Pendapat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor … Tahun ... Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pendahuluan: KomnasPerempuan mengapresiasi Ranperda Provinsi Gorontalo yang berinisiasi menerbitkan aturan guna memberikan perlindungan pada perempuan dan anak. Masukan ini, bukanlah komunikasi yang pertama dalam membangun hubungan yang baik antara Komnas Perempuan dengan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2013, DPRD Gorontalo pernah melakukan dialog dengan Komnas Perempuan, terhadap topik yang sama. Kami berharap komunikasi intensif ini terus kita lakukan guna perbaikan kemajuan pemenuhan HAM dan Hak Konstitusional, khususnya pada perempuan. Berikut masukan Komnas Perempuan Antara lain: A. Landasan Menimbang: 1. Data kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebaiknya menjadi landasan sebagai data rujukan, sehingga kerangka kebijakan yang akan dibuat sesuai dengan persoalan lokal yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo. Data KtP yang dimaksud misalnya tren persoalan kekerasan yang dihadapi (berapa jumlah, apakah menaik/turun jumlah KtP, dimana saja sebarannya, bagaimana penanganan oleh lembaga layanan yang dikelola pemerintah, non-pemerintah, aparat penegak hukum) baik pelayanan maupun kerangka koordinasi. Kesemuanya dapat digambarkan dalam Naskah Akademis. (Dalam hal ini Komnas Perempuan belum menerima lembar naskah akademik ranperda ini); 2. Kebutuhan urgensi pada perlindungan, penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam kerangka tanggung jawab negara. Hal ini dapat digambarkan dalam naskah akademik, bagaimana desain kebijakan menjawab persoalan yang dihadapi perempuan. Kebijakan apa saja yang sudah di keluarkan pemda, dan bagaimana efektifitas kebijakan berjalan, dan apa yang menjadi ruang yang diberikan jika kebijakan perlindungan, akan diterbitkan. 3. Draft yang disusun dalam landasan menimbang, sudah baik, namun hal tersebut harus digambarkan di dalam Naskah Akademik sesuai dengan poin 1 dan 2); 4. Karena peraturan daerah ini menggunakan Konsideran berupa UU No. 23 tahun 2004, maka disarankan Peraturan daerah ini mengatur hal-hal terkait
PKDRT yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan UU ini, yakni tentang eksekusi atas hak anak setelah perceraian, serta perlindungan dan pemulihan terhadap perempuan dan anak setelah proses hukum pidana terhadap pelaku dan atau setelah proses perceraian; 5. Menghapuskan konsideran UU No. 21 tahun 2007 tentang TPPO, karena di dalam Naskah akademik, Raperda maupun di dalam proses konsultasi, belum ditemukan kerentanan perempuan dan anak mengalami perdagangan orang di wilayah Gorontalo; 6. Penganggaran bersumber dari APBN, APBD, Alokasi Dana Desa serta sumber Penganggaran Lainnya yang tidak bertentangan dengan Perundangan
B. Landasan Yuridis (Mengingat) 1. Setiap kebijakan yang akan mengatur kerangka perlindungan terhadap perempuan, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna memberikan landasan pada apa yang disebut dengan makna dan hakikat perlindungan terhadap perempuan yang mencakup prinsip antara lain prinsip non diskriminasi, adanya persamaan hasil, dan tanggung jawab cermat pemerintah. 2. UU Nomor 7 Tahun 1984, merupakan prasyarat mutlak yang harus dipenuhi untuk adanya kebijakan terkait plerindungan terhadap perempuan, sehingga terjadi koherensi antara tujuan perlindungan dan materi muatan Peraturan Daerah. Undang-Undang ini bisa menjadi landasan yuridis sebagai dasar hukum yang memerintahkan, sebagai tertuang dalam Pasal 2 UU No.7/1984. 3. Pada renperda ini tidak dicantumkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. C. BAB I Ketentuan Umum 1. Komnas Perempuan telah menghasilkan Pedoman untuk membuat kebijakan perlindungan terhadap perempuan: berikut aspek-aspek yang sebaiknya dipenuhi dalam ketentuan Umum, untuk kerangka perlindungan terhadap perempuan, khususnya korban. Antara lain: 1) Non Diskriminasi 2) KtP (Kekerasan terhadap Perempuan) 3) KtA (Kekerasan terhadap Anak) 4) Pendamping Korban 5) Pemulihan Korban 6) Rumah Aman/Shelter 7) Rehabilitasi 8) Reintegrasi 9) Pelayanan Terpadu 10) Kekerasan Seksual
11) Perdagangan Orang 12) Kejahatan Perkawinan 13) Perlindungan 14) Pemberdayaan 15) Jaminan Pemulihan Korban 16) Layanan Medis 17) Layanan Bantuan Hukum 18) Layanan Psikologis 19) Layanan Psikososial 20) Pemulangan/Reintegrasi 21) Mekanisme Komplain 22) Perlindungan Pendamping Korban 23) Sanksi (Jenis dan Jenjang Sanksi, SKPD yang tidak menjalankan tugas, lembaga layanan yang melanggar prinsip penanganan korban) 24) Pendokumentasian (Sistem database KtP, Input Data, Analisis, Tren dan Laporan, Tindak Lanjut) 25) Revitalisasi Lembaga Layanan 26) Forum Koordinasi dan Evaluasi 2. Beberapa yang belum diatur dalam ketentuan umum Ranperda antara lain: (Rehabilitasi, Reintegrasi, Pelayanan Terpadu, KekerasanSeksual, Kejahatan Perkawinan, Jaminan Pemulihan Korban, Layanan Medis, Layanan Bantuan Hukum, Layanan Psikologis, Layanan Psikososial, Mekanisme Komplain, Perlindungan Pendamping Korban,Sanksi terhadap lembaga pemerintah yang tidak menjalankan kewenangannya, Data KtP/Pendokumentasian. 3. Pasal 2: Prinsip Perlindungan terhadap Perempuan antara lain: (1) Keadilan:non diskriminasi, kepastian hukum, praduga tidak bersalah, persamaan dihadapan hukum, tidak menyalahkan korban, kepentingan terbaik bagi korban. (2) Pengayoman dan Kemanusiaan: Perlindungan dan Penghormatan terhadap Korban, Cepat dan Biaya Ringan, Keterbukaan, Empati, Memberikan Rasa Aman, menjaga kerahasiaan korban, partisipastif, akuntabilitas, kepekaan terhadap latar belakang. (Pasal 2) 4. Pasal 3: Maksud dan Tujuan Perlindungan Korban, sebaiknya mengatur aspek; a. Mencegah terjadinya KtP/ KtA b. Memberikan penanganan awal korban c. Memberikan pelayanan kesehatan bagi korban (fisik/psikis) d. Memberikan Jaminan Perlindungan dan Kepastian Hukum e. Mengupayakan Pemulihan Korban dan Rehabilitasi f. Memberdayakan Korban dan Reintegrasi g. Mengalokasi Anggaran untuk upaya pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak h. Melakukan Koordinasi dan Evaluasi Penanganan KtP dan Anak
5. Pasal 5-7 dan 11 : Ruang Lingkup Kekerasan sepanjang telah diatur dalam; a. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga b. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang Maka tidak perlu lagi disebutkan di Ranperda ini, cukup merujuk dengan adanya ketentuan Pasal yang menyebutkan “sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 6. Pasal 8-10 : Kekerasan Seksual Rumusan usulan sebagai berikut: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan melanggar martabat kemanusiaan seseorang berdasarkan diskriminasi gender yang menyasar pada tubuh dan seksualitas seseorang, yang berakibat atau dapat berakibat kerugian atau penderitaan fisik, psikis, ekonomi, seksual, politik dan/atau sosial korban”. Rumusan ini adalah intisari dari temuan 15 bentuk kekerasan seksual, antara lain: 1) Perkosaan; Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. 2) Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan; Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual. 3) Pelecehan Seksual; Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau: Pelecehan Seksual isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan
martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 4) Eksploitasi Seksual; Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untukmemperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 5) Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara maupun antar negara. 6) Prostitusi Paksa; Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual. 7) Perbudakan Seksual; Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
8) Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung; Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai daerah. 9) Pemaksaan Kehamilan; Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya. 10) Pemaksaan Aborsi; Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk,
sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan HIV/ AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/ AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya. 12) Penyiksaan Seksual; Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum. 13) Penghukuman tidak manusiawi danbernuansa seksual; Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; Kebiasaan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/ atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya. 15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif berasalan moralitas dan agama Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak
kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya. (Bisa lihat di: http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/12/15Bentuk-Kekerasan-Seksual1.pdf) 7. Pasal 12, Hak Korban mengacu pada : c. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. UU Nomor31Tahun 2014tentangPerubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan Korban 8. Pasal 28 ayat 2 (e) dalam penjelasan tentang Pendidikan kritis, bahwa Pendidikan kritis untuk perempuan korban kekerasan merupakan upaya membangun kesadaran perempuan tentang hak-haknya. Tujuan dilaksanakannya pendidikan kritis adalah untuk memberdayakan korban dan mencegahnya agar tidak menjadi korban kekerasan berulang. Bentuk pendidikan kritis bagi perempuan korban kekerasan terdiri dari: pelatihanpelatihan kesetaraan dan keadilan gender, pendidikan tentang kesehatan reproduksi untuk perempuan, dan pemberian pemahaman peraturan perundang-undangan tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
D. Ruang Lingkup Perlindungan dan Komitmen Anggaran Dalam mengupayakan perlindungan terhadap perempuan dan anak, kerangka pencegahan dan penangaan awal merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan, sebelum di bangunnya mekanisme penanganan berkelanjutan. Berikut masukan Komnas Perempuan antara lain, kerangka perlindungan terhadap perempuan meliputi : 1. Desain terkait Pencegahan : a. meliputi hal terkait Sosialisasi tentang Kesetaraan Gender b. Sosialiasi Kebijakan terkait Perlindungan Perempuan dan Anak c. Memasukkan muatan Hak Asasi Manusia Berbasis Gender (HAM-BG) dalam materi ajar Sekolah Dasar hingga Menengah atas d. Menyelenggarakan pendidikan tentang Hukum, HAM (khususnya hak-hak perempuan dan anak), serta Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di
tingkat Kecamatan dan Desa melalui unit-unit pelayanan di tingkat Kecamatan dan Desa 2. Desain terkait Penanganan awal kasus kekerasan a. Lembaga Penerima pengaduan dan Peranan Pendamping b. Pendataan KtP/KtA c. Hotline d. Investigasti e. Informasi Sistem Rujukan f. Informasi Penanganan Kasus 3. Prinsip Penanganan Terpadu di Ranperda 1. Masukan Pasal 19 tentang PPT: adalah lembaga yang didanai oleh APBD, namun secara kelembagaan adalah menjadi lembaga untuk koordinasi pelayanan terpadu antara pemerintah dan masyarakat (CSO), artinya pentingnya dipastikan mekanisme koordinasi sehingga bukan hanya dikelola pemerintah daerah, sehingga tidak ada sinergi dengan lembaga layanan di masrakat (WCC). Dalam hal ini Komnas Perempuan berpandangan agar kelembagaan yang disebut PPT ini mengacu kepada kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Pendirian P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak). P2TPA di tingkat Provinsi memiliki peran dan fungsi utama : a. sebagai mekanisme koordinasi dengan lembaga layanan untuk korban kekerasan lainnya di tingkat Provinsi b. sebagai mekanisme koordinasi antar P2TP2A Kabupaten/Kota c. sebagai mekanisme pengaduan di pintu pertama dan atau kedaruratan penanganan, serta bertanggung jawab dalam penyelenggaraan (fasilitasi dan pengelolaan) rumah aman. 2. Pasal 21-27, dan Pasal 32-46 a. Kewenangan bidang layanan pengaduan meliputi: lembaga Penerima pengaduan dan Peranan Pendamping, Pendataan KtP/KtA, Hotline, Investigasti, Informasi Sistem Rujukan, Informasi Penanganan Kasus. b. Pasal 22-30: Kewenangan layanan bidang kesehatan meliputi: Pengobatan, Perawatan, Pemulihan, VeR, VePsi, Otopsi, Kosultasi, konseling, terkoordinasikan dengan Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Dokter, Kepolisian. c. Pemulangan dan Reintegrasi Sosial: prinsip dan sop pemulangan dan reintegras sosial, Program Pemulihan, Pemberdayaan, Fasilitas Pemulangan/Penjemputan, Bantuan Keuangan, Pelatihan Usaha Produktif/Kreatif, Modal Usaha, Akses Fasilitas Publik (kesehatan, Pendidikan, Jaminan Sosial, dll).
d. Layanan Bantuan Hukum: konseling dan hukum Bantuan Hukum, Pengaduan di Kepolisian, Pendampingan Hukum, Mekanisme Ganti Rugi, Kepastian Hukum, Persamaan di Hadapan Hukum, Peradilan yang Fair, yang terkoordinasi dengan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Bantuan Hukum. e. Layanan Konseling: Konseling, Pemulihan, Pendampingan Rohani/Spiritual yang terkordinasi melalui RS, Psikolog, Lembaga Agama/Adat, PEMDA f. Belum diatur Layanan Psikososial:Rumah Aman, Pendamping Korban, Pendamping Rohani yang dilakukan koordinasi antara Rumah Sakit, Dinas Sosial, Lembaga Agama/Adat, Kepolisian 3. Pasal 28- 29 : Intruksi Presiden Nomor9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender. a. meliputi hal terkait Sosialisasi tentang Kesetaraan Gender b. Sosialiasi Kebijakan terkait Perlindungan Perempuandan Anak (nasional dan daerah) 4. Berikut Prinsip Penanganan Terpadu 1) Lembaga Rujukan (Lembaga Pendamping) 2) Layanan Medis: (Perawatan, Pemulihan, VeR, VePsi, Otopsi, Kosultasi) terkoordinasikan dengan Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Dokter, Kepolisian 3) Layanan Psikologis: Konseling, Pemulihan, Pendampingan Rohani/Spiritual yang terkordinasi melalui RS, Psikolog, Lembaga Agama/Adat, PEMDA 4) Layanan Bantuan Hukum: Bantuan Hukum, Pengaduan di Kepolisian, Pendampingan Hukum, Mekanisme Ganti Rugi, Kepastian Hukum, Persamaan di Hadapan Hukum, Peradilan yang Fair, yang terkoordinasi dengan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Bantuan Hukum. 5) Layanan Psikososial:Rumah Aman, Pendamping Korban, Pendamping Rohani yang dilakukan koordinasi antara Rumah Sakit, Dinas Sosial, Lembaga Agama/Adat, Kepolisian 6) Pemulangan dan Reintegrasi: Program Pemulihan, Pemberdayaan, Fasilitas Pemulangan/Penjemputan, Bantuan Keuangan, Pelatihan Usaha Produktif/Kreatif, Modal Usaha, Akses Fasilitas Publik (kesehatan, Pendidikan, Jaminan Sosial, dll) 7) Perlindungan pada pendampig : Trauma Healing, Keamanan bagi keluarga dan keluarga, Jaminan hukum tidak dikriminalkan 8) Sanksi : Jenis dan Jenjang Sanksi, SKPD yang tidak menjalankan tugas, lembaga layanan yang melanggar prinsip penanganan korban 9) Pendokumentasian : Sistem database KtP, Input Data, Analisis, Tren dan Laporan, Tindak Lanjut. 10)Revitalisasi Lembaga Pengada Layanan: Penguatan kapasitas, Ketersediaan SDM, Sarana dan Prsarana, Koordinasi reguler.
11)Forum Kordinasi dan Evaluasi : Evaluasi Tahunan penanganan ktp,Monev, Renstra Perbaikan Kerja, Rencana Kerja bersama. 5. Hal yang belum diatur dalam prinsip penanganan terpadu di Ranperda antara lain: 1) Sanksi pada SKPD SKPD yang tidak menjalankan tugas, lembaga layanan yang melanggar prinsip penanganan korban. 2) Revitalisasi Lembaga Pengada Layanan: Penguatan kapasitas, Ketersediaan SDM, Sarana dan Prasarana, Koordinasi reguler. 3) Perlindungan pada pendamping : Trauma Healing, Keamanan bagi keluarga dan keluarga, Jaminan hukum tidak dikriminalkan 4) Sistem informasi dan Pelaporan sebaiknya mencakup juga Sistem database KtP, Input Data, Analisis, Tren dan Laporan, Tindak Lanjut. 5) Alokasi anggaran APBD sebaiknya tidak hanya khusus pada soal srtuktur, tetapi justru fokus pada penanganan. Demikian masukan Komnas Perempuan, masukan ini didasarkan pada Pedoman Kerangka Kebijakan untuk Layanan Perempuan Korban, yang disusun oleh Komnas Perempuan berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan atas 1251 kebijakan pemerintah daerah tentang layanan perempuan korban dari 224 Pemerintah Kabupaten/Kota dan 31 Provinsi. Kami juga melampirkan lembar klarifikasi kajian Ranperda, apakah Ranperda Provinsi Gorontalo sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan atau tidak. Demikian masukan ini kami sampaikan, guna memberikan kontribusi dan manfaat bagi pemenuhan HAM dan hak konstitusional perempuan dan Provinsi Gorontalo.
Jakarta, 22 Februari 2016 Azriana Ketua Komnas Perempuan