IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN BAGIAN PERTAMA Bagian pertama dari penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap perubahan sifat fisikokimia dan mikrobiologi kecap dan saus cabe. Pada bagian ini pula dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan karakteristik sifat fisikokimianya. 1. Pengaruh Penyimpanan terhadap Sifat Fisikokimia Kecap dan Saus Cabe a. Total Padatan Terlarut (TPT) Total padatan terlarut (TPT) erat hubungannya dengan kadar gula produk, karena TP T diukur berdasarkan persentase gula produk. Kecap manis yang diteliti memiliki TPT yang tinggi, yaitu sebesar 75.9 Brix. Hal ini berarti di dalam produk tersebut mengandung gula yang sangat tinggi. Tingginya kadar gula pada kecap manis ini disebabkan pada proses pembuatannya ditambahkan gula. Dengan demikian produk kecap manis ini telah memenuhi standar SNI untuk kecap manis (SNI 01-3543-1994), yang menetapkan minimum jumlah padatan 40 % (b/b). TPT yang terukur untuk produk saus cabe tidak begitu tinggi, hanya sekitar 22.3 brix. Penambahan gula pada pembuatannya hanya sedikit, tidak sebanyak yang ditambahkan pada kecap manis. Namun demikian produk ini juga telah memenuhi standar SNI untuk saus cabe (SNI-2976-1992), yang menetapkan jumlah padatan sebesar 20-40% (b/b). Produk kecap dan saus cabe yang disimpan pada suhu kamar menunjukkan nilai TPT yang semakin meningkat (Gambar 9 dan 10). Peningkatan TPT selama penyimpanan terjadi karena semakin banyak terbentuk senyawa gula yang larut. Pantastico (1986) menyatakan bahwa peningkatan TPT disebabkan terjadinya pemutusan rantai panjang karbohidrat menjadi senyawa gula yang larut.
TPT (Brix%)
76.02 76 75.98 75.96 75.94 75.92 75.9 75.88 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
TPT (Brix%)
Gambar 9 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) kecap selama penyimpanan 22.65 22.6 22.55 22.5 22.45 22.4 22.35 22.3 22.25 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 10 Kurva Total Padatan Terlarut (TPT) saus cabe selama penyimpanan b. pH Pengukuran pH awal produk kecap yang diteliti menunjukkan nilai sebesar 4.41, sedangkan untuk produk saus cabe menunjukkan nilai sebesar 3.73. Dengan demikian kedua produk tersebut dapat digolongkan ke dalam bahan pangan asam. Berdasarkan penggolongan bahan pangan menurut nilai pH, bahan-bahan pangan yang mempunyai nilai pH diantara (3.7 atau) 4.0 dan 4.5 tergolong ke dalam bahan pangan asam (Buckle et al., 1985). Rendahnya pH pada kecap disebabkan oleh terbentuknya asamasam organik (asam laktat) oleh bakteri asam laktat selama proses fermentasi moromi (Buckle et al., 1985). Sedangkan rendahnya pH pada saus cabe disebabkan karena adanya penambahan cuka dalam proses
33
pembuatannya, selain itu juga karena penambahan bahan pengawet. Bahan pengawet yang biasa digunakan adalah dari jenis asam lemah seperti asam benzoat. Gambar 11 menunjukkan bahwa pH produk kecap yang disimpan pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan cenderung konstan. Sedangkan pH produk saus cabe tidak konstan, bahkan menunjukkan pola yang naik turun selama penyimpanan. Namun demikian kenaikan dan penurunan pH yang terjadi tidaklah terlalu signifikan hanya berkisar antara
pH
0.1 - 0.2 poin. 4.5 4.4 4.3 4.2 4.1 4 3.9 3.8 3.7 3.6 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Kecap
Saus cabe
Gambar 11 Kurva pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pH antara lain karena aktivitas mikroba dalam memecah protein, karbohidrat, lemak dan zat- zat organik
lainnya
menjadi asam-asam
organik
sehingga
hal
ini
menyebabkan penurunan nilai pH. Rendahnya pH yang dimiliki produk kecap serta tingginya padatan terlarut berupa gula dapat secara efektif menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menurunkan pH. Oleh karena itu terlihat bahwa pada penyimpanan selama kurang lebih 2 minggu belum menunjukkan penurunan pH. Dengan demikian kemungkinan besar produk kecap mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Saus cabe juga memiliki nilai pH yang rendah dan total padatan terlarut ya ng tidak tinggi. Akan tetapi kondisi tersebut sudah cukup mampu untuk menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga penurunan pH pada saus cabe selama penyimpanan tidak signifikan. Produk-produk
34
olahan cabe merah dapat mengalami kenaikan pH selama penyimpanan, seperti juga yang telah diteliti oleh Wati (1997). Kenaikan pH ini kemungkinan disebabkan oleh penguapan asam-asam organik yang mempunyai rantai karbon pendek, selain itu dapat juga disebabkan oleh oksidasi asam seperti asam askorbat. Dengan adanya proses tersebut maka kandungan asam pada produk akan berkurang. c. Viskositas Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu produk yang biasa dinyatakan dengan satuan centipoise (cp). Produk kecap yang diamati memiliki nilai viskositas sebesar 1425 cp, sedangkan untuk produk saus cabe memiliki nilai viskositas sebesar 18500 cp. Tingginya viskositas pada saus cabe disebabkan oleh adanya penambahan bahan pengental dalam proses pembuatannya. Bahan pengental yang biasa digunakan adalah tepung atau pati jagung (maizena), tapi dapat juga digunakan pati lainnya. Sedangkan pada proses pembuatan kecap tidak ditambahkan pengental sehingga konsistensinya cenderung encer. Penyimpanan kedua produk pada suhu kamar selama kurang lebih 2 bulan menunjukkan pola penurunan viskositas pada produk (Gambar 12 dan 13). Kartika et al. (1992) menyatakan bahwa kekentalan suatu larutan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, konsentrasi larutan, berat molekul (BM) dan
zat terlarut. Dalam hubungannya dengan zat
terlarut, dengan semakin meningkatnya zat terlarut pada produk selama penyimpanan maka akan menurunkan kekentalannya. Hal ini sejalan dengan pengukuran total padatan terlarut (TPT) pada kedua produk (kecap dan saus cabe) selama penyimpanan. TPT pada kedua produk meningkat selama penyimpanan (Gambar 9 dan 10), dengan demikian TPT kemungkinan besar menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya viskositas produk.
35
Viskositas (cp)
1500 1400 1300 1200 1100 1000 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 12 Kurva viskositas kecap selama penyimpanan
Viskositas (cp)
18600 18400 18200 18000 17800 17600 17400 17200 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 13 Kurva viskositas saus cabe selama penyimpanan Viskositas produk juga dipengaruhi oleh penurunan pH karena terbentuknya asam-asam organik hasil metabolisme mikroba. Asam-asam tersebut dapat mengencerkan produk sehingga menurunkan nilai viskositas. Sejalan pula dengan pengukuran pH kecap dan saus cabe selama penyimpanan yang menunjukkan penurunan (Gambar 11). Dengan demikian pH kemungkinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan viskositas produk. Keberadaan pati sebagai bahan pengental pada saus cabe juga berperan dalam penurunan viskositas produk selama penyimpanan. Pati akan mengalami pemanasan selama proses pembuatan saus cabe. Akibat paparan panas, pati yang ditambahkan akan membengkak dan menyerap air (pati tergelatinisasi). Pada pati yang telah dipanaskan dan menjadi
36
dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Air yang berada di luar granula tersebut mengadakan ikatan yang erat dengan molekul- molekul pati pada bagian permukaan butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak akan berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel yang terbentuk tadi disimpan untuk beberapa hari, air yang terdapat dalam rongga dapat keluar dari bahan dan akan mengencerkan produk (proses sineresis) (Winarno, 1991). d. Warna Pengamatan perubahan warna hanya dilakukan pada produk saus cabe, dikarenakan pengaruh penyimpanan terhadap perubahan warna pada saus cabe lebih terlihat dibandingkan pada kecap. Parameter perubahan warna dinyatakan dalam notasi L, a, b. Notasi L untuk menyatakan tingkat kecerahan, a untuk intensitas warna merah dan b untuk intensitas warna kuning. Selama penyimpanan kurang lebih 2 bulan pada suhu kamar, terlihat terjadi penurunan baik pada tingkat kecerahan (L), intensitas warna merah (a), maupun intensitas warna kuning produk saus cabe (b) (Gambar 14). Pengamatan secara fisik menunjukkan produk saus cabe mengalami perubahan warna dari merah menjadi merah kecoklatan. 50 Skala nilai
45 40 35 30 25 20 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari)
L
a
b
Gambar 14 Kurva L, a, b saus cabe selama penyimpanan
37
Perubahan warna ini terjadi karena adanya reaksi pencoklatan yaitu reaksi yang menghasilkan warna kecoklatan pada bahan makanan. Reaksi pencoklatan yang terjadi pada produk kemungkinan besar tergo long reaksi pencoklatan non enzimatis. Secara umum ada tiga macam reaksi pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi Maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat vitamin C. Vitamin C selain bertindak sebagai senyawa reduktor juga sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non enzimatik (Syarief dan Halid, 1993). Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat (Winarno, 1991). Namun demikian, perubahan warna pada saus cabe yang paling utama adalah karena adanya reaksi oksidasi capsanthin dan reaksi polimerisasi lainnya yang masih belum jelas (Belitz dan Grosch, 1987). Kemungkinan juga zat besi (Fe) yang terdapat pada saus berperan terhadap pencoklatan produk. Hal ini dikarenakan oleh adanya sifat kimiawi senyawa besi (II) yang mudah dioksidasi menjadi besi (III) yang berwarna kuning, hijau atau hitam.
2. Pengamatan Mikrobiologis Hasil pengamatan mikrobiologi kecap dan saus cabe selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil analisis mikrobiologi (angka lempeng total) kecap dan saus cabe selama penyimpanan
Produk Kecap Saus cabe
0 0 0 0 0
Jumlah mikroba (koloni) Lama penyimpanan (hari) 14 28 0 2.3 x 103 0 2.3 x 103 1 3.0 x 10 6.0 x 101 2.0 x 101 2.0 x 101
52 9.0 x 101 2.0 x 101 6.0 x 101 4.0 x 101
Berdasarkan hasil pengamatan di atas terlihat bahwa di awal minggu tidak terdeteksi adanya mikroba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemanasan selama proses pengolahan. Sel-sel vegetatif yang mungkin
38
berada dalam produk mudah dimatikan dengan adanya pemanasan pada suhu mendekati titik didih air. Selain itu adanya bahan tambahan lain seperti gula, garam, asam dan bahan pengawet lain misalnya natrium benzoat. Adanya garam, gula dan rempah-rempah lainnya dalam bahan pangan dapat menurunkan a w sehingga mengganggu stabilitas mikroba dalam bahan pangan (Buckle et al., 1985). Selama penyimpanan terjadi pertumbuhan mikroba. Pada saus cabe pertumb uhan mikroba mulai terjadi pada hari ke-14 penyimpanan dan mengalami peningkatan sampai dengan hari terakhir penyimpanan (hari ke52). Sedangkan pada produk kecap, pertumbuhan mikroba meningkat pada hari ke-28 setelah dua minggu sebelumnya belum terjadi pertumbuhan mikroba. Namun demikian pada hari terakhir penyimpanan menunjukkan gejala penurunan jumlah mikroba. Meskipun pertumbuhan mikroba sudah terjadi selama penyimpanan pada kedua produk namun jumlahnya masih jauh di bawah SNI yang ditetapkan yaitu sebesar 1.0x105 . Pertumbuhan mikroba kemungkinan disebabkan oleh adanya sporaspora mikroba yang resisten terhadap pemberian panas selama pengolahan. Akibatnya selama penyimpanan spora mikroba dapat tumbuh menjadi sel vegetatif dan berkembang biak, sehingga terjadi peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan.
3. Pendugaan Umur Simpan a. Kecap Penentuan umur simpan produk kecap ditentukan berdasarkan parameter nilai pH. Produk kecap yang diproduksi diharapkan memilki nilai pH berkisar antara 4.0 – 4.8, sehingga dapat dinyatakan bahwa produk tersebut masih baik dan layak dikonsumsi.
Berdasarkan
pengamatan selama penyimpanan, pH produk kecap akan mengalami penurunan. Penurunan pH akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap rasa kecap. Oleh karena itu kebanyakan produsen menetapkan nilai minimum pH yang masih dapat ditoleransi adalah sebesar 4.0. Dasar
39
inilah yang kemudian digunakan untuk mene ntukan umur simpan produk kecap. Plot kurva antara waktu penyimpanan dan pH dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila ingin diketahui umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar (27°C) dapat dilihat dari nilai regresi kurva waktu penyimpanan vs pH pada suhu kamar, yaitu : Y = -0.0005x + 4.42 Dimana : Y = nilai pH x = lama penyimpanan (waktu) Jika nilai akhir pH yang diinginkan sebesar 4.0, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 840 hari (2.3 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 840 hari (2.3 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk kecap dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 11 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs pH dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 11 Nilai k, persamaan regresi pH kecap dan pendugaan umur simpan kecap pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan (K) (K) simpan vs pH (hari) 27 Y = -0.0005x + 4.42 0.0005 -7.6009 300 0.0033 840 43 Y = -0.0041x + 4.422 0.0041 -5.4968 316 0.0032 205 55 Y = -0.0080x + 4.404 0.0080 -4.8283 328 0.0030 26 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs pH Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 6. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -9941.9 (1/T) + 25.662
40
Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk kecap melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = pH pada saat t =t Ao = pH pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan b. Saus Cabe Salah satu parameter kritis dalam menentukan umur simpan adalah warna. Warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk makanan. Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan untuk dikonsumsi. Selain itu warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti adanya reaksi pencoklatan atau karamelisasi. Dalam penyimpanan saus cabe, warna juga merupakan faktor yang paling utama untuk diperhatikan, karena seringkali warna saus cabe tersebut dapat menjadi penentu harga bagi saus cabe yang bersangkutan (Syarief dan Halid, 1993). Hasil pengamatan terhadap saus cabe selama penyimpanan menunjukkan bahwa warna produk cenderung mengalami pencoklatan. Dengan demikian, untuk memperkirakan umur simpan produk saus cabe secara kuantitatif dapat menggunakan parameter warna melalui bentuk persamaan regresi sehingga dapat dinyatakan produk tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Wati (1997) batas penerimaan konsumsi (nilai kritis) saus dari cabe atau paprika tercapai pada nilai L (kecerahan) sebesar 24.95 dan nilai a (intensitas warna merah) 7.59. Berdasarkan nilai a, persamaan regeresi yang didapatkan dari kurva waktu penyimpanan vs nilai a pada penyimpanan suhu kamar (27°C) (Gambar 14 ), adalah sebagai berikut :
41
Y = -0.0513x + 20.574 Dimana : Y = nilai a x = lama penyimpanan (waktu) Jika batas kritis nilai a yang diinginkan sebesar 7.59, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa lama penyimpanan yang dibutuhkan adalah 370 hari (1 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 370 hari (1 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk saus cabe berdasarkan nilai b dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 12 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs nilai a dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12 Nilai k, persamaan regresi intensitas warna merah (a) dan pendugaan umur simpan saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan vs (K) (K) simpan nilai a (hari) 27 Y = -0.0513x + 20.574 0.0513 -2.9701 300 0.0033 370 43 Y = -0.1537x + 29.329 0.1537 -1.8728 316 0.0032 164 55 Y = -0.1944x + 27.455 0.1944 -1.6378 328 0.0030 94 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs nilai a Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 8. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -4814.3 (1/T) + 13.160 Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk saus cabe melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = nilai a pada saat t =t Ao = nilai a pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan
42
Parameter kritis lain dalam menentukan umur simpan saus cabe adalah viskositas. Viskositas sangat berperan dalam menentukan tekstur produk, serta berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Hasil pengamatan
viskositas
selama
penyimpanan
menunjukkan
bahwa
viskositas produk semakin encer. Pada umumnya nilai viskositas sebesar 9000 cp mulai tidak disukai oleh konsumen, hal ini berdasarkan uji organoleptik yang pernah dilakukan oleh suatu perusahaan (Syarifudin, 2003). Berdasarkan nilai viskositas, persamaan regresi yang didapatkan dari kurva waktu penyimpanan vs nilai viskositas pada penyimpanan suhu kamar (27°C) (Gambar 12 ), adalah sebagai berikut : Y = -19.694x + 18483 Dimana : Y = nilai viskositas x = lama penyimpanan (waktu) Jika batas kritis nilai viskositas yang diinginkan sebesar 9000 cp, maka dari persamaan diatas dapat diprediksi bahwa la ma penyimpanan yang dibutuhkan adalah 482 hari (1.3 tahun). Dengan demikian dapat ditetapkan umur simpan produk kecap yang disimpan pada suhu kamar adalah sekitar 482 hari (1.3 tahun). Untuk selanjutnya, apabila produsen akan memprediksi umur simpan produk saus cabe berdasarkan nilai viskositas dengan berbagai variasi suhu penyimpanan maka dapat digunakan model pendekatan Arrhenius. Dari model tersebut didapatkan nilai- nilai pada Tabel 13 berikut. Hasil regresi linier kurva waktu penyimpanan vs nilai a dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 13 Nilai k, persamaan regresi viskositas dan pendugaan umur simpan saus cabe pada beberapa suhu penyimpanan Suhu Persamaan regresi Nilai k* Ln k Suhu 1/T Umur (°C) linier waktu simpan vs (K) (K) simpan viskositas (hari) 27 Y = -19.654x + 18483 19.654 2.9803 300 0.0033 482 43 Y = -15.561x + 18296 15.561 2.7448 316 0.0032 296 55 Y = -153.75x + 18490 153.75 5.0353 328 0.0030 79 Keterangan : * nilai k didapatkan dari slope persamaan regresi linier waktu simpan vs nilai viskositas
43
Dari data tersebut dapat dilakukan plot nilai (1/T) terhadap (ln k) seperti yang terlihat pada Lampiran 10. Dari plot nilai (1/T) vs (ln k) didapatkan persamaan : Ln k = -6594.5 (1/T) + 24.572 Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan nilai konstanta laju reaksi (k) pada berbagai suhu (T), sehingga dapat dicari umur simpan produk saus cabe melalui persamaan : A – Ao = k.t dimana : A = nilai a pada saat t =t Ao = nilai a pada saat t = to k = konstanta laju reaksi t = umur simpan B. PENELITIAN BAGIAN KEDUA Bagian kedua dari penelitian ini dilakukan untuk melihat pola kestabilan dari beberapa zat gizi yang difortifikasi yaitu iodium, zat besi dan vitamin A selama penyimpanan. 1. Stabilitas Iodium Kandungan iodium pada kecap fortifikasi lebih besar dibandingkan pada saus cabe, masing- masing menunjukkan rata-rata sebesar 69.8 ppm dan 50.5 ppm. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat fortifikasi iodium pada kedua produk berbeda dan atau kandungan awal iodium pada kedua bahan pangan yang berbeda. Tingkat iodisasi yang seringkali dilakukan di berbagai negara bervariasi yaitu diantara 20 – 100 ppm iodium (Diosady et al., 2002). Iodium yang ditambahkan umumnya dalam bentuk KI atau KIO 3 . Senyawa KIO 3 lebih stabil dibandingkan KI. KIO 3 lebih resisten terhadap oksidasi sehingga tidak membutuhkan penstabil seperti layaknya KI. Stabilitas iodium dalam media kecap dan saus cabe dilakukan dengan mengamati kadar iodium pada produk selama penyimpanan kurang lebih dua bulan. Selama jangka waktu tersebut terlihat bahwa kandungan iodium pada kecap cenderung menurun (Gambar 15). Penurunan yang cukup
44
tajam mulai terjadi pada penyimpanan hari ke-42. Sedangkan sampai dengan akhir penyimpanan iodium yang tersisa kurang lebih 90% dari iodium awal. Problem penyusutan iodium dalam media yang difortifikasi selama penyimpanan terkait dengan potensi iodium untuk tereduksi atau teroksidasi menjadi elemental iod (I2 ). Iod elemental dapat dengan cepat mengalami sublimasi dan kemudian berdifusi ke atmosfer. Hal ini terjadi pada kondisi yang lembab, aerasi yang berlebihan, paparan cahaya, panas, asam atau keberadaan senyawa pengotor seperti dalam garam (Diosady et al., 2002). Oleh karena itu untuk menghindari kehilangan iodium yang berlebihan produk harus diminimalisasikan dari hal-hal tersebut. Dalam hal ini proses pengemasan dan penyimpanan sebelum produk digunakan memegang peranan yang cukup penting.
Kadar iodium (ppm)
75 70 65 60 55 50 45 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 15 Grafik kadar iodium selama penyimpanan Iodium yang terkandung dalam saus cabe dapat dikatakan lebih stabil bila dibandingkan dengan kecap. Sampai dengan akhir periode penyimpanan selama kurang lebih dua bulan belum terjadi penurunan (Gambar 15). Kenaikan
kadar
iodium
yang
terukur
kemungkinan
disebabkan
kekuranghomogenan iodium dalam produk. Homogenisasi zat gizi yang ditambahkan pada saus cabe cenderung lebih sulit dibandingkan kecap. Hal ini dikarenakan konsistensi saus yang lebih kental.
45
2. Stabilitas Vitamin A Hasil pengukuran kandungan vitamin A pada produk kecap dan saus cabe menunjukkan bahwa saus cabe memilki kandungan vitamin A yang lebih besar dibandingkan kecap. Secara kuantitatif kandungan vitamin A saus cabe kurang lebih dua kali lipat dari kandungan vitamin A kecap. Pada saat awal pengukuran kandungan vitamin A saus cabe sebesar 131 IU/g, sedangkan pada kecap sebesar 51 IU/g. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tingkat fortifikasi kedua produk yang berbeda. Jumlah vitamin A yang difortifikasikan pada saus cabe kemungkinan memang lebih banyak dibandingkan kecap. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Imanningsih et al. (2001) mengenai studi kelayakan penggunaan kecap dan saus tomat sebagai media fortifikasi yang tepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fortifikasi vitamin A pada kecap memberikan nilai homogenitas terbaik pada tingkat 50 IU/g, sedangkan pada saus tomat nilai homogenitas terbaik pada tingkat fortifikasi 100 IU/g. Stabilitas vitamin A dalam media kecap dan saus cabe dilakukan dengan mengamati kadar vitamin A pada produk selama penyimpanan kurang lebih dua bulan. Selama jangka waktu tersebut terlihat bahwa kandungan vitamin A pada saus cabe cenderung stabil (Gambar 16). Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terkadap vitamin A pada saus cabe (Lampiran 11). Begitu pula yang terjadi pada kecap (Lampiran 12). Secara sepintas terlihat bahwa kadar vitamin A pada kecap mulai mengalami penurunan pada hari ke-42 penyimpanan (Gambar 16) dengan penurunan sebesar 3%. Pada akhir penyimpanan (hari ke-56) secara kuantitatif terjadi penurunan kadar vitamin A sebesar 11% atau berarti bahwa jumlah vitamin A dalam produk tinggal 89% dari jumlah awal. Penurunan kadar vitamin A yang difortifikasikan pada kecap dan saus berkaitan dengan sifat vitamin A itu sendiri. Vitamin A dalam bentuk murni biasanya sangat labil terhadap oksigen, udara serta cahaya. Dengan demikian harus ada langkah-langkah untuk mencegah atau menghambat
46
kehilangan vitamin A di dalam produk fortifikasi. Diantara langkah yang sering dilakukan adalah : 1) Vitamin A yang difortifikasikan dibuat senyawa kompleks dengan bahan lainnya, biasanya dibuat dalam ikatan dengan asetat atau palmitat sehingga lebih stabil; 2) Vitamin A dilapisi denga n protektif material untuk melapisi bagian luar partikel-partikel vitamin A, dapat digunakan gelatin, gula, pati dan lain- lain; 3) Pengemasan yang memadai. Pengemasan yang sempurna sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas vitamin A dan pencegahan terhadap oksigen dan uap air yang dapat meninggikan kelembaban dan merusak vitamin A; 4) Penambahan zat antioksidan ke dalam produk untuk mencegah oksidasi.
Kadar Vit.A (IU)
140 120 100 80 60 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama Penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 16 Grafik kadar vitamin A selama penyimpanan Melihat kestabilan vitamin A dalam kedua produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan dua bulan, sangat dimungkinkan beberapa langkah pencegahan terhadap kehilangan vitamin A seperti tersebut diatas sudah teraplikasikan dengan baik. Bentuk vitamin A yang difortifikasikan kemungkinan besar sudah dalam bentuk kompleksnya. Bentuk yang biasa digunakan secara luas adalah retinil palmitat/vitamin A palmitat, bentuk ini cenderung larut dalam air dan stabil sehingga sangat sesuai untuk produk kecap dan saus. Kestabilan vitamin A sangat didukung oleh kemasan yang sempurna. Kemasan untuk kedua produk dalam penelitian ini telah memadai dalam mencegah masuknya oksigen atau uap air ke dalam produk.
47
3. Stabilitas Zat Besi (Fe) Hasil pengukuran kandungan Fe pada produk kecap dan saus cabe menunjukkan bahwa kecap memilki kandungan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan saus cabe. Rata-rata kandungan Fe kecap pada awal pengukuran sebesar 61.78 ppm, sedangkan pada saus cabe sebesar 47.36 ppm. Perbedaan kandungan Fe pada kedua produk bisa dipengaruhi oleh perbedaan kandungan Fe dari bahan pembawa (kecap dan saus cabe) dan atau bisa juga dipengaruhi oleh perbedaan tingkat fortifikasi. Kecilnya perbedaan kandungan Fe antara kedua produk menunjukkan bahwa perbedaan tersebut kemungkinan lebih dikarenakan oleh adanya kandungan awal Fe pada bahan pembawa yang berbeda. Mengacu pada penelitian Anwar (1992), kandungan zat besi total pada kecap manis sebelum difortifikasi adalah sekitar 56.40 ppm. Pola perubahan kandungan zat besi total dalam produk dapat dilihat pada Gambar 17. Penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar zat besi total (Lampiran 13 dan Lampiran 14), sehingga dapat dikatakan bahwa zat besi yang terdapat dalam produk stabil selama periode penyimpanan kurang lebih dua bulan. Pada umumnya, selama penyimpanan senyawa besi peka terhadap proses oksidasi. Oksidasi zat besi semakin meningkat pada kondisi tingginya tingkat kelembaban. Selama oksidasi zat besi dalam bentuk fero (Fe2+) diubah menjadi bentuk feri (Fe3+). Kompleks senyawa feri bersifat tidak larut dan sulit diserap oleh usus halus. Oleh karena itu, karena ketidaklarutannya tersebut maka semakin lama penyimpanan produk dalam kondisi kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan zat besi mengendap. Dengan demikian sangat penting untuk memperhatikan kondisi penyimpanan produk yang difortifikasi dengan zat besi. Produk tersebut harus terjaga dari kelembaban yang tinggi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperhatikan kemasan. Pemilihan jenis kemasan dan proses pengemasan harus dilakukan dengan tepat, sehingga mampu mencegah migrasi uap air ke dalam produk yang dapat meningkatkan kelembaban.
48
Stabilnya zat besi pada produk kecap dan saus cabe selama penyimpanan dua bulan kemungkinan besar didukung oleh faktor pengemasan yang baik. Pengemas yang ada cukup mampu melindungi produk dari kelembaban. Selain itu, pengemasan secara hermetis mampu pula untuk mencegah adanya uap air dalam produk selama penyimpanan.
Kadar Fe (ppm)
70 65 60 55 50 45 40 0
10
20
30
40
50
60
Lama penyimpanan (hari) Saus
Kecap
Gambar 17 Grafik kadar zat besi selama penyimpanan
C. PENELITIAN BAGIAN KETIGA Bagian ketiga dari penelitian ini dilakukan untuk menguji nilai biologi zat besi dan vitamin A dari produk kecap dan saus cabe menggunakan hewan coba tikus induk (umur 30 hari) berdasarkan penilaian biokimia darah. Serta dilakukan pengujian manfaat iodium pada kedua produk dalam mempengaruhi perkembangan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar tikus percobaan. 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Profil Biokimia Darah a. Hemoglobin Penelitian ini bertujuan untuk melihat keefektifan pemberian zat besi (Fe) yang difortifikasilan pada kecap dan saus cabe. Efektifitas pemberian Fe dari kecap dan saus cabe akan dibandingkan dengan pemberian Fe yang berasal dari mineral mix dalam ransum standar. Parameter yang yang digunakan dalam hal ini adalah kadar hemoglobin (Hb) serum darah tikus percobaan, didasarkan pada pendugaan fungsional
49
secara langsung dari zat besi yang terabsorbsi. Hemoglobin merupakan bentuk komponen Fe terbesar dalam tubuh. Zat besi dalam bahan pangan agar berfungsi bagi tubuh harus dapat diabsorbsi dengan baik dalam saluran pencernaan. Fortifikasi zat besi ke dalam bahan pangan harus memperhatikan hal tersebut. Zat besi dari makanan yang dapat diserap akan dibawa oleh plasma darah bersamasama dengan zat besi dari simpanan dan dari pemecahan Hb ke bagianbagian tubuh yang membutuhkan. Sebagian besar dari keseluruhan zat besi tersebut dimanfaatkan untuk pembentukan Hb, umumnya sebesar 20-25 mg/hari. Hasil pengukuran kadar hemoglobin (Gambar 18) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix dalam ransum (normal) memiliki kadar hemoglobin rata-rata sebesar 12.1 mg/dl. Sedangkan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari kecap dan saus cabe, masing- masing memiliki kadar Hb rata-rata sebesar 11.72 mg/dl dan 11.32 mg/dl.
Kadar Hb (mg/dl)
14
12.1a
12
11.72a
11.32a 9.68b
9.45b
10 8 6 4 2 0 Normal
Kontrol (-)
Kecap
Saus cabe
KIO3
Perlakuan
Gambar 18 Kadar Hemoglobin (Hb) Tikus pada berbagai kelompok perlakuan Dapat disimpulkan bahwa tikus dari ketiga kelompok perlakuan yang mendapatkan asupan Fe ternyata tidak menderita anemia. Berdasarkan nilai fisiologis tikus, tikus dinyatakan normal jika memilki kadar hemoglobin diantara 11-18 mg/dl (Malole dan Pramono, 1989). Sedangkan, tikus kelompok perlakuan yang tidak mendapat asupan Fe yaitu tikus kontrol (-) dan KIO 3 dapat dikatakan menderita anemia, karena
50
hanya memiliki kadar Hb rata-rata sebesar 9.13 mg/dl dan 9.68 mg/dl. Anemia terjadi akibat kekurangan suplai zat besi. Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pemberian Fe dan pemberian Fe, baik dari ransum yang mengandung mineral mix maupun dari kecap dan saus cabe berpengaruh nyata terhadap kadar Hb (Lampiran 15). Kelompok perlakuan yang tidak mendapat asupan Fe (kontrol (-) dan KIO 3 ) antar keduanya tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix, serta berbeda nyata pula dengan kelompok perlakuan yang diberi Fe dari kecap maupun saus cabe. Sedangkan kelompok perlakuan yang diberi Fe dari kecap dan saus cabe ternyata juga tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan yang mendapat asupan Fe dari mineral mix (Lampiran 16). Sumber zat besi yang digunakan dalam mineral mix berbentuk ferro sulfat. Zat besi dalam bentuk ini telah diketahui memiliki ketersediaan yang sangat tinggi baik pada manusia maupun pada tikus. Hal ini disebabkan karena kelarutan ferro sulfat yang tinggi sehingga memudahkannya untuk diserap oleh tubuh. Dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang mengandung besi lainnya, ferro sulfat mempunyai sifat mudah larut dalam air (Clydesdale, 1985). Berdasarkan
hasil
penelitian
ketersediaan
zat
besi
yang
difortifikasi, bentuk fortifikan zat besi pada kecap dan saus cabe yang diteliti ternyata memiliki ketersediaan biologis yang serupa dengan ferro sulfat. Fortifikan yang digunakan kemungkinan bisa berbentuk ferro sulfat itu sendiri ataupun bentuk senyawa besi yang lain, karena mengingat bahwa ferro sulfat memiliki beberapa kelemahan apabila akan digunakan sebagai fortifikan. Ferro sulfat mudah bereaksi dengan bahan pangan menghasilkan perubahan yang tidak diinginkan, diantaranya perubahan warna, bau dan rasa. Dengan alasan tersebut, terkadang beberapa industri pangan memilih alternatif untuk menggunakan senyawa besi lain yang lebih tidak reaktif walaupun ketersediaan biologisnya relatif lebih kecil dibandingkan ferro sulfat.
51
Penelitian yang dilakukan oleh Fidler et al. (2003) memberikan contoh bahwa fortifikasi produk condiment diantaranya kecap dengan menggunakan senyawa NaFeEDTA sangat menguntungkan. Selain karena senyawa ini cenderung tidak mengendap selama penyimpanan, ternyata juga senyawa ini memilki ketersediaaan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan ferro sulfat.
b. Vitamin A Serum Retinol merupakan salah satu bentuk vitamin A dalam serum atau plasma. Dalam keadaan normal, proporsi retinol dapat mencapai 90 %. Oleh karena itu, kadar vitamin A serum seringkali digambarkan sebagai kadar retinol serum yang sekaligus menggambarkan status vitamin A dalam tubuh seseorang. Status vitamin A dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : 1) <10 µg/dl menunjukkan defisiensi; 2) 10 - 20 µg/dl menunjukkan kadar pada tingkat marginal; 3) 20 - <30 µg/dl menunjukkan kadar cukup; dan 4) >30 µg/dl menunjukkan kadar yang baik (Underwood, 1990). Pengukuran retinol serum seringkali juga digunakan di dalam menilai keberhasilan penelitian proyek fortifikasi. Fortifikasi yang berarti menambahkan zat gizi tertentu, dalam hal ini vitamin A ke dalam saus cabe dan kecap sehingga konsentrasi vitamin A-nya meningkat. Dengan meningkatnya konsentrasi vitamin A menyebabkan serum vitamin A meningkat dan vitamin A tersedia dalam jumlah yang cukup banyak untuk jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkannya. Derajat keberhasilan fortifikasi dapat dilihat dari seberapa banyak serum vitamin A yang dapat dinaikkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kecap dan saus cabe yang difortifikasi vitamin A terhadap status vitamin A tikus percobaan. Vitamin A yang dikonsumsi dari kecap dan saus cabe dalam hal ini dapat berfungsi sebagai tambahan asupan vitamin A dari yang sudah ada, yaitu yang berasal dari vitamin mix dalam ransum standar. Jadi, dalam hal ini semua tikus perlakuan mendapatkan asupan vitamin A yang
52
sama dari ransum standar. Hanya saja untuk perlakuan kecap dan saus cabe masing- masing mendapatkan tambahan intik vitamin A dari kecap dan saus cabe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian tambahan asupan vitamin A dari kecap dan saus cabe tidak berpengaruh nyata terhadap kadar retinol serum (Lampiran 17). Gambar 19 menunjukkan hasil pengukuran kadar vitamin A serum. Meskipun secara kuantitatif kadar retinol serum kelompok perlakuan yang diberi saus cabe paling tinggi dibandingkan yang lain yaitu sebesar 36.10 µg/dl, namun sesungguhnya nilai tersebut tidak berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Sedangkan kelompok perlakuan yang diberi kecap tidak menunjukkan peningkatan retinol serum, kadarnya hanya sebesar 29.54 µg/dl. Sedangkan kadar retinol serum untuk masing- masing kelompok yang hanya mendapatkan asupan vitamin A dari ransum yaitu kelompok perlakuan normal sebesar 33.16 µg/dl, kelompok perlakuan kontrol (-) sebesar 28.91 µg/dl dan kelompok perlakuan KIO 3 sebesar 25.27 µg/dl. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok perlakuan kontrol (-), kecap dan KIO 3 memiliki kadar retinol serum pada tingkat yang cukup,
Kadar Retinol Serum (ug/dl)
sedangkan kelompok perlakuan normal dan saus cabe dikategorikan baik.
40
36.1a
33.16a
30
28.91a
29.54a
Kontrol (-)
Kecap
25.27a
20 10 0 Normal
Saus cabe
KIO3
Perlakuan
Gambar 19 Kadar retinol serum pada berbagai kelompok perlakuan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian kecap dan saus cabe tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin A serum, dalam artian pemberian kedua produk tidak meningkatkan vitamin A serum
53
secara signifikan. Sebenarnya pemberian vitamin A saja dari ransum sudah mampu memberikan status vitamin A yang cukup (≥ 20 mg/dl). Dengan tercukupinya kadar retinol dalam serum berarti simpanan vitamin A di dalam hati cukup mampu untuk mengatur vitamin A yang disirkulasikan di dalam darah. Vitamin A dalam darah akan kurang dari normal, hanya apabila cadangan vitamin A di dalam hati sudah sangat menipis atau habis. Oleh karena itu, penambahan vitamin A yang diperoleh dari fortifikasi kemungkinan akan disimpan di dalam hati, sedangkan vitamin A di dalam darah akan tetap konstan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husaini (1982) bahwa vitamin A yang difortifikasikan pada garam tidak menunjukkan kenaikan yang nyata pada anak dengan status vitamin A ≥ 20 mg/dl. Tidak terjadinya peningkatan yang nyata pada serum vitamin A akibat fortifikasi diduga karena kadar vitamin A dalam produk belum cukup jumlahnya. Kadar vitamin A dalam saus cabe rata-rata sekitar 132.87 IU/g dan pada kecap rata-rata sekitar 51.58 IU/g. Adapun rata-rata konsumsi vitamin A dari saus cabe hanyalah sekitar 47.8 IU (14.3 RE) per hari, sedangkan untuk kecap hanyalah sekitar 18.6 IU (5.58 RE) per hari. Jumlah vitamin A yang dikonsumsi tersebut berdasarkan diet takaran saji sebesar 0.36 g/hari.
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak Pada Induk Tikus Umur 30 Hari Penghitungan jumlah sel neuron otak dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian iodium. Iodium bertanggung jawab terhadap produksi hormon tiroksin, sedangkan hormon ini sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan (Ganong, 1989), salah satunya adalah sel otak. Pengamatan dilakukan terhadap otak kiri tikus pada bagian korteks serebri. Dikarenakan bagian ini mempunyai keunggulan dalam hal kemampuan untuk berpikir, komunikasi, mengingat dan menganalisis input oleh sistem syaraf pusat.
54
Pengamatan terhadap sel-sel neuron dipermudah dengan melakukan pewarnaan Hematoksilin- Eosin. Hematoksilin akan mewarnai inti sel sedangkan Eosin akan mewarnai sitoplasma. Jumlah sel neuron otak dihitung per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali. Hasil pengamatan
Jumlah sel neuron (sel/lapang pandang)
dapat dilihat pada Gambar 20 dan Lampiran 18. 100 80
83c
86c
Kecap
Saus
78c
62a
60
47b
40 20 0 Normal
Kontrol (-)
KIO3
Perlakuan
Gambar 20 Jumlah sel neuron otak induk tikus Gambar 20 menunjukkan bahwa perlakuan selama 30 hari terhadap induk tikus umur 30 hari mengakibatkan perbedaan jumlah sel neuron otak. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa perlakuan variasi pemberian iodium berpengaruh nyata terhadap jumlah sel neuron (p<0.05). Tikus yang tidak mendapatkan asupan iodium (kelompok kontrol-) memiliki jumlah sel neuron yang paling sedikit (47 sel/lapang pandang). Penyebab
sedikitnya
jumlah
sel
neuron
disebabkan
oleh
kondisi
hipotiroidisme ringan, akibat sangat rendahnya suplai iodium ke dalam tubuh. Bila kadar iodium yang disuplai ke dalam tubuh lebih kecil dari kebutuhan normal maka pertumbuhan sel dan jaringan akan terhambat. Hasil uji beda Duncan (Lampiran 20) menunjukkan bahwa kelompok kontrol (-) berbeda nyata dengan kelompok normal yang mendapat asupan iodium dari ransum. Secara biologis kelompok normal memiliki jumlah sel yang lebih banyak yaitu sebesar 62 sel/lapang pandang.
Kemungkinan
suplai iodium yang didapatkan dari ransum mampu untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk melakukan proses metabolisme secara optimal.
55
Kelompok kecap, saus cabe dan KIO 3 memiliki jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya. Jumlah sel yang terhitung untuk masing- masing kelompok perlakuan tersebut berturutturut adalah 83, 86, 78 sel/lapang pandang. Hasil uji beda Duncan (Lampiran 20) menunjukkan ketiga kelompok ini berbeda nyata dengan kelompok normal dan kontrol (-). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kecap dan saus cabe secara teratur mampu mencukupi kebutuhan tubuh akan iodium. Selain itu, hal tersebut membuktikan bahwa fortifikasi iodium ke dalam kecap dan saus cabe secara efektif mampu meningkatkan jumlah sel neuron otak. Bakal calon induk tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berusia tiga minggu (umur sapih). Pada usia tersebut kemungkinan besar organ otaknya belum berhenti tumbuh, karena 30% dari bagian otak terbentuk pada kurun waktu tersebut. Oleh karena itu kecukupan berbagai mikronutrien yang terkait dengan perkembangan otak menjadi sangat penting, diantaranya adalah iodium. Iodium dibutuhkan dalam pembentukan hormon tiroid, untuk sintesis tri- iodotironin dan tiroksin. Hormon tiroksin sangat penting dalam proses pembentukan neurofil di berbagai tempat pada otak. Dalam hal ini, iodium khususnya berfungsi untuk pembentukan dendrit dan pemanjangan akson dalam sel neuron. Jumlah sel neuron otak yang terhitung untuk masing- masing perlakuan ternyata berkorelasi positif terhadap kerapatan dan penyebaran sel. Semakin banyak jumlahnya cenderung tingkat kerapatannya semakin tinggi. Seperti yang terlihat pada Gambar 21, tingkat kerapatan sel yang rendah serta penyebaran yang tidak merata ditunjukkan oleh tikus kelompok perlakuan yang kekurangan iodium (perlakuan kontrol (-)).
56
Normal
Kecap
Kontrol (-)
Saus cabe
KIO 3
Gambar 21 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks induk tikus (perbesaran 200 kali) 3. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Tikus Percobaan Umur 30 Hari Kemampuan belajar tikus percobaan diuji dengan menggunakan kotak labirin berukuran 120 cm x 60 cm x 15 cm. Bagian dalam kotak diberi banyak penyekat yang dimaksudkan untuk membingungkan tikus dan menguji sejauh mana tikus mampu menghafal jalan yang sebenarnya. Tiga fase diperlukan dalam pengujian ini, yaitu : a) fase pengenalan terhadap sasaran, b) fase pelatihan dan c) fase pengujian untuk mencapai sasaran. Fase pelatihan dan pengujian diulang sebanyak tiga kali. Hasil pengukuran pada fase pengujian menunjukkan derajat kemampuan belajar tikus percobaan. Pada prinsipnya, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mancapai sasaran berarti kemampuan belajar semakin baik. Hasil uji kemampuan belajar dari lima kelompok tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 22 :
57
Waktu tempuh (detik)
60 50.1d 50 40 29.63c 30 18.35ab
20
21.26b 14.89a
10 0 Normal
Kontrol (-)
Kecap
Saus
KIO3
Perlakuan
Gambar 22 Kemampuan belajar induk tikus percobaan
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap kemampuan belajar tikus percobaan. Tikus kelompok perlakuan KIO 3 memiliki waktu tempuh tercepat (14.89 detik), diikuti kelompok perlakuan kecap (18.35 detik), saus cabe (21.26 detik), normal (29.63 detik) dan kontrol (-) (50.10 detik). Uji lanjut dengan menggunakan Duncan (Lampiran 22) memperlihatkan bahwa kelompok yang
mendapatkan asupan iodium
dari
KIO 3
secara
oral
tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kelompok perlakuan tikus yang mendapat konsumsi kecap. Sedangkan antara kelompok perlakuan yang diberi kecap dan kelompok perlakuan yang diberi saus tidak berbeda nyata, namun berbeda dengan kelompok perlakuan nomal yang mendapat asupan iodium dari mineral mix dalam ransum. Kelompok perlakuan kontrol negatif yang tidak mendapatkan asupan iodium juga berbeda nyata dengan empat kelompok lainnya dan menunjukkan waktu tempuh terlama. Dengan demikian derajat kemampuan belajar tikus ditentukan salah satunya oleh pemberian iodium, karena iodium berperan secara langsung terhadap jaringan otak yang terlihat pada jumlah sel neuron korteks serebri. Jumlah sel neuron ini berkorelasi positif terhadap kemampuan belajar tikus. Semakin banyak jumlah sel neuron otak maka semakin banyak memori yang dapat disimpan sehingga kemampuan belajarnya semakin baik. Dan juga, dengan semakin banyak jumlah sel neuron maka impuls- impuls syaraf dapat disampaikan dalam waktu yang relatif lebih singkat. Memori yang cukup
58
serta kecepatan impuls syaraf merupakan prasyarat proses belajar yang baik, karena dalam suatu proses belajar melibatkan pembiasaan, kondisional alat, belajar pengertian dan mengesankan suatu proses. Selain itu, kecukupan asupan iodium berpengaruh positif terhadap tercukupinya hormon tiroid bagi tubuh. Hormon tiroid akan mempengaruhi kecepatan fungsi mental dan kepekaan terhadap rangsang.
D. PENELITIAN BAGIAN KEEMPAT Bagian keempat dari penelitian ini dilakukan untuk melihat manfaat pemberian kecap dan saus cabe yang telah difortifikasi terhadap berat lahir anak tikus umur empat hari. Serta dilakukan pengujian manfaat iodium pada kedua produk dalam mempengaruhi perkembangan jumlah sel neuron otak dan kemampuan belajar anak tikus umur empat dan 30 hari. 1. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Lahir Hasil penimbangan rata-rata berat anak tikus umur empat hari disajikan pada Tabel 14. Dalam tabel tersebut juga disertakan perhitungan rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh induk dari masing- masing perlakuan. Penimbangan berat lahir dilakukan terhadap anak tikus umur empat hari. Hal ini dilakukan dengan alasan pada saat baru lahir, anak tikus terlalu beresiko untuk ditimbang karena kondisinya yang masih sangat lemah dan ukurannya yang masih sangat kecil sehingga ditakutkan akan mengalami kematian. Tabel 14 Berat lahir anak tikus Perlakuan Normal Kontrol(-) Jumlah anak tikus (ekor) 6 8 Berat lahir (gram) 8.1 6.4
Kecap 9 6.6
Saus cabe 7 7.9
KIO 3 8 6.7
Dari Tabel 14 diketahui bahwa berat lahir terkecil dimiliki oleh kelompok kontrol (-), diikuti berturut-turut oleh kelompok perlakuan kecap, KIO 3 , saus cabe dan normal. Besar kecilnya bobot lahir anak tikus sangat ditentukan oleh kecukupan zat gizi induk yang dibutuhkan untuk
59
pertumbuhan janin dalam kandungan. Zat gizi yang dibutuhkan sangatlah banyak diantaranya adalah komponen trace element seperti iodium. Hormon tiroid umumnya bekerja dalam biokimia seluler untuk pertumbuhan fetus di dalam kandungan. Sepertinya berat lahir ini dipengaruhi juga oleh jumlah anak yang dilahirkan yang dapat dilihat dari rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada masing- masing perlakuan. Kecenderungan menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya jumlah anak yang dilahirkan maka berat lahir anak akan semakin kecil.
2. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Otak Anak Tikus Pengamatan terhadap berat otak anak tikus dilakukan untuk melihat pengaruh kecukupan konsumsi zat gizi khususnya iodium terhadap pertumbuhan normal otak. Hasil pengamatan terhadap rata-rata berat otak anak tikus dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rata-rata berat otak anak tikus umur 30 hari Perlakuan Normal Kontrol (-) Kecap Saus cabe Berat otak 3.30 3.18 3.62 3.43 (g/100 g BB)
KIO 3 3.38
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap berat otak anak tikus (p>0.05) (Lampiran 23). Secara kuantitatif kelompok perlakuan kecap mempunyai berat otak tertinggi. Namun demikian, tidak berbeda secara signifikan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya yang juga mendapatkan asupan iodium (kelompok normal, saus cabe, KIO 3 ). Berat otak anak tikus kelompok perlakuan kontrol (-) paling kecil diantara yang lainnya, meskipun secara statistik juga tidak berbeda nyata dengan kelompok normal, kecap, saus cabe dan KIO 3 . Berdasarkan data di atas kondisi hipotiroidisme yang diberikan pada induk tikus kelompok kontrol (-) mengakibatkan berat otaknya lebih kecil dibandingkan kelompok lainnya. Sethi dan
Kapil (2004) melakukan review terhadap penelitian-
penelitian sebelumnya dan menyatakan bahwa dampak kekurangan iodium
60
terhadap anak tikus salah satunya adalah perubahan bentuk dan pengurangan berat otak. 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Sel Neuron Otak pada Anak Tikus Umur Empat dan 30 hari Penghitungan jumlah sel neuron otak anak tikus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kecukupan zat gizi iodium yang diberikan pada induk berpengaruh terhadap pertumbuhan otak anak. Anak tikus umur empat hari
mewakili gambaran pertumbuhan otak bayi baru lahir,
sedangkan anak tikus umur 30 hari diharapkan mewakili usia kanakkanak. Hasil penghitungan jumlah sel neuron otak kiri pada bagian korteks serebri anak tikus umur empat hari per lapang pandang dengan perbesaran 400 kali dapat dilihat pada Tabel 16 serta Lampiran 24. Tabel 16 Jumlah sel neuron otak anak tikus umur 4 dan 30 hari Rata-rata jumlah sel neuron per lapang pandang Perlakuan Anak 4 hari Anak 30 hari (perbesaran 400x) (perbesaran 200x) Normal 47±10.41ab 77±4.04b Kontrol (-) 44±12.01a 58±5.51a Kecap 75±8.19c 80±5.77b Saus cabe 64±5.86bc 80±6.35b KIO 3 53±0.71ab 63±10.69a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 25) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur empat hari. Anak tikus yang terlahir dari induk perlakuan kecap memilki jumlah sel terbanyak (75 se/lapang pandang), uji beda Duncan (Lampiran 26) menyatakan kelompok ini tidak berbeda nyata dengan kelompok saus cabe (64 sel/lapang pandang) akan tetapi berbeda nyata dengan kelompok KIO 3 (53 sel/lapang pandang). Sedangkan anak tikus yang terlahir dari induk perlakuan kontrol (-), normal dan KIO 3 tidaklah berbeda secara signifikan. Perlakuan kontrol (-) dan normal
61
masing- masing hanya menunjukkan jumlahnya sebesar 44 dan 47 sel/lapang pandang. Dari segi kerapatan, jumlah sel berbanding lurus dengan kerapatan. Perlakuan kecap memperlihatkan susunan sel yang lebih rapat, diikuti perlakuan saus cabe dan KIO 3 yang tidak terlalu berbeda kerapatannya. Sedangkan perlakuan normal dan kontrol (-) memiliki kerapatan yang rendah dengan sedikitnya jumlah sel yang dimilki. Struktur sel neuron korteks serebri otak kiri anak tikus umur empat hari dapat dilihat pada Gambar 23 . Berdasarkan data diatas, kemungkinan besar kecap dan saus cabe yang difortifikasi iodium mampu memenuhi kebutuhan iodium induk, bahkan pada saat hamil dan menyusui sekalipun. Pada fase janin dan bayi setelah dilahirkan kebutuhan nutrisinya akan sangat tergantung pada kecukupan nutrisi dari induknya.
Normal
Kontrol (-)
Saus cabe
Kecap
KIO 3
Gambar 23 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks anak tikus umur empat hari (perbesaran 400 kali) Jumlah sel neuron anak yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh status iodium induk pada masa kehamilan dan menyusui. Semakin baik
62
status iodium induk maka jumlah sel neuron anak akan semakin banyak dan sebaliknya. Hal ini dikarenakan perkembangan otak terjadi sangat pesat pada saat janin (trimester pertama) dan periode awal setelah kelahiran (umur 3 tahun) (Singh, 2004). Penelitian terakhir menunjukkan, transfer T4 dari ibu ke janin pada awal kehamilan sangat penting untuk perkembangan otak janin. Bilamana ibu kekurangan iodium sejak awal kehamilannya maka transfer T4 ke janin akan berkurang sebelum kelenjar tiroid janin berfungsi. Dengan demikian, perkembangan otak janin sangat tergantung pada hormon tiroid ibu pada trimester pertama kehamilan, apabila ibu kekurangan iodium maka akan berakibat pada rendahnya kadar hormon tiroid ibu dan janin. Dalam trimester kedua dan ketiga kehamilan, janin sudah dapat membuat hormon tiroid sendiri, namun apabila terjadi kekurangan iodium pada masa ini maka juga akan berakibat pada kurangnya pembentukan hormon tiroid, sehingga berakibat hipotiroidisme pada janin. Adapun hasil penghitungan jumlah sel neuron otak kiri anak tikus umur 30 hari per lapang pandang dengan pembesaran 200 kali dapat dilihat pada Tabel 16 serta Lampiran 27. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah sel neuron anak tikus umur 30 hari (Lampiran 28). Berdasarkan uji beda Duncan (Lampiran 29) kelompok perlakuan kontrol (-) tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan KIO 3 , namun berbeda nyata dengan kelompok perlakuan normal, kecap dan saus cabe. Dalam hal ini, kelompok kontrol (-) mempunyai jumlah sel terkecil (58 sel/lapang pandang) sedangkan perlakuan KIO 3 mempunyai jumlah sel (63 sel/lapang pandang). Antara kelompok perlakuan normal, kecap dan saus cabe tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, masing- masing memilki jumlah sel sebesar 77, 80 dan 80 sel /lapang pandang. Berdasarkan data tersebut, pemberian saus cabe dan kecap masih memiliki kecenderungan dalam meningkatkan jumlah sel neuron otak anak tikus umur 30 hari.
63
Normal
Kontrol (-)
Saus cabe
Kecap
KIO 3
Gambar 24 Gambaran histologi otak kiri bagian korteks anak tikus umur 30 hari (perbesaran 200 kali) Pada fase anak setelah dilahirkan, fungsi tiroid berhubungan erat dengan keadaan otak pada saat bayi itu lahir. Pada bayi baru lahir, pertumbuhan otak baru mencapai sepertiga, kemudian terus berkembang dengan cepat sampai usia dua tahun. Hormon tiroid pembentukannya sangat tergantung pada kecukupan iodium, dan hormon ini sangat penting untuk perkambangan otak normal. Sedangkan kecukupan iodium pada fase ini sangat tergantung pada kecukupan asupan iodium ibu menyusui dan makanan tambahan yang diberikan. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan utama bagi bayi beberapa lama setelah dilahirkan. Kualitas nutrisi ASI dapat ditingkatkan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi ibu menyusui dari makanan yang dikonsumsi atau dengan memberikannya suplemen. Apabila langkah tersebut terabaikan maka tidak akan terjadi pengoreksian terhadap kekurangan iodium yang mungkin terjadi sejak bayi dilahirkan. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hipotiroidisme yang akan menetap sejak bayi sampai masa anak. Kondisi demikian akan
64
berakibat pada retardasi perkembangan fisik dan mental, serta resiko kelainan mental yang sangat tinggi. Struktur sel neuron korteks serebri otak kiri anak tikus umur 30 hari dapat dilihat pada Gambar 24 . 4. Pengaruh Jumlah Sel Neuron terhadap Kemampuan Belajar Anak Tikus Umur 30 hari Hasil uji kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari dapat dilihat pada Gambar 25. Analisis sidik ragam (Lampiran 30) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kemampuan belajar anak tikus 30 hari. Kemampuan belajar tercepat dimiliki oleh kelompok perlakuan kecap (12.62 detik), diikuti kelompok perlakuan saus cabe (14.85 detik), KIO 3 (20.77 detik), normal (19.44 detik) dan kemampuan belajar terla mbat tetap dimilki kelompok kontrol (-) seperti halnya pada
Waktu tempuh (detik)
induk dengan waktu tempuh 36.52 detik. 40 35 30 25
36.52c
20.77b
19.44b
20 15 10 5 0
12.62a
Normal
Kontrol (-)
Kecap
14.85a
Saus
KIO3
Perlakuan
Gambar 25 Kemampuan belajar anak tikus umur 30 hari Uji beda menggunakan Duncan (Lampiran 31) memperlihatkan bahwa perlakuan yang diberi kecap tidak berbeda nyata dengan kelompok yang diberi saus cabe, namun berbeda nyata dengan tiga kelompok lainnya. Sedangkan kelompok perlakuan saus cabe tidak berbeda nyata dengan kelompok KIO 3 . Kelompok normal dan kontrol (-) berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lainnya.
65
Kemampuan belajar ini tetap saja terkait erat dengan jumlah sel neuron otak yang dimiliki oleh masing- masing perlakuan. Pembentukan sel neuron pada anak tikus sangat ditentukan oleh kecukupan asupan iodium dari induknya. Tikus dengan umur 30 hari merupakan tikus yang baru saja disapih, sehingga praktis selama hidupnya hanya mengandalkan makan dari air susu induknya. Terjaminnya asupan zat gizi induk akan sangat berperan bagi pertumbuhan dan kecerdasan anak. Seperti yang sudah dipaparkan bahwa pertumbuhan otak dimulai sejak janin hingga bayi setelah dilahirkan. Sejalan dengan penelitian yang seringkali dilakukan pada anak sekolah yang tinggal di daerah kekurangan iodium menunjukkan prestasi belajar dan IQ kurang dibandingkan dengan kelompok umur yang sama dari daerah yang berkecukupan iodium. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kekurangan iodium mengakibatkan keterampilan kognitif rendah. Keadaan ini dapat dikatakan sebagai hipotiroidisme otak, yang akan menyebabkan bodoh dan lesu, hal ini merupakan tanda hipotiroidisme pada anak dan dewasa. Keadaan lesu dapat kembali normal bila diberikan koreksi iodium, namun lain halnya jika keadaan yang terjadi di otak. Kelainan yang terjadi pada otak akibat adanya gangguan dalam pembentukan neurofil saat fase pembentukannya, dalam hal ini kekurangan iodium, cenderung bersifat permanen. Adapun keadaan lesu lebih terkait pada fungsi iodium sebagai pengontrolan konsumsi oksigen oleh sel dan tingkat metabolisme sel.
66