Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Untuk Sidang HAM Nasional Kedua Oleh Tiga Lembaga HAM Nasional (Komnas HAM, Komnas Perempuan & KPAI) Tanggung Jawab Negara dan Aktor Non Negara Dalam Skema HAM; Temuan dan Tinjauan Komnas Perempuan
1. Tinjauan atas Rekomendasi Sidang HAM Pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah salah satu lembaga HAM nasional (National Human Rights Institution/NHRI) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 181 Tahun 1998 kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) RI No 65 tahun 2005. Berdasarkan Perpres tersebut Komnas Perempuan bertujuan untuk (a) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; (b) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan. Pada 12 Desember 2011 lalu, Ketiga Lembaga HAM nasional telah menyelenggarakan sidang HAM Nasional I yang menghasilkan beberapa rekomendasi dari masing-masing NHRI, ditambah rekomendasi dari beberapa organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi pendamping dan komunitas korban, yang ditujukan bagi lembaga pemerintah, yudikatif dan legislatif. Komnas Perempuan memfokuskan pada tema pemenuhan hak korban kekerasan seksual atas keadilan, kebenaran & pemulihan. Komnas Perempuan mencatat beberapa rekomendasi penting dan memantau beberapa langkah maju yang sudah dilakukan negara dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan yang menjadi bagian dari rekomendasi sidang HAM I. Beberapa kemajuan yang patut diapresiasi, yaitu : 1. Hingga Agustus 2012, terdapat 252 kebijakan kondusif di tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota terkait
dengan penyediaan layanan korban kekerasan. Diantaranya 44 kebijakan mengatur substansi perlindungan korban, 16 kebijakan mengenai standard pelayanan minimum dan tata kerja pelayanan perempuan korban tindak kekerasan , 18 kebijakan berkaitan kerjasama penanganan kasus dan 174 kebijakan mengatur struktur kelembagaan layanan terpadu. 2. Terobosan dan inisiatif Walikota Palu, Sulawesi Tengah, yang menyampaikan permohonan maaf kepada
korban tragedi 1965 atas peristiwa pembunuhan dan kerja paksa. Selanjutnya juga merencanakan rehabilitasi mendesak bagi korban berupa jaminan kesehatan, biaya pendidikan dan santunan pensiun. Langkah ini merupakan bagian dari pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban Tragedi 1965 di mana perempuan korban termasuk di dalamnya. 3. Peningkatan kapasitas Aparat Penegak Hukum (APH) mengenai HAM dan gender melalui komitmen
pengintegrasian dalam kurikulum dan bahan ajar pendidikan dan pelatihan Penegak Hukum, baik Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat serta Lembaga Pemasyarakatan. 4. Peningkatan kapasitas HAM dan gender bagi para guru melalui Pelatihan HAM dan gender bagi para guru SLTA. 5. Upaya Mencegah lahirnya kebijakan diskriminatif yang dilakukan Kapoltabes Kota Banjarmasin dengan
aktif melakukan sinergi kerja dengan penegak hukum dan tokog masyarakat, tokoh adat serta tokoh agama atas nama perlindungan dan keamanan warga. 6. Pengesahan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya pada 12 April 2012, dan diundangkan melalui Undang-undang No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection on the Rights of all Migrant Workers and their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). 1
7. Komitmen pemerintah RI untuk mengadopsi rekomendasi UPR (Universal Periodic Review) dan Komite
CEDAW untuk meratifikasi Opsional Protokol CEDAW, Konvensi ILO 189 Kerja layak PRT. dan bahkan sudah ratifikasi Konvensi Migran 1990. Instrumen tersebut sangat strategis sebagai sandaran hukum bagi perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa rekomendasi masih mengalami kendala, diantaranya : 1. Tindak lanjut implementasi nota kesepahaman (Memorandum of
understanding/MoU) antara Komnas Perempuan dan Penegak Hukum serta Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) untuk, peningkatan kapasitas aparat, membangun sistem pelayanan terpadu untuk penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP) dan monitoring evalusi akses keadilan bagi perempuan korban belum tersosialisasi secara optimal hingga ke tingkat daerah. Kesepakatan oleh masing-masing institusi bahwa masing-masing Kementrian/Lembaga melakukan sosialisasi belum dilaksanakan. 2. SPPT-PKKTP belum terbangun hingga ke struktur Aparat Penegak Hukum, termasuk pentingnya
keterlibatan Lembaga Pengada Layanan, sehingga penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual masih menghadapi berbagai kendala serius, karena kurangnya kesepahaman kerentanan perempuan korban akibat diskriminasi yang dialami ketika berhadapan dengan hukum. 3. Pembahasan dan pengesahan RUU Perubahan atas KUHP & RUU perubahan atas KUHAP masih dalam
pengelolaan pemerintah dan belum dikategorikan prolegnas prioritas Tahun 2012. 4. Penundaan pembahasan & pengesahan RUU Perubahan ata KUHP & RUU perubahan atas KUHAP ini
menghambat proses pengungkapan kasus Kerusuhan Mei 1998 oleh negara, karena pengungkapan kasus tidak bisa dilakukan tanpa perubahan KUHP & KUHAP. 5. Penanganan konflik di Papua belum mengalami langkah maju, sebaliknya situasi makin memburuk, antara
lain dengan meningkatnya eskalasi kekerasan terhadap warga masyarakat, termasuk kekerasan terhadap aktivis HAM di beberapa wilayah Papua. Belum ada tindak lanjut upaya dialog antara Pemerintah dan masyarakat Papua yang dipandang sebagai jalan damai terbaik untuk menyelesaikan konflik Papua, yang telah menjadi komitmen Pemerintah. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) mengenai Pemulihan Perempuan Korban di Papua yang sudah disahkan oleh DPRD juga masih menggantung di Pemerintah Pusat, padahal Perda tersebut sangat ditunggu perempuan korban
2. Peran dan Posisi Aktor Non-Negara dalam Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan Piagam PBB, menyebutkan bahwa negara merupakan aktor utama penanggung jawab dan pemangku kewajiban yang menjamin hak asasi manusia dari setiap warga negaranya, di manapun berada. Kewajiban negara berkaitan dengan hak asasi manusia meliputi tiga hal yaitu menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil), dan melindungi (to protect). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali berdasarkan hukum yang sah. Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis yang perlu untuk menjamin hak asasi dilaksanakan. Kewajiban untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak yang ada, bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas lain (non-state) yang akan mengganggu perlindungan hak tersebut1 Namun demikian, terdapat fakta yang sulit disangkal, bahwa ketergantungan satu Negara terhadap institusi nonnegara semacam lembaga keuangan Internasional baik Bank Dunia, IMF juga lembaga donor lainnya serta invasi kekuatan modal korporasi membuat negara melemah dan tidak mampu secara optimal dalam menjalankan kewajiban HAMnya.. Aktor non-negara lain yang hingga sekarang juga telah merapuhkan Negara adalah intervensi kepentingan kelompok-kelompok opresif & intoleran. Lebih dari itu, peran aktor non-negara sebagai pelaku langsung dan tidak langsung atas kekerasan & pelanggaran HAM makin hari makin sering terjadi. 1
Arimbi Heroeputri, Tanggung Jawab Negara (State Actor), Korporasi dan Lembaga Keuangan Internasional (Nonstate Actor) dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Dokumen Internal Komnas Perempuan, Tidak diterbitkan.
2
Kacamata perempuan meluaskan temuannya tentang aktor non-negara, bahwa aktor non-negara sebagai pelaku kekerasan dan pelanggaran dapat dilihat dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada mulanya temuan ini tidak dilihat dalam perdebatan wacana arus utama HAM. Tetapi dalam KDRT pelakunya nyata merupakan aktor non-negara baik perorangan maupun kelompok. Konvensi CEDAW menyebutkan secara tegas perihal kewajiban negara untuk menghapus diskriminasi dalam segi hukum, pada pasal 2 huruf (c) Melakukan tindakan tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau lembaga apa saja. 3. Peran Aktor Non-Negara dalam Konflik Sumber Daya Alam Konflik pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan Agraria sesungguhnya bukan persoalan baru di Indonesia. Konflik pengelolaan SDA dan agraria muncul dari ketidakjelasan tapal batas lahan penguasaan dan pengelolaan SDA oleh pihak-pihak tertentu, dalam hal ini korporasi, baik korporasi murni swasta dan korporasi yang merupakan badan usaha milik Negara, yang mengakibatkan diskriminasi, ketidakadilan dan marjinalisasi kelompok masyarakat lainnya. Monopoli pengelolaan SDA dan penguasaan lahan selalu mengarah pada eksploitasi yang merampas sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya secara sistemik dan terstruktur. Konteks kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam (SDA) & agraria, aktor non-negara yaitu korporasi mengambil peran utama dalam berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM. Namun, dia tidak berdiri sendiri, Negara berperan dalam melegitimasi tindakan kekerasan dan pelanggaran tersebut. Peran negara tersebut dalam bentuk kebijakan yang mendukung dan keterlibatan atau pengerahan aparat keamanan negara untuk menjaga kepentingan korporasi tersebut. Dalam hukum HAM internasional sesungguhnya telah dirumuskan kewajiban Negara dalam pengaturan korporasi untuk menghormati HAM yang terdapat dalam dokumen Guiding Principles for the Implementation of the Protect, Respect and Remedy Framework2 : 1. Negara harus melindungi dari bisnis yang berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia di dalam
wilayah mereka dan / atau yurisdiksi dengan mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan ganti rugi atas pelanggaran tersebut melalui kebijakan yang efektif, regulasi, dan ajudikasi. 2. Negara seharusnya mendorong perusahaan bisnis yang berdomisili di wilayah mereka dan / atau yurisdiksi
mereka untuk menghormati hak asasi manusia di seluruh operasi global mereka, termasuk yang dilakukan oleh anak perusahaan dan badan hukum lainnya yang terkait. 3. Sebagai bagian dari fungsi kebijakan dan regulasi, Negara harus mengatur dengan jelas harapan mereka
untuk semua bisnis perusahaan yang beroperasi atau berdomisili di wilayah mereka dan / atau yurisdiksi untuk menghormati hak asasi manusia, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk mendukung, mendorong dan jika perlu meminta mereka untuk melakukan, termasuk upaya: a. Menegakkan hukum yang mengharuskan perusahaan bisnis untuk menghormati hak asasi
manusia; b. Memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang mengatur pembentukan perusahaan bisnis baru
maupun yang sedang berjalan, seperti hukum perusahaan, tidak membatasi tetapi memungkinkan bisnis untuk menghormati hak asasi manusia; c. Memberikan bimbingan yang efektif untuk perusahaan bisnis tentang bagaimana menghormati
hak asasi manusia; d. Mendorong, dan bila dibutuhkan, perusahaan bisnis untuk menyediakan komunikasi yang
memadai terhadap kinerja hak asasi manusia mereka.
Sementara kewajiban korporasi dari dokumen yang sama menyebutkan, antara lain : 2
Dokumen Guiding Principle on Business and Human Right Implementing the United nation “Protect, Respect and Remedy” Framework, diunduh dari http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Business/A-HRC-17-31_AEV.pdf.
3
1. Setiap tindakan korporasi untuk mencegah, mengukur dampak dan menghormati Hak Asasi Manusia harus 2.
3.
4. 5.
sesuai dengan standar hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan diterapkan secara internal dalam semua struktur korporasi. Dalam rangka menjalankan kewajibannya korporasi harus memiliki kebijakan untuk mengukur efek yang ditimbulkan oleh operasinya ataupun yang berhubungan aktifitasnya, dalam berbagai skala, dengan cara identifikasi, mencegah, mengurangi dan memulihkan berbagai pelanggaran HAM dan tindakan yang merugikan dan dapat mempertanggung jawabkannya. Dalam rangka untuk mengidentifikasi, mencegah dan mengurangi dampak yang merugikan hak asasi manusia, Korporasi melakukan proses due diligence yang harus mencakup penilaian aktual dan potensial akan dampak hak asasi manusia, menanggapi sesegera mungkin atas temuan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya. Penilaian aktual ini harus disadari terus menerus karena kondisi hak asasi manusia juga dapat berubah , dan juga harus diintegrasikan dalam upaya pemulihan dan operasional korporasi. Keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terkena dampak dan para pemangku kepentingan terkait lainnya, sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks operasional. Dalam rangka untuk mempertanggungjawabkan kinerja hak asasi manusia, Korporasi harus terbuka untuk komplain atau suara kekhawatiran dari masyarakat yang potensial terkena dampak, dan memberi laporan secara berkala atas operasi yang dilakukan khususnya berkaitan dengan resiko.
Namun, prinsip-prinsip tersebut belum menjadi rujukan negara dalam pembuatan aturan dan kebijakan terkait prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM sebagai kewajiban korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Tanggung jawab HAM oleh korporasi seringkali disamakan dengan pertanggungjawaban sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Padahal dua hal tersebut sangat berbeda, CSR semestinya hanya bersifat sukarela yang diberikan dari hasil keuntungan korporasi, sedangkan tanggung jawab HAM merupakan prinsip dasar yang harus dijalankan sejak awal pendirian dan beroperasinya korporasi tersebut.
Table 1 Tanggung Jawab HAM aktor negara & non-negara Kemudahan investasi & penanaman modal asing dalam pengelolaan dan eksplorasi SDA, baik pertambangan, kehutanan, perkebunan dan kelautan, belum diimbangi dengan aturan dan kebijakan yang mengatur prinsip & kewajiban korporasi menjalankan operasinya dengan prinsip HAM. Beberapa kebijakan yang terkait dengan kemudahan izin eksplorasi dan izin hak guna usaha sangat mudah diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan berbagai surat keputusan Menteri Kehutanan yang memberikan Hak Pengusahaan HTI atas Areal Hutan, serta kebijakan daerah seperti SK Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang izin eksplorasi Pertambangan. Seiring dengan hal tersebut, konflik pengelolaan SDA dan agraria yang muncul, beberapa diantaranya sarat dengan pelanggaran HAM berat, seperti kasus PT Exxon Mobil di Aceh dan PT Freeport di Papua. Kebijakan untuk mempermudah investasi dan pemberian izin eksplorasi tambang dan hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri 4
dalam areal hutan juga didukung dengan pengamanan oleh aparat Negara yaitu polisi dan tentara. Dari temuan Komnas Perempuan, kasus-kasus yang terkait dengan SDA dalam eksekusi di lapangan selalu melibatkan polisi dan tentara Kasus Penolakan tambang PT. Sorik Mas Mining (PT SMM) di Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara
•
• Penolakan kebijakan daerah izin eksplorasi tambang • di Sape, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat •
Konflik agraria antara Suku Anak Dalam, Sungai • Beruang Jambi dan PT. Asiatik Persada (PT AP) untuk kepentingan Perkebunan Sawit •
Konflik agraria antara Petani Ogan Ilir dengan • PTPN VII •
Konflik agraria antara warga Register 45 Mesuji • Lampung dengan PT. Silva Inhutani Lampung (PT SIL) •
3.1.
Peran aktor negara Surat Rekomendasi Nomor: 522/8173 Tanggal 5 Agustus 2011 perihal pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan atas nama PT Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal Pembubaran aksi secara paksa, penembakan 1 orang perempuan oleh personil Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sumatera Utara Kompi C Tapanuli Selatan SK Bupati Bima No. 188.45/357/004/2010 tentang izin eksplorasi Pertambangan Penyerangan dan pembubaran aksi dilakukan oleh jajaran Kepolisian Kabupaten Bima dan Polda NTB. 85 orang korban ditembak maupun dipukul polisi. Dalam peristiwa tersebut ada 47 orang korban ditahan termasuk 5 perempuan dan 6 anak. Hak Guna usaha yang dimiliki oleh PT. Bangun Desa Utama (PT BDU) pada tahun 1987, kemudian pada PT. AP,dialihkan pada 1992. Penggusuran pemukiman, tanah ulayat dan kriminalisasi Suku Anak Dalam oleh 400 personel Brimob Jambi bergabung dengan security perusahaan Sejak tahun 1982 PTPN VII memegang sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) Penembakan warga sipil mengakibatkan seorang anak meninggal dunia, 6 orang luka tembak oleh personil Brimob dan pengerahan pasukan Brimob untuk penjagaan kawasan PTPN VII SK No. 93/Kpts-II/1997 tentang Pemberian Hak Pengusahaan HTI atas Areal Hutan seluas ± 43.100 Ha kepada PT SIL Penggusuran pemukiman dan penangkapan paksa, intimidasi, oleh aparat Kepolisian Polres Tuba
Situasi Perempuan dalam Konflik Pengelolaan SDA & Agraria
Berdasarkan pengaduan langsung yang diterima Komnas Perempuan sepanjang 2011-2012, ada 4 pengaduan kasus kekerasan & pelanggaran HAM yang dipicu dari konflik pengelolaan SDA dan agraria. Dari empat kasus tersebut jumlah korban tidaklah sedikit. Di beberapa kasus bahkan merenggut korban jiwa dan luka-luka, diantaranya 3 orang meninggal dunia dan 85 orang terluka dalam aksi penolakan tambang pasir di Sape, kabupaten Bima. Seorang meninggal dunia dan 6 orang luka parah akibat penembakan oleh Brimob yang berlatar belakang konflik antara PTPN VII dengan warga. Seorang perempuan ditembak dan 3 orang menjadi DPO dalam aksi penolakan perusahaan tambang di Siabu, Mandailing Natal, serta penggusuran pemukiman 55 rumah Suku Anak Dalam di Sungai Beruang Jambi. Selain menimbulkan korban jiwa, konflik pengelolaan SDA juga mengarah pada berbagai pelanggaran HAM baik hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu penangkapan semena-mena, tindakan kekerasan oleh aparatus Negara untuk pengamanan korporasi, intimidasi dan ancaman, kriminalisasi korban, penghilangan dan perampasan sumber penghidupan dan kehidupan, penggusuran pemukiman, terusir dari daerah sendiri dan tercerai berai dari komunitas. Demikian pula yang dialami dan dilaporkan masyarakat adat, khususnya perempuan 5
dari kabupaten Biak, Keerom & Merauke Papua. Aparat keamanan terlibat dalam kasus-kasus pembabatan hutan adat, perubahan fungsi hutan menjadi area industri, termasuk usaha kebun sawit, serta dalam penjualan gelap kayu. Masyarakat yang menolak pengambilalihan hutan mendapat stigma “pendukung separatism/memberi makan kelompok separatis di hutan”, mengalami intimidasi dan telah kehilangan sumber-sumber penghidupannya. Berbagai kasus konflik pengelolaan SDA dan agraria, kaum perempuan berada di garda terdepan dalam mempertahankan SDA sebagai sumber kehidupan. Pada kasus penolakan tambang PT. SMM di Mandailing Natal, kaum ibu yang memimpin dan mendominasi aksi protes atas rusaknya lingkungan di kawasan hutan Taman nasional Batang Gadis dan tercemarnya sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar akibat beroperasinya PT.SMM. Hal demikian juga terjadi di beberapa wilayah lain seperti di Serdang Bedagai, Sumatera Utara dan kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Pada saat yang sama pula kaum perempuan juga sekaligus menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan berlapis. Ketika kasus penggusuran pemukiman dan kriminalisasi korban Suku Anak Dalam Sungai Beruang Jambi, kaum perempuan dan keluarganya kehilangan sumber-sumber penghidupan, mengalami intimidasi, kekerasan, penangkapan semena-mena, kehilangan harta benda yang dimiliki, dan sebagian dari mereka juga terpaksa lari ke hutan dan bahkan ditemukan kasus perempuan yang terpaksa harus melahirkan di hutan. Kerentanan lain yang dihadapi oleh kaum perempuan dan korban lain dalam konflik SDA dan agraria adalah kriminalisasi dan penangkapan semena-mena. Kerentanan tersebut baik ketika perempuan yang langsung menjadi korban penangkapan semena-mena dan kriminalisasi, maupun ketika para suami yang menjadi korban, maka perempuan dan anggota keluarga yang lain turut menjadi korban seperti mendapat ancaman, intimidasi, pemerasan dan harus menanggung beban kebutuhan ekonomi keluarga. Jadi, pada konflik pengelolaan SDA dan agraria selain perampasan tanah dan sumber-sumber penghidupan dan kehidupannya, kaum perempuan juga mengalami berbagai kekerasan & pelanggaran HAM lain yang berlapis-lapis.
3.2.
Respon Komnas Perempuan
Konflik pengelolaan SDA dan agraria memiliki pola dan lapis persoalan yang kompleks dan memperparah persoalan dan penderitaan bagi perempuan. 1. Konflik pengelolaan SDA dan agraria selalu menelan korban dengan jumlah yang cukup besar, karena terkait
dengan penguasaan SDA oleh satu komunitas tertentu di satu wilayah yang dirampas oleh pihak lain (korporasi) dan mengakibatkan hilangnya akses perempuan terhadap sumber penghidupan dan keluarganya. 2. Pada konflik pengelolaan SDA dan agraria, perempuan dan masyarakat lokal (masyarakat adat, petani, nelayan, buruh tani/buruh perkebunan) rentan mengalami pelanggaran HAM berlapis termasuk mengalami kriminalisasi. 3. Keterlibatan aparat Negara di lapangan untuk mengamankan dan turut serta lakukan perampasan, kekerasan dan pelanggaran HAM. Selain aparat kepolisian dan tentara yang turut melakukan penembakan, penggusuran dan penangkapan semena-mena serta perampasan sumber-sumber kehidupan & penghidupan, aparat hukum lain seperti jaksa dan hakim turut berperan dalam proses kriminalisasi korban. Sehingga korban yang telah dirampas hak hidup dan penghidupannya, justru harus mendekam di penjara karena tuduhan pencurian atau pengrusakan asset milik korporasi, contoh kasus Suku Anak Dalam di Jambi dan warga Mandailing Natal dengan PT. AP. 4. Flexibilitas kebijakan yang mempermudah perizinan eksplorasi dan eksploitasi SDA. Hal ini terjadi tidak hanya di tingkat nasional, namun juga hingga ke tingkat daerah. Cara pandang salah kaprah yang melihat masuknya investor ke daerah pasti akan membawa perbaikan ekonomi & membuka lapangan kerja di daerah, ditelan mentah-mentah. Berbagai macam perizinan eksplorasi dan pengusahaan SDA diterbitkan tanpa melibatkan masyarakat setempat, dan tidak diikuti dengan penerapan monitoring dan evaluasi atas beroperasinya berbagai korporasi tersebut. Akibatnya, konflik pengelolaan SDA dan agraria makin hari makin bertambah dan memanas.
6
5. Proses penyelesaian konflik SDA tidak berpihak pada pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budayamasyarakat setempat. 6. Pemenuhan hak-hak perempuan dan komunitas korban yang telah kehilangan sumber kehidupannya dan mengalami berbagai macam kekerasan dan pelanggaran masih belum diberikan.
Terkait dengan munculnya berbagai konflik pengelolaan SDA dan agraria, respon Komnas Perempuan antara lain: 1. Melakukan pemantauan kasus Lapindo di Sidorajo Jawa Timur. 2. Melakukan pemantauan kasus penembakan warga sipil di Bima 3. Melakukan pemantauan kasus penembakan warga di Ogan Ilir. 4. Memfasilitasi trauma healing untuk korban di Bima dan Ogan Ilir.
5. Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah Kabupaten Bima untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban untuk keadilan dan pemulihan. 6. Memfasilitasi pendokumentasian kasus dan pemulihan komunitas perempuan penyintas di beberapa kabupaten di Papua. 7. Memberikan dukungan kepada korban dan pembela HAM dengan berkorespondensi dengan aparat pemerintah dan penegak hukum.
4. Peran Aktor Non-negara dalam Konflik Berbasis Agama dan berkayakinan Belakangan ini, situasi kebebasan beragama di Indonesia sangat memprihatinkan. Praktek-praktek intoleransi mengarah pada tindak kekerasan, pemaksaan kehendak, penghambatan untuk beribadah, perusakan rumah ibadah dan pelanggaran HAM lainnya. Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 memberikan jaminan kebebasan untuk beragama & berkeyaninan. Pada pasal 28 E ayat (1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap,sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 28 I ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; Pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Sipil & Politik melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional hak-hak sipil & politik, Indonesia terikat untuk mengimplementasikan secara konsisten isi Konvenan tersebut, termasuk di dalamnya adalah jaminan kebebasan beragama &berkeyakinan. Sebagaimana tercantum pada pasal 18 ayat (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya; (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. 7
Komnas Perempuan mencatat, dalam kurun waktu 2008 -2011 jumlah praktek intoleransi dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan mencapai 145 kasus dengan jenis yang beragam. Tahun 2008
Jumlah Kasus 27
Jenis-jenis Kasus
Pelaku
2009
51
• Pelarangan pendirian, Penyegelan dan • Pemerintah Daerah Pengrusakan tempat ibadah (Masjid & • Kelompok atau Organisasi Massa Gereja berbasis agama tertentu • Pengharaman/penyesatan aliran kepercayaan/keagaam tertentu • Pengharaman tradisi kesenian daerah (Debus) • Ancaman Bom • Pelarangan dan penyerangan kegiatan ibadah • Pembersihan terhadap satu kelompok aliran agama tertentu (Ahmadiyah) • Diskriminasi
2010
54
2011
13
• Pelarangan pendirian, Penyegelan dan Pengrusakan Gereja di Jawa Barat, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jakarta, Jayapura, Kalimantan Timur • Pelarangan dan penyerangan kegiatan ibadah • Pengrusakan tempat ibadah Mushala • Penurunan Patung Tiga Mojang • Penolakan Pembangunan patung Bima • Kasus tuduhan penistaan agama • Pengharaman/ pelarangan ajaran tertentu karena dianggap sesat • Penyerangan Jamaat Ahmadiyah • Pengrusakan Masjid • Penyerangan dan pengrusakan property komunitas Syi’ah • Relokasi komunitas Syi’ah • Intimidasi dan ancaman fisik kepada sekte/aliran agama tertentu • Pembubaran diskusi Forum Lintas Iman di Surabaya
• Pelarangan pendirian, Penyegelan dan • Kelompok atau Organisasi Massa Pengrusakan tempat ibadah ibadah (Masjid, berbasis agama tertentu Gereja & Pura) • Masyarakat sekitar • Pelarangan, penghentian, pembubaran, dan • Pemerintah penyerangan kegiatan ibadah • Penyerangan terhadap aksi damai • Pengusiran
• Masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu • Kelompok/organisasi massa berbasis agama • Pemerintah Daerah
• Pemerintah Daerah • Kelompok/organisasi massa berbasis agama • Orang perorang tidak dikenal
Komnas Perempuan juga mencatat, 42 kebijakan yang melegitimasi dan mendorong tindakan intoleransi dan 2 kebijakan tentang tata cara pendirian rumah ibadah. Dari 34 kebijakan tersebut, 6 diantaranya adalah kebijakan nasional, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama 2. Tap MPR No. IV/MPR/ 1978 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara 8
3. Intruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 Tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan 4. Putusan Sidang Judicial Review Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 5. Keputusan Menteri Agama tentang Larangan Melakukan Ibadah Haji Kepada Jemaat Ahmadiyah oleh Kementerian Agama Tahun 2011. 6. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri No. 3 Tahun 2008; No.
KEP-033 / A/ JA/ 6/ 2008; No. 199 Tahun 2008 tentang pelarangan Ahmadiyah.
Sedangkan 34 kebijakan, merupakan kebijakan daerah khusus mengenai pembatasan & pelarangan Jama’ah Ahmadiyah yang tersebar di 13 propinsi. Ada 2 kebijakan mengenai pelarangan pembangunan gereja dan kegiatan ibadah yaitu Surat Keputusan Walikota No. 503/367-Huk tentang Pembatalan Surat Keputusan No. 601/389Pem Tahun 2006 tentang Pendirian Gereja Yasmin Kota Bogor dan Surat Keputusan Bupati No.300/675/Kesbang Pollinmas/09 Tahun 2009 tentang Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, di RT. 01 RW. 09 Dusun III Kabupaten Bekasi. Dari catatan Komnas Perempuan, Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang paling banyak menerbitkan Perda pelarangan & pembatasan Jamaah Ahmadiyah yaitu 12 kebijakan ditambah 2 kebijakan pelarangan pembangunan gereja dan kegiatan ibadah. Kehadiran kebijakan yang melegitimasi dan mengarahkan pada tindakan intoleransi menurut Komnas Perempuan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, lemahnya komitmen dan konsistensi pemerintah untuk mengimplementasikan amanat konstitusi dan berbagai standar HAM yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sehingga, praktek-praktek tirani mayoritas dalam bentuk intervensi atas kebijakan dan aturan dengan memaksakan doktrin keyakinan dan keagamaan tertentu, terjadi begitu mudah, bahkan menjadi trend. Misalnya, dalam konteks diskriminasi terhadap perempuan, Komnas Perempuan menemukan 282 Peraturan Daerah di 100 Kabupaten/Kota dan 28 Propinsi yang mendiskriminasi perempuan, sebagian besar muatan perda dipengaruhi oleh ajaran keagamaan & keyakinan tertentu dan praktik politik dalam era otonomi daerah. Kedua, kehadiran kebijakan yang lahir dari tirani mayoritas tersebut, kemudian menjadi pemicu dan legitimasi berbagai tindakan intoleransi, bahkan dalam bentuk yang ekstrim yaitu kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak hanya dilakukan oleh aparat Negara namun juga aktor-aktor non-negara lain seperti organisasi atau kelompok dengan doktrin keagamaan dan keyakinan tertentu. Di sinilah celah yang membuka kesempatan dan legitimasi bagi aktor-aktor non-negara dalam hal ini organisasi/kelompok massa berbasis agama untuk menegakkan aturan dan kebijakan intoleran tersebut, yang melahirkan konflik berbasis agama yang berulang dan berlarut-larut. 4.1.
Situasi Perempuan dalam Konflik Berbasis Agama & Berkeyakinan
Dari temuan Komnas Perempuan, lemahnya jaminan atas kebebasan beragama & berkeyakinan dan intoleransi yang terlegalisasi dan terstruktur selain mengarahkan pada tindakan kekerasan juga melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang lain yaitu, diskriminasi, kriminalisasi terhadap korban, penggusuran pemukiman, realokasi paksa, kehilangan sumber kehidupan dan mata pencaharian, kehilangan hak sebagai warganegara, kehilangan komunitas kekerabatan. Berbagai kekerasan dan pelanggaran yang terjadi dampaknya sangat serius, terutama bagi perempuan. Dari temuan Komnas Perempuan, beberapa bentuk kekerasan dan pelanggaran dan dampak dari konflik berbasis agama yaitu : 1.
Perempuan (dan anak) mengalami trauma fisik dan psikologis berat. Trauma mendalam ini menyababkan ketakutan akan keramaian, munculnya fanatisme dan antipati anak korban pada agama yang dianggap penyerang, bahkan tidak mau menerima tamu dari agama berbeda.
2.
Perempuan kerap mendapatkan perlakukan, ancaman dan perendahan bernuansa seksual. 9
3.
Tercerabut & terisolir dari komunitas/daerah asal
4.
Pelabelan negatif terhadap perempuan dengan sebutan “sesat” atau “kafir”, berdampak pada retaknya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan.
5.
Kehilangan sumber penghidupan karena harus mengungsi, meninggalkan akses dan asset sumber kehidupan seperti kebun, sawah, warung/usaha dan pekerjaan lainnya. Kehilangan pelanggan atas usahanya karena dianggap sesat. Tak terkecuali bagi mereka yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimutasi dan ditunda kenaikan pangkatnya.
6.
Relokasi atau penggusuran berdampak pada perempuan yang awalnya mampu bersosialisasi dan berusaha secara mandiri, dipaksa memulai kehidupan baru di tempat baru dengan modal dan usaha baru.
7.
Sulit mendapatkan kembali aset yang ditinggalkan saat mengungsi, dan pada saat yang sama sulit untuk diterima di tempat baru karena penolakan warga.
8.
Tidak mendapatkan dokumen identitas warganegara seperti KTP, atau bila mendapat KTP dipaksa mencantumkan agama yang bukan menjadi keyakinannya. Sulit mencatatkan pernikahan, akibatnya anak tidak mendapatkan akta lahir dan bahkan anak-nak mendapat stigma sebagai anak haram karena akte yang dilekatkan pada ibunya.
9.
Dipaksa untuk keluar dari keanggotaan jamaat keagamaan tertentu. Tidak diperbolehkan mengikuti proses pendalaman keagamaan dan membangun basis pengetahuan keagamaan, seperti pengajian dengan jamaat lainnya.
10. Intimidasi, ancaman dan makian dari preman dan kelompok-kelompok tertentu setiap melakukan kegiatan ibadah dan dalam kegiatan sehari-hari. 11. Menghadap-hadapkan antar perempuan untuk berkonflik berbasis agama 7 keyakinan dan merentankan perempuan di tengah kericuhan massa. 12. Tidak bisa menjalankan fungsi pengasuhan anak. Korban yang memiliki anak merasa gagal melindungi anak,
kesulitan mentransfer ajaran yang diyakininya kepada anaknya, bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa tidak bisa beribadah di tempat ibadah yang seharusnya, atau mendesak pendidikan agama di sekolah anaknya. Dampak konflik berbasis agama & intoleransi ini hingga kini belum menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Salah satu bukti adalah Jamaah Ahmadiyah yang hingga kini masih berstatus pengungsi di Wisma Transito Mataram sejak tahun 2006. Kondisi pengungsian yang tidak layak huni, pengungsi tidak mendapatkan akses pada pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, modal usaha, dll) karena tidak memiliki akte kelahiran, akte nikah, tidak diberikan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga.
4.2.
Respon Komnas Perempuan
Terkait dengan makin maraknya tindakan-tindakan intoleransi dan konflik berbasis agama dan berkeyakinan, sebagai NHRI Komnas Perempuan berupaya melakukan beberapa intervensi untuk memastikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat terwujud, sesuai dengan mandat dan fungsinya. Beberapa hal yang dilakukan oleh Komnas Perempuan antara lain : 1. Membentuk Pelapor khusus kebebasan beragaman yang bertugas memantau dan membuat laporan dari sejumlah wilayah dan isu terkait kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia serta konflik berbasis agama dan berkeyakinan dengan perspektif perempuan. 2. Memberikan dukungan dan pembelaan bagi korban, dengan melakukan intervensi ke lembaga Negara baik pusat dan daerah, serta mendorong pensikapan dan tindakan yang konstitusional yang berbasis HAM dan ramah perempuan korban.
10
3. Mengembangkan dialog dan pengawalan isu bersama dengan komunitas perempuan korban intoleransi,
serta mendorong lahirnya perempuan pembela HAM dari komunitas korban. 4. Meningkatkan kapasitas komunitas korban untuk meningkatkan perspektif dan keterampilan dalam
memantau dan memahami persoalan yang dialami dengan perspektif HAM serta mendekatkan akses mereka untuk didengar Negara. 5. Membangun komitmen dengan berbagai elemen dan organisasi HAM dengan kerangka konstitusional sebagai basis menghargai pluralism dan kebhinekaan. 6. Melakukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas Undang-undanga No.1 tahun 1965 tentang
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama serta mendesak pembatalan SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah. 7. Mengembangkan sistem pemulihan bagi korban kekerasan komunal, termasuk perempuan korban
tindakan intoleransi berbasis konsep pemulihan dalam makna luas (berbasis dukungan individu, keluarga,masyarakat dan negara) dan berprinsip pada kebenaran, pemulihan dan keadilan. 8. Menggunakan instrumen dan mekanisme internasional melalu UPR, review Cedaw, dan menghadirkan Komisi Tinggi HAM PBB Navy Pillai hadir ke Komnas Perempuan untuk mendengar suara perempuan korban dan pembela HAM, dan diadopsi dalam rilis tertulis hasil kunjungan resmi ke Indonesia tersebut.
5. Rekomendasi
I. Konflik Pengelolaan SDA & Agraria Kepada Pemerintah Pusat : 1. Meninjau dan mengkaji ulang berbagai perizinan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia, khususnya yang telah diketahui menimbulkan masalah dan konflik dengan masyarakat sekitar, dengan mempertimbangkan kepemilikan secara adat. 2. Membuat Aturan Kebijakan terkait prinsip-prinsip kewajiban korporasi dalam penegakan HAM, bukan sekedar
meminta pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Mendorong Negara untuk menjalankan mekanisme pengungkapan agar korporasi dapat turut dituntut/diminta bertanggungjawab ketika terjadi pelanggaran, kerugian dan marginalisasi yang dilakukan terhadap masyarakat sekitar. 3. Mendorong Negara bertanggung jawab untuk menyediakan mekanisme hak-hak korban untuk keadilan, kebenaran dan pemulihan kepada korban konflik SDA dan agraria dengan menyertakan korporasi sebagai penanggung jawab. 4. Mendorong negara untuk melakukan perlindungan bagi perempuan yang mempertahankan haknya atas
sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupannya, keluarga, dan komunitasnya. 5. Meminta Negara untuk melakukan upaya-upaya konkrit, efektif dan menyeluruh dalam menangani dan mencegah kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, serta mencari resolusi konflik yang tepat, termasuk mempercepat inisiatif dialog dengan masyarakat Papua. Kepada Pemerintah Daerah : 1. Meninjau ulang dan menghapus berbagai kebijakan dan peraturan daerah yang mempermudah izin eksplorasi dan eksploitasi SDA yang abai terhadap kehidupan masyarakat sekitar. 2. Melakukan upaya-upaya konkrit, efektif dan menyeluruh dalam menangani dan mencegah kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, serta mencari resolusi konflik yang tepat dalam penanganan konflik pengelolaan SDA dan agrarian. 11
3. Menyediakan sistem pemulihan korban termasuk layanan bagi perempuan korban konflik pengelolaan SDA dan agraria.
Kepada Aparat Penegak Hukum : 1. Mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku baik perorangan dan korporasi atas tindakan-tindakan
yang merugikan, merusak dan memarginalisasi kelompok lain, termasuk oknum aparat yang melakukan pelanggaran dan kejahatan dalam menjalankan tugasnya. 2. Mengevaluasi kebijakan dan menarik kekuatan apparatus Negara/ pasukan dari Kepolisian dan Tentara yang ditempatkan untuk mengamankan asset dan operasi korporasi yang melanggar hak dan merugikan masyarakat lokal.
II. Konflik Berbasis Agama & Keyakinan Kepada Pemerintah Pusat : 1. Meninjau ulang dan menghapus semua kebijakan-kebijakan nasional dan daerah yang mengarah pada tindakan diskriminatif, intoleran dan yang bertentangan dengan amanah konstitusi dan nilai-nilai luhur Pancasila. 2. Memberikan pengakuan dan jaminan hukum sepenuhnya kepada komunitas-komunitas keagamaan atau
kepercayaan minoritas untuk membangun rumah ibadah dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 3. Membangun mekanisme pemenuhan hak-hak perempuan dan komunitas korban intoleransi dan konflik berbasis agama dan berkeyakinan. 4. Mengembangkan program pendidikan kesadaran masyarakat tentang toleransi, atau saling hormat-menghormati hak tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinanya itu 5. Bersungguh-sungguh dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan atas nama agama dan keinginan kelompok mayoritas 6. Mengembangkan sistem pencegahan dan penanganan tindak kekerasan atas nama agama, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan atas kekerasan dan diskriminasi Kepada Pemerintah Daerah : 1. Meninjau ulang dan menghapus berbagai kebijakan dan peraturan daerah yang memicu dan atau melanggengkan tindakan intoleransi, dan diskriminasi terhadap perempuan. 2. Mengembangkan sistem pencegahan dan penanganan tindak kekerasan atas nama agama, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan atas kekerasan dan diskriminasi. 3. Menyediakan sistem pemulihan korban termasuk layanan bagi perempuan korban intoleransi dan konflik berbasis agama & keyakinan. 4. Memfasilitasi program-program pendidikan kesadaran masyarakat tentang toleransi, atau saling hormatmenghormati hak tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya itu, termasuk mengupayakan tidak beredarnya syiar kebencian terhadap satu kelompok terhadap yang lainnya. Kepada Aparat Penegak Hukum : 1. Memastikan jaminan hak bebas dari kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, serta jaminan rasa aman bagi perempuan pada khususnya, kelompok minoritas keagamaan pada umumnya di setiap daerah di Indonesia. 2. Memastikan penegakan hukum kepada pihak-pihak yang dicurigai terlibat dalam tindak kekerasan berbasis agama & keyakinan, termasuk para pihak dari unsur kepolisian maupun pemerintahan setempat. 12
3. Mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku baik perorangan atau kelompok atas tindakan-tindakan yang merugikan, merusak dan menghambat kelompok lain. 4. Mensiagakan aparat untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas dari tindakan-tindakan intoleransi dan menindak pelaku penyerangan. 5. Memastikan jaminan rasa aman dan independensi hakim dalam memutuskan perkara mengingat besarnya desakan dari masyarakat untuk mengkriminalkan pihak yang berbeda pandangan keagamaanya dari mayoritas masyarakat. 6. Mengembangkan sistem pencegahan dan penanganan tindak kekerasan atas nama agama, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan atas kekerasan dan diskriminasi.
13