Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan – Komnas Perempuan
Laporan Independen Institusi Nasional Hak Asasi Manusia
Dalam mengkaji Laporan Negara Indonesia terhadap Pelaksanaan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik di Indonesia, 2005 - 2012
untuk dipertimbangkan oleh Sidang Komite Hak Asasi Manusia PBB
Daftar Isi A. Pendahuluan ........................... .............................................................................................. .........par. 1 – 2 B. Komentar Umum ........................... .............................................................................................. par. 3 – 9 C. Isu spesifik Kekerasan terhadap perempuan dalam perkawinan dan ruang publik, serta penanganannya (pasal 3; 16, 23, 24 dan 26) ................................................................................................ par. 10-18
Kekerasan terhadap perempuan dan hukuman mati (pasal 6) ...................... .............. par. 19-21
Menentang Penyiksaan: Kekerasan terhadap perempuan di Tahanan dan Serupa Tahanan, Kondisi Aceh dan Perempuan dengan gangguan mental dan psikososial (Pasal 7) ... par 2229
Perlindungan bagi pekerja migran & pekerja rumah tangga dari perbudakan modern (Pasal 8) – ........................... ............................................................................................................ par. 30-31
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran hak kemerdekaan berkeyakinan dan beragama (pasal 18) ........................... ............................. par. 32
Kemerdekaan Berpendapat dan WHRD (Pasal 19) ................................................... par. 33-34
Anak dan kekerasan seksual (Pasal 24)................................................................................... par. 35
Perlindungan pada kelompok penganut agama leluhur, penghayat kepercayaan dan agama minoritas (Pasal 27) ........................... ................................................................................. par. 36-37
Daftar Lampiran Lampiran 1. Laporan pemantauan tentang kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas Lampiran 2. Laporan Pemantauan di Papua Lampiran 3. Laporan pemantauan di Poso Lampiran 4. Laporan Koalisi Nasional untuk Hak-hak Diffable Indonesia Lampiran 5. Laporan Lajna Immaillah tentang kondisi perempuan Ahmadiyah
A. Pendahuluan 1. Laporan ini disiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), institusi HAM nasional yang berfokus pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan1. 2. Informasi yang disampaikan adalah hasil monitoring Komnas Perempuan, sejumlah konsultasi dengan jaringan kerja di tingkat nasional terkait kondisi pemenuhan hak sipil dan politik perempuan2 dan juga pengamatan pada perkembangan situasi pasca review UPR dan CEDAW. Komnas Perempuan juga turut memberikan informasi kepada pemerintah dalam penyusunan laporan negara. B. Komentar Umum 3. Komnas Perempuan mencatat berbagai perkembangan positif dan upaya penegakan hak-hak sipil dan politik di Indonesia sejak proses demokratisasi bergulir tahun 1998. Sebagai tambahan dari berbagai perkembangan positif yang telah disampaikan dalam laporan negara Indonesia adalah, antara lain: Peraturan Nomor. 4 Tahun 2009 Tentang Standar Operasional Prosedur Pemberian Bantuan Medis dan Psikososial di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, untuk mendorong pemenuhan hak atas pemulihan bagi saksi korban dalam proses penegakan hukum pidana, khususnya dalam proses penegakan hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of People With Dissabilities (UU No. 19 Tahun 2011) dan International Convention On The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (UU No 6 Tahun 2012) UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dimaksudkan untuk memastikan akses keadilan bagi orang miskin Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa tidak ada batas waktu bagi permohonan judicial review atas peraturan daerah yang dipandang bertentangan dengan aturan perundang-undangan di atasnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 MK tentang Hubungan Keperdataan Anak dengan Ayah. Persoalan ini terutama dihadapi oleh perempuan yang perkawinannya tidak dicatatkan, karena praktik kebiasaan di masyarakat maupun karena dihalang-halangi berdasarkan agama dan keyakinan yang dimiliki, sebagaimana dihadapi oleh perempuan penghayat dan penganut agama leluhur, dan perempuan lainnya yang perkawinannya tidak dicatatkan.3 4. Meskipun demikian,belum semua warga negara, khususnya perempuan dan kelompok minoritas dan marginal, dapat menikmati hak-hak fundamental dan kemerdekaan dasar. Masih ditemukan kebijakan yang diskriminatif dan sikap umum di kalangan penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan juga di masyarakat yang menunjukkan budaya menyangkal persoalan pelanggaran HAM; budaya menyalahkan korban, khususnya perempuan korban kekerasan seksual; dan insensitivitas terhadap persoalan kelompok marginal termasuk, kelompok agama minoritas dan penghayat kepercayaan, kelompok orientasi seksual sejenis dan identitas gender berbeda, serta kelompok disabilitas.
Komnas Perempuan dibentuk dengan Preaturan Presiden sebagai landasan hukum. Mandat dari organisasi adalah a) pendidikan publik, b) pemantauan dan pencarian fakta, c) pengkajian d) perubahan hukum dan kebijakan dan e) membangun jaringan kerja di tingkat nasional, regional dan internasional. 2 Konsultasi dengan 66 individu dan 26 kelompok penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan masyarakat adat, 20 April 2012; 35 lembaga pengada layanan, 17-19 September 2012; 11 lembaga perempuan dan HAM Aceh, 9 Agustus 2012; dan dengan Koalisi Nasional Untuk Hak-Hak Disabilitas di Indonesia, 6 Desember 2012. 3 Lihat paragraf 36 dan 37 dalam laporan untuk penjelasan lanjutan tentang persoalan ini 1
5. Komnas Perempuan mencatat bahwa pada akhir tahun 2012 terdapat 252 kebijakan tentang layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, diantaranya hanya ada 44 kebijakan yang mengatur tentang substansi dari pemberian layanan dan perlindungan bagi perempuan korban. Selebihnya, 174 kebijakan mengatur struktur kelembagaan pusat layanan terpadu (P2TP2A), 16 kebijakan tentang SOP & SPM pemberian layanan dan 18 kebijakan tentang kerjasama antar instansi untuk pemberian layanan. 6. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa jumlah kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas terus bertambah. Akhir tahun 2012 terdapat 282 kebijakan diskriminatif yang hampir keseluruhannya (274 kebijakan) tersebar di lebih seratus kabupaten/kota di 28 provinsi.4 Sebanyak 207 dari 282 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (60 kebijakan mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengriminalkan perempuan (96 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi), penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum (10 kebijakan tentang larangan khalwat dan 3 kebijakan tentang pemisahan ruang publik antara laki-laki dan perempuan), dan 38 kebijakan daerah terkait dengan aturan jam keluar malam. Juga, ada 7 kebijakan tentang ketenagakerjaan mengabaikan hak perempuan pekerja migran atas perlindungan. Komnas Perempuan mengapresiasi langkah Kementerian dalam Negeri untuk meminta klarifikasi dari 3 pemerintah daerah terkait penerbitan kebijakan diskriminatif tersebut, namun perlu ada percepatan penanganan kebijakan diskriminatif sebagai pelaksanaan agenda harmonisasi kebijakan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. 7. Komnas Perempuan mengamati bahwa masih diperlukan penguatan pemahaman bagi pengambil kebijakan dan penyelenggara negara serta aparat penegak hukum dan keamanan untuk menerjemahkan hak atas perlakuan khusus (affirmative action) untuk kesetaraan dan keadilan yang substantif antara laki-laki dan perempuan. Dalam memajukan penikmatan hak politik bagi perempuan, contohnya, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan zipper system, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur hanya ruang afirmasi untuk kuota 30% dalam daftar calon. Namun, tanpa zipper system, sulit untuk memastikan keterwakilan 30% perempuan dalam badan legislatif. 8. UU No. 40 tahun 2008 adalah penegasan komitmen negara menghapuskan diskriminasi ras dan etnis, namun pemahaman tentangnya masih perlu ditingkatkan di kalangan penyelenggara dan aparat penegak hukum. Komnas Perempuan mencatat dalam kasus perkosaan berkelompok di angkutan umum yang menyebabkan kematian korban pada tahun 2011, meski pelaku telah menyatakan bahwa mereka sengaja memilih korban dari kalangan ras tertentu, putusan pengadilan tidak merujuk pada ketentuan yang diatur di dalam UU ini. Padahal, pengakuan pada persoalan ini dapat membantu proses pencegahan kejadian serupa di masa mendatang dan pemulihan hak korban dan komunitas yang lebih komprehensif. 9. Komnas Perempuan perlu menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan penuntasan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan seksual, khususnya perkosaan, penyiksaan seksual dan eksploitasi seksual muncul diberbagai situasi konflik di Indonesia. 9.1 Penundaan penuntasan kasus adalah bertentangan dengan komitmen memutus impunitas, dan pada kasus Mei 1998 dan Papua bertentangan dengan komitmen Keberadaan kebijakan diskriminasi atas nama agama dan moralitas dan dampaknya pada perempuan pertamakali dilaporkan secara resmi oleh Komnas Perempuan pada tahun 2009, dimana tercatat 154 kebijakan. Laporan lengkap ini bisa dilihat di lampiran 1. 4
menghapus diskriminasi berbasis ras. Dalam penuntasan kasus ini, tindak lanjut rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahataban Indonesia-Timor Leste merupakan bagian yang integral. 9.2 Perempuan korban konflik di Aceh, khususnya korban kekerasan seksual, belum mendapatkan manfaat dari program rehabilitasi dan rekonsiliasi yang telah bergulir sejak tahun 2005. Berbagai persoalan terkait pembuktian korban terus menjadi alasan yang menghalangi akses korban untuk pemulihan. Kondisi ini terus menggantung sementara juga tidak ada kejelasan penyikapan pemerintah Aceh maupun di level nasional untuk membangun sebuah mekanisme untuk pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. 9.3 Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 261 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara 1963 – 2009 terkait dengan konflik di Papua dan upaya reparasi terhadap korban. Sampai saat ini Peraturan Daerah Khusus tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM5, meski telah disetujui oleh DPRP namun sampai akhir 2012 belum bisa diimplementasikan karena belum mendapatkan persetujuan di tingkat nasional. Akibatnya, perempuan korban terus hidup dalam stigma, miskin, sakit dan renta, dan menjelang akhir tahun 2012, dua orang penyintas kekerasan negara dari Biak, meninggal dunia karena sakit yang dideritanya tanpa pernah menerima bantuan reparasi dan rehabilitasi nama baik. 9.4 Tindak kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut seiring dengan memburuknya situasi keamanan di Papua. Pada tahun 2011, Komnas Perempuan mencatat 669 kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk praktik poligami, penelantaran, kekerasan fisik dan psikologis, marital rape, perkosaan anak, dan pembunuhan anak perempuan. Pengucuran dana pelaksanaan otonomi khusus dalam jumlah besar tanpa proses yang transparan, minimnya akuntabilitas terhadap anggota masyarakat, khususnya kelompok perempuan, berdampak pada dominasi laki-laki di kehidupan publik dan domestik sehingga berkontribusi pada tingginya angka kekerasan domestik.6 Perempuan Papua juga mengeluhkan proses peminggiran dari akses ekonomi, bahkan terkait penjualan pinang yang merupakan komoditi khas yang dijual perempuan asli Papua. 9.5 Komnas Perempuan mencatat kasus eksploitasi seksual oleh aparat kemanan yang ditempatkan di Poso(1998-2005)7 dan Maluku sejak 1999, dimana aparat membangun relasi seksual dengan perempuan muda setempat dengan iming-iming akan dinikahi. Kasus ini belum mendapatkan perhatian serius, dan karenanya dapat terus berulang, terutama di lokasi-lokasi konflik dimana pasukan ditempatkan. 9.6 Pemerintah perlu mendukung terobosan yang dilakukan oleh LPSK untuk memberikan bantuan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat. Tercatat telah ada 17 orang yang telah mendapatkan bantuan ini, dua diantaranya adalah perempuan korban penahanan semena-mena terkait peristiwa 1965 dan istri dari korban penghilangan paksa. Dukungan juga diperlukan untuk menindaklanjuti inisiatif dari Walikota Palu, Sulawesi tengah yang berkomitmen untuk menyelenggarakan reparasi bagi korban Tragedi 1965, dalam bentuk untuk reparasi mendesak dalam bentuk asuransi kesehatan, pendidikan anak dan jaminan pensiun. Meski tidak secara khusus ditujukan bagi perempuan, Komnas Perempuan berpendapat bahwa program ini perlu didukung dan dengan harapan dapat diajukan di daerah lain serta diadopsi pula di tingkat nasional. 9.7 Untuk penuntasan pelangaran HAM masa lalu, a) presiden perlu memimpin integrasi Perdasus merupakan tindak lanjut dari pelaporan gerakan perempuan Papua tentang 261 kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat, dan terjadi pada kurun waktu 1963 hingga 2009. Termasuk di dalamnya, 138 kasus kekerasan oleh aparat keamanan/militer, 67 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Laporan ini bertajuk Stop Sudah! dan dapat dilihat di lampiran 2. 6 Konsultasi dengan perempuan Papua di Biak, Genyem, Keerom, Manokwari, Merauke, Sarmi, Timika and Wasior,2012 7 Untuk laporan Poso, lihat lampiran 3 5
persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam reformasi sektor keamanan; b) pemerintah memastikan terselenggaranya program reparasi bagi perempuan korban konflik, dengan pendekatan khusus untuk pemulihan hak perempuan korban kekerasan seksual dan anak yang lahir dari kekerasan itu, c) pemerintah perlu mengupayakan secara sungguh-sungguh proses hukum atas pelaku pelanggaran HAM masa lalu, dengan perhatian khusus pada kekerasan terhadap perempuan, d) pemerintah memeastikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kekerasan terhadap perempuan, teritegrasi dalam pendidikan sejarah nasional sebagai komitmen untuk memastikan tindakan kejahatan serupa tidak berulang di masa mendatang, e) dalam persoalan di Papua, meninggalkan pendekatan opresif, melainkan mengadopsi pendekatan dialog damai, pembangunan yang memperhatikan kebutuhan dan suara masyarakat asli, merealokasi keuntungan dari eksplorasi sumberdaya alam pada program-program kesejahteraan masyarakat, dan memperkuat sistem dan infrastuktur untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan melaksanakan Perdasus tentang reparasi bagi perempuan korban konflik di Papua. C. Isu Spesifik Kekerasan terhadap perempuan dalam perkawinan dan ruang publik, serta penanganannya (pasal 3; 16, 23, 24 dan 26) 10. Beum ada kemajuan dalam hal revisi UU Perkawinan meski sudah sangat mendesak. Revisi ini dibutuhkan untuk memastikan perlindungan hukum untuk mencegah perkawinan anak dan perkawinan paksa pada perempuan, menghilangkan alasan sah perceraian yang diskriminatif terhadap kelompok disabilitas, dan menegaskan asas monogami, dan memutus sterotipi peran laki-laki (kepala keluarga) dan perempuan (pendamping) di dalam perkawinan yang berimplikasi pada relasi tidak seimbang di dalam berbagai aspek kehidupan perempuan di dalam keluarga dan perkawinan. Data dari Pengadilan Agama tahun 2012 yang mencatat 498 kasus perkawinan anak, yang berarti dialami oleh anak perempuan di bawah 16 tahun; 414 kasus perceraian karena cacat fisik; 1.243 kasus kawin paksa dan 47.259 kasus perceraian karena poligami. 11. Komnas Perempuan prihatin bahwa banyak pihak melalaikan kewajiban pencatatan perkawinan dan perceraian untuk menghindari tanggungjawab hukum atas istri dan anak yang lahir dari perkawinannya itu. Perilaku tersebut bahkan dilakukan aparat penegak hukum dan pejabat publik di lembaga legislatif maupun eksekutif, termasuk Kepala Daerah. Sepanjang tahun 2012, Komnas Perempuan menerima setidaknya 96 kasus terkait hal ini: sebanyak 61 istri melaporkan bahwa tindakan suaminya berselingkuh (41 kasus) dan menikah secara sembunyi-sembunyi tanpa izinnya (20 kasus) telah menyebabkan penderitaan fisik, psikis, seksual juga penelantaran ekonomi. Proses hukum terhadap kejahatan perkawinan, kesengajaan melalaikan pencatatan perkawinan dan perceraian, serta tindak kekerasan dalam rumah tangga harus menjadi prioritas untuk mengatasi persoalan ini. Bagi pejabat publik yang menjadi pelaku, maka sanksi yang tegas, termasuk pencopotan jabatan.8 Sepuluh istri kedua dan dua istri keempat melaporkan bahwa mereka sama sekali tidak tahu bahwa suaminya telah berkeluarga. Empat diantara sepuluh istri kedua yang melapor menyebutkan adanya penipuan status perkawinan dengan pemalsuan kartu identitas dengan mencantumkan tidak kawin dalam kartu Tanda Penduduknya, dan buku nikah seolah telah bercerai. Selain itu, ada tiga kasus dimana istri pertama dikriminalisasi karena tidak mau memberikan izin atau bercerai agar suaminya dapat menikah lagi. Komnas Perempuan mendata adanya 20 kasus kejahatan perkawinan dan kekerasan dalam rumah tangga yang pelakukanya adalah aparat penegak hukum dan pejabat publik. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh kepala daerah Kabupaten Garut yang berakhir dengan pemakzulan dirinya. (Mantan) Bupati Garut ini dilaporkan malakukan perkawinan lanjutan (lebih dari 1) dan perceraian tidak tercatat, dan pada peristiwa terakhir mengawini anak perempuan berusia 17 tahun yang kemudian setelah empat hari diceraikan. Komnas Perempuan mengapresiasi sikap tegas yang diambil oleh DPRD Kbaupaten Garut, Mahkamah Agung dan Kementerian Dalam Negeri dalam kasus ini; dan penyikapan serupa ini perlu menjadi preseden baik di masa mendatang. 8
12. Berbeda pandang dari pemerintah Indonesia (paragraf 33 laporan negara), Komnas Perempuan berpendapat bahwa UU Pornografi berpotensi mengkriminalisasi perempuan, di samping masyarakat adat, pekerja seni dan kelompok minoritas seperti kelompok orientasi seksual sejenis dan identitas gender berbeda. Ini karena UU tersebut menggunakan pendekatan proteksionis dan kerangka moralitas untuk menghadapi persoalan kekerasan eksploitasi seksual terhadap perempuan (dan anak). Komnas Perempuan terus memantau pelaksanaan UU Pornografi, dan telah mencatat dua kasus kriminalisasi terhadap perempuan korban traffiking dan eksploitasi seksual.9 13. Berbeda dari laporan negara (par. 34), perempuan belum dapat menikmati hak bebas bergerak secara utuh. Terdapat 60 aturan tentang kewajiban berbusana sesuai dengan interpretasi tunggal agama tertentu yang menyebabkan perempuan tidak dapat bebas bergerak tanpa tunduk pada aturan tersebut. Aturan ini diaplikasikan dengan proses sanksi sosial maupun administratif; bahkan ada daerah yang melakukan razia busana untuk memastikan aturan tersebut diterapkan. Juga, terdapat 96 kebijakan daerah tentang larangan prostitusi dan pornografi yang menempatkan perempuan rentan kriminalisasi. Ia dapat ditangkap dan ditahan karena diduga sebagai pekerja seks berdasarkan cara ia berpakaian, bersikap, berada di lokasi tertentu di waktu tertentu. Bahkan, ada kebijakan daerah yang dengan eksplisit membatasi perempuan keluar rumah sendirian pada jam tertentu di malam hari kecuali jika ditemani oleh anggota keluarganya yang laki-laki. Semua ini adalah bagian dari kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas.10 14. Terkait penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, konsultasi dengan lembagalembaga pendamping menunjukkan bahwa kapasitas dan kualitas layanan bagi perempuan korban kekerasan masih sangat terbatas.11 Padahal, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan terus meningkat. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, yang merupakan kompilasi dari data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada lembaga layanan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2010 tercatat 105.103, dan tahun 2011 tercatat 119.117 kasus. Untuk tahun 2012,12 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan tercatat sebanyak 1.291 pengaduan, dimana sebagian banyaknya (783 kasus) adalah kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), 315 kasus kekerasan di komunitas, dan 193 kasus oleh negara. Data-data ini pun hanyalah puncak gunung es dari persoalan kekerasan terhadap perempuan Mengingat tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan, kesulitan penjangkauan kasus dan rentang geografis Indonesia, pemerintah perlu memastikan dukungan SDM, fasilitas dan dana yang memadai bagi Pusat layanan terpadu di bawah koordinasi kementerian pemberdayaan perempuan (P2TP2A) dan kepolisian (UPPA) serta memberikan dukungan penuh bagi inisiatif masyarakat dalam membangun layanan berbasis komunitas. 15. Komnas Perempuan perlu menegaskan kembali pentingnya negara mempercepat revisi hukum pidana dan hukum acara pidana yang mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual, termasuk kriminalisasi terhadap pelecehan seksual dan penyiksaan seksual. Komnas Perempuan mencatat adanya adanya 2.645 kasus kekerasan seksual pada tahun 2010 dan 4.335 kasus pada tahun 2011. Kasus terbanyak adalah perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Sebagian besar kasus pencabulan adalah sesungguhnya kasus perkosaan, hanya saja karena definisi perkosaan sangat terbatas pada penetrasi alat kelamin Kasus pertama adalah empat perempuan korban perdagangan orang yang dipaksa menari striptease dan kasus kedua adalah seorang perempuan muda yang merekam hubungan seksual dirinya dengan pacarnya guna mendesak orang tuanya agar menikahkan mereka. Hukuman penjara atas tuduhan melanggar UU pornografi dijatuhkan kepada keempat penari dan juga perempuan muda itu. 10 Lihat par. 6 dalam laporan ini 11 Hasil pertemuan dengan lembaga layanan, 17-19 September 2012 12 Kompilasi data nasional tahun 2012 masih dilakukan saat penulisan laporan ini dilakukan. 9
laki-laki ke alat kelamin perempuan maka digunakan istilah berbeda dengan konsekuensi hukum juga yang berbeda. Selain itu, tata cara pembuktian perkosaan masih sangat membebani perempuan korban. Sementara itu, kejahatan pelecehan seksual hanya dianggap sebagai tindakan tidak menyenangkan dan penyiksaan tidak secara eksplisit diatur di hukum pidana yang telah ada. 16. Perempuan dengan disabilitas rentan menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan mengalami kesulitan yang berlipatganda untuk dapat mengakses keadilan dan pemulihan.13 Pemaksaan perkawinan dan perceraian, pengabaian hak pengasuhan anak, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, dan aborsi dihadapi oleh perempuan disabilitas karena dianggap tidak cakap mengasuh diri sendiri apalagi anak adalah sejumlah contoh kasus yang dilaporkan. Ketidaktersediaan penerjemah bahasa isyarat untuk tuna rungu untuk dapat memberikan informasi; anggapan bahwa orang dengan disabilitas, khususnya tunagrahita dan psikososial, adalah orang yang tidak cakap dihadapan hukum menyebabkan kesaksian perempuan disabilitas korban kekerasan hampir selalu dianggap tidak sah di mata hukum, termasuk ketika korban mengenali pelaku perkosaan lewat aroma dan suara; tidak tersedianya fasilitas tes DNA dalam hal pembuktian korban perkosaan dan memiliki fasilitas rehabilitasi sesuai dengan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh perempuan korban. Perbaikan pada sektor ini sangat penting sebagai tindak lanjut negara dalam meratifikasi Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. 17. Kelompok lain yang membutuhkan perhatian khusus adalah kelompok dengan orientasi seksual sejenis dan identitas gender yang berbeda dari harapan mainstream (atau kelompok lesbian, biseksual dan transgender/LBT). Ardhanary Institute – organisasi LBT di Jakarta – mencatat bahwa sejak 2009-2012, terdapat 632 kasus terkait kekerasan fisik, mental dan seksual di rumah sebagai konsekuensi dari orientasi seksual dan identitas gender mereka. Bahkan, terdapat juga kasus dimana terjadi intimidasi dan pelecehan terhadap perempuan lesbian yang dilakukan anggota keluarga sebelum melaporkan kasusnya di kepolisian.14 Menjamin perlindungan hukum bagi mereka menjadi hal yang harus diprioritaskan. 18. Komnas Perempuan berpendapat bahwa Permenkes 1636/MENKES/PER/XI/2010 mengenai sunat perempuan adalah sebuah kemunduran dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan prihatin bahwa Negara, yang pasca review CEDAW dan UPR telah mengupayakan dialog dengan berbagai pihak, belum dapat mengambil langkah konkrit untuk menghapus praktik budaya yang diskriminatif ini meskipun telah dibuktikan tidak memiliki keuntungan medis. Pemerintah perlu segera mengoreksi kebijakannya tentang sunat perempuan agar tidak ada petugas medis yang melibatkan diri dalam praktik ini, membangun pemahaman publik tentang sunat perempuan sebagai praktik tradisi yang perlu ditinggalkan dan tentang persoalan diskriminasi terhadap perempuan yang harus dihapuskan, dan bekerjasama dengan para pemuka agama dan tokoh komunitas untuk mempercepat pemahaman publik tersebut.15 Kekerasan terhadap perempuan dan hukuman mati (pasal 6) 19. Komnas Perempuan prihatin bahwa masih ada dukungan kuat untuk hukuman mati bagi pelaku perkosaan,16 karena terkait erat dengan rasa adil korban dan keluarga, juga untuk efek Lengkap tentang persoalan ini bisa dilihat di laporan Konsorsium Nasional Diffabel, yang pelaporannya ini merupakan tindak lanjut dari konsultasi Komnas Perempuan pada Desember 2012 14 Persoalan yang dihadapi LBT telah juga disampaikan dihadapan Komisioner Tinggi HAM PBB dalam kunjungannya ke Indonesia, 12 November 2012. 15 Rekomendasi ini juga disampaikan di hadapan sidang Komite CEDAW, dan pemerintah Indonesia perlu memberikan laporan mengenai tindak lanjut rekomendasi tentang sunat perempuan dalam kurun 2 tahun setelah pelaporan 16 Tuntutan untuk hukuman mati juga tampak pada kejahatan narkotika dan korupsi. Pada tahun 2012 saja, ada dua kasus perkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan korban dimana keluarga korban menuntut hukuman mati; salah satunya 13
jera. Komnas Perempuan berpendapat bahwa hukuman mati perlu dihapuskan, sesuai dengan komitmen negara untuk penegakan HAM dan jaminan konstitusi bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Karenanya, pemerintah perlu memastikan hukuman mati dihapuskan dari sistem pidana indonesia, memperbaiki payung hukum untuk tindak kekerasan seksual, mendorong penegakan hukum yang transparan dan akuntabel, memperbaiki sistem lembaga pemasyarakatan, membangun pemahaman publik tentang pemidanaan, serta membangun program pemulihan yang menyeluruh bagi korban, keluarga dan komunitasnya. 20. Memastikan perlindungan hukum dari hukuman mati bagi perempuan pekerja migran adalah salah satu tantangan yang perlu dan terus dilakukan pemerintah. Pada 18 Juni 2011, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi hukuman mati terhadap pekerja migran perempuan Indonesia, Ruyati binti Saboti Saruna. Proses hukum kasus Ruyati terlambat mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia. Atas desakan publik, pemerintah Indonesia membentuk Satuan Tugas Penanganan Kasus Warga Negara Indonesia/ Tenaga Kerja Indonesia yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri.17 Data dari pemerintah dan Satgas TKI, hingga Februari 2012, tercatat 253 WNI/TKI terancam hukuman mati di luar negeri.18 Hingga akhir masa kerjanya 7 Juli 2012, Satgas telah berhasil membebaskan 72 WNI/TKI dari hukuman mati, terdiri dari 42 perempuan dan 30 Laki-laki. Artinya, masih banyak yang belum berhasil dibebaskan. Dari temuan Komnas Perempuan, pekerja migran perempuan Indonesia, khususnya yang telah habis masa kontrak tapi tidak bisa kembali ke tanah air dan yang tidak berdokumen, paling rentan untuk dijebak menjadi penyelundup atau kurir narkoba. Pada akhirnya, menjadi rentan terancam hukuman mati dan hukuman berat lainnya. 21. Berhadapan dengan situasi ini, (a) Negara, khususnya Kemenakertrans dan Kemenlu perlu menindaklanjuti kerja-kerja Satgas terhadap WNI/TKI yang terancam hukuman mati menjadi satu sistem yang kokoh dan terintegrasi pada tiap lembaga dan kementrian yang terkait dengan perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya, (b) mengoptimalkan peran perwakilan RI di luar negeri dalam memberikan perlindungan , memproses legal kasus-kasus agar tidak ada impunitas dan hentikan victimisasi korban menjadi terdakwa karena kelalaian pendampingan, juga pencegahan dan penangan terhadap pekerja migran khususnya pekerja migran perempuan terhadap ancaman hukuman mati bisa dihentikan. Menentang Penyiksaan: Kekerasan terhadap perempuan di Tahanan dan Serupa Tahanan, Kondisi Aceh dan Perempuan dengan gangguan mental dan psikososial (Pasal 7) 22. Upaya pemerintah untuk memastikan perlindungan bagi perempuan di dalam tahanan dan dalam kondisi serupa tahanan perlu mendapat mendapatkan perhatian serius dan dukungan dari semua. Pemantauan Komnas Perempuan dari Desember 2011 s.d. Agustus 2012 di sejumlah lokasi tahanan dan serupa tahanan19 menunjukkan bahwa kapasitas fasilitas yang terbatas menyebabkan perempuan tahanan (dan narapidana) tinggal berdesak-desakan dengan sanitasi minim, tidak memiliki ruang gerak yang cukup, kekurangan makanan, dan belum mendapatkan layanan kesehatan repoduksi yang memadai, termasuk kekurangan diputus dengan hukuman tersebut. 17 Tentang Satuan tugas ini Pada 7 Juli 2011, Presiden RI menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2011 dan diperpanjang dengan no 8 tahun 2012 18 Penyebaran pekerja migran yang dijatuhi hukuman mati : 168 di Malaysia, 25 orang di China, 3 Orang di Iran,
2 orang di Singapura dan 1 orang di Brunei Darussalam. Adapun jenis-jenis kasusnya, 152 orang terjerat kasus penyelundupan Narkoba, 77 kasus kriminal pembunuhan, 8 kasus sihir, 3 kasus penculikan dan 2 kasus kepemilikan senjata api.
Pemantauan dilakukan di Lapas Kelas IIA Denpasar (Lapas Kerobokan), Rutan Pondok Bambu, Lapas Wanita Tangerang, Lapas Anak Wanita Tangerang, Lapas Wanita Malang, Panti Rehabilitasi PSBKW Harapan Mulia Kedoya, Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya (PSKW Mulya Jaya) Pasar Rebo 19
pembalut saat menstruasi. Korupsi dan pemalakan adalah persoalan yang kerap dilaporkan, dan kerentanan pada kekerasan oleh sesama narapidana meningkat karena lembaga pemasyarakat tidak mengenal klasifikasi penjara berdasarkan derajat kejahatan. Padahal, banyak dari perempuan narapidana menjadi pelaku tindak pelanggaran hukum karena dipaksa oleh suami atau pacarnya untuk ikut serta, atau karena menjadi tulang punggung keluarga, melakukan perdagangan narkotika, penipuan, dan pencurian. Sejumlah lembaga pemasyarakatan juga belum memiliki petugas perempuan yang cukup maupun yang bertugas di malam hari. 23. Pihak kepolisian perlu memastikan pelaksanaan kode etik dan proses hukum yang transparan dan akuntabel bagi aparat yang melakukan tindak penyiksaan dan eksploitasi kepada tahanan perempuan. Komnas Perempuan mengapresiasi langkah cepat yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut tindak eksploitasi seksual yang dialami seorang tahanan perempuan pelaku tindak pelanggaran lalu lintas di Jakarta, 2012.20 Langkah serupa perlu menjadi preseden dan diperkuat dalam penanganan kasus lainnya, termasuk kasus-kasus yang telah dilaporkan sebelumnya dan kasus yang tengah bergulir, termasuk 15 kasus yang dilaporkan kepada Komans Perempuan pada tahun 2012.21 24. Proses hukum bagi satuan polisi Pamong Praja pelaku tindak kekerasan dalam pelaksanaan tugas dan terhadap tahanan perempuan perlu mendapat perhatian serius.22 Keluhan pada tindak kekerasan Sapol PP terutama dilaporkan kepada Komnas Perempuan terkait penggusuran dan pelaksanaan peraturan daerah yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Di Tanggerang (2007-2008), akibat penahanan yang sewenang-wenang dan ketiadaan proses pemulihan nama baik karena dituduh sebagi pekerja seks, korban meninggal dunia dalam kondisi depresi berat. Tahun 2012, Komnas Perempuan menerima pelaporan tentang tindak perkosaan oleh angota Sapol PP Sulawesi Tengah terhadap 2 kakak beradik (berusia 14 dan 19 tahun) yang ditahan dengan tuduhan mengganggu ketertiban karena mengemis. Sampai saat ini belum ada informasi tentang tindak lanjut proses hukum terhadap pelaku. 25. Penegakan hukum kepada anggota wilayahtul hisbah23 di Aceh yang melakukan tindak kekerasan juga perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Komnas Perempuan bahwa sampai sekarang belum ada kemajuan proses hukum atas anggota WH yang melarikan diri dari tuntutan pertanggungjawaban hukum atas tindak perkosaan yang dilakukan terhadap tahanan perempuan di Langsa, 2009. Sebelumnya, pada tahun 2007, polisi menolak memproses laporan tindakan tidak menyenangkan, termasuk pelecehan seksual, yang dilakukan oleh WH terhadap perempuan yang dianggap melanggar aturan busana. Kontras Aceh-sebuah lembaga HAM- juga melaporkan setidaknya 11 kasus kekerasan dalam razia busana oleh WH pada tahun 2012. Karena berkaitan dengan isu moralitas, Komnas Perempuan menenggarai bahwa pelecehan seksual, setidaknya dalam bentuk verbal, terhadap perempuan terjadi, namun data pasti sulit diperoleh karena hampir tidak ada pendampingan hukum bagi mereka yang dalam status tersangka bagi mereka yang dituduh khalwat. Pelanggaran ini diancam hukuman cambuk dan hanya dapat dimonitor lewat pantauan media. 26. Komnas Perempuan menguatirkan pembiaran tindak perilaku atau penghukuman yang Dalam proses tahanan, foto perempuan tahanan dalam kondisi tidak sadar diri dan berpakaian minim diambil dan disebarkan. 21 Kasus yang telah dilaporkan termasuk kasus dugaan pelecehan seksual di Abepura, Papuam 2011; sedang kasus tengah bergulir antara lain kasus perkosaan oleh tiga aparat kepolisian di Simeuleu, Aceh, 2013. 22 Satpol PP adalah aparat dari pemerintah daerah dengan kewenangan penegakan peraturan daerah, termasuk untuk melakukan penangkapan dan penahanan pelanggar peraturan daerah. 23 Wilayatul Hisbah adalah bagian dari Satpol PP di Aceh untuk pelaksanaan aturan terkait Syariat Islam 20
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di Aceh atas nama kewenangan khusus penegakan Syariat Islam. Kekerasan, terutama dalam bentuk intimidasi verbal kerap terjadi dalam razia busana serta kerudung, dan dalam penangkapan pasangan yang dituduh berkhalwat. Kekerasan dilakukan tidak saja oleh warga atas pengetahuan atau persetujuan aparat berwenang, tetapi juga oleh aparat yang bertugas. Kontras Aceh, sebuah organisasi HAM, melaporkan bahwa terkait dengan pelaksanaan Syariat Islam pada tahun 2012, terjadi penghukuman sewenang-wenang oleh warga dengan cara dimandikan (35 kasus), nikah paksa (8), dipukul (25), pelecehan seksual(1) diarak (3), direndam (6), dan diintimidasi (166). 27. Komnas Perempuan prihatin bahwa belum terjadi pencabutan hukuman cambuk di Aceh meskipun bertentangan dengan komitmen negara pasca ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (1999) dan Konvensi Hak-hak Sipil Tahun (2005) dan pemerintah Aceh atas penegakan HAM. Belasan perempuan telah menjalani hukuman cambuk, 2 diantaranya adalah perempuan yang berjualan nasi di bulan puasa, 2010. 28. Atas semua persoalan di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan agar pemerintah Indonesia (a) memperkuat komitmennya membangun mekanisme nasional pencegahan penyiksaan terhadap tahanan dan serupa tahanan dengan melibatkan institusi-inistitusi HAM nasional untuk memastikan perlindungan terhadap tahanan khususnya perempuan; (b) mempercepat upaya untuk menyediakan tahanan khusus perempuan dan mendukung realisasi komitmen kepala daerah, antara lain gubernur DIY, untuk mendirikan tahanan perempuan, (c) bersama DPR RI perlu segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (OPCAT) dan Protokol Opsional CEDAW, (d) menjalankan rekomendasirekomendasi kepada Pemerintah Indonesia yang telah disampaikan oleh Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan dan Komite Anti Penyiksaan, terutama untuk: (d1) memberi jaminan perlindungan hukum (legal safeguards) bagi semua tersangka yang berada dalam tahanan, termasuk akses pada pendamping hukum, akses pada pemeriksaan kesehatan, hak untuk memberitahukan anggota keluarga, dan hak atas informasi tentang hak-haknya selama dalam tahanan (antara lain, tentang tuntutan hukum terhadapnya), dan hak untuk disidangkan dalam kurun waktu yang sesuai standar internasional, (d2) meningkatkan pelatihan-pelatihan tentang larangan mutlak terhadap penyiksaan bagi seluruh aparat penegak hukum, termasuk aturan dan praktik interograsi sesuai ketentuan Konvensi Anti Penyiksaan, (d3) meningkatkan kualitas kondisi tahanan, khususnya dalam pemberian layanan kesehatan, penanganan (bukan penghukuman) terhadap tahanan dengan kelainan mental, perbaikan kuantitas dan kualitas makan, (d4) memberantas praktik-praktik diskriminasi dan korupsi dalam sistem tahanan, dan (d5) menyediakan aparat perempuan untuk tempat-tempat tahanan perempuan. Selain itu, (e) pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memastikan proses hukum yang transparan dan akuntabel pada aparat yang melakukan tindak penyiksaan dan kekerasan terhadap tahanan perempuan dalam berbagai tingkatan dan institusi, termasuk atas satpol PP dan WH. Juga, otoritas nasional dan Aceh (f) perlu menghapus hukuman badan sebagai bagian dari komitmen penegakan HAM, dan mencabut kebijakan yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas, dan (g) melakukan pendidikan publik untuk mencegah tindak penghukuman sewenang-wenang dan tidak manusiawi lainnya. 29. Komnas Perempuan juga mendesak pemerintah untuk mengadopsi zero tolerance pada tindak pemasungan terhadap orang dengan gangguan mental dan psikososial, dan dilengkapi dengan upaya memperbaiki fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit dan obat-obatan, serta pendidikan publik untuk mengatasi stigma terhadap mereka. Situasi pemasungan dan stigma meningkatkan kerentanan perempuan dengan gangguan mental dan psikososial pada kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Komnas Perempuan sangat prihatin bahwa proses hukum terhadap pelaku perkosaan tersebut sangat lambat karena proses hukum yang juga
tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus korban.24 Perlindungan bagi pekerja migran dan pekerja rumah tangga dari perbudakan modern (Pasal 8) 30. Pemerintah perlu memastikan perlindunganyang efektif bagi tenaga kerja di luar negeri agar tidak bekerja dalam kondisi serupa perbudakan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menemukan bahwa mereka rentan kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi, penyiksaan, eksploitasi, trafficking, deportasi paksa dan kriminalisasi. Data dari Badan Nasional Penempatan & Perlindungan TKI (BNP2TKI) menyebutkan, pada 2011 lalu terdapat 2.145 orang pekerja migran yang mengalami penganiayaan, 2.209 orang mengalami kekerasan seksual dan 1.730 orang bekerja tanpa upah. 31. Perlindungan serupa bagi PRT perlu pula dipastikan ada di dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2008 jumlah PRT mencapai 2 Juta orang; 12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil Rapid Assesment yang dilakukan oleh LSM JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Kerentanan terhadap perbudakan dapat terlihat dari jam kerja yang panjang, upah rendah bahkan banyak kasus tidak dibayar dan tidak ada standard pengupahan yang jelas, beban kerja berlapis, hambatan untuk berkomunikasi, bersosialisasi, bermobilitas dan bersosialisasi. Dalam rangka menjamin perlindungan pekerja domestik, termasuik system pengawasan terhadap penegakan hukum, Lembaga legislatif perlu didorong untuk tidak menunda-nunda pembahasan dan pengesahan Undang-undang Perlindungan PRT dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran hak kemerdekaan berkeyakinan dan beragama (Pasal 18) 32. Komnas Perempuan prihatin bahwa rasa aman perempuan terus memburuk seiring dengan peningkatan tindak intoleransi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas agama dalam 7 tahun terakhir, antara lain: 32.1 Perempuan Ahmadiyah menghadapi kekerasan fisik, intimidasi, pelecehan seksual dan ancaman perkosaan. Hal ini dipantau Komnas Perempuan dalam serangan pada komunitas Ahmadiyah tahun 2005, di beberapa Kabupaten di Jawa Barat dan di Nusa Tenggara Barat. Selain stigmatisasi dan intimidasi secara luas dialami oleh Ahmadiyah, korban dari serangan ini di NTB terpaksa tinggal di pengungsian sudah selama tujuh tahun, tanpa kepastian untuk dapat kembali, kehilangan akses pada properti dan sumber penghidupannya, dan juga kesulitan untuk mengakses layanan publik dan kehilangan hak politik dalam pemilu/pemilukada sebab tidak memiliki kartu tanda penduduk. Komnas Perempuan mencatat perempuan muda di pengungsian rentan kawin usia muda karena tidak dapat melanjutkan pendidikannya, dan ada perempuan muda tuna daksa yang tidak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah daerah. Pada serangan di Cikeusik, Banten, 2011, perempuan menjadi kepala keluarga tunggal akibat kehilangan anggota keluarganya yang terbunuh maupun yang dikriminalisasikan.25 32.2 Komnas Perempuan mencatat adanya pelecehan seksual dan ancaman perkosaan yang ditujukan kepada anggota komunitas dan juga pendamping advokasi tindak intoleransi terhadap komunitas Kristen HKBP Filadelfia, Bekasi. Sementara tidak terlihat proses hukum pada pelaku tindak intoleransi, pemimpin komunitas justru diancam kriminalisasi. Intimidasi kepada komunitas HKBP Filadelfia terjadi hingga sekarang, dan terutama menguat pada setiap hari minggu ketika ibadah hendak dilangsungkan, meski Lihat laporan Koalisi Nasional Diffabel di Lampiran 4 Lihat laporan Lajna Inaillah, kelompok perempuan Ahmadiyah, yang diserahkan kepada komite CEDAW, 2012, pada lampiran 5 24 25
sudah ada putusan pengadilan Tata Usaha Negara untuk pencabutan SK Bupati yang menghalangi hak mendirikan rumah ibadah sejak Maret 2011. 32.3 Perempuan Syiah dan Sunni di Sampang (Jawa Timur) melaporkan trauma berkepanjangan yang mereka derita akibat serangan terhadap komunitas Syiah, 2012. Serangan terakhir mengakibatkan 1 orang terbunuh, puluhan luka-luka dan sekurangnya 276 orang penganut Syiah yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan lak-laki dewasa serta lansia mengungsi ke gedung olah raga (GOR) Sampang. Sampai hari ini mereka belum berani secara terang-terangan dan berkelangsungan kembali ke tempat tinggalnya karena tidak ada jaminan rasa aman. 32.4 Beban menjadi orang tua tunggal dihadapi oleh istri dari pemuka komunitas yang mengalami kriminalisasi sebagaimana dialami di komunitas Ahmadiyah, Syiah, Bahai, dan Gereja Pantekosta di Indonesia.26 Mereka juga harus menghadapi stigmatisasi dan pengucilan oleh warga sekitar. Pada saat bersamaan mereka menjadi penyokong kelangsungan hidup keluarga dan komunitasnya. 32.5 Perempuan anggota komunitas GKI Yasmin melaporkan bahwa mereka terus merasa was-was dalam menjalankan ibadahnya, baik di lokasi maupun di rumah warga. Sampai saat ini pembangunan gereja tidak dapat dilakukan akibat pembangkangan dari pemerintah daerah meski telah ada putusan MA dan rekomendasi dari Obmudsman untuk pencabutan pelarangan izin pembangunan tersebut. 32.6 Perempuan anggota komunitas gereja yang diserang di Aceh, 2012, menyampaikan kepada pendamping bahwa ia ketakutan wajahnya dikenali dan akan mengalami kekerasan atau intimidasi lanjutan dalam kehidupannya sehari-hari, di samping rasa kekuatiran setiap kali hendak beribadah. Kekuatiran ini terjadi pasca publikasi tentang tindak serangan dan penutupan paksa lokasi ibadah di Banda Aceh, Oktober 2012. Komnas Perempuan mendapatkan laporan27 bahwa sampai dengan Mei 2012 lalu di Singkil, Aceh terdapat 19 rumah ibadah yang telah ditutup. Pada 16 November 2012, terjadi penyerangan terhadap komunitas Tengku Ayub di Bireun karena dituduh sebagai aliran sesat. Tiga orang meninggal dunia, 9 luka, dan para perempuan sampai sekarang hidup dalam ketakutan. Kemerdekaan Berpendapat dan WHRD (Pasal 19) 33. Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan kewenangan jaksa agung melarang peredaran publikasi tanpa proses peradilan sebagai bertentangan dengan hukum. Hal ini terutama penting untuk menjamin kemerdekaan berpikir dan mengemukakan pendapat, serta hak untuk mencari dan menggunakan informasi. Namun, komitmen negara untuk penegakan hak ini masih menghadapi banyak Pada kasus penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik pada awal 2011, dimana pengadilan memutuskan hukuman 3-7 bulan penjara pada penyerang sedangkan anggota Ahmadiyah dijatuhi hukuman 6 bulan penjara. Hal serupa terjadi pada peristiwa pembakaran tiga rumah milik tokoh kelompok Syiah di Sampang pada 29 Desember 2011 dimana Pengadilan Negeri Sampang melalui putusan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg tertanggal 12 Juli 2012 memvonis Ustad Tajul Muluk, tokoh pimpinan Syiah Sampang, 2 (dua) tahun penjara karena dianggap terbukti melakukan tindak pidana perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.Dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi Jawa Timur memperberat menjadi empat tahun dalam berkas putusan No. 481/Pid/2012.PT Sby. 17 September 2012. Kriminalisasi, dengan penjara 3 bulan juga dihadapi oleh Pdt. Bernard Mawkar, tokoh Gereja Pantekosta di Indonesia, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan tuntutan penyalahgunaan bangunan sebagai tempat ibadah. Juga, tokoh Bahai di Lampung, Bpk Syahoni dan Iwan Purwanto dipenjara 5 tahun sejak 2010 dengan tuduhan mengajarkan agama kepada anak secara paksa. Kriminalisasi juga terjadi terhadap tokoh GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, namun masih dalam proses hukum. 27 Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Rumah ibadah yang dimaksud adalah 10 Gereja Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), 4 Gereja Katholik, 3 Gereja GMII, 1 Gereja HKI, 1 Gereja JKI dan 1 Rumah Ibadah Pambi-Agama Local penganut Kepercayaan Parmalim. Selain di Aceh Singkil, juga terjadi penutupan rumah ibadah berupa 9 gereja, 5 vihara dan 1 kuil di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2012. 26
tantangan, khususnya oleh kelompok yang mengatasanamakan agama. Intimidasi yang berujung pada pembubaran diskusi buku dengan penulis (Irshad Manji) di Jakarta dan Jogjakarta pada tahun 2012, pembubaran kegiatan pelatihan HAM, pemutaran film dan diskusi kelompok LGBT di Jakarta dan Surabaya (2010-2012) adalah contohnya. Komnas Perempuan juga menerima keluhan bahwa pemerintah dan masyarakat di Aceh semakin tertutup dan bahkan menyangkal berbagai persoalan kekerasan dan penghukuman sewenangwenang yang mengekori pelaksanaan Syariat Islam di daerah tersebut. Pada Agustus 2012, pemerintah Banda Aceh melarang peserta non-Muslim dan ekspresi budaya Tionghoa (Barongsai dan Tarian Singa) selama rengkaian acara memperingati perdamaian Aceh yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil daerah. Semua situasi ini meresikokan masa depan demokrasi, dan secara langsung maupun tidak langsung akan menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 34. Dalam perjuangannya, perempuan pembela HAM (WHRD-women huamn rights defenders) kerap menghadapi intimidasi dan stigmatisasi, penganiayaan, penyiksaan, dan kriminalisasi akibat aktivismenya. Dalam empat tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan pembela HAM untuk pembelaan hak-hak masyarakat adat atau konflik sumber daya alam adalah yang paling rentan mengalami kekerasan dan kriminalisasi, sebagaimana yang terjadi di Fatumnasi-Nusa Tenggara Timur, Serdang Bedage-Sumatera Utara, Luwuk Bangai-Sulawesi Tengah, Papua, Bengkulu dan Riau. Pada kasus di Sulawesi Tengah, misalnya, perempuan pembela HAM tersebut dituduh melakukan penghasutan, ditangkap, dijatuhi hukuman penjara empat tahun, dan saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Agung. Pada tahun 2012, ada lima kasus intimidasi yang dialami WHRDs, salah satunya dialami oleh organisasi perempuan Yabiku, di Kefa, Nusa Tenggara Timur, pada 9 Desember 2012. Pembakaran diduga terkait bincang-bincang (talkshow) di radio setempat tentang kekerasan seksual yang dilakukan oeh pejabat publik. Sebelumnya Yabiku telah menerima sejumlah teror dan ancaman melalui telefon gelap. Komnas Perempuan mendesakkan proses hukum bagi pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap WHRDs, serta membebaskan pembela HAM dari segala tindak kriminalisasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari komitmen negara menegakkan HAM. Anak dan kekerasan seksual (Pasal 24) 35. Komnas Perempuan prihatin bahwa belum ada kebijakan di tingkat nasional untuk memastikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat terus menikmati haknya atas pendidikan. Nama baik sekolah kerap dijadikan alasan untuk mengeluarkan anak setelah hamil akibat perkosaan maupun akibat eksploitasi seksual. Tidak ada sanksi yang diberikan kepada sekolah yang bersikap demikian. Perlindungan pada kelompok penganut agama leluhur, penghayat kepercayaan dan agama minoritas (Pasal 27) 36. Meskipun UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan prinsip non diskriminasi dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan dan mewajibkan setiap warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting dalam hidupnya (kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian; bagi yang tidak melakukan pencatatan dapat dikenai sanksi denda), pada kenyataannya tidak semua orang dapat menikmati pelayanan yang setara. 36.1 Perempuan penghayat dan penganut agama leluhur mengadukan bahwa mereka mendapatkan perlakuan berbeda;28 mereka tidak dapat mencantumkan apa yang diyakini di dalam kartu tanda penduduk, melainkan kolom yang dikosongkan atau diberi tanda strip (-) ataupun diminta untuk memilih salah satu dari agama yang tersedia.29 Di Konsultasi dengan 66 individu dan 26 kelompok penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur dan masyarakat adat, 20 April 2012; 29 Isiannya adalah 6 agama yang banyak dianut di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu 28
beberapa daerah, mereka menerima kartu dengan isian kepercayaan/penghayat. Akibat dari isian kartu tanda penduduk yang berbeda, mereka kerap tidak dapat mengakses layanan publik lainnya karena dianggap tidak beragama ataupun berpaham komunis keduanya dilarang oleh negara-, ataupun belum beragama. 36.2 Perempuan penghayat dan penganut agama leluhur melaporkan bahwa prasyarat pencatatan perkawinan menyebabkan mereka diperlakukan berbeda dalam hal penikmatan hak berorganisasi. Mereka wajib berorganisasi sebab pencatatan perkawinannya hanya dapat dilakukan jika dinyatakan sah oleh pemimpin keyakinannya yang telah mendaftarkan organisasi keyakinan itu ke pemerintah. Padahal agama leluhur kerap tidak mengenal bentuk organisasi yang dimaksudkan negara untuk dapat didaftarkan, juga tidak semua penghayat atau penganut agama leluhur menjadi bagian dari organisasi yang didaftarkan itu. Jika mereka tidak dapat mencatatkan perkawinannya maka perempuan (dan anak) yang dilahirkan dari perkawinan tersebut akan kehilangan perlindungan hukum serta, karena akte anak haya akan menyebutkan nama ibu maka perempuan akan menyandang sitgma sebagai bukan perempuan baik karena memiliki anak di luar pernikahan. 36.3 Perempuan Ahmadiyah melaporkan bahwa mereka tidak dapat memiliki KTP ataupun mencatatkan perkawinannya di lokasi asal masing-masing. Mereka yang pernah mencoba untuk mendaftarkan diintimidasi untuk menyatakan diri keluar dari Ahmadiyah. Akibatnya mereka harus berpindah tempat, menggunakan identitas palsu untuk tempat tinggalnya, dan membayar mahal untuk dapat mencatatkan dirinya. 37. Komnas Perempuan mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem pencatatan kependudukan dengan memastikan prinsip non diskriminasi terimplementasi. Persoalan diskriminasi dalam hal pencatatan dan juga sebagai implikasinya menjadi dasar usulan agar kolom agama dihapuskan dari kartu tanda penduduk.30 Pemerintah, karenanya, perlu membangun data base terbuka untuk mengisi kolom agama/keyakinan, menghapus kewajiban (langsung maupun tak langsung) berorganisasi untuk pencatatan perkawinan, dan mencegah dan menindak aparat melakukan intimidasi terhadap warga negara berdasarkan agama dan keyakinannya.
30
Usulan ini antara lain disampaikan oleh Komite CERD