KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Pendahuluan Tragedi kemanusiaan dalam konflik di Aceh terjadi secara terus menerus sepanjang kurun 1976-2005. Semasa konflik kekerasan terhadap manusia selalu saja terjadi bagai perjamuan tanpa akhir, seiring dengan pasang-surutnya intensifikasi konflik bersenjata. Mereka yang menjadi korban, bukannya dari kalangan para pihak yang bersenjata semata, tetapi sebagian besar justru dari kalangan warga sipil. Oleh karena itu, akibat dari peristiwa konflik bersenjata tersebut adalah potensial terjadi tindak pelanggaran hak asasi manusia yang sebagian berkatagori pelanggaran ham yang berat dalam berbagai bentuknya yang terpolakan. Dalam konteks kehidupan bernegara, maka muncul ketidakpuasan dari sebagian besar rakyat Aceh terhadap berbagai kebijakan dari pemerintah pusat yang dinilai diskriminatif sehingga berdampak kemunculan berbagai gejolak penentangan atau penolakan. Bahkan di antara mereka kemudian berkeinginan untuk melepaskan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik dengan bersikap diam maupun pro aktif untuk mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin meraih kemerdekaan bagi Aceh melalui politik bersenjata, atau mendukung tuntutan referendum yang digerakkan oleh kaum muda yang pro pada cara-cara yang demokratis sebagai sebuah gerakan sipil yang merupakan kelanjutan dari gerakan reformasi 1998. Dalam upaya merespon situasi politik dan kondisi sosial tersebut, dalam rangka menjaga keamanan di Aceh, yang sekaligus menjaga keutuhan wilayah Indonesia, maka pemerintahan telah mengambil kebijakan (daerah maupun nasional) yang mengedepankan pendekatan represif (aksi militeristik) guna menekan perlawanan bersenjata dari pihak GAM maupun gerakan sosial di Aceh yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan represif dimaksud kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman pasukan secara besar-besaran ke Aceh guna melakukan operasi militer (kontra gerilya dan intelijen) dengan cara menetapkan Aceh sebagai Daerah
1
Operasi Militer (DOM) 1989-1998, atau menjalankan operasi militer dengan sandi Operasi Jaring Merah (OJM). Berbagai operasi militer yang dilakukan oleh aparat keamanan di Aceh dan tindakan dari kelompok masyarakat yang diduga atau dianggap (dilabel) mendukung GAM diduga kuat menyebabkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Warga sipil yang sama sekali tidak terlibat dengan kegiatan pemberontakan justru menjadi target operasi sehingga menjadi pihak yang mengalami korban jiwa maupun harta benda. Berbagai kejahatan atau kekerasan yang dialami oleh rakyat Aceh tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatankejahatan di bawah hukum internasional, termasuk dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Di bawah hukum internasional, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan ini, dan jika ada bukti-bukti yang cukup, wajib mengadili para pelaku sesuai dengan standar hukum nasional maupun internasional tentang peradilan yang adil. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun proses penyelesaian yang adil atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh. Meski pun demikian, para korban maupun keluarga korban masih terus berupaya, baik dalam bentuk menuntut para pelaku serta menuntut adanya pemberian ganti rugi harta benda. Para korban terus memperjuangkan, dengan berbagai cara, agar ada penyelesaian berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut, sesuai dengan sebutan negara hukum, hingga mereka mendapatkan keadilan. Perjuangan tersebut dilakukan melalui berbagai macam cara baik langsung ditujukan kepada pemerintah (Daerah dan Pusat), maupun secara tidak langsung kepada lembaga swadaya masyarakat maupun ke Komnas HAM, bahkan sampai pada dunia internasional. Dalam rangka pemulihan (redress) terhadap para korban pelanggaran HAM di Aceh dan menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat, serta untuk melanjutkan kerjakerja pemantauan dan penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM; juga sesuai dengan fungsi dan tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka Komnas HAM, di antaranya, telah membentuk Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto. Dalam hukum internasional, prinsip-prinsip dan Pedoman PBB mengenai Hak atas Penyelesaian dan Reparasi untuk pelanggaran berat terhadap Hukum Hak Asasi Internasional dan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional menyebutkan bahwa reparasi adalah kewajiban negara untuk memulihkan korban kembali kepada kondisi sebelum mengalami pelanggaran. Kewajiban tersebut muncul karena negara dianggap gagal memberikan keamanan. Reparasi seharusnya merupakan mekanisme untuk mengakui pelanggaran masa lalu yang merupakan bentuk tanggung jawab negara atas kerusakan/kerugian yang dialami korban, dan komitmen publik untuk menanggapi dampak pelanggaran tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa reparasi bertujuan untuk memulihkan hak korban yang telah dilanggar serta memperbaiki kerusakan yang diderita dan penghinaan yang dihadapi korban. Mereka memiliki hak atas reparasi yang cepat, setimpal dan efektif. Hal ini mencakup tindakan-tindakan restitusi, kompensasi atas kerusakan dan rehabilitasi materiil, non materiil dan status yang memadai, seperti pengungkapan kebenaran dan menyatakan pelaku bersalah. Walaupun cukup jelas disebutkan adanya kewajiban negara untuk menyediakan
2
reparasi, namun dalam praktik kenegaraan ternyata kewajiban tersebut belum cukup dijabarkan secara rinci, termasuk penerapan kewajiban tersebut, terutama dalam situasi di mana pelanggaran terjadi dalam skala masif. Untuk mencegah kemungkinan terjadi pelanggaran ham yang berat, dan berbagai permasalahan hak asasi manusia di masa depan (yakni pasca MoU Helsinki 2005), maka legislatif dan eksekutif telah mengakomodasi nilai-nilai dasar hak asasi manusia sebagaimana yang termaktub di dalam UUD 1945 ketika merancang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai bentuk nyata dari diakomodasinya permasalahan hak asasi manusia yang dijadikan pertimbangan dalam undang-undang dimaksud adalah adanya perintah untuk pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana secara tegas disebutkan di dalam Pasal 228 dan Pasal 229. Walaupun sudah diberikan pengaturan dan pengakuan secara khusus sebagaimana dijabarkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata kurang menyentuh keadilan bagi korban dan ahli waris khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat terutama para korban sehingga tingkat kehidupan mereka belum juga mengalami perubahan menuju sejahtera karena mereka kurang tersentuh oleh tindakan afirmatif yang tertuang dalam program pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya keseriusan pemerintah untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai permasalahan hak asasi manusia di masa lalu, khususnya terhadap peristiwa yang terjadi pada masa sebelum maupun sesudah penerapan DOM. Kondisi ini semakin parah lagi dengan belum dibentuknya Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana diamanatkan di dalam undang-undang Pemerintahan Aceh. Berkaca dari berbagai permasalahan hak asasi manusia baik di bidang ekonomi, sosial dan budaya, maupun hak sipil dan politik, hendaknya kita semua, khususnya pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap realita yang terjadi di Aceh, sehingga rakyat Aceh, dan warga negara pada umumnya, merasa mendapatkan keadilan dan segera terpulihkan hak-haknya yang terlanggar sehingga memulihkan moda produksi yang telah dihancurkan . Berdasarkan kondisi tersebut, dalam rangka untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai permasalahan hak asasi manusia yang terjadi di Aceh, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 39/1999, serta upaya mencari solusi bersama terhadap permasalahan hak asasi manusia maupun kendala yang dihadapi dalam rangka pemulihan hak-hak korban, maka Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Masa Daerah Operasi Militer (1989-1998) hingga periode transisional (1998-2003) di Provinsi Aceh. Kerangka Teori dan Hukum HAM Dalam hukum hak asasi manusia (HAM) negara adalah pemangku kewajiban HAM, dalam hal ini adalah pemerintah. Negara memiliki tiga kewajiban yaitu dalam bentuk penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Hal ini juga diakui dalam hukum nasional Indonesia. Dalam Pasal 28I ayat (4) UndangUndang Dasar 1945 mencantumkan dengan kata-kata berikut, “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab
3
negara, terutama pemerintah”. Sedangkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 71 yang menyatakan, “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UndangUndang ini (UU 39 Tahun 1999), peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Dalam hak-hak sipil dan politik, ada batas antara hak-hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dengan hak-hak yang dapat dikurangi atau dibatasi. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive). Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia. Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak-hak setiap orang, terutama hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable rights), karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan terhadap dua hal. Pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi hak-hak atau kebebasan berdasarkan UU. Kedua, dalam rangka penegakan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Hukum Nasional Berkaitan dengan hak asasi manusia, amendemen kedua UUD 1945 memberikan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia dicantumkan dalam Bab tersendiri yakni BAB X A tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia merupakan undang-undang adopsi terhadap instrument hukum internasional melalui proses ratifikasi. Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku; Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Oleh karena itu, perintah atasan atau penguasa tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan;
4
Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak pidananya; Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diektradisikan. Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengektradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradisikannya. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak pidana penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan; Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini mengandung berbagai aturan dan atau jaminan perlindungan mengenai hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau dihilangkan nyawa, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakkan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, juga memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia. Berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian dapat diselesaikan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam undang-undang dimaksud serta ada jaminan pemulihan terhadap korban. Fakta dan Peristiwa Tim Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu di Aceh (Tim Penyelidikan Aceh) melakukan penyelidikan atas beberapa kasus dan memfokuskan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut. Adapun kasus-kasus yang dimaksud adalah kasus: Peristiwa Rumoh Geudong di Pidie Pada sekitar 1989 – 1990, terjadi gangguan keamanan yang cukup signifikan di Aceh khususnya di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Gangguan keamanan
5
tersebut diduga dilakukan oleh gerakan separatis yaitu anggota-anggota Aceh Merdeka. Ketika GPK tidak lagi bisa teratasi (1976-1989) maka Pemerintah RI memutuskan untuk menetapkan daerah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) tepatnya pada 1989. Sejak saat itu operasi militer dilakukan dengan sandi operasi “Jaring Merah” digelar di Aceh dengan Komando Resort Militer 011/Liliwangsa dijadikan sebagai Komando Operasi Pelaksana. Daerah Operasi terbagi dalam 3 sektor yaitu sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara dan sektor C/Aceh Timur. Di lingkungan daerah operasi dibentuk pula Satuan Tugas Intelegen (Satgasus), Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, dan Satuan Taktis pada lokasi-lokasi strategis guna mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Kemananan – Aceh Merdeka (GPK – AM). Di Kabupaten Pidie, Pos Sattis tersebar di hampir seluruh kecamatan antara lain Billie Aron, Jiem-Jiem, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan. Penempatan sejumlah pos militer di sejumlah Kecamatan itu berdasarkan pada pertimbangan tingkat ganguan keamanan, dan analisis strategi militer. Letak Pos Sattis sengaja dipilih pada tempat-tempat yang strategis dengan menempati Rumoh Geudong (rumah adat Aceh) sehingga memungkinkan aparat militer dengan mudahnya mengawasi aktivitas dan mobilitas warga desa sehingga kehidupan dan kebebasan bergerak masyarakat dapat dikontrol dan dibatasi secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pos Sattis adalah andalan Operasi militer di tingkat mikro. Ia adalah tolak ukur untuk menentukan sukses atau tidaknya sebuah Operasi Militer di Aceh. Di tiap-tiap Pos Sattis ditempatkan sekitar 6 – 10 personil militer yang sebagian besar berasal dari Aparat dengan dibantu oleh beberapa orang Tenaga Pembantu Operasi (TPO) militer atau cuak yang berasal dari masyarakat sipil. Setelah DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 baru diketahui bahwa aparat ternyata telah mempergunakan Rumah Geudong tidak hanya sebagai Pos Sattis melainkan juga sebagai tempat untuk melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan seperti penyekapan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan/eksekusi sewenangwenang dan pemerkosaan terhadap rakyat aceh yang dianggap sebagai tersangka atau tertuduh Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM). Tindakan di luar batas kemanusiaan dialami oleh warga sipil dan tidak hanya laki-laki namun juga perempuan dan anak-anak. Diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang yang ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum, dan sejumlah perempuan mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer. Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya di bakar. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang menjadi korban penyiksaan ataupun ekskusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai 1990 sampai 1998. Pada umumnya korban yang berhasil selamat/dibebaskan mengalami luka berat baik secara fisik maupun psikologis akibat adanya penyiksaan yang dilakukan oleh aparat selama berada di Rumoh Geudong. Tindak penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap para korban umumnya dilakukan untuk memperoleh keterangan atau pengakuan terkait keterlibatan yang bersangkutan atau keluarganya atau suaminya dalam GPK-AM. Penyiksaan dilakukan dengan cara-cara pemukulan dengan menggunakan kayu/senjata,
6
disetrum, ditelanjangi dll. Ternyata penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak hanya mengakibatkan luka berat namun juga menimbulkan kematian seperti yang dialami oleh John dan Mustakhir. Para korban penyiksaan yang meninggal dunia hingga saat ini tidak diketahui makamnya ada di mana. Selain melakukan kekerasan berupa penyiksaan, Aparat juga melakukan tindakan kekerasan seksual dan/atau pelecehan seksual lainnya seperti pemerkosaan dan juga pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan sesama tahanan di depan khalayak umur. Indikasi adanya dugaan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan dan kekerasan/pelecehan seksual oleh Aparat di Pos Sattis juga diperkuat oleh keterangan dan/atau pengakuan saksi korban. Beberapa pihak seperti Komnas HAM (dipimpin oleh Baharuddin Lopa pada Agustus 1998, yaitu sesaat setelah DOM dicabut), DPR RI, dan juga Pemda Pidie telah melakukan investigasi atas peristiwa rumoh geudong. Pemda Pidie bahkan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dan menemukan data bahwa: 1. Di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer Jaring Merah. 2. Dari sejumlah tersebut tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meningal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus dan rumah dirusak 47 kasus. Sementara itu nilai harta benda masyarakat yang dirampas oleh oknum aparat keamanan diperkirakan mencapai Rp. 4,2 Miliar lebih. Peristiwa Pembunuhan Massal Simpang KKA di Aceh Utara Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Peristiwa ini diawali dengan isu bahwa pada 30 April 1999 ada anggota TNI Datasemen Rudal 001/Lilawangsa hilang, diduga bernama Edityawarman ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang diselenggarakan warga Cot Murong, Aceh Utara. Hilangnya anggota tersebut disikapi anggota pasukan militer dari Detasemen Rudal dengan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke tempat aktivitas warga pada 02 Mei 1999. Pada saat itu, warga juga sedang melaksanakan kenduri untuk peringatan 1 Muharram. Saat pencarian, aparat melakukan kekerasan yang mengakibatkan sekitar 20 (dua puluh) orang warga mengalami kekerasan; dipukul,ditendang dan diancam, bahkan 3 (tiga) warga yang ditangkap oleh Yonif 113/Jaya Sakti karena dituduh terlibat dengan hilangnya Edityawarman. Pasukan TNI masuk ke dusun Tepin mengambil masyarakat dusun tersebut. Pada 3 Mei 1999, warga tidak terima dengan tindakan aparat akhirnya menggelar aksi protes di kantor Koramil. Warga meminta Koramil untuk membebaskan warga yang ditangkap oleh aparat. Tanpa dikomando setelah mendengar ada orang ditangkap, maka semua ibu-ibu keluar ke jalan-jalan sehingga kerumunan massa semakin banyak di jalan-jalan Lancang Barat dan sekitarnya. Pada saat itu ada warga yang menaruh drum minyak tanah dipinggir jalan. Tiba-tiba masuk TNI dari Yonif 113/Jaya Sakti. Truk Reo (Ransom E. Olds Motor Car Company) mereka menabrak drum yang ditaruh dijalan oleh massa, sehingga suasana semakin
7
memanas. Massa semakin marah dan menuju simpang KKA dari berbagai arah. Sehingga di simpang KKA semakin dipenuhi oleh massa. Pada 03 Mei 1999, tepat pukul 09.00 WIB, empat truk pasukan TNI memasuki desa Lancang Barat, Kec. Dewantara. Melihat situasi demikian masyarakat merasa cemas karena beberapa hari sebelumnya pihak Muspika sudah berjanji kepada masyarakat bahwa TNI tidak masuk ke perkampungan penduduk tanpa didampingi Muspika setempat. Ditempat tersebut kemudian datang aparat Yonif 113/Jaya Sakti yang bersenjata lengkap dan berbaris di sisi kanan jalan. Suasana semakin memanas, aparat tersebut kemudian dikelilingi oleh massa aksi. Sementara beberapa massa aksi masih terus berorasi menuntut Bupati Aceh Utara, Ketua DPRK Aceh Utara, MPU Aceh Utara dan perangkat lainnya untuk hadir ke Simpang KKA. Dalam orasinya salah seorang orator menyatakan sebagai berikut, Setelah itu terjadi negosiasi antara massa yang diwakili oleh Safri Bin Ilyas (32) dengan Muspika Kec. Dewantara yang diwakili oleh Camat Dewantara Drs. Marzuki Muhammad Amin di atas mobil Reo milik TNI pada pukul 10.00 WIB. Dalam negosiasi lahir tujuh tuntutan dari massa, 7 (tujuh) butir tersebut antara lain yaitu yang harus hadir adalah: 1. Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat II Daerah Aceh Utara 2. Korem Lilawangsa 3. Dandim Aceh Utara 4. Kapolres Aceh Utara 5. Majelis Ulama Islam Aceh Utara (MUI) 6. Media cetak (pers) 7. Mobil pemadam kebakaran 8. Kehadiran Bupati Aceh Utara Setelah melakukan kesepakatan antara massa dengan Muspika, Camat berjanji akan mendatangkan pihak-pihak yang diharapkan hadir ke simpang KKA dalam jangka waktu kira-kira pukul 11.00 S/D 12.00 WIB. Pukul 12.30, salah satu aparat yang sebelumnya dikepung warga melarikan diri ke arah belakang reo sambil membawa HT dan menembak ke udara sebanyak dua kali. Ketika warga mencoba mengejar aparat tersebut, tiba-tiba dari arah sebelah kiri (Markas Detasemen Rudal 001/Lilawangsa) datang reo berisikan puluhan aparat bersenjata menembak ke arah masyarakat. Sebagian dari mereka turun dari truk dan berjalan ke arah kerumunan massa sambil menembak secara acak dan sebagian masih tetap menembak dari atas truk. Pada saat melakukan tembakan ini, jarak mereka dengan masyarakat sangat dekat, hanya sekitar 5-6 meter. Peristiwa penembakan itu berlangsung sekitar 20-30 menit sebelum akhirnya aparat pergi dari Simpang KKA. Warga yang selamat dari tembakan karena melarikan diri atau pura-pura mati kemudian perlahan bangun dan kembali ke lokasi untuk menyelamatkan para korban yang tertembak. Korban-korban yang terkena tembakan banyak berjatuhan di jalan arah Medan – Banda Aceh karena jalan itulah yang dipakai massa untuk menyelamatkan diri. Berdasarkan data yang ada, sekurang-
8
kurangnya terdapat sebanyak 21 orang yang meninggal dunia sebagai akibat dari peristiwa tersebut. Peristiwa Pembunuhan Bumi Flora Aceh Timur PT. Bumi Flora adalah perusahaan perkebunan di Dusun Pelita, Desa Alur Rambut, Kecamatan Banda Alam (sebelumnya Kecamatan Idi Rayeuk), Kabupaten Aceh Timur. Salah satu lokasi pemukiman karyawan PT. Bumi Flora adalah Afdeling IV PT. Bumi Flora yang dihuni oleh + 52 KK. Kamis, 9 Agustus 2001 adalah hari libur bagi karyawan PT. Bumi Flora yang menempati perumahan karyawan di Afdeling IV. Pada 9 Agustus 2001 pagi, seperti biasanya para karyawan yang sedang liburan akan berangkat ke Pasar Peurelak untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aktivitas tersebut hanya dilakukan seminggu sekali. Untuk pergi ke pasar, perusahaan telah menyiapkan mobil yang akan menjemput mereka pada 08.00 Wib. Namun sekitar pukul 07.30 Wib, datanglah sekelompok orang yang tidak dikenal dan memakai pakaian loreng serta membawa senjata api masuk ke lokasi perkebunan. Para saksi menyatakan bahwa cirri-ciri pelakunya antara lain: berbaju loreng, berambut pendek, dan di antara mereka ada yang memakai ikat kepala berwarna hijau, merah dan kuning berbintik, ada juga yang memakai topi lebar (rimba), membawa senjata laras panjang yang ujungnya diikat dengan kain merah. Kemudian kelompok ini mendatangi rumah-rumah para karyawan dan memerintahkan pada setiap warga laki-laki untuk berkumpul. Setelah itu para lakilaki dibariskan dalam beberapa barisan dan masing-masing diminta membuka baju serta berjongkok dengan tangan di atas paha. Setelah itu salah seorang dari kelompok tersebut bertanya kepada Mandor Kepala Afdeling IV yang bernama Samsul mengenai berapa jumlah Kepala Keluarga yang ada di Afdeling IV dan kemudian dijawab oleh bahwa di Afdeling IV ada 42 KK. Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, orang tersebut menembak Samsul. Tidak lama kemudian terdengar rentetan tembakan yang mengarah kepada barisan warga laki-laki. Pada saat itu juga terjadi penembakan lainnya terhadap warga laki-laki yang masih berada di luar barisan/sekitar lokasi kejadian. Para perempuan yang sebelumnya diperintahkan masuk ke dalam rumah, kemudian dikumpulkan di dekat para korban yang tergeletak. Selanjutnya salah seorang anggota kelompok meminta maaf kepada para wanita karena telah menembak suami mereka. Sebelum kelompok tersebut meninggalkan lokasi, mereka sempat menyuruh saksi menghitung jumlah korban dan supaya melaporkannya kepada GAM. Sepeninggal rombongan berseragam loreng tersebut, warga perempuan Afdeling IV PT.Bumi Flora mencari suami mereka masing-masing yang sebagian besar sudah menjadi mayat. Saksi sempat menghitung dan membolak-balik mayat dan menemukan bahwa ternyata di antara para korban ada yang masih hidup sebanyak 7 (tujuh) orang dan 2 (dua) orang lainnya tidak dikenal oleh saksi. Mereka diminta oleh para wanita untuk bersembunyi dulu sambil menunggu bantuan datang. Selanjutnya saksi pergi ke kantor PT.Bumi Flora untuk melaporkan kejadian tersebut sekaligus meminta bantuan agar ada yang mengangkut mayat korban ke Puskesmas Idi Rayeuk. Bantuan baru datang ke lokasi kejadian 6 jam setelah kejadian, yaitu sekitar 14.00 Wib, dan langsung mengevakuasi para korban dengan menggunakan 2
9
(dua) unit mobil ambulance ditambah dengan mobil PT.Bumi Flora sejenis truk yang biasanya digunakan untuk mengangkat kelapa sawit. Dalam perjalanan menuju Puskesmas Idi Rayeuk sekitar 18.00 Wib, rombongan dihadang oleh orang berpakaian loreng dan menyuruh para perempuan untuk turun dan berbaris serta diancam akan dilempari dengan bom. Meskipun para saksi baik korban yang selamat maupun warga perempuan Afdeling IV PT. Bumi Flora sempat dikumpulkan di depan kelompok orang berseragam loreng tersebut, namun sebagian besar di antara mereka tidak dapat melihat secara jelas wajah pelaku penembakan maupun ciri-ciri pada seragam loreng kelompok tersebut. Apalagi untuk mengetahui nama, kesatuan, maupun kepangkatan yang tertera di baju seragam loreng tersebut. Para saksi menyatakan bahwa mereka menundukkan wajah karena ketakutan. Demikian pula terhadap pasukan yang menghadang rombongan evakuasi korban dalam perjalanan menuju Puskesmas Idi Rayeuk. Tidak satupun dari saksi yang secara jelas menyebutkan ciri-ciri pada seragam loreng kelompok tersebut maupun nama yang tertera di baju seragam loreng. Pada peristiwa tersebut telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 31 (tiga puluh satu) orang, korban hilang sebanyak 1 (satu) orang, dan korban luka sebanyak 5 (lima) orang, serta 2 (dua) orang selamat tanpa menderita luka-luka. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa dan Kuburan Massal di Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh pihak GAM yang dipimpin oleh Hasan di Tiro. Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh. Pada 15 Mei 2000, delegasi RI yang berunding dengan GAM mencapai kesepahaman sehingga menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Jeda yang semula diharapkan bisa membantu menyelesaikan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen kedua pihak). Jeda kemanusiaan ini dilanjutkan ke arah moratorium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup menghentikan kekerasan dan perang di Aceh. Akhirnya pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Intruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh. Menurut Inpres ini, pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah Aceh adalah melalui politik, ekonomi, sosial dan hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi. Pelaksanaan Inpres ini di bidang keamanan diarahkan untuk memberikan kewenangan kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan GAM disebut sebagai kelompok separatis. Penanganan bidang keamanan ini diberi nama Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, yang disebut sebagai operasi terbatas. Dalih eskalasi kontak senjata membuat TNI menginstruksikan kewajiban melakukan jaga malam masal bagi setiap warga. Jaga malam masal dilakukan di pos-pos TNI
10
yang tersebar di desa-desa. Kegiatan jaga malam masal ini juga merupakan strategi TNI untuk mengontrol warga, mempersempit ruang gerak, dan menangkap anggota GAM. Selain itu dilakukan pula pembakaran rumah-rumah yang berlokasi di atas gunung. Tindakan ini berhasil menciptakan suasana tidak nyaman sehingga warga turun ke perkampungan terdekat, lalu muncul kecurigaan antar warga. Terlebih di Aceh Tengah yang terdiri dari berbagai macam suku yaitu suku Gayo, Aceh, Jawa, Jamek, dan Batak berhasil menciptakan konflik horizontal yang berbasis etnis secara dikhotomis, yakni antara warga yang dilabel Aceh pesisir dan warga Gayo bersama etnis lainnya. Pada akhir tahun 2001, tepatnya antara bulan Agustus sampai dengan Desember terjadi penghilangan orang secara paksa di Kecamatan Timang Gajah (sekarang Timang Gajah dan Gajah Putih). Beberapa orang warga hilang dari desanya, yaitu Desa Reronga dan Desa Sumberejo Kecamatan Timang Gajah (sekarang Gajah Putih), Desa Bumi Ayu (sekarang Desa Bandar Lampahan), Desa Rembune, Desa Damaran, dan Desa Fajar Baru Kecamatan Timang Gajah Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pihak yang diduga sebagai pelaku penghilangan paksa terhadap warga Kecamatan Timang Gajah ini berasal dari anggota TNI yang tersebar menempati pos-pos di Kecamatan Timang Gajah. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan truk reo yang berkekuatan 6-12 orang anggota bersenjata lengkap dan diantaranya ada yang menggunakan sebo (tutup muka), yang umumnya berasal dari warga setempat sebagai informan. Sebagian ditangkap diatas pukul 22.00 WIB dirumahnya dengan alasan untuk diajak jaga malam dan sebagian lagi ditangkap ketika sedang jaga malam. Sampai saat ini keberadaan warga yang ditangkap tidak diketahui. Sudah 11 (sebelas) tahun setelah peristiwa penghilangan orang secara paksa, tersiar kabar mengenai telah ditemukannya beberapa kuburan tidak dikenal di kebun milik warga, di Desa Bumi Ayu. Penggalian berlangsung pada 16 Juli 2012. Turut hadir saat itu anggota Koramil Timang Gajah, Polsek Timang Gajah, PMI Kec. Timang Gajah (Kaharudin) dan PMI Kab. Bener Meriah (tidak diketahui namanya). Ada 3 titik yang digali saat itu, titik kedua sudah jelas korban dan keluarganya dari pakaian pakaian yang dikenakan dan geligi korban. Titik pertama dan ketiga saat itu ikut digali juga, tapi dihentikan oleh pihak Koramil karena belum ada surat izinnya. Keesokan harinya, keluarga korban yang melanjutkan penggalian dua titik tersebut dan mengambil kerangkanya. Terdapat satu kerangka di masing-masing titik. Akan tetapi tidak diketahui oleh saksi siapa korban dan keluarganya. Pada Jumat, Tanggal 29 Juni 2001, terjadi kontak tembak di Desa Menderek, Kilometer 52 Kecamatan Timang Gajah Takengon Aceh Tengah (Benermeriah sekarang red), kontak senjata tersebut terjadi berawal dari adanya penghadangan oleh kelompok GAM terhadap patroli TNI dikawasan itu, dalam peristiwa tersebut sedikitnya dua puluh (20) orang tewas informasi menyebutkan bahwa sebagian yang tewas adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) namun sebagiannya lagi merupakan masyarakat sipil biasa, korban tewas tidak hanya akibat terkena peluru namun juga ada yang dibakar oleh militer pada saat itu. Komnas HAM yang melaksanakan kegiatan Pemantauan dan Penyelidikan Isu Khusus Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu di Aceh, pada hari Kamis Tanggal 23 Mei 2013 sekira Pukul 17:00 WIB juga turut melakukan investigasi dan
11
penulusuranya terkait dengan peristiwa yang terjadi di Menderek tersebut, beberapa fakta informasi yang diperoleh dari saksi serta kunjungan langsung ke kuburan para korban yang telah disatukan dan dibuatkan tugu untuk memudahkan para keluarga korban menziarahi makam korban itu. Peristiwa Pembantaian Massal Jambo Keupok Masa 2001 – 2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis GAM, hal ini terlihat dari aktifitas yang terjadi di desa tersebut yaitu menjadi tempat latihan fisik anggota GAM, sejumlah anggota GAM sering tampak di desa sambil membawa senjata api, berkumpul di rumah milik pemerintahan yang berada di dekat Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jambo Keupok. Oleh karena itu, aparat keamanan sering melakukan razia di kampung-kampung di wilayah Kecamatan Bakongan, termasuk di Desa Jambo Keupok tersebut. Paska DOM Aceh namun sebelum penetapan Daerah Militer ditetapkan pada 20 Mei 2003, yaitu pada malam 16 Mei 2013, sekitar 22.00 WIB warga mendengar suara letusan senjata api aparat TNI di lapangan bola kaki Bakongan. Lapangan tersebut terletak di depan Pos TNI dan sekitar 50 meter dari asrama TNI. Namun warga tidak mengetahui tujuan atau maksud tembakan tersebut. Setelah suara letusan senjata itu berhenti, warga mendengar suara mobil militer (truk reo) memasuki jalan Simpang Raja (jalan utama) menuju Desa Ujong Padang—Gampoeng Drien—Desa Bukit Gadeng—Desa Seunebok Kranci—Desa Rambong—Desa Ujong Gunong Rayeuk— Desa Ujong Gunung Cut—Desa Ujong Tanah—Desa Alur Duamas--Desa Beutong (berbatasan dengan Desa Jambo Keupok) dan Desa Jambo Keupok. Sejak malam itu, aparat keamanan telah mengepung Desa Jambo Keupok dan menyisir gunung Beutong (Desa Beutong) dan Gunung Batu (Desa Jamboe Keupok). Kemudian pada 17 Mei 2003 pukul 05.30 – 07.00 WIB penduduk Jambo Keupok, Kec. Bakongan, Aceh Selatan dikejutkan dengan kedatangan 3 truk reo tentara (warna hijau) yang memasuki rumah Abdullah Hadad. Namun ada beberapa truk yang parkir di dekat Gunung Batu di depan SDN Jambo Keupok. Tentara yang datang membawa senjata laras panjang yang diduga jenis M16 dan beberapa senapan mesin. Di antara tentara tersebut terdapat seorang cuak (informan sipil bagi tentara) yang memakai seragam militer, sebo, dan memegang parang. Cuak ini mencari istrinya, namun tidak dapat menemukannya karena istrinya tersebut sudah tinggal di rumah orang tua di Sinebok Kareh, maka si cuak menuduh warga kampung yang mengusir sang istri. Para tentara memasuki setiap rumah di desa tersebut, memeriksa seluruh tempat, memaksa para penghuni rumah (lelaki, perempuan, anak-anak) untuk keluar dari rumah dan dikumpulkan di depan rumah warga. Salah satunya adalah rumah saksi dan membawa saksi serta orang tuanya ke depan rumah warga. Kemudian seorang tentara (berbaju loreng bertuliskan TNI) menanyakan identitas penduduk desa yang menjadi anggota GAM. Saksi menjawab bahwa dirinya tidak mengetahui warga Desa yang menjadi anggota GAM. Jawaban ini berakibat saksi dipukul pakai ganggang senjata, tangan, dan ditendang. Selanjutnya para lelaki dikumpulkan di luar rumah, para perempuan ditempatkan di dalam rumah warga dan di kelas SDN Jambo Keupok. Sementara itu warga dan 10 laki-laki lainnya diperintahkan berdiri berjejer di depan rumah yang jaraknya 15 meter
12
dari tempat anak laki-laki dikumpulkan. Kemudian satu-satu para perempuan dikeluarkan dan dipindahkan ke SDN Jambo Keupok. Para lelaki yang berusia di bawah 15 tahun (usia SD dan SMP) diperintahkan berkumpul di depan rumah bantuan yang berada dekat kuburan desa. Seluruh lelaki awalnya berjumlah 10 orang dikumpulkan di depan rumah Daud, dan bertambah 2 orang lagi, mereka ditendang oleh seorang tentara karena memberikan jawaban yang tidak dikehendaki oleh tentara tersebut saat ditanya tentang identitas guru mengaji di desa itu. Ke-12 orang laki-laki yang berada di depan rumah warga diperintahkan mengangkat tangan dan + 15 tentara mengeluarkan tembakan acak ke arah para lelaki yang berbaris ini, ada yang terkena kakinya atau tangannya atau punggungnya. Setelah tentara meninggalkan desa, warga Desa Jambo Keupok baru berani mendatangi rumah warga yang sudah habis terbakar dan menemukan mayat-mayat yang terbakar. Warga mengidentifikasi mayat hanya berdasarkan sisa kain yang tidak ikut terbakar. Dalam peristiwa 17 Mei 2003 di Jambo Keupok menyebakan: 1. Korban jiwa atas 16 orang laki-laki (12 dibakar hidup-hidup dan 4 orang mati ditembak) 2. Penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian mati (ditendang, dipukul dengan popor senjata), 1 orang korban perempuan yang dipukul dan ditembak hingga pingsan, dan 1 orang korban perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala dengan popor senjata sampai tidak mampu menelan makanan selama 3 hari, dan 3 korban perempuan lain yang dipukul 3. Rumah yang hancur dibakar sebanyak 4 rumah beserta isinya. Kesimpulan Setelah mengkaji dan menganalisis dengan seksama data, informasi, dan fakta dari kunjungan di lapangan, keterangan korban, laporan, dokumen yang relevan, serta berbagai informasi lainnya, maka Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Masa Daerah Operasi Militer di Provinsi Aceh sebagai berikut : 1.
Bahwa sehubugan dengan ketidakpuasan sebagian masyarakat Aceh terhadap berbagai program dan kebijakan pemerintah Indonesia, maka telah terjadi perlawanan terhadap pemerintah dengan membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
2.
Bahwa dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta melakukan penumpasan terhadap GAM, pemerinta Indonesia telah menggunakan pendekatan militerisme dengan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989 sampai dengan 1998.
3.
Bahwa walaupun status DOM telah dicabut pada 1998, akan tetapi situasi dan kondisi di wilayah Aceh tidak mengalami perubahan yang signifikan bahkan cenderung masih banyak terjadi peristiwa kekerasan sehingga ditetapkan sebagai wilayah Darurat Militer yang kemudian diubah menjadi Darurat Sipil.
4.
Bahwa operasi militer tersebut dilakukan secara terus menerus, masing-masing operasi militer ini memiliki nama-nama khusus seperti Operasi Jaring Merah, Operasi Sadar Rencong, Operasi Cinta Meunasah Operasi Wibawa, dan lain-lain, yang
13
dilakukan selama kurun waktu sejak tahun 1989– 2001 di hampir seluruh wilayah Aceh yang dihuni masyarakat sipil; 5.
Bahwa selama berlangsungnya operasi militer, telah mengakibatkan jatuhnya korban penduduk sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan kelompok GAM.
6.
Bahwa pertempuran antara militer dan GAM juga menyebabkan terjadi korban salah sasaran berupa masyarakat sipil di luar kontak senjata seperti salah sergap, tawanan dibunuh, dan aparat yang disandera.
7.
Bahwa selama konflik bersenjata terjadi kedua belah pihak (militer dan GAM) telah melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan terjadinya korban di kalangan penduduk sipil;
8.
Bahwa operasi militer yang bertujuan untuk menumpas GAM tersebut tidak dibenarkan melakukan serangan terhadap penduduk sipil sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat (gross violiationof human rights) berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity);
9.
Bahwa sejumlah kegiatan operasi militer tersebut juga telah melakukan tindakan yang menyebabkan hancurnya, perumahan, desa, infrastuktur dan harta benda penduduk sipil sebagian masyarakat Aceh.
10. Bahwa bentuk perbuatan (type of acts) dan pola (pattern) pelanggaran HAM yang terjadi selama berlangsung operasi militer dan peristiwa sepanjang operasi militer di Aceh sebagaimana disebutkan di dalam fakta peristiwa tersebut, adalah sebagai berikut: a. Pembunuhan Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
16
2.
Peristiwa Simpang KKA
22
3.
Peristiwa Rumah Geudong
378
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
25
5.
Peristiwa Bumi Flora
31
b. Perampasan Kemerdekaan atau Perampasan Kebebasan Fisik Lain Secara Sewenang-wenang; Penduduk sipil yang menjadi korban perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
-
2.
Peristiwa Simpang KKA
3
14
3.
Peristiwa Rumah Geudong
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
-
5.
Peristiwa Bumi Flora
1
168
c. Penyiksaan; Penduduk sipil yang menjadi korban penyiksaan sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
16
2.
Peristiwa Simpang KKA
20
3.
Peristiwa Rumah Geudong
193
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
-
5.
Peristiwa Bumi Flora
-
d. Penganiayaan (persekusi). Penduduk sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
6
2.
Peristiwa Simpang KKA
17
3.
Peristiwa Rumah Geudong
569
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
-
5.
Peristiwa Bumi Flora
7
e. Perkosaan Penduduk sipil yang menjadi korban perkosaan sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
-
2.
Peristiwa Simpang KKA
-
3.
Peristiwa Rumah Geudong
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
-
5.
Peristiwa Bumi Flora
-
14
15
f. Penghilangan Orang Secara Paksa. Penduduk sipil yang menjadi korban penghilangan orang secara paksa sebagai akibat operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebagai berikut : NO.
PERISTIWA
JUMLAH KORBAN
1.
Peristiwa Jambo Keupok
-
2.
Peristiwa Simpang KKA
-
3.
Peristiwa Rumah Geudong
168
4.
Peristiwa Timang Gajah dan Bener Meriah
12
5.
Peristiwa Bumi Flora
1
Rekomendasi Berdasarkan simpulan sebagaimana diuraikan diatas, dalam rangka untuk memberikan rasa keadilan dan pemulihan terhadap para korban serta untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan terhadap hak asasi manusia, Tim menyampaikan rekomendasi sebagai berikut : Sidang Paripurna Komnas HAM •
Menerima laporan Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik dalam masa Daerah Operasi Militer maupun pasca Daerah Operasi Militer hingga Darurat Militer 2003 di Provinsi Aceh.
•
Menindaklanjuti hasil kesimpulan Tim dengan membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia guna melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap dugaan pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa sebagaimana diuraikan di atas, untuk nanti dapat diteruskan dan diproses oleh Jaksa Agung sebagai Penyidik dalam kasus Pelanggaran HAM yang berat. Jakarta, Juli 2013 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TIM PEMANTAUAN DAN PENYELIDIKAN PERISTIWA DAERAH OPERASI MILITER DI PROVINSI ACEH KETUA,
Dr. Otto Nur Abdullah
16