L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
1998 – 2001
Laporan Tiga Tahun Pertama
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 1998 – 2001
O k t o b e r
2 0 0 1
Laporan Tiga Tahun Pertama
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 1998 – 2001 Ilustrasi Cover : Kelompok Rakyat biasa, Tangerang O k t o b e r
2 0 0 1
Pra Cetak: Eni Maryani – Alam – Titiana Adinda Desain Cover: Ari Rushartanto (Galang Comm.)
Sekapur Sirih Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dipisahkan dari adanya ketimpangan hubungan antara perempuan dan lakilaki, atau yang sering disebut ketimpangan jender dalam kehidupan bermasyarakat. HaI ini sekaligus berarti ketimpangan hubungan kekuasan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi sosial ini masih diperkuat oleh mitos, prasangka, dan stereotip yang menyuburkan diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkungan domestik maupun di ranah publik. Kenyataan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dialami perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan, suku, tingkatan sosial ekonomi, agama, dan usia. Sedang opini publik hingga kini masih berada pada suatu kontinium: dari pandangan ekstrim yang cenderung menyalahkan perempuan korban (blaming the victim) seperti, perempuan yang mengundang, salahnya sendiri pergi malam hari, siapa suruh ia memakai rok yang ketat, dan sebagainya, sampai ke ekstrim yang lain, bahwa hak perempuan perlu dihormati siapapun dia, dimanapun ia berada. Antara kedua ekstrim ini terdapat berbagai nuansa dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Diantaranya berkembang berbagai kegiatan yang diarahkan untuk menemukan cara-cara yang memberi perlindungan lebih baik pada perempuan korban kekerasan. Kegiatan tersebut masih lebih banyak dilakukan oleh perempuan yang peduli terhadap penegakkan hak asasi dan martabat perempuan sebagai sesama manusia. Mereka juga masih harus melakukannya di tengah-tengah opini masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan korban kekerasan. Hal
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a Ko m n a s Pe r e m p u a n
i
yang merisaukan adalah bahwa di antara mereka ini adalah justru terdapat orang-orang yang berada dalam kedudukan kekuasaan, baik sebagai penegak hukum, pejabat sipil dan militer yang mayoritas hingga kini masih diisi oleh laki-laki. Ini adalah kenyataan yang juga harus dihadapi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam upayanya mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Terbentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (sekarang lebih dikenal sebagai Komnas Perempuan) berdasarkan Keputusan Presiden No. l9l Tahun 1998 merupakan jawaban Pemerintah BJ Habibie terhadap tuntutan sejumlah perempuan ibukota terhadap kekerasan seksual, termasuk perkosaan, yang dialami perempuan etnik Cina dalam peristiwa yang sekarang sering disebut sebagai Tragedi Mei 1998. Saya perlu tambahkan bahwa sikap positif Pemerintah terhadap tuntutan perempuan sebaliknya tidak segera menyurutkan opini masyarakat yang masih cenderung mempertanyakan kebenaran laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang adanya perkosaan saat terjadinya kerusuhan di beberapa kota besar dalam bulan Mei 1998. Di tengah penderitaan yang dialami para perempuan korban perkosaan dan keluarganya, saya teringat harus dapat menjawab dan mendengarkan ucapan dari cukup banyak anggota masyarakat, termasuk sesama perempuan, yang mengatakan: ‘kalau demikian banyak perempuan yang diperkosa mengapa tidak ada satupun yang bisa dimunculkan?’
S e k a p u r S i r i h
ii
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di tengah nilai budaya yang mengagungkan kebersamaan, kesopanan, dan keramahan sulit diterima sebagai suatu realitas dalam kehidupan bermasyarakat kita. Juga mencerminkan anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang sebenarnya merupakan kenyataan setua peradaban umat manusia tidak berlaku bagi kita di Indonesia. Maka, muncullah penolakan secara sistematis terhadap kenyataan bahwa ada sejumlah perempuan Indonesia yang menjadi korban tindak kekerasan, di ranah keluarga maupun di lingkup publik.
Adanya pengakuan Pemerintah terhadap isu perkosaan selama kerusuhan telah membuka babak baru dalam perjuangan menegakkan hak dan martabat perempuan Indonesia. Karena setelah itu, perempuan di daerah DOM mulai berani menceritakan berbagai kekerasan seksual yang telah mereka alami sebagai istri, ibu, dan anak perempuan, kebanyakan dilakukan oleh aparat negara. Lebih banyak perempuan sebagai Istri dan ibu atau anak perempuan juga berani maju untuk meminta bantuan legal atau psikologik dalam menghadapi kekerasan yang mereka alami, dari suami, mandor, pacar, kakek, atau aparat negara. Kini lebih banyak pihak dalam masyarakat pada umumnya mulai menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatu kenyataan yang perlu kita hadapi bersama. Lebih banyak kelompok perempuan kini juga menyediakan berbagai layanan bagi perempuan korban kekerasan. Layanan ini tidak terbatas pada kota-kota besar tetapi tersebar di berbagai daerah, termasuk daerah konflik. Maka menurut saya, kemajuan yang bermakna dalam tiga tahun terakhir ini adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak lagi dilihat sebagai masalah pribadi tetapi mulai diterima sebagai isu kesehatan masyarakat. Jelas bahwa ini bukan disebabkan oleh kehadiran Komnas Perempuan, tetapi karena gerakan reformasi yang mulai bergulir sejak jatuhnya rezim Orde Baru telah memberi ruang yang lebih luas pada inisiatif masyarakat. Dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan, banyak organisasi perempuan yang sudah lama terbentuk dan baru, telah mengembangkan berbagai kegiatan sebagai jawaban terhadap kebutuhan perempuan untuk menegakkan martabatnya. Keberadaan mereka memberi gambaran pula bahwa perempuan sebagai bagian dari Masyarakat Madani (civil society) harus diperhitungkan perannya, khususnya dalam perjuangan menegakkan hak perempuan di tengah ketidakstabilan politik dan konflik sosial yang belum mereda dimana kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian yang tidak dapat diingkari. Karena kondisi sosial politik inilah maka perempuan korban dari berbagai tindak kekerasan yang
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a Ko m n a s Pe r e m p u a n
iii
kini memerlukan pendampingan dalam mengatasi penderitaan fisik dan psikologik malahan tersebar di hampir semua daerah di Indoneisa. Peran Komnas perempuan yang bukan lembaga pemerintah dan juga bukan LSM saya anggap sebagai mempunyai kedudukan yang strategis dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan berbagai bentuk kekerasan. Dalam konteks tersebut Komisi Nasional secara proaktif mengadakan advokasi dengan berbagai instansi pemerintah untuk membuat pemerintah lebih peka terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan untuk bersama pemerintah meletakkan landasan legal bagi tercapainya kesetaraan jender. Hal ini sangat penting mengingat bahwa masih berlangsungnya ketidaksetaraan jender mengakibatkan ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, keadaan ini selanjutnya menyebabkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tetap bertahan meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dengan UU No. 7, l984. Di samping itu merupakan kenyataan bahwa belum ada pengertian atau penerimaan yang sama tentang keterkaitan dan saling dukung yang kompleks antara ketidaksetaraan jender, diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan menempatkan advokasi ke pemerintah sama pentingnya dengan mengembangkan kemitraan dengan berbagai organisasi masyarakat yang bekerja di akar rumput. Khususnya kemitraan dengan mereka yang bekerja untuk tujuan yang sama, ialah menghapus kekerasan terhadap perempuan dan menegakkan hak perempuan.
S e k a p u r S i r i h
iv
Saya memang menganggap bahwa strategi untuk secara proaktif menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah terkait dan organisasi yang bekerja di akar rumput mengenai permasalahan yang amat kompleks ini harus ditangani sicara komprehensif. Landasan hukum jelas diperlukan dan kebijakan pemerintah menyetujui hukum baru atau mereformasi hukum yang ada untuk memberi perlindungan yang lebih baik terhadap
perempuan dengan demikian diharapkan memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Namun mengingat bahwa reformasi hukum tidak secara otomatis akan merubah sikap dan perilaku anggota masyarakat ke arah yang diperlukan maka Komnas Perempuan menempatkan diri untuk bersama dengan berbagai organisasi masyarakat yang bekerja di akar rumput dan tersebar di berbagai daerah mensosialisasikan hukum-hukum baru tersebut. Dengan demikian Komnas Perempuan juga dapat secara konkrit menyumbang pada program otonomi daerah, khususnya yang menyangkut pemberdayaan perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah ada karena tuntutan perempuan. Karena pada umumnya perempuan mempunyai tanggung jawab untuk memberi makna pada tuntutan tersebut. Buku laporan yang sekarang di hadapan pembaca, berisi strategi kegiatan selama tiga tahun berdirinya Komnas Perempuan, adalah bentuk pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Mudah-mudahan juga dapat menjawab pertanyaan yang masih sering terlontar: apa yang dilakukan Komnas Perempuan? Saya ingin tambahkan bahwa isi laporan ini juga merupakan suatu perjuangan kami di Komnas Perempuan untuk dapat menciptakan suatu masyarakat dimana martabat dan hak setiap perempuan dihormati sebagai sesama manusia. Semoga harapan yang ideal ini dapat tercapai di kemudian hari. Akhirnya, saya ingin secara khusus menyatakan terima kasih yang tulus pada semua rekan kerja di Komnas Perempuan yang selama tiga tahun ini telah ikut berupaya membangun citra Komnas Perempuan sebagai lembaga yang berkonsentrasi pada isu kekerasan terhadap perempuan. Tanpa semangat kerja sama dari setiap rekan kerja, saya kira Komnas Perempuan tidak dapat menghasilkan apa yang sekarang Saudara baca. Meskipun semangat mereka kadangkala menyebabkan ‘suhu’ kerja di kantor menjadi panas. Tetapi keadaan ini tidak mengurangi niat bersama dalam upaya agar Komnas Perempuan memenuhi mandatnya yang penuh tantangan, justru dengan makin
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a Ko m n a s Pe r e m p u a n
v
meningkatnya kekerasan di tingkat berdampak juga pada tingkat nasional.
internasional
yang
Dengan semangat kebersamaan itu pula bulan terakhir ini telah ditandai oleh kesibukan dari setiap orang di Komnas perempuan. Mereka tanpa pamrih bekerja siang-malam memperjuangkan tujuan agar peringatan tiga tahun dan laporan ini menjadi landasan yang kokoh dalam menggapai mimpi bersama. Sekali lagi, terimakasih pada seluruh rekan kerja Komnas perempuan atas kebersamaan yang telah dibangun dalam menjadikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ajang bersama menegakkan hak perempuan agar dapat hidup tanpa kekerasan dapat tercapai. Dalam kaitan ini saya menutup sekapur sirih ini dengan mengatakan: ‘Apabila kerja memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah sebuah mimpi, apakah kita akan membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya?’ Saparinah Sadli Ketua
S e k a p u r S i r i h
vi
Daftar Isi
Berdirinya Komnas Perempuan 1 Apa itu Komnas Perempuan? Lahir dari Sebuah Tragedi
1
Visi dan Misi Organisasi
4
Profil Organisasi
5
Landasan Hukum dan Moral
7
2 Perempuan dalam Era Reformasi Fakta dan Sikap: Kekerasan terhadap Perempuan
9
Peta Kekerasan dan Jenirjenis Kekerasan: Perlawanan Lokal di Panggung Nasional
14
Perempuan dan Gerakan Kemanusiaan
14
Gerakan Perempuan di Tengah Konflik
15
Kebangkitan Perempuan Adat GerakanTanpa Kekerasan di Papua
16
Reposisi Gerakan Perempuan
17 L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a Ko m n a s Pe r e m p u a n
vii
Laporan Pertanggungjawaban 3 Pengembangan Kelembagaan dan Laporan Keuangan Pengembangan Kelembagaan
Sumber Daya Manusia: Kontribusi Relawan
21
Penguatan Kapasitas: Pembelajaran Lintasan Negara
22
Jaringan Kerja: Dari Lokal ke Global
23
Peran dalam Gerakan Perempuan
24
Akuntabilitas Publik Sebuah Awal
25
Laporan Keuangan
KomisiNasional AntiKekerasan TerhadapPerempuan
viii
26
Laporan Kegiatan:Tiga Tahun pertama 4 Program Kerja Tiga Tahun pertama
Advokasi Kebijakan pemerintah
Tanggung Jawab Pemerintah untuk Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan
30
Posisi Perempuan dalam Situasi Konflik Bersenjata
34
Perlindungan dan Dukungan bagi Saksi dan Korban
39
Perlindungan bagi Buruh Migran perempuan pekerja Rumah Tangga 40
lntersectionolly Jender dan Rasisme
42
Mainstreaming Jender dalam lnvestigasi HAM
43
Kemitraan dengan Lembaga Pemerintahan
45
Reformasi Hukum dan Kebijakan
46
Reformasi Perangkat Hukum dan perundang-undangan
48
Penguatan penegak Hukum
52
Advokasi tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender 53
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a Ko m n a s Pe r e m p u a n
ix
Dokumentasi dan Pendidikan
55
Dokumentasi
56
Pendidikan
59
Penguatan Kapasitas Layanan bagi Korban
Peningkatan Kapasitas Layanan Terpadu
63
Pembelajaran tentang Layanan Psiko-sosial untuk Korban Konflik Bersenjata
67
Refleksi 5 Refleksi dan Tantangan ke Depan
KomisiNasional AntiKekerasan TerhadapPerempuan
x
Capaian dan Dampak
69
Refleksi Masyarakat tentang Komnas Perempuan
71
Kekuatan dan Kelemahan
77
Tantangan ke Depan
78
Berdirinya Komnas Perempuan Apa itu Komnas Perempuan? Lahir dari Sebuah Tragedi 1| Visi dan Misi Organisasi 4 | Profil Organisasi 5 | Landasan Hukum dan Moral 7
Perempuan dalam Era Reformasi Fakta dan sikap: Kekerasan terhadap Perempuan 9| Peta Kekerasan dan Jenis-jenis Kekerasan: Perlawanan Lokal di Panggung Nasional 14
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
xi
Lahir dari Sebuah Tragedi
Apa itu Komnas Perempuan?
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, atau Komnas Perempuan, berdiri sebagai hikmah dari suatu tragedi kemanusiaan yang mengejutkan dan menyakitkan bangsa Indonesia. Tragedi tersebut adalah penyerangan seksual yang amat biadab terhadap perempuan etnis Cina dalam peristiwa kerusuhan masal pada bulan Mei tahun 1998. Kerusuhan yang ditujukan ke daerah pemukiman komunitas etnis Cina memunculkan trauma yang besar dan membekas tidak hanya bagi warga etnis Cina yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi penduduk Indonesia di manapun yang mempunyai rasa perikemanusiaan. Kaum perempuan Indonesia, apalagi para pejuang hak perempuan, merasakan kemarahan dan kepedihan yang sangat mendalam ketika mengetahui betapa keji penganiayaan yang dialami saudara-saudaranya yang menjadi korban. Bahwa telah terjadi perkosaan dan berbagai bentuk penganiayaan seksual lain terhadap perempuan etnis Cina selama berlangsungnya kerusuhan pada tanggal 13-15 Mei 1998 itu baru diketahui publik satu bulan setelah kejadian. Ketika Tim Relawan untuk Kemanusiaan melakukan investigasinya dan mewawancarai anggota komunitas korban untuk mendata jumlah crang yang meninggal dan luka-luka, perlahan-lahan terungkap adanya sejumlah perempuan korban perkosaan yang sedang menderita dalam kebisuan. Ketika para saksi bercerita, mulai diketahui bahwa bersamaan dengan terjadinya penjarahan, pembakaran, dan pembunuhan, juga berlangsung tindakantindakan kekerasan seksual termasuk yang diarahkan pada alat kelamin dan organ-organ reproduksi kaum perempuan.
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
1
Tragedi tersebut adalah penyerangan seksual yang amat biadab terhadap perempuan etnis Cina dalam peristiwa kerusuhan masal pada bulan Mei tahun 1998. Kerusuhan yang ditujukan ke daerah pemukiman komunitas etnis Cina memunculkan trauma yang besar dan membekas tidak hanya bagi warga etnis Cina yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi penduduk Indone sia di manapun yang mempunyai rasa peri kemanusiaan.
A p a i t u Ko m n a s Pe r e m p u a n
2
Pada bulan Juni 1998, Divisi Kekerasan terhadap Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyerahkan hasil investigasinya. Tanggapan pemerintah terhadap laporan ini ternyata sangat jauh dari memuaskan, terutama bagi para pejuang hak perempuan yang menganggap kasus ini sebagai tolak ukur realisasi tanggung jawab negara terhadap penegakan hak-hak asasi perempuan. Kesulitan aparat pemerintah untuk secara langsung menemui para korban, yang pada saat itu memang dalam kondisi trauma, sakit dan penuh ketakutan, dijadikan alasan untuk mempertanyakan keseluruhan kejadiannya. Dalam situasi kebuntuan seperti inilah maka sejumlah aktivis perempuan mengambil inisiatif untuk bertemu langsung dengan Presiden RI untuk menuntut pertanggungjawaban yang layak. Pada tanggal l5 Juli 1998, sekitar 20 aktivis perempuan dari latar belakang yang beragam berdebat selama dua setengah jam dalam pertemuan tertutup dengan Presiden Habibie. Rombongan ini terdiri dari perempuan dengan berbagai latar belakang, seperti tokoh masyarakat, akademisi, pemuka agama, aktivis perempuan, pekerja kemanusiaan. Mereka menyatakan diri sebagai wakil dari 4.000 penandatangan sebuah pernyataan yang menuntut pertanggungjawaban negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998. Mereka menyebutkan diri sebagai Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kepada Habibie, Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengajukan tuntutan sebagai berikut: (1) bahwa investigasi terhadap kerusuhan Mei 1998 mencakup kasuskasus penyerangan seksual terhadap kaum perempuan; (2) bahwa para pelaku dan penanggungjawab tindak kekerasan terhadap perempuan diadili dan diberi sanksi hukum yang tegas dan, (3) bahwa Presiden RI mengutuk perkosaan yang terjadi dan menyatakan maaf kepada para korban dan keluarganya di hadapan publik. Pertemuan diakhiri dengan sebuah konperensi pers oleh Habibie yang mengutuk dan menyatakan maaf terhadap penyerangan seksual yang terjadi pada peristiwa Mei
1998. Dalam pernyataan tersebut, ia juga menyatakan komitmen untuk bersikap pro aktif terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di seluruh bumi Indonesia. Sebagai kelanjutan dari janji tersebut, Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan investigasi terhadap kerusuhan Mei memakai laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang perkosaan massal yang terjadi. TGPF menyimpulkan kebenaran dari peristiwaperistiwa penyerangan seksual yang dialami perempuan etnis Cina, serta melaporkan bahwa sebagian besar kasus perkosaan berupagang rape, yaitu korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kelanjutan dari komitmen untuk proaktif terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, Presiden BJ. Habibie pada tanggal 9 Oktober 1998, menandatangani Keputusan Presiden mengenai Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Keppres Nomor 181tahun 1998 ini merupakan hasil akhir dari sebuah proses negosiasi antara Habibie dan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Tawaran awal dari Presiden adalah bahwa komisi ini akan dinamakan ‘Komisi Nasional untuk Perlindungan Wanita’ dan ditempatkan di bawah naungan Menteri Negara Urusan Wanita. Tawaran ini ditolak dengan tegas oleh para aktivis perempuan dan akhirnya disepakati bahwa nama komisi secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap kekerasan dan bahwa komisi ini bersifat independen. Prinsip kemandirian ini kemudian dipertegas lagi dengan penetapan bahwa seleksi anggota komisi berlangsung tanpa intervensi pemerintah ataupun Presiden dan bahwa komisi mempunyai wewenang untuk mencari sumber pendanaan dari masyarakat secara tidak mengikat. Berbagai prasyarat independensi inilah yang kemudian mendasari perumusan dokumen Keputusan Presiden mengenai pembentukan Ko misi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan disingkat sebagai Komnas Perempuan.
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
3
Komnas Perempuan merupakan mekanisme nasional pasca Orde Baru yang pertama dan dibentuk untuk menyikapi berbagai jenis pelanggaran HAM perempuan. Dalam konteks agenda reformasi yang lebih luas, Komnas Perempuan merupakan sebuah sosok institusi baru sebagai bagian dari civil society Indonesia yang bekerja untuk ikut mengantarkan transformasi yang menyeluruh dan mendasar, khususnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berkeadilan jender.
Visi dan Misi Organisasi Hak asasi manusia dan kebebasan mendasar adalah hak setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dilanggar oleh siapapun dengan alasan apapun. Sesuai dengan Deklarasi Wina 1993, kekerasan terhadap perempuan bertentangan dengan martabat dan nilai kemanusiaan dan merupakan pelanggaran atas hak-hak dasar manusia. Kehidupan yang damai dan bebas dari rasa takut, tindakan atau ancaman kekerasan dan diskriminasi merupakan kondisi mutlak bagi perempuan untuk dapat menikmati hak-hak asasinya sebagai manusia. Inilah visi Komnas Perempuan yang dimuat dalam anggaran dasarnya.
A p a i t u Ko m n a s Pe r e m p u a n
4
Dalam tatanan masyarakat di mana masih terdapat ketimpangan dalam relasi jender, perempuan rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan karena posisi subordinasi perempuan di dalam masyarakat. Diskriminasi dan kekerasan berbasis jender dialami kaum perempuan di lingkungan keluarganya, di komunitasnya, di tempat kerjanya, dan sering dibenarkan atau dibiarkan oleh institusi-institusi besar dalam masyarakat, seperti negara, agama, dan budaya. Dalam konteks ini, sesuai Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998, Komnas Perempuan merupakan mekanisme nasional untuk penegakan HAM perempuan Indonesia dan mempunyai mandat untuk:
a. menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia; b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta bagi perlindungan hak asasi manusia perempuan; c. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, secara khusus, dan perlindungan hak asasi manusia perempuan, secara umum. Keppres No. 181/1998 dirumuskan dengan landasan UUD 1945 dan konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi Indone sia, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, 1999. Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat), serta Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (1993).
Profil Organisasi Dari segi pengorganisasian, Komnas Perempuan terdiri dari Komisi Paripurna dan Badan Pekerja. Anggota Komisi Paripurna adalah tokoh-tokoh masyarakat yang memenuhi syarat sebagai berikut: a. telah aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan/atau memajukan kepentingan perempuan; b. mengakui adanya masalah ketimpangan jender; c. menghargai dan menghormati keragaman dalam agama, kelompok etnis, dan peka terhadap perbedaan keadaan sosial ekonomi; d. peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia. Untuk masa kerja pertama, anggota Paripurna Komnas Perem puan terdiri dari 21 orang yang dipilih melalui proses konsultasi dengan para aktivis perempuan dan HAM berdasarkan prasyarat di atas (lihat hal 22 untuk daftar lengkap). Komisi
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
5
Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1985 Diskriminasi terhadap perempuan berarti perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari sta tus perkawinan mereka atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan
Paripurna ini bersifat multi-disipliner dan mempunyai keragaman etnis, agama, umur dan jenis kelamin. Secara profesi, anggota Komisi Paripurna berasal dari latar belakang bergam: akademisi, aktivis, pemimpin agama, ahli hukum, ahli medis serta praktisi penegak hukum. Tiga dari 21 anggota Komisi Paripurna adalah laki-laki, sebagai perwujudan dari prinsip bahwa persoalan penegakan HAM perempuan bukan hanya urusan perempuan dan keterlibatan kaum laki-laki dalam perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan adalah mutlak. Komnas Perempuan tidak mempunyai kantor cabang di daerah. Keterwakilan isu daerah diupayakan melalui pengadaan ‘kursi tetap’ untuk anggota daerah yang dapat diisi secara bergilir oleh wakil dari segenap wilayah Nusantara. Untuk masa kerja pertama diwakili daerah Yogyakarta, selain itu Komnas Perempuan memberi prioritas pada tiga lokasi yang pernah diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer), yaituAceh, Papua, dan Timor Timur, di mana tindak kekerasan terhadap perempuan menjadi bagian integral dari rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi selama bertahun-tahun. Sebagai mekanisme nasional untuk penegakan HAM perempuan dan sebagai bagian dari gerakan perempuan secara umum, konstituen utama Komnas Perempuan adalah para individu dan organisasi di seluruh wilayah Nusantara yang memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia.
A p a i t u Ko m n a s Pe r e m p u a n
6
Dalam menjalankan perannya, Komnas Perempuan bermitra dengan berbagai organisasi masyarakat maupun badan pemerintahan yang relevan. Selain dengan LSM perempuan dan organisasi kemasyarakatan lainnya, Komnas Perempuan juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga seperti Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam bekerjasama dengan berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah lainnya, Komnas Perempuan secara khusus menekankan perlunya penegakan hak-hak asasi manusia perempuan.
Landasan Hukum dan Moral Ditingkat internasional telah tersedia sejumlah instrumen yang merupakan landasan hukum dalam perjuangan menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Instrumeninstrumen internasional tersebut adalah : • Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1984
Pasal 1 memuat definisi tentang diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa negaranegara penandatangan wajib melakukan upaya dan langkah yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan tujuan mencapai penghapusan prasangka buruk, kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas inferioritas dan superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peran stereotipi bagi laki-laki dan perempuan.
Pasa1 5 juga mengulas bahwa sikap tradisional yang menganggap perempuan berkedudukan subordinasi terhadap laki-laki berperan melestarikan praktek diskriminasi yang dapat mengakibatkan kekerasan seperti penganiayaan dalam keluarga, praktek kawin paksa, kawin usia muda, penyerangan dan pengrusakan alat kelamin, termasuk perkembangan akhir-akhir ini menyangkut perdagangan perempuan dewasa dan anak perempuan.
•
Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Segala Bentuk Dikriminasi terhadap Perempuan Nomor 19
Rekomendasi ini menyatakan bahwa kekerasan yang berbasis jender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
7
Duabelas Bidang Kritis
•
Kesepakatan Konperensi Hak Asasi Manusia II (Wina 1993)
1. 2.
Secara aklamasi, termasuk suara Indonesia, disepakati bahwa hak asasi manusia adalah ‘universal , inalienable, in terdependent, indivisible’ (universal, tak dapat dicabut, saling berkait, dan tak dapat dipilah-pilah). Kesepakatan ini memperkuat Deklarasi HAM (1948), bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia, siapa pun dia: perempuan atau laki-laki; kulit hitam, putih atau kuning; penganut agama apapun. Berkat perjuangan gerakan perempuan sedunia maka kesepakatan Konperensi Wina juga menegaskan kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
•
Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (1993)
Deklarasi PBB ini disusun untuk lebih mengefektifkan Konvensi Perempuan dan secara eksplisit mendukung agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari ketimpangan historis hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Juga dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hambatan terhadap tercapainya keadilan sosial, kesetaraan jender dan pembangunan yang berkelanjutan.
•
Strategi ke Depan untuk Kemajuan Perempuan (Nairobi 1985) dan Program Aksi Beijing (1995)
Dokumen-dokumen internasional ini menjadi landasan bagi pencanangan 12 bidang kritis yang dianggap sebagai kendala terpenuhinya hak perempuan serta merupakan pedoman operasional yang digunakan dalam upaya-upaya global untuk menghapus berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan dan Kemiskinan Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan 3. Perempuan dan Kesehatan 4. Kekerasan terhadap Perempuan 5. Perempuan-perempuan dan Konflik Senjata 6. Perempuan dan Ekonomi 7. Perempuan dan kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Kekuasaan 8. Mekanisme-mekanisme Institusional untuk kemajuan Perempuan 9. Hak-hak Asasi Perempuan 10. Perempuan dan Media Massa 11. Perempuan dan Lingkungan 12. Anak-anak Perempuan
A p a i t u Ko m n a s Pe r e m p u a n
8
Komnas Perempuan lahir bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan di tengah suasana krisis yang menggoyahkan keseluruhan perekonomian dan stabilitas politik Indonesia. Situasi ini diikuti oleh ancaman disintegrasi sosial yang tidak dapat teratasi dengan kepemimpinan politik yang silih berganti. Di tengah ketidakpastian ini tumbuh secara subur budaya kekerasan, di kota-kota besar dan pedesaan terpencil; di jalan umum dan di dalam rumah, di daerah konflik, dan di tempattempat pengungsian. Tiga tahun setelah kita memasuki era baru pasca Orde Baru, gambaran keterpurukan dan kegamangan massal ini tetap menjadi realita di tengah-tengah kehidupan kita.
Perempuan dalam Era Reformasi
Bagian ini dimaksudkan untuk mengedepankan situasi makro dimana Komnas Perempuan berada. Konteks makro ini ikut menentukan pilihan-pilihan Komnas Perempuan dalam merumuskan strategi dan kegiatan-kegiatannya. Dua bagian dari kondisi makro yang relevan adalah, pertama; peta kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan di tengah ‘era reformasi’, kedua, perkembangan-perkembangan mutakhir dari gerakan perempuan secara umum.
Fakta dan Sikap: Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1998 adalah tahun bersejarah bagi Indonesia, dan Mei 1998 dicanangkan, secara formal dan informal, sebagai permulaan ‘era reformasi’.
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
9
Mundurnya Soeharto membuka pintu bagi proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Salah satu tanda adalah pengungkapan dan pengakuan Pemerintah Habibie tentang kebenaran kasus-kasus penyerangan seksual yang dialami perempuan Indonesia dan yang diakui memerlukan penanganan serius.
Pengalaman kekerasan perempuan Aceh dilambangkan oleh ‘rumah geudong’ karena di tempat itulah ratusan perempuan dan anakanak harus mengalami siksaan, perkosaan dan pembunuhan oleh aparat militer.
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
10
Pengungkapan laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang tindak perkosaan dan penganiayaan seksual terhadap perempuan etnis Cina pada peristiwa kerusuhan Mei memunculkan kontroversi yang sangat besar di tengah masyarakat. Gejala ini perlu dipahami dalam konteks dinamika sosial budaya yang lebih luas, khususnya berkaitan dengan ketimpangan-ketimpangan hubungan sosial yang berlaku antara kaum laki-laki dan perernpuan di masyarakat umum. Walaupun kekerasan terhadap perempuan sudah ada sejak peradaban manusia, namun kekuatan nilai-nilai budaya, agama dan tradisi telah menimbulkan kebisuan perempuan tentang pengalaman kekerasan yang dialami. Hal ini mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan tidak muncul sebagai isu publik, termasuk di Indonesia. Nilai budaya seperti ‘mempertahankan keharmonisan keluarga’, ‘rumah adalah surga’, atau ‘jangan mernbawa aib bagi keluarga’ telah berkontribusi terhadap kecenderungan sanak-saudara para korban untuk ‘menyembunyikan’ kasus kekerasan dari perhatian orang di luar keluarga terdekat, karena dianggap tidak pantas untuk dibahas secara publik. Dalam konteks inilah bisa dipahami bahwa muncul kontroversi ketika untuk pertama kalinya, masyarakat dipaksa berhadapan langsung dengan suatu isu yang biasanya dianggap urusan pribadi. Kontroversi ini terjadi karena sebagian warga dan pejabat pemerintah tidak mau menerima kenyataan terjadinya perkosaan massal tersebut. Alasan yang paling sering dilontarkan untuk menyangsikan kebenaran dari kasus-kasus tersebut adalah tidak adanya perempuan korban yang mau bersaksi di hadapan umum ataupun pejabat pemerintah tentang penderitaannya. Penjelasan tentang kondisi trauma
yang dialami para korban sehingga tidak memungkinkan mereka bicara sulit diterima sehingga berkembang tuduhan bahwa semua ini hanyalah buatan dan merupakan konspirasi untuk menjelekkan nama negara. Bahkan hasil investigasi TGPF yang menegaskan terjadinya penyerangan seksual terhadap perempuan etnis Cina dan mengkonfirmasikan sejumlah 64 korban, tidak mengakhiri kontroversi tersebut. Peristiwa Mei 1998, kepekaan publik Indonesia tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan meningkat. Di satu pihak ‘perkosaan’ menjadi kata yang sering muncul di media massa tetapi di lain pihak para pelaku tindak kriminal dan pelanggaran HAM menjadi semakin paham bahwa tindak kekerasan macam ini merupakan senjata ampuh untuk melumpuhkan dan mematahkan lawan dan kortran. Muncul juga beberapa kasus perampokan yang melibatkan penyerangan seksual terhadap korban, dalam bentuk perkosaan ataupun ancaman untuk melakukan hal itu. Di tengah kontroversi tentang perkosaan terhadap komunitas etnis Cina dalam bulan Mei 1998, sebagian pimpinan masyarakat mulai mengalihkan perhatiannya ke Aceh. pengungkapan fakta tentang kekerasan masa pemberlakuan Derah Operasi Militer (DOM) di Aceh dimulai dengan testimoni oleh perempuan-perempuan Aceh yang mengalami tindak kekerasan perkosaan, penganiayaan, penculikan, dan penghilangan. Pengalaman kekerasan perempuan Aceh dilambangkan oleh ‘rumah geudong’ karena di tempat itulah ratusan perempuan dan anak-anak harus mengalami siksaan, perkosaan dan pembunuhan oleh aparat militer. Mereka yang menjadi korban adalah perempuan yang dituduh mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka. Testimoni kaum perempuan Aceh menginspirasi pengungkapan tindak kekerasan lainnya. Atas desakan kuat dari korban, masyarakat Aceh dan masyarakat Indonesia umumnya, akhirnya’pemerintah reformasi’ mencabut status DOM bagi Aceh pada bulan Agustus 1998. Pencabutan status
Pada saat Timor Timur mempersiapkan penyelenggaraan jajak pendapat di bawah naungan PBB, terjadi penyerangan besarbesaran terhadap penduduk sipil, dan saat itu ratusan perempuan Timor Timur dilaporkan menjadi korban perkosaan dan berbagai bentuk penganiayaan seksual lainnya.
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
11
DOM diikuti dengan pembentukan Tim Pencari Fakta di beberapa Kabupaten di Aceh sebagai upaya mewujudkan penegakan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia warga Aceh. Pada saat Timor Timur mempersiapkan penyelenggaraan jajak pendapat di bawah naungan PBB, terjadi penyerangan besarbesaran terhadap penduduk sipil, dan saat itu ratusan perempuan Timor Timur dilaporkan menjadi korban perkosaan dan berbagai bentuk penganiayaan seksual lainnya.
Dalam konflik berkepanjangan yang banyak menelan korban, ribuan perempuan dan anak kehilangan rumah dan harus hidup dalam kamp-kamp pengungsian yang serba darurat.
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
12
Organisasi perempuan Timor Loro Sae telah mendokumentasikan kasus-kasus perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya selama Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia, dan kemudian ditetapkan sebagai salah satu dari tiga Daerah Operasi Militer (DOM)’ bersama dengan Aceh dan Papua. Kelompok-kelompok perempuan di Timor Timur, bekerjasama dengan mitramitranya dari Indonesia, terus melakukan dokumentasi kasuskasus kekerasan terhadap perempuan serta pendampingan bagi para korban. Peristiwa perkosaan terhadap perempuan yang terjadi di Papua, seperti di Mapanduma, Alama, Jila, dan di wilayah pegunungan tengah Irian Iaya banyak dilakukan oleh aparat negara, sehingga kasus perkosaan di Papua adalah contoh dari kekerasan negara terhadap perempuan. Anak-anak campuran Papua dan Jawa yang lahir akibat perkosaan, misalnya dapat ditemukan di daerah-daerah yang sebenarnya sangat terpencil ini. Bentuk respon internasional terhadap terjadinya perkosaan pada kerusuhan Mei 1998 adalah kedatangan Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan, Radhika Coomaraswamy, November 1998. Radhika mengadakan pembicaraan dengan korban, aktivis perempuan, dan pejabat sipil maupun militer, untuk dapat memahami kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei maupun yang dialami oleh perempuan Aceh, Papua dan Timor Timur. Hasil
investigasinya dilaporkan dihadapan Sidang ke-55 Komisi HAM PBB di Jenewa. Namun, laporannya ditolak oleh Pemerintah Indonesia di hadapan Sidang Pleno HAM PBB tersebut. Tahun 1999 didominasi oleh persiapan besar untuk pemilihan umum pertama pasca Orde Baru. Organisasi-organisasi perempuan, sebagaimana institusi-institusi masyarakat sipil lainnya, melakukan kegiatan-kegiatan pendidikan pemilih dalam rangka memastikan partisipasi penuh dari warga negara perempuan. Kabinet baru di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri membawa angin segar bagi para aktivis perempuan, karena Menteri Negara Urusan Wanita mengganti visi dan nama lembaganya menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Pemilihan umum demokratis yang pertama dalam empat dekade ternyata tidak mampu menyelamatkan Indonesia dari ancaman disintegrasi. Disintegrasi sosial diwarnai oleh konflik komuna1 yang bermunculan di berbagai daerah, seperti pertumpahan darah pertama di Maluku (Januari, 1999). Dalam konflik berkepanjangan yang banyak menelan nyawa ini, ribuan perempuan dan anak kehilangan rumah dan harus hidup dalam kamp-kamp pengungsian yang serba darurat. Pola yang serupa bermunculan di berbagai daerah lain, seperti Poso (Sulawesi Tengah) dan Sampit (Kalimantan Tengah).
Kasus perkosaan di Papua adalah contoh dari kekerasan negara terhadap perempuan. Anak-anak campuran Papua dan Jawa yang lahir akibat perkosaan, misalnya dapat ditemukan
Memasuki tahun 2000, gejala ini tetap tidak bisa dibendung, apalagi dihentikan secara tuntas. Konflik komunal terus berlangsung di Sampit, Aceh, Maluku, Poso dan Papua. Salah satu dampak besar dari konflik-konflik yang berkepanjangan ini adalah, pada tahun 2001, Indonesia untuk pertama kalinya berhadapan dengan realita bahwa lebih dari satu juta penduduk hidup di kamp-kamp pengungsian. Krisis sejak 1997 mempunyai dampak khusus pada para buruh migran Indonesia yang mayoritasnya adalah perempuan dengan berbagai permasalahan seperti, pada tahun 1997, Solidaritas Perempuan mengungkap kasus deportasi terhadap sejumlah buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
13
Singapura, Hongkong dan Malaysia. Data tentang kekerasan terhadap buruh migran perempuan mulai bermunculan di surat kabar dan majalah oleh berbagai organisasi perempuan (data APIK dan Solidaritas Perempuan). Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat oleh beberapa surat kabar harian ibukota menunjukkan kenaikan pula. Dari analisis yang dilakukan oleh Kalyanamitra ditemukan 350 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kajian data juga menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan adalah dampak dari krisis ekonomi sebagai akibat banyaknva PHK yang terjadi. Dalam konteks perkembangan, ada pertanyaan yang menggulir di masyarakat, di mana keberadaan gerakan perempuan?
Peta Kekerasan dan Jenis - jenis Kekerasan: Perlawanan Lokal di Panggung Nasional Di bawah ini merupakan potret selintas perlawanan perempuan terhadap berbagai situasi keterpurukan akibat krisis ekonomi, disintegrasi sosial” dan kegamangan pimpinan politik nasional. Gambaran yang muncul adalah suatu gerakan rakyat dengan poros kekuatan yang majemuk dan tersebar di mana-mana.
Perempuan dan Gerakan Kemanusiaan
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
14
Di awal krisis ekonomi pada tahun 1997, sejumlah LSM seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), ISI (Institut Sosial lakarta), JKB (Jaringan Kerja Budaya), Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, YLBHI, LBH APIK, LBH Jakarta dan ELSAM bergabung bersama untuk mendirikan koperasi solidaritas bagi komunitas miskin perkotaan dan buruh yang terkena PHK pada masa krisis ekonomi. Melalui penjualan bahan pokok seperti beras, minyak, susu dan makanan, koperasi solidaritas ini menjadi penggerak dibentuknya ‘dapur
umum’ untuk mendukung gerakan mahasiswa sebagai pusat logistik. Dapur umum yang berada di Kalyanamitra menjadi salah satu perekat gerakan masyarakat sipil yang menginginkan perdamaain dan keadilan, di mana seluruh dana dan kebutuhan dapur umum berasal dari sumbangan masyarakat. Panda saat yang bersamaan muncul sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan dirinya Suara Ibu Peduli menyuarakan ‘politik susu’ sebagai gugatan terhadap pemerin tah yang telah mengorbankan anak-anak dan perempuan sebagai korban krisis ekonomi. Politik susu yang disuarakan oleh kelompok Suara Ibu Peduli ini menggunakan ‘bahasa ibu’ yang ternyata menggerakkan masyarakat sehingga, ketika mahasiswa turun ke jalan dan melakukan demonstrasi menentang pemerintahan Orde Baru, masyarakat dari berbagai lapisan tergugah untuk menyalurkan bantuannya berupa nasi bungkus, uang, obat-obatan dan tenaga mereka melalui Suara Ibu Peduli. Gerakan dapur umum di Kalyanamitra, gerakan Suara Ibu Peduli, gerakan ibu-ibu di kampung yang mengumpulkan sumbangan untuk diserahkan ke Suara Ibu Peduli dan dapur umum Kalyanamitra merupakan sebuah bentuk perlawanan yang dimotori perempuan di hari-hari terakhir Orde Baru. Dengan kemampuan para aktivis dalam membuat jaringan, mereka membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus untuk merespons keadaan darurat.
Gerakan Perempuan di Tengah Konflik Wilayah konflik, kekerasan terhadap perempuan hampir tidak pernah terungkap, sementara itu aktivitas perempuan yang melakukan usaha-usaha perdamaian dan menolong korban tidak pernah diangkat, padahal sesungguhnya kaum perempuan justru terlibat di dalam proses perdamaian dan penanganan korban akibat konflik. Di Ambon, gerakan perempuan untuk perdamaian membentuk organisasi yang dinamakan ‘Gerakan Perempuan Peduli Am
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
15
bon’ (GPP-Ambon) yang terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, dan Katolik, yang sama-sama terancam oleh kelompoknya sendiri. Mereka saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati korban, dan mencari solusi damai. Gerakan ini merupakan gerakan perempuan lintas agama yang berjuang untuk menciptakan perdamaian dan dia log antar umat beragama di Ambon. Pengorganisasian untuk perdamaian, dan kemanusiaan juga dilakukan oleh perempuan-perempuan pemimpin agama di masing-masing komunitas. Rinamakana diketuai oleh seorang suster Katolik dan membantu para korban konflik agama di Ambon tanpa memandang latar belakang agama korban. Gerakan ini melibatkan orang-orang muda dari berbagai latar belakang agama untuk membantu para pengungsi. Para pendeta perempuan dari gereja Protestan Maluku juga melakukan upaya gerakan perdamaian lintas agama. Dalam lingkungan komunitas Islam perempuan juga bekerja di pengungsian yang dihuni oleh kelompok Islam. Di Flores, sebuah tim relawan untuk kemanusiaan, atau lebih dikenal sebagai Truk-F yang dibentuk dan diketuai oleh seorang suster Katolik, membantu pengungsi Timor Timur. Saat ini, Truk-F masih meneruskan keberadaannya dan membantu perempuan dan anak korban kekerasan. Gerakan para perempuan di berbagai wilayah konflik sesungguhnya telah menjadi ujung tombak bagi proses perdamaian di akar rumput, yang melibatkan seluruh warga masyarakat dalam proses dialog.
Kebangkitan Perempuan Adat: Gerakan Tanpa Kekerasan di Papua
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
16
Di Papua muncul aksi kaum perempuan dari Timika di Papua yang ‘dipimpin oleh Mama Yosefa Alomang. Mama Yosefa bersama sejumlah perempuan dari Timika menentang tindakan PT Freeport yang telah mencemari lingkungan hidup mereka
yang menjadi sumber kehidupan bagi rakyat Timika, khususnya perempuan dan anak-anak. Selain itu mereka juga menentang kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Di Timor Barat seorang perempuan bernama Mama Leta menentang eksplorasi tambang marmer diwilayahnya yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Mama Leta mengajak warga masyarakat melakukan aksi damai untuk menghentikan eksplorasi tersebut. sanggar Suara Perempuan di Soe yang bekerja untuk isu kesehatan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk di kamp pengungsian. Seorang perempuan dari masyarakat Dayak Meratus, yang bernama Adang, menjadi pemimpin perempuan di komunitasnya untuk melawan dan menolak penggusuran tanah oleh para pengusaha HPH di Kalimanatan. Gerakan Uma Adang yang menolak penggusuran tanah leluhurnya dilakukan tanpa kekerasan dengan cara ritual magis suku Dayak Meratus. Gerakan tanpa kekerasan tersebut membangkitkan kesadaran dari warga masyarakat untuk terlibat berjuang mempertahankan tanah mereka. Hal ini menggambarkan bagaimana perempuan bereaksi melawan kekerasaan akibat konflik sumber daya alam. Sesungguhnya bagi masyarakat adat, ‘alam dan rahim perempuan’ itu identik, keduanya adalah sumber kehidupan yang harus dijaga dan dipelihara. Persoalan identitas juga menjadi perhatian dan bagian yang diperjuangkan oleh kaum perempuan. Ketika masyarakat Batak Karo tersingkir karena proses modernisasi yang diikuti dengan proses Kristenisasi di Sumatera Utara, banyak perempuan dari masyarakat Batak Karo yang menjadi korban. Seorang perempuan yang dikenal sebagai healer bernama Nande Padjuh merengkuh para perempuan korban dan mendampingi mereka sebagai proses untuk memulihkan kembali identitas dan kepercayaan mereka. Perjuangan Nande Padjuh mengalami banyak tantangan terutama dari lawan-lawannya yang menuduh Nande Padjuh sebagai suwanggi atau kekuatan supernatural yang jahat, hingga harus dimusuhi masyarakat.
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
17
Reposisi Gerakan Perempuan Peluang-peluang baru yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pasca Orde Baru telah mendorong berbagai organisasi perempuan yang lahir di tengah rczim otoriter Orde Baru untuk melakukan reposisi. Dalam tiga tahun terakhir ini juga muncul bukan saja LSM-LSM perempuan baru tetapi juga bentuk-bentuk institusi yang belum ada sebelumnya, yang didirikan untuk kepentingan perempuan. Aktivis perempuan mulai membentuk lembaga-lembaga pelayanan, berupa women’s crisis center atau pusat-pusat yang memberi layanan bagi perempuan korban. Layanan ini, tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, tetapi juga di kota-kota kabupaten, seperti Jombang dan Purwokerto di Jawa, luar Jawa, seperti di Medan, Jambi, Riau, Padang, Palembang, Bengkulu, Kupang, Maumere dan Timika. Organisasi massa perempuan seperti Fatayat NU, juga mulai mengembangkan sebanyak 27 pusat krisis di lingkungan komunitas agama. Puan Amal Hayati yang bergerak di lingkungan pesantren memberi pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Contoh-contoh tersebut menunjukkan besarnya kepedulian perempuan dari lingkungan agama. Perempuan di komunitas-komunitas pedesaan juga mulai melakukan pengorganisasian di antara mereka sendiri secara mandiri dari LSM-LSM perempuan yang pernah jadi mitra kerjanya. Contohnya di Aceh dengan Serikat Inong Aceh, dan di Deli Serdang bersama Serikat Independen Perempuan Sumatera Utara.
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
18
Kaum perempuan mulai membangun koalisi-koalisi dengan fokus topik perjuangan tertentu atau untuk mempersatukan aktivis dari wilayah kerja tertentu. Hal ini terjadi di tingkat lokal, di tingkat wilayah (antar pulau/propinsi), maupun di tingkat nasional. Contohnya:
• Tingkat lokal -Yogyakarta: Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia (GAKTPI); Surabaya: Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) dan kelompok relawan Gema Sukma • Tingkat wilayah - NTT dan Papua: Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur (JKPIT) • Tingkat nasional: Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi dan Keadilan, Komnas Perempuan dan Kaukus Perempuan Parlemen. Aktivis perempuan juga melakukan reposisioning melalui berbagai kongres perempuan. Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada bulan Desember 1998, Deupakat Inong Aceh pada bulan Februari 2000, dan Kongres Perempuan Papua pada bulan Juli 2001. Sehubungan dengan kejadian-kejadian tersebut maka penyusunan program tiga tahun pertama Komnas Perempuan dibuat dengan memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini: • tidak menduplikasi apa yang telah dikerjakan oleh organisasi lain • menjadikan organisasi yang ada sebagai mitra kerja • memperkuat pelayanan yang sudah ada.
Dalam konteks gerakan yang luas ini apa peran Komnas Perempuan?
Salah satu prograrn yang segera dimulai adalah mengadakan pemetaan tentang kekerasan terhadap perempuan dengan alasan belum ada, dan diperlukan untuk dapat menunjukan luasnya permasalahan, serta lokus dan permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Sinergi antara gerakan perempuan di Jakarta dan di tingkat lokal merupakan ekspresi ‘politik perempuan’. Politik perempuan ini bersumber dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan menolak dari realitas sosial yang ada. Perempuan telah ikut membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Berhadapan dengan politik kekerasan, perempuan melakukan gerakan damai, seperti; ketika berhadapan dengan politik identitas dan primordialisme, maka perempuan
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
19
mengajukan gerakan lintas kelompok, dan ketika perempuan berhadapan dengan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan perlunya pemberdayaan warga dari bawah. Selain itu ketika partai kisruh, perempuan menekankan perlunya pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan kata lain, gerakan perempuan merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan civil society yang sempit, yakni yang hanya menekankan pada proses kelembagaan formal saja.
Perempuan dalam Era R e f o r m a s i
20
Laporan Pertanggungjawaban Pengembangan Kelembagaan dan Laporan Keuangan Pengembangan Kelembagaan 21| Laporan Keuangan 26
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
21
Komnas Perempuan mulai aktif bekerja pada tahun 1999 dan terdiri dari 21 anggota Komisi Paripurna, seorang Sekretaris Jendral, seorang staf administrasi, serta kondisi keuangan yang kosong sama sekali. Kendati pun Komnas Perempuan didirikan dengan sebuah Keputusan Presiden, tetapi penyaluran dana negara ternyata membutuhkan waktu sekitar delapan bulan sejak tanggal keputusan pembentukan komisi ini.
Pengembangan Kelembagaan & Laporan Keuangan
Pengembangan Kelembagaan Sumber Daya Manusia: Kontribusi Relawan Dengan sumber daya manusia dan pendanaan yang terbatas, keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan Komnas Perempuan pada tahun pertama sangat bergantung pada sumbangan tenaga dari relawan-relawan. Para relawan ini berasal dari latar belakang yang beragam, dari dosen perguruan tinggi hingga pengusaha, dan ahli desain grafis, baik perempuan maupun laki-laki. Semangat kerelawanan, atau sering disebut volunteerism, memang berada pada titik tertinggi sekitar terjadinya Tragedi Mei tahun 1998 hingga pecahnya konflik di Maluku pada bulan Januari 1999. Sumbangan mereka kepada Komnas Perempuan merupakan ekspresi dukungan mereka pada gerakan perempuan dan semangat kemanusiaan secara umum. Baru pada tahun kedua mulai dilakukan rekrutmen tenaga profesional untuk menduduki posisi-posisi manajemen dan koordinator program, setelah dana negara mulai dikucurkan
L a p o r a n Pertanggungjawaban
21
Paripurna Komnas Perempuan
Ketua Prof.Dr.Saparinah Sadli Wakil Ketua Dra. Myra Diarsi, MA Rita Serena Kolibonso, SH, LLM Anggota dr. Boen Setiawan Hartini Haftarto Herawati Diah Dra.lta F Nadia Mayjen (Purn) Koesparmono lrsan Pdt. Lies Mailoa-Marantika, MTH Mely G Tan, Ph.D Dr.Nasaruddin Umar,MA Dra. NunukMurniati, MA Hj.Sinta Nuriah Rahman, M.Hum Nursyahbani Katjasungkana, SH lr. Samsidar Prof. Dr.Suprapti Samil Suwarni Salyo, SH Dra.Tati Krisnawaty Yusan Yeblo Sekretaris Jenderal Kamala Chandrakirana
Pengembangan Kelembagaandan Laporan Keuangan
22
secara rutin. Seiring dengan bertambahnya tenaga profesional maka Komnas Perempuan berada dalam posisi yang lebih siap untuk mengembangkan program-program kerja yang tertata baik. Pada saat ini, seluruh kegiatan Komnas Perempuan dijalankan oleh sekitar 12 orang staf harian yang bekerja penuh waktu. Di samping tenaga tetap, Komnas Perempuan juga merekrut lulusan-lulusan baru untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ad hoc. Strategi ini dianggap penting untuk proses regenerasi gerakan perempuan secara umum.
Penguatan Kapasitas: Pembelajaran Lintas Negara Sampai saat ini, peluang untuk memperkuat kapasitas staf harian Komnas Perempuan terbatas pada beberapa kesempatan melakukan kunjungan belajar ke Afrika Selatan, Kanada, dan Swedia. Kunjungan keAfrika Selatan dilakukan dua kali, yang pertama dilakukan oleh salah seorang anggota Komisi Paripurna yang menjadi bagian dari Sekretariat harian Komnas Perempuan, sedangkan yang kedua dilakukan oleh staf Badan Pekerja Komnas Perempuan yang terlibat dalam pengembangan program layanan bagi korban kekerasan. Perjalanan pertama merupakan program Yappika untuk mempelajari pengalaman tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kesempatan kedua ke Afrika Selatan diperoleh dengan inisiatif dari Komnas Perempuan sendiri untuk mempelajari pengalaman tentang pengembangan strategi pe mulihan psiko-sosial yang berbasis komunitas di daerahdaerah pasca konflik dan pelanggaran HAM. Kunjungan ke Kanada dilakukan oleh salah satu dari tiga orang laki-laki yang menjadi anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan. Kunjungan ini dilakukan dalam rombongan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan beserta sejumlah aktivis perempuan. Tujuannya adalah untuk mempelajari sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan di tingkat daerah dan inisiatif-inisiatif sinergis antara organisasi-
organisasi masyarakat dan pemerintah negara bagian di Kanada. Kunjungan pelatihan ke Swedia dilakukan berkaitan dengan program kerjasama Komnas Perempuan dengan Raoul Wellenberg Institute (lihat Program divisi Dokumentasi dan Pendidikan). Pada kunjungan ini, Komnas Perempuan mendalami berbagai perangkat kebijakan di tingkat nasional dan lokal menyangkut penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di negara ini. Salah seorang anggota Komisi Paripurna juga mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan singkat mengenai hukum Internasional tentang HAM di Oxford University pada tahun 2002.
Jaringan Kerja: Dari Lokal ke Global Komnas Perempuan bekerjasama dengan 178 organisasi dari seluruh Indonesia. Sebanyak 88% dari mitra kerja ini adalah organisasi masyarakat. Mitra kerja Komnas Perempuan yang terbesar adalah organisasi-organisasi di tingkat lokal dan berbasis di luar Iakarta. Sepertiga (61%) dari organisasi non pemerintah yang masuk dalam jaringan kerja Komnas Perempuan bekerja di tingkat lokal, sementara sepertiga (39%) sisanya adalah organisasi yang berkiprah di tingkat nasional. Perbandingan antara mitra organisasi masyarakat yang berbasis di Jakarta dan yang bekerja di luar Jakarta hampir berimbang, dengan 52% yang di Jakarta dan 48% yang di luar Jakarta. Kenyataan ini menunjukkan komitmen Komnas Perempuan pada faktor penguatan organisasi-organisasi lokal non-Jakarta dalam kerangka otonomi daerah. Jaringan kerja Komnas Perempuan tidak terkonsentrasi panda organisasi-organisasi perempuan saja. Bahkan, 42% dari organisasi mitranya adalah organisasi umum, sementara 58% adalah organisasi mitra yang secara khusus mengurusi persoalan hak-hak perempuan. Hal ini merupakan perwujudan prinsip Komnas Perempuan, dan gerakan perempuan pada
L a p o r a n Pertanggungjawaban
23
umumnya, untuk tidak eksklusif, karena masalah hak perempuan tidak lepas dari persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik lainnya. Oleh karena itu berjaringan dengan organisasi-organisasi yang bukan organisasi perempuan justru memperkuat agenda keadilan gender. Komnas Perempuan juga membangun jaringan kerja dengan sekitar 22 organisasi pemerintah. Organisasi-organisasi tersebut termasuk departemen-departemen dan kementrian sektoral, universitas, rumah sakit, dan lembaga-lembaga penegak hukum. Secara internasional, Komnas Perempuan mempunyai jaringan kerja dengan organisasi-organisasi regional Asia Pasifik, khususnya yang berkaitan dengan hak perempuan dan HAM. Akses ke jaringan regional ini berasal dari para anggota paripurna serta staf harian Komnas Perempuan. Di tingka internasional, Komnas Perempuan juga mempunyai akses kepada organisasi-organisasi perempuan dan HAM yang berbasis di Amerika Utara maupun Eropa.
Peran Dalam Gerakan Perempuan
Pengembangan Kelembagaandan Laporan Keuangan
24
Sejak awal kelahirannya, Komnas Perempuan menempatkan dirinya di tengah gerakan perempuan dan mempunyai komitmen untuk memperkuat gerakan perempuan dalam memperjuangkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis serta adil dan menegakkan hak-hak asasi manusia. Komnas Perempuan senantiasa berpegang pada prinsip ini dalam setiap proses perencanaan strategis yang dilakukan, baik yang diarahkan pada pengembangan program maupun kelembagaannya. Peran yang berusaha dimainkan oleh Komnas Perempuan dalam gerakan perempuan mencakup: • Fasilitasi perekatan dan kohesi di antara LSM perempuan, organisasi-organisasi masyarakat bukan LSM, dan lembagalembagapemerintahanuntukberkerjasamamemperjuangkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
• Memperjuangkan agar perspektif yang peka gender dan berpedoman pada hak-hak korban mulai diemban dalam kerjasama, baik di lingkungan civil society maupun di kalangan pemerintahan. • Fasilitasi penggalian kritis terhadap alternatif-alternatif dan strategi-strategi - menuju pencapaian visi gerakan perempuan yang lebih berdaya dalam mengangkat suara serta kepenting an perempuan.
Akuntabilitas Publik: Sebuah Awal Komnas Perempuan mempunyai komitmen untuk mengembangkan mekanisme yang tepat dalam menjalankan pertanggungjawaban publik. Sampai saat ini, langkah-langkah yang diambil dalam rangka melaksanakan tanggung jawab ini adalah: • menerbitkan laporan tahunan; dimulai dengan Tiga Tahun Pertama Komnas Perempuan; • menerbitkan laporan keuangan Kbmnas Perempuan; • menyelenggarakan dialog langsung dengan mitra Komnas Perempuan, yang didahului oleh penyebaran angket panda masyarakat luas, untuk mendapatkan pandanganpandangan evaluatif terhadap kinerja komisi dan memperoleh masukan-masukan untuk perbaikan ke depan; • mendokumentasikan, pandangan sejumlah mitra kerja Komnas Perempuan tentang peran dan kinerja Komnas Perempuan selama ini, serta harapan mereka kepada Komnas Perempuan; • mengikutsertakan organisasi-organisasi perempuan di tingkat nasional dan lokal serta para stakeholder Komnas Perempuan lainnya, baik dari jajaran pemerintahan maupun civil society, dalam proses evaluasi kinerja Komnas Perempuan yang dijalankan oleh sebuah tim independen. Mekanisme akuntabilitas ini mulai dilaksanakan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2001.
L a p o r a n Pertanggungjawaban
25
Laporan Sisa Dana Untuk periode yang berakhir 30 Juni 2001 (Rp) Berdasarkan laporan auditor publik
Pendanaan Lembaga Donor Sekretariat Negara
1. 412.719.064 822.500.000
TOTAL PENDANAAN
2.235.219.064
Biaya-biaya Biaya Program Biaya Kegiatan Program Honor Tenaga Ahli Honor dan Rapat Paripurna Perjalanan Dinas Program Perjalanan Dinas lnvestigasi Akomodasi Transport Lokal Program Dokumentasi Program Penulisan Laporan Program Penerbitan Buku
TOTAL BIAYA PROGRAM
268.814.315 26.750.000 241.359.193 21.984.567 15.006.500 3.200.000 4.900.600 411.000 5.500.000 10.750.000 598.676.175
Biaya Rutin Sekretariat Honor& Bantuan Transport Staf Biaya Kantor Komunikasi Biaya Pemeliharaan Gedung dan Perlengkapan Biaya Rupa/Operasional TOTAL BIAYA RUTIN SEKRETARIAT TOTAL BIAYA PENDAPATAN (BEBAN) LAIN-LAIN PENDAPATAN BERSIH
Pengembangan Kelembagaandan Laporan Keuangan
26
227.633.103 201.870.021 48.726.881 74.284.535 811.800 553.326.340
1.152.002.515 62.133.588 1.145.350.137
Laporan Keuangan Komnas Perempuan memperoleh pendanaan dari pemerintah, dalam hal ini Sekretariat Negara, serta lembaga-lembaga donor internasional. Dana yang bersumber dari negara digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Komnas Perempuan mencakup; pemeliharaan gedung, pembelian perlengkapan dan peralatan kantor, kesekretariataan, transportasi dan komunikasi, serta honorarium staf dan anggota Komisi Paripurna. Komnas Perempuan berkantor di gedung milik pemerintah dalam kompleks yang sama dengan Komnas HAM. Pembiayaan program-program kerja Komnas Perempuan diperoleh dari lembaga-lembaga donor internasional atas dasar proposal yang diajukan oleh Komnas Perempuan. Saat ini, lembaga-lembaga donor utama yang mendukung kegiatan Komnas Perempuan mencakup: The Asia Foundation, CIDA, UNFPA/UNIFEM, SIDA, Kedutaan Besar Selandia Baru, dan CSSP. Beberapa perjalanan untuk advokasi internasional dan diskusi publik di dalam negeri mendapatkan dukungan dari Oxfam GB dan The Ford Foundation. Program kerjasama Komnas Perempuan dengan Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (Departemen Dalam Negeri), untuk mendokumentasikan keterkaitan antara kemiskinan, konflik dan kekerasan terhadap perempuan, didanai oleh dana hibah Bank Dunia. Secara keseluruhan, dana yang diterima Komnas Perempuan dalam jangka waktu Oktober 1998 hingga Juni 2001 adalah senilai Rp 2.235.219.064. Dari keseluruhan dana tersebut, hanya 37% yang berasal dari Sekretaris Negara, selebihnya diupayakan Komnas Perempuan dari berbagai lembaga do nor. Komnas Perempuan juga mempunyai serangkaian kegiatan antara tahun 1999-2000, di bawah program Peningkatan Kapasitas Layanan bagi Korban, yang pendanaannya dikelola sendiri oleh pihak pemberi dana, dengan nilai US $142.169.
Berdasarkan Laporan Sisa Dana untuk periode yang berakhir per 30 Juni 2000, sesuai hasil pemeriksaan auditor publik, pengeluaran untuk biaya program mencapai 71% dari keseluruhan biaya, sedangkan 29 % adalah biaya rutin sekretariat. Secara proporsi, pengeluaran biaya rutin sekretariat paling besar dikeluarkan pada tahun 2000 ketika Komnas Perempuan mulai merekrut tenaga-tenaga profesional yang bekerja secara purnawaktu di tingkat manajer program. Pada tahun tersebut, Komnas Perempuan juga melakukan renovasi kantor dan membeli perlengkapan kantor untuk mengakomodasi pertambahan staf harian. Komnas Perempuan juga mulai membangun perpustakaan yang menuntut pengeluaran-pengeluaran khusus, misalnya pembuatan lemari buku dan pengembangan sistem kepustakaannya. Pada awal tahun 2001, terjadi pemotongan dana subsidi dari negara yang dikelola oleh Sekretariat Negara, dan pemotongan dana subsidi untuk Komnas Perempuan adalah yang terbesar, yaitusebanyak 40% dari total dana yang diterirna pada tahun sebelumnya. Perkembangan ini sangat mengejutkan dan berakibat besar terhadap pola kerja rutin Komnas perempuan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya para anggota Komisi Paripurna menerima honorarium, maka setelah pemotongan terjadi terpaksa Sekretariat memohon kerelaan para anggota Komisi Paripurna untuk menyumbangkan kembali hak mereka atas honor tersebut. Jika tidak, maka Sekretariat tidak akan mampu membayar semua staf harian yang bekerja di kantor Komnas Perempuan. Kendati pun Komnas perempuan telah melakukan langkah-langkah lobi, sampai saat ini belum ada indikasi dari pihak pemerintah bahwa alokasi dana untuk Komnas Perempuan dalam anggaran negara tahun 2002 akan kembali ditingkatkan. Jika dibandingkan dengan komisi-komisi serupa di negara lain, dana negara yang diterima Komnas perempuan sangatlah kecil. di Afrika Selatan, misalnya, Komisi untuk Kesetaraan Gender, dalam tahun 1999 mempunyai anggaran tahunan senilai US $
Laporan Sisa Dana Untuk periode yang berakhir 30 Juni 2000 (Rp) berdasarkan laporan auditor publik
Pendanaan Lembaga Donor Sekretariat Negara
797.349.850 590.995.724
TOTAL PENDANAAN
1.338.345.574
Biaya-biaya Biaya Program Biaya Kegiatan Program Honor Tenaga Ahli Honor dan Rapat Paripurna Perjalanan Dinas Program Perjalanan Dinas investigasi Akomodasi Transport Lokal Program Dokumentasi Program Penulisan Laporan Program Penerbitan Buku
173.571.737 23.900.000 177.762.420 86.727.830 14.901.140 39.510.750 23.625.200 4.745.700 3.778.200 37.437.700
TOTAL BIAYA PROGRAM
585.960.675
Biaya Rutin Sekretariat Honor& Bantuan Transport staf Biaya Kantor Komunikasi Biaya Pemeiiharaan Gedung dan Perlengkapan Biaya Rupa/Operasional
102.116.982 71.903.057 13.523.776 42.923.638 10.134.963
TOTAL BIAYA RUTIN SEKRETARIAT
240.602.416
TOTAL BIAYA
826.563.091
PENDAPATAN (BEBAN) LAIN-LAIN PENDAPATAN BERSIH
5.277.349 567.059.832
L a p o r a n Pertanggungjawaban
27
1.676.050, sementara anggaran Komnas Perempuan untuk tahun 2000 hanya senilai US $ 139.362. Selain itu dibandingkan dengan Komisi yang sama di Afrika Selatan, Komnas Perempuan per tahunnya hanya menerima 8% dari anggaran yang mereka terima. Bahkan secara keseluruhan subsidi yang diterima Komnas Perempuan dari negara selama tiga tahun hanya 37%, sementara mereka menerima 76% dari keseluruhan anggarannya pada tahun 1999. Bila dilihat dari faktor pendanaan terhadap Komnas Perempuan, maka tampaklah bahwa belum ada political will yang memadai untuk memberi dukungan penuh dari pemerintah, termasuk dalam bentuk dana, kepada perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan.
Pengembangan Kelembagaandan Laporan Keuangan
28
Laporan Kegiatan: Tiga Tahun Pertama Program Kerja Tiga Tahun Pertama Advokasi Kebijakan Pemerintah 30| Reformasi Hukum dan Kebijakan 46| Dokumentasi dan Pendidikan 55| Penguatan Kapasitas layanan Bagi Korban 63|
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
29
Komnas Perempuan mengembangkan program dan metode kerja berdasarkan prinsip kemitraan dengan organisasiorganisi perempuan dan HAM. Pedoman kerjanya adalah berperan sebagai jembatan untuk mendorong sinergi yang optimal antara inisiatif dan kekuatan gerakan di tingkat masyarakat, di satu pihak, dengan kinerja aparat pemerintah penentu kebijakan di pihak lain. Tujuan akhirnya adalah memajukan perjuangan melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Program Kerja Tiga Tahun Pertama
Kemitraan diusahakan sejak tahap perencanaan, persiapan, hingga tahap pelaksanaan dan evaluasi. Komnas Perempuan juga memfasilitasi terbentuknya koalisi-koalisi baru untuk memperjuangkan terobosan-terobosan dalam upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan mendukung proses otonomi daerah yang memperhatikan masalah jender. Strategi jangka panjang setiap kegiatan Komnas Perempuan dengan mitra-mitranya di daerah adalah agenda penguatan institusi-institusi gerakan perempuan dan lembaga strategis lainnya dalam perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan diwilayah masing-masing. Pendekatan ini berdasarkan pada pandangan bahwa pemberdayaan institusiinstitusi ini merupakan bagian penting dari agenda dukungan terhadap proses demokratisasi yang berkeadilan jender di tingkat daerah. Tiga divisi dalam Komnas Perempuan adalah divisi reformasi hukum dan kebijakan, dokumentasi dan pendidikan publik, serta divisi penguatan kapasitas layanan bagi korban. Komnas Perempua juga melakukan kegiatan advokasi dan berpartisipsi dalam beberapa proses investigasi HAM
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
29
Advokasi Kebijakan Pemerintah Komnas Perempuan melakukan advokasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap relevan dengan perjuangan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan advokasi dilakukan melalui dialog-dialog dan negosiasi kebijakan dengan menteri yang bersangkutan melalui pertemuan publik atau tertutup, sarana tertulis, kertas posisi, dan dengan memberi pernyataan. Dua isu utama yang diadvokasikan secara jangka panjang dan terintegrasi dengan berbagai program kerjanya adalah perempuan dalam situasi konflik bersenjata dan buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (TKW PRT). Advokasi ditekankan untuk memperkuat tanggung jawab pemerintah terhadap penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Tanggung Jawab Pemerintah untuk Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan Dalam rangka menegaskan dan menjabarkan kepada para pejabat serta aparat pemerintahan tentang maksud dari ‘tanggung jawab negara’ untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan telah mengeluarkan sejumlah masukan tertulis, mengenai substansi kebijakan dan tatanan birokrasi negara yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan pemenuhan tanggung jawab tersebut. Hal serupa ditujukan pada para penegak hukum. Ini merupakan permintaan dari organisasi-organisasi pendamping perempuan korban kekerasan, agar proses peradilan dapat berlangsung optimal bagi perempuan korban- kekerasan.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
30
1. Struktur Birokrasi Perlu Peka Gender Komnas Perempuan telah memberi masukan tertulis dalam rangka mendorong terciptanya kerangka kerja yang peka jender bagi semua pihak yang ikut memperjuangkan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan.
Beberapa contoh masukan yang menyangkut pembentukan struktur birokrasi pemerintahan agar peka gender adalah: • Pernyataan tertulis kepada Presiden RI yang memberi dukungan bagi penempatan BKKBN di bawah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Langkah ini dinyatakan penting sebagai landasan untuk merubah pendekatan program KB pemerintah menjadi bagian integral dari agenda perbaikan kesehatan reproduksi serta penegakan hak reproduksi perempuan (November 1999). • Secara pro aktif menanggapi isu akan dihapuskannya (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Komnas Perempuan telah meminta kepada Presiden RI agar Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dipertahankan keberadaannya dalam Kabinet Persatuan Nasional sebagai komitmen pemerintah untuk mempromosikan hak perempuan (Agustus 2000).
Kebijakan presiden tentang dua hal tersebut ternyata sesuai dengan harapan gerakan perempuan.
2. Sumber Daya dan Dana untuk Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan Tanggung jawab negara untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan perlu dijabarkan dalam bentuk dukungan konkrit, termasuk dukungan politik dan sumber daya. Khususnya kepada lembaga-lembaga pemberi layanan bagi korban kekerasan, seperti women’s crisis center, yang sudah mulai banyak didirikan di berbagai pelosok Indonesia. Dukungan politik diperlukan sebagai pengakuan formal terhadap women’s crisis centers. Di tingkat nasional maupun lokal, masyarakat perlu ada alokasi anggaran karena sumber-sumber dukungan finansial sangat diperlukan. Sebagian besar women’s crisis centers saat ini hidup tersendat-sendat karena tergantung dari sumbangan-sumbangan pribadi dan dana hibah yang relatif kecil dibanding tuntutan program kerjanya.
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
31
Penguatan kapasitas pemberi layanan bagi perempuan korban kekerasan, telah dilakukan dengan cara : • Menyampaikan gagasan dalam bentuk kertas posisi kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan yang berisi pertimbanganpertimbangan dan usulan konkrit dalam rangka menuntut tanggung jawab negara dalam peningkatan kapasitas pelayanan bagi perempuan korban kekerasan (April 2001).
3. Penentuan Keputusan yang Berbasis Keadilan Gender Dalam rangka menjabarkan secara konkrit maksud tanggung jawab negara dalam penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, khususnya bagi para penegak hukum, Komnas Perempuan telah melakukan hal-hal sebagai berikut: • Mendukung para pendamping korban kekerasan mengenai cara-cara memproses kasus-kasus melalui jalur hukum formal. • Menegaskan pada para penengak hukum bahwa soal kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah publik, bukan ‘urusan pribadi’, keluarga, atau antar keluarga. • Advokasi pada para aparat penegak hukum untuk menghindari terjadinya proses “reviktimisasi” panda korban yang sedang menjalani proses hukum. Reviktimisasi terjadi jika korban sekali lagi menjadi korban dari tindak pelecehan, diskriminasi atau kekerasan pada saat ia seharusnya menjalani proses pemulihan atau penegakan kebenaran dan keadilan.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
32
Advokasi pada aparat penegak hukum dilakukan pada tingkat daerah dengan tujuan dapat menjadi bagian dari agenda yang lebih luas untuk mendukung proses otonomi daerah yang berkeadilan gender. Advokasi oleh Komnas Perempuan, disesuaikan pada permintaan dari organisasiorganisasi pendamping korban dan telah ditujukan pada: • Jaksa Agung RI: Meminta dukungan untuk kasus perkosaan dan pengawasan terhadap kinerja Jaksa Penuntut Umum Jakarta (Desember 1999).
• •
• •
• • •
Pengadilan Negeri Jakarta Timur: Meminta langkah konkrit untuk perlindungan bagi saksi/korban dalam kasus perkosaan (Oktober 2000). Pengadilan Tinggi Jawa Timur: Mempertimbangkan kasus perkosaan terhadap balita agar dapat diklasifikasikan sebagai kasus perkosaan, bukan ‘pencabulan’ sehingga hukuman yang dijatuhkan mencerminkan keseriusan pelanggaran (Februari 2001). Majelis Hakim Timor Tengah Utara: Memberi dukungan terhadap kasus perceraian oleh perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (Maret 2001). Hakim Pengadilan Tinggi Maumere Flores: Meminta pertimbangan agar saksi/korban diberi izin untuk membawa pendamping ke dalam persidangan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan (Maret 2001). Kapolres Salatiga: Permintaan untuk tidak menunda proses penyidikan tentang kasus pelecehan seksual terhadap empat buruh perempuan (Maret 2001). Kapolda Jawa Timur: Desakan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus kekerasan seksual oleh seorang kyai dalam lingkungan pesantren (Mei 2001). Pengadilan Negeri Semarang: Dukungan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (September 2001)
4. Pentingnya Perlindungan Hak Korban Kekerasan Komnas Perempuan telah menyampaikan sikapnya berupa pemikiran dan pertimbangannya kepada pimpinan negara sebagai masukan untuk 100 hari pertama Presiden RI Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Iuga disampaikan perlunya kebijakan di tingkat nasional suatu perangkat hukum berupa undangundang untuk menghadirkan perlindungan hukum yang efektif bagi perempuan korban perkosaan dan bentukbentuk kekerasan serta diskriminasi lainnya. Berkaitan dengan ini Komnas Perempuan telah menyampaikan:
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
33
•
• •
Melalui Menteri Negara HAM dalam rangka 100 hari pertama Presiden dan Wakil Presiden RI, disampaikan dua isu prioritas, yaitu tindak lanjut terhadap hasil investigasi TGPF tentang Tragedi Mei l998 dan usulan pembentukan tim khusus mengenai HAM di kantor Wakil Presiden, yang memberi perhatian khusus pada penegakan HAM perempuan dan anak (November 1999). Masukan kepada Menteri Kehakiman untuk mendukung perumusan UU Anti Perkosaan (Maret 2000). Masukan dalam Dengar Pendapat Umum KomisiVII DPR RI berjudul ‘Strategi dan Kebijakan Pemberdayaan Perempuan’ (Juli 2001).
Catatan: tindak lanjut dan perkembangannya dapat dibaca pada penjelasan program reformasi hukum dan kebijakan.
Posisi Perempuan dalam Situasi Konflik Bersenjata Komnas Perempuan dalam menanggapi kondisi konflik berkepanjangan di berbagai wilayah Indonesia melakukan inisiatif-inisiatif di dalam negeri kemudian diperkuat dengan kegiatan di tingkat internasional.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
34
1. Perlindungan bagi Pekerja Kemanusiaan Situasi konflik bersenjata yang mengakibatkan ribuan, bahkan ratusan ribu, manusia kehilangan tempat tinggalnya dan harus hidqp di kamp-kamp darurat, Komnas Perempuan mendapat informasi bahwa para pekerja kemanusiaan yang berupaya memberi bantuan kepada para pengungsi pun menjadi sasaran ancaman dan intimidasi dari kedua belah pihak yang berseteru. Berdasarkan itulah maka Komnas Perempuan bertindak untuk melakukan advokasi soal perlindungan bagi pekerja kemanusiaan dalam situasi konflik. Langkah advokasi ini diarahkan pada masyarakat umum maupun jajaran pemerintahan yang relevan, seperti: • bertemu dengan organisasi-organisasi strategis, seperti Barisan Nasional, untuk mensosialisasikan fakta-fakta kerentanan posisi para pekerja kemanusiaan di wilayahwilayah konflik terhadap intimidasi dan ancaman
•
•
•
•
•
kekerasan, serta urgensi adanya mekanisme perlindungan bagi mereka (Agustus 1999). Mengadakan diskusi publik berjudul ‘Dimensi Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata: Landasan Umum Internasional’ dengan narasumber dari Palang Merah Internasional yang mengacu pada tanggung jawab kedua pihak yang berperang untuk tidak menyerang penduduk sipil, korban peperangan maupun para pekerja kemanusiaan yang bertugas menyampaikan bantuan kepada para korban (September 1999). Fasilitasi lokakarya di Banda Aceh untuk membangun mekanisme kerja lapangan bagi perempuan pekerja kemanusiaan Aceh agar mengoptimalkan kemungkinan perlindungan bagi para pekerja kemanusiaan yang bertugas (November 1999). Permintaan kepada Muspida Aceh Tengah untuk berperan aktif dalam memberi perlindungan bagi pekerja kemanusiaan yang bekerja untuk para pengungsi di daerah-daerah konflik (Oktober 2000). pertemuan dengan Menteri Koordinasi Politik Sosial Keamanan, bersama Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak, mendesak dikembangkannya bersama masyarakat sistem perlindungan yang operasional bagi para pekerja kemanusiaan di wilayah konflik dan pengungsian (November 2000). memfasilitasi pertemuan antar pekerja kemanusiaan dari berbagai daerah konflik, seperti Aceh, Maluku, Timor Barat, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah, untuk membahas persoalan- persoalan yang dihadapi bersama dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan (Desember 2000).
2. Kebijakan Penanganan Pengungsi yang Feka Gender Pola pemberian bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi, yang jumlahnya makin membengkak dan keberadaannya semakin menyebar, menunjukkan bahwa perlu ada langkah-langkah khusus yang dijalankan oleh pemerintah untuk memahami dan kemudian menangani
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
35
kebutuhan-kebutuhan khas pengungsi perempuan. Investigasi yang dilakukan di Timor Barat oleh Tim Kemanusiaan Timor Barat (TKTB) menunjukkan bahwa perempuan pengungsi mempunyai pengalaman khas pula, seperti ia terus mengalami atau terancam kekerasan di dalam kamp pengungsian. Kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk kekerasan yang paling banyak dialami para perempuan pengungsi di Timor Barat.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
36
Untuk mendorong pemikiran ulang di pihak pemerintah tentang cara memberi pelayanan pada pengungsi, maka Komnas Perempuan mengambil beberapa inisiatif: • memfasilitasi pengembangan strategi pengadaan pendidikan alternatif bagi pengungsi anak di Maluku dalam konteks kemitraan antara NGO dan Departemen Pendidikan Nasional RI, bersama kelompok relawan kemanusiaan lain, di bawah naungan kantor Ibu Negara (Februari-Mei 2000). • menyampaikan masukan tertulis mengenai perspektif jender dalam penanganan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi kepada Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri, yang pada saat itu diberi tanggung jawab tertinggi untuk penanganan konflik dan pengungsi, (Oktober 2000). • menyelenggarakan dialog publik tentang kekerasan terhadap perempuan di Pengungsian Timor Barat bersama Tim Kemanusiaan Timor Barat yang berpusat di Kupang (Oktober 2000).
Komnas Perempuan juga melakukan advokasi kebijakan dalam hal penangangan pengungsi agar pendekatan pemberian bantuan yang bersifat holistik dan peka jender. Pada forum-forum tersebut Komnas Perempuan juga melakukan sosialisasi tentang pendekatan pemulihan psikososial berbasis komunitas, terutama kepada instansiinstansi pemerintah yang mempunyai program pengungsi, seperti: • Tentang situasi pengungsian domestik di Aceh; dengan Departemen Kehakiman dan HAM (Ianuari 2001).
• •
•
Pendekatan holistik dan peka jender dalam pemberian bantuan kepada perempuan dan anak di lokasi pegungsian, dalam Forum Lintas Instansi PBB, Komnas HAM dan Departemen Kehakiman dan HAM (Juni 2001).
•
Kondisi kesehatan mental bagi perempuan dan anak di pengungsian, dengan Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan (Agustus 2001). Masalah kebutuhan perempuan dan anak pengungsi yang berkaitan dengan bantuan, relokasi dan rekonsiliasi, dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Agustus 2001).
•
Masalah dampak konflik bersenjata pada kesehatan mental perempuan pengungsi, dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan (April 2001). Kondisi IDP di Aceh dan permasalahan-permasalahan dalam penanganannya berdasarkan perspektif gender, dengan Departemen Kehakiman dan HAM (April 2000).
Komnas Perempuan juga mengadakan evaluasi terhadap program darurat BKKBN tentang kesehatan reproduksi perempuan pengungsi di Maluku Utara. Banyaknya kasus kekerasan dialami perempuan pengungsi juga membutuhkan penanganan konselor profesional.
3. Kampanye Perdamaian dan Keadilan Jender Untuk mendukung kepemimpinan kaum perempuan dalam mengedepankan wacana perdamaian dan toleransi di tengah dominasi budaya kekerasan di hampir semua lapisan masyarakat, Komnas Perempuan menyelenggarakan beberapa forum diskusi publik dengan mengangkat wacana antara lain: • Mengadakan Diskusi Publik dengan tema ‘Islam, Perdamaian dan Pluralisme’ dengan tokoh-tokoh pemikir Islam dan perempuan pekerja kemanusiaan dari komunitas Islam di Maluku dan Aceh (November 1999). • Menyelenggarakan Diskusi Publik tentang ‘Demokrasi dan Keadilan Gender dalam Syariah Islam’
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
37
diselenggarakan atas kerjasama dengan Universitas Syah Kuala di Banda Aceh -satu hari setelah Pemerintah menetapkan berlakunya Syariah Islam di Aceh, tanggal 15 Desember 2000 (Desember 2000).
Dalam forum advokasi lintas agama (interfaith), bersama MADIA, ICRB dan TAPAK Ambon, derrgan tujuan mencegah pelebaran sentimen agama akibat kasus-kasus pemaksaan pindah agama di berbagai daerah di Maluku, seperti Halmahera dan beberapa pulau lainnya (Juni 2001). Komnas Perempuan berhasil membantu diadakannya pemeriksaan kesehatan oleh ahli kebidanan bagi korban yang telah mengalami kekerasan seksual.
4. Advokasi Internasional Komnas Perempuan menyampaikan hasil kajian dan pengumpulan data tentang pola kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik di Indonesia pada forum internasional melalui dua mekanisme HAM PBB. Pada konperensi dunia tentang Beijing + 5 Review, dan memberi masukan pada Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Masukan kepada Pelapor Khusus PBB difasilitasi oleh organisasi mitra, Asia Pacific Women Law and Development, yang berbasis di Thailand. Makalah yang disampaikan adalah: • Indonesian Women’s Approach to the Consequences of Armed Conflict: Engendering Humanitarianism, Peace and Iustice, New York, 6 Juni 2000, pada acara dialog dalam rangka Beijing + 5 Review • Report from Indonesia: Women in Armed Conflict – Input to the UN Special Rapporteur on Violence Against Women, Colombo, Srilanka, Agustus 2000
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
38
Pada sidang tahunan Komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia di Jenewa tahun 1999, Komnas Perempuan menyampaikan pernyataan tertulis tentang: • On Dealing with the Consequences of Violence Against Women in Indonesia, Jenewa, 15 April 1999
Komnas Perempuan juga memfasilitasi kehadiran seorang pekerja kemanusiaan dan seorang aktivis hak perempuan dalam acara International Tribunal on War Crimes Against women, yang berlangsung di Tokyo pada Desember 2000. Acara diadakan untuk menuntut pertanggungjawaban publik dalam soal perbudakan seksual yang terjadi di bawah kekuasaan tentara Jepang semasa Perang Dunia II di Asia. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam acara tersebut didasarkan kebutuhan untuk memahami mekanismemekanisme non legal formal dalam menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berbasis gender.
Perlindungan dan Dukungan bagi Saksi dan Korban Salah satu agenda besar dalam proses transformasi kehidupan masvarakat dan bernegara di Indonesia adalah kemampuan untuk menghentikan siklus impunitas yang selama ini dinikmati oleh para pelanggar HAM. Hal ini menuntut adanya mekanisme-mekanisme tertentu, baik dalam konteks hukum formal maupun yang bersifat non hukum, yang dijalankan untuk menyelenggarakan proses pertanggungjawaban negara serta para pelakunya. Untuk mendukung agenda besar ini, Komnas Perempuan mengambil inisiatif mengangkat urgensi mengembangkan dan perlindungan dan dukungan yang dapat membantu para korban dan saksi. Sistem perlindungan dan dukungan bagi korban maupun saksi ini penting, untuk menghindari kemungkinkan terjadinya proses “reviktimisasi” korban. Dalam upaya mengembangkan kerangka pemikiran tentang sistem perlindungan dan dukungan bagi saksi dan korban, Komnas Perempuan menyelenggarakan serangkaian lokakarya yang dimulai dari lokakarya di dua wilayah konflik dan ditindaklanjuti dengan lokakarya nasional, serta diakhiri dengan dialog publik nasional untuk mensosialisasikan hasil pemikiran lokakarya-lokakarya terdahulu. Secara spesifik, rangkaian diskusi ini mencakup:
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
39
•
•
•
•
•
Lokakarya di Takengon, Aceh Tengah, tanggal 23-24 April 2000, bekerjasama dengan Yayasan Pengembangan Wanita (YPW), diikuti peserta dari kalangan masyarakat korban/ saksi, pendamping konseling dan praktisi hukum. Lokakarya di Biak, Papua, tanggal 23-24 April 2000, bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan Papua Cinta Keadilan dan Kebenaran, diikuti peserta dari kalangan komunitas perempuan korban pelanggaran HAM. Lokakarya di Timika, Papua, tanggal 27-28 April 2000, bekerjasama dengan HAMAK (HAM Anti Kekerasan) dan jaringan kesehatan Perempuan Indonesia Timur - Papua (JKPIT Papua), diikuti peserta dari kalangan komunitas korban/saksi dan pendamping. Lokakarya nasional di Jakarta, tanggal 25-28 Mei 2000, diikuti peserta baik dari kalangan non pemerintah (pendamping korban kekerasan, aktivis HAM, dan anti korupsi) dari berbagai daerah Indonesia, maupun peserta dari kalangan pemerintah (khususnya instansi-instansi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman), dan sejumlah nara sumber internasional dari tribunal HAM untuk Rwanda dan Yugoslavia serta praktisi Komisi Kebenaran Afrika Selatan. Dialog Publik Nasional di Jakarta, tanggal 29 mei 2000, yang dihadiri masyarakat umum dan wakil-wakil dari instansi pemerintahan.
Perlindungan Bagi Buruh Migran Perempuan Pekerja Rumah Tangga
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
40
Rumusan dokumen-dokumen PBB menyebutkan tiga konteks terjadinya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, yaitu kekerasan dalam keluarga, kekerasan oleh negara, dan kekerasan dalam komunitas, termasuk di tempat kerja. Komnas Perempuan merasa perlu menyikapi kekerasan yang terjadi pada buruh migran karena mayoritas dari buruh migran Indo nesia adalah perempuan. Kompleksitas persoalan ini adalah karena jenis pekerjaan yang paling banyak dipilih, yaitu sebagai pekerja rumah tangga, justru yang paling tidak terlindungi.
Untuk memperkuat perjuangan melindungi dan menegakkan hak-hak buruh migran, Komnas Perempuan telah melakukan beberapa kegiatan berikut: • menyampaikan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tentang Kampanye jeda Pengiriman Buruh Migran untuk membenahi sistem perlindungan bagi buruh migran perempuan, yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Saudi Arabia (Desember 1999). • memprakarsai pembentukan koalisi di antara organisasiorganisasi perempuan dalam melakukan kampanye 100 hari untuk membenahi sistem pengiriman buruh migran, yang kemudian disebut sebagai ‘Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran (GPPBM), (Juni 2000). • Merumuskan bersama GPPBM, rancangan kontrak kerja, perjanjian bilateral dan kurikulum pelatihan yang didasarkan pada agenda penegakan hak-hak asasi buruh migran (Desember 2000). • melakukan sosialisasi kepada Komisi VII DPR RI bersama KOPBUMI tentang RUU Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Mei 2001). • memfasilitasi pertemuan antara GPPBM dengan Menteri Tenaga Kerja untuk memperoleh dukungan terhadap kampanye Jeda Pengiriman Buruh Migran dan juga untuk meminta perhatiannya terhadap sejumlah kasus pelanggaran hak-hak buruh migran yang belum tuntas diselesaikan (September 2001). Di tingkat internasional, Komnas Perempuan memanfaatkan kesempatan Konperensi Dunia Melawan Rasisme di Durban, Afrika Selatan (September, 2001) untuk mengangkat persoalan buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sebuah tim yang terdiri dari dua mantan buruh migran, Solidaritas Perempuan, GPPBM, Komnas Perempuan, KOPBUMI, dan wartawan Suara Pembaruan menyelenggara kan serangkaian kegiatan dalam Forum NGO WCAR. Kegiatan yang diselenggarakan adalah public hearing tentang buruh migran bersama organisasi mitra, CARAM ASIA yang berbasis di Malaysia. Dua mantan buruh migran telah memberi
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
41
testimoni pada World Court of Women yang diprakarsai organisasi mitra, Asian Women Human Rights Council, yang berbasis di Filipina. Sebagai tindak lanjut, Komnas Perempuan juga mengadakan komunikasi langsung dengan Pelapor Khusus PBB tentang HAM Migran, Gabriella Rodriques, yang sebagai bagian dari Komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia. Telah dijajaki kemungkinan Rodriques untuk melakukan kunjungan ke Indonesia untuk mengkaji sendiri tentang nasib buruh migran Indonesia serta masalah perdagangan perempuan. Tujuan komunikasi langsung dengan Rodriques adalah menjalin kerjasama di tingkat Internasional mengingat buruh migran merupakan masalah bilateral atau bahkan multilateral. Untuk itu Komnas Perempuan juga telah mengadakan pembicaraan tentang masalah buruh migran perempuan dengan organisasi HAM yang berbasis di Kairo, Mesir. Organisasi ini memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara Arab penerima buruh migran Indonesia.
Intersectionality Jender dan Rasisme
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
42
Dalam rangka Konperensi Dunia Melawan Rasisme, Rasialisme, Diskriminasi, Xenophobia, dan Sikap Tidak Toleran Lainnya, di Durban Afrika Selatan, Komnas perempuan telah memberi berbagai masukan kepada Delegasi RI yang mewakili pemerintah Indonesia dalam forum inter-govermental meeting. Masukan-masukan terfokus pada keterkaitan antara jender dan rasisme. Kerangka ‘intersectionality’ merupakan agenda bersama gerakan perempuan sedunia dalam konperensi ini. Untuk itu, Komnas Perempuan menghasilkan dokumendokumen sebagai berikut: • Masukan kepada Delegasi Republik Indonesia panda Pertemuan Persiapan untuk Konperensi Dunia Melawan Rasisme: Penegakan HAM Perempuan melalui Upaya Global Melawan Rasialisme dan Bentuk-bentuk Sikap Tidak Toleran Lain (Februari 2001 di Teheran, Iran).
•
•
Makalah ‘Anatomi Permasalahan Rasisme, Rasialisme, Diskriminasi, Xenophobia dan Sikap Tidak Toleran Lainnya di Indonesia’ yang disampaikan pada acara konsultasi nasional Departemen Luar Negeri RI, bersama Komnas HAM (Agustus 200I). Masukan kepada Delegasi RI tentang Intersectionality, khususnya mengenai Gender dan Rasisme (Agustus 2001).
Komnas Perempuan terlibat dalam Pertemuan Persiapan WCAR yaitu pada bulan Februari di Teheran, Iran, sebagai pengamat dalam Delegasi Pemerintah, dan sebagai peserta dalam Pertemuan Forum NGO Asia Pasifik di Kathmandu, Nepal, pada bulan Maret 2001. Di kedua pertemuan tersebut, Komnas Perempuan memfasilitasi peran serta para aktivis hak perempuan, yaitu aktivis perempuan dari Papua untuk masalah rasisme dan diskriminasi terhadap perempuan adat, aktivis perempuan dari NTT untuk masalah diskriminasi dan xeno phobia terhadap pengungsi, serta aktivis perempuan dari Batam untuk masalah diskriminasi dan xenophobia terhadap perempuan korban trafficking.
Mainstreaming Jender dalam Investigasi HAM Komnas Perempuan adalah salah satu perangkat perlindungan HAM nasional, untuk itu secara proaktif membangun kerjasama dengan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pelaksanaan investigasi HAM. Peran Komnas Perempuan dan Komnas HAM didasarkan panda prinsip kemitraan antara dua lembaga independen, dan secara spesifik Komnas Perempuan berperan mengedepankan perspektif jender dalam penanganan masalah-masalah HAM. Komnas Perempuan ikut dalam penyelidikan pelanggaran HAM nasional, seperti KPP HAM Timor Timur tahun 1999, dan KPP HAM Papua tahun 2001. KPP HAM Timor Timur dibentuk untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaranpelanggaran HAM yang terjadi sekitar proses jajag pendapat di Timor Timur, sedangkan KPP HAM Papua dibentuk untuk
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
43
mengadakan investigasi terhadap kemungkinan terjadinya ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ pada kasus Abepura, sesuai dengan rumusan pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kedua KPP HAM tersebut merupakan pelajaran dalam upaya menjalankan proses investigasi HAM yang berperspektif jender. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam KPP HAM Timor Timur hanya pada tahap akhir investigasi, karena ditemukan bahwa fakta yang terkumpul dalam data base pelanggaran HAM tentang kasus-kasus kekerasan berbasis jender yang dialami oleh perempuan Timor Timur sangat minim. Atas dasar kesepakatan bersama, Komnas Perempuan ikut dalam investigasi terakhir, yaitu ke lokasi penampungan pengungsi di Timor Barat. Dari investigasi tersebut ditemukan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, seperti penyekapan dan perbudakan seksual. Waktu investigasi yang terbatas menyebabkan data dan analisis mengenai fenomena kekerasan berbasis jender sangat tidak memadai untuk dijadikan bagian pokok dari laporan akhir KPP HAM Timor Timur. Kendati demikian, Komnas Perempuan telah menghasilkan satu protokol investigasi HAM yang berpedoman pada hak-hak dan perlindungan saksi serta dukungan bagi korban untuk menghindari terjadinya “reviktimisasi”. Terdapat perbedaan substansial antara keterlibatan Komnas Perempuan dalam KPP HAM Papua dengan keterlibatan Komnas Perempuan dalam KPP HAM Timor Timur. Dalam KPP HAM Papua, Komnas Perempuan memulai keterlibatannya sejak awal dengan memasukan pedoman investigasi HAM berperspektif jender.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
44
Dengan menempatkan seorang pakar jender sebagai wakil ketua tim investigasi, penerapan metode kerja yang peka jender, dan keterlibatan langsung pihak Komnas Perempuan dalam tahap analisis, KPP HAM Papua berhasil memunculkan hasil investigasi HAM pertama yang berperspektif jender sehingga dapat mengungkap secara jelas berbagai bentuk
diskriminasi berbasis jender, dan ras dalam kasus pelanggaran HAM di Abepura. Selain kedua proses investigasi di atas, Komnas Perempuan juga terlibat dalam dua pemantauan tingkat awal oleh Komnas HAM, yaitu pada: • Kasus Simpang KKA di Lhokseumawe, Aceh utara (Februari 1999). • Kasus pembunuhan di Wamena, Papua (Oktober 2000) Pada saat ini, Komnas Perempuan juga menjadi anggota dalam KPP HAM Kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II yang dibentuk oleh Komnas HAM dan bertugas selama masa kerja dari Oktober – Desember 2001.
Kemitraan dengan Lembaga Pemerintahan Kerjasama dan komunikasi dilakukan Komnas Perempuan dengan lembaga-lembaga pemerintah, baik atas inisiatif Komnas Perempuan, maupun atas undangan lembaga pemerintahan bersangkutan. Pihak-pihak yang bermitra dengan Komnas Perempuan adalah sebagai berikut: • Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI – berperan sebagai narasumber dalam proses perumusan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN PIKTP). – Menjadi koordinator antara Menneg PP dan GPPBM dalam kampanye 100 hari untuk jeda pengiriman buruh migran perempuan pekerja rumah tangga dalam rangka pembenahan sistem perlindungan bagi buruh migran. • Departemen Kehakiman dan HAM RI – Aktif dalam menyusun peraturan-perundangan yang kondusif untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. • Kejaksaaan Agung RI – Kerjasama untuk penguatan para jaksa penuntut umum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
45
• •
•
•
•
Departemen Kesehatan RI – Koordinasi dalam pelaksanaan program- program kerja berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Departemen Pendidikan Nasional RI – Menjadi anggota Konsorsium Pendidikan Perempuan Indonesia yang merupakan wujud kemitraan antara pemerintah dan ornop untuk mengembangkan straregi pendidikan masyarakat yang berbasis jender. Departemen Dalam Negeri RI – Kerjasama dengan Kantor Pembangunan Masyarakat Desa untuk mendukung proses penguatan perempuan kepala rumah tangga di desa-desa miskin dan memfasilitasi proses dokumentasi tentang keterkaitan antara kemiskinan, konflik dan kekerasan terhadap perempuan. Departemen Luar Negeri – Sosialisasi perangkat HAM internasional yang secara formal didukung oleh pemerintah Indonesia, melalui ratifikasi maupun penandatanganan dokumen kesepakatan bersama. – Dukungan informasi untuk advokasi perlindungan buruh migran Indonesia di luar negeri. Dewan Perwakilan Rakyat – Kerjasama dengan Komisi VII, serta jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP), menyelenggarakan seminar tentang peraturan-perundangan yang dibutuhkan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Reformasi Hukum dan Kebijakan
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
46
Divisi ini menjalankan fungsi Komnas Perempuan untuk menciptakan keadaan yang kondusif bagi penegakan HAM perempuan melalui reformasi hukum, dan penetapan kebijakan yang tepat. Sesuai dengan konteks hukum, agenda perlindungan hak perempuan yang telah menjadi korban
kekerasan diarahkan pada tiga pilar penegakan hukum’ yaitu substansi hukum, penegak hukum, dan budaya penegakan hukumnya. Untuk menjalankan fungsinya, divisi ini menggunakan metode-metode sebagai berikut: • analisis dan penelitian terhadap hukum dan kebijakan nasional maupun internasional yang relevan untuk agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan; • Lobi untuk mengajukan usulan revisi terhadap perangkat hukum, dan perundang-undangan, serta instrumen hukum dan kebijakan lainnya yang relevan; • Penguatan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan perspektif jender; • monitoring terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh perangkat hukum, baik dengan melakukan pengamatan langsung di pengadilan, komunikasi tertulis, maupun pemantauan melalui media; • advokasi pubiik untuk menjamin peran serta dan dukungan dari masyarakat dalam segala aspek agenda reformasi hukum dan kebijakan yang dijalankan; • dokumentasi mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan serta proses advokasi reformasi hukum dan kebijakan itu sendiri. Untuk kasus-kasus individual, Komnas Perempuan memainkan peran sebagai pemberi rujukan’ baik untuk pendampingan hukum maupun konseling, kepada organisasi dan individu yang dinilai kompeten memberikan layanan yang berperspektif jender serta berpihak pada korban. Dukungan langsung justru diberikan kepada para pendamping korban untuk membantu peningkatan efektifitas kerja mereka dan untuk menciptakan kerangka kebijakan serta sistem hukum yang optimal bagi kerja mereka. Dengan demikian, Komnas Perempuan bukan lembaga layanan yang melakukan pendampingan kasus di pengadilan atau kantor polisi, melainkin lembaga kebijakan dan penguatan yang memfasilitasi proses policy development y ang peka gender melaui dialog dengan aparat penegak hukum, baik di tingkat nasional maupun lokal.
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
47
Tiga program utama Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan adalah: (a) reformasi perangkat hukum dan perundangundangan; (b) penguatan penegak hukum; dan (c) advokasi persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbasis jender.
Reformasi Perangkat Hukum dan Perundang-undangan Sebagai salah satu program dari tiga pilar penegakan hukum dalam divisi Reformasi dan Hukum, program ini, dimaksudkan untuk mengembangkan aspek substansi hukum yang berperspektif jender, dan kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan program ini mencakup: 1. Usulan Revisi terhadap Rancangan Undang Undang tentang Perlindungan Saksi dan atau Korban Sistem hukum Indonesia belum mempunyai mekanisme baku untuk memberi perlindungan bagi saksi dan korban, ketika mereka menjalani suatu proses investigasi dan peradilan. Karena itu, Komnas Perempuan menetapkan pengembangan mekanisme ini sebagai prioritas pertamanya dalam rangka agenda reformasi hukum. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa walaupun sudah ada peraturan-perundangan yang potensial menguntungkan perempuan korban kekerasan, tetapi tanpa adanya sistem perlindungan yang berfungsi ketika mereka bersaksi di pengadilan, maka sangatlah besar kemungkinan terjadinya proses “reviktimisasi” korban.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
48
Masukan revisi terhadap RUU Perlindungan Saksi dan atau Korban yang diajukan oleh pemerintah dibuat berdasarkan hasil lokakarya Komnas Perempuan tentang topik yang sama (lihat Program Advokasi Kebijakan Pemerintah dan Program Dokumentasi dan Pendidikan). Sumbangan pemikiran ini disampaikan dalam berbagai forum konsultasi yang diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk oleh Menteri Negara Hak-hak Asasi Manusia dan Badan Legislasi DPR RI.
Dalam rangkaian kegiatan ini, Komnas Perempuan bekerjasama dengan organisasi-organisasi HAM dan hak perempuan, yaitu ELSAM, LBH APIK Jakarta, Mitra Perempuan dan KONTRAS. Selain itu juga dengan Koalisi Perlindungan Saksi, yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH APIK Jakarta, KONTRAS, Komnas Perempuan, Mitra Perempuan, ICW, ELSAM, YLBHI, PBHI, Komisi Reformasi Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Hukum On Line, LeIP, MAPPI, Masyarakat Transparansi Indonesia, Ju dicial Watch, IKADIN, dan Serikat Pengacara Indonesia.
2. Usulan Revisi terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Sesuai ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM akan dibuat peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur soal reparasi bagi para korban pelanggaran HAM yang berat. Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan ELSAM diundang untuk menjadi anggota tim perumus rancangan peraturan pemerintah ini. Atas dasar inilah maka Komnas Perempuan bersama ELSAM, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan merumuskan naskah akademis, kertas posisi, dan usulan revisi terhadap rancangan PP yang telah dihasilkan oleh pemerintah.
Berkaitan dengan usulan racangan PP di atas, tim melakukan lobi dengan Dirjen Hukum dan Perundangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Lobi ini mengupayakan dibuatnya kebijakan nasional yang komprehensif tentang pemberian reparasi pada para korban pelanggaran HAM yang berat, agar sesuai dengan kebutuhan korban.
3. Usulan terhadap Rancangan Revisi KUHP Sebagai satu-satunya acuan yang ada untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, KUHP ternyata tidak mampu memberikan keadilan terhadap perempuan korban kekerasan. Usaha untuk mengubah isi KUHP sebenarnya telah dilakukan lebih dari 22 tahun, akan tetapi belum menghasilkan kesepakatan naskah revisi yang baru.
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
49
Anggota Jangka PKTP terdiri dari organisasi-organisasi perempuan dan individu-individu sebagai berikut: • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Komnas Perempuan LBHJakarta LBH APIK Jakarta Mitra Perempuan Kalyanamitra Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Jabotabek Solidaritas Perempuan Komisi Reformasi Hukum Nasional Kapal Perempuan Gema Perempuan Rifka Annisa (Yogyakarta) SavyAmira (Surabaya) LKBHuWK Derap Warapsari SIKAP Pusat KrisisTerpadu-RSCM Syarifah Endah Nurdiana Apong Herlina Tumbu Saraswati
Menanggapi perkembangan ini, sejumlah organisasi perempuan menyimpulkan adanya kebutuhan untuk menjajagi dikeluarkannya pasal-pasal khusus yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan dari KUHP untuk dijadikan undang-undang tersendiri. Sejumlah perangkat hukum yang dianggap urgen untuk agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan mencakup: undang-undang melawan kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, perdagangan perempuan dan anak, perlindungan terhadap saksi dan korban, kesehatan reproduksi (termasuk topik aborsi), perlindungan anak, dan undang-undang lingkungan hidup. Berdasarkan lokakarya yang diikuti sejumlah organisasi perempuan di Cimanggis pada bulan Februari 2001 dibuat kesepakatan untuk mengajukan berbagai RUU tersebut (dikenal dengan Kesepakatan Cimanggis).
Mempertimbangkan besarnya kerja ini, maka dibentuk Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Jangka PKTP) yang bertugas untuk merumuskan usulan revisi KUHP dan rangkaian naskah rancangan UU baru yang dibutuhkan.
4. Naskah Rancangan Undang Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU KDRT) Sebelum Kesepakatan Cimanggis dibuat, beberapa organisasi perempuan telah membuat naskah RUU KDRT. Naskah ini kemudian didiskusikan kembali secara lebih luas ketika muncul peluang baru untuk mensosialisasikan RUU ini kepada anggota DPR RI. Untuk itu, bersama Jngka PKTP diselenggarakan lokakarya untuk mengumpulkan masukan-masukan dan merumuskan kembali naskah RUU.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
50
Seminar dengan DPR RI tentang kekerasan dalam rumah tangga serta usulan naskah RUU KDRT berlangsung panda tanggal 4 Iuli 2001, dihadiri organisasi-organisasi anggota Jangka PKTP serta berbagai organisasi dari daerah yang
melakukan pendampingan dan advokasi untuk persoalan kekerasan terhadap perempuan. Seminar ini menghasilkan sejumlah kesepakatan tertulis dari Komisi VII DPR RI yang menjabarkan komitmen untuk menggunakan hak inisiatif DPR dalam mengedepankan RUU KDRT.
Seminar dilanjutkan dengan diskusi terpisah tentang tahapan-tahapan dalam proses perumusan suatu naskah RUU di DPR dengan narasumber Ermalena yang bekerja sebagai staf ahli pada Komisi VII DPR RI.
5. Naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Naskah RUU Perlindungan terhadap Buruh Migran dan anggota Keluarganya telah mulai dibuat oleh beberapa LSM yang khusus menangani persoalan buruh migran, seperti Solidaritas Perempuan dan Kopbumi.
Komnas Perempuan mulai terlibat dalam proses penyempurnaan naskah tersebut setelah memprakarsai dan menjadi anggota dari suatu koalisi baru yang disebut sebagai ‘Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran’ (GPPBM).
Pada bulan Februari 2001, Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan masuk ke dalam tim perumus RUU Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah dibentuk oleh Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi).
6. Masukan Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komnas Perempuan memberi masukan tertulis pada RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk memastikan bahwa perangkat perundangan yang dibuat dapat menjamin, dan tidak menghalangi, peran serta perempuan dalam proses penegakan kebenaran dan pelanggaranpelanggaran HAM berbasis gender.
Koalisi gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran (GPPBM) terdiri dari 22 organisasi perempuan yang bergerak di tingkat nasional maupun daerah, diantaranya: • • • • • • • • • •
Muslimat NU Fatayat NU Wanita Khatolik RI Biro Wanita PGI Solidaritas Perempuan Jaringan Mitra Perempuan KOWANI Divisi Perempuan SBMI Cut Nyak Dien (Yogyakarta) Flower Aceh (Banda Aceh)
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
51
Penguatan Penegak Hukum Kegiatan-kegiatan program ini mengacu pada penguatan kapasitas para penegak hukum dan perubahan budaya penegakan hukum. 1. Dialog Kebijakan dengan Aparat Penegak Hukum Dialog kebijakan dengan hakim, jaksa, polisi dan pengacara dimulai dari sebuah dialog dengan Jaksa Agung RI panda bulan Desember 2000. Komnas Perempuan, bersama LBH APIK Jakarta, DERAP Warapsari, dan Convention Watch, bertemu dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang memberi respons positif terhadap gagasan kerja bersama untuk peningkatan kapasitas pihak kejaksaan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Kerjasama untuk penguatan kapasitas penegak hukum di lembaga Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian dan asosiasiasosiasi pengacara merupakan program jangka panjang yang mencakup, antara lain, pengembangan kurikulum pendidikan, pemantauan proses peradilan dan advokasi publik.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
52
Kemudian dilakukan diskusi dengan empat organisasi pengacara, yakni IKADI, AAI, IPHI dan SPI. Selain itu dilakukan pula dialog tentang tuntutan untuk meningkatkan kapasitas pengacara dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihadiri oleh sejumlah organisasi lain, yang melakukan pendampingan korban di pengadilan, seperti LBH Jakarta, Komnas Anak, dan Lembaga Advokasi Anak Indonbsia (LAAI). Diskusi ini menghasilkan kesepakatan, masukan, dan komitmen dari para pengacara untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang kekerasan terhadap perempuan.
2. Dukungan untuk Penanganan Kasus di Pengadilan Untuk meningkatkan kualitas penanganan kasus di pengadilan, Komnas Perempuan memberi masukanmasukan tertulis kepada para pengambil keputusan atas dasar permintaan dari organisasi-organisasi perempuan
sedang mendampingi korban kekerasan. Masukan Komnas Perempuan umumnya dikaitkan dengan materi kebijakan yang relevan bagi reformasi hukum yang peka jender. Materi kebijakan yang banyak diangkat adalah menyangkut hak-hak korban secara umum, dan soal perlindungan bagi saksi dan korban, secara khusus.
Sejauh ini, masukan-masukan tertulis Komnas Perempuan ditujukan kepada hakim-hakim Pengadilan Negeri di Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTT kepada ketua-ketua Polda dan Polres maupun kepada Jaksa Agung dan Ketua Ombudsman Nasional. Kasus-kasus yang diangkat menyangkut perkosaan terhadap balita, kasus pelecehan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain, kekerasan dalam rumah tangga, serta kasus intimidasi berkaitan dengan persengketaan tanah. Materi kebijakan yang diajukan berkaitan dengan hak saksi korban atas pendamping, dan sistem perlindungan bagi saksi dan korban.
3. Monitoring Kasus Perlindungan Hak-hak Saksi Berdasarkan lokakarya Komnas Perempuan tentang perlindungan dan dukungan bagi saksi dan korban (1999), dibentuk sebuah ‘tim advokasi’, untuk menindaklanjutinya. Selain itu Komnas Perempuan, turut merintis pembentukan koalisi khusus yang melakukan advokasi tentang hak saksi/ korban atas perlindungan dalam proses pengadilan. Koalisi Perlindungan Saksi’ yang terbentuk segera menjalankan kegiatan pemantauan aktif terhadap persidangan Endin, seorang saksi kasus korupsi yang kemudian dijadikan terdakwa.
Advokasi tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender Dengan adanya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Indonesia kini mempunyai sarana untuk mengadili para pelaku dan pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Komnas
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
53
Perempuan menjalankan berbagai inisiatif untuk mendorong agar langkah-langkah yang diambil negara untuk melaksankan UU ini ikut menyikapi kasus-kasus kekerasan berbasis jender yang terjadi dalam konteks fenomena kejahatan terhadap kemanusiaan tertentu. Untuk ini, Komnas perempuan melakukan lobi terhadap Komnas HAM, sebagai perangkat nasional untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM, agar pendekatan dan metodologi kerja tim investigasi yang akan dibentuk bersifat peka jender dan agar kasus-kasus pelanggaran HAM berbasis jender mempunyai peluang yang sama untuk diungkap sebagaimana bentukbentuk pelanggaran HAM lainnya. Dalam rangka meningkatkan pemahaman Komnas Perempuan maupun pemahaman publik, organisasi HAM dan organisasi perempuan serta para penegak hukum Komnas Perempuan mengundang sejumlah narasumber nasional dan internasional. Narasumber internasional yang diundang; Jender specialist untuk Tribunal HAM Rwanda –– Francoise Ngandahayo, penuntut umum dalam Tribunal HAM Bekas Yugoslavia untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, penasehat hukum untuk kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender pada Tribunal HAM Rwanda, Yugoslavia dan unit Kejahatan Khusus di Timor Loro sae, serta Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. Narasumber nasional diantaranya Karlina Leksono Supelli di Jakarta dan Galuh Wandita yang saat ini bertugas di Divisi Kekerasan terhadap perempuan dari Kantor HAM Timor LoroSae. Komnas Perempuan juga bergabung dalam berbagai diskusi tentang ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, baik yang dilakukan oleh Komnas HAM maupun organisasi HAM seperti ELSAM.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
54
Saat ini, Komnas Perempuan sedang menjajaki pembentukan taskforce bersama dengan mitra-mitra di daerah-daerah konflik untuk mengembangkan dokumentasi kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender di Indonesia.
Dokumentasi dan Pendidikan Divisi ini berfungsi untuk meningkatkan pemahaman publik tentang segala bentuk kekerasan yang dialami perempuan Indonesia. Untuk membangun pemahaman yang mendalam dan akurat tentang persoalan ini, Komnas Perempuan mengembangkan program yang saling menguatkan antara kegiatan dokumentasi dan pendidikan. Keduanya dimaksudkan untuk mendukung proses pembelajaran baru, bukan hanya bagi publik yang awam tentang persoalan ini, tetapi juga bagi para aktivis yang telah lama berkecimpung dalam bidang penegakan hak-hak perempuan. Dalam menjalankan program ini, Komnas Perempuan membangun hubungan kemitraan dengan lembaga lain, yaitu lembaga internasional yang berkecimpung dalam bidang pendidikan HAM dan dengan lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan. Hampir semua kegiatan yang dilakukan dalam divisi ini mempunyai elemen penguatan kapasitas, mengingat bahwa dokumentasi merupakan salah satu titik lemah dari perjuangan penegakan HAM dan hak perempuan secara umum.
Dokumentasi Program dokumentasi Komnas Perempuan mencakup dua kegiatan utama, yaitu pemetaan tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan persiapan menuju proses dokumentasi tentang keterkaitan antara kemiskinan, konflik dan kekerasan terhadap perempuan. 1. Pemetaan Kekerasan Kegiatan pemetaan dan penyusunan dokumentasi tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pencatatan terhadap kasus-kasus semacam ini sudah cukup banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi non pemerintah tetapi masing-
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
55
masing terpisah tanpa pengolahan terpadu menjadi gambaran yang komprehensif. Diharapkan bahwa hasil akhir dokumen dapat menunjukkan keluasan, kedalaman serta intensitas kekerasafl terhadap perempuan di Indonesia.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
56
Sejumlah 30 organisasi dari Aceh hingga Papua bekerjasama untuk mengumpulkan data dan catatan yang tersedia, dengan bantuan 20 narasumber, membangun analisis bersama tentang fenomena kekerasan terhadap perempuan yang selama ini telah didokumentasikan.
Selama dua tahun, pemetaan yang berhasil dilakukan mencakup: kekerasan dalam relasi personal, kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan; kekerasan di tempat kerja, perdagangan perempuan, media dan kekerasan terhadap perempuan, interpretasi agama dan kekerasan terhadap perempuan; kekerasan terhadap perempuan dalam sistem hukum dan perundangundangan, serta perempuan dalam situasi konflik dan pengungsian. Pemetaan ini juga mendokumentasikan perjuangan perempuan untuk melawan pelanggaran hakhak asasi kaum perempuan melalui pemaparan tentang lembaga-lembaga masyarakat maupun pemerintah yang bergerak melawan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu dokumentasi ini juga memetakan sejumlah isu strategis yang perlu disikapi oleh pihak-pihak yang peduli terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan.
2. Pencarian Fakta tentang Ferempuan dalam Situasi Konflik Dalam rangka membangun pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang posisi perempuan dalam situasi konflik, Komnas Perempuan melakukan investigasi dan kajian terhadap pola kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam situasi-situasi konflik bersenjata di Aceh, Maluku, Papua, Timor LoroSae, dan dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Selain menggunakan dokumentasi sekunder hasil dari investigasi kelompokkelompok lain, Komnas Perempuan juga melakukan sejumlah pencarian fakta melalui:
•
•
Pengumpulan fakta dan penulisan laporan tentang kondisi pengungsi Timor Timur sekitar masa persiapan jajak pendapat di mana insiden-insiden penyerangan massal terhadap penduduk sipil mulai banyak dilakukan oleh para milisi (Mei 1999). Pengumpulan informasi awal tentang kondisi pengungsi di Aceh, khususnya di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Barat, dengan titik berat perhatian pada sistem pengelolaan bantuan kemanusiaan di dalam kamp-kamp pengungsian serta posisi perempuan didalamnya (Juli 1999).
Komnas Perempuan juga memfasilitasi pembahasan awal rentang makna ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, suatu kategori kejahatan yang baru diperkenalkan di Indonesia melalui UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dalam konteks kekerasan yang dialami perempuan di wilayah-wilayah konflik di Indonesia (lihat juga Program Reformasi Hukum dan Kebijakan mengenai Advokasi tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan). Hasil kajian ini disampaikan dalam sejumlah forum diskusi, baik di lingkungan pemerintahan maupun ORNOP untuk menyebarluaskan informasi ini dan mendapatkan masukan.
Berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari kajian-kajian yang dilakukan akan dikembangkan database tentang kejahatan berbasis jender dalam situasi konflik bersenjata. Informasi yang dimiliki juga digunakan untuk membangun strategi advokasi dengan mengikutsertakan bentuk-bentuk ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ yang berbasis jender dalam segala proses penuntutan pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. Kajian-kajian ini akan dipublikasikan agar dapat masuk ke dalam wacana publik untuk kemudian diolah bersama masyarakat dan konstituen Komnas Perempuan.
3. Dokumentasi tentang Keterkaitan antara Kemiskinan, Konflik dan Kekerasan terhadap Perempuan Masih kurangnya pemahaman aktivis perempuan tentang pengalaman kekerasan kaum perempuan pedesaan yang
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
57
hidup di tengah konflik dan kemiskinan, mendorong Komnas Perempuan berinisiatif untuk bekerja sama dengan sebuah program pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat pedesaan, yaitu ‘Program Pengembangan Kecamatan’ (PPK), yang dikelola oleh Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), Departemen Dalam Negeri. Dalam kerangka kemitraan ini dibentuklah sebuah program khusus yang bernama Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, atau disingkat PEKKA.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
58
PEKKA akan melakukan pilot project di empat wilayah strategis, yaitu Aceh sebagai daerah konflik, Sulawesi Tenggara tempat penampungan korban konflik sebagai daerah pasca konflik, Nusa Tenggara Timur sebagai daerah miskin yang banyak terdapat ‘janda rantau’, dan Jawa Barat sebagai daerah yang rentan konflik sumber daya alam da memiliki budaya kawin-cerai.
Sekretariat PEKKA bertugas menjalankan berbagai kegiatan khusus, mencakup fasilitasi bagi perempuan kepala keluarga di keempat wilayah kerja di atas dalam hal: pengorganisasian, kapasitas mengakses berbagai sumber daya, kemampuan terlibat dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan, dan pendokumentasian pengalaman hidup dan pengorganisasiannya. Komnas Perempuan akan memfokuskan keterlibatannya panda kegiatan terakhir, dengan tujuan membangun dokumentasi dan pemahaman tentang pengalaman kekerasan dan diskriminasi kaum perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah konflik dan kemiskinan.
Pada tahap sekarang, PEKKA sedang mengembangkan rencana kerja bersama secara partisipatif dengan mitramitra di keempat wilayah kerja untuk dua tahun ke depan, serta membangun kesekretariatan nasional untuk memfasilitasi kelancaran pekerjaan. Proses pen dokumentasian sendiri masih pada tahap persiapan awal.
Pendidikan Program pendidikan Komnas Perempuan diisi dengan berbagai kegiatan yang ditujukan pada masyarakat umum, aparat pemerintahan, akademisi, maupun pada komunitas pejuang HAM dan hak-hak asasi perempuan. Ada tiga arena kegiatan, utama yang dijalankan dalam program ini, yaitu: pelatihan untuk pelatih tentang HAM berperspektif keadilan gender, kampanye publik, dan publikasi. 1. Pelatihan untuk Pelatih tentang HAM Berpersektif Keadilan Gender Komnas Perempuan bekerjasama dengan lembaga internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan HAM, yaitu Raoul Wallenberg Institute yang bertempat di Lund, Swedia. Tujuan pelatihan untuk mengembangkan landasan pemikiran dan analisis tentang kekerasan terhadap perempuan dengan menggunakaa kerangka HAM serta instrumen-instrumen HAM nasionai maupun internasional.
Pelatihan diikuti oleh peserta dari delapan daerah, termasuk daerah konflik (Aceh, Papua, Maluku, NTT), wilayah perdagangan perempuan (Batam, Kalimantan Barat), dan daerah perkotaan (Jawa Timur, DKI Jakarta). Masing-masing daerah diwakili oleh peserta dari kalangan aktivis, pemerintah, dan akademisi yang diharapkan dapat membangun kerjasama yang baik dalam upaya menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kegiatan ini menghasilkan pedoman dokumentasi tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM yang kemudian akan digunakan sebagai pedoman dokumentasi di delapan wilayah kerja para peserta pelatihan. Kegiatan ini akan menerbitkan hasil kerjanya pada pertengahan tahun 2002. LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
59
2. Kampanye Publik Komnas Perempuan menyelenggarakan sejumlah dialog publik tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan topik-topik lain yang relevan. Di bawah ini dipaparkan enam diskusi publik yang dihadiri anggota masyarakat awam serta tokoh-tokoh pembentuk opini publik. Dialog Nasional tentang Kekerasan terhadap Perempuan (Oktober 1998)
Dialog nasional ini diselenggarakan dalam rangka peluncuran pertama Komnas Perempuan dan dimaksudkan sebagai ajang penjajagan awal tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan di Aceh, Timor Timur, Papua maupun para buruh migran perempuan dan kaum istri yang dianiaya oleh suami atau anggota keluarga lainnya. Pada kesempatan ini, para pendamping korban dan pakar hukum serta pakar kesehatan masyarakat ikut menyumbangkan pandangannya tentang penanganan persoalan ini.
Dialog Publik tentang Perangkat Internasional untuk Penghapusan Kekkerasan terha dap Perempuan (Desember 1998)
Pada dialog publik ini, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, Radhika Coomaraswamy, memberikan penjelasan langsung kepada para aktivis hak-hak perempuan mengenai apa yang menjadi mandat dan tugasnya, serta memberi informasi mendasar tentang berbagai perangkat intemasional lain yang berfungsi sebagai perlindungan hak-hak perempuan.
Diskusi Publik berjudul Dimensi Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata: Landasan Hukum Internasional (September 1999)
Untuk merespons perkembangan di masyarakat di mana jumlah pengungsi meningkat terus akibat konflik bersenjata di Aceh, Maluku, dan Sulawesi Tengah, serta munculnya kecenderungan para pekerja kemanusiaan pun dijadikan sasaran intimidasi, kekerasan, dan penyerangan, Komnas Perempuan mengundang seorang narasumber dari Palang Merah Internasional untuk memberi pemahaman kepada publik mengenai konsep-konsep humaniter dan HAM internasional yang berlaku dalam situasi konflik.
Diskusi Publik dengan tema Islam, Perdamaian dan Pluralisme (November 1999)
Tumbuh suburnya budaya kekerasan yang menggunakan kedok agama membuat Komnas Perempuan tergerak untuk mengumpulkan sejumlah tokoh agama perempuan untuk membahas bagaimana peran agama di tengah situasi konflik dan kekerasan. Sebagai tindak lanjut, disepakati pentingnya
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
60
dengar suara kaum perempuan Islam yang mengetengahkan nilai-nilai dan interpretasi agama yang justru mengutamakan perdamaian, kemajemukan, dan toleransi. Untuk mensosialisasikan hasil pemikiran lokakarya Komnas Perempuan yang mengembangkan kerangka untuk perlindungan dan dukungan bagi saksi dan korban maka diselenggarakan dialog publik yang mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Jaksa Agung RI Marzuki Darusman dan wakil Kepala Polisi RI ikut hadir dan menanggapi masukan pemikiran dari lokakarya tersebut.
Dialog Publik berjudul Suara Kebenaran: Menuju Perumusan Kerangka Sistem Perlindungan dan Dukungan bagi Saksi/ Korban (Mei 2000)
Tim Kemanusiaan Timor Barat melakukan investigasi tentang kekerasan terhadap perempuan di kamp-kamp pengungsian di wilayahnya dan bermaksud menyampaikan hasil temuannya ke hadapan publik nasional. Untuk itu maka Komnas Perempuan menyanggupi untuk berperan sebagai ‘tuan rumah’ di Jakarta dan ikut menjadi sponsor acara dialog publik ini.
Dialog Publik tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Pengungsian Timor Barat (Oktober 2000)
Dalam rangka peringatan hari Perempuan Sedunia, tanggal 8 Maret, Komnas Perempuan mengundang para pimpinan media cetak dan elektronik untuk mengajak keterlibatan mereka secara aktif dalam mengeluarkan pemberitaan yang berpihak pada kepentingan korban, termasuk korban perempuan yang rentan terhadap terjadinya “reviktimisasi” oleh media. Dari proses ini terbangun kesepakatan untuk berupaya lebih baik dan membangun kerjasama yang konstruktif antara beberapa media dengan organisasi-organisasi perempuan, termasuk Komnas Perempuan.
Dialog dengan media massa dengan tema Tahun 2001 sebagai Tahun Keberpihakan panda Korban (Maret 2001)
Menanggapi kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di dalam komunitas aktivis ORNOP sendiri, Komnas Perempuan bersama sejumlah organisasi perempuan menyelenggarakan sebuah diskusi konstruktif untuk membangun kesepakatan tentang perlunya kode etik dan mencari jalan bersama untuk merumuskan dan kemudian menegakkan kode etik tersebut.
Dialog Publik berjudul Menuju Perumusan Kode Etik untuk Penegakan Prinsip HAM dan Keadilan Gender dalam Komunitas ORNOP (April 2001)
Dialog publik ini dilaksanakan menyusul terbentuknya jaringan belajar bersama antara lembaga-lembaga layanan di Indone
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
61
Dialog Publik berjudul Peningkatan Kapasitas Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (April 2001)
sia Barat dan Indonesia Timur dengan tujuan untuk mempertemukan mereka dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan serta pihak-pihak penentu kebijakan di rumah sakit di Jakarta. Dalam acara ini Komnas Perempuan menyampaikan kertas posisi tentang tanggung jawab negara untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan. Selain menyelenggarakan dialog-dialog publik, Komnas Perempuan juga melakukan survei untuk memperoleh gambaran tentang efektifitas strategi dan alat kampanye yang selama ini digunakan oleh organisasi-organisasi perempuan. Survei ini difokuskan pada organisasi-organisasi advokasi hak perempuan, women’s crisis center, organisasi agama, dan serikat buruh di Surabaya untuk mendapatkan perspektif dari luar Jakarta.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
62
3. Publikasi Komnas Perempuan menerbitkan sejumlah buku kecil yang disebut sebagai ‘Seri Dokumen Kunci’. Tiga buku yang telah diterbitkan ini merupakan dokumen-dokumen resmi hasil investigasi tentang berbagai soal kekerasan terhadap perempuan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Seri Dokumen Kunci ini dimaksudkan sebagai bahan referensi bagi masyarakat luas, para pengajar dan pendidik, aktivis HAM dan hak perempuan, serta para pejabat pemerintah yang peduli. Dokumen resmi pertama yang diterbitkan Komnas Perempuan adalah yang bersangkutan dengan peristiwa Tragedi Mei, sebagai upaya untuk mendorong pemahaman publik tentang peristiwa tersebut dan mensosialisasikan tanggung jawab negara terhadap tindak .lanjut proses investigasi yang telah dijalankan. Judul ketiga buku Seri Dokumen Kunci tersebut adalah: • Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dengan lampiran Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (November 1999). • Laporan Pelapor l(husus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan: Misi ke Indonesia dan Timor Timur (November I999).
•
Laporan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan - Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan dan Kekerasan terhadap Perempuan: Penyebab dan Akibatnya (Februari 2001)
Seri Dokumen Kunci ini disebarluaskan melalui jaringan kerja Komnas Perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Komnas Perempuan juga sedang menyiapkan penerbitan seri buku saku rnengenai beberapa kasus penting menyangkut kekerasan terhadap perempuan, akar permasalahan serta upaya-upaya penanganannya, [enulisan naskah untuk terbitan pertama, mengenai tindak lanjut dari peristiwa perkosaan massal pada bulan Mei 1998, dilakukan berdasarkan wawancara-wawancara terakhir dengan aparat pemerintah terkait serta organisasi-organisasi pendamping korban.
Penguatan Kapasitas Layanan bagi Korbam Divisi ini dibentuk untuk menjalankan peran Komnas Perempuan dalam meningkatkan upaya penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, Komnas Perempuan mengembangkan sebuah program penguatan kapasitas dalam hal pemberian layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan yang melibatkan pihakpihak yang multi disiplin dan lintas sektoral. Selain itu, divisi ini juga menjalankan suatu proses pembelajaran tentang suatu fenomena baru yang belum pernah dihadapi dalam 30 tahun terakhir ini, yaitu pemberian layanan psiko-sosial berbasis komunitas untuk daerah konflik dan pengungsian.
Peningkatan Kapasitas Layanan Terpadu Komnas Perempuan menyikapi kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memberi layanan bagi korban kekerasan dengan mengembangkan suatu proses
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
63
pembelajaran dan perencanaan kerja bersama berbagai pihak di antara yang memainkan peran kunci dalam pemberian layanan terpadu bigi perempuan korban kekerasan. Kegiatan yang dilakukan berupa pengembangan model-model layanan bagi korban kekerasan serta pengembangan jaringan bersama antar pemberi layanan guna melakukan penguatan kapasitas layanan secara berkelanjutan. 1. Model-model Layanan Dalam rangka menemukan beberapa-model pelayanan bagi perempuan korban kekerasan. Komnas Perempuan memfasilitasi sebuah proses refleksi dan berbagi pengalaman di antara para perempuan pendamping yang bekerja di berbagai wiliyah Indonesia, baik dalam konteks perkotaan maupun pedesaan. Dalam forum tersebut beberapa tenaga medis dokter dan akademisi serta polwan (polisi wanita) ikut sebagai peserta sehingga menjamin proses pembelajaran yang multi disipliner dan lintas sektoral. Dari proses diskusi ini muncul kesimpulan tentang pentingnya suatu pendekatan pelayanan bagi korban kekerasan yang bersifat terpadu dan multi disipliner. Kesimpulan lainnya berkaitin dengan kebutuhan akan definisi kerja dan standar-standar layanan yang bisa dijadikan pegangan bersama.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
64
Dari lokakarya ini juga tercapai kesepakatan untuk melakukan pembelajaran dari negara-negara tetangga, khususnya Filipina din Malaysia, serta dari negara ketiga yang berada dalam situasi konflik bersenjata yang berkepanjangan, yaitu Srilanka. Diharapkan bahwa ketiga negara ini dapat memberikan pengalaman pembanding untuk Indonesia dan berkontribusi terhadap proses pengembangan model-model layanan terpadu yang sesuai untuk konteks Indonesia. Tim studi yang berangkat dipilih dari peserta lokakarya berdasarkan kriteria yang disepakati bersama, antara lain bahwa tim bersifat multi disipliner. Lima orang yang melakukan perjalanan ke tiga negara ini akhirnya terdiri dari seorang konselor, dokter ginekolog, pengelola
pusat krisis untuk perempuan dan anak, praktisi hukum dan seorang purnawirawan polisis wanita.
Dari kedua proses di atas maka dikembangkan dua model layanan bagi perempuan korban kekerasan yang kiranya dapat diterapkan dalam konteks Indonesia, yaitu layanan terpadu di rumah sakit untuk wilayah perkotaan dan pendampingan berbasis komunitas untuk wilayah konflik dan pedesaan. Kedua model ini kemudian disosialisasikan kepada pihak pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
Model layanan yang berbasis rumah sakit segera direalisasikan dalam bentuk pilot project di Jakarta melalui kesediaan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mendirikan sebuah pusat krisis terpadu (PKT) di kompleks rumah sakitnya. Komnas Perempuan terlibat langsung dalam proses pembentukan PKT RSCM ini, khususnya dalam pengembangan desain dasar pelayanan yang diberikan dan dalam proses seleksi, pelatihan, dan rekrutmen calon pegawai PKT.
2. Jaringan Pemberi Layanan Guna memastikan keberlanjutan proses penguatan kapasitas bagi para pemberi layanan bagi korban kekerasan, Komnas Perempuan memprakarsai pembentukan jaringan nasional antar sesama pemberi layanan, yaitu antara women’s crisis centers dan organisasi advokasi hak perempuan. Untuk wilayah Indonesia Timur, khususnya di Papua dan NTT, pendekatanyang diterapkan oleh organisasiorganisasi perempuan di sana adalah model pendampingan berbasis komunitas, sedangkan untuk wilayah Indonesia Barat, terutama di Jawa dan Sumatera, pendekatan yang digunakan adalah campuran antara model yang berbasis rumah sakit dan yang berbasis komunitas.
Melalui suatu lokakarya dengan pimpinan rumah sakit tingkat nasional maupun daerah, Komnas Perempuan juga mulai menjajagi pengembangan sebuah jaringan antar rumah sakit
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
65
yang berminat untuk meningkatkan kemampuannya mendeteksi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, yang masuk ke rumah sakitnya serta memberi pelayanan yang sesuai kebutuhan para perempuan korban. Diharapkan dari jaringan ini akan dapat dihasilkan standar tata laksana untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang bisa dijadikan pedoman baku di rumah sakit.
Kebutuhan atas pengembangan definisi kerja dan standar operasional untuk pemberian layanan bagi perempuan korban kekerasan, sebagaimana terungkap dalam lokakarya pertama dari program ini, Komnas Perempuan menyiapkan penerbitan buku yang bisa dijadikan landasan untuk memenuhi kebutuhan ini. Buku ini merupakan perumusan hasil-hasil pembelajaran dari keseluruhan perjalanan program ini, dan memaparkan prinsip-prinsip layanan berperspektif gender serta memetakan berbagai bentuk layanan yang ada di Indonesia saat ini.
Komnas Perempuan juga melakukan advokasi tentang keberadaan institusi women’s crisis center serta fungsi sosial yang dijalankannya dalam masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai ‘saksi ahli’ dalam persidangan kasus gugatan-balik yang dialami oleh salah satu organisasi-anggota jaringan crisis cen ter yang dilancarkan oleh pihak si pelaku kekerasan berkaitan dengan pendampingan yang dilakukan bagi korbannya.
3. Arena Belajar Bersama Komnas Perempuan juga memfasilitasi adanya suatu arena belajar bersama. Agenda pembelajaran dirumuskan bersama dan dikembangkan sesuai dengan konteks sosial-budaya yang berbeda-beda, misalnya untuk wilayah Indonesia Timur (NTT dan Papua) dan Indonesia Barat (Jawa dan Sumatera).
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
66
Hal-hal seputar pedoman dasar layanan sampai ke soal mekanisme dan standar operasi layanan adalah masalah sehari-hari layanan korban yang perlu direfleksikan, diperbaiki dan terus-menerus diarahkan untuk layanan yang
paling memadai bagi korban. Untuk kepentingan pembelajaran ini, Komnas Perempuan memfasilitasi: 1. pengembangan perangkat belajar bersama, seperti disain pelatihan dan pelatihnya, sesuai dengan kebutuhan spesifik yang muncul dari tiap cluster jaringan, dan 2. tersedianya jaringan komunikasi melalui e-mail, yaitu milis batu 2001, yang aktif dimanfaatkan oleh para anggota jaringan. Ini adalah upaya pemanfaatkan teknologi informasi untuk kepentingan pemulihan korban.
Pembelajaran Tentang Layanan Psiko-sosial untuk Korban Konflik Bersenjata Konflik bersenjata yang pecah di berbagai wilayah Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini telah mengakibatkan lebih dari satu juta manusia lari dari tempat tinggalnya dan hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp darurat. Sebagian dari mereka, seperti yang di Maluku, terpaksa hidup dalam situasi ini selama lebih dari dua tahun karena konflik yang tak kunjung selesai. Tingkat stres dan trauma yang dialami oleh para pengungsi sangat tinggi apalagi mereka yang menjadi korban atau saksi perbuatan-perbuatan keji terhadap diri, keluarga ataupun tetangganya. Dalam situasi jumlah pengungsi sekian banyak dengan lokasi yang tersebar, Komnas Perempuan melihat pentingnya mengembangkan pendekatan layanan yang berbasis masyarakat, dalam arti yang didasarkan pada kekuatankekuatan yang hidup di dalam masyarakat sendiri. Karena soal pemulihan psiko-sosial berbasis komunitas merupakan suatu hal yang baru di Indonesia dan kapasitas untuk menjalankan pendekatan tersebut sangat rendah, maka Komnas Perempuan mengambil beberapa inisiatif berikut: • melakukan advokasi tentang dimensi kesehatan mental pengungsi, • ikut serta dalam pelaksanaan pendekatan psiko-sosial berbasis komunitas di salah satu lokasi pengungsian,
LaporanKegiatan: T i g a Ta h u n P e r t a m a
67
•
serta melakukan pelatihan tentang prinsip-prinsip pendekatan ini kepada para pendamping korban konflik dan kekerasan.
1. Penerapan Pendekatan Psiko-sosial di Lokasi Pengungsi Madura Komnas Perempuan bekerjasama dengan lembaga internasional bernama International Medical Corps (IMC), mengembangkan suatu desain program rehabilitasi ‘stres pasca trauma’ berbasis komunitas dan memfasilitasi penerapannya terhadap pengungsi ex Kalimantan Tengah yang berada di Madura. Program pemulihan kesehatan mental dikaitkan dengan proses pemberdayaan masyarakat dan pencarian sumber penghasilan yang memanfaatkan ketrampilan dan keahlian yang sudah dimiliki oleh pengungsi dan penduduk lokal serta sesuai dengan sumber daya yang ada.
P r o g r a m K e r j a T i g a Ta h u n P e r t a m a
68
Komnas Perempuan, bersama Rifka Annisa, terlibat dalam pemberian pelatihan untuk mengenali dan menangani stres kepada pekerja-pekerja komunitas yang disiapkan untuk bekerja dengan kelompok-kelompok masyaraliat (support groups) yang telah didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat dari lingkungan pengungsi maupun penduduk lokal. Kelompok-kelompok inilah, yang mencakup 400 perempuan dewasa dan 400 anak, yang menjadi pemilik proses pemulihan kesehatan mental sekaligus pemenuhan kebutuhan dasar serta finansial diri dan komunitasnya.
2. Pelatihan untuk Pekerja Kemanusiaan yang Bekerja dengan Pengungsi Komnas Perempuan, bekerjasama dengan KONTRAS, Bagian Psikiatri Universitas Indonesia, dan Universitas Atma Jaya, menyelenggarakan pelatihan berjudul ‘Bekerjasama dengan Masyarakat yang Mengalami Trauma’, diikuti oleh peserta dari semua daerah konflik dan pengungsian di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah pemulihan psiko-sosial berbasis komunitas, dengan fokus pada pemanfaatan kesenian rakyat untuk mengatasi stres yang dipadukan dengan ketrampilan konseling individual serta kegiatankegiatan income generating dan kesehatan secara umum.
Refleksi dan Tantangan ke depan Capaian dan Dampak 69| Refleksi Masyarakat tentang Komnas Perempuan 71| Capaian dan Dampak 77| Capaian dan Dampak 78|
B e r d i r i n y a Ko m n a s Pe r e m p u a n
69
Refleksi dan Tantangan Ke Depan Refleksi mengenai capaian dan dampak, serta kekuatan dan kelemahan Komnas Perempuan, dibuat di tengah-tengah situasi di mana kekerasan, dan ancaman kekerasan, justru semakin meningkat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat internasional. Situasi krisis yang sejak tiga tahun terakhir secara dominan mewarnai pengalaman warga Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Padahal, justru dalam konteks krisis inilah kaum perempuan menjadi begitu rentan terhadap kekerasan, baik dari lingkungan komunitasnya maupun dari keluarganya.
Capaian dan Dampak Sejak didirikan Komnas Perempuan berperan dalam meletakan landasan yang relatif kuat untuk berjuang melawan kekerasan terhadap perempuan. Landasan apa yang telah dibangun oleh Komnas Perempuan? • Keberadaan Komnas Perempuan sebagai institusi dan perangkat nasional untuk menegakkan HAM perempuan di Indonesia, telah diartikulasikan secara berkelanjutan melalui berbagai kegiatan publik, baik di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat, di tingkat nasional maupun lokal. • Komnas Perempuan memberi perhatian besar pada proses pengembangan dan perluasan konstituensinya agar sungguh-sungguh mencerminkan suatu cakupan nasional yang majemuk dan dijadikan landasan legitimasi komisi yang berakar kuat pada gerakan perempuan dan HAM di Indonesia.
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
69
•
Belum adanya contoh atau model mekanisme nasional untuk penegakan HAM perempuan, menuntut Komnas Perempuan untuk menciptakan sendiri perangkat dan alatalat kerjanya. Hal tersebut direalisasikan dalam upaya-upaya berikut: – engembangkan alat dokumentasi mengenai kekerasaran terhadap perempuan dengan menggunakan kerangka HAM. – Membangun kemitraan strategis dengan Komnas HAM untuk kepentingan pengarusutamaan (mainstreaming jender dalam proses-proses investigasi pelanggaranpelanggaran HAM. – Memperkuat gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dengan membangun koalisi dan aliansi strategis, baik di lingkungan organisasi perempuan maupun antara organisasi-organisasi perempuan dengan organisasi-organisasi lainnya. – Melakukan advokasi dan memfasilitasi suatu proses pembelajaran berkaitan dengan posisi perempuan dalam situasi konflik bersenjata yang selama ini belum masuk dalam peta gerakan perempuan.
Apa dampak dari keberadaan Komnas Perempuan selama tiga tahun ini terhadap upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia? Dampak keberadaan Komnas Perempuan sebagai perangkat nasional dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini adalah: • • •
R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
70
adanya penguatan dan perluasan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan, adanya perangkat kerja yang dikembangkan secara khusus untuk merespon persoalan kekerasan terhadap perempuan, adanya jaringan-jaringan kerja yang luas dan majemuk sebagai kekuatan baru untuk mendapatkan terobosanterobosan strategis dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Sementara itu perkembangan situasi di tingkat nasional dan global yang cenderung mengarah pada eskalasi kekerasan merupakan kendala eksternal yang harus dihadapi oleh Komnas Perempuan dalam perjuangannya untuk menghapuskan berbagai insiden kekerasan terhadap perempuan yang sampai saat ini masih terus terjadi.
Refleksi Masyarakat tentang Komnas Perempuan Berikut ini adalah beberapa pendapat dari mitra-mitra kerja Komnas Perempuan tentang penilaian terhadap kinerja komisi ini maupun harapan-harapan mereka terhadap Komnas Perempuan.
Asmara Nababan (Komnas HAM, Jakarta)
Komnas Perempuan adalah sebuah lembaga khusus yang sebenarnya setingkat dengan Komnas HAM yang khusus menangani penghapusan kekerasan terhadap perempuan…. .dan, karena lebih fokus, memiliki peluang berhasil lebih luas. Komnas Perempuan tidak boleh mengambil alih pekerjaan dari organisasi non pemerintah, khususnya yang bergerak di bidang penghapusan kekerasan terhadap perempuan….dan tidak perlu menjadi pionir dalam gerakan itu. Dia bisa menjadi pendukung. Justru Komnas Perempuan harus mengambil peran yang sangat maksimum ‘officiality’ (keresmian) yang tidak dimiliki oleh NGO lain. Jadi, akses ke pengambil keputusan lebih besar dari pada NGO lain… .berarti resource’ lebih besar ditempatkan di sana, lebih mempengaruhi pusat-pusat pengambilan keputusan.
Jika kita bicara tentang peta gerakan perpempuan yang memiliki fraksi-fraksi, maka saya berharap bahwa Komnas Perempuan tidak masuk ke dalam fraksi-fraksi (gerakan perempuan) tersebut. Komnas Perempuan harus bisa
Lely Zaelani (Hapsari, Medan) L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
71
menyatukan itu. Selama ini yang sudah dilakukan Komnas Perempuan, menut saya, belum melakukan sesuatu yang secara langsung mempengaruhi kebijakan dan keputusan negara. Harapan ke depan Komnas Perempuan dapat menjadi jembatan kepentingan perempuan ke dalam kebijakan dan keputusan negara, karena kami sering menemukan kesulitan ketika sedang menghadapi masalah dan (perlu) merujuk ke organisasi perempuan yang mana. Nah, kami berharap dapat ke Komnas Perempuan, bersama organisasi perempuan lainnya untuk berjalan bersama-sama. Komnas Perempuan juga diharapkan bisa ke pelosok-pelosok, ke daerah-daerah untuk merespon semua isu-isu nasional yang konteksnya daerah…bisa mempengaruhi kebijakan di tingkat kabupaten. Karena kami masih menggunakan Komnas Perempuan untuk mempengaruhi kebijakan di tingkat kabupaten.
Dewi Nova (K3JHAM, Semarang)
Saya merasa senang dengan keberadaan Komnas Perempuan. Misalnya saja dengan media mailing list batu2001@ yahoogroups.com itu bisa melakukan proses saling belajar dengan teman-teman sesama organisasi pemberi layanan, sehingga merasa tidak sendiri dalam bergerak, namun bergerak bersama-sama. Begitu juga dengan dukungan dan pengembangan institusi organisasi pelayanan daerah, Komnas Perempuan sangat care. Mudah-mudahan kedepannya Komnas Perempuan dapat lebih memperhatikan organisasiorganisasi perempuan di daerah.
Irawati Harsono (Derap Warapsari, Jakarta)
Bagi saya Komnas Perempuan adalah sumber di mana tempat bertanya dan juga melakukan konsolidasi dengan temanteman digerakan perempuan yang lain. Saya merasa Komnas Perempuan sebagai rumah sendiri. Peran Komnas jelas sangat kuat bagi pergerakan perempuan saat ini.
R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
72
Saran saya agar Komnas Perempuan lebih sabaran dalam bergerak terutama jika menghadapi instansi kepolisian. Perlu waktu untuk bisa mempengaruhi instansi kepolisian, yang memang juga punya karakter sulit menerima masukan dari luar Harapan saya ke depan Komnas Perempuan tetap dapat menjalin kerjasama dan jaringan dengan organisasi perempuan lainnya baik dalam peningkatan pelayanan bagi korban maupun untuk reformasi hukum.
Selama ini Komnas Perempuan banyak memberikan manfaat tidak hanya pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ada di Aceh, tetapi juga pengembangan diri beberapa aktivis perempuan. Misalnya itu bisa dilihat bagaimana Komnas Perempuan melibatkan kawan-kawan perempuan Aceh untuk acara-acara yang mereka buat, untuk workshop dan training juga... Mereka melakukan workshop tentang perlindungan saksi, membicarakan draft undang-undang tentang perlindungan saksi yang sebenarnya dibutuhkan untuk kondisi Aceh ....
Azriana (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Aceh Utara)
Satu hal yang aku suka dari Komnas Perempuan adalah mereka tidak di awang-awang. Jadi, dalam banyak hal mereka membumi dengan melibatkan kawan-kawan di daerah untuk membicarakan persoalan yang terjadi. Mereka bukan sekelompok orang yang datang dan berbicara tentang daerah, tetapi mereka melibatkan orang-orang setempat untuk memberi masukan.
Saya pikir dengan adanya Komnas perempuan kita bisa berbagi peran...Komnas di bidang publiknya, dengan perubahan-perubahan kebijakan, kita yang aktivis di lapangan bisa terbantu. Peran di Aceh sendiri kita sudah mengalami secara intern, secara lembaga. Kita pernah merasa terancam dengan kondisi
Atini (YPW, Aceh Tengah)
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
73
di Aceh, lalu kita minta bantuan Komnas Perempuan. Karena kekuatannya, kita meminta jaminan keselamatan untuk pekerja kemanusiaan. Nah, dengan adanya surat dari Komnas Perempuan waktu itu, kita merasa terbantu.
Ainal Mardhiah (Serikat inong Aceh, Pidie)
Yusan Yeblo (Anggota Komnas Perempuan, Jayapura)
Sebenamya saya memang sudah dengar nama Komnas Perempuan, tetapi saya belum mengenal jauh tentang Komnas Perempuan. Kami mengharapkan [agar] memperdulikan kaum perempuan di Aceh, yang banyak masalahnya. Kami mengharapkan juga ada kepedulian terhadap organisasiorganisasi lainnya.
Komnas Perempuan mempunyai pengaruh yang luar biasa walaupun kita tidak buat banyak. Sekarang kalau lihat di Papua masih ada kekerasan negara terhadap perempuan dan kita perlu figur untuk membicarakan itu. Orang perlu forum untuk menanyakan,’Bisakah kita hadir dalam pertemuan untuk menceritakan pengalaman yang ada dan memberikan informasi?’ Dari saya sendiri, sebelum terbentuknya Komnas Perempuan, kita sudah mengawali sesuatu. Menjadi anggota Komnas merupakan nilai tambah yang luar biasa yang tidak disangka bisa terjadi seperti itu sampai sekarang. Bila di Papua orang minta informasi tentang Komnas Perempuan, mereka menanyakan kepada saya. Begitu juga bila saya berbicara dengan pemerintah. Harapan saya ke depan adalah dukungan Komnas Perempuan terhadap gerakan perempuan di daerahdaerah, supaya itu menjadi kekuatan tersendiri.
R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
74
Harapan tentang Komnas perempuan dan gerakan perempuan di Papua harus membenarkan nama baik perempuan di Papua dan seluruh bangsa. Keinginan saya perempuan harus lebih tinggi dan amankan daerah masing-masing. Pihak suku maupun negara harus mendidik perempuan. Kenapa saya mengatakan ini? Karena perempuan seperti saya tidak pernah sekolah tetapi saya bicara tentang kebenaran…. Saya hanya ingin daerah saya aman dan sejahtera saja, saya tidak mau semua saling bunuh, menjelekkan orang lain, dan mengancam suku lain. Itu yang tidak saya inginkan dan kami perempuan harus memperjuangkannya.
Mama Yosepha (HAMAK, Timika)
Saya punya keinginan, dari dulu saya, tidak sekblah tetapi saya berbuat untuk adat dan selamatkan orang banyak. Saya mengharapkan Komnas Perempuan untuk membantu perdamaian di tanah Papua dan berjuang bersama-sama dengan gerakan perempuan yang lain.
Komnas Perempuan masih dipahami oleh kebanyakan orang bagian dari Komnas HAM. Belum tenar lah. Bahkan, di beberapa tempat, Komnas Perempuan masih dianggap sebagai NGO. Peran Komnas Perempuan dalam memfasilitasi forum belajar, seperti forum belajar Jawa-Sumatera, harus tetap dipertahankan ....Komnas Perempuan diharapkan dapat mendesak hadirnya Undang-Undang tentang anti kekerasan terhadap perempuan, seperti UU Perkosaan, KDRT, dsb. Jadi perannya diharapkan juga dalam bidang reformasi hukum, karena Komnas Perempuan memiliki peluang untuk mempengaruhi pusat- pusat kebijakan dan keputusan. Dalam otonomi daerah yang banyak memunculkan perda-perda yang membodohkan dan merugikan perempuan, maka diharapkan Komnas Perempuan dapat bersuara.
Yeni Roslaini (WCC Palembang)
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
75
Dede Oetomo (Dosen Fisip Unair, Surabaya)
Kalau boleh jujur sebenarnya Komnas Perempuan belum dikenla oleh publik apa peran dan kegiatannya. Mungkin karena usianya yang masih muda dan belum dilakukan sosialisasi kepada publik. Ruang lingkup kerjanya bisa diperluas (sehingga) tidak hanya soal kekerasan tapi juga tentang diskriminasi dan isu lesbian. Kontribusi Komnas Perempuan untuk Penegakkan HAM saya pikir ada dan itu didasari setelah saya bertemu dengan beberapa anggota Komnas Perempuan dalam rapat persiapan untuk Durban. Saya lihat di situ, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Komnas Perempuan sudah banyak, sehingga tinggal diteruskan dan diperluas lagi k iprahnya.
Abdul Azis Hoesein (Deputi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan)
Kalau dilihat dari sejarah lahirnya (Komnas Perempuan), keberadannya sangat penting. Sudah sangat bagus kerjanya, hanya perlu dipertajam, apa fokus yang dilakukan. misalnya, apakah lebih fokus ke hukum, advokasi atau memfasilitasi penyediaan shelter yang masih sangat kurang. Meskipun non pemerintah, tapi lahirnya dari Keputusan Presiden sehingga memilii peluang untuk berhasil lebh banyak. Kontribusinya sangat diharapkan,misalnya untuk RAN PKTP, Komnas Perempuan bisa memayungi hal itu……. Dengan sumber daya manusia dan sumberdaya ekonomi yang terbatas, saya pikir Komnas Perempuan dapat lebih meningkatkan kerjasamanya dengan GO dan NGO, serta lembaga dana. Harapan saya Komnas Perempuan akan tetap bekerja untuk meraih visi dan misinya, serta dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap GO, sekaligus mengajak untuk bersama-sama bergerak.
R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
76
Kekuatan dan Kelemahan Pandangan-pandangan dari mitra-mitra kerja di atas ternyata benyak yang konsisten degan penilaian internal Komnas Perempuan mengenai kekuatan dan kelemahan komisi ini. hal ini menggemberikan karena membuktikan adanya perhatian besar terhadap Komnas Perempuan dan kinerjanya. Inilah indikator yang paling menjanjikan untuk menunjukkan bahwa Komnas Perempuan sungguh-sungguh milik gerakan masyarakat. Secara lebih rinci, evaluasi internal Komnas Perempuan sendiri tentang kekuatan dan kelemahan adalah sebagai berikut: Kekuatan • •
•
•
Mempunyai basis legitimasi di kalangan gerakan perempuan dan HAM. Keanggotaan dan staf yang majemuk serta multi disipliner degan idealisme yang sama dan mampu membangun konsistensi visi serta prinsip kerja yang berpusat pada perempuan. Memiliki jarinan kerja yang bersifat multi pihak, dengan organisasi masyarakat maupun lembaga pemerintahan, seta bersifat multi level, ditingkat nasional, lokal maupun internasional. Menjalankan mekanisme kerja yang partisipatif, demokratis dan transparan, termasuk dengan mengembangkan mekanisme akuntabilatas publik yang dimulai pada peringatan ulang tahun ketiga Komnas Perempuan.
Kelemahan •
•
Penataan pembagian peran dan kerja antara Komnas Perempuan dan ORNOP perempuan masih kurang jelas sehingga ada resiko bahwa Komnas Perempuan mengambil alih bebrapa fungsi dan peran ORNOP secara tidak tepat. Tingkat pengenalan dan pemahaman tentang Komnas Perempuan di antara jajaran pemerintah masih sangat terbatas, sementara pembagian peran dan kerja antara
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
77
•
• •
Komnas Perempuan dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan juga mash belum teridentifikasi. Kurang dikenlamasyarakat sebagai lembaga nasional yang independen dan bukan bagian dari aparat pemerintahan kendati pun Komnas Perempuan dibentuk dengan Keputusan Presiden. Walaupun pemberitaan di media cukup banyak, akan tetapi masih belum optimal karena belum mengembangkan strategi media yang khusus. Keterbatasan sumber daya internal, baik dari segi sumber daya manusia maupun finansial, sehingga mempengaruhi kapasitas manajemne internal organisasi serta mengakibatkan beban per orang dalam menjalankan pro gram terlalu besar.
Tantangan ke Depan Dalam situasi di mana gelombang kekerasan dan insiden kekerasan terhadap perempuan tidak menunjukkan tandatanda akan surut, tantangan bagi perjuangan melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sangatlah besar. Sebagai salah satu bagian dari kekuatan civil society yang bekerja untuk menegakkan HAM perempuan, Komnas Perempuan mempunyai beberapa tantangan yang perlu segera ditanggapi, menckup: •
• R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
78
Komnas Perempuan perlu membangun sinergi yang konstruktif, melembaga dan berkesinambungan dengan lembaga-lembaga negara yang relevan, baik di jajaran kabinet eksekutif, lembaga legislatif maupun yudikatif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi sebagai jembatan antara organisai-organisasi masyarakat yang memeperjuangkan HAM perempuan dnegan aparat negara. Komnas Perempuan perlu menemukan sistem pendanaan yang lebih permanen, stabil dan berjagka panjang sehingga dapat membuat perencanaan jangka panjang, termasuk untuk program pengembangan sumber daya manusia
Komnas Perempuan serta agar dapat bersifat responsif (re sponsiveness) terhadap kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat publik serta konstituensinya. • Komnas Perempuan perlu meningkatkan kapasitasnya untuk menyikapi berbagai dimensi persoalan kekerasan terhadap perempuan secara lebih sistemik dan antisipatif, serta menjauhkan diri dari respon-respon yang bersifat reaktif semata. Untuk itu perlu dipertimbangkan adanya program penelitian dan kajian kebijakan untuk isu-isu strategis ke depan. • Berangkat dari pengalaman advokasi hak-hak buruh migran, Komnas Perempuan perlu membangun kapasitas dalam memfasilitasi dan mendukung aliansi-aliansi strategis di antara elemen-elemen gerakan masyarakat dari tingkat komunitas hingga tingkat nasional maupun internasional. Pola peng-organisasian gerakan seperti ini juga akan diperlakukan dalam konteks penanganan isu perdagangan perempuan. • Komnas Perempuan perlu mengembangkan indikatorindikator keberhasilan yang dapat diterapkan untuk lembaganya maupun untuk gerakan perempuan secraa lebih luas. Diharapkan dalam tiga tahun kedepan, tantangan-tantangan ini dapat terjawab dengan memuaskan. Hal ini hanya bisa tercapai jika Komnas Perempuan terus memperoleh dukungan dan kerjasama dari segenap mitranya, di lingkungan masyarakat maupun pemerintahan.
L a p o r a n T i g a Ta h u n P e r t a m a KomnasPerempuan
79
R e f l e k s i Ta n t a n g a n k e D e p a n
80
Lampiran Pernyataan Sikap Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan kepada Pemerintah Kami mengecam keras perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan pada kerusuhan bulan Mei yang lalu. Tindak kekerasan dan kebiadaban ini adalah titik terendah merosotnya martabat dan peradaban di Indonesia selama 32 tahun ini. Kami menilai selama ini pemerintah tidak memberikan perhatian dan upaya serius apalagi langkah nyata untuk melindungi warganya serta mencegah berlajutnya tindak kekerasan terhadp perempuan. Kami menuntut pemerintah dan aparat keamanan bertanggung jawab dengan tindakan-tindakan konkrit sebagai berikut: a. Mengakui kegagalannya dalam mewujudkan rasa aman untuk seluruh warga negara b. Membentuk tim penyelidik independen yang terdiri KOMNAS HAM, LSM, Tim Relawan, dan wakil saksi/korban di tempat kejadian, untuk mengusut tuntas peristiwa tersebut diatas. c. Menuntut dan menindak tegas para pelaku dan perencananya melalui proses hukum. d. Mendukung usaha Tim Relawan dalam menolong dan merehabilitasi korban. e. Menjamin bahwa peristiwa semacam itu tidak akan terulang lagi. Kami menuntut agar pemerintah segera mengambil langkah tepat, karena kegagalan pemerintah untuh mengambil tindakan konkrit akan menghancurkan kepercayaan masyarakat maupun dunia internasional terhadap kemampuan pemerintah untuk me wujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial di Indonesia. Pembentukan Tim Perlindungan Wanita terhadap Kekerasan tidak kami anggap sebagai kebijakan yang tepat mengingat :
R e f l e k s i d a n Ta n t a n g a n k e D e p a n 1 9 9 8 - 2 0 0 1
a
• Korban yang seharusnya dilindungi dan diberi keamanan, justru tidak dilindungi bahkan mendapat beban lebih berat karena masuknya pihak-pihak baru yang sebelumnya tidak ikut terlibat dalam penanganan korban. • Korban sudah percaya pada relawan dan justru memiliki keraguan bahkan ketidakpercayaan pada pihak-pihak lain, bahkan cenderung tidak memperhatikan korban kerusuhan maupun kekerasan.
Masyarakat Anti kekerasan terhadap Perempuan adalah warga masyarakat (individu dan kelompok) yang terlibat dalam berbagai kegiatan menyangkut upaya-upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk pemulihan kondisi dan komunitasnya. Anggota Masyarakat Anti Kekerasan terhadap perempuan terdiri dari, antara lain: • Kelompok Kerja Convention Watch (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang telah diratifikasi dengan UU No. 7/1998). • Program Studi Kajian Wanita Pasca Sarjana Universitas Indonesia • Masyarakat Pesantren Putri untuk Advokasi Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam (200 pesantren putri) • Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (mereka 106 lembaga swadaya perempuan) 400 warga masyarakat penandatangan pernyataan sikap kepada pemerintah tentang peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan bulan Mei 1998.
Oleh karena itu dibentuknya Tim Perlindungan Wanita dapat merugikan semua pihak. Untuk Tim Relawan ancaman dalam menjalankan tugasnya tidak berkurang. Bagi korban, bantuan dan perlindungan yang diperlukan tidak kunjung diperoleh. Sedangkan kredibilitas pemerintah tetap tidak dapat diperbaiki, khususnya dalam menyikapi masalah kekerasan seksual yang telah terjadi baik selama kerusuhan bulan Mei 1998, seblum mapun setelahnya. Dengan alasan di atas, dapat dipastikan pihak-pihak yang selama ini telah melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap korban tidak akan bersedia bekerja sama dengan Menperta maupun Mensos. Penanggulangan yang berada di bawah pimpinan Menperta dan Mensos merupakan bentuk penanggulangan yang parsial dan tidak akan menyelesaikan permasalahan secara tuntas, yang justru berkaitan dengan per masalahan penciptaan keamanan dan rasa tentram seluruh anggota masyarakat. Yang lebih penting dilakukan pemerintah adalah sebagai barikut: 1. Presiden menyatakan penyesalan karena kegagalan pemerintah memberikan perlindungan dan keamanan bagi mayarakat sehingga kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dapat berlangsung selama kerusuhan Mei 1998, sebelum maupun setelahnya. 2. Presiden mengutuk terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan selama Kerusuhan Mei 1998, sebelum maupun setelahnya. 3. Presiden membantu suatu task force yang langsung diketuai Presiden RI, yang bertugas untuk (1) merumuskan mekanisme kerja bagi pengusutan terhadap pihak yang bertanggung jawab dan (2) menciptakan kondisi yang optimal untuk pemulihan korban. Task Force memiliki batas kerja satu bulan, dan keanggotaannya harus mencerminkan inde pendensi dari lembaga ini dalam menjalankan tugasnya. Jakarta, 10 Juli 1998
L a m p i r a n
b
Prof. Dr. Saparinah Sadli atas nama Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Pernyataan Presiden Republik Indonesia Assalmu’alaikum wr. wb. Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masayarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga di bumi indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Untuk hal itu, saya menyatakan bahwa pemerintah akjan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia. Saya harapkan kerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera kepada aparat pemerintah jikalau melihat adanya kecenderungan ke arah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga dan dimana pun juga. Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan panda peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, 15 Juli 1998 BJ. Habibie
Keputusan
R e f l e k s i d a n Ta n t a n g a n k e D e p a n 1 9 9 8 - 2 0 0 1
c
Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tindak kekerasan terhadap perempuan sebelum, selama,dan sekitan bulan Mei 1998 tidak apat dipisahkan dari seluruh aksi kekerasan dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia panda waktu itu. Dengan demikian, penyelesaian yang tuntas pada waktu itu. Dengan demikian, penyelesaian yang tuntas terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan juga tidak dapat dipisahkan dari pengusutan terhadap keseluruhan peristiwa kerusuhan tersebut. Maka, kami mendesak agar penyusunan tim penyidik nasional terhadap peristiwa kerusuhan sekitar Mei 1998 segera terlaksana, dengan persyaratan bahwa tim tersebut: • Independen dan didukung oleh masyarakat; • Keangotannya mencakup unsur-unsur non pemerintah, termsuk Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan wakil-wakil masyarakat daerah (seperti Medan, Palembang, Bandung, Solo, Surabaya) • Mengusut secarab tuntas penanggungjawab (dalang) dari aksi-aksi kekerasan yang berlangsung selama peristiwa tersebut; dan • Menyampaikan hasl penyelidikan secara terbuka kepada masyarakat. Sehubungan dengan rencana pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, kami menuntut sebagai berikut: • Nama komisi adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; • Komisi bersifat independen dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden; • Komisi menyampaikan laporannya secara transparan kepada masyarakat; • Sebuah Tim Perumus segera dibentuk oleh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan akan bekerja selama satu bulan untuk menyusun fungsi, wewenang, keanggotaan dan mekanisme kerja komisi. Jakarta, 22 Juli 1998
L a m p i r a n
d
Daftar Pemberitaan dan Tulisan 1998
Pemberitaan
Tulisan
Akan dibentuk Komnas Perlindungan Wanita (Suara Karya, 17 Juni)
Sexual Abuse-extent, Social and Moral Aspects (Female) (Suprapti Samli, 9 Oktober)
Komnas Perempuan Segera Dibentuk (Suara Karya, 17 Juli) Pemerintah Bentuk Komite Nasional Perlin dungan Wanita (Media Indonesia, 17 Juli) Sosilaisasikan Adanya Kekerasan Perempuan (Kompas, 11 Oktober)
pada
1999 Pemberitaan
Tulisan
De Spitze Eines Eisberg (Indonesien Information Nr, 1 Januari)
Statement on Dealing with the Consequences of Violence Against Women (Kamala Chandrakirana, April 15)
RI Tolak Rekomendasi Pelapor Khusus PBB (Kompas, 8 Mei) Unamet Dievakuasi, Anggota Komnas Perem puan Hilang (Kompas, 11 Mei) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ; Masalah Pengungsi di TimorTimur (http://www.infid.or.id, 29 Mei) Hormati Hak Hidup Korban Kekerasan (Kompas, 18 Agustus) Sepucuk Surat dari Anak Pengungsi di Aceh (Kompas, 20 Agustus)
Masalah Pengungsi di Timor Timur (Kamala Chandrakirana, 29 Mei) Abortus Atas Indikasi Non Medik (Ethnical Guidelines Regarding Induced Abortion for Non Medical Reason) (Suprapti Samli, 12 Juli) Women in Armed Conflict in Indonesia; State and Society Responses, Bangkok (Kamala Chandrakirana, September 1-4) Violence Against Women and Identity Politics in Indonesia (Kamala Chandrakirana, 28 Novem ber)
Workers Need Safety to Help Refugees; Kamala Chandrakirana in an interview with The Jakarta Post (The Jakarta Post, 19 September) Wanita Demo Anti Kekerasan (Poskota, 22 September) Tiga Komnas Siap Bentuk Tim Kemanusiaan Bersama (Kompas, 22 September) Wawancara dengan Prof. Dr. Saparinah Sadli (Kompas, 23 September)
R e f l e k s i d a n Ta n t a n g a n k e D e p a n 1 9 9 8 - 2 0 0 1
e
1999 Pemberitaan
Tulisan
Prof. Dr. Saparinah Sadli; Lindungi Pekerja Kemanusiaan dan Persiapkan Konseling Trauma (Kompas, 23 September) Pekerja Kemanusiaan (Kompas, 25 Sepetmber)
Harus
Dilindungi
Kekerasan terhadap Perempuan Harus Tuntas Ditindaklanjuti (Kompas, 26 Oktober) Kesadaran Pluralisme Diperlukan Untuk Dia log Agama (Kompas, 17 November)
2000 Pemberitaan
Tulisan
Kekerasan terhadap Perempuan, Pelanggaran HAM (Kompas, 4 Januari)
HAM Perempuan dalam Instrumen HAM Inter nasional (Kamala Chandrakirana, 31 Januari dan 7 Februari)
Letter to Koffi Anan (The Jakarta Post, 16 Februari) Koesparmono Irsan; Perempuan Belum Terlindungi dengan Baik (Kompas, 7 Maret) Dari Penantian Nurjanah dan Kartini (Kompas, 10 Maret) Naskah RUU Perlindungan Saksi dan Korban Kurang Peka Gender (Suara Pembaruan, 30 Mei) The Women Caucus for Gender Justice Coordinating The Public Hearing (http://www. iccwomen.org, 1 Juni) Saksi, Bukan Huruf Mati di Atas Kertas (Kompas, 12 Juni) Komnas Perempuan; Hentikan Pengiriman TKW ke Arab Saudi (Suara Pembaruan, 27 Juni) Elks Mens Voelt van Binnen wat Mensen rechten Zijn (Horn Niewsbrief, 1 Juli)
L a m p i r a n
f
Mely G Tan; Usia adalah Kesempatan (Kompas, 22 Juli)
Duet Pakat Inong Aceh (Samsidar, 20-22 Februari) Wacana Praksis Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan; HAM Dalam Konflik dan Kekerasan (Kamala Chandrakirana, 14 April) Indonesian Women’s Approach to the Consequences of Armed Conflict; Engendering Humanitarianism, Peace and Justice, New York (Kamala Chandrakirana, 6 June) Pembahasan tentang Definisi, Epidemologi, Permasalahan Kasus Kekerasan Pada Wanita dan Penanganan di Bidag Obsentri (Suprapti Samli, 5 Juli) Orientasi Seksual; Kajian Psikologis (Saparinah Sadli, 28 Juli) Konstruksi Seksual; Mentrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam (Nasaruddin Umar, 27-29 Juli) Report from Indonesia; Women in armed con flict, Inputs to the UN Special Rapporteur on Vio lence Against Women (Kamala Chandrakirana, 20 Agustus)
2000 Pemberitaan
Tulisan
Pengiriman TKW Harus Dihentikan (Suara Pembaruan, 24 Juli)
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Wacana Keagamaan; Tinjauan dari Agama Katholik Roma (A. Nunuk Prasetyo Muniarti, 19 September)
Eksploitasi TKW itu Pelanggaran Keras HAM (Kompas, 27 Juli) Nunuk Prasetyo Murniati; Konsisten Dengan Gerakan Menolak Kekerassan (Kompas, 30 Agustus) Women in Crisis ( The Sunday Times, 10 Septem ber) Mencari akar Kekerasan terhadap Perempuan (Kompas, 26 September) Statement by Leader of New Zealand Delegation on Indonesia Consultative Group Meeting (Website-New Zealand, 17 Oktober)
Beberapa Catatan tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Inonesia (Saparinah Sadli, 19 September) RUU Perlindungan Saksi dan Korban: Tanggapan dari Perspektif Perempuan (Kamala Chandrakirana, 9 November) Perempuan Pengungsi dan Dimensi Kemanusiaan (Fakta Lapangan dari Pengungsi Aceh) (Samsidar, 2 Desember) Perspektif Gender dalam Islam (Nasaruddin Umar, 16 Desember)
Jangan Kirimi Aku Bunga... (Kompas, 18 Oktober) Kekerasan Atas Perempuan di Pengungsiaan Siapakah yang akan Melindungi (Republika, 27 Oktober) Membongkar Akar Dominasi Bukan Memusuhi Laki-Laki (Kompas, 29 November) Gerakan Perempuan Kehilangan Arah (Suara Pembaruan, 11 Desember) Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia (Kompas, 20 Desember)
2001 Pemberitaan
Tulisan
Jayapura, Tuan Rumah Kongres Perempuan (Kompas, 4 Jauari)
Kemitraan antara Pemerintah-Masyarakat dalam Melawan KTP (Kamala Chandrakirana, 30 Januari)
Perempuan sebagai (Kompas, 29 januari)
Pelaku
Kekerasan
Pernyataan Bersama 51 LSM; Perkembangan Politik Mungkin Rugikan Gerakan Reformasi (Kompas, 3 Februari)
Pengungsian dan Dimensi (Samsidar, 6-7 Februari)
Kemanusiaan R e f l e k s i d a n Ta n t a n g a n k e D e p a n 1 9 9 8 - 2 0 0 1
g
2001 Pemberitaan
Tulisan
Menatap Kecacatan Bangsa Melalui Kenyataan Hidup Korban (Kompas, 12 Maret)
Gender in Racism, Racial discrimination, Xeno phobia and Related Intolerance, Taheran (Kamala Chandrakirana, February 19-20)
Harapan agar Media Menolak Dominasi Wacana Kekerasan (Kompas, 12 Maret) Negara Harus Subsidi Pusat Krisis (Kompas, 7 April) Pusat Krisis Dihadang Kesulitan Kerjasama, Dana, dan Tenaga (Kompas, 9 April) Otokritik, Kontrol Moral, dan Kode Etik (Kompas, 9 April) Three Injured in Gunfight in Irian Jaya (Indonesia Today-Embassy of Indonesia, Ottawa, 10 April) Perlu Alokasi Dana bagi Penanganan Korban Kekerasan (Kompas, 14 April) Perdagangan Perempuan, Hal yang Memalukan (Kompas, 11 Mei) Perempuan Cenderung Menjadi Korban Konflik (Tempo Interaktif, 12 Mei) Dokumentasi Keterperangkapan Perempuan sebagai Korban (Kompas, 14 Mei) Pendekatan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Masih Bersifat Proyek (Kompas, 11 Juni) Ketika Matahari Bertanya; Siapakah Warga Negara (Kompas, 16 Juli) Masalah Kesehatan Mental Pengungsi Masih Terabaikan (Kompas, 6 Agustus) Buruh Migran dan “Trafficking” Menjadi Isu AsiaPasifik di Konferensi PBB (Kompas, 20 Agustus)
L a m p i r a n
h
Equal Status, Women’s Rights, dan Perlindungan Hukum bagi Perempuan (Dwi Novirianti, 21 Februari) Penegakan Hak Asasi Perempuan Indonesia Melalui Upaya Global Melawan Rasialisme dan Sikap Tidak Toleran Lainnya (Kamala Chandrakirana, 21 Februari) Penetapan tahun 2001 sebagai tahun Penegakkan Hak Korban dan Keterlibatan Massa (Saparinah Sadli, 7 Maret) Policy Making and Capacity Building for Dealing with VAW, its Consequences and Prevention in Indonesia, Sweden (Kamala Chandrakirana, March 22) Menuju Perumusan Kode Etik untuk Penegakan Prinsip-Prinsip HAM dan Keadilan Gender dalam Komunitas Organisasi Non Pemerintahan (Kamala Chandrakirana, 5 April) Kekerasan terhadap Perempuan: Fakta, Kendala dalam Penangangan dan Kebutuhan Peningkatan Fasilitas Pelayanan (Kristi Poerwandari, 6 April) Position Paper “Peningkatan Kapasitas Pelayanan bagi Perempuan Korban Kekerasan” (Saparinah Sadli, 6 April) Jender, Keluarga Harmonis, dan Rekonsiliasi (Saparinah Sadli, 7 April)
Gabriela Prihatinkan Nasib Buruh Migran Indonesia (Suara Pembaruan, 31 Agustus)
Celebrating Indonesia Women; Kartini and Other Women Who Made A Difference (Mely G. Tan, 21 April)
Gerakan Perempuan Diminta Bersatu (Koran Tempo, 23 September)
Consent; Ku Tak Mau Tanpanya (Myra Diarsi, April)
Operassi Pekat atau Teror untuk Perempuan (Kompas, 24 september)
Masukan untuk KPP HAM Papua tentang Pelanggaran HAM Berbasis Gender dalam Laporan Akhir (Kamala Chandrakirana, 3 Mei)
Perdagangan Perempuan dan Anak; Gejala Masyarakat Sakit (Kompas, 2 Oktober)
2001 Pemberitaan
Tulisan Konflik dan Rekonsiliasi (Dampak Posisi dan Potensi Perempuan) (Samsidar, 25 Mei) Redefinisi Peran Jakarta, “Pusat vs Nasional dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Kamala Chandrakirana, 28 Mei) Perempuan di Daerah Konflik dan Pengungsian (Livia Iskandar Darmawan, 29 Mei) Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indo nesia (Kamala Candrakirana, Mei) Pandangan Bung Karno Mengenai Keragaman Etnis Masyarakat Indonesia (Mely G. Tan, 6 Juni) Bahan Acuan Pembicaraan Kekerasan terhadap Perempuan (Kamala Chandrakirana, 28 - 30 Juni) Perlindungan Buruh Migran Sebagai Penegakkan Hak Perempuan; Tanggung Jawab Negara (Kamala Chandrakirana, 18 Juni) Perempuan dan Anak Pengungsi (Livia Iskandar Darmawan, Juni) Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Peran Kunci Kepolisian (Kamala Chandrakirana, 2 Juli) Sistem Pengiriman Buruh Migran; Tuntutan atas Penanganan yang Peka Jender (Kamala Chandrakirana, 18 Juli) Aliansi “Pita Putih” Perspektif Kesetaraan dan Keadilan Jender (Saparinah Sadli, 28 Juli) Mengidentifikasikan Kebutuhan Perempuan dan Anak dalam Pengungsian (Livia Iskandar Darmawan, 3 Agustus) Anatomi Permasalahan Rasisme, Diskriminasi, Rasial, Xenophobia, dan Sikap Tidak Toleran Terkait Lainnya di Indonesia (Koesparmono Irsan, 21 Agustus) The Role of Chinese in Helath Care in the Late Colonial Period (Mely G. Tan, 4 September)
R e f l e k s i d a n Ta n t a n g a n k e D e p a n 1 9 9 8 - 2 0 0 1
i
2001 Pemberitaan
Tulisan Memperkuat Posisi Tawar; Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesi Respon Masyarakat (Sita Aripurnami, 19 Sep tember) The May Rape Of 1988, A Personal Testimony by Ita F. Nadia (Ita Fatia Nadia, September) Perlindungan terhadap Hak-hak Perempuan dan Anak dalam Pengungsian (Livia Iskandar Darmawan, 9 Oktober) Country Report, Gender Discrimination and Rasicm in Indonesia Context (Ita Fatia Nadia) This World Movemnet Against The Exsploitation of Women (Ita Fatia Nadia)
L a m p i r a n
j