IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi
4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1. Status sifat kimia tanah yang diteliti berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009).
Tabel 1. Data Analisis Awal Ultisol Gunung Sindur No
Analisis
Metode
Hasil
1
pH pH H2O
pH meter
5.4
2
C-organik
Walkley dan Black
2.31
%
Sedang
3
N-total
N-Kjeldahl
0.22
%
Sedang
4
P-tersedia Bray I
12.1
Mg kg-1
P-Bray I P-HCl 25 % 5
Satuan
Status Hara
Masam
Tinggi -1
HCl 25%
447
Mg (100g)
NH4OAc pH 7.0
1.43
Cmol+ kg-1
Tinggi
basa-basa Ca Mg K Na
NH4OAc pH 7.0 NH4OAc pH 7.0 NH4OAc pH 7.0
1.33 0.19 0.18
Sangat Rendah
+
-1
Sedang
+
-1
Rendah
+
-1
Sedang
+
-1
Cmol kg Cmol kg Cmol kg
6
KTK
NH4OAc pH 7.0
16.8
Cmol kg
Sedang
7
KB
NH4OAc pH 7.0
20.8
%
Rendah
+
-1
8
Al
KCl 1 N
0.38
Cmol kg
9
H
KCl 1 N
0.22
Cmol+ kg-1
10
unsur mikro Fe
HCl 0.05 N
3.60
Mg kg-1
Cu
HCl 0.05 N
2.40
Zn
HCl 0.05 N
4.56
Mn
HCl 0.05 N
12.5
tekstur
pipet
-----
11
Mg kg-1
pasir
5.38
%
debu
53.6
%
liat
41.0
%
Status sifat kimia tanah dinilai berdasarkan kriteria Soepratohardjo et al. (1983). Ultisol di Gunung Sindur ini mempunyai pH yang tergolong masam. Kapasitas tukar kation (KTK) masuk dalam kategori sedang sementara kejenuhan basa (KB) masuk dalam kategori rendah. Kejenuhan Al termasuk rendah. N-total dan C-organik masuk dalam kategori sedang. P-tersedia yang diukur dengan metode Bray 1 pada tanah ini tergolong tinggi. Dari hasil analisis pendahuluan Ultisol Gunung Sindur relatif lebih subur dibandingkan dengan lahan kering masam pada umumnya. Hal ini karena pemupukan organik di tempat ini telah lama dilakukan.
4.1.2. Karakteristik Kotoran Sapi Yang Digunakan Kotoran sapi dianalisis untuk mengetahui sifat kimianya. Kadar air kotoran sapi didapat sebesar 26.1 %. Analisis C-organik dengan metode pengabuan kering didapat nilai sebesar 32.3 %. Kadar abu yang juga diukur dengan metode pengabuan kering didapat sebesar 44.2 %. Analisis N-total dengan metode NKjeldahl didapatkan hasil sebesar 0.74 %. Analisis P total dari destruksi menggunakan asam-asam kuat HClO4 dan HNO3 didapatkan hasil 0.44 %. Nisbah C/N kotoran sapi didapatkan hasil sebesar 43.7, nisbah C/N yang tinggi ini menunjukan bahwa kotoran sapi yang akan digunakan ini belum matang.
Tabel 2. Analisis Kotoran Sapi Jenis Analisis KA
Hasil (%) 26.1
C-organik
32.3
Kadar abu
44.2
N-total
0.74
P-total
0.44
4.2
Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar Corganik Ultisol Gunung Sindur Data hasil analisis C-organik pada minggu-minggu pengamatan disajikan
pada Tabel 3 dan Gambar 3. Pada minggu ke-1 sampai minggu ke-6 rata-rata kadar C-organik di dalam tanah pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 terus mengalami peningkatan dengan puncaknya pada minggu ke-6. Kadar Corganik pada petak percobaan mulai menurun pada minggu ke-7. Pada minggu ke8 baik petak perlakuan maupun petak kontrol mengalami titik dimana jumlah kadar C-organik hampir sama, hal ini mungkin dikarenakan tingginya curah hujan. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kotoran sapi yang terdapat pada tanah tercuci. Kadar C-organik di Ultisol Gunung Sindur mulai stabil menuju pada kadar C-organik semula pada minggu ke-14. Hal ini tidak berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian yang sama di Andisol Lembang (Adistia, 2010).
Tabel 3. Perbandingan Kadar C-Organik pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol Inkubasi
Kadar C-organik (%)
Kadar C-organik (%)
(Minggu)
Kontrol
Perlakuan
1
1,07
1,21
2
1,10
1,92
3
1,15
2,05
4
2,19
2,62
6
2,91
3,07
8
1,92
1,98
10
1,60
1,55
14
1,45
1,61
3.50
Kadar c-organik (%)
3.00 2.50 2.00 1.50
Kontrol
1.00
Perlakuan
0.50 0.00 1
2
3
4
6
8
10
14
Minggu
Gambar 3. Kadar C-organik Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. 4.3 Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar NH4+ (amonium) dan NO3- (nitrat) pada Ultisol Gunung Sindur. Data hasil pengukuran amonium dari minggu ke-1 sampai minggu ke-14 disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4. Tabel 4 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar amonium meningkat sampai minggu ke-4. Mulai minggu ke-5 kadar amonium menurun dan stabil menuju ke kadar amonium semula. Nilai kadar amonium petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 dan kontrol mengalami kesetimbangan pada minggu ke-14. Hubungan antara kadar amonium dan waktu pengambilan sampel tidak dapat disimulasikan dengan menggunakan persamaan first order kinetic karena bentuk kurvanya yang tidak memenuhi syarat first order kinetic. Hal ini mungkin karena amonium bukan hasil akhir dari mineralisasi nitrogen. Dari data amonium dan nitrat, sebagian besar mineralisasi nitrogen terakumulasi menjadi nitrat. Hal ini ditunjukkan nilai nitrat yang jauh lebih tinggi dibandingkan amonium.
Tabel 4. Perbandingan Kadar NH4+ pada Tanah Petak Kontrol dengan Petak Kotoran Sapi. Kadar NH4+ (mg kg-1)
Inkubasi (Minggu)
Petak Kontrol
Petak Kotoran Sapi
1
25.8
32.1
2
31.0
45.1
3
43.5
58.9
4
49.6
68.1
6
49.8
64.1
8
47.0
57.8
10
43.1
46.9
14
35.2
36.8
Kadar NH4 + (mg kg-1)
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00
Kontrol
30.00
Perlakuan
20.00 10.00 0.00 0
5
Minggu 10
15
Gambar 4. Kadar NH4+ Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Kadar nitrat disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Kadar nitrat meningkat dengan meningkatnya minggu inkubasi. Kadar nitrat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonium baik pada petak kontrol dan petak perlakuan.
Tabel 5. Perbandingan Kadar NO3- pada Tanah Petak Kontrol dengan Petak Kotoran Sapi. Kadar NO3- (mg kg-1)
Inkubasi (Minggu)
Petak kontrol
Petak kotoran sapi
1
259
257
2
347
356
3
407
428
4
405
446
6
485
573
8
504
609
10
540
639
14
462
603
700
NO3 (ppm)
600 500 400 Perlakuan 300 Kontrol 200 100 0 0
5
10
15
waktu (minggu)
Gambar 5. Kadar NO3- Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Tingginya nitrat dibandingkan dengan amonium terkait dengan pH tanah. Hasil analisis pH disajikan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa pH lokasi percobaan adalah sekitar 5. Sementara pH tanah petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 lebih tinggi sekitar 0.7 satuan pH dibandingkan dengan kontrol sampai minggu ke-10. pH tanah baik di petak kontrol dan petak percobaan relatif tidak
terlalu masam (agak masam). Kemudian fosfor tersedia di plot percobaan relatif tinggi. Kondisi ini menguntungkan reaksi nitrifikasi, dimana NH4+ cepat berubah menjadi nitrat (Funakawa et al., 2008). Hal inilah yang menyebabkan kadar nitrat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan amonium. 5.8 5.6
pH
5.4 5.2 Plot kontrol
5
Plot perlakuan
4.8 4.6
1
2
3
4
6
8
10
14
waktu (minggu)
Gambar 6. pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Hubungan antara kadar nitrat dan waktu pengambilan sampel secara sangat baik digambarkan dengan persamaan first order kinetic. Tabel 6 menyajikan nilai konstanta kecepatan mineralisasi N dan N potensial yang dapat dimineralisasi menjadi nitrat. Tabel 6. Konstanta Kecepatan dan N maximum yang dapat dimineralisasi menjadi nitrat Perlakuan
Kontrol Kotoran sapi (20 ton ha-1)
N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1) 494
K (minggu-1)
R2
0.61
0.89**
620
0.41
0.95**
** sangat nyata
Dari Table 6 dapat dilihat bahwa potensi N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat pada perlakuan kotoran sapi lebih besar dan mempunyai konstanta kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian kotoran sapi meningkatkan N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat.
Dari hasil simulasi dengan pesamaan kinetik oder pertama, bahwa N yang berpotensi termineralisasi pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 akan seluruhnya menjadi nitrat pada minggu ke-14. N-tersedia yang merupakan jumlah amonium dan nitrat disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Tabel 7 dan gambar 7 menunjukkan bahwa mulai dari minggu pertama kadar N-tersedia pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan petak kontrol. Penambahan bahan organik pada tanah mempengaruhi kadar N-tersedia di tanah, hal ini terlihat pada perbedaan jumlah N-tersedia pada petak kontrol dan petak perlakuan yang diberikan kotoran sapi. Pada minggu ke-14, N yang berpotensi menjadi N tersedia habis termineralisasi.
Tabel 7. Perbandingan Jumlah N-tersedia pada Plot Kontrol dan Plot Kotoran Sapi. Inkubasi
N-tersedia (amonium + nitrat) (mg kg-1)
(Minggu)
Total Kontrol (mg kg-1)
Total Perlakuan (mg kg-1)
1
284
290
2
378
401
3
450
487
4
454
514
6
535
609
8
551
656
10
583
697
14
498
640
800.00
N-tersedia (ppm)
700.00
N-tersedia kontrol
600.00 500.00 400.00 300.00
Perlakuan Ntersedia
200.00 100.00 0.00 0
5 10 Waktu (minggu)
15
Gambar 7. Kadar N-tersedia pada plot kontrol dan plot perlakuan selama 14 minggu. Hubungan antara kadar N-tersedia dan waktu pengambilan sampel secara sangat baik digambarkan dengan persamaan first order kinetic. Tabel 8 menyajikan nilai konstanta kecepatan mineralisasi N dan N potensial yang dapat dimineralisasi menjadi N-tersedia. Tabel 8. Konstanta kecepatan dan N maximum yang dapat dimineralisasi menjadi N-tersedia Perlakuan
Kontrol Kotoran sapi (20 ton ha-1)
N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1) 538
K (minggu-1)
R2
0.63
0.90**
665
0.46
0.96**
** sangat nyata
Jumlah N yang berpotensi termineralisasi menjadi N-tersedia pada perlakuan kotoran sapi adalah 665 mg kg-1. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai jumlah N yang berpotensi termineralisasi sebanyak 538 mg kg-1. Konstanta kecepatan pada petak perlakuan kotoran sapi sebesar 0.46 minggu-1 dimana lebih lambat dibandingkan dengan kontrol yang
mempunyai konstanta kecepatan 0.63 minggu-1. Jumlah N yang berpotensi termineralisasi pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 di Ultisol Gunung Sindur lebih besar dan mempunyai konstanta kecepatan yang juga lebih besar dibandingkan pada Andisol Lembang yang mempunyai jumlah N yang berpotensi termineralisasi sebesar 560 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.23 minggu-1 (Adistia, 2010). N yang berpotensi termineralisasi akan habis termineralisasi pada minggu ke-14 sama halnya dengan yang termineralisasi menjadi nitrat. Sementara untuk Andisol adalah 30 minggu (Adistia, 2010). Waktu yang dibutuhkan untuk N yang berpotensi termineralisasi pada perlakuan kotoran sapi di Ultisol Gunung Sindur lebih cepat dibandingkan dengan Andisol Lembang mungkin disebabkan karena perbedaan karakteristik iklim. Di Gunung Sindur lebih panas dibandingkan dengan Lembang.