SALINAN
PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang
: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah secara berdaya guna dan berhasil guna, khususnya untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum, ketertiban masyarakat serta penegakan peraturan perundang-undangan di Kabupaten Lamongan, telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamongan; b. bahwa sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, dan Pengambilan Sumpah atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, maka Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamongan perlu untuk dilakukan penyesuaian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Lamongan.
2
Mengingat
: 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Diumumkan dalam Berita Negara pada tanggal 8 Agustus 1950); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Reoublik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 5234); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
3
10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5298); 14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah; 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694); 18. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-04PW.07.03 Tahun 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil; 19. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, dan Pengambilan Sumpah atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil; 20. Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 22 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Lamongan (Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2007 Nomor 16/E).
4
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMONGAN dan BUPATI LAMONGAN MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah, adalah Kabupaten Lamongan. 2. Pemerintah Daerah, adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Menteri, adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 4. Kepala Daerah, adalah Bupati Lamongan. 5. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS, adalah setiap warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Penyidik, adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat PNS yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 7. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS, adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah. 8. Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disingkat Diklat PPNS Daerah, adalah suatu kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas PNS dibidang penyidikan Peraturan Daerah. 9. Penyidikan, adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. BAB II KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 (1) Dalam Peraturan Daerah ini ditetapkan PPNS di Daerah.
5
(2) Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugasnya berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Bagian Kedua Tugas Pasal 3 (1) Pejabat PPNS mempunyai tugas melakukan penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah. (2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat PPNS berada dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Pejabat Kepolisian RI. Bagian Ketiga Wewenang Pasal 4 (1) Pejabat PPNS mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan daerah; b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik Kepolisian bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya; i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Pejabat PPNS tidak berwenang untuk melakukan penangkapan atau penahanan. Pasal 5 (1) Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pejabat PPNS berkewajiban membuat berita acara setiap tindakan : a. pemeriksaan tersangka; b. memasuki rumah dan/atau tempat tertutup lainnya; c. penyitaan barang; d. pemeriksaan surat; e. pemeriksaan saksi; f. pemeriksaan di tempat kejadian. (2) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diteruskan kepada Kejaksaan Negeri melalui penyidik kepolisian.
6
BAB III PELAKSANAAN TUGAS Pasal 6 (1) Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugasnya mentaati peraturan perundangan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab. (2) Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip-prinsip : a. integritas, yaitu memiliki kepribadian yang dilandasi oleh unsur jujur, berani, bijaksana dan bertanggungjawab; b. kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya; c. obyektifitas, yaitu menjunjung tinggi ketidakperpihakan dalam melaksanakan tugasnya; dan d. independensi, yaitu tidak terpengaruh adanya tekanan atau kepentingan pihak manapun. (3) Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib bersikap dan berperilaku sesuai dengan kode etik. BAB IV KODE ETIK Pasal 7 Kode Etik Pejabat PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi: a. mengutamakan kepentingan Negara, Bangsa, dan Masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan; b. menjunjung tinggi HAM; c. mendahulukan kewajiban daripada hak; d. memperlakukan semua orang sama di muka hukum; e. bersikap jujur dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas; f. menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah; g. tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi-saksi; h. tidak mempublikasi antara cara taktik dan teknik penyidikan; i. mengamankan dan memelihara barang bukti yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara; j. menjunjung tinggi hukum, norma yang hidup dan berlaku di masyarakat, norma agama, kesopanan, kesusilaan dan HAM; k. senantiasa memegang teguh rahasia jabatan atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan; l. menghormati dan bekerjasama dengan sesama pejabat terkait dalam sistem peradilan pidana; dan m. dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaian.
7
BAB V SYARAT DAN TATA CARA PENGANGKATAN Pasal 8 (1) Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri. (2) Untuk dapat diangkat menjadi Pejabat PPNS harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. masa kerja sebagai PNS paling singkat 2 (dua) tahun; b. berpangkat paling rendah Penata Muda (III/a); c. berpendidikan paling rendah Sarjana Hukum atau Sarjana lain yang setara; d. bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; f. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) PNS paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan g. mengikuti dan lulus Diklat di bidang penyidikan. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f diajukan kepada Menteri melalui Kepala Daerah. (4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g diselenggarakan oleh Kepolisian Republik Indonesia bekerjasama dengan instansi terkait. Pasal 9 (1) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f terpenuhi, Menteri memberitahukan nama calon pejabat PPNS kepada Kepala Daerah. (2) Kepala Daerah mengajukan nama calon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengikuti Diklat di bidang penyidikan. Pasal 10 (1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) calon pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia. (2) Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan masing-masing dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pertimbangan diajukan oleh Kepala Daerah. (3) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia dianggap menyetujui.
8
(4) Dalam hal pertimbangan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia telah diterima, Kepala Daerah menyampaikan surat pertimbangan beserta surat tanda tamat Diklat di bidang penyidikan kepada Menteri. (5) Dalam hal pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diberikan, Kepala Daerah menyampaikan surat tanda tamat Diklat di bidang penyidikan kepada Menteri dengan melampirkan bukti asli tanda terima penyampaian permohonan pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Pasal 11 (1) Kepala Daerah mengusulkan pengangkatan pejabat PPNS kepada Menteri. (2) Ketentuan persyaratan mengenai usulan pengangkatan pejabat PPNS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. BAB VI PELANTIKAN DAN PENGAMBILAN SUMPAH ATAU JANJI Pasal 12 (1) Sebelum menjalankan jabatannya, calon pejabat PPNS wajib dilantik dan mengucapkan sumpah atau menyatakan janji dihadapan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pelantikan dan pengambilan sumpah atau janji bagi pejabat PPNS dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri. (3) Lafal sumpah/janji pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Demi Allah, saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya, untuk diangkat menjadi pejabat penyidik pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah yang sah; Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; Bahwa saya, akan senantiasa menunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan mertabat pejabat penyidik pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya”.
9
(4) Berita acara pelantikan dan pengambilan sumpah atau janji yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia wajib dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah atau janji dilaksanakan. BAB VII KARTU TANDA PENGENAL Pasal 13 (1) PNS yang telah diangkat menjadi pejabat PPNS diberi kartu tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Menteri. (2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keabsahan wewenang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. BAB VIII PERUBAHAN STRUKTUR ORGANISASI DAN MUTASI PEJABAT PPNS Pasal 14 (1) Dalam hal terjadi perubahan struktur organisasi dan mutasi pejabat PPNS, Kepala Daerah wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Menteri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal keputusan tentang mutasi ditetapkan. (2) Selain kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah mengajukan usul pengangkatan kembali pejabat PPNS kepada Menteri. (3) Ketentuan mengenai usulan pengangkatan kembali pejabat PPNS ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. BAB IX PEMBERHENTIAN Pasal 15 (1) Pejabat PPNS diberhentikan dari jabatannya, karena : a. diberhentikan sebagai PNS; b. tidak bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum; atau c. atas permintaan sendiri secara tertulis. (2) Pemberhentian pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan Kepala Daerah kepada Menteri disertai alasannya, dengan dilampiri : a. fotokopi keputusan tentang pengangkatan pejabat PPNS; b. fotokopi keputusan tentang kenaikan pangkat PNS terakhir yang dilegalisir; c. asli kartu tanda pengenal pejabat PPNS. (3) Menteri mengeluarkan surat keputusan pemberhentian pejabat PPNS dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat pengusulan pemberhentian.
10
BAB X HAK Pasal 16 (1) Pejabat PPNS disamping memperoleh hak-haknya sebagai PNS sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian, diberikan uang insentif. (2) Besarnya uang insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan keuangan daerah. BAB XI PEMBINAAN DAN HUBUNGAN KERJA Pasal 17 (1) Pembinaan pejabat PPNS dilaksanakan oleh Kepala Daerah bekerjasama dengan instansi penegak hukum. (2) Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian. Pasal 18 (1) Hubungan pejabat PPNS dengan pejabat PPNS Daerah lainnya dalam pelaksanaan tugasnya: a. mampu bekerja sama dan berkoordinasi dengan pejabat PPNS Daerah lainnya dan instansi terkait; b. menumbuhkan dan memelihara rasa kebersamaan; c. saling mengingatkan, membimbing, dan mengoreksi perilaku; dan d. mentaati dan menjalankan perintah atasan. (2) Hubungan PPNS dengan pihak yang diperiksa wajib: a. menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan c. bersikap independen dalam melaksanakan penyidikan. BAB XII PEMBIAYAAN Pasal 19 Biaya pelaksanaan tugas penyidikan dan pembinaan pejabat PPNS dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lamongan. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamongan (Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 1988 Nomor 1/C), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
11
Pasal 21 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan. Ditetapkan di Lamongan pada tanggal 8 Nopember 2013 BUPATI LAMONGAN, ttd. FADELI Diundangkan di Lamongan pada tanggal 19 Nopember 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMONGAN, ttd. YUHRONUR EFENDI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN TAHUN 2013 NOMOR 12 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Hukum,
A.FARIKH
12
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN I.
UMUM Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah secara berdaya guna dan berhasil guna, khususnya untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum, ketertiban masyarakat serta penegakan peraturan perundang-undangan di Kabupaten Lamongan, telah ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Selanjutnya dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.01.AH.09.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian, Mutasi, dan Pengambilan Sumpah atau Janji Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk, Ukuran, Warna, Format, serta Penerbitan Kartu Tanda Pengenal Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, maka Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamongan perlu untuk dilakukan penyesuaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini dimaksudkan untuk menyamakan pengertian atau menyamakan arti dalam penggunaan beberapa istilah yang dipergunakan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 (ayat 2) Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Pejabat PPNS dalam setiap melaksanakan tugas berkewajiban untuk melaporkan serta bertindak berdasarkan koordinasi dan pengawasan Penyidik Pejabat Kepolisian Negara RI.
13
Pasal 4 (ayat 2) Yang dimaksud dalam ayat ini adalah dikecualikan bagi pelanggaran tertangkap tangan. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas.
14
Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas.