perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA
SKRIPSI
Oleh: ROSIANA RAHAYU K6407011
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA
Oleh ROSIANA RAHAYU K6407011
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Rosiana Rahayu. PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. November 2011. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. (2) Mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (3) Mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa, tempat atau lokasi, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data, trianggulasi metode dan review informan. Analisis data menggunakan analisis data model interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya sebatas pemahaman moral saja sedangkan sebagian narapidana residivis belum memiliki perasaan moral dan tindakan moral juga belum terbentuk. (2). Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi warga negara yang baik (good citizen) sebab sebanyak 70 % narapidana residivis tidak terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Hal tersebut diketahui bahwa dari 10 narapidana residivis yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%). Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana sehingga arah pembinaan moral yang sesuai tujuan pemasyarakatan tidak tercapai. (3). Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, sarana dan prasarana yang menunjang, motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis terkait pembentukan good citizen meliputi: perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, dan stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Rosiana Rahayu. CREATING GOOD CITIZEN IN THE FIRST CLASS OF SURAKARTA PENITENTIARY. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University. October 2011.
moral in the First Class of Surakarta penitentiary relative to the crime building in creating good citizen in the First Class of Surakarta Penitentiary, and moral building in the First Class of Surakarta Penitentiary relative to creating good citizen. This study employed a descriptive qualitative method with a single embedded research strategy. The data source used consisted of informant, event and document. The sampling technique used was purposive sampling and snowball sampling. Techniques of collecting data used were interview, observation, and document analysis. Data validity was obtained using data and method triangulation techniques and review informant. The data analysis was done using an interactive analysis encompassing data reduction, data display and conclusion drawing. Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the recurrent ry is only limited to moral conception. It is because their moral feeling and moral action have not been established. (2) The implementation of moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary has not successfully created the recurrent prisoners into good citizens because any 70% the recurrent formed as a education morality person. Is known that 10 people prisoners who has morality consciousness while only 40 % whereas in term of moral only 2 people (20%). In addition, some recurrent prisoners still repeat the criminal action so that the direction of moral building consistent with the objective of moral building has not been achieved. (3) The factors supporting the moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary supporting the implementation of building, supporting infrastructures, moral r the negative stigma among the society, and good supervision during the building process. moral building relative to the good citizen creation includes the recurrent s not-good behavior during building process, the difference of
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Kotornya akhlak itu lebih besar bahayanya dari pada kotornya materi. Maka, wajib bagi setiap individu untuk membersihkan jasmani dan rohaninya sebelum memasuki kehidupan baru (Dr. Kasis Karel)
Sesungguhnya kerendahan moral itu adalah tantangan yang paling besar yang sangat ditakuti manusia. Dan, keutamaan moral itu adalah suatu harapan yang paling besar yan (Plato)
Mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, mereka yang menyuruh mungkar dan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan. Maka, mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh (Al-
Surat Ali-Imron: 114)
Akhlak yang baik bergantung pada kesiapan diri untuk berakhlak. Manusia menjadi adil karena menegakkan keadilan, menjadi bijaksana karena menekuni kebijaksanaan, dan menjadi berani karena bertindak berani. Untuk mewujudkannya, perlu niat, usaha keras, dan pembiasaan maka, hasil yang diperoleh akan memuaskan (Penulis)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan
restu
dalam
setiap
perjalanan hidup Kakak-kakak kandung tersayang, Eko Rosdianto dan Windi Rosdiana yang telah memberikan doa dan motivasi Priema
Ariz
Setiawan
yang
selalu
mendokan dan memberikan dukungan Teman-teman PPKn angkatan 2007 yang selalu memberikan semangat Sahabat terbaik Nur Aprilia, Indriyani, Rizki Tri. K, dan Sri Sulastri yang selalu membantu dan memberikan semangat Almamater
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini. 2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 4. Dr. Winarno, S.Pd, M.Si., selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Triana Rejekiningsih, SH, KN, MP.d., selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Drs. E. Sunar Ardinarto, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan. 7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Petugas dan penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang dengan senang hati membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini. 9. Semua pihak yang membantu penulis baik moril maupun materiil yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena
keterbatasan
penulis.
Dengan
segala
kerendahan
hati,
penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, November 2011
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................
v
ABSTRACT .......................................................................................................
vi
MOTTO ...........................................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................
8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
9
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................
10
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................
10
1. Tinjauan tentang Moral ..............................................................
10
2. Tinjauan tentang Pembinaan Moral ...........................................
27
3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan............................................
32
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis ......................................
38
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan ...........................................................................
47
6. Tinjauan tentang Good Citizen ...................................................
59
7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral .......
64
8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pembinaan Moral di Lembaga Pemasyarakatan ........................
commit to user xi
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Berfikir ...........................................................................
71
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................
74
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
74
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................
75
C. Sumber Data ...................................................................................
77
D. Teknik Sampling .............................................................................
80
E. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................
82
F. Validitas Data ..................................................................................
86
G. Analisis Data ...................................................................................
89
H. Prosedur Penelitian ..........................................................................
92
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................
94
A. Deskripsi Lokasi Penelitian .............................................................
94
1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ....................
94
2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..
98
3. Proses Penerimanaan, Pendaftaran dan Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .............................. 102 4. Kondisi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..................................................................................... 105 5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..................... 108 6. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan Berbagai Instansi yang Terkait dengan Pelaksanaan Pembinaan .............................................................. 111 B. Deskripsi Permasalahan Penelitian .................................................. 112 1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan ................................................................................... 112 2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .......................................................................... 138 3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait Pembentukan Good Citizen ............................ 172 C. Temuan Studi................................................................................... 194
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .................................... 214 A. Kesimpulan ...................................................................................... 214 B. Implikasi .......................................................................................... 217 C. Saran ................................................................................................ 218 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 221 LAMPIRAN ..................................................................................................... 225
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian................................................................ 75 Tabel 2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta per Bulan Juni 2011 ..................................................................................... 106 Tabel 3. Daftar Nama Narapidana Residivis per Bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ................................................... 107 Tabel 4. Petugas Pembinaan atau Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ................................................................................................ 109 Tabel 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ................................................................................................ 113 Tabel 6. Hasil
Identifikasi
Bentuk-Bentuk
Tindak
Pidana
yang
Dilakukan oleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011. ...................................................... 115 Tabel 7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011. ................................................................................................ 130 Tabel 8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana ................................ 135 Tabel 9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ................................ 150 Tabel 10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. .................................................. 160 Tabel 11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ................................................................................................ 162 Tabel 12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen. ................................................................................................ 166 Tabel 13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tahun 2009-2011 ................................................................170
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan ............................................................ 53
Gambar 2.
Skema Kerangka Berfikir ................................................................73
Gambar 3.
Analisis Data Model Interaktif ................................................................ 92
Gambar 4.
Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ................................................................................................ 99
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Daftar Informan.......................................................................................... 225
Lampiran 2.
Data Jumlah Residivis Tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .............................................................. 227
Lampiran 3.
Jadual
Kegiatan
Pembinaan
Bagi
Warga
Binaan
Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ................................................................................................ 234 Lampiran 4.
Hasil Evaluasi Perkembangan Diri Narapidana Residivis yang Belum Menunjukkan Perilaku yang Baik Ditinjau dalam
Laporan
Perkembangan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan Tahun 2011................................................................ 236 Lampiran 5.
Pedoman Wawancara ................................................................242
Lampiran 6.
Catatan Lapangan dengan Narapidana residivis ................................ 246
Lampiran 7.
Catatan Lapangan dengan Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta................................................................ 268
Lampiran 8.
Catatan Lapangan dengan Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta................................................................ 284
Lampiran 9.
Catatan Lapangan dengan Perwakilan dari Narapidana Residivis ................................................................................................ 299
Lampiran 10. Foto-Foto Hasil Observasi ................................................................ 307 Lampiran 11. Trianggulasi Data ....................................................................................... 313 Lampiran 12. Trianggulasi Metode ................................................................321 Lampiran 13. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan FKIP UNS ................................................................................................ 330 Lampiran 14. Surat Keputusan Dekan FKIP
UNS Tentang Ijin
Penyusunan Skripsi ................................................................ 331 Lampiran 15. Surat Permohonan
Ijin Research/ Penelitian Kepada
Rektor UNS ................................................................................................ 332 Lampiran 16. Surat Permohonan Pengantar Ijin Penelitian Kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jawa Tengah di Semarang................................................................ 333 Lampiran 17. Surat Ijin Penelitian dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah di Semarang ...................... 334 Lampiran 18. Surat Ijin Masuk untuk Mengadakan Penelitian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .............................................................. 335 Lampiran 19. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ............................................................. 336
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum atau rechstaat. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) disebutkan dengan tegas bahwa Pasal tersebut mengandung arti bahwa, hukum memegang kekuasaan tertinggi. Setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan berhak untuk memperoleh persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Hal tersebut dipertegas dalam bunyi pasal 27 ayat (1) warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib
Selanjutnya, dalam bunyi pasal 28 D ayat (1) yang disebutkan bahwa orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan keadilan. Hukum
merupakan
salah
satu
pranata
yang
dibutuhkan untuk
mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia yang menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh serta dilarang dalam rangka menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat. Selain itu, hukum diperlukan guna mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam masyarakat. Timbulnya kejahatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat. Pada awalnya, manusia dalam melangsungkan kehidupan berawal dari hasrat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan seseorang dalam keadaan ekonomi buruk akan kesulitan memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia terdorong melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada khususnya dan kehidupan negara pada umumnya. Pada dasarnya, segala macam bentuk kejahatan menimbulkan dampak buruk yang merugikan baik terhadap diri pelaku kejahatan tersebut maupun masyarakat luas. Oleh sebab
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
itu, diperlukan sanksi pidana dalam upaya menanggulangi kejahatan. Sanksi pidana merupakan salah satu sarana yang paling efektif yang digunakan dalam menanggulangi kejahatan. Sebab, sanksi pidana diberikan agar pelanggar jera atas perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi kejahatan kembali. Sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang menyebutkan tentang pidana pokok dan pidana tambahan. meliputi: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim . (Moelyatno, 2003: 56). Penerapan sanksi pidana tersebut diatur dalam sistem hukum di Indonesia yang dikenal dengan pemidanaan. Seiring dengan perkembangan masalah-masalah pemidanaan yang terjadi di dunia barat, pandangan dan sikap hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dalam negara khususnya kepenjaraan baru diwujudkan pada tahun
1963
dengan
mengubah
sistem
kepenjaraannya
menjadi
sistem
pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia, khususnya dalam kerangka hukum pidana. Tujuan pembinaan dalam pemidanaan adalah agar narapidana tidak mengulangi kembali perbuatannya dan bisa menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima kembali menjadi bagian dari anggota masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwidja Priyatno (2006: 53-54) mengatakan bahwa,
danaan meliputi
pencegahan, pembinaan, keseimbangan masyarakat, dan pembebasan rasa bersalah
Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pencegahan berarti mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Pembinaan berarti memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna. Pembinaan dilakukan dengan merehabilitasi tetapi juga meresosiliasi terpidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
3. Keseimbangan ditimbulkan
dalam oleh
mendatangkan
rasa
masyarakat
tindak damai
berarti
penyelesaian
pidana,
memulihkan
dalam
masyarakat.
konflik
keseimbangan, Dimaksudkan
yang dan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana yang telah dilakukan. 4. Pembebasan rasa bersalah berarti membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Tujuannya bersifat spiritual yang dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, disebutkan pula dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa: Tujuan pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. (Dwidja Priyatno, 2006: 180). Pola pembinaan terhadap narapidana di Indonesia didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua ditegaskan bahwa: Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun warga negara yang meyakini pribadinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa (Ismail Sholeh, 1990: 3). Berdasarkan peraturan tersebut maka, pola pembinaan di lembaga pemasyarakatan diberikan melalui pembinaan mental seperti pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. Arah pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus dimulai dengan membentuk moral narapidana sebab, moral yang baik akan menangkal seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Sebagaimana yang diungkapkan menurut filosof Jerman Kenith dalam Miqdad Yaljan (2004:21) menyatakan bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Sesungguhnya manusia tidak akan sampai pada kesempurnaan, kecuali melalui pendidikan. Melalui pendidikan dapat mencerdaskan dan membuat hati baik. Jadi akhlak tidak hanya berbicara tentang tingkah laku (perbuatan) yang telihat dengan kasat mata, tetapi lebih dari pada itu membersihkan jiwa dari segala perbuatan hina dan jahat bahkan menghiasinya dengan segala sisi keutamaan secara lahir dan batin. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan warga binaan sangat tergantung oleh faktor narapidana itu sendiri, bentuk pembinaan, dan pranata hukum. Selama ini, perhatian banyak diberikan terhadap lembaga-lembaga hukum yang bergerak langsung dalam penegakan hukum baik di lembaga pembuat undang-undang maupun pihak yang bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya seperti polisi, hakim ataupun jaksa. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah peran serta masyarakat yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan pembinaan narapidana. Masyarakat memiliki peranan yang sangat berarti dalam proses resosialisasi narapidana yang saat ini masih sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan, setelah narapidana selesai menjalani hukumannya kemudian siap kembali ke masyarakat, tidak jarang muncul permasalahan misalnya dikarenakan kurang siapnya masyarakat menerima mantan narapidana serta sulitnya narapidana memperoleh pekerjaan. Perhatian tersebut dirasa kurang oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan dalam suatu lembaga pemasyarakatan yang masih kurang. Salah satu diantaranya masih ditemukan residivis atau pelaku pidana yang pernah menjalani pemidanaan dalam suatu lembaga pemasyarakatan dan kemudian mengulangi kembali tindak pidana. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari berbagai sumber informasi ternyata, masih banyak residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana setelah keluar dari dari lembaga pemasyarakatan khususnya di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun data-data narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana adalah sebagai berikut: Operasi Sikat Lindas Bandar (Silindar) yang digelar dalam setahun terakhir, terdapat 117 pengedar dan pengguna narkotika dan obat terlarang (narkoba) ditangkap petugas Polresta Surakarta. Ratusan tersangka yang berasal dari berbagai kelompok sindikat maupun perseorangan yang diringkus polisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Termasuk di dalamnya seorang mantan narapidana residivis. (Suara Merdeka, tanggal 13 Maret 2011 dikutip dalam http://suaramerdeka.com/v1/indeks Php/read/news ). Fakta lainnya dalam sebuah media massa yang menyebutkan ditemukan seorang residivis di Solo, Jawa Tengah, kembali berurusan dengan polisi karena mencuri beberapa handphone tempat counter di kawasan Sumber, Banjarsari pada hari Selasa (10/2/2011). Tersangka bernama, Agus Waluyo sebenarnya baru saja keluar dari penjara satu bulan lalu karena mencuri. (Antara News, tanggal 10 Maret
2011
dikutip
dalam
http://antaranews.hileud.com/
hileudnews
/title=residivis kembali berurusan dengan polisi &id =226380 ). Fakta selanjutnya menyebutkan seorang residivis kembali diciduk aparat Satuan Reskrim Polres Karanganyar, Jawa Tengah, karena memiliki 0,2 gram shabu. Tersangka bernama Sardi Haryanto alias Penguk, ditangkap di rumahnya di Dusun Jumog, Desa Jaten, Karanganyar. Sebelumnya, Sardi pernah mendekam di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta karena kasus narkoba pada tahun 2005. (Harian
Joglo
Semar,
tanggal
12
April
2010
dikutip
dalam
http://harian.joglosemar.com ). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bahwa banyak kejahatan yang dilakukan residivis. Hal ini menunjukkan bahwa, para pelaku tindak pidana yang dikategorikan residivis belum jera setelah mereka menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Kenyataan ini kemudian mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan bahwa, bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana residivis selama ini. Sampai dimanakah efek positif yang di dapat dari proses pembinaan yang pernah diberikan petugas pemasyarakatan kepada pelaku kejahatan khususnya narapidana residivis. Tindak kejahatan yang dilakukan berulang-ulang oleh residivis mungkin ada yang salah dalam mekanisme pembinaan sehingga tujuan dari pemidanaan dalam upaya mencegah narapidana residivis untuk tidak mengulangi tindak pidana kembali belum tercapai. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh residivis menunjukkan bahwa residivis mengalami masalah moral. Dikatakan demikian sebab, mereka masih tetap melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
hukum. Oleh sebab itu, perlu mengetahui bagaimana moral residivis selama ini. Apa yang menyebabkan residivis melakukan tindakan tidak bermoral yaitu pengulangan tindak pidana. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi khususnya Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk melaksanakan pembinaan moral bagi narapidana residivis dalam upaya membentuk perilaku moral yang baik sehingga pada akhirnya setelah ia keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mampu menjadi manusia normal yang mengemban tugasnya sebagai warga negara yang baik dalam memajukan pembangunan nasional. Pembinaan terhadap narapidana residivis diharapkan menjadi perhatian khusus oleh pembina pemasyarakatan.
Pembina
pemasyarakatan
diharapkan
memiliki
metode
pembinaan yang tepat bagi narapidana kambuhan seperti residivis. Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan merupakan insan dan sumber daya manusia yang masih memiliki potensi untuk dikembangkan dalam kemajuan pembangunan negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) berbunyi bahwa
etiap warga negara ,
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tidak terkecuali bagi narapidana residivis. Dengan harapan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, ia dapat melaksanakan perannya sebagai warga negara yang baik (good citizen) untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk menjadi warga negara yang baik, memerlukan sejumlah kompetensi kewarganegaraan
yang meliputi
pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan nilai warga negara (civic knownladge, civic skills, dan civic value). Bagi narapidana, penguasaan mengenai kompetensi kewarganegaraan dapat diperoleh melalui pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan. Rumah
Tahanan
Negara
Klas
1
Surakarta
sebagai
lembaga
pemasyarakatan melaksanakan pembinaan moral berdasarkan pemasyarakatan. Tujuan pembinaan diarahkan agar narapidana dapat memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kembali perbuatan tindak pidana, serta mampu berintegrasi dengan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan moral diberikan dengan berbagai program
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
pembinaan. Salah satu program pembinaan yang diselenggarakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah pembinaan kesadaran agama islam. Pada awal tahun 2009 Rutan mendirikan pondok pesantren dalam Rutan sebagai bentuk kegiatan pembinaan kesadaran agama islam. Menurut keterangan Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta, Bapak Agustiyar Ekantoro di Solo menjelaskan bahwa, pondok pesantren yang didirikan di dalam Rutan Klas 1 Surakarta merupakan yang pertama di Indonesia. Pendirian pesantren tersebut, merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan narapidana. Program dari pesantren diharapkan dapat sinergi dengan proram rehabilitasi yang dimiliki Rutan. Sementara itu, pendiri Yayasan Wisata Hati, Ustad Mansur mengatakan bahwa pendirian pesantren di dalam Rutan ini, merupakan keinginan dari para narapidana yang menjadi warga binaan Rutan Klas I Surakarta. Respon untuk mendirikan pesantren tersebut oleh pihak Rutan dan Departemen Hukum dan HAM sangat berguna sekali dalam membantu narapidana agar lebih bisa diterima kembali oleh masyarakat ketika masa pidana narapidana telah berakhir. (Antara News, tanggal 13 Oktober 2009 halaman 7). Pembinaan yang diberikan kepada narapidana bertujuan membentuk mental narapidana agar memiliki moral yang baik diharapkan dapat membentuk watak dan mampu menyerap nilai-nilai positif dari program-program pembinaan yang telah diberikan. Watak yang dimaksud disini merupakan kualitas individu dalam mengaktualisasikan potensinya berupa sikap atau perilaku sesuai tuntutan hidup atas dasar nilai, norma, dan moral yang menjadi komitmennya. Menurut W. L Dewarant dalam Miqdad Yaljan (2004: 76) menyampaikan bahwa
-
faktor yang dapat membangun dan menjaga peradaban adalah akhlak. Andaikata faktor-faktor ini hilang dapat dipastikan bahwa dasar-dasar peradaban atau negara tersebut mengandung arti bahwa, untuk dapat membangun suatu peradaban dalam hal ini negara maka, harus dimulai dari akhlak atau moral yang baik yang dimulai dari setiap warga negara atau masyarakat. Bertitik tolak dari uraian di atas maka, penulis merasa tertarik untuk mengambil skripsi dengan judul
Moral Narapidana Residivis
dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dan untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian sehingga sasaran yang hendak dicapai jelas dan tegas maka, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan? 2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ? 3. Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian tentunya mempunyai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa tujuan maka, penelitian yang dilakukan tidak akan memberikan manfaat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 3. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
1. Manfaat Teoritis a. Memberikan wawasan dan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dalam
mengimplementasikan
mata
kuliah
yang
berhubungan
dengan
pendidikan budi pekerti seperti mata kuliah Dasar dan Konsep Pendidikan Moral (DKPM) dan Hukum Pidana. b. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis untuk memperbaiki akhlak atau moral sehingga tidak mengulangi tindak pidana kembali dan mampu berbaur dengan masyarakat. b. Dengan
penelitian
ini,
diharapkan
akan
lebih
meningkatkan
dan
menyempurnakan pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada narapidana residivis agar lebih efektif. Sehingga arah pembentukan good citizen dapat terwujud yaitu narapidana residivis mampu mengembangkan kompetensi kewarganegaraan yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. c. Memotivasi para residivis agar lebih percaya diri untuk berintegrasi dengan masyarakat setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
a. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut-
Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan dua tahap yaitu: a) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh. b) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. 2). Tingkat konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatanperbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta normanormanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap: a) Interpersonal
concordance
good
boy-nice
girl
orientation
(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah. b) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban). Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah. 3). Tingkat pascakonvensional
(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu: a) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis). Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilainilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial. b) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral. Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A.Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Moral b. Pengertian Moral Menurut Bambang Daroeso (1988: 22) menjelaskan pengertian moral adalah sebagai berikut: mos mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, atau tingkah laku. Dalam bahasa Yunani moral dikenal dengan kata ethos yang selanjutnya dikenal dengan budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku baku dalam hidup. Menurut Magnis Suseno dalam Asri Budiningsih (2008: 24) disebutkan bahwa manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 3) dinyatakan bahwa: Kata moral selalu dipandang memiliki makna yang tumpang tindih dengan kata akhlak, etika, budi pekerti dan nilai. Namun, pada hakekatnya ada beberapa perbedaan diantara kelima istilah ini. Akhlak menekankan perbuatan baik yang dilakukan dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam untuk mencari keridhoan Allah. Etika adalah bagian dari filsafat yang membicarakan perbuatan baik dan buruk. Budi pekerti adalah kumpulan tata krama yang dipandang baik dalam budaya tertentu. Nilai merupakan rujukan dalam menentukan keputusan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan moral adalah perbuatan baik yang mensejahterakan kehidupan manusia. Persamaan kelima istilah ini terletak pada inti pembicaraannya tentang perbuatan terpuji yang seharusnya dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Menurut Kaelan (2004: 93) dinyatakan bahwa ajaran-ajaran
ataupun
wejangan-wejangan,
commit to user 13
patokan-patokan,
kumpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup
Definisi lain menurut Poerwodarminta dalam Hamid Darmadi (2009: 50) mengatakan bahwa,
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Halim yang mengutip para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Sabar Budi Raharjo (2010: 233) dinyatakan bahwa akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu: 1) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang. 2) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat. 3) Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan menurut filsafat. 4) Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental, yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, moral adalah kumpulan peraturan tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku yang baik dalam hidup atau dengan kata lain perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik dan buruk. Moral pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam pergaulan dengan sesama manusia dan masyarakat, akhirnya terbentuklah moral dengan melalui tahap-tahap perkembangan. c. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut-
Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Tingkat prakonvensional Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan dua tahap yaitu: c) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh. d) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. 2). Tingkat konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatanperbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta normanormanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap: c) Interpersonal
concordance
good
boy-nice
girl
orientation
(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis). Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah. d) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban). Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah. 3). Tingkat pascakonvensional
(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu: c) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis). Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilainilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial. d) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang bermoral. Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.
d. Pribadi yang bermoral Ronal Durka menyebutkan tentang ciri-ciri orang yang matang secara moral (morally nature person) adalah sebagai berikut: 1) Mampu memperbaiki situasi moral dan memposisikan diri atas perbuatan yang telah disepakati sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan norma dalam masyarakat. 2) Mengetahui perbuatan mana yang baik dan buruk sehingga seseorang mampu memberikan keputusan moral.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
3) Memiliki karakter baik atas perbuatan yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama. 4) Mengetahui perbuatan yang paling baik tentang apa yang akan atau seharusnya dilakukan. 5) Kemampuan untuk mengolah sebab-sebab moral (Hamid Darmadi, 2009: 30-31). Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seseorang yang matang secara moral adalah orang yang bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam hal ini, berarti orang tersebut sudah menjadi pribadi yang terdidik secara moral. Menurut Cheppy Haricahyono (1988: 110-111) disebutkan bahwa, Pribadi yang terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-cita
Higgins dan Gilingan dalam Hamid Darmadi (2009: 31) dikemukakan bahwa: Ciri orang bermoral ialah selalu merasakan adanya moral basesand (tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap atau akan adanya yaitu 1) Needs and welfare of the individual and others, 2) The involpment and implication of the self and consequences of outher, 3) Intrinsik value of sosial relationships.
Jadi, inti dari kutipan di atas bahwa, ciri orang yang bermoral adalah orang yang selalu bertanggung jawab terhadap kebutuhan dan kesejahteraan individu dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap perkembangan, dan implikasi diri dan konsekuensi dari masyarakat, serta bertanggung jawab terhadap nilai intrinsik dari hubungan sosial. Nilai intrinsik yang dimaksud disini adalah nilai dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum. Orang dikatakan bermoral apabila orang tersebut tidak melanggar nilainilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. e. Nilai Moral
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Hamid Darmadi (2009: 27-28) berpendapat bahwa, sesuatu yang berharga baik menurut standar logika (benar-salah), estetika (baik-buruk), etika (adil atau tidak adil), agama (dosa dan haram-halal) dan
value am bidang kajian filsafat. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda worth goodness dan kata kerja yang artinya suatu kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. (Fransena dalam Hamid Darmadi, 2009: 67). Menurut Winarno (2006: 5) menyatakan bahwa,
Dalam dictionary of sosiology and related sciences dikemukakan
Jadi, nilai itu pada hakekatnya sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. yang mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa, nilai adalah suatu kualitas yang melekat pada suatu hal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Setelah
mengetahui
pengertian
nilai,
selanjutnya
dikemukakan
mengenai pengertian moral. Hamid Darmadi (2009: 50) mengatakan bahwa,
Sedangkan Sjarkawi (2006: 29) menyatak
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral adalah suatu nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat dan memberikan penilaian terhadap tingkah laku manusia. Tidak semua nilai adalah nilai moral, tetapi nilai moral berkaitan dengan perilaku manusia tentang hal yang baik dan buruk. Sehingga terdapat ciri-ciri terkait dengan nilai moral.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Menurut K. Bertens (2007: 143-147) mengemukakan bahwa, nilai moral
-ciri
yaitu berkaitan dengan tanggung jawab kita, hati nurani, Ciri-ciri moral tersebut, dapat dijelaskan
sebagai berikut: 1) Berkaitan dengan tanggung jawab kita. Nilai moral ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Dengan nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang dianggap bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab. 2) Berkaitan dengan hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral berkaitan dengan hati nurani. Nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilainilai moral. 3) Mewajibkan. Nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga, nilai moral ini harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
4) Bersifat formal. Nilai moral bersifat formal artinya bahwa kita merealisasikan nilai-nilai moral tersebut dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah laku moral. Jadi, dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ciri khas dalam menandai nilai moral adalah tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau, dan mengetahui bahwa tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi manusia (person) dan masyarakat. Dengan demikian, perlu ditanamkan nilai moral supaya manusia mempunyai moral yang baik. Nilai moral mengacu pada perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk tindakan baik disengaja maupun tidak. Tindakan tersebut berkaitan dengan manusia sebagai pribadi maupun manusia dalam masyarakat. Sehingga, nilai moral ini perlu ditanamkan agar manusia menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
pribadi yang bermoral yang tidak hanya mengetahui benar atau salah namun, mampu bertindak secara moral. Menurut Lickona di dalam bukunya yang berjudul educating for character yang dikutip oleh Asri Budiningsih (2008: 6) mengatakan pentingnya menekankan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral yaitu, Pengertian atau pemahaman moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action Berikut ini penjelasan mengenai pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral. 1) Pengertian atau pemahaman moral Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu atau suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Pengetahuan atau pemahaman moral ini merujuk kepada aspek kognitif tentang moraliti (akhlak) yang melibatkan pemahaman tentang apa yang betul dan baik. Penalaran moral sebagai unsur pengetahuan moral (moral knowing) artinya penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu, atau kelompok terhadap hal-hal yang lain. 2) Perasaan moral Perasaan moral adalah perasaan yang lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik dengan perasaan empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral. Menurut Hoffman (1984) mengatakan bahwa, tingkat empati muncul ketika seseorang sanggup memahami kesulitan-kesulitan yang ada dalam lingkungannya dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupannya menjadi sumber beban stres dan merasakan kesengsaraan orang lain. Seseorang dapat dikatakan memiliki perasaan moral yang baik apabila ia memiliki kemampuan untuk memahami perasaan orang lain sehingga mampu mengkomunikasikan perasaan disebut underlying feelings.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
3) Tindakan moral Tindakan moral adalah kemampuan untuk melakukan keputusan-keputusan moral ke dalam perilaku nyata. Menurut Thomas Lickona dalam Winarno (2009: 13) dinyatakan bahwa, baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (describing the good) dan melakukan hal yang baik (doing the good Terkait dengan hal tersebut, Asri Budiningsih (2008: 71) mengatakan bahwa: Tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan moralnya. Moral selain dapat didekati dari segi kognitif (penalaran moral) juga dapat dapat didekati dari segi afektif (perasaan moral). Secara terintegrasi aspek-aspek tersebut akan mendorong terjadinya tindakan moral
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai moral diperlukan untuk membentuk manusia yang berkarakter yaitu individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (desiring and loving the good), dan melakukan kebaikan (acting the good).
Dalam penelitian ini, peneliti menekankan pada unsur
pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui moral seseorang, apabila sudah memiliki pemahaman tentang moral, dan seseorang akan mempunyai rasa cinta terhadap perbuatan yang baik ketika mereka memiliki perasaan moral, sehingga setelah seseorang memiliki pengetahuan dan perasaan moral maka ia akan mampu melakukan keputusan dan perasaan moralnya kedalam perilaku nyata yang berupa tindakan moral. Tindakan moral diartikan sebagai tindakan manusia yang muncul melalui pertimbangan rasional yang mandiri, sehingga selalu dilakukan secara sadar, bebas, bukan paksaan. Dengan demikian, ia pasti bertanggung jawab atas apa yang telah ia pilih dan menetapkannya sebagai sesuatu yang pasti dilakukan dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Sesuai dengan rumusan masalah yang terkait dengan moral narapidana residivis berarti bahwa, seberapa jauh tingkat kematangan pemahaman moral dan perasaan moral serta tindakan moral yang dimilikinya. Pengetahuan moral narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan dapat diketahui melalui pemahaman mereka terhadap konsep tindak pidana yang telah dilakukannya. Seberapa jauh narapidana residivis mengetahui bahwa tindakan
yang dilakukan melanggar norma-norma
masyarakat khususnya norma hukum. Kemudian, perasaan moral dapat diketahui melalui tingkat kesadaran moral narapidana atas perbuatan yang dilakukan serta kepekaan mereka terhadap kesulitan yang dialami oran g lain dalam hal ini korban. Winarno (2006: 9) berpendapat bahwa, adalah kesadaran dalam diri manusia bahwa perbuatannya didasarkan atas rasa
mengenai tindakan tidak bermoral narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Untuk menilai tindakan narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti akan menjabarkan teori tentang penilaian tindakan moral. Dengan demikian, akan diketahui bagaimana sebenarnya tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis jika ditinjau dari segi moral f. Teori tentang Penilaian Tindakan Moral Dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) menyebutkan teori moral Pentingnya pertimbangan moral sebagai alat penilaian atau evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakantindakan seseorang. Pertimbangan moral tersebut menunjuk pada tindakan yang merupakan kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival Penjelasan mengenai kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival adalah sebagai berikut: 1) Tindakan sebagai kewajiban moral adalah tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan. 2) Tindakan sebagai larangan moral adalah tindakan-tindakan yang salah kalau diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
3) Tindakan sebagai non trival adalah tindakan-tindakan yang mempunyai konsekuensi penting. Artinya tindakan tindakan-tindakan yang ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan pengorbanan moral. Menurut
Elisa
http://www.scribd.com/doc
(2011:
2)
yang
dimuat
58523585/teorijeremy-bentham
dalam
menyebutkan
mengenai teori tindakan moral menurut Jeremy Bentham adalah sebagai berikut: 1) Teori egois etis Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan keamanan. Secara moral dianggap baik dan untuk dilakukan. 2) Teori utilitarianisme Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi masyarakat. Tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah tindakan yang baik. Teori di atas digunakan peneliti dalam menilai tindakan narapidana residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana. Sebelum dilakukan penilaian moral, peneliti perlu menyelidiki tindakan narapidana residivis dengan beberapa pendekatan etika. Menurut K. Bertens (2007: 4-
etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku manusia moral tetapi ada cara untuk mempelajari moralitas atau pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Menurut K. Bertens (2007: 15) menyebutkan tiga pendekatan tentang etika yaitu Etika deskriptif, etika normatif, dan etika metaetika. Dimana ketiga pendekatan tersebut sebagai dasar untuk mempelajari moralitas seseorang Penjelasan mengenai ketiga pendekatan tentang etika adalah sebagai berikut: 1) Etika deskriptif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakantindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat dalam individu tertentu, dalam kebudayaan tertentu, atau subkultur yang tertentu dalam suatu periode sejarah dan sebagainya. Sebab, etika ini tidak memberikan penilaian moral. 2) Etika normatif Etika normatif merupakan bagian penting dari etika karena menitikberatkan pada diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, tetapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma-norma. Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu, ia mengemukakan argumentasi-argumentasi yang bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawartawar. 3) Etika metaetika Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Misalnya penggunaan kata baik dalam menafsirkan sesuatu memiliki pengertian yang sama. Dari ketiga pendekatan etika yang telah dipaparkan di atas, peneliti menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif digunakan peneliti untuk mendeskripsikan moralitas narapidana residivis mengenai anggapan-anggapan tentang perbuatan baik dan buruk sehingga muncul keputusan moral misalnya anggapan tentang tindak pidana yang telah dilakukan (pemahaman moral), perasaan empati dalam diri narapidana residivis atas tindak pidana yang telah dilakukan (perasaan moral), dan latar belakang pendidikan moral yang telah diterima. Jadi, pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan moralitas dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
diri narapidana residivis yang terkait dengan pemahaman dan perasaan moral atas tindak pidana yang dilakukan.
Sedangkan etika normatif digunakan
penelti guna menilai tindakan moral narapidana residivis atas dasar teori-teori penilaian tindakan moral. g. Norma Moral Winarno (2006: 6) mengatakan bahwa, manusia sebagai perwujudan dari nilai tentang bagaimana seyogyanya manusia Sedangkan Kaelan (2004: 92) mengatakan bahwa, Sementara itu, norma merupakan petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan berdasarkan nilaiDengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
norma
merupakan
perwujudan dari nilai yang berisi anjuran, perintah, pengaturan, larangan untuk berbuat atau tidak berbuat bagi manusia. Ukuran atau pedoman itu dinamakan norma. Norma bisa berbentuk tertulis atau tidak tertulis yang dapat digolongkan menjadi berbagai macam. Menurut Winarno (2006: 6-7)
Norma-norma yang
berlaku di masyarakat secara umum digolongkan menjadi 4 macam yaitu
Penjelasan mengenai keempat norma tersebut adalah sebagai berikut: 1) Norma agama yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan. 2) Norma moral/kesusilaan adalah peraturan/kaidah yang bersunber dari hati nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia. 3) Norma kesopanan dalah peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan hidup antar sesama manusia. 4) Norma hukum adalah peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa norma dapat berupa norma agama, moral/kesusilaan, kesopanan dan hukum. Sehingga semua perilaku moral harus selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada. Menurut Asri Budiningsih (2008: 24)
-norma moral adalah
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa, norma moral adalah kaidah atau patokan yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia dan untuk menjadikan seseorang menjadi bermoral maka diperlukan suatu pendidikan yang dapat memperbaiki moral tersebut.
h. Teori
Teori tentang Etika Menurut K. Bertens (2007: 235-260) mengemukakan teori tentang etika Hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi
Keempat teori etika dijelaskan sebagai berikut: 1) Hedonisme Hedomisme berasal dari bahasa Yunani (hedone) berarti kesenangan yaitu baik apa yang memuaskan keinginan. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksud egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa seseorang tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain dari pada yang terbaik bagi dirinya sendiri. 2) Eudemonisme Berasal dari filsuf Aristoteles. Teori ini menegaskan bahwa, setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya dan tidak cukup dengan melakukan beberapa kali saja, namun sebagai suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia yang baik dalam arti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasionalnya yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. 3) Utilitarisme Utilitarisme dibagi menjadi dua yaitu: a) Utilitarisme klasik Teori ini menjelaskan bahwa, menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan akan tercapai jika memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan
sebanyak
mungkin.
Kebahagiaan
itu
menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas itu menyangkut suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaanya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. b) Utilitarisme aturan Teori ini menegaskan bahwa, prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan adalah baik secara moral bila sesuai dengan aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat. 4) Deontologi Sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. a) Deontologi menurut Immanuel Kant Menurut Immanuel Kant yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Immanuel Kant
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Suatu perbuatan bersifat bermoral jika dilakukan semata-mata karena rasa hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban. Menurut Immanuel Kant membedakan kewajiban moral sebagai imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris artinya perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat.
Sebaliknya,
imperatif hipotetis selalu
diikutsertakan sebuah syarat. Hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom
dan bukan heteronom.
Kehendak
bersifat otonom bila
menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor di luar dirinya seperti kecenderungan dan emosi. b) Deontologi menurut W.D. Ross Menurut W.D. Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban artinya kewajiban itu berlaku langsung kepada manusia. Tetapi manusia tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam situasi konkret. Untuk itu, perlunya akal budi yang mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting. Kewajiban itu merupakan kewajiban prima facie artinya suatu kewajiban untuk sementara dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban penting lagi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori etika digunakan peneliti untuk menilai moralitas seseorang dalam hal ini narapidana residivis. Moralitas diukur setelah narapidana residivis mengikuti pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori etika tersebut meliputi: hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontology.
2. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Moral a. Pengertian Pembinaan Moral Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa yang 2) Pembaharuan dan penyempurnaan; 3) Usaha, tindakan dan kegiatan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil (Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 205). Menurut Miftah Thoha (2003: 12) proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya
kemajuan,
peningkatan,
pertumbuhan,
evolusi
atas
berbagai
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan merupakan suatu cara, proses, tindakan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan tertentu dengan maksud adanya kemajuan atau peningkatan guna memperoleh hasil yang lebih baik. Sedangkan mengenai pengertian moral telah dijelaskan sebelumnya bahwa, moral berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut
Zubaedi
(2005:
11)
dijelaskan
mengenai
pengertian
pembinaan adalah sebagai berikut: Pembinaan sebagai latihan pendidikan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia. Pembinaan menekankan pengembangan manusia pada segi praktis, pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Dalam pembinaan, orang dibantu untuk mendapatkan pengetahuan dan menjalankannya. Menurut Parsono (1989: 1) secara hakiki mengenai pengertian pendidikan adalah sebagai berikut: Proses pemanusiaan manusia atau suatu kegiatan memanusiakan manusia. Melalui pendidikan yang terprogram dan terkelola dengan baik dan intensif, titik optimum usaha pendidikan akan terwujud. Pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu mengubah tingkah laku manusia ke arah yang positif. Menurut Redja Mudyahardjo (2001: 56) dinyatakan bahwa: Proses pendidikan dapat dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah baik yang dilembagakan (pendidikan nonformal, seperti kursus, pelatihan, kelompok belajar, penitipan bayi, dan sebagainya), maupun yang tidak dilembagakan (pendidikan informal, seperti pendidikan dalam keluarga,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
pendidikan dalam perpustakaan, pendidikan dalam pendidikan dalam tempat peribadatan, dan sebagainya).
Menurut
Emma
Handoko
perusahaan,
(2001
dalam
http://emmahandoko.blogspot.com) menyebutkan mengatakan bahwa pendidikan berlangsung di dalam lembaga sekolah, keluarga dan masyarakat atau disebut Adapun yang dimaksud Tri Pusat Pendidikan tersebut antara lain: 1) Pendidikan keluarga Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakat kelak. Materi pendidikannya meliputi nilai agama ataupun nilai dan norma dari sikap yang baik. Dalam hal ini, orang tua harus memberikan pendidikan dengan cara memberi contoh yang baik dalam perkataan maupun perbuatan agar anak dapat menyerap apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga. 2) Pendidikan sekolah Pendidikan sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di dalam kegiatan persekolahan. Di sekolah terdapat norma-norma atau aturan yang harus diikuti oleh setiap peserta didiknya dan norma itu berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya guna bekal kehidupan di masyarakat kelak. 3) Pendidikan masyarakat Pendidikan masyarakat adalah bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan berencana di luar kegiatan persekolahan atau di lingkungan masyarakat sesuai dengan kebutuhan tertentu. Masyarakat sebagai lembaga pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya
dan
kepribadian.
norma-norma
Norma-norma
itu
berpengaruh
masyarakat
commit to user
yang
dalam
pembentukan
berpengaruh
tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
merupakan aturan-aturan yang ditularkan dari generasi tua kepada generasi muda. Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 2) dinyatakan tentang pendidikan juga telah memunculkan berbagai
bahwa,
rumusan tujuan pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana menyempurnakan perkembangan potensi-potensi manusia termasuk
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Nurul Zuriah (2007: 123) mengatakan bahwa: Pengajaran moral tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup anakanak, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Sedangkan syarat pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara disebut dengan metode ngerti, ngrasa, nglakoni (menyadari, menginsafi, dan melakukan). Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembinaan moral adalah suatu usaha atau kegiatan dalam rangka membina tingkah laku agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma yang berlaku. Pembinaan moral dapat diwujudkan melalui pendidikan yang akan membantu proses perkembangan moral seseorang. Dimana dalam pembinaan moral tersebut terjadi proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik (positif). Jadi, pembinaan moral ini menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik. Berdasarkan masalah yang peneliti lakukan mengenai pembinaan moral terhadap narapidana residivis yaitu, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyelenggarakan pembinaan moral melalui pendidikan nonformal yang menyangkut pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan lainnya bagi warga binaan pemasyarakatan termasuk narapidana residivis. Pembinaan moral diberikan kepada narapidana residivis sebagai usaha untuk memperbaiki moral mereka menjadi baik sehingga dapat berperilaku atau bertindak sesuai dengan aturan atau norma dalam masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
b. Tujuan Pembinaan Moral Telah disinggung sebelumnya bahwa, pembinaan moral diberikan melalui pendidikan. Salah satu bentuk pendidikan yang mampu merubah moral seseorang adalah pendidikan moral dan pendidikan agama. Melalui kedua wadah tersebut akan diajarkan mengenai nilai moral, nilai ketuhanan, dan nilai sosial yang sangat berguna untuk membentuk akhlak manusia menjadi baik. Hamid Darmadi (2007: 56-57) menyampaikan mengenai pengertian pendidikan moral menurut pandangan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan moral merupakan suatu proses pembelajaran antara guru dan peserta didik tentang ajaran moral atau budi pekerti yang sesuai dengan amanat nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, pendidikan moral dapat disajikan dalam bentuk keilmuan maupun mental spiritual keagamaan. Pendidikan moral tersebut harus diberikan secara terus-menerus kepada peserta didik sehingga proses pembelajaran bukan hanya bersifat teknis melainkan nomatif dalam arti perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan yang diinginkan yaitu terbentuknya pribadi yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Tujuan pendidikan moral menurut Dreeben dalam Nurul Zuriah (2007: mengarahkan seseorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan Sedangkan tujuan dari pendidikan moral menurut Hamid Darmadi (2009: 51) adalah menghormati manusia sebagai manusia serta memperlakukan manusia sebagai
Jadi, berdasarkan pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa, tujuan pembinaan moral adalah menyalurkan nilai-nilai moral kepada warga negara menjadi pribadi manusia yang memiliki ahlak dan watak yang bermoral sehingga
mampu
menerapkan
nilai-nilai
moralnya
tersebut
dalam
kehidupannya. Terkait dengan pembinaan moral bagi narapidana residivis adalah bahwa narapidana residivis memperoleh pembinaan selama di lembaga pemasyarakatan yaitu Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam upaya memperbaiki moral narapidana residivis agar memiliki watak dan ahlak yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
bermoral sehingga setelah keluar dari Rutan tidak mengulangi tindak pidana kembali.
3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan Sebelum menguaraikan tentang teori pemidanaan perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep pidana, pemidanaan, dan tujuan pemidanaan. a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Menurut Hambali Tholib (2009: 12) mengenai pengertian pidana adalah sebagai berikut: Pidana berasal dari kata straf (Belanda) diartikan dengan hukuman. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Hal senada disampaikan oleh Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 12)
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
Pendapat lain ditambahkan oleh Muladi dan Nawawi Arief dalam Hambali Tholib (2009: 13) yang mengatakan bahwa unsur-unsur dalam pidana adalah sebagai berikut: 1) Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai wewenang. 3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pidana merupakan sesuatu penderitaan atau pengenaan yang secara sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana karena bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan pengertian pemidanaan menurut Hambali Tholib (2009: 15) Pemidanaan berarti pengenaan atau pemberian atau penjatuhan pidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Selanjutnya menurut Sholehuddin dalam Dwidja Priyatno (2006: 14) mengatakan bahwa, tindakan aktivis program legislasi atau yuridiksi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi sebagai landasan keabsahan penegakan hukum dengan
Hambali Tholib (2009: 13) mengatakan bahwa:
mempunyai kekuasaan berupa pengenaan penderitaan nestapa atau akibat lain yang tidak
menyenangkan
kepada
seseorang
yang
telah melakukan
pelanggaran kaidah hukum atau tindak pidana menurut undangPacker dalam Hambali Tholib (2009: 15) menyebutkan pentingnya sanksi pidana sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam upaya penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut: 1) Sanksi pidana sangat diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun masa yang akan datang tanpa pidana. 2) Sangksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan atau bahaya besar. 3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan jaminan utama yang merupakan pengancaman sebagai penjamin secara manusiawi. Moelyatno (2003: 5-6) menyebutkan tentang sanksi pidana pokok dan pidana tambahan menurut pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana denda sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
Sanksi pidana tersebut digunakan dalam menanggulangi kejahatan agar pelanggar jera atas perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi kejahatan kembali.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan merupakan pengenaan atau pemberian pidana melalui sanksi pidana. Sanksi pidana diberikan sebagai suatu ancaman yang berupa penderitaan atas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
pelanggaran terhadap norma hukum atau tindak pidana menurut undangundang. Sanksi pidana diperlukan sebagai upaya penenggulangan kejahatan yakni melalui acaman pidana. ancaman pidana tersebut meliputi pidana pokok berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda serta pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barangbarang tertentu, dan pengumuman putusan hakim b. Teori Pemidanaan tentang Tujuan Pemidanaan Menurut Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 13) sebagai berikut: Tujuan dari kebijakan pemidanaan adalah menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik hukum yang pada umumnya mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangan yang paling baik untuk memenuhi keadilan dan Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori yang mendasari tujuan pemidanaan. Teori-teori ini berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran dan budaya manusia yang semakin maju yaitu dalam hal semakin diperhatikannya nilai-nilai kemanusiaan. Dwidja Priyatno (2006: 22-28)
Penjelasan mengenai teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan adalah sebagai berikut: 1) Teori Absolut atau Pembalasan Penganut teori ini adalah J. M van Bemmelen, Immanuel Kant, dan Hegel. Teori absolut atau pembalasan mengajarkan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tidak dapat ditawar.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun
yang
timbul dengan
dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan sehingga pembalasan (vergelding) sebagai alasan untuk memidana kejahatan. 2) Teori Relatif atau Tujuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Penganut teori ini adalah J.Andenaes dan Nigel Walker. Teori ini mengajarkan bahwa, memidana bukanlah memutuskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga pemidanaan harus mempunyai tujuan-tujuan yang bermanfaat. Tujuan pidana menurut teori tujuan adalah menjamin tertib hukum dan masyarakat serta untuk mencegah kejahatan dan menahan niat buruk pembuat. 3) Teori Gabungan Penganut teori ini adalah Pallegrino Rossi. Teori ini mengajarkan bahwa sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, teori tentang tujuan pemidanaan meliputi teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan, dan teori gabungan. Dari ketiga teori yang digunakan peneliti adalah teori gabungan yakni sebagai acuan peneliti untuk menganalisis pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kerangka pemidanaan di Indonesia yang sesuai dengan prinsip Pancasila yaitu pemidanaan dilakukan dengan upaya untuk memperbaiki kerusakan moral narapidana residivis dan bertujuan untuk melindungi masyarakat atas tidak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. c. Tujuan Pemidanaan di Indonesia Menurut Djoko Prakoso (1991: 24) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1972 dapat dijumpai tentang maksud tujuan pemidanaan disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut : 1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat, negara, masyarakat, dan penduduk. 2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
3) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana. 4) Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Menurut Hambali Tholib (2009: 20) disebutkan bahwa: Tujuan hukum pidana di Indonesia adalah agar supaya dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Pancasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana. Sehingga baik negara Indonesia, masyarakat, badan-badan hukum, maupun warga negara Republik Indonesia, serta penduduk lainnya mendapat pengayoman. Dwidja Priyatno (2006: 18-19) menjelaskan bahwa, Indonesia menekankan pada perspektif
Pancasila yang berorientasi pada
prinsip sila-sila Pancasila Penjelasan mengenai pemidanaan di Indonesia yang menekankan pada prinsip sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut: 1) Pemidanaan harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana agar bertobat menjadi manusia yang beriman dan taat. 2) Pemidanaan tidak boleh mencerai-beraikan hak-hak asasinya yang paling dasar dan tidak boleh merendahkan martabat masyarakat. 3) Pemidanaan diarahkan untuk menanamkan rasa cinta terhadap bangsa. 4) Pemidanaan diarahkan untuk menumbuhkan kedewasaan bagi warga negara yang mampu mengendalikan diri, disiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat. 5) Pemidanaan diarahkan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai mahluk sosial yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sesama warga masyarakat.
Tujuan
pemida -18).
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam pasal 1 Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana) disebutkan bahwa tujuan pemidanaan berfungsi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
sebagai pengayoman artinya narapidana akan diayomi secara bersama-sama oleh warga masyarakat lain agar memiliki kepribadian yang luhur menjadi warga negara yang baik dalam rangka ikut membangun masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur. Sedangkan pembimbingan adalah narapidana dibimbing agar kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat yang selanjutnya pemidanaan diserahkan kepada lembaga pemasyarakatan yang tidak terlepas dari fungsi hukum agar narapidana jera atas perbuatan jahat yang dilakukan sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan mengandung arti negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemidanaan ditujukan guna melindungi individu, masyarakat dan kepentingan negara atas perbuatan tercela atau kejahatan yang dilakukan seseorang akibat melanggar hukum yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP). Maksud pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukan tindak pidana dengan cara memasyarakatkan terpidana melalui pembinaan dan pengayoman supaya terpidana menjadi orang yang baik. Selain itu, pelaksanaan pemidanaan harus mendasarkan pada perpekstif nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan pemidanaan yang di Indonesia salah satunya diserahkan dalam lembaga pemasyarakatan.
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis a. Pengertian Narapidana Residivis
dikenai hukuman atau pidana atau terpidana yang telah menerima putusan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Selanjutnya Lin Song dan Roxanne (1994: 3) dalam jurnal internasional menyebutkan bahwa,
Dari kutipan dalam jurnal internasional tersebut dapat diartikan bahwa, pengulangan tindak pidana (residive) didefinisikan penangkapan kembali, pemulihan kembali, atau pulang kembali seseorang. Menurut Kartini Kartono (2001: 130) mengatakan bahwa, merupakan penjahat-penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda
Sedangkan Elliot dalam Simadjuntak (1981: 75) narapidana sebagai penjahat ialah orang yang telah membuang atau tidak mengakui nilai-nilai masyarakat dimana masih berkeliaran di luar penjara yaitu residivis yang tertangkap. Mereka itu benar-
orang yang selalu mengulangi perbuatan seperti perampok, pengemis, dan pencuri. Dan perbuatannya tertera dalam pasal 104 sampai 485 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia. Mereka termasuk the habitual criminal Menurut pendapat dari R. Achmad Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita (1979: 14) mengenai pengertian residivis dan bukan residivis adalah sebagai berikut: 1) Residivis yaitu seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana dan sebelumnya telah mendapat putusan hakim atas kejahatan lain yang telah dilakukan. 2) Bukan residivis yakni seseorang yang dijatuhi putusan pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana yang pertama dilakukan. Tindak pidana yang terjadi dalam hal seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang bersifat tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengertian residive hampir sama dengan seseorang yang melakukan lebih dari satu tindak pidana (concursus realis), tetapi perbedaannya ada pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
ditetapkannya putusan hakim yang bersifat tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya (Winarno Budyatmojo, 2000: 71). Menurut Djoko Prakoso (1991: 30) dinyatakan bahwa, merupakan pelaksana perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Kepentingan hukum adalah hak-hak, hubungan-hubungan, keadaan-keadaan dan gangguanBerdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana residivis yaitu seseorang dijatuhkan hakim dengan kekuatan hukum tetap diberikan pidana kepadanya karena suatu perbuatan melanggar hukum atas perbuatan kejahatan atau tindak pidana yang diulanginya. b. Pengelompokkan Narapidana Residivis menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia Winarno Budiyatmojo (2000: 72-78)
Sistem
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia menganut residive khusus yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan yaitu: residive sejenis dan residive kelom Penjabaran mengenai residive sejenis dan residive kelompok adalah sebagai berikut: 1) Residive sejenis Residive sejenis meliputi pasal 144 (2) KUHP tentang penghinaan kepada kepala negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 157 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 161 (2) KUHP tentang perbuatan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 163 (2) KUHP tentang penawaran/sarana melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 208 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, pasal 216 (3) KUHP tentang penyalahgunaan jabatan atau wewenang atau menghalangi pejabat untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
melaksanakan tugas guna menjalankan ketentuan perundang-undangan, pasal 321 (2) KUHP tentang penghinaan yang dilakukan pada saat menjalankan mata pencaharian, pasal 393 (2) KUHP tentang menjual, menawarkan atau mengedarkan dan sebagainya barang-barang yang bermerk palsu, dan pasal 303 bis (2) tentang perjudian. Syarat residive sejenis adalah sebagai berikut: a) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan terdahulu. b) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus ada keputusan hakim. c) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yaitu 5 tahun sejak ada keputusan hakim tetap. 2) Residive Kelompok Residive kelompok terbagi atas 3 bagian sebagai berikut: a) Pasal 486 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan terdiri dari pemalsuan mata uang (pasal 244 KUHP sampai pasal 248 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 sampai Pasal 264 KUHP), pencurian (pasal 362, 363, dan 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pengancaman (pasal 369 KUHP), penggelapan (pasal 372, 374,375 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), kejahatan jabatan (pasal 415, pasal 417, pasal 432 KUHP), penadahan (pasal 480, pasal 481 KUHP). b) Pasal 487 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap orang terdiri dari Penyerangan dan makar kepala negara (pasal 131, pasal 140, pasal 141 KUHP), pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana (pasal 338, pasal 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342 KUHP), abortus (pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353, pasal 354, pasal 355 KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (pasal 438 KUHP, pasal 443 KUHP), dan insubordinasi (pasal 459 sampai pasal 460 KUHP).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
c) Pasal 488 mengenai kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan penerbitan atau percetakan terdiri dari penghinaan terhadap kepala negara sahabat (pasal 142 sampai pasal 144 KUHP), penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (pasal 207 KUHP, pasal 208 KUHP), penghinaan terhadap orang pada umumnya (pasal 310 dan pasal 321 KUHP), kejahatan penerbitan dan percetakan (pasal 483 KUHP dan pasal 484 KUHP). Syarat residive kelompok adalah sebagai berikut: (1) Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu. (2) Dengan adanya kelompok jenis residive yang telah dikemukakan, seseorang bisa dikatakan melakukan pengulangan apabila ia mengulangi tindak pidana dalam satu kelompok jenis yang sama. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan kemudian melakukan tindak pidana lagi yang dijerat dengan Pasal 338 tindak pidana pembunuhan, dapat dikatakan sebagai residive karena tindak pidana tersebut masih termasuk dalam satu kelompok jenis yaitu kejahatan terhadap orang dan diatur dalam pasal 487 KUHP. (3) Antara kejahatan yang diulangi dengan yang pertama atau terdahulu harus sudah ada putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap. (4) Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
(5) Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah (a) Belum lewat 5 tahun sejak menjalani untuk seluruh atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu atau sejak pidana tersebut sama sekali telah terhapuskan. (b) Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana penjara yang terdahulu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Berdasarkan uraian di atas makadapat disimpulkan bahwa menurut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia terdapat dua kelompok residive yaitu residive yang sejenis dan residive kelompok sejenis. Syarat berlakunya narapidana residivis adalah sebagai berikut: 1) Mengulang kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama. Misalnya kali ini ia mencuri lain kali ia mencuri lagi walaupun benda yang dicuri berbeda dan juga mengenai waktu maupun cara mencurinya tidak sama. 2) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain pernah ada keputusan hakim yang menjatuhkan pidana secara sah. 3) Pernah menjalani pidana baik untuk seluruh maupun sebagian. 4) Waktu melakukan tindak pidana yang diulang itu kewajiban melaksanakan pidana terhadap perbuatan yang pertama belum kadaluarsa. Misalnya setelah dijatuhi pidana maka terpidana melarikan diri kemudian dalam waktu tertentu melakukan tindak pidana lagi sedangkan yang diadili dan dipidana untuk perkara yang diulang itu dan waktu untuk melaksanakan pidana yang pertama belum daluwarsa. 5) Yang bersalah atau terpidana melakukan tindak pidana ulangan belum 5 tahun berselang sejak bebas menjalankan pidana dari perbuatan yang sama. c. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan oleh Narapidana Residivis Kejahatan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan memberi sanksi berupa pidana negara. Perbuatan itu diberi hukuman karena melanggar norma-norma (Abdulsyani, 1987: 13). Pendapat lain oleh Simadjuntak (1981: 71) menyebutkan bahwa,
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kejahatan yang dilakukan oleh narapidana residivis merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh dibiarkan sebab menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Gejala munculnya kejahatan dalam masyarakat ternyata disebabkan oleh banyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
faktor. Untuk menjawab mengenai faktor sebab-sebab timbulnya kejahatan maka, peneliti mengemukakan beberapa teori dalam ilmu kriminologi. Menurut Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 19-64) menyebutkan bahwa, untuk mencari kejelasan mengenai sebab kejahatan dalam peradaban manusia lahirlah teorispiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan teori mental disorder Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori tersebut: 1) Teori spiritualis menurut George B Vold. Dalam teori spiritualis dijelaskan bahwa, seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil atau demon). Sehingga orang berbuat jahat karena lepasnya iman yang dimiliki oleh manusia sehingga mudah terpengaruh oleh roh jahat. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena sistem keyakinan atau iman seseorang yang lemah. 2) Teori differential organization menurut Sutherland Teori ini menjelaskan bahwa, pergaulan seseorang berperan terhadap pembentukan tingkah laku. Dari lingkungan tertentu lahir norma tertentu. Jika seseorang bergaul dengan pencuri, maka lama-kelamaan menganggap bahwa mencuri adalah hal wajar. Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada masyarakat tidak ada kejahatan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang salah. 3) Teori ekonomi menurut Marx Penganut teori ini adalah Marx, pengikutnya William Bonger, dan Mr.H Calkoen. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Kemiskinan mendorong kepada kejahatan. Orang miskin meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan. Miskinnya masyarakat erat sekali dengan hubungannya dengan rendahnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
penghasilan. Mereka tidak puas dengan penghasilannya yang sah. Selanjutnya
Mr.H.Calkoen
menambahkan
bahwa,
kemiskinan
dan
pengangguran dipandangnya sebagai sebab utama dari kejahatan ekonomi. Sebagai bukti kejahatan para orang Yahudi di Amsterdam. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran. 4) Teori sosial bond menurut Travis Hirchi Menurut teori ini menjelaskan bahwa, seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a) commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b) beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial. 5) Teori mental disorder menurut James C.Prichard Dalam teori ini dijelaskan bahwa seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental. Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental). Menurutnya penyakit mental tadi disebut dengan psychopathy atau antisocial personality yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah. Seorang psychopath telihat memiliki kesehatan mental yang bagus tetapi sebenarnya hanyalah suatu mask of sanity (topeng kewarasan) Seorang psychopath ditandai dengan tidak menghargai kebenaran, tidak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa sebab seseorang melakukan kejahatan karena penyakit mental. Jadi, teori-teori di atas digunakan peneliti untuk menganalisis faktor penyebab pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori tersebut berupa
commit to user
teori
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan teori mental disorder. d. Upaya Penanggulangan Kejahatan Menurut Abdulsyani (1987: 28) menyebutkan tentang beberapa metode Metode moralistik, abolisionalistik dan
untu
Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut: 1) Metode moralistik artinya pembinaan yang dilakukan dengan cara bentuk mental-spiritual ke arah yang positif misalnya dilakukan oleh para pendidik, para ahli agama, dan ahli jiwa. 2) Metode
abilasionalistik
artinya
pembinaan
dilakukan
dengan
cara
konseptual yang harus direncanakan atas dasar hasil penelitian kriminologis dengan menggali sumber-sumber penyebabnya dari faktor-faktor yang berhubungan dengan perbuatan kejahatan. 3) Metode operasional artinya metode pencegahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Reckless dalam Abdulsyani (1987: 135) mengemukakan tentang konsep penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut: Konsepsi umum dalam penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana dan partisipasi masyarakat yang meliputi pemantapan aparatur penegak hukum, perundang-undangan, mekanisme peradilan pidana, koordinasi aparatur penegak hukum dan pemerintah, dan partisipasi masyarakat. Reckless dilakukan melalui treatment (perlakuan) dan punishment (penghukuman) (Abdulsyani, 1987: 138-142). Penjelasan
mengenai
treatment
(perlakuan)
dan
punishment
(penghukuman) adalah sebagai berikut: 1) Treatment (perlakuan) menitikberatkan kepada usaha perlakuan dengan tidak Menerapkan sanksi pidana. Perlakuan ini bertujuan supaya pelaku kejahatan dapat kembali sadar akan kekeliruan atau kesalahan dan dapat bergaul kembali di dalam masyarakat .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
2) Punishment
(pengukuman)
merupakan
tindakan
untuk
memberikan
penderitaan terhadap pelaku kejahatan yang sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, baik berupa hukuman pemenjaraan atau hukuman yang bersifat penderaan. e. Penanggulangan Kejahatan berdasarkan Pemasyarakatan Abdulsyani (1987: 27) menyebutkan tentang upaya penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut: Penanggulangan terhadap kejahatan mencakup aktivitas preventif yang berupaya memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (terhukum) di lembaga pemasyarakatan. Upaya perbaikan terhadap perilaku kejahatan tersebut dilaksanakan dengan mengubah cara-cara penyiksaan dan isolasi sebagai ganjaran atas penebus kesalahan ke arah suatu sistem pembinaan dan pendidikan serta penyadaran sehingga tidak terulang kembali. Sedangkan
menurut
pendapat
Stephan
Hurwitz
tentang
upaya
menanggulangi kejahatan adalah sebagai berikut: Kejahatan yang dipandang sebagai kebiasaan seseorang yang menjadi kebiasaan (berulang-ulang) bahkan menjadi mata pencaharian misalnya pencurian, pencopetan, pencurian dengan kekerasan dan penadahan dengan cara diberikan pemidanaan adalah sia-sia. Sebab diperkirakan mereka akan meneruskan cara hidup kriminal sehingga tindakan-tindakan keras demi keamanan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu upaya yang lebih berat dari sekedar pidana terhadap pelaku kejahatan (Abdulsyani, 1987: 141) Bertitik tolak pada upaya penanggulangan kejahatan yang diuraikan di atas, bahwa upaya penanggulangan kejahatan menekankan pada usaha pembinaan yang tidak lepas dari pemidanaan sebab, dengan pemidanaan yang sifatnya penghukuman saja tidak efektif mengurangi angka kejahatan. Saharjo dalam Abdulsyani (1987: 141) mengatakan bahwa: na penjara ialah pemasyarakatan. Artinya, masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana tetapi juga orang-orang yang tersesat (terpidana) juga diayomi dengan memberikan bekal hidup
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa cara yang paling efektif dilakukan untuk menanggulangi pengulangan tindak pidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
yang dilakukan oleh narapidana residivis adalah pembinaan (treatment) dari pada sekedar penghukuman (punishment). Penganggulangan diserahkan salah satu diantaranya oleh lembaga pemasyarakatan dalam kerangka hukum pidana.
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan a. Pengertian Pembinaan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan tentang pengertian dan cara membina, 2) Pembaharuan dan penyempurnaan, dan 3) Usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna untuk memperoleh has (Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 205). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan merupakan suatu usaha atau cara atau kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani dari narapidana untuk memperoleh hasil yang lebih baik. b. Pengertian Sistem Pemasyarakatan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 1442). Menurut
Romli
Atmasasmita
(1982:
44)
disebutkan
bahwa,
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 162) disebutkan mengenai pengertian sistem pemasyarakatan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan adalah sebagai berikut: Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Menurut Dwidja Priyatno (2006: 180) dinyatakan bahwa, pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan
Berdasarkan
uraian
di
atas
dapat
diketahui
bahwa,
sistem
pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana yang tidak terlepas dari konsep pemidanaan dalam upaya memasyarakatkan kembali warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana serta dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan Menteri Kehakiman Republik Indonesia disebutkan beberapa pengertian tentang: Warga binaan pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, pembinaan narapidana, pembina pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Dimana, cakupan konsep tersebut merupakan komponen dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan Penjelasan mengenai komponen tersebut, adalah sebagai berikut: 1) Warga binaan pemasyarakatan sebagai penghuni Rutan yang meliputi, narapidana, anak negara, dan tahanan Rutan. 2) Lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat, dan membina narapidana. 3) Rumah tahanan negara adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 4) Pembinaan
narapidana
ialah
semua
usaha
yang
ditujukan
untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
anak didik yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan atau Rumah tahanan (intramural treatment). 5) Pembina pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melakukan pembinaan secara langsung terhadap narapidana, anak negara, dan tahanan (intramural treatment) atau mereka yang terdiri dari perorangan, kelompok atau organisasi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut melakukan atau mendukung pembinaan narapidana, anak negara, dan tahanan (intramural treatment). 6) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana, anak negara atau sipil, dan klien pemasyarakatan. c. Pembinaan berdasarkan Pemasyarakatan Menurut Dwidja Priyatno (2006: 194) dinyatakan bahwa, merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani
Menurut Bambang Poernomo (1986: 187) menyebutkan tentang pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan adalah sebagai berikut: Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan usaha melalui suatu kegiatan dalam rangka perbaikan terhadap seseorang yang terpidana dalam hal ini narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
tindak pidana. Usaha pembinaan tersebut meliputi: peningkatan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesionalisme, kesehatan jasmani dan rohani. Melalui pembinaan tersebut maka, narapidana akan diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat diterima kembali
oleh
lingkungan
masyarakat,
dapat
berperan
aktif
dalam
pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. d. Tujuan Pembinaan Berdasarkan Pemasyarakatan Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan yang dapat dibagi dalam tiga hal yaitu: 1) Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana. 2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif membangun bangsa dan negaranya. 3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat (C. I. Harsono, 1995: 47). Menurut Dwidja Priyatno (2006: 10) dijelaskan bahwa: Tujuan dari pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah membentuk warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pembinaan pemasyarakatan dimaksudkan membentuk warga binaan agar memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana dan berperan aktif dalam pembangunan sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. e. Tahap-Tahap Pembinaan dalam Lembaga Pemasayarakatan Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, menyebutkan tentang tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
1) Tahap pertama adalah pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua adalah pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurangkurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya. 3) Tahap ketiga adalah pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurangkurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 4) Tahap keempat adalah pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya (Ismail Saleh, 1990: 16) Menurut Surat Edaran K.P.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang pemasyarakatan di Indonesia dalam Dwidja Piyatno (2006: 99pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan meliputi tahap pertama, tahap
Penjabaran tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut: 1) Tahap pertama Setiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan kejahatan, dimana ia tinggal, bagaimana keadaan ekonominya, latar belakang pendidikan dan sebagainya. 2) Tahap kedua Jika proses pembinaan narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah mencapai kemajuan antara lain menunjukkan keinsyafan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan maka, kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak. 3) Tahap lanjutan Bilamana proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah menjalani 1/2 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah dicapai kemajuan yang baik secara fisik maupun mental dan dari segi keterampilan telah baik, maka dapat diperluas dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar tetapi masih dengan pengawasan dari lembaga pemasyarakatan. 4) Tahap akhir Jika proses pembinaan telah dijalani 2/3 masa pidana dan dinyatakan oleh Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah mencapai cukup kemajuan dalam proses pembinaan antara lain bahwa, narapidana telah cukup menunjukkan perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecakapan dan lain-lain. Maka, tempat
atau
wadah
utama dari
proses
pembinaanya ialah
Balai
Pemasyarakatan (BAPAS). Di tempat baru ini, narapidana diberi akan memperoleh pembimbingan sehingga prosesnya bukan lagi pembinaan. Di tempat baru ini, bersamaan dengan ini dipupuk rasa harga diri, tata krama, sehingga dalam masyarakat luas timbul kepercayaannya dan berubah sikapnya terhadap narapidana. Berikut ini, secara ringkas dapat dilihat dalam bagan tentang alur tahapan pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Tahap pertama
Tahap kedua (pembinaan)
Tahap ketiga( lanjutan)
Tahap akhir Gambar 1. Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan f. Metode Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Menurut C.I. Harsono (1995: 431) disebutkan bahwa:
agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Beberapa hal tentang metode pembinaan di lembaga pemasyarakatan dalam
menurut C.I.Harsono (1995: 342-385) meliputi,
lembaga pemasyarakatan meliputi: metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai
dengan
kebutuhan
pembinaan
narapidana,
metode
pembinaan
perorangan (individual treatment), dan metode pembinaan secara kelompok (classical treatment)
Penjelasan mengenai metode pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah sebagai berikut: 1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana. Metode ini dibagi menjadi dua pendekatan yaitu: a) Pendekatan dari atas kebawah (top down approach). Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina atau paket pembinaan dari narapidana yang telah disediakan dari atas. Warga binaan tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina. Paket pembinaan narapidana dengan pendekatan dari atas, dipilihkan materi-materi umum yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri sendiri, pendekatan kepada Tuhan Yang Maha, bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan untuk kehidupan di masa mendatang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Metode pembinaan dengan pendekatan dari atas ke bawah harus memperhatikan faktor situasi artinya pembina harus memiliki kemampuan untuk mengubah situasi yang berbeda dalam sebuah pembinaan, menjadi sebuah situasi yang disukai dan disepakati oleh narapidana sehingga mampu menghilangkan kendala dalam situasi pribadi. Semua narapidana yang ikut dalam pembinaan tersebut akan terikat dalam situasi pembinaan, sehingga tidak seorangpun yang mampu melepaskan diri dari situasi tersebut. b) Pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach) Suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
mempunyai kebutuhan belajar dan minat belajar yang sama. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan setempat. Seringkali seorang narapidana tidak tahu atas kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini dikarenakan narapidana tersebut tidak tahu apa kebutuhan pembinaan narapidana bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. 2) Pembinaan perorangan (individual treatment) Pembinaan perorangan (individual treatment) adalah pembinaan yang diberikan kepada narapidana secara perseorangan oleh petugas pembina. Diterapkannya pembinaan secara perorangan ini dikarenakan tingkat kematangan intelektual, emosi dan logika dari tiap narapidana tidak sama. Namun, pembinaan secara perorangan sangat bermanfaat jika narapidana juga mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Pembinaan secara perorangan juga akan mendekatkan diri antara petugas dengan narapidana, sehingga tidak timbul rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap petugas. 3) Pembinaan secara kelompok (classical treatment) Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode tanya jawab, simulasi, permainan atau pembentukan tim. Dalam pembinaan kelompok, pembina harus mampu mengajak narapidana untuk memahami nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat atau di kelompok untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok. Hal ini dikarenakan, setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga) sehingga nilai positif yang tumbuh dalam kelompok, keluarga, dan masyarakat akan sangat berguna bagi pemahaman hidup masyarakat untuk hidup yang saling bergantungan. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa, metode pembinaan digunakan sebagai sarana bagi warga binaan untuk menyampaikan materi binaan dengan harapan agar pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan akan lebih efektif dan efisien. Berhasil tidaknya pelaksanaan metode
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
pembinaan sangat bergantung pada materi pembinaan, warga binaan, dan pembina. Jika metode yang digunakan tepat maka, proses pembinaan akan dikatakan berhasil yang dapat dilihat dari perubahan sikap atau perilaku warga binaan ke arah yang lebih baik.
g. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan 1) Faktor
Pendorong
Pembinaan
Narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Menurut C. I. Harsono (1995: 36-73) disebutkan bahwa, faktor
yang
mempengaruhi
pembinaan
narapidana
di
lembaga
pemasyarakatan meliputi narapidana, petugas pembina, sarana fisik lembaga pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat Berikut ini penjabaran mengenai faktor-faktor di atas: a) Narapidana Narapidana sebagai subyek sekaligus obyek yang akan menerima pembinaan selama berada di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Artinya, narapidana perlu membina dirinya sendiri dengan merubah diri. Adanya kemauan dan kesadaran dalam diri narapidana sangat menentukan keberhasilan pembinaan. b) Petugas atau pembina Petugas atau pembina merupakan komponen utama dalam menunjang keberhasilan pembinaan. Petugas pemasyarakatan mempunyai tugas pokok membina narapidana. Tanpa bantuan orang lain, petugas pemasyarakatan tetap harus menjalin kerja sama sebagai pembina narapidana. c) Sarana fisik lembaga pemasyarakatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Dengan adanya sarana dan prasarana akan memperlancar keberhasilan pembinaan. Sarana dan prasarana tersebut akan memudahkan petugas untuk menyampaikan materi pembinaan sehingga lebih efektif. d) Keluarga dan masyarakat Keluarga
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
pembinaan
narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, muncul pentingnya hubungan keluarga dengan narapidana untuk memotivasi narapidana agar tidak stres selama di lembaga pemasyarakatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka, keluarga ikut serta membina narapidana dengan membangun kesadaran diri atau self development. Sedangkan masyarakat mempunyai fungsi memberikan motivasi bagi keluarga dan berusaha menerima kehadiran narapidana setelah mereka bebas dari lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang dapat mendorong pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan meliputi
narapidana,
petugas
pembina,
sarana
fisik
lembaga
pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat. 2) Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Menurut Romli Atmasasmita, faktor-faktor yang menghambat pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan antara lain:
) Masalah
peraturan perundangan, b) masalah sarana personalia, c) sarana fisik lembaga pemasyarakatan, dan Atmasasmita, 1982: 15). Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan disebutkan bahwa: Faktor penghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu sikap acuh keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, dan anggaran yang kurang (Ismail Saleh, 1990: 6).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Penjabaran mengenai faktor penghambat di atas adalah sebagai berikut: a) Sikap acuh keluarga narapidana. Sikap acuh tak acuh keluarga narapidana menghambat pelaksanaan pembinaan, karena masih ada keluarga narapidana yang bersangkutan tidak memperhatikan lagi nasib narapidana tersebut. b) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana. Partisipasi masyarakat yang masih perlu ditingkatkan karena masih didapati kenyataan bahwa, sebagian anggota masyarakat masih enggan menerima kembali bekas narapidana. c) Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai. Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai akan menghambat pelaksanaan pembinaan. Oleh sebab itu, haruslah selalu diusahakan agar kualitas petugas dapat mampu menjawab tantangan-tantangan dan masalahmasalah yang selalu ada dalam muncul di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas, hendaknya
dapat
diatasi
dengan
peningkatan
kualitas
dan
pengorganisasian yang rapih sehingga tidak menjadi faktor penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau ketertiban. d) Sarana atau fasilitas pembinaan. Kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumiah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan atau ketertiban. Hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban bagi lembaga pemasyarakatan untuk memelihara dan merawat semua sarana atau fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal. e) Anggaran. Anggaran yang kurang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan sebab anggaran dipergunakan untuk membiayai keperluan peralatan. Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
seluruh program pembinaan, namun hendaklah diusahakan memanfaatkan anggaran yang tersedia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan meliputi masalah dalam diri narapidana, masalah peraturan perundangan, sikap acuh keluarga narapidana,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan
narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, dan anggaran (dana) yang kurang.
6. Tinjauan tentang Good Citizen a. Pengertian Good Citizen Istilah good citizen sering disebut sebagai warga negara yang baik. Good citizen diambil dari istilah bahasa Inggris. Good berarti baik, dan citizen berarti warga negara. Dari kedua pengertian tersebut jika digabungkan bahwa good citizen berarti warga negara yang baik. Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 23) disebutkan bahwa, mengandung pengertian peserta, anggota atau warga dari suatu organisasi perkumpulan. Warga negara merupakan anggota yang sah dari suatu mas Menurut Tunner dalam Winarno (2009: 4-5)
mengatakan bahwa,
a citizen a member of group living under certain laws
warga negara adalah anggota dari sekelompok
manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu. Dikatakan demikian karena warga negara terdiri dari orang-orang yang mengambil peran dalam kehidupan bernegara yaitu yang bisa memerintah dan diperintah. Orang yang memerintah dan diperintah itu sewaktu-waktu dapat bertukar peran dan mereka harus sanggup memainkan peran yang berguna dalam negara. Peran warga negara tersebut meliputi 2 hal yaitu: 1) Peran warga negara dalam kondisi masyarakat demokratis yang sudah mapan dengan iklim politik yang normal yang memiliki aktivitas seperti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
kegiatan partai politik, mengabdikan diri dalam organisasi sosial, dan ikut dalam bela negara. 2) Peran warga negara terlibat aktif dalam berbagai aktivitas dalam masyarakat pluralistik hingga memperoleh pemahaman, bukan mengabaikan situasi berlangsung begitu saja. Menurut Gross dan Zeleney dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 17) mengatakan bahwa: Caharacteristic good citizen bay defining him in of five essential as one who 1) caherises democraic value and bases him action on them, 2) recognizes the work toward their solutions, 3) is aware and takes responsibility for meeting basic human needs, 4) practices democratic human relations in family, school and community 5) proseses and uses knowledge, skill and abilities nessary in a democratic society. Berdasarkan
pengertian
tersebut,
dapat
diterjemahkan
bahwa
karakteristik seorang warga negara yang baik memenuhi salah satu diantaranya, 1) menghargai nilai-nilai demokrasi dan menjadikannya dasar dalam setiap perilaku, 2) menyadari permasalahan-permasalahan sosial dan memiliki keinginan dan kemampuan memberi solusi, 3) menyadari dan mengambil tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, 4) menjunjung demokrasi dalam hubungan keluarga, sekolah dan kelompok, 5) proses dan penggunaan pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab yang dibutuhkan dalam masyarakat demokrasi. Menurut Margaret Stimman Branson dalam Winarno dan Wijianto (2010: 50) menjelaskan mengenai warga negara yang baik adalah sebagai berikut: Warga negara yang baik adalah warga negara yang mau dan mampu berpartisipasi dan bertanggung jawab yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan penerapan nilai warga negara (civic knownladge, skills and valuedes) yang dapat diperoleh dari berbagai disiplin ilmu sosial yang dapat digunakan secara baik guna memudahkannya dalam kehidupannya di masyarakat terutama di dalam membuat keputusan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai individu, anggota masyarakat ataupun warga negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 55) yang menegaskan kembali bahwa, civic knownladge, civic skills dan civic dispositions Berikut ini penjelasan mengenai civic knowledge, civic skills dan civic disposition. 1) Pengetahuan warga negara (civic knowledge) yaitu berkenaan dengan apaapa yang perlu diketahui dan dipahami secara layak oleh warga negara. Pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang: prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum, peradilan yang bebas dan tidak memihak, korupsi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik. 2) Keterampilan warga negara (civic skills) yaitu berkaitan dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh warga negara bagi kelangsungan bangsa dan negara. Keterampilan warga negara (civic skills) meliputi: kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan intelektual meliputi: mengidentifikasikan
(identifying),
menggambarkan
(describing),
menganalisis, menilai, mengambil, dan mempertahankan posisi atas suatu isu (taking and definding position on public issue). Sedangkan kecakapan partisipatoris meliputi: berinteraksi (interacting), mamantau (monitoring), dan mempengaruhi (influencing). 3) Karakter warga negara (civic dispositions) yaitu berkaitan dengan watak, sikap atau karakter kewarganegaraan. Karakter memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Watak kewarganegaraan (civic disposition) menunjuk pada karakter privat dan karakter publik. Dalam karakter privat meliputi: tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu. Sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir kritis, dan kemampuan untuk mendengar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, good citizen memiliki istilah yang sama dengan warga negara yang baik. Sebagai warga negara yang baik, harus mampu menjalankan perannya dalam pembangunan negara. Seseorang dapat dikatakan sebagai warga negara yang baik, apabila memiliki berbagai
kemampuan
kewarganegaraan
atau
tersebut
kompetensi meliputi:
kewarganegaraan. pengetahuan
Kompetensi
kewarganegaraan,
keterampilan kewarganegaraan, dan watak atau karakter kewarganegaraan, serta penerapan nilai kewarganegaraan (civic knownladge, skills, civic disposition, and civic value). Kompetensi tersebut digunakan secara baik dimaksudkan untuk memudahkan warga negara terutama dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai individu, anggota masyarakat, ataupun warga negara. b. Unsur Pembentukan Good Citizen Menurut Van Gunsteren dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 204) disebutkan bahwa: The degree to which people succeed in directing their construction of plurality toward citizenship also depend on supportive instiutution, as well as on the intensity of the emotion and the nature of the identies at stake all factors that to some degree exeed the reach of even the best trained and most rational individuals. Dari pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat empat unsur untuk
mendukung
pembentukan
kewarganegaraan
yang
menentukan
pencapaian warga negara yang telah terlatih dan mampu berfikir secara rasional yaitu kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Dari empat unsur tersebut dikategorikan sebagai syarat warga negara yang baik dalam masyarakat demokratis. Berikut ini penjelasan mengenai keempat unsur tersebut: 1) Unsur kompetensi Kompetensi berarti kemampuan pikir secara baik dan kecakapan sosial praktis. Kemampuan itu meliputi: kecakapan yang terkait dengan potensi diri seperti kemampuan mendengarkan, kemampuan mengungkapkan pendapat, gagasan, dan perasaan secara jelas, dan melatih pengendalian diri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
serta pengetahuan diri. Unsur-unsur kompetensi kewarganegaraan meliputi tindakan berfikir praktis tentang penerapan aturan bagaimana mengatasi kekurangan yang dimiliki dan kegagalan berusaha serta menerima gagasan orang lain sehingga mampu bertindak secara benar. Seseorang warga negara yang baik bukan hanya mampu mengembangkan potensinya semata, melainkan menyadari kelemahan yang ada dalam dirinya dan mampu mengatasi kelemahan itu. 2) Unsur organisasi Warga negara yang kompeten tidak hanya tergantung pada individu dan orang lain, tetapi juga keadaan institusi dimana warga negara itu berada. 3) Unsur identitas Unsur identitas menjadi penting bagi warga negara sebab, dengan identitas inilah seseorang yang sebelumnya tidak dikenal menjadi terkenal. 4) Unsur emosi Emosi bagi warga negara merupakan keniscayaan karena setiap orang pasti mempunyai emosi. Emosi tersebut berupa tindakan yang sifatnya emosional seperti antusiasme, jatuh cinta, takut, solidaritas kelompok, mengalah, dan menghambakan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur yang membentuk seseorang menjadi warga negara yang baik (good citizen) meliputi: kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Keempat unsur tersebut, sebagai syarat menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat demokratis. Dalam penelitian ini, narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan akan diasah kemampuannya melalui pembinaan selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Apabila keempat unsur di atas telah ditanamkan dalam diri narapidana residivis berarti dikatakan telah terbentuk pribadi good citizen.
7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral Menurut Emaile Durkeim dalam Cheppy Haricahyono (1995: 346) disebutkan bahwa, Morality is a sistem of rules of conduct. Morality consist of
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
system of action that predetermine conduc
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa, untuk menjadi bermoral seseorang tidak hanya dituntut untuk sekedar mampu bertindak. Tetapi akan lebih dari pada itu mampu bertindak demi masyarakat dan negara. Peran warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama, dan mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap individu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka, dapat diterima dalam masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di dalam masyarakat. (Ari Mariyono, 2009: 2 diakses dalam http://www.tanahputih.org/artikel/74.) Hal senada disampaikan menurut Bambang Daroeso (1988: 45-46) ekatnya adalah etis, mempunyai potensi untuk menjadi manusia yang bermoral, dan potensi untuk hidup penuh dengan nilai dan norma. Manusia sebagai warga negara yang bermoral berperan penting dalam
Moral warga negara adalah baik-buruknya tindakan, sikap, dan tingkah laku manusia yang menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Moral warga negara menjadi salah satu penentu atau prasyarat kualitas seorang agar berhasil dalam menggerakkan pembangunan di segala bidang kehidupan. Oleh sebab itu, moralitas merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia secara individu maupun secara kelompok, untuk menjadi panduan dasar bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan keteraturan dan ketertiban. Apabila moralitas suatu bangsa buruk maka, yang terjadi adalah kekacauankekacauan yang berujung pada terhentinya pembangunan. (Heru Hendarto, 2011: 1 diakses dalam http://filsafat. kompasiana.com/2011/03/27 ). Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa, hubungan antara warga negara yang baik dengan moral adalah moral sebagai pedoman warga negara untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Setiap warga negara berperan menjalankan kewajiban untuk mematuhi norma yang telah disepakati oleh masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik harus dimulai dengan membangun moral yang baik. Sebab, untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
membangun negara yang damai dan sejahtera harus dimulai dari individu yang bermoral. Moral warga negara menjadi penentu kualitas seseorang agar berhasil menggerakkan pembangunan. Moral warga negara yang baik, akan menimbulkan ketertiban dan mewujudkan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perlu diketahui bahwa warga negara yang baik (good citizen) berbeda dengan orang yang baik (good man). Menurut Winarno (2009: 39) disebutkan bahwa,
good man adalah mereka yang hidup dengan kebajikan dan rasa
hormat dalam kehidupannya. Sedangkan good citizen tidak hanya hidup dengan hal tersebut termasuk kehidupan privat, tetapi juga komitmen untuk berpartisipasi
Menurut Sapriya dalam Winarno (2009: 10) menyebutkan penegasan tentang pendapat Aristoteles yaitu: good citizen dan bad citizen. We must notes different constitution require different type of good citizen, while the good man is always same. Good citizen berbeda dengan good man. Good citizen amat
Selanjutnya Aristoteles mengatakan,
ia dipaksa menjadi warga
negara yang baik meskipun mereka tidak baik secara moral (man is forced to be a good citizen even if not a morally good person) . (Aziz Wahab dan Sapriya, 2009: 55). Dari kedua pendapat di atas dapat diartikan bahwa, antara warga negara yang baik (good citizen) dengan orang yang baik (good man) mengandung arti yang berbeda. Warga negara yang baik (good citizen) belum tentu bermoral sebab, mereka dituntut berperilaku baik karena melaksanakan kewajibannya terhadap negara sesuai dengan konstitusi. Warga negara memiliki kewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara dan mematuhi norma-norma yang ada dalam negara. Negara menerapkan norma hukum yang mengatur warga negara agar mematuhi peraturan perundang-undangan. Sehingga secara otomatis warga negara harus tunduk terhadap konstitusi atau perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara. Hukum bersifat memaksa serta memberikan sanksi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
jika melakukan tindakan yang tidak bermoral atau menyimpang dari peraturan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa, hukum mampu menempatkan diri untuk menciptakan moral dalam diri seseorang. Sedangkan good man atau orang yang baik adalah mereka yang selalu hidup dengan kebajikan dan rasa hormat dalam kehidupannya. Moral telah terbentuk secara alamiah dalam dirinya sehingga mampu menempatkan diri untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang dimilikinya sehingga tanpa dipaksa ia telah memiliki kesadaran untuk bertindak secara moral.
8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pembinaan Moral di Lembaga Pemasyarakatan Menurut Stanley B. Diamond dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 28) mengatakan bahwa: Pendidikan kewarganegaraan memiliki pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas diorientasikan pada citizen education yang menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Sedangkan dalam arti sempit civic education berkaitan dengan kehidupan sekolah dan masyarakat. Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
diketahui
bahwa
pendidikan
kewarganegaraan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas civic education adalah partisipasi dalam masalah kemasyarakatan sedangkan arti sempit berkaitan dengan mata pelajaran dalam sekolah dan masyarakat. Kemudian dijelaskan bahwa, pendidikan kewarganegaraan membahas masalah yang lebih kompleks dan beraneka segi yang mungkin dibutuhkan jika warga negara. Hal tersebut disampaikan oleh Cogan dan Derriot dalam Winarno (2009: 1-4) mengatakan bah sebagai suatu masalah kompleks dalam multidimensi yang terdiri atas 4 dimensi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Penjelasan mengenai dimensi tersebut adalah sebagai berikut: a. Dimensi pribadi Dimensi pribadi diartikan bahwa kewarganegaraan yang multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan sosial. Dalam konteks ini, kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang dibatasi pada suatu mata pelajaran tertentu melainkan membangun iklim sosial dan dapat diidentifikasikan sebagai satu prioritas oleh setiap orang yang terlibat dalam jalannya pendidikan. Jadi, masyarakat umum terutama lembaga masyarakat ikut berperan dalam mengembangkan praktik pendidikan kewarganegaraan kepada lingkungan masyarakat. b. Dimensi sosial Dimensi sosial kewarganegaraan mengakui bahwa, meskipun sifat-sifat pribadi perlu namun tidaklah cukup untuk menghasilkan warga negara multidimensi. Kewarganegaraan merupakan aktivitas sosial yang melibatkan orang yang hidup dan bekerja sama untuk tujuan kewarganegaraan maka, warga negara harus mampu bekerja dan berinteraksi dengan orang lain di dalam berbagai keadaan dan konteks. c. Dimensi spasial Pada dimensi spasial, mengharuskan warga negara mampu hidup dan bekerja pada serangkaian tingkat yang saling berhubungan dari tingkat lokal sampai multinasional. Warga negara harus memandang diri mereka sebagai anggota dari komunitas yang tumpang tindih antar lokal, regional, nasional, dan multinasional. d. Dimensi temporal Dimensi temporal diartikan kewarganegaraan dimaksudkan bahwa warga negara dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang tidaklah begitu terikat pada masa lalu dan masa mendatang. Tetapi kewarganegaraan multidimensi menekankan pada keadaan sekarang dan tantangan agar ditempatkan dalam konteks baik masa lalu maupun masa yang akan datang sebagai solusi pendek semata terhadap persoalan dapat dihindari dan dimanapun memungkinkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
Pendapat lain ditambahkan oleh Winarno dan Wijianto (2010: 62) mengatakan bahwa: diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Sebagai kajian lintas bidang keilmuan, pendidikan kewarganegaraan mempunyai 2 tugas pokok. Pertama, membangun body knowledge dimana pendidikan kewarganegaraan membutuhkan pendekatan ilmu sosial sebagai pendukungnya. Kedua, membangun karakter warga negara sebagai bidang pengembangan. Berdasarkan
uraian diatas
dapat
disimpulkan
bahwa, pendidikan
kewarganegaraan memiliki tujuan yang urgen yaitu menjadikan masyarakat Indonesia agar menjadi warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga mampu mengembangkan peranan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan ternyata membahas sesuatu yang sangat kompleks yang memiliki berbagai aspek yaitu dimensi pribadi, dimensi sosial, dimensi spasial dan dimensi temporal. Dengan demikian, pendidikan kewarganegaraan merangkum tentang bagaimana setiap warga negara dituntut untuk memiliki kepekaan untuk berperan aktif dalam mengatasi terhadap masalah-masalah sosial (masyarakat) dalam setiap ruang dan waktu. Selain itu, pendidikan kewarganegaraan dapat diterapkan dalam lingkup persekolahan maupun masyarakat. Selanjutnya Cogan dan Derriot dalam Winarno (2009: 37) menyebutkan tentang konsep kewargenegaraan secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori yaitu: Sense of identify (perasaan identitas), the enjoyment of certain right (pemilikan hak-hak tertentu), the fulfiment of corresponding obligation (pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai), a degree of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan keterlibatan dalam masalah publik), an acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar). Dari keempat elemen di atas, peneliti menekankan pada elemen ketiga dan keempat dimana kewarganegaraan terdiri atas ragam tanggung jawab, kewajiban dan tugas. Peran kewarganegaraan mencakup atas tanggung jawab untuk ikut andil atau aktif dalam masalah publik. Pendidikan kewarganegaraan menuntut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
agar setiap warga negara mampu menerima nilai-nilai sosial. Hal tersebut disampaikan pula oleh pendapat Winarno ( 2009: 1) mengatakan bahwa: Citizen education diartikan sebagai the constribution of education to the development of those characteristic of being a citizen diartikan sebagai kontribusi atau dampak pendidikan terhadap pengembangan karakteristik yang menandai seorang warga negara. Pendidikan yang dimaksudkan juga diartikan dalam pengertian yang luas mencakup formal, informal, dan nonformal sehingga konteks pendidikan kewarganegaraan harus dikampanyekan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi atau jajaran pemerintahan. Dengan demikian, warga negara mampu menerima nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Winarno dan Wijianto (2010: 68pendidikan kewarganegaraan dapat berlangsung dalam
berbagai lingkup
a. Pendidikan formal taman kanak-kanak atau sekolah dasar sampai perguruan tinggi baik dalam mata pelajaran tersendiri atau terintegrasi. b. Pendidikan formal yang berkaitan dengan lembaga keagamaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Pendidikan nonformal yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. d. Pendidikan kedianasan yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga non departemen. e. Pendidikan di lingkungan perusahaan. f. Pendidikan di lingkungan organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang berkaitan dengan pendidikan dasar kepemimpinan maupun pendidikan perjenjangan kader yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut. Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa, pendidikan kewarganegaraan bukanlah sebuah pendidikan yang dibatasi pada lingkungan formal saja sebagai suatu mata pelajaran kewarganegaraan yang berdiri sendiri namun, dapat dilaksanakan dalam lingkungan nonformal, masyarakat, organisasi, dan perusahanaan. Oleh sebab itu, pendidikan kewargenegaraan dapat diselipkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
atau terintegrasi dalam mata pelajaran lain yaitu pendidikan moral sebab pendidikan moral merupakan bagian dari ranah pendidikan kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran tersebut tidak hanya diajarkan dalam persekolahan tetapi dikembangkan dalam konteks sosial (masyarakat). Seperti yang diungkapkan oleh Cheppy Haricahyono (1995: 209) mengemukakan bahwa: Pendidikan moral dewasa ini dikatakan unik sebab diajarkan dalam berbagai kegiatan pendidikan, dimana pendidikan moral tidak hanya meliput realitas hidup manusia sehari-hari yang nampak dalam kegiatan kelas tetapi mencakup berbagai permasalahan yang terkait dengan eksistensi manusia bahkan yang paling mendasar sekalipun. Selanjutnya ditambahkan oleh Durkeim dalam Cheppy Haricahyono
yang penting dalam segala sesuatu yang berobyekkan masyarakat sehingga berkembang bersamaan dengan ranah sosial, sehingga moralitas dimulai dengan keterlibatan individu dalam masyarakat dan bukan semata untuk merefleksikan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hubungan antara pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan moral adalah bahwa pendidikan moral merupakan disiplin ilmu yang merupakan bagian dari substansi dalam pendidikan kewarganegaraan.
Keduanya sama-sama membahas
mengenai bagaimana
membentuk seorang menjadi warga negara yang baik dan bermoral. Pendidikan kewarganegaraan dalam penelitian ini mengarahkan penyelesaian yang merujuk pada konteks sosial yaitu pendidikan kewarganegaraan berbasis masyarakat (civic community) bahwa, pendidikan kewarganegaraan ikut andil dalam memecahkan masalah publik (sosial). Dalam penelitian ini, sebagai upaya untuk mengatasi masalah publik salah satunya diserahkan kepada lembaga sosial yaitu lembaga pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta) yang terkait dengan penerapan pendidikan moral sebagai salah satu disiplin ilmu dalam pendidikan kewarganegaraan. Sebagai suatu lembaga nonformal, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melaksanakan pembinaan moral sebagai salah satu wujud sebagai upaya merubah narapidana residivis menjadi warga negara yang bermoral.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
Pembinaan moral tersebut dilaksanakan melalui pendidikan agama dan pendidikan moral.
B. Kerangka Berfikir Kerangka berpikir adalah alur pemikiran atau penalaran seseorang yang didasarkan pada masalah penelitian yang digambarkan dengan skema secara sistematik. Atau dapat juga menjelaskan suatu variabel yang mengacu pada landasan teori. Berdasarkan kajian teori di atas, maka penulis dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut: Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Apabila seseorang mengindahkan norma tersebut, maka akan banyak terjadi tindakan menyimpang. Fenomena meningkatnya kejahatan seperti pembunuhan, kekerasan, pencurian dan lain-lain menunjukkan bahwa, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sudah terabaikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan hukum guna menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam upaya menanggulangi masalah kejahatan, dikeluarkan sistem hukum di Indonesia yang dikenal dengan sistem pemidanaan. Sistem pemidanaan di Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pemidanaan mengatur semua perbuatan yang boleh dilakukan dan dilarang yang disertai dengan sanksi pidana yang tegas. Pemidan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan. Sehingga masalah pemidanaan salah satunya diserahkan kepada lembaga pemasyarakatan. Rumah
Tahanan
Negara
Klas
1
Surakarta
sebagai
lembaga
pemasyarakatan melaksanakan pembinaan yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan. Pola pembinaan dimulai dengan membentuk moral narapidana melalui pembinaan mental. Tujuan pembinaan tersebut, diarahkan sesuai dengan UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yaitu agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi kembali perbuatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
tindak pidana. Lebih dari pada itu, narapidana akan dibekali sejumlah penguasaan kompetensi kewarganegaraan dengan harapan menjadi warga negara yang baik (good citizen). Penguasaan kompetensi kewarganegaraan tersebut meliputi: civic knowledge
(pengetahuan
kewarganegaraan),
civic
skills
(keterampilan
kewarganegaraan), dan civic virtue (penerapan nilai-nilai kewarganegaraan). Namun, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa, masih terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Kenyataan ini kemudian mengantarkan pada sebuah asumsi bahwa, pemidanaan yang diberikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta belum memberikan efek jera bagi narapidana residivis. Pengulangan tindak pidana oleh narapidana residivis mungkin ada yang salah dalam mekanisme pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hingga tujuan dari pembinaan itu sendiri yaitu mengembalikan narapidana ke tengah masyarakat tidak tercapai. Pengulangan
tindak
pidana
yang
dilakukan
oleh
narapidana
residivis
menunjukkan bahwa moral yang dimiliki masih rendah. Oleh sebab itu itu, peneliti perlu mengetahui bagaimanakah moral narapidana residivis selama ini yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis menunjukkan bahwa, pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam mengembalikan moral narapidana residivis selama ini belum efektif. Oleh sebab itu, peneliti perlu mengetahui faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis sehingga arah pembentukan good citizen belum tercapai.
Untuk memperjelas keterangan di atas agar memudahkan dalam memahaminya, telah disediakan dalam bentuk skema kerangka berpikir sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Moral Narapidana Residivis Terkait Pengulangan Tindak Pidana
UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan.
Pembinaan Moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Faktor Pendorong Pembinaan
Faktor Penghambat Pembinaan Keberhasilan Pembentukan Good Citizen Narapidana Residivis Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Kualitas dari penelitian kualitatif tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman di dalam menganalisa data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat penelitian yang jelas. Tempat penelitian merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Sesuai dengan tujuan penelitian, penulis memilih lokasi penelitian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang beralamat di Jalan Slamet Riyadi No. 18 Surakarta. Hal ini diambil dengan alasan bahwa peneliti melihat adanya masalah yang menarik untuk diteliti yaitu sebagai berikut: a. Terjadi peningkatan jumlah penghuni narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada tahun 2010-2011. b. Peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian guna mengetahui bagaimana pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta selama ini. c. Tahun 2009 Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mendirikan pondok pesantren sebagai proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM bagi Rumah Tahana Negara di seluruh wilayah Indonesia. Pondok pesantren tersebut sebagai salah satu kegiatan pembinaan agama dalam membentuk pribadi narapidana yang bermoral. 2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari pengajuan judul sampai dengan penyusunan laporan hasil penelitian. Waktu ini meliputi persiapan sampai penyusunan laporan penelitian.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
Jadual kegiatan penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian No
Kegiatan
Feb
1.
Pengajuan Judul
2.
Penyusunan Proposal
3.
Ijin Penelitian
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Penyusunan Laporan
Mar
Apr
Tahun 2011 Mei Jun Jul
Agt Sept Okt
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun penelitian yang bertujuan untuk memahami suatu masalah dan cara pemecahan masalah tersebut. Menurut Lexy J. Moleong (2009: 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa, Penelitian kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orangMenurut H.B Sutopo (2006: 37) disebutkan bahwa, diarahkan pada kondisi asli dimana dan kapan subjek penelitian berada, artinya
Bentuk penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa yang ada di lapangan studinya.
commit to user
Nov
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
Sesuai dengan penjelasan di atas, peneliti akan mendeskripsikan mengenai masalah sebagai berikut: a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. b. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. c. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen. 2. Strategi Penelitian Strategi penelitian diperlukan untuk mengkaji permasalahan yang diteliti secara tepat. Strategi yang dipilih akan digunakan untuk mengamati, mengumpulkan informasi, mengkaji analisis hasil penelitian, dan untuk menetapkan sampel, serta pemilihan instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan informasi. Menurut H.B. Sutopo (2006: 39) dijelaskan bahwa: bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan .
minat penelitinya sebelum peneliti
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi tunggal terpancang. Maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini, mengandung pengertian sebagai berikut: tunggal artinya hanya ada satu lokasi yang akan diteliti yaitu Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta serta pembahasan masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah diuraikan di depan pada bab pendahuluan yaitu a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan, b. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, c. Faktor pendorong dan penghambat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
C. Sumber Data Menurut H.B. Sutopo (2006: 56) menyatakan bahwa, penelitian kualitatif dapat berupa sumber atau informan, peristiwa atau aktifitas, perilaku, tempat atau lokasi, benda, gambar, rekaman, dan Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah yang diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2009: 157) dijelaskan -kata, dan tindakan,
bahwa, selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-
tersebut, pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata, tindakan, sumber data tertulis, dan foto. Sebelum menentukan sumber data, peneliti akan menentukan data apa saja yang ingin peneliti peroleh yang terkait dengan rumusan masalah. Data yang ingin dicari adalah 1. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan, 2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen. Untuk mendapatkan data di atas maka, peneliti dapat menentukan sumber data. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi serta dokumen dan arsip. Untuk lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1. Informan Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2006: 57) menyebutkan bahwa, berupa manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya, karena posisi inilah sumber data yang berupa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan daripada
Menurut M. Burhan Bungin (2008: 138) dijelaskan bahwa, informan dengan maksud tidak selalu menjadi wakil dari seluruh objek penelitian, tetapi yang penting informan memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu
Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan dalam penelitian secara mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber yang mantap. Adapun informan yang diperlukan antara lain: a. Narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang berjumlah 10 orang. b. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 1) Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S. Sos. M.M selaku Kepala Seksi Pelayanan Tahanan. 2) Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan. c. Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: 1) Bapak Suramto selaku Wakil Kepala Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran agama islam. 2) Bapak Didit Santoso, S.Pd selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran agama nasrani. 3) Bapak Slamet S.St. selaku Kepala Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. 4) Bapak Tentrem Basuki, S.Pd. selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinan intelektual. 5) Bapak Wagimin, SE. selaku Staff Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran hukum. 6) Bapak Wiyono, SE. selaku Kepala Seksi Bimbingan Kerja dan Kegiatan berperan sebagai ketua program pembinaan kemandirian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
7) Bapak Sarwono selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan bentuk olah raga. Adapun daftar informan di atas dapat dilihat pada lampiran 1. 2. Peristiwa atau Aktivitas Menurut H.B Sutopo (2006: 58) dijelaskan bahwa, peristiwa atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui bagaimana sesuatu terjadi secara . Aktivitas yang peneliti amati adalah pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Aktivitas pembinaan moral tersebut meliputi: a. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran keagamaan islam di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. b. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. c. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran hukum di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. d. Sikap narapidana residivis setelah diberikan pembinaan (sudah menunjukkan perubahan atau belum). e. Faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan moral seperti: 1) Sikap narapidana residivis saat mengikuti pembinaan. 2) Sikap
pembina
Rumah
Tahanan
Negara
Klas
1
Surakarta
dalam
menyampaikan pembinaan. 3) Sarana dan prasarana yang terkait dengan sarana personil dan fasilitas pelaksanaan pembinaan. 4) Peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 5) Kunjungan keluarga dalam ruang besukan yang terkait dengan motivasi dan dukungan moril terhadap narapidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
3. Tempat atau Lokasi Menurut H.B Sutopo (2006: 60) menyatakan bahwa, adalah berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian. Sering juga m Dalam penelitian ini, lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 4. Dokumen dan Arsip Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak hanya mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna yang tersirat dari dokumen tersebut. Adapun dokumen dan arsip yang digunakan peneliti sebagai sumber data adalah: a. Data jumlah residivis tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (Dapat dilihat lampiran 2). b. Jadual kegiatan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (Dapat dilihat pada lampiran 3). c. Hasil evaluasi perkembangan diri narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik ditinjau dalam laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan tahun 2011. (Dapat dilihat dalam lampiran 4).
D. Teknik Sampling Menurut Lexy J. Moleong (2009: 224) kualitatif, sampling digunakan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (construction). Sampling ialah menggali
Menurut Bogdan dan Biklen dalam H.B. Sutopo (2006: 63) dinyatakan bahwa: Cuplikan dalam penelitian kualitatif sering juga dinyatakan sebagai internal sampling yaitu sampling diambil untuk mewakili informasinya bukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
populasinya, dengan kelengkapan dan kedalamannya yang tidak perlu ditentukan oleh jumlah sumber datanya, karena jumlah informan yang kecil bisa saja menjelaskan informasi tertentu secara lebih lengkap dan benar dari pada informasi yang diperoleh dari jumlah narasumber yang lebih banyak, yang mungkin kurang mengetahui dan memahami informasi yang sebenarnya. Menurut Lexy J. Moleong (2009: 224) menyebutkan bahwa: Dalam penelitian kualitatif, menyarankan sampling yang memadai dapat disusun yaitu bahwa kelompok harus terdiri atas anggota-anggota dari sesuatu populasi yang lebih besar. Peserta dipilih sekitar 20% dari orang-orang yang ada. Pemilihan peserta jangan terlalu besar sehingga partisipasi anggota menjadi sangat berkurang dan jangan terlalu kecil sehingga gagal memperoleh cakupan yang luas dibanding hanya seorang. Bagaimanapun jumlah peserta tergantung tujuan penelitian. Menurut Sugiyono (2010: 300) menyatakan bahwa kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu misalnya orang tersebut paling tahu tentang apa yang peneliti harapkan. Sedangkan snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lamalama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, sehingga mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sampel data akan semakin besar seperti bola salju yang menggenlinding. Jadi, teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan snowball sampling Dari hasil yang didapat setelah melakukan penelitian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta maka, peneliti memperoleh sumber data sebagai berikut: 1. Sumber data secara purposive sampling yaitu a. Sumber data secara purposive sampling dilakukan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebab, mereka merupakan sumber informan yang paling mengetahui terkait dengan moral atas pengulangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
tindak pidana yang dilakukannya. Peneliti mengambil narapidana residivis yang berjumlah 10 orang untuk dijadikan informan dari jumlah narapidana residivis 20 secara keseluruhan (populasi) yaitu tindak pidana pencurian 6 orang, tindak pidana pembunuhan 1 orang, tindak pidana penggelapan 1 orang, tindak pidana kekerasan 1 orang, dan tindak pidana penipuan 1 orang. b. Sumber data secara purposive sampling juga ditujukan petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M selaku Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Klas 1 Surakarta. Beliau adalah sumber data yang paling mengetahui informasi secara mendalam mengenai pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis serta faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good citizen. 2. Teknik snowball sampling ditujukan kepada Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan, dan pembina Rutan yaitu Bapak Suramto, Bapak Didit Santoso, Bapak Slamet S.St, Bapak Tentrem Basuki S.Pd, Bapak Wagimin, Bapak Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono, dan perwakilan 3 orang narapidana residivis. Kepada beberapa sumber data tersebut, maka akan diperoleh data yang lebih lengkap terkait pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis serta faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good citizen. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu, sangat perlu diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil data.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J. (interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (responden) yang
Menurut H.B. Sutopo, (2006: 69) dinyatakan bahwa: Wawancara mendalam (in depth interviewing) yaitu teknik wawancara yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama pada penelitian lapangan dan ingin menggali informasi secara mendalam dan lengkap dari narasumber... .Di dalam melakukan wawancara, situasi akrab harus diusahakan dan dikembangkan peneliti. Menurut Sugiyono (2010: 194-199) mengatakan bahwa,
penelitian
kualitatif terdapat 2 teknik pengumpulan data melalui wawancara yaitu wawancara
Berikut ini penjelasan mengenai wawancara terstuktur dan wawancara tidak terstuktur. a. Wawancara terstruktur adalah teknik pengumpulan data, bila peneliti telah mengetahui pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Dalam melakukan wawancara, pewawancara menggunakan pedoman wawancara. b. Wawancara tidak terstuktur merupakan wawancara yang bebas dimana peneliti hanya menggunakan pedoman wawancara yang tidak tersusun secara sistematis dan lengkap namun hanya berupa garis-garis besarnya permasalahan yang akan ditanyakan. Teknik wawancara ini sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau malahan untuk penelitian yang lebih mendalam. Peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari responden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan. Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) sebab peneliti berusaha menggali lebih dalam untuk memperoleh data yang lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
lengkap. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan kepada petugas dan pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Peneliti telah membuat pedoman wawancara sebelum melaksanakan wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi tentang pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good citizen, serta faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis terkait pembentukan good citizen. Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teknik wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada narapidana residivis sebab informan sulit diajak berinteraksi sehingga sulit diperoleh keterangan darinya dengan maksud untuk mengetahui moral narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Untuk memperoleh data dari informan peneliti berusaha mendengarkan terlebih dahulu beberapa keterangan yang disampaikan oleh informan baru kemudian dapat mengajukan pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan. Adapun pedoman wawancara di atas, dapat dilihat pada lampiran 5, catatan lapangan dengan narapidana residivis, catatan lapangan dengan petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, catatan lapangan dengan pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, dan catatan lapangan dengan perwakilan narapidana residivis secara urut dapat dilihat pada lampiran 6, lampiran 7, lampiran 8 dan lampiran 9. 2. Observasi Menurut H.B Sutopo (2006: 64) data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta
Menurut Susan Sainback dalam Sugiyono (2010: 310) membagi observasi berpartisipasi menjadi empat yang meliputi,
Passive participation, moderate
participation, active participation, dan complete participation
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
Hal tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Partisipasi pasif (passive participation), peneliti datang sendiri di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat. b. Partisipasi moderat (moderate participation), peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipasif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya. c. Partisipasi aktif (active participation), peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh narasumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap. d. Partisipasi lengkap (complete participation), peneliti sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan narasumber data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi partisipasi moderat (moderate participation) yaitu peneliti dalam mengumpulkan data melakukan pengamatan dan juga ikut dalam beberapa kegiatan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan mencatat berbagai hal yang dianggap perlu mendukung penelitian ini, tetapi tidak semuanya. Observasi yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati kondisi dan perilaku pelaku dalam hal ini narapidana residivis pada saat mengikuti pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Mengenai hasil observasi, peneliti melampirkan foto mengenai aktivitas kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun foto-foto hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 10. 3. Analisis Dokumen Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content analysis. Menurut H.B Sutopo (2006: 69) berpendapat bahwa, disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah residivis tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, jadual kegiatan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan dan hasil evaluasi perkembangan diri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik ditinjau dalam laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan tahun 2011.
F. Validitas Data Menurut Sugiyono (2010: 363) dinyatakan bahwa, derajad ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan daya yang
Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh di dalam penelitian atau suatu data yang diakui keabsahannya. Pengujian data dilakukan dengan trianggulasi data untuk menjamin kemantapan dari data penelitian ini. Data yang telah dikumpulkan, diolah, diuji kesahihannya melalui teknik pemeriksaan tertentu. Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara antara lain berupa teknik trianggulasi dan review informan. 1. Trianggulasi Menurut H.B Sutopo (2006: 78) dinyatakan bahwa, cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas dalam peningkatan
Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2006: 78-82) Triangulasi data ada 4 (empat) macam yaitu,
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Triangulasi data atau trianggulasi sumber, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. b. Triangulasi metode, jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode yang berbeda. c. Triangulasi peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
d. Triangulasi teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode.
Trianggulasi data diartikan bahwa, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari informan. Sedangkan trianggulasi metode disini dilakukan peneliti dalam mengumpulkan data dengan metode yang berbeda-beda antara lain dilakukan dengan wawancara, pengamatan dan analisis dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. a. Trianggulasi data dilakukan kepada narapidana residivis yang berjumlah 10 orang dengan mengajukan pertanyaan yang sama melalui metode wawancara dengan maksud untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Selain itu, trianggulasi data juga dilakukan petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro Bc.IP.S.Sos M.M, Bapak Drs. Haryana, Bapak Suramto, Bapak Didit Santoso, S.Pd, Bapak Tentrem Basuki, S.Pd, Bapak Wagimin, SE, Bapak Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono. Kepada beberapa informan tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan maksud untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta khususnya tahapan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis dan juga untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai trianggulasi data dapat dilihat lampiran 11. b.Trianggulasi metode digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral kepada narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta serta faktor pendorong dan penghambat pembinaan moral
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Trianggulasi metode dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis tetapi menggunakan metode yang berbeda yaitu metode wawancara, observasi dan analisis dokumen. Wawancara dilakukan kepada petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro Bc.IP.S.Sos M.M, Bapak Drs. Haryana, Bapak Slamet.S.St Bapak Suramto, Bapak Didit Santoso, S.Pd, Bapak Tentrem Basuki, S.Pd, Bapak Wagimin, SE, Bapak Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono. Berdasarkan data dari hasil wawancara tersebut, kemudian dibandingkan dengan hasil pengamatan dan analisis dokumen. Hasil pengamatan berhubungan dengan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis yaitu aktivitas pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terhadap narapidana residivis dan perilaku narapidana residivis selama mengikuti pembinaan. Sedangkan faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta seperti perilaku narapidana residivis, sarana dan prasarana, dana, dan kunjungan keluarga. Mengenai analisis dokumen meliputi: hasil evaluasi perkembangan diri narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik ditinjau dalam laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan tahun 2011 dan data jumlah residivis tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai trianggulasi metode dapat dilihat lampiran 12. 2. Review infoman H.B Sutopo (2006:83) menyatakan bahwa: Cara ini merupakan usaha pengembangan validitas penelitian yang sering digunakan oleh penelitian kualitatif. Pada waktu peneliti sudah mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya walaupun mungkin masih belum menyeluruh, maka unit-unit laporan yang disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informan pokok (key informan). Setelah peneliti mendapatkan data yang cukup lengkap dari hasil wawancara, observasi dan analisis dokumen, selanjutnya peneliti perlu mengomunikasikan kembali hasil penelitian tersebut kepada sumber informan. Tujuannya adalah apakah data yang diperoleh peneliti itu setelah dicek kembali ke lapangan sudah benar atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
perlu
dilakukan
perbaikan.
Peneliti
melakukan
review
informan
dengan
mengkomunikasikan kembali kepada sumber informan yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. selaku Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 3 September 2011 pukul 09.00 WIB. G. Analisis Data Lexy J. Moleong (2009: 280) menyatakan bahwa, mengatur urutan data, mengorganisasikan data ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti disar Menurut H.B Sutopo (2006 dari tiga komponen utama pokok meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan Sedangkan menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16), disebutkan bahwa, Analisis terdiri dari empat alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan
Adapun komponen utama dalam proses analisis ini sebelum tahap reduksi data adalah pengumpulan data yaitu: 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.
2. Reduksi Data Menurut H.B. Sutopo (2006: 92) berpendapat, dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian Sedangkan Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16) mengatakan bahwa, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan3. Penyajian Data Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 17) disebutkan bahwa, memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengam Sajian data merupakan suatu rakitan dari organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga tabel sebagai pendukung narasinya (H.B. Sutopo, 2006: 93). Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti kemudian menyajikan data yang terkait dengan judul penelitian yaitu pembinaan moral narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun data yang dapat disajikan untuk menjawab rumusan masalah adalah sebagai berikut: a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. b. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. c. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen. 4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Menurut H.B Sutopo (2006: 116) menyatakan bahwa, tidak akan terjadi sampai pada proses pengumpulan data berakhir, simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benarSedangkan Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 19), disebutkan bahwa, sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh... . Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 19) menyatakan bahwa,
sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut Keempat komponen utama tersebut, merupakan suatu rangkaian dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu proses penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena merupakan satu kesatuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Pengumpula n Data Penyajian data
Reduksi Data Kesimpulankesimpulan: Penarikan/ Verifikasi Gambar 3: Analisis Data Model Interaktif (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 20).
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi langkahlangkah sebagai berikut : 1. Tahap Pra Lapangan Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan mulai dari penentuan lokasi penelitian, meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta mengurus perijinan guna melaksanakan penelitian di lapangan. 2. Tahap Pelaksanaan Lapangan Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi : a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen. b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
3. Tahap Analisis Data Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi : a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian. b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check dengan temuan di lapangan. c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang dianggap lebih ahli. d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi : a. Penyusunan laporan awal. b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian dilakukan perbaikan laporan. c. Penyusunan laporan akhir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Deskripsi lokasi penelitian adalah tahapan dimana data yang diperoleh peneliti di lapangan penelitian yaitu di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen dikumpulkan, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Aspek-aspek yang diteliti dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 2. Struktur organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 3. Proses penerimanaan, pendaftaran dan penempatan narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 4. Kondisi warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 6. Bentuk-bentuk kerja sama Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan berbagai instansi yang terkait dengan pelaksanan pembinaan. Aspek-aspek tersebut akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Berdasarkan UU No. 12 tahun 1995 pasal 1 tentang pemasyarakatan Pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemindahan dalam tata peradi
Untuk menerapkannya, dilaksanakan dengan menggunakan sistem
pemasyarakatan yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, serta berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu, untuk menjadi warga
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
negara yang baik, warga binaan perlu dibekali beberapa kompetensi dasar dimana mereka peroleh dari pembinaan selama di Rutan atau lembaga pemasyarakatan. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi kewarganegaraan berupa pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan dan watak kewarganegaraan (civic knowledge, civic skils dan civic dispositions). Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana residivis disediakan suatu lembaga pemasyarakatan yang berfungsi sebagai sarana pembinaan. Disebutkan pula bahwa, setiap Ibukota Kabupaten dan Kotamadya idealnya didirikan lembaga pemasyarakatan. Namun dalam kenyataannya, tidak semua narapidana dapat ditempatkan lembaga pemasyarakatan, tetapi ada juga yang ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Di Karisidenan Surakarta, narapidana residivis yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yaitu lembaga pemasyarakatan Sragen. Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.03.UM.01.06 tahun 1983 tentang penetapan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, disebutkan pula bahwa Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta disamping sebagai Rutan, juga ada beberapa ruangan yang digunakan sebagai lembaga pemasyarakatan. Peneliti melakukan penelitian di kota Surakarta. Di kota Surakarta tidak terdapat lembaga pemasyarakatan namun hanya ada Rumah Tahanan Negara (Rutan). Karena tidak terdapat lembaga pemasyarakatan maka, sebagian besar narapidana ditempatkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Lokasi penelitian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 18 Surakarta. Lokasi
tersebut
tidak
sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Kehakiman
No.M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan yang menganjurkan agar letak bangunan berada di luar kota. Pada kenyataannya, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta justru berada di tengah kota. Meskipun tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, terdapat keuntungan yang diperoleh dengan letak Rumah Tahanan Negara (Rutan) di tengah kota yaitu kemudahan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
hal transportasi, komunikasi, penerangan, air bersih, dan jauh dari kemungkinan bencana alam. Bangunan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 8110 m2. Bila dilihat dari luar masih kelihatan menggunakan model bangunan lama karena merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang didirikan pada tahun 1878 dan terakhir direnovasi pada tahun 1983. Sampai sekarang baru sekali mengalami renovasi sehingga beberapa ruangan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sudah tidak layak huni. Terletak dibagian sebelah depan yaitu bangunan di sebelah selatan sendiri dan memiliki dua lantai. Karena ruang kantorkantor mulai dari Kepala Rumah Tahanan Negara hingga Kepala Seksi-Seksi dan Sub Seksi berada disini, kecuali untuk kantor Kepala Seksi Pelayanan Tahanan, kantor Sub Seksi Bantuan dan Penyuluhan (Ban-Huk), kantor Bimbingan Kerja dan Kegiatan (Bim-Keg). Kantor Sub Seksi Bantuan dan Penyuluhan (Ban-Huk), terletak di dalam bersebelahan dengan ruang klinik, sebelah barat aula dan di utara masjid Rutan bernama masjid An-Nur sebagai pembinaan keagamaan islam. Sedangkan kantor Bimbingan Kerja dan Kegiatan berada di dalam gedung bengkel kerja yang terletak di sebelah utara klinik. Penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terdiri dari narapidana dan tahanan yang kapasitas daya tampung keseluruhannya mencapai ±600 orang. Namun saat peneliti melakukan penelitian, berdasarkan data dari Kepala Seksi Administrasi dan Perawatan menyebutkan bahwa penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berjumlah hingga bulan Juni 2011 sebanyak 597 orang, yang terdiri dari narapidana dan tahanan baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan daftar laporan registrasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, penghuni narapidana residivis sendiri terhitung per bulan Juni tahun 2011 sebanyak 20 orang. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki blok-blok yang berisi selsel. Pengertian Blok adalah bangunan yang terdiri dari beberapa kamar yang ditempati oleh warga binaan dengan klasifikasi tertentu. Seperti jenis kelamin, status warga binaan tersebut, apakah tahanan atau narapidana serta khususnya narapidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
dengan tindak pidana kriminal, narkoba dan terorisme. Fasilitas dalam setiap blok ada kamar mandi, cuci, dan kakus (MCK). Dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terdapat empat blok yaitu blok A, B, C, dan D, ditambah satu ruang khusus straff cell. Dalam blok-blok dibagi dalam kamar-kamar. Kamar terbagi menjadi dua jenis yakni kapasitas besar dan kecil. Kapasitas besar dapat menampung maksimal 40 orang sedangkan kamar kapasitas kecil menampung maksimal 6 orang. Untuk kamar di straff cell ada 3 kamar, tiap kamar berisi satu orang. a. Blok A Blok A terdiri dari 8 kamar meliputi kamar ukuran kecil dan kamar ukuran sedang. Blok A dihuni oleh warga binaan perempuan baik yang bersangkutan masih berstatus tahanan maupun narapidana, tanpa membedakan jenis kasusnya. Artinya blok A dihuni oleh warga binaan yang jenis kelaminnya perempuan saja atau waria dengan catatan atas persetujuan Kepala Rutan. b. Blok B Blok B terdiri atas 11 kamar yang terdiri dari 4 kamar ukuran kecil, 2 kamar ukuran sedang, dan 5 kamar ukuran besar. Blok B dihuni oleh tahanan laki-laki yang statusnya tersangka maupun terdakwa. Blok ini diperuntukan bagi warga binaan yang statusnya masih tahanan yaitu selama dalam proses penyidikan atau proses pengadilan sebelum diputuskan oleh hakim pengadilan. c. Blok C Blok C terdiri dari 4 kamar yang semuanya merupakan kamar besar. Blok C khusus dihuni oleh warga binaan yang berstatus narapidana dengan kasus kriminal. Kasus kriminal diantaranya pembunuhan, perampokan, perjudian, penodongan, penipuan, pemerkosaan, penggelapan, pencurian, penganiayaaan, penjambretan dan korupsi. Khusus bagi narapidana residivis, dibuatkan blok kamar tersendiri sehingga terpisah dengan narapidana lain. Narapidana residivis ditempatkan di kamar 2 yang menampung sampai 40 orang. Alasan penempatan narapidana residivis secara terpisah dengan narapidana biasa dikarenakan faktor keamanan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
Sebab dikhawatirkan memberikan pengaruh buruk bagi narapidana bukan residivis yang kemudian menimbulkan kekacauan. d. Blok D Blok D terdiri atas 9 kamar meliputi 1 kamar ukuran besar dan 8 kamar ukuran kecil. Blok D diperuntukkan bagi warga binaan yang statusnya tahanan maupun narapidana dengan kasus narkoba berjenis kelamin pria. e. Straff cell atau ruang isolasi Selain keempat blok kamar di atas, terdapat sel khusus untuk pengasingan yang disebut dengan straff cell. Straff cell atau sel isolasi yaitu sel khusus yang difungsikan untuk memberikan shock therapy atau hukuman disiplin khusus bagi warga binaan yang melanggar tata tertib Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang dipandang sangat meresahkan atau mengganggu jalannya pembinaan serta keamanan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta misalnya perkelahian antar narapidana. Straff cell berukuran 1 m dibanding 2,5 m cukup untuk satu orang yang terdiri dari 3 kamar. Sebelum warga binaan yang dimasukan ke dalam straff cell akan diberikan peringatan terlebih dahulu. Namun, jika dengan teguran ia masih tetap membandel maka, akan dimasukkan kesana. Selanjutnya, jika ia melakukan pelanggaran lagi terhadap tata tertib maka, akan dilaporkan polisi untuk dibuat Berita Acara. Dilaporkan polisi apabila warga binaan telah melakukan tindak pidana di dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta misalnya melakukan pemerasan antar narapidana, memakai obat-obat terlarang (narkoba), penganiayaan, dan lain-lain yang merupakan peristiwa hukum. Dalam sel isolasi yang bersangkutan tidak bisa keluar dari selnya paling lama 7 hari sesuai dengan Prosedur Tetap (Protap) yang ada. 2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) Jawa Tengah yang terletak di Jalan Dr. Cipto No.64 Semarang yang mempunyai tugas pokok dan fungsi merawat dan membina narapidana, tahanan, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
anak didik pemasyarakatan dalam rangka proses pemasyarakatan. Agar pelaksanaan pembinaan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan susunan pengurus organisasi. Susunan pengurus organisasi didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I No.M.04 PR 07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Berikut Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Kepala Rumah Urusan Tata Usaha
Kepala K.P. Rutan
Ka.Subsi Keu & Perlengkp
K. Regu Pengamanan
Staff
Ka. Seksi Pengelolaan Rutan
Ka. Subsi Umum
Ka.subsi Adm & Perawatan
Staff
Staff
Ka. Seksi Pelayanan Tahanan
Ka. Subsi Ban-Huk & Penyuluhan
Ka. Subsi Bimb. Keg
Staff
Staff
Gambar 4. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Agar memudahkan memahami susunan struktur organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berikut ini penjelasan mengenai tugas dari setiap bagian : a. Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan). Tugas Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah melaksanakan perawatan terhadap terdakwa dan tersangka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) berfungsi atas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
pelayanan tahanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan, melaksanakan pengelolaan Rutan, dan melaksanakan urusan tata usaha. Kepala Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang menjabat saat ini adalah Azwar, Bc,IP. SH.MM. b. Seksi Pelayanan Tahanan. Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan pengadministrasian dan perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan serta memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan. Kepala seksi Pelayanan Tahanan saat ini dipimpin oleh Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M. Untuk melakukan tugas tersebut, seksi pelayanan tahanan mempunyai fungsi : 1) Melakukan pengadministrasian, membuat statistik dan dokumentasi tahanan serta memberikan perawatan dan pemeliharaan kesehatan tahanan. 2) Mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan bagi tahanan. 3) Memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan. Seksi Pelayanan Tahanan terdiri atas 3 (tiga) bagian yaitu: 1) Sub Seksi Administrasi dan Perawatan. Mempunyai tugas melakukan penataan tahanan dan barang-barang bawaannya, membuat statistik dan dokumentasi serta memberikan perawatan dan mengurus kesehatan tahanan. Sub Seksi Administrasi dan Perawatan saat ini dipimpin oleh Dra. Cariati Mahanani. 2) Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan. Mempunyai tugas mempersiapkan pemberian bantuan hukum dari penasehat hukum, memberikan penyuluhan rohani dan jasmani serta mempersiapkan bahan bacaan bagi tahanan. Sub Seksi Bantuan hukum dan penyuluhan saat ini dipimpin oleh Slamet, S.St. 3) Sub Seksi Bimbingan Kegiatan. Mempunyai tugas bimbingan kegiatan tahanan. Sub Seksi Bimbingan Kegiatan saat ini dipimpin oleh Wiyono, SE.
c. Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang saat ini dipimpin oleh Drs. Haryana mempunyai tugas melakukan pengurusan keuangan, perlengkapan dan rumah tangga Rumah Tahanan Negara (Rutan). Untuk menyelenggarakan tugas-tugas tersebut Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan) mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Melakukan urusan keuangan dan perlengkapan. 2) Melakukan urusan rumah tangga dan kepegawaian Seksi Pengelolaan Rutan dalam tugasnya dibantu 2 (dua) sub seksi yang terdiri dari: 1) Sub Seksi Keuangan dan Perlengkapan. Mempunyai tugas melakukan urusan keuangan dan perlengkapan Rutan. Dipimpin oleh Suwondo, SE. 2) Sub Seksi Umum. Mempunyai tugas melakukan urusan rumah tangga dan kepegawaian. Dipimpin oleh Drs. Sutarjo. d. Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) Kesatuan Pengamanan Rutan mempunyai tugas melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan. Adapun tugas dari Kesatuan Pengamanan Rutan adalah sebagai berikut: 1) Melakukan administrasi keamanan dan ketertiban Rutan. 2) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap tahanan. 3) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan. 4) Melakukan penerimaan, penempatan dan pengeluaran tahanan serta memonitor keamanan dan tata tertib tahanan pada tingkat pemeriksaan. 5) Membuat laporan dan berita acara pelaksanaan pengamanan dan penertiban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
Sasaran pengamanan diarahkan pada Rutan dengan perangkat sarana dan prasarana yang meliputi : 1) Tahanan. 2) Pegawai. 3) Bangunan dan perlengkapannya. 4) Anggota regu kerja. Agar Kesatuan Pengamanan Rutan dapat menjalankan tugas sesuai dengan yang diharapkan, Kesatuan Pengamanan Rutan dipimpin oleh seorang Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan yaitu Oga Giofanni Darmawan, Amd.IP, S.Sos, S.H, M.Si yang membawahi 5 regu petugas penjagaan, dimana setiap regu terdiri dari 14 orang dan bertugas secara bergilir selama 24 jam. e. Urusan Tata Usaha yang mempunyai tugas untuk melakukan surat-menyurat dan kearsipan. Surat-surat yang berasal dari instansi lain harus melalui urusan tata usaha untuk diagendakan. Urusan tata usaha dipimpin oleh Lusita, S.Sos. 3. Proses Penerimanaan, Pendaftaran, dan Penempatan Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta a. Penerimaan Narapidana Dalam menerima penghuni baru, Rutan tidak bisa melakukan dengan sesuka hati, namun harus melalui prosedur aturan Rutan yang mana melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1) Dalam penerimaan narapidana yang baru masuk Rutan harus disertai dengan surat-surat keterangan yang sah (surat penetapan atau perintah dari Pengadilan Negeri atau Kepolisian). 2) Penerimaan narapidana pertama kali dilakukan oleh penjaga pintu gerbang yang sedang bertugas dan telah ditunjuk oleh Kepala Kesatuan Pengamanan Rutan. 3) Regu jaga yang menerima narapidana segera memeriksa surat-surat yang dibawa adalah sah atau tidak, serta mencocokkan identitas narapidana dengan surat keterangan yang dibawa tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
4) Regu jaga yang menerima narapidana kepada komandan regu jaga. 5) Komandan jaga meneliti dan memeriksa ulang surat-surat tersebut, barang bawaan dan mencocokkan surat-surat tersebut dengan diri narapidana yang bersangkutan. 6) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan, dilakukan penggeledahan terhadap narapidana tersebut. 7) Dalam melakukan penggeledahan tetap memperhatikan norma-norma yang berlaku yaitu bila narapidana tersebut adalah wanita maka petugas yang menggeledahnya pun juga harus petugas wanita. 8) Jika dalam penggeledahan tersebut ditemukan barang-barang yang berbahaya, maka barang tersebut diamankan oleh petugas. 9) Setelah
penggeledahan
selesai
dilakukan
maka
komandan
jaga
memerintahkan anggota regu jaga untuk mengantarkan narapidana beserta surat-surat dan barang-barangnya kepada petugas pendaftaran di bagian sub seksi administrasi. b. Pendaftaran Narapidana 1) Petugas bagian pendaftaran memeriksa kembali surat keterangan (perintah atau penetapan) dan mencocokkannya dengan diri narapidana yang bersangkutan. 2) Mencatat identitas narapidana pada buku register B. 3) Memeriksa kembali barang-barang bawaan narapidana, kemudian dicatat dalam buku penitipan barang, selanjutnya barang-barang tersebut diberi label misalnya ditulis nama pemiliknya. 4) Perhiasan maupun barang-barang berharga lainnya dicatat dalam buku register D, selanjutnya barang-barang tersebut disimpan dalam lemari besi. 5) Petugas pendaftaran mencatat identitas narapidana, mengambil sidik jari, serta mengambil foto narapidana yang bersangkutan. 6) Dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter maupun petugas medis di Rutan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
7) Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat berita acara narapidana yang ditandatangani bersama dengan petugas pendaftaran atas nama Kepala Rutan. c. Penempatan narapidana 1) Petugas baru ditempatkan dalam blok penerimaan dan pengenalan lingkungan dan wajib mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan. 2) Narapidana yang memiliki penyakit menular, dikarantina agar tidak menular pada narapidana yang lain dan dicatat dalam buku khusus. Bila pihak Rutan tidak bias mengatasi penyakit tersebut maka narapidana dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 3) Setiap narapidana wajib diteliti latar belakang kehidupannya untuk kepentingan pembinaan seperti identitas diri, riwayat pendidikan, latar belakang keluarga, pekerjaan, dan potensi diri (minat dan bakat atau keterampilan yang dimiliki). 4) Dalam penempatan narapidana harus memperhatikan penggolongan mereka yang didasarkan pada: umur, jenis kelamin, residivis, jenis tindak pidana, lama masa hukuman. 5) Khusus narapidana residivis, akan ditempatkan secara khusus pada blok tersendiri yaitu di Blok C agar tidak mengganggu narapidana biasa yang dapat memberikan pengaruh buruk. 6) Untuk mengetahui data penghuni blok dapat dilihat pada papan yang ditempel di sebelah kanan/kiri pintu setiap kamar, informasi berupa nama, lama masa hukuman, nomor, tanggal keluar dari Rutan. 7) Pengenalan lingkungan dilakukan petugas blok dengan bekerja sama dengan Ban-Huk (Bantuan Hukum) untuk memberikan penjelasan tentang hak dan kewajiban narapidana serta pengenalan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. Namun, untuk narapidana residivis tidak dilakukan pengenalan lingkungan sebab sebelumnya mereka telah menjalani pemidanaan di Rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sehingga telah mengetahui kondisi lingkungan Rutan. 8) Guna mendukung pelaksanaan proses pembinaan, maka Rutan menyerahkan tugas secara khusus kepada pembina pemasyarakatan dan petugas pengamanan pemasyarakatan. Sedangkan penilaian pelaksanaan pembinaan dilaksanakan oleh wali pemasyarakatan dan TPP
(Tim
Pengamat
Pemasyarakatan). 4. Kondisi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta a. Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menampung warga binaan yang berstatus tahanan dan narapidana. Tahanan adalah orang yang dikenakan hukuman sementara untuk menunggu keputusan dari hakim. Sedangkan narapidana adalah orang yang telah mendapat putusan hakim memiliki kekuatan hukum tetap menjalani pidana yang hilang kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan. Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikelompokkan menjadi 2 kelas penggolongan yaitu: 1) Narapidana dijatuhi hukuman kurang dari 1 tahun. 2) Narapidana yang dijatuhi hukuman lebih dari 1 tahun atau 12 bulan. Narapidana yang masa hukumannya kurang dari 1 tahun akan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sedangkan bagi narapidana yang sisa masa hukumannya lebih dari 1 tahun atau 12 bulan, akan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan terdekat yaitu lembaga pemasyarakatan Sragen atau lembaga pemasyarakatan lainnya setelah menjalani masa pidana 1 tahun di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Pertimbangannya adalah biaya yang murah dan agar narapidana tersebut tidak jauh dari domisilinya. Bertujuan agar pihak keluarga tidak kesulitan untuk menjenguk atau membesuk, karena adanya kedekatan dengan keluarga akan menentramkan jiwa narapidana sehingga akan meminimalisir kemungkinan tekanan jiwa yang akhirnya menyulitkan proses
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
pemulihannya. Pemindahan narapidana harus mendapatkan rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah (Ka.Kanwil) Departemen Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) provinsi Jawa Tengah. Narapidana yang sisa masa hukumannya lebih dari 12 bulan atau 1 tahun namun karena masih diperlukan tenaganya atau keahliannya untuk membantu Rutan maka, yang bersangkutan dapat diajukan untuk tidak dipindah. Warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang berstatus narapidana dan tahanan berseragam kaos warna biru muda. Di bagian belakang tamping berseragam berwarna biru tua dan diberi kartu identitas diri. Tamping merupakan istilah oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bagi narapidana yang diberi kepercayaan untuk membantu petugas pemasyarakatan menyelesaikan tugasnya. Tamping merupakan narapidana yang diberi lisensi khusus melalui berbagai penilaian yang kemudian diajukan ke Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk menyalurkan keahliannya. Tamping diperuntukkan hanya pada narapidana kasus kriminal tidak untuk kasus narkoba dan terorisme. Adapun jumlah warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta keseluruhan baik yang berstatus sebagai tahanan maupun narapidana pada bulan Juni 2011 yang terlihat dalam tabel berikut : Tabel 2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011 Narapidana Jumlah total Anak Pemuda Dewasa Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita -
7 7
28
28
commit to user
174
16 190
255
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
Tahanan Anak
Pemuda
Jumlah total
Dewasa
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
11
1
51
3
256
20
12
54
276
342
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 23 Juni 2011. Keterangan dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, jumlah penghuni atau warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta secara keseluruhan adalah 597 orang, dimana terdiri dari 255 yang berstatus narapidana dan 342 yang berstatus tahanan. b. Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyebut narapidana residivis dengan perdikat R atau residivis. Sejak narapidana residivis pertama masuk Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, akan diberi tanda mana R khususnya dalam buku register yang berkode tulisan warna merah dengan maksud untuk memudahkan petugas untuk mencari data narapidana residivis. Jumlah narapidana residivis pada bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah 20 orang. Mengenai daftar nama narapidana residivis pada bulan Juni 2011 adalah sebagai berikut: Tabel 3. Daftar Nama Narapidana Residivis pada Bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta No. Nama Kasus Terakhir (KUHP) Masa Intensitas Residivis Pidana Pengulangan Tindak Pidana 1 Bayu Waluyo Pasal 378 KUHP (Penipuan) 9 bulan 2 kali 2. Afif Solokhin Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 4 kali Turut Serta) 3 Pradana Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 5 kali Setiawan Turut Serta) 4 Tedy Pasal 372 KUHP 1 tahun 6 2 kali (Penggelapan) bulan Surahman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
5.
Handoko Hartanto Suwandi
Sri Pasal 365 KUHP (Pencurian 12 bulan 3 kali dengan Kekerasan) 6. Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 3 kali Turut Serta) 7. Ramlan Butar Pasal 365 KUHP (Pencurian 12 bulan 3 kali dengan Kekerasan) 8 Rohadi Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 4 kali Turut Serta) 9 Dwi Martanto Pasal 340 KUHP 5 tahun 2 kali (Pembunuhan Berencana) 10 Iwan Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 2 kali Turut Serta) 11 Marcus Pasal 362 KUHP 1 tahun 2 7 kali Sudarmo (Pencurian) bulan 12. Agus Waluyo Pasal 170 KUHP 1 tahun 4 5 kali (Kekerasan) bulan 13 Boro Enteng Pasal 170 KUHP 1 tahun 4 3 kali (Kekerasan) bulan 14 Ardi Eli.L Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 4 kali Turut Serta) 15 Eko Tri Pasal 363 KUHP (Pencurian 3 kali 5 bulan Hartanto Turut Serta) 16 Triyadi Pasal 363 KUHP (Pencurian 5 bulan 2 kali Turut Serta) 17 Siswanto Pasal 362 KUHP 1 tahun 2 4 kali (Pencurian) bulan 18 Kusnadi Pasal 365 KUHP (Pencurian 12 bulan 3 kali dengan Kekerasan) 19 Puji Pasal 365 KUHP (Pencurian 12 bulan 2 kali Hariyanto dengan Kekerasan) 20 Dedi Rosadi Pasal 362 KUHP 1 tahun 2 2 kali (Pencurian) bulan Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 23 Juni 2011. 5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Petugas Rumah Tahanan (Rutan) merupakan unsur aparatur negara yang bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam usaha mencapai tujuan nasional, sehingga sebagai petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
Surakarta tidak terlepas juga dari tugas pembinaan dan tugas keamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan. a. Petugas Pembinaan atau Pembina Rutan Petugas pembinaan berfungsi membina narapidana residivis dalam usaha memberikan bekal kepada narapidana untuk hidup bermasyarakat sehingga warga negara yang baik (good citizen), bermoral, taat terhadap norma, dan tidak mengulangi perbuatan tindak pidana. Adapun nama petugas pembinaan atau pembina di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai berikut: Tabel 4. Petugas Pembinaan atau Surakarta No. Nama Pembina Rutan 1. 1. Bapak Suramto 2. Bapak Tentrem Basuki, S.Pd 2. 1. Bapak Didit Santoso, S.Pd 2. Ibu Salome Titalo 3. Bapak Herman Songkoloyo 3. Bapak Slamet, S.St
4. Bapak Tentrem Basuki, S.Pd 5. Bapak Wagimin, SE 6. Bapak Wiyono, SE
Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Program Pembinaan Pembinaan Kesadaran Agama Islam
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Pembinaan Intelektual
Bantuan Hukum dan Penyuluhan Bantuan Hukum dan Penyuluhan Bimbingan Kerja dan Kegiatan
7. Bapak Sarwono
Pembinaan Kesadaran Hukum Pembinaan Keterampilan Untuk Usaha Mandiri Pembinaan Olah Raga
Bantuan Hukum dan Penyuluhan Sumber Data: Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tahun 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
b. Petugas Pengamanan Rutan Petugas pengamanan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dilaksanakan oleh Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) berfungsi menjaga keamanan dan memelihara ketertiban Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam mencegah pelarian narapidana keluar tembok Rutan, melakukan penjagaan, pengawasan terhadap tahanan, melakukan penerimaan, penempatan, dan pengeluaran tahanan, serta memonitor tata tertib tahanan pada tingkat pemeriksaan. Dalam pelaksanaannya, petugas pengamanan Rutan dibantu oleh petugas regu jaga yang bertugas secara bergilir selama 24 jam. Kesatuan pengamanan Rutan (KPR) membawahi 2 sub kelompok area kerja pengamanan Rutan. 1) Sub kelompok pertama berkewajiban menjaga keamanan secara umum lingkungan Rutan, baik yang menjaga keluar masuknya warga binaan dalam pintu blok dan orang-orang yang akan masuk Rutan. Yang dimaksud pihak luar disini adalah pihak kepolisian, pengacara, utusan dari instansi lain yang berkepentingan baik jaksa maupun pengadilan atau kedinasan atau departemen tertentu dan pembesuk serta pihak lain yang berkepentingan dengan Rutan. 2) Sub kelompok kedua terdapat 4 (empat) regu. Tiap regu berkekuatan kurang lebih 16 orang. Tiap regu mempunyai satu komandan dan wakil komandan. Sistem kerjanya dengan bergantian (shift) pagi, siang, dan malam dengan libur 2 hari setiap minggunya. Untuk waktu shift adalah sebagai berikut: a) Shift pagi
: Pukul 07.00WIB s.d 13.00 WIB.
b) Shift siang
: Pukul 13.00 WIB s.d 20.00 WIB.
c) Shift malam
: Pukul 20.00 WIB s.d 07.00 WIB.
Shift pagi bertugas membukakan pintu-pintu blok kamar di masing-masing dan petugas shift siang untuk mengunci pintu-pintu dan sel-sel kamar. Pada setiap pergantian shift terdapat berita acara penyerahan tugas dan hasil selama penjagaan dari petugas penjaga shift sebenarnya kepada petugas penjaga yang menggantikannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
6. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan Berbagai Instansi yang Terkait dengan Pelaksanaan Pembinaan Dalam pelaksanaan pembinaan, Rutan Klas 1 Surakarta menjalin kerjasama dengan beberapa instansi pemerintah maupun swasta. Bentuk kerja sama tersebut adalah sebagai berikut: a. Kerja sama dengan Departemen Agama yang berupa pengiriman seseorang pembimbing rohani yang bertugas memberikan bimbingan, ceramah dan pengetahuan agama dan memberikan sumbangan berupa buku-buku pendidikan agama. b. Kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional yaitu berupa program pemberantasan buta huruf dan perpustakaan keliling. c. Kerjasama dengan Departemen Kesehatan yaitu program pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologis warga binaan. d. Kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja yaitu program pemberian latihan kerja yang dianggap penting dalam proses pembinaan. e. Kerja sama dengan Yayasan Wisata Hati yaitu pengiriman ustad dari Pondok
f. Kerjasama dengan masyarakat baik kelompok atau perorangan. Biasanya dilaksanakan eks narapidana atau lembaga swadaya masyarakat.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian Deskripsi masalah penelitian merupakan tahapan dimana peneliti memperoleh an moral narapidana residivis
data
dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Data tersebut disajikan sesuai dengan rumusan masalah dalam bab pendahuluan. Adapun aspek-aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu 1. Moral narapidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan, 2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen. Aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana seseorang telah memiliki pemahaman moral yang kemudian mampu mengaplikasikan dalam tindakannya. Tindakan yang dilakukan, tentu saja harus sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Apabila seseorang telah melanggar norma maka, ia dikatakan tidak bermoral. Hal tersebut nampak pada narapidana residivis yang melakukan perbuatan tindak pidana. Mereka dikatakan tidak bermoral disebabkan melakukan tindakan yang dilakukan melanggar norma hukum. Sebutan narapidana residivis berarti seseorang yang pernah menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan, kemudian setelah keluar ia mengulangi perbuatan tindak pidana baik yang sejenis maupun tidak, sehingga harus menjalani pemidanaan kembali. Penelitian dalam rumusan masalah ini, dimaksudkan untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang meliputi a. Identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Pengetahuan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, c. Perasaan moral narapidana residivis atas tindak pidana yang dilakukan, d. Latar belakang pendidikan moral yang diperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
narapidana residivis, e. Perilaku narapidana residivis terkait pengulangan tindak pidana (tindakan moral). Berikut ini penjelasan mengenai aspek-aspek tersebut: a. Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana atau Kejahatan yang Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Identifikasi dilakukan guna mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan apa saja yang dilakukan narapidana residivis. Setelah peneliti melakukan melakukan obeservasi pada Sub Seksi Administrasi dan Perawatan, peneliti mendapatkan data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana residivis. Adapun data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tabel 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta No. Nama Residivis Tindak pidana yang pernah dilakukan 1 Bayu Waluyo Pencurian dan Penipuan 2. Afif Solokhin Pencurian 3 Pradana Setiawan Pencabulan dan Pencurian 4 Tedy Surahman Pencurian dan Penggelapan 5. Handoko Sri Hartanto Pencurian 6. Suwandi Pencurian 7. Ramlan Butar Pencurian 8 Rohadi Penipuan, Kekerasan, dan Pencurian 9 Dwi Martanto Pencurian dan Pembunuhan 10 Iwan Kekerasan dan Pencurian 11 Marcus Sudarmo Penganiayaan dan Pencurian 12. Agus Waluyo Pencurian dan Kekerasan 13 Boro Enteng Pencurian dan Kekerasan 14 Ardi Eli.L Pencurian 15 Eko Tri Hartanto Pencurian 16 Triyadi Pencurian 17 Siswanto Pencurian 18 Kusnadi Penipuan dan Kekerasan 19 Puji hariyanto Pencurian 20 Dedi rosadi Pencurian Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Bulan Juli 2011. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, tidak semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dengan jenis tindak pidana yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
sama artinya seorang narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana dapat berbeda jenis tindak pidananya. Misalnya narapidana residivis bernama Pradana Setiawan sebelum kasus terakhir tindak pidana pencurian, sebelumnya ia pernah terjerat kasus pencabulan. Dari 20 narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak sejenis adalah 10 orang. Selebihnya, narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana sejenis yaitu melakukan tindak pidana pencurian. Hal senada juga diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 menjelaskan yang mengenai tindak pidana narapidana residivis adalah sebagai berikut: Untuk tahun 2011 kasus yang dilakukan oleh narapidana residivis lebih banyak pada kasus pencurian. Data tersebut diperoleh dari Sub Seksi Administrasi dan Perawatan. Setiap narapidana yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak melakukan jenis tindak pidana yang sama. Bisa saja ia masuk kembali ke Rutan karena melakukan tindak pidana yang berbeda misalnya kasus Bayu Waluyo, sebelum kasus penipuan dahulu ia pernah terjerat kasus pencurian. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak selalu dengan tindak pidana yang sama. Setelah peneliti mengetahui tindak pidana apa saja yang pernah dilakukan narapidana residivis,
selanjutnya peneliti melakukan
identifikasi
dengan
menggolongkan bentuk-bentuk tindak pidana pada kasus terakhir yang dilakukan narapidana residivis. Adapun hasil identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada bulan Juni 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
Tabel 6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011. No. Tindak Pidana atau Kejahatan Terakhir Jumlah 1 Penipuan 1 orang 2. Pencurian 15 orang 3. Kekerasan 2 orang 4. Pembunuhan 1 orang 5. Penggelapan 1 orang Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat 5 bentuk tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bulan Juni tahun 2011. Kasus pencurian menduduki posisi terbanyak dengan jumlah 15 orang, disusul kasus kekerasan berjumlah 2 orang, kemudian kasus penipuaan 1 orang, dan kasus penggelapan 1 orang serta kasus pembunuhan 1 orang. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tindak pidana tersebut berupa penipuan, pencurian, kekerasan, pembunuhan dan penggelapan. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta didominasi dengan tindak pidana pencurian. b. Pengetahuan Moral Narapidana Residivis atas Tindak Pidana yang Dilakukan Pemahaman moral diartikan dengan kesadaran rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu. Penalaran moral sebagai unsur pengetahuan moral dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai moral yang merujuk pada aspek kognitif tentang yang baik atau buruk dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban dan keterlibatan individu atau kelompok. Pengetahuan moral yang dimiliki oleh narapidana residivis mengandung arti seberapa jauh mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Apakah selama ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
mereka menyadari bahwa tindak yang dilakukan telah melanggar norma hukum. Dengan demikian, dapat diketahui seberapa jauh tingkat pemahaman moralnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kekerasan yang saya tahu adalah menyakiti atau melukai badan atau fisik orang lain baik yang di sengaja maupun tidak. Saya tahu bahwa perbuatan kekerasan itu melanggar norma hukum. Tetapi karena emosi akhirnya terpaksa melakukan kekerasan. Setelah melakukan perbuatan tersebut baru saya sadari bahwa saya salah. (Catatan lapangan 7). Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo yang melakukan tindak pidana kekerasan peneliti menyimpulkan bahwa, informan memahami mengenai kekerasan yang dilakukan. Menurut pendapatnya, kekerasan berarti tindakan menyakiti
seseorang
yang dilakukan
secara sengaja sehingga
menimbulkan sakit atau penderitaan. Selain itu, informan menyadari bahwa perbuatan tindak pidana tersebut melanggar norma hukum.
Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis benama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378 KUHP) pada tanggal 8 Juli 2011: Penipuan menurut saya, kalau kita dengan sengaja membohongi orang lain misalnya kita janji pinjem uang trus ndak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Kalau tindakan saya dengan dengan mencampur pewarna pada makanan kok bisa dibilang menipu. Saya orang miskin, harusnya hukum juga mengerti kondisi saya. Saya ndak ada niatan meracuni orang. Tetapi saya ikhlas berada di Rutan. (Catatan lapangan 1). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bambang Waluyo yang melakukan tindak pidana penipuan peneliti menyimpulkan bahwa, informan telah memahami tentang konsep penipuan. Namun, ia sendiri kurang mengetahui bahwa perbuatan menipu bertentangan dengan norma hukum. Bahkan, ia mencoba mencari kenyamanan dan membela diri atas tindak pidana penipuan yang dilakukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
Dengan demikian, dikatakan bahwa pengetahuan moral yang dimilikinya masih rendah. Selain kasus kekerasan dan penipuan, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis atas tindak pidana pencurian. Hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP)
mengambil barang milik orang lain. Saya sadar bahwa mencuri sepeda motor adalah salah karena memang bukan hak saya. Perbuatan yang saya lakukan
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal yang sama adalah sebagai berikut: Mencuri berarti seseorang yang memang dalam keadaan mendesak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Seseorang yang mencuri pasti karena ia berada dalam posisi yang sulit misalnya kebutuhan ekonomi. Saya sendiri terpaksa mencuri karena yang faktor ekonomi. Niatnya ingin cari kerja tetapi tidak mempunyai keterampilan. Mau usaha nggak ada modal. Ya sudah jadi mencuri saja. (Catatan lapangan 4). Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan: Mencuri adalah mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saya sudah 7 kali masuk Rutan. Petugas Rutan sampai bosan melihat saya bolak-balik masuk sini. Sejak kecil saya sudah hidup merantau. Kehidupan yang keras membuat saya harus melakukan perbuatan tersebut. Tujuan hidup saya adalah bahagia. Mengenai urusan akherat nanti belakangan. Saya sendiri sadar bahwa perbuatan mencuri dilarang, tetapi saya merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut. (Catatan lapangan 6). Hasil wawancara juga dilakukan dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli.L kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP pada hari Kamis tanggal 15 Juli 2011 sebagai berikut: (Catatan lapangan 8).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
Hasil senada disampaikan oleh narapidana residivis yang bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari berarti mengambil barang milik orang lain misalnya uang, barang-barang berharga seperti emas, elektronik, dan yang bisa diuangkan. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada orang (Catatan lapangan 9). Hal yang sama juga diungkapkan oleh narapidana residivis yang bernama
(Catatan lapangan 10). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, hampir seluruh narapidana residivis dengan kasus pencurian mengetahui mengenai perbuatan mencuri. Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Alasan mereka mencuri karena minimnya keahlian atau keterampilan. Lebih parahnya lagi adalah perbuatan mencuri sebagai bagian dari mata pencaharian dengan alasan menompang biaya hidup. Terdapat 2 narapidana residivis yang mengatakan demikian. Tuntutan ekonomi dan kehidupan yang keras menyebabkan narapidana residivis melakukan pencurian. Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang lain, baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Kasus pembunuhan yang saya lakukan terhadap isteri dipicu karena api cemburu. Saya sangat menyesal melakukan perbuatan tersebut sebab selalu dihantui rasa bersalah. Saya berhak mendapat hukuman yang seberat-beratnya untuk menebus dosa. Namun, jika diberi kesempatan saya ingin insyaf. (Catatan lapangan 5). Berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Martanto dapat diketahui bahwa, ia memiliki pemahaman moral yang baik sebab memahami tentang konsep
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
perbuatan membunuh. Ia juga memahami bahwa membunuh melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya kurang tau makna penggelapan itu apa. Hanya saya sering dengar istilah itu. Menurut saya, penggelapan merupakan bagian dari korupsi. Saya dijatuhi pidana oleh hakim bilangnya karena kasus penggelapan pasal 372 KUHP atas tuduhan telah menggelapkan uang tunjangan para pegawai. (Catatan lapangan 3). Hasil wawancara dengan Tedy Surahman, peneliti menyimpulkan bahwa ia belum memahami mengenai konsep tidak pidana penggelapan bahkan ia tidak menyadari bahwa tindak pidana penggelapan yang dilakukan melanggar norma hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 narapidana residivis di atas peneliti menyimpulkan bahwa, sebanyak 9 orang (90%) narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memiliki pemahaman atau pengetahuan moral. Hal tersebut diketahui bahwa mereka memahami mengenai perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan. Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana mengetahui tentang konsep pencurian. Mereka ng atau sesuatu
mengatakan bahwa:
dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hampir keseluruhan narapidana residivis memiliki pengetahuan atau pemahaman moral yang sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
yang belum mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan tindak pidana yaitu narapidana residivis kasus penggelapan. c. Perasaan Moral Narapidana Residivis Terkait dengan Tindak Pidana yang Dilakukan Perasaan moral merupakan kesadaran akan hal-hal yang baik atau tidak baik. Salah satu wujud perasaan moral adalah empati. Empati mengandung makna bahwa, seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang tersebut mengertinya. Dengan adanya sikap empati seseorang mampu memahami kesulitan-kesulitan yang ada di lingkungannya, memahami situasi seseorang, dan mampu merasakan kesengsaraan orang lain. Perasaan moral dari narapidana residivis yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan mengandung arti bahwa, bagaimana narapidana residivis memahami perasaan orang lain khususnya korban sebagai akibat perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Perasaan moral ini mengukur seberapa jauh narapidana residivis memiliki kepekaan untuk memposisikan dirinya terhadap kondisi kesulitan yang dialami korban jika hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri. Artinya apabila kondisi yang dialami korban atas perbuatan tindak pidana itu berbalik kepadanya. Untuk mengetahui perasaan moral narapidana residivis, peneliti mengajukan pertanyaan yang menunjukkan perasaan moral yaitu: g telah saudara lakukan merugikan orang lain (korban)? Bagaimana perasaan saudara jika hal Beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan moral melalui perasaan empati untuk mengerti kondisi korban atas tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, telah nampak kesadaran moral dalam diri narapidana residivis. Kesadaran moral timbul ketika mereka menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan telah menimbulkan beban atau kesulitan bagi korban tindak pidana seperti yang disampaikan oleh narapidana residivis bernama Ramlan Butar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
(pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, adalah sebagai berikut: Saya sadar sekali bahwa perbuatan yang saya lakukan membahayakan. Bahkan, saya sendiri malu untuk membaur orang-orang sekitar. Setelah keluar dari Rutan ini, semoga masyarakat mau menerima kehadiran saya kembali. Sebab kasihan orang tua sendiri dirumah tidak ada yang mengurusi. Padahal saya mencuri sedikit tetapi kenapa hukuman yang dijalani begitu berat. Saya hanya bisa pasrah. (Catatan lapangan 4). Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Ramlan Butar, peneliti menyimpulkan bahwa informan tersebut telah memiliki perasaan moral yang baik sebab ia menyadari bahwa perbuatannya telah membahayakan jiwa korban. Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya sadar perbuatan yang saya lakukan (kekerasan) membuat korban terluka. Bahkan, saya harus menanggung resiko ganti rugi biaya Rumah Sakit. Saya juga kasihan melihat kondisi korban bisa separah itu. Pada waktu saya berkelahi saat itu dalam keadaan tidak sadarkan diri sebab mabuk berat sehingga tidak mampu mengontrol emosi. Saya tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut karena kapok mbak. Saya sadar telah melakukan kesalahan sebab jika hal tersebut dialami saya sendiri pasti tidak enak rasanya. (Catatan lapangan 7). Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
Agus
Waluyo,
peneliti
menyimpulkan bahwa perasaan empati dalam dirinya telah ada. Akibat tindak pidana yang dilakukan, membuat dirinya merasa iba dan ikut merasakan penderitaan yang dialami korban. Dengan harapan bahwa, hal tersebut (perbuatan tindak pidana kekerasan) tidak akan menimpa dirinya. Ketika peneliti melakukan wawancara terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan penyesalan yang mendalam atas perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Ia berusaha meyakinkan diri untuk berubah menjadi orang yang baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
Berdasarkan hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis
adalah sebagai berikut: Saya mencuri karena terpaksa. Sebenarnya tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Namun, tujuan saya mencuri karena ingin membahagiakan orang terdekat khususnya orang tua. Saya sadar bahwa, mencuri telah merugikan orang lain dalam hal ini korban. Saya merasa perbuatan tersebut tidak disukai banyak orang. Saya tidak pernah berfikir jika hal tersebut menimpa saya, sebab belum pernah mengalaminya. Tau sendiri mbak saya orang tidak mampu. Apa yang mau dicuri dari saya (sembari tertawa). (Catatan lapangan 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Afif Solikhin peneliti menyimpulkan bahwa, ia tampak terbuka dan tenang ketika memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti). Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam diri narapidana residivis ini telah memiliki perasaan empati. Perasaan empati ditunjukkan dengan mengungkapkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan korban dan tidak disukai oleh masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa ia telah memiliki perasaan moral.
Hasil wawancara selanjutnya dengan Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 Saya sadar bahwa mencuri telah menimbulkan penderitaan dan menyebabkan susah orang lain. Tetapi hidup saya juga serba susah. Penghasilan saya gak cukup untuk kebutuhan anak dan isteri. Saya berharap jangan sampai anak saya nantinya mengikuti jejak saya. Walaupun bapaknya mantan penjahat tetapi saya tidak pernah mengajarkan hal-hal tidak baik kepada mereka. (Catatan lapangan 10). Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi, peneliti menyimpulkan bahwa, perasaan moral dalam diri narapidana dikatakan baik. Ia sangat peka terhadap kesulitan orang lain. Muncul kesadaran moral bahwa perbuatan yang dilakukannya (mencuri) menimbulkan penderitaan bagi korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
Wawancara berikutnya dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) adalah sebagai berikut: Setiap orang pasti menganggap bahwa membunuh adalah perbuatan paling jahat. Saya sadar bahwa perbuatan yang saya lakukan menjijikkan dan tidak terampuni. Akibat perbuatan ini, membuat hidup saya menjadi tidak tenang. Jiwa selalu diselimuti gelimang dosa berkepanjangan. Seandainya saya mampu mengendalikan emosi mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. Saya sangat menyayangi istri saya. Entah bagaimana jadinya jika hal tersebut menimpa saya sendiri. Pasti mertua dendam sekali dengan saya karena membunuhnya anaknya. Saya hanya bisa mengelus dada. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5). Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto telah memiliki perasaan moral. Ia mampu memposisikan dirinya untuk berusaha mengerti keadaan yang dialami isterinya Perasaan moral timbul setelah ia menyadari bahwa isterinya telah meninggal dunia sehingga muncul penyesalan yang mengakibatkan dirinya terbebani atau stres. Perasaan moral ditunjukkan dengan perasaan rasa bersalah, perasaan empati, dan perasaan sabar. Ia nekad membunuh sebab tidak mampu menahan emosi karena cemburu isterinya berselingkuh. Berdasarkan hasil wawancara dengan Puji Hariyanto (pencurian dengan
berikut: Saya sadar mencuri telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perasaan tidak tega sewaktu mengambil uang. Rasa takut dan cemas kerap muncul. Saya tidak ingin mengulangi kembali cukup dengan masuk penjara sekarang menjadi pengalaman terpahit dan terakhir dalam hidup saya. Sebab takut karma tidak mau hal tersebut menimpa saya sendiri. Saya ingin tobat. (Catatan lapangan 9). Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Puji Hariyanto, peneliti menyimpulkan bahwa informan telah menunjukkan perasaan moral. Informan sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan telah menimbulkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
kerugian bagi orang lain. Informan mengatakan bahwa ia melakukan perbuatan tersebut bertentangan dengan hati nurani sebab ada perasaan tidak tega, cemas dan takut sewaktu mencuri. Disisi lain, perasaan moral belum ditunjukkan dalam diri narapidana residivis dimana nampak ketidakpedulian mereka terhadap orang lain khususnya korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo (narapidana residivis
sebagai berikut: Gimana ya mba, saya juga tidak ingin berbuat menipu dengan menjual terasi palsu. Saya sadar bahwa perbuatan saya salah tetapi saya butuh 1). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo peneliti menyimpulkan bahwa belum terlihat perasaan empati dalam dirinya sebab, ketika dilakukan wawancara informan terkesan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan pembicara (peneliti). Hasil wawancara lainnya dengan seorang narapidana residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada hari Kamis tangal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gak peduli dengan orang lain. Saya mencuri karena butuh sekali uang untuk operasi bapak. Melihat dia sehat merupakan kebahagiaan Catatan lapangan 8). Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Ardi Eli. L, peneliti menyimpulkan bahwa ia tidak memiliki perasaan moral. Hal tersebut tampak dari rasa ketidakpeduliaannya terhadap perasaan orang lain atas perbuatan tindak pidana (pencurian) yang dilakukan. Sifat egois menyebabkan informan tidak memiliki perasaan moral. Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gimana ya mbak saya juga butuh uang. Kasus penggelapan yang saya lakukan tidaklah separah kasus korupsi yang ).
dilakukan orang-orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan bernama Tedy Surahman peneliti menyimpulkan bahwa, informan belum memiliki perasaan moral. Ia terkesan cuek dan tidak mau peduli terhadap pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti). Bahkan informan berusaha membela diri atas perbuatan penggelapan yang dilakukan. Hasil wawancara selanjutnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut: Selama ini saya mencuri itu melihat kondisi seseorang. Biasanya saya mencuri barang-barang kepunyaan orang kaya yang banyak duitnya. Jadi tidak sembarangan asal mencuri. Saya rasa perbuatan yang saya lakukan wajar. Harusnya hukum tidak memandang saya sebelah mata. Saya sadar kalau mencuri melanggar hukum. Tetapi saya tidak begitu setuju bahwa perbuatan saya merugikan orang lain. (Catatan lapangan 6). Berdasarkan hasil wawancara dengan Marcus Sudarmo, peneliti menyimpulkan bahwa perasaan moral yang dimilikinya dikatakan rendah sebab, ia tidak peduli atas penderitaan korban. Baginya mencuri tidak merugikan orang lain sebab perbuatan yang dilakukan dianggap wajar dan sebaliknya ia berharap agar orang lain mengerti kondisi dirinya. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan bersalah atas perbuatan tindakan mencuri yang dilakukannya sampai berulangulang. Bahkan ketika diwawancarai, narapidana menunjukkan sikap yang tenang dan tidak ada perasaan takut untuk mengungkapkan perasaannya tersebut. Setelah peneliti melakukan wawancara dengan 10 narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan perasaan moral, peneliti menyimpulkan bahwa, hanya 5 orang (50%) narapidana residivis yang memiliki perasaan moral yang baik. Sikap narapidana residivis yang cukup terbuka mempermudah peneliti untuk mengetahui perasaan moralnya. Perasaan moral diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis. Ketika peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan adanya penyesalan dalam diri narapidana sebagai akibat atas tindak pidana yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa, perbuatan yang dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
telah merugikan dan membahayakan korban ataupun masyarakat. Perasaan moral narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati kepada korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan korban. Namun, sejauh ini perasaan moral yang ditunjukkan narapidana residivis diungkapkan melalui kata-kata (ucapan) ketika melakukan wawancara dengan peneliti. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, ditemukan beberapa narapidana yang belum memiliki perasaan moral misalnya ketika peneliti melakukan wawancara beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan tidak peduli atas kesulitan yang dialami oleh korban. Ketidakpedulian narapidana residivis tersebut, dapat diketahui dari ucapan yang disampaikan oleh narapidana residivis seperti: Saya tidak mau peduli faktor yang menyebabkan rendahnya perasaan moral narapidana residivis adalah sifat egois dan keserakahan dalam diri narapidana residivis serta pemahaman arti pentingnya menghargai perasaan orang lain yang rendah.
d. Latar Belakang Pendidikan Moral yang Diperoleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Moral manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Moral berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan biologis, psikologis, dan sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral seseorang baik berasal dari intern maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Salah satu cabang pendidikan yang mengarahkan seseorang menjadi bermoral adalah pendidikan moral. Pendidikan moral merupakan suatu proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Pendidikan moral diperoleh dari pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang sering dikenal dengan
tersebut, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
adalah keluarga. Sebab, keluarga merupakan pusat pendidikan primer atau utama. Mengingat pendidikan moral memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk perilaku manusia menjadi baik, kemudian peneliti perlu mengetahui bagaimana latar belakang pendidikan moral yang selama ini diterima oleh narapidana residivis dalam lingkungan keluarga. Dengan demikian, akan diketahui apakah semua narapidana residivis mendapat pendidikan moral yang cukup baik atau tidak dari keluarganya. Setelah peneliti
melakukan wawancara, ternyata sebagian
besar
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kurang mendapatkan pendidikan moral yang baik dari keluarga. Hal tersebut disebabkan karena faktor orang tua misalnya kesibukan orang tua bekerja, orang tua meninggal dunia, bercerai (broken home), pendidikan orang tua yang rendah, dan kecenderungan orang tua mempercayakan narapidana residivis memperoleh pendidikan moral kepada lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren. Disisi lain, beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Salah satu wujud pendidikan moral yang diberikan keluarga kepada narapidana residivis berupa nilai-nilai agama (religius) serta nilai-nilai kebaikan seperti nasehat yang baik dari orang tua. Seperti yang diutarakan oleh narapidana r
(Catatan lapangan 1). Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Dwi
selalu diajarkan mengaji, sholat lima waktu, dan puasa sunnah. Orang tua selalu memberikan nasehat agar saya menjadi orang yan (Catatan lapangan 5).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
santun kepada yang lebih tua, dan menjadi lelaki yan (Catatan lapangan 10). Meskipun pendidikan orang tua dari narapidana residivis minim, khususnya pengetahuan agama, namun pada kesempatan tertentu orang tua dari narapidana residivis tetap dapat memberikan pendidikan moral berupa nasehat dan ajaran tentang nilai kebaikan. Berikut hasil wawancara dengan Ramlan Butar pada hari Sabtu tanggal 13 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Sejak kecil, saya mendapat pendidikan moral dari keluarga misalnya disuruh mengaji setiap hari, sholat lima waktu, diberi wejangan mengenai sikap yang baik kepada orang tua, bergaul dengan orang yang baik, tidak boleh menyakiti perasaan orang lain, dan mengikuti norma-norma masyarakat. Bahkan sampai dewasapun, orang tua tetap memberikan nasehat. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara selanjutnya disampaikan oleh Tedy Surahman pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Selama saya hidup, orang tua memberikan kasih sayang yang melimpah. Orang tua saya memang kaya sehingga, saya sendiri selalu hidup berkecukupan. Namun dalam segi agama, saya merasa kurang baik sebab orang tua jarang mengajari mengaji. Namun, mereka selalu mengajari saya agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dan tidak boleh menyusahkan orang lain. (Catatan lapangan 3). Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan sebanyak 5 narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Pendidikan moral yang diberikan kepada narapidana residivis melalui keluarga berupa ceramah atau perintah mengenai sesuatu yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Keluarga mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis semenjak kecil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
bahkan hingga dewasa. Nilai-nilai moral tersebut berupa nilai religius (agama) seperti ibadah kepada Tuhan, puasa, dan mengaji. Disamping itu, nilai kebaikan ditanamkan sebagai suatu kebiasaan dalam diri narapidana residivis. Nilai-nilai kebaikan itu berupa nasehat seperti menghargai orang tua, tanggung jawab pada diri sendiri, tidak menyakiti perasaan orang lain, dan tata krama atau unggahungguh. Nilai-nilai tersebut diberikan dengan harapan narapidana residivis mampu memiliki perilaku moral yang baik. Selain pendidikan moral diberikan dalam keluarga, penanaman nilai-nilai moral juga di dapatkan selama narapidana residivis berada di bangku sekolah. Dalam pendidikan formal (sekolah) diajarkan pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti dari mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran pendidikan agama, bimbingan dan konseling (BK), ataupun ajaran moral baik dalam bentuk ceramah maupun memberi contoh teladan dari guru (tenaga pendidik). Kenyataan di lapangan, beberapa narapidana residivis tidak mampu melanjutkan jenjang pendidikan.
Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang didasarkan pada tingkat pendidikan tahun 2011. Tabel 7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011 Jumlah Narapidana Residivis Tingkat Pendidikan SD tidak lulus 2 orang Lulus SD 5 orang SMP tidak lulus 5 orang SMP lulus 6 orang SMA 2 orang Sumber Data: Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tahun 2011. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, jenjang pendidikan formal yang ditempuh narapidana residivis paling banyak hanya sampai tingkat SMP yaitu berjumlah 6 orang. Bahkan, ada narapidana residivis yang tidak lulus SD yaitu 2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
orang. Hal tersebut berarti tingkat pendidikan yang diperoleh sebagian narapidana residivis masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara dan data dari tabel di atas dapat peneliti menyimpulkan bahwa, masih ditemukan beberapa narapidana residivis yang belum memperoleh pendidikan moral secara maksimal baik dari lingkungan keluarga atau pendidikan formal (sekolah). Padahal, melalui kedua agen tersebut (pendidikan keluarga dan sekolah) sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral narapidana residivis. Seperti yang disampaikan Kohlberg dalam Asri Budiningsih Orang tua memiliki peran dalam usaha menumbuhkan perkembangan moral anak. Orang tua akan mengenalkan mengenai pandangan tertentu dan mendorong terbentuknya dialog. Di samping itu, sekolah dan masyarakat luas serta kelompok sebaya akan meningkatkan perkembangan .
e. Perilaku Narapidana Residivis yang Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana (Tindakan Moral) Moral berarti berbicara tentang sesuatu yang bertalian dengan baik buruknya perilaku manusia. Ketika moral dikaitkan dengan subjeknya yaitu manusia, maka akan semakin terasa derajat urgensi atau kepentingannya apalagi ketika moral manusia cenderung mengarah ke perilaku tidak bermoral. Untuk menilai perilaku seseorang yang bermoral atau tidak bermoral dibutuhkan pertimbangan moral. Pertimbangan moral dimaksudkan sebagai evaluasi atau penilaian mengenai tindakan seseorang. Dengan pertimbangan moral inilah akan dijadikan alat penilaian yang merujuk pada tindak pidana narapidana residivis. Pertimbangan moral digunakan peneliti untuk mengetahui alasan atau faktor yang menyebabkan narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Demikian pula, dalam ilmu hukum pidana menyebutkan pentingnya menyelidiki sebab-sebab dari kejahatan pada diri orang dalam rangka memberantas kejahatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
Oleh sebab itu, peneliti akan mengkaji alasan atau faktor apa sajakah yang menyebabkan narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang, lebih lagi jika seorang individu dapat dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis kasus pembunuhan berencana pasal 340 KUHP yang bernama Dwi Martanto adalah sebagai berikut: Saya membunuh istri karena cemburu atas perselingkuhan yang dilakukannya dengan teman laki-laki sekantornya. Awalnya saya tidak percaya kalau istri selingkuh dan hanya mendengar dari tetangga bahwa setiap pulang kerja, isteri selalu diantar pulang teman sekantornya itu. Saya dan istri sempat adu mulut hebat. Malam hari tanggal 13 November 2009, niat jahat muncul dalam diri karena selalu terbayang-bayang perlakuan isteri selingkuh. Akhirnya pada waktu istri tidur, saya mencekiknya hingga tewas. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto melakukan pembunuhan karena sakit hati akibat isterinya berselingkuh. Secara psikologis, dia melakukan perbuatan tersebut karena emosi yang tidak dapat dikendalikan. Selain masalah kepribadian, faktor penyebab melakukan tindak pidana adalah pengaruh minuman keras. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP). Akibat minuman keras yang sering dikonsumsi menyebabkan ia tidak dapat mengendalikan emosi sehingga ketika tanpa sadar berkelahi. Berikut hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011: Sebelum masuk penjara lagi, saya menjalani masa hukuman karena kasus pencurian. Pada waktu itu, dalam keadaan mabuk berat dan kondisi yang tidak sadar mencuri 6 buah handphone di counter milik tetangga. Selanjutnya, kasus pidana yang kedua adalah kekerasan. Kekerasan yang saya lakukan yaitu berkelahi dengan teman dengan kondisi setengah sadar karena mabuk. (Catatan lapangan 7).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
Terlepas dari masalah kepribadian dan akibat minuman keras, beberapa narapidana residivis melakukan tindak pidana karena faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak sehingga pada akhirnya terpaksa berbuat menyimpang demi memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang dialami oleh beberapa narapidana residivis bernama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378
Pekerjaan saya sebagai sales makanan yaitu roti kering. Saya menawarkan dagangan kepada para pelanggan di kios-kios makanan. Pelanggan saya sudah banyak sekitar 10 orang. Namun, awal tahun 2008 usaha yang saya dirikan bangkrut. Akhirnya saya beralih berdagang terasi. Dalam pengolahannya saya campur pewarna buatan agar terlihat segar. Modal sedikit tetapi untungnya banyak. Suatu saat pelanggan mengeluh bahwa terasi yang saya jual palsu kemudian melapor kepada pihak yang berwajib. Saya melakukan tindak pidana tersebut karena ingin membantu orang tua. (Catatan lapangan 1).
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal yang sama adalah sebagai berikut: Dengan maksud ingin membantu orang tua, saya mencuri handphone dan sejumlah uang pada seorang ibu yang pada waktu itu duduk di terminal. Pada waktu itu, kondisi sekitar sepi sehingga saya gunakan kesempatan tersebut dengan merampas tas. Ibu tersebut sempat berusaha melawan. Karena panik, saya mengancam dan memukul keras kepalanya hingga pingsan. Saya mencuri tujuannya karena ingin membahagiakan orang tua agar bisa hidup berkecukupan. (Catatan lapangan 4). Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut: digital di sebuah ). Alasan yang serupa yaitu faktor ekonomi menyebabkan narapidana residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) akhirnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
mencuri karena membutuhkan uang untuk membiayai operasi ayahnya. Pada hari Kamis tanggal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Saya mencuri karena membutuhkan uang untuk biaya operasi ayah. Sebelumnya, saya telah menguasai teknik kunci sepeda motor sehingga dengan mudah mencuri sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan yang tidak dikunci stang. Sebelum saya kabur membawa sepeda motor tersebut, tukang parkir sempat berteriak maling akhirnya saya tikam lengan tangan dia dengan pisau. Namun, belum sempat kabur saya sudah diamuk massa. (Wawancara: Kamis, Tanggal 15 Juli 2011). (Catatan lapangan 8). Demi menyekolahkan anak, seorang narapidana residivis nekad mencuri. Seperti yang dilakukan oleh Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP) pada hari Saya mencuri bersama dengan teman yang sehari-hari sebagai kenet angkutan. Barang yang dicuri adalah sebuah komputer di rental. Ide mencuri berawal dari saya. Karena membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak, akhirnya saya mencuri. Saya mendobrak dan mencongkel gembok pintu rentalan sedangkan teman saya yang mengambil komputer. Esok harinya komputer dijual dengan harga Rp.900.000,-. Uang tersebut kita bagi dua. (Catatan lapangan 10). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narapidana residivis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis melakukan tindak pidana disebabkan karena faktor ekonomi dengan alasan seperti ekonomi keluarga yang rendah (miskin), biaya sekolah, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti biaya operasi Rumah Sakit. Selain kedua alasan penyebab penyimpangan di atas, narapidana residivis melakukan tindak pidana dengan mengambil kesempatan yang ada. Seperti yang dilakukan oleh narapiana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: diberi amanah Kepala Kantor untuk menjadi bendahara. Dalam setiap kesempatan, uang tunjangan karyawan setiap bulannya saya ambil 5 persen. Uang tersebut saya .
gunakan untuk modal menika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
Ternyata, lingkungan pergaulan juga dapat mempengaruhi seseorang melakukan tindak pidana. Seperti yang dialami narapidana residivis bernama Afif Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada
Saya bersama dengan teman, mencuri uang dalam kotak amal di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumah saya. Teman saya memang sudah lama berniat mengajak saya untuk mencuri. Karena terpengaruh, akhirnya saya mau melakukan. Teman saya yang mencongkel gembok kotak amal dan saya yang menjaga sekitar sebab takut ada orang yang melihat. Karena merasa berdosa akhirnya saya mengakui kesalahan dengan melaporkan diri kepada pihak yang berwajib. (Catatan lapangan 2). Disamping itu, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan yang memadai merupakan penyebab narapidana residivis melakukan tindak pidana. Artinya narapidana residivis merasa bahwa karena statusnya sebagai mantan narapidana sehingga ia merasa sulit memperoleh pekerjaan. Oleh sebab itulah, narapidana residivis mencari kemudahan memperoleh materi (uang) sehingga mencari jalan instan dengan melakukan tindak pidana. Seperti yang dilakukan oleh Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari Hidup dalam masyarakat serba sulit mbak. Ingin kerja di pabrik tetapi selalu ditolak. Ujung-ujungya menjadi buruh. Saya merasa kerja menjadi buruh itu capek, sehingga mau tidak mau mencuri lagi. Saya merasa tidak takut berbuat mencuri sebab sudah menjadi pekerjaan saya. Kasu terakhir adalah saya mencuri uang tetangga sebesar Rp. 5.345.000,- sewaktu mereka sedang tertidur. Perbuatan mencuri yang saya lakukan ternyata diketahui oleh Satpam penjaga rumah. Karena saya merasa panik, akhirnya memukulnya dengan sebilah kayu sampai pingsan. (Catatan lapangan 9). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral. Masalah moral yaitu mengapa narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
menyebabkan narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah sebagai berikut: Tabel 8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana No. Faktor melakukan tindak pidana Jumlah 1. Emosi yang tidak terkendali 1 orang 2. Pengaruh minuman keras (alkohol) 1 orang 5 orang 3. Faktor ekonomi keluarga yang rendah atau kemiskinan 4. Faktor adanya kesempatan 1 orang 5. Sulitnya mendapat pekerjaan 1 orang 6. Lingkungan pergaulan yang buruk 1 orang Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 faktor penyebab narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan tindak pidana. Faktor tersebut meliputi: emosi yang tidak terkendali, pengaruh minuman keras (alkohol), ekonomi yang rendah atau kemiskinan, adanya kesempatan, sulitnya mendapat pekerjaan, dan lingkungan pergaulan yang buruk. Dari beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan ekonomi yang rendah dengan jumlah 5 orang. Tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis didominasi dengan kasus pencurian. Kenyataan di lapangan, narapidana residivis mencuri karena membutuhkan uang demi menyambung kelangsungan keluarga dan hidupnya. Narapidana residivis terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai sekolah anak, dan biaya operasi orang tua. Bahkan, seorang narapidana residivis mengatakan bahwa ia menjadikan tindak pidana sebagai pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh narapidana residivis bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Sulitnya mencari dan mendapat pekerjaan menjadi alasan dia mencuri. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun sebagian besar narapidana residivis telah memiliki pemahaman moral yang sangat baik, kemudian beberapa narapidana residivis telah memiliki perasaan moral, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
sebagian besar narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral yang baik dari keluarga atau sekolah namun, dari segi tindakan moral belum terwujud sebab mereka masih melakukan pengulangan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis dikatakan perbuatan tidak bermoral karena, tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yaitu tidak memiliki perikemanusiaan, tidak jujur, tidak memiliki tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindakan moralnya belum baik. Menurut Fakhrurazi yang dikutip dalam Miqdad Yaljan (2004: 26) dinyatakan bahwa: Kesempurnaan sifat manusia ada dalam dua hal. Yang pertama, hendaknya seseorang mengetahui yang benar secara benar. Kedua, hendaknya seseorang mengetahui kebaikan untuk diamalkannya menjadi pintu pembuka jalan kebaikan
tersebut, diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan bermoral apabila dari pengetahuan yang dimiliknya dapat diwujudkan dalam tindakan moral. Nilai-nilai moral yang didapatkan oleh narapidana residivis seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kecenderungan mereka untuk berbuat atau berperilaku buruk (jahat) tidak akan terjadi. Namun, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa narapidana residivis mengalami masalah moral sehingga melakukan pengulangan tindak pidana. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pengetahuan moral dan perasaan moral saja bukanlah unsur mutlak yang menjamin seseorang memiliki moral yang baik. Namun, dibutuhkan pembiasaan dan iman yang kuat yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Jika perkembangan moral seseorang telah matang, akhirnya seseorang akan bertindak secara moral. Sebaliknya, jika perkembangan moral seseorang belum matang, maka akan terjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
kecenderungan seseorang dapat melakukan perbuatan menyimpang (jahat) yang menjadi masalah moral dalam dirinya. Hal tersebut nampak pada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang mengalami masalah moral. Dengan demikian, perlunya memperhatikan sisi masalah moral yang dihadapi narapidana residivis. Hal tersebut menjadi bagian yang cukup penting sebab dengan mengetahui masalah moral yang dihadapi narapidana residivis, akan diketahui penyebab mereka melakukan perbuatan menyimpang sehingga dapat diberikan solusi atau pemecahan masalahnya. Oleh sebab itulah, sebagai alternatif pemecahan masalah moral yang dihadapi narapidana residivis dapat dilakukan melalui pembinaan moral dalam lembaga pemasyarakatan. Pembinaan moral yang diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai salah satu solutif dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis, dimana dalam penerapan pembinaan moral tersebut tidak terlepas pula dari sistem pemidanaan dengan tujuan agar narapidana residivis jera sehingga tidak mengulangi kembali tindak pidana yang diharapkan nantinya narapidana residivis menjadi pribadi yang bermoral dan menjadi warga negara yang baik (good citizen). 2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga pemasyarakatan namun, dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis menggunakan sistem pemasyarakatan yang lebih difokuskan pada pembinaan dan rehabilitasi dari pada sekedar sistem penjara yang lebih pada unsur balas dendam. Hal tersebut sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H. G8/506, 17 Juni 1964 disebutkan bahwa, anak pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem t diketahui bahwa sistem pemenjaraan tidaklah cukup memberikan manfaat yang baik. Perlu dilakukan perubahan sistem pemidanaan yang efektif dalam mengurangi diulanginya tindak kejahatan. Sebab melalui sistem pidana penjara saja, ternyata tidak mengurangi angka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138
kejahatan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam melaksanakan pembinaan pun, tidak bisa lepas dari sistem pemenjaraan dimana melalui sistem tersebut bertujuan agar narapidana jera dan tidak mengulangi perbuatan tindak pidana. Tujuan pembinaan yang diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah narapidana tidak melanggar hukum lagi, narapidana dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri) dan narapidana hidup bahagia dunia akherat. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengupayakan pelaksanaan pembinaan secara maksimal. Lebih dari pada itu, pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta diarahkan guna membentuk moral narapidana residivis sehingga akhirnya menjadi warga negara yang baik (good citizen). Pembinaan tersebut diperuntukkan bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan, tidak terkecuali bagi narapidana residivis. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis. Aspek-aspek tersebut meliputi: a. Pola pembinaan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Tahapan pelaksanaan pembinaan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, c. Metode pembinaan dan wujud program pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, d. Keberhasilan pembinaan narapidana residivis terkait pembentukan good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Berikut ini penjabaran mengenai aspek-aspek tersebut: a. Pola Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos M.M pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Pola pembinaan yang dilaksanakan bagi narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya. Pola pembinaan mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Merujuk pada aturan tersebut maka kita terapkan pada narapidana residivis. Pola pembinaan terbagi atas pembinaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139
yang dilakukan di dalam Rutan dan pembinaan di luar Rutan. (Catatan lapangan 11). Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan pada tanggal 29 Juni 2011 menambahkan bahwa: Tidak ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis. Semua narapidana atau warga binaan diperlakukan sama dan mendapat pembinaan yang sama. Pembedaannya hanya fungsi pengawasan yang lebih diperketat. Selain itu, narapidana residivis akan ditempatkan pada blok yang berbeda dengan narapidana lainnya. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi keributan antara narapidana residivis dengan narapidana bukan residivis. (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pemasyarakatan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengacu kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya (bukan residivis) karena belum ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis. Selama
peneliti
melakukan
pengamatan
dan
analisis
dokumen
menunjukkan bahwa, pola pembinaan bagi narapidana residivis yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang merujuk pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa, pola pembinaan terdiri dari pembinaan yang dilaksanakan di dalam Rutan dan pembinaan yang dilakukan di luar Rutan. Pola pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan meliputi pemberian program-program pembinaan baik yang bersifat mengasah mental (psikis) maupun fisik (keterampilan). Sedangkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan misalnya belajar di sekolahsekolah negeri, belajar di tempat latihan kerja milik industri atau dinas lain,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140
beribadah seperti sholat di masjid, gereja dan sebagainya, berolahraga bersama masyarakat, pemberian asimilasi, dan pengurangan masa pidana/remisi. Bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, pola pembinaan dilaksanakan dalam Rutan saja. Tidak ada wujud program pembinaan yang secara khusus diberikan bagi narapidana residivis sehingga dalam pelaksanaannya memperoleh
sama
program
dengan
narapidana
pembinaan
lainnya.
kepribadian
dan
Narapidana program
residivis pembinaan
kemandirian. Sedangkan untuk narapidana bukan residivis terkecuali kasus narkotika, korupsi, penipuan, dan terorisme tetap mendapatkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan. Hal tersebut menandakan adanya perbedaan mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis dan bukan residivis. Perbedaan lainnya adalah dalam hal pengawasan. Selama pembinaan berlangsung, pengawasan lebih dioptimalkan terhadap narapidana residivis. Petugas Rutan sering memberikan hukuman disiplin terhadap narapidana residivis misalnya push up apabila narapidana residivis melakukan pelanggaran. Adapun maksud petugas bersikap demikian, agar narapidana residivis patuh dan disiplin dalam mengikuti pembinaan. Sebab bagi pembina, narapidana residivis adalah seseorang yang memiliki kepribadian buruk dan ndableg sehingga harus diberi hukuman yang tentunya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pemasyarakatan. Dengan demikian, diharapkan narapidana residivis jera atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan sehingga tidak menjalani pemidanaan kembali di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Di samping itu, mengenai penempatan blok kamar, bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibedakan dengan narapidana bukan residivis. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya perkelahian atau pengaruh buruk bagi narapidana lainnya. Bagi narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana berkali-kali hingga 3 kali lebih akan diberikan rehabilitasi secara optimal yaitu mendatangkan psikiater dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141
luar sebab dikhawatirkan narapidana residivis dihinggapi keluhan jiwa yang tidak dapat diatasi sendiri kelainannya sehingga tidak bertambah parah. b. Tahapan Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tahapan pembinaan merupakan langkah-langkah yang diberikan kepada narapidana selama menjalani masa pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Dalam tahapan pelaksanaan ini narapidana akan menjalani tahapan awal sampai tahap akhir. Tahapan pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap berikutnya ditetapkan oleh
TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). TPP (Tim
Pengamat Pemasyarakatan) dapat memutuskan pengalihan tahapan pembinaan adalah berdasarkan data dari hasil evaluasi dalam laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang diberikan oleh wali pemasyarakatan. Tahapan pembinaan yang dilaksanakan oleh TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan serta bimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan. 2) Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan. 3) Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan. Secara garis besar, tahapan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: 1) Tahap Awal atau Orientasi Pada tahap awal, semua narapidana didata untuk mengetahui identitas dan latar belakang kehidupannya. Kemudian diberikan pengarahan tentang tata tertib, hak dan kewajibannya. Tahap ini berlangsung 0 sampai 1/3 masa pidana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan pendataan ulang yang terkait dengan identitas, perkara pidana dan masa pidana. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali pada tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebab narapidana sudah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142
mengetahui sebelumnya karena pernah masuk Rutan. Selanjutnya, narapidana residivis akan ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dimana kita bedakan dengan narapidana bukan residivis dengan maksud untuk menghindari adanya keributan. (Catatan lapangan 11). Menurut Bapak Drs. Haryana .pada tanggal 29 Juni 2011 menambahkan bahwa: an pembinaan yaitu orientasi, tahapan lanjutan, dan tahap akhir sehingga pembinaan diberikan di dalam Rutan. Mereka tidak memperoleh pembinaan di luar Rutan seperti (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara dengannarapidana residivis Bayu Waluyo
Awal masuk Rutan ini, oleh petugas pendaftaran dilakukan pendataan mengenai identitas diri dan keluarga pada buku register B, kemudian pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis Rutan, selanjutnya ditempatkan dalam blok penerimaan. Karena dahulu saya pernah terdaftar sebagai mantan narapidana sehingga tidak dilakukan kegiatan pengenalan lingkungan ataupun penjelasan mengenai tata tertib serta hak dan kewajiban narapidana. Namun mewajibkan saya mengikuti kegiatan program pembinaan agama islam dan pembinaan lainnya kecuali pembinaan kemandirian. (Catatan lapangan 20). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan pendataan ulang. Pendataan ulang dilakukan untuk mengetahui kasus baru apa yang dilakukannya dan berapa lama masa pidananya dengan tujuan sebagai bahan pertimbangan untuk pembinaannya. Selanjutnya, narapidana residivis akan ditempatkan dalam blok yang berbeda dengan narapidana bukan residivis artinya narapidana residivis ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dengan maksud uttuk menghindari adanya keributan. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali mengenai tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban sebagai narapidana. Hal tersebut dikarenakan narapidana residivis telah mengetahui sebelumnya karena pernah menjalani pemidanaan di Rutan Klas 1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
Surakarta. Setelah masa orientasi berlangsung selama 1/3 masa pidana, maka narapidana residivis dapat mengikuti program pembinaan berupa pembinaan kepribadian. Pembinaan kepribadian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan intelektual, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, dan pembinaan kesadaran hukum serta pembinaan bentuk olah raga. 2) Tahap Lanjutan Tahap ini berlangsung 1/3 sampai 1/2 masa pidana. Dengan berakhirnya tahap awal maka, setiap narapidana mengikuti tahap lanjutan dengan pemberian program pembinaan kemandirian. Program pembinaan yang diberikan, disesuaikan dengan minat dan bakat atau bahkan bagi narapidana yang belum memiliki potensi dalam dirinya. Pembinaan kemandirian dilaksanakan dengan memberikan keterampilan sebagai bekal bagi narapidana setelah keluar dari Rutan. Dalam tahapan lanjutan, juga sebagai bahan pertimbangan apakah seorang narapidana dapat melanjutkan tahap asimilasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Meskipun narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu namun, ketika masuk kembali tetap ia wajib mengikuti program pembinaan bahkan sangat dianjurkan sebab dapat mengasah minat dan bakat serta keterampilan mereka sehingga setelah keluar dari Rutan, mereka dapat hidup mandiri. (Catatan lapangan 11). Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis yang bernama Bayu Waluyo 2011 mengatakan bahwa:
telah satu bulan mengikuti pembinaan keagamaan
dan pembinaan lainnya, untuk mengasah keterampilan menjahit saya disarankan
20).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, narapidana residivis dianjurkan untuk mengikuti tahapan lanjutan. Tahapan lanjutan berupa pemberian program pembinaan kemandirian. Meskipun narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu karena pernah mengikuti tahapan pelaksanaan pembinaan, namun melalui program pembinaan kemandirian akan mengasah kembali minat dan bakat yang mereka miliki sehingga nantinya setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta narapidana residivis memperoleh bekal keterampilan sehingga dapat hidup mandiri. 3) Tahap Asimilasi Tahap ini berlangsung 1/2 sampai 2/3 masa pidana. Asimilasi merupakan
proses
pembinaan
yang
dilaksanakan
di
luar
lembaga
pemasyarakatan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan hasil evaluasi narapidana pada sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) yang didasarkan pada laporan hasil perkembangan warga binaan pemasyarakatan telah dinyatakan bahwa narapidana menunjukkan perilaku yang baik dan telah memperoleh keterampilan maka, mereka dapat mengusulkan diri untuk menjalani tahap pembinaan ketiga yaitu asimilasi. Pengajuan asimilasi ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Tengah melalui Kepala Rutan yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Bagi narapidana yang dikabulkan permohonannya maka, dapat melakukan asimilasi dengan cara kepadanya dipekerjakan diluar tembok namun masih dalam pengawasan yang ringan. Bentuk program asimilasi misalnya narapidana bekerja di pabrik dimana pabrik tersebut membutuhkan tenaganya maka, ia pergi ke pabrik pagi hari dan sore pulang ke Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145
Khusus untuk kegiatan asimilasi, narapidana residivis tidak kita berikan seperti halnya narapidana kasus narkoba, teroris dan kasus penipuan. Kalau narapidana narkoba, teroris dan kasus penipuan memang ada surat edarannya untuk supaya tidak diberikan asimilasi, tetapi kalau narapidana residivis merupakan kebijakan kita sendiri karena kita tidak mau menanggung resiko keamanan bila narapidana residivis diijinkan melaksanakan pembinaan di luar tembok Rutan. Secara hukum, Kepala Rutan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10715 tahun 2004 perihal asimilasi tidak diberikan kepada narapidana penipuan, psikotropika dan kasus terorisme. (Catatan lapangan 11). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa tahap asimilasi bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak diberikan. Kebijakan ini dimaksudkan mengingat pengalaman pahit petugas atas kaburnya narapidana dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak mau menanggung resiko sebab bila narapidana residivis diijinkan melaksanakan pembinaan di luar tembok Rutan, dikhawatirkan melarikan diri. Peniadaan asimilasi Kepala Rutan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal penafsiran peraturan tersebut diterapkan pada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan alasan keamanan. 4) Tahap akhir (minimum security) Tahap ini berlangsung 2/3 masa pidana hingga bebas. Tahap ini narapidana tidak lagi diberikan pembinaan melainkan pembimbingan. Pembimbingan tidak dilakukan oleh petugas Rutan, tetapi dilakukan oleh petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta. Tahap ini juga disebut sebagai tahap integrasi yang dilakukan di luar Rutan dapat berupa PB (Pembebasan Bersyarat) dan remisi (pengurangan masa pidana). Bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146
memperoleh PB (Pembebasan Bersyarat) dan remisi (pengurangan masa pidana). Berdasarkan penjabaran mengenai tahapan pelaksanaan pembinaan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu menjalani menjalani tahap awal atau orientasi, tahap lanjutan, dan tahapan akhir (bebas). Dalam menjalani tahapan tersebut, narapidana residivis tidak memperoleh asimilasi, PB (Pembebasan Bersyarat), dan remisi (pengurangan masa pidana). Narapidana residivis tidak memperoleh hak asimilasi karena Rutan membuat kebijakan tentang peniadaan asimilasi khususnya bagi kasus penipuan, narkoba, teorisme dan juga narapidana residivis. Pertimbangan peniadaan asimilasi bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 tentang, Asimilasi tidak diberikan kepada narapidana penipuan, psikotropika dan kasus terorisme . Kemudian dari penafsiran peraturan tersebut, diterapkan pada narapidana residivis dengan alasan keamanan. Jika dikaitkan dengan tahapan perkembangan menurut Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturutprakonvensional, tingkat konvensional dan tingkat pascakonvensional Rumah Tahanan
Negara Klas
1
Surakarta belum
mengarahkan
pada
perkembangan akhir yaitu pembentukan pribadi yang bermoral dalam diri setiap narapidana, namun ketika narapidana residivis menjalani pembinaan kepribadian nampaknya diarahkan kepada perkembangan moralnya yaitu dengan penyadaran moral melalui peningkatan keimanan dan ketakwaan yaitu pembinaan kesadaran agama. c. Metode Pembinaan dan Wujud Program Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Metode pembinaan merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147
dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir, bertindak atau bertingkah laku. Melalui metode yang tepat maka materi pembinaan dapat tersampaikan secara maksimal. Penyampaian materi pembinaan tidak dapat dilakukan asal saja atau dengan kata lain berdasar kemauan penyampai materi, tetapi harus memperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan narapidana dalam menerima materi pembinaan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melaksanakan program pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan kemandirian. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Program pembinaan yang bersifat kepribadian diarahkan agar narapidana membentuk watak mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual, sehingga diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum, memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif. Sedangkan untuk pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, secara garis besar program pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terbagi atas 2 (dua) macam yaitu : 1) Pembinaan yang bersifat kepribadian. Pembinaan yang bersifat kepribadian bertujuan membentuk watak narapidana sehingga mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual yang diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif. 2) Program pembinaan yang bersifat kemandirian. Pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148
Untuk melaksanakan kedua program pembinaan di atas, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menentukan metode pembinaan yang sesuai dengan pemasyarakatan. Adapun metode yang digunakan pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam melaksanakan program pembinaan adalah sebagai berikut: 1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Metode ini dimaksudkan bahwa pembinaan yang diberikan harus disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan tingkat kebutuhan narapidana. Selain itu, pembina juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana serta anggaran yang dimiliki Rutan. Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina yang disesuaikan dengan kebutuhan narapidana sehingga narapidana tinggal menerima wujud program pembinaan. Melalui metode ini, narapidana akan terikat dalam situasi pembinaan sehingga ia tidak bisa lepas dari situasi tersebut. Adapun wujud program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang sesuai dengan metode ini yaitu pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan kesadaran agama nasrani, dan pembinaan bentuk olah raga. Berikut ini penjelasan mengenai ketiga wujud pembinaan tersebut. a) Pembinaan Kesadaran Agama Islam. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto mengenai metode pembinaan pada pembinaan agama Islam pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: disesuaikan dengan kebutuhan narapidana. Mereka tinggal menerima materi sehingga sifatnya terikat dan wajib diikuti. Setiap narapidana membutuhkan siraman rohani sehingga membentuk perilaku yang baik
).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang disampaikan dalam pembinaan kesadaran agama adalah sesuai dengan kebutuhan narapidana sebab setiap narapidana berhak untuk memperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
pendidikan dalam hal ini pendidikan agama. Program pembinaan ini wajib diikuti oleh narapidana sebagai bentuk perbaikan moral narapidana. Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar bahwa metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) yang dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam disesuaikan dengan kebutuhan narapidana. Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan agama. Tujuan pembinaan kesadaran agama Islam sifatnya lebih kepada psikis narapidana dengan maksud meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebab jika iman mereka kuat maka, mereka mengenal Tuhan dan takut dosa sehingga dapat mengendalikan perbuatan yang tidak baik. Narapidana disadarkan agar insyaf dan tidak mengulangi perbuatan jahat lagi. Pembinaan kesadaran agama Islam merupakan wujud program pembinaan yang paling utama dan wajib diikuti oleh narapidana. Ketua program pembinaan kesadaran islam adalah Bapak Suramto. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam sebagai upaya perbaikan moral meliputi pendidikan agama Islam oleh MTA serta sholat
(Majelis Tafsir Almaghrib dan subuh berjamaah.
Adapun jadual pelaksanaan kegiatan pembinaan kesadaran agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: Tabel 9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta No. Jenis Kegiatan Waktu Kegiatan 1. Pendidikan agama islam dari Hari senin pukul 15.30-16.30 MTA (Majelis Tafsir Al. WIB. 2.
3.
Pengajian dzuhur.
menjelang
sholat Setiap hari kecuali hari minggu pukul 11.00-12.00 WIB. Sholat maghrib dan subuh Setiap hari. berjamaah dalam kamar masing-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
masing. Sumber Data: Bagian Sub seksi Bantuan hukum dan Penyuluhan Tanggal 4 Juli 2011. Dari kegiatan pembinaan kesadaran agama Islam di atas ternyata merupakan salah satu bentuk pembinaan moral. Narapidana residivis diberikan bekal pendidikan agama yang diarahkan pada penyadaran moral yaitu mengasah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan pembinaan tersebut adalah agar narapidana residivis insyaf dan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Selain kegiatan pembinaan kesadaran Islam di atas, hal menarik adalah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengadakan kegiatan keagamaan islam berbasis pesantren. Awal tahun 2009, sebuah pondok pesantren didirikan dalam Rutan yang merupakan salah satu program pembinaan kesadaran agama islam. Pondok pesantren dalam lingkungan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM bagi Rutan yang ada di seluruh Indonesia. Pondok
pesantren
ini
diperuntukkan
bagi
semua
warga
binaan
pemasyarakatan. Pondok pesantren yang dijadikan contoh adalah pondok
diawali ketika Ustad Yusuf Masyur mengadakan bakti sosial ke Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibawah Yayasan Wisata Hati miliknya. Citayang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian melakukan kerja sama dengan pihak Rutan untuk mendirikan pondok pesantren dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Rutan Surakarta . Tujuan dibentuk pondok pesantren dalam Rutan adalah memulihkan kesadaran narapidana terkait dengan kejahatan yang dilakukan, menyeleksi, mengorganisir, dan mengarahkan narapidana agar menjadi santri, serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151
membekali iman agar memiliki akidah keislaman yang kuat. Sekitar 6 ustad
secara sukarela tanpa mendapat pesangon. Dalam kurun waktu tahun 2011 ini telah mencetak 3 orang yang berstatus narapidana residivis penghafal
mulai hari senin sampai kamis. Penghafalan AlAl-
-
, Al-
ro, -surat pendek
lainnya. Selanjutnya, dapat menghafal surat-surat Al-Qur an pendek oleh ustad jika belum lancar maka, ustad akan menuntun narapidana sampai hafal selanjutnya pada waktu akhir masa pidana hampir selesai diberi evaluasi secara tertulis tentang kemampuan baca tulis AlSelama mengadakan kegiatan penelitian, peneliti pernah terlibat secara langsung dengan mengikuti kegiatan pembinaan kesadaran agama islam yaitu pengajian menjelang sholat dzuhur pada tanggal 5 Juli 2011 pukul 11.00-12.00 WIB di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Kegiatan pengajian tersebut diisi dengan ceramah keagamaan islam oleh Ustad Lanjar yang secara khusus di datangkan dari Pondok Pesantren Al-Bukhori. Materi ceramah yang disampaikan terkait dengan peningkatan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Allah SWT. b) Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani Metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran agama nasrani adalah sama dengan pembinaan kesadaran agama islam dimana metode yang didasarkan pada kebutuhan narapidana. Pembinaan ini, ditujukan kepada narapidana yang beragama nasrani. Tujuan dari wujud pembinaan ini adalah memperteguh keimanan narapidana agar mereka dapat menginsafi perbuatan yang telah mereka lakukan dan menimbulkan niat untuk tidak melakukan tindak pidana kembali. Pembinaan kesadaran agama nasrani diketuai oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152
Bapak Didit Santoso, S.Pd selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan nasrani adalah menjalankan ibadah nasrani, doa bersama, dan kegiatan koor. Kegiatan ibadah nasrani dan doa bersama dilaksanakan secara bersamaan setiap hari minggu pukul 09.00-11.30 WIB. Sedangkan untuk kegiatan koor dilaksanak pelaksanaan kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan gereja yang terletak di halaman belakang aula di sebelah timur gedung Bimbingan Kerja dan Kegiatan, tepatnya di depan blok C. Tersedia juga alat musik drum guna mendukung kegiatan koor. Namun, pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak menyediakan pendeta atau pastur sehingga harus menjalin kerja sama dengan pihak luar agar narapidana tetap memperoleh pelayanan pendeta.
c) Pembinaan Bentuk Olah Raga Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sarwono menyampaikan tentang metode pembinaan bentuk olah raga pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: dengan kebutuhan mereka. Setiap warga binaan diberikan hak untuk memperoleh kesehatan jasmaniah. Sehingga pembinaan ini (Catatan lapangan 19). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan bentuk olah raga yaitu pembina memberikan materi melalui kegiatan fisik berupa olah raga yang disesuaikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153
dengan kebutuhan narapidana. Dengan demikian, setiap warga binaan pemasyarakatan diberikan kesempatan untuk memperoleh pembinaan olah raga demi menjaga kesehatan narapidana. Sebab kesehatan merupakan suatu kebutuhan dalam setiap manusia. Pembinaan ini sifatnya wajib diikuti oleh narapidana. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti melihat bahwa, seluruh narapidana residivis wajib mengikuti pembinaan olah raga. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan ini adalah senam pagi yang dilaksanakan setiap hari pada pukul 07.00 WIB dan olah raga volly setiap hari sabtu pukul 15.00 WIB. Pembinaan olah raga bertujuan untuk menjaga kebugaran jasmani narapidana. 2) Metode pembinaan dari bawah ke atas (botton up approach). Metode dari bawah ke atas (botton up approach) yaitu suatu cara menyampaikan materi pembinaan dengan memperhatikan kebutuhan belajar narapidana. Hal ini disebabkan karena setiap narapidana mempunyai kebutuhan belajar dan minat belajar yang tidak sama. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh oleh Rutan. Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini adalah pembinaan intelektual. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta: a) Pembinaan Intelektual Menurut hasil wawancara dengan Bapak Tentrem Basuki, SP.d pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Metode dalam pembinaan intelektual disesuaikan dengan kebutuhan narapidana sebab tingkat pendidikan berbeda. Narapidana sendiri ada yang masih SD, SMP, atau SMA malah ada yang belum lulus sekolah atau buta huruf. Selanjutnya, pembina akan memberikan materi pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan belajar dari narapidana tersebut. (Catatan lapangan 16).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan intelektual adalah dari bawah keatas (botton up approach) yaitu sebelum pembina Rutan memberikan materi pembinaan, maka harus mengetahui terlebih dahulu tingkat kebutuhan dan minat belajar narapidana untuk memudahkan pembina memberikan materi pembinaan sebab tidak semua narapidana memiliki tingkat pendidikan atau intelegensi yang sama. Cara metode ini cukup efektif sebab pembina mengetahui bagaimana materi yang cocok diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan atau intelegensi. Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar bahwa, metode dari bawah ke atas (botton up approach) diterapkan pada pembinaan intelektual. Sebelum pembina memberikan materi pembinaan terlebih dahulu mengetahui jenjang pendidikan dan minat belajar narapidana. Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Rutan. Pembina akan memfasilitasi materi pembinaan dan sarana yang mendukung demi kelancaran pembinaan. Pembinaan intelektual bertujuan untuk meningkatkan wawasan narapidana. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah perpustakaan keliling dan pemberantasan buta huruf. Perpustakaan keliling dilaksanakan setiap seminggu sekali dimana Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menerima kunjungan yang didatangkan dari luar yaitu Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Surakarta. Sedangkan kegiatan pemberantasan buta huruf dilaksanakan setiap hari kamis dari pukul 08.00-11.00 WIB. Kegiatan pemberantasan buta huruf adalah kejar paket A yang setingkat dengan SD. Guna mendukung kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan fasilitas perpustakaan berupa buku-buku bacaan seperti majalah, novel, buku pendidikan, buku tentang hukum, agama dan lain-lain. Dalam mengevaluasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155
kegiatan pemberantasan buta huruf, dilakukan tes ulangan setelah materi pelajaran selesai diberikan. Dalam pelaksanaan pembinaan intelektual, peneliti juga pernah terlibat secara langsung mengikuti kegiatan pembinaan seperti pemberantasan buta huruf misalnya dengan mengajari narapidana residivis yang belum lancar membaca. Selain itu, peneliti diberikan kesempatan oleh pembina Rutan untuk mengajar materi yang terkait dengan pendidikan moral yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2011 di ruang perpustakaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 3) Metode Pembinaan Perorangan (Individual Treathment). Metode pembinaan perorangan (individual treathment) yaitu cara menyampaikan materi pembinaan yang dilakukan secara perseorangan dan disesuaikan dengan tingkat kematangan intelektual, emosi, dan logika narapidana. Metode yang diberikan secara perorangan bertujuan terjalinnya hubungan yang baik antara pembina dengan narapidana sehingga tidak timbul rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap petugas. Selain itu juga, membuka banyak kemungkinan bagi narapidana untuk mengeluarkan isi hatinya, tujuan hidupnya, kendala yang dihadapi sehingga pembina dapat memberikan alternatif terbaik bagi pemecahannya. Adapun wujud program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang sesuai dengan metode ini yaitu pembinaan kesadaran hukum. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan kesadaran hukum: a) Pembinaan Kesadaran Hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kegiatan pembinaan ini dilakukan secara face to face sehingga dapat dicari jalan keluarnya misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan. Narapidana merasa tertekan, khawatir, cemas dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya. Metoda pendekatan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156
diutamakan ialah metoda persuasif, edukatif, komunikatif, dan akomodatif (PEKA). (Catatan lapangan 17). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran hukum dilakukan secara perorangan dengan face to face. Metode pendekatan yang diutamakan ialah metode Persuasif, Edukatif, Komunikatif dan Akomodatif (PEKA). Melalui metode tersebut, pembina akan memasukan pengaruh, mendidik, dan juga berkomunikasi secara langsung dengan narapidana. Tugas pembina Rutan akan mengarahkan dan mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh narapidana misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan misalnya merasa tertekan, khawatir, cemas, dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya dimana narapidana yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut. Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan memang benar bahwa, metode pembinaan perorangan (individual treathment) diterapkan pada pembinaan kesadaran hukum. Pembinaan kesadaran hukum bertujuan untuk menciptakan suatu kesadaran yang tinggi pada setiap narapidana sehingga mereka mengetahui hak dan kewajibannya. Narapidana akan disadarkan dengan pendekatan hukum yaitu dengan memberikan penjelasan tentang akibat-akibat hukum yang diterima oleh seseorang jika melakukan tindakan yang melanggar hukum. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan hukum seperti ajaran taat pada hukum, konseling, dan ceramah hukum. Berikut penjelasan mengenai kegiatan pembinaan hukum. (1) Ajaran taat pada norma hukum Ajaran taat pada hukum bertujuan agar narapidana selalu disiplin terhadap peraturan dan norma hukum. Ajaran taat pada hukum dilaksanakan dengan memerintahkan narapidana untuk disiplin dan mematuhi tata tertib Rutan. Apabila narapidana melakukan kesalahan atau melanggar kedisiplinan maka, petugas Bantuan Hukum dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
penyuluhan akan menindaknya. Namun, jika kesalahan tersebut dirasakan tidak terlalu berat maka, penanganannya hanya dengan memberikan teguran serta pengarahan terhadap yang bersangkutan. Sebaliknya, jika kesalahan berat maka, petugas Staff Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan atau petugas pengamanan Rutan, akan menindak lanjuti dengan memberikan hukuman fisik atau jika fatal akan ditempatkan dalam straff cell untuk pemberian shock therapy. Narapidana yang dimasukkan dalam straff cell misalnya karena berkelahi, melawan petugas karena melakukan kekerasan, dan mencoba kabur dari Rutan. (2) Konseling Konseling dilakukan dengan memberikan masukan berupa saran atau perintah berupa larangan untuk tidak mengulangi tindak pidana dan akibat yang dilakukan jika melanggar hukum. Konseling diwujudkan dengan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai warga negara, menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh (pembina Rutan) berhadapan langsung dengan sasaran yang disuluh (narapidana) dalam temu sadar hukum dan sambung rasa, sehingga dapat bertatap muka langsung misalnya melalui ceramah, diskusi, dan temuwicara. Narapidana secara perorangan menyampaikan keluhan kepada petugas atau pembinaan di bagian Bantuan Hukum dan Penyuluhan untuk mengajarkan tentang moral atau ajaran tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158
Kalau berbuat jahat kita akan memperoleh sanksi berupa dosa. Kejahatan tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan orang lain. Apabila hal ini dialami oleh narapidana sendiri bagaimana perasaannya . Kegiatan ini dibuka setiap hari pukul 09.0012.00 di ruangan bantuan hukum dan penyuluhan. Pemberian konseling diberikan oleh Bapak Wagimin, SE. Beliau adalah pembina Rutan dari Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan. (3) Ceramah hukum Ceramah kesadaran hukum dilakukan oleh petugas Rutan atau sekali waktu mendatangkan dari pihak kepolisian dan kejaksaan untuk memberikan sumbangan dalam menyampaikan materi yang sesuai dengan bidang hukum. Melalui kegiatan ini, narapidana dapat menanyakan secara luas mengenai seputar upaya hukum. 4) Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment). Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment) dilakukan dengan pembentukan tim. Dimana dalam metode ini, narapidana mengasah kembali potensi yang ada di dalam dirinya berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan metode ini, narapidana memahami nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat sehingga setelah keluar dari Rutan, ia dapat berbaur dengan masyarakat. Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini adalah pembinaan kemandirian. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan kemandirian. a) Pembinaan kemandirian. Menurut Wiyono, SE. selaku Kepala Seksi Bimbingan Kerja, ketika dimintai wawancara pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengenai metode yang digunakan dalam pembinaan kemandirian adalah sebagai berikut: Metode pembinaan kemandirian dilakukan secara kelompok dengan membentuk tim. Narapidana dikelompokkan sesuai dengan bakat masing-masing dengan maksud mengasah potensi dari pengalaman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159
sehari-hari. Narapidana yang tidak memiliki keterampilan juga diberi kesempatan untuk mengikuti pembinaan ini. (Catatan lapangan 18). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode yang digunakan dalam pembinaan kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah metode pembinaan secara kelompok (classical treatment). Pembina Rutan akan mengelompokkan narapidana sesuai dengan bakat dan minatnya. Kemudian narapidana akan memilih jenis kegiatan kemandirian yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Bagi narapidana yang tidak memiliki keterampilan apapun, tetap akan diberikan kesempatan untuk mengikuti pembinaan ini. Metode ini berusaha mengasah kembali
potensi
yang
ada
dalam
diri
narapidana
berdasarkan
pengalamannya yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, memang benar metode yang pembinaan secara kelompok (classical treatment) diterapkan dalam
pembinaan
kemandirian.
Narapidana
akan
dikelompokkan
berdasarkan minat, potensi dan keterampilan yang dimiliki. Setelah itu pembina akan memfasilitasi dengan berbagai sarana dan prasarana yang terkait dengan keterampilan. Dalam pembinaan kemandirian ini, Rutan menyediakan fasilitas seperti bahan baku mebelair, mesin jahit, las dan bahan baku membuat keset. Pembinaan kemandirian dilaksanakan di ruang Bimbingan Kerja dan Kegiatan. Pembinaan kemandirian bertujuan untuk mengasah minat dan bakat narapidana guna mendukung usaha-usaha mandiri. Melalui pembinaan kemandirian ini, narapidana akan memperoleh bekal keterampilan dimaksudkan agar setelah habis masa hukumannya dan kembali ke tengah-tengah masyarakat dapat menghidupi dirinya sendiri serta meninggalkan perbuatan yang melanggar hukum. Metode ini cocok digunakan bagi narapidana yang ingin mengembangkan bakat dan minatnya serta mengasah kemampuan keterampilan yang sudah dimiliki guna mendukung usaha mandiri setelah keluar dari Rutan. Adapun beberapa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: Tabel 10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Hari Jam Jenis Kegiatan Pembinaan Kemandirian Senin s.d Rabu 08.00-12.00 WIB 1. Mebelair 2. Keset 3. Menjahit 4. Cukur rambut Kamis 08.00-12.00 WIB 1. Las 2. Elektronika s.d 08.00-10.30 WIB Menyelesaikan pekerjaan yang Sabtu belum selesai hari kemarin Sumber Data: Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Kegiatan Tanggal 5 Juli 2011. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 kegiatan dalam pembinaan kemandirian yang berupa mebelair, keset, menjahit, cukur rambut, las dan elektronika. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari sejak pagi hingga siang hari. Ada sekitar 5 orang narapidana residivis yang mengikuti
program
pembinaan
kemandirian.
Ukuran
keberhasilan
pembinaan kemandirian dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dari beberapa kegiatan guna mengetahui apakah keterampilan yang selama ini diperoleh telah dikuasai. Beberapa aspek yang dinilai dalam pembinaan kemandirian terkait dengan kecakapan narapidana yaitu tingkat kedisiplinan, kerja sama dengan narapidana lain, keuletan, tanggung jawab, dan motivasi. Bagi narapidana mampu menghasilkan karya yang produktif maka, mereka akan diberi upah. Semua hasil karya baik yang berasal dari kegiatan bimbingan bakat maupun keterampilan dicatat dalam buku hasil karya. Semua hasil karya disimpan dengan baik dan tertib dalam gudang penyimpanan. Sebagai catatan, keseluruhan dari wujud program pembinaan kepribadian harus diikuti oleh semua narapidana tanpa terkecuali. Pembinaan kepribadian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161
tersebut meliputi: pembinaan kesadaran agama, pembinaan bentuk olah raga, pembinaan intelektual, pembinaan kesadaran hukum, dan pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Sedangkan program pembinaan kemandirian sifatnya hanya jangka pendek. Namun pada dasarnya, setiap narapidana harus mengikuti paling tidak satu kegiatan dalam pembinaan kemandirian karena merupakan pemberian bekal kepada narapidana khususnya residivis untuk nantinya sebagai keterampilan tambahan atau sebagai mata pencaharian pokok dalam mencukupi kebutuhan hidupnya setelah selesai menjalani masa pidana. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa semua metode pembinaan yang digunakan oleh pembina Rutan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir, bertindak, atau bertingkah laku. Metode yang digunakan oleh pembina dalam menyampaikan materi pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dari atas ke bawah (top down approach), metode dari bawah ke atas (botton up approach), metode pembinaan perorangan (individual treatment), dan metode pembinaan secara kelompok (classical treatment). Metode pembinaan dan wujud pembinaan tersebut diberikan kepada semua narapidana termasuk narapidana residivis. Setelah
peneliti
mengadakan
observasi,
kenyataan
di
lapangan
menunjukkan bahwa ternyata masih ada metode yang dilaksanakan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam menyampaikan materi pembinaan yaitu metode pembinaan dengan latihan fisik. Metode ini dimaksudkan untuk melatih narapidana memiliki semangat bernegara. Metode dilakukan dengan langkah keamanan yang dilakukan sesuai dengan tingkat keadaan yang dihadapi. Selanjutnya, pembina memberikan kegiatan fisik untuk melatih kedisiplinan. Selain itu, membentuk narapidana mejadi manusia Pancasila dimana mereka dituntut memiliki jiwa patriotisme yang tinggi. Wujud pembinaan yang sesuai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162
dengan metode ini adalah pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Pembinaan ini bertujuan untuk melatih dan membentuk narapidana memiliki jiwa kebangsaan, cinta tanah air bangsa. Bentuk kegiatan yang diselenggarakan berupa latihan baris-berbaris, latihan upacara bendera di lapangan Rutan setiap 17 Agustus dan upacara bendera setiap hari senin pagi. Latihan tersebut dilaksanakan setiap hari senin pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Ketua program pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara adalah Bapak Slamet, S.St. Guna mempermudah pemahaman mengenai metode dan wujud pembinaan di atas, maka peneliti menyediakan dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta No. Metode Pembinaan Wujud Pembinaan 1.
2.
3. 4. 5.
Metode Pembinaan Berdasarkan 1. Pembinaan Kesadaran Agama Situasi sesuai dengan Kebutuhan Islam dengan Pendekatan dari Atas ke 2. Pembinaan Kesadaran Agama Bawah (top down approach). Nasrani 3. Pembinaan Bentuk Olah Raga Metode Pembinaan dengan Pembinaan Intelektual Pendekatan dari Bawah ke Atas (botton up approach) Metode Pembinaan Perorangan Pembinaan Kesadaran Hukum (individual treathment) Metode Pembinaan secara Pembinaan Kemandirian Kelompok (classical treatment) Metode Pembinaan dengan Pembinaan Kesadaran Pendekatan Latihan Fisik. Berbangsa dan Bernegara
d. Evaluasi Keberhasilan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait Pembentukan Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Pelaksanaan pembinaan dikatakan berhasil apabila narapidana dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163
kembali. Hal tersebut dipertegas menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa: Tujuan pemasyarakatan adalah membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik (good citizen) dan bertanggung jawab (Dwidja Priyatno, 2006: 180). Dalam mencapai tujuan tersebut, pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan pembinaan yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah membentuk narapidana menjadi warga negara yang baik (good citizen). Untuk menjadi warga negara yang baik, harus dimulai dengan membangun pribadi yang bermoral. Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya selama di lembaga pemasyarakatan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Kompetensi kewarganegaraan diperoleh melalui program pembinaan yang diberikan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada narapidana residivis. Melalui pembinaan tersebut, diharapkan narapidana residivis dapat memperbaiki diri untuk merubah moral mereka menjadi baik dan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Pembinaan moral merupakan cara yang ditempuh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar narapidana memilki mental dan watak yang bermoral sehingga narapidana bertindak sesuai dengan hati nurani atau kesadaran diri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bambang Poernomo (1986: 187) yang mengatakan bahwa: Pembinaan narapidana mempunyai arti memberlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang terdorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta menggambarkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164
kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Dalam mewujudkan moral yang baik pada narapidana residivis tidaklah mudah karena menyangkut kebiasaan hidup mereka yang biasanya hidup bebas tanpa aturan. Bahkan, mereka bertindak melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat yaitu pengulangan tindak pidana. Sehingga pembina dan petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki tugas ekstra dalam mengembalikan moral narapidana menjadi baik. Adanya metode dan wujud pembinaan yang telah diberikan selama ini seharusnya mampu merubah narapidana menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebanyak 60 % untuk pembinaan mental kepribadian sedangkan 40% untuk pembinaan fisik berupa kemandirian. Menurut saya, program pembinaan yang mampu mengubah moral narapidana menjadi lebih baik adalah program pembinaan kepribadian sebab program pembinaan kepribadian tujuan utamanya adalah merubah moral narapidana untuk tidak mengulangi perbuatan tindak pidana kembali sedangkan pembinaan program kemandirian lebih mengasah pada minat, bakat dan mengembangkan keterampilan agar setelah ia bebas dari Rutan dapat menjadi manusia yang mandiri. (Catatan lapangan 21).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Menurut saya program pembinaan yang mampu merubah moral narapidana residivis menjadi pribadi yang bermoral adalah pembinaan kesadaran agama, dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama maka narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama yang baik. Nilainilai religius yang telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Iman mereka akan kuat. Kemudian kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Narapidana residivis akan memperoleh nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
baik dan buruk agar bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat. (Catatan lapangan 22). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, diantara program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang mampu merubah moral narapidana menjadi lebih baik cenderung kepada program pembinaan kepribadian yang meliputi pembinaan kesadaran agama dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama, narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama. Nilai-nilai religius yang telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Kemudian pembinaan kesadaran hukum, narapidana residivis akan memperoleh pendidikan moral yang mampu menyerap nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan buruk agar bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: terhadap narapidana residivis dapat ditinjau dari prestasi narapidana residivis dan perubahan perilaku atau sikap ).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Pembinaan moral dikatakan berhasil apabila semua narapidana mampu menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, tidak mengulangi tindak pidana dan hidup wajar sebagai pribadi yang beriman kepada Tuhan, dan patuh terhadap norma-norma yang ada Berdasarkan uraian di atas peneliti menentukan indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan pembentukan good citizen yang ditinjau dari tujuan pembinaan berdasarkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166
pemasyarakatan yaitu kesadaran diri berubah, perbaikan perilaku dalam kehidupan sehari-hari serta tidak mengulangi kembali tindak pidana. Peneliti menentukan indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan pembentukan good citizen meliputi: kesadaran moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Adapun hasil evaluasi tentang keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan pembentukan good citizen yang terlihat dalam tabel berikut ini: Tabel 12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen. Jumlah Aspek No. Indikator narapidana residivis (%) Kesadaran narapidana residivis selama 1. Kesadaran mengikuti pembinaan kesadaran 40% moral (moral agama islam dan kesadaran hukum. feeling) Perilaku yang baik dalam mengikuti 2. pembinaan moral. 20%. Tindakan moral (moral Perubahan perilaku yang baik setelah action) mengikuti pembinaan moral. 0%. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, ditinjau pada kesadaran moral (moral feeling) dari 10 narapidana residivis yang memiliki kesadaran diri untuk mengikuti pembinaan kesadaran agama islam dan pembinaan kesadaran hukum hanya 4 orang (40%). Hal tersebut diketahui berdasarkan absensi yang dipegang oleh pembina Rutan dimana mereka rutin mengikuti pembinaan tersebut. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa narapidana residivis untuk mengetahui kesadaran moral mereka. tanggal 8 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Melalui pembinaan agama saya merasa lebih mengenal Tuhan, menyadari bahwa selama ini melakukan kesalahan atas tindak pidana yang saya lakukan. Sekarang terbiasa sholat lima waktu yang tadinya bolong-bolong. Sedangkan dengan mengikuti kegiatan kemandirian (menjahit) lebih bisa mengasah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167
kemampuan dan mendapat teman-teman baru sehingga diharapkan setelah keluar nanti bisa membuka usaha menjahit pakaian. (Catatan lapangan 20). Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada hari
Dengan mengikuti pembinaan di Rutan, saya mendapat ilmu yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya misalnya pengetahuan agama, disiplin, keharusan patuh pada tata tertib. Di Rutan ini, saya bisa sharing dengan petugas Rutan dan narapidana lain. Perubahan setelah mengikuti pembinaan adalah saya merasa dapat menjalani hidup lebih baik, optimis dan semangat. (Catatan lapangan 21). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, programprogram pembinaan yang dilaksanakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki pengaruh yang baik terhadap perubahan perilaku narapidana residivis. Melalui pembinaan kepribadian seperti pembinaan kesadaran agama dan pembinaan kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pengetahuan agama, pengetahuan moral, dan wawasan tentang arti pentingnya taat terhadap norma. Dari pengetahuan yang diperoleh setelah mengikuti pembinaan tersebut, ternyata mampu merubah perilaku moral narapidana residivis menjadi lebih baik seperti rajin beribadah, menjalani hidup yang lebih optimis, dan sikap disiplin.
Untuk mengecek kesadaran moral yang dimiliki oleh narapidana residivis maka, peneliti melakukan pengamatan pada tanggal 20 Juli 2011. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 6 orang narapidana residivis belum memiliki kesadaran moral tentang arti pentingya pembinaan moral. Mereka mengatakan bahwa mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan yaitu sebanyak 2 orang, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan yaitu sebanyak 2 orang dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena alasan mengisi waktu luang dari pada menganggur yaitu sebanyak 2 orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan kesadaran hukum dikatakan belum berhasil menyadarkan moral (moral feeling) dari narapidana residivis. Selanjutnya ditinjau dari tindakan moral yaitu perubahan perilaku narapidana residivis menjadi bermoral. Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa dari 10 narapidana residivis yang memiliki perilaku yang baik setelah mengikuti pembinaan hanya 2 orang (20 %). Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Narapidana residivis telah menunjukkan kecakapan sosial artinya mereka mampu menjalin interaksi yang baik dengan narapidana yang lain ataupun dengan petugas Rutan. Narapidana residivis menunjukkan sikap saling hormat menghomati dan tenggang rasa selama mengikuti pembinaan. Selain kecakapan sosial, beberapa narapidana residivis telah memiliki skill yang ditunjukkan dengan bakatnya masing-masing. Pada pembinaan kesadaran agama islam, sejumlah 2 narapidana residivis dipercaya oleh petugas Rutan untuk menjadi tamping. Misalnya mengisi kegiatan ceramah keagamaan (ustad) dalam kegiatan ceramah menjelang dzuhur dan ditugaskan untuk mengelola kegiatan pesantren. Selanjutnya dilihat dari penerapan nilai-nilai moral dalam keseharian mereka berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
a) Nilai religius dan nilai tanggung jawab. Setelah peneliti mengadakan pengamatan di lapangan pada tanggal 20-23 Juli 2011, ternyata penerapan nilai religius dan nilai tanggung jawab tampak dalam keseharian narapidana residivis selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Nilai-nilai tersebut mereka peroleh setelah mengikuti pembinaan kesadaran agama islam. Sebanyak 2 orang narapidana residivis rajin menjalankan sholat berjamaah dan mengikuti ceramah harian menjelang dzuhur di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Narapidana residivis menjalankan kegiatan tersebut sebagai bentuk rasa tanggung jawab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169
moralnya sebagai manusia kepada Sang Kholik (Tuhan), sesama manusia dan lingkungan sekitar. b) Nilai kerukunan dan sosial Penerapan nilai kerukunan nampak dalam aktivitas pembinaan atau keseharian narapidana residivis. Hal tersebut dapat diketahui dari hubungan saling hormatmenghormati antara narapidana residivis dengan petugas pemasyarakatan ataupun interaksi dengan sesama narapidana. Kemudian terlihat juga pada kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan tanggal 23 Juli 2011, menunjukkan bahwa antara narapidana residivis dengan narapidana lain saling bergotong royong untuk membersihkan lingkungan Rutan. Untuk mengecek perubahan sikap atau perilaku yang baik dalam diri narapidana residivis, peneliti melihat hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Wali adalah petugas Rutan yang ditugaskan untuk membimbing dan mengevaluasi perkembangan diri narapidana. Kenyataannya, setelah peneliti melakukan pengamatan pada hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali diketahui 2 orang narapidana residivis yang mendapatkan catatan kurang baik karena pernah melakukan pelanggaran tata tertib Rutan yaitu percobaan pelarian diri atau pernah bertengkar dengan narapidana lainnya sehingga harus dimasukkan ke dalam straff cell. Narapidana residivis tersebut adalah Marcus Sudarmo dan Agus Waluyo. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan pembina Rutan menunjukkan bahwa, sebanyak 7 narapidana residivis belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan yaitu malas (2 orang), membuat gaduh saat mengikuti pembinaan kesadaran agama islam (1 orang), mengobrol sendiri (1 orang), berkelahi (1 orang), tidur saat mengikuti pembinaan (1 orang), bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan (1 orang). Selama peneliti melakukan pengamatan mengenai aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti berbagai pembinaan pada tanggal 23-28 Juli 2011 diketahui bahwa, beberapa narapidana residivis malas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170
mengikuti kegiatan ceramah menjelang dzuhur dan tidur pada saat mengikuti pembinaan tersebut, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan kemandirian, dan tidak serius mengikuti latihan baris-berbaris pada pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, peneliti juga melakukan kroscek pada tanggal 24 Juli 2011 menyebutkan dari data yang diperoleh peneliti pada Seksi Administrasi dan Perawatan Rutan Klas 1 Surakarta. Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kurun waktu tahun 2009-2011 adalah sebagai berikut: Tabel 13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tahun 2009-2011. No Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 1.
27
17
20
Sumber: Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 3 Agustus 2011. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pengulangan tindak pidana meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang tetap saja melakukan perbuatan tindak pidana. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan kesadaran hukum dikatakan tidak berhasil membentuk tindakan moral (moral action) dari narapidana residivis. Hal tersebut karena masih ditemukan perilaku yang tidak baik selama atau setelah narapidana residivis menmgikuti pembinaan moral. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen dikatakan tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10 narapidana residivis belum terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau dari kesadaran moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171
yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau di manapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan citayang terdidik secara moral adalah seseorang yang telah belajar atau dibina untuk bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan menjadi sadar dan bahagia dengan tindakan-tindakan dan nilai-nilainya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, narapidana residivis yang belum memiliki kesadaran moral selama pembinaan berlangsung misalnya mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena mengisi waktu luang dari pada menganggur. Sedangkan dari segi tindakan moral adalah narapidana residivis belum menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan yaitu malas, membuat gaduh saat mengikuti pembinaan, mengobrol sendiri, berkelahi, tidur saat mengikuti pembinaan, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan, bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan. Selain itu, ditinjau juga dari meningkatnya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta selama kurun waktu 2010-2011. Hampir semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana padahal mereka sebelumnya telah mendapatkan pembinaan moral selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pembinaan berdasarkan pemasyarakatan yaitu narapidana residivis mampu memperbaiki diri, menyadari kesalahan dan menjadi warga negara yang baik (good citizen) dan bermoral nampaknya tidak terealisasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta a. Faktor Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta Keberhasilan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mendorong keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis meliputi 1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, 2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung, 3) Sarana dan prasarana yang menunjang, 4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan 5) Pengawasan yang baik saat pembinaan berlangsung. Berikut ini penjabaran mengenai faktor tersebut: a. Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan Narapidana residivis merupakan subyek utama dalam berlangsungnya proses pembinaan. Selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, narapidana residivis akan diberikan program pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun pembinaan keterampilan. Sifat dan tingkat intelegensi yang dimiliki oleh setiap narapidana residivis berbeda-beda sehingga menimbulkan tanggapan yang berbeda pula terhadap pembinaan yang diberikan. Oleh sebab itu, keberhasilan pembinaan sangat ditentukan oleh narapidana residivis itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Narapidana merupakan faktor keberhasilan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika kesadaran narapidana telah mencapai high consciousness (narapidana yang telah memiliki kesadaran penuh) yaitu narapidana yang telah mengenal dirinya sendiri dan mampu memotivasi diri sendiri ke arah yang positif maka, pembina dalam memberikan materi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173
pembinaan juga menjadi ringan namun sebaliknya jika tingkat kesadaran rendah maka akan sulit bagi pembina untuk membina mereka. (Catatan lapangan 11). Hal senada juga disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana pada tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Bagi narapidana residivis yang telah yang telah memiliki kesadaran yang penuh artinya konsisten dan berkesinambungan dalam bertindak secara moral misalnya rutin mengikuti setiap pembinaan, telah menunjukkan sikap yang baik, maka akan mempermudah pembina menyampaikan materi pembinaan. (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, keberhasilan pembinaan ditentukan oleh narapidana itu sendiri. Narapidana yang memiliki kesadaran penuh (tinggi) akan mempermudah berlangsungnya proses pembinaan. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan, sebagian narapidana residivis telah memiliki kesadaran akan pentingnya pembinaan. Dari pembinaan yang diberikan Rutan, narapidana mampu menyerap nilai positif dengan harapan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Lebih dari pada itu, melalui pembinaan akan mengubah narapidana residivis menjadi sosok pribadi yang bermoral. Setelah peneliti melakukan pengamatan pada lembar absensi yang dipegang oleh pembina Rutan pada tanggal 25 Juli 2011 menyebutkan bahwa, beberapa narapidana residivis mengikuti pembinaan secara rutin khususnya pada pembinaan kesadaran agama. Sebanyak 16 narapidana residivis rutin mengikuti kegiatan baca tulis Almenjelang sholat dzuhur. Pada pembinaan intelektual, hanya 3 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan pemberantasan buta huruf. Kemudian pada pembinaan berbangsa dan bernegara 10 orang narapidana residivis rutin mengkuti kegiatan latihan baris-berbaris. Selanjutnya, pada pembinaan kesadaran hukum hanya 9 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan konseling. Kamudian pada pembinaan kemandirian, sebanyak 2 orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174
narapidana residivis rutin mengikuti kegiatan usaha kemandirian misalnya kegiatan mebelair dan kegiatan las. Sedangkan pada pembinaan bentuk olah raga hanya 2 narapidana residivis yang mengikuti yaitu kegiatan olah raga volly. Narapidana residivis mengikuti pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta atas kesadaran diri walaupun awalnya hanya ikut-ikutan dalam mengikuti pembinaan seperti narapidana lainnya. Namun, setelah mengikuti pembinaan ternyata tergerak hatinya untuk selalu mengikuti pembinaan tersebut. Dengan mengikuti pembinaan tersebut, mereka merasakan adanya perubahan yang lebih baik yaitu menjadi sosok pribadi yang ikhlas, peningkatan keimanan dan ketakwaan, tumbuhnya sikap disiplin, motivasi, dan sikap optimis dalam menjalani hidup. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu narapidana residivis yang
berikut: Saya selalu Rutin mengikuti pembinaan yang dilaksanakan di Rutan. Sejak awal masuk Rutan, saya merasa tertarik pada pembinaan yang diberikan khususnya keagamaan dan kemandirian. Setelah mengikuti kegiatan keagamaan ceramah yang dilaksanakan menjelang dzuhur rasanya hati saya menjadi tenang sehingga rajin beribadah. Saya mengikuti pembinaan atas kemauan pribadi sebab dengan pembinaan dirasa sangat penting sebagai bekal hidup setelah keluar dari Rutan. (Catatan lapangan 20). Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada Awalnya saya mengikuti pembinaan karena terpaksa dan ikut-ikutan saja. Alhamdulilah saat ini rutin kegiatan pondok pesantren. Tidak hanya sebatas pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan lainnya seperti olah raga, intelektual dan kemandirian juga aktif mengikuti. Setelah saya mengikuti pembinaan-pembinaan di Rutan, saya merasa menjadi sosok yang penuh semangat. Awalnya sangat frustasi karena bolak-balik masuk Rutan. Keluar dari penjara mau kerja apa bingung. Berkat pembinaan kemandirian, saya mampu mengasah potensi keterampilan las. Petugas selalu memberikan motivasi dan kerap mengatakan bahwa manusia selalu bergelimang dosa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175
Buat apa mengutuk diri, kalau kamu ingin berubah pasti Tuhan memberikan jalan . Kata-kata tersebut selalu teringat dan menjadikan diri untuk optimis dalam menjalani hidup. (Catatan lapangan 21). b. Peraturan perundang-undangan yang mendukung Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan merupakan hasil pemikiran secara mendasar dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Di dalam pelaksanaannya dibuatlah peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan. Adapun peraturan yang mendukung pelaksanaan pembinaan di antara Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta antara lain: a) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan peraturan ini, akan mempermudah pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam menyusun program pembinaan bagi narapidana. b) Peraturan Pemerintah RI Penyelenggaraan
Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama
Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini, memberikan peluang bagi pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk menjalin kerja sama baik bersifat fungsional maupun
kemitraan
pembimbingan
guna
tertentu
melaksanakan dengan
instansi
program
pembinaan
pemerintah,
dan
badan-badan
kemasyarakatan, dan perorangan. Sebagai contoh bentuk kerja sama dalam mendukung pembinaan keagamaan islam antara Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan Yayasan Wisata Hati dalam mendirikan Pondok Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. c) Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal Asimilasi tidak Diberikan kepada Narapidana Penipuan, Psikotropika dan Kasus Terorisme.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176
Peraturan ini diterapkan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mempermudah pelaksanaan pembinaan. Dengan peraturan ini, sebagai dasar peniadaan tahapan asimilasi bagi narapidana residivis dengan alasan keamanan yang dikhawatirkan terjadi pelarian dari narapidana residivis. c. Sarana dan prasarana yang menunjang Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang tidak kalah penting dalam memperlancar pelaksanaan pembinaan. Sarana dan prasarana yang terkait meliputi pembina pemasyarakatan (sarana personil) yang memadai, dana, dan fasilitas yang mendukung. Berikut ini penjabaran mengenai sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta: a) Pembina pemasyarakatan dan sarana personil yang memadai Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: menunjang pelaksanaan pembinaan, sangat bergantung kepada pembina pemasyarakatan. Oleh karenanya, pembina harus dapat menjadi (Catatan lapangan 11). Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Pembina menjadi faktor yang penting dalam proses pelaksanaan pembinaan. Penyampaikan materi pembinaan oleh pembina sangat mempengaruhi pemahaman narapidana residivis sehingga dibutuhkan pembina yang berkompeten. Dengan demikian perlu ditingkatkan profesionalismenya dengan menempuh pendidikan yang tinggi. (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembina pemasyarakatan menjadi faktor yang penting dalam pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis. Sebagai seorang pendidik, pembina pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk meningkatkan profesionalisme yang tentu saja disesuaikan dengan bidang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177
pembinaannya. Hal tersebut disebabkan pembina sebagai fasilitator dalam menyampaikan materi pembinaan dan sekaligus sebagai teladan yang baik bagi narapidana residivis untuk mewujudkan pribadi narapidana yang terdidik secara moral. Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, ternyata melihat komposisi personalia di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sekarang ini belum menunjukkan adanya kualitas dan kuantitas tenaga yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembinaan secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mengatasi keterbatasan personil tersebut, maka diadakan usaha-usaha pendidikan, penataran, kursus, dan penambahan personil yang secara khusus didatangkan dari luar. Oleh sebab itu, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berusaha menambah personil yang mampu memperlancar jalannya proses pembinaan seperti ustad untuk pembinaan kesadaran agama islam, pastur yang didatangkan dari luar dalam menunjang kegiatan pembinaan kesadaran agama nasrani, dan seorang tamping yang bertugas menggantikan pembina apabila tidak dapat hadir mengisi kegiatan pembinaan.
b) Dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan Dana atau keuangan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan pembinaan. dana tersebut dipergunakan untuk membiayai sarana dan fasilitas pembinaan misalnya pembiayaan peralatan pembinaan, pembiayaan gedung dan biaya kantor-kantor yang diperlukan. Yang menonjol disini adalah pembiayaan peralatan pembinaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: laksanaan pembinaan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178
Rutan. Sebab dana tersebut dipergunakan untuk membeli fasilitas yang terkait dengan
. (Catatan lapangan 11).
Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa Dana untuk pelaksanaan pembinaan dapat menunjang keberhasilan pembinaan. Dana yang diperoleh Rutan selama ini dari DIPA atau eks narapidana yang telah sukses. Selama ini, dana dipergunakan untuk kegiatan pembinaan seperti pembinaan kesadaran keagamaan dan pembinaan kemandirian. Dana tersebut diperoleh dari DIPA sehingga sangat membantu sekali bagi keberhasilan pembinaan. (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, dana mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Dana tersebut dipergunakan untuk membiayai sarana dan prasarana khususnya terkait dengan fasilitas pembinaan. Untuk program pembinaan fisik seperti program pembinaan kemandirian, biaya diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran). Begitu pula pada program pembinaan kepribadian, dana juga diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran). Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa, selain dana diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran), pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah menjalin kerjasama dengan pihak luar dalam bentuk kemitraan seperti kerja sama dengan pondok pesantren Al-Bukhori, Yayasan Wisata Hati, MTA (Majelis Tafsir Al-
Selain itu, dana juga diperoleh dari eks narapidana yang telah
sukses misalnya Bapak Sugondo. Dana tersebut dipergunakan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk membeli peralatan yang terkait dengan pembinaan kemandirian misalnya mesin jahit, bahan baku mebelair, dan bahan baku pembuatan kanopi. Selain itu, dana tersebut juga dipergunakan untuk membiayai pembina yang didatangkan dari luar misalnya pastur, ustad, dan psikiater.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179
c) Fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: pembinaan di Rutan ini. Dengan fasilitas tersebut akan mempermudah dan memperlancar (Catatan lapangan 11). Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
itas yang mendukung jalannya proses
pembinaan meliputi tempat dan peralatan untuk pembinaan. Fasilitas di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang cukup memadai. Dimana (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan fasilitas yang disedikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memperlancar proses pembinaan. Fasilitas tersebut berupa peralatan maupun tempat untuk berlangsungnya pembinaan. Ternyata fasilitas yang diberikan selama ini dirasa telah cukup memadai. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan peneliti pada tanggal 30 Juni 2011 diketahui bahwa, terdapat beberapa fasilitas yang diberikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mendukung keberhasilan proses kegiatan pembinaan. Fasilitas tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Pembinaan kesadaran agama meliputi: masjid An-Nur, Altenda. (2) Pembinaan kesadaran agama nasrani meliputi: gereja dan alat musik drum. (3) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara meliputi: lapangan sebagai latihan baris-berbaris. (4) Pembinaan intelektual meliputi: perpustakaan dan buku-buku bacaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180
(5) Pembinaan kesadaran hukum berupa ruang konseling (6) Pembinaan usaha mandiri meliputi: bahan baku keterampilan yang meliputi kain untuk membuat keset, mesin jahit, alat-alat cukur, dan las. (7) Pembinaan bentuk olah raga meliputi: lapangan dekat aula untuk kegiatan olah raga dan tape untuk senam pagi. d. Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat Adanya asumsi dari sebagian besar masyarakat yang belum memberikan kepercayaan kepada narapidana residivis dan memberikan stigma negatif kepada mereka menyebabkan hilangnya rasa percaya diri. Selain itu, narapidana residivis cenderung dikucilkan sebab mereka dicap sebagai orang jahat. Apalagi bagi seorang narapidana residivis yang kerap keluar masuk penjara sehingga citra buruk sebagai mantan penjahat semakin melekat dalam diri mereka dan sukar untuk dihilangkan. Oleh sebab itu, keluarga memiliki peran dalam memberikan motivasi dan dukungan moril untuk mengembalikan rasa percaya diri narapidana residivis ketika keluar dari Rutan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembinaan khususnya mengembalikan moral narapidana adalah keluarga. Apabila keluarga dari narapidana residivis kerap memberikan motivasi maka mereka tidak akan stres selama berada di Rutan. Stres yang berkepanjangan mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pribadi narapidana. Sehingga setelah keluar dari Rutan ia mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif yang akan mempengaruhi kehidupannya. (Catatan lapangan 11). Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan, pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Selain pembina pemasyarakatan, dana dan fasilitas yang memadai, peran keluarga menjadi pendorong keberhasilan pembinaan. Sebab merekalah yang paling mengetahui kondisi narapidana sebab pembina kadang tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181
mengetahui kebutuhan mereka. Oleh sebab itulah keluarga hendaknya rutin melakukan kunjungan paling tidak seminggu sekali untuk memberikan dorongan atau motivasi kepada narapidana residivis dalam memberikan pesan moral. (Catatan lapangan 12). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, keluarga merupakan salah satu faktor yang mendorong keberhasilan pembinaan. Keluarga memilliki peran yang besar dalam memberikan motivasi dan rasa percaya diri kepada narapidana residivis agar tidak stres ketika mereka berhadapan dengan masyarakat luar. Stres berkepanjangan yang dialami oleh narapidana residivis, mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Sebab, pembina Rutan harus berusaha ekstra dalam mengembalikan rasa percaya diri mereka dimana hal tersebut pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Disisi lain, pembina Rutan kurang begitu mengetahui kondisi yang dialami narapidana residivis, sebab yang paling mengetahui kondisi narapidana residivis adalah keluarga yang bersangkutan. Kedekatan diantara keduanya mempengaruhi kondisi kejiwaan narapidana residivis. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pribadi narapidana sehingga setelah keluar dari Rutan, narapidana residivis mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif yang akan mempengaruhi kehidupannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada tanggal 1 September 2011 peneliti melihat beberapa keluarga dari narapidana residivis kerap mengunjungi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, walaupun hanya sekedar memberikan makanan, pakaian atau keperluan lainnya. Dalam aula besukan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tampak ramai keluarga duduk-duduk bercengkrama dengan narapidana. Terlihat hubungan yang harmonis dan akrab diantara anak-anak, isteri, atau orang tua dari narapidana. Peneliti sempat bergabung dengan salah satu keluarga dari narapidana residivis yang bernama Triyadi. Peneliti mengamati bahwa, nampaknya narapidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182
residivis tersebut, berusaha menumpahkan keluh kesah mereka kepada keluarga. Dibalik ekspresi wajahnya yang gembira karena dikunjungi oleh keluarga, terlihat jelas narapidana residivis tersebut mengalami stres. Dia mengungkapkan bahwa:
memberikan nasehat-nasehat atau pesan moral kepada narapidana residivis agar sabar dan ikhlas selama menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. e. Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M, pada Hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki petugas tersendiri yaitu petugas pengamanan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembina juga turut serta dalam menjaga keamanan. Pembina akan melakukan pengawasan khususnya kepada narapidana residivis. Hal ini disebabkan pengalaman pahit Rutan atas pelarian narapidana residivis. (Catatan lapangan 11). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana selaku kepala pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa: Keberhasilan pembinaan moral, juga didorong oleh pengawasan pembina terhadap narapidana residivis. Selama proses pembinaan berlangsung, pembina akan memantau ketat aktivitas narapidana residivis. Usaha ini sebagai bentuk upaya Rutan untuk menghindari adanya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antara naripada residivis dan bukan residivis dan percobaan perlarian narapidana residivis. Jika tidak dilakukan pengawasan ektra, tidak akan timbul kesadaran diri dari narapidana untuk berubah. (Catatan lapangan 22). Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
beberapa
pembina
pemasyarakatan di atas dapat diketahui bahwa, pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Pengalaman pahit yang dirasakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183
perhatian pembina Rutan dalam melakukan pengawasan yang lebih baik pada saat proses pembinaan berlangsung. Selain itu, pengawasan dilakukan sebagai upaya meningkatkan kedisiplinan dan menyadarkan narapidana residivis yang berperilaku tidak baik misalnya malas atau semaunya sendiri dalam mengikuti pembinaan. Sebab, dengan pengawasan dari pembina Rutan maka narapidana residivis akan bersungguh-sungguh mengikuti kegiatan pembinaan. Disamping itu, sebagai pembelajaran bagi narapidana residivis agar mereka jera untuk tidak melakukan perbuatan tindak pidana. Pengawasan ini dirasa sangat efektif terhadap keberhasilan proses pembinaan. Selama peneliti melakukan observasi di lapangan tanggal 15 Juni sampai 29 Juli 2011 selama proses pembinaan, pembina Rutan melakukan pengawasan terhadap semua narapidana baik yang residivis maupun yang bukan residivis. Misalnya Bapak Suramto selaku pembina kesadaran agama islam selalu memantau proses berlangsungnya pembinaan. Semua narapidana yang mengikuti pembinaan akan dicek satu persatu dengan absensi. Pada pembinaan lain seperti pembinaan intelektual, pembinaan kemandirian, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara juga demikian. Bahkan, pembina menggunakan seperangkat alat pengamanan seperti tongkat, borgol, dan pistol untuk melengkapi kegiatan pengawasan dalam berlangsungnya pembinaan sebab dikhawatirkan ada narapidana yang melakukan pelanggaran tata tertib seperti perkelahian dengan narapidana lain, percobaan lari dari Rutan, atau berusaha melawan pembina. Pada tanggal 16 Juli 2011 peneliti pernah menjumpai seorang narapidana residivis bernama Bayu Waluyo mencoba lari kabur dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada saat mengikuti pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Akhirnya, Bayu Waluyo ditangkap dan langsung diborgol oleh pembina Rutan yaitu Bapak Slamet, S.St. Kemudian diserahkan kepada petugas pengamanan Rutan untuk diberikan peringatan keras. Oleh karena perbuatannya tersebut, petugas pengamanan Rutan akan memasukkannya ke dalam straff cell atau ruang isolasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184
b. Faktor Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ternyata mengalami beberapa kendala. Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen meliputi: 1) Perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, 2). Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, 3). Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, 4). Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, 5). Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis. Berikut penjabaran mengenai faktor-faktor penghambat: 1) Perilaku Narapidana Residivis yang Tidak Baik Saat Mengikuti Pembinaan Narapidana residivis merupakan salah satu penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, dimana mereka adalah subyek sekaligus obyek utama dalam pelaksanaan pembinaan. Narapidana residivis yang pernah menerima pembinaan selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, seharusnya setelah keluar dari Rutan telah berubah menjadi pribadi yang bermoral. Namun dalam kenyataannya, masih menunjukkan moral yang rendah. Hal tersebut diketahui dari pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Selain itu, selama pelaksanaan pembinaan berlangsung ditemukan beberapa narapidana residivis masih menunjukkan tingkah laku yang tidak baik. Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. M.M,
pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut: Saya sering mendapat laporan dari pembina tentang kasus yang dilakukan residivis. Narapidana mencoba kabur dari Rutan dengan cara mengelabui petugas, laporan kekerasan karena motif balas dendam ketika pihak korban mengunjungi Rutan, serta pertengkaran dengan narapidana biasa. Namanya juga bekas penjahat dari segi pengalaman mereka sudah lihai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185
sulit sekali merubah mereka menjadi manusia yang baik. Kebanyakan dari mereka melakukan kejahatan karena urusan perut. Nampaknya perilaku tersebut menghambat proses pembinaan. (Catatan lapangan 11). Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan pembina kesadaran agama islam, Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Pernah saya temui narapidana residivis yang pada waktu pembinaan residivis tidur pada saat kegiatan ceramah. Bahkan pada waktu pembinaan ada yang malas-malasan bahkan pernah pura-pura dengan alasan sakit sehingga tidak bisa mengikuti pembinaan. Akibatnya mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan. Padahal sudah sering diperingatkan. (Catatan lapangan 13). Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Slamet, S.St pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2011 mengatakan bahwa: tidak serius dan malas pada saat mengikuti kegiatan latihan baris-berbaris (Catatan lapangan 15). Narapidana residivis mengatakan bahwa mereka terpaksa mengikuti pembinaan, dimana hanya ikut-ikutan saja bahkan ada yang berpura-pura mau mengikuti pembinaan. Seperti yang disampaikan narapidana residivis Marcus Sudarmo pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Selama saya ikut pembinaan di Rutan, program pembinaan yang pertama wajib dilaksanakan adalah keagamaan. Saya disuruh sholat jamaah dan mengaji bareng-bareng narapidana lain. Saya hanya ikut-ikutan saja mengikutinya karena takut dimarahi oleh petugas. Pembinaan lain seperti olah raga, intelektual, dan keterampilan juga seperti itu. Selain itu, dari pada nganggur mbak, tidak ada kerjaan ya saya ikuti saja pembinaan disini. (Catatan lapangan 22). Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dari segi pengalaman seharusnya narapidana residivis lebih menguasai tentang program pembinaan yang mampu meningkatkan kualitas perubahan sikap baik pada diri mereka. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa program
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186
pembinaan yang diberikan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk menjadikan narapidana residivis menjadi warga negara yang baik, belum terealisasi. Hal tersebut terbukti masih ditemukannya perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan yang ternyata menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Perilaku tersebut misalnya tidak mengikuti pembinaan dengan berpura-pura karena alasan sakit, narapidana yang malas mengikuti pembinaan, dan tidur pada saat proses pembinaan berlangsung. Perilaku narapidana residvis tersebut ternyata mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan melakukan hal demikian. Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, sepanjang ini sikap yang ditunjukkan narapidana residivis selama mengikuti kegiatan pembinaan dikatakan cukup baik. Mereka mengikuti kegiatan pembinaan dengan serius, namun ada beberapa narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik misalnya membuat gaduh pada saat mengikuti pembinaan kesadaran agama islam yaitu kegiatan ceramah keagamaan menjelang dzuhur. Kemudian pada waktu pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara yaitu kegiatan upacara bendera hari senin pagi peneliti menemukan 2 orang narapidana residivis asyik mengobrol sendiri atau bersenda gurau dengan narapidana lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa masih ditemukan perilaku yang tidak baik selama narapidana residivis mengikuti kegiatan pembinaan. 2) Perbedaan Tingkat Intelektual yang Dilatarbelakangi Pendidikan Narapidana Residivis Rendah Selain masalah yang terkait dengan perilaku yang tidak baik dari narapidana residivis, ada pula faktor lain yang menjadi penghambat bagi pembina dalam pelaksanaan kegiatan program pembinaan. Faktor tersebut adalah perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis rendah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
187
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan (Catatan lapangan 13). Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: r, buta huruf sehingga pembina merasakan kesulitan dalam menyampaikan ). Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: memberikan konseling disebabkan sebagian dari narapidana tingkat pendidikan rendah menyebabkan sulitnya terjalin 17). Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis rendah menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Hal tersebut menyebabkan sulitnya pembina Rutan memberikan materi pembinaan secara maksimal. Kenyataan di lapangan, masih ditemukan narapidana residivis yang tidak mampu baca tulis atau buta huruf yaitu sebanyak 3 orang. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah. 3) Terbatasnya Sarana dan Prasarana yang Mendukung Kegiatan Pembinaan Sarana dan prasarana merupakan faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan pembinaan. Namun, mengingat terbatasnya anggaran yang dimiliki Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta maka, sarana dan prasarana pembinaan tidak semuanya dapat dilengkapi. Hal tersebut menyebabkan kegiatan pembinaan menjadi terhambat. Hambatan yang terkait dengan sarana dan prasarana meliputi: kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188
Rutan, dan kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan. Berikut penjabaran mengenai faktor penghambat pelaksanaan pembinaan yang terkait dengan sarana dan prasarana: a) Kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina Rutan Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Terbatasnya tenaga pengajar membuat pelaksanaan pembinaan terhambat. Untuk pembinaan kesadaran agama, masih kekurangan ustad dan pembina untuk kegiatan koor. Sedangkan mengenai program kemandirian, masih mengandalkan kemampuan narapidana itu sendiri. Sebab, pembina Rutan belum menguasai semua bidang keterampilan seperti las dan elektronik. (Catatan lapangan 11). Hal senada diperkuat dari hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: ustad untuk kegiatan penghafalan Al-
).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Didit Santoso, S.Pd pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 mengatakan bahwa: dengan pembinaan kesadaran agama nasrani adalah kita masih harus ).
mendatangkan pastur
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan intelektual,
Rutan
kekurangan
tenaga
pendidik
sehingga
masih
. (Catatan lapangan 16). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut: pembinaan kesadaran hukum adalah kesibukan pembina sehingga tidak dapat memberikan pelayanan konseling secara maks lapangan 17).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189
Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait sarana personil adalah kurangnya tenaga pengajar pada pembinaan kesadaran agama dan intelektual seperti ustad, pastur, pembina koor dan tenaga pendidik. Disisi lain, pada pembinaan kesadaran hukum terhambat oleh kesibukan pembina Rutan. Oleh sebab itu, pelaksanaan pembinaan menjadi tidak maksimal. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, memang selama pembina Rutan menyampaikan materi pembinaan dibantu oleh beberapa pihak seperti ustad, pembina koor, pastur, dan tamping. Ada sebanyak 6 orang ustad yang dikirim dari pondok pesantren untuk mengisi kegiatan baca tulis Al-
n. Namun, dengan jumlah ustad tersebut kurang
mengimbangi banyaknya narapidana residivis yang mengikuti kegiatan baca tulis Al-
an. Selanjutnya, pembina koor dan pastur sendiri masih
harus di datangkan dari luar. Disisi lain, adanya kesibukan petugas Rutan menyebabkan pembinaan menjadi terhambat misalnya acara penataran dan dinas luar kota sehingga, kadangkala pembina Rutan menyerahkan tugas pembinaan kepada tamping. Tamping adalah narapidana yang dipercaya pihak Rutan untuk membantu petugas Rutan menyelesaikan pekerjaan mereka.
b) Kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Kegiatan kesadaran agama islam belum maksimal terkait dengan kurangnya tempat untuk kegiatan ceramah. Sebab selama ini belum ada tempat atau ruangan khusus untuk kegiatan pembinaan kesadaran . agama islam. Disisi lain, kita juga kekurangan Al(Catatan lapangan 13).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa: Kendala pada kegiatan intelektual yang terkait dengan sarana dan prasarana adalah sempitnya ruang perpustakaan, buku bacaan, serta minimnya bangku atau kursi. Padahal kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan narapidana. (Catatan lapangan 16). Sedangkan, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono, SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa: kemandirian belum berjalan secara optimal karena tersendat bahan baku yang masih kurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahan baku (Catatan lapangan 18). Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak y,
Sarwono tanggal 5 Juli 2011
(Catatan
Rutan belum menyediakan lapangan kh lapangan 19). Berdasarkan menyimpulkan
beberapa
bahwa,
hasil
kurangnya
wawancara fasilitas
di
menjadi
atas,
peneliti
penghambat
pelaksanaan pembinaan. Hambatan yang terkait dengan fasilitas di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: (1) Pembinaan kesadaran agama islam: masih kekurangan tempat untuk kegiatan ceramah agama dimana Rutan harus menggunakan lapangan sebab, masjid tidak dapat menampung jumlah narapidana yang mengikuti kegiatan tersebut. Selain masalah tempat, kendala lainnya berupa kurangnya fasilitas berupa Al-Q (2) Pembinaan intelektual: kendala terkait dengan ruangan perpustakaan yang sempit, kurangnya buku-buku bacaan, bangku atau kursi sehingga dari narapidana sendiri kurang antusias untuk mengunjungi. (3) Pembinaan keterampilan: masih kurang dari segi jumlah dan kualitasnya. Di samping itu, masih terbentur mengenai bahan baku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191
yang disebabkan minimnya anggaran yang dimiliki Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Bahan baku tersebut meliputi: las, bahan baku elektronik, dan mebelair. Bahkan, bahan baku berasal dari narapidana. (4) Pembinaan bentuk olah raga: belum ada lapangan khusus kegiatan olah raga volly. Setelah peneliti melakukan obervasi pada tanggal 23 Juli 2011, beberapa fasilitas Rutan Klas 1 Surakarta yang terkait dengan kegiatan pembinaan memang nampak belum memadai. Pada kegiatan pembinaan kesadaran agama islam misalnya kegiatan baca tulis Al-Q kekurangan Al-
aik
terjemahan
maupun bukan.
Peneliti
menjumpai beberapa Alceramah menjelang dzuhur, masih kekurangan tempat sehingga harus memakai lapangan karena tidak mampu menampung jumlah narapidana secara keseluruhan. Selanjutnya pada pembinaan intelektual, dalam perpustakaan terlihat kursi yang sudah rusak, ruangan yang sempit dan tampak tidak terawat sehingga terlihat kotor. Kemudian pada pembinaan kemandirian, meskipun ruangan untuk kegiatan kemandirian begitu luas, namun tampak beberapa fasilitas seperti 2 buah mesin jahit dan 1 perlengkapan las tidak dapat difungsikan lagi.
4) Belum Ada Peraturan tentang Pola Pembinaan Khusus Narapidana Residivis Peraturan yang digunakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis mengacu kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidan atau Tahanan, sehingga tidak ada perbedaan antara pola pembinaan bagi narapidana residivis atau bukan residivis. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, ditafsirkan sama dengan pola pembinaan narapidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192
yang bukan residivis sebab belum ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis. Karena belum adanya pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis maka pembinaan menjadi tidak efektif. 5) Stigma Negatif Masyarakat terhadap Narapidana Residivis Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut: Terhambatnya pelaksanaan pembinaan moral tidak hanya disebabkan faktor pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan di Rutan namun, stigma negatif dari masyarakat terhadap narapidana residivis juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pembinaan. Kenyataan di lapangan, banyak masyarakat belum bisa menerima keberadaan bekas narapidana. (Catatan lapangan 11). Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri. Kesulitan narapidana residivis beradaptasi dengan masyarakat, mendorong mereka melakukan tindak pidana kembali. Sehingga pembinaan menjadi tidak efektif. (Catatan lapangan 12). Seperti yang diutarakan oleh narapidana residivis Marcus Sudarmo pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
jika berada dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat memandang saya sebagai orang yang jahat. Saya sadar, sebagai bekas penjahat belum bisa ).
me
Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Afif Juli 2011 adalah sebagai
Solikhin, wawa berikut:
Saya kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar masih menganggap saya sebagai orang jahat. Padahal saya berniat menjadi orang yang baik. Setelah keluar dari sini saya mau mencari kerja yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
193
halal yaitu bisnis buka warung nasi. Saya hadapi semua ini dengan tabah. (Catatan lapangan 21). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, stigma negatif masyarakat menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Masyarakat masih kerap memberikan stigma negatif terhadap narapidana residivis yang masih mengecap citra buruk sebagai mantan penjahat. Hal tersebut menyebabkan hilangnya rasa percaya diri mereka dan akhirnya melakukan tindak pidana kembali. Dalam kenyataannya, masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana. Melihat kondisi demikian, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta harus bekerja ekstra memberikan pembinaan dan berupaya mengembalikan rasa percaya diri yang hilang terhadap narapidana residivis. Hal tersebut belum dapat sepenuhnya direalisasikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
C. Temuan Studi Dalam subbab ini, peneliti menganalisis informasi yang berhasil dikumpulkan di lapangan sesuai dengan perumusan masalah dan selanjutnya dikaitkan dengan teori yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan dengan kajian teori maka, peneliti menemukan beberapa hal yang penting yaitu sebagai berikut : 1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
194
Untuk mengetahui seseorang dikatakan bermoral dapat dilihat dari tiga unsur yaitu pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Menurut Lickona dalam bukunya educating for character dalam Asri Budiningsih (2008: 6) menyebutkan
unsur dalam menanamkan nilai moral
penelitian di lapangan menyebutkan bahwa, pengetahuan moral sebagian besar narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikatakan sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis yang tidak mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk tindak pidana yaitu pada narapidana residivis kasus penggelapan. Itu berarti pemahaman moral narapidana residivis mencapai 90% dari 10 orang. Pengetahuan moral narapidana residivis dikatakan sangat baik sebab mereka memahami konsep tindak pidana yang dilakukan. Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana residivis mengetahui tentang makna pencurian. Mereka mengatakan bahwa,
oleh narapidana residivis dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Mereka mengetahui konsep tindakan yang telah dilakukan. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan yang dilakukan. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan moral menurut Kohlberg dapat diketahui bahwa, tingkat kematangan pemahaman moral narapidana residivis (kasus pencurian, pembunuhan, kekerasan dan penipuan) berada pada tingkat VI (orientasi prinsip etis universal). Secara moral, mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195
adalah bertentangan dengan norma hukum. Sebagian narapidana mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana karena perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Hal tersebut sesuai dengan pendapat menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) dalam tahap perkembangan moral dijelaskan bahwa: Dalam tahap VI (orientasi prinsip etis universal) orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsi-prinsip ini menyangkut keadilan, kesedian membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Selain pengetahuan moral di atas, perasaan moral yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis dikatakan cukup baik. Dari 10 orang narapidana residivis hanya 5 orang telah memiliki perasaan moral yang sangat baik. Itu berarti perasaan moral narapidana residivis sekitar 50% dari 10 orang. Narapidana residivis tersebut berada dalam skala empati tahapan underlying feelings yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Perasaan moral ditunjukkan dengan mengungkapkan Mencuri dapat memba
Artinya mereka
paham bahwa, perbuatan yang dilakukan telah merugikan orang lain. Perasaan moral diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis. Ketika peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat dari ekspresi wajah yang menunjukkan adanya penyesalan dari narapidana sebagai akibat atas tindak pidana yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan, membahayakan dan menyusahkan orang dalam hal ini (korban). Perasaan moral narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati kepada korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan si korban.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196
Namun, sejauh ini perasaan moral yang ditunjukkan narapidana residivis hanya diungkapkan melalui kata-kata (ucapan) yang diketahui ketika dilakukan wawancara. Hal tersebut relevan dengan apa yang disampaikan oleh Hoffman (1984) dalam Asri Budiningsih (2008: 53) dari hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa Tingkat empati paling lanjut muncul ketika seseorang sanggup memahami kesulitankesulitan yang ada dalam lingkungannya dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupannya menjadi sumber beban stres dan merasakan kesengsaraan orang l Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa, hampir seluruh narapidana residivis memiliki pemahaman moral yang sangat baik. Selain itu, perasaan empati (perasaan moral) yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis sudah ada. Namun, dari sudut tindakan moral belum dikatakan baik sebab narapidana residivis masih melakukan pengulangan tidak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan, pembunuhan dan kekerasan yang secara moral bertentangan dengan nilainilai moral seperti tidak memiliki perikemanusiaan, tidak jujur, tidak memiliki tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral sehingga melakukan tindak pidana. Masalah moral tersebut yaitu mengapa narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. Dalam teori dari beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197
narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah disebabkan ekonomi yang rendah dengan kasus pencurian yang paling mendominasi. Dalam teori ekonomi menurut Marx dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 34) mengatakan bahwa, Kejahatan timbul karena kemiskinan. Orang miskin meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan Miskinnya masyarakat erat sekali dengan hubungannya dengan rendahnya askan bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa, narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang rendah dimana mereka tidak mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat mereka melakukan perbuatan tersebut. Tindak pidana yang dilakukan didominasi dengan kasus pencurian. Sedangkan teori sosial bond menurut Travis Hirchi dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 43) mengatakan bahwa: Seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a. commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b. beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial. Dari teori tersebut berarti bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena hilangnya sistem kontrol dalam diri yaitu tidak memiliki pekerjaan, pendidikan yang rendah, dan hilangnya nilai-nilai moral dalam diri seseorang. Jika dikaitkan dengan penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana khususnya kasus pencurian adalah sebagian besar narapidana
residivis
terus
melakukan
perbuatan
mencuri
karena
sulitnya
mendapatkan pekerjaan yang layak sebab ketidakpercayaan masyarakat atau instansi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198
terhadap mantan narapidana residivis menyebabkan sulit diterima untuk bekerja. Selain itu, beberapa narapidana residivis masih berpendidikan rendah sehingga tidak memiliki keahlian dan pada akhirnya mencuri. Kemudian dari segi hilangnya nilainilai moral yang dianut oleh sebagian besar narapidana residivis adalah meskipun narapidana residivis telah memiliki pemahaman dan perasaan moral yang baik. Bahkan beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral dari keluarga dan pendidikan formal namun, mereka masih melakukan
pengulangan
tindak pidana. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis dipandang sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral seperti ketamakan, keegoisan, tidak memiliki perasaan terhadap orang lain, keserakahan, dan ketidakpedulian. Hal tersebut berarti nilai moral tidak lagi dianut oleh mereka. Selain itu, pandangan dari teori differential organization menurut Sutherland dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 23) yang mengatakan bahwa: Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada
Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab
seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang salah. Dari teori tersebut benar bahwa, salah satu penyebab seseorang melakukan tindak pidana dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Seperti yang dialami oleh Suwandi dimana ia mencuri karena bergaul dengan temannya seorang pencuri. Teori selanjutnya adalah teori mental disorder menurut James C.Prichard dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 54) yang menyebutkan bahwa: Seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental) yang disebut dengan psychopathy atau antisocial personality
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199
yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah. Dari teori tersebut berarti bahwa, seseorang dapat melakukan perbuatan jahat karena gangguan mental. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia menjadikan tindak pidana sebagai pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh karena sulitnya mencari dan mendapat pekerjaan sehingga menjadi alasan dia mencuri. Ia mencuri dengan penuh kesadaran bahkan, tidak merasa bersalah setelah mencuri. Menurutnya mencuri adalah perbuatan wajar. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penilaian terhadap tindakan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan masalah moral (pengulangan tindak pidana). Dalam menilai tindakan atau perilaku narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti menggunakan pada pendekatan etika normatif menurut K. Bertens (2007: 15) yang bertumpu pada masalah-masalah moral. Ahli yang bersangkutan melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian perilaku manusia . Jadi, menurut pendekatan etika ini peneliti berusaha menilai perilaku narapidana residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan jika ditinjau dari segi moral. Berdasarkan teori egois etis menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011: 2) yang
dikutip
dari
menyebutkan bahwa
http://www.scribd.com/doc58523585/teorijeremy-bentham Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk
mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan Menurut teori tersebut,
keamanan. Secara moral di
jika dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh narapidana residivis bernama Ardi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200
Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Ia mencuri karena membutuhkan biaya operasi ayahnya. Atas tindakan yang telah dilakukan adalah dianggap baik sebab demi mencapai kebahagiaan yaitu terpenuhinya hak hidup ayahnya. Secara moral, berdasarkan teori ini tindakan yang dilakukan dianggap baik dan pantas untuk diupayakan sebab ia melakukan perbuatan tersebut demi menjaga kelangsungan hidup. Begitu pula pada kasus pencurian yang dilakukan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP). Demi menyekolahkan anak seorang narapidana residivis akhirnya mencuri. Demi kelangsungan hidup keluarga, tidak peduli benar atau salah, asal mendapatkan apa yang diinginkannya. Sehingga dapat dikatakan mencuri adalah tindakan baik. Baik karena tujuannya demi untuk menolong keluarga tetapi caranya salah karena bertentangan dengan nilai moral yaitu ketamakan, ketidakpedulian, dan tidak memiliki perasaan terhadap kesulitan orang lain. Selanjutnya teori utilitarianisme menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011: 2) yang dikutip dari http://www.scribd.com/doc58523585/teorijeremy-bentham Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan dan sebaliknya tindakan yang dilakukannya tidak mendatangkan manfaat apapun baik bagi diri sendiri maupun orang lain maka tindakan yang dilakukan dikatakan tidak bermoral teori tersebut, dapat dikaitkan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Ramlan Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia merasa bahwa perbuatan mencuri sebenarnya ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak menyadari bahwa akibat dari perbuatannya tersebut merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Seperti halnya yang dialami oleh narapidana residivis lainnya yang melakukan pengulangan tindak pidana seperti pembunuhan, penggelapan, penipuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201
dan kekerasan. Atas perbuatan yang mereka lakukan tidak menimbulkan manfaat yang baik, malah sebaliknya merugikan diri sendiri, korban serta meresahkan masyarakat. Berikutnya adalah teori moral menurut Sokrates dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) mengatakan bahwa: Dalam tindakan seseorang dilakukan dengan pertimbangan moral. Pertimbangan moral meliputi meliputi a. tindakan sebagai kewajiban moral (tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan). b. tindakan yang merupakan larangan moral (tindakan yang salah kalau diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan). c. tindakan non trival (tindakan yang ada dibalik apa yang dituntut meski mengandung resiko atau pengorbanan). Pada kasus pencurian oleh narapidana residivis yang bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Secara moral, tindakan yang dilakukan sebagai kewajiban moral. Narapidana residivis mencuri karena mermbutuhkan uang demi biaya operasi ayahnya. Mencuri merupakan perbuatan yang dibenarkan demi menyelamatkan nyawa ayahnya sebab jika membiarkan maka ayahnya dapat meninggal dunia. Oleh sebab itu, ia terpaksa mencuri. Demi kelangsungan hidup ayahnya, Ardi Eli.L berusaha mengorbankan dirinya dengan cara mencuri walaupun harus mendapat hukuman atau pemidanaan di Rutan. Atas tindakan yang dilakukan oleh Ardi Eli.L tersebut, juga termasuk dalam kategori non trivial yaitu tindakan yang ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan pengorbanan diri secara total. Berbeda halnya dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Puji Hariyanto. Ia mencuri karena sulit memperoleh pekerjaan. Bahkan, mencuri sebagai sebuah pekerjaan (mata pencaharian). Secara moral, tindakan yang dilakukan merupakan larangan moral sebab mencuri demi kepentingannya sendiri dan menyalahi aturan hukum serta bertentangan dengan nilainilai moral yaitu keegoisan dan keserakahan. Pada kasus penggelapan, penipuan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202
pembunuhan dan kekerasan juga demikian. Tindakan yang dilakukan merupakan larangan moral sebab mengakibatkan kerugian atau dampak bagi orang lain. 2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga pemasyarakatan, namun dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis menggunakan sistem pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melaksanakan pembinaan pun, tidak bisa lepas dari sistem pemenjaraan dimana melalui sistem tersebut bertujuan agar narapidana jera dan tidak lagi mengulangi perbuatan. Tujuan dari pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah tidak melanggar hukum lagi, dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri), dan hidup bahagia dunia akherat. Hal tersebut sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G8/506 17 Juni 1964 yang menjelaskan bahwa pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem Dalam teori gabungan menurut Pallegrino Rossi dalam Dwidja Priyatno (2006: 24) tentang tujuan pemidanaan disebutkan bahwa: Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana. Dari teori tersebut, narapidana residivis berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam rangka melaksanakan pemidanaan dimana mereka akan dibatasi kemerdekaannya sebagai akibat melakukan tindak pidana. Namun, mereka diberikan hak untuk memperoleh pembinaan sebagai upaya rehabilitasi agar setelah keluar dari Rutan tidak mengulangi kembali tindak pidana dan akhirnya menjadi warga negara yang baik (good citizen) karena tujuan pemidanaan bukanlah sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203
unsur balas dendam tetapi lebih kepada perbaikan moral narapidana residivis yang dilakukan melalui pembinaan. Pelaksanaan pembinaan yang diterapkan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terhadap narapidana residivis merujuk kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dikatakan demikian sebab, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah menerapkan beberapa pembinaan baik berupa pembinaan yang sifatnya kepribadian maupun kemandirian. Pembinaan yang bersifat kepribadian bertujuan membentuk watak narapidana sehingga mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual yang diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum memiliki jiwa yang bermoral serta hidup secara produktif. Sedangkan pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan. Wujud program yang diberikan meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan intelektual, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan bentuk olah raga, dan pembinaan kemandirian. Hal tersebut berarti pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah sesuai dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua, menegaskan bahwa: Pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai warganegara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa dan oleh karena itu mereka dididik (dilatih) juga untuk menguasai ketrampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan. lni berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan. (Ismail Sholeh, 1990: 3). Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan dan pola pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204
Pembinaan Narapidana atau Tahanan, namun nampaknya keberhasilan pembinaan narapidana residivis belum
sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Tujuan
pemasyarakatan menurut UU No 12 tahun 1995 adalah agar narapidana residivis menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana. Dalam kenyataannya, masih ditemukan beberapa narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan. Narapidana residivis mengatakan bahwa mereka mengikuti pembinaan hanya ikut-ikutan saja sebab jika tidak mengikuti takut ditegur oleh pembina atau petugas Rutan. Dalam teori etika deontologi menurut Immanuel Kant dalam K.Bertens (1998: 235-260) mengatakan Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Menurut pemikiran Kant adalah menyimpulkan otonomi kehendak dan heteronom kehendak. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor di luar dirinya Dari teori tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan baik apabila bertindak karena kewajiban. Seseorang akan bertindak sesuai dengan kesadaran diri bukan karena perintah orang lain. Jika dikaitkan dengan teori tersebut dapat diartikan bahwa perilaku narapidana residivis yang belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan seperti malas, tidur, membuat gaduh, pura-pura sakit, mengobrol sendiri, tidak serius, dan bahkan mencoba kabur dari Rutan menunjukkan bahwa mereka belum moral. Berdasarkan fakta tersebut maka, dapat dikatakan bahwa pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan narapidana residivis menjadi warga negara yang baik dan bermoral (good citizen) dikatakan belum berhasil sebab, beberapa narapidana residivis yang belum terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana bahkan meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Cheppy H.C (1988: 110: 111) mengatakan bahwa, terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205
Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa keberhasilan pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sangat ditentukan oleh kesadaran moral dari narapidana residivis selama mengikuti pembinaan sehingga upaya penyadaran moral terhadap narapidana harus lebih ditekankan. Selama ini, usaha dari pihak Rutan melaksanakan pembinaan kepada narapidana residivis dikatakan sudah cukup maksimal. Terbukti dari dengan dibentuknya lagi wujud pembinaan yaitu pembinaan latihan fisik dan menambahkan kegiatan pada pembinaan kesadaran agama islam melalui kegiatan pesantren. 3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta a. Faktor Pendorong Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut: 1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan Keberhasilan pembinaan ditentukan oleh narapidana itu sendiri. Narapidana yang memiliki kesadaran penuh (tinggi) akan mempermudah berlangsungnya proses pembinaan. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan, sebagian narapidana residivis telah memiliki kesadaran akan pentingnya pembinaan. Dari pembinaan yang diberikan Rutan, narapidana mampu menyerap nilai positif dengan harapan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Lebih dari pada itu, melalui pembinaan akan mengubah narapidana residivis menjadi sosok pribadi yang bermoral. Hal tersebut relevan dengan pendapat C.I Harsono (1995: 36) mengatakan bahwa: Narapidana subyek sekaligus obyek yang akan menerima pembinaan selama berada di lembaga pemasyarakatan sebab pembinaan yang terbaik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206
bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Artinya narapidana perlu membina dirinya sendiri dengan merubah diri. Adanya kemauan dan kesadaran dalam diri narapidana sangat menentukan keberhasilan pembinaan. 2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan Peraturan perundang-undangan
sangat mendukung pelaksanaan
pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Misalnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan peraturan tersebut, akan mempermudah pihak Rutan dalam menyusun program pembinaan bagi narapidana khususnya residivis. Selain itu juga, Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan
Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini memberikan peluang kepada instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan perorangan untuk ikut berperan aktif dalam membina narapidana menjalin kerja sama baik bersifat fungsional maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan pembimbingan tertentu. Kemudian, Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal Asimilasi tidak Diberikan Kepada Narapidana Penipuan, Psikotropika dan Kasus Terorisme. Peraturan ini diterapkan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mempermudah pelaksanaan pembinaan. Dengan peraturan ini sebagai dasar peniadaan tahapan asimilasi bagi narapidana residivis sebagai alasan keamanan. 3) Sarana dan prasarana yang menunjang a) Pembina Rutan dan sarana personil yang memadai Pembina pemasyarakatan menjadi faktor yang penting dalam pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis. Hal tersebut disebabkan pembina sebagai fasilitator dalam menyampaikan materi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
pembinaan dan sekaligus sebagai teladan yang baik bagi narapidana residivis untuk mewujudkan pribadi narapidana yang terdidik secara moral. Guna mendukung kelancaran pembinaan, Rutan juga menambah sarana personil seperti seperti ustad, pastur dan tamping. Hal tersebut relevan dengan pendapat C.I Harsono (1995: 73) Petugas atau pembina merupakan komponen utama dalam
menunjang
keberhasilan
pembinaan.
Petugas
pemasyarakatan
mempunyai tugas pokok membina narapidana. Tanpa bantuan orang lain, petugas pemasyarakatan tetap harus menjalin kerja sama sebagai pembina narapidana b) Dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan Dana atau keuangan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan pembinaan. Dana diperoleh dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, bantuan dari pemerintah dan swasta ataupun bantuan dari eks narapidana yang telah sukses. Biaya tersebut digunakan untuk menompang biaya kegiatan dari masing-masing program pembinaan. c) Fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan Fasilitas yang disedikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memperlancar proses pembinaan. Fasilitas berupa alat-alat, tempat, dan barang-barang tertentu yang disediakan Rutan guna menunjang kegiatan pembinaan. Hal tersebut senada dengan pendapat C.I. Harsono (1995: 35) dinyatakan
bahwa,
memperlancar keberhasilan pembinaan. Sarana dan prasarana tersebut akan memudahkan petugas untuk menyampaikan materi pembinaan sehingga
4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208
Keluarga memilliki peran yang besar dalam memberikan motivasi dan rasa percaya diri kepada narapidana residivis agar tidak stres ketika mereka berhadapan dengan masyarakat luar. Stres yang berkepanjangan yang dialami oleh narapidana residivis, mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Kedekatan di antara keduanya mempengaruhi kondisi kejiwaan narapidana. Dalam kenyataan dilapangan keluarga dari narapidana residivis kerap melakukan kunjungan ke Rutan untuk memberikan motivasi dan dukungan moril kepada narapidana residivis. Hal tersebut dirasa cukup efektif untuk memperlancar proses pembinaan moral bagi narapidana residivis. Hal tersebut relevan dengan pendapat pendapat C.I. Harsono (1995: 67) mengatakan bahwa: Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, muncul pentingnya hubungan keluarga dengan narapidana untuk memotivasi narapidana agar tidak stres selama di lembaga pemasyarakatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka keluarga ikut serta membina narapidana dengan membangun kesadaran diri atau self development. 5) Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Pengalaman pahit yang dirasakan oleh pihak Rutan atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi perhatian petugas Rutan dalam melakukan pengawasan dan keamanan yang lebih baik pada saat proses pembinaan berlangsung. Pengawasan dilakukan sebagai bentuk upaya meningkatkan kedisiplinan dalam diri narapidana dan menyadarkan narapidana residivis agar mereka tidak malas dan semaunya sendiri dalam mengikuti pembinaan. Berdasarkan uraian mengenai faktor pendorong keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good citizen maka, ternyata tidak relevan dengan C.I Harsono ( 1995:
commit to user
-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209
faktor yang mendorong yang mendorong dan menghambat pembinaan narapidara di lembaga pemasyarakatan antara lain meliputi narapidana, petugas atau pembina, keluarga dan sarana fisik lembaga pemasyarakatan menyebutkan bahwa, masih ada faktor lain yang dapat mendorong keberhasilan pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bagi narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen yaitu peraturan perundang-undangan, dana atau keuangan, dan pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. b. Faktor Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rutan Klas 1 Surakarta 1) Perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan Masih ditemukannya perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan yang ternyata menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Perilaku tersebut misalnya tidak mengikuti pembinaan dengan berpurapura karena alasan sakit, narapidana yang malas mengikuti pembinaan dan tidur pada saat proses pembinaan berlangsung. Perilaku narapidana residvis tersebut ternyata mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan melakukan hal demikian.
2) Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah Faktor perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah mempengaruhi terhambatnya pelaksanaan pembinaan yang menyebabkan sulitnya pembina memberikan materi pembinaan secara maksimal. Masih ditemukan narapidana residivis yang tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210
mampu baca tulis atau buta huruf yaitu sebanyak 3 orang. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan uraian di atas ternyata, perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan dan perbedaan tingkat intelektual dan latar belakang pendidikan narapidana residivis yang tidak sama dapat menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Kedua faktor tersebut merupakan masalah yang berasal dari dalam diri narapidana. Hal tersebut relevan menurut pendapat Romli Atmasasmita (1982: 15) mengatakan bahwa, menghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan dapat . 3) Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan Sarana dan prasarana tersebut meliputi kurangnya sarana personil (tenaga pengajar) dan kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan. a) Kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina Rutan Salah satu yang menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan sarana personil adalah kurangnya tenaga pengajar pada pembinaan kesadaran agama seperti ustad, pastur, dan pembina kegiatan koor. Pada pembinaan intelektual masih kekurangan tenaga pengajar seperti guru. Disisi lain, pada pembinaan kemandirian terhambat oleh kesibukan pembina karena tidak dapat mengisi pembinaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan pembinaan menjadi tidak maksimal. Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan yang menyebutkan bahwa : Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai akan menghambat pelaksanaan pembinaan Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapih, sehingga tidak menjadi faktor
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211
penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau ketertiban (Ismail Sholeh, 1990: 6). b) Kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menyebutkan bahwa kurangnya fasilitas menjadi penghambat pelaksanaan pembinaan. Hambatan yang terkait dengan fasilitas di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi kurangnya peralatan atau kurangnya tempat yang terkait dengan pelaksanan pembinaan. Misalnya dalam kegiatan pembinaan kesadaran keagamaan islam masih harus menggunakan lapangan untuk kegiatan ceramah sebab masjid tidak bisa menampungnya dan kurangnya fasilitas Dalam kegiatan pembinaan intelektual
berupa Al-Q
kendala terkait dengan sarana yaitu ruangan perpustakaan yang sempit, kurangnya buku-buku bacaan, bangku dan kursi. Fasilitas untuk pembinaan kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta masih kurang dari segi jumlah dan kualitasnya seperti bahan baku tersebut meliputi: las, bahan baku elektronik dan mebelair. Bahkan bahan baku juga diperoleh dari narapidana sendiri. Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan
Kekurangan sarana
dan fasilitas baik dalam jumlah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan atau ketertiban (Ismail Sholeh, 1990: 6). 4) Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis. Peraturan yang mengatur mengenai pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis tidak ada. Yang ada adalah pola pembinaan narapidana secara umum (bukan residivis), sehingga dalam pelaksanaannya ditafsirkan sama dengan pola pembinaan narapidana yang bukan residivis. Jika terdapat pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis mungkin, pembinaan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212
lembaga pemasyarakatan menjadi lebih efektif. Hal tersebut relevan menurut pendapat Rom menghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu masalah peraturan perundangan . 5) Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis Stigma negatif
masyarakat menghambat pelaksanaan pembinaan
moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Masyarakat masih kerap memberikan stigma negatif terhadap narapidana residivis yang masih mengecap citra buruk sebagai mantan penjahat. Hal tersebut menyebabkan hilangnya rasa percaya diri sehingga melakukan tindak pidana kembali. Melihat kondisi demikian, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta harus bekerja ekstra dalam memberikan pembinaan serta upaya mengembalikan rasa percaya diri yang hilang dan citra buruk sebagai mantan penjahat. Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau rhadap mantan narapidana
Tahanan
menghambat pelaksanaan pembinaan. Partisipasi masyarakat yang kurang perlu juga ditingkatkan karena masih didapati kenyataan sebagian anggota masyarakat (Ismail
masih eng Saleh, 1990: 6).
Berdasarkan faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta maka, hal tersebut relevan dengan pendapat Romli Atmasasmita (1982: 15)
-faktor yang menghambat pembinaan narapidana
di lembaga pemasyarakatan meliputi: masalah peraturan perundangan, masalah sarana personalia, sarana fisik lembaga pemasyara Selanjutnya ditambahkan pula menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213
lembaga pemasyarakatan yaitu sikap acuh keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna menjawab perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai berikut : 1. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya sebatas pemahaman moral saja. Kenyataan di lapangan diketahui bahwa, meskipun seluruh narapidana residivis memiliki pemahaman moral sangat baik yaitu mencapai 90% dari 10 narapidana residivis namun, ditinjau dari perasaan moral hanya mencapai 50% dari jumlah 10 orang narapidana residivis sebab hanya 5 orang saja yang telah memiliki perasaan moral yang baik sedangkan tindakan moral mereka juga belum terbentuk. Hal tersebut diketahui dari pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa, tindak pidana terakhir yang dilakukan narapidana residivis meliputi pencurian, penipuan, kekerasan, penggelapan dan pembunuhan. Diketahui bahwa, ternyata narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengalami masalah moral sehingga melakukan pengulangan tindak pidana. Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. 2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merujuk kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan. Pola pembinaan terhadap
commit to user 214
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215
narapidana residivis dilaksanakan di dalam Rutan dengan pemberian program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Hal tersebut nampak dalam tahapan pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana residivis, metode pembinaan yang meliputi: a. Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach), b. Metode pembinaan dengan pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach), c. Metode pembinaan perorangan (individual treathment). d. Metode pembinaan secara kelompok (classical
treatment), e. Metode pembinaan dengan pendekatan latihan fisik.
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan pembinaan moral berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan, namun nampaknya pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan dikatakan tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10 narapidana residivis tidak terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau dari kesadaran moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, narapidana
residivis yang belum memiliki kesadaran moral selama pembinaan berlangsung misalnya mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena mengisi waktu luang dari pada menganggur. Sedangkan dari segi tindakan moral adalah narapidana residivis belum menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan yaitu malas, membuat gaduh saat mengikuti pembinaan, mengobrol sendiri, berkelahi, tidur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216
saat mengikuti pembinaan, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan, bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan. Selain itu, ditinjau juga dari meningkatnya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta selama kurun waktu 2010-2011. Hampir semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana padahal mereka sebelumnya telah mendapatkan pembinaan moral selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari pembinaan berdasarkan pemasyarakatan yaitu narapidana residivis mampu memperbaiki diri, menyadari kesalahan dan menjadi warga negara yang baik (good citizen) dan bermoral nampaknya tidak terealisasi. 3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen adalah sebagai berikut: f. Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: 1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, 2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, 3) Sarana dan prasarana yang menunjang seperti pembina pemasyarakatan dan sarana personil yang memadai, dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan, dan fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan, 4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan 5) Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. g. Faktor penghambat pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: 1) Perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, 2) Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, 3). Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217
kegiatan pembinaan seperti kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina pemasyarakatan serta kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan, 4) Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, dan 5) Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan atas jawaban yang telah dirumuskan di atas, ternyata dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut: 1. Meskipun pemahaman moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikatakan sangat baik namun hanya sebagian narapidana residivis yang memiliki perasaan moral sedangkan tindakan moral mereka belum terbentuk sebab masih melakukan pengulangan tindak pidana maka narapidana residivis belum dikatakan bermoral. Hal tersebut berarti moral narapidana residivis hanya sebatas pada pemahaman moral saja. Jika moral narapidana residivis hanya sebatas pada pengetahuan moral maka sulit terbentuk tindakan moral sehingga kecenderungan terjadinya pengulangan tindak pidana oleh narapidana residivis akan tetap terjadi sebab orang dikatakan bermoral apabila dari pengetahuan moral yang dimilikinya dapat dipalikasikan dalam tindakan moral. 2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikatakan tidak berhasil membentuk good citizen sebab hampir seluruh narapidana residivis belum terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral yaitu belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti pembinaan, masih ditemukan perilaku narapidana residivis yang tidak baik, dan masih terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis. Melihat kondisi tersebut maka pembinaan yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan tidak dapat terwujud. 3. Karena dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengalami beberapa kendala (faktor penghambat) mengakibatkan ketidakefektifan perbaikan moral narapidana residivis sehingga sulit terbentuk good citizen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Setelah mengetahui bahwa moral sebagian narapidana residivis hanya sebatas pada pemahaman moral saja maka narapidana residivis perlu mengasah pengetahuan moral sehingga terbentuk tindakan moral yaitu rutin mengikuti pembinaan khsususnya pembinaan kepribadian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. 2. Setelah mengetahui bahwa pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi pribadi yang bermoral sehingga arah pembentukan warga negara yang baik (good citizen) menjadi tidak tercapai. Oleh sebab itu, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: a. Bagi narapidana residivis hendaknya segera menyadari kesalahan dengan cara lebih mendekatkan lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, maka kemungkinan untuk melakukan tindak pidana sangat kecil sebab takut dosa. b. Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta 1) Perlu mendatangkan seorang psikiater yang profesional atau ahli spiritual agama yang dapat membantu narapidana residivis untuk memecahkan permasalahan dalam dirinya khususnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan atas kemungkinan terjadinya depresi atau masalah moral yang tidak dapat diatasi oleh narapidana residivis sendiri. Dengan demikian, akan dapat ditemukan solusi atau jalan keluarnya. 2) Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta perlu membuat penempatan khusus untuk pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis agar disendirikan dengan narapidana lain. 3) Pihak Rutan perlu melakukan monitoring terkait pelaksanaan pembinaan moral sejak narapidana residivis menerima program pembinaan moral
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
219
sampai berakhirnya pelaksanaan pembinaan moral tersebut. Dengan demikian, narapidana residivis akan memperoleh pengetahuan moral yang baik sebab hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat kematangan perkembangan moral mereka. 4) Pihak Rutan perlu mencoba menerapkan sebuah model pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang inovatif dan menyegarkan bagi warga binaan pemasyarakatan dimana model pembelajaran tersebut terintegrasi dalam materi pembinaan moral sebab mengingat tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk masyarakat Indonesia menjadi warga negara yang baik (good citizen). 5) Meningkatkan kerja sama dengan pihak instansi baik pemerintah maupun swasta untuk menyalurkan narapidana agar dapat dipekerjakan sesuai dengan bidang keahlian atau keterampilan yang dimiliki sebab masalah pengulangan tindak pidana terletak pada ekonomi rendah dan sulitnya narapidana memperoleh pekerjaan.
Dengan
mereka bekerja
maka
memperkecil kemungkinan melakukan tindak pidana kembali. c. Bagi pemerintah 1) Perlu dibuatkan kurikulum pendidikan moral yang secara khusus diterapkan dalam lembaga pemasyarakatan. 2) Mengeluarkan kebijakan khusus tentang pola pembinaan bagi narapidana residivis. 3) Hasil penelitian menyatakan bahwa, sebagian besar narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan pengulangan tindak pidana karena faktor ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memberikan dan memperluas lapangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
220
pekerjaan
khususnya
kepada
eks
narapidana residivis
agar
bekal
keterampilan yang diperoleh selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dapat bermanfaat sehingga frekuensi pengulangan tindak pidana akan berkurang. d. Bagi mahasiswa hendaknya ikut berpartisipasi aktif dalam hal pengabdian masyarakat, misalnya mengajarkan materi pendidikan moral di lembaga pemasyarakatan atau ikut berperan aktif dalam kegiatan penyuluhanpenyuluhan baik yang dilakukan oleh aparat hukum atau lembaga masyarakat. e. Bagi masyarakat hendaknya memberikan kesempatan kepada narapidna residivis yang telah kembali ke dalam masyarakat dengan mellibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan atau organisasi tertentu serta menerima keberadaan mereka kembali dengan mambuang stigma dan asumsi negatif tentang narapidana residivis sebagai mantan penjahat sehingga mereka dapat menjalankan fungsi sosial sebagai anggota masyarakat. 3. Setelah mengetahui bahwa dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengalami beberapa kendala (faktor penghambat) sehingga sulit terbentuk good citizen maka, petugas dan pembina Rutan perlu meminimalisir faktor penghambat tersebut yaitu menambah tenaga pengajar khusus untuk membimbing narapidana residivis yang buta huruf dan tidak bisa baca tulis, menjalin kerjasama dengan instansi yang terkait
dengan
penerangan
atau
penyuluhan
kepada
masyarakat
untuk
meminimalisir stigma negatif dari masyarakat, dan pembina Rutan lebih mengasah kembali pengetahuan yang sesuai dengan disiplin ilmu misalnya dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
commit to user