SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN F 24103062
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : JANATHAN F 24103062
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Janathan. F24103062. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
RINGKASAN Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi. Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan formula optimum minuman yang dihasilkan. Pada tahap pertama dilakukan tiga jenis perlakuan pengeringan bekatul setelah distabilkan dengan otoklaf, yaitu (1) pengeringan dengan oven, (2) pengeringan dengan pengering drum, serta (3) pengeringan dengan pengering drum yang disertai dengan proses bleaching pada tepung. Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung terpilih kemudian dianalisis sifat kimianya berupa kenaikan asam lemak bebas serta kandungan total tokoferol. Dari tahap penelitian ini juga diketahui bahwa penstabilan dengan otoklaf dapat meningkatkan pembentukan warna cokelat dan diketahui pula bahwa perlakuan perendaman dengan H2O2 selama 18 jam pada tepung bekatul tidak menghasilkan perubahan kecerahan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bekatul dalam bentuk segar. Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Tahap formulasi menggunakan bantuan program Design Expert 7 yang menghasilkan 15 formula yang akan diuji responnya terhadap perubahan campuran komponen yang digunakan. Terdapat tiga variabel yang digunakan dalam tahap formulasi ini, yaitu jumlah karagenan, jumlah tepung bekatul, serta jumlah formula dasar yang digunakan. Dari hasil analisis respon, diketahui terdapat dua respon yang memiliki signifikansi perubahan yang nyata terhadap perubahan campuran komponen yang dilakukan, yaitu respon warna sebelum diseduh dengan model polinomial cubic serta respon rasa dengan model polinomial berupa quadratic.
Program merekomendasikan tiga formula optimum, namun dipilih formula yang memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula ini kemudian diuji coba melalui uji organoleptik dan diketahui bahwa formula optimum terpilih ini memiliki nilai respon yang lebih besar dibanding nilai prediksi respon oleh program. Selain itu, formula optimum terpilih ini juga tidak berbeda nyata untuk semua respon yang diujikan jika dibandingkan dengan produk komersial sejenis yang ada di pasaran. Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml. Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan produk minuman dengan metode percepatan (Arrhenius) menggunakan tiga perlakuan suhu, yaitu 35, 45, dan 55OC. Parameter yang digunakan dalam tahap pendugaan umur simpan ini adalah warna, aroma, dan penampakan fisik produk minuman dalam bentuk bubuk. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa umur simpan produk minuman fungsional ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman fungsional ini adalah perubahan aroma.
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL
Oleh : JANATHAN F 24103062
Dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Bagan Siapi-api Tanggal lulus : 28 September 2007
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Bagan Siapi-api, Riau pada tanggal 12 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara pasangan Ridwan Maryam dan Rosma. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 007 Labuhbaru Pekanbaru pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 3 Pekanbaru pada tahun 1997-2000, serta SMU Negeri 8 Pekanbaru pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, di antaranya menjadi pengurus Himitepa divisi Public Relation pada tahun 2006, pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor, Pengurus Rukun Keluarga Pelajar Mahasiswa Bengkalis (RKPMB) Bogor, serta pengurus Food Chat Club Himitepa IPB. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain kepanitiaan Gebyar Budaya Melayu tahun 2004, Suksesi Himitepa tahun 2004 serta Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) tahun 2005. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 3. Bapak, ibu, kakak-kakak, dan abang-abangku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat. 4. Pakcik (Alm.), Makcik, dan keluarga di Jakarta, terimakasih atas bantuan dan nasehatnya selama ini. 5. Sahabat yang selalu ada dan setia mendengarkan : Widyanto, Mia, Yeni, Tika, Gilang, Adith, Helmi, Pegi, Zaldi, Mitoel, Tilo, Rucitra , serta Evanda. Terimakasih yang tak terhingga atas perhatiannya selama ini. 6. Teman-teman angkatan 40 : Wayan, Gonggo, Ade, Widi, Iin, Anis, Abdy, Martin, Ados, Arie, Adie, Dian, Olla, Nunu, Oboth, Tuti, Indah, Wati, Oneth, Rial, Steph, Nooy, Iin, Mona, Vina, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 7. Mbak Tina, terimakasih banyak atas bantuannya. Iis, Imel, Wili, dan Rama, terimakasih telah banyak mengingatkan. Ibnu, Lucia, Adam, serta temanteman SMA : Asen, Ade, Choy, terimakasih pula atas bantuannya. 8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Rina, Ican, dan Arga) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. 9. Para laboran/teknisi : Bu Rubiyah, Pak Koko, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur, terimakasih atas kerjasamanya.
i
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, September 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ..........................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
viii
I. PENDAHULUAN............................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ...............................................................
1
B. TUJUAN ....................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
3
A. BEKATUL .................................................................................
3
B. STABILISASI BEKATUL PADI ...............................................
8
B. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL ....................................
11
D. SUSU SKIM ...............................................................................
13
E. UMUR SIMPAN.........................................................................
16
F. MIXTURE EXPERIMENT ........................................................
18
III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................
21
A. BAHAN DAN ALAT .................................................................
21
B. METODE PENELITIAN ..........................................................
21
1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul .........
21
a. Analisis Sifat Fisik ............................................................
22
1). Densitas Kamba ..........................................................
22
2). Densitas Padat .............................................................
22
3). Kelarutan dalam Air ....................................................
24
4). Daya Serap Air ............................................................
24
5). Aktivitas Air (aw ) ........................................................
24
6). Pengukuran Warna ......................................................
25
b. Analisis Sifat Kimia ..........................................................
25
1). Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas ......................
26
2). Analisis Total Tokoferol .............................................
26
iii
3). Analisis Kualitatif Residu H2O2 ..................................
26
2. Formulasi Minuman Fungsional ...........................................
27
a. Kadar Air Metode Oven ....................................................
28
b. Kadar Abu .........................................................................
28
c. Kadar Lemak .....................................................................
28
d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal .............................
29
e. Kadar Serat Pangan ...........................................................
29
f. Total Mikroba dengan Metode Tuang...............................
31
g. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Brookefield ..
31
h. Uji Organoleptik ...............................................................
32
3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius .......................
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
35
A. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul .................................
35
B. Penentuan Variabel Minuman .....................................................
50
1. Penetapan Formula Dasar .......................................................
50
2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul ....................................................................
51
3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan ...............................................................................
52
4. Konversi Input Formula Rancangan .......................................
53
C. Formulasi dan Optimasi Minuman .............................................
54
1. Rancangan Formulasi ..............................................................
54
2. Analisis Respon.......................................................................
55
a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh..........................
56
b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh ...............................
61
c. Analisis Respon Lainnya ....................................................
66
d. Optimasi Formula................................................................
67
e. Uji Coba Formula Optimum ...............................................
71
f. Uji Hedonik Produk Pembanding .......................................
72
g. Analisis Formula Optimum .................................................
74
D. Pendugaan Umur Simpan Produk ...............................................
78
1. Uji Organoleptik Warna ..........................................................
79
iv
2. Uji Organoleptik Aroma .........................................................
81
3. Uji Organoleptik Penampakan Fisik .......................................
83
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
86
A. KESIMPULAN ..........................................................................
86
B. SARAN .....................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
88
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................
95
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
Komposisi kimia bekatul ........................................................ Kandungan protein pada susu skim ........................................ Nilai zat gizi susu skim ........................................................... Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul ................... Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil .... Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul yang distabilisasi ..................................................................... Tabel 7. Nilai densitas kamba tepung bekatul....................................... Tabel 8. Nilai densitas padat tepung bekatul......................................... Tabel 9. Nilai kadar air tepung bekatul ................................................. Tabel 10. Nilai aw tepung bekatul ........................................................... Tabel 11. Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul ................................ Tabel 12. Nilai daya serap air tepung bekatul ......................................... Tabel 13. Karakteristik kimia tepung bekatul ......................................... Tabel 14. Konversi komponen minuman ................................................ Tabel 15. Formula optimum yang disarankan beserta nilai desirabilitynya ......................................................................... Tabel 16. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7 .................................................................................. Tabel 17. Nilai skor produk optimal dan pembanding ............................ Tabel 18. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ....... Tabel 19. Perbandingan beberapa kandungan zat gizi produk optimal dan komersil ............................................................................ Tabel 20. Nilai k dan ln k uji organoleptik warna ................................... Tabel 21. Nilai k dan ln k uji organoleptik aroma .................................. Tabel 22. Nilai k dan ln k uji organoleptik penampakan fisik ................
4 15 15 37 38 39 42 43 44 45 46 47 49 54 68 72 73 74 77 79 81 83
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema penstabilan bekatul .................................................. Gambar 2. Proses pembuatan bekatul ................................................... Gambar 3. Grafik uji hedonik parameter rasa pada variasi persentase formula dasar....................................................................... Gambar 4. Grafik uji penerimaan parameter rasa pada variasi persentase tepung bekatul ................................................... Gambar 5. Grafik uji penerimaan terhadap parameter kekentalan pada variasi persentase karagenan ............................................... Gambar 6. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon warna sebelum diseduh ...................................................... Gambar 7. Grafik countour plot hasil uji respon warna sebelum diseduh ................................................................................ Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil uji respon warna sebelum diseduh ................................................................................ Gambar 9. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon rasa ...................................................................................... Gambar 10. Grafik countour plot hasil uji respon rasa ........................... Gambar 11. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa ............................. Gambar 12. Grafik countour plot desirability formula optimum terpilih Gambar 13. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum terpilih . Gambar 14. Minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ............ Gambar 15. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan suhu (1/T) .................................................................................... Gambar 16. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma dengan suhu (1/T) .................................................................................... Gambar 17. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik dengan suhu (1/T) ...............................................................
23 35 51 52 53 59 60 61 64 65 66 70 70 78 80 82 84
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai L ................................................................................ Lampiran 2. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai a ................................................................................. Lampiran 3. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai b................................................................................. Lampiran 4. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai ho ............................................................................... Lampiran 5. Hasil uji Anova nilai L bekatul segar dan bekatul berbagai perlakuan stabilisasi ........................................... Lampiran 6. Hasil uji Anova densitas kamba berbagai perlakuan stabilisasi ............................................................................ Lampiran 7. Hasil uji Anova densitas padat berbagai perlakuan stabilisasi ........................................................................... Lampiran 8. Hasil uji Anova kadar air berbagai perlakuan stabilisasi .. Lampiran 9. Hasil uji Anova nilai aw berbagai perlakuan stabilisasi .... Lampiran 10. Hasil uji Anova kelarutan dalam air berbagai perlakuan stabilisasi ........................................................................... Lampiran 11. Hasil uji Anova daya serap air berbagai perlakuan stabilisasi ........................................................................... Lampiran 12. Hasil uji Anova pengaruh karagenan terhadap viskositas ........................................................................... Lampiran 13. Formula yang disarankan beserta hasil responnya ............ Lampiran 14. Formulir uji hedonik produk sebelum diseduh ................. Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh.................... Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh.................... Lampiran 16. Fits summary respon warna sebelum diseduh ................... Lampiran 17. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna sebelum diseduh ................................................................ Lampiran 18. Fits summary respon rasa ................................................. Lampiran 19. ANOVA dan persamaan polinomial respon rasa .............. Lampiran 20. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk komersil untuk parameter sebelum diseduh ...................... Lampiran 21. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk komersil untuk parameter setelah diseduh ........................ Lampiran 22. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35 °C .......... Lampiran 23. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45 °C .......... Lampiran 24. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55 °C .......... Lampiran 25. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai L minuman fungsional ...................................................... Lampiran 26. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai a minuman fungsional ....................................................... Lampiran 27. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai b minuman fungsional .......................................................
95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 109 110 111 112 113 114 115 116 116 117 118 119 120
viii
Lampiran 28. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai ho minuman fungsional ..................................................... Lampiran 29. Formulir uji skoring .......................................................... Lampiran 30. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter warna)......... Lampiran 31. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter aroma) ........ Lampiran 32. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter penampakan fisik) ............................................................. Lampiran33. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter warna............................................ Lampiran 34. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma ........................................... Lampiran 35. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter penampakan fisik ......................... Lampiran 36. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik warna minuman fungsional .......................... Lampiran 37. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik aroma minuman Fungsional......................... Lampiran 38. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik penampakan fisik minuman fungsional ....... Lampiran 39. Hasil uji t-test produk pembanding parameter warna sebelum diseduh ................................................................ Lampiran 40. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma sebelum diseduh ................................................................ Lampiran 41. Hasil uji t-test produk pembanding parameter penampakan fisik sebelum diseduh ................................... Lampiran 42. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma setelah diseduh .................................................................. Lampiran 43. Hasil uji t-test produk pembanding parameter rasa setelah diseduh .................................................................. Lampiran 44. Hasil uji t-test produk pembanding parameter penampakan fisik setelah diseduh .....................................
121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 132 133 133 134 134
ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pemanfaatan sumber daya pertanian di beberapa negara berkembang yang masih terbatas memerlukan peningkatan usaha pemberdayaan yang lebih intensif. Salah satu usaha pemberdayaan sumber daya pertanian tersebut adalah dengan rekayasa penganekaragaman cara pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan masyarakat terhadap beberapa jenis bahan pangan tersebut meningkat. Damardjati dan Oka (1989) melaporkan bahwa dalam penggilingan padi dihasilkan produk utama berupa beras sebesar 60-66%, hasil samping berupa bekatul 8-12% dan menir sebesar 5-8%. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan produksi beras, terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Proses penyosohan beras di Indonesia umumnya dilakukan dengan satu tahap, dengan hasil samping dedak dan bekatul. Namun, sering dijumpai adanya campuran serpihan sekam di dalam dedak. Hal ini mengakibatkan konotasi yang kurang tepat untuk dedak apabila dihubungkan sebagai bahan pangan. Bekatul merupakan bagian dedak yang telah diayak untuk memisahkan bagian sekamnya (Damardjati et al., 1987). Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul yang tinggi yaitu protein 12.0-15.6%, lemak 15.0-19.7%, karbohidrat 34.152.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991) serta kaya akan vitamin, maka hasil samping itu cukup potensial untuk dikembangkan menjadi bahan pangan. Penelitian Kahlon et al. (1994) juga melaporkan nilai tambah bekatul berupa sifat fungsional penurunan kadar kolesterol dalam darah. Menurut Juliano (1985), bahan pangan yang relatif banyak mengandung serat bekatul akan mempermudah atau mempercepat transit time yaitu kecepatan residu meninggalkan saluran pencernaan sehingga makanan yang mengandung
1
banyak serat memiliki transit time yang pendek yaitu 14-24 jam, dan cenderung menyebabkan buang air besar lebih teratur. Kebutuhan pasar terhadap produk alami yang sehat dan murni diperkirakan akan terus meningkat, sehingga pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku minuman fungsional sangat potensial untuk dikembangkan. Minuman fungsional yang disuplementasi tepung bekatul diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai minuman alternatif untuk kesehatan. Untuk itu perlu diketahui formulasi dan metode yang tepat, serta sifat minuman selama penyimpanan yang menentukan penerimaan konsumen terehadap minuman ini.
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik tepung bekatul hasil beberapa metode penstabilan, menentukan formula yang tepat untuk membuat minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, menentukan formula optimal dan pengujiannya, serta menentukan umur simpan produk minuman yang dihasilkan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BEKATUL Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai
varietas
padi.
Varietas
padi
yang
ditanam
petani
dapat
diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika), indika lokal, dan pengembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran varietas-varietas padi lokal makin terdesak (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Namun secara umum sifat fisik dan fisikokimia beras dari ketiga kelompok padi tersebut tidak berbeda (Damardjati, 1983). Sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan luar atau perikarp, seed coat dan nucellus, lembaga, dan endosperm. Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang terdiri dari lapisan sub-aleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron sendiri berbatasan dengan lembaga. Sekam terdapat sekitar 20% dari berat padi, dengan kisaran 16-28%. Penyebaran bobot beras pecah kulit adalah perikarp 1-2%, aleuron + nucellus dan pembungkus biji 4-6%, lembaga 1%, scutellum 2%, endosperm 90-91% (Juliano, 1993). Pada proses penyosohan bagian perikarp, tegmen, lapisan aleron dan lembaga dipisahkan dari beras sosoh (giling). Pada pengilingan padi di Indonesia yang menggunakan satu tahap, dedak merupakan hasil penyosohan pertama dan bekatul sebagai hasil penyosohan kedua atau akhir. Dedak lebih sesuai sebagai bahan baku pakan, sedangkan bekatul sangat baik untuk bahan pangan. Dedak terdiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran-butiran padi dengan sejumlah lembaga biji, sedangkan bekatul adalah lapisan dedak sebelah dalam dari butiran padi termasuk sebagian kecil endosperm berpati (Damardjati et al., 1990).
3
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul Komponen Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Kalsium (mg/g) Magnesium (mg/g) Fosfor (mg/g) Silika (mg/g) Seng (µg/g) Thiamin/B1 (µg/g) Riboflavin/B2 (µg/g) Sumber : Luh (1991)
Jumlah 12.0-15.6 15.0-19.7 7.0-11.4 34.1-52.3 6.6-9.9 0.3-1.2 5.0-13.0 11.0-25.0 5.0-11.0 43.0-258.0 12.0-24.0 1.8-4.0
Komponen kimia bekatul terdiri dari protein 12.0-15.6%, lemak 15.019.7%, karbohidrat 34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991). Komponen kimia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan lemak bekatul yang relatif tinggi menyebabkan bekatul kurang tahan lama, cepat berbau dan menjadi tengik. Kandungan asam lemak bebas akan meningkat 1% setiap jam pada penyimpanan di suhu kamar (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Reaksi ketengikan diakibatkan oleh hidrolisis enzimatik lipase dan ketengikan oksidatif. Pada bekatul, ketengikan terjadi akibat lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk peroksida, keton dan aldehid, sehingga bekatul menjadi tengik (Juliano, 1985). Ketengikan yang tinggi berpengaruh terhadap penerimaan organoleptik bekatul sebagai bahan pangan. Lipase yang terdapat di dalam bekatul termasuk ke dalam golongan triasilgliserol lipase, yang terdiri dari dua jenis yaitu lipase dengan bobot molekul 40.000 dan lipase dengan bobot molekul 33.000. Lipase bekatul memiliki sifat yang sama dengan lipase lapisan terluar biji padi tanpa sekam (Mukherjee dan Hills, 1994). Menurut Luh (1980), bekatul mengandung senyawa saponin yang dapat menyebabkan rasa pahit. Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan
4
busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1991). Saponin merupakan suatu senyawa yang termasuk ke dalam golongan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula yang terdapat di dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, antara lain adalah glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta galakturonat dan glukoronat. Sapogenin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenida dan streoida. Saponin streoida adalah turunan dari inti dasar metil tetrasiklik terpenida dan mempunyai 27 atom karbon, sedangkan sapogenin triterpenida mempunyai inti karbon naftalen, yaitu 1,2,7 trimetil naftalen (Cheeke dan Shull, 1985). Bekatul mempunyai sifat fungsional penurunan kolesterol dari status hiperkolesterolemik, yang ditunjukkan oleh penelitian pada hewan percobaan dan manusia. Mekanisme yang mendasari hal ini adalah absorbsi/reabsorbsi dietary dan atau lipid endogenous pada jalur gastrointestinal dan peningkatan ekskresi asam empedu. Efek kesehatan ini menimbulkan keinginan untuk mengkomersialkan nilai tambah bekatul pada produk-produk seperti sereal sarapan, extruded snack, roti, cookies, serta minuman (Kahlon et al., 1994). Juliano (1985) melaporkan bahwa disamping mempunyai nilai gizi yang tinggi, bekatul juga mengandung beberapa zat anti gizi. Menurut Luh (1991), zat anti gizi tersebut adalah tripsin inhibitor, asam fitat, dan hemaglutinin. Masalah gizi yang dapat ditimbulkan oleh asam fitat adalah : (1) senyawa ini sulit dicerna, sehingga fosfor dalam asam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh, (2) memiliki kemampuan untuk mengkelat elemen-elemen mineral (Ca, Mg, Fe, dan Zn), dan (3) bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks. Tripsin inhibitor adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik dari enzim tripsin, sehingga menurunkan kemampuan protein untuk dapat dicerna. Zat anti gizi terakhir adalah hemaglutinin yang mampu mengaglutinasi sel darah merah (Muchtadi, 1989).
5
Dari segi gizi, bekatul merupakan bagian yang menghasilkan energi, kaya akan serat, serta mengandung protein tertinggi, bahkan mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras (Damayanthi et al., 2006). Di samping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif, yaitu zat gizi yang di dalam tubuh bekerja di luar fungsi tradisionalnya (sebagai karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral) untuk kesehatan atau sering disebut dengan komponen bioaktif pangan. Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol, dan pangamic acid (vitamin B15). Tokoferol, tokotrienol dan oryzanol merupakan komponen penyusun minyak bekatul padi, yang jumlahnya tidak besar, yaitu 2-5% dari minyak bekatul padi kasar, tergabtung dari varietas padinya. Komponen ini bersifat sebagai antioksidan dan memberikan manfaat bagi kesehatan manusia Serat pangan dan senyawa antioksidan dalam bekatul berguna antara lain sebagai zat hipokolesterolemik atau dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker, dan memperlancar sekresi hormonal (Kahlon et al.,1994). Lemak merupakan komponen utama bekatul yang kadarnya sedikit lebih tinggi dibanding protein. Sekitar 80% dari lemak padi terkonsentrasi di dalam bekatul dan sepertiga darinya terdapat di dalam embrio. Minyak yang diperoleh dari bekatul dolaporkan sebagai salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada, dan sudah dijual di beberapa negara. Asam lemak pada minyak bekatul menunjukkan kandungan asam lemak esensial (oleat, linoleat, dan linolenat). Senyawa lain yang penting adalah kandungan tokoferol yang bersifat antioksidan untuk mempertahankan ketengikan minyak akibat oksidasi. Di samping tokoferol, antioksidan lain yang penting adalah oryzanol yang merupakan ester dari asam ferulat (Damayanthi et al., 2006). Tokoferol (vitamin E) ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun 1922. Beberapa fungsi vitamin E yang erat hubungannya dengan sifat antioksidan adalah memperlambat proses penuaan, melindungi vitamin A dari oksidasi di dalam usus sehingga dapat meningkatkan proses penyerapan vitamin A. Menurut Linder (1992) manfaat lain dari vitamin E sebagai
6
antioksidan adalah mencegah kerusakan dinding-dinding sel seperti kerapuhan sel-sel darah merah pada manusia sehingga mencegah terjadinya hemolisis. Kebutuhan vitamin E direkomendasikan oleh National Research Council (NRC) USA, di dalam Recommended Daily Allowance (RDA). Besarnya kebutuhan dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia (Tabel 5). Bahan pangan yang banyak mengandung vitamin E biasanya terdapat pada bahan pangan nabati seperti minyak sayur-sayuran, sayuran hijau, biji-bijian dan terutama berlimpah jumlahnya pada kecambah (deMan, 1997). Produk pangan hewani yang umumnya mengandung vitamin E antara lain susu, telur, dan sebagainya (deMan, 1997). Oryzanol adalah komponen berharga dari bagian tidak tersabunkan. Komponen ini memiliki sifat antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibanding tokoferol dan dinyatakan dapat memicu pertumbuhan manusia, membantu sirkulasi \darah, dan memicu sekresi hormon. Struktur kimia γoryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak jenuh. Pada minyak bekatul padi, γ-oryzanol telah diidentifikasi berfungsi sebagai antioksidan dan bersifat menyembuhkan berbagai penyakit manusia. Telah diidentifikasi, yang termasuk ke dalam γ-oryzanol adalah cycloartenyl ferulate, campesteryl ferulate, cycloartanyl ferulate, beta sitosteryl ferulate, dan 2,4 methylene cycloartenyl ferulate yang memiliki aktivitas tertinggi (Damayanthi et al., 2006). Saunders (1990) menyatakan bahwa keuntungan fisiologis dari bekatul padi sebagai sumber bahan pangan adalah karena kandungan gizinya dan sifat dari oryzanol. Efek hipokolesterolemik bekatul dan beberapa fraksinya (neutral detergent fiber, hemiselulosa, minyak bekatul padi, dan bahan tak tersabunkan) telah banyak diobservasi baik pada hewan percobaan maupun manusia (Kahlon et al., 1996; Cheng, 1993; Nestel, 1990). Seetharamaiah dan Chandrasekhara (1989) melaporkan minyak bekatul padi menurunkan secara nyata kadar kolesterol total, bebas, esterifikasi, LDL, dan VLDL serum dibandingkan dengan ransum minyak kacang tanah 10%, sebaliknya kolesterol HDL menjadi lebih tinggi. Penambahan oryzanol 0.5% ke ransum yang mengandung minyak bekatul padi menunjukkan penurunan
7
lebih jauh secara nyata total kolesterol serum. Kemampuan minyak bekatul padi menurunkan kadar kolesterol disebabkan adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan.
B. STABILISASI BEKATUL PADI Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, kandungan komponen berharga harus dijaga. Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992). Dari ketiga perlakuan tersebut, tampaknya hanya perlakuan pemanasan yang cocok dan aman untuk pengawetan bekatul. Ada tiga cara dalam proses stabilisasi bekatul, yaitu : (a) pemanasan dengan kadar air tetap (retainedmoisture heating), bekatul dipanaskan di bawah tekanan tinggi untuk mencegah penurunan panas sampai selesai pemanasan. (b) pemanasan dengan penambahan air (added-moisture heating), kadar air bekatul meningkat selama pemanasan (menggunakan uap), kemudian dikeringkan, dan (c) pemanasan kering pada tekanan atmosfir (Sayre et al., 1982). Dari ketiga metode pemanasan tersebut, pemanasan dengan tekanan tinggi dan kadar air tetap dapat dianggap cara terbaik. Metode ini dilakukan berdasarkan pemanfaatan kadar air bekatul sebagai perantara panas (heat transfer), denaturasi enzim dan sterilisasi. Dua metode yang tergolong proses ini adalah drum berputar dan ekstrusi. Dalam proses drum berputar, bekatul dipanaskan pada suhu 110-120OC selama 5 menit dengan tekanan 0.3-0.5 kg/cm. Setelah tekanan dilepaskan, bekatul dikeluarkan dari drum dan
8
didiamkan hingga dingin dan kering. Pada proses ekstrusi, suhu pemasak ekstruder berkisar 130-140OC; densitas bekatul meningkat dari 0.3 menjadi 0.6 g/ml, dan kadar air menurun sebesar 5-8%. Keuntungan proses ini adalah karena tidak membutuhkan aliran uap dari luar, peralatannya relatif kecil dan kompak, serta mudah instalasi dan operasinya. Dengan demikian unit ini dapat digabungkan dengan unit penggilingan beras dengan sedikit modifikasi (Damardjati et al., 1990). Stabilisasi bekatul padi komersial di Amerika Serikat dilakukan dengan ekstruder pada suhu 125-135OC selama 1-3 detik, kadar air 11-15% (Randall et al., 1985). Damardjati dan Luh (1986) berdasarkan prosedur Randall et al. (1985) telah mempelajari pengawetan bekatul dengan ekstruder. Penggunaan ekstruder sistem ulir tunggal dengan tipe alat Brady Crop Cooker, model 2160, dilengkapi dengan motor elektrik 100 HP, telah memberikan hasil yang memuaskan dalam proses pengawetan bekatul. Kondisi proses yang optimal adalah suhu 130OC pada kadar air bekatul 12-13%, dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 97-99OC selama 3 menit, kemudian didinginkan dengan hembusan udara suhu kamar. Pemanasan kering dapat dilakukan dengan proses sangrai (roasting) pada suhu 100-110 OC, dan proses ini relatif sederhana, mudah dan murah. Akan tetapi proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit), pemanasannya tidak merata, disamping kemungkinan terjadi kerusakan bahan, juga mikroba dan serangga tidak terbasmi semua, serta enzim lipase juga tidak rusak sehingga apabila kadar air bahan meningkat selama penyimpanan (>7%) akan terjadi lagi kegiatan hidrolisa lemak (Juliano, 1985). Perlakuan pemanasan basah umumnya lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Inaktivasi lipase pada bekatul basah dapat dilakukan pada suhu 100OC selama 3 menit (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Proses pemanasan
bekatul
basah
umumnya
dilakukan
dengan
pengukusan
(pemanasan dengan uap) selama 10-30 menit, pengeringan produk hingga kadar air 3-12% dan pendinginan. Pengukusan optimum adalah selama 15 menit pada suhu 100OC atau selama 5 menit pada suhu 115OC. Pengeringan optimum adalah 45-60 menit pada 110OC (Juliano, 1985).
9
Otoklaf telah dikenal sejak tahun 1830 sebagai suatu alat untuk memanaskan makanan kaleng dan merupakan gabungan dari ketel bertutup dengan uap panas. Otoklaf digunakan untuk sterilisasi alat dan bahan pangan. Pada bahan pangan, sterilisasi harus cukup mematikan mikroorganisme yang paling tahan panas yaitu spora bakteri patogen tanpa menimbulkan kerusakan gizi dan penampakan (Winarno, 1992). Uap panas yang dihasilkan sangat baik digunakan untuk mendestruksi mikroba dengan cara menginaktivasi beberapa enzim penting yang terdapat pada mikroba. Untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba pada bahan pangan digunakan otoklaf dengan suhu 121OC selama 15-20 menit (Winarno, 1992). Proses pemanasan basah menggunakan otoklaf memberikan waktu pemanasan yang lebih pendek, lebih efektif dalam sterilisasi dan pencegahan kegiatan
enzim
yang
permanen.
Namun
proses
pemanasan
basah
membutuhkan investasi yang mahal dan membutuhkan keterampilan yang tinggi (Damardjati et al., 1990). Proses stabilisasi ini harus segera dilakukan segera setelah bekatul diperoleh dari penggilingan gabah. Aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase akan hancur akibat denaturasi oleh proses panas selama proses stabilisasi bekatul. Namun, panas dapat meningkatkan reaksi oksidasi non enzimatik. Pengolahan panas menyebabkan penyebaran kembali minyak, penghancuran antioksidan endogenous dan peningkatan luas permukaaan yang terpapar oksigen. Denaturasi hemoprotein katalase dan peroksidase ditemukan pada beras pecah kulit yang mengalami pemanasan. Pembukaan lipatan enzim ini menyebabkan pemaparan lebih besar dari grup heme ke substrat minyak, sehingga zat besi mengawali oksidasi. Kerusakan oksidasi enzimatik dan non enzimatik di dalam padi diperlambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan yang optimum selama penyimpanan (Kao dan Luh, 1991).
10
C. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi dengan kesehatan tubuh seseorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya konsumsi serat, sayuran, dan buah yang rendah dapat mengakibatkan penyakit jantung dan kanker. Saat ini pengetahuan tentang peranan berbagai komponen pangan pada pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu, yang disebut dengan komponen bioaktif pangan, telah berkembang sedemikian pesatnya. Seiring dengan hal tersebut, teknologi-termasuk bioteknologi dan rekayasa genetik-telah menciptakan penemuan sains, inovasi produk dan produksi massal. Pengembangan ini menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk yang berpotensi bagi kesehatan, yang disebut dengan pangan fungsional. Istilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan mengobati penyakit (Goldberg, 1994). Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan ditambah dengan komponen bioaktif oryzanol menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi (Damardjati et al., 1987). Secara khusus juga direkomendasikan untuk memanfaatkan minyak bekatul di dalam bahan pangan karena adanya kandungan tokoferol dan oryzanol (McCaskill dan Zhang, 1999). Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilingan padi bersifat limbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan manusia. Dengan penemuan lembaga Eykman Jakarta, bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin B. Untuk makanan manusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain pada pembuatan biskuit, kue dan minuman fungsional. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negeri baru pada pengekstrakan bekatul untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya, 1991).
11
Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai makanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung beras : bekatul dari perbandingan 90 : 10 sampai dengan 30 : 70 dicampur lalu diekstrusi pada kadar air 21%. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba. Substitusi bekatul padi 15% pada terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat pangan (hemiselulosa, selulosa, dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al., 1995). Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memberikan penerimaan yang baik dengan substitusi hingga 45% sedangkan besar substitusi pada risoles, nagasari, dan cucur masing-masing sebesar 55% (Damayanthi et al., 2001). Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang menjual atau mengembangkan produk pangan fungsional dan lebih dari 70% produk tersebut berupa minuman. Penyebaran kandungan dalam berbagai pangan fungsional yang potensial adalah serat pangan (40%), kalsium (20%), oligosakarida (20%), bakteri asam laktat (10%) dan bahan lain (10%) (Goldberg, 1994). Kebanyakan pangan fungsional dikembangkan dalam bentuk minuman, seperti Fibe Min yang merupakan minuman ringan terlaris di Jepang produksi Otsuka Pharmaceuticals. Minuman ini mengandung suplemen serat pangan, mineral, dan vitamin. Bekatul sebagai sumber serat dan vitamin yang cukup baik dapat dikembangkan sebagai minuman fungsional yang dapat memberikan efek fisiologis bagi tubuh. Pangan, termasuk minuman fungsional didefinisikan sebagai suatu makanan atau minuman yang dimodifikasi dengan ditambahkan satu atau lebih komponen bahan alami. Minuman fungsional, dapat menguntungkan kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung berfungsi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit (Goldberg, 1994).
12
Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12 komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral, PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid), fitokimia, dan antioksidan (Goldberg, 1994). Suatu produk dapat dikategorikan dalam kelompok pangan fungsional bila berupa pangan dan dikonsumsi sebagai bahan pangan sehari-hari, mempunyai fungsi tertentu saat dicerna atau selama proses metabolisme di dalam tubuh dan mengandung komponen bioaktif. Suatu produk pangan fungsional juga harus memiliki 3 fungsi dasar yaitu : (1) sensorik (warna dan penampilan menarik, serta citarasa enak); (2) nutrisional (bernilai gizi tinggi); dan (3) fisiologis (dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan proses aging, dan penyembuhan kembali (Goldberg, 1994). Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20% per tahun. Hal tersebut didukung oleh semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional. Menurut Milner (2000), hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.
D. SUSU SKIM Susu terbagi atas dua bagian utama yaitu krim susu dan skim susu. Pemisahan krim dan skim susu dapat dilakukan dengan cara mekanik atau gravitasi. Krim adalah bagian susu yang muncul ke permukaan sewaktu susu didiamkan pada suhu tertentu atau dengan pemisahan secara mekanik. Krim dapat diolah lebih lanjut menjadi mentega atau es krim. Susu skim diproses dengan cara menghilangkan kebanyakan atau semua lemak susu dari susu utuh. Persentase semua komponen, dengan pengecualian
13
lemak susu dan vitamin larut lemak, secara proporsional lebih besar dibandingkan komponen susu utuh yang menjadi bahan bakunya. Standar susu skim bervariasi dengan rentang jumlah lemak susu maksimum 0.1 sampai 0.5% (Hargrove dan Alford, 1983). Susu skim kering disebut juga susu kering non lemak. Produk ini dibuat dari susu skim yang telah dipanaskan sampai 75-95OC, kemudian dikonsentrasikan sampai mengandung 35-45% padatan, dan selanjutnya dikeringkan menggunakan spray drier. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 260OC dengan waktu yang relatif singkat setelah susu disemprotkan dengan tekanan yang tinggi, sehingga terbentuk kabut dalam ruang pengering (Warner, 1975). Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987). Karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya mengandung 0.5-2% lemak (Varnam dan Sutherland, 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat diklasifikasikan menjadi dua grup utama, yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein menyusun 76-86% dari total protein susu skim dan terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium (Thomphson et al., 1965). Protein non-kasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut protein whey atau serum protein. Whey protein ini menyusun 14-24% dari total protein susu skim (Thomphson et al., 1965). Protein whey bersifat labil terhadap panas di mana denaturasi protein terjadi pada suhu 80oC. Hal ini berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu diatas 140oC. Kandungan protein pada susu skim dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Kandungan protein pada susu skim Protein Kasein
Whey
Jenis αs-kasein
Jumlah (% skim total) 45-55
Β-kasein
25-35
Γ- kasein
3-7
kappa-kasein
8-15
Β- lactoglobuline
7-12
Α- lactalbumin
2-5
Blood serum albumin
0.7-1.3
Sumber : Rimbawan, 1977
Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan padat atau semi padat, (2) susu skim mengandung nilai gizi yang tinggi, protein susu mengandung asam amino esensial (3) susu skim dapat disimpan lebih lama daripada whole milk karena kandungan lemaknya yang sangat rendah. Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim memiliki kekurangan yaitu rendahnya energi yang dikandung (Anonim, 1983 yang dikutip Liana, 1987). Nilai gizi susu skim dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai zat gizi susu skim Nilai gizi
Jumlah
Kalori (cal)
36
Protein (g)
3.5
Lemak (g)
0.1
Karbohidrat (g)
5.1
Kalsium (mg)
123
Fosfor (mg)
97
Besi (mg)
0.1
Vitamin B1 (mg)
0.04
Vitamin C (mg)
1
Sumber : Depkes RI, 1989
15
Susu skim dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu, dan skim juga digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt. Susu skim seharusnya tidak digunakan untuk makanan bayi tanpa adanya pengawasan gizi karena tidak adanya lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987).
E. UMUR SIMPAN Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima ini disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan tersebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Institut of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Adapun National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001). Pentingnya penentuan umur simpan adalah untuk menyampaikan dan menunjukkan kepada konsumen bahwa industri memberikan kepastian atau jaminan kepada konsumen bahwa hanya produk-produk dengan kualitas (mutu) yang tertentu saja yang dijual ke pasar, yaitu produk yang masih memiliki daya guna seperti yang diharapkan/dijanjikan. Jadi, penentuan
16
kadaluarsa ini berkaitan dengan tingkat keyakinan industri terhadap tingkah laku mutu yang diproduksinya (Hariyadi, 2004). Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak parameternya berupa ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin (misalnya susu pasteurisasi) parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud bubuk, cair atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja, yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen. Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan. Salah satu metode ASLT adalah metode Arrhenius. Metode ini dilakukan dengan menyimpan bahan atau produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu, yaitu 37OC, 45OC, dan 55OC. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu
tersebut
dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius, yaitu :
17
k = ko . e-Ea/RT dimana k
= konstanta penurunan mutu
ko
= konstanta (tidak tergantung pada suhu)
Ea
= energi aktivasi
T
= suhu mutlak (OK)
R
= konstanta gas (1.986 kal/molOK)
Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T dapat ditentukan nilai k dan umur simpan masing-masing bahan atau produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan.
F. MIXTURE EXPERIMENT Penggabungan beberapa ingredien atau bahan baku untuk menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati, di mana hasil akhir dari produk tersebut dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingredien yang ada dalam formulasi. Selain itu, penggabungan beberapa ingredien dalam mixture experiment bertujuan melihat apakah pencampuran dua komponen atau lebih tersebut dapat menghasilkan produk akhir dengan sifat yang lebih diinginkan dibandingkan dengan penggunaan ingredien tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama (Cornell, 1990). Penggunaan mixture experiment dalam merancang percobaan untuk memperoleh kombinasi yang optimal ini mampu menjawab permasalahan jika dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error) dan biaya (Cornell, 1990). Menurut Ma’arif et al. (1989), optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan batasan yang diberikan. Mixture experiment (ME) merupakan suatu metode perancangan percobaan yang merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika dimana variabel respon diasumsikan hanya tergantung pada proporsi relatif dari ingredien penyusunnya, bukan dari jumlah total campuran ingredien
18
tersebut. Salah satu tujuan penggunaan perancangan percobaan ini adalah untuk mengoptimalkan respon yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel respon merupakan fungsi dari proporsi relatif setiap komponen atau bahan penyusun dalam suatu formula (Cornell,1990). Menurut Cornell (1990), ME terdiri atas enam tahap utama, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen penyusun campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME ini sering digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut, dapat ditampilkan dalam suatu contour plot, baik berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun grafik tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon. Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara lain mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo linear dan quadratic. Model ordo linear dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (2). Y = b0 + b1X1 + b2X2 .................................................... (1) Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 ........(2) Persamaan
model polinomial dengan ordo linear seringkali
memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) permukaan respon yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan ordo quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell, 1990). Rancangan mixture experiment ini dalam program komputer Design Expert version 7 dinamakan dengan mixture design. Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis data untuk statistik. Metode rancangan tersebut terdiri dari desain faktorial, Response Surface Methods (RSM),
19
mixture design techniques, dan combine design. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang sangat penting dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response Surface Methodology (RSM) yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal. Mixture design techniques yaitu rancangan untuk mencari formula optimal pada berbagai formula yang dibuat. D-optimal combine design yaitu suatu metode pada program DX 7 yang bertujuan
untuk
menggabungkan
(combine)
variabel-variabel
proses,
campuran komponen, dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal. Rancangan D-optimal combine merupakan gabungan antara RSM dengan optimal combine. Rancangan ini berfungsi menemukan formula optimum yang diinginkan formulator. Untuk mencapai kondisi tersebut, harus ditentukan respon atau parameter produk yang menjadi ciri penting sehingga dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih ini menjadi input data yang selanjutnya diproses oleh rancangan RSM D-optimal combine sehingga diperoleh gambaran dan kondisi proses yang optimal (Anonim, 2007).
20
II. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam tahap penentuan karakteristik fisikokimia tepung bekatul adalah bekatul segar, natrium metabisulfit, H2O2, serta alumunium foil. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam analisisnya adalah n-heksana, etanol netral 95%, KOH 0.1 N, toluen, 2 2’ bypiridin, FeCl3.6H2O, indikator fenolftalein, α-tokoferol murni, akuades, serta KI 25%. Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi minuman fungsional adalah susu skim, maltodekstrin, tepung bekatul awet, sukrosa, flavor vanilla, serta karagenan sebagai bahan penstabil. Bahan untuk analisis kimia meliputi K2SO4, CuSO4, HgO, H3BO3, HCl, H2SO4 pekat, H2SO4 1.25% heksana, NaOH pekat, NaOH 3.25%, etanol 96%, kertas saring Whatman 54, buffer fosfat 0.1 M pH 6.0, α-amilase (Termamyl 120L), pepsin, pankreatin, aseton, etanol 90%, etanol 78%, serta indikator merah metil dan metil biru. Untuk analisis mikrobiologi diperlukan media Plate Count Agar dan larutan fisiologis NaCl 0.85%. Adapun bahan yang digunakan untuk menentukan umur simpan produk adalah kemasan foil alumunium yang dilaminasi Low Density Polyethylene (LDPE). Peralatan yang digunakan adalah otoklaf, penering drum, ayakan 60 mesh, kain saring, refrigerator, oven pengering, rotavapor vakum, labu kjeldahl, labu lemak, tanur, ekstraktor soxhlet, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, labu volumetrik, mikropipet, buret, spektrofotometer, cawan petri, botol semprot, Chromameter Minolta CR-200, pH meter Orion model 210A, viskometer Brookefield, Shibaura aw meter WA-360, blender, mixer, neraca analitik, sudip, freezer, serta inkubator.
B. METODE 1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul Bekatul segar diayak menggunakan ayakan 60 mesh untuk menghilangkan campuran sekam dan pengotor lainnya, kemudian distabilisasi dengan menggunakan otoklaf bersuhu 121OC selama 3 menit (Damayanthi, 2002) dan selanjutnya dibagi menjadi tiga bagian perlakuan.
21
Perlakuan pertama adalah pengeringan oven bersuhu 105OC selama 1 jam (Damayanthi, 2002); perlakuan kedua menggunakan pengering drum bersuhu 120OC dengan kecepatan 8 rpm; serta perlakuan ketiga yang masih menggunakan pengering drum namun bekatul mendapat perlakuan bleaching sebelum dikeringkan. Dari ketiga jenis tepung yang dihasilkan, dilakukan analisis fisik yang meliputi densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, daya serap air, nilai aw, warna, serta kadar air. Khusus untuk tepung yang dihasilkan dari proses bleaching, dilakukan analisis residu H2O2 secara kualitatif untuk mengetahui kandungan residu H2O2 yang terdapat pada tepung yang dihasilkan. Dari sifat-sifat fisik yang diinginkan, kemudian dipilih jenis tepung yang akan digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Tepung terpilih diinkubasi menggunakan inkubator dengan suhu 35OC selama 144 jam (6 hari) untuk dilihat perubahan sifat kimianya. Sifat kimia yang diamati berupa kadar asam lemak bebas serta total tokoferol yang terkandung di dalamnya.
a. Analisis Sifat Fisik 1. Densitas Kamba (Khalil, 1999) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.
2. Densitas Padat (Khalil, 1999) Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml.
22
Bekatul segar
diayak 60 mesh
diotoklaf 121OC 3 menit
ditambah NaHSO3 500 ppm
dioven 105OC 1 jam
diaduk dengan mixer
Tepung bekatul
diotoklaf 121OC 3 menit
ditambah air, rasio 2:1 dikeringkan dengan drum drier dihaluskan dengan blender
Tepung bekatul
direndam dalam H2O2 3% selama 18 jam, ditutup, dan ditempatkan dalam refrigerator dicuci dengan air sebanyak 3 kali direndam dalam air selama 1 jam sambil diaduk disaring dengan kain saring dikeringkan dengan drum drier dihaluskan dengan blender
Tepung bekatul
Gambar 1. Skema penstabilan bekatul
23
3. Kelarutan dalam Air (Sathe dan Salunkhe, 1981) Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kelarutan (%) =
a - (b - c) × 100% a
Keterangan: a = berat kering sampel (gram) b = berat endapan dan kertas saring (gram) c = berat kertas saring (gram) 4. Daya Serap Air (Yoanasari, 2003)
Sejumlah 1 gram sampel dilarutkan dalam 10 ml akuades, kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirer selama 10 menit. Sampel didiamkan selama 30 menit dan disentrifuse selama 30 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan kemudian diambil dan ditimbang. Daya serap air (%) =
a-b × 100% c
Keterangan: a = berat air (gram) b = berat supernatan (gram) c = berat sampel (gram) 5. Aktivitas Air (aw )
Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547;0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20,25 dan 290C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar.Bila aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar samapi mencapai tepat 0.750.
24
Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw
dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan
“completed” di layar.
6. Pengukuran Warna (Hutching, 1999)
Pengukuran
untuk
warna
produk
dilakukan
dengan
menggunakan alat chromameter ”Minolta CR-200”. Warna sampel dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Parameter yang diukur adalah nilai L, a, b, dan ho (Hue). Dimana : L = nilai yang menunjukkan keceerahan, berkisar antara 0-100 a = merupakan warna campuran merah-hijau a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah a negatif (-) antara 0- (-80) untuk warna hijau b = merupakan warna campuran biru-kuning b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning b negatif (-) antara 0- (-80) untuk warna biru ho (Hue) = parameter untuk kisaran warna b. Analisis Sifat Kimia
Analisis sifat kimia berupa penentuan jumlah asam lemak bebas dan total tokoferol dilakukan terhadap tepung terpilih. Tepung bekatul terpilih diekstrak menggunakan n-heksana untuk mendapatkan minyak bekatul yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Bekatul direndam dalam pelarut n-heksana dengan perbandingan bekatul : heksan sebesar 1 : 5 selama 1 jam sambil diaduk kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Proses perendaman ini dilakukan dua kali. Minyak bekatul
yang
masih
bercampur
heksana
selanjutnya
diuapkan
menggunakan rotavapor vakum dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60OC (Damayanthi, 2002).
25
1. Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas (Champagne dan Hron, 1994; Apriyantono, dkk. 1988)
Minyak bekatul sebanyak 0.5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 50 ml alkohol 95% netral, dipanaskan hingga mendidih (± 10 menit) dalam penangas air sambil diaduk. Larutan ini kemudian dititrasi dengan KOH 0.1 N, menggunakan indikator fenolftalein sampai terbentuk warna merah muda yang persisten selama 10 detik. ALB (%) = [(ml KOH x N KOH X 282)/10 G contoh] x 100 Keterangan : G = berat sampel dalam mg.
2. Analisis Total Tokoferol (Wong, Timms & Goh, 1988)
Sebanyak 200 mg minyak ditimbang ke dalam labu volumetrik 10 ml kemudian ditambah 5 ml toluen. Selanjutnya ditambahkan 3.5 ml 2, 2’ bypiridin (0.7% w/v di dalam etanol 95%) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O (0.2% w/v di dalam etanol 95%). Volume ditepatkan menjadi 10 ml dengan etanol 95%. Setiap penambahan larutan, sampel divorteks. Setelah 1 menit, larutan dibaca absorbsinya dengan spektrofotometer pada λ 520 nm dan koreksi dengan larutan blanko. Larutan standar menggunakan 50 mg α-tokoferol murni di dalam 50 ml toluen, dibuat seri pengenceran 1-5 ml (ditepatkan 5 ml dengan toluena) dan dianalisis seperti di atas.
3. Analisis Kualitatif Residu H2O2
(AOAC, 1984 yang telah
dimodifikasi)
Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml akuades dan divorteks hingga merata. Selanjutnya ditambahkan 0.5-1 ml larutan KI 25%. Adanya residu H2O2 ditandai dengan terbentuknya warna biru kecoklatan dalam tabung reaksi.
26
2. Formulasi Minuman Fungsional
Formulasi minuman fungsional dilakukan dengan menggunakan bantuan program Design Expert 7 (DX 7). Terdapat dua variabel yang dilakukan pada tahap formulasi ini, yaitu jumlah tepung bekatul yang ditambahkan
serta
jumlah
karagenan
yang
digunakan.
Sebelum
mendapatkan formula yang akan dibuat, terlebih dahulu dilakukan penetapan formula dasar yang terdiri susu skim, maltodekstrin, sukrosa, serta flavor. Formula dasar ini kemudian digunakan untuk menentukan batas atas dan bawah dari kedua variabel yang digunakan. Rentang variabel kemudian dimasukkan ke dalam program, sehingga didapatkan 15 jenis formula yang akan diujikan kepada panelis sehingga didapat skor untuk masing-masing respon yang diinginkan. Dalam penelitian ini, respon yang diinginkan adalah warna sebelum diseduh, aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, rasa setelah diseduh, serta penampakan fisik setelah diseduh. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam program sehingga didapatkan formula optimal. Formula optimal kemudian diuji serta dibandingkan dengan produk sejenis yang telah terdapat di pasaran dan dilakukan analisis proksimat meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), serat pangan, aw, pH, total mikroba, serta konversi kandungan vitamin E. Pembuatan produk dilakukan dengan cara menimbang masingmasing bahan. Pencampuran dilakukan dengan cara menambahkan bahan berjumlah besar ke dalam bahan yang berjumlah kecil sedikit demi sedikit hingga homogen, dengan menggunakan mixer. Karagenan dihaluskan bersama sukrosa dengan blender sebelum ditambahkan ke bahan lain. Campuran bahan dari mixer kemudian dihaluskan kembali dengan menggunakan blender kering agar didapat bubuk yang halus. Formulasi minuman fungsional dibuat dengan menambahkan tepung bekatul yang mengandung serat, karagenan sebagai bahan penstabil, dengan formula dasar yang terdiri atas maltodekstrin sebagai bahan pengisi pengganti skim, sukrosa, flavor vanilla, serta susu skim.
27
a. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Sejumlah sampel (kurang lebih 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus : Kadar air =
c − ( a − b) x100% c
Keterangan: a = berat cawan dansampel akhir (gram) b = berat cawan (gram) c = berat sampel awal (gram) b. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600 oC selama 4 – 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Kadar abu =
berat abu ( g ) x 100% berat sampel ( g )
c. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100–110 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 3 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
28
Kadar lemak (%) =
berat lemak ( g ) x100% berat sampel ( g )
d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3–10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 1.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1- 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5 –6 kali dengan 1- 2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Ditambah Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8–10 ml, kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan. Kadar N (%) =
(ml HCl − ml blanko) x N x14.007 x100 mg sampel
Kadar Protein = %N x faktor konversi (6.25)
e. Kadar Serat Pangan (Asp, Johnson, Hallmer & Sijestrin, 1983) Sebanyak 1 gram sampel (tanpa lemak) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 6 dan
dibuat
menjadi
suspensi
kemudian
diaduk.
Selanjutnya
ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl, tutup erlenmeyer dengan
29
aluminium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 0.1 g enzim pepsin, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 0.1 mg enzim pankreatin, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Atur pH menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan sampel disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.
1. Residu (Serat tidak Larut) Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan (semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).
2. Filtrat (Serat Larut) Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol 95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan (semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I2).
30
3. Blanko Blanko untuk serat tidak larut dan serat larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Perhitungan: % serat tidak larut (IDF) = % serat larut (SDF) =
(D1-I1-B1) Berat sampel
(D1-I1-B1) Beratsampel sampel Berat
x 100%
x 100%
% total serat (TDF) = (SDF+IDF) (%) Keterangan: D = Berat setelah pengeringan (g) I = Berat setelah pengabuan (g) B = Berat blanko bebas abu (g) = (D-I)blanko
f. Penentuan Total Mikroba dengan Metode Tuang (Fardiaz, 1991) Sampel sebanyak 25 gram diencerkan dengan larutan fisiologis sebanyak 225 ml. Sampel kemudian diencerkan dengan pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3. Sampel dari masing-masing pengenceran dituang sebanyak 1 ml pada tiga cawan (triplo). Plate Count Agar steril yang setengah dingin dituang pada contoh yang telah dituang ke dalam cawan petri. Cawan diinkubasikan pada 37OC selama 2 hari. Total mikroba dihitung dengan menggunakan rumus Harrigan seperti di bawah ini : Koloni/ml sampel= Σ koloni pada semua cawan (25-250) x faktor [ (n1x1)+(n2x0.1)+(n3x0.01)] x d pengenceran
g. Pengukuran
Viskositas
dengan
Viskometer
Brookefield
(Kusnandar dan Andarwulan, 2006) Sampel sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml, celupkan rotor, atur ketinggian viskometer hingga tanda garis tercelup, lalu tekan ke bawah. Pilih spin/rotor 1 dengan kecepatan 60 rpm dan lakukan pengukuran dengan menekan tombol “ON”.
31
Lepaskan “clamp lever”, biarkan rotor berputar selama 2 menit hingga didapat viskositas yang tepat setelah jarum stabil. Tekan tuas penjepit hingga jarum penunjuk tidak berubah posisi, dan catat angka yang ditunjukkan jarum. Viskositas (cP) = skala terbaca x faktor konversi (1 cP)
h. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999) Analisis organoleptik dilakukan dengan uji hedonik dan uji penerimaan pada tahap penelitian pendahuluan. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan 5 skala kesukaan, yaitu 1 (tidak suka), 2 (agak suka), 3 (netral), 4 (agak suka), dan 5 (suka). Jumlah panelis yang digunakan pada tahap penelitian pendahuluan sebanyak 5-6 panelis tidak terlatih yang dapat mengkonsumsi produk susu. Uji hedonik juga dilakukan pada tahap formulasi dengan menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm (0-15) mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter warna, aroma, dan penampakan fisik sebelum diseduh; serta aroma, rasa, dan penampakan fisik setelah diseduh. Uji organoleptik pada tahap formulasi menggunakan minimal 30 panelis tidak terlatih yang dapat mengkonsumsi produk susu. Uji hedonik formula minuman fungsional terpilih dan minuman sejenis komersil menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter yang sama dengan yang diujikan pada tahap formulasi minuman fungsional. Uji organoleptik pada tahap ini menggunakan minimal 28 panelis tidak terlatih yang dapat mengkonsumsi produk susu. Pengolahan data uji hedonik pada tahap penelitian pendukung menggunakan bantuan program statistik, yaitu SPSS 11.0.
3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius Produk dikemas dalam kemasan yang terbuat dari jenis alumunium foil yang dilaminasi LDPE dengan bobot 30 g yang akan ditentukan umur simpannya. Produk disimpan dalam ruang kering dan tertutup (inkubator)
32
pada suhu 35, 45, dan 55OC selama 24 hari dan penyimpanan produk sebagai kontrol pada suhu -18OC. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, dan seterusnya dengan selang 6 hari. Sampel yang diambil adalah yang masih dikemas rapat (tidak melanjutkan sampel yang sudah dianalisis sebelumnya). Uji organoleptik meliputi penilaian terhadap formula kering (bubuk) meliputi aroma, warna, dan penampakan fisik. Metode yang digunakan adalah uji organoleptik metode uji skoring dengan menggunakan 11 orang panelis terlatih. Batas kritis atau penolakan produk ditetapkan dengan skor 5 untuk parameter warna dan penampakan fisik, serta 4 untuk parameter aroma. Arah kerusakan produk dilihat berdasarkan penyimpanan produk pada suhu 70OC selama satu minggu dan dilakukan pengambilan sampel setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk penetapan skor. Hasil pengamatan bagi setiap parameter organoleptik di atas dihitung laju penurunan mutunya per hari (penurunan unit mutu organoleptik per hari atau k) dengan memplotkan dalam grafik hubungan antara nilai ln skor apabila mengikuti ordo reaksi satu, dan skor apabila mengikuti reaksi ordo nol sebagai sumbu y dan waktu penyimpanan yaitu hari ke-0, 6, 12, 18, dan 24 sebagai sumbu x pada masing-masing suhu penyimpanan (35, 45, dan 55OC). Kemudian dicari nilai k-nya atau nilai konstanta penurunan mutu per hari yang diperoleh dari kemiringan persamaan regresi grafik masing-masing suhu penyimpanan tersebut. Setelah nilai k diperoleh, kemudian dicari nilai ln k untuk masing-masing suhu penyimpanan. Selanjutnya dibuat plot Arrhenius, dengan sumbu x menyatakan nilai 1/T (K-1) dan sumbu y yang menyatakan nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan yang digunakan (35, 45, dan 55OC atau 308, 318, dan 328OK). Nilai k merupakan gradien dari regresi linier yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan. Dari regresi linier yang diperoleh pada kurva Arrhenius ini dapat diprediksi umur simpan produk dengan menggunakan rumus : k = ko . e-Ea/RT
33
dimana k = konstanta penurunan mutu ko
= konstanta (tidak tergantung pada suhu)
Ea
= energi aktivasi
T
= suhu mutlak (OK)
R
= konstanta gas (1.986 kal/molOK)
Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T ko merupakan konstanta penurunan mutu produk yang tidak tergantung pada suhu, sedangkan k merupakan konstanta penurunan mutu dari salah satu kondisi suhu yang digunakan (20, 27, 30, atau 40OC) dan Ea/R merupakan gradien yang diperoleh dari plot Arrhenius. Dengan perhitungan menggunakan rumus ini, akan diperoleh nilai ko. Umur simpan menurut ordo reaksi satu diperoleh dengan rumus : t=
ln Ao – ln At ko
Keterangan : t
= prediksi umur simpan (hari)
Ao = nilai mutu awal At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t ko = konstanta Dari rumus di atas dapat diprediksi umur simpan dalam hari atau bulan. Namun jika mengikuti ordo reaksi nol umur simpan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus : t=
Ao – At ko
34
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL Penggunaan bekatul sebagai bahan pangan terbatas karena sifatnya tidak stabil, yaitu terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul yang menyebabkan bau tengik. Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Gabah Pengupasan pertama
Beras pecah kulit (1)
Sekam (1)
Mesin Huller
Pengupasan kedua
Beras pecah kulit (2)
Sekam (2)
Penyosohan pertama
Beras sosoh (1)
Mesin Polisher
Dedak Penyosohan kedua
Beras sosoh (2)
Bekatul (1) Pengayakan (60 mesh)
Sekam dan menir
Bekatul (2)
Gambar 2. Proses pembuatan bekatul
35
Proses pengupasan gabah dilakukan sebanyak dua kali menggunakan mesin huller yang bertujuan menghasilkan beras pecah kulit dengan cara memisahkan sekam dari gabah. Proses penyosohan dilakukan terhadap beras pecah kulit yang dihasilkan pada proses pengupasan menggunakan mesin polisher. Proses penyosohan dilakukan sebanyak dua kali, karena pada penyosohan pertama dihasilkan beras sosoh dan dedak, sedangkan bekatul dihasilkan pada penyosohan kedua. Bekatul yang dihasilkan pada proses penyosohan, selanjutnya diayak. Pengayakan dilakukan untuk memisahkan bekatul dari sekam dan menir, karena tercampurnya sekam dan menir dengan bekatul merupakan salah satu masalah dalam penggunaan bekatul sebagai bahan pangan. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan yang berukuran 60 mesh. Penetapan kehalusan sebesar 60 mesh didasarkan pada kehalusan tepung terigu dan tepung beras yang banyak beredar di pasaran yang mempunyai kehalusan sekitar 60 mesh (Yuniarrahmani, 2001). Di dalam penelitian ini didapat rendemen bekatul sebesar 62.40% untuk pengayakan 60 mesh. Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992). Di dalam penelitian ini stabilisasi bekatul dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan otoklaf dengan suhu 121 OC selama 3 menit. Proses ini dipilih berdasarkan penelitian Damayanthi (2002) yang menunjukkan bahwa lama pemanasan 3 menit merupakan lama pemanasan yang optimal berdasarkan hasil analisa asam lemak bebas dan total tokoferol yang masih terkandung dalam bekatul. Setelah diotoklaf, bekatul dibagi menjadi tiga untuk tiga perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama, dilakukan pengeringan dengan oven bersuhu 105OC selama 1 jam. Pada perlakuan yang kedua dan ketiga, dilakukan penambahan natrium metabisulfit (NaHSO3) sebanyak 500 ppm untuk meminimalkan pembentukan warna coklat sebelum penstabilan dengan otoklaf, yang dilanjutkan dengan penggunaan pengering drum bersuhu 120OC
36
dengan kecepatan 8 rpm pada proses pengeringannya. Pada perlakuan kedua, dilakukan penambahan air dengan rasio 2:1 untuk membentuk konsistensi setengah pasta hingga dapat dikeringkan dengan pengering drum. Hasil pengeringan drum ini kemudian diblender kering untuk mendapatkan tepung bekatul halus. Adapun proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan bekatul awet, yaitu bekatul yang memiliki umur simpan lebih panjang. Selain itu, pengeringan juga dimaksudkan untuk meminimalkan kandungan air dalam bekatul sehingga memudahkan pengeluaran minyak pada saat ekstraksi dan waktu ekstraksi menjadi lebih singkat (Kao dan Luh, 1991). Dari hasil pengukuran kadar air terhadap tepung bekatul awet yang distabilkan dengan metode ini didapat nilai rata-rata kadar air sebesar 4.79%, dimana kadar air yang dikehendaki adalah sebesar 3-12% (Juliano, 1985).
Tabel 4. Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul Konsentrasi NaHSO3 Nilai L (ppm) 0 51.13 a 300 51.89 a,b 400 52.18 b 500 52.33 b Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Penggunaan natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap warna tepung bekatul yang dihasilkan. Nilai untuk masing-masing parameter warna terukur dapat dilihat pada Lampiran 1-4. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap semua parameter warna, yaitu nilai L, b, dan ho, kecuali nilai a. Dengan mengetahui nilai kecerahan (Lightness) yang dihasilkan, konsentrasi natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm digunakan dalam penstabilan bekatul selanjutnya karena menghasilkan nilai L yang
37
paling besar. Menurut Winarno dan Betty (1974), penggunaan natrium metabisulfit diperbolehkan hingga 500 ppm, sehingga penggunaan sulfit pada penelitian ini masih dianggap aman. Selain itu, menurut Chichester dan Tenner (1978), penggunaan sulfit di atas 500 ppm menyebabkan terdeteksinya rasa belerang yang mengganggu rasa produk.
Tabel 5. Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil Parameter warna L a b ho
Bekatul segar
Bekatul stabil
56.34 +4.18 +5.49 50.2
53.58 +4.42 +6.91 58.1
Tabel 5 menunjukkan perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul yang telah distabilisasi dengan menggunakan pengering oven (perlakuan 1). Dari hasil pengukuran dengan chromameter, didapat nilai a (intensitas warna merah) dan b (kuning) meningkat setelah distabilisasi. Bekatul segar memiliki nilai a sebesar +4.18 dan b sebesar +5.49, sedangkan bekatul yang distabilkan dengan otoklaf dan dikeringkan dengan oven memiliki nilai a sebesar +4.42 dan b sebesar +6.91. Hal ini membuktikan bahwa setelah diotoklaf dan dikeringkan dengan oven, warna bekatul semakin coklat. Penampakan fisik (warna) yang baik sangat diperlukan, terutama karena nantinya bekatul ini akan disuplementasi atau ditambahkan ke dalam susu skim yang berwarna putih sehingga diharapkan tidak mempengaruhi preferensi konsumen saat mengkonsumsinya. Ditambah lagi, proses stabilisasi yang digunakan, yaitu pemanasan basah menggunakan otoklaf, dapat meningkatkan pembentukan warna coklat. Hal ini terjadi karena terjadinya reaksi browning non-enzymatic atau reaksi Maillard pada bekatul yang terjadi saat pemanasan dalam keadaan lembab (Desrosier, 1988). Untuk itulah dilakukan penambahan natrium metabisulfit, dimana sulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga tidak dapat bereaksi dengan asam amino membentuk reaksi pencoklatan nonenzimatis (Buckle et al., 1987).
38
Perlakuan pemanasan basah ini meningkatkan komponen warna merah dan kuning serta menurunkan intensitas warna putih. Terdapat tiga faktor utama yang menentukan bekatul padi layak digunakan sebagai bahan pangan, yaitu cita rasa dan warna, sifat fungsional, serta kandungan gizi. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, kandungan gizi dan sifat fungsional bekatul sangat baik untuk kesehatan manusia. Dari segi rasa, sebenarnya bekatul memiliki cita rasa lembut dan agak manis; jika telah distabilkan secara benar, selain rasa pahit yang cukup dominan. Warna bekatul padi bervariasi dari cokelat muda sampai cokelat tua. Untuk menghasilkan respon penampakan yang lebih baik, maka dilakukan proses bleaching pada bekatul untuk meningkatkan warna putih atau tingkat kecerahan.
Tabel 6. Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul yang distabilisasi Nilai L Rata-rata nilai L Ulangan 1 Ulangan 2 Bekatul segar 56.49 56.19 56.34 a Perlakuan 1 53.50 53.66 53.58 b Perlakuan 2 52.34 52.31 52.33 c Perlakuan 3 56.18 56.22 56.20 a Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Bahan
Nilai L bekatul segar sebesar 56.34 merupakan nilai L tertinggi, sehingga dapat diketahui semua metode stabilisasi tidak dapat mengembalikan warna secerah sebelum distabilkan, bahkan untuk perlakuan 3 yang telah mengalami proses bleaching. Pada perlakuan ketiga ini, setelah diotoklaf, bekatul direndam dalam larutan H2O2 3% selama 18 jam yang didasarkan atas penelitian Hidayati (2003) untuk mengoksidasi zat-zat warna atau pigmen penyebab warna coklat pada bekatul. Namun, dari Tabel 6 diketahui nilai L yang dihasilkan cukup mendekati warna bekatul segar, namun belum cukup
39
memenuhi kebutuhan warna putih cerah yang diinginkan. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai L rata-rata kedua bahan yang tidak berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95%. Dua komponen pigmen utama dalam tepung yang dihasilkan dari serealia adalah karotenoid dan flavonoid. Karotenoid ditemukan dalam endosperm dan memberikan warna kekuningan. Jumlah karotenoid ini sangat bervariasi tergantung jenis dan kultivar dari serealia tersebut. Karotenoid dapat dengan mudah dibleaching dan dirusak oleh bleaching agent yang ditambahkan ke dalam tepung, seperti benzoyl peroksida (Hoseney, 1998). Menurut Bhattacharya dan Sowbhagya (2007), jenis pigmen ini lebih banyak terdapat di lapisan bagian luar. Semakin ke lapisan dalam biji, jumlahnya semakin berkurang. Hal ini berarti warna beras (endosperm) dan tepung bekatul sangat dipengaruhi oleh tingkat penyosohan yang dilakukan pada beras. Namun sebaliknya, pigmen flavonoid yang banyak terdapat pada bran atau kulit bagian dalam biji, tidak dapat dibleaching oleh bleaching agent biasa. Jenis pigmen ini relatif stabil, dapat menjadi tidak berwarna pada pH asam, namun akan menjadi berwarna kuning pada pH tinggi (Hoseney, 1998). Hal inilah yang menyebabkan proses bleaching dengan hidrogen peroksida yang dilakukan tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Diperkirakan bleaching agent yang memiliki kekuatan pemutih yang lebih baik jika diaplikasikan ke dalam tepung adalah benzoyl peroksida. Zat ini juga biasa digunakan sebagai agen pemutih pada tepung terigu yang baru digiling (Saiz et al., 2007). Namun karena bahan ini relatif sulit untuk didapat serta memiliki harga yang mahal, digunakan bahan peroksida yang lebih mudah didapat yaitu hidrogen peroksida. Bahan lain yang juga dapat digunakan sebagai pemutih tepung adalah nitrogen peroksida, klorin, dan nitrogen triklorida. Namun banyak negara yang melarang penggunaan bahan pemutih untuk makanan disebabkan oleh residu hidrokarbon terklorinasi yang bersifat racun yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersebut. Selain itu, proses bleaching ini juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat penggilingan (Saiz et al., 2007). Oleh sebab itu,
40
tepung bekatul hasil proses bleaching (perlakuan 3) tidak digunakan dalam analisis dan formulasi produk pada tahap selanjutnya, karena lebih banyak kerugian yang ditimbulkan dibandingkan manfaat yang diperoleh. Menurut Yawadio et al. (2007) bekatul mengandung komponen fenol yang terkandung dalam beras pecah kulit. Dua jenis fenol tersebut adalah asam ferulat (85.7%) dan tokol (14.3%). Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa kemungkinan juga terjadi pencoklatan enzimatis yang dikatalis oleh polifenol-oksidase. Reaksi ini
juga dapat memberi pengaruh warna pada
bekatul sehingga warnanya menjadi semakin coklat, selain juga memberi pengaruh pada rasa sepat (astringent) pada bekatul (Ho, 1992). Namun reaksi ini dapat terjadi pada bekatul yang masih segar, karena bekatul yang telah mengalami penstabilan kandungan polifenol-oksidasenya telah hilang akibat proses pemanasan. Analisis kadar residu H2O2 pada tepung bekatul hasil bleaching (perlakuan 3) dilakukan secara kualitatif. Penambahan KI 25% secara langsung pada sampel menunjukkan tidak terbentuknya warna ungu kehitaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan residu H2O2 sudah hilang akibat pencucian dan perendaman dengan air, serta pengeringan dengan pengering drum. Menurut Young et al. (1980), residu H2O2 dapat dihilangkan antara lain dengan cara pencucian dengan air, penggunaan enzim katalase, penggunaan Na2SO3, dan kombinasi antara perlakuan tersebut. Proses pencucian dan perendaman yang lama dapat menurunkan dan bahkan menghilangkan residu H2O2. Penentuan karakteristik terhadap ketiga jenis tepung bekatul yang dihasilkan terdiri dari karakteristik fisik dan karakteristik fisik-fungsional. Sifat fisik tepung yang diukur meliputi densitas kamba, densitas padat, kadar air, aw, dan warna. Sedangkan sifat fisik-fungsionalnya terdiri dari daya serap air dan kelarutan dalam air. Karakterisasi tepung ini dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mutu tepung yang berhubungan dengan penyimpanan, transportasi/distribusi, maupun penggunaannya.
41
Tabel 7. Nilai densitas kamba tepung bekatul Densitas kamba (g/ml) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 0.46 0.47 0.47 a 2 0.41 0.45 0.43 a 3 0.30 0.32 0.31 b Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan (Khalil, 1999). Tepung bekatul yang menggunakan pengering oven (perlakuan 1) memiliki densitas kamba terbesar yaitu 0.47 g/ml, diikuti oleh tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering drum (perlakuan 2) sebesar 0.43 g/ml, serta tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering drum dengan perlakuan bleaching sebesar 0.31 g/ml. Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk lebih ringkas (Khalil, 1999). Tepung dari pengering oven dengan densitas kamba 0.47 g/ml memiliki keringkasan tertinggi yang menggambarkan bahwa porositas yang dimiliki tepung ini paling kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara partikel lebih kecil ataupun lebih sedikit jumlahnya. Jumlah rongga yang banyak
maupun
besar
ukurannya
(tidak
sebesar
partikelnya)
akan
menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel-partikel tersebut. Hal ini akan menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang akan menjadi lebih sedikit. Dengan mengetahui densitas kamba, kita dapat memperkirakan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu. Tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering oven yang memiliki densitas kamba yang besar akan lebih efektif dan efisien dalam menempati suatu ruang, karena dengan jumlah (bobot) yang lebih
42
banyak dapat menempati ruang dengan volume yang sama daripada kedua tepung lainnya. Hal ini dapat berperan penting seperti pada proses pengisian silo, alat pencampur, maupun konveyor. Oleh karena itu, nilai densitas kamba juga dapat digunakan dalam perencanaan gudang penyimpanan, volume alat pengolahan ataupun sarana transportasinya.
Tabel 8. Nilai densitas padat tepung bekatul Densitas padat (g/ml) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 0.64 0.68 0.66 a 2 0.63 0.64 0.64 a 3 0.49 0.54 0.52 b Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Seperti halnya densitas kamba, densitas padat juga merupakan parameter penting bahan pangan (tepung-tepungan). Densitas padat adalah perbandingan antara berat bahan terhadap volume yang ditempati setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan (Khalil, 1999). Besarnya nilai densitas padat dapat dipengaruhi oleh bentuk maupun ukuran partikel suatu bahan. Besarnya nilai densitas padat ketiga jenis tepung yang diuji sejalan dengan nilai densitas kambanya. Secara umum tepung yang memiliki nilai densitas kamba yang besar akan memiliki nilai densitas padat yang besar pula. Nilai densitas padat yang lebih besar dibanding densitas kamba terjadi karena densitas padat diukur dengan memadatkan sejumlah tepung yang dimasukkan ke dalam wadah sampai volume tertentu. Hal ini menyebabkan terisinya ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel tepung (yang ada pada pengukuran densitas kamba) sehingga tepung yang dapat tertampung dalam volume ruang yang sama akan lebih banyak. Nilai densitas padat sama halnya dengan densitas kamba yang berperan dalam penentuan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan
43
untuk ditempati tepung. Pengetahuan mengenai besarnya nilai densitas padat dapat bermanfaat pada saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam dan bergetar terutama pada saat transportasi. Selain itu, kapasitas silo, kontainer, maupun kemasan seperti karung dapat diperkirakan dengan mengetahui besarnya nilai densitas padat.
Tabel 9. Nilai kadar air tepung bekatul Kadar air (%) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 4.84 4.74 4.79 a 2 5.07 5.17 5.12 b 3 3.53 3.73 3.63 c Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa nahan pangan. Winarno (2002) menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Kadar air yang dihasilkan dari ketiga jenis tepung bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan metode pengeringan yang dilakukan. Pada perlakuan 1, bekatul segar yang telah diayak langsung diotoklaf dengan suhu 121OC selama 3 menit lalu dikeringkan dengan oven bersuhu 105OC selama 1 jam. Dari hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa tepung ini memiliki kandungan air yang paling kecil dibanding kedua jenis tepung lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya penambahan air dalam proses stabilisasi yang dilakukan, serta adanya pengeringan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama, serta pemaparan bahan yang cukup terhadap udara pemanas pada oven. Pemaparan tepung terhadap panas dilakukan dengan cara menempatkan tepung dalam loyang dan disebarkan merata dengan ketebalan tidak lebih dari 2 cm sehingga pengeringan dapat dimaksimalkan.
44
Tabel 10. Nilai aw tepung bekatul Nilai aw Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 0.37 0.37 0.37 a 2 0.58 0.59 0.58 b 3 0.55 0.55 0.55 c Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia dan hidrolitik (Syarief dan Khalid, 1992). Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H). Dalam bahan pangan, air terutama berperan sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dalam besaran aktivitas air (water activity = aw), yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu aktivitas air dapat pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai aw suatu bahan, semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Khalid, 1992). Kandungan air dalam bahan pangan mempunyai peranan besar dalam reaksi kimia yang terjadi, antara lain reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis (Maillard). Adapun aktivitas air merupakan faktor penting dalam pengendali mikroba pada pangan semi basah (Soekarto, 1979). Nilai aw
45
yang dihasilkan sejalan dengan kadar airnya, dimana perlakuan kedua memiliki nilai aw terbesar yaitu 0.58.
Tabel 11. Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul Kelarutan dalam air (%) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 0.50 0.51 0.51 a 2 1.42 1.46 1.44 b 3 1.50 1.58 1.54 b Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Kelarutan dalam air atau dispersibility adalah kemampuan tepung untuk didistribusikan dalam air, yang merupakan kemampuan gumpalan aglomerat untuk jatuh dan menyebar dalam air (Khalil, 1999). Nilai dispersibility menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut dalam air. Nilai dispersibility yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikelpartikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tepung bekatul yang dikeringkan dengan pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching (perlakuan 3) memiliki nilai kelarutan dalam air yang paling tinggi yaitu sebesar 1.54%, diikuti oleh tepung bekatul dengan pengering drum (perlakuan 2) sebesar 1.44%, serta tepung bekatul pengering oven (perlakuan 1) sebesar 0.51%. Menurut Damayanthi et al. (2001), tepung bekatul memiliki nilai kelarutan dalam air yang rendah bila dibandingkan dengan tepung terigu yang memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 30.84%. Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat makanan tidak larut dalam tepung bekatul dan kandungan protein yang relatif lebih rendah dibanding terigu.
46
Tabel 12. Nilai daya serap air tepung bekatul Daya serap air (%) Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 1 248.94 255.18 252.06 a 2 299.71 302.95 301.33 b 3 374.09 366.21 370.15 c Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Perlakuan
Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Nilai untuk masing-masing jenis tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12. Nilai daya serap air dan nilai kelarutan dalam air yang besar disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan awal yang dilakukan terhadap tepung, terutama pemanasan yang cukup tinggi seperti penggunaan pengering drum. Menurut Gomez dan Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Nilai kelarutan dalam air sebanding jumlahnya dengan nilai daya serap air. Eliason (1981) menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula dapat memberikan gugus hidrofilik dan atau hidrofobik. Daya absorbsi air dari pati perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat-sifat dari sistem pati. Granula pati yang utuh tidak larut dalam air dingin, akan tetapi granula dapat menyerap air dan membengkak (Fennema, 1985). Menurut Pontoh (1986), semakin besar nilai derajat gelatinisasi, kelarutan dalam air akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pati yang telah tergelatinisasi lebih mudah larut air. Tepung yang memiliki daya
47
serap dan kelarutan dalam air yang tinggi dapat digunakan untuk makanan bayi, salad dressing, cake mixes, puding, dan lain-lain. Sedangkan tepung yang memiliki daya serap air yang rendah cocok dipakai sebagai bahan baku dalam pembuatan produk yang tidak membutuhkan pengembangan. Hasil proses stabilisasi bekatul ini kemudian dipertimbangkan untuk ditambahkan ke dalam minuman berbahan dasar susu skim. Pertimbangan yang digunakan adalah karakteristik fisik-fungsional tepung yang dihasilkan dan kesesuaian dengan aplikasinya pada produk. Mengingat tepung terpilih kemudian akan ditambahkan ke minuman berbahan dasar susu skim, maka dapat dipilih tepung dari perlakuan kedua dan ketiga dengan nilai daya serap air dan kelarutan dalam air yang cukup besar. Namun dari hasil analisis warna sebelumnya, diketahui bahwa perlakuan bleaching dengan H2O2 (perlakuan 3) tidak memberikan hasil peningkatan nilai kecerahan yang cukup signifikan. Perlakuan 3 ini juga menggunakan bahan H2O2 yang cukup berbahaya, meskipun dalam analisis residu kualitatif diketahui residu H2O2 telah hilang akibat pencucian, perendaman, dan pengeringan. Selain itu, pertimbangan yang digunakan adalah tingkat kemudahan proses pengolahan dan biaya, dimana perlakuan ketiga memiliki tahap pengerjaan yang lebih rumit dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, proses bleaching juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat penggilingan (Saiz et al., 2007). Oleh karena itu, tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk diaplikasikan ke produk yang akan dibuat. Tepung dari perlakuan kedua ini kemudian dianalisis sifat kimianya, berupa tingkat kenaikan asam lemak bebas (ALB) serta kandungan total tokoferol. Kenaikan ALB perlu diketahui karena kadar ALB pada bekatul segar dapat meningkat dari 1-3% menjadi 70% dalam satu bulan. Kadar ALB bergantung pada kerusakan permukaan, kadar air, dan suhu penyimpanan. Kecepatan pembentukan ALB meningkat di bawah kondisi kelembaban tinggi (Damayanthi et al., 2006). Kadar tokoferol bekatul setelah proses perlu diketahui karena tokoferol merupakan salah satu komponen bioaktif berharga yang terkandung di dalam
48
bekatul. Damayanthi (2002) telah meneliti kadar total tokoferol pada bekatul yaitu 264.71 pada bekatul segar dan 216.28 mg/100 g minyak bekatul pada bekatul yang dikeringkan dengan oven. Perbandingan kenaikan nilai ALB dan total tokoferol tepung terpilih yang dihasilkan dengan nilai dari hasil penelitian Damayanthi (2002) disajikan dalam Tabel 13 berikut.
Tabel 13. Karakteristik kimia tepung bekatul Parameter
Bekatul segarb 23%
Bekatul pengering Bekatul pengering ovenb drum 2.07% 0.07%
Kenaikan ALB (%)a Kadar total tokoferol 264.71 216.28 217.61 (mg/100 g minyak) a Dihitung dengan membandingkan nilai asam lemak bebas sampel hari ke-0 dengan asam lemak bebas sampel yang telah diinkubasi selama 6 hari (144 jam) pada suhu 35OC. b Damayanthi (2002) Kenaikan ALB sampel cukup rendah sehingga dapat disimpulkan proses penstabilan bekatul yang dilakukan dapat menstabilkan bekatul dengan menghilangkan lipase penyebab aktivitas kerusakan. Kandungan tokoferol yang dihasilkan juga cukup tinggi, yakni sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Diketahui bahwa kandungan tokoferol atau vitamin E pada bekatul cukup tinggi, yaitu 217.61 mg per 100 g minyak bekatul. Kandungan vitamin E pada bekatul ini bahkan jauh melebihi kandungan vitamin E pada minyak sawit (2-50 mg/100 g minyak), minyak biji bunga matahari (70 mg/100 g minyak), atau bahkan margarin (30-100 mg/100 g minyak). Kandungan ini dapat disetarakan dengan kandungan vitamin E pada minyak kedelai varietas tertentu (90-280 mg/100 g) atau minyak nutfah jagung (87-250 mg/100 g) (deMan, 1997). Menurut deMan (1997), tokoferol penting sebagai antioksidan dalam makanan, terutama dalam minyak tumbuhan; dimana kecambah serealia yang merupakan sumber yang sangat baik karena dapat mengandung 150 hingga 500 mg/100 g minyak. Dalam hal bekatul, sebagian besar dari vitamin -seperti halnya protein dan lemak- terletak pada bagian aleuron dan lembaga sehingga bekatul merupakan bahan yang kaya akan vitamin. Grup vitamin B dan
49
tokoferol banyak terdapat di bekatul, sedangkan vitamin A dan C sedikit sekali jumlahnya. Variasi kandungan vitamin merupakan akibat dari varietas padi, tingkat penyosohan, dan kemungkinan terjadinya kontaminasi sekam.
B. PENENTUAN VARIABEL MINUMAN FUNGSIONAL Tahapan kedua dalam penelitian ini adalah formulasi dan optimasi minuman susu skim yang ditambahkan tepung bekatul. Hal yang menjadi perhatian utama adalah respon penerimaan panelis terutama atribut rasa dari minuman ini. Hal ini disebabkan setelah melalui tahapan trial, aroma sebelum dan sesudah diseduh sangat baik; namun rasa yang dihasilkan masih belum dapat diterima karena bekatul menghasilkan off flavor dan sedikit pahit. Dari formula terbaik akan dianalisis sifat-sifat fisik, kimia dan mikrobiologinya, meliputi pengukuran pH dan aw, analisis proksimat, kadar serat pangan, total tokoferol (konversi), analisis warna dengan chromameter, serta total mikroba. Tahap formulasi didahului oleh tahap penelitian pendahuluan yang meliputi penetapan formula dasar minuman serta penentuan kisaran maksimum dan minimum dari penambahan tepung bekatul dan karagenan. Formula dasar minuman terdiri atas susu skim, maltodekstrin, flavor, dan sukrosa atau gula pasir.
1. Penetapan Formula Dasar Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap rasa yang dilakukan terhadap 6 panelis, diperoleh rata-rata skor kesukaan untuk F1 adalah 2 (agak tidak suka), F2 adalah 2.5 (agak tidak suka hingga netral), F3 adalah 3.0 (netral) dan F4 adalah 4.3 (agak suka hingga suka). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa F4 lebih disukai daripada F1, F2, dan F3 karena nilai rata-rata skor kesukaan untuk F4 paling tinggi. Oleh karena itu ditetapkan formula dasar F4 dengan komposisi skim 60%, maltodekstrin 24.3%, sukrosa 15%, dan flavor 0.7% sebagai formula dasar yang akan digunakan pada penelitian utama. Hasil uji hedonik dengan parameter rasa pada variasi persentase formula dasar dapat dilihat pada Gambar 3.
50
5 4.3 4 3 Skor
3
2.5 2
2 1 0 F1
F2
F3
F4
Form ula
Gambar 3. Uji hedonik terhadap parameter rasa pada variasi persentase formula dasar
2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul Berdasarkan uji penerimaan terhadap rasa yang dilakukan kepada 5 panelis, ditentukan batas maksimum penambahan tepung bekatul adalah 20% (A2). Rasa dari minuman dengan penambahan tepung bekatul sebanyak 22.5% (A1) tidak dapat diterima panelis karena rasanya yang terlalu pahit. Panelis mulai dapat menerima rasa A4 (15%) yang memiliki rasa atau aftertaste pahit yang mulai berkurang. Adapun untuk A5 (12.5%) juga memiliki persentase penerimaan yang sama dengan A4 yaitu sebesar 80%, namun tidak dipilih karena diinginkan konsentasi bekatul yang lebih besar untuk ditambahkan ke dalam minuman ini. Oleh karena itu, dalam penambahan tepung bekatul ini, dilakukan penetapan rentang penambahan sebesar 15-20%. Hasil uji penerimaan dengan parameter rasa pada variasi penambahan tepung bekatul dapat dilihat pada Gambar 4.
51
100 80
80
A4 (15%)
A5 (12,5%)
Penerimaan (%)
80 60 60 40 40
20 0 0 A1 (22,5%)
A2 (20%)
A3 (17,5%) Formula
Gambar 4. Uji penerimaan terhadap parameter rasa pada variasi persentase tepung bekatul 3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan Berdasarkan uji penerimaan terhadap kekentalan yang dilakukan kepada 5 panelis, ditentukan batas maksimum penggunaan karagenan adalah 0.6% (B2) karena B3 (0.9%) dan B4 (1.2%) tidak dapat diterima panelis karena terlalu kental sedangkan panelis dapat menerima kekentalan B1 (0.3%). Dari hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa variasi penggunaan karagenan dilakukan pada rentang 0.3-0.6%. Hasil uji penerimaan terhadap maksimum penambahan karagenan dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini didukung pula oleh pengukuran kekentalan menggunakan viskometer
Brookefield
terhadap
formula
yang
diujikan
untuk
membuktikan bahwa penambahan karagenan berpengaruh nyata terhadap kekentalan. Kekentalan larutan berbanding lurus dengan kestabilan minuman. Semakin kental, maka larutan akan semakin solid atau makin stabil. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa hipotesa ini dapat dibuktikan, yaitu konsentrasi karagenan berpengaruh nyata terhadap kekentalan yang dihasilkan. Hasil uji Anova terhadap viskositas ini dapat dilihat pada Lampiran 12.
52
100 100
Penerimaan (%)
80 60 60
40 20
20
B3 (0,9%)
B4 (1,2%)
20
0 B1 (0,3%)
B2 (0,6%)
Formula
Gambar 5. Uji penerimaan terhadap parameter kekentalan pada variasi persentase karagenan Penggunaan karagenan sebagai bahan penstabil atau pengental dalam minuman ini menurut Hoefler (2004) sudah tepat dilakukan. Menurut Hoefler (2004), untuk mengentalkan produk berbasis susu yang berada di atas atau di sekitar titik isoelektrik protein susu (untuk susu sebesar 4.6), karagenan merupakan hidrokoloid yang paling efektif. Selain efektif dalam hal biaya, karagenan juga bersifat sebagai pembentuk gel yang baik pada pH di atas 4.6 tetapi dapat mengendap di bawah pH 4.6. Selain itu, karagenan dapat meminimalkan penggunaan flavor karena karagenan tidak bersifat seperti agen pengental lainnya seperti CMC, gum arab, dan gum xanthan yang dapat menutupi flavor.
4. Konversi Input Formula Rancangan Dari tiga hasil penetapan kisaran awal yang dijabarkan diatas, diketahui formula dasar minuman yang digunakan (susu skim, maltodekstrin, sukrosa, dan flavor) serta persentase masing-masing komponen yang menjadi kendala dalam formulasi minuman. Persentase tepung bekatul dan karagenan yang didapat merupakan persentase komponen yang dibandingkan terhadap formula dasar, sehingga perlu dilakukan konversi terhadap formula dasar sehingga diketahui jumlah
53
yang aktual dari komponen yang digunakan dalam minuman. Konversi ini dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14. Konversi komponen minuman Komponen
Awal (%)
Aktual (%)
Batas bawah
Batas atas
Batas bawah
Batas atas
0.3
0.6
0.25
0.52
15
20
12.73
16.84
-
-
82.91
86.75
Karagenan Tepung bekatul Formula dasar
C. FORMULASI DAN OPTIMASI MINUMAN 1. Rancangan Formulasi Rancangan metode penelitian yang digunakan pada program Design Expert version 7 adalah rancangan Response Surface Methodology (RSM) mixture design D-optimal. Penggunaan rancangan RSM mixture design dikarenakan rancangan ini sesuai dengan faktor perlakuan pada penelitian ini, yaitu perlakuan pencampuran komponen yang diubah-ubah untuk memperoleh respon tertentu. Faktor perlakuan berupa komponen yang diubah-ubah pada penelitian ini adalah jumlah formula dasar, tepung bekatul, dan karagenan. Output dari proses analisis respon yang diolah dengan rancangan statistik RSM mixture design adalah berupa persamaan polinomial. Persamaan polinomial yang diperoleh tiap respon ditunjukkan dengan variabel tertentu, yang dapat berbentuk Mean (M) = pangkat 0, Linear (L) = pangkat 1, Quadratic (Q) = pangkat 2, atau Cubic (C) = pangkat 3. Variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan rancangan model polinomial untuk faktor perlakuan pada penelitian sehingga didapatkan respon yang mendukung terciptanya produk yang optimal (Anonim, 2007). Pada tahap perancangan formula, digunakan kisaran maksimum dan minimum dari jumlah komponen yang didapat pada penelitian pendahuluan
54
yang dilakukan secara trial dan error. Kisaran komponen yang digunakan adalah karagenan sebesar 0.25-0.52%, tepung bekatul sebesar 12.73-16.84% serta formula dasar sebesar 82.91-86.75%. Tiga variabel ini merupakan kendala bahan dalam pembuatan rancangan percobaan. Rancangan formula yang disarankan program Design Expert version 7 adalah sebanyak 15 formula. Output dari proses ini dinamakan respon. Pemilihan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari komponen-komponennya. Respon-respon ini yang akan diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon-respon pada penelitian ini berupa respon uji organoleptik yang meliputi respon warna sebelum diseduh, aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, rasa, serta penampakan fisik setelah diseduh. Respon-respon ini dipilih agar dapat diperoleh formula yang dapat menghasilkan minuman dengan mutu yang baik. Rancangan 15 formula yang disarankan Design Expert version 7 beserta hasil responnya dapat dilihat pada Lampiran 13.
2. Analisis Respon Program Design Expert version 7 memiliki 5 model polinomial untuk setiap respon. Model-model polinomial itu adalah mean, linear, quadratic, special cubic, dan cubic. Model polinomial merupakan output dari proses analisis mutu awal produk yang diolah oleh rancangan statistik RSM mixture design yang menunjukkan hasil analisis mutu awal atau respon produk. Program Design Expert version 7 akan merekomendasikan salah satu model yang paling sesuai untuk setiap respon. Pemilihan model yang cocok dari tiap respon akan ditampilkan dalam fit summary. Kesesuaian antara hasil aktual dengan hasil yang diprediksikan pada program Design Expert version 7 dapat dilihat melalui grafik plot kenormalan Internally Studentized Residual. Plot kenormalan Internally Studentized Residual adalah besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan. Plot kenormalan mengindikasikan
55
apakah residual (perbedaan antara nilai respon aktual dengan yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Semakin mendekati suatu titik-titik (data) dengan garis kenormalan, maka akan semakin baik, karena titik-titik (data) tersebut menyebar normal, yang berarti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan program Design Expert version 7 (Anonim, 2007). Program Design Expert version 7 dapat menyelesaikan persamaan polinomial di mana persamaan tersebut dapat ditampilkan dalam suatu contour plot, yang berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun grafik tiga dimensi (3-D). Grafik countour plot menggambarkan bagaimana kombinasi antar komponen saling mempengaruhi nilai respon (Anonim, 2007). Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi.
a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna dapat menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima (Arpah, 2001). Oleh karena itu, perubahan warna yang signifikan dapat digunakan untuk memperkirakan lama penyimpanan dan keadaan mutu produk. Respon ini diuji secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang dapat mengkonsumsi atau menyukai produk susu seduhan. Hasil nilai respon warna sebelum diseduh adalah berkisar antara 6.64 hingga 8.456. Nilai kesukaan warna sebelum diseduh terendah yaitu 6.64 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling rendah yaitu 82.91%, dan karagenan yang sedang yaitu 0.385%. Tepung bekatul yang berwarna coklat muda
56
dengan konsentrasi yang tinggi dan kandungan formula dasar yang berwarna putih cerah dengan konsentrasi terendah memungkinkan produk minuman fungsional yang dihasilkan menjadi berwarna coklat muda sehingga kurang disukai panelis. Nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh tertinggi yaitu 8.456 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 3 yang menggunakan tepung bekatul yang rendah yaitu 12.865% serta formula dasar tertinggi sebesar 86.75% dan karagenan 0.37%. Penggunaan tepung bekatul yang cukup rendah dan formula dasar yang tinggi dengan kandungan karagenan dalam ukuran sedang menghasilkan warna yang cukup cerah sehingga banyak panelis yang menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon warna sebelum diseduh adalah 7.80 (berkisar antara agak suka hingga netral), dengan standar deviasi 0.23. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon warna sebelum diseduh adalah cubic. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu cubic adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (0.0092). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linear mixture) komponen A (karagenan), komponen B (tepung bekatul), dan komponen C (formula dasar), memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon warna sebelum diseduh (0.0043). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon warna sebelum diseduh adalah sebesar 3.52, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error. Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon warna sebelum diseduh dengan model (Lampiran 16). Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon warna sebelum diseduh berturut-turut adalah -0.6595 dan 0.8601, yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual untuk respon warna sebelum diseduh yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut sebesar 65.95% dan 86.01%. Namun, nilai Pred Rsquared yang dihasilkan bernilai negatif, yang berarti prediksi respon
57
untuk optimasi yang akan diprediksikan tidak sesuai dengan model yang direkomendasikan program. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian optimasi, karena Pred R-squared merupakan nilai prediksi korelasi dari formula yang disarankan. Persamaan polinomial untuk respon warna sebelum diseduh adalah sebagai berikut : Warna sebelum diseduh = - 2.37 . 105 x A – 1121.1 x B + 6.56 x C + 4280.32 (A x B) + 3466. 82 (A x C) + 19.28 (B x C) – 29.77 (A x B x C) + 19.69 (A x B x (A – B)) + 10.92 (A x C x (A – C)) + 0.09 (B x C x (B – C)) Keterangan : A = karagenan B = tepung bekatul C = formula dasar Dari tabel Anova warna sebelum diseduh (Lampiran 17) diketahui bahwa linear mixture atau masing-masing komponen (A, B, C) memiliki signifikansi yang nyata terhadap nilai warna sebelum diseduh (p-value <0.05), begitu pula dengan interaksi B x C (B – C). Adapun untuk interaksi antar komponen lainnya tidak memiliki signifikansi yang nyata dalam taraf kepercayaan 5% terhadap nilai warna sebelum diseduh. Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh akan meningkat seiring peningkatan jumlah formula dasar, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Sedangkan karagenan dan tepung bekatul dapat menurunkan nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh sangat ditentukan oleh jumlah karagenan, karena diantara komponen lainnya, nilai konstanta karagenan paling besar (2.37x105), diikuti oleh jumlah tepung bekatul, jumlah formula dasar,serta interaksi antara tepung bekatul dengan formula dasar dan selisih tepung bekatul dan formula dasar. Adapun interaksi lainnya yang mungkin, dapat
58
mempengaruhi nilai respon warna sebelum diseduh, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon warna sebelum diseduh dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik contour plot untuk respon warna sebelum diseduh terhadap komponen karagenan, tepung bekatul, dan karagenan dapat dilihat pada Gambar 7, dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon warna sebelum diseduh menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual warna sebelum diseduh dengan respon warna sebelum diseduh yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon warna sebelum diseduh yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon warna sebelum diseduh.
Design-Expert® Software warna sebelum diseduh
Normal Plot of Residuals
Color points by value of warna sebelum diseduh : 8.456
99
Normal % Probability
95
6.64
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.53
-0.76
0.00
0.76
1.53
Internally Studentized Residuals
Gambar 6. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon warna sebelum diseduh
59
A: karagenan 4.360
Design-Expert® Software warna sebelum diseduh Design Points 8.456 6.64
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
82.910
2
2 6.85847 7.97465
7.60259
12.730
7.97465 7.60259
7.974652 2
16.840 B: tepung bekatul
0.250
87.020 C: formula dasar
warna sebelum diseduh
Gambar 7. Grafik countour plot hasil uji respon warna sebelum diseduh Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan nilai respon warna sebelum diseduh. Warna biru menunjukkan nilai respon warna sebelum diseduh terendah, yaitu 6.64 (agak tidak suka hingga netral) sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon warna sebelum diseduh tertinggi, yaitu 8.456 (netral hingga agak suka). Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon warna sebelum diseduh tertentu yang sama.
60
Design-Expert® Software warna sebelum diseduh Design points above predicted value Design points below predicted value 8.456
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
warna sebelum diseduh
6.64
8.8
8.15
7.5
6.85
6.2
A (4.360) B (12.730) C (87.020 C (82.910) A (0.250) B (16.840)
Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil uji respon warna sebelum diseduh
b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al., 1999). Rasa dimasukkan sebagai respon karena penambahan tepung bekatul dapat menyebabkan perubahan rasa, dimana minuman yang dihasilkan memiliki aftertaste pahit. Menurut Belitz dan Grosch (1987), penyebab rasa pahit mungkin disebabkan oleh teroksidasinya asam lemak, mengingat komposisi asam lemak pada bekatul berupa asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Rasa pahit juga mungkin ditimbulkan oleh peptida yang tidak terhidrolisis sempurna selama hidrolisis enzimatik protein. Selain itu, Menurut Luh (1980), rasa pahit pada bekatul disebabkan oleh adanya senyawa saponin. Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1991).
61
Semakin banyak tepung bekatul yang digunakan sebagai bahan baku, maka rasa pahit yang timbul akan makin terasa, serta rasa manis minuman akan semakin berkurang. Respon ini diuji secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang bisa mengkonsumsi atau menyukai produk susu seduhan. Hasil nilai respon rasa berkisar antara 5.0 hingga 8.907. Nilai kesukaan rasa terendah yaitu 5.0 (agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul paling banyak, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling sedikit, yaitu 82.91%, serta karagenan yang cukup yaitu 0.385%. Kandungan tepung bekatul yang tinggi dengan formula dasar yang rendah memungkinkan produk yang dihasilkan menjadi terasa pahit sehingga tidak disukai panelis. Sebaliknya, nilai kesukaan rasa tertinggi yaitu 8.907 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 5 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi terendah (12.73%) dan formula dasar tertinggi (86.75%), serta karagenan yang tinggi (0.52%). Penggunaan tepung bekatul yang rendah
dan formula dasar
yang tinggi
memungkinkan produk yang dihasilkan terasa sedikit lebih manis sehingga banyak panelis menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon rasa adalah 7.01 (berkisar antara netral hingga agak tidak suka), dengan standar deviasi 0.49. Berdasarkan analisis pada program Design Expert version 7 model polinomial dari respon rasa adalah quadratic. Hasil uji sidik ragam (ANOVA) pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa model yang direkomendasikan, yaitu quadratic adalah signifikan, dengan nilai p “prob>F” lebih kecil daripada 0.05 (0.002). Selain itu, dapat diketahui secara terpisah (linier mixture) komponen A (karagenan), komponen B (tepung bekatul), dan komponen C (formula dasar) memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon rasa (0.011). Nilai F dari Lack of Fit yang dihasilkan untuk respon rasa adalah sebesar 1.05, yang menandakan Lack of Fit tidak signifikan relatif terhadap pure error.
62
Nilai Lack of Fit yang tidak signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon rasa dengan model (Lampiran 18). Besarnya nilai Pred R-squared dan Adj R-squared untuk respon rasa berturut-turut adalah 0.5472 dan 0.7579, yang menandakan datadata yang diprediksikan dan data-data aktual yang tercakup ke dalam model adalah berturut-turut sebesar 54.72% dan 75.79%. Persamaan polinomial untuk respon rasa adalah sebagai berikut : Rasa = + 6397.75 x A – 14.12 x B - 0.41 x C – 66.77 x (A x B) – 64.04 (A x C) + 0.2 (B x C) Keterangan : A = karagenan B = tepung bekatul C = formula dasar Dari tabel Anova rasa (Lampiran 19) diketahui bahwa linear mixture atau masing-masing komponen (A, B, C) maupun semua interaksi komponen memiliki signifikansi yang nyata terhadap nilai rasa seduhan (p-value <0.05). Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa nilai kesukaan terhadap rasa akan meningkat seiring peningkatan jumlah karagenan, yang ditandai dengan konstanta yang bernilai positif. Sedangkan penambahan tepung bekatul dan formula dasar dapat munurunkan nilai kesukaan respon rasa karena konstantanya bernilai negatif.
Nilai
kesukaan
terhadap
rasa
sangat
ditentukan
oleh
penambahan karagenan, karena diantara komponen lainnya, nilai konstanta karagenan paling besar (6397.75), diikuti oleh interaksi karagenan dengan tepung bekatul, interaksi karagenan dengan dan formula dasar, jumlah tepung bekatul, jumlah formula dasar, serta diurutan terakhir adalah interaksi tepung bekatul dengan formula dasar. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual untuk respon rasa dapat dilihat pada Gambar 9. Grafik contour plot untuk respon rasa terhadap komponen karagenan, tepung bekatul, dan formula dasar dapat dilihat pada Gambar 10 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 11.
63
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa titik-titik berada dekat di sepanjang garis normal sehingga dapat dikatakan bahwa data hasil respon rasa menyebar normal. Hal ini berarti bahwa standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual rasa dengan respon rasa yang diprediksikan tidak besar. Data-data respon rasa yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon rasa.
Design-Expert® Software rasa setelah diseduh
Normal Plot of Residuals
Color points by value of rasa setelah diseduh: 8.907
99
95
Normal % Probability
5
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.77
-0.84
0.09
1.01
1.94
Internally Studentized Residuals
Gambar 9. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon rasa
64
A: karagenan 4.360
Design-Expert® Software rasa setelah diseduh Design Points 8.907 5
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
82.910
2
12.730
5.74668 7.49927
2
6.62297 7.06112
16.840 B: tepung bekatul
7.06112 7.49927 6.62297 2 2
0.250
87.020 C: formula dasar
rasa setelah diseduh
Gambar 10 . Grafik countour plot hasil uji respon rasa Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot pada Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan nilai respon rasa. Warna biru menunjukkan nilai respon rasa terendah, yaitu 5 (agak tidak suka hingga netral) sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon rasa tertinggi, yaitu 8.907 (netral hingga agak suka). Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai respon rasa tertentu yang sama.
65
Design-Expert® Software rasa setelah diseduh Design points above predicted value Design points below predicted value 8.907
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
rasa setelah diseduh
5
9.3
8.225
7.15
6.075
5
A (4.360) B (12.730) C (87.020 C (82.910) A (0.250) B (16.840)
Gambar 11 . Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa
c. Analisis Respon Lainnya Adapun respon yang diujikan dalam uji organoleptik produk selain dua respon yang dibahas di atas tidak dibahas lebih lanjut. Hal ini disebabkan oleh hasil dari uji Anova yang diperoleh menunjukkan nilai pvalue yang lebih besar dari 0.05 atau perubahan komponen campuran formula tidak mempengaruhi respon yang diuji secara nyata. Responrespon tersebut adalah aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, serta penampakan fisik setelah diseduh. Respon awal yang diharapkan dalam formulasi ini adalah rasa dan warna produk yang disebabkan oleh penambahan karagenan, tepung bekatul, serta formula dasar yang berbeda-beda. Hipotesa awal yang dibuat adalah : tiga jenis variabel tersebut akan mempengaruhi respon rasa dan warna produk. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa hipotesa awal ini ternyata benar, karena dari nilai p-value diketahui bahwa penambahan karagenan, tepung bekatul, dan formula dasar berpengaruh secara signifikan terhadap respon rasa dan warna.
66
Akan tetapi, empat respon lain juga tetap diujikan dalam tahap ini karena merupakan uji penerimaan dan atau hedonik yang biasa diujikan untuk produk minuman seduhan seperti yang dilakukan Nurkhoeriyati (2007). Dari hasil uji Anova diketahui empat respon tersebut tidak dipengaruhi secara nyata oleh tiga variabel yang digunakan. Namun dalam tahap optimasi formula, semua variabel baik yang signifikan ataupun tidak tetap dimasukkan ke dalam pembobotan atau tingkat kepentingan, karena masih dianggap sebagai keseluruhan respon yang mempengaruhi penilaian panelis.
d. Optimasi Formula Proses optimasi dilakukan untuk mendapatkan suatu formula dengan respon-respon yang paling optimal. Respon yang paling optimal diperoleh jika nilai desirability mendekati 1. Komponen yang dioptimasi adalah karagenan, tepung karagenan, dan formula dasar. Setiap komponen dilakukan pembobotan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pembobotan ini dinamakan importance, yang terdapat pilihan tanda positif 1(+) hingga tanda positif 5 (+++++). Semakin tinggi tingkat kepentingan dari komponen dan respon yang diukur, maka semakin banyak tanda positif yang diberikan. Komponen karagenan dengan range 0.25-0.52% dioptimalkan dengan target komponen minimize dan importance (+++). Hal ini dikarenakan penambahan karagenan pada awalnya bertujuan membentuk kestabilan akibat adanya penambahan tepung bekatul, sehingga diberi target minimize agar tidak terbentuk produk yang terlalu kental. Komponen tepung bekatul dengan range 12.73-16.84% dioptimalkan dengan target komponen maximize dan importance (+++++), karena tujuan utama dari formulasi minuman ini adalah untuk dapat memaksimalkan penambahan tepung bekatul sehingga memiliki nilai gizi yang baik. Komponen formula dasar dengan range 82.91-86.75% dioptimalkan dengan target komponen in range dan importance (+++), karena merupakan bahan dasar atau utama yang digunakan dalam minuman ini.
67
Respon warna sebelum diseduh dengan range 6.64-8.46 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++). Respon aroma sebelum diseduh dengan range 6.41-7.89 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (++++). Respon penampakan fisik sebelum diseduh dengan range 7.35-8.37 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++). Respon aroma setelah diseduh dengan range 7.93–9.73 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (++++). Respon rasa setelah diseduh dengan range 5-8.91 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++++). Respon penampakan fisik setelah diseduh dengan range 7.21-8.30 dioptimalkan dengan target maximize dan importance (+++). Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 3 formula, tetapi yang dipilih adalah formula pertama karena memiliki nilai desirability tertinggi. Formula yang disarankan oleh program dan nilai desirabilitynya dapat dilihat pada Tabel 15. Formula optimum pertama (selanjutnya disebut formula optimum terpilih) memiliki komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%.
Tabel 15. Formula optimum yang disarankan beserta nilai desirabilitynya Formula optimum 1 2 3
Karagenan (%) 0.25 0.455 0.452
Tepung bekatul (%) 16.084 14.968 13.757
Formula dasar (%) 83.666 84.577 85.79
Desirability 0.6813 0.5115 0.4684
Formula optimum terpilih ini diprediksi akan menghasilkan minuman fungsional dengan warna sebelum diseduh dengan skor kesukaan 8.7161, aroma sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.01698, penampakan fisik sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.81884, aroma setelah diseduh sebesar 9.77556, rasa sebesar 7.70139, dan penampakan fisik setelah diseduh sebesar 7.68299. Nilai desirability dari formula optimum ini adalah 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk
68
yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%. Nilai
desirability
yang
dihasilkan
sangat
dipengaruhi
oleh
kompleksitas komponen, kisaran yang digunakan dalam komponen, jumlah komponen dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh formula optimum. Kompleksitas jumlah komponen dapat terlihat pada persyaratan jumlah bahan baku yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap produk untuk menentukan formulasi. Jumlah masing-masing bahan baku ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang akan berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar selang, maka penentuan formula optimum dengan desirability yang tinggi akan semakin sulit. Jumlah komponen dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability formula optimum. Semakin banyak jumlah komponen dan respon, semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga desirability yang dihasilkan kemungkinan rendah. Nilai masing-masing respon berbeda targetnya satu sama lain sesuai dengan keinginan formulator. Semakin besar tingkat kepentingan (importance) maka semakin sulit untuk memperoleh formula optimum dengan desirability yang tinggi. Nilai importance yang besar (+++ hingga +++++), adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai produk optimal yang ideal (dapat dilihat dari target), dan banyaknya respon yang dioptimasi (enam respon) membuat desirability pada formula optimum ini hanya mencapai 0.681. Grafik contour plot untuk desirability formula optimum dapat dilihat pada Gambar 12 dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 13. Countour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon warna, aroma, dan penampakan fisik sebelum diseduh; serta aroma, rasa,dan penampakan fisik setelah diseduh. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik countour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama.
69
A: karagenan 4.360
Design-Expert® Software Desirability Design Points 1 0
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
82.910
Prediction
12.730
0.227 0.341
20.114 0.681
0.454
0.568
2
16.840 B: tepung bekatul
0.250
2 0.114 2
87.020 C: formula dasar
Desirability
Gambar 12 . Grafik countour plot desirability formula optimum terpilih
Design-Expert® Software Desirability 1 0.690
0
0.518
Desirability
X1 = A: karagenan X2 = B: tepung bekatul X3 = C: formula dasar
0.345
0.173
0.000
A (4.360) B (12.730) C (87.020) C (82.910) A (0.250) B (16.840)
Gambar 13. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum terpilih
70
e. Uji Coba Formula Optimum Setelah program Design Expert version 7 merekomendasikan formula optimum terpilih dengan nilai desirability yang tertinggi, lalu dilakukan pembuktian terhadap dugaan nilai dari respon-respon yang diberikan program Design Expert version 7. Berdasarkan hasil uji organoleptik, diketahui bahwa formula optimum terpilih dengan nilai desirability tertinggi yang disarankan, menghasilkan produk minuman dengan nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh sebesar 9.7, nilai kesukaan terhadap aroma sebelum diseduh sebesar 9.0, nilai penampakan fisik sebelum diseduh sebesar 9.9, nilai aroma setelah diseduh sebesar 9.9, nilai rasa sebesar 8.2, dan nilai penampakan fisik setelah diseduh sebesar 10.1. Data hasil organoleptik ini dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Semua respon yang diukur ini berada dalam kisaran kesukaan yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara netral hingga agak suka. Hasil-hasil tersebut tidak sama persis dengan yang diprediksikan, tetapi hasil yang diperoleh ini tidak berbeda jauh dengan yang diprediksikan oleh program Design Expert version 7. Salah satu penyebabnya adalah nilai Pred R-squared yang bernilai negatif untuk prediksi respon warna sebelum diseduh. Nilai ini memprediksikan nilai respon formula optimum terpilih yang dihasilkan, dimana nilai negatif ini menunjukkan nilai respon warna optimasi tidak sesuai dengan model. Semua nilai respon dari formula optimum yang dihasilkan lebih besar, sehingga dapat diketahui bahwa produk minuman ini dapat diterima secara organoleptik. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7 dapat dilihat pada Tabel 16.
71
Tabel 16. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7 Respon
Prediksi
SE
95% PI
Pred
Rendah Tinggi
Warna sebelum diseduh
8.71623
0.33
7.87
9.57
Aroma sebelum diseduh
7.06183
0.40
6.20
7.92
Penampakan fisik sebelum diseduh
7.81935
0.34
7.04
8.60
Aroma setelah diseduh
9.77503
0.76
7.81
11.74
Rasa setelah diseduh
7.70081
0.57
6.42
8.98
Penampakan fisik setelah diseduh
7.68249
0.30
6.83
8.54
Seluruh hasil pengamatan dan pengukuran yang diperoleh pada respon uji organoleptik memiliki hasil yang lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diprediksikan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat hasil nilai yang didapat merupakan data sampel, dibandingkan dengan prediksi yang merupakan data populasi.
f. Uji Hedonik Produk Pembanding Setelah diketahui nilai respon dari formula optimum, dilakukan pula pengujian
terhadap
produk
minuman
komersil
sejenis
untuk
menggambarkan secara lebih jelas kedudukan produk formula optimum terpilih diantara produk-produk sejenisnya. Produk yang diujikan adalah Instant Brown Rice Beverage atau minuman segera serbuk beras perang dengan merk dagang Nature’s Own produksi O’Seeker Food Industries Sdn.Bhd., Malaysia. Pemilihan produk sejenis agak sulit dilakukan, karena produk minuman dengan penambahan bekatul murni belum ditemukan di pasaran sehingga dipilih produk yang paling mendekati, yaitu minuman yang mengandung bubuk beras pecah kulit. Beras pecah kulit atau beras tumbuk merupakan beras yang masih memiliki kandungan dedak atau bekatul, atau tidak melewati proses penyosohan. Atribut yang diujikan sama dengan tahap formulasi sebelumnya dengan menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm.
72
Dari hasil pengukuran, didapat hasil uji organoleptik untuk masingmasing respon yang disajikan dalam Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Nilai skor produk optimal dan pembanding Parameter
Produk optimum
Produk
terpilih
komersil*
Warna sebelum diseduh
9.7
a
10.3 a
Aroma sebelum diseduh
9.0 b
10.4 b
Penampakan fisik sebelum diseduh
9.9 c
9.4 c
Aroma setelah diseduh
9.9 d
9.8 d
Rasa setelah diseduh
8.2 e
9.9 e
Penampakan fisik setelah diseduh
10.1 f
10.3 f
Keterangan : * Nature’s Own Instant Brown Rice Beverage Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji t dua sisi p= 0.05) Dari Tabel 17 tersebut dapat dilihat bahwa produk optimal yang dihasilkan memiliki respon yang tidak berbeda jauh dibanding produk komersil, bahkan dapat mengungguli produk komersil pada respon penampakan fisik sebelum diseduh serta aroma setelah diseduh. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan flakes atau malt kasar yang ditambahkan pada produk komersil sehingga terlihat lebih kasar. Sedangkan untuk parameter aroma setelah diseduh kemungkinan diakibatkan oleh bau coklat yang terlalu menyengat akibat penambahan cocoa powder yang terlalu banyak untuk menutupi bau tepung beras yang digunakan. Hasil uji t pada Lampiran 39 hingga 44 juga memperlihatkan bahwa seluruh parameter respon tidak berbeda nyata atau dapat disimpulkan bahwa produk optimal tidak berbeda dengan produk komersil pada taraf 5% untuk seluruh parameter yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai T Stat < T critical two-tail atau P(T<=t) two-tail > 0.05 pada tabel masing-masing parameter tersebut untuk uji dua sisi.
73
g. Analisis Formula Optimum Data proksimat minuman dengan formula optimum ini memenuhi syarat mutu proksimat susu bubuk SNI 01-2970-1999 yang dikhususkan pada susu bubuk rendah lemak, kecuali pada kandungan protein sebesar 18.79 ± 0.26 yang lebih rendah dibanding SNI yaitu minimal 26%. Hal ini dapat dipahami, karena produk minuman ini menggunakan susu skim bubuk yang sebagian bahannya disubstitusi dengan maltodekstrin, tepung bekatul, serta bahan lainnya untuk dibandingkan lagi dengan produk awalnya (SNI 01-2970-1999) sehingga kadar protein awal susu tanpa lemak (minimal 34%) menjadi berkurang.
Tabel 18. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter
Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (by difference) Serat pangan a. Serat larut (%) b. Serat tidak larut (%) 7. Vitamin E (mg/100g) 8. aw (31.4 OC) 9. pH 10. Total mikroba (koloni/ml) * SNI susu bubuk (SNI 01-2970-1999)
Produk 3.94 ± 0.04 5.16 ± 0.01 2.72 ± 0.03 18.79 ± 0.26 69.71 ± 0.33
SNI susu bubuk* Maks. 4.0 Maks. 9.0 1.5- , 26.0 Min. 26.0 -
0.94 ± 0.02 4.32 ± 0.07
-
1.01 ± 0.01 0.414 ± 0.005 5.50 ± 0.01 8.6 x 103
Maks. 5x105
Minuman ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan susu bubuk tanpa lemak menurut SNI seperti bentuk awalnya karena kandungan lemaknya sudah melebihi syarat kandungan lemak susu bubuk tanpa lemak yaitu sebesar maksimum 1.5%. Kandungan lemak ini berasal dari tepung bekatul yang ditambahkan, sebab bekatul sendiri mengandung kadar lemak sebesar 15-19.7 % (Damayanthi et al., 2007). Dari tepung bekatul pula diperoleh kandungan serat pangan yang terkandung dalam minuman fungsional ini yaitu sebesar 5.25%. Menurut
74
Damayanthi et al. (2007), bekatul mengandung 7-11.4% serat kasar. Serat kasar menggambarkan berapa banyak serat yang hilang selama ekstraksi dengan asam dan alkali. Serat kasar tidak termasuk hemiselulosa dan serat terlarut sehingga jumlanhya sekitar seperlima dari nilai serat pangan total. Serat pangan total terbagi dua, yaitu serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut terdiri atas glukan, pektin, dan musilase, sedangkan serat pangan tidak larut terdiri atas selulosa, lignin, dan beberapa hemiselulosa. Serat larut mudah difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar dan berhubungan dengan metabolisme karbohidrat dan lipid. Sementara serat tidak larut berkontribusi terhadap volume feses dan menurunkan waktu transit. Selulosa tidak larut di dalam air serta tahan hidrasi dan pengembangan. Sebaliknya, pektin siap larut di air dan memiliki kemampuan yang tinggi mengikat ion. Lignin dan hemiselulosa menyerap asam empedu, sedangkan selulosa sendiri memiliki kapasitas yang sangat rendah untuk penyerapan garam empedu. Pengikatan garam empedu akan mengganggu penyerapan lemak di usus (Damayanthi et al., 2007). Dari hasil analisis serat pangan, diketahui bahwa kandungan serat larut hanya 0.93%, sedangkan kandungan serat pangan tidak larutnya cukup tinggi, yaitu sebear 4.31%. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat pada bekatul. Menurut Sulistijani (1998), bagian luar dari biji serealia memang lebih banyak mengandung serat tidak larut dalam air seperti selulosa dan hemiselulosa, sedangkan bagian endosperm lebih didominasi oleh pati. Hal ini menyebabkan kandungan serat pada endosperm tidak sebesar pada bagian luar biji. Jenis serat musilase juga merupakan jenis serat yang cukup banyak terdapat pada serealia, yang berfungsi dalam pembentukan gel pada metabolisme dalam tubuh. Kandungan serat pada minuman ini juga dipengaruhi oleh penggunaan hidrokoloid karagenan yang terhitung sebagai serat larut air. Produk ini mengandung 1.575 gram serat pangan per takaran saji atau memenuhi 5.25% anjuran konsumsi per hari dimana angka kecukupan gizi serat makanan adalah 30 gram.
75
Menurut SNI susu bubuk tersebut, kadar air maksimum susu bubuk rendah lemak adalah sebesar 4%, sedangkan kadar air produk minuman yang dihasilkan adalah 3.94% atau mendekati maksimum. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar air tepung bekatul yang ditambahkan ke dalam minuman, dimana tepung bekatul hasil pengering drum tersebut memiliki kadar air sebesar 5.12%. Kadar air ini sebanding dengan aktivitas air (aw) yang cukup tinggi pula untuk jenis bubuk atau tepung-tepungan yaitu sebesar 0.4140 pada suhu 31.4OC. aw merupakan air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri 0.90, khamir 0.80-0.90, dan kapang 0.60-0.70. Nilai aw yang rendah dibanding aw optimum pertumbuhan mikroba tersebut menyebabkan minuman fungsional ini mengandung total mikroba yang rendah, yaitu 8.6 x 103 koloni/ml. Hal ini didukung pula oleh pH minuman yang cukup asam yaitu sebesar 5.50. Kadar abu minuman fungsional ini adalah 5.16%. Nilai ini di bawah batas maksimal yang ditetapkan SNI, yaitu 9%. Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang terdapat pada makanan (Harbers dan Nielsen, 2003). Menurut Damayanthi et al. (2002), jenis mineral yang paling dominan dalam bekatul padi adalah kalium, fosfor, dan magnesium. Kandungan natrium dari bekatul cukup rendah, seperti halnya dijumpai pada tanaman-tanaman lain di Indonesia. Kadar karbohidrat minuman ini dihitung dengan cara by difference yaitu sebesar 69.71%. Kadar karbohidrat tersebut terutama disumbang oleh sukrosa, gula susu atau laktosa dan maltodekstrin, serta tepung bekatul yang merupakan bahan-bahan utama pembuatan minuman ini. Tepung bekatul memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yaitu 34-62% (Damayanthi et al., 2007). Kandungan total tokoferol atau vitamin E dihitung berdasarkan konversi dari total tokoferol yang terkandung dalam tepung bekatul dari hasil penelitian di tahap pertama, yaitu sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Minyak bekatul dihasilkan dari proses ekstraksi tepung bekatul
76
menggunakan pelarut heksana, dan didapat rendemen minyak sebesar 13.7%. Pada formula optimum yang dihasilkan, digunakan tepung bekatul sebesar 16.08%, sehingga didapat hasil konversi vitamin E pada minuman ini, yaitu sebesar 1.01 mg tokoferol per 100 gram produk, dengan asumsi vitamin E hanya berasal dari tepung bekatul saja.
Tabel 19. Perbandingan beberapa kandungan zat gizi produk optimal dan komersil Parameter
Produk optimal
Produk komersil*
Lemak (%)
2.72
11
Karbohidrat (%)
69.71
74
Serat pangan (%)
5.25
6
Protein (%)
18.79
8
* Data nilai gizi dilihat dari tabel nutrition facts yang tercantum dalam kemasan Nature’s Own Instant Brown Rice Beverage Tabel 19 memperlihatkan perbandingan beberapa kandungan zat gizi dari produk optimal yang diperoleh dari hasil uji proksimat dibandingkan dengan produk komersil (data nilai gizi dilihat dari tabel nutrition facts yang tercantum dalam kemasan). Produk optimal memiliki protein yang lebih tinggi, lemak yang lebih rendah, serta kadar serat yang hampir sama. Namun kedua produk ini tidak dapat memiliki klaim terhadap nilai serat, karena menurut BPOM (2004) penggunaan klaim ”tinggi”, ”kaya akan”, atau ”merupakan sumber yang sangat baik” jika produk ini mengandung minimum 20% anjuran konsumsi per hari untuk zat gizi yang ingin diklaim. Klaim ”mengandung”, ”memberikan”, atau ”merupakan sumber yang baik” juga tidak dapat digunakan karena harus mengandung minimum 10% anjuran konsumsi per hari untuk zat gizi yang ingin diklaim. Keterbatasan penambahan tepung bekatul yang mengandung serat ini disebabkan oleh rasa pahit yang timbul akibat penambahan tepung bekatul. Respon utama yang diharapkan dari produk minuman ini adalah penerimaan konsumen terhadap rasa, sehingga penambahan tepung
77
bekatul menjadi variabel utama, dan bukan pada kandungan serat yang dikandungnya. Hal ini mungkin dapat menjadi perhatian dalam pengembangan produk ini selanjutnya, seperti menggunakan flavor coklat dan cocoa powder untuk mengurangi rasa pahit bekatul, sehingga jumlah tepung bekatul yang ditambahkan menjadi lebih optimal.
D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penentuan umur simpan produk berdasarkan metode Arrhenius untuk menentukan umur simpan produk berdasarkan beberapa parameter kerusakan produk. Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001). Arah kerusakan produk diketahui dengan cara menyimpan produk yang telah dikemas pada inkubator dengan suhu yang tinggi (70OC) dan diamati setiap hari dengan mengambil satu sampel tiap harinya hingga didapat kerusakan dominan yang mempengaruhi penerimaan produk. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada bubuk minuman fungsional ini adalah perubahan warna yang menjadi lebih gelap, penggumpalan, serta adanya off flavor sehingga yang dijadikan parameter kerusakannya adalah warna, aroma, dan penampakan fisik untuk produk sebelum diseduh melalui uji organoleptik. Adapun uji untuk produk setelah diseduh tidak dilakukan karena dari penerimaan produk bubuk (sebelum diseduh), konsumen telah mengetahui apakah produk tersebut masih dapat diterima atau tidak. Dengan kata lain, bubuk (sebelum diseduh) menjadi impresi awal bagi konsumen untuk menilai apakah produk masih layak konsumsi atau tidak.
1. Uji Organoleptik Warna Data hasil organoleptik dan perhitungan pendugaaan umur simpan untuk parameter warna dapat dilihat pada Lampiran 30 dan 33
78
Berdasarkan Lampiran 33 dapat dilihat bahwa korelasi ordo satu lebih besar daripada ordo nol, maka persamaan Arrhenius dari ordo satu yang akan digunakan untuk pendugaan umur simpan berdasarkan parameter ini. Dengan melakukan perhitungan kemiringan persamaan regresi antara nilai ln rata-rata uji skoring dan waktu pengujian pada tiga tingkat suhu, didapat nilai k atau konstanta penurunan mutu produk seperti yang terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan Suhu penyimpanan
k
ln k
T (OK)
1/T
35
0.0022
-6.1120
308
0.003247
45
0.0171
-4.0698
318
0.003145
55
0.0375
-3.2834
328
0.003049
O
( C)
k = konstanta laju penurunan mutu T = suhu (Kelvin) Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, didapatkan grafik seperti pada Gambar 14. 0 0.0030 -1
0.0031
0.0032
0.0033
-2
ln k
-3 -4 ln k
-5
Linear (ln k)
-6
y = -14345,8x + 40,66 R2 = 0,9728
-7 1/T
Gambar 14. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan suhu (1/T)
79
Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh dari grafik pada gambar 14, dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : ln k = -14345,8 (1/T) + 40.66 Apabila suhu distribusi produk diasumsikan adalah 27OC (300OK), maka : ln k = -7.1623 k
= 0.00077 unit mutu per hari Diasumsikan titik kritis produk akan dicapai pada saat produk
mendapatkan skor = 5, yaitu ketika warna cokelat mulai terbentuk jika dibandingkan warna minuman kontrol, sehingga total unit mutu produk sampai kadaluarsa = ln7 – ln5 = 0.336472 unit mutu. Dengan demikian, dapat ditentukan perkiraan umur simpan berdasarkan parameter warna adalah : Perkiraan umur simpan =
0.336472 unit mutu = 434.02 hari 0.00077 unit mutu / hari
Jadi produk memiliki umur simpan sekitar 14.47 bulan apabila disimpan pada suhu 27OC. Warna produk semakin berwarna cokelat selama penyimpanan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard yang menghasilkan produk-produk berwarna cokelat. Uji Anova terhadap parameter warna berdasarkan pengujian organoleptik menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyimpanan sampel berpengaruh nyata terhadap warna produk. Hal ini juga didukung oleh pengujian warna berdasarkan pengujian objektif dengan menggunakan Chromameter dipengaruhi oleh interaksi antar kedua perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada Lampiran 36 diketahui interaksi suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik warna produk, dan pada Lampiran 25-28 diketahui interaksi perlakuan suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter yang diukur, yaitu nilai L, nilai a, nilai b, serta nilai ho.
80
2. Uji Organoleptik Aroma Data hasil organoleptik dan perhitungan pendugaan umur simpan untuk aroma dapat dilihat pada Lampiran 31 dan 34. Berdasarkan Lampiran 24 dapat dilihat bahwa nilai korelasi ordo satu lebih besar daripada ordo nol, maka persamaan Arrhenius dari ordo satu yang akan digunakan untuk pendugaan umur simpan berdasarkan parameter ini. Dengan melakukan perhitungan kemiringan persamaan regresi antara nilai ln rata-rata uji skoring dan waktu pengujian pada tiga tingkat suhu, didapat nilai k atau konstanta penurunan mutu produk seperti yang terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan Suhu penyimpanan
k
ln k
T (OK)
1/T
35
0.0034
-5.6752
308
0.003247
45
0.0234
-3.7550
318
0.003145
-3.0576
328
0.003049
O
( C)
55
0.0470 k = konstanta laju penurunan mutu T = suhu (Kelvin)
Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, didapatkan grafik seperti pada Gambar 15. 0 0.0030
0.0031
0.0032
0.0033
-1
ln k
-2 -3 ln k
-4
Linear (ln k)
-5
y = -13278,5x + 37,62 R2 = 0,9322
-6 1/T
Gambar 15. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma dengan suhu (1/T)
81
Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh dari grafik pada Gambar 15, dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : ln k = -13278.5 (1/T) + 37.62 Apabila suhu distribusi produk diasumsikan adalah 27OC (293OK), maka : ln k = - 6.6366 k
= 0.00131 unit mutu per hari Diasumsikan titik kritis produk akan dicapai pada saat produk
mendapatkan skor = 4, yaitu ketika off flavor mulai tercium secara nyata, sehingga total unit mutu produk sampai kadaluarsa = ln7 – ln4 = 0.559615 unit mutu. Dengan demikian, dapat ditentukan perkiraan umur simpan berdasarkan parameter aroma adalah : Perkiraan umur simpan =
0.559615 unit mutu = 424.74 hari 0.00131 unit mutu / hari
Jadi produk memiliki umur simpan sekitar 14.25 bulan apabila disimpan pada suhu 27OC. Off flavor yang terbentuk sebagaimana halnya juga warna, juga disebabkan oleh terbentuknya produk-produk hasil reaksi Maillard. Seperti yang disebutkan oleh Syarief dan Halid (1993), bahwa reaksi Maillard juga menimbulkan perubahan citarasa, baik yang diinginkan maupun tidak. Uji Anova dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa interaksi suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai aroma secara organoleptik. Interaksi suhu penyimpanan 55OC dan waktu H-24 serta suhu 55OC H-18 berlanjut atau berbeda nyata dengan interaksi suhu dan waktu lainnya seperti diperlihatkan pada Lampiran 37.
3. Uji Organoleptik Penampakan Fisik Data hasil organoleptik dan perhitungan pendugaan umur simpan untuk penampakan fisik dapat dilihat pada Lampiran 32 dan 35. Berdasarkan Lampiran 35 dapat dilihat bahwa nilai korelasi ordo satu
82
lebih besar daripada ordo nol, maka persamaan Arrhenius dari ordo satu yang akan digunakan untuk pendugaan umur simpan berdasarkan parameter ini. Dengan melakukan perhitungan kemiringan persamaan regresi antara nilai ln rata-rata uji skoring dan waktu pengujian pada tiga tingkat suhu, didapat nilai k atau konstanta penurunan mutu produk seperti yang terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan Suhu penyimpanan
k
ln k
T (OK)
1/T
35
0.0009
-7.0131
308
0.003247
45
0.0127
-4.3661
318
0.003145
-3.2675
328
0.003049
O
( C)
55
0.0381 k = konstanta laju penurunan mutu T = suhu (Kelvin)
Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, didapatkan grafik seperti pada Gambar 16.
0 0.003
-1
0.0031
0.0032
0.0033
-2
ln k
-3 -4 -5
ln k
-6
Linear (ln k)
y = -18990.3x + 54.88
-7
R2 = 0.9766
-8 1/T
Gambar 16. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik dengan suhu (1/T)
83
Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh dari grafik pada Gambar 16 dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : ln k = -18990.3 (1/T) + 54.88 Apabila suhu distribusi produk diasumsikan adalah 27OC (293OK), maka : ln k = - 8.4210 k
= 2.2 x 10-4 unit mutu per hari Diasumsikan titik kritis produk akan dicapai pada saat produk
mendapatkan skor = 5, yaitu penampakan fisik mulai terlihat menggumapal secara nyata dan berbeda terhadap kontrol, sehingga total unit mutu produk sampai kadaluarsa = ln7 – ln5 = 0.336472 unit mutu. Dengan demikian, dapat ditentukan perkiraan umur simpan berdasarkan parameter penampakan fisik adalah : Perkiraan umur simpan =
0.336472 unit mutu = 1528.06 hari 2.2 x 10-4 unit mutu / hari
Jadi produk memiliki umur simpan sekitar 50.94 bulan apabila disimpan pada suhu 27OC. Berdasarkan uji Anova dan uji lanjut Duncan pada Lampiran 38, interaksi suhu dan waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai penampakan fisik secara organoleptik. Perubahan penampakan fisik menjadi menggumpal diduga disebabkan oleh terdenaturasinya protein pada produk. Produk ini mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Menurut Winarno (2004), apabila protein dipanaskan, maka protein akan menggumpal. Selain itu, penggumpalan akibat pengikatan uap air juga dapat terjadi. Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter dan relatif panjang untuk semua parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Namun dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada
84
suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma. Umur simpan minuman dapat ditingkatkan pula dengan cara mengganti kemasan dengan permeabilitas yang lebih kecil, seperti laminasi kertas, foil, dan plastik. Menurut Labuza (1982), kemasan seperti ini mampu melindungi produk kering seperti susu kering dari udara, cahaya, dan penetrasi air atau uap air. Pemberian kemasan sekunder dan atau tersier pun dapat memperpanjang umur simpan produk. Selain itu, kebanyakan produk susu dikemas di bawah kondisi vakum dan dimasukkan gas inert. Perlakuan ini dapat meningkatkan umur simpan produk. Produk ini pun akan memiliki umur simpan yang lebih panjang apabila bobot produk diperbanyak, karena dapat mengurangi penetrasi panas terhadap produk.
85
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Tepung bekatul hasil pengering drum tanpa perlakuan bleaching dipilih dan digunakan dalam tahap formulasi karena memiliki karakteristik yang tepat untuk digunakan dalam minuman fungsional. Tepung ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Formula minuman optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah minuman fungsional dengan komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula optimum ini memiliki nilai desirability sebesar 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%. Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula minuman optimum ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman sebesar 1.01 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml. Hasil uji t untuk membandingkan formula optimum yang diperoleh dengan produk komersil sejenis memperlihatkan bahwa seluruh parameter respon yaitu warna, aroma, penampakan fisik sebelum diseduh; serta aroma, rasa,dan penampakan fisik setelah diseduh tidak berbeda nyata atau dapat disimpulkan bahwa produk optimal tidak berbeda dengan produk komersil pada taraf 5% untuk seluruh parameter yang diujikan.
86
Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma.
B. SARAN Perlu dilakukan penstabilan bekatul dengan metode yang lain seperti penggunaan ekstruder ataupun metode untuk memodifikasi sifat fisik fungsional tepung bekatul agar dapat diaplikasikan pada produk minuman. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam tahap formulasi untuk meminimalkan rasa pahit yang ditimbulkan tepung bekatul sehingga klaim manfaat kesehatan dari penambahan ini dapat diperoleh melalui penambahan tepung bekatul yang lebih banyak. Penentuan umur simpan produk berdasarkan parameter objektif juga perlu dilakukan seperti penurunan mutu protein, yang ditunjukkkan dengan penurunan kadar asam amino lisin tersedia yang diakibatkan oleh terjadinya reaksi Maillard.
87
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Desain Expert 7. http : // www.statease.com. [20 Agustus 2007] Arpah, M. dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Teknol. dan Industri Pangan. XI. 1-11. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asp, N.G., Johannson,C. G., Hallmer, H., dan Sijestrin, M. 1983. Rapid Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agr. Food Chem 31: 476-482. Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 1984. Official Methods of Analysis. Association of Analytical Chemists Publishers, Washington D.C. . 1995. Official Methods of Analysis. Association of Analytical Chemists Publishers, Washington D.C. Badan Standarisasi Nasional. 1999. SNI Susu Bubuk (SNI 01-2970-1999). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Barber, S., Benedito de Barber, C. 1980. Rice Bran : Chemistry and Technology. Di dalam : Luh, B.S. (Ed.). Rice : Production and Utilization. The AVI Publishing Company, Westport. Belitz, H. D. dan Grosch, W. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin. Bhattacharya, k. R. dan Sowbaghya, C. M. 2007. A Colorimetric Bran Pigment Method for Determining the Degree of Milling Rice. http : // www.interscience.wiley.com. [ 25 Agustus 2007]. Brennan, J.G., Butters, J. R., Cowell, N. D. dan Lilly, A. E. V. 1981. Food Engineering Operations, 2nd Edition. Applied Science Publishers Limited, London. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wootton, M.C. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Purnomo, H. dan Adiono. UI Press, Jakarta. Champagne, E.T., Hron, R.J., dan Abraham, G. 1992. Utilizing Ethanol to Produce Stabilized Brown Rice Products. JAOCS 69 (3) : 205-208. Cheeke, P.R. dan Shull, L.R. 1985. Natural Toxicants in Feeds and Poisonous Plant. The AVI Publishing Company, Westport.
88
Cheng, H.H. 1993. Total Dietary Fiber Content of Polished, Brown, and Bran Types of Japonica and Indica Rice in Taiwan : Resulting Physiological Effects of Consumption. Nutrition Research 13 (1) : 93-101. Chicester, D. F. dan Tanner Jr., F. W. 1978. Antimicrobial Food Additives. Di dalam: Furia, T. E (Ed.). Handbook of Food Additives vol. 1, 2nd edition. CRC Press Inc., Florida. Cornell, J. A. 1990. Experiment With Mixtures, Design, Models, and The Analysis of Mixture Data. 2nd Edition. John Wiley and Sons Inc., New York. Damardjati, D.S. 1983. Physical and Chemical Properties Characteristic of Some Indonesian Rice Varieties. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. Damardjati, D.S. dan Luh, B.S. 1986. Physicochemical Properties of Milled Rice Flour Fortified by Stabilized Bran and its Extruded Products. Di dalam : Post Doctoral Training Report. Departement of Food Science and Technology University of California. Damardjati, D.S., Santosa, B.A., dan Widowati, S. 1987. Prospek Pengembangan Bekatul Awet untuk Nutrifikasi Makanan. Risalah Seminar Bahan Tambahan Makanan. PATPI-GAPMMI-PAU IPB, Bogor. Damardjati, D.S. dan Oka, M. 1989. Evaluation of Rice Quality Characteristics Preferred by Indonesian Urbans Consumers. Prac. Of 22nd ASEAN Seminar on Grain Postharvest Research and Development Priorities for the Nineties. Surabaya, 29-31 Agustus 1989. Damardjati, D.S., Santosa, B.A., dan Munarso, J. 1990. Studi Kelayakan dan Rekomendasi Teknologi Pabrik Pengolahan Bekatul. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, Subang. Damayanthi, E. 2002. Karakteristik Bekatul Padi (Oryza sativa) Awet serta Aktivitas Antioksidan dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker secara in vitro dari Minyak dan Fraksinya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Damayanthi, E., Madanijah, S., dan Sofia, I.S. 2001. Sifat Fisikokimia dan Daya Terima Tepung Bekatul Padi Awet sebagai Sumber Serat Pangan. Di dalam : Nuraida, L. dan Dewanti, R.H. (Eds.). Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Damayanthi, E., Tjing, L. T., dan Arbiyanto, L. 2006. Rice Bran. Penebar Swadaya, Depok.
89
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah Kokasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Desrosier, N. W. 1988. The Technology of Food Preservation 3rd edition.The AVI Publishing Company Inc., Westport. Depkes RI, 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara, Jakarta. Eliason, A. C. L. 1981. Effect of Water Content on the Gelatinization of Wheat Starch. Starke 32:270-272. Ellis, M.J. 1994. Methodology of Shelf Life Determination. Di dalam : Man, C.M.D. dan Jones, A.A (Eds.). 1994. Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Professional, London. Fardiaz, S. 1991. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. IPB Press, Bogor. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. Gomez, M. H. dan Aguilera, J. M. 1983. Changes in the Starch Fraction During Extrusion Cooking of Corn. J. Food Science 48(2): 378-381. Goldberg, I. 1994. Functional Food. Chapman and Hill, New York. Harbers, L. H., dan Nielsen, S. S., 2003. Ash Analysis. Di dalam : Nielsen, S. S. (Ed.). Food Analysis. 3 rd Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher, New York. Hargrove, R.E. dan Alford, J.A. 1983. Composition of Milk Products. Di dalam : Webb, B.H., Johnson, A.H., dan Alford, J.A. (Eds.). Fundamental of Dairy Chemistry 2nd edition. The AVI Publishing Company Inc., Westport. Hariyadi, P. 2004. Pendugaan Waktu Kadaluarsa (Shelf Life) Bahan dan Produk Pangan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Hidayati, P. W. 2003. Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Kitosan Sebagai Bahan Penjernih pada Proses Pembuatan Tepung Karagenan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Hilliam, M. 2000. Functional Food : How Big is the Market?. World of Food Ingredient 12 : 50-53. Ho, C. T. 1991. Phenolic Compounds in Food. Di dalam : Ho, C. T., Lee, C.Y., dan Huang, M. T. (Eds.). Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health I. American Chemical Society, Washington.
90
Hoefler, A. C. 2004. Hydrocolloids: Practical Guides for the Food Industry. Eagan Press, St. Paul. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. America Association of Cereal Chemists Inc., St. Paul. Juliano, B.O. 1985. Rice Bran. Di dalam : Juliano, B.O. Rice : Chemistry and Technology. AACC, St Paul. . 1993. Rice in Human Nutrition. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Roma. Kahlon, T.S., Chow, F.I., dan Sayre, R.N. 1994. Cholesterol-Lowering Properties of Rice Bran. J. Cereal Food World vol. 39 (2) : 99-102. Kahlon, T.S. et al..1996. Cholesterol-Lowering by Rice Bran and Rice Bran Oil Unsaponifiable Matter in Hamsters. Cereal Chemistry 73 (1) : 69-74. Kao, C. Dan Luh, B.S. 1991. Rice Oil. Di dalam : Luh, B.S. (Ed.). Rice volume 2.Van Nostrand Reinhold, New York. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal : Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan,dan Berat Jenis. J. Media Peternakan vol. 22 No. 1 :1-11. Kusnandar, F. dan Andarwulan, N. 2006. Modul Analisa Sifat Rheologi Pangan Cair. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Labuza T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., Westport. Liana. 1987. Pembuatan Produk Pasta Berprotein Tinggi : Campuran Susu Skim, Yoghurt, dan Pasta Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Linder, M. C. 1992. Nutritional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Science Publishing Co., New York. Luh, S. 1991. Rice Production and Utilization. The AVI Publishing Company, Westport. McCaskill, D.R. dan Zhang, F. 1999. Use of Rice Bran Oil in Foods. Food Technology : 53 (2) : 50-53. Ma’arif, M. S., Machfud dan Sukron, M. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
91
Meilgaard, M., Civille, G. V. dan Carr, B. T., 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, New York. Milner, A. 2000. Functional Foods : the US Perspective. Am J Clin nutr 7 Suppl : 1654S-1659S. Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Keamanan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Muchtadi, D., Puspitasari, N.L., dan Susana, L. 1995. Partial Substitution of Wheat Flour Rice Bran as Dietary Fiber and Niacin Sources in Sweet Bread and Cookies. 1st International Conference on East-West Perspectives on Functional Food. Singapura, 26-29 September. Mukherjee, K.D. dan Hills. 1994. Lipases from Plants. Di dalam : Wooley, P. (Ed.). Lipases : Their Structures. Cambridge University Press, Cambridge. Nestel, P. J. 1990. Dietary Fiber. Medical J. Australia 15 (3) : 123-124. Nurkhoeriyati, T. 2007. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon serta Difortifikasi Vitamin C dan E. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Pontoh, J. 1986. Mempelajari Pembuatan dan Sifat Fisikokimia Makanan Ekstrusi Sorghum dan Kacang Hijau. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Randall, J.M. et al. 1985. Rice Bran Stabilization by Extrusion Cooking for Extraction of Edible Oil. J. Food Sci. 50 : 361-365. Rimbawan, J. W. 1977. A Study of Some Physico-Chemical Properties of Nonfat Dry Milk as Affected by Process Temperature. Thesis. The Faculty of Agricultural Engineering and Product Technology, Bogor Agricultural University, Bogor. Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Penerjemah Padmawinata, K. Penerbit ITB, Bandung. Saiz, A. I.,Manrique, G. D. dan Fritz, R. 2007. The Bleaching of Flour. http : // www.cat.inist.fr.com. [ 25 Agustus 2007]. Sathe, S. K. dan Salunkhe, D. K. 1981. Isolation : Partial Characterization and Modification of the Great Northern Bean (Phaseolus vulgaris). Starch J. Food Science : 46 (2):617-621. Saunders, R.M. 1990. The Properties of Rice Bran as a Foodstuff. Cereal Foods World 35 (7) : 632-636.
92
Sayre, R.N., Saunders, R.M., Enochian, R.V. dan Schultz, W.G. 1982. Cereal Foods World 27 : 317. Seetharamaiah, G. S. dan Chandrasekara, N. 1989. Studies on Hypocholesterolemic Activity of Rice Bran Oil. Atherosclerosis 78 (2-3) : 219-223. Siwi, B.H. dan Kartowinoto, S. 1989. Plasma Nutfah Padi. Di dalam : Ismunadji, M., Partohadjono, S., Syam, M., dan Widjono, A. Padi (2) : 321-334. Soekarto, S. T. 1979. Pangan Semi Basah: Keamanan dan Potensinya dalam Perbaikan Gizi Masyarakat. Seminar Teknologi Pangan IV, 15-17 Mei 1979. Sulistijani, D. A. 1998. Sehat dengan Menu Berserat. Trubus Agriwidya, Jakarta. Syarief, R. Dan Halid, Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Bandung. Tangenjaya, B. 1991. Pemanfaatan Limbah Padi untuk Industri. Di dalam : Soenarjo, E., Damardjati, D.S., dan Syam, M. (Eds.). Padi buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Thomphson M. P., Tarassuk, N. P., Jenness, R., Lillevik, H. A., Ashworth, U. S., dan Rose, D. 1965. Nomenclature of the Proteins of Cow’s Milk-Second Revision. J. Dairy Sci 48 : 159. Varnam, A. H. dan Sutherland, J. P. 1994. Milk and Milk Product Technology, Chemistry, and Microbiology. Chapman and Hall, London. Warner, J.N. 1975. Principles of Dairy Processing. Wiley Eastern Ltd., New Delhi. Winarno, F. G. dan Jenie, B. S. L. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, dan Keracunan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wong, M. L., Timms, R. E. dan Goh, E. M. 1988. Colorimetric Determination of Total Tocopherols in Palm Oil, Olein, and Stearin. JAOCS 65(2): 258-261. Wood, J. H., Keenan, C. W. dan Bowmann, W. E. 1966. Fundamental of College Chemistry. Harper and Row, New York. Yawadio, R., Tanimori, S., dan Morita, N. 2006. Identification of Phenolic Compounds Isolated from Pigmented Rices and Their Aldose Reductase Inhibitory Activities. http : // www.sciencedirect.com. [ 25 Agustus 2007].
93
Yoanasari, Q. T. 2003. Pembuatan Bubur Bayi Instan dari Pati Garut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Young, K. W., Neumann, S. L., McGill, A. S., dan Hardy, L. R. 1980. The Use of Dilute Solution of H2O2 of White Flesh. Di dalam : Fish Science and Technology. Connell, J. J (Ed.). Advances Fishing New Books Ltd., Surrey. Yuniarrahmani, C. 2001. Pengawetan Bekatul dengan Perlakuan Fisik: Pemanasan Menggunakan Drum Drier, Ekstruder, Penyangraian, Pengukusan, dan Autoclave. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
94
Lampiran 1. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai L
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai_L Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1.750(a)
3
.583
.038
21562.376
1
21562.376
konsentrasi
1.750
3
.583
7.814 288894.67 2 7.814
Error
.299
4
.075
Total
21564.424
8
Corrected Total
2.048
7
Source Corrected Model Intercept
.000 .038
a R Squared = .854 (Adjusted R Squared = .745)
Post Hoc Test Konsentrasi Homogeneous Subsets nilai_L Duncan konsentrasi
N
Subset
.00
2
1 51.2150
300.00
2
51.8050
400.00
2
500.00
2
Sig.
2 51.8050 52.1800 52.4650
.097
.077
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .075. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
95
Lampiran 2. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai a
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Nilai_a Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
.006(a)
3
.002
177.002
1
177.002
konsentrasi
.006
3
.002
Error
.003
4
.001
Total
177.011
8
.008
7
Intercept
Corrected Total
F 2.733 257457.61 8 2.733
Sig. .178 .000 .178
a R Squared = .672 (Adjusted R Squared = .426)
Post Hoc Test Konsentrasi Homogeneous Subsets Nilai_a Duncan Subset konsentrasi 300.00
N
1 2
4.6650
500.00
2
4.6950
.00
2
4.7200
400.00
2
4.7350
Sig.
.060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
96
Lampiran 3. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai b
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai_b Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1.431(a)
3
.477
63.817
.001
484.850
1
484.850
64862.849
.000
1.431
3
.477
63.817
.001
Error
.030
4
.007
Total
486.311
8
1.461
7
Intercept konsentrasi
Corrected Total
a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .964)
Post Hoc Test Konsentrasi Homogeneous Subsets nilai_b Duncan Subset konsentrasi 300.00
N
1 2
500.00
2
.00
2
400.00
2
Sig.
2
3
4
7.2550 7.5800 7.9050 8.4000 1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .007. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
97
Lampiran 4. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap nilai ho
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai_h Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Intercept
df
Mean Square
11.474(a)
3
3.825
27718.351
1
27718.351
konsentrasi
11.474
3
3.825
Error
.505
4
.126
Total
27730.330
8
F 30.294 219551.29 7 30.294
Sig. .003 .000 .003
Corrected Total
11.979 7 a R Squared = .958 (Adjusted R Squared = .926)
Post Hoc Test Konsentrasi Homogeneous Subsets nilai_h Duncan Subset konsentrasi 300.00
N
1
2
2
57.3500
500.00
2
58.3000
.00
2
400.00
2
Sig.
3
58.3000 59.2000 60.6000
.056
.064
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .126. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
98
Lampiran 5. Hasil uji Anova nilai L bekatul segar dan bekatul berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Intercept Bahan
df
Mean Square
23.606(a)
3
7.869
23859.109
1
23859.109
23.606
3
7.869
Error
.059
4
.015
Total
23882.774
8
23.665
7
Corrected Total
F 533.023 1616197.0 54 533.023
Sig. .000 .000 .000
a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Post Hoc Test Bahan Homogeneous Subsets L Duncan Subset Bahan P2
N
1 2
P1
2
P3
2
BS
2
Sig.
2
3
52.3250 53.5800 56.2000 56.3400 1.000
1.000
.313
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .015. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
99
Lampiran 6. Hasil uji Anova densitas kamba berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: D_Kamba Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
.026(a)
2
.013
37.762
.007
Intercept
.968
1
.968
2765.762
.000
Perlakuan
.026
2
.013
37.762
.007
Error
.001
3
.000
Total
.996
6
Corrected Total
.027
5
a R Squared = .962 (Adjusted R Squared = .936)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets D_Kamba Duncan Subset Perlakuan P3
N 2
1 .3100
2
P2
2
.4300
P1
2
.4650
Sig.
1.000
.158
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
100
Lampiran 7. Hasil uji Anova densitas padat berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: D_Padat Type III Sum of Squares .024(a)
Source Corrected Model Intercept
df 2
Mean Square .012
F 17.167
Sig. .023
2.184
1
2.184
3120.095
.000
Perlakuan
.024
2
.012
17.167
.023
Error
.002
3
.001
Total
2.210
6
.026
5
Corrected Total
a R Squared = .920 (Adjusted R Squared = .866)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets D_Padat Duncan Subset Perlakuan P3
N
1 2
P2
2
P1
2
Sig.
2
.5150 .6350 .6600 1.000
.414
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
101
Lampiran 8. Hasil uji Anova kadar air berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar_Air Type III Sum of Squares 2.450(a)
Source Corrected Model
2
Mean Square 1.225
F 122.487
Sig. .001
122.221
1
122.221
12222.107
.000
2.450
2
1.225
122.487
.001
Error
.030
3
.010
Total
124.701
6
2.480
5
Intercept Perlakuan
Corrected Total
df
a R Squared = .988 (Adjusted R Squared = .980)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets Kadar_Air Duncan Subset Perlakuan P3
N 2
P1
2
P2
2
Sig.
1 3.6300
2
3
4.7900
1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .010. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
5.1200 1.000
102
Lampiran 9. Hasil uji Anova nilai aw berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: aw Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
.053(a)
2
.027
1597.000
.000
1.510
1
1.510
90601.000
.000
.053
2
.027
1597.000
.000
Error
5.00E-005
3
1.67E-005
Total
1.563
6
.053
5
Intercept Perlakuan
Corrected Total
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets aw Duncan Subset Perlakuan P1
N
1 2
P3
2
P2
2
Sig.
2
3
.3700 .5500 .5850 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.67E-005. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
103
Lampiran 10. Hasil uji Anova kelarutan dalam air berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kelarutan Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
1.304(a)
2
.652
482.827
.000
Intercept
8.097
1
8.097
5997.642
.000
Perlakuan
482.827
.000
1.304
2
.652
Error
.004
3
.001
Total
9.405
6
Corrected Total
1.308
5
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets Kelarutan Duncan Subset Perlakuan P1
N 2
P2
2
P3
2
Sig.
1 .5050
2 1.4400 1.5400
1.000
.072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
104
Lampiran 11. Hasil uji Anova daya serap air berbagai perlakuan stabilisasi
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: DSA Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
14072.649(a)
2
7036.324
378.536
.000
568617.421
1
568617.421
30590.126
.000
14072.649
2
7036.324
378.536
.000
Error
55.765
3
18.588
Total
582745.835
6
Intercept Perlakuan
Corrected Total
14128.414 5 a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .993)
Post Hoc Test Perlakuan Homogeneous Subsets DSA Duncan Subset Perlakuan P1
N
1 2
P2
2
P3
2
Sig.
2
3
252.0600 301.3300 370.1500 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 18.588. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
105
Lampiran 12. Hasil uji Anova pengaruh karagenan terhadap viskositas
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: viskositas Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 8.094(a)
3
Mean Square 2.698
F 28.778
Sig. .004
215.281
1
215.281
2296.333
.000
8.094
3
2.698
28.778
.004
Error
.375
4
.094
Total
223.750
8
8.469
7
Intercept karagenan
Corrected Total
df
a R Squared = .956 (Adjusted R Squared = .923)
Post Hoc Test Karagenan Homogeneous Subsets
viskositas Duncan Subset karagenan .00
N
1
2
2
4.0000
.30
2
4.7500
.45
2
.60
2
Sig.
3
4.7500 5.2500 6.7500
.070
.178
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .094. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
106
Lampiran 13. Formula yang disarankan beserta hasil responnya
Std
Run
Component 1 A : karagenan %
5 14 4 13 1 3 9 15 6 10 12 2 8 11 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0.25 0.25 0.385 0.52 0.52 0.25 0.52 0.52 0.52 0.385 0.25 0.25 0.385 0.4525 0.3175
Component 2 B : tepung bekatul %
Component 3 C : formula dasar %
16.84 16.84 12.865 16.57 12.73 14.92 14.65 12.73 16.57 16.705 13 13 15.745 13.7575 13.8925
82.91 82.91 86.75 82.91 86.75 84.83 84.83 86.75 82.91 82.91 86.75 86.75 83.87 85.79 85.79
Response 1 warna sebelum diseduh (skor) 8.306 8.363 8.456 7.083 8.07 8.22 8.113 8.4 6.846 6.64 8.36 8.016 7.326 7.463 7.336
Response 2 aroma sebelum diseduh (skor) 7.133 6.406 7.2 6.826 6.82 6.856 6.773 7.533 7.41 6.976 7.89 7.466 7.323 7.463 7.43
Response 3 penampakan fisik sebelum diseduh (skor) 8.14 8.336 8.28 7.353 7.873 7.576 7.94 8.553 7.536 7.406 8.566 7.993 7.946 7.996 7.713
Response 4 aroma setelah diseduh (skor) 8.7 8.853 9.433 9.246 9.73 9.506 9.473 8.5 8.453 7.953 8.556 8.456 8.71 8.876 7.93
Response 5 rasa setelah diseduh (skor) 7.147 7.356 7.223 6.2516 8.907 8.364 7.796 7.675 5.784 5 6.725 6.972 6.122 6.778 6.976
Response 6 penampakan fisik setelah diseduh (skor) 7.213 7.786 7.343 7.383 7.506 8.266 7.32 7.553 7.71 8.3 7.733 7.853 7.726 8.02 7.543
107
Lampiran 14. Formulir uji hedonik produk sebelum diseduh Nama No. HP Produk
: Tanggal : : : Susu yang disuplementasi tepung bekatul
Instruksi : Dari sampel yang tersedia, nyatakan tingkat kesukaan Anda terhadap atribut yang telah ditentukan dengan cara memberikan garis vertikal dan kode sampel pada garis yang tersedia. Penilaian
1. Warna Sangat tidak disukai
Sangat disukai
2. Aroma Sangat tidak disukai
Sangat disukai
3. Penampakan fisik Sangat tidak disukai
Sangat disukai
Komentar :
108
Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh Nama No. HP Produk
: Tanggal : : : Susu yang disuplementasi tepung bekatul
Instruksi : Dari sampel yang tersedia, nyatakan tingkat kesukaan Anda terhadap atribut yang telah ditentukan dengan cara memberikan garis vertikal dan kode sampel pada garis yang tersedia. Penilaian
1. Aroma Sangat tidak disukai
Sangat disukai
2. Rasa Sangat tidak disukai
Sangat disukai
3. Penampakan fisik Sangat tidak disukai
Sangat disukai
Komentar :
109
Lampiran 16. Fits summary respon warna sebelum diseduh Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Source Squares df Mean vs Total 912.5688 1 Linear vs Mean 2.1063888 2 Quadratic vs Linear 1.9975432 3 Sp Cubic vs Quadratic 0.1768337 1 Cubic vs Sp Cubic 0.8439664 3 Residual 0.2694796 5 Total 917.96301 15
Mean Square 912.5688 1.0531944 0.6658477 0.1768337 0.2813221 0.0538959 61.197534
F Value
p-value Prob > F
3.8439822 4.6444422 1.270533 5.2197286
0.0513 0.0316 0.2923 0.0534
Suggested Suggested
Lack of Fit Tests Source Linear Quadratic Special Cubic Cubic Pure Error
Sum of Squares 3.1444959 1.1469527 0.970119 0.1261526 0.143327
df 8 5 4 1 4
Model Summary Statistics Std. Source Dev. R-Squared Linear 0.523436 0.390490566 Quadratic 0.3786349 0.760802914 Special Cubic 0.3730694 0.793585041 Cubic 0.232155 0.950042814
Mean Square 0.393062 0.2293905 0.2425297 0.1261526 0.0358318
F Value 10.969657 6.4018795 6.7685711 3.5206944
p-value Prob > F 0.0174 0.0481 0.0454 0.1338
Adjusted R-Squared 0.2889057 0.6279156
Predicted R-Squared 0.0533661 0.3325132
PRESS 5.1063439 3.6005649
Suggested
0.6387738 0.8601199
0.114402 -0.6595053
4.7771031 8.9517232
Suggested
Suggested Suggested
110
Lampiran 17. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna sebelum diseduh
Response 1 Warna sebelum diseduh ANOVA for Mixture Cubic Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Source Model Linear Mixture AB AC BC ABC AB(A-B) AC(A-C) BC(B-C) Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
Sum of Squares 5.1247321
df 9
2.1063888 0.0011485 0.0007558 0.1995015 0.0013002 0.0022771 0.0007 0.55229 0.2694796 0.1261526 0.143327 5.3942117
2 1 1 1 1 1 1 1 5 1 4 14
Mean Square 0.56941468
F Value 10.56507783
p-value Prob > F 0.0092
1.0531944 0.0011485 0.00075583 0.19950152 0.00130023 0.00227705 0.0007 0.55228996 0.05389593 0.12615264 0.03583175
19.5412609 0.021309602 0.014023931 3.701606599 0.024124756 0.042249058 0.012987935 10.24734116
0.0043 0.8896 0.9103 0.1124 0.8826 0.8453 0.9137 0.0240
3.520694392
0.1338
significant
not significant
Final Equation in Terms of Actual Components: warna sebelum diseduh = -237558.5971 * karagenan -1121.103908 * tepung bekatul 6.569048966 * formula dasar 4280.316627 * karagenan * tepung bekatul 3466.817783 * karagenan * formula dasar 19.28691357 * tepung bekatul * formula dasar -29.77699209 * karagenan * tepung bekatul * formula dasar 19.69550712 * karagenan * tepung bekatul * (karagenan-tepung bekatul) 10.91822011 * karagenan * formula dasar * (karagenan-formula dasar) 0.093210783 * tepung bekatul * formula dasar * (tepung bekatul-formula dasar)
111
Lampiran 18. Fits summary respon rasa
Sequential Model Sum of Squares [Type I] Sum of Mean Source Squares df Square Mean vs Total 736.072791 1 736.0727912 Linear vs Mean 3.67661988 2 1.838309938 Quadratic vs Linear 7.90817285 3 2.636057618 Sp Cubic vs Quadratic 0.20888053 1 0.208880526 Cubic vs Sp Cubic 0.83697844 3 0.278992813 Residual 1.0893287 5 0.217865739 Total 749.792772 15 49.98618477
F Value
p-value Prob > F
2.19644801
0.1539
11.11121
0.0022
0.86748586 1.28057222
0.3789 0.3764
Suggested
Lack of Fit Tests Source Linear Quadratic Special Cubic Cubic Pure Error
Sum of Squares 9.12277863 1.21460578 1.00572526 0.16874682 0.92058188
df 8 5 4 1 4
Model Summary Statistics Std. Source Dev. R-Squared Linear 0.91484792 0.267975593 Quadratic 0.48707604 0.844373855 Special Cubic 0.49070194 0.859598405 Cubic 0.4667609 0.920602751
Mean Square 1.140347329 0.242921156 0.251431314 0.168746817 0.23014547
F Value 4.954898 1.05551135 1.09248865 0.73321807
p-value Prob > F 0.0696 0.4929 0.4669 0.4401
Suggested
Adjusted R-Squared 0.145971525 0.757914885
Predicted R-Squared -0.16424623 0.54716873
PRESS 15.9734355 6.21283618
0.754297208 0.777687703
0.45289082 -0.08121853
7.50632719 14.834297
Suggested
112
Lampiran 19. ANOVA dan persamaan polinomial respon rasa
Response 5 Rasa setelah diseduh ANOVA for Mixture Quadratic Model *** Mixture Component Coding is L_Pseudo. *** Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Source Model Linear Mixture AB AC BC Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
Sum of Squares 11.5847927
df 5
3.67661988 3.89497979 3.58582055 1.36122936 2.13518766 1.21460578 0.92058188 13.7199804
2 1 1 1 9 5 4 14
Mean Square 2.316958546
F Value 9.76617994
p-value Prob > F 0.0020
1.838309938 3.894979791 3.585820545 1.361229355 0.237243073 0.242921156 0.23014547
7.74863481 16.4176755 15.1145426 5.73769904
0.0110 0.0029 0.0037 0.0402
1.05551135
0.4929
significant
not significant
Final Equation in Terms of Actual Components: rasa setelah diseduh 6397.749664 -14.12400576 -0.409822254 -66.77579881 -64.04665285 0.206482042
= * karagenan * tepung bekatul * formula dasar * karagenan * tepung bekatul * karagenan * formula dasar * tepung bekatul * formula dasar
113
Lampiran 20. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk komersil untuk parameter sebelum diseduh.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Ratarata
Warna Produk Produk optimum komersil 5.3 9.1 7.5 11.3 9.9 9.3 5.3 6.3 12.0 11.3 6.3 10.6 8.9 13.4 5.1 8.0 11.7 12.8 10.5 11.3 9.5 12.1 6.1 10.5 12.8 12.1 11.0 12.0 11.5 11.5 11.2 12.2 12.1 11.6 11.8 12.4 10.6 11.5 9.5 9.5 9.5 11.5 10.2 10.7 10.6 4.9 10.8 11.1 12.8 2.3 7.2 10.6 10.1 9.3 12.4 9.0 9.7
10.3
Aroma Produk Produk optimum komersil 3.7 10.6 7.4 11.1 9.2 8.3 1.8 8.9 11.6 10.0 11.2 7.1 13.6 13.1 7.9 7.2 7.9 13.6 8.4 12.4 7.8 11.6 10.8 9.6 9.8 13.1 10.7 9.6 6.2 11.0 10.1 10.6 11.3 12.6 12.9 13.2 9.6 10.9 7.6 10.8 10.0 12.8 8.1 12.7 3.2 9.6 8.6 6.9 14.0 3.6 8.6 10.5 9.8 7.5 10.9 13.0 9.0
10.4
Penampakan fisik Produk Produk optimum komersil 6.1 10.1 9.5 7.9 9.6 8.1 5.1 10.1 10.6 12.6 10.1 7.3 13.3 13.5 4.2 8.6 7.4 13.7 11.4 11.7 10.1 11.4 8.7 7.6 10.0 13.9 11.2 11.7 10.8 8.9 9.0 8.8 13.2 12.2 12.5 12.7 11.5 9.9 10.2 10.7 8.3 11.1 10.1 10.9 9.4 4.2 11.7 10.8 12.5 6.1 11.8 8.8 10.9 9.8 7.9 5.1 9.9
9.9
114
Lampiran 21. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk komersil untuk parameter setelah diseduh
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Ratarata
Aroma Produk Produk optimum komersil 12.2 13.0 4.2 3.7 9.0 10.3 4.2 9.1 11.1 9.8 10.0 8.9 10.6 7.3 9.3 6.8 11.2 13.5 9.3 12.2 10.1 11.9 12.5 11.6 10.6 13.6 11.6 12.5 10.5 6.3 8.9 9.1 11.1 12.6 13.3 13.8 8.1 11.7 4.8 7.0 10.6 9.7 11.3 9.7 9.0 5.1 12.2 11.9 14.2 5.3 7.5 9.7 8.4 7.7 12.1 12.1 9.9
9.9
Rasa Produk Produk optimum komersil 7.0 8.6 3.2 2.5 6.9 7.3 3.5 8.3 8.3 10.7 11.1 9.6 2.1 12.4 9.9 10.7 9.6 14.3 8.8 12.5 9.5 12.6 10.0 11.0 10.2 10.8 3.9 7.6 10.6 7.3 8.4 5.0 11.5 13.3 11.9 13.3 8.2 13.5 10.0 10.0 8.9 7.5 9.6 13.0 6.3 9.9 11.5 12.6 11.6 6.9 5.5 10.2 6.9 5.4 6.0 12.1 8.3
10.0
Penampakan fisik Produk Produk optimum komersil 12.7 10.6 7.7 10.0 10.8 7.4 5.1 7.1 10.1 10.9 10.5 9.1 6.1 9.3 8.9 8.2 12.9 13.7 12.0 10.2 10.8 11.6 10.0 9.1 10.8 13.1 11.4 12.6 9.2 10.5 7.1 6.9 11.6 13.0 12.6 13.0 11.6 10.2 10.0 5.2 8.9 8.0 11.5 16.4 8.1 9.4 11.6 11.8 11.3 8.9 10.9 10.9 10.3 9.3 8.7 12.2 10.1
10.3
115
Lampiran 22. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35 °C
Hari ke0 Rata-rata 6 Rata-rata 12 Rata-rata 18 Rata-rata 24 Rata-rata
L
a
b
Ulangan 1 Ulangan 2 60.73 60.90 60.82 60.53 60.58 60.56 60.73 60.77 60.75 61.01 60.82 60.92 60.79 60.98 60.89
Ulangan 1 Ulangan 2 +3.69 +3.73 +3.71 +3.57 +3.40 +3.49 +3.27 +3.21 +3.24 +3.16 +3.17 +3.17 +3.17 +3.18 +3.18
Ulangan 1 Ulangan 2 +4.98 +4.85 +4.92 +4.85 +4.86 +4.86 +5.06 +5.09 +5.08 +5.20 +5.22 +5.21 +5.41 +5.37 +5.39
ho Ulangan 1 53.5
Ulangan 2 52.5 53.0
53.7
55.0 54.4
57.2
57.8 57.5
58.7
58.8 58.8
59.7
58.4 59.1
Lampiran 23. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45 °C
Hari ke0 Rata-rata 6 Rata-rata 12 Rata-rata 18 Rata-rata 24 Rata-rata
L
a
b
Ulangan 1 Ulangan 2 60.73 60.90 60.82 60.58 60.99 60.79 60.72 60.85 60.79 60.82 60.99 60.91 59.77 60.10 59.94
Ulangan 1 Ulangan 2 +3.69 +3.73 +3.71 +3.11 +3.02 +3.07 +3.12 +3.18 +3.15 +3.06 +3.10 +3.08 +3.27 +3.33 +3.30
Ulangan 1 Ulangan 2 +4.98 +4.85 +4.92 +5.28 +5.31 +5.30 +6.39 +6.42 +6.41 +6.76 +6.82 +6.79 +9.41 +9.28 +9.35
ho Ulangan 1 53.5
Ulangan 2 52.5 53.0
59.5
60.4 60.0
64.1
63.7 63.9
65.7
65.6 65.7
70.9
70.3 70.6 116
Lampiran 24. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55 °C
Hari ke0 Rata-rata 6 Rata-rata 12 Rata-rata 18 Rata-rata 24 Rata-rata
L
a
b
Ulangan 1 Ulangan 2 60.73 60.90 60.82 58.99 58.97 58.98 56.49 58.15 57.32 54.47 54.74 54.61 53.11 53.07 53.09
Ulangan 1 Ulangan 2 +3.69 +3.73 +3.71 +3.48 +3.50 +3.49 +5.08 +4.98 +5.03 +6.01 +5.95 +5.98 +6.56 +6.62 +6.59
Ulangan 1 Ulangan 2 +4.98 +4.85 +4.92 +10.89 +10.97 +10.93 +13.14 +14.05 +13.60 +13.84 +13.75 +13.80 +13.50 +13.51 +13.51
ho Ulangan 1 53.5
Ulangan 2 52.5 53.0
72.3
72.4 72.4
68.9
69.3 69.1
66.6
66.7 66.7
64.1
64.0 64.1
117
Lampiran 25 . Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai L minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L Type III Sum of Squares 174.603(a)
Source Corrected Model Intercept
14
Mean Square 12.472
106077.830
1
106077.830
interaksi
df
174.603
14
12.472
Error
1.658
15
.111
Total
106254.091
30
176.261
29
Corrected Total
F 112.821 959604.04 3 112.821
Sig. .000 .000 .000
a R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .982)
Post Hoc Tests Interaksi Homogeneous Subsets L Duncan Subset interaksi a3b5
N
1 2
2
3
4
5
6
53.0900
a3b4
2
a3b3
2
a3b2
2
a2b5
2
59.9350
a1b2
2
60.5550
a1b3
2
60.7500
a2b2
2
60.7850
a2b3
2
60.7850
a1b1
2
60.8150
a2b1
2
60.8150
a3b1
2
60.8150
a1b5
2
60.8850
a2b4
2
60.9050
a1b4
2
Sig.
54.6050 57.3200 58.9800 60.5550
60.9150 1.000
1.000
1.000
1.000
.082
.350
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .111. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
118
Lampiran 26. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai a minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: a Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 34.112(a)
Intercept interaksi
df 14
Mean Square 2.437
446.679
1
446.679
34.112
14
2.437
Error
.036
15
.002
Total
480.827
30
34.148
29
Corrected Total
F 1015.237 186116.35 6 1015.237
Sig. .000 .000 .000
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Post Hoc Tests Interaksi Homogeneous Subsets a Duncan interaksi
N
Subset
a2b2
2
1 3.0650
a2b4
2
3.0800
a2b3
2
3.1500
3.1500
a1b4
2
3.1650
3.1650
a1b5
2
3.1750
3.1750
a1b3
2
a2b5
2
a1b2
2
3.4850
a3b2
2
3.4900
a1b1
2
3.7100
a2b1
2
3.7100
a3b1
2
3.7100
a3b3
2
a3b4
2
a3b5
2
Sig.
2
3.2400
3
4
5
6
7
8
3.2400 3.3000
5.0300 5.9800 6.5900 .059
.110
.240
.920
1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
119
Lampiran 27. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai b minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: b Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
353.589(a)
14
25.256
824.742
.000
Intercept
1761.341
1
1761.341
57516.291
.000
interaksi
353.589
14
25.256
824.742
.000
Error
.459
15
.031
Total
2115.389
30
354.048
29
Corrected Total
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Post Hoc Tests Interaksi Homogeneous Subsets b Duncan interaksi
N
Subset 1
2
3
4
5
6
7
8
a1b2
2
4.8550
a1b1
2
4.9150
4.9150
a2b1
2
4.9150
4.9150
a3b1
2
4.9150
4.9150
a1b3
2
5.0750
5.0750
5.0750
a1b4
2
5.2100
5.2100
5.2100
a2b2
2
5.2950
5.2950
a1b5
2
a2b3
2
a2b4
2
a2b5
2
a3b2
2
a3b5
2
13.5050
a3b3
2
13.5950
a3b4
2
13.7950
Sig.
5.3900 6.4050 6.7900 9.3450 10.9300
.089
.070
.117
1.000
1.000
1.000
1.000
.136
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
120
Lampiran 28. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai ho minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: h Type III Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept
df
Mean Square
1227.939(a)
14
87.710
113074.241
1
113074.241
interaksi
1227.939
14
87.710
Error
4.140
15
.276
Total
114306.320
30
F
Sig.
317.790 409689.28 0 317.790
.000 .000 .000
Corrected Total
1232.079 29 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994) h Duncan Subset interaksi a1b1
N
1
2
3
4
5
6
7
8
2
53.0000
a2b1
2
53.0000
a3b1
2
53.0000
a1b2
2
a1b3
2
a1b4
2
58.7500
a1b5
2
59.0500
a2b2
2
a2b3
2
63.9000
a3b5
2
64.0500
a2b4
2
65.6500
a3b4
2
66.6500
a3b3
2
a2b5
2
a3b2
2
Sig.
9
10
54.3500 57.5000
1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .276. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
59.0500 59.9500
69.1000 70.6000 72.3500 .576
.107
.779
.076
1.000
1.000
1.000
121
Lampiran 29. Formulir uji skoring
SCORE SHEET ORGANOLEPTIK SUSU SKIM VANILLA Nama : Tanggal : Bandingkanlah warna, aroma, dan penampakan fisik dari susu skim vanilla ini dengan kontrol. Beri tanda ( √ ) pada kolom yang sesuai dengan penilaian Anda.
A Skor 7 5 3 2
Warna Kriteria mutu normal/sama dengan kontrol (coklat muda) warna sedikit lebih coklat warna lebih coklat warna coklat gelap Menurut Anda dari segi warna apakah sampel masih bisa diterima? a. ya b. tidak Komentar :
Kode sampel
B Skor 7 6 5 4 3 2 1
Kode sampel
Aroma Kriteria mutu normal/sama dengan kontrol (tidak terdeteksi adanya off flavor) normal, diduga ada off flavor (karamel) tetapi belum tercium normal, off flavor terdeteksi (karamel) tetapi sangat lemah off flavor tercium lemah off flavor tercium jelas off flavor tercium kuat off flavor tercium sangat kuat Menurut Anda dari segi aroma apakah sampel masih bisa diterima? a. ya b. tidak Komentar :
C Skor 7 5 3 2
Penampakan fisik Kode sampel Kriteria mutu normal/sama dengan kontrol sedikit menggumpal menggumpal sangat menggumpal Menurut Anda dari segi penampakan fisik apakah sampel masih bisa diterima? a. ya b. tidak Komentar :
122
Lampiran 30. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter warna)
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 35 °C Hari ke12 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 6.82
18 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 6.82
24 7 5 7 7 7 7 7 7 7 7 5 6.64
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 45 °C Hari ke6 12 18 7 7 5 7 7 5 5 5 5 7 7 5 7 7 5 5 5 5 7 7 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5.91 5.91 4.82
24 5 3 5 5 5 3 5 5 5 5 5 4.64
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 55 °C Hari ke6 12 18 3 3 3 5 3 3 3 3 3 5 5 3 5 5 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 3 3 2 3 3 3 3.55 3.55 2.82
24 3 2 3 3 3 2 2 2 3 2 3 2.55
123
Lampiran 31. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter aroma)
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 7 7 5 6 7 7 7 7 7 7 7 6.73
Suhu 35 °C Hari ke12 7 6 7 7 7 7 7 6 7 7 6 6.73
18 6 6 7 7 6 7 7 6 7 6 6 6.45
24 6 6 6 6 7 6 7 7 7 7 6 6.45
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 45 °C Hari ke6 12 18 6 6 3 6 7 5 3 4 4 7 7 6 7 7 4 6 6 4 6 6 5 6 5 4 6 6 5 6 6 3 4 4 3 5.73 5.82 4.18
24 5 4 4 5 4 4 5 4 5 3 3 4.18
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 5 5 2 7 4 3 3 4 5 3 3 4.0
Suhu 55 °C Hari ke12 18 3 2 3 3 3 3 5 4 4 2 3 3 3 2 3 2 4 3 5 1 2 2 3.45 2.45
24 3 2 3 3 2 2 1 3 3 1 1 2.18
124
Lampiran 32. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter penampakan fisik)
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 35 °C Hari ke12 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
18 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
24 7 7 7 7 7 7 5 7 7 7 7 6.81
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 45 °C Hari ke12 18 7 7 7 5 7 5 7 5 7 5 7 7 7 7 7 5 7 5 7 5 7 5 7 5.55
24 7 5 5 5 5 7 5 5 5 5 5 5.36
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Suhu 55 °C Hari ke6 12 18 3 3 3 5 3 3 5 3 3 3 2 2 5 5 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 5 2 3 3 3 3.55 3.27 2.72
24 2 2 3 2 3 2 3 3 3 2 3 2.55
125
Lampiran 33. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter warna PERHITUNGAN NILAI K Suhu 35
Suhu 45
Suhu 55
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 7 6.82 6.82 6.64
ln Skor 1.946 1.946 1.919 1.919 1.893
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 5.91 5.91 4.82 4.64
ln Skor 1.946 1.776 1.776 1.572 1.535
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 3.55 3.55 2.82 2.55
ln Skor 1.946 1.267 1.267 1.037 0.936
Ordo 0
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 0
Slope -0.015
Intersep 7.036
Korelasi 0.9449
Ordo 1 Slope -0.0022
Intersep 1.9512
Korelasi 0.9458
Ordo 0 Slope -00968
Intersep 6.8180
Korelasi 0.9595
Ordo 1 Slope -0.0171
Intersep 1.9262
Korelasi 0.9635
Ordo 0 Slope -0.1605
Intersep 5.82
Korelasi 0.8497
Ordo 1 Slope -0.0375
Intersep 1.7406
Korelasi 0.9031
Suhu Penyimpanan (OC) 35 45 55 Intersep 35.090
Nilai K 0.0015 0.0968 0.1605 Slope -12036.3
ln K -4.1997 -2.3351 -1.8295
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
T (K) 308 318 328
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
Korelasi 0.9547
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 1 Nilai K Suhu Penyimpanan (OC) 35 0.0022 45 0.0171 55 0.0375 Intersep Slope Korelasi 40.657 -14345.8
UNIT MUTU SUHU 20 (293K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 27 (300K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
T (K) 308 318 328
ln K -6.1120 -4.0698 -3.2834 0.9728
0.336472 -8.3047 0.00025 1360.4 45.346 -7.1623 0.00077 434.02 14.467
SUHU 30 (303K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 40 (313K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
-6.6888 0.00125 270.327 9.011 -5.1762 0.00565 59.56 1.985
126
Lampiran 34. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter aroma PERHITUNGAN NILAI K Suhu 35
Suhu 45
Suhu 55
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 6.73 6.73 6.45 6.45
ln Skor 1.946 1.906 1.906 1.864 1.864
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 5.73 5.82 4.18 4.18
ln Skor 1.946 1.746 1.759 1.430 1.403
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 4 3.45 2.45 2.18
ln Skor 1.946 1.386 1.238 0.896 0.779
Ordo 0
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 0
Slope -0.023
Intersep 6.948
Korelasi 0.9458
Ordo 1 Slope -0.0034
Intersep 1.9384
Korelasi 0.9461
Ordo 0 Slope -0.1198
Intersep 6.82
Korelasi 0..9424
Ordo 1 Slope -0.0234
Intersep 1.9372
Korelasi 0.9497
Ordo 0 Slope -0.1865
Intersep 6.054
Korelasi 0.9183
Ordo 1 Slope -0.047
Intersep 1.8138
Korelasi 0.9685
Suhu Penyimpanan (OC) 35 45 55 Intersep 30.925
Nilai K 0.023 0.1198 0.1865 Slope -10629.1
ln K -3.7723 -2.1219 -1.6793
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
T (K) 308 318 328
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
Korelasi 0.9541
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 1 Nilai K Suhu Penyimpanan (OC) 35 0.0034 45 0.0234 55 0.0470 Intersep Slope Korelasi 37.625 -13278.5
UNIT MUTU SUHU 20 (293K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 27 (300K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
T (K) 308 318 328
ln K -5.6752 -3.7550 -3.0576 0.9699
0.559615 -7.6941 0.00045 1228.57 40.952 -6.6366 0.00131 426.734 14.224
SUHU 30 (303K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 40 (313K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
-6.1984 0.00203 275.32 9.177 -4.7983 0.00824 67.885 2.263
127
Lampiran 35. Pendugaan umur simpan minuman fungsional berdasarkan parameter penampakan fisik PERHITUNGAN NILAI K Suhu 35
Suhu 45
Suhu 55
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 7 7 7 6.81
ln Skor 1.946 1.946 1.946 1.946 1.918
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 7 7 5.55 5.36
ln Skor 1.946 1.946 1.946 1.714 1.679
Hari ke0 6 12 18 24
Skor 7 3.55 3.27 2.72 2.55
ln Skor 1.946 1.267 1.185 1.000 0.936
Ordo 0
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 0
Slope -0.0063
Intersep 7.038
Korelasi 0.7071
Ordo 1 Slope -0.0009
Intersep 1.9516
Korelasi 0.7071
Ordo 0 Slope -0.0788
Intersep 7.328
Korelasi 0.8810
Ordo 1 Slope -0.0127
Intersep 1.9994
Korelasi 0.8826
Ordo 0 Slope -0.1621
Intersep 5.764
Korelasi 0.8433
Ordo 1 Slope -0.0381
Intersep 1.7242
Korelasi 0.8979
Suhu Penyimpanan (OC) 35 45 55 Intersep 48.75
Nilai K 0.0063 0.0788 0.1621 Slope -16489.5
ln K -5.0672 -2.5408 -1.8195
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
T (K) 308 318 328
1/T 0.003247 0.003145 0.003049
Korelasi 0.9574
PERHITUNGAN UMUR SIMPAN ORDO 1 Nilai K Suhu Penyimpanan (OC) 35 0.0009 45 0.0127 55 0.0381 Intersep Slope Korelasi 54.88 -18990.3
UNIT MUTU SUHU 20 (293K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 27 (300K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
T (K) 308 318 328
ln K -7.0131 -4.3661 -3.2675 0.9766
0.336472 -9.9333 4.8x10-5 6933.15 231.105 -8.421 2.2x10-4 1528.06 50.94
SUHU 30 (303K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN SUHU 40 (313K) ln K K UMUR SIMPAN (HARI) BULAN
-7.7942 4.1x10-4 816.49 27.22 -5.7918 3.1x10-3 110.238 3.675
128
Lampiran 36. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik warna minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
427.430(a)
14
30.531
67.709
.000
4930.933
1
4930.933
10935.538
.000
427.430
14
30.531
67.709
.000
Error
67.636
150
.451
Total
5426.000
165
495.067
164
Intercept ab
Corrected Total
a R Squared = .863 (Adjusted R Squared = .851)
Post Hoc Tests ab Homogeneous Subsets skor Duncan Subset ab a3b5
N
1
2
3
4
5
11
2.5455
a3b4
11
2.8182
a3b2
11
3.5455
a3b3
11
3.5455
a2b5
11
4.6364
a2b4
11
4.8182
a2b2
11
5.9091
a2b3
11
5.9091
a1b5
11
6.6364
a1b3
11
6.8182
a1b4
11
6.8182
a1b1
11
7.0000
a1b2
11
7.0000
a2b1
11
7.0000
a3b1
11
Sig.
7.0000 .342
1.000
.526
1.000
.283
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .451. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11.000. b Alpha = .05.
129
Lampiran 37. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik aroma minuman Fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Type III Sum of Squares 454.036(a)
Source Corrected Model Intercept
4618.964
interaksi
df 14
Mean Square 32.431
F 50.674
Sig. .000
1
4618.964
7217.131
.000
50.674
.000
454.036
14
32.431
Error
96.000
150
.640
Total
5169.000
165
550.036
164
Corrected Total
a R Squared = .825 (Adjusted R Squared = .809)
Post Hoc Tests ab Homogeneous Subsets skor Duncan Subset interaksi a3b5
11
1 2.1818
a3b4
11
2.4545
a3b3
11
3.4545
a3b2
11
4.0000
a2b4
11
4.1818
a2b5
11
4.1818
a2b2
11
5.7273
a2b3
11
5.8182
a1b4
11
6.4545
6.4545
a1b5
11
6.4545
6.4545
a1b2
11
6.7273
a1b3
11
6.7273
a1b1
11
7.0000
a2b1
11
7.0000
a3b1
11
Sig.
N
2
3
4
7.0000 .425
.052
.052
.174
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .640. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11.000. b Alpha = .05.
130
Lampiran 38. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter organoleptik penampakan fisik minuman fungsional
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
486.448(a)
14
34.746
127.972
.000
Intercept
5400.824
1
5400.824
19891.429
.000
interaksi
486.448
14
34.746
127.972
.000
Error
40.727
150
.272
Total
5928.000
165
Corrected Total
527.176 164 a R Squared = .923 (Adjusted R Squared = .916)
Post Hoc Tests ab Homogeneous Subsets skor Duncan Subset interaksi a3b5
N
1
2
3
4
11
2.5455
a3b4
11
2.7273
a3b3
11
3.2727
a3b2
11
3.5455
a2b5
11
5.3636
a2b4
11
5.5455
a1b5
11
6.8182
a1b1
11
7.0000
a1b2
11
7.0000
a1b3
11
7.0000
a1b4
11
7.0000
a2b1
11
7.0000
a2b2
11
7.0000
a2b3
11
7.0000
a3b1
11
7.0000
Sig.
.414
.222
.414
.501
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .272. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11.000. b Alpha = .05.
131
Lampiran 39. Hasil uji t-test produk pembanding parameter warna sebelum diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df T Stat P(T<=t) one-tail T Critical one-tail P(T<=t) two-tail T Critical two-tail
Sampel A 9.718971429 5.686765836 28 0.148223627 0 27 -0.958756459 0.173094379 1.703288423 0.346188757 2.051830493
Sampel B 10.29222857 6.064260023 28
Lampiran 40. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma sebelum diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df T Stat P(T<=t) one-tail T Critical one-tail P(T<=t) two-tail T Critical two-tail
Sampel A 9.0288 8.289590613 28 -0.006359004 0 27 -1.939563973 0.031473367 1.703288423 0.062946734 2.051830493
Sampel B 10.41291429 5.880764099 28
132
Lampiran 41. Hasil uji t-test produk pembanding parameter penampakan fisik sebelum diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means Sampel A Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df T Stat P(T<=t) one-tail T Critical one-tail P(T<=t) two-tail T Critical two-tail
9.9 5.07232 28 0.23066009 0 27 -0.067255108 0.473437093 1.703288423 0.946874186 2.051830493
Sampel B 9.937714286 6.350773272 28
Lampiran 42. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma setelah diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Sampel A 9.922628571 6.252594103 28 0.451291526 0 27 0.120373781 0.452539179 1.703288423 0.905078358 2.051830493
Sampel B 9.858514286 8.123323246 28
133
Lampiran 43. Hasil uji t-test produk pembanding parameter rasa setelah diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Sampel A 8.251885714 7.609121646 28 0.35407344 0 27 -2.764359823 0.005075764 1.703288423 0.010151528 2.051830493
Sampel B 9.9528 8.77952768 28
Lampiran 44. Hasil uji t-test produk pembanding parameter penampakan fisik setelah diseduh
t-Test: Paired Two Sample for Means
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Sampel A 10.1112 3.8580608 28 0.538528683 0 27 -0.473981122 0.319661986 1.703288423 0.639323971 2.051830493
Sampel B 10.30354286 5.884967985 28
134
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL Deddy Muchtadi1) dan Janathan2) 1)
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor 2) Sarjana Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Abstrak Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan. Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung hasil pengering drum dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07%, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Formula optimum yang dihasilkan memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml. Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman fungsional ini adalah perubahan aroma. Kata kunci: Bekatul, optimasi, umur simpan
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya pertanian di beberapa negara berkembang yang masih terbatas memerlukan peningkatan usaha pemberdayaan yang lebih intensif. Salah satu usaha pemberdayaan sumber daya pertanian tersebut adalah dengan rekayasa penganekaragaman cara pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan
masyarakat terhadap beberapa jenis bahan pangan tersebut meningkat. Damardjati dan Oka (1989) melaporkan bahwa dalam penggilingan padi dihasilkan produk utama berupa beras sebesar 60-66%, hasil samping berupa bekatul 8-12% dan menir sebesar 5-8%. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan produksi beras, terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan
dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul yang tinggi yaitu protein 12.0-15.6%, lemak 15.0-19.7%, karbohidrat 34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991) serta kaya akan vitamin, maka hasil samping itu cukup potensial untuk dikembangkan menjadi bahan pangan. Penelitian Kahlon et al. (1994) juga melaporkan nilai tambah bekatul berupa sifat fungsional penurunan kadar kolesterol dalam darah. Bahan pangan yang relatif banyak mengandung serat bekatul akan mempermudah atau mempercepat transit time yaitu kecepatan residu meninggalkan saluran pencernaan sehingga makanan yang mengandung banyak serat memiliki transit time yang pendek yaitu 14-24 jam, dan cenderung menyebabkan buang air besar lebih teratur. Kebutuhan pasar terhadap produk alami yang sehat dan murni diperkirakan akan terus meningkat, sehingga pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku minuman fungsional sangat potensial untuk dikembangkan. Minuman susu skim yang disuplementasi tepung bekatul diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai minuman alternatif untuk kesehatan. Untuk itu perlu diketahui formulasi dan metode yang tepat, serta sifat minuman selama penyimpanan yang menentukan penerimaan konsumen terhadap minuman ini.
FeCl3.6H2O, indikator fenolftalein, αtokoferol murni, akuades, serta KI 25%. Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi minuman fungsional adalah susu skim, maltodekstrin, tepung bekatul awet, sukrosa, flavor vanilla, serta karagenan sebagai bahan penstabil. Bahan untuk analisis kimia meliputi K2SO4, CuSO4, HgO, H3BO3, HCl, H2SO4 pekat, H2SO4 1.25% heksana, NaOH pekat, NaOH 3.25%, etanol 96%, kertas saring Whatman 54, buffer fosfat 0.1 M pH 6.0, α-amilase (Termamyl 120L), pepsin, pankreatin, aseton, etanol 90%, etanol 78%, serta indikator merah metil dan metil biru. Untuk analisis mikrobiologi diperlukan media Plate Count Agar dan larutan fisiologis NaCl 0.85%. Adapun bahan yang digunakan untuk menentukan umur simpan produk adalah kemasan foil alumunium yang dilaminasi Low Density Polyethylene (LDPE).
Alat Peralatan yang digunakan adalah otoklaf, pengering drum, ayakan 60 mesh, kain saring, refrigerator, oven pengering, rotavapor vakum, labu kjeldahl, labu lemak, tanur, ekstraktor soxhlet, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, labu volumetrik, mikropipet, buret, spektrofotometer, cawan petri, botol semprot, Chromameter Minolta CR-200, pH meter Orion model 210A, viskometer Brookefield, Shibaura aw meter WA-360, blender, mixer, neraca analitik, sudip, freezer, serta inkubator.
Tujuan Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik tepung bekatul hasil beberapa metode penstabilan, menentukan formula yang tepat untuk membuat minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, menentukan formula optimal dan pengujiannya, serta menentukan umur simpan produk minuman yang dihasilkan.
METODOLOGI Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam tahap penentuan karakteristik fisikokimia tepung bekatul adalah bekatul segar, natrium metabisulfit, H2O2, serta alumunium foil. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam analisisnya adalah n-heksana, etanol netral 95%, KOH 0.1 N, toluen, 2 2’ bypiridin,
Metode 1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul Bekatul segar diayak menggunakan ayakan 60 mesh untuk menghilangkan campuran sekam dan pengotor lainnya, kemudian distabilisasi dengan menggunakan otoklaf bersuhu 121OC selama 3 menit (Damayanthi, 2002) dan selanjutnya dibagi menjadi tiga bagian perlakuan. Perlakuan pertama adalah pengeringan oven bersuhu 105OC selama 1 jam (Damayanthi, 2002); perlakuan kedua menggunakan pengering drum bersuhu 120OC dengan kecepatan 8 rpm; serta perlakuan ketiga yang masih menggunakan pengering drum namun bekatul mendapat perlakuan bleaching sebelum dikeringkan. Dari ketiga jenis tepung yang dihasilkan, dilakukan analisis fisik yang meliputi densitas kamba, densitas padat,
kelarutan dalam air, daya serap air, nilai aw, warna, serta kadar air. Khusus untuk tepung yang dihasilkan dari proses bleaching, dilakukan analisis residu H2O2 secara kualitatif untuk mengetahui kandungan residu H2O2 yang terdapat pada tepung yang dihasilkan. Dari sifat-sifat fisik yang diinginkan, kemudian dipilih jenis tepung yang akan digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya. Tepung terpilih diinkubasi menggunakan inkubator dengan suhu 35OC selama 144 jam (6 hari) untuk dilihat perubahan sifat kimianya. Sifat kimia yang diamati berupa kadar asam lemak bebas serta total tokoferol yang terkandung di dalamnya. 2. Formulasi Minuman Fungsional Formulasi minuman fungsional dilakukan dengan menggunakan bantuan program Design Expert 7 (DX 7). Terdapat dua variabel yang dilakukan pada tahap formulasi ini, yaitu jumlah tepung bekatul yang ditambahkan serta jumlah karagenan yang digunakan. Sebelum mendapatkan formula yang akan dibuat, terlebih dahulu dilakukan penetapan formula dasar yang terdiri susu skim, maltodekstrin, sukrosa, serta flavor. Formula dasar ini kemudian digunakan untuk menentukan batas atas dan bawah dari kedua variabel yang digunakan. Rentang variabel kemudian dimasukkan ke dalam program, sehingga didapatkan 15 jenis formula yang akan diujikan kepada panelis sehingga didapat skor untuk masing-masing respon yang diinginkan. Dalam penelitian ini, respon yang diinginkan adalah warna sebelum diseduh, aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, rasa setelah diseduh, serta penampakan fisik setelah diseduh. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam program sehingga didapatkan formula optimal. Formula optimal kemudian diuji serta dibandingkan dengan produk sejenis yang telah terdapat di pasaran dan dilakukan analisis proksimat meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), serat pangan, aw, pH, total mikroba, serta konversi kandungan vitamin E. Pembuatan produk dilakukan dengan cara menimbang masing-masing bahan. Pencampuran dilakukan dengan cara menambahkan bahan berjumlah besar
ke dalam bahan yang berjumlah kecil sedikit demi sedikit hingga homogen, dengan menggunakan mixer. Karagenan dihaluskan bersama sukrosa dengan blender sebelum ditambahkan ke bahan lain. Campuran bahan dari mixer kemudian dihaluskan kembali dengan menggunakan blender kering agar didapat bubuk yang halus. Formulasi minuman fungsional dibuat dengan menambahkan tepung bekatul yang mengandung serat, karagenan sebagai bahan penstabil, dengan formula dasar yang terdiri atas maltodekstrin sebagai bahan pengisi pengganti skim, sukrosa, flavor vanilla, serta susu skim. 3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius Produk dikemas dalam kemasan yang terbuat dari jenis alumunium foil yang dilaminasi LDPE dengan bobot 30 g yang akan ditentukan umur simpannya. Produk disimpan dalam ruang kering dan tertutup (inkubator) pada suhu 35, 45, dan 55OC selama 24 hari dan penyimpanan produk sebagai kontrol pada suhu -18OC. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, dan seterusnya dengan selang 6 hari. Sampel yang diambil adalah yang masih dikemas rapat (tidak melanjutkan sampel yang sudah dianalisis sebelumnya). Uji organoleptik meliputi penilaian terhadap formula kering (bubuk) meliputi aroma, warna, dan penampakan fisik. Metode yang digunakan adalah uji organoleptik metode uji skoring dengan menggunakan 11 orang panelis terlatih. Batas kritis atau penolakan produk ditetapkan dengan skor 5 untuk parameter warna dan penampakan fisik, serta 4 untuk parameter aroma. Arah kerusakan produk dilihat berdasarkan penyimpanan produk pada suhu 70OC selama satu minggu dan dilakukan pengambilan sampel setiap harinya. Hal ini dilakukan untuk penetapan skor.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK TEPUNG BEKATUL
FISIKOKIMIA
Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga,
denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992). Di dalam penelitian ini stabilisasi bekatul dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan otoklaf dengan suhu 121OC selama 3 menit. Proses ini dipilih berdasarkan penelitian Damayanthi (2002) yang menunjukkan bahwa lama pemanasan 3 menit merupakan lama pemanasan yang optimal berdasarkan hasil analisa asam lemak bebas dan total tokoferol yang masih terkandung dalam bekatul. Setelah diotoklaf, bekatul dibagi menjadi tiga untuk tiga perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama, dilakukan pengeringan dengan oven bersuhu 105OC selama 1 jam. Pada perlakuan yang kedua dan ketiga, dilakukan penambahan natrium metabisulfit (Na2S2O5) sebanyak 500 ppm untuk meminimalkan pembentukan warna coklat sebelum penstabilan dengan otoklaf, yang dilanjutkan dengan penggunaan pengering drum bersuhu 120OC dengan kecepatan 8 rpm pada proses pengeringannya. Pada perlakuan kedua, dilakukan penambahan air dengan rasio 2:1 untuk membentuk konsistensi setengah pasta hingga dapat dikeringkan dengan pengering drum. Hasil pengeringan drum ini kemudian diblender kering untuk mendapatkan tepung bekatul halus. Adapun proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan bekatul awet, yaitu bekatul yang memiliki umur simpan lebih panjang. Selain itu, pengeringan juga dimaksudkan untuk meminimalkan kandungan air dalam bekatul sehingga memudahkan pengeluaran minyak pada saat ekstraksi dan waktu ekstraksi menjadi lebih singkat. Dari hasil pengukuran kadar air terhadap tepung bekatul awet yang distabilkan dengan metode ini didapat nilai rata-rata kadar air sebesar 4.79%, dimana kadar air yang dikehendaki adalah sebesar 3-12% (Juliano, 1985). Tabel 1. Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul Konsentrasi NaHSO3 Nilai L (ppm) 0 51.13 a 300 51.89 a,b 400 52.18 b 500 52.33 b Keterangan : Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama
menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Tabel 2. Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul yang distabilisasi Bahan
Nilai L
Bekatul segar 56.34 a Perlakuan 1 53.58 b Perlakuan 2 52.33 c Perlakuan 3 56.20 a Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05) Nilai L bekatul segar sebesar 56.34 merupakan nilai L tertinggi, sehingga dapat diketahui semua metode stabilisasi tidak dapat mengembalikan warna secerah sebelum distabilkan, bahkan untuk perlakuan 3 yang telah mengalami proses bleaching. Pada perlakuan ketiga ini, setelah diotoklaf, bekatul direndam dalam larutan H2O2 3% selama 18 jam yang didasarkan atas penelitian Hidayati (2003) untuk mengoksidasi zat-zat warna atau pigmen penyebab warna coklat pada bekatul. Namun, dari Tabel 2 diketahui nilai L yang dihasilkan cukup mendekati warna bekatul segar, namun belum cukup memenuhi kebutuhan warna putih cerah yang diinginkan. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai L rata-rata kedua bahan yang tidak berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95%. Dua komponen pigmen utama dalam tepung yang dihasilkan dari serealia adalah karotenoid dan flavonoid. Karotenoid ditemukan dalam endosperm dan memberikan warna kekuningan. Jumlah karotenoid ini sangat bervariasi tergantung jenis dan kultivar dari serealia tersebut. Karotenoid dapat dengan mudah dibleaching dan dirusak oleh bleaching agent yang ditambahkan ke dalam tepung, seperti benzoyl peroksida (Hoseney, 1998). Menurut Bhattacharya dan
Sowbhagya (2007), jenis pigmen ini lebih banyak terdapat di lapisan bagian luar. Semakin ke lapisan dalam biji, jumlahnya semakin berkurang. Hal ini berarti warna beras (endosperm) dan tepung bekatul sangat dipengaruhi oleh tingkat penyosohan yang dilakukan pada beras. Namun sebaliknya, pigmen flavonoid yang banyak terdapat pada bran atau kulit bagian dalam biji, tidak dapat dibleaching oleh bleaching agent biasa. Jenis pigmen ini relatif stabil, dapat menjadi tidak berwarna pada pH asam, namun akan menjadi berwarna kuning pada pH tinggi (Hoseney, 1998). Hal inilah yang menyebabkan proses bleaching dengan hidrogen peroksida yang dilakukan tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Karakteristik tepung hasil beberapa perlakuan stabilisasi PerlaPerlaPerlaKarakter fisik kuan 1 kuan 2 kuan 3 Densitas kamba 0.47 0.43 0.31 (g/ml) Densitas padat 0.66 0.64 0.52 (g/ml) Kadar air 3.63 5.12 4.79 (%) Nilai aw 0.37 0.58 0.55 Kelarutan dalam air 0.51 1.44 1.54 (%) Daya serap air 252.06 301.33 370.15 (%) Tabel 3.
Hasil proses stabilisasi bekatul ini kemudian dipertimbangkan untuk ditambahkan ke dalam minuman berbahan dasar susu skim. Pertimbangan yang digunakan adalah karakteristik fisikfungsional tepung yang dihasilkan dan kesesuaian dengan aplikasinya pada produk. Mengingat tepung terpilih kemudian akan ditambahkan ke minuman berbahan dasar susu skim, maka dapat dipilih tepung dari perlakuan kedua dan ketiga dengan nilai daya serap air dan kelarutan dalam air yang cukup besar. Namun dari hasil analisis warna sebelumnya, diketahui bahwa perlakuan bleaching dengan H2O2 (perlakuan 3) tidak memberikan hasil peningkatan nilai kecerahan yang cukup signifikan. Perlakuan 3 ini juga menggunakan bahan
H2O2 yang cukup berbahaya, meskipun dalam analisis residu kualitatif diketahui residu H2O2 telah hilang akibat pencucian, perendaman, dan pengeringan. Selain itu, pertimbangan yang digunakan adalah tingkat kemudahan proses pengolahan dan biaya, dimana perlakuan ketiga memiliki tahap pengerjaan yang lebih rumit dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, proses bleaching juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat penggilingan (Saiz et al., 2007). Oleh karena itu, tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk diaplikasikan ke produk yang akan dibuat. Tepung dari perlakuan kedua ini kemudian dianalisis sifat kimianya, berupa tingkat kenaikan asam lemak bebas (ALB) serta kandungan total tokoferol. Kenaikan ALB perlu diketahui karena kadar ALB pada bekatul segar dapat meningkat dari 13% menjadi 70% dalam satu bulan. Kadar ALB bergantung pada kerusakan permukaan, kadar air, dan suhu penyimpanan. Kecepatan pembentukan ALB meningkat di bawah kondisi kelembaban tinggi (Damayanthi, 2002). Tabel 4. Karakteristik kimia tepung bekatul Bekatul Bekatul Bekatul Parameter b pengering pengering segar ovenb drum Kenaikan 23% 2.07% 0.07% ALB (%)a Kadar total 217.61 tokoferol 264.71 216.28 (mg/100 g minyak) a Dihitung dengan membandingkan nilai asam lemak bebas sampel hari ke-0 dengan asam lemak bebas sampel yang telah diinkubasi selama 6 hari (144 jam) pada suhu 35OC. b Damayanthi (2002) Kadar tokoferol bekatul setelah proses perlu diketahui karena tokoferol merupakan salah satu komponen bioaktif berharga yang terkandung di dalam bekatul. Damayanthi (2002) telah meneliti kadar total tokoferol pada bekatul yaitu 264.71 pada bekatul segar dan 216.28 mg/100 g minyak bekatul pada bekatul yang dikeringkan dengan oven. Perbandingan kenaikan nilai ALB dan total
tokoferol tepung terpilih yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai dari hasil penelitian Damayanthi (2002) disajikan dalam Tabel 4 di atas.
B. FORMULASI MINUMAN
DAN
OPTIMASI
Pada tahap perancangan formula, digunakan kisaran maksimum dan minimum dari jumlah komponen yang didapat pada penelitian pendahuluan yang dilakukan secara trial dan error. Kisaran komponen yang digunakan adalah karagenan sebesar 0.25-0.52%, tepung bekatul sebesar 12.73-16.84% serta formula dasar sebesar 82.91-86.75%. Tiga variabel ini merupakan kendala bahan dalam pembuatan rancangan percobaan. Rancangan formula yang disarankan program Design Expert version 7 adalah sebanyak 15 formula. Output dari proses ini dinamakan respon. Pemilihan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari komponen-komponennya. Responrespon ini yang akan diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon-respon pada penelitian ini berupa respon uji organoleptik yang meliputi respon warna sebelum diseduh, aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, rasa, serta penampakan fisik setelah diseduh. Respon-respon ini dipilih agar dapat diperoleh formula yang dapat menghasilkan minuman dengan mutu yang baik. a. Analisis Respon Warna Sebelum diseduh Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna dapat menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima (Arpah, 2001). Oleh karena itu, perubahan warna yang signifikan dapat digunakan untuk memperkirakan lama penyimpanan dan keadaan mutu produk. Respon ini diuji
secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang dapat mengkonsumsi atau menyukai produk susu seduhan. Hasil nilai respon warna sebelum diseduh adalah berkisar antara 6.64 hingga 8.456. Nilai kesukaan warna sebelum diseduh terendah yaitu 6.64 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling rendah yaitu 82.91%, dan karagenan yang sedang yaitu 0.385%. Tepung bekatul yang berwarna cokelat muda dengan konsentrasi yang tinggi dan kandungan formula dasar yang berwarna putih cerah dengan konsentrasi terendah memungkinkan produk minuman fungsional yang dihasilkan menjadi berwarna cokelat muda sehingga kurang disukai panelis. Nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh tertinggi yaitu 8.456 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 3 yang menggunakan tepung bekatul yang rendah yaitu 12.865% serta formula dasar tertinggi sebesar 86.75% dan karagenan 0.37%. Penggunaan tepung bekatul yang cukup rendah dan formula dasar yang tinggi dengan kandungan karagenan dalam ukuran sedang menghasilkan warna yang cukup cerah sehingga banyak panelis yang menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon warna sebelum diseduh adalah 7.80 (berkisar antara agak suka hingga netral), dengan standar deviasi 0.23. b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al., 1999). Rasa dimasukkan sebagai respon karena penambahan tepung bekatul dapat menyebabkan perubahan rasa, dimana minuman yang dihasilkan memiliki aftertaste pahit. Menurut Belitz dan Grosch (1987), penyebab rasa pahit mungkin disebabkan oleh teroksidasinya asam lemak, mengingat komposisi asam lemak pada bekatul berupa asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Rasa pahit juga mungkin ditimbulkan oleh peptida yang tidak terhidrolisis sempurna selama hidrolisis enzimatik protein seperti tiramin.
Selain itu, Menurut Luh (1991), rasa pahit pada bekatul disebabkan oleh adanya senyawa saponin. Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Semakin banyak tepung bekatul yang digunakan sebagai bahan baku, maka rasa pahit yang timbul akan makin terasa, serta rasa manis minuman akan semakin berkurang. Hasil nilai respon rasa berkisar antara 5.0 hingga 8.907. Nilai kesukaan rasa terendah yaitu 5.0 (agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul paling banyak, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling sedikit, yaitu 82.91%, serta karagenan yang cukup yaitu 0.385%. Kandungan tepung bekatul yang tinggi dengan formula dasar yang rendah memungkinkan produk yang dihasilkan menjadi terasa pahit sehingga tidak disukai panelis. Sebaliknya, nilai kesukaan rasa tertinggi yaitu 8.907 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 5 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi terendah (12.73%) dan formula dasar tertinggi (86.75%), serta karagenan yang tinggi (0.52%). Penggunaan tepung bekatul yang rendah dan formula dasar yang tinggi memungkinkan produk yang dihasilkan terasa sedikit lebih manis sehingga banyak panelis menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon rasa adalah 7.01 (berkisar antara netral hingga agak tidak suka), dengan standar deviasi 0.49. c. Optimasi Formula Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 3 formula, tetapi yang dipilih adalah formula pertama karena memiliki nilai desirability tertinggi. Formula yang disarankan oleh program dan nilai desirabilitynya dapat dilihat pada Tabel 5. Formula optimum pertama (selanjutnya disebut formula optimum terpilih) memiliki komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%.
Tabel 5. Formula optimum yang disarankan beserta nilai desirabilitynya Kara- Tepung Formula Formula Desiregenan bekatul optimum dasar (%) ability (%) (%) 1 0.25 16.08 83.66 0.681 2 0.455 14.96 84.57 0.511 3 0.452 13.75 85.79 0.468 Formula optimum terpilih ini diprediksi akan menghasilkan minuman fungsional dengan warna sebelum diseduh dengan skor kesukaan 8.7161, aroma sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.01698, penampakan fisik sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.81884, aroma setelah diseduh sebesar 9.77556, rasa sebesar 7.70139, dan penampakan fisik setelah diseduh sebesar 7.68299. Nilai desirability dari formula optimum ini adalah 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%. d. Analisis Proksimat Data proksimat minuman dengan formula optimum ini memenuhi syarat mutu proksimat susu bubuk SNI 01-29701999 yang dikhususkan pada susu bubuk rendah lemak, kecuali pada kandungan protein sebesar 18.79 ± 0.26 yang lebih rendah dibanding SNI yaitu minimal 26%. Hal ini dapat dipahami, karena produk minuman ini menggunakan susu skim bubuk yang sebagian bahannya disubstitusi dengan maltodekstrin, tepung bekatul, serta bahan lainnya untuk dibandingkan lagi dengan produk awalnya (SNI 012970-1999) sehingga kadar protein awal susu tanpa lemak (minimal 34%) menjadi berkurang.
Gambar 1.
Minuman campuran susu skim dan tepung bekatul
Tabel 6. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul SNI susu Parameter Produk bubuk* Air (%) 3.94 ± 0.04 Maks. 4.0 Abu (%) 5.16 ± 0.01 Maks. 9.0 Lemak (%) 2.72 ± 0.03 1.5 - <26.0 18.79 ± Min. 26.0 Protein (%) 0.26 Karbohidrat 69.71 ± (by 0.33 difference) Serat pangan 5.25 ± 0.07 Vitamin E 1.01 ± 0.01 (mg/100g) 0.414 ± aw (31.4 OC) 0.005 pH 5.50 ± 0.01 Total mikroba 8.6 x 103 Maks. 5x105 (koloni/ml) * SNI susu bubuk (SNI 01-2970-1999)
C. PENDUGAAN PRODUK
UMUR
SIMPAN
Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penentuan umur simpan produk berdasarkan metode Arrhenius untuk menentukan umur simpan produk berdasarkan beberapa parameter kerusakan produk. Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001). Arah kerusakan produk diketahui dengan cara menyimpan produk yang telah dikemas pada inkubator dengan suhu yang tinggi (70OC) dan diamati setiap hari dengan mengambil satu sampel tiap harinya hingga didapat kerusakan dominan yang mempengaruhi penerimaan produk. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada bubuk minuman fungsional ini adalah perubahan warna yang menjadi lebih gelap, penggumpalan, serta adanya off flavor sehingga yang dijadikan parameter kerusakannya adalah warna, aroma, dan penampakan fisik untuk produk sebelum diseduh melalui uji organoleptik. Adapun uji untuk produk setelah diseduh tidak dilakukan karena dari penerimaan produk
bubuk (sebelum diseduh), konsumen telah mengetahui apakah produk tersebut masih dapat diterima atau tidak. Dengan kata lain, bubuk (sebelum diseduh) menjadi impresi awal bagi konsumen untuk menilai apakah produk masih layak konsumsi atau tidak. Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter dan relatif panjang untuk semua parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbedabeda untuk masing-masing parameter. Namun dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma. Off flavor yang terbentuk sebagaimana halnya juga warna, juga disebabkan oleh terbentuknya produkproduk hasil reaksi Maillard. Seperti yang disebutkan oleh Syarief dan Halid (1993), bahwa reaksi Maillard juga menimbulkan perubahan citarasa, baik yang diinginkan maupun tidak. Umur simpan minuman dapat ditingkatkan pula dengan cara mengganti kemasan dengan permeabilitas yang lebih kecil, seperti laminasi kertas, foil, dan plastik. Kemasan seperti ini mampu melindungi produk kering seperti susu kering dari udara, cahaya, dan penetrasi air atau uap air. Pemberian kemasan sekunder dan atau tersier pun dapat memperpanjang umur simpan produk. Selain itu, kebanyakan produk susu dikemas di bawah kondisi vakum dan dimasukkan gas inert. Perlakuan ini dapat meningkatkan umur simpan produk. Produk ini pun akan memiliki umur simpan yang lebih panjang apabila bobot produk diperbanyak, karena dapat mengurangi penetrasi panas terhadap produk.
KESIMPULAN Tepung bekatul hasil pengering drum tanpa perlakuan bleaching (perlakuan 2) dipilih dan digunakan dalam tahap formulasi karena memiliki karakteristik yang tepat untuk digunakan dalam minuman fungsional.
Tepung ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan total tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak. Formula minuman optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah minuman fungsional dengan komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula optimum ini memiliki nilai desirability sebesar 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%. Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula minuman optimum ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml. Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbedabeda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma.
DAFTAR PUSTAKA Arpah, M. dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Teknol. dan Industri Pangan. XI. 1-11. Badan Standarisasi Nasional. 1999. SNI Susu Bubuk (SNI 01-2970-1999). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Belitz, H. D. dan Grosch, W. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin. Bhattacharya, K. R. dan Sowbaghya, C. M. 2007. A Colorimetric Bran Pigment Method for Determining the Degree of Milling Rice. http : // www.interscience.wiley.com. [ 25 Agustus 2007]. Champagne, E.T., Hron, R.J., dan Abraham, G. 1992. Utilizing Ethanol to Produce Stabilized Brown Rice Products. JAOCS 69 (3) : 205-208. Damardjati, D.S. dan Oka, M. 1989. Evaluation of Rice Quality Characteristics Preferred by Indonesian Urbans Consumers. Prac. Of 22nd ASEAN Seminar on Grain Postharvest Research and Development Priorities for the Nineties. Surabaya, 29-31 Agustus 1989. Damayanthi, E. 2002. Karakteristik Bekatul Padi (Oryza sativa) Awet serta Aktivitas Antioksidan dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker secara in vitro dari Minyak dan Fraksinya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Hidayati, P. W. 2003. Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Kitosan Sebagai Bahan Penjernih pada Proses Pembuatan Tepung Karagenan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. America Association of Cereal Chemists Inc., St. Paul. Juliano, B.O. 1985. Rice Bran. Di dalam : Juliano, B.O. Rice : Chemistry and Technology. AACC, St Paul. Luh,
S. 1991. Rice Production and Utilization. The AVI Publishing Company, Westport.
Kahlon, T.S., Chow, F.I., dan Sayre, R.N. 1994. Cholesterol-Lowering Properties of Rice Bran. J. Cereal Food World vol. 39 (2) : 99-102.
Meilgaard, M., Civille, G. V. dan Carr, B. T., 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, New York. Saiz, A. I.,Manrique, G. D. dan Fritz, R. 2007. The Bleaching of Flour. http : // www.cat.inist.fr.com. [ 25 Agustus 2007]. Syarief, R. Dan Halid, Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Bandung.