STABILISASI TEPUNG BEKATUL MELALUI METODE PENGUKUSAN DAN PENGERINGAN RAK SERTA PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
oleh : Nova Dwi Swastika F34104041
2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Nova Dwi Swastika. F34104041. Stabilisasi Tepung Bekatul melalui Metode Pengukusan dan Pengeringan Rak serta Pendugaan Umur Simpannya. Dibawah bimbingan Sugiarto dan Indah Yuliasih. 2009. RINGKASAN Bekatul merupakan hasil samping penggilingan padi. Menurut data BPS (2008) jumlah bekatul mencapai 4,8 juta ton. Bekatul dapat diolah menjadi berbagai produk, salah satunya adalah tepung bekatul. Tepung bekatul dapat digunakan sebagai bahan subtitusi roti, cookies, dan minuman berserat. Penurunan mutu bekatul dapat terjadi melalui proses hidrolisis dan oksidasi lemak. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui stabilisasi bekatul. Stabilisasi bekatul dapat dilakukan melalui pengukusan bahan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi stabilisasi dan pengeringan bekatul, karakteristik bekatul dan bekatul terstabilisasi, serta pendugaan umur simpannya. Kondisi pengeringan bekatul segar yang konstan tercapai selama 4 jam dengan laju pengeringan sebesar 1 x 10-4 g/det hingga kadar airnya 5 %. Pengukusan bekatul dilakukan melalui 3 taraf waktu pengukusan yaitu 5, 10, dan 15 menit. Tahap selanjutnya adalah karakterisasi bekatul dan bekatul terstabilisasi. Karakteristik bekatul segar meliputi kadar air 6,86 %, lemak 16,84 % (bk), abu 7,43 % (bk), protein 13,72 % (bk), serat 7,25 % (bk), karbohidrat by different 47,9 % (bk), dan TBA 0,68 mg malonaldehid/kg sampel, kelarutan 11,95 %, swelling power 5,96 %, sineresis 95,50 %, jumlah total koloni 1,65 x 106, dan tidak ditemukan koloni E. coli. Berdasarkan parameter uji kadar air, lemak, dan TBA terpilihlah bekatul dengan lama pengukusan 5 menit. Karakteristik bekatul terstabilisasi tersebut meliputi kadar air 5,61 %, lemak 14,23 % (bk), dan TBA 0,23 mg malonaldehid/kg sampel. Bekatul terstabilisasi selama 5 menit digunakan sebagai sebagai bahan baku dalam penyimpanan dan pendugaan umur simpan. Produk dikemas dalam metalizzed dan disimpan pada suhu 35, 45, dan 50oC selama 8 minggu. Parameter mutu yang digunakan dalam penyimpanan bekatul terstabilisasi adalah kadar air, TBA, dan kecerahan warna. Selama penyimpanannya terjadi penurunan kadar air dan kecerahan warna, serta terjadi peningkatan nilai TBA. Parameter mutu kritis yang digunakan dalam pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi adalah TBA. Berdasarkan penilaian organoleptik minggu keempat pada penyimpanan suhu 50oC, titik kritis yang diperoleh sebesar 0,51 mg malonaldehid/kg sampel. Persamaan Arrhenius bekatul terstabilisasi yang diperoleh selama penyimpanan adalah k = 0,074 e -176 (1/T). Umur simpan bekatul terstabilisasi pada suhu penyimpanan 30oC diduga selama 39 hari, penyimpanan suhu 25oC selama 40 hari, dan penyimpanan suhu 15oC selama 50 hari.
Nova Dwi Swastika. F34104041. Bran Powder Stabilization through Steaming and Tray Dryer Method also Predicting the Shelf Life. Supervised by Sugiarto and Indah Yuliasih. 2009. SUMMARY Bran is side product from rice milling. According to BPS (2008), bran production reach at 4,8 million tons. Bran can be processed to be various product, one of them is bran powder. Bran powder can be used as brade substitution agent, cookies, and dietary drink. The decreasing of quality of bran can occure through hydroliytic and oxidation processes. The problem can be solved trough bran stabilization. It can be processed by steaming of the material in certain time. The purposes of this research are to get condition of stabilization and bran drying, bran characterization and stabilized bran, also to predict the packaging time. Constant condition of drying of the fresh bran reached in 4 hours with the drying rate about 1 x 10-4 g/second untill the water level at 5 %. Steaming of the bran was carried out in 3 level of time; 5, 10, and 15 minutes. The next step was characterizing the bran and stabilized bran. The characterization of fresh bran include water level 6,86 %, fat 16,84 % (db), ash 7,43 % (db), protein 13,72 % (db), crude fiber 7,25 % (db), carbohydrate by different 47,9 % (db), and TBA 0,68 mg malonaldehid/kg sample, solubility 11,95 %, swelling power 5,96 %, cyneresis 95,50 %, total colony number 1,65 x 106, and was not found E. Coli colony. Based on tested parameter water level, fat, and TBA were choosen bran with steaming at 5 minutes. The stabilized bran characterization include water level 5,61 %, fat 14,23 % (db), and TBA 0,23 mg malonaldehid/kg sample. The bran that was stabilized at 5 minutes was used as the material to predict the storage and shelf life. The product packed in metalizzed and was storaged at tempeature 35, 45, and 50oC during 8 weeks. The quality parameter that was used in were water level, TBA, and brightness level. During the storage, it occured decreasing of water level and brightness level, also the increasing of TBA value. The critical value of the quality parameter that was used in packaging time of stabilized bran was TBA. Based on organoleptic test at the 4th week at storage 50oC, the critical point was 0,51 mg malonaldehid/kg sample. Arrhenius equation of stabilized bran during the packaging was k = 0,074 e -176 (1/T). Packaging time of stabilized bran at 30oC was predicted in 39 days, at temperature 25oC was in 40 days, and at temprature at 15oC was in 50 days.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
STABILISASI TEPUNG BEKATUL MELALUI METODE PENGUKUSAN DAN PENGERINGAN RAK SERTA PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
oleh : Nova Dwi Swastika F34104041
Dilahirkan di Purworejo, 10 November 1986 Lulus : 4 Februari 2009
Disetujui, Maret 2009
Ir. Sugiarto M.Si
Dr. Ir. Indah Yuliasih M.Si
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Stabilisasi Tepung Bekatul melalui Metode Pengukusan dan Pengeringan Rak serta Pendugaan Umur Simpannya”adalah karya asli saya dengan arahan dosen pembimbing dan rujukan literatur yang jelas.
Bogor, Maret 2009 Yang membuat pernyataan
Nova Dwi Swastika F341040441
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 10 November 1986. Menempuh pendidikan sekolah dasar di SD N Majir 2 dan lulus pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SLTP N 1 Kutoarjo pada tahun 1998 sampai 2001. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Purworejo selama 3 tahun yaitu pada tahun 2001- 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Mahasiswa (USMI). Selama masa kuliah penulis aktif dalam organisasi Forum Bina Islami Fateta sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Manusia selama 2 periode yaitu 2004/2005 dan 2005/2006. Pada tahun 2005 penulis tercatat sebagai staf departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) periode 2005/2006 dan periode 2006/2007 sebagai sekretaris departemen Kesejahteraan Mahasiswa. Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT Garuda Food dengan judul “Mempelajari penambahan mesin filling terhadap efektifitas produksi”. Selama menempuh studi di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum matakuliah Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi (TPDT) pada semester 7, Teknik Penyimpanan dan Penggudangan (TPP) pada semester 8, dan Teknologi Pengendalian dan Pencemaran Industri (TPPI) pada semester 9. Sebagai pelaksanaan tugas akhir, penulis melakukan penelitian berjudul “Stabilisasi Tepung Bekatul melalui Metode Pengukusan dan Pengeringan Rak serta Pendugaan Umur Simpannya” di laboratorium Pengemasan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas penyelesaian laporan skripsi. Skrispsi ini sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Stabilisasi Tepung Bekatul melalui Metode Pengukusan dan Pengeringan Rak serta Pendugaan Umur Simpannya”. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu pelaksanaan, penelitian dan penyusunan laporan skripsi.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ir. Sugiarto, M.Si. sebagai dosen pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis hingga penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. Indah Yuliasih M.Si. sebagai dosen pembimbing II yang telah membantu, mengarahkan, dan memberikan informasi dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Ir. M. Yani, M.Eng. sebagai dosen penguji yang telah mengarahkan dan memberikan masukan terhadap penyusunan skripsi ini. 4. Bapak, Ibu, dan keluarga yang telah memberikan doa, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis. 5. Team Bekatul Menir atas kerjasama, dukungan, bantuan, dan perhatian selama proses penelitian dan penyusunan skrikpsi. 6. Laboran dan staf TIN yang telah membantu pelaksanaan penelitian, seminar, dan sidang skripsi. 7. Pak Tri Jauhari, Bu Cucun, dan Afifah crew yang telah menemani, mendukung, dan memberikan makna kekeluargaan. 8. Teman-teman TIN 41 untuk kebersamaan, persahabatan, dan kerjasamanya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap laporan ini memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2009 Penulis ii
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT PENULIS.........................................................................................
i
KATA PENGANTAR.........................................................................................
ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii DAFTAR TABEL................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vi I.
II.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG..........................................................................
1
B. TUJUAN...............................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA A. BEKATUL............................................................................................
3
B. KETENGIKAN BEKATUL.................................................................
6
C. STABILISASI BEKATUL...................................................................
7
D. PENGERINGAN..................................................................................
9
D. UMUR SIMPAN.................................................................................. 10 III.
METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT........................................................................... 12 B. METODE PENELITIAN...................................................................... 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI PENGERINGAN................................................................ 17 B. KARAKTERISTIK BEKATUL DAN BEKATUL TERSTABILISASI............................................................................... 20 C. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN.......................... 26 D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK....................................... 29 V.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...... 33 LAMPIRAN…………………………………………………………………..... 36
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14 % ....................................
4
Tabel 2. Kadar air bekatul terstabilisasi setelah pengukusan dan pengeringan........................................................................................... 18 Tabel 3. Laju pengeringan produk dengan tiga taraf waktu pengukusan........... 19 Tabel 4. Sifat fisikokimia bekatul dan bekatul terstabilisasi.............................. 20 Tabel 5. Sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul dan bekatul terstabilisasi.. 23
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Skema morfologi gabah kering (Champagne, 1994)......................
3
Gambar 2.
Skema proses penggilingan gabah kering (modifikasi Damardjati, 1983)........................................................………………......……. 4
Gambar 3.
Mekanisme hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Charley, 1983)...............................................................................
6
Gambar 4.
Kurva laju pengeringan dan kadar air selama pengeringan (McCabe, 1985).............................................................................. 10
Gambar 5.
Diagram alir pembuatan bekatul terstabilisasi................................ 14
Gambar 6.
Laju pengeringan bekatul segar selama pengeringan..................... 17
Gambar 7.
Hubungan kadar air bahan terhadap lama waktu pengeringan...... 18
Gambar 8.
Model perpindahan massa selama pengeringan (Himmelblau, 1986)............................................................................................... 19
Gambar 9.
Hubungan antara suhu pemanasan dengan WRC........................... 24
Gambar 10. Hubungan antara suhu pemanasan dengan ORC............................ 25 Gambar 11. Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan kadar air produk (%)...................................................................................... 26 Gambar 12. Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan nilai TBA (mg malonaldehid/kg sampel)......................................................... 27 Gambar 13. Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan nilai kecerahan (L) produk...................................................................... 28 Gambar 14. Regresi linear peningkatan nilai TBA bekatul terstabilisasi selama penyimpanan suhu 35, 45, dan 50oC............................................... 29 Gambar 15. Hubungan 1/T dengan nilai ln k bekatul terstabilisasi.................... 30
v
LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisikokimia dan mikrobiologi bekatul.......... 37 Lampiran 2. Prosedur analisa sifat fungsional bekatul....................................... 41 Lampiran 3. Pengeringan bekatul segar selama 6 jam……................................ 43 Lampiran 4. Nilai WRC dan ORC bekatul dan bekatul terstabilisasi................. 44 Lampiran 5. Analisis ragam (Anova).................................................................. 46 Lampiran 6. Uji lanjut Duncan............................................................................ 47 Lampiran 7. Hasil analisis perubahan mutu selama penyimpanan...................... 48
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Bekatul merupakan hasil samping penggilingan padi. Jumlah bekatul melimpah dan belum termanfaatkan secara luas. Jumlah bekatul diperkirakan sebesar 4.822.391,76 ton (BPS, 2008). Selama ini pemanfaatan bekatul terbatas sebagai pakan ternak.
Kondisi tersebut menyebabkan nilai jual
bekatul menjadi rendah. Bekatul
mempunyai
kandungan
gizi
dan
bioktif
yang
dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan produk pangan yang diharapkan memberikan pengaruh terhadap kesehatan. Kandungan biokatif bekatul seperti asam ferulat, fenol, dan oryzanol dalam bekatul mampu menurunkan tekanan darah dan kolesterol.
Selain itu,
kandungan serat pangan bekatul mampu mempercepat waktu singgah makanan dalam proses pencernaan (Luh, 1991). Bekatul dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung bekatul. Tepung bekatul dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam pembuatan roti, cookies, dan breakfast sereal. Tepung bekatul juga dapat dijadikan minuman kesehatan yang mampu menurunkan kolesterol darah. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan terbatas karena sifatnya yang mudah tengik. Ketengikan bekatul disebabkan adannya interaksi antara lemak bekatul (15-19,7 %) dengan enzim lipase dan lipoksigenase yang secara alami terdapat dalam bekatul maupun kontaminasi mikroba. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui proses stabilisasi bekatul (Champagne, 1994). Metode stabilisasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah
pemanasan basah. Pemanasan dianggap aman dalam mempertahankan kandungan gizi bahan dan mampu menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba patogen. Selain itu, pengukusan merupakan cara yang mudah dan relatif murah (Kuswanto, 2003). Bekatul yang telah distabilisasi mengandung kadar air yang tinggi. Mekanisme peningkatan kadar air terjadi melalui penyerapan uap air selama pengukusan. Peningkatan kadar air dapat menurunkan mutu bekatul selama
1
penyimpanan. Oleh karena itu, perlu adanya proses pengeringan untuk menurunkan kadar air bahan.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi stabilisasi dan pengeringan bekatul, karakteristik bekatul dan bekatul terstabilisasi, serta pendugaan umur simpannya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BEKATUL Bekatul merupakan hasil samping penggilingan beras. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, testa, dan lapisan aleurone. Selama peggilingan gabah kering dihasilkan sekam 20 %, 8 % bekatul, lembaga 2 %, dan beras sosoh 70 % (Orthoefer, 2001). Komponen penyusun gabah kering digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Skema morfologi gabah kering (Champagne, 1994)
Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal bekatul sebagai dedak. Persepsi tersebut kurang tepat karena dedak merupakan hasil penyosohan pertama sedangkan bekatul merupakan hasil penyosohan kedua. Dedak lebih sesuai sebagai pakan ternak karena komponen silika yang tinggi, sedangkan bekatul berpotensi sebagai bahan pangan. Dedak terdiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran padi dengan sejumlah lembaga padi. Bekatul merupakan lapisan dedak bagian dalam dan sebagian endosperm (Damardjati, 1983). Proses penggilingan beras ditunjukkan pada Gambar 2.
3
Gabah Kering
Penggilingan
Beras pecah kulit
Sekam
Penyosohan
Beras sosoh
Dedak
Penyosohan
Beras sosoh & menir
Bekatul
Gambar 2. Skema proses penggilingan gabah kering (modifikasi Damardjati, 1983) Komposisi kimia bekatul tergantung pada varietas padi, lingkungan tanam padi, dan cara penggilingan gabah. Komposisi kimia bekatul disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14 %* Komponen Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Kalsium (mg/g) Magnesium (mg/g) Fosfor (mg/g) Silika (mg/g) Seng (μg/g) Thiamin (μg/g) Riboflavin/B2 (μg/g) Tokoferol/E (μg/g) * Luh (1991)
Jumlah 12,0-15,6 15,0-19,7 7,0-11,4 34,1-52,3 6,6-9,9 0,3-1,2 5,0-13,0 11,0-25,0 5,0-11,0 43,0-258,0 12,0-24,0 1,8-4,0 149-154
4
Lemak bekatul tersusun atas asam lemak esensial seperti asam palmitat (asam lemak jenuh), serta oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tak jenuh. Karbohidrat penyusun bekatul adalah selulosa, hemiselulosa, dan pati dalam jumlah kecil (Champagne, 1994). Bekatul mengandung komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan. Komponen bioaktif tersebut adalah tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol, dan asam pangamit. Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (Kahlon et al., 1994). Bekatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek hiperkolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah kemampuan serat diet menyerap lipid pada jalur gastrointestinal dan peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al., 1994). Selain itu, bekatul mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim angiotensin i-converting enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah, 2006). Bekatul juga mengandung zat anti gizi dan enzim yang sangat merugikan. Zat anti gizi dapat menghambat metabolisme tubuh sedangkan keberadaan enzim menyebabkan ketengikan bekatul (Juliano, 1985). Menurut Luh (1991), zat anti gizi di dalam bekatul meliputi asam fitat, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti gizi tersebut mempunyai aktivitas yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Menurut Luh (1991), bekatul mengandung senyawa saponin yang dapat menyebabkan rasa pahit. Saponin merupakan senyawa glikosidik yang apabila dihidrolisis sempurna menghasilkan gula dan senyawa non gula yang disebut sapogenin.
5
B. KETENGIKAN BEKATUL Menurut Champagne (1994), kandungan lemak bekatul yang tinggi (15-19,7 %) menjadi subyek kerusakan hidrolitik dan oksidatif. Kerusakan hidrolitik terjadi karena adanya air dalam bahan yang bereaksi dengan lemak bekatul. Mekanisme hidrolisis ditunjukkan seperti berikut. O H2C—O—C—R
H2C—OH
O HC—O—C—R +
O 3 H2O
HC—OH + 3 R—C—OH
O H2C—O—C—R
Trigliserida (lemak)
Gambar 3.
H2C—OH
Air
Gliserol
Asam lemak
Mekanisme hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak (Charley, 1982)
Kerusakan hidrolisis dan oksidatif dapat dipercepat oleh enzim lipase dan lipoksigenase yang secara alami terdapat dalam bekatul maupun dari aktivitas mikroba. Enzim lipase terletak pada lapisan testa sedangkan minyak bekatul terdapat pada lapisan aleuron dan endosperm (Champagne, 1994). Aktivitas lipase berkaitan dengan suhu penyimpanan dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kondisi lembab, kandungan asam lemak bebas (FFA) meningkat 5-10 % per hari dan 70 % dalam sebulan. Aktivitas lipase mencapai optimal pada suhu 35-40oC. Suhu yang rendah dapat mengurangi aktivitas lipase. Aktivitas lipase tidak terjadi pada penyimpanan beku (Orthoefer, 2001). Proses oksidasi dapat terjadi karena aktivitas enzimatik maupun non enzimatik. Oksidasi enzimatik terjadi akibat adanya enzim lipoksigenase, enzim yang ditemukan pada lapisan germ (embrio). Enzim lipoksigenase mengkatalis proses oksidasi asam lemak tak jenuh menjadi peroksida dengan bantuan radikal bebas dan oksigen. Peroksida merupakan senyawa yang labil dan akan terurai menjadi senyawa rantai karbon yang lebih pendek. Senyawa
6
karbon rantai pendek yang terbentuk meliputi asam lemak, aldehid, dan keton. Senyawa-senyawa tersebut bertanggung jawab dalam pembentukan off flavor tengik minyak bekatul (Charley, 1982). Oksidasi
nonenzimatik
terjadi
karena
adanya
radikal
bebas
(autooksidasi) dan fotooksidasi. Jalur radikal bebas tergantung pada molekul lemak yang berinteraksi dengan oksigen. Sedangkan jalur fotooksidasi terjadi melalui molekul fotosintesis (riboflavin, ion logam) yang menyerap cahaya. Oksigen hasil fotosintesis dapat bereaksi dengan asam lemak membentuk hidroperoksida (Champagne, 1994). Kerusakan minyak bekatul dapat dideteksi melalui peningkatan nilai peroksida, penurunan nilai iodin, dan peningkatan nilai asam thiobarbiturat (Orthoefer, 2001). Nilai peroksida digunakan untuk mengetahui jumlah senyawa peroksida yang terbentuk, nilai iodin sebagai indikor seberapa banyak asam lemak tak jenuh yang telah terurai menjadi asam lemak bebas, dan asam thiobarbiturit sebagai indikator pembentukan aldehid hasil oksidasi lanjutan peroksida. Asam thiobarbiturat bereaksi dengan malonaldehid (senyawa aldehid) membentuk kromogen warna merah yang dapat ditentukan intensitas warnanya menggunakan spektrofotometer (Charley, 1982).
C. STABILISASI BEKATUL Tujuan
stabilisasi
bekatul
adalah
membunuh
mikroba
dan
mendestruksi enzim lipase. Untuk mendapatkan bekatul food grade dengan mutu tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihambat dan komponen kandungan bioaktifnya harus tetap dijaga (Champagne, 1994). Metode stabilisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu melalui pemanasan kering, pemanasan basah, pendinginan, modifikasi pH, dan perlakuan kimiawi (Orthoefer, 2001). Stabilisasi menggunakan panas kering dilakukan pada suhu 100-110oC. Beberapa metode yang termasuk dalam pemanasan kering adalah penyangraian, stationary dryer, dan fluid bed dryer (Sayre et al., 1982). Penyangraian merupakan metode yang sederhana, murah, dan mudah namun membutuhkan waktu yang lama (20-30 menit). Selain itu, pemanasan
7
pada penyangraian tidak merata, kemungkinan terjadi kerusakan bahan, mikroba tidak terbasmi semuanya, dan enzim lipase tidak inaktif secara total (Juliano, 1985). Drum berputar dan ekstrusi termasuk juga dalam metode pemanasan kering. Air yang terdapat dalam bahan digunakan sebagai media penghantar panas. Dalam pemanasan drum berputar, bekatul dipanaskan pada suhu 110120oC selama 5 menit dengan tekanan 0,3-0,5 kg/cm. Pada proses ekstrusi, suhu pemasakan bekatul berkisar 130-140oC, densitas bekatul meningkat 0,3 %, dan kadar air menurun sebesar 5-8 % (Damardjati et al., 1990). Proses pemanasan basah lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Inaktivasi enzim lipase dapat dilakukan pada suhu 100oC selama 3 menit. Pemanasan basah pada umumnya dilakukan dengan pengukusan selama 10-30 menit dilanjutkan dengan pengeringan bekatul hingga kadar air 3-12 % (Sayre et al., 1982). Pemanasan basah dapat juga dilakukan dengan autoklaf. Autoklaf merupakan alat yang digunakan sebagai sterilisasi bahan. Mekanismenya melalui inaktivasi enzim dan membunuh mikroba pada suhu 121oC selama 15 menit. Pemanasan menggunakan autoklaf memberikan waktu pemanasan yang singkat dan lebih efektif membunuh mikroba dan menginaktivkan enzim, namun membutuhkan investasi yang mahal dan keterampilan yang tinggi (Winarno, 1992). Metode stabilisasi yang lain adalah pendinginan, modifikasi pH, dan penambahan bahan kimia. Suhu rendah mampu mengurangi laju hidrolisis lipase. Modifikasi pH dilakukan pada nilai pH 4 yaitu dengan penambahan asam hidrokolik.
Penggunakan bahan kimia dapat dilakukan dengan
penambahan sodium metabisulfit. Ketiga metode ini jarang dilakukan dan tidak dikomersialkan (Orthoefer, 2001). Stabilisasi
bekatul
dapat
menginaktifkan
enzim
lipase
dan
lipoksigenase. Namun proses pemanasan dapat merusak antioksidan sehingga kemampuannya melindungi lemak terhadap serangan radikal bebas menurun Permasalahan tersebut dapat dihambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan selama peyimpanan produk (Luh, 1991).
8
D. PENGERINGAN Bekatul merupakan bahan yang bersifat higroskopis yaitu mudah menyerap maupun melepaskan air. Penyerapan air terjadi jika bekatul disimpan dalam ruangan dengan kelembaban tinggi, sedangkan penyimpanan pada kelembaban ruangan yang rendah menyebabkan bekatul kehilangan sejumlah air. Kondisi tersebut terus terjadi hingga bekatul mencapai kadar air kesetimbangan (Kuswanto, 2003). Pengeringan merupakan penghilangan sejumlah air dari bahan melalui proses penguapan. Pengeringan melibatkan perpindahan panas dan massa secara bersamaan. Selama proses pengeringan, air dalam bahan akan dipindahkan ke permukaan bahan kemudian diuapkan jika RH (kelembaban) ruangan lebih rendah. Proses ini terjadi hingga keseimbangan kadar air bahan dengan RH lingkungannya tercapai (Kuswanto, 2003). Kadar air bahan yang rendah dapat meningkatkan umur simpan bahan pangan. Jasad renik tidak dapat melakukan pembusukan dan pemecahan komponen bahan tanpa ketersediaan air yang cukup. Kadar air yang aman untuk penyimpanan bahan berkisar 13-14 %. Namun jika bahan disimpan dalam jangka waktu panjang, sebaiknya kadar air bahan barada dibawah 12 % (Singh, 2001). Dalam proses pengeringan, laju pengeringan berperan penting dalam penentuan lama pengeringan. Laju pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan per satuan waktu (McCabe, 1985). Laju pengeringan dipengaruhi oleh permukaan area bahan yang dikeringkan, perbedaan suhu produk dengan media pengering, kelembaban dan tekanan di dalam pengering. Permukaan area pengering yang luas dapat mempercepat proses pengeringan. Selain itu, perbedaan suhu produk dengan media pengering berpengaruh pada laju pengeringan. Pada kelembaban tinggi, kecepatan pengeringan menjadi lambat. Pengeringan bahan semakin cepat dengan tekanan atmosfer pengering yang rendah (Parker, 2003).
9
Gambar 4. Kurva laju pengeringan dan kadar air selama pengeringan (McCabe, 1985)
Selama proses pengeringan, kurva laju pengeringan akan membentuk garis linear yang menunjukkan penguapan air dalam bahan. Kurva laju pengeringan selanjutnya membentuk garis horizontal yang mengindikasikan bahwa laju pengeringan bahan telah konstan. Kondisi tersebut terjadi ketika suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara yang melewati permukaan bahan dalam pengering tidak berubah. Pada waktu pengeringan tertentu, kurva laju pengeringan akan turun hingga nilainya 0. Kondisi tersebut tercapai ketika kadar air bahan sama dengan kandungan uap air dalam pengering (McCabe, 1985). Bahan yang dikeringkan akan mengalami penurunan kadar air melalui mekanisme penguapan. Penurunan kadar air terus terjadi hingga kadar air bahan sama dengan kandungan uap air udara pengering. Setelah kondisi tersebut tercapai, kadar air bahan akan tetap. Kondisi ini ditunjukkan dengan garis horizontal pada kurva kadar air (McCabe, 1985).
E. UMUR SIMPAN Institute of Food Technology mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara waktu produksi hingga konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan. National Food Processor Assosiation menyatakan bahwa produk berada dalam kisaran umur simpan jika produk secara umum masih dapat diterima konsumen dan bahan kemasan masih mempunyai integritas dan melindungi isi kemasan (Arpah, 2001).
10
Floros (1993) menyatakan bahwa umur simpan produk dapat diduga melalui 2 metode yaitu Extended Storages Studies (ESS) dan Accelarated Storage Studies (ASS). ESS sering disebut sebagai metode konvensional yaitu penentuan masa kadaluarsa dengan menyimpan suatu produk pada kondisi normal. Labuza (1982) menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi
umur
simpan
produk.
Metode
ini
dilakukan
dengan
mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi Penentuan umur simpan metode Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini. Metode Arrhenius merupakan metode simulasi dalam menduga umur simpan produk. Penurunan mutu dengan metode simulasi memerlukan beberapa pengamatan yaitu adanya parameter kuantitatif. Parameter tersebut harus dapat mencerminkan keadaan mutu yang terjadi pada kondisi penyimpanan (Syarif dan Halid, 1993). Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan akan lebih baik dari suhu penyimpanan yang berubah-ubah. Pendugaan laju penurunan mutu dapat dilakukan dengan persamaan Arrhenius berikut: k = ko e -E/RT Keterangan: k
= konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak tergantung suhu) E = energi aktivasi T = suhu mutlak (Kelvin) R = konstanta gas (1,986 kal/mol)
11
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan adalah bekatul varietas campuran Ciherang dan IR 64 yang diperoleh dari desa Cibatok, Ciampea, Bogor. Bahan pendukung yang digunakan untuk analisis adalah H2SO4 pekat (36 N), H2SO4 0,02 N, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, HCl 4 M, indikator Mengsel, pereaksi TBA, minyak goreng, heksan, alkohol, aquades, garam fisiologis, agar PCA (Plate Count Agar), dan agar EMB (Eosine Methylene Blue). Alat-alat yang digunakan meliputi kertas saring, batu didih, cawan porselin, cawan petri, mikrometer pipet, tip, oven, neraca analitik, desikator, penangas, tanur listrik, labu kjeldahl, soxhlet, autoklaf, freezer, quebec colony counter, colormeter, pipet, tabung ulir, tabung reaksi, labu erlenmeyer, labu ukur, gelas piala, gelas ukur, termometer, sudip, dan pengaduk.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu penentuan waktu pengeringan bekatul segar, karakterisasi bekatul segar, stabilisasi dan pengeringan bekatul, karakterisasi bekatul terstabilisasi, serta penyimpanan dan pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi dengan metode Arrhenius. 1. Penentuan waktu pengeringan bekatul segar Bekatul sebagai bahan baku utama dalam penelitian ini mengandung lemak yang tinggi (15-19,7 %). Kandungan lemak yang tinggi dapat menyebabkan penurunan mutu produk berupa ketengikan. Ketengikan disebabkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi lemak dalam bekatul.
Keberadaan air yang berlebih dalam bahan menjadi faktor
pemicu proses hidrolisis lemak. Oleh karena itu, perlu adanya proses pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui lama waktu pengeringan bekatul segar hingga mencapai kadar air 5 %. Waktu pengeringan yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai waktu pengeringan tepung
12
bekatul. Pengeringan bekatul segar dilakukan selama 6 jam dengan selang waktu pengamatan setiap 30 menit. 2. Karakterisasi bekatul segar Karakterisasi bekatul segar meliputi analisis fisikokimia dan fungsional. Analisis fisikokimia meliputi: kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, TBA (Thiobarbituric Acid), dan warna. Analisis fungsional yang dilakukan adalah kelarutan dan swelling power, freeze thaw stability, water retention capacity (WRC), dan oil retention capacity (ORC). Pengujian mikroba juga dilakukan untuk mengetahui mikroba yang tumbuh pada bahan. Pengujian mikroba meliputi total mikroba metode TPC (Total Plate Count) dan uji bakteri Escherichia coli. 3. Stabilisasi dan pengeringan bekatul Pembuatan tepung bekatul melalui 2 tahap yaitu pengukusan dan pengeringan produk. Pengukusan bertujuan untuk menginaktivasi enzim dan membunuh mikroba penyebab ketengikan lemak
sedangkan
pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air produk sehingga umur simpannya menjadi lebih lama. Waktu pengukusan yang digunakan terdiri atas 3 taraf perlakuan waktu yaitu 5, 10, dan 15 menit. Bahan dikukus dalam pengukus yang berdiameter 30 cm dengan tebal lapisan bahan + 1 cm. Bahan kemudian dikeringkan dalam tray dryer dengan loyang berukuran 26,5 x 26,5 cm dengan ketebalan
+ 1 cm.
Lama waktu pengeringan tepung bekatul
diperoleh dari pengeringan bekatul segar pada Tahap 1. Pembuatan tepung bekatul diawali dengan penggilingan bekatul segar menggunakan disk mill dan pengayakan menggunakan saringan 60 mesh. Ukuran mesh yang digunakan didasarkan pada ukuran tepung beras yang dijual di pasar. Bahan kemudian dikukus dengan 3 taraf perlakuan waktu yaitu 5, 10, dan 15 menit. Saat pengukusan, bekatul dibungkus kain untuk mencegah bekatul jatuh ke saringan pengukus. Bahan kemudian dikeringkan dalam tray dryer bersuhu 50oC, digiling, dan diayak dengan
13
saringan 60 mesh. Diagram alir pembuatan tepung bekatul disajikan pada gambar berikut.
Bekatul kasar
Penggilingan (disk mill)
Pengayakan 60 mesh
Bekatul giling
Pengukusan suhu 100oC selama 5, 10, dan 15 menit Pengeringan (tray dryer bersuhu 50oC)
Penggilingan (disk mill)
Pengayakan 60 mesh
Bekatul terstabilisasi
Gambar 5. Diagram alir pembuatan bekatul terstabilisasi 4. Karakterisasi bekatul terstabilisasi Analisis yang dilakukan pada bekatul terstabilisasi meliputi fisiko kimia dan fungsional serta pengujian mikroba seperti halnya pada karakterisasi bekatul segar, yaitu kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, TBA, warna, TPC, dan uji bakteri E. coli. Analisis fungsional yang dilakukan adalah kelarutan dan swelling power, freeze thaw stability, WRC, dan ORC.
14
Produk dengan waktu pengukusan 5, 10, 15 menit kemudian dianalis secara statistik menggunakan analisis ragam (Anova). Uji lanjut Duncan digunakan untuk menganalisis hipotesis data yang berpengaruh nyata. Produk dengan waktu pengukusan terpilih akan diproduksi dan digunakan sebagai bahan baku pendugaan umur simpan dengan metode Arrhenius. 5. Penyimpanan dan pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi dengan metode Arrhenius Selama penyimpanan produk dikemas dalam kemasan metallized yaitu campuran alumunium foil dengan plastik LDPE. Bobot bahan setiap kemasan sebesar 40 gram. Produk disimpan dalam suhu 35, 45, dan 55oC selama 2 bulan. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Parameter uji yang dilakukan setiap minggunya adalah kadar air, TBA, dan warna. Pengujian yang dilakukan pada awal penyimpanan dan akhir penyimpanan adalah kadar air, TBA, warna, dan uji mikroba yang meliputi pengujian total mikroba (TPC) dan jumlah koloni E. coli. Dalam pendugaan umur simpan produk diperlukan adanya titik kritis yang dipilih dari parameter uji yang telah dilakukan. Titik kritis ditentukan oleh parameter yang paling mudah berubah dan berkaitan dengan kerusakan komponen kimia lainnya. Titik kritis yang diperoleh selama penyimpanan misalkan kadar air. Kadar air yang diperoleh setiap minggunya diplotkan pada grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan rata-rata penurunan mutu/hari. Sumbu x menyatakan lama penyimpanan (hari) sedangkan sumbu y menyatakan rata-rata penurunan mutu/hari (k). Langkah berikutnya adalah menentukan regresi linearnya. Setelah
diperoleh
persamaan
regresi
untuk
masing-masing
suhu
penyimpanan, dibuat plot dengan sumbu x menyatakan 1/T dan sumbu y menyatakan ln k. Nilai k menunjukkan gradien dari regresi linear yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan, sedangkan T merupakan suhu penyimpanan yang digunakan.
15
Nilai regresi yang diperoleh dalam kurva hubungan 1/T dan ln k, digunakan untuk menentukan nilai konstanta penurunan mutu produk. Nilai konstanta penurunan mutu tersebut ditunjukkan seperti berikut. k = ko.e –E/RT Nilai ko menunjukkan konstanta penurunan mutu yang tidak tergantung pada suhu yang diperoleh dari ln nilai intersep persamaan regresi. Nilai k menyatakan konstanta penurunan mutu pada suhu penyimpanan tertentu, sedangkan E/R merupakan gradien yang diperoleh dari nilai regresi. Selanjutnya umur simpan produk dihitung berdasarkan persamaan berikut: t = [Ao – At] k Keterangan: t
= pendugaan waktu umur simpan produk
Ao = nilai mutu awal produk At = nilai mutu produk setelah waktu penyimpanan t K = konstanta penurunan mutu pada suhu normal
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KONDISI PENGERINGAN Pengeringan melibatkan pindah panas dan massa. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 50oC. Pengeringan dibawah suhu 70oC dianjurkan untuk menghindari kerusakan nutrisi bahan terutama protein dan vitamin. Denaturasi protein terjadi pada suhu diatas 50oC (Singh, 2001). Denaturasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen (Winarno, 1992). Sejumlah air yang terdapat dalam suatu bahan akan menguap selama pengeringan berlangsung. Banyaknya air yang menguap setiap waktunya menunjukkan besarnya laju pengeringan. Laju pengeringan bekatul segar ditunjukkan sebagai gambar berikut.
Jumlah uap air (g)
0,15
0,10
y = 0,0149Ln(x) + 0,1117 R2 = 0,907
0,05
0,00 0
1
2
3
4
5
6
7
Lama pengeringan (jam) Gambar 6. Laju pengeringan bekatul segar selama pengeringan Berdasarkan grafik diatas, penguapan air mulai konstan setelah 3 jam pengeringan. Kondisi tersebut menunjukkan laju pengeringan yang konstan telah tercapai. Menurut McCabe (1985), laju pengeringan konstan terjadi jika kecepatan penguapan air dari dalam bahan sama dengan kecepatan aliran panas udara pengering yang melalui permukaan bahan. Selain kurva pengeringan, dibuat pula kurva kadar air untuk mengetahui berapa lama waktu pengeringan bahan hingga kadar air yang
17
diharapkan (5 %) tercapai. Gambar berikut merupakan kurva kadar air yang diperoleh selama 6 jam pengeringan.
Kadar air (%)
9 7 5 y = 0,0786x2 - 0,7284x + 6,3958
3
R2 = 0,8036
1 0
1
2
3
4
5
6
7
Lama pengeringan (jam) Gambar 7. Hubungan kadar air bahan terhadap lama waktu pengeringan Penentuan lama waktu pengeringan bekatul berdasarkan pada laju pengeringan yang konstan dan kadar air yang diharapkan sebesar 5 %. Laju pengeringan yang konstan (Gambar 6) terjadi setelah 3 jam pengeringan sedangkan kadar air 5 % (Gambar 7) tercapai setelah 4 jam pengeringan. Oleh karena itu, lama waktu pengeringan bekatul yang digunakan adalah 4 jam. Untuk mengetahui perubahan kadar air bekatul setelah pengukusan dan pengeringan, dilakukan pengujian kadar air pada kedua proses tersebut. Berikut disajikan kadar air bekatul terstabiliasi setelah pengukusan dan pengeringan pada setiap taraf waktu perlakuan pengukusan. Tabel 2. Kadar air bekatul terstabilisasi setelah pengukusan dan pengeringan Waktu pengukusan (menit) 5 10 15
Kadar air setelah pengukusan (%) 9,64 10,19 11,08
Kadar air setelah pengeringan (%) 5,69 5,28 5,99
Kadar air bekatul segar sebelum pengukusan sebesar 6,86 %. Berdasarkan nilai kadar air bahan selama proses stabilisasi (Tabel 2), perlakuan pengukusan menyebabkan peningkatan kadar air bekatul. Semakin lama waktu pengukusan, jumlah uap air dalam pengukus semakin meningkat sehingga penyerapan uap air ke dalam bekatul semakin besar.
18
Setelah proses pengukusan, bekatul kemudian dikeringkan untuk menurunkan kadar air yang terserap selama pengukusan. Kadar air yang rendah bertujuan untuk menghambat proses hidrolisis lemak bekatul dan pertumbuhan
mikroorganisme.
Selama
pengeringan
bekatul,
terjadi
perpindahan massa dari bahan ke pengering. Berikut ini model perpindahan massa selama pengeringan. Uap air
Produk
Pengering
Umpan
Umpan = Produk + Uap air Gambar 8. Model perpindahan massa selama pengeringan (Himmelblau, 1996) Perhitungan banyaknya uap air bahan yang hilang selama pengeringan dan laju pengeringan bahan seperti pada pengukusan bekatul selama 5 menit berikut. Uap air Produk
Pengering
Umpan 203,48 g
194,26 g
Jumlah uap air selama 4 jam = 203,48 - 194,26 = 9,22 g Laju pengeringan
= 9,22 g/4 jam
= 6,41 x 10-4 g/detik
Hasil perhitungan laju pengeringan ketiga produk pengukusan ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 3. Laju pengeringan produk dengan tiga taraf waktu pengukusan Waktu pengukusan (menit) 5 10 15
Umpan (g) 203,48 201,21 203,16
Produk (g) 194,26 190,14 191,65
Uap air (g) 9,22 11,07 11,51
Laju pengeringan (g/det) 6,41 x 10-4 7,69 x 10-4 7,99 x 10-4
19
Laju pengeringan bekatul segar selama 4 jam pengeringan sebesar 10-4 g/det. Berdasarkan laju pengeringan produk (Tabel 3), laju pengeringan terbesar ditunjukkan oleh pengukusan produk selama 15 menit yaitu 7,99 x 10-4 g/det. Perlakuan pengukusan bahan menyebabkan kenaikan laju pengeringan. Hal ini disebabkan oleh kandungan air yang berbeda pada bekatul segar dan bekatul terstabiliasi. Pengukusan menyebabkan peningkatan penyerapan uap air ke dalam bahan sehingga air yang diuapkan selama pengeringan meningkat dan laju pengeringan bahan pun menjadi lebih besar.
B. KARAKTERISTIK BEKATUL DAN BEKATUL TERSTABILISASI Analisis yang dilakukan dalam karakterisasi bekatul dan bekatul terstabiliasi meliputi analisis fisikokimia, fungsional, dan mikrobiologi. Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama stabilisasi dan pengeringan bekatul. Hasil analisis sifat fisikokimia bekatul dan bekatul terstabiliasi secara rinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat fisikokimia bekatul dan bekatul terstabilisasi Parameter Kadar air (%) Kadar protein (% bk) Kadar lemak (% bk) Kadar abu (% bk) Serat kasar (% bk) Karbohidrat by different (% bk) Kecerahan wana (L) TBA (mg malonaldehid/kg sampel)
Standar* Bekatul Mak 12 Min 8 Min 3 Mak 10 Mak 10 -
6,86 13,72 16,84 7,43 7,25 47,9 71,90 0,68
Bekatul terstabilisasi 5’ 10’ 15’ 5,61 5,48 5,72 12,73 12,67 12,67 14,23 13,38 13,50 7,99 7,77 7,76 7,34 6,98 7,02 52,1 53,72 53,33 64,94 65,06 65,48 0,23 0,27 0,26
*) SNI 01-4439-1998 Nilai pengujian kadar air bekatul segar sebesar 6,86 % berada dalam kisaran standar.
Kadar air bekatul dipengaruhi oleh tingkat pengeringan
gabah yang disosoh menjadi beras pecah kulit. Kadar air gabah kering yang rendah menghasilkan produk samping (bekatul) dengan kadar air yang rendah pula.
20
Pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan sehingga tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan bahan menjadi lunak. Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga jaringan menjadi porous. Selama proses pengukusan, uap air pengukus terserap oleh bahan. Semakin lama bahan dikukus maka penyerapan uap air oleh bahan semakin meningkat. Produk yang dikukus dapat menyerap air yang berasal dari uap air pengukus. Air tersebut harus dihilangkan untuk mencegah terjadinya hidrolisis lemak maupun pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan menyebabkan penurunan kadar air tepung bekatul. Nilai kadar air produk yang dikukus selama 5 menit 5,61 %, 10 menit 5,48 %, dan 15 menit 5,72 %. Kadar protein bekatul segar sebesar 13,72 % (bk). Nilai tersebut lebih besar dari standar yaitu min 8 %. Metode protein kasar dalam perhitungan diperoleh dari semua nilia N (nitrogen) baik N penyusun protein maupun non protein. Kadar protein yang tinggi diduga berasal dari kontaminasi beras sosoh dan lembaga selama penggilingan dan terhitungnya nilai N non protein. Menurut Luh (1980), komponen N non protein yang terdapat dalam bekatul adalah guanin, adenin, xanthin, dan hipoxantihin. Nilai protein bekatul terstabilisasi mengalami penurunan karena sebagian komponen protein diduga larut selama pengukusan. Menurut Luh (1980), komponen utama protein bekatul adalah albumin dan globulin. Albumin merupakan fraksi larut air dan globulin merupakan fraksi yang tidak larut air. Kadar lemak bekatul relatif tinggi yaitu 16,84 % (bk).
Setelah
mengalami proses pengolahan, kadar lemak produk mengalami penurunan. Nilai kadar lemak produk berkisar antara 13,38-14,23 % (bk). Penurunan kadar lemak terjadi karena pengukusan meningkatkan penyerapan uap air sehingga kadar air produk meningkat. Keberadaan air dalam bahan akan mempercepat proses hidrolisis lemak bekatul menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Dalam pengujian, gliserol tidak dapat larut dalam pelarut organik (heksan) sehingga nilai kadar lemak kasar produk menjadi lebih kecil daripada bekatul segar.
21
Abu merupakan bahan anorganik (mineral) dalam suatu bahan. Kadar abu bekatul yang dihasilkan dalam pengujian sebesar 7,43 % (bk) sedangkan nilai kadar abu produk berkisar antara 7,76-7,99 % (bk). Kandungan abu dalam bekatul tergantung pada kondisi tanah, lingkungan tumbuh, varietas padi,
dan
proses
penggilingan.
Pemanasan
dapat
membakar
atau
menghilangkan unsur organik bahan sedangkan kandungan mineralnya akan tetap. Oleh karena itu, proses pengukusan dan pengeringan bekatul tidak menyebabkan penurunan kadar abu. Pengujian kadar serat kasar bekatul segar sebesar 7,25 % (bk). Nilai serat kasar bekatul terstabilisasi selama 5 menit sebesar 7,34 % (bk), sedangkan pada pengukusan 10 dan 15 menit berturut-turut sebesar 6,98 % (bk) dan 7,02 % (bk). Peningkatan waktu pengukusan produk menyebabkan penurunan kadar serat. Pengukusan produk menyebabkan jaringan dinding sel menjadi lunak dan terlarut dalam air selama pengukusan sehingga kadar serat produk mengalami penurunan. Warna merupakan parameter mutu yang dapat diamati secara langsung. Pengujian warna dilakukan menggunakan alat colormeter. Nilai kecerahan warna bekatul segar sebesar 71,70. Nilai kecerahan produk berkisar antara 64,94-65,48. Namun jika nilai kecerahan antar produk dibandingkan, maka produk yang dikukus selama 15 menit mempunyai tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan pengukusan produk 5 dan 10 menit. Produk yang dikukus selama 15 menit memiliki kadar air terbesar yaitu 5,72 % (bb). Pengikatan air selama pengukusan menyebabkan warna bahan menjadi lebih mengkilab sehingga tingkat kecerahannya pun meningkat. Semakin banyak air yang terserap selama pengukusan maka nilai kecerahan bekatul semakin besar. TBA (Thiobarbituric Acid) merupakan suatu reagen yang bereaksi dengan senyawa malonaldehid, hasil okidasi lanjutan peroksida. Hasil reaksi antara kedua senyawa tersebut membentuk kompleks kromogen berwarna merah. Pengujian nilai TBA bekatul sebesar 0,68 mg malonaldehid/kg sampel. Penurunan nilai TBA terjadi pada semua produk pengukusan (0,23-0,27 mg malonaldehid/kg sampel). Penurunan nilai TBA produk diduga karena
22
kandungan airnya yang rendah serta aktivitas enzim menurun karena adanya proses pengukusan bahan. Selain analisis sifat fisikomia, dilakukan pula analisis sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul dan bekatul terstabilisasi. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul dan bekatul terstabilisasi Parameter Kelarutan (%) Swelling power (%) Freeze thaw stability (% sineresis) TPC (koloni/g) E. coli (Angka Perkiraan Mikroba/g)
Bekatul 11,95 5,96 95,50 1,65 x 106 -
Bekatul terstabilisasi 5’ 10’ 15’ 18,73 21,21 19,01 9,34 8,39 8,61 93,92 91,70 90,58 0 0 0 -
Nilai kelarutan bekatul relatif kecil yaitu 11,95 %. Kelarutan menunjukkan kemampuan bahan melarut dalam suatu pelarut. Nilai kelarutan yang kecil menunjukkan bahwa bekatul sulit larut dalam air. Proses stabilisasi melalui metode pengukusan dapat meningkatkan kelarutan bekatul. Nilai kelarutan produk yang telah dikukus berkisar antara 18,73-21,21 %. Pengukusan menyebabkan jaringan bahan mengalami kerusakan sehingga sebagian komponen bahan yang larut air keluar dari jaringan. Komponen yang berperan dalam kelarutan diduga berasal dari serat dan amilosa. Amilosa merupakan komponen pati yang larut dalam air. Menurut Luh (1980), selama penyosohan beras pecah kulit, sebagian pati yang berasal dari endosperm dan germ terikut dalam bekatul. Swelling power merupakan kemampuan bahan untuk mengembang. Swelling power dipengaruhi oleh kandungan serat bekatul. Swelling power bekatul segar sebesar 5,96 % sedangkan produk berkisar antata 8,39-9,34 %. Dalam penelitian ini, kandungan serat bekatul sebesar 7,25 % (bk) dan bekatul terstabilisasi relatif sama yaitu 6,98-7,34 % (bk). Peningkatan nilai swelling power bekatul setelah pengukusan dipengaruhi oleh kemampuan serat dalam mengerap air. Proses pengukusan menyebabkan peningkatan keporousan jaringan sehingga kemampuannya mengikat air semakin besar.
23
Freeze thaw stability merupakan stabilitas bahan untuk disimpan dalam kondisi beku dan dinyatakan sebagai % sineresis. Sineresis merupakan proses keluarnya air dari jaringan bahan setelah bahan diletakkan pada suhu ruang (25-30oC). Nilai pengujian bekatul segar sebesar 95,50 %. Penurunan nilai % sineresis produk (90,58-93,92 %) menunjukkan perbaikan sifat fungsional bekatul dalam mengikat air. Pengukusan pada dasarnya membuat jaringan menjadi porous sehingga air lebih banyak terikat oleh jaringan. Nilai WRC (Water Retention Capacity) menunjukkan kemampuan bahan menyerap dan menahan air. Serat berperan penting dalam pengikatan air. Lama pengukusan menyebabkan kerusakan jaringan bahan sehingga pengikatan air meningkat.
Nilai WRC disajikan pada gambar berikut.
30
WRC (%)
25 20 15 Kukus 5 menit Kukus 10 menit Kukus 15 menit Bekatul segar
10 5 0 60
65
70
75
80
85
90
95
100
Suhu pemanasan (C)
Gambar 9. Hubungan antara suhu pemanasan dengan WRC Hasil pengujian menunjukkan peningkatan nilai WRC seiring dengan kenaikan suhu pemanasan. Pemanasan menyebabkan peningkatan energi kinetik air sehingga pengikatan air terhadap serat bekatul meningkat. Pengukusan menyebabkan komponen serat menjadi porous sehingga pengikatan air menjadi lebih besar. Mekanisme pengikatan air terjadi melalui ikatan hidrogen yang menghubungkan gugus hidroksil serat bekatul dan ion hidrogen dalam molekul air. Nilai WRC secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. ORC (Oil Retention Capacity)
merupakan pengujian kemampuan
pengikatan minyak oleh suatu bahan. Dalam pengujian ini, pengikatan minyak
24
dilakukan oleh komponen serat bekatul. Pengujian dilakukan pada suhu pemanasan 65-95oC. Hasil pengujian ORC disajikan pada gambar berikut. 20
ORC (%)
16 12 8
Kukus 5 menit Kukus 10 menit Kukus 15 menit Bekatul segar
4 0 60
65
70
75
80
85
90
95
100
Suhu pemanasan (C)
Gambar 10. Hubungan antara suhu pemanasan dengan ORC Gambar 10 menunjukkan bahwa pengikatan minyak oleh bekatul dan bekatul terstabilisasi relatif stabil pada setiap suhu pemanasan. Pengukusan mampu meningkatkan keporousan serat. Rongga serat yang porous dapat diisi oleh kompenen lain dari bahan yang dicampurkan ke dalam bekatul. Namun demikian, kemampuan serat mengikat minyak terbatas karena panjangnya rantai karbon minyak. Uji total mikroorganisme menggunakan metode TPC (Total Plate Count) dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang tumbuh secara keseluruhan (bakteri, kapang, maupun khamir). Hasil pengujian TPC menunjukkan nilai total mikroorganisme yang melebihi batas maksimal SNI 01-3549-1994 (mak 106) sedangkan produk pengukusan tidak menunjukkan adanya koloni. Tingginya jumlah mikroba dalam bahan dapat disebabkan oleh mikroba yang secara alami terdapat dalam bekatul maupun kontaminasi saat pengujian. Dengan adanya proses pengukusan akitivitas mikroorganisme dapat dihilangkan. Pengujian E. coli dilakukan untuk mengetahui pencemaran kotoran manusia maupun hewan terhadap suatu bahan. Pengujian E. coli pada bekatul segar tidak menunjukkan adanya koloni (negatif) begitu juga dengan produk. Keberadaan E. coli dapat menyebabkan produk ditolak karena membahayakan konsumen. Pencegahan pertumbuhan mikroorganisme selama penyimpanan
25
dapat dilakukan dengan penurunan kadar air bahan dan pengaturan oksigen melalui penggunaan kemasan.
C. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN Pemilihan produk sebagai bahan baku penyimpanan berdasarkan pada tiga parameter uji yaitu kadar air, TBA, dan lemak. Produk yang dikukus selama 5 menit menjadi produk terpilih dengan kandungan air 5,61 %, TBA sebesar 0,23 mg malonaldehid/kg sampel, dan lemak 14,23 % (bk). Kandungan air yang rendah diperlukan selama penyimpanan untuk mencegah proses hidrolisis lemak.
Nilai TBA sebagai indikator ketengikan minyak
berguna untuk mengetahui efektivitas pemanasan terhadap proses stabilisasi enzim lipase. Penurunan nilai kadar lemak menunjukkan perubahan lemak menjadi asam lemak bebas yang selanjutnya teroksidasi membentuk senyawa aldehid yang berbau tengik. Parameter uji yang digunakan dalam perubahan mutu selama penyimpanan adalah kadar air, TBA, dan kecerahan warna. Kadar air dan TBA merupakan parameter kimiawi yang berhubungan dengan ketengikan lemak bekatul, sedangkan kecerahan warna sebagai parameter fisik suatu bahan diterima atau ditolak konsumen. Perubahan kadar air bekatul pada ketiga suhu penyimpanan (35, 45, dan 50oC) selama 6 minggu penyimpanan disajikan pada gambar berikut.
Kadar air (%)
8 7 6
Suhu 35 C
5
Suhu 45 C Suhu 50 C
4 3 0
2
4
6
Lama penyimpanan (minggu)
8
10
Gambar 11. Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan kadar air produk (%)
26
Kadar air produk selama penyimpanan mengalami penurunan, terutama produk yang disimpan pada suhu 50oC. Kelembaban inkubator yang rendah, terjadinya permeabilitas kemasan, dan sifat bekatul yang higroskopis diduga menyebabkan penurunan kadar air produk. Inkubator yang digunakan dalam penelitian tidak dilengkapi saluran udara masuk (inlet). Pemanasan menyebabkan ruang inkubator menjadi jenuh. Udara jenuh dalam inkubator dikeluarkan melalui saluran pembuangan (outlet) sehingga kelembaban ruang inkubator menjadi rendah. Hasil pengukuran kelembaban ruang inkubator pada suhu penyimpanan 35oC sebesar 12 %, suhu 45oC sebesar 7 %, dan 5 % pada inkubator suhu 50oC. Perpindahan uap air dari bahan menuju inkubator terus terjadi hingga kadar air bahan sama dengan uap air inkubator. Sifat higroskopis bekatul berperan dalam pelepasan uap air bahan. Selain itu, perpindahan air dalam bahan dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Menurut Setyowati et al. (2000), peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan permeabilitas kemasan semakin besar sehingga uap air produk dapat berdifusi keluar kemasan. TBA merupakan indikator pembentukan aldehid hasil okidasi lanjutan peroksida dan hidroperoksida. Hasil pengujian TBA selama penyimpanan
TBA (mg malonaldehid/kg sampel)
disajikan pada gambar berikut. 0,8 0,6 Suhu 35 C Suhu 45 C Suhu 50 C
0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu)
Gambar 12. Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan nilai TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Selama proses penyimpanan terjadi kenaikan nilai TBA. Kenaikan nilai TBA diduga karena adanya proses oksidasi yang dipengaruhi oleh kenaikan suhu dan oksigen yang berasal dari lingkungan kemasan.
27
Peningkatan suhu menyebabkan permeabilitas kemasan meningkat sehingga oksigen dari inkubator masuk ke dalam kemasan. Warna merupakan indikator kerusakan produk pangan. Melalui penampakan warna, produk pangan dapat dideteksi perubahan mutunya. Kecerahan produk selama penyimpanan disajikan pada gambar berikut.
Nilai kecerahan (L)
75
70 Suhu 35 C Suhu 45 C
65
Suhu 50 C
60 0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu) Gambar 13.
Hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan nilai kecerahan (L) produk
Kecerahan produk selama penyimpanan mengalami penurunan dengan peningkatan suhu penyimpanan. Warna produk yang dihasilkan semakin lama akan semakin coklat. Kecerahan produk pada akhir penyimpanan sebesar 68,37 (suhu 35oC), 67,52 (suhu 45oC), dan 66,80 (suhu 50oC). Kecerahan produk dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat di dalamnya. Selama penyimpanan, kadar air produk mengalami penurunan sehingga tingkat kecerahan produk menjadi keci. Pada suhu penyimpanan 50oC, tingkat kecerahannya paling kecil.
Kondisi tersebut berkaitan dangan kadar air
produk yang rendah dibandingkan kadar air produk yang disimpan dalam inkubator suhu 35 dan 45oC.
28
D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK Selama proses penyimpanan, nilai kadar air dan kecerahan warna mengalami penurunan sedangkan nilai TBA mengalami kenaikan. TBA merupakan indikator keberhasilan stabilisasi enzim lipase. Oleh karena itu, TBA digunakan sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan. Pendugaan umur simpan dibuat dengan menghubungkan waktu penyimpanan dengan nilai TBA masing-masing suhu penyimpanan (35, 45, dan 50oC). Grafik hubungan antara waktu penyimpanan (minggu) sebagai absis dan kenaikan nilai TBA sebagai ordinat disajikan pada Gambar 12. Langkah selanjutnya adalah membuat analisis regresi linear dari masing
TBA (mg malonaldehid/kg sampel)
masing suhu penyimpanan seperti gambar berikut. 0,8 0,6 Suhu 35 C Suhu 45 C Suhu 50 C
0,4 0,2 0,0 0
2
4
6
8
10
Lama penyimpanan (minggu)
Gambar 14.
Regresi linear peningkatan nilai TBA bekatul terstabilisasi selama penyimpanan suhu 35, 45, dan 50oC
Berdasarkan Gambar 14 diperoleh persamaan linear peningkatan nilai TBA pada setiap suhu penyimpanan sebagai berikut. Suhu 35oC
y = 0,00416 x + 0,2414
R2 = 0,9597
Suhu 45oC
y = 0,0427 x + 0,2793
R2 = 0,979
Suhu 50oC
y = 0,0427 x + 0,3315
R2 = 0,9416
Nilai kemiringan masing-masing persamaan merupakan nilai k pada masing-masing suhu penyimpanan. Setelah nilai k diperoleh, selanjutnya dibuat plot Arrhenius yaitu dengan menghubungkan nilai 1/T dengan ln k seperti gambar berikut.
29
1/T 0,00305
0,00310
0,00315
0,00320
0,00325
0,00330
-3,1
ln k
-3,14 y = -175,67x - 2,606
-3,18
R2 = 0,9423
-3,22
Gambar 15. Hubungan 1/T dengan nilai ln k bekatul terstabilisasi Berdasarkan analisis regresi linear grafik antara 1/T dengan ln k, didapatkan garis dengan persamaan berikut. y = -176 x – 2,6
R2 = 0,9423
Nilai kemiringan garis tersebut merupakan nilai –E/R dari persamaan Arrhenius. Besarnya energi aktivasi dari bekatul terstabilisasi adalah sebagai berikut. -E/R = -176 K R
= 1,986 kal /mol K
E
= 88,45 kal/mol
Nilai intersep garis merupakan nilai ln ko dari persamaan Arrhenius, sehingga diperoleh nilai ko sebagai berikut. ln ko = -2,6 ko
= 0,074
Berdasarkan nilai E/R dan ko yang telah diperoleh, maka persamaan Arrhenius dapat disusun sebagai berikut. k = ko e –E/RT k = 0,074 e -176 (1/T) Setelah persamaan Arrhenius peningkatan nilai TBA bekatul terstabilisasi diperoleh, selanjutnya dihitung laju peningkatan nilai TBA pada beberapa suhu seperti berikut.
30
15oC atau 288 K
k = 0,074 e -176 (1/288) k = 0,0342
o
25 C atau 298 K
k = 0,074 e -176 (1/298) k = 0,0409
30oC atau 303 K
k = 0,074 e -176 (1/303) k = 0,0413
Setelah didapatkan nilai laju peningkatan TBA, maka dapat diduga umur simpan produk pada masing-masing suhu berdasarkan persamaan berikut. Umur simpan = nilai kritis TBA – nilai TBA awal Laju peningkatan TBA Titik kritis yang digunakan dalam pendugaan umur simpan produk ditentukan berdasarkan pengujian organoleptik ketika produk mulai ditolak panelis. Besarnya titik kritis yang diperoleh adalah 0,51 mg malonaldehid/kg sampel. Titik kritis tersebut tercapai pada bahan yang disimpan dalam inkubator suhu 50oC selama 4 minggu. Pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi pada beberapa suhu penyimpanan adalah sebagai berikut. Suhu 15oC atau 288 K = (0,51 – 0,28)/0,0324 = 7,09 minggu (50 hari) Suhu 25oC atau 298 K = (0,51 – 0,28)/0,0409 = 5,62 minggu (40 hari) Suhu 30oC atau 303 K = (0,51 – 0,28)/0,0413 = 5,56 minggu (39 hari)
31
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Lama pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan bekatul segar adalah 4 jam dengan laju pengeringan 1 x 10-4 g/det hingga kadar air 5 %. Lama waktu pengeringan tersebut digunakan sebagai dasar waktu pengeringan bekatul terstabilisasi. Karakteristik bekatul segar meliputi kadar air 6,86 %, lemak 16,84 % (bk), abu 7,43 % (bk), protein 13,72 % (bk), serat kasar 7,25 % (bk), karbohidrat by different 47,9 % (bk), dan TBA 0,68 mg malonaldehid/kg sampel, kelarutan 11,95 %, swelling power 5,96 %, sineresis 95,50 %, jumlah total koloni 1,65 x 106, dan tidak ditemukan koloni E. coli. Berdasarkan parameter uji kadar air, lemak, dan TBA terpilihlah bekatul dengan lama pengukusan 5 menit. Karakteristik bekatul terstabilisasi tersebut memiliki kadar air 5,61 %, lemak 14,23 % (bk), dan TBA 0,23 mg malonaldehid/kg sampel. Parameter
mutu
yang
digunakan
dalam
penyimpanan
bekatul
terstabilisasi adalah kadar air, TBA, dan kecerahan warna. Selama penyimpanannya terjadi penurunan kadar air dan kecerahan warna, serta terjadi peningkatan nilai TBA. Parameter mutu kritis yang digunakan dalam pendugaan umur simpan bekatul terstabilisasi adalah nilai TBA (Thiobarbituric Acid). Nilai titik kritis yang digunakan sebesar 0,51 mg malonaldehid/kg sampel. Persamaan Arrhenius bekatul terstabilisasi yang diperoleh adalah k = 0,074 e
-176 (1/T)
.
Umur simpan bekatul terstabilisasi diduga selama 50 hari (suhu penyimpanan 15oC), 40 hari (suhu 25oC), dan 39 hari (suhu 30oC).
B. SARAN Umur simpan bekatul dapat diperpanjang melalui proses stabilisasi sesaat setelah penyosohan beras. Tempat pengukusan dapat dilakukan bersamaan dengan tempat penggilingan gabah sehingga memperpendek waktu tunggu bekatul untuk distabilisasi.
32
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., D. Fardiaz, dan N. L. Puspitasari. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Ardiansyah. 2006. Bekatul untuk Menurunkan Hipertensi dan Hiperlipimedia. www.beritaiptek.com. [16 Oktober 2008] Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan IPB, Bogor. Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC. Inc, Virginia. Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC. Inc, Virginia. Badan Pusat Statistik. 2008. Produksi Gabah Kering tahun 2008. www.bps.co.id. [21 November 2008] Badan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3549-1994 : Tepung Beras. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-4439-1998 : Bekatul. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Champagne, E. T. 1994. Rice Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Charley, H. 1982. Food Science. John Willey and Sons, New York. Clydasdale, F. M. 1998. Color : origin, stability, measurement, and quality. Di dalam. Irwin, A. T. dan R. P. Singh (Ed). Food Storage Stability. CRC Press, New York. Damardjati, D. S. 1983. Physical and Chemical Properties and Protein Characteristics of Some Indonesia Rice Varieties. Bogor Agricultural University, Bogor. Damardjati, D. S, B.A. Santosa, dan Munarso. 1990. Studi Kelayakan dan Rekomendasi Teknologi Pabrik Pengolahan Bekatul. Balai Penelitian Pangan, Subang. Floros, J. D. 1993. Shelf life prediction. Di dalam. Man, C. M. D. dan A. A. Jones (Ed). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and Profesional, Glasgow.
33
Himmelblau, D. M. 1996. Basic Prinsiples and Calculations in Chemical Engineering 6th edition. Terjemahan. Asnanta, I. (Penerjemah). PrinsipPrinsip Dasar dan Kalkulasi dalam Teknik Kimia. PT Prenhallindo, Jakarta. Juliano, B. O. 1985. Rice bran. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Kahlon, T. S, A. A. Bethsart, C. Chiu, dan Saunders. 1994. Effect of rice bran and cholesterol in hamster. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan Pengemasan dan Penyimpanan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Labuza, T. P. 1982. Open Shelf Life Dating of Foods. Nutrition Press. Inc, Westport.
Food Science and
Lawless, H. T. dan Heyman. 1999. Sensory Evalution of Food: Principles and Practises. Kluwer Academic Publishers, New York. Luh, B. 1991. Rice Utilization Vol II. Van Nostrand Reinhold, New York. McCabe. 1985. Unit Operations of Chemical Engineering. Mc Graw Hill Book, New York. Orthoefer, F. T. 2001. Rice bran oil. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Thomson Learning. Inc, Colombia. Perez, L. A. B., E. A. Acevedo, L. S. Hernandes, dan O. P. Lopez. 1999. Isolation and partial characterization of banana starches. Journal Agric. Food Chem. 47:854-857. Sayre, R. N., R. N. Saunders, R.V. Enochian, dan Schultz. 1982. Review of rice bran stabilization systems with emphasis on extrusion cooking. Cereal Food World 27:317-322. Di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul.
34
Setyowati, K., A. Iskandar, Sugiarto, I. Yuliasih. 2000. Bahan dan Disain Kemasan. Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor. Singh, P. R. 2001. Postharvest Technology. Science Publishers. Inc, USA. Syarif, R. dan Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Studi Antar Universitas IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisikokimia dan mikroorganisme bekatul 1. Kadar air (AOAC, 1999) Penetapan kadar air dilakukan dengan metode oven. Prinsip kadar air adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 10 menit. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang didalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 5 jam. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang bobot akhirnya. Pekerjaan ini diulangi hingga bobotnya tetap. Kadar air (%) = bobot awal sampel (g) – bobot akhir sampel (g) x 100 % bobot awal sampel (g) 2. Kadar abu (AOAC, 1999) Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dan diletakkan kedalam cawan porselin. Sebelum diabukan, sampel terlebih dahulu dipanaskan di atas penangas destruksi hingga terbentuk arang dan tidak berasap lagi. Selanjutnya sampel diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600oC hingga terbentuk warna abu-abu. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator. Bobot akhirnya ditimbang dan diulangi hingga bobot akhirnya tetap. Kadar abu =
bobot abu (g) x 100 % bobot awal sampel (g)
3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1999) Sebanyak 0,1 gram sampel dicampur dengan 1 gram katalis (dibuat dengan mencampurkan 1 gram CuSO4 dan 1,2 gram Na2SO4) dan 2,5 ml H2SO4 pekat, didihkan dalam labu Kjeldahl sampai jernih, kemudian didinginkan. Setelah itu, diencerkan sampai 25 ml dan ditambahkan 50 ml NaOH 6 N. Hasil destilat ditampung dalam 50 ml asam borat yang telah dicampur dengan indikator mengsel. Setelah 4 menit destilasi, mesin destilasi akan mati secara otomatis. Destilasi kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,02 N. Hal ini juga berlaku terhadap blanko.
37
Kadar protein = (ml titrasi (sampel-blanko)) x N x 14,007 x 6,25 x 100 % gram sampel x 1000 Keterangan: N = Normalitas H2SO4 4. Kadar lemak kasar metode Soxhlet (AOAC, 1995) Kertas saring yang telah dibentuk seperti tabung dikeringkan pada suhu 105oC selama 1 jam. Sampel yang telah kering (sampel setelah kadar air) dimasukkan di dalam kertas saring, ditutup, dan dikeringkan kembali di dalam oven, didinginkan pada desikator dan ditimbang. Sampel yang telah diketahui bobot tetapnya dimasukkan kedalam Soxhlet, ekstraksi menggunakan heksan atau petroleum eter secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refluks selama + 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak menjadi bening. Selesai ekstraksi sampel dikeluarkan dari Soxhlet dan dikering anginkan. Setelah tidak ada pelarutnya, sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Setelah dikeringkan sampai bobotnya tetap, sampel didinginkan dalam desikator. Kadar lemak (%) = gram awal sampel – gram akhir sampel x 100 % gram awal sampel 5. Kadar serat kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2-5 gram sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Campuran kemudian dihidrolisis dalam autoklaf suhu 105oC selama 15 menit, didinginkan, serta ditambahkan 50 ml NaOH 1,25 N. Sampel dihidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Sampel disaring menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan dan deketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut menggunakan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N, air panas, dan 25 ml aseton/alkohol. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 1 jam dan dilanjutkan hingga bobotnya tetap. Kadar serat ditentukan dengan rumus: Kadar serat kasar (%) = bobot kertas dan serat – bobot kertas x 100 % bobot sampel awal
38
6. Kadar karbohidrat total (by difference) Kadar karbohidat total dihitung dengan rumus berikut. Kadar karbohidrat (% bk) = 100 % - kadar air (% bb) - kadar abu (% bk) kadar protein (% bk) - kadar lemak (% bk) serat kasar (% bk) 7. Penentuan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) (Apriyantono et al., 1989) Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) digunakan untuk mengetahui kerusakan sampel (ketengikan) akibat proses oksidasi lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan kedalam waring blander kemudian ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml aquades. Sampel kemudian ditambah 2,5 ml HCl 4 M. Batu didih ditambahkan secukupnya untuk mencegah pembentukan busa (anti foaming agent) dan labu destilasi dipasangkan pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan suhu tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat. Destilat diaduk merata kemudian dipipet sebanyakk 5 ml kedalam tabung reaksi bertutup, ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup, dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Blanko dibuat dengan mencampurkan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi TBA, dilakukan seperti penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan dengan air dingin selama + 10 menit kemudian diukur absorbansinya pada λ 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA =
3 x 7,8 x D bobot sampel
(D = nilai absorbansi sampel - nilai absorbansi blanko) 8. Warna (L) Analisis warna dilakukan dengan menggunakan alat colormeter Pengukuran menggunakan alat ini menghasilkan nilai L. L = kecerahan nilai: (+) berwarna cerah (-) berwana gelap
39
9. Uji total mikroorganisme (Total Plate Count) TPC (Total Plate Count) dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang tumbuh secara keseluruhan. Sebanyak 1 gram sampel diencerkan dengan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga terbentuk pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan lagi dengan memipet 1 ml larutan kemudian dicampurkan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga terbentuk pengenceran
10-2.
Pengenceran -5
dilakukan
terus -4
hingga
didapatkan
-5
pengenceran hingga 10 . Pada pengenceran 10 dan 10 masing-masing dipipetkan 1 ml ke cawan petri yang telah berisi media agar PCA (Plate Count Agar) sebanyak 15 ml hingga menutupi dasar cawan.
Cawan diinkubasi
selama 2 hari pada suhu 37oC. Seluruh koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dihitung menggunaka alat quebec colony counter. 10. Uji Bakteri Escherecia coli Uji bakteri E. coli digunakan untuk menghitung banyaknya bakteri E. coli dalam sampel. Sebanyak 1 gram sampel diencerkan dengan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga terbentuk pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan lagi dengan memipet 1 ml larutan kemudian dicampurkan 9 ml larutan garam fisiologis sehingga terbentuk pengenceran 10-2. Masing-masing pengenceran dituangkan ke cawan petri yang telah berisi 15 ml agar EMB (Eosine Methylene Blue).
Cawan diinkubasi selama 2 hari pada suhu 40oC.
Pertumbuhan bakteri Escherecia Coli ditandai dengan koloni yang berwarna biru metalik. Perhitungan koloni dilakukan menggunakan alat quebec colony counter.
40
Lampiran 2. Prosedur analisa sifat fungsional bekatul 1. Kelarutan dan Swelling Power (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sebanyak 0,5 gram sampel dicampur dengan 50 ml aquades dalam labu erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas air pada suhu 70oC selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Pada suspensi tersebut diambil 30 ml larutan jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven 100oC hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung bobotnya. Kelarutan (%) = (b-a) x 50 ml x 100 % 0,5 g x 30 ml Swelling Power (%) =
bobot pasta yang mengendap (g) x 100 % bobot sampel (g) x (100 - % kelarutan)
Keterangan : a = bobot cawan petri awal (g) b = bobot cawan petri akhir (g) 2. Freeze Thaw Stability (modifikasi metode Perez et al., 1999) Pasta sampel 1 % disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel dalam 5 ml air (menggunakan tabung reaksi berulir). Sebanyak 5 ml suspensi disimpan dalam freezer selama 18 jam, kemudian diletakkan dalam suhu kamar selama 6 jam. Sampel diambil sebanyak 2 ml kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 10.000 rpm.
Jumlah
(volume) air yang terpisah dari siklus freeze thaw dinyatakan dalam satuan % sineresis. Sineresis (%) = ml air yang terpisah x 100 % 2 ml sampel
3. Water Retention Capacity dan Oil Retention Capacity (modifikasi metode Perez et al., 1999) Sampel sebanyak 0,15 g ditimbang kemudian ditambahkan masingmasing 5 ml air/minyak dalam 7 buah tabung reaksi. Masing-masing tabung dipanaskan pada suhu 65, 70, 75, 80, 85, 90, dan 95oC selama 15 menit (satu tabung untuk satu pengamatan suhu). Sejumlah 4 ml larutan pati yang telah
41
dipanaskan tersebut dipindahkan dari ketujuh tabung reaksi kedalam 7 buah tabung sentrifugasi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Supernatant kemudian didekantasi. Volume air/minyak yang terpisah kemudian diukur, selisihnya digunakan untuk mengukur water retention capacity dan oil retention capacity. Perhitungan = (4 ml – (ml air atau minyak yang terpisah)) x 100 % 4 ml
42
Lampiran 3. Pengeringan bekatul segar selama 6 jam Lama pengeringan (jam)
Bahan (g)
Bahan Blower (g)
Air yang diuapkan (g)
Rataan (g)
Susut bobot (%)
Rataan (%)
Laju pengeringan (g/det)
Bahan oven (g)
Kadar air (%)
Rataan (%)
0,5
3,01
2,9148
0,0952
0,0971
3,1628
3,2232
0,00005
2,7431
5,8906
5,8735
3,012
2,9131
0,0989
2,7425
5,8563
3,0105
2,8973
0,1132
3,0025
2,8912
0,1113
3,0027
2,8822
0,1205
3,0042
2,8867
0,1175
3,0068
2,8762
0,1306
3,0049
2,875
0,1299
3,0058
2,8819
0,1239
3,0045
2,8738
0,1307
3,0022
2,8745
0,1277
3,0081
2,8799
0,1282
3,0043
2,8732
0,1311
3,0196
2,8846
0,135
3,0042
2,8604
0,1438
3,0044
2,8729
0,1315
1 1,5 2 3 4 5 6
3,2835 0,1123
3,7602
3,7335
0,00003
2,7358
5,5742
5,5742
3,9621
0,00002
2,7336
5,1558
5,1656
2,7373
5,1755
2,7334
4,9649
2,7322
4,967
2,7313
5,2257
2,7249
5,1813
2,7279
5,1
2,7327
5,1113
2,7348
4,8169
2,7459
4,8083
2,7283
4,6182
2,7267
5,0889
3,7069 0,119
4,0131 3,9112
0,1303
4,3435
4,3332
0,00002
4,3229 0,1273
4,122
4,2361
0,00001
4,3501 0,128
4,2535
4,2577
0,00001
4,2618 0,1331
4,3637
4,4173
0,00001
4,4708 0,1377
4,7866 4,3769
4,5818
0,00001
4,9659 5,1813 5,1057 4,8126 4,6182
43
Lampiran 4. Nilai WRC dan ORC bekatul dan bekatul terstabilisasi WRC Suhu pemanasan (oC) 65
70
75
80
85
90
95
Ulangan
Bekatul (%)
1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1
6,00 7,00 6,50 13,00 14,00 13,50 16,00 15,50 15,75 18,75 14,50 16,63 13,75
Bekatul terstabilisasi (%) 5’ 10’ 15’ 10,15 18,40 16,97 10,30 12,62 13,42 10,22 15,51 15,19 13,94 20,47 18,50 12,39 15,39 16,38 13,16 17,93 17,44 17,28 19,56 17,10 18,35 20,46 21,45 17,81 20,01 19,28 14,59 16,93 21,28 15,08 14,41 18,84 14,83 15,67 20,06 26,74 19,69 21,75
2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata
14,50 14,13 24,00 23,50 23,75 7,00 9,75 8,38
15,30 21,02 29,28 14,95 22,11 28,85 11,62 20,24
13,32 16,50 27,41 25,02 26,21 27,39 12,70 20,04
12,91 17,33 28,26 14,08 21,17 32,46 14,77 23,62
44
ORC Suhu pemanasan (oC) 65
70
75
80
85
90
95
Ulangan
Bekatul (%)
1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata
13,35 14,77 14,06 13,64 13,07 13,35 12,16 10,30 11,23 12,22 14,49 13,35 12,50 13,35 12,93 13,35 13,35 13,35 13,92 14,49 14,20
Bekatul terstabilisasi (%) 5’ 10’ 15’ 13,09 12,97 13,63 13,28 15,01 13,24 13,18 13,99 13,43 14,48 10,84 11,67 10,50 13,64 11,23 12,49 12,24 11,45 10,56 13,22 12,42 10,10 15,06 13,65 10,33 14,14 13,04 11,84 19,73 14,58 8,82 13,26 6,79 10,33 16,49 10,68 14,59 11,72 13,20 8,63 11,54 13,44 11,61 11,63 13,32 11,20 12,95 12,54 7,69 12,33 14,24 9,44 12,64 13,39 12,23 15,44 14,94 10,64 16,24 8,46 11,43 15,84 11,70
45
Lampiran 5. Analisis ragam (Anova) Sumber Jumlah Derajat variasi kuadrat kebebasan K.air Rata-rata 203,5731 1 Perlakuan 0,0608 2 Galat 0,1534 3 Total 203,7873 6 K.lemak Rata-rata 1126,8418 1 Perlakuan 0,8557 2 Galat 0,0595 3 Total 1127,7571 6 K.abu Rata-rata 368,6588 1 Perlakuan 0,0709 2 Galat 0,0034 3 Total 368,7331 6 K.protein Rata-rata 955,6604 1 Perlakuan 0,0749 2 Galat 0,1125 3 Total 955,8477 6 K.serat Rata-rata 303,7874 1 Perlakuan 0,1539 2 Galat 0,1046 3 Total 304,0459 6 Freeze.thaw Rata-rata 50858,5473 1 Perlakuan 11,5719 2 Galat 11,0835 3 Total 50881,2027 6 TBA Rata-rata 0,3915 1 Perlakuan 0,002 2 Galat 0,002 3 Total 0,3955 6 Kelarutan Rata-rata 2316,6934 1 Perlakuan 7,3811 2 Galat 224,3981 3 Total 2548,4727 6 Swelling.power Rata-rata 462,5603 1 Perlakuan 0,9844 2 Galat 0,7414 3 Total 464,2861 6 Parameter uji
Kuadrat tengah 203,5731 0,0304 0,0511
F hitung
F tabel
0,5949
9.55
1126,8418 0,4279 0,0198
21,5815*
9.55
368,6588 0,0354 0,0011
31,3635*
9,55
955,6604 0,0374 0,0375
0,9986
9,55
303,7874 0,0769 0,0349
2,2059
9,55
50858,5473 5,7859 3,6945
1,5661
9,55
0,3915 0,001 0,001
1,083
9,55
2316,6934 3,6906 74,7994
0,0493
9,55
462,5603 0,4922 0,2471
1,9918
9,55
* berbeda nyata Perlakuan: F hitung < F tabel : Penilaian antar sampel tidak berbeda nyata F hitung > F tabel : Penilaian antar sampel berbeda nyata
46
Lampiran 6. Uji lanjut Duncan 1. Kadar lemak N
Kukus Kukus 10 menit Kukus 15 menit Kukus 5 menit
2 2 2
Subset untuk α = 0.05 1 2 13,3804 13,4984 14,2340 *
*) berbeda nyata jika berbeda subset Keterangan : pengukusan 5 menit berbeda nyata dengan pengukusan 10 dan 15 menit pada parameter uji kadar lemak 2. Kadar abu N
Kukus Kukus 15 menit Kukus 10 menit Kukus 5 menit
2 2 2
Subset untuk α = 0.05 1 2 7,7555 7,7680 7,9770 *
*) berbeda nyata jika berbeda subset Keterangan : pengukusan 5 menit berbeda nyata dengan pengukusan 10 dan 15 menit pada parameter uji kadar abu
47
Lampiran 7. Hasil analisis perubahan mutu selama penyimpanan 1. Kadar air Sampel 135 235 Ratarata 145 245 Ratarata 150 250 Ratarata
1 6,83 6,41
2 6,94 6,19
Kadar air (%) minggu ke3 4 5 6 6,34 6,79 6,76 6,72 5,80 6,20 6,18 6,06
6,62
6,57
6,07
6,49
6,47
6,39
6,57
6,38
7,12 6,31
6,91 6,20
6,44 5,74
6,77 6,07
6,64 5,97
6,57 5,94
6,66 6,03
6,63 6,06
6,71
6,56
6,09
6,42
6,30
6,25
6,35
6,34
6,40 6,37
6,66 6,41
5,71 5,05
5,48 5,32
5,55 5,32
5,16 5,49
5,55 5,53
5,36 5,52
6,38
6,54
5,38
5,40
5,44
5,33
5,54
5,44
1 0,29 0,27
Nilai TBA (mg malonaldehid/kg sampel) minggu ke2 3 4 5 6 7 0,33 0,31 0,43 0,29 0,49 0,45 0,31 0,30 0,45 0,31 0,43 0,43
8 0,59 0,58
0,28
0,32
0,30
0,44
0,30
0,46
0,44
0,58
0,31 0,31
0,37 0,40
0,36 0,37
0,44 0,47
0,55 0,40
0,54 0,54
0,58 0,59
0,67 0,67
0,31
0,38
0,36
0,46
0,47
0,54
0,58
0,67
0,37 0,39
0,40 0,53
0,40 0,49
0,44 0,58
0,37 0,31
0,40 0,48
0,58 0,66
0,66 0,69
0,38
0,47
0,45
0,51
0,34
0,44
0,62
0,68
7 6,89 6,25
8 6,69 6,08
2. TBA (Thiobarbituric Acid) Sampel 135 235 Ratarata 145 245 Ratarata 150 250 Ratarata
48
3. Kecerahan warna (L) Sampel 135 235 Ratarata 145 245 Ratarata 150 250 Ratarata
1 70,45 70,59
2 69,81 69,90
Nilai kecerahan (L) minggu ke3 4 5 6 69,95 68,88 68,49 69,64 69,79 69,74 68,79 69,54
70,52
69,86
69,87
69,31
68,64
69,59
69,71
68,37
70,49 70,55
70,05 70,24
69,96 69,88
68,66 68,70
68,95 69,48
68,96 69,32
68,83 69,22
66,59 68,44
70,52
70,15
69,92
68,68
69,22
69,14
69,03
67,52
69,76 69,42
69,29 69,20
68,35 68,94
69,47 69,09
66,42 67,54
67,02 68,54
66,77 68,55
67,07 66,52
69,59
69,25
68,65
69,28
66,98
67,78
67,66
66,80
7 69,46 69,96
8 68,30 68,44
49