19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kitosan Kitosan adalah poli – (2 – amino – 2- deoksi – β – (1 – 4 ) – D – glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n
yang dapat diperoleh dari
deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85 – 93% (Sugitadkk., 2009). 2.1.1. Struktur Kitosan adalah suatu rantai linear dari D – Glukosamin dan N – Asetil D – Glukosamin yang terangkai pada posisi β (1-4 ).(Adriana et al, 2003). Kitosan adalah suatu kitin N – deasetilasi yaitu biomaterial yang mempunyai sifat biologi yang efektif seperti aktivitas bakteri (Sashiwa, 2003) , biodegradable, biokompatibel, dan tidak beracun (Kaban, 2006). Kitosan juga terdapat secara alami dalam beberapa jamur namun tidak sebanyak kitin. Struktur idealnya dapat dilihat dari gambar 1 :
Gambar 1. Struktur Kitosan
20
Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa ≈ 6,5) hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan : a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membrane, pelapis kapsul, serat dan spons. b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul, dan membran. c. Dapat digunakan sebagai pengkhelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan
sistem
produksi
terhadap
efek
dekstruksi
dari
ion
(Meriaty,2002). 2.1.2. Sifat – Sifat Fisika dan Kimia 2.1.2.1. Sifat Fisika Kitosan adalah padatan amorf putih yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu.Kitosan merupakan molekul polimer yang mempunyai berat molekul tinggi.Kitosan dengan berat molekul yang tinggi didapati dengan mempunyai viskositas yang baik dalam suasana asam.Kitosan hasil deasetilasi kitin larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam formiat, dll.Kitosan dapat membentuk gel dalam n – metilmorpin n – oksida yang dapat digunakan dalam formulasi pelepasan obat terkendali. Kandungan nitrogen dalam kitin berkisar 5 – 8% tergantung pada tingkat deasetilasi sedangkan nitrogen pada kitosan kebanyakan dalam bentuk gugus amino. Maka kitosan bereaksi melalui gugus amino dalam pembentukan N – asilasi dan reaksi Schiff yang merupakan reaksi yang penting (Kumar, 2000). 2.1.2.2 Sifat Kimia Adanya gugus amino dan hidroksil dari kitosan juga menyebabkan kitosan mudah dimodifikasi secara kimia antara lain dalam reaksi pembentukan : a. N – Asil Metode yang paling sederhana adalah dengan mereaksikan asam karboksilat dengan kitosan. Pemanasan larutan kitosan dalam asam formiat 100% pada suhu 90oC dengan penambahan piridin sedikit demi sedikit untuk
21
menghasilkan N – formilatosan serta N – Asetil dalam asetat 20%. Pereaksi yang paling banyak digunakan untuk N – Asilasi kitosan adalah asil anhidrida, baik dalam kondisi homogen dan heterogen b. O – Asilasi Gugus amino kitosan lebih reaktif daripada gugus hidroksilnya. Gugus amino perlu diproteksi selama proses asilasi untuk menghasilkan O – asil Kitosan. Metode proteksi yang dilakukan antara lain melalui pembuatan basa Schiff disusul O – Asetilasi menggunakan larutan untuk mencegah hidrolisis asam dan basa Schiff.Pembuatan O – Asetil Kitosan dapat juga dilakukan dengan melarutkan kitosan terasetilasi dalam asam formiat 90% yang mengandung asetat anhidrida dengan HClO4 dengan asumsi protonasi akan mencegah terjadinya N – Asetilasi. N – dan O – Asetilasi kitosan juga dapat diperoleh bersamaan dengan menggunakan asil klorida. Caranya dengan merefluks kitosan dalam dodekanoil klorida berlebih – piridin – kloroform dan ditambah asam klorida sesudah direfluks 5 jam. Produk yang diperoleh sesudah 9 jam larut dalam kloroform, benzene, dietil eter, dan piridin. c. Eter Kitosan Pembuatan turunan O – alkil kitosan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu O – Alkilsi kitin disusul pengurangan N – Asetilasi dan O – Alkilasi derivatif kitosan dimana gugus amino diproteksi selama reaksi alkilasi. Karboksimetil kitosan yang dipeorleh melalui prosedur pertama menghasilkan garam natrium dengan gugus amin bebas dalam bentuk busa ataupun garam hidroklorida dari asam amino dengan gugus karboksimetil dalam bentuk asam.Sensitifitas
terhadap
penambahan
elektrolit
meningkat
dengan
bertambahnya karboksimetilasi.Perlakuan alkali kitin dengan epiloklorohidrin pada 0 – 15oC disusul deasetilasi menghasilkan O – hidroksialkil kitosan (Kaban, 2007). Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif molekul permukaan (Sugita dkk., 2009).
22
2.1.3. Modifikasi Kitosan Kitosan dapat dimodifikasi menjadi berbagai bentuk seperti serpih, hidrogel, membran dan butiran. Perbedaan bentuk kitosan akan mempengaruhi pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar. a. kitosan berbentuk serpihan Afinitas kitosan bentuk serpihan telah diuji coba terhadap ion Pb+2, Ni+2, dan Cr+2 dan persentase pengikatan adalah 84 – 98, 40 – 92, dan 17 – 46% berturut – turut. b. hidrogel kitosan Pelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan cara sederhana untuk membentuk hidrogel
kitosan. Hidrogel kitosan yang dibentuk oleh
penambahan bahan senyawa penaut silang disebut hidrogel kitosan kovalen atau ionik. Penaut silang yang digunakan merupakan molekul berbobot molekul lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan ditautkan. c. kitosan berbentuk membran Membran dapat disiapkan dengan menggunakan beberapa metode antara lain pelelehan, pengepresan, track – etching, dan pembalikan fase. Pembalikan fase adalah proses yang mengubah polimer dari bentuk larutan menjadi bentuk padatan secara terkontrol. Asnel (2008) membuat membran gel kitosan – alginat dengan penaut silang glutaraldehida. d. kitosan berbentuk butiran Kitosan dapat dibuat menjadi bentuk butiran dengan pelarutan 3 gram kitosan dalam 100 ml larutan asam asetat 1% yang diteteskan pada larutan NaOH 4% maka diperoleh butiran berbentuk bola. Kitosan berbentuk butiran yang terbentuk dikumpulkan dan dicuci dengan akuades. Shentu, et al telah membuat kitosan dalam bentuk butiran yang digunakan untuk proses adsorpsi enzim catalase (Sugita dkk., 2009). 2.2. Alginat Alginat adalah polisakarida anionik berasal dari rumput laut coklat yang bersifat biokompatibel dan biodegradable dimana terdiri dari β – D Manuronat dan α – L – Guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1 – 4) dengan berbagai perbandingan
23
G / M. Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat (Wang et al., 2006) Asam alginat diperoleh dari Rhodophyceae – alga cokelat yang merupakan tumbuhan laut.Dihasilkan di Amerika Serikat dan pada umumnya dalam jenis Macrocytis Pirefera, tumbuhan laut yang besar (Robinson, 1987).Alga umumnya diekstraksi dengan alkali dan biasanya diendapkan dari ekstraknya dengan asam ataupun garam kalsium (Caserio, 1977). 2.2.1. Pembuatan Alginat Asam alginat terdapat sebagai garam – garam kalsium, magnesium, dan natrium.Tahap pertama pembuatan alginat adalah dengan mengubah kalsium dan magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang larut dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkali.
Proses pertukaran ion alginat dilakukan dengan mineral asam sebelum diekstraksi dengan alkali.
Larutan natrium alginat kasar yang diperoleh di filtrasi dan diendapkan dengan Ca+2 untuk membentuk garam kalsium yang tidak larut. Selanjutnya pemisahan dilakukan dengan proses asidifikasi untuk memisahkan asam alginat dan ion – ion kalsium.
Kemudian gel asam alginat, setelah didehidrasi dicampurkan dengan alkali (Na2CO3) untuk membuat kembali garam natrium yang larut.
Akhirnya diperoleh pasta natrium alginat lalu dikeringkan dan digiling untuk memperoleh bubuk natrium alginat (Zhanjiang,1990).
24
Setiap produksi dari tanaman ini menghasilkan jenis – jenis alginat yang berbeda – beda dimana jumlahnya tergantung pada masa panennya dan bagian anatomi dari tumbuhan itu sendiri, dan dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel 1. Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga Nama Spesies
Perbandingan Asam Uronat(%) Asam Guluronat (G)
Asam Manuronat (M)
Ascophyllum nodosum
35
65
Macrocytis pyrifera
40
60
Laminaria hyperborean
70
30
Perbandingan yang bervariasi dari ketiga segmen menyebabkan perbedaan sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cenderung mempunyai struktur yang kaku (rigid) serta mempunyai porositas yang besar, sedangkan yang mengandung asam manuronat yang tinggi mempunyai struktur yang tidak kaku (Prakash,S.,dkk,2004).
Gambar 2.α – L – Guluronat dan β – D – Manuronat
25
2.2.2. Sifat Alginat Alginat yang banyak tersedia biasanya dalam bentuk garam yaitu natrium alginat. Keunikan dari natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa(Wang et al., 2006)
Gambar 3 Reaksi Ca+2 dan blok G dari alginat Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca+2 menghasilkan pembentukan gel dimana residue G dari alginat yang mengikat ion Ca+2 (Wang et al., 2006). Diduga adanya ikatan kompleks terbentuk antara satu Ca+2 dan dua blok GG dalam struktur kotak telur yaitu 5 –COO- dan 2-OH dari unit G dalam pembentukan ikatan (Wang et al.,2006) Ion kalsium dapat berkoordinasi dengan gugus karboksil dan atom oksigen pada cincin dari tiap blok paralel. Gel alginat membentuk jaringan tiga dimensi molekul rantai panjang yang terdiri dari ikatan dari daerah blok G molekul alginat dengan ion kalsium (Zhanjiang,1990). Ketika blok G tersusun paralel berbentuk pola rantai seperti dengan lubang – lubang yang sangat ideal sebagai tempat pengikatan kalsium ini menyerupai telur dalam kotaknya (egg in an egg box) dan dapat dilihat sebagai berikut :
26
Gambar 4. Kalsium berada pada blok G (egg in an egg box) Reaktivitas kalsium terhadap alginat adalah hasil penggabungan dimer dari daerah blok G yang diinduksi oleh kalsium. Penggabungan antar rantai dapat bersifat sementara atau permanen bergantung pada jumlah kalsium yang ada pada sistem. Dengan kadar kalsium yang rendah akan dihasilkan penggabungan sementara, menghasilkan larutan yang sangat kental. Jika kadar kalsium tinggi, akan terjadi pengendapan atau gelasi dari penggabungan permanen dari rantai. (ISP,2003) Gel terbentuk melalui reaksi kimia dimana kalsium menggantikan natrium dengan alginat mengikat molekul – molekul alginat yang panjang sehinggga membentuk gel. Tergantung dari jumlah kalsium yang memberikan asosiasi sementara dan meningkatkan viskositas larutan, sementara kandungan kalsium yang tinggi menghasilkan assosiasi permanen yang menyebabkan pengendapan atau gelatin. Gel yang lebih homogen dan stabil dapat diperoleh melalui pendinginan yang lambat larutan alginat dengan adanya ion kalsium. Gel yang dibentuk selama pendinginan
27
secara kimia lebih mudah dikontrol dan tidak mudah meleleh bila dipanaskan walaupun terdegradasi dan pada pH yang ekstrim (Robinson, 1987). Kegunaan dari alginat didasarkan pada 3 sifat utamanya adalah : a. Kemampuan untuk larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan b. Kemampuannya untuk membentuk gel c. Kemampuannya untuk membuat film (natrium alginat) dan serat (kalsium alginat) Dalam industri tekstil, alginat digunakan sebagai pengental pasta yang mengandung zat pewarna. Bahan pengental lain seperti pati sering digunakan tetapi bereaksi dengan bahan pengaktif pewarna, sehingga menghasilkan warna yang lebih rendah dan kadang – kadang limbahnya sulit untuk dicuci. Alginat tidak bereaksi dengan zat pewarna dan dengan mudah dicuci dari tekstil sehingga alginat menjadi pengental yang terbaik untuk zat pewarna (Mchugh, 2003). Alginat dapat digunakan untuk memperbaiki struktur dasar kitosan. Interaksi kitosan dengan alginat menghasilkan pembentukan kompleks polielektrolit menurut persamaan reaksi berikut : ~COO-Na+
+ Cl- +NH3 ~
~COO-NH3~
+ NaCl(Sugita dkk., 2009).
2.3. Enzim Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel makhluk hidup dan mempunyai fungsi yang penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk metabolism perantara dari sel (Wirahadikusumah, 1989). Karakteristik penting suatu enzim adalah spesifitas substrat, sebagian besar enzim akan bereaksi terhadap suatu bahan atau kelompok bahan tertentu. Tetapi beberapa enzim lain bersifat hampir absolut spesifik untuk satu substrat saja. Enzim dinamai menurut reaksi terhadap zat atau bahan spesifik yang dikatalisis (Yudoamijoyo,1992). Enzim adalah biokatalis alami.Senyawaan yang dimana enzim bekerja disebut sebagai substrat.Enzim mempunyai spesifitas yang cukup sempit dimana enzim hanya dapat digunakan pada beberapa substrat spesifik saja. Enzim dapat ditemukan pada letak yang berbeda dalam sel. Enzim dapat menjadi bagian dari membran sel, enzim dapat muncul pada sitoplasma, nukleus atau organel lainnya dalam sel. Enzim pada
28
umumnya dapat diisolasi dan dimurnikan terkadang ditingkatkan aktivitasnya (Jhonson, 1978). 2.3.1. Penamaan dan Klasifikasi Enzim Kebanyakan enzim diberi nama dengan menambahkan akhiran – ase pada kata yang menunjukkan senyawa asal yang diubah oleh enzim atau pada nama jenis reaksi kimia yang dikatalisis enzim. Hidrolase mengkatalisis reaksi hidrolisis. Sebagai contoh: Kabohidrase memecah karbohidrat Lipase memecah lemak (lipida) Protease memecah protein (Gaman, 1992). Klasifikasi enzim secara internasional meliputi golongan, nomor kode, dan macam reaksi yang dikatalisisnya dan tiap golongan utama terbagi lagi menjadi kelompok – kelompok enzim berdasarkan gugus substrat yang diserangnya : 1. Oksido – reduktase : berperan dalam reaksi oksidasi – reduksi 2. Transferase : berperan dalam reaksi pemindahan gugus tertentu 3. Hidrolase : berperan dalam reaksi hidrolisis 4. Liase : mengkatalisis reaksi adisi atau pemecahan ikatan rangkap dua 5. Isomerase : mengkatalisis reaksi isomerisasi 6. Ligase : mengkatalisis reaksi pembentukan ikatan dengan bantuan pemecahan ikatan dalam ATP (Wirahadikusumah, 1989). 2.3.2. Faktor – faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim 1. Pengaruh Suhu Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu.Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang.Di atas suhu 50oC enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi.Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar – benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang. 2. Pengaruh pH Masing – masing reaksi yang dikatalisis oleh enzim paling cepat terjadi pada pH yang tertentu.Untuk kebanyakan enzim pH optimal adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim menjadi
29
inaktivasi.Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau alkalis. 3. Pengaruh ko – enzim dan aktivator Enzim sering kali memerlukan bantuan substansi lain agar berfungsi secara efektif. Ko – enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa vitamin B berfungsi sebagai ko – enzim. Beberapa ion anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim dan dikenal sebagai activator (Gaman, 1992). Penentuan aktivitas enzim biasanya dilakukan pada pH optimum dan dengan konsentrasi substrat yang berlebih. Pengamatan reaksi biasanya ditentukan dengan penentuan terbentuknya hasil reaksi dengan berbagai cara kimia atau spektrofotometri. Cara yang terakhir ini lebih baik , karena dapat dilakukan secara kontinu dan dapat dicatat dalam suatu bagan (Wirahadikusumah, 1989). 2.3.3. Enzim Papain Papain adalah suatu enzim yang dapat diperoleh dari getah tanaman pepaya dan buah pepaya muda.Getah tersebut terdapat di hampir semua bagian tanaman pepaya, kecuali bagian akar dan biji.Kandungan papain paling banyak terdapat dalam buah pepaya yang masih muda. Dalam dunia perdagangan, dikenal dua macam papain yaitu papain kasar (crude papain) dan papain murni (crystal papain).Papain kasar (crude papain) adalah getah pepaya yang telah dikeringkan, kemudian dihaluskan hingga menjadi berbentuk tepung.Papain murni (crystal papain) adalah hasil pemisahan dan pemurnian papain kasar menjadi empat macam protein proteolitik yaitu papain, chimopapain A, chimopapain B dan papaya peptidase A. Getah pepaya (papain) cukup banyak mengandung bebagai macam enzim yang bersifat proteolitik (pengurai protein).Adapun sifat enzim proteolitik adalah senang menyerang bahan – bahan protein dalam makanan. Bila enzim ini dicampurkan dalam makanan maka protein makanan akan tepecah – pecah menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu asam amino. Beberapa jenis industri yang memanfaatkan papain antara lain sebagai berikut: 1. Industri minuman, sebagai penjernih dan penambah citarasa (taste) pada bir 2. Industri pengolahan daging
30
3. Industri pengolahan ikan 4. Industri pengolahan makanan lain 5. Industri farmasi / obat – obatan 6. Industri kosmetik, industri tekstil, industri penyamak kulit, dan sebagainya (Warisno,2003). Suatu enzim yang penting yang telah luas dipelajari adalah papain. Ini adalah protease yang serba guna untuk sintesis peptida dikarenakan luasnya spesifitas substrat (Theppakorn et al.,2004). Papain, protease thiol yang terdapat pada getah Carica Papaya, menghasilkan aktivitas proteolitik yang luas dan adalah enzim dengan tingkat penelitian yang tinggi, serta mempunyai aplikasi industri yang luas. Pada industri makanan, papain digunakan untuk mengempukkan daging dan turunan lainnya, untuk menghasilkan papain hidrolisat, untuk produksi keju dalam industri dairi,dll (Homaei et al., 2009). Beberapa protease termasuk papain dapat menghidrolisis ikatan peptida dari kolagen dan keratin pada kulit. Papain adalah salah satu senyawa yang penting dalam produk kosmetik (Kiling et al.,2002). 2.4. Imobilisasi enzim Imobilisasi enzim merupakan konsep yang cukup baru dan sangat menarik perhatian pada industri yang menggunakan enzim.Misalnya, pada industri makanan, enzim dimasukkan bersama dengan substrat dan reaksi dibiarkan untuk berlangsung. Ketika perubahan yang diinginkan telah tercapai maka enzim dinonaktifkan dengan cara pemanasan atau merubah pH dalam sistem. Jadi penggunaan dari enzim adalah sekali pakai, sedangkan pemurnian enzim sangat mahal. Untuk mengatasi masalah ini maka enzim diikat pada senyawaan yang tidak larut yang disebut sebagai matrik sehingga enzim dapat mengikuti reaksi dan dapat diambil kembali setelah selesainya reaksi.Pengikatan enzim pada matriks yang tidak larut dalam air ini disebut sebagai imobilisasi (Jhonson, 1978). Suatu enzim yang teramobil adalah yang gerakannya dalam ruang dibatasi secara sempurna atau hanya dalam daerah yang sangat terbatas.Pada umumnya dalam keadaan demikian, enzim dibentuk menjadi tidak larut dalam air dengan beberapa tujuan. Pertama bentuk demikian akan memudahkan untuk memperoleh kembali enzim dari cairan media yang merupakan faktor penting dalam ekonomi reaktor
31
enzim. Kedua, bagi seorang ahli kimia sangat berguna sebagai model sistem bagi enzim
yang
secara
normal
berhubungan
dengan
membrane
sel
hidup
(Yudoamijoyo,1992). Walaupun syarat mutlak dalam pemilihan matriks untuk imobilisasi adalah ditentukan berdasarkan jenis enzim dan aplikasi yang diinginkan, jelaslah bahwa material yang digunakan adalah kompatibel dengan enzim. Proses imobilisasi juga dalam keadaan kamar sehingga tidak dapat mendenaturasikan enzim selama penyiapan (Taqieddin and Amiji, 2003). 2.4.1. Metode imobilisasi Metode untuk immobilisasi enzim dapat dibagi atas 3 kategori dasar,yaitu: 1. Metode carrier-binding Metode ini dibagi menjadi tiga berdasarkan cara pengikatan enzimnya, yaitu adsorpsi fisika, pengikatan ionik dan pengikatan kovalen. a. Metode adsorpsi fisika Metode ini berdasarkan pada adsorpsi fisika dari protein enzim pada permukaan pembawa yang tidak larut dalam air. Kelemahan dari metode ini dimana enzim yang diserap dapat bocor selama pemakaian karena gaya ikat antara protein enzim dan pembawa lemah. b. Metode pengikatan ionik Metode pengikatan ionik berdasarkan pengikatan ionik dari protein enzim pada pembawa yang tidak larut dalam air yang mengandung residu penukar ion.Kelemahan metode ini dimana kebocoran dapat terjadi dimana dalam larutan substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH. c. Metode pengikatan kovalen Pada metode ini diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya dilakukan tidak dalam keadaan kamar.Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa ikatan kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim yang mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas. 2. Metode ikat silang (cross linking)
32
Metode ini berdasarkan pembentukan ikatan kimia seperti dalam metode ikat kovalen, namun pembawa yang tidak larut dalam air tidak digunakan dalam metode ini.Imobilisasi enzim dilakukan dengan pembentukan ikat silang intermolekuler diantara molekul enzim dengan penambahan reagent bi- atau multifungsional.
3. Metode penjebakan (entrapping) Metode penjebakan berdasarkan pengikatan enzim dalam kisi matriks polimer atau melingkupi enzim dalam membrane semipermeabel dan dibagi menjadi tipe kisi dan mikrokapsul. a. Tipe kisi (lattice type) Metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim dalam bidang batas (interstitial space) dari suatu ikat – silang polimer yang tidak larut dalam air misalnya gel matriks. b. Mikrokapsul Penjebakan dengan cara mikrokapsul melibatkan pelingkupan enzim dengan
membran
polimer
semipermeable.
Prosedur
mikroenkapsulasi enzim dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Polimerisasi interfasial 2. Pengeringan cair (liquid drying) 3. Pemisahan fase (phase separation)(Chibata,1978).
untuk
33
Gambar 5 Metode Imobilisasi
Teknik penjebakan yang umum untuk mikroorganisme dalam butiran adalah ionotropic gelation dari makromolekul dengan kation multivalensi.Penjebakan dapat terjadi dengan mencampurkan mikroorganisme dengan polimer anionik dan kemudian diikat – silang larutan tersebut dengan kation multivalensi sehingga membentuk struktur yang menjebak mikroorganisme tersebut (Liouni, 2007). Stabilitas dari enzim ditentukan dengan lamanya pemakaian dimana enzim tersebut masih aktif dan dapat mengkatalisis.Stabilitas dari enzim berdasarkan teknik imobilisasi yang digunakan (Jhonson, 1978). 2.4.2.Mikroenkapsulasi Mikroenkapsulasimerupakan
suatu
teknologi
yang berkembang
pesat.
Mikroenkapsulasi merupakan suatu cara penggunaan penyalut yang realtif tipis pada partikel – partikel zat padat atau tetesan cairan dan dispersi (Lieberman, 1994). Mikroenkapsulasi merupakan teknologi yang sedang berkembang yang sangat menarik terutama dalam bidang bahan pangan. Proses mikroenkapsulasi adalah teknik
34
untuk menghasilkan pembungkus polimer yang seragam, yang disebut mikrokapsul, dimana digunakan untuk membungkus partikel padatan, tetesan cairan murni dan larutan, serta dispersi. Mikrokapsul mempunyai ukuran yang bervariasi dari perpuluhan mikro hingga beberapa ribu mikro.Istilah enkapsulasi juga digunakan beberapa ilmuwan dalam menjelaskan ukuran mikrokapsul yang lebih besar (Jhonson, 1978). Mikroenkapsulasi dibedakan dengan mudah dari teknik penyalutan makro, dimana mikroenkapsulasi meliputi penyalutan partikel dengan dimensi yang berkisar dari per puluhan mikron sampai 5000 mikron dalam ukuran.Mikroenkapsulasi memberikan sarana mengubah cairan menjadi zat padat, mengubah sifat koloidal dan sifat – sifat permukaan, memberi perlindungan terhadap pengaruh lingkungan, serta mengontrol pelepasan karakteristik atau penyediaan bahan – bahan tersebut. Keunikan dari mikroenkapsulasi adalah kecilnya partikel yang tersalut dan penggunaan lebih lanjut serta adaptasi terhadap berbagai bentuk takaran dan penggunaan produk (Lieberman, 1994). Prinsip dasar dari mikroenkapsulasi yang digunakan dalam transplantasi sel adalah perlindungan sel dari sistem imun sambil membiarkan sel yang terlingkupi tersebut bertahan dan mengeluarkan produk pengobatan. Membran mikrokapsul adalah semi – permeable yang membiarkan keluarnya produk sambil melindungi masuknya makromolekul ke dalam. Proses mikroenkapsulasi dapat digunakan secara efektif dalam mengubah cairan menjadi padatan, memisahkan bahan yang reaktif, mengurangi toksitas dari suatu bahan, mengubah sifat permukaan serta mengatur pelepasan suatu bahan. Mikroenkapsulasi juga dapat melindungi bahan yang sensitif terhadap udara.Jika polimer yang biodegradasi digunakan sebagai pembungkus, maka zat seperti enzim dan mikroorganisme dapat melindungi pelepasan yang terjadi. Mekanisme yang penting dalam pelepasan mikrokapsul adalah proses difusi. Jika bahan yang mudah larut dalam airdimikroenkapsulasi dalam matrik yang tidak larut dalam air, maka kandungan mikrokapsul dapat diekstraksi dengan air (Jhonson, 1978). 2.4.3. MikroenkapsulasiAlginat - Kitosan Kompleks polielektrolit dibentuk melalui interaksi suatu polielektrolit dengan polielektrolit lain yang berlawanan muatan dalam larutan berair. Kompleks
35
polielektrolit banyak diaplikasikan dalam pembuatan membrane, pelapis antistatik, sensor lingkungan, detektor kimia, dan bahan medis prostetik. Di antara aplikasi tersebut di atas, yang luas digunakan sebagai membran untuk dialisis, ultrafiltrasi, proses pemisahan solut dan juga bisa digunakan untuk membran mikrokapsul (Kumar, 2000). Beberapa polimer seperti kitosan, poliakrilat, alginat, asam poliamino, dan poliamida telah digunakan untuk membuat mikrokapsul.Mikrokapsul alginat – polilisin – alginat (APA) adalah mikrokapsul yang telah banyak dipelajari karena tingginya biokompabilitas dan karakteristik yang baik dalam jaringan sel. Dengan berkembangnya pembelajaran mengenai kitosan sebagai biomaterial, maka mikrokapsul alginat – kitosan – alginat (ACA) telah dikembangkan untuk menggantikan polilisin yang harganya cukup mahal.Mikrokapsul ACA ini menarik banyak perhatian dikarenakan bagusnya biokompatibilitas dan harga yang lebih rendah serta melimpahnya kitosan di alam (Qi et al., 2005). Mikrokapsul alginat – kitosan dapat dibuat dengan metode yang berbeda.Salah satunya yaitu prosedur dua tahap dimana butiran gel Ca alginat dihasilkan dengan meneteskan larutan alginat ke dalam larutan yang mengandung ion kalsium.Kemudian butiran tersebut dipindahkan ke dalam larutan kitosan untuk membentuk membran luar butiran.Selain itu, kapsul dapat dibuat dengan metode satu tahap saja yaitu hanya dengan meneteskan larutan alginat ke dalam larutan kitosan (Gaserod et al., 1998). Untuk mengurangi porositas dan meningkatkan stabilitas, mikropartikel alginate dilapisi dengan kitosan melalui interaksi elektrostatis.Muatan negatif dari gugus asam karboksilat dari alginat terikat secara ionik dengan muatan positif gugus amino dari kitosan, polimer kationik untuk membentuk kompleks polielektrolit berdasarkan
perbedaan
muatannya.
Lebih
lanjut,
kitosan
dilaporkan
akan
meningkatkan absorpi dari beberapa senyawaan (Silva et al., 2006). McKnight et al (1988) menghasilkan mikrokapsul alginat – kitosan dengan berat molekul 20000 untuk digunakan dalam teknik kultur sel dan dalam teknologi pengatur pelepasannya. Membrane kitosan dapat dibentuk di luar ataupun didalam dari kapsul tersebut. Tanaka et al (1984) menentukan bahwa sifat difusi bergantung pada berat molekul dari zat aktif dan konsentrasi alginate dalam sel, namun tidak dipengaruhi
36
oleh konsentrasi kalsium klorida yang digunakan dalam pembentukan gel (Polk et al., 1993). Kapsul alginat yang dilapisi dengan kitosan untuk penjebakan sel ragi yang digunakan dalam fermentasi alkohol.Dimana kompleks membran polielektrolit yang terbentuk ini menurunkan kebocoran dari sel yang dijebak dalam media (Liouni et al., 2007). Kitosan yang dilapisi alginat dipilih untuk digunakan sebagai pembawa untuk model protein yaitu hemoglobin (Hb). Kitosan yang dilapisi alginat ini mampu menurunkan laju pelepasan Hb namun pelepasan tidak sempurna yang terjadi (Silva et al., 2006). Taqieddin dan Mansoor membuat mikrokapsul alginat – kitosan yang digunakan untuk pengembangan matriks pada imobilisasi enzim dimana protein akan tertahan sehingga dapat dilakukan pengontrolan permeabilitas terhadap substrat dan produk (Taqieddin and Amiji, 2003). Mikrokapsul alginat – kitosan menunjukkan efek jangka panjang dan efek jangka pendek yang baik dalam embolisasi arteri ginjal pada pengujian terhadap kelinci (Li et al., 2002). Wen – tao, et al, (2005) mengenkapsulasi Saccharomyces cerevisiae dalam mikrokapsul alginat – kitosan dimana dengan peningkatan pembentukan membrane menurunkan kebocoran sel sehingga diharapkan dapat digunakan dalam makanan modifikasi mikroorganisme.