrofilik dan beberapa diantaranya bakteri mesofilik. e) Kelembaban Relatif (Rh) Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan sangat penting untuk menentukan Aw (Activity water) dalam bahan pangan dan pertumbuhan bakteri di permukaan. Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan dipengaruhi oleh temperatur, yaitu pada temperatur tinggi maka kelembaban akan rendah dan sebaliknya.
2.7
Parameter Pengujian Mutu Ikan Segar Untuk menentukan mutu ikan diperlukan pengujian. Beberapa cara
pengujian mutu dari ikan segar antara lain pengujian organoleptik dan mikrobiologis (Penentuan Angka Lempeng Total). 2.7.1
Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik ini bisa dibilang unik dan berbeda dengan pengujian
menggunakan instrumen atau analisa, karena melibatkan manusia tidak hanya sebagai objek analisis, tetapi juga sebagai alat penentu hasil atau data yang diperoleh. Analisis sensori pada dasarnya bersifat subjektif. Analisis subjektif berkaitan dengan kesukaan dan penerimaan. Penilaian organoleptik melalui proses penginderaan yang terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya rangsangan terhadap alat indera oleh suatu benda, akan diteruskan oleh sel-sel saraf dan datanya diproses oleh otak sehingga memperoleh kesan tertentu terhadap benda tersebut (Setyaningsih dkk, 2010). 19
Penilaian mutu ikan segar secara organoleptik selama penyimpanan dingin mengalami penurunan. Hasil penelitian Taher (2010), bahwa mutu organoleptik ikan mujair (Tilapia mossambica) segar pada penyimpanan dingin selama 4 hari dikategorikan ditolak. Berdasarkan
SNI
01-2346-2006,
bahwa
uji
organoleptik
dengan
menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu sensori dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian terhadap bau, tekstur, daging, lendir permukaan badan dan insang pada ikan nike segar. Skala angka dan spesifikasi dari ikan segar sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Perhitungan nilai organoleptik dilakukan dengan melihat lembar score sheet dari panelis ditabulasi dengan mencari hasil rata-rata setiap panelis pada taraf kepercayaan 95 % (BSN, 2006). Rumus perhitungan : P ( X – 1,96 x S / Keterangan :
2.7.2
P X S n 1,96
= = = = =
< µ < X + 1,96 x S /
= 95%
Selang nilai mutu rata – rata Nilai mutu rata – rata Simpangan baku nilai mutu Jumlah panelis Koefisien standar deviasi pada taraf 95%
Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) Menurut Leksono dan Amin (2001), bahwa pada awal penyimpanan total
bakteri yang terdapat pada ikan relatif tidak berbeda. Jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini dikarenakan lingkungan
20
yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara maksimal. Penentuan angka lempeng total (ALT) merupakan uji yang bersifat bakterial. Semakin busuk ikan, akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Proses kemunduran mutu secara mikrobiologis diawali dengan terurainya glikogen dan terbentuknya asam laktat yang diikuti oleh penurunan derajat keasaman (pH). Daging ikan yang segar pada umumnya tidak mengandung bakteri (Jaya dkk, 2006). Berdasarkan SNI 01–2332–3–2006, bahwa penentuan angka lempeng total dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroorganisme dalam suatu produk, yang pada prinsipnya jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata. Penentuan angka lempeng total dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, metode cawan agar tuang (pour plate) yaitu dengan menanamkan contoh ke dalam cawan petri terlebih dahulu kemudian ditambahkan media agar. Kedua, metode cawan agar sebar (spread plate) yaitu dengan menuangkan terlebih dahulu media agar ke dalam cawan petri kemudian contoh diratakan pada permukaan agar dengan menggunakan batang gelas bengkok (BSN, 2006).
21
Teknik perhitungan jumlah koloni berdasarkan SNI 01–2332–3–2006 adalah sebagai berikut. 1. Pada penghitungan cawan, jumlah koloni yang dapat dihitung berkisar 25-250 koloni. Kisaran jumlah ini dianggap cukup untuk menghindari kesalahan hitung akibat terlalu banyak koloni dalam cawan sehingga penghitungan dapat dilakukan dengan akurat. Jumlah koloni yang dihitung dan pengenceran yang digunakan harus dicatat untuk mempermudah pengecekan. Jumlah hitungan bakteri dari contoh yang diuji akan memperoleh hasilnya dengan mengalikan faktor pengenceran seperti berikut. Jumlah Koloni = Jumlah koloni x
1 Faktor Pengenceran
2. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal). Jika angka kedua adalah angka genap dan angka ketiga sama dengan lima, maka angka tersebut dapat dibulatkan menjadi 0. Misalnya 1650 menjadi 1600 dan dilaporkan menjadi 1,6x103 koloni/gram. 3. Angka dibulatkan menjadi dua angka yang sesuai, bila angka ketiga enam atau di atasnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan angka kedua naik satu angka, misalnya 456 menjadi 460. 4. Bila angka ketiga genap atau di bawahnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan angka kedua tetap, misalnya 454 menjadi 450. Bila angka kedua ganjil dan angka ketiganya sama dengan lima, maka angka tersebut
22
dapat dibulatkan menjadi 0 dan angka kedua naik satu angka, misalnya 455 menjadi 460. 5. Jika pada semua pengenceran dihasilkan kurang dari 25 koloni pada cawan petri, maka pengencerannya terlalu encer dan tidak dapat dihitung. Sebaliknya, jika pengenceran hasilnya lebih dari 250, maka pengenceran yang dilakukan terlalu sedikit dan tidak tercampur dengan baik pada saat pengocokan, maka koloni tersebut tidak dapat dihitung. Pengenceran dilakukan duplo, yang bertujuan untuk pembanding data yang dilaporkan.
23