EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe) DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN ANAK BALITA
SUS WIDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmat Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang sholeh (QS. 27:19)
Kupersembahkan untuk: Ibunda Sunarmi, Suamiku Drs. Setyabudhi, M.Pd tercinta, Anak-anakku tersayang: Aa Jj dan Aa Gi, serta Saudara-saudaraku terkasih: Mb Nur, Mb Andjar, Hudi, Soni, dan Indah
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun Baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ABSTRAK SUS WIDAYANI. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, dan MUHILAL
Defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun dan rentan terhadap peningkatan infeksi. Anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A pada anak-anak balita masih merupakan problem kesehatan di Indonesia, walaupun usaha perbaikan gizi sudah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat melimpah di bumi, meski sangat sedikit sekali jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun demikian defisiensi besi (anemia) merupakan defisiensi gizi mikro yang prevalensinya paling tinggi, dengan 2 milyar orang yang terkena di seluruh dunia. Zat besi memainkan peranan yang penting dalam metabolisme tubuh. Keberadaan vitamin A terutama dalam sisntesis hemoglobin (Hb) sangat penting terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A bersama zat besi (Fe) diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb, ferritin serum (Fs), retinol serum (Rs), dan respons imun khususnya imunoglobulin G (IgG) anak balita. Salah satu indikator defisiensi besi adalah konsentrasi Hb. Penurunan konsentrasi Hb merupakan tanda dari defisiensi zat besi. Indikator status anemia lainnya adalah kadar ferritin serum. Status vitamin A dapat dilihat dari kadar retinol, dan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G total. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap: (1) peningkatan asupan zat gizi anak balita, 2) peningkatan status gizi secara antropometri, 3) peningkatan konsentrasi Hb, ferritin (Fs), retinol (Rs), dan pengaruhnya terhadap respons imun anak balita. Disain penelitian yang digunakan adalah eksperimental (randomized controlled trial) pada 10 desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Contoh sebanyak 70 anak balita yang dikelompokkan menjadi 2, yakni 35 anak balita diberi biskuit fortifikasi dan 35 anak balita diberi biskuit plasebo. Masing- masing kelompok diberi biskuit selama 4 bulan dan tingkat konsumsi pangannya dimonitor. Data Hb, Fs, Rs, berat badan, konsumsi pangan dikumpulkan pada saat sebelum dan sesudah penelitian. Data IgG dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian booster DPT. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan konsentrasi Hb, Fs, Rs, dan IgG total secara nyata lebih tinggi pada akhir intervensi (p<0,05). Delta peningkatan Hb, ferritin, dan retinol, serta titer IgG secara nyata lebih tinggi setelah pemberian biskuit fortifikasi dan booster DPT. Di akhir penelitian, sebagian besar anak balita memiliki IgG total yang tinggi. Kata kunci: biskuit fortifikasi, status gizi, hemoglobin, ferritin, retinol, dan imunoglobulin G total.
ABSTRACT SUS WIDAYANI. Efficacy and Preference of Fortified Vitamin A and Iron Biscuits on Consumption, Nutritional Status , and Immune Response of Children Under Five of Age. Supervised by HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, and MUHILAL Micro nutrient deficiency may cause impaired immune function and susceptible to infection. Iron deficiency anemia (IDA) and vitamin A deficiency (VAD) among children underfive of age remains a main public health problem in Indonesia. Vitamin A and iron deficiencies are causes of IDA. Iron is one of the most abundant minerals on earth, and the human body require only minute quantities. Yet, iron deficiency is the most prevalent micronutrient deficiency, with about 2 billion people were affected worldwide. Iron plays important role in the metabolism of living organisms. Vitamin A can mobilize iron from body store and stimulate the production of new erythrocytes in the bone marrow in the synthesis of hemoglobin. Furthermore, micronutrient deficiencies can contribute to fufther impairment in immune respons and infections disease. Fortified biscuits is expected to reduce this problem to be a good alternative to improve the nutritional status as well as enhance the haemoglobin concentration (Hb), serum ferritin (Fs), serum retinol (Rs), and the immune respons especially imunoglobulin G (Ig G). Iron deficiency is defined by the absence of iron store. One indicator of iron deficiency is haemoglobin concentration. Iron deficiency leads to reduce iron deficiency anemia. Haemoglobin concentration decline at and at the end stage of iron deficiency. One of indicators of anemia status is ferritin level in serum, and indicator of vitamin A status is serum retinol, and immune respons is Total IgG. The objectives of this study were: 1) to evaluate the effect of biscuits feeding on nutrient intake of children under five of age, 2) to measure the nutritional status of children underfive of age, and 3) to measure the concentration of serum haemoglobin, ferritin, retinol and titer Ig G and 4) to evaluate the impact of biscuits fortification on antropometric nutritional status, anemia status (Hb), iron status (Fs), vitamin A status (Rs), and immune respons. Randomized controlled trial was applied in this studi and conducted in 10 villages of Dramaga Sub District of Bogor regency. Two groups each 35 children treatment and control, were assigned to receive different intervention during 4 months. Data on Hb, Fs, Rs, and body weight, and food intake were collected before and after intervention. Total IgG data was collected before and after the subject received DPT boosters. Hb concentration, ferritin and serum retinol, and total IgG increased significantly (p<0,05) after intervention. Children had IgG titer higher at the endline than the baseline. Fortified biscuits significanly (p<0,05) increased hemoglobin and total IgG of children underfive of Age. Key words: fortified biscuit, nutritional status, hemoglobin, ferritin, retinol, and total immunoglobulin G
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Bogor, Nopember 2006
SUS WIDAYANI NRP.A326010021
EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe) DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN ANAK BALITA
SUS WIDAYANI
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Penelitian
: Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita
Nama Mahasiswa
: SUS WIDAYANI
NRP
: A326010021
Program Studi
: Gizi Masyarakat
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.S Ketua
Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M. S Anggota
Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S Anggota
Prof. Dr. Muhilal, APU Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputra, M.S
Tanggal Ujian: 29 Nopember 2006
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Sus Widayani dilahirkan di kota Solo, pada tanggal 21 September 1965, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Achmady Daryono (Alm) dan Ibu Sunarmi. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi diselesaikan di Semarang pada tahun 1991. Pendidikan Sarjana Boga ditempuh di Fakultas Teknik (FT, dahulu FPTK) Universitas Negeri Semarang (UNNES, dahulu IKIP). Tahun 1997 penulis diterima pada Program Studi Gizi Masyarakat Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswsa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pengalaman bekerja dimulai pada tahun 1985 sebagai guru Sekolah Dasar di SD Negeri Pekunden Semarang. Pada tahun 1991 penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan PKK Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK, kini FT) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP, kini UPI). Pada tahun 1995 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Boga (TJP) pada Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Semarang (UNNES). Penulis menikah dengan Drs. Setyabudhi, M.Pd pada tanggal 03 Nopember 1991 dan dikaruniai dua orang putra : Jj. Ivan Naufal Al Virdiyan dan AA. Giananda Al Aurasesar.
PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadlirat Illahi Robbi, berkat Rahmat, Ridho, dan Hidayah-Nya, perjalanan panjang studi ini dapat mencapai tahap akhir. Salam dan shalawat disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya yang shaleh. Pertama-tama penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua anak-anak balita di Kecamatan Dramaga yang mengijinkan anakanaknya menjadi subjek penelitian dan dengan ihklas mengijinkan pengambilan sampel darah anaknya sebanyak tiga kali. Kesabaran, kejujuran, dan ketegaran, serta keluguan mereka adalah buku teks kehidupan yang tidak pernah tersedia di rak-rak perpustakaan. Kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.Sc. dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga karena bimbingan dan nasihat beliau baik lisan maupun melalui SMS dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi. Pribadi beliau yang sarat ilmu, kesehariannya yang sederhana dan sikapnya yang istiqomah, membuatnya melampaui batas sekedar seorang pembimbing. Beliau adalah teladan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan waktu untuk saya berkonsultasi. Ucapan yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M.S. dan Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. yang banyak membimbing dan memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau berdua selalu meluangkan waktu dan membimbing dengan sabar dan ikhlas. Nasihat bapak Ahmad lewat SMS memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih sekali kepada bapak Budi yang dengan tulus ikhlas meninjau ke lapangan saat pengambilan darah tahap akhir di Balai Desa Petir, semoga Allah SWT melimpahkan pahala bagi beliau. Kepada Prof. Dr. Muhilal, APU yang banyak membimbing mulai dari konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi termasuk pemberian berbagai pustaka, diucapkan terima kasih. Ide awal
penelitian dan perbincangan masalah imunitas pada anak balita di kantor Puslitbang Gizi mampu membuka wawasan penulis terhadap bidang tersebut. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Hardinsyah, M.S selaku ketua proyek kerjasama PSKPG dan World Food Program (WFP) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menggunakan sebagian sampel dan data base untuk kepentingan penelitian. Kepada Ibu Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua PSKPG saat itu, yang rela membantu penulis, nasihat bu Ani baik lisan maupun melalui SMS, dan kebaikan hati beliau tidak pernah akan saya lupakan. Dorongan moril yang begitu tulus dari beliau Insya Allah tercatat sebagai amal shaleh. Kepada Rektor UNNES dan Dekan FT serta Ketua jurusan TJP yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor, dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih. Kepada Dr. Tan dan Dr. Ir. Endang S. Sunaryo, M.Sc selaku Manager R & D di PT. Indofood Sukses Makmur yang telah membantu untuk penyelesaian penelitian serta bingkisan terima kasih untuk responden, penulis mengucapkan terima kasih. Nasihat bu Endang baik secara lisan, via telepon ataupun SMS ya ng sampai sekarang masih saya ingat, begitu baik beliau, dengan ikhlas memberikan bantuan terhadap penyelesaian disertasi. Semoga Allah membalas budi baik beliau. Kepada Bapak Haris Divisi PT. Gizindo Prima Nusantara atas bantuan sereal untuk responden di akhir penelitian, diucapkan banyak terima kasih Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Tim dokter Puskesmas UPTD Kecamatan Dramaga, khususnya kepada dr. Maryanto yang telah bersedia menerima dan mengijinkan serta membantu mengatur rantai vaksin dan pelaksanaan pemberian booster DPT kepada responden melalui bidan desa, dr. Egy, dr. Dini, dr. Deasy, dan bidan desa serta tenaga medis pengambil sampel darah; serta para kader posyandu di Kecamatan Dramaga diucapkan terima kasih. Terimakasih tulus kepada Bu: Hertik, Cicih, Aan, dan Tutik; Teh: Wiwit, Mumun, Wiwin, dan Teh Neneng yang tulus ikhlas senantiasa mengantar mengunjungi responden dan menemani berjalan menyusuri perdesaan dari pagi hingga malam.
Semoga amalan baiknya mendapatkan pahala yang setimpal. Kenangan indah dengan beberapa enumerator Hena SP, Dety S. Pd, Atik SP, Marhamah M.Si, dan Ir. Agus M, dan bantuan tulus dari Dety S. Pd, M. Tahrir SP, M.Si, Dra. Wiwit Estuti M. Si, dan Nurkhasanah, M.Si pada saat pemberian Booster DPT dan pengambilan darah tahap akhir, diucapkan terima kasih tulus. Kepada Prof. Dr. Satoto (Alm), dr. Edi Dharmana Ph. D, Sp. Par., Dr. Endang, dan dr. Umi Kurniati, M.S yang telah memberikan kesempatan berkonsultasi dan memberikan pustaka; Prof. Sukestyarna, Ph.D, dan Ir. Dahlan M.Si yang membantu dalam pengolahan data. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. dr. Enud Sp. OG (K), dr. Nur Asikin Sp A (K), Mbak Eva dan Sri, Bu Ratna dan Teh Ani. Teman-teman seangkatan Dr. Intje Picauly, S.Pi; Dr. Ir. Albiner Siagian; dr. Yongky, dan Dra. Meda Wahini, M.Si serta dr. Novilia dari Bio Farma Bandung dan Ir. M. Firdaus M. Si yang banyak memotivasi dan selalu menemani penulis. Hormat takzim kepada kedua orang tua tercinta yang telah membesarkan, mendidik, dan membimbing, serta mengha ntarkan penulis hingga mencapai kehidupan saat ini. Dari beliaulah penulis belajar banyak tentang makna kesabaran, ketabahan, ketekunan, kesetiaan, dan kebenaran. Ucapan terima kasih tidak lagi memiliki makna manakala membayangkan besar dan tulusnya cinta beliau berdua. Semoga kerja ini diizinkan Allah menjadi amal shaleh seorang anak kepada orang tua. Ibunda tersayang yang senantiasa mendoakanku setiap detik dan malam dalam tahajutnya seta almarhum bapak yang dari dulu menginginkan saya belajar di IPB menj adi sarjana pertanian. Penulis percaya walaupun almarhum tidak sempat menyaksikan kelulusan ini, namun jiwa almarhum yang suci Insya Allah mampu menyaksikan dari alam barzah. Semangat hidup dan tanpa kenal lelah beliau selalu menanamkan belajar, belajar, dan belajar. Dua ungkapan emas yang selalu penulis kenang ”Tholabul ilmi faridhotun ala kuli muslimin wal muslimat” dan ”Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”. Semoga jiwa bersih almarhum diampuni segala dosa dan masuk syurga. Amin. Kakakku, Mbak Andjar dan teristimewa Mbak Nur yang senantiasa membantu merawat dan mengasuh kedua putraku dari bayi sampai usia balita,
serta adik-adikku: Soni, Hudi, dan Indah yang sekarang membantu merawat putra pertamaku yang duduk di kelas 5 serta Uwa Agus dan Ceu Yayat; Bi Euis dan Mang Wiwit, yang telah merawat dan mengasuh anak-anak; terima kasih yang tidak terhingga atas doa-doa dan kerja kerasnya demi keberhasilan penulis. Akhirnya secara rendah hati dan penuh kasih sayang penulis sampaikan terima kasih yang dalam kepada suami tercinta Drs. Setyabudhi, M.Pd dan permata hatiku: A Jj dan AA Gi yang selalu sabar, setia, penuh pengertian, berdo’a sepanjang waktu dan nyaris tanpa keluhan. A Jj yang dibesarkan diantara saudaranya, dalam usia anak-anak telah menunjukkan kedewasaan akan kenyataan beratnya hidup yang harus dijalani tanpa ada bimbingan dan belaian ibu setiap waktu. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar terutama dalam menghadapi stress-stress yang nyaris membuat frustasi. Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas penyelesaian studi ini diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada mereka semuanya, diucapkan terima kasih semoga amal mereka dicatat sebagai amal shaleh. Amin.
Bogor, 29 Nopember 2006
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xx
PENDAHULUAN Latar Belakang .....................................................................................
1
Tujuan....................................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Gizi dan Kesehatan ...............................................................................
5
Status Gizi ............................................................................................
7
Imunitas Anak Balita ............................................................................
11
Peranan Vitamin A dan Imunitas .........................................................
13
Peranan Zat Besi dan Imunitas .............................................................
19
Sinergis me Vitamin A dan Zat Besi .....................................................
23
Respons Imun .......................................................................................
24
Respons Imun Non Spesifik ..........................................................
25
Respons Imun Spesifik ...................................................................
27
Antigen dan Antibodi .....................................................................
29
Pembentukan Respons Imun ...............................................................
30
Imunoglobulin G (IgG) .......................................................................
31
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran .............................................................................
33
Hipotesis ...............................................................................................
36
Batasan Operasional .............................................................................
36
BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
38
Disain Penelitian ...................................................................................
38
Kerangka dan Cara Penarikan Contoh .................................................
41
Bahan Penelitian ...................................................................................
42
Analisis .................................................................................................
42
Biskuit Fortifikasi .................................................................................
43
Komposisi Biskuit ................................................................................
43
Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit ............................
44
Pengumpulan dan Pengukuran Data ....................................................
47
Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data .......................................
47
HASIL DAN PEMBAHASAN Biskuit Fortifikasi .................................................................................
52
Keadaan Demografi Wilayah Penelitian ..............................................
52
Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh.................................
54
Kepemilikan Kartu Sehat ......................................................................
58
Pengetahuan Gizi Ibu ...........................................................................
58
Karakteristik Contoh.............................................................................
60
Riwayat Penyakit Anak Balita ..............................................................
63
Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh.................................
66
Konsumsi Zat Gizi Anak Balita ............................................................
74
Konsumsi Vitamin A .....................................................................
78
Konsumsi Zat Besi (Fe) .................................................................
79
Status Gizi Antropometri .....................................................................
80
Status Zat Gizi Mikro ...........................................................................
83
Hemoglobin (Hb) ...........................................................................
83
Ferritin Serum (Fs) ........................................................................
87
Retinol Serum (Rs) ........................................................................
89
Respons Imun (Imunoglobulin G).........................................................
93
Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun............
96
Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G............................................................................
96
Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun ..........................................................................
98
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan................................................................................................
103
Saran......................................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
104
LAMPIRAN .................................................................................................
113
DAFTAR TABEL Tabel 1
Halaman
Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor menurut Standar WHO/NCHS .......................................................................
10
Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data ..................................
47
3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga .........................................
53
4. Besar Keluarga Responden menur ut Jumlah Anggota Keluarga ......
55
5. Kepemilikan Rumah Keluarga Contoh.............................................
55
2
6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh........ 55 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh.......................................
56
8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh........................................
57
9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh..................................................
57
10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat....................................
58
11. Pengelompokkan Pengetahuan Gizi Ibu menurut Kategori..............
59
12. Karakteristik Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu..................................................................
61
13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi .....
63
14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi...........................................................................................
65
15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh..............................................
66
16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita ............................ 17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian................................
68 72
18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh.....................
75
19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh menurut AKG 2004 .........................................................................................
77
20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Anak Balita
79
21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Gizi Besi (Fe) ......
79
Tabel
Halaman
22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita .......................................
81
23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB (WHO-NCHS, 1983) ........................................................................
81
24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-skor Status Gizi .....................
82
25. Rata-rata Hb dan Uji Perbandingan Rata-rata ..................................
87
26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ............
88
27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ............
93
28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata .....
95
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup ........................................
6
2.
Struktur Vitamin A, β-Carotene, dan Derivatnya ......................
13
3.
Transpor Vitamin A Intra Organ ................................................
14
4.
Skema Perjalanan Fe di dalam tubuh yang dimodifikasi ...........
20
5.
Respons Imun Spesifik dan Non spesifik ...................................
25
6.
Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan ...................................
31
7.
Struktur Imunoglobulin G (IgG) ................................................
32
8.
Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status Gizi, dan Imunitas .........
35
9.
Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi Biskuit Fortifikasi .......................................................................
10.
39
Jumlah Contoh Anak Usia ≥ 24 bulan yang Dianalisis Imunoglobulin G-nya .................................................................
40
11.
Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak .....................
41
12.
Biskuit Fortifikasi dan Non Fortifikasi .......................................
44
13.
Bagan Alir Tahapan Penelitian ..................................................
45
14.
Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu menurut Skor ...........
60
15.
Proporsi Anak Balita Contoh menurut Jenis Kelamin ...............
60
16.
Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) menurut Minggu
68
17.
Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang mengkonsumsi Biskuit ........................................................................................
18.
70
Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir Intervensi.....................................................................................
76
19.
Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir Intervensi .....
84
20.
Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir Intervensi ...
87
21.
Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir Intervensi ..........................................................................
90
22.
Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir Intervensi ...
94
23
Grafik Batang Peningkatan IgG Total Anak Balita ...................
97
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Analisis Darah ............................................................................
117
1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin..........................................................
117
2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum ......................................................
118
3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum ......................................................
119
4. Pemeriksaan Imunoglobulin G.............................................................
120
Lampiran 2. Daftar Makanan yang dikonsumsi Anak Balita..........................
121
Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian................................................
123
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini masih banyak kasus gizi buruk ditemukan dan menjadi salah satu penyebab meningkatnya infeksi dan kematian pada anak balita yang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kasus gizi buruk pada anak balita, terutama diakibatkan oleh pola makan yang kurang baik yang menyebabkan anak kekurangan beberapa zat gizi mikro, diantaranya vitamin A dan zat besi. Akibat kekurangan zat gizi tersebut, anak mudah terserang penyakit infeksi bahkan kematian. Berdasarkan hasil laporan survei Departemen Kesehatan RI, angka kematian anak balita (AKABA) di beberapa daerah di Indonesia umumnya masih tinggi. Sebagai contoh di daerah Jawa Barat AKABA sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003). Sementara itu kasus gizi buruk dan gizi kurang juga masih tinggi, sebagai contoh di Kabupaten Bogor kasus gizi buruk tercatat sebesar 5,56 persen dan gizi kurang sebesar 18,46 persen (Departemen Kesehatan RI, 2006). Gizi buruk pada anak balita menyebabkan meningkatnya penyakit infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi mikro berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan tubuh (Villamor dan Fawzi, 2005; Goldenberg, 2003). Defisiensi zat gizi mikro dapat meningkatkan resiko infeksi dan penurunan fungsi imun. Telah dilaporkan bahwa infeksi dan defisiensi gizi merupakan penyebab beberapa kasus kematian anak-anak balita di seluruh dunia (Oppenheimer, 2001). Defisiensi zat gizi mikro dan kejadian infeksi di Indonesia relatif masih tinggi yang diindikasikan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan bayi (ACC/SCN, 2002). Walaupun Indonesia dinyatakan bebas masalah xeropthalmia pada tahun 1992, kita tetap perlu waspada sebab 50 persen anak balita masih menunjukkan kadar vitamin A dalam serum <20 µg/dl (defisiensi sub klinis) yaitu sebanyak 10 juta sub klinis dan 66 ribu bercak bitot yang semuanya terancam kebutaan (Depkes RI, 2003). Masalah defisiensi zat besi juga masih dialami oleh bangsa Indonesia. Prevalensi anemia pada anak balita yang
2 dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 ternyata meningkat, dari 40,5 persen dari data tahun 1995 menjadi 47 persen pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003). Hasil studi terdahulu oleh Semba et al (1992) yang dilakukan tahun 1991 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A dosis tinggi kepada anak balita selama dua minggu dapat meningkatkan respons imun. Empat dari 8 studi menunjukkan bahwa kematian anak meningkat karena penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001) dan 127 juta anak balita yang defisiensi vitamin A di Sub Sahara beresiko meninggal (West, 2002 dan Aguayo, 2002). Hasil meta analisis oleh Beaton et al. (1993) me nunjukkan, bahwa suplementasi vitamin A dosis tinggi dapat menurunkan 20-30% angka kematian anak balita. Dilaporkan pula bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas anak dari beberapa penyakit infeksi, yakni diare, campak, human immunodeficiency virus (HIV), dan malaria (Villamor dan Fawzi, 2005). Suplementasi vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi retinol serum dan kekebalan mukosa (Aguayo et al. 2005) serta berpengaruh terhadap penurunan infeksi (Malaba et al. 2005 dan Cusick et al. 2005). Selain defisiensi vitamin A, penyebab kasus gizi buruk pada anak balita yang sering menyebabkan penyakit infeksi, adalah defisiensi zat besi. Zat besi (Fe)
diyakini
dapat
meningkatkan
kekebalan
tubuh
anak. Dilaporkan
suplementasi zat besi mampu menurunkan insiden infeksi (Kang dan Matsuo, 2004 dan Oppenheimer, 2001) serta dapat meningkatkan status hemoglobin dan ferritin serum (Terlouw et al. 2004). Penelitian Gopaldas (2005), membuktikan bahwa suplementasi zat besi (Fe) mampu menurunkan infeksi cacing penyebab kesakitan dan kematian anak balita. Berbagai studi di atas telah membuktikan, dampak suplementasi vitamin A dosis tinggi dan zat besi dapat meningkatkan status gizi dan imunitas dengan penurunan berbagai penyakit infeksi. Sebaliknya, kekurangan zat gizi mikro menyebabkan rendahnya respons imun anak yang salah satunya ditandai dengan rendahnya pembentukan imunoglobulin, khususnya imunoglobulin G (IgG).
3 Semakin baik status gizi mikro anak semakin baik tingkat kekebalan tubuh anak (Chandra, 1997). Kekebalan tubuh terhadap penyakit tidak terlepas dari peran antibodi. Antibodi tersebut dikenal dengan antitoksin yang pada umumnya merupakan Imunoglobulin tipe G (IgG). Untuk meningkatkan kadar antitoksin diperlukan pembentukan antibodi yang dapat diukur titernya dalam serum, yang salah satunya pengukuran titer IgG Total. Pembentukan IgG seseorang akan mencapai maksimum apabila didukung oleh status gizi mikro yang baik (Suyitno, 1985). Respons imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang berlangsung, salah satunya adalah pembentukan sel B. Produk utama sel B adalah imunoglobulin dalam proses respons imun humoral. Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi (Kresno, 2001). Respons imun yang terkaitan dengan imunoglobulin tersebut dapat diukur kadarnya dalam serum. Banyaknya kasus gizi buruk pada anak balita mendorong World Food Program (WFP) bekerjasama dengan Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi (PSKPG) untuk melakukan intervensi berupa pemberian biskuit fortifikasi kepada kelompok anak balita keluarga miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Biskuit ini telah difortifikasi dengan zat besi dan vitamin A dalam dosis rendah. Untuk mengkaji pengaruh pemberian zat besi dan vitamin A dosis harian rendah (dalam biskuit) dilakukan pengukuranpengukuran terhadap pembentukan imunoglobulin G (IgG) total. Dalam kajian tersebut permasalahan yang ingin dilihat adalah: apakah pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah yang difortifikasikan pada biskuit mampu meningkatkan respons imun anak balita pada masyarakat kelompok miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor? Pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah tersebut diharapkan dapat memberikan kecenderungan positif terhadap penurunan prevalensi defisiensi gizi mikro sehingga dapat meningkatkan status gizi mikro anak dan respons imun anak balita.
4 Penanggulangan masalah gizi harus mendapatkan prioritas utama sesuai visi pembangunan gizi “mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal” (Rencana Aksi, 2000). Menurut IDRC/IAC (1996), salah satu strategi utama untuk melawan masalah defisiensi gizi mikro adalah dengan fortifikasi pangan. No other technology offers as large an opportunity to improve five…at such low cost and in such a short time …fortification (World Bank, 1994). Tujuan Secara umum tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian vitamin A dan zat besi dosis rendah harian yang difortifikasikan pada biskuit terhadap status gizi dan respons imun anak balita. Secara khusus penelitian ini bertujuan unt uk: 1. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan asupan zat gizi anak balita; 2. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan konsentrasi hemoglobin dan ferritin; 3. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan retinol dalam serum; 4. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap status gizi anak balita secara antropometri; 5. Mempelajari dampak pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan Imunoglobulin G Total.
TINJAUAN PUSTAKA Gizi dan Kesehatan Kesehatan
dan
gizi
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996). Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikut nya. Anemia akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak pada penglihatan. Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan, kegagalan tumbuh pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson, 1993). Defisiensi ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat awal kehidupan anak akan berpengaruh di sepanjang kehidupannya (Gambar 1).
6 Gangguan Perkembangan Mental
AKB Tinggi
Peningkatan resiko penyakit Penurunan kapasitas Merawat bayi
Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Masa Tua Kurang Gizi
Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai
Sering infeksi AKABA Tinggi
Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai
Anak Kurang Gizi
Gizi fetus tidak memadai
Penurunan Kapasitas mental
Wanita Kurang Gizi
AKA Tinggi Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai
Wanita Hamil, pertambahan BB rendah
Remaja Kurang Gizi
AKI Tinggi Penurunan kapasitas mental Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat
Imunitas Rendah Morbiditas Meningkat
Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat
Pangan, Kesehatan Penurunan dan perawatan kapasitas mental tidak memadai
Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)
Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).
7 Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecuk upan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respons imun yang rendah. Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan pertumbuhan bahkan kematian. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status) merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuranukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000). Status gizi tubuh dipengaruhi oleh kecukupan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat- zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan penggunaan zat gizi tersebut untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan
8 pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002) disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya. Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990). Kelebihan indeks BB/U adalah: (a) dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, (b) sensitif untuk melihat perubahan status
9 gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat, dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Tinggi
badan
(TB)
merupakan
indikator
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek. Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah: (a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a) sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000). Dengan indikator BB/TB, berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah data hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor.
10 Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi
normal.
Nilai
Z-skor
masing- masing
anak
dihitung
dengan
menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:
(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi Keterangan: i = umur (bulan) Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB, dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/ NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing- masing individu kemudian diband ingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik batas (cut-off point) Z-skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Zskor secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983) Indikator BB/U
TB/U BB/TB
Kriteria Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk Normal Pendek/Stunted Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus
Sumber: Jahari dkk, 2000
Standar > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD = - 2,0 SD < - 2,0 SD baku WHO-NCHS > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD
11 Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing- masing indeks antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2 SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin; (4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing- masing indeks tidak sama. Imunitas Anak Balita Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001). Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut. Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh denga n respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit. Respons imun yang terjadi pada anak balita akan tergantung dari kondisi tubuh anak. Selama anak mempunyai masalah (gangguan) gizi maka respons imunnya juga akan terganggu. Defisiensi gizi termasuk gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada perumbuhan anak
12 (Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun. Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak yang gizinya baik (Gopaldas, 2005). Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi. Interaksi antara gizi dan kesehatan dipandang sebagai suatu siklus. Pertahanan tubuh dan kemampuan mikro organisme patogen yang dapat menimbulkan penyakit (virulensi) yang menghinggapi tubuh diilustrasikan sebagai dua kekuatan yang dapat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas. Pada anak yang defisiensi zat gizi mikro, pertahanan tubuh akan menurun dan tenaga virulensi patogen akan lebih kuat sehingga kesehatan anak terganggu dan anak menderita infeksi. Karenanya, gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta melindungi kesehatannya (ACC/SCN, 2000).
13 Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).
Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000) Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan (Brody, 1994). Sel epithel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen. Sel epithel memiliki peran penting dalam transport ion dan absorpsi serta sekresi cairan yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Williams & Wilkins, 2006 ).
14 Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002), menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.
Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)
Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epitelium di beberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel kornea, paru-paru, kulit, dan mukosa intestin, dan dapat menurunkan sel goblet intestin dan permukaan vilus (Linder, 1992). Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan
15 kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001). Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998). Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat dipahami
karena
vitamin A
esensial
untuk
kenormalan
fungsi
imun,
hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia, dan meningkatkan fase protein akut. Menurut Semba (1998), vitamin A dan yang berhubungan dengan retinoid memainkan peranan penting dalam pengaturan fungsi imun. Defisiensi vitamin A berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality), misalnya kejadian pada buta senja (nightblindness) dan xerophthalmia serta penyakit infeksi. Pada studi meta analisis ditemukan konsep: sindrom defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al., 2000). Anak-anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan pathologis dalam fungsi sel T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan infeksi subklinis seperti penyakit diare (Semba, 2002). Infeksi subklinis sebagian besar terjadi pada anak
16 gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja. Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap kekebalan mukosa. Permukaan mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons tubuh inang (Suyitno, 1985). Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992). Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen (Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994). Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan, defisiensi vitamin A berpengaruh pada metabolisme, ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan, diferensiasi jaringan epithel sebagai fungsi sistem imun termasuk perubahan organ morfologi, menurunkan respons antibodi terhadap beberapa pathogen spesifik dan antigen, menurunkan CMI dan imunitas non-spesifik (IFPRI, 2000). Defisiensi vitamin A dapat menurunkan proliferasi sel-T dan berkurangnya produksi antibodi, khususnya pada perut (gut) dan paru-paru. Juga dapat menurunkan berat tymus yang dihubungkan dengan bentuk atrophy pada kekurangan vitamin A yang panjang durasinya (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Menurut studi dan observasi Ahmed et al (1990) pada tikus defisiensi vitamin A
17 dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan, serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi. Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun. Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan dalam merespons antigen. Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A (Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al., (1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984), dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM) berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984). Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A. Pendapat yang sejalan dikemukakan oleh Nauss (1986) dan Ross (1992), bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah organ limfoid, jumlah sel, histologi, dan karakteristik limfosit. Namun hal tersebut sangat tergantung dari durasi defisiensi vitamin A tersebut. Keadaan vitamin A berpengaruh besar terhadap prevalensi infeksi atau dalam respons infeksi. Hal ini disebabkan karena defisiensi vitamin A berefek pada fungsi sel NK yang berperan mengatur formasi antibodi dan sekresi IFN. Pelepasan IFN dapat meningkatkan
18 aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin (Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990). Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al., 1992). Perbaikan status vitamin A dapat menurunkan angka kematian sebesar 23% pada populasi yang defisien (Bowman et al.,1990). Hal ini dapat dipahami karena perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al., 1990). Selain itu vitamin A berperan dalam penurunan infeksi melalui perannya dalam peningkat-an (enhancher) diferensiasi sel ephitel dan sebagai fungsi barier tubuh (Goldenberg, 2003). Vitamin A mengatur sintesis keratin dengan squamos cell dan tampil dalam pemeliharaan integritas permukaan ephitelial mukosa (Goldenberg, 2003). Studi klinis dan eksperimental oleh Green dan Mellanby pada tahun 1920 dan 1930 yang dikutip oleh Oppenheimer (2001) membuktikan bahwa vitamin A sebagai vitamin “anti infeksi”. Dalam jurnal yang sama, Scrimshaw tahun 1968 membuktikan bahwa ‘Tidak ada satupun defisiensi gizi yang konsisten sinergis dengan penyakit infeksi daripada vitamin A. Pada tahun 1993, Beaton et al. membuktikan secara klinis bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan 2030% mortalitas anak. Vitamin A dan retinoid potensial untuk terapi terhadap imun. Penggunaan terapi dengan vitamin A diawali dalam bidang Dermatologi dan Onkologi. Vitamin A sebagai fungsi biologis penting untuk penglihatan, reproduksi dan fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, dan proliferasi. Vitamin A berperan penting dalam meningkatkan respons imun dan defisiensi vitamin A dapat menyebabkan kerusakan respons imun dan fungsi limfosit (Stipanuk, 2000).
19 Peranan Zat Besi dan Imunitas Besi merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh. Besi yang di konsumsi sehari- hari dalam bentuk ionnya, yaitu Fe++ (fero) dan Fe+++.(feri). Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim yang bertanggung jawab untuk pengangkutan elektron (sitokrom), untuk pengaktifan oksigen (oksidase dan oksigenase), dan untuk mengangkut oksigen (hemoglobin dan mioglobin). Sebagian besar zat besi berada pada hemoglobin (Hb) di dalam sel darah merah dan jaringan eritroid (Stipanuk, 2000). Fungsi Fe dalam tubuh adalah untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O2 dan CO2 , yang berperan dalam metabolisme energi. Sebagian kecil besi terdapat dalam enzim jaringan yaitu sekitar 7 persen seperti sitokrom (Brody, 1999). Zat besi berperan sangat penting dalam fungsi seluler, yakni sintesis Hb dan metabolisme makrofag (Williams & Wilkins, 2006). Metabolisme Fe tampaknya memang unik karena kecilnya pertukaran Fe dengan lingkungan setiap harinya, yakni hanya 1 mg Fe yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan Fe karena ekskresi. Tubuh sangat efisien dalam penggunaan Fe. Kurang lebih 1% sel darah merah yang didegradasi dan dibentuk kembali setiap hari dalam jangka waktu hidup 120 hari. (Linder, 1992). Skema metabolisme Fe pada manusia disajikan pada Gambar 4. Sebelum diabsorpsi sebagian besar Fe dalam bentuk ferri direduksi menjadi bentuk ferro. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus dengan bantuan transferrin (transferrin mukosa dan reseptor). Transferrin mukosa mengangkut Fe dari saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferrin reseptor di dalam sel mukosa. Transferrin reseptor mengangkut Fe melalui darah ke semua jaringan tubuh. Sebagian besar transferrin darah membawa Fe ke sumsum tulang untuk membuat Hb yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan dan kelebihannya disimpan sebagai ferritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Kekurangan besi akan mengganggu pembentukan Hb dan dapat menyebabkan anemia.
20
Fe dalam saluran pencernaan
Fe diangkut Transferrin mukosa
Sel mukosa usus halus: Fe melekat ke alat transport transferrin reseptor Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin
Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang
Fe dalam alat transport transferrin reseptor
Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin dan hemosiderin
Fe dibawa darah oleh transferrin
Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah & mengikatkan ke transferrin
Sebagian hilang melalui darah
Darah mengangkut Fe sebagai Hb sel darah merah
Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin
Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb sel darah merah
Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin
Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi (Whitney & Rolfes, 1993:407)
Anemia adalah satu dari problem kesehatan masyarakat yang sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah jumlah zat besi dalam konsumsi makanan sehari- hari tidak mencukupi kebutuhan tubuh karena bioavailability-nya rendah (Kodyat et al., 1991; Seshadri, 1997; Sari et al, 2001; Ma et al., 2002). Hasil beberapa studi baik pada hewan percobaan
21 maupun manusia menunjukkan bahwa ketidaknormalan metabolisme besi berhubungan dengan defisiensi vitamin dan inhibitor penyerapan besi dalam makanan (Staab et al., 1984; Brune et al., 1989). Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan defisiensi gizi besi masih terdapat sampai sekarang. Prevalensi anemia gizi besi nasional baru dikumpulkan pada tahun 1989 melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Surve i secara nasional tahun 1992, bahwa anemia defisiensi besi pada balita sebesar 55,5 persen dan menurun menjadi 40,5 persen (SKRT, 1995). Sesuai dengan SKRT 1995 bahwa distribusi prevalensi defisiensi zat gizi bedsi di Indonesia tersebar merata pada semua kelompok umur dan jenis kelamin (Natakusuma, 1998). Anak-anak paling rawan terhadap masalah kurang gizi besi karena kebutuhan mereka akan zat gizi besi relatif lebih besar untuk keperluan akselerasi pertumbuhan kira-kira sampai usia dua tahun. Prevalensi anemia khususnya pada anak-anak kelompok rawan di Asia Tenggara sebesar 50-70 %. Satu penyebabnya karena jumlah zat besi yang diserap dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh dan ketidakcukupan tersebut kemungkinan akibat dari tidak cukupnya intik zat besi dan rendah nilai biologisnya (Sari et al., 2001). Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan untuk pembentukan energi (Chunningham, 1992). Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok umur dan jenis kelamin. Batas normal kadar Hb anak balita adalah 11 g/dL (WHO, 1996). Anemia defisiensi besi menurunkan perkembangan fisik, kerusakan fungsi imun, pertumbuhan lambat, dan meningkatkan kelelahan (Grantham dan Ani, 2001). Konsekuensi buruk akibat defisiensi besi pada anak balita antara lain: meningkatkan kematian dan kesakitan, meningkatkan resiko kerusakan fungsi kognitif, menurunkan imunitas seluler, gangguan pengaturan panas, defisit pertumbuhan anak, dan menurunkan prestasi belajar jika anak telah masuk sekolah, serta menurunkan produktifitas dan kapasitas fisik saat bekerja jika anak telah dewasa. Anemia defisiensi besi dapat merusak fungsi imun manusia pada
22 semua tingkat kehidupan. Tinjauan dari 21 studi, menunjukkan bahwa anemia berhubungan erat dengan kematian anak dan infeksi (Allen dan Gillespie, 2001). Anemia defisiensi besi sangat luar biasa terjadi di beberapa negara berkembang, lebih dari 50% populasi dunia mempunyai tingkatan status gizi besi rendah berdasarkan hasil uji klinis (Chandra, 1973 dan Kuvibidila, 1980). Angka prevalensi anemia di Indonesia sekitar 20-30% pada balita, anak sekolah, dan buruh berpenghasilan rendah (Karyadi, Muhilal, dan Hermana., 1990). Prevalensi anemia gizi besi pada anak balita. yang dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 sebesar 47% (Depkes, 2003). Fakta membuktikan defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu melawan infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam menjaga/mempertahankan responss imun. Menurut Oppenheimer (2001), angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001). Suplemen besi dapat meningkatkan status gizi besi (Hoa et al, 2005). Defisiensi besi memberikan kontribusi lanjut terhadap kerusakan fungsi imun. Beberapa kerusakan sistem imun akibat defisiensi besi terjadi secara bertahap. Tahap pertama cellular-synthesis, tahap kedua ketika terjadinya mekanisme pencernaan atau membunuh antigen oleh leukosit, dan tahap berikutnya waktu interaksi atau sinergisme antara sistem imun dan mikro organisme. Peranan besi terhadap respons imun nampak pada fagositosis (Ahluwalia et al, 2004), sel NK (Ravaglia et al, 2000) dan sel mediate respons imun (Thibault et al, 1993; Ahluwalia et al, 2004). Defisiensi besi berhubungan dengan ketidaknormalan respons imun dan memperburuk penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001). Lima dari sembilan studi menunjukkan terjadi peningkatan angka malaria dan empat dari delapan studi mengatakan terjadi peningkatan morbiditas dan penyakit infeksi yang lain. Defisiensi besi merupakan penyebab kerusakan fungsional dari beberapa jaringan,
23 dan menurunkan erythropoiesis, transport oksigen seluler, dan metabolisme oksidatif dalam jaringan (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan zat besi pada anak dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya penurunan respons sel mediasi imunologik (Dijkhuizen & Wieringa, 2001), mempunyai efek yang kuat terhadap penurunan aktivitas sel NK dan neutrofil (Palafox et al., 2003) dan penurunan fungsi makrofag terhadap toksisitas mikro organisme (Sommer et al., 1980). Pencegahan dan penanggulangan defisiensi gizi besi dapat dilakukan dalam bentuk intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan penderita anemia, meningkatkan kualitas produktifitas, meningkatkan prestasi sumberdaya manusia, dan meningkatkan menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu dan bayi (Program Aksi, 2000). Program suplementasi besi diberikan kepada anak yang defisiensi besi karena zat besi berperan penting untuk perkembangan otak (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Sebagian besar zat besi dalam tubuh digunakan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang disuplai ke pool plasma transferrin melalui makrofag dengan sistem reticuloendothelial. Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi Interaksi vitamin A dan zat besi dapat diketahui pada proses pembentukan sel darah merah dalam jaringan limfoid dan sumsum tulang (hematopoiesis). Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kerusakan hematopoiesis (Erdman, 1988). Konsentrasi retinol plasma yang rendah merupakan penyebab rendahnya tingkat konsentrasi hemoglobin, serum ferritin, dan transferrin. Ketika intik besi cukup tidak ditemukan kondisi seperti ketika defisiensi besi. Beberapa studi menunjukkan indikasi terhadap efek defisiensi vitamin A terhadap kandungan besi dan Hb serum. Observasi yang dilakukan ketika intik besi cukup, tidak ditemukan korelasi seperti ketika intik besi rendah. Pada studi eksperimen defisiensi vitamin A pada manusia secara sukarela oleh Hodges (1978) ditemukan konsentrasi Hb menurun dalam pola yang serupa dengan plasma vitamin A dan selama kelebihan vitamin A, nilai Hb meningkat pada plasma vitamin A.
24 Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan digambarkan, besi pada hati dan limpa menurun bersamaan dengan menurunnya Hb pada serum. Interaksi antara vitamin A dan besi nampak pada mekanisme, yakni terjadi kerusakan mobilisasi besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke dalam eritrosit, rendahnya kadar retinol plasma pada anak dihubungkan dengan rendahnya hemoglobin, dan kejenuhan transferrin ketika intik besi cukup (Panth et al., 1990). Besi terakumulasi pada hati dan limpa pada defisiensi vitamin A (Staab et al., 1984 dan Rodenburg et al., 1994). Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki anemia (Olson, 1991). Suplementasi vitamin A dapat meningkatkan status vitamin A dan metabolisme zat besi pada ibu hamil dan anak usia sekolah dasar (Cohen et al., 1973). Pada anak yang defisien vitamin A dan besi diberikan suplemen kombinasi (zat besi dan vitamin A) ditemukan efektif menurunkan 40% anemia dibandingkan suplementasi zat besi saja. Contoh penemuan lain yang tidak spesifik terhadap suplementasi vitamin A pada program fortifikasi gula dengan vitamin A di Guatemala berhasil meningkatkan status besi dari populasi (Cohen dan Elin, 1974) dan percobaan fortifikasi MSG dengan vitamin A di Indonesia meningkatkan tingkat hemoglobin anak-anak sebesar ~10 g (Muhilal, 1988). Respons Imun Berdasarkan responsnya, secara garis besar sistem pertahanan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu respons imun non-spesifik, yakni mencegah invasi benda-benda asing melalui kulit, mukosa, dan permukaan tubuh; dan respons imun spesifik yang terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Komponen respons imun spesifik dan non-spesifik dapat dilihat pada Gambar 5. Respons imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat pada pathogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan (Roitt, 1991). Respons imun adalah sistem interaksi komplek yang menyesuaikan inang (host) untuk membedakan substansi self dan non-self, kemudian menghancurkan
25 atau menghilangkan invasi organisme, produk toksik, dan substansi biologis lain yang berbahaya (Beisel, 1988). Respons imun menimbulkan interaksi antara organ limfoid dan produk yang dikeluarkan sel tersebut dengan organ.
STIMULUS Bakteri, Virus, Sel Kanker Bahan-bahan kimia
AKTIVASI RESPONS IMUN
NON-SPESIFIK Mukosal, Fagositosis, Inflamasi
SPESIFIK Humoral, Cell Mediated
PENGENALAN STIMULUS
PENGATURAN KEMBALI RESPONS IMUN
MEMORI
Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik (Chandra, 1988) Respons Imun Non-spesifik Apabila mikro organisme dapat masuk dalam jaringan, pertama akan dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikro organisme dan dapat memberikan respons langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi sejak lahir yaitu kulit dan mukosa.
26 Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi seperti ephitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan ephitel (Kresno, 2001). Determinan yang berperan pada mekanisme respons imun non-spesifik, adalah: (1) host/inang: ras, spesies, genetis individual, umur, jenis kelamin, hormonal, dan status gizi; (2) fisik: kulit, membran mukus, permukaan yang basah, perangkap anatomis, misalnya rongga nasal, pembersih mekanis misalnya silia; (3) antimikroba aktif: sekresi keringat, sekresi kulit yang bersifat antibakteri dan antifungus, sekresi membran mukus yang bersifat antibakteri dan antivirus, substansi-substansi antimikroba jaringan misalnya lisozim, dan sel-sel yang melakukan fagositosis (mikrofag dan makrofag); dan (4) determinan lain yang dapat berpengaruh: pemberian kortison, antibiotik, dan keadaan suhu. Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen, bakteri misalnya adalah dengan cara menghancurkan bakteri dengan proses fagositosis dan reaksi inflamasi. Untuk dapat terjadi proses fagositosis, bakteri perlu mengalami opsonisasi oleh imunoglobulin agar mudah ditangkap oleh fagosit. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator- mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti histamin yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit; vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, dan anafilatoksin yang berasal dari komponen komplemen. Dalam sistem pertahanan fisik/mekanik; kulit, selaput lendir silia saluran pernafasan, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Lapisan epidermis kulit sehat, dan mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh sebagian mikroba. Sebaliknya kulit yang rusak akibat luka bakar, dana selaput lendir yang rusak akibat asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi. Tekanan oksigen di paru bagian atas dapat
membantu hidup kuman
seperti tubercolosis (Beissel, 1988).. Dalam pertahanan kimiawi, beberapa mikro-organisme dapat masuk lewat tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut, pH asam dari keringat dan sekresi sebaseus. Berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi protein membran sel kuman sehingga dapat mencegah infeksi melalui
27 kulit. Zat-zat yang berperan dalam pertahanan ini umumnya antibodi, komplemen, interferon, dan CRP (C Reactive Protein) yakni sebagai zat pelindung yang bekerja secara non spesifik dalam pertahanan humoral. Antibodi dan komplemen ditemukan dalam serum darah normal, dan keduanya bekerjasama untuk dapat membunuh kuman dan menghancurkan beberapa bakteri. Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dengan spektrum aktivasi yang luas. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis dan menimbulkan lisis bakteri/parasit. Interferon (IFN) adalah sitokin yang berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas untuk respons terhadap infeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan menunjukkan perubahan pada permukaannya, yang akan dikenal dan dihancurkan oleh sel NK sehingga penyebaran virus dapat dicegah. IFN dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK), meningkatkan aktivasi sel T, makrofag, dan efek sitotoksik sel NK (Kresno, 2001). Respons Imun Spesifik Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, dan fagosit dengan sel- T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing baginya. Dengan cara mengenal tersebut akan terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang sudah tersensitisasi tersebut terpapar dengan antigen yang sama, maka antigen terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Karenanya sistem ini disebut spesifik sebab hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya. Limfosid merupakan inti dalam proses respons imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno, 2001). Mekanisme pertahanan respons imun spesifik banyak tergantung pada pembentukan respons imun terhadap mikro organisme tertentu yang memberi
28 rangsangan. Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono, 2004). Kedua sistem tersebut berasal dari satu sistem limfoid yang terdiri dari (1) komponen sentral (sumsum tulang, timus, dan jaringan) yang terjadi peristiwa deferensiasi sel induk limfoid menjadi limfosit-limfosit yang mampu bereaksi dengan antigen, dan (2) komponen perifer (kelenjar limfe, limpa, dan jaringan limfoid di saluran cerna), yang terjadi reaksi antara sel-sel limfosit dengan antigen. •
Imunitas Selular Imunitas selular terdiri atas sel-sel limfoid yang mengalami sensitisasi
secara spesifik oleh antigen tertentu dan mampu bereaksi langsung dengan antigen sehingga menimbulkan peristiwa sitotoksik, misalnya terhadap sel-sel asing pada pencangkokan jaringan. Sel limfoid yang berperan adalah sel-T, yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh timus dan merupakan 80% sel yang beredar dalam tubuh. Sistem imun seluler mula- mula menjadi aktif karena stimulus antigen yang ditangkap oleh sel-T yang kemudian mengeluarkan limfokin dan mengadakan aktivasi makrofag. Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intra sel, contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozo a (Kresno, 2001). •
Imunitas Humoral Imunitas humoral terdiri atas kelompok sel- B yang berperan dalam sintesis
antibodi dan merupakan 20% dari seluruh limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, cairan getah bening, dan lain- lain). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri, serta menetralisasi toksik (Baratawidjaja dan Garna, 2002). Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respons imun humoral oleh karena infeksi, imunisasi aktif
29 dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan. Integritas respons imun humoral pada manusia sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobolin di dalam serum atau mengukur naiknya titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup (Kresno, 2001). Dalam sistem imun humoral dikenal 5 kelas imunoglobulin (Ig), yakni: IgG, Ig A, Ig M, Ig D, dan Ig E. Komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme sistem imun humoral, yakni: sel- B, antibodi, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear. Antibodi sangat penting untuk pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan ole h kuman ekstrasel, misalnya streptokok, pneumoko, dan kuman bakteri (Kresno, 2001). Antigen dan Antibodi Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respons imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada (preformed) secara langsung tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung (Bratawijaya dan Garna, 2002). Hapten dapat menjadi imunogen apabila sudah diikat oleh protein pembawa (carrier), dalam fungsinya. Hapten akan dikenal oleh sel-B sedangkan carrier oleh sel- T. Dalam imunisasi carrier sering digabung dengan hapten; hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang dikenal sistem imun dan merangsang antibodi (Bratawijaya dan Garna, 2002). Antibodi
dapat
dikenali
dengan
cara
membekukan
darah
yang
meninggalkan serum dan mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut adalah molekul antibodi yang digolongkan ke dalam protein yang disebut globulin. Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Pembentukan antibodi diawali dengan pengenalan antigen, pengolahan antigen, pelepasan zat- zat perantara, dan pembuatan antibodi (Bernier, 1993).
30 Pengenalan antigen merupakan tahap pertama pembentukan antibodi, yakni diawali dari makrofag yang mula-mula mengenali antigen dengan perantara reseptor pada membran plasmanya, kemudian antigen bergabung dengan antibodi yang telah terbentuk sebelumnya untuk memulai peristiwa seluler yang mengarah pada respons imun. Tahap kedua, pengolahan antigen yakni: antigen yang dibawa ke sel-sel penginduksi dihancurkan oleh enzim-enzim lisozim dan beberapa bahan dari antigen tersebut lalu dipaparkan kembali pada membran plasma. Ketiga, pelepasan zat- zat perantara dengan cara makrofag dan sel-sel penginduksi lainnya dan limfosit T-helper bekerja bersama-sama dan terjadi pelepasan zat- zat perantara sehingga memicu terjadinya sel-sel jenis lain. Keempat, pembentukan antibodi yang memerlukan empat jenis sel yaitu makrofag, sel-sel penginduksi lainnya (sel dendreit dari kelenjar getah bening, limpa serta limfosit-B, limfosit Thelper) (Bernier, 1993). Pembentukan Respons Imun Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respons imun. Perkenalan pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respons primer dan pemberian ini tidak segera dapat ditemukan oleh antibodi dalam serum. Masa antara pemberian imunogen dengan ditemukannya antibodi dalam serum disebut periode laten atau periode induksi (Bellanti dan Joseph, 1993). Selama waktu tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi. Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard, 1988). Kadar antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan. Apabila pemaparan antigen yang sama tersebut di atas terjadi lagi untuk kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respons imun sekunder (booster),
31 IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Gambar 6).
Gambar 6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan Sumber : Wibawan et al., 2003 Menurut Kresno (2001) ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh, yaitu: (1) respons yang tidak memadai terhadap pathogen yang berakibat kepekaan terhadap infeksi, (2) kegagalan dalam mengenal antigen, dan (3) respons berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitivitas. Imunoglobulin G (IgG) Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan mengukur titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup. Sirisinha (1974) sebagaimana dikutip Suyitno (1985), telah mempelajari lima kelas serum imunoglobulin (IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE) pada sejumlah anak dengan KEP yang diikuti terus- menerus semenjak anak-anak dirawat di rumah sakit sampai keadaannya me njadi baik. Kadar rata-rata lima imunoglobulin itu naik di atas kadar rata-rata imunoglobulin populasi kontrol. Kemudian semua kelas imunoglobulin lambat- laun menurun kecuali IgG (Suyitno, 1985). Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum dan IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel sasaran. IgG banyak ditemukan dalam serum dan kadar IgG meninggi dalam
32 infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G (Gambar 7), dalam keadaan normal menempati 80 persen dari semua imunoglobulin dalam serum manusia (Roitt, 1991).
Gambar 7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) Sumber: Tizard, 1988
Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin terdiri dari satu ekor rantai terminal-C (rantai peptida dengan gugus karboksil bebas) yang mempunyai susunan urutan asam amino yang relatif konstan dan dua lengan rantai terminal-N (gugus amino bebas) dengan susunan asam amino sangat berubah-ubah (bagian variabel). Karena perubahan susunan asam amino tersebut maka pada rantai ini merupakan tempat pengikatan antigen yang mengakibatkan setiap molekul IgG berfungsi bivalen (Tizard, 1988). Bagian variabel tersebut dibentuk oleh empat rantai polipeptida dasar yakni dua rantai berat dan dua rantai ringan. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida. Imunoglobulin G adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah; dan karena itu memainkan peran utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi (Tizard, 1988). IgG pada manusia disintesis kira-kira 35 ml/kg/hari dengan waktu paruh (half life) sekitar 23 hari. Karena ukurannya yang relatif kecil, maka IgG lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan dengan molekul imunoglobulin yang lain. Karenanya IgG cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard, 1988).
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak merupakan akibat panjang dari rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya pembentukan IgG. Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas antara lain karena defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak, khususnya defisiensi zat besi dan vitamin A berakibat pada kerusakan sistem imun dan penyebab terhambatnya pertumbuhan anak. Defisiensi vitamin A dapat menurunkan respons antibodi termasuk IgG (Kinoshita et al., 1991; Pasatiempo et al., 1990; Lavasa et al., 1988; dan Gershwin et al., 1984; Krishnan et al., 1974), dan produksi antibodi (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Defisiensi vitamin A berpengaruh pada kerusakan membran epithel dan mempercepat kerusakan mukosa (Tomkins dan Watson, 1993), yakni penyebab peradangan sehingga mengurangi dan melemahkan mekanisme pertahanan dengan cara merusak permukaan epithel. Perusakan epithel seperti di kulit (Squamous epithelium), permukaan mukosa paru-paru, gastrointestinal, dan genitourinari. Permukaan epithel tersebut merupakan garis pertahanan pertama untuk melawan infeksi, jasad renik, ataupun benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al., (2005), Cusick et al., (2005), Beaten et al., (2004), Villamor et al., (2002), dan High et al., (2002), mengindikasikan bahwa sel epitel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epitel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epitel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen, baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Defisiensi vitamin A menyebabkan rendahnya resistensi terhadap kolonisasi dan invasi terhadap pathogen (Tomkins dan Watson, 1993). Demikian juga defisiensi zat besi berpengaruh terhadap penurunan infeksi cacing (Gopaldas, 2005), menurunkan respons imunitas seluler, yakni penurunan pada organ limfoid
34 (Candra, 1992). Penurunan imunitas dapat menstimulasi pertumbuhan pathogen. Dengan pertumbuhan pathogen yang cepat dan pertahanan tubuh yang menurun mengakibatkan keseimbangan tubuh terganggu sehingga anak mudah terkena infeksi. Keseimbangan antara virulensi pathogen dan pertahanan tubuh menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Infeksi secara langsung berpengaruh pada status gizi dan akhirnya berpengaruh terhadap perubahan kebiasaan makan, antara lain terjadinya penurunan nafsu makan dan gangguan absorpsi sehingga intik zat gizi menjadi rendah. Salah satu cara menurunkan defisiensi zat gizi mikro dan penyakit infeksi dengan meningkatkan status gizi dan antibodi. Pemberian biskuit fortifikasi kepada anak balita diharapkan dapat memberikan sumbangan gizi yang memadai terhadap konsumsi harian anak, apabila daya akseptabilitas anak terhadap biskuit fortifikasi tinggi. Artinya, anak mampu menerima, mau dan suka mengkonsumsi biskuit tersebut. Akseptabilitas biskuit dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan kandungan gizi biskuit itu sendiri. Tingginya akseptabilitas terhadap biskuit diharap dapat meningkatkan kualitas konsumsi pangan anak. Kualitas makanan yang memadai akan berpengaruh terhadap peningkatan intik gizi, peningkatan konsentrasi Hb, serum ferritin, dan retinol. Peningkatan konsentrasi Hb, serum ferritin, dan
retinol dapat
meningkatkan status gizi. Dengan status gizi yang baik, maka dapat meningkatkan respons imun anak melalui pembentukan IgG. Keterkaitan respons imun, status gizi dan fortifikasi biskuit disajikan pada Gambar 8. Dengan mengacu pada berbagai pustaka yang ada dapat digambarkan bahwa kekebalan terhadap penyakit melibatkan antibodi. Antibodi tersebut pada umumnya merupakan tipe Imunoglobulin G. Untuk meningkatkan pembentukan antibodi dapat diperoleh melalui booster DPT. Dengan dimasukkannya antigen ke dalam tubuh seseorang akan terbentuk serokonversi. Serokonversi akan mencapai maksimum yang bersifat protektif bila kadar IgG dalam serum mencapai 0,1 IU/ml. Hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor endogen dan eksogen dari kehidupan seseorang. Dengan landasan tersebut meskipun seseorang telah mendapatkan pemberian booster DPT akan memberikan hasil titer IgG terbentuk
35 yang berlainan tergantung pada umur, riwayat penyakit, dan status gizi seseorang. Respons Imun (Peningkatan Imunoglobulin G)
Outcome Status Gizi Anak
Output
Proses
Infeksi dan penyakit
Konsentrasi Hb, Serum Ferritin, dan Retinol Intik Vitamin A dan Fe
Intik Konsumsi Anak
Sosial Ekonomi
Pola Asuh Makan Input
Biskuit Fortifikasi
Pengetahuan Gizi Ibu
Gambar 8. Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status gizi, dan Imunitas Penanganan masalah defisiensi gizi mikro perlu dilakukan dengan tepat dan cepat karena defisiensi gizi mikro sebagai penyebab terbesar penyakit infeksi akan sangat berpengaruh terhadap mekanisme pertahanan tubuh. Apabila terjadi penurunan sistem imunitas dan antibodi akibat defisiensi gizi mikro, maka seseorang mudah terserang infeksi. Penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan imunitas anak. Respons imunitas akan meningkat apabila anak memiliki status gizi yang baik. Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, melindungi kesehatan, dan meletakkan fondasi untuk masa depan dan produktivitas anak. Pengaruh intervensi terhadap peningkatan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G (IgG) total.
36 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah digambarkan pada Gambar 8, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut: 1. Hipotesis pertama: Pemberian biskuit fortifikasi akan meningkatkan status vitamin A, status besi, dan status gizi anak balita; 2.
Hipotesis kedua: Makin baik status gizi mikro anak balita maka makin tinggi kadar Imunoglobulin G dan ini berarti makin baik respons imun anak balita Batasan Operasional
Efikasi : adalah kemanjuran biskuit fortifikasi yang dianjurkan dikonsumsi anak untuk meningkatkan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, kadar ferritin (status besi), kadar retinol (status vitamin A), dan respons imun anak balita Biskuit : adalah produk makanan kering yang dibuat dengan bahan dasar tepung terigu, lemak, dan bahan lain dengan cara memanggangnya. Biskuit dalam penelitian ini berupa “biskuat energi” yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia Biskuit Fortifikasi: adalah biskuit yang telah ditingkatkan mutu gizinya dengan menambahkan beberapa zat gizi mikro pada bahan makanan tersebut, Zat gizi mikro yang paling banyak ditambahkan yaitu vitamin A dan zat besi. Intervensi : pemberian makanan tambahan kepada anak balita berupa biskuit yang difortifikasi oleh beberapa zat gizi mikro. Anak dianjurkan mengkonsumsi biskuit sebanyak 54 gram (10 keping) perhari. Intervensi dilakukan selama 16 minggu Infeksi dan Penyakit: adalah kondisi kesehatan anak selama intervensi yang diamati secara seksama, penyakit apa saja dan lamanya yang pernah diderita anak sebelum dan sesudah penelitian, dinyatakan dalam skor morbidias. Pantauan kesehatan selalu dikontrol oleh dokter puskesmas dengan pemeriksaan 4 kali selama penelitian. Skor Morbiditas: adalah skor yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan lama penyakit dengan memberi skor tinggi pada penyakit infeksi yang berdampak fatal. Penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan, dan mata diberi skor 10. Skor 50 untuk penyakit bronhitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk penyakit campak dan 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal. Anak Balita: adalah anak usia 2-4 tahun dari orang tua yang kurang mampu yang diberikan intervensi biskuit selama 16 minggu
37 Fortifikan: adalah zat gizi yang ditambahkan pada biskuit yakni: vitamin A sebesar 243 mcg dan zat besi sebesar 4,32 mg. Penambahan vitamin A dan zat besi hampir mencapai 2/3 RDA. Status Gizi Antropometri: menggunakan indeks BB/TB, dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak balita secara langsung. Data hasil pengukuran tersebut digunakan untuk mene ntukan Z-skor. Konsumsi Pangan: adalah jumlah makanan yang masuk melalui mulut anak balita selama 2x24 jam, yang diukur dengan menggunakan “Recall” dengan mengacu pada kuesioner yang telah dipersiapkan. Hemoglobin (Hb) : adalah parameter dari status anemia anak yang diperoleh dari analisis darah. dengan metode Drabkins. Cut off point anemia pada anak < 11g/dL. Ferritin Serum (Fs) : adalah parameter dari status besi anak yang diperoleh dari analisis serum dengan metode IRMA (cut off point status besi adalah < 12 µg/L) Retinol Serum (Rs) : parameter dari status vitamin A anak yang diperoleh dari analisis serum dengan metode HPLC (cut off point status vitamin A adalah < 20 µg/dL) Respons Imun : dinilai dengan cara mengukur kadar imunoglobulin G (IgG) Total terhadap Tetanus di dalam serum setelah anak diberi stimulus antigenis yang cukup (booster DPT). Serum : diambil dari darah vena sebanyak 2 cc yang terdapat pada lengan “Vena Cubiti”. Darah dibiarkan beberapa saat di suhu ruangan agar tidak lisis, kemud ian disentrifugasi untuk mendapatkan serum sejumlah 1 cc. Imunitas : munculnya dan meningkatnya antibodi untuk mempertahankan daya tahan tubuh dengan cara melawan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Munculnya respons imunitas dideteksi dengan adanya imunoglobulin G. Booster DPT : pemberian vaksin DPT ulang sebanyak 0,5 cc kepada anak balita setelah 6 bulan mendapatkan imunisasi. Booster diberikan untuk mendeteksi antibodi dengan kemunculan imunoglobulin G. Imunoglobulin G : komponen utama imunoglobulin dalam serum, kadarnya sekitar 75% dari semua imunoglobulin dalam serum. Imunoglobulin yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pengukuran titer IgG total dengan metode ELISA.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang mencakup delapan (8) desa, yaitu: Desa Cikarawang, Desa Babakan, Desa Ciherang, Desa Dramaga, Desa Sinarsari, Desa Neglasari, Desa Petir, dan Desa Sukawening. Di kedelapan desa tersebut dilakukan pemberian biskuit fortifikasi dan non fortifikasi. Analisis serum dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi, untuk hemoglobin (Hb) Ferritin (Fs), dan Retinol (Rs) dan untuk analisis Imunoglobuin G (IgG) To tal dilakukan di Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI Jakarta. Penelitian dilakukan selama 12 bulan yakni dari Oktober 2004-September 2005. Disain Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain Eksperimen bentuk percobaan acak terkontrol (randomized controlled trial). Syarat contoh yang dipilih adalah anak-anak sehat dari keluarga miskin yang berusia 18-38 bulan, tidak berstatus gizi buruk, dan tidak sedang menderita penyakit yang serius/kronis ataupun penyakit infeksi. Contoh penelitian dibagi secara acak dan proporsional ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan (kelompok anak yang menerima biskuit fortifikasi) dan kelompok plasebo (yang menerima biskuit tanpa fortifikasi). Besarnya ukuran contoh untuk masing- masing kelompok dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (WHO, 1996) : n = {(2 x s 2 x (Zß + Za )2 }/d2 n = ukuran sampel s = standar deviasi (SD) hemoglobin (1,0 g/dL) Zß = sebaran normal dengan kekuatan 80% (0,84) Za = sebaran normal dengan selang kepercayaan 95% (1,96). d = perbedaan rerata kadar hemoglobin antara dua kelompok (0.7 g/dL) n = {(2 x 12 x (0,84 + 1,96)2 }/0,72 n = 32
39 Dari rumus tersebut diperoleh jumlah minimal 32 orang (untuk masingmasing kelompok perlakuan dan plasebo), sehingga jumlah total contoh intervensi biskuit adalah 64 anak. Untuk menghindari kehilangan contoh sampai 10%, maka jumlah contoh yang diperlukan setiap kelompok adalah 32 + (32 x 0.1) = 35 anak. Dengan demikian, jumlah total contoh intervensi biskuit adalah 70 contoh, 35 contoh kelompok perlakuan dan 35 contoh kelompok plasebo (Gambar 9) Anak 18-38 bulan (n=70)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
Gambar 9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi Biskuit Fortifikasi. Unit contoh yang dipilih untuk pemberian biskuit adalah anak usia 18-38 bulan ya ng terdaftar pada Posyandu di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang dipilih berdasarkan kriteria: (1) memiliki jumlah keluarga miskin terbanyak, yang menunjukkan bahwa di kecamatan tersebut terdapat anak-anak balita yang dapat dipilih dan berasal dari keluarga miskin; (2) memperoleh distribusi program pemberian kapsul besi dan vitamin A dalam jumlah kecil; dan (3) kemudahan dalam logistik saat pelaksanaan intervensi. Untuk mengetahui perubahan hemoglobin, pemberian biskuit fortifikasi dilakukan selama 16 minggu (WHO, 1996), mengingat pembentukan dan degradasi sel darah merah setiap hari di dalam tubuh memiliki jangka waktu hidup 120 hari (Linder, 1992). Waktu pemberian intervensi dimulai dari bulan Oktober 2004 sampai dengan Februari 2005. Pasca intervensi diambil sampel darah contoh sebanyak 2 cc, kemudian contoh diberikan Booster DPT sebanyak 0,5 cc. Setelah dua minggu sejak pemberian booster selanjutnya contoh diambil darahnya kembali dan sampai pemberian booster kepada contoh tetap diberikan biskuit. Pelaksanaan pengambilan darah dan pemberian booster DPT dilakukan pada bulan Juni 2005. Besaran contoh pengambilan darah untuk analisis Imunoglobulin G menggunakan
40 uji klinis, yakni apabila selisih imunoglobulin G Total anak antara 2 kelompok 0,8 IU/mL dengan simpang baku selisih rata-rata 1,0 IU/mL dan a = 0.05 dengan taraf kepercayaan 90% dan tingkat kegagalan 10% (Sastroasmoro dan Ismael, 2002), dengan rumus: n=
(Zα + Zß ) x S -------------------d
2
Dimana, Zα = 1.96 Zß = 0.842 2
n=
(1.96 + 0.842) x 1,0 ------------------------0,8
n = 12,3. = 13 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperlukan 13 anak. Untuk menghindari kegagalan analisis sampai 10%, maka contoh yang diperlukan menjadi 13 + (13 x 0.1) = 14,3 dibulatkan menjadi 15 anak. Contoh dipilih dengan mempertimbangkan usia (≥24 bulan) dan mengingat interval pemberian imunisasi DPT terakhir. Pertimbangan usia dimaksudkan untuk mempermudah managemen pengambilan darah dan berdasarkan Depkes (1997), pemberian booster DPT sebaiknya kepada anak balita yang telah me ndapatkan imunisasi DPT terakhir enam bulan yang lalu dan tidak pernah memiliki riwayat kejang di waktu bayi. Menurut kriteria tersebut, maka ukuran contoh anak yang dianalisis Imunoglobin G-nya didapat sebesar 30 sampel yang terdiri dari 15 contoh kelompok perlakuan dan 15 contoh kelompok plasebo (Gambar 10)..
Anak 24-42 bulan (n=30)
Fortifikasi Biskuit (n=15)
Biskuit Plasebo (n=15)
Gambar 10. Jumlah Contoh Anak yang Dianalisis Imunoglobolin G- nya
41 Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Kerangka penarikan contoh disajikan pada Gambar 11. Wilayah Penelitian (Kecamatan Dramaga. di pinggiran Bogor)
Daftar Anak Usia 24-38 bulan (disensus oleh kader) Kelompok Miskin
Daftar anak terpilih 24-38 bulan
Kriteria : * Tingkat pendapatan rendah * Tidak menderita penyakit keras dan gizi kurang parah * Menandatangani surat penjanjian dan bersedia mengikuti penelitian
Daftar anak yang dipilih 24-38 bulan (70 anak)
Kelompok perlakuan
Kelompok plasebo
Anak usia 24-38 bulan (n = 35)
Hasil pengacakan
Anak usia 24-38 bulan (n= 35)
Pemberian biskuit 16 minggu
Anak usia 28-42 bulan (n = 35)
Anak usia 28-42 bulan (n = 35) Hasil Pengacakan
Anak 28-42 bulan (n = 15)
Kriteria : • Mendapatkan imunisasi DPT terakhir sebelum 1 tahun • Tidak mempunyai riwayat kejang waktu bayi • Tidak sedang menderita penyakit serius • Tidak sedang sakit saat di booster DPT
2-3 minggu
Anak 28-42 bulan (n = 15)
2-3 minggu
Booster DPT 0,5 mg Anak usia 28-42 bulan (n = 15)
Anak usia 28-42 bulan (n = 15)
Gambar 11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak
42 Kerangka sampling anak-anak dibuat berdasarkan data sekunder di posyandu yang dicatat oleh kader Posyandu. Apabila posyandu tidak memiliki data terbaru (karena kader-kadernya tidak aktif), maka dilakukan sens us ulang oleh peneliti, dibantu dengan kader dan enumerator terlatih. Sensus pada awal pelaksanaan penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan data terbaru mengenai contoh berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Data hasil sensus dengan kriteria yang telah sesuai kemudian dientri ke dalam komputer, kemudian contoh anak yang memenuhi syarat dipilih karena adanya kriteria inklusif untuk dijadikan contoh penelitian. Dari data anak usia 1838 bulan yang memenuhi syarat, dipilih 70 anak secara acak dengan menggunakan program komputer. Dari 70 anak yang terpilih, dibagi lagi menjadi dua kelompok secara acak dan proporsional sebanyak 35 anak pada masingmasing kelompok
Kemudian, dari 70 anak yang telah diberi intervensi dari
biskuit dipilih secara purposive menjadi 30 anak terpilih yang masing- masing kelompok sebanyak 15 anak untuk diambil darahnya untuk keperluan analisis imunoglobulin. Bahan Penelitian Bahan utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah biskuit fortifikasi yang pengembangan produk dan produksi skala besar dilakukan di laboratorium PT. Biskuit Danone Indonesia dengan formula khusus atas permintaan WFP. Analisis Analisis konsentrasi hemoglobin (Hb), kadar ferritin dan retinol dilakukan di laboratorium Puslitbang Gizi Bogor. Metode yang digunakan unuk analisis Hb adalah metode Drabkins (Dawiesah, 1989) dan kadar ferritin dengan metode Imunometric Assay (IRMA) (Dawiesah, 1989). Sedangkan kadar retinol dianalisis secara ekstraksi dengan kromatografi (Dawiesah, 1989). Analisis Imunoglobulin dilakukan di Laboratorium terakreditasi, yakni Makmal Terpadu FKUI, Jakarta. Metode yang digunakan dalam analisis IgG adalah metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay “ELISA” (Kresno, 2001). Metode ELISA cukup sensitif dan reagennya mempunyai half life yang lebih
43 panjang dibandingkan dengan metode yang lainnya. Selain itu, tidak mengandung bahaya radioaktif. Sebelum dilakukan analisa, serum disimpan dalam refrigerator pada suhu – 800 C selama dua bulan. Biskuit Fortifikasi Formula biskuit dirancang oleh WFP dan dibuat oleh industri makanan komersial di Indonesia. Biskuit fortifikasi diperkaya dengan vitamin A dan zat besi (Fe). Kandungan vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit fortifikasi per 10 keping (54 g), masing- masing sebesar 243µg dan 4,32 mg atau setara dengan 2/3 RDA. Komposisi biskuit terdiri dari bahan dasar utama tepung terigu, gula, dan minyak nabati. Bahan pelengkap lain: sirup glukosa dan fruktosa, susu bubuk skim, margarin, garam, soda kue, lesitin kedelai, dan pencita rasa (vanilla). Biskuit yang difortifikasi dengan vitamin dan mineral tersebut, diproduksi secara khusus untuk United Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai program bantuan perbaikan gizi anak balita. Tujuannya untuk menurunkan prevalensi defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak balita. Komposisi Biskuit Kandungan
vitamin A dan zat besi yang ditambahkan pada biskuit
fortifikasi dan plasebo untuk setiap 100 gram biskuit adalah sebagai berikut: A. Biskuit Fortifikasi: Vitamin A: 235,65 µg (109,1% AKG) Zat Besi: 4,17 mg (96,5% AKG) B. Biskuit Plasebo: Vitamin A: 99,96 µg (25% AKG) Zat Besi: 0,64 mg (8% AKG) Kandungan gizi biskuit “A” (biskuit fortifikasi) jauh lebih banyak muatan vitamin dan mineralnya jika dibandingkan dengan biskuit “B” (biskuit plasebo). Foto biskuit fortifikasi dan non fortifikasi disajikan pada Gambar 12.
44
Gambar 12. A. Biskuit Fortifikasi dan B. Biskuit Non Fortifikasi Untuk menghindari kerusakan biskuit maka biskuit dikemas dalam kemasan aluminium yang kedap udara, dan dimasukkan dalam kardus untuk selanjutnya didistribusikan kepada kelompok penelitian. Biskuit untuk contoh diberikan dalam kantong plastik berisi lima bungkus plastik yang berisi 14 keping (76 gram). Pada kantong plastik ditempel kode identitas contoh dan kode desa untuk menghindari kesalahan pengiriman. Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit Sebelum
pelaksanaan
intervensi,
dilakukan
sosialisasi
mengenai
pemberian makanan tambahan (PMT) di wilayah penelitian dan penandatanganan surat penjanjian (informed consent) oleh seluruh orang tua contoh dan pengumpulan data dasar. Kemudian, terhadap masing- masing contoh diberikan obat cacing berupa sirup anti cacing (Combantrin). Intervensi terhadap contoh, yaitu pemberian biskuit yang difortifikasi zat gizi mikro dan plasebo dilakukan dengan pemberian 10 keping (54 gram) biskuit setiap hari kepada ibunya dari kedua kelompok perlakuan. Biskuit diberikan setiap satu minggu pada kelompok sasaran, sekaligus mengumpulkan data konsumsi biskuit tersebut. Masing- masing contoh diberi biskuit untuk 1 minggu konsumsi (5 bungkus @ 14 keping atau 76 gram) yang diberikan oleh kader posyandu terlatih. Pemberian biskuit diantar langsung oleh kader ke rumah
45 masing- masing contoh pada hari distribusi selama 4 bulan intervensi. Gambar selengkapnya mengenai tahapan penelitian disajikan pada Gambar 13.
Daftar Anak usia 24-38 bulan Di Kecamatan Dramaga
Anak terpilih (n=70 anak), informed consent, sosialisasi, pemberian obat cacing
Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel darah
Dikelompokkan menjadi (2): Diberi Biskuit Fortifikasi (n=35) & Non Fortifikasi (n=35) selama 16 minggu
Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel darah
Pemberian Biskuit Fortifikasi dan Plasebo selama tiga bulan dilanjutkan Pemeriksaan Kesehatan dan Pemberian Booster DPT
Pengukuran TB, Penimbangan BB, Pemeriksaan Kesehatan & Pengambilan Sampel Darah
Gambar 13. Bagan Alir Tahapan Penelitian
46 Selain itu, terhadap ibu contoh juga diberikan pengarahan mengenai: (1) cara pemberian biskuit kepada anaknya, yaitu 2-3 kali per hari, tergantung pada umur anak (maksimal pemberian 10 keping biskuit/hari); (2) contoh tetap diberikan makanan seperti biasanya; (3) pemberian biskuit bukan sebagai pengganti makanan tetapi sebagai tambahan makanan (suplemen), serta (4) biskuit tersebut tidak boleh diberikan kepada orang/anak lain selain contoh yang bersangkutan. Pada saat pembagian biskuit, kader melakukan wawancara terhadap ibu/pengasuh contoh mengenai konsumsi biskuit dan manfaat yang dirasakan serta masalah dan keluhan yang mungkin timbul selama intervensi. Untuk kegiatan membagikan biskuit kepada anak-anak (melalui ibunya) setiap minggu, diperlukan sekitar 16 orang kader (1 kader menangani 5-7 anak). Pengawasan pembagian biskuit dilakukan dengan cara mengecek ulang langsung ke rumah contoh oleh peneliti terhadap sekitar 20% contoh untuk memastikan bahwa pembagian biskuit telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Untuk itu, dilakukan pertemuan dengan kader di ruang pertemuan Balai Desa (di rumah kader) setiap minggu, satu hari sebelum kader membagikan biskuit fortifikasi kepada anak-anak. Pertemuan mingguan dengan para kader dilakukan untuk koordinasi kegiatan di lapang, perencanaan, pengawasan dan pemecahan masalah yang muncul di lapang saat pembagian biskuit serta memantau kesehatan contoh. Berdasarkan disain penelitian, pemberian biskuit plasebo terhadap kelompok kontrol juga dilakukan dengan mekanisme yang sama.
47 Pengumpulan dan Pengukuran Data Jenis dan cara pengambilan data disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data No
Keadaan umum Wilayah penelitian Status sosialekonomi Keluarga
1 kali
Waktu Pengumpulan Awal
1 kali
Awal
Umur anak Riwayat Penyakit Anak Imunisasi
1 kali 1 kali
Awal Awal
1 kali
Awal
Konsumsi pangan Anak Konsumsi biskuit Fortifikasi Penerimaan biskuit Fortifikasi Konsumsi vitamin Dan mineral Keadaan Sanitasi Higiene
4 kali
2 kali
Setiap bulan Selama 4 bulan Setiap minggu Selama 4 bulan Setiap minggu Selama 4 bulan Awal dan akhir
1 kali
Awal
2 kali
Awal dan Akhir
12.
Keadaan Kesehatan anak Status gizi anak
2 kali
Awal dan Akhir
13.
Imunitas
2 kali
Awal dan Akhir
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7 8. 9. 10.
11.
Data
Frekuensi
16 kali 16 kali
Metode Pengukuran Catatan tertulis Wawancara * Jumlah pengeluaran /bulan * Jenis pekerjaan * Kepemilikan barang Wawancara & pencatatan Wawancara & pencatatan Wawancara & pencatatan (dirujuk dengan KMS) Pencatatan dan observasi Pencatatan dan observasi Wawancara, Pencatatan & observasi Wawancara & pencatatan Wawancara dan observasi * kondisi fasilitas air minum * kondisi fasilitas MCK * kondisi higiene Perorangan Pemeriksaan oleh dokter Penimbangan & pencattan Pemeriksaan IgG Total terhadap tetanus dengan metode ELISA di Lab Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI
Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data Data-data yang telah terkumpul dari kuesioner, wawancara, pemeriksaan, pengukuran langsung, dan hasil analisis laboratorium diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Mic rosoft Excel XP, SPSS versi 12.00 dan Food Processor Program.
48 Data status gizi ditentukan secara antropometri dengan menggunakan indeks pengukuran BB/TB. Indeks BB/TB lebih menggambarkan status gizi anak balita saat ini (current nutritional status) dan indeks BB/TB merupakan indeks yang dapat membedakan proporsi badan dan independen terhadap umur (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk menentukan Z-skor. Baku antropometri yang digunakan untuk menentukan status gizi adalah WHO-NCHS (1983) dan sesuai anjuran PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi) pada tahu 2000 tentang penggunaan baku antropometri status gizi. Ambang batas (cut off point) kurang gizi anjuran WHO yaitu –2 SD. Klasifikasi status gizi indeks BB/TB baku WHO-NCHS dengan Z-score adalah: 1. Gemuk
: > 2,0 SD baku WHO-NCHS
2. Normal
: - 2,0 SD s/d + 2,0 SD
3. Kurus/Wasted
: < - 2,0 SD
4. Sangat kurus
: < - 3,0 SD
Status gizi mikro dalam penelitian ini meliputi status anemia, status zat besi, dan status vitamin A. Data status gizi mikro digali dengan cara pengambilan serum intravena anak sebanyak 2,5 ml dengan mengacu ketentuan ethical clearence Depkes RI. Parameter status anemia dengan melihat konsentrasi hemoglobin. Status anemia dikelompokkan berdasarkan WHO (1982) menjadi dua kelompok: 1. Normal (tidak anemia) jika konsentrasi Hb > 11 g/dL 2. Anemia jika konsentrasi Hb < 11 g/dL Analisa Hb dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor dengan menggunakan metode DRABKINS, yakni menggunakan reagen Drabkins dan alkohol 70% untuk desinfektan. Prinsip kerja metode Drabkins adalah hemoglobin akan diubah menjadi methemoglobin sianida. Methemoglobin sianida sangat stabil dan mampu mengabsorsi sinar 540 nm sehingga Sianmet-Hb yang terbentuk dapat diukur. Status besi dilihat dari tingkat konsentrasi ferritin dalam serum (Fs) dan dikelompokkan menjadi dua (Cook, 1994), yaitu :
49 1. Normal jika konsentrasi Fs > 12 µg/L 2. Defisiensi jika konsentrasi Fs < 12 µg/L
Analisis ferritin dengan menggunakan metode Immunometric Assay (IRMA), yakni ferritin merupakan suatu antigen yang dapat bereaksi dengan antiserum dari antibodi. Analisis tersebut dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor. Status
vitamin
A
dilihat
dari
retinol
dalam
serum
(Rs)
dan
dikelompnokkan menjadi 4 kelompok (WHO, 1994), yaitu: 1. Defisiensi jika konsentrasi Rs < 10µg/dl; 2. Rendah (defisiensi vitamin A subklinis) jika konsentrasi Rs < 20 - 10µg/dl; 3. Marginal jika konsentrasi Rs 20 - 30 µg/dl; 4. Baik jika konsentrasi Rs > 30 µg/dL. Analisis vitamin A dilakukan di Laboratorium Puslitbang Gizi Bogor dengan metode ekstraksi menggunakan HPLC. Standar yang digunakan untuk analisis retinol adalah Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol (Thurnham, Smith, dan Flora, 1988). Data konsumsi pangan digali dengan metode recall 24 jam , yang diambil saat awal penelitian dan akhir penelitian. Recall konsumsi dilakukan secara berulang, yakni 4 (empat) kali pengambilan data konsumsi dengan tujuan untuk memperoleh data yang representatif dan dapat menggambarkan kebiasaan makan anak balita. Menurut Sanjur (1997), recall konsumsi minimal dilakukan 2 kali dan tanpa berturut-turut dapat menggambarkan asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu. Data konsumsi diolah dengan microsoft excel yang dikonversikan ke dalam satuan zat gizi dengan berpedoman pada kandungan zat gizi dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) tahun 1995 sebagai rujukan. Khusus makanan jajanan yang tidak tercantum dalam DKBM, digunakan DKGJ yang disusun oleh Hardinsyah dan Briawan (1990). Jumlah total masing- masing zat gizi dirata-ratakan untuk memperoleh besarnya komposisi rata-rata zat gizi per orang per hari dan tingkat kecukupan
per
hari.
Tingkat
kecukupan
zat
gizi
diperoleh
dengan
membandingkan data riil konsumsi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan
50 (AKG) 2004. Penggolongan tingkat konsumsi dilakukan berdasarkan Depkes RI (1996), dimana tingkat konsumsi dibagi menjadi dua dengan cut off point 70%, yakni: 1. Cukup jika konsumsi > 70% AKG 2. Kurang jika konsumsi < 70% AKG Data imunoglobulin G (IgG) diperoleh melalui pengambilan serum intravena sebanyak 0,5 mg oleh petugas ahli medis. Data pengukuran titer IgG dengan metode ELISA di laboratorium Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI. Serum dalam darah memenuhi syarat atau protektif bilamana diperoleh titer antibodi minimal > 0, 1 IU/ml. Titer IgG diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Kunarti, 2004) yakni: 1. Titer IgG rendah jika titer antibodi 0,0 – 1,0 IU/ml 2. Titer IgG cukup jika titer antibodi >1,0 – 1,5 IU/ml 3. Titer IgG tinggi jika titer antibodi > 1,5 IU/ml Untuk mengendalikan dan menjamin kualitas data yang digali oleh para enumerator, maka dilakukan pelatihan terhadap enumerator dengan cara mengujicoba kemampuan enumerator dalam penggalian data, yakni try out kuesioner. Tujuan pelatihan adalah untuk menstandarisasi pemahaman kualitas data yang dikumpulkan. Langkah- langkah yang dilakukan adalah: 1. Melakukan seleksi dan pelatihan enumerator; termasuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang mungkin muncul selama pengambilan data di lapangan; 2. Melakukan kalibrasi alat ukur timbangan dan tinggi badan; 3. Memakai tenaga profesional untuk pengambilan darah anak balita dan sampel darah dikirim ke laboratorium yang sudah terakreditasi, yakni Laboratorium Makmal Terpadu FKUI; 4. Memakai tenaga profesinal untuk pengambilan vaksin DPT di Biofarma Bandung, untuk menjaga vaksin tetap berkualitas bagus; 5. Memakai tenaga profesional untuk pemberian booster DPT kepada contoh; 6. Verifikasi data melalui pemantauan dan observasi, melakukan pemantauan faktor bias penelitian antara lain konsumsi pangan, imunisasi, dan morbiditas.
51 Observasi dilakukan dengan wawancara ulang 10% oleh peneliti untuk memeriksa kembali (re-check) data yang dikumpulkan oleh enumerator; 7. Melakukan supervisi untuk mengatasi semua masalah yang muncul selama pengumpulan data di lapangan, dan mengetahui efektivitas wawancara serta kelengkapan data. Data yang telah terkumpul diberi kode berdasarkan code book yang disusun menurut pertanyaan dalam kuesioner. Kemudian dilakukan pembuatan file data base yang berbentuk tabel yang terdiri dari beberapa kolom antara lain no, peubah, arti peubah, dan nilai. Kemudian dilakukan editing data. Semua data yang terkumpul kemudian dientri ke dalam komputer Microsoft Excel. Entri data dilakukan oleh peneliti setelah dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan dan realibilitas data. Untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan selama proses entri data dilakukan cleaning data, untuk memeriksa kelengkapan dan kons istensi data yang telah dientri ke dalam komputer. Cleaning data dilakukan dengan verifikasi data oleh orang yang berbeda, yaitu dilakukan entri ulang (re-entry) atas 10% dari data yang telah dientri. Entri ulang data dilakukan untuk membandingkan antara data yang dientri pertama dan yang kemudian. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan dan kontrol dilakukan dengan uji pembeda yaitu Uji-t dan untuk mengetahui peningkatan status gizi antropometri, konsentrasi Hb, status besi, dan status vitamin A, serta IgG Total digunakan uji perbandingan rata-rata (dengan membandingkan peningkatan delta dari kelompok perlakuan dan plasebo).
HASIL DAN PEMBAHASAN Biskuit Fortifikasi Formula biskuit dirancang oleh WFP (World Food Programme) dan diproduksi oleh PT Danone Biscuits Indonesia, salah satu industri terkenal yang memproduksi makanan dan minuman komersial. Biskuit yang difortifikasi bermerk “BISKUAT ENERGI” yang diperkaya dengan vitamin A dan zat besi. Jumlah vitamin A dan zat besi (Fe) yang ditambahkan pada biskuit fortifikasi per 100 gram masing- masing sebesar 235,65 µg (109,1% AKG) dan 4,17 mg (96,5% AKG). Kandungan vitamin A dan za t besi biskuit fortifikasi, jika dibandingkan dengan biskuat plasebo, muatan vitamin dan mineral biskuit fortifikasi jauh lebih besar. Pemberian biskuit fortifikasi sebanyak 54 gram (10 keping biskuit) dapat mencukupi hampir 2/3 AKG. Vitamin A pada 100 gram biskuit fortifikasi dapat mencukupi 109,1% AKG anak balita dibandingkan dengan biskuit plasebo hanya dapat mencukupi 25% AKG. Kandungan zat besi biskuit fortifikasi pun juga jauh lebih besar, yakni 96,5% AKG dibandingkan dengan 8% AKG untuk tiap 100 gram biskuit tersebut. Biskuat fortifikasi tersebut, diproduksi secara khusus untuk United Nations-World Food Programme (UN-WFP) sebagai program bantuan perbaikan gizi anak balita dan anak sekolah dasar dengan tujuan untuk menurunkan prevalensi defisiensi za t gizi mikro pada kelompok usia tersebut. Keadaan Demografi Wilayah Penelitian Kondisi wilayah Bogor berbukit-bukit, terletak pada ketinggian 500 m di atas permukaan air laut. Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan dari 33 kecamatan di Kota Bogo r, Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kecamatan Dramaga 3743 ha, memiliki 10 desa, yakni: Desa Cikarawang, Desa Babakan, Desa Dramaga, Desa Sukawening, Desa Ciherang, Desa Sinarsari, Desa Neglasari, Desa Petir, Desa Purwasari, dan Desa Sukadamai. Secara lengkap gambaran wilayah Kecamatan Dramaga disajikan pada Tabel 3.
53 Tabel 3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga Kondisi Wilayah Kecamatan 1. Sebaran Penduduk menurut Tingkat Pendidikan (orang) a. Belum sekolah b. Tidak tamat SD c. Tamat SD/Sederajat d. Tamat SLTP/Sederajat e. Tamat SLTA/Sederajat f. Tamat Akademi/Sederajat g. Tamat Perguruan Tinggi/Sederajat h. Buta Huruf 2. Sebaran Penduduk menurut Jenis Pekerjaan (orang) a. Pertanian b. Pengusaha c. Pengrajin d. Industri Kecil e. Buruh Industri f. Pertukangan g. Pedagang h. Pengemudi i. Pegawai Negeri Sipil j. TNI/POLRI k. Pensiunan l. Lain-lain 3. Sarana dan Prasarana Kesehatan a. Rumah Bersalin/BKIA (buah) b. Poliklinik (buah) c. Puskesmas dengan Tempat Perawatan (buah) d. Puskesmas (buah) e. Puskesmas Pembantu (buah) f. Jumlah Dokter (orang) g. Jumlah Paramedis (orang) h. Praktek Dokter (orang) i. Bidan Praktek (orang) j. Bidan Desa (orang) k. Dukun Sunat (orang) l. Dukun Bayi/Paraji (orang) m. Apotek (buah) n. Toko Obat (buah) Sumber: Data Monografi Kecamatan Tahun 2005 .
Jumlah 10.484 34.908 26.564 10.515 8.402 673 1.377 272 9.782 8 189 185 1.620 308 4.785 1.785 946 51 193 709 4 1 1 4 3 33 80 9 6 10 2 7 2 11
Tidak semua desa dipakai sebagai lokasi penelitian, ada dua desa yang sulit sekali dijangkau dan atas dasar kemudahan dalam logistik maka kedua desa tersebut tidak diikutkan dalam penelitian. Kedua desa yang tidak digunakan adalah Desa Purwasari dan Desa Sukadamai.
54 Sebagian besar tanah di kecamatan Dramaga dimanfaatkan untuk persawahan kering (pekarangan, kebun, dan ladang), yakni sebesar 1.145 ha. Sebelah Utara Kecamatan Dramaga terletak Desa Cikarawang yang berbatasan dengan Kecamatan Rancabungur. Sebelah Selatan terdapat Desa Purwasari berbatasan dengan Kecamatan Tamansari. Sebelah Barat terdapat Desa Babakan yang berbatasan dengan IPB, Desa Neglasari dengan Kecamatan Ciampea, dan Desa Purwasari dengan Kecamatan Tenjojaya. Sebalah Timur terdapat Desa Sukawening yang berbatasan dengan Kecamatan Ciomas serta Desa Babakan dan Desa Cikarawang berbatasan dengan Kodya Bogor. Jumlah penduduk wilayah Dramaga 82.471 orang, terdiri dari 19.393 kepala rumah tangga. Kecamatan Dramaga memiliki 18.028 (46,7%) rumah tangga miskin dengan jumlah anak balita sebesar 7.295 anak. Sebagian besar penduduknya tidak tamat SD dan mata pencaharian penduduknya cukup bervariasi mulai dari sektor pertanian, perdagangan, pegawai negeri, dan lain- lain. Sebagian besar penduduk wilayah Kecamatan Dramaga bekerja sebagai petani dan pedagang. Sebagian besar keluarga contoh berpenghasilan dibawah kebutuhan fisik minimum. Sarana dan prasarana kesehatan di Kecamatan Dramaga pada Tabel 3 tersebut tersedia cukup memadai, yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh penduduk setempat dan cukup baik dalam melayani kebutuhan masyarakatnya. Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh Pada umumnya keluarga contoh memiliki anggota keluarga berjumlah lima orang. Baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo, sebagian besar jumlah anggota keluarga termasuk pada kelompok 3-5 orang. Ada beberapa keluarga yang memiliki anggota keluarga 6-8 orang. Banyaknya anggota keluarga contoh disajikan pada Tabel 4. Kepemilikan rumah keluarga contoh disajikan pada Tabel 5. Sebagian besar status rumah adalah milik sendiri, baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo dan hanya sebagian kecil masing- masing (5,7%) keluarga contoh dari kelompok perlakuan dan plasebo
menempati
rumah
milik
orang
lain
55 (sewa/kontrak rumah). Sebagian lagi keluarga contoh menempati rumah milik orang tuanya. Tabel 4. Besar Keluarga Contoh menurut Jumlah Anggota Keluarga Besar Keluarga Contoh (Orang) 3-5 6-8 >9 Total
Kelompok Perlakuan n 21 14 0 35
Plasebo % 60,0 40,0 0 100,0
n 22 11 2 35
% 62,9 31,4 5,7 100,0
Tabel 5. Kepemilikan Rumah dari Keluarga Contoh Kelompok Kepemilikan Rumah Milik Sendiri Milik Orang Tua Milik Orang Lain Total
Perlakuan n 17 16 2 35
Plasebo % 48,6 45,7 5,7 100,0
n 19 14 2 35
% 64,3 40,0 5,7 100,0
Kondisi bangunan rumah dan penerangan ditampilkan pada Tabel 6. Kondisi bangunan rumah pada kelompok perlakuan dan plasebo tidak berbeda. Rata-rata rumah tangga contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo menempati rumah dengan keadaan bangunan yang permanen atau semi permanen. Tabel 6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh Kondisi Rumah dan Penerangan 1. Kondisi Bangunan: - Permanen - Semi Permanen - Tidak Permanen Total 2. Penerangan Rumah: - Listrik - Lampu minyak Total
Kelompok Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
23 11 1 35
65,7 31,4 2,9 100,0
17 14 5 35
48,7 40,0 14,3 100,0
35 0 35
100,0 0 100,0
33 2 35
94,3 5,7 100,0
Sebagian besar rumah tangga contoh menggunakan listrik untuk penerangan sehari- hari. Pada kelompok perlakuan 100% penerangan sehari- hari
56 dengan menggunakan listrik. Pada kelompok plasebo masih ada sekitar 5,7% rumah tangga contoh yang penerangannya menggunakan lampu minyak. Ventilasi rumah keluarga contoh ditunjukkan pada Tabel 7. Ventilasi dicerminkan dari sirkulasi udara sehari- hari, yakni dari perlakuan keluarga contoh untuk membuka jendela pada pagi hari. Nampaknya sebagian besar keluarga contoh kadang-kadang membuka jendela pada pagi hari kalau ingat, tetapi sering kali lupa membuka jendela rumah. Bahkan ada jendela rumah keluarga contoh yang susah untuk dibuka (ditutup mati) sehingga tidak bisa dibuka sama sekali. Tabel 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh Keadaan Ventilasi Baik Cukup Baik Tidak Baik Total
Kelompok Perlakuan n 11 20 4 35
% 31,4 57,2 11,4 100,0
Plasebo n 2 19 14 35
% 5,7 54,3 40,0 100,0
Kondisi ventilasi rumah pada kelompok perlakuan jauh lebih bagus dibandingkan dengan kelompok plasebo. Pada kelompok plasebo masih ada sekitar 40% keluarga yang ventilasi rumahnya tidak bagus, artinya masih banyak warga yang tidak mau membuka jendela rumahnya. Hanya ada 5,7% rumah tangga contoh kelompok plasebo yang selalu membuka jendela pada pagi hari sehingga ventilasi rumah mernjadi baik . Sarana kebersihan pada kelompok perlakuan lebih baik daripada kelompok plasebo. Kepemilikan septiktank dan bak sampah sendiri di wilayah penelitian belum menjadi prioritas utama (Tabel 8). Sebagian besar keluarga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo tidak memiliki sarana septiktank di rumah sendiri. Mereka selalu pergi ke sungai atau jamban umum untuk keperluan buang air besar (BAB). Hanya sebagian kecil saja keluarga contoh dari kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki septiktank sendiri. Demikian pula kepemilikan bak sampah, sebagian besar rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo tidak mempunyai bak penampungan sampah sendiri. Hanya sebagian kecil saja (17,2%)
57 dari kelompok perlakuan dan 8,6% dari kelompok plasebo, yang memiliki bak sampah sendiri. Rata-rata mereka membuang sampah di pekarangan rumah dan sebagian kecil yang membuang sampah di sungai. Ketersediaan tempat sampah lebih banyak dimiliki oleh kelompok perlakuan. Tabel 8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh Kelompok
Sarana Kebersihan 1. Septiktank : - Ada - Tidak ada Total 2. Bak (tempat) Sampah: - Ada - Tidak ada Total
Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
13 22 35
37,2 62,8 100,0
6 29 35
17,2 82,8 100,0
6 29 35
17,2 82,8 100,0
3 32 35
8,6 91,4 100,0
Sumber air yang digunakan (Tabel 9) oleh rumah tangga contoh sebagian besar dari mata air, yakni 71,5% dari kelompok perlakuan dan hanya 34,3% dari kelompok plasebo. Sebagian kecil saja yang menggunakan air sungai masingmasing 5,7% dari kelompok perlakuan dan plasebo. Tabel 9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh Sumber Air yang Digunakan PAM Sumur Mata Air Sungai Total
Kelompok Perlakuan n 4 4 25 2 35
% 11,4 11,4 71,5 5,7 100,0
Plasebo n 9 12 12 2 35
% 25,7 34,3 34,3 5,7 100,0
Hanya sedikit warga yang menggunakan air PAM ataupun sumur baik dari kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo. Sumber air dari mata air dimanfaatkan secara bersama-sama oleh penduduk setempat di tempat-tempat tertentu yang sudah mereka bangun secara gotong-royong. Namun ada sebagian rumah tangga yang sudah mampu membuat saluran dari mata air ke masingmasing rumah.
58 Kepemilikan Kartu Sehat Kepemilikan kartu sehat dan kartu berobat ditampilkan pada Tabel 10. Rata-rata rumah tangga contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo tidak memiliki kartu sehat ataupun kartu miskin/berobat. Padahal keadaan rumah tangga contoh sebagian besar termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Hanya sebagian kecil saja rumah tangga contoh dari kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki kartu sehat dan kartu miskin tersebut. Kartu sehat sebagian besar dimiliki sejak tahun 2004. Hanya ada sebagian kecil saja yang telah memiliki kartu sehat dari tahun 2000, 2002, dan 2003. Demikian juga kepemilikan kartu berobat pada rumah tangga contoh tidak merata. Sebagian besar mereka tidak memiliki kartu berobat, dan hanya masingmasing 28,6% rumah tangga contoh yang memiliki kartu berobat dari kedua kelompok.. Tabel 10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat Kelompok Kepemilikan Kartu 1. Kartu Sehat - Ada - Tidak ada Total 2. Kartu Berobat - Ada - Tidak ada Total
Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
13 22 35
37,2 62,8 100
17 18 35
48,6 51,4 100
10 25 35
28,6 71,4 100,0
10 25 35
28,6 71,4 100,0
Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu dinilai dari banyaknya skor yang didapatkan ibu atas jawaban pertanyaan tentang masalah gizi. Sebanyak 40 pertanyaan diberikan kepada ibu balita yang berkaitan dengan pengetahuan gizi melalui kuesioner yang dapat diisi sendiri oleh ibu ataupun dibacakan oleh enumerator berdasarkan pedoman wawancara (protokol). Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah 0. Hasil jawaban ibu dikonve rsi menjadi skor pengetahuan gizi. Kategori pengetahuan gizi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni rendah (skor < 60%) dengan batasan nilai < 24, skor sedang (skor 60% – 80%) yang bekisar dari
59 nilai 24 sampai dengan 32, dan skor tinggi (skor > 80%) yang skornya > 32. Skor pengetahuan ibu balita contoh pada awal intervensi berada dalam taraf sedang (60%–80%) dengan skor rata-rata 30,3+3,9. Pada kelompok plasebo skor rata-rata berkisar pada kategori sedang dan sedikit lebih tinggi daripada kelompok perlakuan, yakni 30,5+3,5. Sedangkan pada kelompok perlakuan sedikit lebih rendah, namun pengetahuan gizi ibu masih dalam kategori sedang pula, dengan skor rata-rata 30,2+4,3. Penyebaran pengetahuan gizi ibu ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Pengelompokan Pengetahuan Gizi Ibu pada Awal Intervensi Menurut Kategori Kelompok Pengetahuan Gizi Ibu Perlakuan Plasebo Balita Contoh n % n % Rendah (< 60%) 1 2,8 3 8,4 Sedang (60% - 80%) 22 62,8 20 57,2 Tinggi (> 80%) 12 34,4 12 34,4 Jumlah 35 100,0 35 100,0 Sebagian besar pengetahuan gizi ibu balita dalam kategori sedang dan hanya sebagian kecil saja ibu balita contoh baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo yang mempunyai pengetahuan gizi tinggi. Sebagian kecil lagi ibu balita contoh memiliki pengetahua n gizi yang rendah, (2,8%) dari kelompok perlakuan dan (8,4%) dari kelompok plasebo. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab benar oleh ibu balita adalah masalah zat gizi mikro, meliputi sumber pangan dan manfaatnya. Semakin rendah pengetahuan gizi ibu, dimungkinkan semakin tidak tahu ibu balita untuk memberikan, mempersiapkan, dan menyajikan makanan yang bergizi pada anak balitanya. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap kualitas gizi anak (Wachs, 2005). Kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari- hari akan berakibat kurang gizi (Suhardjo, 1989). Tiga puluh persen anak berstatus gizi buruk di Indonesia dikarenakan rendahnya pengetahuan gizi ibu dan kesehatan (Azwar, 2000). Grafik penyebaran pengetahuan gizi ibu menurut skor disajikan pada Gambar 14.
60
Keterangan: PGI Plasebo = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Plasebo PGI Perlakuan = Pengetahuan Gizi Ibu Kelompok Perlakuan
Gambar 14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Skor Karakteristik Contoh Karakteristik balita contoh disajikan pada Tabel 12. Balita contoh dalam penelitian ini 51,4% berjenis kelamin perempuan dan 48,6% berjenis kelamin laki- laki. Proporsi anak balita menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 15. Laki-laki
Perempuan
48.6 51.4
Gambar 15. Proporsi Anak Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin Pada kelompok perlakuan anak laki- laki lebih banyak (57,2%) daripada anak perempuan (42,8%). Sebaliknya pada kelompok plasebo anak perempuan lebih banyak (60%) dari pada laki- laki (40%). Namun kondisi gender yang demikian tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian.
61 Tabel 12. Karakteristik Balita Contoh menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu. Kelompok Karakteristik Balita Contoh 1. Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Total 2. Umur dalam Bulan - < 30 - > 30 Total 2. Urutan Dalam Keluarga - Pertama - Kedua - Ketiga - >3 Total 3. Riwayat Lahir - Normal - Tidak Normal/kelainan Total 4. Tempat Lahir - Rumah Sakit - Rumah - Dukun Bayi (Bidan) Total 5. Imunisasi - Ya, lengkap - Ya, tidak lengkap Total 6. Kehadiran di Posyandu - Selalu/rutin - Kadang-kadang Total
Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
20 15 35
57,2 42,8 100,0
14 21 35
40,0 60,0 100,0
18 17 35
51,4 48,6 100,0
25 10 35
71,4 28,6 100,0
12 8 8 7 35
34,2 22,9 22,9 20,0 100,0
14 12 7 2 35
40,0 34,3 20,0 5,7 100,0
35 0 35
100,0 0 100,0
34 1 35
97,2 2,8 100,0
0 22 13 35
0 62,8 37,2 100,0
1 30 4 35
2,8 85,2 12,0 100,0
29 6 35
82,8 17,2 100,0
32 3 35
91,4 8,6 100,0
30 5 35
85,7 14,3 100,0
32 3 35
91,4 8,6 100,0
Umur anak balita contoh dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni balita contoh berumur < 30 bulan dan balita yang umurnya > 30 bulan. Banyaknya anak menurut kelompok umur dari kedua kelompok tidak berbeda jauh, dengan komposisi anak yang dalam kelompok umur < 30 lebih besar dibandingkan dengan anak kelompoki umur > 30 bulan. Anak balita contoh yang berumur lebih dari 30 bulan sebesar 51,4% dari kelompok perlakuan dan 71,4% dari kelompok plasebo.
62 Rata-rata urutan anak dalam keluarga sebagai anak pertama baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Besarnya persentase urutan anak dalam keluarga untuk kedua kelompok sama, berturut-turut yakni: sebagian besar balita contoh merupakan anak pertama, kedua, dan ketiga. Sebagian lagi mereka merupakan anak yang urutanya lebih dari ketiga, yakni anak keempat, kelima dan kesembilan. Kondisi balita contoh saat dilahirkan sebagian besar berbadan normal, 97,2% dari kelompok plasebo dan bahkan 100% dari kelompok perlakuan. Hanya 2,8% balita contoh dari kelompok plasebo yang mengalami kelainan saat kelahiran, yakni leher terlilit plasenta (kalung usus). Riwayat kelahiran balita contoh sebagian besar normal dan pertolongan persalinan semuanya dilakukan oleh dukun bayi pada masing- masing desa (paraji istilah setempat). Namun ada 2,8% kelahiran balita contoh yang akhirnya di bawa ke rumah sakit dan ditolong oleh dokter karena kelainan. Adapun tempat kelahiran balita contoh sebagian besar dilahirkan di rumah baik dari kelompok plasebo maupun kelompok perlakuan. Pada kelompok plasebo hanya ada 2,8% balita contoh yang dilahirkan di rumah sakit dikarenakan ada kelainan terlilit tali pusat saat kelahiran. Semua balita contoh (100%) telah mendapatkan imunisasi pada waktu bayi, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Namun ada beberapa anak balita contoh baik kelompok perlakuan maupun plasebo yang imunisasinya tidak lengkap. Hal tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian, karena semua anak balita contoh telah mendapatkan imunisasi DPT seperti yang disyaratkan pada pengambilan contoh. Sebagian besar (90,0%) balita contoh tidak pernah merasakan panas yang berkelanjutan setelah diimunisasi BCG, Polio dan Campak, dan hanya 10,0% balita contoh yang menderita demam setelah diimunisasi. Tetapi panas yang dirasakan setelah diimunisasi paling lama sekitar dua hari saja. Pada imunisasi DPT 100% anak balita merasakan panas tetapi panas yang dirasakan tidak berkelanjutan (normal). Berarti balita contoh tersebut tergolong dalam kondisi yang masih normal dan sehat. Jenis imunisasi yang sudah didapatkan diantaranya: imunisasi BCG, Hepatitis, DPT, Polio, dan Campak.
63 Untuk memantau pertumbuhan berat badan (BB) anak balita, kegiatan posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali dengan kegiatan utama berupa penimbangan. Sebagian besar ibu balita contoh membawa anaknya ke posyandu untuk penimbangan, baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya sebagian kecil saja (8,6%) ibu balita contoh dari kelompok plasebo yang tidak selalu datang ke posyandu dan 14,3% dari kelompok perlakuan. Riwayat Penyakit Anak Balita Untuk menggambarkan derajat kesehatan anak balita di wilayah penelitian dilakukan studi morbiditas, yakni wawancara dan pemeriksaan kesehatan anak sebelum intervensi dimulai dan setelah intervensi biskuit. Wawancara dan pemerik saan kesehaan dilakukan oleh peneliti dan dokter untuk menggali data tentang penyakit yang diderita anak sebulan sebelum intervensi dan sesudah pemberian biskuit. Menurut hasil laporan profil kesehatan Indonesia 2004, penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare merupakan penyakit yang banyak diderita anak balita dan menempati urutan pertama dan kedua, yakni berturutan sebesar 22,8% dan 13,2% (Depkes RI, 2006). Sedangkan jenis penyakit yang diderita anak balita sebelum dan setelah penelitian disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi Jenis Penyakit Awal intervensi 1. ISPA 2. Diare 3. Demam 4. Demam dan Pilek 5. Kulit (gatal) Akhir intervensi 1. ISPA 2. Diare 3. Demam 4. Demam dan Pilek 5. Kulit (gatal)
Kelompok Perlakuan n %
Kelompok Plasebo n %
5 3 4 6 2
14,3 8,6 11,4 17,1 5,8
6 4 4 5 1
17,1 11,4 11,4 14,3 2,9
0 1 0 2 1
0 2,9 0 5,8 2,9
1 2 1 4 1
2,9 5,8 2,9 11,4 2,9
Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering menjangkiti anak-anak balita di wilayah penelitian. Kedua penyakit tersebut dikarenakan kondisi lingkungan dan pengasuhan (caring) ibu terhadap anak kurang memperhatikan
64 kebersihan sehingga tidak higienis. Penyakit lain yang sering menyertai ISPA dan diare adalah demam. Defisiensi vitamin A dan anemia dilaporkan berhubungan dengan infeksi parasit yang dapat menyebabkan anak diare (Motarjemi, et al., 1993). Penyakit diare mempunyai dampak besar setelah ISPA terhadap pertumbuhan anak-anak, bahkan penyebab 13 juta kasus kematian anak-anak balita setiap tahunnya (Motarjemi, et al., 1993). Hasil studi meta-analisis dari 15 studi mengungkapkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham, et al., 2003), dan defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap ISPA (Mahalanabis, et al., 2004), dan terhadap saluran pencernaan (Thurnham, et al., 2000). Secara umum kondisi kesehatan anak balita sebulan sebelum intervensi adalah baik, sebagian besar anak balita sehat, baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Keterangan mengenai penyakit anak-anak sebulan sebelum dilakukan penelitian pada anak-anak balita yang diperiksa oleh tim dokter, terdapat 14,3% dari kelompok perlakuan dan 17,1 % kelompok plasebo menunjukkan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yakni batuk disertai nafas yang cepat dan pendek. Sebelum intervensi ada 11,4% anak balita dari masing- masing kelompok yang sakit panas (demam). Demam yang disertai pilek terjadi pada anak kelompok perlakuan sebesar 17,1% dan 14,3% pada kelompok plasebo, serta penyakit gatal sebesar 5,8% pada kelompok perlakuan dan 2,9% dari plasebo. Kedua kelompok mendapat pengobatan sebagian besar dari Puskesmas setempat untuk anak dengan gejala ISPA dan atau panas. Dua pertiga dari anak yang menderita panas dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya diberi parasetamol. Sepertiganya dibiarkan saja oleh orang tuanya dan diberi obat dari warung. Selain ISPA, penyakit diare sering dialami anak balita di daerah penelitian. Sebulan sebelum intervensi, terdapat 8,6 % anak balita yang menderita diare pada kelompok perlakuan dan 11,4 % pada kelompok plasebo. Dua pertiga anak balita,
65 baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo, yang menderita diare dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan diobati dengan garam oralit. Sepertiga lagi dirawat sendiri oleh ibu balita dan diobati dengan larutan gula dan garam (LGG). Setelah pemberian biskuit selama 16 minggu, ada 2,9 % anak balita kelompok plasebo yang masih menderita ISPA. Beberapa anak balita pada kelompok perlakuan dan plasebo berturut-turut menderita penyakit diare 2,9 dan 5,8 %, dan demam disertai pilek sebesar 5,8 % dan 11,4 %, serta penyakit kulit (gatal) masing- masing 2,9 %. Semua anak yang sakit gatal dibawa ke Puskesmas oleh orang tuanya dan semuanya diberi salep hidrocortison. Untuk melihat pengaruh efikasi biskuit fortifikasi terhadap morbiditas anak balita, dicari skor morbiditas. Skor morbiditas dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan lama penyakit dengan memberi skor yang tinggi pada penyakit infeksi yang berdampak fatal. Untuk mengetahui besaran resiko suatu penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan dokter. Skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, sariawan, dan mata. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, dan ISPA. Skor 70 untuk penyakit campak serta 80 untuk diare dan muntaber yang dinilai beresiko fatal. Rata-rata skor morbiditas anak balita ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi Morbiditas
Rata-rata
P
Awal
Perlakuan 77,29 a
Plasebo 55,0 ab
0,08
Akhir
9,80 b
41,89 b
0,01*
Delta
67,49b
13,11 b
0,00*
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
Berdasarkan tabel 14, skor morbiditas yang tinggi sebelum intervensi cukup tinggi dan menurun setelah intervensi. Hal ini menandakan adanya dampak positif dari pemberian biskuit fortifikasi terhadap kesehatan anak balita. Pada kelompok perlakuan skor morbiditas nyata- nyata lebih tinggi penurunanya dibandingkan dengan kelompok plasebo, delta penurunan pada kelompok
66 perlakuan sebesar 67,49 dibanding 13,11 pada kelompok plasebo. Hasil uji-t menunjukkan bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok plasebo. Uji beda delta kelompok perlakuan dan plasebo menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pula. Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh Konsumsi biskuit oleh balita contoh disajikan pada Tabel 15. Biskuit merupakan salah satu makanan yang sudah merakyat, acceptable dan disukai anak-anak balita. Dari hasil wawancara dan pengamatan, sekitar 97,2 % balita contoh menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Hanya 2,8 % (1 anak balita contoh) yang tidak menyukai biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun dari kelompok plasebo. Tabel 15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh Kelompok Konsumsi Biskuit oleh Balita 1. Kesukaan - Ya - Tidak Total 2. Cara Makan - Dimakan Biasa - Dicelupkan ke air susu - Dicelupkan ke air putih - Dicelupkan ke air teh - Dimakan biasa + dicelupkan ke air putih Total 3. Banyaknya Konsumsi - < 70% - > 70% Total
Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
34 1 35
97,2 2,8 100,0
34 1 35
97,2 2,8 100,0
23 6 1 2 3
65,6 17,3 2,8 5,7 8,6
25 4 2 1 3
71,5 11,4 5,7 2,8 8,6
35
100,0
35
100,0
1 34 35
2,9% 97,1 100,0
5 30 35
14,3% 85,7% 100,0
Ketidaksukaan anak terhadap biskuit dikarenakan biskuit berasa manis, sedangkan balita contoh tersebut tidak menyukai rasa manis. Anak-anak tersebut cenderung menyukai rasa asin gurih. Untuk menghilangkan/menetralkan rasa manis biskuit, setiap balita contoh yang tidak menyukai biskuit selalu mengkonsumsi biskuit dengan cara biskuit dicelupkan ke air putih (cai herang).
67 Sehingga
ketidaksukaan
balita
contoh
terhadap
biskuit
tersebut
tidak
mempengaruhi konsumsi biskuit selanjutnya. Cara anak balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit cukup bervariasi, antara lain: biskuit dimakan biasa/langsung dimakan, biskuit terlebih dahulu dicelupkan ke air putih, dicelupkan ke air susu, ataupun dicelupkan ke air teh. Ada juga balita contoh yang mengkonsumsi biskuit dengan cara kombinasi, yakni kadang biskuit dicelupkan ke air putih, kadangkala biskuit dimakan biasa secara langsung. Persentase cara makan biskuit baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo sama. Sebagian besar anak balita contoh mengkonsumsi biskuit secara langsung/biskuit dimakan biasa (digado menurut bahasa setempat), baik pada kelompok perlakuan (65,6%) maupun kelompok plasebo (71,5%). Sebagian lagi mengkonsumsi biskuit dengan dicelupkan ke air susu (17,3% pada kelompok perlakuan dan 11,4% pada kelompok plasebo). Sisanya, 2,8% (kelompok perlakuan) dan 5,7% (plasebo) biskuit dicelupkan ke air putih hanya 2,8% dan 8,6% dengan cara kombinasi. Biskuit fortifikasi yang diberikan kepada anak-anak balita dianjurkan dikonsumsi 54 gram (10 keping) setiap harinya Menurut hasil wawancara, pantauan, dan catatan konsumsi biskuit harian, rata-rata konsumsi biskuit fortifikasi harian sebesar 9,8 keping. Persentase banyaknya konsumsi biskuit dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni konsumsi yang baik (> 70%), dan kurang apabila konsumsi biskuit < 70%. Sebagian besar anak balita contoh, baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo telah mengkonsumsi biskuit sesuai dengan anjuran. Hanya ada 2,9% (1 anak balita) dari kelompok perlakuan dan 14,3% (5 anak balita) dari kelompok plasebo yang konsumsinya kurang, dikarenakan rasa biskuit kurang enak (tidak gurih) dan tekstur biskuit tidak renyah serta cenderung menempel di gigi bila biskuit dikunyah. Sejumlah biskuit yang dikonsumsi oleh anak balita memberikan tambahan energi dan zat gizi mikro. Tambahan rata-rata energi dan zat gizi mikro dari biskuit fortifikasi yang dikonsumsi anak balita per hari (dengan anjuran 54g biskuit/10 keping) diperlihatkan pada Tabel 16.
68 Berdasarkan tabel perhitungan gizi tersebut, rata-rata biskuit fortifikasi yang dikonsumsi anak balita contoh per hari mengandung zat besi dan vitamin A yang cukup tinggi berdasarkan persentase AKG Tahun 2004. Sumbangan vitamin A dan zat besi (Fe) harian dari biskuit fortifikasi kepada anak balita contoh berturut-turut sebesar 109,1% dan 96,5% AKG. Tabel 16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita Jenis Zat Gizi Mikro Energi (kkal) Besi (mg) Vitamin A (µg)
Banyaknya
% AKG
209,48+ 19,51 4,17 + 0,38 235,65 + 21, 94
14,4 96,5 109,1
Kalau diperhatikan lebih teliti bahwa persentase konsumsi biskuit pada kelompok perlakuan lebih banyak apabila dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hal tersebut diakibatkan karena kandungan vitamin A pada biskuit fortifikasi dapat meningkatkan dan memacu nafsu makan anak balita, disamping biskuit fortifikasi rasanya lebih enak daripada biskuit plasebo. Konsumsi rata-rata biskuit mingguan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) Menurut Minggu Rata-rata konsumsi biskuit harian per gram menurut mingguan yang nampak pada gambar 16 tidak banyak perbedaan dari minggu pertama sampai
69 minggu terakhir intervensi. Perbedaan mencolok terjadi pada minggu ketiga sampai minggu kelima. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit mencapai 52,9 gram (9,8 keping), sementara pada kelompok plasebo rata-rata konsumsi biskuit hanya mencapai 45,6 gram (8,4 keping). Kalau dikaji lebih mendalam bahwa grafik rata-rata konsumsi biskuit pada kedua kelompok sedikit ada perbedaan rata-rata konsumsinya. Pada kelompok perlakuan rata-rata konsumsi biskuit hampir sesuai dengan yang dianjurkan dan pada kelompok plasebo kurang dari anjuran. Namun keduanya mempunyai alur yang sama dalam mengkonsumsi biskuit. Konsumsi biskuit semakin meningkat walaupun pada minggu- minggu tertentu selalu terjadi penurunan konsumsi, tetapi setelah terjadi penurunan konsumsi selalu diikuti peningkatan konsumsi pada minggu- minggu berikutnya. Pada kelompok perlakuan, rata-rata konsumsi biskuit tidak banyak mengalami perubahan, setelah terjadi peningkatan konsumsi, diminggu- minggu berikutnya selalu stagnan konsumsinya. Penurunan konsumsi diakibatkan karena anak bosan, yang diharuskan mengkonsumsi biskuit setiap hari sebanyak 10 keping (54 gram). Selain itu, karena biskuit juga dimakan oleh anggota keluarga yang lain (1,72%). Sedangkan peningkatan konsumsi biskuit dikarenakan sebagian besar anak balita termasuk kelompok miskin, yang tidak banyak memiliki makanan pilihan di rumahnya. Selain itu, sebagian besar orang tua berpendapat, daripada perut anaknya lapar, akhirnya orang tua berusaha sekeras mungkin dengan cara merayu dan membujuk anaknya agar mau mengkonsumsi biskuit. Rata-rata alasan menurunannya konsumsi biskuit pada anak balita contoh yang dikarenakan bosan sekitar 2,23%. Alasan lain yang tidak dapat dihindarkan adalah biskuit contoh dimakan oleh anggota keluarga yang lain, seperti kakak, saudara (kakek, atau nenek bahkan juga bapak dari anak balita) sebesar 1,72%. Sekitar 2,01% alasan anak tidak mau mengkonsumsi biskuit dikarenakan sakit, seperti diare (10%), influenza (20%) dan gatal- gatal (2,8%), batuk (1,4%). Hanya sebagian kecil saja (0,16%) balita contoh yang konsumsi biskuitnya kurang dikarenakan orang tuanya lupa ataupun tidak sempat memberikan biskuit kepada anaknya. Kelupaan orang tua memberikan biskuit kepada anaknya dikarenakan
70 mereka sedang bepergian/di perjalanan ataupun sedang menginap di rumah saudaranya. Ada 0,65% balita contoh yang tidak mengkonsumsi biskuit karena bosan dengan rasa manis. Kebosanan balita contoh terhadap biskuit pada saat harus mengkonsumsi, biasanya disebabkan karena di rumah ada makanan lain ataupun karena saudara/tetangganya sedang hajatan. Rata-rata untuk alasan kurang mengkonsumsi biskuit pada kelompok perlakuan dan plasebo disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang Mengkonsumsi Biskuit Berdasarkan hasil wawancara dan rekapitulasi data kons umsi biskuit, bahwa anak merasa bosan mengkonsumsi biskuit setiap hari merupakan alasan tertinggi dalam penelitian ini. Kebosanan anak sebagian besar disebabkan ada makanan lain di rumah (5,7%) dan anak terbiasa jajan (32,3%) sehingga perut anak sudah terasa kenyang dan tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit intervensi. Frekuensi bosan yang dirasakan oleh anak selama pemberian hanya sebesar 18,3% saja. Alasan berikutnya berturut-turut kalau anak berkurang dalam mengkonsumsi biskuit karena sakit, biskuit dimakan kakak/anggota keluarga lain atau saudara, dan orang tua lupa. Alasan paling sedikit dan hampir dapat diabaikan adalah anak mulai tidak menyukai biskuit. Pada minggu pertama pemberian biskuit ada 20,0% anak yang tidak mau mengkonsumsi biskuit karena bosan 10%, biskuitnya dimakan kakaknya 4,3%,
71 dan karena sakit 3,3%. Alasan lain sebab anak tidak mengkonsumsi biskuit karena orang tua lupa sebesar 1,6% dan karena anak tidak suka sebesar 0,8%. Pada minggu pertama pemberian biskuit merupakan masa tersulit atau masa awal mengajak anak untuk mengenal dan menyukai biskuit sehingga anak mau mengkonsumsi pada hari- hari berikutnya selama 4 bulan penelitian. Terbukti dari hasil rekapitulasi data konsumsi biskuit bahwa persentase tertinggi anak kurang mengkonsumsi biskuit jatuh pada minggu pertama. Minggu kedua persentase balita contoh mengkonsumsi biskuit turun menjadi 7,3% karena dimakan kakaknya sebesar 5,7% dan karena bosan 1,6%. Pada minggu ketiga dan keempat persentase ketidakmauan mengkonsumsi biskuit meningkat kembali sebesar 13,3% dan 15,0%. Penyebab tertinggi ketidakmauan tersebut adalah anak sakit (6,7%) pada minggu keempat dan biskuit dimakan kakak sebesar 5,0% pada minggu ketiga. Penyebab lain adalah balita contoh merasa bosan masing- masing 4,3%. Pada minggu ketiga sampai minggu keenam terjadi keterlambatan pengiriman dari kader masing- masing sebesar 1,6% dan berikutnya hanya 0,8%. Namun pada minggu ketujuh sampai minggu terakhir pengiriman, masalah logistik tersebut dapat ditangani dengan baik sehingga tidak terjadi lagi keterlambatan pengiriman biskuit. Minggu-minggu berikutnya persentase ketidakmauan mengkonsumsi biskuit semakin menurun dan penyebab utama adalah anak bosan mengkonsumsi biskuit. Tingkat kebosanan tertinggi jatuh pada minggu keenam, sebesar 5,8%. Pada minggu- minggu berikutnya, tingkat kebosanan konsumsi biskuit dapat diturunkan/diatasi dengan mengubah cara makan dan waktu pemberian serta meningkatkan ketelatenan ibu balita contoh dalam memberikan biskuit kepada anaknya. Ketidakmauan mengkons umsi biskuit karena anak sakit terjadi pada minggu pertama sampai minggu kesebelas. Minggu keduabelas sampai selesai penelitian kondisi anak semakin sehat, tidak ada satu pun balita contoh yang sakit. Rata-rata persentase sakit sebesar 2,9%. Persentase sakit tertinggi penyebab anak kurang mengkonsumsi biskuit terjadi pada minggu keempat (6,7%). Di akhir intervensi dilakukan wawancara terhadap ibu balita untuk membangun opini tentang manfaat mengkonsumsi biskuit. Dari 70 balita contoh,
72 hanya 3,3% ibu balita contoh yang mengatakan tidak tahu apakah biskuit tersebut bermanfaat untuk anak. Sekitar 7,5% mereka mengatakan bahwa biskuit tersebut tidak bermanfaat. Sebagian besar (89,2%) mengatakan bahwa biskuit penelitian bermanfaat bagi balita contoh. Opini ibu balita contoh tentang biskuit disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian No. 1. 2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
Pendapat Ibu Balita Apakah anak ibu menyukai biskuit penelitian? a. Ya b. Tidak Bagaimana pendapat ibu tentang biskuit tersebut? a. Baik b. Buruk c. Tidak Tahu Bagaimana rasa dan aroma biskuit tersebut? a. Enak b. Tidak enak Alasan ibu mengatakan biskuit penelitian baik a. Karena tambahan kandungan zat gizi b. Dapat meningkatkan selera makan c. Merangsang pertumbuhan anak d. Membuat anak sehat/jarang sakit e. Alasan lain? anak jadi jarang jajan Apakah ibu setuju jika anaknya dianjurkan makan biskuit penelitian 10 keping perhari a. Ya b. Tidak Alasan setuju: a. Baik untuk kesehatan b. Terkandung vitamin dan mineral c. Karena anaknya menyukai biskuit d. Tidak ada efek samping Apakah ada manfaat yang dirasakan pada anak setelah mengkonsumsi biskuit a. Nafsu makan anak meningkat b. Anak menjadi lebih pinter c. Anak menjadi aktif dan lincah d. Anak menjadi jarang sakit e. Kulit anak menjadi halus (tidak gatal/kudis) Apakah ada manfaat yang dirasakan bagi keluarga dengan adanya pemberian biskuit tersebut? a. Menghemat uang jajan b. Menghemat biaya kesehatan c. Makan menjadi lebih teratur d. Menjadi lebih peduli pada kesehatan anak e. Menjadi lebih tahu kebersihan anak
Jumlah (n)
%
68 2
97,2 2,8
70 -
100 -
68 2
97,2 2,8
70 63 33 40 25
100 90,0 47,1 57,1 35,7
70 -
100 -
70 70 68 30
100 100 97,2 42,9
60 20 25 64 10
85,7 28,6 35,7 91,4 14,3
65 58 22 30 25
92,6 82,9 31,4 42,9 35,7
73 Manfaat mengkonsumsi biskuit menurut ibu balita adalah dapat meningkatkan nafsu makan sebesar 21,5%; meningkatkan berat badan 7,5%, serta masing- masing sebesar 8,4% anak jarang sakit dan kulit menjadi lebih halus. Ada pula yang berpendapat bahwa biskuit bermanfaat ganda sebesar 11,2%, yakni untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan cepat bertambah. Sebagian lagi 29,9% dikatakan bahwa biskuit bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan, berat badan cepat bertambah dan balita contoh jarang sakit. Hal ini sesuai dengan dugaan bahwa kandungan vitamin A dan Fe dapat meningkatkan nafsu makan. Sebagian besar (97,2%) mengatakan anak balitanya menyukai dan hanya 2,8% balita contoh yang tidak menyukai biskuit tersebut. Semua ibu balita (100%) menerima baik biskuit tersebut dan setuju anak balitanya menjadi contoh penelitian. Rasa biskuit sebagian besar balita contoh (97,2%) mengatakan enak dan hanya 2,8% yang mengatakan tidak enak. Dari 2,8% yang mengatakan tidak enak karena tidak menyukai rasa manis. Ibu balita contoh mengatakan biskuit penelitian baik dan mau menerima dengan alasan 100% mengatakan ada tambahan kandungan zat gizi, 90% mengatakan dapat meningkatkan selera makan; dan 47,1% dapat merangsang pertumbuhan anak; serta membuat anak sehat/jarang sakit sebesar 57,1%. Pendapat ibu balita tentang pilihan biskuit penelitian, lebih baik daripada biskuit lain, !00% menyatakan memilih biskuit penelitian sebab menghemat uang jajan. Karena sebagian besar balita contoh terbiasa jajan di warung dari bangun tidur. Semua ibu balita menyatakan setuju jika dianjurkan makan biskuit sebanyak 10 keping perhari. Alasan ibu- ibu setuju dengan anjuran tersebut 100% mengatakan baik untuk kesehatan dan biskuit terkandung vitamin dan mineral; 97,2% anaknya menyukai biskuit, dan 42,9% menjawab tidak ada efek samping. Banyak manfaat yang dirasakan oleh keluarga terutama ibu balita dengan adanya pemberian biskuit penelitian. Sebagian besar ibu balita (92,6%) menyatakan menghemat uang jajan dan 82,9% menyatakan menghemat biaya kesehatan; 31,4% anak balita menjadi lebih teratur makan. Alasan lain, orang tua lebih peduli pada kesehatan anak sebesar 42,9% dan orang tua menjadi lebih tahu kebersihan anak 35,7%. Pemberian biskuit forifikasi
74 membantu ibu untuk berhemat, maksudnya alokasi uang jajan anak dapat dikumpulkan untuk menambah alokasi keperluan lain, misalkan biaya kesehatan, biaya makan harian, ataupun ditabung. Jika dikaji lebih mendalam, semua ibu balita contoh sangat menyukai adanya intervensi gizi di wilayahnya, sebab sangat membantu sekali untuk peningkatan makanan tambahan bagi anak balitanya. Dengan adanya /tersedianya biskuit tersebut setiap hari di rumah mampu menurunkan minat jajan anak balita di warung-warung terdekat. Biasanya kondisi sebelum ada intervensi biskuit, anak selalu jajan setiap bangun tidur, bahkan ada anak yang langsung lari ke warung setiap kali bangun pagi. Kebiasaan jajan anak sangat dikeluhkan orang tua dan tidak bisa dihindari, karena di rumah sering tidak tersedia makanan kecil. Karenanya ibu balita contoh sering berharap agar anaknya selalu mendapatkan bantuan pangan yang serupa untuk menghilangkan kebiasaan jajan anak. Dengan adanya intervensi biskuit, sebagian ibu balita merasa gembira, alokasi uang jajan anak dapat dimanfaatkan untuk menambah konsumsi harian pangan keluarga, sehingga anak lebih teratur makan dan kualitas makanannya juga lebih baik (bergizi). Selain itu, uang jajan juga dialokasikan untuk uang kesehatan. Dengan adanya intervensi gizi tersebut anak dan anggota keluarga menjadi lebih sehat. Konsumsi Zat Gizi Anak Balita Konsumsi zat gizi anak balita contoh digali dengan metode recall 24 jam sebanyak empat kali dengan hari tidak berurutan. Tingkat konsumsi dikategorikan baik jika konsumsi > 70% kecukupan dan konsumsi kurang jika < 70% kecukupan (Depkes, 1996). Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data konsumsi riil dengan angka kecukupan zat gizi. Konsumsi
zat
gizi
anak
(pangan) pada
tingkat
individu
dapat
diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral perorang perhari (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Anak balita memerlukan sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi
75 kebutuhan tubuh untuk melakukan aktivitas sehari- hari, pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan tubuh. Rata-rata konsumsi gizi anak balita menggambarkan konsumsi harian anak-anak balita contoh di Kecamatan Dramaga. Sebagian besar anak-anak balita mengkonsumsi makanan pokok (nasi) sebanyak dua kali sehari, yakni makan siang dan makan sore (sebelum magrib). Makan pagi (sarapan) anak balita di Kecamatan Dramaga pada umumnya berupa jajan dari warung atau tukang dagang keliling, seperti lontong dan gorengan (bala-bala dan tempe goreng tepung) serta bubur ayam atau pun lontong kacang (doclang). Rata-rata konsumsi gizi harian disajikan pada Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh Kandungan Zat Gizi a. Awal Intervensi 1. Energi (kkal) 2. Protein (g) 3. Lemak (g) 4. Karbohidrat (g) 5. Kalsium (mg) 6. Phosfor (mg) 7. Besi (mg) 8. Vitamin A (µg) 9. Vitamin B (mg) 10. Vitamin C (mg) 11. Zink (mg) b. Akhir Intervensi 1. Energi (kkal) 2. Protein (g) 3. Lemak (g) 4. Karbohidrat (g) 5. Kalsium (mg) 6. Phosfor (mg) 7. Besi (mg) 8. Vitamin A (µg) 9. Vitamin B (mg) 10. Vitamin C (mg) 11. Zink (mg)
Rata-rata Zat Gizi Kelompok Perlakuan (n=35) Plasebo (n=35) 931,43 + 183,73 26,85 + 9,77 29,33 + 12,56 128,52 + 32,79 285,4 + 241,36 252,23 + 142,83 9,07 + 4,34 176,49 + 125,6 0,74 + 0,51 4,87 + 4,41 1,55 + 0,75
864,90 + 239,70 25,60 + 11,21 26,20 + 14,91 116,60 + 25,85 303,10 + 168,31 254,2 + 126,68 7,50 + 4,4 240,80 + 195,73 0,60 + 0,65 6,70 + 6,56 1,90 + 0,81
980,69 + 154,49 27,01 + 6,67 38,61+12,49 123,41+24,87 190,84 + 133,59 285,17 + 191,19 13,72 + 3,91 521,06 + 196,63 1,18 + 0,76 9,79 + 10,91 1,90 + 0,73
970,42 + 166,65 29,57 + 9,05 34,14+12,74 123,95+24,78 249,07 + 191,39 293,32 + 163,19 10,21 + 3,95 246,96 + 171,99 0,99 + 0,76 12,26 + 15,39 1,84 + 0,83
Konsumsi zat gizi pada akhir intervensi menunjukkan adanya peningkatan intik energi, protein, lemak, dan karbohidrat, serta beberapa zat gizi mikro,
76 seperti: phosfor, besi, vitamin A, B, dan C, serta zink. Konsumsi pada kelompok perlakuan dan plasebo hampir berimbang, artinya ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada kelompok plasebo dan ada sebagian zat gizi yang lebih besar pada kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kecukupan gizi terhadap anak balita maka konsumsi gizi anak tersebut diterjemahkan ke dalam tingkat kecukupan gizi dengan acuan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG tahun 2004). Tingkat kecukupan gizi anak batita contoh ditampilkan pada Gambar 18.
.
Gambar 18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir intervensi Grafik batang pada Gambar 18, menunjukkan adanya peningkatan konsumsi gizi pada akhir intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. Di awal intervensi, ada beberapa jenis konsumsi zat gizi yang kurang dari 70% AKG antara lain konsumsi vitamin A, vitamin C, kalsium, serta zink pada kelompok perlakuan dan plasebo. Tingkat konsumsi energi pun kurang dari 70% pada kelompok plasebo Tingkat konsumsi energi dan zat gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 19..
77 Tabel 19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh Menurut AKG 2004 Kelompok Jenis Zat Gizi a. Awal 1.Energi (kkal) 2.Protein (g) 3.Vitamin A (µg) 4.Vitamin B (mg) 5.Vitamin C (mg) 6.Kalsium (mg) 7.Phosfor (mg) 8.Besi (mg) 9. Zink (mg)
b. Akhir 1.Energi (kkal) 2.Protein (g) 3.Vitamin A (µg) 4.Vitamin B (mg) 5.Vitamin C (mg) 6.Kalsium (mg) 7.Phosfor (mg) 8.Besi (mg) 9. Zink (mg)
<70% AKG
Perlakuan (n=35) >70% Rata-rata AKG (%)+ SD
13 (18,6) 3 (4,3) 24 (34,3) 9 (12,9) 35 (50,0) 28 (40,0) 11 (15,7) 8 (11,4) 35 (50,0)
22 (31,4) 32 (45,7) 11 (15,7) 26 (37,1) 0 (0,0) 7 (10,0) 24 (34,3) 27 (38,6) 0 (0,0)
6 (8,6) 2 (2,6) 15 (21,4) 3 (4,3) 32 (45,7) 31 (44,3) 11 (15,7) 5 (7,1) 35 (50,0)
29 (41,4) 33 (47,1) 20 (28,6) 32 (45,7) 3 (4,3) 4 (5,7) 24 (34,3) 30 (42,9) 0 (0,0)
74,8 + 14,9 116,8+ 43,1 51,2+ 36,2 145,9+102,6 12,4+ 11,1 56,3+ 48,8 100,1+ 57,8 112,9+ 54,9 15,7+ 7,5
78,5+ 12,4 117,4+ 28,9 83,0+ 54,7 236,6+ 152 27,3+ 24,5 38,2+ 26,7 114,5+ 76,2 171,2+ 47,8 18,9+ 7,3
<70% AKG
Plasebo (n=35) >70% Rata-rata AKG (%)+ SD
20 (28,6) 9 (12,6) 21 (30,0) 19 (27,1) 34 (48,6) 20 (28,6) 10 (14,3) 13 (37,1) 35 (50,0)
15 (21,4) 26 (37,1) 14 (20,0) 16 (22,9) 1 (1,4) 15 (21,4) 25 (35,7) 22 (31,4) 0 (0,0)
9 (12,6) 2 (2,6) 20 (28,6) 7 (10,0) 31 (44,3) 28 (40,0) 8 (11,4) 6 (8,6) 35 (50,0)
26 (37,1) 33 (47,1) 15 (21,4) 28 (40,0) 4 (5,7) 7 (10,0) 27 (38,6) 29 (41,4) 0 (0,0)
69,1+ 18,9 111,6+ 48,1 67,6+ 55,6 130,5+116,1 16,3+ 16,3 61,3+ 33,4 102,4+ 50,1 93,7+ 50,7 18,9+ 8,2
77,6 + 13,3 128,6+ 39,4 70,6+ 49,1 198,9+151,5 30,7+ 38,5 49,8+ 38,3 117,3+ 65,3 127,6+ 49,3 18,4+ 8,3
Hanya ada beberapa zat gizi yang tingkat konsumsinya cukup (lebih dari 70% AKG), yakni fosfor, besi, vitamin B, dan protein pada kelompok perlakuan dan plasebo serta energi pada kelompok perlakuan. Persentase tingkat kecukupan
78 konsumsi energi dan protein lebih besar pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo. Tingkat konsumsi gizi di akhir intervensi tidak jauh berbeda kondisinya dengan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan tingkat konsumsi gizinya lebih baik daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji statistik ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) rata-rata tingkat kecukupan kalori, vitamin A dan zat besi pada kelompok perlakuan dan plasebo. Konsumsi Vitamin A Jika dikaji lebih mendalam bahwa peningkatan zat gizi pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Peningkatan konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi vitamin A di awal intervensi tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan plasebo. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa konsumsi vitamin A pada awal intervensi antara kelompok perlakuan dan plasebo dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) konsumsi vitamin A diakhir intervensi pada kelompok perlakuan dan plasebo. Konsumsi vitamin A pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa delta peningkatan konsumsi vitamin A secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan
daripada
kelompok
plasebo,
yakni
343,31+210,22
terhadap
6,17+260,04 (Tabel 20) Biskuit fortifikasi secara nyata dapat meningkatkan konsumsi vitamin A anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga. Dengan adanya penambahan vitamin A melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan status vitamin A pada anak-anak balita di daerah penelitian.
79 Tabel 20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Konsumsi Vitamin A (µg)
Perlakuan (n=35) a
Plasebo (n=35) 240,80+195,73
p
ab
0,148
a
Awal
176,49 +125,60
Akhir
a
521,06+196,63
246,96+171,99
0,000*
Delta
343,31+210,22b
6,17+260,04b
0,000*
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
Konsumsi Zat Besi (Fe) Kalau diperhatikan Tabel 19 di atas tentang rata-rata konsumsi gizi harian, konsumsi zat besi (Fe) juga terjadi peningkatan di akhir intervensi. Konsumsi Fe pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok plasebo. Menurut hasil uji beda, konsumsi Fe di awal intervensi tidak berbeda nyata (p>0,05) antara kelompok plasebo dan perlakuan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa konsumsi Fe pada awal intervensi antara kelompok plasebo dan perlakuan dianggap sama menurut statistik, walaupun besarnya angka berbeda. Di akhir intervensi terjadi peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) konsumsi Fe di akhir intervensi pada kelompok plasebo dan perlakuan. Konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan apabila dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil uji perbedaan rata-rata, bahwa delta peningkatan konsumsi Fe secara nyata lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo yakni: 4,65+5,79 terhadap 2,80+5,34. (Tabel 21). Tabel 21. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Zat Besi (Fe) Konsumsi Fe (mg)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
p
Awal
9,07+4,34a
7,50+4,4ab
0,092
Akhir
a
13,72+3,91
10,21+3,95
0,001*
Delta
b
b
0,000*
4,65+5,79
a
2,80+5,34
Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
80 Delta peningkatan konsumsi Fe pada kelompok perlakuan berbeda nyata (p<0,05), perbedaan secara nyata lebih tinggi terjadi pada kelo mpok perlakuan dibandingkan dengan plasebo. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsumsi Fe pada anak balita kelompok perlakuan tersebut akibat adanya penambahan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Tambahan konsumsi Fe harian dari biskuit sebesar 96,5% AKG. Biskuit fortifikasi ternyata dapat meningkatkan konsumsi Fe anak balita di wilayah Kecamatan Dramaga. Dengan adanya penambahan Fe melalui biskuit fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb dan status besi (konsentrasi ferritin) pada anakanak balita di daerah penelitian. Status Gizi Antropometri Pengukuran status gizi dilakukan secara antropometri, artinya menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter antropometri merupakan dasar penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan adalah BB/TB. Data hasil pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) diolah untuk menentukan Z-skor. Penentuan Z-skor berdasarkan pada referensi WHO/NCHS untuk menentukan status gizi anak balita contoh dengan cut-off point -2 Z-skor. Status gizi indeks BB/TB untuk mengkonversi indeks BB/U dan TB/U dengan referensi Z-skor, anak dikatakan pendek dan kurang gizi jika Z-skor nya kurang dari 2 SD (Solon, et al., 2000). Sebaran rata-rata tinggi dan berat badan disajikan pada Tabel 22. Pada Tabel 22, menunjukkan bahwa hasil pengukuran berat badan anak balita contoh berkisar 8,4–14,5 kg dengan rata-rata 11,3+1,4 kg sebelum intervensi dan meningkat menjadi 12,0+1,5 kg diakhir pengukuran dengan kisaran 9,5 sampai dengan 14,5 kg pada kelompok perlakuan. Tinggi badan anak balita contoh kelompok perlakuan berkisar dari 75,0 sampai dengan 93,2 cm dengan rata-rata 85,8+4,1 cm diawal intervensi. Pada akhir intervensi terjadi peningkatan tinggi badan meningkat menjadi 89,2+4,0 cm dengan kisaran tinggi badan dari 78,5 sampai dengan 95,5 cm.
81 Tabel 22. Sebaran Rata-rata BB dan TB Anak Balita Waktu Intervensi 1. Awal - perlakuan - plasebo 2. Akhir - perlakuan - plasebo
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (Cm)
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
11,3+1,4 10,8+1,3
8,4–14,5 9,0–14,1
85,8+4,1 84,9+3,9
75,0–93,2 75,6–93,6
12,0+1,5 11,6+1,3
9,5–14,5 8,8–15,5
89,2+4,0 88,5+3,9
78,5–95,5 80,1–94,0
Menurut perhitungan Z-skor, rata-rata status gizi antropometri denga n indeks BB/TB pada kelompok perlakuan didapatkan sebesar -0,5+1,0 diawal intervensi dan stagnan diakhir intervensi, artinya tidak ada peningkatan status gizi anak balita, namun status gizi tersebut masih dalam kategori baik/normal. Artinya rata-rata proporsi badan anak normal, tidak kurus dan tidak gemuk. Demikian juga status gizi antropometri pada kelompok plasebo juga kecil sekali peningkatannya. Sebaran status gizi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB (WHO-NCHS, 1983) Kelompok Status Gizi Anak Balita 1. Awal - Gemuk - Normal - Kurus/Wasted - Sangat Kurus Total 2. Akhir - Gemuk - Normal - Kurus/Wasted - Sangat Kurus Total
Perlakuan
Plasebo
n
%
n
%
33 2 35
94,3 5,7 100,0
33 2 35
94,3 5,7 100,0
33 2 35
94,3 5,7 100,0
30 5 35
85,7 14,3 100,0
Secara umum status gizi antropometri dengan indeks BB/TB pada awal intervensi didapatkan 5,7% anak balita contoh yang kurus (wasted), baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo.
82 Kondisi status gizi anak balita dari kedua kelompok sama, sebagian besar (94,3%) berbadan normal. Tidak terdapat satu pun anak balita yang gemuk dan sangat kurus. Menurut hasil statistik bahwa kondisi awal anak balita di kedua kelompok sama, tidak berbeda nyata (p>0,05). Masing- masing hanya 5,7%; yakni 2 anak balita dari kelompok perlakuan dan plasebo yang berbadan kurus. Di akhir intervensi, walaupun masih ada beberapa anak balita yang termasuk kurus (wasted) tetapi rata-rata status gizi anak balita contoh tersebut dalam kategori normal atau baik. Kondisi wasted yang terjadi pada anak dikarenakan tubuh kekurangan sejumlah (satu atau beberapa) jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Menurut Winarno (1995) tiga penyebab tubuh kekurangan zat gizi karena: (1) jumlah zat gizi yang dikonsumsi kurang, (2) kualitas gizi rendah, dan (3) gangguan penyerapan zat gizi oleh tubuh. Akar penyebab dari kekurangan gizi karena faktor sosial ekonomi, seperti kebiasaan makan, kepercayaan, kemiskinan (daya beli rendah), dan gangguan fungsi alat pencernaan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji beda berpasangan (t-test) pada Tabel 24, setelah 16 minggu pemberian biskuit kepada anak balita contoh ternyata status gizi akhir berbeda tidak nyata (p>0,05) antara kelompok perlakuan dan plasebo. Dengan demikian pemberian biskuit fortifikasi tidak dapat meningkatan status gizi anak pada indeks BB/TB. Tabel 24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-Skor Status Gizi Kelompok
Z-Skor Awal
Z-Skor Akhir
Delta
p
Perlakuan (n=35)
-0,51 +0,97
-0,50+1,13
-0,01+1,07
0,512
Plasebo (n=35)
-0,92 +0,90
-0,80+0,93
-0,07+0,66
1,000
Keterangan: p>0,05
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Rahman et.al., (2001), pemberian intervensi gizi tidak memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa intervensi biskuit fortifikasi kurang dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan status gizi secara antropometri, kareana.pemberian biskuit di daerah miskin ada kecenderungan menggantikan
83 konsumsi harian sehingga konsumsi pangan anak menjadi berkurang. Disisi lain pemberian biskuit sumbangannya sangat kecil terhadap peningkatan berat badan anak karena muatan kalorinya kecil. Status Zat Gizi Mikro Zat gizi mikro terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam tubuh, namun mempunyai peran yang sangat esensial untuk kesehatan tubuh. Zat yang esensial tersebut wajib hadir dalam tubuh setiap hari. Apabila jumlah yang kecil tersebut tidak terpenuhi, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan. Zat gizi mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah zat besi (Fe) dan vitamin A yang ada kaitannya dengan respons imun. Kehadiran Fe dan viamin A akan berpengauh terhadap keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin serum (Fs) dan retinol serum (Rs) anak. Hemoglobin (Hb) Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang esensial bagi tubuh. Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Fungsi besi dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O2 dan CO2 , yang berperan dalam metabolisme energi. Apabila tubuh kekurangan zat besi akan berakibat pada kerusakan fungsi imun, terutama pada proses fagositosis dan sel mediate respons imun (Ahluwalia, et al., 2004), serta penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan Ferritin serum (Fs). Pengelompokan Hb didasarkan pada kriteria anemia dan tidak ane mia (normal), yakni Hb <11 g/dL menunjukkan anemia dan Hb >11 g/dL menunjukkan tidak anemia (WHO, 1996). Anemia adalah sebuah kondisi tidak cukup sel darah merah dalam darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Jika kadar Hb sangat rendah, jaringan tubuh tidak memperoleh cukup oksigen. Pengukuran anemia (status besi) pada anak balita dilakukan secara biokimiawi dengan pengambilan darah intravena untuk diketahui konsentrasi Hb-nya. Hasil pengukuran status Hb diawal intervensi terdapat 31,4% anak balita contoh dari kelompok perlakuan yang anemia (Hb <11 g/L), sedangkan pada
84 kelompok plasebo lebih tinggi persentase anak yang Hb-nya <11 g/L yakni 51,4%. Pada akhir intervensi, konsentrasi Hb anak berubah membaik, hanya terdapat 8,6% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada kelompok plasebo yang Hb-nya < 11 g/L. Sebaran Hb awal dan akhir diperlihatkan pada Gambar 19.
Gambar 19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir intervensi Tingginya angka anemia mengindikasikan masih relatif banyak anak balita yang terancam anemia. Hal ini sesuai dengan perolehan data konsumsi Fe sebelum intervensi yang kurang memadai terutama pada kelompok plasebo, sehingga menyebabkan sebagian contoh termasuk dalam kelompok anemia. Intik konsumsi besi yang memadai pun ada kemungkinan contoh terkena anemia apabila terjadi gangguan penyerapan. Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah
85 kurang dari normal menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke beberapa sel tubuh maupun otak. Mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh (Sukirman, 2000; Djikhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa jaringan tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tubuh anak yang rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan anemia menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate respons imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah ketidaknormalan biologis dan merusak sel mediate imunitas dengan peningkatan infeksi (Terlouw et al., 2004). Anemia bagi anak balita akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan zat besi pada anak balita meningkat besar untuk keseimbangan zat besi dalam tubuh sebagai pemeliharaan kesehatan, juga untuk kebutuhan pertumbuhan dan ekspansi masa sel darah merah dan untuk mengcover kehilangan zat besi dari kulit, genitourinary dan saluran gastrointestinal (Zimmermann et al., 2005). Defisiensi besi dapat menurunkan performan fisik yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi oksigen (Kang dan Matsuo, 2004). Tingginya angka anemia anak balita contoh diakibatkan kandungan dan bioavalabilitas Fe pada konsumsi harian sangat rendah, biasanya dari sumber sereal dan kacang-kacangan (Zimmermann et al., 2005). Bioavailabilitas sangat berperan terhadap kejadian anemia di beberapa negara berkembang (WHO, 2001). Berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi pangan bahwa sumber zat besi sebagian besar berasal dari kacang-kacangan dan sayuran hijau sehingga penyerapan zat besi menjadi rendah. Namun status besi dapat meningkat setelah pemberian biskuit fortifikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Stuijvenberg et. al., (1999), bahwa pemberian biskuit fortifikasi dengan zat gizi mikro dapat menurunkan kejadian anemia sebesar 29,6% menjadi 15,6%. Pemberian suplementasi besi selama empat bulan dapat meningkatkan status hematologik dan imunologik (Kang dan Matsuo, 2004).
86 Penelitian pemberian zat besi pada biskuit fortifikasi selama 16 minggu ternyata dapat meningkatkan konsentrasi Hb anak balita contoh. Kondisi anak balita contoh yang anemia berubah, yakni terjadi adanya peningkatan konsentrasi Hb, sehingga sebagian yang Hb- nya rendah menjadi meningkat. Hasil analisis Hb disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Rata-rata Hb dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Hemoglobin (g/dL)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
p
Awal
11,4 + 1,10a
11,1+1,11ab
0,331
Akhir
12,2 + 0,94a
11,3+0,87a
0,001*
b
0,000*
b
Delta
0,67+1,11
0,17+1,05
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05)
Data pada Tabel 25 menggambarkan rata-rata nilai Hb pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 11,4+1,10 g/dL dan untuk kelompok plasebo 11,1+1,11 g/dL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,331) Pada akhir intervensi rata-rata nilai Hb kelompok perlakuan naik menjadi 12,2+0,94 g/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 11,3+0,87 g/dL. Ada perbedaan signifikan antara nilai Hb kelompok perlakuan dengan nilai Hb kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,001). Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Hb sebesar 0,67+1,11 g/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Hb sebesar 0,17+1,05 g/dL. Kenaikan delta nilai Hb kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo. Kenaikan nilai Hb ini karena kenaikan asupan Fe dan vitamin A, yakni kenaikan Fe dari 9,07+4,34 mg menjadi 13,72 +3,91 mg. Lebih tingginya konsumsi vitamin A menurut Suharno et al. (1993) mempunyai kontribusi terhadap naiknya nilai Hb. Penambahan konsumsi Fe dapat meningkatkan konsentrasi Hb (Sari et al., 2001).
87 Ferritin Serum (Fs) Di dalam sel, zat besi berikatan kompleks dengan ferritin yang mudah larut (soluble complex), khususnya di dalam limpa, hati, dan sumsum tulang. Penyimpanan zat besi terbesar terdapat dalam eritrosit. Mobilisasi zat besi dari penyimpanan intraseluler termasuk transfer zat besi dari ferritin ke transferrin. Apabila tubuh kekurangan zat besi (deplesi) maka transpor besi dalam plasma terganggu, terutama untuk pembentukan sel darah merah berkurang, sehingga eritrosit menurun dan selanjutnya konsentrasi Hb akan menurun pula. Kadar ferritin serum ada hubungannya dengan besi (Fe) cadangan dalam tubuh. Ferritin serum merupakan indeks sensitif dari penurunan simpanan zat besi (Ahluwalia et al., 2002). Defisiensi zat besi terjadi apabila konsentrasi ferritin serum <12 µg/l (Ahluwalia, 2002). Pengelompokan kadar ferritin didasarkan pada kriteria WHO (1994), berturut-turut yakni <12 µg/l untuk yang defisien Fe (deplesi zat besi) dan >12 µg/l untuk yang normal. Berdasarkan pengelompokkan tersebut sebaran ferritin serum (Fs) diperlihatkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir intervensi
88 Berdasarkan hasil analisis laboratorium, anak balita contoh dengan kadar ferritin <12 µg/L (deplesi besi) sebesar 34,3% pada kelompok perlakuan dan 28,6% pada kelompok plasebo pada awal intervensi. Hal tersebut menandakan masih relatif banyak anak-anak balita yang mengalami deplesi penyimpanan zat besi. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat besi di dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi ferritin dan Hb. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas bakterisidal neutrofil dan limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, dan respons yang lambat terhadap antigen (Chandra, 1997). Hal tersebut membawa resiko besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak balita apabila tidak segera mendapatkan perbaikan gizi besi (Fe). Anak yang deplesi besi rentan terhadap anemia defisiensi besi. Secara klinis anak yang defisiensi besi sebagai manifestasi dari anemia (Kang dan Matsuo, 2004) Kondisi deplesi besi menurun pada akhir intervensi menjadi 17,1% pada kelompok perlakuan dan 25,7% pada kelompok plasebo. Penurunan deplesi besi lebih besar terjadi pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo, yakni 17,2% terhadap 2,9%. Hasil analisis Fs disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Kadar Ferritin (µg/L)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
p
Awal
17,23 +8,83a
18,21+9,36ab
0,106
Akhir
28,66+15,89a
26,48 +21,05a
0,003*
Delta
b
11,43+4,47
b
8,27+4,55
0,000*
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)
Data pada Tabel 26 menggambarkan rata-rata nilai Fs pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 17,23+8,83µg/L dan untuk kelompok plasebo 18,21+9,36µg/L. Tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai Fs kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,106). Pada akhir intervensi rata-rata nilai Fs kelompbok perlakuan naik menjadi 28,66 + 15,89 µg/L, sedangkan kelompok plasebo menjadi 26,48 +21,05 µg/L.
89 Ada perbedaan signifikan antara nilai Fs kelompok perlakuan dengan nilai Fs kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,003). Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai Fs sebesar 11,43+4,47 µg/L sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Fs sebesar 8,27+4,55 µg/L. Kenaikan delta nilai Fs kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai Fs ini karena intik zat besi yang dapat diserap oleh anak. Pemberian suplementasi besi dapat meningkatkan ferritin serum (Suharno et al., 1993). Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa anak balita contoh kelompok perlakuan cenderung lebih sehat daripada kelompok plasebo. Fakta membuktikan, defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu terhadap resisten infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respons imun yang kurang, karena defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan. Anemia karena defisiensi besi yang tidak segera mendapatkan terapi akan meningkatkan
keparahan
anemia
(severe).
Anemia
yang
parah
dapat
menyebabkan berkembangnya plasmodium falciparum malaria karena sumsum tulang berlarut- larut tertindas oleh residu parasit (Helleberg et al., 2005). Sesuai dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi besi (Oppenheimer, 2001). Retinol Serum (Rs) Defisiensi vitamin A merupakan masalah serius dan masih terus berlangsung di beberapa negara berkembang. Defisiensi vitamin A pada anak-
90 anak berhubungan dengan peningkatan keparahan infeksi dan peningkatan angka kematian. Indikator defisiensi vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West, 1996; Baeten et al., 2004). Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi vitamin A pada balita contoh. Kategori retinol serum (Rs) menurut WHO (1994), yakni konsentrasi retinol serum anak balita berturut-turut <0,35 µmol/l (<10 µg/dl) untuk defisiensi vitamin A dan <0,70 µmol/l (<20 µg/dl) untuk status vitamin A rendah. Menurut Gamble et al., (2004), dikatakan defisien vitamin A jika retinol serum <0,70 µmol/l. Berdasarkan
ketentuan
WHO,
maka
pengelompokan
kadar
Rs
dikategorikan menjadi empat kelompok, yakni (1) <10 µg/dl, defisiensi vitamin A; (2) <20-10 µg/dl, status vitamin A rendah (defisiensi vitamin A subklinis); (3) 20 - 30 µg/dl, status vitamin A marginal; dan (4) >30 µg/dL, status vitamin A baik. Sebaran Rs anak balita contoh ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir intervensi
91 Sebaran nilai kadar retinol serum anak balita contoh berkisar antara (10,947,2) µg/dl. Hanya terdapat 1,4% pada awal intervensi balita contoh yang memiliki retinol 10,9 µg/dL dan hanya 1,4% pula yang memiliki Rs tinggi, yakni 42,7 µg/dl. Terdapat 5,6% anak balita contoh yang memiliki kadar Rs 11 µg/dL. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa pada awal intervensi sebagian besar anak balita memiliki kadar serum retinol yang rendah. Apabila konsumsi anak balita khususnya intik vitamin A tidak diperhatikan dan tidak tertangani dengan baik maka status vitamin A anak-anak tersebut akan terjatuh pada defisiensi vitamin A, dan kecenderungan akan mengakibatkan buta senja apabila konsentrasi retinolnya berkisar 11 µg/dl (Paracha et al, 2000). Estimasi vitamin A didekati dengan plasma retinol (de Pee dan West, 1996), dan konsentrasi plasma retinol menurun bersamaan dengan penyakit infeksi (Reddy et al., 1986; Thurnham dan Singkamani, 1991). Konsentrasi zat gizi yang berkaitan dengan penyakit dapat dinilai dengan vitamin A (Filteau, Morris, dan Abbott., 1993) dan status besi (Witte, 1991). Perbaikan status vitamin A terhadap kelompok defisiensi dapat menurunkan mortalitas anak balita sebesar 23% (Beaten et al., 1992; Solon et al., 2000). Sebaran Rs pada awal intervensi berdasarkan sebaran pada Gambar 21 tidak terdapat satupun anak balita yang serum retinolnya <10 µg/dL (defisien), baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo. Demikian pula pada akhir intervensi, tidak ada satupun terdapat anak yang defisiensi vitamin A. Namun demikian sebagian besar anak balita memiliki serum retinol antara 10-< 20 µg/dL (sub defisien), baik dari kelompok perlakuan maupun plasebo pada awal intervensi. Artinya sebagian besar anak balita mempunyai status vitamin A rendah (52,9% pada kelompok perlakuan dan 31,4% pada plasebo). Terdapat 28,6% anak balita yang memiliki vitamin A yang baik. Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik. Retinol merupakan komponen esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh, termasuk sel epithel dan sel-sel sistem imun (Blomhoff, 1994), berperan dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel (Napoli, 1996).
92 Berdasarkan hasil pemeriksaan status vitamin A secara klinis, bahwa anak balita contoh di wilayah penelitian dapat diindikasikan memiliki masalah defisiensi subklinis vitamin A. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan WHO bahwa suatu masyarakat dikatakan memiliki masalah defisiensi vitamin A subklinis apabila prevalensi serum retinol <0,70 µmol/L (<20 µg/dL) lebih dari 20%. Masyarakat dikatakan bebas masalah KVA apabila status vitamin A pada anak cukup dan prevalensinya <20% dengan serum retinol <0,70 µmol/L (Blomhoff et al.,1992). Setelah intervensi selama empat bulan, status vitamin A anak balita contoh mengalami perbaikan. Sebagian besar anak balita contoh memiliki status vitamin A marginal (retinol: 20 - 30 µg/dL) yakni 47,1% pada kelompok perlakuan dan 48,6% pada plasebo yang sebelumnya adalah defisiensi subklinis. Sebagian lagi memiliki status vitamin A yang baik, yakni 44,1% pada perlakuan dan 42,8% pada plasebo. Namun masih terdapat masing- masing 8,8% anak balita contoh pada kelompok perlakuan dan plasebo yang memiliki status vitamin A rendah (defisien). Dengan kondisi yang demikian, berdasarkan WHO (1994) berarti wilayah penelitian telah terbebas dari masalah vitamin A. Meskip un demikian hal tersebut masih tetap perlu pengawasan yang serius dari orang tua atua pengasuh serta pihak-pihak terkait, seperti kader, bidan desa, Puskesmas, dan dinas kesehatan wilayah setempat untuk tetap memantau kesehatan anak terutama suplai kebutuhan vitamin A terhadap anak. Hal tersebut dimaksudkan agar status vitamin A anak balita tetap baik, tidak jatuh pada kondisi defisiensi vitamin A. Berdasarkan laporan WHO (1995) ada 254 juta anak sekolah beresiko defisiensi vitamin A, dan 50%- nya dari Asia Tenggara. Defisiensi vitamin A di beberapa negara turut bertanggung-jawab terhadap 1-2,5 juta kematian anak setiap tahunnya dan lebih 500.000 kebutaan (Somer, 1982). Nilai rata-rata retinol dan hasil uji disajikan pada Tabel 27. Data pada Tabel ini menggambarkan rata-rata nilai Rs pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 19,13+4,87 µg/dL dan untuk kelompok plasebo 24,96+9,35 µg/dL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi (p = 0,051).
93 Tabel 27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Uji Perbandingan Rata-Rata Kadar Retinol (µg/dL)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
P
Awal
19,13 +4,87a
24,96+9,35ab
0,051
Akhir
29,26+7,63a
29,35+7,70ba
0,176
b
Delta
10,12+7,84
b
4,38+7,72
0,00*
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji t (p<0,05).
Pada akhir intervensi rata-rata kadar Rs kelompok perlakuan meningkat menjadi 29,26+7,63 µg/dL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 29,35+7,70 µg/dL. Tidak ada perbedaan signifikan antara nilai Rs kelompok perlakuan dengan nilai Rs kelompok plasebo pada akhir intervens i (p = 0,176). Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan kadar Rs sebesar 10,12+7,84 µg/dL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai Rs sebesar 4,38+7,72 µg/dL. Kenaikan delta nilai Rs kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,00). Kenaikan nilai Rs ini karena kenaikan asupan vitamin A hasil dari biskuit fortifikasi. Karenanya pemeliharaan status vitamin A sangat perlu bagi anak balita (kelompok beresiko) sebab defisiensi vitamin A sangat berpengaruh terhadap percepatan terjadinya infeksi Respons Imun (Immunoglobulin G) Respons imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap tetanus pada sampel darah anak setelah pemberian booster DPT. Pengukuran titer IgG total terhadap tetanus dianalisis dengan metode ELISA di laboratorium terakreditasi, Laboratorium Endokrinologi Makmal Terpadu FKUI. Hasil pengukuran titer imunoglobulin G (IgG) total terhadap tetanus dalam darah yang dilakukan pada anak balita sebanyak 30 anak memberikan hasil yang bervariasi. Titer IgG total terhadap tetanus berkisar antara 1,00 IU/ml sampai 1,725 IU/ml. Kriteria IgG total terhadap tetanus dikelompokkan menjadi tiga (Kunarti, 2004) yakni: (1) 0,0 – 1,0 IU/ml adalah kadar titer IgG rendah, (2) >1,0 – 1,5 IU/ml adalah kadar titer IgG cukup, dan (3) >1,5 IU/ml adalah kadar titer IgG tinggi.
94 Pada Gambar 22 disajikan sebaran rata-rata titer IgG Total. Pada awal intervensi, sebagian besar anak balita telah mempunyai titer yang cukup, hanya ada 1(6,67%) pada kelompok perlakuan dan 2 (13,33%) pada kelompok plasebo yang titernya IgG Totalnya rendah. Sebagian lagi anak balita telah memiliki titer IgG Total yang tinggi.
Gambar 22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir intervensi Pada akhir intervensi terjadi peningkatan titer IgG baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok plasebo. Tidak ada satupun anak balita contoh yang memiliki kadar titer IgG yang rendah di akhir intervensi. Sebagian besar anak balita contoh (86,67%) pada kelompok perlakuan dan 66,67% pada kelompok plasebo memiliki titer IgG tinggi, dan hanya 13,33% saja anak balita dari kelompok perlakuan memiliki titer IgG cukup. Namun pada kelompok plasebo, anak balita yang memiliki titer IgG cukup masih relatif tinggi, yakni ada 33,33% Peningkatan titer IgG disajikan pada Tabel 28.
95 Pada Tabel 28, tampak bahwa titer IgG pada kelompok perlakuan di akhir intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok plasebo, artinya peningkatan titer IgG pada kelompok perlakuan lebih besar daripada kelompok plasebo. Titer IgG yang telah dimiliki anak pada awal intervensi sebagian besar (90,0%) lebih dari 1,00 IU/ml, dan diakhir intervensi semua anak balita contoh (100%) titer IgG- nya >1,00 IU/ml. Dengan memiliki titer IgG tersebut, mereka telah cukup terlindungi sampai beberapa tahun mendatang dan ini perlu penelitian lanjutan. Menurut Kunarti (2004) bahwa titer IgG yang tinggi mampu melindungi anak selama kurang lebih lima tahun kedepan. Tingginya pembentukan titer IgG diakibatkan karena semua anak balita contoh telah terpapar oleh imunisasi. Studi yang dilakukan oleh Nelson (1978), Cellist, et al., (1989), Galazka dan Kardymowitcz (1989) disebutkan titer tingkat 0,1 IU/ml adalah sangat protektif dalam perlindungan terhadap penyakit infeksi. Tabel 28. Rata-rata Titer IgG Total dan Hasil Uji Perbandingan Rata-rata IgG Total (IU/mL)
Kelompok Perlakuan (n=35)
Kelompok Plasebo (n=35)
p
Awal
1,4+0,2a
1,4+0,2ab
0,142
Akhir
1,6+0,1a
1,5+0,1a
0,006*
Delta
0,2+0,2b
0,1+0,2b
0,000*
* p<0,05 Keterangan: huruf superscript yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda bermakna pada uji t (p<0,05)
Hasil penelitian di Rusia pada tahun 2000an yang dilakukan oleh Markina et al., (2000), Nekrassova et al., (2000), Filonov et al., (2000), dan Magdei et al., (2000) diungkapkan bahwa status imunisasi merupakan faktor yang berperan untuk terbentuknya titer imunoglobulin. Penelitian Setiawan et al., (1993) di Jakarta, bahwa kadar protektif anak akan terbentuk setelah diimunisasi tiga kali berkisar antara 68,3-81%. Rata-rata dan hasil uji IgG yang disajikan pada Tabel 28 menggambarkan rata-rata nilai IgG pada awal intervensi pada kelompok perlakuan 1,4+0,1 IU/mL dan untuk kelompok plasebo 1,4+0,1 IU/mL. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan dan plasebo pada awal intervensi
96 (p = 0,142). Sedangkan pada akhir intervensi rata-rata nilai IgG kelompok perlakuan naik menjadi 1,6+0,1 IU/mL, sedangkan kelompok plasebo menjadi 1,5+0,1 IU/mL. Ada perbedaan signifikan antara nilai IgG kelompok perlakuan dengan nilai IgG kelompok plasebo pada akhir intervensi (p = 0,006). Pada kelompok perlakuan terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,2+0,2 IU/mL sedangkan pada kelompok plasebo terjadi kenaikan nilai IgG sebesar 0,1+0,2 IU/mL. Kenaikan delta nilai IgG kelompok perlakuan secara signifikan lebih tinggi dari kelompok plasebo (p = 0,000). Kenaikan nilai IgG ini diduga karena kenaikan status vitamin A dan besi anak balita . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan titer IgG pada anak balita kelompok perlakuan tersebut diduga akibat adanya penambahan vitamin A dan Fe dari mengkonsumsi biskuit fortifikasi. Kandungan vitamin A dan Fe mampu meningkatkan antibodi anak, khususnya imunoglobulin G Total. Mengingat sinergisme vitamin A dan zat besi dapat meningkatkan Hb, ferritin dan retinol anak. Dengan peningkatan status gizi mikro anak dapat meningkatkan respons imun anak. Dengan memiliki respons imun yang baik, anak menjadi tidak mudah terinfeksi, sebab tubuh anak mampu merespons antigen yang menghampiri tubuhnya. Kalaupun anak terpapar, kecenderungan kondisi anak tidak mudah menjadi parah. Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun Faktor yang Berpengaruh terhadap Pe mbentukkan Titer Imunoglobulin G Pemberian imunogen/antigenis, baik dari imunisasi maupun booster akan menimbulkan respons imun yang diawali pembentukkan serokonversi antibodi. Banyaknya antibodi yang dihasilkan tergantung dari morbiditas dan status gizi mikro anak. Respons imun dalm hal ini dinampakkan sebagai kekebalan tubuh terhadap penyakit. Terjadinya respons imun melibatkan antibodi, antara lain imunoglobulin G. Konsep pembentukkan titer IgG dari hasil studi pustaka disajikan pada Gambar 23.
97
Respons Imun (Pembentukkan Titer Imunoglobulin G) Interval Pemberian Revaksinasi (Booster) Serokonversi Antibodi Potensi vaksin, Rantai dingin
Infeksi dan penyakit
Imunisasi dan Maternal antibodi
Status Vitamin A dan Besi (Fe)
Intik Vitamin A dan Fe
Gambar 23. Faktor- faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G Berdasarkan penjelasan tersebut, meskipun anak telah mendapatkan pemberian booster, akan menghasilkan titer IgG yang berlainan sejalan dengan faktor yang berpengaruh antara lain: (1) kualitas potensi vaksin, (2) imunisasi, (3) interval waktu pemberian booster, (4) infeksi, (5) status vitamin A dan besi. Kualitas potensi vaksin, iminisasi, dan interval waktu pemberian booster kepada responden pada saat penelitian kondisinya disamakan. Vaksin DPT yang diberikan kepada anak balita diambil dari PT. Biofarma Bandung yang memiliki kualitas potensi yang baik. Pemeliharaan terhadap potensi vaksin dapat dilakukan dengan cara pengelolaan ya ng baik dari vaksin didistribusi selama perjalanan dan penyimpanan hingga vaksin sampai kepada sasaran. Vaksin yang diberikan kepada anak dikenal sebagai antigen sehingga pertahanan awal akan terbentuk,
98 yakni timbulnya respons imun non-spesifik humoral. Kekebalan yang terbentuk akan mudah diukur. Dosis booster yang diberikan kepada anak sama, yakni 0,5 mg. Pemberian imunisasi berpengaruh terhadap pembentukkan antibodi anak. Pembentukkan antibodi dengan imunisasi bersifat humoral maka jumlah dan dosis sangat berperan untuk mempertahankan sampai titer yang terbentuk protektif. Interval waktu pemberian booster berpengaruh terhadap terbentuknya titer IgG. Interval yang terlalu pendek akan menyebabkan terjadinya proses fagositosis. Sebaliknya, interval terlalu panjang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan sel yang memungkinkan terganggunya pembentukkan antibodi. Interval pemberian dosis booster sampai dengan analisis imunoglobulin yakni 12 hari, dengan pertimbangan tepat pada pertengahan pembentukan IgG terbesar pada interval waktu 10-14 hari setelah pemberian antigen. Infeksi dapat muncul cepat apabila tubuh anak terjadi defisiensi zat gizi, khususnya zat gizi mikro seperti defisiensi vitamin A dan za besi (Fe) diyakini berpengaruh terhadap pertaha nan tubuh anak. Anak yang defisiensi zat gizi akan lebih mudah terpapar bila terkena penyakit. Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat berpengaruh terhadap respons imun, namun bagian mana dari tubuh yang secara langsung dipengaruhi perlu penelitian imunitas yang biayanya sangat mahal. Sampai saat ini belum banyak penelitian ke arah tersebut. Pada penelitian yang dilakukan hanya sebatas akibat dari penambahan vitamin A dan zat besi terhadap peningkatan titer imunoglobulin G. Defisiensi vitamin A dan zat besi diyakini dapat menurunkan respons terhadap infeksi. Defisiensi vitamin A dapat merubah permukaan membran glikoprotein yang dapat mengganggu pengikatan antigen. Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun •
Infeksi Infeksi dapat diakibatkan oleh lingkungan yang padat dan kumuh, yang
memberikan kontribusi personal higiene yang kurang sehingga dapat berpengaruh terhadap tingginya angka infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi merupakan
99 problem yang umum dijumpai pada anak-anak. Defisiensi zat gizi memberi peluang tubuh terhadap mudahnya terkena penyakit infeksi. Pada saat tubuh terinfeksi, sistem imun sel menurun dan respons antibodi tidak memadai. •
Hemoglobin (Hb) Kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok berkisar antara 8,9-13,6 g/L.
Kadar rata-rata Hb pada kelompok perlakuan secara nyata lebih tinggi daripada rata-rata Hb kelompok plasebo. Perbedaan kadar rata-rata Hb dari kedua kelompok tersebut signifikan (p = 0,00). Kondisi anemia pada anak akan berpengaruh terhadap pembentukan imunoglobulin. Kondisi kadar Hb darah yang kurang dari normal dapat menyebabkan kurangnya oksigen yang ditransportasikan ke beberapa sel tubuh maupun otak, mengingat fungsi Hb adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh (Sukirma n, 2000; Djikhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan Hb atau anemia menyebabkan kerusakan fungsional beberapa jaringan tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan gejala 5L, yakni lemah, letih, lesu, lunglai, lelah. Akibatnya dapat menurunkan daya tahan tubuh anak balita sehingga rentan terhadap penyakit. Zat besi berperan penting dalam sistem imun dan anemia dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya sel mediate respons imunologik (Weiss et al., 1995). Anemia penyebab sejumlah ketidaknormalan bio logis dan merusak sel mediate imunitas dengan terjadinya peningkatan infeksi (Terlouw et al., 2004). •
Ferritin Serum (Fs) Delta Rata-rata konsentrasi ferritin pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan plasebo (11,43+4,47 terhadap 8,27+4,55) µg/L. Artinya intervensi biskuit fortifikasi mampu meningkatkan status besi anak balita. Hal tersebut terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar ferritin anak balita. Zat besi esensial untuk pertumbuhan/proliferasi bakteri dan mikroorganisme. Kehadiran zat besi harus ada setiap hari dalam sumsum tulang untuk pembentukan Hb. Penurunan kadar Fe plasma secara tiba-tiba dapat menyebabkan infeksi akut. Artinya, banyak bakteri yang mempunyai kesanggupan mensekresi siderofore.
100 Siderofore merupakan suatu sekret mikroorganisme yang sifatnya suka terhadap Fe dari hemoglobin. Siderofore tersebut dapat mengikat Fe dalam media sekitarnya sehingga meningkatkan dayaguna untuk bakteri/jamur, seperti escheria coli, basilus subtilis, v. Cholera, pseudomanas B 10, streptomyces pilosus, dan lain- lain. Tubuh yang defisiensi Fe (deplesi) menyebabkan transport besi dalam plasma terganggu, terutama untuk keperluan pembentukan darah merah (eritrosit) berkurang. Apabila eritrosit berkurang/ menurun maka konsentrasi Hb akan menurun pula. Defisiensi zat besi sebagian besar terjadi karena ketidakhadiran zat besi dalam makrofag di dalam sumsum tulang. Selama infeksi terjadi penurunan konsentrasi Hb dan kadar ferritin. Defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas bakterisidal neutrofil dan limfosit, kerusakan respons proliferasi limfosit dan antigen, serta respons yang lambat terhadap antigen (Chandra, 1997). •
Serum Retinol (Rs) Delta peningkatan kadar retinol dalam serum kelompok perlakuan secara
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (10,12+7,84 terhadap 4,38+7,72) µg/dL. Perbedaan delta tersebut secara statistik signifikan (p<0,05), artinya intervensi biskuit fortifikasi dapat meningkatkan status vitamin A anak balita, terbukti secara statistik adanya peningkatan kadar retinol. Vitamin A berperan penting dalam beberapa proses metabolik tubuh. Retinol merupakan komponen esensial dari rodopsin, pigmen retina khususnya dalam penglihatan. Vitamin A berfungsi dalam beberapa sel dan jaringan tubuh, termasuk sel epithel dan sel-sel sistem imun (Blomhoff, 1994), serta berperan dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi sel (Napoli, 1996). Vitamin A (retinaldehida) pada tingkat sel berfungsi dalam penglihatan dan vitamin A (asam retinoat) dalam inti sel sangat diperlukan untuk membantu ekspresi gen dan bersamaan dengan messenger RNA (mRNA) berfungsi dalam pembentukan imunoglobulin (Wiedermann et al., 1993).
101 •
Imunoglobulin G (IgG) Hubungan antara defisiensi vitamin A dan zat besi (Fe) serta status
vitamin A dan besi (status gizi mikro), infeksi, dan respons imun bersifat sinergisme. Kondisi defisiensi vitamin A dan Fe akan menyebabkan peluang terhadap penyakit infeksi meningkat dan akan memperberat jalannya penyakit karena adanya penekanan respons imun. Interaksi antara infeksi, status gizi mikro, dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum yang dapat mengganggu ekspresi gen dalam fungsinya membantu pembentukan imunoglobulin, demikian juga pada kondisi defisiensi zat besi akan menyebabkan anemia yang dapat mengganggu terbentuknya hemoglobin; (2) Pada kondisi infeksi: terjadi anemia dan defisiensi vitamin A sehingga terjadi percepatan infeksi; (3) Pada respons imun terjadi penurunan imunitas mukosa, gangguan fungsi fagosit, dan respons antibodi (imunoglobulin G) tidak memadai (Suyitno, 1985). Dalam interaksi terdapat hubungan yang erat antara status vitamin A dan besi, infeksi, serta respons imun. Pada defisiensi vitamin A dan Fe maka respons imun akan menurun serta frekuensi dan beratnya infeksi akan meningkat. Pada infeksi akan memperberat defisiensi vitamin A dan Fe serta menurunkan respons imun. Pada defisiensi respons imun penyebab kerentanan tubuh inang terhadap penyakit. Apabila defisiensi vitamin A dan Fe terjadi bersamaan akan saling memperberat dan kompeten respons imun juga dapat terganggu. Status gizi besi berperan dalam maintenance respons imun. Dengan demikian, anak yang defisiensi besi secara langsung memiliki respon imun yang tidak baik, karena defisiensi besi, infeksi, dan respons imun saling berkaitan. Anak yang IgGnya bagus, ternyata memiliki konsentrasi Hb yang baik, kadar ferritin dan retinol yang baik juga. Dan anak tersebut selalu sehat serta jarang terpapar infeksi. Sebaliknya anak yang sering sakit (terpapar infeksi) ternyata memiliki konsentrasi Hb yang rendah dan kadar ferritin serta retinolnya juga rendah dan imunoglobolinnya juga tidak tinggi. Sesuai dengan pendapat tersebut, Oppenheimer (2001) menggeneralisasikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada
102 anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Menurutnya, defisiensi besi saling berkaitan dengan ketidaknormalan fungsi imun, namun sulit digambarkan relevansi dan tingkat keparahannya dalam studi observasi. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001). Betapa besar pentingnya pengaruh vitamin A dan Fe terhadap kesanggupan tubuh untuk menangk is mikroorganisme penyebab timbulnya infeksi. Fungsi imunologi sangat penting, namun penelitian imunitas belum banyak dilakukan, artinya belum sistematik dan komprehensif. Masih banyak penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini.
KadarIgGTotal(IU/mL)
Awal 1.65
Akhir
1.6
1.6 1.55
1.5
1.5 1.45
1.4
1.4
1.4 1.35 1.3
Perlakuan
Plasebo
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian vitamin A dan zat besi (Fe) dosis rendah harian dapat meningkatkan status vitamin A, status besi, dan respons imun anak balita. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian biskuit fortifikasi kepada anak balita selama 16 minggu (4 bulan) di wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor memberikan dampak sebagai berikut: 1. Intik konsumsi vitamin A dan zat besi (Fe) secara nyata meningkat lebih tinggi (p<0,05). 2. Pasca intervensi, kadar hemoglobin dan ferritin secara nya ta lebih tinggi (p<0,05) pada kelompok perlakuan daripada plasebo. Peningkatan tersebut dampak dari fortifikan vitamin A dan zat besi (Fe) yang dapat diserap oleh anak. 3. Kadar retinol lebih tinggi peningkatannya (p<0,05) setelah pemberian biskuit fortifikasi, yang dapat menunjukkan penyerapan vitamin A yang baik. 4. Tidak terdapat peningkatan status gizi anak secara antropometri (p>0,05) baik pada kelompok perlakuan maupun plasebo. 5. Pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan respons imun anak balita yang lebih tinggi (p<0,05) setelah pemberian biskuit fortifikasi.
Saran 1. Biskuit fortifikasi dapat digunakan sebagai makanan alternatif bagi anak balita untuk meningkatkan status gizi mikro. 2. Untuk menghindari kebosanan anak terhadap biskuit maka perlu divariasikan bentuk dan cita rasanya. 3. Perlu dilakukan penelitian efektifitas biskuit fortifikasi. 4. Perlunya dilakukan penelitian imunitas pada program-program bantuan pangan pemerintah untuk anak balita.
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 2000. Fourth Report on the World Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN in collaboration with the International Food Policy Research Institute. ACC/SCN. 2002. Ending Malnutrition by 2020: an Agenda for Change in the Mellinium. Final Report of the ACC/SCN’s Commission on Nutrition. Geneva. Aguayo VM, Baker SK, Crespin X, Hamani H, dan Taibou AM. 2005. Maintaining High Vitamin A Supplementation Coverage in Children: Lessons from Niger. Aguayo et al. 2005. Food and Nutrition Bulletin; 26(1):26-31. Ahluwalia N, Sun J, Krause D, Mastro A, dan Handte G. 2004. Immune Fuction is Impaired in Iro-deficient, Homebound, Older Women. Am J Clin Nutr; 79:516-21. Ahmed F, Jones DB, dan Jackson AA. 1990. The Interaction of Vitamin A Deficiency and Rotavirus Infection in The Mouse. Brit J Nutr 63: 363-373. Allen LH, Gillespie SR. 2001. What Works? A Review of the Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. UN. ACC/SCN. ADB Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Baratawidjaja, Karnen dan Garna. 2002. Imunologi. Balai Penerbit FKUI, edisi 5. Jakarta Beaton GH, Martorell R, L’Abbe KA, Edmonston B, McCabe G, Ross AC, dan Harvey B. 1993. Effectiveness of Vitamin A Supplementation in The Control of Young Child Morbidity and Mortality in Developing Countries. ACC/SCN State of the Art Series: Nutrition Policy Discussion Paper No. 13. United Nations. Geneva. Beaten JM, Richardson BA, Bankson DD, Wener MH, Kreiss JK, Lavreys L, Mandaliya K, Bwayo JJ, dan McClelland RS. 2004. Use of Serum Retinolbinding Protein for Prediction of Vitamin A Deficiency: Effects of HIV-1 Infection, Protein Malnutrition, and The Acute Phase Response. Am J Clin Nutr; 79:218-25 Beisel WR. 1988. Nutrition, Infection, Specific Host Defense: A Complex Interaction in Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. Marcel Dekker Inc, New York.
105 Bellanti JA dan Joseph VK. 1993. Prinsip-prinsip Imunologi dalam Imunologi. Penyunting Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 1-17. Yogyakarta. Bernier GM. 1993. Antibodi dan Imunoglobulin, Struktur dan Fungsi. Penyunting Noerhayati Soeripto. Gajah Mada University Press, h 96-113. Yogyakarta. Blomhoff R, Green MH, dan Norum KR. 1992. Vitamin A: Physiological and biochemical processing. Ann Rev Nutr 12: 37-57. Bowman TA, Goonewardene IM, Pasatiempo AMG, Ross AC, and Taylor CE. 1990. Vitamin A deficiency decreases natural killer cell activity and interferon production in rats. J Nutr 120: 1264-1273. Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry, Second Edition. Academic Press. New York. Brown KH, Rajan MM, Chakraborty J, Aziz KMA, dan Phil M. 1980 Failure of a Large Dose of Vitamin A to Enhance The Antibody Response To Tetanus Toxoid in Children. Am J Clin Nutr 33: 212-217. Brune M, Rossander L, Hallberg L. 1989. Iron Absorption and Phenolic Compounds: Importance of Different Phenolic Structure. Eur J Clin Nutr. 43: 547-58. Chandra RK. 1997. Nutrition and The Immune System: an Introduction. American Journal of Clinical Nutrition, 66: 460S – 463S. Chandra RK. 1999. Nutrition and Immune Responses: What do we Know?. Nutrition and Immune Function. National Academy Press, p: 205-220. Washington DC Chandra R.K. 1973. “Reduced Bactericidal Capacity of Polymorphs in Iron Deficiency”. Arch. Dis. Child, 48:863-866. Chandra R.K. 1992. Effect Vitamin and Trace-element Supplementation on Immune Response and Infection in Elderly Subjects. Lancet; 340:1124:7. Cochran, WG. 1977. Sampling Techniques, 3rd edition. Wiley. New York. Cohen BE, dan Elin RJ. 1974. Vitamin A-Induced Nonspecific Resistance To Infection. J Infect Dis 129: 597-600. Cohen BE, Cohen IK. Vitamin A: adjuvant and steroid antagonist in the immune response. J Immunol 1973; 111:1376-80.
106 Cook JD. 1994. Iron Deficiency Anaemia. Baillieres Clin Haematol. 7:787-804. Coutsoudis A, Kiepiela P, Coovadia HM, dan Broughton M. 1992. Vitamin A Supplementation Enhances Specific IgG Antibody Levels and Total Lymphocyte Numbers While Improving Morbidity in Measles. Pediatr. Infect. Dis. J. 11(3): 203-209. Cusick SE, Tielsch JM, Ramsan M, Jape JK, Sazawal S, Black RE, dan Stolfzfuz R. 2005 Short-term Effects of Vitamin A and Antimalarial Treatment on Erythropoiesis in Severely Anemic Zanzibari Preschool Children. Am J Clin Nutr; 82:406-12. Dawiesah SI. 1989. Petunjuk Laboratorium Penentuan Nutrient dalam Jaringan dan Plasma Tubuh. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta DeLuca LM. 1991. Retinoids and Their Receptors in Differentiation, Embryogenesis, and Neoplasia. FASEP J5: 2924-2933. De Pee S, Dary O. 2002. Biochemical indicators of vitamin A deficiency: serum retinol and serum retinol binding protein. J Nutr, 132(9 suppl):2895S2901S [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004 Menuju Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Dirjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1997. Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Vaksin. Dirjen Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI.1996. Pedoman Pemantauan Status Gizi melalui Posyandu. Jakarta. Dijkhuizen MA dan Wieringa FT. 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Deficiency in Indonesia, Micronutrient Interactions and Effects of Supplementation. Thesis Wageningen University,-With References-With Summaries in Dutch and Indonesian. Erdman JW 1988. Nutrient interactions. Bodwell (Ed).dalam Koessler, et al.,1926. The relation of anemia primary and secondary, to vitamin A deficiency. J. Am. Med. Assoc. 87:476. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.
107 Filonov VP, Zakharenko DF, Vitek CR, Romanovsky AA, Zukhovski VG. 2000. Epidemic Dhiphtheria in Belarus, 1992-1997. J Infect. Dis; 181 (suppl): S41-46. Finkelman FD, Holmes J, Katona IM, Urban Jr JF, Beckmann MP, Park LS, Schooley KA, Coffman RL, Mosmann TR, dan Paul WE. 1990. Lymphokine Control of In Vivo Immunoglobulin Isotype Selection. Annu Rev Immunol 8: 303-332. Galazka AM. 1993. Modul I General Immunology. WHO. Genewa. Gershwin ME, German JB, dan Keen CL.1984. Nutrition and Immunology. Principles and Practice. Humana Press. Totowa. New Jersey. Gibson R. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. Oxford. Gillespie SR. 2000. Strengthening Capacity to Improve Nutrition. Paper prepared for the Asian Development Bank-IFPRI Regional Technical Assistance Project 5824 Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the Pacific. International Food Policy Research Institute. Washington DC. Gillespie SR. 1997. Malnutrition in South Asia: A Regional Profile. UNICEF, Regional Office for South Asia. Gillespie SR, Haddad L. 2001. Attacking the Double Burden of Malnutrition in Asia and the Pacific. Synthesis of the Regional Technical Assistance Project 5824 on Nutrition Trends, Policies and Strategies in Asia and the Pacific. Asian Development Bank. Manila. Goodhart RS dan ME Shils. 1980. Modern Nutrition in Health and Disease. Lea & Febiger. Philadelphia. Gopaldas T. 2005. Improved Effect of School Meals with Micronutrient Supplementation and deworming. Grantham MS dan Ani C. 2001. A Review of Studies on The Effect of Iron Deficiency on Cognitive Development in Children. Journal of Nutrition 131 (2S-2): 649S-666S; Discussion 666S-668S. Griffin DE, Ward BJ, Lauregui E, Johnson RT, dan Vaisberg A. 1990. Natural Killer Cell Activity During Measles. Clin exp Immunol 81: 218-224. Goldenberg IR. 2003. The Plausibility of Micronutrient Deficiency in Relationship to Perinatal Infection. The American Society for Nutritional Sciences J. Nutr. 133:1645S-1648S.
108 Hardinsyah dan Briawan.1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Hardinsyah, Amalia L dan Setiawan B. 2002. Fortifikasi Tepung dan Minyak Goreng. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, Komisi Fortifikasi Nasional (KFN), ADB-Manila & Keystone CenterUSA. Helleberg M, Goka BQ, Akanmori BD, Obeng-Adjei G, Rodriques O, Kurtzhals JAL. 2005. Bone marrow suppression and severe anaemia associated with persistent Plasmodium falciparum infection in African children with microscopically undetectable parasitaemia. Malar J. 2005; 4: 56. Published online 2005 December 1. doi: 10.1186/1475-2875-4-56. (http://www. pubmedcentral.gov/redirect3.cgi?&&reftype=extlink&artid=1315355&iid =18191&jid=98&&http://creativecommons.org/licenses/by/2.0 [18/09/06]. High KP, Legault C, Sinclair JA, Cruz J, Hill K, dan Hurd D. 2002. Low Plasma Concentrations of Retinol and ∝-Tokopherol in Hematopoietic Stem Cell transplant Recipients: The Effect of Mucositis and The Risk of Infection. Am J Clin Nutr; 76:1358-66. Hoa PT, Khan NC, Beusekom CV, Gross R, Conde Wl, dan Khoi HD. 2005. Milk Fortified with Iron or Iron Supplementation to Improve Nutrition Status of Pregnant Women: An Intervention Trial from Rural Vietnam. Food and Nutrition Bulletin; 26(1):32-38. Hodges RE. Sauberlich RE, Canham J.E. 1978. Haematopoietic studies in Vitamin A Deficiency. Am J Clin Nutr, 31: 876-85. IDGR/IAC. 1996. Micronutrient Fortification of Foods; Current Practices, Research, and Opportunities. The Micronutrient Initiative, International Agricultural Centre. Netherlands. IFPRI, UNSSCN. 2000. The World Nutrition Situation: Nutrition Throughout the Life Cycle. 4th Report P: 136 INACG. 2002. Anemia, Iron Deficiency, & Iron Deficiency Anemia. US. America Jahari AB, Sandjaya, Sudiman, Soekirman, Juss’at, Latief, Atmarita. 2000. Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data Antropometri Susenas 1989-1999). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.
109 Jiang R, Ma J, Ascherio A, Stampfer MJ, Willett WC, dan Hu FB. 2004. Dietary Iron Intake and Blood Donations in Relation to Risk of Type 2 Diabetes in Men: A Prospective Cohort Study. Jiang et al. 2004. Am J Clin Nutr; 79:70-5. Kang dan Matsuo 2004. Effects of 4 weeks Iron Supplementation on Haematological and Immunological Status in Elite Female Soccer Players. Asia Pac J Clin Nutr; 13(4):353-358. Kinoshita M, Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Immunological Memory to Tetanus Toxoid is Established and Maintained In The Vitamin A-Depleted Rat. FASEB J 5: 2473-2481. Kodyat, BA., Djokomoelyanto, D. Karyadi, Tarwotjo, Muhilal, Husaini, dan A. Sukaton. 1991. Micronutrient Malnutrition Intervention Program An Indonesia Experience. Ministry of Health. Directorate General of Community Health. Directorate of Community nutrition. Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Krishnan S, Bhuyan UN, Talwar GP, dan Ramalingaswami V. 1974. Effect of Vitamin A and Protein-Calorie Undernutrition on Immune Responses. Immunol 27: 383-392. Kunarti U. 2004. Pembentukan Titer Imunoglobulin G Difteri pada Anak Sekolah (Studi Kasus di Kota Semarang). Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro semarang. Kusmiyati DK dan Muis F. 2001. Pengaruh Gizi Terhadap Daya Tahan Tubuh. Media Medika Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Vol 36:1. Kuvibidila S.R, 1980. “Effect of Iron Deficiency Anemia on the Immune Function” (Ph,D. thesis, Massachusetts Institute of Technology, Mass., USA). Lartey A, Manu A, Brown KH, Peerson JM, Dewey KG. 1999. A randomized, community based trial of the effect of improved, centrally proccessed complementary foods on growth and micronutrient status of Ghanaian infants from 6 to 12 mo of age. American Journal of Clinical Nutrition, 70: 391-404. Lavasa S, Kumar L, Chakravarti RN, dan Kumar M. 1988. Early Humoral Immune Response In Vitamin A Deficiency - An Experimental Study. Indian J exp Biol 26: 431-435.
110 Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI. Press. Jakarta. Ma A, Chen X, Zheng M, Wang Y, Xu R, Li J. 2002. Iron Status and Dietary Intake of Chinese Rregnant Women with Anaemia in the Third Trimester. 11(3): 171-175. Mahalanabis et al. 2004 Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled Clinical Trial of The Efficacy of Treatment with Zinc or Vitamin A in Infants and Young Children with Severe Acute Respiratory Infection. Am J Clin Nutr; 79:430-6. Malaba LC, Illif PJ, Nathoo KJ, Marinda E, Moulton LH, Zijenah LS, Zvandasara P, Ward BJ, Zvitambo SG, dan Humphrey JH. 2005. Effect of Postpartum Maternal or Neonatal Vitamin A Supplementation on Infant Mortality among Infants Born to HIV-negatif Mothers in Zimbabwe. Am J Clin Nutr; 81:454-60. Maqsood M, Dancheck B, Gamble MV, Palafox NA, Ricks MO, Briand K dan Semba RD. 2004. Vitamin A deficiency and inflammatory markers among preschool children in the Republic of the Marshall Islands. Nutrition Journal, 3; 21:10.1186/1475-2891-3-21. Magdei M, Melnic A, Benes O, Bukova V, Chicu V, Sohotski V. 2000. Epidemiology and Control of Diptheria in the Republic of Moldova, 19461997. J Infect. Dis; 181 (suppl): S47-54. Markina SS, Maksimova NM, Vitek CK, Bogatireva EY, Monisov AA. 2000. Diptheria in the Russian Federation in the 1990s. J Infect. Dis; 181 (suppl): S27-34. Martorrel R, 1995. Promoting Healthy Growth: Rational and Benefits. Dalam Child Growth and Nutrition in Developing Countries. Andersen PP, Pelletier D, dan Alderman H. Cornell University Press. Ithaca and London. Motarjemi Y, Kaferstein F, Moy G, dan Quevedo F. 1993. Contaminated Weaning Food: a Major Risk Factor for Diarrhoea and Associated Malnutrition. WHO Bulletin OMS. Volume: 77: 79-92. Muhilal, Murdiana A, Azis I, Saidin S, Jahari AB, Karyadi, D. 1988. Vitamin A fortified monosodium glutamate and vitamin A status: A controlled field trial. American Journal of Clinical Nutrition 48: 1265-70. Muhilal. 2001. The Consequences of Vitamin A Deficiency in Children. Gizi Indonesia 25: 30-36.
111 Natakusuma S. 1998. Strategi Fortifikasi Pangan. Makalah pada WKNPG VI tanggal 19 Februari. Jakarta: LIPI. Nauss KM dan Newberne PM. 1985 Local and Regional Immune Function of Vitamin A-Deficient Rats With Ocular Herpes Simplex Virus (HSV) Infections. J Nutr 115: 1316-1324. Nauss KM. 1986. Influence of Vitamin A Status on The Immune System. In Bauernfeind CJ, ed. Vitamin A Deficiency and its Control. NY: Academic Press, Inc., pp. 207-243. Nekrassova LS, Chudnaya LM, Marievski VF, Oksiuk VG, Gladkaya E, Bortnitska II. 2000. Epidemic Diphtheria in Ukraina. J Infect. Dis; 181 (suppl): S35-40. Olson JA, 1991. Vitamin A. Di dalam: Machlin LJ, editor. Handbook of vitamin. Ed ke-2. Dekker. Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease. Journal of Nutrition; 131:616S-635S Panth M, Shatrugna V, Yasodhara P, Sivakumar B. 1990. Effect of vitamin A supplementation on haemoglobin and vitamin A levels during pregnancy. Brit. J. Nutr: 64; 2; 351-8. Paracha PI, Jamil A, Northrop-Clewes CA, Thurnham DI. 2000. Interpretation of Vitamin A Status in Apparently Healthy Pakistani Children by Using Markers of Subclinical Infection.. Am J Clin Nutr;72:1164-9. Pasatiempo AMG, Kinoshita M, Taylor CE, dan Ross AC. 1990. Antibody Production In Vitamin A-Depleted Rats Is Impaired After Immunization With Bacterial Polysaccharide or Protein Antigens. FASEB J 4: 25182527. Pasatiempo AMG, Taylor CE, dan Ross AC. 1991. Vitamin A Status and The Immune Response to Pneumococcal Polysaccharide: Effects of Age and Early Stages of Retinol Deficiency In The Rat. J Nutr 121: 556-562. Phillips M dan Sanghvi TG. 1996. The Economic Analysis of Nutrition Projects: Guiding Principle and Examples. HDD. World Bank. Ravaglia G, Forti P, Maioli F, Bastagli L, Facchini A, Mariani E, Savarino L, Sassi Simonetta, Cucinotta D, dan Lenaz G. 2000. Effect of Micronutrien Status on Natural Killer Cell Immune Function in Healthy Free-living Subjects Aged ≥ 90 y. Am J Clin Nutr; 71:590-8.
112 Rencana Aksi. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah Republik Indonesia Bekerjasama dengan World Health Organization. Riuwpassa F. 2005. Formulasi Biskuit Konsentrat Protein Ikan dan Probiotik Sebagai Makanan Tambahan untuk Meningkatkan Antibodi IgA dan Pertumbuhan Anak Balita. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana. IPB. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.. Robert AB, Sporn MB. 1984. Cellular Biology and Biochemistry of The Retinoids. Dalam Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. Eds. The Retinoids, Vol.2 Orlando, FL: Academic Press, Inc., pp. 209-286. Roedjito D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publication. Oxford Ross AC. 1992. Vitamin A Status: Relationship to Immunity and The Antibody Response. Proc Soc Exp Biol Med 200: 303-330. Ross AC dan Hammerling U G. 1994. Retinoids and The Immune System. Dalam Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. The Retinoids: Biology, Chemistry, and Medicine. 2ed ed. Raven Press. New York. Sanjur D. 1997. Assessing Food Consumption-Selected Issues in Data Collection and Analysis. Cornell University. Sari M, Bloem MW, Pee SD, Schultink WJ, Sastroamidjojo S. (2001). Effect of Iron Fortified Candies on the Iron Status of Children Aged 4-6 y in East Jakarta, Indonesia. Am. J. Clin. Nutr. 73:1034-1039. Sastroasmoro S dan Ismail S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed 2. CV. Sagung Seto. Jakarta Scrimshaw NS, Taylor CE, Gordon JE. 1968. Interactions of Nutrition and Infection. Geneva: WHO Semba RD, Muhilal , West KP Jr, Natadisastra G, Eisinger W, Lan Y, Sommer A. 2000. Hyporetinolemia and Acute Phase Proteins in Children with and without Xerophthalmia. Am J Clin Nutr; 72:146-53 Semba RD, Muhilal, Scott AL, Natadisastra G, Wirasasmita S, Mele L, Ridwan E, West KP, dan Sommer A. 1992. Depressed Immune Response to Tetanus in Children with Vitamin A Deficiency. J. Nutr. 122: 101-107
113 Semba RD. 1994. Vitamin A, Immunity, and Infection. Clin Infect Dis.; 19:489499. . 1998. The Role of Vitamin A and Related Retinoids in Immune Function. Nuitrition Reviews; 56(1):S38-S48. .2002 Vit amin A, infection, and immune function. In Nutrition and Immune Function. Edited by: Calder PC, Field CJ, Gill HS. CABI. Publishing, New York NY :151-169 Semba RD, Bloem MW. 2002. The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and pathogenesis. Eur J Clin Nutr, 56:271-281. Seshadri S, Gopaldas T (1989) Impact of iron supplementation on cognitive functions in preschool and school-aged children: the Indian experience. American Journal of Clinical Nutrition 50: 675-686. Setiawan MS, Almusa D, dan Prijanto M. 1993. Kadar Antibodi Bayi yang Mendapat Imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus di RSCM. Puskesmas dan Posyandu Bulletin Penelitian Kesehatan, 21(2):40-52. Sharma JB, Jain S, Mallika V, Singh T, Kumar A, Arora R, Murthy N. 2004. A Prospective, Partially Randomized Study of Pregnancy outcomes and Hematologic responses to oral and Intramuscular Iron Treatment in Moderately Anemic Pregnant Women. Am J Clin Nutr; 79:116-22. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Solon FS, Klemm RDW, Sanches L, Darnton-Hill I, Craft NE, Christian P, dan West KP. 2000. Efficacy of Vitamin A-Fortified Wheat Flour Bun on The Vitamin A status of Filipino Schoolchildren. Am Soc Clin Nutr; 72; 3:738-44 Sommer A, Tarwotjo Ig, Muhilal, Djunaedi E, dan Glover J. 1980. Oral Versus Intramuscular Vitamin A in The Treatment of Xeropthalmia. The Lancet. 3 : 557-560. Sommer A. 1982. Field Guide to the Detection and Control of Xerophthalmia. Ed. World Health Organization. World Health Organization. Geneva. Spears, Cheney C, dan Zerzan J. 2004. Low Plasma Retinol Concentrations Increase The Risk of Developing Bronchopulmonary Dysplasia and Longterm respiratory Disability in Very- low-birth-weight Infants. Am J Clin Nutr; 80:1589-94.
114 Staab DB, Hodges RE, Metkalf W, Smith JL. 1984. Relationship Between Vitamin A and Iron in Liver. J. Nutr. 114: 840-4 Stipanuk M. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Saunders Company. New York. Stuijvenberg M E, Kvalsvig JD, Faber M, Kruger M, Kenoyer DG dan Benadé AJS. 1999. Effect of Iron-, Iodine-, and ß-carotene–fortified Biscuits on the Micronutrient Status of Primary School Children: A Randomized Controlled Trial. American Society for Clinical Nutrition: 69, No. 3, 497503. http://www.ajcn.org/cgi/content/full/69/3/497 [29/01/07] Suhardjo dan Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Peranian Bogor. Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D, Hautvast JGAJ. 1993. Supplementation with Vitamin A and Iron for Nutritional Anaemia in Pregnant Women in West Java, Indonesia. Lancet; 342:1325-1328. Sulabha, V. 1999. Anaemia and Pregnancy. IJM Diet & Nutrition. Nov-Dec 1999.26(6).p 25-29. http://www.Hsph.Harvard.edu/Organizations/health net/Sasia/forums/ Nutrition/S015.HTML-13k.[12/05/05] Sunaryo ES. 2004. Pengaruh Pemberian L-Glutamin pada MPASI Pemulih terhadap Mutu Protein, Profil Imunitas Seluler dan Pertumbuhan Bayi 6 Bulan yang Mengalami Berat Badan kurang. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Supariasa IDN, Bachtiar B, dan Ibnu F. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Surono IS. 2004. Probiotik. Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI. Jakarta. Suskind R. 1984. The Immune Response In The Malnourished Child. In Watson RR. Ed. Nutrition, Disease Resistance and Immune Function. NY: Marcel Dekkar, Inc., pp. 149-163. Suyitno H. 1985. Pengamatan Vaksinasi dalam Hubungannya dengan Berbagai Tingkat Gizi. Depdikbud Dirjen Dikti. Direktorat Pembinaan Pene litian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Jakarta. Terlouw DJ, Desai MR, Wannemuehler KA, Kariuki SK, Pfeiffer CM, Kager PA, Shi YPKuile FO. 2004. Relation Between The Response to Iron Supplementation and Sickle Cell Hemoglobin Phenetype in Preshool Children in Western Kenya.. Am J Clin Nutr ;79:466-72.
115 Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya. Tomkins A dan Watson F. 1993. Malnutrition and Infection. A Review. Discussion by NS Scrimshaw. ACC/SCN Thibault H, Galan P, Selz F, et al. 1993. The Immune Response in Iron Deficient Young Children: Effect of Iron Supplementation on Cell-Mediated Immunity. Eur J Pediatr; 152: 120-4. Thurnham DI, McCabe GP, Northrop-Clewes CA, Nestel P.2003. Effects of subclinical infection on plasma retinol concentrations and assessment of prevalence of vitamin A deficiency: meta-analysis. The Lancet, 362:20522058. Thurnham DI, Smith E, dan Flora PS. 1988. Extraction Method for Soluble Vitamins in Serum/Plasma Samples and Controls. Clinical Chemistry; 34(2):377-381. Trihendradi C. 2005. Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Andi Yogyakarta. Underwood BA. 1984. Vitamin A in animal and human nutrition. Dalam Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS. eds. The Retinoids, Vol. 2. Orlando: Academic Press Inc., pp. 281-392. UNICEF. 1990. Strategy for Improve Nutrition of Children and Women in Developing Countries. New York. Unicef. Valentine S dan Tanumihardjo SA. 2005. One-time Vitamin A Supplementation of Lactating Sows Enhances Hepatic Retinol in their Offspring Independent of Dose Size. Am J Clin Nutr; 81:427-33. Villamor E, Msamanga G, Spiegelman D, Antelman G, Peterson KE, Hunter DJ, dan Fawzi WW. 2002. Effect of Multivitamin and Vitamin A Supplements on Weight Gain During Pregnancy Among HIV-1-Infected Women. Am J Clin Nutr; 76:1082-90. Villamor E dan Fawzi WW. 2005. Effects of Vitamin A Supplementation on Immune Responses and Correlation with Clinical Outcomes Clinical. American Society for Microbiology, Vol. 18, No. 3, p. 446-464. [WHO] World Health Organization. 1982. WHO Technical Report Series. Geneva.
116 [WHO] World Health Organization. 1983. Measuring Change in Nutritional Status. Geneva. [WHO] World Health Organization. 1994. Antropometrics Measuerements. WHO. Geneva. [WHO] World Health Organization. 1996. Indicators for assessing vitamin A deficiency and their application in monitoring and evaluating intervention programmes. WHO/ NUT/96.10. Geneva. Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti CS, dan Tauffani TB. 2003. Diktat Imunologi. Lab Imunologi Dept Kitwan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Wiedermann U, Hanson LA, Kahu H, Dahlgren UI.1993. Aberrant T-Cell Functional in Vitro and Impaired T-Cell Dependent Antibody Respons in Vivo in Vitamin A Deficient Rats. Immunol; 80:581-86. Williams L dan Wilkins. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease. Tenth Edition. A Wolker Kluwer Company. New York. Winarno FG. 1995. Makanan Bayi dan Anak. PT Gramedia. Jakarta. World Bank. 1994. Enriching Lives: Ove rcoming Vitamin and Mineral Malnutrition in Developing Countries. Washington D.C.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Darah 1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin a. Metode
: Drabkins
b. Prinsip kerja : Hemoglobin oleh K 3 Fe(CN)6 dan KCN akan diubah menjadi methemoglobin sianida (HiCN). Penambahan KH2 PO 4 untuk mengatur pH larutan. Penambahan non ionic detergen untuk mempercepat lisis eritrosit dan mengurangi kekeruhan HiCN. c. Alat-alat
: Spektrofotometer, Blood lancet/spuilt, disposibel, torniquet, tabung reaksi, kapas, pipet sahli, dan pipet volumetrik 5 ml
d. Bahan
: Sampel berupa darah EDTA atau darah kapiler reagent drabkins dan alkohol 70%
e. Cara kerja 1. Ke dalam tabung kolorimeter dimasukkan 5,0 ml larutan Drabkins. 2. Dengan pipet hemoglobin diambil 20 ul darah (kapiler, EDTA atau oxalat), sebelah luar ujung pipet dibersihkan, lalu darah itu dimasukkan ke dalam tabung kolorimeter dengan membilasnya beberapa kali 3. Campurlah isi tabung dengan membalikkannya beberapa kali sehingga hemoglobin berubah menjadi sianmethemoglobin 4. Baca dalam spektrofotometer pada gelombang 540 nm; sebagai blanko digunakan larutan Drabkins 5. Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standar sianmethemoglobin atau dibaca dari kurva tera. f. Nilai Rujukan : 11-16 g/dl
118 2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum a. Metode
: IRMA (Immunometric Assay)
b. Prinsip
: Adanya ferritin dalam contoh maupun standar merupakan suatu antigen yang dapat bereaksi dengan antiserum dari antibodi dengan membentuk
reaksi
antigen
antibodi
(Ag-Ab)
dengan
125
menambahkan antigen perunut ( I Ferritin) akan et rjadi reaksi kompetisi dan membentuk ikatan Ag-Ab yang dibebaskan yang berarti kadar ferritin dalam darah dapat ditentukan c.Alat-alat
: Gamma counter, rack shaker, spuilt disposible 5ml, tabung sentrifuse, sentrifuse, mikropipet (10 ul, 100 ul, dan 200 ul), dispenser
d. Bahan
: Serum, ferritin assay buffer, buffer wash solution
e. Cara kerja
:
1. Sediakan tabung ferritin Ab-coated yang berlabel A dan B untuk sampel 2. Masukn 10 ul serum pada tabung 3. Tambahkn 200 ul buffer ferritin dan dkocok pada rak pengocok selama 30 menit 4. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution dan tunggu 1-2 menit 5. Dekantasikan kembali secara menyeluruh dan biarkan selama 2-3 menit 6. Tambahkan 100 ul radioaktif ferritin (125I Ferritin –Ab) pada semua tabung 7. Homogenkan selama 30 menit pada rack shaker 8. Dekantasi secara menyeluruh, kemudian tambahkan 2 ml buffer was solution dan tunggu 1-2 menit 9. Dekantasi secara menyeluruh dan tambahkan 2 ml buffer wash solution kembali dan tunggu selama 1-2 menit dan dekantasikan secara menyeluruh 10. Dekantasikan kembali dan biarkan selama 2-3 menit. 11. Hitung dengan menggunakan Gamma counter f. Nilai Rujukan
: 5-143 ug/ml
119 3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum a. Metode
: Ekstraksi (Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol)
b. Bahan
: serum, sodium dodecyl sulphate (SDS), alkohol, Butylated hydroxytoluene (BHT)
c. Prosedur
:
1. Masukkan 100 µL serum plasma dan tambahkan 100 µL SDS dan campur sampai homogen 2. Tambahkan internal standar sebanyak 200 µL dan campur beberapa sampel dalam tabung tertutup pada mixer vortex selama 1 menit 3. Tambahkan 1000 µL heptane yang mengandung 0,5 g/L BHT 4. Campur secara merata dalam tabung tertutup pada mixer vortex 3 menit 5. Senrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm (2500 x g) pada suhu 100 C 6. Pindahkan 700 µL pada tabung ukuran 100 x 17mm dari lapisan heptane paling atas dan keringkan dengan dialiri cairan nitrogen pada suhu 40 0 C 7. Setelah semuanya kering, susun kembali dengan fase aktif
100 µL yang
mengandung 0,01 g/L BHT 8. Camp ur dalam mixer vortex selama 15 detik 9. Masukkan sampel dalam botol kecil yang hampa udara dan tempatkan sampling dalam korosel untuk dianalisis 10. Analisis selama 24 jam dan simpan dalam ruang gelap pada suhu 40 C sampai semua sampel siap dianalisis 11. Masukkan dalam HPLC dengan cara diinjeksikan sampel secara terpisah sebanyak 50 µL dengan fase aktif 100 x 4,6 mm yang mengandung 0,01 g/L BHT pada kolom cartridge 3 µL secara urut. 12. Deteksi retinol pada program monitor 325 nm dan 292 nm dan baca output data kromatografi.
120 4. Pemeriksaan Kadar Imunoglobulin G (IgG) a. Metode
: ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
b. Prinsip
: Pengujian kadar IgG dengan menggunakan format mikrowell
c. Bahan
: Anti- human IgG, IgG Standar, TMB, IgG speciment diluent, Reagen asam sulfur terminasi (0,5N), wash buffer
d. Pengenceran : Masing- masing serum diencerkan dengan BPS (1:10.000) kemudian diencerkan lagi dengan IgG (1:10) e. Prosedur
:
1. Semua reagen disimpan dalam suhu ruang sebelum digunakan 2. Masukkan 100 uL serum dalam masing-masing mikrowell 3. Inkubasi pada suhu ruangan selama 45 menit 4. Tuang dan bilas masing- masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15) 5. Inkubasi kembali pada suhu ruangan selama 45 menit 6. Tuang dan bilas masing- masing mikrowell sebanyak 4 kali dengan wash buffer dan reagen grade dengan perbandingan (1:15) 7. Tambahkan 100 uL TMB dan inkubasi pada suhu ruang selama 15 menit 8. Terakhir reaksikan dengan 100uL dari 0,5 N asam sulfur 9. Baca dalam mikrowell reader pada gelombang 450 nm
121 Lampiran 2. Daftar Makanan yang Dikonsumsi Anak Balita No
Kode Pangan
Jenis Pangan
A. Kelompok Makanan Pokok 1 2 2 585 3 583 4 534 5 583 6 790 7 54 B. Kelompok Lauk-pauk 8 615 9 616 10 614 11 616 12 593 13 591 14 594 15 592 16 677 17 634 18 194 19 193 20 221 21 242 22 241 23 216 24 223 25 639 26 160 C. Kelompok Sayur 27 693 28 274 29 340 30 694 31 533 32 129 33 349 34 547
Berat (Gram)
Nasi putih Nasi uduk Nasi goreng Bubur ayam Mie goreng Mie goreng Roti
50 200 100 50 80 20 30
tempe goreng oreg tempe tahu goreng Tempe sayur Oncom Merah Goreng Tepung Oncom Hitam Goreng Tepung Tumis Oncom Merah Goreng Oncom Merah Perkedel ayam goreng telur dadar telur ceplok Teri ikan tongkol ikan cue japuh ikan asin emas ikan goreng mujaer goreng Abon
20 25 30 30 30 20 30 30 20 20 30 50 10 25 25 25 50 30 5
sayur sup sayur bayam tumis kangkung asam sayur Bakso Jengkol Ketimun gado-gado
50 20 20 30 20 10 50 50
122 D. Kelompok Makanan Kecil 35 739 36 737 37 699 38 697 39 698 40 601 41 574 42 554 43 46 44 543 45 88 46 587 47 577 48 523 49 46 50 528 51 523 52 607 53 532 54 549 55 600
Tango Biskuit warung Chiki Chitato Chitos Permen mie remes Sukro Krupuk es mambo kacang bogor, rebus agar-agar Lopis top coklat kerupuk udang Buras Coklat Siomay Bakwan ketan goreng pisang goreng
17 19 18 10 18 10 15 17 10 20 25 5 60 15 25 70 15 50 50 50 50
E. Kelompok Buah 56 437 57 452 58 446
Mangga pisang oli Pepaya
100 50 50
F. Lain- lain 59 60 61 62
Kecap Susu The kopi susu
15 20 50 100
123 471 519 473
123 Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian
(a)
(b)
Photo 1. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Mewawancarai Ibu Balita Untuk Penyeleksian Contoh
(a)
(b)
Photo 2. (a) Peneliti dan (b) Enumerator Melakukan Recall Konsumsi Pangan terhadap Ibu Balita
124
(a) (b) Photo 3. (a) Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan (b) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Mensosialisasikan Biskuit Fortifikasi kepada Kader Posyandu di Kecamatan Dramaga
(a) (b) Photo 4. (a) Sosialisasi Biskuit dan (b) Perserta Sosialisasi Biskuit di Wilayah Kecamatan Dramaga.
(a) (b) Photo 5. (a) dan (b) Pendistribusian Biskuit Fortifikasi dan non Fortifikasi di Pusatkan di Balai Desa Petir Kecamatan Dramaga
125
(a) (b) Photo 6. (a) Penimbangan Anak Balita Contoh (berani ditimbang sendiri) dan (b) Ditimbang dengan Digendong Ibunya (tidak berani ditimbang sendiri)
(a) (b) Photo 7. (a) dan (b) Pengukuran Tinggi Badan Anak Balita Contoh
(a) (b) Photo 8. (a) Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan (b) Bapak Lurah Meninjau Kegiatan Penelitian pada saat Pengambilan Sampel Darah Anak Balita
126
(a) (b) Photo 9. (a) dr. Deasy dan (b) dr. Egy Memeriksa Kesehatan Anak Balita sebelum Pengambilan Sampel Darah dan Pemberian Booster DPT.
(a) (b) Photo 10. (a) dan (b) Pengambilan Sampel Darah Anak Balita oleh Tenaga Medis
(a)
(b)
Photo 11. (a) Bidan Nike dan (b) Bidan Nunik Memberikan Booster DPT kepada Anak Balita
127
(a) (b) Photo 12. (a) Contoh Alat Sentrifuse untuk Mendapatkan Serum (b) Tenaga Medis Menganalisis Sampel Darah Anak Balita
(a) (b) Photo 13. (a) Pemusingan Sampel Darah Anak untuk Mendapatkan Serum (b) Serum siap Dianalisis
Photo 14. HPLC, Alat dan Bahan untuk Menganalisis Vitamin A
128
(a) (b) Photo 15. (a) Bahan dan (b) Peralatan untuk Menganalisis Imonoglobulin G
(a) (b) Photo 16. (a) Serum yang akan Dianalisis Imonoglobulin G-nya (b) Bahan-bahan (enzim) yang Digunakan untuk Analisis Imonoglobulin G
(a) (b) Photo 17. (a) Peneliti dan (b) Analis sedang Menganalisis IgG Total di Laboratorium Makmal Terpadu FKUI