PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA KELAS I TANJUNGPINANG
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: NOFRIANSYAH NIM : 100563201038
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DANILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI RUMAH TAHANAN NEGARA KELAS I TANJUNGPINANG
NOFRIANSYAH Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Danilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Rumah tahanan juga melakukan sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Pembinaan terhadap tahanan dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Namun permasalahan yang terjadi saat ini adalah masih ada narapidana yang berada di rumah tahanan sering keluar masuk dengan kasus yang sama, sehingga dapat diasumsikan pembinaan yang selama ini diberikan tidak efektif. Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengetahui Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang. Penelitian ini menggunakan konsep menurut Adi Sudjatno (2004 : 18-21) ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Informan dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik Purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pada Bab IV diapat disimpulkan bahwa Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang sudah dilaksanakan dengan baik karena ke dua pembinaan baik pembinaan kepribadian dan pembinaan keterampilan sudah diberikan kepada warga binaan dan sejauh ini sudah mampu memberikan manfaat kepada warga binaan. Pembinaan kepribadian diketahui bahwa warga binaan yang berada di Rutan diberikan pembinaan keagamaan. Kemudian Pembinaan kesadaran hukum sudah dilakukan oleh pihak Rutan dengan cara sosialisasi dan penyuluhan. Pembinaan sudah dilakukan dengan berbagai cara agar warga binaan mampu diterima masyarakat. Tidak hanya itu Pembinaan kemandirian juga sudah dilakukan dengan memberikan keterampilan agar warga binaan mampu lebih mandiri. Kata Kunci : Pembinaan, Warga Binaan.
1
ABSTRACT The House of the custody system also performs coaching against the violators of law and as an embodiment of Justice that aims to achieve social reintegration or return to unity relationship between Assisted Residents with Community Correctional. Construction of prisoners began in question being held prisoner home country (rutan) as a suspect or accused for the purpose of prosecution and investigation of examination in the Court of session. But problems occurred at this time is there are still prisoners who are on home detention often comes out with the same case, so that the construction can be assumed for this given ineffective. The purpose of this research is essentially to know Implementation Coaching Inmates By employees of State Prisoners Home class I Tanjungpinang. This research uses the concept according to Adi Sudjatno (2004:18-21) the scope of the construction based on the decision of the Minister of Justice of the Republic of Indonesia number: m. 02-22 in 1990 about Patterns of coaching Inmates In this thesis discussion using qualitative descriptive study. Informants in this study is taken using a Purposive sampling technique. Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative data analysis techniques. Based on the results of research and analysis on chapter IV diapat concluded that the construction of the Inmates By employees of State Prisoners Home class I Tanjungpinang was implemented properly. Coaching personality in mind that assisted the citizens who are in Prison are given coaching. Then the construction of the legal awareness of the Rutan has done by means of dissemination and outreach. The construction was done in many different ways so that citizens in our capable community accepted. Not only is it the construction of independence has also been done by providing skills in order to be assisted are capable of more independent citizens.
Keywords: Construction, Building Residents.
2
I A.
Rutan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pemilu dianggap sebagai bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum dimana dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi dengan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagai Negara hukum, dapat diartikan bahwa barang siapa yang berada di wilayah Republik Indonesia yang melanggar peraturan atau normanorma hukum yang berlaku akan mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Sanksi adalah berupa hukuman atau perbuatan pelanggaran yang dilakukan setimpal dengan perbuatannya tersebut. Seseorang yang melanggar hukum akan diadili terlebih dahulu melalui sidang Pengadilan Negeri, setelah terbukti bersalah baru ia dimasukkan ke Rumah Tahanan atau lebih dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan. Rumah tahanan merupakan wadah atau tempat bagi orang-orang yang melanggar hukum tersebut menjalani hukumannya.
Sedangkan Rumah Tahanan Negara (disingkat Rutan) adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia. Rumah Tahanan Negara merupakan unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rutan didirikan pada setiap ibukota kabupaten atau kota, dan apabila perlu dapat dibentuk pula Cabang Rutan. Di dalam Rutan, ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Meski berbeda pada prinsipnya, Rutan dan Lapas memiliki beberapa persamaan. Kesamaan antara Rutan dengan Lapas di antaranya, baik Rutan maupun Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (lihat pasal 2 ayat [1] PP No. 58 Tahun 1999). Selain itu, penempatan penghuni Rutan maupun Lapas sama-sama berdasarkan penggolongan umur, jenis kelamin, dan jenis tindak pidana/kejahatan (lihat pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 dan pasal 7 PP No. 58 Tahun 1999).
Dalam sistem hukum pidana Indonesia dikenal istilah Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dengan kata lain, Rutan adalah bagian dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Rumah Tahanan (disingkat Rutan) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah Rutan di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Rumah Tahanan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara Dan Rumah
3
Penyimpanan Benda Sitaan Negara, Rutan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) Kelas yaitu : Rutan Klas I; Rutan Klas IIA; Rutan Klas IIB. Rutan Kelas I (satu) terdiri dari : Seksi Pelayanan Tahanan; Seksi Pengelolaan Rutan; Kesatuan Pengamanan Rutan; Urusan Tata Usaha. Rumah Tahanan Negara Klas I mempunyai fungsi sebagai tempat penahanan dan perawatan bagi tersangka/terdakwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaaan disidang pengadilan dan juga berfungsi sebagai tempat pembinaan bagi terpidana.
Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UndangUndang Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Arah tujuan pembinaan disamping rehabilitasi, reintegrasi juga untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dilakukannya tindak pidana. Hal- hal tersebut antara lain ditegaskan bahwa: “Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu system pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan dinamakan Sistem Pemasyarakatan.
Dengan demikian maka sebagai tugas pokok Rutan adalah melaksanakan perawatan tahanan baik fisik maupun mentalnya didalam mempersiapkan mereka menghadapi proses peradilan dengan berpedoman kepada azas Praduga Tak Bersalah serta aspek perlindungan dan hak asasi seseorang dalam keseimbangan dengan kepentingan umum dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kerangka penegakkan hukum. Kemudian RUTAN Kelas II (dua) A terdiri dari : Seksi Pelayanan Tahanan; Seksi Pengelolaan Rutan; Kesatuan Pengamanan Rutan; Rutan Kelas II (dua) B terdiri dari : Sub Seksi Pelayanan Tahanan; Sub Seksi Pengelolaan Rutan; dan Kesatuan Pengamanan Rutan.
Pembinaan terhadap tahanan dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani. Tujuan Pembinaan adalah pemasyarakatan, yang dibagi dalam tiga hal yaitu :
Rumah tahanan juga melakukan sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya Sistem
1. Diharapkan setelah keluar dari Rutan tidak lagi melakukan tindak pidana.
4
2. Agar menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya. 3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga Sumber : Sumber : Rutan Kelas I Tanjungpinang, 2016
Narapidana pada waktu masuk Rumah tahanan merasa dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan beberapa unsur dari masyarakat, sejak itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian keharmonisan hidup dan kehidupan, tersembuhlah dari segisegi yang merugikan atau negatif. Berikut pembinaan yang dilakukan di rumah tanahan :
Jika dilihat dari tabel diatas selama tahun 2015 dan tahun 2016 sudah ada 4 pembinaan yang dilakukan secara rutin di Rutan Kelas 1 Tanjungpinang. Tegasnya Pemasyarakatan adalah prosesnya kehidupan negatif antara narapidana dengan unsur-unsur dari masyarakat yang mengalami pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan, menjurus dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan unsur dari masyarakat. Dalam proses ini para petugas Pemasyarakatan yang merupakan salah satu unsur menjalankan peranan penting, ialah sebagai pendorong atau motor, penjurus dan pengatur agar proses tersebut dapat berjalan dengan lancar sehingga mencapai tujuannya dengan cepat dan tepat. Karena Pemasyarakatan itu merupakan proses yang berlaku secara evolusi, maka hendaknya disalurkan tahap demi tahap guna menghindarkan kegagalan dan akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Table 1.1 Pembinaan rumah tahanan No Tahun Pembinaan 1 2015 Pembinaan kesadaran beragama/ ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 2 2015 Pembinaan kemampuan intelektual; 3 2015 Pembinaan kesadaran hukum 4 2016 Ketrampilan untuk
Setelah tahanan bebas karena telah menjalani hukuman dengan suatu proses pembinaan maka sangat diharapkan bahwa narapidana tersebut tidak akan kembali lagi ke Rumah Tahanan, akan tetapi nyatanya masih ada juga di antara mereka yang mengulangi perbuatan yang melanggar
5
hukum serupa yang disebut residivis. Hal tersebut disebabkan pembinaan narapidana di Indonesia belum dilakukan lewat tahapan self realisation process, yaitu suatu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalamanpengalaman, nilai-nilai pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budaya, kelembagaannya dan kondisi dari mana ia berasal.
yang lama akan kembali masuk dengan permasalahan yang sama. Dengan alasan serta latar belakang demikian, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA OLEH PEGAWAI RUMAH TAHANAN NEGARA KELAS I TANJUNGPINANG” B. Perumusan Masalah Pembinaan sangat penting dilakukan kepada narapidana. Hal ini untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak lagi mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, serta agar dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Rutan tidak terlepas dari sebuah dinamika yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Warga Binaan Pemasyarakatan dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam Rutan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga warga binaan tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan demikian fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan yang ada di dalam Rutan. Berdasarkan identifikasi permasalahan maka dalam
Namun permasalahan yang terjadi saat ini adalah masih ada narapidana yang berada di rumah tahanan sering keluar masuk dengan kasus yang sama, sehingga dapat diasumsikan pembinaan yang selama ini diberikan tidak efektif. Berikut data narapidana yang terdata keluar masuk dengan tindak kejahatan yang sama. Tabel I.2 Jumlah Tahanan di Rutan Kelas I Tanjungpinang N o
Bulan
1
Novembe r 2015 Desember 2015 Januari 2016
2 3
Jumla Jumlah h Kembal Keluar i Masuk 8 orang 2 orang 11 orang 15 orang
Sumber : Rutan Tanjungpinang, 2016
3 orang 5 orang
Kelas
I
Jika dilihat dari tabel diatas maka diketahui bahwa setiap bulannya Rutan akan mengeluarkan narapidana yang telah menyelesaikan masa tahanannya, tetapi tidak sedikit dari mereka setelah dikeluarkan tidak menunggu waktu
6
penelitian ini mencoba menarik perumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang?”.
duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Hak pilih pasif (hak dipilih) adalah hak untuk dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan rakyat. Meskipun diadakan pembatasan, hal tersebut harus ditentukan secara demokratis, yaitu melalui undang-undang. b. Kebebasan nominasi. Melalui organisasi masing-masing keompok rakyat membina, menyeleksi, dan menominasikan calon-calon yang mereka nilai mampu menerjemahkan kebijakan organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi, di dalam kebebasan berorganisasi itu secara implisit terkandung pula prinsip kebebasan menominasikan calon wakil rakyat. Sebab hanya dengan cara itulah pilihan-pilihan yang signifikan dapat dijamin dalam proses pemilihan umum. c. Persamaan hak kampanye. Program kerja dan calon-calon unggulan tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diketahui oleh pemilih. Oleh karena itu, kampanye menjadi penting dalam proses pemilu. Melalui proses tersebut massa pemilih diperkenalkan dengan para calon dan program kerja para kontestan pemilu. d. Kebebasan dalam memberikan suara. Pemberi suara harus terbebas dari berbagai hambatan fisik dan mental dalam menentukan pilihannya. Harus ada jaminan bahwa pilihan seseorang dilindungi kerahasiaannya dari pihak mana pun, terutama dari penguasa.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Secara Akademis yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pembinaan dan untuk penerapan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, khususnya dalam bidang Ilmu adminstrasi Negara b. Kegunaan Secara Praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan informasi bagi pihak pemerintah terkait dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang D. Konsep Operasional Penelitian ini mengambil batasan penelitian yaitu dengan mengacu pada konsep Menurut Austin Ranney (Rusli Karim : 2006 : 13) ada delapan kriteria pokok bagi pemilu yang demokratis. a. Hak pilih umum. Pemilu disebut demokratis apabila semua warga negara dewasa dapat menikmati hak pilih pasif ataupun aktif. Hak pilih aktif adalah hak untuk memilih wakilnya yang akan
7
e. Kejujuran dalam penghitungan suara. Kecurangan dalam penghitungan suara dapat menggagalkan upaya penjelmaan rakyat ke dalam badan perwakilan rakyat. Keberadaan lembaga pemantau independen pemilu dapat menopang perwujudan prinsip kejujuran dalam penghitungan suara. E. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian deskriktif. Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai Proses Pemilu di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Tanjungpinang. F. Teknik Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif dengan menggunakan model analisis interaktif. Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2003:246), mengemukakan bahwa “ aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menurus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”.
menghubungkan konsep-konsep yang hendak diteliti, sehingga dapat menerangkan dan memecahkan gejala sosial yang dihadapi. Sehubungan dengan hal ini, berikut ini penulis akan menguraikan secara teoritik variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini. Menurut Sudjatno (2004 : 18-21) ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni: a. Pembinaan Kepribadian. Pembinaan kepribadian sendiri merupakan pembinaan yang penting untuk merubah watak dan mental dari narapidana agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, bertakwa, dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Apabila dicermati pembinaan kepribadian amatlah penting karena berkaitan erat dengan perubahan pada watak dan mental dari narapidana sendiri, pembinaan ini yang nantinya banyak berpengaruh terhadap perubahan dari dalam diri narapidana tersebut apakah nantinya dapat menjadi warga binaan yang sesuai dengan tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri. Pembinaan kepribadian sendiri tidaklah mudah, karena untuk mempengaruhi bahkan mengubah watak atau mental seseorang itu sulit perlu adanya pedoman dan cara-cara tertentu
II. LANDASAN TEORI A. Pembinaan Kerangka teoritis adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Penelitian ilmiah merupakan suatu bentuk penelitian dengan cara berpikir dan bertindak secara sistematis. Sebab itu kajiannya perlu didukung oleh suatu landasan teori yang dipilih dari literatur maupun berbagai referensi sebagai kerangka dasar teoritik yang
8
yang dilakukan oleh petugas agar dapat mengubah sedikit demi sedikit kepribadian dari narapidana. Pembinaan kepribadian ini diharapkan dapat membentuk watak dan mental yang baru bagi narapidana agar menjadi manusia yang baru yang dapat bertanggung jawab atas kejahatan yang pernah mereka lakukan dan untuk menghindari untuk melakukan kejahatan lagi. Oleh karena itu pembinaan kepribadian amatlah penting untuk membangun watak dan mental baru bagi narapidana agar menjadi lebih baik lagi. b. Pembinaan kemandirian. Pembinaan dalam bidang kemandirian dilakukan dengan tujuan setelah narapidana keluar dari Rumah Tahanan, mereka dapat mandiri dengan bekerja pada orang lain atau membuka usaha sendiri, sehingga mereka dapat berguna di tengah-tengah masyarakat. Meskipun harus diakui bahwa pembinaan itu membutuhkan waktu yang lama serta proses yang tidak cepat, namun seiring dengan berjalannya masa tahanan narapidana dapat menjalani proses dengan baik dan bisa kembali berbaur di dalam masyarakat. Pembinaan keterampilan sebagai salah satu program pembinaan dikategorikan ke dalam ruang lingkup pembinaan narapidana adalah untuk membuat narapidana dapat bergaul dengan narapidana lain selama menjalani keterampilan dan juga sebagai bekal narapidana dalam
proses reintegrasi dengan masyarakat. Pembinaan keterampilan sebagai salah satu program pembinaan narapidana akan dapat terlaksana secara maksimal dengan menjalin kerjasama melalui pihak ketiga baik dengan instansi pemerintah maupun pihak swasta yang dapat memberikan bimbingan keterampilan yang bermanfaat di masyarakat apabila kelak telah habis masa hukumannya di Rumah Tahanan. Pembinaan kemampuan intelektual bagi para narapidana di Rumah Tahanan belum dilaksanakan secara maksimal. Dimana belum semua narapidana yang memenuhi persyaratan untuk pendidikan KF, Paket A dan Paket B tersebut diikutkan program pembinaan. Sedangkan masalah pembinaan agama, narapidana mengikuti pembinaan ini dengan baik, meskipun tidak semuanya. Yang mengikuti kegiatan pembinaan dengan tekun terbukti dapat merubah sikap dan perilakunya kearah yang lebih baik. Sebagaimana Madjid (2000: 4) menjelaskan bahwa rasa tawakal yang tinggi adalah mereka menginsafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka, dengan bekal tawakal yang memadai, tidak lagi mengulang kejahatan yang pernah dilakukan sebelumnya, berperilaku sesuai dengan
9
norma-norma yang ada di masyarakat, sekaligus diharapkan dapat memiliki bekal keterampilan untuk menjalani kehidupan seperti masyarakat kebanyakan. Upaya pembinaan keterampilan kerja dilaksanakan oleh dua petugas Rumah Tahanan. Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa kegiatan tersebut kurang efektif, terlihat misalnya tidak semua anggota kelompok melakukan kegiatan secara rutin, aparat Pembina juga jarang memantau kegiatan para narapidana. Penyebab belum efektifnya keterampilan kerja karena pengorganisasian pekerjaannya belum dilakukan. Menurut Sahardjo (dalam Panjaitan, 2007: 13-14) bahwa mata rantai yang harus jelas diperhatikan oleh para pembina maupun pemerintah, yaitu bagaimana pembina itu mampu menghasilkan narapidana yang tetap mempunyai mata pencarian setelah keluar dari penjara. Sedangkan upaya pembinaan kemandirian narapidana belum mancakup aspek-aspek kemandirian yang sesuai dengan tuntutan dinamika kebutuhan kerja. Pembinaan kemandirian bagi narapidana mestinya mencakup peningkatan kemampuan menyadari permasalahan yang dihadapi, mengetahui potensi dan kelemahan yang melekat pada dirinya, dan menentukan pilihan terhadap berbagai alternatif yang ada dengan memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada. Program pembinaan narapidana tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang sesuai dengan apa yang termuat dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia maupun surat– surat edaran. Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana ada beberapa faktor penghambat dan pendukung. Hal yang menyebabkan ketimpangan tersebut ada faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya yaitu: tidak ada kemampuan pemimpin dalam mendorong motivasi kerja bawahan, kurangnya pemahaman petugas terhadap peraturan-peraturan tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku cenderung berubah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sikap acuh Wali Pemasyarakatan, pembebanan biaya proses pengusulan kepada narapidana, rasa putus asa dari narapidana, sistem kepemimpinan tertutup, narapidana melakukan pelanggaran tata tertib. Faktor eksternalnya yaitu: Sulitnya mendapatkan surat keterangan dari Jaksa, letak keluarga narapidana yang jauh dari Rumah Tahanan, keluarga korban tidak menandatangani surat perdamaian dan menyatakan menolak narapidana untuk kembali ke tengah masyarakat di tempat tinggal saat peristiwa pidana berlangsung. Rumah Tahanan RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara, LAPAS merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, seorang narapidana harus ditempatkan di dalam LAPAS untuk mendapatkan pembinaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan kapasitas RUTAN
10
di Indonesia membuat fungsi LAPAS berubah menjadi RUTAN. Beberapa LAPAS yang seharusnya menjadi tempat membina narapidana tersebut digunakan untuk menahan tersangka atau terdakwa. Perubahan fungsi ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara. Pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut terdapat daftar LAPAS yang juga dapat menjadi RUTAN. Berkaitan dengan pertanyaan “seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS boleh ditempatkan di rumah tahanan”, pada Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan disebutkan: Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dilakukan: a. Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, atau b. antar wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut di atas, maka seorang Narapidana yang sudah berada di LAPAS tidak dapat dipindahkan ke RUTAN, karena sesuai dengan fungsinya LAPAS yaitu tempat untuk melakukan pembinaan narapidana. Kalaupun narapidana harus dipindahkan, maka narapidana tersebut hanya dapat dipindahkan ke LAPAS wilayah lain dan bukan ke RUTAN, sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01- PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan. Fungsi RUTAN bukanlah untuk membina narapidana,
tetapi untuk menahan sementara seorang tersangka atau terdakwa. Ilmu administrasi Negara memiliki ruang lingkup penelitian yaitu Pembangunan, Pelayanan, dan Pemberdayaan. Pembinaan narapidana merupakan salah satu penelitian administrasi Negara dimana pembinaan ini adalah bentuk pelayanan yang diberikan pemerintah kepada narapidana agar dapat kembali ke masyarakat, kemudian pembinaan juga merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang dilakukan kepada narapidana agar setelah keluar dari tempat pembinaan atau rumah tahanan maka narapidana tetap bisa mandiri dan berdaya guna. III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang terletak di Kelurahan Tanjungpinang Barat Kecamatan Tanjungpinang Barat Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Rumah Tahanan Negara adalah Unit Pelaksana Teknis dibidang Penahanan untuk kepentingan penyidikan dan pemeriksaan disidang Pengadilan yang berada dibawah dan tanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Kemenkumham. Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang dahulunya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Tanjungpinang yang kini berubah fungsi menjadi RUTAN KLAS I Tanjungpinang. berdasarkan Surat Keputusan Menteri Departemen Hukum dan HAM RI Nomor : A.3222.KP.04.04 tanggal 06 Juni 2006 untuk pertama kalinya dengan pelantikan pejabat Struktural Eselon IIIb sebagai Kepala Rutan tertanggal 12 juli 2006.
11
Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang terletak di tengahtengah kota dan perkampungan penduduk yang padat yaitu Jalan Pemasyarakatan No. 08 Kelurahan Tanjungpinang Barat, Kecamatan Tanjungpinang Barat dan masyarakat menyebut daerah Kampung Jawa. Pembangunan Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang tahap awal dilaksanakan pada zaman Pemerintahan Portugis dan diselesaikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1867. berdiri di atas tanah seluas 6400 m² dengan luas bangunan 2100 m². Dengan berkembangnya kota Tanjungpinang sebagai daerah tujuan Wisata di Provinsi Kepulauan Riau, ada wacana kedepan Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang untuk dijadikan tempat Objek Wisata Sejarah, karena Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang ini masuk sebagai Benda Cagar Budaya dengan sebutan “RUMAH JIL BELANDA” dan dilindungi dengan UU. No. 5 Th. 1992 tentang Cagar Budaya. Adapun tempat yang unik yang akan dijadikan Objek Wisata pihak Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang adalah a. Arsitektur Bangunan Gedung Penjara dengan ciri khas bangunan Portugis dan Belanda yang masih kokoh dan kuat. b. Adanya Sumur Tua yang bertingkat – tingkat yang merupakan Sumur Model Tempoe Doeloe. c. Adanya Ruang Straf Sell / Tutupan Sunyi bagi para Narapidana yang melanggar disiplin. d. Adanya Ruang Sel yang dijadikan Tempat Hukuman Gantung pada saat itu.
e. Bentuk Genta / Lonceng Tua yang masih terjaga keutuhannya. Dalam melaksanakan Tugasnya Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjungpinang mempunyai fungsi: Melakukan Pelayanan terhadap tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan. Melakukan Pemeliharaan Keamanan dan Tata Tertib Rutan. Melakukan Pengelolaan Rumah Tahanan Negara. Melakukan Urusan Tata Usaha. Melakukan hubungan ke instansi luar. IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 1. Pembinaan kepribadian Pembinaan kepribadian diketahui bahwa warga binaan yang berada di Rutan diberikan pembinaan keagamaan. Agama merupakan hal penting bagi setiap kehidupan karena Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Kemudian Pembinaan kesadaran hukum sudah dilakukan oleh pihak Rutan dengan cara sosialisasi dan penyuluhan. Pembinaan warga binaan mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus warga binaan untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti warga binaan, yang didorong untuk membangkitkan
12
rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat. Pembinaan sudah dilakukan dengan berbagai cara agar warga binaan mampu diterima masyarakat. Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa naarapidana bukan saja obyek melainkan subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktuwaktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan naarapidana berbuat halhal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajibankewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Oleh sebab itu eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan naarapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. 2. Pembinaan Kemandirian Pembinaan kemandirian juga sudah dilakukan dengan memberikan keterampilan agar warga binaan mampu lebih mandiri. Penerapan program pembinaan yang dilakukan dalam Rumah Tahanan Pelaksanaan pembinaan melalui pelatihan keterampilan tersebut tidak dapat menarik minat warga binaan yang ada secara keseluruhan, hal ini dikarenakan pelatihan keterampilan yang disediakan serta pendekatan dan strategi yang digunakan dalam proses pembelajaran ini belum sesuai dengan kebutuhan
seluruh warga binaan, dan keterampilan yang diberikan tidak sesuai dengan bakat tetapi disesuaikan dengan kebutuhan mereka saat keluar dari Rutan. Pembinaan dalam bidang kemandirian dilakukan dengan tujuan setelah narapidana keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, mereka dapat mandiri dengan bekerja pada orang lain atau membuka usaha sendiri, sehingga mereka dapat berguna di tengah-tengah masyarakat. V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pada Bab IV diapat disimpulkan bahwa Pembinaan Narapidana Oleh Pegawai Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjungpinang sudah dilaksanakan dengan baik karena ke dua pembinaan baik pembinaan kepribadian dan pembinaan keterampilan sudah diberikan kepada warga binaan dan sejauh ini sudah mampu memberikan manfaat kepada warga binaan. B. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Seharusnya program-program pembinaan juga harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan narapidana seperti keterampilan yang dapat diaplikasikan langsung dan mudah untuk dilaksanakan. 2. Program pembinaan juga sebaiknya melihat kesiapan warga binaan agar hasilnya lebih optimal, hal ini dalam arti bahwa pembinaan yang diberikan sebaiknya melihat betul-betul apa yang dibutuhkan seperti pembinaan keagamaan, kesadaran hukum agar mereka tidak berbuat hal yang sama di kemudian hari.
13
3. Perlu adanya pembinaan yang dilakukan secara instensif sebelum para warga binaan keluar seperti mengembalikan kembali rasa kepercayaan diri mereka agar mampu kembali ke masyarakat.
Ramlan. 2001. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyo. Sedarmayanti. 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: CV. Mandar Maju.
DAFTAR PUSTAKA
Seeker, Karen,R. Ramelan. 2001. Pembinaan Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jakarta : PPM
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Siagian, Sondang. P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Aksara baru
Badudu, J.S. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar
Sudirman, Didin. 1997. Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Sujatno, Adi 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri). Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI Jakarta.
Moleong, L.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, 2007, Pidana Penjara Mau Kemana: CV. Indhill Co : Jakarta
Thoha, Miftah 2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Edisi 12, Jakarta : PT. Raja. Grafindo Persada.
Pambudi, Himawan S. Dkk. 2003. Politik Pemberdayaan: Jalan Mewujudkan. Otonomi Desa, Yogyakarta, LAPPERA Pustaka Utama
Winardi. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta : Pranada Media.
Panjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety, 2007, Pidana Penjara Mau Kemana, Jakarta: Indhill Co.
Sumber lain :
14
Anton Setiawan. 2009 , Pelaksanaan Pembinaan Menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Rumah tahananKlas Ii A Binjai) . TESIS. Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Zunaidi, Muhammad. Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang di Pasar Tradisional Pasca Relokasi dan Pembangunan Pasar Modern. Jurnal Vol. 3. No. 1 April 2013.
15