BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1 Data Umum Kasus Data-data untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari sumber sebagai berikut: a. Pencarian data literatur melalui buku, artikel, dan website -
Buku Colour Mania
-
Buku Big Format Advertising
-
Buku Do Good Design by David B. Berman
-
Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
b. Wawancara dengan narasumber dan pihak terkait Komnas Perempuan Pimpinan: Yuniyanti Chuzaifah www.komnasperempuan.or.id Alamat : Jl. Latuharhari 4B, Jakarta 10310 Telp
: (021) 390 3963
c. Kuisioner kepada 100 koresponden yang terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan.
2.2 Data Khusus Kasus
2.2.1 Data Penyelenggara
2.2.1.1 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Adalah salah satu lembaga nasional hak asasi manusia (NHRI, National Human Rights Institution), yang berfokus pada penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Prempuan adalah lembaga negara yang independen yang dibentuk
3
melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 15 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menganggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedy kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Landasan Kerangka Kerja Komnas Perempuan: 1. Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT) Tujuan Komnas Perempuan: 1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; 2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Manfaat dan Kewenangan Komnas Perempuan: 1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; 2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan; 3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkahlangkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; 4. Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislative, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi perempuan; 5. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Peran Komnas Perempuan:
4
1. Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban; 2. Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan; 3. Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan; 4. Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggungjawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban; 5. Fasilitator pengembanan dan penguatan jaringan di tingkat local, nasional, regional, dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2.2.1.2 Pelaksana Mandat 2010-2014 Rapat paripurna komisioner Komnas Perempuan adalah otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan dan penanggung jawab pelaksanaan mandat Komnas Perempuan. Para komisioner berasal dari latar belakang yang beragam dan memenuhi prinsip-prinsip Paris untuk sebuah mekanisme hak asasi manusia. Pemilihan komisioner diselenggarakan secara terbukam dilaksanakan oleh sebuah tim seleksi independen, dan melalui konsultasi dengan mitra-mitra Komnas Permepuan dalam penentuan criteria dan proses penyeleksian. Guna memastikan keberlanjutan inisiatif organisasi sekaligus merawat demokrasi, seorang komisioner dapat dipilih kembali sebanyak-banyaknya satu kali dan jumlah komisioner yang menjabat untuk periode kedua paling banyak adalah sepertiga dari total anggota paripurna. Ada 15 orang komisioner yang bertugas untuk masa bakti 2010-2014. Seorang ketua dan dua wakil ketua dipilih di antara mereka. Selebihnya, para komisioner membagi diri dalam Subkomisi dan Gugus Kerja untuk mengawal pelaksanaan mandat Komnas Perempuan. Saat ini ada 5 Subkomisi dan 3 Gugus Kerja, yaitu: -
Subkomisi Pemantauan, Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Perempuan Korban Kekerasan, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Subkomisi Pendidikan, Subkomisi Partisipasi Masyarakat
-
Gugus Kerja Papua Gugus Kerja Pekerja Migran, Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional
Dalam kerjanya, para komisioner didukung oleh badan pekerja yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jendral. Badan pekerja terbagi dalam divisi dan unit sesuai dengan subkomisi dan gugus kerja yang ada, serta dalam lima bidang kesekretariatan,
5
yaitu bidang umum, bidang sumber daya manusia, bidang keuangan, bidang penelitian, informasi dan dokumentasi, serta bidang perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Komisi Paripurna Komnas Perempuan 2010-2014 Ketua: Yunianti Chuzaifah Wakil Ketua: Desti Murdjiana Masruchah Anggota: Agustinus Supriyanto, Andy Yentriyani, Arimbi Heroepoetri, Husein Muhammad, Kunthi Tridewiyanti, Neng Dara Affiah, Ninik Rahayu Saur Tumiur Situmorang, Sri Nurherwati, Sylvana Maria Apituley, Tumbu Saraswati, Yustina Rostiawati Sekretaris Jendral Pinky Tantotos
2.2.1.3 Kerja Utama 2010-2014 Empat Isu Prioritas dari Sebelas Isu Krusial Komnas Perempuan, 2010-2014 1. Kekerasan terhadap perempuan akibat pemiskinan perempuan, termasuk dalam konteks migrasi, eksploitasi tenaga kerja di pabrik dan rumah tangga, eksploitasi sumber daya alam, dan pengungsian; 2. Kekerasan terhadap perempuan akibat politisasi identitas dan kebijakan berbasis moralitas dan agama; 3. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu dan konflik; 4. Penguatan mekanisme hak asasi manusia bagi perempuan 5. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks taahanan dan serupa tahanan; 6. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan dan keluarga; 7. Kekerasan terhadap perempuan dalam praktik budaya; 8. Kekerasan terhadap perempuan rentan diskriminasi, antara lain penyandang cacat, anggota masyarakat adat, dan anggota komunitas minoritas; 9. Kekerasan seksual dalam berbagai konteks lainnya, termasuk oleh pejabat publik, pendidik, pemuka komunitas, dan di media; 10. Perlindungan dan dukungan bagi Perempuan Pembela HAM; 11. Kekerasan terhadap perempuan dalam praktik politik, termasuk pemilu dan pemilukada;
6
2.2.1.4 Capaian Utama
Tabel 2.2.1.4 Capaian Utama
7
2.2.1.5 Kampanye Utama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (K16HAKTP) Kampanye internasional ini diselenggarakan setiap tahunnya dan dimulai pada tanggal 25 November (Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) hingga 10 Desember (Hari Hak Asasi Manusia Sedunia). Di Indonesia, kampanye ini mulai digiatkan Komnas Perempuan sebagai kampanye nasional sejak tahun 2001, dan diperluas untuk juga mencakup peringatan Hari Migran Internasional pada tanggal 18 Desember. Tujuan K16HAKTP bertujuan menggalang dukungan publik untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM berbasis gender lainnya. Mulai tahun 2010 hingga 2014, K16HAKTP akan mengangkat tema “Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani”. Tujuannya adalah untuk mengajak publik untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual, memahami akar permasalahannya, kompleksitas, dan penyelesaiannya. Pada akhir periode kampanye ini, diharapkan akan muncul kesadaran dan gerakan untuk menghadirkan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual sehingga mampu menjamin perlindungan dan jaminan hukum bagi perempuan korban.
Pundi Perempuan Adalah inisiatif penggalangan dana publik untuk mendukung upaya pemulihan perempuan korban kekerasan. Dana diperuntukkan bagi pendampingan korban dan rumah aman, dukungan pemulihan perempuan korban dan keluarganya, dan dukungan akses kesehatan untuk perempuan pembela HAM. Sejak tahun 2003 Pundi Perempuan telah menyalurkan dukungan bagi 37 lembaga pengada layanan bagi korban, dua paguyuban perempuan korban, dan satu orang perempuan pembela HAM.
Mari Berbicara Kebenaran Adalah gerakan mengajak setiap warga bangsa untuk membuka diri pada sejarah kelam Indonesia dengan menyimak penuturan para prempuan korban dan mengintergretasikannya dalam sejarah nasional. Tujuannya adalah untuk menggalang dukungan publik bagi upaya pemulihan hak-hak perempuan korban dan untuk memastikan tidak terjadi lagi pelanggaran HAM serupa pada generasi berikutnya.
8
2.2.2 Data Kasus
2.2.2.1 Gambaran Umum: Data KTP Tahun 2011
Tabel 2.2.2.1a Jumlah Kasus KTP (Tahun 2001-2011)
Berdasarkan kompilasi data kekerasan terhadap perempuan dari 383 lembaga mitra pengada layanan yang mengisi dan mengirim kembali datanya kepada Komnas Perempuan diperoleh jumlah korban KTP tahun 2010 ini, yaitu 105.103 korban. Jika dibandingkan dengan kompilasi data tahun yang lalu, angka kekerasan pada tahun ini lebih kecil kurang-lebih 27%. Lebih kecilnya angka korban KTP tahun ini tidak dapat diartikan bahwa dalam tahun 2010 kekerasan terhadap perempuan berkurang. Ada sejumlah faktor yang ditengarai menjadi penyebab, khususnya berkaitan dengan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Di antara sejumlah faktor penyebab yang hampir selalu disebutkan oleh lembaga mitra pengada layanan adalah: keterbatasan SDM (dalam hal ketrampilan pendataan dan pergantian – turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas (perangkat komputer, dan peralatan lain yang diperlukan untuk pendataan), pemahaman akan pengisian format pendataan (yang juga seringkali diubah atau disesuaikan dengan keadaan pengaduan dari tahun ke tahun), pendanaan dalam rangka mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban untuk secara formal dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya
9
stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat tentang kasus kekerasan yang dialaminya). Kendala lain yang ditengarai oleh Komnas Perempuan di antaranya pembenahan internal organisasi sehingga yang biasa turut berpartisipasi mengirimkan data pada tahun ini tidak berhasil mengirimnya tepat waktu. Ada pula sejumlah lembaga yang pada tahun ini secara khusus mempersiapkan dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Perempuan Internasional. Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini menunjukkan bahwa memang ‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP masih sangat kurang. Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi pentingnya CATAHU bagi semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
10
Tabel 2.2.2.1b Jumlah Kasus KTP Menurut Wilayah (CATAHU 2019-2011)
Tahun 2009 Jumlah korban kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun ini mencapai 143.586 orang. Angka ini meningkat sebesar 263%, dibandingkan tahun lalu (54.424 korban). Jika melihat data korban (yang ditangani oleh lembaga mitra) dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan meningkat cukup tajam. Keadaan ini berkaitan dengan teknis pengumpulan data dan ditengarai ada sejumlah faktor yang mendorong korban lebih mudah ‘bicara” atau membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Seperti dijelaskan terdahulu, secara teknis, data dari sejumlah lembaga lebih mudah diakses lewat situs 11
web dan/atau cara lain sehingga berdampak pada lebih banyak kasus (korban) yang dapat dicatat. Beberapa tahun belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik – dikenal oleh masyarakat secara luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih ‘berani’ membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap permepuan, dan lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak kekerasan.
Tahun 2010 Gambaran umum tentang jumlah korban KTP menurut wilayah dapat dilihat pada grafik di atas. Angka paling tinggi korban KTP dicatat oleh lembaga mitra pengada layanan di wilayah Jawa: 63.229 korban, Sumatera: 19.741 korban, dan wilayah Kalimantan: 14.258 korban. Jumlah korban paling banyak di wilayah Jawa adalah yang tercatat di lembaga mitra Jawa Timur (22.071 korban), di urutan kedua terbanyak tercatat sejumlah 15.641 korban di Jawa Tengah, dan DKI Jakarta sejumlah 13.956 korban. Di masing-masing wilayah ini Pengadilan Agama menyumbang catatan paling tinggi, rata-rata di atas 90% dari seluruh angka kekerasan terhadap perempuan yang dicatat oleh lembaga-lembaga mitra. Di wilayah Sumatera, lembaga mitra yang paling banyak mendokumentasikan korban kekerasan terhadap perempuan adalah lembaga mitra di Sumatera Barat (9.626 korban), urutan kedua terbanyak Sumatera Selatan (5.211 korban). Sedangkan wilayah Sumatera Utara dan Riau masing-masing mencatat sejumlah 1.932 dan 1.017 korban. Lebih dari 75% sampai 90% dari jumlah tersebut diperoleh dari Pengadilan Agama. Lembaga mitra di wilayah Kalimantan yang paling banyak mencatat kekerasan terhadap perempuan adalah lembaga di Kalimantan Timur: 6.175 korban, terbanyak kedua diperoleh dari lembaga di Kalimantan Selatan: 4.673 korban dan lembaga di Kalimantan Barat mendokumentasikan sejumlah 3.143 kasus yang merupakan urutan ketiga terbanyak di wilayah Kalimantan ini. Lebih dari 95% kasus tersebut diperoleh dari catatan Pengadilan Agama. Pengadilan (tinggi) agama merupakan lembaga mitra yang paling banyak mencatat penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu sejumlah 93.133 kasus atau hampir mencapai 89% dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2010 ini. Komnas Perempuan menyadari perlunya mencermati kembali jumlah kasus yang dicatat di pengadilan (tinggi) agama karena masalah teknis administratif dan sistem pendokumentasian kasus KTP di jajaran lembaga tersebut. Pendokumentasian kasus KTP di pengadilan tinggi agama seyogyanya merupakan kompilasi seluruh kasus dari pengadilan agama yang tercakup dalam wilayah kerjanya, termasuk kasus-kasus
12
banding. Komnas Perempuan secara khusus mendapat kesulitan untuk mencermati penghitungan ganda dari kedua lembaga ini karena: 1) tidak semua pengadilan agama melaporkan data kasusnya tepat waktu ke pengadilan tinggi agama setempat, 2) tidak semua pengadilan agama mengisi dan mengirimkan kembali formulir data dari Komnas Perempuan, serta 3) adanya kesulitan menelusuri akumulasi jumlah kasus banding di pengadilan tinggi agama (agar bisa memilah dokumentasi kasus banding hanya untuk tahun tertentu). Namun demikian, tingginya angka/data dari pengadilan (tinggi) agama menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak berada di ranah/domain domestik – kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal, atau kasus yang berkaitan dengan perceraian dalam rumah tangga seperti data berikut ini. Dari seluruh jumlah 105.103 kasus yang dicatat oleh lembaga mitra pada tahun ini, paling besar adalah KTP di ranah domestik–KDRT/RP (kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal), yaitu sejumlah 101.128 kasus (lebih dari 96%). Jumlah kasus KTP terbanyak kedua terjadi di ranah komunitas, sebanyak 3.530, dan kasus KTP di ranah negara sejumlah 445 kasus. Proporsi jumlah kasus KTP seperti ini sudah ditengarai terjadi sejak tahun 2005 (lihat CATAHU 2006). Hal ini terkait dengan kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang memberikan akses lebih besar kepada perempuan untuk dapat melaporkan kasusnya.
13
WILAYAH Aceh
KDRT/RP
KOMUNITAS
NEGARA
459
115
0
Sumatera
18995
746
0
Jawa
60824
1960
445
Kalimantan
14114
114
0
Bali
178
18
0
NTB
903
120
0
NTT
258
173
0
Sulawesi
4553
176
0
Maluku
358
68
0
Papua
456
40
0
101128
3530
445
Jumlah
Tabel 2.2.2.1c Jumlah Korban KTP Menurut Ranah/Domain (2010)
Yang menarik dicermati adalah meningkatnya jumlah KTP di ranah/domain yang menjadi tanggung jawab negara (445 kasus). Jumlah ini dicatat oleh LBH APIK Jakarta dan LBH Jakarta (395 korban), P2TP2A Jawa Timur (40 korban) dan Komnas Perempuan yang diterima oleh Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) sejumlah 10 korban. Angka KTP di ranah yang menjadi tanggung jawab negara ini lebih dari 8 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang tercatat di tahun 2009 yang lalu (yaitu 54 korban) atau di tahun-tahun sebelumnya – tidak lebih dari 50 kasus.
Tahun 2011 Gambaran umum tentang jumlah perempuan korban menurut provinsi ini diperoleh dari kompilasi data yang dikirimkan oleh lembaga pengada layanan di masingmasing wilayah kerjanya, yang kemudian dikategorisasikan sesuai dengan provinsi. Dari grafik di atas terlihat bahwa angka korban KTP paling tinggi terletak di wilayah Jawa, dicatat oleh lembaga mitra pengada layanan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur: 25.628 dan 24.555 korban. Jawa Barat dan DKI Jakarta menyusul: 17.720 dan 11.286 korban. Di wilayah lain, korban yang terdata rata-rata di bawah angka sepuluh ribu orang. Sekali lagi, keadaan ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan aksesibilias lembaga pengada layananan menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian. Faktanya,
14
memang lebih banyak lembaga pengada layanan di daerah Jawa dibandingkan dengan provinsi lain.
WILAYAH Aceh
KDRT/RP
KOMUNITAS
NEGARA
4089
84
0
Sumatera
17137
2003
25
Jawa
81630
1909
15
7070
511
0
Bali
151
56
0
NTB
258
27
0
NTT
312
218
2
Sulawesi
2732
324
0
Maluku
161
46
0
Papua
338
9
0
101128
3530
42
Kalimantan
Jumlah
Tabel 2.2.2.1d Jumlah Korban KTP Menurut Ranah/Domain (2011)
Tabel di atas ini menunjukkan gambaran pola kekerasan tahun 2011, berdasarkan kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan di seluruh wilayah di Indonesia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, angka kasus KDRT/RP masih mendominasi dibandingkan dengan kasus KTP di ranah lain, yaitu 95,61% (113.878 kasus), kekerasan di ranah Komunitas sebesar 4,35% (5.184 kasus) dan kekerasan yang menjadi tanggung jawab Negara 0,03% (42 kasus). Dan dari seluruh jumlah kasus KDRT/RP yang ditangani oleh lembaga pengada layanan, lembaga-lembagapengada layanan di sejumlah provinsi di Jawa mencatat penanganan kasus paling banyak, yaitu Jawa Tengah (25.360) dan Jawa Timur (24.232), Jawa Barat (17.575), DKI Jakarta (10.307). Total jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah Komunitas yang ditangani oleh lembaga pengada layanan di tahun 2011 ini adalah 5.187. Di Ranah Komunitas ini, jumlah kasus tertinggi dicatat dan ditangani oleh lembaga pengada layanan di Provinsi Sumatera Utara (1.123) dan lembaga layanan di DKI Jakarta (967). Kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi tanggung jawab Negara pada tahun 2011 ini tercatat 42 korban: lembaga pengada layanan di Provinsi Sumatera Utara (1), di Provinsi Sumatera Barat (24), di DKI Jakarta (12), di Provinsi Jawa Timur (3), di Provinsi NTT (2).
15
2.2.2.2 Pola KTP Tahun 2011: Kekerasan Seksual Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Secara terinci jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah rumah tangga/personal ditunjukkan dalam grafik di bagian berikut.
Tabel 2.2.2.2a Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, KDRT/RP merupakan bentuk KTP yang paling dominan (lebih dari 95%) di antara bentuk yang lain. Data KDRT/RP menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), kekerasan oleh mantan suami (KMS), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan oleh mantan pacar (KMP), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) dan bentuk kekerasan relasi personal lainnya. Kekerasan terhadap istri (KTI) seperti juga pola tahun-tahun sebelumnya merupakan jenis tindakan KDRT/RP yang paling banyak dicatat: lebih dari 97% (110.468) dari seluruh jumlah KDRT/RP. Pada tahun ini juga tercatat KDP (kekerasan dalam pacaran) sebanyak 1.405 kasus. Yang menarik adalah dari total jumlah KTI tersebut, lebih dari 95% merupakan kasus perceraian yang datanya diperoleh dari PA/PTA, dan dicantumkan sebagai kasus cerai gugat atau cerai talak.
16
Tabel 2.2.2.2b Jenis KDRT/RP (CATAHU 2011)
Dari seluruh jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan korban di ranah domestik teridentifikasi kekerasan psikis paling banyak dialami (103.691), dan berturut-turut jenis kekerasan ekonomi (3.222), kekerasan fisik (2.790), serta kekerasan seksual (1.398). Ada sejumlah jenis kekerasan yang tidak dapat dikategorisasikan ke dalam jenis kekerasan seperti disebutkan terdahulu (hanya dinyatakan sebagai KDRT tanpa catatan lebih terinci). Dari data diketahui pula bahwa sejumlah lembaga mitra pengada layanan di provinsi tertentu lebih banyak mencatat jenis kekerasan tertentu dibandingkan dengan provinsi lain, yaitu lembaga pengada layanan di Jawa Timur mencatat kekerasan psikis dan fisik, di Jawa Tengah lebih banyak mencatat kekerasan psikis, lembaga pengada layanan di Provinsi DKI Jakarta banyak mencatat kekerasan ekonomi dan di Lampung banyak mencatat kekerasan seksual.
17
Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Komunitas
Tabel 2.2.2.2c Jenis Kekerasan di Ranah Komunitas (CATAHU 2011)
Dari data lembaga pengada layanan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah Komunitas dapat dikategorikan menjadi: kekerasan seksual (2.937), fisik (1.408), psikis (267), trafiking (289), kekerasan yang dialami oleh pekerja migran (105), melarikan anak perempuan (55), kekerasan di tempat kerja – yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan (43), dan lain-lain (83) – yang tidak dapat dikategorisasikan lagi ke dalam jenis yang disebut terdahulu. Yang dimaksud dengan kekerasan seksual dalam kategori kekerasan yang terjadi di ranah Komunitas ini termasuk: pencabulan, perkosaan, percobaan perkosaan, persetubuhan, pelecehan seksual, dan kategori kekerasan seksual lain (seperti aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi, , dan pornografi). Menarik untuk diperhatikan bahwa lembaga pengada layanan di Provinsi Banten mencatat lebih banyak perempuan korban pencabulan, perkosaan, persetubuhan, dan pelecehan seksual. Data ini dapat menunjukkan kemungkinan banyak terjadi kekerasan seksual di ranah Komunitas di Provinsi Banten.
Percobaan Provinsi
Pencabulan
Pemerkosaan
Persetubuhan
Pelecehan
Lainnya
Perkosaan
Aceh
0
41
0
18
0
2
0
Sumut
312
20
1
0
0
1
Sumbar
10
45
0
0
11
0
Riau
14
14
7
0
6
0
Jambi
72
5
24
0
11
0
Sumsel
1
160
2
0
1
0
Bengkulu
16
50
0
0
0
0
Lampung
32
121
25
0
13
0
Babel
0
17
0
0
0
0
Keppri
0
0
0
0
0
7
16
40
19
0
0
17
0
5
13
3
0
27
Banten
144
119
217
0
39
12
Jateng
81
60
31
0
0
28
DI Jogjakarta
34
50
13
0
40
3
Jatim
38
58
19
1
9
39
Bali
2
5
0
0
15
29
NTB
11
3
0
0
0
0
NTT
5
49
0
0
0
17
Kalbar
25
3
0
2
0
1
Kaltim
0
191
0
0
0
0
Kalteng
6
42
14
0
2
3
Kalsel
10
41
24
0
0
0
Sulut
24
0
0
0
0
0
Gorontalo
0
17
0
1
0
26
Sulteng
0
0
1
0
0
0
Sulbar
1
1
0
0
0
0
Sultra
14
43
0
0
3
4
Sulsel
7
27
0
0
2
1
DKI Jakarta Jabar
19
Maluku
0
0
0
0
0
0
Maluku Utara
21
10
0
3
0
0
Papua
5
0
0
0
0
0
Papua Barat
0
0
0
0
0
0
901
1224
410
10
154
215
Jumlah
Tabel 2.2.2.2d Kekerasan Seksual di Ranah Komunitas
Sedangkan data trafiking banyak dicatat oleh lembaga pengada layanan di Provinsi DKI Jakarta, NTT dan Sumatera Utara. Kekerasan terhadap istri seperti juga pola tahun-tahun sebelumnya merupakan jenis tindakan kekerasan dalam rumah tangga dan/atau relasi personal (KDRT/RP) yang paling banyak dicatat, lebih dari 97% dari seluruh jumlah KDRT/RP. Pada tahun ini juga tercatat KDP (kekerasan dalam pacaran) dan KTAP (kekerasan terhadap anak perempuan) cukup tinggi, yaitu 1.299 korban KDP, dan 600 KTAP. Jenis tindakan kekerasan lain yang termasuk dalam KDRT/RP ini adalah kekerasan oleh mantan suami dan mantan pacar – relasi personal seperti ini patut dicermati karena setiap tahun sejumlah lembaga mitra menangani korban cukup banyak. Meskipun telah berpisah “mantan” suami atau pacar seringkali ditengarai masih mempunyai relasi kuasa yang membuat mantan pasangannya tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan perlindungan dan pertahanan diri, khususnya mantan pasangan yang telah mempunyai anak. Menarik untuk mempelajari lembaga mitra yang menangani atau pilihan perempuan korban KDRT/RP dalam rangka menyelesaikan masalah atau memulihkan kondisinya. Data menunjukkan bahwa korban yang dikategorikan dalam KTI lebih memilih ke pengadilan (tinggi) agama (hampir 95%) dibandingkan ke lembaga lain. Sedangkan untuk jenis lain, seperti KMS, KDP, KTAP, korban mencari bantuan ke lembaga swadaya masyarakat/organisasi masyarakat sipil (OMS), P2TP2A, atau UPPA. Kekerasan terhadap istri (KTI) mencakup kekerasan psikis, ekonomi, fisik, dan seksual. Data dari pengadilan (tinggi) agama mencakup kekerasan psikis dan ekonomi. Sedangkan istri yang menjadi korban kekerasan secara fisik dan seksual lebih banyak mendatangi lembaga pengada layanan lain, khususnya OMS. Lembaga mitra yang mencatat kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas paling banyak di wilayah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Di wilayah DKI, sejumlah 192 korban dicatat mengadukan kasusnya ke Komnas Perempuan. Semua perempuan korban yang mengadu ke Komnas Perempuan dirujuk ke lembaga mitra di wilayah masing-masing sesuai dengan bantuan rujukan yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan mandat Komnas Perempuan, yang tidak secara langsung melakukan pendampingan dan penanganan kasus KTP.
20
2.2.2.3 Penanganan: Kapasitas Lembaga dan Implementasi Perangkat Hukum Kapasitas Lembaga Pengada Layanan Kapasitas penanganan lembaga pengada layanan dilihat dari aspek ketersediaan SDM, sarana (fasilitas khusus pencatatan data, penanganan kasus, dan kerja sama dengan lembaga lain), serta fasilitas penunjang lain. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga (SDM), pada umumnya lembaga mitra pengada layanan telah menyediakan tenaga konselor, hakim/jaksa yang sensitif gender, tenaga khusus pencatat data dan yang menangani database di masing-masing lembaga. Secara khusus, pengadilan (tinggi) agama dan pengadilan negeri menyediakan tenaga khusus untuk memutakhirkan data setiap bulannya. Kondisi ini berkaitan dengan sudah dibukanya akses informasi (data) lewat situs-situs web yang dikembangkan lembaga pengadilan. Demikian pula dengan fasilitas pendukung seperti mesin faks, line telpon, perangkat komputer dan printernya. Sebagian lembaga memberikan informasi tentang ketersediaan alat transportasi untuk penanganan kasus dan alokasi dana (rutin atau APBN). Selain aspek-aspek kapasitas lembaga seperti dijelaskan di atas, lembaga mitra pengada layanan juga mengembangkan sistem rujukan dan kerja sama secara kelembagaan, misalnya dengan perjanjian atau kesepakatan yang dituangkan dalam MoU. Kerja sama formal kelembagaan ini dianggap penting bagi kebanyakan OMS agar dapat dimanfaatkan untuk mengakses fasilitas di lembaga-lembaga pengada layanan yang dibutuhkan, khususnya rumah sakit, kepolisian, pengadilan. Contoh konkret yang seringkali dikemukakan, misalnya OMS banyak menangani perempuan korban kekerasan untuk memperoleh visum dari rumah sakit agar kasus kekerasannya dapat diteruskan ke tingkat penyidikan lebih lanjut di kepolisian. Dengan nota kesepakatan yang dibangun bersama rumah sakit setempat, permintaan visum dapat dilayani segera dan tanpa biaya (yang memang seringkali menjadi kendala bagi korban). Oleh karena itu, OMS menganggap perlu mengembangkan MoU dengan berbagai pihak secara terpisah – sehingga satu OMS di wilayah tertentu dimungkinkan mempunyai MoU dengan dua atau lebih lembaga pengada layanan lain di lingkungan wilayah kerjanya. Untuk keperluan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, banyak lembaga mitra pengada layanan juga mengembangkan sistem rujukan yang meliputi: advokasi, audiensi, jaringan kemitraan, koordinasi, rujukan dalam menangani kasus KTP, sosialisasi berkaitan dengan KTP dan penanganannya, serta pelimpahan berkas.
Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lain Berdasarkan data yang diberikan oleh lembaga mitra pengada layanan, UU PKDRT (UU No. 23 Tahun 2004) sudah mulai banyak digunakan dalam rangka litigasi. Sebanyak 96 lembaga tercatat menggunakan UU PKDRT. Di antara lembaga-lembaga tersebut adalah UUPA, OMS, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri,
21
Kejaksaan Tinggi dan Pemda. Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) juga banyak digunakan dalam penanganan kasus lewat jalur hukum. Sebanyak 103 lembaga menggunakan UU Perlindungan Anak dalam penanganan kasus lewat jalur hukum. Hal ini berkaitan dengan adanya korban usia anak seperti telah dijelaskan terdahulu. Lembaga-lembaga yang menggunakan UU Perlindungan Anak ini di antaranya adalah: UPPA, OMS, Pengadilan Negeri, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pemda. Ada juga lembaga yang menggunakan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu OMS (6 lembaga), UPPA (2 lembaga) dan Pengadilan Agama.
2.3 Kuesioner 1. Apa jenis kelamin Anda?
2. Berapakah usia Anda?
3. Apakah pekerjaan Anda?
22
4. Berapa jumlah uang yang Anda terima setiap bulan?
5. Uang yang Anda terima setiap bulan biasanya diprioritaskan untuk apa? a. Jajan/Makan/Kebutuhan sehari-hari
b. Membeli kebutuhan hobby (buku, fotografi, sepeda, dll)
23
c. Rokok/Minum-minum/Clubbing
d. Tabung/Deposito
e. Mentraktir sahabat/Disumbangkan
24
6. Darimana biasnaya Anda melihat iklan layanan sosial?
7. Menurut Anda dari semua media pemasangan iklan, media mana yang paling efektif? a. Televisi
b. Radio
25
c. Koran
d. Billboard
e. Website
26
f. Souvenir
g. Event
8. Apakah Anda terlibat dalam sebuah organisasi?
9. Apakah Anda pernah mendengar istilah “Women-Abuse”?
27
10. Apakah Anda masih menemukan tindakan kekerasan terhadap wanita di sekitar anda?
11. Apakah Anda tahu bahwa kekerasan terhadap wanita itu melanggar hak asasi manusia?
12. Apakah Anda ingin berpartisipasi untuk memerangi tindak kekerasan terhadap perempuan?
2.4 Analisa Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2.4.1 Strenght -
Kampanye ini membahas kehidupan sehari-hari yang melekat, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat untuk ikut berkontribusi
28
2.4.2 Weakness -
Kurangnya kerja sama antara masyarakat dan aparat dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap perempuan Masyarakat tahu akan dampak buruk tindak kekerasan terhadap perempuan tetapi belum banyak orang yang peduli dengan masalah seperti ini
2.4.3 Opportunities -
Sebagai suatu wadah komunikasi sebagai upaya dalam menangani masalah sosial yang membahas tentang diskriminasi dan eksploitasi terhadap kaum perempuan Belum ada kampanye sejenis yang interaktif, biasanya hanya sebatas advertising pada print ads dan di webite saja Merupakan kegiatan positif yang didukung oleh banyak pihak
2.4.4 Threats -
Pandangan masyarakat yang lebih dulu menganggap rendah wanita korban kekerasan terhadap perempuan walaupun masyarakat tahu akan dampak jika masalah ini terus berlanjut Munculnya bentuk-bentuk komunikasi lain yang mengangkat masalah serupa
29