PENDAHULUAN
Latar Belakang Kelapa sawit di Indonesia pertama kali diusahakan sebagai tanaman perkebunan komersial pada tahun 1911 yang didirikan di Sumatera, oleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia (Murdoch, 2009). Di wilayah kabupaten Asahan, Sumatera Utara, pembukaan perkebunan kelapa sawit diawali dengan pembukaan kebun Pulo Raja pada tahun 1911 (PASPI, 2016), disusul dengan perkebunan lainnya seperti perusahaan Socfin SA yang membuka Perkebunan Padang Pulo di tahun 1923 dan Perkebunan Aek Loba tahun 1924 (Socfin Medan SA, 1948). Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90 ribu hektar perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah perkebunan cukup pesat, dari hanya 10 perkebunan pada tahun 1925 menjadi 64 perkebunan pada tahun 1940 (Pahan, 2006). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sudah mencapai 11.444.808 Ha (BPS, 2014). Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia yang meningkat pesat dari tahun 1990 hingga 2010 (dari 1.126.677 Ha menjadi 8.548.828 Ha) atau meningkat hampir 7 kali lipat, sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan atau alih fungsi hutan. Gunarso et al (2013) yang telah meneliti perubahan status lahan perkebunan kelapa sawit dari tahun 1990 hingga tahun 2010, melaporkan bahwa perkebunan kelapa sawit mayoritas berasal dari: ex. ladang (kebun campuran), eks. HTI, karet, dan kebun campuran = 34,1 %; dari areal ex. padang
Universitas Sumatera Utara
rumput, semak dan lahan marginal = 32,3% , sekitar 27,4% berasal dari hutan sekunder dan sisanya sekitar 6,2% berasal dari ex. hutan primer. Tutupan lahan dianalisa dengan cara remote sensing menggunakan citra satelit landsat 7 ETM dan Landsat 5 TM multi year pada periode 1990 - 2000, 2000 - 2005 dan 2005 2010. Perkebunan Aek Loba yang sebagian besar merupakan eks ladang rakyat dan eks hutan sekunder. Luas Kebun Aek Loba tahun 2016 = 8.611,35 Ha yang sudah mengalami beberapa kali peremajaan tanaman (replanting) dengan luas areal Generasi tanam pertama (G1) = 52,43 Ha (0,6%); Generasi Tanam II (G2) = 4.540,48 Ha (52,7%); Generasi Tanam III (G3) = 2.581,30 Ha dan Generasi Tanam IV (G4) = 1.437,04 (Socfindo, 2016). Menurut Oldeman (1994) ada lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing (padang penggembalaan), aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri / bio industri. Selanjutnya, Lal (1986) juga mengemukakan hal yang sama di mana faktor penyebab degradasi tanah dan rendahnya produktivitas lahan, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian dan penanaman secara monokultur. Utami dkk (2013) mengungkapkan bahwa alih fungsi hutan menjadi tanaman karet dan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya degradasi sifat fisik dan kimia tanah. Bobot isi tanah pada lahan karet dan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan lahan hutan, terutama pada lapisan atas. Hal ini karena kandungan bahan organik yang relatif lebih rendah pada lahan karet dan kelapa
Universitas Sumatera Utara
sawit. Kadar air volumetrik hutan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet, dan kelapa sawit. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pergerakan air di lahan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lain baik karena diserap akar, evapotranspirasi, maupun perkolasi. Hutan mempunyai pori makro yang paling tinggi namun ketersediaan air paling rendah dibandingkan dengan 3 penggunaan lahan yang lain. Pada lahan sawit dan karet memiliki pH tanah yang lebih masam dibandingkan dengan hutan. Menurut Kallarackal et al. (2004) perkebunan kelapa sawit sangat mengganggu persediaan air tanah untuk tanaman lain di luar kebun kelapa sawit. Pengurasan air tanah per batang pohon kelapa sawit dilaporkan memerlukan 20 sampai 40 liter air dalam sehari dan dapat menyerap air sampai kedalaman 5,2 meter. Perkebunan Aek Loba yang 47% arealnya sudah mengalami lebih dari 2 kali peremajaan (3 - 4 generasi tanam), diduga telah menyebabkan perubahan karakteristik tanah yang berdampak pada degradasi tanah atau penurunan kualitas tanah. Menurunnya kualitas tanah akan berpengaruh pada kesuburan tanah dan pada efektifitas pemupukan sehingga berdampak pada penurunan produktivitas tanaman jika tidak ada upaya-upaya lain yang dilakukan. Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit PT Socfindo di kebun Aek Loba yang sudah ditanam kelapa sawit lebih dari 92 tahun (hingga saat ini sudah 4 generasi tanam), tetap menghasilkan produktivitas yang tinggi pada setiap generasi tanam (rata-rata > 25 ton TBS/ ha/ tahun).
Universitas Sumatera Utara
Perumusan Masalah Semenjak Indonesia menjadi produsen utama kelapa sawit (CPO) dunia di tahun 2006 yang lalu, permintaan produk olahan kelapa sawit Indonesia terus meningkat. Menanggapi permintaan pasar CPO yang sangat besar memunculkan kampanye negatif yang menuduh bahwa kelapa sawit adalah biang keladi terjadinya perubahan iklim, menurunkan kualitas tanah, merusak lingkungan, menyerap banyak air, merusak hutan, penyebab pemanasan global dan juga merusak lahan gambut serta minyaknya yang tinggi mengandung lemak jenuh. Perubahan kualitas tanah ini seharusnya dilihat secara cermat dan bijak. Produksi perkebunan Aek Loba, PT Socfindo di Kabupaten Asahan Sumatera Utara, pada 4 generasi tanam yang berbeda ternyata menunjukkan tingkat produktivitas tinggi dan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang perubahan karakteristik tanah pada lahan yang telah dibudidayakan kelapa sawit selama 4 generasi tanam secara terus menerus. Penelitian ini dilakukan pada tanaman Generasi I (G1), Generasi II (G2), Generasi III (G3), dan Generasi IV (G4) yang dibandingkan dengan areal tanah yang sama sekali tidak ditanam kelapa sawit di desa Aek Korsik (G0). Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah telah terjadi perubahan karakteristik tanah yaitu perubahan sifat fisika, kimia tanah dan biologi tanah yang signifikan setelah dilakukan peremajaan kelapa sawit pada beberapa generasi ?
Universitas Sumatera Utara
2. Apakah sistem manajemen perkebunan yang saat ini diterapkan oleh PT Socfindo di Perkebunan Aek Loba terbukti mampu mempertahankan kualitas tanah di lahan tersebut?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi pengaruh beberapa generasi tanam Kelapa Sawit (Generasi 1 s.d 4) terhadap perubahan karakteristik tanah pada jenis tanah Typic hapludults di Perkebunan Aek Loba, Kabupaten Asahan.
Hipotesa Penelitian Budidaya kelapa sawit pada beberapa generasi tanam di Perkebunan Aek Loba, PT.Socfindo pada jenis tanah Typic hapludults secara terus menerus menyebabkan perubahan karakteristik tanah secara tidak signifikan.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh bukti bahwa budidaya
kelapa
sawit
yang
dilakukan
secara
berkelanjutan
mampu
mempertahankan karakteristik tanah Typic hapludults, dan tetap dapat meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Tanaman Kelapa Sawit Divisi
: Tracheophyita
Sub Divisi
: Pteropsida
Kelas
: Angiospermae
Sub Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Cocoideae
Famili
: Palmae
Sub Famili : Cocoideae Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis Jacq. Sumber : Lubis (2008)
Kata Elaeis berasal dari kata Elaion (Yunani) yang berarti ‘minyak’. Kata guineensis berasal dari kata Guinea (Pantai Barat Afrika), sedangkan ‘Jacq’ adalah seorang botanis Amerika yang memberi nama kelapa sawit tersebut yang umum dikenal sampai sekarang (Mangoensoekarjo, 2007). Genus Elaeis terdiri atas dua species yaitu E. guineensis Jacq. yang dikenal sebagai kelapa sawit dari Afrika dan E. oleifera Cortez. yang dikenal juga dengan kelapa sawit asal Amerika Latin (Hartley, 1988; Rival et al, 1998; Pamin, 1998). Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan (perennial). Batangnya tumbuh lurus dan umumnya tidak bercabang dan tidak berkambium. Tanaman monokotil ini berumah satu (monoecious). Bunga kelapa sawit dapat menyerbuk sendiri atau silang (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Ekofisiologi Kelapa Sawit Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit terjadi melalui proses fisiologi. Pada kondisi ketersediaan air yang cukup tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal, namun hal tersebut dapat terganggu jika tanaman berada pada kondisi tercekam atau ketersediaan air tidak mencukupi untuk menjalankan proses metabolismenya. Habitat asli kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh baik di daerah tropis (4° LU - 4° LS), ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit memerlukan iklim dengan distribusi curah hujan merata sepanjang tahun dengan total 2000 - 3000 mm per tahun, yakni daerah yang tidak tergenang air pada waktu hujan serta tak kekeringan waktu kemarau. Pola curah hujan tahunan dapat mengubah tingkah laku pembungaan serta produksi buah sawit (Mangoensoekarjo, 2007). Tanaman kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman xerophyte yang dapat beradaptasi dengan kondisi air yang kurang, walaupun demikian tanaman tetap akan mengalami gejala stres air pada saat musim kemarau yang berkepanjangan (Mahamooth et al, 2008). Kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit pada dasarnya berbeda dalam setiap fase pertumbuhannya (Turner dan Gillbanks, 2003). Tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman yang rakus air seperti yang sering dikampanyekan secara negatif oleh beberapa pihak. Doonrebos dan Pruitt (1977) melaporkan kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang dibandingkan dengan tanaman perkebunan lain.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Kebutuhan air pada beberapa tanaman Kebutuhan Air
Tanaman
mm/hari
mm/bulan
mm/tahun
Kelapa sawit
4,10-4,65
123-139,5
1476-1674
Kakao
2,22-3,33
66,6-99,9
800-1200
Kopi
2,22-3,33
66,6-99,9
800-1200
Deciduous trees
1,94-2,91
58,2-87,3
700-1050
Tebu
2,77-4,16
83,1-124,8
1000-1500
Alfalfa
1,66-4,16
49,8-124,8
600-1500
Alpukat
1,80-2,77
54-83,1
650-1000
Pisang
1,94-4,72
58,2-141,6
700-1700
Padi
4,16-7,91
124-237,3
1500-2850*
Jagung
3,33-6,25
99,9-188,7
1200-2250*
Kedelai
3,75-6,87
112,5-206,1
1350-2475*
Sumber : diolah dari Doonrebos and Pruitt (1977) *) dalam tiga musim tanam Pada kondisi air yang kurang, rasio akar-batang (root/shoot) cenderung menjadi
lebih
besar.
Pertambahan
tinggi
cenderung
berkurang
namun
perkembangan akar makin tinggi seperti yang dikemukakan oleh Sun et al. (2011) bahwa stress air mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap rasio akar-batang dibanding stres yang diakibatkan oleh nutrisi. Menurut Kirkham (1990) dalam Thoruan-Mathius et al. (2001) pengaruh fisiologis cekaman kekeringan pada tanaman adalah terjadinya perubahan potensial air, potensial osmotik dan potensial turgor sel yang dapat mempengaruhi perilaku stomata. Perubahan ini mempengaruhi absorpsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis dan translokasi fotosintesis. Akibat lanjut yang ditimbulkan adalah menurunnya laju fotosintesis
dan
organ
fotosintesis
mengalami
penuaan
dini
sehingga
menyebabkan penurunan akumulasi fotosintat. Hal ini senada dengan yang
Universitas Sumatera Utara
diungkapkan oleh Cha-um (2010) bahwa kandungan klorofil di daun akan mengalami penurunan secara drastis ketika tanaman mengalami stress air, Cha-um (2010) menyimpulkan bahwa potensi osmotik pada bibit tanaman kelapa sawit yang mengalami defisit air menurun pada jaringan daun maupun pada jaringan akar, sehingga memacu kerusakan pigmen fotosintesis (klorofil) dan memperkecil kemampuan fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman. Pengaruh cekaman air terhadap produksi ditandai dengan terjadinya aborsi infloresensi betina (tandan buah) dan menurunnya seks rasio sehingga menyebabkan produksi bunga betina menurun dan berdampak pada penurunan produksi TBS secara bertahap seiring dengan makin tingginya tingkat defisit air. Penurunan produksi tertinggi mencapai lebih dari 40% terjadi pada kondisi cekaman air akibat defisit air antara 400-500 mm/tahun. Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan mengubah struktur tanah dari berbutir
Universitas Sumatera Utara
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat. Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organic berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer) (Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah (Partoyo, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Parameter kuantitatif dari jenis akar yang berbeda di kelapa sawit (dewasa) tahap budidaya lapangan Fase budidaya di lapangan (Dewasa) Rata-rata Pertumbuhan (cm hari-1 ) Panjang maksimal (cm) Diameter (Ø) (cm) Jumlah vaskular Jarak ratarata Antara Akar Lateral (cm)
RI VD
RI H
RII VU
RII VD
RII H
sRIII
dRIII
RIV
0,3
0,3
0.20
0.20
0.20
0.08
0.08
-
±0.11
±0,04
±0,04
±0,04
±0,04
±0,04
±0.11 600
2500
200
600
20
20
10
1.5
0,41<Ø<0.50
0.50< Ø<0.80
0.15< Ø <0.25
0.20< Ø <0.25
0.13< Ø <0.22
0.05< Ø <0,14
0,07< Ø <0.15
0,03< Ø <0.07
34 – 45
34 - 45
15 - 25
15 - 25
15 - 25
08-12
08-12
3–5
2.20
2.90
0.23
0,54
0.23
0.11
0.15
Tidak bercabang
±1.50
±1,70
±0.09
±0,48
±0.15
±0,07
±0.11
sumber : Jourdan and Rey,1997
Gambar 1.
Sumbu referensi model sistem perakaran kelapa sawit (A). Diagram arsitektur sistem root pada sumbu referensi (B)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Rata-rata panjang (m) zona percabangan apikal dengan distribusi untuk berbagai tipe akar pada umur kelapa sawit 10 tahun. Length Unbranched Apical Zone (LUAZ) (cm) Tipe Akar
Probability (p)
Mean (m) Minimum (d)
± standard deviation (σ) Maximum (n)
RI H
4.0
12.0 ± 2.3
18.0
0.57
RI VD
3.0
10.0 ± 2.5
16.0
0.54
RII H
1.0
3.0 ± 1.8
6.0
0.46
RII VU
1.0
3.5 ± 1.5
7.0
0.47
RII VD
1.0
3.1 ± 1.9
7.0
0.37
sRIII
0.5
1.6 ± 0.6
4.0
0.35
dRIII
0.5
1.5 ± 0.5
4.0
0.30
Tidak bercabang sumber : Jourdan and Rey,1997 RIV
RI VD
: akar vertikal utama
RI H
: akar horizontal utama
RII H
: akar horizontal sekunder
RII VU
: akar vertikal sekunder tumbuh ke atas
RII VD
: akar vertikal sekunder yang tumbuh ke bawah
sRIII
: akar dangkal
dRIII
: akar dalam
RIV
: akar tersier dan akar kuartener.
Universitas Sumatera Utara
Profil Tanah Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar permukaan planet bumi yang mampu menumbuhkan tumbuhan, dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu (Darmawidjaya, 1997). Tanah menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2014) adalah tubuh alam bebas yang terdiri atas bahan padat (bahan mineral dan bahan organik), air dan udara yang ditemukan di permukaan bumi, yang dicirikan oleh salah satu atau kedua sifat berikut: (a) mempunyai horizon-horizon atau lapisan tanah sebagai hasil dari proses penambahan, pengurangan, pemindahan dan juga perubahan bahan dan energi dan/atau (b) mempunyai kemampuan menopang pertumbuhan dan perakaran tanaman dalam lingkungan alami. Profil tanah merupakan irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke bebatuan induk tanah, yang biasanya terdiri atas horizon-horison O-A-E-B-CR. Empat lapisan teratas yang masih dipengaruhi cuaca disebut solum tanah, horison O-A disebut lapisan tanah atas dan horison E-B disebut lapisan tanah bawah (Hanafiah, 2005). Dalam proses pembentukan tanah akan membentuk horizon-horizon tanah, di antaranya horizon O yaitu merupakan organik yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horizon O merupakan horizon utama pada tanah gambut (Histosol). Horizon Oi bentuk asli sisa-sisa tanaman masih terlihat. Horizon Oe bentuk asli sisa tanaman tidak terlihat jelas. Horizon Oa bentuk asli
Universitas Sumatera Utara
sisa tanaman tidak terlihat lagi. Horizon A di permukaan tanah yang terdiri atas campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap dari pada horizon di bawahnya. Horizon E terjadi pencucian maksimum terhadap liat, Fe, Al, dan bahan organik. Horizon B tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci dari harison diatasnya. Horizon C yaitu suatu bahan induk sedikit terlapuk, sehingga lunak dapat ditembus akar tanaman. Horizon R suatu batuan keras yang belum lapuk, tidak dapat di tembus akar tanaman (Hardjowigeno, 2001) Karakteristik Fisik Tanah Solum Tanah Solum tanah adalah tanah yang berkembang secara genetis oleh gaya genesa tanah artinya lapisan tanah mineral dari atas sampai sedikit dibawah batas horizon C (Darmawidjaya, 1997). Solum tanah ini berperan penting dalam usaha pertanian jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Lapisan olah yakni pada ketebalan 0-30 cm mempunyai arti yang sangat penting, karena mengandung berbagai bahan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti bahanbahan organic (humus) dan berbagai zat hara mineral. Selain itu, pada lapisan tanah tersebut hidup mikroflora dan mikrofauna atau jasad renik biologis (seperti bakteri, cacing tanah, berbagai serangga tanah) yang masing-masing dapat menguntungkan dan menyuburkan tanah (Kartasapoetra, 1990). Struktur tanah Struktur tanah dapat dibagi dalam struktur makro dan mikro.Yang dimaksud dengan struktur makro/struktur lapisan bawah tanah yaitu penyusunan agregat-agregat tanah satu dengan yang lainnya. Sedangkan struktur mikro adalah
Universitas Sumatera Utara
penyusunan butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk/agregatagregat yang satu sama lainya dibatasi oleh bidang-bidang belah alami. Yang termasuk struktur mikro yaitu : Kondisi remah-lepas, terlihat dengan jelas (tanpa alat bantu) keadaannya tampak cerai berai, mudah digusur, didorong ke tempat yang dikehendaki. Kondisi remah-sedang, tanah yang demikian kondisinya cenderung tampak agak bergumpal, susunan lapisan-lapisan tanah tampak ada yang dalam keadaan agregasi atau bergumpal dan terdapat pula porus yang berlubanglubang, memudahkan aliran air menerobos menyerap ke dalam lapisanlapisan tanah sebelah bawah. Keadaan yang demikian tidak begitu menyulitkan bagi pengolahan tanah untuk kepentingan usahatani ataupun bagi pekerjaan pemindahan tanah (Kartasapoetra, dkk, 1987) Beberapa hal yang menentukan sifat fisik tanah adalah tekstur, struktur, konsistensi, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah dan kedalaman permukaan air tanah. Secara ideal tanaman kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, mempunyai solum yang dalam tanpa lapisan padat, tekstur mengandung liat dan debu 25-30%, serta berdrainase baik (Setyamidjaja, 1992). Sesungguhnya pada susunan remah terdapat pori-pori makro non kapiler yang tidak menampung air yang biasanya diisi udara tanah. Struktur remah ini adalah keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian karena pada struktur ini terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk pernafasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara tanaman (Kartasapoetra dkk, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Tekstur tanah Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (2 mm - 50), debu (50-2) dan liat (<2) di dalam tanah. Tabel 4. Deskrispsi kelas tekstur tanah No Kelas Tekstur Sifat Tanah 1. Pasir (S) Sangat kasar sekali, tidak membentuk gulungan, serta tidak melekat. 2.
Pasir berlempung (LS)
3.
Sangat kasar, membentuk bola yang mudah sekali hancur, serta agak melekat.
Lempung berpasir (SL)
Agak kasar, membentuk bola yang mudah sekali
4.
Lempung (L)
5.
Lempung berdebu (SiL)
6.
Debu (Si)
7.
Lempung berliat (CL)
Rasa tidak kasar dan tidak licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, dan melekat. Licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, serta agak melekat. Rasa licin sekali, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, serta agak melekat. Rasa agak kasar, membentuk bola agak teguh (lembab), membentuk gulungan tapi mudah hancur, serta agak melekat.
8.
Lempung liat berpasir (SCL)
9.
Lempung liat berdebu (SiCL) 10. Liat berpasir (SC) 11. Liat berdebu (SiC) 12. Liat (C)
hancur,serta agak melekat.
Rasa kasar agak jelas, membentuk bola agak teguh (lembab), membentuk gulungan tetapi mudah hancur, serta melekat. Rasa licin jelas, membentuk bola teguh, gulungan mengkilat, melekat. Rasa licin agak kasar, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipilin, mudah digulung, serta melekat. Rasa agak licin, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipilin, mudah digulung, serta melekat. Rasa berat, membentuk bola sempurna, bila kering sangat keras, basah sangat melekat.
Sumber : Ritung et al (2007)
Universitas Sumatera Utara
Di dalam segitiga tekstur terdapat 12 kelas tekstur didalamnya yaitu pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Apabila di samping kelas tekstur tersebut tanah mengandung kerikil (>2mm) sebanyak 20-50% maka tanah disebut berkerikil, dan sebagainya. Bila kandungan kerikil lebih dari 50% disebut sangat berkerikil (Hardjowigeno, 1993). Secara ideal tanaman kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, mempunyai solum yang dalam tanpa lapisan padat, tekstur liat dan debu 25-30 %, serta berdrainase baik (Setyamidjaja, 1992). Konsistensi tanah Menunjukan kekuatan daya kohesi butir-butir tanah atau daya adhesi butirbutir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukan oleh daya tahan tanah terhadap gaya dari luar. Penyifatan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kandungan air dari tanah yaitu apakah tanah dalam keadaan basah, lembab atau kering (Hardjowigeno, 1993). Kadar Air Air dapat meresap atau ditahan oleh tanah karena adanya gaya kohesi, adhesi dan gravitasi (Hardjowigeno, 1995). Dalam menentukan jumlah air yang tersedia bagi tanaman terdapat beberapa istilah antara lain : kadar air kapasitas lapang yaitu, keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air yang ditahan oleh tanah lebih besar dari gaya gravitasi sehingga air dapat diserap akar tanaman. Kadar air titik layu permanen yaitu, kandungan air dalam yang tidak dapat diserap oleh tanaman akibat gaya gravitasi lebih besar dari gaya
Universitas Sumatera Utara
adhesi. Kadar air tersedia yaitu, selisih kadar air pada kapasitas lapang dengan kadar air pada titik layu permanen. Bobot Isi (Bulk Density) Bulk density adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Satuan bulk density dinyatakan dalam gr.cm-3. Makin tinggi bobot isi, makin padat tanah dan makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Karakteristik Kimia Tanah Kapasitas tukar kation (KTK) KTK didefenisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekivalen per 100 gram tanah. Kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalent biasanya diikat lebih kuat dari pada ionion monovalen, sehingga sulit untuk dipertukarkan (Tan, 1998). pH tanah Kemasaman
tanah
berakibat
langsung
terhadap
tanaman
karena
meningkatnya kadar ion-ion hydrogen bebas. Tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada pH optimum yang dikehendakinya. Apabila pH jenis tanaman itu tidak sesuai dengan persyaratan fisiologinya, pertumbuhan tanaman akan terhambat. Kemasaman tanah berakibat pula terhadap baik atau buruknya atau cukup kurangnya unsur hara yang tersedia, dalam hal ini pada pH
Universitas Sumatera Utara
sekitar 6,5 tersedianya unsur hara dinyatakan paling baik. Pada pH dibawah 6,0 unsur P, Ca, Mg, Mo ketersediaannya kurang, pada pH dibawah 4,0 ketersediaan unsur makro dan Mo dinyatakan buruk sekali, pada pH rendah ketersediaan Al, Fe, Mn, Bo akan meningkat, yang dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991). Tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kemasaman (pH) 5-6 tidak lebih tinggi dari 7 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada kedalaman 1 meter. Hal itu disebabkan terbatasnya ketersediaan hara ada pH tinggi dan efek racun dari Mn dan Fe pada pH rendah. Pada umumnya hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis P juga tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Ca. (Hardjowigeno, 1995). Setiap proses yang akan meningkatkan atau mempertahankan basa tertukar seperti Ca, Mg, K dan Na akan menunjang penurunan keasaman dan meningkatkan
kebasaan.
Proses
pelapukan
sangat
dipengaruhi
karena
membebaskan kation tertukar dari mineral sehingga menjadi tersedia untuk di adsorbsi. Penambahan yang mengandung basa, misalnya batu kapur merupakan cara yang sering dipakai untuk menambah kation logam sebagai tambahan yang telah disediakan oleh alam (Buckman dan Brady, 1982).
Universitas Sumatera Utara
Penilaian Sifat Kimia Tanah Untuk penilaian sifat kimia tanah dapat mengacu pada Tabel 5. Tabel 5. Kriteria penilaian sifat kimia tanah pH H2O
Sangat Masam < 4.5
Masam 4.5-5.5
Agak Masam 5.6-6.5
Netral 6.6-7.5
Agak Alkalis 7.6-8.5
Alkalis > 8.5
Sifat Tanah
Sangat Rendah
Rendah
C -Organik (%) Nitrogen (%) C/N P 2 O 5 HCl (mg/100g) P 2 O 5 Bray-1 (ppm) P 2 O 5 Olsen (ppm) K 2 O HCl 25% (mg.100g-1) KTK (me.100g-1) Susunan Kation : K (me.100g-1) Na (me.100g-1) Mg (me.100g-1) Ca (me.100g-1) Kejenuhan Basa (%) Aluminium (%)
< 1.00 <0.10 <5 < 10 < 10 < 10 < 10 <5
1.00-2.00 0.10-0.20 5-10 10 - 20 10 - 15 10 - 25 10 - 20 5 - 16
2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.00 0.21-0.50 0.51-0.75 >0.75 11-15 16-25 >25 21 - 40 41 - 60 > 60 16 - 25 26 - 35 > 35 26 – 45 46 - 60 > 60 21 – 40 41 - 60 > 60 17 – 24 25 - 40 > 40
< 0.1 < 0.1 < 0.4 < 0.2 < 20 < 10
0,1-0,2 0,1 -0,3 0,4 - 1,0 2-5 20-35 10-20
0,3 - 0,5 0,4-0,7 1,1-2,0 6-10 36-50 21-30
Sedang
Tinggi
: 0,6-1,0 0,8 - 1,0 2,1 - 8,0 11 - 20 51-70 31-60
Sangat Tinggi
> 1.0 > 1.0 > 8.0 >20 > 70 > 60
Sumber : Hardjowigeno, S. 1995.
Kejenuhan basa Kejenuhan basa menunjukan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukan besamya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut. Damanik, dkk (2010) menyatakan kejenuhan basa merupakan salah satu ciri tanah yang cukup penting. Kejenuhan basa adalah perbandingan antara kation basa (Ca, Mg, K dan Na) dengan nilai tukar total (KTK) dan dinyatakan persen, dapat pula dituliskan dengan rumus berikut:
Universitas Sumatera Utara
Kation-kation basa umumnya merupakan hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga dengan kejenuhan basa tinggi menunjukan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 1993). Terdapat korelasi positif antara persen kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+ (Tan, 1998). Hanafiah (2005) menyatakan bahwa pengapuran karbonat (CaCO3) menghasilkan ion-ion hidroksil yang mengikat kation-kation asam (H dan Al) pada koloid tanah menjadi inaktif, sehingga pH naik. Situs muatan negatif koloid digantikan oleh kation basa (Ca), sehingga kejenuhan basa meningkat pula.
C-Organik Kandungan C organik dalam tanah dapat ditentukan dengan metoda pembakaran kering atau pembakaran basah. Pembakaran kering dilakukan dengan membakar contoh tanah, kemudian mengukur CO 2 yang dilepaskan. Hasilnya secara kuantitatif lebih tepat daripada pembakaran basah. Pembakaran basah dilakukan dengan mengoksidasi dengan asam khromat dengan jumlah berlebihan, kemudian dilakukan titrasi terhadap kelebihan oxidant tersebut (metode Walkley-
Universitas Sumatera Utara
Black). Hasilnya lebih bersifat semi-kuantitatif, tetapi dapat dilakukan lebih cepat dan sederhana (Hardjowigeno, 1993). Kandungan hara Tanaman mengabsorpsi unsur hara dalam bentuk ion yang terdapat di sekitar daerah perakaran. Unsur-unsur ini harus berada dalam bentuk tersedia dan dalam konsentrasi optimum bagi pertumbuhan. Selanjutnya unsur-unsur tersebut harus berada dalam suatu keseimbangan. Hingga sekarang telah dikenal 16 macam unsur hara esensial bagi tanaman. Suatu unsur hara dikatakan esensial bila kekurangan unsur tersebut dapat menghambat dan mengganggu pertumbuhan baik vegetatif maupun generatif, kekurangan unsur tersebut tidak dapat diganti oleh unsur lain dan unsur tesebut harus secara lansung terlibat dalam hara tanaman. Berdasarkan kebutuhannya bagi tanaman maka ke enam belas unsur hara esensial tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok unsur hara makro dan kelompok unsur hara mikro. Unsur hara makro relatif lebih banyak digunakan/ dibutuhkan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 kg untuk setiap hektar. Sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit (Hakim, dkk, 1986). Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang istimewa sebab kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan. Pemupukan dengan dosis yang tepat sesuai kebutuhan tanaman sangat membantu pertumbuhan tanaman kelapa sawit sehingga akan meningkatkan produksinya. Walaupun begitu, tanah yang mengandung faktor hara dalam jumlah besar sangat baik untuk pertumbuhan vegetatif, sedangkan kemasaman tanah menentukan
Universitas Sumatera Utara
ketersediaan dan keseimbangan faktor unsur hara didalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH antara 4.0 - 6.5, sedangkan pH optimum adalah 5.0 - 5.5 menurut Setyamidjaja (1992) atau 5 - 6 menurut Hardjowigeno, et al (2001). Kejenuhan Al Al dalam bentuk dapat ditukarkan (Al-dd) umumnya terdapat pada tanahtanah yang bersifat masam dengan pH < 5,0. Aluminium ini sangat aktif karena berbentuk Al3+ monomer yang sangat merugikan dengan meracuni tanaman atau mengikat fosfor. Oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana pengaruh Al ini perlu ditetapkan kejenuhannya. Semakin tinggi kejenuhan aluminium, akan semakin besar bahaya meracun terhadap tanaman. Kandungan aluminium dapat tukar (Al3+) mempengaruhi jumlah bahan kapur yang diperlukan untuk meningkatkan kemasaman tanah dan produktivitas tanah. Kadar aluminium sangat berhubungan dengan pH tanah. Semakin rendah pH tanah, maka semakin tinggi aluminium yang dapat dipertukarkan dan sebaliknya. Disamping kadar aluminium yang dapat dipertukarkan, pengaruh jelek aluminium diukur dengan derajat penjenuhan aluminium yang dinyatakan dengan:
Bila kejenuhan aluminium > 60%, tanah tersebut sering dikatakan tidak layak untuk tanah pertanian sebelum direklamasi atau ameliorasi terlebih dahulu. Oleh karena kejenuhan aluminium dipengaruhi oleh KTK dan juga dipengaruhi oleh tekstur, maka semakin kasar tekstur tingkat kebahayaan aluminium semakin tinggi (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Hakim, dkk (1986) menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
keracunan aluminium menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. Apabila pertumbuhan akar terganggu, serapan hara dan pembentukan senyawa organik tersebut akan terganggu. Sistem perakaran yang terganggu akan mengakibatkan tidak efisiennya akar menyerap unsur hara. Jenis Tanah Typic Hapludult Typic hapludult merupakan sub grup pada ordo ultisol. Tanah ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan Al yang tinggi merupakan sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya erosi tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Menurut laporan soil survey perkebunan Aek Loba (Paramananthan, 2004) lokasi penelitan berada pada seri tanah Ala2 dan Ksk2 Series dengan hierarki sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Order (Ultisols) Suborder (Udults) Great Group (Hapludults) Subgroup (Typic Hapludults) Family (Clayey, Kaolinitic) Series (Ala2 dan Ksk2 Series) Typic Hapludults adalah Sub Grup Typic dari Hapludults, yakni ditetapkan pada tanah kering angin yang cukup dalam atau lebih dalam untuk hard rock, memiliki epipedon okrik yang tidak tebal dan tidak berpasir (bukan pasir atau liat berpasir), berbentuk liat atau lempung ukuran partikel kelas di argillic horizon, tetapi tidak memiliki celah-celah dalam di tahun normal. Air tanah pada kedalaman sedang, depletions redoks dengan chroma rendah pada kedalaman dangkal dan tingkat berfluktuasi air tanah di zona besi habis yang sifat berbagi dengan Aquults dan menentukan Oxyaquic dan Aquic sub kelompok. Lapisan pasir yang tebal, mulai dari permukaan tanah mineral, mendefinisikan Arsenik dan Grossart sub kelompok. Kontak litik dangkal mendefinisikan sub kelompok litik. Sebuah berwarna, relatif tebal epipedon ochric gelap atau epipedon umbrik dianggap abnormal dan menunjukkan intergrade untuk Humults. Sebuah cakrawala argilik sangat tipis juga dianggap abnormal dan digunakan untuk menentukan sub kelompok Inceptic. Sebuah partikel ukuran kelas berpasir dan lamellae di ufuk argilik menunjukkan perkembangan yang lebih lemah dari normal dan menentukan Psammentic dan Lamellic sub kelompok. Sebuah partikel ukuran kelas liat, retak dalam, dan COLE tinggi sifat bersama dengan Vertisols
Universitas Sumatera Utara
dan menentukan sub kelompok Vertic. Typic Hapludults adalah dari batas yang sangat besar di Timur dan Tenggara Amerika Serikat. Vegetasi alami terdiri atas tanaman hutan. Lereng berkisar dari tingkat hampir curam. Dimana lereng cocok, banyak dari tanah ini digunakan sebagai lahan pertanian. Banyak dari tanah, terutama mereka yang curam, digunakan sebagai hutan. Beberapa digunakan sebagai padang rumput atau homesites (Soil Survey Staff, 2014). Typic Hapludults adalah Hapludults lain, dimana: 1.
Tidak memiliki, di subhorizon apapun dalam 60 cm atas horison argilik, redoks depletions dengan nilai warna, lembab, 4 atau lebih dan chroma dari 2 atau kurang, disertai dengan konsentrasi redoks dan dengan kondisi aquic;
2.
Dalam tahun normal tidak jenuh dengan air di setiap lapisan dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral untuk salah satu atau kedua: a. Sebuah. 20 hari atau lebih berturut-turut; atau b. 30 hari atau lebih kumulatif;
3.
Tidak memiliki berpasir atau pasir-skeletal partikel-ukuran kelas di seluruh lapisan memanjang dari permukaan tanah mineral ke atas cakrawala argilik pada kedalaman 50 cm atau lebih;
4.
Punya horizon argilik tebal lebih dari 25 cm;
5.
Memiliki nilai warna, lembab, 4 atau lebih atau nilai, kering, dari 6 atau lebih, bila diremas dan merapikan, dalam Ap cakrawala 18 cm atau lebih tebal dan di setiap lapisan permukaan setelah pencampuran dari 18 cm atas ;
6.
Tidak memiliki kontak litik dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral di beberapa atau semua bagian dari setiap pedon;
Universitas Sumatera Utara
7.
Punya horizon argilik yang lebih halus daripada berpasir partikel-ukuran kelas di beberapa bagian dari 75 cm atas jika horizon argilik tebal lebih dari 75 cm atau sebagian saja jika horizon argilik tebal kurang dari 75 cm;
8.
Tidak memiliki baik: a. Celah dalam 125 cm dari permukaan tanah mineral yang 5 mm atau lebih luas melalui ketebalan 30 cm atau lebih untuk beberapa waktu di tahun normal, dan slickensides atau agregat berbentuk baji di lapisan 15 cm atau lebih tebal yang memiliki nya atas batas dalam 125 cm dari permukaan tanah mineral; atau b. Sebuah diperpanjang linear dari 6,0 cm atau lebih antara permukaan tanah mineral dan baik kedalaman 100 cm atau densic, litik, atau kontak paralithic, mana yang dangkal;
9.
Punya horizon argilik yang memenuhi satu pun dari hal-hal berikut: a. Seluruhnya terdiri atas lamellae; atau b. Adalah kombinasi dari dua atau lebih lamellae dan satu atau lebih subhorizons dengan ketebalan 7,5 sampai 20 cm, setiap lapisan dengan horizon eluvial atasnya; atau c. Terdiri atas satu atau lebih sub horizon yang lebih dari 20 cm tebal, masing-masing dengan horizon eluvial atasnya, dan di atas cakrawala ini ada baik: i. Dua atau lebih lamellae dengan ketebalan gabungan dari 5 cm atau lebih (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi bagian dari horizon argilik); atau
Universitas Sumatera Utara
ii. Kombinasi lamellae (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi bagian dari horizon argilik) dan satu atau lebih bagian dari cakrawala argilik tebal 7,5-20 cm, masing-masing dengan horizon eluvial atasnya; dan 10. Memiliki sifat-sifat tanah fragic: a. Dalam waktu kurang dari 30 persen dari volume semua lapisan 15 cm atau lebih tebal yang memiliki batas atas dalam 100 cm dari permukaan tanah mineral; dan b. Dalam waktu kurang dari 60 persen dari volume semua lapisan 15 cm atau lebih tebal.
Total mikrobia tanah Pengamatan dan perhitungan mikrobia dapat dilakukan secara individual maupun secara kelompok dalam bentuk koloni. Bila mikrobia yang ditumbuhkan dalam medium yang tidak cair, maka akan terjadi suatu kelompok yang dinamakan koloni. Bentuk koloni berbeda-beda untuk setiap spesies, dan bentuk tersebut merupakan cirri khas bagi suatu spesies tertentu. Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikrobia yang masih hidup pada media agar, sehingga sel mikrobia tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Waluyo, 2007). Dalam perhitungan jumlah mikroorganisme ini seringkali digunakan pengenceran. Pada pengenceran dengan menggunakan botol cairan terlebih dahulu dikocok dengan baik sehingga kelompok sel dapat terpisah. Pengenceran sel dapat
Universitas Sumatera Utara
membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah mikrobia tanah yang benar. Namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar dengan jumlah koloni yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990). Pengenceran dilakukan agar setelah inkubasi, koloni mikrobia yang terbentuk pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung. Dimana jumlah terbaik adalah antara 30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm permukaan (Fardiaz, 1992). Prinsip pengenceran adalah menurunkan jumlah koloni mikrobia, sehingga makin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan, makin sedikit jumlah koloni mikrobia yang dihitung (Waluyo, 2007). Untuk perhitungan jumlah total populasi mikrobia tanah digunakan satuan CFU (Colony Forming Unit). CFU = jumlah koloni x faktor pengenceran. Jumlah total mikrobia yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung banyak mikrobia tanah karena populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan dan energy yang cukup, serta kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme tanah tersebut. Dengan kata lain, untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dapat dilakukan dengan melihat jumlah populasi mikrobia tanah yang ada.
Bahan Induk Tanah Bahan induk adalah bahan pemula tanah, yang tersusun dari bahan organik dan atau mineral. Bahan induk dapat berasal dari bahan tanah yang diendapkan
Universitas Sumatera Utara
dari tempat lain sebagai akibat proses transportasi oleh angin dan air. Menurut Jenny (1994) bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan berubah menjadi bahan induk, dan dengan adanya proses pelapukan lebih lanjut serta proses-proses pembentukan tanah lain, bahan induk berubah menjadi tanah dalam waktu yang lama. Bahan induk merupakan bahan geologi yang mendasari (umumnya batuan dasar atau deposito atau drift dangkal) di mana tanah cakrawala bentuk. Tanah biasanya mewarisi banyak struktur dan mineral dari bahan induk mereka, dan, dengan demikian, seringkali digolongkan berdasarkan isi bahan mineral konsolidasi atau tidak dikonsolidasi yang telah mengalami tingkat pelapukan fisik atau kimia dan mode dimana bahan yang paling baru diangkut. Pengaruh bahan induk terhadap pembentukan tanah ditentukan oleh: a. Sifat kristalin (beku, sedimen, malihan) b. Tekstur (kasar, sedang, halus) c. Komposisi mineral d. Tingkat kemantapan
Dalam proses pembentukan tanah terdapat bahan induk yang menyusun pembentukan tanah. Jenis-jenis bahan induk tersebut adalah sebagai berikut:
Batuan
Batuan dapat didefinisikan sebagai bahan padat yang terjadi didalam membentuk kerak bumi, batuan pada umumnya tersusun atas dua mineral
Universitas Sumatera Utara
atau lebih. Berdasarkan cara terbentuknya batuan dapat dibedakan menjadi 3 jenis batuan, yaitu beku, batuan endapan dan batuan malihan.
Batuan Beku Batuan beku atau batuan vulkanik terbentuk oleh magma yang berasal dari letusan gunung berapi, batuan beku atau batuan vulkanik terdiri atas mineral yang tinggi dan banyak mengandung unsur hara tanaman. Di Indonesia batuan vulkanik memegang peranan yang lebih penting, hal ini di sebabkan karena gunung berapi tersebar dimana-mana, dan karena letusan gunung berapi yang menghasilkan batuan vulkanik yang menyebabkan kesuburan tanah. Selain atas dasar terjadinya batuan vulkanik juga dapat dibagi atas dasar kandungan kadar SiO 2 nya menjadi tiga golongan, yaitu, batuan asam yang berkadar SiO 2 lebih dari 65%, batuan intermedier yang kadar SiO 2 antar 52% 65% dan batuan basis yang berkadar SiO 2 < 52%.
Batuan Sedimen Batuan endapan terjadi karena proses pengendapan bahan yang diangkut oleh air atau udara dalam waktu yang lama. Ciri untuk membedakan batuan endapan dan batuan lainnya yaitu, batuan endapan biasanya berlapis, mengandung jasad (fosil) atau bekasbekasnya dan adanya keseragaman yangnyata dari bagian-bagian berbentuk bulat yang menyusun.
Universitas Sumatera Utara
Batuan Malihan Batuan malihan terbentuk dari batuan beku atau batuan endapan atau juga dapat terbentuk dari batuan malihan lainnya yang mengalami proses perubahan susunan dan bentuknya yang akibatkan oleh pengaruh panas, tekanan atau gaya kimia. Batuan malihan adalah batuan yang memiliki sifat-sifat akibat telah malihnya batuan semula baik batuan beku maupun endapan. Yang dinamakan proses malihan adalah jumlah proses yang bekerja dalam zone pelapukan dan menyebabkan pengkristalan kembali bahan induk.
Toba Tuff (Tufa Toba) Chesner (1998) melakukan studi mendalam perihal bahan induk Tufa Toba sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Van Bemmelen (1949), dan Aldiss dan Ghazali (1984). Disebutkan dalam Chesner (1998) bahwa wilayah Kaldera terdapat 4 kali erupsi tufa sejak 1.2 juta tahun yang lalu, dimana yang termuda disebut young toba tuffs (YTT).
Gambar 2. Peta sebaran tufa toba muda (Aldiss dan Ghazali, 1984)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Karakteristik empat tufa toba CompoMineralogy Unit/ Age Thick- Volu Magnecaldera (Ma) ness me tic position (m) (km3) larity YTT/ 0-074 <400 2800 N Rhyodacite- Qz + PI + Sa + Toba except rhyolite Bi + Am -+ on Mg + Il + Al + Samosi Fa + Zi + Opx r MTT/ 0-501 >140 60 N Rhyolite Qz + PI + Sa + Northern Bi + Am + Toba Opx + Mg + ll + AI + Fa + Zi OTT/ 0-84 >300 500 R Andesite- Qz + PI + Sa + Porsea rhyolite Bi + Am -+ Caldera Mg + ll + AI + Zi + Opx H DT/ 1-2 <200 35 R Dacite PI + Opx+ Northern Cpx4 Mg Toba
Si0 2 range (wt%) 68-76
72-76
61-74
63-66
Note : Qz, quartz; PI, plagioclase; Sa, sanidine; Mg, magnetite; II, ilmenite; Ap, apatite; Am, amphibole; Bi, biotite; Zi, zircon; Al, allanite; Fa, fayalite; Opx, orthopyroxene; Cpx, clinopyroxene. N, normal; R, reversed.
Sumber : Chesner, 1998. Bahan induk Tufa Toba merupakan jenis batuan induk berasal dari batuan beku yang berasal letusan gunung berapi Toba yang terjadi pada 74.000 tahun yang lalu (Chesner, 1998). Batuan ini mengalami erupsi asam yang umumnya terdiri atas kwarsa-trachytes, kwarsa-trachytes-andasitik, rhyolite dan tufa liparit. Tufa toba muda menutupi wilayah seluas kira-kira 25.000 km2 termasuk dataran tinggi seluas 10.000 km2 dan ketebalan mencapai beratus meter dibeberapa tempat (< 400 m) dengan volume mencapai 2.800 km3.
Faktor-Faktor Degradasi Lahan Faktor degradasi lahan umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami
Universitas Sumatera Utara
penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak atau curah hujan yang intensif. Faktor degradasi lahan akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan dengan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri serta bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Faktorfaktor tersebut di Indonesia terjadi secara simultan. Deforestasi adalah langkah permulaan pada proses degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah ditelantarkan atau digunakan masyarakat sebagai ladang. Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan
bahan
organik
tanah,
aktivitas
perakaran
tanaman
dan
mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah
Universitas Sumatera Utara
(soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Pada saat hujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat (Suprayogo et al.,2001). Secara umum, telah disepakati bahwa faktor penyebab degradasi lahan baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas lahan. Pada kasus tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai, Kalimantan. Lahjie (1989) menyimpulkan bahwa kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, seperti pada jekau betiq muda (vegetasi tumbuh ø 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan dengan tanah ladang tidak subur. Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah terjadi penurunan produktivitas lahan disebabkan oleh erosi, sehingga tanah kehilangan lapisan atas
Universitas Sumatera Utara
yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman dan tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman. Angka deforestrasi rata-rata tahunan periode 2006-2009 di Indonesia mencapai 0,83 juta hektar per tahun. Deforestrasi ini terjadi di dalam dan di luar kawasan hutan. Deforestrasi terbesar terjadi di kawasan hutan (73,4 %), sedangkan di luar kawasan hutan, deforestrasi terjadi sebesar 26,6 %. Sementara itu, angka degradasi hutan Indonesia pada periode tahun yang sama mencapai 446,9 ribu hektar per tahun (Pusat Data dan Informasi KLH dan Kehutanan, 2015). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun. Tanah hutan mampu melepas N tersedia 30 mg N kg-1 tanah dalam 7 hari, sedangkan pada hutan yang telah ditebang 6 bulan sebesar 26,5 mg N kg-1 tanah, dan apabila digunakan untuk pertanian maka N tersedia yang dapat dilepas tinggal 20 mg N kg-1 tanah. Degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya biota tanah dan memburuknya sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Dibandingkan dengan tanah non terdegradasi, maka tanah terdegradasi lebih rendah 38% C organik tanah, 55% lebih rendah basa-basa dapat ditukar,
Universitas Sumatera Utara
56% lebih rendah biomass mikrobia, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH tanah non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi. Proses Degradasi Lahan Lima proses utama yang terjadi timbulnya lahan terdegradasi, yaitu: menurunnya
bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986). Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting terjadinya degradasi lahan, yaitu: 1) Degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat 2) Degradasi kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur lainnya 3) Degradasi biologi berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah. Best Management Practice PT Socfin Indonesia Best management practice (BMP) di PT Socfin Indonesia sesuai dengan Prosedur Sistem Manajemen (PSM) Budidaya Kelapa Sawit Revisi 02 Tahun 2015, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tanaman Ulangan/ Peremajaan (replanting) Penumbangan Pohon Dengan menggunakan excavator pohon kelapa sawit ditumbang sekaligus dengan membongkar bonggol akar (ball tissue), kemudian batang kelapa sawit dicincang (chipped) dengan ketebalan maksimal 10 cm. Ex. chipping diserak secara merata, sehingga dipastikan tidak akan menjadi breeding site untuk hama Oryctes rhinoceros. Semua pekerjaan mengikuti prinsip Zero Burning. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dengan melakukan Ripping dan Subsoiling.
Ripping dilakukan dengan kedalaman 60-65 cm dan Subsoiling kedalaman 23-28 cm.
Pekerjaan ripping dilakukan menggunakan buldozer yang dilengkapi dengan garpu khusus (3 garpu yang masing-masing berjarak 100 cm dengan panjang 90-100 cm) pada saat sebelum/sesudah pembongkaran pohon kelapa sawit tua dilakukan menyerong 2 arah mata lima. Setelah riping dilakukan subsoling menggunakan mata cangkul dilakukan serong pada 2 arah mata lima.
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan Teras Bersambung
Merencanakan dan menentukan jumlah fisik teras, panjang dan mutu teras di lokasi yang membutuhkan teras bersambung pada areal yang bergelombang/perengan dengan kemiringan > 8%.
Melakukan pemancangan rencana teras bersambung berdasarkan contour lapangan, dan menentukan posisi memulai pekerjaan serta mengarahkan pekerjaan di lapangan.
Melakukan pembuatan teras bersambung secara manual atau mekanis dengan excavator atau buldozer sesuai dengan rencana dan standard mutu yang telah ditentukan.
Memancang Tanaman dan Pembuatan Lobang Tanaman
Menentukan titik awal pancang dan titik pancang per barisan tanam.
Pemasangan pancang lubang tanam dilakukan mengikuti pola segitiga sama sisi dengan jarak antar titik tanam 9 m.
Menentukan posisi memulai pekerjaan pembuatan lobang tanam yang mengikuti pancang lubang tanam.
Melakukan pembuatan lobang tanaman berukuran diameter 60 cm dan kedalaman 60 cm pada lokasi titik tanam dengan menggunakan alat “hole digger” dengan wheel tractor. Pada lokasi yang sulit dijangkau oleh wheel tractor (seperti pada areal rendahan) maka lobang tanaman dibuat secara manual dengan ukuran lobang 60 cm x 60 cm dan kedalaman 60 cm.
Universitas Sumatera Utara
Penanaman Kacangan Penutup Tanah
Seluruh areal peremajaan atau konversi harus ditutup dengan tanaman penutup tanah (legume cover crop) secara murni (pure) dengan spesies Mucuna bracteata, atau dapat juga menggunakan jenis Colopogonium caeruleum (CC) atau kombinasi Pueraria javanica (PJ) + Colopogonium mucunoides (CM). Walaupun ada beberapa jenis tanaman kacangan, namun prioritas utamanya adalah Mucuna bracteata (MB) karena biomassa lebih tinggi, lebih tahan kering, relatif tidak ada hama penyakit, dan tidak disukai ternak.
Kebutuhan MB = 700 stek.ha-1 sudah termasuk untuk sisipan.
Pekerjaan meliputi menentukan kebutuhan bibit kacangan yang akan ditanam, jadwal pembibitan dan penanaman, serta kebutuhan tenaga kerja.
Melakukan penanaman tanaman kacangan di lapangan. Pekerjaan penanaman kacangan meliputi pemancangan, membuat lobang tanam, menanam bibit kacangan, mulching dan penyiraman bila perlu.
Pemupukan setiap stek kacangan sebanyak 10 gr atau 7 kg.ha-1.
Penanaman Kelapa Sawit
Merencanakan dan menentukan jadwal penanaman (dilakukan pada Mei – Juli), transportasi bibit ke lapangan, dan kebutuhan tenaga kerja. Disamping itu ditentukan juga lokasi penanaman per jenis persilangan atau per-progeny tanaman.
Melakukan penanaman bibit kelapa sawit di lapangan sesuai dengan posisi titik tanam yang telah ditentukan. Pekerjaan yang dilakukan meliputi
Universitas Sumatera Utara
mengecer/distribusi bibit ke lobang tanam, memberikan pupuk Rock Posfat 0.5 kg.pohon-1 pada lobang tanam, menanam bibit serta menimbun lobang tanam dan memadatkan tanah timbunan lobang dengan menginjakinjak mengunakan tumit. Pemeliharaan Tanaman Pengendalian Gulma di Piringan dan Gawangan
Merencanakan jadwal pengendalian gulma baik secara manual maupun kimia sesuai dengan kondisi gulma di lapangan dan menentukan keperluan tenaga kerja dan bahan kimia.
Melakukan penyiangan gulma secara manual baik yang terdapat dipiringan maupun di sekeliling tanaman kacangan penutup tanah.
Penyiangan
dilakukan dengan pusingan 1 x dalam 2 minggu selama 12 bulan.
Disamping itu dilakukan kombinasi penyemprotan dengan herbisida untuk gulma diantara tanaman kacangan, dengan pusingan 2 x sebulan selama 4 bulan pertama, dan selanjutnya 1 x sebulan.
Pemupukan Tanaman Belum Menghasilkan
Melaksanakan aplikasi pemupukan sesuai dengan petunjuk pada Booklet Pemupukan, dan merencanakan kebutuhan alat transport serta kebutuhan tenaga kerja pemupukan.
Melaksanakan aplikasi pupuk di lapangan sesuai jadwal dan standard mutu yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Rekomendasi pemupukan pada TBM dan TM (umur 3 – 5 tahun) Umur (bulan)
N.P.K.Mg 15-15-15
Urea
Kacangan (LCC)
R.p
TSP
KCl
Dolomite Kieserite
Borax
10 gr/stek (7 kg/ha)
Tanaman Baru (N0) Lubang Tanam 500 1 200 3 300 Total 300 200 500 Tanaman Belum Menghasilkan / TBM (N1) 6 300(3) 9 1000 12 400(3) 13 15 1500 Total 2500 700 Tanaman Belum Menghasilkan / TBM (N2) 18 500 21 1000 24 1000 Total 2500 Tanaman Menghasilkan / TM (N3) Apli. I 1300 2000 Apli. II 1500 Total 2800 2000 Tanaman Menghasilkan / TM (N4) Apli. I 1500 2000 Apli. II 1250 Total 2750 2000 Tanaman Menghasilkan / TM (N5) Apli. I 1500 1250 Apli. II 1250 Total 2750 1250
10 10 450
450 500 500 1000
20 30 50 50 150 75
1250 1500 2750 1500 1500 3000 1500 1500 3000 1500 1500 3000
700 700
100 175
700
100 100 200
700 750
100
750
100
1250
100
1250
100
Sumber : Socfin Indonesia, 2015 Pemupukan di Tanaman Menghasilkan:
Menentukan jenis pupuk, dosis, cara dan waktu aplikasi pupuk sebagai pedoman pada Booklet Pemupukan, kebutuhan alat transport serta kebutuhan tenaga kerja pemupukan.
Dosis pupuk/pohon ditentukan berdasarkan hasil analisa sampel daun setiap tahun dan hasil analisa sampel tanah 1 x 5 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pada blok-blok dengan kondisi tanah marginal, seperti: berpasir, berbatu atau yang memiliki kadar liat tinggi diberikan pupuk organik berupa janjang kosong dan solid ex decanter pabrik (solid). Pada tahun pertama, aplikasi janjang kosong dengan dosis 45 Ton.Ha-1, dan pada tahun kedua diaplikasi solid dengan dosis 45 Ton.Ha-1.
Pada TM kelapa sawit Generasi 3 dan Generasi 4 agar diaplikasikan janjang kosong dengan dosis 45 Ton.Ha-1 dengan frekuensi 1x 2 tahun.
Universitas Sumatera Utara